Kelayakan Finansial Budidaya Jamur Tiram di Desa Sugihan, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang Nugraheni Retnaningsih Fakultas Pertanian Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, Jl. Letjen S. Humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo 57521 Telp (0271) 593156, fax (0271) 591065 Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya: biaya, penerimaan, dan keuntungan; produksi dan penerimaan yang dicapai pada tingkat BEP; serta kelayakan finansial dari budidaya jamur tiram di desa Sugihan, kecamatan Tengaran, kabupaten Semarang. Penelitian dilaksanakan dengan metode survei, dengan teknik observasi, interview, dan menggunakan questioner sebagai alat pengumpulan data primer. Pengambilan sampel petani dilakukan secara sensus sebanyak 20 responden. Analisis kelayakan secara finansial yang digunakan adalah Return On Invesment (ROI), Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), dan Profitability Index (PI) atau Benefit / Cost (B/C) ratio. Hasil penelitian terhadap budidaya jamur tiram per musim tanam / usaha tani di desa Sugihan diperoleh rerata biaya total Rp 6.670.875,00 meliputi rerata biaya tetap Rp 1.027.000,00 dan rerata biaya variabel Rp 5.643.875,00. Rerata produksi 1.502,75 kg dan rerata harga Rp 6.625,00 per kg jamur tiram segar, sehingga rerata penerimaan total Rp 9.928.500,00. Rerata keuntungan yang diperoleh petani Rp 3.257.625,00 sedangkan profitabilitas 48,693 % dan R/C ratio 1,495. Tingkat BEP dicapai pada rerata produksi 357,927 kg dan rerata penerimaan total Rp 2.371.824,48. Budidaya jamur tiram terletak di atas tingkat BEP. Hasil kelayakan finansial diperoleh nilai ROI = 48,833 %, PP = 2,05 atau 2 tahun 0,5 bulan, NPV = 7.627.563,815, PI atau B/C ratio = 1,488. Kata-kata kunci : Kelayakan finansial, Jamur tiram
Pendahuluan Prospek pengusahaan jamur kayu di Indonesia cukup cerah, karena kondisi alam dan lingkungan Indonesia sangat cocok. Bahan baku untuk membuat substrat / log tanam jamur kayu cukup berlimpah. Bibit jamur yang unggul sudah tersedia, tenaga terampil cukup tersedia, pangsa pasar penerima produksi masih sangat terbuka baik untuk komoditas ekspor ataupun untuk pangsa pasar lokal, beberapa perusahaan / restoran / hotel setiap saat siap menerima jamur segar. Sehingga untuk memulai usaha dalam skala tertentu mudah, apalagi sekarang kredit usahatani cukup tersedia, mudah didapat dengan syarat dan bunga ringan. Jamur tiram atau dalam bahasa latin disebut Pleurotus sp sebagai komoditi baru yang sedang berkembang, merupakan komoditi yang cukup menjanjikan ditinjau dari segi ekonomi. Apabila dibandingkan dengan jamur kuping, jamur tiram segar mempunyai harga yang lebih tinggi yaitu Rp 7.000,00 / kg basah sedangkan jamur kuping hanya Rp 4.500,00 / kg basah. Jepang merupakan negara terbesar dalam mengimport jamur. Sejak tahun 1989 Indonesia telah mulai mengeksport jamur ke Jepang. Selain itu, juga Hongkong dan negara-negara di Eropa lainnya. Sedangkan di pasar domestik kebutuhan akan jamur cukup besar seiring dengan popularitas dan semakin memasyarakatnya jamur tiram sebagai makanan lezat dan bergizi. Sejalan dengan perkembangan pariwisata di Indonesia maka permintaan konsumen akan jamur
tiram di berbagai daerah pun semakin meningkat. Apalagi didukung kondisi iklim di Indonesia mendukung, dengan bahan baku yang murah dan mudah didapat, tersedia cukup banyak baik media jamur (serbuk gergaji) maupun tenaga kerja cukup tersedia. Jamur tiram pertama kali dikenal oleh masyarakat khususnya datang dari golongan ekonomi menengah ke atas, karena harganya relatif lebih mahal dibanding dengan jenis sayuran lainnya, maka tidak jarang konsumennya justru datang dari kalangan hotel dan restoran-restoran (Anonim, 1999). Namun dalam perkembangannya sekarang jamur tiram sudah benar-benar merakyat dan banyak digemari oleh konsumen dari golongan ekonomi bawah sebagai makanan yang lezat, bernilai gizi tinggi, dan memiliki khasiat obat. Jamur tiram yang banyak dikenal oleh petani jamur di Indonesia secara umum adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) memiliki tangkai bercabang dan berwarna putih dengan tudung bulat besar antara 3-15 cm. Kandungan protein jamur tiram rata-rata 35,4 % dari berat basah, ini berarti kandungan proteinnya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan asparagus dan kubis. Jamur tiram mengandung sembilan asam-asam amino esensial yang penting bagi tubuh, sumber vitamin terutama B1, B2, provitamin D2, serta sumber mineral terutama kalium dan fosfor (Djarijah, N.M. dkk., 2001). Pembudidayaan jamur tiram di desa Sugihan merupakan salah satu pemberdayaan sumber daya lokal yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran dan sekaligus menopang kehidupan masyarakat tani di daerah tersebut. Pada umumnya petani di desa Sugihan membuat sendiri substrat tanam / log bibit jamur tiram, sehingga untuk membudidayakan jamur tiram petani tidak perlu membeli bibit dari luar cukup menggunakan bibit lokal saja. Namun demikian jamur tiram sebagai komoditas baru yang sedang berkembang, tingkat penguasaan teknologi usaha taninya dan pasca-panennya masih lemah, selain itu modal yang dimiliki petani juga terbatas. Sehingga tidak jarang petani untuk mengusahakan jamur tiram banyak yang menambah modal dari luar, yaitu dengan mengambil kredit usahatani dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pembudidayaan jamur tiram yang diusahakan petani menguntungkan dan bagaimana studi kelayakan usahanya secara finansial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. besarnya biaya, penerimaan, dan keuntungan dari budidaya jamur tiram, 2. besarnya produksi dan penerimaan pada keadaan Break Even Point (BEP), serta 3. kelayakan finansial dari budidaya jamur tiram. Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan observasi di daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian yaitu di desa Sugihan, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, karena di desa tersebut banyak dijumpai budidaya jamur tiram, baik petani yang membuat log bibit jamur tiram maupun petani yang membudidayakan jamur tiram. Metode dasar bersifat deskriptif analitik, yang memusatkan diri pada masalahmasalah aktual yang ada pada masa sekarang, data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisis (Surakhmad W., 1994). Pelaksanaan penelitian menggunakan teknik survei, yang mengambil sampel dari suatu populasi menggunakan questioner sebagai alat pengumpulan data (Singarimbun dan Efendi, 1995). Analisis kelayakan usaha secara finansial yang digunakan adalah
ROI (Return On Investment), PP (Payback Period), NPV (Net Present Value), PI (Profitability Index) atau B/C ratio (Benefit / Cost ratio). Sedangkan pengambilan sampel petani dilakukan secara sensus, yaitu semua petani yang membudidayakan jamur tiram di desa Sugihan dijadikan sebagai sampel sebanyak 20 responden Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden Di dalam menjalankan budidaya jamur tiram tentunya tidak terlepas dari adanya faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya, diantaranya adalah umur, pendidikan, lama usaha, dan pengalaman petani. Karakteristik petani responden dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Petani Jamur Tiram di Desa Sugihan No Uraian 1. Umur (th) 3. Pendidikan : a. Tamat SMP (orang) b. Tamat SMA (orang) 4. Lama usaha (th) 5. Frekwensi tanam / th
Rata-rata 31,6 4 16 2,55
Persentase (%)
20 80
2,35
Sumber: Analisis data primer Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa rerata umur petani jamur tiram 31,6 tahun. Dengan usia produktif tersebut diharapkan produksi jamur tiram dapat terus ditingkatkan. Rerata pendidikan petani jamur tiram 20 % tamatan SMP dan 80 % tamatan SMA ini berarti bahwa rerata petani telah mampu membaca, menulis, dan berhitung walaupun masih berpendidikan rendah, karena dalam budidaya jamur tiram tidak memerlukan keahlian khusus yang diperoleh dari pendidikan formal. Sedangkan rerata lama usaha budidaya jamur tiram 2,55 tahun adalah tergolong masih muda dan belum berpengalaman, namun pada umumnya mereka menjadikan usaha ini sebagai mata pencaharian pokok karena jamur tiram dapat berproduksi setiap hari sehingga dapat menopang kehidupan ekonomi keluarga petani. Jamur tiram perawatannya sangat mudah dan bisa dikerjakan siapa saja baik pria maupun wanita , dan tidak membutuhkan obat-obatan cukup disirami dengan air setiap pagi dan sore hari untuk menjaga kelembaban. Jamur tiram akan tumbuh besar dan subur dalam ruangan dengan ventilasi cukup, tidak terkena sinar matahari secara langsung karena jamur akan kering dan bibitnya tidak bisa tumbuh. Pemeliharaan jamur tiram dari tanam bibit pada media bag log sampai panen terakhir membutuhkan waktu antara 4 - 5 bulan atau frekwensi tanam / tahun dapat dilakukan 2 - 3 kali pemeliharaan (rerata frekwensi tanam / tahun / responden 2,35). Setelah jamur berumur 35 - 47 hari dari penyobekan log substrat tanam dapat dipanen pertama kali, dan seterusnya pemanenan dapat dilakukan sampai 5 - 6 kali / usaha tani, sehingga produksi jamur tiram dapat dilakukan petani sepanjang hari.
Rerata Biaya Total Budidaya Jamur Tiram Pada budidaya jamur tiram diperhitungkan dua macam biaya yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi sewa lahan, rumah jamur rata-rata seluas (6x6)m2 sprayer, biaya penyusutan rumah jamur dan sprayer, dan bunga modal pinjaman. Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap / variabel adalah substrat tanam / log bibit jamur tiram, air, dan tenaga kerja untuk pemeliharaan dan panen. Rerata biaya total budidaya jamur tiram per usahatani dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rerata Biaya Total Budidaya Jamur Tiram per Usahatani No
Jenis Biaya
1. Biaya Tetap : a. Sewa lahan b. Rumah jamur c. Sprayer d. Penyusutan rumah jamur&sprayer e. Bunga modal pinjaman
Rata-rata (Rp/UT)
Biaya Total (Rp/UT)
203.750,00 420.000,00 237.500,00 65.750,00 100.000,00
Jumlah Biaya Tetap
1.027.000,00
2. Biaya Tidak Tetap (Variabel) : a. Log / Substrat Tanam
4.402.625,00
b. Air
226.250,00
c. Tenaga Kerja : -pemeliharaan -panen
707.500,00 307.500,00
Jumlah Biaya Variabel Jumlah
5.643.875,00 6.670.875,00
Sumber: Analisis data primer Berdasarkan tabel 2. dapat diketahui bahwa pada biaya tetap pembuatan rumah jamur merupakan biaya yang terbesar yaitu sebesar Rp 420.000,00 hal ini karena rumah jamur tiram dibuat dari bahan bambu, atapnya menggunakan genting, dinding cukup menggunakan bambu yang dianyam. Ukuran rumah jamur kapasitas 2.000 - 3.000 log / substrat tanam bibit jamur tiram cukup dengan ukuran (6 x 6) m2 dan dapat digunakan untuk 8 - 10 kali tanam. Ventilasi cukup sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan jamur yang baik. Untuk pemeliharaan cukup disiram dengan air 2 kali sehari setiap pagi dan sore, serta tidak membutuhkan obat-obatan dari pabrik. Biaya penyusutan atau nilai depresiasi rumah jamur dan sprayer dapat dihitung dengan menggunakan metode garis lurus atau straight line, dan sampai tidak menghasilkan mempunyai umur ekonomis / waktu pemakaian selama 5 tahun. Menurut Prawirokusumo (1990) petani sebagai pemilik modal dalam memperhitungkan biaya produksi harus diperhitungkan juga biaya bunga modal,
meskipun modal tersebut hanya sebagian yang merupakan pinjaman. Pembayaran bunga modal dan sebagian pokok pinjaman akan lebih kecil jika jangka pinjaman makin lama. Untuk melakukan usaha budidaya jamur tiram setiap petani responden di desa Sugihan membutuhkan tambahan modal dari luar berupa kredit usaha rakyat (KUR) dari BRI sebesar 3 juta rupiah dengan bunga ringan yaitu sebesar 13,5 % per tahun atau 1,125 % per bulan dan jangka waktu pinjaman 3 tahun, namun pada umumnya rerata petani responden membayar lunas dalam jangka waktu 2 tahun. Jadi setiap tahun petani responden harus mengangsur sebesar Rp 200.000,00 atau setiap periode tanam per usaha tani bunga atas modal pinjamam yang harus dibayar oleh petani responden sebesar Rp 100.000,00. Biaya tidak tetap per variabel untuk pembelian log substrat tanam bibit jamur tiram merupakan biaya yang terbesar yaitu sebesar Rp 4.402.625,00 diperoleh dari rerata kapasitas rumah jamur tiram seluas (6x6) m2 adalah sebanyak 2.540 log substrat tanam dikalikan dengan harga per log jamur tiram untuk setiap petani responden bervariasi antara Rp1.600,00 - Rp1.800,00. Tenaga kerja meliputi tenaga kerja keluarga untuk pemeliharaan dan panen yang semuanya berasal dari keluarga petani. Rerata Produksi dan Penerimaan Total Budidaya Jamur Tiram Pada umumnya pendapatan petani jamur tiram masih rendah, agar pendapatan semakin meningkat petani sebaiknya membudidayakan jamur tiram dalam skala produksi tertentu. Namun demikian terdapat kendala dalam hal modal, tempat usaha, teknologi, manajemen, dan kurang berimbangnya antara harga output dan input. Menurut Sukartawi (1996) penerimaan total atau pendapatan kotor merupakan nilai produk total usahatani baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau total phisical produk dikalikan dengan harga produk per unit. Rerata produksi dan penerimaan total dari budidaya jamur tiram per usahatani dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rerata Produksi dan Penerimaan Total Budidaya Jamur Tiram per Usahatani No
Uraian
1. Produksi jamur tiram segar (kg) 2. Harga jamur tiram segar (Rp/kg) 3. Penerimaan jamur tiram segar (Rp)
Total 30.055,00 132.500,00 198.570.000,00
Rata-rata 1.502,75 6.625,00 9.928.500,00
Sumber: Analisis data primer Berdasarkan tabel 3. dapat diketahui bahwa rerata penerimaan total (TR) per usahatani untuk setiap petani responden di desa Sugihan sebesar Rp 9.928.500,00 diperoleh dari rerata produksi jamur tiram basah (1.502,75 kg) dikalikan dengan rerata harga jual jamur tiram basah per unit (Rp 6.625,00 / kg). Penerimaan total ini masih merupakan pendapatan kotor karena belum dikurangi dengan semua biaya yang dikeluarkan oleh petani jamur tiram. Produksi yang dihasilkan untuk setiap log bibit dari setiap petani responden bervariasi antara 0,5 - 0,6 kg jamur tiram basah, sehingga untuk satu musim tanam atau per usaha tani jamur tiram produksinya juga bervariasi tergantung jumlah log substrat tanam yang dibudidayakan oleh setiap petani responden. Rerata Keuntungan Budidaya Jamur Tiram Budidaya jamur tiram sangat sederhana baik tempat maupun perawatannya. Untuk perawatan cukup disiram dengan air dan tidak membutuhkan bahan obat-obatan dari pabrik. Pada umumnya selama 1 tahun dapat dilakukan 2 - 3 kali pemeliharaan, jamur
tiram hanya dijual dalam bentuk segar. Produk jamur tiram segar yang langsung dapat dijual umumnya berkualitas baik, sedangkan kualitas selebihnya dijual ke pengolah jamur untuk dijadikan makanan olahan. Menurut Cahyono (1994) keuntungan dari suatu usaha bisa diperoleh dari hasil penjualan output dikurangi biaya produksi keseluruhan yang semuanya dinilai dengan uang atau keuntungan merupakan pendapatan bersih yang diperoleh dari penerimaan total dikurangi dengan biaya total atau dengan rumus rugi / laba adalah TR – TC. Adapun rerata keuntungan yang diperoleh dari budidaya jamur tiram per petani responden per usahatani di desa Sugihan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Rerata Keuntungan Budidaya Jamur Tiram per Usahatani No
Uraian
1. Penerimaan Total/ TR (Rp) 2. Biaya Total/ TC (Rp) 3. Keuntungan/ π (Rp) 4. Profitabilitas (%) 5. R/C ratio Sumber: Analisis data primer
Total 198.570.000,00 133.417.500,00 65.152.500,00 973,850 29,899
Rata-rata 9.928.500,00 6.670.875,00 3.257.625,00 48,693 1,495
Berdasarkan tabel 4. dapat diketahui bahwa rerata keuntungan yang diperoleh dari budidaya jamur tiram per usahatani adalah Rp 3.257.625,00 dengan profitabilitas 48,693 % dan R/C ratio sebesar 1,495 berarti bahwa usaha budidaya jamur tiram yang dijalankan petani responden di desa Sugihan menguntungkan dan efisien. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan relatif lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan petani jamur tiram. Biaya investasi modal tetap untuk sewa lahan di daerah pedesaan masih relatif lebih murah dibandingkan dengan di kota, sedangkan untuk membuat rumah jamur biasa digunakan bambu bekas dan atapnya dari genting bekas yang harganya relatif lebih murah. Peralatan yang dibutuhkan cukup dengan sprayer saja untuk menyirami bag log bibit jamur tiram sampai menghasilkan jamur tiram, penyiraman dilakukan setiap hari sebanyak dua kali yaitu pagi dan sore supaya kelembaban tetap terjaga. Sehingga biaya penyusutan untuk rumah jamur dan sprayer kecil, selain itu bunga modal pinjaman dari BRI juga ringan karena hanya 13,5 % per tahun. Biaya variabel berupa pembelian bag log untuk substrat tanam jamur tiram di daerah penelitian relatif lebih murah dengan bahan utama gergajian kayu yang banyak dijumpai di daerah sekitarnya, karenanya petani di desa Sugihan biasa membuat sendiri lognya. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari tenaga kerja keluarga, meliputi tenaga untuk menyirami bag log bibit jamur tiram dan tenaga untuk melakukan pemetikan jamur tiram yang sudah siap untuk dipanen, biasanya langsung dijual sendiri ke pasar terdekat berupa jamur tiram basah atau segar karena tidak tahan untuk disimpan lama. Analisis Titik Impas atau Break Even Point (BEP) Impas / BEP adalah suatu kondisi usaha perusahaan tidak memperoleh laba tetapi juga tidak menderita rugi. Impas terjadi pada saat jumlah penghasilan perusahaan sama besarnya dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil analisis BEP diketahui jumlah penjualan minimum (dalam unit produk maupun satuan uang) agar perusahaan tidak rugi adalah :
TFC BEP (X) = p - VC 1.027.000 = 6.625–3.755,7 1.027.000 = 2.869,3 = 357,927 Kg TFC BEP (Rp) = 1- VC p 1.027.000 = 1- 3.755,7 6.625 1.027.000 = 1- 0,567 = Rp 2.371.824,48 Hasil perhitungan BEP diperoleh hasil 357,927 kg dan Rp 2.371.824,48. Artinya dalam keadaan impas petani harus menjual minimal 357,927 kg jamur tiram segar atau penerimaan total sebesar Rp 2.371.824,48 agar petani tidak menderita kerugian. Keuntungan akan diperoleh, apabila petani menjual jamur tiram di atas titik BEP tersebut. Dari perhitungan budidaya jamur tiram yang dilakukan petani per usahatani di desa Sugihan diperoleh rerata hasil sebesar 1.502,75 kg dengan penerimaan total sebesar Rp 9.928.500,00. Berarti produksi dan penerimaan yang dicapai petani jamur tiram sudah terletak diatas titik BEP. Maka dapat dikatakan kegiatan budidaya jamur tiram yang dilakukan petani di desa Sugihan menguntungkan. Kelayakan Finansial Menurut Cahyono (1994) untuk mengevaluasi kelayakan usaha biasa digunakan perhitungan analisis benefit cost ratio (B/C ratio) yaitu dengan cara membandingkan antara benefit (manfaat) yang diperoleh dengan cost (biaya) yang dikeluarkan. Sedangkan menurut Gittinger (1989) B/C ratio atau profitability index (PI) untuk menentukan kelayakan usaha sering dilakukan terhadap sisi finansial, adalah untuk menghitung tingkat imbalan yang diterima atas modal yang telah diinvestasikan. Hasil analisis kelayakan finansial untuk usaha budidaya jamur tiram dapat dinyatakan sebagai berikut : keuntungan 1. ROI = x 100 % investasi 3.257.625 = x 100 % 6.670.875 = 48,833 %
Rate of ROI sebesar 48,833 % jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga kredit yang disyaratkan oleh BRI sebesar 13,5 % per tahun maupun suku bunga kredit komersial lainnya yang berlaku di masyarakat, maka dapat dikatakan usaha budidaya jamur tiram layak dilaksanakan. Dengan kata lain bahwa keuntungan yang diperoleh selama 1 musim tanam adalah 48,833 % dari modal yang diinvestasikan. Semakin besar tingkat ROI semakin baik, karena semakin besar pengembalian modal yang diinvestasikan dan penggunaan modal semakin efisien, sebaliknya semakin kecil ROI semakin kecil pengembalian modal yang diinvestasikan dan penggunaan modal semakin tidak efisien. investasi x 1 tahun keuntungan 6.670.875 = x 1 tahun 3.257.625 = 2,05 atau 2 tahun 0,5 bulan
2. PP =
Berarti investasi layak untuk dilaksanakan karena PP > 0. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalian modal adalah 2 tahun lebih 0,5 bulan atau nilai PP = 2,05 artinya kemampuan untuk menutup modal diperlukan waktu 2 tahun lebih 0,5 bulan. Nilai PP ini lebih kecil jika dibandingkan dengan rerata umur ekonomis yaitu 3 tahun, maka usaha dikatakan layak karena sebelum umur ekonomis dari suatu investasi habis modal sudah kembali, periode sisanya merupakan usaha untuk memperoleh keuntungan. t n
3. NPV =
Bt Ct
(1 i)t t 1
3.257.625 =
3.257.625 +
3.257.625 +
(1 + 0,135) 1
(1 + 0,135)2
(1 + 0,135)3
3.257.625
3.257.625
3.257.625
=
+ 1,135
+ 1,288
1,462
= 2.870.154,185 + 2.529.211,956 + 2.228.197,674 = 7.627.563,815 Metode NPV ini sudah memperhatikan nilai waktu dari uang, karena adanya faktor diskonto yang berupa tingkat suku bunga. NPV merupakan metode untuk mencari selisih antara nilai sekarang (PV) dari penerimaan (benefit / manfaat) dengan nilai sekarang (PV) dari pengeluaran (cost / biaya) selama investasi berlangsung. Jika PV cash inflows lebih besar dari PV cash outflows, atau jika nilai sekarang aliran cash bersihnya positif (NPV > 0) maka investasi layak dilaksanakan dan sebaliknya. Hasil analisis finansial diperoleh nilai NVP positif (7.627.563,815), berarti usaha budidaya jamur tiram menghasilkan total
keuntungan selama tiga tahun sebesar Rp 7.627.563,815 maka dapat dikatakan usaha tani jamur tiram layak dilaksanakan. t n
4. PI =
PVcash
lows
PVcashoutflows t 1 t n
B/C =
in f
t n
Bt
atau Ct
(1 i)t ∕ (1 i)t t 1
t 1
9.928.500
9.928.500
=
9.928.500
+ (1 + 0,135)
1
(1 + 0,135)
6.670.875
∕
+ 2
(1 + 0,135)
6.670.875 +
3
6.670.875 +
(1 + 0,135)1
(1 + 0,135) 2
(1 + 0,135) 3
9.928.500
9.928.500
9.928.500
=
+
∕
+
1,135
1,288
6.670.875
6.670.875
1,462 6.670.875
+ + 1,135 1,288 1,462 = 8.747.577,09 + 7.708.462,73 + 6.791.039,67 ∕ 5.877.422,91 + 5.179.250,78 + 4.562.841,99 = 23.247.079,49 ∕ 15.619.515,68 = 1,488. Metode ini memiliki hasil keputusan sama dengan NPV, artinya apabila suatu investasi diterima dengan menggunakan NPV maka akan diterima pula jika dihitung menggunakan PI atau B/C ratio. Profitability Index dihitung dengan cara membagi jumlah PV dari benetif / cash inflows dengan jumlah PV dari cost / cash outflows. Dari perhitungan diperoleh manfaat lebih besar dibanding dengan biaya dengan nilai PI ataupun B/C ratio > 1 (1,488) artinya untuk setiap pengeluaran satu rupiah pada nilai sekarang akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 1,488 rupiah, maka budidaya jamur tiram layak untuk dilaksanakan Kesimpulan 1. Hasil penelitian terhadap budidaya jamur tiram yang dilakukan petani responden di desa Sugihan per musim tanam per usaha tani, menunjukan bahwa rerata biaya total yang dikeluarkan sebesar Rp 6.670.875,00 meliputi rerata biaya tetap Rp 1.027.000,00 dan rerata biaya variabel Rp 5.643.875,00. Rerata produksi 1.502,75 kg dan rerata harga Rp 6.625,00 per kg jamur tiram segar, sehingga rerata penerimaan total sebesar Rp 9.928.500,00. Rerata keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 3.257.625,00 sedangkan profitabilitas 48,693 % dan R/C ratio 1,495 berarti budidaya jamur tiram menguntungkan dan efisien.
2. Tingkat BEP dicapai pada rerata produksi sebesar 357,927 kg dan rerata penerimaan total sebesar Rp 2.371.824,48. Apabila dibandingkan dengan rerata produksi dan penerimaan yang diperoleh petani responden sebesar 1.502,75 kg dan Rp 9.928.500,00 maka budidaya jamur tiram yang dilakukan petani di desa Sugihan sudah terletak di atas BEP, berarti usahatani jamur tiram menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan. 3. Hasil analisis kelayakan finansial diperoleh nilai Return On Investment (ROI) 48,833 %, Payback Period (PP) 2,05 atau 2 tahun 0,5 bulan, Net Present Value (NPV) 7.627.563,815, dan Profitability Index (PI) atau B/C ratio 1,488 berarti budidaya jamur tiram layak untuk dilaksanakan.
Daftar Rujukan Anonim. 1999. Sentra Jamur Kian Menjamur. Trubus. 30 (359): 8-9. Cahyono. 1994. Beternak Ayam Ras Petelur Dalam Kandang. Solo : CV Aneka. Djarijah, N. M. dkk. 2001. Budidaya Jamur Tiram. Yogyakarta : Kanisius. Gittinger. 1989. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta : UI-Press. Prawirokusumo, S. 1990. Ilmu Usaha Tani. Yogyakarta : BPFE. Surakhmad, W. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito. Singarimbun dan Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES. Sukartawi. 1996. Analisa Usahatani. Jakarta : UI Press.