Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
KEEMPUKAN DAYA MENGIKAT AIR DAN COOKING LOSS DAGING SAPI PESISIR HASIL PENGGEMUKAN (Tenderness Water Holding Capacity and Cooking Loss of Fattened Pesisir Cattle) KHASRAD Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Limau Manis, Padang 25163
ABSTRACT One type of local cows, the germplasm of West Sumatra, is the Pesisir cattle. Pesisir cattle is an original cattle of West Sumatra who have good genetic potential because it has a high adaptability to both the lowquality feed, as well as to changes in ambient temperature, so they rarely get dangerous disease. The aim of this study is to determine tenderness, water holding capacity and cooking loss of Pesisir cattle fed beef rations with different levels and fattened for three and four months. This research is an experiment in Randomized Block Design in 2 x 2 factors with 3 groups. The first factor (factor A) are two kinds of the diet are: A1 = 50% concentrate + 50% ammoniated straw and A2 = 75% concentrate + 25% ammoniated straw. The second factor (factor B) is duration of fattening, i.e B1 is for 3 months and B2 is for four months. From research conducted found that there was no interaction between the level of the diet with duration of fattening on the tenderness, water holding capacity and cooking loss of Pesisir cattle meat (P > 0.05). The higher the percentage of concentrate in diet will cause the meat more tender (P < 0.05). While the water holding capacity and cooking loss of Pesisir cattle meat was not influenced by the level of the diet and duration of fattening. Key Words: Pesisir Cattle, Fattening, Ammoniated Straw, Water Holding Capacity, Cooking Loss ABSTRAK Salah satu jenis sapi lokal yang merupakan plasma nutfah Sumatera Barat adalah sapi Pesisir. Sapi Pesisir merupakan sapi asli Sumatera Barat yang mempunyai potensi genetik yang bagus karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi, baik terhadap pakan yang berkualitas rendah, maupun terhadap perubahan suhu lingkungan, sehingga sapi Pesisir jarang sekali dapat serangan penyakit yang berbahaya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keempukan, daya mengikat air dan cooking loss daging sapi Pesisir yang diberi ransum dengan level yang berbeda dan digemukkan selama 3 bulan dan 4 bulan. Penelitian ini merupakan percobaan berfaktor dalam RAK 2 × 2 dengan 3 kelompok. Faktor pertama (faktor A) adalah 2 macam pemberian ransum yaitu: A1 = 50% konsentrat + 50% jerami amoniasi dan A2 = 75% konsentrat + 25% jerami amoniasi. Faktor kedua (faktor B) adalah lama penggemukan yaitu B1 = 3 bulan dan B2 = 4 bulan. Dari penelitian yang dilaksanakan diketahui bahwa tidak ada interaksi antara tingkat pemberian ransum dengan lama penggemukan terhadap keempukan, daya mengikat air dan cooking loss daging sapi Pesisir (P > 0,05). Semakin tinggi persentase konsentrat dalam ransum akan menyebabkan daging semakin empuk (P < 0,05). Sedangkan daya mengikat air dan cooking loss daging sapi Pesisir tidak dipengaruhi oleh level pemberian ransum dan lama penggemukan. Kata Kunci: Sapi Pesisir, Penggemukan, Jerami Amoniasi, Daya Mengikat Air, Susut Masak
PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, kesadaran pangan dan gizi masyarakat serta meningkatnya arus wisatawan luar ke Indonesia menyebabkan permintaan daging untuk konsumsi dalam negeri terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut
belum dapat diimbangi oleh peningkatan produktivitas ternak penghasil daging. Menurut DITJENNAK (2003) produksi daging nasional mencapai 1.767.339 ton dan kontribusi dari sapi potong adalah sebesar 329.705 ton (18,65%), sedangkan impor sapi ke Indonesia mengalami peningkatan dimana tahun 2001 sebanyak 289.525 ekor dan tahun 2002 sebesar
257
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
429.615 ekor. Khusus di Sumatera Barat populasi ternak sapi potong sekitar 546.862 ekor dan jumlah pemotongan ternak sapi mencapai 58.134 ekor. Peningkatan populasi ternak, produktivitas ternak dan kualitas karkas atau daging perlu terus diusahakan. Disamping itu ekspor ke beberapa negara di kawasan Asia Pasifik (Singapura, Timur Tengah dan Jepang) merupakan peluang baru dalam usaha peternakan, khususnya peternakan sapi daging berkualitas tinggi. Apalagi telah dimulainya kerjasama di kawasan segi tiga pertumbuhan (STP) Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS) dan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT) dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA). Berdasarkan perkembangan di kawasan tersebut, maka daerah Sumatera Barat sudah harus mulai mempersiapkan diri terutama dalam subsektor peternakan khususnya peternakan sapi potong serta berupaya memanfaatkan perkembangan ekonomi di kawasan segi tiga pertumbuhan. Penggemukan merupakan usaha terbaik dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas karkas serta daging sapi Pesisir, karena pada usaha penggemukan dapat diberikan pakan yang sesuai dengan kebutuhan, berenergi tinggi dan bermutu baik. Sumatera Barat mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan sapi lokal, karena banyak terdapat hasil limbah pertanian dan industri sebagai bahan pakan, namun saat ini potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Respon produktivitas ternak dan kualitas karkas serta daging dapat berbeda dalam bangsa yang sama, diantara bangsa, jenis kelamin dan diantara faktor lingkungan termasuk nutrisi (pakan) serta periode waktu penggemukan. Pakan dengan kualitas yang baik, umumnya dapat meningkatkan efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan nilai produk yang dihasilkan (BOWKER et al., 1978). Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi keempukan, warna, flavour dan sari minyak daging. Di samping itu lemak intramuskuler, susut masak, nilai gizi atau sifat kimia dan pH daging juga ikut menentukan kualitas daging. Yang termasuk sifat kimia daging adalah kandungan protein, lemak, bahan kering dan kadar air. Protein sebagian besar terdapat dalam otot dan jaringan ikat.
258
Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan suatu upaya peningkatan kualitas daging sapi Pesisir dengan melakukan pemeliharaan secara intensif dengan periode waktu penggemukan yang berbeda. Selama pemeliharaan diberikan ransum konsentrat yang mengandung protein dan energi yang tinggi serta jerami padi amoniasi yang berkualitas baik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh level pemberian makanan dan lama penggemukan terhadap keempukan, daya mengikat air dan cooking loss daging sapi Pesisir. MATERI DAN METODE Sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Pesisir jantan umur 2 – 2.5 tahun sebanyak 12 ekor, yang berasal dari Kecamatan Ranah Pesisir Kabupaten Pesisir Selatan. Berat awal sapi yang digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 126 – 170 kg. Ransum disusun berdasarkan bahan yang tersedia yaitu dengan perbandingan bahan kering konsentrat (K) dan jerami amoniasi (JA) 50 : 50% untuk perlakuan A1 dan 75 dan 25% untuk perlakuan A2. Kandungan zat makanan ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan zat makanan ransum perlakuan (%) Zat makanan
Ransum perlakuan (faktor A) A1
A2
Bahan kering
63,37
71,75
Protein kasar
10,06
11,36
Serat kasar
25,63
18,47
Lemak kasar
3,86
4,90
Abu
13,43
9,75
BETN
45,89
54,00
TDN
60,74
68,12
A1: (50% K + 50% JA); A2: (75% K + 25% JA)
Penelitian ini merupakan percobaan berfaktor dalam RAK 2 × 2 dengan 3 kelompok. Faktor pertama (faktor A) adalah 2 tingkat pemberian ransum yaitu: A1 = 50% konsentrat + 50% jerami amoniasi dan A2 = 75% konsentrat + 25% jerami amoniasi. Faktor kedua (faktor B) adalah lama penggemukan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
yaitu B1 = 3 bulan dan B2 = 4 bulan. Sedangkan sebagai kelompok adalah bobot awal sapi yaitu: I = 126 – 140 kg, II = 141 – 155 kg dan III = 156 – 170 kg Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: Keempukan, daya mengikat air dan cooking loss daging. HASIL DAN PEMBAHASAN Keempukan Nilai keempukan daging dapat diukur dengan warner blatzler shear, dimana semakin rendah nilai shear forcenya berarti daging tersebut semakin empuk. Rataan nilai keempukan daging sapi Pesisir yang digemukkan dengan level pemberian ransum yang berbeda selama 3 bulan dan 4 bulan dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak ada interaksi antara faktor A (level pemberian ransum) dengan faktor B (lama penggemukan) terhadap keempukan daging sapi Pesisir (P > 0,05), sedangkan level pemberian ransum memberikan pengaruh berbeda nyata (P < 0,05) terhadap keempukan daging sapi Pesisir dan lama penggemukan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Nilai shear force daging sapi Pesisir dengan perlakuan a1 (50% konsentrat + 50% jerami amoniasi) dengan nilai rataan 6,29 kg/cm2 berbeda nyata (P < 0,05) dengan a2 (75% konsentrat + 25% jerami amoniasi) dengan rataan 4,42 kg/cm2. Semakin tinggi konsentrat yang diberikan kepada sapi Pesisir nilai shear forcenya semakin rendah, hal ini
berarti daging tersebut semakin empuk. Jadi pemberian konsentrat yang tinggi dapat menjadikan struktur otot menjadi lebih halus, sehingga daging menjadi lebih empuk. LAWRIE (1985) menyatakan keempukan daging yang berbeda dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tekstur daging. Tekstur daging yang relatif lebih halus akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Menurut NATASASMITA (1987) komponen yang mempengaruhi keempukan yaitu jaringan ikat, serat – serat daging dan lemak intramuskuler (marbling). Ditambahkan oleh SOEPARNO (1992) , ada tiga komponen yang menentukan keempukan daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya; kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya; WHC dan jus daging (juiciness). Rataan nilai shear force yang diperoleh dari penelitian menunjukkan kisaran antara 3,80 sampai dengan 6,44 kg/cm2 (Gambar 1) yang menggambarkan bahwa daging tesebut tergolong cukup empuk. Kisaran hasil pengukuran shear force terhadap keempukan daging menurut PEASON dan DUTSON (1985) terbagi atas tiga yaitu empuk dengan skala 0 – 3, cukup dengan skala 3 – 6 dan alot dengan skala 6 – 11. Jika hasil pengukuran shear force menunjukan angka lebih dari 11, maka daging tersebut sulit dimakan manusia. Empuknya daging sapi Pesisir ini juga ada kaitannya dengan nilai pH, dimana daging sapi Pesisir pH nya termasuk rendah sehingga struktur daging menjadi lebih terbuka. Menurut BUCKLE et al. (1985) daging dengan pH rendah (pH 5,1 – 6,1) lebih disukai untuk mempertahankan faktor kualitas daging, diantaranya keempukan.
Tabel 2. Nilai shear force (keempukan) daging sapi pesisir (kg/cm2) Faktor A (level ransum)
Faktor B (lama penggemukan)
Rataan
b1 (3 bulan)
b2 (4 bulan)
a1 (50 % K + 50 % JA)
6.14
6.44
6.29a
a2 (75 % K + 25 % JA)
3.8
5.03
4.42b
Rataan
4.97
5.74
5.35
Superskrip yang berbeda menurut kolom yang sama menunjukan pengaruh berbeda nyata (P < 0,05)
259
2
Shear force ( kg/cm )
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
7 6 5 4 3 2 1 0
6,44
6,14
5,03 3,80
A1 (50% K + 50% JA) A2 (75% K + 25 % JA)
B1 (3 bulan) B2 (4 bulan) Lama penggemukan
Gambar 1. Histogram nilai shear force daging sapi pesisir
Daya mengikat air Nilai rataan daya mengikat air daging sapi Pesisir yang dipelihara secara intensif dengan level pemberian ransum yang berbeda dan digemukkan selama 3 bulan dan 4 bulan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor A (level pemberian ransum) dan faktor B (lama penggemukan) terhadap daya mengikat air daging (P > 0,05), begitu juga masing-masing perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Level pemberian ransum 50% konsentrat + 50% jerami amoniasi dan 75% konsentrat dan 25% jerami amoniasi 25% pada sapi Pesisir yang digemukkan selama 3 bulan dan 4 bulan ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap daya mengikat air daging. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan waktu penggemukan yang tidak begitu lama. Dari Tabel 3 terlihat rataan daya mengikat air daging sapi Pesisir berkisar antara 44,86 – 51,19%. Daya mengikat air daging sapi Pesisir ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan daya mengikat air sapi Australian Commercial Cross
(ACC), dimana hasil penelitian BASUKI (2000) daya mengikat air daging sapi ACC yang digemukkan dengan pakan protein tinggi (16,12%) selama 3 bulan dan 4 bulan adalah 35,34 dan 35,92%. Daging yang mempunyai daya mengikat air yang tinggi sangat cocok untuk produk daging olahan, sebab daging yang mempunyai daya mengikat air yang tinggi akan sedikit mengalami penyusutan selama pengolahan atau pemasakan. Daya mengikat air daging berhubungan erat dengan air terikat dari dalam otot. Air terikat dalam otot dibagi menjadi tiga kompartemen, yaitu air yang terikat secara kimia oleh protein otot sebesar 4 – 5%, sebagai lapisan kedua dari mono molekuler, air yang terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekuler air terhadap group hidrofilik sebesar kira-kira 4% dan lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein berjumlah kirakira 10% (FORREST et al., 1975). Cooking loss Rataan cooking loss daging sapi Pesisir dengan level pemberian ransum yang berbeda
Tabel 3. Nilai rataan daya mengikat air daging sapi pesisir (%) Faktor A (level ransum)
Faktor B (lama penggemukan)
Rataan
b1 (3 bulan)
b2 (4 bulan)
A1 (50% K + 50% JA)
45,18
46,78
45,98
A2 (75% K + 25% JA)
51,19
44,86
48,04
Rataan
48,20
45,82
47,01
260
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 4. Rataan cooking loss daging sapi pesisir (%) Faktor A (level ransum)
Faktor B (lama penggemukan)
Rataan
b1 (3 bulan)
b2 (4 bulan)
A1 (50 % K + 50 % JA)
44,16
38,72
41,44
A2 (75 % K + 25 % JA)
37,27
39,95
38,61
Rataan
40,71
39,34
40,02
dan digemukkan selama 3 bulan dan 4 bulan dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis ragam memperlihatkan tidak ada interaksi antara faktor A (level pemberian ransum) dengan faktor B (lama penggemukan) terhadap cooking loss daging sapi Pesisir (P > 0,05), begitu juga pengaruh masing-masing faktor pemberian ransum dan lama penggemukan juga tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (P > 0,05). Jadi perbedaan pemberian ransum 50% konsentrat + 50% jerami amoniasi dan 75% konsentrat + 25% jerami amoniasi yang dipelihara selama 3 bulan dan 4 bulan tidak mempengaruhi cooking loss daging sapi Pesisir. Hal ini juga terkait erat dengan daya mengikat air daging, yang mana perlakuan selama penelitian tidak berpengaruh terhadap daya mengikat air daging. Kalau daya mengikat air tinggi, maka cooking loss semakin rendah, begitu sebaliknya kalau daya mengikat air rendah maka cooking loss akan semakin tinggi. Menurut LAWRIE (1985) daya mengikat air daging sangat mempengaruhi cooking loss daging, dimana daya mengikat air yang tinggi akan mengurangi terjadinya penyusutan selama daging dimasak. Pada Tabel 4 dapat dilihat nilai cooking loss berkisar antara 37,27 – 44,16% dengan rata-rata 40,02%. Dilihat dari rataan tersebut nilai susut masak daging sapi Pesisir termasuk normal, dimana menurut SOEPARNO (1992) susut masak (cooking loss) daging sapi yang termasuk dalam kisaran normal adalah antara 15 – 40%. Faktor yang mempengaruhi susut masak menurut BOUTON et al. (1976) yakni status kontraksi myofibril. Serabut otot yang lebih pendek dapat meningkatkan susut masak (cooking loss), sebaliknya pertambahan umur ternak atau penggemukan yang semakin lama dapat menurunkan susut masak.
Tidak terjadinya perbedaan cooking loss daging sapi ini juga erat kaitannya dengan kadar air daging yang dikandungnya, dimana kandungan air diantara perlakuan juga tidak berbeda nyata. Menurut JUDGE et al. (1989) daya ikat air oleh protein daging mempunyai pengaruh yang besar terhadap susut masak daging masak, dimana daging yang mempunyai daya ikat air dan pH yang rendah akan banyak kehilangan cairan sehingga terjadi penurunan berat daging. KESIMPULAN 1. Tidak adanya interaksi antara level pemberian ransum dengan lama penggemukan terhadap keempukan, daya mengikat air dan cooking loss daging sapi Pesisir (P > 0,05). 2. Faktor level pemberian ransum berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap keempukan daging. Semakin tinggi persentase konsentrat dalam ransum akan menyebabkan daging semakin empuk. 3. Daya mengikat air dan cooking loss tidak dipengaruhi oleh level pemberian ransum dan lama penggemukan. DAFTAR PUSTAKA BASUKI, P. 2000. Kajian Optimalisasi Usaha Penggemukan Sapi (Feedlot) Melalui Manipulasi Pakan, Pertumbuhan Kompensasi dan Periode Waktu Penggemukan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. BOUTON, P.E., A.L. FORT, P.V. HARRIS, W.R. SORTHOSE, D. RATCLIFF and J.H.L. MORGAN. 1976. Influence cooking loss from meat. J. Anim. Sci. 44: 53.
261
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
BOWKER, W.A.T., R.G. DUMDAY, J.E. FRISCH, R.A. SWAN and N.M. TULLOH. 1978. A Course Manual and Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S. Canberra, Australia.
JUDGE, M.D., E.D. ABERLE, J.C. FORREST, H.B. HEDRICK and R.A. MERKEL. 1989. Principles of Meat Science. 2nd Ed. Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, Iowa.
BUCKLE, K.A., R.A. EDWAR, G.H. FLEET dan M. WOOTON. 1985. Food Science. Penterjemah: PURNOMO, H. dan ADIONO. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
LAWRIE, R.A. 1985. Meat Science. 4th Ed. Pergamon Press, Oxford, New York.
DITJENNAK. 2003. Rumusan Verifikasi dan Validasi Data. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. FORREST, G.J., ABERLE, H.B. HENDRICK, M.D. JUDGE and R.A. MERKEL. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco. GURNADI, E. 1993. Agroindustri Sapi Potong. Makalah Pembahasan. P.P.A. CIDES, U.O. Bangkit, PT Insan Mitra Satyamandiri, Jakarta.
262
NATASASMITA, S. 1987. Pengantar Evaluasi Daging. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. PEARSON, A.M. and T.R. DUTSON. 1985. Advance in Meat Research. Vol. 1. Electrical Stimulation. Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. SOEPARNO. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. UDIN,
Z. 2005. Pengaruh kawin pertama pascapartum sapi potong terhadap angka kebuntingan di Kodya Padang. Bull. Peternakan 29(4): 156 – 162.