BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komoditi Unggulan Komoditi unggulan adalah salah satu komoditas andalan yang dianggap paling menguntungkan untuk diusahakan/dikembangkan disuatu wilayah. Komoditas pertanian harus mempunyai daya saing yang cukup tinggi, yang ditentukan oleh produktivitas tanaman/ternak/ikan, produktifitas tenaga kerja, potensi pasar dan efesiensi pemasaran. Dengan demikian komoditas unggulan dapat tumbuh dan berkembang di wilayah sentra produksi dan dapat memberikan pendapatan yang cukup bagi pelaku yang terkait seperti produsen, pengolah, pedagang ekseptor dan lain-lain (Simanjuntak, dkk, 1997). Menurut Simanjuntak, dkk (1997), sentra pengembangan agribisnis adalah lokasi produksi komoditas unggulan bersekala ekonomi yang cukup besar disuatu ekosistem. Wilayah sentra pengembangan agribisnis dilengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, kelembagaan dan seluruh sub sitem agribisnis. Perinsip
dasar
pelaksanaan
sentra
pengembangan
agribisnis
adalah
pendayagunaan sumber daya secara optimal. Pendayagunaan sumber daya secara optimal dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan yang berorientasi pasar dalam dan luar negeri. Sentra pengembangan agribisnis
24 Universitas Sumatera Utara
mempunyai keterkaitan erat dengan hulu dan hilir yang didukung oleh pendukung selengkap mungkin (Laporan Tahunan Dinas Peternakan Sumatera Utara). Dalam perencanaan pengembangan peternakan berbasis sumber daya lokal, pemerintah daerah bersama masyarakat mengidentifikasikan potensi dan peluang pengembangan peternakan, menganalisis alternatif dan menentukan peran masingmasing dengan keriteria yang disepakati bersama. Hal ini dilakukan agar dapat mengakomodasikan aspirasi lokal secara transparan dan tetap memperhitungkan keunggulan sumber daya lokal dengan perhitungan ekonomi yang rasional (Saragih, 2001). Komoditas peternakan yang berbasis sumber daya lokal adalah sapi potong, kambing, domba, ayam buras dan itik. Jenis ternak ini merupakan komoditas ternak asli Indonesia yang sangat berpotensi sebagai sumber tumpuan kehidupan masyarakat pedesaan. Bukti empiris menunjukkan bahwa jenis ternak-ternak ini menjadi penyelamat selama krisis moneter berlangsung (Saragih, 2001).
2.2. Ternak Sapi Sapi yang ada sekarang ini berasal dari Homacodontidae yang dijumpai pada babak Palaeoceen. Jenis-jenis primitifnya ditemukan pada babak Plioceen
di India.
Sapi Bali yang banyak dijadikan komoditi daging/sapi potong pada awalnya dikembangkan di Bali dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah seperti : Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi dan seluruh nusantara (Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas).
25 Universitas Sumatera Utara
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana, 2009).
2.3. Prospek Komoditi Unggulan Ternak Sapi Untuk meningkatkan pengembangan ternak sapi potong di Sumatera Utara selain melaksanakan kemitraan juga dilaksanakan sutu kegiatan penggemukan dengan tujuan selain menambah populasi juga memenuhi kebutuhan akan daging sapi Sumatera Utara sekaligus meningkatkan keterampilan peternak, dalam memelihara ternak sapi sehingga meningkatkan kesejahteraan peternak (Laporan Tahunan Dinas Peternakan Sumatera Utara). Pemeliharaan ternak sapi disesuaikan dengan tujuan usaha peternakan yang akan dilaksanakan. Tipe ternak yang akan dipelihara untuk tujuan penghasilan daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe perah; untuk tujuan tenaga kerja dipilih sapi tipe kerja. Apabila tujuan pemeliharaan akan disesuaikan dengan dua hasil atau lebih
26 Universitas Sumatera Utara
maka dipilih ternak sapi tipe dwiguna. Sebagai contoh, untuk mengkombinasikan sumber protein hewani maka tujuan mengasilkan susu dan daging sekaligus dapat diperoleh melalui pemeliharaan sapi tipe dwiguna (Santosa, 2006). Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan. Dalam tata laksana suatu perusahaan peternakan, ternak yang mempunyai nilai genetis tinggi akan muncul dan dapat dinikmati hasilnya dengan kuwalitas tinggi apabila dikelola secara terampil dengan dasar pemahaman teori ilmiah peraktis. Pemeliharaan ternak tanpa disertai dengan keterampilan yang memadai tidak akan menghasilkan ternak yang baik, bahkan mungkin ternak yang baik akan terapkir sedangkan ternak yang jelek akan terambil. Tanpa bekal keterampilan cara menangani ternak, maka ternak yang dipelihara kemungkinan tidak dapat diperlakukan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, ternak akan kembali hidup liar secara alamiah tidak terkendali. Kerusakan lahan dan bahan akan terjadi,
27 Universitas Sumatera Utara
sedangkan produksi yang diharapkan tidak dapat diambil dan dinikmati dengan baik dan sempurna. Oleh karena itu kerugian eknomis akan timbul (Santosa, 2006). Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah (Isbandi 2004; Rosida 2006; Direktorat Jenderal Peternakan 2007; Syadzali 2007; Nurfitri 2008; Santi 2008). Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa 2005; Mersyah 2005; Suwandi 2005) (Suryana, 2009).
2.4. Teori Produksi Persaratan terjadinya produksi adalah faktor. Faktor produksi terdiri dari empat komponen, yaitu : tanah, modal, tenaga kerja dan skill atau manejemen (pengelolaan). Dalam beberapa literatur, sebagian para ahli hanya mencantumkan tiga faktor produksi, yaitu : tanah (lahan), modal dan tenaga kerja. Soekartawi (2002), mengatakan kegiatan berproduksi merupakan produksi merupakan kegiatan dalam lingkup yang agak sempit karena banyak membahas aspek mikro. Peranan input bukan saja dapat dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam waktu yang tepat; tetapi ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut. Faktor-faktor inilah maka terjadi adanya senjang produktivitas “yield gap” antara produktivitas seharusnya dan produktivitas yang dihasilkan oleh peternak. Selanjutnya dikatakan, tersedianya sarana faktor produksi atau input belum berarti
28 Universitas Sumatera Utara
produktivitas yang diperoleh peternak akan tinggi, namun bagaimana peternak melakukan usahanya secara efesien adanya upaya yang sangat penting. Input yang digunakan dalam pemeliharaan ternak di pulau Jawa relatif kecil 31.48% dan komponen biaya produksi yang paling besar adalah kebutuhan pakan 26.05%, merupakan nilai konversi harga rumput (pakan hijauan), komponen biaya) ini dapat ditekan khususnya di pulau Jawa, dengan memanfaatkan rumput di areal perkebunan (Sembiring, 1999). Menurut Mubyarto (1987), bentuk sederhana fungsi produksi ini dituliskan sebagai :
Y = f (xi, xii, ....)
Dimana : Y
= adalah hasil produksi
xi ... xn
= faktor-faktor produksi
Faktor-faktor produksi tersebut biasanya dapat diklasifikaskan menjadi lahan, modal, tenaga kerja dan manajemen. Pengukuran terhadap faktor manajemen relatif sulit dan karenanya sering tidak dipakai pada fungsi produksi.
2.4.1 Faktor Produksi Lahan Bagi usaha pertanian termasuk di dalamnya usaha peternakan seperti sapi, kerbau, domba dan kambing faktor lahan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap terhadap tingkat pengembangan ternak sapi, kerbau, domba dan kambing. Ternak sapi, kerbau, domba dan kambing memerlukan luas lahan yang memadai untuk tempat pengembangan atau tempat penyediaan makanannya.
29 Universitas Sumatera Utara
Tricahyono (1992), menegaskan bahwa disamping modal dan tenaga kerja, faktor lahan merupakan faktor produksi yang paling dalam usaha pertanian termasuk peternakan. Lahan atau tanah mempunyai produktivitas untuk menghasilkan bahan nabati, dan bahan nabati tersebut dikonsumsi oleh ternak. Sebagai faktor produksi dalam pengembangan usaha pertanian, tingkat konstribusi lahan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi, kebururan dan tingkat pengelolaannya. Di samping itu jumlah penduduk juga sangat berpengaruh terhadap penggunaan lahan karena semakin banyaknya jumlah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti : untuk lahan persawahan, perkebunan, perkantoran, pemukiman dan lain sebagainya. Dari semua jenis peruntukannya, dengan tidak memperhatikan peruntukan tata guna lahan yang sesuai dengan tata ruang dan pengembangan wilayah, inilah yang banyak mengganggu pengembangan usaha pertanian termasuk pengembangan peternakan. Menurut Direktorat Penyebaran dan Pengembangan Peternakan (1995), pemanfaatan lahan untuk peternakan didasarkan pada proporsi bahwa : lahan merupakan sumber pakan ternak; semunya jenis lahan cocok sebagai sumber pakan; pemanfatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem produksi pertanian; hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis. Selanjutnya Eniza (1988), berpendapat interaksi antara ternak dengan lahan mempunyai tiga aspek, yaitu : adaptasi ternak secara biologis; kemampuan lahan menghasilkan hijauan pakan ternak; pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia.
30 Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Faktor Produksi Modal Secara umum bahwa modal pertanian mengambil bentuk lain dalam bibit, alat-alat mesin pertanian, pupuk, pestisida, ternak dan lain sebagainya. Modal dalam bentuk ini adalah modal fisik atau modal materill (Mubyarto, 1987). Di samping itu modal manusia (human capital) juga sangat penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Heady dan Dilon (1961) dalam Soekartawi (1986), mengklasifikasikan beberapa variabel yang dapat digolongkan sebagai modal, yaitu : 1. Modal untuk perbaikan usaha tani, terdiri dari biaya penyusutan bangunan, kekayaan yang mudah diuangkan (ternak, makanan ternak, bibit, pupuk, dll); kekayaan yang terdiri dari alat-alat pertanian (mesin, alat untuk pemeliharaan ternak, dll) dan biaya yang dipergunakan untuk pemeliharaan (merawat atau menggantikan alat-alat, bensin dan oli). 2. Modal yang terdiri dari biaya seperti bensin dan oli penyusutan mesin-mesin, pembelian makanan ternak, pupuk dan lain-lain. 3. Modal yang terdiri dari mesin dan peralatan pertanian (termasuk penyusutan, perawatan atau penggantikan bila ada yang rusak); biaya pemeliharaan ternak; makanan ternak dan lain-lain.
2.4.3. Faktor Produksi Tenaga Kerja
31 Universitas Sumatera Utara
Dalam usaha tani, sebagian tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri terdiri darai ayah, istri dan anak. Anak berumur 12 tahun misalnya sudah merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usaha tani. Petani dalam usaha tani tidak hanya menyumbangkan tenaga saja, tetapi ada pemimpin usaha tani yang mengatur organisasi produksi secara keseluruhan (Mubyarto, 1989). Dalam analisa ketenaga kerjaan di bidang pertanian penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya kerja efektif yang dipakai. Skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya beberapa tenaga kerja yang dibutuhkan dari menentukan pula macam tenaga kerja bagaimana yang diperlukan. Biasanya usaha peternakan skala kecil akan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga tidak perlu menggunakan tenaga kerja ahli. Sebaliknya dalam usaha peternakan yang bersekala besar, lebih banyak mempergunakan tenaga kerja luar keluarga dengan cara sewa tenaga kerja yang ahli.
2.4.4. Faktor Manajemen (Pengelolaan Ternak Sapi) Manajemen adalah hal-hal yang berkaitan dengan terlaksana perkandangan, pemberian pakan, perawatan ternak, pencegahan/pemberantasan penyakit dan pemasaran. Rendahnya produktivitas ternak, selain jumlah ternak yang dipelihara, juga disebabkan oleh beberapa faktor, sebagai kurangnya pemanfaatan sumber daya, rendahnya kualitas bibit, rendahnya kualitas pakan ternak, rendahnya keterampilan peternak, serta kecil modal usaha. Petani pelaku produksi merupakan sumber yang esensial untuk menjamin berlangsungnya protes produksi dengan baik dan efesien.
32 Universitas Sumatera Utara
Pemeliharaan ternak tanpa disertai pemahaman keterampilan yang memadai tidak akan mengahasilkan ternak kwalitas baik, bahkan mungkin ternak yang baik akan terafkir sedang ternak yang jelek akan termpil sehingga tujuan pemeliharaan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengetahuan peternak tentang teknologi peternakan masih sangat kurang hal ini erat kaitannya dengan sikap peternak itu sendiri terhadap usahanya. Alih teknologi kepada peternak dapat dilakukan melalui megang, pelatihan dan studi banding (Karokaro dan Batubara, 1998).
2.5. Pendapatan Petani Tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan suatu indikator yang laizim dipergunakan pengukur pertumbuhan ekonomi (Asmara, 1986). Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat di pedesaan adalah terbatasnya jumlah dan jenis lapangan pekerjaan yang tersedia. Pada umumnya pekerjaan masyarakat di pedesaan hanya terpusat pada sektor pertanian dengan pengelolaan secara tradisional (Jinghan, 1999). Salah satu cara untuk menduga tingkat perkembangan perekonomian suatu wilayah adalah dengan mengukur tingkat pendapatan rumah tangga di wilayah adalah dengan mengukur tingkat pendapatan rumah tangga di wilayah tersebut. Suatu wilayah yang rata-rata rumah tangganya mempunyai pendapatan yang tinggi maka perekonomian suatu wilayah tersebut akan lebih baik, karena daya beli masyarakat
33 Universitas Sumatera Utara
lebih baik. Sebaliknya suatu wilayah yang perkembangan ekonominya lebih baik, maka mendukung upaya peningkatan pendapatan rumah tangga. Nasution (1993), berpendapat bahwa sumber pendapatan petani adalah dari kegiatan usaha taninya. Aktivitas usaha tani petani memperoleh pendapatan dari hasil lahan dan hasil peternakannya. Dari hasil lahan diperoleh hasil sewa dan kebun, sedangkan pendapatan dari hasil peternakan diperoleh dari hasil penjualan ternak, pupuk kandang dan penggunaan tenaga kerja hewan.
2.6. Analisa Usaha Tani Dalam suatu usaha agribisnis peternakan komersial diperlukan peningkatan pola fikir dari pola berproduksi untuk keluarga dan juga dijual ke pasar menjadi berproduksi untuk memperoleh keuntungan atau laba yang lebih besar. Dengan demikian, arah pemikirannya sudah jelas, yaitu akan menerapkan prinsip ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh hasil dengan laba yang besar. Suatu usaha dikatakan untuk apabila jumlah pendapatan lebih besar dari pada total pengeluaran. Apabila perolehan pendapatan lebih rendah dari pengeluaran berarti usaha tersebut mengalami kerugian sehingga usaha tersebut tidak layang dipertahankan. Untuk dapat menyimpulkan suatu usaha tersebut tidak layak dipertahankan. Untuk dapat menyimpulkan usaha peternakan untung atau rugi, peternak harus mempunyai data tertulis tentang arus perputaran uang masuk maupun uang keluar (Sudarmono dan Sugeng, 2002).
34 Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya, perhitungan rugi-laba memperlihatkan aliran kas masuk (“cash inflow”) dan aliran kas keluar (“cash outflow”). Adapun komponen perhitungan rugi laba meliputi : pendapatan dan pengeluaran/biaya (tetap dan variabel). Contoh perhitungan rugi-laba usaha ternak (sebagai ilustrasi) adalah sebagai berikut (Myer, 1979 dan Bowlin et al., 1980; ): 1. Pendapatan Tunai Usaha Ternak, yang meliputi penjualan ternak sapi, dan penjualan kotoran sapi. 2. Pengeluaran Tunai (“Variable Cost”), yang meliputi pembelian bibit sapi, pecan ternak, obat-obatan, biaya angkutan, dan upah tenaga kerja. 3. Pendapatan (Laba Kotor = I – II) 4. Pengeluaran Tunai Tetap (“Fixed Cost”), yang meliputi pajak atas kepemilikan, penyusutan kandang dan peralatan, bunga pinjaman, asuransi, dan gaji pemimpin perusahaan. 5. Pendapatan Usaha Bersih (III – IV) Keterangan : Menurut Emery et al. (1962) Penyusutan kandang dan peralatan diperhitungkan dengan menggunakan metode garis lurus : Nilai awal investasi – nilai residu Penyusutan = ––––––––––––––––––––––––––––– Umur Ekonomis Menurut Abdurrachman, (1963) ; Johannes et al. (1980) “Break Even Point” (BEP) adalah suatu keadaan yang menunjukkan perusahaan tidak rugi dan tidak untung. Biaya tetap 35 Universitas Sumatera Utara
BEP = ––––––––––––––––––––––––––––– 1 – Biaya variabel tetap Total Penjualan (G. P. Bagus Sastina dan I. G. Ngurah Kayana).
2.7. Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan
pembangunan
nasional
dan
kesatuan
wilayah
nasional,
meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI (Negara Kesatuan Repoblik Indonesia) (Direktorat Jenderal Penataan Ruang). Pembahasan mengenai wilayah, tidak terlepas dari unsur wilayah itu sendiri. Wilayah umumnya diartikan sebagai areal, daerah tertentu dengan batasn-batasan yang jelas. Menurut Wibowo (2004), Pengertian wilayah (region) adalah suatu unit geogerafi yang membentuk suatu kesatuan. Unit geogerafi adalah ruang yang meliputi aspek fisik tanah, biologi, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Tujuan pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada disuatu daerah untuk memanfaatkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
2.8. Penelitian Terdahulu
36 Universitas Sumatera Utara
Penelitian terdahulu dengan ternak sapi, antara lain Suryana (2009). Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Oleh I.G.P. Bagus Sastina dan I.G. Ngurah Kayana (2005) dalam analisis finansial usaha agribisnis peternakan sapi daging. Dalam suatu usaha agribisnis peternakan komersial diperlukan peningkatan pola pikir dari pola berproduksi untuk keluarga dan juga dijual ke pasar menjadi berproduksi untuk memperoleh keuntungan 37 Universitas Sumatera Utara
atau laba yang lebih besar. Dengan demikian, arah pemikirannya sudah jelas, yaitu akan menerapkan prinsip ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh hasil dengan laba yang besar. Menurut hasil penelitian Rosmeri (2009), dengn bertambahnya jumlah ternak yang dipelihra, maka bertambah pula curahan tenaga kerja yang dipergunakan untuk kegiatan pengembalaan, merawat ternak, membersihkan kandang, mengarit rumput dan kegiatan lainnya. Tenaga kerja yang digunakan dalam mengelola usaha ternak berasal dari tenaga kerja keluarga (anak, istri dan suami).
2.9. Konseptual Penelitian Dalam pengembangan komoditi unggulan (ternak sapi), kegiatan yang terkait adalah : kegiatan budidaya sebagai kegiatan usaha; sub sektor industri hulu yaitu pengadaan sarana produksi seperti bibit, pakan, kandang, peralatan kandang, obatobatan dan vitamin; proses produksi yaitu memadukan faktor produksi yang tersedia yaitu input produksi (modal, tenaga kerja, dan lahan) untuk menghasilkan sejumlah output (produk utama dan sampingan); sub sektor industri hilir yaitu pemasaran, sarana dan prasarana. Modal kerja terdiri modal tetap (fixed) berupa peralatan, dan bangunan; modal tidak tetap (variabel cost) berupa pakan, bibit, obat-obatan dan vitamin. Tenaga kerja untuk kegiatan pemeliharaan ternak sapi berasal dari dalam keluarga. Areal perkebunan dan lahan masyarakat digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, pengembalaan dan sumber pakan hijauan makanan ternak. Secara serempak seluruh
38 Universitas Sumatera Utara
aktivitas sub sektor akan berdampak terhadap pengembangan komoditi unggulan (ternak sapi) dan berdampak juga pada komponen pengembangan wilayah
di
Kecamatan Hamparan Perak. Komponen pengembangan wilayah yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, pemanfaatan tenaga keraja, pertumbuhan usaha dan adanya kas daerah yang berakumulasi terhadap pengembangan wilayah di Kecamatan Hamparan Perak. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
39 Universitas Sumatera Utara
Kecamatan Hamparan Perak
Pengembangan Komoditi Ternak Sapi
Input : 1. Modal 2. Tenaga kerja 3. Lahan
Industri Hulu : Penyediaan sarana produksi (bibit, pakan, kandang, peralatan, obat dan vitamin.
Industri hilir : 1. Pemasaran. 2. Sarana dan prasarana.
Output : Pemanfaatan tenaga kerja Peningkatan pendapatan
Pertumbuhan usaha baru
Terciptanya pasar
Pemasukan PAD
Dampak : Pengembangan wilayah
Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir
40 Universitas Sumatera Utara
2.10. Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Faktor ketersediaan modal, curahan tenaga kerja dan luas lahan berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi ternak sapi di Kecamatan Hamparan Perak. 2. Pengembangan ternak sapi memberi keuntungan bagi peternak di Kecamatan Hamparan Perak. 3. Pengembangan ternak sapi meningkatkan pengembangan wilayah di Kecamatan Hamparan Perak.
41 Universitas Sumatera Utara