KELAYAKAN FINANSIAL BUDIDAYA POHON PENGGANTI SONOR Oleh: Mamat Rahmat1) dan Bastoni 2)
ABSTRAK Sonor adalah pola penanaman padi pada lahan gambut yang sudah terbakar. Persiapan lahan sonor dilakukan dengan cara membakar lahan gambut pada permulaan musim kemarau. Sonor merupakan penyebab utama kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan. Masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut memiliki ketergantungan terhadap pendapatan dari hasil sonor. Pencegahan kebakaran lahan gambut dapat dilakukan dengan cara melarang kegiatan sonor dan menggantinya dengan pola budidaya tanpa bakar. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kelayakan finansial budidaya pohon pada lahan gambut, yaitu budidaya pohon jelutung dan pemeliharaan permudaan alam gelam, serta dibandingkan dengan kelayakn finansial budidaya padi sonor. Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR) digunakan sebagai kriteria kelayakan finansial dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat diskonto 15 %, budidaya jelutung merupakan budidaya pohon yang paling layak secara finansial dibandingkan dengan sonor, sedangkan pemeliharaan permudaan alam gelam tidak layak. Oleh karena itu budidaya jelutung merupakan budidaya yang paling layak secara finansial untuk menggantikan sonor sekaligus sebagai upaya pencegahan kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan. Kata kunci: kebakaran lahan, lahan gambut, sonor, budidaya pohon, kelayakan finansial. I. PENDAHULUAN Sonor merupakan istilah lokal di Sumatera Selatan yang merupakan pola budidaya padi pada lahan rawa gambut. Pada umumnya sonor dilakukan lima tahun sekali, yaitu pada tahun-tahun dengan musim kemarau panjang (musim kering 5 - 6 bulan). Proses persiapan lahan pada budidaya sonor dilakukan dengan cara membakar. Cara ini dilakukan masyarakat karena tidak memerlukan banyak biaya untuk persiapan lahannya. Pembakaran lahan rawa gambut pada musim kemarau sangat mudah, karena kondisi rawa sangat kering dan bahan bakar melimpah. Proses pembakaran tersebut 1)
2)
Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Komplek Perkantoran Kehutanan Sumatera Selatan, Jl. Kol. H. Burlian, Km 6,5 Punti Kayu, Palembang. E-mail:
[email protected] Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Komplek Perkantoran Kehutanan Sumatera Selatan, Jl. Kol. H. Burlian, Km 6,5 Punti Kayu, Palembang. E-mail:
[email protected]
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
233
telah menyebabkan api merambat ke tempat lain dengan sangat cepat melalui permukaan dan bawah permukaan lahan gambut. Hasil penelitian Ruchiat dan Suyanto (2001); Setijono (2003) menunjukkan bahwa sonor telah menjadi penyebab utama kebakaran lahan rawa gambut di Sumatera Selatan. Upaya pencegahan kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan, tidak bisa dipisahkan dari upaya pengendalian sonor. Meninggalkan pola budidaya sonor adalah upaya terbaik untuk mencegah kebakaran lahan rawa gambut. Namun hal ini akan dihadapkan pada hilangnya sumber pendapatan masyarakat, karena masyarakat sekitar lahan rawa gambut sangat tergantung pada hasil sonor. Oleh karena itu perlu diciptakan sumber pendapatan lain yang dapat menjamin pendapatan masyarakat dan tidak berkaitan dengan penggunaan api. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfataan lahan rawa tanpa bakar untuk kegiatan budidaya pohon (Suyanto dan Khususiyah, 2004). Terdapat beberapa pola budidaya pohon pada lahan rawa diantaranya adalah pemeliharaan permudaan alam gelam dan budidaya jelutung (Bastoni dan Karyaatmadja, 2003). Untuk bisa menggantikan penghasilan dari sonor, budidaya pohon selayaknya lebih menguntungkan dibandingkan dengan sonor. Penghitungan potensi keuntungan dari pemeliharaan permudaan alam gelam dan budidaya jelutung sudah dilakukan oleh Bastoni dan Karyaatmadja (2003). Akan tetapi perhitungan keuntungan yang dilakukan pada kajian tersebut belum memperhitungkan nilai sekarang (present value) yaitu melalui penggunaan faktor diskonto. Terlebih pola pemeliharaan permudaan alam gelam dan jelutung merupakan pola budidaya berjangka waktu lama, sehingga faktor dimensi waktu perlu dimasukan dalam evaluasi kelayakan finansial (Gittinger, 1986). Kelayakan finansial budidaya jelutung dengan memperhitungkan faktor waktu sudah dilakukan Rahmat dan Bastoni (2006). Namun analisis finansial budidaya pohon untuk menilai kelayakannya sebagai alternatif pengganti sonor belum dilakukan. Tulisan ini membahas hasil penilaian kelayakan finansial pemeliharaan permudaan alam gelam dan budidaya jelutung sebagai alternatif budidaya pengganti sonor. Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab adalah: Apakah pola budidaya pohon seperti pemeliharaan permudaan alam gelam dan budidaya jelutung secara finansial lebih menguntungkan dibandingkan dengan budidaya padi sonor? II. METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Kajian dilakukan pada tahun 2006 dengan menggunakan data sekunder hasil penelitian terdahulu dan data primer hasil kajian lapangan yang dilakukan pada tahun 2006. Kajian lapangan yang dilakukan pada tahun 2006 adalah pengumpulan data input dan output budidaya sonor. Kajian dilakukan di Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Kedua wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki lahan rawa cukup luas dan selalu terbakar setiap musim kemarau tiba. 234
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
Luas lahan rawa di wilayah Kabupaten Ogan Ilir mencapai 35% dari total wilayah kabupaten (Bappeda Kab. OI dan BPS Prov. Sumsel, 2005). Luas lahan rawa di Kabupaten Banyuasin mencapai 80 % dari total wilayah kabupaten (Pidato Bupati Banyuasin, 2007). Lahan tersebut terdiri dari lahan rawa pasang surut dan rawa lebak (Bappeda Kab. Banyuasin, 2003). B. Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Usaha Budidaya Padi Sonor Pengumpulan data input dan output pola budidaya padi sonor dilakukan dengan cara survei dengan menggunakan kuisioner terstruktur terhadap rumah tangga pelaku sonor. Survei dilakukan di Desa Bakung, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir. Penarikan sampel pada desa penelitian dilakukan secara acak. Total populasi kepala rumah tangga di Desa Bakung berdasarkan data Potensi Desa tahun 2005 adalah 396. Sample rumah tangga dari kedua kelompok tersebut dipilih secara acak dengan intensitas sampling 10%. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 40 responden yang dipilih secara acak. Data yang dikumpulkan antara lain: input usaha budidaya padi sonor (sarana produksi, pajak atas lahan dan tenaga kerja), tingkat produksi, harga komoditas (harga output), harga sarana produksi, tingkat upah tenaga kerja. 2. Pengumpulan Data Usaha Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam Data input produksi dan output usaha budidaya gelam menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu (Bastoni dan Karyaatmadja, 2003). Pada tulisan tersebut disajikan data input produksi dan nilai hasil yang bisa diperoleh dari pemeliharaan permudaan alam gelam. Data tersebut diperoleh berdasarkan hasil pengamatan pada pengelolaan gelam yang dilakukan petani di Desa Gasing, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan. 3. Pengumpulan Data Usaha Budidaya Jelutung Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan dari publikasi terkait, antara lain mencakup: tingkat produksi, harga output dan tingkat bunga. Tingkat produksi getah jelutung diperoleh melalui pendekatan dari jumlah produksi getah jelutung pada hutan alam rawa gambut dan hutan tanaman PT. Dyera Hutan Lestari berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Harga getah jelutung merupakan rata-rata getah jelutung pada tingkat penyadap selama 5 tahun terakhir di daerah Jambi, yang diperoleh berdasarkan informasi dari penyadap getah. Data primer yang dikumpulkan diantaranya adalah : input pembangunan jelutung, harga sarana produksi, tingkat upah tenaga kerja. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi langsung, yaitu dengan cara melakukan pencatatan biaya yang dikeluarkan pada saat pembangunan demplot jelutung di Kabupaten Ogan Ilir.
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
235
C. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah ke dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan kriteria kelayakan usaha secara finansial. Menurut Soekartawi (1985), kelayakan usaha finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan. NPV (Net Present Value), BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) adalah indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha (Kadariah, 1988). NPV adalah selisih antara nilai sekarang (present value) dari manfaat (benefit) dan present value dari biaya (cost). BCR adalah perbandingan antara nilai sekarang dari manfaat dengan nilai sekarang dari biaya suatu investasi pada tingkat bunga tertentu (Kadariah, 1988). IRR merupakan tingkat bunga pada kondisi nilai manfaat sama nilai biaya. IRR merupakan indikator yang menunjukan sejauh mana suatu investasi dapat menguntungkan (Budidarsono, 2001). Suatu proyek atau usaha layak dijalankan jika memiliki nilai NPV positif atau lebih besar dari nol, nilai BCR lebih dari satu dan IRR lebih besar dari tingkat bungan yang berlaku (Kadariah, 1988 ; Budidarsono, 2001). Perhitungan nilai indikator tersebut adalah sebagai berikut: n Bt - Ct NPV = ∑ -------------t = 1 (1 + i )t NPV1 IRR = i1 + ----------------------- (i1- i2) NPV1 - NPV2 Present Value Benefit BCR = --------------------------------------Present Value Cost Keterangan: Bt = Total penerimaan pada tahun t Ct = Total biaya pada tahun t n = umur ekonomis proyek i = tingkat bunga (diskonto) t = 1,2,3,………………n Analisis pada kajian ini didasarkan pada asumsi kondisi stabil. Asumsi tersebut antara lain: · Lahan yang digunakan untuk budidaya adalah lahan rawa terlantar milik petani sendiri atau lahan desa. · Biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak (PBB) yang harus dikeluarkan oleh petani setiap tahunnya atau iuran yang dibayarkan kepada kas desa. · Discount rate (faktor diskonto) yang digunakan adalah 15%. 236
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
· ·
Satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah Rp 30.000,- /hari. Jangka waktu analisis adalah 30 tahun (satu daur budidaya jelutung)
III. GAMBARAN POLA BUDIDAYA PADA LAHAN RAWA A. Budidaya Padi Sonor Sonor biasanya dimulai pada akhir musim kemarau, karena persiapan lahannya dilakukan dengan cara membakar lahan rawa gambut. Rawa dengan sedikit gambut biasanya menjadi pilihan utama untuk lokasi sonor (Rahmat, 2005). Setelah dibakar areal sonor diberakan selama kurang lebih sebulan sampai menunggu musim hujan tiba. Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan, yakni pada saat kondisi rawa sudah mulai basah terkena air hujan. Tehnik penanaman yang dilakukan pada umumnya sangat tradisional yaitu dengan cara menebar benih padi secara tidak beraturan pada lahan yang telah dibakar. Pada beberapa kasus juga ditemukan penanaman dengan sistem tugal. Bibit padi yang ditanam pada umumnya adalah jenis lokal seperti dengan umur panen 5 - 6 bulan. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan sangat beragam, pada beberapa kasus tanaman tidak dilakukan pemeliharaan sama sekali, dan ada juga masyarakat yang melakukan pemeliharaan lebih intensif. Pemeliharaan yang dilakukan pada umumnya adalah pembebasan gulma dan pemberantasan hama penyakit. Pemanenan hasil dilakukan setelah umur tanaman mencapai enam bulan. B. Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam Gelam (Melaleuca cajuputi ssp cumingiana) merupakan vegetasi yang tumbuh pada rawa air tawar dengan tipe tanah glei, glei humik dan glei bergambut (Bastoni dan Karyaatmadja, 2003). Penyebaran jenis ini di Sumatera Selatan sangat luas, Kabupaten Ogan Ilir dan Banyuasin merupakan daerah penyebarannya. Pemanfaatan kayu gelam di Sumatera Selatan sangat beragam, diantaranya sebagai bahan bangunan, kayu cerucuk, bahan baku arang dan kayu bakar. Daun gelam juga mengandung cineole, namun belum banyak dimanfaatkan. Cineole adalah bahan utama minyak kayu putih. Untuk menjamin pasokan kayu gelam yang sudah mulai berkurang maka pola budidaya gelam perlu dilakukan (Silalahi dan Ulya, 2002). Analisis finansial pada tulisan ini dilakukan pada pola budidaya dengan cara memelihara permudaan alam gelam. Kegiatan pemeliharaan permudaan yang dilakukan adalah penjarangan dan pembebasan tegakan gelam dari gangguan gulma. Pola budidaya gelam seperti ini sudah diterapkan oleh petani di daerah Gasing, Kabupaten Banyuasin (Bastoni dan Karyaatmadja, 2003). Penjarangan dapat memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi pertumbuhan gelam terpilih. Pada umumnya tegakan gelam yang tumbuh secara alami, kerapatannya sangat tinggi hingga mencapai 200.000 batang/ha. Jumlah batang per hektar yang ideal berdasarkan pengalaman petani di Gasing adalah sekitar 4.600 pohon per hektar (Bastoni dan Karyaatmadja, 2003).
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
237
C. Budidaya Jelutung Usaha budidaya jelutung (Dyera lowii) dilakukan melalui tahapan: penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan hasil. 1. Penyiapan Lahan Pada umumnya lahan gambut yang telah dikonversi terlantar dan vegetasi yang mendominasi adalah jenis paku-pakuan dan rumput-rumputan rawa. Penyiapan lahan dilakukan dengan membuat jalur tanaman selebar 1,0 - 1,5 m dengan pembebasan tumbuhan bawah secara manual maupun herbisida. Dalam kegiatan penyiapan lahan juga sudah didesain sekat bakar yang berfungsi untuk perlindungan tanaman dari bahaya kebakaran yang muncul pada musim kemarau. 2. Penanaman Jarak tanam yang digunakan adalah 5 m x 5 m sehingga terdapat populasi tanaman jelutung 400 batang/hektar. Jumlah total bibit yang diperlukan adalah 480 batang/ha. Kebutuhan bibit tersebut telah memperhitungkan kematian bibit pada tahap awal yang bisa mencapai 20%. 3. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang paling penting dan kritis adalah pemeliharaan pada tahun pertama. Hal tersebut karena pertumbuhan gulma (tumbuhan bawah) sangat cepat akibat air yang tersedia hampir sepanjang tahun. Pada tahun pertama pemeliharaan berupa pembebasan tumbuhan bawah dilakukan minimal 3 kali atau setiap 4 bulan secara manual atau kimia (herbisida). Pada tahun kedua dan ketiga pemeliharaan dapat dikurangi menjadi 2 kali per tahun. Pemupukan dilakukan 2 kali per tahun sampai minimal tanaman berumur 3 tahun. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK dengan dosis 30 - 50 gram/tanaman. Pemupukan dilakukan pada pada saat tidak terjadi genangan (genangan dangkal) tepatnya pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau. 4. Perlindungan Perlindungan yang dilakukan berupa pengendalian hama dan penyakit tanaman serta pengendalian kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran dilakukan dengan pembuatan dan pemeliharaan sekat bakar serta patroli api pada bulan bulan kering (Juli - Oktober). 5. Pemanenan Hasil Hasil yang diperoleh dari tanaman jelutung adalah getah dan kayu. Penyadapan getah jelutung dapat dilakukan pada saat umur tanaman 10 tahun. Produksi getah jelutung bisa mencapai 0,36 kg/pohon (Bastoni dan Lukman, 2004). Produksi getah jelutung diasumsikan hingga umur 30 tahun dengan jumlah produksi rata-rata sebesar 238
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
0,36 kg/pohon. Harga getah jelutung merupakan rata-rata harga getah selama 5 tahun terakhir di tingkat penyadap di Jambi, yaitu Rp 3.500,-. Asumsi kematian pohon hingga siap panen mencapai 10 %, sehingga jumlah tanaman tersisa yang bisa disadap dan diambil kayunya sebanyak 360 batang per hektar. Waktu sadap menggunakan interval waktu 7 hari (sesuai dengan interval penyadapan pada hutan alam), dengan demikian setiap pohon dilakukan 48 kali penyadapan dalam setahun. Pemanenan kayu dilakukan pada umur pohon 30 tahun. Volume kayu siap tebang pada kondisi normal, diasumsikan sebesar 290,8 m3/ha. Pada umur 30 tahun rata-rata diameter diasumsikan mencapai 35 cm dan tinggi bebas cabang 12 m. Harga kayu jelutung pada tingkat petani pada tahun 2003 rata-rata Rp 900.000. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Keuntungan yang diperoleh dari masing-masing pola budidaya pohon dan sonor selama masa 30 tahun disajikan pada Tabel 1. Perhitugan masa produksi 30 tahun didasarkan pada masa produksi jelutung. Kayu jelutung dipanen setelah berumur 30 tahun. Selain hasil kayu, jelutung juga menghasilkan getah yang bisa dipungut setiap minggu, setelah tanaman jelutung berumur 10 tahun. Selama masa 30 tahun panen kayu gelam bisa dilakukan hingga dua kali, dan padi sonor bisa dilakukan enam kali penanaman dan produksi. Tabel 1. Perbandingan keuntungan yang diperoleh dari budidaya pohon dan sonor selama 30 tahun pada lahan 1 ha. Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Budidaya Sonor 1 539 5 77 1 539 577 1 539 577 1 539 577 -
Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 2 85 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 51 364 000 -1 285 000 -1 285 000
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
Budidaya Jelutung -10 935 000 - 3 690 000 - 3 465 000 - 625 000 - 625 000 - 625 000 - 625 000 - 625 000 - 625 000 12 977 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320
239
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 539 577 1 539 577 -
-1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 000 -1 285 0 00 -1 285 000 -1 285 000 51 364 000
13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 13 527 320 257 367 320
Hasil perhitungan kelayakan finansial ketiga pola budidaya pada lahan rawa disajikan pada Tabel 2. Budidaya jelutung merupakan pola budidaya yang paling menguntungkan diantara ketiganya. Hal tersebut tergambar nilai NPV dan BCR, budidaya jelutung yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pola budidaya lainnya. Tabel 2. Perbandingan NPV, IRR dan BCR budidaya padi sonor, pemeliharaan permudaaan alam gelam dan budidaya jelutung. Pola Budidaya
NPV
BCR Pada tingkat diskonto 15 %
IRR
1 714 973
1,34
***
Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam
-1 171 851
0,86
13,75
Budidaya Jelutung
11 687 759
1,37
19,56
Budidaya Sonor
Catatan: ***) Budidaya sonor dilakukan dalam satu tahun setiap 5 tahun sekali dan selalu memberikan keuntungan,. Oleh karena itu IRR untuk budidaya sonor tidak dapat dihitung
Ketiga indikator kelayakan finansial menunjukan bahwa budidaya jelutung dan budidaya padi sonor merupakan investasi yang menguntungkan. Kelayakan finansial budidaya jelutung dan sonor ditunjukkan dengan nilai NPV lebih besar dari nol, IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan BCR lebih besar dari satu. Pemeliharaan permudaan alam gelam menunjukan hasil yang berbeda, ketiga indikator kelayakan finansial yang dianalisis mengindikasikan bahwa investasi dalam bentuk pemeliharaan permudaan alam gelam tidak menguntungkan. Nilai NPV pemeliharaan permudaan alam gelam kurang dari nol, IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga berlaku dan BCR kurang dari satu. Nilai NPV budidaya jelutung lebih besar dibandingkan dengan budidaya sonor dan pemeliharaan permudaan alam gelam (Tabel 2). Secara sederhana dapat diartikan 240
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
bahwa budidaya jelutung dalam jangka panjang lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan dengan budidaya lainnya. Nilai NPV budidaya jelutung mengandung makna bahwa selisih antara nilai sekarang dari manfaat dengan nilai sekarang dari biaya-biaya dalam budidaya jelutung lebih besar dibandingkan dengan budidaya lainnya. Nilai NPV tersebut menggambarkan nilai keuntungan yang bisa diperoleh selama masa daur yang dinilai pada saat ini (present value). Dapat dilihat pada Tabel 1, bahwa keuntungan yang bisa diperoleh dari budidaya jelutung jauh lebih besar dibandingkan dengan budidaya lainnya. Budidaya jelutung dalam jangka panjang lebih menjanjikan secara finansial dibandingkan dengan budidaya padi sonor maupun pemeliharaan permudaan alam gelam. Pemeliharaan permudaan alam gelam tidak layak secara finansial pada tingkat suku bunga 15 % yang ditunjukkan dengan nilai NPV negatif. Makna dari kelayakan usaha tersebut adalah nilai sekarang dari manfaat yang diperoleh dari budidaya pemeliharaan permudaan alam gelam lebih kecil dibandingkan dengan nilai sekarang dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama jangka waktu pengusahaan. Walaupun budidaya gelam akan terus dijalankan maka dalam jangka panjang hanya akan menimbulkan kerugian. B. Pembahasan Upaya pencegahan kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan dapat dilakukan dengan mengelola lahan rawa gambut terlantar untuk kegiatan budidaya pohon. Budidaya pohon seringkali dianggap tidak menguntungkan dibandingkan dengan budidaya pertanian termasuk sonor. Budidaya padi sonor telah menjadi tradisi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan rawa gambut di Sumatera Selatan. Secara finansial budidaya padi sonor menguntungkan, yang ditunjukkan dengan nilai NPV positif dan BCR lebih besar dari 1 (Tabel 2). Keuntungan dari budidaya sonor, lebih disebabkan rendahnya biaya produksi. Biaya yang dikeluarkan hanya mencakup upah persiapan lahan, pemeliharaan dan upah panen. Persiapan lahan dilakukan dengan cara bakar, sehingga tidak membutuhkan biaya banyak. Jangka waktu budidaya sonor pun membutuhkan waktu singkat, dalam kurun waktu 6 bulan sudah bisa memanen hasil. Berbeda dengan budidaya sonor, budidaya kayu kurang diminati karena waktu tunggu sebelum bisa produksi cukup lama. Bahkan pemeliharaan permudaan alam gelam walaupun relatif mudah dilakukan, namun tidak layak secara finansial (lihat Tabel 2). Berbeda dengan budidaya jelutung, ternyata secara finansial lebih menguntungkan dibandingkan dengan budidaya padi sonor. Nilai NPV dan BCR budidaya jelutung lebih besar dari budidaya sonor (lihat Tabel 2). Kelebihan budidaya jelutung dibandingkan budidaya pohon lainnya adalah multi produk yang dihasilkannya. Selain menghasilkan kayu, pohon jelutung juga dapat menghasilkan getah. Getah bisa dipanen setelah mencapai umur 10 tahun (Bastoni dan Lukman, 2004). Hasil getah dapat menjamin kelangsungan pendapatan bulanan, yang tidak diperoleh dari pemeliharaan permudaan alam gelam.
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
241
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Budidaya tanpa bakar pada lahan rawa melalui pemeliharaan permudaan alam gelam dan budidaya jelutung dalam jangka panjang menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Pemeliharaan permudaan alam gelam tidak menguntungkan (tidak layak untuk dijalankan), sedangkan budidaya jelutung sangat menguntungkan. Keuntungan yang diperoleh dari budidaya jelutung jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dari budidaya padi sonor yang diperhitungkan dalam jangka waktu pengusahaan jelutung. B. Saran Pemanfaatan lahan rawa gambut terlantar melalui budidaya jelutung di Sumatera Selatan sangat menjanjikan. Pengembangan jelutung pada lahan tersebut dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil budidaya padi sonor yang selama ini dilakukan serta dapat mencegah kebakaran lahan rawa gambut. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kabupaten Banyuasin. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Balai. Bappeda Kabupaten Ogan Ilir dan BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2005. Indikator Ekonomi Kabupaten Ogan Ilir. Kerjasama Bappeda Kabupaten Ogan Ilir dan BPS Provinsi Sumatera Selatan. Bastoni dan A.H. Lukman. 2004. Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Jelutung Pada Lahan Rawa Sumatera. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian dengan tema Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Yogyakarta. halaman: 85 - 97. Bastoni dan B. Karyaatmadja. 2003. Prospek Pemanfataan Lahan Rawa untuk Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Prosiding Temu Lapang dan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian UPT Badan Litbang Kehutanan Wilayah Sumatera. Palembang 9- 10 Desember 2003. Yogyakarta. Bastoni, E.A. Waluyo, R. Damayanti dan S. Islam. 2005. Pengembangan Teknik Rehabilitasi Lahan Gambut dengan Jenis Pohon Terpilih. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang. Budidarsono, S. 2002. Analisis Nilai Ekonomi Wanatani. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara. International Centre for Research in Agroforestry dan Winrock International. Bogor. 242
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
Bupati Banyuasin. 2007. Pidato Sambutan Bupati Banyuasin dalam Rangka Seminar Hasil-hasil Penelitian BPK Palembang. Pangkalan Balai, 21 Agustus 2007. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan. Economic Analysis of Agriculture Project. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomis. Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Rahmat, M. dan Bastoni. 2006. Kelayakan Finansial Budidaya Jelutung Rawa (Dyera lowii) Sebagai Upaya Rehabilitasi Lahan Gambut Terdegradasi. Prosiding Seminar Peran IPTEK dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat, Kayu Agung 7 Desember 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Rahmat, M. 2005. Budidaya Gelam (Melaleuca cajuputi ssp. cumingiana) : Sebuah Solusi untuk Mengatasi Masalah Asap di Sumatera Selatan. Warta Konservasi Lahan Basah, 10 (1): 21,26. Ruchiat Y. dan S. Suyanto. 2001. Karakteristik Sosial Ekonomi di Areal Rawa dalam Kaitannya dengan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. ICRAF & CIFOR. Bogor. Setijono, D. 2003. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir-Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Center for International Forestry Research. Bogor. Silalahi, A.T.L. dan N.A. Ulya. 2001. Tinjauan Sosial Ekonomi Pemanfaatan Kayu Gelam (Melaleuca cajuputi Linn) di Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Soekartawi. 1985. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta. Suyanto, S. dan Khususiyah, N. 2004. Kemiskinan Masyarakat dan Ketergantungan pada Sumberdaya Alam : Sebuah Akar Penyebab Kebakaran di Sumatera Selatan. Paper disampaikan pada Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat: Pendapatan masyarakat meningkat, sumberdaya alam lestari, di Hotel Swarna Dwipa Palembang 10 - 11 Maret 2004. Lampiran 1. Cashflow Budidaya Sonor Lampiran 2. Cashflow Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam Lampiran 3. Cashflow Budidaya Jelutung
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
243
244
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
1.006.885
Keuntungan
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
3.942.308
1.006.885
Biaya (Rp) /ha Benih Pupuk Pestisida Pajak Sewa lahan Tenaga kerja Jumlah
Penerimaan
Keuntungan
16
3.942.308
Penerimaan
Uraian
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
1
Biaya (Rp) /ha Benih Pupuk Pestisida Pajak Sewa lahan Tenaga kerja Jumlah
Uraian
-
-
-
-
-
17
2
Lampiran 1. Cashflow Budidaya Sonor
-
-
18
-
-
3
-
-
-
-
19
4
-
-
-
-
20
5
1.006.885
3.942.308
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
21
1.006.885
3.942.308
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
6
-
-
-
-
-
-
Tahun ke22 23
-
-
Tahun ke7 8
-
-
-
-
24
9
-
-
-
-
25
10
1.006.885
3.942.308
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
26
1.006.885
3.942.308
109.654 89.615 11.538 2.724.615 2.935.423
11
-
-
-
-
27
12
-
-
-
-
28
13
-
-
-
-
29
14
-
-
-
-
30
15
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
245
Keuntungan
Penerimaan
-1.285.000
-
1.285.000
-
Upah Pemanenan
Jumlah
-
25.000
1.260.000
16
-1.285.000
-
Sewa Lahan
Pajak
Upah Pemeliharaan
Biaya (Rp) /ha
Uraian
Keuntungan
Penerimaan
1.285.000
-
Upah Pemanenan
25.000
-
Jumlah
1
1.260.000
Sewa Lahan
Pajak
Upah Pemeliharaan
Biaya (Rp) /ha
Uraian
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
17
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
2
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
18
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
3
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
19
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
4
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
20
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
5 6
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
21
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
Lampiran 2. Cashflow Pemeliharaan Permudaan Alam Gelam
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
22
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
7
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
23
Tahun ke-
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
8
Tahun ke-
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
24
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
9
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
25
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
10
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
26
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
11
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
27
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
12
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
28
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
13
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
29
-1.285.000
-
1.285.000
-
-
25.000
1.260.000
14
51.364.000
53.699.000
2.335.000
1.050.000
-
25.000
1.260.000
30
51.364.000
53.699.000
2.335.000
1.050.000
-
25.000
1.260.000
15
246
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 233 - 247
2.160.000
200.000
600.000
120.000
660.000
120.000
300.000
750.000
300.000
Bibit
Ajir
Pembuatan sekat bakar
Pupuk NPK
Upah penanaman
Upah penyulaman
Upah pemupukan
Herbisida
Solo Sprayer
-
Upah pemanenan
-
Jumlah
-10.935.000
-
Kayu
Keuntungan
-
Getah
Proyeksi Penerimaan
10.935.000
-
Biaya overhead getah
Jumlah Biaya
-
Upah penyadapan
2.700.000
1.800.000
Pembuatan gundukan
Upah penyiangan gulma
1.200.000
25.000
1
Persiapan lahan
Pajak/PBB
Biaya (Rp) /ha
Uraian
-3.690.000
-
-
-
3.690.000
-
-
-
1.800.000
-
500.000
300.000
120.000
-
120.000
600.000
-
225.000
-
-
25.000
2 3
-3.465.000
-
-
-
3.465.000
-
-
-
1.800.000
-
500.000
300.000
120.000
-
120.000
600.000
-
-
-
-
25.000
Lampiran 3. Cashflow Budidaya Jelutung
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
4
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
5
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
6
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
7 8
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
Tahun ke-
-625.000
-
-
-
625.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
9
12.977.320
21.772.800
-
21.772.800
8.795.480
-
1.088.640
6.531.840
300.000
-
250.000
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
10
13.527.320
21.772.800
-
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
11
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
12
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
13
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
14
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
15
Kelayakan Finansial Budidaya Pohon (Mamat Rahmat dan Bastoni)
247
-
-
-
Pembuatan gundukan
Bibit
Ajir
-
-
-
Herbisida
Solo Sprayer
Upah penyiangan gulma
21.772.800
13.527.320
Keuntungan
-
21.772.800
8.245.480
-
Jumlah
Kayu
Getah
Proyeksi Penerimaan
Jumlah
Upah pemanenan
1.088.640
-
Upah pemupukan
Biaya overhead getah
-
Upah penyulaman
6.531.840
-
Upah penanaman
Upah penyadapan
-
Pupuk NPK
600.000
-
Pembuatan sekat bakar
16
25.000
Persiapan lahan
Pajak/PBB
Biaya (Rp) /ha
Uraian
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
17
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
18
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
19
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
20
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
21
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
22
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
23
Tahun ke-
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
24
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
25
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
26
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
27
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
28
13.527.320
21.772.800
21.772.800
8.245.480
-
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
29
257.367.320
282.772.800
261.000.000
21.772.800
25.405.480
17.160.000
1.088.640
6.531.840
-
-
-
-
-
-
-
600.000
-
-
-
-
25.000
30