1 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
KECENDERUNGAN SIKAP MENYONTEK SISWA: SEBUAH STUDI SOSIOLOGI PENDIDIKAN Oleh : Yuliana Martha Tresia Sosiologi FISIP UI Program S1 Reguler
[email protected] ABSTRACT Student‟s cheating attitude is not a simple matter, it has relations with the student‟s possibility to do corruption in future time. In the view of moral education, both of them is included to dishonesty attitude, that uses whatever ways to reach the goals. This research focused to examine this student‟s cheating attitude. This research examine the relation between teacher‟s roles and peer group socialization toward the student tendency in cheating attitude, which compared that relation in two different school type and different student class-level. The method is explanative quantitative research. The findings are teacher‟s roles and peer group socialization have no significant effect toward the student tendency in cheating attitude. Students tend to become rational than moral, to pursue the goal, that is to reach the good school grades. This rational choice is related to the social pressures around them. Although, the difference in student class-level and school type between the state-owned and the religious-private that became the object research, gave effects toward the relations. Keywords : Moral education, academic dishonesty, student‟s cheating attitude, teacher‟s roles, peer group socialization. PENDAHULUAN Lahirnya rancangan pendidikan anti-korupsi yang akan diinternalisasi ke dalam kurikulum sekolahsekolah di Indonesia, mengundang perhatian khusus. Pendidikan anti-korupsi, bisa jadi menggambarkan bagaimana kondisi pendidikan moral di Indonesia, yang harus diakui masih membutuhkan banyak pembenahan. Pendidikan moral merupakan sesuatu yang termasuk ke dalam peran “mendidik” dari sekolah, selain peran utama lainnya dari sekolah untuk “mengajar” siswa mengenai ilmu pengetahuan yang berguna untuk masa depan siswa. Pendidikan moral ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa, sehingga seharusnya mendapatkan posisi signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia. Meskipun begitu, pendidikan moral ini perlu untuk dikaji ulang, terutama seiring munculnya permasalahan pelik dalam pendidikan kita, seperti masalah menyontek massal yang terjadi di 2011 lalu. Jika dikaitkan dengan pendidikan anti-korupsi, perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan moral, menjadi fokus yang bisa diperhatikan lebih jauh. Salah satu kasus ketidakjujuran dalam pendidikan Indonesia terkuak dalam skandal menyontek massal di tahun 2011 lalu, di SD Negeri 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta, dan SDN Gadel II Kota Surabaya. Dalam kasus menyontek massal ini, hal yang paling memprihatinkan adalah karena para pendidik yang seharusnya mengajarkan siswa nilai-nilai moralitas, malah menginisiasi, mendorong, dan mendukung siswa untuk melakukan perbuatan tidak jujur, yang berseberangan dengan nilai-nilai moralitas. Selain itu, sebenarnya banyak juga kasus kecurangan UN (Ujian Nasional) jenis lain yang terjadi, baik sudah maupun belum tertangkap dan terdata. Kasus ketidakjujuran di dalam pendidikan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata, baik yang dilakukan oleh siswa, maupun kasus ketidakjujuran akademis dimana pihak para pendidik dan pengelola pendidikan juga terlibat di dalamnya. Kasus ketidakjujuran akademis ini termasuk juga perilaku menyontek siswa ketika ujian di dalam kelas sehari-hari. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mohammad Nuh, yang mengatakan “kalau ujian saja nyontek, kalau sudah besar pasti korup”.1 Perilaku ketidakjujuran akademis, termasuk perilaku menyontek siswa, tidak bisa dianggap sebagai sebuah hal sepele, karena bisa menjadi awal berkembangnya perilaku tidak jujur di kemudian hari. Jika dibandingkan dengan perilaku korupsi, keduanya memang sama-sama merupakan perilaku tidak jujur dan perilaku yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuan yang 1
raih kelulusan 100% dengan kejujuran, http://118.98.223.68/kemdikbud/berita/145, diunduh pada Rabu, 11 April 2012.
2 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
diinginkan. Perilaku menyontek siswa juga tidak dapat dipandang sebelah mata, karena perilaku menyontek termasuk salah satu perilaku menyimpang, yang bertentangan dengan nilai dan norma sekolah. Tulisan ini memfokuskan diri untuk melihat perilaku ketidakjujuran akademis atau academic dishonesty tersebut, namun dalam tataran mikro dalam ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Tulisan ini dilakukan dalam tataran mikro, untuk dapat menangkap fenomena menyontek lebih dekat dan dalam. Perilaku ketidakjujuran akademis ini juga akan dibatasi dalam perilaku menyontek siswa ketika ujian di dalam kelas, dan dilihat secara holistik dalam tiga dimensi sikap, yaitu pemahaman-perasaan-dan-perilaku, sehingga dapat dikatakan tulisan ini akan melihat bagaimana kecenderungan sikap siswa untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas. Kecenderungan sikap menyontek siswa ini kemudian akan diuji dalam kaitannya dengan pengaruh peran guru dan sosialisasi peer group mengenai perilaku menyontek. Hal ini dikarenakan guru dan peer group merupakan pihak yang paling berperan dan berpengaruh untuk siswa dalam interaksinya yang intens di ruang kelas sehari-hari. Tulisan ini juga ingin membandingkan kondisi antara kedua jenis sekolah berbeda, yaitu sekolah keagamaan dengan sekolah non-keagamaan. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan penting, karena penulis berasumsi bahwa sekolah keagamaan seharusnya bisa menjalankan pendidikan moral yang lebih intens dan mungkin lebih berdampak, dibandingkan sekolah umum atau sekolah non-keagamaan. Hal ini karena sekolah keagamaan, dalam orientasi dan dasar nilai-nilai agama yang dianutnya seharusnya memberikan pijakan yang lebih kuat untuk pendidikan moral para siswanya. Selain itu, tulisan ini lebih lanjut akan melihat apakah tingkat kelas siswa akan memberi pengaruh kepada kecenderungan siswa untuk menyontek. Tulisan ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksplanatif, yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara kecenderungan sikap menyontek siswa dengan peran guru dan sosialisasi peer group mengenai perilaku menyontek siswa. Pengumpulan data digunakan dengan teknik survei di dua sekolah yang berbeda, yaitu SMA Negeri X dan SMA Swasta Keagamaan Y, di Provinsi Sumatera Utara. Sampel ditarik secara stratified dan random, menurut tingkat kelas X, XI, dan XII di kedua sekolah. Sampel ini berjumlah total 62 responden untuk SMA Negeri X, dan 77 responden untuk SMA Swasta Keagamaan Y. PENDIDIKAN MORAL Pendidikan moral adalah salah satu peran penting yang dilakukan oleh sekolah sebagai institusi pendidikan dan salah satu dari agen sosialisasi norma dan nilai masyarakat. Bertindak secara moral menurut Durkheim (1973), berarti “menaati suatu norma, yang menetapkan perilaku apa yang harus diambil pada suatu saat tertentu, bahkan sebelum kita dituntut untuk bertindak. Ruang lingkup moralitas adalah ruang lingkup kewajiban” (p. 17). Dalam melihat pendidikan moral, Durkheim mengemukakan bahwa sekolah merupakan agen sosialisasi kedua terpenting setelah keluarga, bagi seseorang. Dalam peran sekolah untuk memberikan pendidikan moral, guru menjadi agen sosialisasi yang utama. Hal ini karena di dalam interaksinya dengan siswa yang intens setiap hari dalam proses belajar-mengajar di ruang kelas, maupun di luar proses belajar-mengajar, guru bisa mensosialisasi dan menginternalisasi nilai-nilai moralitas kepada anak didiknya. Farley (1992), mengatakan bahwa ada empat jenis proses dimana di dalamnya agen sosialisasi berperan dalam membentuk pemikiran dan perilaku dari subjek yang mendapatkan sosialisasi. Pertama, selective exposure (penjelasan selektif), dimana dalam proses ini, agen sosialisasi menjelaskan atau mengarahkan subjek yang disosialisasi kepada sejumlah perilaku dan sikap yang dinginkan, serta dilindungi dari perilaku dan sikap yang tidak diinginkan. Kedua, modelling (memberikan teladan), dimana dalam proses ini, subjek yang disosialisasi akan meniru atau mengulang sejumlah sikap dan perilaku yang mereka lihat dari agen sosialisasi, sehingga agen sosialisasi berperan dalam mencontohkan, atau menjadi model dalam sosialisasi sikap dan perilaku itu lebih dulu. Ketiga, reward and punishment (imbalan dan hukuman), dimana dalam proses ini, agen sosialisasi memberikan suatu bentuk apresiasi atau imbalan pada subjek yang disosialisasi ketika mereka melakukan atau meniru sikap dan perilaku seperti yang disosialisasikan, sebagai sebuah bentuk penerimaan. Sebaliknya, agen sosialisasi memberikan suatu bentuk hukuman (punishment) kepada subjek yang disosialisasi ketika mereka tidak melakukan atau tidak mengimitasi sikap dan perilaku seperti yang disosialisasikan. Proses reward and punishment ini menegaskan apa yang sudah dipelajari sebelumnya dalam proses selective exposure maupun modelling, oleh subjek yang mendapat sosialisasi. Terakhir, nurturance and identification (pemeliharaan dan identifikasi), dimana dalam proses ini, agen sosialisasi berperan dalam memperhatikan, membantu, dan mendukung subjek yang disosialisasi, dalam pembelajaran sikap dan perilaku, sehingga mendorong subjek yang disosialisasi untuk mengidentifikasi dirinya dengan agen sosialisasi. Guru, sebagai agen sosialisasi pendidikan moral utama di sekolah, juga 3 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
terlibat dalam empat proses ini, namun dalam melihat kecenderungan sikap menyontek siswa, tidak semua dari keempat proses ini terlibat. Penulis mengidentifikasi hanya proses selective exposure dan rewardpunishment saja yang relevan dalam melihat kecenderungan sikap menyontek siswa. Jadi dalam tulisan ini, peran guru dalam kecenderungan sikap menyontek siswa, sebagai salah satu variabel independen, dilihat dalam dua dimensi ini, yaitu dimensi selective exposure dan reward-punishment. Durkheim juga mengatakan bahwa pendidikan moral tidak selalu berkaitan dengan perihal agama. Agama memang mengajarkan mengenai moralitas, tetapi tidak semua moralitas berkaitan dengan agama. Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa ada dua jenis pendidikan moral, atau pendidikan moral ganda, yaitu pendidikan moral yang berdasarkan nilai-nilai keagamaan tertentu, dan pendidikan moral umum yang tidak berdasar atau berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan tertentu. Dari hal ini juga dapat dikatakan, sekolah keagamaan, sebagai sekolah yang mendasarkan proses kegiatan belajar-mengajarnya pada nilainilai keagamaan tertentu, akan menjalankan kedua jenis pendidikan moral tersebut. Pertama, pendidikan moral berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianut, misalnya dalam pelajaran Agama, ataupun dalam hidden curricullum-nya, dan kedua, pendidikan moral umum, seperti yang juga dilakukan oleh sekolahsekolah non-keagamaan lain, seperti dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah, yang mengacu kepada aturan kurikulum yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan. Jadi dapat disimpulkan, pendidikan moral seharusnya dapat lebih kuat dilaksanakan oleh Sekolah Keagamaan yang melakukan pendidikan moral ganda dan juga beracuan kepada sejumlah nilai moral keagamaan tertentu. PERILAKU MENYONTEK SISWA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG Sosialisasi yang dilakukan agen sosialisasi berkaitan erat dengan nilai dan norma sosial. Nilai dan norma sosial ini tergantung kepada kelompok sosial atau institusi sosial, yang menjadi agen sosialisasi tersebut. Dalam sekolah formal sebagai institusi pendidikan, menyontek atau yang lebih luas dikenal sebagai academic dishonesty, merupakan salah satu perilaku yang berusaha dihindarkan agar tidak terjadi di kalangan para siswa dan pengajar. Hal ini dapat dikatakan termasuk ke dalam perilaku menyimpang (deviant behaviour), yang didefenisikan Budirahayu (2010) sebagai “perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang telah disosialisasikan dan diharapkan untuk dilakukan” (p. 105). Dalam hal ini, academic dishonesty termasuk perilaku menyontek siswa, dapat dilihat dari sudut pandang normatif, dimana sikap ini tidak sesuai atau melanggar nilai dan norma yang telah disosialisasikan di sekolah kepada siswa. Meskipun begitu, jika dilihat dari sudut pandang anggota kelompok peer group siswa, belum tentu perilaku menyontek menjadi sebuah perilaku menyimpang (deviant behaviour). Hal ini bisa terjadi karena nilai dan norma sosial yang dianut dan disosialisasikan dalam kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat merupakan nilai dan norma sosial yang tidak selalu sama dan tidak selalu saling mendukung satu sama lainnya. Justru bisa jadi ketika seorang siswa berperilaku tidak menyontek, ia akan menjadi pihak yang non-konformis terhadap teman-teman kelompok peer-group-nya. Hal ini tentu saja bukan tanpa resiko atau dampak kepada siswa bersangkutan. Siswa yang berperilaku non-konformis terhadap peer groupnya bisa jadi menerima sejumlah dampak ataupun penolakan dari peer group-nya, hal ini disebabkan oleh kekuatan peer group untuk mempengaruhi anggota-anggotanya, sebagaimana yang dikatakan Henslin (2007) bahwa “kelompok teman sebaya memiliki daya paksa terhadap orang yang masuk ke dalamnya” (Damsar, 2011, p. 75). Dalam tulisan ini, pengaruh ini dilihat dalam variabel sosialisasi peer group dalam kecenderungan sikap menyontek siswa, yang menjadi salah satu variabel independen lain selain peran guru. Variabel ini dilihat dari dua dimensinya, yaitu dimensi isi sosialisasi dan intensitas sosialisasi. Teori Belajar atau Teori Sosialisasi, seperti juga yang dikemukakan Edwin H. Sutherland dalam Teori Asosiasi Differensial-nya dapat menjelaskan dimensi isi sosialisasi dalam melihat perilaku kecurangan akademis ini. Teori mengatakan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil proses belajar. Dalam hal ini, siswa melakukan proses belajar untuk melakukan kecurangan akademis tersebut, yaitu dengan melihat teman-teman peer group yang juga melakukan tindakan yang serupa. Jadi, mungkin teman peer group siswa tidak secara langsung mengajari siswa untuk menyontek, sebagaimana guru mengajari pelajaran kepada siswa di kelas, tetapi lebih pada proses belajar setelah melihat (tidak langsung). Perilaku kecurangan akademis, atau academic dishonesty ini mencakup defenisi yang cukup luas. Beberapa tulisan telah mencoba mendefenisikan academic dishonesty ini, seperti Pavela (1978) yang memberikan empat area umum dari academic dishonesty, yaitu: 1) academic dishonesty dengan menggunakan materi yang tidak sah dalam aktivitas akademik seperti dalam tugas, tes, dan sebagainya; 2) pemalsuan informasi, rujukan, atau hasil; 3) plagiarism; 4) membantu siswa lain terlibat dalam academic dishonesty misalnya, seperti mengizinkan siswa lain menyalin pekerjaannya, dan sebagainya (Lambert, Hogan dan Barton, 2003). Perilaku academic 4 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
dishonesty siswa juga termasuk, tetapi tidak terbatas pada, berbohong, menyontek ketika ujian, menyalin atau menggunakan pekerjaan orang lain tanpa izin, mengubah atau menempa dokumen, „membeli‟ paper, plagiarism, secara terencana sengaja tidak mengikuti aturan, mengubah hasil tulisan, memberikan alasan yang tidak benar untuk ujian dan tugas yang tidak diikuti, „menambah-nambahkan‟ sumber, dan sebagainya (Arent, 1991; Moore, 1988; Packer, 1990; Pratt & McLaughlin, 1989; Lambert, Hogan dan Barton, 2003). Berdasarkan defenisi dari Pavela di atas, dapat dikatakan bahwa perilaku menyontek siswa ketika ujian di kelas merupakan salah satu bagian dari academic dishonesty, atau kecurangan akademis. Teori anomie dari Merton dapat digunakan untuk memahami lebih jauh mengenai perilaku menyontek siswa ini. Anomie merupakan sebuah kondisi sosial dimana aspek tujuan lebih ditekankan dan dipentingkan dibandingkan aspek cara-cara yang digunakan oleh aktor untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kondisi ini, akhirnya aktor akan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dalam cara-cara yang tidak sah (illegitimate means) yang cenderung menyimpang. Merton mengemukakan ada lima jenis adaptasi dalam hal ini, yaitu conformity, innovation, ritualism, retreatism, dan rebellion—dimana empat jenis adaptasi terakhir termasuk perilaku yang menyimpang dari nilai-norma masyarakat, baik dalam hal cara maupun tujuannya. Cara adaptasi kedua, innovation, kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku menyontek siswa ini. Innovation merupakan cara adaptasi dimana di dalamnya individu berupaya mencapai tujuan seperti yang ditentukan masyarakat tetapi memakai cara yang menyimpang atau dilarang oleh masyarakat (Sunarto, 2004). Dalam hal ini, tujuan untuk mendapat prestasi maupun nilai baik merupakan tujuan yang sesuai dengan nilai dan norma sekolah maupun masyarakat, tetapi menyontek ketika ujian merupakan cara yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sekolah maupun masyarakat. Perilaku menyontek siswa juga bisa dilihat dalam teori rational choice dari Coleman. Gagasan dasar dari teori pilihan rasional Coleman adalah "tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)" (1990, p. 13) (Ritzer, 2010). Aktor dan sumber daya adalah dua unsur utama dalam teori pilihan rasional Coleman ini. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa menyontek ketika ujian lahir dari pertimbangan rasional siswa, ketika siswa merasa memiliki pilihan-pilihan yang terbatas, demi mencapai tujuan untuk mendapat nilai yang baik. Meskipun begitu, selain dipengaruhi oleh pilihan, tindakan untuk menyontek ketika ujian atau tidak juga ditentukan oleh nilai yang terinternalisasi di dalam diri seseorang. Dikaitkan dengan pendidikan moral, dapat dikatakan siswa cenderung akan memilih menyontek ketika ujian ketika nilai-nilai moralitas tidak terinternalisasi mendalam dalam dirinya, dimana perilaku menyontek jelas berlawanan dengan nilai kejujuran yang disosialisasikan kepada siswa dalam pendidikan moral. Kemudian, siswa pun akan cenderung bersikap rasional dibanding bersikap moral. Lemert (1982) mengatakan bahwa penyimpangan kerap disebut pula sebagai penilaian moral atau social judgement oleh para sosiolog, sehingga hal ini menyebabkan penilaian moral atau social judgement menjadi penting dalam melihat perilaku menyimpang (Siahaan, p. 1.11). Begitupula penting untuk melibatkan penilaian moral dalam melihat perilaku menyontek siswa, yang dapat dikatakan termasuk ke dalam perilaku yang menyimpang nilai dan norma sekolah. Dalam penilaian moral, ada tiga dimensi moralitas yang penting untuk diperhatikan. Ketiga dimensi moralitas ini, yaitu pengertian atau pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Lickona mengatakan bahwa ketiga unsur dari moralitas ini saling berkaitan satu sama lainnya (Paul Suparno, dkk. 2002; Budiningsih, 2004). Budiningsih (2004) memberi penjelasan dari ketiga unsur moralitas tersebut sebagai berikut: “(1) Pengertian atau pemahaman moral (segi kognitif) adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan didasarkan nilai-nilai moral. Segi kognitif ini perlu diajarkan kepada para siswa. Siswa dibantu untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan. (2) Perasaan moral, lebih kepada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. (3) Tindakan moral, yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilakuperilaku nyata. Lingkungan sosial yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran moral” (p. 6-7). Berdasarkan ketiga dimensi atau unsur moralitas di atas, dapat dikatakan bahwa perilaku menyontek siswa merupakan salah satu bagian atau dimensi dari tiga dimensi moralitas yang dapat dipakai untuk melakukan penilaian moral. Dalam tulisan ini, penulis menetapkan untuk melihat kecenderungan menyontek siswa ini secara lebih holistik mencakup ketiga dimensi moralitas yang dipakai dalam penilaian moral tersebut untuk melihat penyimpangan. Karena itu, kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas akan dilihat dalam variabel kecenderungan sikap menyontek siswa, yang meliputi 5 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
dimensi kognitif (pemahaman), afektif (perasaan), dan konatif (perilaku). Beracuan kepada kerangka pemikiran seperti yang telah dipaparkan di atas, berikut disajikan gambar model analisis dan hipotesa tulisan ini.
Berdasarkan model analisis dan pembahasan kerangka pemikiran sebelumnya di atas, dapat dipaparkan hipotesis dalam tulisan ini antara lain : 1. Semakin tinggi peran guru terhadap perilaku menyontek siswa, semakin rendah kecenderungan sikap siswa untuk menyontek. 2. Semakin tinggi tingkat sosialisasi peer group mengenai perilaku menyontek, semakin tinggi pula kecenderungan sikap siswa untuk menyontek. 3. Ada perbedaan kecenderungan sikap menyontek di antara siswa dari sekolah non-keagamaan “X” dan sekolah keagamaan “Y”. 4. Ada perbedaan kecenderungan sikap menyontek di antara siswa dari jenjang kelas berbeda di kedua sekolah, yaitu dari perbedaan perilaku menyontek di antara siswa dari kelas X, XI, dan XII SMA. SISWA CENDERUNG MENYONTEK KETIKA UJIAN, PENGARUH SIAPA? Dalam melihat kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian, tulisan ini membatasi melihat pada dua faktor yang diduga paling berpengaruh terkait intensitas interaksinya di dalam ruang kelas sehari-hari, yaitu peran guru dan sosialisasi peer group. Berdasarkan analisis univariat yang telah dilakukan, ditemukan bahwa sikap menyontek siswa cenderung rendah di kedua sekolah, meskipun sosialisasi peer group terhadap sikap menyontek siswa cenderung tinggi, sementara untuk peran guru di kedua sekolah berbeda kecenderungan—dimana peran guru cenderung tinggi di SMA Negeri X, dan sebaliknya, peran guru cenderung rendah di SMA Swasta Keagamaan Y. Analisis bivariat dengan uji statistik D‟Somers menunjukkan bahwa ternyata baik peran guru maupun sosialisasi peer group sama-sama memberi pengaruh yang kurang signifikan terhadap kecenderungan sikap menyontek siswa. Berdasarkan hasil ini, ada beberapa implikasi praktis yang bisa ditarik. Pertama, peran guru ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku menyontek siswa. Jika hal ini dihubungkan kepada pendidikan moral sekolah, maka peran guru sebagai agen sosialisasi utama dari nilai moralitas di sekolah harus dievaluasi ulang. Kedua, sosialisasi peer group mengenai perilaku menyontek juga tidak berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas. Untuk menjelaskan hal ini, perlu untuk memperhatikan konteks yang lebih luas yang mempengaruhi siswa—yang mungkin tidak dilihat ataupun diukur dalam tulisan ini—seperti social pressure dari keluarga. Kecenderungan sikap menyontek siswa ketika ujian ternyata dipengaruhi oleh jenis sekolah dan kelas siswa. Hal ini tampak dalam hasil analisis multivariat, yang melibatkan jenis sekolah dan kelas siswa sebagai variabel kontrol, tulisan ini menemukan bahwa kedua faktor ini memberi pengaruh kepada kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian.
6 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
Perbandingan Hubungan Bivariat-Multivariat Dengan Variabel Kontrol Jenis Sekolah dan Kelas Siswa Dalam Hubungan Antara Variabel Peran Guru dan Kecenderungan Sikap Menyontek Siswa
Hubungan
Sebelum Dikontrol Kelas Siswa
Kelas Siswa X SMA
XI SMA
XII SMA
Sebelum Dikontrol Jenis Sekolah
Ada hubungan negatif -0,148 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,150 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,367 dan dapat digeneralisasi ke populasi
Ada hubungan positif 0,159 tetapi tidak bisa digeneralisasi
SMA Negeri X
Ada hubungan negatif -0,160 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,099 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,542 tetapi tidak dapat digeneralisasi
Ada hubungan positif 0,042 tetapi tidak bisa digeneralisasi
SMA Swasta Keagamaan Y
Ada hubungan negatif -0,153 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,160 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,274 tetapi tidak dapat digeneralisasi
Ada hubungan positif 0,278 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Perbandingan Hubungan Bivariat-Multivariat Dengan Variabel Kontrol Jenis Sekolah dan Kelas Siswa Dalam Hubungan Antara Variabel Sosialisasi Peer Group dan Kecenderungan Sikap Menyontek Siswa Kelas Siswa
Hubungan
Sebelum Dikontrol Kelas Siswa
X SMA
XI SMA
XII SMA
Sebelum Dikontrol Jenis Sekolah
Ada hubungan positif 0,095 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan positif 0,333 dan bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,050 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,389 dan bisa digeneralisasi
SMA Negeri X
Ada hubungan positif 0,287 dan dapat digeneralisasi ke populasi
Ada hubungan positif 0,500 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan positif 0,306 tetapi tidak bisa digeneralisaisi
Ada hubungan negatif -0,389 tetapi tidak bisa digeneralisasi
SMA Swasta Keagamaan Y
Ada hubungan negatif -0,059 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan positif 0,158 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,250 tetapi tidak bisa digeneralisasi
Ada hubungan negatif -0,389 tetapi tidak bisa digeneralisasi
7 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
KELAS SISWA DAN KECENDERUNGAN SIKAP MENYONTEK SISWA Tulisan ini menemukan kelas siswa memberi pengaruh terhadap hubungan antara peran guru dan sosialisasi peer group terhadap kecenderungan sikap menyontek siswa, dimana ada beberapa pola yang dihasilkan dari hasil uji variabel kontrol ini. Pertama, arah hubungan cenderung berubah untuk siswa di kelas XII SMA, menjadi positif ataupun negatif, sementara arah hubungan cenderung tidak berubah untuk siswa di kelas X SMA. Selain itu, tulisan ini juga menemukan bahwa semakin tinggi kelas siswa, semakin cenderung siswa menyontek ketika ujian di dalam kelas. Berdasarkan temuan-temuan ini dapat dikatakan bahwa siswa di kelas XII SMA akan cenderung melakukan penyimpangan dibandingkan siswa di jenjang kelas yang lebih muda. Hal ini terkait dengan frekuensi dan intensitas dari social pressure yang dirasakan siswa. Siswa di kelas X SMA, cenderung masih menjajaki tahap adaptasi terhadap lingkungan sosial baru dan belum banyak tuntutan yang diajukan kepadanya untuk dipenuhi. Sebaliknya, siswa di kelas XII SMA cenderung mendapatkan banyak social pressure dari berbagai pihak, setidaknya: dari orang tua atau keluarga, yang mengharapkan mereka dapat lulus UN (Ujian Nasional) dan tes PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dengan hasil yang baik; dari pihak sekolah, yang juga mengharapkan siswa lulusannya akan menjadi lulusan yang baik, tidak gagal, dan berprestasi; serta dari teman-teman peer group-nya, yang mungkin juga akan berorientasi kepada tujuan yang sama seperti yang diharapkan keluarga dan sekolah, tetapi dengan menekankan pentingnya solidaritas sosial dan kohesi peer group dalam mencapai tujuan. Karena itu, siswa kemudian dapat terdorong untuk bertindak rasional dengan menggunakan cara yang bertentangan dengan nilai-norma sekolah maupun dengan nilai-norma moralitas, yaitu menyontek ketika ujian—yang melaluinya, siswa menganggap bisa menguatkan ikatan solidaritas sosial di antara mereka. Meskipun begitu, tulisan ini menemukan ada perbedaan kondisi antara siswa kelas XI SMA di kedua sekolah dalam hubungan antara sosialisasi peer group dan kecenderungan sikap menyontek siswa. Di SMA Negeri X, semakin tinggi sosialisasi peer group siswa mengenai perilaku menyontek, maka semakin tinggi pula kecenderungan siswa kelas XI SMA untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas. Sebaliknya, untuk SMA Swasta Keagamaan Y, semakin tinggi sosialisasi peer group siswa mengenai perilaku menyontek, justru semakin rendah kecenderungan siswa kelas XI SMA untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas. Hal ini diduga dikarenakan siswa di SMA Swasta Keagamaan Y lebih bersikap rasional dibandingkan dengan siswa di SMA Negeri X. Sebagaimana teori rational choice dari Coleman, siswa di SMA Swasta Keagamaan Y benar-benar memperhitungkan mengenai setiap pilihan dan tindakan yang diambilnya demi mencapai tujuan “mendapat nilai baik”. Ketika siswa merasa menyontek bersama teman ketika ujian di dalam kelas bukanlah sebuah cara yang efektif untuk mencapai tujuan “mendapat nilai baik”, maka siswa akan cenderung memilih untuk tidak menyontek ketika ujian, meskipun ajakan maupun sosialisasi peer group mengenai perilaku menyontek terhadap siswa, tinggi. SEKOLAH KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN MORAL YANG LEBIH BERDAMPAK Dari hasil analisis multivariat, ditemukan bahwa dalam perbedaan kedua jenis sekolah yaitu antara sekolah keagamaan dan sekolah non-keagamaan, untuk hubungan antara peran guru dan sikap menyontek siswa, tidak ada perbedaan signifikan di antara kedua jenis sekolah. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa belum tentu sekolah keagamaan akan melaksanakan pendidikan moral yang lebih berdampak kepada para siswanya. Sedangkan untuk hubungan antara sosialisasi peer group dan sikap menyontek siswa, ditemukan ada perbedaan arah dan kekuatan hubungan di kedua sekolah; kekuatan hubungan lebih kuat di SMA Negeri X dan arahnya cenderung positif—namun, kekuatan hubungan di SMA Swasta Keagamaan Y cenderung lebih lemah dan arahnya justru cenderung negatif. Dari temuan ini dapat dikatakan, siswa di SMA Swasta Keagamaan Y, cenderung bersikap rasional dibandingkan dengan siswa di SMA Negeri X. Hal ini semakin menguatkan kesimpulan temuan bahwa belum tentu sekolah keagamaan melaksanakan pendidikan moral ganda. Terbukti, bahwa siswa di SMA Swasta Keagamaan Y, justru cenderung bersikap rasional dibandingkan bersikap moral. Hasil rangkuman mengenai perbandingan kondisi antar dua sekolah dalam kedua tabel di atas juga menguatkan temuan bahwa siswa di SMA Swasta Keagamaan Y jauh lebih rasional dibandingkan dengan siswa di SMA Negeri X. Hal ini terlihat dalam paparan data yang menunjukkan hubungan yang justru negatif antara perilaku menyontek siswa dan sosialisasi peer group di sekolah ini; begitu pula untuk indikator-indikator yang menunjukkan data mengenai pemahaman siswa mengenai mengapa boleh dan tidak boleh menyontek ketika ujian di dalam kelas. Dari penelusuran data kualitatif yang sudah dilakukan, hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang akan dijelaskan sebagai berikut.
8 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
Pertama, biaya atau uang sekolah di SMA Swasta Keagamaan Y jauh lebih mahal dibandingkan dengan SMA Negeri X, yaitu sekitar Rp 500.000,- perbulannya (sedangkan siswa di SMA Negeri X hanya dikenakan uang komite sebesar Rp 100.000,- perbulannya). Hal ini mendorong siswa untuk berpikir dan bertindak rasional dalam kegiatan belajar-mengajarnya di sekolah, sebagaimana dikatakan oleh Informan 2. Siswa menyadari juga bahwa orang tua atau keluarganya sudah membayar biaya yang tidak sedikit untuk sekolahnya, dan karena itu, merasa berkewajiban untuk mengupayakan hasil terbaik dari nilai-nilai ujiannya. Kedua, siswa di SMA Swasta Keagamaan juga cenderung lebih kompetitif. Hal ini juga sudah didorong semenjak siswa resmi masuk menjadi siswa di sekolah terkait. Kedua sekolah ini memang adalah SMA favorit di daerahnya, dimana ada sekitar 1000 calon siswa, bahkan lebih, yang mendaftar setiap tahunnya. Di SMA Negeri X, seleksi ini hanya didasarkan pada nilai NEM atau nilai UN dari calon siswa, yang kadang diragukan keabsahannya karena sistem UN di Indonesia yang dirasa masih belum baik dan adil bagi semua kelompok. Namun, di SMA Swasta Keagamaan, seleksi siswa baru ini tidak didasarkan pada nilai NEM atau nilai UN dari calon siswa. Tetapi, seleksi ini didasarkan pada hasil dari tes khusus yang diselenggarakan oleh sekolah, yang harus diikuti oleh seluruh calon-siswa yang mendaftar. Tes khusus ini menguji setidaknya tiga mata pelajaran mendasar yaitu: Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris; dan rancangan soal yang diujikan terkenal tidak mudah di kalangan calon siswa. Siswa yang dinyatakan lulus adalah siswa yang menduduki peringkat 400 paling atas dari sekitar 1000 orang siswa yang mengikuti ujian, setiap tahunnya. Hal ini memang dilakukan sekolah untuk memastikan sekolah mendapat input siswa-siswa yang terbaik, untuk menjaga kualitas pendidikannya. Sistem seleksi dan tes ini diduga mendorong siswa juga untuk menjadi sangat kompetitif, dan karenanya, menjadi sangat rasional juga. Khususnya, ketika terkait masalah prestasi di kelas, dan penjurusan kemudian. Ketiga, tuntutan mengenai KKM atau batas nilai kelulusan juga lebih menekan untuk siswa di SMA Swasta Keagamaan. Hal ini disebabkan sekolah yang mengambil peran untuk menentukan batas nilai kelulusan, bukan semata-mata guru mata pelajaran terkait. Nilai batas kelulusan atau KKM juga cukup tinggi ditetapkan oleh sekolah, yaitu: nilai minimum 75 untuk mata pelajaran IPA, dan nilai minimum 80 untuk mata pelajaran non-IPA (seperti IPS, Bahasa, dan lain sebagainya). Batas nilai kelulusan atau KKM ini sengaja ditetapkan sangat tinggi oleh sekolah terkait demi menjaga semangat kompetisi, baik di antara siswa-siswanya maupun di antara sekolah terkait dengan sekolah-sekolah lainnya. Hal ini terkait dengan temuan univariat, dimana siswa SMA Swasta Keagamaan Y cenderung menyatakan mereka merasa bersalah ketika menyontek, tetapi cenderung menyatakan mereka merasa bersalah tetapi mencoba untuk mengacuhkannya, ketika mendapat nilai yang baik dari hasil menyontek (Tabel 5.12. dan Tabel 5.14. dalam Bab 5). Keempat, asal sekolah siswa sebelumnya (SMP—Sekolah Menengah Pertama) juga diduga memberi pengaruh terhadap hal ini. Meski memang tidak diukur secara kuantitatif dalam tulisan ini, dari data kualitatif diketahui bahwa kebanyakan siswa di SMA Swasta Keagamaan Y ini juga berasal dari SMP Swasta, bukan SMP Negeri. SMP Swasta ini juga SMP Swasta yang bisa dikatakan favorit berkualitas baik, yang juga memiliki atmosfer kompetitif yang tinggi untuk para siswanya. Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan asumsi awal mengenai pendidikan moral ganda yang dilakukan oleh sekolah keagamaan ternyata tidak terbukti kuat dalam temuan tulisan ini. Siswa di SMA Swasta Keagamaan Y justru lebih bersikap rasional, dibandingkan bersikap moral. Maksudnya, siswa lebih mempertimbangkan nilai-nilai yang rasional sifatnya, dibandingkan nilai-nilai yang bersifat moralitas, dalam menentukan apakah ia akan melakukan kecurangan ketika ujian atau tidak (menyontek). Hal ini berarti siswa-siswi di sekolah keagamaan ini belum berorientasi kepada nilai-nilai moralitas keagamaan sebagaimana yang diharapkan dari sebuah sekolah keagamaan. Nilai-nilai moralitas ternyata belum terinternalisasi dan mengarahkan pilihan dan tindakan siswa di sekolah keagamaan. Hal ini dapat mengindikasikan pula bahwa pendidikan moral di sekolah keagamaan ini belum benar-benar dilakukan dengan maksimal. Dari hasil penelusuran data kualitatif, penulis menduga hal ini terkait dengan beberapa faktor berikut. Pertama, pendidikan moral yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan memang belum terlalu kuat diajarkan kepada siswa, hal ini terkait dengan tidak adanya tokoh keagamaan yang mengambil peran dalam proses belajar-mengajar siswa. Pada umumnya semua guru merupakan guru awam biasa, yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan, kecuali guru agama. Begitu juga untuk kepala sekolah, yang baru saja diganti oleh yayasan menjadi tokoh keagamaan semenjak semester baru 2012/2013 ini. Tetapi sebelumnya, kepala sekolah berasal dari guru awam yang tidak memiliki latar belakang keagamaan. Hal ini diduga berpengaruh kepada bagaimana sekolah kemudian diarahkan oleh kepala sekolah dan guru, yang tidak kuat berorientasi kepada nilai-nilai keagamaan sebagai dasar moralitasnya. Mata pelajaran 9 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
agama juga hanya mengambil porsi yang sedikit dari total keseluruhan jam belajar siswa di sekolah, yaitu satu kali les atau pertemuan dalam seminggu. Jadi, peran guru sebagai agen sosialisasi nilai-nilai moralitas keagamaan juga masih belum efektif dijalankan. Kedua, pendidikan moral di SMA Swasta Keagamaan Y ini, menurut hasil penelusuran data kualitatif tambahan dari Wakil Kepala Sekolah I Bidang Kurikulum, juga ternyata lebih diarahkan kepada pendidikan moral yang umum, dan tidak kaku berorientasi kepada nilai-nilai moralitas keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam kurikulum atau mata pelajaran yang pada umumnya memang lebih mentransfer nilainilai moralitas yang umum kepada para siswa. Ketiga, pendidikan moral, baik yang berdasarkan nilai keagamaan maupun pendidikan moral secara umum, juga diakui oleh Wakil Kepala Sekolah I Bidang Kurikulum, belum maksimal dilakukan oleh sekolah. Belum maksimalnya nilai-nilai moralitas ini ditransfer kepada siswa, menurut beliau disebabkan oleh beban siswa yang terlalu banyak dan berat, yaitu ada 14 mata pelajaran wajib yang harus diikuti siswa, sesuai dengan peraturan Dinas Pendidikan. Ini masih ditambah lagi dengan pelajaran Muatan Lokal, yang disesuaikan dengan konteks sekolah terkait, seperti: Bahasa Mandarin, Bahasa Jerman, dan Budi Pekerti, untuk SMA Swasta Keagamaan Y ini. Menurut Wakil Kepala Sekolah I Bidang Kurikulum, beban mata pelajaran ini seharusnya dikurangi. Misalnya, jika siswa sudah melalui penjurusan IPA, ya siswa difokuskan kepada mata pelajaran IPA. Meski, kata beliau, mata pelajaran yang mentransfer nilai-nilai moralitas seperti Pendidikan Agama, PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan, dan Sejarah tetap perlu diikuti dan diberikan kepada siswa dari jurusan IPA tersebut. Selain itu, belum maksimalnya pendidikan moral ini dilakukan sekolah disebabkan pula oleh kurangnya otoritas guru seiring perkembangan zaman saat ini, sehingga berpengaruh pula kepada sejauh mana guru dapat berperan dalam sosialisasi nilai-nilai moralitas kepada siswa. Menurut beliau, di zaman sekarang ini, jika siswa dicubit saja, sudah melapor kepada orang tua, dan orang tua bahkan mungkin bisa melapor ke polisi. Padahal, guru melakukannya sebagai bagian dari tindak ketegasan kepada siswa, untuk kebaikan siswa juga. Hal ini menyulitkan peran guru, yang pada akhirnya kehilangan otoritasnya. Menurut beliau, otoritas guru perlu dikembalikan. Keempat, penulis menemukan bahwa pendidikan moral yang diberikan oleh SMA Swasta Keagamaan Y belum secara aplikatif mengarahkan siswa kepada perilaku menyontek ketika ujian di kelas. Pendidikan moral ini lebih diarahkan kepada perilaku moralitas umum, yang kadang berada di tataran abstrak, misalnya kepada hal-hal mengenai bagaimana bekerja sama dengan baik di dalam kelompok (dalam pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran seperti Fisika, dsb); atau mencintai tanah air (dalam pelajaran Sejarah dan PKn). Sedangkan guru, sebagai agen sosialisasi pendidikan moral utama yang dilihat dalam tulisan ini, kurang berperan membimbing siswa untuk memahami bahwa perilaku menyontek ketika ujian di kelas itu merupakan sesuatu hal yang salah, sebuah pelanggaran, baik jika dilihat dari sudut pandang moralitas (baik moralitas umum, dan moralitas agama) maupun dari sudut pandang aturan-norma displin sekolah. Dari hasil paparan data univariat yang menjelaskan perilaku menyontek dalam ketiga dimensinya, terutama dalam dimensi kognitif, hal ini menyebabkan siswa masih bias dalam memahami apakah menyontek ketika ujian di kelas itu boleh atau tidak boleh dilakukan. Kelima, kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh sekolah juga tidak spesifik menunjuk atau diarahkan kepada masalah perilaku menyontek atau ketidakjujuran akademis. Hal ini seperti dikemukakan salah satu informan, yang mengatakan kegiatan keagamaan tahunan yang diadakan sekolah misalnya, lebih dirasa fokus kepada masalah relasi antara siswa dengan keluarga atau orang tuanya. Berdasarkan hal ini, bisa disimpulkan bahwa sekolah keagamaan ternyata tidak selalu benar-benar menjalankan pendidikan moral ganda, yaitu pendidikan moral umum sebagaimana yang dilakukan sekolah non-keagamaan lainnya dan pendidikan moral yang spesifik mengacu kepada nilai-nilai agama yang dianut oleh sekolah. SMA Swasta Keagamaan Y, sebagai objek tulisan ini, dapat dikatakan justru mengesampingkan pendidikan moral agama dalam pendidikan moralnya. KESIMPULAN Kecenderungan sikap menyontek siswa dipengaruhi oleh dua agen sosialisasi yang penting bagi siswa di sekolah, yaitu guru dan teman-teman peer group-nya. Hanya saja, berdasarkan hasil tulisan ini, peran guru dan sosialisasi peer group ternyata memberi pengaruh yang kurang signifikan terhadap kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian. Hasil tulisan ini juga dapat berimplikasi terhadap teori Durkheim mengenai pendidikan moral. Hasil tulisan ini membuktikan bahwa saat ini, sekolah melalui guru sebagai agen sosialisasi yang penting, ternyata tidak memainkan peran sosialisasi nilai moralitas utama setelah keluarga 10 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
bagi seseorang siswa. Hal ini bisa dilihat dalam dampaknya terhadap kondisi karakter dan moralitas siswa, sekalipun untuk sekolah keagamaan, dalam hal ini memang terbatas dilihat dalam kecenderungan sikap menyontek siswa. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa relevansi teori moralitas Durkheim dalam konteks perkembangan zaman dan trend yang berubah saat ini perlu dikaji kembali. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa peran guru dalam pendidikan moral siswa di sekolah perlu untuk dievaluasi ulang, atau bahkan diremanajemen, demi tercapainya output pendidikan di Indonesia yang matang dalam hal kualitas, tidak hanya dalam ilmu, tetapi juga dalam karakter dan budi pekerti anak didik. Jenis sekolah dan kelas siswa sebagai variabel kontrol tulisan ternyata memberi pengaruh terhadap hubungan antarvariabel. Dalam kelas siswa sebagai variabel kontrol, ditemukan ternyata semakin tinggi kelas siswa, semakin tinggi pula kecenderungan siswa untuk menyontek ketika ujian di dalam kelas. Jika ditarik ke tataran aplikatif dan implikatif, pendidikan moral harus lebih fokus ditujukan kepada siswa di kelas XII SMA, yang cenderung berperilaku menyimpang, dibandingkan siswa di jenjang kelas yang lebih muda. Pendidikan moral di sekolah-sekolah di Indonesia membutuhkan strategi yang efektif untuk dapat mengarahkan siswa di kelas XII SMA menjadi siswa yang benar-benar berkarakter dan berbudi pekerti luhur, apalagi mengingat para siswa ini kemudian akan lulus dari jenjang sekolah dan melanjut sebagai para mahasiswa yang akan lebih mandiri dalam ikatan nilai-norma moralitas di universitas. Dalam jenis sekolah sebagai variabel kontrol, ditemukan bahwa siswa di sekolah keagamaan justru cenderung bersikap rasional dibandingkan bersikap moral. Hal ini mendorong pentingnya dilakukan evaluasi terhadap pendidikan moral di sekolah-sekolah keagamaan di Indonesia. Pendidikan moral seharusnya lebih kuat tersosialisasikan dan terinternalisasi di sekolah-sekolah keagamaan, yang lebih kuat memegang dan beracuan kepada nilai-nilai moralitas keagamaan tertentu. DAFTAR PUSTAKA Budiningsih, C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Durkheim, Emile. 1973. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Farley, John. E. 1992. Sociology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Haricahyono, Cheepy. 1995. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press. Marsh, Ian, dkk. 2006. Theories of Crime. New York: Routledge. Mustofa, Muhammad. 2010. Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum (2nd ed.). Bekasi: Sari Ilmu Pratama (SIP). Nasution, S. 1983. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Penerbit Jemmars. Neuman, W. L. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed). New York: Allyn and Bacon. Purdue, William D. 1986. Sociological Theory. United States of America: Mayfield Publishing Company. Ritzer, George & Goodman, Douglas J. (2010). Teori Sosiologi Modern (6th ed.). Jakarta: Kencana. Siahaan, Jokie M. 2001. Materi Pokok Sosiologi Perilaku Menyimpang. Jakarta: Universitas Terbuka. Suwarno. 1992. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. (2007). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Vembriarto, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. Tulisan dan Skripsi Lambert, Eric G., Hogan, Nancy Lynne, dan Barton, Shannon M. 2003. Collegiate Academic Dishonesty Revisited:What Have They Done, How Often Have They Done It, Who Does It, And Why Did They Do It? Electric Journal of Sociology. Januari 25, 2012. CAAP. Lelono, Ankiet. 2003. Pengaruh Sosialisasi Keluarga dan Peer Group Terhadap Keikutsertaan Siswa Kelas III SMU Dalam Bimbingan Tes (Studi Kasus: Siswa Kelas III SMUN 91 Jakarta Timur). Universitas Indonesia. Hilarius, Yoseph. 2005. Pengaruh Peran Guru Terhadap Sikap Siswa Pada Peraturan Displin Sekolah: Studi Perbandingan: Peran Guru Awam dan Biarawati di SLTPK Maria Mediatrix, Tangerang. Universitas Indonesia. Waleleng, Frankie R.E. 1996. Pengaruh Sosialisasi Terhadap Displin Anak Usia Remaja Dalam Mengatur Waktu Belajar (Kasus Pada Siswa-Siswi SMUN 81 Jakarta). Universitas Indonesia. 11 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012
Wardani, Andrini Adevita. 2003. Pengaruh Peran Guru Terhadap Pembentukan Tingkat Critical Thinking Siswa: Studi Perbandingan antara SMUN 70 Bulungan Jakarta Selatan dan SMU (Plus) Muthahhari, Bandung. Universitas Indonesia. Website Raih Kelulusan 100% Dengan Kejujuran, http://118.98.223.68/kemdikbud/berita/145, diunduh pada Rabu, 11 April 2012.
12 Kecenderungan Sikap ..., Yuliana Martha Tresia Nainggolan, FISIP UI, 2012