ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU
YUHENDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
Oktober 2009
Yuhendra NIM A156080124
ABSTRACT YUHENDRA. Regional Analysis of Livestock Commodities Development in Riau Province. Under direction of SETIA HADI, BABA BARUS, dan BOEDI TJAHJONO. The development of livestock potential is expected to reduce of production and market unbalances. Knowing patterns of marketing of livestock commodities inter-regions may increase some added value of commodities. The purposes this research are: 1) to analyze the potential of livestock commodities in the public lands in Riau province, 2) to analyze flow of livestock commodities marketing inter-region in Riau Province, 3) to analyze trade order (price, marketing margins, and institutional) of livestock commodities in Riau Province, 4) to arrange direction of livestock commodities development based marketing potential, 5) to arrangement livestock development strategy Riau Province. Analysis for regional carrying capacity was based on the availability of forage; analysis for marketing flow of livestock commodities used the gravity model analysis and entropy interaction model with doubly constrained; analysis of trading system employed margin trading system analysis; hierarchy analysis used scalogram method; and spatial analysis used geographic information system applications. The result showed the possibility for development of cattle and buffaloes for 81.48%, and broiler for 7% of its carrying capacity respectively. The flow of cattle marketing is influenced by farmers productivity in the origin region. The Cattle’s production region is exhibited in the Indragiri Hulu, Kampar, Rokan Hulu, and Kuantan Singingi and the marketing region is belonged to Siak, Bengkalis and Rokan Hilir. The flow of buffalo commodities marketing is more determined by slaughtering at destination region. The buffalo’s production is exhibited in the Kampar and Kuantan Singingi and the marketing is exhibited in the Pekanbaru, Siak, Dumai and Rokan Hilir. The main factor determining the flow of broiler marketing is the population in origin region and the consumption of broiler in destination region. So that development of broiler’s production region is directed to Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, dan Siak, and marketing region is directed to Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, and Rokan Hilir. The shorter the chain of trade procedures, so the lesser cost for marketing expenditure. However, the length of chain trading system does not affect to consumer price. The flow of cattle and buffalo commodities market moves from South to North, while the broiler moves from the region in the middle area, and the domestic chicken exhibite at all regions. Kuantan Singingi is the main region for livestock commodities production and the central region for livestock commodities marketing service is Pelalawan and Bengkalis. Keywords: inter-regional interaction, origin-destination, marketing flow, livestock commodities.
RINGKASAN YUHENDRA. Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau. Dibimbing oleh SETIA HADI, BABA BARUS, dan BOEDI TJAHJONO. Pembangunan wilayah tidak terlepas dari hubungan antar wilayah dan antar sektor. Pengembangan pendekatan pembangunan sektoral yang berdimensi wilayah merupakan sebuah langkah inovatif. Contoh aktual yang sekarang sedang berjalan adalah di bidang sub sektor peternakan. Pengembangan komoditas peternakan di Provinsi Riau diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya ketimpangan produksi dan pasar. Beragamnya pola interakasi antar wilayah pemasaran komoditas peternakan ini secara ekonomi sebenarnya mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tetapi karena pola tersebut tidak teridentifikasi maka akan menyulitkan dalam pengembangan komoditas peternakan. Tujuan penelitian ini adalah : 1) menganalis potensi komoditas peternakan di lahan masyarakat Provinsi Riau, 2) menganalisis aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau, 3) menganalisis tata niaga (harga, margin pemasaran, dan kelembagaan) komoditas peternakan Provinsi Riau, 4) menyusun arah pengembangan komoditas peternakan berdasarkan potensi pemasaran, dan 5) menyusun strategi pembangunan peternakan Provinsi Riau. Analisis daya dukung wilayah dilakukan dengan melihat kapasitas tampung dari wilayah berdasarkan ketersediaan hijauan. Aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah menggunakan analisis Model Gravitasi dan Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda. Analisis margin tata niaga digunakan untuk mengetahui efesiensi pemasaran komoditas peternakan dengan melihat biaya pemasaran dan keuntungan pelaku pemasaran dalam rantai tata niaga pemasaran. Analisis hirarki wilayah menggunakan Metode Skalogram. Analisis spasial dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi sistem informasi geografis. Provinsi Riau memiliki potensi daya dukung lahan cukup besar karena kemampuan wilayah untuk pengembangan komoditas sapi dan kerbau baru dipenuhi 18,52%, Komoditas ayam ras pedaging mampu memenuhi kebutuhan wilayah sebesar 92,93%, sedangkan komoditas ayam buras telah mampu memenuhi kebutuhan wilayah. Potensi komoditas sapi dan kerbau terdapat di wilayah Riau Bagian Selatan yaitu Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Sedangkan kebutuhan komoditas ayam ras pedaging dominan terdapat di Pekanbaru, Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hilir dan Bengkalis. Aliran pemasaran komoditas sapi dipengaruhi oleh besarnya produktifitas sumberdaya manusia peternakan wilayah asal. Wilayah yang dapat dikembangkan sebagai wilayah produksi adalah Indragiri Hulu, Kampar, Rokan Hulu dan Kuantan Singingi. Pemasaran komoditas sapi membentuk wilayah simpul pasar yaitu Pekanbaru dan selanjutnya dialirkan ke Siak, Bengkalis dan Rokan Hilir yang merupakan wilayah pemasaran. Aliran pemasaran komoditas kerbau lebih ditentukan oleh daya tarik wilayah tujuan berupa pemotongan ternak. Wilayah yang dapat dikembangkan menjadi
wilayah produksi adalah Kampar dan Kuantan Singingi dan wilayah pemasaran Pekanbaru, Siak, Dumai dan Rokan Hilir. Faktor pendorong pemasaran komoditas ayam ras pedaging adalah populasi ternak wilayah asal dengan wilayah produksi adalah Kampar, Pekanbaru, Pelalawan, dan Siak. Faktor daya tarik wilayah tujuan pada pemasaran komoditas ayam ras pedaging adalah konsumsi wilayah tujuan. Wilayah pemasaran untuk komoditas ini adalah Bengkalis, Dumai, Indragiri hilir, dan Rokan Hilir. Pengembangan wilayah produksi diarahkan di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi karena potensi pengembangan yang besar dan harga komoditas peternakan relatif lebih murah. Pada rantai tata niaga pemasarannya, nilai tambah komoditas lebih banyak dinikmati oleh pedagang besar dan pedagang pengecer. Pengurangan rantai tata niaga tidak memberikan pengurangan harga pada harga jual di konsumen. Pada wilayah pemsaran seperti Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai harga komoditas peternakan relatif lebih tinggi. Tingginya harga di ketiga kabupaten wilayah tersebut karena permintaan yang tinggi serta jarak yang jauh dari wilayah asal komoditas. Kabupaten Kuantan Singingi merupakan wilayah utama produksi komoditas peternakan. Pada Hirarki kedua, yang merupakan wilayah tengah, terdapat Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kampar dan Rokan Hulu. Sedangkan kabupaten dan kota lainnya merupakan wilayah dengan fasilitas peternakan yang rendah. Wilayah pusat pelayanan pemasaran komoditas peternakan yaitu Kabupaten Pelalawan dan Bengkalis. Pusat pelayanan pemasaran ini membagi wilayah Provinsi Riau menjadi dua klaster yaitu Riau Bagian Utara dengan Bengkalis sebagai pusat pemasaran dan Riau Bagian Selatan dengan Pelalawan sebagi pusat pemasaran. Adanya pusat pelayanan pemasaran akan dapat meningkatkan efesiensi rantai tata niaga dan pelayanan serta memantau dan menjaga stabilitas harga pada rantai tataniaga sehingga benefit share menjadi lebih adil. Wilayah produksi yang terletak di Kuantan Singingi dan sekitarnya mengindikasikan bahwa kawasan bagian selatan, merupakan kawasan yang cocok untuk kegiatan budidaya komoditas peternakan. Komoditas peternakan yang produksinya perlu dipertahankan adalah ayam ras pedaging, sedangkan komoditas yang produksinya perlu ditingkatkan adalah sapi. Pengembangan ternak kerbau dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah tertentu. Di wilayah produksi peningkatan infrastruktur peternakan yang perlu dibangun adalah poskeswan, Pos Inseminasi Buatan, dan sentra pembibitan ternak. Wilayah pemasaran diarahkan kepada penyiapan fasilitas pelayanan pemasaran ternak seperti rumah potong, pasar ternak dan penampungan ternak. Fasilitas ini, untuk wilayah Riau Bagian Utara dapat dibangun di Kabupaten Bengkalis, sedangkan di wilayah selatan dapat dibangun di Pelalawan. Kata kunci: interaksi antar wilayah, asal-tujuan, aliran pemasaran, komoditas peternakan.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU
YUHENDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.
Judul Penelitian
:
Nama NIM
: :
Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau Yuhendra A156080124
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Ketua
Dr. Boedi Tjahjono Anggota
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 23 Oktober 2009
Tanggal Lulus : 2 Nopember 2009
Karya kecil ku ini ku persembahkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia Terima kasih ku kepada istri tercinta Lili Suryani dan dua orang mentari hati ku Fahra Halimah dan Aisyah Humairah Sujud simpuh dihaturkan kepada kedua orang tua dan mertua
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah interaksi wilayah dengan judul Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Baba Barus, M.Sc. dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono selaku anggota komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan masukan. Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa yang diberikan dan Pemerintah Provinsi Riau yang telah memberikan izin tugas belajar. Kepada seluruh staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB, penulis sampaikan ucapan terima kasih atas bekal ilmu dan wawasan serta bantuan atas kelancaran administrasi selama melaksanakan studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pelaku pemasaran peternakan di Provinsi Riau yang telah bersedia menjadi narasumber untuk bahan dalam penyusunan karya tulis ini. Tak lupa ucapan terima kasih ditujukan untuk teman–teman PWL angkatan 2008, atas bantuan, kerjasama dan dorongan yang tiada henti dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Terakhir dan terpenting, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar yang berada di Pekanbaru, atas pengertian, do’a dan kasih sayang yang tiada henti. Ibarat kata pepatah ’tak ada gading yang tak retak’, meskipun dalam karya tulis ini masih banyak ditemui kekurangan dan keterbatasan, namun semoga tetap dapat bermanfaat. Bogor,
Oktober 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 16 Juli 1975 dari ayah A. Muaz Syarif dan ibu Yusraini. Penulis merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMT Pertanian Air Molek dan pada tahun yang sama diterima pada program Diploma III Teknisi Peternakan Fakultas Peternakan IPB. Setelah menyelesaikan pendidikan Diploma III pada tahun 1997, penulis meneruskan pendidikan dengan mengikuti program Alih Jenjang di Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 2000. Setelah lulus pendidikan sarjana, penulis bekerja sebagai Field Officer di Community Development sebuah perusahaan swasta di Provinsi Riau. Kemudian diterima dan memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada Tahun 2005 dan ditempatkan sebagai staf pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau hingga saat ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
1 1 3 7 7 7
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2.1 Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Komoditas Peternakan ...... 2.2 Komoditas Peternakan ........................................................................... 2.3 Wilayah Pemasaran ................................................................................ 2.4 Aliran Pemasaran Antar Wilayah ........................................................... 2.5 Lembaga Pemasaran................................................................................ 2.6 Harga dan Margin ................................................................................... 2.7 Wilayah Pemasaran dalam Sistem Informasi Geografis.........................
8 8 9 10 11 13 14 15
III METODE PENELITIAN ............................................................................. 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 3.3 Pengumpulan Data ................................................................................. 3.4 Analisis Data .......................................................................................... 3.4.1 Analisis Daya Dukung Wilayah .................................................... 3.4.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan ....................... 3.4.3 Analisis Tata Niaga Pemasaran ..................................................... 3.4.4 Analisis Hirarki Wilayah Berdasarkan Inftrastruktur Peternakan 3.4.5 Analisis Spasial .............................................................................
17 17 18 18 20 20 22 22 26 27
IV GAMBARAN UMUM PROVINSI RIAU .................................................. 4.1 Kondisi Geografis .................................................................................. 4.2 Wilayah Administrasi ............................................................................. 4.3 Demografi .............................................................................................. 4.4 Pendapatan Domestik Regional Bruto ................................................... 4.5 Potensi Peternakan .................................................................................
28 28 29 30 31 33
V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 5.1 Analisis Daya Dukung ........................................................................... 5.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan................................. 5.2.1 Komoditas Sapi .............................................................................. 5.2.2 Komoditas Kerbau ........................................................................ 5.2.3 Komoditas Ayam Ras Pedaging .................................................... 5.3 Analisis Tata Niaga Pemasaran .............................................................. 5.3.1 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Sapi ......................................... 5.3.2 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Kerbau ...................................
39 39 44 45 49 53 57 57 61
5.3.3 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Ras Pedaging ............... 5.3.4 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Buras ........................... 5.3.5 Kelembagaan Pemasaran Komoditas Peternakan ......................... 5.4 Analisis Hirarki Wilayah Peternakan ..................................................... 5.4.1 Analisis Hirarki Wilayah Produksi ................................................ 5.4.2 Analisis Hirarki Wilayah Pemasaran ............................................. 5.5 Strategi Pembangunan Peternakan di Provinsi Riau ..............................
65 68 71 72 73 75 76
VI SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 85 6.1 Simpulan ................................................................................................ 85 6.2 Saran ....................................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 88 LAMPIRAN ....................................................................................................... 88
DAFTAR TABEL Halaman 1 Luas arahan pemanfaatan ruang wilayah darat Provinsi Riau sampai dengan tahun 2027 ........................................................................... 2
Sumbangan produksi daging komoditas peternakan di Provinsi Riau tahun 2007 ....................................................................................................
4 6
3
Aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber, cara pengumpulan data dan output penelitian .................................................................................... 19
4
Luas dan jenis satuan tanah di Provinsi Riau ............................................... 28
5
Jumlah kecamatan, kelurahan/desa menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2007 ............................................................................. 30
6
Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun 2004-2007 31
7 Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) ................................................................. 32 8
Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah)................................................. 32
9
Kontribusi menurut lapangan usaha PDRB Provinsi Riau tanpa dan dengan migas tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (%) .................... 33
10 Populasi ternak di Provinsi Riau tahun 2007 ............................................... 35 11 Konsumsi daging per kapita di Provinsi Riau tahun 2007 (kg/tahun) ......... 36 12 Konsumsi daging per kabupaten dan kota di Provinsi Riau tahun 2007 (kg) 37 13 Luas lahan potensial sumber pakan ternak menurut jenis dan kabupaten/kota ....................................................................................... 39 14 Kapasitas tampung lahan potensial sumber pakan ternak untuk komoditas sapi dan kerbau pada setiap kabupaten/kota (ekor)....................................... 40 15 Populasi, potensi dan peluang pengembangan sapi dan kerbau di Provinsi Riau (ekor) ................................................................................. 41 16 Potensi konsumsi komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras pada setiap kabupaten/kota (ekor) ................................................................................... 42 17 Populasi, potensi dan peluang pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras di Provinsi Riau (ekor) .............................................................. 42 18 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas sapi .................... 45 19 Pola aliran pemasaran komoditas sapi ......................................................... 47 20 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas kerbau ................ 50 21 Pola aliran pemasaran komoditas kerbau ..................................................... 51 22 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging ................................................................................................. 53
23 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging .................................. 55 24 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas sapi (Rp) ..................................................................... 58 25 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas sapi .................... 60 26 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas kerbau (Rp) ............................................................... 62 27 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas kerbau ................ 63 28 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging (Rp) ............................................. 66 29 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging 67 30 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen dan margin pada rantai tata niaga komoditas ayam buras (Rp) ............................................... 70 31 Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah produksi berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan .......................................................... 73 32 Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah pemasaran berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan .......................................................... 75 33 Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas sapi (ekor) .................................................................................................... 80 34 Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas kerbau (ekor) ................................................................................................ 81 35 Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas ayam ras pedaging (ekor) ............................................................................. 83 35 Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas ayam buras (ekor) ......................................................................................... 84
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian .................................................................... 18
2
Skema alur kerja penelitian .......................................................................... 20
3
Peta administrasi Provinsi Riau ................................................................... 29
4
Dinamika perkembangan populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau 2004-2007 ............................................................................. 34
5
Peta penyebaran populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 ................................................ 35
6 Peta penyebaran ternak ayam buras, itik dan ayam ras pedaging Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 ......................... 36 7
Peta populasi, potensi dan peluang pengembangan ternak sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan kabupaten dan kota ......... 43
8
Pola aliran pemasaran komoditas sapi ......................................................... 48
9
Peta aliran pemasaran komoditas sapi .......................................................... 49
10 Peta aliran pemasaran komoditas kerbau ..................................................... 52 11 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging .................................. 56 12 Peta aliran pemasaran ayam ras pedaging .................................................... 56 13 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas sapi di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir ..................................................................... 59 14 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas sapi di Provinsi Riau ............................................................................................ 60 15 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas kerbau di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir ..................................................................... 63 16 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas kerbau di Provinsi Riau ............................................................................................ 64 17 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas ayam ras pedaging di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir ...................................................... 67 18 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam ras pedaging di Provinsi Riau ............................................................. 68 19 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam buras di Provinsi Riau ............................................................................................ 71 20 Peta hirarki wilayah produksi komoditas peternakan .................................. 74 21 Peta hirarki wilayah pemasaran komoditas peternakan ............................... 76 22 Strategi pengembangan komoditas sapi ........................................................ 79
23 Strategi pengembangan komoditas kerbau ................................................... 80 24 Strategi pengembangan komoditas ayam ras pedaging ............................... 82
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis daya dukung lahan sumber pakan ternak ........................................ 93 2
Matrik aliran pemasaran komoditas sapi (ekor)............................................ 96
3
Matrik aliran pemasaran komoditas kerbau (ekor) ....................................... 97
4
Matrik aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging (ekor) .................... 98
5 Daftar infrastruktur peternakan per kabupatan/kota di Provinsi Riau ......... 99
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan mengetahui potensi wilayah yang ada dan dikembangkan dengan berbagai program yang sesuai. Identifikasi potensi wilayah yang baik dan terukur dapat membantu perencanaan wilayah yang optimal, sehingga program pembangunan dapat diarahkan sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing wilayah. Pada era otonomi daerah, pembangunan wilayah menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar daerah. Adanya kesenjangan sektoral akan berimplikasi negatif terhadap percepatan pembangunan di kabupaten/kota. Oleh karena itu, pembangunan wilayah tidak terlepas dari hubungan antar wilayah dan antar sektor. Pengembangan pendekatan pembangunan sektoral yang berdimensi wilayah merupakan sebuah langkah inovatif. Pembangunan sektoral antar wilayah di Provinsi Riau, sebenarnya telah berkembang sejalan dengan arah kebijakan pengembangan wilayah nasional, tetapi implementasinya masih belum optimal. Optimalisasi pembangunan sektoral dapat dilakukan dengan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Oleh karena itu, seluruh pelaku pembangunan harus mampu bekerja sama dalam pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah sehingga percepatan pembangunan memberikan efek positif bagi masyarakat. Contoh aktual yang sekarang sedang berjalan adalah di bidang sub sektor peternakan dalam program kecukupan daging dan ketahanan pangan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini permintaan produk peternakan cenderung
terus
meningkat,
seirama
dengan
pertambahan
penduduk,
perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan tingkat pendidikan serta perubahan gaya hidup sebagai akibat arus globalisasi dan urbanisasi (Diwyanto et al. 2005). Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Riau. Pada tahun 2007, Provinsi Riau mengalami peningkatan pemotongan ternak. Sebagai contoh pemotongan sapi mengalami peningkatan sekitar 7,15%, sedangkan peningkatan pemotongan kerbau dan kambing masing-masing sebesar 6,80% dan 6,06%. Konsumsi daging
ayam ras juga meningkat sebesar 14,26% dan ayam buras dan itik meningkat masing-masing 13,9% dan 14,91% (Disnak Prov. Riau 2008). Provinsi Riau merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan usaha peternakan karena didukung oleh letaknya yang strategis sebagai pintu gerbang utama ke negara lain (Malaysia dan Singapura) dan mempunyai sumberdaya lahan yang masih luas. Analisis potensi yang sangat relevan adalah menyangkut daya dukung lahan dalam pengembangan populasi ternak, tetapi karena kebutuhan lahan dalam pengembangan ternak tidak selalu bersifat absolut dengan persyaratan jenis tanah, maka perhitungan daya dukung dilakukan melalui pendekatan daya tampung ternak ruminansia secara alami atau yang didasarkan pada ketersediaan pakan hijauan di lokasi. Selain itu, potensi ketersediaan hijauan pakan ternak sebagai salah satu daya dukung peternakan juga cukup besar karena memiliki areal yang cukup luas, seperti kebun kelapa sawit yang pada tahun 2006 mencapai luas sekitar 1.481.399 Ha (Disnak Prov. Riau 2006). Kebun kelapa sawit ini dapat menjadi potensi pakan untuk pengembangan ternak sapi dengan pendekatan integrasi kelapa sawit dan ternak sapi. Peternakan diakui sebagai salah satu komoditas pangan yang memberikan kontribusi cukup besar bagi devisa negara dan harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pada kenyataannya, target konsumsi daging asal ternak sebesar 10,1 kg/kapita/pertahun masih jauh dari terpenuhi. Pada tahun 2007 konsumsi daging penduduk Provinsi Riau hanya 5,02 kg/kapita/tahun. Di sisi lain, pesatnya pertambahan penduduk Provinsi Riau yang mencapai 5,23% juga menyebabkan permasalahan penyediaan bahan pangan asal hewan menjadi krusial karena permintaan yang terus meningkat. Hal ini jika dibiarkan dapat mengakibatkan terkurasnya populasi ternak maupun monopoli harga oleh pihakpihak tertentu. Peningkatan yang cepat terhadap permintaan komoditas peternakan selain menuntut pengembangan terhadap jumlah ternak juga terhadap pemasaran komoditas tersebut. Pengembangan pemasaran mencakup kegiatan pengamatan serta evaluasi dan usaha kebijakan yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran komoditas peternakan dari waktu ke waktu guna mewujudkan penyediaan
komoditas peternakan yang cukup, kontinyu, mutu terjamin, distribusi merata dengan harga yang layak dan stabil. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah seperti perbaikan sarana dan sarana pendukung, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan kawasan potensial dan peningkatan modal usaha ditujukan untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembangan ekonomi wilayah ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar daerah. Potensi peternakan di Provinsi Riau perlu dilihat secara komprehensif. Pengembangan wilayah potensial diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya ketimpangan produksi dan pasar. Kondisi Provinsi Riau yang luas secara geografis memerlukan penataan yang efektif dan efisien dalam mendukung pemasaran komoditas peternakan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan analisis pengembangan wilayah komoditas peternakan di Provinsi Riau. 1.2 Perumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2007 cukup tinggi yaitu sebesar 8,25%, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 6,87%. Pendapatan regional perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000 mengalami peningkatan dari 6,99 juta rupiah pada tahun 2006 menjadi 7,11 juta rupiah pada tahun 2007.
Dengan berkembangnya sektor
industri dan perkebunan menyebabkan peningkatan peluang kerja dan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan. Tingginya pertumbuhan tersebut rupanya juga menyebabkan tingginya pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari luar Provinsi Riau (migrasi). Peningkatan jumlah penduduk dari migrasi ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan pangan, sedangkan peningkatan pendapatan menyebabkan perubahan terhadap pola makan. Salah satu kebutuhan pangan yang setiap tahun meningkat adalah kebutuhan terhadap daging ternak. Perubahan pola konsumsi menyebabkan tingginya permintaan komoditas peternakan terutama daging. Pola konsumsi yang semula lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan karbohidrat, maka dengan peningkatan pendapatan, saat ini mulai bergeser kepada pola konsumsi yang lebih mengutamakan konsumsi protein. Kebutuhan protein ini secara umum dipenuhi dari konsumsi daging dan telur.
Peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya sub sektor peternakan semakin menonjol pada pengembangan agribisnis saat ini dan masa yang akan datang. Beberapa keunggulan agribisnis berbasis peternakan adalah mempunyai kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes (misalnya dalam pengembangan sistem integrasi karet-sapi, kelapa-sapi atau ternak dan pelestarian alam). Produk peternakan mempunyai nilai elastisitas tinggi terhadap perubahan pendapatan sehingga permintaan produk peternakan akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (Saragih 2000). Menurut RTRW Provinsi Riau 2007-2027, pengembangan kawasan Peternakan diarahkan untuk menunjang terwujudnya ketahanan pangan dan kecukupan protein masyarakat. Kawasan yang dapat dimanfaatkan adalah kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan perkebunan rakyat, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan hutan produksi konversi yang dicadangkan untuk ketiga lahan tersebut. Luas arahan pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya sebesar 76,18% atau 6.837.783,45 Ha. Potensi pengembangan kawasan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Luas arahan pemanfaatan ruang wilayah darat Provinsi Riau sampai dengan tahun 2027 No I II A 1 2 3 B 1 2 3 C 1 2 3 4
Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kawasan Potensi Peternakan A. Kawasan Hutan Produksi Konversi Cadangan Lahan. Perkebunan/Tanaman Tahunan Cadangan Lahan Pertanian Lahan Basah Cadangan Lahan Pertanian Lahan Kering B. Kawasan Perkebunan/Tanaman Tahunan Perkebunan Besar Negara/Swasta Pengembangan Perkebunan Rakyat Perkebunan Rakyat Eksisting Kawasan Pertanian Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Eksisting Pertanian Lahan Kering Eksisting
Luas (Ha) 6.837.783,45 4.077.258,87 228.372,97 93.306,40 106.350,90 28.715,67 3.247.954,33 1.841.450,00 816.914,92 589.589,41 600.931,57 205.525,40 124.530,80 189.040,71 81.834,66
%* 76,18 45,43 2,54 1,04 1,18 0,32 36,19 20,52 9,1 6,57 6,7 2,29 1,39 2,11 0,91
%** 59,63 3,34 1,36 1,56 0,42 47,50 26,93 11,95 8,62 8,79 3,01 1,82 2,76 1,20
%*** 5,60 2,29 2,61 0,70 79,66 45,16 20,04 14,46 14,74 5,04 3,05 4,64 2,01
Sumber : Bappeda Provinsi Riau (2007) * Persentase dari luas Provinsi Riau ** Persentase dari luas kawasan budidaya *** Persentase dari luas kawasan potensi peternakan Pengelolaan potensi lahan sebagai sumber pakan ternak membutuhkan berbagai cara dan pola sesuai dengan jenis kawasannya. Pemanfaatan hutan
produksi konversi dan perkebunan besar negara/swasta lebih banyak berhubungan dengan
pengusaha
dan
dibatasi
oleh
aturan-aturan
tertentu,
sehingga
membutuhkan kebijakan tertentu pula. Adapun kawasan yang langsung dapat disentuh oleh program pemerintah adalah yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, yang dalam hal ini adalah kawasan pertanian. Pada penelitian ini, analisis daya dukung lahan diarahkan pada luas lahan potensial yang dikuasai oleh masyarakat tersebut. Pada sebuah wilayah yang merupakan kawasan produksi peternakan, penetapan kebijakan pembangunan peternakan akan diarahkan kepada kegiatan budidaya dan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang untuk meningkatkan produktivitas. Wilayah produksi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan permintaan wilayah tersebut dan juga permintaan wilayah lain. Sedangkan wilayah pemasaran adalah wilayah yang membutuhkan tambahan komoditas dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan tidak memungkinkan dikembangkan kegiatan produksi di wilayah tersebut. Keterbatasan pada wilayah ini karena tidak didukung oleh faktor produksi, sumberdaya manusia dan sumberdaya alam serta keterbatasan ruang karena tidak ada peruntukan wilayah untuk peternakan. Potensi pemasaran pada wilayah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wilayah yang membutuhkan pasokan (supply) untuk kebutuhan masyarakat pada wilayah tersebut dan wilayah yang mempunyai potensi sebagai pemasok (supplier) memasarkan komoditas peternakan ke wilayah lain. Pelaksanaan pembangunan peternakan pada wilayah pemasaran ini tentu berbeda dengan wilayah produksi. Pada wilayah ini lebih dikembangkan fasilitas pemasaran, pelayanan pemasaran, dan pengolahan hasil ternak. Produksi daging merupakan gambaran dari besarnya kebutuhan komoditas peternakan. Besarnya peran masing-masing komoditas peternakan dalam pemenuhan kebutuhan daging di Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan melihat kontribusi dalam produksi daging dan ketersediaan data maka penelitian ini akan dilaksanakan pada empat komoditas peternakan yaitu ayam ras pedaging, ayam buras, sapi, dan kerbau. Tingginya
tingkat
permintaan
komoditas
peternakan
menyebabkan
munculnya kegiatan ekonomi peternakan yang mampu menjadi tumpuan
pendapatan masyarakat. Dengan potensi yang ada saat ini, ternyata kebutuhan komoditas peternakan tidak mampu dipenuhi oleh produksi peternakan di dalam Provinsi Riau sehingga perlu mengimpor dari luar provinsi. Disamping itu, akibat permintaan yang tinggi maka banyak variasi harga komoditas peternakan antar kabupaten/kota di Provinsi Riau. Pola pemasaran ternak dari masing-masing komoditas juga berbeda di masing-masing kabupaten/kota. Tabel 2 Sumbangan produksi daging komoditas peternakan di Provinsi Riau tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas Ayam Ras Pedaging Sapi Ayam Buras Kerbau Kambing Domba Babi Ayam Ras Petelur Itik Total Produksi Daging Sumber : Disnak Prov. Riau (2008)
Jumlah (kg) 23.059.312 6.640.264 3.574.856 1.667.962 1.466.306 32.114 383.608 188.854 172.041 37.185.317
Persentase 62,01 17,86 9,61 4,49 3,94 0,09 1,03 0,51 0,46
Beragamnya pola dan wilayah pemasaran komoditas peternakan ini secara ekonomi sebenarnya mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tetapi karena pola tersebut tidak teridentifikasi maka dapat menyulitkan dalam penyusunan strategi pengembangan komoditas peternakan. Dari uraian diatas beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapa besar daya dukung lahan masyarakat untuk pengembangan komoditas peternakan di Provinsi Riau? 2. Bagaimana
aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di
Provinsi Riau? 3. Bagaimana tata niaga komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau? 4. Dimana wilayah yang potensial dikembangkan untuk sentra produksi ternak dan dimana wilayah pemasarannya ? 5. Bagaimana strategi pembangunan peternakan di Provinsi Riau?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis potensi komoditas peternakan di lahan masyarakat Provinsi Riau 2. Menganalisis aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau. 3. Menganalisis tata niaga (harga, margin pemasaran, dan kelembagaan) komoditas peternakan Provinsi Riau. 4. Menyusun arah pengembangan komoditas peternakan berdasarkan potensi pemasaran. 5. Menyusun strategi pembangunan peternakan Provinsi Riau. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah : 1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam membuat strategi kebijakan pengembangan sub sektor petenakan di Provinsi Riau untuk masa yang akan datang. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pelaku usaha dalam berinvestasi di sub sektor peternakan sehingga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan peternakan di Provinsi Riau. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Riau dengan wilayah kabupaten dan kota sebagai unit penelitian. Perhitungan lahan potensial hanya lahan yang dikuasai dan dimiliki masyarakat. Pelaksanaan pengamatan aliran ternak dilakukan dengan model tertutup. Model tertutup ini membatasi data penelitian hanya pada aliran ternak dari dan berasal dari wilayah di dalam Provinsi Riau. Pemilihan komoditas ternak dilaksanakan berdasarkan sumbangan produksi daging yang tertinggi sehingga komoditas yang diamati adalah ayam ras pedaging, sapi, ayam buras dan kerbau. Pengamatan aliran komoditas dilakukan pada data keluar masuk ternak hidup yang berlangsung dalam sistem tata niaga pemasaran. Untuk itu, pengamatan dibatasi hanya pada pelaku pemasaran.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Komoditas Peternakan Pengembangan jenis ternak tertentu harus memperhatikan faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Pada pengembangan peternakan rakyat, daya dukung wilayah ditekankan pada kebutuhan ternak pemakan hijauan, dalam hal ini ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa). Daya dukung pakan merupakan kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan dan menyediakan makanan ternak yang dapat menampung kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia tanpa melalui pengolahan. Dalam menghitung daya dukung digunakan beberapa asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Satuan yang digunakan adalah satuan ternak (Syamsu, 2006). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan yaitu, pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Untuk pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua (kadangkadang tidak dilakukan) merupakan analisis sosial ekonomi yang dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis-analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberikan petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen peternakan tersebut meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak yang harus ditingkatkan peranannya (Ditjennak dan Balitnak
1995). Usaha peternakan sangat berkaitan dengan lahan karena menentukan ketersediaan hijauan makanan ternak. Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan (land based agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land based agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan, yaitu ternak yang komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminose), maka lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan (Suratman et al. 1998). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternakan antara lain adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat. Lahan sawah akan menghasilkan jerami, dedak, dan bekatul, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain (Riady 2004). Persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas minimum, optimum, dan maksimum (Djaenudin et al. 2000). Untuk komoditas peternakan berupa hijauan makanan dapat hanya menggunakan klasifikasi berdasarkan ordo Sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Penilaian ini dilakukan terhadap persyaratan lingkungan untuk ternak sapi dan kerbau (Suratman et al. 1998). 2.2 Komoditas Peternakan Komoditas peternakan dikembangkan sesuai dengan permintaaan pasar. Permintaan pasar dapat menggambarkan prospek pengembangan komoditas peternakan. Salah satu indikator untuk pengembangan peternakan adalah konsumsi daging. Kebutuhan daging nasional berasal dari daging unggas 57%, daging sapi 24%, daging babi 11%, daging kambing/domba 5 %, daging kerbau dan kuda 3% (Ilham et al. 2002). Profil usaha peternakan di sektor primer menunjukan bahwa usaha peternakan unggas, sapi, dan kambing/domba memberikan peluang usaha yang baik sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu
industri yang terintegrasi dan sangat dinamis sehingga mampu menjadi pemicu utama perkembangan usaha peternakan. Sementara itu kontribusi daging sapi juga cukup besar walaupun ketergantungan pada impor bakalan sapi masih cenderung terus meningkat. Usaha penggemukan sapi menjadi usaha yang diminati. Pemenuhan kebutuhan daging juga diperoleh dari penggemukan kerbau dengan memanfaatkan kerbau lokal sebagai bakalan (Dwiyanto et al. 2005). Ilham et al. (2002) menambahkan bahwa usaha ternak di Indonesia, khususnya ternak sapi dan kambing/domba masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat yang dicirikan dengan skala pemilikan yang kecil, dikelola sebagai usaha sambilan dan penggunaan input dan output yang belum berorientasi pasar. Perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya seiring dengan perkembangan populasi ternak. Sentra populasi ternak sapi belum tentu sebagai sentra produksi daging sapi. Hal ini memungkinkan karena terjadi perdagangan ternak antar daerah. Perkembangan produksi daging sapi di suatu daerah menggambarkan perkembangan pemotongan sapi di daerah tersebut (Kariyasa dan Kasryno 2004). 2.3 Wilayah Pemasaran Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Dirjen Penataan Ruang 2007). Menurut Rustiadi et al. (2008) istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Mengidentifikasi wilayah menurut Tarigan (2004) dapat dilakukan dengan melihat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Berdasarkan fungsinya, wilayah dapat dibedakan menjadi misalnya kota dengan wilayah di belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan sebagainya.
Kotler (1990) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang dinilai. Rahim dan Hastuti (2007) menambahkan bahwa kegunaan kegiatan pemasaran, antara lain : selalu mengusahakan tersedianya komoditas dalam bentuk yang diinginkan (form utility), menyuguhkan tepat pada lokasi dan saat dibutuhkan (place and time utility) dan kegunaan kepemilikan (possessing utility). Menurut Soekartawi (2002) pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu dikenal dengan saluran pemasaran atau marketing channel. Fungsi saluran pemasaran ini amat penting khususnya dalam melihat tingkat harga di masing-masing lembaga pemasaran. Proses pemasaran merupakan wadah atau cara untuk menyatukan pasar yang terpisah. Keterpisahan pasar bisa disebabkan oleh ruang, bentuk dan waktu yang diinginkan konsumen. Dari sini dapat dilihat kesanggupan sistem pemasaran mempertemukan permintaan dengan kegoncangan penawaran, baik karena ruang, waktu, maupun bentuk dan sebaliknya (Ali et al. 2004). Sistem pemasaran sendiri menurut Firman dan Tawaf (2008) merupakan suatu kesatuan urutan lembagalembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk mengalirkan barang dan jasa dari produsen dan konsumen, dan sebaliknya mengalirkan uang dari konsumen ke produsen. Adapun pola perdagangan ternak didasarkan pada dua hal, yaitu adanya daerah surplus ternak dan daerah pemasaran. 2.4 Aliran Pemasaran Antar Wilayah Jenis komoditas dan pasar merupakan hubungan yang berlangsung dinamis, sedangkan sifat pemasaran untuk komoditas pertanian sering berubah terus menerus. Oleh karena itu harus ada pemahaman bagaimana pasar berfungsi, pemanfaatan, dan pengaruhnya terhadap lingkungan (Garcia dan Leuthold 2004). Namun demikian perubahan pasar dapat disebabkan oleh selera konsumen, perilaku pembeli, dan kebijakan pemerintah (Lindgreen dan Beverland 2004).
Sedangkan menurut Soekartawi (2002) berubahnya permintaan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besarnya tingkat pendapatan, harga, dan selera konsumen. Aspek pemasaran banyak ditentukan oleh imbangan permintaan dan penawaran karena imbangan ini yang akan menentukan harga. Sedangkan berubahnya faktor penawaran banyak dipengaruhi oleh karakteristik faktor produksi dan manajemen. Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menentukan perubahan harga. Dilihat dari perubahan harga ini, maka pengaruh harga komoditas subsitusi atau komoditas komplementer adalah penting sekali. Dengan demikian maka besar kecilnya elastisitas harga terhadap besarnya permintaan dan penawaran juga akan terpengaruh oleh adanya perubahan harga komoditas subsitusi (Soekartawi 2002). Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya, dimana makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen) berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) (Rahim dan Hastuti 2007). Penyediaan ternak bertujuan untuk kebutuhan konsumsi lokal dan konsumsi wilayah lain yang dilaksanakan melalui perdagangan antar pulau atau perdagangan antar provinsi (Bulu et al. 2004). Tetapi perlu disadari bahwa komoditas peternakan memiliki sifat meruah (bulky) dan mudah busuk (perishable) (Syahyuti 1999). Keterbatasan ini menurut Firman dan Tawaf (2008) memerlukan sistem pemasaran yang cepat dan mudah agar produk dapat sampai ke tangan konsumen. Besarnya permintaan ternak dapat dilihat tingkat konsumsi masyarakat. Kariyasa dan Kasryno (2004) mengemukakan bahwa masuknya perdagangan ternak (sapi potong) ke suatu daerah dapat mengidentifikasikan besarnya kebutuhan konsumsi daging di daerah tersebut.
Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu wilayah. Dalam hukum penawaran, produsen akan menawarkan barang jika harga tinggi sehingga semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak pula jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh produsen (Rahim dan Hastuti 2007). Mengetahui hal-hal yang menentukan pola aliran komoditas antar wilayah dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan dan perbaikan infrastruktur transportasi serta kebijakan pembangunan wilayah. Pada aliran komoditas antar wilayah dengan data yang baik dapat menjelaskan secara baik gambaran ekonomi antar wilayah. Parameter yang dapat diamati seperti penggunaan tenaga kerja, nilai tambah komoditas, dan pendapatan per kapita pada dua wilayah yang berinteraksi (Celik dan Guldmann 2007). 2.5 Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas dari produsen hingga konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainya. Lembaga pemasaran timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditas sesuai waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran (Rahim dan Hastuti 2007). Fungsi lembaga pemasaran dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, yang dicirikan oleh aktifitas yang dilakukan dan skala usahanya. Misalnya pedagang pengumpul tugasnya adalah membeli barang untuk dikumpulkan baik dari produsen atau pedagang perantara dengan skala yang relatif besar dibandingkan dengan skala usaha pedagang perantara. Begitu pula halnya dengan pedagang besar, mempunyai skala usaha yang lebih besar dari pada pedagang pengumpul. Masing-masing lembaga pemasaran, sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara berbeda-beda. Karena perbedaan kegiatan dan biaya yang dilakukan maka tidak semua kegiatan dalam fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga pemasaran. Karena perbedaan inilah maka biaya dan keuntungan pemasaran menjadi berbeda di tiap tingkat lembaga pemasaran (Soekartawi 2002).
Purwono (1993) mengemukakan bahwa dalam kegiatan pemasaran komoditas peternakan ada yang melibatkan banyak lembaga, sehingga mempunyai rantai pemasaran yang panjang, tetapi ada pula saluran pemasaran yang melibatkan sedikit lembaga, sehingga mempunyai saluran yang pendek. Masalah saluran pemasaran ini bukan semata-mata terletak pada panjang pendeknya saluran tetapi saluran mana yang memberikan tingkat efisiensi yang paling tinggi. Untuk itu menurut Firman dan Tawaf (2008), hal terpenting dalam proses tataniaga adalah mekanisme penentuan harga di setiap tahap tataniaga dan peran pengambil keputusan dalam menentukan tingkat harga. 2.6 Harga dan Margin Harga adalah indikator penting dalam pemasaran. Tekanan pokok efisiensi pemasaran terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Terbentuknya harga dalam pasar sudah mencakup biaya transfer yang dikeluarkan (Purwono 1993). Kebijaksanaan harga bermanfaat untuk menjaga dan melindungi petani agar tidak memperoleh harga yang rendah ketika jumlah komoditas banyak dan melindungi konsumen ketika harga komoditas meningkat tajam (Soekartawi 2002). Untuk penentuan harga komoditas peternakan di masyarakat peternak, pada prakteknya lebih banyak ditentukan oleh pedagang. Pedagang memiliki bergaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak yang didukung sekurang-kurangnya oleh dua hal, yaitu penentuan harga dan perkiraan nilai ternak (Syahyuti 1999). Bulu et al. (2004) menambahkan bahwa harga di tingkat peternak dipengaruhi oleh orientasi pasar, informasi harga, dan persaingan antar pembeli. Peternak yang berorientasi pasar akan aktif mencari informasi harga dan akan memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar. Daya tawar peternak juga akan semakin kuat jika jumlah pembeli perantara (belantik) semakin banyak. Penjualan ternak sapi melalui blantik dilandasi oleh beberapa alasan yaitu : (1) petani belum mampu mengakses pasar, (2) lokasi pasar cukup jauh, (3) banyak persyaratan administrasi dan biaya yang dikeluarkan petani jika menjual ke pasar, (4) menjual melalui blantik dianggap lebih praktis dan cepat karena tidak mengeluarkan biaya apapun, dan (5) pembayaran tunai (Bulu et al. 2004)
Margin pemasaran diartikan sebagai perbedaan harga pada tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. Analisis margin pemasaran dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan efektifitas pemasaran. Margin pemasaran terbagi dan tersebar di antara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer. Perbedaan harga inilah merupakan penyebab terjadinya suatu perdagangan antar lokasi. Untuk mempertahankan perdagangan antar daerah maka perlu diupayakan agar margin tataniaga mempunyai nilai seminimal mungkin, sehingga mempunyai daya saing dengan produk sejenis di daerah tujuan pemasaran (Ilham 2001; Kariyasa dan Kasryno 2004). Saluran pemasaran yang pendek dan terintegrasinya lembaga-lembaga pemasaran secara vertikal maupun horizontal akan mendukung efisiensi pemasaran ternak sapi, baik dalam hal operasional maupun biaya (Bulu et al. 2004; Widyantoro et al. 2004). Sedangkan menurut Dwiyanto et al. (2005) untuk komoditas unggas terutama produk ayam ras pedaging maupun petelur, maka perkembangan pasar dan harga sangat fluktuatif tergantung dari kesediaan pasokan input dan output, tetapi untuk unggas lokal (ayam kampung dan itik) hal ini tidak terlalu berpengaruh. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh McCorriston (2001) bahwa berubahan harga dapat lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kekuatan pasar dan skala produksi. 2.7 Wilayah Pemasaran dalam Sistem Informasi Geografis Pemanfaatan
Sistem Informasi
Geografis
(SIG)
bertujuan
untuk
memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang bereferensi geografi. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk menghubungkan
berbagai
data
pada
suatu
titik
tertentu
di
bumi,
menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, trend, pola, dan permodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi
lebih banyak memperoleh informasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Suharta et al. (1996) pembangunan pertanian modern antara lain dicirikan oleh penggunaan teknologi tinggi, akrab lingkungan, dan pemilihan komoditas yang berorientasi pasar. Untuk menunjang hal tersebut maka data dan informasi sumberdaya lahan dan lingkungannya sangat diperlukan dalam waktu cepat, mudah, dan akurat. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan apabila data dan informasi tersebut tersimpan dalam suatu sistem ”basis data” yang mampu bekerja dan menganalisis data secara cepat dan menampilkan hasilnya dalam berbagai format sesuai dengan keinginan pengguna, baik dalam bentuk tabular maupun spasial. Pengorganisasian data yang mempunyai dimensi ruang (spasial) seperti informasi lahan dan data iklim, dipermudah dengan berkembangnya ilmu dan perangkat lunak SIG. Hasil analisis dalam bentuk spasial atau tabular dapat disimpan dalan bentuk digital dan ditampilkan ulang untuk berbagai penggunaan yang lainnya.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Perkembangan suatu wilayah selain ditentukan oleh wilayah itu sendiri juga dipengaruhi oleh perkembangan wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikator majunya suatu wilayah adalah peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan aliran barang dan mobilisasi. Permintaan atas barang tersebut mendorong timbulnya aliran pemasaran baik yang berasal dari dalam wilayah itu sendiri maupun dari luar wilayah. Sub sektor peternakan memiliki berbagai komoditas yang menjadi konsumsi pangan masyarakat. Bentuk komoditas peternakan yang khas berupa makhluk hidup menyebabkan dalam produksi dan pemasaranya membutuhkan sarana dan prasarana pendukung agar produksi dan produktivitasnya tinggi. Pemasaran komoditas peternakan antar wilayah hingga saat ini belum banyak diamati khususnya pergerakan pemasaran ternak antar wilayah. Adanya kecenderungan konsumsi hasil ternak yang terus meningkat, mendorong terjadinya aliran komoditas peternakan. Akibat permintaan yang tinggi, aliran pemasaran ternak terkadang tidak efiesien sehingga harga yang diterima konsumen menjadi lebih tinggi. Tingginya permintaan komoditas peternakan mendorong setiap wilayah untuk bersaing dalam menghasilkan komoditas tersebut. Prilaku ini menyebabkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional karena tidak lagi melihat potensi yang ada. Beberapa parameter sub sektor peternakan yang dapat digunakan untuk mengembangkan komoditas peternakan adalah potensi lahan, kondisi masyarakat, kondisi alam, dan infrastruktur pendukung. Dengan diketahuinya potensi wilayah maka dapat dirumuskan strategi pembangunan sub sektor peternakan di wilayah tersebut. Tahapan atau alur kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.
Produksi Komoditas Peternakan Kabupaten/Kota
Impor Ternak (Dari Luar Provinsi)
Minus
Wilayah Pemasaran
Surplus
Wilayah Produksi Aliran Pemasaran
TataNiaga Pemasaran Infrastruktur Peternakan
Potensi Wilayah
Strategi Pembangunan Peternakan Provinsi Riau
Infrastruktur Peternakan
Hirarki Wilayah Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Riau yang meliputi 2 kota dan 9 kabupaten. Waktu pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2009 dan dilanjutkan dengan pengolahan data. 3.3 Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : a. Studi data sekunder Data sekunder terdiri dari data tabulasi yang diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti BPS, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Bappeda Provinsi Riau dan peta tematik berupa peta administrasi, peta tutupan lahan,
peta jaringan jalan Provinsi Riau yang kesemuanya diperoleh dari Bappeda Provinsi Riau. b. Wawancara Wawancara dilakukan kepada pedagang pelaku pemasaran komoditas peternakan. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling, sedangkan jumlah responden hasil wawancara didapatkan sebanyak 47 responden. Selanjutnya secara rinci mengenai aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber dan cara pengumpulan data serta output penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber dan cara pengumpulan data dan output penelitian Aspek
Tujuan
Analisis
Daya dukung lahan
Mengetahui Analisis Potensi Komoditas Daya Peternakan Dukung
Interregional
Mengkaji aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah
Karakteristik pemasaran komoditas peternakan Infrastruktur peternakan
Menganalisis tata niaga komoditas peternakan
Perencana an pembangunan Peternakan
Menyusun strategi Sintesis pembangunan analilis peternakan Provinsi Riau
Menentukan arah pengembangan komoditas peternakan
Parameter
Data
Luas lahan Luas lahan sumber pakan HMT, Luas ternak Tanaman pangan sumber pakan Analisis Jumlah keluar Jumlah keluar Gravitasi dan masuk masuk dan komoditas komoditas Entropy peternakan peternakan di Berkenda antar wilayah setiap wilayah la Ganda Analisis Harga, Mar- Harga beli, harTata gin dan ga jual serta biaNiaga kelembagaan ya-biaya pemapemasaran saran masing komoditas pelaku tata niaga Analisa Jenis dan Infrastruktur skalogra jumlah infra- peternakan, m struktur pelayanan, pemasaran -
-
Sumber dan Cara Pengumpulan Dinas Peternakan, BPS dan Bappeda Provinsi Riau Data Skunder di Dinas peternakan/ membidangi fungsi peternakan di kab/kota se Provinsi Riau Dinas Peternakan, wawancara dengan pedagang Data Skunder di Dinas peternakan/ membidangi fungsi peternakan di kab/kota se Provinsi Riau Hasil analisis sebelumnya
Output Potensi pengembangan komoditas peternakan Keterkaitan antar wilayah dalam produksi dan pemasaran Efisiensi pemasaran komoditas Hirarki kab/kota pusat pelayanan peternakan di Prov. Riau Strategi pembangun an peternakan
Untuk memudahkan dalam merumuskan kerangka pemikiran maka dibuat alur kerja penelitian seperti pada Gambar 2.
Peternakan Provinsi Riau
Komoditas Peternakan
Aliran Pemasaran Komoditas Peternakan antar Wilayah (Kabupaten/Kota)
Analisis Daya Dukung
Analisis Spasial
RTRW Provinsi Riau
Model Gravitasi dan Entropy
Infrastruktur Peternakan Riau
Skalogram Analisis Tata Niaga : - Efisiensi dan Margin - Lembaga Pemasaran - Harga
Hirarki Kab/Kota Berdasarkan Fasilitas Peternakan
Wilayah Pemasaran dan Produksi Peternakan
Strategi Pembangunan Peternakan di Provinsi Riau
Gambar 2 Skema alur kerja penelitian 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Daya Daya Dukung Wilayah Analisis daya dukung wilayah dilakukan dengan melihat kapasitas tampung dari wilayah, yang didasarkan kepada ketersediaan hijauan makanan ternak. Ketersediaan hijauan pada status wilayah dihitung berdasarkan luasan lahan untuk berbagai macam penggunaan. Kapasitas tampung ternak sapi potong dan kerbau ditentukan dengan menggunakan rumus (Setyono 1995) : PMSL = a LG + b PR + c R dimana
PMSL =
Populasi maksimum yang dapat ditampung oleh suatu wilayah (dalam bentuk satuan ternak) berdasarkan sumberdaya lahan
LG
= Luas lahan garapan tanaman pangan (Ha)
a
= Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha lahan tanaman pangan selama satu tahun dilihat berdasarkan ketersediaan limbah tanaman yang dihasilkan. Dalam hal ini digunakan angka rata-rata sebesar 1,36 ST/Ha
PR
= Luas padang rumput baik padang rumput alam maupun padang rumput alang-alang (Ha)
b
= Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha lahan padang rumput selama satu tahun dilihat berdasarkan perkiraan hasil hijauan makanan ternak yang dihasilkan. Dalam hal ini digunakan angka rata-rata sebesar 4,0 ST/Ha
R
= Luas rawa baik air tawar maupum rawa pasang surut
c
= Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha rawa satu tahun.
c
= 2,0 ST/Ha, untuk rawa air tawar
c
= 1,2 ST/Ha, untuk rawa pasang surut. Potensi pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras dihitung
dengan formula yang dilakukan Ilham (2001) yaitu : Pt = (JPTt x KPPH) - (JPTt x KAKTt) dimana : Pt
= Potensi pada tahun t (ton)
JPTt
= Jumlah penduduk pertengahan tahun pada tahun t
KPPH
= Tingkat konsumsi menurut Pola Pangan Harapan (kg/kapita/tahun)
KAKTt = Tingkat konsumsi aktual pada tahun t (kg/kapita/tahun) Hasil perhitungan dengan formula di atas di konversi ke dalam satuan ekor dengan faktor pengali : Ayam ras pedaging
: 1,00
Ayam buras
: 0,90
3.4.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah merupakan bentuk hubungan dan interaksi pemasaran antar wilayah. Analisis daya dorong dan daya tarik aliran pemasaran dalam wilayah menggunakan Model Gravitasi. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi di antara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah.
Hipotesis
didasarkan pada alasan bahwa: •
Untuk memproduksi interaksi, individu-individu harus berkomunikasi, secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya.
•
Individu, sebagai unit dari grup yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang sama dengan individu lainnya.
•
Frekuensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau komunikasi dalam lokasi tersebut. Model Gravitasi, menurut Rustiadi et al. (2008) dalam interaksi antar dua
wilayah i dan j dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj, serta jarak antar kedua wilayah dij, sebagai berikut :
α
Tij = k
mi m j rij
β
c
dimana: Tij
: Interaksi spasial i dan j (perjalanan, arus barang/orang, dll),
mi
: Massa wilayah asal i (komoditas peternakan), push factor
mj
: Massa wilayah tujuan j (komoditas peternakan), pull factor
rij
:
Jarak antar wilayah i dan j (jarak jalan, waktu tempuh, ongkos perjalanan, dll),
α, β, c : Koefisien peubah massa wilayah asal i, massa wilayah tujuan j dan jarak d k
: Konstanta
Penyelesaian dari persamaan di atas dapat dipecahkan dengan pendekatan fungsi regresi linier dengan terlebih dahulu mentransformasikan persamaaan di atas ke dalam bentuk logistik normal (ln), sehingga menjadi :
lnTij = lnk +αlnmi + β lnmj −clnrij Selanjutnya persamaan ini dapat dipecahkan sebagaimana persamaan regresi biasa menjadi :
Yij = K + αX i + βX j − cdij Dimana : Yij=lnTij, K=lnk, Xi=lnmi, Xj=lnmj dan dij=lnrij Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis di atas dapat menggambarkan karakteristik suatu wilayah. Wilayah dengan nilai α lebih besar dari β, menunjukkan karakter wilayah produksi, dimana kegiatan interaksi wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah dengan nilai β yang lebih tinggi dari α adalah karakteristik wilayah pasar. Daya tarik pasar menjadi faktor daya tarik yang dominan di dalam interaksi antar sub-wilayah di wilayah tersebut. Nilai c menunjukkan elastisitas perubahan interaksi (Tij) untuk setiap perubahan/peningkatan jarak, artinya, terdapat dampak yang tinggi dari setiap perubahan jarak (aksesibilitas) terhadap interaksi antar-wilayah (Rustiadi et al. 2008). Dalam penelitian ini, selain variabel jarak, juga ditambahkan variabel pendukung yang berjumlah 12 variabel yang menjadi variabel bebas yaitu : Pi
:
Populasi penduduk wilayah asal dalam satuan jiwa;
Pj
:
Populasi penduduk wilayah tujuan dalam satuan jiwa;
Pop Ti
:
Populasi ternak wilayah asal dalam satuan ekor;
Pop Tj
:
Populasi ternak wilayah tujuan dalam satuan ekor;
PSMDPi
:
Produktifitas sumber daya manusia peternakan wilayah asal dalam satuan Rupiah;
PSDMPj
:
Produktifitas sumber daya manusia peternakan wilayah tujuan dalam satuan Rupiah;
PDRBi
:
Pendapatan domestik regional bruto per kapita wilayah asal berdasarkan harga konstan 2000 dalam satuan Rupiah;
PDRBj
:
Pendapatan
domestik
regional
bruto
per
kapita
tujuan
berdasarkan harga konstan 2000 dalam satuan Rupiah; KonSi
:
Konsumsi daging wilayah asal dalam satuan kg;
KonSj
:
Konsumsi daging wilayah tujuan dalam satuan kg;
PMTi
:
Pemotongan ternak wilayah asal dalam satuan ekor;
PMTj
:
Pemotongan ternak wilayah tujuan dalam satuan ekor;
Selanjutnya persamaan ini menjadi : Tij
= k + a Pi + b Pj + c PopTi + d Pop Tj + e PSDMPi + f PSDMPj + g PDRBi + h PDRBj + i KonSi + l KonSj + m PMTi + n PMTj - dij Pengolahan data Model Gravitasi menggunakan software Statistica 6
dengan
dengan
multikolinieritas
fungsi dengan
multiple forward
regression stepwise.
dengan
Analisis
menghilangkan Model
Gravitasi
menghasilkan variabel yang mempengaruhi aliran komoditas ternak yang berupa kekuatan daya dorong atau daya tarik total suatu wilayah. Untuk melihat unit wilayah yang mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap pemasaran komoditas peternakan maka dilakukan analisis Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda dengan persamaan :
Tij = Ai .Oi .B j .D j . exp( βC ij ) Dimana : Tij
: Intensitas aliran komoditas dari wilayah i ke wilayah j
Ai
: Koefisien kendala wilayah asal
Oi
: Total intekasi yang berasal dari wilayah asal
Bj
: Koefisien kendala wilayah tujuan
Dj
: Total intekasi yang berasal dari wilayah tujuan
β
: Koefisien kendala jarak
Cij
: jarak antar wilayah i dan j
Pengolahan data menggunakan software Statistica 6 dengan fungsi General Linier Model dengan sebaran Poison dan aplikasi Microsoft Exel untuk menguji model dengan fungsi regresi.
3.4.3 Analisis Tata Niaga Pemasaran Manfaat penggunaan analisis margin tata niaga pemasaran adalah melihat efisiensi sistem distribusi komoditas dari petani ke konsumen. Umumnya semakin panjang rantai tata niaga akan mengurangi persentase share petani dibandingkan dengan harga dipengguna akhir, sehingga keuntungan ekonomi tidak ditransfer ke petani tetapi ditransfer ke lembaga pemasaran terlibat. Analisis margin tata niaga digunakan untuk mengetahui efesiensi pemasaran komoditas peternakan. Data diperoleh melalui penelusuran mata rantai pemasaran komoditas di lokasi pemasaran. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi margin pemasaran komoditas peternakan adalah biaya angkutan, biaya perlakuan, biaya penyusutan, modal kerja, biaya karantina dan holding groud, kapasitas penjualan dan harga pembelian serta tingkat keterpaduan pasar (Purwono 1993). Untuk mengetahui efisiensi sistem tataniaga ternak dilakukan dengan analisis margin tataniaga dengan formula (Ilham 2001) : m
n
i =1
j =1
M = ∑ Ci + ∑ π j dimana : M
= Marjin tataniaga
Ci
= Biaya tataniaga i (i= 1,2,3,…m)
m
= Jumlah jenis pembiayaan
πj
= Keuntungan yang diperloleh lembaga tataniaga j (j=1,2,3,...n)
n
= Jumlah lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga Analisis kelembagaan dilakukan dengan melihat kelembagaan selama
pemasaran melalui wawancara. Wawancara akan dipandu dengan kuisioner. Contoh Kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 6. 3.4.4 Analisis Hirarki Wilayah Berdasarkan Infrastruktur Peternakan Analisis pusat pelayanan menggunakan Metode Skalogram. Tujuan analisis ini adalah untuk memperoleh kemampuan suatu wilayah peternakan dalam mengembangkan jenis usaha peternakan dalam bentuk “Indeks Perkembangan
Wilayah”. Pelaksanaan analisis dengan skalogram dilakukan dua kali dengan dua parameter yang berbeda, yaitu pertama melihat ketersediaan infrastruktur untuk wilayah pemasaran dan yang kedua untuk wilayah produksi. Variabel tambahan berupa variabel bukan infrastruktur digunakan untuk mendukung fasilitas yang ada. Untuk menentukan hirarki wilayah produksi digunakan data populasi ternak dan untuk menentukan hirarki wilayah pemasaran digunakan data konsumsi daging dari empat komoditas terpilih (sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras). Dalam metode skalogram dilakukan identifikasi jenis dan jumlah fasilitas yang mendukung kegiatan peternakan. Fasilitas ini mencakup tiga kelompok utama, yaitu : 1. Prasarana umum, meliputi fasilitas yang digunakan untuk pelayanan umum peternakan seperti karantina ternak, holding ground, pelayanan kesehatan ternak dan pusat pelatihan. 2. Prasarana pemasaran, meliputi fasilitas yang mendukung kegiatan pemasaran seperti rumah potong, pasar ternak dan pasar. 3. Prasarana budidaya, meliputi pelayanan penyuluhan, balai bibit, Pembibitan hijauan makanan ternak, dan pos inseminasi buatan. Nilai
Model
skalogram dengan
”Indeks
Perkembangan
Wilayah”,
merupakan dasar dalam menentukan hirarki kabupaten/kota. Klasifikasi hirarki wilayah dikelompokan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hirarki 1 merupakan hirarki tinggi, hirarki 2 merupakan hirarki sedang dan hirariki 3 merupakan hirarki rendah. Wilayah yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi merupakan pusat bagi wilayah yang hirarki lebih rendah. Sedangkan kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah merupakan wilayah hinterland yaitu wilayah yang mendapat pelayanan dari wilayah pusat. Pada wilayah produksi, wilayah yang hirarki lebih tinggi merupakan wilayah pusat pengembangan komoditas peternakan, sedangkan wilayah dengan hirarki yang lebih rendah mendukung dan mengikuti perencanaan pengembangan komoditas peternakan pada wilayah pusat. Pada wilayah pemasaran, wilayah yang mempunyai hirarki lebih tinggi merupakan wilayah pusat pemasaran yang
berfungsi
menyediakan
kebutuhan
komoditas
peternakan
di
wilayah
hinterlandnya atau wilayah yang hirarkinya lebih rendah. 3.4.5 Analisis Spasial Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcGIS 9.0. Analisis yang digunakan adalah analisis overlay (tumpang tindih) dan klasifikasi. Pada analisis overlay ini operasi yang digunakan adalah spatial join, intersect, dan join atribut. Spatial join adalah penggabungan dua atau beberapa peta sekaligus. Operasi intersect digunakan untuk memotong peta input dan secara otomatis meng-overlay antara peta yang dipotong dengan peta pemotongnya, dengan output peta memiliki atribut data dari kedua peta tersebut. Sedangkan join atribut adalah menggabungkan data atribut dengan peta. Analisis tumpang tindih dengan menggunakan operasi spatial join dilakukan pada peta administrasi, jalan, dan ibukota kabupaten/kota. Join atribut digunakan pada data hasil analisis daya dukung dan analisis aliran ternak. Analisis klasifikasi dilakukan dengan joint atribut antara peta adminsitrasi dengan hirarki wilayah hasil dari analisis skalogram. Selanjutnya dilakukan analisis tematik untuk setiap data hasil analisis yang dilakukan dengan melihat hubungan kecenderungan data berdasarkan tampilan spasial. Untuk mendukung analisis tematik ini, digunakan data tabular sebagai pendukung yang diperoleh dari analisis sebelumnya.
IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1015’ LS dan 4045’ LU atau antara 100003’ – 109019’ BT (Gambar 3). Luas Provinsi Riau adalah 8.915.015,09 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Kepulauan Riau, sebelah Selatan dengan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Laut Cina Selatan. Kondisi geografis Provinsi Riau juga dicirikan dengan potensi hidrologinya, yaitu aliran sungai, khususnya di wilayah daratan, yang terdapat 15 sungai, diantaranya empat sungai mempunyai peran strategis sebagai prasarana perhubungan, yakni: (1) Sungai Siak (300 km) dengan kedalaman 8-12 m; (2) Sungai Rokan (400 km) dengan kedalaman 6-8 m; (3) Sungai Kampar (400 km) dengan kedalaman lebih kurang 6 m dan (4) Sungai Indragiri (500 km) dengan kedalaman 6-8 m. Ke empat sungai tersebut membelah dari pegunungan daratan tinggi Bukit Barisan bermuara di Selat Malaka dan Laut China Selatan, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis tanah di daerah penelitian cukup bervariasi dan luas masing-masing satuan tanah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas dan jenis satuan tanah di Provinsi Riau No
Satuan Tanah
Tanah Wilayah Datar 1 Organosol dan Gley Humus 2 Hidromorf Kelabu 3 Podsolik Merah Kuning 4 Podsolik Merah Kuning Tanah Wilayah Bukit dan Gunung 1 Podsol 2 Podsolik Merah Kuning 3 4
Podsolik Merah Kuning (komplek) Podsolik Merah Kuning Latosol dan Litosol
Luas (Ha) 5.065.600 2.156.000 68.000 209.600 218.200 94.800
Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008)
-
Bahan Induk
Fisiografi
Bahan Aluvial Bahan Aluvial Bahan Endapan Bahan Aluvial
Datar Datar Datar Datar
Batuan Endapan Batuan Endapan dan Batuan Beku Batuan Beku Batuan Endapan dan Batuan Beku
Dataran Lipatan Instrasi Pegunungan
Pada Tabel 4 terlihat bahwa jenis yang mendominasi wilayah Provinsi Riau adalah Organosol dan gley Humus dan yang berikutnya adalah tanah podsolik merah kuning dengan beberapa variasi. Jika dilihat dari iklim, daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 mm pertahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Selanjutnya menurut cacatatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga yang berada di Pekanbaru, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 adalah 27,10 C, dengan suhu maksimum 35,20 C dan suhu minimum 21,00 C. 4.2 Wilayah Administrasi Secara administrasi ibukota Provinsi Riau adalah Pekanbaru. Provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Secara spasial ditampilkan pada Gambar 3. Provinsi Riau memiliki 151 kecamatan dan 1609 kelurahan/desa (Tabel 5), wilayah terluas adalah Kabupaten Indragiri Hilir (14,27 persen) dan yang terkecil adalah kota Pekanbaru (0,78 persen).
Gambar 3 Peta administrasi Provinsi Riau
Tabel
5 Jumlah kecamatan, kelurahan/desa menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2007
No
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Pekanbaru Dumai TOTAL
Luas Wilayah (Ha)
520.216,13 767.626,66 1.379.837,12 1.240.413,95 823.357,00 1.092.819,71 722.977,68 1.204.423,05 896.142,93 63.300,86 203.900,00 8.915.015,09
Persentase Luas Wilayah (%)
5,84 8,61 15,48 13,91 9,24 12,26 8,11 13,51 10,05 0,71 2,29 100,00
Jumlah Kecamatan
Jumlah Kelurahan/ Desa
12 14 20 12 14 20 16 13 13 12 5 151
209 194 193 118 113 245 151 175 121 58 32 1609
Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Indragiri Hilir dan Kampar merupakan daerah yang memiliki jumlah kecamatan yang paling banyak dan Kota Dumai merupakan kota yang memiliki kecamatan paling sedikit. Berdasarkan jumlah desa/kelurahan, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuatan Singingi memiliki desa/kelurahan yang paling banyak dan Kota Dumai merupakan daerah yang memiliki kelurahan yang paling sedikit. 4.3 Demografi Perkembangan jumlah penduduk Provinsi Riau disajikan pada Tabel 7. Jumlah penduduk Provinsi Riau mengalami peningkatan sebesar 11,75% selama periode 2004-2007, yakni dari 4,53 juta jiwa pada tahun 2004 menjadi 5,16 juta jiwa pada tahun 2007. Kondisi ini mengidentifikasikan bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk selama periode tersebut sebesar 2,94 % pertahun. Dari Tabel 6, Kota Pekanbaru merupakan wilayah di Provinsi Riau yang memiliki populasi paling tinggi, yakni 15,11 % dari total populasi. Perkembangan jumlah penduduk Kota Pekanbaru dari tahun 2004 hingga 2007 adalah 12,39%. Salah satu hal yang menjadikan Kota Pekanbaru memiliki jumlah penduduk terbanyak di Provinsi Riau adalah karena Kota Pekanbaru merupakan ibukota provinsi. Di antara sembilan kabupaten yang ada di Provinsi Riau, terdapat empat kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk melebihi 500.000 jiwa yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Kampar, Bengkalis dan Rokan Hilir. Sedangkan
kabupaten/kota yang mempunyai penduduk terkecil adalah Kabupaten Kuantan Singingi. Tabel 6 Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun 20042007 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/ Kota
Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Pekanbaru Dumai TOTAL
2004
241.766 284.302 628.500 215.281 279.457 530.931 331.881 686.972 425.204 693.912 213.929 4.532.135
2005
260.227 306.182 630.863 25.437 309.845 571.979 354.290 718.892 437.150 772.705 219.351 4.606.921
2006
265.261 311.938 644.584 262.979 314.310 581.381 368.713 729.165 472.823 776.601 225.249 4.953.004
2007
270.177 317.549 658.079 271.662 318.585 590.467 383.417 738.996 511.000 779.899 321.121 5.160.952
Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) 4.4 Pendapatan Domestik Regional Bruto Pengukuran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu alat untuk mengukur kemakmuran masyarakat disuatu wilayah. Angka yang dianggap mendekati pencapaian tingkat kemakmuran tersebut adalah pendapatan regional. Manfaat pendapat regional adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi, dan struktur perekonomian suatu wilayah tertentu (Bappeda dan BPS Prov. Riau 2008). Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau Tahun 2007 disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa PDRB Provinsi Riau ditopang oleh Industri Minyak dan Gas. Hal ini terjadi karena Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi penghasil minyak mentah, gas alam, dan beberapa hasil tambang mineral. Jika dilihat dari PDRB tanpa migas, Pekanbaru dan Indragiri Hilir merupakan wilayah dengan PDRB yang tinggi. Pekanbaru merupakan ibukota provinsi dan berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan sedangkan Indragiri Hilir didukung oleh kegiatan perkebunan.
Tabel 7 Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Pekanbaru Kampar Rokan Hulu Pelalawan Indragiri Hulu Kuantan Singingi Indragiri Hilir Bengkalis Rokan Hilir Dumai Siak Jumlah Sumber : BPS Prov. Riau (2008)
Tanpa Migas 6.995.851,99 3.772.599,64 2.108.269,60 2.535.058,08 3.273.256,19 2.511.608,96 5.416.144,25 3.901.109,84 3.305.192,32 1.630.667,13 3.071.880,71 38.521.638,71
Dengan Migas 6.995.851,99 7.791.556,84 2.271.841,61 2.668.181,64 3.465.780,88 2.511.608,96 5.416.144,25 25.627.872,70 10.736.778,93 3.233.418,54 14.595.101,73 85.314.138,07
Besarnya nilai tambah kegiatan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat, dapat dilihat dari PDRB perkapita, seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) No Kabupaten/Kota 1 Pekanbaru 2 Kampar 3 Rokan Hulu 4 Pelalawan 5 Indragiri Hulu 6 Kuantan Singingi 7 Indragiri Hilir 8 Bengkalis 9 Rokan Hilir 10 Dumai 11 Siak Sumber : BPS Prov. Riau (2008)
Tanpa Migas 8,97 6,39 5,50 9,33 10,31 9,30 8,23 5,28 6,47 5,08 9,64
Dengan Migas 8,97 13,20 5,93 9,82 10,91 9,30 8,23 34,68 21,01 10,07 45,81
Dari Tabel 8 terlihat bahwa pada PDRB per kapita tanpa migas, Indragiri Hulu merupakan wilayah dengan PDRB per kapita tertinggi yang diikuti oleh Siak. Lapangan usaha yang mempunyai peran yang tinggi pada kedua wilayah tersebut adalah industri pengolahan tanpa migas seperti pemanfaatan hasil hutan dan industrinya (industri kertas dan bubur kertas). Sedangkan PDRB per kapita dengan migas, Bengkalis dan Siak merupakan wilayah dengan PDRB per kapita
terbesar. Hal ini manggambarkan bahwa di wilayah tersebut merupakan wilayah penghasil migas utama di Provinsi Riau. Peran sektoral pada suatu wilayah dapat dilihat dari kontribusi sektor pada jumlah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Melalui kontribusi ini dapat dilihat kemampuan setiap sektor ekonomi menurut lapangan usaha tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa sehingga informasi ini penting bagi pemakai (user) untuk mengetahui daya ungkit (leverage) setiap sektor ekonomi tersebut dalam memompa perekonomian Provinsi Riau. Kontribusi sektoral pada PDRB Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Kontribusi menurut lapangan usaha PDRB Provinsi Riau tanpa dan dengan migas tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (%)
No Sektor Tanpa Migas 1 Pertanian 37,51 2 Pertambangan 1,64 3 Industri Pengolahan 17,59 4 Listrik dan Air 0,47 5 Bangunan 6,79 6 Perdagangan 17,35 7 Angkutan 5,91 8 Keuangan 2,57 9 Jasa-jasa 10,17 Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008)
Dengan Migas 17,15 52,34 10,73 0,21 3,10 7,93 2,70 1,17 4,65
Dari Tabel 9 terlihat bahwa PDRB Provinsi Riau tanpa migas pada tahun 2007 masih didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor pertanian, industri, dan perdagangan. Dengan memasukkan unsur migas ke dalam perekonomian Provinsi Riau maka terlihat bahwa sektor pertambangan mendominasi karena sektor ini mampu memberikan kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 52,34%. 4.5 Potensi Peternakan Peran strategis sub sektor peternakan sangat diharapkan dalam pembangunan wilayah Provinsi Riau yang meliputi peran dalam penyediaan kebutuhan produk hasil ternak, sehingga menjamin keseimbangan supply-demand, peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peran multidimensi ini, meliputi pendekatan komoditas atau sumber daya (resources base), pendekatan wilayah atau kawasan, dan pendekatan sistem
perencanaan. Untuk pembangunan usaha peternakan, lahan dapat berfungsi sebagai basis ekosistem dan pendukung pakan di Provinsi Riau. Komoditas peternakan, disamping sifat pengembangan peternakan yang mampu mengoptimalisasikan penggunaan lahan, pemanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian, juga berfungsi sebagai penyangga perekonomian rakyat pedesaan. Potensi peternakan yang cukup besar untuk dikembangkan di Provinsi Riau karena masyarakatnya telah familiar dengan budidaya dan penggemukan ternak sapi, budidaya ternak kerbau, kambing, serta usaha ternak unggas terutama ayam pedaging dan ayam buras (ayam bukan ras). Salah satu tujuan pembangunan peternakan di Provinsi Riau adalah peningkatan populasi ternak seoptimal mungkin untuk dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Provinsi Riau akan ternak, hasil ternak berupa daging dan telur serta tenaga kerja ternak. Perkembangan populasi ternak cukup dinamis. Seperti terlihat pada Gambar 4 dimana populasi ternak sapi terus mengalami peningkatan, sedangkan kerbau sedikit berkurang. Sedangkan populasi ternak kambing pada tahun 2007 mengalami penurunan. 300.000
Populasi (ekor)
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0 Sapi Potong 2004
Kerbau Komoditas 2005
2006
kambing 2007
Gambar 4 Dinamika perkembangan populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau 2004-2007 Populasi ternak di Provinsi Riau tahun 2007 berdasarkan komoditas dapat dilihat pada Tabel 10. Untuk melihat penyebaran ternak pada kabupaten dan kota disajikan pada Gambar 5 dan 6.
Tabel 10 Populasi ternak di Provinsi Riau tahun 2007 No
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Riau
Sapi
Kerbau
2.746 20.245 18.928 5.825 2.521 17.978 11.185 17.492 7.467 7.419 2.350 114.156
1.260 18.979 2.165 6 513 607 22.548 2.298 692 1.263 31 50.362
Komoditas (Ekor) Ayam Ayam Ras Kambing Buras Pedaging 5.124 652.682 7.868.793 17.821 371.671 268.000 19.275 195.756 249.140 13.555 540.250 1.109.187 2.756 196.398 932.106 31.227 283.755 132.121 17.511 1.131.601 11.433.864 15.415 196.701 1.340.090 21.219 202.799 75.574 42.669 534.346 0 34.933 181.203 9.546 221.505 4.487.162 23.418.421
Itik 52.090 27.794 12.244 34.172 6.886 22.388 22.643 26.651 41.512 93.702 11.292 351.374
Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Pada Gambar 5 terlihat bahwa sapi dan kerbau berkembang di daerah Riau bagian utara, sedangkan kambing banyak terdapat di wilayah pesisir (selatan) yaitu di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Siak. Untuk wilayah utara, kambing banyak terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu. Populasi ternak kerbau didominasi dari wilayah Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi.
Gambar 5 Peta penyebaran populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 Penyebaran ternak unggas (ayam dan itik) disajikan pada Gambar 6. Populasi ayam ras pedaging yang relatif tinggi terdapat di Kabupaten Kampar dan
Kota Pekanbaru. Sedangkan untuk ternak ayam buras dan itik menyebar di seluruh kabupaten dan kota.
Gambar 6 Peta penyebaran ternak ayam buras, itik dan ayam ras pedaging Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 Pengembangan komoditas peternakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging di Provinsi Riau. Nilai konsumsi daging per kapita per tahun di Provinsi Riau pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Konsumsi daging per kapita di Provinsi Riau tahun 2007 (kg/tahun) No
Jenis Bahan
Konsumsi per Kapita
1 2
Daging Sapi Daging Kerbau
0,877 0,193
3
Daging Kambing
0,171
4 5 6
Daging Domba Daging Babi Daging Ayam Buras
0,004 0,054 0,364
7 Daging Ayam Ras 8 Daging Itik Sumber : Disnak Prov. Riau (2008)
2,427 0,018
Dari Tabel 11 terlihat bahwa daging yang paling banyak di konsumsi dan digemari oleh masyarakat Provinsi Riau adalah daging ayam ras dan selanjutnya adalah daging sapi. Tingginya konsumsi daging ayam ras ini karena ketersediaan
ayam ras yang terjamin dan harga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi atau daging ayam buras. Berdasar angka konsumsi daging tersebut dapat diketahui besarnya konsumsi daging setiap wilayah kabupaten dan kota. Pada Tabel 12, disajikan jumlah konsumsi daging, khususnya komoditas yang diamati pada penelitian ini. Tabel 12 Konsumsi daging per kabupaten dan kota di Provinsi Riau tahun 2007 (kg) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Total
Daging Sapi 683.971 236.945 278.490 577.135 238.248 279.399 517.840 336.257 648.099 448.147 281.623
Daging Daging Ayam Kerbau Ras Pedaging 150.521 1.892.815 52.144 655.720 61.287 770.691 127.009 1.597.158 52.431 659.324 61.487 773.206 113.960 1.433.063 73.999 930.553 142.626 1.793.543 98.623 1.240.197 61.976 779.361
4.526.155
996.064
12.525.631
Daging Ayam Buras 283.883 98.344 115.588 239.541 98.885 115.965 214.930 139.564 268.995 186.004 116.888
3.011.190 1.043.153 1.226.057 2.540.843 1.048.887 1.230.057 2.279.793 1.480.373 2.853.264 1.972.971 1.239.848
1.878.587
19.926.436
Jumlah
Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Dari Tabel 12 diketahui bahwa wilayah yang jumlah konsumsi dagingnya tinggi adalah Pekanbaru dan Bengkalis dan selanjutnya diikuti oleh Indragiri Hilir dan Kampar. Sedangkan komoditas yang paling banyak dikomsumsi adalah daging ayam ras. Tanaman pangan dan perkebunan sangat mendukung bagi perkembangan sub sektor peternakan. Komoditas tanaman pangan yang mendukung subsektor peternakan meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar, kacang kedelai, dan kacang hijau. Sedangkan komoditas perkebunan yang mendukung subsektor peternakan adalah perkebunan kelapa sawit, kelapa dan karet. Menurut Disnak Prov. Riau (2006), pada tahun 2006 luas kebun kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1.481.399 Ha. Dari luas kebun kelapa sawit tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk usaha peternakan sebanyak 796.250 Ha yang dapat menampung ternak sapi sebanyak 345.213 ekor per tahun. Potensi ini apabila ditambah dengan pemeliharaan sapi potong di bawah pohon coklat yang
ada seluas 5.586 Ha dan pohon karet seluas 514.469 Ha, maka dapat pula menampung 223.659 ekor sapi per tahun. Sehingga total potensi dari lahan perkebunan adalah 568.872 ekor.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Daya Dukung Wilayah Analisis daya dukung suatu wilayah untuk sub sektor peternakan dimaksudkan untuk menilai secara optimal potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan ternak. Menurut Suhardjo et al. (1997) secara umum Provinsi Riau terdiri atas daerah pengunungan di bagian barat, beralih secara berangsur-angsur ke perbukitan dan menurun melandai ke arah timur hingga daerah dataran, aluvial, daerah gambut dan dataran marin di daerah pantai. Pada penelitian ini ada dua pendekatan dalam mengukur potensi populasi ternak, yaitu dengan pendekatan daya dukung bahan makanan ternak dan dengan pendekatan nilai konsumsi masyarakat. Pendekatan daya dukung bahan makanan ternak biasanya digunakan untuk penghitung potensi populasi ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Pendekatan yang kedua yaitu berdasarkan nilai konsumsi masyarakat digunakan untuk menghitung potensi populasi ternak unggas seperti ayam ras, ayam buras dan itik. Daya dukung yang dianalisis pada penelitian ini adalah daya dukung rumput alam dan limbah pertanian tanpa pengolahan dan pakan tambahan lainnya. Luas lahan potensial tersebut ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Luas lahan potensial sumber pakan ternak menurut jenis dan kabupaten/kota No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Luas Potensi Hijauan (Ha) Tanaman Padang Pangan Rumput 782,00 42,00 10.608,00 1.347,00 7.875,00 960,00 37.838,00 4.104,00 17.910,00 575,00 8.612,00 377,50 13.745,00 22.389,00 2.986,00 11.468,00 1.146,00 42.811,00 3.825,00 5.333,00 179.371,00 15.362,50
Rawa 351,00 12.907,00 25.536,00 39.075,00 80.362,00 16.487,00 40.151,00 214.869,00
Jumlah 1.175,00 11.955,00 21.742,00 67.478,00 57.560,00 8.989,50 94.107,00 41.862,00 12.614,00 46.636,00 45.484,00 409.602,50
Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) Perhitungan potensi ternak dilakukan dengan cara menghitung luas lahan potensial yang dikalikan dengan kapasitas tampung per hektar untuk ternak
ruminansia. Dalam hal ini, satuan kapasitas tampung dihitung berdasarkan unit Satuan Ternak (ST). Berdasarkan Tabel 13, Setyono (1995) menghitung jumlah kapasitas tampung masing-masing jenis lahan, yaitu : tanaman pangan 1,35 ST/Ha, padang penggembalaan 4 ST/Ha dan rawa 2 ST/Ha. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa kapasitas tampung total lahan yang ada yaitu sebesar 735.132,56 ST. Total kapasitas tampung selanjutnya dikonversi berdasarkan proporsi jumlah ternak yang ada per wilayah sehingga daya tampung dalan unit satuan ternak dapat dikonversi ke dalam satuan ekor ruminansia yang ada di Provinsi Riau dengan nilai masing-masing : sapi 0,7 ST/ekor, Kerbau 0,8 ST/ekor, kambing 0,07 ST/ekor dan domba 0,08 ST/ekor (Disnak Prov. Riau 2001). Perhitungan daya tampung lahan untuk komoditas ternak ruminansia dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis kapasitas tampung lahan potensial untuk komoditas sapi dan kerbau disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kapasitas tampung lahan potensial sumber pakan ternak untuk komoditas sapi dan kerbau pada setiap kabupaten/kota (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Sapi 14.827 109.311 102.200 31.452 13.612 97.071 60.392 94.447 40.317 40.058 12.689 616.376
Kerbau 6.803 102.476 11.690 32 2.770 3.277 121.746 12.408 3.736 6.819 167 271.925
Dari Tabel 14 terlihat bahwa potensi pengembangan komoditas sapi terbesar terdapat di wilayah Kuantan Singingi, yang diikuti oleh Indragiri Hulu, Siak, Kampar, dan Rokan Hulu, sedangkan komoditas kerbau terdapat di wilayah Kampar dan Kuantan Singingi. Dari jumlah kapasitas tampung untuk komoditas sapi dan kerbau tersebut selanjutnya dapat diketahui potensi pengembangan komoditas sapi dan kerbau dengan mengurangi potensi tersebut dengan populasi ternak existing tahun 2007, yang disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Populasi, potensi dan peluang pengembangan sapi dan kerbau di Provinsi Riau (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah % dari kemampuan wilayah
Populasi 2.746 20.245 18.928 5.825 2.521 17.978 11.185 17.492 7.467 7.419 2.350 114.156
Sapi Kerbau Kemampuan Peluang Kemampuan Peluang Populasi Wilayah Penambahan Wilayah Penambahan 14.827 12.081 1.260 6.803 5.543 109.311 89.066 18.979 102.476 83.497 102.200 83.272 2.165 11.690 9.525 31.452 25.627 6 32 26 13.612 11.091 513 2.770 2.257 97.071 79.093 607 3.277 2.670 60.392 49.207 22.548 121.746 99.198 94.447 76.955 2.298 12.408 10.110 40.317 32.850 692 3.736 3.044 40.058 32.639 1.263 6.819 5.556 12.689 10.339 31 167 136 616.376 502.220 50.362 271.925 221.563
18,52
81,48
18,52
81,48
Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa pada tahun 2007, populasi ternak sapi dan kerbau di Provinsi Riau hanya memenuhi 18,52 % dari potensi kemampuan wilayah, sedangkan peluang pengembangan ternak sapi dan kerbau sebesar 81,48 %. Perlu diingat bahwa potensi pengembangan ternak ruminansia yang dihitung dalam penelitian ini hanya didasarkan pada luas lahan milik masyarakat saja, sehingga potensi pengembangan ternak sapi dan kerbau akan menjadi lebih besar jika ditambahkan dengan lahan perkebunan yang dihitung sebesar 398.210,4 ST atau 568.872 ekor sapi. Potensi ternak ayam ras pedaging dan ayam buras diukur dengan angka konsumsi daging ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan pola pangan harapan, yaitu masing-masing sebesar 4,88 kg dan 0,73 kg per kapita per tahun. Nilai pola pangan harapan tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk. Hasil analisis potensi konsumsi wilayah untuk komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut diketahui bahwa untuk komoditas ayam ras pedaging potensi terbesar terdapat di Pekanbaru begitu juga dengan komoditas ayam buras, yang disebabkan wilayah tersebut mempunyai jumlah penduduk tertinggi di Provinsi Riau. Wilayah lain yang juga mempunyai potensi konsumsi yang relatif lebih tinggi adalah Indragiri Hilir, Bengkalis, kampar, dan Rokan Hilir. Potensi konsumsi komoditas ayam buras lebih kecil dari komoditas ayam ras pedaging karena estimasi konsumsi daging ayam buras dalam pola pangan harapan juga lebih kecil.
Tabel 16 Potensi konsumsi komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras pada setiap kabupaten/kota (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Ayam Ras Pedaging 3.808.253 1.319.276 1.550.594 3.213.405 1.326.528 1.555.653 2.883.255 1.872.228 3.608.523 2.495.217 1.568.036 25.200.970
Ayam Buras 636.905 220.640 259.327 537.421 221.853 260.173 482.206 313.118 603.502 417.309 262.244 4.214.697
Untuk hasil analisis potensi pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Populasi, kebutuhan wilayah dan peluang pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras di Provinsi Riau (ekor) Ayam Ras Pedaging Ayam Buras Kebutuhan Peluang Kebutuhan Peluang Populasi Populasi Wilayah Penambahan Wilayah Penambahan 1 Pekanbaru 7.868.793 3.808.253 (4.060.540) 652.682 636.905 (15.777) 2 Kuantan Singingi 268.000 1.319.276 1.051.276 371.671 220.640 (151.031) 3 Indragiri Hulu 249.140 1.550.594 1.301.454 195.756 259.327 63.571 4 Indragiri Hilir 1.109.187 3.213.405 2.104.218 540.250 537.421 (2.829) 5 Pelalawan 932.106 1.326.528 394.422 196.398 221.853 25.455 6 Siak 132.121 1.555.653 1.423.532 283.755 260.173 (23.582) 7 Kampar 11.433.864 2.883.255 (8.550.609) 1.131.601 482.206 (649.395) 8 Rokan Hulu 1.340.090 1.872.228 532.138 196.701 313.118 116.417 9 Bengkalis 75.574 3.608.523 3.532.949 202.799 603.502 400.703 10 Rokan Hilir 2.495.217 2.495.217 534.346 417.309 (117.037) 11 Dumai 9.546 1.568.036 1.558.490 181.203 262.244 81.041 Jumlah 23.418.421 25.200.970 1.782.549 4.487.162 4.214.697 (272.465) % dari Kemampuan 92,93 7,07 106,46 (6,46) Wilayah
No
Kabupaten/Kota
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 populasi ternak ayam ras pedaging mampu memenuhi kebutuhan wilayah sebesar 92,93% dari potensi yang ada, sedangkan peluang penambahan sebesar 7,07%. Untuk ternak ayam buras, telah mampu memenuhi kebutuhan wilayah hingga 106,46%. Peluang penambahan populasi berdasarkan kebutuhan wilayah terdapat di Indragiri Hulu, Pelalawan Rokan Hulu, Bengkalis, dan Dumai. Jika dilihat dari kebutuhan wilayah di kabupaten dan kota, maka wilayah yang telah surplus dalam memproduksi komoditas ayam ras pedaging adalah Kota Pekanbaru
dan
Kabupaten
Kampar.
Berdasarkan
kemampuan
produksi
wilayahnya maka kedua wilayah tersebut telah melampaui kapasitasnya. Pengembangan komoditas ayam ras pedaging dapat dilakukan dengan peningkatan populasi di wilayah yang berdekatan dengan Pekanbaru dan Kampar seperti Pelalawan, Siak, dan Rokan Hulu. Hal ini dikarenakan di ketiga wilayah tersebut juga mempunyai potensi yang cukup besar. Kabupaten Bengkalis mempunyai potensi terbesar untuk penambahan populasi ayam buras. Pola penyebaran populasi, potensi/kebutuhan wilayah, dan peluang pengembangan komoditas ternak terpilih secara spasial disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Peta populasi, potensi dan peluang pengembangan ternak sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan kabupaten dan kota Dari Gambar 7 terlihat bahwa potensi pengembangan peternakan untuk komoditas sapi, kerbau, dan ayam ras pedaging masih terpusat pada wilayah bagian selatan Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru. Adapun komoditas ayam ras pedaging, terdapat dua wilayah
yang telah melebihi kapasitas, sehingga perlu dilakukan pengalihan wilayah pengembangan dari Kampar dan Pekanbaru ke wilayah sekitarnya seperti Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi dan Rokan Hulu. Pola penyebaran populasi ayam buras yang menyebar menandakan bahwa komoditas ayam buras dipelihara dan dibudidayakan merata di masyarakat Provinsi Riau. Kondisi ini merupakan sebuah keunggulan karena pengembangannya lebih mudah karena sudah dikenal oleh masyarakat. Wilayah utara dan timur, yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir, potensi pengembangan ternak ruminansia relatif lebih sedikit. Komoditas yang berpotensi dikembangkan di wilayah ini adalah komoditas ayam buras seperti di Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Pelalawan, dan Kota Dumai. Wilayah utara dan timur Provinsi Riau menurut Suhardjo et al. (1997) merupakan dataran yang cukup luas, lereng lebih landai
sehingga berpotensi untuk
pengembangan pertanian. Wilayah dataran ini merupakan daerah gambut yang cukup luas, dibandingkan dengan wilayah barat dan selatan, yang terdiri atas daerah pengunungan, yang beralih secara berangsur-angsur ke perbukitan dan menurun melandai ke arah timur. Pendekatan peluang pengembangan komoditas peternakan pada penelitian ini tidak memperhatikan jumlah peternak dan kondisi sumberdaya lahan seperti topografi, kesuburan dan ketersediaan air. Hubungan subsitusi atau komplementer komoditas terpilih dengan komoditas lain dianggap tidak ada dan peluang pengembangan setiap komoditas dianggap sama. Penajaman analisis daya dukung di masa yang akan datang tentu akan menjadikan analisis ini menjadi lebih baik. 5.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Pemasaran komoditas peternakan antar wilayah akan berlangsung ketika terdapat permintaan suatu wilayah sedangkan wilayah yang lain mempunyai penawaran, sehingga terjadi perpindahan ternak antar wilayah. Konsep permintaan dan penawaran yang diamati pada penelitian ini adalah pola pemasaran komoditas peternakan terpilih berdasarkan aliran ternak antar wilayah. Variabel yang dianalisis terdiri dari satu variabel terikat berupa aliran ternak antar wilayah dan 13 variabel bebas. Analisis dilakukan dengan fungsi multiple
regression dengan menghilangkan multikolinieritas dengan forward stepwise. Analisis dilakukan pada tiga komoditas yaitu ayam ras pedaging, sapi, dan kerbau, sedangkan komoditas ayam buras tidak dilakukan analisis karena tidak ada pemasaran komoditas ayam buras antar wilayah. 5.2.1 Komoditas Sapi Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang digemari di Provinsi Riau. Hasil analisis Model Gravitasi untuk aliran pemasaran komoditas sapi ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas sapi Variabel Dugaan Galat Intercept -4,19107 5,648568 PSDMPi 1,55889 0,592131 PSDMPj -1,13833 0,575310 PopTi 0,40175 0,315187 PopTj 1,22448 0,336390 PMTi -0,80395 0,187965 dij -0,91127 0,377075 R2 0,70713 Keterangan : PSDMPi : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Asal PSDMPj : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Tujuan PopTj : Populasi Ternak Wilayah Tujuan PopTi : Populasi Ternak Wilayah Asal PMTi : Pemotongan Ternak Wilayah Asal dij : Jarak dari Wilayah Asal ke Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5%
Taraf Nyata (p) 0,465954 0,015202* 0,060510 0,215740 0,001445* 0,000307* 0,024404*
Dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa dari 13 variabel yang diukur terdapat empat variabel yang mempengaruhi secara nyata (p<5%) terhadap aliran pemasaran komoditas sapi. Dalam hal ini pemasaran komoditas sapi antar wilayah sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa produktifitas sumber daya peternakan (1,55), sebaliknya variabel yang mengurangi interaksi pemasaran antar wilayah adalah pemotongan ternak di wilayah asal (-0,80). Hal ini berarti peningkatan produktifitas sumber daya peternakan meningkatkan daya dorong wilayah asal untuk memasarkan komoditas sapi ke wilayah tujuan, sedangkan semakin tingginya pemotongan komoditas sapi di wilayah asal menyebabkan berkurangnya pemasaran ternak tersebut ke luar wilayah.
Keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang diamati sebesar 70,71%. Peningkatan produktifitas peternak sapi, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya pakan dan teknologi tepat guna, mendorong usaha budidaya menjadi efisien sehingga mampu meningkatkan populasi dan produksi. Produksi yang meningkat akan menjadi daya dorong untuk memasarkan komoditas sapi ke luar wilayah. Produksi ternak, juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam wilayah sendiri. Jika terdapat peningkatan permintaan di dalam wilayah, akan mengurangi aliran jumlah ternak yang dipasarkan ke luar wilayah. Dari Tabel 18 dapat pula dibaca bahwa variabel yang mempunyai daya tarik interaksi di wilayah tujuan yang berpengaruh nyata (p<5%) adalah populasi ternak wilayah tujuan (1,22). Artinya bahwa peningkatan populasi komoditas sapi di wilayah tujuan tidak menyebabkan peningkatan pemotongan komoditas sapi yang berasal dari wilayah tersebut, sehingga mengarah kepada pemenuhan kebutuhan untuk wilayah lain. Kondisi ini menggambarkan bahwa hubungan pelaku pemasaran pada perdagangan komoditas sapi antar wilayah telah berjalan dengan intens sehingga pemenuhan permintaan pada wilayah lain menjadi prioritas utama dibandingkan dengan permintaan di wilayah itu sendiri. Untuk melihat wilayah yang mempunyai pengaruh terhadap daya dorong dan daya tarik pemasaran tersebut maka dilakukan analisis dengan model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda, seperti pada Tabel 19. Dari tabel tersebut, semua wilayah asal komoditas sapi di Provinsi Riau berpengaruh nyata (p<5%) terharap interaksi aliran pemasaran komoditas sapi. Terdapat enam wilayah asal pemasaran komoditas sapi yang sangat mempengaruhi interaksi pemasaran antar wilayah yaitu Kampar (1,86), Dumai (0,97), Indragiri Hulu (1,50), Kuantan Singingi (1,15), Rokan Hulu (1,23), dan Indragiri Hilir (0,56). Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi 1% komoditas sapi pada wilayah asal akan meningkatkan daya dorong wilayah tersebut untuk memasarkan komoditas sapi sebesar nilai dugaannya. Nilai koefisien lebih dari satu menunjukan nilai elastisitas yang lebih baik karena peningkatan produksi mampu memberikan efek aliran komoditas lebih banyak dari satu.
Tabel 19 Pola aliran pemasaran komoditas sapi Parameter
Dugaan
Intercept
Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan
Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal
1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai 1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai Efek pertambahan jarak antara wilayah asal dengan wilayah tujuan R2
Jarak
6,01329 -2,58469 1,15533 1,50672 0,56398 -0,13818 -0,67662 1,86604 1,23925 -1,69466 -0,25964 0,97754 -1,61716 -0,40473 0,13058 0,10052 -1,17509 2,25549 -0,58440 -0,05776 1,01379 0,44544 0,10666 -0,00970
0,026374 0,118384 0,048187 0,045505 0,055413 0,061602 0,135097 0,039462 0,047632 0,094615 0,076269
Statistik Wald 51984,90 476,68 574,84 1096,35 103,59 5,03 25,08 2236,02 676,91 320,81 11,59
Taraf Nyata (p) 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,024892* 0,000001* 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,000663*
0,043511 0,041168 0,042242 0,047464 0,044886 0,143301 0,037937 0,039400 0,067463 0,080372
1381,33 96,65 9,55 4,49 685,37 247,73 237,29 2,15 225,82 30,72
0,000000* 0,000000* 0,001994* 0,034193* 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,142660 0,000000* 0,000000*
0,000218
1984,54
0,000000*
Galat
0,5871
* Berpengaruh nyata pada p<5% Wilayah yang tidak mempunyai daya dorong/daya dorong rendah, dalam aliran pemasaran komoditas sapi (yang mengurangi interaksi) adalah Pekanbaru (2,58), Pelalawan (-0,13), Bengkalis (-1,69), Siak (-0,67) dan Rokan Hilir (-0,25). Hasil ini menunjukan bahwa wilayah yang mempunyai populasi ternak yang cukup tinggi, produksi ternak sapinya lebih banyak dipasarkan ke luar wilayahnya, sedangkan wilayah yang interaksi rendah cenderung memiliki populasi sapi lebih sedikit dan membutuhkan pasokan dari wilayah lain. Daya tarik wilayah dijelaskan dengan adanya peningkatan permintaan pada wilayah
tersebut
yang
disebut
wilayah
tujuan.
Wilayah
tujuan
yang
mempengaruhi secara nyata (p<5%) aliran pemasaran komoditas sapi adalah Bengkalis (1,01), Siak (2,25), Indragiri Hulu (0,13), Indragiri Hilir (0,10), Rokan
Hilir (0,44), dan Dumai (0,10). Keragaman yang dapat dijelaskan pada uji model sebesar 58,71%. Pada wilayah Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Dumai, peningkatan produksi dan permintaan komoditas sapi mempengaruhi secara positif terhadap kegiatan pemasaran antar wilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa keluar masuk ternak di wilayah ini relatif seimbang. Sedangkan Pekanbaru dan Pelalawan produksi dan permintaan mempengaruhi secara negatif. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi tidak bisa memenuhi kebutuhan wilayah lain. Kemampuan produksi sapi di wilayah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam wilayah. Aliran ternak yang ada pada wilayah tersebut merupakan bentuk kosentrasi pengumpulan ternak sebelum dipasarkan ke wilayah pemasaran. Wilayah ini merupakan simpul pasar aliran pemasaran komoditas sapi. Deskripsi pola aliran pemasaran komoditas sapi disajikan pada Gambar 8. Wilayah Produksi
Simpul Pasar
Wilayah Pemasaran Gambar 8 Pola aliran pemasaran komoditas sapi Dari Gambar 8 terlihat bahwa ada pemusatan pengumpulan ternak sebelum dipasarkan ke wilayah lain. Pemusatan pengumpulan ternak di wilayah simpul pasar menunjukan adanya usaha untuk meningkatkan efisiensi biaya transportasi dengan memaksimalkan jumlah yang diangkut. Aliran keluar masuk komoditas sapi antar wilayah disajikan pada Gambar 9 dan matriks jumlah aliran pemasaran komoditas sapi disajikan pada Lampiran 2. Pada Gambar 9 terlihat bahwa tidak ada wilayah yang benar-benar mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri sehingga interaksi antar wilayah sangat kuat. Interaksi yang kuat terjadi di wilayah Riau bagian Selatan yaitu Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Rokan Hulu, dan Dumai. Pada
wilayah ini, populasi ternak relatif lebih tinggi, terutama di Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu.
Gambar 9 Peta aliran pemasaran komoditas sapi Konsumsi komoditas sapi di wilayah Riau Selatan ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Riau Utara terutama Bengkalis. Sedangkan untuk wilayah Riau Utara interaksi terjadi di tiga wilayah yaitu Bengkalis, Dumai dan Rokan Hilir. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedekatan wilayah, yang dilihat dari jarak, mendorong interaksi antar wilayah. Hal senada juga disampaikan oleh Celik dan Guldmann (2007) bahwa jarak berpengaruh negatif terhadap jumlah aliran komoditas. 5.2.2 Komoditas Kerbau Hasil analisis Model Gravitasi untuk aliran pemasaran komoditas kerbau ditampilkan pada Tabel 20. Berdasarkan tabel tersebut, dari 13 variabel yang digunakan ternyata hanya dua variabel yang sangat berpengaruh (p<5%), yaitu pemotongan ternak di wilayah tujuan (0,65) dan jumlah penduduk wilayah tujuan (-1,47). Sedangkan jarak tidak mempengaruhi interaksi. Keragaman yang dipengaruhi oleh variabel-variabel yang digunakan adalah sebesar 62,70%. Hasil
ini menunjukan bahwa peningkatan pemotongan komoditas kerbau di wilayah tujuan menjadi daya tarik bagi wilayah asal untuk memasarkan komoditas kerbau, sedangkan peningkatan populasi penduduk wilayah tujuan menurunkan aliran pemasaran komoditas kerbau ke wilayah tujuan. Kondisi ini menggambarkan bahwa kerbau sebagai komoditas yang spesifik di wilayah tertentu, ternyata tidak dipengaruhi oleh jarak. Tabel 20 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas kerbau Variabel Dugaan Galat Intercept 19,73706 7,786555 PMTj 0,65631 0,163357 Pj -1,47556 0,614798 0,62702 R2 Keterangan : PMTj : Pemotongan Ternak Wilayah Tujuan Pj : Populasi Penduduk Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5%
Taraf Nyata (p) 0,027737* 0,002024* 0,035228*
Peningkatan jumlah penduduk tidak mendorong peningkatan permintaan daging kerbau, hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua masyarakat menyukai daging kerbau. Tetapi untuk wilayah-wilayah tertentu daging kerbau masih disukai, sehingga meskipun komoditas kerbau berasal dari wilayah dengan jarak yang lebih jauh, maka jarak tersebut tidak menjadi penghalang. Hal ini menyebabkan di wilayah ini harga ternak kerbau menjadi lebih tinggi. Untuk melihat wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh terhadap daya dorong dan daya tarik pemasaran komoditas kerbau maka perlu dilakukan analisis dengan model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda, seperti yang disajikan pada Tabel 21. Dari tabel tersebut terlihat bahwa aliran pemasaran komoditas kerbau lebih dipengaruhi oleh wilayah tujuan. Pada wilayah asal semua wilayah tidak berpengaruh secara nyata (p>5%) terhadap daya dorong wilayah asal. Hal ini mengindikasikan bahwa secara keseluruhan, tidak ada wilayah secara khusus sebagai wilayah produksi komoditas kerbau di Provinsi Riau. Efek peningkatan permintaan komoditas kerbau di wilayah tujuan berpengaruh nyata (p<5%) pada wilayah-wilayah Pekanbaru (0,18), Kuantan Singingi (0,23), Indragiri Hulu (0,69), Indragiri Hilir (-2,90), Pelalawan (-1,67),
Siak (0,21), Kampar (1,08), dan Rokan Hulu (0,15). Keragaman yang dapat digambarkan dari uji model sebesar 56,63%. Tabel 21 Pola aliran pemasaran komoditas kerbau Parameter
Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan
Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal
Intercept
Jarak
1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai 1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai Efek pertambahan jarak antara wilayah asal dengan wilayah tujuan R2
2,3884 0,3926 4,4120 3,3166 -11,4458 -12,3026 2,2997 3,8835 4,1629 -0,2288 2,7232 -2,78678 0,1810 0,2345 0,6919 -2,9034 -1,6710 0,2139 1,0871 0,1505 0,0998 0,2504 -1,66524
12,25827 12,25888 12,25830 12,25832 87,11074 87,11074 12,25845 12,25825 12,25828 12,25997 12,25846
Statistik Wald 0,038 0,001 0,130 0,073 0,017 0,020 0,035 0,100 0,115 0,000 0,049
0,05550 0,06696 0,06049 0,30578 0,12854 0,08074 0,05037 0,06455 0,11434 0,10286
10,637 12,261 130,844 90,153 168,993 7,018 465,730 5,439 0,762 5,924
0,001108* 0,000463* 0,000000* 0,000000* 0,000000* 0,008068* 0,000000* 0,019691* 0,382782 0,014934*
-0,0143
0,00024
3699,382
0,000000*
Dugaan
Galat
Taraf Nyata (p) 0,845519 0,974453 0,718907 0,786728 0,895464 0,887689 0,851188 0,751391 0,734161 0,985107 0,824198
0,5663
* Berpengaruh nyata pada p<5% Wilayah-wilayah tujuan yang mempunyai daya tarik untuk permintaan komoditas kerbau dengan nilai koefisien positif yaitu Pekanbaru, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, dan Rokan Hilir. Wilayah-wilayah ini mempunyai daya tarik pada pemasaran komoditas kerbau Sedangkan wilayah yang peningkatan permintaan berpengaruh negatif terhadap aliran pemasaran komoditas kerbau adalah Indragiri Hilir, Pelalawan dan Dumai. Pada wilayah ini tidak mempunyai daya tarik dalam pemasaran komoditas kerbau. Hal ini dikarenakan Indragiri Hulu dan Pelalawan tidak mempunyai produksi komoditas kerbau, sedangkan Dumai mempunyai pemotongan yang tinggi di wilayahnya sendiri. Aliran komoditas kerbau antar wilayah tidak menunjukan
pola tertentu. Hal ini terjadi karena pemasaran komoditas kerbau terjadi secara sporadis untuk memenuhi kebutuhan wilayah tertentu. Secara spasial, aliran pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Gambar 10 dan matriks jumlah aliran pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Lampiran 3.
Gambar 10 Peta aliran pemasaran komoditas kerbau Dari Gambar 10, terlihat bahwa nilai aliran komoditas kerbau tidak begitu besar. Aliran komoditas terfokus pada tiga wilayah yaitu Kuantan Singingi, Kampar dan Dumai. Kuantan Singingi dan Kampar merupakan gambaran wilayah produksi, karena mempunyai populasi kerbau yang tinggi, sedangkan Dumai merupakan wilayah pemasaran. Hal ini disebabkan karena kota Dumai tidak mempunyai populasi ternak kerbau yang besar, tetapi sebagai pusat pemasaran, Dumai menjadi tempat transit ternak menuju wilayah Bengkalis, Rokan Hilir dan Siak. Hal ini didukung oleh tingginya angka konsumsi daging kerbau di Bengkalis dan Rokan Hilir. Dari hasil ini, terlihat bahwa secara spesifik produk komoditas kerbau lebih diminati di Kabupaten Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan Kampar, tetapi Kabupaten Kampar masih membutuhkan pasokan komoditas kerbau dari luar wilayahnya karena permintaan yang tinggi yang saat ini masih belum dapat
dipenuhi
oleh
wilayah
Kampar
sendiri.
Dengan
melihat
potensi
pengembangannya, maka Kampar di masa yang akan dapat dapat dikembangkan sebagai wilayah produksi komoditas kerbau. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Kuantan Singingi, Kampar dan Rokan Hulu merupakan wilayah produksi untuk ternak kerbau. 5.2.3 Komoditas Ayam Ras Pedaging Hasil analisis Model Gravitasi pada komoditas ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Variabel Dugaan Galat Intercept -17,4937 11,02232 PopTi 0,5554 0,17239 PopTj -0,1503 0,05921 PMTi -0,5631 0,29819 PMTj -0,5090 0,29987 KonSj 2,5710 0,70122 PSDMPj 0,8502 0,46935 dij -1,4383 0,37846 R2 0,6731 Keterangan : PopTi : Populasi Ternak Wilayah Asal PopTj : Populasi Ternak Wilayah Tujuan KonSj : Konsumsi Ternak Wilayah Tujuan PMTi : Pemotongan Ternak Wilayah Asal PMTj : Pemotongan Ternak Wilayah Tujuan PSDMPj : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Tujuan dij : Jarak dari Wilayah Asal ke Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5%
Taraf Nyata (p) 0,128990 0,004492* 0,020030* 0,074355 0,105939 0,001640* 0,085903 0,001208*
Dari Tabel 22 diketahui bahwa dari 13 variabel yang diukur terdapat empat variabel yang berpengaruh nyata (p<5%) terhadap aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Koefisien kelima variabel tersebut adalah PopTi (0,55), PopTj (-0,15), KonSj (2,57), dan Dij (-1,43). Keragaman yang dapat digambarkan oleh variabel yang diukur sebesar 67,31%. Pemasaran komoditas ayam ras pedaging antar wilayah sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa populasi ternak yang berarti peningkatan 1% populasi ternak wilayah asal mempunyai daya dorong lebih besar
sebanyak 0,55% dibandingkan dengan wilayah tujuan. Daya tarik daerah tujuan secara nyata dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi wilayah tujuan sebesar 2,5 yang berarti untuk peningkatan konsumsi 1% maka wilayah tujuan mempunyai daya tarik sebesar 2,50% lebih besar dibandingkan dengan wilayah asal. Berkurangnya intensitas pemasaran ayam ras pedaging dipengaruhi oleh semakin jauhnya wilayah tujuan, meningkatnya populasi ternak di wilayah tujuan. Penambahan 1 km jarak pemasaran akan mengurangi aliran ternak ke wilayah tujuan sebesar 1,43%. Peningkatan populasi 1% ternak wilayah tujuan akan mengurangi aliran ternak ke wilayah tujuan sebesar 0,15%. Jika peningkatan pemotongan di wilayah tujuan merupakan pemotongan ternak yang dihasilkan oleh wilayah itu sendiri, maka ini mengindikasikan terjadinya peningkatan kegiatan budidaya di wilayah tersebut. Berkembangnya kegiatan usaha peternakan komoditas ayam ras pedaging di wilayah tujuan akan mampu meningkatkan nilai tambah sub sektor peternakan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan per kapita. Peningkatan konsumsi daging ayam ras akan menjadikan wilayah tersebut mempunyai daya tarik bagi pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Di sisi yang lain, jika di wilayah tujuan tidak mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri maka peningkatan pemotongan akan meningkatkan intensitas pemasaran komoditas ayam ras pedaging ke wilayah tujuan. Selanjutnya, untuk melihat wilayah yang berperan dalam pemasaran komoditas ayam ras pedaging antar wilayah, maka dilakukan analisis Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda yang ditampilkan pada Tabel 23. Dari tabel tersebut diketahui semua wilayah berpengaruh secara nyata terhadap aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging (p<5%). Nilai koefisien masingmasing wilayah menggambarkan besarnya dorongan terhadap interaksi yang dalam hal ini adalah aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Untuk wilayah asal terdapat tujuh wilayah yang mendorong interaksi pemasaran yaitu Kampar, Pekanbaru, Rokan Hulu, Pelalawan, Siak, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Wilayah yang mempunyai efek dorongan paling besar adalah Kabupaten Kampar (4,78), yang berarti setiap peningkatan 1 % produksi ayam ras pedaging mendorong interaksi pemasaran sebesar 4,78 %. Keragaman yang dijelaskan melalui uji model sebesar 91,24%.
Besarnya nilai koefisien produksi mengindikasikan bahwa ketujuh wilayah tersebut telah mampu memproduksi ayam ras pedaging untuk memenuhi kebutuhan wilayah lain. Sedangkan Indragiri Hilir, Bengkalis dan Dumai, tidak mendorong interaksi aliran ayam ras pedaging antar wilayah. Untuk wilayah Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai merupakan wilayah pemasaran karena koefisien permintaan yang tinggi. Tabel 23 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Parameter
Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan
Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal
Intercept
Jarak
1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai 1 Pekanbaru 2 Kuantan Singingi 3 Indragiri Hulu 4 Indragiri Hilir 5 Pelalawan 6 Siak 7 Kampar 8 Rokan Hulu 9 Bengkalis 10 Rokan Hilir 11 Dumai Efek pertambahan jarak antara wilayah asal dengan wilayah tujuan R2
Dugaan 12,1725 4,2439 1,5226 0,8574 -2,0283 3,3247 1,2221 4,7847 3,1803 -1,7021 -17,5001 -2,09475 -0,4603 -0,6805 -0,6881 0,5592 -1,6792 -0,9247 -2,0782 -0,6296 3,3337 3,3668 0,11918 -0,0199
0,001038 0,001107 0,002312 0,001971 0,007345 0,001210 0,001629 0,001291 0,001471 0,002416
Statistik Wald 137439838 14689343 433871 189203 76252 7554265 562704 13744515 4673069 496269
Taraf Nyata (p) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000926 0,001440 0,001081 0,001243 0,001107 0,000892 0,001121 0,000961 0,001495 0,001369
246955 223336 404928 202475 2302353 1074741 3438204 429161 4974587 6048684
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,000007
8302107
0,00
Galat
91,24%
* Berpengaruh nyata pada p<5% Efek peningkatan permintaan komoditas ayam ras pedaging dipengaruhi oleh wilayah-wilayah dengan populasi ayam ras pedagingnya rendah. Permintaan dari wilayah Indragiri Hilir, Bengkalis, Dumai dan Rokan Hilir mendorong interaksi masing masing sebesar 0,56, 3,33, 0,12 dan 3,36 lebih besar dari wilayah lainnya. Nilai dugaan yang negatif pada wilayah yang lain berarti wilayah tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya tanpa harus ada pemasukan ternak dari wilayah lain. Deskirpsi pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Gambar 11.
Wilayah Produksi
Wilayah Pemasaran Gambar 11 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Dari Gambar 11 dapat dijelaskan bahwa setiap wilayah produksi dapat menjangkau semua wilayah pemasaran dan wilayah pemasaran dapat memperoleh komoditas ayam ras pedaging dari semua wilayah produksi. Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging digambarkan seperti pada Gambar 12. Matriks aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 12
Peta aliran pemasaran ayam ras pedaging
Dari Gambar 12 terlihat bahwa wilayah yang mempunyai daya dorong pemasaran merupakan wilayah produksi ayam ras pedaging. Terdapat empat wilayah yang menjadi pusat produksi ayam ras pedaging yaitu Kampar, Pekanbaru, Pelalawan dan Siak. Wilayah tujuan yang menjadi daya tarik untuk pemasaran ayam ras pedaging adalah Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, Rokan Hulu dan Indragiri Hilir. Hal ini disebabkan karena tingginya kebutuhan daging ayam ras pedaging di wilayah tersebut. Disamping itu, pada wilayah tujuan tersebut
relatif populasi ayam ras pedaging sedikit. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsumsi adalah besarnya PDRB per kapita di wilayah tersebut karena berkembangnnya sektor migas. Sedangkan Dumai merupakan wilayah pesisir yang mempunyai pelabuhan perdagangan internasional dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan. Jika dilihat dari peta aliran komoditas maka wilayah produksi terdapat di sekitar Kota Pekanbaru. Beberapa faktor yang mendorong hal ini terjadi adalah Kota Pekanbaru merupakan pusat distribusi sarana produksi peternakan. Selain itu, pola pemeliharaan ayam ras pedaging lebih banyak dalam bentuk kemitraan dengan perusahaan besar dalam bentuk inti-plasma (perusahaan sebagai inti dan peternak sebagai plasma). Wilayah produksi utama komoditas ayam ras pedaging adalah Kabupaten Kampar, yang mampu memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah kabupaten dan kota kecuali Pelalawan. Posisi geografis Kabupaten Kampar yang lebih dekat dengan Kota Pekanbaru sangat menguntungkan karena mengefisiensi biaya transportasi, baik sarana produksi maupun pemasaran. Efisiensi produksi juga diperoleh dengan semakin bertambahnya jumlah yang dibudidayakan. Kondisi ini tidak dapat diikuti oleh wilayah lain yang mempunyai jarak lebih jauh dari Kota Pekanbaru. Analisis terhadap aliran pemasaran komoditas peternakan yang dibatasi pada aliran dalam Provinsi Riau, menyebabkan tidak terlihatnya kebutuhan komoditas secara keseluruhan. Jadi, walaupun analisis yang dilakukan dengan model tertutup, pada kondisi riil aliran pemasaran komoditas peternakan bersifat terbuka karena selain terjadi aliran pemasaran dalam provinsi, juga terdapat aliran pemasaran antar provinsi dan antar negara. 5.3 Analisis Tataniaga Pemasaran Analisis margin tata niaga digunakan untuk mengetahui efisiensi pemasaran komoditas peternakan. Analisis tata niaga menghasilkan rantai tata niaga, margin pemasaran dan harga komoditas. 5.3.1 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Sapi Rantai tata niaga pemasaran komoditas sapi antar wilayah di Provinsi Riau yaitu :
I. Peternak wilayah asal – Pedagang Pengumpul wilayah asal - Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Besar wilayah tujuan - Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan; II. Peternak wilayah asal – Pedagang Pengumpul wilayah asal - Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan; III. Peternak wilayah asal – Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan. Distribusi harga komoditas sapi pada setiap rantai tata niaga, baik di wilayah asal maupun di wilayah tujuan, disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas sapi (Rp) No 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Harga di Tingkat Peternak Ke Rantai Tata Niaga I Pekanbaru Rokan Hilir 7.000.000 Kampar Bengkalis 6.700.000 Rokan Hilir Dumai 6.000.000 Rata-rata 6.566.667 Rantai Tata Niaga II Pekanbaru Kuantan Singingi 6.140.000 Kuantan Singingi Indragiri Hulu 5.800.000 Kuantan Singingi Pelalawan 5.900.000 Kuantan Singingi Kampar 6.400.000 Indragiri Hulu Pekanbaru 7.100.000 Indragiri Hulu Kuantan Singingi 5.500.000 Indragiri Hulu Indragiri Hilir 6.400.000 Indragiri Hulu Pelalawan 6.400.000 Indragiri Hilir Indragiri Hulu 5.500.000 Kampar Dumai 5.800.000 Rokan Hulu Pekanbaru 5.500.000 Rokan Hulu Kampar 5.500.000 Rokan Hulu Dumai 5.500.000 Rata-rata 5.956.923 Rantai Tata Niaga III Pekanbaru Indragiri Hulu 6.800.000 Pekanbaru Pelalawan 6.500.000 Pekanbaru Siak 5.500.000 Pelalawan Pekanbaru 6.500.000 Pelalawan Kuantan Singingi 5.650.000 Kampar Pekanbaru 6.500.000 Kampar Kuantan Singingi 6.000.000 Kampar Pelalawan 6.200.000 Kampar Rokan Hulu 5.600.000 Bengkalis Dumai 6.000.000 Rokan Hilir Bengkalis 6.200.000 Dumai Bengkalis 6.500.000 Dumai Rokan Hilir 6.000.000 Rata-rata 6.150.000 Aliran Komoditas
Dari
Harga di Tingkat Konsumen 8.600.000 8.000.000 7.200.000 7.933.333 7.200.000 7.000.000 7.000.000 8.050.000 8.050.000 6.500.000 7.500.000 7.200.000 6.500.000 6.800.000 6.700.000 6.500.000 6.800.000 7.061.538 7.800.000 7.500.000 6.500.000 7.200.000 6.500.000 7.200.000 6.800.000 7.200.000 6.800.000 7.200.000 7.500.000 7.500.000 7.200.000 7.146.154
Dari Tabel 24 diketahui bahwa rantai tata niaga yang panjang terjadi karena jarak yang jauh antara wilayah produksi dan wilayah pemasaran seperti antara Pekanbaru dan Rokan Hilir. Sedangkan pada rantai tata niaga II, yang lebih pendek, mendominasi pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan wilayah produksi. Semakin pendek rantai tata niaga maka harga komoditas sapi di peternak dan harga penjualan di konsumen akhir semakin kecil. Sebaran harga komoditas sapi secara spasial disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas sapi di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Dari Gambar 13 terlihat bahwa harga komoditas sapi di tingkat peternak relatif sama di semua kabupaten dan kota. Sedangkan harga di tingkat konsumen tampak lebih tinggi di Kabupaten Indragiri Hilir, Bengkalis dan Rokan Hilir. Tingginya harga jual di tingkat konsumen merupakan konsekuensi jarak wilayah tersebut dari wilayah produksi seperti Kampar dan Kuantan Singingi. Hal serupa di kemukakan oleh Ilham (1998) adanya pusat-pusat konsumsi dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pusat-pusat produksi menyebabkan terjadinya perdagangan sapi potong antar wilayah . Nilai rata-rata margin tata niaga komoditas sapi pada tiga bentuk rantai tata niaga disajikan pada Tabel 25. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semakin pendek rantai tata niaga maka biaya pemasaran juga semakin kecil. Sebaliknya
keuntungan pelaku pemasaran semakin besar yang dapat mencapai 66,18%. Jika dilihat dari nilai keuntungan, maka jumlah yang diterima pelaku pemasaran lebih besar pada rantai tata niaga yang lebih panjang (Rantai Tata Niaga I). Tabel 25 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas sapi No 1 2 3
Rantai Tata Niaga I II III
Margin (Rp) 1.366.667 1.104.615 996.154
Rincian Margin (Rp) Persentase Biaya Biaya Keuntungan Keuntungan Pemasaran Pemasaran 645.667 721.000 47,24% 52,76% 421.846 682.769 38,19% 61,81% 352.308 659.231 35,37% 66,18%
Besarnya keuntungan yang diambil oleh pelaku pemasaran selain terkait dengan jarak pemasaran juga terkait dengan waktu pengangkutan dan pemasaran. Semakin jauh wilayah tujuan, maka waktu yang digunakan untuk kegiatan pemasaran juga semakin banyak. Panjangnya waktu pemasaran ini menjadi salah satu alasan bagi pelaku pemasaran untuk mempertahankan keuntungan masimal yang mereka peroleh. Bagan rantai tata niaga dan benefit share yang diperoleh oleh setiap pelaku pemasaran pada rantai tata niaga komoditas sapi disajikan pada Gambar 14. Rantai Tata Niaga I Peternak i
Rantai Tata Niaga II Peternak i
Pedagang Pengumpul i
Pedagang Pengumpul i
7,11 % Pedagang Besar i
Rantai Tata Niaga III Peternak i
9,24 % Pedagang Besar i
Pedagang Besar i
32,83 % Pedagang Besar j
47,65 %
48,67 %
Pedagang Pengecer j
Pedagang Pengecer j
Pedagang Pengecer j
22,03 %
43,10 %
51,33 %
38,03 %
Konsumen j
Konsumen j
Konsumen j
Gambar 14 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas sapi di Provinsi Riau
Dari Gambar 14, terlihat bahwa semakin pendek rantai tata niaga maka keuntungan yang diperoleh pedagang pengecer wilayah tujuan semakin besar yang mencapai 51,33%. Tetapi pada Rantai Tata Niaga I, benefit share yang di peroleh pedagang pengecer lebih kecil hanya 22,03%. Hal ini disebabkan panjangnya rantai tata niaga menyebabkan biaya pemasaran semakin besar sedangkan harga di tingkat konsumen relatif tidak berubah. Hal ini dapat terjadi jika supply komoditas sapi dari daerah asal berkurang dan ketersediaan komoditas sapi di wilayah tujuan juga berkurang sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen, pedagang pengecer membeli komoditas sapi dengan harga yang relatif lebih mahal. Pelaku pemasaran berusaha untuk memendekan rantai tata niaga dengan tujuan untuk meningkatkan perolehan keuntungan. Hal ini dilakukan oleh pedagang besar wilayah asal. Dengan memendekkan rantai tataniaga, maka benefit share yang diperoleh oleh pedagang besar wilayah asal relatif lebih besar dibandingkan rantai tata niaga yang lebih panjang. Tataniaga pemasaran komoditas sapi merupakan transaksi antara peternak dan pedagang sebagai pelaku pemasaran. Pemasaran Komoditas sapi di Provinsi Riau berpengaruh terhadap jarak antar wilayah. Pada wilayah yang berdekatan, rantai tata niaga relatif lebih pendek. Hal ini terjadi karena kemudahan dalam informasi harga, penjualan dan transportasi. Pelaku pemasaran yang mempunyai peranan dalam penentuan harga adalah pedagang besar wilayah asal. Hal ini terjadi karena pedagang besar wilayah asal lebih menguasai informasi harga dan permintaan. 5.3.2 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Kerbau Rantai tata niaga pemasaran komoditas kerbau antar wilayah di Provinsi Riau yaitu : I. Peternak wilayah asal – Pedagang Pengumpul wilayah asal - Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Besar wilayah tujuan - Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan; II. Peternak wilayah asal – Pedagang Pengumpul wilayah asal - Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan;
III. Peternak wilayah asal – Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan. Rantai tata niaga pemasaran komoditas kerbau antar wilayah di Provinsi Riau sama dengan komoditas sapi. Hal ini terjadi karena pelaku pemasaran sapi juga melakukan pemasaran komoditas kerbau. Distribusi harga kerbau disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas kerbau (Rp) Aliran Komoditas
No
Dari
1 2 3 4
Kuantan Singingi Kampar Rokan Hilir Dumai Rata-rata
1 2 3 4 5 6 7
Kuantan Singingi Kuantan Singingi Indragiri Hulu Kampar Kampar Rokan Hulu Dumai Rata-rata
1 2 3
Pekanbaru Kampar Dumai Rata-rata
Harga di Tingkat Peternak Ke Rantai Tata Niaga I Pekanbaru 6.500.000 Dumai 7.500.000 Dumai 8.000.000 Rokan Hilir 8.000.000 7.500.000 Rantai Tata Niaga II Indragiri Hulu 6.500.000 Pelalawan 6.500.000 Kuantan Singingi 7.000.000 Kuantan Singingi 7.500.000 Rokan Hulu 7.500.000 Kampar 7.000.000 Siak 8.000.000 7.142.857 Rantai Tata Niaga III Pelalawan 7.000.000 Pekanbaru 8.000.000 Bengkalis 8.000.000 7.666.667
Harga di Tingkat Konsumen 8.500.000 9.200.000 9.800.000 9.700.000 9.300.000 8.000.000 8.000.000 8.500.000 8.500.000 9.000.000 9.000.000 9.500.000 8.642.857 8.200.000 9.000.000 9.000.000 8.733.333
Dari Tabel 26 terlihat bahwa pada rantai tata niaga yang panjang (rantai tata niaga I) menyebabkan harga di tingkat konsumen menjadi tinggi. Sedangkan pada rantai tata niaga II dan III, panjang pendek rantai tata niaga tidak mempengaruhi harga jual komoditas kerbau di tingkat konsumen. Wilayah asal menentukan harga komoditas. Untuk wilayah asal yang merupakan kantong ternak kerbau, seperti Kabupaten Kuantan Singingi, harga relatif lebih rendah. Harga terendah di tingkat peternak terdapat pada Rantai Tata Niaga II, sedangkan rantai tata niaga I dan III relatif lebih rendah. Jika dilihat dari wilayah asal dan tujuan, maka pada wilayah yang mempunyai populasi ternak yang tinggi, nilai jual komoditas kerbau lebih rendah.
Penyebaran harga komoditas kerbau disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas kerbau di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Pada Gambar 15 terlihat transaksi pemasaran ternak terdapat di wilayah yang populasi kerbaunya tinggi. Selisih harga di tingkat peternak dan konsumen relatif sama di semua wilayah kecuali di Pekanbaru yang sedikit lebih tinggi. Hal ini menandakan bahwa dalam pemasaran komoditas kerbau, pelaku pemasaran mengurangi keuntungan yang diperoleh memenuhi kebutuhan biaya pemasaran terutama transportasi. Distribusi margin tata niaga dari setiap rantai tata niaga pada pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas kerbau No Rantai Tata Niaga 1 2 3
I II III
Margin (Rp) 1.800.000 1.500.000 1.066.666
Rincian Margin (Rp) Persentase Biaya Biaya Keuntungan Keuntungan Pemasaran Pemasaran 585.000 1.215.000 32,50% 67,50% 515.714 984.286 34,38% 65,62% 418.333 648.333 39,22% 60,78%
Dari Tabel 27 diketahui bahwa nilai margin tata niaga kerbau semakin kecil dengan semakin pendeknya rantai tata niaga. Perbandingan biaya pemasaran juga semakin kecil dengan semakin pendeknya rantai tata niaga. Pada rantai tata niaga komoditas ternak kerbau, keuntungan yang paling besar didapat oleh pelaku pemasaran pada rantai tata niaga I yaitu sebesar 67,50% dari margin tata niaga. Semakin pendek rantai tata niaga maka semakin kecil persentase keuntungan yang
diperoleh. Berkurangnya persentase yang terjadi pada rantai tata niaga III karena secara relatif, biaya pemasaran lebih besar (39,22%). Kondisi ini dapat terjadi jika transportasi untuk jarak yang jauh diefisienkan dengan mengangkut komoditas kerbau dengan kapasitas maksimal. Sedangkan pada wilayah yang jaraknya pendek dan berdekatan, pengangkutan komoditas biasanya lebih sedikit, sedangkan biaya transportasi tidak dapat ditekan sehingga biaya transportasi menjadi lebih tinggi. Bagan rantai tata niaga dan benefit share yang diperoleh oleh setiap pelaku pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 memberikan informasi bahwa untuk wilayah tujuan yang jauh dari wilayah asal ternak, maka benefit share lebih banyak diperoleh pelaku pemasaran di wilayah tujuan. Rendahnya benefit share yang diperoleh pelaku pemasaran di wilayah asal (15,35%), yaitu pedagang besar wilayah asal, mendorong pelaku pasar tersebut untuk memendekan rantai tata niaga dengan memasarkan langsung komoditasnya kepada pedagang pengecer wilayah tujuan. Keadaan ini membuat daya tawar pedagang pengecer lebih kuat sehingga mampu memaksimalkan benefit share mereka sehingga sama dengan pedagang besar wilayah asal komoditas (47,09%). Rantai Tata Niaga I
Rantai Tata Niaga II
Peternak i
Peternak i
Pedagang Pengumpul i
Pedagang Pengumpul i
7,42 % Pedagang Besar i
Rantai Tata Niaga III Peternak i
10,12 % Pedagang Besar i
Pedagang Besar i
15,35 % Pedagang Besar j
42,79 %
52,15 %
38,43 % Pedagang Pengecer j
Pedagang Pengecer j
Pedagang Pengecer j
34,76 %
47,09 %
47,85 %
Konsumen j
Konsumen j
Konsumen j
Gambar 16 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas kerbau di Provinsi Riau
Sama halnya seperti komoditas sapi, panjang pendek rantai pemasaran tergantung dari jarak wilayah tujuan. Semakin jauh wilayah tujuan maka rantai tata niaga menjadi panjang. Sedangkan untuk wilayah pemasaran yang dekat maka rantai pemasaran akan menjadi lebih sederhana. Panjang pendek rantai tata niaga juga tidak mempengaruhi harga jual kepada konsumen. Efisiensi margin yang diperoleh pada rantai tata niaga dilakukan untuk meningkatkan keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran. Kurang berpengaruhnya panjang rantai tata niaga dalam penetapan harga komoditas kerbau disebabkan dalam permintaan komoditas kerbau, selain harga ada pertimbangan lain yang ada pada konsumen seperti selera dan tradisi. 5.3.3 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Ras Pedaging Rantai tata niaga pemasaran komoditas ayam ras pedaging antar wilayah di Provinsi Riau yaitu : I. Peternak wilayah asal – Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Besar wilayah tujuan - Pedagang Pengecer wilayah tujuan – Konsumen wilayah tujuan; II. Peternak wilayah asal – Pedagang Besar wilayah asal – Konsumen wilayah tujuan; Pengembangan komoditas ayam ras pedaging di Provinsi Riau didominasi pemeliharaan ayam ras pedaging dengan pola kemitraan antara peternak dengan perusahaan peternakan ayam ras pedaging. Pola ini membuat pemasaran ternak tidak ditentukan oleh peternak tetapi oleh perusahaan inti kemitraan. Pola kemitraan menyebabkan harga komoditas peternak ayam ras pedaging relatif tidak berfluktuatif terutama di wilayah asal ternak. Dalam rantai tata niaga, perusahaan inti kemitraan merupakan peternak besar di wilayah asal. Harga komoditas ayam ras pedaging pada setiap pola rantai tata niaga disajikan pada Tabel
28. Pada tabel tersebut terlihat harga yang diperoleh
pedagang besar di wilayah asal relatif seragam. Hal ini memungkinkan karena sebagian besar pedagang besar wilayah asal adalah pelaku kemitraan budidaya komoditas ayam ras pedaging dengan peternak. Kabupaten Kampar mempunyai harga jual di tingkat peternak lebih rendah dibandingkan wilayah lain dan harga
jual tertinggi di tingkat peternak ayam ras pedaging terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu. Hal ini terjadi karena jarak Kampar dengan Pekanbaru sebagai pusat sarana produksi lebih pendek, sedangkan Indragiri Hulu mempunyai jarak yang lebih jauh sehingga biaya transportasi sangat mempengaruhi biaya produksi di wilayah Indragiri Hulu. Tabel 28 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging (Rp) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 2 3 4 5 6 7
Aliran Komoditas Dari Indragiri Hulu Pekanbaru Pekanbaru Pekanbaru Pekanbaru Pekanbaru Indragiri Hulu Pelalawan Pelalawan Pelalawan Siak Siak Siak Kampar Kampar Kampar Kampar Kampar Kampar Kampar Rata-rata Pekanbaru Pekanbaru Pelalawan Pelalawan Siak Kampar Kampar Rata-rata
Harga di Tingkat Peternak Ke Rantai Tata Niaga I
Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Rokan Hulu Bengkalis Dumai Pekanbaru Indragiri Hilir Siak Dumai Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Rantai Tata Niaga II Kuantan Singingi Siak Pekanbaru Indragiri Hulu Dumai Pekanbaru Siak
Harga di Tingkat Konsumen
14.000 13.500 13.200 13.000 13.000 13.500 13.500 12.900 13.000 12.800 13.200 13.200 13.300 12.800 12.900 12.900 12.500 12.800 12.900 12.900 13.042
22.000 20.000 21.000 20.000 20.000 20.000 19.000 21.000 19.000 20.000 20.000 19.000 24.000 21.000 20.000 21.000 20.000 21.000 24.000 20.000 20.526
13.500 13.300 12.800 13.000 13.300 12.800 12.800 13.071
22.000 19.000 18.500 20.000 20.000 19.000 19.000 19.643
Harga di tingkat konsumen akhir relatif berbeda-beda, tergantung jarak wilayah tersebut dari wilayah produksi. Harga tertinggi terdapat di Rokan Hilir yaitu Rp 24.000 /kg yang berjarak paling jauh dari Kampar dan Pekanbaru dan terendah di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak yaitu sebesar Rp 19.000,-/kg, yang secara geografis wilayah ini bertetangga. Di sisi lain berdasarkan penelitian
Ruchjana (1992), fenomena ekonomi dalam pemasaran ayam ras pedaging menggambarkan terjadinya kenaikan permintaan pada bulan-bulan tertentu. Kenaikan permintaan daging ayam ras akan meningkatkan penawaran. Untuk itu pengamatan perilaku penawaran daging ayam ras lebih baik diamati dalam interval bulanan. Tampilan secara spasial sebaran harga rata-rata di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17 Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas ayam ras pedaging di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Dari Gambar 17 terlihat bahwa produksi komoditas ayam ras pedaging berada di bagian tengah wilayah Provinsi Riau. Pengembangan kegiatan budidaya dari Kampar dan Pekanbaru menuju Pelalawan dan Indragiri Hulu didukung oleh sarana jalan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kearah Dumai maupun Bengkalis. Jumlah margin yang berlaku pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging No
Rantai Tata Niaga
Margin (Rp)
1 2
I II
7.484 6.571
Rincian Margin (Rp)
Persentase
Biaya Pemasaran
Keuntungan
Biaya Pemasaran
Keuntungan
2.134 1.561
5.350 5.010
28,51% 23,76%
71,49% 76,24%
Pada Tabel 29 terlihat bahwa dari margin yang ada ternyata lebih dri 70% merupakan keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran. Sedangkan biaya pemasaran, yang digunakan untuk tenaga kerja, transportasi dan retribusi, kurang dari 30% dan semakin pendek jarak wilayah atau rantai tataniaga maka biaya pemasaran semakin berkurang. Benefit share yang diperoleh pelaku pemasaran ditentukan dari panjangnya rantai tata niaga dan tidak mempengaruhi harga di tingkat konsumen. Hal ini terjadi karena pelaku dalam rantai tata niaga ayam ras pedaging hanya berusaha mengefiesienkan biaya pemasaran dan meningkatkan peroleh keuntungan. Bagan rantai tata niaga dan benefit share yang diperoleh oleh setiap pelaku pemasaran komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Gambar 18. Rantai Tata Niaga I
Rantai Tata Niaga II
Peternak i
Peternak i
Pedagang Besar i
Pedagang Besar i
29,16 % Pedagang Besar j
49,28 %
33,74 % Pedagang Pengecer j
Pedagang Pengecer j 50,72 %
37,10 % Konsumen j
Konsumen j
Gambar 18 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam ras pedaging di Provinsi Riau Dari Gambar 18 terlihat bahwa tata niaga komoditas ayam ras pedaging dilakukan oleh pedagang besar dan pedagang pengecer. Rendahnya keragaman pelaku pemasaran komoditas ayam ras pedaging diakibatkan oleh daya tahan ternak tersebut selama pengangkutan. Ayam ras pedaging mempunyai ketahanan yang rendah sehingga pengangkutan dalam waktu lama akan menyebabkan kerugian seperti kematian dan penyusutan berat badan.
Distribusi keuntungan (benefit share) pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa nilai tambah terbesar dari pemasaran komoditas ayam ras pedaging dinikmati oleh pedagang pengecer di wilayah tujuan 37,10% pada rantai tata niaga I dan 50,72% pada rantai tata niaga II). Sedangkan di wilayah asal nilai tambahnya lebih kecil. Semakin pendek rantai tata niaga maka nilai benefit share yang diperoleh pedagang pengecer di wilayah tujuan semakin besar. Pedagang besar wilayah asal pada pemasaran komoditas ayam ras pedaging, melakukan penjualan dengan dua cara yaitu melalui pedagang perantara, yang merupakan pedagang besar di wilayah tujuan, atau langsung bekerja sama dengan pedagang pengecer di wilayah tujuan. Sistem pemasaran ini berpengaruh pada keuntungan yang diterima oleh pedagang besar wilayah asal. Keterbatasan dalam jarak dan jangkauan pemasaran, maka untuk wilayah yang berjarak tempuh jauh, maka pemasaran ayam ras pedaging dilakukan melalui pedagang besar di wilayah tujuan. Akibat dari tambahan rantai tata niaga ini, maka ada distribusi keuntungan yang disalurkan kepada masing-masing pelaku pemasaran. 5.3.4 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Buras Rantai tata niaga pemasaran komoditas ayam buras di Provinsi Riau yaitu : I. Peternak wilayah asal – Pedagang Besar wilayah asal – Pedagang Pengecer wilayah asal – Konsumen wilayah asal; II. Peternak wilayah asal – Pedagang Pengumpul wilayah asal - Pedagang Pengecer wilayah asal – Konsumen wilayah asal; III. Peternak wilayah asal –Pedagang Pengecer wilayah asal – Konsumen wilayah asal. Komoditas ayam buras pada penelitian ini memperlihatkan tidak ada perdagangan komoditas ayam buras antar wilayah di Provinsi Riau. Perdagangan ayam buras hanya terjadi di dalam wilayah Kabupaten dan Kota. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan daging ayam buras di semua wilayah di kabupatan dan kota di Provinsi Riau dipenuhi oleh produksi wilayah itu sendiri. Dinamika harga komoditas ayam buras disajikan pada Tabel 30. Pada tabel tersebut harga komoditas ayam buras relatif sama di semua rantai tata niaga. Memperhatikan rantai tata niaga, maka perdagangan ayam buras belum mampu melakukan interaksi antar wilayah. Harga ayam buras yang relatif stabil dan sama
disemua wilayah merupakan salah satu penyebab. Disamping itu, permintaan daging ayam buras juga relatif tidak berfluktuasi. Tabel 30 Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen dan margin pada rantai tata niaga komoditas ayam buras (Rp) No 1 2 3
Rantai Harga di Harga di Rincian Margin Tata Tingkat Tingkat Margin Biaya Keuntungan Niaga Peternak Konsumen Pemasaran I 29.500 39.350 9.850 3.025 6.825 II 30.000 39.350 9.850 2.885 6.965 III 30.000 39.350 9.350 1.600 7.750
Persentase Biaya Keuntungan Pemasaran 30,71% 69,29% 29,29% 70,71% 17,11% 82,89%
Margin yang diperoleh semakin kecil dengan semakin pendeknya rantai tata niaga. Disisi lain penurunan margin tidak menyebabkan penurunan keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran. Semakin pendek rantai tata niaga ternyata keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran menjadi lebih besar dan biaya pemasaran semakin kecil. Keuntungan yang diperoleh pelaku
pemasaran
komoditas ayam ras mencapai Rp 7.750 /kg. Biaya pemasaran yang menyebabkan penurunan margin adalah biaya transpotasi. Komoditas ayam buras merupakan komoditas dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam ras pedaging sehingga yang mengkonsumsi daging ayam buras hanya orang tertentu atau pada keadaan tertentu pula. Kondisi tersebut misalnya ketika konsumen mempunyai pendapatan lebih atau merayakan peristiwa tertentu. Bagan rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam buras antar wilayah di Provinsi Riau ditampilkan pada Gambar 19. Pada gambar tersebut efisiensi rantai tata niaga ayam buras tidak menurunkan harga jual komoditas, sama seperti rantai tata niaga pada komoditas sapi, kerbau, dan ayam ras pedaging. Benefit share pada pemasaran komoditas ayam buras lebih banyak dinikmati oleh pedagang pengecer (41,76% pada rantai tata niaga I, 55,85% pada rantai tata niaga II, dan 100% pada rantai tata niaga III). Hal ini menunjukan bahwa harga komoditas ayam buras sangat rentan terhadap kelebihan pasokan. Keseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan akan menyebabkan harga komoditas ayam buras tetap stabil. Jika dilihat dari potensi pengembangan maka secara umum kebutuhan komoditas ayam buras dapat dipenuhi oleh produksi dari dalam wilayah. Jika ada peningkatan produksi maka pemasaran diarahkan ke luar provinsi.
Rantai Tata Niaga I Peternak i
Rantai Tata Niaga II
Rantai Tata Niaga III
Peternak i
Peternak i
Pedagang Besar i 58,24 % Pedagang Pengecer i 41,76 % Konsumen i
Pedagang Pengumpul i 44,15 % Pedagang Pengecer i
Pedagang Pengecer i 100 %
55,85 % Konsumen i
Konsumen i
Gambar 19 Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam buras di Provinsi Riau Pedagang pengecer merupakan pelaku pemasaran yang dapat bergerak pada semua tingkatan tata niaga. Bagi pedagang yang mempunyai sarana transportasi, maka mempunyai kesempatan untuk memperoleh komoditas ayam buras langsung dari peternak. Selain mendatangi peternak, pedagang pengecer juga memperoleh ayam buras yang langsung diantar oleh peternak. Hal ini dilakukan oleh peternak untuk memperoleh nilai jual yang lebih baik. 5.3.5 Kelembagaan Pemasaran Komoditas Peternakan Secara umum, pemasaran komoditas peternakan pada empat jenis komoditas yang diteliti masih berlangsung berdasarkan dinamika pasar. Semua pelaku pemasaran masih dapat bertransaksi tanpa ada halangan misalnya pedagang besar dapat secara langsung membeli ke peternak tanpa melewati pedagang pengumpul. Begitu juga pelaku pemsaran antar wilayah. Pedagang wilayah tujuan dapat langsung bertransaksi dengan peternak di wilayah asal. Terdapat dua jenis ukuran dalam transaksi jual beli. Untuk komoditas sapi dan kerbau jual beli dengan satuan ekor. Dalam memperkirakan harga komoditas sapi dan kerbau, setiap pedagang selalu berpatokan pada berat daging dan dikalikan dengan harga daging pada saat itu di tingkat konsumen. Berat daging
per ekor ini diperoleh dari estimasi peternak. Sedangkan untuk komoditas ayam berdasarkan berat hidup. Berat hidup diperoleh dengan ditimbang. Kelembagaan pemasaran pada rantai tata niaga yang ada di Provinsi Riau belum terorganisir dengan baik. Secara formal, kelembagaan yang baik hanya pada pedagang besar ayam ras pedaging. Hal ini karena ada ikatan antara peternak dengan pedagang besar dalam bentuk kemitraan. Sedangkan pedagang lainnya, terutama untuk pelaku pemasaran komoditas sapi, kerbau dan ayam buras, tidak mempunyai lembaga tertentu. Komunikasi yang terjalin antar pelaku pemasaran berkembang secara informal dan bergerak secara sendiri-diri. Pengelolaan sistem kelembagaan pada rantai tata niaga komoditas peternakan dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dan pendekatan dengan pelaku pemasaran agar kebutuhan komoditas, penetapan harga, dan margin share lebih adil antara peternak dan pelaku pemasaran. Salah satu entry point yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro dan perbaikan prasarana pemasaran. Menurut penelitian Gunawan (2002) pada kelembagaan ayam buras, untuk mengembangkan ayam buras masih diperlukan berbagai upaya seperti perbaikan kelembagaan, pemasaran, teknologi budidaya dan penyuluhan. Perbaikan kelembagaan dilakukan guna menjamin terlaksananya sistem agribisnis. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kerjasama antar lembaga yang mendukung sistem agribisnis. Lembaga terkait adalah pusat pembibitan, koperasi, kreditur, pedagang, dan peternak itu sendiri. 5.4 Analisis Hirarki Wilayah Peternakan Hirarki wilayah merupakan gambaran terhadap perkembangan suatu wilayah yang dilihat dari jumlah dan jenis infrastruktur yang tersedia. Secara sederhana maka wilayah yang memiliki infrastruktur dan jumlah yang lebih banyak merupakan pusat pertumbuhan. Selain penilaian secara sederhana tersebut maka dapat juga dilakukan dengan menggambarkan pembobotan. Pembobotan ini dilakukan untuk melihat porsi fungsi dari infrastruktur itu sendiri. Beberapa analisis juga menambahkan variabel bukan infrastruktur tetapi terkait dengan infrastruktur yang didata agar lebih mewakili keberadaan infrastruktur itu sendiri.
Analisis hirarki yang digunakan pada penelitian ini adalah Model Skalogram. Daftar infrastruktur peternakan yang tersedia di Provinsi Riau dapat dilihat pada Lampiran 5. 5.4.1 Analisis Hirarki Wilayah Produksi Infrastruktur wilayah produksi yang diamati dibobot dengan jumlah penduduk dan ditambah variabel populasi ternak untuk masing-masing komoditas. Hasil analisis Model Skalogram berbobot diperoleh hierarki wilayah dan Indeks Perkembangan Wilayah (IPW) yang dalam penelitian ini dititikberatkan pada perkembangan sub sektor peternakan. Hasil analisis untuk wilayah produksi ternak adalah seperti pada Tabel 31. Tabel 31 Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah produksi berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan Indeks Perkembangan No Kabupaten/Kota Hirarki Wilayah 1 Kuantan Singingi Hirarki 1 27,43 2 Indragiri Hulu Hirarki 2 19,06 3 Pelalawan Hirarki 2 21,21 4 Kampar Hirarki 2 19,42 5 Rokan Hulu Hirarki 2 17,77 6 Pekanbaru Hirarki 3 12,32 7 Indragiri Hilir Hirarki 3 7,60 8 Siak Hirarki 3 13,23 9 Bengkalis Hirarki 3 12,40 10 Rokan Hilir Hirarki 3 5,96 11 Dumai Hirarki 3 14,94 Pada Tabel 31 terlihat bahwa berdasarkan IPW diketahui bahwa Kabupaten Kuantan Singingi merupakan wilayah utama produksi komoditas peternakan. Pada Hirarki kedua, yang merupakan wilayah tengah, terdapat Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kampar dan Rokan Hulu. Hirarki kedua ini IPW dikategorikan sedang. Sedangkan kabupaten dan kota lainnya merupakan wilayah dengan fasilitas peternakan yang rendah dengan kategori IPW rendah. Kondisi ini menggambarkan bahwa wilayah dengan jumlah populasi ternaknya tinggi, tetapi tidak didukung oleh keberadaan infrastruktur yang cukup maka tingkat perkembangan wilayahnya akan rendah. Infrastruktur berguna dalam
mendukung dan memberikan pelayanan. Semakin besar populasi maka tentunya dibutuhkan infrastruktur yang besar pula. Berdasarkan ketersediaan infrastruktur pula maka perencanaan suatu wilayah dapat disusun dengan baik. Untuk meningkatkan IPW maka perlu ditingkatkan ketersediaan infrastruktur. Untuk wilayah yang berada pada Hirarki II, seperti Pelalawan dan Indragiri Hulu, mempunyai potensi berkembang karena infrastruktur pelayanannya telah tersedia seperti rumah potong. Selanjutnya yang perlu dilakukan di kedua wilayah tersebut adalah memaksimalkan sumberdaya ternaknya dengan meningkatkan produktifitas seperti peningkatan intensifikasi ternak sapi melalui inseminasi buatan, menekan angka kematian ternak dengan penambahan pusat kesehatan hewan di wilayah padat ternak, dan meningkatkan populasi ternak dengan mendatangkan ternak dari wilayah lain. Sebagai pusat pelayanan produksi ternak, maka pengembangan sentra pembibitan ternak perlu dikembangkan sehingga bibit-bibit unggul tidak terkuras, dan mampu memproduksi ternak yang berkualitas. Secara spasial, hirarki wilayah produksi disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20 Peta hirarki wilayah produksi komoditas peternakan Pada Gambar 20 terlihat bahwa pada sub sektor peternakan, wilayah produksi yang berkembang adalah di Riau bagian selatan dengan Kabupaten Kuantan Singingi sebagai pusat wilayah produksi. Secara spasial terlihat bahwa wilayah yang mengelilingi Kabupaten Kuansing merupakan wilayah dengan IPW
sedang dan selanjutnya diikuti oleh wilayah dengan IPW rendah, yang merupakan wilayah pesisir. Hal ini memperlihatkan bahwa untuk meningkatkan produksi komoditas peternakan maka selain membangun Kabupaten Kuantan Singingi sebagai pusat produksi, maka wilayah sekelilingnya perlu ditingkatkan infrastruktur peternakan terutama yang mendukung kegiatan budidaya. Selanjutnya, dengan meningkatkan infrastruktur peternakan di wilayah Hirarki II, diharapkan wilayah tersebut berkembang menjadi wilayah Hirarki I. 5.4.2 Analisis Hirarki Wilayah Pemasaran Analisis hirarki wilayah pemasaran menggunakan variabel tambahan berupa jumlah konsumsi dari empat jenis komoditas ternak yang diamati. Berdasarkan hasil analisis Model Skalogram, hirarki wilayah pemasaran ternak adalah seperti pada Tabel 32. Tabel 32 Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah pemasaran berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan Indeks Perkembangan No Kabupaten/Kota Tingkat Hirarki Wilayah 1 Kuantan Singingi Hirarki 1 21,84 2 Pelalawan Hirarki 1 21,00 3 Bengkalis Hirarki 1 21,19 4 Pekanbaru Hirarki 2 18,98 5 Indragiri Hulu Hirarki 2 17,31 6 Rokan Hulu Hirarki 2 17,38 7 Indragiri Hilir Hirarki 3 13,61 8 Siak Hirarki 3 11,57 9 Kampar Hirarki 3 15,81 10 Rokan Hilir Hirarki 3 8,86 11 Dumai Hirarki 3 15,99 Dari Tabel 32 diketahui bahwa terdapat tiga wilayah yang merupakan wilayah pemasaran komoditas peternakan yaitu Kabupaten Kuantan Singigi, Pelalawan dan Bengkalis. Hal yang menarik adalah Kabupaten Kuantan Singingi merupakan wilayah yang telah berkembang sebagai wilayah pemasaran dan produksi. Keadaan ini memungkinkan karena selain sebagai wilayah produksi komoditas peternakan, ternyata di Kabupaten Kuantan Singingi sendiri mempunyai tingkat konsumsi daging yang cukup tinggi.
Ilustrasi terhadap wilayah pemasaran akan lebih jelas jika dilihat secara spasial, seperti pada Gambar 21. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terdapat dua wilayah pusat pemasaran komoditas peternakan di Provinsi Riau. Secara spasial terlihat pusat pelayanan pemasaran ini membagi wilayah Provinsi Riau menjadi dua yang dapat dikelompokkan sebagai Riau Bagian Utara dengan Bengkalis sebagai pusat pemasaran dan Riau Bagian Selatan dengan Pelalawan sebagi pusat pemasaran. Hal ini tentunya merupakan bentuk efisiensi jangkauan pelayanan sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah di Provinsi Riau.
Gambar 21 Peta hirarki wilayah pemasaran komoditas peternakan Wilayah Pelalawan dan Bengkalis memang bukan merupakan wilayah dengan populasi ternak yang tinggi. Peningkatan infrastruktur pemasaran di wilayah tersebut seperti penampungan ternak, rumah potong dan pasar ternak akan mendorong aktifitas pemasaran peternakan menjadi lebih berkembang karena diwilayah tersebut merupakan wilayah industri dan perkebunan. Selain itu, Bengkalis merupakan salah satu wilayah industri migas di Provinsi Riau. 5.5 Strategi Pembangunan Peternakan di Provinsi Riau Terbatasnya sumberdaya pada suatu wilayah mendorong adanya pergerakan sumberdaya antar wilayah yang bertujuan untuk saling melengkapi. Hal ini terjadi
karena setiap wilayah mempunyai potensi yang berbeda-beda. Aliran sumberdaya antar wilayah menyebabkan meningkatnya interaksi antar wilayah. Interaksi antar wilayah ini akan memberikan efek penyebaran yang melibatkan berbagai sektor. Pada sub sektor peternakan, salah satu aliran sumberdaya berupa aliran komoditas peternakan. Provinsi Riau merupakan wilayah yang berkembang menjadi salah satu pusat perekonomian di Indonesia Bagian Barat. Sebagai wilayah yang sedang membangun, maka perencaanaan pembangunan perlu disusun dengan baik agar sasaran pembangunan dapat tercapai. Pada Sub Sektor Peternakan, pembangunan diarahkan pada usaha untuk meningkatkan populasi ternak dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan asal hewan di Provinsi Riau. Dalam konteks pengembangan wilayah maka pendekatan pembangunan hendaknya berbasis spasial. Pendekatan inter-regional dalam pembangunan sektoral, khususnya sub sektor peternakan, menjadi penting untuk menghindari penyamarataan wilayah. Cara pandang pemerataan pembangunan, bukan berarti setiap wilayah harus dikembangkan sektor yang sama, tetapi potensi yang ada dikembangkan secara bersama sehingga mampu memenuhi kebutuhan wilayah tesebut dan wilayah lain yang membutuhkan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau 2007-2027 telah menegaskan bahwa kawasan-kawasan di ruang daratan yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan peternakan adalah kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan peternakan dapat memberikan manfaat untuk (Bappeda Prov. Riau 2007): -
Meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat setempat,
-
Peningkatan produksi ternak dan mendayagunakan investasi yang ada,
-
Mendorong upaya pelestarian sumber daya alam untuk kegiatan peternakan yang berkelanjutan. Kawasan Peternakan, di Provinsi Riau, secara umum tersebar di kawasan-
kawasan permukiman penduduk di wilayah perdesaan (hinterland) dan sebaran wilayah perdesaan tersebut sangat luas dan menyebar. Dalam RTRW Provinsi Riau, kawasan pengembangan peternakan tidak secara spesifik diplotkan
peruntukannya. Pengembangan peternakan melekat pada kawasan-kawasan pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang dapat diusahakan langsung atau tidak langsung oleh peternak. Berdasarkan daya dukung wilayah maka Kabupaten Kuantan Singingi, Kampar, Indragiri Hulu, Siak, dan Rokan Hulu merupakan wilayah untuk pengembangan komoditas sapi dan kerbau. Komoditas peternakan yang produksinya perlu dipertahankan adalah ayam ras pedaging, sedangkan komoditas yang produksinya perlu ditingkatkan adalah sapi. Saat ini, kedua komoditas tersebut menjadi sumber daging utama di Provinsi Riau. Pengaturan terhadap penyebaran budidaya ternak ayam ras pedaging perlu dilakukan karena untuk wilayah Pekanbaru dan Kampar, telah mengalami puncak produksi. Penguatan kelembagaan perlu dilakukan terutama penguatan kelembagaan di tingkat peternak sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang lebih baik dalam penentuan harga. Disamping itu juga diikuti dengan penguatan kelembagaan di tingkat pelaku pemasaran, karena dalam rantai tata niaga keuntungan lebih banyak diperolah oleh pelaku pemasaran terutama pedagang pengecer. Pendekatan kelembagaan pada pelaku pemasaran dilakukan dengan pendekatan kebijakan permodalan dan perbaikan infrastruktur pemasaran. Berdasar hirarki wilayah maka Kuantan Singingi merupakan pusat produksi terutama untuk sapi dan kerbau. Potensi ayam ras pedaging Kuantan Singingi juga cukup besar yaitu 1.051.276 ekor. Interaksi keluar masuk ternak di Kuantan Singingi terjadi pada semua komoditas. Walaupun untuk aliran ayam ras pedaging tidak ada yang keluar wilayah, tetapi dengan potensi dan infrastruktur yang memadai akan memudahkan pengembangan komoditas tersebut di wilayah ini. Strategi wilayah pengembangan komoditas sapi secara spasial disajikan pada Gambar 22. Dari gambar tersebut terlihat wilayah bagian selatan Provinsi Riau dikembangkan sebagai sentra produksi komoditas sapi. Wilayah Siak menjadi wilayah alternatif sebagai wilayah produksi baru karena mempunyai peluang pengembangan yang cukup besar. Produksi dari wilayah ini akan diarahkan ke wilayah simpul pasar yang terdapat di Pekanbaru. Jika melihat kondisi fisik wilayah, maka wilayah selatan merupakan wilayah dengan topografi berbukit dan
relatif lebih tinggi. Secara umum kegiatan utama masyarakatnya bergerak dibidang pertanian.
Gambar 22 Strategi pengembangan komoditas sapi Wilayah produksi yang dipusatkan di Kuantan Singingi mengindikasikan bahwa kawasan bagian selatan, merupakan kawasan yang cocok untuk kegiatan budidaya komoditas peternakan. Di wilayah ini peningkatan infrastruktur peternakan dapat memacu kegiatan budidaya sehingga produksi komoditas peternakan meningkat. Peningkatan
produksi
komoditas
peternakan
akan
mendorong
interaksi
pemasaran. Produksi yang tinggi menjadi daya tarik bagi pedagang antar wilayah (terutama wilayah tujuan) untuk mendatangkan ternak dari wilayah tersebut. Infrastruktur yang perlu dibangun di wilayah Kabupaten Kuantan Singingi adalah poskeswan, Pos Inseminasi Buatan, dan pembibitan ternak. Menurut penelitian Gunawan (2002) pada pengembangan peternakan, perbaikan difokuskan kepada kegiatan pengendalian penyakit dan perbaikan ransum dengan memanfaatkan pakan lokal. Penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak. Perbandingan populasi, potensi dan produksi komoditas sapi dapat dilihat pada Tabel 33. Dari tabel tersebut terlihat bahwa wilayah Kampar, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, dan Siak merupakan wilayah dengan populasi ternak yang tinggi, potensi pengembangan yang tinggi dan mampu memproduksi ternak lebih banyak dibandingkan dengan wilayah yang lain. Strategi pengembangan komoditas sapi pada wilayah tersebut adalah dengan
meningkatkan usaha pembibitan ternak agar ternak bibit tidak terkuras. Pembangunan pusat-pusat pembibitan (village breeding center) dapat menjadi dasar yang kuat dalam meningkatkan produksi ternak yang berkualitas. Tabel 33 Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas sapi (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Bengkalis Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kampar Dumai Pekanbaru Kuantan Singingi Pelalawan Rokan Hilir Rokan Hulu Siak
Populasi 7.467 5.825 18.928 11.185 2.350 2.746 20.245 2.521 7.419 17.492 17.978
Peluang Pengembangan 32.850 25.627 83.272 49.207 10.339 12.081 89.066 11.091 32.639 76.955 79.093
Produksi 158 840 2.931 2.764 391 133 2.210 345 470 1.246 1.222
Komoditas kerbau ternyata hanya disukai di wilayah tertentu. Hal ini terjadi karena konsumsi daging kerbau telah digantikan oleh daging sapi. Produksi yang ada saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan wilayah tertentu yang peminat daging kerbau masih tinggi seperti Kabupaten Kampar. Sebenarnya, untuk kegiatan pemasaran, Komoditas kerbau tidak mengalami hambatan. Hal yang mengurangi interaksi pemasaran adalah permintaan di wilayah tujuan yang kecil. Strategi pengembangan komoditas kerbau disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Strategi pengembangan komoditas kerbau
Pada Gambar 23 terlihat bahwa ada kesamaan strategi pengembangan komoditas kerbau dengan komoditas sapi. Hal ini disebabkan karena rantai tata niaga kerbau sama dengan rantai tata niaga sapi dan biasanya pedagang kerbau juga adalah pedagang sapi. Wilayah produksi utama komoditas kerbau adalah Kampar dan Kuantan Singingi. Dengan memaksimalkan potensi yang ada kedua wilayah ini akan mampu memenuhi kebutuhan komoditas kerbau di seluruh wilayah di Provinsi Riau. Perbandingan populasi, potensi dan produksi komoditas sapi dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Perbandingan populasi, komoditas kerbau (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Bengkalis Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kampar Dumai Pekanbaru Kuantan Singingi Pelalawan Rokan Hilir Rokan Hulu Siak
peluang
Populasi 692 6 2.165 22.548 31 1.260 18.979 513 1.263 2.298 607
pengembangan Peluang Pengembangan 3.044 26 9.525 99.198 136 5.543 83.497 2.257 5.556 10.110 2.670
dan
produksi
Produksi 20 484 1.285 793 51 1.141 250 1.027 162
Dari Tabel 34 terlihat bahwa Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi memiliki populasi yang tinggi (22.548 ekor dan 18.979 ekor) dengan produksi yang juga tinggi yaitu masing-masing 1.285 ekor dan 1.141 ekor. Kabupaten Rokan Hulu dengan populasi lebih sedikit yaitu 2.298 ekor ternyata mempunyai produksi komoditas kerbau sebanyak 1.027 ekor. Melihat kondisi ini maka populasi ternak kerbau di Rokan Hulu akan menurun drastis pada tahun-tahun berikutnya karena produksi komoditas kerbau akan menguras populasi. Strategi pengembangan komoditas kerbau di Rokan Hulu adalah membatasi pemotongan dan pengeluaran ternak, mempertahankan ternak betina dan melakukan distribusi ternak dari luar wilayah. Sedangkan untuk wilayah Kampar dan Kuantan Singingi maka strategi yang diterapkan dalam pengembangan komoditas kerbau adalah penerapan teknologi inseminasi buatan dan pengolahan pakan serta pemanfaatan potensi lahan/padang penggembalaan.
Pertumbuhan budidaya ayam ras pedaging yang tinggi di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar ternyata telah melampaui kapasitasnya, untuk itu perlu pengurangan kapasitas produksi dan dialihkan ke wilayah lain seperti Kabupaten Siak dan Indragiri Hulu. Pengembangan budidaya ayam ras pedaging di kedua wilayah ini bertujuan untuk memperpendek rantai tata niaga sehingga terjadi efisiensi. Peta pengembangan wilayah komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Gambar 24. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pengembangan produksi komoditas ayam ras pedaging di wilayah Riau bagian tengah dapat memperpendek rantai tata niaga dan diharapkan mampu menekan biaya angkut dan selanjutnya berimplikasi pada harga jual di konsumen. Konsentrasi produksi ayam ras pedaging di wilayah tengah Provinsi Riau mempunyai keterkaitan terhadap kemudahan dalam penyediaan sarana produksi ternak. Pusat penyediaan sarana produksi ternak terdapat di wilayah Pekanbaru. Wilayah Pekanbaru juga merupakan pusat perusahaan kemitraan ayam ras pedaging di Provinsi Riau.
Gambar 24 Strategi pengembangan komoditas ayam ras pedaging Perbandingan populasi, potensi dan produksi komoditas ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 35. Dari tabel tersebut terlihat wilayah yang mempunyai produksi komoditas ayam ras pedaging tertinggi adalah Kampar. Sedangkan wilayah yang mempunyai permintaan komoditas ayam ras pedaging yang tinggi adalah Pelalawan dan Siak tetapi mempunyai populasi yang rendah.
Tabel 35 Perbandingan populasi, peluang pengembangan komoditas ayam ras pedaging (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Bengkalis Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kampar Dumai Pekanbaru Kuantan Singingi Pelalawan Rokan Hilir Rokan Hulu Siak
Populasi 75.574 1.109.187 249.140 11.433.864 9.546 7.868.793 268.000 932.106 0 1.340.090 132.121
Peluang Pengembangan 3.532.949 2.104.218 1.282.594 (8.550.609) 1.558.490 (4.060.540) 1.051.276 394.422 2.495.217 532.138 1.423.532
dan
produksi
Produksi 288.000 15.302 313.233 8.319.004 871.800 5.577.466 248.262 2.470.625 1.282.574 525.639
Untuk wilayah yang mempunyai potensi produksi yang tinggi maka strategi pengembangan komoditas ayam ras pedaging dilaksanakan dengan meningkatkan kerjasama dengan perusahaan inti untuk bermitra dengan peternak di wilayah tersebut. Agar perusahaan inti tertarik bermitra dengan peternak maka perlu dibangunan prasarana transportasi yang baik ke wilayah-wilayah pengembangan sehingga efisien dalam pengangkutan sarana produksi budidaya ayam ras pedaging. Komoditas ayam buras merupakan komoditas yang mempunyai potensi besar bagi memenuhi kebutuhan daging ternak di Provinsi Riau. Jika melihat interaksi pemasaran, maka produksi komoditas ayam buras masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan wilayah produksi. Hal ini mengindikasikan permintaaan yang tinggi dan kemampuan produksi yang rendah. Jika dilihat dari produksi, ternyata selama ini produksi komoditas ayam buras hanya mengandalkan peternakan rakyat dalam skala rumah tangga. Perbandingan populasi, potensi dan produksi komoditas ayam buras dapat dilihat pada Tabel 36. Dari tabel tersebut terlihat wilayah Kabupaten Kampar mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya. Sedangkan wilayah yang mempunyai permintaan komoditas ayam buras yang tinggi tetapi mempunyai populasi yang rendah maka kekurangan kebutuhan wilayah tersebut dipenuhi dari luar provinsi. Strategi yang diterapkan pada pengembangan komoditas ayam buras adalah dengan mengembangkan budidaya ayam buras skala rumah tangga pada wilayah Bengkalis, Indragiri Hilir dan Rokan Hilir. Untuk wilayah produksi komoditas
ayam buras dalam skala yang lebih besar dapat dilakukan di Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Kampar dan Siak perlu mengembangkan. Tabel 36 Perbandingan populasi, peluang komoditas ayam buras (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Bengkalis Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kampar Dumai Pekanbaru Kuantan Singingi Pelalawan Rokan Hilir Rokan Hulu Siak
Populasi 202.799 540.250 195.756 1.131.601 181.203 652.682 371.671 196.398 534.346 196.701 283.755
pengembangan
dan
Peluang Pengembangan 603.502 537.421 259.327 482.206 262.244 636.905 220.640 221.853 417.309 313.118 260.173
produksi
Produksi 75.474 729.528 13.790 737.942 44.886 979.023 318.143 272.484 748.084 153.512 397.257
Sebagai wilayah pemasaran, Pelalawan berpotensi dikembangkan karena interaksi untuk komoditas sapi dan ayam ras pedaging relatif lebih besar. Bengkalis, Indragiri Hilir dan Rokan Hilir merupakan wilayah dengan potensi pengembangan komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras. Namun potensi ini dibatasi oleh ketersediaan infrastruktur peternakan dan jarak yang jauh dari pusat ekonomi provinsi yaitu Pekanbaru. Untuk itu, kegiatan budidaya di ketiga wilayah ini tidak efektif dalam pengembangan ternak. Untuk ketiga wilayah yang mewakili wilayah pesisir ini, maka kegiatan peternakan diarahkan kepada penyiapan fasilitas pelayanan pemasaran ternak seperti rumah potong dan penampungan ternak. Fasilitas ini, untuk wilayah Riau bagian utara dapat dibangun di Kabupaten Bengkalis. Sedangkan di wilayah selatan, untuk pasar ternak ruminansia telah tersedia di Kabupaten Indragiri Hilir. Rumah potong dapat dibangun di Indragiri Hulu atau di Pelalawan (karena Pelalawan berpotensi sebagai pusat pemasaran komoditas peternakan). Dalam pembangunan infrastruktur peternakan ini, hal yang sama juga disampaikan oleh Ilham (1998), bahwa penyebaran daerah pusat produksi dengan daerah konsumsi yang terpusat memerlukan sistem dan fasilitas pemasaran yang baik.
Dengan
demikian
distribusi
dapat
teratur
dengan
mengurangi
ketidakefisienan pada jalur-jalur pemasaran yang ada. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah prasarana transportasi dan truk angkutan ternak.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan Pengembangan komoditas peternakan di Provinsi Riau masih terbuka lebar. Provinsi Riau memiliki potensi daya dukung lahan cukup besar karena kemampuan wilayah untuk pengembangan komoditas sapi dan kerbau baru dipenuhi 18,52%, Komoditas ayam ras pedaging mampu memenuhi kebutuhan wilayah sebesar 92,93%, sedangkan komoditas ayam buras telah mampu memenuhi kebutuhan wilayah. Potensi komoditas sapi dan kerbau terdapat di wilayah Riau Bagian Selatan yaitu Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Sedangkan kebutuhan komoditas ayam ras pedaging dominan terdapat di Pekanbaru, Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hilir dan Bengkalis. Produktifitas SDM peternakan mendorong aliran pemasaran komoditas sapi sebesar 1,55%. Peningkatan produktifitas ini karena ada nilai tambah yang lebih baik pada usaha peternakan sapi. Nilai tambah ini memacu peternak untuk meningkatkan usahanya yang salah satunya dengan meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara yang akhirnya akan meningkatkan produksi. Aliran pemasaran komoditas kerbau lebih ditentukan oleh daya tarik wilayah tujuan berupa pemotongan ternak sebesar 0,65%. Untuk ayam ras pedaging, faktor yang kuat dalam aliran pemasaran adalah konsumsi wilayah tujuan yaitu sebesar 2,57%. Rantai tata niaga komoditas peternakan yang diteliti belum efiesien karena pada umumnya masih dikuasai oleh pedagang besar dan pedagang pengecer. Rantai tata niaga menjadi lebih pendek dengan semakin pendeknya jarak antar wilayah. Pendeknya rantai tata niaga hanya mengurangi biaya pemasaran tetapi tidak mengurangi harga jual ditingkat konsumen akhir. Pelaku pemasaran komoditas peternakan berusaha mengurangi rantai tata niaga dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan yang mereka peroleh. Kelembagaan yang terbentuk pada rantai tata niaga komoditas peternakan belum terorganisir dengan baik sehingga harga komoditas masih di kuasai pelaku pemasaran. Untuk itu diperlukan pengelolaan sistem kelembagaan yang terkoordinasi agar kebutuhan komoditas, penetapan harga, dan margin share lebih adil antara peternak dan pelaku pemasaran. Bentuk pegorganisasian lembaga tata
niaga berupa asosiasi pedagang. Salah satu entry point yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro bagi pelaku pemasaran dan perbaikan prasarana pemasaran. Wilayah pengembangan produksi komoditas peternakan diarahkan di wilayah selatan dengan pusat pertumbuhannya adalah Kuantan Singingi. Wilayah pendukung adalah wilayah di sekitar Kuantan Singingi yaitu Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Rokan Hulu. Infrastruktur di wilayah produksi berupa poskeswan, pos Inseminasi Buatan, dan pembibitan ternak. Sedangkan wilayah pemasaran dikembangkan pada dua wilayah yaitu Bengkalis yang melayani kebutuhan pasar Riau Utara dan Pelalawan yang melayani kebutuhan Riau Selatan. Pengembangan infrastruktur pemasaran pada kedua wilayah tersebut adalah rumah potong dan pasar ternak di Bengkalis dan pasar ternak di Pelalawan. Selain pengembangan infrastruktur, maka pengembangan komoditas peternakan juga mempunyai hubungan dengan sumberdaya fisik lahan dan ketersediaan sumberdaya manusia (peternak). Dalam mempertahankan kemampuan produksi komoditas sapi perlu ditingkatkan usaha pembibitan ternak sapi agar ternak bibit tidak terkuras, untuk memenuhi permintaaan pasar. Pembangunan pusat-pusat pembibitan (village breeding center) dapat menjadi dasar yang kuat dalam meningkatkan produksi ternak yang berkualitas. Wilayah-wilayah tersebut adalah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, dan Siak. Strategi pengembangan komoditas kerbau dilakukan dengan membatasi pemotongan dan pengeluaran ternak, mempertahankan ternak betina dan melakukan distribusi ternak dari luar wilayah terutama di wilayah yang populasi kerbau rendah yaitu di Rokan Hulu dan Indragiri Hulu. Peningkatan produktifitas usaha peternakan kerbau di lakukan di Kampar dan Kuantan Singingi dengan penerapan teknologi inseminasi buatan dan pengolahan pakan serta pemanfaatan potensi lahan/padang penggembalaan. Produksi komoditas ayam ras pedaging perlu di pertahankan dan diefisienkan dengan meningkatkan kerjasama antara perusahaan inti dengan peternak. Agar perusahaan inti tertarik bermitra dengan peternak maka perlu dibangunan prasarana transportasi yang baik ke wilayah-wilayah pengembangan
sehingga efisien dalam pengangkutan sarana produksi budidaya ayam ras pedaging. Pengembangan komoditas ayam buras dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi budidaya ayam buras skala rumah tangga pada wilayah Bengkalis, Indragiri Hilir dan Rokan Hilir dan ekstensifikasi komoditas ayam buras dalam skala yang lebih besar dapat dilakukan di Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Kampar dan Siak perlu mengembangkan. 5.1 Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka pengembangan komoditas peternakan perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Optimalisasi penggunaan lahan dan potensi pakan terutama di wilayah produksi. 2. Perlu perbaikan rantai tata niaga sehingga lebih eifisien. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan kapasitas kelembagaan pelaku pemasaran dan informasi harga kepada peternak. 3. Pengembangan komoditas peternakan disesuaikan dengan potensi wilayah itu sendiri.
Pengembangan
komoditas
tidak
berdasarkan
potensi
hanya
menghasilkan pemborosan dan inefisiensi. 4. Pembangunan infrastruktur peternakan harus didasarkan kepada jumlah populasi ternak dan jangkauan pelayanan. Karena penelitian ini mempunyai keterbatasan, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1.
Analisis daya dukung lahan yang berasal dari lahan perkebunan dan hutan konversi untuk mengetahui potensi wilayah maksimal.
2.
Aliran pemasaran antar provinsi, sehingga dapat diketahui pergerakan komoditas secara menyeluruh pada provinsi yang diteliti.
3.
Mempersempit unit penelitian seperti wilayah kecamatan dan mencari variabel lain yang mempengaruhi interaksi aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah.
4.
Optimasi produksi komoditas Peternakan setiap wilayah berdasarkan aliran pemasarannya.
DAFTAR PUSTAKA Ali M, Boer M, Sadar. 2004. Pemasaran Sapi Potong di Sumatera Barat. Di dalam: Pasandaran, editor. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak; Bogor, 7 Okt 2004. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 416-426. [Bappeda Prov. Riau] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau. 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2007-2027. Pekanbaru: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau. [Bappeda dan BPS Prov. Riau] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau dan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2008. Riau Dalam Angka 2008. Pekanbaru: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau dan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor: Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Institut Pertanian Bogor. [BPS Prov. Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2008. Pendapatan Regional Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau Menurut Lapangan Usaha 20052007. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Bulu YG, Puspadi K, Muzani A, Panjaitan TS. 2004. Pemasaran Sapi dalam Usahatani Tanaman-Ternak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di dalam: Fagi AM, Hermanto, penyunting. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak; Bogor, 7 Okt 2003. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 103-115. Celik HM, Guldmann JM. 2007. Spatial interaction modeling of interregional commodity flows. Socio-Economic Planning Sciences 41 : 147–162 [Dirjen Penataan Ruang] Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Dirjen Penataan Ruang. [Disnak Prov. Riau] Dinas Peternakan Provinsi Riau. 2001. Laporan Akhir Pemetaan Analisis Potensi Wilayah Peternakan di Propinsi Riau. Pekanbaru: Dinas Peternakan Provinsi Riau. [Disnak Prov. Riau] Dinas Peternakan Provinsi Riau. 2006. Potensi dan Peluang Pengembangan Peternakan di Provinsi Riau. Makalah pada Forum Sourching Sumatera’s Livestock. Pekanbaru: Dinas Peternakan Provinsi Riau. [Disnak Prov. Riau] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau. 2008. Statistik Peternakan Provinsi Riau. Pekanbaru: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau.
[Ditjennak dan Balitnak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Petunjuk Pelaksanaan Analisis Potensi dan Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Buku II. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diwyanto K, Priyanti A, Inounu I. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Peternakan: Unggas, Sapi dan Kambing. Wartazoa 15 (1):11-25. Djaenudin D, Marwan, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2000. Kriteria Kesesuai Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pemgembangan Pertanian. Firman A, Tawaf E. 2008. Manajemen Agribisnis Peternakan: Teori dan Contoh Kasus. Bandung: Unpad Press. Garcia P, Leuthold RM. 2004. A selected review of agricultural commodity futures and options markets. European Review of Agricultural Eco~tomics 31 (3): 235-272. Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya (Kasus di Kabupaten Jombang Jawa Timur) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ilham N. 1998. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ilham N. 2001. Prospek Pasar dan Sistem Tataniaga Ternak dan Daging Sapi di Nusa Tenggara Barat. Wartazoa 11 (2):32-43. Ilham N, Hastuti S, Karyasa IK. 2002. Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia. Jurnal Agro Indonesia 20 (2):1-23. Kariyasa K dan Kasryno F. 2004. Dinamika Pemasaran dan Prospek Pengembangan Ternak Sapi di Indonesia. Di dalam: Pasandaran, editor. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak; Bogor, 7 Okt 2004. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 363-385.
Kotler P. 1993. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Jilid ke-1. Afiff AZ, penerjemah; Afiff AZ. Rakhmat, Editor. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Marketing Management: Análisis, Planning, Implementation. Lindgreen A, Beverland M. 2004. Relationship Marketing: Fad or Panacea?.Journal of International Food & Agribusiness Marketing 16 (2) : 25-51. McCorriston S. 2001. Price transmission: the interaction between market power and returns to scale. European Review of Agricultura1 Economics. l28 (2): 143-159 Purwono J. 1993. Analisis Efisiensi Pemasaran Daging Sapi dan Kerbau di Wilayah Kotamadya Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahim A dan Hastuti DRD. 2007. Ekonomika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Riady M. 2004. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju 2020. Di dalam Setiadi B et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8-9 Okt 2004. Bogor. Pusat Penelitian Pengembnagan Peternakan. hml 3-6 Ruchjana BN. 1992. Model Ekonomimikro Penawaran dan Permintaan Daging Broiler di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Suatu Pendekatan Persamaan Simultan) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E. Saefulhakim S. Panuju D.R. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Syamsu JA. 2006. Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saragih B. 2000. Kumpulan Pemikiran Agibisnis Berbasis Peternakan. Bogor: PT. Loji Grafika Griya Sarana. Setyono DJ. 1995. Analisis Struktur dan Perencanaan Tata Ruang Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Simatupang P, Syafa’at N, Hadi PU. 2004. Arah dan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Peternakan di Indonesia. Di dalam: Budianto DA, et al. editor. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering; Waingapu, 23-24 Ags 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 38-55. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suhardjo H, Nugroho K, Priyono A. 1997. Evaluasi Sumber Daya Lahan untuk Menetapkan Arahan Kawasan Potensi Budidaya Pertanian di Provinsi Riau. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; Bogor, 4-6 Mar 1997. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian. hlm 49-69. Suharta N, Amien LI, Nugroho K. 1996. Pemanfaatan Database Tanah dan Agroklimat dalam Menunjang Pertanian Modern. Di dalam Karama AS et al. editor. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitan Tanah dan Agroklimat. Cisarua. 26-28 Sep 1995. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. hlm 11-20. Suratman, Ritung S, Djaenuddin. 1998. Potensi Lahan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Besar di Beberapa Provinsi di Indonesia. Di dalam Karama AS, editor. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Pedologi. Cisarua. 4-6 Mar 1997. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. hlm 169-182 Suratman, Tuherkih E, Purnomo J. 2003. Potensi Lahan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Berdasarkan Karakteristik Biofisik Lahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di dalam Mathius IW, et al. Penyunting. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29-30 Sep 2003. Bogor: Puslitbangnak, Balitbangtan. hlm 250-256. Syahyuti. 1999. Keragaan Subsistem Tata Niaga Peternakan di Indonesia : Suatu Analisis Sosiologis Pelaku Pemasaran Komoditas Peternakan. Wartazoa 8 (1):1-8. Tarigan R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Widyantoro, Prabowo A, Soerachman. 2004. Kelembagaan Pemasaran Ternak Sapi Potong Lokal di Lampung. Di dalam: Pasandaran, editor. Prosiding Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak; Bogor, 7 Okt 2004. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 405-415.
LAMPIRAN
93 Lampiran 1 Analisis daya dukung lahan sumber pakan ternak A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) No Kabupaten/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Luas Potensi Hijauan (Ha) Tanaman Padang Luas Rawa Pangan Rumput 782,00 42,00 351,00 10.608,00 1.347,00 7.875,00 960,00 12.907,00 37.838,00 4.104,00 25.536,00 17.910,00 575,00 39.075,00 8.612,00 377,50 13.745,00 80.362,00 22.389,00 2.986,00 16.487,00 11.468,00 1.146,00 42.811,00 3.825,00 5.333,00 40.151,00 179.371,00 15.362,50 214.869,00
Jumlah 1.175,00 11.955,00 21.742,00 67.478,00 57.560,00 8.989,50 94.107,00 41.862,00 12.614,00 46.636,00 45.484,00 409.602,50
Masing-masing jenis lahan dikalikan dengan koefisien daya tampung yaitu tanaman pangan 1,35 ST/Ha, padang penggembalaan 4 ST/Ha dan rawa 2 ST/Ha, sehingga diperoleh Kapasitas Tampung B. Kapasitas tampung lahan berpotensi hijauan (ST) No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Tanaman Pangan 1.063,52 14.426,88 10.710,00 51.459,68 24.357,60 11.712,32 18.693,20 30.449,04 15.596,48 58.222,96 7.252,88 243.944,56
Padang Rumput 168,00 5.388,00 3.840,00 16.416,00 2.300,00 1.510,00 11.944,00 4.584,00 15.300,00 61.450,00
Rawa 702,00 25.814,00 51.072,00 78.150,00 160.724,00 32.974,00 80.302,00 429.738,00
Jumlah 1.933,52 19.814,88 40.364,00 118.947,68 104.807,60 13.222,32 179.417,20 75.367,04 20.180,48 73.522,96 87.554,88 735.132,56
94
Lanjutan …….. C. Populasi ternak dalam ST existing tahun 2007 Populasi Dalam Satuan Ternak No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Sapi
Kerbau
Kambing
1.922,20 14.171,50 13.249,60 4.077,50 1.764,70 12.584,60 7.829,50 12.244,40 5.226,90 5.193,30 1.645,00 79.909,20
1.008,00 15.183,20 1.732,00 4,80 410,40 485,60 18.038,40 1.838,40 553,60 1.010,40 24,80 40.289,60
358,68 1.247,47 1.349,25 948,85 192,92 2.185,89 1.225,77 1.079,05 1.485,33 2.986,83 2.445,31 15.505,35
Total
Domba 10,80 34,64 17,76 120,16 262,88 446,24
3.288,88 30.602,17 16.341,65 5.065,79 2.385,78 15.256,09 27.093,67 15.282,01 7.528,71 9.190,53 4.115,11 136.150,39
Populasi ternak existing dalam ekor di konversi kedalam Satuan Ternak dan konversi : sapi 0,7 ST/ekor, Kerbau 0,8 ST/ekor, kambing 0,07 ST/ekor dan domba 0,08 ST/ekor D. Proporsi Ternak per kabupaten dan kota dalam ST No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Proporsi dalam ST Sapi
Kerbau Kambing
0,0141 0,1041 0,0973 0,0299 0,0130 0,0924 0,0575 0,0899 0,0384 0,0381 0,0121 0,5869
0,0074 0,1115 0,0127 0,0000 0,0030 0,0036 0,1325 0,0135 0,0041 0,0074 0,0002 0,2959
0,0026 0,0092 0,0099 0,0070 0,0014 0,0161 0,0090 0,0079 0,0109 0,0219 0,0180 0,1139
Domba 0,0001 0,0003 0,0001 0,0009 0,0019 0,0033
95
Lanjutan …….. E. Populasi potensial dalam ST Populasi Potensial per Kab Kota (ST) No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Sapi 10.378,76 76.517,82 71.540,10 22.016,12 9.528,35 67.949,49 42.274,73 66.112,61 28.222,21 28.040,79 8.882,04 431.462,99
Kerbau
Kambing
5.442,61 81.980,41 9.351,79 25,92 2.215,92 2.621,96 97.396,82 9.926,29 2.989,12 5.455,57 133,91 217.540,30
Domba
1.936,66 6.735,61 7.285,16 58,31 5.123,24 187,04 1.041,66 95,89 11.802,53 6.618,44 5.826,24 648,79 8.019,91 1.419,40 16.127,14 13.203,25 83.719,83 2.409,44
Populasi potensial di konversi ke dalam satuan ekor dengan konversi : sapi 0,7 ST/ekor, Kerbau 0,8 ST/ekor, kambing 0,07 ST/ekor dan domba 0,08 ST/ekor F. Populasi potensial dalam satuan Ekor Populasi Potensial per Kab Kota (ekor) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Sapi
Kerbau
Kambing
Domba
14.827 109.311 102.200 31.452 13.612 97.071 60.392 94.447 40.317 40.058 12.689 616.376
6.803 102.476 11.690 32 2.770 3.277 121.746 12.408 3.736 6.819 167 271.925
27.667 96.223 104.074 73.189 14.881 168.608 94.549 83.232 114.570 230.388 188.618 1.195.998
729 2.338 1.199 8.110 17.742 30.118
Total 17.758,03 165.233,84 88.235,36 27.352,31 12.881,82 82.373,97 146.289,99 82.513,93 40.650,64 49.623,49 22.219,19 735.132,56
Lampiran 2 Matrik aliran pemasaran komoditas sapi (ekor) Wilayah Tujuan Wilayah Asal Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Pekanbaru
1042 43
Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
34 524 268
2 396 1.815 50 114
7
28
647 790
Pelalawan
Siak
Kampar
Rokan Hulu
Bengkalis
79 112 158
Rokan Hilir
Dumai
11 136
203 1.222
371 120
1.604
198
1.024
93
2.377
1.444
566
724 373
1.301
1.233
914 730
1.644
278 132 104 63 577
256 110 377
186 23 26 110 218 563
Jumlah
133 2.210 2.931 840 345 1.222 2.764 1.246 158 470 391 12.710
96
Lampiran 3 Matrik aliran pemasaran komoditas kerbau (ekor) Wilayah Tujuan Wilayah Asal Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Pekanbaru
45 460
Kuantan Singingi
370 119
Indragiri Hulu
262 356
Indragiri Hilir
Pelalawan
Siak
Kampar
Rokan Hulu
Bengkalis
Rokan Hilir
Dumai
6 49 9
162 82
230
684 568
79 459
210 20
587
719
618
9
55
25 187
1.252
538
68 88
90 57 147
160 643 1.013
Jumlah
51 1.141 484 162 1.285 1.027 20 250 932 5.352
97
Lampiran 4 Matrik aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging (ekor) Wilayah Tujuan Wilayah Asal Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah
Pekanbaru
3.967.024
Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
42.592 248.262 47.650
114.500
195.500
36.083
229.500 15.302 345.631
286.576 3.245.890
588.618 56.330
87.417
Indragiri Hilir
Pelalawan
Siak
Kampar
645.870
960.000
233.981
272.200 10.439 543.830
1.427.972
Rokan Hulu
Bengkalis
240.000
300.000
100.000 700.000 1.282.574
200.000 800.000
Rokan Hilir
Dumai
71.980
200.000 867.800
17.600 15.200 355.784
288.000 7.499.490
394.834
826.618
1.019.914
960.000
1.472.339
1.427.972
2.322.574
1.588.000
1.067.800
871.800 1.332.364
Jumlah
5.577.466 248.262 313.233 15.302 2.470.625 525.639 8.319.004 1.282.574 288.000 871.800 19.911.905
98
Lampiran 5 Daftar infrastruktur peternakan per kabupatan/kota di Provinsi Riau Jumlah (unit) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Infrastruktur Poskeswan Pos Pelayanan IB/ULIB Pabrik/pengolahan pakan ternak (kosentrat) Lembaga/Unit pelatihan peternak Lembaga/Unit penyuluhan peternakan Lembaga/Unit pembibitan ternak lembaga/Unit pengembangan Hijauan Makanan Ternak Karantina ternak Rumah Potong Hewan (RPH) Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Holding Ground/Penampungan ternak Pasar Ternak Pasar (ada kegiatan penjualan/los daging) Pos lalu lintas ternak
Indragiri Indragiri Hulu Hilir 6 3 8 1
Kuantan Singingi 2 8
Siak
Bengkalis Pekanbaru
Kampar
8 6
4 4
2 1
7 4
Rokan Rokan Dumai Pelalawan Hulu Hilir 4 3 3 7 6 0 0 1
0
0
2
1
6
0
0
1
1
1
2
0 1 1
0 1 0
1 0 1
0 0 0
0 0 1
0 1 1
0 0 3
0 0 0
0 1 0
0 0 2
1 1 1
1
0
1
0
1
1
0
0
0
1
1
0 0 3 0 1 1
1 1 5 0 0 0
0 1 2 0 1 0
0 1 1 0 1 0
1 1 2 0 1 0
1 1 0 1 1 0
0 1 3 1 0 0
0 2 6 0 1 2
0 0 3 0 0 0
1 1 1 0 0 0
0 1 0 0 1 0
3
3
12
3
3
13
4
4
3
6
4
0
0
0
0
9
0
0
0
0
2
1
99