AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
PEMODELAN OPTIMASI MITIGASI RISIKO RANTAI PASOK PRODUK/KOMODITAS JAGUNG Optimization Model Of Corn Supply Chain Risk Mitigation Suharjito1,2, Machfud2, Bambang Haryanto1, Sukardi2, Marimin2 1)
Pusat Teknologi Agroindustri, BPP Teknologi, Gd. BPPT II, Lt.17, Jl. M.H. Thamrin No.8, Jakarta Pusat 10340; 2) Depatemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Kampus IPB Darmaga, P.O.Box 220, Bogor Email:
[email protected] ABSTRAK Selain lebih kompleks, rantai pasok produk pertanian juga bersifat probabilistik, dinamis dan kebergantungan yang tinggi. Hal ini terjadi karena produk pertanian bersifat mudah rusak, proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung musim, hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani. Tingginya tingkat kebergantungan dan kompleksitas dari jaringan rantai pasok produk pertanian menjadikan rantai pasok lebih rentan terhadap gangguan. Risiko ganguan rantai pasok dapat terjadi secara internal (relasi antara organisasi dengan jaringan pemasok) dan eksternal (antara jaringan pemasok dengan lingkungannya). Oleh karena itu perlu pengendalian risiko rantai pasok agar dapat menghindarkan akibat berkelanjutan yang dapat terjadi pada setiap titik dalam jaringan pasokan. Tujuan dari kajian ini adalah menjelaskan suatu model evaluasi dan manajemen risiko rantai pasok produk pertanian. Hasil validasi model dapat mengidentikasi risiko setiap tingkatan rantai pasok dan memberikan usulan tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risikonya. Nilai indeks risiko pada tingkat petani sebesar 26 % yang lebih tinggi daripada risiko pada tingkat pengumpul (8,78 %) dan distributor (8,31 %). Model dapat mengoptimalkan jadwal tanam petani untuk mengurangi risiko pasokan dan harga, selain itu juga telah dimodelkan optimasi pemilihan pemasok pada tingkat pengumpul dan distributor dengan pertimbangan minimalisasi risiko dan optimalisasi keuntungan. Kata kunci: Evaluasi risiko, manajemen rantai pasok, risiko pasokan komoditas jagung. ABSTRACT Besides more complexes, the agricultural product supply chain also was probabilistic, dynamic and higher dependencies. This happened because of the agricultural product was easy broken, the process of planting, the growth and the harvesting depended the season, the yield had variety form and measurement, and the agricultural product was bulky so that the agricultural product was difcult to be handled. The height of the dependency level and the complexity from the supply chain network of the agricultural product made this chain to be more susceptible to the disturbance. The risk of failure for the supply chain could be happen internally (the relations between the organization and the network of the supplier) and externally (between the network of the supplier and its environment). Therefore, the needs for supply chain risk management to avoid a result that can continuously occur at any point in the supply network. The purpose of this study was to describe a model of evaluation and risk management supply chain of agricultural products. Model could identify risks of every level of supply chain and provide solutions that can be done to minimize them. The index value of risk on farm level was 26 % higher than the risk at the level of collector (8.78 %) and distributors (8.31 %). The model can optimize farmers’ planting schedules to reduce supply risk and price, while also optimizing the selection of suppliers at the level of collectors and distributors with the consideration of minimizing risk and optimizing prots. Keywords: Risk evaluation, supply chain management, corn supply risk commodity
215
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem ketahanan pangan adalah dengan mendesain sistem industrialisasi pertanian pangan yang mampu menghasilkan produk pangan dengan nilai tambah tinggi bagi petani, menjamin kelancaran pasokan pangan, terkendali tingginya mutu dan terjaminnya keamanan produk pangan dan terjangkaunya harga produk pangan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan strategi pengelolaan rantai pasokan (supply chain management) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasok baik secara vertikal maupun horizontal (Apriantono, 2005). Sejumlah permasalahan yang menyebabkan melemahnya ketahanan pangan saat ini dapat diidentikasi yaitu konversi lahan pertanian, menurunnya produktitas pertanian, sarana dan prasarana pertanian yang tidak memadai, lemahnya kelembagaan (regulasi dan infrastruktur), serta sistem pemasaran dan rantai pasokan yang tidak terkendali. Khusus pada sebab permasalahan terakhir, adanya kesenjangan informasi antara konsumen dan produsen menyebabkan terjadinya distorsi pada aspek distribusi dan aksesibilitas ketahanan pangan. Distorsi inilah memunculkan sejumlah persoalan tidak lancarnya pasokan bahan pangan, tidak proporsionalnya pembagian risiko, nilai tambah dan keuntungan antar pelaku, rendahnya mutu dan keamanan produk pangan, tidak esiennya biaya sepanjang rantai pasokan serta melonjaknya harga produk pangan. Petani, sebagai penyedia bahan baku adalah pelaku utama yang menderita kerugian dalam distorsi tersebut, yaitu menanggung porsi risiko yang lebih besar dan menerima porsi keuntungan dan nilai tambah yang lebih kecil (Arin, 2001). Menurut Kersten dkk. (2007), risiko rantai pasok didenisikan sebagai: kerusakan yang dikaji dengan kemungkinan terjadinya yang disebabkan oleh suatu kejadian atau tindakan dari sebuah perusahaan pada suatu tingkatan rantai pasok atau lingkungannya menimbulkan pengaruh negatif terhadap proses bisnis pada lebih dari satu perusahaan dalam jaringan rantai pasok tersebut. Risiko dalam rantai pasok dapat diakibatkan dari satu perusahaan dalam rantai pasok, atau keterhubungan antar organisasi dalam jaringan pasokan, atau antar jaringan pasokan dan lingkungannya, yang akan menyebabkan kerugian nansial secara menyeluruh atau bahkan mengakibatkan berhentinya kegiatan bisnis. Oleh karena itu perlu pengendalian risiko rantai pasok agar dapat menghidarkan akibat berkelanjutan yang dapat terjadi pada setiap titik dalam jaringan pasokan (Karningsih dkk. 2007).
216
Beberapa kajian manajemen risiko yang telah dilakukan antara lain adalah untuk memilih sumber pasokan dengan risiko minimum dengan menggunakan AHP (Wu dkk, 2006) dan Schoenherr, dkk. (2008). Selain itu Karningsih dkk. (2007) telah membuat model basis pengetahuan untuk menajemen risiko suatu perusahaan manufaktur dengan konsep manajemen risiko dari Zsidisin, (2003) dan Tang (2006). Sedangkan beberapa model optimisasi manajemen rantai pasok dengan pertimbangan risiko telah dimodelkan oleh Nagurney dkk, (2005), Xiaohui, Wu dkk. (2006), Li & Hong. (2007) dan Lee (2008). Tetapi model-model risiko tersebut belum ada yang memodelkan risiko rantai pasok produk atau komoditas pertanian khususnya jagung. Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin, 1992; Brown, 1994). Sehingga risiko dalam rantai pasok produk pertanian lebih tinggi dan bersifat probabilitik. Oleh karena itu perlu model manajemen risiko rantai pasok produk atau komoditas pertanian yang perlu mempertimbangkan sifat-sifat tersebut agar diperoleh suatu kinerja rantai pasok yang optimal untuk mendapatkan kontinuitas pasokan dan kualitas produk. Tujuan dan Manfaat Secara umum tujuan kajian ini adalah dirumuskannya suatu model pengukuran risiko rantai pasok produk pertanian pada setiap tingkatan jaringan rantai. Kemudian hasil pengukuran risiko tersebut dapat digunakan oleh pelaku rantai pasok produk pertanian untuk mengoptimalkan tindakan yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat risiko yang dihadapi. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari kajian ini adalah: 1. Diperoleh suatu model pengukuran risiko setiap pelaku jaringan rantai pasok produk pertanian tanaman pangan. 2. Diperoleh suatu strategi dan tindakan penanganan risiko rantai pasok produk pertanian khususnya jagung. 3. Memberikan gambaran pengukuran risiko rantai pasok komoditas jagung terhadap petani, pengumpul dan distributor. Ruang Lingkup Kajian Ruang lingkup dari kajian ini dibatasi pada evaluasi risiko rantai pasok komoditas jagung, mulai dari petani sebagai produsen jagung, kemudian pengumpul dan distributor sebagai pemasok jagung pada industri pangan
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
atau pakan. Evaluasi risiko dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko pada setiap pelaku rantai pasok, kemudian dari indek resiko yang diperoleh ini digunakan sebagai input untuk menagemen risiko dalam memilih tindakan yang tepat yang perlu dilakukan setiap pelaku untuk mengoptimalkan keuntungan. Beberapa jenis risiko yang dievaluasi merupakan risiko yang sangat dominan yang akan mempengaruhi kinerja pada suatu tingkatan rantai pasok komoditas jagung, karena jenis risiko pada satu tingkatan berbeda dengan jenis risiko pada tingkatan yang lain. Model pengukuran indek risiko mengadopsi model pengukuran risiko dari Neureuther & Kenyon (2008) dan model optimasi menggunakan pendekatan model dari Nagurney dkk. (2005), dengan beberapa penyesuaian. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Risiko Rantai Pasok Akhir-akhir ini, banyak perusahaan sudah mengkaji bahwa disamping risiko tradisional yang muncul dalam aktitas bisnisnya, ada risiko baru yang bersumber dari kolaborasi yang ketat dalam jaringan rantai pasok (Giunipero dan Eltantawy, 2004). Dalam terori keputusan tradisional, risiko didenisikan sebagai variasi pada distribusi hasil potensial, kemungkinan kejadian dan nilai subjektifnya (Arrow, 1965). Oleh karena itu, risiko bisa mengindikasikan deviasi positif dan negatif dari hasil yang diharapkan. Akan tetapi, sebuah kajian empiris oleh March dan Shapira menunjukan bahwa risiko sering menurun pada komponen yang negatif dalam bisnis praktis, sedangkan deviasi positif dianggap sebagai kesempatan. Hal yang sama risiko dapat didenisikan sebagai hasil dari kejadian negatif yang mempunyai kemungkinan terjadi dan menghasilkan sejumlah kerusakan (March dan Shapira, 1987). Berkaitan dengan jaringan rantai pasok dan berdasarkan pada denisi umum dari March dan Shapira, Risiko rantai pasok dapat didenisikan sebagai: kerusakan yang dikaji dengan kemungkinan terjadinya yang disebabkan oleh suatu kejadian dalam sebuah perusahaan, dalam rantai pasok atau lingkungannya menimbulkan pengaruh negatif terhadap proses bisnis pada lebih dari satu perusahaan dalam rantai pasok (Kersten dkk, 2007). Peningkatan tingkat kebergantungan dan kompleksitas dari jaringan rantai pasok saat ini menjadikan rantai pasok secara keseluruhan saat ini menjadi lebih rentan terhadap gangguan. Setiap gangguan yang terjadi dalam salah satu pemain rantai pasok dapat mempengaruhi jaringan rantai pasok secara keseluruhan seperti berhentinya arus informasi dan sumber daya dari hulu ke hilir dalam rantai pasok
dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Oleh karena itu risiko dalam rantai pasok dapat didenisikan sebagai terganggunya arus informasi dan sumberdaya dalam jaringan rantai pasok karena adanya penghentian dan variasi yang tidak pasti (Jüttner dkk, 2003) dan sumber/faktor dari risiko disebabkan oleh risiko yang tidak dapat diramalkan secara pasti (Niwa, 1989). Manajemen risiko rantai pasok oleh Chapman dkk. (2002) didenisikan sebagai identikasi dan manajemen risiko dalam rantai pasok dan risiko ekternalnya melalui pendekatan koordinasi di antara anggota rantai pasok untuk mengurangi terganggunya rantai pasok secara keseluruhan. Manajemen risiko rantai pasok berfokus pada bagaimana memahami dan menanggulangi pengaruh berantai ketika suatu kecelakaan yang besar atau kecil terjadi pada suatu titik dalam jaringan pasokan. Selanjutnya hal yang paling penting adalah memastikan bahwa ketika gangguan terjadi, perusahaan mempunyai kemampuan untuk kembali kepada keadaan normal dan melanjutkan bisnisnya. Secara umum, proses manajemen risiko rantai pasok terdiri dari identikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko dan mitigasi risiko. Identikasi risiko disarankan sebagai tahapan fundamental dalam proses manajemen risiko (Zoysa & Russell, 2003; Hallikas dkk, 2004; Norrman & Lindroth, 2004). Kebanyakan risiko potensial, tidak hanya dalam organisasi tetapi juga antar anggota jaringan pasokan dan antar jaringan pasokan dan lingkungannya harus diidentikasi. Risiko yang tidak teridentikasi dapat menyebabkan kesalahan arah dalam proses manajemen risiko rantai pasok (seperti: pembuatan rencana mitigasi risiko), menimbulkan tidak tepatnya atau tidak sesuainya strategi untuk mengendalikan risiko-risiko ini dan hal ini dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar. Evaluasi Risiko Rantai Pasok Dua metode utama untuk mengukur risiko rantai pasok adalah metode pengukuran risiko berdasarkan pendapat pakar dan metode pengukuran risiko secara statistik (Klimov & Merkuryev, 2006). Menurut Agarwal (2005), telah lama suatu perusahaan mendesnisikan, memprioritaskan, memitigasi dan mengaudit risiko dengan bantuan pakar dengan pendekatan pengukuran secara subyektif. Sedangkan pengukuran dengan pendekatan statistik terbukti lebih bersifat obyektif dan lebih efektif dengan kerangka kerja berdasarkan simulasi dari probabilitas kejadian risiko dan dampak risiko sebagai variabelnya. Pengukuran risiko secara statistik biasanya berdasarkan pada nilai rata-rata, tingkat simpangan, tingkat probabilitas, koesien risiko dan skala risiko, sehingga muncul suatu nilai ukuran Value at Risk (VaR) pada pengukuran risiko keuangan, Inventory at Risk
217
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
(IaR) dalam penggudangan, dan Demand at Risk (DaR) sebagai pendekatan yang serupa (Sodhi, 2005. dalam Klimov & Merkuryev, 2006). Value at Risk (VaR) biasanya digunakan untuk mengukur risiko suatu investasi yang sudah diketahui distribusi probabilitasnya adalah normal. Dengan mengetahui nilai risiko (Value at Risk) suatu investasi maka investor dengan mudah dapat memperkirakan kemungkinan nilai risiko yang akan ditanggung jika suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi dengan tingkat kepercayaan tertentu. Untuk menghitung Value at Risk (VaR) digunakan rumus sebagai berikut:
r
(1)
1.65 * Oˆ Pˆ
(2)
V0 1 e
r
Dimana: Vo = Nilai investasi awal λˆ = Perkiraan nilai simpangan baku investasi μˆ = Perkiraan nilai rata-rata investasi
n
¦E
i
Pri
(3)
i 1
Dimana: Ê = Nilai keuntungan yang diharapkan Ei = Nilai keuntungan pada tahun ke -1 Pri = Probabilitas dari kejadian hasil tahun ke-1 n = Jumlah hasil yang dipertimbangkan Standar deviasi dari nilai Keuntungan dengan rumus: Oe
n
¦ Ei Eˆ i 1
2
Pri
Dimana: Ê = Nilai keuntungan yang diharapkan
218
λe
Oe Eˆ
(5)
Dimana: CV = Koesien variasi Ê = Nilai keuntungan yang diharapkan λe = Standar deviasi dari nilai keuntungan Tata Niaga Komoditas Jagung
Selain itu Risiko nansial dapat dinilai dengan menggunakan (1) distribusi probabilitas yaitu model yang menghubungkan berbagai probabilitas terhadap masing-masing hasil tertentu, (2) analisa sensititas yaitu pendekatan yang menggunakan beberapa kemungkinan taksiran pendapatan untuk mengetahui variabilitas hasil dengan mengestimasi tingkat pengembalian dari aktiva atau tingkat keuntungan yang diperoleh yang bersifat pesimistik, yang diharapkan dan optimistic (Sunjaya dan barlian, 2001 dalam Santoso, 2005) Risiko suatu aktiva dapat diukur secara kuantitatif dengan menggunakan standar deviasi dan koesien variasi. Standar deviasi merupakan indikator yang paling umum dari risiko suatu aktiva. Nilai tingkat keuntungan yang diharapkan Ê dihitung dengan rumus:
Eˆ
Koesien variasi yaitu pengukuran dispersi relatif untuk membandingkan risiko dari aktiva dengan berbagai harapan tingkat keuntungan yang berbeda. Semakin tinggi koesien variasi, maka semakin besar tingkat risikonya. Koesien variasi dihitung dengan rumus:
CV
VaR
Ei = Nilai keuntungan pada tahun ke -1 Pri = Probabilitas dari kejadian hasil tahun ke-1 n = Jumlah hasil yang dipertimbangkan. λe = Standar deviasi dari nilai keuntungan.
dinyatakan
(4)
Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku utama industri pakan serta industri pangan. Selain itu, pentingnya peranan jagung terhadap perekonomian nasional telah menempatkan jagung sebagai kontributor terbesar kedua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Di Indonesia, jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi 18 tahun yang lalu menunjukkan bahwa sekitar 79 % areal pertanaman jagung terdapat pada lahan kering, 11 % pada lahan sawah irigasi, dan sisanya (10 %) pada lahan sawah tadah hujan (Mink dkk. 1987). Diperkirakan saat ini areal pertanaman jagung pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan meningkat masingmasing menjadi 10-15 % dan 20-30 %, terutama pada daerah produksi jagung komersial (Kasryno, 2002). Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Di Indonesia, pada tahun 2000, pemanfaatan jagung sebesar 50 % untuk bahan makanan dan industri pangan, sedangkan 50% lagi untuk industri pakan. Kecenderungan proporsi tersebut akan berubah pada tahun 2020 di mana industri pakan memerlukan jagung sekitar 76,2% (Kasryno, 2006). Produktivitas jagung di Indonesia masih sangat rendah, baru mencapai 3,47 t/ha pada tahun 2006, namun cenderung meningkat dengan laju 3,38 % per tahun. Masih rendahnya produktivitas menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung belum optimal. Dalam periode
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
1990- 2006, produksi jagung rata-rata 9,1 juta ton dengan laju peningkatan 4,17 % per tahun. Terindikasi bahwa peningkatkan produksi jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh perbaikan produktivitas daripada peningkatan luas panen (laju peningkatan 0,96 %), (Zubachtirodin dkk. 2007). Peningkatan produksi jagung di Indonesia belum diikuti oleh penanganan pascapanen yang baik. Petani kurang mendapatkan informasi tentang kegiatan panen dan pascapanen yang dapat mengurangi biaya dan menekan susut mutu jagung. Karena itu, petani di beberapa wilayah pengembangan jagung masih belum merasakan nilai tambah dengan meningkatnya kualitas produk biji jagung (Firmansyah 2006). Berdasarkan data perkembangan harga jagung, pada bulan September-November merupakan puncak harga jual tertinggi. Pada bulan September-Desember, kebutuhan (konsumsi) lebih besar dibanding produksi, yang menyebabkan harga jagung naik. Periode tersebut merupakan puncak paceklik, sehingga harga jagung tinggi. Dalam periode Januari-April, produksi lebih tinggi dari kebutuhan sehingga terjadi kelebihan produksi, yang menyebabkan harga jagung cenderung rendah (Nadjamuddin dan Noor 1997). Petani umumnya menjual hasil jagung hanya ke pedagang pengumpul atau ke pasar (pedagang penyalur kota atau pengecer di pasar umum). Dengan demikian, harga yang diterima petani relatif rendah dan uktuatif. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi petani, sebab tidak adanya jaminan harga yang layak. (Sarasutha, dkk. 2007). Alur tataniaga jagung dapat diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 2.
Areal tanam dan panen bulanan jagung di Indonesia (Suryana & Hermanto 2006)
Dari Gambar 2 terlihat bahwa pola tanam jagung tidak merata sepanjang tahun sehingga kemungkinan terjadinya anjlok harga sangat tinggi pada musim panen raya. Oleh karena itu perlu adanya penjadwalan tanam jagung agar diperoleh kestabilan harga dan kontinuitas produk. Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani masih beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semi komersial, komersial), kondisi kesuburan tanah, risiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penyebaran penggunaan varietas pada tahun 2005 adalah 22 % hibrida, dan selebihnya komposit (unggul dan lokal). Angka ini masih di bawah Thailand yang telah menggunakan benih jagung hibrida hingga 98 %, sedangkan Filipina sudah menggunakan benih hibrida 65 %. Masih mahalnya benih hibrida dan pertimbangan risiko yang dihadapi, cukup banyak petani yang menanam benih hibrida turunan (F2). Pemakaian benih hibrida merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan produksi jagung (Sarasutha, dkk. 2007). METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Alur tataniaga jagung, (Sarasutha, dkk. 2007)
Pola tanam jagung di Indesia secara garis besar dapat dijelaskan dengan Gambar 2.
Dalam kajian ini dievaluasi risiko setiap tingkatan rantai pasok produk/komoditas jagung dengan pendekatan tingkat probabilitas kejadian risiko yang dapat mengganggu kelancaran pasokan. Untuk melakukan evaluasi perlu diidentikasi faktor risiko dan sumber risiko yang mungkin terjadi, identikasi dilakukan berdasarkan hasil studi pustaka rantai pasokan jagung dan risiko rantai pasok dalam bidang manufaktur. Hasil evaluasi risiko tersebut kemudian sebagai input dalam pemodelan mitigasi risiko dengan tujuan minimalisasi risiko dan maksimalisasi keuntungan pada
219
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
setiap tingkatan rantai pasok. Kerangka pikir dari kajian ini dapat dijelaskan dengan Gambar 3. Mulai
Disain rantai pasok Analisa risiko setiap tingkatan Evaluasi risiko Tingkat risiko Pemodelan manajemen risiko setiap tingkatan rantai pasok
Nilai risiko tersebut kemudian digunakan untuk mengukur tingkat kerugian yang akan diterima dengan mengaplikasikan model Value at Risk. Nilai ini kemudian dijadikan input model optimisasi keuntungan yang akan diterima oleh setiap pelaku rantai pasok. Model optimisasi yang digunakan dalam kajian ini merupakan model hasil modikasi model yang dikembangkan oleh Nagurney dkk. (2005). Kemudian model diuji dengan bantuan software ExcelSolver untuk mendapatkan nilai optimasi yang diharapkan, dengan input data yang diperoleh dari kajian literatur dan survai lapang. HASIL DAN PEMBAHASAN
Simulasi dan Validasi model Tidak
Valid? Ya Rekomendasi
Rantai Pasok Jagung Berdasarkan hasil studi pustaka dan keadaan yang sering terjadi di lapangan serta berdasarkan pada kajian Sarasutha dkk. (2007), maka rantai pasok komoditas jagung dapat dimodelkan dengan Gambar 4.
Gambar 3. Kerangka Pikir Kajian
Kajian ini dilandasi dengan kerangka pikir pembuatan model manajemen risiko rantai pasok komoditas jagung. Untuk dapat membuat model pengukuran risiko rantai pasok tersebut akan digunakan model-model yang sudah dikembangkan oleh Neureuther & Kenyon (2008) untuk mengukur tingkat risiko dari setiap tingkatan rantai pasok, dengan input model data probabilitas kejadian yang dapat diperoleh dengan model variabilitas dan model risiko nansial yang telah digunakan oleh Santoso (2005) dan Klimov & Merkuryev (2006). Kemudian hasil dari model ini digunakan untuk membuat model optimisasi keuntungan dari pelaku rantai pasok dengan mengadopsi model yang dikembangkan oleh Nagurney dkk. (2005). Tata Laksana Tata laksana kajian ini dilakukan dengan survei dan studi pustaka untuk mengetahui tata niaga tanaman pangan khususnya komoditas jagung. Dari hasil survai ini kemudian dibuat diagram pemetaan rantai pasok dan kendala setiap pelaku dalam pelaksanaan pemenuhan permintaan konsumen. Kemudian dibuat rancangan rantai pasok ideal dengan perhatian pada kendala dan risiko yang mungkin terjadi dalam setiap tindakan. Analisa risiko dilakukan pada kegiatan kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan akan menimbulkan kerugian secara nansial. Hasil analisa kemudian dibuatkan model evaluasi risiko sehingga diperoleh nilai tingkat risiko setiap pelaku rantai pasok.
220
F1
C1
D1
F2
C2
D2
Fp
Cm
Dn
Dinama: Fi = Petani (Farmer) jagung dengan jumlah p Cj = Pengumpul (collector) dengan jumlah m Dk = Distributor antar pulau dan antar propinsi dengan jumlah n. Dalam rantai pasok tersebut risiko yang sering dihadapi petani jagung adalah penggunaan varietas jagung yang masih menggunakan varietas lokal yang mempunyai tingkat produktitas rendah, penanganan paska panen yang kurang baik sehingga menurunkan kualitas dan jadwal tanan yang tidak tepat sehingga pada waktu panen raya harga jagung merosot tajam (Kasryno, 2006). Sedangkan risiko yang sering dihadapi oleh pedagang pengumpul atau kolektor adalah rendahnya mutu jagung karena kebanyakan jagung dipanen pada musim penghujan sehingga proses pengeringannya tidak sempurna dan menyebabkan tumbuhnya jamur. Disamping itu risiko yang dihadapi adalah biaya penyimpanan dan pengeringan tambahan untuk mendapatkan kualitas yang sesuai standard (Kusumaningrum, 2008).
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
Adapun dari sisi distributor risiko yang akan dihadapi terutama dalam kajian ini adalah risiko turunnya kualitas jagung karena penyimpanan dan karena pengangkutan disamping kendala transportasi dan distribusi ke pihak konsumen yaitu pabrik pakan dan pabik pangan. Model Evaluasi Risiko Model evaluasi risiko rantai pasok yang diusulkan Neureuther & Kenyon (2008), untuk mengetahui risiko yang berkaitan dengan kegagalan rantai pasok dalam menghasilkan produk yang dijanjikan, struktur dari rantai pasok tersebut beserta dengan produk bagiannya dalam struktur perlu dievaluasi. Nilai risiko ini disebut sebagai konsekuensi risiko () yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D
G replace G collapse
(6)
Dimana: δreplace = Waktu yang diperlukan suatu rantai pasok untuk menggantikan suatu sub-produk atau, waktu yang diperlukan untuk menangani ganguan dari suatu arus produk, dan mengembalikan pada kondisi penjadwalan normal dengan tingkat kualitas yang sama. δcollapse = Waktu dari suatu sub-produk gagal diselesaikan sebelum rantai pasok menderita kerugian pada suatu titik kritis pada pelayanan pasarnya. = Konsekuensi risiko dari suatu produk dalam rantai pasok. Dalam kajian ini, nilai konsekuensi dapat diklasikasikan sebagai vital, diperlukan dan diinginkan, sebagaimana dapat diperlihatkan pada Tabel 1. Sebuah konsekuensi bernilai penting (vital) diberikan pada sub-produk jika tidak terdapat pengganti pada barang ini, jika barang tersebut tidak ada maka rantai pasok tidak dapat menghasilkan produk yang dimaksud. Suatu nilai konsekuensi diperlukan (necessary) diberikan pada sub-produk yang mempunyai penggantinya, tetapi penggunaannya akan mengurangi fungsionalitas dan kualitas dari produk yang dihasilkan rantai pasok. Penggunaan dari barang substitusi dari produk dapat menimbulkan perancangan ulang terhadap rantai pasok produk atau jasa tersebut. Suatu nilai konsekuensi diinginkan (desired) diberikan pada sub-produk dimana pengantian dari barang atau penggunaannya tidak memerlukan perancangan ulang atau mengurangi fungsionalitas atau kualitas dari produk yang dihasilkan rantai pasok.
Tabel 1. Nilai konsekuensi risiko Konsekuensi
Keterangan
Penting Dibutuhkan Diperlukan Diinginkan
Tidak tergantikan Tidak mudah digantikan Mudah digantikan Mudah digantikan
α 1.0 0.6 0.3 0.1
Kemudian model yang diusulkan untuk mengukur indek risiko rantai pasok pada setiap tingkatan pelaku adalah: §
n
·
©
i 1
¹
D x E x ¨¨1 1 Psˆ xi ¸¸
RI x
(7)
Dimana: RIx = Indek risiko rantai pasok tingkat ke-x. x = Konsekuensi dari rantai pasok yang harus ditanggung pelaku pada tingkat ke-x ketika produk gagal dipasok. βx = Persentase nilai tambah yang diberikan oleh pelaku rantai pasok pada tingkat ke-x P(xi) = Probabilitas kegagalan komponen ke-i dari pelaku tingkat ke-x. Nilai indek risiko berada pada nilai antara nol dan satu. Indeks risiko bernilai nol jika pelaku rantai pasok tidak mempunyai risiko sama sekali, sedangkan nilai risiko sama dengan satu artinya pelaku rantai pasok tersebut sangat berperan dalam kelancaran rantai pasok, atau jika terjadi masalah pada tingkatan ini maka rantai pasok secara keseluruhan akan terganggu. Hasil perhitungan dari model ini dengan digabung dengan perhitungan value at risk kemudian digunakan untuk menilai biaya risiko yang terjadi dan dijadikan sebagai input model optimasi keuntungan. Kemudian model optimasi keuntungan dengan pertimbangan minimisasi risiko pada setiap tingkatan rantai pasok digunakan model modikasi dari Nagurney dkk. (2005) yaitu: n
n
i =1
i =1
∑ Qi Pi − Fx − ∑ Ci Qi − Rx (Q )
Max Z =
(8)
dengan kendala: Qi 0, 1 i n m
∑F
x
≤F
x =1 n
∑C Q i
i
≤C
(9) (10)
i =1
Dimana: Qi = Jumlah unit produksi Pi = Harga jual produk
221
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
= Investasi per kegiatan proyek Fx = Biaya penanganan setiap unit produk Ci Rx(Q) = Estimasi biaya menanggung risiko F = Total investasi yang disediakan C = Biaya operasional yang dianggarkan
i I
(14)
nilai biner yaitu nol atau satu sedangkan variabel yang lain nilainya bisa diskrit atau kontinyu. Contoh variabel yang bernilai kontinyu adalah variabel Ri yaitu persentase risiko dan Di yaitu nilai diskon dimana nilai varibel ini berada pada rentang antara nol dan satu sedangkan variabel yang bernilai diskrit yaitu total kuantitas (Qi) yang merepresentasikan jumlah produk yang diproduksi atau dipanen pada bulan ke i. Untuk membuat model penjadwalan dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan, maka beberapa parameter yang perlu diperhatikan adalah biaya tetap, biaya variabel, harga produk, kuantitas produk, estimasi bunga bank untuk menghitung nilai uang saat ini, biaya tak terduga dan jadwal terpilih. Biaya tetap yang diperhitungkan dalam kasus ini meliputi biaya sewa lahan, biaya depresiasi dan kontrak kerjasama. Sedangkan biaya variabel meliputi biaya tenaga kerja, biaya penyediaan benih unggul, biaya pemupukan dan biaya operasional peralatan termasuk biaya transportasi dan komunikasi. Biaya-biaya tersebut diperhitungkan per hektar lahan, sehingga kuantitas produk yang dihasilkan dapat diestimasi untuk satuan hektar dengan menggunakan nilai produktitas lahan dari suatu varietas jagung. Sedangkan nilai harga ditentukan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh pada suatu periode tanam masa lalu dengan mengacu pada penelitian dari Zubachtirodin dkk. (2007).
i I
(15)
Analisis Risiko Tingkat Petani
i I
(16)
Risiko yang sering dihadapi petani jagung adalah penggunaan varietas benih yang kurang baik sehingga tingkat kecambah dan tingkat produktitasnya rendah. Menurut Sarasutha dkk. (2007), probabilitas penggunaan jagung hibrida adalah 22 %, oleh karena itu kemungkinan petani masih menggunakan jagung dengan bibit tidak berjenis unggul adalah 78 %. Selain itu risiko kerusakan jagung pipilan pada petani akibat pemipilan jagung pada kadar air 30 % adalah 15 %-20 %. Sedangkan harga jagung pada musim panen raya rata-rata turun sebesar 25 % sehingga kurang menguntungkan bagi petani. Dari hal-hal tersebut dapat diperoleh probabilitas risiko yang diderita petani untuk setiap kategori risiko yang dapat diperlihatkan dengan Tabel 2.
Dalam model optimasi ini semua unit dikonversi kenilai nansial agar memudahkan perhitungan untuk mengoptimalkan keuntungan dengan kriteria jamak (maksimumkan prot dan minimumkan risiko) dikonversi menjadi fungsi optimasi dengan kriteria tunggal (maksimumkan keuntungan). Model yang diusulkan untuk mendapatkan jadwal optimal dengan fungsi obyektif maksimalisasi keuntungan adalah sebagai berikut: 12
¦ Q P Bt
Max Z
i
i
i
Bvi Ri Qi Pi S i Di
(11)
i 1
dengan pembatas: 12
¦ Bt S i
i
d BT
(12)
d BV
(13)
i 1 12
¦ Bv S i
i
i 1
S i ^0,1` Qi t 0
dan Pi t 0
Ri , Di >0,1@
Dimana: I = Himpunan bulan yang akan dialokasikan sebagai jadwal panen jagung yaitu 1..12 Qi = Kuantitas atau jumlah produksi per hektar yang dipanen pada bulan ke-i Pi = Harga produk per kg yang diproduksi pada bulan panen ke-i Bti = Biaya tetap yang diperlukan untuk dapat melakukan panen pada bulan ke-i Bvi = Biaya variabel yang diperlukan agar dapat melakukan panen bulan ke-i Ri = Biaya tak terduga yang diperlukan pada bulan ke-i dalam persen yang merepresentasikan biaya untuk mengantisipasi risiko panen bulan ke-i Di = Nilai diskon yang diberikan untuk melakukan panen bulan ke-i Si = Variabel bernilai biner yang berkaitan dengan pemilihan bulan panen yang terpilih dengan nilai sama dengan 1 jika terpilih dan sama dengan nol jika tidak terpilih. Model di atas merupakan model MILP (Mixed Integer Linear Programming) karena ada parameter model mempunyai
222
Tabel 2. Jenis risiko petani jagung Jenis Risiko Petani
P(x)
Produktitas rendah karena tidak menggunakan benih unggul
78%
Kerusakan akibat pasca panen karena kurang kering Salah masa tanam sehingga pada saat panen harga turun
20% 25%
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
Nilai konsekuensi () dari petani adalah necessary (0.6), karena penggunaan jagung untuk pakan atau pangan tidak mudah digantikan dan jika digantikan akan mempengaruhi fungsionalitas produk pakan atau pangan. Nilai tambah jagung untuk produk pangan adalah 50 % karena dalam rantai pasok untuk produk pakan diperlukan jagung tidak kurang dari 50 %. Dari nilai-nilai tersebut maka dengan menggunakan rumus (7) diperoleh nilai indek risiko pada tingkat petani dalam jaringan rantai pasok sebesar 0,26 atau 26 %. Selanjutnya akan dijelaskan perhitungan pemilihan masa tanam yang optimal bagi petani menggunakan rumus (11) dengan mempertimbangkan tingkat risiko panen raya yang menimbulkan harga jagung turun. Beberapa komponen nilai yang diperlukan untuk mengoptimalkan keuntungan dengan jadwal panen yang sesuai adalah: modal yang akan dialokasikan untuk setiap penanaman, biaya operasi yang digunakan dalam setiap siklus tanam, perkiraan pendapatan petani dan indek risiko pada setiap siklus tanam. Kemudian kendala atau keterbatasan yang digunakan untuk memilih jadwal optimal adalah total investasi yang akan dialokasikan dan total biaya operasi yang akan digunakan. Nilai-nilai tersebut dapat diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Input pemilihan jadwal tanam Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Modal (Rp.000) 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000
B. Operasi (Rp.000) 4500 4500 4500 5000 5000 5000 5000 5000 5000 4500 4500 4500
Penerimaan (Rp.000) 14000 14000 14000 14000 15000 15000 15000 15000 16000 16500 17000 15500
Risiko (%) 17 17 16 15 15 15 16 16 17 20 20 20
Nilai-nilai risiko tersebut didasarkan pada musim hujan yang dapat menurunkan kualitas karena pengeringan kurang optimal serta bulan-bulan dimana terjadi penurunan harga jagung yang cukup tajam karena kelangkaan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2. Untuk memilih waktu tanam yang tepat dimisalkan modal yang dialokasikan sebesar Rp.25 juta dan juga biaya operasional yang disediakan adalah Rp.25 juta. Dengan menggunakan software excel-solver akan diperoleh keuntungan maksimum sebesar Rp.26.900 ribu, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil solver jadwal tanam optimal Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Modal (Rp.000) 0 0 0 0 5000 0 0 0 5000 5000 5000 5000 25000
B. Operasi (Rp.000) 0 0 0 0 5000 0 0 0 5000 4500 4500 4500 23500
Keuntungan (Rp.000) 0 0 0 0 4250 0 0 0 5150 6000 6500 5000 26900
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa untuk mendapatkan keuntungan optimum, jadwal panen yang sebaiknya dilakukan adalah pada bulan Mei, dan antara bulan September dan desember. Sehingga dengan perkiraan masa tanam jagung selama 3 bulan maka masa tanam optimal sebaiknya dilakukan pada bulan Februari dan bulan Juni. Dalam implementasi model ini perlu adanya pemahaman terhadap proses gilir tanam pada suatu wilayah dengan mengacu pada ketersedian lahan yang dapat ditanami jagung sehingga akan diperoleh kontinuitas pasokan jagung di suatu wilayah dengan pasokan yang relatif tetap dan merata, sehingga tidak akan terjadi lonjakan pasokan jagung seperti terjadi saat panen raya, karena jagung ditanam secara merata sepanjang tahun. Analisis Risiko Tingkat Pengumpul Sebagaimana disebutkan dimuka risiko yang akan digunakan untuk mengukur indek risiko pada tingkat pengumpul adalah risiko penyimpanan, risiko pengeringan tambahan karena panen raya biasa terjadi pada musim penghujan dan risiko tidak seragamnya kualitas dari beberapa petani yang tidak menggunakan bibit unggul. Nilai probabilitas kejadian dari setiap risiko tersebut dapat diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis risiko pengumpul jagung Jenis Risiko Petani
P(x)
Tumbuhnya jamur aatoxin karena penyimpanan yang lembab
35%
Kualitas jagung yang tidak seragam Pemberian tambahan pengeringan
25% 15%
223
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
Nilai konsekuensi () dari pengumpul adalah 0.3 karena disamping pengumpul petani dapat melakukan penjualan langsung ke distributor tanpa mengurangi kualitas kegiatan dan fungsionalitas rantai pasok untuk dapat memberikan pasokan industry pakan ataupun pangan. Sedangkan nilai tambah () dari pengumpul dalam rantai pasok jagung adalah 50% karena kebutuhan jagung dalam produksi pakan tidak kurang dari 50%. Dari nilai-nilai tersebut, maka dengan menggunakan rumus (7) diperoleh indek risiko rantai pasok pada tingkat pengumpul adalah 0.0878 atau 8.78 % Selanjutnya akan dijelaskan tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pedagang pengumpul dalam memilih petani pemasok jagung dan berapa jumlah unit jagung yang diambil dari setiap petani mitranya untuk mengoptimalkan keuntungan dengan batasan kapasitas gudang yang dipunyai pedagang pengumpul, kemampuan petani mitra menyediakan jagung dan modal usaha serta biaya operasional yang dialokasikan, dengan menggunakan rumus (8). Misal pedagang pengumpul mempunyai 5 mitra petani yang harus dipilih, dan setiap petani akan menjual jagung dengan harga yang berbeda serta biaya opersional dan risiko tambahan yang berbeda karena kualitas jagung yang dipasok berbeda sebagai mana dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Input pemilihan mitra dari pengumpul
P1 P2 p3 P4 P5
Harga beli 850 900 900 850 900
Harga jual 1200 1200 1200 1200 1200
Biaya operasi 60 50 25 60 45
Index risiko 10% 10% 8% 12% 12%
Supply max 250 300 200 300 200
Dimisalkan kemampuan anggaran yang disediakan oleh pengumpul adalah Rp 1 juta dan kapasitas gudang sebesar 1000 unit serta alokasi biaya operasi maksimum Rp.50 ribu, maka dengan bantuan solver diperoleh keuntungan maksimum sebesar Rp.186950, dengan pilihan pasokan setiap petani seperti diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil perhitungan kuantitas pasokan
P1 P2 p3 P4 P5
224
Jumlah Harga Biaya (unit) beli operasional 250 850 60 150 900 50 200 900 25 300 850 60 100 900 45 1000 872500 50000
Risiko supply operasional max 10% 250 10% 300 8% 200 12% 300 12% 200 Constraint
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa untuk mendapatkan keuntungan optimum pengumpul dapat mendatangkan jagung dari petani P1 sebesar 250 unit, P2 sebesar 150 unit, P3 sebesar 200 unit, P4 sebesar 300 unit dan P5 sebesar 100 unit. Artinya dengan modal yang ada tidak dapat membeli semua pasokan petani tetapi hanya sebagian saja untuk mengoptimalkan keuntungan. Sedangkan alokasi biaya yang diperlukan untuk membeli jagung dari petani totalnya adalah Rp.872.500,- yang tidak lebih besar dari pada alokasi investasi awal sebesar Rp. 1 juta. Sedangkan alokasi gudang dioptimalkan sesuai kapasitas dan biaya operasi juga optimal sesuai dengan yang tersedia. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pada harga beli yang sama dengan risiko yang berbeda maka dapat dioptimalkan dengan memilih risiko yang paling rendah. Demikian juga pada risiko yang sama dengan harga beli yang berbeda maka dapat dioptimalkan dengan mamilih harga beli yang paling rendah. Analisis Risiko Tingkat Distributor Untuk menganalisa risiko pada tingkat distributor, perlu dilakukan identikasi jenis risiko utama yang timbul pada tingkat distributor. Beberapa jenis risiko utama yang sering dihadapi pada tingkat ini adalah risiko pengangkutan yang menyangkut keterlambatan pengangkutan dan kecelakaan di jalan. Disamping itu risiko distribusi juga perlu diperhatikan karena keterbatasan kapasitas angkut dan pemilihan rute pengangkutan yang kurang optimal. Risiko penyimpanan juga perlu diperhatikan karena dalam distribusinya perlu penyimpanan yang cukup agar dapat mempertahankan kualitas produk. Nilai probabilitas dari setiap risiko yang harus ditanggung oleh distributor dapat diperlihatkan pada Tabel 8. Tabel 8. Jenis risiko di tingkat pengumpul Jenis Risiko Petani Keterlambatan pengangkutan Kurang optimalnya pemilihan rute dan pendistribusian produk Kerusakan akibat penyimpanan
P(x) 30% 25% 15%
Nilai konsekuensi () pada tingkat distributor adalah 0.3 karena tingkat ini dapat digantikan dengan mudah baik oleh pihak pengumpul ataupun petani yang langsung menjualnya ke konsumen yaitu pabrik pakan ternak ataupun industry makanan. Sedangkan nilai tambah () pada tingkat distributor terhadap produk pakan maupun makanan hamper sama dengan pihak lain yaitu sebesar 50 % karena penggunaan jagung dalam industri tersebut tidak kurang dari nilai ini.
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
Kemudian dengan menggunakan rumus (7) dapat dihitung nilai indek risiko pada tingkat distributor sebesar 0.0831 atau 8,31 %. Hal yang sama dengan optimalisasi keuntungan pada tingkat pengumpul dengan menggunakan rumus (8), optimasi keuntungan pada tingkat distributor juga menggunakan konsep yang sama, yaitu mengoptimalkan keuntungan dengan kendala modal investasi awal untuk pembelian di tingkat pengumpul dan kendala total biaya operasi yang digunakan untuk pengangkutan produk dari pengumpul ke konsumen serta biaya penyimpanan. Didamping juga kendala dari kapasitas pasokan dari setiap pengumpul dalam memasok jagung ke distributor. Data lengkap yang digunakan untuk mengoptimalkan keuntungan pada tingkat distributor dengan 6 mitra pengumpul adalah seperti terlihat pada Tabel 9.
nilai risiko yang tinggi serta biaya operasi yang tinggi walaupun dibeli dengan harga yang rendah. Sedangkan C5 tidak diterima semua karena mempunyai harga beli yang tinggi, walaupun harga belinya sama dengan C3 tetapi C4 mempunyai nilai risiko yang lebih tinggi dari pada C3. Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa model optimasi ini dapat memilih alokasi yang tepat pada masing-masing pemasoknya dengan pertimbangan risiko pasokan dan biaya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Jika diberikan modal yang dialokasikan untuk membeli jagung dari pengumpul sebesar Rp.6 juta dan alokasi total biaya operasi yang dianggarkan sebesar Rp.2,5 juta, maka dengan menggunakan Excel-Solver diperoleh keuntungan maksimum sebesar Rp.2.278.297,- dengan alokasi anggaran kesetiap pemasok dibawahnya seperti terlihat dalam Tabel 10.
Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dari hasil analisis Indek risiko rantai pasok produk pertanian, petani mempunyai nilai indek risiko tertinggi yaitu 26 % disusul pedagang pengumpul sebesar 8,78 % dan distributor sebesar 8,31 %. 2. Indek risiko pedagang pengumpul lebih tinggi dibandingkan dengan indek risiko distributor, hal ini sesuai dengan kajian kandungan jamur aatoxin dalam jagung paling tinggi terdapat pada tingkat pengumpul karena lama penyimpanan. 3. Untuk mengurangi risiko harga dan pasokan saat panen raya di tingkat petani telah disimulasikan model optimalisasi keuntungan dengan penentuan jadwal tanam jagung optimal yaitu pada bulan Februari dan bulan Juni dengan konsep gilir tanam. 4. Model optimasi keuntungan tiap tingkatan rantai pasok dapat digunakan untuk pengambilan keputusan pemilihan pemasok (supplier) yang optimal dengan pertimbangan risiko dan biaya operasi, baik pada tingkat distributor maupun tingkat kolektor.
Tabel 10. Hasil optimasi dengan solver
Saran
Tabel 9. Input optimasi pasokan dari distributor
C1 C2 C3 C4 C5 C6
Harga beli 1300 1200 1400 1200 1400 1300
C1 C2 C3 C4 C5 C6
Harga jual 2500 2500 2500 2500 2500 2500
Biaya oprs 500 600 400 650 500 550
Jumlah 900 600 600 887 647 1000
Nilai Risiko 12% 15% 10% 16% 12% 15%
Max supply 900 600 600 1300 800 1000
Max Supply 900 600 600 1300 800 1000
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa untuk mengoptimalkan keuntungan tidak semua barang yang dipasok dari setiap supplier diambil, tetapi ada beberapa yang tidak diambil semuanya seperti C4 dan C5. Sedangkan untuk barang dari C1, C2, C3 dan C6 semua barang yang disupply akan diterima. C4 tidak diambil semua karena mempunyai
Beberapa saran tindak lajut yang dapat dilakukan untuk penyempurnaan kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Model risiko yang dijelaskan hanya menganalisis risiko pada suatu tingkatan tertentu saja dan masih belum dapat mengagregasikan risiko total dari rantai pasok, sehingga model perlu dikembangkan untuk dapat mengagregasikan total risiko rantai pasok secara keseluruhan. 2. Model optimasi manajemen risiko yang dikembangkan dapat dimplementasikan dengan excel-solver yang mempunyai tampilan dan akses yang terbatas, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu perangkat lunak yang dapat diakses semua stake holder rantai pasok produk pertanian dalam pengambilan keputusan penentuan tindakan yang optimal dengan pertimbangan risiko, agar dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasok produk pertanian secara keseluruhan.
225
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
DAFTAR PUSTAKA Agarwal, S. (2005). Managing risk in supply chain. Supply & Demand Chain Executive. August. Apriantono, A. (2005). Kebijakan Umum Pembangunan Nasional Dalam Pembangunan Industri Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Sambutan Mentri Pertanian Dalam Simposium Nasional Hari Pangan Dunia, Sahid Hotel Jakarta. Arrow, K. (1965). Aspects of the Theory of Risk-bearing, Yrio Jahnsson Foundation, Helsinki. Arin, B., A. Munir, E.S. Hartati, dan D.J. Rachbini, (2001). Food Security and Markets in Indonesia: State-Private Interaction in Rice Trade. Southeast Asia Council for Food Security and Fair Trade, Kuala Lumpur Austin, J.E. (1992). Agroindustrial Project Analysis. John Hopkins University Press. USA. Brown, J.E. (1994). Agroindustrial Investment and Operations. World Bank Publications. USA. Chapman, P., Christopher, M., Juttner, U., Peck, H. dan Wilding, R. (2002). Identifying and managing supplychain vulnerability. Logistics & transport focus: The journal of the Institute of Logistics and Transport 4: 59-64. Firmansyah, IU.(2006). Permasalahan pascapanen jagung di tingkat petani dan pedagang. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 369-308. Giunipero, L.C., dan Eltantawy R.A. (2004). Securing the upstream supply chain: a risk management approach. Int. J. of Physical Distribution & Logistics Management 34 : 698–713. Hallikas, J.I., Karvonen, U., Pulkkinen, V.M., Virolainen, dan Tuomine M. (2004). Risk management processes in supplier networks, Int. J. of Production Economics 90 : 47-58. Jüttner U, Peck H, dan Christopher M. (2003) Supply chain risk management: outlining an agenda for future research. Int J Logistics : Research & Applications. 6 :197-210. Karningsih, P.D., Kayis B., dan Kara S. (2007), “Development of knowledge Based System for Supply Chain Risk Identication in multi-site & multi-partners Global Manufacturing Supply Chain” Proceeding of the 13th Asia Pacific Management Conference, Australia, 2007, pp 466-471.
226
Kasryno, F. (2002). Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade yang Lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Diskusi Nasional Jagung tanggal 4 Juni 2002 di Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kasryno, F. (2006). Suatu penilaian mengenai prospek masa depan jagung di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, 29-30 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Kersten, W., Hohrath P., dan Böger M. (2007). An Empirical Approach To Supply Chain Risk Management: Development Of A Strategic Framework. Proceeding POMS2007 Conference. Klimov, R. dan Merkuryev, Y. (2006). Simulation model for supply chain reliability evaluation, Technological and Economic Development of Economy 14: 300–311. Kusumaningrum, H.D. (2008). Aatoxin contamination in production chain of maize product in Java and its relevance to Risk Assessment, Seafast center Bogor 25th June 2008 Lee, T.Y.S. (2008). Supply Chain Risk Management, Int. J. Information and Decision Sciences 1: 98–114. Li, J. dan Hong, S.J. (2007). Towards a New Model of Supply Chain Risk Management: the Cross-Functional Process Mapping Approach, Int. J. Electronic Customer Relationship Management 1: 91–107. March, J.G., dan Shapira Z. (1987). Managerial Perspectives on Risk and Risk Taking. Management Science 33:1404. Mink, S.D., Dorosh P.A., dan Persy D.H. (1987). Corn production systems. Timmer (Ed). The Corn Economy of Indonesia. Cornell University. London. p. 62-87. Nadjamuddin, A, dan Noor, M.N. (1997). Dinamika permintaan-penawaran jagung dan pengaruhnya terhadap harga di Sulawesi Selatan. Kumpulan Seminar Mingguan Hasil Penelitian Jagung dan Serealia Lain. 1:29-41. Nagurney, A., Cruz, J.M., Dong, dan Jun, (2005). Global Supply Chain Networks and Risk Management: A Multi-Agent Framework, publish in Multiagent-Based Supply Chain Management, B. Chaib-draa and J. P. Muller, Editors, Springer, Berlin, Germany, pp 103-134. Neureuther, B.D. dan Kenyon, G. (2008). A model for evaluating supply chain risk. POMS 19th Annual Conference, La Jolla, California, USA. Niwa, K. (1989). A Knowledge-based risk management in engineering. John Wiley & Sons Inc, United States
AGRITECH, Vol. 31, No. 3, AGUSTUS 2011
Norrman A, dan Lindroth R. (2004) Categorization of supply chain risk and risk management. In Brindley, C. (Ed.) Supply Chain Risk. Hampshire, England:Ashgate Publishing Ltd. Santoso, I. (2005). Rekayasa model manajemen risiko untuk pengembangan agroindustri buah-buahan secara berkelanjutan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarasutha, I.G.P., Suryawati, dan Margaretha S.L. (2007). Tata Niaga Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Schoenherr, T., Rao, T.V.M, dan Harrison, T.H. (2008). Assessing supply chain risks with the analytic hierarchy process: Providing decision support for the offshoring decision by a US manufacturing company. Journal of Purchasing and Supply Management, doi:10.1016/j. pursup.2008.01.008. Suryana, A. dan Hermanto. (2006). Prospek dan Arah Pengembangan Jagung. Badan Litbang Pertanian, Jakarta
Tang, C. S. (2006). Perspective in Supply Chain Risk Management. International Journal of Production Economics. 103:451-458 Wu, T., Blackhurst, J., dan Chidambaram, V. (2006). A model for inbound supply risk analysis. Computers in Industry 57 :350–365. Xiaohui, W., Xiaobing, Z., Shiji, S., dan Chenf, W. (2006). Study on risk analysis of supply chain enterprises, Journal of Systems Engineering and Electronics 17: 781-787. Zoysa, SD., Russell AD. (2003). Knowledge-based risk identication in infrastructure projects. Canadian Journal of Civil Engineering 30:511–522. Zsidisin, G.A. (2003). A grounded denition of supply risk. J. of Purchasing and Supply Management 9:217–224. Zubachtirodin, Pabbage M.S., dan Subandi, (2007). Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros
227