KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS” DI WILAYAH YOGYAKARTA
INTISARI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi
Disusun oleh Dwi Ratnawati 04320329 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009
NASKAH PUBLIKASI KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS” DI WILAYAH YOGYAKARTA
Telah Disetujui Pada Tanggal
______________________________________
Dosen Pembimbing
Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si
KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON “PLUS” DI WILAYAH YOGYAKARTA Dwi Ratnawati Sonny Andrianto, S. PSi, M.Si
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bertujuan untuk mengkaji kehidupan pelacuran yaitu dari proses dari mereka berkenalan sampai bersentuhan dengan dunia pelacuran. Jenis penelitian bersifat deskriptif, dengan metode pendekatan kualitatif dimana penelitian ini terbatas pada pengungkapan suatu masalah atau peristiwa sebagaimana adanya dan sekadar untuk mengungkapkan fakta sehingga hasilnya adalah ditekankan pada penggambaran secara obyektif atau apa adanya tentang obyek yang diteliti. Subjek penelitian ini yang digunakan pada penelitian ini adalah perempuan pelaku salon plus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara nonprobalitias sampling menggunakan metode snow ball sampling. Snow ball sampling merupakan metode sampling dimana responden awal dipilih berdasarkan metode probabilitas kemudian responden awal diminta untuk memberikan informasi mengenai rekan-rekan lainnya sehingga diperoleh lagi responden tambahan. Terdapat beberapa dimensi yang faktor-faktor melatar belakangi pelacuran dalam praktek salon plus di wilayah Yogyakarta, yaitu alasan utama mengapa salon tersebut menyediakan layanan plus adalah ekonomi meskipun terdapat beberapa faktor pendorong lain misalkan rasa sakit hati terhadap perkawinan yang gagal, hubungan mereka dengan sesama pegawai umumnya diwarnai persaingan. Hal ini dilihat dari upaya untuk memamerkan pelanggan setia serta barang yang telah mereka miliki. Sementara hubungan mereka dengan lingkungan masyarakat sekitar umumnya sangat terbatas. Mereka beranggapan bahwa masyarakat menilai rendah pekerjaan mereka sehingga membatasi kepercayaan diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Cara mereka untuk menarik pelanggan sangat berbeda satu dengan yang lain. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan antara pekerja dengan pekerja salon plus lainnya dalam hal menarik pelanggan adalah usia. Dapat dikatakan bahwa semakin menarik potensi yang dimiliki oleh PSK dalam menarik pelanggan untuk menikmati jasanya maka semakin sedikit intensitas penggunaan komunikasi verbalnya. Sebagai seorang pekerja salon plus, baik pada responden satu dan dua menyatakan bahwa masing-masing dari mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya bisa bekerja. Kata Kunci : Pelacuran, Perempuan, Salon Plus, Yogyakarta
A. LATAR BELAKANG MASALAH Bangsa Indonesia dewasa ini tengah giat-giatnya melaksanakan pembangunan disegala bidang. Salah satu dari komponen pembangunan tersebut adalah kaum perempuan. Struktur sosial selama ini memposisikan perempuan sebagai objek pembangunan karenanya, perempuan selalu tertinggal. Salah satu hambatannya adalah stereotipe tentang perempuan, yang menempatkan perempuan selalu dalam posisi nomor dua. Posisi perempuan sebagai posisi nomor dua di masyarakat lebih dirasakan apabila perempuan tersebut dianggap tidak dapat menjalankan peranannya. Salah satu sebab perempuan tersebut tidak dapat menjalankan peranan di dalam masyarakat adalah sebagai pelaku pelacuran. Pelacuran merupakan gejala sosial yang berlangsung dalam sejarah umat manusia yang panjang karena berbagai faktor yang berkaitan menyebabkan gejala ini ada dari waktu ke waktu, faktor-faktor yang mendorong terjadinya pelacuran terletak baik pada aspek kodrati manusiawi terutama yang berhubungan dengan Bio-psikologis, khususnya nafsu seksual manusia baik itu Pria ataupun Wanita. Serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi seperti faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang terjalin sedemikian rupa sehingga drama pelacuran atau Postitusi ada terus dari waktu ke waktu sepanjang sejarah manusia. Secara tepatnya pentas pelacuran dianggap mulai ada sejak adanya norma hukum perkawinan (Soedjono, 1977). Arti kata pelacur sendiri adalah: penyerahan diri seorang wanita kepada banyak pria tanpa pilih-pilih untuk memuaskan nafsu yang bersangkutan, yang mana untuk perbuatan tersebut si pria memberikan imbalan (Soedjono,1977) dari pengertian diatas dapat disimpulkan arti pelacuran adalah suatu perbuatan yang di dalamnya terlibat beberapa wanita dalam suatu peristiwa untuk memuaskan nafsu pria, yang mana untuk perbuatan tersebut si
pria memberikan imbalan dan ini pun dapat disebut juga dengan prostitusi. Tetapi seiring waktu berjalan yang melakukan profesi ini bukan hanya wanita, pria pun banyak yang menggeluti profesi ini yang disebut dengan Gigolo. Pelacuran merupakan profesi tertua didunia, peristiwa ini sudah dikenal sejak ratusan tahun sebelum Masehi (Soedjono,1977). Banyak istilah untuk menyebutkan Profesi tersebut seperti: WTS (wanita tuna susila), penjaja cinta, Wanita penghibur dan sebagainya, tetapi saat ini yang sering digunakan Media-media massa seperti koran, majalah dan Televisi adalah PSK (pekerja seks komersil). Istilah ini pertama kali digunakan oleh kelompok Feminist menurut Surat kabar harian SINAR pada tahun 1994 (Endang, 1997). Praktek pelacuran tidak dapat dipisahkan dari konteks sistem norma dan nilai budaya masyarakat yang memberikan peluang bagi praktek pelacuran untuk hidup dan berkembang. Sesungguhnya, pelacuran merupakan perbuatan terlarang dan dianggap sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Praktek pelacuran dapat memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber. Aktivitas pelacur dapat merusak sendi-sendi moral, susila, hokum dan agama, terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma, hokum dan agama. Namun demikian, “mata pencaharian “ pelacuran selalu ada, bahkan tidak mungkin diberantas dari muka bumi (Kartono, 1999). Dengan demikian, pelacuran merupakan ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal. Bagi si pelaku sendiri atau bagi pelacur ternyata juga membawa efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa. Kondisi hidup yang membawa kehidupan si pelacur dalam situasi dimana terjadi penyimpangan sebagai bagian
dari pelanggaran kebiasaan atau aturan yang dilaksanakan suatu masyarakat. Aturan yang dilaksanakan dalam masyarakat adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan harus dilakukan di bawah lembaga perkawinan. Hubungan yang dilakukan di luar nikah dan diantaranya adalah praktek pelacuran secara psikologis disebut dengan tidak bersih, tidak baik untuk keseimbangan jiwa dan mengganggu kebersihan jiwa (Kartono, 1992). Secara langsung sebenarnya praktek pelacuran tidak menimbulkan kondisi gangguan psikotik bagi pelakunya namun terdapat beberapa kondisi yang mengiringi pelaksanaan prakatek pelacuran tersebut dan dapat mendorong timbulnya gangguan psikotik. Pertama, tidak sesuainya dan tidak terpenuhinya harapan yang dimiliki oleh perempuan pelaku pelacuran. Banyak faktor yang menyebabkan perempuan melakukan pelacuran misalkan ekonomi, rumah tangga dan pacar. Penyebab lain yang menjadi alasan perempuan melakukan pelacuran adalah faktor salah pergaulan dan pemenuhan hasrat seksual (Khauly, 1997). Faktor tersebut bisa menjadi pendorong perempuan untuk melakukan praktek pelacuran apabila tidak dapat memenuhi dan pada akhirnya memilih jalan singkat untuk memenuhinya. Tidak terpenuhinya atau tidak sesuainya harapan seseorang dengan kenyataan serta diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhinya dapat menjadi faktor pendorong timbulnya gangguan psikotik (Kartono, 2000) Kedua, adalah rasa malu dan takut tidak dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Hal ini disebabkan rendahnya pleacur di mata masyarakat. Rendahnya posisi pleacur dapat merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama, terutama sekali menggoyahkan perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma, hukum dan agama (Kartono, 1999). Akibatnya timbul ketakutan bagi para perempuan pelaku pelacuran tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat. Rendahnya posisi pelacur di mata masyarakat ini
menyebabkan
perempuan
yang
menjadi
pelacur
menjadi
sangat
tertutup
dan
menyembunyikan diri bahkan kepada anggota keluarga terdekat. Kondisi yang tidak sesuai dengan harapan serta ketakutan untuk diterima dengan baik di tengah masyarakat dapat menjadi kondisi yang menyebabkan penyimpangan tingkah laku. Menurut Kartono (2000) ketidaksesuaian dan ketidakmampuan individu dapat menyebabkan konflik yang menyebabkan terjadinya gangguan psikotik Di samping itu kehidupan pelacur yang keras menimbulkan berbagai tekanan dalam kehidupannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2005) terhadap kehidupan pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta memperlihatkan bahwa pelacur terbagi menjadi dua kategori: perempuan yang melacurkan dan perempuan yang dilacurkan. Mereka meninggalkan rumah dan hidup di tempat pelacuran karena suasana yang tidak nyaman seperti kekerasan yang dialami dan keacuhan keluarga terhadap anak. Pada umumnya perempuan pelaku pelacuran berasal dari keluarga miskin yang tidak memperhatikan pentingnya pendidikan bagi anak. Hubungan anak dengan keluarga terputus begitu anak meninggalkan rumah, begitu juga dengan pendidikan pelacur perempuan yang terputus begitu mereka keluar dari ikatan keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan, terputusnya hubungan mereka dengan keluarga, serta kehidupan sosial yang cenderung bebas dan keras kerap menjadikan anak sangat permisif terhadap hubungan seksual bebas (Sukma, 2003). Hubungan pelacur perempuan terhadap pelanggannya terbagi menjadi dua, hubungan antara pelacur dan pelanggan dan hubungan suka sama suka layaknya hubungan pacaran, hubungan yang kedua adalah hubungan antara anak jalanan dengan laki-laki dalam komunitas pengguna jasa pelacuran. Dari dua kategori pelanggan tersebut, perempuan mendapatkan imbalan uang, barang dan perlindungan terhadap jasa seksual mereka.
Kehidupan di tempat pelacuran yang serba gratis karena selalu bergantung pada teman dan pacar memperkecil pengeluaran mereka terhadap kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan mereka akan gaya hidup yang juga merupakan aktualisasi diri mereka. Sehubungan dengan kesehatan reproduksi mereka, pelacur melakukan aborsi dan sering terserang oleh penyakit menular seksual karena berganti-ganti pasangan. Kehidupan di tempat pelacuran yang keras juga menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang dilacurkan, seperti kekerasan fisik dan seksual yang seringkali dilakukan oleh sesama pelacur, germo dan pengguna jasa pelacur, di samping oleh aparat keamanan. Apabila dikaitkan dengan kondisi pelacuran salon plus maka praktek ini merupakan kedok untuk menghidupkan pelacuran di tengah masyarakat Yogyakarta. Banyak praktek yang secara lugas melakukannya seperti pelacuran di pasar Kembang namun ada yang terselubung seperti praktek salon plus di berbagai jalan di Yogyakarta. Praktek salon plus ini terungkap dalam artikel berbagai surat kabar diantaranya Detikcom dan Kedaulatan Rakyat. Pengungkapan praktek pelacuran dengan memakai kedok belum pernah dikaji sebelumnya. Pelacuran yang dilakukan dengan kedok salon plus tentunya akan memiliki perbedaan dalam hal kajian kehidupan pelacuran. Proses dari mereka berkenalan dengan dunia pelacuran kemudian bersentuhan dengan dunia pelacuran serta apa saja yang telah dialami selama menjadi pelacur. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk mengkaji penelitian dengan judul : “Kehidupan Perempuan Pelaku Pelacuran Salon Plus di Wilayah Yogyakarta”
A. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini yang digunakan pada penelitian ini adalah perempuan pelaku salon plus. Kerangka sampling atau sampel frame adalah pelaku salon plus di wilayah
Yogyakarta. Pemilihan sampling frame ini dikarenakan wilayah Yogyakarta diketahui banyak terdapat pelaku salon plus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara nonprobalitias sampling menggunakan metode snow ball sampling. Snow ball sampling merupakan metode sampling dimana responden awal dipilih berdasarkan metode probabilitas (misalnya simple random sampling) kemudian responden awal diminta untuk memberikan informasi mengenai rekan-rekan lainnya sehingga diperoleh lagi responden tambahan. Dengan demikian semakin lama kelompok responden makin membesar (Tjiptono dan Santoso, 2004). B. Jenis Penelitian Jenis penelitian bersifat deskriptif, dengan metode pendekatan kualitatif dimana penelitian ini terbatas pada pengungkapan suatu masalah atau peristiwa sebagaimana adanya dan sekadar untuk mengungkapkan fakta sehingga hasilnya adalah ditekankan pada penggambaran secara obyektif atau apa adanya tentang obyek yang diteliti. Tentang metode kualitatif ini didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Ciri-Ciri pokok metode deskriptif: (Bogman dan Taylor,1993) 1.
Memusatkan perhatian pada masalah yang ada, pada saat penelitian di lakukan atau masalah-masalah yang bersifat aktual
2.
Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi yang rasional Ada beberapa hal mengapa dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif, yaitu (1) fenomena perempuan pelaku salon plus hanya dapat dijelaskan dengan baik secara ekploratoris karena variabel-variabelnya belum diketahui dan lebih
mementingkan konteks, (2) lingkup penelitian ini yang tidak luas, hanya pada perempuan pelaku salon plus (3) penelitian ini bukanlah suatu uji teori melainkan mengungkapkan sesuatu yang mendalam. Sedangkan penggunaan metode deskriptif dimaksudkan karena penelitian ini memusatkan perhatian pada masalah perempuan pelaku salon plus, serta pada saat penelitian di lakukan atau masalah-masalah yang ditemukan di lapangan bersifat aktual. Oleh karena itu penelitian ini berusaha menggambarkan fakta-fakta tentang perempuan pelaku salon plus sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi yang rasional (Poerwanti, 2000) C. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi Teknik Observasi yang dilakukan adalah observasi tidak berpartisipasi, yaitu kegiatan pengumpulan data yang bersifat non verbal di mana peneliti tidak berperan ganda sebagai peneliti maupun pelaku kegiatan. Peneliti berperan sebagai pengamat belaka atau tidak ikut serta sebagai aktor yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan.(Slamet, 2006) Dengan observasi ini diperoleh data mengenai sikap perempuan pelaku salon plus. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang fenomenafenomena yang diselidiki (Soetrisno Hadi,1993) Metode ini digunakan untuk mengetahui kehidpan perempuan pelaku salon plus di wilayah Yogyakarta. 2. Wawancara (interview) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moloeng, 2007). Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 1998). Pendekatan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan wawancara dengan menggunakan petunjuk umum. Jenis waancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan, tidak perlu untuk ditanyakan secara berurutan.(Patton dalam Moloeng, 2007) D. Metode Analisis Data Analisis merupakan proses pemecahan, pemisahan, atau penguraian materi penelitian menjadi bagian-bagian, elemen-elemen, atau unit-unit kecil. Dengan data (fakta) yang telah di pecah secara sistematis tersebut, peneliti menyeleksi, mengklasifikasikan serta menuyusun pola yang dapat diintrepretasikan menjadi suatu kesimpulan masalah (Jorgensen dalam Poerwandari, 1998). Sehingga langkah pertama dalam analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh atau koding. Koding yang dilakukan terdiri dari tiga langkah. Langkah pertama, peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata), kedua melakukan penomoran pada data yang diperoleh agar diperoleh suatu kronologi, ketiga memberikan nama pada setiap kelompok data yang dikoding. Setelah langkah-langkah di atas peneliti berusaha untuk menganalisis data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan hal-hal yang sering
muncul dan lain sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, dan setiap kesimpulan senantiasa dilakukan verifikasi selama berlangsungnya penelitian. A. Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan metode wawancara tidak terstruktur. Sutopo (2002) berpendapat bahwa wawancara tidak terstruktur dapat dikatakan pertanyaan dan jawabannya diserahkan atau ebrada pada orang yang diwawancarai. Wawancara tidak terstruktur dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat open-ended dan mengarah pada kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang tidak formal. Hasil wawancara kemudian dibuat kode-kode atau tema-tema. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1997). Selanjutnya peneliti membuat penomoran pada baris-baris pada hasil transkrip hasil wawancara yang kemudian memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Sebagai contoh kode W1S1, Brs 6-9 yang artinya transkrip wawancara sesi pertama dengan subjek pertama pada halaman baris ke enam sampai baris ke sembilan. Berikut hasil wawancara dengan subjek yang telah dikelompokkan berdasarkan informasi yang harus diungkap dalam wawancara 1. Deskripsi Subjek Penelitian ini melibatkan tiga orang subjek yang memiliki karakteritik sesuai dengan karakteristik subjek yang telah ditentukan. Untuk lebih jelasnya tentang subjek tersebut, berikut peneliti sajikan deskripsi keempat subjek tersebut.
a. Secara umum gambaran responden satu (Khanza) adalah sebagai berikut: Nama Subjek
: Khanza
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Usia
: 24 tahun
Pendidikan
: Mahasiswi
Pekerjaan
: Chapster Salon
Berdasarkan wawancara dengan informan, Kz adalah perempuan periang, cerewet dan suka bercanda. Sesekali ia terlihat kemayu tetapi karena pembawaannya yang dewasa maka dikostnya ia sering dijadikan tempat curhat oleh teman - temannya. Ia tipikal orang yang mudah beradaptasi, pembawaannya yang cerewet membuatnya cepat akrab dengan orang lain walaupun dengan orang yang baru dikenal. Sedangkan apabila dilihat dari penampilan fisik adalah tinggi sekitar 160 cm, tubuh langsing, rambut bergelombang sebahu dengan kulit sawo matang, hidung mancung. b. Secara umum gambaran responden dua (Indri) adalah sebagai berikut : a. Nama Subjek
: Indri
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. Agama
: Islam
d. Usia
: 21 tahun
e. Pendidikan
: SMA
f. Pekerjaan
: Chapster Salon
Berdasarkan wawancara dengan subjek pertama, Indri (nama samaran) adalah seorang wanita yang bekerja sebagai PSK yang berusia 21 tahun. Indri berasal dari daerah jawa timur dan bekerja sebagai PSK sejak usia 20 tahun.. Sebagai PSK Indri dapat dikatakan cukup menarik, karena ia mempunyai berat badan kira-kira 45 Kg dan tinggi kurang lebih 165 cm, kulitnya berwarna hitam manis dan rambut pendek sebahu dengan model jaman sekarang. Wajah Putri berbentuk bulat tanpa ada bekas jerawat sehingga dapat dikategorikan cantik. Selama pengamatan Indri dalam mencari calon pengguna jasanya biasanya berkaos ketat satu warna apakah itu hitam polos, pink atau merah. Sedangkan bawahan yang dipakainya hampir tidak pernah menggunakan celana sepanjang mata kaki, celana yang sering digunakannya adalah celana “setengah tiang” atau rok mini c. Secara umum gambaran responden tiga (Putri) adalah sebagai berikut: a. Nama Subjek
: Putri
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. Agama
: Islam
d. Usia
: 35 tahun
e. Pendidikan
: SMA
f. Pekerjaan
: Pemilik salon
Berdasarkan wawancara Responden satu, Putri (nama samaran) adalah seorang wanita yang berasal daerah Ciamis, Jawa Barat. Saat ini Putri telah berusia 35 tahun. Namun Putri pertama kali berprofesi sebagai pekerja seks saat usianya 16 tahun, yaitu sekitar tahun 1990-an. Putri adalah seorang istri (mempunyai suami) yang mengalami persoalan psikologis dalam hidupnya. Alasan Putri menjadi PSK, selain
karena terdesak kebutuhan ekonomi, Putri merasa frustasi dengan kondisi kodrati wanitanya yang tidak sempurna, yaitu mandul atau tidak bisa memiliki keturunan. Putri sebenarnya sudah berusaha untuk lima kali menikah, namun selama pernikahannya tersebut Putri tidak mampu memberikan keturunan bagi suaminya yang menikahinya. Karena kegagalannya dalam membina dan memberikan keturunan bagi keluarga dan suaminya itulah kehidupan keluarga Putri tidak bisa berjalan secara harmonis dan Putri merasa tidak berarti sebagai seorang istri hingga lari memilih jalan menjadi PSK. Saat ini Putri tinggal di daerah Sleman sehingga dalam bekerjanya Putri selalu diantar-jemput oleh suaminya yang mana suaminya tersebut adalah mantan pelanggannya. Sebenarnya dalam hal ekonomi putri serba berkecukupan, karena suaminya yang saat ini adalah mempunyai berbagai macam usaha dan ia anak pejabat yang cukup terpandang didaerah Sleman. Tetapi suaminya yang selalu “kasar” padanya dan merasa dalam keluarga besar suaminya selalu dipergunjingkan sebagai wanita yang tidak baik, selalu keluar malam, tertutup dan tidak dapat memberikan keturunan, karena ia mengaku bekerja sebagai waitres disebuah tempat bermain Bilyar. Karena faktor tersebut, Putri dalam berkomunikasi tidak terlalu agresif apabila ia telah telah memenuhi “target” dan untuk memenuhi kebutuhannya dalam hari itu, kecuali pada calon pengguna jasanya yang berusia muda, demikianlah yang dikatakan oleh Putri: Putri yang telah memasuki usia kepala tiga memiliki tubuh yang masih menarik, dengan berat badan 45 Kg dan tinggi kurang lebih 170 cm, kulitnya
berwarna putih kusam dan rambut sebahu. Selama pengamatan Putri dalam mencari calon pengguna jasanya selalu berkaos ketat dan bercelana panjang. 2. Latar Belakang Latar belakang yang ditanyakan kepada responden menyangkut asal daerah, awal mula berkenalan dengan pekerjaan di salon plus, dan lama bekerja di salon plus. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya data lain yang masuk menurut pembicaraan dari masing-masing responden. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa responden pertama berasal dari Yogyakarta yang datang ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah. Responden satu tinggal di kota Yogayakarta sudah hampir 4,5 tahun namun bekerja sebagai pegawai di di salon plus selama 2,5 tahun. Awal mula berkenalan bekerja sebagai pegawai salo plus dikenalkan dengan teman kost. Sedangkan dalam wawancara yang dilakukan dengan responden dua diketahui bahwa responden dua berasal dari Surabaya. Tidak diketahui lama tinggal di Yogayakarta namun dari keterangan teman responden diketahui bahwa dia sudah satu tahun menjadi PSK. Responden dua menjalani pekerjaannya sebagai PSK bahkan sejak tinggal di Surabaya (sebelum berada di Yogyakarta). Awal mula berkenalan dengan pekerjaaan sebagai pegawai salon plus diperkenalkan dengan teman. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap responden tiga diketahui bahwa reponden tiga merupakan pemilik usaha yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Bertempat tinggal di Yogyakarta selama 15 tahun namun tidak diketahui lama bekerja sebagai PSK atau sebagai pemilik salon plus di Yogyakarta. Demikian pula dengan awal mula berkenalan dengan salon plus. 3. Alasan Responden Untuk Bekerja Di Salon Plus
Alasan
yang
ditanyakan
pada
responden
adalah
alasan
serta
hal
yang
melaterbelakangi yang kemudian mendorong responden menjadi pegawai atau pemilik salon plus. Pegawai atau pemilik tidak hanya menyangkuta aktivitas seperti halnya pegawai salon kecantikan pada umumnya nmun menyangkut kegiatan pelacurannya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa alasan responden untuk bekerja di salon plus adalah mencari tambahan uang menyelesaikan
pendidikan
tinggi
di
Yogyakarta.
Kesulitan
keuangan
untuk
menyelesaikan pendidikan dan menghidupi diri sendiri disebabkan ayahnya yang berperan sebagai kepal keluarga mengalami kebangkrutan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa alasan bekerja sebagai pegawai salon plus Yogyakarta adalah alasan sakit hati setelah mengalami perceraian. Responden dua merasa bahwa perkawinan hanya memberikan sakit hati, maka dia lebih senang mendapat uang serta tidak dikekang dengn menjalani prostitusi. Perkawinan terdahulu didasari oleh niat untuk membantu ekonomi orang tua. Kemudian bekerja menjadi pegawai toko di Surabaya, namun karena dirasakan pendapatannya tidak mencukupi maka dia menjadi PSK. Setelah diajak dan dibujuk oleh temannya bahwa persaingan antar PSK tidak seketat di Surabaya maka responden dua pindah dan bertempat tinggal di Yogyakarta. Berdasarkan wawancara terhadap responden tiga diketahui bahwa alasan dia menjadi pemilik salon plus dan bekerja sebagai PSK disebabkan rasa sakit hati karena dianggap keluarga tidak dapat memberikan keturunan. 4. Tanggapan Lingkungan Terhadap Pekerjaan Di Salon Plus
Tanggapan lingkungan yang ditanyakan pada respoden adalah tanggapan dari keluarga dan masyarakat sekitar termasuk ikut terlibatnya mereka dalam kegiatan sosial baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan responden satu dapat diketahui bahwa tanggapan dari masyarakat terhadap pekerjaan respoden umumnya bersifat sinis terutama dari kalangan wanita. Hal ini terlihat dari tetangga yang melewati tempat ini biasanya kemudian berubah menjadi sinis. Pandangan sinis ini sebenarnya datang dari penilaian negatif terhadap pekerjaan di salon plus yang memang menjalankan pelacuran. Responden sebenarnya malu pada tetangga namun kemudian oleh responden satu menanggapi dengan sikap diam saja serta menyerahkan penilain pada masing-masing individu. Responden juga jarang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan seperti kegiatan tujuhbelasan atau kegiatan pengajian kampung Sementara tanggapan dari keluarga responden satu karena tidak tahu. Responden satu menutupi bahwa dirinya menafkahi dan membiayai kuliahnya dengan menjadi pegawai salon plus. Berdasarkan wawancara terhadap respoden satu diketahui bahwa tanggapan masyarakat terhadap dirinya tidak diketahui. Karena tidak ada data yang menyebutkan hubunganya dengan masyarakat sekitar. Namun responden dua menyebutkan bahwa keluarganya tidak akan perduli pada pekerjaaannya. Selama ini memang keluarganya belum mengetahui pekerjaan yang dilakukan oleh respoden dua namun apabila keluarga mengetahui bukan menjadi persoalan karena yang penting adalah dapat mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap respoden tiga mengenai tanggapan masyarakat terhadap kegiatan di salon plus tidak memebrikan tanggapan apapun. Meskipun sebenarnya tetangga mengetahui bahwa salon tersebut menjalankan kegiatan pelacuran. Hal ini diketahui bahwa sebagian penduduk ada yang menjadi pelangga di salon plus tersebut. Tanggapan masyarakat terhitung tidak diketahui dengan jelas karena respoden tiga jarang berinteraksi dengan tetangga dan mengikuti
kegiatan
kemasyarakat. Namun untuk mencegah adanya benturan dengan masyarakat sekitar, responden tiga sengaja memilih lokasi salon plus yang agak jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Sedangkan tanggapan keluarga terhadap aktivitas yang dilakukan responden tiga hanya mendiamkan saja. Bahkan suami yang membiayai dirinya untuk membuka usaha salon plus ini. Responden tiga sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga dekat sedangkan responden tiga juga tidak memiliki keturunan sehingga keluarga yang tertinggal adalah suaminya saja. Hal ini dapat diketahui dari wawancara di bawah ini: 5. Perasaan Ketika Bekerja Di Salon Plus Wawancara yang dilakukan terhadap respoden menyangkut dalam tema perasaan ketika bekerja di salon plus meliputi tanggapan respoden terhadap kegiatan yang dijalankan dalam salon plus, dan tanggapan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan wawancara terhadap respoden satu dapat diketahui bahwa perasaan responden satu ketika bekerja sebagai pegawai salon plus merasa malu dan tidak percaya diri. Sedangkan tanggapan perasaan terhadap dirinya sendiri merasa bangga bahwa dia bisa memenuhi uang kuliah dan menafkahi dirinya sendiri tanpa tergantung pada orang tua meskipun terpaksa melakukan pelacuran. Berdasarkan wawancara terhadap responden dua dapat diketahui bahwa tanggapan terhadap pekerjaan sebagai pegawai salon plus tidak merasa malu ataupun merasa rendah diri. Dia merasa bahwa rejeki orang bisa didapat dari mana saja dan apabila rejekinya berasal dari kegiatan pelacuran bukan menjadi masalah.
Sedangkan tanggapan dirinya sendiri merasa bangga karena bisa membantu orang tua dan menyekolahkan anak-anak. Berdasarkan wawancara terhadap responden dua dapat diketahui bahwa tanggapan terhadap pekerjaan sebagai pemilik salon plus merasa malu karena tanggapan orang lain bahwa kegiatan pelacuran memalukan dan rendahan.Sedangkan juga tidak memandang dirinya dengan rendah karena bagi dirinya, dia tidak menyusahkan orang lain.
6. Karakteristik Pelanggan Di Salon Plus Wawancara yang dilakukan terhadap respoden mengenai tema karakteristik pelanggan adalah mengenai asal dan pekerjaan pelanggan, cara pendekatan serta banyak kunjungan. Baik responden satu, dua maupun tiga sama-sama bekerja di satu salon sehingga karakteristik dilihat dari asal dan pekerjaan pelanggan tidak terlalu berbeda namun setiap responden menggunakan cara yang berbeda untuk melakukan pendekatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu mengenai karakteristik pelanggan di salon plus berasal dari pegawai negeri sedangkan dari teman-teman kuliah tidak ada. Sedangkan dari tetangga ada yang pernah menjadi pelanggan salon plus. Dalam sehari dia minimal melayani dua orang tamu. Dalam sistem pekerjaan tidak dikenal adanya jumlah minimal karena jumlah tamu seluruhnya tergantung dari kunjungan. Awal mula dilakukan dengan memberikan service dalam kegiatan perawatan tubuh seperti dalam salon pada umum misalkan dicreambath atau mau dipijit. Apabila pelanggan merasa tertarik maka pelanggan umumnya melakukan penawaran dalam kegiatan pelacuran maka transaksi terjadi. Responden satu dalam menarik perhatian pelanggan dengan mengutamakan penampilan tubuh dan wajah dengan melakukan perawatan rutin sehingga mampu memperlihatkan penampilan senantiasa segar. Responden satu merasa bahwa dirinya masih muda sehingga lebih banyak menggunakan pendekatan komunikasi non verbal. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa pendekatan menggunakan pendekatan non verbal dengan menggunakan kelebihan penampilan yang berusia muda.Pertama dia menggunakan bahasa isyarat dengan mata (lirikan) kemudian mendekati dengan mengajak mengobrol. Responden dua juga sudah bisa membedakan antara pelanggan yang berniat serius
(melakukan penawaran pelacuran) dan tidak. Apabila dirasa bahwa tamunya tidak berniat serius, responden dua tidak melakukan pendekatan lebih jauh. Penampilannya juga dilengkapi dengan asesoris dan selalu menggunakan baju ketat. Hal ini disebabkan untuk menonjolkan bentuk tubuhnya. Responden dua juga tidak pernah mencari pelanggan di luar salon karena merasa sudah terikat dengan pemilik salon. Hal ini memang tidak secara tertulis namun secara etika sesama pegawai salon plus sudah saling mengetahui dan menaati. Apabila ada pelanggan maka seluruh pegawai di salon plus wajib menyetorkan bagian kepada Mami selaku pemilik salon. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan responden tiga dapat diketahui bahwa responden tiga lebih banyak pendekatan terhadap pelanggan menggunakan komunikasi verbal. Biasanya dengan menggoda pelanggan dengan guyonan apalagi terhadap calon pelanggan yang berusia masih muda karena pelanggan muda masih malu-malu. Hal ini disadari dari penampilan dirinya yang sudah tidak lagi muda. Dia juga menggunakan wewangian sebagi penarik perhatian pelanggan Sedangkan patokan jumlah pelanggan yang dilayani terserah hatinya, namun apabila pelanggan yang masih muda maka diprioritaskan.
7. Interaksi dengan Sesama Pegawai Salon Plus Wawancara yang dilakukan terhadap responden mengenai tema interaksi dengan sesama pegawai salon plus adalah persaingan diantara mereka dan cara mereka untuk menghadapi persaingan tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa responden satu merasa terancam dengan adanya pegawai baru karena umumnya pegawai baru berusia lebih muda dibandingkan dirinya sehingga penampilannya masih terlihat segar. Perasaan ini bisa terlihat dari rasa iri. Untuk menghadapi persaingan dengan teman sesama pegawai salon plus yang lebih muda, respoden satu mengandalkan perawatan tubuh dan wajah sehingga tetap terlihat segar. Dalam wawancara terhadap responden dua mengenai interaksi dengan sesama teman pegawai salon plus, responden dua tidak merasa terancam karena merasa dirinya masih berusia muda. Hal ini akan menunjang penampilannya yang akan selalu terlihat segar. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden tiga mengenai interaksi dengan sesama pegawai salon plus mengakui bahwa adanya persaingan. Hal ini terlihat dari persaingan barang yang dimiliki misalkan perhiasan emas dan HP. Umumnya mereka juga mengunggulkan adanya pelanggan
yang dianggap royal atau berusia masih muda. Semakin banyak pelanggan dianggap royal atau berusia muda yang setia terhadap mereka, maka makin dipandang lebih diantara sesama pegawai salon plus.
8. Rencana Masa Depan Responden Wawancara yang dilakukan terhadap responden mengenai tema masa depan adalah rencana setelah tidak lagi bekerja di salon plus. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu mengenai rencana masa depan maka responden satu menyatakan abhwa dirinya setelah lulus kuliah akan keluar dari pekerjaan ini dan berpindah ke pekerjaan lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa belum ada rencana kapan dan bagaimana setelah keluar dari pekerjaan. Responden dua hanya setelah keluar dari pekerjaan sebagai pegawai salon plus berencana untuk menikah meskipun belum mengetahui kriteria suami.
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh suatu konsep teoritis mengenai kehidupan perempuan pekerja salon plus di wilayah Yogayakarta dari subjek penelitian. Setelah menjabarkan temuan penelitian berupa tema-tema ke dalam sub kategori dan kategori maka selanjuutanya dilakukan pembahasan mengenai kehidupan wanita pelaku salon plus di wilayah Yogyakarta. Dalam wawancara dengan responden dikeatahui bahwa alasan utama mengapa salon tersebut menyediakan layanan plus adalah ekonomi. Penghasilan yang mereka peroleh dari jasa menyalon, tidak seberapa besar jumlahnya. Akan tetapi jika mereka menerima tamu yang meminta pelayanan seks, jumlah insentif yang mereka terima dari tamu cukup besar. Rata-rata per-hari mereka mendapat kunjungan tamu diperkirakan antara 2 sampai 4 orang. Hal inilah yang diungkapkan oleh respoden satu dan dua yang berstatus sebagai pekerja salon plus. Ditambah dengan tidak adanya ketrampilan sehingga kemampuan mendapatkan penghasilan menjadi terbatas. Bahkan ini terjadi pada kalangan mahasiswa (responden satu) yang berstatus mahasiswa, ketika dihadapkan dengan hilangnya sumber ekonomi dari orang tua; namun karena tidak mempunyai ketrampilan sehingga menjadi pekerja di salon plus. Alasan lain yang melatar belakang para perempuan terjun menjadi pekerja salon plus adalah rasa sakit hati terhadap perkawinan yang gagal. Hal ini dapat ditemui dari pernyataan responden dua dan tiga yang
masing-masing mempunyai rasa sakit hati akibat perkawinan gagal. Responden dua merasa kecewa karena sang suami sering melakukan kekerasan rumah tangga sedangkan responden tiga merasa kecewa karena tidak mempunyai keturunan sehingga dianggap rendah oleh keluarga dan mantan suami. Menurut Khauly (1997) banyak faktor yang menyebabkan perempuan melakukan pelacuran misalkan ekonomi, rumah tangga dan pacar. Penyebab lain yang menjadi alasan perempuan melakukan pelacuran adalah faktor salah pergaulan dan pemenuhan hasrat seksual Faktor tersebut bisa menjadi pendorong perempuan untuk melakukan praktek pelacuran apabila tidak dapat memenuhi dan pada akhirnya memilih jalan singkat untuk memenuhinya. Tidak terpenuhinya atau tidak sesuainya harapan seseorang dengan kenyataan serta diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhinya dapat menjadi faktor pendorong timbulnya gangguan psikotik (Kartono, 2000) Hubungan mereka dengan sesama pegawai umumnya diwarnai persaingan. Hal ini dilihat dari upaya untuk memamerkan pelanggan setia serta barang yang telah mereka miliki. Mereka merasa ”lebih”dibandingkan dengan sesama pegawai salon plus apabila mempunyai pelanggan setia yang muda dan ekonomi mapan sehingga royal terhadap pegawai salon plus. Hal lain yang umumnya mereka lakukan adalah memamerkan barang-barang yang mereka miliki yaitu perhiasan emas dan HP. Hal yang sama ternyata diungkapkan dalam wawancara dengan salah satu responden pelanggan salon plus. Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa hubungan pelacur perempuan terhadap pelanggannya terbagi menjadi dua, hubungan antara pelacur dan pelanggan dan hubungan suka sama suka layaknya hubungan pacaran, hubungan yang kedua adalah hubungan antara pelaku salon plus dengan laki-laki dalam komunitas pengguna jasa pelacuran. Dari dua kategori pelanggan tersebut, perempuan mendapatkan imbalan uang, barang dan perlindungan terhadap jasa seksual mereka. Kehidupan di tempat pelacuran yang serba gratis karena selalu bergantung pada teman dan pacar memperkecil pengeluaran mereka terhadap kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan mereka akan gaya hidup yang juga merupakan aktualisasi diri mereka. Oleh karenanya dalam kehidupan di dalam salon plus sering terjadi persaingan dalam memiliki perhiasan. Dalam perkembangannya persaingan tersebut tidak hanya berbentuk perhiasan namun juga barang elektronik khususnya HP. Sementara hubungan mereka dengan lingkungan masyarakat sekitar umumnya sangat terbatas. Mereka beranggapan bahwa masyarakat menilai rendah pekerjaan mereka sehingga membatasi kepercayaan diri
untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Baik pada responden satu, dua dan tiga mengungkapkan hal yang sama. Padahal sebagian warga masyarakat ternyata juga menggunakan jasa sebagai pegawai salon plus. Hubungan mereka dengan masyarakat sekitar terkesan memberikan batasan. Hal ini terlihat dari tidak adanya pekerja salon plus yang mengikuti kegiatan atau bahkan berbincang-bincang dengan masyarakat lingkungan sekitar. Rasa kepercayaan diri yang kurang serta tidak diterima oleh masyarakat sebenarnya merupakan penghalang si pelaku salon plus dalam berinteraksi dan keikutsertaan dalam kehidupan bersosialisasi dengan masyarakat. Kondisi yang tidak sesuai dengan harapan serta ketakutan untuk diterima dengan baik di tengah masyarakat dapat menjadi kondisi yang menyebabkan penyimpangan tingkah laku. Menurut Kartono (2000) ketidaksesuaian dan ketidakmampuan individu dapat menyebabkan konflik yang menyebabkan terjadinya gangguan psikotik Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pelacur adalah makhluk sosial, maka sudah barang tentu peranan soaial sangat penting bagi tigkah lakunya. Dalam masyarakat setiap individu mengadakan interaksi sosial. Gerungan (1966) mengatakan bahwa ”interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, merubah, memperbaiki kelakuan individu yang lain”. Sementara cara mereka untuk menarik pelanggan sangat berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan wawancara dengan responden yang menjadi pelanggan di salon plus tersebut diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan antara pekerja dengan pekerja salon plus lainnya dalam hal menarik pelanggan adalah usia. Pekerja salon plus yang lebih muda usianya umumnya menggunakan pendekatan non verbal yaitu dengan mengandalkan bentuk fisik yang masih mencerminkan kemudaan sementara pada pekerja salon plus yang sudah berumur umumnya menggunakan pendekatan verbal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin menarik potensi yang dimiliki oleh PSK dalam menarik pelanggan untuk menikmati jasanya maka semakin sedikit intensitas penggunaan komunikasi verbalnya. Sebagai seorang pekerja salon plus, baik pada responden satu dan dua menyatakan bahwa masingmasing dari mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya bisa bekerja. Mereka mempunyai rencana untuk keluar dari pekerjaan ini. Perbedaannya adalah responden satu menargetkan setelah lulus
kuliah akan berhenti bekerja sebagai seorang pekerja salon plus sedangkan pada responden dia menyetakan dia tidak mempunyai target pasti untuk menentukan kapan berhenti menjadi salon plus. Sehubungan dengan kesehatan reproduksi mereka, pelacur melakukan aborsi dan sering terserang oleh penyakit menular seksual karena berganti-ganti pasangan. Kehidupan di tempat pelacuran yang keras juga menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang dilacurkan, seperti kekerasan fisik dan seksual yang seringkali dilakukan oleh sesama pelacur, germo dan pengguna jasa pelacur, di samping oleh aparat keamanan. Berdasarkan hal tersebut maka bagi si pelaku sendiri atau bagi pelacur ternyata juga membawa efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa. Kondisi hidup yang membawa kehidupan si pelacur dalam situasi dimana terjadi penyimpangan sebagai bagian dari pelanggaran kebiasaan atau aturan yang dilaksanakan suatu masyarakat. Aturan yang dilaksanakan dalam masyarakat adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan harus dilakukan di bawah lembaga perkawinan. Hubungan yang dilakukan di luar nikah dan diantaranya adalah praktek pelacuran secara psikologis disebut dengan tidak bersih, tidak baik untuk keseimbangan jiwa dan mengganggu kebersihan jiwa (Kartono, 1992).