KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi)
ASKAR JAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul:
KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH ( Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi )
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009
Askar Jaya NRP.A165030051
ABSTRACT ASKAR JAYA. Regional Leakage in Community Cinnamon Commodity Agribusiness System and its impact on Regional Economy: Case in Kerinci Regency of Jambi Province. Supervised by Ernan Rustiadi as the leader, Isang Gonarsyah, Deddy S. Bratakusumah, and Bambang Juanda as supervisor commission members. Cinnamon is one of national export commodities which has placed Indonesia as the world’s biggest exporter. Its existence is a source of income in society, source of foreign exchange and the country of employment. Development problem is the low price at the level of farmer’s, affecting the farmers cut off all the trees without effort to manage the plants, and it makes the productivity decrease. In general, the purpose of this research is to analyze the regional leakage in community cinnamon commodity agribusiness system and its impact on regional economy, cases in Kerinci Regency of Jambi Province. The specific purposes are; (1) to analyze cinnamon commodity agribusiness system development (2) to analyze the integration of cinnamon price in farmers and exporter, the competitiveness of cinnamon in international market; and the cinnamon demand in international market; (3) to analyze the contribution the cinnamon to the economy of Kerinci Regency; (4) to analyze regional leakage potential and implication the cinnamon sector to regional economy. The research uses the following model: descriptive, input-output (I-O), econometrics and constant market share (CMS). The research showed that: (1) The cinnamon commodity agribusiness system had inefficiency development system; (2) The cinnamon exporter price was integrated 40% to farmers’ price. The Indonesian cinnamon competitiveness is lower than China’s. The Indonesian cinnamon demand is significantly influenced by the price, economic growth (GDP), and real exchange rate; (3) The cinnamon had an important role in regional economy of Kerinci Regency; (4) The cinnamon had regional leakage potential and its implication to regional economics. To develop cinnamon sector there are several strategies: Develop the agro industry processing, the tree structure industry, the competitiveness, marketing, the farmer’s institution, and government policy. Key words: cinnamon, regional leakage, sectoral linkages, agribusiness system, price integration, export competitiveness and agro industry processing.
RINGKASAN ASKAR JAYA. Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi), Komisi Pembimbing ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua, ISANG GONARSYAH, DEDDY S. BRATAKUSUMAH dan BAMBANG JUANDA sebagai Anggota. Kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor nasional yang menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar dunia dewasa ini. Keberadaanya merupakan sumber pendapatan masyarakat dan sumber devisa negara serta penyedia lapangan kerja. Permasalahan dalam pengembangannya antara lain rendahnya harga di tingkat petani yang mendorong petani cenderung melakukan panen dengan sistem tebang habis sehingga produktivitasnya cenderung turun. Secara umum tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perkembangan agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah; (2) Menganalisis posisi dan prospek integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir; Menganalisis posisi daya saing kayu manis Indonesia di pasar internasional; Menganalisis permintaan kayu manis ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya yang terdiri dari faktor harga, pertumbuhan ekonomi negara importit utama, dan nilai tukar rill; (3) Menganalisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci; (4) Menganalisis indikasi, potensi dan dampak kebocoran wilayah sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan terdiri dari pendekatan model input output, model ekonometrika dan model constant market share (CMS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Beberapa persoalan dalam pengelolaan sistem agribisnis komoditi kayu manis rakyat diantaranya: dominannya kegiatan processing dan beberapa fungsi pemasaran lainnya dilakukan diluar wilayah, dan tidak efisiennya sistem pemasaran serta lemahnya dukungan kelembagaan, sehingga mempengaruhi rendahnya harga komoditi di tingkat petani, yang akhirnya mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan petani, sehingga mendorong petani melakukan sistem panen komoditi dengan pola sistem tebang habis. Walaupun kayu manis merupakan komoditi unggulan dan andalan ekspor daerah, namun karena sistem agribisnisnya belum berlangsung secara utuh dan terintegrasi antara sektor hulu dan sektor hilir, sehingga nilai tambah dari agribisnis komoditi tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta berperan secara optimal mendorong pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Kerinci. (2) Perubahan harga di tingkat eksportir tidak terintegrasi sempurna dengan harga di tingkat petani. Perubahan harga di tingkat eksportir hanya ditransmisikan 40% ke tingkat petani. Kondisi tersebut mencirikan struktur pasar yang tidak kompetitif. Meskipun kayu manis Indonesia dominan diperdagangkan di pasar internasional, namun posisi daya saingnya
masih menempati urutan kedua setelah China. Faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP), nilai tukar (kurs) rill, signifikan pada taraf nyata 5% mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama, seperti di pasar Amerika Serikat dan Belanda. Sedangkan di pasar negara lain atau rest of the world (ROW) permintaan kayu manis Indonesia signifikan pada taraf nyata 5% dipengaruhi oleh faktor harga dan nilai tukar (kurs) rill. Prospek permintaan kayu manis Indonesia di pasar internasional masih sangat terbuka, terutama dengan meningkatnya konsumsi kayu manis dunia akhir-akhir ini serta berlangsungnya globalisasi perdagangan. (3) Kayu manis memiliki peran penting terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Namun karena keterkaitannya dengan hilir dan sektor hulu serta keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakangnya yang masih lemah, sehingga peran sektor kayu manis belum mampu menjadi leading sector dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Pentingnya peran kayu manis di Kabupaten Kerinci karena kayu manis merupakan komoditi unggulan dan andalan ekspor daerah, serta dominan dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Kerinci. (4) Sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci terbukti mengalami kebocoran wilayah. Dengan melakukan pengolahan hasil (processing) di dalam wilayah, maka multiplier effect sektor kayu manis akan meningkat, baik terhadap nilai tambah bruto, pendapatan maupun terhadap serapan tenaga. Implikasi kebijakan dan rekomendasi antara lain: (1) Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah dari kegiatan agribisnis kayu manis, maka ke depan perlu meningkatkan kegiatan pengolahan hasil (processing) dan pemasaran, pengembangan sektor penunjang, meningkatkan keterkaitannya dengan sektor hilir dan sektor hulu, meningkatkan efisiensi pemasaran, serta memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah. Untuk meningkatkan pengolahan hasil (processing) komoditi, maka ke depan perlu mengembangkan pola kerjasama dan kemitraan baik antar daerah maupun antar negara serta memperluas rantai/pohon industri komoditi melalui peningkatan kerjasama riset dan meningkatkan SDM pelaku agribisnis. Selain itu pengembangan processing dapat dilakukan melalui pengembangan industri perdesaan berbentuk home industry; (2) Untuk meningkatkan peran pemasaran dalam sistem agribinsis, maka ke depan perlu melakukan kerjasama perdagangan dan meningkatkan daya saing komoditi, memperluas dan meningkatkan akses pasar, memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah, serta perlu membangun sistem informasi komoditi, guna mengetahui posisi supply dan demand komoditi serta untuk mengurangi terjadinya asimetrik informasi di daerah; (3) Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah, maka ke depan diperlukan peran pemerintah terutama dalam mendorong peningkatan SDM pelaku agribisnis, seperti melalui pelatihan, magang, menjembatani kerjasama dengan pihak swasta dan antar daerah terutama dalam mendorong tumbuhnya kegiatan pengolahan (processing) dan pemasaran komoditi; (4) Untuk menekan tingkat kebocoran sektor kayu manis, maka ke depan perlu pengembangan agroindustri processing dan meningkatkan dukungan infrastruktur penunjang. Karena multiplier effect sektor perkebunan kayu manis rakyat lebih besar dampaknya terhadap perekonomian wilayah dibandingkan dengan sektor teh (perkebunan perseroan), maka ke depan pengembangan sektor perkebunan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak terutama dari pemerintah daerah. Untuk
meningkatkan keberlanjutan sistem agribisnis dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, maka ke depan perlu menata kembali tata ruang wilayah untuk kawasan-kawasan pembudidayaan komoditi kayu manis. Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci dalam upaya meningatkan sumber pendapatan masyarakat dan sumber pendapatan daerah maka ke depan perlu dilakukan peningkatan kerjasama antar daerah dan jika memungkinkan pengelolaan kayu manis di daerah dapat dikelola dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kata Kunci: Kayu manis, kebocoran wilayah, keterkaitan sektor, sistem agribisnis, integrasi harga, daya saing ekspor, agroindustri prosessing.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.
KEBOCORAN WILAYAH DALAM SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS RAKYAT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH ( Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi )
ASKAR JAYA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup Tanggal 19 Desember 2008 1. Dr. Ir.Nunung Kusnadi, MS ( Kepala Departemen Agribisnis IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc (Dosen PS-PWD-IPB)
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Tanggal 9 Februari 2009
1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc Direktur Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS-RI) 2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor)
Judul Disertasi : Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi) Nama : Askar Jaya Nomor Pokok : A165030051 Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Anggota
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Anggota
Dr.Ir.Deddy S.Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya terhadap Perekonomian Wilayah (Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi) dapat diselesaikan. Sejak dari proses penelitian hingga penyelesaian disertasi, penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu atas segala dukungan yang diberikan berbagai pihak, penulis ucapkan terima kasih, terutama ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Bapak Dr. Ir Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah, Bapak Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala curahan pemikiran serta perhatian dalam bimbingan, hingga penyelesaian disertasi dan studi penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajarannya dan staf administrasi yang telah memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PS-PWD) beserta para dosen dan staf administrasi, atas segala perhatian, dukungan, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor. Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S, Ketua Departemen Agribisnis IPB dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tertutup, serta ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Direktur Pengembangan Wilayah pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor), selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Jambi dan Bapak Bupati Kerinci H. Fauzi Siin, atas segala bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama mengikuti tugas belajar program doktor pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Pimpinan Yayasan Dana Mandiri (Damandiri) atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian penelitian ini. Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi PWD dan Civitas Akademika IPB, serta semua pihak yang telah mendukung kelancaran studi penulis di Institut Pertanian Bogor umumnya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, kakak, adik dan segenap keluarga, atas segala dukungan, doa dan pengorbanannya serta teristimewa untuk istri dan putra-putri tercinta, terima kasih atas segala dukungan dan pengorbanannya selama penulis menempuh pendidikan S3 pada Institut Pertanian Bogor. Sebagai penutup, penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi pribadi penulis dan juga bagi pengembangan konsep sistem agribisnis komoditi kayu manis dan pengembangan perkebunan rakyat serta pengembangan ekonomi wilayah umumnya, amin!
Bogor, Februari 2009
Askar Jaya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pasir, Kerinci, Provinsi Jambi, pada tanggal 12 Juni 1971, anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan H. Nazahari Syarif dan Hj. Juarah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Pada tahun 1994, penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Bupati Kerinci Provinsi Jambi. Kemudian pada tahun 1999, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti tugas belajar dan menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 Jurusan Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) di Bandung. Kemudian pada tahun 2001-2003 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan S2 Magister Manajemen di Universitas Negeri Padang. Pada tahun 2003 penulis kembali diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Program Doktor, penulis berstatus pegawai tugas belajar pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci. Pada tahun 1997, penulis melangsungkan pernikahan dengan Rahmi, anak ke empat dari pasangan Kaharuddin dan Rasuna. Dari pernikahan kami tersebut dikaruniai seorang putri, Yenni Afriani, dan seorang putra, Mohammad Antoni Wijaya.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………...……...........
xii
DAFTAR TABEL …………………………………………….……...…….
xvi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………….……..…...... DAFTAR LAMPIRAN …………………………………….…………..…..
xix xxi
PENDAHULUAN ………………...…...…..…………………….….……...
1
Latar Belakang ………………………..……………………….…...…
1
Rumusan Masalah ………………..….…………….….….…………...
7
Tujuan Penelitian …………………………………..…...…………….
12
Manfaat Penelitian ……………………………….…...………………
13
Kebaruan Penelitian (Novelty) ……………………...………………...
13
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
15
Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah …………………………..
15
Peran Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah..............
20
Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier Perekonomian Wilayah
22
Konsep Kobocoran Wilayah ……………………..……………...........
26
Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah …………………..
26
Isu-Isu Kebocoran Wilayah …………………………………….
28
Pengukuran Kebocoran Wilayah ……………………………….
31
Konsep Sistem Agribisnis ………………………..…………………..
33
Konsep Integrasi Harga…………………..……..…………………….
38
Konsep Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif ............
43
Permintaan Ekspor………………….…………………………………
53
Dampak Kesejahteraan dari kebijakan Perdagangan Internasional......
55
Konsep Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan ………………..…….
58
Penelitian Terdahulu tentang Kayu Manis ...........................................
61
Kayu Manis sebagai Komoditas ..................................................
61
Botani Tanaman Kayu Manis ......................................................
62
Pembudidayaan Tanaman Kayu Manis .......................................
64
xiii METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................
69
Kerangka Pemikiran …………….........................................................
69
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……………………………....
75
Hipotesis Penelitian ………………………………….……………….
77
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………
78
Jenis dan Sumber Data ….....................................................................
80
Metode Pengambilan Sampel ………………………………………...
81
Metode Analisis ....................................................................................
82
Analisis Deskriptif .......................................................................
82
Analisis Integrasi Harga ……………..…..……………………..
83
Analisis Daya Saing Ekspor….…..………….….………………
84
Analisis Permintaan Pasar .........………………..........................
86
Analisis Keterkaitan dan Multiplier Efect Sektor terhadap Perekonomian Wilayah …….………...........................................
87
Analisis Kebocoran Wilayah …………….……………………..
91
PENGELOLAAN SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI..........................................................
95
Perkembangan Komoditas Kayu Manis ……………..……………….
95
Pembudidayaan Tanaman ……...................................................
95
Pemanenan (Produksi) ................................................................
99
Pengolahan Hasil (Processing)....……………..………...…................. 102 Jenis Produk dan Grade Kayu Manis …………..........…………
105
Struktur Pohon Industri Komoditas Kayu Manis ………............ 107 Tata Niaga dan Pemasaran Kayu Manis……………….……............... 111 Lembaga Pemasaran …………………………………………....
111
Margin Tata Niaga …………………………………………...… 114 Kelembagaan Usaha Tani Kayu Manis ....…………………………....
118
Kebijakan Pemerintah Daerah ………………………………………..
124
Rangkuman Hasil Analisis ……………………………………….…..
125
INTEGRASI HARGA, DAYA SAING EKSPOR DAN PERMINTAAN KAYU MANIS INDONESIA……………………………………………....
128
Perkembangan Ekspor Kayu Manis Indonesia…..…………..….......... 128 Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya ……………….….
130
xiv Integrasi Harga Kayu Manis ……………..……................................... 132 Gambaran Umum Data ………...………………………………. 133 Pendugaan Model Integrasi Harga ……..………………………. 134 Implikasi Hasil Analisis Integrasi Harga...................................... 137 Analisis Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia ……………...….
139
Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Indonesia……………..
139
Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Pesaing Utama ………. 141 Efek Struktural …..….…………………..……………………… 143 Efek Kompetitif ………………….……………………………..
145
Implikasi Hasil Analisis Daya Saing ………...............................
148
Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional …... 149 Pendugaan Permintaan Kayu Manis Indonesia…… ………..….
149
Implikasi Hasil Analisis Permintaan Ekspor……………….…...
156
Rangkuman Hasil Analisis …………………………...………..……..
157
PERAN SEKTOR KAYU MANIS TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI ……............................................…
160
Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Kerinci ….........……….
160
Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ...........................
171
Peran Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ……….………………………………..........…..... 176 Peran Kayu Manis terhadap Sektor Pertanian …......................... 176 Peran Kayu Manis terhadap Subsektor Perkebunan …............… 178 Peran Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci …............................ 182 Keterkaitan Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ............................................................................... 185 Multiplier Effect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ................................................................. 195 Rangkuman Hasil Analisis ...................................................................
204
KEBOCORAN WILAYAH SEKTOR KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI …………………….........................................…
207
Indikasi Kebocoran Wilayah ................................................................
207
Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis .......................
207
Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Vs Sektor Teh
209
xv Dampak Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci …..................................... Rangkuman Hasil Analisis ...................................................................
211
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ...................................................
216
214
Simpulan ............................................................................................... 216 Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi ……........................................
218
Saran Penelitian Lanjutan...................................................................... 220 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
221
LAMPIRAN ...................................................................................................
230
xvi
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif dalam Perdagangan Internasional ………………………………………………………….
57
2.
Tahapan Proses Pemanenan Kayu Manis …………………………….
65
3.
Standar Mutu yang harus dipenuhi dalam Perdagangan Kayu Manis..
67
4.
Syarat Mutu Kayu Manis Bubuk berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10)………………………
67
Jenis dan Sumber Data Berdasarkan Tujuan, Metode dan Parameter Hasil Penelitian……………………………………………………….
79
6.
Struktur Tabel Input-Output ………………………………………….
94
7.
Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Kayu Manis Indonesia, Provinsi Jambi, dan Kabupaten Kerinci, Tahun 2000-2006
96
Laju Pertumbuhan Laus Areal dan Produksi Tanaman Kayu Manis Kabupaten Kerinci, Tahun 2001-2006..................................................
97
Perkembangan Luas Areal, Produksi, KK Petani dan Produktivitas Kayu Manis Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006 ................
100
10.
Tahapan Pemanenan Kayu Manis Petani di Kabupaten Kerinci …….
101
11.
Tahapan Pengolahan Hasil Panen Kayu Manis di Kabupaten Kerinci
102
12.
Grade/Mutu Kayu Manis yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci ……
106
13.
Marjin Pemasaran Komoditi Kayu Manis, Jenis Grade KA di Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ……………………………………..
114
Perkembangan Volume dan Pangsa Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Utama Periode Tahun 1986-2006 ……………………………...
128
Perkembangan Ekspor-Impor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya di Pasar Internasional, Periode Tahun 1986-2006 ……...
131
Harga Rata-Rata Kayu Manis Grade KA di tingkat Petani dan di tingkat Eksportir (harga bulanan Rp/Kg) Tahun 2006………………..
133
Hasil Pendugaan Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani dan di tingkat Eksportir Tahun 2001-2006 (data bulanan dalam Rp/Kg) ..
134
Hasil Uji Unit Root dengan test ADF Untuk Data Harga Kayu Manis di tingkat Petani dengan Eksportir Tahun 2001-2006 (data bulanan)..
136
Hasil Dekomposisi Model CMS Komoditi Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Periode Tahun 1986-2006 ………………….…...
140
5.
8. 9.
14. 15. 16. 17. 18. 19.
xvii 20. 21. 22. 23.
24.
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Hasil Dekomposisi Model CMS terhadap Ekspor Kayu Manis China di Pasar Internasional Periode Tahun 1986-2006 …………………....
142
Hasil Analisis Dekomposisi Model CMS Perubahan Ekspor Sri Lanka di Pasar Internasional Periode Tahun 1986-2006 …………….
143
Pendugaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Tahun 1979-2006 …………………………………….
150
Uji Unit Root Untuk Konstanta Tanpa Tren Pada Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia pada Pasar Tujuan Periode 1979-2006 ………………………………………………...
153
Uji Unit Root Untuk Konstanta dengan Tren Pada Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia Pada Pasar Tujuan Periode 1979-2006…………………………………………………
154
Uji Kointegrasi Untuk Persamaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia, Periode Tahun 1979-2006……………………..
155
Hasil Pendugaan Model ECM Persamaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Tahun 1979-2006 ………….
156
Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 ......
161
Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah), Tahun 2006 ..................
162
Perkembangan PDRB Empat Puluh Sektor Kabupaten Kerinci Berdasarkan Tabel I-O Kerinci Tahun 2006 (Milyar Rupiah)..............
163
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Berdasar PDRB Harga Konstan 2000 (Persen) Periode 2002-2006 ..............................
164
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Atas Dasar PDRB Harga Berlaku (Persen) Periode 2002-2006 ........................................
165
Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 ......
166
Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah) Periode 2002-2006 ........
167
Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku Periode Tahun 2002-2006 ……………………………
168
Perkembangan PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000, Periode Tahun 2002-2006 ……………………………………………
169
Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 .............................................................................
170
Distribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci (Jiwa) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 ................................................
170
xviii 38.
Komposisi Output Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ..........................................................................................
172
Komposisi Nilai Tambah Bruto Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Berdasarkan Harga Produsen Tahun 2006...............................
173
Distribusi Nilai Tambah Bruto Perekonomian Kabupaten Kerinci, Menurut Komponennya, Tahun 2006 ..................................................
174
Struktur Permintaan Akhir Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Menurut Komponennya,Tahun 2006 ......................................
175
42.
Output Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ...................
176
43.
Nilai Tambah Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci, 2006..........
177
44.
Distribusi Output Subsektor Perkebunan Kabupaten Kerinci, 2006.....
179
45.
Distribusi Nilai Tambah Bruto Subsektor Perkebunan di Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 .............................................................................
180
Distribusi Nilai Tambah Bruto Sektor Kayu Manis Menurut Komponennya, Tahun 2006 ..................................................
181
Kontribusi PDRB Perkapita Sektor Kayu Manis Versus Sektor Perkebunan Lainnya di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 .....................
182
Kontribusi Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ...................................
183
Produktivitas Sektor Kayu Manis Versus Sektor Padi, Teh, Industri Makanan dan Minuman serta Sektor Perdagangan Tahun 2006 ..........
184
Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke depan Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 ..........................................................................
186
Daya Penyebaran dan Indeks Daya Penyebaran Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ...................................
189
Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke belakang Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 ..........................................................................
191
Indeks Derajat Kepekaan Sektor Kayu Manis Versus Sektor Lainnya, dalam Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 .........
194
Multiplier Effect Output Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ...........................................................................................
196
Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 ..........................................................
198
Multiplier Effect Pendapatan terhadap Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 ..............................................................................
200
Multiplier Effect Tenaga Kerja di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 .....
202
39. 40. 41.
46. 47. 48. 49. 50.
51. 52.
53. 54. 55. 56. 57.
xix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Halaman
Perkembangan Volume Ekspor Komodoti Kayu Manis Internasional (ton) Periode Tahun 1990-2005 .............................................................
9
2.
Mata Rantai Kegiatan Agribisnis ……………………………………..
34
3.
Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjang ..........................................
35
4.
Model Integrasi Vertikal Sistem Agribisnis...........................................
39
5.
Konsep Consumer Surplus (CS) dan Producer Surplus (PS) Dampak Kesejahteraan dari Pilihan Kebijakan Perdagangan Internasional…....
55
Dampak Kesejahteraan dari Pilihan Kebijakan Perdagangan Internasional (Suranovic, 1997)……………….………………..
56
7.
Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………...
72
8.
Kerangka dan Alur Penelitian …………………………………….…
75
9.
Perkembangan Luas Areal dan Jumlah Petani Pengembang Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006 ………….....
97
10.
Peta Sebaran Perkebunan Kayu Manis Rakyat Kabupaten Kerinci .....
98
11.
Perkembangan Produksi dan Luas Areal Kayu Manis di Kabupaten Kerinci periode Tahun 1990-2006 ………………………..................
99
12.
Struktur Pohon Industri Komoditi Kayu Manis ……………………..
108
13.
Struktur Kebocoran Dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis di Kabupaten Kerinci ................................................................
110
14.
Saluran Pemasaran Kayu Manis Kabupaten Kerinci …………….....
112
15.
Laju Pertumbuhan Ekspor Kayu Manis Indonesia Periode Tahun 1986-2006 ……………………………………………………………
130
Perkembangan Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya dalam Perdagangan Internasional, Periode Tahun 1986-2006 ……....
133
Trend Efek Struktural Kayu Manis Indonesia Versus Pesaing Utama Periode Tahun 1986-2006. ..................................................................
144
Trend Hasil Dekomposisi Efek Kompetitif Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus China, Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006. .........
146
Posisi Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional Versus China dan Sri Lanka, Periode Tahun 1986-2006
147
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Atas Dasar PDRB Harga Berlaku ( Persen) Periode 2002-2006 .......................................
165
6.
16. 17. 18. 19. 20.
xx 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar PDRB Harga Berlaku ( Persen) Periode 2003-2006 .................................................
167
Distribusi Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Tahun 2007 .............................................................................
171
Posisi Keterkaitan ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006..............................................................................
187
Posisi Keterkaitan ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006..............................................................................
192
Distribusi Peran Sektor Kayu Manis terhadap Komponen Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci …………………………
204
Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Kabupaten Kerinci….....................................................…………………………..
208
Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh di Kabupaten Kerinci….....................................................……….......
210
Potensi Multiplier Efect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci ............................................…….……....
212
Potensi Dampak Kebocoran Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh Jika Diasumsikan Processing Berkembang di Kabupaten Kerinci ......
213
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Tabel Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006, atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah) ……………………………
230
2. Tabel Koefisien Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006, atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah) ……………... 236 3. Hasil Pendugaan Model Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani dengan harga di tingkat Eksportir ……………………............………. 242 4. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model CMS Ekspor Kayu Manis..
243
5. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar Amerika Serikat………….…………………………………………… 244 6. Hasil Pendugaan Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Belanda ………………….……………………………………... 245 7. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar Negara Lain atau Rest of The World (ROW) ………………………... 246 8. Peta Lokasi Penelitian …………………………………………….….. 247 9. Peta Wilayah Kabupaten Kerinci …………………………………….
248
10. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kerinci ………………………. 249 11. Peta Sebaran Pengembangan Kayu Manis di Kabupaten Kerinci ......... 250 12. Perkebunan dan Proses Pemanenan Kayu Manis………………...…… 251 13. Produk dan Grade Kayu Manis ……………………………................. 252 14. Produk Kayu Manis Olahan Siap Ekspor.....………………..............… 253
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Dalam proses pembangunan, ketersedian sumberdaya merupakan prasyarat utama yang sangat diperlukan, seperti ketersediaan sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia (human resource), sumber daya sosial dan sumber daya buatan. Ketersediaannya perlu diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan (growth), efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005; Rustiadi et al. 2005). Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, Hayami (2001) menjelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya sebagai faktor produksi yang terintegrasi dengan teknologi dan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat dapat mempengaruhi peningkatan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Karena “nilai tambah” didistribusikan ke pemilik sumberdaya untuk menjadi pendapatannya sehingga secara agregat pendapatan masyarakat tersebut dapat menjadi pendapatan wilayah. Pentingnya peran nilai tambah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga upaya peningkatan dan mengurangi tingkat kebocorannya menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagaimana Bendavid (1991) menjelaskan bahwa
dalam
pembangunan
ekonomi
wilayah,
multiplikasi
pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Selain itu dijelaskan bahwa terjadinya kebocoran dapat berdampak pada kecilnya multiplier pendapatan yang dihasilkan oleh suatu wilayah, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran pendapatan yang terjadi maka semakin besar pula multiplier pendapatan yang hilang bagi suatu wilayah. Dengan demikian, terjadinya kebocoran wilayah berarti dapat merugikan perekonomian wilayah. Adanya pengaruh kebocoran wilayah terhadap meningkatkan pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat dipahami mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan penting dalam pembangunan wilayah.
2 Berbagai literatur menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari aspek pengeluaran, yaitu adanya pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan bagi pendapatan domestik. Dengan kata lain kebocoran dapat terjadi dari sisi pengeluaran daerah karena terjadi pembelian barang-barang impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, serta pengeluaran yang digunakan untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya. Selain itu Rada et al. (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand yaitu apabila injeksi terhadap investasi, ekspor dan belanja pemerintah yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Selanjutnya Roetter et al. (2007) menjelaskan bahwa dari aspek pembangunan desa-kota, kebocoran wilayah dapat terjadi karena adanya aliran tenaga kerja ke perkotaan akibat membaiknya akses infrastruktur ke perkotaan yang akhirnya mempengaruhi kecilnya pendapatan wilayah perdesaan. Di Indonesia tinjuan literatur tentang kebocoran wilayah masih sangat terbatas, baik dalam bentuk kajian maupun dalam bentuk penggunaan istilah dan definisinya. Selain itu di Indonesia penggunaan istilah kebocoran masih terbatas pada aspek keuangan dan perbankan (Departemen Keuangan, 1998), aspek birokrasi yaitu berkaitan dengan efisiensi layanan birokrasi (Rustiani, 2003). Terbatasnya kajian tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, menunjukkan bahwa di Indonesia identifikasi tentang kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah belum menjadi perhatian banyak kalangan untuk dibuktikan. Dengan demikian sehingga besaran multiplikasi dan kebocoran wilayah belum menjadi pertimbangan utama dalam aspek perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Padahal dalam pengembangan ekonomi wilayah proses multiplikasi pendapatan/nilai tambah merupakan inti dari pengembangan ekonomi wilayah (Bendavid, 1991). Selanjutnya Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah
3 dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah, mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah, sehingga dapat mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya tentu dapat menghambat pengembangan wilayah. Karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam pertanian yang berlimpah, dimana sebagian besar wilayahnya memiliki potensi pengembangan pertanian serta masih dominannya peran sektor pertanian dalam pembentukan perekonomian wilayah di Indonesia (BPS, 2007), sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian. Namun dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dalam pengembangan komoditas pertanian unggulan daerah di Indonesia seperti untuk komoditas karet di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (Anwar, 2005), kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Barat (Arifin et al. 2007) serta komoditas panili di Sulawesi Utara (Malian et al. 2004) menjelaskan bahwa dalam pengembangan komoditi unggulan, petani cenderung menghadapi persoalan harga yang kurang mengembirakan dan kecilnya nilai tambah/pendapatan, sehingga mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian wilayah. Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terlihat bahwa peran sektor pertanian masih merupakan sektor dominan terhadap pembentukan PDRB, yaitu sebesar 51,05% (BPS, 2007). Sedangkan komoditas unggulan daerah yang paling dominan dikembangkan di daerah serta yang paling dominan berkontribusi terhadap pembentukan ekspor daerah adalah komoditas kayu manis. Komoditas tersebut selain menempatkan Kabupaten Kerinci sebagai penghasil kayu manis terbesar di Indonesia, juga berkontribusi dominan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kayu manis terbesar dunia (nomor satu) dewasa ini (Ditjenbun, 2007). Dengan rata-rata pangsa ekspor Indonesia pada tahun 2002-2007 yaitu 31,06% terhadap total ekspor dunia, dengan jumlah ekspornya pada tahun 2007 yaitu sebesar 41.723 ton atau dengan nilai 27,5 juta US$ (FAOSTAT, 2007). Di Indonesia pengembangan kayu manis dominan dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada tahun 2007 luas areal
4 pengembangannya yaitu 134.897 ha tersebar di 19 wilayah provinsi, dengan produksinya sebesar 103.594 ton. Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi merupakan salah satu wilayah yang terbesar dan merupakan sentra pengembangan kayu manis nasional, dengan luas areal perkebunannya yaitu 42.313 ha (31,61%) dari total luas areal perkebunan kayu manis nasional, atau 10,15% dari luas wilayah Kabupaten Kerinci. Produksinya sebesar 43.782 ton (42,26%) dari total produksi kayu manis nasional (BPS dan Ditjenbun, 2007). Selain itu pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci dikembangkan oleh 15,63% oleh Kepala Keluarga (BPS Kerinci, 2007). Di Kabupaten Kerinci tanaman kayu manis disatu sisi merupakan tanaman budidaya, yang berperan sebagai sumber pendapatan masyarakat, dan di sisi lain tanaman kayu manis juga berperan sebagai tanaman konservasi yang mendukung fungsi wilayah Kabupaten Kerinci sebagai kawasan konservasi Tanaman Nasional Kerinci Sebelat (BPTOR, 2003). Tanaman kayu manis telah dibudidayakan oleh masyarakat Kerinci secara turun temurun dan menjadi komoditas primadona daerah. Namun akhir-akhir ini pengembangannya cenderung menghadapi persoalan yaitu terjadinya kecenderungan perubahan dalam pengelolaan seperti dari semulanya dikelola masyarakat dengan pola pemeliharaan dan pemanenan sistem tebang pilih, dan akhir-akhir ini cenderung berubah menjadi pola pemanenan dengan sistem tebang habis. Adanya perubahan sistem pemeliharaan dan pemanenan kayu manis akhirakhir ini, diduga terkait dengan kurangnya insentif petani untuk melakukan pengelolaan komoditas yang baik, sebagai pengaruh dari tekanan harga yang kurang mengembirakan. Oleh karena itu jika kondisi tersebut berlangsung secara terus menerus, maka dikhawatirkan pada masa yang akan datang, selain dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat juga dikhawatirkan dapat meningkatkan eksternalitas negatif bagi Daerah Kabupaten Kerinci, seperti terjadinya konversi lahan tanaman kayu manis menjadi lahan tanaman semusim serta mendorong peningkatan lahan kritis. Dengan demikian mendorong laju degradasi lahan serta turunnya produktivitas lahan, produktivitas tanaman, yang pada gilirannya dikhawatirkan
dapat
mengganggu
keberlanjutan
agribisisnis
dan
keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.
juga
5 Padahal dilihat dari sisi konsumsi dan permintaan kayu manis dunia, dari tahun
ke
tahun
perkembangannya
cenderung
mengalami
peningkatan,
sebagaimana ditunjukkan oleh data FAOSTAT (2007) kebutuhan kayu manis dunia yaitu dari 20.496 ton pada tahun 1990, meningkat menjadi 91.540 ton pada tahun 2000, dan 107.252 ton pada tahun 2007. Terjadinya peningkatan konsumsi dan permintaan kayu manis dunia akhir-akhir ini, semestinya dapat mendorong peningkatan pengembangan kayu manis di tingkat petani, khususnya di Kabupaten Kerinci. Namun fenomena dalam pengembangannya justru terlihat mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan data BPS Kerinci (2007) penurunan luas areal tanaman kayu manis yaitu dari 50.439 ha pada tahun 2000, turun menjadi 42.313 ha pada tahun 2007. Kurangnya insentif petani dalam pengelolaan dan pengembangan komoditas kayu manis akibat dari tekanan harga komoditas, diduga terkait dengan aspek pemasaran seperti integrasi harga di tingkat pasar yang lebih tinggi dengan harga di tingkat petani yang tidak sempurna. Selain itu diduga akibat terlalu dominannya fungsi-fungsi pemasaran dan processing berada di luar wilayah, sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan pengolahan komoditas untuk menghasilkan komoditas bernilai tambah tinggi dilakukan di luar wilayah. Dengan demikian sehingga nilai tambah komoditas yang diperoleh masyarakat dan daerah Kabupaten Kerinci dari kegiatan pembudidayaan kayu manis belum menggembirakan. Rendahnya nilai tambah komoditas yang diperoleh akibat dominannya produk yang diekspor dalam bentuk gelondongan, maka dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kondisi tersebut diduga berpotensi mendorong kebocoran wilayah bagi daerah Kabupaten Kerinci. Dalam konteks sistem agribisnis dan kaitannya dengan perekonomian wilayah, ketika tidak optimalnya nilai tambah/pendapatan yang dapat diperoleh dari pengembangan komoditas, akibat dominannya nilai tambah dimanfaatkan oleh wilayah lainnya, tentu mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan pelaku agribisnis di daerah, sehingga pada gilirannya tentu dapat mengganggu keberlanjutan sistem agribisnis itu sendiri.
6 Lahirnya UU.No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan arah pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan, terutama dalam kepentingan pemberdayaan daerah (Bratakusumah dan Riyadi, 2003). Dengan demikian dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraannya pada aspek pengembangan komoditas unggulan daerah
seperti
komoditas
kayu
manis
di
Kabupaten
Kerinci,
tentu
pengembangannya menarik untuk didorong, baik dalam aspek pembudidayaan maupun dalam sistem pengolahan hasil dan pemasarannya. Sebagaimana Arifin et al. (2007) menjelaskan bahwa terbukanya akses pasar sebagai konsekuensi globalisasi perdagangan, disatu sisi diyakini dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian tantangan yang dihadapi Indonesia sangat berat, karena produk-produk Indonesia cenderung kurang kompetitif di pasar dunia serta sangat sensitif terhadap perubahan harga di pasar internasional. Dengan demikian sehingga dalam pengembangan komoditas pertanian Indonesia membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Dari aspek pengembangan komoditas kayu manis, beberapa peneliti terdahulu menjelaskan seperti Rusli dan Abdullah (1988), kayu manis di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mendukung pendapatan dan kegiatan penghijauan serta merehabilitasi lahan kritis, terutama pada bagian daerah aliran sungai serta di kawasan konservasi. Kemudian BPTRO (2003) menjelaskan bahwa kayu manis dapat berperan sebagai sumber pendapatan dan dapat memperbaiki lahan konservasi serta dapat berfungsi sebagai penata tata air, khusus di daerah Sumatera Barat dan Jambi. Sedangkan (MaRI) Masyarakat Rempah Indonesia (2006) menjelaskan bahwa tanaman obat-obatan dan rempahrempah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang, terutama sejalan dengan kecenderungan perilaku masyarakat modern yang memilih back to nature dalam mengkonsumsi obat-obatan alami untuk kesehatan. Dari berbagai konsep, fenomena dan persoalan pengembangan ekonomi wilayah, kasus komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci yang merupakan komoditas yang dominan dikembangkan di daerah dan merupakan andalan ekspor
7 daerah, serta menjadi sumber pendapatan masyarakat pengembangannya diduga menghadapi persoalan kebocoran wilayah. Dengan demikian karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah, sehingga kajian kebocoran wilayah dari aspek nilai tambah/pendapatan yang belum pernah dikaji oleh peneliti terdahulu kaitannya dengan sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci, menjadi kajian yang menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah.
Rumusan Masalah Berlangsungnya otonomi daerah diharapkan dapat mendorong percepatan, pertumbuhan, pemerataan serta keberlanjutan pembangunan daerah. Otonomi daerah memandang pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibandingkan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spatial (ruang) serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah (Rustiadi et al. 2005). Karena kebocoran wilayah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sehingga adanya indikasi kebocoran wilayah dalam pengembangan komoditas dominan yang dikembangkan di suatu wilayah, seperti komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci sebagaimana ditunjukkan dominannya ekspor komoditas dalam bentuk produk gelondongan, dan dominannya kegiatan processing dilakukan di luar wilayah, sehingga nilai tambah komoditas dominan dimanfaatkan oleh wilayah lain. Kondisi tersebut tentu dapat merugikan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun karena indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta implikasinya terhadap perekonomian wilayah belum pernah dibuktikan secara empirik, sehingga fenomena kebocoran tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dalam suatu pembangunan wilayah, dan pada gilirannya
penanganan
berbagai
persoalan
yang
dihadapi
dalam
pengembangannya belum dapat menggembirakan. Kondisi tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem agribisnis serta keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan.
8 Pengembangan komoditas kayu manis berada di wilayah perdesaan dan dominan diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat, serta diduga memiliki kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja, pendapatan, dan kesejahteraan
masyarakat
serta
perekonomian
wilayah.
Adanya
kaitan
pengembangan komoditas kayu manis dengan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci terutama dari aspek nilai tambah, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja, sehingga keterkaitan tersebut menarik untuk diketahui. Selain itu karena komoditas kayu manis merupakan salah satu komoditas dominan dan andalan Kabupaten Kerinci, sehingga mengidentifikasi posisinya dibandingkan dengan komoditas dan sektor lainnya dari kelompok komoditas subsektor tanaman pangan seperti padi, dari kelompok subsektor perkebunan seperti komoditas teh, dari kelompok sektor industri seperti industri makanan dan minuman dan kelompok jasa dan lainnya seperti sektor perdagangan menjadi menarik untuk dilakukan, guna mengetahui posisi komoditas kayu manis dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian wilayah. Selain itu karena kayu manis merupakan komoditas ekspor yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga aspek pemasaran menjadi penting untuk diperhatikan terutama dalam kaitannya dengan kinerja sistem agribisnis dan perekonomian wilayah. Oleh karena itu mengidentifikasi posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis dilihat dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor dan permintaan pasar, menjadi menarik dan penting untuk dilakukan, terutama dalam upaya pengembangannya pada masa yang akan datang. Selain itu karena
pengembangan
komoditas
kayu
manis
diduga
masih
sangat
memungkinkan untuk dikembangkan, karena sebagian teknologi budidaya sudah memasyarakat serta pembudidayaannya telah dilakukan secara turun temurun. Dengan
demikian
apabila
berbagai
persoalan
yang
dihadapi
dalam
pengembangnnya diabaikan begitu saja, tentu dapat merugikan masyarakat Kabupaten Kerinci khususnya dan Indonesia umumnya. Ketatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan komoditas kayu manis dunia, diduga berdampak pada pengembangan kayu manis nasional dan daerah, yang pada gilirannya tentu akan mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi tersebut sehingga pemetaan posisi daya
9 saing ekspor komoditas menjadi sangat penting artinya, terutama untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya pada masa yang akan datang. Memperhatikan perkembangan ekspor kayu manis dunia periode tahun 1990-2006, menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persaingan antar produsen cenderung semakin ketat. Dimana Indonesia terlihat bersaing ketat dengan pesaingnya seperti China dan Sri Lanka serta negara lainnya, sebagaimana ditunjukkan pada grafik perkembangan ekspor komoditas kayu manis dunia yang ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.
Perkembangan Volume Ekspor Kayu Manis Dunia Periode Tahun 1990-2006 (ton) 45,000 40,000
Volume (ton)
35,000 30,000 Indonesia
25,000
China
20,000
Sri Lanka ROW
15,000 10,000 5,000 2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
-
Tahun
Sumber: FAOSTAT, 2007 (diolah)
Gambar 1. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Kayu Manis Dunia (ton) Periode Tahun 1990-2006. Karena peningkatan daya saing dapat melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, dan bukan bersifat protektif semata, sehingga Gonarsyah (2005) menjelaskan upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dapat diusahakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses terhadap kredit dan pasar serta perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar dan sebagainya. Selain itu karena dalam perspektif jangka panjang pada era globalisasi, upaya-upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi akan lebih memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraannya sehingga pengembangannya perlu mendapat perhatian.
10 Persoalan utama lainnya yang diduga mempengaruhi perkembangan komoditas kayu manis yaitu berkaitan dengan aspek permintaan. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor diantaranya adalah harga, pertumbuhan ekonomi, dan nilai tukar (kurs). Karena ekspor kayu manis Indonesia dominan ditujukan ke pasar internasional seperti ditunjukkan data FAOSTAT (2007), yaitu 42,59% ekspor kayu manis Indonesia ditujukan ke pasar Amerika Serikat, Belanda 11,93%, Jerman 3,19%, India 1,67%, dan Meksiko 0,50%, serta 40,12% ditujukan ke negara lainnya. Dengan demikian mengidentifikasi posisi dan prospek permintaan pada pasar tersebut menarik untuk dilakukan terutama guna pengembangannya pada masa yang akan datang. Selain itu, karena akhir-akhir ini masing-masing negara pengimpor kayu manis Indonesia cenderung menghadapi goncangan ekonomi serta harga dan nilai tukar yang cenderung berfluktuatif, dengan demikian sehingga untuk mengetahui prospek permintaan dalam konteks pengembangan agribisnis komoditas kayu manis nasional dan Kabupaten Kerinci khususnya, dengan melakukan pemetaan ditinjau dari faktor yang mempengaruhi ekspor seperti harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) dan nilai tukar (kurs), guna pengembangan permintaan pada masa yang akan datang menjadi menarik untuk dilakukan. Selain itu fenomena menunjukkan bahwa berbagai persoalan dalam pengembangan komoditas kayu manis, penanganannya belum kunjung membaik. Walaupun di satu sisi pengembangannya terus didorong, namun di sisi lain petani masih dihadapkan pada berbagai pilihan yang sulit, yaitu antara pilihan tetap untuk melakukan pengembangan kayu manis, atau beralih ke pengembangan komoditas lainnya terus berlangsung, terutama akibat persaingan antar harga komoditas dan berbagai tekanan yang belum menemukan solusinya. Dalam konteks sistem agribisnis, karena persoalan nilai tambah komoditas terkait dengan kinerja subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran hasil dan subsistem penunjang. Dengan demikian untuk mendorong peningkatan nilai tambah komoditas perlu diperhatikan keterkaitannya dengan masing-masing subsistem dalam sistem agribisnis, terutama untuk mengetahui pada subsistem apa dan kapan serta dimana dari rantai sistem agribisnis tersebut terjadi potensi
11 kebocoran. Dengan demikian sehingga upaya penanggulangan dan pengembangan guna peningkatan kinerjanya dapat dilakukan. Demikian
juga
dalam
konteks
pengembangan
pertanian
berbasis
perkebunan, karena kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat, sehingga untuk mengetahui posisi dan prospek pengembangannya sehingga menarik untuk dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya seperti perkebunan estate lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini identifikasi posisi sektor kayu manis yang merupakan sektor perkebunan rakyat dibandingkan dengan sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan lainnya (perseroan) yang dominan di daerah dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah menarik untuk dilakukan. Dari berbagai permasalahan di atas dalam konteks pemgembangan ekonomi wilayah maka melakukan kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci menjadi kajian yang sangat penting dan menarik untuk dilakukan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan, kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian wilayah, serta keberlanjutan sistem agribisnis dan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan. Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka untuk membatasi kajian ini, dibangun rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah? 2) Bagaimanakah posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir? Bagaimanakah posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya? Bagaimanakah permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill? 3) Bagaimanakah peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan?
12 Bagaimanakah posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja? 4) Bagaimanakah indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci? Bagaimanakah posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya? Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci kaitannya dengan perekonomian wilayah. 2) Menganalisis posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis ditinjau dari aspek integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menganalisis posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional dibandingkan dengan pesaingnya, dan menganalisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, dan nilai tukar (kurs) rill. 3) Menganalisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditinjau dari aspek PDRB, tenaga kerja dan ekspor, dibandingkan dengan sektor padi, teh, industri pengolahan dan perdagangan. Menganalisis posisi keterkaitan sektor kayu manis dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja. 4) Menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kayu manis serta dampaknya
terhadap
perekonomian
wilayah
Kabupaten
Kerinci.
Menganalisis posisi sektor kayu manis dibandingkan dengan sektor teh dalam konteks perbandingan sistem pertanian berbasis perkebunan rakyat dan perkebunan estate lainnya.
13 Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pemecahan masalah dalam pembangunan ekonomi wilayah, dan khususnya pada upaya menekan tingkat kebocoran wilayah dalam usaha pengembangan komoditas dominan suatu daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan tentang pengembangan komoditas unggulan daerah di Indonesia secara umum dan komoditas pertanian kayu manis khususnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ranah keilmuan ekonomi wilayah dan pengembangan sistem agribisnis, guna peningkatan nilai tambah, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi perbandingan dan stimulan bagi penelitian selanjutnya.
Kebaruan Penelitian (Novelty) Analisis kebocoran ekonomi wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah merupakan suatu penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan baku yang dikemas dalam suatu rangkaian baru yang berkontribusi mengidentifikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci. Dalam menganalisis kebocoran wilayah sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci digunakan pendekatan analisis model Input-Output (I-O), yang menempatkan komoditas kayu manis sebagai sektor tersendiri dalam struktur perekonomian wilayah, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam menganalisis struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci dan bahkan satu-satunya di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian ini ditunjukkan oleh hasil penelusuran potensi dan implikasi kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis ditinjau dari subsistem input, produksi, pengolahan hasil (processing), dan pemasaran serta faktor penunjang.
14 Selanjutnya kebaruan penelitian yaitu mampu membuktikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem agribisnis komoditas kayu manis yang ditinjau dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor serta permintannya di pasar internasional yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Selain itu penelitian ini mampu membuktikan perbandingan potensi pengembangan perkebunan
rakyat
dengan
perkebunan
estate
lainnya
dalam
konteks
pengembangan ekonomi wilayah. Selain itu kebaruan dari penelitian ini adalah mampu menjelaskan posisi dan prospek pengembangan komoditas kayu manis yang merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional.
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dijelaskan berbagai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan konsep pengembangan ekonomi wilayah, kebocoran wilayah, sistem agribisnis, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, kebijakan perdagangan internasional, pembangunan ekonomi berkelanjutan serta tinjauan terdahulu tentang komoditas kayu manis. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan parameter, indikator dan spesifikasi model serta peubah-peubah yang berkaitan dengan penelitian ini. Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah Penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hal yang dapat saling dipertukarkan. Sebutan tersebut sesuai dengan definisi dalam Bahasa Inggris yaitu development. Namun di Indonesia penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan berbagai kalangan cenderung pula digunakan secara khusus (Rustiadi et al. 2005). Secara umum pembangunan merupakan proses perubahan dalam banyak aspek kehidupan yang hakekatnya bertujuan untuk memberi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih merata, serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan (Anwar, 2005) Selanjutnya Todaro (1998) menjelaskan bahwa pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Selanjutnya Todaro juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dari struktur sosial, sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut. Rustiadi et al. (2005) dan Anwar (2005) mengemukakan bahwa pada hakekatnya tujuan pembangunan wilayah secara umum, adalah untuk: (i) meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
dan
pertumbuhan
(growth);
(ii)
16 meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity), dan (iii) mendorong keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, antar spasial (ruang), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Pengembangan wilayah yang baik dicirikan dengan terjadinya keterkaitan antara sektor dalam suatu wilayah dengan baik, dalam arti terjadinya transfer input dan output, barang dan jasa antar sektor secara dinamis, dimana keragaman potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial ekonomi tersebar secara merata dan terjadinya interaksi spasial yang optimal, dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah yang berlangsung secara dinamis. Dalam pembangunan wilayah, struktur keterkaitan perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah, baik dilihat dari aspek fisik lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Oleh sebab itu pembangunan suatu wilayah harus dilihat secara dinamis dan bukan dilihat sebagai konsep yang statis. Selanjutnya memperhatikan perkembangan teori pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua, yang awalnya didominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-an, Roy Harrod dan Evsey Domar secara terpisah telah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang. Hal ini karena fakta menunjukkan bahwa melakukan pengembangan investasi ternyata tidak cukup untuk bagi peningkatan pembangunan ekonomi (Hayami, 2001). Dalam perspektif perkembangan teori pembangunan ekonomi, terlihat bahwa perkembangannya telah diwarnai oleh berbagai model seperti yang dikembangkan oleh Robert Solow tahun 1956 dan Tom Swan 1956. Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow 1956 dan Swan 1956 dengan
17 sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi. Perbedaannya model tersebut terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y = AK, dimana A = 1/c dan bersifat konstan; dan c = K/Y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi neoclassical yakni Y = f(L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah tenaga kerja yang berada dalam tingkat teknologi T (Hayami, 2001). Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa jika memperhatikan pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik yang memperhatikan dari sisi faktor supply seperti pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis, dengan kesimpulan utama pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pertumbuhan regional terlihat telah mengesampingkan kontribusi potensial dari faktor-faktor dari sisi permintaan (demand). Untuk menutup kelemahan tersebut, sehingga pendekatan neoklasik telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek perdagangan antar wilayah. Dengan demikian modifikasi tersebut telah membuka kemungkinan bahwa perbedaan dalam pertumbuhan regional dapat dijelaskan selain dari sisi supply juga dapat dijelaskan dari sisi demand seperti dari aspek pertumbuhan ekspor regional. Beberapa studi historis tentang pertumbuhan dan pembangunan wilayah berbasis sumberdaya di Amerika Utara misalnya telah melahirkan model berbasis ekspor (export-base model) sebagaimana Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa riset terbaru dari model tersebut memperhatikan beberapa wilayah khususnya di Amerika Utara Bagian Barat Laut, telah terjadi pertumbuhan “tanpa” dibandingkan “modal dan tenaga kerja yang mengalir ke wilayah ini dalam mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Meningkatnya permintaan dunia terhadap sumberdaya alam, maka hubungan transportasi dengan dunia luar sangat diperlukan, sehingga dalam kondisi tersebut integrasi wilayah ke dalam pasar dunia menjadi sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
18 Pada teorema Heckscher-Ohlin dijelaskan bahwa ekspor akan terspesialiasi pada produksi dan komoditas yang menggunakan faktornya yang relatif berlimpah. Wilayah dengan supply bahan baku yang berlimpah akan terspesialisasi pada komoditas intensif misalnya barang semi olahan atau primer (Armstrong dan Taylor 2001). Stimulus terhadap permintaan ekspor memiliki pengaruh multiplier terhadap pendapatan wilayah dan berpengaruh terhadap akselerator investasi. Di sisi lain, lebih tingginya harga faktor produksi akan menarik tenaga kerja dan modal dari wilayah lainnya. Arus masuk tenaga kerja akan meningkatkan permintaan terhadap barang yang diproduksi dan di konsumsi secara lokal, seperti transportasi, jasa personal dan layanan pemerintah. Demikian juga industri-industri subsider yang menyediakan jasa-jasa khusus, dan untuk sektor ekspor juga akan lahir dengan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi. Sehingga akan memacu aglomerasi ekonomi lokal serta setiap ekonomi skala internal yang ada pada industri ekspor, dan lebih lanjut lagi akan memicu sektor ekspor dengan menurunkan biaya produksi dan distribusi. Dengan fleksibelnya faktor harga sehingga hukum keunggulan komparatif akan membuat wilayah dapat bertahan melalui realokasi faktor-faktor produktif ke komoditas ekspor. Artinya teori berbasis ekspor dalam bentuk yang lebih luas adalah
merangsang suatu keunggulan atas pendekatan neoklasik yang
penekanannya pada peran dari faktor permintaan tanpa mengesampingkan sisi penawaran dalam perekonomian wilayah. Pendekatan ini di kritisi karena bentuknya yang sederhana dan hanya menjelaskan perkembangan historis wilayah yang tergantung pada ekspor bahan baku. Namun demikian model tersebut telah mampu menjelaskan pentingnya ekspor dalam perekonomian wilayah. Kemudian dalam tesis Kaldor tahun 1970 dijelaskan behwa pertumbuhan output per kapita dari suatu wilayah ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah dalam eksploitasi skala ekonomi dengan memanfaatkan spesialisasi. Manfaat ini berhubungan dengan tipe aktivitas produktif dimana suatu wilayah melakukan spesialiasi. Menurut Armstrong dan Taylor (2001) pengembangan dari tesis Kaldor dilakukan oleh Dixon-Thirlwall tahun 1970 difokus pada konstruksi penjelasan Kaldor yang lebih kuat mengenai disparitas pertumbuhan wilayah, dan memberikan
perhatian
khusus
pada
proses
penyebab
kumulatif
yang
19 mempengaruhi pertumbuhan wilayah. Proses penyebab kumulatif tersebut dimasukkan ke dalam model dengan memperhitungkan pengaruh umpan balik (feedback effect) dari pertumbuhan suatu wilayah terhadap kompetitivitas sektor ekspor. Kompetitivitas ini pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan output wilayah, yang lebih lanjut akan memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan kompetitivitas pada sektor ekspor berikutnya. Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan kunci utama dari model DixonThirlwall adalah dimulai dari pertumbuhan pada produktivitas tenaga kerja. Menurut Kaldor, pertumbuhan produktivitas adalah tergantung pada dua faktor, yaitu kecepatan perubahan teknis dan pertumbuhan rasio modal/tenaga kerja. Produktivitas akan meningkat jika kemajuan teknis meningkat, atau jika rasio modal/tenaga kerja meningkat (melalui investasi pada pabrik dan alat-alat baru). Kondisi tersebut pada gilirannya akan tergantung pada pertumbuhan output, yang dengan sendirinya ditentukan oleh pertumbuhan sektor ekspor. Karena pertumbuhan pada sektor ekspor tergantung pada kompetitivitas relatif terhadap wilayah-wilayah yang memproduksi substitusinya, ini berarti bahwa harga ekspor wilayah relatif terhadap harga barang substitusi yang diproduksi di wilayahwilayah lain, dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor ekspor suatu wilayah. Pada poin inilah terjadinya proses sebab akibat, karena harga ekspor wilayah ditentukan sebagian oleh hasil produktivitas. Kemudian Hayami (2001) menjelaskan bahwa model Harrod-Domar menunjukkan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan dengan dampak pengganda yang diperoleh, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan, dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Pada bagian pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan bagian kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi. World Bank (2006) dengan Rural Investment Climate Survey (RICS) menjelaskan
bahwa
usaha
Pemerintah
Indonesia
dalam
mendorong
pengembangan investasi terlihat belum optimal terutama, dalam perbaikan iklim investasi dan kewirausahaan yang berimbang. Dengan lain perkataan bahwa Bank Dunia melihat bahwa dalam kegiatan pembangunan di Indonesia dewasa ini masih
20 ditemui adanya kesenjangan (disparity) terutama dalam pengembangan investasi di perdesaan bila dibandingkan dengan perkotaan. Dari survei tersebut World Bank merekomendasikan perlunya pemerataan dan keberimbangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan di Indonesia terutama dalam meningkatkan keberimbangan investasi. Dari berbagai konsep dasar pengembangan ekonomi wilayah, maka dapat diartikan bahwa pembangunan wilayah pada hakekatnya ditujukan untuk: (i) meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
dan
pertumbuhan
(growth),
(ii)
meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity); dan (iii) mendorong keberlanjutan
(sustainability).
Pencapaiannya
membutuhkan
dukungan
keterkaitan antar sektor, spasial dan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, dan sumberdaya buatan, perlu dilakukan terutama melalui peningkatan investasi di daerah serta mendorong penggunaan teknologi. Peran Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa pengembangan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pengembangan ekonomi regional terlihat telah mengabaikan kontribusi potensial
faktor-faktor
dari
sisi
permintaan
(demand),
karena
hanya
memperhatikan dari sisi supply seperti angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis. Untuk menutupi kelemahan model tersebut Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan pengembangan ekonomi regional dapat dimodifikasi oleh Dixon dan Thirlwall dengan aspek perdagangan antar wilayah. Dalam teori basis dijelaskan bahwa kegiatan basis merupakan kegiatan yang bersifat exogenous, artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong pertumbuhan jenis pekerjaan lainnya (Tarigan, 2005). Teori basis ekspor merupakan teori yang paling sederhana dalam model perekonomian wilayah. Teori ini menganggap bahwa adanya dua bagian dalam sistem ekonomi regional, yaitu adanya daerah bersangkutan dan daerah lainnya. Dalam teori tersebut masyarakat diasumsikan sebagai suatu sistem sosial ekonomi yang melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas
21 wilayahnya. Faktor penentu (determinant) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan material untuk komoditas ekspor akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan masyarakat (Rahardjo, 2005). Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan yaitu aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis yaitu kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) keluar batas wilayah perekonomian tertentu. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan, dimana luas lingkup produksi dan pemasaran adalah bersifat lokal (Rahardjo, 2005). Aktivitas basis memiliki peran sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain maka akan semakin majunya pertumbuhan wilayah tersebut, demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional. Analisis basis ekonomi yaitu berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis (Richardson, 1971). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah, maka semakin mendorong arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalam wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah dan akhirnya menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis. Walaupun teori basis mengandung kelemahan karena membagi perekonomian regional hanya dalam dua sektor kegiatan, yakni basis dan non basis. Namun teori tersebut sangat bermanfaat sebagai sarana untuk menjelaskan struktur ekonomi suatu wilayah, dan bukan sebagai alat untuk membuat proyeksi jangka pendek atau jangka panjang. Berlangsungnya globalisasi perdagangan yang ditandai dengan semakin terbukanya akses pasar komoditas suatu negara, sehingga makin mendorong
22 ketatnya persaingan antar negara/ wilayah dalam perdagangan komoditas (Arifin et al. 2007). Dalam konteks seperti ini perekonomian suatu wilayah akan diwarnai oleh kemampuan perdagangan (ekspor). Pentingnya ekspor dalam perspektif pengembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan diantaranya oleh kinerja ekspor. Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu model yang lazim digunakan diantaranya adalah menggunakan model Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan (leading sectors). Selain menggunakan model LQ leading sector juga dapat ditentukan dengan menggunakan analisis model Input-Output (I-O). Dari berbagai konsep ekspor dalam pembangunan ekonomi wilayah, sehingga dapat dipahami bahwa dalam pengembangan ekonomi wilayah terutama dalam kondisi berlangsungnya globalisasi perdagangan, menunjukkan bahwa peran ekspor daerah merupakan komponen strategi yang penting dan perlu terus didorong peningkatannya. Hal ini karena ekspor dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian wilayah. Artinya ketika ekspor daerah mengalami gangguan, maka keberlanjutan ekonomi wilayah yang bersumber dari ekspor akan mengalami hambatan atau permasalahan.
Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah Meningkatkan struktur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dan meningkatkan keseimbangan antar sektor merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah. Dalam ekonomi pasar, keterkaitan ekonomi dapat diwujudkan melalui peningkatan keterkaitan antar pelaku ekonomi, seperti dalam melakukan jual beli input produksi. Misalkan produsen rokok membutuhkan input tembakau sebagai bagian dari bahan bakunya, sehingga dalam produksi ia harus membeli tembakau dari petani tembakau. Sedangkan petani tembakau jika ingin meningkatkan output, membutuhkan input pupuk. Untuk mendapatkan pupuk ia harus membeli pupuk tersebut dari pabrik pupuk. Sementara pabrik pupuk untuk produksi ia membutuhkan mesin, tenaga kerja dan begitu seterusnya. Dari hubungan tersebut terlihat bahwa antar pelaku ekonomi saling terkait. Dengan demikian sulit bagi kita menentukan ujung dan pangkal dari keterkaitan ekonomi semacam itu. Tetapi
23 yang pasti, dari gambaran di atas terlihat dalam pengembangan suatu sektor ekonomi memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya. Studi tentang keterkaitan antar sektor dalam perekonomian telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Rameezdeen et al. (2003), melakukan kajian tentang keterkaitan antara sektor konstruksi dan sektor lainnya dalam perekonomian Sri Lanka, ia menjelaskan bahwa sektor konstruksi secara signifikan memiliki keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) dalam perekonomian Sri Lanka. Kajian keterkaitan sektor yang dibangun dilakukan dengan menggunakan model analisis InputOutput sebagaimana yang dikembangkan oleh Wassily Leontif pada tahun 1930an yang dapat digunakan untuk menjelaskan, mendefinisi, dan mengukur, serta menaksir keterkaitan antar sektor serta memprediksi indikasi kebocoran wilayah. Selain itu penggunaan model input-output juga telah digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan serta mengukur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, seperti telah dilakukan oleh (Pietroforte and Gregori, 2003; dan Rameezdeen et al. 2003). Terintegrasinya sektor-sektor dan terbentuknya keseimbangan antar sektor dalam perekonomian suatu negara dan wilayah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi sesungguhnya. Keterkaitan antar sektor secara umum dapat diidentifikasi dalam bentuk seperti; (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect); yaitu mengukur efek dari peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect); yaitu mengukur penggunaan total tenaga kerja pada suatu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect): yaitu mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Rustiadi et al. 2005). Nazara (1997) menjelaskan bahwa analisis input-output merupakan model yang berusaha memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empirik seperti dari sisi produksi. Selain itu Jensen (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model leontief dapat diaplikasikan dalam model tertutup dan model
24 terbuka, terutama dalam menganalisis perencanaan dan analisis ekonomi nasional. Sedangkan model input-output modern yang merupakan pengembangan dari model leontief, sebagaimana dijelaskan Reis dan Rua (2006) dapat digunakan untuk mengukur keterkaitan antar sektor domestik dan keterkaitan antar perdagangan, dengan cara mendeteksi koefisien keterkaitan pada model inputoutput. Model input-output (I-O) pertamakali dikembangkan oleh Leontief pada dekade tahun 1930-an. Salah satu yang sering dibicarakan dari model tersebut ketika berhubungan dengan input-output yaitu dikenal dengan istilah interindustry analysis, hal ini karena tujuan dasar dalam kerangka input-output adalah menganalisis interdependence industry dalam perekonomian. Selanjutnya Leontief mengemukakan bahwa tabel Input-Output dalam analisis perekonomian dan perencanaan pembangunan merupakan bagian dari model General Equilibrium. Model dasar input-output yang telah dikembangkan oleh Leontief tersebut menggambarkan; (1) Struktur perekonomian tersusun atas beberapa sektor yang saling berintegrasi melalui transaksi jual beli antara pemenuhan input dengan penjualan produk; (2) Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya guna memenuhi permintaan akhir; (3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya seperti dari rumah tangga (dalam bentuk tenaga kerja), dari pemerintah (dalam bentuk pajak), penyusutan, surplus usaha, serta impor dari wilayah lain. Sedangkan (4) hubungan antara input dan output bersyarat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisis (biasanya dilakukan selama satu tahun) dengan total input sama dengan total output (Nazara, 1997). Berbagai kelebihan penggunaan tabel Input-Output dalam perencanaan pembangunan diantaranya adalah dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan sektor (sectoral linkage), dampak pengganda (multiplier effect), dan tingkat kebocoran wilayah (regional leakages) berbagai sektor dalam perekonomian baik skala nasional maupun wilayah, serta dapat diketahuinya (1) besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu set permintaan akhir, (2) dapat di prediksi akibat yang ditimbulkan atau perubahan permintaan, baik yang disebabkan oleh sektor pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian, (3) perubahan
25 teknologi dan harga relatif yang di integrasikan ke dalam model melalui penyesuaian koefisiennya (BPS, 2000). Berbagai keterbatasan dalam penyusunan tabel Input-Output diantaranya menggunakan asumsi-asumsi: (1) homogenitas atau keseragaman: yaitu setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output yang seragam, dengan susunan input tunggal. Dengan kata lain antara suatu sektor dengan sektor lainnya tidak dapat saling mensubstitusi; (2) linearinitas/proporsionalitas atau kesebandingan; yaitu kenaikan penggunaan input berbanding lurus dengan kenaikan output. Selain itu setiap sektor hanya memiliki satu fungsi produksi fixed proportional. Asumsi ini menyampingkan pengaruh skala ekonomis; (3) aditivitas atau penjumlahan ; yaitu efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor, merupakan penjumlahan dari proses produksi masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti seluruh pengaruh di luar sistem input-output diabaikan (Anwar, 2004). Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matrik yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar-satuan kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah pada suatu periode tertentu. Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang (1) struktur perekonomian wilayah/ nasional yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor. (2) struktur input antara, yaitu penggunaan berbagai barang dan jasa oleh sektorsektor produksi, (3) struktur penyediaan barang dan jasa baik produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor, dan (4) struktur barang dan jasa, baik permintaan antara oleh sektor-sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Penggunaan Tabel Input-Output di Indonesia dalam perkembangannya mulai dikenal sejak akhir Pelita I, dimana LIPI merupakan lembaga yang pertama kali melakukan exercise penyusunan tabel Input-Output di Indonesia tahun 1969. Namun karena keterbatasan data yang tersedia pada saat itu LIPI awalnya dalam menerapkan model Input-Output menggunakan metode tidak langsung (non survey method). Kemudian pengembangan model Input-Output tersebut di Indonesia telah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) kerjasama dengan Bank Indonesia dan Institute of Development Economic (IDE) dengan penyusunan
26 menggunakan metode surve (survey method) untuk tahun 1971. Dengan adanya pengembangan model Input-Output oleh BPS, sehingga sejak saat itu BPS secara terus menerus menyusun tabel Input-Output Indonesia secara berkala setiap lima tahun sekali hingga dewasa ini. Dalam perkembangannya analisis model input-output juga telah digunakan untuk analisis keseimbangan ekonomi yang didasarkan atas arus transaksi antar pelaku perekonomian, dengan penekanan utama yaitu pada sisi produksi. Sedangkan teknologi produksi yang digunakan menunjukkan berperan pentingnya analisis ini. Lebih spesifik lagi teknologi yang berperan terbesar dalam mempengaruhi hasil analisis adalah teknologi yang berkaitan dengan penggunaan input antara. Sedangkan untuk tahap tertentu, input primer dianggap sebagai variabel eksogen, seperti halnya dari sisi permintaan akhir yang sering dianggap sebagai variabel endogen. Karena dalam perkembangannya penggunaan alat analisis model inputoutput dapat digunakan untuk mengukur keterkaitan sektor (sectoral linkage), dan dampak pengganda (multiplier effect), serta indikasi tingkat kebocoran wilayah (regional leakages), baik skala nasional maupun wilayah. Dengan demikian berarti model input-output merupakan alat analisis yang masih relevan untuk digunakan dewasa ini. Walaupun kemampuannya sebagai alat analisis masih memiliki berbagai keterbatasan.
Konsep Kebocoran Wilayah Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah Dilihat dari unsur kata “kebocoran wilayah” terdiri dari dua unsur kata yaitu “kebocoran” dan “wilayah”. Kata kebocoran oleh beberapa ahli didefinisikan, seperti Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan kebocoran adalah jumlah perubahan total output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak terhitung pada suatu wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebagai akibat kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran
27 pembelian barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya dimana pada kegiatan pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan pendapatan bagi masyarakat dan wilayah. Selain itu dalam model dasar arus melingkar pendapatan nasional (circular flow of national income model), semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dibelanjakan untuk konsumsi sekarang. Dalam model arus melingkar pendapatan yang diperluas, sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga ditabung, sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dibelanjakan untuk barang dan jasa yang di impor. Pada kondisi seperti ini Tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor (imports) merupakan penarikan atau “kebocoran” arus pembelanjaan pendapatan (Bendavid, 1991). Sedangkan Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa dalam ekonomi terbuka kecil, kebocoran didefenisikan adanya tambahan impor produk jika permintaan akhir untuk output meningkat sebesar satu unit. Sedangkan Rada dan Taylor. (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand pada perubahan investasi, ekspor dan belanja pemerintah, yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Kemudian “kata wilayah” menurut konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”,”area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan, dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya, walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbedabeda (Rustiadi et al. 2005). Namun demikian secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur atara istilah wilayah, kawasan, dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Dengan demikian ”wilayah” dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi. Selain itu Anwar (2004) menjelaskan bahwa kegiatan pembangunan yang menggunakan teknologi padat modal serta kurang memanfaatkan tenaga kerja lokal berpotensi menciptakan kebocoran wilayah, hal ini karena multiplier yang ditimbulkan tidak dapat ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah.
28 Dari berbagai konsep dan pendefinisian kata kebocoran dan wilayah, maka dapat diartikan bahwa ”kebocoran wilayah” merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Isu-Isu Kebocoran Wilayah Dalam bidang ekonomi regional isu-isu tentang kebocoran wilayah merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan seperti Rustiadi et al. (2005) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan yaitu perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), terutama dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya, baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005) maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita (pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah. Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi
29 pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa
dalam
pembangunan
ekonomi
wilayah,
multiplikasi
pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep di atas sehingga dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah. Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah. Beberapa ahli melihat beberapa penyebab terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) diantaranya karena adanya international dan interregional demonstration effect, yaitu adanya sifat masyarakat tertinggal yang cenderung mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Artinya wilayahwilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutunya "lebih baik" sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut, dan pada akhirnya sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya melainkan mendorong terjadi kebocoran wilayah (Anwar, 2004). Kemudian Rustiadi el al. (2005) juga menjelaskan bahwa beberapa kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya yakni: (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “menghambat” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (backwash effects);(b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan
30 yang “mendorong” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti: (1) aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) aliran kekuasaan (power). Berlangsung aliran bahan baku/mentah berupa sumberdaya alam seperti kayu, ikan, serta berbagai produk pertanian dan hasil ekstraksi sumberdaya alam yang dialirkan ke perkotaan untuk diolah (processing) guna menghasilkan produk-produk olahan. Pada tahap awal memang diyakini memiliki nilai tambah, dan proses masih dapat dianggap netral (tidak merugikan) jika: (1) pusat-pusat pengolahan di perkotaan merupakan lokasi-lokasi yang memiliki locational rent terbaik untuk kegiatan-kegiatan pengolahan, (2) proses ekstraksi sumberdaya alam di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan (tidak menyebabkan degradasi atau kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup), serta (3) diiringi dengan terjadinya peningkatan produktivitas di perdesaan. Sedangkan pada saat perdesaan dan kawasan hinterland ditinggalkan oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga produktivitas perdesaan menjadi stagnan atau lebih rendah dibandingkan perkotaan. Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses "brain-drain" dalam arti mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia perdesaan akibat mengalirnya sumberdaya manusia berkualitas ke kawasan perkotaan disatu sisi, dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengolahan yang menghasilkan nilai tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasan perdesaan menyebabkan masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan di kawasan perdesaan bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga
31 menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi demikian berarti desa mengalami "kebocoran". Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena: (1) Sifat komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) Sifat kelembagaan, yaitu menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian sehingga terjadinya kebocoran wilayah maka multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah.
Pengukuran Kebocoran Wilayah Beberapa literatur menjelaskan bahwa untuk melakukan identifikasi tentang kebocoran wilayah dalam perspektif ekonomi wilayah dapat digunakan pendekatan analisis model input-output, sebagaimana digunakan Doeksen dan Charles (1969); Bendavid (1991); Reis dan Rua (2006). Dalam melakukan pendeteksian kebocoran wilayah Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan dapat diidentifikasi dari aspek multiplier output, dan multiplier income. Sedangkan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari besar kecilnya komponen input antara yang berasal dari impor, termasuk juga pembelian yang dilakukan di luar wilayah. Selain itu Rada dan Lance (2006)
32 menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi aggregat demand ketika terjadinya perubahan dalam injeksi investasi, ekspor dan belanja pemerintah. Kemudian Rodriguez dan Kroijer (2008) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi pengeluaran lokal kaitannya dengan desentralisasi fiskal. Landesmann dan Robert (2006) kebocoran dapat dilihat dari derajat integrasi pasar modal (FDI, tenaga kerja asing). Sun (2007) Kebocoran dapat dilihat dari besar kecilnya rasio barang impor. Sedangkan Christopher dan Bryan (1994) menjelaskan kebocoran dapat ditandai oleh besarnya aspek tabungan (saving), pajak (taxation) dan besarnya belanja input impor, namun tidak meningkatkan pendapatan wilayah. Kemudian menurut Reis dan Rua (2006) kebocoran wilayah dapat dilihat dari kebocoran ke belakang (backward leakage) dan kebocoran ke depan (forward leakage). Untuk mengidentifikasi kebocoran ke depan dapat digunakan nilai koefisien kebocoran sektor (Reis dan Rua, 2006) yaitu analog dengan pengukuran keterkaitan sektor yaitu, ditunjukkan rendahnya rata-rata koefisien sektor yang terboboti pada backward leakage atau forward leakage. Skema pembobotan pada impor, dan secara alami pada barang impor i tidak harus sama dengan impor sektor produksi. Untuk memboboti backward leakage yaitu menggunakan barang impor. Sedangkan untuk forward leakage digunakan sektor impor. Misalkan l j adalah jumlah elemen pada kolom ke-j dari matrik Am(I - Ad)-1 dan li* yaitu jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I– A*d)-1A*m. Selanjutnya Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa di Oklahoma secara umum daerah yang memiliki tingkat keterkaitan sektor ekonomi yang rendah, merupakan daerah yang mengalami kebocoran yang tinggi. Demikian juga daerah yang memiliki keterkaitan sektor ekonomi yang tinggi, karena daerahnya memiliki tingkat pengeluaran impor yang lebih besar, maka daerah tersebut juga memiliki tingkat kebocoran yang tinggi. Sedang Reis dan Rua (2006) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebocoran wilayah sektor jasa di Portugal lebih rendah dibandingkan dengan kebocoran sektor lainnya, dan multiplier effect sektor akan lebih tinggi jika keterkaitan menyebar dalam perekonomian serta berdampak pada rendahnya kebocoran wilayah. Dari berbagai konsep tentang pengukuran kebocoran wilayah maka dapat diartikan bahwa untuk mendeteksi indikasi, potensi dan dampak kebocoran
33 wilayah, maka dapat diidentifikasi dengan memperhatikan (i) koefisien keterkaitan sektor ke depan dan koefisien keterkaitan ke belakang pada model input output; yaitu semakin kecil nilai koefisien keterkaitan sektor maka semakin besar potensi terjadinya kebocoran wilayah, dan begitu juga sebaliknya semakin kuat keterkaitan antar sektor maka semakin kecil terjadinya kebocoran wilayah (ii) rasio input dan impor; yaitu semakin besar input impor yang digunakan dalam proses produksi maka semakin besar terjadinya potensi kebocoran wilayah, (iii) rasio permintaan antara dengan ekspor; yaitu semakin kecil permintaan antara dibandingkan dengan ekspor menunjukkan kecilnya nilai tambah yang diperoleh suatu wilayah atau semakin besarnya potensi kebocoran yang terjadi (iv) Dalam konteks sistem agribinis, dominan nilai tambah yang dimanfaatkan atau mengalir ke wilayah lain, menciptakan potensi kebocoran wilayah.
Konsep Sistem Agribisnis Sistem agribisnis merupakan suatu konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang dimana peran antar subsistem-subsistem saling terkait dalam membangun sistem pertanian yang utuh, yang terdiri dari subsistem input, produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran serta faktor penunjang. Pengembangan konsep agribisnis pertama kali dipelopori oleh Business School di Harvard University. Sedangkan di Indonesia pembahasan tentang agribisnis (agribusiness) dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga menarik perhatian banyak kalangan, baik bagi kalangan yang menggeluti bidang pertanian maupun non pertanian. Hal ini karena adanya pergeseran kondisi perekonomian Indonesia yang semula dari dominasi peran sektor primer khususnya pertanian, yang akhir-akhir ini peran tersebut mulai bergeser ke sektor lainnya. Selain itu karena adanya kemauan politik (political will) pemerintah yang mengarahkan perlu keberimbangan perekonomian Indonesia yaitu antara sektor pertanian dengan sektor industri, sebagai upaya membangun keterkaitan sektor (Soekartawi, 2003). Selanjutnya Soekartawi (2004) menjelaskan bahwa agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah-satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan
34 pertanian dalam arti luas; yaitu usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian, sebagaimana dijelaskan dengan bagan mata rantai kegiatan agribisnis seperti pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Mata Rantai Kegiatan Agribisnis.
Dilihat dari unsur kata “agribisnis” terdiri dari dua unsur kata yaitu “agri dan bisnis”. Agri yaitu berasal dari kata agriculture (pertanian) dan kata bisnis berasal dari kata “bisnis” (usaha). Dari dua unsur kata tersebut sehingga kata agribisnis dapat diartikan “usaha dalam bidang pertanian”. Dalam arti luas Soekartawi (2003) menjelaskan bahwa kegiatan agribisnis yaitu kegiatan pertanian sejak produksi, pengolahan, dan pemasaran hingga kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pertanian. Selain itu pertanian dilihat dari kegiatan usaha terdiri dari kegiatan usaha tani tanaman pangan, perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari aspek skala usaha terdapat skala usaha seperti skala usaha besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak sawit, dan lain-lain), kemudian yang berskala menengah (seperti beberapa agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan berbagai industri skala rumah tangga (Gumbira, 2001). Namun, apabila dikaji dari jumlah usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha
35 agribisnis di Indonesia. Dengan demikian, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global bidang pertanian telah maju, baik teknologi maupun sistem dan orientasinya, tetapi penerapannya masih sangat kurang, terutama di negara-negara dunia ketiga. Teknologi pertanian, melalui pengembangan bioteknologi dan bio proses, teknologi mesin dan peralatan pertanian, teknik kimia, serta teknologi penunjang pertanian, seperti teknologi elektrik dan mikrochip, teknologi dirgantara, teknologi perhubungan dan telekomunikasi,
dan
lain-lain
akan
semakin
nyata
pengaruhnya
bagi
pengembangan sektor agribisnis, terutama untuk memasuki milenium ketiga. Selain itu kemajuan lain dalam bidang agribisnis ditandai dengan semakin menyempitnya spesialisasi fungsional dan semakin jelasnya pembagian kerja berdasarkan fungsi-fungsi sistem agribisnis. Selain itu Gumbira (2001) juga menjelaskan fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu subsistem dari sistem agribisnis, seperti Gambar 3 di bawah ini.
SS I Pengadaan dan Penyaluran Sasaran Produksi
SS II (Produksi Primer)
SS III (Pengolahan)
SS IV (Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya Konsep agribisnis merupakan suatu sistem, dimana bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di dalamnya.
36 Pengembangan
agribisnis
tidak
akan
efektif
dan
efisien
bila
hanya
mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Selain itu Gumbira (2004), sebagai sebuah sistem agribisnis terdiri atas beberapa subsistem (Gambar 2). Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem (SS). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya. Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Tanda panah kebelakang (ke kiri) pada subsistem pengolahan (SS-III dalam Gambar 2) menunjukkan bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produknya. Agribisnis memerlukan lembaga penunjang termasuk kebijakan pemerintah seperti dari aspek pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian, perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional. Sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Keberadaan lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pengembangan sektor pertanian terkait dengan sektor lainnya. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baiknya keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis maka semakin besarnya pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah, terutama dalam memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber pendapatan masyarakat. Menurut Austin (1981), agroindustri adalah usaha yang mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen. Dalam penggunaan sehari-hari istilah agroindustri sering dibagi menjadi agroindustri
37 hulu dan agroindustri hilir. Agroindustri hulu mencakup industri penghasil input pertanian, seperti pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin-mesin pertanian, dan bahkan yang lebih luas lagi mencakup perusahaan penghasil bibit (pengertian industri yang lebih luas lagi). Sedangkan agroindustri hilir yaitu industri pengolahan hasil-hasil pertanian primer dan bahkan lebih luas lagi, mencakup industri sekunder dan tersier yang mengolah lebih lanjut produk olahan hasil pertanian primer, seperti tekstil dari benang, dan benang dari kapas atau ulat sutra, sepatu dari kulit dan kulit dari hewan, industri kue dari tepung (dan lain-lain produk antara) dan tepung dari gandum atau beras. Kajian mengenai sistem agribisnis dan agroindustri dapat dilakukan dengan dua pendekatan analisis, yaitu pendekatan analisis makro dan mikro. Pendekatan analisis makro memandang agribisnis sebagai unit sistem industri dari suatu komoditas tertentu, yang membentuk sektor ekonomi secara regional atau nasional. Di lain sisi pendekatan analisis mikro memandang agribisnis sebagai suatu unit perusahaan yang bergerak, baik dalam salah satu subsistem agribisnis maupun bergerak pada lebih dari satu subsistem agribisnis komoditas. Sistem agribisnis secara makro dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hankam, dan teknologi, baik nasional, regional, maupun internasional. Dalam pengembangan sistem agribisnis nasional yang tangguh peran kebijakan pemerintah sebagai penuntun, pendorong, pengawas, dan pengendali berlangsungnya sistem agribisnis tersebut masih sangat dibuhkan, hal ini karena agribisnis berada dalam suatu lingkaran yang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Dari berbagai tinjauan literatur tentang konsep agribisnis sehingga dapat diartikan bahwa agribisnis sebagai sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem, yang membutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan faktor penunjang, terutama dalam upaya peningkatan pertanian dalam arti luas. Artinya kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektivitas masing-masing subsistem. Karena efektivitas pengelolaan sistem agribisnis dapat mempengaruhi pendapatan pelaku agribisnis, dengan demikian berarti agribisnis dapat mempengaruhi perekonomian wilayah.
38 Konsep Integrasi Harga Peran pasar dalam penentuan harga merupakan hal pokok dalam perekonomian. Bagi sektor pertanian selain letak geografis, faktor pasar merupakan
hal
yang
sangat
penting
untuk
diperhitungkan
dalam
pengembangannya. Pentingnya pertimbangan faktor pasar karena sifat-sifat dari produk-produk pertanian umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan adanya kondisi lokasi produsen dan konsumen yang cenderung terpisah jauh dari pasar, sehingga harga produk dan biaya transportasi menjadi sangat mempengaruhi dalam transaksi. Artinya batas-batas geografis menjadi penting dalam penentuan permintaan dan penawaran, yang akhirnya dapat mempengaruhi pembentukan harga dan struktur kompetisi komoditas yang diperdagangkan (Ravallion,1986). Dalam kegiatan perdagangan asumsi bekerjanya mekanisme pasar merupakan bagian penting yang dapat mempengaruhi kenerja perdagangan, sebagaimana konsep ekonomi klasik-David Ricardo dan konsep NeoklasikHeckscher serta Ohlin serta konsep perdagangan modern Paul R. Krugman dan Michael E. Porter, menjelaskan bahwa asumsi sinyal harga di suatu pasar dapat ditransmisikan ke pasar lain atau terjadinya interaksi, sehingga gains from trade yang diwujudkan sebagai asumsi bekerjanya mekanisme pasar (Kasliwal, 1995). Integrasi pasar yang dapat mentransmisikan harga secara sempurna merupakan tanda terjadinya struktur pasar yang kompetitif. Selain itu informasi pasar yang sempurna, serta tidak adanya biaya-biaya transaksi yang mendistorsi harga pasar (Goletti et al. 1995) juga merupakan tanda terjadinya integrasi pasar yang sempurna. Dengan kata lain menunjukkan terjadinya tingkat inefisiensi pemasaran. Ravallion (1986) juga menjelaskan bahwa model integrasi pasar dapat digunakan untuk mengukur harga di pasar produsen dengan harga di pasar konsumen yang mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan harga pada saat ini. Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh arus produk, sehingga harga dan jumlah produk yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Selain itu Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa jika distribusi harga sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar, maka pedagang perantara akan selalu menyalurkan komoditas ke daerah pemasaran yang memberikan
39 keuntungan yang lebih besar bagi pedagang. Selanjutnya untuk memudah memahami konsep integrasi vertikal maka dapat dilihat Gambar 3, yang menggambarkan keterpaduan sistem komoditas secara vertikal yang membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem komoditas tersebut, mulai dari produsen/penyedia input/sarana produksi pertanian, distributor input/ sarana produksi pertanian, usaha tani, pedagang pengumpul, pedagang besar, usaha pengolahan hasil pertanian, pedagang pengecer, eksportir, sampai dengan konsumen domestik dan luar negeri (Gumbira, 2001) seperti Gambar 4.
Gambar 4. Model Integrasi Vertikal Sistem Agribisnis Arah panah ke atas menunjukkan aliran produk/ barang dan sebaliknya arah panah ke bawah menunjukkan aliran uang atau nilai produk/barang. Di luar sistem aliran produk dan uang tersebut terdapat fasilitator dari berbagai lembaga pendukung bekerjanya makanisme sistem komoditas secara vertikal yang terpadu. Studi integrasi pasar yang dilakukan dengan pendekatan metode tradisional dapat menggunakan korelasi pasangan (bivariate correlation) terutama untuk
40 harga antar wilayah (region). Dengan menggunakan metode tersebut korelasi dan koefisien regresi dapat diduga dari data deret harga spot pada lokasi pasar yang berbeda. Namun menurut Ravallion (1986) metode korelasi pasangan memiliki beberapa kelemahan inferensia dalam menjelaskan integrasi pasar, terutama apabila harga antar lokasi diasumsikan dalam bentuk fungsi linier dengan sudut kemiringan (slope) sama dengan satu (unity). Selain itu Ardeni (1989) menjelaskan bahwa pendekatan konvensional untuk pengujian integrasi pasar adalah tidak tepat karena mengabaikan sifat-sifat data deret waktu (time-series). Sedangkan secara spesifik, korelasi serial dapat menyebabkan uji empiris integrasi pasar menjadi terganggu karena tidak konsisten dan bias serta kemungkinan menghasilkan persamaan regresi yang spurious. Selanjutnya Ravallion (1986) menjelaskan bahwa integrasi pasar dapat dipisahkan dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang pada model dinamik untuk diferensiasi harga spasial. Dengan demikian maka integrasi pasar dan segmentasi pasar dapat ditunjuk dalam bentuk umum dan diuji dalam bentuk restriksi. Dengan menggunakan model dinamik maka dapat diungkap lebih banyak lagi tentang informasi pasar dibandingkan dengan model tradisonal atau konvensional yang bersifat statik. Namun demikian model dinamik yang dikembangkan Ravallion juga mengalami keterbatasan yaitu tidak mampu mengakomodasi sifat nonstasioner dari data deret harga yang digunakan. Berbagai metode alternatif untuk mengevalusi keterkaitan/integrasi pasar telah dikembangkan seperti Engle dan Granger (1987) dengan menggunakan konsep kointegrasi, sebagai contoh Goodwin dan Schroder (1991) melakukan analisis kointegrasi untuk pasar ternak di Amerika Serikat, serta Ismet et al. (1998) untuk pasar beras di Indonesia. Prosedur kointegrasi yang digunakan secara umum menunjukkan bahwa deviasi (et) dari keseimbangan untuk dua peubah/variabel ekonomi untuk masing-masing yang nonstasioner adalah stasioner. Dengan demikian maka uji kointegrasi dapat membuktikan khususnya keterkaitan harga jangka panjang antar harga dalam kawasan, dan juga keterkaitan harga jangka pendek. Kemudian menurut Barrett (2001) metode analisis harga telah mengalami peningkatan, dimana data harga deret waktu yang mempunyai masalah otokorelasi
41 atau nonstasioner sudah dapat ditanggulangi dengan metode yang telah diperkenalkan pada akhir tahun 1980-an yaitu dengan menggunakan metode kointegrasi (cointegration) kausalitas Granger (Granger Causality) dan mekanisme koreksi galat (error correction mechanisms). Penggunaan metode tersebut dapat dimanfaatkan untuk menguji: (1) hubungan jangka panjang antar harga di dua pasar, (2) ada tidaknya hubungan satu atau dua arah untuk kekuatan proyeksi harga antar pasar, dan (3) penyesuaian dinamik deviasi keseimbangan jangka pendek dari keseimbangan jangka panjang. Walaupun
metode-metode
tersebut
mempunyai
kelemahan
karena
menggunakan asumsi biaya-biaya transaksi perdagangan antar dua lokasi/pasar adalah konstan serta pengujian hipotesis efisiensi pasar tidak dipisahkan dengan pengujian dari kebenaran asumsi yang dapat mengganggu spesifikasi model. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengujian integrasi harga dengan uji kausalitas Granger (Granger causality test) akan diperoleh hasil yang menyesatkan (misleading), selain itu pendekatan dengan model vector auto regression akan termisspesifikasi (misspecified), sehingga analisis yang dilakukan tersebut terfokus hanya pada sifat dinamik jangka panjang. Oleh karena itu disarankan dalam melihat hubungan harga suatu komoditas yang diperdagangkan secara internasional dapat menggunakan error correction model (ECM) yang mengakomodasikan studi hubungan harga jangka pendek dan jangka panjang. Penggunaan model analisis kointegrasi dan model korelasi galat (ECM) dalam mengkaji transmisi harga telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Krivonos (2004) mengukur transmisi harga untuk pasar kopi internasional ke pasar lokal di negara-negara produsen seperti Brazilia, Ethiopia, Kenya, Kolombia dan Mexico untuk periode sebelumnya dan sesudah dilakukan reformasi perdagangan, menjelaskan bahwa transmisi harga terjadi lebih cepat pada saat harga turun dibandingkan dengan ketika kondisi harga naik. Dengan demikian produsen menanggung biaya ketika terjadi penurunan harga tersebut. Selain itu Rapsomanikis et al. (2002) juga menggunakan uji kointegrasi Johansen untuk mengetahui adanya integrasi pasar dan transmisi harga gandum di Mesir dan pasar dunia, serta menunjukkan adanya integrasi antar pasar kopi Ethiopia dan Uganda dengan pasar internasional.
42 Selain itu peran pasar dalam penentuan harga merupakan hal pokok dalam perekonomian, sehingga bagi sektor pertanian, selain letak geografis, faktor pasar merupakan hal yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan ekonomi. Pentingnya pertimbangan faktor tersebut karena adanya pertimbangan sifat-sifat dari produk-produk pertanian bersifat mudah rusak (perishable) dan adanya kondisi lokasi produsen dan konsumen yang cenderung terpisah jauh dari pasar,
sehingga harga
produk
dan
biaya
transportasi
menjadi
sangat
mempengaruhi dalam transaksi. Dalam kondisi seperti ini maka batas-batas geografis menjadi penting dalam penentuan permintaan dan penawaran, karena dapat mempengaruhi pembentukan harga dan struktur kompetisi. Agar studi tentang integrasi pasar lebih dapat dimengerti dan bermanfaat, bagi keakuratan penagmbilan kebijakan harga dan pasar, maka tidak hanya harga yang difokuskan dalam hubungan antar pasar, tetapi juga perlu memperhatikan tentang aliran barang, kebijakan perdagangan, dan biaya-biaya perdagangan yang disebabkan oleh hambatan tarif dan atau nontarif. Selanjutnya integrasi pasar yang dapat mentransmisikan harga secara sempurna, menandai terjadinya struktur pasar yang kompetitif. Sedangan informasi pasar yang sempurna ditunjukkan dengan tidak adanya biaya-biaya transaksi yang mendistorsi harga pasar. Berbagai penggunaan model kointegrasi (cointegration), kausalitas Granger (Granger causality) dan mekanisme koreksi galat (error correction mechanisms) dalam analisis integrasi pasar telah digunakan oleh para peneliti terdahulu, seperti telah digunakan (Corbae and Ouliaris, 1988; Saikkonen, 1992). Kelebihan dari penggunaan model kointegrasi menurut Gujarati (2003), adalah metodenya sederhana, tidak perlu dipisahkan antara variable endogen dan eksogen, estimasinya sederhana yaitu dengan menggunakan metode OLS, dan forecastingnnya lebih baik dari persamaam simultan. Akan tetapi penggunaan metode tersebut juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu: sedikit menggunakan prior information, tidak cocok untuk analisis kebijakan, membutuhkan data yang terlalu panjang karena adanya lag, dan variabel yang digunakan harus stationer dan jika tidak stationer maka transpormasi data mengalami kesulitan. Dari berbagai konsep integrasi, dapat diartikan bahwa harga dan pasar merupakan hal pokok yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam
43 pengembangan ekonomi wilayah yang berorientasi perdagangan. Karena sinyal harga di suatu pasar dapat menunjukkan transmisi harga satu pasar dengan pasar lain sehingga tingkat integrasi harga dapat dijadikan asumsi berkerja atau tidaknya mekanisme pasar. Selain itu karena model integrasi harga dapat digunakan untuk mengukur harga di pasar produksi dengan harga di pasar konsumsi yang mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan harga pada saat ini. Sehingga perubahan harga dan jumlah produk yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain, serta jika distribusi harga sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar, maka pedagang perantara akan selalu menyalurkan komoditas ke daerah pemasaran yang memberikan keuntungan yang lebih besar bagi pedagang.
Konsep Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Konsep
daya
saing
(competitiveness)
atau
keunggulan
kompetitif
(competitive advantage) sejatinya bukanlah konsep ekonomi, melainkan konsep politik Sharples dan/atau konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi banyak analisis strategis untuk meningkatkan kinerja perusahaan Gonarsyah (2005). Namun dalam perkembangannya para ekonom dan pakar lainnya (misalnya, Barkema, Drabenstotti dan Tweeten, serta Sharples) mengartikan keunggulan kompetitif merupakan kombinasi dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Selain itu Porter (1993) menjelaskan bahwa konsep keunggulan daya saing dapat digunakan untuk melihat kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasarnya melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Perubahan kekuatan bersaing dapat diakibatkan oleh faktor daya saing harga dan non harga, faktor harga seperti perbedaan laju peningkatan produktivitas, perubahan nilai tukar, perubahan pajak/subsidi ekspor dan perbedaan laju peningkatan tingkat harga nasional. Sedangkan dari sisi non harga dapat ditentukan seperti laju perbaikan kualitas ekspor, pengembangan produk baru, perbedaan laju perbaikan efisiensi pemasaran, dan perbedaan perubahan pemenuhan permintaan ekspor. Apabila tidak ada analisis harga dan non-harga dalam penentuan perubahan daya saing, maka dapat digunakan pangsa ekspor suatu negara sebagai refleksi dari perubahan daya saing. Walaupun perubahan
44 pangsa ekspor tidak menggambarkan secara keseluruhan daya saing, namun paling tidak dapat digunakan sebagai ukuran dalam menggambarkan daya saing suatu negara di pasar internasional (Chen dan Duan, 1999). Analisis daya saing atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau di pasar global. Keunggulan kompetitif tidak lagi membandingkan potensi komoditas yang sama di suatu daerah dengan daerah lainnya (seperti pada keunggulan komparatif), melainkan membandingkan potensi komoditas dari suatu daerah dalam mengakses pasar global dibandingkan potensi komoditas yang sama dari semua daerah pesaingnya dalam pasar global. Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku, dimana harga tersebut selalu berfluktuasi. Sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walaupun demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan sebagai pertanda awal bagi suatu komoditas dalam melihat prospek untuk memiliki keunggulan kompetitif (Tarigan, 2004). Selain itu Saragih (2001) mengungkapkan bahwa keunggulan daya saing adalah kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Bahkan menurut Gonarsyah (2005), memberikan pengertian yang lebih operasional tentang keunggulan daya saing, yakni kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas, (opportunity cost) sumberdaya yang digunakan. Selanjutnya distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan/atau karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market
imperfection),
misalnya
adanya
monopoli/monopsoni
domestik.
Sementara keunggulan komparatif, yang dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage)
45 akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperoleh dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran, termasuk kearifan tradisional. Oleh karena itu walaupun di tingkat produsen suatu komoditas dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif, karena biaya oportunitas (opportunity cost) relatif rendah, namun di tingkat konsumen komoditas tersebut dapat saja tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif), hal ini karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Atau hal sebaliknya juga dapat terjadi: karena adanya dukungan (campur tangan) kebijakan pemerintah, suatu komoditas memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen. Dengan meningkatnya proses liberalisasi perdagangan sebagaimana disepakati dalam WTO, hanya komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif (daya saing), karena berbagai campur tangan pemerintah makin tidak dimungkinkan lagi akibat disepakatinya prinsip tarifikasi dalam WTO. Sementara monopoli domestik semakin tertekan oleh makin terbukanya pasar domestik akibat makin gencarnya arus globalisasi. Jadi, ke depan upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi daripada upaya yang bersifat protektif semata (Gonarsyah, 2005). Selain itu Arifin et al. (2007) menjelaskan bahwa rendahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional disebabkan oleh beberapa faktor, secara umum diantaranya: (1) rendahnya produktivitas; (2) biaya tinggi; yakni tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha Indonesia dalam melakukan produksi, (3) iklim investasi yang kurang kondusif; (4) penguasaan teknologi yang masih redah, belum berkembangnya merek produk atau paten nasional; (5) penerapan hambatan tarif dan non tarif di berbagai wilayah; (6) tren peningkatan permintaan produk berkualitas tinggi (aman, sehat dan ramah lingkungan). Oleh karena itu dalam konteks peningkatan daya saing, peran pemerintah menjadi sangat krusial, sebagai fasilitator, regulator, dan bahkan dinamisator, melalui berbagai kebijakan yang secara langsung ataupun tidak langsung guna
46 mendukung upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi seperti melalui penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses terhadap kredit dan pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar dan sebagainya. Karena dalam perspektif jangka panjang upaya-upaya demikian lebih memberikan perlindungan (proteksi) bagi masyarakat dalam era globalisasi ini daripada kebijakan proteksi yang sempit (seperti pengenaan tarif impor). Esensi dari keunggulan komparatif adalah efisiensi. Bagaimana kaitannya dengan aspek pemerataan (equity) dan aspek keberkelanjutan (sustainability). Teori ekonomi mengatakan bahwa setiap keseimbangan pasar yang efisien Pareto bertumpu pada landasan bawaan awal (initial endowments). Sebagaimana diketahui, dimungkinkan terdapat tak terhingga banyaknya keseimbangan pasar yang efisien Pareto, masing-masing dengan alokasi bawaan awal yang berbeda. Secara teoritis sebenarnya tidak ada alih tukar (trade-off) antara efisiensi pemerataan sepanjang kondisi-kondisi berikut terpenuhi, terutama (1) pasar bersifat komplit dan kompetitif sempurna, dan (2) dimungkinkan untuk melakukan transfer kekayaan di antara konsumen yang sifatnya incentive-neutral atau secara lump sum. Adanya alihtukar efisiensi-pemerataan tentunya disebabkan oleh tidak dimungkinkannya transfer pendapatan secara lump sum, dan oleh informasi yang asimetris sehingga transfer tersebut tidak baik (Gonarsyah, 2005). Dalam prakteknya keputusan politik (konsensus nasional) lebih dominan dalam menentukan alokasi bawaan awal mana yang dipilih agar lebih dapat mencerminkan pemerataan pendapatan yang lebih “adil”. Dalam konteks inilah munculnya tuntutan akan reformasi agraria harus dipahami. Lebih jauh, kalau konklusi teoritis di atas diperluas dengan memasukkan faktor waktu dan lebih dari satu generasi, maka hasilnya adalah dimungkinkan terjadinya jalur waktu yang efisien bagi suatu perekonomian, masing-masing tergantung pada alokasi bawaan antara generasi yang berbeda. Selanjutnya keunggulan komparatif merupakan teori yang dikembangkan untuk menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan. Prinsip teori ini menyatakan bahwa apabila sumberdaya dapat berpindah antar negara, maka penduduk di suatu wilayah akan mengkhususkan diri pada komoditas-komoditas yang dapat mereka olah secara relatif lebih efisien.
47 Efisiensi relatif ditentukan oleh opportunity cost, yaitu hilangnya sejumlah unit komoditas atau jasa karena berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Tiap negara tidak mungkin memiliki opportunity cost yang sama. Bila sebuah negara menghasilkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kemudian diperdagangkan dengan komoditas lain dari negara luar, dimana spesialisasi dan perdagangan tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak (Blair,1991). Teori perdagangan yang didasarkan doktrin keunggulan komparatif ini berimplikasi bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan bahkan ketika sebuah negara dapat memproduksi semua komoditas secara lebih murah dibanding semua negara lain. (Kasliwal, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa, pada dasarnya teori perdagangan yang menjelaskan keunggulan komparatif suatu negara telah berkembang dalam tiga versi yaitu (1) Teori Perdagangan Ricardian (Paradigma Ekonomi Klasik): Teori ini didasarkan pada teori nilai tenaga kerja (labor theory of value), David Ricardo mengasumsikan bahwa perbedaan limpahan sumberdaya alam sebagai sumber perbedaan keunggulan komparatif antar wilayah dan hanya tenaga kerja yang merupakan faktor utama dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam (endowment) menentukan kombinasi maksimum dari barang yang dapat diproduksi suatu daerah (Kasliwal, 1995). Selain itu David Ricardo berpendapat bahwa di dunia ini, di satu pihak terdapat negara yang faktor-faktor produksinya, seperti tenaga kerja dan alam lebih menguntungkan, dan di lain pihak ada negara yang faktor-faktor produksinya kurang menguntungkan dibandingkan negara lainnya, sehingga dalam menghasilkan beberapa barang suatu negara lebih unggul dan lebih produktif dibandingkan negara lainnya. Bahkan suatu negara dapat tertinggal dalam menghasilkan barang tertentu dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan demikian menurut konsep perbedaan biaya mutlak (Adam Smith), kedua negara itu tidak dapat mengadakan pertukaran atau perdagangan. Akan tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia dapat juga ikut serta dalam perdagangan internasional asalkan setiap negara yang berdagang itu dapat mengkhususkan dirinya dalam memproduksi sejenis barang yang paling menguntungkan (Sobri, 2001). Berdasarkan pandangan
48 teori ini, maka dalam konteks perdagangan antar pulau, alasan kegiatan perdagangan antar pulau tidak hanya memperhatikan tingkat keuntungan mutlak saja, melainkan cukup dengan adanya perbedaan biaya komparatif (yang menimbulkan keuntungan komparatif), akan memberikan keuntungan di masingmasing daerah yang melakukan kegiatan perdagangan. Teori ini dikritik karena asumsinya bahwa tenaga kerja merupakan satusatunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam comparative advantage itu karena adanya perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama nilai produksinya sehingga tidak akan terjadi perdagangan internasional. Oleh karena itu syarat timbulnya perdagangan antar negara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara (Nopirin, 1997). Walaupun demikian David Ricardo dikenal sebagai penemu teori perdagangan internasional modern (Halwani dan Tjiptoherijanto, 1993). Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin (1930-an) yang dikenal dengan teori proporsi faktor yaitu menyoroti perbedaan kelangkaan (scarcity) relatif dari produktivitas faktor K (capital) dan L (labor) yang mempengaruhi perbedaan harga faktor PK/PL yang berlaku dan mempengaruhi biaya produksi, serta berpengaruh pada harga produk (Kasliwal, 1995). Heckscher dan Ohlin beranggapan bahwa perdagangan antar daerah sesungguhnya adalah masalah harga. Harga suatu barang itu terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Perbedaan harga inilah yang menjadi dasar terjadinya perdagangan antar daerah yang disebabkan perbedaan komposisi dan proporsi faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ini (Sobri, 2001). Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa setiap negara hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang sesuai dengan kelimpahan karunia sumberdaya yang dimiliki. Negara yang memiliki kelimpahan faktor tenaga kerja hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat karya (Iabor intensive), sementara itu negara-negara yang memiliki
49 kelimpahan faktor modal hendaknya memproduksi dan mengekspor barangbarang yang produksinya bersifat padat modal (capital intensive). Teori Heckscher-Ohlin juga memperkenalkan factor price equalization theorem, yang menyatakan bahwa perdagangan yang bebas antara dua negara cenderung
akan
menyamakan
tidak
hanya
harga
barang-barang
yang
diperdagangkan saja, tetapi juga harga faktor produksi yang homogen di kedua negara tersebut. Teori Perdagangan Modern: Dynamic Comparative Adventage Porter (1985), menjelaskan teori ini menyoroti arti penting teknologi disamping faktor produksi lainnya (modal dan tenaga kerja) dalam proses produksi sebagai sumber keunggulan komparatif. Negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam industri dimana perusahaan mendapatkan keuntungan yang pasti atas pengaruh teknologi (Kasliwal, 1995). Akan tetapi menurutnya, teknologi mengalami perubahan dan penyebaran yang cepat, sehingga inovasi baru (produk) yang didasarkan pada teknologi pada awalnya mampu memiliki posisi monopoli dan kemudahan mengakses pasar luar, namun lambat laun gap teknologi akan semakin tipis antar perusahaan (daerah) sehingga produk cepat mencapai tahap kejenuhan (mature stage) dalam tahap siklus produk (product life cycle). Implikasi dari teori ini mengungkapkan bahwa keunggulan komparatif tidak statis, tapi bersifat dinamis dan dapat diciptakan atau dikembangkan. Secara umum, perubahan keunggulan komparatif terjadi ketika faktor endowment yang dimiliki suatu daerah berubah. Jenjang perubahan keunggulan komparatif suatu daerah, diawali dari mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktor-faktor dasar (basic factors), seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja yang kurang atau tidak terampil (unskilled or semiskilled labor) kemudian meningkat menjadi mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktorfaktor spesial dan maju, seperti infrastruktur komunikasi data digital modern, tenaga
kerja
terampil
dan
berpendidikan
tinggi,
aktivitas
riset
dan
pengembangannya (Meier et al. 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa keunggulan komparatif menurut tipeRicardian dan tipe-Ohlin merupakan jenjang dasar dari keunggulan komparatif yang didominasi oleh faktor-faktor dasar (basic factors) dimana barang-barang yang dihasilkan berdasarkan pada “natural” comparative adventage. Sedangkan
50 pada jenjang puncak, faktor-faktor yang lebih maju (advanced factors) mendominasi dimana faktor-faktor tersebut harus selalu di kembangkan atau diciptakan melalui investasi sumberdaya manusia dan modal fisik (investment in humand and physical capital) dalam rangka untuk mencapai keunggulan komparatif (“created” comparative adventage) Implikasi penting dari pengertian keunggulan komparatif adalah suatu negara hanya dapat mengekspor produknya ke negara lain karena mampu menghasilkan produk secara lebih murah atau lebih efisien dibandingkan daerah lain (Kasliwal, 995). Dengan demikian konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya menekankan pada produksi komoditas perdagangan tertentu yang didasarkan pada limpahan faktor-faktor endowment (Sumberdaya alam, tenaga kerja, modal dan atau teknologi) yang dimiliki wilayah, sehingga wilayah dapat lebih produktif atau lebih efisien dalam menggunakan sumberdayanya dibandingkan wilayah lain. Dengan kata lain keunggulan komparatif komoditas tertentu di suatu wilayah memungkinkan komoditas tersebut dapat diproduksi relatif lebih murah dibandingkan jika diproduksi di wilayah lain, yang berarti pula komoditas tersebut memiliki prospek untuk dapat diperdagangkan ke wilayah lain yang memiliki harga relatif lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki
oleh
suatu
wilayah,
maka
semakin
tinggi
pula
daya
saing
(competitiveness) komoditas yang dihasilkannya dalam perdagangan antar daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka tingkat keunggulan komparatif komoditas yang di hasilkan dapat menunjukkan apakah penggunaan faktor-faktor endowment (sumberdaya) untuk menghasilkan komoditas yang digunakan relatif lebih efisien atau tidak. Apabila komoditas unggulan suatu daerah produktif (lebih efisien) dibadingkan daerah lain, maka prospek daya saing dalam perdagangan komoditas akan meningkat. Sebaliknya jika kurang efisien, berarti terjadi kebocoran sumberdaya wilayah dan pemborosan, yang harus ditanggung masyarakat suatu wilayah. Untuk menganalisis arah daya saing ekspor, salah satu diantaranya dapat menggunakan model constant market share (CMS) sebagaimana studi daya saing produk pangan/pertanian di Kanada dengan kompetitor di pasar Asia periode tahun 1980-1997 Chen dan Duan (1999). Model Constan Market Share (CMS)
51 pertama kali digunakan oleh Tysznsky pada tahun 1951, yang merupakan pengembangan dari model Creamer. Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis model CMS untuk mengukur daya saing ekspor kelompok komoditas pada tingkatan yang sama yaitu pangsa pasar yang konstan, dimana setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor suatu negara dan penjumlahannya dapat menyebabkan perubahan komposisi ekspor/ daya saing suatu negara. Asumsi yang digunakan pada model pangsa pasar konstan (CMS) adalah pangsa pasar dalam pasar dunia tidak berubah antar waktu. Karena itu, pendekatan ini sangat rentan bila rentang waktunya terlalu panjang. Menurut pendekatan ini perbedaan antar pertumbuhan ekspor dalam kondisi konstan dan keragaman ekspor aktual berasal dari tiga sumber yaitu efek komposisi komoditas, efek distribusi pasar, dan efek daya saing. Lebih jauh lagi, efek daya saing dapat bersumber dari daya saing harga dan non harga seperti kualitas, pelayanan, dan peningkatan pemasaran. Pengembangan lebih lanjut dari model CMS seperti yang dilakukan oleh Chen dan Duan (1999); Anwar (2005) dimana efek struktural telah didekomposisi menjadi beberapa effek diantaranya: efek pertumbuhan, efek pasar, efek komoditas, dan efek interaksi struktural. Sedangkan efek kompetitif didekomposisi menjadi efek kompetitif umum dan efek kompetitif spesifik; kemudian efek ordo kedua didekomposisi menjadi efek ordo kedua murni dan residual struktural dinamik. Selain rentan terhadap panjang waktu, kelemahan lainnya masalah sifatnya yang statik dan deterministik. Perkembangan analisis daya saing ekspor suatu negara dalam perdagangan internasional melalui pendekatan model Constant Market Share (CMS) telah beberapa kali mengalami penyempurnaan dan penggunaannya seperti Leamer dan Stern (1970), selanjutnya disempurnakan oleh Richardson (1971), Fagerberg dan Sollie (1987); Chen dan Duan (1999); Djaja (1992); Johnson and Shachmurove (2002); dan Kellman (2003); menjelaskan bahwa kinerja dan pertumbuhan ekspor dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu (a) efek perdagangan dunia, (b) efek komposisi komoditas/ jenis mutu, (c) efek distribusi pasar, dan (d) efek daya saing. Selain itu penggunaan model CMS telah dikembangkan Chen dan Duan (1999); Djada (1992); dan Anwar (2005) dengan mendekomposisi serta
52 menghitung beberapa efek struktural yang didekomposisi menjadi efek pertumbuhan, efek pasar, efek komoditas, dan efek interaksi struktural. Selanjutnya efek kompetitif di dekomposisi lagi menjadi efek kompetitif umum dan efek kompetetitif spesifik, serta efek ordo kedua yang didekomposisi menjadi efek ordo kedua murni dan efek residual struktural dinamik. Selain itu model tersebut dianggap masih relevan untuk mendukung analisis daya saing ekspor yang akan dilakukan, terutama guna melihat arah daya saing komoditas suatu negara. Selain itu Djaja (1992) dengan menggunakan model CMS menjelaskan bahwa pertumbuhan ekspor produk kehutanan Indonesia yang meningkat drastis periode tahun 1970-1989 merupakan efek positif dari perdagangan dunia dan efek daya saing. Sedangkan dilihat dari efek komposisi komoditas, ekspor produk kehutanan Indonesia memiliki nilai negatif. Studi tersebut hanya menggunakan perubahan nilai ekspor untuk melihat daya saing ekspor. Dengan demikian maka penggunaan model CMS dapat digunakan untuk mengetahui arah daya saing komoditas di pasar internasional, namun analisis dengan menggunakan model tersebut juga mempunyai beberapa keterbatasan diantaranya adalah; (1) persamaan yang digunakan sebagai dasar untuk mendekomposisi pertumbuhan ekspor adalah masih dalam bentuk suatu identitas, akibatnya penjelasan dari perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi lebih rinci, (2) analisis dalam membandingkan daya saing ekspor hanya antara dua titik waktu, dan tidak mampu menjelaskan perubahan daya saing selama periode dua titik waktu, lainnya (3) penggunaan model Constant Market Share (CMS) sensitif terhadap penentuan tahun dasar analisis. Walaupun memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam penggunaannya, namun model CMS hingga dewasa ini terbukti masih cukup berguna untuk menunjukkan arah daya saing ekspor suatu komoditas bagi suatu negara. Dari pengembangan model analisis daya saing yang menggunakan model Constan Market Share (CMS) terlihat bahwa secara umum model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daya saing ekspor suatu negara/kelompok komoditas dalam perdagangan dunia, serta memiliki kemampuan memprediksi pangsa perdagangan berdasarkan observasi historis. Deteksi daya saing dapat dilakukan dengan memperhatikan naik turunnya nilai pada komponen efek daya saing, (Richardson,
53 1971). Selanjutnya Djaja (1992) menyarankan bahwa untuk mendapatkan hasil analisis yang komprehensif untuk pengambilan kebijakan, sebaiknya penggunaan model Constant Market Share (CMS) perlu dilengkapi dengan analisis permintaan ekspor komoditas negara bersangkutan. Permintaan Ekspor Studi tentang permintaan pasar komoditas menurut Gonarsyah (2005) dengan menggunakan model Armington menunjukkan bahwa perubahan pada harga dan permintaan karet alam di Amerika Serikat berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Sedangkan peningkatan
harga faktor
produksi akan
menurunkan permintaan karet, sebagai konsekuensi akibat dari kenaikan harga. Selain itu studi juga menjelaskan bahwa devaluasi mata uang rupiah dan pengurangan pajak ekspor karet alam memberi efek positif terhadap kinerja ekspor karet Indonesia, dengan asumsi model yang digunakan yaitu elastisitas substitusi adalah konstan. Sedangkan Simatupang (1999) dengan menggunakan model perdagangan umum Armintong dalam mengevaluasi prospek permintaan dunia terhadap kopi Indonesia data 1973-1995 menunjukkan bahwa peningkatan total impor kopi di Amerika Serikat dan Jepang berpengaruh positif terhadap kontribusi impor kopi arabika dan kopi robusta dari Indonesia. Studi tersebut menganalisis penawaran ekspor kopi Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Namun studi ini belum menganalisis penawaran kopi di negara-negara produsen pesaing. Selain itu Akiyama dan Duncan (1982) dengan menggunakan model ekonometrika memproyeksi tingkat konsumsi, produksi dan harga kopi. Pada tingkat permintaan dan penawaran di negara-negara produsen dan konsumen utama. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa adanya ramalan yang pesimistik untuk pertumbuhan konsumsi dan harga, dimana permintaan Amerika Serikat diproyeksi stagnan, sedangkan permintaan Eropa Barat sangat bergantung pada pertumbuhan
pendapatan.
Selain
itu
simulasi
model
dilakukan
untuk
menunjukkan kerentanan harga kopi dan penerimaan ekspor. Selanjutnya Malian et al. (2004) dengan menggunakan model ekonometrika mengkaji permintaan ekspor dan daya saing panili di Provinsi Sulawesi Utara,
54 dengan menggunakan persamaan dan fomula Simatupang (1999) menjelaskan bahwa ekspor panili dunia dikuasi oleh tiga negara yaitu Indonesia, Madagaskar dan Komoro. Hasil analisis menunjukkan bahwa permintaan pasar ekspor panili Indonesia di Amerika Serikat dipengaruhi oleh total nilai impor panili dan Product Domestic Bruto (PDB) Amerika Serikat (USA). Sedangkan dilihat dari sisi elastisitasnya dijelaskan bahwa komoditas panili Indonesia merupakan barang substitusi yang pangsa ekspornya akan meningkat jika negara pesaing menaikkan harga ekspornya. Kemudian Anwar (2005) dalam studi prospek karet alam Indonesia di pasar internasional, dengan menggunakan model kointegarsi dan ECM, menjelaskan bahwa permintaan ekspor karet alam Indonesia pada beberapa kawasan/ konsumen utama yaitu Amerika Serkat, Uni Eropa, Jepang dan China, Hasil analisis menunjukkan bahwa permintaan karet alam Indonesia di Jepang dan China dipengaruhi oleh pertumbuhan GDP, sedangkan di negara-negara lainnya (ROW), selain dipengaruhi oleh pertumbuahn GDP juga dipengaruhi oleh harga minyak mentah, dan selanjutnya di Amerika Serikat permintaan karet alam dipengaruhi oleh rasio harga karet sintetik dan karet alam. Persamaan permintaan ekspor dispesifikasi dalam variabel pendapatan sebagai representasi dengan kendala anggaran pada pasar yang dituju. Tanda dari variabel ini diharapkan positif dan lebih besar dari satu, yang berarti bahwa pasar tersebut tidak mengimpor barang-barang inferior dari negara eksportir. Dengan demikian maka model yang dapat digunakan untuk menganalisis permintaan komoditas Indonesia di pasar utama yaitu dapat menggunakan modifikasi model Krugman and Obstfeld (2000), dimana perilaku fungsi permintaan dalam banyak situasi dapat digambarkan dalam bentuk dinamis, hal tersebut terjadi karena perubahan harga dan pendapatan tidak direspon segera oleh konsumen komoditas. Perilaku fungsi permintaan dalam banyak situasi, dapat digambarkan dalam bentuk dinamis. Hal tersebut karena perubahan harga dan pendapatan tidak selalu direspon segera oleh konsumen. Selain itu perlunya waktu untuk penyesuaian, karena konsumen memiliki kebiasaan tertentu serta kekakuan (rigidity) dari teknologi dan kelembagaan. Dengan demikian adalah penting untuk melihat fungsi permintaan dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang. Jika
55 menggunakan data deret waktu, sebagaimana model kointegrasi Johansen (1990) Sedangkan teknik uji kointegrasi telah dijelaskan oleh (Engle dan Grenger,1987; Rao,1994; Enders,1995; Thomas,1997; dan Juanda, 2007). Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional Dengan menggunakan analisis partial equilibrium dengan asumsi pasar persaingan sempurna dalam melihat dampak kesejahteraan dari penerapan instrumen kebijakan perdagangan internasional, dengan mengakomodasi interaksi antara ekspor dan impor serta melihat dampak kebijakan pada banyak sektor ekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan ilustrasi model consumer surplus (CS) dan producer surplus (PS). Konsep consumer surplus (CS) dan producer surplus (PS) digunakan mengukur dampak kesejahteraan (walfare effect) bagi konsumen dan produsen. Consumer surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara harga sebuah barang dimana konsumen bersedia membayar dari harga sebenarnya yang dibayar oleh konsumen tersebut. Selanjutnya produser surplus merupakan perbedaan antara harga jual sebuah barang yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan dengan harga jual (minimal) yang bersedia diterima oleh perusahaan tersebut seperti ditunjukkan oleh ilustrasi luas area LMN yang merupakan total produser surplus. Dalam kaitan ini, total consumer surplus dapat direpresentasikan oleh area KLM seperti grafik pada Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Konsep Consumer Surplus (CS) dan Producer Surplus (PS), dan Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional
56 Selanjutnya dengan menggunakan asumsi (i) perdagangan hanya untuk dua negara yaitu Indonesia dan Jepang misalnya, dimana Jepang diperlakukan sebagai negara lainnya (rest of the world); (ii) kedua negara ini memiliki produsen dan konsumen dari barang yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga dengan menggunakan grafik pada Gambar 6 dapat dilihat dampak kesejahteraan yang ditimbulkan atas penerapan tarif impor oleh suatu negara.
Gambar 6. Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional (Suranovic, 1997). Konsumen
Indonesia
mengalami
kemunduran
kesejahteraan
akibat
penerapan tarif, misalnya untuk komoditas beras. Kenaikan harga beras impor maupun produksi domestik mengurangi consumer surplus sebesar -(A+B+C+D). Sebaliknya, kesejahteraan produsen beras Indonesia meningkat seiring dengan kenaikan harga beras. Selain itu, kenaikan harga beras juga mendorong peningkatan produksi beras Indonesia dan perbaikan kesempatan kerja. Produser surplus di Indonesia meningkat sebesar +A. Sedangkan penerimaan Pemerintah Indonesia dari pengenaan tarif meningkat sebesar +(C+D). Akibat penerapan tarif impor beras, Indonesia sebagai negara besar, dalam perdagangan beras dapat menikmati net dari kenaikan atau pun penurunan kesejahteraan sebesar +G-(B+D). Bila kenaikan kesejahteraan yang berasal dari keuntungan terms of trade +G lebih besar dari distorsi negatif baik dari produksi –B
maupun
konsumsi
–D,
berarti
Indonesia
mengalami
peningkatan
kesejahteraan. Namun bila yang terjadi sebaliknya, berarti Indonesia mengalami
57 penurunan kesejahteraan. Sedangkan secara umum dengan ilustrasi penerapan tarif impor, Indonesia terlihat akan mengalami kenaikan kesejahteraan, hal ini karena keuntungan dari terms of trade yang terjadi melebihi deadweight loss yang diakibatkan penerapan tarif (Arifin et al. 2007) seperti Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif dalam Perdagangan Internasional Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif Negara Importir Negara Eksportir Komponen (Indonesia) (Jepang) Consumer Surplus (CS) -( A+B+C+D ) +e Produser Surplus (PS) +A - (e+f+g+h) Penerimaan Pemerintah +(C+G ) 0 Kesejahteraan Nasional +G–(B+D) - (f+g+h) Kesejahteraan Dunia -(B+D) – (f +h) Sedangkan dari ilustrasi di atas terlihat bahwa Jepang sebagai negara eksportir beras secara umum dirugikan dengan pengenaan tarif impor oleh pemerintah Indonesia, penurunan harga beras di pasar domestik Jepang menyebabkan penurunan produser surplus. Harga yang turun juga mendorong kelesuan produksi dan menambah pengangguran. Secara keseluruhan, produser surplus menurun sebesar –(e+f+g+h). Hanya konsumen beras di Jepang yang menikmati keuntungan dari pengenaan tarif impor beras di Indonesia, dimana consumer surplus meningkat sebesar +e sebagai akibat penurunan harga beras. Dengan demikian secara agregat kesejahteraan nasional Jepang berkurang sebesar –(f+g+h). Penurunan tersebut berasal dari kerugian terms of trade sebesar –g, serta akibat dari distorsi negatif dari konsumsi – f dan dari produksi – h. Selanjutnya untuk kesejahteraan dunia yang merupakan penjumlahan kesejahteraan nasional Indonesia dan Jepang terlihat mengalami penurunan sebesar –(B+D+f+h) sebagai akibat penerapan tarif impor beras di Indonesia. Dengan menganggap keuntungan dan kerugian terms of trade di Indonesia (+G) dan Jepang (-g) dengan nilai absolut yang sama dan karena saling meniadakan, sehingga penurunan kesejahteraan dunia disumbangkan oleh distorsi negatif dari produksi –B dan konsumsi –D di Indonesia serta distorsi negatif dari produksi –h dan konsumsi –f di Jepang. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
58 pengenaan tarif impor akan mengurangi baik efisiensi produksi maupun efisiensi konsumsi, serta menekan kesejahteraan dunia. Dari Ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan kebijakan perdagangan internasional akan terdapat pihak yang mengalami peningkatan kesejahteraan, namun ada juga yang dirugikan. Namun secara umum penerapan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang jauh dari semangat perdagangan bebas cenderung menyebabkan penurunan kesejahteraan dunia, karena dapat mengurangi efisiensi konsumsi dan produksi (Arifin et al. 2007).
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Pembangunan ekonomi berkelanjutan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, pertumbuhan (growth), meningkatkan tujuan sosial seperti pemerataan, keberimbangan, dan keadilan (equity), serta meningkatkan keberlanjutan (sustainability) ekologi. Menurut Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our Common Future 1987, menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan artinya bagaimana memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Lebih jauh lagi Seragaldin (1996) menjelaskan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni: (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, (3) tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Kemudian Bishop dan Woodward tahun 1994 mengilustrasikan keterkaitan antara kebijakan berdasarkan efisiensi dan kebijakan berdasarkan keberlanjutan dalam kasus antar generasi (intergeneration) secara sederhana yaitu suatu dunia ekonomi yang terdiri hanya dari dua generasi yang tak tumpang tindih (nonoverlapping generations) dengan besar populasi yang sama, yang memanfaatkan satu sumberdaya yang tak terbarukan (non-renewable). Dalam ekonomi yang efisien keberlanjutan (sustainability) dapat didefinisikan dalam bentuk distribusi bawaan (distribution of endowments) atau dalam bentuk hasil (outcomes) yang dinikmati, dimana dalam dunia nyata bawaan (endowment) yang dimiliki tiap
59 generasi sangat luas, meliputi bawaan sumberdaya alam seperti minyak bumi, mineral, lahan, air, tumbuhan, binatang dan bahkan atmosfir. Bawaan sumberdaya terdiri dari aset (misalnya cadangan minyak bumi) dan tanggungan (misalnya limbah nuklir). Selain itu juga termasuk dalam bawaan sumberdaya adalah komponen non-sumberdaya termasuk di dalamnya sains dan teknologi, kelembagaan (institusi), budaya, modal sosial, modal insani, dan infrastruktur. Tiap generasi cenderung memanfaatkan segala sumberdaya alam yang dapat dieksploitasinya dengan teknologi dan cara-cara ekonomi yang dimilikinya. Secara historis, deplesi dan degradasi sumberdaya dibatasi oleh kendala teknologi, tenaga kerja, dan modal yang tidak memungkinkan untuk mengeksploitasi dalam skala seperti kini (Gonarsyah, 2005). Selain itu dijelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya tak terbarukan (nonrenewable) oleh generasi kini terjadi dengan laju yang begitu cepat. Lebih jauh dalam skala global, sumberdaya terbarukan (renewable) juga tereksploitasi dan terdegradasi makin berat. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sumberdaya alam yang diwariskan kepada generasi mendatang akan semakin berkurang dan semakin terdegradasi. Kecenderungan ini diperparah lagi dengan berlakunya hukum thermodinamika II, The Entropy Law, bahwasanya jumlah energi yang tersedia untuk dimanfaatkan akan cenderung berkurang, dan hal ini tidak dapat dihindari. Sejarah menunjukkan bahwa dahulu masyarakat dapat meningkatkan bawaan sumberdaya alam melalui penaklukan dan eksplorasi untuk mengimbangi deplesi dan degradasi sumberdayanya. Dewasa ini, walau kegiatan tersebut masih terus berlangsung namun, upaya tersebut terlihat cenderung semakin berkurang (diminishing returns) hal ini karena tidak ada lagi daratan atau pulau penuh dengan sumberdaya perawan dengan sedikit populasi tanpa kedaulatan yang tersedia. Dengan demikian sehingga orang mempertanyakan berapa banyak lagi cadangan minyak bumi Timur Tengah atau bahkan Lereng Utara Alaska yang tersedia untuk ditemukan. Demikian juga di Indonesia. Oleh karena itu di masa akan datang keberlanjutan sangat tergantung pada peningkatan (augmentation) dari bawaan non-sumberdaya (non-resource components), seperti pada kemajuan sosial (social progress) disamping dari sumberdaya alam yang tersisa.
60 Dalam aspek kemajuan sosial seperti kemajuan sains dan teknologi, perbaikan kelembagaan (institusi), peningkatan aspek budaya (misalnya seni), dan akumulasi sumberdaya manusia dan fisik yang makin berkualitas. Kemajuan sosial membantu mengeksploitasi kemungkinan substitusi untuk mengurangi atau mengatasi efek-buruk dari penurunan sumberdaya alam. Substitusi sumberdaya yang lebih banyak untuk sumberdaya yang lebih sedikit, substitusi sumberdaya terbarukan untuk sumberdaya tak terbarukan, substitusi modal (capital)dan tenaga kerja untuk sumberdaya alam, dan substitusi barang-barang dan jasa-jasa yang kurang intensif sumberdaya untuk yang lebih intensif sumberdaya yang semuanya dapat membantu mengimbangi deplesi dan degradasi sumberdaya. Institusi, terutama yang berkaitan dengan pasar dapat menciptakan insentif bagi penggantian sumberdaya yang menjadi semakin langka dan juga dapat mendorong pengembangan teknologi baru untuk meningkatkan kemungkinan substitusi. Dalam konteks pengembangan pertanian yang merupakan sumber perekonomian
masyarakat,
keberlanjutan
dapat
diwujudkan
apabila
pengelolaannya sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan, dan papan) sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Sabiham, 2008). Selain itu dijelaskan bahwa pertanian yang berkelanjutan akan terwujud apabila lahan dipergunakan untuk usaha pertanian yang tepat dengan cara pengelolaan yang sesuai. Penggunaan lahan yang tepat tidak hanya menjamin bahwa lahan akan memberi kemaslahatan untuk pemakaian masa kini dan juga untuk generasi masa-masa mendatang. Dari berbagai konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat diartikan bahwa tujuan ganda efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai apabila memperlakukan keberlanjutan sebagai kendala. Artinya masyarakat yang berpegang
pada
kedua
tujuan
tersebut
akan
membatasi
diri
dengan
mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat (binding) atau tidak tergantung kepada kemajuan sosial dan peningkatan (augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi maka yang lebih penting adalah bagaimana mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan.
61 Penelitian Terdahulu tentang Kayu Manis Kayu Manis sebagai Komoditas Berbagai penelitian terdahulu yang pernah dilakukan berkaitan dengan kajian kayu manis diantaranya seperti Rusli dan Abdullah (1988) dengan menggunakan metode analisis deskriptif, menjelaskan bahwa kayu manis di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mendukung kegiatan penghijauan, merehabilitasi tanah kritis terutama bagi daerah aliran sungai serta di kawasan konservasi. Selanjutnya Muklis (1994) dalam penelitian tata niaga kayu manis dengan menggunakan metode deskriptif, menjelaskan bahwa KUD dapat berperan memotong jalur pemasaran kayu manis yang dianggap terlalu panjang. Sedangkan Dhalimi et al. (1994) dalam penelitian budidaya kayu manis, dengan menggunakan metode deskriptif menjelaskan bahwa, produksi dan mutu kayu manis serta hasil olahannya sangat ditentukan oleh ketepatan dalam budidaya, sedangkan dalam budidaya hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah kualitas bibit, cara penyemaian dan jarak penanaman. Kemudian Yohono et al. (2000) dalam penelitian kayu manis (cassiavera) dengan menggunakan metode survei dan analisis deskriptif, menjelaskan bahwa pola budidaya cassiavera secara monokultur dapat berfungsi merehabilitasi lahan kritis dan memperbaiki tata air serta dapat berfungsi sebagai penyerap tenaga kerja. Selanjutnya Sari (2002) dalam studi pengembangan usaha kecil kayu manis di Kabupaten Kerinci, dengan menggunakan metode deskriptif dan analisa usaha tani, menjelaskan bahwa dari sisi kelayakan usaha tani, pengembangan usaha tani kayu manis di Kabupaten Kerinci dinyatakan layak untuk di kembangkan secara ekonomi. Sedangkan Suherdi et al. (2003) dalam penelitian panen dan pasca panen kayu manis dengan menggunakan metode analisis deskriptif, dijelaskan bahwa produk cassiavera petani umumnya dalam peningkatan nilai tambah dilakukan pengolahan kembali oleh eksportir sebelum di ekspor ke pasar internasional. Sedangkan kegiatan pengolahan tersebut umumnya masih difokuskan pada peningkatan kebersihan dan keseragaman serta penurunan kadar air komoditas kayu manis yang dinilai masih relatif tinggi. Selanjutnya hasil penelitian BPTRO (2003) dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, menjelaskan bahwa kayu manis dapat berperan dalam
62 memperbaiki lahan konservasi serta penata tata air khusus di daerah Sumatera Barat dan Jambi. Sedangkan MaRI (2006) menjelaskan bahwa keberadaan tanaman obat-obatan dan tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, memiliki prospek yang baik pada masa yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan dunia, serta menyarankan perlunya upaya peningkatan dan pengembangannya pada masa yang akan datang. Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah ditelusuri menunjukkan bahwa kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Indonesia belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian maka dari keterbatasan tersebut menarik untuk dikembangkan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah.
Botani Tanaman Kayu Manis Tanaman kayu manis merupakan Genus Cinnamommum yang memiliki species sekitar 300 jenis. Beberapa jenis species yang dikenal dalam dunia perdagangan, yaitu species jenis C.zeylanicum atau “true cinnamon” atau dikenal dengan nama lain seperti cinnamon Sri Lanka, kemudian jenis Cassia [C. aromaticum atau C. Cassia], C. Camphor Laurel [C.camphora], Cinnamon Saigon [C.loureiroi] atau dikenal sebagai cinnamon Vietnam, Malabathrum [C.tamala] yang dikenal sebagai C. tejpat (tetj pat Hindi) atau disebut dengan “ Indian bay leaf serta Cinnamon burmanni yang merupakan jenis cinnamon yang dikembangkan di Indonesia. Sedangkan dalam penyebaranya, tanaman kayu manis tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis seperti di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia (Sri lanka, India, Indonesia, Vietnam dan China), Oceania dan Australia (Dep.Perdagangan, 2004). Species jenis Cinnamon burmanni, merupakan jenis cinnamon yang bentuk pohonnya dengan ciri-ciri tinggi batang rata-rata mencapai 15 meter, bercabangcabang, dan daun bentuk tunggal, lanset, warna merah muda pucat ketika dalam keadaan muda, dan berwarna hijau tua ketika daun kondisi tua. Dengan buahnya berwarna hijau ketika muda dan berwarna hitam ketika tua, dengan sistem perakarannya berbentuk akar tunggal. Di Indonesia jenis tanaman seperti ini,
63 merupakan
tanaman
asli
dengan
jenis
cinamommum
burmani.
Dalam
perkembangannya di Indonesia species ini diberi nama Cassia Indonesia. Nama ini disepakati pertama kali pada waktu pertemuan tehnis konsensus revisi standar casia tahun 1987 dan pada sidang International ISO TC 34/SC7 yang ke-18 bulan November 1992 di Jakarta, tentang pembahasan nomenklatur untuk species komoditas. Komoditas kayu manis untuk Indonesia semula dalam perdagangan komoditas dunia disebut dengan nama Batavia Cassia, Java Cassia, Padang Cassia, Korintji Cassia, dan Cassiavera. Namun sejalan dengan perkembangan penggunaan nama komoditas dalam dunia perdagangan, sehingga komoditas kayu manis di Indonesia sering disebut dengan nama Cassia Indonesia atau Cassiavera, (Departemen Perdagangan, 2004). Dalam penggunaan dan konsumsi, kayu manis dikelompokkan dalam bagian komoditas tanaman rempah dan obat-obatan, yang berfungsi sebagai penyedap dan bahan baku masakan dan minuman, dengan pengunaannya dalam berbentuk bubuk (powder), stick, sirup, atau instant serta minyak atsiri. Dalam bidang obatobatan kayu manis sering digunakan sebagai bahan pembuatan jamu/farmasi, kosmetika, aromatika dan bahan campuran rokok kretek. Kayu manis memiliki ciri kulit batangnya dengan rasa pedas dan manis, berbau wangi serta bersifat hangat. Dengan kandungan kimia yang terkandung di dalamnya diantaranya adalah minyak eugenol, safrole, sinamaldehide, tannin, kalsium oksalat, damar dan zat penyamak serta memiliki efek farmakologis seperti dapat menjadi peruluh keringat (diaphoretic), peluruh kentut (carminative), anti reumatik, penambah nafsu makan (stomachica) dan penghilang rasa sakit (analgetic) (BPTRO, 2003). Dari berbagai kajian terdahulu tentang komoditas kayu manis menunjukkan bahwa keberadaan kayu manis baik dalam dunia perdagangan maupun dalam memenuhi konsumsi dunia terlihat sangat penting artinya dan menarik untuk diperhatikan, karena prospek penggunaannya masih cukup baik. Dengan demikian pengembangannya perlu diperhatikan, baik dari sisi budidaya, pengolahan maupun pemasaran hasilnya.
64 Pembudidayaan Tanaman Kayu Manis Tanaman kayu manis akan tumbuh baik pada lokasi yang beriklim lembab dan banyak curah hujan yaitu pada daerah yang memiliki curah hujan (berkisar 2.000-2.500 mm/tahun), dan tumbuh paling baik pada ketinggian 500-1.500 m dpl, dengan jenis tanah gembur agak berpasir, dengan pH 5,0-6,5, serta memiliki tekstrurnya lempung berpasir, debu berpasir serta tumbuh baik pada lahan yang kaya humus (Disperta Kerinci, 2005). Selanjutnya penanaman komoditas kayu manis dapat bersumber dari bibit yang berasal dari hasil penyemaian biji kayu manis yang sudah berumur (>15 tahun), dan dapat pula bersumber dari hasil pungutan bibit yang tumbuh di bawah pohon induk. Kemudian jarak tanam yang menguntungkan dan menghasilkan kulit yang berkualitas tinggi adalah jarak tanam berukuran 3 x 3 meter atau 4 x 4 meter (BPTP, 2003). Selanjutnya dari sisi teoritis, menunjukkan bahwa sebaiknya tanaman kayu manis pada umur 6 tahun dapat dilakukan pemanenan I (pertama), yang merupakan bagian dari kegiatan penjarangan I (pertama), yang bertujuan selain mendapatkan hasil panen juga untuk mengatur jarak tanam agar mencapai jarak tanam ideal menjadi 3 x 3 meter atau 4 x 4 meter. Selanjutnya pada umur 10 tahun dapat dilakukan kembali pemanenan II (kedua) atau bersamaan dengan kegiatan penjarangan ke 2 (dua), pemanenan ini selain bertujuan untuk mendapatkan hasil panen, juga merupakan upaya untuk mengatur jarak tanam menjadi 8 x 8 meter, dalam upaya mendapatkan hasil kulit yang bermutu tinggi, karena semakin jarang tanaman maka semakin tebal kualitas kulit yang dihasilkan. Dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sebaiknya dilakukan kegiatan penyiangan dan pemupukan. Penyiangan tanaman kayu manis sebaiknya dilakukan 2 atau 3 kali setahun, untuk kondisi jika tidak terdapat tanaman penyela waktu penanaman, sesuai dengan BPTP (2003) menjelaskan sebaiknya setiap tanaman kayu manis diberi pemupukan yang cukup guna merangsang pertumbuhan dan meningkatkan kualitas kayu manis. Pemeliharaan tanaman kayu manis yang berumur 2,5 tahun sampai 3,5 tahun saat pertumbuhannya sudah menutupi permukaan tanah sebaiknya dilakukan penjarangan. Penjarangan dan pemangkasan (thinning and pruning) tersebut dapat berupa penjarang batang atau penjarangan dahan dan ranting. Penjarangan tersebut dilakukan dengan cara
65 memotong cabang-cabang atau ranting yang dianggap menggangu pertumbuhan batang kayu manis. Penjarangan tersebut sebaiknya dilakukan setahun sekali. Proses pemanenan kayu manis dilakukan pada tanaman yang mencapai umur 4-5 tahun keatas, yaitu awal musim hujan, ketika warna daun telah hijau tua. Pada kondisi seperti ini getah kayu manis cukup banyak diantara kayu dan kulit sehingga mudah untuk melakukan pengupasannya. Sebelum kegiatan pengupasan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pembersihan kulit batang dari lumut-lumut/ kotoran yang ada pada pohon, dan selanjutnya digores dengan potongan melingkar seperti garis pada batang, dengan ketinggian 50-100 cm atau 100150cm. Kemudian dilanjutkan dengan pencongkelan atau pengupasan secara keseluruhan. Setelah dilakukan pengupasan kulit sebaiknya, tanaman kayu manis ditebang dengan cara memotong batang pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. Bagian kulit ranting dan dahan tanaman kayu manis waktu pemanenan juga ikut dikupas. Tahapannya seperti dijelaskan Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Tahapan Proses Pemanenan Kayu Manis No 1.
Proses Pemanenan Kayu Manis
Sortir tanaman yang akan di panen dipilih dengan kriteria umur tanaman 2. Kulit batang dikupas 1-1,5 meter dari bagian pangkal tanaman, lalu dibiarkan 1 bulan 3. Penebangan dengan posisi tergantung 4. Kulit dikupas dengan panjang 0,5 - 1 meter, sedangkan cabang, ranting pengupasan sesuai dengan selera petani 5. Kulit batang dikikis, dan kulit cabang, ranting tidak dikikis 6. Hasil kikisan di simpan satu malam hingga (warna komoditas menjadi kuning dan aromanya muncul ) 7. Hasil kikisan dijemur selama 3 hari, hingga kadar air (17-20%) 8. Melakukan sortir jenis grade KA, KB dan KC, kemudian secara khusus dipisahkan menjadi grade KM,KF,KS,KA,KTP,KB dan KC. 9. Dikemas 10. Siap dijual ke pedagang. Sumber: Dinas Pertanian Kab.Kerinci, 2005.
Keterangan Umur minimal antara 4-5 tahun Untuk mempermudah pengupasan dan meningkatkan ketebalan kulit. Mempermudah pengupasan Secara umum sesuai selera petani atau pesanan pedagang. Untuk membersihkan dan peningkatan mutu. Untuk meningkatkan aroma
Untuk meningkatkan mutu Memisahkan grade kulit
Packing/Pengarungan Penjualan
66 Karena pemanenan kayu manis merupakan bagian dari proses untuk menghasilkan produk, maka tahapannya setelah dilakukan pengupasan dilanjutkan dengan pembersihan melalui pengikisan hingga bersih, kemudian disimpan selama satu malam hingga mengeluarkan aroma dan munculnya warna merah, setelah itu dijemur diterik matahari 2-3 hari untuk memperoleh kulit yang kering yang dicirikan dengan telah menggulungnya kulit kayu manis secara alami. Beberapa jenis produk kayu manis yang dihasilkan petani diantaranya terdiri dari “kayu manis asalan” dengan kondisi komoditas kayu manis yang dihasilkan masih relatif basah dan tidak memenuhi persyaratan ekspor karena kurang bersih dan kadar airnya masih tinggi serta berpeluang tumbuhnya jamur, dan kecenderungan adanya serangga di dalam gulungan kayu manis tersebut. Secara umum produk yang dihasilkan petani tergolong dalam kualitas B dan C dengan nilai dan harga yang ditawarkan relatif murah, kadar air berkisar 1720%. Sedangkan produk yang siap diekspor memiliki kadar airnya berkisar 14% (Disperta Kerinci, 2005). Beberapa jenis produk yang diolah untuk di eksportir sebagian besar masih berupa kayu manis gulungan, broken serta sebagian sudah dalam bentuk olahan seperti berbentuk bubuk (powder) dan bentuk lain seperti minyak atsiri. Sedangkan standar mutu kayu manis dapat dibedakan berdasarkan bagian-bagian dan komponen tanaman yang dimanfaatkan, seperti jenis grade KA merupakan jenis grade/mutu yang berasal dari bagian kulit batang, KB merupakan jenis grade yang berasal dari kulit dahan, dan KC merupakan grade kayu manis yang berasal dari kulit ranting. Penggolongan mutu biasanya didasarkan atas syarat umum yang diperdagangkan. Berdasarkan standar minimal mutu komoditas kayu manis yang di dipersyaratkan dalam perdagangan dijelaskan bahwa standar minimal mutu yang dibutuhkan dalam pengolahan kayu manis terdiri dari: pengikisan harus dikikis bersih, warna kulit kuning, kuning tua atau kuning kecoklatan, dengan rasa pedas, persyaratan lain seperti serangga masih ditolerasi dalam komoditas yaitu kondisi mati maksimal 2 dari sub contoh, kotoran mamalia (mg/lb) maksimal 1, seperti Tabel 3 di bawah ini.
67 Tabel 3. Standar Mutu yang Harus dipenuhi dalam Perdagangan Kayu Manis Nomor Kriteria 1. Pengikisan 2. Warna 3. Rasa 4. Serangga utuh mati 5. Kotoran mamalia 6. Kotoran binatang lain 7. Kadar jamur 8. Cemara serangga 9. Bahan asing 10. Kadar air 11. Kadar abu 12. Kadar pasir Sumber: Dewan Rempah Indonesia, 2006.
Kualitas harus dikikis bersih kuning, kuning tua, kuning kecoklatan Pedas maksimal 2 dari sub contoh (mg/lb) maksimal 1 (mg/lb) maksimal 1 (B/B) maksimal 5% (B/B) maksimal 2,5% (B/B) maksimal 0,5% (B/B) maksimal 14% (B/Bobot dry basis) maksimal 5% (B/Bobot dry basis) maksimal 1%
Sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk komoditas kayu manis olahan nasional terlihat hanya baru jenis kayu manis bubuk, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dengan SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Syarat Mutu Kayu Manis Bubuk berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kriteria Uji Keadaan (Bau, rasa dan warna) Air Abu Abu larut dalam asam Minyak atsiri Kahalusan Lolos ayakan No.40(425u) Cemaran Logam 7.1. Timbal (Pb) 7.2. Tembaga (Cu) 8. Cemaran Arsen (As) 9. Cemaran Mikroba 9.1. Angka lempeng total 9.2. Escherichia coli 9.3. Kapang 10. Aflatoksin Sumber: Dewan Rempah Indonesia, 2006.
Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b
Persyaratan Normal Maksimum 12,0 Maksimum 3,0 Maksimum 0,1 Maksimum 0,7 Maksimum 96,0
Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg
Maksimum 10 Maksimum 0,1 Maksimum 0,1
Koloni/g APM/g Koloni/g Mg/Kg
Maksimum 10,6 Maksimum 10,3 Maksimum 10,4 Maksimum 20
Selanjutnya untuk standar mutu jenis produk lainnya secara rinci, standarnya masih ditentukan oleh permintaan dan kebutuhan pasar serta selera konsumen baik dari dalam maupun dari luar negeri. Sedangkan untuk standar mutu Mutu Kayu Manis bubuk dapat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10).
68 Dari berbagai tinjauan tentang pembudidayaan dan pemasaran komoditas kayu manis menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil komoditas yang baik sejak aspek pembudidayaan dan pengolahan untuk menghasilkan produk siap jual memerlukan beberapa tahapan, serta dalam pemasaran membutuhkan beberapa standar yang harus dipenuhi. Dengan kata lain berarti dalam pengembangannya diperlukan keterkaitan yang utuh sejak dari proses input, produksi, pengolahan hasil hingga pemasarannya.
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan
suatu
wilayah
pada
hakekatnya
ditujukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).
Dalam
proses
pembangunan,
ketersediaan
sumberdaya
merupakan prasyarat yang sangat diperlukan, seperti ketersedian Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Sosial (SDS) dan Sumber Daya Buatan (SDB). Selanjutnya dalam pembangunan yang berbasis pengembangan wilayah dipandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, ruang (spatial) serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah (Anwar, 2005 dan Rustiadi et al. 2005). Dari konsep tersebut dapat diartikan bahwa untuk mendorong pencapaian tujuan pembangunan maka ketersediaan sumberdaya perlu terintegrasi dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatannya. Selanjutnya
Bendavid
(1991)
menjelaskan
bahwa
dalam
proses
pembangunan ekonomi, aspek peningkatan nilai tambah dan pendapatan merupakan inti yang diharapkan. Karena nilai tambah dan pendapatan dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah, sehingga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tingkat kebocoran nilai tambah perlu diminimalkan. Sebagaimana Bendavid (1991) menjelaskan bahwa terjadinya kebocoran dapat berdampak pada kecilnya multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar pula multiplier pendapatan yang hilang bagi suatu wilayah. Sedangkan Rada dan Taylor (2006) menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand seperti ketika peningkatan investasi, ekspor dan belanja pemerintah menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Selanjutnya Christopher dan Bryan (1994) menjelaskan kebocoran dapat terjadi ketika bagian dari pendapatan yang dibelanjakan oleh rumah tangga untuk konsumsi (consumption) barang-barang dan jasa-jasa dominan mengkonsumsi yang bukan diproduksi di dalam negeri atau dominan impor.
70 Dari beberapa konsep kebocoran wilayah, dapat diartikan bahwa selain dari sisi pengeluaran, kebocoran wilayah juga dapat dilihat dari sisi penerimaan. Adanya sumber penerimaan wilayah dalam bentuk nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan guna meningkatkan pendapatan domestik maka kondisi tersebut merupakan indikasi kebocoran wilayah. Hal ini sesuai dengan Anwar (2004) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat terjadi apabila nilai tambah ekonomi suatu wilayah mengalir ke wilayah lain, karena tidak dapat dimanfaatkan atau ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah. Dengan demikian berarti kebocoran wilayah dapat merugikan perekonomian wilayah serta dapat mengganggu keberlanjutan pembangunan (Rustiadi et al. 2005). Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya alam pada pengembangan komoditas pertanian unggulan daerah, karena nilai tambah komoditas dipengaruhi oleh kinerja sistem agribisnis. Dengan demikian keterkaitan subsistem-subsistem sejak dari input, produksi, pengolahan hasil (processing) dan pemasaran hasil serta faktor pendukung, perlu dikelola secara utuh terutama untuk meningkatkan nilai tambah komoditas (Syafa’at, 2003; Soekartawi, 2004). Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable) maka semua unit kegiatan agribisnis secara ekonomi harus mampu hidup (economically viable). Untuk itu unit-unit usaha dalam struktur vertikal agribisnis harus “mampu menciptakan laba” (profit making enterprise) atau nilai tambah (Syafa’at, 2003). Ketika sistem agribisnis komoditas pertanian tidak didukung oleh sistem processing atau pengembangan sektor turunan maka dampaknya tentu dapat mempengaruhi kecilnya nilai tambah yang dapat dihasilkan. Dengan demikian pengembangan sektor turunan secara ekonomi berarti dapat mempengaruhi pendapatan usaha tani dan pendapatan wilayah. Ketika dominannya processing dilakukan di luar wilayah, maka implikasinya nilai tambah komoditas akan mengalir ke wilayah lainnya. Pada kondisi tersebut berarti pengembangan komoditas menghadapi terjadi kebocoran wilayah. Selanjutnya dari aspek pemasaran komoditas, karena kayu manis merupakan komoditas ekspor dan di perdagangkan di pasar internasional sehingga kinerja agribinsis dari subsistem pemasaran sangat terkait dengan aspek integrasinya harga, daya saing, dan permintaan pasar. Artinya karena integrasi harga, daya
71 saing, dan permintaan ekspor mempengaruhi sistem agribisnis, dengan demikian berarti aspek pemasaran secara ekonomi akan mempengaruhi pendapatan usaha tani dan pendapatan wilayah. Ketika pendapatan dari pengolahan komoditas mengalami peningkatan maka kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi peningkatan perekonomian wilayah, dan sebaliknya ketika pendapatan wilayah mengalami penurunna karena adanya kebocoran wilayah, dengan demikian berarti kebocoran wilayah menghambat laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Demikian juga ketika pendapatan dan nilai tambah dari usaha tani kurang menguntungkan maka selain dapat berdampak pada perekonomian wilayah juga dapat berdampak pada aspek ekologi. Pada aspek ekologi, rendahnya pendapatan usaha tani dari hasil pengelolaan sistem agribisnis maka dapat mempengaruhi rendahnya motivasi petani dalam melakukan pengelolaan sumberdaya pertanian. Dengan kata lain, rendahnya nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan agribisnis, maka dapat mengganggu produktivitas dan pemanfaatan lahan, dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya peningkatan eksternalitas negatif terhadap pemanfaatan lahan pertanian, seperti terjadinya konversi lahan, turunnya produktivitas lahan, yang akhirnya tentu dapat menganggu keberlanjutan sumberdaya alam pertanian dan sistem agribisnis itu sendiri. Karena kinerja sistem agribisnis mempengaruhi nilai tambah dan pendapatan, selanjutnya pendapatan mempengaruhi perekonomian wilayah. Dengan demikian terjadinya kebocoran nilai tambah tentu dapat mempengaruhi perekonomian wilayah, dan pada gilirannya tentu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi wilayah. Adanya keterkaitan sistem agribisnis dengan kebocoran wilayah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah, sehingga kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah dan pencapaian tujuan pembangunan wilayah menarik untuk dilakukan. Untuk menyederhanakan kerangka pemikiran penelitian ini, secara flow chart dapat dijelaskan seperti pada Gambar 7.
72
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian Dari kerangka pemikiran yang telah dibangun di atas dalam mengkaji kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah kasus Kabupaten Kerinci, maka dijelaskan secara detil kerangka pemikiran dan alur kajian ini dapat dijelaskan seperti di bawah ini. Kayu manis merupakan komoditas unggulan dan andalan ekspor daerah Kabupaten Kerinci yang merupakan sumber pendapatan masyarakat. Komoditas tersebut dominan dikembangkan masyarakat dalam bentuk perkebunan rakyat. Karena perkembangan komoditas dalam sistem agribinsis selain dipengaruhi oleh kinerja input, produksi, processing dan pemasaran hasil serta dipengaruhi oleh faktor penunjang. Sehingga berlangsungnya globalisasi perdagangan dimana
73 persaingan komoditas di pasar internasional cenderung semakin ketat maka kinerja pemasaran dapat mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah. Karena harga dapat mempengaruhi insentif petani untuk melakukan pengembangan komoditas. Dengan demikian berarti kinerja harga komoditas dapat mempengaruhi keberlanjutan budidaya. Ketika harga komoditas kurang menguntungkan petani/masyarakat maka pembudidayaannya akan terganggu, dan sebaliknya apabila harga menguntungkan maka budidaya akan berkembang dan pada gilirannya tentu dapat mempengaruhi keberlanjutannya. Selain itu secara ekonomi karena harga komoditas dapat mempengaruhi pendapatan dan pendapatan mempengaruhi kesejahteraan serta perekonomian wilayah. Dengan demikian apabila harga di tingkat pasar konsumen tidak terintegrasi dengan harga di tingkat petani maka dampaknya tentu dapat mempengaruhi sumber pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah. Kemudian dari aspek pemasaran, karena komoditas kayu manis merupakan komoditas ekspor dan pemasarannya terkait dengan perdagangan internasional, sehingga terbukanya akses pasar serta interkoneksi dunia pada level kultural, politik, dan ekonomi akibat globalisasi (Giddens, 1999). Dengan demikian berarti berlangsungnya globalisasi perdagangan dapat mempengaruhi posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis Indonesia di pasar internasional, dan pada gilirannya tentu dapat mempengaruhi kinerja sistem agribisnis. Armstrong dan Taylor (2001), Mankiw (2000) menjelaskan bahwa dalam sistem “ekonomi terbuka” ekspor merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perbedaan ekspor suatu wilayah dapat menyebabkan timbulnya disparitas pembangunan antar wilayah (Armstrong dan Taylor, 2001). Dari konsep tersebut dapat diartikan bahwa apabila kinerja ekspor dan pemasaran komoditas dalam sistem agribisnis terganggu maka dampaknya tentu dapat mempengaruhi pendapatan, kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah, sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi keberlanjutan sistem agribisnis itu sendiri. Dalam perdagangan internasional karena persoalan daya saing dapat mempengaruhi kinerja pemasaran, dengan demikian adanya tekanan daya saing
74 pesaing dalam perdagangan tentu dampaknya dapat mempengaruhi kinerja pemasaran. Dalam konteks analisis sistem agribinsis sehingga mengetahui posisi daya saing komoditas kayu manis Indonesia di pasar internasional perlu dan menarik untuk dilakukan terutama guna mengidentifikasi posisi daya saing saat ini dan kemungkinan prospek pengembangannya pada masa yang akan datang. Demikian juga dari aspek permintaan, karena permintaan mempengaruhi kinerja pemasaran komoditas, sehingga faktor yang mempengaruhi permintaan seperti harga, pendapatan atau pertumbuhan ekonomi negara importir dan nilai tukar, menarik untuk dianalisis terutama dalam mengidentifikasi posisi permintaan dewasa ini dan prospeknya pada masa yang akan datang. Hal tersebut sesuai dengan Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa keberlanjutan ekspor dapat dipengaruhi oleh harga, pendapatan negara pengimpor, kebijakan perdagangan negara pesaing, nilai tukar, kapasitas produksi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi. Dengan demikian untuk mengetahui posisi dan prospek permintaan maka perlu mengidentifikasi kinerja permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama dunia. Dengan kata lain karena permintaan dapat mempengaruhi pemasaran, dan permintaan komoditas kayu manis Indonesia dominan ditentukan oleh pasar luar negeri atau pasar ekspor seperti Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya, sehingga mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama seperti pasar Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya menjadi sangat penting untuk dilakukan, sehingga upaya pengembangan ekspor dapat dilakukan. Karena kebocoran dapat mempengaruhi pendapatan dan perekonomian wilayah sehingga analisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci, menarik untuk dilakukan, terutama dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah dan keberlanjutannya sistem agribisnis komoditas kayu manis. Untuk menggambarkan alur penelitian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, maka secara flow chart dapat dijelaskan seperti pada Gambar 8 di bawah ini.
75
Gambar 8. Kerangka dan Alur Penelitian Dari kerangka dan alur penelitian dapat diartikan bahwa sistem agribisnis komoditas kayu manis secara ekonomi dapat mempengaruhi pendapatan, dan pendapatan akan mempengaruhi perekonomian wilayah. Sedangkan secara ekologi pendapatan dari sistem agribisnis dapat mempengaruhi keberlanjutan ekologi dan lingkungan serta keberlanjutan agribisnis itu sendiri. Dengan demikian berarti terjadinya kebocoran wilayah maka dapat merugikan perekonomian wilayah dan keberlanjutan pembangunan wilayah.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Analisis kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, dilakukan dengan pendekatan
76 analisis kualitatif dan kuantitatif serta di analisis dari aspek makro dan mikro. Karena adanya berbagai keterbatasan dalam penelitian ini, sehingga peneliti membatasi diri seperti dari aspek mikro dibatasi pada analisis sistem agribisnis kayu manis rakyat yang ditinjau dari aspek pengelolaan input, produksi, prosesing, dan kelembagaan dilihat secara deskriptif. Sedangkan pada aspek pemasaran dilihat secara kuantitatif terutama berkaitan dengan identifikasi integrasi pasar, daya saing ekspor, serta permintaan ekspor di pasar internasional yang dilihat dari faktor yang mempengaruhinya seperti faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) dan nilai tukar (kurs). Sedangkan dari sisi makro, kajian ini dibatasi pada identifikasi peran sektor kayu manis dilihat dari aspek PDRB dan keterkaitan sektor (sectoral linkages) dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Kemudian dari sisi kebocoran wilayah dikaji indikasi, potensi dan dampaknya terhadap perekonomain wilayah. Keterbatasan dalam mengidentifikasi berbagai persoalan di atas, dilakukan kerena adanya keterbatasan waktu, biaya, serta keterbatasan dalam penggunaan data dan model. Dalam penelitian ini analisis sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat lakukan dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, digunakan analisis ekonometrika model regresi berganda, dengan menggunakan data harga di tingkat petani dan harga di tingkat eksportir bulanan tahun 2001-2006. Selain karena komoditas kayu manis memiliki berbagai macam grade, namun karena tidak semua data di pasar internasional terpublikasi secara lengkap berdasarkan grade, sehingga data komoditas kayu manis yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini digunakan data harga komoditas kayu manis secara spesifik yaitu untuk komoditas kayu manis jenis grade KA dalam Rp/kg yang di perdagangkan. Selanjutnya dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi permintaan komoditas kayu manis Indonesia pasar internasional, digunakan pendekatan ekonometrika model analisis regresi berganda, dengan menggunakan data harga komodit di pasar utama, pertumbuhan ekonomi (GDP) di pasar utama, dan nilai tukar rill, dalam bentuk data time series tahun 1979-2006.
77 Kemudian untuk menganalisis daya saing ekspor Indonesia di pasar dunia, pada penelitian ini digunakan model constant market share (CMS). Dengan data yang digunakan terdiri dari data ekspor dan impor komoditas kayu dunia, dalam bentuk data tahun 1986-2006. Model CMS memiliki keterbatasan antar lain tidak dapat memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang lebih rinci tentang variabel yang mempengaruhi daya saing komoditas. Karena adanya keterbatasan dalam analisis, sehingga keterbatasan tersebut dilengkapi dengan analisis deskriptif yang menggunakan pendekatan analisis deskriptif. Untuk menganalisis peran sektor kayu manis secara umum terhadap perekonomian wilayah dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis keterkaitan dan multiplier efect digunakan model analisis input output. Selanjutnya dalam menganalisis kebocoran wilayah, dan dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci digunakan pendekatan analisis model input-output. Pada penelitian ini digunakan Tabel I-O Kabupaten Kerinci tahun 2006, yang merupakan data sekunder. Untuk melengkapi kekurangan dalam analisis kuantitatif maka dalam kajian ini digunakan pendekatan analisis deskriptif, dengan data yang digunakan bersumber dari data primer dan hasil survei lapangan.
Hipotesis Penelitian Dari kerangka pemikiran penelitian dapat diturunkan beberapa hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut: 1) Pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci belum terintegrasi secara utuh. Kegiatan processing dan beberapa fungsi pemasaran lainnya dominan dilakukan di luar wilayah. 2) Harga kayu manis di tingkat petani tidak terintegrasi sempurna dengan harga di tingkat eksportir. Posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia berada di bawah daya saing pesaingnya. Permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama dipengaruhi oleh faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP), dan nilai tukar (kurs) riil. 3) Sektor kayu manis masih memiliki keterkaitan yang lemah terhadap perekonomian wilayah dan memiliki multilier effect yang positif terhadap
78 penyerapan tenaga kerja, pembentukan ekspor, nilai tambah bruto, dan output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. 4) Sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci mengalami kebocoran wilayah. Apabila diasumsikan berkembangnya processing di dalam wilayah, maka sektor kayu manis akan memiliki keterkaitan yang kuat serta memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian wilayah. Apabila dibandingkan sektor kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat dengan sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan estate lainnya, maka diduga sektor kayu manis memiliki kebocoran ke depan yang lebih besar dibandingkan dnegan sektor teh, dan memiliki kebocoran ke belakang yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor teh Apabila diasumsikan processing berkembang di dalam wilayah maka multiplier effect sektor kayu manis terhadap tenaga kerja, pendapatan, nilai tambah bruto, dan output lebih besar dibandingkan dengan sektor teh.
Lokasi dan Data Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi mulai bulan September 2007 sampai dengan Februari 2008. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder terdiri dari data ekspor dan impor kayu manis dunia, GDP negara importir utama kayu manis Indonesia, nilai tukar, serta data perkembangan kayu manis di Indonesia, Kabupaten Kerinci khususnya, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Departemen Perdagangan, Dirjen perkebunan, Bank Indonesia, FOASTAT, IMF dan BPS Kerinci, instansi terkait. Untuk melakukan analisis keterkaitan, dampak pengganda dan analisis kebocoran wilayah digunakan data Tabel Input-Output Perekonomain wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006 yang bersumber dari Bappeda dan BPS Kerinci. Data primer diperoleh dari hasil survei melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan melakukan penyebaran kuesioner kepada petani, pedagang/pengusaha kayu manis, Pemda, eksportir, dan informan yang terkait dengan pengembangan komoditas kayu manis. Secara rinci dijelaskan seperti pada Tabel 5 di bawah ini.
79
80 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer bersumber dari hasil survei, melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan melakukan penyebaran kuesioner, kepada petani, pedagang/pengusaha kayu manis, Pemda Kabupaten Kerinci, eksportir, dan informan yang terkait dengan pengembangan komoditas kayu manis. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan berdasarkan tujuan dilakukan bersumber dari berbagai instansi/lembaga yang berkompeten. Analisis Sistem Agribisnis Dalam menganalisis sistem agribisnis komoditas kayu manis digunakan data sekunder perkembangan kayu manis secara umum, dan juga menggunakan data deret waktu (time series) seperti data luas areal, produksi, jumlah petani, yang diperoleh dari dari dinas/instansi yang berwenang seperti diantaranya dinas pertanian dan perkebuan, perdagangan, Bappeda dan BPS Kerinci.
Analisis Integrasi Harga Untuk menganalisis integrasi harga digunakan data sekunder harga ekspor yang bersumber dari data FAOSTAT. Sedangkan untuk data harga kayu manis di tingkat petani digunakan data hasil survei yang diperoleh dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner terhadap petani, pedagang di Kabupaten Kerinci. Data harga yang dikumpulkan adalah data bulanan tahun 2001-2006.
Analisis Daya Saing Ekspor Untuk menganalisis daya saing ekspor kayu manis Indonesia versus pesaingnya dalam posisi perdagangan dunia digunakan data sekunder yang terdiri dari data ekspor dan impor kayu manis dunia, serta data ekspor dan impor kayu manis Indonesia, China, Sri Lanka dan Negara lainnya. Data ekspor dan impor kayu manis yang digunakan adalah data tahun 1986-2006 berbentuk data tahunan, sumber perolehan data adalah dari FAOSTAT.
81 Analisis Permintaan Ekspor Untuk menganalisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia digunakan data sekunder ekspor dan impor kayu manis Indonesia ke Amerika Serikat, Belanda dan negara lainnya. Data yang digunakan adalah data tahun 1979-2006, dalam bentuk data tahunan. Sumber perolehan data adalah dari FAOSTAT. Selanjutnya data harga kayu manis di pasar tujuan bersumber dari data FAOSTAT. Kemudian data GDP yang gunakan adalah data GDP indeks bersumber dari IMF. Sedangkan data nilai tukar (kurs) rill yang digunakan bersumber dari Bank Indonesia dan IMF.
Analisis Keterkaitan Sektor dan Dampak Pengganda serta Indikasi, Potensi dan Dampak Kebocoran Wilayah Untuk menganalisis keterkaitan sektor dan dampak pengganda serta analisis indikasi dan potensi kebocoran ekonomi wilayah sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci digunakan data Tabel input-output perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, yang bersumber dari Bappeda dan BPS Kerinci. Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel untuk memperoleh data primer dilakukan dengan menggunakan metode stratified sampling dan purposive sampling. Pemilihan sampel didahului dengan penetapan lokasi penelitian. Pengambilan sampel di lokasi penelitian di Kabupaten Kerinci dibagi dalam 3 wilayah yaitu Kerinci Barat , Kerinci Tengah dan Kerinci Timur. Dari masing-masing wilayah tersebut dipilih sampel secara purposive seperti untuk petani Wilayah Barat dipilih 20 responden, Petani Wilayah Timur 20 responden, dan Wilayah Tengah sebanyak 15 responden. Sedangkan untuk pedagang masing masing wilayah dipilih berdasarkan strata permodalan yaitu pedagang bermodal > 50 juta rupiah 1 responden, pedagang bermodal antara 10-50 juta rupiah 1 responden, dan pedagang yang bermodal < 10 juta rupiah 1 responden untuk tiap wilayah. Selanjutnya sampel penelitian ini dilengkapi dengan 2 responden dari unsur pengusaha kayu manis di Kabupaten Kerinci, dan 3 responden dari unsur pemerintah daerah, dalam hal ini dipilih dari unsur Sekretariat Daerah, Dinas
82 Pertanian dan Perdagangan. Selanjutnya sampel penelitian dilengkapi oleh 3 responden dari unsur masyarakat Kerinci. Dalam penarikan sampel ini dipilih tokoh yang memahami kondisi pengembangan kayu manis di masing-masing wilayah. Dengan demikian jumlah responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebanyak 72 reponden. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan penelitian analisis kebocoran wilayah dan sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, digunakan beberapa metode analisis. Selain itu dalam melakukan analisis digunakan dua perspektif kajian yaitu perspektif makro dan perspektif mikro. Dalam perspektif mikro unit analisis yang digunakan adalah individu petani, pedagang, stakeholders lainnya yang berkaitan dengan pengembangan komoditas kayu manis. Sedangkan dari sisi makro, unit analisis adalah wilayah Kabupaten Kerinci, dengan sasarannya adalah perekonomian wilayah, yang terdiri dari aspek PDRB dan PDRB perkapita, keterkaitan dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan dan tenaga kerja, serta indikasi dan potensi kebocoran wilayah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah. Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang secara khusus membutuhkan penjelasan secara kualitatif dan deskriptif terutama tentang hasil penelitian seperti berbentuk tabel, gambar dan grafik serta berbentuk penjelasan atau narasi yang secara deskriptif kualitatif, terutama dalam menjelaskan masalah kebocoran wilayah dan sistem agribisnis komoditas kayu manis serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, dan posisinya dalam pasar internasional serta kaitannya dengan keberlanjutan pembangunan, yang tidak mampu dijelaskan secara kuantitatif. Selain itu analisis deskriptif juga digunakan untuk mengkaji beberapa parameter yang bersifat kualitatif, seperti hubungan antara petani dengan
83 pedagang pengumpul serta dampak kesejahteraan yang diperoleh dari kegiatan pengembangan komoditas kayu manis. Karakteristik yang dideskripsikan berkaitan dengan aspek pembudidayaan, prosesing, pemasaran hasil dan kelembagaan. Selain itu analisis deskriptif ini juga digunakan untuk mempertajam hasil analisis secara kuantitatif guna menjelaskan implikasi penelitian ini.
Analisis Integrasi Harga Dalam melakukan analisis integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir pada penelitian ini digunakan model regresi berganda. Tujuan analisis adalah untuk mengidentifikasi keeratan hubungan yang terjadi atau melihat keterpaduan harga antar pasar serta mengidentifikasi elastisitas harga. Model analisis integrasi harga yang digunakan mengacu pada model Ravalion (1986), dengan formula yang dimodifikasi sebagai berikut: ln PPj(t) = ln α j + β j ln PPj(t-1) + δ j ln PXj(t-1) + ej(t) ............................ (3.1) dimana: PPj(t)
= harga jual kayu manis di tingkat petani bulan t (Rp/Kg).
PPj(t-1) = harga jual kayu manis di tingkat petani pada bulan t-1 (Rp/Kg). PXj(t-1) = harga jual kayu manis di tingkat eksportir pada bulan t-1 (Rp/Kg). n
= periode lag, dan e merupakan galat.
Selanjutnya untuk menganalisis tingkat keterpaduan pasar digunakan deteksi indeks integrasi (MII) dengan formula: MII = β j /δ j , dimana 0 ≤ MII ≤ ∞.................................................. (3.2) Jika MII = 0, menunjukkan pasar terpadu secara sempurna, dan jika < 1 menunjukkan masih kuat. Namun Jika MII > 1, menunjukkan pasar terintegrasi secara lemah (Malian et al. 2004 dan Simatupang, 1999). Untuk menganalisis integrasi harga kayu manis digunakan data harga di tingkat petani dan harga di tingkat eksportir. Data harga di tingkat petani di Kabupaten Kerinci digunakan dalam bentuk data bulanan Rp/Kg tahun 20012006. Data diperoleh dari hasil survei lapangan. Selanjutnya data harga di tingkat eksportir diperoleh dari FAOSTAT tahun 2001-2006 dalam bentuk data bulanan
84 Rp/Kg. Karena tidak semua data jenis/grade kayu manis tersedia, maka dalam penelitian ini digunakan data harga kayu manis jenis/ grade KA (kayu manis yabg berasal dari kulit batang dengan ukuran 1-2 mm, atau sering dijadikan stick). Selanjutnya untuk melakukan analisis integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, dari aspek identifikasi penyesuaian dan keseimbangan jangka panjang dapat digunakan analisis kointegrasi dan model error corection model (ECM). Tahapan pengujian yang dilakukan mengacu pada tahapan dan prosedur pengujian Engle-Granger (1987) dan Verbeck (2000), dengan tahapan sebagai berikut: (1) Uji unit root, yang merupakan uji pendahuluan. Pengujian tersebut dilakukan dengan mendeteksi Dickey-Fuller (DF) dan Augmented DF (ADF). (2) Melakukan pendugaan model dengan
menggunakan
model
kointegrasi.
(3)
Menduga
ECM
dengan
menggunakan residual dari hasil regresi keseimbangan yang dihasilkan sebelumnya. (4) Apabila sisaan dari model telah white noise maka hasil uji tersebut dapat digunakan untuk peramalan (forecasting).
Analisis Daya Saing Ekspor Untuk menganalisis daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional digunakan metode constant market share analysis (CMSA). Model ini dapat bermanfaat untuk memetakan arah dan posisi daya saing ekspor suatu negara dalam perdagangan dunia (Djaja, 1992). Karena keterbatasan data maka dalam memetakan arah posisi ekspor kayu manis Indonesia, versus China, dan Sri Lanka, dibatasi dengan periode analisis 1986-2006, yang di kelompokkan menjadi: periode I tahun 1986-1989, yaitu periode di saat quota ekspor dibekukan. Kemudian periode II tahun 1990-1997, yaitu periode sebelum terjadinya krisis moneter di Indonesia/Asia, periode III tahun 1998-2000, yaitu periode saat berlangsungnya krisis di Indonesia/Asia, dan periode IV tahun 2001-2006 yaitu periode perkembangan terakhir, atau selanjutnya periode 1998-2006 merupakan periode setelah berlangsungnya krisis. Ekspor dikatakan berdaya saing kuat apabila mempunyai nilai efek daya saing positif atau bernilai lebih besar dibandingkan dengan nilai efek negara pesaingnya Djaja (1992), dan selanjutnya efek struktural dan efek daya saing
85 bermanfaat untuk mengidentifikasi preferensi sebaran pasar dan jenis komoditas yang akan diekspor. Model ini tidak memiliki basis teori peluang (Leamer dan stern, 1970). Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah pangsa dalam pasar internasional adalah tidak berubah/konstan. Model Costant Maket Share Analysis (CMSA) yang digunakan yaitu mengacu pada model Chen dan Duan (1999), dengan formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Sij = qij/Qij ...................................................................................... (3.3) Selanjutnya persamaan (3.3) dapat ditulis dengan: ∆q = ∑i ∑j s ij0 ∆Qij + ∑i∑jQij0 ∆sij + ∑i∑j ∆s ij ∆Qij ....................(3.4) (1)
(2)
(3)
Dari formula (3.4) menunjukkan bahwa kelompok (1) merupakan efek struktural, (2) efek kompetitif, dan (3) efek ordo ke-dua. Selanjutnya persamaan (3.4) dapat di dekomposisikan lebih lanjut ke dalam komponen-komponen: ∆q = s0 ∆Q + (∑i ∑j s ij 0 ∆Qij - ∑isi0 ∆Qi ) + (∑i ∑j s ij 0 ∆Qij - ∑j sj0 ∆Qj) (la) (lb) (lc) + [ (∑i sio ∆Qi - so ∆Q) - (∑i ∑j s ij 0 ∆Qij - ∑j sj0 ∆Qj )] + ∆s Q0 (1d) (2a) + (∑i ∑j ∆sij Qij0- ∆sQ0) + (Q1/Q0 – 1) ∑i∑j ∆sij0 Qij (2b) (3a) + [ ( ∑i ∑j ∆sij ∆Qij0 - (Q1/Q0 – 1 ) ∑i∑j ∆sij0 Qij0 )] ............... (3.5) (3b) dimana: s = pangsa pasar ekspor negara yang dianalisis yaitu Indonesia, dibandingkan China, Sri Lanka, dan negara rest of the world (ROW). q = jumlah ekspor. Q = total ekspor dunia. i = komoditas ke-i dan j = pasar/tujuan ekspor ke-j. 0 = periode tahun dasar dan 1 untuk tahun terminal.
86 Analisis daya saing yang dilakukan dalam penelitian ini, selain mengidentifikasi posisi daya saing Indonesia, juga dilakukan analisis daya saing kayu manis pesaing, seperti China, dan Sri Lanka yang merupakan pengekspor utama kayu manis dunia, serta negara lainnya (Rest of The World). Dalam melakukan analisis daya saing ekspor kayu manis di pasar dunia digunakan data ekspor dan impor kayu manis dunia periode tahun 1986-2006, yang bersumber dari data FAOSTAT.
Analisis Permintaan Pasar Dalam melakukan analisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar utama dunia yaitu pasar Amerika Serikat, Belanda dan negara lainnya Rest of the world (ROW) digunakan formula analisis permintaan masing-masing negara mengacu model Krugman dan Obstfeld (2000) sebagai berikut: Ln Xi = a0 + a1 ln PIi + a2 ln GDPi + a3 ln Kursi+ ei.……………...... (3.6) dimana: Xi
= ekspor kayu manis Indonesia ke negara/ kawasan tujuan ke-i.
PIi
= harga kayu manis di negara tujuan ke-i.
GDPi = GDP negara tujuan ke-i. Kursi = nilai tukar rill. ai
= parameter dari variabel yang bersangkutan, dan
ei
= komponen error.
Data yang digunakan untuk menganalisis permintaan kayu manis Indonesia di pasar tujuan, ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya yaitu menggunakan data harga komoditas di negara tujuan, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara tujuan ekspor, dan nilai tukar (kurs) rill. Untuk data permintaan ekspor dan impor kayu manis negara tujuan ekspor Indonesia, digunakan data Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya Rest Of the World (ROW) yaitu menggunakan data tahun 1979-2006, dalam bentuk data tahunan, yang berbentuk data total ekspor dan impor kayu manis Indonesia secara umum yang bersumber dari FAOSTAT. Selanjutnya data harga yang digunakan adalah data harga kayu manis di negara tujuan pada tahun yang sama, yang diperoleh dari FAOSTAT. Sedangkan
87 data pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir menggunakan data GDP indeks yang bersumber dari IMF. Kemudian data nilai tukar (Kurs) rill yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bersumber dari Bank Indonesia (BI) dan IMF. Dalam melakukan analisis permintaan digunakan model natural logaritma. Penggunaan model tersebut dimaksudkan agar hasil analisis dapat langsung digunakan untuk melakukan pendugaan elastisitas harga, pendapatan dan nilai tukar (kurs) rill, terhadap permintaan kayu manis Indonesia. Selanjutnya untuk melakukan pendugaan permintaan ekspor kayu manis Indonesia dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang digunakan model kointegrasi dan error corection model (ECM). Tahapan analisis yang dilakukan mengacu pada prosedur pengujian Engle-Granger (1987) dan Verbeek (2000) terdiri dari: (1) Uji unit root, yaitu uji pendahuluan dalam menggunakan data deret waktu. Pengujiannya dilakukan dengan cara mendeteksi Dickey-Fuller (DF), Augmented DF (ADF). (2) Melakukan pendugaan model serta menduga hubungan keseimbangan jangka panjang. Selanjutnya pada tahapan (3) yaitu menduga error corection model (ECM) yaitu menggunakan residual dari hasil regresi. (4) Apabila sisaan dari model telah white noise, maka hasil tersebut digunakan untuk melakukan peramalan (forecasting).
Analisis Keterkaitan Sektor dan Multiplier Effect terhadap Perekonomian Wilayah Untuk melakukan analisis keterkaitan dan multiplier effect sektor terhadap perekonomian wilayah, digunakan model input output. Analisis keterkaitan yang diidentifikasi yaitu keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) yang dilambangkan dengan (Bj), yaitu efek suatu sektor terhadap tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tertentu atau keterkaitan ke belakang (backward linkages) merupakan hubungan dengan bahan mentah/ bahan baku, yang sering disebut dengan derajat kepekaan. Selanjutnya keterkaitan ke depan (forward linkages) yaitu hubungan yang menggambarkan keterkaitan penjualan hasil produksi yang digunakan oleh sektor lainnya, atau sering disebut dengan daya penyebaran. Sektor dengan derajat kepekaan tinggi berarti
88 mempunyai ketergantungan tinggi terhadap sektor-sektor lain. Sedangkan sektor yang mempunyai daya penyebaran tinggi mengindikasikan sektor tersebut memiliki daya dorong yang kuat terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian wilayah. Selanjutnya dalam melakukan identifikasi keterkaitan sektor, apabila nilai koefisien keterkaitan berada di atas rata-rata 1 (satu) menunjukkan bahwa suatu sektor memiliki keterkaitan yang kuat, dan apabila nilai koefisien yang diperoleh kurang dari rata-rata 1(satu) mengindikasikan suatu sektor tertentu mengalami keterkaitan yang lemah dalam keterkaitannya dengan sektor lainya atau perekonomian wilayah. Untuk melakukan analisis keterkaitan langsung ke belakang digunakan formula sebagai berikut: n
B
j
= ∑ a ij
………….……………………………………………….. (3.7)
i
dimana aij merupakan rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j. Sedangkan untuk kebutuhan pengukuran secara relatif (pembandingan dengan sektor lainnya) terdapat ukuran normalized Bj* yang merupakan rasio antar keterkaitan langsung ke belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya, menggunakan formula: B *j =
Bj 1 n
∑ Bj
=
j
nB
…….…….…………………………………..….. (3.8)
j
∑ Bj j
apabila nilai Bj* di atas nilai rata-rata 1 (satu), menunjukkan bahwa sektor j memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat, dalam pengertian memiliki pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain atau perekonomian wilayah, teruatama dalam memenuhi derived demand yang ditimbulkan oleh sektor tertentu. Apabila kurang dari nilai rata-rata 1 (satu), menunjukkan memiliki keterkaitan yang lemah. Selanjutnya untuk menganalisis keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage) (Fi) digunakan formula sebagai berikut: Fi =
∑
n
x ij
j
x
j
=
∑
a ij
j
………..………………………….…..… (3.9)
Normalized Fi atau F*j dapat dirumuskan sebagai berikut: Fi nF i = Fi* = 1 ∑F ∑ Fi n i i i
................................................................. (3.10)
89 Sedangkan untuk mengidentifikasi keterkaitan ke belakang tidak langsung (indirect backward linkage) (BLj), digunakan formula:
BL
j
= ∑ b ij ………………………...……………….……..… (3.11) i
dimana bij adalah elemen-elemen matriks B atau (I-A)-1 merupakan invers matriks Leontief. Kemudian untuk mengidentifikasi keterkaitan ke depan tidak langsung (indirect forward linkage) (FLi) digunakan formula:
FLi = ∑ bij ........................................................................................ (3.12) i
Apabila permintaan akhir tiap sektor perekonomian meningkat satu unit (berarti peningkatan permintaan akhir seluruh sektor perekonomian adalah sebesar n unit), dengan demikian sektor i menyumbang sebesar FLi. Selanjutnya untuk mengidentifikasi daya penyebaran ke belakang atau indeks daya penyebaran (backward power of dispersion) (βi) digunakan formula sebagai berikut: βi =
∑
b ij
=
i
1 n
∑ ∑ i
b ij
j
n ∑ b ij i
∑ ∑ i
b ij
…….…………………………….…..…. (3.13)
j
Untuk mendeteksi kepekaan terhadap signal pasar, permintaan akhir atau indes daya kepekaan (forward power of dispersion) (αj) dapat digunakan formula: αi =
∑ b ij j
1 ∑ ∑ b ij n i j
………………..…………………………..……… (3.14)
Kemudian untuk mendeteksi daya kepekaan digunakan karakteristik, jika αj > 1, maka sektor tersebut merupakan salah satu sektor yang strategis, karena secara relatif dapat memenuhi permintaan akhir di atas kemampuan rata-rata sektor lainnya. Selain untuk mengukur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian wilayah, analisis yang menekankan pada pengukuran multiplier effect yang terjadi terhadap variabel endogen akibat perubahan variabel eksogen juga dapat menggunakan pendekatan model Input-Output (I-O). Dengan menggunakan model Input-Output dapat dijelaskan hubungan timbal balik antara output dengan permintaan akhir, seperti dapat diketahui output
90 yang diproduksi keterkaitannya dengan permintaan akhir atau dalam keadaan tertentu dapat diketahui besarnya pengaruh output dalam menentukan besaran permintaan akhir. Untuk mengetahui hubungan permintaan akhir dengan output dapat digunakan formula: X = (1 – A)-1 F ................................................................................ (3.15) dimana X merupakan output yang terbentuk akibat adanya (perubahan) permintaan akhir, (1–A)-1 merupakan matrik pengganda, dan F adalah permintaan akhir. Dari formula (3.15) dapat diduga dampak output yang terjadi apabila terjadi perubahan dalam permintaan akhir suatu perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya untuk mengidentifikasi Nilai Tambah Bruto (NTB), sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan pada Tabel I-O, dimana hubungan antara NTB dengan output bersifat linier. Dalam arti kenaikan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan dan penurunan nilai tambah bruto, sehingga hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam persamaan:
V = Vˆ X …………………………………………………………… (3.16) dimana V adalah nilai tambah bruto yang terbentuk akibat adanya (perubahan) permintaan akhir, Vˆ merupakan matrik diagonal koefisien NTB, dan X adalah dampak permintaan akhir (I
− A) F −1
. Matriks kebalikan leontief juga dapat
digunakan untuk mengukur dampak perubahan permintaan akhir terhadap pendapatan melalui income multiplier. Misalnya suatu perusahaan tidak hanya membeli bahan baku dari perusahaan lainnya saja melainkan juga dari masyarakat, seperti dalam bentuk tenaga kerja. Sedangkan balas jasa dari tenaga kerja yaitu berupa upah dan gaji. Dengan demikian maka kenaikan output akan berpengaruh langsung terhadap kenaikan pendapatan tenaga kerja (upah dan gaji) serta tambahan kebutuhan tenaga kerja. Sebagaimana diketahui bahwa komponen pendapatan merupakan salah satu unsur dari input primer atau NTB yaitu berupa upah dan gaji. Sehingga koefisien pendapatan merupakan rasio komponen upah dan gaji terhadap total input (atau total output). Adanya hubungan linier antara perubahan output dan perubahan pendapatan akan berimplikasi jika permintaan akhir berubah, maka output akan
91 berubah dan pendapatanpun akan berubah. Sehingga besar-kecilnya dampak pendapatan bergantung pada pengganda pendapatan (income multiplier). Untuk mengidentifikasi pengganda pendapatan (income multiplier) dapat digunakan formula sebagai berikut:
∧ W = W X ………….………….……………………..………….… (3.17) ^
dimana W adalah matriks income, W matrik diagonal koefisien income, dan X merupakan matrik X=(1-A)-1.Fd. Untuk mengidentifikasi dampak pengganda tenaga kerja, digunakan koefisien tenaga kerja yang dihitung sebagai berikut:
li = dimana
L i ............................................................................... (3.18) Xi
l i : koefisien tenaga kerja sektor i Li : jumlah tenaga kerja di sektor I Xi: output sektor I
Sehingga:
L = LˆX ................................................................................... (3.19) dimana L adalah matrik jumlah tenaga kerja, X adalah Output, dan Lˆ adalah
matrik diagonal koefisien tenaga kerja. Selanjutnya karena perubahan jumlah tenaga kerja L sebagai akibat perubahan permintaan akhir domestik sehingga persamaan X = (I − A d ) − 1 Fd dapat disubstitusi ke persamaan (3.19) menjadi formula: L = Lˆ(I − A d ) − 1 Fd ................................................................... (3.20) dimana L adalah kebutuhan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh permintaan akhir,
Lˆ merupakan matrik diagonal koefisien tenaga kerja, dan (I − Ad )− 1 Fd adalah output yang dipengaruhi oleh permintaan akhir.
Analisis Kebocoran Wilayah (Regional Leakage)
Untuk mengidentifikasi kebocoran wilayah beberapa pendekatan dapat digunakan diantaranya menggunakan model Analisis Input-Output sebagaimana
92 digunakan (Doeksen dan Charles 1969; Bendavid, 1991; Reis dan Rua, 2006). Beberapa teknik pendeteksian kebocoran wilayah diantaranya memperhatikan (i) rasio impor dengan input antara, pemintaan antara dan ekspor. Semakin besar penggunaan impor terhadap permintaan input antara maka semakin besar terjadi potensi kebocoran wilayah atau semakin kecil permintaan antara dibandingkan dengan rasio ekspor, menunjukkan lemahnya keterkaitan sektor dan kurangnya pengolahan atau prosesing dilakukan di dalam daerah kondisi tersebut menunjukkan indikasi kebocoran wilayah, (ii) Jika koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkage) bernilai tinggi namun impornya besar, dan keterkaitan ke depan (forward linkage) rendah, kondisi tersebut menunjukkan indikasi kebocoran wilayah (iii) multiplier effect nilai tambah (value added) rendah, akibat dominan prosesing di luar wilayah, merupakan indikasi terjadinya kebocoran wilayah. Untuk mengidentifikasi potensi kebocoran wilayah dapat digunakan model input output dengan formula (Reis dan Rua, 2006): n
b • j = ∑ bij
.............................................................................. (3.21)
i =1
Multiplier yang mencerminkan backward linkage dari sektor j. Kenaikan satu unit pada output sektor j membutuhkan b • j unit kenaikan output untuk ekonomi secara keseluruhan, terdiri dari satu unit pada output sektor j ditambah input langsung dan tidak langsung. Multiplier output mengukur pengaruh perubahan satu unit permintaan akhir untuk setiap sektor terhadap total output dari semua sektor (termasuk sektor itu sendiri). Dalam bentuk serupa, definisikan aijm , koefisien input impor, sebagai berikut: aijm =
zijm x j.
.......................................................................................(3.22)
yaitu, impor produk i yang disebabkan sektor j per unit output sektor j, yang dikalikan dengan matrik (3.22)
93
⎡ a11m ⎢ m a m : A = ⎢ 21 ⎢ M ⎢ m ⎣⎢ an1
a12m m a22
M anm2
L a1mn ⎤ ⎥ L a2mn ⎥ .............................................................. ...(3.23) M ⎥ m ⎥ L ann ⎦⎥
Dengan demikian kebocoran total yang dihasilkan dari kenaikan satu unit permintaan akhir untuk output sektor j ditunjukkan oleh jumlah elemen pada kolom ke- j dari matrik Am(I - Ad)-1 atau, kebocoran total akibat dari perubahan satu unit input primer untuk sektor i dapat ditunjukkan oleh jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I - A*d)-1A*m.
Model Skenario
Untuk melakukan analisis potensi dan dampak kebocoran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah dapat digunakan formula analisis keterkaitan dan
multiplier effect menggunakan pendekatan analisis model Input-Output. Model skenario yang digunakan yaitu skenario yang diasumsikan prosesing berkembang di dalam wilayah. Untuk melihat potensi digunakan asumsi prosesing berkembang secara optimal. Sedangkan untuk mengidentifikasi potensi dampak kebocoran dapat dicontohkan dengan asumsi prosesing berkembang sebesar 10% dari final
demand (ekspor), maka dari hasil skenario yang dibandingkan dengan kondisi eksisting dapat dijadikan contoh untuk melihat potensi kebocoran wilayah. Untuk melakukan skenario digunakan nilai final demand (ekspor) kayu manis yang diujicobakan ke sektor industri pengolahan. Hasil skenario dibandingkan dengan kondisi eksisting. Selanjutnya hasil tersebut dijadikan dasar untuk menduga potensi dan dampak kebocoran wilayah yang terjadi. Dalam menganalisis kebocoran wilayah sektor kayu manis digunakan sektor pembanding. Karena kayu manis merupakan bentuk sektor perkebunan rakyat, sehingga pembanding dalam penelitian dipilih sektor perkebunan estate lainnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbandingan sektor perkebunan rakyat dan perkebunan (estate) lainnya dalam konteks pengembangan pertanian berbasis perkebunan, kaitannya dengan pengembangan ekonomi wilayah. Data
yang
digunakan
dalam
analisis
adalah
Tabel
Input-Output
Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, yang bersumber dari
94 Bappeda dan BPS Kerinci tahun 2006, dengan model Input-Output 40 sektor, dengan keunikannya menempatkan kayu manis sebagai sektor tersendiri dalam struktur perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci. Dengan strukturnya I-O seperti dijelaskan pada Tabel 6. Tabel 6. Struktur Tabel Input-Output Internal Wilayah Output
Input Primer (Nilai Tambah)
Ekspor
Impor
Sektor Produksi dalam Wilayah (input)
Input
Sektor Produksi dalam Wilayah (Permintaan Antara)
Output
Sektor
1
1
X11
X1,2 ... X1,14 ... X1,40 X1,n
F1
E1
M1
X1
2
X2,1
X2,2 ... X2,14 ... X2,40 X2,n
F2
E2
M2
X2
i
...
...
...
...
...
F14
E14 M14
...
...
14 (KM) ...
2
...
j
14 (KM)
... ...
... 40
...
...
n
...
X14 X14,2 ... X14,14 ... X14,40 X14,n ...
...
... ...
...
...
...
Permintaan Akhir dalam wilayah
...
X14 ...
40
X40,1 X40,2 ... X40,14 ... X40,40 X40,n
F40
E40 M40
X40
n
Xn1
Xn2 ... Xn14 ... Xn40 Xnn
Fn
En
Xn
W
W1
W2 ... W14 ... W40 Wn
T
T1
T2 ... T14 ... T40
Tn
...
...
... ... ...
...
Total V
V1
V2 ... V14 ... V40
Vn
X1
X2 ... X14 ... X40
Xn
Total Input
...
...
Keterangan: i,j : sektor ekonomi; KM: Kayu Manis, Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j; Xi : total permintaan akhir sektor i; Xj : total input sektor j; Fn : total permintaan akhir ; Ei : ekspor barang dan jasa sektor i; Wj : upah dan gaji sebagai input sektor j ; Tj : surplus usaha sektor j; Vj : Nilai tambah; dan Xn : Total output.
Mn
PENGELOLAAN SISTEM AGRIBISNIS KOMODITAS KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI Pada bab ini dijelaskan perkembangan pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci yang ditinjau dari aspek penanaman, pemeliharaan, produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan aspek penunjang seperti kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Perkembangan Komoditas Kayu Manis Pembudidayaan Tanaman Hasil pengamatan dalam melihat pengembangan komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci, yang ditinjau dari aspek pembudidayaan tanaman menunjukkan
bahwa
dalam
pengembangannya,
kayu
manis
dominan
dikembangkan dalam bentuk perkebunan rakyat, dengan bentuk pengelolaannya yang masih sangat sederhana. Hal ini sesuai dengan (Disperta Kerinci, 2005) menjelaskan bahwa pengembangan kayu manis yang dilakukan petani di Kabupaten Kerinci cenderung kurang mempedomani teknik pembudidayaan yang sesungguhnya sesuai pedoman pembudidayaan dari dinas pertanian, sesuai dengan hasil wawancara dengan responden, dimana 60% responden menjelaskan bahwa dalam melakukan penanaman petani menggunakan jarak tanam yang tidak beraturan yaitu di bawah 3X3 meter. Menurut BPTRO (2003) jarak tanam yang baik untuk mendapatkan hasil kayu manis yang lebih baik yaitu menggunakan jarak tanam yang berukuran 3x3 meter atau 4x4 meter atau lebih. Kurangnya petani memperhatikan jarak tanam yang sesungguhnya sehingga mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan berada di bawah kualitas optimal. Walaupun secara nasional kualitas kayu manis Kabupaten Kerinci masih berada di atas kualitas rata-rata kayu manis secara nasional. Selain itu dari aspek pemeliharaan tanaman terungkap bahwa 85% responden menjelaskan bahwa dalam pemeliharaan tanaman kayu manis rakyat jarang/kurang dilakukan pemupukan yang cukup. Padahal menurut kajian BPTP (2003) dan Dinas Pertanian Kerinci (2005) menjelaskan bahwa untuk merangsang
96 pertumbuhan tanaman agar dapat tumbuh dengan baik diperlukan pemupukan tanaman yang cukup. Kurangnya pemeliharaan tanaman dari aspek pemupukan, sehingga dapat mempengaruhi rendahnya produktivitas hasil tanaman kayu manis yang dihasilkan. Kondisi tersebut sebagaimana terlihat dari perbandingan produktivitas tanaman kayu manis di Indonesia seperti untuk tahun 2000-2006. Walaupun Kabupaten Kerinci masih memiliki perkembangan yang cukup baik, sebagaimana ditunjukkan memiliki produktivitas produksi/ha untuk lahan tanaman menghasilkan di Kabupaten Kerinci memiliki rasio ton/ha yaitu sebesar 1,45 ton/ha, berada di atas rasio produktivitas nasional yaitu 1,11 ton/ha, dan produktivitas Provinsi Jambi 0,94 ton/ha. Namun apabila dibandingkan dengan standar produksi tanaman secara teoritis dapat menghasilkan 3 ton/ha (BPTP, 2003), sedangkan kondisi eksisting hasil tanaman kayu manis di Kabupaten Kerinci memiliki tingkat produktivitas hasil yaitu 0,94 ton/ha, artinya masih berada di bawah standar yang semestinya sebagaimana dijelaskan pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Kayu Manis Indonesia, Provinsi Jambi, dan Kabupaten Kerinci, Tahun 2000-2006 Wilayah/ Luas Areal dan Produksi Indonesia: Luas Areal (ha) a. Luas TM (ha) b. Produksi (ton) Provinsi Jambi: Luas Areal (ha) a. Luas TM (ha) b. Produksi (ton) Kabupaten Kerinci: Luas Areal (ha) a. Luas TM (ha) b. Produksi (ton)
Tahun 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
128.075
135.572
138.205
138.205
136.577
134.770
134.897
41.425 45.237
43.740 40.635
45.738 45.373
54.352 57.179
82.491 99.465
86.219 100.775
92.976 103.594
60.776
61.769
62.128
62.128
54.630
50.442
54.395
12.274 22.462
12.235 22.240
12.253 32.770
17.153 32.077
26.486 56.025
28.150 69.618
30.356 51.006
50.439
50.769
50.728
50.728
43.453
42.610
42.313
7.674 20.980
8.734 21.100
10.336 32.000
15.432 32.037
20.812 54.651
23.413 65.422
29.199 43.782
Sumber: Ditjenbun dan BPS, 2007.
Dengan demikian dapat diartikan dalam pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, dilihat dari sisi produktivitas tanaman menunjukkan pengembangannya belum menghasilkan nilai yang optimal. Oleh karena itu peningkatannya perlu dilakukan guna memperoleh hasil yang lebih baik. Selanjutnya dari sisi perkembangan luas areal, produksi, dan jumlah petani yang melakukan pengembangan menunjukkan bahwa komoditas
97 kayu manis di Kabupaten Kerinci secara umum dilihat dari rasio hektar/kepala keluarga (ha/kk) dan ton/kk, menunjukkan bahwa perkembangannya cenderung berfluktuatif dengan laju pertumbuhan luas areal dan produksi tahun 2000-2006 seperti dijelaskan pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Laju Pertumbuhan Luas Areal dan Produksi Tanaman Kayu Manis Kabupaten Kerinci, Tahun 2001-2006 Laju Perkembangan Kayu Manis/Tahun Laju Luas Areal % Laju Produksi %
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0.65 0.57
-0.08 51.66
0.12
-14.34 70.59
-1.94 19.71
-0.70 -33.08
Sumber: Data sekunder, diolah, 2008.
Dari Tabel 8 terlihat bahwa laju pertumbuhan luas areal pengembangan kayu manis akhir-akhir cenderung mengalami penurunan. Demikian juga dilihat dari laju pertumbuhan produksi tahun 2001-2006 cenderung mengalami penurunan. Secara visual tren perkembangan luas areal tanaman kayu manis di Kabupaten Kerinci seperti ditunjukkan pada Gambar 9 di bawah ini.
30,000
60,000
25,000
50,000
20,000
40,000
15,000
30,000
10,000
20,000
5,000
10,000 0
19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06
-
Luas Areal (ha)
Petani (jiwa)
Perkembangan Luas Areal dan Jumlah Petani Pengembang Kayu Manis Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006
Petani
Luas Areal
Sumber: data sekunder BPS diolah, 2008 Gambar 9. Perkembangan Luas Areal dan Petani Pengembang Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006. . Dari Gambar 9 terlihat pengembangan dan pemeliharaan kayu manis di Kabupaten Kerinci akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan dari sebaran wilayah pengembangannya seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
98
Keterangan :
Gambar 10. Peta Sebaran Perkebunan Kayu Manis Rakyat Kabupaten Kerinci Dari Gambar 10 terlihat bahwa sebaran pengembangan kayu manis dominan di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Karena wilayahnya berada pada dataran tinggi dan termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), sehingga keberadaannya kayu manis selain berfungsi sebagai tanaman budidaya juga berfungsi sebagai tanaman konservasi, dan mendukung fungsi wilayah Kabupaten Kerinci sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Oleh karena itu keberadaannya perlu mendapat perhatian, baik dari aspek pengembangan budidaya, pengolahan hasil (processing) maupun dari aspek pemasaran dan aspek pendukung lainnya seperti infrastuktur dan kebijakan pemerintah.
99
Pemanenan (Produksi) Dilihat dari perkembangan kayu manis Kabupaten Kerinci periode tahun 1990-2006 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun produksi kayu manis cenderung mengalami peningkatan, walaupun pada tahun 2006 mengalami penurunan, seperti ditunjukkan Gambar 11 di bawah ini.
60,000
70,000
50,000
60,000 50,000
40,000
40,000 30,000 30,000 20,000
20,000
10,000
Produksi (ton)
Luas Areal (ha)
Perkembangan Produksi (ton) dan Luas Areal (ha) Kayu Manis Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006
10,000 0
19 90 19 9 19 1 92 19 93 19 9 19 4 95 19 96 19 97 19 9 19 8 99 20 00 20 0 20 1 02 20 03 20 0 20 4 05 20 06
0
Luas Areal
Produksi
Gambar 11. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006. Dilihat dari sisi produktivitas ha/KK periode tahun 1990-2006 menunjukkan bahwa pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci cenderung berfluktuatif. Sedangkan produktivitas perkebunan kayu manis ton/KK menunjukkan pada tahun 1990-2004 cenderung meningkat, dan periode tahun 2004-2006 mengalami penurunan. Kemudian dilihat dari aspek pemanenan menunjukkan bwha kayu manis rakyat di Kabupaten Kerinci umumnya dilakukan oleh petani cenderung kurang beraturan, terutama dalam waktu panen atau pemilihan usia tanaman, sebagaimana ditunjukkan 65% responden menjelaskan pemanenan komoditas cenderung dilakukan atas pertimbangan kebutuhan keluarga atau rumah tangga petani,
75% responden
menyatakan kecenderungan
masyarakat Kerinci
melakukan pemanenan dengan sistem tebang habis dan kurang beraturan. Dengan demikian sehingga umur tanam yang tepat dan sistem pemanenan yang diajurkan
100 cenderung tidak dilakukan. Konsekuensinya adalah pemanenan komoditas kurang mengikuti standar panen yang semestinya. Menurut BPTP (2003) bahwa untuk mendapatkan hasil komoditas yang baik, proses pemanenannya dapat dilakukan secara bertahap dan dilakukan dengan sistem tebang pilih. Dimana panen tahap pertama dapat dilakukan ketika tanaman berusia 6 tahun bersamaan dengan kegiatan penjarangan tanaman pertama, pemanenan kedua yaitu pada umur 10 tahun juga bersamaan penjarangan kedua, dan setelah itu dapat dilakukan pemanen berikutnya. Secara detil perkembangan produksi kayu manis di Kabupaten. Kurang beraturannya pemanenan kayu manis di Kabupaten Kerinci serta dilakukan dengan sistem panen tebang habis, menurut BPTP (2003) dapat mendorong rusaknya sistem konservasi lahan di daerah tersebut. Dengan sistem pemanenan kayu manis yang kurang mempertimbangkan waktu dan pola pemanenan, sehingga kualitas dan keberlanjutannya menjadi terganggu. Untuk mengetahui gambaran perkembangan agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci berikut dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Perkembangan Luas Areal, Produksi, KK Petani dan Produktivitas Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Periode Tahun 1990-2006. Jumlah Petani Luas Areal Produksi KK (ha) (Ton) 1990 42.874 13.779 17.096 1991 43.518 13.799 17.354 1992 44.410 14.680 17.532 1993 45.753 15.082 18.402 1994 52.036 16.202 22.721 1995 52.564 16.357 23.221 1996 47.124 16.861 22.664 1997 47.127 21.593 23.650 1998 47.385 18.262 16.988 1999 48.736 20.892 16.992 2000 50.439 20.980 17,425 2001 50.769 21.100 19.246 2002 50.728 32.000 25.026 2003 50.728 32.037 20.352 2004 43.453 54.509 13.826 2005 42.610 65.422 17.674 2006 42.313 43.782 13.815 Sumber : BPS dan Disbun Kerinci, 2007 diolah. Tahun
Produktivitas Ha/KK Ton/KK
2.51 2.51 2.53 2.49 2.29 2.26 2.08 1.99 2.79 2.87 2.89 2.64 2.03 2.49 3.14 2.41 3.06
0.81 0.80 0.84 0.82 0.71 0.70 0.74 0.91 1.07 1.23 1.20 1.10 1.28 1.57 3.94 3.70 3.17
101 Adanya kecenderungan pemanenan kayu manis dengan pola sistem tebang habis, dilakukan karena beberapa alasan utama diantaranya karena adanya keterbatasan lahan yang dimiliki petani, sehingga pada kondisi harga komoditas kayu manis kurang menggembirakan, maka lahan kayu manis digunakan untuk melakukan pembudidayaan tanaman lainnya seperti tanaman palawija dan tanaman sayur-sayuran yang dianggap memiliki keuntungan. Dengan demikian sehingga mendorong pilihan pemanenannya dilakukan dengan cara tebang habis, cenderung terus berlangsung. Walupun kondisi tersebut dapat merugikan keberlanjutan sumber pendapatan petani dan sistem agribisnis kayu manis itu sendiri, Untuk mendapatkan produk kayu manis hingga siap jual, di Kabupaten Kerinci, pemanenan dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu dimulai dengan sortiran tanaman, penebangan, pengupasan, pembersihan, penjemuran dan packing serta selanjutnya penjualan, seperti dijelaskan Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Tahapan Pemanenan Kayu Manis Petani di Kabupaten Kerinci No
Tahapan Pemanenan
1.
Adanya tanaman yang akan di panen
2.
Pemanenan tanaman kayu manis (penebangan)
3.
Pengupasan kulit kayu manis.
Proses Pemanenan dan Produk yang dihasilkan
Sumber: data primer diolah, 2008.
Dari tahapan proses pemanenan komoditas kayu manis yang dilakukan petani di Kabupaten Kerinci menunjukkan pemanenan yang dilakukan petani terbukti cenderung tidak dengan sistem tebang pilih, sebagaimana ditunjukkan tanaman yang berumur di bawah 4 tahun ketika dilakukan pemanenan di perkebunan juga ikut dilakukan penebangan. Kondisi tersebut sehingga kualitas produk yang dihasilkan, sulit untuk memenuhi standar mutu (BPTP, 2003).
102 Pengolahan Hasil (Processing) Pengolahan hasil panen yang dilakukan di Kabupaten Kerinci terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya sebagai berikut: pertama kulit kayu manis yang sudah dikupas dilakukan pembersihan. Pembersihan kulit kayu manis dilakukan dengan melakukan pengikisan hingga bersih, dan selanjutnya disimpan selama satu malam pada tempat yang disediakan guna membangkitkan warna dan aroma komoditas. Setelah pengikisan dilakukan dilanjutkan dengan penjemuran. Di tingkat petani dan pedagang Kabupaten Kerinci, penjemuran umumnya dilakukan dengan memanfaatkan terik matahari selama 2-3 hari, dan belum ada yang menggunakan teknologi atau mesin pengeringan. Tahapan proses pengolahan hasil panen yang dilakukan petani dan pedagang di Kabupaten Kerinci ditunjukkan Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Tahapan Pengolahan Hasil Panen Kayu Manis di Kabupaten Kerinci No
Tahapan Prosesing
1.
Pembersihan kulit kayu manis (pengikisan). Untuk kulit batang dilakukan pengikisan, sedangkan kulit cabang dan ranting tidak dilakukan pengikisan.
2.
Penyimpanan sementara, untuk mendapatkan warna komoditas yang lebih kuning dan aroma yang baik.
3.
Penjemuran hasil kikisan dilakukan selama 2-3 hari, hingga kadar air berkisar (17-20%)
4.
Pemisahan grade kulit kayu manis.
8.
Packing/Pengarungan komoditas hingga siap di jual ke pasar
Prosesing
Sumber: data primer diolah, 2008.
Selanjutnya penjemuran yang dilakukan umumnya tidak dilakukan di tempat penjemuran khusus, Dari hasil pengamatan menemukan bahwa dalam
103 penjemuran hasil panen, sebagian dari petani dan pedagang kecil masih melakukan penjemuran di tempat yang kurang didukung aspek kebersihan, seperti masih ditemukan penjemuran di atas tanah tanpa alas. Kondisi tersebut, implikasinya komoditas yang dihasilkan cenderung dihargai rendah oleh pedagang besar, dan eksportir, karena tidak memenuhi standar ekspor. Hal ini sesuai dengan profil cassiavera Kerinci tahun 2001 (Disperta, 2001). Setelah dilakukan penjemuran maka diperoleh kulit yang kering hingga berbentuk gulungan. Kegiatan pengolahan tahap ini biasanya berlangsung di tingkat petani dan pedagang kecil. Selanjutnya setelah dilakukan penjemuran dilakukan pengelompokkan komoditas menurut jenis/grade dan mutu, proses tersebut dilakukan di tingkat petani dan pedagang kecil. Setelah dilakukan penjemuran komoditas, kemudian dilanjutkan dengan proses pengarungan (packing), yang selanjutnya dapat dilakukan penjualan ke pasar atau ke pedagang. Pengolahan hasil panen di tingkat petani dan pedagang kecil, menengah, di di Kabupaten Kerinci umumnya masih berpola tradisional. Selanjutnya hasil pengamatan menunjukkan bahwa aspek kebersihan komoditas dalam pengolahan hasil belum menjadi prioritas utama bagi petani, maupun pedagang di Kabupaten Kerinci. Pada hal komoditas kayu manis merupakan komoditas bahan makanan dan minuman serta bahan obat-obatan, dimana aspek kebersihan merupakan aspek terpenting yang dipertimbangkan dalam penggunaannya. Kurangnya perhatian petani, pedagang kecil, dan menengah terhadap aspek kebersihan komoditas, pada komoditas kayu manis merupakan komoditas bahan makanan dan obat-obatan yang memerlukan kebersihan, sebagaimana Maurice (2004) menjelaskan bahwa kayu manis merupakan jenis tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan,
sementara dalam
melakukan perdagangan internasional
kebersihan komoditas menjadi pertimbangan utama bagi pembeli (buyer), sehingga tanggung jawab peningkatan kebersihan tersebut menjadi tanggung jawab pedagang besar atau eksportir, yang merupakan pelaku usaha yang akan berhubungan langsung dengan pembeli (buyer) di pasar internasional. Implikasi dari tidak dilakukannya semua proses pengolahan di tingkat petani, pedagang kecil dan menengah di Kabupaten Kerinci dengan optimal, proses pengolahan
104 berikutnya harus dilakukan di tingkat pedagang besar dan eksportir yang berada di luar wilayah Kabupaten Kerinci. Terjadinya proses pengolahan yang dominan di luar wilayah, sehingga sebagian besar nilai tambah komoditas diperoleh oleh pedagang dari luar wilayah. Kondisi tersebut juga didorong oleh panjang rantai pemasaran komoditas, sebagaimana dijelaskan (Dispertabun Kerinci, 2001). Padahal proses pengolahan yang dilakukan di luar daerah masih sederhana dan dapat dilakukan di dalam daerah. Dengan demikian sehingga petani dan pedagang di Kabupaten Kerinci harus, merelakan nilai tambah lebih dominan diperoleh oleh pedagang besar atau eksportir yang melakukan tanggung jawab pengolahan komoditas lebih lanjut di luar wilayah. Kondisi tersebut sesuai dengan Adria (2003) menjelaskan bahwa kayu manis dominan dilakukan pengolahan ulang di luar wilayah sebelum dilakukan ekspor. Selain itu dari aspek pengolahan terungkap bahwa petani masih kurang konsisten dengan keinginan pedagang. Implikasi dari kegiatan pengolahan yang tidak dilakukan secara optimal di dalam wilayah, yang semestinya dapat dilakukan oleh petani dan pedagang kecil di Kabupaten Kerinci, namun dilakukan oleh pedagang besar, sehingga harga beli pedagang besar atau harga jual petani dan pedangang Kabupaten Kerinci mengalami tekanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengolahan hasil di tingkat pedagang kecil dan menengah di kabupaten dilakukan masih terbatas dalam bentuk sortasi atau pengelompokkan ulang, guna memisahnya kembali komoditas hasil penjualan dari petani menurut jenis dan grade yang lebih rinci,dan yang selanjutnya dilakukan penjemuran ulang, pengarungan (packing), kemudian siap dijual ke pasar atau ke pedagang besar, serta belum dominan melakukan pengolahan dalam bentuk menjadikan sebuah produk turunan baru. Sedangkan di tingkat pedagang besar dan eksportir di luar Kabupaten Kerinci yaitu seprti di Padang, Jakarta, Medan. Pengolahan hasil dilakukan pertama dalam bentuk sortasi, kemudian melakukan pencucian ulang komoditas, penjemuran ulang, hingga mendapatkan hasil produk akhir (end product) yang siap jual. Pengolahan kayu manis di tingkat eksportir biasanya dilakukan hingga menjadi broken, stick, powder, minyak atsiri. Kegiatan ini dilakukan di tingkat eksportir dan pengusaha besar seperti di Jakarta, Jawa barat dan Sumatera Barat,
105 Medan demikian juga untuk komoditas minyak atsiri, dilakukan oleh pengusaha besar guna untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan pasar. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa pada aspek pengolahan hasil (prosesing), karena pengolahan dominan dilakukan di luar wilayah, sehingga nilai tambah dominan dimanfaatkan oleh wilayah lain. Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah. Tidak optimalnya pendapatan yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, menunjukkan adanya potensi kebocoran wilayah. Terjadinya kebocoran wilayah dalam pengembangan komoditas unggulan daerah, maka dari sisi ekonomi wilayah, kegiatan demikian tentu dapat merugikan pertumbuhan ekonomi wilayah, sebagaimana Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kegiatan yang tidak dapat meningkat pendapatan domestik akibat kebocoran wilayah maka dampaknya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah. Jenis Produk dan Grade Kayu Manis Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam kegiatan pengelolaan kayu manis di Kabupaten Kerinci, di tingkat petani umumnya mengenal tiga grade utama yaitu KA, KB dan KC. Sedangkan di tingkat pedagang grade tersebut dirinci lagi menjadi grade KA,KM, KF,KS,KTP,KB,KC, seperti dijelaskan pada Tabel 9. Grade kayu manis yang diklasifikasikan di Kabupaten Kerinci, seperti grade KM, yaitu kayu manis yang berasal dari kulit batang, dengan ciri-ciri telah dikikis bersih, licin dan berwarna kuning tua, dengan ketebalan kulit berdiameter 3 mm, serta dipanen pada usia 20 tahun lebih. Grade KF yaitu kelompok komoditas kayu manis yang bersumber dari kulit batang yang bercirikan telah dikikis bersih, berwarna kuning tua, dengan ketebalan kulit mencapai 2,5 - 3 mm, serta dipanen pada umur 15-20 tahun, untuk grade KS yaitu grade kayu manis yang bersumber dari kulit batang yang dikikis bersih, dan telah berwarna kuning tua, dengan ketebalan kulit mencapai 2 - 2,5 mm, dan dipanen pada umur 8-15 tahun. Kemudian untuk grade KA, yaitu kayu manis yang bersumber dari kulit batang yang dikikis bersih, dan telah berwarna kuning tua, dengan ketebalan kulit mencapai 1 - 2 mm, dan dipanen pada umur 5-8 tahun. Hasil tersebut sesuai
106 dengan dengan dispertabun (2001), dan profil daerah Kabupaten Kerinci tahun 2006 (BPS Kerinci, 2006). Grade KTP, merupakan grade kulit kayu manis yang bersumber dari kulit dahan dan tidak dikikis, namun bersih, serta sudah berwarna kuning tua kehitaman, dengan ketebalan kulit mencapai 0,75 - 1 mm, dan untuk semua jenis, umur 5-8 tahun. Sedangkan grade KB, yaitu jenis grade kayu manis yang bersumber dari kulit dahan dan tidak dikikis, berwarna kehitam-hitaman, dan kurang bersih, dengan ketebalan kulit mencapai 0,5 – 0,75 mm, untuk semua jenis, umur panen 5-8 tahun. Sedangkan grade KC, merupakan grade kayu manis yang berasal dari kulit ranting dan tidak dikikis, berwarna kehitam-hitaman serta kurang bersih, dengan ketebalan kulit mencapai 0,5 mm. Sedangkan secara umum grade kayu manis yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci ditunjukkan Tabel 12. Tabel 12. Grade/Mutu Kayu Manis yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci No
Mutu
1.
KM
2.
KF
3.
KS
4.
5.
6.
7.
KA
KTP
KB
KC
Jenis Kulit Tanaman kulit batang dikikis bersih, licin,warna kuning tua kulit batang dikikis bersih, bewarna kuning tua kulit batang dikikis bersih, bewarna kuning tua kulit batang dikikis bersih, bewarna kuning tua kulit dahan tidak dikikis, bewarna kuning tua kehitaman kulit dahan tidak dikikis bewarna kehitam-hitaman, kurang bersih kulit ranting tidak dikikis bewarna kehitam-hitaman, kurang bersih
Spesifikasi Komoditas Umur Panen Ketebalan (tahun) Kulit (mm) ≥ 3 mm ≥ 20
≥ 15 - ≤ 20
≥ 2,5 -≤ 3
≥ 8 - ≤ 15
≥ 2-
≥ 5 -
Sumber: data primer dan sekunder diolah, 2008.
≤ 8
2,5
≥1 - ≤ 2 ≤ 0,75- 1
≥ 0,5- ≤ 0,75
≤ 0,5 mm
Gambar Produk
107 Dari grade/jenis komoditas yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci menunjukkan bahwa minimnya produk turunan yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis terlihat prosesing merupakan suatu subsistem yang belum optimalnya bekerja dalam meningkatkan pendapatan petani kayu manis. Implikasinya tentu dapat mempengaruhi perekonomian wilayah.
Struktur Pohon Industri Komoditas Kayu Manis Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari struktur pohon industri komoditas kayu manis, yang dimulai diri penanaman kayu manis, produksi, dan pengolahan hasil, menunjukkan bahwa jenis produk dan grade yang dihasilkan dari proses pemanenan atau produksi komoditas kayu manis, secara umum setelah di panen menghasilkan grade jenis KA atau kulit batang, KB atau kulit dahan, dan KC atau kulit cabang, serta menghasilkan kayu dan ranting. Pada tahap ini proses dilakukan di tingkat petani dan prosesnya berlokasi di perdesaan di Kabupaten Kerinci. Selanjutnya produk yang dihasilkan tersebut diproses kembali atau dirinci/disortir menjadi grade jenis KM, KF, KS, KA, KTP, KB dan KC. Proses ini dilakukan di tingkat pedagang kecil dan menengah berlokasi di Kabupaten Kerinci, dan sebagian kecil dilakukan oleh petani di perdesaan. Adapun stuktur pohon industri komoditas kayu manis secara sederhana dapat dijelaskan seperti Gambar 12.
108
109 Dari Gambar 12 terlihat bahwa proses pengolahan produk turunan selanjutnya setelah diolah di tingkat pedagang perantara dan dijual ke pedagang besar atau eksportir di luar wilayah Kabupaten Kerinci, selanjutnya pada tingkat eksportir diolah menjadi produk turunan seperti powder, stick, cortex, cutting, dan broken. Prosesing untuk produk seperti ini dilakukan di luar Kabupaten Kerinci, seperti dilakukan oleh eksportir di Padang, Jakarta, dan Kerawang (Jawa Barat). Selanjutnya setelah menghasilkan produk jenis tersebut, sebagian ada yang digunakan di dalam negeri, sebagai bahan baku industri farmasi, rokok campuran bahan minuman dan makanan, jamu tradisional, obat-obatan. Sedangkan sebagian besar produk jenis/grade tersebut diekspor ke luar negeri, yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, industri kimia, industri kosmetik, obat-obatan dan bahan baku campuran rokok, dengan prosesnya untuk menghasilkan produk turunan dilakukan di luar negeri. Produk yang dihasilkan di luar negeri tersebut selanjutnya sebagian digunakan oleh rumah tangga, hotel dan restoran, industri farmasi, rumah sakit, industri makanan dan minuman di luar negeri dan sebagian kecil ada yang di impor kembali oleh Indonesia, serta di ekspor ke negara lainnya di dunia, sebagai bahan konsumsi rumah tangga, hotel, restoran, industri farmasi dan kimia, serta rumah sakit, dan sebagainya. Sedangkan kayu, sebagian digunakan di dalam daerah sebagai bahan bagunan dan sebagian lagi digunakan sebagai input industri bangunan dan perabotan yang menghasil plywood. Produk turunan jenis ini prosesingnya dilakukan di luar Daerah Kabupaten Kerinci, dengan produk turunan jenis ini sebagian di ekspor ke luar negeri dan sebagian lagi digunakan di dalam negeri. Selanjutnya untuk produk jenis kayu yang tidak dimanfaatkan digunakan sebagai digunakan oleh rumah tangga sebagai kayu bakar. Kemudian hasil wawancara dengan eksportir di Padang Sumatera Barat, menunjukkan bahwa pengolahan produk kayu manis menjadi produk setengah jadi masih sangat terbatas dilakukan di Padang. Kondisi tersebut dikarenakan pengolahan lebih lanjut lebih dominan dilakukan di Pulau Jawa dan di luar negeri. Relatif terbatasnya prosesing dilakukan di dalam negeri di karena beberapa faktor, diantaranya karena terbatasnya permintaan untuk produk jenis tersebut oleh
110 pembeli (buyer) di luar negeri. Hal ini karena sebagian besar importir (buyer) luar negeri menginginkan produk kayu manis jenis batangan atau produk gelondongan yang belum diolah secara optimal. Padahal dilihat dari penggunaannya, kayu manis merupakan bahan baku obat-obatan (Maurice, 2004). Selanjutnya untuk mengetahui potensi kebocoran wilayah yang terjadi dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis, secara sederhana dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Struktur Kebocoran dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Kabupaten Kerinci Dari Gambar 13 terlihat bahwa potensi kebocoran wilayah dalam pengembangan komoditas kayu manis terlihat untuk subsistem prosesing dan pemasaran hasil merupakan subsistem yang berpeluang besar terjadi kebocoran wilayah. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan jumlah ekspor kayu manis di Kabupaten Kerinci sebesar 152 milyar rupiah (21,23%) dari total ekspor daerah, sedangkan penggunaannya oleh sektor industri pengolahan hanya sebesar
111 (0,11%). Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa kayu manis yang dihasilkan Kabupaten Kerinci secara dominant dalam bentuk produk non olahan (gelondongan). Karena nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan komoditas lebih lebih terbatas. Pada hal komoditas kayu manis merupakan komoditas bahan makanan dan minuman serta bahan baku obat-obatan, yang memiliki produk turunan, dan rantai industri lebih panjang. Artinya dalam konteks agribisnis dan pengembangan ekonomi wilayah, pengelolaan komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci pada subsistem pengolahan hasil, menunjukkan terjadi kebocoran wilayah yang serius. Implikasi dari kebocoran wilayah, disatu sisi dapat mempengaruhi pendapatan petani dan pelaku agribisnis, dan di sisi lain dapat mempengaruhi perekonomian wilayah serta motivasi pengembangan. Karena masyarakat Kabupaten Kerinci merupakan kelompok yang seharusnya dapat berperan dalam pengolahan hasil, sehingga ketika prosesing di dalam wilayah tidak dilakukan, maka berarti masyarakat Kerinci merupakan kelompok yang palin dirugikan dari kebocoran wilayah tersebut. Hal ini karena selain dalam produksi tidak mendapat manfaat atau pendapatan yang optimal, sedangkan produk-produk turunan yang dihasilkan di luar wilayah, dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga yang lebih mahal, seperti dalam bentuk produk obat-obatan (obat batuk, stomach, dan analgetik, dan sebagainya). Namun demikian dalam tataran yang lebih kompleks, dengan kurang diuntungkannya masyarakat/petani dalam sistem agribisnis kayu manis di Kabupaten Kerinci, sehingga dalam jangka panjang semua stokeholders akan mengalami kerugian, seperti dapat mengganggu produktivitas, kualitas dan keberlanjutan komoditas. Tata Niaga dan Pemasaran Kayu Manis Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran adalah lembaga yang berperan sebagai penyalur hasil panen petani hingga sampai ke konsumen. Untuk di Kabupaten Kerinci penyaluran hasil panen kayu manis petani hampir seluruhnya dikelola oleh pedagang swasta, yang merupakan pedagang perantara, yang terdiri dari pedagang desa, kecamatan hingga pedagang perantara kabupaten, atau tergolong sebagai pedagang kecil dan menengah. Selanjutnya dari hasil survei terlihat bahwa secara
112 umum pemasaran kayu manis di Kabupaten Kerinci dilakukan melalui beberapa saluran yaitu melalui pedagang kecil, pedagang menengah, pedagang besar dan eksportir, serta pedagang antar pulau, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12. Sedangkan dilihat dari pilihan saluran pemasaran, terdapat 3 saluran pemasaran yang sering digunakan petani kayu manis di Kabupaten Kerinci yaitu melalui; (1) dari petani sebagai produsen disalurkan ke pedagang kecil yang berkedudukan di desa dan kecamatan, pedagang menengah di kecamatan dan kabupaten, pedagang besar yang berkedudukan di kabupaten dan pedagang eksportir berkedudukan di luar Kabupaten Kerinci seperti di Padang (Sumatera Barat), Jakarta, Kerawang Jawa Barat, Medan, dan selanjutnya ke pedagang antar pulau yang berkedudukan di Pulau Jawa, dan Batam. Selanjutnya (2) saluran dari petani melalui pedagang menengah yang berkedudukan di kecamatan dan kabupaten, kemudian disalurkan ke pedagang besar yang berkedudukan di kabupaten dan luar Kabupaten Kerinci, dan pedagang eksportir yang berkedudukan di Padang, Jakarta, Kerawang Jawa Barat, dan Medan selanjutnya ke pedagang antar pulau yang berkedudukan di Pulau Jawa, dan Batam; (3) saluran dari petani disalurkan ke pedagang besar yang berkedudukan di kabupaten dan pedagang eksportir yang berkedudukan di Padang dan di Jakarta serta wilayah lainnya, seperti ditunjukkan Gambar 14 di bawah ini.
Sumber: Hasil olahan data primer dan sekunder, 2008.
Gambar 14. Saluran Pemasaran Kayu Manis Kabupaten Kerinci
113 Dari hasil analisis menunjukkan bahwa dengan semakin baiknya dukungan transportasi dewasa ini, telah terjadi pergeseran pilihan petani terhadap jenis saluran pemasaran kayu manis, yang sebelumnya lebih dominan melalui pedagang kecil dan menengah yang berkedudukan di desa dan kecamatan yang merupakan pedagang perantara. Namun pada akhir-akhir ini telah terjadi kecenderungan pergeseran pilihan saluran pemasaran yang memilih petani, yaitu dengan memilih dari petani langsung ke pedagang besar yang berhubungan langsung dengan eksportir, atau pedagang antar pulau. Adanya kecenderungan pergeseran pilihan saluran pemasaran tersebut terlihat cukup meningkatkan efisiensi pemasaran dibandingkan dengan saluran pilihan sebelumnya yang lebih dominan melalui pedagang kecil dan menengah. Selain itu dari hasil analisis menunjukkan bahwa petani yang memilih saluran dari petani ke pedagang menengah yang selanjutnya langsung ke eksportir, merupakan saluran yang mulai dominan dipilih petani Kabupaten Kerinci dewasa ini, sebagaimana ditunjukkan 29,33% dari pilihan responden. Kemudian 45,33% responden menyatakan petani masih memilih menjual hasil panennya melalui pedagang kecil dan menengah di desa, dan kecamatan serta 20,00% responden menyatakan petani cenderung memilih pedagang menengah dan besar di kabupaten, dan 5,33% responden menyatakan petani memilih menjual langsung ke eksportir. Selanjutnya dilihat dari mekanisme perdagangan kayu manis yang dilakukan di desa-desa dewasa ini menunjukkan bahwa, petani sebagai produsen dari waktu ke waktu belum banyak berubah, dimana dominasi pedagang kecil, menengah atau pedagang perantara di desa-desa dalam transaksi masih sangat kuat, terutama dalam menentukan mutu produk seperti dalam penentuan kadar air, dan grade komoditas yang dihasilkan petani. Dari hasil wawancara dengan responden terungkap dengan belum adanya standar baku dalam penentuan kadar air ketika terjadi transaksi penjualan komoditas di tingkat petani, sehingga petani berpeluang dirugikan, karena penentuan kadar air komoditas dalam bertransaksi umumnya masih menggunakan filling pedagang pembeli.
114 Margin Tata Niaga Hasil analisis menunjukkan bahwa margin harga kayu manis di tingkat petani terlihat untuk farmer’s share jenis kayu manis grade KA atau kulit batang rata-rata harganya yaitu sebesar yaitu Rp.3.200/kg (61,29%) dari harga jual FOB eksportir tahun 2006, yaitu sebesar Rp. 5.221/kg. Sedangkan marjin biaya yang dikeluarkan oleh pedagang kecil yaitu sebesar Rp.128/Kg, pedagang menengah sebesar Rp.177/Kg. Sedangkan eksportir mengeluarkan biaya hingga siap di ekspor rata-rata sebesar Rp.773/Kg. Sedangkan penyusutan komoditas karena dipengaruhi oleh lag waktu antara pembelian dan penjualan serta adanya upaya peningkatan kualitas produk komoditas, yang semula dari produk asalan menjadi produk yang berstandar internasional atau sesuai standar yang diminta pembeli (buyer), harus ditanggung oleh pedagang/eksportir, seperti ditunjukkan oleh marjin pemasaran pada Tabel 13. Tabel 13. Marjin Pemasaran Komoditas Kayu Manis Kabupaten Kerinci Jenis Produk Grade KA (Harga Rata-Rata) Tahun 2006 No.
1.
Uraian
Harga Petani
Marjin Pemasaran (Rp/Kg) 3,200
Pedagang Kecil a. Harga Beli 3,200 b. Marjin Biaya 128 c. Marjin Keuntungan 180 d. Harga Jual 3,508 Pedagang Menengah dan 3. Besar a. Harga Beli 3,508 b. Marjin Biaya 177 c. Marjin Keuntungan 295 d. Harga Jual 3,980 4. Pedagang / Eksportir a. Harga Beli 3,980 b. Marjin Biaya 773 c. Marjin Keuntungan 468 d. Harga Jual 5,221 Sumber: Hasil olahan data primer dan sekunder, 2008.
Pangsa (%) 61.29
2.
2.45 3.45 67.19
3.39 5.65 76.23
14.8 8.96 100
Bentuk Produk
115 Selain itu penyusutan dikarenakan komoditas kayu manis yang dihasilkan petani rata-rata masih berkualitas rendah dan belum siap untuk diekspor, sebagaimana ditunjukkan dengan kadar air yang masih relatif tinggi yaitu rata-rata 14%, dan kebersihan yang masih kurang baik, sehingga eksportir harus melakukan proses ulang seperti pencucian dan pengeringan serta sortasi dan pengolahan lainnya guna meningkatkan mutu komoditas yang berasal dari petani dan pedagang kecil, agar sesuai dengan standar FAO atau standar yang diinginkan pembeli (buyers) di luar negeri, seperti kadar air maksimal 12%. Dari berbagai saluran tata niaga yang terlibat, terlihat eksportir merupakan kelompok yang menikmati marjin keuntungan yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya, sebagaimana pada Tabel 13, terlihat eksportir memperoleh marjin keuntungan sebesar Rp.468/kg atau 8,96% dari harga jual FOB. sedangkan pedagang pengumpul memperoleh marjin keuntungan sebesar Rp. 295/kg atau 5,65% dan pedagang kecil memperoleh marjin keuntungan sebesar Rp. 180/kg atau 3,45%. Besarnya marjin yang diperoleh pedagang besar dan eksportir, merupakan konsekuensi dari besarnya tanggung jawab pedagang besar/eksportir dalam menghasilkan produk siap ekspor. Dengan demikian terlihat, perbedaan marjin keuntungan masing-masing saluran pemasaran, menunjukkan terjadinya aliran surplus dari petani ke pedagang dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis. Karena petani sebagai penghasil komoditas memperoleh harga jual sebesar Rp.3.200/Kg, Nilai tersebut, diperoleh dengan investasi pemeliharaan selama 5 tahun, harus mengeluarkan biaya pemeliharaan sebesar Rp.1.000,-/Kg, dan biaya pengolahan sebesar Rp.1.000/Kg. Sehingga marjin keuntungan yang diperoleh petani relatif kecil dibandingkan dengan stakholders lainnya dalam tata niaga kayu manis, karena dengan melakukan pengolahan selama 3 minggu, ekportir dapat menikmati hasil atau marjin keuntungan sebesar Rp.468/Kg. Besarnya marjin keuntungan yang diperoleh pedagang dan eksportir terlihat terkait erat dengan struktur pasar yang oligopsoni, dimana eksportir bertindak sebagai price taker dalam perdagangan dengan petani. Selanjutnya dilihat dari hubungan atau ikatan, terlihat eksportir/pedagang besar cenderung melakukan ikatan kontrak terhadap pedagang kecil, dengan cara
116 memberikan sejumlah bantuan modal dalam pemasaran kayu manis. Akibatnya adalah eksportir sebagai principal utama akan bertindak sebagai price maker, dan seterusnya harga tersebut akan menjadi standar bagi rantai tata niaga di bawahnya hingga berpengaruh pada penentuan harga beli di tingkat petani. Kemudian hasil analisis menunjukkan bahwa masing-masing rantai pemasaran terlihat saling memaksimalkan olygopsony rent-nya. Sedangkan petani kayu manis cenderung menerima harga jual dan bagian profit margin yang lebih rendah. Rendahnya harga kayu manis bersamaan makin mahalnya kebutuhan input produksi terutama input primer, sehingga dalam jangka pendek kegiatan perkebunan kayu manis rakyat di Kabupaten Kerinci cenderung kurang berkembang. Pada hal masyarakat memiliki potensi untuk melakukan peningkatan dan pengembangannya guna meningkatkan kesejahteraan. Selain itu adanya fluktuasi harga kayu manis merupakan fenomena yang cenderung dihadapi petani, namun apabila dilihat dari kondisi pasar, dimana perubahan supply-demand yang fundamental di pasar kayu manis internasional terlihat tidak mempengaruhi perubahan produksi di negara-negara produsen lainnya. Dengan demikian maka terlihat kecenderungan terjadinya kolusi dan kartel terselubung guna menghindari persaingan antar pembeli semakin terlihat. Sedangkan kondisi di tingkat petani terlihat dengan wadah organisasi yang lemah dan hilang timbul sehingga bargaining position petani semakin lemah di depan pedagang. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kondisi petani sebagai produsen berhadapan secara individual dengan pembeli yang telah terorganisir dengan baik. Dalam kondisi demikian maka terlihat eksportir/pedagang besar sebagai pembeli menjadi sangat dominan dalam bargaining process (Dispertabun, 2006). Dalam tingkatan yang lebih tinggi, mayoritas pedagang kayu manis di Kabupaten Kerinci melakukan hubungan berkarakterisitik principal-agent dalam bentuk ikatan jasa, permodalan dan pemasaran dengan traders di Padang. Sedangkan traders di Padang bertindak sebagai principal, sekaligus price maker, demikian seterusnya hingga ke tingkat terbawah pada pedagang pengumpul. Berbeda dengan banyak komoditas perkebunan lainnya, kayu manis memiliki spesifikasi tersendiri, diantaranya komoditas kayu manis merupakan komoditas
117 ekspor dengan penggunaan domestik yang masih relatif rendah. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis integrasi pasar, yaitu antara pasar di tingkat petani dengan pasar eksportir. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga jual di tingkat petani dipengaruhi oleh tidak terintegrasinya harga dengan pasar yang lebih tinggi. Kondisi tersebut, selain dipengaruhi oleh dominannya peran pedagang perantara, juga karena struktur pasar oligopsoni, dan memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Kenyataannya lemahnya posisi tawar ini menyebabkan petani lebih bertindak sebagai penerima harga (price taker), sedangkan eksportir yang merupakan agent, bertindak sebagai penentu harga (price maker). Dengan demikian, maka dalam memaksimalkan keuntungan, terlihat pada setiap perubahan harga yang terjadi tidak serta merta ditransmisikan ke tingkat petani. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa keberdayaan saluran tata niaga kayu manis yang ada saat ini mencerminkan bahwa posisi petani dalam pemasaran tidak memiliki kekuatan, sehingga mereka terpaksa untuk mengikuti jalur pemasaran tradisional yang cenderung merugikan petani. Sedangkan secara umum saluran tata niaga selalu dimulai dari petani hingga eksportir. Dengan kemampuan finansial yang baik, pedagang pengumpul membayar secara tunai setiap melakukan transaksi, baik dengan pedagang desa maupun dengan petani. Selanjutnya eksportir yang berkedudukan di Padang, Jakarta, Jawa Barat dan Medan, berhubungan dengan pedagang pengumpul, sedangkan eksportir akan berhubungan dengan pasar internasional. Dengan demikian terlihat bahwa secara umum pedagang pengumpul dan perantara (pedagang kecil, menengah) terikat pemasaran dengan pedagang besar/ eksportir. Dengan demikian maka pada tingkat yang lebih tinggi hingga lintas negara, kayu manis Kerinci dipasarkan ke Padang, dimana mayoritas eksportir merupakan agent-agent dari para traders di Padang terlihat memiliki ikatan. Dengan sistematika perdagangan seperti tersebut akhirnya Padang menjadi tujuan utama ekspor kayu manis Kabupaten Kerinci, walaupun akhir-akhir ini sebagian pemasaran kayu manis Kerinci sudah melalui Jakarta, Jawa Barat dan Medan Sumatera Utara, Tanjung Jabung (Jambi).
118 Kelembagaan Usaha Tani Kayu Manis Peranan Kelembagaan Peranan kelembagaan petani yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu dibatasi pada aspek pengaturan-pengaturan institusional dan organisasi petani, sebagai institusi yang diperlukan guna memperkuat posisi petani dalam pengembangan
sektor
pertanian
kayu
manis
di
Kabupaten
Kerinci.
Mengorganisasikan petani kayu manis dalam bentuk kelompok-kelompok yang solid merupakan suatu upaya untuk mengurangi biaya-biaya transaksi serta memperkuat akses petani terhadap pasar sarana produksi seperti pasar input dan juga pasar output. Peran kelembagaan selain memperbaiki kekuatan tawarmenawar dan negosiasi petani dengan pedagang (pedagang pengumpul/eksportir), juga diharapkan dapat memperkuat dirinya dalam membangun kerjasama dan koordinasi antar petani dalam pengembangan usaha tani kayu manis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelembagaan petani cenderung tergabung dalam kelompok yang memiliki kelembagaan yang lemah dan sebagian besar masih merupakan alat penetrasi pemerintah, terutama dalam melaksanakan program pertanian, sehingga kelembagaan petani cenderung hilang timbul tidak berkembang dengan baik. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan hasil wawancara dengan petugas pertanian yang membidangi perkebunan kayu manis, menjelaskan bahwa kelompok tani kayu manis merupakan salah satu kelembagaan petani yang perkembangannya sudah pernah dibentuk, namun umumnya tidak berfungsi dengan baik. Selain itu dari hasil wawancara dengan petani terungkap bahwa kelembagaan petani yang pernah dibentuk, secara umum hanya berfungsi pada saat ada bantuan atau kegiatan proyek dari pemerintah. Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa kelembagaan petani belum mandiri. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa berbagai permasalahan yang mendorong kurang berfugsinya kelembagaan petani, seperti KUD dan kelompok tani, karena umumnya lembaga tersebut sejak dari pembentukan terlihat sudah tidak berdasarkan atas kebutuhan petani, dan cenderung berdasarkan sekelompok kecil petani. Sehingga dalam perkembangan kelembagaan tersebut menjadi kurang efektif (Dispertabun, 2006).
119 Dalam posisi kayu manis Kabupaten Kerinci yang mendominasi kayu manis Indonesia dan berperan di pasar dunia, semestinya petani kayu manis Kerinci sudah membentuk organisasi petani yang kuat, sehingga dapat membantu memperbaiki kondisi pertanian kayu manis yang kian terpuruk. Kondisi tersebut sebagaimana ditunjukkan dari hasil wawancara dengan pejabat Pemda Kerinci yang membidangi pertanian kayu manis, menjelaskan bahwa belum mampunya KUD memperbaiki kondisi tata niaga kayu manis, seperti koperasi lainnya di Indonesia, karena dalam pengembagan sebagian besar masih merupakan bentukan sekelompok kecil orang/anggota masyarakat/petani yang berada di perdesaan, dengan kondisi manajemen yang kurang dipersiapkan. Implikasinya KUD yang merupakan salah bentuk kelembagaan yang diharapkan mampu meningkatkan peran usaha tani kayu manis, ternyata tidak mampu mensejahterakan anggotanya serta memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan petani kecil di perdesaan, dan pada akhirnya kondisi tersebut tidak memberi insentif bagi petani, untuk bergabung dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Adanya kemauan pemerintah untuk merevitalisasi sektor pertanian, dan tumbuhnya berbagai lembaga baru seperti dibentuknya Direktorat Jenderal Perkebunan Tanaman Obat dan Rempah-Rempah di Departamen Pertanian serta berkembangnya asosiasi dan lembaga yang memperhatikan komoditas kayu manis, seperti lembaga Masyarakat Rempah Indonesia (MARI) dan Dewan Rempah Indonesia (DRI), diharapkan masa yang akan datang perhatian terhadap pengembangan komoditas kayu manis semakin meningkat. Walaupun sampai penelitian ini dilakukan petani belum merasakan adanya perbaikan dalam mengatasi persoalan dalam pengembangan komoditas kayu manis, khususnya bagi petani kayu manis di Kabupaten Kerinci. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada hakekatnya petani di perdesaan masih berharap perbaikan peran KUD dan kelompok tani sebagai organisasi yang dapat mendukung pertanian di perdesaan. Namun demikian dari hasil analisis terungkap hanya 5% petani kayu manis di Kabupaten Kerinci yang tercatat sebagai anggota KUD, dan sekitar 15% yang menggabungkan diri sebagai anggota kelompok tani kayu manis (Dispertabun, 2006).
120 Selanjutnya hasil analisis menunjukkan bahwa kurangnya minat petani untuk bergabung dengan lembaga KUD, karena petani melihat adanya persoalan besar dalam KUD dan kelompok tani serta organisasi sejenis, seperti belum mampunya KUD memberikan manfaat dan keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan anggotanya. Hal ini karena pengelolaannya belum didukung secara profesional serta organisasi yang dibentuk masih bersifat kepentingan sesaat serta dibentuk oleh sekelompok kecil anggota dan cenderung hanya diperuntukkan untuk menjalankan program-program yang telah ditentukan pemerintah. Dengan demikian sehingga anggotanya tidak memiliki sense of belonging dalam organisasi tersebut. Implikasinya organisasi seperti KUD tidak berkembang dengan baik di masyarakat.
Kelembagaan dan Sistem Kontrak Dalam pengembangan ekonomi kayu manis, bentuk kontrak akan menentukan pembagian pangsa keuntungan (profit share) yang diperoleh petani, informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat kesejahteraan para petani kayu manis di pedesaan dibandingkan pangsa yang diperoleh para agents lainnya seperti pedagang pengumpul. Informasi-informasi tentang sistem kontrak pertanian akan membantu menjelaskan kinerja pengembangan ekonomi kayu manis dalam konteks agribisnis yang ditinjau dari sudut kelembagaan ekonomi perdesaan. Baik yang berdasarkan pada tradisi norma-norma sosial,
maupun sistem agribisnis lanjutan, hingga aspek
perdagangan komoditas dalam cakupan pasar internasional. Informasi tersebut dapat memperkuat deteksi terhadap kondisi dan permasalahan yang dihadapi para petani kecil yang berkemampuan lemah dalam sistem kontrak yang terjadi serta dalam penentuan tingkat pendapatan petani. Karena sistem kontrak tradisional berlangsung dalam pengembangan usaha tani kayu manis sehingga kontrak antara pelaku pasar terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti terjadi di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, nasional, bahkan lintas negara. Sedangkan ditingkat farm gate, dalam pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, kontrak pertanian dilakukan melalui kredit pendahuluan melalui keterlibatkan petani dengan pedagang pengumpul yang berkedudukan di
121 desa atau di luar desa atau wilayah kecamatannya. Kontrak ini umumnya dilakukan berupa kredit input seperti sarana produksi dan juga dalam bentuk kebutuhan sembako. Sedangkan dalam kontrak pemasaran, pedagang pengumpul juga menjalin ikatan dengan pedagang desa melalui kredit modal. Terjadinya kondisi demikian menurut Anwar (2004) dari aspek kelembagaan, permodalan petani dapat didukung melalui usaha kredit mikro di perdesaan serta dapat dilakukan dengan meningkatkan kontrak permodalan dengan pedagang. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, pedagang pengumpul juga ada yang melakukan ikatan kontrak pemasaran melalui ikatan permodalan dengan eksportir yang berkedudukan di luar Kabupaten Kerinci seperti dengan pedagang di Padang. Kondisi tersebut hanya dalam bentuk langganan penjualan, bukan dalam bentuk kontrak, seperti dalam memenuhi kuota perdagangan. Umum pedagang Kerinci tidak melakukan kontrak penjualan dengan pedagang yang lebih besar. Sedangkan pada tingkatan terakhir terlihat eksportir melakukan ikatan kontrak pemasaran dan permodalan dengan para traders di luar negeri. Dari kondisi tersebut jelas bahwa pihak petani, dan pedagang di daerah memiliki posisi yang lebih
dalam
perdagangan
komoditas,
yang
akhirnya
mempengaruhi
pendapatannya. Pelaksanaan kontrak pertanian untuk komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci terlihat pada tingkat petani dan pedagang kayu manis dilakukan umumnya berupa kredit untuk mendukung kebutuhan harian petani. Jenis kredit tersebut seperti kredit input produksi dan sembako. Input produksi yang banyak dijadikan jasa kredit adalah berbentuk kebutuhan sembako serta kredit berupa input produksi. Kontrak pertanian yang sering dipraktekkan di tingkat petani kayu manis di Kabupaten Kerinci terlihat hanya dalam input seperti bentuk sembako dalam paket kreditnya bahan makanan lainnya. Hubungan Principal-Agent dan Standarisasi Hubungan principal-agent dalam kegiatan perdagangan komoditas kayu manis pada level kecil yaitu ditunjukkan pada hubungan antara pedagang pengumpul yang menguasai pasar yang bertindak sebagai principal. Sedangkan petani kayu manis merupakan pihak yang menerima bantuan bertindak sebagai
122 agents. Dalam konteks pengembangan komoditas kayu manis principal-agent cenderung melakukan ikatan kerjasama informal yang disebut dengan kontrak pertanian. Dalam kegiatanya principal cenderung beraksi dengan memberikan kredit bantuan pendahuluan berupa natura dan sembako kepada agent. Sedangkan agent berkewajiban mengembalikan kredit pada principal. Pengembalian kredit biasanya dilakukan pada saat panen atau setelah penjualan hasil panennya dengan memiliki ikatan pada principal. Bentuk sistem kerjasama seperti ini terlihat masih terjadi di sebagian kalangan petani kayu manis di Kabupaten Kerinci. Terdapat dua jenis informasi dalam hubungan principal-agent pada pengembangan komoditas kayu manis. Informasi pertama adalah tentang perilaku petani sebagai agent, baik yang berhubungan dengan karakter maupun dengan kemampuan. Informasi kedua berhubungan dengan perilaku pasar yang bisa berubah dengan sangat dinamis. Dalam konteks informasi tentang perilaku dan kemampuan agent umumnya terjadi informasi asimetryc, dimana petani sebagai agent akan lebih tahu informasi yang menyangkut karakter dan kemampuan diri sendiri. Sebaliknya principal dalam memilih petani sering menghadapi kesulitan, karena kesalahan dalam menilai karakter dan kemampuan, dapat menciptakan kerugian. Hal ini sesuai dengan Anwar (2004), bahwa resiko dapat terjadi ketika kesalahan dalam memilih penerima kontrak, sehingga akan timbul fenomena yang disebut adversely selection of risk, yaitu kemungkinan kesalahan dalam menyeleksi petani yang beresiko tinggi dalam kegiatan kontrak pertanian. Namun terjadi informasi asimetris, terlihat pedagang dan khususnya eksportir khususnya sebagai principal terlihat cenderung bertindak sebagai penguasa informasi, sebaliknya petani sebagai agent cenderung kesulitan mendapatkan informasi pasar yang sebenarnya. Pada hal informasi pasar sangat penting bagi petani kayu manis, terutama informasi mengenai perubahan harga. Kondisi tersebut dibuktikan oleh tidak terintegrasinya harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir. Dengan berkembangnya media masa, sebenarnya persoalan informasi harga pada level yang lebih tinggi tidak menjadi kendala yang berarti bagi petani, karena secara umum informasi harga dapat diperoleh melalui berbagai media dan alat komunikasi. Namun pada tingkat pasar yang lebih rendah seperti pada tingkat pedagang pengumpul di daerah sulit untuk diketahui perubahannya terutama
123 berkaitan dengan harga pada tingkat eksportir atau pasar dunia. Persoalan kemudian berlanjut karena petani tidak mampu memperbaiki posisi tawar terhadap pembeli, walaupun informasi harga mudah diperoleh. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh lemahnya kelembagaan petani. Dengan struktur pasar yang oligopsoni maka petani terlihat kesulitan untuk meningkat posisi tawarnya terhadap pedagang di padang. Sedangkan untuk posisi pedagang di padang dengan pedagang luar negeri posisi pasar berbentuk monopoli/monopsoni, dimana harga ditentukan oleh traders luar negeri. Hasil analisis tersebut sesuai dengan Anwar, (2004) menjelaskan hubungan pedagang kayu manis Padang dan Amerika Serikat berbentuk monopoli/monopsosni. Dalam kondisi tersebut terlihat petani kayu manis di Kabupaten Kerinci tidak siap dengan kelembagaan yang kuat, dan hanya bertindak sebagai price taker. Kondisi tersebut mendorong rendahnya posisi tawar petani terhadap pedagang. Karena siklus posisi tawar yang rendah yang berdampak pada rendahnya pendapatan petani dalam kegiatan agribisnis komoditas kayu manis rakyat dan berlangsung secara terus menerus sehingga petani tidak mendapatkan insentif untuk melakukan grading atau standarisasi mutu komoditas kayu manis ke tingkat yang lebih baik. Karena permintaan pasar dunia cenderung mendorong peningkatan atau perbaikan mutu (grading) yang lebih baik. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap peningkatan pilihan ketentuan mutu dan standarisasi kayu manis yang lebih ketat. Dengan demikian grading dan standarisasi akan memainkan peranan penting dalam pemasaran komoditas. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun aturan main tentang grading dan standarisasi internasional sudah jelas, tetapi karena petani kayu manis tidak mendapatkan insentif untuk memperbaiki mutu, karena dengan posisi tawar yang rendah serta struktur pasar yang oligopsoni. sehingga walaupun mutu kayu manis yang dihasilkan menurut petani sudah dinilai baik, namun dihadapan pedagang, komoditas tersebut dapat saja dihargai kurang baik oleh pedagang pengumpul. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan bahwa pasar Amerika Serikat dan Belanda serta negara lainnya yang merupakan konsumen utama kayu manis Indonesia cenderung membutuhkan kayu manis dengan kualitas tinggi. Sedangkan pada tingkat pedagang besar/ekspor cenderung melakukan permintaan
124 kayu manis dalam bentuk non olahan, dan akan dilakukannya pengolahan ulung di tingkat eksportir, terutama dalam memenuhi standar ekspor dan permintaan pasar luar negeri. Dengan demikian sehingga produk turunan yang dihasilkan daerah kurangnya berkembang, dan akhirnya nilai tambah yang dapat diperoleh daerah dari tahun ke tahun menjadi relatif stagnan. Kebijakan Pemerintah Daerah Sebagai faktor penunjang dalam pengembangan sistem agribisnis komoditas kayu manis, peran kebijakan pemerintah sangat diperlukan, baik dari sisi pemerintah
daerah
maupun
pemerintah
pusat,
terutama
dalam
upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan pemerintah baik dari sisi on farm maupun off farm terlihat terus diupayakan baik yang berasal dari program pemerintah pusat maupun dari program Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci sendiri. Namun hasil yang dicapai terlihat belum sepenuhnya menggembirakan petani. Berbagai kebijakan yang dilakukan pada sisi off farm seperti mendorong pengembangan kelembagaan dan permodalan petani melalui program pengembangan koperasi petani di tingkat perdesaan yang berbentuk Koperasi Unit Desa (KUD) terlihat terus dilakukan, terutama ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Namun kenyataannya program tersebut belum mampu berperan dengan baik sebagai wadah penguatan kelembagaan petani, hal ini karena secara kelembagaan pembentukan KUD umumnya belum didasarkan pada kepentingan anggota dan didukung oleh ketersedian sumberdaya manusia yang memadai, sehingga dalam pelaksanaannya cenderung mengalami pasang naik dan pasang surut. Kemudian dari sisi on farm dan pengolahan hasil komoditas, terlihat pemerintah daerah telah berupaya untuk meningkatkan pengolahan hasil seperti upaya menjadi kayu manis sebagai produk olahan daerah seperti menjadi Sirup Kayu Manis dan lain sebagainya. Walaupun upaya pengembangan terus dilakukan namun hasilnya belum optimal. Kondisi tersebut karena dipengaruhi oleh persoalan pemasaran yang masih sangat terbatas. Selain itu dari aspek pengembangan dan budidaya terlihat walaupun kayu manis sebagai komoditi dominan di daerah, namun pengelolaan dalam sistem
125 pemanenan komoditas masih menghadapi persoalan seperti dengan sistem tebang habis. Kondisi tersebut terjadi karena adanya tekanan harga yang belum mengembirakan petani akibat dari inefisiensi dalam pemasaran dan pengolahan. Sedangkan upaya penanganan persoalan dalam pengembangan komoditas kayu manis melalui peningkatan kerjasama perdagangan antar wilayah dan antar negara yang terlihat belum dilakukan secara optimal. Bahkan hingga penelitian ini dilakukan kondisi sistem pemasaran hasil komoditas kayu manis tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Demikian juga dari sisi pengolahan hasil terlihat masih kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah, terutama dalam mendorong diversifikasi produk dan upaya memproteksi kayu manis petani seperti dalam menetralisir harga, karena saat ini sistem pemasarannya masih sepenuhnya berpola monopoli/monopsoni. Dengan demikian memperkuat posisi petani dengan membentuk organisasi yang memiliki daya tawar tinggi, dan meningkatkan daya saing agar komoditas yang dihasilkan petani mampu di ekspor dengan harga yang lebih baik tentu perlu menjadi pertimbangan untuk didorong peningkatannya. Oleh karena itu apabila pemerintah bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas bersamaan dengan meningkatkan pendapatan petani, maka ke depan perlu dilakukan pengutan kelembagaan petani, melakukan kerjasama dan membangun pusat informasi komoditi, terutama guna menekan tingkat asimetrik informasi yang merupakan persoalan dalam pemasaran. Selain itu dari sisi ekonomi organisasi terlihat kegagalan program-program pemerintah di perdesaan dipengaruhi oleh faktor-faktor kelembagaan di perdesaan yang tidak sesuai dengan konsep competitive yang mengasumsikan adanya perpect information yang costless dalam pasar finansial pedesaan yang selalu dihadapkan pada banyaknya masalah inperpect information. Rangkuman Hasil Analisis Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perkembangan sistem agribisnis komoditas kayu manis di Kabupaten Kerinci terlihat belum efektif sebagaimana ditunjukkan dalam kegiatan pembudidayaannya masih kurang menggunakan pendekatan teknologi, pemeliharaan dan pemanenan cenderung
126 kurang beraturan, dan pengelolaannya akhir-akhir ini cenderung dilakukan dengan sistem tebang habis. Kemudian pada subsistem pengolahan (processing), menunjukkan bahwa komoditas kayu manis yang diolah di Kabupaten Kerinci, setelah dilakukan pemanenan,
pengolahannya untuk
menghasilkan produk turunan
belum
berkembang. Dengan kata lain processing masih terbatas atau dominan dilakukan di luar wilayah. Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah dan sistem agribisnis terlihat pada subsistem processing dan pemasaran hasil menunjukkan pengelolaannya
berpotensi mengalami kebocoran wilayah. Kondisi tersebut
sebagaimana ditunjukkan dominannya processing dilakukan di luar wilayah dan hanya diolah di dalam wilayah sebesar 0,11% dari nilai output total. Dengan demikian sehingga nilai tambah komoditas yang dihasilkan relatif kecil. Kecilnya nilai tambah yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan agribisnis sehingga dalam upaya meningkatkan pendapatan patani cenderung mengalami kerugian. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa persoalan utama dalam pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat di Kabuaten Kerinci diantaranya adalah dominannya kegiatan pengolahan (processing) dan beberapa fungsi pemasaran lainnya dominan dilakukan di luar wilayah serta tidak efisiennya sistem pemasaran, lemahnya dukungan kelembagaan sehingga mendorong rendahnya harga di tingkat petani dan pada gilirannya mengurangi insentif petani untuk melakukan pengembangan komoditas, baik dalam aspek pembudidayaan maupun dalam pengolahan hasil. Selain itu belum optimalnya fungsi kelembagaan dan faktor penunjang seperti dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong pengembangan komoditas seperti ditunjukkan belum adanya badan khusus yang memperhatikan keberadaan komoditas kayu manis yang merupakan komoditas dominan dan andalan ekspor daerah, serta belum adanya kerjasama antar wilayah yang optimal terutama dalam aspek hubungan perdagangan komoditas yang dapat saling menguntungkan. Demikian juga dari aspek pemasaran terlihat petani menghadapi persoalan
asimetrik
informasi
terutama
terhadap
informasi
harga
dan
perkembangan supply dan demand di pasar yang lebih tinggi. Sehingga pelaku agribisnis kayu manis Kabupaten Kerinci cenderung terjebak pada kondisi over
127 supply dan rendahnya harga komoditas dalam kondisi membaiknya harga komoditas di pasar internasional. Kondisi tersebut juga memberi dampak terhadap rendahnya pendapatan dan kesejahteraan petani serta perekonomian wilayah, yang akhirnya mempengaruhi lesunya pengembangan komoditas, baik dari aspek pengolahan maupun pemasaran. Selanjutnya kayu manis sebagai bahan baku dan campuran bahan makanan, minuman, obat-obatan, rokok dan kosmetik, dengan penggunaannya yang cenderung terus meningkat, namun karena petani cenderung menghadapi asimetrik informasi sehingga manfaat yang diperoleh tidak optimal, terutama dalam meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian, berlangsungnya globalisasi perdagangan dan terbukanya peluang pemasaran yang lebih luas maka melakukan kerjasama perdagangan yang lebih luas ke negara lainnya atau ke wilayah lainnya dengan prinsip saling menguntungkan, melalui kemitraan dan melakukan kontrak perdagangan serta membangun informasi komoditi yang baik perlu dilakukan. Hasil analisis pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis menunjukkan bahwa pada subsistem processing dan pemasaran belum berfungsi secara optimal terutama dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk meningkatkan peran pengolahan hasil (processing) dan pemasaran, maka ke depan perlu dilakukan (1) kerjasama antar daerah/negara dengan prinsip saling menguntungkan; (2) memperkuat kelembagaan petani di daerah serta perlu mengintegrasikan kegiatan tersebut dengan penggunaan teknologi; (3) mendorong pengembangan budidaya dengan sistem pemeliharaan dan pemanenan melalui pola tebang pilih, dan (4) mengintegrasikan kegiatan budidaya dengan kegiatan agroindustri processing, sehingga nilai tambah komoditas dapat dimanfaatkan bagi peningkatkan pendapatan, kesejahteraan masyarakat, serta perekonomian wilayah.
INTEGRASI HARGA, DAYA SAING EKSPOR DAN PERMINTAAN KAYU MANIS
Pada bab ini akan dijelaskan posisi dan prospek pemasaran komoditas kayu manis Indonesia ditinjau dari aspek integrasi harga, daya saing ekspor dan permintaannya. Perkembangan Ekspor Kayu Manis Indonesia Indonesia merupakan produsen sekaligus pengekspor kayu manis terbesar dunia dewasa ini, dengan pesaingnya yaitu China, Sri Lanka dan Vietnam serta negara lainnya atau Rest Of the World (ROW). Tujuan utama ekspor kayu manis Indonesia yaitu Amerika Serikat, Belanda, Jerman, India dan negara lainnya. Untuk mengetahui perkembangan volume dan pangsa ekspor kayu manis Indonesia di beberapa pasar utama dunia, pada Tabel 14 dapat ditunjukkan perkembangan volume dan pangsa ekspor kayu manis Indonesia periode tahun 1986-2006 sebagai berikut. Tabel 14. Perkembangan Volume dan Pangsa Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Periode Tahun 1986-2006. Negara Tujuan US India Meksiko Belanda Jerman ROW Total
1986-1989 39.996 45 560 4.631 9 16.052 63.284
1986-1989 US 63.20 India 0.07 Meksiko 0.88 Belanda 7.32 Jerman 0.01 ROW 25.37 Total 100.00 Sumber: data sekunder diolah, 2008.
Volume Ekspor Indonesia (ton) 1990-1997 1998-2006 105.129 123.432 954 4.705 7 772 15.449 36.778 7.480 9.737 27.594 128.994 156.613 302.427 Pangsa (%) 1990-1997 1998-2006 67.13 40.81 0.61 1.56 0.00 0.26 9.86 12.16 4.78 3.22 17.62 42.65 100.00 100.00
1986-2006 268.557 5.704 1.339 56.858 17.226 172.640 522.324 1986-2006 51.42 1.09 0.26 10.89 3.30 33.05 100.00
Dari Tabel 14 di atas terlihat bahwa volume ekspor kayu manis Indonesia periode 1986-1989, yaitu sebesar 63 ribu ton, kemudian pada periode 1990-1997
129 sebesar 157 ribu ton, periode 1998-2006 sebesar 302 ribu ton, serta secara keseluruhan ekspor kayu manis Indonesia periode 1986-2006 yaitu sebesar 522 ribu ton. Dari perkembangan volume ekspor kayu manis Indonesia tersebut terlihat bahwa pada periode tahun 1986-2006 negara utama yang menjadi tujuan ekspor kayu manis Indonesia yaitu Amerika Serikat, dengan volume ekspor yaitu sebesar 268 ribu ton (51,42%) dari total ekspor kayu manis Indonesia. Sedangkan pada periode tahun 1986-1989 Indonesia mengekspor ke Amerika Serikat sebesar 40 ribu ton (63,20%), periode tahun 1990-1997 sebesar 105 ribu ton (67,13%), dan pada periode tahun 1998-2006 ekspornya sebesar 123 ribu ton (40,81%). Selain ditujukan ke pasar Amerika Serikat, kayu manis Indonesia di ekspor ke pasar Belanda, seperti terlihat pada periode tahun 1986-2006, jumlah ekspor kayu manis Indonesia ke pasar Belanda yaitu sebesar 57 ribu ton (10,89%). Selanjutnya pada periode tahun 1986-1989 ekspor kayu manis Indonesia ke pasar Belanda yaitu sebesar 5 ribu ton (7,32%), periode tahun 1990-1997 sebesar 15 ribu ton (9,86%), dan pada periode tahun 1998-2006 sebesar 37 ribu ton (12,16%). Sedangkan jumlah ekspor kayu manis Indonesia yang ditujukan ke negara lainnya seperti ke pasar Jerman yaitu untuk periode tahun 1986-2006 yaitu sebesar 17 ribu ton (3,3%), ke pasar India sebesar 5,7 ribu ton (1,1%), dan ke pasar Meksiko sebesar 1,3 ribu ton (0,26%). Pada periode tahun 1986-2006 jumlah ekspor kayu manis Indonesia ke negara lain yaitu sebesar 173 ribu ton (33,05%), periode 1986-1989 sebesar 16 ribu ton (25,37%), periode tahun 19901997 sebesar 28 ribu ton (17,62%), dan periode tahun 1998-2006 yaitu sebesar 129 ribu ton (42,65%). Dari perkembangan ekspor kayu manis internasional periode tahun 19862006, menunjukkan bahwa kayu manis Indonesia dominan ditujukan ke pasar Amerika Serikat dan Belanda. Dengan tren pertumbuhan ekspor kayu manis Indonesia periode tahun 1986-2006 terlihat cenderung berfluktuatif seperti pada tahun 1986-1990 pertumbuhannya mengalami peningkatan, pada tahun 19911994 mengalami penurunan dan pada tahun 1996-1997 (sebelum krisis) pertumbuhan cenderung mengalami peningkatan. Namun ketika krisis tahun 1997 volume ekspor kayu manis Indonesia terlihat turun kembali hingga tahun 2000. Kemudian tahun 2001-2006 tren pertumbuhannya cenderung berfluktuatif,
130 dimana tahun 2001-2002 cenderung mengalami peningkatan dan turun kembali pada tahun 2003, serta meningkat kembali pada tahun 2004, selanjutnya turun kembali pada tahun 2005, dan stagnan pada tahun 2006, seperti ditunjukkan Gambar 15 di bawah ini 40.00 30.00 20.00
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
(10.00)
1988
1987
Persentase
10.00
(20.00) (30.00) Laju Pertumbuhan Ekspor
(40.00) (50.00)
Sumber: data sekunder diolah , 2008. Gambar 15. Laju Pertumbuhan Ekspor Kayu Manis Indonesia Periode 1986-2006. Berfluktuatifnya laju pertumbuhan ekspor kayu manis Indonesia sehingga untuk prospek ekspor kayu manis Indonesia masa yang akan datang menjadi sangat penting untuk diperhitungkan, teruatama dalam upaya pengembangan agribisnis kayu manis. Dengan demikian melakukan identifikasi posisi dan prosepek serta penyebab maupun kemungkinan strategi pengembangannya menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan. Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya Untuk mengetahui posisi ekspor kayu manis Indonesia versus pesaingnya dalam perdagangan kayu manis dunia, secara grafik dapat ditunjukkan perkembangan ekspor kayu manis Indonesia versus pesaingnya seperti China, Sri Lanka, dan negara lainnya atau Rest of the World (ROW). Dari tren perkembangan ekspor yang dijelaskan tersebut dapat dinyatakan bahwa Indonesia dalam kegiatan ekspor harus bersaing ketat dengan pesaingnya seperti China, dibandingan perkembangan ekspor kayu manis Indonesia dengan pesaingnya seperti dari China, Sri Lanka dan negara lainnya (ROW), terlihat posisi Indonesia
131 dari tahun ke tahun cenderung berfluktuatif, dimana China sebagaimana ditunjukkan Tabel 13, terlihat sebagai pesaing terkuat. Sedangkan pesaing lainnya seperti Sri Lanka dan negara lainnya (ROW) terlihat dalam ekspor kayu manis dunia jauh berada di bawah posisi Indonesia (FAOSTAT, 2007) seperti dijelaskan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Perkembangan Ekspor-Impor Kayu Manis Indonesia Versus Pesaingnya di Pasar Internasional, Periode Tahun 1986-2006. Ekspor/ Impor Amerika Serikat India Meksiko Belanda Jerman ROW Total Ekspor Amerika Serikat India Meksiko Belanda Jerman ROW Persentase Ekspor (%)
Volume Ekspor / Impor Kayu Manis Dunia Periode 1986-2006 (000 ton) Indonesia China Sri Lanka ROW Total 268.557 8.884 20.809 44.416 342.666 5.704 85.595 1.195 25.484 117.978 1.339 66 85.346 16.477 103.228 56.858 763 1.351 9.775 68.747 17.226 1.418 3.183 22.984 44.811 172.639 410.569 77.571 343.665 1.004.444 522.323 507.295 189.455 462.801 1.681.874 Persentase Ekspor Dunia Periode 1986-2006 (%) 51,42 1,75 10,98 9,60 20,37 1,09 16,87 0,63 5,51 7,01 0,26 0,01 45,05 3,56 6,14 10,89 0,15 0,71 2,11 4,09 3,30 0,28 1,68 4,97 2,66 33,05 80,93 40,94 74,26 59,72 100,00
100,00 100,00 100,00 Persentase Impor Dunia Periode 1986-2006 (%) Amerika Serikat 78,37 2,59 6,07 12,96 India 4,83 72,55 1,01 21,60 Meksiko 1,30 0,06 82,68 15,96 Belanda 82,71 1,11 1,97 14,22 Jerman 38,44 3,16 7,10 51,29 ROW 17,19 40,88 7,72 34,21 Total Ekspor 31,06 30,16 11,26 27,52 Sumber: data sekunder FAOSTAT diolah, 2008.
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Dari perkembangan ekspor di atas terlihat bahwa masing-masing negara eksportir utama dunia dalam memasok pasar kayu manis dunia pada periode tahun 1986-2006 terlihat Indonesia berkontribusi dalam memasok pasar kayu manis dunia sebesar 31,06%, China 30,16%, Sri Lanka 11,26% dan negara lainnya atau Rest of the World (ROW) sebesar 27,52%. Dominannya kontribusi Indonesia dalam ekspor kayu manis dunia tersebut, terlihat 51,42% ekspornya ditujukan ke pasar Amerika Serikat, 10,89% ke pasar Belanda, dan 3,30%
132 ditujukan ke pasar Jerman, serta sisanya ditujukan ke pasar negara lainnyaIndonesia dalam perdagangan bersaing ketat dengan China dalam mendominasi ekspor kayu manis dunia seperti ditunjukkan pada periode tahun 1986-2006 total ekspornya mencapai 507 juta ton atau 30,16%, berada setingkat di bawah Indonesia. Sedangkan Sri Lanka pada periode yang sama terlihat jauh berada di bawah ekspor Indonesia yaitu sebesar 189 juta ton. Demikian juga untuk negara lainnya Rest of the World (ROW) rata-rata berada jauh di bawah ekspor Indonesia. Dari posisi ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional periode tahun 1986-2006 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi penting dan dominan dalam perdagangan internasional. Dengan demikian maka dari prospek pengembangan kayu manis terlihat Indonesia memiliki prospek yang sangat baik terutama sejalan berlangsungnya globalisasi perdagangan yang membuka peluang bagi pengembangan pasar yang lebih luas. Implikasi dari terbukanya peluang pasar Indonesia dalam perdagangan kayu manis internasional, ditengah kondisi persaingan yang semakin ketat dengan pesaingnya, sehingga peningkatan daya saing produk perlu menjadi strategi utama dalam pengembangan ekspor, terutama dengan meningkatkan sistem informasi manajemen ekspor, mengefisienkan sistem pemasaran, meningkatkan kerjasama dan kemitraan sejalan dengan peningkatan kualitas SDM pelaku agribisnis dan entrepreneurship serta perlunya dukungan yang serius dari pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja pemasaran dan perdagangan komoditi ekspor. Integrasi Harga Kayu Manis Hasil analisis integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir dalam upaya mengidentifikasi bentuk pasar yang dihadapi petani dalam pengembangan komoditi baik dilihat dari tingkat keterpaduan harga dan bentuk respon perubahan harga yang terjadi di tingkat produsen (petani) atas perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen, serta kemungkinan strategi yang dapat dipilih dalam menghadapi perdagangan atau pemasaran kayu manis secara internasional. Dalam melakukan analisis integrasi harga dapat dijelaskan sebagai berikut.
133 Gambaran Umum Data Analisis integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir menggunakan data harga kayu manis di tingkat petani yang dilambangkan dengan (PP), dan harga di tingkat eksportir di lambangkan dengan (PX). Data harga kayu manis yang digunakan adalah data harga kayu mania tahun 2001-2006 dalam bentuk bulanan. Untuk tahun 2006 terlihat rata-rata harga kayu manis yang diterima petani untuk jenis kayu manis grade KA, (kayu manis yang berasal dari kulit batang) yaitu sebesar Rp.3.200/kg. Sedangkan rata-rata harga di tingkat eksportir yaitu sebesar Rp.5.221/Kg. Dari posisi tersebut terlihat bahwa selisish harga (marjin pemasaran) antara petani dengan eksportir yaitu sebesar Rp. 2.021/Kg, seperti ditunjukkan Tabel 16. Tabel 16. Harga Rata-Rata Kayu Manis Grade KA, di tingkat Petani dan di tingkat Eksportir (harga bulanan Rp/Kg) Tahun 2006
1.
Harga di tingkat Petani
PP
Harga RataRata (Rp/Kg) 3.200
3.
Harga di tingkat Eksportir/FOB
PX
5.221
No
Saluran Pemasaran
Variabel
Sumber: data sekunder 2006, diolah.
Selanjutnya untuk mengetahui tren perkembangan harga kayu manis tahun 2001-2006 dalam bentuk harga bulanan, untuk jenis/grade kayu manis KA, di tingkat petani dan di tingkat eksportir ditunjukkan seperti pada Gambar 16. 7,000 6,000
NIlai
5,000 4,000 3,000 2,000 PP PX
1,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun/ bulan
Sumber: data primer dan sekunder diolah.
Gambar 16. Perkembangan Harga Kayu Manis Grade KA di tingkat Petani dan di tingkat Eksportir Tahun 2001-2006 (Harga Bulanan Rp/Kg).
134 Dari Gambar 16 terlihat bahwa secara umum harga kayu manis di tingkat petani terlihat cenderung stagnan. Sedangkan di tingkat eksportir terlihat cenderung berfluktuatif. Cenderung stagnannya harga kayu manis di tingkat petani, dalam kondisi harga di tingkat eksportir yang cenderung berfluktuatif menunjukkan bahwa harga yang dihadapi petani cenderung kurang terintegrasi. Selanjutnya dilihat dari perubahan harga yang terjadi di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat eksportir tidak serta merta langsung diikuti oleh perubahan harga di tingkat petani. Artinya harga di tingkat petani tidak merefleksikan harga yang sebenarnya terjadi di tingkat pasar yang lebih tinggi. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh pergerakan perubahan harga. Lambannya pergerakan penyesuaian harga di tingkat petani dalam mengikuti perubahan harga di tingkat eksportir, terutama ketika terjadi kenaikan harga di tingkat eksportir. Namun sebaliknya ketika harga kayu manis mengalami penurunan terlihat lebih cepat ditransmisikan ke tingkat petani. Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam pemasaran kayu manis terlihat pedagang dan eksportir merupakan lembaga yang paling berpeluang memiliki keuntungan yang lebih besar. Artinya dengan posisinya petani sebagai penerima harga, sehingga petani berada pada posisi yang cenderung dirugikan dibandingkan dengan pedagang/eksportir. Pendugaan Model Integrasi Harga Hasil pendugaan model integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menggunakan data harga tahun 2001-2006 dalam bentuk harga Rp/Kg bulan dijelaskan pada Tabel 17 di bawah ini. Tabel 17. Hasil Pendugaan Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani dengan Harga di tingkat Eksportir Tahun 2001-2006 data bulanan (Rp/Kg) Peubah Intersep Lag Harga Petani Lag Harga Eksportir
Dugaan Stat.t Parameter 1,6295 2,0408 0,9088 18,075 0,0443 0,7252
Prob > [T] 0,04 0,00 0,47
R2 0,86
Stat. DW 1,98
MII 20,65
Sumber: data sekunder dan primer diolah, 2008.
Dari hasil pendugaan menunjukkan model yang digunakan adalah cukup baik, karena memiliki probabilitas model sebesar 0,04 atau signifikan pada taraf
135 5%, dengan R square model sebesar 86%. Artinya peubah yang digunakan dalam model tersebut mampu menjelaskan integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir sebesar 86%, dan sisanya ditentukan oleh peubah lain diluar model tersebut. Selanjutnya hasil pendugaan menunjukkan peubah harga jual di tingkat petani signifikan ditentukan oleh harga jual petani pada satu bulan sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan dengan probabilitas peubah sebesar 0,00 atau signifikan pada taraf nyata 5%. Sedangkan peubah harga eksportir tidak signifikan
terhadap
harga
petani,
sebagaimana
ditunjukkan
dengan
probabilitasnya sebesar 0,47 atau tidak signifikan pada taraf nyata 5%. Dari hasil pendugaan terlihat bahwa harga kayu manis di tingkat petani memiliki integrasi yang sangat lemah dengan harga di tingkat eksportir, sebagaimana ditunjukkan dengan indeks integrasi harga sebesar 20,65 atau > nilai 0, menunjukkan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir mengalami keterpaduan yang sangat lemah. Selain itu dari hasil pendugaan terbukti harga di tingkat eksportir hanya ditransmisikan 40% ke tingkat petani. Kondisi tersebut juga menunjukkan lemahnya integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir. Lemahnya integrasi harga menunjukkan bahwa pasar yang dihadapi petani mengalami distorsi, dan adanya indikasi petani berada dalam posisi tawar (bargaining position) yang lemah, serta menunjukkan petani sedang menghadapi kondisi asimetrik informasi. Selanjutnya dari sisi pedagang dan eksportir, terlihat besarnya marjin keuntungan yang diperoleh, karena berkaitan dengan tanggung jawab dan resiko. Besarnya keuntungan yang diterima pedagang dan eksportir dikarenakan besarnya tanggung jawab pedagang/eksportir dalam pemasaran komoditas, seperti dalam memenuhi standar komoditas ekspor, dimana umumnya pada kondisi transaksi, komoditas petani belum memenuhi standar ekspor. Dengan demikian pedagang besar/eksportir harus melakukan prosesing guna meningkat kualitas produk. Kemudian untuk mengetahui kecepatan penyesuaian integrasi harga dalam sistem pemasaran komoditas kayu manis, dengan menggunakan data bulanan tahun 2001-2006, dengan menggunakan model kointegrasi dan Error Correction Model (ECM), dapat dilakukan sebagai berikut:
136 Uji Unit Root Sesuai dengan tahapan analisis data deret waktu (times series) yang mengharuskan uji asumsi stationeritas data (unit root test) maka dalam analisis ini digunakan motode kointegrasi dan mekanisme koreksi kesalahan (ECM) dengan deteksi uji unit root ADF, tahapan ini dilakukan guna untuk mengetahui kestasioneran data. Hasil uji unit root dengan deteksi ADF pada sistem persamaan integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir menunjukkan bahwa pada semua tingkatan harga untuk tingkat data level terlihat data masih mengalami masalah unit root, sehingga perlu dilanjutkan dengan tahapan deferensiasi I (pertama). Kemudian hasil deteksi uji unit root untuk data harga kayu manis bulanan 2001-2006 dengan uji diferensiasi pertama, terlihat semua data sudah stasioner atau tidak mengalami masalah unit root, seperti dijelaskan Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Hasil Uji Unit Root dengan test ADF Untuk Data Harga Kayu Manis di tingkat Petani dengan Eksportir Tahun 2001-2006(data bulanan). Tingkat Harga
Petani (PT) Ekspor/FOB (PX) Petani (PW) Ekspor/FOB (PD)
Level # laga) Uji ADFb) A. Konstanta Tanpa dengan Tren 1 - 1,92 0 -4,81** B. Konstanta dengan Tren 1 -2,70 0 -4,88**
Diferensiasi I # laga) Uji ADFb) 0 0
-6,15** -8,76**
0 0
-6,13** -8,78**
a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SBC (Schwarzs-Bayesian Criteria) minimum. b) Test ADF (Augmented Dickey-Fuller) dibandingkan dengan nilai tabel Mac Kinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol, adanya unit root pada taraf nyata 1% dan 5% dengan uji statistic (3,53 dan 2,90) untuk tanpa tren dan (4,09 dan -3,48) dengan tren.
Hasil uji unit root sebagaimana Tabel 18 di atas menunjukkan bahwa pada data level panel A, terlihat data eksportir tidak mengalami masalah unit root, begitu juga pada pada panel B. Sedangkan untuk data harga petani terlihat mengalami masalah unit root. Oleh karena itu data di diferensiasikan untuk menuju stasioner. Kemudian pada panel A dan B, untuk data diferensiasi I dengan tanpa tren maupun data dengan tren terlihat semuanya sudah stasioner pada taraf nyata 1%. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa data harga kayu manis di tingkat petani dan di tingkat eksportir masing-masing tidak mengalami masalah unit root dan telah dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
137 Uji Kointegrasi Hasil estimasi pada model Augmented Dickey-Fuller pada pendugaan integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, diperoleh t-statistik = -6,0247 < t-critical 1% = -2,598. Angka tersebut menunjukkan bahwa variabel residual untuk data level tidak mengandung masalah unit root. Dengan kata lain variable residual (e) sudah stasioner. Oleh karena itu dapat diputuskan bahwa menolak Ho dan menerima Ha. Artinya bahwa terjadi kointegrasi diantara semua variabel yang disertakan dalam model integrasi harga kayu manis. Dengan kata lain bahwa dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan atau kestabilan antar variabel dalam model integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan di tingkat eksportir.
Estimasi Error Correction Model Hasil pendugaan (estimasi) model integrasi harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir menggunakan pendekatan Error Correction Model menunjukkan bahwa variabel harga di tingkat petani tidak hanya dipengaruhi oleh harga petani pada satu bulan sebelumnya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel error term et. sebagaimana dibuktikan oleh tingkat signifikansi nilai koefisien et yang ditempatkan dalam model sebagai koreksi jangka pendek untuk mencapai keseimbangan jangka panjang memiliki nilai koefisien sebesar -0,990 atau < nilai 0. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai keseimbangan jangka panjang perlu dilakukan koreksi setiap bulan sebesar 0,990 persen. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga di tingkat petani satu bulan sebelumnya serta dipengaruhi oleh variabel error term et. Selain itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa harga di tingkat eksportir hanya ditransmisikan sebesar 40% ke tingkat petani. Dengan kata lain bahwa dari hasil pendugaan model integrasi harga tersebut, menunjukkan bahwa pedagang berperan dominan dalam pemasaran komoditas dan mempengaruhi harga di tingkat petani.
138 Implikasi Hasil Analisis Integrasi Harga Tidak terintegrasinya harga kayu manis di tingkat petani dengan harga di tingkat eksportir, menunjukkan bahwa dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat di Kabupaten Kerinci, pada subsistem pemasaran komoditas, di satu sisi petani cenderung mengalami kerugian dan di sisi lain pedagang cenderung mengalami keuntungan. Selain itu kondisi tersebut mencerminkan rendahnya posisi tawar petani dalam sistem pemasaran serta adanya indikasi terjadinya asimetrik informasi. Di tengah persaingan yang semakin ketat, dengan pemasaran produk yang masih terkonsentrasi pada beberapa pasar, dengan demikian sehingga harga kayu manis secara umum cenderung berada pada posisi tertekan. Selain itu tidak terintegrasinya harga komoditas di tingkat petani dengan pasar yang lebih tinggi, maka ke depan perlu memperkuat kelembagaan petani, memperpendek saluran pemasaran, mendorong peningkatan pengolahan hasil (processing) di dalam daerah atau domestik, serta perlu membangun sistem informasi pemasaran komoditas. Hal ini sesuai dengan Soekartawi (2007) menjelaskan bahwa untuk memperkuat pemasaran komoditas pertanian perlu memperkuat sistem informasi, meningkatkan kualitas produk, dan memperpendek saluran pemasaran. Selain itu lambannya penyesuaian harga komoditi ternyata sangat terkait dengan struktur pasar yang dihadapi. Sebagaimana Anwar (2004) menjelaskan bahwa tidak terintegrasinya harga komoditas dapat disebabkan antara lain adanya distorsi baik pada pasar domestik ataupun pada pasar internasional. Terdistorsinya harga dapat pula disebabkan oleh market power dari pembeli (buyer), sistem perdagangan, cadangan (stock) komoditas ditingkat produsen atau konsumen, biaya transportasi, dan biaya transaksi pemasaran, serta dapat disebabkan oleh perubahan konsentrasi pasar akibat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah/negara. Namun demikian berlangsungnya globalisasi perdagangan, akan membuka peluang bagi perluasan pasar (Arifin, 2007). Oleh karena itu melakukan kerjasama antar wilayah/negara dan antar pelaku agribisnis serta membenahi kualitas produk atau meningkatkan daya saing dapat dijadikan upaya untuk mengurangi persoalan yang dihadapi. Selanjutnya dalam kondisi lemahnya integrasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat pasar yang lebih tinggi,
139 sehingga ke depan selain berupaya meningkatkan efisiensi pemasaran, memperkuat kelembagaan petani dan melakukan kontrak perdagangan komoditas, juga perlu membangun sistem informasi komoditas, terutama untuk mengurangi kondisi asimetrik informasi terhadap harga dan posisi supply dan demand komoditas yang cenderung tidak terpantau oleh pelaku agribisnis komoditas kayu manis di daerah. Analisis Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Indonesia Hasil analisis dekomposisi CMS ekspor kayu manis Indonesia di pasar internasional untuk periode tahun 1986-1989 terlihat perubahan ekspor mengalami pertumbuhan negatif, pada periode 1990-1997 positif, periode 19892000 negatif, periode 2001-2006 positif, dan secara keseluruhan periode 19862006 positif. Namun dari perubahan ekspor kayu manis Indonesia tersebut menunjukkan bahwa pada periode analisis tahun 1986-1989, yaitu periode ketika dibekukan quota ekspor dunia, terlihat posisi daya saing Indonesia mengalami efek penurunan daya saing. Penurunan efek daya saing ekspor Indonesia pada periode tersebut terlihat sangat dipengaruhi oleh penurunan efek kompetitif 132% dan efek ordo kedua -35% serta efek struktural sebesar 67,4%. Nilai negatif dari efek kompetitif pada periode tersebut terlihat dipengaruhi oleh penurunan efek kompetitif umum -18,6% dan efek kompetitif spesifik sebesar -113,9%. Dari hasil analisis dekomposisi CMS pada periode tahun 1990-1997, yang merupakan periode sebelum krisis ekonomi Indonesia/Asia, menunjukkan bahwa posisi daya saing kayu manis Indonesia mengalami pertumbuhan. Adanya peningkatan daya saing ekspor kayu manis Indonesia pada periode tersebut, teridentifikasi dipengaruhi oleh efek pertumbuhan dan efek kompetitif, sebagaimana dibuktikan hasil dekomposisi efek kompetitif tahap pertama bernilai positif, yang dipengaruhi oleh efek struktural 46,4%, dan efek kompetitif sebesar 42,9% serta efek ordo kedua sebesar 10,6%, seperti ditunjukkan Tabel 19.
140 Tabel 19. Hasil Dekomposisi Model CMS Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional Periode Tahun 1986-2006. Komponen Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural b. Efek Kompetitif c. Efek Ordo Kedua Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan b. Efek Pasar c. Efek Komoditas d. Efek Interaksi Struktural 2a. Efek Kompetitif Umum b. Efek Kompetitif Spesifik 3a. Efek Ordo Kedua Murni b. Residual Struktur Dinamik Komponen
1986-1989 (ton) (%) -8255 100.0 5561 -10933 -2883
67.4 -132.4 -34.9
-4237 -51.3 4492 54.4 4702 57.0 604 7.3 -1532 -18.6 -9402 -113.9 -6655 -80.6 3772 45.7 2001-2006 (ton) (%) 11499 100.0
Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural 4501 b. Efek Kompetitif -6071 c. Efek Ordo Kedua 13068 Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan 5641 b. Efek Pasar -750 c. Efek Komoditas -4530 d. Efek Interaksi Struktural -6431 2a. Efek Kompetitif Umum -1027 b. Efek Kompetitif Spesifik -5044 3a. Efek Ordo Kedua Murni 20581 b. Residual Struktur Dinamik -7512 Sumber: data sekunder FAOSTAT, diolah, 2008.
1990-1997 (ton) (%) 8567 100.0 3979 3676 912
46.4 42.9 10.6
1998-2000 (ton) (%) -322 100.0 20 -342 0
6.2 -106.1 0.1
3082 36.0 -1925 -22.5 7628 89.0 -4806 -56.1 2241 26.2 1435 16.8 5640 65.8 -4728 -55.2 1998-2006 (ton) (%) 13575 100.0
-154 -47.7 110 34.2 -78 -24.2 141 43.9 -76 -23.5 -266 -82.6 -338 -104.9 -337 104.8 1986-2006 (ton) (%) 19886 100.0
39.1 -52.8 113.6
10215 2447 912
75.3 18.0 6.7
26207 -2819 -3502
131.8 -14.2 -17.6
49.1 -6.5 -39.4 -55.9 -8.9 -43.9 73.4 -65.3
6473 1112 10826 -8195 1329 1118 3660 -2748
47.7 8.2 79.7 -60.4 9.8 8.2 27.0 -20.2
10207 9886 25853 -19738 255 -3074 -5476 1974
51.3 49.7 130.0 -99.3 1.3 -15.5 -27.5 9.9
Positifnya efek struktural pada periode 1990-1997 terlihat dipengaruhi oleh efek pertumbuhan sebesar 36,0%, dan efek komoditas sebesar 89,0%. Sedangkan positifnya efek kompetitif pada periode 1990-1997 terlihat dipengaruhi oleh efek kompetitif umum sebesar 26,2% dan efek kompetitif spesifik sebesar 16,8%. Kemudian positifnya efek ordo kedua, terlihat karena dipengaruhi oleh efek ordo kedua murni sebesar 65,8%. Ketika terjadi krisis ekonomi melanda Indonesia yaitu periode tahun 19982000, terlihat posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia memiliki nilai pertumbuhan negatif. Turunnya daya saing ekspor kayu manis Indonesia pada
141 periode tersebut terlihat pada dekomposisi tahap pertama karena dipengaruhi oleh efek kompetitif yang bernilai -106,1%, dipengaruhi oleh efek kompetitif umum 23,5% dan efek kompetitif spesifik -82,6%. Kemudian hasil dekomposisi CMS periode 2001-2006 menunjukkan bahwa efek kompetitif terlihat mulai membaik atau tumbuh kembali, karena dipengaruhi oleh efek kompetitif umum dan spesifik. Selanjutnya efek kompetitif kayu manis Indonesia periode analisis 19862006 bernilai -14,2% terlihat karena dipengaruhi oleh efek kompetitif spesifik sebesar -15,5% dan efek kompetitif umum sebesar 1,3%.
Hasil Dekomposisi Ekspor Kayu Manis Pesaing Utama Indonesia Hasil dekomposisi ekspor kayu manis pesaing Indonesia yang terdiri dari China, Sri Lanka, dan negara lainnya atau Rest of The World (ROW) menunjukkan bahwa: Untuk hasil dekomposisi ekspor China terlihat pada periode 1986-1989 perubahan volume ekspor China bernilai positif. Kemudian pada periode tahun 1990-1997 bernilai positif. Selanjutnya pada periode tahun 19982000 pertumbuhannya bernilai negatif, dan pada periode tahun 2001-2006 pertumbuhannya bernilai positif. Dengan demikian secara rata-rata pertumbuhan ekspor periode tahun 1986-2006 dari hasil dekomposisi perubahan volume ekspor kayu manis China di pasar dunia terlihat bernilai positif. Tumbuhnya volume ekspor kayu manis China periode 1986-2006 terlihat sangat dipengaruhi oleh efek struktural yang bernilai positif 102,5%. Sedangkan pada dekomposisi tahap kedua terlihat pertumbuhan ekspornya dipengaruhi oleh efek pertumbuhan bernilai positif 51,3% dan efek komoditas bernilai posistif 100,6%. Selanjutnya hasil dekomposisi perubahan ekspor kayu manis China juga menunjukkan bahwa pada saat krisis moneter, perubahan ekspor China mengalami penurunan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh efek kompetitif umum sebesar -3,0% dan efek kompetitf spesifik sebesar -97,7%. Sedangkan pada periode setelah krisis pada tahun 2001-2006 terlihat perubahan ekspor China mengalami pertumbuhan positif. Kondisi tersebut terlihat sangat dipengaruhi oleh efek struktural, seperti dijelaskan pada Tabel 20.
142 Tabel 20. Hasil Dekomposisi Model CMS terhadap Ekspor Kayu Manis China Periode Tahun 1986-2006. Komponen Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural b. Efek Kompetitif c. Efek Ordo Kedua Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan b. Efek Pasar c. Efek Komoditas d. Efek Interaksi Struktural 2a. Efek Kompetitif Umum b. Efek Kompetitif Spesifik 3a. Efek Ordo Kedua Murni b. Residual Struktur Dinamik Komponen
1986-1989 (ton) (%) 763 100.0 4109 -2648 -698
538.5 -347.0 -91.5
392 51.3 8467 1109.7 3250 426.0 -8000 -1048.5 -1132 -148.3 -1516 -198.7 -2778 -364.0 2079 272.5 2001-2006 (ton) (%) 3180 100.0
Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural 4779 b. Efek Kompetitif -1387 c. Efek Ordo Kedua -212 Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan 1560 b. Efek Pasar -4180 c. Efek Komoditas 6320 d. Efek Interaksi Struktural 1080 2a. Efek Kompetitif Umum 1090 b. Efek Kompetitif Spesifik -2478 3a. Efek Ordo Kedua Murni -1528 b. Residual Struktur Dinamik 1317 Sumber: data sekunder FAOSTAT diolah, 2008.
1990-1997 (ton) (%) 10958 100.0 3420 6040 1498
31.2 55.1 13.7
3942 36.0 -2131 -19.4 7069 64.5 -5460 -49.8 1926 17.6 4113 37.5 10841 98.9 -9343 -85.3 1998-2006 (ton) (%) 8708 100.0
1998-2000 (ton) (%) -2355 100.0 19 -2372 -2
0.8 -100.7 -0.1
-1123 -47.7 -899 -38.2 -79 -3.4 2120 90.0 -71 -3.0 -2301 -97.7 -2155 -91.5 2154 91.4 1986-2006 (ton) (%) 18896 100.0
150.3 -43.6 -6.7
9607 -655 -244
110.3 -7.5 -2.8
19363 -208 -259
102.5 -1.1 -1.4
49.1 -131.5 198.7 34.0 34.3 -77.9 -48.1 41.4
4152 -2317 10218 -2446 1250 -1905 -876 632
47.7 -26.6 117.3 -28.1 14.4 -21.9 -10.1 7.3
9699 -1242 19009 -8102 189 -397 -461 202
51.3 -6.6 100.6 -42.9 1.1 -2.1 -2.4 1.1
Kemudian hasil analisis dekomposisi perubahan ekspor kayu manis Sri Lanka menunjukkan bahwa pada periode tahun 1986-1989 pertumbuhan ekspor kayu manis Sri Lanka mengalami penurunan. Pada periode 1990-1997 bernilai negatif, periode tahun 1998-2000 positif, periode 2001-2006 bernilai positif, dan periode analisis 1986-2006 bernilai positif. Sedangkan pada dekomposisi tahap kedua menunjukkan efek struktural positif ternyata dipengaruhi oleh efek pertumbuhan sebesar 49,1%, dan efek komoditas sebesar 198,7% serta interaksi struktural sebesar 34,3%. Selanjutnya hasil dekomposisi model CMS ekspor kayu manis Sri Lanka ditunjukkan seperti Tabel Tabel 21 di bawah ini.
143 Tabel 21. Hasil Dekomposisi Model CMS terhadap Ekspor Kayu Manis Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006. Komponen Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural b. Efek Kompetitif c. Efek Ordo Kedua Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan b. Efek Pasar c. Efek Komoditas d. Efek Interaksi Struktural 2a. Efek Kompetitif Umum b. Efek Kompetitif Spesifik 3a. Efek Ordo Kedua Murni b. Residual Struktur Dinamik Komponen
1986-1989 (ton) (%) -112 100.0 2006 -1676 -442
1791.0 -1496.5 -394.6
-57 -51.3 6825 6093.6 1147 1024.2 -5908 -5275.4 -553 -493.3 -1123 -1003.1 -1652 -1474.6 1210 1080.1 2001-2006 (ton) (%) 1923 100.0
Perubahan ekspor Dekomposisi Tahap Pertama a. Efek struktural 1594.7 82.9 b. Efek Kompetitif -1438.4 -74.8 c. Efek Ordo Kedua 1766.7 91.9 Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan 943.3 49.1 b. Efek Pasar -14097.6 -733.1 c. Efek Komoditas 1696.8 88.2 d. Efek Interaksi Struktural 10019.1 521.0 2a. Efek Kompetitif Umum 363.8 18.9 b. Efek Kompetitif Spesifik -79.0 -4.1 3a. Efek Ordo Kedua Murni 2060.5 107.1 b. Residual Struktur Dinamik -293.8 -15.3 Sumber: data sekunder FAOSTAT, diolah, 2008.
1990-1997 (ton) (%) 4152 100.0 1615 2033 504
38.9 49.0 12.1
1494 36.0 -9065 -218.3 5264 126.8 3922 94.5 910 21.9 1123 27.0 3330 80.2 -2825 -68.0 1998-2006 (ton) (%) 2965 100.0
1998-2000 (ton) (%) -707 -100.0 6.8 1.0 -770.6 -109.0 56.4 8.9 337.1 47.7 868.3 122.8 -91.1 -12.9 -1107 -156.7 -26.0 -3.7 796.6 112.7 822.0 116.2 -751.8 -106.3 808.2 114.3 1986-2006 (ton) (%) 4759 100.0
3505 -393 -147
118.2 -13.3 -4.9
9453 -2093 -2601
198.6 -44.9 -54.7
1414 -17502 4115 15477 456 -849 -517 371
47.7 -590.3 138.8 522.0 15.4 -28.6 -17.4 12.5
2443 -27863 9099 25774 92 -2185 -3403 802
51.3 -585.5 191.2 541.6 1.0 -45.9 -71.5 16.9
Dari hasil dekomposisi perubahan ekspor kayu manis Sri Lanka periode tahun 1986-2006 menunjukkan bahwa pada dekomposisi tahap pertama ekspor kayu manis Sri lanka dipengaruhi oleh efek struktural sebesar 198,6% dan efek tersebut ternyata dipengaruhi oleh efek pertumbuhan sebesar 51,3%, efek komoditas sebesar 191,2%, dan efek interaksi struktural sebesar 541%. Efek Struktural Hasil analisis perubahan ekspor kayu manis dunia periode analisis tahun 1986-2006 menunjukkan Indonesia mengalami efek struktural yang positif.
144 Artinya peningkatan pertumbuhan ekspor terjadi secara positif. Besarnya efek struktural ekspor kayu manis Indonesia periode tahun 1986-1989 yaitu sebesar 67,4%, periode tahun 1990-1997 sebesar 46,4%, periode tahun 1998-2000 sebesar 6,2% dan periode tahun 2001-2006 sebesar 39,1%. Positifnya efek struktural mengindikasikan terjadinya pertumbuhan ekspor pada periode tersebut. Sedangkan hasil dekomposisi CMS tahap kedua terlihat efek struktural yang positif periode tahun 1986-2006 terlihat dipengaruhi oleh efek pertumbuhan sebesar 51,5% dan efek pasar sebesar 49,7% serta efek komoditas sebesar 130%. Pada efek pertumbuhan periode tahun 1986-1989 terlihat Indonesia mengalami peningkatan sebesar 51,3%, kemudian pada periode 1990-1997 mengalami penurunan sebesar -36,0%, periode 1998-2000 meningkat sebesar 47,7%, dan pada periode 2001-2006 mengalami penurunan sebesar -49,1%. Secara grafik dapat ditunjukkan dekomposisi efek struktural ekspor kayu manis Indonesia versus China dan Sri Lanka seperti ditunjukkan Gambar 17 di bawah ini. Dekomposisi Efek Struktural Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus China dan Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006 10000 1791.0
1000
538.5
Nilai
100 67.4
150.3 82.9 39.1
38.9 46.4 31.2
Indonesia China Sri Lanka
10
6.2 0.8
1 1986-1989
1990-1997
1.0
1998-2000
2001-2006
0.1
Periode
Sumber: data sekunder FAOSTAT diolah, 2008.
Gambar 17. Tren Efek Struktural Kayu Manis Indonesia Versus China dan Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006. Dari hasil analisis efek struktural menunjukkan bahwa China memiliki efek struktural periode 1986-1989 sebesar 538,5%, periode 1990-1997 sebesar 31,2% periode 1998-2000 sebesar 0,8% dan periode 2001-2006 sebesar 150%.
145 Kemudian efek struktural ekspor kayu manis Sri Lanka pada periode 1986-1989 yaitu sebesar 1791%, periode 1990-1997 sebesar 38,9% periode 1998-2000 sebesar 1,0% dan periode 2001-2006 sebesar 82,9%. Dari perbandingan tren efek struktural ekspor kayu manis di pasar dunia terlihat posisi Indonesia cenderung berada di bawah pesaingnya, terutama pada periode terakhir. Rendahnya efek struktural ekspor kayu manis Indonesia dibandingkan dengan pesaingnya seperti China, karena Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekspor pada periode terakhir, walaupun di periode pertengahan Indonesia tumbuh dengan baik. Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi persaingan yang ketat, terutama sejak bergabungnya China dalam organisasi WTO pada tahun 2001. Selain itu rendahnya efek struktural ekspor kayu manis akhir-akhir ini, karena ekspor Indonesia masih terkonsentrasi pada beberapa pasar saja, seperti Amerika Serikat dan Belanda. Sedangkan pasar lainnya terlihat belum berkembang seperti di Asia dan negara Eropa lainnya. Dengan kondisi persaingan yang semakin ketat sehingga untuk pengembangan ekspor kayu manis Indonesia pada masa yang akan datang perlu dilakukan strategi kerjasama, dan memperluas mitra dagang komoditas kayu manis ke pasar lainnya, seperti Asia dan Eropa yang merupakan pasar potensial untuk pengembangan ekspor komoditas.
Efek Kompetitif Hasil dekomosisi CMS menunjukkan bahwa pada periode 1986-1989 efek kompetitif ekspor kayu manis Indonesia yaitu sebesar -132%, pada periode 19901997 sebesar 42,9%, pada periode tahun 1998-2000 sebesar -106,1%, dan pada periode 2001-2006 sebesar 52,8%. Dari tren hasil dekomposisi ekspor terhadap efek kompetitif kayu manis Indonesia, terlihat pertumbuhannya masih positif, dalam arti daya saing Indonesia masih tumbuh. Namun apabila dibandingkan dengan hasil dekomposisi efek kompetitif negara pesaing seperti China dan Sri Lanka, maka terlihat China pada periode 1986-1990 memiliki efek kompetitif sebesar -347,0%, periode 1990-1997 sebesar 55,1%, periode 1998-2000 sebesar 100,7%, periode 2001-2006 sebesar -43,6%. Kemudian Sri Lanka pada periode 1986-1990 memiliki efek kompetitif sebesar -1496%, periode 1990-1997 sebesar
146 49%, periode 1998-2000 sebesar -109,7%, periode 2001-2006 sebesar -74,8%, seperti ditunjukkan Gambar 18 di bawah ini.
Dekomposisi Efek Kompetitif Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus China dan Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006
2001-2006
-52.8 -43.6 -74.8
1998-2000
-106.1 -100.7 -109.9
Indonesia China
Periode
-1500
-1000
1986-1989
-132.4 -347 -1496
-500
0
Sri Lanka
500
Nilai
-2000
1990-1997
42.9 55.1 49
Sumber: data sekunder FAOSTAT diolah, 2008.
Gambar 18. Tren Hasil Dekomposisi Efek Kompetitif Ekspor Kayu Manis Indonesia Versus China dan Sri Lanka Periode Tahun 1986-2006. Dari hasil analisis dekomposisi efek kompetitif, dapat dinyatakan bahwa pada periode analisis 1986-2006 posisi daya saing Indonesia cenderung berfluktuatif serta berada pada posisi di bawah daya saing China dan di atas Sri Lanka. Rendahnya posisi daya saing ekspor kayu manis Indonesia dibandingkan dengan China, terlihat disebabkan oleh rendahnya daya saing kayu manis Indonesia secara spesifik. Sedangkan dari sisi efek daya saing untuk komoditi dalam bentuk gelondongan terlihat posisi ekspor kayu manis Indonesia masih berada di atas posisi China dan Sri Lanka. Kayu manis Indonesia dengan grade komoditas yang diperdagangkan masih dalam bentuk gelondongan/batangan, dengan kadar air komoditas rata-rata masih di atas 14%. Namun dilihat dari standar ekspor menjelaskan syarat kadar air komoditas minimum 12%. Dari aspek tersebut sehingga secara spesifik komoditas kayu manis Indonesia masih mengalami permasalahan dalam ekspor sebagaimana ditunjukkan oleh hasil analisis dekomposisi sebagaimana ditunjukkan Gambar 19 di bawah ini.
147
Posisi Daya Saing Komoditi Kayu Manis Indonesia di Pasar Dunia Periode Analisis Tahun 1986-2006 -45.9
Efek Kompetitif Spesifik
-2.2 -15.5
1 Efek Kompetitif Umum 1.1 1.3 -44.9 -1.1
Efek Kompetitif
-14.2 -50
-40
-30
Indonesia
-20
China
-10
0
10
Sri Lanka
Sumber: data sekunder FAOSTAT 2006, diolah
Gambar 19. Posisi Daya Saing Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional Versus China dsan Sri Lanka, Periode 1986-2006 Dari Gambar 19 di atas menunjukkan bahwa rendahnya posisi daya saing komoditas kayu manis Indonesia, karena dipengaruhi oleh efek daya saing komoditas secara spesifik (daya saing produk olahan) yang memiliki efek lebih rendah dibandingkan dengan China. Implikasi dari posisi kayu manis Indonesia yang masih berada di bawah pesaing China, sehingga ke depan dalam upaya meningkatkan daya saing, perlu dilakukan peningkatan prosesing yang lebih baik, dengan jenis produk olahan yang memenuhi standar ekspor. Kondisi tersebut dapat dilakukan Indonesia karena Indonesia memiliki dukungan sumberdaya alam untuk pengembangan kayu manis. Sebagaimana
Gonarsyah
(2005)
menjelaskan
bahwa
dayasaing
(competitiveness) atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan/atau karena adanya ketaksempurnaan pasar (market imperfection), monopoli/monopsoni
misalnya adanya
148 Implikasi Hasil Analisis Daya Saing Dari hasil analisis daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar dunia menunjukkan bahwa posisi daya saing kayu manis Indonesia berada di bawah daya saing China, dan berada di atas daya saing kayu manis Sri Lanka. Kelemahan daya saing ekspor kayu manis Indonesia di pasar dunia yaitu lemah dari aspek daya saing spesifik. Sedangkan secara umum atau dalam bentuk komoditas gelondongan Indonesia terlihat masih berada posisi lebih baik. Rendahnya daya saing kayu manis Indonesia secara spesifik ternyata dipengaruhi oleh rendahnya standar untuk produk olahan, sebagaimana terlihat Indonesia hanya memiliki syarat mutu kayu manis menurut (SNI 01-3714-1995 ICS 67-22010) untuk produk secara umumnya seperti kadar air maksimum 12%. Selain itu, dari aspek manajemen, Indonesia juga masih menghadapi beberapa masalah diantaranya dalam aspek pengembangan dan pengolahan, hal ini karena kayu manis umumnya pengolahan masih berpola tradisional dan belum menggunakan teknologi modern, (Dispertabun, 2006). Sedangkan China dalam perdagangan komoditas kayu manis dunia, terlihat memiliki kemampuan menghasilkan produk yang spesifik, dengan strategi yang dikembangkan berbentuk kemitraan antara produsen, pedagang dan konsumen. Sehingga produk yang dihasilkan mampu bersaing dan memiliki nilai ekspor yang tinggi. Selain itu kuatnya daya saing China karena membaiknya ekspor China, terutama sejak bergabungnya China dalam organisasi perdagangan dunia WTO pada tahun 2001. Ketika itu ekspor China tumbuh hanya 6%, namun untuk tahun berikutnya pertumbuhan ekspor China mengalami akselarasi hingga di atas 25% bahkan pernah mencapai 34% pada tahun 2004. Selain itu membaiknya daya saing ekspor China terlihat karena adanya strategi China dengan kebijakan seperti (i) upgrading industri dan produknya untuk meningkatkan competitiveness melalui investasi, (ii) reformasi industri tradisional dan strategi pengurangan pajak dan remittances, (iii) penetapan standar kualitas dan teknologi yang kuat, dan (iv) kebijakan protekstif untuk melindungi sektor pertanian, jasa dan infant industri dari kompetisi internasional (CCICED Lead Expert Group, 2003).
149 Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional Hasil analisis permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar dunia yang ditinjau dari permintaan negara tujuan utama ekspor Indonesia yaitu Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya atau Rest of the World (ROW), dengan melakukan pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan yang berbentuk model logaritma (L), yang ditinjau dari faktor harga yang dilambangkan dengan (LP), pendapatan /pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor dilambangkan dengan (LGDP), dan nilai tukar rill dilambangkan dengan (KURS) dijelaskan sebagai berikut.
Pendugaan Permintaan Kayu Manis Indonesia Hasil pendugaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar tujuan menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor kayu manis Indonesia di beberapa negara tujuan utama kayu manis Indonesia seperti ke Amerika Serikat, Belanda, India dan Negara lainnya (ROW) periode tahun 19792006 secara umum dipengaruhi oleh harga komoditas, pendapatan/pertumbuhan ekonomi negara tujuan, nilai tukar rill. Untuk pendugaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat terbukti sangat baik karena dengan menggunakan persamaan regresi berganda terlihat memiliki R2 (R square) sebesar 0,851. Artinya peubah yang terdapat dalam model permintaan kayu manis Indonesia untuk di pasar Amerika Serikat terbukti mampu dijelaskan sebesar 85,1%, dan sisanya dipengaruhi oleh peubah lainnya. Kemudian model memiliki probabilitas sebesar 0,000 atau signifikan pada taraf nyata 5%. Selain itu dari hasil pendugaan terlihat bahwa peubah GDP Amerika Serikat (GDPAS) memiliki probabilitas 0,000 atau signifikan pada taraf nyata 5% dalam mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia, dengan elastisitas GDPAS Amerika Serikat yaitu sebesar 1,23. Angka tersebut memberi makna bahwa, jika GDPAS Amerika Serikat naik sebesar 1 persen, maka permintaan ekspor kayu manis Indonesia di Amerika Serikat akan meningkat sebesar 1,23%, atau sebaliknya jika penurunan GDPAS sebesar 1%, maka akan menurunkan
150 permintaan kayu manis Indonesia sebesar 1,23%, seperti ditunjukkan pada Tabel 22 di bawah ini. Tabel 22. Pendugaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Tahun 1979-2006. Permintaan Amerika Serikat
Peubah
Intersep (Xi) Ln PIi Ln GDPi Ln Kurs Rill (RER) Belanda Intersep (Xi) Ln PIi Ln GDPi Ln Kurs Rill (RER) Negara lainnya Intersep (Xi) (ROW) Ln PIi Ln GDPi Ln Kurs Rill (RER) Sumber: data sekunder, diolah, 2008.
Dugaan Parameter 6,3690 -0,7507 1,2325 0,4708 3,0450 -0,4291 0,5554 0,2901 8,7446 -1,3842 0,0541 1,1646
Stat. t
Prob > [T]
10,6619 -3,4905 6,7975 3,31404 5,4610 -5,5214 2,6389 4,4501 16,969 -4,1751 0,5195 3,3790
0,0000 0,0019 0,0000 0,0029 0,0000 0,0000 0,0144 0,0002 0,0000 0,0003 0,6081 0,0025
R2 0,8505
0,5642
0,8070
Sedangkan untuk peubah harga di Amerika Serikat memiliki probabilitas sebesar 0,0019 atau signifikan pada taraf nyata 5%. Dengan kata lain mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat. Dengan memiliki elastisitas sebesar -0,75. Angka tersebut memberi makna bahwa jika terjadi kenaikan harga kayu manis di pasar Amerika Serikat sebesar 1%, maka permintaan ekspor kayu manis Indonesia di Amerika Serikat akan turun sebesar 0,75%. Demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan harga kayu manis di pasar Amerika Serikat sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat akan naik sebesar 0,75%. Kemudian untuk peubah nilai tukar (kurs) rill terbukti memiliki probabilitas sebesar 0,0029 atau signifikan pada taraf nyata 5%, sebagai peubah yang mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat. Dengan elastisitas permintaan sebesar 0,47. Angka tersebut mengandung makna bahwa setiap terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat akan meningkat sebesar 0,47%. Demikian juga sebaliknya setiap terjadi apresiasi rupiah terhadap dolar di pasar Amerika Serikat sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat akan turun sebesar 0,47%. Selanjutnya hasil pendugaan peubah harga, pendapatan dan nilai tukar
151 (kurs) rill, terhadap permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup baik karena memiliki probabilitas model sebesar 0,000 atau signifikan pada taraf nyata 5%, dan memiliki R square sebesar 0,564. Artinya peubah yang digunakan dalam model tersebut mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda sebesar 56,4%. Kemudian hasil pendugaan model permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda menunjukkan bahwa peubah harga signifikan pada taraf nyata 5%, mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda, sebagaimana probabilitas sebesar 0,000, serta elastisitas sebesar -0,43. Angka elastisitas tersebut mengandung makna bahwa jika harga meningkat di pasar Belanda sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia akan turun sebesar 0,43%. Demikian juga sebaliknya, apabila harga di pasar Belanda turun sebesar 1%, maka permintaan akan meningkat sebesar 0,43%. Selanjutnya untuk peubah GDP Belanda terbukti memiliki probabilitas 0,014, atau signifikan pada taraf nyata 5%, mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda dan memiliki elastisitas sebesar 0,55. Angka tersebut mengandung makna bahwa jika GDP Belanda meningkat sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia akan meningkat sebesar 0,55%. Demikian juga sebaliknya, apabila GDP Belanda mengalami penurunan sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda akan mengalami penurunan sebesar 0,55%. Demikian juga untuk peubah nilai tukar (kurs) rill, terbukti signifikan pada taraf nyata 5% mempengaruhi permintaan kayu manis di Indonesia di pasar Belanda, sebagaimana ditunjukkan probabilitas sebesar 0,000. Dengan elastisitas sebesar 0,290. Angka tersebut mengandung makna bahwa, apabila terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar di pasar Belanda sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda akan mengalami peningkatan sebesar 0,29%. Demikian juga sebaliknya, apabila apresiasi rupiah sebesar 1%, maka permintaan akan mengalami penurunan sebesar 0,29%. Sedangkan hasil pendugaan model permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lain atau rest of the world (ROW), menunjukkan bahwa model yang
152 digunakan cukup baik karena memiliki probabilitas sebesar 0,000 atau signifikan pada taraf nyata 5%, dengan R square sebesar 0,807. Artinya peubah yang terdapat dalam model mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lain atau rest of the world (ROW) sebesar 80,7% dan sisanya ditentukan oleh peubah lainnya Sedangkan hasil pendugaan menunjukkan bahwa peubah harga signifikan pada taraf nyata 5% mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar rest of the world (ROW), sebagaimana ditunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,0003. Dengan elastisitas sebesar -1,384. Angka tersebut mengandung makna bahwa apabila harga kayu manis meningkat di pasar rest of the world (ROW) sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia akan turun sebesar 1,38%. Demikian juga sebaliknya, apabila harga di pasar rest of the world (ROW) turun sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lainnya atau rest of the world (ROW) akan meningkat sebesar 1,38%. Untuk peubah GDP rest of the world, terbukti tidak signifikan atau cenderung mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar rest of the world (ROW), sebagaimana ditunjukkan probabilitas 0,5608. Artinya permintaan kayu manis di pasar rest of the world (ROW) cenderung tidak dipengaruhi oleh GDP. Demikian juga untuk peubah nilai tukar (kurs) rill, terbukti signifikan pada taraf nyata 5% mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar rest of the world (ROW), sebagaimana ditunjukkan nilai probabilitas 0,0025. Dengan elastisitas sebesar 1,164, menunjukkan bahwa, apabila terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar di pasar (ROW) sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar rest of the world (ROW) akan mengalami peningkatan sebesar 1,16%. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi apresiasi rupiah sebesar 1%, maka permintaan kayu manis Indonesia di pasar rest of the world (ROW) akan mengalami penurunan sebesar 1,16%. Selanjutnya untuk mengetahui kecepatan penyesuaian permintaan kayu manis Indonesia di pasar tujuan ekspor jika terjadi shock atau goncangan harga dan ekonomi negara tujuan maka kecepatan penyesuaian tersebut dapat diketahui dengan menggunakan model kointegrasi dan error corecction model. Dengan tahapan penggunaannya model tersebut sebagai berikut:
153 Uji Unit Root Hasil uji unit root dengan menggunakan uji ADF untuk mengidentifikasi kestasioneran data dengan konstanta tanpa tren menunjukkan bahwa penggunaan data level untuk semua variabel analisis permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat, Belanda dan negara lainnya atau rest of the world (ROW) terlihat bahwa pada data panel konstanta tanpa tren tidak semua variabel stasioner. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada beberapa variabel dalam sistem persamaan permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar tujuan untuk data level masih nonstasioner, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji differensiasi. Tabel 23. Uji Unit Root Untuk Konstanta Tanpa Tren Pada Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia Untuk Pasar Tujuan Periode 1979-2006. Variabel
Level # lag
a)
Diferensiasi I
Uji ADF
b)
# lag
a)
Uji ADF
b)
Konstanta Tanpa Tren 1. Pasar Amerika Serikat (AS): Permintaan (LXAS) Rasio Harga (LP)
1 0
-0,96 -1.31
0 0
-10,25** -5,79**
GDP (LGDP)
0
-1.48
0
-3,65*
Nilai Tukar (LKURS)
2
-1,76
0
-9,79**
Permintaan (LXB)
0
-3,31
0
-4,80**
Rasio Harga (LP)
0
-1,44
0
-4,08**
GDP (LGDP)
2
0,71
1
-3,28*
Nilai Tukar (LKURS)
0
-1,59
0
-4,39**
2. Pasar Belanda (BL):
3. Pasar Rest of the world (ROW):
a) b)
Permintaan (LXR)
2
2,48
0
-7,50**
Rasio Harga (LP)
0
-1,41
0
-5,07**
GDPROW (LGDP) Nilai Tukar (LKURS)
1 0
1,96 -0,62
0 0
-4,92** -4,08**
Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SBC (Schwarz"s - Bayesian Criteria) minimum. Test ADF (Augmented Dickey-Fuller) dibandingkan dengan nilai Label MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol, adanya unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
Uji ADF data diferensiasi I pada panel konstanta tanpa tren terlihat semua data telah stasioner. Dari model persamaan permintaan ekspor kayu manis Indonesia tersebut, terlihat bahwa setiap variabel stasioner pada I(1). sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 24. Sedangkan hasil uji unit root dengan menggunakan uji ADF untuk mengidentifikasi kestasioneran untuk data konstanta dengan tren menunjukkan bahwa penggunaan data level untuk semua variabel analisis
154 permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat, Belanda, dan rest of the world (ROW) tidak semua variabel stasioner, kecuali untuk permintaan kayu manis Amerika Serikat. Tabel 24. Uji Unit Root Untuk Konstanta dengan Tren Pada Model Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia Pada Pasar Tujuan Periode 1979-2006 Variabel
Level # lag
a)
Diferensiasi I
Uji ADF
b)
# lag
a)
Uji ADF
b)
Konstanta dengan Tren 1. Pasar Amerika Serikat (AS): Permintaan (LX) Rasio Harga (LP) GDP (LGDP)
0 0 1
-5,99** -2.34 -1.84
0 0 0
-10,04** -6,05** -3,67**
1
-1,49
0
-9,89**
Permintaan (LD)
0
-2,39
0
-4,70**
Rasio Harga (LP)
1
-2,02
0
-4,16*
GDP (LGDP) Nilai Tukar (KURS)
1 0
-3,77 -1,46
1 1
-3,42* -4,47**
2 0
0,89 -2,15
1 0
-5,45** -4,94**
Nilai Tukar (KURS) 2. Pasar Belanda (BL):
5.
Pasar Rest of the world (ROW): Permintaan (LXR) Rasio Harga (LP)
c) d)
GDP (LGDP)
0
-1,20
0
-3,75*
Nilai Tukar (KURS)
0
-1,85
0
-4,00*
Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SBC (Schwarz"s - Bayesian Criteria) minimum. Test ADF (Augmented Dickey-Fuller) dibandingkan dengan nilai Label MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak hipotesis nol, adanya unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.
Hasil estimasi mengindikasikan bahwa pada beberapa variabel dalam sistem persamaan permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar utama sebagian besar data nonstasioner terutama pada data level, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji differensiasi. Sedangkan pada uji ADF data diferensiasi I untuk panel konstanta dengan tren terlihat sudah stasioner. Dari model persamaan permintaan ekspor kayu manis Indonesia tersebut, terlihat bahwa setiap variabel stasioner pada I(1), seperti dijelaskan pada Tabel 25. Uji Kointegrasi Hasil uji kointegrasi terhadap permintaan kayu manis Indonesia bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keseimbangan atau kestabilan jangka panjang antar variabel yang diamati, untuk pasar tujuan ekspor kayu manis Indonesia yaitu pasar Amerika Serikat, Belanda, dan rest
155 of the world (ROW),seperti ditunjukkan Tabel 25 di bawah ini. Tabel 25. Uji Kointegrasi Untuk Persamaan Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia, Periode Tahun 1979-2006 Pasar Tujuan Amerika Serikat Belanda ROW
ADF t-Stat -6,17 -3,40 -7,34
Test Critical Value 1% 5% -2,65 -1,95 -2,65 -1,95 -2,66 -1,95
Sumber: Data Sekunder, diolah 2008.
Hasil estimasi model kointegrasi terhadap model permintaan kayu manis Indonesia dengan menggunakan model Augmened Dickey-Fuller test seperti pada Tabel 25 di atas, menunjukkan bahwa untuk pasar Amerika Serikat terjadi kointegrasi diantara semua variabel yang disertakan dalam model tersebut, sebagaimana ditunjukkan dengan nilai uji t-statistik = -6,17 < t-critical 1% = 2,65. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan atau kestabilan antar variabel yang diamati. Selanjutnya untuk persamaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda terlihat memiliki nilai t-statistik = -3,40 < t-critical 1% = -2,65. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka panjang akan terjadi kointegrasi diantara semua variabel yang disertakan dalam model tersebut, atau dengan lain perkataan, dalam jangka panjang terjadi keseimbangan atau kestabilan antar variabel yang dibangun dalam melakukan analisis permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda. Kemudian untuk persamaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lainnya atau rest of the world (ROW) memiliki nilai t-statistik = -7,34 < tcritical 1% = -2,66. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya kointegrasi diantara semua variabel yang disertakan dalam model pendugaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lain atau rest of the world (ROW). Artinya bahwa dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan atau kestabilan antar variabel yang diamati. Estimasi Persamaan Error Correction Model (ECM) Hasil estimasi model ECM dalam menentukan keseimbangan jangka panjang sebagaimana dijelaskan pada Tabel 26, terlihat bahwa untuk pasar Amerika Serikat nilai koefisien (et) sebesar -1,194. Dari hasil pendugaan tersebut
156 terlihat bahwa permintaan kayu manis Indonesia di pasar Amerika Serikat, untuk periode 1979-2006 menunjukkan bahwa keseimbangannya berada di atas keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian sehingga untuk mencapai keseimbangan jangka panjang perlu di koreksi setiap tahun sebesar 1,19%. Selanjutnya hasil analisis keseimbangan jangka panjang permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama Belanda terlihat memiliki nilai koefisien (et) yaitu sebesar -0,578. Dari hasil pendugaan tersebut menunjukkan bahwa model permintaan kayu manis Indonesia di pasar Belanda, pada periode 1979-2006 terlihat berada di atas nilai keseimbangan jangka panjangnya. Dengan demikian sehingga untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, perlu di koreksi setiap tahun sebesar 0,578%, sebagaimana ditunjukkan Tabel 26 di bawah ini. Tabel 26. Hasil Pendugaan Error Correction Model (ECM) Permintaan Ekspor Kayu Manis Indonesia di Pasar Internasional, Tahun 1979-2006. Pasar Ekspor Kayu Manis Indonesia Amerika Serikat Belanda ROW -1,194 -0,578 -0,568 e(t) Sumber: data sekunder diolah. Variabel
Selanjutnya dilihat dari e(t) untuk model permintaan kayu manis Indonesia pada pasar negara lain atau rest of the world (ROW), terlihat memiliki nilai koefisien (et) yaitu sebesar -0,568. Dari hasil pendugaan tersebut menunjukkan bahwa permintaan kayu manis Indonesia di pasar negara lain atau rest of the World (ROW) untuk periode 1979-2006 terlihat berada diatas nilai keseimbangan jangka panjangnya. Dengan demikian sehingga untuk mencapai keseimbangan jangka panjang perlu di lakukan koreksi setiap tahun sebesar 0,658%. Dari hasil analisis keseimbangan jangka panjang untuk model permintaan kayu manis Indonesia di pasar internasional menunjukkan bahwa harga kayu manis masih memiliki prospek keseimbangan untuk jangka panjang, walaupun dilihat dari sisi permintaan ternyata kayu manis Indonesia masih berada dalam posisi yang kurang nenguntungkan.
157 Implikasi Hasil Analisis Permintaan Ekspor Dari hasil analisis posisi dan prospek permintaan ekspor kayu manis Indonesia di pasar utama dunia seperti di pasar Amerika Serikat, Belanda, periode tahun 1979-2006, menunjukkan bahwa faktor harga, pendapatan negara tujuan (GDP) dan nilai tukar (kurs) rill, signifikan mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar tersebut, seperti di pasar Amerika Serikat dan Belanda. Sedangkan permintaan kayu manis di negara lain atau rest of the world (ROW) signifikan dipengaruhi oleh faktor harga dan kurs. Dari hasil analisis tersebut bila dikaitkan dengan kondisi ekonomi negara tujuan ekspor utama yang sedang mengalami kesulitan, maka salah satu upaya untuk meningkatkan pangsa ekspor kayu manis Indonesia adalah perlu melakukan kerjasama/perluasan pemasaran ke negara lain seperti Eropa dan Asia lainnya yang juga merupakan importir kayu manis Indonesia. Selain itu karena nilai tukar (kurs) rill signifikan mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar tujuan sehingga untuk meningkatkan permintaan dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit maka dapat dilakukan dengan meningkatkan daya saing komoditi, sesuai dengan Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa permintaan ekspor dapat dipengaruhi oleh harga, pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar (kurs). Selain itu karena Indonesia merupakan eksportir terbesar yang memasok kebutuhan kayu manis Amerika Serikat, dimana dengan tingkat elastisitas GDP yang tinggi dalam mempengaruhi permintaan terhadap kayu manis Indonesia, sehingga ketika terjadi goncangan ekonomi (GDP) di Amerika Serikat maka perlu diantisipasi dengan melakukan perluasan pasar ekspor ke negara lain seperti ke Asia, dan Eropa yang juga merupakan pasar potensial, bagi ekspor komoditas kayu manis Indonesia, serta perlu memperkuat pasar domestik, dan daya saing, serta perlu mendorong pengembangan agroindustri processing di daerah. Dari hasil analisis permintaan ekspor menunjukkan bahwa secara teoritis faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP), dan nilai tuka (kurs) rill terbukti signifikan mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia. Hal ini sesuai dengan (Malian et al. 2004; dan Anwar, 2005).
158 Rangkuman Hasil Analisis Hasil analisis menunjukkan bahwa harga kayu manis di tingkat petani tidak terintegrasi sempurna dengan harga di tingkat eksportir. Lemahnya integrasi harga merupakan indikasi lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani dalam perdagangan komoditas serta menunjukkan petani menghadapi kondisi asimetrik informasi. Dengan demikian berarti petani berpotensi menghadapi kerugian dibandingkan dengan pedagang. Kondisi tersebut juga menunjukkan tidak efisiennya pemasaran dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat. Selanjutnya hasil analisis posisi daya saing, menunjukkan bahwa posisi daya saing komoditas kayu manis Indonesia di pasar internasional secara umum berada di bawah daya saing China. Kondisi tersebut karena dipengaruhi oleh lemahnya daya saing kayu manis secara spesifik (daya saing produk olahan). Namun demikian apabila dibandingkan dengan pesaing lainnya seperti Sri Lanka dan negara lainnya terbukti Indonesia masih memiliki posisi yang lebih baik. Rendahnya daya saing kayu manis Indonesia dalam bentuk spesifik (produk olahan), menunjukkan bahwa dominannya komoditas tersebut di ekspor dalam bentuk gelondongan. Dalam kondisi dominannya ekspor kayu manis dalam bentuk produk gelondongan, menunjukkan rendahnya nilai tambah yang diperoleh petani dan daerah Kabupaten Kerinci dalam pengembangan komoditi kayu manis. Untuk meningkatkan daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional dengan mengadopsi strategi China maka perlu dilakukan (i) upgrading industri dan produknya untuk meningkatkan competitiveness seperti melalui investasi, (ii) melakukan reformasi industri tradisional dan strategi pengurangan pajak dan remittances, (iii) melakukan penetapan standar kualitas dan teknologi yang kuat, dan (iv) membuat kebijakan protektsi untuk melindungi sektor pertanian, jasa dan infant industri dari kompetisi internasional. Selanjutnya hasil pendugaan permintaan kayu manis Indonesia di pasar dunia periode analisis tahun 1979-2006 yang ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya yang terdiri dari faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara tujuan ekspor, dan nilai tukar (kurs) rill. Terbukti di pasar Amerika Serikat dan Belanda faktor harga, GDP dan nilai tukar signifikan mempengaruhi
100 50 0 -50 0
159 permintaan kayu manis Indonesia. Sedangkan di pasar negara lain terbukti signifikan dipengaruhi oleh faktor harga dan nilai tukar (kurs) rill. Dari kondisi eksisting menunjukkan bahwa kinerja pemasaran kayu manis Indonesia di pasar internasional belum menggembirakan. Oleh karena itu ke depan, upaya perbaikan perlu dilakukan seperti dengan meningkatkan kerjasama dan kemitraan antar wilayah/negara, meningkatkan kualitas produk atau daya saing komoditas melalui pengembangan pengolahan (processing) melalui peningkatan investasi di dalam daerah, meningkatkan akses pasar, memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah perlu dilakukan, terutama dalam upaya mengurangi kebocoran nilai tambah, sehingga nilai tambah dapat dioptimalkan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah dan perekonomian nasional. Prospek pengembangan kayu manis masih sangat memungkinkan baik dari aspek pengembangan processing maupun pemasaran terutama sejalan dengan berlangsungnya globalisasi perdagangan dewasa ini.
PERAN SEKTOR KAYU MANIS TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI Pada bab ini dijelaskan hasil analisis peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, yang didahului dengan gambaran umum perekonomian wilayah, dan keterkaitan sektor (sectoral linkage), serta dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Kerinci Secara umum aspek perekonomian wilayah yang dijelaskan pada bab ini terdiri dari produk domestik regional bruto, produk domestik regional bruto perkapita, tenaga kerja, dan struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah merupakan indikator utama yang dapat digunakan untuk menggambarkan atau memetakan secara umum kondisi perekonomian suatu wilayah. Gambaran tersebut sangat bermanfaat terutama untuk memberi landasan identifikasi peran suatu sektor terhadap perekonomian suatu wilayah. Produk domestik regional bruto Kabupaten Kerinci yang akan digambarkan pada bab ini merupakan PDRB yang telah di agregasi dalam sembilan sektor perekonomian, yang terdiri dari (1) sektor pertanian, yang dirinci dalam subsektor perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, (2) sektor pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) sektor listrik dan air bersih, (5) sektor bangunan, (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (7) sektor pengangkutan dan komunikasi, (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) sektor jasa-jasa lainnya. Untuk memberi gambaran perkembangan produk domestik regional bruto Kabupaten Kerinci atas dasar harga berlaku dan harga konstan 2000, pada Tabel 27 dan 28 di bawah ini dijelaskan perkembangan PDRB Kabupaten Kerinci periode tahun 2002-2006 sebagai berikut.
161 Tabel 27. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 No
Lapangan Usaha
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
No
Lapangan Usaha
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2002 660,30 5,06 57,62 10,53 35,33 255,43 150,49
Kontribusi (Milyar Rupiah) Tahun 2003 2004 2005 831,32 6,43 66,02 15,34 56,66 280,18 168,05
2006
948,99 1.172,92 1.348,70 7,12 7,67 8,59 73,68 78,62 87,24 18,40 20,63 22,17 70,61 80,62 88,77 321,54 344,51 376,91 187,34 196,34 234,12
56,74 65,79 86,37 97,08 111,99 190,52 241,84 274,17 307,35 363,50 1.422,03 1.731,64 1.988,22 2.305,73 2.641,99 Kontribusi (%) 2002 2003 2004 2005 2006 46,43 0,36 4,05 0,74 2,48 17,96 10,58
48,01 0,37 3,81 0,89 3,27 16,18 9,70
47,73 0,36 3,71 0,93 3,55 16,17 9,42
50,87 0,33 3,41 0,89 3,50 14,94 8,52
51,05 0,33 3,30 0,84 3,36 14,27 8,86
3,99 13,40
3,80 13,97
4,34 13,79
4,21 13,33
4,24 13,76
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS Kab. Kerinci, 2006.
Berdasarkan PDRB sembilan sektor atas dasar harga berlaku, terlihat bahwa perekonomian Kabupaten Kerinci periode tahun 2002-2006 secara umum di didominasi oleh peran sektor pertanian. Dominannya peran sektor pertanian tersebut sangat terkait dengan struktur daerahnya yang memiliki potensi pertanian yang lebih dominan dibandingkan dengan sektor lainnya. Dengan demikian peran terhadap sektor tersebut dalam menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah, menjadi sangat penting, sebagaimana ditunjukkan oleh kontribusi sektor seperti pada tahun 2006, sektor pertanian mewarnai 51,05% dari perekonomian wilayah. diikuti oleh sektor perdagangan 14,27%, sektor jasa 13,76%, pengangkutan dan komunikasi sebesar 8,86%, sedangkan sektor lainnya berada di bawah 8%. Selanjutnya dilihat sisi produk domestik regional bruto Kabupaten Kerinci atas dasar harga konstan 2000, juga menunjukkan dominannya peran sektor
162 pertanian
dalam
mewarnai
perekonomian
wilayah
Kabupaten
Kerinci,
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 28 di bawah ini. Tabel 28. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah), Periode 2002-2006 No
Lapangan Usaha
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
No
Lapangan Usaha
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2002
Kontribusi (Milyar Rupiah) Tahun 2003 2004 2005
2006
545,44
567,49
595,08
628,43
661,30
4,43 46,47 7,09 28,44 159,95 105,18
4,59 47,48 8,34 34,91 166,23 111,18
4,77 48,91 9,20 39,85 171,90 118,26
4,86 50,69 9,68 45,18 183,20 122,85
4,90 54,46 10,32 49,51 194,59 132,10
48,68
49,69
52,03
55,02
57,14
135,64 143,34 151,23 155,65 164,24 1.081,32 1.133,25 1.191,23 1.255,56 1.328,56 Kontribusi (%) 2002 2003 2004 2005 2006 50,44 0,41 4,30 0,66 2,63 14,79 9,73
50,08 0,41 4,19 0,74 3,08 14,67 9,81
49,96 0,40 4,11 0,77 3,35 14,43 9,93
50,05 0,39 4,04 0,77 3,60 14,59 9,78
49,78 0,37 4,10 0,78 3,73 14,65 9,94
4,50 12,54
4,38 12,65
4,37 12,70
4,38 12,40
4,30 12,36
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS Kab.Kerinci, 2006.
Selanjutnya apabila dilihat posisi PDRB Kabupaten Kerinci berdasarkan Tabel Input-Output Kabupaten Kerinci empat puluh sektor tahun 2006, menunjukkan bahwa dari total PDRB tahun 2006 sebesar 2,6 triliun rupiah, terlihat sektor yang paling dominan membentuk PDRB Kabupaten Kerinci adalah sektor perdagangan. Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa selain sektor pertanian, terlihat peran sektor perdagangan merupakan sektor penggerak perekonomian di Kabupaten Kerinci, sebagaimana ditunjukkan 12,50% sektor perdagangan mewarnai perkonomian Kerinci. Kemudian disusul peran sektor padi dengan nilai mencapai 316 milyar rupiah (11,96%), sektor pemerintahan umum dengan nilai 292 milyar rupiah (11,08%), sektor kayu manis dengan nilai 167
163 milyar rupiah (6,35%), sektor teh dengan nilai 121 milyar rupiah (4,59%), dan sektor industri makanan dan minuman sebesar 84,6 milayar rupiah (3,20%). Sedangkan untuk mengetahui lebih rinci peran sektor dalam membentuk PDRB Kabupaten Kerinci dijelaskan pada Tabel 29 di bawah ini. Tabel 29. PDRB Empat Puluh Sektor Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Tahun 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor
Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasil-hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan,minuman dan tembakau Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki Industri bahan bangunan dari kayu Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk, kimia, brg dari karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri barang dari logam, mesin dan peralatan Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya Total Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Nilai 316.035,25 16.034,00 36.614,40 14.470,00 97.822,50 57.716,30 101.260,00 28.183,00 23.310,60 7.906,50 25.520,00 121.252,00 59.812,50 167.781,60 141.749,31 68.679,44 33.359,35 723,55 30.466,27 8.588,93 84.620,31 3.245,26 12.813,54 4.327,35 1.727,66 10.511,70 4.778,05 5.217,82 22.171,64 108.767,54 330.326,73 44.593,50 97.771,53 9.642,34 12.703,55 43.288,10 124.699,45 292.753,51 45.186,30 25.563,02 2.641.994,40
Persentase 11,96 0,61 1,39 0,55 3,70 2,18 3,83 1,07 0,88 0,30 0,97 4,59 2,26 6,35 5,37 2,60 1,26 0,03 1,15 0,33 3,20 0,12 0,48 0,16 0,07 0,40 0,18 0,20 0,84 4,12 12,50 1,69 3,70 0,36 0,48 1,64 4,72 11,08 1,71 0,97
164 Kemudian dilihat dari pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kerinci periode 2002-2006 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Kerinci berdasarkan PDRB harga konstan yaitu cenderung mengalami peningkatan seperti dari 4,36% pada tahun 2002, meningkat menjadi 4,80% pada tahun 2003, dan 5,12% pada tahun 2004. Kemudian dari 5,40% pada tahun 2005, meningkat lagi menjadi 5,81% pada tahun 2006, seperti ditunjukkan Tabel 30 di bawah ini. Tabel 30. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Berdasar PDRB Harga Konstan 2000 ( Persen) Periode 2002-2006 No
Rata-Rata Pertumbuhan
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Rata-Rata Pertumbuhan
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2002
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) 2003 2004 2005 2006
4,56
4,04
4,86
5,60
5,23
3,75 2,45 10,44 3,72 3,85 5,63
3,61 2,17 17,63 22,75 3,93 5,70
3,92 3,01 10,31 14,15 3,41 6,37
1,89 3,64 5,22 13,38 6,57 3,88
0,82 7,44 6,61 9,58 6,22 7,53
2,33
2,07
4,71
5,75
3,85
4,48 4,36
5,68 4,80
5,50 5,12
2,92 5,40
5,52 5,81
Sumber: BPS Kab.Kerinci, 2006.
Dari perkembangan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kerinci periode 2002-2006 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 5,81%. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 terlihat dominan didukung oleh peran sektor bangunan yaitu sebesar 9,58% berada di atas peran sektor lainnya. Tingginya laju perkembangan sektor bangunan karena didukung oleh peningkatan pembangunan infrastruktur yang lebih baik di masyarakat. Namun demikian pertumbuhan sektor bangunan diikuti oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 7,53%. Laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi, berdasarkan data BPS lebih didorong oleh peningkatan sarana transportasi yang semakin membaik. Sedangkan ditinjau dari laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku periode tahun 2006 menunjukkan sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 31.
165 Tabel 31. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Kerinci Atas Dasar PDRB Harga Berlaku (Persen) Periode 2002-2006 No
Rata-Rata Pertumbuhan
1.
Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Rata-Rata Pertumbuhan
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2002
Atas Dasar Harga Berlaku (%) 2003 2004 2005
2006
21,00 12,44 12,85 47,69 14,04 35,23 27,26
25,90 27,08 14,58 45,68 60,37 9,69 11,67
14,15 10,73 11,60 19,95 24,62 14,76 11,48
23,60 7,72 6,70 12,12 14,18 7,14 4,80
14,99 11,99 10,96 7,46 10,11 9,40 19,24
10,26 21,92
15,95 26,94
31,28 13,37
12,40 12,10
15,36 18,27
23,20
21,77
14,82
15,97
14,58
Sumber: BPS Kab.Kerinci, 2006.
Namun demikian dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kerinci berdasarkan harga berlaku menunjukkan bahwa priode 2002-2006, laju pertumbuhan cenderung berfluaktif yaitu dari 23,20% pada tuhun 2002, menjadi 21,77% pada tahun 2003, kemudian 14,82% tahun 2004, dan 15,97% pada tahun 2005, serta 14,58% pada tahun 2006. Selanjutnya berdasarkan harga berlaku periode tahun 2002-2006 terlihat sektor bangunan dan sektor listrik dan air bersih merupakan sektor yang cenderung memiliki laju pertumbuhan tertinggi, seperti ditunjukkan Gambar 20 di bawah ini.
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Kerinci Berdasarkan Harga Berlaku Periode 2002-2006 70 60 2002 2003
Persentase
50 40
2004 2005 2006
30 20 10
Ja sa -J as a
Pe rd ag an ga n P en ga ng ku ta n K eu an ga n
Ba ng un an
ri Pe ng ol ah k an da n A ir B er si h Li st ri
ba ng an
In du st
er ta m
P
P
er ta ni
an
0
Gambar 20. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Kerinci Berdasarkan Harga Berlaku Periode 2002-2006.
166 Dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa walaupun sektor pertanian dominan mewarnai perekonomian Kabupaten Kerinci, namun bila dilihat lebih jauh ternyata sektor pertanian cenderung kurang memiliki pertumbuhan yang lebih baik atau berada di atas sektor lainnya. Artinya dalam pengembangan ekonomi wilayah, sektor pertanian masih belum menjadi prioritas dalam pembangunan wilayahnya. Untuk mengetahui perkembangan PDRB sektor pertanian dapat ditunjukkan pada Tabel 32 di bawah ini. Tabel 32. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun 2002-2006 No
Subsektor Pertanian
1. 2. 3. 4. 5.
Tanaman Bahan Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Total
1. 2. 3. 4. 5.
Tanaman Bahan Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Rata-rata laju pertumbuhan
2002 347,68 240,45 58,86 0,78 12,52 660,30
Tahun 2003 2004 2005 2006 420,80 494,32 609,18 699,35 326,06 357,79 449,09 516,11 63,83 71,93 86,51 102,04 0,92 0,88 0,81 0,72 19,72 24,07 27,33 30,47 831,32 948,99 1.172,92 1.348,70 Laju Pertumbuhan (%) 21.03 17.47 23.24 14.80 35.60 9.73 25.52 14.92 8.44 12.69 20.27 17.95 17.95 (4.35) (7.95) (11.11) 57.51 22.06 13.54 11.49 25.90 14.15 23.60 14.99
Sumber: BPS Kab.Kerinci, diolah, 2008.
Peran sektor pertanian dalam perekonomian wilayah ditentukan oleh kontribusi subsektor tanaman pangan yaitu sebesar 699 milyar rupiah (51,85%), dan subsektor perkebunan sebesar 516 milyar rupiah (38,27%), peternakan 102 milyar rupiah (7,57%), perikanan 30 milyar rupiah (2,26%) dan subsektor kehutanan 72 milyar rupiah (0,05%). Dari kontribusi masing-masing subsektor tersebut terlihat bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor terbesar kedua yang berkontribusi dalam membentuk sektor pertanian di Kabupaten Kerinci setelah subsektor tanaman pangan. Secara grafik laju pertumbuhan subsektor-subsektor dalam sektor pertanian ditunjukkan pada Gambar 21, dimana laju pertumbuhan untuk sektor perkebunan terlihat perkembangannya cenderung berfluktuatif.
167 Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Harga Berlaku Periode 2003-2006 (Persentase) 40
30 2003 2004
20
2005 2006 10
0 Tanaman Pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
-10
-20
Gambar 21. Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku Periode 2003-2006. Selain itu pentingnya peran sektor pertanian dalam pembentukan perekonomian wilayah juga ditunjukkan kontribusi dalam harga konstan seperti ditunjukkan Tabel 33 di bawah ini. Tabel 33. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah) Periode 2002-2006 No
Subsektor Pertanian
1. 2. 3. 4. 5.
Tanaman Bahan Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Total
1. 2. 3. 4. 5.
Tanaman Bahan Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Rata-rata laju pertumbuhan
Sumber: BPS Kab.Kerinci, diolah, 2008.
2002 272,74 216,11 45,74 0,62 10,23 545,44
Tahun 2003 2004 2005 285,61 302,99 323,63 225,06 232,58 241,93 45,92 48,17 51,23 0,66 0,63 0,50 10,23 10,71 11,14 567,49 595,08 628,43 Laju Pertumbuhan (%) 4.72 6.09 6.81 4.14 3.34 4.02 0.39 4.90 6.35 6.45 (4.55) (20.63) 4.69 4.01 4.04 4.86 5.60
2006 341,49 253,06 54,78 0,40 11,57 661,30 5.52 4.60 6.93 (20.00) 3.86 5.23
168 Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Produk domestik regional bruto perkapita merupakan salah satu indikator penting untuk memetakan tingkat kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah. Selanjutnya memperhatikan jumlah penduduk Kabupaten Kerinci tahun 2006 yaitu sebesar 311.354 jiwa dengan PDRB menurut harga berlaku sebesar 2,641 milyar rupiah, maka terlihat bahwa pendapatan perkapita masyarakat Kabupaten Kerinci pada tahun 2006 yaitu sebesar 8,5 juta rupiah. Sedangkan dilihat dari perkembangannya periode tahun 2002-2006, menunjukkan bahwa pada tahun 2002 pendapatan perkapita mencapai 4,7 juta rupiah, pada tahun 2003 sebesar 5,7 juta rupiah, tahun 2004 sebesar 6,5 juta rupiah, dan pada tahun 2005 sebesar 7,5 juta rupiah. Selanjutnya dengan laju rata-rata pertumbuhan mencapai 17,21 persen pada tahun 2003, dan 12,21% pada tahun 2004, serta 12,77% pada tahun 2005 dan 12,00% pada tahun 2006. Dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB perkapita empat tahun terakhir, terlihat bahwa pada tahun 2003 merupakan laju pertumbuhan tertinggi yaitu mencapai 17,21% dan pada tahun 2006 merupakan laju pertumbuhan terendah, seperti ditunjukkan Tabel 34 di bawah ini. Tabel 34. Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten Kerinci Atas Dasar Harga Berlaku Periode Tahun 2002-2006 No 1. 2. 3. 4. 5.
Komponen PDRB (Milyar Rupiah) Jumlah Penduduk (Jiwa) PDRB Perkapita (Juta Rupiah) Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita (%) Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita rata-rata Tahun 2003-2006 (%)
2002 1.422,03 300.370
2003 1.731,64 302.809
Tahun 2004 1.988,22 305.243
2005 2.305,73 308.785
2006 2.641,99 311.354
4.734,25
5.718,59
6.513,57
7.467,11
8.485,50
17,21
12,21
12,77
12,00 13,55
Sumber: BPS Kab.Kerinci, diolah, 2008.
Dilihat dari laju pertumbuhan pendapatan perkapita Kabupaten Kerinci berdasarkan harga konstan 2000, periode tahun 2002-2006 menunjukkan bahwa pertumbuhannya cenderung berfluktuatif. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kerinci cenderung meningkat seperti pada tahun 2002 terlihat PDRB perkapita Kabupaten Kerinci sebesar 3,6 juta rupiah, tahun
169 2003 sebesar 3,7 juta rupiah, tahun 2004 sebesar 3,9 juta rupiah, tahun 2005 sebesar 4,1 juta rupiah dan pada tahun 2006 sebesar 4,3 juta rupiah. Demikian
juga
berdasarkan
PDRB
harga
konstan
2000,
terlihat
pertumbuhan rata-rata tahun 2002-2006 sebesar 4,16%, dan tahun 2006 sebesar 4,71%. Dari perkembangan tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi tahun 2006 berada di atas rata-rata laju pertumbuhan tahun lainnya seperti ditunjukkan Tabel 35 di bawah ini. Tabel 35. Perkembangan PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000, Periode Tahun 2002-2006 No 1. 2. 3. 4. 5.
Pendapatan Perkapita PDRB (Milyar Rupiah) Jumlah Penduduk (Jiwa) PDRB Perkapita (Juta Rupiah) Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita (%) Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita Rata-rata Tahun 20032006 (%)
2002 2003 1.081,33 1.133,25 300.370 302.809
Tahun 2004 2005 2006 1.191,24 1.255,56 1.328,55 305.243 308.785 311.354
3.600,01 3.742,45
3.902,59 4.066.13 4.267,01
3,81
4,10
4,02
4,71
4,16
Sumber: BPS Kab.Kerinci, diolah, 2008.
Dari perkembangan laju pertumbuhan PDRB perkapita periode yang sama menunjukkan bahwa pada tahun 2006 merupakan laju pertumbuhan tertinggi, atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun lainnya dalam periode 2002-2006. Oleh karena sektor pertanian merupakan sektor dominan dalam perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, maka perkembangannya perlu terus didorong. Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Komponen tenaga kerja merupakan variabel penting dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Untuk mengetahui jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Kerinci, berikut disajikan perkembangan tenaga kerja berdasarkan agregasi sembilan sektor menurut lapangan usaha tahun 2006. Dari jumlah tenaga kerja di Kabupaten Kerinci berdasarkan lapangan usaha pada tahun 2006 yaitu sebesar 141.219 jiwa, terlihat sektor pertanian merupakan sektor yang dominan menyerap tenaga kerja yaitu sebesar 97.711 (69,19%). Dominannya serapan tenaga kerja dalam sektor pertanian mampu mendorong
170 sektor pertanian sehingga dapat menekan angka pengangguran di Kabupaten Kerinci, dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Berikut disajikan data distribusi tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 (Tabel 36). Tabel 36. Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Kerinci Tahun 2006 No
Lapangan Usaha
1. 2. 3. 4. 5.
Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Konstruksi
6. 7. 8. 9.
Perdagangan, hotel dan restoran Komunikasi dan angkutan Keuangan Jasa-jasa Total
Jumlah (Jiwa) 97.711 580 4.125 303 1.937
Persentase (%) 69,19 0,41 2,92 0,21 1,37
15.732 3.913 435 16.483
11,14 2,77 0,31 11,67
141.219
100,00
Sumber: BPS Kab.Kerinci, 2006.
Subsektor yang mendukung penyediaan lapangan usaha dalam sektor pertanian terdiri dari subsektor pertanian tanaman bahan makanan (pangan) sebesar 58.198 (59,56%), subsektor perkebunan yaitu sebesar 34.699 (35,51%), subsektor peternakan dan hasil-hasilnya sebesar 2.929 (3,00%), dan subsektor kehutanan sebesar 168 (0,17%) serta subsektor perikanan sebesar 1.715 (1,76%), sebagaimana disajikan pada Tabel 37. Tabel 37. Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Dalam Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci (Jiwa) Tahun 2006
1. 2.
Lapangan Usaha Sektor Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan
3. 4. 5.
Peternakan Kehutanan Perikanan
No
Total Sumber: BPS Kab.Kerinci, 2006.
Tenaga Kerja (Jiwa) 58.198 34.699
Persentase (%) 59,56 35,51
2.929 168 1.715
3,00 0,17 1,76
97.711
100,00
171 Dari Tabel 37 di atas terlihat subsektor tanaman bahan makanan (pangan) merupakan subsektor terbesar yang mendukung serapan tenaga kerja di sektor pertanian di Kabupaten Kerinci. Secara visual dapat ditunjukkan distribusi serapan tenaga kerja sektor pertanian di Kabupaten Kerinci, seperti ditunjukkan Gambar 22 di bawah ini. Distribusi Tenaga Kerja dalam Sektor Pertanian di Kabupaten Kerinci Tahun 2007 Peternakan , 2,929, (3%)
Kehutanan , 168, (0.17%)
Perikanan , 1,715, (1,76%)
Perkebunan , 34,699, (36,51%) Tanaman Pangan , 58,198, (59,56%)
Gambar 22. Distribusi Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Kabupaten Kerinci Tahun 2007. Dari distribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, menunjukkan subsektor perkebunan merupakan subsektor terbesar kedua dalam menyerap lapangan kerja. Dengan demikian apabila subsektor tersebut dikembangkan maka serapan tenaga kerja di daerah akan berkembang. Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Output Perekonomian Output merupakan nilai produksi (baik barang maupun jasa) yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di suatu negara/wilayah, (BPS, 2000). Memperhatikan besarnya output yang diciptakan oleh sektor-sektor dalam perekonomian wilayah, berarti akan mengetahui prospek sumbangan sektor potensial yang dapat mendorong pembentukan output daerah. Berdasarkan Tabel Input Output Perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006 menunjukkan bahwa sektor perdagangan merupakan sektor yang
172 paling dominan kontribusinya dalam menciptakan output perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, seperti ditunjukkan Tabel 38 berikut ini. Tabel 38. Komposisi Output Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor
Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan,minuman dan tembakau Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri barang dari logam, dan mesin Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya Total Sumber: I-O Kab.Kerinci, 2006.
Nilai (Juta Rupiah) 349.821,84 17.137,63 40.177,19 14.777,02 113.652,49 63.220,91 115.433,95 43.030,74 24.905,22 10.612,27 26.775,08 146.291,60 65.543,96 206.147,22 158.436,19 82.189,42 42.080,81 847,21 36.306,04 10.891,73 400.380,21 4.078,49 16.515,60 5.860,03 2.148,65 15.610,35 5.901,92 12.168,06 30.498,02 191.937,49 435.386,19 97.232,44 178.333,68 15.598,81 16.809,72 56.262,33 143.084,40 404.356,67 62.040,04 32.904,05 3.695.385,66
Persentase (%) 9,47 0,46 1,09 0,40 3,08 1,71 3,12 1,16 0,67 0,29 0,72 3,96 1,77 5,58 4,29 2,22 1,14 0,02 0,98 0,29 10,83 0,11 0,45 0,16 0,06 0,42 0,16 0,33 0,83 5,19 11,78 2,63 4,83 0,42 0,45 1,52 3,87 10,94 1,68 0,89 100,00
Selain sektor perdagangan, sektor yang dominan terhadap pembentukan output perekonomian wilayah adalah sektor industri makanan dan minuman sebesar 400,4 milyar rupiah (10,83%), padi sebesar 349,8 milyar rupiah (9,47%), dan sektor kayu manis sebesar 206,1 milyar rupiah (5,58%).
173 Nilai Tambah Bruto Berdasarkan
Tabel
input
output
Kabupaten
Kerinci
tahun
2006
menunjukkan bahwa nilai tambah bruto (NTB) Kabupaten Kerinci yaitu sebesar 2,6 triliun rupiah. seperti disajikan pada Tabel 39 di bawah ini. Tabel 39. Komposisi Nilai Tambah Bruto Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Berdasarkan Harga Produsen Tahun 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor
Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasil-hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan,minuman dan tembakau Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki Industri bahan bangunan dari kayu Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk, kimia, brg dari karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri barang dari logam, mesin dan peralatan Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya Total Sumber : I-O Kab.Kerinci, 2006.
Nilai (Juta Rupiah) 316.035,25 16.034,00 36.614,40 14.470,00 97.822,50 57.716,30 101.260,00 28.183,00 23.310,60 7.906,50 25.520,00 121.252,00 59.812,50 167.781,60 141.749,31 68.679,44 33.359,35 723,55 30.466,27 8.588,93 84,620.31 3.245,26 12.813,54 4.327,35 1.727,66 10.511,70 4.778,05 5.217,82 22.171,64 108.767,54 330.326,73 44.593,50 97,771.53 9.642,34 12.703,55 43.288,10 124.699,45 292.753,51 45.186,30 25.563,02 2.641.994,40
Persentase (%) 11,96 0,61 1,39 0,55 3,70 2,18 3,83 1,07 0,88 0,30 0,97 4,59 2,26 6,35 5,37 2,60 1,26 0,03 1,15 0,33 3.20 0,12 0,48 0,16 0,07 0,40 0,18 0,20 0,84 4,12 12,50 1,69 3,70 0,36 0,48 1,64 4,72 11,08 1,71 0,97 100,00
174 Dari NTB tersebut terlihat sektor yang berkontribusi paling besar adalah sektor perdagangan yaitu sebesar 330,3 milyar rupiah (12,50%), disusul sektor padi sebesar 316 milyar rupiah (11,96%), sektor pemerintahan umum sebesar 292 milyar rupiah (11,08%) dan sektor kayu manis sebesar 167 milyar rupiah (6,35%). Dilihat dari komponen pembentukan nilai tambah bruto perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto menunjukkan bahwa komponen upah dan gaji berkontribusi sebesar 898 milyar rupiah (34,02%) terhadap pembentukan nilai tambah bruto tahun 2006, komponen surplus usaha berkontribusi sebesar 1,582 milyar rupiah (59,91%), komponen penyusutan berkontribusi sebesar 66 milyar rupiah (2,51%) dan komponen pajak tak langsung neto berkontribusi sebesar 93 milyar rupiah (3,55%), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 40 di bawah ini. Tabel 40. Distribusi Nilai Tambah Bruto Perekonomian Kabupaten Kerinci, Menurut Komponennya Tahun 2006
201.
Upah dan Gaji
Nilai (Juta Rupiah) 898.898,17
202.
Surplus Usaha
1.582.822,42
Kode
Nama Sektor
Persentase (%) 34,02 59,91
203.
Penyusutan
66.407,08
2,51
204.
Pajak Tak Langsung
93.866,73
3,55
2.641.994,40
100,00
209. Nilai Tambah Bruto/Jumlah Input Primer Sumber: I-O Kab.Kerinci, 2006.
Karena nilai tambah bruto merupakan komponen penting dalam struktur perekonomian
wilayah,
dan
menurut
pendekatan
model
input-output
pembentukannya bersumber dari komponen upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, serta pajak tak langsung neto. Dengan demikian maka pengembangan sektor yang memiliki potensi yang dapat meningkatkan nilai tambah bruto perekonomian wilayah perlu menjadi perhatian. Struktur Permintaan Akhir Komponen permintaan akhir dalam struktur perekonomian wilayah secara umum terdiri dari komponen konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan komponen ekspor. Secara rinci
175 struktur permintaan akhir perekonomian Kabupaten Kerinci ditunjukkan pada Tabel 41. Tabel 41. Struktur Permintaan Akhir Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Menurut Komponennya Tahun 2006 Kode
Komponen Permintaan Akhir
301. Konsumsi Rumah Tangga 302. Konsumsi Pemerintah 303. Pembentukan Modal Tetap 304. Perubahan Stok 305. Ekspor Barang dan Jasa 309. Jumlah Permintaan Akhir 409. Jumlah Impor 209. Nilai Tambah Bruto (PA-Impor) Sumber : I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Nilai (Juta Rupiah) 1.217.121,94 438.665,93 518.095,71 455.483,38 717.973,66 3.347.340,63 705.346,23 2.641.994,40
Persentase PA (%) 36,36 13,10 15,48 13,61 21,45 100,00 21,07 78,93
Persentase NTB (%) 46,07 16,60 19,61 17,24 27,18 126,70 26,70 100,00
Dari komponen permintaan akhir sebagaimana disajikan pada Tael 40 dapat diketahui bahwa pada tahun 2006 konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang
paling
dominan
dalam
pembentukan
struktur
permintaan
akhir
perekonomian Kabupaten Kerinci. Dari kondisi tersebut dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kerinci masih sangat dominan didorong oleh kegiatan konsumsi rumah tangga. Namun apabila dibandingkan antara konsumsi yang bersumber dari domestik dan impor ternyata di Kabupaten Kerinci konsumsi masyarakat lebih dominan bersumber dari sektor impor, kondisi tersebut tentu berimplikasi bagi tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin berat. Selanjutnya dari sisi pembentukan modal tetap, terlihat kontribusinya mencapai 15,48% dari total permintaan akhir dan 19,61% dari nilai tambah bruto. Kondisi di atas terlihat memiliki prospek bagi upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Kerinci. Sedangkan dari komponen perubahan stok yang mencapai 13,61% dari pembentukan permintaan akhir dan 17,24% dari komponen nilai tambah bruto, mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan stok, dalam arti prospek pengembangan investasi yang cukup baik. Namun kenyataannya dengan terjadinya inflasi harga barang, terutama yang bersumber dari komponen impor sehingga membuat pertumbuhan ekonomi menjadi semakin berat. Oleh karena itu pengembangan perlu diimbangi dengan dukungan dan peningkatan dari komponen ekspor wilayah.
176 Dari struktur permintaan akhir yang ditunjukkan di atas, terlihat bahwa kondisi perekonomian Kabupaten Kerinci ke depan dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah selain perlu meningkatkan peran komponen ekspor juga perlu mendorong
pengembangan
industri
pengolahan,
terutama
dalam
upaya
meningkatkan nilai tambah ekonomi wilayah. Sedangkan untuk mengimbangi konsumsi yang bersumber dari komponen impor perlu didorong pengembangan konsumsi domestik terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga yang dewasa ini lebih cenderung berasal dari komponen impor. Peran Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Kabupaten Kerinci Peran Kayu manis dalam Sektor Pertanian Peran sektor kayu manis terhadap pembentukan komponen perekonomian Kabupaten Kerinci tahun 2006, secara khusus ditinjau dari peran dalam kelompok sektor pertanian. Output Sektor Pertanian Kontribusi sektor kayu manis terhadap sektor pertanian yaitu sebesar 206,1 milyar rupiah (13,24%), seperti ditunjukkan pada Tabel 42 di bawah ini. Tabel 42. Output Sektor Pertanian di Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Sektor Kelompok Pertanian
Padi Jagung Ubi jalar Kacang tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Total Output Sektor Kelompok Pertanian Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Nilai Output (Juta Rupiah) 349.821,84 17.137,63 40.177,19 14.777,02 113.652,49 63.220,91 115.433,95 43.030,74 24.905,22 10.612,27 26.775,08 146.291,60 65.543,96 206.147,22 158.436,19 82.189,42 42.080,81 847,21 36.306,04 1.557.386,80
Persentase (%) 22,46 1,10 2,58 0,95 7,30 4,06 7,41 2,76 1,60 0,68 1,72 9,39 4,21 13,24 10,17 5,28 2,70 0,05 2,33 100,00
177 Pentingnya peran kayu manis dalam pembentukan output sektor pertanian di Kabupaten Kerinci, sehingga perhatian terhadap pengembangan sektor tersebut dalam mendorong pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Kerinci perlu diperhatikan.
Nilai Tambah Bruto Sektor Pertanian Nilai tambah bruto sektor pertanian yaitu sebesar 51,05% dari NTB total perekonomian wilayah Kabpaten Kerinci. Pembentuk NTB tersebut terbesar dikontribusikan oleh sektor padi dan sektor kayu manis. Dengan demikian dalam sektor pertanian terlihat dua sektor tersebut merupakan unggulan daerah yang perlu terus mendapat perhatian. Adapun nilai tambah bruto masing-masing sektor kelompok sektor pertanian distribusinya ditunjukkan pada Tabel 43. Tabel 43. Nilai Tambah Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Sektor Kelompok Pertanian
Padi Jagung Ubi jalar Kacang tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bhn makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Total Nilai Tambah Bruto Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
NTB (Juta Rupiah) 316.035,25 16.034,00 36.614,40 14.470,00 97.822,50 57.716,30 101.260,00 28.183,00 23.310,60 7.906,50 25.520,00 121.252,00 59.812,50 167.781,60 141.749,31 68.679,44 33.359,35 723,55 30.466,27 1.348.696,57
NTB (Rp/kapita) 1.015.035,14 51.497,65 117.597,33 46.474,43 314.184,18 185.371,96 325.224,66 90.517,55 74.868,48 25.393,92 81.964,58 389.434,53 192.104,49 538.877,29 455.267,35 220.583,14 107.142,82 2.323,88 97.850,90
Persentase (%) 23,43 1,19 2,71 1,07 7,25 4,28 7,51 2,09 1,73 0,59 1,89 8,99 4,43 12,44 10,51 5,09 2,47 0,05 2,26
Dari kontribusi masing-masing subsektor dalam kelompok sektor pertanian di Kabupaten Kerinci, terlihat bahwa kelompok subsektor tanaman bahan makanan merupakan subsektor yang memiliki nilai tambah bruto yang dominan terhadap pembentukan nilai tambah bruto sektor pertanian seperti pada sektor padi. Sedangkan dari kelompok subsektor perkebunan terlihat kayu manis
178 merupakan sektor yang paling dominan kontribusinya dalam pembentukan nilai tambah bruto sektor pertanian. Dengan demikian dari Tabel 42 terlihat bahwa sektor bahwa kayu manis merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam pembentukan nilai tambah bruto kelompok sektor pertanian. Sedangkan sektor pertanian sendiri merupakan sektor yang berperan dalam pembentukan nilai tambah bruto perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006.
PDRB Perkapita Sektor Pertanian Produk domestik regional bruto perkapita sektor pertanian di Kabupaten Kerinci tahun 2006 yaitu sebesar 4.33 milyar rupiah, dengan rincian kontribusi masing-masing sektor yaitu untuk subsektor tanaman bahan makanan yang terdiri dari sektor padi yaitu sebesar 1 milyar rupiah (23,43%), jagung 51 ribu rupiah (1,19%), ubi jalar 117 ribu rupiah (2,71%), kacang tanah 46 ribu rupiah (1,07%), kentang 314 ribu rupiah (7,25%), kol dan kubis 185 ribu rupiah (4,28%), Cabe 325 ribu rupiah (7,51%), sayur-sayuran lainnya 90 ribu rupiah (2,09%), buahbuahan 74 ribu rupiah (1,73%), dan tanaman bahan makanan lainnya sebesar 25 ribu rupiah (0,59%). Sedangkan untuk subsektor perkebunan yang terdiri dari sektor karet yaitu sebesar 81 ribu rupiah (1,89%), teh 389 ribu rupiah (8,99%), kopi sebesar 192 ribu rupiah (4,43%), kayu manis sebesar 538 ribu rupiah (12,44%), dan tanaman perkebunan lainnya 455 ribu rupiah (10,51%). Selanjutnya untuk sektor ternak non unggas dan hasil-hasilnya yaitu sebesar 220 ribu rupiah (5,09%), sektor unggas dan hasil-hasilnya 107 ribu rupiah (2,47%). Sedangkan untuk sektor kehutanan yaitu sebesar 2 ribu rupiah (0,05%) dan sektor perikanan yaitu sebesar 97 ribu rupiah (2,26%). Selain itu dari Tabel 42 terlihat bahwa sektor kayu manis merupakan sektor yang dominan kedua dalam pembentukan pendapatan perkapita dalam sektor pertanian di Kabupaten Kerinci.
Peran Kayu Manis terhadap Subsektor Perkebunan Untuk mengetahui secara rinci peran sektor kayu manis dalam perkebunan dan pembentukan struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, maka
179 dijelaskan perbandingan antara kontribusi sektor kayu manis dengan sektor kelompok perkebunan lainnya terutama dalam pembentukan nilai output, nilai tambah bruto, dan pendapatan. Untuk mengetahui perbandingan kontribusi masing-masing sektor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Output Subsektor Perkebunan Secara rinci dijelaskan output kelompok sektor perkebunan yang terdiri dari sektor karet, sektor teh, kopi, kayu manis dan tanaman perkebunan lainnya seperti dijelaskan pada Tabel 44 di bawah ini. Tabel 44. Distribusi Output Subsektor Perkebunan di Kabupaten Kerinci, 2006. NO
Sektor Kelompok Perkebunan
1. 2. 3. 4.
Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan 5. lainnya Total Output Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Output (Juta Rupiah)
Persentase (%)
26.775,08 146.291,60 65.543,96 206.147,22
4,44 24,25 10,87 34,17
Produktivitas (Juta Rupiah/TK) Rp/TK Rp/ha 20.07 31.61 57.65 55.73 10.86 9.55 10.40 4.87
158.436,19
26,27
31.83
603.194,05
100,00
63.07
Dari Tabel 44 di atas terlihat bahwa sektor kayu manis merupakan sektor terbesar dalam pembentukan output sektor perkebunan. Artinya apabila dibandingkan kontribusi sektor perkebunan dalam pembentukan output, maka dapat dinyatakan bahwa sektor kayu manis merupakan sektor utama yang berperan dalam kelompok sektor perkebunan, sebagaimana ditunjukkan dengan kontribusi sebesar 34,17%, atau berada di atas kontribusi sektor perkebunan yaitu sebesar 26,27%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sektor kayu manis memiliki peran penting dan sangat berarti dalam kelompok sektor perkebunan, terutama bila dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi produktivitas output yang dihasilkan oleh sektor perkebunan seperti dijelaskan pada Tabel 44 di atas, terlihat bahwa output rupiah/tenaga kerja, untuk sektor kayu manis memiliki produktivitas sebesar 10,40 juta rupiah/Tk atau berada di bawah produktivitas sektor lainnya seperti karet, sektor teh, kopi, dan tanaman perkebunan lainnya. Demikian juga sisi produktivitas rupiah/hektar terlihat sektor
180 kayu manis memiliki produktivitas di bawah produktivitas kelompok sektor perkebunan lainnya. Dari kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci masih belum optimal terutama dalam menghasilkan output/hektar dan rupiah/tenaga kerja. Arti bahwa land rent lahan kayu manis terlihat masih rendah apabila dibandingkan dengan sektor perkebunan lainnya. Kondisi tersebut karena dominannya lahan kayu manis yang belum menghasilkan. Nilai Tambah Bruto Subsektor Perkebunan Nilai tambah bruto sektor perkebunan, dibentuk dari beberapa sektor diantaranya sektor karet, sektor teh, sektor kopi, sektor kayu manis, dan sektor tanaman perkebunan lainnya sebagaimana dijelaskan pada Tabel 45 di bawah ini. Tabel 45. Distribusi Nilai Tambah Bruto Subsektor Perkebunan di Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 NO 1. 2. 3. 4.
Sektor Perkebunan
Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan 5. lainnya Total NTB Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
NTB (Juta Rupiah) 25.520,00 121.252,00 59.812,50 167.781,60
4,94 23,49 11,59 32,52
Produktivitas (Juta Rupiah) Rp/TK Rp/ha 19.13 30.13 47.78 46.19 9.91 8.71 8.47 3.97
141.749,31
27,46
28.48
516.115,41
100,00
Persentase (%)
56.43
Dari Tabel 45 di atas terlihat bahwa sektor kayu manis memiliki peran penting dalam pembentukan nilai tambah bruto untuk subsektor perkebunan, sebagaimana ditunjukkan dengan jumlah persentasenya sebesar 32,52%, dan berada di atas kontribusi subsektor perkebunan secara total yaitu 27,46%. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa sektor kayu manis merupakan sektor yang dominan berperan dalam pembentukan nilai tambah bruto subsektor perkebunan. Oleh karena itu memperhatikan pengembangannya berarti ikut mendorong pengembangan nilai tambah bruto subsektor perkebunan dan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi produktivitas nilai tambah bruto sektor perkebunan seperti pada Tabel 45 di atas, terlihat bahwa sektor kayu manis
181 memiliki produktivitas di bawah produktivitas sektor perkebunan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci masih belum optimal dalam menghasilkan nilai tambah bruto sektor perkebunan, baik dari sisi produktivitas rupiah/tenaga kerja (setiap rupiah yang dihasilkan petani kayu manis untuk setiap tenaga dalam menciptakan nilai tambah sektor perkebunan) maupun dari sisi rupiah/hektar (setiap rupiah yang dihasilkan petani kayu manis untuk setiap hektar lahan yang digunakan dalam menciptakan nilai tambah bruto sektor perkebunan). Dengan kata lain dapat diartikan bahwa dari sisi produktivitas lahan, terlihat land rent perkebunan kayu manis masih tergolong rendah, terutama dalam menghasilkan nilai tambah bruto untuk sektor perkebunan. Kondisi tersebut sebagai akibat dominannya lahan kayu manis di Kabupaten Kerinci yang belum berproduksi dalam menciptakan nilai tambah bruto. Untuk mengetahui komponen pembentukan nilai tambah bruto sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto yang diciptakan oleh kegiatan ekonomi di Kabupaten Kerinci, secara rinci ditunjukkan pada Tabel 46 di bawah ini. Tabel 46. Distribusi Pembentukan Nilai Tambah Bruto Sektor Kayu Manis Menurut Komponennya, Tahun 2006 Kode
Nama Sektor
201.
Upah dan Gaji
202.
Surplus Usaha
203.
Penyusutan
204.
Pajak Tak Langsung
209. Nilai Tambah Bruto/Jumlah Input Primer Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Nilai (Juta Rupiah) 64.930
Persentase (%) 38,70
99.471
58,29
2.522
1,50
856
0,51
167.781
100,00
Dari Tabel 46 di atas terlihat bahwa komponen nilai tambah bruto perekonomian Kabupaten Kerinci yang terbentuk menurut harga produsen tahun 2006 untuk sektor kayu manis yaitu yang terdiri dari komponen surplus usaha, yaitu sebesar 58,29% disusul komponen upah dan gaji sebesar 38,70% yang merupakan balas jasa yang langsung diterima masyarakat dalam kegiatan produksi, penyusutan sebesar 1,50%, dan pajak tak langsung neto sebesar 0,51%.
182 Dari distribusi NTB sektor kayu manis berdasarkan komponen NTB di atas terlihat bahwa komponen terbesar yang membentuk NTB adalah komopenen surplus usaha, disusul upah dan gaji. Oleh karena itu jika pengembangan kayu manis dapat dilakukan dengan baik maka akan memberi manfaat yang besar terhadap peningkatan pendapatan petani kayu manis, kesejahteraan masyarakat serta perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci.
PDRB Perkapita Sektor Kayu Manis Versus Sektor Perkebunan Lainnya di Kabupaten Kerinci Untuk mengetahui kontribusi PDRB perkapita yang dihasilkan subsektor perkebunan dapat dijelaskan pada Tabel 47 di bawah ini. Tabel 47. Kontribusi PDRB Perkapita Sektor Kayu Manis Versus Sektor Perkebunan Lainnya di Kabupaten Kerinci 2006. NO
Sektor Kelompok Perkebunan
11, Karet 12, Teh 13, Kopi 14, Kayu Manis 15, Tanaman Perkebunan lainnya Sumber : BPS Kab.Kerinci, 2006.
PDRB (Rp/kapita) 81.964,58 389.434,53 192.104,49 538.877,29 455.267,35
Persentase (%) 4,94 23,49 11,59 32,51 27,46
Dari Tabel 47 di atas terlihat bahwa sektor kayu manis dalam pembentukan PDRB perkapita sektor perkebunan memiliki peran yang besar dibandingkan dnegan peran sektor perkebunan lainnya, sebagaimana ditunjukkan dengan kontribusinya sebesar 32,51%, atau berada di atas rata-rata peran sektor perkebunan lainnya. Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki potensi yang besar dalam mendukung perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, terutama dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor perkebunan.
Peran Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Untuk memberi gambaran secara umum peran sektor kayu manis terhadap pembentukan struktur perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, maka pada subbab ini dijelaskan kontribusi sektor kayu manis terhadap pembentukan struktur
183 output, nilai tambah bruto, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja seperti ditunjukkan Tabel 48 berikut ini. Tabel 48 Kontribusi Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006 Nilai
Persentase (%)
1.
Peran Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Output (Rp. Juta)
206.147,22
5,58
2.
Nilai Tambah Bruto (Rp.Juta)
167.781,60
6,35
3.
Ekspor (Rp. Juta)
152.397,18
21,23
4.
Penyerapan Tenaga Kerja (Jiwa)
19.815
14,03
No
Sumber: Data sekunder dan I-O Kerinci 2006, diolah.
Dari Tabel 48 di atas terlihat bahwa peran sektor kayu manis sangat berarti terutama dalam membentuk ekspor daerah. Dominannya sektor kayu manis dalam pembentukan ekspor daerah, sehingga persoalan pemasaran menjadi perlu dan menarik untuk diperhatikan, terutama dalam pengembangan sektor tersebut. Sedangkan dari sisi nilai tambah bruto terlihat bahwa kontribusi sektor kayu manis yaitu sebesar 167 milyar rupiah (6,35%). Demikian juga dari sisi tenaga kerja terlihat sektor kayu manis memiliki kontribusi sebesar 19.815 jiwa (14,03%) dan cukup signifikan dalam penyerapan tenaga kerja di daerah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa secara umum sektor kayu manis ditinjau dari aspek pembentukan output, nilai tambah bruto, ekspor dan serapan tenaga kerja di Kabupaten Kerinci, terlihat masih memiliki peran yang sangat berarti bagi perekonomian Kabupaten Kerinci. Dengan demikian maka memperhatikan pengembangan sektor kayu manis dalam pengembangan perekonomian Kabupaten Kerinci merupakan kegiatan yang patut terus didorong untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui produktivitas sektor kayu manis (yang merupakan bentuk perkebunan rakyat) versus sektor padi (dari subsektor tanaman pangan), sektor teh (dari kelompok tanaman perkebunan negara), sektor industri makanan dan minuman (dari kelompok sektor industri pengolahan) dan sektor perdagangan, maka pada Tabel 49 dapat dijelaskan distribusi masing-masing menurut produktivitas sebagai berikut.
184 Tabel 49. Produktivitas Sektor Kayu Manis Versus Sektor Padi, Teh, Industri Makanan dan Minuman serta sektor Perdagangan, Tahun 2006 Sektor
(Juta Rupiah/Tenaga Kerja) PDRB/ Ekspor/ Output/ TK TK TK 8,69 0,00 9,62 47,78 32,71 57,65 8,47 7,69 10,40 30,34 42,47 143,57
Padi Teh Kayu Manis Industri makanan dan minuman Perdagangan 21,90 Sumber: Data sekunder, diolah 2008.
0,00
(Juta Rupiah/ha) PDRB/ Ekspor/ Output/ ha ha ha 10,65 0,00 11,79 46,13 31,62 55,73 3,97 3,60 4,87
28,32
Dari Tabel 49 terlihat bahwa produktivitas yang dihasilkan sektor kayu manis pada tahun 2006 untuk PDRB/tenaga kerja (Tk) yaitu sebesar 8,47 juta rupiah per tenaga kerja, ekspor sebesar 7,69 juta rupiah per tenaga kerja, dan output sebesar 10,40 juta rupiah per tenaga kerja. Selanjutnya untuk PDRB/ha terlihat kontribusi sektor kayu manis sebesar 3,97 juta rupiah per hektar, ekspor sebesar 3,60 juta rupiah per hektar, dan output sebesar 4,87 juta rupiah per hektar. Apabila dilihat dari tingkat produktivitas sebagaimana Tabel 48 di atas menunjukkan bahwa kayu manis masih memiliki produktivitas yang masih rendah. Rendahnya produktivitas kayu manis tersebut menunjukkan belum optimalnya pengelolaan sektor kayu manis dalam konteks pengembangan agribisnis komoditas di wilayah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya hasil analisis juga menunjukkan bahwa PDRB/ha untuk sektor kayu manis produktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa dewasa ini cenderung meningkatnya eksternalitas negatif dalam pengembangan kayu manis seperti dari aspek penggunaan lahan perkebunan yang cenderung kurang produktif, dimana adanya kecenderungan penggunaan lahan yang makin menurun, serta secara sosial cenderung kurangnya termotivasinya petani untuk melakukan pengembangan kayu manis akhir-akhir ini. Kondisi tersebut sesuai dengan data penurunan penggunaan lahan perkebunan kayu manis, yaitu dari 50.439 ha kondisi pada tahun 2000, turun menjadi 42.313 ha pada tahun 2007 (Disperta Kerinci, 2007). Sedangkan dilihat dari produktivitas PDRB/tenaga kerja untuk sektor kayu manis terlihat masih lebih rendah dari sektor teh, sektor industri makanan dan minuman, serta sektor perdagangan. Demikian juga untuk produktivitas output/
185 tenaga kerja terlihat masih lebih rendah dari sektor industri makanan dan minuman, perdagangan dan sektor teh. Selanjutnya produktivitas ekspor/tenaga kerja juga terlihat sektor kayu manis lebih rendah dari sektor industri makanan dan minuman serta sektor teh. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor kayu manis dilihat dari sisi produktivitas tenaga kerja yang dihasilkan dalam menciptakan PDRB, ekspor dan output ekonomi wilayah belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini terkait dengan masih dilaksanakan pola pengembangan komoditas secara tradisional, sehingga produktivitas tenaga kerja belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas kayu manis yang dihasilkan petani, serta mengindikasikan belum optimalnya produksi petani.
Keterkaitan Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Keterkaitan sektor dalam perekonomian wilayah dapat ditinjau dari sisi keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang. Selanjutnya keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang, masing-masing dapat ditinjau dari keterkaitan langsung dan keterkaitan tidak langsung. Untuk mengetahui keterkaitan langsung maupun keterkaitan tidak langsung ke depan dan ke belakang serta indeks derajat kepekaan dan indeks daya penyebarannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) Keterkaitan ke depan dirinci menurut keterkaitan langsung dan keterkaitan tidak langsung. Dengan menggunakan model input output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, dapat dijelaskan keterkaitan ke depan secara langsung dan tidak langsung. Untuk mengetahui posisi keterkaitan ke depan sektor kayu manis dalam perekonomian Kabupaten Wilayah Kabupaten Kerinci dapat dijelaskan seperti pada Tabel 50 di bawah ini.
186 Tabel 50. Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan dan minuman Industri tekstil,barang dari kulit Industri bahan bangunan dari kayu Industri kertas dan barang cetakan Ind. pupuk, kimia, brg karet& plastik Ind. barang mineral bukan logam Ind. brg logam, msn & peralatannya Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya
Total Permintaan Antara 257,215.18 5,937.38 1,827.35 1,285.50 5,369.96 1,187.19 12,609.21 3,681.19 1,653.97 8,314.96 621.74 24,938.25 11,835.61 17,626.46 25,551.30 14,910.74 10,800.56 9,494.04 18,354.17 14,451.58 28,224.88 17,999.12 7,560.72 4,875.98 67,901.45 19,143.08 50,735.57 9,337.46 10,634.44 86,578.11 81,374.71 19,654.25 77,871.75 6,907.09 23,596.93 31,245.63 48,909.37 2,864.63 10,309.76 1,053,391.26
Koefisien KTLD
Koefisien KLD
1.91049 1.03801 1.02917 1.01432 1.04289 1.01856 1.06801 1.05999 1.01907 1.14610 1.01945 1.12283 1.09648 1.09405 1.15421 1.19563 1.22934 1.18537 1.25028 1.19799 1.35772 1.32303 1.15532 1.25104 2.08550 1.30494 1.79032 1.22109 1.32120 1.75599 3.06812 1.26757 2.16851 1.10314 1.33436 1.38870 1.56403 1.00000 1.05786 1.21134
2,83770 0,13502 0,11830 0,05558 0,17232 0,07642 0,24147 0,23542 0,07090 0,53608 0,08271 0,43043 0,35797 0,37139 0,55500 0,69149 0,80860 0,59954 0,85576 0,56245 1,12947 1,03937 0,50155 0,85935 3,84434 0,84746 2,18156 0,62404 1,06330 2,49445 6,47988 0,79626 3,41582 0,25105 0,92732 1,03808 1,86485 0,18619 0,66110
Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah. Keterangan: KTLD = Keterkaitan Tidak Langsung ke Depan. KLD = Keterkaitan Langsung ke Depan
Dari Tabel 50 di atas terlihat bahwa terdapat sektor yang memiliki koefisien keterkaitan langsung ke depan yang kuat dan yang lemah. Beberapa sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang kuat dalam perekonomian wilayah Kabupaten
187 Kerinci terdiri dari sektor perdagangan, angkutan, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik, padi, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, serta sektor bank dan lembaga keuangan. Sektor-sektor tersebut dikategorikan memiliki keterkaitan kuat karena nilai rata-rata koefisiennya berada di atas nilai rata-rata 1 (satu). Sedangkan sektor lainnya terlihat memiliki keterkaitan yang lemah sebagaimana ditunjukkan dengan koefisien sektornya berada di bawah nilai rata-rata 1 (satu). Selanjutnya dilihat dari sisi keterkaitan tidak langsung ke depan menunjukkan bahwa semua sektor teridentifikasi memiliki keterkaitan yang kuat, karena memiliki koefisien sektor berada di atas nilai rata-rata 1(satu), seperti distribusinya ditunjukkan Gambar 23.
Keterkaitan ke Depan Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Berdasarkan Analisis Tabel I-O Tahun 2006 Kacang Tanah
0.056 0.071
Kol dan Kubis
0.076 0.083
Ubi Jalar
0.118 0.135
Kentang
0.172 0.186
Sayur-sayuran lainnya
0.235 0.241
Jasa penunjang angkutan
0.251 0.358
Kayu Manis
0.371 0.430
Industri bahan bangunan dari kayu
0.502 0.536
Tanaman perkebunan lainnya
0.555 0.562
Kehutanan
0.600 0.624
Jasa lainnya
0.661 0.691
Hotel dan Restoran
0.796 0.809
Industri barang mineral bukan logam
0.847 0.856
Industri kertas dan barang cetakan
0.859 0.927
Bank dan Lembaga keuangan
1.038 1.039
Listrik dan Air Bersih
1.063 1.129
Usaha bangunan dan Jasa perusahaan
1.865 2.182
Bangunan
2.494 2.838
Angkutan
3.416 3.844
Perdagangan
6.480
Gambar 23. Posisi Keterkaitan ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006.
188 Hasil analisis keterkaitan ke depan sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci dengan menggunakan pendekatan analisis model Input-Output tahun 2006, menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki keterkaitan langsung ke depan yang sangat lemah, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai koefisien keterkaitannya sebesar 0,372 atau berada di bawah nilai rata-rata 1 (satu). Artinya sektor kayu manis belum mampu mendorong pengembangan sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya apabila dibandingkan sektor kayu manis yang memiliki nilai koefisien keterkaitan ke depan sebesar 0,372, dengan sektor padi dari kelompok tanaman pangan yang memiliki nilai koefisien keterkaitan ke depan sebesar 2,8377, sektor teh dari kelompok perkebunan sebesar 0,4304, sektor industri makanan dan minuman dari kelompok industri sebesar 1,1295, dan sektor perdagangan dari kelompok jasa memiliki nilai koefisien keterkaitan ke depan sebesar 6,4799. Dari perbandingan nilai koefisien sektor tersebut menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki keterkaitan yang sangat lemah kaitannya dengan pengembangan ekonomi wilayah. Lemahnya keterkaitan ke depan sektor kayu manis karena sektor tersebut belum dominan digunakan sektor lainnya sebagai permintaan antara dalam kegiatan produksi. Walaupun sektor kayu manis dominan dikembangkan di daerah Kabupaten Kerinci. Dengan kata lain lemahnya keterkaitan ke depan sektor kayu manis karena kayu manis dominan diekspor ke wilayah lain dalam bentuk non olahan (tidak diolah di dalam daerah). Dengan demikian sehingga sektor tersebut tidak optimal mendorong peningkatan produk turunan yang dapat menciptakan nilai tambah bagi perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci.
Indeks Daya Penyebaran Hasil analisis menggunakan model input-output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, menjelaskan bahwa diperoleh indeks daya penyebaran sektor seperti ditunjukkan pada Tabel 51 di bawah ini.
189 Tabel 51. Daya Penyebaran (DP) dan Indeks Daya Penyebaran (IDP) Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Industri bahan bangunan dari kayu & hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Industri pupuk,kimia, brg dari karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Industri brg dari logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Daya Penyebaran 1.9108 1.0380 1.0291 1.0143 1.0429 1.0185 1.0680 1.0600 1.0190 1.1461 1.0194 1.1228 1.0964 1.0940 1.1542 1.1956 1.2293 1.1852 1.2503 1.1603 1.3582 1.3233 1.1552 1.2511 2.0856 1.3050 1.7900 1.2208 1.3209 1.7569 3.1034 1.2680 2.1683 1.1031 1.3356 1.3899 1.5636 1.0000 1.0578 1.2113
Indeks DP 1,55 0,80 0,79 0,78 0,80 0,78 0,82 0,81 0,78 0,88 0,78 0,86 0,84 0,85 0,88 0,92 0,94 0,90 0,96 0,91 1,97 1,02 0,88 0,96 1,59 0,99 0,26 0,89 1,01 1,21 2,39 0,97 1,62 0,83 0,96 1,02 1,07 0,77 0,81 0,93
Dari Tabel 51 terlihat sektor yang memiliki indeks daya penyebaran yang kuat dalam perekonomian Kabupaten Kerinci yaitu terdiri dari sektor padi, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik, sektor industri tekstil, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor angkutan, sektor bank dan lembaga
190 keuangan, dan sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan. Kuatnya daya penyebaran sektor tersebut karena masing-masing sektor memiliki indeks penyebaran di atas nilai rata-rata 1 (satu). Sedangkan sektor lainnya dalam perekonomian Kabupaten Kerinci terlihat masih memiliki indeks daya penyebaran yang lemah karena di bawah nilai rata-rata 1 (satu). Selanjutnya hasil identifikasi daya penyebaran dan indeks daya penyebaran sebagaimana dijelaskan pada Tabel 51, menunjukkan bahwa sektor kayu manis dengan memiliki indeks daya penyebaran sebesar 0,85, berarti sektor kayu manis memiliki daya sebar yang masih lemah dalam mendorong perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa walaupun kayu
manis
dominan
di
wilayah
Kabupaten
Keirnci,
namun
karena
kemampuannya dalam menggerakkan perekonomian wilayah masih lemah, sehingga dari sudut pandang analisis input-output terlihat sektor kayu manis belum dapat dijadikan sebagai leading sector dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Kemudian dilihat dari indeks daya penyebaran sektor kayu manis yaitu sebesar 0,85 dan dibandingkan dengan sektor padi memiliki indeks sebesar 1,55, sektor teh sebesar 0,86, industri makanan dan minuman sebesar 1,97, sektor perdagangan sebesar 2,39, menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki indeks daya penyebaran yang masih lemah. Lemahnya daya penyebaran sektor kayu manis karena terkait dengan belum berkembangnya penggunaan output sektor kayu manis bagi input sektor lain dalam kegiatan produksi di wilayah Kabupaten Kerinci. Dengan kata lain sektor kayu manis belum menjadi input produksi yang signifikan bagi sektor perekonomian wilayah. Oleh karena itu agar sektor
kayu
manis
dapat
berkembang
dengan
baik
maka
ke
depan
pengembangannya perlu diintegrasikan dengan pengembangan industri turunan atau pengolahan (processing).
Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages) Hasil analisis keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor perekonomian Kabupaten Kerinci, dapat dijelaskan pada Tabel 51 di bawah ini.
191 Tabel 52. Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12, 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sektor Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Ind. makanan, minuman & tembakau Ind. tekstil,brg dari kulit & alas kaki Ind. bahan bangunan dari kayu Ind. kertas dan barang cetakan Ind. pupuk,kimia,brg. karet& plastik Industri barang mineral bukan logam Ind. brg logam, msn dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya
Total Input Antara 33,786.59 1,103.63 3,562.79 307.02 15,829.99 5,504.61 14,173.95 14,847.74 1,594.62 2,705.77 1,255.08 25,039.60 5,731.46 38,365.62 16,686.88 13,509.98 8,721.46 123.66 5,839.77 2,302.80 315,759.90 833.23 3,702.06 1,532.68 420.99 5,098.65 1,123.87 6,950.24 8,326.38 83,169.95 105,059.46 52,638.94 80,562.15 5,956.47 4,106.17 12,974.23 18,384.95 111,603.16 16,853.74 7,341.03 1,053,391.26
Koefisien KTLB 1,1163 1,0793 1,1095 1,0245 1,1746 1,1096 1,1548 1,4516 1,0822 1,3405 1,0581 1,2247 1,1039 1,2413 1,1272 1,2242 1,2821 1,2003 1,2448 1,2766 2,0098 1,2660 1,2896 1,3545 1,2588 1,4347 1,2671 1,7604 1,3674 1,6980 1,3135 1,6802 1,2985 1,3075 1,3718 1,2674 1,1751 1,3830 1,3727 1,2998
Koefisien KLB 0,4185 0,2790 0,3843 0,0900 0,6036 0,3773 0,5321 1,4953 0,2774 1,1049 0,2031 0,7417 0,3789 0,8065 0,4564 0,7123 0,8981 0,6325 0,6970 0,9162 3,4177 0,8853 0,9714 1,1334 0,8491 1,4154 0,8252 2,4753 1,1831 1,8778 1,0457 2,3461 1,9577 1,6548 1,0586 0,9993 0,5568 1,1961 1,1772 0,9668
Sumber : I-O Kab.Kerinci 2006, diolah. Keterangan: KTLB = Keterkaitan Tidak Langsung ke Belakang. KLB = Keterkaitan Langsung ke Belakang.
Dari nilai koefisien keterkaitan ke belakang seperti ditunjukkan pada Tabel 52 terlihat bahwa beberapa sektor memiliki koefisien keterkaitan ke belakang yang kuat dan ada juga yang memiliki keterkaitan yang lemah. Beberapa sektor
192 yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang kuat diantaranya adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, industri lainnya, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor hotel dan restoran, sektor angkutan, sektor komunikasi, pemerintahan umum, dan sektor jasa sosial kemasyarakatan. Sedangkan sektor lainnya memiliki koefisien di bawah nilai ratarata 1 (satu) yang menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lemah, seperti distribusinya ditunjukkan Gambar 24.
Keterkaitan ke Belakang Sektor Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Berdasarkan Analisis Tabel I-O Tahun 2006 Kacang Tanah Karet
0.090040 0.203142
Buah-buahan
0.277477
Jagung
0.279083
Kol dan Kubis
0.377334
Kopi
0.378959
Ubi Jalar
0.384300
Padi Tanaman perkebunan lainnya Cabe Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Kentang Kehutanan Perikanan Ternak non unggas dan hasilnya Teh
0.418560 0.456437 0.532130 0.556840 0.603618 0.632568 0.697071 0.712359 0.741768
Kayu Manis
0.806538
Industri brg dari logam dan peralatannya
0.825245
Industri pupuk,kimia, brg dari karet
0.849111
Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki
0.885372
Ternak Unggas dan hasil-hasilnya
0.898185
Pertambangan dan penggalian
0.916263
Jasa lainnya
0.966870
Industri bahan bangunan dari kayu
0.971425
Bank dan Lembaga keuangan
0.999365
Perdagangan
1.045733
Komunikasi
1.058612
Tanaman bahan makanan lainnya Industri kertas dan barang cetakan
1.104951 1.133474
Jasa Sosial Kemasyarakatan
1.177293
Listrik dan Air Bersih
1.183163
Pemerintahan Umum
1.196113
Industri barang mineral bukan logam Sayur-sayuran lainnya Jasa penunjang angkutan Bangunan Angkutan Hotel dan Restoran Industri barang lainnya Industri makanan,minuman dan tembakau
1.415477 1.495346 1.654846 1.877876 1.957753 2.346153 2.475362 3.417785
Gambar 24. Posisi Keterkaitan ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006. Hasil analisis keterkaitan ke belakang menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang masih lemah. Artinya
193 sektor kayu manis memiliki ketergantungan yang kecil terhadap sektor lainnya dalam kegiatan produksi terutama terhadap penggunaan input antara. Lemahnya keterkaitan ke belakang sektor kayu manis setelah ditelusuri lebih jauh ternyata disebabkan dalam kegiatan produksi atau sistem agribisnis kayu manis yang dikembangkan di wilayah Kabupaten Kerinci masih berpola tradisional dengan penggunaan input yang masih terbatas dan sederhana. Hasil analisis keterkaitan ke belakang sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci dengan menggunakan pendekatan analisis model Input-Output tahun 2006, menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lemah, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai koefisien keterkaitannya sebesar 0,8065 atau berada di bawah nilai rata-rata 1 (satu). Artinya sektor kayu manis belum memiliki keterkaitan yang kuat dalam mendorong pengembangan sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya apabila dibandingkan sektor kayu manis yang memiliki nilai koefisien keterkaitan ke belakang sebesar 0,8065, dengan sektor padi dari kelompok tanaman pangan yang memiliki nilai koefisien keterkaitan ke belakang sebesar 0,4185, sektor teh dari kelompok perkebunan sebesar 0,7417, sektor industri makanan dan minuman dari kelompok industri sebesar 3,4177, dan sektor perdagangan dari kelompok jasa memiliki nilai koefisien keterkaitan ke depan sebesar 1,8778. Dari posisi nilai koefisien sektor tersebut menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki keterkaitan ke belakang yang lemah dibandingkan sektor perdagangan dan industri pengolahan, namun lebih besar dibandingakan dengan sektor teh. Lemahnya keterkaitan ke belakang sektor kayu manis, karena sektor tersebut belum dominan menggunakan sektor lainnya sebagai input antara dalam kegiatan produksi. Walaupun sektor kayu manis dominan dikembangkan di daerah Kabupaten Kerinci. Dengan kata lain lemahnya keterkaitan ke belakang sektor kayu manis karena, kayu manis dominan dikembangkan dengan sedikit menggunakan input antara. Dengan demikian sehingga sektor tersebut tidak mendorong menciptakan nilai tambah bagi sektor lainnya dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci.
194 Indeks Derajat Kepekaan Hasil analisis menggunakan model input-output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, secara rinci menjelaskan indeks derajat kepekaan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci seperti disajikan pada Tabel 53 di bawah ini. Tabel 53. Indeks Derajat Kepekaan Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2006 No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Ind. bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Industri pupuk, kimia, brg dari karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Ind. barang dari logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci, 2006, diolah.
Derajat Kepekaan 1.1163 1.0793 1.1095 1.0245 1.1746 1.1096 1.1548 1.4516 1.0822 1.3405 1.0581 1.2247 1.1039 1.2413 1.1272 1.2242 1.2821 1.2003 1.2448 1.2766 2.0098 1.2660 1.2896 1.3545 1.2588 1.4347 1.2671 1.7604 1.3674 1.6980 1.3135 1.6802 1.2985 1.3075 1.3718 1.2674 1.1751 1.3830 1.3727 1.2998
Indeks DK 0,86 0,83 0,85 0,79 0,90 0,85 0,89 0,12 0,83 0,03 0,81 0,94 0,85 0,95 0,86 0,94 0,98 0,92 0,96 0,98 1,55 0,97 0,99 0,04 0,96 0,10 0,97 0,35 1,05 1,21 1,04 1,33 1,26 1,17 1,03 0,97 0,90 1,06 1,05 1,00
195 Beberapa sektor yang memiliki indeks derajat kepekaan yang kuat dalam perekonomian Kabupaten Kerinci terdiri dari sektor industri makanan, minuman dan tembakau, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor hotel dan restoran, sektor angkutan, sektor jasa penunjang angkutan, sektor komunikasi, sektor pemerintahan umum, sektor jasa sosial kemasyarakatan, dan jasa lainnya, karena masing-masing sektor memiliki indeks derajat kepekaan di atas nilai rata-rata 1 (satu). Sedangkan sektor lainnya terlihat memiliki indeks derajat kepekaan yang masih lemah, karena memiliki indeks di bawah nilai rata-rata 1 (satu). Dari hasil identifikasi derajat kepekaan dan indeks derajat kepekaan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 53 di atas, terlihat bahwa sektor kayu manis memiliki indeks derajat kepekaan sebesar 0,95. Artinya bahwa sektor kayu manis memiliki ketergantungan yang masih lemah terhadap sektor lain dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sektor kayu manis masih kurang mendorong pengembangan sektor lainnya dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Multiplier Effect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Analisis multiplier effect sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, berdasarkan model input-output tahun 2006, akan dijelaskan dari aspek output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja sebagai berikut. Multiplier Effect Output Hasil analisis multiplier effect sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, berdasarkan tabel input output perekonomian Kabupaten Kerinci tahun 2006, menjelaskan bahwa terdapat sektor yang memiliki multiplier effect yang tinggi dan juga yang memiliki multiplier effect yang rendah. Untuk mengetahui multiplier effect terhadap output masing-masing sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, secara rinci ditunjukkan pada Tabel 54 di bawah ini.
196 Tabel 54. Multiplier Effect Output Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Tahun 2006. No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci, 2006, diolah.
Final Demand (Juta Rupiah) 92.606 16.523 38.349 13.491 108.282 62.033 107.583 39.349 26.547 4.379 26.153 121.353 53.708 188.521 136.128 75.781 37.638 5.949 23.019 440 569.512 58.852 12.537 5.812 32.899 8.271 170.964 23.028 23.981 105.359 350.011 77.578 100.462 8.692 11.878 25.017 94.175 404.357 59.175 26.943
Koefisien Pengganda 4,027 0,213 0,343 0,129 0,967 0,535 1,058 0,369 0,242 0,140 0,227 1,314 0,588 1,745 1,422 0,780 0,423 0,143 0,359 0,104 5,078 0,762 0,185 0,108 0,986 0,279 1,944 0,330 0,353 1,724 4,074 0,848 1,614 0,142 0,337 0,515 1,278 3,421 0,537 0,359
Dari hasil analisis multiplier effect sebagaimana dijelaskan Tabel 54 di atas terlihat bahwa sektor kayu manis memiliki multiplier effect sebesar 1,745. Nilai koefisien tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan permintaan akhir sektor kayu manis sebesar satu satuan, maka output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci akan meningkat sebesar equivalen 1,745. Dengan kata lain,
197 apabila setiap permintaan akhir (final demand) sektor kayu manis meningkat sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap output perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci adalah sebesar 1,745 milyar rupiah. Kemudian secara detil multiplier effect sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci dijelaskan seperti untuk sektor padi memiliki multiplier effect terhadap output sebesar equivalen dengan 4,027, sektor jagung 0,213, sektor ubi jalar sebesar 0,343, sektor kacang tanah 0,129, kentang 0,967, sektor kol dan kubis 0,535, sektor cabe 1,057, sektor sayur-sayuran lainya 0,369, sektor buahbuahan 0,242, sektor tanaman bahan makanan lainnya 0,140, sektor karet yaitu sebesar 0,227, sektor teh 1,314, sektor kopi 0,588. Selanjutnya sektor perkebunan lainnya sebesar 1,422, sektor ternak non unggas 0,780, sektor unggas 0,423, sektor kehutanan 0,143, sektor perikanan 0,359, sektor pertambangan dan penggalian 0,104, sektor industri makanan, minuman dan tembakau 5,078, sektor tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 0,762, sektor industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 0,185. Selanjutnya sektor industri kertas dan barang cetakan terlihat memiliki dampak pengganda sebesar 0,108, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik 0,986, industri barang mineral bukan logam 0,279, industri barang logam, mesin dan peralatannya 1,944, industri barang lainnya 0,330, sektor listrik dan air bersih 0,353, sektor bangunan 1,724, sektor perdagangan 4,074, sektor hotel dan restoran 0,848, sektor angkutan 1,614, sektor jasa penunjang angkutan 0,142, sektor komunikasi 0,337, sektor bank dan lembaga keuangan sebesar 0,515, sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan 1,278, sektor pemerintahan umum 3,421, sektor jasa sosial kemasyarakatan 0,537, dan jasa lainnya sebesar 0,359. Dari hasil analisis multiplier effect output menunjukkan posisi sektor kayu manis masih berada dalam posisi lebih baik, terutama bila dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Dengan demikian berarti sektor kayu manis masih memiliki prospek penting untuk dikembangkan bagi peningkatan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci.
198 Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Hasil analisis multiplier effect NTB sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, berdasarkan tabel input output perekonomian Kabupaten Kerinci tahun 2006, secara rinci ditunjukkan pada Tabel 55 di bawah ini. Tabel 55. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci, Tahun 2006 No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Ind. tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Ind. bhn bangunan kayu dan hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Ind. pupuk,kimia, barang karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Ind. brg logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci 2006, diolah.
Nilai Output 349.821,84 17.137,63 40.177,19 14.777,02 113.652,49 63.220,91 115.433,95 43.030,74 24.905,22 10.612,27 26.775,08 146.291,60 65.543,96 206.147,22 158.436,19 82.189,42 42.080,81 847,21 36.306,04 10.891,73 400.380,21 4.078,49 16.515,60 5.860,03 2.148,65 15.610,35 5.901,92 12.168,06 30.498,02 191.937,49 435.386,19 97.232,44 178.333,68 15.598,81 16.809,72 56.262,33 143.084,40 404.356,67 62.040,04 32.904,05
Koefisien Pengganda 1,73 0,97 0,93 0,99 0,89 0,92 0,93 0,69 0,95 0,85 0,97 0,93 0,99 0,90 0,99 0,99 0,97 1,00 1,04 0,93 2,14 1,05 0,90 0,92 1,68 0,88 1,45 0,52 0,96 0,99 2,32 0,58 1,19 0,68 0,99 1,06 1,36 0,72 0,77 0,94
199 Hasil analisis multiplier effect NTB sebagaimana dijelaskan Tabel 55 menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki multiplier effect sebesar equivalen dengan 0,90. Nilai koefisien tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan permintaan akhir sektor kayu manis sebesar satu , maka nilai tambah bruto perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci akan meningkat sebesar 0,90. Dengan kata lain apabila final demand sektor kayu manis meningkat sebesar 1 milyar rupiah, maka nilai tambah bruto perekonomian wilayah akan meningkat sebesar 900 juta rupiah. Selanjutnya untuk mengetahui secara rinci multiplier effect NTB sektor perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditunjukkan seperti sektor padi memiliki dampak pengganda nilai tambah bruto sebesar equivalen dengan 1,731, sektor jagung 0,970, sektor ubi jalar sebesar 0,937, sektor kacang tanah 0,993, kentang 0,897, sektor kol dan kubis 0,929, sektor cabe 0,935, sektor sayursayuran lainya 0,694. Selanjutnya sektor buah-buahan memiliki dampak sebesar 0,953, sektor tanaman bahan makanan lainnya 0,852. Kemudian sektor karet memiliki dampak pengganda nilai tambah bruto sebesar 0,971, sektor kopi 0,994, sektor teh 0,928, sektor kayu manis sebesar 0,901, sektor perkebunan lainnya 0,304, sektor ternak non unggas 0,992, sektor unggas 0,974, sektor kehutanan 1,099, sektor perikanan 1,044, sektor pertambangan dan penggalian 0,933, sektor industri makanan, minuman dan tembakau 2,144, sektor tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 1,053, sektor industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan lainnya 0,897, industri kertas dan barang cetakan sebesar 0,923. Kemudian sektor industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik memiliki dampak nilai tambah bruto sebesar 1,675, industri barang mineral bukan logam 0,876, industri barang logam, mesin dan peralatannya 1,4543, industri barang lainnya 0,525, sektor listrik dan air bersih 0,957, sektor bangunan 0,990, sektor perdagangan 2,321, sektor hotel dan restoran 0,582, sektor angkutan 1,194, sektor jasa penunjang angkutan 0,683, sektor komunikasi 0,987, sektor bank dan lembaga keuangan sebesar 1,0649, sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan 1,360, sektor pemerintahan umum 0,722, sektor jasa sosial kemasyarakatan 0,770, dan jasa lainnya sebesar 0,942.
200 Multiplier Effect Pendapatan Hasil analisis multiplier effect pendapatan, menggunakan model inputoutput perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, secara rinci ditunjukkan pada Tabel 56 di bawah ini. Tabel 56. Multiplier Effect Pendapatan terhadap Perekonomian Kabupaten Wilayah Kerinci Tahun 2006. No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci, 2006, diolah.
Final Demand (Juta Rupiah) 92.606 16.523 38.349 13.491 108.282 62.033 107.583 39.349 26.547 4.379 26.153 121.353 53.708 188.521 136.128 75.781 37.638 5.949 23.019 440 569.512 58.852 12.537 5.812 32.899 8.271 170.964 23.028 23.981 105.359 350.011 77.578 100.462 8.692 11.878 25.017 94.175 404.357 59.175 26.943
Koefisien Pengganda 0,93 0,68 0,46 0,78 0,56 0,72 0,73 0,74 0,72 1,04 1,32 1,04 1,07 1,20 1,25 0,67 0,73 0,72 0,53 0,53 1,48 1,16 0,96 0,54 1,90 1,10 1,42 0,29 0,59 1,01 2,35 0,26 1,27 0,84 0,46 0,89 0,75 1,47 1,41 1,62
201 Dari hasil analisis Tabel 56 menunjukkan bahwa dampak pengganda pendapatan sektor kayu manis terhadap perekonomian Kabupaten Kerinci yaitu sebesar 1,20. Nilai tersebut mengandung makna bahwa apabila final demand sektor kayu manis meningkat sebesar satu , maka pendapatan akan meningkat sebesar equivalen 1,20. Dengan perkataan lain apabila final demand sektor kayu manis meningkat sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap perekonomian Kabupaten Kerinci sebesar 1,20 milyar rupiah. Selanjutnya apabila dibandingkan dampak pengganda pendapatan sektor kayu manis dengan sektor padi yang memiliki dampak pengganda pendapatan sebesar equivalen dengan 0,938, sektor jagung 0,684, sektor ubi jalar sebesar 0,477, sektor kacang tanah 0,784. Sektor kentang 0,564, sektor kol dan kubis 0,723, sektor cabe 0,733, sektor sayur-sayuran lainya 0,742, sektor buah-buahan 0,724, sektor tanaman bahan makanan lainnya 1,044, sektor karet 1,324, sektor teh 1,041, sektor kopi 1,070, sektor kayu manis sebesar 1,201 sektor perkebunan lainnya 1,254. Kemudian dampak pengganda sektor ternak non unggas terhadap perekonomian wilayah yaitu sebesar 0,6742 sektor unggas 0,730, sektor kehutanan 0,715, sektor perikanan 0,530, sektor pertambangan dan penggalian 0,341, sektor industri makanan, minuman dan tembakau 1,481, sektor tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 1,160, sektor industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan lainnya 0,964, industri kertas dan barang cetakan 0,543, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik 1,903. Kemudian sektor industri barang mineral bukan logam memiliki dampak pengganda pendapatan sebesar 1,100, sektor industri barang logam, mesin dan peralatannya 1,423, sektor industri barang lainnya sebesar 0,2931, sektor listrik dan air bersih 0,593, sektor bangunan 1,011, sektor perdagangan 2,353, sektor hotel dan restoran 0,264, sektor angkutan 1,272, sektor jasa penunjang angkutan 0,843, sektor komunikasi 0,464, sektor bank dan lembaga keuangan sebesar 0,894. Kemudian sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan memiliki dampak pengganda pendapatan sebesar 0,752, sektor pemerintahan umum sebesar 1,474, sektor jasa sosial kemasyarakatan sebesar 1,414, dan sektor jasa lainnya memiliki dampak pengganda pendapatan sebesar 1,629.
202 Multiplier Effect Tenaga Kerja Hasil analisis multiplier effect tenaga kerja menggunakan model inputoutput perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci tahun 2006, secara rinci dijelaskan seperti pada Tabel 57 di bawah ini. Tabel 57. Multiplier Effect Tenaga Kerja di Kabupaten Kerinci Tahun 2006. No
Sektor
1. Padi 2. Jagung 3. Ubi Jalar 4. Kacang Tanah 5. Kentang 6. Kol dan Kubis 7. Cabe 8. Sayur-sayuran lainnya 9. Buah-buahan 10. Tanaman bahan makanan lainnya 11. Karet 12. Teh 13. Kopi 14. Kayu Manis 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Ternak non unggas dan hasilnya 17. Ternak Unggas dan hasil-hasilnya 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan dan penggalian 21. Industri makanan,minuman dan tembakau 22. Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki 23. Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan 24. Industri kertas dan barang cetakan 25. Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik 26. Industri barang mineral bukan logam 27. Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya 28. Industri barang lainnya 29. Listrik dan Air Bersih 30. Bangunan 31. Perdagangan 32. Hotel dan Restoran 33. Angkutan 34. Jasa penunjang angkutan 35. Komunikasi 36. Bank dan Lembaga keuangan 37. Usaha bangunan dan Jasa perusahaan 38. Pemerintahan Umum 39. Jasa Sosial Kemasyarakatan 40. Jasa lainnya Sumber : I-O Kab.Kerinci, 2006, diolah.
Final Demand (Juta Rupiah) 92.606 16.523 38.349 13.491 108.282 62.033 107.583 39.349 26.547 4.379 26.153 121.353 53.708 188.521 136.128 75.781 37.638 5.949 23.019 440 569.512 58.852 12.537 5.812 32.899 8.271 170.964 23.028 23.981 105.359 350.011 77.578 100.462 8.692 11.878 25.017 94.175 404.357 59.175 26.943
Koefisien Pengganda 3,87 0,89 0,46 1,03 0,82 0,99 0,72 2,45 1,24 1,02 0,99 0,38 1,07 2,05 0,71 0,73 0,19 1,59 1,15 1,21 1,48 1,61 0,73 0,32 0,88 0,42 0,53 0,13 0,26 1,34 3,08 0,18 0,85 0,21 0,25 0,21 0,57 0,53 0,57 0,65
203 Hasil analisis dampak pengganda tenaga kerja seperti Tabel 57 menunjukkan sektor kayu manis memiliki dampak multiplier effect tenaga kerja yaitu sebesar equivalen 2,05. Nilai koefisien tersebut mengandung makna, bahwa apabila final demand sektor kayu manis meningkat sebesar satu , maka serapan tenaga kerja akan meningkat sebesar equivalen 2,05. Dengan kata lain bahwa setiap peningkatan final demand sebesar 1 milyar rupiah, maka akan berdampak pada serapan tenaga kerja sebanyak 21 orang. Selanjutnya dampak pengganda tenaga kerja sektor lainnya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci terlihat seperti sektor padi sebesar 3,873, sektor jagung 0,893, sektor ubi jalar sebesar 0,464, sektor kacang tanah 1,033, kentang 0,823, sektor kol dan kubis 0,993, sektor cabe 0,723, sektor sayursayuran lainya 2,452, sektor buah-buahan 1,244, sektor tanaman bahan makanan lainnya 1,021, sektor karet 0,991, sektor teh 0,380, sektor kopi 1,070, sektor kayu manis sebesar 2,051, sektor perkebunan lainnya sebesar 0,712. Kemudian dampak pengganda tenaga kerja sektor ternak non unggas di Kabupaten Kerinci yaitu sebesar 0,732, sektor unggas 0,193, sektor kehutanan 1,591, sektor perikanan 1,153, sektor pertambangan dan penggalian 1,210, sektor industri makanan, minuman dan tembakau 1,481, sektor tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 1,610, sektor industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan lainnya 0,732, industri kertas dan barang cetakan 0,323, industri bahan kimia, pupuk, barang karet dan plastik 0,882, sektor industri barang mineral bukan logam memiliki dampak pengganda sebesar 0,422, sektor industri barang logam, mesin dan peralatannya 0,533, sektor industri barang lainnya sebesar 0,134, sektor listrik dan air bersih 0,265, sektor bangunan 1,34, sektor perdagangan 3,081, sektor hotel dan restoran 0,183, sektor angkutan 0,854, sektor jasa penunjang angkutan 0,213, sektor komunikasi 0,256, sektor bank dan lembaga keuangan sebesar 0,214, sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan 0,574, sektor pemerintahan umum sebesar 0,534, sektor jasa sosial kemasyarakatan sebesar 0,573, dan sektor jasa lainnya memiliki dampak pengganda pendapatan sebesar 0,652.
204 Rangkuman Hasil Analisis Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi sektor kayu manis terhadap pembentukan output total wilayah adalah sebesar 5,58%, terhadap pembentukan output sektor pertanian sebesar 13,42%, dan terhadap pembentukan output subsektor perkebunan 34,17%. Kemudian kontribusinya terhadap pembentukan nilai tambah bruto (NTB) total wilayah yaitu sebesar 6,35%, terhadap pembentukan NTB sektor pertanian 12,44%, dan terhadap pembentukan NTB subsektor perkebunan 32,52%. Selanjutnya kontribusinya terhadap ekspor total wilayah Kabupaten Kerinci yaitu 21,23%, pembentukan ekspor sektor pertanian 25,64%, dan pembentukan ekspor subsektor perkebunan 50,81%. Dari sisi serapan tenaga kerja menunjukkan sektor kayu manis berkontribusi sebesar 14,03% terhadap serapan tenaga kerja total Kabupaten Kerinci, kemudian serapan tenaga kerja dalam sektor pertanian sebesar 20,23%, dan terhadap serapan tenaga kerja subsektor perkebunan sebesar 51,10%. Secara grafik peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci ditunjukkan seperti Gambar 25 di bawah ini.
Peran Sektor Kayu Manis Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci
Komponen
Output
5.58
NTB
6.35
34.17
13.24
32.52
12.44
Ekspor
21.23
Tenaga Kerja
14.03 0
10
50.81
25.64
57.1
20.23 20
30
40
50
60
Persentase Total Wilayah
Sektor Pertanian
Subsektor Perkebunan
Sumber: data sekunder dan I-O Kerinci, 2006, diolah.
Gambar 25. Distribusi Peran Sektor Kayu Manis terhadap Pembentukan Komponen Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci.
205 Dari sisi pembentukan nilai tambah bruto sektor kayu manis, terlihat untuk komponen upah dan gaji berkontribusi sebesar 64,9 milyar (38,70%), surplus usaha sebesar 99,4 milyar rupiah (58,29%), penyusutan sebesar 2,5 milyar rupiah (1,50%) dan pajak tak langsung neto sebesar 856 juta rupiah (0,51%). Dengan demikian menunjukkan pembentukan NTB sektor didominasi oleh komponen surplus usaha, serta upah dan gaji. Dari posisi tersebut terlihat kayu manis memiliki peran yang dapat mempengaruhi sumber pendapatan masyarakat. Dengan demikian apabila pengembangannya dapat ditingkatkan maka prospek peningkatan pendapatan dan serapan tenaga kerja serta perekonomian wilayah akan meningkat. Selanjutnya hasil analisis keterkaitan sektor menunjukkan bahwa sektor kayu manis masih memiliki keterkaitan yang lemah terhadap perekonomian wilayah, sehingga keberadaan kayu manis di Kabupaten kerinci terlihat belum mampu mendorong pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Kerinci secara optimal. Kemudian hasil analisis multiplier effect menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki dampak lebih besar terutama pada serapan tenaga kerja. Kemudian lemahnya keterkaitan sektor kayu manis sehingga keberadaan sektor kayu manis walaupun dominan dikembangkan di Kabupaten Kerinci ternyata belum mampu menjadi leading sector dalam menggerakkan perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Selanjutnya tidak berkembangnya industri pengolahan di dalam daerah Kabupaten Kerinci, sebagaimana ditunjukkan 99% kayu manis Kabupaten Kerinci di ekspor keluar wilayah dalam bentuk produk gelondongan. Kondisi tersebut telah menciptakan kebocoran wilayah bagi Kabupaten Kerinci. Selain itu dalam konteks sistem agribisnis, karena pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh petani di daerah lebih kecil dari pelaku agribisnis di luar wilayah Kabupaten Kerinci, sehingga pada gilirannya mendorong lesunya pengembangan agribisnis pada tingkat lokal dan di tingkat petani. Dengan demikian sehingga mempengaruhi keberlanjutan agribisnis kayu manis itu sendiri. Walaupun kayu manis tidak memberi kontribusi yang berarti terhadap peningkatan sumber pendapatan asli daerah (PAD), namun demikian karena terkait dengan sumber pendapatan masyarakat, sehingga pengembangannya perlu
206 menjadi perhatian pemerintah daerah. Walaupun Ray (2002) menjelaskan bahwa setelah dilakukan otonomi daerah sebagian besar pemerintah daerah cenderung memprioritaskan program pembangunan dengan mempertimbangkan sumber pendapatan asli daerah (PAD), seperti berkaitan dengan retribusi, pajak, dan sumber pendapatan asli daerah lainnya. Dengan demikian dalam pengembangan sektor kayu manis peran pemerintah sangat diperlukan, sebagaimana Blakely (1989) menjelaskan bahwa peran pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat dalam mengelola berbagai sumberdaya dapat dilakukan guna menciptakan lapangan pekerjaan baru dan dapat merangsang kegiatan ekonomi di daerah. Peran pemerintah tersebut mencakup peran wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan stimulator.
KEBOCORAN WILAYAH SEKTOR KAYU MANIS DI KABUPATEN KERINCI Pada bab ini dijelaskan hasil analisis kebocoran wilayah sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci, ditinjau dari indikasi dan potensi serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah. Kebocoran wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebocoran nilai tambah/pendapatan sektor kayu manis akibat tidak optimal pemanfaatan nilai tambah di dalam daerah akibat terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya. Indikasi Kebocoran Wilayah Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Hasil analisis kebocoran wilayah menunjukkan bahwa sektor kayu manis terbukti memiliki indikasi kebocoran ke depan (forward leakages) dan kebocoran ke belakang (backward leakage). Indikasi kebocoran tersebut ditunjukkan oleh pertama dilihat dari nilai koefisien keterkaitan ke depan (forward linkage) sektor kayu manis yaitu sebesar 0,371 atau < nilai rata-rata 1. Nilai koefisien tersebut mengandung makna bahwa sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) yang sangat lemah terhadap perekonomian wilayah.
Lemahnya
keterkaitan
diantaranya
karena
kurangnya
kegiatan
pengolahan hasil (processing) komoditas dilakukan di dalam wilayah. Selain itu karena tidak terintegrasi dengan sektor hilir dan sektor hulu di dalam wilayah, sebagai konsekuensi dominannya pengolahan (processing) komoditas dilakukan di luar wilayah, sebagaimana ditunjukkan hanya 0,11% dari total ekspor komoditas kayu manis Kabupaten Kerinci diolah di dalam wilayah. Dengan demikian sehingga nilai tambah komoditas yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan pendapatan wilayah Kabupaten Kerinci tidak optimal. Hasil analisis tersebut sesuai dengan Doeksen dan Charles (1969) menyatakan bahwa sektor pertanian yang tidak diikuti kegiatan pengolahan (processing) cenderung memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) yang lemah dan memiliki potensi kebocoran wilayah.
208 Kedua indikasi kebocoran wilayah sektor kayu manis ditunjukkan oleh nilai koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkage) sektor kayu manis sebesar 0,807 atau < dari nilai rata-rata 1. Nilai koefisien tersebut mengandung makna bahwa sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang lemah terhadap sektor lainnya dalam mendorong pengembangan perekonomian wilayah. Kondisi tersebut sesuai dengan Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa sektor yang memiliki keterkaitan yang lemah/kecil dalam perekonomian wilayah menunjukkan adanya indikasi kebocoran wilayah. Secara grafik indikasi kebocoran wilayah sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci dari aspek keterkaitan sektor terhadap perekonomian wilayah ditunjukkan pada Gambar 26 di bawah ini.
Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Kabupaten Kerinci Berdasarkan Analisis Model Input-Output Tahun 2006 4.50
4.10
4.00
3.73
3.50 3.00 2.50 2.00
1.61
1.50 0.81
1.00 0.50
0.80
0.37
Kondisi Eksisting
Skenario Prosesing Berkembang
Keterkaitan Ke depan
Potensi Keterkaitan
Keterkaitan Ke belakang
Sumber: I-O Kabupaten.Kerinci 2006, diolah, 2008
Gambar 26. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Kabupaten Kerinci Ketiga indikasi kebocoran wilayah ditunjukkan oleh perbandingan nilai koefisien keterkaitan sektor pada kondisi eksisting dengan kondisi setelah dilakukan skenario, jika diasumsikan berkembangnya pengolahan (processing) di dalam wilayah. Hasil perbandingan indikasi tingkat kebocoran menunjukkan sektor kayu manis memiliki indikasi kebocoran ke depan lebih besar dibandingkan dengan kebocoran ke belakang. Indikasi tersebut ditunjukkan oleh
209 koefisien kebocoran ke belakang (backward leakage) sebesar 0,80. Sedangkan indikasi kebocoran ke depan (forward leakage) sebesar 3,73. Adanya indikasi kebocoran wilayah dalam pengembangan sektor kayu manis, menunjukkan daya dorong dan daya tarik terhadap input dan output dalam kegiatan produksi di dalam wilayah tidak optimal. Padahal Kerinci sebagai sentra produksi utama kayu manis nasional (BPS, 2007), dimana posisinya sangat berperan terhadap ekspor kayu manis nasional, dan ekspor daerah serta dominan dikembangkan oleh masyarakat. Namun karena terjadinya kebocoran wilayah, sehingga posisi strategis komoditas tersebut tidak mampu menjadi leading sector dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Selain itu indikasi kebocoran wilayah sektor kayu manis juga ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya antara kegiatan budidaya dengan sektor pengolahan, sehingga berdampak pada kecilnya nilai tambah yang diperoleh. Dengan demikian sehingga mempengaruhi pendapatan pelaku agribisnis kayu manis di daerah, dan pada gilirannya akan mempengaruhi pendapatan daerah. Dengan kata lain, berarti potensi penerimaan domestik menjadi tidak optimal, karena dominannya nilai tambah yang dimanfaatkan oleh wilayah lain. Kondisi tersebut tentu pada gilirannya akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal ini sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh Untuk
mengetahui
indikasi
kebocoran
wilayah
dalam
konteks
pengembangan sektor pertanian berbasis perkebunan, maka dalam analisis indikasi kebocoran wilayah sektor kayu manis yang merupakan bentuk sektor perkebunan rakyat, digunakan pembandingnya yaitu sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan estate lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari aspek kebocoran ke depan, sektor kayu manis memiliki kebocoran ke depan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor teh. Sedangkan dilihat dari sisi kebocoran ke belakang menunjukkan bahwa sektor kayu manis memiliki indikasi kebocoran yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor teh.
210 Indikasi kebocoran ke belakang ditunjukkan oleh rasio impor terhadap total input antara sektor. Untuk sektor kayu manis diperoleh rasio sebesar 0,12. sedangkan sektor teh sebesar 0,84. Artinya sektor kayu manis memiliki kebocoran ke belakang yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor teh. Sedangkan indikasi kebocoran ke depan menunjukkan sektor kayu manis teridentifikasi memiliki kebocoran ke depan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor teh, sebagaimana ditunjukkan oleh rasio ekspor kayu manis terhadap permintaan antara yaitu sebesar 1,17, sedangkan sektor teh memiliki rasio sebesar 0,28. Hasil tersebut menunjukkan sektor kayu manis berada pada posisi ekspor yang dominan (lebih besar) tanpa dilakukan pengolahan di dalam daerah dibandingkan dengan sektor teh. Secara grafik indikasi kebocoran sektor kayu manis versus sektor teh ditunjukkan pada Gambar 27 di bawah ini. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh Berdasarkan Hasil Analisis Model I-O Kerinci Tahun 2006 0.84
Ke belakang
0.12
0.28
Ke depan
1.17
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Ke depan
Ke belakang
Indikasi Kebocoran Teh
0.28
0.84
Indikasi Kebocoran Kayu Manis
1.17
0.12
Indikasi Kebocoran Kayu Manis
1.4
Indikasi Kebocoran Teh
Sumber: I-O Kabupaten.Kerinci 2006, diolah
Gambar 27. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh di Kabupaten Kerinci. Dari hasil analisis kebocoran wilayah sektor kayu manis versus sektor teh di atas, dapat diartikan bahwa sektor perkebunan rakyat memiliki potensi kebocoran ke belakang yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor perkebunan estate lainnya, dan memiliki indikasi kebocoran ke depan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor perkebunan estate lainnya.
211 Adanya indikasi kebocoran ke depan (forward leakage) yang lebih besar dalam pengembangan sektor perkebunan rakyat dibandingkan dengan sektor perkebunan estate lainnya (perkebunan perseroan) menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan rakyat di Indonesia belum mampu menjadi leading sector dalam menggerak perekonomian wilayah, walaupun memiliki potensi sumberdaya yang lebih besar.
Dampak Kebocoran Wilayah Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci Hasil analisis dampak pengganda (multiplier effect) sektor kayu manis, menunjukkan bahwa pada kondisi eksisting sektor kayu manis memiliki multiplier effect terhadap nilai tambah sebesar 0,90. Nilai tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap nilai tambah bruto adalah sebesar 900 juta rupiah. Selanjutnya jika diasumsikan pengolahan (processing) berkembang secara optimal di dalam wilayah maka dampaknya terhadap nilai tambah bruto adalah meningkat 2 kali lipat dari kondisi eksisting. Dengan dilakukan skenario jika diasumsikan pengolahan (processing) berkembang di dalam wilayah sebesar 10% dari nilai ekspor, maka multiplier effect terhadap nilai tambah bruto akan meningkat sebesar 1,52. Angka 1,52 mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap peningkatan nilai tambah bruto perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci adalah sebesar 1,52 milyar rupiah. Nilai tersebut mengandung makna sektor kayu manis memiliki prospek yang baik untuk dilakukan pengembangan processing, karena dapat memberi multiplier effect yang signifikan. Sedangkan multiplier effect pendapatan sektor kayu manis untuk kondisi eksisting yaitu sebesar 1,20. Angka 1,20 mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap peningkatan pendapatan adalah sebesar 1,20 milyar rupiah. Kemudian jika diasumsikan processing berkembang di dalam wilayah sebesar 10% dari nilai ekspor, maka dampaknya terhadap pendapatan adalah sebesar 1,63.
212 Angka 1,63 mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap peningkatan pendapatan adalah sebesar 1,63 milyar rupiah. Secara grafik dapat ditunjukkan Gambar 28 di bawah ini. Potensi Multiplier Effect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah 2.80
3.00 2.50
2.05
2.00 1.52 Nilai 1.50 1.00
Eksisting
1.63 Skenario 10%
1.20 0.90
0.50 0.00
Nilai Tambah Bruto
Pendapatan
Tenaga Kerja
Eksisting
0.90
1.20
2.05
Skenario 10%
1.52
1.63
2.80
Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah
Gambar 28. Potensi Multiplier Effect Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Kerinci. Multiplier effect terhadap tenaga kerja untuk kondisi eksisting adalah sebesar 2,05. Angka tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap peningkatan serapan tenaga kerja adalah sebesar 21 tenaga kerja. Sedangkan jika diasumsikan prosesing berkembang di dalam wilayah sebesar 10% dari nilai ekspor, maka terlihat dampaknya terhadap serapan tenaga kerja adalah sebesar 2,80. Angka tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan final demand sektor kayu manis sebesar 1 milyar rupiah, maka dampaknya terhadap peningkatan serapan tenaga kerja adalah sebesar 28 serapan tenaga kerja. Dari hasil analisis multiplier effect sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah, dengan membandingkan kondisi eksisting dengan hasil setelah dilakukan skenario jika diasumsikan prosesing berkembang 10% dari nilai final demand (ekspor), maka terlihat sektor kayu manis memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Kerinci. Kemudian apabila dibandingkan multiplier effect sektor kayu manis versus sektor teh, terlihat bahwa sektor kayu manis pada kondisi eksisting
213 memiliki potensi kebocoran lebih besar dibandingkan dengan sektor teh. Namun jika diasumsikan pengolahan hasil (processing) berkembang 10% saja dari nilai final demand ekspor, maka terlihat multiplier effectnya akan lebih besar dibandingkan dengan kondisi eksisting. Demikian juga untuk potensi dampak kebocoran wilayah sektor kayu manis versus sektor teh, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 29. Potensi Dampak Kebocoran Sektor Kayu Manis terhadap Perekonomian Wilayah 0.80
Potensi Dampak Kebocoran Sektor Sektor Teh terhadap Perekonomian Wilayah
0.75
0.20
0.60
0.23
0.25
0.65 0.44
0.38
0.40
0.33
0.15
0.29
0.20
0.20
0.19
0.18
0.12
0.10
0.10 0.05 0.00
0.00 Serapan Tenaga Pendapatan Kerja (milyar rupiah)
Nilai Tambah Bruto ( milyar
Serapan T enaga Pendapatan Kerja (milyar rupiah)
Nilai Tambah Bruto (milyar
Kebocoran Pada Eksisting
0.75
0.44
0.33
Kebocoran Pada Eksisting
0.19
0.20
0.23
Kebocoran Pada Skenario 10%
0.65
0.38
0.29
Kebocoran Pada Skenario 10%
0.12
0.18
0.10
Kebocoran Pada Eksisting
Kebocoran Pada Skenario 10%
Kebocoran Pada Eksisting
Kebocoran Pada Skenario 10%
Sumber: I-O Kab.Kerinci 2006, diolah
Gambar 29. Potensi Dampak Kebocoran Sektor Kayu Manis Versus Sektor Teh Jika diasumsikan Prosesing Berkembang di Kabupaten Kerinci. Dari Gambar 29 terlihat bahwa pada kondisi eksisting potensi dampak kebocoran wilayah sektor kayu manis terhadap nilai tambah bruto yaitu sebesar 0,33. Angka tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan 1 milyar rupiah final demand sektor kayu manis, maka dampaknya terhadap kebocoran nilai tambah bruto perekonomian wilayah adalah sebesar 0,33 milyar rupiah. Kemudian potensi kebocoran terhadap pendapatan sebesar 0,44. Artinya setiap peningkatan 1 milyar final demand sektor kayu manis maka potensi dampak kebocoran pendapatan wilayah yaitu sebesar 0,44 milyar rupiah. Selanjutnya potensi dampak kebocoran terhadap tenaga kerja sebesar 0,75. Artinya setiap final demand sektor kayu manis meningkat sebesar 1 milyar rupiah maka potensi kebocoran terhadap serapan tenaga kerja yaitu sebesar 75 orang.
214 Sedangkan untuk sektor teh pada kondisi eksisting potensi kebocoran wilayah terhadap nilai tambah bruto yaitu sebesar 0,19. Angka tersebut mengandung makna bahwa setiap peningkatan 1 milyar rupiah final demand sektor teh,
maka dampaknya terhadap kebocoran nilai tambah bruto
perekonomian wilayah yaitu sebesar 0,23 milyar rupiah. Kemudian potensi kebocoran terhadap pendapatan sebesar 0,20. Artinya setiap peningkatan 1 milyar rupiah final demand sektor teh maka dampaknya terhadap kebocoran pendapatan wilayah yaitu sebesar 0,20 milyar rupiah. Selanjutnya potensi dampak kebocoran terhadap tenaga kerja sebesar 0,19. Artinya setiap peningkatan final demand sektor teh sebesar 1 milyar rupiah maka dampaknya terhadap kebocoran serapan tenaga kerja yaitu sebesar 19 orang.
Rangkuman Hasil Analisis Hasil analisis kebocoran wilayah sektor kayu manis menunjukkan bahwa sektor kayu manis terbukti mengalami kebocoran wilayah (regional leakage). Kondisi tersebut menunjukkan indikasi kebocoran sektor kayu manis ke depan (forward leakages) dan kebocoran ke belakang (backward leakages). Selanjutnya apabila dibandingkan kebocoran sektor kayu manis dengan sektor teh, terlihat bahwa pada kondisi eksisting sektor kayu manis memiliki kebocoran ke depan lebih besar dibandingkan dengan sektor teh. Namun untuk kebocoran ke belakang terbukti kayu manis memiliki kebocoran ke belakang yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor teh. Selanjutnya dengan melakukan skenario jika diasumsikan berkembangnya pengolahan (processing) kayu manis di dalam wilayah maka terlihat potensi dampak sektor kayu manis terhadap nilai tambah bruto, pendapatan dan tenaga kerja sektor kayu manis mengalami dampak peningkatan perekonomian wilayah lebih besar dibandingkan dengan sektor teh. Selain itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa walaupun sektor kayu manis memiliki potensi ekonomi wilayah yang lebih besar, namun karena memiliki tingkat kebocoran yang tinggi, sehingga dampaknya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tidak optimal. Hasil tersebut sesuai dengan Doeksen dan Charles (1969) dan Bendavid (1991) yang menyatakan bahwa kebocoran wilayah akan mempengaruhi kecilnya multiplier effect yang
215 ditimbulkan. Oleh karena itu apabila ingin menekan kebocoran sektor kayu manis maka perlu dilakukan peningkatan keterkaitan melalui peningkatan sektor hilir dan sektor hulu serta perlu mendorong agroindustri prosesing, meningkatkan infrastruktur penunjang dan memperluas struktur pohon industri kayu manis. Apabila dibandingkan posisi kebocoran sektor kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat dengan sektor teh yang merupakan bentuk perkebunan estate lainnya, dapat disimpulkan bahwa sektor perkebunan rakyat pada kondisi eksisting memiliki potensi dampak kebocoran yang lebih besar dibandingkan dengan sektor perkebunan estate (perseroan) lainnya, dan apabila pengolahan (processing) berkembang di dalam wilayah, maka terlihat sektor kayu manis yang merupakan bentuk perkebunan rakyat akan memiliki potensi dampak terhadap pengembangan ekonomi wilayah akan lebih besar dibandingkan dengan sektor perkebunan teh yang merupakan bentuk perkebunan estate lainnya (perseroan). Berangkat dari hasil analisis kebocoran wilayah, maka dapat dinyatakan bahwa agar sektor kayu manis yang merupakan sektor perkebunan rakyat dapat berperan optimal terhadap perekonomian wilayah maka ke depan perlu meningkatkan
pengembangan
kebocorannya
diantaranya
komoditi seperti
dan
melalui
berupaya
menekan
pengembangan
tingkat
pengolahan
(processing), memperbaiki sistem pemasaran hasil, meningkatkan daya saing komoditi, dan melakukan penguatan kelembagaan pelaku agribisnis di daerah serta meningkatkan dukungan kebijakan pemerintah daerah.
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini dijelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Beberapa persoalan dalam pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis
rakyat
diantaranya
adalah
dominannya
kegiatan
pengolahan
(processing) dan beberapa fungsi pemasaran lainnya dilakukan di luar wilayah, sistem pemasaran yang tidak efisien, lemahnya kelembagaan petani, sehingga menyebabkan lemahnya bargaining position petani dalam pemasaran dan akhirnya mempengaruhi harga komoditi yang diterima dan pada gilirannya mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan petani. Adanya kondisi tersebut mendorong kurangnya insentif petani untuk melakukan pengembangan atau mendorong petani melakukan panen kayu manis dengan sistem tebang habis. Walaupun kayu manis merupakan komoditas dominan, dan andalan ekspor daerah, namun karena pengelolaan sistem agribisnisnya belum berlangsung secara utuh dan tidak terintegrasi dengan sektor hulu dan sektor hilir, sehingga nilai tambah komoditas belum dapat dimanfaatkan secara optimal terutama dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
serta
perekonomian
wilayah
Kabupaten
Kerinci.
Tidak
berkembangnya pengolahan (processing) di dalam wilayah diantaranya karena dipengaruhi oleh terbatasnya permintaan dan adanya kendala pemasaran
serta
lemahnya
dukungan
kelembagaan
petani,
belum
memadainya SDM pelaku agribisnis di daerah. Selain itu karena dipengaruhi oleh kurangnya dukungan infrastruktur dan kebijakan pemerintah. 2.
Harga di tingkat eksportir tidak terintegrasi sempurna dengan harga di tingkat petani. Perubahan harga hanya ditransmisikan 40% ke tingkat petani. Kondisi tersebut mencirikan struktur pasar yang tidak kompetitif. Meskipun kayu manis Indonesia dominan diperdagangkan di pasar internasional, namun posisi daya saingnya terlihat masih menempati urutan kedua setelah China. Kuatnya daya saing komoditas kayu manis China, dikarenakan China unggul dalam daya saing komoditas secara spesifik seperti dalam bentuk produk
217 olahan serta dipengaruhi oleh bergabungnya China dalam organisasi perdagangan dunia WTO sejak tahun 2001 yang berimplikasi terjadi peningkatan pangsa perdagangan China yang luar biasa, baik secara kuantitas maupun kualitas. Faktor harga, pertumbuhan ekonomi (GDP) negara importir, nilai tukar (kurs) rill, signifikan mempengaruhi permintaan kayu manis Indonesia di pasar utama pada taraf nyata 5%, seperti di pasar Amerika Serikat dan Belanda. Sedangkan di pasar negara lain (ROW) permintaan kayu manis Indonesia signifikan dipengaruhi oleh faktor harga, dan kurs rill. Prospek peningkatan permintaan komoditas kayu manis Indonesia di pasar internasional masih sangat terbuka terutama sejalan dengan peningkatan konsumsi kayu manis dunia akhir-akhir ini serta berlangsungnya globalisasi perdagangan. 3.
Kayu manis memiliki peran penting terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci. Namun karena keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang serta keterkaitan dengan sektor hilir dan sektor hulu yang masih sangat lemah, sehingga peran sektor kayu manis belum mampu menjadi leading sector dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Pentingnya peran kayu manis di Kabupaten Kerinci karena kayu manis merupakan komoditas dominan yang dikembangkan di daerah dan andalan ekspor daerah serta menjadi sumber pendapatan masyarakat. Sektor kayu manis berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Kerinci sebesar 14,03%, pembentukan ekspor daerah sebesar 21,23%, pembentukan nilai tambah bruto sebesar 6,35%, dan pembentukan output sebesar 5,58%. Selain itu karena kayu manis Kabupaten Kerinci merupakan komoditas ekspor terbesar Daerah Kerinci dan dominan berkontribusi terhadap ekspor kayu manis nasional serta berkontribusi terbesar dalam menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kayu manis nomor satu dunia, sehingga perannya sangat penting bagi kepentingan daerah dan nasional.
4.
Sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci terbukti mengalami kebocoran wilayah. Besarnya kebocoran wilayah dalam pengembangan sektor kayu manis terkait dengan persoalan kurangnya pengolahan (processing) di daerah dan kendala pemasaran hasil. Dengan demikian sehingga tidak optimalnya
218 nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan agribisnis tersebut. Sedangkan dampak pemasaran ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya harga di tingkat eksportir dengan harga di tingkat petani dan rendahnya daya saing komoditas. Dengan meningkatkan pengolahan hasil (processing) dan pemasaran serta meningkatkan daya saing, kayu manis akan memiliki multiplier effect yang lebih besar baik terhadap nilai tambah bruto, pendapatan, maupun serapan tenaga kerja. Jika diasumsikan berkembangnya pengolahan (processing) di dalam wilayah sebesar 10% dari nilai final demand (ekspor), maka potensi kebocoran wilayah untuk setiap peningkatan 1 milyar rupiah final demand yaitu: untuk nilai tambah bruto berpotensi kebocoran sebesar 0,29 milyar rupiah, untuk pendapatan sebesar 0,38 milyar rupiah, dan untuk serapan tenaga kerja sebesar 65 serapan tenaga kerja. Sedangkan
dampak
kebocoran untuk sektor
teh
jika diasumsikan
berkembangnya processing sebesar 10% dari nilai final demand maka potensi dampak kebocoran wilayah untuk nilai tambah bruto sebesar 0,10 milyar rupiah, pendapatan sebesar 0,18 milyar rupiah, dan terhadap serapan tenaga kerja sebesar 12 serapan tenaga kerja. Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Dari hasil analisis dan pembahasan serta kesimpulan sebelumnya, maka dapat dirumuskan implikasi kebijakan dan rekomendasi sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan pengelolaan sistem agribisnis komoditas kayu manis kaitannya dengan peningkatan pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah, maka ke depan perlu mendorong pengembangan pengolahan (processing), serta pengembangan sektor penunjang dan memperkuat sektor hilir dan sektor hulu, meningkatkan efisiensi pemasaran, memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah. Untuk meningkatkan pengolahan hasil (processing) dan pemasaran komoditas perlu mengembangkan pola kerjasama dan kemitraan baik antar daerah maupun antar negara, serta perlu didorong pengembangan industri skala kecil dan menengah berbentuk home industry. Selain itu perlu memperluas rantai/pohon industri komoditas melalui peningkatan kerjasama riset dalam pengembangan processing komoditas serta
219 meningkatkan pembinan SDM petani, meningkatkan infrastruktur pendukung serta perlu perhatian dan dukungan kebijakan pemerintah. 2. Untuk meningkatkan peran pemasaran dalam sistem agribinsis kayu manis, maka ke depan perlu melakukan kerjasama perdagangan dengan sistem kontrak, dan meningkatkan pengolahan hasil guna meningkatkan daya saing komoditas, memperluas dan meningkatkan akses pasar, memperkuat kelembagaan pelaku agribisnis di daerah, serta perlu membangun sistem informasi komoditas guna mengetahui posisi supply dan demand komoditas dan mengurangi terjadinya asimetrik informasi. 3. Pentingnya peran sektor kayu manis terhadap perekonomian Kabupaten Kerinci maka ke depan pengembangannya perlu dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis terhadap perekonomian wilayah maka ke depan perlu perhatian dan peran pemerintah terutama dalam mendorong berkembangnya pengolahan dan pemasaran hasil serta penguatan kelembagaan petani seperti melalui peningkatan SDM pelaku agribisnis, peningkatan keterampilan seperti dengan melakukan magang, pelatihan serta kerjasama dengan pihak swasta dan antar daerah. 4. Untuk menekan tingkat kebocoran sektor kayu manis, maka ke depan perlu upaya pengembangan agroindustri processing dan meningkatkan dukungan infrastruktur penunjang sistem agribisnis serta pengembangan industri turunan atau agroindustri procesing melalui pengembangan home industri maupun industri skala menengah. Agar sektor kayu manis mampu bertahan dan dapat mendorong pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Kerinci, maka ke depan perlu dilakukan (i) peningkatan SDM pelaku agribisnis di daerah melalui (penyuluhan, pelatihan, pembinaan, studi banding, magang), (ii) mendorong penyediaan dan penggunaan teknologi pertanian tepat guna, (iii) meningkatkan kerjasama antar daerah dan antar stakeholders terutama dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemasaran komoditas, seperti melalui sistem kontrak. Selanjutnya karena multiplier effect sektor perkebunan rakyat lebih besar dampaknya terhadap perekonomian wilayah dibandingkan dengan sektor perkebunan teh yang merupakan bentuk perkebunan perseroan, maka ke depan pengembangan sektor perkebunan rakyat perlu mendapat perhatian
220 yang serius dari semua pihak terutama dari pihak pemerintah daerah. 5. Untuk mengupayakan keberlanjutan sistem agribisnis komoditas kayu manis dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, maka ke depan perlu menata kembali tata ruang wilayah untuk kawasan-kawasan pembudidayaan kayu manis ditengah kecenderungan terjadinya konversi lahan yang terus berlangsung. 6. Untuk meningkatkan peran sektor kayu manis di Kabupaten Kerinci dalam upaya meningkatkan sumber pendapatan masyarakat dan sumber pendapatan daerah maka ke depan perlu dilakukan kerjasama antar daerah dan jika memungkinkan dapat kembangkan badan pengelolaan komoditas kayu manis daerah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Saran Penelitian Lanjutan Sebagai saran lanjutan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Adanya berbagai keterbatasan dalam analisis kebocoran wilayah dalam sistem agrisbisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Kerinci, maka keterbatasan tersebut diharapkan dapat menjadi stimulus bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan pengembangannya, terutama terkait dengan upaya mengatasi kebocoran wilayah serta jenis pengembangan agroindustri processing yang tepat untuk dikembangkan. 2. Karena hasil penelitian ini merepresentasikan kondisi sistem agribisnis komoditas perkebunan rakyat di Indonesia. Dengan demikian keterbatasan dalam menjelaskan upaya pengembangan perkebunan rakyat dapat diteruskan oleh penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Akiyama T, and Duncan RC. 1982. Analysis of The World Coffee Market. World Bank Staff Working Paper. The World Bank. Washington D.C. Andreas J. 2006. The Effects of FDI Inflows on Host Country Economic Growth; The Royal Institute of technology, Working Paper No.58, Sweden. Anwar A. 2004. Organisasi Ekonomi: Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi; Bahan Kuliah Program Studi IlmuIlmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Tinjuan Kritis; P4W Press, Bogor. Anwar C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor; Disertasi ; Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor. Ardeni PG. 1989. Does the Law of One Price Really Hold for Commodity Prices. Amer. J. Agr. Econ. 71(2): 661-669. Arifin S, dan Dian ER, Joseph C. 2007. Kerjasama Perdagangan Internasional; Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia; Bank Indonesia, Elek Media Komputinda, Jakarta. Armstrong H, and Taylor J. 2001. Regional Economics and Policy. Third Edition: Oxford: Blackwell Published, Ltd. Austin JE. 1981. Agroindustrial project Analysis. Baltimore and London: The John Hopkins, Univ.Press. Barret C. 2001. Measuring Integration and Efficiency in International Agricultural Market. Review of Agric Econ, 23 (1): 19-32. Bendavid-Val, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners Fourth Edition. London, Praeger. Besley T, and Ghatak M. 2004. Public Goods and Economic Development, London School of Economics. Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics, Wright State University, Boston. Blakely EJ. 1989. Planning Local Economic Development : Theory and Practice. California, SAGE Publication, Inc.
222 [BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci. 2005. Kerinci Dalam Angka, Sungai Penuh. [BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci. 2006. Kerinci Dalam Angka: Sungai Penuh. [BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci. 2007. Kerinci Dalam Angka: Sungai Penuh. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel InputOutput, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta. [BPTRO] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan. 2003. Kumpulan Hasil Penelitian Kayu Manis dan Gambir; Kebun Percobaan Lain, Solok. Bratakusumah DS, dan Riyadi. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah (Strategi Menggali Potensi Mewujudkan Otonomi Daerah) Gramedia, Jakarta. CCICED Lead Expert Group. 2003. Sustainabel Industrialization ini China and a Well-Off Society. Chen K, and Duan. 1999. Competitiveness of Canadian Agri-food Exports Against Competitors in Asia: 1980-97. Project Report, Department of Rural Economy. Faculty of Agriculture and Forestry and Home Economics, University of Alberta, Edmonton. Chenery HB. 1961. "Comparative Advantage and Development Policy", American Economic Review, Reprinted in Survey of Economics Theory, Growth and Development. New York : St. Martins Press. Corbae PD and Ouliaris S. 1988. Cointegration and Tests of Purchasing Power Parity, Review of Economics and Statistics, 70, 508-511. Departemen Keuangan RI. 1998. Tata Cara Pengapalan Antar Pulau Produk Kelapa Sawit/Minyak Kelapa dan Turunannya, serta Tandan Buah Segar dan Inti Sawit. Departemen Perdagangan. 2004-2006. Statistik Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta. Dhalimi A, Winarbawa SE, dan Kusuma I. 1994. Budidaya Kayu Manis. Proseding; BPPT, Sumatera Barat. Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci. 2001. Budidaya Kayu Manis, Sungai Penuh.
223 Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci. 2004. Budidaya Kayu Manis, Sungai Penuh. Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci. 2005. Budidaya Kayu Manis, Sungai Penuh. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistics of Indonesia 2003-2006) Jakarta. Djaja K. 1992. Export Performance and Export Demand of Indonesia Forest Products. Phd. Disertation. Iowa State University, Ames, Iowa. Doeksen GA, and Charles HL. 1969. An Analysis of Oklahoma’s Economy by Districts Using Input Output techniques; Southern Journal of Agricultural Economic Department of Agricultural Economic Oklahoma State University Stillwater, December 1969. Oklahoma. Duchin F. 2004. Input-Output Economics and Material Flows. Working Papers in Economics, Department of Economics, Rensselaer Polytechnic Institute; December 2004, http://www.rpi.edu/dept/economics. Enders W. 1995. Applied Econometric Time Series: John Wiley & Sons Inc, New York. Engle RF dan Granger CWJ. 1987. Co-Integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing Econometric, 55 (2): 251-276. [FAOSTAT] Statistics of Food and Agricultural Organization of the United Nation. 2005. External Trade; http//www. faostat.fao.org. [FAOSTAT] Statistics of Food and Agricultural Organization of the United Nation. 2006. External Trade; http//www. faostat.fao.org. [FAOSTAT] Statistics of Food and Agricultural Organization of the United Nation. 2007. External Trade; http//www. faostat.fao.org. Gerald MM. 1995. Leading Issues in Economic Development, Sixth Edition, Oxford Univercity Press, New York. Giddens A. 1999. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives: London, Profile Books. Goletti F, Raisuddin A, Naser F. 1995. Structural Determinants of Market Integration : The Case of Rice Markets in Bangladesh, The Developing Economics, XXXIII-2 (June 1995). Gonarsyah I. 1977. Integrasi Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan Indonesia. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB.
224 Gonarsyah I. 2005 Tentang Pendefinisian Dayasaing Komoditi Berbasis Sumberdaya Alam, Makalah : Ilmu PWD IPB. Bogor: PWD-IPB. Goodwin BK, and Schroeder TC. 1991. Cointegration Test and Spatial Price Linkages in Regional Cattle Markets. Amer. J. Agr. Econ., 73: 452 - 464. Gujarati D. 2003. Basic Econometrics, Bernard Baruch College City University of New York. Gumbira SE dan Intan AH. 2004. Manajemen Agribisnis; Ghalia Indonesia, Jakarta. Hayami Y. 2001. Development Economics From the Poverty to the Wealth of Nations Second Edition, United States, Oxford University Press. Helawani H. dan Tjiptoherijanto HP. 1993. Perdagangan Internasional Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia, Jakarta. Hortlund P. 2005. Clearing vs. Leakage: Does Note Monopoly Increase Money and Credit Cycles; SSS/EFI Working Paper Series In Economics and Finance No. 600 June, 2005. Indonesia Cassia. 2006. Manufacture, Suppliers, Factory, Exporters, Factories, OEM. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2003. Pelatihan Teknik Perencanaan Wilayah dan Ekonometrika. Bogor, IPB. Ismet M, A. P. Barkley dan R. V. Llewelyn. 1998. Government Intervention and Market Integration in Indonesian Rice Markets. Agr. Econ., 19: 283295. [ITC] International Trade Centre. 2006. World Market in the Spice Trade 20002006. Cynthia Zijlstra-Andriano. ITC; Geneva. Jensen I. 2001. The Leontif Open Production Model of Input-Output Analysis, WWW//http.Input-Output. Johnson A. 2006. The Effects of FDI Inflows on Host Country Economic Growth; Working Paper No.58. The Royal Institut of Technology, Sweden. Juanda B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis, Institut Pertanian Bogor PRESS, IPB Bogor. Kasliwal P. 1995. Development Economics. South-Western (ITP Company) Publishing, Cincinatti, Ohio.
225 Kellman M and Roxo T, Shachmurove. 2003. South Africa’s International Competitiveness: A Product Level Analysis, Penn Institute for Economic Research Departement Of Economics University of Pennsylvania http:// www.econ.upenn.edu/pier. Klaus S dan Schmid E. 2000. Distributive Leakage of Agricultural Support: Some Empirical Evidence from Austria; Discussion Paper Nr.86-W-2000, November 2000, Institute Wirtschaft, Poltic und. Krivonos E. 2004. The Impact of Coffee Market Reforms on Producer Price and Price Transmission. Development Research Group Trade Team. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington, D.C. Krugman PR, and Obstfeld M. 2000. International Economics: Theory and Policy Second Edition. Harper Collins Publisher Inc. New York, USA. Kuncoro M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah ; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang; Facultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta; Erlangga, Jakarta. Landesmann M and Robert S. 2006. Goodwin’s Structural Economic Dynamics: Modelling Schumpeterian and Keynesian Insights; Working Paper-41, Wiener Institut for Internationale Wirtschaftvergleiche and The Vienna Institute for International Economic Studies. Laura A, Areendam C, Sebnem KO, and Sayek S. 2006. How Does Foreign Direct Investment Promote Economic Growth? Exploring the Effects of Financial Market on Linkages.; NBER Working Paper Series 12522September 2006, National Bureau of Economic Research, Cambridge. Leamer EE, and Stern RM. 1970. Quantitative International Economics. Aldine Publishing Company, Chicago. Malian H, Rachman B, dan Djulin A. 2004. Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili Provinsi Sulawesi Utara. J. Agr. Ekonomi, 22 (1): 26-45. Mankiw NG. 2000. Teori Makro Ekonomi; Harvard University, Edisi ke Empat, Erlangga, Jakarta. [MaRi] Masyarakat Rempah Indonesia. 2006. Laporan Ketua Umum Pada Kongres MaRI II; Jakarta. Maurice. MK. 2004. A Review of Medicanal Uses for Tree Bark.International Health News WWW.yourhealthbase.com. Meimyk WH. 1965. The Elements of Input-Output Analysis, Random House Inc., New York.
226 Muklis. 1994. Tata Niaga Kayu Manis Indonesia, Jurnal Litbang Pertanain VII (3), hal 75-79. Nazara S. 1997. Analsis Input Output; Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. BPFE-Yogyakarta. Okamoto and Sano I. 2005. Estimation Technique of International Input-Output Model by Non-Survey Method; Paper Institute of Developing EconomiesJETRO, 3-2-2, Wakaba, Mihamaku, Chibashi, Chiba, Japan. Pietroforte R. and Gregorti T. 2003. An input-output Analysis of the Construction Sector in Highly Developed Economies, Paper Construction Management and Economics, 21, 319-327. Porter ME. 1993.Competitive Advantage. Collier MacMillan Publisher. Prakash and Balakrishnan. 2001. Input Output Modeling Of Employment and Productivity as Base Of Growth, Paper Research, Birla Institute of Management Technology, India. Rada C. and Taylor L. 2006. Developing and Transition Economies in the Latee 20th Century: Diverging Growth Rates, Economic Structures, and Sources of Demand; CCEPA Working Paper 2006-I, Schwartz Centre For Economic Policy analysis The New School. Rahardjo H. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah, Graha Ilmu, Yogyakarta. Rameezdeen R, Zainudeen N, and Ramachandra T. 2003. Study of Linkages Between Construction Sector and Other Sector of The Sri Lankan Economy; Departement of Building Economics, University of Moratuwa, Sri Lanka. Rapsomanikis G, Hallam D, and Conforti. 2002. Market Integration and Price Transaction in Selected Food and Cash Crop Market of Developing Countries: Review and Application. Food and Agricultural Organization, Rome. Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. Amer. J. Agr. Econ., 68 (1): 102-109. Ray D. 2002. Notes on Domestic Trade and Decentralization.Unpublished Paper. Patnership for Economic Growth. Jakarta. Reis H and Rua A. 2006. An Input-Output Analysis : Linkages Vs leakages; Working Paper Banco de Portugal, November 2006, Economic Research Department Banco de Portugal.
227 Richardson JD. 1971. Constant-Market-Share Analysis of Export Growth. Journal of International Economics 1 (1): 222-239. Rodriguez PA, and Kroijer A. 2008. Working Paper series in Economics and Social Sciences; Fiscal decentralization and Economic Growth in Central and Eastern Europe, Department of Geography and Environment London School of Economic. Roetter RR, Keulen HV, Kuiper M, Verhagen J, Laar HHV. 2007. Science for Agriculture and Rural Development in Low-Income Countries, Springer, Netherlands Recht Universitat fur Bodenkultur Wien. Rusli S. dan Abdullah. 1988. Prospek Pengembangan Kayu Manis Indonesia, Jurnal Litbang Pertanain VII (3), hal 15-57. Rustiadi E, Hadi S, dan Widhyanto. 2006. Kawasan Agropolitan. Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju D. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Edisi Revisi September 2007;Program Studi PWD-IPB, Bogor. Rustiadi E. dan Arsyad S. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan; Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi E. Dardak E.E. 2008. Agropolitan; Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Pada Kawasan Perdesaan, Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiani F. 2003. Agency for International Development PPC/CDIE/Report Processing form. Saikkonen P. 1992. Estimation and Testing of Co integrated Systems by an Autoregressive Approximation, Econometric Theory, 8, 1-27. Salhofer K. 1999. Distributive Leakages from Agricultural Support. Some Empirical Evidence from Austria, Paper presented at the 1999 Annual Meetings of the Southern Agricultural Economics Association in Memphis, Tennessee. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. PT. Glora Aksara Pratama, Jakarta. Saragih B. 2001. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT. Suveyor Indonesia Bekerjasama dengan PSP-IPB dan USESE Fondation, Bogor. Sari. 2002. Analisis Pengembangan Usaha Kecil Kayu Manis di Kabupaten Kerinci, Skripsi IPB.
228 Schachter G and Gregori T. 1998. Assessing Regional Key Sectors In Italy : A Comparative Approach European Regional Science, Paper Congres Association Center For European Economic Studies, Northeastern University; Gschacte @Lynx.Neu.Edu. Serageldin I. 1996. Sustainabilty and the Wealth of Nation, First Steps in an Ongiong Journey; EDS Monographs Series No.5. The World Bank, Washington, D.C. Shabsigh G. 1995. The underground Economy: Estimation, and Economic and policy Implication The case of Pakistan Working paper, October 1995, IMF. Simatupang P. 1999. Koordinasi Vertikal sebagai Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing dan Pendapatan dalam Era Globalisasi Ekonomi (kasus Agribisnis Kopi) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sobri. 2001. Ekonomi Internasional (Teori, Masalah dan Kebijakan). BPUII. Yoyakarta. Soekartawi. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi. 2004.Agribisnis: Teori dan Aplikasinya, Cetakan ke 9, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta (ISBN: 979-421-277-6). Soekartawi. 2007. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan Analisis Sistem Agroindustri Terpadu; Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian IPB, Vol 1, No.2 Desember 2007. Suherdi. 2003. Panen dan Pasca Panen Kayu Manis; Kumpulan Hasil Penelitian Kayu Manis dan Gambir; Kebun Percobaan Laing Solok. Sun YY. 2007. Adjusting Input-Output Models for Capacity Utilization in Service Industries, Tourism Management 28(2007) 1507-1517, 3 February 2007, National University of Koohsiung, Taiwan. Suronovic S. 1997. International Trade Theory and Policy Text Book, George Washington University, http://internationalecon.Com /Trade/tradehome.php. Syafa’at N, Simatupang P, Mardianto S, dan Sejati K. 2003. Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Agribisnis dalam Rangka Pemberdayaan Petani; Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 21;1 Juli 2003; 1: 26-43 Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta.
229 Thomas RL. 1997. Modern Econometrics An Introduction; Department of economics, Manchester Metropolitan University; Addison Wesley Longman Limited, England. [TNKS] Taman Nasional Kerinci Sebelat. 2006. Penelitian Sosial Ekonomi dan Budaya di Taman Nasional Kerinci Sebelat.//G:\Research; social economic.htm. Todaro MP. 1998. Economic Development in the Third Word. Longman, New York. Trotter BW. 1992. Applying Price Analysis to Marketing System : Methods and Examples from the Indonesia Rice Market. Natural Research Institute, Chatham, 3:25-35. Ubaidillah. 2002. Perdagangan Domestik sebagai Motor Ekonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, Jurnal Versi Indonesia, Edisi Oktober 2002, http://www.yahoo.com. Verbeek M. 2000. Aguide to Modern Econometrics: KU Leuven and Tilburg University John wiley & Sons, Ltd. New York. Wikipedia. 2006. Encyclopedia Cinnamon and.Wikipedia.Org/Wiki/Cinnamon. World Bank. 2006. Revitalizing the Rural Economy: an Assessment of the Investment Climate Faced by non-farm Enterprises at the District level; http://www.worldbank.org/id. Yohono JT, Mulyono E, Somantri AS. 2000. Budidaya Kayu Manis (Cassiavera), Proseding Seminar dan Temu Lapangan Teknologi Konservasi Air Berwawasan Agribisnis pada Ekosistem Wilayah Sumbar.
230 Lampiran 1. Tabel Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006, atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah). Kode
Sektor
1
2
3
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe
14,416.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 155.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 924.02 0.00 0.00 0.00 0.00
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan,minuman dan tembakau Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 74.66 100.88 14.32 0.00 0.00 0.00 240.03 0.00 0.00 11,505.96 0.00 1,913.29 17.99 0.00 98.48 834.00 0.00 2,342.92 0.00 24.39 720.21 560.40 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.14 1.20 35.89 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 523.06 0.00 166.68 0.40 0.00 3.86 43.66 0.00 54.67 0.00 8.52 4.08 100.57 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 115.17 64.78 12.17 0.00 0.00 0.00 61.84 0.00 0.00 685.01 0.00 180.27 3.04 0.00 3.56 396.91 5.22 483.74 0.00 20.17 0.00 146.16 0.00 0.00
40. 190.
Jasa lainnya Jumlah Input Antara
201. 202. 203.
922.60
3.62
460.72
Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan
33,786.59 48,867.10 258,685.08 6,292.45
1,103.63 3,246.19 12,574.00 55.25
3,562.79 5,232.51 27,412.00 3,547.18
204. 209.
Pajak Tak Langsung Nilai Tambah Bruto/Jumlah Input Primer
2,190.61
158.56
422.71
316,035.25
16,034.00
36,614.40
210
Jumlah Input
349,821.84
17,137.63
40,177.19
231 4
5
0.00 0.00 0.00 127.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.67 2.06 7.66 0.00 0.00 0.00 5.54 0.90 0.00 29.86 0.60 23.82 3.53 0.00 0.98 6.89 2.51 42.21 0.00 3.00 41.43 2.73 0.00 0.00
6
0.00 0.00 0.00 0.00 3,939.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.23 1.82 0.56 0.00 0.00 0.00 45.99 0.00 0.00 8,577.53 0.00 311.74 16.60 0.00 20.62 215.00 433.29 203.11 0.00 243.65 1,610.68 197.41 0.00 0.00
7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 960.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 105.44 59.31 7.53 0.00 0.00 0.00 4.04 0.00 0.00 3,036.38 6.26 93.89 0.24 3.73 2.38 450.12 229.28 462.09 0.00 55.30 27.45 0.18 0.00 0.78
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2,680.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 199.04 111.96 76.17 0.00 0.00 0.00 382.68 0.00 0.00 6,694.38 0.00 507.79 8.27 9.59 13.88 92.32 414.94 2,773.09 0.00 80.45 1.08 65.48 0.00 0.00
8
9
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1,881.80 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 140.30 187.92 23.85 0.00 0.00 0.00 12.81 0.01 0.00 8,436.17 19.82 583.27 45.20 8.17 24.30 1,426.11 477.95 1,464.03 0.00 25.49 86.97 0.57 0.00 2.46
10
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 183.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.95 4.76 2.68 0.02 0.00 0.00 0.00 8.51 65.62 0.00 896.67 0.00 98.99 30.55 1.20 10.25 23.63 102.00 155.22 0.00 0.99 1.45 4.14 0.00 1.93
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1,062.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.00 0.00 0.00 41.09 0.00 9.12 36.27 0.00 435.25 12.98 1.75 15.25 545.24 144.44 338.00 0.00 3.15 8.58 32.74 0.00 0.00
11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 503.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.45 0.00 0.00 0.00 11.59 1.44 4.78 0.00 11.10 140.98 6.98 3.90 61.01 57.15 65.71 281.28 0.00 16.74 57.08 9.37 0.00 0.50
1.85
9.09
0.16
62.68
0.52
1.66
19.25
8.85
307.02 3,281.26 10,466.59 563.07
15,829.99 17,660.86 77,530.15 1,188.69
5,504.61 12,899.38 42,149.52 2,141.96
14,173.95 22,893.33 76,192.03 1,084.55
14,847.74 8,643.87 18,594.61 540.73
1,594.62 5,074.00 18,055.86 116.93
2,705.77 2,786.30 4,738.12 103.81
1,255.08 17,529.70 6,516.07 885.86
159.08
1,442.79
525.44
1,090.10
403.79
63.80
278.26
588.38
14,470.00
97,822.50
57,716.30
101,260.00
28,183.00
23,310.60
7,906.50
25,520.00
14,777.02
113,652.49
63,220.91
115,433.95
43,030.74
24,905.22
10,612.27
26,775.08
232 12
13
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,986.72 0.00 0.00 775.77 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 583.67 1,189.24 212.19 263.26 5,054.78 44.78 1,136.84 374.60 1,073.20 949.08 3,223.28 576.05 1,654.55 0.00 358.77 50.94 531.88 0.00 0.00
14
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,794.54 0.00 20.74 11.60 6.52 50.80 0.00 0.00 0.00 109.73 59.36 9.21 64.27 12.53 490.46 52.45 62.35 101.99 574.68 161.16 129.88 0.00 5.23 11.69 2.26 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17,358.31 2,511.78 0.00 0.00 21.07 0.00 0.00 8.97 1,703.63 3.08 0.54 155.85 0.00 821.68 0.00 0.00 2,894.00 9,868.70 282.85 2,109.03 0.00 248.74 11.28 2.68 0.00 9.45
15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,580.93 81.96 46.10 21.19 0.00 0.00 0.00 10.69 117.59 71.33 1,958.38 79.47 475.98 26.98 413.25 354.07 1,380.61 188.98 613.65 0.00 36.97 142.74 395.61 0.00 10.18
16 497.21 569.42 116.96 0.00 0.00 10.21 0.00 12.48 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 170.81 5,438.55 326.10 21.01 0.00 0.00 2,019.51 73.17 77.74 19.54 588.53 56.86 20.07 19.93 428.36 38.94 2,272.41 168.27 334.21 0.00 13.22 107.51 48.17 0.00 2.11
17 110.86 45.71 26.08 0.00 0.00 2.28 0.00 2.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 38.09 129.26 5,860.73 4.69 0.00 0.00 787.86 16.32 17.33 4.91 166.83 66.85 15.11 16.63 68.01 242.43 777.52 10.44 74.52 0.00 133.81 23.97 10.74 0.00 0.47
18
19
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.79 0.00 0.00 0.00 0.03 0.03 9.80 0.00 0.04 17.63 5.69 0.74 10.59 8.56 10.98 11.80 0.00 9.82 1.82 11.28 0.00 0.35
0.00 5.06 4.20 0.00 0.00 3.73 0.00 4.55 0.00 0.61 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 111.27 992.72 0.00 1,758.14 90.37 55.78 8.82 70.99 0.00 120.17 35.45 146.47 192.81 230.88 131.28 1,107.28 0.00 186.01 31.87 323.46 0.00 22.75
0.00
0.00
353.98
680.22
58.67
67.25
10.71
205.11
25,039.60 29,110.30 84,019.91 4,358.27
5,731.46 18,356.30 39,161.00 2,061.32
38,365.62 74,930.90 89,471.87 2,522.07
16,686.88 49,516.66 84,901.69 2,917.67
13,509.98 13,392.19 49,307.90 3,165.74
8,721.46 7,234.90 25,689.87 203.51
123.66 147.43 554.50 13.01
5,839.77 4,420.42 24,860.16 557.49
3,763.52
233.88
856.76
4,413.29
2,813.61
231.07
8.62
628.20
121,252.00
59,812.50
167,781.60
141,749.31
68,679.44
33,359.35
723.55
30,466.27
146,291.60
65,543.96
206,147.22
158,436.19
82,189.42
42,080.81
847.21
36,306.04
233 20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 33.75 0.00 312.08 0.00 36.29 19.44 2.75 10.55 0.00 147.86 60.60 103.62 12.36 703.63 14.55 608.78 3.60 11.70 48.94 133.58 0.00 2.30
21 242,190.64 5,026.50 722.11 988.40 1,234.18 0.01 8,939.87 1,026.37 771.15 6,537.34 0.00 17,087.70 7,447.06 162.31 10,997.89 1,040.27 585.15 89.08 846.41 55.46 961.12 123.69 31.55 19.05 470.08 5.45 461.80 122.19 614.27 961.90 3,720.72 177.69 824.04 18.47 213.40 394.83 350.40 0.00 132.27
22
23
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 556.80 0.00 1.10 2.49 0.00 1.09 0.69 92.53 23.70 118.41 7.23 12.44 0.00 9.28 2.20 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 928.62 0.00 0.00 0.00 0.00 783.27 49.91 5.56 10.08 106.52 102.71 146.47 24.34 784.02 4.97 454.86 103.98 13.30 61.85 67.64 0.00 11.66
24
25
26
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 865.00 10.35 0.00 2.12 39.48 92.98 14.76 170.79 29.43 91.62 0.00 5.89 111.30 46.88 0.00 49.81
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.28 3.40 99.92 14.44 9.16 4.89 6.21 10.34 200.26 4.11 40.66 1.10 5.31 7.28 0.00 0.00 0.42
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 58.61 0.00 363.91 6.02 18.44 43.63 2.63 624.94 1,109.85 113.94 14.05 57.52 72.03 1,452.18 8.27 916.59 30.18 13.77 55.40 83.92 0.00 5.67
27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.41 6.12 2.78 57.96 59.11 37.60 125.43 59.11 131.81 297.14 16.01 31.63 15.93 27.29 11.70 132.63 0.00 26.84
36.42
409.09
5.26
42.30
2.27
6.21
47.09
76.38
2,302.80 1,424.66 6,404.25 107.40
315,759.90 21,928.27 57,208.47 2,090.51
833.23 1,024.30 2,088.67 86.19
3,702.06 3,984.67 8,474.67 127.70
1,532.68 737.45 3,072.90 294.33
420.99 567.27 951.45 140.54
5,098.65 3,827.03 6,218.30 129.87
1,123.87 1,475.77 3,193.28 11.40
652.61
3,393.06
46.10
226.50
222.67
68.41
336.50
97.60
8,588.93
84,620.31
3,245.26
12,813.54
4,327.35
1,727.66
10,511.70
4,778.05
10,891.73
400,380.21
4,078.49
16,515.60
5,860.03
2,148.65
15,610.35
5,901.92
234 28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 88.85 0.00 35.60 37.65 91.84 156.27 149.65 14.86 52.79 187.44 251.22 216.96 5.93 5,236.07 42.94 97.71 0.41 33.34 77.06 44.61 0.00 4.05
29
30
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 125.44 0.00 10.20 0.00 20.16 1,521.52 0.00 1,818.58 198.39 1,968.69 801.47 595.21 27.48 412.25 0.20 38.97 248.68 404.32 0.00 37.33
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,625.62 0.00 9,559.08 0.00 15.41 4,518.79 173.10 934.52 16,495.60 10,293.53 966.69 698.66 0.00 15,095.41 1,426.33 6,363.72 0.00 233.43 522.03 7,064.64 0.00 17.66
31 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,234.48 5,147.34 0.00 893.49 2,291.10 0.00 2,829.90 127.98 849.48 9,652.28 12,023.87 5,969.15 23,710.78 518.80 15,503.77 16,958.11 204.90 0.00 312.68
32 0.00 134.35 31.35 162.38 196.11 210.34 989.18 745.01 683.55 700.29 0.00 863.83 594.00 105.84 989.04 7,401.49 3,118.65 221.56 16,248.08 0.01 9,908.34 1,032.85 232.39 51.90 582.11 292.45 127.53 20.03 1,039.91 980.55 1,061.13 1,206.85 728.21 144.79 408.76 243.39 396.12 0.00 233.51
33 0.00 1.07 2.62 6.94 0.00 0.57 0.00 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.10 59.13 33.26 0.00 77.30 0.00 2,256.10 251.38 366.37 43.21 3,360.54 539.36 25,030.26 5,344.79 26.98 890.71 9,669.77 3,191.84 17,245.81 5,591.17 1,697.87 1,972.68 1,987.03 0.00 122.54
34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.88 35.65 7.46 22.78 19.95 0.00 250.12 56.24 11.95 590.37 331.48 23.68 1,604.25 166.66 1,157.36 42.23 1,394.18 0.00 0.00
24.98
97.51
1,165.73
1,831.36
553.06
790.05
239.23
6,950.24 884.09 3,702.84 190.20
8,326.38 3,954.66 16,380.12 362.48
83,169.95 24,730.43 65,884.23 6,862.22
105,059.46 92,446.00 216,710.58 2,922.18
52,638.94 5,964.70 32,072.66 713.22
80,562.15 37,488.35 48,816.33 2,103.35
5,956.47 2,774.30 6,046.90 336.22
440.69
1,474.38
11,290.67
18,247.97
5,842.92
9,363.50
484.91
5,217.82
22,171.64
108,767.54
330,326.73
44,593.50
97,771.53
9,642.34
12,168.06
30,498.02
191,937.49
435,386.19
97,232.44
178,333.68
15,598.81
235 35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.44 0.00 0.00 27.76 14.58 0.00 217.93 74.38 181.51 2,028.32 713.82 140.47 130.42 7.55 175.28 29.24 140.26 0.00 87.41
36
37
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.34 31.57 0.00 55.87 83.71 0.91 79.78 155.40 139.12 4,707.04 4,072.31 149.58 910.52 3.87 489.37 1,249.49 454.96 0.00 290.97
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.84 81.78 0.00 90.44 43.90 41.83 342.62 334.78 76.05 306.34 2,237.87 733.96 1,271.98 21.65 803.81 3,301.68 7,790.84 0.00 103.71
38
39
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.50 15.86 14.24 118.56 0.00 0.00 0.00 363.20 100.08 291.42 0.00 189.66 0.00 2,227.98 5,664.31 519.12 1,852.46 1,455.03 23.13 580.14 242.83 667.29 59,363.90 1,252.53 2,140.39 7,243.60 278.75 520.96 1,207.63 24,063.46 0.00 927.34
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.34 0.00 0.00 1,301.02 866.46 0.00 84.91 7,461.17 0.00 325.17 331.17 668.04 555.30 2,547.29 556.87 29.02 0.00 570.45 362.03 713.32 0.00 398.13
40 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 97.53 19.38 257.93 62.31 355.69 199.78 218.59 86.01 696.38 406.20 663.14 377.09 507.58 0.00 189.21 1,397.01 989.87 0.00 49.37
180 257,215.18 5,937.38 1,827.35 1,285.50 5,369.96 1,187.19 12,609.21 3,681.19 1,653.97 8,314.96 621.74 24,938.25 11,835.61 17,626.46 25,551.30 14,910.74 10,800.56 9,494.04 18,354.17 10,451.58 28,224.88 17,999.12 7,560.72 4,875.98 67,901.45 19,143.08 50,735.57 9,337.46 10,634.44 86,578.11 85,374.71 19,654.25 77,871.75 6,907.09 23,596.93 31,245.63 48,909.37 0.00 2,864.63
135.80
83.42
785.88
271.78
71.06
767.96
10,309.76
4,106.17 1,788.65 9,990.60 636.22
12,974.23 8,727.08 25,836.74 347.18
18,384.95 23,535.46 88,140.69 2,880.95
111,603.16 279,976.08 0.00 12,777.43
16,853.74 23,763.86 20,876.23 447.29
7,341.03 12,671.50 9,871.59 520.63
1,053,391.26 898,898.17 1,582,822.42 66,407.08
288.09
8,377.11
10,142.36
0.00
98.92
2,499.30
93,866.73
12,703.55
43,288.10
124,699.45
292,753.51
45,186.30
25,563.02
2,641,994.40
16,809.72
56,262.33
143,084.40
404,356.67
62,040.04
32,904.05
3,695,385.66
236 Lampiran 2. Tabel Koefisien Input Output Perekonomian Kabupaten Kerinci Tahun 2006, atas Dasar Harga Produsen (Juta Rupiah). Kode
Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.. 36. 37. 38. 39. 40.
Padi Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kentang Kol dan Kubis Cabe Sayur-sayuran lainnya Buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Teh Kopi Kayu Manis Tanaman perkebunan lainnya Ternak non unggas dan hasilnya Ternak Unggas dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri makanan,minuman dan tembakau Industri tekstil,barang dari kulit dan alas kaki Industri bahan bangunan dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk,kimia, barang dari karet dan plastik Industri barang mineral bukan logam Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya Industri barang lainnya Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel dan Restoran Angkutan Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga keuangan Usaha bangunan dan Jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa lainnya
1 0.04121 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00021 0.00029 0.00004 0.00000 0.00000 0.00000 0.00069 0.00000 0.00000 0.03289 0.00000 0.00547 0.00005 0.00000 0.00028 0.00238 0.00000 0.00670 0.00000 0.00007 0.00206 0.00160 0.00000 0.00000 0.00264
2
3 0.00000 0.00906 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00012 0.00007 0.00209 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.03052 0.00000 0.00973 0.00002 0.00000 0.00023 0.00255 0.00000 0.00319 0.00000 0.00050 0.00024 0.00587 0.00000 0.00000 0.00021
0.00000 0.00000 0.02300 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00287 0.00161 0.00030 0.00000 0.00000 0.00000 0.00154 0.00000 0.00000 0.01705 0.00000 0.00449 0.00008 0.00000 0.00009 0.00988 0.00013 0.01204 0.00000 0.00050 0.00000 0.00364 0.00000 0.00000 0.01147
237 4
5
6
7
8
0.00000 0.00000 0.00000 0.00865 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00025 0.00014 0.00052 0.00000 0.00000 0.00000 0.00038 0.00006 0.00000 0.00202 0.00004 0.00161 0.00024 0.00000 0.00007 0.00047 0.00017 0.00286 0.00000 0.00020 0.00280 0.00018 0.00000 0.00000 0.00013
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.03466 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00003 0.00002 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00040 0.00000 0.00000 0.07547 0.00000 0.00274 0.00015 0.00000 0.00018 0.00189 0.00381 0.00179 0.00000 0.00214 0.01417 0.00174 0.00000 0.00000 0.00008
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.01519 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00167 0.00094 0.00012 0.00000 0.00000 0.00000 0.00006 0.00000 0.00000 0.04803 0.00010 0.00149 0.00000 0.00006 0.00004 0.00712 0.00363 0.00731 0.00000 0.00087 0.00043 0.00000 0.00000 0.00001 0.00000
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.02322 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00172 0.00097 0.00066 0.00000 0.00000 0.00000 0.00332 0.00000 0.00000 0.05799 0.00000 0.00440 0.00007 0.00008 0.00012 0.00080 0.00359 0.02402 0.00000 0.00070 0.00001 0.00057 0.00000 0.00000 0.00054
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.04373 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00326 0.00437 0.00055 0.00000 0.00000 0.00000 0.00030 0.00000 0.00000 0.19605 0.00046 0.01355 0.00105 0.00019 0.00056 0.03314 0.01111 0.03402 0.00000 0.00059 0.00202 0.00001 0.00000 0.00006 0.00001
9 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00736 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00004 0.00019 0.00011 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00034 0.00263 0.00000 0.03600 0.00000 0.00397 0.00123 0.00005 0.00041 0.00095 0.00410 0.00623 0.00000 0.00004 0.00006 0.00017 0.00000 0.00008 0.00007
10 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.10012 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00002 0.00000 0.00000 0.00000 0.00387 0.00000 0.00086 0.00342 0.00000 0.04101 0.00122 0.00017 0.00144 0.05138 0.01361 0.03185 0.00000 0.00030 0.00081 0.00308 0.00000 0.00000 0.00181
11 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.01879 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00050 0.00000 0.00000 0.00000 0.00043 0.00005 0.00018 0.00000 0.00041 0.00527 0.00026 0.00015 0.00228 0.00213 0.00245 0.01051 0.00000 0.00063 0.00213 0.00035 0.00000 0.00002 0.00033
238 12 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.04776 0.00000 0.00000 0.00530 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00399 0.00813 0.00145 0.00180 0.03455 0.00031 0.00777 0.00256 0.00734 0.00649 0.02203 0.00394 0.01131 0.00000 0.00245 0.00035 0.00364 0.00000 0.00000 0.00000
13 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.05789 0.00000 0.00032 0.00018 0.00010 0.00078 0.00000 0.00000 0.00000 0.00167 0.00091 0.00014 0.00098 0.00019 0.00748 0.00080 0.00095 0.00156 0.00877 0.00246 0.00198 0.00000 0.00008 0.00018 0.00003 0.00000 0.00000 0.00000
14 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.08420 0.01218 0.00000 0.00000 0.00010 0.00000 0.00000 0.00004 0.00826 0.00001 0.00000 0.00076 0.00000 0.00399 0.00000 0.00000 0.01404 0.04787 0.00137 0.01023 0.00000 0.00121 0.00005 0.00001 0.00000 0.00005 0.00172
15
16
17
18
19
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.06047 0.00052 0.00029 0.00013 0.00000 0.00000 0.00000 0.00007 0.00074 0.00045 0.01236 0.00050 0.00300 0.00017 0.00261 0.00223 0.00871 0.00119 0.00387 0.00000 0.00023 0.00090 0.00250 0.00000 0.00006 0.00429
0.00605 0.00693 0.00142 0.00000 0.00000 0.00012 0.00000 0.00015 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00208 0.06617 0.00397 0.00026 0.00000 0.00000 0.02457 0.00089 0.00095 0.00024 0.00716 0.00069 0.00024 0.00024 0.00521 0.00047 0.02765 0.00205 0.00407 0.00000 0.00016 0.00131 0.00059 0.00000 0.00003 0.00071
0.00263 0.00109 0.00062 0.00000 0.00000 0.00005 0.00000 0.00007 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00091 0.00307 0.13927 0.00011 0.00000 0.00000 0.01872 0.00039 0.00041 0.00012 0.00396 0.00159 0.00036 0.00040 0.00162 0.00576 0.01848 0.00025 0.00177 0.00000 0.00318 0.00057 0.00026 0.00000 0.00001 0.00160
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.01627 0.00000 0.00000 0.00000 0.00004 0.00003 0.01157 0.00000 0.00005 0.02080 0.00672 0.00088 0.01250 0.01011 0.01296 0.01393 0.00000 0.01159 0.00215 0.01332 0.00000 0.00041 0.01264
0.00000 0.00014 0.00012 0.00000 0.00000 0.00010 0.00000 0.00013 0.00000 0.00002 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00306 0.02734 0.00000 0.04843 0.00249 0.00154 0.00024 0.00196 0.00000 0.00331 0.00098 0.00403 0.00531 0.00636 0.00362 0.03050 0.00000 0.00512 0.00088 0.00891 0.00000 0.00063 0.00565
239 20 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00310 0.00000 0.02865 0.00000 0.00333 0.00178 0.00025 0.00097 0.00000 0.01358 0.00556 0.00951 0.00113 0.06460 0.00134 0.05589 0.00033 0.00107 0.00449 0.01226 0.00000 0.00021 0.00334
21 0.70481 0.01255 0.00180 0.00247 0.00308 0.00000 0.02233 0.00256 0.00193 0.01633 0.00000 0.04268 0.01860 0.00041 0.02747 0.00260 0.00146 0.00022 0.00211 0.00014 0.00240 0.00031 0.00008 0.00005 0.00117 0.00001 0.00115 0.00031 0.00153 0.00240 0.00929 0.00044 0.00206 0.00005 0.00053 0.00099 0.00088 0.00000 0.00033 0.00102
22 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.13652 0.00000 0.00027 0.00061 0.00000 0.00027 0.00017 0.02269 0.00581 0.02903 0.00177 0.00305 0.00000 0.00228 0.00054 0.00000 0.00000 0.00000 0.00129
23 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.05623 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.04743 0.00302 0.00034 0.00061 0.00645 0.00622 0.00887 0.00147 0.04747 0.00030 0.02754 0.00630 0.00081 0.00375 0.00410 0.00000 0.00071 0.00256
24
25
26
27
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.14761 0.00177 0.00000 0.00036 0.00674 0.01587 0.00252 0.02914 0.00502 0.01563 0.00000 0.00100 0.01899 0.00800 0.00000 0.00850 0.00039
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00339 0.00158 0.04650 0.00672 0.00426 0.00228 0.00289 0.00481 0.09320 0.00191 0.01893 0.00051 0.00247 0.00339 0.00000 0.00000 0.00019 0.00289
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00375 0.00000 0.02331 0.00039 0.00118 0.00279 0.00017 0.04003 0.07110 0.00730 0.00090 0.00368 0.00461 0.09303 0.00053 0.05872 0.00193 0.00088 0.00355 0.00538 0.00000 0.00036 0.00302
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00142 0.00104 0.00047 0.00982 0.01002 0.00637 0.02125 0.01002 0.02233 0.05035 0.00271 0.00536 0.00270 0.00462 0.00198 0.02247 0.00000 0.00455 0.01294
240 28 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00822 0.00000 0.00000 0.00730 0.00000 0.00293 0.00309 0.00755 0.01284 0.01230 0.00122 0.00434 0.01540 0.02065 0.01783 0.00049 0.43031 0.00353 0.00803 0.00003 0.00274 0.00633 0.00367 0.00000 0.00033 0.00205
29 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00411 0.00000 0.00033 0.00000 0.00066 0.04989 0.00000 0.05963 0.00651 0.06455 0.02628 0.01952 0.00090 0.01352 0.00001 0.00128 0.00815 0.01326 0.00000 0.00122 0.00320
30 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.04036 0.00000 0.07176 0.00000 0.00008 0.02392 0.00092 0.00495 0.08731 0.05448 0.00512 0.00370 0.00000 0.16458 0.00755 0.03368 0.00000 0.00124 0.00276 0.02151 0.00000 0.00009 0.00617
31 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.01468 0.01212 0.00000 0.00210 0.00540 0.00000 0.00667 0.00030 0.00200 0.00389 0.00477 0.01406 0.10104 0.00122 0.03652 0.01639 0.00048 0.00000 0.00074 0.00431
32 0.00000 0.00138 0.00032 0.00167 0.00202 0.00216 0.01017 0.00766 0.00703 0.00720 0.00000 0.00888 0.00611 0.00109 0.01017 0.07612 0.03207 0.00228 0.16711 0.00000 0.06077 0.01062 0.00239 0.00053 0.00599 0.00301 0.00131 0.00021 0.01070 0.01008 0.01091 0.01241 0.00749 0.00149 0.00420 0.00250 0.00407 0.00000 0.00240 0.00569
33 0.00000 0.00000 0.00001 0.00003 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00001 0.00022 0.00012 0.00000 0.00028 0.00000 0.00828 0.00092 0.00135 0.00016 0.01234 0.00198 0.07355 0.00127 0.00010 0.00327 0.03551 0.01172 0.02661 0.02053 0.00623 0.00724 0.00730 0.00000 0.00045 0.00290
34 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00023 0.00287 0.00060 0.00184 0.00161 0.00000 0.02016 0.00453 0.00096 0.04758 0.02671 0.00191 0.04869 0.01343 0.00059 0.00018 0.03177 0.00000 0.00000 0.01928
241 35
36
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00009 0.00000 0.00000 0.00165 0.00087 0.00000 0.01296 0.00442 0.01080 0.12066 0.04246 0.00836 0.00776 0.00045 0.01043 0.00174 0.00834 0.00000 0.00520 0.00808
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00036 0.00070 0.00000 0.00123 0.00185 0.00002 0.00176 0.00343 0.00307 0.01562 0.08997 0.00330 0.02012 0.00009 0.01081 0.02761 0.01005 0.00000 0.00643 0.00184
37 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00018 0.00094 0.00000 0.00104 0.00050 0.00048 0.00393 0.00384 0.00087 0.00352 0.02570 0.00843 0.01461 0.00025 0.00923 0.03791 0.00908 0.00000 0.00119 0.00902
38 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00002 0.00004 0.00004 0.00030 0.00000 0.00000 0.00000 0.00092 0.00025 0.00074 0.00000 0.00048 0.00000 0.00565 0.01436 0.00132 0.00470 0.00369 0.00006 0.00147 0.00062 0.00169 0.12518 0.00318 0.00543 0.01837 0.00071 0.00132 0.00306 0.06102 0.00000 0.00235 0.00069
39 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00020 0.00000 0.00000 0.02097 0.01397 0.00000 0.00137 0.12026 0.00000 0.00524 0.00534 0.01077 0.00895 0.04106 0.00898 0.00047 0.00000 0.00919 0.00584 0.01150 0.00000 0.00642 0.00115
40 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00296 0.00059 0.00784 0.00189 0.01081 0.00607 0.00664 0.00261 0.02116 0.01234 0.02015 0.01146 0.01543 0.00000 0.00575 0.04246 0.03008 0.00000 0.00150 0.02334
242 Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Integrasi Harga Kayu Manis di tingkat Petani dengan Harga di tingkat Eksportir Dependent Variable: LOG(PP) Method: Least Squares Date: 08/16/08 Time: 09:38 Sample(adjusted): 2001:02 2006:12 Included observations: 71 after adjusting endpoints Variable C LOG(PP(-1)) LOG(PX(-1)) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 1.629486 0.908883 0.044384 0.868366 0.862472 0.037249 0.092962 134.9129 1.982321
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.798446 2.040822 0.050282 18.07570 0.061203 0.725198 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0452 0.0000 0.4709 7.870841 0.100443 -3.687687 -3.560212 147.3295 0.000000
243 Lampiran 4. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model CMS Ekspor Kayu Manis.
Unsur Dekomposisi Perubahan Ekspor
Interpretasi Perubahan volume ekspor pada seluruh pasar kayu manis dunia.
Dekomposisi Tahap Pertama 1. Efek Struktural
Perubahan volume karean perubahan impor dunia.
2. Efek Kompetitif
Perubahan volume karena perubahan daya saing eksportir. Perubahan ekspor karena interaksi perubahan daya saing eksportir dan perubahan impor dunia.
3. Efek Ordo-Kedua Dekomposisi Tahap Kedua 1a. Efek Pertumbuhan
Perubahan ekspor suatu negara sebagai atribut kenaikan total ekspor dunia.
1b. Efek Pasar
Perubahan ekspor karena perubahan distribusi pasar. Nilai positif menunjukkan konsentrasi ekspor pada pasar dengan pertumbuhan pasar dunia yang cepat atau sebaliknya.
1c. Efek Komoditi
Perubahan ekspor karena komposisi jenis mutu di pasar. Nilai positif menunjukkkan konsentrasi ekspor komoditi dengan pertumbuhan komoditi dunia yang cepat atau sebaliknya.
1d. Efek Interaksi
Perubahan ekspor karena interaksi distribusi pasar dan jenis mutu spesifik.
2a. Efek Kompetitif Umum
Perubahan ekspor karena perubahan daya saing umum dengan struktur ekspor yang tetap.
2b. Efek Kompetitif Spesifik
Perubahan ekspor karena interaksi perubahan pangsa ekspor suatu negara dengan perubahan total ekspor dunia.
3a. Efek Ordo-Kedua Murni
Perubahan ekspor karena interaksi perubahan pangsa ekspor suatu negara dengan perubahan total ekspor dunia.
3b. Sisaan Struktural Dinamik
Perubahan ekspor karena interaksi perubahan struktur ekspor suatu negara dengan perubahan struktur ekspor dunia.
244 Lampiran 5. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar Amerika Serikat Dependent Variable: LOG(XIAS) Method: Least Squares Date: 02/15/09 Time: 12:13 Sample: 1979 2006 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PI) LOG(GDPAS) LOG(RER)
6.369038 -0.750775 1.232560 0.470823
0.597364 0.215091 0.181323 0.142069
10.66190 -3.490502 6.797598 3.314045
0.0000 0.0019 0.0000 0.0029
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.850530 0.831846 0.094468 0.214181 28.49367 2.095461
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
9.355073 0.230373 -1.749548 -1.559233 45.52240 0.000000
245 Lampiran 6. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar Belanda Dependent Variable: LOG(XIB) Method: Least Squares Date: 02/15/09 Time: 14:42 Sample: 1979 2006 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PI) LOG(GDPBL) LOG(RER)
3.045034 -0.429199 0.555473 0.290157
0.557595 0.077734 0.210490 0.065201
5.461016 -5.521415 2.638952 4.450173
0.0000 0.0000 0.0144 0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.564203 0.509728 0.066915 0.107463 38.14904 2.053949
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
4.417418 0.095567 -2.439217 -2.248903 10.35716 0.000146
246 Lampiran 7. Hasil Pendugaan Model Permintaan Kayu Manis Indonesia di Pasar Negara Lainnya atau Rest of the World (ROW) Dependent Variable: LOG(XIR) Method: Least Squares Date: 02/15/09 Time: 15:02 Sample: 1979 2006 Included observations: 28 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(PIR) LOG(GDPR) LOG(RERR)
8.744618 -1.384224 0.054181 1.164643
0.515316 0.331539 0.104285 0.344661
16.96942 -4.175149 0.519547 3.379097
0.0000 0.0003 0.6081 0.0025
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.807033 0.782912 0.287817 1.988134 -2.700164 1.195010
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
8.717886 0.617730 0.478583 0.668898 33.45778 0.000000
247 Lampiran 8. Lokasi Penelitian
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi