Hodgkin sebanyak 34 dapat direkrut dalam penelitian ini. Setelah diberikan penjelasan dan dimintakan persetujuan tertulis setelah penjelasan, pasien diambil darah untuk pemeriksaan gen enzim pemetabolisme obat. Hasil pemeriksaan laboratorium untuk memantau toksisitas hematologi dicatat dan dilihat derajat keparahannya berdasarkan Common Toxicity Criteria-Eastern Cooperative Oncology Group (CTC-ECOG) tahun 2007. Pemantauan efikasi hanya dilakukan pada pasien kanker payudara, dengan pertimbangan respon terapi kanker payudara dapat dilakukan pada kemoterapi siklus ke-tiga. Median umur subyek penelitian adalah 49 dengan nilai rerata 48,69. Sebanyak 62 (43,4%) dan 81 (56,6%) subyek mempunyai genotipe null dan non null GSTT1; dan 112 (77,9%) dan 30 (21,1%) subyek mempunyai genotipe null dan non null GSTM1. Dari kedua jenis enzim gluthation tersebut terdapat 57 (39,5%) subyek mempunyai double null genotipe. ALDH1A1 yang mengalami mutasi hanya didapatkan pada 1 subyek dan yang mempunyai bentuk heterozigot AT sebanyak 77 subyek. Distribusi frekuensi alel T dan A sebesar 27,45% dan 72,55%. Bentuk polimorf enzim CYP2B6*9 pada basa G516T TT terdapat pada 57 (35%) subyek yang merupakan bentuk mutasi, sedangkan G516T GG sebanyak 34 (20,8%) dan bentuk heterozigot G516T GT sebanyak 72 (44,2%). Distribusi frekuensi alel T dan G pada CYP2B6*9 adalah 57,1% dan 42,9%. Bentuk polimorf enzim CYP2B6*4 pada basa A785G GG terdapat pada 49 (34,0%) subyek yang merupakan bentuk mutasi, sedangkan A785G AA sebanyak 27 (18,8%) dan bentuk heterozigot A785G AG sebanyak 68 (47,2%). Distribusi frekuensi alel G dan A adalah 57,6 % dan xxii
42,4%. Sebanyak 69 (42,3%) subyek yang mempunyai mutasi baik pada CYP2B6*4 maupun CYP2B6*9. Kondisi tersebut dikatakan sebagai polimorf CYP2B6*6. Hardy-Weinberg Equilibrium terjadi pada gen CYP2B6*9 dan CYP2B6*4 dengan p = 0,964 dan 0,971. Sedangkan pada ALDH1A1 tidak terjadi kesetimbangan, dimana antara jumlah alel yang diamati dan yang diperkirakan terdapat perbedaan yang bermakna, p = 0,002. Tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara
mutasi
gen
GSTT1,
GSTM1,
ALDH1A1,
CYP2B6*9,
CYP2B6*4,dan CYP2B6*6 dengan jenis kelamin (p=0,80; 0,78; 1,00; 0,94; 1,00; 0,54; 0,81). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, stadium penyakit, mutasi gen GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6, dan jumlah gen mutan dengan risiko leukopenia (p=0,56; 0,59; 0,58; 0,27; 0,39; 0,79; 0,24; 0,34; 0,24). Meskipun tidak ada hubungan yang bermakna, tetapi terdapat kecenderungan bahwa subyek dengan usia diatas 40 tahun, subyek dengan stadium penyakit yang lanjut dan subyek dengan mutasi gen GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6, dan subyek yang mempunyai jumlah gen mutan diatas 3 mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadi leukopenia. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, stadium penyakit, mutasi gen GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6, dan jumlah gen mutan dengan risiko trombositopenia (p=1,00; 0,49; 0,50; 0,68; 0,51; 0,21; 0,10; 0,17; 0,06). Meskipun tidak ada hubungan yang bermakna, tetapi terdapat kecenderungan bahwa subyek dengan usia diatas 40 tahun, subyek dengan mutasi gen xxiii
GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*4, CYP2B6*6, dan subyek yang mempunyai jumlah gen mutan diatas 3 mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadi trombositopenia. Sedangkan stadium penyakit yang lanjut dan mutasi gen CYP2B6*9 justru mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terjadinya trombositopenia. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, stadium penyakit, mutasi gen GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6, dan jumlah gen mutan dengan risiko trombositopenia (p=0,74; 0,27; 0,54; 0,17; 0,52; 0,51; 0,32; 0,58; 0,47). Meskipun tidak ada hubungan yang bermakna, tetapi terdapat kecenderungan bahwa subyek dengan usia diatas 40 tahun, subyek dengan stadium penyakit yang lanjut, subyek dengan mutasi gen ALDH1A1, CYP2B6*4, CYP2B6*6, mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadi hemoglobinemia. Sedangkan mutasi gen GSTT1, GSTM1, CYP2B6*9, dan jumlah gen mutan diatas 3 justru mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terjadinya hemoglobinemia. Pengamatan pada kelompok subyek dengan kasus kanker payudara saja yang mempunyai data respon terapi didapatkan gambaran bahwa stadium penyakit yang lanjut mempunyai risiko 11,67 kali lebih besar untuk mengalami kegagalan terapi dengan p=0,00. Variasi gen enzim pemetabolisme tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan respon terapi, meskipun begitu pada subyek dengan mutasi gen GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 dan subyek dengan jumlah gen mutan diatas 3 menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadi kegagalan terapi.
xxiv
ABSTRACT Cancer is a malignant disease that has a high mortality rate. Globocan 2012 showed there were 14.1 million new cases of cancer; 8.2 million deaths from cancer and 32.6 million patients living with cancer (within 5 years of diagnosis) worldwide. Breast cancer is in the top rank of malignancy on women while non-Hodgkin lymphoma cancer is in the 8th on men and the 12th of all cases – with the total of 385,741. Chemotherapy is the standard therapy for non-Hodgkin lymphoma cancer and breast cancer, either as adjuvant therapy or as main therapy for advanced cancer cases. The characteristics of anti-cancer medicine that is unspecific and could damage normal cells other than the cancer cells cause toxicity of some medications to certain individuals. The efficacy and toxicity of anti-cancer medicine vary between individuals so that clinicians and pharmacists need to monitor the drug response to maximize the medications for the patients. Cyclophosphamide is one of anti-cancer medicine in the alkylating agent class, used in the chemotherapy regimen of several cancer cases – solid tumor and blood malignancy. Breast cancer and non-Hodgkin lymphoma cancer are types of cancer that use cyclophosphamide as one of the medication regimen. Medication with cyclophosphamide could cause side effects such as anemia, leukopenia, and thrombocytopenia, toxicity on reproduction system, and based on several researches – secondary cancer. There are some enzymes having roles in cyclophosphamide activation and elimination in order to work as cytotoxic compounds. Those enzymes xxv
have various big polymorphic forms. The activation of cyclophosphamide to the active form of 4-hydroxy cyclophosphamide is dominated by CYP2B6 and CYP2C9 enzymes. Cyclophosphamide resistance could be related to the increase of aldophosphamide and phosphoramide mustard’s conjugation by gluthathione S transferase. Through a minor route, cyclophosphamide could be formed into inactive metabolite: 4-hydroxycyclophosphamide change into 4-oxo cyclophosphamide and aldophosphamide change into carboxyphosphamide. The last route is decided by aldehyde dehydrogenase enzyme. This research was done in Dharmais cancer hospital with a cohort research design to see the polymorphism of main enzymes having roles in cyclophosphamide metabolism and elimination, and it was related to the hematological toxicity occurred to the patients after the chemotherapy treatments with regimen containing cyclophosphamide. The inclusion criteria of this research were: patients of breast cancer and non-Hodgkin lymphoma cancer who had received chemotherapy treatments with regimen containing cyclophosphamide; adults (above 18 years old), patients were not having decreased kidney and liver functions; the hemoglobin, leukocytes and thrombocytes levels were normal before chemotherapy; and having reports of blood function monitor (hemoglobin, leukocytes and thrombocytes) after chemotherapy. There were 144 patients consisting 122 females and 22 males, with 110 cases of breast cancer and 34 cases of non-Hodgkin lymphoma cancer recruited in this research. After being explained and requested written approvals afterwards, the patients had their blood drawn for checking the genes of drug-metabolizing xxvi
enzyme. The test result from the laboratory to monitor hematological toxicity was then recorded and the degree of severity could be seen based on Common Toxicity Criteria-Eastern Cooperative Oncology Group (CTC-ECOG) year 2007. The efficacy monitor was just done to the breast cancer patients, considering the response to breast cancer therapy could be done in the third cycle. The median age of the research subjects is 49, and the average is 48.69. Sixty-two (43.4%) and eighty-one (56.6%) subjects had GSTT1 null and nonnull genotype; and one-hundred-twelve (77.9%) and thirty (21.1%) subjects had GSTM1 null and non-null genotype. From those two types of gluthatione enzymes, there were fifty-seven (39.5%) subjects with double null genotype. Mutated ALDH1A1 was found only in one subject and the AT heterozygous form in seventyseven subjects. The allele frequency distributions of T and A were 27.45% and 72.55% respectively. The form of polymorphic enzyme CYP2B6*9 in G516T TT base was found in fifty-seven (35%) subjects – mutations, in G516T GG thirty-four (20.8%) subjects, and G516T GT heterozygous form in seventy-two (44.2%). The allele frequency distributions of T and G in CYP2B6*9 were 57.1% and 42.9%. The form of polymorphic enzyme CYP2B6*4 in A785G GG base was found in forty-nine (34.0%) subjects – mutations, in A785G AA twenty-seven (18.8%) subjects, and A785G AG heterozygous form in sixty-eight (47.2%). The allele frequency distributions of G and A were 57.6 % and 42.4%. Sixty-nine (42.3%) subjects had mutations either in the CYP2B6*4 or CYP2B6*9. The condition is called polymorph CYP2B6*6. xxvii
Hardy-Weinberg Equilibrium occurred in CYP2B6*9 and CYP2B6*4 genes with p = 0.964 and 0.971. Meanwhile, in ALDH1A1 there was no equilibrium; there was a significant difference between the numbers of observed and predicted alleles (p = 0.002). There was no significant relationship between the mutation of GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, and CYP2B6*6 genes and gender (p=0.80; 0.78; 1.00; 0.94; 1.00; 0.54; 0.81). There was no significant relationship between age, stage of disease, mutation of GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes, and number of mutant genes with the risk of leukopenia (p=0.56; 0.59; 0.58; 0.27; 0.39; 0.79; 0.24; 0.34; 0.24). Even though there was no significant relationship, there was a tendency for subjects above 40 years old, subjects with advanced stage of disease and subjects with mutations of GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes, and subjects having mutant genes above three to have higher risk of leukopenia. There was no significant relationship between age, stage of disease, mutation of GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes, and number of mutant genes with the risk of thrombocytopenia (p=1.00; 0.49; 0.50; 0.68; 0.51; 0.21; 0.10; 0.17; 0.06). Even though there was no significant relationship, there was a tendency for subjects above 40 years old, subjects with mutations of GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes, and subjects having mutant genes above three to have higher risk of thrombocytopenia. Nevertheless, advanced stage of disease and mutation of CYP2B6*9 gene had less risk to develop thrombocytopenia. xxviii
There was no significant relationship between age, stage of disease, mutation of GSTT1, GSTM1,ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes, and number of mutant genes with the risk of thrombocytopenia (p=0.74; 0.27; 0.54; 0.17; 0.52; 0.51; 0.32; 0.58; 0.47). Even though there was no significant relationship, there was a tendency for subjects above 40 years old, subjects with advanced stage of disease, subjects with mutations of ALDH1A1, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes to have higher risk of hemoglobinemia. . Nevertheless, mutation of GSTT1, GSTM1, CYP2B6*9 genes and having mutant genes above three had less risk to develop hemoglobinemia. It is the observation merely on the subject group with breast cancer cases that has data of the therapy response. The advanced stage of disease had 11.67 times higher risk to therapy failure, with p=0.00. The variation of metabolizing enzyme genes had no significant relationship with the therapy response; however, subjects with mutation of GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*9, CYP2B6*4, CYP2B6*6 genes and having mutant genes above three had higher risk to therapy failure.
xxix
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit keganasan yang mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Data Globocan tahun 2012 menunjukkan 14,1 juta kasus baru kanker dengan 8,2 juta kematian akibat kanker dan 32,6 juta pasien hidup dengan kanker (dalam 5 tahun diagnosis) di seluruh dunia. 57% (8 juta) dari kasus baru kanker, 65% (3juta) kematian akibat kanker, dan 48% (15,6 juta) pasien hidup dengan kanker dari prevalensi kasus kanker 5 tahun terjadi dinegara-negara berkembang. Kanker payudara merupakan keganasan tertinggi pada wanita dan pada seluruh kasus kanker, dengan jumlah 1.676.633 atau 43,3 per 100.000 penduduk. Kanker limfoma non hodgkin menduduki urutan ke 8 pada laki-laki dan ke 12 pada seluruh kasus dengan jumlah 385.741 atau 6 per 100.000 penduduk (Globocan, 2012) Di Indonesia dari data registrasi kanker Rumah Sakit Kanker “Dharmais” tahun 2003 – 2007, kasus kanker payudara menempati urutan pertama kejadian kanker pada wanita yaitu sebesar 40,58% dan merupakan kanker penyebab kematian tertinggi pada wanita yaitu 36,31%. Sedangkan kasus kanker terbanyak pada pria tahun 2003 – 2007 adalah nasofaring (13,63%), trakea, bronkus dan paru (13,40%), hematopoetik dan retikuloendotelial (7,66%), kelenjar getah bening (7,23%) (Suzanna et al., 2012).
2
Pengobatan pada kanker menggunakan beberapa modalitas terapi, yaitu: pembedahan, radiasi, kemoterapi, terapi hormon dan imunoterapi. Kemoterapi dengan menggunakan sitostatika digunakan baik pada kanker padat maupun nonkanker padat. Pada kanker padat kemoterapi diberikan baik sebagai terapi adjuvan maupun neo-adjuvan. Kegagalan terapi pada kanker dapat disebabkan karena resistensi obat dan toksisitas dari pemberian sitostatika menjadi hal yang penting dalam pengobatan kanker. Dose limiting toxicity pada pemberian obat sitostatika sering menyebabkan dosis obat yang diberikan tidak optimal. Variabilitas antar pasien pada respons terapi yang besar dan penggunaan sitostatika yang tidak bersifat spesifik menyebabkan dosis yang harus diberikan untuk mengeradikasi sel kanker secara optimal berdekatan dengan dosis yang merusak sel. Perbedaan antar pasien baik dalam respon klinis maupun toksisitas sering terjadi pada pemberian regimen kemoterapi, sehingga diperlukan strategi untuk monitoring terapi obat untuk memaksimalkan indeks terapetik secara individual. Perkembangan ilmu farmakogenetik yang cepat memberikan harapan dalam panduan pemilihan dosis dan regimen terapi secara individual. Penemuan Single nucleotide polymorphism pada gen pemetabolisme obat telah banyak dilakukan, dan banyak penelitian yang mencari hubungan antara genotip dengan efikasi obat. Genetik polimorfisme pada enzim pemetabolisme obat memegang peranan penting dalam penggunaan obat yang bersifat prodrug. Salah satu obat sitostatika yang berbentuk prodrug adalah siklofosfamid. Siklofosfamid
3
merupakan sitostatika golongan senyawa pengalkil yang merusak DNA sel kanker dengan jalan berikatan dengan DNA sel kanker (DNA cross-linker) sehingga terjadi apoptosis pada sel kanker. Pada dosis yang tinggi, DNA cross-linker dapat menyebabkan aplasia pada sumsum tulang. Efek samping dari siklofosfamid yang sering terjadi adalah mielosupresi, toksisitas pada saluran cerna dan alopesia (Miki et al., 2007) Siklofosfamid digunakan dalam regimen kemoterapi beberapa kasus kanker baik kanker padat maupun keganasan darah. Kanker payudara dan kanker limfoma non hodgkin adalah jenis kanker yang banyak menggunakan siklofosfamid sebagai salah satu komponen dalam regimen pengobatan. Variasi farmakokinetik siklofosfamid antar individu sangat besar. Variasi bisa disebabkan karena karakteristik pasien (berat badan, usia, jenis kelamin) maupun karena faktor genetik (Ekhart et al., 2009). Banyak gen yang berperan pada metabolism fase I (enzim aktivasi) dan metabolism fase II (enzim detoksifikasi) pada siklofosfamid (ambroson et al., 2006). Terdapat beberapa enzim yang berperan dalam aktivasi dan eliminasi siklofosfamid untuk dapat bekerja sebagai senyawa sitotoksik. Enzim yang berperan dalam aktivasi dan eliminasi siklofosfamid mempunyai variasi bentuk polimorfik yang besar. Aktivasi siklofosfamid menjadi bentuk aktif 4-hidroksi siklofosfamid didominasi oleh enzim CYP2B6 dan CYP2C9. Resistensi siklofosamid dapat dihubungkan dengan peningkatan konjugasi dari aldofosfamid dan fosforamid mustard yang dilakukan oleh gluthathion S transferase. Melalui jalur minor siklofosfamid dapat dibentuk menjadi metabolit inaktif, yaitu 4-
4
hidroksisiklofosfamid menjadi 4-oksosiklofosfamid dan aldofosfamid menjadi karboksifosfamid. Jalur terakhir ditentukan oleh enzim aldehid dehydrogenase (Timm et al., 2005) Aktivasi siklofosfamid diawali dengan hidroksilasi rantai karbon ke-4 cincin oxazaphosphorine untuk membentuk 4-hidroksi-siklofosfamid. Bebagai enzim sitokrom yaitu CYP2B6, CYP2C9, dan CYP3A4 di dalam hati berperan terhadap hidroksilasi tersebut. CYP2B6 merupakan pemegang peranan utama hingga 45% dari metabolisme total aktivasi siklofosfamid dibandingkan dengan CYP3A4 sebesar 25% dan CYP2C9 sebesar 12%. Lang et al. tahun 2004 mengidentifikasi adanya 9 SNP (Single-Nucleotide Polymorphism) dengan 5 perubahan pada asam amino yaitu CYP2B6*2 (R22C), CYP2B6*3 (S259R), CYP2B6*4 (K262R), CYP2B6*6 (Q172H dan K262R), CYP2B6*7 (Q172H, K262R, dan R487C). Lamda et al. melaporkan 8 macam SNP dengan 9 perubahan pada asam amino yang terkait sebagai berikut, CYP2B6*8 (K139E), CYP2B6*9 (Q172H), CYP2B6*10 (Q21L dan R22C), CYP2B6*11 (M46V), CYP2B6*12 (G99E), CYP2B6*13 (K139E, Q172H dan K262R), CYP2B6*14 (R140Q), CYP2B6*15 (I391N). Perubahan asam amino R487C berhubungan dengan penurunan ekspresi CYP2B6 (Lamba et al., 2003). Perubahan asam amino Q172H dan K262R menyebabkan peningkatan aktivitas enzim pada gen CYP2B6. Heterozygous gen CYP2B6*6 menunjukkan aktivitas enzim yang lebih tinggi dalam menghidroksilasi siklofosfamid dibandingkan dengan wild type (Jinno heterozygous
CYP2B6*8,
et al., 2003). Lang et al., juga melaporkan bahwa CYP2B6*11,
CYP2B6*12,
CYP2B6*14
dan
5
CYP2B6*15 menyebabkan penurunan ekspresi dan fungsi enzim sitokrom P450 (Lang T et al., 2004). Varian CYP2B6 dengan perubahan asam amino Q172H menunjukkan peningkatan 4-hydroksi-siklofosfamid (Xie et al., 2003). Sebaliknya, dilaporkan juga bahwa CYP2C19*2 menyebabkan penurunan konstanta eliminasi dari siklofosfamid, tetapi hal ini tidak berpengaruh pada CYP2B6, CYP2C9, dan CYP3A5 (Timm et al., 2005). Dilaporkan bahwa CYP2B6*6 ( Q172H dan K262R) berhubungan dengan penurunan ekspresi protein (Desta et al., 2007). Efek samping dan efikasi klinis dari siklofosfamid sangat bervariasi antar individu disebabkan karena perbedaan farmakokinetik. Perbedaan farmakokinetik tersebut
disebabkan
karena
adanya
polimorfisme
genetik
pada
enzim
pemetabolisme. Penelitian untuk melihat polimorfisme genetik terhadap gambaran farmakokinetik siklofosfamid banyak dilakukan. CYP2B6 memiliki proporsi
1–5% kandungan total sitokrom P450.
CYP2B6 adalah salah satu dari sitokrom P450 utama yang mempercepat perubahan dari siklofosfamid menjadi 4-hidroksi-siklofosfamid. Pada populasi kulit putih, varian CYP2B6 yang sering ada adalah CYP2B6*4 (K262R) sebanyak 33%, CYP2B6*6 (Q172H dan K262R) sebanyak 28% dan CYP2B6*4 (R487C) sebanyak 14% (Lang et al., 2001). Ditemukan pula pada human liver microsome CYP2B6*6 haplotype
mengakibatkan peningkatan pembentukan 4-hidroksi
siklosfosfamid dari siklosfosfamid (Helsby et al., 2010). Ditemukan Kadar enzim aldehid dehydrogenase (ALDH1A1) yang lebih tinggi pada sel tumor yang bertahan terhadap efek siklofosfamid dibandingkan dengan yang tidak pernah terpapar siklosfosfamid. Kadar ALDH1A1 meningkat
6
secara signifikan pada subyek yang memiliki metastasis dari sebuah tumor yang tidak merespons kemoterapi berulang menggunakan siklofosfamid dibandingkan dengan subyek yang merespons kemoterapi menggunakan regimen yang berbasis siklofosfamid. Partial response (PR) dan Complete response (CR) terhadap regimen kemoterapi yang berbasis siklofosfamid ditunjukkan 2,3 kali lebih besar pada pasien dengan kadar ALDH1A1 rendah dibandingkan dengan yang tinggi (Sladek et al, 2002). Tidak adanya gen Glutation S-Transferase Tetta (GSTT1 null) berhubungan dengan peningkatan toksisitas terapi pada Leukemia Mieloid Akut (LMA), terutama pada pemberian kemoterapi induksi. Tidak adanya gen GSTT1 kemungkinan akan menurunkan atau menghambat metabolisme senyawa kemoterapi yang digunakan pada LMA dan diperkirakan sebagai penyebab menurunnya angka kekambuhan dan meningkatnya toksisitas. Hal tersebut memberi kemungkinan bahwa genotyping GSTT1 mempengaruhi produksi atau ekskresi dari metabolit obat yang dapat berkontribusi pada toksisitas menjadi semakin tinggi derajatnya. Genotyping GSTM1 walaupun tidak berpengaruh terhadap kesintasan keseluruhan tetapi dihubungkan dengan peningkatan frekuensi kekambuhan (Stella et al., 2001). Pada penelitian yang dilakukan terhadap populasi pasien kulit putih dan pasien Afrika Amerika, terdapat perbedaan frekuensi GSTM1 null genotyping, orang kulit putih mempunyai frekuensi null genotyping sebesar 50% sedangkan orang Afrika Amerika sebesar 28% ( Petros et al., 2005). Pasien dengan GSTM1 null genotyping menunjukkan kesintasan keseluruhan yang lebih panjang dibanding GSTM1 non-null. Hal
7
tersebut juga telah dilaporkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa ekspresi enzim GST yang tinggi menghasilkan respons kemoterapi yang rendah, sementara pasien dengan null allele menunjukkan derajat toksisitas yang tinggi (Peters et al., 2000) Dalam pengobatan di bidang hematologi dan onkologi, informasi genetik diperlukan untuk menentukan terapi dengan tujuan peningkatan outcome pada pasien (Thorir et al., 2003). Obat mempunyai karakteristik farmakokinetik dan respon farmakologi yang berbeda pada setiap individu. Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan farmakokinetik dan respon farmakologi dapat berupa faktor intrinsik (fungsi fisiologis dan faktor genetik) dan faktor ekstrinsik (interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan obat, dan pengaruh lingkungan). Variasi antar etnik menyebabkan perbedaan metabolisme pada farmakokinetik obat dikenal dengan istilah farmakogenomik (Nies et al., 2001). Uji klinik fase I dan II pada obat-obat sitostatika yang bertujuan untuk melihat profil farmakokinetik dan farmakodinamik, sebagian besar dilakukan pada populasi barat (Western population) sehingga mempunyai kelemahan data pada penggunaan di populasi dengan etnik lain (Caucasian) (Jodi et al., 2007). Farmakogenomik yang mempelajari tentang hubungan mutasi gen terhadap metabolisme obat berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan terapi, adverse effect, dan toksisitas yang unexpected (yang tidak terduga) pada pengobatan. Pemahaman tentang farmakogenomik dan metabolisme obat penting dalam penerapan farmasi klinik di rumah sakit untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan dan monitoring efek samping obat yang membahayakan.
8
Konsep farmakogenomik yang dihubungkan dengan farmakokinetik dan farmakodinamik obat perlu untuk dipahami oleh farmasis dalam melaksanakan monitoring terapi obat dan pengobatan berbasis individu (Vicky & Jessica, 2007). Masih ada perbedaan pendapat antar-peneliti dari berbagai belahan bumi tentang jenis sitokrom yang berperan dalam metabolisme siklofosfamid termasuk di dalamnya adalah CYP2B6, CYP2C9, CYP2C19. Kontribusi CYP2B6 terhadap hidroksilasi siklofosfamid (jalur aktivasi) terbukti mempunyai variabilitas paling tinggi yaitu sebesar 20-250 (Code et al., 1997). Mengingat masih banyak perbedaan hasil penelitian untuk melihat pengaruh polimorfisme gen sitokrom P450, GSTT1, GSTM1, dan ALDH1A1 terhadap metabolism siklofosfamid maka masih perlu diteliti untuk etnik tertentu. Oleh karena itu perlu diketahui adanya polimorfisme dari sitokrom pada metabolisme siklofosfamid pada pasien kanker di Indonesia untuk untuk meningkatkan efikasi pengobatan dan menghindari efek samping yang berbahaya.
I.2. Kebaruan dan Keaslian Penelitian Kebaruan dan keaslian penelitian dapat dilihat dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain: 1. Stella M. Davies (2001), menyatakan bahwa GSTT1 null berhubungan dengan peningkatan toksisitas terapi induksi kemoterapi pada pasien Leukemia Mieloid Akut (LMA). Tidak adanya gen GSTT1 (GSTT1 null) kemungkinan menurunkan atau menghambat metabolisme senyawa
9
kemoterapi yang digunakan pada LMA dan diperkirakan sebagai penyebab menurunnya angka kekambuhan dan meningkatnya toksisitas. 2. Sladek (2002) menemukan bahwa kadar ALDH1A1 meningkat secara signifikan pada subyek yang memiliki metastasis dari sebuah tumor yang tidak merespons pada pemberian kemoterapi berulang menggunakan siklofosfamid dibandingkan dengan subyek yang merespons kemoterapi . Pada pasien yang mempunyai kadar ALDH1A1 rendah mempunyai respons parsial dan respon komplet 2,3 kali lebih besar terhadap regimen kemoterapi yang berbasis siklofosfamid dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar ALDH1A1 tinggi. 3. Xi HJ (2003), menemukan bahwa varian CYP2B6*9 yang disebabkan oleh perubahan asam amino Q172H selanjutnya menyebabkan peningkatan toksisitas siklofosfamid karena kadar 4-hidroksi siklofosfamid meningkat. 4. DeMichele (2005), melaporkan bahwa pasien yang tidak mengalami delesi pada gene GSTM1 dan GSTT1 mempunyai kesintasan bebas penyakit (disease free survival) dan kesintasan keseluruhan (overall survival) lebih buruk dibandingkan dengan pasien lainnya pada pasien kanker payudara yang tidak bermetastasis dan mendapatkan kemoterapi ajuvan berbasis antrasiklin dan menggunakan kombinasi siklofosfamid. 5. William (2005), melihat pasien dengan GSTM1 null genotype mempunyai kesintasan keseluruhan yang lebih panjang daripada GSTM1 non-null, yaitu 3,5 berbanding dengan 1,5 tahun dan pasien dengan polimorfisme CYP3A4 mempunyai median kesintasan yang lebih rendah, yaitu 1,3
10
berbanding dengan 2,7 tahun pada pasien kanker payudara yang telah bermetastasis dan mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid dosis tinggi. 6. Nakajima (2007), melaporkan genotyping dari gene CYP2B6 mempunyai hubungan dengan reaksi efek samping pada pemberian siklofosfamid. Seluruh pasien dengan homozygotes CYP2B6*1 mengalami leukopenia dengan derajat ≥ 2, sedangkan pasien dengan heterozygotes CYP2B6*1 hanya 59% 7. Moreb (2007), melakukan percobaan dengan melakukan down regulation enzim ALDH1A1 menggunakan all-trans retinoic acid (ATRA), didapatkan hasil yaitu penghambatan pada enzim ALDH1A1 dan ALDH3A1 akan menghasilkan kadar 4-hidroksi-siklofosfamid yang tinggi, tetapi dapat meningkatkan toksisitas. 8. Lang (2010), melaporkan pada populasi kulit putih, varian CYP2B6 yang sering ada adalah CYP2B6*4 (K262R) sebanyak 33%, CYP2B6*6 (Q172H dan K262R) sebanyak 28% dan CYP2B6*4 (R487C) sebanyak 14%. 9. Helsby (2010) melakukan percobaan pada human liver microsome CYP2B6*6 haplotype ditemukan mempunyai peningkatan terbentuknya 4hidroksi-siklofosfamid. Penelitian untuk melihat hubungan polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*5, CYP2B6*9, ALDH1A1, GSTM1 dan GSTT1 dengan toksisitas hematologik
11
siklofosfamid pada penderita kanker payudara dan limfoma di Indonesia belum pernah dilakukan.
I.3. Rumusan Masalah I.3.1. Rumusan Masalah Umum Perlu
diketahui
polimorfisme
gen-gen
yang
berpengaruh
pada
metabolisme siklofosfamid untuk menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antikanker dan gen yang berpengaruh pada inaktivasi pada siklofosfamid menjadi senyawa yang tidak toksik pada pasien kanker di Indonesia untuk meningkatkan efikasi pengobatan dan menghindari efek samping yang berbahaya. Dari rumusan masalah tersebut timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana distribusi genotipe dan alel polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6 , CYP2B6*9, pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. b. Bagaimana distribusi genotipe dan alel polimorfisme gen ALDH1A1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. c. Bagaimana distribusi genotipe dan alel polimorfisme gen GSTT1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid.
12
d. Bagaimana distribusi genotipe dan alel polimorfisme gen GSTM1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. e. Bagaimana hubungan antara polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6 , CYP2B6*9 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. f. Bagaimana hubungan antara polimorfisme gen ALDH1A1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. g. Bagaimana hubungan antara polimorfisme gen GSTT1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. h. Bagaimana hubungan antara polimorfisme gen GSTM1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid.
A. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Umum Mengetahui distribusi polimorfisme gen GSTT1, GSTM1, ALDH1A1, CYP2B6*4, CYP2B6*9, dan CYP2B6*6 dan hubungannya dengan toksisitas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin.
2. Tujuan Penelitian Khusus
13
a. Mengetahui distribusi polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6 , CYP2B6*9, pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. b. Mengetahui distribusi polimorfisme gen ALDH1A1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. c. Mengetahui distribusi polimorfisme gen GSTT1 pada pasien kanker payudara
dan
limfoma
yang
mendapatkan
kemoterapi
dengan
siklofosfamid. d. Mengetahui distribusi polimorfisme gen GSTM1 pada pasien kanker payudara
dan
limfoma
yang
mendapatkan
kemoterapi
dengan
siklofosfamid. e. Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6 , CYP2B6*9 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. f. Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen ALDH1A1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. g. Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen GSTT1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid.
14
h. Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen GSTM1 dengan toksistas hematologi pada pasien kanker payudara dan limfoma yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid.
B. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang distribusi polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6 , CYP2B6*9 pada pasien kanker kanker payudara dan limfoma non Hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang distribusi polimorfisme gen ALDH1A1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang distribusi polimorfisme gen GSTT1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. d. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang distribusi polimorfisme gen GSTM1 pada pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid. e. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang hubungan
polimorfisme gen CYP2B6*4, CYP2B6*6, CYP2B6*9,
ALDH1A1, GSTT1, dan GSTM1 dengan tosksistas hematologi pada
15
pasien kanker payudara dan limfoma non hodgkin yang mendapatkan kemoterapi dengan siklofosfamid.
2. Manfaat Praktis Sebagai pertimbangan bagi klinisi dan farmasis dalam menetapkan dosis obat dan monitoring terapi mencegah toksisitas hematologi yang berbahaya dan meningkatkan respon terapi pada pengobatan dengan menggunakan siklofosfamid.