Kembali Melihat Peristiwa Tian An Men ChanCT Juni 2014 Gerakan Demokratis 4 Juni yang berakhir dengan Peristiwa Tian An Men itu, bisa juga dikatakan “REVOLUSI WARNA” yang gagal. Sangat jelas gerakan awal 4 Juni itu adalah satu gerakan yang dipelopori mahasiswa polos dan jujur, merasa tidak puas melihat pejabat-pejabat korup sesaat setelah Deng menjalankan politik “Reformasi dan Keterbukaan” tahun 1980. Aksi-aksi demonstrasi dimulai dengan demonstran berkabung dengan meninggalnya Ketua PKT, Hu Yaopang, yang dianggap bapak DEMOKRASI di RRT. Sayang para pemimpin Gerakan 4 Juni kurang waspada kemungkinan ditunggangi kekuatan asing, khususnya CIA. Mereka tidak menyadari bahwa masalah Korupsi dan dekadensi kehidupan borjuis adalah kenyataan dari perkembangan masyarakat yang alamiah dan memang sangat sulit, atau bahkan TIDAK MUNGKIN dihindari! Perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan jangka panjang, keadaan akan menjadi lebih baik seiring dengan peningkatan budaya, kesadaran massa rakyat luas dan ditegakkannya systim dan HUKUM dinegara itu. Tidak bisa terburu nafsu hendak meemberantas KKN dalam sekejab saja, sekalipun katakanlah Gerakan 4 Juni itu berhasil merebut kekuasaan, KKN itu juga akan tetap muncul dan berkembang terus, bahkan bisa saja justru tokoh-tokoh itu jadi koruptor terbesar! Ditingkat perjuangan sekarang ini, dimana kapitalis baru tumbuh, massa rakyat hanya bisa menuntut pemerintah yang berkuasa bertindak tegas gebuk KORUPTOR, khususnya koruptor-kakap, berlakukan sanksi HUKUM yang adil! Jangan biarkan KKN merajalela sampai merusak pertumbuhan ekonomi nasional dan jangan membiarkan kesejahteraan rakyat banyak tidak terangkat, ... kesejahteraan rakyat harus terangkat dengan baik seiring dengan kemajuan ekonomi nasional. Ini pertama. Kedua, pemimpin gerakan 4 Juni itu tidak memperhatikan dimana aksi-tuntutan mereka terus meningkat menjadi menyasar PM Li Peng dan Deng Siaoping, lebih lanjut hendak menggulingkan “Diktatur Proletariat”, “Kekuasaan Partai Tunggal”, ... kalau sudah “MEREBUT KEKUASAAN” menjadi TUJUAN mereka, dengan sendirinya para pemimpin gerakan harus mempunyai strategi dan taktik, TIDAK main seruduk hantam-kromo begitu! Sudah harus memperkirakan kekuatan sendiri sampai dimana kemampuan melawan pemerintah yang berkuasa! Tindakan mereka tidak mempedulikan “Keadaan Darurat” yang diberlakukan sejak 20 Mei 1989, kalian masih 1
saja BERTAHAN di lapangan Tian An Men, itu sudah menjurus memaksa Pemerintah menerima tuntutan mereka dengan kekerasan. Pemerintah sudah cukup demokratis, masih memberi mentoleransi membiarkan demonstran tetap berada dilapangan Tian An Men. Setelah pemerintah keluarkan ultimatum dateline tgl. 4 Juni malam harus menyingkir, meninggalkan lapangan Tian An Men, ... para pemimpin Gerakan 4 Juni masih memberi Perintah “BERTAHAN”, “MENERUSKAN PERJUANGAN” dilapangan Tian An Men, adalah satu keputusan GEGABAH yang sangat TIDAK BERTANGGUNGJAWAB! Menjadi lebih tidak bertanggungjawab, ternyata tidak seorangpun dari pimpinan utama Gerakan 4 Juni itu berada di lapangan Tian An Men. Setidaknya, pimpinan harus memperhitungkan pada saat Tentara datang menggusur, bagaimana jalan mundur kalau memang sudah tidak bisa bertahan, memimpin massa demonstran mundur menyingkir biar SELAMAT. Gerakan sudah berada dititik puncak kritis, pemimpin mutlak harus mempertimbangkan jalan mundur yang baik, menemukan alternatif lain yang terbaik jangan sampai jatuh korban. Atau memang Pimpinan Gerakan 4 Juni sudah SEPAKAT dengan pemikiran yang diteriakkan Chai Ling, salah seorang pimpinan utama dilapangan Tian An Men: “Biar kita tuntut menggulingkan Pemerintah yang berkuasa dengan puluhan ribu massa demonstran mengalirkan darah!” Sungguh satu teriakkan yang sangat sadis dan biadab, ... jelas hati iblis yang bicara! Padahal, dari beberapa tulisan di internet yang bisa saya ketahui, pada saat Wu Er Kaisi dan Wang Dan kembali dari pertemuan dengan PM Li Peng sudah berkeputusan sore hari itu (tgl. 4 Juni), menyingkir bersih dari lapangan Tian An Men. Tapi, begitu sampai dilapangan Tian An Men, keputusan berubah jadi BERTAHAN, meneruskan perjuangan di lapangan Tian An Men! Karena ternyata Chai Ling Ketua Gerakan di lapangan, kedatangan rombongan pendukung dari Partai Demokrat Hongkong, yang membawa sejumlah besar dollar dan tenda-kemah, ... malam itu para pemimpin gerakan dijamu makan-direstoran jadi tidak seorangpun berada dilapangan. Dan oleh karenanya, dari 6 pimpinan utama Gerakan 4 Juni itu, tidak seorangpun namanya termasuk daftar orang yang jatuh korban, ...! Semua SELAMAT dan berhasil menyingkir ke luar negeri, khususnya AS. 25 tahun telah lewat, tapi tidak seorangpun dari pimpinan Gerakan 4 Juni itu membuat kesimpulan yang baik atas KEGAGALAN mereka! Mengapa dan dimana KESALAHAN mereka! Kerjanya hanya bisa berteriak memaki pemerintah RRT berdarah dingin, melakukan kekejaman kemanusiaan, menggunakan golok memancung ayam, tank-tank melindas demonstran jadi daging-cincang, ... lebih 20 ribu demonstran mati terbunuh! Mereka tidak juga bisa berbalik pikir, kalau pemerintah RRT tidak tegas menggusur demonstran dari lapangan Tian An Men, apa akhirnya 2
tidak roboh? Daripada RRT roboh dan kekuasaan komunis jatuh ketangan kekuasaan nekolim, tentu lebih baik mempertahankan kekuasaan komunis Tiongkok dengan segala kekurangan dan kesalahan yang ada. Setidaknya kesalahan dan kekuarangan yang ada pada Pemerintah bisa berangsur-angsur diperbaik. Dan kenyataan selama 25 tahun ini RRT masih nampak bisa maju terus lebih baik dan lebih kuat lagi. Kenyataan ini tentunya membuktikan, Pemerintah RRT yang benar dan Gerakan 4 Juni yang SALAH! Gerakan 4 Juni itu yang pantas dihujat, tidak perlu direhabilitasi! Korban jatuh sepenuhnya tanggungjawab Pimpinan Gerakan 4 Juni! Makin besar korban yang mereka komplain, ketua Wu Er Kaisi menyatakan lebih 20 ribu, berarti makin besar tanggungjawab mereka! Sebagaimana pernyataan Wu Er Kaisi sendiri saat wawancara dengan wartawan majalah “Mingguan Asia”, “Selalu dirundung perasaan bersalah dan berdosa, sampai tidak berani menghadap Wang Zhilin, ibu salah seorang korban”. “Barangkali anaknya tidak jatuh korban seandainya tidak mendengarkan seruan propaganda saya!” . Benar Wu Er Kaisi, seandainya saja kalian sekembali ke lapangan Tian An Men sore hari 4 Juni itu, tetap bertahan memerintahkan menyingkir dari lapangan Tian An Men, tidak akan terjadi jatuh korban! Tidak akan ada Peristiwa Tian An Men 4 Juni itu! Tidak perlu gagal dan terjadi “Revolusi Warna” yang ditunggangi CIA-AS itu! Dan, ... seandainya saja kalian memang mempunyai TUJUAN menggulingkan kekuasaan KOMUNIS, lakukanlah perjuangan itu dengan menyusun kekuatan lebih baik. Tidak asal seruduk tanpa memperhitungkan kemungkinan bisa berhasil tidak dan tanpa mempedulikan berapa besar korban akan jatuh! Inilah KESALAHAN dan DOSA terbesar Gerakan 4 Juni dan KORBAN yang jatuh itu merupakan tanggungjawab kalian, semua pemimpin utama Gerakan 4 Juni! Jangan hanya berteriak menyalahkan Pemerintah RRT yang menggusur demonstran!
Salam, ChanCT
3
---------- Pesan terusan ---------Dari: Darwin Iskandar Darwin Tanggal: 9 Juni 2014 14.19 Subjek: PERISTIWA TIANANMEN 4 JUNI 1989 : REVOLUSI WARNA YANG GAGAL!
PERISTIWA TIANANMEN 4 JUNI 1989 :
REVOLUSI WARNA YANG GAGAL! Membaca tulisan Bung Chan CT tentang “Peristiwa Tian Anmen” dibawah ini, saya jadi teringat dengan peristiwa-peristiwa besar lainnya seperti penggulingan penguasa dan penghancuran negara-negara Sosialis di Eropa Timur dan Uni Soviet, peristiwa politik yang menghancurkan negara Pakta Warsawa di Yugoslavia tahun 2000, Revolusi Warna (Revolusi Putih-Operation ajax di Iran tahun 1953, Revolusi Kuning-Rebolusyong EDSA ng di Filipina tahun 1986, tahun 1989 di Cekoslowakia, tahun 1990 di Nikaragua, Singing Revolution tahun 1987-1992 di Baltik, Bulldozer Revolution di Serbia tahun 2000, Revolusi Oranye di Ukraina tahun 2002, Revolusi Mawar di Tbilisi-Georgia tahun 2003, Revolusi Tulip di Kyrgistan tahun 2005, Revolusi Cedar di Lebanon tahun 2005, Revolusi Hijau yang gagal di Iran tahun 2009, dan belakangan ini terjadi kembali di Ukraina), gerakan Musim Semi Arab dan Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) : Jasmine Revolution tahun 2010-2011 di Tunisia, Kefaya di Mesir tahun 2011 dan Revolusi Warna yang masih berlangsung di Venezuela dari April 2002, Revolusi Hijau-YOX sejak tahun 2005 di Azerbaijan, Revolusi Saffron di Burma tahun 2007, Revolusi Hijau di Iran sejak tahun 2009, di Suriah tahun 2011, Bulgaria sejak Juni 2013. Tidak semua peristiwa-peristiwa politik tersebut berhasil, misalkan saja : Jerman Barat 17 Juni 1953, Hongaria tahun 1953, Musim Semi Praha di Cekoslowakia tahun 1968, Lapangan Tiananmen Tiongkok tahun 1989, Aurochs Belarusia tahun 2001, Bolga Uzbekistan tahun 2005, Denim Revolution-Vasilykovaya Revolution di Belarus tahun 2006, Revolusi Podsnezhnikov di Armenia tahun 2008, Revolusi Kirpichey/Kafelyana di Moldova tahun 2009 dan Revolusi Snezhnaya/hipsterov Myatezhom di Rusia tahun 2011/2012. Peristiwa-peristiwa politik tersebut diatas tentu saja biang keladinya adalah Neokolonial-imperialisme (bahasa gampangnya adalah penjajahan model baru) dan biasanya operasi-operasi kerja mereka lewat agen-agen intelijen seperti via CIA dan peran LSM skala internasional yakni National Endowment for Democracy (NED), 4
Freedom House, Albert Einstein Institute, International Republic Institute dan LSM “seribu proyek” lainnya milik Pentagon yang dibiayai Kongres AS hingga jutaan dolar per tahun serta dari Uni Eropa misalkan saja Balkan Trust for Democracy, Yayasan Anak dan Remaja Balkan dan Friedrich Nauman-Stiftung Jerman, bekerjasama dengan LSM-LSM lokal yang pendanaannya amat tergantung dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides, dsb. Tujuannnya adalah menggulingkan kekuasaan yang sudah dianggap tidak efektif dan efisien lagi atau penguasa yang tidak mau tunduk dibawah kaki Neokolonial-imperialisme yang tidak mau menyerahkan pasar mereka, buruh yang murah, ekspor kapital untuk bahan baku yang murah sebagai salah satu basis dari imperialisme dan membuka diri agar kapital-finansial dari kapital monopoli internasional bermahakuasa dan merajalela. Lucunya, Neokolonial-imperialisme dalam peristiwa-peristiwa politik diatas belakangan ini cenderung mendukung kelompok-kelompok neokonservatif seperti Svoboda (nama resmi mereka adalah Partai Sosial-Nasionalis Ukraina) dan sektor kanan lainnya di belahan dunia lainnya seperti Al-Nursra di Suriah, faksi Al-Qaeda di seluruh dunia, al-Shabaab di Somalia bahkan peristiwa penculikan gadis-gadis dan perbudakan seks di Nigeria yang dilakukan oleh Boko Haram merupakan bagian dari rekayasa konflik yang dilakukan oleh Neokolonial-imperialisme untuk mengkonsolidasikan kontrol asing atas kekayaan sumber daya alam yang besar di Nigeria. Neokolonial-imperialisme juga mendukung kelompok-kelompok ultrakonservatif, seperti belakangan ini, Barack Obama telah memutuskan untuk menghidupkan kembali hubungan dengan Raja Abdullah dari Kerajaan Arab Saudi. Ini adalah mata rantai yang besar dan saya tidak terkejut dengan kebijakan dari Neokolonial-imperialisme ini baik di Suriah, Ukraina, Venezuela, maupun Thailand. Apa yang mereka lakukan adalah sama yaitu mereka mendukung pemerintah atau kelompok ultrakonservatif. Motor gerakan dari peristiwa-peritiswa besar tersebut diatas biasanya adalah pemuda, mahasiswa dan LSM dengan tuntutan-tuntutan mereka yang berkisar pada isu-isu tentang “demokratisasi, HAM, korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lain sebagainya” untuk mengelabui Rakyat agar ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik tersebut. Logo “tangan mengepal dan kepalan tinju”, slogan “perlawanan tanpa kekerasan”, strategi-taktik gerakan yang bersumber dari bukunya Gene Sharp “From Dictatorship to Democrarcy – Dari Penguasa Diktatur menuju Demokrasi”. Buku tersebut menjadi buku wajib dan menjadi kurikulum yang diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS) dengan melatih 5
tokoh-tokoh demonstran di 37 negara, yaitu Korea Utara, Belarusia, Zimbabwe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran, dan negara lainnya serta mungkin saja dari Indonesia dan saya yakin itu haqul yakin seribu yakin. Apakah dalam peristiwa penggulingan rezim Suharto, Neokolonial-imperialisme juga ikut terlibat dan membekingi dibelakangnya? Dengan tergulingnya rezim Suharto yang sudah tidak efektif dan efisien lagi bagi Neokolonial-imperialisme--seperti halnya rejim boneka lainnya yakni Husni Mubarok di Mesir--dimana pundi-pundi upeti yang harus diserahkan kepada Neokolonial-imperialisme sudah berkurang maka Indonesia seperti “keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa”, keluar dari rejim Suharto masuk ke dalam cengkeraman rejim Neoliberal. Bukan berarti saya bersikap bagaikan kaca terhempas ke batu dengan tumbangnya rejim penjual negeri dan bangsa kita ini. Tidak! Justru disitulah kita bisa lihat dan pelajari dengan seksama bahwa Neokolonial-imperialisme amatlah lihai dalam mengelabui dan memperdaya suatu negeri agar tetap jatuh dibawah cengkeraman dan genggamannya. Dengan mengingat kembali peristiwa tersebut, kita bisa belajar bagaimana sepak terjang neokolonial-imperialisme mengoyak-ngoyak suatu negeri dengan senjata divide et impera-nya agar maksud dan tujuan mereka tetap bisa berjalan yaitu merampok negeri kita dan negeri-negeri lainnya. Terakhir, saya jadi teramat yakin dengan tulisannya Mohamad Sobary yang berjudul “Aspirasi Kita Tentang pemimpin Bangsa” tentang Amien Rais dalam Koran SINDO tanggal 25 Juni 2012, “Lebih baik jadikan saja agenda internal. Panggil Amien Rais yang telah dengan gemilang berhasil meliberalisasi konstitusi kita, yang membikin kita jadi bangsa budak macam ini. Secara moral, politik, ekonomi, kebudayaan di sini dan di dalam hidup yang kelak pasti datang, dia harus bertanggung jawab. Dia tahu, dalam segala hal Tuhan tak main-main”. Tentu saja bukan hanya Amien Rais saja yang harus diminta pertanggungjawabannya tetapi juga elemen-elemen lainnya yang telah mendorong negeri kita ini masuk kedalam mulut Neoliberalisme. Itulah yang harus kita jadikan musuh bersama sekarang ini : sisa-sisa rejim Orde Baru yang masih bergentayangan di sana sini, neoliberalisme dan anasir-anasir fundamentalis kanan. Kalian pun sudah tahu siapa-siapa saja mereka itu dan sialnya mereka sudah ada dimana-mana dan tidak kemana-mana. Sulitkah kita melawan mereka? Saya yakin apabila bara yang digenggam biar sampai menjadi arang, sesuatu yang sukar apabila dikerjakan dengan penuh kesabaran maka keberhasilan bisa dicapai!
6
Renungan Malam 4 Juni ChanCT, 4 Juni 2009 Tepat 20 tahun yl. 4 Juni 1989, dunia digemparkan dengan apa yang dinamakan Peristiwa Tian An Men, Beijing. Peristiwa berdarah yang dikatakan telah menindas Gerakan Demokrasi Mahasiswa. Satu Peristiwa Berdarah yang tidak bisa dilupakan dan akan diingat terus dari satu generasi ke-generasi berikut. Begitulah sekalipun sudah lewat 20 tahun, di Hong Kong setiap tahun diperingati dengan Malam-Lilin di Victoria Park, dan tahun ini pecahkan rekor dengan diikuti lebih 150 ribu orang. Sedang di Washington juga selenggarakan Peringatan “Pembantaian” yang dilakukan Pemerintah TIongkok. Wang Dan, salah seeorang tokoh Gerakan 4 Juni dengan garang mengatakan: "Kami menghimbau generasi pembantaian 1989, baik di Cina maupun di luar negeri, mereka yang lahir sebelum dan sesudah kami untuk bekerjasama menyatukan kekuatan, … meneruskan perjuangan demokrasi dan menuntut merehabilitasi Gerakan 4 Juni" Selama 20 tahun ini, pihak Gerakan 4 Juni hanya berteriak jangan lupakan hari berdarah itu, menuntut Demokrasi, Demokrasi, Demokrasi, … itulah perjuangan yang harus dilanjutkan dan tentunya juga, menuntut Pemerintah Tiongkok “merehabilisti Gerakan 4 Juni!” Sebaliknya Pemerintah Tiongkok lakukan pengawasan ketat dihari-hari menjelang 4 Juni di lapangan Tian An Men, tidak mengijinkan tokoh-tokoh Gerakan 4 Juni memasuki wilayah Tiongkok kembali, termasuk Hong Kong dan Macau. Begitulah mantan ketua Gerakan 4 Juni, Wu Er Kai-Xi yang sekarang menetap di Taiwan, ditolak masuk Macau dan dipulangkan ke Taiwan tgl. 3 Juni hari itu. Sedang pejabat-pejabat, termasuk pejabat Pemrerintah Hong Kong, menjadi tidak berani bersikap tegas, tidak mau menyalahkan juga tidak berani membela keharusan gunakan kekerasan untuk menggusur demonstran dari Lapangan Tian An Men. Sebenarnya ada 2 pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama: 1. Tindakan TPRT (Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok) yang menggusur Mahasiswa + Buruh di lapangan Tian An Men tgl. 4 Juni subuh itu merupakan Pembantaian atau Melindungi Ketentraman dan Keselamatan Negara? 2.
Siapa sesungguhnya yang tidak DEMOKRATIS, Pemerintah Tiongkok atau Gerakan 4 Juni? 7
Mari kita coba melihat latar belakang terjadinya Gerakan 4 Juni tahun 1989 itu. “Perang-Dingin” didunia sedang menanjak sampai puncaknya, negara Sosialis Eropah Timur mulai ambruk, Presiden AS Reagan 12 Juni 1987 sempat menyerukan agar Gobarchev, PM USSR ketika itu meruntuhkan Tembok Berlin dan dilaksanakan pada November 1989, sedang USSR sendiri juga buyar ditahun 1991. Jadi, tidak aneh kalau Gerakan 4 Juni di Tian An Men juga ditunggangi kekuatan untuk menjatuhkan Pemerintah Tiongkok. Sedang Tiongkok sendiri yang ditahun 78 baru saja mulai laksanakan politik pintu terbuka. Untuk mengejar ketinggalan pembangunan ekonomi, Tiongkok mulai melaksanakan reformasi dan demokrasi dibidang ekonomi, memperkenankan sementara orang kaya lebih dahulu. Tidak hanya memperkenankan kapitalis-kapitalis domestik hidup dan tumbuh, tapi juga mengundang masuk penanaman modal asing. Seiring dengan kapitalis tumbuh dengan maraknya dan masuknya modal asing, tidak ayal langgam-langgam kehidupan dekaden juga mempengaruhi kehidupan pejabatpejabat Pemerintah dari bawah sampai keatas. Khususnya korupsi yang merajalela. Terjadi kesenjangan sosial sangat tajam, perbedaan kaya dan miskin menimbulkan ketidak puasan dalam masyarakat. Para mahasiswa Beijing berdiri dibarisan terdepan membawakan suara kemarahan masyarakat. Menuntut Pemerintah laksanakan demokrasi, menghapuskan kekuasaan Partai tunggal, dan tentunya juga, ... ganyang koruptor. Mereka sejak tgl. 15 April 1989 sudah turun ke lapangan Tian An Men lakukan demonstrasi dengan gunakan momentum Rapat Belasungkawa Sekjen PKT, Hu Yao Bang. Diawal demonstrasi yang dilakukan Mahasiswa di Beijing yang hanya 10 ribu orang lebih, kemudian dari hari kehari dapatkan simpati dari Buruh dan masyarakat luas juga dari luar kota Beijing. Massa demonstran juga berdatangan dari Tian Jin, Shanghai, Nanjing, Wuhan bahkan juga Hong Kong. Aksi mogok makan dilancarkan dan berhasil dapatkan simpati massa, lebih-lebih setelah subuh tgl. 19 Mei, Zhao Zhi Yang datang kelapangan Tian An Men, menunjukkan rasa simpati mendalam pada massa, dengan menghimbau agar pemuda mahasiswa bisa mengakhiri mogok-makan, meninggalkan lapangan Tian An Men dan kembali masuk sekolah. Ternyata himbauan Sekjen PKT Zhao Zhi Yang itu bukan saja tidak dihiraukan, bahkan sebaliknya bagaikan mengguyur minyak pada api. Massa demonstran seperti merasa dapatkan dukungan kuat dari Zhao Zhi Yang, bertambah banyak massa berduyun tumpah memenuhi lapangan Tian An Men ikut berdemonstrasi di akhir Mei-awal Juni 1989.
8
Melihat suasana tambah gawat, Pemrintah Tiongkok pada tgl. 20 Mei terpaksa memberlakukan “Keadaan Darurat” bagi kota Beijing, mengeluarkan perintah agar massa segera menyingkir keluar dari lapangan Tian An Men. Perintah “Keadaan Darurat” ternyata juga tidak digubris, Aparat Keamanan kota Beijing seolah-olah menjadi “tidak berdaya” menghadapi aksi demonstrasi Mahasiswa Gerakan 4 Juni yang berjumlah ratusan ribu itu. 23 Mei, aksi demonstrasi ditingkatkan dengan pawai jutaan massa memenuhi jalan-jalan kota Beijing sampai lapangan Tian An Men. Seruan dan teriakan para demonstrasi tidak hanya “Ganyang dan gulingkan PM Li Peng dan Deng Xao-ping”, tapi juga sudah meneriakkan “Da Dao Zhong Guo Gong Chan Dang” (= Gulingkan Partai Komunis Tiongkok). Bahkan tidak kalah kerasnya orang juga meneriakkan “Zhong Guo Guo Min Dang Wan Shui!” (Hidup Partai Nasional Tiongkok). Sedang Partai Demokrat di Hong Kong, untuk berkordinasi dan memberikan dukungan kuat pada Gerakan 4 Juni itu, menyelenggarakan acara “Suara Demokrasi Dipersembahkan Tionghoa”, dengan tak tertinggal nyanyikan lagu “Wo Shi Zhong Guo Ren” (=Saya orang Tiongkok); “Long De Chuan Ren” (= Turunan Naga) dan “Xue Ran De Feng Cai” (= Wajah Anggun Berlumuran Darah), dan malam itu berhasil kumpulkan donasi ratusan juta HKDollar untuk diserahkan Gerakan 4 Juni di Lapangan Tian An Men. Berapa jumlah korban jiwa konkritnya tidak ada yang bisa pastikan. Pihak Pemerintah RRT menyatakan 241 korban jiwa, termasuk korban jiwa dipihak TPRT, dan 7000 orang luka-luka. Sedang pihak Palang Merah dan Mahasiswa menyatakan lebih dari 2000 bahkan 4000 orang terbunuh, hancur luluh menjadi daging cincang dilindas tank. Yang jelas pihak Pemerintah Tiongkok, dalam hal ini Perdana Menteri Li Peng ketika itu, selama 20 tahun ini dituding berdarah-dingin yang gunakan golok untuk bunuh ayam, … gunakan tentara bahkan tank untuk menindas aksi mahasiswa menuntut demokrasi, menindas aksi damai dengan gunakan kekerasan. Mana yang benar, Pemerintah Tiongkok lakukan kekerasan menindas Gerakan 4 Juni atau lakukan tindakan untuk mententramkan dan keselamatan Negara? Bagaimanapun juga peristiwa berdarah yang menelan korban jiwa, berapapun jumlahnya patut disesalkan dan bagi yang berani menamakan diri “PEJUANG” apalagi dengan panji “DEMOKRASI” sudah selayaknya mengutamakan TUJUAN yang diperjuangkan dengan menghindari jatuh korban yang tidak diperlukan. 9
Setelah kita melihat Peristiwa berdarah itu lewat 20 tahun, disatu pihak kita melihat bagaimana tokoh-tokoh Gerakan 4 Juni yang hidup ditopang negara barat, khususnya Amerika, tidak satupun yang berhasil muncul sebagai tokoh yang patut dihormati, karena berjasa dalam usaha perjuangan untuk Demokrasi dan mendorong maju kesejahteraan rakyat banyak dimana mereka hidup. Sebaliknya, justru Pemerintah Tiongkok yang mereka hujat dan dicaci-maki itulah dalam 20 tahun ini menunjukkan keberhasilannya dalam membawa maju ekonomi dan kesejahteraan rakyat Tiongkok. Bahkan Amerika tanpa segan-segan terpaksa mengemis bantuan Pemerintah Tiongkok untuk mengatasi keterpurukan ekonomi akibat Krismon tahun 2008 yang melanda terakhir ini. Jadi, bisa dibayangkan seandainya Pemerintah Tiongkok, Deng Xau Bing tidak berani dengan tegas turunkan perintah untuk menggusur para demonstran dilapangan Tian An Men yang sudah berjumlah ratusan ribu itu, dan akhirnya Pemerintah Tiongkok terjungkel jatuh sebagaimana negara-negara “sosialis” di Eropah Timur, termasuk USSR, keadaan Tiongkok yang berpenduduk 1,3 milyar akan lebih parah lagi. Bahkan dunia akan menghadapi bencana dengan kebanjiran rakyat Tiongkok yang merana keluar negeri akibat penderitaan kelaparan, ... melihat kenyataan ini, bukankah bisa dikatakan Perintah menggusur Demonstran dari Lapangan Tian An Men dengan paksa/kekerasan adalah satu keputusan Pemerintah Tiongkok yang tepat untuk mententramkan dan keselamatan Negara. Pertanyaan mendasar kedua, siapakah sesungguhnya yang tidak bersikap demokratis, pemerintah Tiongkok atau Gerakan 4 Juni? Coba kita renungkan baik-baik lebih lanjut, dimana Pemerintah Tiongkok yang dituduh laksanakan diktatur tangan besi, justru bisa memberikan toleran begitu tinggi pada Gerakan 4 Juni, membiarkan mereka berdemonstrasi menguasai lapangan Tian An Men sampai lebih 7 minggu lamanya. Dimulai sejak 15 April sampai 4 Juni baru ditindak pembersihan lapangan Tien An Men. Sekalipun perintah “Keadaan darurat” yang dikeluarkan tanggal 20 Mei tidak dihiraukan, TPRT ketika itu juga tetap tidak digerakkan untuk menggusur keluar para demonstran Gerakan 4 Juni dari lapangan Tian An Men. Kelonggaran dan toleransi telah diberikan begitu besar justru telah menunjukkan sikap DEMOKRATIS yang bisa diberikan oleh Pemerintah Tiongkok. Lalu, bagaimana dengan Gerakan 4 Juni yang selalu meneriakkan begitu keras “DEMOKRASI”? Sesuaikah aksi mereka dengan demokrasi yang diteriakkan itu? 10
Dengan aksi demonstrasi di lapangan Tian An Men untuk memaksa Pemerintah Tiongkok memenuhi tuntutan mereka, apakah sikap begitu bisa dikatakan DEMOKRATIS? Tuntutan mereka demokrasi, demokrasi, demokrasi, ... di Tiongkok tapi sikap dan tindakan mereka yang memaksakan, justru sedikitpun tidak demokratis! Siapapun tidak menyangkal keharusan dijalankan Demokrasi, pihak Pemerintah Tiongkok juga tidak menyangkal. Bahkan pihak Partai Komunis Tiongkok juga mengerti kelemahan mereka, kurangnya demokrasi dijalanakn. Tapi ingat, PKT dan Pemerintah Tiongkok ambil kebijaksanaan melaksanakan demokrasi selangkah demi selangkah. Kran demokrasi tidak bisa dibuka lebar begitu saja, yang bisa bikin kekacauan. Dan itulah yang bisa kita lihat Pemerintah Tiongkok selama 20 tahun ini bagaimana demokrasi dijalankan, ada kemajuan pelaksanaan demokrasi, sekalipun belum sepenuhnya sesusai tuntutan Gerakan 4 Juni dan dirasakan lambat. Tapi itulah jalan kemajuan demokrasi di Tiongkok. Saya juga yakin, disatu saat, entah kapan tidak hanya pemilihan langsung Presiden Tiongkok, bahkan diktatur partai tunggal (PKT) juga akan dilepas oleh Pemerintah Tiongkok. Itulah perkembangan demokrasi dibidang politik sesuai dengan demokrasi dibidang ekonomi yang sudah berlangsung lebih dahulu 30 tahun terakhir ini. Tapi, sekali lagi biarlah demokrasi itu maju sesusai dengan proses yang terjadi, tidak perlu dipaksakan untuk dilaksanakan sekarang juga sebagaimana tuntutan Gerakan 4 Juni itu. Sikap Gerakan 4 Juni yang paksakan tuntutannya diterima dengan berdemonstrasi menduduki lapangan Tian An Men, sampai lebih sebulan dengan tidak pedulikan perintah “Keadaan Darurat” itulah yang sebenarnya tidak DEMOKRATIS! Dalam perjuangan juga bisa dikatakan sangat tidak taktis dan merupakan satu kesalahan serius yang tidak memperhitungkan kemungkinan jatuh korban hanya untuk nurutin perintah dan kepentingan kekuatan dari luar, khususnya Amerika, yang jelas bertujuan menggulingkan Pemerintah Tiongkok yang sah sekarang ini. Pada saat kekuatan Gerakan 4 Juni belum cukup kuat menghadapi kekuatan TPRT, menyingkir lebih dahulu adalah satu sikap yang bijaksana dan dengan demikian bisa menghindari korban jiwa yang tidak diperlukan. Dan hanya dengan demikian perjuangan “DEMOKRATIS” bisa dilanjutkan lebih baik dengan dapatkan simpati massa rakyat lebih banyak.
11
Tapi kenyataan yang berjalan dilapangan tidak begitu. Pertemuan Gerakan 4 Juni dengan PM. Li Peng di tgl. 3 Juni pagi, Ketua Gerakan 4 Juni ketika itu, Wu Er Kai Xi dan Wang Dan sudah menyetujui untuk menyingkir. Tapi sekembali dilapangan Tian An Men, wk. Ketua Chai Ling yang baru saja menerima sumbangan dana dan materiil yang dibawa beberapa tokoh Partai Demokrat Hong Kong, justru memutuskan terus bertahan dengan segala konsekwensinya! Perintah inilah sangat celaka, yang akhirnya menjadi sebab utama jatuhkan korban jiwa, sikap menantang Pemerintah Tiongkok yang memaksa gunakan kekerasan. Dan sayang seribu sayang, tidak satupun tokoh Gerakan 4 Juni berani melihat dan mengakui kesalahan putusanan untuk bertahan yang akibatkan darah memerahi wajah Anggun dilapangan Tian An Men. Mudah-mudahan setiap orang bisa lebih lanjut merenungkan kembali Peristiwa berdarah Tian An Men dengan tenang. Apa dan bagaimana sesungguhnya peristiwa berdarah 4 Juni 1989 di Tian An Men itu? Kenyataan yang jatuh korban hanyalah rakyat-kecil yang tidak berdosa, termasuk TPRT yang melaksanakan tugas pembersihan. Sedang tokoh-tokoh utama Gerakan 4 Juni, yang justru harus bertanggungjawab dengan perintah “BERTAHAN” di lapangan Tian An Men itu, tidak seorangpun namanya tercantum dalam daftar korban yang mati terlindas tank di lapangan Tien An Men, sebaliknya semua tokoh-tokoh utama bukan saja selamat tapi bisa menikmati hidup nyaman di luarnegeri, khususnya di Amerika. Sekarang coba kita perhatikan dari foto-foto yang dipamerkan sebagai propaganda kekejaman penindasan saat pembersihan lapangan Tien An Men itu, dimana ada TPRT memberondong massa demonstran, apalagi Tank TPRT melindas demonstran? Sebaliknya, nampak jelas kebrutalan massa demonstran bukan menuding-nuding TPRT, bahkan menggebuki sampai berlumuran darah!
hanya
12
Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, bukan Tank TPRT yang menggilas demonstran, tapi Tank berhenti saat dihadang seorang demonstran, dan tayangan kelanjutannya orang itu naik keatas tank. Bahkan ditempat lain, massa demonstran yang membakar tank-pancer TPRT itu!
13
14
15
Dibawah nampak tokoh Gerakan 4 Juni, Wang Dan sedang menyampaikan orasinya dihadapan wartawan asing dan TV HongKong. Suasana kerumunan massa demonstran di lapangan Tian An Men, ...
16
17
18