MELIHAT KEMBALI KEABSAHAN MATAN HADITS Abbas Irfan (Fakultas Syari’ah, UIN Mulana Malik Ibrahim Malang Email:
[email protected])
Abstract: The companions are historical actors who are much more aware of what is coming on the Prophet. They also understand what is desired by the Prophet. They state this is a bridge to the next generation of the ummah. But in fact, after the Prophet’s death, many dissents emerge among his own companions, either in understanding the verses or hadith text. This disagreement could be in the form of hadith narration that is not valid which affects the control of the hadith and the verses or cultural factors so that the Muslims appear various sects; there is a need for research to understand the truth. Keywords: Criticism, Matan, Hadith.
Pendahuluan Pembahasan hadits selama ini tidak bisa lepas dari pemahaman dan peran yang dipakai oleh ulama’ hadits itu sendiri, sehingga masing-masing diantara mereka tidak terlalu banyak terikat dengan minimnya definisi yang digunakannya, bahkan mereka makin hari makin melebarkan pemahaman dalam masalah pengertian tentang hadits, karena pemahaman hadits itu banyak mengandung nilai-nilai sosial, sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Kebebasan dalam memahami hadits, banyak berdampak pada kajian lebih lanjut, selanjutnya jika seseorang yang sedang mengkaji suatu hadits secara teliti sedangkan ia tidak terikat oleh kaidahkaidah yang telah ditetapkan oleh ahli hadits, maka ia akan dapat menemukan perbedaan dan pertentangan dikalangan ahli hadits, se-
Abbas Irfan hingga dari itulah yang menyebabkan terjadinya banyak aliran-aliran dalam hadits. Dalam perkembangan pemikiran hadits selama ini tidak semarak pemikiran tentang Al-Qur’an, sehingga pemikiran tentang hadits mencuat setelah itu, dan banyak yang mempersoalkan keasliannya, karena hadits dalam pandangan orientalis seperti Ignaz Goldziher (1850 – 1921 M) 1 dan Yoseph Schacht (1902 – 1969 M) 2 mereka berdua mengatakan bahwa keberadaan hadits atau sunnah Nabi saw itu pada dasarnya merupakan bagian dari adat istiadat masarakat arab pra Islam, ditambah dengan aktifitas pemikiran yang bebas dari pakar hukum Islam di masa awal Islam, sehingga hadits- hadits Nabi saw seolah-olah merupakan produk dari sahabat Nabi saw.dan kreasi kaum Muslimin. Melihat berbagai persoalan seputar pemikiran ulama’ tentang hadits, maka dalam hal ini yang menjadi pokok persoalan adalah berangkat dengan menyorot segala aktifitas Muhammad saw, karena Ia sebagai figur dari kaum Muslimin khususnya, yang berdampak secara umum termasuk orientalis. Jika melihat perjalanan hidup Rasulullah saw, maka dalam hal ini dapat difahami dengan berbagai macam, adakalanya sebagai manusia biasa, utusan Allah, kedua hal ini sangat penting untuk dikaji kembali, sehingga dalam mendudukkan suatu persoalan tentang diri Rasulullah saw. Dari itu jika Muhammad berfungsi sebagai manusia biasa, maka tak ubahnya ia sama seperti kita sebagai hamba Allah, dan jika berfungsi sebagai utusan Allah, maka memahaminya itu dengan berbagai cara yang perlu untuk diperhatikan, Wurud dan Dalalah. Jika Wurud, maka hal ini berkaitan dengan asal usul hadits, yakni apakah suatu itu benar-benar dari Rasulullah saw ataukah ti-
Ignaz Goldziher : Muslim Studies (Muhammedanische Studien), Terj, C.R. Barber and S.M. Stern. (London: George Allen & Unwin Ltd, 1971). 2 Yoseph Schacht : The Origins Of Muhammeden Jurisprudence,( London :Oxford, 1959). 1
365 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits dak. 3 Sehubungan dengan masalah ini maka perlu diadakan adalah metode kritik matan dan sanad. 4 tujuannya adalah untuk menentukan suatu hadits itu shahih ataukah dhaif dalam arti kata suatu hadits itu diterima untuk diamalkan ataukah lemah dan tidak boleh diamalkan. Adapun yang dimaksud Dalalah adalah suatu makna atau isi yang diterima atau ditolak atas dasar penelitian dari Wurudl hadits tersebut. 5 dari kajian terhadap kedua hal ini, yakni kajian tentang Wurud dan Dlalah suatu hadits, maka akan dapat diketahui suatu hadits itu asli dari Nabi ataukah tidak, jika asli dari Nabi saw maka hadits itu apakah redaksinya dari Nabi saw ataukah redaksi sahabat nya dengan tidak merubah makna yang diinginkan oleh Nabi saw. Dari itu dapat diketahui cara memahami suatu hadits baik dari sisi redaksi dan makna secara umumnya. Sedangkan tujuannya adalah apakah suatu itu bisa diamalkan ataukah tidak, jika bisa diamalkan, maka bagaimana cara mengamalkannya, jadi studi tentang dlalalah suatu hadits ini sama halnya dengan studi tentang kritik matan suatu hadits, agar dapat dibedakan antara keduanya dan antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Menghadapi persoalan yang demikian ini maka banyak pakar berupaya terus memahami hadits sebagai perimbangan atau mungkin pembetulan terhadap nilai suatu hadits dimata orientalis yang banyak tidak mempercayai keabshahan suatu hadits, dan kaum orientalis lebih mempercayai hanya kepada Al-Qur’an dengan memahaminya secara bebas, jika demikian halnya, bukankah kaum orientalis itu tak ubahnya seperti inkarul sunnah.
Salahuddin Ibn Ahmad al-Dlabi :Manhaj Nagd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits alNabawi. (Kairo; Dar al-SYuruq, 2004),3 4 Matan adalah redaksi isi hadits , sedangkan sanad adalah : Rentetan rawi-rawi yang meriwayatkan hadits dari Mukharrij (ahli hadits yang mencatat dalam kitabnya) sampai kepada Nabi saw. Jika kritik sanad dimaksudkan penelitian yang cermat terhadap asal usul teks hadits yang dibawa oleh masing-masing rentetan rawi-rawi hadits nya. 5 al-Dlabi, 4 3
| 366
Abbas Irfan Upaya selanjutnya dalam memahami suatu hadits itu banyak dilatarbekangi oleh beberapa hal, antara lain pertama : karena metode memahami suatu hadits dikaitkan dengan sejarah dan posisi yang Muhammad sebagai Rasul dan manusia biasa, kedua: Perbedaan latar Syarih al-Hadits menjadi penekanan kajian sesuai dengan latar yang ditekuni, apakah, fuqaha, muhaditsun dan lainnya, ketiga: keberadaan hadits dalam bentuk teks yaitu dan taqrir Nabi saw.kedalam hafalan sahabat Nabi saw, yang menjadi tulisan, keempat: pemahaman terhadap suatu hadits yang terkait dengan isi Al-Qur’an. Oleh karena itu perlu diadakan metode dan pendekatan untuk dapat memahami suatu Nabi saw. 6 Namun yang menjadi problem bagi peneliti suatu adalah tidak semua hadits terdapat syarahnya atau penjelasannya, sehingga memunculkan penafsiran yang berbeda-beda, dan ada juga yang menjelaskan suatu hadits itu hanya dilihat dari sisi bahasanya saja, sementara isinya yang dimaksud oleh suatu hadits tidak disinggungnya. Dari itu perlu dicari penelitian yang benar-benar, sehingga akan tergambar bahwa kebenaran itu akan mendustakan kebatilan, dan dapat diambil serta dipegang oleh kaum Muslimin seluruhnya bahwa kebenaran itu merupakan suatu dalil yang harus diamalkannya. Kebenaran suatu yang berdasarkan penelitian itu harus diyakini untuk diikuti dan diamalkan sebagai wujud kecintaan kepada Allah SWT, maka niscaya Allah akan mengampuni segala dosa dan mengasihinya. 7 karena dengan mengamalkannya itu berarti telah menjalankan perintah, dengan menjalankan perintah berarti telah membantu untuk membentengi diri dari perbuatan dosa. Kebenaran suatu hadits juga banyak ditentukan oleh syaratsyarat yang dibuat oleh pakar hadits dengan syarat-syarat shahnya suatu hadits, dan juga melihat sisi lainnya, jika hadits itu ditunjang oleh Al-Qur’an, maka sudah dapat dipastikan bahwa hadits tersebut
6 7
Al-Dlabi. 7 Al-Qur’an dan Terjemahannya kedalam bahasa Indonesia, (Depag.R.I. 1990 ),3:31
367 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits adalah hadits shahih, khususnya dari segi matannya, dari itu diperlukan pengetahuan tentang Al-Qur’an dan isinya.8 Untuk menjawab semuanya itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang penalaran sabda Rasul, baik dari sisi, qaul, fi’il maupun taqrirnya. Karena dengan metode ini saja tidak akan cukup untuk mengenal suatu hadits itu shahih, sebab banyak ditemukan hadits yang jika dilihat dari sisi sanad akan ditemukan keshahihannya, namun jika dilihat dari matan hadits, maka hal itu banyak yang bertentangan dengan isi Al-Qur’an, atau tidak sejalan dengan prinsipprinsip dasar Islam, sebagai akibatnya, banyak sekali pemahaman yang telah mapan harus runtuh berdasarkan kajian dengan dasar kritik matan matan hadits. Inilah yang menyebabkan munculnya pemahaman-pemahaman yang berbeda, karena lebih banyak digunakan, ta’wil bahkan cara menta’wilnya terkadang lebih dipaksakan dari pada kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu pembahasan dalam tulisan ini akan mengenalkan kritik hadits yang Islami. Studi Kritik matan hadits Ilmu itu terbagi menjadi dua macam, yaitu : naqliyah dan aqliyah. Jika dihubungkan dengan Syari’at Islam, maka akan mengacu pada wahyu dalam hal ini hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab jalan untuk mengetahui kandungan isi Al-Qur’an adalah 8
Muhammad al-Ghazali : As-Sunnah an-Nabawiyah Baina ahli al-Fiqh wa ahli alHadits . (Kairo :Dar al-Syuruq, 2007),2. pendapat ini sama dengan pendapatnya : Jamal al-Banna : Nahwa Fiqh Jadid, Al-Sunnah wa Dauruha fi al-Fiqh al-Jadid. Kairo : Dar al-Fikr al-Islamy, 1997. dalam hal ini diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang isi al-Qur’an termasuk berbagai kesimpulan yang dapat diambil dari ayatayatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga pengetahuan tentang berbagai riwayat lain agar dapat melakukan perbandingan ataupun mentaarjihnya antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, jika tidak demikian, maka hal ini sesuai dengan pendapat dari ulama’ yang bernama : Jamaluddin Abi al-Faraj Abdurrahman bin Jauzi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Jauzy,: Talbis Iblis,telah banyak membuat kritikan terhadap ulama’ diantara kritikannya adalah tidak semua Qari’ itu akan mengerti tentang hadits , ia banyak membaca dan menghafal al-Qur’an namun belum tentu menguasai akan isinya, apalagi menguasai isi hadits, karena kebanyakan dari isi al-Qur’an itu telah dijelaskan dalam haditshadits Shahih.
| 368
Abbas Irfan bersifat naqliyah, dan ilmu ini lebih menekankan pada syarat periwayatan suatu hadits, sehingga satu periwayatan dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, dan hal ini hanya pada hadits saja, sedangkan pada Al-Qur’an tidak membutuhkannya, karena Al-Qur’an sudah dinukil secara mutawatir. Jadi bila ilmu naqli membutuhkan keshahihan penukilan atau periwayatannya dan hal ini sebagai bukti akan sebuah riwayat, maka Al-Qur’an tidak berkaitan dengan metode kritik untuk menentukan keshahihan sebuah periwayatan. Masalah hadits hanya sedikit yang dinukilkan secara mutawatir, dan secara keseluruhannya, hadits bersandar pada rangkaian sanad, yang mana sanad ini membutuhkan penelitian yang mendalam guna memenuhi standar keshahihan suatu, hadits. Sedangkan hadits- hadits yang dinukilkan secara mutawatir itu memiliki status Qath’ie alWurud (dipastikan berasal dari Nabi saw). Hal ini sudah menjadi kesepakatan diantara ulama’ hadits. Adapun sebagiannya, nilai hadits kebanyan bersifat Zhanni al-Wurud (tidak bisa dipastikan validitasnya berasal dari Rasulullah saw) dari itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut, apakah shahih atau lemah. Dalam memandang sebuah hadits itu secara keseluruhan memang membutuhkan penelitian yang mendalam, sehingga dapat diketahui mana saja hadits yang berderajat mutawatir,shahih, hasan dan dlaif. Setelah diadakan penelitian yang mendalam maka hal tersebut sudah dapat dipastikan mana saja yang dipakai, dan mana saja yang ditolak. Dari itu mutlak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah sebagai patokan untuk melakukan studi kritik . Ketika berbicara masalah kritik dan nalar sebuah itu sebenarnya sudah ada sejak periode sahabat, mereka banyak memberikan perhatiannya terhadap studi kritik hadits, hal ini bermula dari perhatian mereka yang sangat tinggi terhadap sebuah hadits itu adakalanya mereka terima secara langsung dan adakalanya mereka terima sebuah hadits itu tidak secara langsung, yaitu dengan melalui perantara sahabat lainnya, berangkat dari sinilah sebuah hadits yang mereka terima itu harus disebutkan satu persatu dari orang yang menerimanya, sehingga sebuah perintah atau larangan atau berita tentang
369 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw dapat diketahui akan kebenarannya. Karena pada dasarnya sahabat sangat antusias dalam menerima dari Rasulullah saw, dari sinilah kekuatan sebuah periwayatan hadits itu terangkat. Yang menjadi masalah dalam periwayatan sebuah dari sahabat yang mendiamkan tersebut terhenti pada dan seolah-olah hanya untuk diri sendiri. Mungkin disebabkan tidak sejalan dengan periwayatan dari sahabat lainnya atau berbeda dengan pemahaman Al-Qur’an, dari sinilah muncul dua sikap dikalangan sahabat, pertama : sikap diam, tanpa komentar dan tanpa menerimanya. Kedua : mengingkarinya bahkan mengkritiknya, karena dinilai sebagai kesalahan atau kekeliruan dari sahabat sahabat yang bersangkutan.9 Ada pula sahabat sahabat yang berpegang teguh pada apa yang dikatakan Rasulullah saw secara langsung, namun bila terjadi pada diri seorang sahabat sahabat yang tidak terdapat dalam rangkaian periwayatan bahkan hanya hanya sahabat sahabat itu sendiri, maka hal itu berasal dari kesalahan sahabat sahabat itu sendiri yang meriwayatkan, dan kesalahan ini bisa diakibatkan beberapa faktor, antara lain: Pertama, hadits yang didengar dan yang diriwayatkannya itu telah dinasakh (dihapus) oleh hadits lainnya. Kedua, periwayatan hadits yang bercampur dengan komentar dari sahabat yang meriwayatkannya itu sehingga sulit membedakan mana yang dari Nabi saw dan mana yang dari sahabat itu sendiri. Ketiga, dalam meriwayatkan sebuah hadits dengan menggunakan redaksi bahasanya sendiri, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan nash Al-Qur’an atau hadits yang lainnya. dan lain sebagainya. 10
9
Al-Dlabi,83 Al-Dlabi, 112. sehubungan dengan masalah ini shahabat seolah-olah terbebas dari penyebaran hadits palsu secara sengaja, oleh karena itu sebagian dari mereka banyak yang menerima begitu saja riwayat hadits nya, atau dengan kata lain seolaholah shahabat itu terbebas dari obyek penelitian dari periwayatan hadits.
10
| 370
Abbas Irfan Pada sisi lainnya banyak dikalangan ahli beranggapan bahwa sahabat itu adalah ummat yang terbaik, yang diutus untuk ummat manusia. 11 dalam sebuah disebutkan bahwa pada suatu saat Rasulullah saw pernah bersabda bahwa : Tidak seorang pun yang dihisab, melainkan akan hancur. Pernyataan Rasul ini dirasa sangat janggal bagi Aisyah istri Rasul sendiri, sehingga ia bertanya kepada Rasul :Bukankah Allah berfirman : Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. 12 Rasul menjawab : Itu adalah pemeriksaan sepintas (Al-‘Ardh), tetapi orang yang diperiksa secara ketat pasti akan hancur. 13
Jika melihat sahabat Rasul yang paling banyak meriwayatkan , maka dialah sahabat Abu Hurairah, dalam satu riwayat ia pernah meriwayatkan hadits tentang anak zina, bahwa anak zina merupakan yang terkeji diantara ketiga person, (dia, dan kedua pelaku). Tatkala Aisyah mendengar riwayat demikian ini, ia berkata : semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Hurairah, ia kurang baik mendengarkan ini, sehingga kurang baik pula dalam meriwayatkan . Dalam sebuah riwayat Aisyah berkata : Bahwasanya Rasulullah saw bersabda mengenai hal ini sabdanya : sesungguhnya memberikan sebuah cambuk demi menegakkan agama Allah lebih aku sukai dari pada memerdekakan anak zina. Sebenarnya tatkala turun ayat : Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar ? taukah Q.S. Ali Imron (3):110. berangkat dari ayat ini semua shahabat adalah baik, penilaian yang semacam ini adalah merupakan satu kesalahan, karena pada dasarnya shahabat adalah manusia biasa yang punya kesalahan, namun sisi lainnya shahabat banyak yang baik, terbukti adalah mereka kader-kader Rasul dalam menyampaikan risalah hingga kini. Dari perlu diteliti kembali segala macam bentuk periwayatan hadits nya. 12 Q.S. Al-Isyiqaq : 7-8. 13 Bukhari : Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar al-Fikr al-Ilmiyah, tt.hal : 187.berdasarkan riwayat ini menunjukkan bahwa kecerdasan Aisyah yang mampu membandingkan antara al_Qur’an dan Hadits serta bertanya kepada Rasul, dari sini nampak sikap dan kekuatan analisis yang tajam ditampilkan dihadapan Rasul. Sikap yang semacam ini juga banyak dimiliki oleh shahabat lainnya. 11
371 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu ? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. 14 dalam hal ini Rasul ditanya : wahai Rasul, kami tidak memiliki budak-budak yang akan kami merdekakan, namun ada diantara kami yang memiliki wanita sahaya, bagaimana kalau sekiranya kami memerintahkan untuk berzina, dan setelah melahirkan anak-anaknya kami merdekakan? Rasul menjawab : sesungguhnya memberikan sebuah cambuk demi menegakkan agama Allah lebih Aku sukai dari pada memerintahkan (seorang sahaya) untuk berzina, lalu memerdekakan anaknya. 15 Sehubungan dengan sabda Rasul mengenai : anak zina merupakan yang terkeji diantara tiga person itu, redaksi sebenarnya tidak begitu, berdasarkan riwayat dari Urwah bin Zubair, yang disampaikan kepada Aisyah bahwa pada mulanya ada seorang munafik yang menyakitkan hati Nabi saw lalu beliau bersabda : siapa yang bisa mengemukakan kepadaku mengenai orang itu? Lalu dikatakan kepada beliau : orang itu bersama anak zina, kemudian beliau bersabda : Dia adalah yang terkeji diantara tiga person itu, sehubungan dengan masalah ini Allah berfirman : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.16 Dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa Aisyah menolak riwayat Abu Hurairah, bahwa Abu Hurairah dianggap oleh Aisyah sebagai orang yang kurang baik dalam mendengar sehingga haditshadits sehingga berdampak kurang baik pula dalam meriwayatkannya.dari sini Aisyah menganggap bahwa Abu Hurairah telah lupa sebab-sebab turunnya itu, sehingga berdampak pada periwayatannya. Dari sini dapat dilihat bahwa Aisyah menguatkan penolakan periwayatan hadits dari Abu Hurairah itu dengan jalan mengemukakan ayat Al-Qur’an surat al-‘An’am : 164, tentang seseorang yang tidak akan memikul dosa orang lain, dari sini dapat dipertanyakan apa dosa anak zina itu? Selanjut juga dipertanyakan mengapa harus berQ.S. al-Balad : 11-13. Bukhari 16 Q.S. al-An’am ; 164. dan al-Baqarah : 286. juga ayat yang semacam ini dalam alQur’an terdapat dilima tempat. 14 15
| 372
Abbas Irfan sedekah dengan dengan sebuah cambuk lebih disukai dari pada memerdekakan anak zina. Selanjut perlu dipertanyakan juga mengapa anak zina itu dikatakan yang terkeji padahal yang fasik dalam perbuatan zina itu adalah ayah dan ibunya, yang terakhir bagaimana masalah tersebut bisa sesuai dengan firman Allah tersebut di atas. Berdasarkan riwayat tersebut, Aisyah telah membetulkan periwayatannya dengan mengemukakan sebab turunnya hadits dan pembetulan hadits tersebut merupakan kelanjutan dari apa yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Susulan dari Aisyah tersebut banyak terjadi juga dikalangan sahabat lainnya, dalam arti bisa saja hal itu merupakan kelengkapan atau meralat atau menjelaskannya,sehingga tidak bertentangan dengan nash yang lebih kuat, seperti al-Qur’an dan hadits- hadits shahih lainnya. Contoh lainnya dalam sebuah riwayat yang berasal dari Umar ibn Khattab, Abdullah bin Umar dan Al-Mughirah ibn Syu’bah, bahwa : Nabi bersabda : Mayat akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya. 17 Tatkala Aisyah mendengar dari Umar ibn Khattab ini juga menolaknya, seraya berkata : Semoga Allah memberikan rahmat kepada Umar.demi Allah Rasulullah saw tidak pernah bersabda yang semacam ini, tetapi sabdanya : Sesungguhnya Allah menambahkan siksa seorang kafir karena tangisan keluarganya. Lebih lanjut Aisyah berkata : cukuplah bagi kalian untuk menolak Umar dan Ibn Umar dengan membaca ayat : seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. 18 Menalar riwayat Umar dan ibn Umar tersebut, sebenarnya Aisyah tidak bermaksud mencurigai riwayat mereka berdua, namun mereka berdua dianggap oleh Aisyah sebagai orang yang pendengarannya kurang tajam atau salah.19 Ibid al-Bukhari. Lihat juga dalam riwayat Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Musa al-‘Asy’ari. Dan juga lihat dikitab : Sunan at-Tirmidzi. 18Al-Qur’an. 19Shahih al-Bukhari. Lihat juga : Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, dan Sunan atTirmidzi. 17
373 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits Kritik Aisyah di atas sama dengan pernyataan Abdullah bin Abbas, namun sebenarnya tidak semua orang mendengar kritikan tersebut, kemudian menerimanya, sebab ada riwayat lain bahwa Ibnu Majah dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa : dari Usaid ibn Abu Usaid, dari Musa ibn Abi Musa al-‘Asy’ari, dari ayahnya, sesungguhnya Nabi saw bersabda : Mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya yang masih hidup, yakni tatkala mereka meraung: aduh penopang hidup, aduh pemberi pakaian, aduh pelindung kami dan raungan sejenisnya, seraya menggerak-ngerakkan sang mayat.kemudian ditanya : apakah engkau juga begitu ? Usaid berkata : kemudian aku mengatakan Subhanallah. Bukankah Allah telah berfirman : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.(al-‘An’am : 164), musa berkata : Celakan kamu. Aku ceritakan kepadamu, , bahwa Abu Musa menceritakan kepadaku, dari Rasulullah saw mengenai hadits itu, kalau begitu engkau menyangka Abu Musa berdusta kepada Nabi saw atau engkau mengira aku berdusta kepada Abu Musa. 20 Berdasarkan riwayat diatas menunjukkan bahwa : Musa nampaknya tidak sependapat dengan adanya kritik terhadap yang diriwayatkannya itu dari ayahnya. Ia juga tidak menilai adanya kekeliruan atau kesalahan pada riwayatnya itu. Pada sisi lainnya adanya ulama’ yang mendukung riwayat Aisyah dengan cara menyalahkan riwayat yang disebutkan diatas, dan ada pula yang tidak mendukungnya, dalam arti tidak melihat letak kesalahannya pada riwayat tersebut, kemudian berusaha menta’wilkannya. Jadi satu sisi riwayat Umar dan Ibnu Umar tersebut telah diingkari oleh Aisyah, dan nya sendiri sejalan dengan ayat AlQur’an dalam surat Al’An’am : 164, juga sesuai dengan hadits - hadits lainnya mengenai tangisan Nabi saw terhadap sejumlah sahabat yang meninggal serta pengakuan beliau atas tangisan yang ditujukan kepada mereka. Jadi dalam hal ini merupakan bukti menguatnya ri-
20
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. (Mesir :Dar al-Fikri, 1994), hadits no : 1594
| 374
Abbas Irfan wayat Aisyah yang dengan tegas mengakui adanya kesalahan pada riwayat diatas.21 Berdasarkan kedua riwayat diatas, komentar ulama’ terkini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, berkata bahwa mayat akan merasa sakit oleh tangisan keluarganya yang masih hidup, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits - hadits shahih, dan juga hadits - hadits lain yang semakna dengan tersebut. Namun banyak ulama’ yang mengingkari hadits tersebut, mereka merasa yakin bahwa hal itu merupakan penyiksaan karena perbuatan orang lain, dan hal ini menurut mereka bertentangan dengan firman Allah yang terdapat dalam surat Al-‘An’am : 164, tentang seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain, dan mereka mewujudkan secara bervariasi bahwa mereka tidak setuju. Ada yang menyalahkan riwayat Umar dan Ibn Umar sebagaimana pernyataan Aisyah, dan ada pula yang mewujudkan dalam bentuk memahaminya haditsnya dari sisi ratapan itu, bahwa yang membuatnya itu akan disiksa bila ratapan itu dijadikan sebagai kebiasaan. Hadits- hadits di atas adalah sekelumit contoh bahwa polemik tentang keabshahan suatu itu sebenarnya sudah ada sejak zaman awal Islam yaitu sejak zaman sahabat, dimana para sahabat sahabat itu sendiri sebagai pelaku sejarah karena sempat mengikuti kehidupan Rasulullah saw. Dan kritik matan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah itu lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan riwayat sahabat lainnya. Standar Kritik Matan Menurut Ulama’ hadits Membahas masalah kritik matan menurut ulama’ hadits, mereka secara tidak langsung telah membuat satu kesepakatan tentang standar yang benar dan diterima oleh kaum Muslimin, cara yang dimaksud itu kembali kepada keumuman perintah syari’at Islam yang mewajibkan untuk taat kepada RasulNya, serta mengikuti perintahnya. Sehubungan dengan masalah ini Rasulullah saw sendiri telah 21
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. (Mesir :Dar al-Fikri, 1994), hadits no : 1594
375 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits menegaskan bahwa bagi mereka yang hanya mencukupkan diri dengan Al-Qur’an untuk diamalkan itu sudah menyalahi perintah Allah, dan hal ini merupakan peringatan keras dari Rasulullah saw, karena dalam Al-Qur’an itu banyak memuat hukum-hukum praktis, sedangkan yang bersifat mendetail itu harus meruju’ kepada hadits. Dalam merujuk hadits- hadits itu standar yang paling utama adalah keyakinan terhadap Islam dengan segenap peraturan dalam bentuk perintah dan larangan, dari itu akan terwujud standar kriteria dalam menentukan keabshahan suatu hadits, apakah shahih atau hasan ataukah dhaif. Jika dhaif tidak boleh dipakai untuk diamalkan, dan jika shahih atau hasan, maka hal itu harus diamalkan, dalam hal ini jika terjadi perbedaan pandangan, maka tehnis yang digunakannya itu berdasarkan pandangan seseorang dengan kedalaman ilmu syari’at Islam yang sangat menentukan akan kebenarannya, bukan atas dasar pandangan kelompok, golongan, suku, ras. Dalam hal ini termasuk penilaian dari kaum orientalis yang meremehkan, merendahkan keberadaan hadits, karena dianggap bagian dari budaya masarakat arab, sehingga munculnya itu seolah-olah produk dari sahabat sahabat Nabi dan kreasi masarakat Arab. Sehubungan dengan masalah ini kaum orientalis secara tidak langsung mereka juga menciptakan kelompok tersendiri dengan pandangan-pandangannya yang bebas dari , mereka hanya berpegang pada Al-Qur’an saja, sehubungan dengan hal ini Allah berfirman : “ Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” 22 Ayat di atas memberi makna bahwa semangat golongan demi kepentingan itu menunjukkan kedangkalan ilmu syari’at, dan telah melupakan diri mereka dalam mengingat Allah, sehingga mengakibatkan terjadinya pandangan-pandangan yang dangkal terhadap Islam serta merendahkan diri mereka dengan sebab pandangannya terhadap Islam dalam hal ini terhadap matan hadits.
22
Q.S. Ar-Ruum : 32.
| 376
Abbas Irfan Dari itu peringatan Rasulullah saw dalam beberapa riwayat, diantaranya ada sebuah dari Abi Rafi’ dari Nabi saw, Ia bersabda : Sesungguhnya akan Aku temukan salah seorang di antara kalian duduk bersandar, yang datng kepadanya hal yang Aku perintahkan atau Aku larang, tetapi ia justru berkata dengan acuh : aku tidak tahu (pokoknya) apa saja yang kami temukan di dalam Al-Qur’an akan kami ikuti ?. 23 Hampir semua ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw telah dijelaskan kepada sahabatnya, sehingga sahabat sahbat dapat membenarkan apa saja yang diturunkan kepada Rasulullah saw sahabat juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, sebabsebab wurud hadits sehingga mereka menemukan mana yang benar dan mana yang salah dari hadih tersebut. Hadits - hadits yang mengandung peringatan keras yang berisi agar kaum Muslimin menghindari hadits munkar dan menerima hadits yang shahih periwayatannya, selanjutnya sebagai metode yang benar dan juga dapat dijadikan sebagai patokan bahwa dalam menentukan suatu itu menjadi shahih adalah dengan melihat kebenaran suatu juga banyak ditentukan oleh syarat-syarat yang dibuat oleh pakar hadits dengan syarat-syarat shahnya suatu hadits, dan juga melihat sisi lainnya, jika itu ditunjang oleh Al-Qur’an, maka sudah dapat dipastikan bahwa tersebut adalah hadits shahih, khususnya dari segi matannya, dari itu diperlukan pengetahuan tentang Al-Qur’an dan isinya.24 Jadi jika metode memahami itu tidak sesuai dengan syari’at Islam atau yang bertentangan dengan isi Al-Qur’an, maka hal itu harus ditolaknya. Dengan demikian, maka kriteria dalam menentukan kebenaran suatu hadits itu bukan dari seseorang atau pandangannya, akan tetapi dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, se-
23 24
Abi Dawud : Sunan Abi Dawud.(Mesir :Dar al-Fikr ilmiyah, 1988). Muhammad al-Ghazali : As-Sunnah an-Nabawiyah Baina ahli al-Fiqh wa ahli alHadits . (Kairo :Dar al-Syuruq, 2007),12. lihat pendapatnya : Jamal al-Banna : Nahwa Fiqh Jadid, Al-Sunnah wa Dauruha fi al-Fiqh al-Jadid. (Kairo : Dar al-Fikr alIslamy, 1997).
377 | Volume 4. No. 02. September 2012
Melihat Kembali Keabsahan Matan Hadits mua itu bergantung pada kedalaman ilmu syari’at seseorang berikut pengamalannya. Selanjutnya jika suatu hadits itu menunjukkan kebatilan sehingga bertentangan dengan akal, indera atau sejarah, maka sudah dapat dipastikan bahwa tersebut harus ditolaknya, karena Allah SWT menciptakan segala sesuatunya itu sesuai dengan akal manusia, dari sinilah ruang gerak ijtihad ulama’ harus dikembangkan untuk menentukannya, mana hadits yang shahih, hasan dan dlaif. Dan jika itu shahih maka tidak mungkin akan bertentangan akal manusia, karena berangkat dari sini ulama’ hadits telah menentukan, mendifinikan suatu itu. Penutup Dalam tulisan ini ada kesimpulan yang sangat berarti bagi kaum muslimin dalam mencermati suatu , bahwa kriteria-kriteria dalam menentukan keabsahan suatu hadits itu lebih banyak bergantung pada ulama’, dan ulama’ disini adalah ulama’ yang banyak memperdalam ilmu syari’at Islam kemudian mengamalkan, bukan mencari kesalahan dari para sahabat, tabi’in dan seterusnya dalam periwayatan hadits Dalam menentukan keabsahan suatu hadits itu ulama’ saat itu hampir tidak ada yang berbeda, dalam menentukan kriterianya karena kedalaman ilmu syari’at yang mereka miliki dan pengamalannya yang menyeluruh, juga lebih banyak ditentukan dari sejarah. Dari sinilah banyak memunculkan kritikan-kritikan terhadap periwayatan hadits, khususnya terhadap matan suatu hadits, karena kritik terhadap matan suatu hadits itu sudah ada sejak zaman sahabat sahabat. Ketika melakukan suatu kritikan, walau dibenarkan oleh syari’at Islam, tentunya harus meyakini kedua sumber hukum Islam, yaitu AlQuran dan hadits
| 378
Abbas Irfan Daftar Pustaka Al- Jamal, Banna,1997. Nahwa Fiqh Jadid, Al-Sunnah wa Dauruha fi alFiqh al-Jadid. Kairo : Dar al-Fikr al-Islamy Al-Ghazali, Muhammad,2007. As-Sunnah an-Nabawiyah Baina ahli alFiqh wa ahli al- . Kairo : Dar al-Syuruq Al-Ghazali,Muhammad,2007.As-Sunnah an-Nabawiyah Baina ahli alFiqh wa ahli al- . Kairo : Dar al-Syuruq Amin, Phil Kamaruddin, 2009. MEnguji Kembali Keakuratan Metode Kritik . Jakarta:Hikmah Mizan Publika Bukhari, tt.Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar al-Fikr al-Ilmiyah Dawud, Abi,1988.Sunan Abi Dawud.Mesir, Dar al-Fikr ilmiyah Depag.RI,1990. Al-Quran dan terjemahannya kedalam bahasa Indonesia Goldziher,Ignaz,1971.Muslim Studies (Muhammedanische Studien), Terj, C.R. Barber and S.M. Stern. London: George Allen & Unwin Ltd Jamaluddin Abi al-Faraj Abdurrahman bin Jauzi Ibnu Jauzy,tth. Talbis Iblis, Beirut : Dar ilm Majah, Ibnu,1994.Sunan Ibnu Majah. Mesir, Dar al-Fikri Salahuddin Ibn Ahmad al-Dlabi,2004.Manhaj Nagd al-Matn Ind Ulama’ al- al-Nabawi. Kairo, Dar al-SYuruq Schacht,Yoseph,1959.The Origins dence, London : Oxford
Of
Muhammeden
Jurispru-
Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, 1989. Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama’ al- al-Nabawi. Mesir :Dar al-Fikr
379 | Volume 4. No. 02. September 2012
PEDOMAN PENULISAN 1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media lain, diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4, panjang 13 – 17 halaman, dalam bahasa Arab, Inggris maupun bahasa Indonesia, dan diserahkan dalam hard copy dan soft copy. Berkas naskah dalam disket diketik dengan menggunakan program MS Word. Untuk memudahkan organisasi, file artikel disarankan diberi nama yang diambil dari nama panggilan penulis. Contoh : puji doc, sebuah artikel yang ditulis oleh pujiono. 2. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan hasil penelitian dan atau pengembangan keilmuan. 3. Semua naskah ditulis dalam bentuk esai (periksa rincian petunjuk nomor 4). Esai disertai judul sub bab (beading) masing-masing bagian, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul sub bab. Peringkat judul sub bab dinyatakan dengan huruf yang berbeda, tidak dengan angka, dan letaknya pada halaman sebagai berikut: PERINGKAT PERTAMA (huruf kapital semua, cetak tebal, rata dengan tepi kiri) Peringkat kedua (huruf besar – kecil, cetak tebal rata dengan tepi kiri) Peringkat ketiga (huruf besar-kecil, cetak tebal, cetak miring, rata dengan tepi kiri) 4. Setiap naskah harus disertai : (a) judul, (b) nama penulis (tanpa gelar akademis) disertai nama departemen, fakultas, jurusan dan perguruan tinggi tempat kerja penulis, (c) abstrak panjang 75-100 kata (ditulis dalam bahasa Arab / Inggris bagi naskah berbahasa Indonesia, dan ditulis dalam bahasa Indonesia, bagi naskah bahasa Inggris, (d) kata kunci, (e) pendahuluan (tanpa judul sub bab “Pendahuluan”) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan, (f) metode penelitian (untuk penelitian kuantitatif
Abbas Irfan meliputi : rancangan / desain, veriable, populasi dan saple, teknik pengumpulan data, analisis data; untuk penelitian kualitatif meliputi: rancangan / desain, subyek, teknik pengumpulan data, teknik analisis data) dan atau pengembangan, (g) hasil, (h) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, dan (j) daftar pustaka. 5. Daftar pustaka disajikan mengikuti tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Contoh Adam, J.A. 1971 A Closed – Loop Theory of learning. Journal Of Motor Bebavior. 3 (2) 111 – 149 Flemming, M.L. & Levie, W.H. 1979. Intructional Massage Design: Principles Form The Bebavioral sciences, Englewood Cliffs, New Jersey : educational Technology Publication 6. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, table, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang berlaku di STAIN Jember. Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang disempurnakan (Depdikbud, 1987)
PEDOMAN TRANSLITERASI Pengalihan huruf Arab-Indonesia dalam naskah ini didasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 22 Januari 1988, No.158/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana yang tertera dalam buku pedoman Translitrasi Bahasa Arab (A Guide to Arabic Translitration), INIS Fellow 1992. a. Konsonan-Konsonan (Consonants) Arab Latin a
Arab
Latin th
b
dz
t
'a
ts
gh
j
f
h
q
kh
k
d
l
z
m
r
n
z
w
s
ﻫـ
h
sy
y
sh
ah
dl
ـﺔ.......
at,ah
Abbas Irfan b. Vokal Pendek (Shot Vowels) Arab Latin Arab ___َ___
a
___ُ____
Latin
Arab
Latin
u
______
I
َ c. Vokal Panjang (Long Vowels) Arab Latin Arab ــَﺎ.........
a
d. Diftong (Diftongs) Arab Latin َ
a
Latin
Arab
Latin
ــُﻮ......
u
ــِﻲ........
i
Arab
Latin
Arab
Latin
ُ
u
i َ
e. Pembaruan Kata Sandang Tertentu (Assimilation of The Definite Article) Arab Latin Arab Latin Arab Latin al
al-sy
wa al-