Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
PENINGKATAN MUTU DAGING SAPI MELALUI PERBAIKAN GENETIK SIFAT KEEMPUKAN (TENDERNESS) DAGING LISA PRAHARANI
Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221 Bogor 16002 E-mad: balitnak(q-,) indo.net. id
ABSTRAK Permintaan konsumen terhadap produk daging yang berkualitas semakin menuntut produsen untuk menghasilkan daging dengan karakteristik sesuai kesukaan konsumen . Industri sapi potong tertantang secara konsisten menyediakan daging/karkas sapi baik kuantitas dan kualitas yang baik saja guna memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat . Beberapa metoda pengukuran keempukan daging diantaranya yang paling terkenal dan digunakan sebagai standar adalah metoda shear force . Keempukan dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebelum dan sesudah pemotongan serta genetic bangsa ternak . Ragam sifat kualitas karkas termasuk komposisi karkas dan mutu daging cukup besar antara bangsa sapi potong dan antara individu ternak dalam bangsa yang sama . Perbedaan yang besar ini memungkinkan dalam upaya melalukan peningkatan dan perbaikan kualitas genetik terhadap sifat-sifat komponen karkas atau kualitas daging . Makalah ini memaparkan upaya perbaikan genetik sifat keempukan daging berdasarkan nilai Warner-bratzler shear force (WBSF) sebagai upaya meningkatkan mutu daging sapi . Kata kunci : Keempukan, daging sapi, warner-bratzler shear force, genetik PENDAHULUAN Permintaan daging terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, pendidikan, taraf hidup dari kesadaran akan nilai gizi produk hewani . Perubahan gaya hidup konsumen berkaitan dengan taraf hidup masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan mengarah kepada selera mengkonsumsi daging yang berkualitas tinggi . Konsumen di negara maju, berani membayar harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang baik menurut selera konsumen, sehingga mendorong produsen menghasilkan daging berkualitas baik dengan harga lebih tinggi (BROOKS et a!., 2000) . Industri sapi potong tertantang secara kontinyu tidak saja menyediakan daging secara kuantitas tetapi juga memenuhi selera konsumen melalui penyediaan ternak sapi dengan kualitas karkas yang baik. program pengembangan sapi potong di beberapa negara maju, telah mengarah kepada produk ternak berkualitas daging yang baik, disebabkan meningkatnya pasar terhadap daging yang lebih palatable (empuk) menjadikannya
prioritas utama dalam industri sapi potong . Konsumen menilai kualitas daging sapi yang disukai (palatable) berdasarkan beberapa sifat karakteristik daging antara lain warna, aroma, marbling, rasa (flavor), kelembaban daging (juiciness) dan keempukan (tenderness) yang berkaitan dengan kepuasan konsumen (eating satisfaction) dalam mengkonsumsi makan daging sapi (MILLER et al ., 2001). Sifat karakteristik daging tersebut yang menjadi dasar industri sapi potong dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan selera konsumen. Akan tetapi diantara sifat-sifat karakter daging, sifat keempukan daging sapi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan kepuasan konsumsi daging (BuRRow et al., 2001) dan menjadi salah satu sifat bemilai ekonomi tinggi, meskipun beberapa konsumen berpendapat bahwa palatabilitas daging sapi merupakan kombinasi dari ketiga sifat karakteristik (WHEELER
et al., 1999) .
Dalam kaitan memenuhi tuntutan daging sesuai selera konsumen beberapa faktor antara lain identifikasidanpengembanganternakdengangenetik superior, memperbaiki ling-kungan produksi ternak,
77
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
penanganan sebelum dan sesudah pemotongan ternak perlu menjadi perhatian (ROBINSON et al., 2001) . Beberapa faktor genetic dan lingkungan termasuk sebelum dan sesudah sapi dipotong yang mempengaruhi keempukan daging telah banyak dicatat . Beberapa penelitian melaporkan signifikan peningkatan keempukan daging diperoleh melalui beberapa faktor lingkungan antara lain perlakuan dan pengawasan fisiologi ternak yang akan dipotong dan perlakuan karkas setelah ternak dipotong (WHEELER et al ., 2000 ; SWANEK et al., 1999 ; WuLF et al., 1996) . Adanya keragaman keempukan daging dan beberapa sifat karkas antara individu ternak pada bangsa yang sama dan bangsa yang berbeda ditemukan dalam literature ( BERTRAND et al., 2001 ; RILEY et al., 2003). Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memaparkan sifat keempukan daging yang dapat ditingkatkan melalui perbaikan genetik dalam rangka meningkatkan kualitas daging . PREFERENSI DAN KONSUMSI DAGING SAPI BERKUALITAS Permintaan kuantitas daging dunia diramalkan meningkat sebesar 55% antara tahun 1997 dan 2020 (ROSEGRANT et al., 2001) . Peningkatan selera memakan daging sapi mengalami lonjakan besar terutama di Cina lebih dari 40% peningkatannya . Sedangkan perm intaan daging di negara berkembang akan meningkat sebesar 70 juta ton antara tahun 2002 dan 2020 . Pertambahan populasi penduduk dunia dari 6 miliar pada tahun 2000 menjadi 7 .5 milliar pada tahun 2020 (ROSEGRANT et al ., 2001) . Permintaan daging sapi di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan mencapai 494,000 ton pada tahun 2010, dengan peningkatan konsumsi daging sapi menjadi 30% dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 40-60% per tahun (Bps, 2006) . Keempukan daging menjadi salah satu sifat bernilai ekonomi berkaitan dengan evaluasi konsumen terhadap nilai palatabilitas dan kepuasan konsumsi daging (MILLER et al., 2001). Hubungan antara keempukan daging dan kepuasan konsumen terhadap konsumsi daging sapi telah banyak dilaporkan . Penelitian yang dilakukan oleh
78
et al. (1993) menujukan 64% konsumen memilih sifat keempukan daging sebagai faktor utama penentuan tingkat kepaasan konsumen dalam mengkonsumsi daging sapi, 20% konsumen memilih rasa (flavor) dan 11% kelembaban daging (juiceness) . Sedangkan dari penelitian MILLER et al. (2001) melaporkan 50% konsumen memilih keempukan sebagai faktor penting dalam menilai daging sapi panggang (steak) . Pedagang daging sapi dan rumah makan saat ini cenderung menjual daging yang empuk guna memuaskan selera konsumen (NCBA, 2000), meskipun dilaporkan lebih dari 30% daging steak yang disajikan ternyata kurang memuaskan selera konsumen disebabkan kurang empuk (ROEBER et al., 2001) . Hasil penelitian uji panel WHEELER et al.(2000) memperlihatkan bahwa 20% karkas menghasil-kan daging yang empuk, 68% kurang empuk dan 11% daging Hat (keras), sedangkan penelitian lainnya hanya memperlihatkan 15-20% daging steak termasuk kategori empuk; dan 10-25% daging steak yang dijual pedagang dan restaurant termasuk keras sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar (MORGAN et al., 1991 ; MCKENNA et al., 2002) . Keempukan daging menjadi perhatian penting karena berhubungan dengan tambahan keuntungan bagi pedagang daging dan restauran, sehingga usaha mendapatkan produk daging yang empuk yang berasal dari ternak superior yang memiliki sifat daging yang empuk ataupun melalui perlakuan khusus pada saat atau sebelum ternak dipotong perlu diupayakan . Di negara maju seperti Amerika dilaporkan 78% konsumen ingin membayar lebih (ekstra) daging dengan keempukan yang tinggi (BOLEMAN et al., 1997) . JEREMIAH
METODA PENGUKURAN KUALITAS DAGING Ada beberapa cara mengukur keempukan daging antara lain melalui uji panel rasa, menggunakan komputer seperti dengan ultrasound, evaluasi irisan daging pada bagian karkas tertentu . Uji rasa bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh tingkat/selera manusia yang berbeda antara individu peserta panel, sehingga dapat menimbulkan bias, meskipun
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
sebelumnya peserta panel telah diberi training agar
untuk steak dengan nilai WBSF maksimum 4 .1 kg
lebih sensitif/peka dan tepat dalam mendeteksi
agar dapat diterima oleh 98% konsumen .
perbedaan keempukan . Upaya mengembangkan instrumen dalam rangka meningkatkan akurasi
FAKTOR MEMPENGARUHI KUALITAS
pengukuran keempukan daging telah banyak dilakukan melalui
termasuk
penggunaan
ultrasound
sistem
(CuLioLI,
1995) .
Pengukuran palatabilitas daging sapi yang telah dimasak menggunakan visualisasi komputer telah dikembangkan (BELK
et al .,
2001) .
Sedangkan
pengukuran kekerasan serat daging
(myofibril)
melalui pemotongan (irisan) daging secara mekanik menggunakan pisau pada bagian karkas tertentu yang terkenal dengan istilah
shear force
(BouTON
dan HARRIS, 1972) . Metoda terkenal yang banyak digunakan dalam pengukuran keempukan daging adalah
bratzler shear force ("SF) .
Warner-
Metoda ini pertama
kali digunakan oleh WARNER (1952) dan BRATZLER (1954) dan telah ditetapkan sebagai standar dalam pengukuran keempukan daging (CuLIOLI, 1995) . Beberapa laporan menyebutkan metoda WBSF lebih mudah, akurat, sederhana, murah dan cepat dengan repeatabilitas yang tinggi dibandingkan uji panel dan ultrasound serta metodashearfoce lainnya
et al ., 1995 ; VAN OECKEL et al ., 1999 ; WHEELER et al., 2000 ;). Oleh karena itu National Cattlemen's Beef Association (NCBA) di Amerika (SHACKELFORD
memakai WBSF sebagai standar pengukuran keempukan daging dalam mengevaluasi genetic sifat keempukan daging sapi (AMSA, 1995) . Metoda WBSF atau shear force lainnya memiliki satuan unit kilogram,
dimana pengukuran ditetapkan
sebagai jumlah kekuatan
(kg) yang digunakan
untuk mengiris 1 centimeter kubik (cm 3 ) daging dari bagian karkas tertentu . Dalam praktiknya, belum ada standar yang pasti yang dapat menghubungkan
DAGING SAPI
komputer
shear force dengan al. (2002)
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor genetik
(non genetik) ternak sebelum pemotong (ante- dan post-mortem) .
dan lingkungan dan sesudah
Beberapa penelitian melaporkan faktor lingkungan (non-genetik) yang mempengaruhi keempukan/ kualitas daging sapi antara lain umur ternak pada
et al ., 1996), kastrasi temak et al ., 1999), kondisi kesehatan dipotong (GARDNER et al ., 1999),
saat dipotong (WULF (MARTINEZ-PERAZA ternak pada saat
kandungan energi dalam pakan yang diberikan selama penggemukan ternak (VAN KOEVERING et al., 1995), stress ternak sebelum dipotong
et al ., 1997), kandungan lemak tubuh ternak (DIKEMAN, 1996), dan perlakuan selama proses pelayuan karkas sesudah pemotongan (VoISINET
(KooHIvIAR.&IE, 1995) berkaitan dengan
rigor mortis .
Proses pengempukan daging merupakan proses melemahnya tegangan serat daging disebabkan proteolisis protein melalui proses enzimatik yang terjadi segera setelah pemotongan hewan, sehingga daging akan semakin lama semakin empuk setelah pemotongan (WHEELER
dan KOOHMARAIE,
1994 ;
JIANG, 1998) . Untuk
meningkatkan keempukan
sapi melalui faktor
non
daging
genetik memerlukan
tambahan biaya yang digunakan untuk perlakuan yang diberikan pada ternak sebelum dan sesudah pemotongan . Sebagai alternatif lain, peningkatan kualitas daging melalui perbaikan genetik dapat dilakukan baik melalui persilangan antara bangsa ternak ataupun seleksi .
keempukan daging daging sapi . DEVITT et
menganggap bahwa daging yang diklasifikasikan empuk bila memiliki nilai
et al.
shear force
Faktor genetik sifat keempukan daging
maksimum
kecil nilai WBSF semakin empuk daging tersebut,
genetik terhadap total Pengaruh faktor keragaman sifat karkas dan keempukan daging
dimana dilaporkan tingkat kepuasan konsumen
yang cukup signifikan telah banyak dilaporkan
terhadap konsumsi daging sapi yang memiliki
baik antara bangsa sapi mapun antara individu
nilai WBSF berturut-turut < 3 .0, 3 .4, 4 .0, 4 .3, dan
ternak sapi seperti dalam ringkasan
> 4.9 kg sebesar 100%, 995, 945, 865, dan 25%
(1994), BERTRAND
consumer .
al.
4 .05 kg . MILLER
(2001) menunjukan semakin
HUFFMAN (1996) menyarankan industri
et al.
MARSHAL
(2001) dan BuRRow
et
(2001) . Sebuah review oleh UTRERA dan VAN
sapi potong sebaiknya menghasilkan daging sarpi
79
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
VLECK (2004) yang merangkum berbagai sumber sejak tahun 1964 sampai tahun 2004 melaporkan . nilai ragam genetic dari 14 macam sifat karkas
yang menyimpulkan bahwa rataan nilai heritabilitas dari berbagai sifat karkas termasuk dalam kategori sedang (moderate) . Perbedaan antara individu pejantan dalam bangsa temak yang sama lebih besar dibandingkan antara bangsa yang berbeda (O'cONNOR et al., 1997) . Tabel 1 memperlihatkan besarnya variasi genetik yang terukur sebagai
nilai heritabilitas WBSF beberapa bangsa sapi dari beberapa sumber penelitian . Secara umum variasi nilai WBSF terlihat berkisar rendah sampai sedang antara 0 .12 dan 0 .92 dengan rataan 0 .5, yang berarti 50% variasi keempukan daging berdasarkan nilai WBSF berasal dari variasi genetiknya, meskipun BuRRow et al. (2001) melaporkan heritabilitas yang rendah (0 .05) . Berdasarkan besarnya variasi genetic nilai WBSF diharapkan perbaikan genetic keempukan daging melalui seleksi akan efektif.
Tabel 1 . Nilai heritabilitas WBSF beberapa bangsa sapi dari berbagai sumber Sumber Bangsa sapi
WBSF
B . taurus dan indicus
0,31
B. taurus dan indicus
0,53
et al., 1996 ROBINSON et al., 2001
B. taurus dan indicus B. taurus dan indicus B. taurus dan indicus
0,17-0,58 0,37
et al ., 2001
B. taurus dan indicus
0,22
B. taurus dan indicus
0,37
B. taurus dan indicus Crossbred
0,05-0,92 0,12-0,41
B. taurus dan indicus
0,17-0,47
Crossbred
0,17-58
VAN VLECK
et al., 1992
SHACKELFORD BARKHOUSE
et al., 1994
et al., 1996
WHEELER
BERTRAND
MARSHALL,
1994
et al., 2001 et al., 1996
BURROW WULF
O'CoNNOR
et al., 1997
ELzo et al., 1998
0,38
Sumber: PRAHARANI (2004)
Keempukan daging bervariasi antar bangsa sapi seperti yang terlihat adanya perbedaan keempukan daging antara sapi Bos indicus dan Bos taurus dimana faktor utama yang membedakannya antara lain derajat marbling, jaringan penghubung terhadap toleran panas dalam serat daging, perbedaan enzimatik dalam proses degradasi protein serat daging selama proses pelayuan, perbedaan biokimia tubuh (JOHNSON et al ., 1990 ; WHEELER et al., 2000) . Sapi Bos indicus memiliki tingkat keempukan daging lebih rendah dibandingkan sapi Bos taurus (KocH et al . 1982) . Nilai WBSF sapi Brahman dilaporkan lebih tinggi dibandingkan sapi bangsa Angus, Charolais dan Hereford (DEROUEN et al., 1992) . Keempukan daging bangsa sapi Eropa (British breeds) seperti sapi Angus, memiliki nilai WBSF lebih rendah dan amat disukai konsumen (BuRRow et al ., 2001) . Perbedaan besar nilai WBSF antara sapi Eropa dan sapi lainnya bangsa Bos taurus dilapokan oleh beberapa literature (GREGORY et
80
al., 1995 ; WULF et al., 1996) . Bangsa sapi Angus, Hereford, dan Shorthorn, menghasilkan daging yang sangat disukai karena tingkat keempukan yang tinggi dimana 90% sebagai pilihan prime (CUNDIFF et al., 2001), meskipun variasi antara individu tetap ada . Diantara bangsa sapi Eropa (British breeds), sapi Angus merupakan sapi superior dalam keempukan dagingnya dengan tingkat marbling yang tinggi (CUNDIFF et al., 2001) . Sapi Angus terkenal didunia menghasilkan keempukan daging secara konsisten dan memiliki kemampuan genetic dalam memproduksi daging bernilai WBSF terendah (BIDNER et al., 2002) . Tabel 2 memperlihatkan rataan nilai WBSF pada beberapa bangsa sapi, dimana sapi Angus memiliki nilai WBSF terendah (sangat empuk) dengan hasil uji panel rasa keempukan tertinggi (sanga empuk) diantara bangsa sapi tersebut . Sedangkan sapi Brahman memiliki nilai WBSF tertinggi dengan nilai uji panel keempukan daging terendah (keras) . Sapi Brahaman dan Boran termasuk Bos indicus .
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan'Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Tabel 2. Rataan nilai WBSF beberapa sapi' Bangsa sapi
Jumlah sampel
WBSF
Uji panel
Red poll Hereford Angus Limousin Braunvieh Pinzgauer Gelbvieh Simmental Charolais Brahman Boran
114 146 118 142 139 118 150 127 126 119 151
4,72 5,08 4,49 5,62 5,08 4,94 5,76 5,49 5,17 7,30 6,68
5,15 5,10 5,60 4,88 5,06 5,43 4,63 4,80 4,90 4,00 4,48
Keterangan :
'CUNDIFF DAN GREGORY (1999) ;
Uji panel : Nilai 1 : liat/keras, nilai 8 : sangat empuk sekali
Sapi dengan darah Brahman (hasil persilangan dengan sapi Brahman) memiliki nilai WBSF lebih tinggi . Persentase peningkatan darah antara sapi Bos indicus berbeda terhadap peningkatan nilai WBSF, seperti laporan KOCH et al. (1982) yang menyatakan peningkatan nilai WBSF sebesar 1 .32 kg bila persentase darah Sahiwal meningkat 25% . Sedangkan batasan tingkat penerimaan konsumen terhadap keempukan daging bila daging berasal dari sapi keturunan Brahman dibawah 14% dan Sahiwal dibawah 20%, selebihnya kepuasan konsumen terhadap konsumsi daging berkurang . Penelitian yang dilakukan O'coNNOR et al. (1997) melaporkan adanya hubungan positif antara nilai WBSF dengan persentase darah sapi Brahman, dimana semakin tinggi persentase darah sapi Brahman semakin tinggi nilai WBSF . Peningkatan nilai WBSF sebesar 0 .73 kg terjadi bila setiap peningkatan 25% darah Brahman (CROUSE et al., 1993) . Sementara variasi keempukan diantara bangsa Bos indicus lebih besar dibandingkan diantara Bos taurus . Penetapan pembentukan bangsa komposit sapi potong yang menggunakan darah sapi Brahman banyak diperdebatkan . Penggunaan darah Brahman disarankan tidak melebihi proporsi darah sebesar 3/8 dengan 5/8 darah bangsa Bos taurus yang memiliki kualitas keempukan daging yang tinggi (O'coNNOR et al ., 1997) . Tetapi BURROW et al . (2001) memberikan batasan paling sedikit ada 25% darah sapi bangsa yang berasal dari Inggris (British breeds) bila ingin membentuk bangsa sapi komposit . Penelitian lainnya menganjur-kan
sedikitnya ada 62 .5% darah Bos taurus (British breeds) dalam persilangan dengan Bos indicus guna mendapatkan keempukan daging yang dapat diterima oleh konsumen (BARKHOUSE et al., 1996) . SELEKSI KEEMPUKAN DAGING BERDASARKAN NILAI WBSF Berdasarkan besamya nilai heritabilitas WBSF terlihat bahwa perbaikan genetik sifat keempukan daging dapat dilakukan . Respon langsung dari seleksi terhadap satu sifat tergantung kepada nilai heritabilitas, ketepatan seleksi dan seleksi diferensial antara temak yang dipilih dan ternak yang tidak dipakai menjadi tetua . Seleksi berdasarkan nilai genetic (breeding value) ternak pada beberapa sifat karkas sapi potong telah memperlihatkan adanya tren kemajuan genetiknya seperti yang dilaporkan dalam literatur (GWARTNEY et al., 1996 ; VIESELMEYER et al ., 1996 ; BERTRAND et al., 2001) . Suatu penelitian seleksi keempukan daging berdasarkan nilai WBSF pada sapi Angus di University of Florida telah dilakukan oleh PRAHARAm (2004) . Penelitian tersebut bertujuan mengevaluasi perubahan genetik dan phenotypic nilai WBSF sebagai akibat seleksi dua arah berdasarkan nilai WBSF terendah dan tertinggi . Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan rataan nilai WBSF antara grup ternak seleksi nilai WBSF rendah dan WBSF tinggi yaitu sebesar 3 .55 kg dibandingkan dengan ternak diseleksi nilai
81
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
WBSF tinggi sebesar 4 .00 kg . Perbedaan nilai
C . SMITH . 2001 . Evaluation of the Tendertec beef
pemuliaan (expected breeding value = EBV) juga
grading instrument to predict the tenderness of steaks from beef carcasses . J. Anim. Sci . 79:688697 .
terjadi antara grup seleksi nilai WBSF rendah dan tinggi yaitu sebesar -0 .25 dibandingkan 0 .37 kg . Tren penurunan nilai WBSF pada grup seleksi WBSF rendah baik nilai genetiknya maupun phenotypiknya . Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa seleksi terhadap nilai WBSF yang rendah memperlihatkan kemajuan genetik dan phenotipik sehingga berdampak pada generasi selanjutnya yang akan memiliki tingkat keempukan daging yang lebih tinggi, dimana progeny dari grup seleksi WBSF rendah memiliki nilai WBSF lebih dari orangtuanya.
Keempukan
daging
merupakan
penentu kepuasan
traits . J . Anim . Sci . (E . Suppl) : E190-E200 . BIDNER, T. D . W. E . WYATT, P. E . HUMES, D . E . FRANKE, and D . C . BLOWN. 2002 . Influence of Brahman-
derivative breeds and Angus on carcass traits, physical composition, and palatability . J . Anim Sci . 80: 2126-2133 . BOLEMAN, S . J ., S. L . BOLEMAN, R. K . MILLER, J . F. TAYLOR, H . R . CROSS, T. L . WHEELER, M .KOOHMARARIE, S .
D . SHACKELFORD, M. F. MILLER, R. L. WEST, D . D . JOHNSON, and J . W. SAVELL . 1997 . Consumer evaluation of beef of known categories of tenderness . J .Anim . Sci . 75 :1521-1534 .
KESIMPULAN
utama
BERTRAND, J . K ., R. D . GREEN, W. O . HERRING, and D. W. MOSER. 2001 . Genetic evaluation for beef carcass
faktor
konsumen dalam
meengkonsumsi daging sapi . Berbagai cara dalam upaya meningkatkan tingkat keempukan daging
BOLTON, P . E., and P. V. HARRIS . 1972 . The effects of
some post-slaughter treatments on the mechanical properties of bovine and ovine muscle . J . Food Sci . 37 :539-543 .
salah satunya melalui perbaikan genetic dengan menggunakan metoda WBSF
yang merupakan
metoda akurat, murah, cepat dan banyak digunakan . Adanya variasi genetic nilai WBSF antara individu dan bangsa sapi, dimana bangsa Bos taurus (British
breed) merupakan bangsa sapi tingkat
keempukan
yang
daging tinggi .
memiliki Besarnya
keragaman genetik nilai WBSF menunjukan bahwa perbaikan genetik mutu daging sapi dapat dilakukan
BRATZLER, L . J . 1954 . Using the Warner-Bratzler Shear.
Proc . Recip . Meat Conf. 7 :154 160 . BROOKS, J . C ., J . B . BELEW, D . B . GRIFFIN, B .
L.
GWARTNEY,
D . S . HALE, W. R . HENNING, D .D . JOHNSON, J . B. MORGAN, F. C . PARRISH, JR ., J. O. REAGAN, and J. W. SAVELL . 2000 . National Beef Tenderness Survey1998 . J . Anim . Sci . 78 :1852-1860 . BURROW, 11 .
M ., S . S . MOORE . D . J . JOHNSTON, W.
melalui seleksi terhadap nilai WBSF sebagai upaya
BARENDSE, and B . M . BINDON . 2001 . Quantitative
meningkatkan keempukan daging sesuai selera konsumen .
and molecular genetic influences on properties of beef: A review. Aust. J . Exp . Agric . 41 :893-920 .
L . V. CUNDIFF, R. M. KOCH, M . KOOHMARAIE, and S . C . SEIDEMAN . 1993 . Comparisons of Bos indicus and Bos taurus inheritance for carcass beef characteristics and meat palatability . J. Anim . Sci . 67 :2661-2668 .
CROUSE, J . D .,
DAFTAR PUSTAKA AMSA .
1995 . Research guidelines for cookery, sensory evaluation and instrumental tenderness measurements of fresh meat . Am . Meat Sci . Assoc . Chicago, IL .
BPS . 2006 . Biro Pusat Statistik . Jakarta . Indonesia. BARKHOUSE, K . L ., L . D . VAN VLECK, L . V. CUNDIFF, M . KOOHMARAIE, D . 1) . LUNSTRA, and J . D . CROUSE .
1996 . Prediction of breeding values for tenderness of market animals from measurements on bulls . J. Anim . Sci . 74 :2612-2621 . BELK, K . E ., M . H . GEORGE, J. D . TATUM, G . G. HII rON, R . K. MILLER, M . KOOHMARAIE, J . O . REAGAN, and G .
82
J. 1995 . Meat tenderness : Mechanical Assessment . In : A . OUALI, D.I . DEMEYER, and F.J.M . SMULDERS (Ed .) Expression of Tissue Proteinases and Regulation of Protein Degradation as Related to Meat Quality . Pp 239-263 . ECCEAMST, Utrecht, The Netherlands .
CULIOLI,
CUNDIFF,
L . V., T. L .
WHEELER, K . E . GREGORY, S . D .
SHACKELFORD, M. KOOHMARAIE, R . M . THALLMAN,
G . D . SNOWDER, and L . D . VAN VLECK . 2001 . Germplasm Evaluation Program Progress Report No . 21 .
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
CUNDIFF, LX,, and K .E . GREGORY. 1999 . What is systematic crossbreeding? Proc . NCBA Cattleman's College, Charlotte, NC, February, 1999. DEROUEN, S . M ., D . E . FRANKE, T. D. BIDNER, and D. C . BLOUIN . 1992 . Two-, three-, and fourbreed rotational crossbreeding of beef cattle : carcass traits . J . Anim . Sci . 19 :820-844 . DEVITT, C . J . B ., J . W. WILTON, 1. B . MANDELL, T. L . FERNANDES, and S .P. MILLER. 2002 . Genetic evaluation of tenderness of the longissimus in multi-breed populations of beef cattle and the implications of selection . 7th World Congr. Genet. Appl. Livest . Prod . Montpellier, France . DIKEMAN, M. E . 1996 . The relationship of animal leanness to meat tenderness . Proc . Recip . Meat Conf. 49 :87101 . ELZO, M . A ., and D . L . WAKEMAN . 1998 . Covariance components and prediction for additive and nonadditive preweaning growth genetic effects in an Angus-Brahman multibreed herd. J . Anim . Sci . 76 :1290-1302 . GARDNER, B . A., H. G . DOLEZAL, L . K . BRYANT, F. N . OWENS, and R. A . SMITH . 1999. Health of finishing steers : effects on performance, carcass traits, and meat tenderness . J . Anim . Sci . 77 : 3168-3175 . GREGORY, K . E ., L . V CUNDIFF and R. M . KOCH . 1995 . Genetic and phenotypic (co)variances for growth and carcass traits of purebred and composite populations of beef cattle . J . Anim Sci . 73 :19201926 . GWARTNEY, B .L ., C .R. CALKINS, R.J . RASBY . R .A . STOCK, B .A. VIESELMEYER, and J .A . GosEY . 1996. Use of expected progeny differences for marbling in beef: II . Carcass and palatability traits . Journal of animal science . 74 :1014-1022 .
JOHNSON, and D . D. HARGROVE . 1990 . Differences in cathepsin B + L and calcium-dependent protease activities among breed type and their relationship to beef tenderness . J . Anim . Sci 68 :2371-2379. KOCH, R . M., L . V. CUNDIFF, and K. E . GREGORY . 1982. Heritabilities and genetic, environmental, and phenotypic correlations of carcass traits n a population diverse biological types and their implications in selection programs. J . Anim . Sci. 55 :1319-1329. KOOHMARAIE, M ., S . D . SHACKELFORD, T. L . WHEELER, S . M . LONERGAN, and M. E . DouMrr . 1995 . A muscle hypertrophy condition in lamb (callipyge) : characterization of effects on muscle growth and meat quality. J . Anim . Sci . 73 :3596-3607 . MARSHALL, D. M. 1994 . Breed differences and genetic parameters for body composition traits in beef cattle . J . Anim . Sci. 72 :2745-2755 . MARTINEZ-PERAZA, M . J ., K . E . BELK, J . D . TATUM, and G. C . SMITH . 1999 . Effects of age at castration, implant strategy and aging on the tenderness of longissimus muscle steaks derived from steers, late castrates, and intact bulls . 1999 Beef Program Rep ., Dept. of Anim . Sci ., Colorado State Univ ., Fort, Collins . pp 135-150 . MCKENNA, D .R ., D .L . ROEBER, P.K . BATES, T.B . SCHMIDT, D.S . HALE, D .B . GRIFFIN, J .W. SAVELL, J.C . BROOKS, J.B . MORGAN, T.H . MONTGOMERY, K.E . BELK, and G .C . SMITH. 2002 . National Beef Quality Audit-2000 : Survey of targeted cattle and carcass characteristics related to beef quality, quantity, and value of fed steers and heifers . J . Anim. Sci . 80 :1212-1222 . MILLER, M . F., M . A . CARR, C. B . RAMSEY, K . L . CROCKETT, and L . C . HOOVER . 2001 . Consumer thresholds for establishing the value of beef tenderness . J. Anim. Sci . 79 :3062 .
HUFFMAN, K . L ., M. F. MILLER, L . C . HOOVER, C . K . Wu, H. C . BRITTIN, and C. B . RAMSEY . 1996 . Effect of beef tenderness on consumer satisfaction with steaks consumed in the home and restaurant . J . Anim Sci . 74 : 91-97 .
MORGAN, J . B ., J. W. SAVELL, D . S . HALE, R . K. MILLER, D . B . GRIFFIN, H . R. CROSS, and S .SHACKELFORD. 1991 . National Beef Tenderness Survey. J . Anim. Sci . 69 :32
JEREMIAH, L E ., A . K . W . TONG, S . D .M. JONES, and C . MCDONELL . 1993 . J . Consumer Stud . and Home Econ . 17 :13-37 .
NATIONAL CATTLEMEN'S BEEF ASSOCIATION (NCBA) . 2000 . Beef value cuts : New Cuts for the consumer . National Cattlemen's BeefAssociation, Englewood, CO .
JIANG, S . 1998 . Contribution of muscle proteinases to meat tenderization . Proc . Nat. Sci .Council ., ROC . 22 :97-107 . JOHNSON, M . H ., C . R. CALKINS, R . D . HUFFMAN, D . D .
O'CONNOR, S . F., J . D . TATUM, D . M . WULF, R . D . GREEN, and G . C . SMITH . 1997 . Genetic effects on beef tenderness in Bos indicus composite and Bos taurus cattle . J. Anim . Sci . 75 :1822 .1830.
83
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
L . 2004 . Genetic evaluation for growth traits, reproductive performance and meat tenderness . Dissertation . University of Florida . USA .
I]UTRERA,
D. G ., C . C . CHASE, JR ., A . C . HAMMOND, R . L . D . D . JOHNSON, T. A . OLSON, and S. W. COLEMAN . 2003 . Estimated genetic parameters for palatability traits of steaks from Brahman cattle . J . Anim . Sci . 81 :54-60.
VAN KOEVERING, M . T.,
D . L ., D . M. FERGUSON, V. H . ODDY, D . and J . M . THOMPSON . 2001 . Genetic and environmental influences on beef tenderness. Aust . J. Exp . Agric . 41 :997-1004.
VAN OECKEL, M .J ., N.WARNANTS,
PRAHARANI.
RILEY,
WEST,
ROBINSON,
PERRY,
ROEBER, D . L . P. D. MIES, C . D . SMITH, K . E. BELK, T. G . FIELD, J . D . TATUM, J . A . SCANGA, and G . C . SMITH .
National market cow and bull beef quality audit- 1999 : a survey of producer-related defects in market cows and bulls . J . Anim Sci . 79 : 658-665 . 2001 .
ROSEGRANT, M . W . ; PAINSNER, M . S . ; MEIJER, S . and WITCOVER, J . 2001 . 2020 Global Food Outlook .
International Food Policy Research Insitute . Washigton, D . C . SHACKELFORD, S . D ., T. L . WHEELER, and M . KOOHMARAIE . 1995 . Relationship between shear force and trained
sensory panel tenderness ratings of ten major muscles from Bos indicus and Bos taurus cattle . J . Anim . Sci . 73 :3333-3340 . SWANEK, S . S ., J . B . MORGAN, F. N . OWENS, C . A . STRASIA, H . G . DOLEZAL, and
D . R . GILL, F . K . RAY . 1999. Vitamin D3 supplementation of beef steers increases longissimus tenderness . J . Anim . Sci. 77 :874-881 .
84
A . R . and VAN VLECK, L. D . 2004 . Heritability estimates for carcass traits of cattle : a review. Genetics and Molecular Research 3 (3) :380-394
D . R . GILL, F. N . OWENS, H . G . and C . A . STRASIA . 1995 . Effect of time on feed on performance of feedlot steers, carcass characteristics, and tenderness and composition of longissimus muscles . J . Anim . Sci . 73 :21-28 . DOLEZAL,
and CH .V. BOUCQUE . 1999 . Pork tenderness estimation by taste panel, Warner-Bratzler shear force and on-line methods . Meat Sci . 53 :259-267 . R .J. RASBY, B .L . GWARTNEY, C .R . R .A . STOCK, and J .A . GosEY . 1996 . Use of expected progeny differences for marbling in beef: I . Production traits . Journal of animal science .
VIESELMEYER, B.A., CALKINS,
74 :1009-1013 .
K .F. 1952 . Adventures in testing meat for tenderness . Proc . Recip . Meat Conf. 5 :156 160.
WARNER,
L ., S . D . SHACKELFORD, and M . KOOHMARAIE. 2000 . Relationship of beef longissimus tenderness classes to tenderness of gluteus medius, semimembranosus, and biceps femoris. J. Anim . Sci . 78 :2856-2861 .
WHEELER, T.
L ., and M . KOOHMARAIE. 1994 . Prerigor and postrigor changes in tenderness of ovine longissimus muscle . J . Anim . Sci . 72 :1232-1238 .
WHEELER, T.
WULF, D . M ., J . D . TATUM, B . L . GOLDEN, and
R . D . GREEN, J . B . MORGAN, G . C . SMITH. 1996 . Genetic influences on beef longissimus palatability in Charolais- and Limousin-sired steers and heifers . J . Anim . Sci . 74 :2394-2405 .