BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai komoditas perdagangan, jagung menempati kedudukan penting dalam perekonomian nasional, karena manfaatnya yang serba guna. Jagung bermanfaat sebagai pangan, pakan dan bahan bakar (food, feed, and fuel). Selain dikonsumsi langsung dalam bentuk biji muda, juga dikonsumsi sebagai nasi jagung.
Sebagai bahan baku industri, jagung diolah untuk berbagai
keperluan, diantaranya sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Kedudukan jagung sebagai bahan pangan nasional merupakan makanan pokok utama setelah beras, sehingga menjadi penyangga ketahanan pangan nasional. Perbaikan perekonomian nasional yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan perkapita, proporsi jagung sebagai bahan pangan tergeserkan menjadi bahan baku utama industri pakan ternak. Komponen utama (54 s.d 60%) dalam rangsum pakan ternak adalah jagung (Sinjal, 2009).
Sebagian
besar (55%) produksi jagung nasional digunakan sebagai pakan, sisanya 30% untuk konsumsi pangan dan 15% untuk kebutuhan industri lain dan benih (Hadijah, 2009; Suharjito, 2011). Peningkatan permintaan jagung oleh industri pakan, pangan dan industri turunan berbasis jagung (integrated corn industry) menyebabkan permintaan jagung di dalam negeri terus meningkat (Hadijah, 2009; Nurhasanah, 2012). Laju peningkatan permintaan jagung lebih besar bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan produksi jagung dalam negeri, akibatnya harga jagung domestik terus meningkat dari tahun ke tahun (Ferrianta, 2011). Produksi jagung dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, sehingga masih diperlukan.
2
Produksi jagung nasional diproyeksikan tumbuh 4,63% per tahun. Pada tahun 2015 produksi jagung diharapkan telah mencapai 17,93 juta ton (Suharjito, 2012).
Kini kedudukan komoditas jagung semakin kompleks dan strategis,
karena selain sebagai penyangga ketahanan pangan, juga menjadi komoditas subtitusi impor yang dapat menghemat devisa. Kedudukan
jagung
yang
strategis
tersebut
melandasi
pemerintah
menggerakkan berbagai sumberdaya untuk meningkatkan produksinya. Daerah yang selama ini sebagai pemasok jagung utama ditingkatkan produksinya melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Salah satu daerah yang merespon kebijakan pemerintah tersebut adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam program kerja pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NTB periode 2008 s.d 2013 telah menetapkan pengembangan komoditas jagung sebagai program unggulan, bersama sapi dan rumput laut yang dikenal dengan program pijar (Rahman, 2011; Sjah, 2011). Penetapan jangung sebagai komoditas dan program unggulan cukup beralasan, sebab Provinsi NTB sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan jagung, diantaranya adalah lahan kering. Luas lahan kering disajikan pada Tabel 1.1. Selain itu, kondisi agroklimat wilayah Provinsi NTB memenuhi persyaratan tumbuh tanaman jagung, karena keadaan iklim tropis, jenis tanah gromosol dan topografi landai sampai bergelombang mendukung bagi pengembangan jagung. Demikian pula, kondisi sosial ekonomi masyarakatnya yang telah terbiasa menamam jagung dan mengolah jagung untuk berbagai keperluan pangan memungkinkan dilakukannya introduksi teknologi dengan cepat (Putra, et al., 2005).
3
Tabel
1.1
Luas Lahan Kering (ha) Yang Potensial Sebagai Pengembangan Luas Areal Tanaman Jagung Tahun 2003
Lokasi
Jenis Kota Lombok Lombok Lombok SumDompu Bima NTB Lahan Mataram Barat Tengah Timur bawa Ladang/ Huma - 17.719 1.883 4.741 12.017 2.806 6.402 45.568 Padang 329 410 1.344 12.060 8.857 16.126 39.126 Rumput Lahan belum 27 1 400 29.859 3.147 21.089 54.523 dibudidayakan Jumlah 27 18 048 2 294 6.485 53.926 14.810 43.617 139.217 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Sejak jagung dicanangkan sebagai program komoditas unggulan pada tahun 2008/2009, produksinya di Provinsi NTB berturut-turut menunjukkan peningkatan.
Pada tahun 2008 produksi mencapai 196.263 ton dengan luas
panen 59.078 ha, pada tahun 2009 produksi jagung meningkat menjadi 308.863 ton dengan luas panen 81.543 ha, dan terus meningkat menjadi 371.205 ton dengan luas panen 64.529 ha pada tahun 2010 (BPS NTB, 2011). Kebijakan pengembangan agribisnis jagung telah dituangkan pada Grand Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung di NTB yaitu target produksi jagung tahun 2013 sebesar 613.496 ton dengan luas panen sebesar 116.268 ha (Pemda NTB, 2009). Target produksi tersebut sangat realistis karena produktivitas jagung pada saat itu masih rendah, yaitu 33,22 ku/ha tahun 2008 dan 37,88 ku/ha tahun 2009 (BPS NTB, 2010) dan secara teknis masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas jagung mencapai 40 s.d 50 ku/ha pada tahun 2013 dengan penerapan iptek pada teknik budidaya dan penanganan pascapanen yang benar serta terarah (Diperta NTB, 2009). Peningkatan produksi jagung sebagai mana diungkapkan di atas belum sepenuhnya mampu membebaskan penduduk perdesaan dari kemiskinan. Walau produksi jagung meningkat, namun sebagian petani yang tinggal di
4
daerah perdesaan masih miskin, karena peningkatan produksi itu dinikmati oleh pihak lain di luar petani, seperti pedagang dan konsumen pengguna jagung. Jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan peningkatan (Tabel 1.2) dari 419.310 orang menjadi 439.450 orang pada bulan Maret 2012 s.d 2013, serta dari 412.940 orang menjadi 438.370 orang pada bulan September 2012 s.d 2013. Oleh karena sebagian besar petani tinggal di perdesaan, dan jumlah penduduk miskin meningkat di perdesaan, maka dapat diartikan bahwa jumlah petani miskin juga meningkat. Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi NTB Berdarkan Wilayah Perkotaan dan Perdesaan pada Bulan Maret dan September Tahun 2012 dan 2013
No Wilayah 1 Perkotaan
Maret 2012 2013 433.340 391.400
September Perubahan dari 2012 2013 2012 ke 2013 415.380 364.080 Menurun
2
Perdesaan
419.310
439.450
412.940
438.370 Meningkat
NTB
852.650
830.850
828.320
802.450 Menurun
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Berita Statistik Januari 2013 dan Januari 2014 Kemiskinan petani disebabkan rendahnya harga-harga produk pertanian di perdesaan dan rendahnya produktivitas usahatani. Untuk mengurangi jumlah petani yang miskin, maka diperlukan strategi yang dapat melindungi petani dari praktik penghisapan surplus produsen usahatani oleh pihak-pihak lain di luar petani dengan mempekuat posisi tawar (bargaining position) petani melalui pengembangan kelembagaan dan peningkatan produktivitas usahatani. Pihak yang paling bertanggungjawab bagi peningkatan kesejahteraan petani adalah pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan regulasi kebijakan yang mengatur hubungan antara kelembagaan petani dengan kelembagaan
lainnya
yang
bertindak
sebagai
avalis
dalam
kolaborasi
5
(kerjasama) dan manajemen rantai pasok jagung, sebagaimana regulasi yang telah ada pada komoditas lainnya (tembakau), sehingga para pemangku kepentingan (stakeholders) mampu menerapkan kolaborasi dan manajemen rantai pasok (supply chain management) sebagai mana mestinya melalui perubahan paradigma dari paradigma yang berorientasi pada peningkatan kepuasan konsumen semata menjadi paradigma yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang hanya berorientasi pada peningkatan kepuasan konsumen telah terbukti gagal membebaskan petani dari kemiskinan, karena para pedagang dan pengusaha berusaha menghisap surplus produsen usahatani dengan menekan harga semurah-murahnya. Selain itu, petani juga dihisap surplus produsen usahataninya oleh sebagian perusahaan yang berperan sebagai avalis dengan melakukan pungutan bagi hasil yang memberatkan petani. Praktek manajemen rantai pasok yang baik dalam pengembangan agribisnis jagung merupakan keharusan disebabkan oleh semakin meningkatnya tuntutan akan pelayanan yang bermutu dan koordinasi lintas organisasi serta kebutuhan akan kelancaran aliran produk dan aliran modal dalam siklus lengkap proses produksi dari petani (penghasil bahan baku) ke perusahaan atau pedagang (yang menyelenggarakan fungsi-fungsi pemasaran) sampai ke konsumen pengguna jagung. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis. Manajemen rantai pasok merupakan suatu yang baru yang belum sepenuhnya
diimplementasikan dalam program pengembangan agribisnis
jagung, meskipun dalam praktiknya telah diterapkan secara parsial. Tujuan
6
diaplikasikannya manajemen rantai pasok adalah meningkatkan keunggulan kompetitif produk pada semua level lembaga yang terlibat dalam rantai pasok (termasuk usahatani) melalui penciptaan nilai bagi pelanggan (konsumen). Meningkatkan keunggulan kompetitif hanya dapat dicapai apabila manajemen rantai pasok berkemampuan menghasilkan produk yang memenuhi selera konsumen yaitu produk yang berkualitas, bermanfaat (useful), memiliki karakteristik unik (unique) pada harga yang direspon positif oleh konsumen. Peningkatan keunggulan kompetitif produk diharapkan mampu mengubah posisi tawar (bargaining position) petani. Perubahan kearah lebih baik hanya terjadi apabila petani mengubah dirinya sendiri menjadi lebih baik melalui koordinasi lintas organisasi yang didukung oleh sistem informasi dan pembagian share insentif yang adil sesuai dengan rantai nilai dari fungsi-fungsi pemasaran. Besarnya insentif tersebut sesuai dengan surplus produsen yang dihasilkan masing-masing pihak dalam rantai pasok (usahatani, pengolahan, penyimpanan, dan transportasi, informasi dan modal)
dan surplus konsumen bagi para
pelanggan (customer) (Just, at al., 2004). Dengan demikian dalam manajemen rantai pasok tidak terbatas pada hubungan transaksional semata, melainkan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga
dalam rantai pasok yang saling
menguntungkan (mutual relationship). Mengacu pada teori kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory) dapat disimpulkan bahwa kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok merupakan kekuatan pendorong manajemen rantai pasok yang efektif, karena dapat membantu organisasi berbagi resiko dan mengakses sumberdaya yang diperlukannya.
Organisasi mulai merasa bahwa itu tidak
cukup untuk meningkatkan efisiensi sampai dicapainya organisasi rantai pasok
7
memiliki kemampuan kompetitif. Kolabolasi antar lembaga dalam rantai pasok membantu mempermudah kerjasama antar lembaga guna meningkatkan keunggulan kompetitif (Mathuramaytha, 2011).
Oleh karena petani sebagai
pelaku utama penghasil bahan baku dan merupakan lembaga yang terlibat di dalam rantai pasok, selayaknya mereka memperoleh keselarasan insentif sebagai mana yang diterima oleh pedagang perantara dan konsumen pengguna. Penerapan
manajemen
rantai
pasok
dinilai
belum
cukup
untuk
meningkatkan keunggulan kompetitif jagung. Menurut Bartezzaghi (1999) yang diperkuat oleh Spekman, et al. (2001) bahwa introduksi integrasi proses bisnis dapat meningkatkan keunggulan kompetitif. Integrasi proses bisnis adalah suatu upaya minimalisasi biaya proses. Integrasi proses bisnis terdiri atas integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal ditempuh dengan cara memperpek rantai pasok atau mereduksi lembaga yang inefisien, sedangkan integrasi horizontal dilakukan dengan cara memperbesar skala usaha hingga mencapai skala ekonomis melalui pemanfaatan bersama (sharing) barangbarang
modal,
sehingga
dapat
menekan
biaya
tetap
(operhead).
Menggabungkan manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keunggulan kompetitif komoditas dan pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan petani jagung. Oleh karena itu sebagai “goal” penelitian ini adalah meningkatkan kesejahteraan petani jagung. Atas dasar pemikiran di atas, dirasa penting untuk dilakukan penelitan tentang manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
8
1.2 Perumusan Masalah Pada Program Percepatan Pengembangan Agribisnis Jagung (PAJ) di Provinsi Nusa Tenggara Barat telah diintroduksi suatu konsep manajemen rantai pasok (supply chain management), yaitu suatu gagasan yang memberikan kepastian bahwa seluruh produksi jagung yang dihasilkan oleh petani memiliki kepastian pembeli dengan harga yang wajar serta insentif berusaha bagi lembaga yang terlibat. Gagasan ini akan lebih mudah dicapai apabila produk jagung yang dihasilkan memiliki keunggulan kompetitif, yaitu memenuhi selera konsumen. Konsep manajemen rantai pasok yang diintroduksi tersebut belum sepenuhnya
diimpelentasikan
oleh
seluruh
pemangku
kepentingan
(stakeholders) sebagaimana mestinya, satu diantaranya belum adanya regulasi yang mengatur penyelenggaraan kolaborasi (kerjasama) dan manajemen rantai pasok jagung dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga berpotensi terjadi praktik yang kontra produktif atau disinsentif bagi peningkatan kesejahteraan petani seperti pembebanan biaya pembinaan oleh perusahaan kepada petani berupa pengutan bagi hasil. Ke depan dibutuhkan regulasi yang mengatur kolaborasi (kerjasama) yang saling menguntungkan (simbiose mutualistik) antara petani dengan perusahaan dengan mengintruduksi konsep manajemen rantai pasok. Konsep manajemen rantai pasok dimaksukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif produk pada setiap lembaga yang terlibat dalam rantai pasok, serta membangun kelembagaan yang mampu melindungi produk dari serangan pesaing di luar rantai pasok. Kemampuan melindungi produk dari serangan para pesaing disebut keunggulan kompetitif (competitive advantage).
9
Kerangka teoritis yang dibangun oleh Mathuramytha (2011) telah menempatkan keunggulan kompetitif sebagai ouput, serta keragaan organisasi sebagai outcome dari kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok. Keragaan organisasi yang terdiri atas keragaan pasar dan keragaan keuangan berorientasi bagi peningkatan kepuasan konsumen dan peningkatan laba perusahaan, namun cenderung mengorbankan kesejahteraan petani. Paradigma
yang
hanya
berorientasi
pada
peningkatan
kepuasan
konsumen dan mengorbankan kesejahteraan petani harus diubah dengan menyeimbangkan antara peningkatan kepuasan konsumen di sisi hulu (down stream) dengan peningkatan kesejahteraan petani di sisi hilir (up stream) . Oleh karena itu, kerangka teoritis yang dibangun oleh Mathuramaytha (2011) semestinya dimodifikasi dengan menempatkan
peningkatan kesejahteraan
petani sebagai outcome. Peningkatan
keunggulan
kompetitif
belum
cukup
apabila
hanya
mempraktikkan kolaborasi (kerjasama) dan manajemen rantai pasok, namun masih diperlukan introduksi integrasi proses bisnis (Bartezzaghi, 1999; Spekman, et al., 2001). Integrasi proses bisnis adalah suatu konsep yang memobilisasi sharing pemanfaatan barang-barang modal dan mereduksi lembaga di dalam rantai pasok dan aktivitas yang inefisiensi. Untuk
mencapai
peningkatan
kesejahteraan
petani
jagung
maka
dimungkinkan menggabungkan beberapa faktor strategis yang dapat dipilih oleh Pemerintah Daerah dan petani, serta perusahaan yang berperan sebagai avalis dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Strategi peningkatan kesejahteraan petani yang dilakukan secara parsial rentan mengalami kegagalan, sehingga perlu dirumuskan suatu strategi prioritas
10
terbaik
dengan
menggabungkan
beberapa
faktor
terpilih
dalam
upaya
peningkatkan kesejahteraan petani jagung. Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan utama penelitian ini adalah “sejauhmana keterkaitan manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dengan peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Secara rinci masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi manajemen rantai pasok jagung; 2. Bagaimana hubungan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis; 3. Fraktor-faktor apa yang mempengaruhi keunggulan kompetitif jagung ; 4. Bagaimana keterkaitan antara manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan kesejahteraan petani jagung; 5. Bagai mana strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini antara lain bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen
rantai pasok
jagung; 2. Menganalisis hubungan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis; 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif jagung;
11
4. Menganalisis pengaruh manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan petani jagung; 5. Memilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Manfaat Praktis a. Sebagai evaluasi manajemen rantai pasok jagung yang telah dipraktikkan selama ini dari petani sampai dengan pedagang perantara; b. Menyajikan potret manajemen rantai pasok jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani jagung; c. Bahan acuan bagi pemerintah daerah, perusahaan yang berperan sebagai avalis dan kelompok tani (petani) dalam memilih alternatif strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2. Manfaat Bagi Pengembangan Hasanah Ilmu Pengetahuan a. Memperkaya model teoritis kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dengan keunggulan kompetitif sebagai output dan kesejahteraan petani sebagai outcome; b. Menjadi referensi ilmiah
tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi
manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif, serta keterkaitan
12
dengan kesejahteraan petani jagung secara parsial maupun bersamasama (over all model).
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Tujuan penelitian ini difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu melalui perpaduan kolaborasi dan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, dan keungulan kompetitif internal terhadap eksternal rantai pasok jagung. Analisis
dibatasi
pada
analisis
deskriftif
dan
analisis
inferensi
menggunakan structure equation modeling berbasis partial least square , karena variabel yang dianalisis bersifat laten dan skala pengukuran ordinal, sehingga kurang tepat bila menggunakan analisis parametrik. Kelemahan dalam penelitian ini antara lain: 1. Tidak dianalisis perilaku pasar input dan pasar output serta struktur pasar jagung di tingkat petani yang merupakan faktor penentu terbentuknya harga. 2. Selain itu tidak dielaborasi perilaku biaya dalam kaitannya dengan maksimalisasi laba, dan produktivitas sebagai penentu keunggulan kompetitif internal , sebab skopnya dinilai terlalu luas; 3. Fokus penelitian dibatasi pada variabel yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kesejahteraan petani jagung. Dalam
pengukuran
menggunakan skala ordinal, sehingga hanya dapat dianalisis menggunakan statistik non parametrik, serta tidak memenuhi persyaratan apabila analisis menggunakan statistik parametrik. Oleh karena menggunakan analisis non parametrik, maka hasil analisis yang diperoleh berupa kondisi statis (potret), namun masih bisa dilakukan analisis perbandingan antar parameter dalam model.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Penelitian Terdahulu Rantai pasok merupakan topik penelitian yang banyak diminati akhir-akhir ini. Yang membedakan suatu penelitian dengan penelitian lainnya ialah produk, metode analisis, indikator dan/atau variabel yang mempengaruhinya.
seperti
Hamid (2011) menggunakan SEM (Structural Equation Modeling) dalam menganalisis hubungan antara praktik rantai pasok dengan rantai permintaan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa praktik rantai pasok dan rantai permintaan memiliki hubungan yang positif terhadap keunggulan komparatif. Keunggulan kompetitif memiliki pengaruh positif terhadap keragaan perusahaan baik keragaan keuangan maupun keragaan nonkeuangan. Praktik rantai pasok memiliki pengaruh langsung terhadap keragaan non-keuangan, dan berpengaruh negatif terhadap keragaan keuangan.
Praktik rantai permintaan tidak
berpengaruh terhadap keragaan nonkeuangan dan berpengaruh negatif pada keragaan keuangan perusahaan. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2011) tersebut berbeda dengan penelitian ini dari aspek produk, indikator dan variabel yang digunakan. Penelitian ini fokus pada rantai pasok jagung, menggunakan metode deskriptif dan analisis keterkaitan manajemen rantai pasok dengan variabel lainnya menggunakan Structure Equation Modeling berbasis varians yaitu Partial Least Square (SEM-PLS). Beberapa peneliti rantai pasok komoditas pertanian menggunakan marjin pemasaran sebagai ukuran efisiensi dengan cara membandingkan antar rantai pasok (Susiana dan Ritonga, 2005 cit. Prihatiningsih, 2007). Dalam penelitian ini tidak tampak marjin laba dan marjin biaya, karena telah diinklusifkan dalam
14
ratio surplus produsen.
Sementara Irmawati (2007) menggunakan kepuasan
pelanggan (customer), nilai keuntungan (laba) dan keunggulan kompetitif sebagai indikator keragaan manajemen rantai pasok, sedangkan dalam penelitian ini koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, dan aliran modal digunakan sebagai indikator keragaan manajemen rantai pasok. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Mardhiyyah
(2008) yang menggunakan KPI
(Key Performance Indicator) sebagai tolak ukur keragaan manajemen rantai pasok (supply chain management), yaitu: delivery performance, leadtime dan supply chain response time. Nugroho (2005) mengungkapkan bahwa perubahan yang sangat cepat yang terjadi di dunia bisnis menyebabkan kompetisi di antara pelaku-pelaku bisnis menjadi semakin ketat dan nyata, buktinya adalah tingkat kompetisi yang meningkat yang ditandai dengan permintaan yang berfluktuasi, penurunan tingkat loyalitas konsumen, dan semakin singkatnya siklus hidup produk. Salah satu strategi yang disarankan untuk dikembangkan adalah manajemen rantai pasok, yaitu manajemen yang sejalan dengan kompetitif perusahaan. Strategi manajemen rantai pasok mengarah pada dua hal, yaitu kemampuan respon dan efisiensi rantai pasok.
Operasionalnya diwujudkan pada aplikasi kebijakan
perusahaan dalam menangani 4 (empat) faktor pendorong keragaan rantai pasok, yaitu persediaan, fasilitas, transportasi dan informasi.
Efisiensi
persediaan menggunakan metode EOQ (Economic Order Quantity) dan reorder point dan sangat sesuai dengan strategi LSC (lean supply chain) dan strategi kompetitif diferensial perusanaan disebabkan perusahaan dapat meminimalisasi biaya tanpa mengurangi kualitas produk. Oleh karenanya dalam penelitian ini mengkaji keragaan
lembaga yang terlibat dalam satu segmen rantai pasok,
15
maka dinilai kurang tepat jika menggunakan metode EOQ dan reorder point dalam mengukur efisiensi persediaan. Keunggulan kompetitif produk dan organisasi diukur dengan menggunakan lima indikator: efisiensi, kualitas produk, ketergantungan pengiriman, diversifikasi produk, dan waktu tempuh ke pasar. Kepuasan yang diperoleh masing-masing pihak yang terlibat dalam rantai pasok disesuaikan dengan strategi kompetitif perusahaan. Dengan demikian, penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Permana (2011) yang membandingkan efisiensi pengadaan bahan baku dengan menggunakan teknik lot sizing, yaitu Lot for Lot (LFL), Economic Order Quantity (EOQ), Periode Order Quantity (POQ) dan Part Periode Balancing (PPB). Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa teknik POQ dan LFL menghasilkan penghematan biaya terbesar atau biaya inventori terendah dibadingkan dengan teknik lot sizing lainnya, namun pada bahan baku yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2010), Hamzah (2011), Pawisari (2011),
dan Utomo (2011) menggunakan persepsi para pelaku
kemitraan sebagai ukuran keragaan manajemen rantai pasok. Oleh karena itu pengukurannya masih kualitatif, dan belum sampai pada penggunakan ukuran kuantitatif dan proxy sebagai mana pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini. Walau Hamidi (2008) menggunakan produktivitas usahatani sebagai ukuran efisiensi kemitraan (kolaborasi) namun tidak menganalisis kesejahteraan petani. Justru yang dianalisisnya adalah dampak kemitraan terhadap produktivitas usahatani yang dibandingkannya dengan produktivitas usahatani swadaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2006) dengan menggunakan metode SEM menunjukkan bahwa kualitas kemitrakerjaan dapat ditingkatkan melalui komitmen jangka panjang, komunikasi dan berbagi resiko.
16
Dari tiga faktor tersebut ditemukan bahwa komitmen jangka panjang merupakan dasar bagi perusahaan mitra kerja PT Indonesia Power Unit Bisnis Perusahaan di Semarang untuk melakukan kemitrakerjaan. Temuan ini sangat membantu peneliti untuk menganalisis keragaan manajemen rantai pasok, sekaligus dapat digunakan sebagai referensi dalam menganalisis keterkaitan antara manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis dan keunggulan kompetitif dengan tingkat kesejehateraan petani jagung. Hasil pengamatan rantai pasok jagung dilakukan oleh Pawisari (2011), bahwa struktur rantai pasok pada pola kemitraan (kolaborasi) dilakukan dengan konsep saling percaya tanpa adanya kesepakatan kontraktual yang mengikat merupakan kunci sukses dalam rantai pasok jagung, namun di sisi lain menyulitkan dalam pengembangan jaringan kerjasama (kemitraan) karena dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun tingkat kepercayaan. Dengan demikian, variabel penting dalam penelitian ini adalah kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok, karena inklusif terdapat indikator yang diyakini dapat memelihara keberlanjutan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok yang pada gilirannya menentukan keragaan manajemen rantai pasok. Dengan memanfaatkan indikator pada sistem indek pengukuran keragaan manajemen rantai pasok dapat dijelaskan pengaruh kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap manajemen rantai pasok. Keberlanjutan hubungan antar pembeli-penjual dalam rantai pasok identik dengan kontinyuitas pasokan komoditas dari petani - pedagang perantara perusahaan pengolahan (firm industry). Keberlanjutan hubungan antar pembelipenjual dipengaruhi oleh sosial-budaya struktur masyarakat desa (Tanaya, et al. 2002); sementara hubungan petani-pedagang-perusahaan industri pengolah dan
17
sebaliknya dipengaruhi oleh faktor kepercayaan, komitmen, ketergantungan, komunikasi dan kepuasan (Hartono dan Muhaimin, 2009). Kualitas pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan (Silalahi, 2007). Yusuf (2009) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pengusaha di Kawasan Berikat. Arifin (2004) meneliti faktorfaktor yang berpengaruh terhadap keragaan rantai pasok menyimpulkan bahwa kualitas hubungan berpengaruh terhadap keragaan rantai pasok.
Dengan
demikian menempatkan hubungan baik dengan pelanggan sebagai indikator dalam penelitian ini merupakan pilihan yang tepat, karena didukung oleh hasil penelitian, juga memiliki rasionalitas yang dapat dihandalkan. Dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tanaya (2010) terhadap rantai pasok jagung di Pertanian Lahan Kering di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat digambarkan dalam bentuk aliran komoditas sebagai berikut:
Petani Jagung (Lombok) Petani Besar (30%)
Petani Besar (47%)
Small Farmers (70%) Petani Besar (23%) Petani Kecil (100%)
Small Farmers (73%) Pedagang Perantara
Pasar Lelang
Pedagang Lintas Pulau
(Lombok) Konsumen Lokal
Industri Pangan / Pakan
Gambar 2.1 Keterlibatan Petani Kecil dan Besar dalam Rantai Pasok Jagung di Pertanian Lahan Kering di Lombok Sumber : Tanaya (2010).
18
Pada Gambar 2.1 tampak bahwa petani kecil memilih menjual langsung produksi jagungnya ke konsumen lokal, sementara petani besar lebih cenderung menjual produksi jagungnya ke pedagang perantara, pedagang lintas pulau, dan pasar lelang selanjutnya ke industri pangan dan pakan ternak.
Persentase
petani besar yang menjual produksi jagungnya ke pedagang perantara berkisar antara 47% sampai 70% (Gambar 2.1).
Satu di antara sejumlah kelemahan
penelitian Tanaya (2010) adalah belum mempelajari aliran teknologi, informasi, fasilitas, dan modal dari Avalis - Pembina Wilayah / Koperasi – Kelompok Tani dan sebaliknya.
Kelemahan ini dilengkapi dalam penelitian ini dengan
mengaplikasikan metode deskriptif. Kualitas hubungan ditunjukkan oleh lima indikator yaitu: komitmen (commitment), kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity), fleksibelitas (flexibility), dan
saling
tukar
Hendratman, 2009).
informasi
(information
Wahyudi (2002) cit.
exchange)
(Sujoko,
2002
cit.
Hendratman (2009) menyatakan
bahwa kualitas hubungan dipengaruhi oleh tiga indikator yaitu: komitmen (commitment), kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity).
Sementara Arifin
(2004) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa tiga indikator kepercayaan (trust), komitmen (commitment), dan kelancaran komunikasi adalah faktor yang mendukung hubungan dengan outlet (Hendratman, 2009). Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, maka kualitas hubungan diyakini memiliki keterkaitan yang erat dengan keragaan manajemen rantai pasok; atau memperbaiki kualitas hubungan implisit memperbaiki manajemen rantai pasok. Koordinasi yang kurang baik dalam organisasi akan mengakibatkan hasil pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan oleh organisasi.
Kurangnya pertemuan formal serta evaluasi rutin oleh pimpinan
19
untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian suatu pekerjaan, kerjasama yang kurang baik di antara seksi-seksi yang terkait dalam menangani penyelesaian pekerjaan, serta kurangnya komunikasi di antara seksi yang satu dengan seksi yang lain akan menghambat proses penyelesaian pekerjaan (Kamaludin, et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Hervani, et al. (2005) menempatkan koordinasi sebagai variabel penentu, sementara dalam penelitian ini koordinasi antar lembaga dijadikan sebagai indikator manajemen rantai pasok. Pernyataan yang dikemukakan di atas didukung oleh keyakinan bahwa kurangnya koordinasi akan mengganggu keberlanjutan pasokan, disebabkan tiap-tiap anggota (lembaga) dalam rantai pasok memiliki tujuannya sendiri-sendiri yaitu mengoptimalkan kepuasan dan kesejahteraannya sendiri.
Kurangnya
koordinasi dapat menimbulkan misinformasi sebagai efek dari apa yang disebut bullwhip effect (Anatan dan Elitan, 2008), yaitu permintaan yang meningkat sepanjang
rantai,
misalnya
peningkatan
10
unit
di
tingkat
pengecer
diterjemahkan meningkat 20 unit di tingkat pedagang besar, dan 100 unit di tingkat produsen.
Efek ini dapat mengakibatkan membengkaknya biaya
pabrikasi (manufacturing), transportasi, penyimpanan, transaksi dan biaya-biaya lain yang menjadi ikutannya.
2.2 Kajian Teoritis 2.2.1 Rantai Pasok (Supply Chain) Rantai Pasok adalah suatu sistem jaringan dan saluran distribusi sejak dari pengadaan bahan baku, proses produksi, dan penghantaran (delivery) produk sampai di tangan pelanggan. Bansod dan Borade (2007) mendefinisikan rantai pasok (supply chain) adalah suatu jaringan fasilitas dan saluran distribusi yang meliputi pengadaan dari bahan baku, produksi, perakitan dan pengiriman produk
20
atau melayani kepada pelanggan (Utomo, 2011).
Sedangkan Widodo, et al.
(2011) menegaskan bahwa rantai pasok (supply chain) adalah sebuah sistem yang tersusun oleh sejumlah lembaga yang saling berinteraksi melalui pola interaksi yang khas sesuai dengan struktur yang terbentuk. Dalam setiap lembaga terdapat kegiatan atau aktivitas yang berkontribusi pada tercapainya tujuan yaitu membentuk kepuasan bagi pelanggan. Dengan demikian lembaga menunjuk pada suatu mata rantai kegiatan dari pemasok, perusahaan industri pengolahan (manufaktor), distribusi hingga ke konsumen akhir (Anatan dan Ellitan, 2008).
Pada penelitian ini rantai pasok diartikan
sebagai aliran produk jagung, aliran pelayanan dan aliran modal dari petani selaku produsen jagung sampai dengan pedagang perantara selaku pemasok kebutuhan peternak atau perusahaan pengolahan. Whang dan Cheung (2004) mendifinisikan rantai pasok (supply chain) sebagai proses terintegrasi yang di dalamnya terdapat beberapa pelaku bisnis. Lin, et al. (2006) cit. Utomo (2011) menyatakan bahwa pelaku bisnis tersebut terdiri atas para pemasok (suppliers), pusat-pusat pengolahan, werehouses, pusat-pusat distribusi dan penjual retailer di mana bahan baku work-in-process dan produk jadi mengalir dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya. Dalam penelitian ini, rantai pasok dibatasi dalam aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal yang melibatkan lembaga petani dan pedagang selaku pemasok jagung ke perusahaan industri (firm industry) atau ke peternak selaku konsumen pengguna jagung. Rantai pasok (supply chain) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam satu aliran material dan informasi dari sejak dihasilkan oleh produsen penghasil bahan baku, pengangkutan, pengolahan,
21
penyimpanan, distribusi sampai ke tangan pelanggan. Sementara Indrajit dan Djokopranoto (2003) cit.
Prihatiningsih (2007) mengungkapkan bahwa rantai
pasok (supply chain) adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan atau jejaring (networks) dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang (Prihatiningsih, 2007). Dapat dipahami bahwa rantai pasok (supply chain) sesungguhnya terbentuk akibat adanya kebutuhan dari para pelaku bisnis dalam rangka menciptakan nilai guna, yaitu guna bentuk, guna tempat dan guna waktu, serta guna milik.
Tiap-tiap pelaku bisnis menciptakan nilai guna yang apabila
dikomulatifkan akan menghasilkan nilai bagi pelanggan (customer value). Rantai pasok (supply chain) kadang-kadang disebut juga jejaring logistik, namun menurut Tunggal (2011) istilah jejaring logistik berbeda dengan rantai pasok.
Tunggal (2011) mendifinisikan jejaring logistik sebagai rantai aliran
barang yang memungkinkan perpindahan barang dari satu produsen ke konsumen, sementara rantai pasok (supply chain) dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pelanggan merasa puas. Rantai pasok (supply chain) lebih difokuskan pada jaringan fisik para pelaku bisnis, yaitu perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengadaan bahan baku, pemasok, memproduksi barang, menginformasikan aliran bahan baku dan barang jadi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan mengirimkan barang jadi tersebut kepada pemakai akhir (Thomas dan Grifin, 1996), sehingga belum melibatkan fungsi koordinasi antar pelaku bisnis.
22
Dalam rantai pasok (supply chain) terkadung makna terjalinnya hubungan antara lembaga sebagai bentuk hubungan antara penjual dan pembeli yang di dalamnya terkandung makna pertukaran relasional.
Dwyer et al.
(1987) cit.
Tanaya (2002) mencatat ada 5 (lima) fase dalam pengembangan hubungan penjual-pembeli, yaitu (1) kesadaran, (2) eksplorasi, (3) ekspansi, (4) komitmen, dan (5) pembubaran. Dengan demikian dapat dirangkum pengertian rantai pasok (supply chain) sebagai serangkaian aktivitas penciptaan nilai guna (manfaat) bagi para pelaku bisnis dari pengadaan bahan baku (jagung), proses produksi, pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi sampai di tangan pelanggan. Dalam penelitian ini akumulasi nilai guna bagi produsen diukur menggunakan surplus produsen. 2.2.2 Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) Di antara pelaku bisnis menghendaki adanya suatu kelangsungan dalam aliran material dan informasi dalam suatu rantai pasok sehingga menjamin proses produksi dan distribusi secara ajek dan kontinyu dalam suatu mekanisme kerjasama yang saling mengikat sehingga membentuk apa yang disebut manajemen rantai pasok (supply chain management, SCM). Dengan kata lain, manajemen rantai pasok adalah pengelolaan bisnis antar berbagai aktivitas untuk memperbaiki hubungan perusahaan dengan mitra bisnis untuk mencapai keunggulan kompetitif (Whang dan Cheung, 2004; Utomo, 2011), kemudian Anatan dan Ellitan (2008) menyebutnya sebagai jejaring bisnis (network business). Menurut Widodo, et al. (2011) manajemen rantai pasok adalah suatu manajemen terhadap aliran material dan aliran informasi serta modal yang mengikutinya dari awal sampai akhir mata rantai bisnis untuk mengoptimalkan
23
pemenuhan kebutuhan setiap lembaga di dalam rantai pasok tersebut. Tunggal (2011) mengutip definisi manajemen rantai pasok dari Ross (2008) adalah filosofi manajemen yang secara terus menerus mencari sumber-sumber fungsi bisnis yang kompeten untuk digabungkan baik yang ada di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan seperti mitra bisnis yang berada dalam satu rantai pasok untuk memasuki sistem supply yang kompetitif tinggi dan memperhatikan kebutuhan pelanggan, fokus pada pengembangan solusi inovatif dan sinkronisasi aliran produk, jasa, dan informasi untuk menciptakan sumber nilai pelanggan (customer value) yang bersifat unik. Yang membedakan rantai pasok dan manajemen rantai pasok adalah adanya koordinasi dan keterikatan antar pelaku-pelaku bisnis dalam satu rantai pasok, yaitu suatu kesadaran bersama untuk membangun jaringan bisnis yang saling membantu, saling menguntungkan dan terikat satu sama lain dalam satu disiplin dalam rangka membangun suatu kebersamaan untuk menghasilkan nilai guna yang dapat memberikan kepuasan bagi konsumen akhir. Masing-masing pelaku bisnis terbangun oleh satu ikatan kepentingan yaitu menghasilkan keuntungan (surplus produsen) yang berkelanjutan atau adanya ikatan yang saling membutuhkan, saling memelihara, dan saling membesarkan, dan bebas dari persaingan internal dalam satu rantai pasok, namun membangun keunggulan kompetitif dengan produk sejenis atau produk subtitusinya (Widodo, et al., 2011). Dipertegas juga oleh Hervani, et al. pasok
(2005) bahwa
manajemen rantai
harus melibatkan koordinasi dan manajemen suatu jaringan yang
kompleks tentang aktivitas pengembangan dari produk jadi hingga pemakai terakhir atau pelanggan. Childerhouse dan Topwill (2002) dan Huang, et al.
24
(2003) memastikan ada perusahaan yang berperan sebagai integrator di antara para
pelaku
bisnis:
supplier,
menggunakan media informasi.
firm,
distributor,
dan
customer
dengan
Dalam penelitian ini yang berperan sebagai
integrator adalah avalis, yaitu perusahaan yang berperan sebagai penyedia teknologi, informasi, fasilitas dan modal, sementara Pembina Wilayah/Koperasi berperan sebagai lembaga mediasi atau penghubung antara kelompok tani dengan avalis. Manajemen rantai pasok sebagai alat yang ampuh untuk mencapai kolaborasi, sementara kolaborasi merupakan media dalam menfasilitasi aliran teknologi, informasi, modal dan komoditas. Di pihak lain Mathuramaytha (2011) telah menggagas model teoritis kolaborasi (kerjasama) yang dikaitkan dengan keunggulan kompetitif produk dan kinerja organisasi.
Kelebihan manajemen
rantai pasok sangat banyak, seperti pengurangan kerugian produk, peningkatan penjualan, pengurangan biaya transaksi, kontrol yang lebih baik dari kualitas dan keamanan produk dan diseminasi teknologi, modal dan pengetahuan di antara mitra. Manajemen rantai pasok telah dikembangkan dan diimplementasikan di seluruh rantai untuk menjamin optimal keragaan rantai pasok (Roekel, et al., 2002). Dalam penelitian ini, keragaan manajemen rantai pasok ditunjukkan oleh indikator koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal yang dihubungkan dengan kesejahteraan petani. 2.2.3 Manajemen Rantai Pasok Untuk Agroindustri Perusahaan yang bergerak pada agroindustri adalah perusahaan yang menghasilkan input pertanian dan yang mengolah freshmaterial dari pertanian. Freshmaterial produk pertanian memiliki sifat antara lain musiman, perishable
25
dan variasi dalam produksi. Sifat-sifat ini akan berpengaruh dalam rantai pasoknya. Sifat musiman dari produk pertanian membutuhkan waktu penyimpanan yang cukup lama untuk disesuaikan dengan permintaan konsumen. Juga produk pertanian dihasilkan dari kebun atau ladang petani yang letaknya tersebar mengharuskan untuk dibawa ke pusat pengolahan dan kemudian produk olahannya didistribusikan kepada para pelanggan yang letaknya tersebar. Karakteristik ini menempatkan moda transportasi sebagai nadi dari pergerakan material dalam satu rantai pasok (supply chain). Memperbaiki sifat-sifat yang negatif dari produk pertanian segar ini dirasakan semakin dibutuhkannya peranan dari teknologi pengolahan pangan, teknologi informasi, pengetahuan dan softasset-lainnya dalam meminimalisasi biaya dalam manajemen yang berbasis rantai pasok (Widodo, et al., 2011). Ada enam faktor kunci yang harus diperhatikan dalam manajemen rantai pasok untuk agroindustri yaitu: kualitas, teknologi, logistik, teknologi informasi, regulasi kebijakan dan konsumen (Bourlakis dan Weigtman, 2004). Tujuan
dari
manajemen
rantai
pasok
untuk
agroindustri
adalah
meminimalisasi biaya dalam setiap aktivitas dalam rantai pasok guna memperbesar keutungan total, yaitu meminimalisasi loss dan reject product, mengefisiensikan biaya proses, biaya angkut dan biaya simpan per unit, sehingga harga jual di tingkat konsumen dapat ditekan untuk memberikan kepuasan konsumen yang lebih besar. Sementara Tunggal (2011) menyebutkan tujuan dari manajemen rantai pasok adalah memaksimalkan persaingan dan keuntungan (laba) bagi perusahaan dan seluruh lembaga dalam rantai pasok termasuk pelanggan akhir.
Dalam penelitian ini dianalisis sejauh mana
26
keterkaitan antara manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis terhadap kesejahteraan petani jagung, serta keberlanjutan pasokan jagung dari petani ke pedagang perantara (pemasok). 2.2.4 Sistem Indek Pengukuran Keragaan Manajemen Rantai Pasok Pengembangan balanced scorecard adalah suatu metode pengukuran yang mengintegrasikan pengukuran keragaan keuangan dan kekuatan yang mengendalikan keragaan manajemen rantai pasok pada masa yang akan datang yang mencerminkan keseimbangan tujuan jangka pendek dengan tujuan jangka panjang baik indek keuangan maupun indek non-keuangan dan indek-indek lainnya dengan mempertimbangkan strategi untuk mencapai tujuan. Pengembangan balanced scorecard (the enhanced balanced scorecard) terdiri atas 5 (lima) aspek yaitu: loyalitas pelanggan, prosedur rantai pasok, pengembangan ke depan, nilai keuangan dan nilai dari lingkungan (Guangyin, et al., 2010).
Oleh karena pengukuran ini merupakan pengembangan atas
metode pengukuran keragaan rantai pasok yaitu balanced scorecard, maka sistem indek ini diintroduksi dengan mengambil salah faktor kunci sebagai indikator integrasi proses bisnis: hubungan baik dengan pelanggan, prosedur operasonal dengan biaya rendah, pengembangan ke depan, kesehatan aliran kas, dan penyerapan tenaga kerja. 2.2.5 Teori Kolaborasi Rantai Pasok (The Supply Chain Collaboration Theory) Hampir semua lembaga atau organisasi sedang dalam proses mengadopsi manajemen rantai pasok yang mana pada akhir-akhir ini mulai dirasakan bahwa manajemen rantai pasok tidak cukup untuk meningkatkan efisiensi suatu organisasi, melainkan masih diperlukan peningkatan keunggulan
27
kompetitif komoditas melalui peningkatan efisiensi. Kolaborasi adalah salah satu yang mampu mengatasi masalah inefisiensi (Mathuramaytha, 2011).
Keragaan Pasar Keragaan Organisasi Keragaan Keruangan
Keunggulan Kompetitif
Kolaborasi Rantai Pasok Ketidak Pastian Lingkungan : • Ketidak Pastian Pelanggan • Ketidak Pastian Supplier
Y1 BIF
SNK
Keterangan : BIF = Berbagi informasi SNK = Singkronisasi keputusan KSI = Keselarasan insentif
Y2
Y3
Y4
Y5
KSI
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5
= = = = =
Rasio Harga/Biaya Kualitas produk Ketergantungan pengiriman Inovasi produk Waktu tempuh ke pasar
Gambar 2.2 Konsep Model Teoritis Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Sumber : Mathuramaytha (2011).
Telah
banyak
diidentifikasi
bahwa
meningkatkan keragaan rantai pasok.
kolaborasi
(kerjasama)
mampu
Dengan kolaborasi dapat berbagi
investasi besar, resiko, dan sumber daya, serta meningkatkan pertumbuhan yang wajar dan laba atas investasi.
Kolaborasi telah terbukti sebagai kekuatan
pendorong yang efektif bagi organisasi rantai pasok, sehingga dapat dianggap sebagai kemampuan inti. Kolaborasi antar lembaga yang terlibat dalam rantai pasok telah mampu memastikan pencapaian manfaat potensial. Munculnya teori kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory) menciptakan kebutuhan pada level antara agar dapat membantu para anggota berhasil dalam berkolaborasi, yaitu manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis. Kolaborasi telah banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir, sehingga dalam penelitian ini akan dielaborasi kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui berbagi informasi, membuat keputusan bersama, dan berbagi manfaat dari dicapainya keuntungan yang lebih besar serta dicapainya kepuasan konsumen akhir yang lebih tinggi
28
bila dibandingkan bertindak sendiri-sendiri. Konsep kolaborasi terdiri atas 3 (tiga) demensi, yaitu : berbagi informasi,
sinkronisasi keputusan, dan keselarasan
insentif (Mathuramytha, 2011). Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok mendukung keunggulan kompetitif produk.
Keunggulan kompetitif menunjukkan bahwa sejauh mana
sebuah organisasi mampu menciptakan perlindungan atas produknya dari para pesaing. Keunggulan kompetitif terdiri atas 5 (lima) demensi yaitu : harga yang kompetitif, harga premium, nilai ke pelanggan yang berkualitas, pengriman yang dihandalkan dan inovasi produksi (Mathuramaytha, 2011). Konsep model teoritis kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok ini diadopsi dalam sistem indek pengukuran keragaan rantai pasok dari Guangyin, et al. (2010) dan indikator keragaan keuangan dari Safiee, et al. (2011).
Lebih
lanjut bahwa konsep model kolaborasi di atas dilengkapi dengan menggunakan kepuasan pelanggan dari Mentzer, et al. (2001) cit.
Ballau (2004) surplus
produsen, pengeluaran rumah tangga dan tabungaan investasi sebagai indikator kesejahteraan petani (Just, et al. , 2004). Keragaan manajemen rantai pasok sudah banyak diteliti di antaranya Irmawati (2007) dan Adinugroho (2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan elaborasi keterkaitan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan petani jagung yang mana indikator masing-masing diintroduksi dari Thomas dan Grifin (1996) dan Widodo et al., (2011); dan Hervani, et al. (2005) menegaskan bahwa manajemen rantai pasok harus melakukan koordinasi dalam suatu jaringan bisnis yang komplek tentang aktivitas pengembangan dari suatu produk.
29
Konsep model teoritis kolaborasi rantai pasok dari Mathuramaytha (2011) di atas yang menempatkan keragaan organisasi sebagai outcome dimodifikasi dengan kesejahteraan petani sebagai outcome penelitian ini, sebab petani merupakan satu di antara pelaku dalam rantai pasok jagung, sehingga tidak saja menganalisis hubungan kolaborasi
antar lembaga dengan manajemen rantai
pasok, namun melihat pengaruh kolaborasi antar lembaga dan manajemen rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani jagung. 2.2.6 Teori Surplus Produsen Surplus produsen menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai balas jasa atas penggunaan faktor-faktor produksi langka (input) dan hasil produksi (output). Oleh karena surplus produsen dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat, maka surplus produsen dapat pula digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani jagung. Surplus produsen adalah keuntungan produsen karena adanya selisih harga yang sebenarnya (harga pasar) dengan harga yang bersedia diterima oleh produsen untuk melepaskan hasil produksinya. kontribusi dari suatu kegiatan produksi.
Selisih ini merupakan marjin
Secara geometri, surplus produsen
sama dengan ½ marjin kontribusi dikalikan kuantitas produksi. Sinaga (1989) telah merumuskan secara matematik perubahan surplus produsen: SP = QSb (Hb-Hs) ± 0,5 (QSb-QSs)(Hb-Hs) Keterangan : SP = surplus produsen H = harga s = skenario
QS b
= jumlah penawaran = dasar (basis)
30 P MC, S ATC AVC
P0 P1
MR q0
q
Gambar 2.3 Surplus Produsen Sumber : Dimodifikasi dari Just, Hueth dan Schmitz (2004) Keterangan: P = harga q = kuantitas produksi Dalam
menganalisis
proses
terbentuknya
surplus
produsen
dapat
dijelaskan melalui pendekatan biaya marjinal (MC) dan biaya rata-rata total (ATC), biaya rata-rata variabel (AVC) dan marginal revenue (MR) sebagai mana tampak pada Gambar 2.3. Just, et al. (2004) menyatakan bahwa laba dapat mengukur surplus produsen dan kesejahteraan produsen dengan menggunakan kriteria variasi kompensasi (compensating variation) dan variasi equivalen (equivalent variation). Dalam pasar persaingan sempurna, tidak ada timbul surplus produsen bagi produsen individu, dengan kata lain keuntungan ekonomi didorong menjadi nol. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang diukur surplus produsennya adalah usahatani dengan asumsi struktur pasar persaingan sempurna, maka lebih tepat apabila yang dianalisis adalah marjin kontribusi masing-masing usahatani. Pada Gambar 2.3 besarnya compensating variation adalah daerah yang diarsir, karena profit pada p0 yang lebih besar dari pada p1. Pada sisi lain, equivalent variation yaitu jumlah uang yang jika diberikan kepada produsen tidak merubah tingkat kesejahteraanya bila terjadi penurunan harga dari p0 ke p1 , yang
31
besarnya sama dengan equivalent variation.
Jadi suplus produsen adalah
daerah di atas kurve penawaran S=MC (supply) dengan batas tertinggi harga dengan batas bawah kurve AVC (kurve biaya variabel rata-rata minimum). Dengan demikian perubahan surplus produsen mencerminkan perubahan kesejahteraan para pemilik faktor produksi berupa sewa bagi pemilik faktor produksi tetap, upah bagi tenaga kerja dan bunga bagi pemilik modal dan keuntungan bagi manajemen perusahaan. Dengan demikian, surplus produsen merupakan akumulasi dari rantai nilai yang dihasilkan oleh pihak yang terlibat dalam rantai pasok. 2.2.7 Teori Strategi Kompetitif (The Competitive Strategy Theory) Yang membedakan rantai pasok dengan bukan rantai pasok terletak pada cara memandang persaingan.
Dalam rantai pasok yang bersaing adalah
keseluruhan lembaga dalam rantai pasok, bukan bersaing secara individual (Christopher, 2002; Anatan dan Ellitan, 2008). Keunggulan kompetitif ada pada level konsumen, sehingga keberhasilan atau kegagalan rantai pasok ditentukan oleh konsumen akhir.
Keunggulan
kompetitif ditentukan oleh kemampuan dalam menyediakan kualitas dan kuantitas produk yang tepat, harga yang tepat dan waktu yang tepat yang direspon positif oleh konsumen.
Dengan kata lain mampu memaksimalkan
kepuasan konsumen dengan pemahaman perubahan situasi pasar. Dari sisi produsen mampu menghasilkan produk yang berkualitas dengan biaya yang minimal.
Kemampuan relatif internal rantai pasok dalam
meminimalisasi biaya pada kualitas produk sejenis tertentu disebut keunggulan komparatif.
Mengkombinasikan keungulan komparatif dan kompetitif menjadi
bagian integral dari strategi rantai pasok dalam memenangkan persaingan.
32
Mengkombinasikan keunggulan komparatif dan kompetitif suatu produk yang
berada
dalam
tanggungjawab
dan
koordinasi
integrator
dengan
menerapkan teori strategi kompetitif (the competitive strategy theory) dinilai sebagai strategi yang tepat. Teori strategi kompetitif dikembangkan oleh Michael F. Porter dari Harvard Business School. Teori strategi kompotetif ini selanjutnya dikenal dengan analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam keuntungan. Ada 5 (lima) model (five forces model) analisis menurut Porter yaitu (Porter, 1988) 1. Ancaman Pendatang Baru (threat of new entrants) Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari ancaman pendatang baru: a. Skala ekonomi, apabila dapat diproduksi dengan skala kecil, maka dengan mudah pesaing baru masuk dengan skala industri yang sama. b. Kurve pembelajaran, untuk mendapatkan skala ekonomi yang efisien dibutuhkan jangka waktu tertentu, semakin cepat dicapai tingkat efisiensi yang tinggi, maka semakin cepat datangnya ancaman dari pesaing baru; c. Biaya yang tidak terkait dengan skala produksi, jika memiliki softasset, seperti hak paten, merek dagang, akses ke bahan baku, hak manajemen / perizinan dari pemerintah, serta adanya barrier yang diberikan pemerintah, maka akan menghambat masuknya pesaing baru; d. Diferensiasi produk, yaitu produk yang dihasilkan memiliki keunikan yang sulit ditiru akan menghambat masuknya pesaing baru;
33
e. Kebutuhan modal, apabila dalam proses produksi memerlukan modal yang relatif kecil untuk mencapai skala yang efisien, maka ancaman datangnya pesaing baru akan semakin besar, sebaliknya apabila membutuhkan modal yang besar akan menghambat datangnya pesaing baru; f.
Biaya perpindahan, adalah biaya yang dibutuhkan untuk pindah dari satu suppliers
ke suppliers lainnya.
Jika tidak membutuhkan biaya
perpindahan yang besar, maka akan memperbesar peluang masuknya pesaing baru; g. Akses ke jalur distribusi adalah sejauh mana dapat memanfaatkan jalur distribusi yang tersedia dalam memasarkan suatu produk. Jalur distribusi memiliki peranan yang krusial bagi industri, sebab kesalahan dalam memilih jalur distribusi dapat menghambat pendistribusian produk, dalam hal ini apakah menganut prinsip close distribution channel atau open distribution chanel. h. Antisipasi pertumbuhan. Pangsa pasar yang besar kurang berpengaruh terhadap datangnya pesaing baru, namun bila pangsa pasar relatif kecil, sementara pendatang baru dengan cepat bertambah jumlahnya, maka akan
sangat
terasa
pengaruhnya
bagi
tercapainya
keuntungan
perusahaan, sebab pangsa pasar yang tersedia akan dibagi dengan jumlah
pelaku
bisnis
yang
banyak,
maka
masing-masing
akan
memperoleh share yang relatif kecil. 2. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pemasok (bargaining power of suppliers) Antara industri dan pemasok saling membutuhkan, sehingga tercipta hubungan satu dengan lain dalam jalinan tawar-menawar, di mana industri
34
menghendaki agar memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang relatif lebih murah, sementara pemasok menghendaki harga penjualan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu terjadi nego dalam menentukan harga, atau
menyediakan potongan harga khusus bagi industri.
Ada beberapa teknis
pelaksanaan potongan ini: a. Credite After Delevery, biasanya tampa potongan dengan masa tenggang maksimal 2 bulan; b. Cash on Delevery, disediakan discount harga yang besarnya 1 s.d 5%; c. Cash Before Delevery, di samping memperoleh discount for cash on delivery, juga menerima discount sales yang besarnya antara 1 s.d 5%. Apabila pemasok memiliki bargaining power yang kuat, maka pemasok dapat menawarkan harga yang tinggi untuk menangkap keuntungan industri, dan sebaliknya bila persaingan antar pemasok relatif ketat dan bargaining power-nya rendah, maka pemasok menawarkan harga yang rendah. 3. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pembeli (bargaining power of buyers) Efisiensi dalam rantai pasok akan berdampak pada harga beli. Pembeli menghendaki harga yang rendah untuk memaksimalkan kepuasannya, sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jumlah dari jenis barang. Menghadapi harga suatu produk tertentu, pembeli sebagai penentu harga tergantung pada struktur pasarnya.
Pasar dengan struktur monopsoni,
pembeli lebih kuat pengaruhnya dalam menentukan harga, sementara menghadapi pasar monopoli, maka pembeli hanya sebagai penerima harga (price taker), sedangkan penjual sebagai penentu harga (price maker). 4. Ancaman Produk atau Jasa Pengganti (threat of substitute products and services)
35
Ancaman produk atau pengganti ini sangat tergantung pada sifat hubungan antara produk atau jasa yang ditawarkan dengan produk atau jasa pengganti. Bagi produk pengganti yang bersifat subtitusi sangat tergantung pada elastisitas harga silangnya. Perubahan harga relatif produk pengganti akan mempengaruhi kuantitas produk yang diminta atau ditawarkan. Bagi produk dengan elastisilas silang yang elastis, maka perubahan harga yang kecil dari produk pengganti akan berdampak pada perubahan kuantias yang relatif besar. Semakin banyak produk atau jasa subtitusi yang tersedia di pasar, maka permintaan semakin elastis, sebab pembeli semakin banyak pilihan dalam membeli produk atau jasa yang tersedia.
Di antara produk subtitusi dari
jagung adalah beras, kacang kedele, kacang tanah dan kacang hijau. Peningkatan harga beras akan berdampak pada peningkatan harga jagung, demikian pula kenaikan harga kedele akan berdampak pada meningkatnya harga jagung, sebab jagung merupakan subtitusi dari beras dan kedele. 5. Persaingan Kompetitif Antar Industri (competitive rivalry within the industry). Apabila persaingan dalam industri rendah, mencerminkan struktur pasar yang cenderung kearah monopoli atau monopsoni.
Hal ini harus dicegah
dengan
pasar,
meningkatkan
akses
untuk
memasuki
yaitu
dengan
memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk masuk sebagai pesaing baru. Tetapi bagi perusahaan memerlukan suatu keunikan produk agar tetap pada posisi struktur pasar yang monopolitik. Bagi perusahaan dapat memilih beberapa alternatif berikut untuk mengejar suatu keuntungan, yaitu: a. Mengubah harga untuk mendapatkan keuntungan sementara;
36
b. Menambah diferensiasi produk, menambah atribut, menambah vitur, dan inovasi kegunaan produk; c. Melakukan kreasi dalam distribusi, misalnya melakukan integrasi vertikal atau memperluas jangkauan wilayah pemasaran dengan membentuk dealer distributor di daerah-daerah yang selama ini masih blankspot. d. Melakukan eksploitasi relasi dengan pemasok dan menggandeng pemasok produk lain yang telah memiliki pangsa pasar yang luas, misalnya mengintegrasikan penjualan benih jagung dengan pupuk yang memiliki jaringan pemasaran yang luas. Sekaitan dengan five forces, Porter mengidentifikasi tiga strategi umum pada tingkat unit bisnis, yaitu: 1. Kepemimpinan dalam biaya, yaitu mampu menekan biaya seminimal mungkin, sehingga menjadi yang paling efisien dalam industri; 2. Deferensiasi dalam produk, yaitu memiliki keunikan produk yang tidak dapat ditiru oleh firm lain dalam industri, sehingga memiliki pelanggan yang loyal; 3. Fokus pada satu produk yang menjadi handalan.
BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Fikir Produksi jagung di Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 2001 s.d 2010 menunjukkan trend yang meningkat (BPS NTB, 2011). Menurut pendapat Sjah (2011) laju peningkatan eksponensial produksi jagung di NTB sebesar 22,36%/tahun.
Peningkatan produksi jagung tersebut belum diikuti oleh
peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan (Tabel 1.2), disebabkan harga jagung yang diterima relatif rendah bila dibandingkan dengan biaya sosial yang dikorbankannya (Sadikin, 1999). Persoalan kebijakan harga dan mekanisme pasar jagung yang tidak transparan di NTB
berimplikasi terhadap kesejahteraan petani jagung.
Sementara transfer bersih yang menggambarkan perubahan surplus produsen yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah menunjukkan angka negatif, dihitung dari hasil pengurangan antara keuntungan bersih yang diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi
pengalihan surplus dari produsen jagung ke pihak lain.
Kehilangan surplus
terbesar adalah terjadi pada rejim perdagangan sebesar Rp 2,83 juta/ha/musim. Artinya, dalam agribisnis jagung di daerah NTB telah terjadi pengalihan keuntungan dari pihak produsen (petani) ke pihak lain di luar manajemen agribisnis jagung, baik sebagai pelaku pasar input, maupun pelaku pasar output. Juga keuntungan yang diterima petani jagung di NTB lebih rendah daripada tingkat keuntungan sosial yang seharusnya. Pengaruh dari kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar ketika itu berdampak negatif terhadap struktur biaya
38
produksi, sebab biaya yang diinvestasikan petani lebih besar daripada tambahan keuntungan yang dapat diterimanya (Sadikin, 1999). Pada aspek pemasaran, petani dihadapkan pada keterbatasan akses pasar dan informasi pasar (Anonimous, 2012). Akibatnya adalah apabila harga naik di tingkat konsumen, maka informasi kenaikan harga itu terlambat disampaikan ke petani, sebaliknya bila harga turun, maka segera para pedagang menginformasikannya kepada para petani. Dengan penguasaan informasi yang asimetris tersebut, para pedagang mengambil keuntungan dengan memperbesar majin pemasaran (Tanaya, et al., 2002).
Dengan demikian petani menerima
harga yang relatif rendah. Rendahnya harga yang diterima oleh petani tidak terlepas dari kondisi persaingan di antara para petani, di mana struktur pasar di tingkat petani yang mendekati monopsoni, yaitu sejumlah besar petani menjual jagung dengan atribut yang hampir sama, berhadapan dengan sejumlah kecil pembeli. Dengan demikian posisi tawar (bargaining position) petani menjadi relatif rendah. Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah petani melakukan kolaborasi (kerjasama) dengan perusahaan membentuk organisasi rantai pasok jagung. Membentuk organisasi rantai pasok jagung dinilai belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani, namun komoditas jagung harus dibuat efisien atau dibuat memiliki keunggulan kompetitif. Banyak hasil penelitian telah membuktikan peningkatan
bahwa
kolaborasi
keunggulan
(kerjasama)
kompetitif.
Dinamika
memberikan kolaborasi
harapan telah
bagi
banyak
diidentifikasi sebagai suatu strategi yang penting dalam meningkatkan keragaan manajemen rantai pasok (Hamid, 2011; Anatan dan Elitan, 2008). Kolaborasi telah disebut sebagai kekuatan pendorong yang efektif untuk mencapai tujuan
39
manajemen rantai pasok. Dengan demikian kolaborasi dapat dianggap sebagai kemampuan
inti
untuk
menghasilkan
keragaan
organisasi
yang
tinggi
(Mathuramaytha, 2011). Model bisnis yang terintegrasi dan kolaboratif telah disarankan sebagai suatu
pendekatan
bisnis
yang
memungkinkan
perusahaan
untuk
mengkombinasikan informasi lokal dan global untuk mencapai proses yang multifokus dan fleksibel Spekman, et al.
(Bartezzaghi, 1999).
Argumen ini diperkuat oleh
(2001) yang mengemukakan bahwa integrasi proses bisnis
pada level multi-entrprise akan membawa dampak pada peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan dan peningkatan keragaan keseluruhan perusahaan dalam rantai pasokan melalui penciptaan nilai (Anatan dan Elitan, 2008). Keunggulan kompetitif adalah kemampuan organisasi rantai pasok untuk melakukan proteksi atas produk mereka dalam menghadapi persaingan di pasar dari serangan para pesaing. Untuk menguatkan keunggulan kompetitif ini Porter (1988) mengajukan teori strategi kompetitif (the strategy competitive theory) yang dikenal dengan analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu: 1) ancaman pendatang baru, 2) kekuatan tawar menawar dari pemasok, 3) kekuatan tawar menawar dari pembeli, 4) ancaman produk atau jasa pengganti,
dan
5)
persaingan
kompetitif
antar
industri.
Analisis
ini
membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam keuntungan (E.M.Porter, http://id.wikipedia.org/ wiki/Michael-Porter, 2011).
40
Mekanisme tarik menarik antara kekuatan pembeli dan penjual akan berlaku dalam satu rantai pasok. Petani sebagai penjual mengharapkan harga jagung dapat ditingkatkan dengan mengambil surplus pada pedagang perantara, pedagang perantara akan menuntut harga jual yang lebih tinggi untuk mendapatkan surplus pada perusahaan industri pengolahan.
Sebailknya
perusahaan industri pengolah menghendaki harga beli yang lebih rendah untuk mendapatkan surplus pedagang perantara, demikian juga pedagang perantara menekan harga di tingkat petani untuk memperbesar marjin laba yang diperolehnya.
Mekanisme ini akan menghasilkan trade off yang dapat
mengoptimalkan
perolehan laba semua lembaga yang terlibat dalam rantai
pasok. Dalam kondisi persaingan sebagai mana diuraikan di atas, kunci sukses manajemen rantai pasok terletak pada kemampuan integrator dalam mengelola tiga pertalian sebagai berikut: PELANGGAN Menemukan manfaat yang dapat memenuhi kebutuhan pada harga yang dapat diterima
PESAING Kemampuan proteksi dari serangan pesaing
ORGANISASI RANTAI PASOK Asset dan pemanfaatannya
Gambar 3.1 Pertalian Manejemen Rantai Pasok (Anatan dan Elitan, 2008)
41
1. Pelanggan membutuhkan manfaat suatu barang, karena itu manajemen rantai pasok harus mampu menghasilkan keunikan produk yang dihasilkannya, serta mencari dan menemukan tingkat layanan yang dikehendaki oleh pelanggan sesuai dengan daya belinya, pengiriman tepat waktu, dan responsif terhadap kebutuhan dan keluhan konsumen (Spekman, et al., 2001 cit. Anatan dan Elitan, 2008). 2. Dalam menghadapi pesaing, maka organisasi rantai pasuk harus mampu mengoperasikan seluruh aktivitas secara efisien dengan memanfaatkan asset yang tersedia di dalam dan di luar organisasi rantai pasok. 3. Perusahaan yang berperan sebagai integrator mampu mengelola anggota rantai pasok agar dapat berproses pada biaya yang rendah dan memberikan manfaat sesuai kebutuhan pelanggan (konsumen). Kombinasi kekuatan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan keunggulan kompetitif dipandang sebagai adopsi solusi spesifik dalam proses yang berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Pengukuran keragaan merupakan suatu bagian dari proses manajemen strategik yang dapat memberikan informasi strategis komprehensif bagi para pengambil keputusan (Mulyadi, 2001 cit. Puspita, 2007). Pengukuran keragaan manajemen rantai pasok jagung merupakan satu upaya dalam manajemen yang berperan mengintegrasikan keragaman input, proses dan output dari seluruh sumberdaya yang tersedia. Keragaan manajemen rantai pasok diukur dengan menggunakan 4 (empat) indikator yaitu: koordinasi antar pelaku dalam rantai pasok, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal. Untuk memecahkan permasalahan utama penelitian ini yaitu “sejauhmana faktor kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok,
42
integrasi proses bisnis, dan keunggulan kompetitif terhadap kesejahteraan petnani dan memilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung” dan mencapai “goal“ penelitian, maka digunakan tiga grand teori yang menjadi acuan dalam membuktikan hipotesis, yaitu teori kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, teori strategi kompetitif dan teori surplus produsen. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut: Teori Kolaborasi Rantai Pasok
Teori Strategi Kompetitif
Goal Penelitian "Peningkatan Kesejahteraan Petani"
Teori Surplus Produsen
Gambar 3.2 Grand Teori Sebagai Kerangka Teoritis Untuk Mencapai Goal Penelitian Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung Kesejahteraan petani dapat tercapai apabila sebagian besar kebutuhan rumah tangga petani dapat terpenuhi dari pendapatan yang diperolehnya. Kebutuhan rumah tangga petani terdiri atas kebutuhan jangka pendek dan kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan jangka pendek adalah kebutuhan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang terdiri atas kebutuhan pangan, dan non pangan; sedangkan kebutuhan jangka panjang adalah tabungan untuk memenuhi kebutuhan investasi. Kerangka fikir penelitian dan hubungan antar variabel untuk meningkatkan kesejahteraan petani digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
43
INPUT
PROSES
X6
X5
X8
X7
Y6
X9
Y7
Y8
OUTPUT Y9
Z5
Manajem en Rantai Pasok
X2
X3
Z7
Keunggulan Kom petitif
X4 Y1
Ketidak Pastian Lingkungan : • Ketidak Pastian Pelanggan • Ketidak Pastian Supplier
Z6
Kesejahter aan Petani Pr odusen
Integr asi Pr oses Bisnis
X1
OUTCOME
Y2
Y3
Y4
Y5
Kolabor asi Antar Lem baga Dalam Rantai Pasok
BIF
Keter angan : X1 = Kesam aan Tujuan X2 = Pem bagian Per an & Tanggungjawab X3 = Pem bagian Resiko X4 = Fasilitator =X5 = Hubungan baik dengan pelanggan X6 = Pr osedur oper asional biaya r endah X7 = Pengem bangan ke depan X8 = Kesehatan alir an kas X9 = Penyer apan tenaga ker ja
SNK
KSI
Y1 = Efisiensi Y2 = Kualitas pr oduk Y3 = Keter gantungan pengir im an Y4 = Diver sifikasi pr oduk Y5 = Waktu tem puh ke pasar Y6 = Koor dinasi antar lem baga Y7 = Alir an pr oduk Y8 = Alir an pelayanan Y9 = Alir an m odal
Z5 = Sur plus pr odusen Z6 = Pengeluar an konsum si r um ah tangga petani Z7 = Pengeluar an investasi r um ah tangga petani BIF = Ber bagi infor m asi SNK=Sinkr onisasi keputusan KSI = Keselar asan Insentif
Gambar 3.3 3.3 Kerangka Fikir Penelitian dan Hubungan Antar Variabel UntukVariabel Meningkatkan Kesejahteraan Petani Gambar Kerangka Fikir Penelitian dan Hubungan Antar Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani
44
Sebagai input dalam penelitian ini adalah kondisi eksisting, yaitu kerjasama yang telah terbangunan antar petani dalam kelompok tani dan kerjasama antar kelompok tani dengan perusahaan yang berperan sebagai avails. Introduksi manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis sebagai proses, sementara keunggulan kompetitif jagung sebagai output, serta peningkatan kesejahteraan petani sebagai outcome. Dalam merumuskan hubungan kausalitas atau keterkaitan antar variabel didasarkan pada teori kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory) dari
Mathuramaytha (2011), sedangkan introduksi manajemen rantai
pasok dan integrasi proses binsis masing-masing didasarkan dari hasil penelitian Dewi (2013) dan pernyataan dari Bartezzaghi (1998) dan Spekman, et al. (2001). Demensi
kolaborasi
berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
keunggulan kompetitif dan kinerja organisasi (Mathuramaytha, 2011).
Dewi
(2013) mengemukakan bahwa manajemen rantai pasok berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif, sementara Bartezzaghi (1998) dan Spekman, et al. (2001) mengungkapkan integrasi proses bisnis berdampak positif bagi peningkatan keunggulan kompetitif. Konsep manajemen rantai pasok yang selama ini berangkat dari paradigma
meningkatkan
kepuasan
konsumen
telah
mengorbankan
kesejahteraan petani, sehingga cenderung tidak adil. Oleh karena itu paradigma tersebut perlu ditinjau dengan menyeimbangkannya dengan peningkatan kesejahteraan petani. Bartezzaghi (1999) dan Spekman (2001) mengemukakan bahwa perpaduan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi proses bisnis pada level multi-entrprise akan membawa dampak pada
45
peningkatan keunggulan kompetitif dan peningkatan keragaan keseluruhan perusahaan dalam rantai pasok melalui penciptaan nilai. Signifikansi pernyataan ini telah dibuktikan oleh penelitian Mathuramaytha (2011) sebagai mana telah ditegaskan di atas.
Penciptaan nilai diproses dalam manajemen rantai pasok
atas koordinasi integrator (perusahaan) dan regulasi Pemerintah Daerah. Oleh karena itu cukup beralasan untuk menduga bahwa integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok berpengaruh positf terhadap kesejahteraan petani. Outcome yang diharapkan dari manajemen rantai pasok adalah memaksimalkan laba keseluruhan anggota rantai pasok termasuk petani. Hasil penelitian yang dilakukan Kustiari (2008) mengindikasikan bahwa perubahan harga jagung dunia tidak ditransmisi sempurna ke harga pasar jagung domestik. Pada penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa perkembangan harga jagung di tingkat petani tidak mengikuti perubahan harga jagung tingkat dunia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sadikin (1999) di Provinsi Nusa Tenggara yang menemukan bahwa surplus produsen yang dihasilkan petani tidak seluruhnya dapat dinikmatinya, namun terjadi kebocoran kepada pelaku lain di luar usahatani jagung (on farm dan outfarm).
Melalui mekanisme kolaborasi antar
lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis diharapkan kebocoran ini dapat dihilangkan atau dikurangi, sehingga dapat meningkatkan surplus produsen, yang mana pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani jagung.
Atas dasar uraian ini, maka
diperoleh argumentasi yang rasional bahwa peningkatan integrasi proses bisnis dan perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani jagung.
46
3.2 Hipotesis Penelitian Sehubungan dengan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsep penelitian, dan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis-1
:
Integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok;
Hipotesis-2
:
Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berkorelasi positif dengan integrasi proses bisnis;
Hipotesis-3
:
Manajemen rantai pasok, kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi proses bisnis berpengaruh positif terhadap keunggulan kompetitif jagung;
Hipotesis-4
Manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani jagung;
Hipotesis-5
:
Peningkatan kesejahteraan petani jagung dapat diupayakan melalui strategi perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok serta peningkatan integrasi proses bisnis.
3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Rantai pasok adalah aliran produk, aliran informasi, aliran pelayanan dan aliran modal dari petani selaku produsen jagung sampai dengan peternak ayam sebagai konsumen pengguna dan sebaliknya. 2.
Manajemen rantai pasok adalah suatu manajemen terhadap aliran material dan aliran informasi serta modal yang mengikutinya dari awal sampai akhir
47
mata rantai bisnis untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan setiap lembaga dan koordinasi antar lembaga di dalam rantai pasok tersebut. 3.
Keragaan manajemen rantai pasok adalah ukuran penampilan prestasi yang dicapai dari hasil manajemen lembaga yang terlibat dalam rantai pasok mulai dari produsen sampai dengan pedagang perantara yang berperan sebagai integrator. Indikator yang digunakan dalam mengukur keragaan manajemen rantai pasok adalah koordinasi (Y6), aliran produk (Y7), aliran pelayanan (Y8) dan aliran modal (Y9). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala likert dari 1 (sangat tidak setuju) s.d 5 (sangat setuju), selanjutnya dihitung nilai tertimbang dengan mengalikan rata-rata skor dengan
bobot.
Penetapan
bobot
dianalisis
menggunakan
Analitical
Hyararchy Prosess (Lampiran 4). 4.
Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok (KRP) adalah kerjasama antara petani dengan perusahaan dan / atau koperasi untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan produktif.
Pengukurannya dilakukan dengan
merata-ratakan skala indikator, yaitu kesamaan tujuan (X1), pembagian peran dan tanggung jawab (X2), pembagian resiko (X3), fasilitator / pembina lapang (X4); 5.
Kesamaan tujuan (X1) adalah kesesuain tujuan antara petani dan pedagang yaitu sama-sama memuaskan pelanggan / konsumen (skala);
6.
Pembagian peran dan tanggung jawab (X2) adalah tingkat kejelasan pembagian peran dan tanggungjawab antara petani dan pedagang perantara (skala) yang mana petani berperan dan bertanggungjawab sebagai penyedia bahan
baku,
sementara
pedagang
perantara
melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran (skala);
sebagai
pihak
yang
48
7.
Pembagian resiko (X3) adalah tingkat kejelasan pembagian resiko antara yang ditanggung petani dan yang ditanggung pedagang perantara (skala);
8.
Fasilitator (X4) adalah intensitas ketersediaan fasilitator yang bertugas mendampingi (PL) petani dalam transfer teknologi dan manajemen usahatani (skala) yang disediakan oleh pedagang perantara;
9.
Berbagi informasi (BIF) adalah tindakan menangkap dan menyebarkan informasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilan keputusan, perencanaan dan pengendalian operasional rantai pasok (skala).
BIF
dengan indikator : informasi harga (U1), informasi teknologi (U2), dan informasi skim kredit (U3). 10. Singkronisasi keputusan (SNK) adalah proses pengambilan keputusan bersama yang dilakukan melalui diskusi atau pertemuan dalam kontek perencanaan dan operasional (skala) dengan indikator : V1= jenis input produksi, V2 = kuantitas input, dan V3 = biaya modal. 11. Keselarasan insentif (KSI) adalah kerelaan anggota rantai pasok berbagi biaya, resiko dan manfaat (Mathuramaytha, 2011) dan/atau memberikan insentif harga beli jagung petani dibandingkan harga pasar dan/atau dapat juga berupa hadiah atau penghargaan materi (skala). Indikator KSI adalah harga input (W1), harga output (W2), dan berbagi biaya (W3). 12. Ketidakpastian pelanggan (KPP) tingkat yang menggambarkan sejauhmana perubahan atas tuntutan selera pelanggan. Ketidakpastian pelanggan diukur dari tersedianya pelanggan (skala); 13. Ketidakpastian pemasok (KPS) tingkat yang menggambarkan sejauhmana perubahan dan ketidakpastian pasokan atas kualitas dan kinerja pengiriman.
49
Ketidakpastian pemasok diukur dari kepastian diperolehnya kualitas dan ketapan tibanya pengiriman (skala); 14. Integrasi proses bisnis (IRP) adalah serangkaian penggabungan proses untuk penciptaan nilai guna (manfaat) bagi para pelaku bisnis dari pengadaan
bahan
baku
(jagung),
proses
produksi,
pengangkutan,
penyimpanan, dan distribusi sampai di tangan pelanggan. Integrasi proses bisnis menyangkut aspek integrasi vertikal (memperpendek rantai pasok) dan integrasi horizontal (sharing dalam pemanfaatan barang-barang modal). Dalam penelitian ini integrasi proses bisnis diukur dari indikator hubungan baik dengan pelanggan (X5), prosedur operasional biaya rendah (X6), pengembangan ke depan (X7), kesehatan aliran kas (X8) dan penyerapan tenaga kerja (X9); 15. Hubungan baik dengan pelanggan (X5) adalah membina hubungan yang saling membutuhkan, membesarkan, dan menguntungkan bagi pelanggan (skala). 16. Prosedur operasi biaya rendah (X6) adalah jumlah biaya produksi per unit yang dapat dihemat akibat disatukannya berapa kegiatan untuk pananganan pascaproduksi (skala); 17. Pengembangan ke depan (X7) adalah rencana perluasan areal tanam usahatani jagung dengan mengintegrasikan sumberdaya internal dan eksternal organisasi / lembaga rantai pasok (skala); 18. Kesehatan aliran kas (X8) adalah pengawasan atas biaya dan menjaga aliran masuk dan keluar kas yang aman dari resiko kekurangan dana tunai. Kesehatan aliran kas diukur dari ratio likuiditias, yaitu ratio aktiva lancar dengan hutang lancar (skala);
50
19. Penyerapan tenaga kerja (X9) adalah jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas rantai pasok mulai dari usahatani, penangan pascaproduksi dan pemasaran (skala); 20. Keunggulan kompetitif (KKP) adalah kemampuan organisasi intra rantai pasok memproteksi diri dari serangan para pesaing (skala). Pengukurannya menggunakan indikator efisiensi (Y1); kualitas produk (Y2), ketergantungan pengiriman (Y3), diversifikasi produk (Y4), dan waktu tempuh ke pasar (Y5); 21. Efisiensi pada level petani atau usahatani (Y1) diukur dari produktivitas per hektar dengan target produktivitas 10 ton/ha jagung tongkol kering panen (skala); 22. Kualitas produk (Y2) adalah kualitas jagung dengan mengacu pada deskripsi kualitas yang ditetapkan pada Standard Nasional Indonesia di mana : SNI-1 = 5; SNI-2 = 4; SNI-3 = 3; Non SNI-1 = 2; dan Non-SNI-2 = 1. 23. Ketergantungan pengiriman (Y3) adalah ketersediaan fasilitas pengiriman produk dari produsen sampai dengan ke pedagang perantara yang ditunjukkan
dengan
banyaknya
alternatif
sarana
transportasi
dan
perusahaan jasa angkutan yang dapat diakses untuk pengiriman produk ke pelanggan dengan tepat waktu (skala); 24. Diversifikasi produk (Y4) adalah banyak variasi produk yang dihasilkan sesuai dengan selera dan kebutuhan konsumen (skala); 25. Waktu tempuh ke pasar (Y5) adalah jumlah waktu yang dibutuhkan pengadaan bahan baku sampai dengan tibanya produk kepada pedagang perantara (skala); 26. Manajemen rantai pasok (MRP) adalah suatu proses pengelolaan sumber daya yang tersedia di internal dan eksternal rantai pasok dari produsen
51
sampai dengan pedagang perantara untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan setiap lembaga yang terlibat di dalam rantai pasok guna menghasilkan nilai bagi pelanggan (Widodo, et. al., 2011; Anatan dan Elitan, 2008).
Manajemen rantai pasok diukur dari indikator (skala): koordinasi
antar lembaga (Y6), aliran produk (Y7), aliran pelayanan (Y8) dan aliran modal (Y9); 27. Koordinasi antar lembaga (Y6) adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah intra dan antar organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien. Koordinasi ini diukur dari frekuensi pelaksanaan koordinasi antara petani dengan pedagang (skala); 28. Aliran produk (Y7) adalah arus perpindahan produk jagung dari petani ke pedagang perantara (skala); 29. Aliran pelayanan (Y8) adalah tindakan memenuhi harapan pelanggan dalam memberikan perlakuan yang baik dan nyaman (skala); 30. Aliran modal (Y9) adalah persentase pembiayaan yang ditransfer dari pihak kreditur kepada petani dan/atau pedagang perantara dan sebaliknya (skala); 31. Kesejahteraan petani (KSP) adalah ukuran (skala) yang menggambarkan kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang meliputi kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan serta rekreasi. Kesejahteraan petani jagung diukur dari besaran surplus produsen (Z5), pengeluaran konsumsi (Z6) dan pengeluaran investasi rumah tangga petani (Z7); 32. Surplus produsen (Z5) adalah besaran keuntungan yang diterima oleh produsen dengan menjual pada mekanisme harga pasar yang lebih tinggi daripada harga minimal yang mereka bersedia untuk menjualnya. Harga
52
minimal sama dengan biaya variabel rata-rata. Perubahan surplus produsen dihitung dengan rumus (Sinaga, 1989; Dumairy, 2012): q SP = (H – BVR) x ___ 2 Keterangan : SP = surplus produsen (Rp) H = harga pasar (Rp/kg) BVR = biaya variabel rata-rata (Rp/kg) q = produktivitas (kg/ha) 33. Pengeluaran konsumsi rumah tangga (Z6) adalah
seluruh pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga (skala); 34. Pengeluaran Investasi rumah tangga (Z7) adalah jumlah penghasilan yang disisihkan untuk tujuan investasi. Investasi adalah pengeluaran dengan harapan memperoleh penghasilan pada masa yang akan datang (skala). 35. Pendapatan rumah tangga diukur melalui pendekatan pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan, pengeluaran investasi dan pengeluaran sosial dinyatakan dalam satuan rupiah per orang per bulan, selanjutnya diklasifikasi berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) September 2012 sbb: No
Daerah
1 Perkotaan 2 Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Sumber: BPS, 2012
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Pangan Non Pangan Total 194 207 83 175 277 382 185 967 54 474 240 441 190 758 68 762 259 520
36. Strategi prioritas terbaik adalah pemilihan alternatif jalur yang pengaruhnya terbesar terhadap peningkatan kesejahteraan petani jika dibandingkan dengan jalur lainnya. Strategi prioritas terbaik dipilih dari koefisien jalur dan koefisien diterminan terbesar daripada koefisien jalur dan koefisien diterminan lainnya.
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pelaksanaannya dilakukan dengan pengumpulan fakta-fakta, diolah, disusun dan dihubungkan antara satu atau beberapa variabel dengan variabel lainnya untuk diinterpretasi secara tepat dan rasional. Penelitian bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu peristiwa rantai pasok jagung yang meliputi koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, aliran modal ke / dari petani secara sistematis, faktual dan akurat. Pendekatan kuantitatif terkait dengan hipotesis yang dibangun sebagai jawaban sementara atas permasalahan penelitian dan mencapai tujuan yang diinginkan atas dasar teori dengan menggunakan analisis Model Persamaan Struktural Pangkat Terkecil Parsial (Structure Equation Modeling - Partial Least Square) dan matematika serta interpretasinya menggunakan narasi. Data atau informasi kualitatif ditransformasi menjadi kuantitatif dengan teknik skor menggunakan skala Likert. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mengelaborasi proses interaksi suatu variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya, yaitu bagaimana interaksi variabel manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis mempengaruhi variabel kesejahteraan petani. Situasi, kondisi lokal dan kebutuhan-kebutuhan stakeholders serta perubahan yang terjadi ketika dilaksanakan penelitiaan diangkat sebagai nomena yang memperjelas proses interaksi antar variabel, sehingga dapat menjelaskan proses terjadinya fenomena sosial ekonomi di dalam lingkup objek penelitian (Sarwono, 2002).
54
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ditentukan secara purposive, yakni di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) karena merupakan daerah sentra produksi jagung berdasarkan indikator luas panen dan produksi tertinggi dan tersedia kelembagaan pemasaran terlengkap dan juga sebagai sentra pemasaran jagung di NTB. Luas panen, produksi dan produktivitas jagung per kabupaten tahun 2010 disajikan pada Lampiran 1.1. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Waktu pengumpulan data dilaksanakan dari bulan September 2012 s.d Januari 2014.
Periode waktu tersebut digunakan untuk pengumpulan data
sekunder dan primer sebagai bahan penyusunan proposal, hasil penelitian dan pembahasannya.
4.3 Metode Pengambilan Sampel Pemilihan kecamatan sampel juga dilakukan dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling, yaitu kecamatan yang merupakan sentra produksi jagung di Kabupaten Lombok Timur. Penentuan kecamatan dilakukan dengan pertimbangan luas panen dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya. Berdasarkan data statistik bahwa sentra produksi jagung di Kabupaten Lombok Timur adalah Kecamatan Pringgabaya dan Kecamatan Wanasaba. Kecamatan Pringgabaya merupakan sentra produksi jagung yang diusahakan di lahan kering (ladang), sedangkan Kecamatan Wanasaba sebagai sentra budidaya jagung di lahan sawah. Data statistik luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011 disajikan pada Lampiran 1.2.
55
Pada tahun 2010 di Kecamatan Pringgabaya terdapat 14 desa yang mengusahakan jagung diantaranya desa Pringgabaya Utara yang memiliki luas panen dan produksi serta jumlah petani lebih banyak bila dibandingkan desa lainnya (Kecamatan Pringgabaya Dalam Angka Tahun 2010).
Sedangkan di
Kecamatan Wanasaba dari 10 desa yang mengusahakan budidaya jagung terdapat Desa Bebidas yang memiliki luas panen dan produksi dan jumlah petani lebih banyak bila dibandingkan desa lainnya (Kecamatan Wanasaba Dalam Angka Tahun 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lembaga yang terlibat dalam satu segmen rantai pasok jagung dari petani, pedagang perantara / pemasok dan konsumen pengguna jagung (peternak ayam petelur). Atas dasar pertimbangan kelembagaan tersebut, maka pengambilan sampel dilakukan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu sampel petani jagung, pedagang perantara / pemasok dan peternak ayam petelur. 1. Sampel Petani Unit analisis pada penelitian ini adalah rumah tangga petani yang berusahatani jagung dengan pertimbangan bahwa penelitian ini melibatkan kelembagaan petani sebagai hulu (up stream) dari rantai pasok jagung. Jumlah unit populasi di lokasi penelitian sebanyak 3.098 rumah tangga petani terdiri dari jumlah unit populasi di Desa Bebisas sebanyak 1.167 dan di Desa Pringgabaya Utara sebanyak 1.931 unit rumah tangga petani jagung. Jumlah unit populasi tiap-tiap desa dapat dibaca pada Tabel 4.1. Jumlah unit sampel di tiap-tiap desa dihitung menggunakan rumus (Parel, et al., 1973):
56
2 2 NZ σ
n = ________________ 2
2
…………………………………….
(4. 1)
σ
2
N.d + Z Keterangan: n = jumlah unit sampel N = jumlah unit populasi d = simpangan maksimum yang bisa ditoleri = 0,05 Z = tingkat kepercayaan 95% = 1,96 menurut tabel distribusi-z 2 σ = varians populasi luas lahan usahatani jagung Oleh karena varians populasi (σ2) tidak diketahui, maka digunakan penaksirnya dengan cara menghitung varians sampel (S2) luas lahan usahatani jagung. Varians sampel dihitung dengan rumus: (Xi – X ) 2
S =
2
_________________
………………………………………… (4.2)
n-1 Usahatani jagung di Desa Bebidas dilaksanakan pada musim tanam kemarau kedua (MK-2) di lahan sawah, sementara di Desa Pringgabaya Utara dilaksanakan pada musim tanam penghujan (MH) di lahan ladang,
maka
pengambilan sampelnya dilakukan dengan menerapkan teknik cluster sampling. Prosedur penaksiran jumlah unit sampel di tiap-tiap desa sebagai berikut: a. Data luas lahan usahatani dari 10 unit rumah tangga petani di Desa Bebidas dipakai menaksir jumlah unit sampelnya dengan menggunakan rumus Parel, et al. (1973). Hasil perhitungannya dapat dibaca pada Lampiran 1.3. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 1.3 dan Tabel 4.1 diperoleh penaksir jumlah unit sampel sebanyak 45 unit rumah tangga petani. Untuk mencukupi jumlah unit sampel yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dilanjutkan sampai mencapai 45 unit rumah tangga petani jagung dengan teknik simple random sampling.
57
b. Di Desa Pringgabaya Utara digunakan data dari 13 unit rumah tangga petani untuk menaksir jumlah unit sampelnya. Hasil penaksiran jumlah unit sampel di desa Pringgabaya Utara sebanyak 75 unit rumah tangga petani jagung. Hasil perhitungannya dapat dibaca pada Lampiran 1.4 dan Tabel 4.1. Untuk mencapai jumlah unit sampel yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dilanjutkan sampai mencapai 75 unit rumah tangga petani jagung. Hasil perhitungan jumlah unit sampel di tiap-tiap desa dengan menggunakan rumus Parel, at al. (1973) sebagai berikut: Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Per Desa Lokasi Penelitian No
Populasi1) (RT) 1 167
Varians2) Sampel 0,0308
1.
Nama Desa Lokasi Penelitian Bebidas
2.
Pringgabaya Utara
1 931
0,0509
75
Jumlah (RT)
3 098
-
120
Sumber:
Sampel (RT) 45
1)
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012. 2) Lampiran 1.3 dan 1.4 Keterangan: RT = Rumah Tangga. 2. Sampel Pedagang Perantara / Pemasok Pengambilan sampel pedagang perantara / pemasok dilakukan dengan teknik snowball sampling, karena tidak diketahui jumlah unit populasinya. Teknik snowball sampling adalah menelusuri aliran produk jagung dari petani ke pedagang perantara yang membeli jagung. Teknik snowball sampling (Mustafa, 2000) menghasilkan sampel yang representatif dalam penelitian pemasaran. Penerapan teknik snowball sampling pada penarikan unit sampling pedagang perantara (pemasok) dimaksudkan untuk memperoleh unit sampling lembaga yang terlibat dalam rantai pasok termasuk lembaga penunjang seperti lembaga perkreditan, jasa transportasi, dan lain-lainnya. Selain diperoleh data
58
aliran produk dari petani, juga dapat diperoleh informasi tentang aliran pelayanan dan aliran modal, sehingga dapat digunakan sebagai data penunjang. Teknik snowball sampling dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sbb: a.
Melakukan pendatatan nama-nama pedagang pengumpul yang ada di desa dan pedagang pengumpul yang berasal dari luar desa yang melakukan pembelian jagung ke desa, kemudian mendata alamatnya;
b.
Menghubungi informan kunci yang dapat memberikan informasi tentang kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh para pedagang perantara, sehingga dapat dilakukan klasifikasi jenjang kelembagaannya masingmasing;
c.
Melakukan validasi pedagang perantara berdasarkan informasi yang diterima dari petani yang digunakan sebagai rujukan untuk melakukan penelusuran ke pedagang pengumpul.
d.
Informasi dari pedagang pengumpul digunakan sebagai petunjuk untuk menelusuri lebih lanjut ke pedagang besar atau perusahaan yang relevan sesuai dengan aliran produk.
Pendalaman informasi ini dilakukan secara
berjenjang dari satu pedagang ke pedagang berikutnya.
Dengan metode
snowball sampling, diperoleh sebanyak 20 pedagang perantara dan 60 peternak ayam selaku konsumen pengguna jagung. 3. Sampel Konsumen Pengguna (Peternak dan /atau Indutri Pengolah) Sampel konsumen pengguna terdiri atas peternak ayam petelur dan perusahaan pengolahan (agroindustri). Sampel peternak ayam petelur adalah peternak ayam petelur yang menggunakan jagung sebagai campuran pakan ayam. Sampel perusahaan pengolahan adalah perusahaan yang mengolah jagung menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
59
Metode pemilihan sampel konsumen pengguna dilakukan dengan teknik snowball sampling, karena tidak diketahui jumlah unit populasinya. yaitu dengan melanjutkan penelusuran dari pedagang perantara / pemasok atau dari pedagang pengecer. Jumlah unit sampel konsumen pengguna (peternak ayam petelur) disesuaikan dari hasil penelusuran dengan teknik snowball sampling tersebut.
4.4 Metode Pengumpulan Data Metode survei digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi primer dari petani yang berusahatani jagung. pedagang perantara (pemasok) dan peternak ayam petelur. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung (Daniel, et al., 2005) dengan para petani, pedagang perantara (pemasok) dan konsumen pengguna jagung. Untuk melengkapi data primer dilakukan wawancara mendalam (indeph interview) dengan Ketua Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian Lapang, Pedagang Perantara, Manajer Lapang Perusahaan dan Ketua Kelompok Peternak Ayam. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang dikumpulkan oleh peneliti dari hasil observasi dan/atau survei (Suryabrata, 1983).
Data primer yang dikumpulkan terdiri atas data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif yang dikumpulkan terdiri atas luas lahan garapan, produksi, harga jual jagung, penggunaan sarana produksi, tenaga kerja dari dalam dan luar keluarga , peralatan, harga sarana produksi, upah tenaga kerja laki-laki dan upah tenaga kerja perempuan, penyusutan, biaya modal, ongkos transportasi, pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan, pengeluaran investasi,
60
pengeluaran sosial (zakat, infak dan sadakah), jenis kelamin, usia, pendidikan responden, jumlah anggota rumah tangga produktif, dan kepemilikan telepon genggam (handphone). Data
kuantitatif
dikumpulkan
melalui
teknik
wawancara
dengan
menggunakan kuesioner dengan pertimbangan (Zulganef, 2009; Utomo, 2011): yaitu (1) memudahkan dalam pengumpulan data; (2) menghemat waktu pengumpulan data; (3) mengurangi bias data. Kuesioner yang telah disusun secara cermat, lengkap dan detil didiskusikan
dengan
kolega
sejawat
untuk
memperoleh
masukan
dan
penyempurnaan. Lebih lanjut dilakukan uji coba untuk menilai efektivitas dan durasi waktu yang diperlukan untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan. Hasil uji coba ini dijadikan bahan evaluasi untuk menyempurnakan kuesioner dengan menambahkan item yang kurang atau membuang / mengurangi item yang tidak penting dan melakukan uji reliabilitas instrumen. Kuesioner
dilengkapi
dengan
panduan
wawancara,
kertas
kode,
pengolahan dan analisis data dan panduan supervisi bagi keperluan petugas pembantu penelitian. Untuk mendapatkan hasil data yang memiliki reliabilitas dan validitas yang handal, maka pembantu peneliti didampingi oleh peneliti selama pengumpulan data. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indeph interview). Data kualitatif yang dikumpulkan terdiri atas: (1) Jalur rantai pasok dari petani, kelompok tani, koordinator lapang, pedagang perantara sampai dengan konsumen; (2) Hubungan perusahaan dan petani meliputi: mekanisme, prosedur dan persyaratan berkolaborasi (kerjasama), pembagian peran dan tanggung jawab; dan sharing pembiayaan; (3) Usahatani jagung meliputi: sistem tanam,
61
lokasi penanaman, jadwal tanam, hak atas lahan usahatani, posisi tawar petani, persaingan antar pedagang, sistem pengembalian pinjaman, permasalahan dalam berusahatani; (4) Manajemen rantai pasok: pendampingan bagi petani, komplik dan cara penyelesaian komplik antara Petugas Lapang (PL) dengan petani, metode penetapan harga pasar, sistem bagi hasil, konvensasi biaya pembinaan, sumber pembiayaan, koordinasi, aliran pelayanan, aliran produk dan aliran modal, transfer teknologi (benih unggul, pupuk lengkap berimbang). Selain data primer, peneliti membutuhkan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pengutipan data pada dinas instansi yang terkait dengan agribisnis jagung. Data sekunder berupa data time series harga jagung pipilan kering di beberapa level (grosir dan pengecer), produksi, luas panen dan produktivitas diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB dan kabupaten yang wilayahnya terpilih sebagai lokasi penelitian. Data harga yang dikumpulkan adalah data dari hasil pencatatan di level konsumen di pasar lokal, serta harga di pedagang besar antar pulau) dari tahun 2001 s.d 2012, sementara harga di level petani dikumpulkan dari berbagai sumber. 4.5 Metode Analisis Data Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan analisis statistik deskriptif dan inferensi.
Analisis statistik deskriptif ditekankan pada upaya mengelaborasi
fenomena ekonomi yang terkait dengan analisis usahatani,
pemasaran dan
rantai pasok jagung. Pada analisis usahatani ditampilkan parameter produksi, produktivitas, harga, nilai produksi, biaya produksi, pendapatan usahatani, dan surplus produsen usahatani.
62
Produksi adalah kuantitas jagung tongkol kering panen (kg) atau dikorversi 0,60 menjadi jagung pipil kering simpan. Produktivitas usahatani jagung dihiutung dengan rumus: Produksi (kg) Produktivitas (kg/ha) =
____________________________________
………..……
(4.2)
Luas Lahan Garapan (ha) Harga adalah nilai jual produk jagung tongkol kering panen dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) atau rupiah per kuintal (Rp/ku). Hasil kali harga dengan produksi disebut nilai produksi (penerimaan). Nilai Produksi (Rp) = Harga x Produksi
……………………..… (4.3)
Biaya produksi terdiri atas biaya produksi tetap dan biaya produksi variabel. Total biaya produksi dihitung dengan rumus: TBP (Rp/ha) = TBT + TBV TBP (Rp/ha) = TBT + BVR x q …………………………………..… (4.4) Keterangan: TBT = Total Biaya Produksi (Rp/ha); TBT = Total Biaya Tetap (Rp/ha) TBV = Total Biaya Variabel (Rp/ha); BVR = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha) q = Produksi (kg/ha) Pendapatan usahatani (UT) adalah penerimaan bersih usahatani dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar. Pendapatan usahatani dihitung dari hasil pengurangan Total Penerimaan dengan Total Biaya Produksi. Pendapatan UT (Rp) = Total Penerimaan – Total Biaya Produksi .. (4.5) Surplus Produsen (SP) adalah besaran keuntungan yang diterima oleh produsen dengan menjual produk (barang) hasil produksi atau jasanya melalui mekanisme harga pasar yang lebih tinggi bila dibandingkan harga minimal yang mereka bersedia untuk menjualnya. Harga minimal sama dengan biaya variabel rata-rata minimal. Perubahan surplus produsen dihitung dengan rumus geometrik sebagai berikut (Sinaga, 1989):
63
(H – BVR) x q ΔSP (Rp/ha) =
_________________________
= MK x ½ q
……………. (4.6)
2 Keterangan: ΔSP = Perubahan Surplus Produsen (Rp/ha); H = Harga (Rp/kg) BVR = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha); q = Produktivitas (kg/ha); MK = Marjinal Kontribusi = H - BVR Perubahan surplus produsen juga dapat dihitung dengan persamaan integral fungsi harga atau persamaan fungsi penawaran sebagai berikut (Koutsoyiannis, 1982; Dumairy, 2012): ΔSP =
𝑞1 BM 𝑞0
………………………………………………………… (4.7) 2
BVR = b1 – b2 q + b3 q
……………………………………………(4.8)
BM = b1 – (2 x b2 q) + (3 x b3 q2) ………………………………….. (4.9) Keterangan: ΔSP = Perubahan Surplus Produsen (Rp/ha); BM = Biaya Marjinal (Rp/kg/ha) BVR = Biaya Variabel rata-rata per hektar (Rp/kg/ha) q1 = Produktivitas Optimal (kg/ha). q0 = Produktivitas pada Biaya Variabel Rata-rata Minimal (Rp/kg/ha) Surplus produsen diperoleh dengan menjumlahkan Total Marjinal Kontribusi (TMK) dan perubahan surplus produsen. TMK adalah hasil kali marjinal kontribusi dengan produktivitas ketika dicapainya biaya variabel rata-rata minimal (q0). Surplus produsen adalah jumlah uang jika diberikan kepada produsen tidak mengubah kesejahteraannya apabila harga turun dari harga pasar sampai dengan biaya variabel rata-rata minimal (Just, et al., 2004). Analisis statistik deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, histogram, dan narasi serta penjelasan hubungan suatu variabel dengan variabel lain atau suatu fenomena dengan fenomena lain sehingga ditemukenali rasionalitasnya.
Dalam
implementasinya,
analisis
statistik
deskriptif
menggunakan bantuan program SPSS 13 dan 17 for Windows dan Excel.
64
Program SPSS dan Excel digunakan untuk memudahkan dan mempercepat kalkulasi proses pengolahan data. Juga digunakan untuk uji reliabilitas instrumen.
Sedangkan analisis statistik inferensi menggunakan Structural
Equation Modeling berbasis varians Partial Least Square (SEM-PLS) dengan bantuan software Smart-PLS. Analisis SEM-PLS digunakan untuk melihat keeratan hubungan dan pengaruh antar faktor penentu manajemen rantai pasok, keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani jagung, sekaligus menganalisis pengaruh langsung atau tidak langsung. Analisis SEM-PLS digunakan bagi semua skala data baik ratio, interval, ordinal, dan nominal; tidak membutuhkan asumsi penyebaran data berdistribusi normal, jumlah unit sampel tidak mesti besar, serta memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk menghubungkan antara teori dan data (Ghozali, 2011). 4.5.1 Analisis Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung Analisis deskriptif digunakan untuk mengelaborasi keragaan manajemen rantai pasok dari petani sampai dengan pedagang perantara, yaitu menelaah keterkaitan petani dengan kelompok tani, kelompok tani dengan perusahaan atau koperasi penyedia teknologi dan input pertanian, serta pihak lain yang membeli hasil produksi jagung, termasuk
lembaga keuangan, lembaga pemerintahan,
dan lain-lainnya. Keragaan manajemen rantai pasok diukur dari empat indikator, yaitu: koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, dan aliran modal.
Tiap indikator
diukur menggunakan skala likert, tiap indikator dibobot menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP).
65
Langkah-langkah AHP sebagai berikut (Marimin, 2004; Syaifullah, 2010): 1. Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Masalah yang dihadapi adalah merumuskan indek keragaan manajemen rantai pasok jagung dengan menetapkan bobot pada setiap indikator. 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. Struktur
hierarki
didasarkan
atas
peranan
antar
indikator
dalam
memformulasi indek keragaan manajemen rantai pasok: koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal. 3. Membuat matrik perbandingan berpasangan (pair-wise comparison) yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. 4. Mendifinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian sebanyak n[(n-1)/2] shell, n = jumlah elemen yang dibandingkan. Tabel 4.2 Matrik Perbandingan Berpasangan Indikator 1.Koordinasi 2.Aliran Produk 3.Aliran Pelayanan 4.Aliran Modal Jumlah
1.Koordinasi 1,00 X12 X13 X14 X1.
2.Aliran Produk X21 1,00 X23 X24 X2.
3.Aliran Pelayanan X31 X32 1,00 X34 X3.
4.Aliran Modal X41 X42 X43 1,00 X4.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Nilai eigen diberikan dengan teknik perbandingan dari nilai 1 s.d 9 dan inversenya dari 1 s.d 1/9. 6. Mengulangi langkah (3), (4) dan (5) untuk seluruh tingkat hierarki. 7. Menghitung vektor eigen dari setiap matrik perbandingan dengan cara menjumlahkan seluruh nilai eigen pada setiap baris dan setiap kolom, serta menghitung bobot = rata-rata nilai eigen.
66
Tabel 4.3 Nilai Bobot Per Indikator Manajemen Rantai Pasok Indikator 1.Koordinasi 2.Aliran Produk 3.Aliran Pelayanan 4.Aliran Modal Jumlah
1.Koordinasi 1,00/X1. X12/X1. X13/X1. X14/X1. X1./X1.
2.Aliran Produk X21/X2. 1,00/X2. X23/X2. X24/X2. X2./X2.
3.Aliran Pelayanan X31/X3. X32/X3. 1,00/X3. X34/X3. X3./X3.
4.Aliran Modal X41/X4. X42/X4. X43/X4. 1,00/X4. X4./X4.
Jumlah
Bobot
X.1 X.2 X.3 X.4 X..
X.1/X.. X.2/X.. X.3/X.. X.4/X.. 1,00
8. Memeriksa konsistensi hiararki dari langkah (1) sampai dengan (7) dengan menggunakan konsistensi ratio < 10%. Bila belum memenuhi syarat, maka dilakukan
penyesuaian
perbandingan
berpasangan
sampai
dicapai
konsistensi ratio < 10%. Alat analisis yang dipakai adalah AHP Calculator Online (BPMSD). 9. Memindahkan nilai bobot ke tabel berikut: Tabel 4.4 Penilaian Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung No
Variabel
Bobot
1 2 3 4 Jumlah
Koordinasi Aliran Produk Aliran Pelayanan Aliran Modal
X.1/X.. X.2/X.. X.3/X.. X.4/X.. 1,000
Rata-rata Skala Y.6 Y.7 Y.8 Y.9
Nilai Tertimbang (X.1/X..) x (Y.6) (X.2/X..) x (Y.7) (X.3/X..) x (Y.8) (X.4/X..) x (Y.9) IKMRP
Keterangan: IKMRP = Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok; Y.6 = rata-rata skala koordinasi; Y.7 = rata-rata skala aliran produk; Y.8 = rata-rata skala aliran pelayanan; Y.9 = rata-rata skala aliran modal. Lebih lanjut kriteria keputusan indek keragaan manajemen rantai pasok (IKMRP) jagung diklasifikasi sebagai berikut (Rangkuti, 2000): IKMRP ≥ 4,6
Sangat baik
bila nilai
Baik
bila nilai
3,6 ≤ IKMRP < 4,6
Hampir baik
bila nilai
2,6 ≤ IKMRP < 3,6
Buruk
bila nilai
1,6 ≤ IKMRP < 2,6
Sangat buruk bila nilai
IKMRP < 1,6
67
4.5.2
Analisis Deskriptif Keunggulan Kompetitif Jagung Keunggulan kompetitif jagung dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Indek keunggulan kompetitif dihitung menggunakan lima indikator, yaitu: 1. Efisiensi (Y1);
2. Kualitas produk (Y2);
3. Ketergantungan pengiriman (Y3); 4. Diversifikasi produk (Y4); 5. Waktu tempuh ke pasar (Y5). Tiap-tiap indikator diukur menggunakan skala likert dari 1 s.d 5, selanjutnya dihitung nilai tertimbangnya, caranya rata-rata skor dikalikan dengan bobot masing-masing.
Indek
Keunggulan
Kompetitif
diperoleh
dengan
cara
menjumlahkan nilai tertimbang sebagai berikut: Tabel 4.5 Nilai Indek Keunggulan Kompetitif di Level Petani s.d Pedagang Perantara No 1 2 3 4 5
Indikator
Rata-rata
Bobot *)
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5
B1 B2 B3 B4 B5 1,00
Efisiensi Kualitas produk Ketergantungan pengiriman Diversifikasi produk Waktu tempuh ke pasar Indek Keunggulan Kompetitif
Nilai Tertimbang Y1 x B1 Y2 x B2 Y3 x B3 Y4 x B4 Y5 x B5 IKK1
*) Perhitungan bobot menggunakan software AHP Calculator Online (BPMSD). Nilai Indek Keunggulan Kompetitif di level petani ke pedagang perantara (IKK1) diidentifikasi pada salah satu kelas dengan interval sebagai berikut: Keunggulan kompetitif sangat tinggi apabila
IKK1 ≥ 4,6
Keunggulan kompetitif tinggi apabila
3,6 ≤ IKK1 < 4,6
Keunggulan kompetitif moderat apabila
2,6 ≤ IKK1 < 3,6
Keunggulan kompetitif rendah apabila
1,6 ≤ IKK1 < 2,6
Keunggulan kompetitif sangat rendah apabila
IKK1 < 1,6
68
Sementara pengukuran persaingan pada level pedagang perantara ke konsumen pengguna (IKK2) menggunakan indikator Porter’s 5 Forces dari Best Progress
Growth
Service
(Lampiran
3).
Dalam
mengukur
persaingan
menggunakan teknik skore -1 dan +1 dengan jumlah pertanyaan sebanyak 26, sementara jumlah skor berkisar -30 s.d +30. Selanjutnya diklasifikasi sebagai berikut: Tingkat persaingan sangat tinggi apabila
IKK2 ≥ +20
Tingkat persaingan tinggi apabila
+11 ≤ IKK2 < +20
Tingkat persaingan moderat apabila
-10 ≤ IKK2 < +11
Tingkat persaingan rendah apabila
-20 ≤ IKK2 < -10
Tingkat persaingan sangat rendah apabila 4.5.3
IKK2 < -20
Analisis SEM-PLS Analisis Structural Equation Modeling – Partial Least Square (SEM-PLS)
digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama s.d kelima dan menguji hipotesis penelitian pertama s.d. kelima. 1. Prosedur Analisis Structural Equation Modeling Partial Least Square Analisis Structural Equation Modeling Partial Least Square (SEM-PLS) dilakukan dengan prosedur sebagai mana Gambar 4.1 (dimodifikasi dari Solimun, 2010; Utomo. 2011). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: a. Langkah pertama.-- Berangkat
dari
permasalahan
penelitian
bahwa
sejauhmana keterkaitan antara manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dengan kesejahteraan petani jagung diperlukan adanya suatu model analisis data dan keharusan tersedianya grand theory dan konsep yang berkaitan dengan permasalahan, maka dibuat kerangka fikir penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.3.
69
Rancangan Model
Interoretasi dan Modifikasi
Diagram Jalur
Menilai Masalah Teridentifikasi
Matriks Input
Gambar 4.1 Langkah-langkah Analisis SEM-PLS b. Langkah kedua.-- Diagram jalur (path) dibutuhkan untuk menunjukkan keterkaitan antar variabel eksogen dan endogen.
MRP
KSP
IRP
KRP
KKP
• KPP • KPS BIF
SNK
KSI
Gambar 4.2 Diagram Jalur Kerangka Penelitian Manajemen Rantai Pasok dan Gambar 4.2 Diagram Jalur Kerangka Penelitian Manajemen Integrasi Proses Bisnis Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Rantai Pasok Petani
70
Keterangan : KPP = Ketidakpastian pelanggan KKS = Ketidakpastian pemasok BIF = Berbagi informasi SNK = Singkronisasi keputusan KSI = Keselarasan insentif IRP = Integrasi proses bisnis KRP = Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok KKP = Keunggulan kompetitif MRP = Manajemen rantai pasok KSP = Kesejahteraan petani jagung Keterkaitan antar variabel dapat berupa hubungan langsung atau hubungan tidak langsung yang dijustifikasi oleh teori dan konsep, selanjutnya ditampilkan dalam bentuk gambar agar memudahkan bagi pembaca untuk memahami konstruksi logisnya. c. Langkah ketiga.-- Dalam metode analisis SEM-PLS, data input dapat berupa matriks kovarians dan matriks korelasi.
Matriks kovarians
diperlukan bila mana ingin diketahui hubungan kausalitas yang telah mendapat justifikasi teori. Ghozali (2011) menyatakan bahwa covariance based
SEM
berusaha
meminimumkan
perbedaan
antara
sample
covariance yang diprediksi oleh model teoritis, sehingga proses estimasi menghasilkan matriks kovarians dari data yang diobservasi.
Matriks
korelasi bila mana dimaksudkan untuk mengetahui kejelasan pola hubungan kausal antar variabel laten (tidak terukur langsung). Variabel laten adalah variabel yang diukur tidak langsung berdasarkan pada indikator-indikator (manifest variabel) dengan syarat harus dalam bentuk refleksif, yaitu model harus berdasarkan pada teori dan adanya intermediasi. Dalam hal ini SEM yang digunakan adalah yang berbasis kompenen atau varians yang dikenal dengan Partial Least Square (PLS).
71
d. Langkah keempat.-- Kelemahan dari SEM adalah peluang terjadinya unidentified atau underindentified dan over identified. Unidentified adalah proses pendugaan parameter yang tidak menghasilkan suatu solusi, sedangkan over identified adalah proses pendugaan parameter mengalami kegagalan, sehingga model yang dihasilkan tidak dapat dipercaya. Penilaian masalah teridentifikasi menjadi penting sehingga diperlukan langkah kelima berikutnya. Kelemahan di atas diperbaiki dengan evaluasi goodness of fit yang digunakan untuk mengetahui hasil estimasi parameter apakah dapat digunakan atau tidak dapat digunakan.
Ada beberapa alat uji dalam
evaluasi goodness of fit, yaitu: uji model overall, uji model structural, dan uji model pengukuran (uji validitas dan reliabilitas), serta uji efektivitas model (model fit). e. Langkah kelima.-- Bila telah diperoleh model yang memenuhi syarat goodness of fit, maka dilanjutkan dengan melakukan interpretasi, sebaliknya apabila tidak diperoleh syarat goodness of fit, maka dilakukan modifikasi model sampai diperolehnya syarat goodness of fit. 2. Pengukuran Data Variabel Laten Untuk memperoleh data dari variabel laten atau variabel unobservable dapat dilakukan pengukuran atas sejumlah indikator menggunakan skala likert. Satu dari sejumlah cara adalah metode rata-rata skor indikator (Solimun. 2010):
X.𝑗 =
𝑛 𝑋 𝑖𝑗 𝑖=1 𝑛𝑗 …………………………………………………………… (4. 10)
Keterangan : X .𝑗 = variabel laten ke-j
72
𝑋𝑖𝑗 = Indikator ke-i pada variabel laten ke-j n. j = Jumlah indikator pada variabel laten ke-j a. Data Variabel Laten Kolaborasi Rantai Pasok (KRP) X1 + X 2 + X 3 + X 4 4
KRP =
b. Data Variabel Laten Integrasi Proses Bisnis (IRP) X5 + X6 + X7 + X8 + X9 5
IRP =
c. Data Variabel Laten Keunggulan Kompetitif (KKP) Y1 + Y2 + Y3 + Y4 + Y5 5
KKP =
d. Data Variabel Laten Manajemen Rantai Pasok (MRP) MRP =
Y6 + Y7 + Y8 + Y9 4
e. Data Variabel Laten Kesejahteraan Petani (KSP) KSP
=
Z5 + Z6 + Z7 3
3. Uji Kesesuaian dan Efektivitas Model (Model Fit) a. Goodness of Fit Outer Model 1) Validitas Konvergen (Convergent Validity) Validitas Konvergen dari model pengukuran dengan refleksi indikator
dinilai berdasarkan korelasi antara item score / component
score dengan contruct score yang dihitung dengan PLS. Jika korelasi > 0,70 disebut refleksi individu tinggi, sementara nilai loading factor antara 0,5 s.d 0,6 dianggap cukup bagi indikator dari variabel laten jumlahnya dari 3 (tiga) s.d 7 (tujuh) (Ghozali,..2011). 2) Validitas Diskriminan (Discriminant Validity) Direkomendasikan nilai AVE(Average Variance Extracted) lebih besar dari 0,50 (Ghozali. 2011). AVE =
n 2 i=1 γ j n γ 2 + n var (∂i) i=1 i i=1
………………………………………. (4.11)
73
Keterangan: 𝛾𝑖 = component loading ke indikator 𝑣𝑎𝑟(𝜕𝑖 ) = 1 - 𝜕𝑖2 3) Reliabilitas Komposit (Composite Reliability) Ada dua macam ukuran blok indikator, yaitu konsistensi internal (internal consistensy) dan Cronbach’s Alpha. Dengan output yang dihasilkan PLS, maka reliabilitas komposit dihitung dengan rumus :
rk =
(
( ni=1 γ i )2 n γ )2 + n var (∂ ) i i=1 i i=1
……………………………………. (4.12)
Keterangan: rk = reliabilitas komposit 𝛾𝑖 = loading komponen ke indikator 𝑣𝑎𝑟(𝜕𝑖 ) = 1 - 𝜕𝑖2 b. Goodness of Fit Inner Model atau Model Persamaan Struktural 2
R
digunakan untuk mengevaluasi konstruk dependen pada model
persamaan struktural, sedangkan untuk menguji relevansi prediktif digunakan uji Stone Geisser q-Square dan uji-t untuk mengetahui signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural:
q2 =
R 2inc − R 2exc 1+ R 2inc
…………………………………………………… (4.13)
1) R2inc dan R2exc adalah R square dari variabel laten dependen ketika predictor variabel laten digunakan atau dikeluarkan dari dalam persamaan struktural. 2) Nilai q2
= 0,02, 0,15 dan 0,35 diprediksikan bahwa prediktor variabel
laten memiliki pengaruh yang kecil, menengah dan besar. 4. Uji Validitas Ada beberapa aspek yang mesti dipenuhi agar diperoleh model yang dapat dihandalkan, yaitu: a. Validitas konvergen, yaitu dengan menentukan bahwa setiap indikator yang diestimasi secara tepat mengukur konsep yang diuji. Menurut Anderson dan
74
Gerbing cit. Ferdinand (2002) bahwa sebuah indikator demensi menunjukkan validitas konvergen yang signifikan apabila indicator yang bersangkutan memiliki critical ratio lebih besar dari 2 (dua) kali standard error-nya (Utomo,..2011). b. Reliabilitas instrument, bahwa suatu instrument dinilai reliabel apabila mengukur apa yang hendak diukur secara tepat sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran. Validitas berarti hasil pengukuran itu sesuai dengan maksud dilakukan pengukuran itu (Vredenbregt. 1978). Untuk menilai akurasi data tiap-tiap item pertanyaan, maka diperlukan adanya uji validitas dan uji reliabilitas data. Ada dua pendekatan yang dipakai untuk menentukan validitas dari alat pengukur, yaitu: a.
Validitas konstruk (Construct Validity) Validitas konstruk didasarkan atas asumsi bahwa alat ukur yang dipakai mengandung suatu definisi operasional yang tepat dari suatu konsep teoritis, sehingga peneliti harus dapat mengetahui dengan jelas sikap atau perilaku dari responden yang berkorespondensi dengan jawabannya dalam daftar pertanyaan. Dengan kata lain, peneliti harus dengan hati-hati dan cermat mencerna setiap pilihan jawaban responden untuk menghindari bias sebagai akibat kesalahan persepsi atas pertanyaan yang disampaikan. pendekatan
ini
diperkembangkan
alat-alat
pengukur
dengan
Pada tujuan
mengukur hal yang sama pada kelompok yang berbeda-beda dengan memakai satuan-satuan yang berbeda-beda pula. b.
Validitas Pragmatik (Pragmatic Validity) Validitas Pragmatik disebut juga predictive atau empirical validity yaitu suatu pengukuran yang meramalkan perilaku responden dikemudian hari.
75
Pada penelitian lanjutan dilakukan pemeriksaan ulang, apakah perilaku responden sesuai dengan apa yang diramalkan dengan tepat atau tidak. Jika ternyata tepat. maka alat ukur dinyatakan valid. Di sini akan digunakan pre dan post kuesioner yang mana datanya akan diperbandingkan dengan harapan atau ramalan. 5. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana data-data telah terbebas dari kesalahan (error) yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan intrumen penelitian sebagai akibat perbedaan waktu dan orang yang menggunakan instrumen tersebut (Anatan dan Ellitan. 2008).
Reliabilitas
menggambarkan konsistensi data yang diperoleh dari pengukuran yang berulang, artinya bila dilakukan pengukuran pertama memberikan hasil data yang sama pada pengukuran yang kedua ataupun yang ketiga.
Dengan kata lain
reliabel artinya suatu teknik yang dipakai berulang kali terhadap obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama pula (Vredenbregt, 1978). Perbedaan dalam skor tidak boleh melebihi batas tertentu. Uji reliabilitas dilakukan sbb: c. Composite Reliability Reliabilitas
konstruk
dinilai
dengan
menghitung
indeks
reliabilitas
instrument, yaitu composite reliability dari model SEM yang dianalisis dengan rumus (Ferdinand. 2002):
Reliability Konstruk =
sd 2 sd 2 +
∈j
…………………………………… (4.14)
Keterangan: 1)
Sd (standar deviasi) diperoleh langsung dari standardized loading untuk tiaptiap indikator.
2)
∈ 𝑗 = adalah measurement error (kesalahan pengukuran) dari tiap-tiap indikator.
76
∈ 𝑗 = 1 – reliabilitas konstruk = Sd2 Angka realibitas ≥ 0,70 sebagai standard yang fleksibel, artinya jika penilaian yang dilakukan bersifat eksploratif, maka nilai lebih kecil daripada 0,70 masih dapat diterima sepanjang dapat dijelaskan dengan alasan-alasan empiris yang terlihat selama proses eksplorasi. Ferdinand (2002) memberikan pedoman interpretasi reliabilitas bahwa nilai ≥ 0,5 cukup reliabel untuk menjustifikasi suatu hasil penelitian. Beberapa metode untuk mengukur reliabilitas dari alat ukur yaitu (Vredenbregt. 1978): a) Metode test retest, yaitu suatu ukuran yang sama pada kesatuan yang sama pada keadaan yang sama diadakan pada waktu yang berbeda. Metode ini punya kelemahan, karena sulitnya menciptakan kondisi yang sama bagi responden sebagai akibat telah terjadinya perubahan pada diri responden dan lingkungannya. b) Motode Paralel, yaitu pengukuran dilakukan dua kali dengan menggunakan alat yang sama oleh peneliti yang berbeda.
Pengukuran dilakukan pada
responden yang sama pada waktu yang sama pula. c) Split half method, yaitu item-item dalam daftar pertanyaan dibagi dua dan skor pada kedua bagian pertanyaan dikelompokkan.
Tingginya correlation
coefficient dinilai sebagai indikator konsistensi internal dari alat ukur yang dipakai. Jelas bahwa pembagian alat ukur tersebut harus menghasilkan dua bagian yang identik yang masing-masing mewakili dengan tepat masalah yang diuji. Dari 3 (tiga) jenis metode di atas, maka penelitian akan menggunakan metode ketiga yaitu split half method, sebab paling memungkinkan untuk dilakukan dengan hasil yang dapat dihandalkan.
77
Dalam analisis SEM-PLS data skala ditranformasi ke log linear, sehingga memuingkinkan untuk menggunakan koefisien korelasi product moment pearson dan alpha crombach sebagai alat uji untuk menilai reliabilitas dan validitas terobservasi yang tidak terukur secara langsung tetapi dihitung dari beberapa item kuesioner. d. Koefisien korelasi product moment pearson Formulasi dari koefisien korelasi product moment pearson sebagai berikut:
rxy =
n( XY )−( X. Y) {n
X 2 − ( X)2 }{n
Y 2 − ( Y)2 }
…………………………. (4.15)
𝑟𝑥𝑦 = koefisien korelasi antar item dengan total item n = jumlah unit sampling (responden) X = skala variabel X Y = skala variabel Y Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan siginifikansi pada taraf nyata 0,05 dapat dijadikan standard validitas suatu data dan reliabilitas alat pengukur sepanjang nilai koefisien korelasi tersebut positif. Dalam penelitian ini pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan bersamaan dengan menggunakan program software SPSS 13 for windows dimana reliabilitas diuji jika semua item valid. Pengujian validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel pada taraf nyata 0,05. Dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel product moment pearson pada taraf nyata α 0,05 (r α 0,05 (N=120) = 0,120). Item yang non-signifikan didroup dan selanjutnya apabila semua item telah signifikan, maka dilanjutkan dengan uji alpha crombach terhadap r tabel product moment pearson pada α 0,05.
78
Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan siginifikansi pada taraf nyata 0,05 dapat dijadikan standard validitas suatu data dan reliabilitas alat pengukur sepanjang nilai koefisien korelasi tersebut positif. e. Cronbach’s Alpha Rumus Cronbach’s Alpha sebagai berikut :
𝛼𝑐𝑟 =
2[𝑆𝑥2 –(𝑆𝑦21 + 𝑆𝑦22 )] 𝑆𝑥2
………………………………
(4.16)
αcr = koefisien reliabilitas alpha 𝑆𝑥2 = varians total skor seluruh item (total item = total skor negatif + total skor positif) 2 𝑆𝑦1 = total varians skor item genap pada belahan 1 2 𝑆𝑦2 = total varians skor item negatif pada belahan 2
Kriteria pengujian: 1) Apabila nilai αcr positif > r tabel maka variabel pada item tersebut reliabel 2) Apabila nilai αcr positif < r tabel maka variabel pada item tersebut non-reliabel. Instrumen dianggap mempunyai reliabilitas yang tinggi apabila nilai cronbach’s alpha lebih besar dari 0,5 (Nunnaly, 1967 cit. Anatan dan Ellitan 2008). f. Chi Square Uji Chi Square merupakan salah satu tipe yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen, apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara banyaknya yang diamati (observed) dari objek atau jawaban yang masuk dalam masing-masing kategori dengan banyak objek yang diharapkan (expected) berdasarkan hipotesis–null (Siegel, 1986).
Lebih lanjut uji chi square
dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan matriks varians populasi dan matriks varians sampel.
Kriteria yang menunjukkan bahwa frekensi hasil observasi
sesuai dengan frekuensi yang diharapkan. artinya tidak ada perbedaan matriks
79
varians populasi dengan varians sampel. Oleh karena itu nilai chi square yang diharapkan relatif kecil (non signifikan) pada taraf keyakinan 0,10.
X2 =
2
k (Oi −Ei ) …………………………………………………. (4.17) i=1 Ei
Dimana : X2 = chi square Oi = banyaknya kasus yang diamati dalam kategori ke-i Ei = banyaknya yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho; i = pengamatan ke-i; k = jumlah seluruh pengamatan. Lebih lanjut nilai nilai chi square dilakukan uji t-statistik :
t = X2/df …………………………………………………
(4.18)
Bila t-statistik ≤ t-tabel 0,10 maka dinyatakan instrument reliabel. Bila t-statistik > t-tabel 0,10 maka dinyatakan instrument tidak reliabel. 6.
Analisis Model Persamaan Struktural dan Kriteria Pengujian Hipotesis Analisis model persamaan struktural (Structural Equition Modeling =
SEM) yang digunakan pada penelitian ini adalah : KRP = a0 + a1 BIF + a2 SNK + a3 KSI + d1 KPP + d2 KPS + ε1 ……
(4.19)
IRP = α0 + α1 KRP + ε2
(4.20)
……………………………………. . ……………….
MRP = β0 + β1 IRP + β2 KRP + ε3 ……………….…………………..
(4.21)
ε4 . …………...................
(4.22)
KSP = Ω0 + Ω1 MRP + Ω2 KKP + Ω3 KRP + Ω4 IRP + ε5 …...............
(4.23)
KKP = ρ0 + ρ1 KRP + ρ2 IRP + ρ3 MRP +
Keterangan : BIF = Berbagi informasi SNK = Singkronisasi Keputusan KSI = Keselarasan insentif KPP = Ketidakpastian pelanggan KPS = Ketidak pastian pemasok IRP = Integrasi proses bisnis
KRP = Kolaborasi rantai pasok KKP = Keunggulan kompetitif MRP = Manajemen rantai pasok KSP = Kesejahteraan petani jagung a, α, β, 𝜌, 𝜕, Ω = parameter ε = error
Adapun kriteria pengujian hipotesis ke-1 s.d. ke-4 sebagai berikut:
80
a. Tujuan-1 dan Hipotesis-1: Ho:
semua nilai βi = 0
Hi:
minimal satu nilai βi > 0
Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Penerimaan Hi berarti variabel manajemen rantai pasok dipengaruhi oleh satu variabel kolaborasi rantai pasok dan/atau integrasi proses bisnis. b. Tujuan-2 dan Hipotesis-2: Ho: semua nilai α1 = 0 Hi: minimal satu nilai α1 > 0 Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses bisnis. dan manajemen rantai pasok. c. Tujuan-3 dan Hipotesis-3: Ho:
semua nilai ρi = 0
Hi:
minimal satu nilai ρi > 0
Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses bisnis. dan manajemen rantai pasok.
81
d. Tujuan-4 dan Hipotesis-4: Ho:
semua nilai Ωi = 0
Hi:
minimal satu nilai Ωi > 0
Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%. Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses bisnis. dan manajemen rantai pasok. 7. Analisis Perbandingan Koefisien Jalur dan Koefisien Diterminan Untuk mencapai tujuan kelima dilakukan analisis perbandingan (comparative analysis) matematik dengan memanfaatkan model persamaan struktural (4,21), (4.22) dan (4.23) yang lulus validasi dan memenuhi kriteria yang dapat digunakan sebagai estimasi dan pengujian hipotesis sebagai mana kriteria yang telah ditetapkan di atas pada point 4) Uji validitas dan 5) Uji reliabilitas. Analisis perbandingan dimaksudkan untuk memprediksi efektivitas strategi prioritas terbaik apabila diaplikasikan pada masa yang akan datang. Alat analisis yang digunakan untuk menguji efektivitasnya model adalah : 2
a) Koefisien diterminan secara parsial (r ) dan bersama-sama (R2), serta menguji efektivitas keseluruhan model (effectivity of over all model). Koefisien diterminan dihitung dengan cara mengalikan koefisien jalur dengan koefisien korelasinya (r). Dinyatakan efektif apabila koefisien 2
2
diterminan parsial (r ) ≥ 0,1 dan koefisien diterminan total (R ) ≥ 0,5 (Jogiyanto, 2011).
82
b) Menguji Statistik Fit Model koefisien diterminan stasioner (Stationary RSquare) dengan menggunakan program forcasting create model pada software SPPS for Windows versi 17.0. Oleh karena variabel dalam penelitian ini berupa variabel kualitatif yang bersifat laten, maka yang diukur adalah indikatornya menggunakan teknik skor dengan skala ordinal Likert. Agar data dengan skala ordinal dapat digunakan untuk pengujian koefisien diterminan, maka data yang digunakan adalah data transform weight least square (Yamin dan Kurniawan, 2009).
BAB V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1 Letak Geografi dan Luas Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan barat dari gugusan pulau-pulau di kawasan tenggara Indonesia, terletak di antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Koordinat 6º 20' s.d 9º 20' LS 115º 30' s.d 119º 30' BT. Batas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebelah utara Laut Flores, sebelah timur Selat Sape, sebelah selatan Samudra Hindia dan sebelah barat Selat Lombok (Gambar 5.1).
Nusa Tenggara Barat
Gambar 5.1 Sketsa Letak Wilayah Provinsi Tenggara Barat Sumber : www.ntbprov.go.id 2
Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki luas wilayah 20 153,15 km , terdiri atas dua pulau besar yaitu Pulau Lombok di wilayah barat dan Pulau Sumbawa di wilayah timur (Lampiran 2). Luas Pulau Lombok 4.736,65 km
2
(23,5%),
2
sementara luas Pulau Sumbawa 15.416,50 km (75,5%). Secara administratif, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas 8 (delapan) kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara,
84
Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima dan 2 (dua) kota, yaitu Kota Mataram dan Kota Bima. 5.2 Penduduk dan Tenaga Kerja Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010 sebanyak 4.500.212 jiwa terdiri atas perempuan 2 316 566 jiwa dan laki-laki 2 183 646 jiwa dengan ratio jenis kelamin (sex ratio) 106,09. Ratio jumlah penduduk dengan 2
luas wilayah adalah 223,1 jiwa/ km . Jumlah rumah tangga sebanyak 1.248.115 kepala keluarga dengan rata-rata anggota rumah tangga 3,61 orang. Dari jumlah penduduk tersebut yang tergolong usia produktif (usia 15 s.d 64 tahun) sebanyak 2.893.162 orang dengan angka beban tanggungan (dependency ratio) 55,55 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung
55,55 orang
penduduk usia non produktif (BPS NTB, 2011). Jumlah penduduk usia 15 tahun lebih sebanyak 3.380.129 jiwa terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja sebanyak 2.252.076 jiwa terdiri dari penduduk yang bekerja 2.132 933 jiwa dan mencari kerja 119.143 jiwa. Jumlah penduduk yang tergolong bukan angkatan kerja sebanyak 1.128.053 jiwa (pelajar, mengurus rumah tangga dan pensiunan). Persentase angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian 47,12 persen yang merupakan persentase tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti perdagangan 17,47%, jasa 12,86% dan industri 9,57%. Walau persentase angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian sebagai persentase terbesar, namun kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (BDRB) Nusa Tenggara Barat menempati urutan kedua setelah pertambangan dari tahun 2004 s.d 2007. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 19,79%, sementara pertambangan 34,68% pada tahun 2010 (BPS NTB, 2010). Dengan
85
demikian, maka pendapatan per kapita penduduk yang bekerja di sektor pertanian relatif lebih kecil bila dibandingkan penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini berdampak langsung terhadap kesejahteraan penduduk yamg bekerja di sektor pertanian termasuk kesejahteraan para petani jagung.
5.3 Perekonomian Nusa Tenggara Barat 5.3.1 Struktur Perekonomian Komoditas jagung merupakan salah satu komoditas sektor pertanian tanaman pangan yang turut memberikan kontribusi bagi laju pertumbuhan perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB), serta secara tidak langsung ikut mempengaruhi kesejahteraan para petani termasuk petani jagung. Struktur perekonomian NTB terbentuk akibat kontribusi sektor-sektor yang menyusunnya yang ditunjukkan oleh peranan masing-masing sektor dalam menciptakan nilai tambah di dalam suatu wilayah atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Struktur perekonomian Nusa Tenggara Barat menggambarkan interaksi antar sektor yang saling terkait antara akumulasi modal, tenaga kerja dan konsumsi masyarakat yang menghasilkan nilai tambah sebagai akibat perputaran roda perekonomian yang berdampak ke sektor hulu (backward lankages) dan ke hilir (forward lankages). Perputaran perekonomian dalam satu periode atau satu tahun berdampak bolak-balik terhadap perubahan pendapatan per kapita penduduk. Pendapatan per kapita penduduk menjadi ukuran yang sering digunakan sebagai ukuran kesejahteraan suatu masyarakat atau untuk menentukan persentase penduduk miskin. Di sisi lain, pendapatan per kapita dijadikan tolak ukur kemampuan daya beli masyarakat serta dipakai sebagai salah satu indikator Indek Pembangunan Manusia (IPM).
86
Perkembangan PDRB Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 cukup representatif untuk digunakan sebagai gambaran struktur perekonomian yang sudah terjadi dalam wilayah NTB dan proyeksi perkembangannya pada masa yang akan datang. Tabel 5.1 Perkembangan PDRB Provinsi NTB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut sektor lapangan usaha tahun 2004 s.d 2009 (xRp milyar) No (1)
Lapangan Usaha 2004 2005 (2) (3) (4) Pertanian, peternakan, 3 841,31 3 878,24 1. kehutanan dan perikakan Pertambangan & 4 367,60 4 200,99 2. galian 634,53 680,81 3. Industri Pengolahan Listrik, gas dan air 42,77 45,04 4. bersih 952,05 1 002,56 5. Bangunan Perdagangan, hotel 1 929,97 2 050,08 6. dan restoran Pengangkutan dan 1 032,63 1 108,01 7. komunikasi Keuangan, 653,62 690,87 8. persewaan & jasa perusahaan 1 473,70 1 527,19 9. Jasa-jasa/service 14 928,17 15 183,79 PDRB PDRB tanpa pertam10 855,77 11 295,77 bangan nonmigas Sumber : BPS NTB, 2010
2006 (5)
2007 (6)
2008 *) 2009 **) (7) (8)
3 989,94 4 105,59
4 352,35 4 460,27
4 079,90 4 192,47
3 814,92 4 293,15
700,03
769,73
836,93
934,55
50,20
55,70
60,80
70,08
1 067,25 1 148,26
1 248,86 1 457,95
2 209,50 2 386,01
2 504,70 2 783,67
1 190,98 1 276,18
1 319,56 1 392,65
745,44
812,57
892,56
976,97
1 570,53 1 622,71 1 769,15 1 941,14 15 603,77 16 369,22 16 799,83 18 310,43 11 854,59 12 529,83 13 368,32 14 461,84
Pada Tabel 5.1 bahwa PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2009 mencapai Rp 18,310 triliyun lebih, sementara tanpa pertambangan non migas Rp 14,461 triliyun lebih. Pada tahun 2008 dan 2009 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar yaitu Rp 4,460 triliyun atau skitar 30,84 persen dari PDRB tanpa pertambangan nonmigas. Kontribusi sektor pertanian sebagian terbesar masih bersumber dari subsektor tanaman pangan bila dibandingkan dengan subsektor perkebebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
87
Mengingat bahwa komoditas jagung merupakan komoditas pangan (bahan makanan) yang sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak, maka dampaknya ke sektor lain relatif kecil, kecuali ke sektor perdagangan. Dengan memperhatikan proporsi produksi jagung yang sebagian besar diperdagangkan antar provinsi, maka dampak pembentukan nilai tambah jagung ke hilir relatif kecil. Untuk meningkatkan dampak ke hilir dari produksi jagung, maka sebaiknya di NTB perlu dikembangkan usaha peternakan ayam terutama ayam petelur yang banyak
membutuhkan jagung,
selain
itu dalam
jangka
panjang
perlu
dikembangkan pembangunan pabrik pengolahan pakan ternak. Di luar sektor pertambangan nonmigas, urutan kedua penyumbang nilai tambah PDRB terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini menyumbang Rp 2,783 triliyun atau sekitar 19,24 persen dari PDRB tanpa pertambangan non migas. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran ini didukung oleh semakin diminatinya NTB sebagai tujuan wisata yang mana pada tahun 2012 menembus angka 1 (satu) juta wisatawan. Pembangunan ruko, hotel dan restoran yang berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan turut memberikan dukungan bagi tumbuhnya sektor ini. Urutan ketiga ditempatkan oleh sektor jasa-jasa/service dengan kontribusi Rp 1,941 triliyun, berikutnya diikuti oleh bangunan, serta pengangkutan dan komunikasi. Sebagai penyumbang terkecil dalam struktur perekonomian NTB adalah sektor keuangan dan persewaan diikuti oleh sektor industri pengolahan. (Tabel 5.1). Dilihatat dari aspek pendapatan per kapita penduduk Nusa Tenggara Barat yang berjumlah 4.500.212 jiwa, maka pendapatan per kapita penduduk NTB atas dasar harga yang berlaku relatif kecil bila dibandingkan dengan Indonesia.
88
berikut memperlihatkan perkembangan dan perbandingan pendapatan per kapita penduduk NTB tahun 2000 s.d 2010. Tabel 5.2
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 *)2010 **)2011
Perkembangan Pendapatan Perkapita Penduduk NTB Tahun 2000 s.d 2011 Nusa Tenggara Barat (Rp/kapita/tahun) 1 915 820 2 201 279 2 438 268 2 648 260 2 953 981 3 281 657 3 658 383 4 041 539 4 502 908 4 914 835 5 521 420 6 073 767
Indonesia (Rp/kapita/tahun) 6 171 343 7 077 125 7 616 354 8 196 210 9 303 689 11 179 506 13 195 094 15 416 789 19 141 673 20 964 888 43 020 665 27 648 409
Catatan: *) Angka Sementara; **) Angka Sangat Sementara Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Nusa Tenggara Barat Menurut Kabupaten/Kota Apabila data pendapatan per kapita tahun 2011 dihitung = Rp 503.153/ kapita/bulan. Dengan demikian penduduk NTB tergolong tidak miskin menurut kriteria BPS, sebab pendapatan rata-rata penduduk NTB di atas garis kemiskinan sebesar Rp.259.520/kapita/bulan di daerah perkotaan+perdesaan.
Demikian
pula apabila menggunakan ukuran Sajogyo setara 360 kg beras untuk daerah perdesaan dengan perhitungan harga beras Rp 8 000/kg, maka tergolong tidak miskin. Jumlah penduduk miskin di perdesaan dapat dilihat pada Tabel 1.2. 5.3.2
Kelembagaan Ekonomi Penunjang Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sektor strategis yang mempengaruhi sektor
lainnya dan sebaliknya kemajuan pembangunan sektor pertanian tidak terlepas dari eksisting sektor lainnya, seperti sektor keuangan, persewaan dan jasa, serta sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi.
89
Menyadari hal di atas, maka perlu diuraikan tentang kondisi eksisting kelembagaan ekonomi terutama keuangan yang merupakan lembaga penyedia modal atau kredit, seperti bank dan koperasi. Ada dua jenis bank yang beroperasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Pada tahun 2010, jumlah bank umum 23 unit dengan jumlah kantor 208, terdiri atas bank umum devisa sebanyak 14 unit dan bank umum biasa (commercial non forex banks) sebanyak 9 (sembilan) unit yang masing-masing tersebar di semua kabupaten dan kota se NTB. Bank Perkreditan Rakyat disingkat BPR adalah bank yang melayani masyarakat di tingkat kecamatan dan desa. Dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan nasabah kecil, seperti petani, nelayan, buruh, pedagang eceran dan pedagang bakulan. BPR disebut juga rural banks terdiri dari Bank Perkreditan Rakyat dan Lumbung Kredit Pedesaan. Lumbung Kredit Pedesaan atau rural credits telah bermigrasi menjadi BPR. Jumlah BPR di NTB pada tahun 2010 sebanyak 32 unit dengan kantor cabang 112. Dengan tersedia dan menyebarnya kantor cabang bank umum dan bank perkreditan rakyat memberikan kemudahan bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan pelayanan perbankan. Spesifik bagi para petani yang tinggal di daerah perdesaan, keberadaan BPR akan sangat membantu bagi tumbuhnya usaha kecil menengah, serta memudahkan bagi masyarakat pedesaan untuk melakukan transaksi keuangan, termasuk para petani, nelayan, usaha kerajinan skala
rumah
tangga,
pedagang
eceran
dan
pedagang
bakulan
membutuhkan tambahan modal untuk memperbesar skala usaha. Tabel
yang 5.3
berikut akan menampilkan eksisting lembaga keuangan perbankan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
90
Tabel 5.3 Jumlah Kantor Bank Umum dan BPR Menurut Kabupaten Tahun 2010 Kabupaten/Kota
Bank Umum Pemerintah Pemda Swasta 1. Lombok Barat 15 1 1 2. Lombok Tengah 15 2 7 3. Lombok Timur 23 5 4 4. Lombok Utara 4 1 1 5. Kota Mataram 24 5 34 6. Sumbawa Barat 7 1 2 7. Sumbawa 15 2 7 8. Dompu 8 2 0 9. Bima 16 4 2 10. Kota Bima 0 0 0 Jumlah 127 23 58 Sumber : NTB Dalam Angka, 2011.
BPR Pemda Swasta 7 12 9 2 8 12 0 4 1 9 2 1 9 12 4 0 5 11 1 3 46 66
Jumlah 36 35 52 10 73 13 45 14 38 4 320
Kantor pelayanan bank tidak saja di pusat-pusat kota provinsi dan kabupaten, tetapi telah menyebar sampai di kota kecamatan. Perkembangan ini cukup menggembirakan, terutama pada 5 (lima) tahun terakhir banyak bank umum nasional yang membuka kantor cabang di NTB, seperti Bank Mega, Bank Central Asia, Bank Mualamat, Bank Seri Partha, dan Bank Intenasional Indonesia (BII), Bank Tabungan Pensiun Negara, dll, serta semua bank pemerintah telah membuka kantor cabangnya termasuk unit bank syari’ah. Dengan demikian tampak persaingan antar bank kian ketat dalam menggait nasabah dengan menawarkan produk-produk layanan yang menarik, termasuk juga keringan tingkat bunga. Meskipun jumlah kantor bank telah banyak hadir di NTB, namun penyerapan kredit sektor pertanian masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian menyerap kredit sebanyak Rp.117.697 milyar
atau sekitar 1,26 persen dari jumlah
penyaluran kredit sebesar Rp 9,352 triliyun pada tahun 2010, jauh di bawah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 2,464 triliyun (26,35%).
91
Kelemahan yang mendera sektor pertanian dalam penyerapan kredit, karena skala usaha yang kecil dan lokasinya yang tersebar, sehingga menyulitkan administrasi perbankan, selain itu terganjal masalah kelayakan kredit yang meliputi 5’C, yaitu: character, capital, capacity, collateral dan condition (Riyanto, 19990). Oleh karena itu, bagi petani kecil yang membutuhkan kredit diharuskan adanya avalis atau perusahaan yang bertindak sebagai penjamin pinjaman pada bank, seperti PT Pertani dan PT Sang Hiyang Seri dan PT Bumi Mekar Tani yang bermitra dengan petani. Koperasi yang dicanangkan sebagai sokuguru perekonomian nasional masih membutuhkan pembinaan dari Kementerian Koperasi Usaha Kecil Menengah (Koperasi dan UKM) dilihat dari sisi jumlah telah menunjukkan perkembangan dengan trend yang meningkat dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Pekembangan jumlahnya mencapai 11,44 persen, yaitu dari 2.898 unit tahun 2008 menjadi 3.007 unit tahun 2009 dan 3.351 unit tahun 2010. Pada periode yang sama, jumlah modal berkembang 3,07 persen, sehingga perkembangan modal lebih lambat bila dibandingkan dengan perkembangan jumlah koperasi (NTB Dalam Angka 2011). Untuk membangun koperasi yang mandiri bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena belum siapnya masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam berkoperasi. Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibangun selama Pemerintahan Orde Baru cenderung tidak lagi aktif sebagai akibat aktivitasnya menurun setelah dihapusnya Program Bimas, Inmas dan Insus. Kegiatan KUD semakin terbatas, peranannya semakin tak tampak dalam memberikan pelayanan sarana produksi pertanian, petani lebih sering berhubungan dengan kios sarana produksi di kota kecamatan atau yang dekat dengan tempat tinggalnya.
92
5.4 Produksi Jagung Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia sebagai penghasil jagung. Jagung dihasilkan di semua kabupaten dalam wilayah Nusa Tenggara Barat (BPS NTB, 2011). Sejak tahun 2001 s.d 2010 produksi jagung di Nusa Tenggara Barat terus meningkat sebesar 22,36% lebih tinggi bila dibandingkan dengan peningkatan produksi jagung nasional sebesar 4,6%/ tahun (Sjah, 2011). Produksi jagung meningkat disebabkan oleh peningkatan luas areal panen dan peningkatan produktivitas (Tabel 5.4). Luas areal panen meningkat 12,08 persen dari 24.969 ha tahun 2001 menjadi 64.529 ha tahun 2010, sementara produktivitas meningkat dari 20,34 ku/ha menjadi 38,09 ku/ha pada periode yang sama (BPS NTB, 2011; Putra, et al., 2005; Putra, 2006). Pada Tabel 5.4 tampak peningkatan produksi lebih didominasi oleh peningkatan luas aral panen dengan koefisien korelasi 0,9815, artinya terdapat hubungan yang kuat antara laju peningkatan luas areal panen terhadap laju peningkatan
produksi,
sementara
koefisien
korelasi
antara
perubahan
produktivitas dengan perubahan produksi jagung sebesar 0,7422, artinya peningkatan produksi seiring dengan peningkatan produktivtas. Dari paparan ini dapat dikatakan bahwa baik luas panen maupun produktivitas secara bersamasama atau sendiri berkontribusi terhadap peningkatan produksi jagung. Oleh karena itu program peningkatan produksi jagung telah berhasil baik dari aspek ekstensifikasi maupun intensifikasi. Dengan menggunakan analisis trend eksponensial diperoleh peningkatan produksi yang mencapai 22,36 persen (Sjah, 2011). Ini memberi indikasi ke depan, bahwa produksi jagung diestimasikan akan terus meningkat pada tahun 2011 dan 2012. Untuk
mempertegas
uraian di atas, Tabel 5.4 berikut
93
memperlihatkan perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2012. Tabel 5.4 Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2001 s.d 2012 No
Luas Panen Produksi Produktivitas (Ku/ha) (Ha) % Ton % 1 2001 24 969 20,34 50 778 2 2002 28 847 20,03 57 785 15,53 13,80 3 2003 31 217 20,57 64 228 8,22 11,15 4 2004 33 140 21,51 71 275 6,16 10,97 5 2005 39 380 24,49 96 459 18,83 35,33 6 2006 40 617 25,60 103 963 3,14 7,78 7 2007 42 955 28,08 120 612 5,76 16,01 8 2008 59 078 33,22 196 263 37,53 62,72 9 2009 81 543 37,88 308 863 38,03 57,37 10 2010 61 593 40,43 249 005 -24,47 -19,38 12 2011 89 307 51,16 456 915 45,00 83,50 13 2012 117 030 54,92 642 674 31,04 40,66 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB. Tahun
Peningkatan luas panen dimungkinkan karena tanaman jagung dapat diusahakan pada tiga musim tanam, yaitu pada musim penghujan ditanam di lahan kering baik ladang maupun tegal. Pada musim kemarau tanaman jagung diusahakan oleh para petani di lahan sawah dan lahan kering dengan irigasi pompa air tanah. Dalam 10 tahun terakhir produksi jagung meningkat hampir 5 kali lipat, produktivitas meningkat 2 kali lipat dan luas panen meningkat 2,5 kali lipat (Tabel..5.4). Dalam memacu peningkatan produksi jagung, pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kementerian Pertanian menyediakan berbagai skim bantuan kepada petani, seperti Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), bantuan benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN), Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Agribisnis (SL-PTT), Training of Trainer (TOT) Agribisnis Jagung dan Pelatihan Pemandu Lapang (PL) SL-PTT.
94
Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporat (GP3K) dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak bidang Agribisnis seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, Perum Perhutani, dan PT Pusri. Wilayah operasinya terutama di daerah marjinal yang tidak dapat dijangkau
oleh
skim
BLBU
dan
SL-PTT
(http://syahyutijagung.
blogspot.com/2012/09/program-jagung-tahun-2011.html. Pada Program GP3K, ada tiga aspek penting yaitu: pemberian pinjaman lunak kepada petani, pemberian sarana produksi pertanian, dan pemberian kawalan budidaya pertanian yang baik dan terintegrasi, sebagai penggerak kesejahteraan petani dan peningkatan produktivitas pertanian.
Gambar 5.2 Areal Pertanaman Jagung Binaan PT Pertani di Bukit Keramat Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB Tahun 2013 Untuk
menanggulangi
pembiayaan
usahatani,
pemerintah
juga
menyediakan skim kredit diantaranya: Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Pada Gambar 5.2 di atas tampak areal pengembangan
95
budidaya jagung dengan pembiayaan dari PKBL Pertamina dengan avails PT.Pertani cabang Nusa Tenggara Barat. Besarnya skrim kredit bagi usahatani tanaman jagung berkisar Rp 2.500.000 ha-1
s.d Rp 4.500.000 ha-1 yang
disesuaikan dengan paket teknologi dan harga satuan input produksi. Skim kredit dengan bunga bersubsidi. Tingkat bunga yang dibebankan kepada adalah
0,5 s.d
petani
1 (satu) persen per bulan dengan masa tenggang 6 (enam)
bulan. Skim kredit ini disalurkan melalui bank milik pemerintah antara lain Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri.
Gambar 5.3 Areal Pertanaman Jagung di Lahan Sawah Skim Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB Tahun 2012 Semua kabupaten dan 1 (satu) kota (Bima) dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat berkontribusi dalam menyokong peningkatan produksi jagung, kecuali kota Mataram yang tidak menghasilkan jagung.
Pada Tabel 5.5
96
kabupaten Lombok Timur sebagai penghasil jagung terbanyak (67.628 ton) jika dibandingkan dengan kabupaten / kota lainnya, sementara yang terkecil adalah Kota Bima (2.909 ton). Pada Gambar 5.3 tampak lokasi pengembangan areal budidaya tanaman jagung skim BLBU di Kabupaten Lombok Timur. Tabel 5.5 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung per Kabupaten / Kota Tahun 2010 No
Kabupaten / Kota
1 Lombok Barat 2 Lombok Tengah 3 Lombok Timur 4 Lombok Utara 5 Kota Mataram 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Nusa Tenggara Barat Sumber : BPS NTB, 2011.
Luas Panen (Ha) 2 613 3 191 16 602 5 392 0 3 076 14 528 5 821 9 686 684 61 593
Produktivitas (Ku/ha) 36,45 43,34 40,73 42 69 0 37,52 39,53 41,83 40,04 42,53 40,43
Produksi (Ton) 9 523 13 830 67 628 23 020 0 11 542 57 425 24 348 38 778 2 909 249 005
Oleh karena produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan kebutuhan lokal di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), maka lebih dari separuh produksi jagung asal NTB pada tahun 2010 dikirim ke luar provinsi untuk memenuhi kebutuhan jagung di wilayah lain di Indonesia, seperti Bali dan Jawa Timur. Produk jagung asal NTB mampu bersaing secara nasional baik harga maupun kualitas, sehingga pedagang dari Bali dan Jawa Timur datang ke NTB untuk membeli jagung sebagai bahan campuran pakan ternak. 5.5 Pemanfaatan Jagung Memperhatikan Gambar 5.4 tampak bahwa kebutuhan jagung untuk keperluan pangan lokal dan benih relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah
97
jagung yang dikirim ke luar provinsi NTB yang diperuntukkan bagi keperluan campuran pakan ternak.
Pangan Pakan Benih keluar NTB
Gambar 5.4 Perbandingan Persentase Jumlah Jagung Yang Dikirim Keluar NTB dan Pemenuhan Kebutuhan Lokal Tahun 2010. Kuantitas jagung yang dikirim keluar provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berbanding lurus dengan jumlah produksi jagung. Ketika produksi jagung meningkat dari tahun 2001 s.d. 2009 diikuti oleh peningkatan jumlah jagung yang dikirim ke luar NTB, demikian pula ketika produksi jagung tahun 2010 menurun dibanding tahun 2009 sebesar 19,38% (Tabrl 5.4) diikuti oleh penurunan jumlah jagung yang dikirim keluar NTB dari 253.223,74 fon tahun 2009 menjadi 188.806,14 ton tahun 2010 (Tabel 5.6). Jumlah pengiriman jagung asal NTB keluar provinsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 sebesar 33,40 persen dari 50.778 ton meningkat menjadi 76,71 persen dari produksi sebesar 245.805 ton pada tahun 2010. Perkembangan persentase jagung yang dikirim ke luar NTB lebih dari 2 (dua) kali lipat dari tahun 2001 sampai dengan 2010 (Tabel 5.6).
98
Tabel 5.6 Perkembangan Produksi, Konsumsi Lokal dan Pengiriman Jagung Keluar NTB Tahun 2001 s.d 2010
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber
*Produksi (Ton)
**Konsumsi Lokal NTB Pangan Pakan Benih (ton/th) (ton/th) (ton/th)
**Pengiriman Keluar NTB (ton/th)
50 778 11 858,96 20 959,12 998,76 16 961,16 57 785 12 182,30 22 876,35 1 153,88 21 572,47 64 228 11 855,87 24 502,10 1 248,68 26 621,35 71 275 12 065,08 30 720,05 1 325,60 27 164,27 96 459 12 264,14 32 652,20 1 575,20 49 967,46 103 963 2 341,52 34 655,10 1 624,68 65 341,70 120 612 2 360,87 36 743,02 1 014,90 81 406,62 196 263 14 182,21 38 087,55 1 344,50 143 958,79 308 863 9 222,75 46 390,88 1 564,00 253 223,74 245 805 8 763,64 48 220,08 1 414,00 188 807,14 : *)Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan **) Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Produksi jagung yang dihasilkan di Pulau Lombok selain memenuhi kebutuhan peternak dan industri pengolahan jagung di Pulau Lombok sebagiannya di kirim ke Provinsi Bali, antara lain Kabupaten Karang Asam, Bangli dan Negara; sementara jagung yang dihasilkan di Pulau Sumbawa selain dikirim ke Bali untuk memenuhi kebutuhan peternak ayam petelur, juga untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan pakan ternak di Pulau Jawa. Produksi jagung Nusa Tenggara Barat dikirim ke beberapa kota di Jawa Timur, yaitu Pasuruan, Jember, Geresik, Sitobondo dan Surabaya. Konsumen pengguna jagung asal Nusa Tenggara Barat antara lain : PT Cargil Indonesia, PT Panca Patriot Prima, PT Reza Perkasa, PT Suri Tani Pemuka, PT Wirifa Sakti, dan PT Wonokoyo Jaya Corporindo. 5.6 Harga Jagung dan Perkembangannya Oleh karena sebagian besar tanaman jagung diusahakan di lahan kering pada musim penghujan dan di sawah pada musim kemarau ke-2, maka panen
99
raya jagung terjadi pada bulan Maret sehingga terjadi peningkatan supply yang pada gilirannya berakibat pada fluktuasi harga di tingkat petani. Pada bulan Oktober s.d Maret di mana harga jagung relatif rendah, harga tertinggi terjadi pada bulan Mei s.d September, yaitu ketika jagung yang ditanam di sawah belum panen. Gambaran fluktuasi harga jagung di Kabupaten Lombok Timur tahun 2012 dari bulan ke bulan dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut: 1450 1400 1350 1300 Lotim
1250 1200 1150 1100 Jan
Feb Mar Apr Mei Juni
Jul Agust Sept Okt Nov Des
Gambar 5.5 Fluktuasi Harga Jagung di Level Petani di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) Tahun 2012 Salah satu perangsang peningkatan produksi dan pengiriman jagung keluar provinsi Nusa Tenggara Barat adalah harga jagung yang terus membaik dari tahun ke tahun, sebagai dampak langsung meningkatnya kebutuhan jagung dalam negeri. Peningkatan harga jagung tidak saja terjadi pada level konsumen pengguna, namun juga berimbas pada peningkatan harga di level petani.
100
3000
Harga (Rp/kg)
2500 2000 1500 1000 500 0 1990
1995
2000
2005
2010
2015
Tahun
Gambar 5.6 Perkembangan Harga Jagung di Level Petani Tahun 1995 s.d 2012 Sumber: Diolah Dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Berbagai Sumber Lainnya. Sebagai mana tampak pada Gambar 5.6 bahwa trend harga jagung terus meningkat dalam kurun waktu tahun 1995 s.d 2012, kecuali pada tahun 2009 menunjukkan penurunan yang tajam. Perilaku ekonomi petani mengikuti trend pasar, di mana kenaikan harga direspon positif dengan memperluas areal tanam, sebaliknya apabila harga turun, petani akan menyesuaikan luas areal panen pada tahun berikutnya. Dengan menghubungkan data pada Tebel 5.4 dan Gambar 5.6 tampak ada korelasi positif antara harga dengan luas panen.
Perkembangan harga jagung di level petani merupakan derivatif dari harga jagung level grosir dan di level eceran (konsumen). Gambar 5.7 memperlihatkan adanya perubahan harga yang konsisten antara harga di level eceran dengan harga di level petani dalam jangka panjang (lebih dari satu tahun). Pada gambar yang sama terlihat marjin pemasaran yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu di mana pada tahun 2006 marjin pemasaran tidak terlampau lebar, pada
101
tahun-tahun berikutnya tampak marjin pemasaran semakin melebar terutama tahun 2008 dan 2009.
4,000 3,500
Harga (Rp/kg)
3,000 2,500 Level Petani
2,000
Level Grosir
1,500
Level Eceran
1,000 500 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar: 5.7 Perkembangan Harga Jagung Pada Berbagai Level Kelembagaan Pemasaran Tahun 2006 s.d 2011. Sumber: Diolah Dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTB Dari fenomena ini dapat dikatakan bahwa kenaikan harga di level konsumen tidak sepenuhnya ditransmisi ke harga di level petani, sebagai akibat berbagai hambatan informasi dan struktur pasar yang tidak sempurna, di samping faktor jarak yang lebar antara lokasi sentra produksi dengan sentra konsumen, dan waktu tempuh yang tidak singkat, sebagai akibat kondisi jalan di sentra
produksi
(perdesaan)
yang
belum
seluruhnya
kondusif
dalam
memperlancar pergerakan dan distribusi barang. Kendala-kendala tersebut dimanfaatkan oleh pedagang untuk meningkatkan perolehan keuntungan. Pelajaran lain yang dapat ditarik dari Gambar 5.7 di atas adalah peningkatan produksi yang tinggi tidak sepenuhnya menguntungkan petani,
102
kenaikan produksi justru lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan konsumen, karena dapat menekan harga beli di tingkat petani, justru petani memperoleh keuntungan yang lebih besar jika produksi secara nasional atau regional tidak terlalu banyak, sebab para pembeli telah berebut mendapatkan pasokan dengan menaikkan harga beli di level petani sebagai mana tampak pada tahun 2010 ketika produksi jagung menurun bila dibandingkan tahun 2009. Pada tahun 2010, harga beli jagung di level petani meningkat, sehingga marjin pemasaran antara pedagang grosir dan eceran tampak kecil, namun marjin antara petani dan pedagang grosir tetap lebar. 5.7 Keterkaitan Antar Kelembagaan Dalam Kolaborasi Rantai Pasok Jagung Kolaborasi rantai pasok jagung melibatkan sejumlah kelembagaan yaitu Kelompok
Tani,
Koperasi,
Perusahaan / Avalis
Koordinator
Lapang,
Pedagang
Perantara,
dan Bank Umum, Peternak Ayam Petelur (Layer) dan
Industri Pakan Ternak (Gambar 5.8). Gambar 5.8
menunjukkan bahwa aliran modal dari Bank Umum ke
Perusahaan yang berperan selaku avalis (penjamin pinjaman) atau selaku integrator kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan ke Perusahaan Swasta yang berperan sebagai pedagang perantara, selanjutnya perusahaan menyalurkan kredit ke petani melalui koordinator lapang, kelompok tani dan ke petani.
Sementara kredit yang melalui pedagang perantara yang mana alur
modal langsung ke petani, sehingga jalur aliran modalnya lebih pendek. Arus pengembalian modal mengikuti arah yang sebaliknya.
103
PERUSAHAAN (INTEGRATOR / AVALIS)
KELOMPOK TANI
BANK UMUM
KOPERASI / LSM / KOORDINATOR LAPANG
PETERNAK / INDUSTRI PENGOLAHAN
PETANI JAGUNG MITRA
PEDAGANG PERANTARA
Gambar 5.8 Skema Keterkaitan Antar Lembaga Dalam Kolaborasi Rantai Pasok Jagung Keterangan : = aliran modal = aliran modal dan pelayanan teknologi = aliran produk dan pengembalian pinjaman (modal) = aliran pengembalian pinjaman (modal) Aliran teknologi bergerak dari perusahaan ke petani mengikuti aliran modal, karena paket kredit mengikuti paket teknologi terutama input / sarana produksi pertanian. Aliran produk jagung bergerak dari petani ke kelompok tani, koordinator, dan perusahaan. Dari perusahaan ada yang langsung ke peternak / industri pengolahan, ada juga yang melalui pedagang perantara. Bagi petani yang mendapatkan pinjaman modal atau kredit dari pedagang perantara, aliran
104
produknya langsung dari petani ke pedagang perantara, selanjutnya ke peternak atau industri pengolahan pangan maupun pakan ternak. Yang berperan sebagai koordinator lapang antara lain koperasi, LSM dan/atau perseorangan. Setiap jalur aliran modal, teknologi dan produk mengikuti alur informasi dan koordinasi. Alur informasi dan koordinasi merupakan inti dari manajemen rantai pasok. Dari Gambar 5.8 di atas diketahui bahwa jalur aliran modal, teknologi/ pelayanan dan informasi dengan integrator perusahaan swasta atau pedagang perantara lebih pendek, sehingga mereka mengelola rantai pasok lebih efektif dan lebih efisien. Kelemahannya adalah sulit memperluas jangkauan pelayanan dan terbatas di bawah 100 ha. Kelompok tani dan petani mitra dalam menjalin kerjasama (kolaborasi) dengan perusahaan diharuskan melengkapi sejumlah persyaratan yang dibutuhkan, antara lain: 1. Foto copy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
atas lahan
pertanian yang dimiliki oleh petani mitra; 2. Fotocopy Kartu Tanda Pengenal (KTP); 3. Jaminan (agunan) dari kelompok berupa sertifikat tanah atau Buku Pemiliki Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dari Ketua Kelompok Tani atau salah seorang anggota kelompok tani; 4. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang sudah disetujui atau diketahui oleh Penyuluh Pertanian Lapang (PPL). Semua persyaratan sebagai mana disebutkan di atas di antar ke kantor perwakilan perusahaan atau dititip melalui Pembina Lapang (PL) perusahaan
105
untuk mendapat pengecekatan dari PL dan memperoleh persetujuan pimpinan cabang di Mataram setelah mendengarkan pertimbangan dari PL. Sebelum persetujuan manajer cabang perusahaan, PL melakukan klarifikasi atas usulan pada RDKK, mengecekatan tersebut meliputi : a. mengecekan atas kebenaran tempat tinggal dengan membandingkan alamat di KTP dan alamat tinggal yang sebenarnya, b. mengecek luas lahan yang dimiliki dengan mencocokkan luas lahan pada SPPT dengan keterangan pekasih, c. pengecekan lokasi lahan usahatani dan kondisi pengairan, kelas tanah, dan lain-lain dengan
mengkroscek data-data pada RDKK dengan yang
sebenarnya dari informasi pekasih, d. mendapatkan informasi tentang karakter petani dari warga sekitar tempat tinggalnya. Dari hasil wawancara dengan PL diinformasikan bahwa karena berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi di lapangan, tidak setiap petani diperoleh informasi yang akurat, karena jumlah petani yang banyak, lokasi dan tempat tinggal petani dengan jarak yang jauh, petani lebih banyak waktunya di ladang, sehingga sulit ditemukan. Dalam praktiknya hanya dipercayakan dari informasi yang diperoleh dari ketua kelompok atau PPL (Lampiran 20). Dengan menggunakan informasi yang diperoleh selama investigasi dan verifikasi data petani dan kelompok tani, PPL mengeluarkan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan manejer dalam menyetujui usulan RDKK suatu Kelompok Tani. Atas dasar rekomendasi dari PPL, maka manajer dapat menyetujui permohonan kelompok tani. Dalam praktiknya, tidak semua PPL mengetahui adanya kerjasama antara kelompok tani dengan perusahaan.
106
Setelah mendapat persetujuan, perusahaan membuatkan surat perjanjian kontrak yang mengatur tentang hak dan kewajiban masing-masing termasuk tentang mekanisme penyaluran dan pengembalian kredit (jumlah dan waktu). Proses sejak pengusulan hingga pencairan membutuhkan waktu 2 s.d 3 bulan sebelum musim tanam. Hanya kelompok tani yang memenuhi syarat saja yang disetujui usulan pinjaman modal /kredit. Penyaluran kredit berupa natura seperti benih, pupuk, herbisida, pestisida; berupa innatura adalah biaya pembukaan dan pengolahan lahan sebesar Rp 1.200.000/ha. Kredit dalam bentuk natura dan innatura diantar langsung oleh Pembina Lapang (PL) ke tempat tinggal ketua kelompok tani. Kolaborasi rantai pasok antara perusahaan / avalis
dengan kelompok
tani dikukuhkan dengan surat kontrak semacam surat perjanjian yang menegaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu petani jagung dengan perusahaan. Secara implisit dalam surat kontrak perjanjian mengharuskan petani untuk: a. memanfaatkan
seluruh
sarana
produksi
yang
diterima
pada
lahan
usahataninya untuk meningkatkan produksi jagung; b. tidak diperkenankan memindahtangankan atau memperjualbelikan sarana produksi kepada pihak lain tanpa persetujuan manajer perusahaan; c. petani melalui ketua kelompok tani melaporkan kepada perusahaan tentang jadwal panen; d. petani berkewajiban menjual hasil produksi berupa jagung tongkol kering panen kepada koordinator lapang yang ditunjuk perusahaan;
107
e. sebagian dari pembayaran hasil produksi digunakan untuk mengembalikan pinjaman dengan cara didebet langsung oleh perusahaan, hanya sisa nilai produksi dari pengembalian kredit yang diserahkan kepada petani. Ada beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi oleh perusahaan kepada petani, yaitu: a. menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan petani sesuai dengan usulan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani atau memodifikasi sesuai dengan ketersediaannya di pasar; b. menghantarkan sarana produksi dan uang tunai (cost of living) ke tempat tinggal petani; c. membeli dan membayar seluruh hasil produksi petani atau sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan menjelang panen; d. tempat penyerahan hasil produksi adalah di tepi jalan umum yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda empat terdekat dari lokasi usahatani atau sesuai kesepakatan yang ditentukan ketika panen. Berbeda dengan kolaborasi antara pedagang perantara (perusahaan swasta) dengan petani mitra di mana perjanjian dilakukan secara lisan atas dasar saling percaya tanpa dilengkapi dengan surat perjanjian kontraktual dan tanpa agunan. Namun karena mereka telah saling mengenal dengan baik (face to face), dan bertempat tingggal di lokasi yang sama sehingga memungkinkan bagi perusahaan swasta melakukan pemantauan setiap saat diperlukan, termasuk mengetahui kapan panen. Perusahaan swasta yang bermitra dengan petani lebih mudah mengesekusi pengembalian pinjaman, karena birokrasi tidak terlalu panjang dan proses pengambilan keputusan lebih mudah dan cepat, serta jumlah petani mitranya tidak banyak.
108
5.8 Petani Mitra dengan Pedagang Perantara lain Alur aliran modal, teknologi/pelayanan, informasi dan produk sebagai mana diuraian di atas tidak semuanya terlaksana sebagai mana mestinya. Berbagai kendala
psiko-ekonomi
yang
menyebabkan
terjadinya
penyimpangan,
diantaranya adalah (1) keingkaran petani untuk melunasi hutangnya, (2) hasil produksi yang tidak sesuai harapan, (3) petani menghindari pemotongan nilai penjualan untuk menutupi pinjamannya, (4) luasan areal tanam yang tidak sesuai dengan yang dilaporkan pada RDKK, (5) kegagalan panen karena faktor cuaca dan gangguan hama penyakit, (6) tertarik dengan tawaran harga yang lebih tinggi dari pembeli bebas, seperti makelar dan pedagang pengumpul (Lampiran..20). Aliran modal dari perusahaan yang berperan sebagai integrator berproses sesuai Gambar 5.11, namun terjadi penyimpangan bagi petani yang ingkar janji atas surat kontrak yang telah disepakati, yang mana petani tidak menyetorkan hasil panennya ke perusahaan yang berperan sebagai avalis melalui ketua kelompok tani dan koordinator lapang, melainkan menjualnya ke pembeli lain, seperti makelar atau pedagang pengumpul yang menawarkan harga lebih tinggi daripada harga pembelian perusahaan mitra. Dua dari tiga orang petani yang melakukan penyimpangan terhadap akad kredit yang telah ditandatangani. Dampak dari pengingkaran ini adalah perusahaan mengalami kerugian, karena tidak mampu menutupi biaya overhead dan biaya operasional (Lampiran 20). Dari
hasil
wawacara
mendalam
terungkap
bahwa
permasalahan
pengingkaran tersebut merupakan persoalan krusial bagi perusahaan, karena berdampak buruk bagi kelangsungan hubungan antar pelaku dalam kolaborasi rantai pasok. Selain menghadapi persoalan dengan petani, juga persoalan yang
109
kerap muncul adalah adanya Pembina Lapang perusahaan yang melakukan peminjaman living cost petani dari ketua kelompok dan pelunasan hutangnya juga tidak dosetorkan kepada perusahaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam (Lampiran 20) dengan Ketua Kelompok Tani, karena perbuatan Pembina Lapang (PL) tersebut, maka PL tidak berani datang lagi mendampingi kelompok, dan ada juga PL yang diberhentikan oleh perusahaan. Hal ini dibenarkan oleh manajer cabang perusahaan. Akibat pengingkaran oleh petani dan Pembina Lapang, maka
perusahaan
mengalami
kerugian
akibat
terjadinya
tunggakan
pengembalian pinjaman. Jumlah kredit / pinjaman yang tertunggak tahun 2012 sebanyak sebesar
Rp.2,844 milyar, sekitar 2/3 dari jumlah kredit yang disalurkan Rp 4,266 milyar. Luas areal usahatani yang menjadi sasaran
pembinaan adalah sekitar 562,10 ha pada PT Pertani (Lampiran 13) dan 409 ha pada PT Sang Hyang Seri dengan jumlah 971,10 ha luas lahan usahatani. Jumlah kredit yang disalurkan untuk usahatani jagung mencapai Rp 2,836 milyar pada PT Pertani dan Rp 1,43 milyar pada PT Sang Hyang Seri dengan paket kredit sebesar Rp 3.500.000/ha (Lampiran 14). Ada dua penyebab terjadinya tunggakan kredit: (1) faktor ketidak sengajaan petani, yaitu karena petani benar-benar gagal dalam usahataninya, misalnya tanaman rusak karena serangan hama penyakit, cuaca kering, atau hasil produksi yang rendah, sehingga nilai produksi tidak mampu menutupi hutang-hutangnya; (2) faktor kesengajaan, yaitu petani sebenanya mampu membayar seluruh hutangnya, hanya tidak mau melunasinya karena di dalam dirinya ada pengingkaran akad kredit. Bila terjadi tunggakan karena faktor yang pertama, maka perusahaan memakluminya dan memberikan kesempatan
110
kepada petani
untuk membayarnya pada musim tanam yang akan datang;
sehingga kerugian ditanggung bersama tanpa membebani petani dengan denda atau biaya tambahan akibat menunggak. Bila tunggakan disebabkan oleh faktor yang kedua, maka yang mengalami kerugian hanya pihak perusahaan. Dalam konteks ini, perusahaan dapat menempuh jalur hukum atau melakukan tekanan kepada petani agar mereka mau melunasi hutang-hutangnya. Hanya saja, penyelesaian melalui jalur hukum belum pernah ditempuh oleh perusahaan. Yang pernah dilakukan adalah melakukan pendekatan kekeluargaan atau pendekatan personal dengan menagih ketua kelompok tani atau petani yang disertai dengan peringatan keras. Pengingkaran
atas
pembayaran
hutang
yang
disebabkan
faktor
kesengajaan, ditegaskan dalam Al-Qur’an surat ke-100 (Al-Hadiyat) ayat ke-6 sampai dengan ayat ke-8 sebagai berikut: ‘sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterimakasih kepada Tuhannya; dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya; dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta’. Dengan penegasan ini dapatlah dipahami bahwa pengingkaran terhadap janji itu karena sangat kuat cintanya terhadap harta, sehingga menjadikan manusia itu bakhil, tidak memberikan apa yang menjadi hak orang lain, bahkan mengambil yang bukan haknya. Sementara bakhil artinya kikir (medit), yaitu suatu sikap dan perilaku yang sangat kikir, tidak mudah menunaikan kewajiban, enggan membayar hutang, tidak bersedia berzakat, berimfak dan bersedekah, sebaliknya sangat suka menerima pemberian orang lain, serta sedikit sekali bersyukurnya kepada Tuhannya.
111
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Responden Data yang dianalisis pada penelitian ini bersumber dari data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan
instrumen
kuesioner
dan
kisi-kisi
wawancara
mendalam. Jumlah responden petani sebanyak 120 orang, dan pedagang perantara 20 orang, dan 60 orang peternak ayam petelur. Seluruh responden berjumlah 200 orang. Sementara wawancara mendalam dilakukan dengan Ketua Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian Lapang (PPL), pedagang perantara, konsumen pengguna, dan Ex Manajer Lapang PT Darmaniaga dan PT Pertani Cabang Nusa Tenggara Barat. Sebelum menganalisis perlu dideskripsikan karakteristik social ekonomi responden sebagai acuan dalam membahas hasil analisis. 6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Petani Jagung Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi responden, maka dilakukan deskriptif terhadap data jenis kelamin, usia, pendidikan, kepemilikan handpon dan jumlah tenaga kerja usia produktif anggota rumah tangga responden. Distriubusi frekuensi karakteristik sosial ekonomi responden dapat dibaca pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3. Peranan laki-laki pada masyarakat agraris tampak masih dominan, di mana 90,83% dari 120 responden adalah laki-laki, sisanya 9,17% responden perempuan sebagai perempuan kepala rumah tangga. Responden perempuan umumnya berstatus janda atau ditinggal suaminya mencari kerja ke luar negeri
112
sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negeri jiran Malaysia atau negara lainnya. Walau jumlah responden perempuan relatif kecil, namun peranan perempuan dalam usahatani tampak nyata karena ikut membantu laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan tertentu di sawah atau ladang, seperti menanam, menyiang, membumbun dan panen. Tabel 6.1 Dirtribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Petani Jagung No 1
2
3
4
5
Karakteristik Kelamin Perempuan Laki-laki Usia (tahun) ≤ 30 30 s.d 34 35 s.d 39 40 s.d 44 45 s.d 49 50 s.d 54 55 s.d 59 60 s.d 64 65 ≥ Pendidikan Tidak punya ijazah SD sederajat SMP Sederajat SMA Sederajat Diploma (5-8) S1 S2 Jumlah Anggota RT Usia Produktif (orang) ≤2 3 s.d 5 6≥ Kepemilikan HP Memiliki Tidak memiliki
Jumlah (Orang)
Persentase (n=120)
11 109
9,17 90,83
7 19 12 26 4 18 5 10 19
2,50 15,83 10,00 21,67 3,33 15,00
60 32 15 10 0 3 0
50,00 26,67 12,50 8,33 0,00 2,50 0
60 54 6
50,00 45,00 5,00
31 89
25,83 74,17
28,33
Usia responden minimal 19 tahun dan maksimal 80 tahun. Rata-rata usia responden 47,25 tahun. Yang tergolong usia produktif sebanyak 101 orang, sedangkan yang berusia non-produktif (65 tahun lebih) sebanyak 19 orang.
113
Usia 65 tahun lebih tergolong usia non produktif, namun dalam kenyataannya petani tersebut masih aktif bekerja mengusahakan tanaman jagung. Tidak semua anggota rumah tangga berusia produktif tersebut bekerja pada usahatani jagung, sebagiannya sedang sekolah dan mengurus rumah tangga, dan ada juga yang bekerja di luar usahatani. Dengan demikian hampir semua petani membutuhkan tenaga kerja luar keluarga untuk membantu mengerjakan beberapa jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan waktu penyelesaian 1 s.d 3 (tiga) hari seperti mengolah tanah, menanam dan memanen. Dilihat dari jenjang pendidikan tampak bahwa para petani yang mengusahakan tanaman jagung separuhnya tidak bersekolah dan tidak tamat Sekolah Dasar sederajat atau tidak memiliki ijazah. Rendahnya tingkat pendidikan petani responden akan berimplikasi pada penyerapan informasi teknologi
dan
pemanfaatan
skim
bantuan
dari
pemerintah
dan/atau
perusahaan. Pendidikan formal bukan satu-satunya sebagai penentu kapasitas petani dalam berusahatani. Pergaulan dan pengalaman dalam berusahatani serta kondisi sosial lingkungan memberikan andil dalam membangun kapasitas sumberdaya manusia para petani, seperti aktivitas belajar pada kelompok tani, serta adanya anak yang telah berpendidikan formal, sedikit banyak turut berkontribusi dalam penyerapan informasi, teknologi, dan akses terhadap permodalan serta pasar. Separuh dari jumlah anggota rumah tangga responden dihuni oleh penduduk usia produktif sebanyak 1 s.d 2 orang, jumlah rumah tangga dengan anggota usia produktif 3 s.d 5 orang sebanyak 54 rumah tangga dan yang memiliki anggota rumah tangga usia produktif lebih dari 6 orang sebanyak 6 rumah tangga. Rata-rata jumlah anggota keluarga 3,6 orang per rumah tangga.
114
Para petanipun tidak ketinggalan dalam memiliki alat komonikasi handpon (HP), sebagai sarana dalam mengakses informasi yang mereka butuhkan. Tiap 4 (empat) orang petani jagung terdapat 1 (satu) orang petani yang memiliki telepon genggam (HP). HP digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan informasi jenis input dan harga
sarana
produksi,
serta
mengakses
pasar
atas
produk
hasil
pertaniannnya. Pada Tabel 6.1 deskripsi frekuensi karakteristik sosial ekonomi responden ditemukan adanya variasi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan indikator variabel berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif, serta variabel laten lainnya sebagai struktur yang menyusun hipotesis, yaitu variabel
yang mempengaruhi manajemen rantai
pasok dan kesejahteraan petani. Melalui wawancara dengan menggunakan instrumen kuesioner dilakukan konfirmasi ulang dengan para responden untuk mendapatkan kejelasan yang menjadi alasan logis atas kondisi tersebut. Lebih lanjut dengan menerapkan metode snowball sampling dilakukan pula konfirmasi dengan para pedagang perantara dan konsumen pengguna baik yang berdomisili di Pulau Lombok maupun di Pulau Bali, sehingga diperoleh sinkronisasi jawaban yang saling melengkapi dan memperkuat argumentasi. 6.1.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Pedagang Perantara Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian ini diterapkan teknik snowball sampling. Dari petani ditelusuri aliran produk melalui pedagang perantara, selanjutnya ke konsumen pengguna. Dari hasil tabulasi data pada Tabel 6.2 diskripsi frekuensi karakteristik sosial ekonomi responden diperoleh data yang menggambarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, jumlah anggota
115
keluarga produktif dan kepemiliki handpon. Data lengkapnya dapat dibaca pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Pedagang Perantara No 1
2
3
4
5
Karakteristik Kelamin Perempuan Laki-laki Usia (tahun) ≤ 30 30 s.d 34 35 s.d 39 40 s.d 44 45 s.d 49 50 s.d 54 55 s.d 59 60 s.d 64 65 ≥ Pendidikan Tidak punya ijazah SD sederajat SMP Sederajat SMA Sederajat Diploma (5-8) S1 S2 Jumlah Anggota RT Usia Produktif (orang) ≤2 3 s.d 5 6≥ Kepemilikan HP Memiliki HP Tidak Memiliki HP
Jumlah (orang)
Persentase (n=20)
2 18
10,00 90,00
2 2 2 6 2 2 1 3
10,00 10,00 10,00 30,00 10,00 10,00 5,00 15,00
6 5 2 6 1 -
30,00 25,00 10,00 30,00 5,00 -
13 7 0
65,00 35,00 0
16 4
80,00 20,00
Usia pedagang berkisar antara 22 s.d 70 tahun dan rata-rata 45,15 tahun. Jumlah pedagang yang berusia produktif 17 orang, sebagian besar pedagang perantara berusia 40 s.d 44 tahun. Dengan demikian, para pedagang memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran, karena memiliki level pendidikan yang baik bila dibandingkan dengan petani, dan didukung oleh kondisi kesehatan fisik dan mental.
116
Selain usia, para pedagang ditunjang oleh jenjang pendidikan yang mana sebagian besar dari para pedagang berpendidikan menengah. Oleh karena jenjang pendidikan yang memadai, maka lebih mudah dalam mengadopsi informasi dan memiliki pengetahuan yang menunjang profesinya sebagai pedagang. Jumlah tanggungan dalam rumah tangga antara 2 s.d 5 orang dengan rata-rata 3,05 orang/rumah tangga. Jumlah tanggungan tergolong sedang, sehingga
dalam
menunjang
pelaksanaan
fungsi-fungsi
pemasaran
memerlukan tenaga kerja luar keluarga, sebab jumlah anggota rumah tangga usia produktif umumnya dua orang. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam menyelenggarakan fungsi pemasaran memberikan indikasi bahwa para pedagang menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan nilai tambah terutama pada fungsi pengangkutan, pengeringan, penyimpanan, dan pengemasan. Persentase kepemiliki telepon gengga (handphone) yang cukup banyak yaitu 80%, artinya dalam setiap 5 (lima) orang pedagang terdapat 4 (empat) orang yang memiliki telepon genggam. Para pedagang relatif lebih banyak memiliki handphone daripada para petani, akibatnya penguasaan informasi pasar oleh para pedagang lebih baik daripada para petani (Tanaya, et..al.,2002). 6.1.3 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Konsumen Pengguna Jagung Karakteristik sosial ekonomi responden konsumen pengguna jagung (peternak ayam petelur) ditampilkan pada Tabel 6.3 sebagai berikut:
117
Tabel 6.3
No 1
2
3
4
5
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Konsumen Pengguna Jagung
Karakteristik Kelamin Perempuan Laki-laki Usia (tahun) ≤ 30 30 s.d 34 35 s.d 39 40 s.d 44 45 s.d 49 50 s.d 54 55 s.d 59 60 s.d 64 65 ≥ Pendidikan Tidak punya ijazah SD sederajat SMP Sederajat SMA Sederajat Diploma (5-8) S1 S2 Jumlah Anggota RT Usia Produktif (orang) ≤2 3 s.d 5 6≥ Kepemilikan HP Memiliki HP Tdk Memiliki HP
Jumlah (orang)
Persentase (n=60)
1 59
1,67 98,37
3 4 2 6 8 12 7 11 7
5,00 6,67 3,34 10,00 13,34 20,00 11,67 18,33 11,67
7 8 6 23 2 13 1
11,67 13,34 10,00 38,33 3,34 21,67 1,67
28 30 2
46,66 50,00 3,34
44 16
73,33 26,67
Usia peternak ayam berkisar antara 22 s.d 70 tahun dengan rata-rata 51,74 tahun. Jumlah peternak ayam yang berusia produktif 53 orang, sebagian besar peternak ayam perantara berusia 50 s.d 54 tahun. Dengan demikian, para peternak ayam memiliki kapasitas untuk melaksanakan pekerjaanya sebagai peternak, namun relatif lebih tua bila dibandingkan dengan pedagang dan petani, dan didukung oleh kondisi kesehatan fisik dan mental.
118
Selain usia, para peternak ayam ditunjang oleh jenjang pendidikan menengah sampai dengan sarjana. Umumnya usaha peternakan sebagai lapangan pekerjaan sampingan, misalnya selain bertani atau pegawai juga memelihara ayam petelur. Kebanyakan dari mereka adalah mantan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Jumlah anggota dalam rumah tangga berkisar antara 2 (dua) s.d. 8 (delapan) orang dengan rata-rata 3,67 orang. Bila dibandingkan dengan petani dan pedagang, maka jumlah anggota keluarga peternak menempati ranking pertama. Karena jumlah anggota keluarga relative lebih banyak, maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga hanya pada pemeliharaan ternak di atas 5.000 ekor. Dilihat dari level pendidikan yang memadai, maka lebih mudah dalam mengadopsi informasi dan pengetahuan yang menunjang pekerjaannya sebagai peternak ayam. Penguasaan informasi dapat dilihat dari persentase kepemiliki telepon gengga (handphone) yang cukup banyak yaitu 73,33%, ranking kedua setelah pedagang. 6.2 Usahatani Jagung di Daerah Penelitian 6.2.1 Produktivitas Usahatani Jagung Kapasitas produksi jagung hibrida 10 s.d 16 ton/ha tongkol kering panen. Dari hasil ubinan yang dilakukan di lahan usahatani milik salah seorang responden diperoleh 138,4 kg/are atau 13,84 ton/ha tongkol kering panen. Jarak tanam 32 cm x 82 cm, jumlah tanaman 1 (satu) s.d. 2 (dua) pohon/rumpun. Jumlah populasi 65.400 pohon/ha dengan jumlah 1 (satu) tongkol per pohon. Berat tongkol berkisar 153 s.d 302 g/tongkol dengan rata-
119
rata 212 g/tongkol kering panen. Dengan asumsi konversi 60% dari tongkol kering panen menjadi jagung pipil kering simpan (kadar air 18 s.d 20%) diperkirakan produksi sebesar 8,3 ton/ha jagung pipil kering. Hasil ubinan ini masih berada pada kisaran kapasitas produksi sebagaimana diungkapkan di depan. Produksi jagung pada lahan usahatani tidak setinggi produksi jagung hibrida dan hasil ubinan di atas. Sebab tidak semua petani menanam jagung hibrida dan belum optimal dalam menggunakan pemupukan lengkap dan berimbang, serta kendala cuaca dan gangguan hama penyakit, termasuk kondisi kesuburan tanah dan ketersediaan air irigasi yang terbatas di lahan kering (Lampiran 20). Rata-rata produktivitas usahatani jagung musim tanam tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4 Produktivitas (ku/ha) Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012
No 1 2 3 4
Uraian Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 140,00 118,50 72,10 62,03 14,80 10,50 30,31 25,54
Agregat (N=120) 140,00 65,81 10,50 27,73
Sumber: Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1 Rata-rata produktivitas jagung di kecamatan Wanasaba lebih tinggi daripada di kecamatan Pringgabaya, sebab jagung di kecamatan Wanasaba sebagian besar ditanam di lahan sawah irigasi teknis dan ½ teknis pada musim kemarau, sedangkan di kecamatan Pringgabaya ditanam di lahan kering (ladang) pada musim tanam penghujan, sebagian petani di kecamatan Pringgabaya menggunakan irigasi sumur pompa air tanah.
120
Pada Tabel 6.4 di atas, tampak bahwa rata-rata produktivitas usahatani jagung masih di bawah target 10 ton/hektar (100ku/ha). Persentase petani yang mampu mencapai target produktivitas 10 ton/ha dapat dilihat pada Tabel..6.5. Tabel 6.5
No 1 2 3 4 5
Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Produktivitas Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012
Produktivitas (ku/ha) 100,00 ≥ 75,00 s.d 99,99 50,00 s.d 74,99 25,00 s.d 49,99 ≤ 24,99 Jumlah
Kecamatan Agregat Wanasaba Pringgabaya Jumlah % Jumlah % Jumlah % 10 22,22 11 21 17,50 14,67 12 26,67 10 22 18,33 13,33 11 24,44 32 43 35,83 42,67 10 22,22 19 29 24,17 25,33 2 4,44 3 5 4,17 4,00 45 100,00 75 120 100,00 100,00
Sumber: Diolah dari Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1 Persentase usahatani
dengan poduktivitas jagung di atas 100 ku/ha
sebesar 17,50 persen terdiri atas 22,22 persen di Kecamatan Wanasaba, dan 14,67 persen di kecamatan Pringgabaya. Variasi produktivitas tersebut selain karena faktor alam (cuaca dan kondisi lahan), juga terkait dengan penggunaan input produksi dan teknologi budidaya. Penggunaan benih unggul berkualitas serta respon terhadap pemupukan menjadi faktor penentu produktivitas usahatani. Faktor sosial ekonomi
petani yang terkait tidak langsung dengan
produktivitas adalah di Kecamatan Wanasaba lebih memilih berusaha tani mandiri atau bermitra dengan perusahaan swasta yang tidak menerapkan sistem bagi hasil atau membebani biaya operasional dalam pembinaannya dan fleksibel dalam mengakses teknologi. Selain itu, pada tahun 2012 petani di kecamatan Wanasaba telah menerima Bantuan Langsung Benih Unggul
121
(BLBU) dari pemerintah, sementara perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyelenggarakan program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporat (GP3K) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) di Kecamatan Pringgabaya. Pada tahun 2012, PT Pertani sebagai BUMN yang ditugaskan mengkoordinasikan GP3K menjalin kerjasama dengan Koperasi Selaras Corporate Indonesia, dan UD Kreatif; sedangkan pada tahun 2013 menunjuk koordinator lapang dari unsur perseorangan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 6.2.2
Nilai Produksi Usahatani Jagung Satu dari dua komponen pendapatan usahatani adalah nilai produksi.
Nilai produksi usahatani jagung ditampilkan pada Tabel 6.6. Tabel
6.6 Nilai Produksi (Rp/ha) Tahun 2012
No
Uraian
1 2 3 4
Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Pada Usahatani Jagung Musim Tanam
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 21 700 000 15 997 500 9 296 575 8 100 901 1 998 000 2 029 333 4 620 603 3 306 208
Agregat (N=120) 21 700 000 8 549 279 1 998 000 3 876 581
Sumber: Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1 Nilai produksi usahatani jagung berkisar antara Rp 1,998 juta sampai dengan Rp 21,700 juta per hektar dengan rata-rata Rp 8,549 juta/ha (Tabel..6.6). Nilai produksi tertinggi dan terendah terdapat di Kecamatan Wanasaba. Rata-rata nilai produksi jagung di Kecamatan Wanasaba lebih tinggi daripada di Kecamatan Pringgabaya dengan selisih hampir Rp 1,2 juta/ha.
122
Nilai produksi yang berbeda tersebut, selain disebabkan oleh perbedaan produktivitas per hektar (Tabel 6.4), juga disebabkan oleh harga jual yang lebih tinggi. Petani di kecamatan Wanasaba panen jagung di luar musim panen raya (Gambar 5.5). Pada Juli s.d. September
harga jagung tongkol kering panen
Rp 1.350/kg. Petani di kecamatan Pringgabaya panen pada musim panen raya, yaitu bulan Februari dan Maret yang mana harga jagung berfluktuasi antara Rp 1.200 s.d. Rp 1.250/kg tongkol kering panen. Distribusi frekuensi jumlah petani menurut nilai produksi dapat dilihat pada Tabel 6.7. Tabel 6.7
No 1 2 3 4 5
Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Nilai Produksi Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya Jumlah % Jumlah % ≥13 000 000 8 17,78 7 9,33 9 750 0000 s.d 12 999 999 11 24,44 17 22,67 6 750 000 s.d 9 249 999 11 24,44 23 30,67 3 250 000 s.d 6 749 999 13 28,89 25 33,33 ≤3 249 999 2 4,45 3 4,00 Jumlah 45 100,00 75 100,00 Nilai Produksi (Rp/ha)
Agregat Jumlah % 15 28 34 38 5 120
12,50 23,33 28,33 31,67 4,17 100,00
Sumber: Diolah dari Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1 Pada Tabel 6.7 tampak bahwa nilai produksi per hektar usahatani jagung mengalami tekanan lebih besar di level petani di kecamatan Pringgabaya bila dibandingkan dengan di kecamatan Wanasaba. Hal ini ditunjukkan oleh persentase petani yang lebih banyak dengan nilai produksi di atas Rp 13 juta/ha di kecamatan Wanasaba (17,78%) daripada persentase petani di Kecamatan Pringgabaya (9,33%). Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa resiko turunnya harga jagung lebih besar pada musim tanam penghujan daripada musim tanam
123
kemarau. Resiko merosotnya hara ini dapat dieliminasi dengan mengusahakan jagung pada musim kemarau dengan memanfaatkan irigasi sumur pompa atau dengan menunda waktu jual selama 1 s.d. 2 bulan (April s.d. Mei). 6.2.3
Biaya Produksi Jagung Biaya produksi total usahatani jagung terdiri atas biaya tetap total dan
biaya variabel total (Lampiran 16.2 dan 17.2). Biaya tetap total adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah meskipun produksi berubah. Biaya tetap total terdiri atas sewa lahan, penyusutan (deprensiasi) peralatan tahan lama, biaya modal, dan gaji / upah petani selaku pengelola usahatani. Biaya variabel total adalah jumlah biaya yang terdiri atas biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja, biaya-biaya lain yang berubah proporsional dengan perubahan jumlah produksi. Pada Tabel 6.8 ditampakkan biaya produksi total usahatani jagung. Tabel 6.8
No 1 2 3 4
Biaya Produksi Total Usahatani Jagung (Rp/ha) Musim Tanam Tahun 2012 Uraian
Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 19 366 108 15 540 787 5 096 428 5 395 733 1 171 665 1 169 529 3 284 743 2 629 024
Agregat (N=120) 19 366 108 5 283 493 1 169 529 2 882 474
Sumber: Lampiran 16.2 dan Lampiran 17.2 Mengusahakan jagung di lahan sawah tampak lebih efisien dilihat dari nilai produksi (Tabel 6.6). Nilai produksi usahatani jagung di lahan sawah lebih tinggi daripada nilai produksi usahatani jagung di lahan ladang, namun biaya usahatani jagung di lahan sawah lebih rendah daripada biaya usahatani jagung di lahan ladang (Tabel 6.8). Efek langsung yang ditimbulkan dari efisiensi usahatani ini adalah pendapatan usahatani jagung yang lebih tinggi di lahan sawah daripada di lahan ladang (Tabel 6.9).
124
Dari data dan uraian di atas disimpulkan bahwa produktivitas dan nilai produksi usahatani jagung dilahan sawah lebih tinggi daripada di lahan ladang, sementara biaya produksinya lebih rendah. Dengan demikian, maka usahatani jagung di lahan sawah lebih efisien daripada di lahan ladang. 6.2.4 Pendapatan dan Surplus Produsen Usahatani Jagung Pada Tabel 6.9 ditampilkan rata-rata pendapatan dan surplus produsen usahatani jagung. Tabel 6.9
No
Rata-rata Pendapatan dan Surplus Produsen Usahatani Jagung (Rp/ha) Musim Tanam Tahun 2012 Uraian
1 2 3 4 5
Nilai Produksi Total Biaya Total Biaya Variabel Pendapatan Usahatani Surplus Produsen
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 9 296 575 8 100 901 5 096 428 5 395 733 4 137 648 4 717 163 4 200 147 2 705 168 2 579 446 1 696 907
Agregat (N=120) 8 549 279 5 283 493 4 499 845 3 265 786 2 027 859
Sumber: Lampiran 16.2, 16.3, 16.4 dan Lampiran 17.2, 17.3, 17.4 Salah satu ukuran yang sering digunakan dalam mengukur keberhasilan usahatani adalah pendapatan. Pendapatan adalah nilai produksi dikurangi dengan pengeluaran biaya sarana produksi dan upah tenaga kerja luar keluarga, sementara pengeluaran berupa bunga modal dan penyusutan alat belum diperhitungkan, atau lebih tepat disebut marjin kontribusi. Marjin kontribusi merupakan selisih antara harga jual produk dengan biaya variabel rata-rata. Mengusahakan jagung dapat memberikan pendapatan yang positif sebesar Rp.3.265.783/ha yang diusakan selama 4 (empat) s.d 5 (lima) bulan, bagi petani yang luas lahannya kurang dari 1 (satu) hektar maka berpeluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih rendah dan sebaliknya bagi yang
125
mengusahakan tanaman jagung lebih dari satu hektar akan menerima pendapatan lebih tinggi. Bagi usahatani komersial seperti usahatani jagung, besarnya pendapatan usahatani merupakan ukuran keberhasilan sekaligus menjadi harapan bagi petani dan keluarganya, karena dengan perolehan pendapatan yang lebih tinggi memungkinkan baginya memenuhi kebutuhan keluarga, pada gilirannya dapat menaikkan tingkat kesejahteraannya. Oleh karena rata-rata
luas lahan usahatani per responden sebesar
0,599 hektar, sementara pendapatan usahatani per hektar Rp 3 265 783, maka besarnya rata-rata pendapatan per luas lahan garapan adalah Rp.1.966.812 atau sekitar Rp.491.703/bulan. Besarnya pendapatan dari usahatani jagung tidak mampu menutupi pengeluaran konsumsi rumah tangga yang besarnya sekitar Rp.1,5 juta/bulan. Untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya, para petani mencari penghasilan lain di luar usahatani jagung, misalnya sebagai buruh tani pada lahan pertanian orang lain, atau bekerja sebagai peternak, ngojek sepeda motor, supir, dagang, dan lain-lain. Untuk melihat sejauh mana usahatani jagung mendongkrak perubahan kesejahteraan rumah tangga petani, berikut akan ditampilkan besarnya surplus produsen usahatani jagung pada musim tanam tahun 2012. Surplus produsen dihitung dengan menggunakan rumus matematika geometrik, yaitu hasil kali marjin kontribusi dengan ½ produktivitas usahatani jagung (persamaan 4.7) dan persamaan integral biaya marjinal (persamaan 4.8). Berdasarkan
Gambar
6.1
tampak
bahwa
faktor
yang
paling
menentukan kesejahteraan petani (surplus produsen) adalah produktivitas. Apabila produktivitas usahatani meningkat maka surplus produsen akan
126
meningkat.
Mengingat
bahwa
produktivitas
usahatani
ditentukan
oleh
penggunaan sarana produksi dan introduksi teknologi budidaya pertanian, maka penggunaan teknologi dan alokasi input optimal akan berdampak pada peningkatan surplus produsen. Surplus produsen adalah ukuran yang menggambarkan kesejahteraan yang diperoleh produsen dengan kriteria variasi konpensasi atau sewa kuasi (quasirent).
h&c (Rp/kg) 4000
SURPLUS PRODUSEN USAHATANI JAGUNG MUSIM TANAM TAHUN 2012 Surplus Produsen
3000 BM=S
2000 BVR 1490
a
1000 432
d
b
0 q = jagung tongkol kering panen
10378
12500
q=Produktivitas (kg/ha)
Gambar 6.1
Surplus Produsen Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012 Sumber: Lampiran 19. Keterangan:
a+d
= Surplus Produsen Usahatani Jagung = Rp 12.930.102,36/ha d = Rp 1.951.838,84/ha b = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha) S = kurve penawaran di tingkat petani BM = Biaya Marjinal BVR = Biaya Variabel Rata-rata q = Produktivitas Usahatani Jagung (kg/ha) Rp 432/kg = biaya variabel rata-rata minimum Rp 1.000/kg = harga dasar yang ditetapkan oleh perusahaan (avalis) Rp 1.490/kg = harga premium jagung tongkol kering panen (harga rata-rata tahunan) Rp 3 000/kg = harga jagung di tingkat konsumen pengguna
127
Selain produktivitas usahatani, yang membatasi kesejahteraan petani adalah harga output dan harga input. Harga output berbanding lurus dengan kurve penawaran (supply), sementara harga input berbanding lurus dengan biaya variabel rata-rata. Apabila petani bersedia menjual jagung lebih rendah daripada harga pasar, maka petani mengalami kerugian kesejahteraan jika dibandingkan dengan variasi kompensasi atau sewa quasinya. Kesediaan produsen untuk melepaskan produk daripada tidak laku terjual tercapai ketika harga sama dengan biaya variabel rata-rata minimalnya. Selisih antara harga pasar dengan biaya variabel minimum disebut marjin kontribusi. Perubahan surplus produsen (area d pada Gambar 6.1) dapat dihitung dari hasil kali marjin kontribusi dengan setengan kali produktivitas. Besarnya perubahan surplus produsen usahatani jagung di lokasi penelitian menggunakan persamaan integral fungsi biaya marjinal (persamaan 4.8) digambarkan seluas area d = Rp..1.951.838,84/ha. Bila areal a dijumlahkan dengan areal d sebesar, maka surplus produsen total = Rp..12.930.102,36/ ha/musim tanam atau bila dibulatkan = Rp.12,93 juta/ha/musim tanam. Interpretasinya adalah jika harga jagung turun dari Rp.1.490/kg menjadi Rp.432/kg yaitu jumlah uang yang jika diberikan kepada petani sebesar Rp..12,93 juta/ha tidak mengubah kesejahteraannya. Dalam kontek usahatani jagung dapat dikatakan bahwa jika petani meningkatkan produktivitas usahataninya menjadi 12.500 kg/ha jagung tongkol kering panen pada harga pasar Rp 1490/kg, maka kesejahteraan petani meningkat sebesar Rp..12,93 juta/ha (Just, et al., 2004). Pada produktivitas rata-rata usahatani jagung 6.581 kg/ha jagung tongkol kering panen, maka perubahan kesejahteraan rumah tangga petani
128
(area
b)
sebesar
minus
Rp..1.488.864,37
dan
area
a
sebesar
Rp..6.961.645,04/ha. Surplus produsen totalnya adalah Rp.5.472.780,67 (area..a minum area b), artinya jika uang sejumlah Rp.5.472.780,67 diberikan kepada petani tidak mengubah kesejahteraannya jika terjadi larangan mengusahakan usahatani tanaman jagung, dengan kata lain apabila petani tidak mengusahakan usahatani tanaman jagung, ia dapat mempertahankan kesejahteraannya apabila petani mendapatkan konvensasi penghasilan sebesar Rp. 5.472.780,67 (Just, et al., 2004). Perubahan kesejahteraan petani lebih banyak dinikmati oleh petani dengan luas lahan garapan lebih luas daripada satu hektar. Semakin besar luas lahan garapan, maka semakin besar pula tambahan surplus produsen yang diperoleh, dan semakin tinggi produktivitas usahatani, maka semakin besar pula tambahan surplus produsen yang diperoleh dari usahataninya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa petani menjual produknya di bawah harga pasar. Jawabannya adalah kebutuhan petani yang mendesak, dan berbagai alasan lainnya di samping adanya exess supply, karena petani menjual produknya pada waktu yang bersamaan pada musim panen, sementara kuantitas permintaan lebih sedikit jika dibandingkan dengan kuantitas penawaran. Exess supply ini yang mesti dibeli oleh pemerintah, agar harga jagung di tingkat petani tidak turun bebas, sebab penurunan harga berdampak kepada penurunan surplus produsen. Apabila harga jagung terus turun, dan pemerintah tidak melakukan aksi pasar, maka surplus produsen juga akan turun. Hal ini sudah disadari oleh perusahaan (avalis) dengan menetapkan harga minimal Rp 1.000/kg jagung tongkol kering panen, artinya apabila harga pasar jagung di bawah
129
Rp..1000/kg, maka perusahaan membeli jagung petani dengan harga Rp..1000/kg. Maksud perusahaan menetapkan harga minimal adalah untuk mempertahankan agar petani tetap bergairah mengusahakan tananam jagung. h & c (Rp/kg) 3000 2408 2000
BM=S
1490 d 1000 432
0
| 2500
! 5000
| 7500
q (kg/ha)
Gambar 6.2 . Kurve Penawaran (supply) dan Surplus Produsen Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012 (area d) Sumber : Lampiran 19. Keterangan: h = harga; c = biaya (cost); q = produktivitas BM = biaya marjinal; S = penawaran (supply) Secara teoritis bahwa apabila harga jagung turun sampai menyentuh biaya variabel rata-rata, maka usahatani yang tidak efisien akan gulung tikar, hanya usahatani yang efisien saja yang terus bertahan, sehingga secara mikro produksi apabila harga jagung menyentuh biaya variabel
rata-rata minimal
(Rp..432/kg pada Gambar 6.1), maka tidak ada petani yang secara sukarela bersedia berusahatani pada harga di bawah Rp 432/kg, karena akan mengalami kerugian permanen dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Gambar 6.1 di atas dapat disimulasikan denggan menggeser kurve S ke kiri sampai menyentuh koordinat q = 0kg/ha dan h&c = Rp432/kg (Gambar 6.2).
130
Pada Gambar 6.2 tampak bahwa surplus produsen usahatani jagung sebesar area d = Rp..1.951.838,84/ha, sementara dari perhitungan geometrik bahwa surplus produksi usahatani jagung Rp.2.027.859/ha (Tabel 6.9) atau bila dibulatkan = Rp 2,0 juta/ha, artinya petani bersedia secara sukarela tidak mengusahakan jagung apabila diberikan konvensasi sebesar Rp 2,0 juta/ha per musim tanam. Ditinjau dari aspek kolaborsi dan manajemen rantai pasok bahwa petani akan bersedia sebagai anggota rantai pasok apabila petani memperoleh
konvensasi
sebesar
Rp,2,0
juta/ha/musim
tanaman
jika
diharapkan kesejahteraan petani tidak menurun. Jika perusahaan berharap terjadi hubungan kolaborasi rantai pasok yang berkelanjutan dengan petani, maka sekurang-kurangnya petani mendapatkan konvensi sebesar Rp 2,0 juta/ha/musim . Ditinjau dari aspek pengalihan budidaya, petani akan bersedia beralih dari usahatani jagung ke usahatani selain jagung jika sekurangkurangnya usahatani selain jagung mampu memberikan konvensasi sebesar Rp..2,0 juta/ha/musim tanam. Dari sudut pandang sewa, dapat dikatakan bahwa untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan petani, maka sekurangkurangnya sewa lahan sebesar Rp 2,0 juta/ha/musim tanam. Dengan mencermati deskripsi sebagai mana digambarkan di atas, bahwa surplus produsen mirip dengan opportunity cost dalam konteks mempertahankan tingkat kesejahteraan produsen. Oleh karena itu, konsep surplus produsen menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil kebijakan terutama pemerintah dan perusahaan di dalam menetapkan harga output dan input usahatani jagung agar tetap seimbang. Pembebanan harga-harga input dan biaya pembinaan (system bagi hasil atau biaya operasional) akan mengakibatkan membengkaknya biaya produksi yang berdampak langsung
131
terhadap perubahan (menurun) tingkat kesejahteraan petani, demikian pula tekanan harga output dengan serta merta berdampak pada merosotnya kesejahteraan petani. Kenyataan ini disadari oleh para petani, sehingga dalam penetapan harga input dan harga output kerap terjadi perbedaan atau ketidaksepakatan harga antara perusahaan dengan petani, sehingga menjadi sumber komplik antara petani dan Pembina Lapang (Lampiran 20). Untuk mempertahankan kesejahteraan petani dari tekanan harga input dan output, kebijakan yang dapat ditempuh adalah pemberian konvensasi, seperti Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan pupuk bersubsidi, serta pendampingan teknologi cuma-cuma. Yang paling penting adalah, pemerintah bersedia membeli excess supply pada musim panen raya, agar harga jagung tidak
turun
bebas,
karena
dampaknya
sangat
signifikan
terhadap
kesejahteraan petani. 6.2.5
Penggunakan Tenaga Kerja pada Usahatani Jagung Tenaga kerja merupakan faktor produksi terpenting di samping lahan
usahatani, karena tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang mengelola dan mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan proses produksi pada usahatani. Deskripsi penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung ditampakkan pada Tabel 6.10. Tabel 6.10
No 1 2 3 4
Penggunaan Tenaga Kerja (HKO/ha) Pada Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012 Uraian
Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 226,67 365,00 91,28 60,54 30,00 15,59 50,43 46,00
Sumber: Lampiran 16.5 dan Lampiran 17.5
Agregat (N=120) 365,00 72,07 15,59 49,79
132
Rata-rata penggunaan tenaga kerja adalah 72,07 HKO/ha dengan kisaran 15,59 s.d 365,00 hari kerja orang (HKO) per hektar. Variasi penggunaan tenaga kerja tampak sangat lebar dengan standar deviasi 49,79. Jumlah penggunaan tenaga kerja sangat tergantung kondisi lahan dan teknologi yang digunakan. Pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga kerja manusia, cenderung menggunakan tenaga kerja lebih banyak jika dibandingkan menggunakan traktor dan / atau ternak. Sementara usahatani jagung tanpa olah tanah (Gambar 6.3) cenderung menggunakan tenaga kerja lebih sedikit. Pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga kerja manusia disebabkan kondisi tofografi lahan usahatani yang berlerang dan banyak ditumbuhi tanaman perdu berupa semak dan berbatu. Topograsi yang berlerang menyulitkan bagi tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mesin (handtractor), karena sangat beresiko dari kemungkinan kecelakaan.
Gambar 6.3
Penanaman Jagung Tanpa Olah Tanah (TOT) Binaan PT Pertani Dengan Sistem Tanam Jajar Legowo.
133
Penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung relatif sedikit, karena petani melakukan penghematan pengeluaran upah tenaga kerja, diantaranya pembukaan dan pembersihan lahan menggunakan herbisida, penanaman tanpa olah tanah, serta tidak dilakukannya pembuatan guludan dan pembubunan (Gambar 6.3). Pekerjaan yang tidak bisa dihindari harus dilakukan
seperti
penugalan,
penanaman,
pemupukan,
pemeliharaan,
pengairan dan panen. Sebagian besar jenis pekerjaan menggunakan tenaga kerja luar keluarga, seperti menugal, menanam, memupuk dan memanen. Besarnya upah tenaga kerja luar keluarga berkisar Rp 30.000 s.d Rp 50.000 per hari tergantung berat ringannya pekerjaan dan jauh dekatnya lokasi usahatani,
sementara
jenis
pekerjaan
pemeliharaan
dan
pengairan
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga.
6.3. Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung 6.3.1 Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga petani ditampilkan pada Tabel 6.11. Tabel 6.11 Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan (Rp/bulan) Rumah Tangga Petani Jagung Tahun 2012
No
Uraian 1 2 3 4
Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 3 641 667 4 366 667 1 660 626 1 459 254 454 167 270 000 652 363 783 923
Agregat (N=120) 4 366 667 1 534 768 270 000 2 115 427
Sumber: Lampiran 16.7 dan Lampiran 17.7 Pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga petani jagung berkisar antara Rp.270.000 s.d Rp..4.366.667 dengan rata-rata
134
Rp.1.534.768 per bulan (Tabel 6.11). Besar pengeluaran konsumsi rumah tangga di Kecamatan Pringgabaya lebih bervariasi daripada di kecamatan Wanasaba. Bila dikaitkan dengan besar anggota rumah tangga sebanyak 3,6 orang,
maka
pengeluaran
konsumsi
per
kapitanya
menjadi
Rp.426.324/kapita/bulan atau setara dengan US$ 1,4/hari. Besarnya pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga lebih tepat digunakan sebagai indikator kesejahteraan, sebab pengertian sejahtera adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan rumah tangga baik primer maupun sekunder. Pada tingkat ekonomi rumah tangga yang paling rendah, maka besarnya pengeluaran pangan dan non pangan merupakan indikator yang banyak digunakan sebagai ukuran kesejahteraan, terutama persentase pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga. Kriterianya adalah < dari 60%. Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Petani Menurut Persentase Pengeluaran Pangan Tahun 2012 No 1 2
Persentase Pengeluaran Pangan 60% ≥ < 60% Jumlah
Kecamatan Agregat Wanasaba Pringgabaya Jumlah % Jumlah % Jumlah % 37 82,22 22 29,33 59 49,17 8 17,78 53 70,67 61 50,83 45 100,00 75 100,00 120 100,00
Sumber: Diolah dari Lampiran 16.7, 16.8 dan Lampiran 17.7, 17.8 Bila menggunakan acuan persentase pengeluaran pangan < 60% sebagai batas tingkat kesejahteraan, maka 61 (50,83%) dari 120 rumah tangga petani yang tergolong sejahtera dan sekitar 49,17% yang tergolong belum sejahtera. Bila dibandingkan antar kecamatan tampak bahwa petani di Kecamatan Pringgabaya lebih tinggi persentase yang sejahtera daripada di Kecamatan Wanasaba. Fenomena kesejahteraan antar kedua kecamatan
135
tampaknya memiliki keunikan, sebab kondisi alam yang kering (Pringgabaya) justru lebih sejahtera daripada daerah yang lebih subur (Wanasaba). Dengan demikian membutuhkan kajian yang lebih mendalam tentang fenomena kesejahteraan antara penduduk perdesaan di lahan kering (ladang) dengan di lahan semi basah (sawah). Dari uraian ini diyakini bahwa rumah tangga petani di lahan kering lebih berhemat dalam pengeluaran konsumsi pangan, dan lebih cenderung memperbesar pengeluaran investasi. Hal ini logis bagi penduduk di wilayah perdesaan dengan kondisi alam yang kering untuk melakukan upaya penyelamatan ekonomi rumah tangga mereka di masa depan. Juga perlu dikaji ulang kriteria kesejahteraan dengan menggunakan persentase pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga, terutama dari tinjau konsistensi dan validitasnya. Dengan menggunakan kriteria kemiskinan dengan acuan standar yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik sebagai ambang batas tingkat kemiskinan sebesar Rp.240.441/kapita/bulan. Hasil distribusi frekuensi jumlah dan persentase rumah tangga menurut pengeluaran ditampilkan pada Tabel 6.13. Tabel 6.13
No 1 2
Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Petani Jagung Menurut Pengeluaran Tahun 2012
Pengeluaran (Rp/kapita/bln) 240 441 ≥ < 240.441 Jumlah
Kecamatan Agregat Wanasaba Pringgabaya Jumlah % Jumlah % Jumlah % 42 93,33 67 89,33 109 90,83, 3 6,67 8 10,67 11 9,17 45 100,00 75 100,00 120 100,00
Sumber: Diolah dari Lampiran 16.8 dan Lampiran 17.8 Persentase rumah tangga miskin di kecamatan Wanasaba dan Pringgabaya relatif kecil. Persentase rumah tangga petani jagung yang tergolong miskin sebesar 9,17 persen dari 120 rumah tangga (Tabel 6.13). Bila
136
dibandingkan antar kecamatan tampak bahwa persentase penduduk miskin di kecamatan Pringgabaya lebih banyak daripada di kecamatan Wanasaba. Penggunaan kriteria kemiskinan menurut BPPS mendekati kondisi yang sebenarnya bila dibandingkan dengan kriteria persentase pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga. 6.3.2 Pengeluaran Investasi dan Sosial Pada Tabel 6.14 berikut ditampilkan pengeluaran investasi dan sosial rumah tangga petani jagung. Tabel 6.14
No
Pengeluaran Investasi dan Sosial (Rp/bulan) Rumah Tangga Petani Jagung Tahun 2012 Uraian
1 2 3 4
Maksimum Rata-rata Minimum Standar Deviasi
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 5 025 000 8 208 000 816 885 1 134 289 5 000 11 667 1 010 777 1 654 928
Agregat (N=120) 8 208 000 1 015 263 5 000 1 413 371
Sumber: Lampiran 16.8 dan Lampiran 17.8 Apabila Tabel 6.11 dan 6.14 bila dipersandingkan akan tampak bahwa rumah tangga petani di kecamatan Wanasaba cenderung memanfaatkan pendapatan rumah tangganya untuk memenuhi pengeluaran konsumsi pangan, sementara bagi rumah tangga petani di kecamatan Pringgabaya cenderung melakukan pengeluaran untuk tujuan investasi. Fenomena sebagai mana diungkapkan di atas manarik untuk dielaborasi lebih mendalam, bahwa rumah tangga petani yang tinggal di lingkungan agroekosistem ladang lebih hemat pada pengeluaran konsumsi. Tampaknya perilaku demikian sebagai bagian dari strategi memperoleh keamanan ekonomi dengan harapan memperbesar penghasilan dalam jangka panjang melalui pengeluaran investasi di waktu sekarang.
137
6.3.3 Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung Dengan menggunakan pendekatan total pengeluaran, maka jumlah penghasilan rumah tangga petani jagung di lokasi penelitian adalah Rp.2.550.031/bulan. Besar total pengeluaran rumah tangga petani jagung secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 6.15. Tabel 6.15
No
Rata-rata Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung (Rp/bulan) Tahun 2012
Jenis Pengeluaran
1 Pangan
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75)
Agregat (N=120)
1 098 444
1 012 400
1,044,667
2 Non Pangan
562 182
446 854
490,102
3 Investasi
797 685
1 113 013
994,765
19 200
21 276
20,498
4 Zakat, Infaq, Sadakah
Jumlah Pengeluaran 2,477,511 2,593,543 Sumber: Lampiran 16.6; 16.7; 16.8 dan Lampiran 17.6; 17.7; 17.8
2,550,031
Pendapatan dari usahatani jagung merupakan salah satu sumber pendapatan, selain dari pendapatan sebagai buruh tani, atau usaha produktif lainnya. Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan jumlah pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan ditambah pengeluaran investasi sebagai pendapatan rumah tangga.
Pendapatan rumah tangga
petani diperuntukkan memenuhi kebutuhan rumah tangga, yaitu pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan dan pengeluaran investasi dan / atau tabungan serta pengeluaran untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Tabungan yang dimaksud adalah tabungan untuk investasi, sementara tabungan untuk tujuan berjaga-jaga dimasukkan sebagai pengeluaran nonpangan.
138
Besar
total
pengeluaran
rumah
tangga
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan petani di masing-masing lokasi penelitian. Pada Tabel 6.15 tampak bahwa total pengeluaran rumah tangga petani jagung di kecamatan Pringgabaya (usahatani di lahan ladang) lebih tinggi daripada di Kecamatan Wanasaba (usahatani di lahan sawah). Hal ini diduga ada tambahan penghasilan dari luar usahatani, karena memiliki waktu lebih banyak untuk mencari nafkah di luar usahatani bila dibandingkan dengan petani di kecamatan Wanasaba. Petani di kecamatan Pringgabaya sebagian besar hanya berusahatani 1 (satu) kali dalam satu tahun (musim penghujan), selebihnya berusaha di luar usahatani; sementara bagi petani di kecamatan Wanasaba berusahatani selama 3 (tiga) musim tanam (musim tanam penghujan, musim tanam kemarau pertama dan musim tanam kemarau kedua), sehingga lebih fokus pada kegiatan usahatani. Pada Tabel 6.15
diketahui bahwa
rata-rata
penghasilan
rumah
tangga petani berdasarkan pengeluaran sebesar Rp 2.550.031/bulan, sementara rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3,61 orang, maka pengeluaran rumah tangga petani jagung adalah Rp.706.380/orang/bulan. Berdasarkan kriteria kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang menetapkan batas garis kemiskinan Rp.240.441/orang/bulan di daerah perdesaan, maka rumah tangga petani jagung tergolong tidak miskin. Demikian pula. apabila menggunakan kriteria kemiskinan menurut Sajogjo setara 360 kg/kapita/tahun beras di perdesaan dengan perhitungan harga beras Rp.8.000/kg/tahun, maka rumah tangga petani jagung di daerah perdesaan tergolong tidak miskin. Persentase rumah tangga petani jagung yang miskin dan tidak miskin dapat dibaca pada table 6.12.
139
6.4 Surplus Konsumen dan Manfaat Jagung Dalam Rangsum Pakan Ternak 6.4.1 Surplus Konsumen Pengguna Jagung Surplus konsumen adalah besarnya konvensasi yang mesti diperoleh dari sejumlah pengeluaran atas suatu barang untuk mencapai tingkat kepuasan tertentu. Besarsnya surplus konsumen dihitung dari luas area dibawah kurve permintaan dan di atas harga pasar, sementara perubahan surplus konsumen dihitung dari selisih harga pasar dengan harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen dikalikan dengan separuh kuantitas konsumsi. Surplus konsumen dan pengeluaran konsumen disajikan pada Tabel 6.16. Tabel 6.16
No
Surplus Konsumen dan Pengeluaran Konsumen Pengguna Jagung (Rp/bulan) Tahun 2012 Uraian
1 Maksimum 2 Rata-rata 3 Minimum 4 Standar Deviasi Sumber: Lampiran 18
Konsumen Pengguna Surplus (S) Pengeluaran (P) 30 375 000 141 750 000 2 151 992 8 084 545 2 100 147 000 131 271 538 485 072 675
Variasi surplus konsumen antara usaha peternak ayam petelur berskala di bawah 1.000 ekor
dengan peternak besar dengan skala usaha di atas
10.000 ekor sangatlah lebar. Usaha peternakan berskala besar memungkinkan baginya melakukan penghematan biaya sehingga berdampak bagi tingginya surplus konsumen, sementara peternak ayam petelur skala kecil tergolong inefisiensi, sehingga berdampak pada rendahnya tingkat efisiensi usaha. Dengan mengeluarkan data surplus konsumen pengguna tiga perusahaan besar diperoleh bahwa surplus konsumen pengguna berkisar mulai
dari
Rp.2.100 s.d Rp.30.375.000 per bulan dengan rata-rata Rp.2.151.992/bulan.
140
Dari hasil wawancara mendalam dengan responden peternak ayam petelur mengungkapkan bahwa harga premium jagung di tingkat konsumen pengguna adalah Rp 3 200/kg dan di tingkat petani Rp 2 500/kg pipil kering dengan kadar air 16% s.d 18% atau setara dengan Rp 1 500/kg tongkol kering panen (Lampiran 20). Pada harga tersebut pengeluaran peternak sebanding dengan penerimaan petani jagung. Dari hasil analisis surplus produsen tampak bahwa bagi petani yang mengusahakan jagung pada musim tanam kemarau pertama dapat menikmati harga premium jagung, sementara bagi peternak dapat menikmati harga premium pada musim tanam penghujan. 6.4.2
Manfaat Jagung Dalam Rangsum Pakan Ayam Petelur Tabel 6.17 dan Gambar 6.4 menunjukkan bahwa jagung sebagai
komponen penting dalam pakan ternak ayam petelur. Tabel 6.17 Perbandingan Berat Telur Ayam Arab Yang Menggunakan dan Yang Tidak Menggunakan Jagung Sebagai Campuran Rangsum Pakan Ternak No. Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Menggunakan Jagung (gram/butir) 44,0640 42,3628 47,4723 39,0299 39,5289 39,1801 42,2066 46,8257 41,2375 39,7406 35,4581 41,5551
Tidak menggunakan jagung (gram/butir) 36,3851 40,3502 32,6166 42,6514 36,9808 37,7558 28,9435 39,5981 40,8934 37,3386 41,594 37,7370
Sebagai akhir dari rantai pasok jagung adalah konsumen pengguna jagung, yaitu peternak ayam petelur. Bagi ayam petelur, menggunakan jagung
141
sebagai pakan merupakan keharusan untuk menjaga performa ternak ayam layer dan meningkatkan kualitas telur dan memperbesar ukuran telur. Pada Tabel 6.17 di atas tampak bahwa telur ayam arab yang menggunakan jagung lebih berat daripada telur ayam arab yang tidak menggunakan jagung dalam pakan ternak, rata-rata lebih berat 10,12%. Dengan mengambil sampel telur ayam arab yang menggunakan dan tidak menggunakan jagung pada rangsum pakan ternak tampak perbedaan berat terlur maupun perbedaan kualitas telur yang dihasilkan (Tabel 6.17 dan Gambar 6.4).
Gambar 6.4
Perbedaan Warna Telur Ayam Arab Yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Jagung Sebagai Campuran Pakan Ternak
Dilihat dari kualitas juga tampak perbedaan yang jelas, bahwa ayam arab yang mengkonsumsi jagung lebih berkualitas (warna kuning) daripada yang tidak menggunakan jagung (warna pucat) dalam campuran pakan ternak ayam
142
petelur (Gambar 6.4). Karena perbedaan kualitas dan berat telur tersebut, maka telur ayam arab yang diberi jagung sebagai pakan lebih mahal jika dibandingkan dengan telur ayam arab tampa jagung dalam pakannya. Harga telur ayam arab yang menggunakan jagung dalam pakannya Rp 1.500/butir, sedangkan yang tidak menggunakan jagung Rp 900 s.d. RP 1 200,- per butir. Pada Gambar 6.5 ditampilkan foto ayam arab petelur yang menggunakan jagung sebagai campuran dalam rangsum pakannya.
Gambar 6.5
Ayam Arab Petelur Sebagai Pengguna Jagung di Desa Ungga Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2013.
Variasi harga pasar telur selain dipengaruhi oleh ukuran berat telur dan kualitas telur juga dipengaruhi oleh peningkatan permintaan. Harga telur meningkat dari Rp 24.000/tray (1 tray = 30 butir) menjadi Rp 35.000/tray pada bulan Ramadhan dan Rabiul Awal (hari besar ummat Islam). Perubahan harga telur dan perubahan harga jagung mempengaruhi besarnya surplus konsumen dan pengeluaran konsumen.
143
Kenaikan harga jagung di level konsumen pengguna pada bulan Juni s.d Agustus
hingga mencapai Rp 4.000/kg dianggap bukan masalah oleh
peternak apabila harga telur meningkat sampai di atas Rp 30.000/tray, namun akan menjadi masalah atau mempekecil surplus konsumen pengguna apabila harga jagung meningkat, namun harga telur tetap Rp 24.000/tray.
Gambar 6.6
Ayam Broeler Cokelat Sebagai Pengguna Jagung di Desa Babussalam Kabupaten Lombok Barat
Bagi sebagian peternak ayam petelur, pencampuran jagung dalam pakan ternak merupakan keharusan yang tidak bisa diabaikan, sebab dapat merusak produktivitas ayam, sehingga harus diberikan secara teratur dan terus menerus. Penghentian pemberian pakan dengan campuran jagung dapat memperlemah kemampuan ayam dalam memproduksi telur, dan untuk pemulihan (recovery) membutuhkan waktu yang lama. Pada Gambar 6.6
144
ditampilkan foto ayam broiler cokelat yang diberikan rangsum yang dicampur dengan jagung. Peternak ayam petelur di Nusa Tenggara Barat terdiri atas peternak ayam arab dan peternak ayam ras warna cokelat. Dari hasil observasi di lokasi penelitian bahwa semua peternak ayam ras cokelat menggunakan jagung sebagai campuran rangsum pakan ayam petelurnya, sedangkan peternak ayam arab terdapat sebagian yang tidak menggunakan jagung sebagai campuran dalam pakan ayamnya. 6.5 Pandangan Petani Terhadap Manajemen Rantai Pasok Jagung Hasil analisis pandangan petani terhadap manajemen rantai pasok jagung disajikan pada Tabel 6.18. Tabel 6.18 No
Pandangan Petani Terhadap Manajemen Rantai Pasok
Uraian
1 2 3 4 5
Sangat Setuju Setuju Netral Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Jumlah
Kecamatan Wanasaba Pringgabaya (n=45) (n=75) 4,50 10,00% 9,25 12,33% 13,25 29,44% 22,25 29,67% 17,50 38,89% 24,25 32,33% 8,25 18,33% 13,25 17,67% 1,50 3,33% 45,00 100,0%
6,00 8,00% 75,00 100,0%
Agregat (N=120) 13,75 11,46% 35,50 29,58% 41,75 34,79% 21,50 17,92% 7,50 6,25% 120,00 100,0%
Sumber: Lampiran 6. Pandangan
petani
terhadap
keragaan
manajemen
rantai
pasok
dikelompokkan ke dalam lima aras, yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju,
sangat tidak setuju. Sangat setuju dan setuju adalah petani yang
mendukung dan memberikan penilaian yang positif terhadap keragaan manajemen rantai pasok, sedangkan tidak setuju dan sangat tidak setuju adalah petani yang memberikan penilaian atau kesan kurang simpatik
145
terhadap perusahaan dalam mengelola rantai pasok, sementara netral adalah petani yang memberikan penilaian moderat. Pandangan
yang
sangat
setuju
dan
setuju
terhadap keragaan
manajemen rantai pasok adalah petani yang merasakan manfaat dan kebaikan atas indikator yang digunakan sebagai tolak ukur keragaan manajemen rantai pasok,
sebaliknya
pandangan
tidak
setuju
dan
sangat
tidak
setuju
mencerminkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi petani akibat pelayanan yang kurang simpatik. Pada Tabel 6.18 di atas bahwa jumlah petani yang sangat setuju dan setuju sebanyak 41,04%, tidak setuju dan sangat tidak setuju sebanyak 23,17%, sementara yang netral 34,79%. Dilihat berdasarkan wilayah kecamatan tampak bahwa persentase petani yang sangat setuju dan setuju terhadap keragaan manajemen rantai pasok lebih tinggi di kecamatan Pringgabaya (42,00%) bila dibandingkan dengan di kecamatan Wanasaba 39,44%, sedangkan yang netral lebih banyak
di kecamatan Wanasaba
daripada di kecamatan Pringgabaya masing-masing 38,89% dan 32,33%. Pandangan petani terhadap manajemen rantai pasok tampak berbeda antara petani di wilayah agroekosistem sawah (kecamatan Wanasaba) dengan petani di wilayah agroekosistem ladang (kecamatan Pringgabaya). Pandangan yang cenderung lebih banyak tidak setuju dan sangat tidak setuju terdapat pada indikator koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal. Sebabnya adalah perusahaan belum menunjukkan performa yang optimal dalam mengkoordinasikan berbagai kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai dengan penarikan kembali modal yang disalurkan. Dari hasil analisis keragaan manajemen rantai pasok menunjukkan
146
bahwa rata-rata skor indikator koordinasi paling rendah, sementara paling tinggi adalah aliran pelayanan. Di pihak lain, nilai tertimbang tertinggi diperoleh pada indikator koordinasi. Yang paling urgen untuk diperbaiki adalah koordinasi, setelah itu aliran pelayanan, aliran modal dan aliran produk. Dari sisi perusahaan, penerapan kolaborasi rantai pasok belum terlaksana sebagai mana mestinya, yaitu menyamakan tujuan perusahaan dengan tujuan petani, seperti sama-sama memuaskan konsumen, meraih keuntungan dan saling berbagi resiko serta keselarasan insentif. Yang terjadi justru cenderung sebaliknya, yaitu menjual harga input lebih tinggi daripada harga pasar dan membeli output hasil petani dengan harga di bawah harga pasar. Kelemahan lainnya yang masih tampak adalah belum sinkronnya keputusan petani dengan keputusan perusahaan, di mana keputusan dilakukan sendiri-sendiri tanpa melibatkan petani, yang mana keputusan cenderung bersifat instruktif, buka dicapai dari hasil kesepakatan kolektif. Dari sisi kelompok tani, tampak bahwa kelompok tani tidak terbuka atas luas lahan yang dimiliki dan jumlah produksi yang dicapai. Dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang diajukan oleh kelompok tani tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu luas lahan usahatani yang diajukan lebih banyak dari yang semestinya dengan maksud agar memperoleh kredit lebih banyak, akibatnya petani tidak mampu memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya ketika jatuh tempo pada waktu panen. Produksi yang dihasilkan tidak dapat mencukupi untuk melunasi hutangnya (Lampiran 20). Dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang diusulkan oleh Kelompok Tani lebih banyak dari yang semestinya, sebagian dari input yang diperoleh dalam bentuk kredit dijual ke pedagang pengecer sarana
147
produksi dengan separuh harga, selanjutnya pengecer menjual ke pengusaha, dan pengusaha menjual lagi ke petani lain yang membutuhkan. Bagi petani yang berpandangan sangat setuju dan setuju adalah para petani yang loyal terhadap perjanjian kontrak dan merasakan manfaat atas terselenggaranya kolaborasi antara petani dengan perusahaan, serta berterima kasih atas bantuan pembiayaan yang disalurkan perusahaan. Bagi petani yang sangat setuju dan setuju senatiasa berkomunikasi dengan perusahaan melalui kelompok tani dan koodinator lapangan, sehingga mengetahui secara jelas isi yang terkandung dalam kontrak baik yang menyangkut kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak. Selain aktif berkoordinasi, juga menjamin lancarnya aliran produk dari petani ke perusahaan melalui koordinator lapang. Melalui aktivitas koordinasi diharapkan dapat memberikan pelayanan optimal baik yang menyangkut kebutuhan informasi, teknologi, modal, dan lain-lainnya. Apabila koordinasi lemah, maka banyak tugas dan pekerjaan bersama tidak dapat terselesaikan dan hasil yang dicapai dibawah target yang ditetapkan. Selain aspek koordinasi, urutan kedua terpenting adalah aliran pelayanan. Pelayanan adalah sikap ramah dan empati dari para Pembina dalam memanjakan pelanggan. Dalam konteks ini, sebagai pelanggan adalah petani dan sebagai pelayan adalah Pembina Lapang. Pelayanan ini meliputi pelayanan informasi yang akurat dan pelayanan teknologi yang telah lulus uji lokasi. Informasi yang bias cenderung merugikan petani, demikian pula teknologi yang sudah kedaluarsa sangat merugikan petani (seperti benih yang sudah
mati
label).
Kekecewaan
petani
yang
berakumulasi
dapat
mengakibatkan sikap apatis para petani bahkan dapat berlanjut sampai pada pengingkaran, sebagai sikap perlawanan terhadap perilaku Pembina Lapang.
148
6.6 Analisis Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung Keragaan manajemen rantai pasok dari skor indikator variabel manajemen rantai pasok. Pengukuran
dilakukan dengan pendekatan rata-rata berbobot
pada semua pengamatan (observasi). Hasil kali bobot dengan rata-rata indikator diperoleh nilai tertimbang. Dari jumlah nilai tertimbang diperoleh Indek Keragaan Manajemen Rantai pasok (IKMRP).
Hasil analisis IKMRP ditampilkan pada
Tabel 6.19. Tabel 6.19 Penilaian Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung No 1 2 3 4
Indikator Koordinasi Aliran Produk Aliran Pelayanan Aliran Modal IKMRP
Bobot1 0,400 0,200 0,200 0,200 1,000
Rata-rata 2 Skala 3,175 3,208 3,275* 3,225 -
Nilai Terimbang 1,270* 0,642 0,655 0,645 3,212
Sumber : 1 Lampiran 4 dan 2Lampiran 5. Keterangan : * terbesar atau tertinggi Pada Tabel 6.19 tampak bahwa Indek Kinerja Manajemen Rantai Pasok (IKMRP) sebesar 3,212 berada pada kisaran dari 2,6 sampai 3,6 dengan kriteria hampir baik atau belum tergolong baik. Bila hasil analisis pada Tabel 6.19 dilihat secara cermat menunjukkan bahwa nilai tertimbang tertingginya adalah koordinasi, sedangkan nilai rata-rata terbesar adalah aliran pelayanan. Sehubungan dengan hasil analisis ini, maka perusahaan yang berperan sebagai avalis dalam manajemen rantai pasok dan Pemerintah Daerah khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berperan sebagai pembina kelembagaan petani hendaknya lebih fokus pada peningkatan koordinasi dan aliran pelayan. Bila dibandingkan rata-rata antar indikator tampak bahwa rata-rata terkecil terdapat pada koordinasi, artinya koordinasi antar lembaga yang mesti harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum
149
memperbaiki yang lain. Lemahnya koordinasi berdampak pada belum baiknya keragaan manajemen rantai pasok yang ditunjukkan oleh banyaknya aspek yang belum dipahami oleh sebagian pemangku kepentingan (stakeholders), seperti petani, PL, PPL, Koordinator Lapang. Oleh karena IKMRP berada pada kisaran dari 2,6 sampai 3,6 maka keragaan manajemen rantai pasok jagung hampir baik disebabkan masih ada keluhan petani atas pelayanan perusahaan dan sebaliknya keluhan perusahaan terhadap petani, sehingga masih memerlukan perbaikan manajemen rantai pasok pada sisi perusahaan maupun pada sisi petani. Hasil analisis distribusi frekuensi jumlah dan persentase petani menurut klasifikasi IKMRP disajikan pada Tabel 6.20. Tabel 6.20
Distreibusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Klasifikasi Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung
No
Klasifikasi
1 2 3 4 5
Sangat baik Baik Hampir Baik Buruk Sangat Buruk Jumlah
Kisaran 4,6 s.d 5,0 3,6 s.d < 4,6 2,6 s.d < 3,6 1,6 s.d < 2,6 < 1,6
Jumlah (petani) 14 34 45 19 8 120
Persentase (%) 11,67 28,33 37,50 15,83 6,67 100,00
Sumber : Lampiran 5. Pada Tabel 6.20 tampak bahwa dari 120 petani yang diobservasi memberikan persepsi keragaan manajemen rantai pasok pada klasifikasi baik dan sangat baik sebanyak 40,00% atau kurang dari separuh, yang memberikan penilaian sangat buruk dan buruk sebanyak 22,50%. Yang memberikan penilaian sangat buruk dan buruk adalah para petani yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan dengan perusahaan, sebagai akibat pelayanan manajemen perusahaan yang tidak memuaskan:
150
1. Struktur organisasi yang berjenjang mengakibatkan jarak sosial antara manajer perusahaan dengan petani relatif renggang, karena PT Pertani selaku avalis bermitra tidak langsung dengan petani, yaitu menggunakan jasa Koperasi Selaras Corporate Indonesia selanjutnya ke PT SoeGee Commodity, selanjutnya Ketua Kelompok Tani dan Petani; sedangkan PT Sang Hyang Seri menggunakan Manajer Lapang dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pihak pelaksana. Struktur organisasi pelayanan yang panjang berakibat pada tingginya biaya operasional dan terjadinya penyimpangan pelaksanaan di lapangan, serta menimbulkan biaya operasional yang tinggi. Biaya operasional dibebankan kepada petani dalam bentuk pungutan bagi hasil 65% berbanding 35% dari keuntungan bersih usahatani (net profit) pada Koperasi Selaras Corporate Indonesia; 70% berbanding 30% pada PT Sang Hyang Seri, sementara modal berupa kredit yang diberikan kepada petani ditarik seluruhnya, sehingga petani hanya menerima hasil bersih berkisar Rp.28.000 s.d Rp 300.000/ha selama 4 bulan (Lampiran 20). Hal ini mengakibatkan petani keluar dari kolaborasi rantai pasok dan beralih ke rantai pasok lainnya yang tidak menerapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil berdasarkan net-profit dinilai memberatkan petani. Oleh karena banyak petani yang keluar (exit) dari dari kolaborasi kolaborasi rantai pasok, maka pada musim tanaman 2012/2013 sistem bagi hasil dihapuskan dan digantikan dengan management fee sebesar 5% dari produksi kotor pada PT Sang Hyang Seri dan membebankan biaya operasional sebesar Rp.500.000/ha pada PT Pertani. 2. Harga input yang dimaksukkan pada paket kredit lebih tinggi dari harga pasar, akibatnya biaya usahatani menjadi lebih besar dari yang seharusnya,
151
terutama herbisida dan pertisida yang dihargakan 2 s.d 3 kali lebih mahal dari harga pasar. 3. Paket teknologi yang disediakan perusahaan diharuskan bagi petani untuk mengambilnya secara utuh atau perusahaan kurang fleksibel dalam menerapkan teknologi; 4. Pengadaan pupuk oleh perusahaan yang tidak mencukupi kebutuhan, sehingga petani terlambat memupuk dari waktu yang semestinya, berakibat pada rendahnya capaian produksi dari yang pernah diinformasikan di atas 10 ton/hektar jagung tongkol kering panen. Kenyataan produksi yang dicapai rata-rata 65,81 ku/ha (6,581 ton/ha) jagung tongkol kering panen (Tabel 6.4); 5. Benih yang diberikan sudah kedaluarsa yang mengakibatkan persentase tumbuh rendah dan kalaupun tumbuh kondisinya lemah serta produktivitasnya rendah. Benih jagung N-10 tidak sesuai dengan harapan petani yang menghendaki jagung varietas Bisi-2 atau Bisi 16, Bisi-18. Benih jagung bisi lebih disukai oleh konsumen pengguna maupun pedagang, sehingga harga jualnya lebih tinggi (Lampiran 20). 6. Pada musim panen perusahaan membeli jagung di bawah harga pasar atau di bawah harga pembelian pengusaha dari Provinsi Bali, akibatnya banyak petani yang tidak bersedia menjual produksi jagung ke perusahaan mitra; 7. Petani diharuskan membawa jagung ke gudang sehingga menambah biaya angkutan yang dibebankan kepada petani. Item-item indikator yang menyebabkan penilaian sangat buruk dan buruk adalah: 1. Tidak sepakatnya petani tentang makna harga pasar. Bagi petani harga pasar adalah harga pembelian pedagang pengumpul (pengumpul) lokal ketika
152
panen, sementara harga pasar yang dijadikan patokan oleh perusahaan adalah harga pembelian jagung di tingkat petani yang berlaku nasional; sehingga antara petani dan petugas lapang perusahaan kerap cekcok dalam penetapan harga pasar; 2. Mekanisme pengambilan keputusan yang tidak melibatkan petani berakibat pada rendahnya sinkronisasi keputusan. Perusahaan memaksakan kehendak kepada petani dengan menerapkan paket teknologi secara ajek, sementara petani menghendaki penerapan paket teknologi yang fleksibel; 3. Perusahaan memandang petani sebagai objek untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, yaitu menjual input sebanyak-banyaknya dengan harga maksimal dan membeli produksi jagung petani dengan harga yang rendah. Dalam hal ini perusahaan mengabaikan keselarasan insentif antara perusahaan dengan petani. Tidak terbangunnya keselaran insentif antara perusahaan dengan petani mengakibatkan petani memutuskan ikatan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok atau keluar dari kolaborasi dan berpindah ke rantai pasok lain yang menjanjikan perolehan insentif yang lebih baik. 4. Rendahnya tingkat kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok di atas berimbas pada buruknya manajemen rantai pasok seperti kurangnya koordinasi, rendahnya intensitas aliran informasi, aliran pelayanan dan terhambatnya aliran produk dan aliran modal dari petani ke perusahaan yang mengganggu kesehatan aliran kas. 5. Sebagian petugas lapang perusahaan memotong biaya pengolahan lahan yang semestinya diterima utuh oleh petani dan pengembalian kredit petani yang tidak disetorkan ke rekening perusahaan juga menjadi pemicu buruknya
153
penilaian petani atas aliran modal dari perusahaan ke petani dan aliran modal kembali dari petani ke perusahaan. 6. Perusahaan yang berperan sebagai avalis belum sepenuhnya memandang petani sebagai pelanggan,
sehingga belum
dijadikan sebagai
asset
perusahaan yang mesti dipelihara. Dengan kata lain, perusahaan belum sepenuhnya menjaga hubungan baik dengan pelanggan. 7. Dari sisi perusahaan juga kecewa atas kolaborasi yang dibangun dengan petani mitranya, karena persentase pengembalian pinjaman (aliran kas masuk) dari petani sangat rendah sekitar 30 s.d 35 persen. Manajer perusahaan menilai petani ingkar janji, karena mereka tidak menjual produksi jagungnya ke perusahaan, namun menjualnya ke pengepul atau perusahaan lain yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Di sisi lain, petani menilai bahwa perusahaan yang lalai dalam menjemput hasil produksi petani. Yang memberikan penilaian baik adalah petani yang memiliki pengalaman berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan swasta yang fleksibel dalam menyalurkan paket teknologi dan bantuan pinjaman, serta tidak terikat dengan kontrak formal, yaitu kolaborasi rantai pasok yang dibangun atas dasar tolong menolong (“besiru”). Pertolongan yang diberikan tidak saja terbatas pada pemenuhan kebutuhan input produksi, bahkan sampai pada bantuan biaya pendidikan
anak
dan
biaya
berobat
anggota
keluarga.
Harga
input
diperhitungkan sesuai harga pasar, juga output dibeli sesuai harga pasar (Lampiran 20). Apabila petani mengalami kegagalan panen atau produksi jagung yang dihasilkan di bawah target yang diharapkan, maka perusahaan memberikan kesempatan kepada petani untuk mengembalikan sebagian pinjamannya untuk
154
dibayar pada musim tanam yang akan datang, dan perusahaan tetap memberikan pinjaman modal agar petani bisa beproduksi terus. Pengukuran keragaan manajemen rantai pasok jagung merupakan suatu upaya dalam manajemen yang berperan mengintegrasikan keragaman input, proses dan output dari suluruh sumberdaya yang tersedia. Dalam penelitian ini pengukuran keragaan menggunakan skala likert atas empat indikator, yaitu koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal (Irmawati, 2007; Adinugroho, 2010). Hasil penelitian ini tergolong mederat dan bersesuaian dengan hasil penelitian: (1) Hayman dan Saosaovaphak (2012) tentang rantai pasok benih jagung di Republik Uni Myanmar yang pada intinya menyimpulkan bahwa menerapkan manajemen rantai pasok memiliki tingkat resiko yang moderat. Hal ini berdampak pada kemungkinan pedagang (perusahaan) pengecer bisa tetap menguntungkan dan berkelanjutan melalui mekanisme pasar meskipun kondisi pertanian yang sulit. (2) Dengan menggunakan metode balanced scorecard pada PT Unitex tbk, Puspita (2008) menyimpulkan bahwa pencapaian keragaan perusahaan sebesar 58,13 persen dari target; kondisi ini menunjukkan keragaan perusahaan masih belum optimal dan belum mencapai target yang ditentukan.
(3) Sayaka (2005) dalam penelitiannya tentang perilaku pasar benih jagung menyarankan agar pemerintah ikut mengontrol distribusi benih supaya petani tidak dirugikan, sedangkan Roekel, et al. (2002) mengharapkan agar manajemen rantai pasok diimplementasikan dan dikembangkan di seluruh rantai untuk menjamin optimal keragaan rantai pasok.
155
Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil penelitian tentang penerapan manajemen rantai pasok pada produk-produk pertanian di Indonesia antara lain : 1. Suharjito, et al. (2010) yang intinya menyimpulkan bahwa resiko petani jagung dimungkinkan untuk digeser kepada pihak lain dalam rantai pasok melalui mekanisme negosiasi harga. Hasil penelitian ini mendukung teori strategi kompetitif (the competitive strategy theory) yang dikembangkan oleh Michael F.Porter dari Harvard Business School, di mana pada akhir-akhir ini dikenal sebagai analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam keuntungan. Kebutuhan jagung yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 5.6) dan jagung cepat laku terjual di pasar (dalam tempo satu minggu laku terjual) membuktikan bahwa produk jagung telah diterima oleh pasar dan memberikan keuntungan bagi para pihak yang terlibat dalam rantai pasok (Lampiran 20). 2. Sari (2012) meneliti keragaan manajemen rantai pasok beras organik menyimpulkan bahwa
penerapan manajemen rantai pasok belum baik,
proses bisnis kurang lancar, dan keragaan belum seluruhnya efisien. 3. Abubakar dan Jamilah (2007) menyimpukan bahwa keragaan pasar pada pemasaran jagung di Aceh belum efisien ditinjau dari aspek return on capital (ROC). Hal ini terjadi karena saluran pemasaran tersebut lebih panjang dan memerlukan biaya pengolahan dan transportasi yang lebih besar.
156
4. Hasil penelitian ini masih relevan dengan kesimpulan penelitian yang dihasilkan oleh Sadikin (1999) bahwa dampak kebijakan harga yang mengambang dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar output (jagung) saat tersebut, kurang memberi perlindungan terhadap pembentukan harga jagung, sehingga pendapatan yang diterima oleh petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya dan kurang memberi rangsangan (disinsentif) terhadap petani jagung di NTB, yang mana nilai tambah yang diperoleh petani lebih rendah daripada keuntungan sosial yang seharusnya diterima petani.
Bila keuntungan disetarakan dengan perubahan surplus
produsen petani jagung di lokasi penelitian sebesar Rp 2,028 juta/ha/ musim dan pendapatan Rp 3 265 786/ha/musim atau kurang dari Rp 1 juta/ bulan (Tabel 6.9), maka adanya surplus produsen tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan usahatani jagung telah meningkatkan kesejahteraan petani, meskipun diakui bahwa peningkatan kesejahteraan tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga petani. Sebagai gambaran bahwa pendapatan dari usahatani jagung hanya mampu menutupi 1/3 dari pengeluaran konsumsi rumah tangga selama 4 (empat) bulan. Fluktuasi harga yang terjadi dalam kurun waktu 1995 sampai dengan 2012 (Gambar 5.7) sebagai akibat dari kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran jagung di pasar lokal, regional dan nasional. Trend naiknya harga disebabkan laju peningkatan permintaan yang lebih besar bila dibandingkan dengan laju peningkatan penawaran (Ferrianta, 2011). Sementara fluktusi harga musiman atau bulanan disebabkan oleh faktor musim tanam dan gap time periode antara musim panen dan di luar musim panen (Gambar 5.4).
157
Kebijakan harga pasar jagung yang mengambang sesuai mekanisme pasar memungkinkan petani menerima harga jual yang rendah, karena harga lebih banyak ditentukan oleh pembeli (Hadijah, 2009). Kebijakan afirmatif (affirmative policy) penetapan harga jagung untuk melindungi petani dari anjloknya harga dalam jangka pendek dapat menguntungkan petani, namun belum tentu memberikan efek positif dalam jangka panjang, sebab dapat mengakibatkan harga jagung di tingkat konsumen ikut meningkat, sehingga memberatkan peternak ayam petelur sebagai konsumen pengguna jagung. Kebijakan afirmatif sebagai mana yang diharapkan oleh Hadijah (2009) kurang pas bila ditinjau dari konsep keunggulan kompetitif yang menghendaki harga premium, yaitu harga yang menyenangkan atau harga yang dapat diterima oleh pihak produsen, pedagang perantara dan konsumen (Mathuramaytha, 2011). Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani bahwa harga premium jagung pipil kering simpan dicapai antara Rp 2 500/kg di tingkat petani dan Rp 3 200 di tingkat konsumen pengguna (Lampiran 20). Tampaknya harga premium jagung tercapai pada bulan Mei s.d Agustus tahun 2012 di mana pada bulan-bulan tersebut harga jagung tongkol kering panen di tingkat petani Rp..1.500/kg. Dengan asumsi konversi dari jagung tongkol kering panen ke jagung pipil kadar air 16 sampai dengan18 persen sebesar 60%, maka harga jagung Rp 1 500/kg tongkol kering panen sama dengan Rp 2 500/kg pipil kering simpan. Walaupun petani telah berkolaborasi dengan perusahaan di mana perusahaan bersedia membeli produk jagung yang dihasilkan petani, sehingga ada kepastian pasar, namun karena penetapan harga sesuai mekanisme harga pasar, maka posisi tawar (bargaining power) petani tetap rendah, karena harga
158
ditentukan oleh perusahaan atau pedagang (Putra, 2006), harga yang diterima petani bergantung pada musim dan pedagang yang membelinya (Hadijah, 2009). sehingga dalam jangka panjang berdampak pada rendahnya pendapatan dan kesejahteraan petani jagung, yaitu pendapatan usahatani jagung
sekitar
Rp 426 500/bulan; 79,17% tergolong belum sejahtera dan sekitar 20,83% yang tergolong sejahtera dengan rata-rata pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan
rumah tangga Rp.1.534.768/bulan (Tabel 6.11 dan 6.12)
pendapatan
atau
dari usahatani jagung hanya mampu menutupi seperlima dari
pengeluaran rumah tangga petani sebesar Rp 2 550 031 (Tabel 6.15). Oleh karena kesejahteraan petani yang masih tergolong rendah tersebut, maka menjadi alasan yang memperkuat kondisi indeks keragaan manajemen rantai pasok masuk pada klasifikasi hampir baik. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil wawancara mendalam dengan manajer lapang perusahaan yang mengungkapkan bahwa petani yang bersedia menjual produksi jagungnya dan mengembalikan pinjaman modal (kredit) kepada perusahaan adalah sekitar sepertiga dari jumlah petani, sementara 2 dari 3 orang petani mengemplang dan hingga pelaksanakan penelitian ini belum mengembalikan pinjaman modal (kredit) kepada perusahaan (Lampiran 20). Juga manajemen yang diterapkan perusahaan tidak saja mengecewakan sebagian besar petani, dan juga mengecewakan penyuluh pertanian lapang (PPL) yang membina kelompok tani yang berkolaborasi dengan perusahaan, selain karena sistem bagi hasil yang dinilai merugikan petani, juga karena benih yang diberikan kepada petani sudah kedaluarsa, juga karena penetapan harga input yang terlalu tinggi jika dibandingkan dengan harga pasar, khususnya insektisida dan herbisida.
159
Persentase petani yang mengemplang atau ingkar terhadap kontrak kerjasama dengan perusahaan mengindikasikan rendahnya kesadaran petani dalam membangun hubungan kerjasama yang berkelanjutan dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh petani, terutama tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang masih rendah, dan faktor-faktor lain yang belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu diperlukan penelitian dengan tujuan khusus untuk mengetahui faktor-faktor penyebab petani mengingkari kontrak kerja sama serta membandingkan perilaku petani pada agroekosistem ladang dan agroekosistem sawah. Diakui bahwa sebagian petani tingkat pendidikannya rendah dan ada yang tidak pernah sekolah (Tabel 6.1) serta tidak memiliki ijazah dan penyandang tuna aksara, namun lingkungan di mana mereka bertempat tinggal, ada warga masyarakat memberikan informasi kepadanya, bahwa benih yang diberikan sudah kedaluarsa, maka tidak sepantasnya petani yang sudah kurang perbendaharaan
informasi
diperlakukan
dengan
tidak
transparan.
Efek perlakuan yang demikian akan berimbas balik kepada perusahaan, berupa ketidakmampuan petani untuk memenuhi kewajibannya, atau ada sebagian petani yang enggan untuk melunasi hutang-hutangnya. Untuk menghasilkan keunggulan kompetitif pada masa depan, Jarrar (1999) menyimpulkan bahwa sumberdaya manusia dan pengetahuan manajemen dianggap menjadi sumber utama keunggulan
6.7 Analisis Keragaan Keunggulan Kompetitif Jagung Keunggulan
kompetitif
merupakan
gambaran
atas
kemampuan
memformulasikan sumberdaya dan penerapan strategi dalam menghadapi persaingan, sehingga tercipta peluang untuk memperoleh laba (profit) yang
160
berkelanjutan.
Hasil analisis keunggulan kompetitif jagung di level petani
ditampilkan pada Tabel 6.21. Tabel 6.21 Analisis Keunggulan Kompetitif Jagung di Level Petani No 1 2 3 3 4
Indikator Efisiensi Kualitas produk Ketergantungan pengiriman Diversifikasi produk Waktu tempuh ke pasar IKK1
Bobot1 0,379* 0,197 0,126 0,139 0,159 1,000
Rata-rata2 Skala 2,975 2,967 2,958 3,067 3,067* -
Nilai Tertimbang 1,128* 0,584 0,373 0,426 0,487 2,998
Keterangan: * terbesar Sumber : 1Lampiran 7 dan 2 Lampiran 8. Keunggulan kompetitif dapat dikaji pada aspek produk dan aspek jasa. Dari aspek produk menggunakan tiga indikator, yaitu efisiensi, kualitas produk dan diversifikasi produk, sementara dari aspek jasa menggunakan dua indikator, yaitu ketergantungan pengiriman dan waktu tempuh ke pasar. Dengan menggunakan Analitical Hirarchy Proces (AHP) diperoleh ranking pembobotan sebagai mana tampak pada Tabel 6.21, yang mana efisiensi memperoleh bobot terbesar, selanjutnya kualitas produk dan waktu tempuh ke pasar. Indek keunggulan kompetitif (IKK1) sebesar 2,998 berada pada kisaran dari 2,6 sampai 3,6 masuk dalam klasifikasi keunggulan kompetitif moderat. Ada beberapa fakta yang mempertegas eksisting keunggulan kompetitif tersebut: 1. Usahatani jagung belum diusahakan secara efisien yang ditunjukkan oleh produktivitas usahatani di bawah target 10 ton/ha jagung tongkol kering panen (Lampiran 20) dan masih rendahnya ratio harga/biaya variabel. Dari 120 unit usahatani jagung yang dianlisis sebagian besar (82,50%) mencapai produktivitas di bawah 10 ton/ha, hanya 17,50% yang mencapai target produktivitas (Tabel 6.5). Target produktivitas yang belum tercapai tersebut
161
berasosiasi dengan ratio harga/biaya variabel, di mana sebagian besar usahatani ( 76,67%)
memperoleh ratio di bawah 3 (tiga), sementara yang
mencapai ratio 3 ke atas sebesar 28 unit (23,33%) usahatani. 2. Kualitas produk yang dihasilkan masih rendah yaitu sebagian terbesar petani menghasilkan jagung tongkol kering panen dengan kadar air berkisar 18% sampai dengan 22%. Belum ada petani yang menghasilkan jagung kualitas super (kualitas SNI-1). 3. Dalam hal pengiriman barang masih tergantung pada kendaraan milik pembeli, atau menggunakan jasa ojek atau buruh tani untuk mengangkut dari ladang ke jalan umum terdekat, selanjutnya diangkut menggunakan kendaraan roda empat ke lokasi penjemuran milik pedagang. 4. Produk yang dihasilkan oleh petani masih relatif homogen. Diverfikasi produk dengan menghasilkan jagung muda, jagung bayi, jagung manis dan jagung ketan masih sangat sedikit dari keseluruhan jumlah petani. Sebagian besar petani menghasilkan jagung untuk keperluan pakan ternak.
Perilaku petani
yang demikian mengakibatkan petani menghadapi persaingan antar sesama petani. 5. Ditinjau dari aspek waktu tempuh ke pasar berkisar antara 1 (satu) sampai 2 (dua) minggu sejak panen, karena memerlukan waktu untuk pengeringan. Bila cuaca cerah hanya membutuhkan waktu satu minggu, sedangkan bila cuaca mendung atau berawan membutuhkan waktu dua minggu. Waktu tempuh ini relatif cepat, karena telah tersedia infrastruktur jalan yang relatif baik dan kendaraan pengangkut yang mudah didapat dengan cara menyewa atau menggunakan jasa angkutan umum.
162
Seiring dengan uraian di atas, tampak pada Gambar 5.16 bahwa sebagai besar usahatani masuk pada kategori keunggulan kompetitif moderat (40%). Penyebaran distribusi frekuensi ini bersesuaian dengan distribusi frekuensi produktivitas usahatani dan ratio harga/biaya variabel.
50 40 30 20
Keunggulan Kompetitif
10 0 Sangat Tinggi
Tinggi
Moderat Rendah
Sangat Rendah
Gambar 6.7 Klasifikasi Keunggulan Kompetitif Jagung di Level Petani Pada kerangka teoritis telah dipaparkan adanya hubungan kausalitas antara manajemen rantai pasok dengan keunggulan kompetitif. Teori ini dibuktikan secara empiris pada Gambar 5.17.
Sementara dari hasil analisis
tampak adanya asosiasi antar klasifikasi keragaan manajemen rantai pasok dengan klasifikasi keragaan keunggulan kompetitif di mana rata-rata dan modus keduanya berada pada kisaran 2,6 sampai 3,6 dengan klasifikasi masing-masing hampir baik dan moderat. Beberapa hasil penelitian yang dihimpun oleh Majeed (2011) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keuggulan
kompetitif
dengan
keragaan,
sementara
Prasetya
(2008)
menyimpulkan bahwa keunggulan kompetitif berpengaruh positif terhadap keragaan perusahaan, dan Dewi (2013) mengemukakan bahwa manajemen rantai pasok berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif, kecuali Hamid (2011)
163
yang menyimpulkan bahwa manajemen rantai pasok berpengaruh positif terhadap keunggulan kompetitif. Untuk melengkapi analisis deskripsi pada hasil penelitian ini, maka secara khusus dilakukan pengukuran tingkat persaingan jagung pada level pedagang perantara / perusahaan dengan mengadopsi Alat Perencanaan Strategik - Lima Kekuatan Porter (Strategic Planning Tools Porter’s 5 Forces), yaitu alat analisis yang dapat menambah kemampuan dalam mengukur kekuatan pemasok dan kekuatan pembeli dalam rantai pasok yang sama, serta kondisi aktual persaingan dengan perusahaan di luar rantai pasok. Alat Perencanaan Strategik - Lima Kekuatan Porter memiliki nilai mulai dari tingkat persaingan sangat rendah (-30) sampai dengan tingkat persaingan sangat tinggi (+30). Dari hasil analisis pada Tabel 6.22 dan Lampiran 9 diperoleh nilai +22 dan -8 dan total +14. Oleh karena nilai positif (+) berada pada kisaran +11 s.d +20, maka dikategorikan memiliki tingkat persaingan tinggi di mana perusahaan dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial dan strategi agar tetap eksis memperoleh laba secara berkelanjutan. Hasil analisis persaingan di level pedagang perantara jagung ditampakkan pada Tabel 6.20. Tabel 6.22
Analisis Persaingan di Level Pedagang Perantara Jagung
No
Indikator
Positif
Negatif
Jumlah
1 2 3 4 5 6
Ancaman Pesaing Baru Kekuatan Pemasok Kekuatan Pembeli Ancaman Produk / Jasa Pengganti Revalitas Antar Pesaing Yang Ada Komplemen IKK2
+4 +3 +3 +4 +3 +5 +22
-1 -2 -2 -1 -2 0 -8
+3 +1 +1 +3 +1 +5 +14
Sumber: Lampiran 9.
164
Keragaan tingkat persaingan sebagai mana ditampilkan pada Tabel 6.22 menunjukkan persaingan yang tinggi pada lingkungan eksternal rantai pasok dan persaingan rendah di internal rantai pasok. Uraiannya sebagai berikut: 1. Ancaman Pesaing Baru Peluang hadirnya pesaing baru sangat terbuka, disebabkan tidak adanya perlindungan pemerintah dan tidak satupun perusahaan yang memiliki teknik yang mampu menghambat masuknya pesaing baru termasuk tidak adanya kepemilikan hak paten, juga tidak ada pembatasan perizinan. Selain itu, kegiatan usaha pemasaran jagung memiliki marjin keuntungan yang diketahui banyak orang, serta diakui banyaknya perusahaan sejenis yang berkembang pesat. Satu-satunya yang menghambat masuknya pesaing baru adalah dibutuhkannya modal yang cukup besar (lebih dari Rp 500 juta) untuk memulai usaha. Pada transkrip wawancara mendalam terungkap bahwa kebutuhan modal mencapai lebih dariRp 1 milyar termasuk barang-barang modal atau total seluruh asset (Lampiran 20). Kebutuhan modal meliputi modal operasional dan modal investasi. Modal operasional dibutuhkan untuk pengadaan barang atau komoditas jagung, sementara modal investasi untuk penyediaan lahan, bangunan gudang, ruang perkantoran,
mesin pemipil, dan kendaraan roda
empat. 2. Kekuatan Pemasuk Dilihat dari aspek kekuatan pemasok tampak adanya variasi pada aspek kesulitan beralih kepada perusahaan lain (Lampiran 9), satu-satunya yang dapat mengikat pemasok agar tetap setia sebagai pemasok adalah pemberian pinjaman modal operasional, penyediaan sarana angkutan, mesin pemipil, dan lantai jemur atau dengan kata lain sharing dalam pemanfaatan barang-barang
165
modal (integrasi horizontal).
Oleh karena itu bagi perusahaan yang memiliki
modal kecil menghadapi situasi ketidakpastian dalam mempertahankan para pemasoknya. Dengan demikian, tidak semua perusahaan memiliki pemasok tetap, para pemasok bebas menentukan kepada perusahaan mana ia memasok barangnya dengan mempertimbangkan marjin keuntungan yang akan diterima dan fasilitas yang mereka peroleh dari perusahaan. Upaya mempertahankan pemasok
diantaranya
menguntungkan
antara
adalah
menjalin
pemasok
dan
hubungan perusahaan,
baik
yang
diantaranya
saling melalui
pembentukan kolaborasi rantai pasok dan menerapkan manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis. Sementara yang memperlemah tingkat persaingan pemasok adalah skala usaha dari para pemasok yang relatif kecil bila dibandingkan dengan skala usaha perusahaan. Skala usaha perusahaan jauh lebih besar, sehingga perusahaan mampu membeli seluruh barang dari pemasok. 3. Kekuatan Pembeli Kondisi persaingan dari sisi kekuatan pembeli tampak hampir sama dengan kondisi persaingan dari sisi kekuatan pemasok (Lampiran 9). Yang memperlemah persaingan dari aspek kekuatan pembeli adalah para konsumen pengguna (peternak ayam petelur) membeli langsung jagung kepada para pedagang antar pulau, sehingga mengurangi peran distributor dan/atau pengecer dan memperpedek rantai pemasaran.
Sementara aspek yang meningkatkan
persaingan adalah: (1) adanya pelanggan minimal 5 perusahaan sebagai pembeli; (2) peranan pembeli yang dominan dalam menentukan harga, disebabkan jumlah modal yang dimiliki relatif terbatas untuk melakukan penyimpanan, karena tuntutan untuk segara membayar hutang-hutang kepada
166
pemasok, sehingga (3) mereka tunduk pada harga yang ditetapkan oleh pembeli. Meskipun tampak adanya kekuatan tarik menarik dalam penetapan harga dengan para pembeli, namun akhirnya karena persaingan yang tinggi, yang mana perusahaan bukan satu-satunya penjual kepada pelanggan, serta pembeli dengan mudah beralih kepada perusahaan lain, maka harga lebih banyak ditentukan
oleh
pembeli;
(4)
perusahaan
lebih
banyak
merasakan
kitidaknyamanan dari para pembeli, kecuali pada musim di luar panen raya di mana harga jagung relatif mahal dan langka. 4. Ancaman Produk atau Jasa Pengganti Situasi persaingan antar pelaku usaha pemasaran jagung tampak terjadi pada semua kelembagaan, mulai dari petani, pemasok, pedagang perantara dan para pembeli, sehingga menjadi satu pertimbangan bagi para pelaku usaha pemasaran untuk beralih kepada usaha pemasaran komoditas lain atau melakukan diversifikasi usaha, diantaranya adalah mengusahakan aneka hasil pertanian. Sebagian kecil perusahaan yang konsen dan ingin tetap berusaha pada usaha pemasaran jagung (Lampiran 9). Sementara situasi persaingan meningkat oleh: (1) banyaknya perusahaan yang bergerak pada usaha pemasaran jagung di sekitar lokasi perusahaan, dan (2) kualitas produk yang hampir sama, serta (3) tidak adanya ciri khas yang khusus pada produk jagung mereka. Semua perusahaan menghasilkan produk jagung pipil kering. Dari 20 perusahaan terdapat 2 (dua) perusahaan yang menghasilkan jagung pecah, dan dua perusahaan yang langsung membeli jagung dari petani dan menjual langsung ke konsumen penguna. Upaya yang dilakukan oleh empat perusahaan
ini merupakan satu strategi untuk mereduksi persaingan. Oleh
karena itu strategi dengan memperpendek rantai pasok atau dengan kata lain
167
melakukan integrasi vertikal dapat menurunkan tingkat persaingan di dalam rantai pasok. 5. Rivalitas Antar Pesaing Yang Ada Ada dua indiktor yang memperlemah persaingan dilihat dari aspek rivalitas antar pesaing yang ada, yaitu: (1) terjadinya kerjasama yang saling membantu antar perusahaan terutama dalam memenuhi permintaan pelanggan atau pun dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, dan (2) pengusaha tidak tampak saling meremehkan atau saling merendahkan melalui media atau iklan. Sedangkan yang meningkatkan persaingan adalah: (1) tidak ada hambatan perpindahan buruh atau karyawan antar perusahaan dan merupakan suatu yang dinilai lumrah;
(2) tidak lazim bagi perusahaan melakukan promosi melalui
spanduk atau iklan, karena pembeli umumnya datang
langsung atau
berkomunikasi melalui telepon seluler atau memanfaatkan jaringan internet melalui penawaran on-line; (3) serta mudah bagi perusahaan lain untuk mengikuti atau meniru langkah perusahaan dalam memasarkan jagung, sebab akses yang terbuka terhadap teknologi dansumber modal; dan (4) sebagian kecil perusahaan yang mengetahui kebutuhan pelanggan (Lampiran 9). Hasil analisis tersebut memberikan gambaran bahwa komoditas jagung memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan berpeluang sebagai ancaman bagi kelangsungan usaha jasa pemasaran jagung. Walau demikian, bukan berarti bahwa tingkat persaingan yang tinggi tersebut statis, melainkan dapat berubah sesuai situasi persaingan, kemajuan teknologi, perubahan subtitusi, dan inovasi perusahaan (Zhao, 2012). Inovasi dengan melakukan upaya integrasi proses bisnis, seperti memperpendek rantai pasokan dan melakukan proses pengolahan merupakan upaya mengurangi persaingan dan meningkatkan keunggulan
168
kompetitif
jagung, sehingga dapat
mempertahankan atau meningkatkan
perolehan laba bagi perusahaan. 6.8 Analisis Deskriptif Variabel Endogen dan Eksogen Dalam Model Untuk memberikan gambaran karakteristik data penelitian maka dilakukan analisis
statistik
deskriptif.
Analisis
statistik
deskriptif
bertujuan
mendeskripsikan perilaku objek penelitian atas variabel penelitian.
untuk Dalam
penelitian ini terdapat 9 (sembilan) variabel yang terdiri atas 5 (lima) variabel endogen dan 4 (empat) variabel eksogen.
Hasil`analisis ditampilkan pada
Tabel 6.23. Tabel 6.23 Statistik Deskriptif Indikator Variabel Laten Variabel Laten
Modus
Median
Rata-rata
Std Deviasi
Berbagi informasi (BIF) Sinkronisasi Keputusan (SNK) Keselarasan insentif (KSI) Kolaborasi rantai pasok (KRP) Integrasi proses bisnis (IRP) Keunggulan Kompetitif (KKP) Manajemen rantai pasok (MRP) Kesejahteraan petani (KSP)
3,00 3,00 3,00 3,00 3,20 3,00 3,25 2,83
4,00 3,00 2,33 3,00 3,40 3,00 4,50 3,67
3,17 3,06 2,91 2,85 3,13 3,01 3,23 2,93
1,03 0,87 1,08 0,83 0,93 0,92 0,96 0,99
Variabel endogen adalah perilaku variabel ditentukan oleh perilaku variabel lain dalam model. Yang tergolong variabel endogen adalah kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis, manajemen rantai pasok, keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani. Variabel eksogen adalah perilaku variabel yang ditentukan oleh faktor di luar model, yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan, keselarasan insentif, dan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yaitu kepastian pemasok dan kepastian permintaan dikeluarkan dari model, karena kondisi lingkungan yang homogen di mana produk jagung memiliki kepastian permintaan. Jagung yang dihasilkan oleh petani selalu ada pedagang yang bersedia membeli, demikian
169
pula jagung pipil yang telah kering langsung dibeli oleh pedagang perantara dan dikirim ke konsumen pengguna. Produk jagung selalu laku terjual dalam waktu satu minggu bila kondisi cuaca cerah dan membutuhkan waktu 2 (dua) minggu bila cuaca kurang cerah. Para pedagang tidak memungkinkan melakukan penyimpanan jagung untuk menunggu harga lebih tinggi, karena keterbatasan modal dan tuntutan dari pemasok agar secepatnya mendapatkan pembiayaan bagi penyediaan pasokan berikutnya. Semua variabel
bersifat laten (unobserved variabel) yang mana
pengukurannya memerlukan indikator. Tiap variabel laten memerlukan 3 (tiga) s.d 10 indikator di mana tiap indikator membutuhkan dukungan teori atau logical construct yang jelas (Jogiyanto, 2011). Dalam penelitian ini setiap variabel laten telah memenuhi persyaratan yang mana masing-masing variabel terdiri atas tiga, empat atau lima indikator. Hasil statistik deskriptif indikator variabel menunjukkan bahwa nilai modus dan median masih berada pada kisaran rata-rata +/- 1 x (satu kali) standar deviasi, sehingga secara deskriptif bahwa penerapan indikator untuk masingmasing variabel laten dapat diterima, yaitu nilai modus dan median hampir mendekati nilai rata-rata atau nilai tengah. Dengan kata lain tidak ditemukan data yang ekstrim, sehingga keseluruhan nilai observasi dapat digunakan pada analisis statistik inferensi. Demikian pula nilai standar deviasi terletak dari 0,83 s.d 1,08. Memberi indikasi bahwa nilai indikator variansnya tidak terlalu lebar dengan kata lain penyebaran data cenderung homogen. Petunjuk yang dapat digunakan untuk menetukan homogenitas adalah standar deviasi < dari rata-rata variabel yang bersangkutan. Walaupun homogenitas bukan sebagai persyaratan
170
dalam analisis SEM-PLS, namun akan sangat membantu dalam analisis inferensi dan interpretasinya. Hasil analisis distribusi frekuensi jumlah dan persentase petani menurut level nilai indicator variable laten ditampilkan pada Tabel 6.24. Tabel 6.24
Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Level Nilai Indikator Variabel Laten
Tinggi (≥ 3,75) Variabel Laten Jumlah % BIF 36 30,00 SNK 24 20,00 KSI 36 22,50 KRP 19 15,83 IRP 36 30,00 KKP 28 23,33 MRP 42 35,00 KSP 22 18,33 Sumber : Data primer diolah
Sedang (2,26 s.d 3,74) Jumlah % 61 50,85 78 65,00 68 56,67 73 60,83 61 50,83 63 52,50 62 51,67 70 58,33
Rendah (≤ 2,25) Jumlah % 23 19,17 18 15,00 27 22,50 28 23,33 23 19,17 29 24,17 16 13,33 28 23,33
Nilai indikator pada tiap-tiap variabel disusun sebagai data frekuensi, berikutnya mengelompokkan nilai rata-rata indikator menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Nilai rata-rata indikator ≥ 3,75 dikategorikan tinggi, dari 2,26 s.d < 3,75 dikategorikan sedang, dan < 2,26 dikategorikan rendah. Nilai rata-rata indikator pada tiap-tiap variabel sebagian besar tergolong sedang, sementara jumlah frekuensi dengan kategori tinggi dan rendah hampir berimbang. Distribusi frekuensi ini memberi indikasi bahwa petani yang memperoleh manfaat tinggi hampir sama dengan jumlah petani yang memperoleh manfaat rendah atas implementasi manajemen rantai pasok yang dikoordinasikan perusahaan. Bagi petani yang memperoleh manfaat atas keberadaan perusahaan dalam memberikan pelayanan informasi, teknologi, dan modal serta penyediaan fasilitas pasar input dan output pertanian cenderung memberikan penilaian yang relatif tinggi, sebaliknya yang merasa dirugikan atau menerima perlakuan yang kurang menyenangkan atau tidak memuaskan akan
171
memberikan penilaian yang rendah. Penilaian tersebut didasarkan pada persepsi tiap-tiap petani dengan menggunakan skala likert. 6.9 Evaluasi dan Uji Efektivitas Model 6.9.1 Evaluasi Outer Model Pada Smart-PLS Evaluasi model bertujuan untuk mendapatkan justifikasi hubungan relasional dan kausal. Untuk memperoleh justifikasi atas model analisis Partial Least Square (PLS) harus melalui verifikasi. Verifikasi tersebut meliputi validitas konstruk dan reliabilitas instrument sebagai berikut. 1. Validitas Konstruk Validitas konstruk menunjukkan kekuatan hubungan antar konstruk. Kekuatan hubungan diukur dari koefisien korelasi antar konstruk. Semakin baik hubungan relasional antar konstruk maka konstruk yang dibangun semakin sesuai dengan teori-teori yang diacunya (Jogiyanto, 2011). Dari hasil uji korelasi antar konstruk menunjukkan bahwa semua konstruk saling berkorelasi dengan nilai t-statistik lebih besar daripada 1,6449 dengan p-value ≤ 0,05. Dilihat pada pendifinisian konsep mendekati kesesuaian dengan teori yang menjadi acuan dalam merumuskan konstruk penelitian ini. Validitas konstruk menggunakan sekurang-kurangnya dua alat uji, yaitu: validitas konvergen dan validitas diskriminan. a. Validitas konvergen mengharuskan hubungan korelasional yang tinggi antar indikator. Oleh karena itu disyaratkan bahwa Outer Loading di atas 0,7, Average Variance Extracted (AVE) di atas 0,5 dan Communality ≥ 0,5Cross Loading terkecil sebesar 0,843, sehingga semua indikator memenuhi persyaratan sebagai mana ditunjukkan hasil validitas konvergen. . Hasil faktor loading dapat dilihat pada Tabel 6.25.
172
Tabel 6.25 Faktor Loading Tiap Indikator No
Indikator
Outer Loading
1 U1 0,964 2 U2 0,953 3 U3 0,931 4 V1 0,854 5 V2 0,915 6 V3 0,882 7 W1 0,934 8 W2 0,942 9 W3 0,924 10 X1 0,887 11 X2 0,938 12 X3 0,934 13 X4 0,907 14 X5 0,923 15 X6 0,943 Keterangan : U1 = Informasi harga U2 = Informasi teknologi U3 = Informasi skim kredit V1 = Jenis input produksi V2 = Kuantitas input V3 = Biaya modal W1 = Harga input W2 = Harga output W3 = Berbagi biaya X1 = Kesamaan tujuan X2 = Peran&tanggungjawab X3 = Pembagian resiko X4 = Fasilitator X5 = Hub baik dgn pelanggan X6 = Operional biaya rendah
No
Indikator
Outer Loading
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
X7 X8 X9 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Z5 Z6 Z7
0,889 0,928 0,889 0,843 0,940 0,941 0,907 0,889 0,906 0,895 0,919 0,864 0,946 0,926 0,939
X7 = X8 = X9 = Y1 = Y2 = Y3 = Y4 = Y5 = Y6 = Y7 = Y8 = Y9 = Z5 = Z6 = Z7 =
Pengembangan Kesehatan kas Penyerapan t.kerja Harga/biaya Kualitas produk Ketergantungan kirim Diversifikasi produk Waktu tempuh ke pasar Koordinasi antar lembaga Aliran produk Aliran pelayanan Aliran modal Surplus produsen/biaya produksi Pengeluaran konsumsi RT Pengeluaran investasi RT
Oleh karena semua nilai Outer Loading lebih besar dari 0,7 serta Cross Loading lebih kecil daripada Outer Loading konstruk yang bersangkutan, maka perumusan indikator sesuai dengan konsep teori.
Semakin tinggi nilai Outer
Loading, maka semakin penting peranan indikator dalam menginterpretasikan matrik indikator. Oleh karena nilai outer loading semuanya di atas 0,7 maka semua indikator pada masing-masing variabel menjelaskan variabel yang bersangkutan.
dapat digunakan untuk
173
b. Validitas Diskriminan Ada tiga alat analisis untuk mengevaluasi validitas diskriminan,
yaitu:
1) Average Variance Extracted (AVE), 2) Communality ≥ 0,5 dan 3) korelasi silang (cross correlation) antra konstrak. Nilai AVE dan Communality disajikan pada Tabel 6.26. Tabel 6.26 Nilai Average Variance Extracted (AVE) dan Communality No
Kontruk
AVE*)
1 BIF 0,902 2 SNK 0,782 3 KSI 0,871 4 KRP 0,841 5 KKP 0,837 6 IRP 0,800 7 MRP 0,806 8 KSP 0,878 Keterangan : AVE = Average variance extracted Sumber : *) Diolah dari data primer
Communality**) 0,634 0,482 0,634 0,512 0,546 0,648 0,686 0,635 **) Lampiran 10
Pada Tabel 6.26 tampak bahwa Average Variance Extacted (AVE) dan Communality masing-masing ≥ 0,5;
sehingga memenuhi syarat validitas
konvergen, maka model memenuhi kriteria, sehingga dapat digunakan untuk estimasi outer model. Pengukuran-pengukuran
konstruk
yang
berbeda
semestinya
tidak
berkorelasi tinggi, kalaupun berkorelasi maka derajat korelasinya rendah. Untuk membuktikan persyaratan validitas diskriminan ini, maka dilakukan uji korelasi silang antar variabel laten yang dibandingkan dengan akar rata-rata varian ekstrakted. Koefisien korelasi silang antar variabel laten disyaratkan < akar AVE variabel yang bersangkutan, sehingga penghapusan suatu jalur dampaknya tidak terlalu besar terhadap koefisien jalur lainnya. Hasil analisis akar AVE dan korelasi silang antar variable laten ditampakkan pada Tabel 6.27.
174
Tabel 6.27 Komparasi Akar AVE Dengan Korelasi Silang Antar Variabel Laten
BIF SNK KSI KRP KKP IRP MRP KSP
AKAR AVE
BIF
SNK
KSI
KRP
KKP
IRP
MRP
KSP
0,950 0,884 0,933 0,917 0,915 0,895 0,898 0,937
0,672 0,839 0,712 0,783 0,812 0,846 0,850
0,672 0,675 0,663 0,656 0,742 0,747 0,638
0,839 0,675 0,718 0,728 0,812 0,872 0,860
0,712 0,663 0,718 0,681 0,737 0,750 0,729
0,783 0,656 0,728 0,681 0,752 0,766 0,752
0,812 0,742 0,812 0,737 0,752 0,894 0,798
0,846 0,747 0,872 0,750 0,766 0,894 0,860
0,850 0,638 0,860 0,729 0,752 0,798 0,859 -
Pada Tabel 6.27
tampak bahwa semua akar AVE variabel laten
>
koefisien korelasi silang (cross correlation) antar variabel yang bersangkutan dengan variabel lainnya yang sebaris. Dengan demikian bahwa semua variabel memenuhi kriteria validitas diskriminan. 2. Reliabilitas Instrumen Instrumen dalam bentuk kuesioner berpengaruh terhadap persepsi petani, seperti penggunan istilah asing akan menyulitkan petani dalam memberikan jawaban secara tepat. Selain itu, kondisi dan situasi ketika wawancara juga berpengaruh terhadap konsistensi jawaban petani dari suatu item pertanyaan ke item pertanyaan lainnya. Sopan santun dan tata kerama dalam wawancara juga memegang peranan terhadap kosistensi dan ketepatan jawaban yang diberikan oleh petani.
Karena itu suasana yang menyenangkan dan kekeluargaan
membantu dalam menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan wawancara.
Sebagai konvensasi atas keluangan waktu yang
disediakan petani, peneliti memberikan insentif dalam bentuk innatura. Untuk mendapatkan data yang valid dan konsisten, maka pengumpulan data dilakukan dua tahap, yaitu (1) pengumpulan data usahatani, (2) pengumpulan data manajemen agribisnis. Untuk memperoleh keyakinan bahwa
175
data yang diperoleh telah valid dan konsisten, maka dilakukan uji reliabilitas instrumen. Uji reliabilitas intrumen menggunakan Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability. Pengukuran Cronbach’s Alpha dimaksudkan untuk mengetahui batas bawah nilai reliabilitas suatu konstruk, sedangkan Composite Reliability untuk mengetahui reliabilitas yang sesungguhnya. Oleh karena uji Cronbach’s Alpha tidak tersedia dalam software Smart-PLS, maka digunakan software SPPS versi.13. Hasil perhitungan nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability disajikan pada Tabel 6.28. Tabel 6.28 Nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability No 1 2 3 4 5 6 7 8
Konstruk BIF SNK KSI KRP KKP IRP MRP KSP
Cronbach’s Alpha*) 0,964 0,969 0,964 0,968 0,963 0,962 0,962 0,963
Syarat reliabilitas pada uji Cronbach’s Alpha
Composite Reliability**) 0,965 0,915 0,953 0,955 0,962 0,952 0,943 0,956 dan Composite Reliability
minimal 0,6; lebih baik apabila nilainya di atas 0,7. Nilai koefisien Cronbach’s Alpha
dan Composite Reliability sebagai ukuran konsistensi internal yang
mendeskripsikan hubungan satu set data sebagai satu kelompok dan skala yang dimaksud adalah unidemesional (www.ats.ucla.edu › stat › spss › faq). Oleh karena nilai masing-masing di atas 0,7 (Tabel 6.28), maka instrumen yang digunakan memenuhi syarat reliabilitas, artinya jawaban yang diberikan oleh petani atas kuesioner yang digunakan memiliki konsistensi antar satu item dengan item lainnya dan skala yang digunakan masuk pada demensional
176
homogen, bebas dari skala yang ekstrim. Reliabilitas instrumen dibuktikan juga oleh hasil uji Chi Square yang menunjukkan bahwa pengelompokkan data keseluruhan (general) non signifikan (Lampiran 11). 6.9.2 Evaluasi Model Persamaan Struktural (Inner Model) Pada PLS Model persamaan struktural dibangun atas dasar teori. Pada penelitian ini dibangun dari teori kolaborasi rantai pasok yang dicetuskan oleh Mathuramaytha (2011) dengan modifikasi pada outcome-nya, yaitu keragaan organisasi dimodifikasi dengan kesejahteraan petani jagung. Teori merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang disusun secara sistematis dalam serangkaian hubungan fenomena alam dan/atau sosial, sehingga dapat dipahami hubungan kausalitas antara satu variabel dengan variabel lainnya dan ditinjau dari pengetahuan logis dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dibuktikan secara empiris (Yamin dan Kurniawan, 2009; Jogiyanto, 2011). Statemen yang dikemukakan Bartezzaghi (1999) dan dipertegas oleh Spekman (2001) bahwa integrasi proses bisnis dalam rantai pasok dapat meningkatkan keunggulan kompetitif. Menghubungkan antara teori kolaborasi rantai pasok dengan pernyataan Bartezzaghi (1999) dan Spekman (2001) di atas adalah untuk mengevaluasi teori kolaborasi rantai pasok sekaligus memodifikasi dan mengelaborasi kebaharuan penelitian ini dengan melihat hubungan kausalitas antar variabel dalam model dan menguji hipotesis. Evaluasi teori dan menguji hipotesis menggunakan statistik inferensi atas data empiris yang diambil dari lokasi penelitian. Manfaat daripada manajemen rantai pasok adalah meningkatkan efisiensi atau meningkatkan laba seluruh anggota dalam rantai pasok. Oleh karena petani sebagai anggota dalam rantai pasok, maka sepantasnya mereka berhak
177
menikmati manfaat dari rantai pasok tersebut, berupa peningkatan surplus produsen, peningkatan pendapatan, peningkatan konsumsi rumah tangga, dan peningkatan tabungan dan/atau pengeluaran investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Evaluasi persamaan struktural terdiri atas: uji efektivitas model persamaan struktural dan uji koefisien jalur. Uraian masingmasing sebagai berikut: 1. Uji Efektivitas Model Persamaan Struktural (Model Fit) Uji efektivitas model meliputi uji model persamaan struktural dan uji model parsial. Uji model persamaan struktural menggunakan koefisien diterminan persamaan
2
(R ). Hasil analisis nilai koefisien diterminan model persamaan
structural (R2) dan Geisser q-Square Test disajikan pada Tabel 6.29, sementara hasil uji model secara parsial ditampilkan pada masing-masing persamaan. Tabel 6.29 Nilai Koefisien Diterminan (R2) dan Stone Geisser q-Square Test No
Variabel
R2 inc
1 KRP 0,595 2 KKP 0,627 4 IRP 0,544 5 MRP 0,817 6 KSP 0,803 2 Keterangan: q = Stone Geisser q-Square Test
R2 exc 0,595 0,627 0,544 0,817* 0,769 * terbesar
q2 0,000 0,000 0,000 0,000 0,003
R2 inc adalah koefisien diterminan ketika variabel eksogen inklusif dalam model (sebelum dikeluarkan dari model), sedangkan R2 exc adalah koefisien diterminan ketika variabel eksogen setelah dikeluarkan dari model. Variabel ekogen yang keluarkan dari model adalah jalur yang non-siginifikan. Dari hasil perhitungan q2 di atas diperoleh nilai 0,003 atau kurang dari 0,02; maka mengeluarkan variabel eksogen dari model memiliki dampak yang sangat kecil (Ferdinand, 2002; Utomo, 2011). Oleh karena itu yang digunakan dalam
178
elaborasi koefisien diterminan adalah R2 exc dan jalur IRP-> KSP dikeluarkan dari model. Dari hasil uji model persamaan struktural pada Tabel 6.30 di atas tampak bahwa nilai R2 > 0,5 (Jogiyanto, 2011), maka disimpulkan bahwa semua model persamaan struktural
dapat digunakan untuk mengestimasi dan pengujian
hipotesis. Untuk keperluan aplikasi model membutuhkan uji lebih lanjut, yaitu uji efektivitas model parsial (model fit). Model fit yang digunakan adalah koefisien diterminan parsial (r2i) ≥ 0,1. Hasil uji model
parsial ditampakkan
pada
Tabel..6.30. Tabel 6.30 Uji Efektivitas Model Parsial (Model Fit)
Jalur BIF -> KRP SNK -> KRP KSI -> KRP KRP -> KKP IRP -> KKP MRP-> KKP KRP -> IRP KRP -> MRP IRP -> MRP KRP -> KSP KKP -> KSP MRP -> KSP Sumber : 1) Tabel 6.30
Koefisien Koefisien Diterminan Jalur1) Parsial 2) 0,270 0,193 0,276 0,183 0,305 0,219 0,202 0,201 0,268 0,288 0,376 0,138 0,737 0,544 0,200 0,150 0,746 0,666 0,148 0,109 0,188 0,141 0,605 0,520 2) Diolah dari Tabel 6.27 dan Tabel 6.30
Dari 13 jalur yang dianalisis dengan menggunakan software Smart-PLS terdapat 12 jalur yang signifikan (Tabel 6.30), sedangkan 1 (satu) jalur tidak signifikan. Jalur yang tidak signifikan yaitu
IRP KSP.
Jalur yang tidak
signifikan dikeluarkan dari model, karena lulus uji Stone Geisser q-Square Test. Hasil uji menunjukkan bahwa q2 < 0,02, sehingga pengeluaran jalur IRP KSP dari model pengaruhnya relative kecil terhadap koefisien jalur lainnya.
179
Hasil uji Stone Geisser q-Square Test bersesuaian dengan perbandingan antara nilai cross correlation dan akar AVE (Tabel 6.26). Apabila nilai cross correlation < akar AVE, maka penghapusan suatu jalur dari model tidak besar pengaruhnya terhadap koefisien jalur lainnya. Kondisi ini sebagai persyaratan yang memungkinkan untuk dilakukan penghapus suatu jalur pada diagram path. 2. Uji Koefisien Jalur Hasil uji koefisien jalur disajikan pada Tabel 6.31 berikut: Tabel 6.31 Hasil Uji Koefisien Jalur atau Koefisien Regresi Standard Estimasi sampel Jalur Original1) BIF -> KRP 0,270 SNK -> KRP 0,276 KSI -> KRP 0,305 KRP -> KKP 0,202 IRP -> KKP 0,268 MRP-> KKP 0,376 KRP -> IRP 0,737 KRP -> MRP 0,200 IRP -> MRP 0,746 KRP -> KSP 0,148 KKP -> KSP 0,188 MRP -> KSP 0,605 Sumber : Data Primer Diolah Keterangan : 1) Koefisien Jalur
Rata-rata subsampel 0,264 0,265 0,321 0,205 0,287 0,359 0,734 0,203 0,743 0,143 0,185 0,609
Standard deviasi 0,100 0,083 0,105 0,075 0,183 0,147 0,034 0,058 0,057 0,068 0,078 0,082
*) Signifikan α=0,05
Statistik t) p-value 2,700** 0,0086 3,316** 0,0070 2,905** 0,0080 2,704** 0,0086 1,934* 0,0120 2,551** 0,0091 21,865** 0,0000 3,467** 0,0067 13,021** 0,0000 2,182* 0,0107 2,397** 0,0097 7,401** 0,0000 **) Signifikan α=0,01
Pengujian terhadap koefisien jalur dilakukan dengan menggunakan student’s t-distribution dan nilai probabilitas signifikansi (p-value). Pada tabel berikut nilai koefisien jalur ditunjukkan pada kolom estimasi sampel original1). Dari hasil evaluasi terhadap model persamaan struktural dan koefisien jalur menggunakan Smart-PLS memenuhi kriteria goodness of fit ditinjau dari aspek outer model maupun inner model dan memenuhi reliabilitas instrumen, sehingga layak digunakan sebagai estimasi dan pengujian hipotesis.
180
6.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Rantai Pasok Manajemen rantai pasok diukur dari indikator koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal.
Semakin intens kegiatan
koordinasi dan aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal, maka semakin baik manajemen rantai pasok. Hipotesis-1 dirumuskan bahwa integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok. Model persamaan struktural dengan manajemen rantai pasok sebagai variabel endogen adalah sebagai berukut: MRP = 0,746 IRP + 0,200 KRP ……………………….………………… (5.1) (p) (0,000) (0,0067) (r) (0,894) (0,750) (r2) (0,666) (0,150) R2 = 0,817 6.10.1 Pengaruh Integrasi Proses Bisnis Terhadap Manajemen Rantai Pasok Koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis terhadap manajemen rantai pasok adalah 0,746 artinya terdapat hubungan positif antara integrasi proses bisnis dengan manajemen rantai pasok. Dengan nilai t-statistik
=
13,021
(p-value=0,000)
dapat
diinterpretasikan
bahwa
peningkatan integrasi proses bisnis dapat memperbaiki manajemen rantai pasok. Integrasi proses bisnis memberikan pengaruh terbesar terhadap manajemen rantai pasok (r2=0,666). Hasil penelitian ini bersesuian dengan kesimpulan hasil penelitian Ariani dan Dwiyanto (2013) bahwa integrasi proses bisnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap keragaan manajemen rantai pasok dengan koefisien regresi standard terbesar. Namun berbeda dengan hasil penelitian Bagchi, et..al. (2007) yang menemukan bahwa integrasi rantai pasok di negara-
181
negara Nordik adalah retorika lebih dari kenyataan, meskipun demikian menemukan adanya indikasi yang jelas bagi peningkatan kinerja. Armistead dan Machin (1997) membangun preposisi penelitian yang didasarkan pada kategori proses bisnis menjadi bisnis operasional, kemudian menjadi manajemen proses, sementara Sachan,et.al. (2006) mengungkapkan bahwa integrasi antar anggota dalam rantai pasok sebagai penggerak manajemen rantai pasok. 6.10.2 Pengaruh Kolaborsi Antar Lembaga Terhadap Manajemen Rantai Pasok
dalam
Rantai
Pasok
Nilai koefisien regresi standard kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap manajemen rantai pasok bertanda positif artinya perbaikan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang dimoderasi oleh variabel berbagi
informasi,
sinkronisasi
keputusan
dan
keselaran
insentif
mengakibatkan perbaikan manajemen rantai pasok. Hasil uji t-statistik menunjukkan hubungan kausalitas positif yang signifikan yang
mana nilai
t-statistik 3,467 lebih besar dari nilai t-tabel = 2,3263 dan p-value = 0,0067. Oleh sebab itu secara menyakinkan bahwa perbaikan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berdampak positif bagi perbaikan manajemen rantai pasok. Fenomena ini tampak jelas dari dari persamaan identitas kolaborsi rantai pasok bahwa berbagi informs, mensinkronkan keputusan perusahaan dengan harapan petani, serta memberikan konvensasi insentif yang sepadan atau minimal sama dengan perubahan surplus produsen sebesar Rp.2 juta/ha (Gambar 6.2) menjadi bukti bahwa manajemen rantai pasok memberikan kontribusi bagi keberlanjutan kolaborasi (kerjasama) antara petani dan perusahaan. Dengan demikian, memungkinkan bagi manager perusahaan untuk menyelenggarakan manajemen rantai pasok.
182
Dari hasil analisis structural equation modeling bahwa integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok secara bersamasama berpengaruh terhadap manajemen rantai pasok, di mana diperoleh nilai koefisien diterminan R2 sebesar 0,817 (Tabel 6.29), artinya bahwa varians manajemen rantai pasok dijelaskan 81,7 persen oleh varians
integrasi
proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan variabel moderasi : berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif, sementara 18,3 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Dengan demikian, hipotesis ke-1 diterima, yaitu integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok. 6.11 Korelasi Antara Integrasi Proses Bisnis Dengan Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Apabila asosiasi antara dua variabel atau lebih belum diyakini saling berpengaruh satu terhadap yang lain, atau belum memiliki dasar teori yang kuat untuk mendukung hubungan kausalitas, namun asosiasi data antar variabel tersebut bersifat linear dan independen, maka untuk mengetahui kekuatan hubungan antar variabel tersebut digunakan analisis korelasi (Shaban, 2005). Korelasi juga dapat digunakan sebagai pembuktian awal kemungkinan adanya hubungan kausalitas antara dua variabel atau lebih dengan syarat hubungan tersebut linear (Bolbuaca dan Jantschi, 2006). Hubungan yang linear tersebut dapat dilihat dari sebaran data di sekitar kurva garis penduga baik ke arah positif (searah) maupun ke arah negatif (tidak searah). Oleh karena itu, analisis korelasi hanya dapat digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar suatu variabel terhadap variabel lainnya.
183
Analisis
Structural Equation Modeling Parsial Leat Square
memiliki
keunikan, selain dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen dapat juga digunakan untuk menganalisis korelasi antara dua variabel. Dalam model persamaan struktural yang dibangun terdapat saatu hubungan korelasi antara variabel, yaitu antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis. IRP = 0,737 KRP ……………………………………………… (5.2) (p) (0,0000) ( r) (0,737) (r2) (0,544) Dari persamaan struktural (5.2) di atas dapat dilihat hubungan korelasional antara integrasi proses bisnis dengan kolaborasi antar kembaga dalam rantai pasok, yaitu semakin baik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok semakin tinggi integrasi proses bisnis.
Hasil analisis SEM-PLS
kolaborasi rantai pasok dengan integrasi proses bisnis diperoleh nilai koefisien regresi standard yang equal dengan koefisien korelasi sebesar 0,737 (Tabel 6.30) dengan t-statistik = 21,392 (p-value = 0,000).
Hasil uji
t-statistik ini menunjukkan sangat signifikan, sehingga dapat digunakan sebagai estimasi dan pengujian hipotesis. Hasil analisis menununjukkan bahwa koefisien korelasi
lebih besar dari 0,5 dan lebih kecil dari 0,8
mengindikasikan bahwa hubungan antar variabel masuk kategori hubungan positif moderat, yaitu integrasi proses bisnis berhubungan positif dengan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, Ditinjau dari aspek teori dan logical construct bahwa antara variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis bukan hubungan kausalitas.
Perubahan variasi integrasi proses bisnis
berkorelasi dengan perubahan variasi kolaborasi antar lembaga dalam rantai
184
pasok, sehingga tidak ada variabel dependen dan independen pada dua variabel tersebut. Hal ini dibuktikan dari koefisien korelasi sama dengan koefisien jalur atau koefisien regresi standardnya, artinya tidak ada interaksi antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis. Logika konstruk sebagai mana diungkapkan di atas, setelah dilakukan analisis terhadap data-data persepsi responden menunjukkan bahwa ada hubungan korelasional positif moderat antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis, sehingga tesis yang menyatakan semakin baik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok maka integrasi proses bisnis semakin meningkat adalah diterima. Dengan demikian, maka terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa peningkatan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok diikuti oleh peningkatan integrasi proses bisnis. Integrasi proses bisnis terwujud dalam bentuk integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal yaitu memperpendek mata rantai pemasaran atau mereduksi anggota kelembagaan yang terlibat dalam rantai pasok. Menjadikan petani sebagai pemasok jagung dan menjadikan peternak ayam petelur sebagai pembeli merupakan upaya mereduksi persaingan sekaligus meningkatkan keuntungan (profit) perusahaan. Bagi petani akan mendapatkan harga jual jagung yang lebih tinggi, sementara bagi peternak ayam
petelur
mendapatkan
harga beli
yang
lebih
murah.
Dengan
mengaplikasikan integrasi proses bisnis ini, maka akan memberikan keuntungan bagi petani dan peternak ayam petelur, sebab masing-masing pihak akan memperoleh harga premium.
185
Integrasi horizontal dilakukan untuk memperbesar skala usaha sehingga mencapai skala ekonomis, misalnya dengan menyewa mesin pemipil, menyewa lantai jemur dan membayar petugas keamanan dengan tanggung renteng. Hubungan baik dengan mitra bisnis menjadi kunci sukses kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, sementara individualis merupakan kendala utama integrasi proses bisnis (Lam, 2013). Hubungan baik dengan mitra bisnis memiliki dua arah, yaitu kearah pemasok (hulu atau up stream) dan kearah pembeli (hilir atau down stream). Hubungan baik dua arah tersebut berdampak pada memperbaiki kesehatan aliran kas masuk dan kas keluar. Oleh karena itu tampak adanya scientific rational bahwa semakin dekat
hubungan
antara
perusahaan
dengan
petani
melui
reduksi
kelembagaan yang tidak perlu akan meningkatkan kesehatan keuangan perusahaan, yang mana kesehatan keuangan ini merupakan satu indikator dari sejumlah indikator variabel moderasi yang menyusun variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Strategi integrasi proses bisnis dapat dilakukan secara vertikal yaitu memperpendek saluran pemasaran sekaligus memperpendek jarak sosial antar
pihak yang
berkolaborasi. Integrasi vertikal dilakukan dengan
memperpedek rantai pasok, misalnya petani menjual langsung jagungnya ke pedagang besar antar pulau, dan pedagang besar antar pulau menjual langsung jagung hasil olahannya ke konsumen pengguna (peternak, pabrik pakan ternak, atau ke industri pengolah jagung). Integrasi
proses
bisnis
secara
horizontal
dilakukan
dengan
memperbesar skala usaha sampai mencapai skala ekonomis, misanya petani bergabung dalam kelompok tani, kelompok tani bergabung dalam gabungan
186
kelompok tani, dan gabungan kelompok tani yang membentuk kolaborasi (kerjasama) dengan perusahaan yang berperan sebagai avalis atau berhubungan dengan lemabga lain, seperti bank, perusahaan industri pakan ternak, dll. Jika terkendala pengembangan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, pilihan lainnya adalah bergabung ke dalam asosiasi petani, misalnya Masyarakat Agribisnis Jagung (MAJ), atau lainnya yang telah menunjukkan kinerja terbauknya. Integrasi
proses
bisnis
secara
horizontal
diharapkan
dapat
meningkatkan posisi tawar (barganning position) petani. Salah satu kegiatan yang tidak kalah pentingnya melalui integrasi horizontal ini adalah pembelian input secara bersama-sama, dan menjual produk secara bersama-sama, sehingga dapat menghemat biaya pengangkutan, biaya penyimpanan, biaya promosi, dan lain-lainnya (efisiensi biaya overhead). 6.12 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif adalah kemampuan organisasi intra rantai pasok memproteksi diri dari serangan para pesaing. Indikator yang digunakan untuk mengukur
keunggulan
kompetitif
adalah
efisiensi,
kualitas
produk,
ketergantungan pengiriman, diversifikasi produk dan waktu tempuh ke pasar (Mathuramaytha, 2011). Keunggulan kompetitif secara langsung dipengaruhi oleh integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok di samping dipengaruhi tidak langsung oleh variabel moderasi berbagi
informasi,
(Gambar..6.3).
sinkronisasi
keputusan
dan
keselarasan
insentif
187
Model persamaan struktural hubungan kausalitas antara keunggulan kompetitif dengan integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sebagai berikut: KKP = 0,268 IRP + 0,376 MRP + 0,202 KRP (p) (0,0120) (0,0091) (0,0086) (r) (0,752) (0,766) (0,681) (r2) (0,201) (0,288) (0,138) R2 = 0,627 6.12.1 Pengaruh Integrasi Kompetitif
Proses
Bisnis
……………………… (5.3)
Terhadap
Keunggulan
Koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis terhadap keunggulan kompetitif adalah 0,268 dengan t-statistik = 1,934 (p-value = 0,0120) mengindikasikan bahwa terdapat hubungan kausalitas positif dan signifikan, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan integrasi proses bisnis mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif. Koefisien diterminan parsial integrasi proses bisnis terhadap keunggulan kompetitif sebesar 0,201 artinya 20,15% variasi keunggulan kompetitif dijelaskan oleh variasi integrasi proses bisnis, dan 79,85% dijelaskan oleh variasi variabel lain dalam model dan di luar model. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Spekman, et al. (2001) bahwa variabel integrasi proses bisnis mampu meningkatkan keunggulan kompetitif komoditas atau produk. Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dapat disimulasikan dengan meningkatkan integrasi proses bisnis, seperti meningkatkan hubungan baik dengan pelanggan, prosedur operasional biaya rendah, pengembangan ke depan, menjaga kesehatan aliran kas dan penyerapan tenaga kerja. Dengan mencermati koefisien regresi standard (koefisien jalur) pada hubungan segi tiga kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi
188
proses bisnis dan keunggulan kompetitif mengindikasikan bahwa ketiga variabel dan konstruk ini memiliki keeratan hubungan yang tertinggi bila dibandingkan dengan konstruk lain dalam model. Oleh karena itu, kedudukan variabel integrasi proses bisnis terhadap keunggulan kompetitif equivalen dengan kedudukan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif. Perpanduan kedua konstruk tersebut menjadi penentu manajemen rantai pasok dan kesejahteraan petani. Dengan diintroduksikannya variabel integrasi proses bisnis ke dalam model kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok semakin meneguhkan kebenaran teori kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok (the collaboration supply chain theory) yang didesiminasikan oleh Mathuramaytha (2011). Demikian pula pernyataan Bartezzaghi (1999) dan Spekman, et al. (2001) yang menyatakan adanya hububungan kausalitas antara integrasi proses bisnis dan keunggulan kompetitif terbukti bersesuaian dengan data empiris yang digunakan dalam analisis jalur dengan menggunakan Structural Equation Modeling - Partial Least Square. Hasil analisis statistik inferensi di atas didukung oleh hasil analisis deskriptif keragaan keunggulan kompetitif pada level pedagang perantara yang menginformasikan bahwa persaingan di intern rantai pasok lebih rendah bila dibandingkan dengan persaingan di eksternal rantai pasok (Tabel 6.22). Dengan berlangsungnya integrasi proses bisnis ke hulu (pemasok atau up..stream) dan ke hilir (pembeli atau down stream) akan mengurangi persaingan dari klasifikasi persaingan tinggi menjadi klasifikasi persaingan moderat. Dengan demikian, maka konstruk logika sebagai mana dielaborasi di depan memiliki rationalitas scientif yang handal.
189
6.12.2 Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Keunggulan Kompetitif Dengan memperhatikan model persamaan struktural (5.3) di atas tampak bahwa koefisien regresi standard (koefisien jalur) manajemen rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif sebesar 0,376 dengan t-statistik = 2,551 (p-value= 0,0091) dan koefisien diterminan parsial = 0,2880. Hasil uji t-statistik ini dapat diinterpretasikan bahwa perbaikan manajemen rantai pasok dapat meningkatkan keunggulan kompetitif jagung secara signifikan, sementara dari koefisien diterminan parsial menunjukkan bahwa 28,80% variasi keunggulan kompetitif dijelaskan oleh variasi manajemen rantai pasok, sedangkan 71,20% dijelaskan oleh variasi variabel lain di dalam dan di luar model. Hasil
penelitian
memperlihatkan
yang
adanya
dilakukan
hubungan
oleh
kausalitas
Cahyono positif
(2010) antara
telah
variabel
kerjasama jangka panjang dengan keunggulan kompetitif, yang mana variabel kerjasama jangka panjang atau berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari manajemen rantai pasok. Oleh karena itu terbentuknya hubungan kausalitas positif antara manajemen rantai pasok dengan keunggulan kompetitif dapat dipertanggungjawabkan dari aspek teoritis maupun empiris. Hasil penelitian ini mempertegas peluang terjadinya hubungan kausalitas positif sebagai mana telah diungkapkan di atas. Implikasi dari hasil penelitian ini bagi perusahaan yang bertindak selaku avalis adalah memperbaiki manajemen rantai pasok akan berdampak bagi peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan sekaligus meningkatkan keunggulan kompetitif jagung. Dengan kata lain perbaikan koordinasi dan peningkatan aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal telah
190
meningkatkan kemampuan organisasi rantai pasok dalam memproteksi diri dari serangan para pesaing di luar rantai pasok. 6.12.3 Pengaruh Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Terhadap Keunggulan Kompetitif Dari tiga variabel penentu yang mempengaruhi keunggulan kompetitif tampak bahwa variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memiliki koefisien regresi standard terkecil bila dibandingkan variabel penentu lainnya, yaitu sebesar 0,202. Setelah dilakukan uji t-student distribution diperoleh nilai t-statistik = 2,704 (p-value=0,0086), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kausalitas positif dan siginfikan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan keunggulan kompetitif jagung. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sebagai upaya mencapai skala ekonomi yang efisien tentu akan memberikan efek positif bagi peningkatan
keunggulan
kompetitif.
Yang
telah
dilakukan
adalah
mengorganisasi petani dalam kelompok tani dan memanfaatkan kelompok tani yang sudah ada. Hal ini telah dibuktikan oleh Mathuramaytha (2011) yang menunjukkan hubungan kausalitas positif antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan keunggulan kompetitif.
Keunggulan
kompetitif menunjukkan bahwa organisasi mampu menciptakan perlindungan atas produksinya dari para pesaing. Selain itu kinerja operasi yang didukung oleh strategi kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok diperlukan saling percaya antar perusahaan dengan mitra bisnisnya (Yaqoub, 2012). Berbeda dari hasil penelitian ini yang telah mempertegas pengaruh kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif. Dalam konsep penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2008) menempatkan aliansi stratejik sebagai variabel eksogen untuk membangun keunggulan
191
kompetitif, berikutnya keunggulan kompetitif untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Yang dimaksud dengan aliansi stratejik adalah kerjasama
antara perusahaan dengan mitra dalam membangun atau meningkatkan kemampuan
bersaing
mengaplikasikan
dengan
tambahan
cara
mencari
kemampuan
dan
menemukan serta
dengan
mengkombinasikan
beberapa sumber daya yang ada di dalam perusahaan dan mitranya. Pada usaha kecil dan menengah memperlihatkan bahwa diferensiasi memiliki dampak positif terhadap kinerja perusahaan (Ong dan Ismail, 2012). Pengaruh variabel integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif secara serentak dengan R2 sebesar 0,627. Artinya 62,7 persen variasi keunggulan kompetitif dijelaskan oleh variasi integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok serta variabel mederasi berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif, sedangkan 37,3 persen dijelaskan oleh variasi variabel lain di luar model. Dari hasil analisis dan uraian di atas, maka hipotesis-3 diterima yaitu integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif dan signifikan dengan keunggulan kompetitif jagung. Implikasi dari diterimanya hipotesis-3 ini adalah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif jagung dapat dicapai melalui peningkatan integrasi proses bisnis, perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. 6.13 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh langsung terhadap keunggulan kompetitif, manajemen rantai pasok dan kesejahteraan
192
petani jagung di satu sisi, namun dipengaruhi oleh variabel berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif di sisi lainnya. Dengan demikian, variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memiliki kedudukan yang sentral dan menentukan. Dari hasil analisis model persamaan struktural tampak bahwa variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok tidak saja sebagai penentu inti terhadap manajeman rantai pasok dan kesejahteraan petani, juga menjadi penentu inti terhadap keunggulan kompetitif. Hasil penelitian ini menyokong konsep teoritis kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory) yang dikemukakan oleh Mathuramaytha (2011) sekaligus mendukung pernyataan Spekman, et al. (2001) tentang hubungan antara integrasi proses bisnis dengan keunggulan kompetitif, juga memperkokoh teori strategi kompetitif (the competitive strategy theory) yang dikemukakan oleh Porter (1998) di mana kekuatan tawar-menawar pemasok dan kekuatan tawarmenawar pembeli ditentukan oleh barganinng power masing-masing dalam menggeser surplus produsen pihak lainnya. Petani sebagai pihak yang paling lemah bargaining power-nya selalu menjadi pihak yang paling dirugikan baik sebagai pembeli input / sarana produksi maupun sebagai pemasok output jagung. Kondisi sebagaimana diuraikan di atas dibenarkan oleh Suharjito, et al. (2010) yang memungkinkan menggeser resiko ke pihak lain dengan cara mengatur waktu panen yang ditransformasikan menjadi waktu tanam. Waktu panen optimal bagi petani adalah dari bulan Agustus s.d. September dengan waktu tanam dari bulan Mei s.d Juni. Dengan demikian, bagi petani yang mengusahakan jagung pada agroekosistem ladang tidak memungkinkan
193
baginya memperoleh harga premium, kecuali yang tersedia
irigasi sumur
pompa air tanah. Bagi petani yang berusahatani pada agroekosistem sawah dengan sistem irigasi teknis atau 1/2 teknis memungkinkan untuk menanam jagung pada musim kemarau. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok adalah kerjasama antara petani dan perusahaan dan/atau koperasi untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan produktif. Kerjasama antara petani dan perusahaan tersebut dibangun atas dasar saling percaya bahwa masing-masing pihak akan memenuhi kewajiban setelah menerima apa yang menjadi haknya masing-masing.
Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kerjasama
tersebut dilengkapi dengan perjanjian kontraktual dalam bentuk akad tertulis, namun bagi perusahaan swasta lebih cenderung tidak menggunakan surat kontrak ataupun surat perjanjian. Tiap-tiap
pilihan
memilki
kebaikan
dan
kelemahan.
Kebaikan
menggunakan surat kontrak bagi BUMN adalah memiliki alat bukti yang dapat digunakan untuk mengajukan klaim atas kelalain mitra bisnisnya, sekaligus sebagai pertanggungjawaban administratif atas pengeluaran keuangan kepada pimpinan perusahaan dan kepada pemegang saham, termasuk juga kepada
sponsor
menggunakan
pembiayaan.
surat
kontrak
Bagi dapat
perusahaan
swasta
meringankan
yang
tidak
penyelenggaraan
administratif formal. Kalau pun ada surat kontrak, namun tidak dilengkapi dengan biaya materai. Bagi yang tidak menggunakan kontraktual formal kelemahannya adalah sulit membangun keyakinan serta menghambat jangkauan pelayanan yang
194
lebih luas (Pawisari, 2011), serta tidak tersedianya bukti tertulis atas terselenggaranya kerjasama antar pihak-pihak yang berkepentingan. Model persamaan struktural kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sebagai berikut: KRP = 0,270 BIF + 0,276 SNK + 0,305 KSI ………………………….. (5.4) (p) (0,0086) (0,0070) (0,0080) (r) (0,712) (0,663) (0,718) (r2) (0,193) (0,183) (0,219) R2 = 0,595 Variabel endogen kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dipengaruhi oleh tiga variabel eksogen yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif. Fungsinya adalah sebagai prasyarat (persamaan identitas) dalam membentuk variabel endogen kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Tiga variabel eksogen yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel endogen kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang ditunjukkan oleh hasil uji keseluruhan maupun hasil uji parsial. Hasil uji keseluruhan menggunakan koefisien determinan R2 = 0,595 lebih besar daripada 0,5 memenuhi syarat untuk digunakan sebagai estimasi. Perubahan variasi variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dapat dijelaskan oleh perubahan variasi variabel eksogen sebesar 59,5 persen, sementara 40,5 persen dijelaskan oleh variasi variabel lain di luar model. Sementara hasil uji parsial menunjukkan p-value < 0,01, sehingga tiap-tiap variabel eksogen berpengaruhnya signifikan. Hasil uji parsial tiap-tiap variabel eksogen menunjukkan signifikansinya yang mana hasil uji t-statistik : (1) Berbagi informasi (BIF) sebesar 2,700 lebih
195
besar
daripada
t-tabel=2,3263
pada
taraf
kenyakinan
99
persen;
(2)..Sinkronisasi keputusan (SNK) sebesar 3,316 dan Keselarasan insentif (KSI) sebesar 2,905 masing-masing lebih besar daripada t-tabel = 2,3263. Oleh karena itu dapat digunakan sebagai estimator sekaligus dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Interpretasi ini menerangkan adanya pengaruh signifikan dengan arah positif. Koefisien jalur berbagi informasi terhadap kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sebesar 0,270 diinterpretasikan bahwa peningkatan variabel berbagi informasi diikuti oleh perbaikan variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Hubungan kausalitas positif juga terjadi pada variabel eksogen sinkronisasi keputusan dengan nilai koefisien jalur sebesar 0,276
dan
variabel
eksogen
keselarasan
insentif
sebesar
0,305.
Interpretasinya adalah peningkatan variabel eksogen sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif masing-masing mengakibatkan perbaikan terhadap kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. 6.14 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Petani Jagung Kesejahteraan petani adalah ukuran yang menggambarkan kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Tingkat kesejahteraan petani diukur dari besaran surplus produsen, pengeluaran konsumsi dan tabungan rumah tangga untuk investasi (pengeluaran investasi). Semakin besar surplus produsen, pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi maka semakin pendapatan rumah tangga dan semakin tinggi kesejahteraan petani.
196
Variabel endogen kesejahteraan petani dipengaruhi oleh integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif, manajemen dan kolaborsi antar lembaga dalam rantai pasok. Setelah dilakukan analisis diperoleh model persamaan struktural sebagai berikut: KSP = 0,605 MRP + 0,148 KRP + 0,188 KKP ………………………... (p) (0,000) (0,0107) (0,0097) (r) 0,859 0,729 0,752 2 (r ) 0,520 0,108 0,141 2 R = 0,769
(5.5)
6.14.1 Pengaruh Langsung Dari hasil analisis persamaan struktural diketahui bahwa dari empat faktor yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan petani ternyata hanya tiga variabel yang berpengaruh langsung, yaitu keunggulan kompetitif, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. 1. Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Kesejahteraan Petani Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa satu di antara tiga variabel endogen yang berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan petani adalah manajemen rantai pasok dengan koefisien jalur terbesar, yaitu 0,605 dan koefisien diterminan sebesar 0,5203 (Tabel 6.30); artinya 52,03 persen variasi kesejahteraan petani dijelaskan oleh variasi manajemen rantai pasok, sisanya sebesar 47,97 persen dijelaskan oleh variasi variabel lain dalam model dan di luar model. Koefisien jalur manajemen rantai pasok terhadap kesejahteraan petani sebesar 0,605 menunjukkan bahwa konstribusi manajemen rantai pasok terhadap peningkatan kesejahteraan petani relatif besar jika dibandingkan variabel eksogen lain dalam model, yaitu peningkatan aktivitas koordinasi antar lembaga dalam rantai pasok, peningkatan aliran
197
produk, aliran pelayanan dan aliran modal rata-rata sebesar 1% mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani sebesar 0,605%. Peramalaman (forcasting) ini efektif, sebab didukung oleh hasil uji efektivitas model (model fit) dengan tingkat kepercayaan 99% (Tabel 6.29, 6.30, dan 6.31 dan Lampiran.15). Aspek yang melandasi adanya hubungan kausalitas antara variabel manajemen rantai pasok dengan kesejahteraan petani jagung adalah adanya hubungan langsung dari kebijakan manajemen rantai pasok terhadap penentuan harga-harga input, biaya modal, dan penetapan harga output, di mana harga-harga yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan dapat mempengaruhi biaya produksi dan nilai produksi yang pada gilirannya sebagai penentu surplus produsen dan pendapatan usahatani jagung (Gambar 6.1 dan 6.2 dan Lampiran 19). 2. Pengaruh Keunggulan Kompetitif Terhadap Kesejahteraan Petani Pengaruh keunggulan kompetitif terhadap kesejahteraan petani menempati urutan ke-2 setelah manajemen rantai pasok dengan koefisien jalur sebesar 0,188 dan koefisien diterminan sebesar 0,141 (Tabel 6.31), artinya 14,1 persen variasi kesejahteraan petani dijelaskan oleh variasi keunggulan kompetitif, selebihnya dijelaskan oleh variabel lain dalam model dan di luar model. Keunggulan kompetitif berpengaruh langsung dan positif terhadap kesejahteraan petani, artinya variabel keunggulan kompetitif
tidak
memerlukan variabel mediasi (antara). Bila terjadi perubahan perbaikan keunggulan kompetitif, misalnya terjadi peningkatan efisiensi memperbanyak ragam produk
dan
rata-rata sebesar 1%, maka akan
198
berdampak
langsung
terhadap
peningkatan
kesejahteraan
petani
sebesar..0,188%. Keunggulan kompetitif adalah kemampuan perusahaan atau lembaga yang terlibat dalam seluruh rantai pasok dalam melindungi produknya dari serangan perusahaan lain di luar rantai pasok. Semakin tinggi
kemampuan
bersaing,
maka
semakin
mampu
perusahaan
menghadapi resiko ketidakpastian. Dalam kenyataannya bahwa semua produksi
jagung yang
dihasilkan petani laku terjual, senantiasa ada perusahaan datang sebagai pembeli. Pada musim panen, jagung laku terjual dalam tempo maksimal 2 minggu, dibuktikan dari tidak tersedianya stok di gudang di rumah-rumah petani dan juga di gudang pedagang perantara, kecuali pada beberapa perusahaan besar seperti PT iPasar, UD Kreatif dan UD Mekar. Dengan
nilai koefisien diterminan sebesar 0,141 (Tabel 6.31)
menunjukkan bahwa peranan variabel keunggulan kompetitif sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani agak efektif, sebab nilai koefisien diterminannya > 0,1 (Jogiyanto, 2011). Setiap peningkatan keunggulan kompetitif sebesar 1% mengakibatkan kenaikan kesejahteraan petani sebesar 0.141%. Efektivitas ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan koefisien diterminan pada jalur manajemen rantai pasok dengan kesejahteraan petani. Efektivitas peramalan didukung oleh hasil uji efektivitas model (model fit) dengan signifikansi sebesar 0,009 dan model statistik dengan signifikansi 0,025 (Lampiran 15). Kemampuan organisasi rantai pasok untuk melakukan proteksi atas produk jagung dalam menghadapi persaingan di pasar dari serangan para
199
pesaing disebut keunggulan kompetitif. Sekaitan dengan keunggulan kompetitif ini Porter (1998) mengajukan teori strategi kompetitif (the strategy competitif theory) yang dikenal dengan analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu: 1) ancaman pendatang baru, 2) kekuatan tawar menawar dari pemasok, 3) kekuatan tawar menawar dari pembeli, 4) ancaman produk pengganti, dan 5) persaingan kompetitif antar industri. Dengan menggunakan kriteria ini tampak bahwa persaingan bisnis perjagungan di Nusa Tenggara Barat masuk klasifikasi persaingan tinggi (Tabel 6.22 dan Lampiran 9), karena semua daerah sebagai penghasil jagung pada waktu yang bersamaan dengan jenis dan kualitas yang hampir sama. Persaingan dipertajam dengan masuknya jagung impor dari beberapa Negara Asia dan Amerika ke dalam pasar jagung dalam negeri (domestik) yang berdampak pada menurunnya harga keseimbangan pasar di dalam negeri, namun harga keseimbangan jagung dunia dan domestik tidak ditransmisi sempurna ke harga jagung di tingkat petani (Kustiari dan Nuryanti, 2009). Analisis 5 (lima)
kekuatan Porter dengan cara membandingkan
suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila
kelima
kekuatan
tersebut
menunjukkan
penurunan
dalam
keuntungan (E. M. Porter, http://id.wikipedia.org/wiki/Michael-Porter, 2011). Dengan menggunakan kriteria ini tampak bahwa jagung yang dihasilkan di Nusa Tenggara Barat mampu bersaing ditinjau dari aspek harga dengan jagung sejenis dari daerah lain seperti Jawa Timur dan Bali.
200
Dari lima indikator keunggulan kompetitif tampak indikator kualitas produk
dengan
loading
factor
diversifikasi produk, efisiensi,
terbesar
dikuiti
berturut-turut
oleh
yang terkecil adalah ketergantungan
pengiriman dan waktu tempuh ke pasar (Gambar 6.8). Kualitas produk memiliki hubungan korelasional yang tinggi dengan indikator lainnya pada variabel keunggulan kompetitif, namun yang paling besar bobotnya adalah efisiensi, artinya kedua indikator ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih fokus daripada indicator lainnya, sebab indikator efisiensi dan kualitas produk sebagai indikator penentu dalam meningkatkan keunggulan kompetitif. Peningkatan keunggulan kompetitif difokuskan pada kebijakan penelitian dan pengembangan (research and development) yang meliputi penelitian pengembangan teknologi budidaya, panen, dan pascapanen termasuk uji adaptasi lokasi (Saptana, 2006). Penemuan varietas baru dengan produktivitas tinggi, tahan kering, tahan hama dan penyakit, respon terhadap pemupukan, dan berumur pendek, serta hasilnya disukai konsumen. Selain meningkatkan keunggulan kompetitif, penelitian dan pengembangan telah memberikan benefit yang besar bagi peningkatan kesejahteraan. Perkiraan orang yang keluar dari kemiskinan melalui adopsi varietas jagung hibrida naik secara bertahap yaitu lebih dari satu juta orang pertahun sejak tahun 1980-an (Alene, et al., 2009). Di lokasi penelitian varietas yang disukai oleh petani untuk diadopsi adalah Bisi 2, Bisi 222, Bisi 16 dan Bisi 18, juga disukai konsumen pengguna jagung, sehingga harga jualnya lebih mahal bila dibandingkan dengan varietas lainnya. Pada musim tanam tahun 2013, varietas bisi diintroduksikan kepada petani
201
sebagai upaya perbaikan manajemen rantai pasok dan perbaikan kolaborasi rantai pasok. Pemanfaatan teknologi dan manajemen rantai pasok telah berkontribusi menghasilkan surplus produsen
sebesar
Rp..2.juta/ha/musim tanam (Tabel 6.9; Gambar 6.1 dan 6.2), artinya bahwa bila petani dilarang mengusahakan tanaman jagung maka sekurangkurangnya petani mendapatkan uang
konvensasi sebanyak
Rp..2
juta/ha/musim tanam agar kesejahteraan petani tidak menurun. Sekaitan dengan kebijakan penelitian dan pengembangan, maka kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia di dalam perusahaan menjadi faktor penentu untuk menghasilkan keunggulan kompetitif, karena pada hakekatnya manusia yang mengendalikan mesin, mengalokasikan sumberdaya dan modal. Menurut Suhendi (2009) bahwa kapabilitas sumber daya manusia berperan sebagai suatu pengetahuan kolektif dalam perusahaan yang sulit ditiru sebagai hasil pengembangan dalam suatu periode waktu tertentu.
Pernyataan tersebut senada dengan pendapat
Lengnick-Hall dan Lengnick-Hall (1990) bahwa akumulasi dari kapabilitas sumberdaya manusia, sumber daya alam dan keputusan yang berkualitas akan memungkinkan perusahaan mengkapitalisasi berbagai peluang yang ada di pasar serta meminimalkan resiko/ancaman. Penelitian dan pengembangan menghasilkan teknologi, metode atau pendekatan baru yang menghasilkan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan lahan.
Demikian pula teknologi produksi yang ditransfer
menentukan produksi dan produktivitas usahatani jagung yang pada gilirannya menentukan nilai produksi (Sanglestsawai, et al., 2012). Produktivitas sebagai potensi untuk mengatasi isu keberlanjutan pasokan,
202
namun kurangnya akses petani terhadap stockist dan kredit, rendahnya kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan pupuk optimal, dan tingkat pendidikan yang relatif rendah telah ditemukan sebagai faktor penting yang menjelaskan tingkat adopsi teknologi yang rendah (Mghenyi, 2006). Oleh karena itu harapan untuk mencapai produktivitas 50 ku/ha jagung pipil kering simpan di lokasi penelitian hingga tahun 2010 belum terwujud. Produktivitas rata-rata sebesar 40,43 ku/ha pada tahun 2010 (Tabel 5.4) dan produktivitas rata-rata usahatani responden 65,81 ku/ha jagung tongkol kering panen (Tabel 6.4) atau setara dengan 39,48 ku/ha jagung pipil kering simpan dengan asumsi rendemen sebesar 60%. Berdasarkan data sekunder yang dikutip dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hoertikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2011 dan 2012 produktivitas usahatani jagung masing-masing mencapai 51,16 ku/ha dan 54,92 ku/ha (Tabel 5.4). Jika teknologi diadopsi berkelanjutan dengan penggunaan input optimal sesuai rekomendasi dapat meringankan masalah para petani, meningkatkan produksi pangan, meningkatkan pasokan, serta mendukung tercapainya tujuan manajemen rantai pasok (Ogunsumi, et al., 2005). Perbedaan kondisi lingkungan antara agroekosistem ladang dan sawah serta antara musim hujan dan musim kemarau memberi efek penggunaan teknologi dan jumlah input optimum yang bervariasi, sehingga petani sering kecewa dengan hasil panen yang diperolehnya di mana hasil panen jauh di bawah harapan dan informasi yang diterimanya dari Petugas Lapang yaitu sebesar 10 ton/ha/musim tanam jagung tongkol kering panen.
203
Dengan penggunaan teknologi sesuai rekomendasi diharapkan produktivitas 10 ton/ha jagung tongkol kering panen (Lampiran 20), namun kenyataannya hasil yang diperoleh sangat bervariasi mulai dari 3 ton dengan rata-rata 6,58 ton/ha (Tabel 6.5). Sebabnya adalah penggunaan input yang minimal dengan biaya minimal pula serta kendala cuaca dan kesuburan lahan. Bagi petani dengan estimasi keuntungan kotor tertinggi tidak menggunakan benih jagung hibrida, namun mereka tetap tertular teknologi dengan biaya tinggi dan berkorelasi dengan keuntungan bersih, sementara petani lain dengan keuntungan netto nihil beralih dan keluar dari adopsi benih hibrida (Suri,..2011). Penerapan teknologi harusnya disesuaikan dengan kondisi agroklimat wilayah dengan memperhatikan keunggulan komparatif. Pengembangan areal tanaman jagung ke wilayah marginal seperti agroekosistem ladang membutuhkan biaya yang lebih banyak, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6.8, di mana biaya produksi usahatani jagung di Kecamatan Pringgabaya (agroekosistem ladang) lebih besar daripada di Kecamatan Wanasaba (agroekosistem sawah), sehingga untuk berpartisipasi pada program Pengembangan Agribisnis Jagung bagi petani di agroekosistem ladang
membutuhkan
rasio
manfaat-biaya
yang
tinggi.
Fenomena
sebagaimana diungkapkan pada paragraf ini bersesuaian dengan hasil penelitian Smale, et al. (2005) di Mexico yang menyimpulkan bahwa untuk berpartisipasi pada program pengamanan cadangan jagung, petani memperoleh rasio manfaat-biaya yang tinggi, meskipun proyek tersebut menghasilkan manfaat sosial, seperti kesempatan kerja, namun ada bukti bahwa terjadi defisit transfer kesejahteraan rumahtangga.
204
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wenno (2010) memperlihatkan pengaruh yang signifikan dari harga input dan upah tenaga kerja terhadap pendapatan petani jagung di Nabire, di mana kenaikan harga input dan upah tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pendapatan, yaitu kenaikan harga input dan upah tenaga kerja akan mengurangi pendapatan petani jagung. Oleh karena perusahaan yang berperan sebagai integrator posisinya lebih kuat jika dibandingkan dengan petani, maka memungkinkan bagi perusahaan lebih leluasa dalam menetapkan harga input bagi petani mitra, secara langsung akan menekan surplus produsen dan pendapatan usahatani jagung. Manajemen rantai pasok yang baik adalah yang mampu memberikan pelayanan berkualitas dan harga input yang lebih rendah kepada petani. Tingkat kesejahteraan yang tinggi merupakan harapan setiap orang, termasuk menjadi harapan rumah tangga petani, yaitu harapan untuk memenuhi kebutuhan yaitu meliputi : kebutuhan bahan makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Lima kebutuhan yang pertama merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, dan satu kebutuhan terakhir (rekreasi) merupakan kebutuhan pelengkap. Kebutuhan dasar dan pelengkap dapat dipenuhi apabila tersedia surplus produsen yang cukup, yaitu surplus produsen yang mampu menutupi seluruh pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan pelengkap tersebut. Kesejahteraan petani jagung di lokasi penelitian masih sangat rendah dengan pendapatan dari usahatani jagung kurang dari US$ 2 kapita-1 hari-1 (US$ 1 = Rp 10.000) dan hanya mampu memenuhi 1/3 dari pengeluaran
205
konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga sebesar Rp 1,5 juta bulan-1 (Tabel 6.11), atau hanya seperlima dari jumlah pengeluran rumah tangga petani jagung (Tabel 6.15), serta
memungkinkan
untuk
ditingkatkan melalui perbaikan kolaborasi antar lembaga dan manajemen rantai pasok, peningkatan integrasi proses bisnis dan keunggulan kompetitif jagung secara serentak (simultan). Dalam kondisi ekonomi rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah, maka kontribusi sebesar 1/3 dari pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat bermakna dalam peningkatan kesejahteraan. Menurut Hagedorn, et al. (2004) bahwa kerugian kesejahteraan petani disebabkan rendahnya kemampuan pemasaran petani jagung (tanpa bermaksud merendahkan kemampuan petani), yaitu sebagian besar produk yang dihasilkan dijual ketika harga pasar di bawah harga rata-rata tahunan. Pernyataan Hagedorn, et..al. (2004) sesuai dengan perilaku petani di lokasi penelitian yang cenderung menjual jagung segera setelah panen pada waktu yang hampir bersamaan, sehingga terbentuk excess supply yang menekan harga menjadi turun. Kerugian kesejahteraan tersebut sebanarnya dapat dihindari dengan cara mengatur waktu penjualan, misalnya sebagian jagung
dijual ketika harga di atas harga
rata-rata tahunan. Berdasarkan Gambar 6.2 menunjukkan bahwa harga rata-rata tahunan sebesar Rp.1.490/kg jagung tongkol kering panen, sementara pada musim panen raya harga turun menjadi
rata-rata
Rp.1.300/kg. Bila surplus produsen dihitung pada harga premium (Tabel..6.9) Rp.1.500/kg jagung tongkol kering panen, dampaknya adalah petani kehilangan surplus produsen sebesar Rp.1.145.000/ha (36% dari
206
Rp.3.173.000), terdiri atas kerugian petani Rp.726 158 (23%) dan dinikmati pihak lain Rp.418 842 (13%). Surplus produsen yang diterima oleh petani Rp..2.028.000 (64%). Dari sisi manajemen rantai pasok tampak hubungan positif dan signifikan yang tunjukkan oleh koefisien regresi standard sebesar 0,605 dengan t-statistik = 7,401 lebih besar bila dibandingkan dengan t-tabel = 2,3263. Perbaikan manajemen rantai pasok mengakibatkan peningkatan kesejahteran petani. Koefisien regresi standard manajemen rantai pasok terhadap kesejahteran petani merupakan koefisien regresi standard terbesar, kemudian diikuti oleh koefisien regresi standard keunggulan kompetitif sebesar 0,188. Interpretasinya adalah variabel keunggulan kompetitif berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani. Setiap peningkatan variabel keunggulan kompetitif mengakibat peningatan kesejahteran petani. Apabila keunggulan kompetitif naik sebesar 1% mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani naik sebesar 0,188%. Peramalan ini efektif, karena didukung oleh uji efektivitas model (model fit) dengan tingkat kepercayaan 99% (Lampiran 15). Tabel 6.32 Variabel Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Petani Jagung Koefisien No
Variabel
1 2 3
MRP KKP KRP Jumlah
Jalur *) 0,605 0,188 0,148
Diterminan (%) 52,03 14,14 10,79 76,96
Sumber : Diolah dari Tabel 6.27 dan Tabel 6.30. Keterangan : MRP = manajemen rantai pasok KKP = keunggulan kompetitif KRP = kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok
207
Tiga variabel yaitu MRP, KKP dan KRP secara bersama-sama mempengaruhi variabel kesejahteraan petani dengan nilai koefisien diterminan 0,7696 (Tabel 6.32); artinya 76,96% variasi kesejahteraan petani dijelaskan oleh variasi
keunggulan kompetitif, manajemen dan
kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh variasi variabel eksogen (berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif) sebesar 76,9 persen, sementara 23,04 persen dijelaskan oleh variasi dari variabel lain di luar model, dianataranya variabel integrasi proses bisnis. Pengujian efektivitas model (model fit) dengan menggunakan software SPPS for Windows Statistic 17.0 fotcasting-create model menginformasikan
bahwa
variabel
endogen
kesejahteraan
petani
dipengaruhi oleh variabel eksogen manajemen rantai pasok, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai rantai pasok, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh integrasi proses bisnis dengan tingkat kepercayaan 99 persen (Lampiran 15). Model persamaan struktural efektif untuk digunakan sebagai peramalan (forcasting). Metode yang biasa dipakai untuk peramalan adalah dengan melakukan simulasi data. 3. Pengaruh Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Terhadap Kesejahteraan Petani Di antara 5 (lima) variabel endogen tampak bahwa variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok merupakan inti yang memimiliki hubungan langsung dengan 4 (empat) variabel endogen lainnya (Gambar 6.8). Dari semua koefisien jalur kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan variabel lainnya tampak bahwa kooefisien jalur kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan
208
petani merupakan yang terkecil, namun perannya sangat menentukan, sebab tanpa kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sulit untuk menyelenggarakan integrasi proses bisnis dan menerapkan manajemen rantai pasok yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan petani. Besar koefisien jalur kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteran petani sebesar 0,148 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan kolaborasi (kerjasama) antara perusahaan selaku avalis dengan petani selaku mitra rata-rata sebesar 1% mengakibatkan kenaikan kesejahteraan petani rata-rata sebesar 0,148%. Walau koefisien jalur ini terkecil bila dibandingkan variabel eksogen lainnya, namaun kedudukan kolaborasi (kerjasama) sangat menentukan dalam keseluruhan organisasi rantai pasok, sebab berpengaruh langsung terhadap variabel lain seperti manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif. Koefisien diterminan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan petani sebesar 0,1079 (Tabel 6.32), artinya 10,79% variasi kesejahteran petani dijelaskan oleh variasi kolaborsi antar lembaga dalam rantai pasok, sementara 89,21% dijelaskan oleh variasi variabel lain dalam model maupun di luar model. Loyalitas yang rendah, rapuhnya ikatan moral dan komitmen para petani dalam membangun kolaborasi (kerjasama) telah mencederai keberlanjutan kerjasama, hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar atau dua pertiga dari jumlah petani tidak memenuhi kewajibannya terhadap perusahaan terutama dalam aliran produk dan aliran modal, hanya sepertiga dari jumlah mereka yang loyal dan memenuhi kewajiban
209
finansialnya kepada perusahaan. Fenomena ini memperburuk hubungan antara
petani
dan
perusahaan
dan
teracam
keberlanjutannya
(Lampiraan..20). Ada beberapa faktor pemicu yang mengakibatkan petani dan kelompok tani tidak dapat memenuhi kewajiban aliran produk dan aliran modal kembali. (1) Tingkat produksi yang dicapai di bawah target 10 ton per hektar, sehingga petani tidak mampu melunasi hutang-hutangnya, karena nilai produksinya lebih sedikit daripada jumlah hutangnya yang jatuh tempo. (2) Petani sengaja tidak menjual output usahataninya ke perusahaan, tetapi memilih menjual ke pedagang yang bersedia membayar dengan harga yang lebih tinggi, sekaligus menghindari pemotongan atas hutang-hutangnya. Artinya, petani sengaja tidak bersedia memenuhi kewajiban sebagaimana perjanjian dalam kontrak kerjasama dengan perusahaan, dengan kalimat lain bahwa petani mengingkari isi kontrak atau tidak cukup kuat dalam memegang komitmennya. Fenomena pengingkaran petani atas isi perjanjian dalam kontrak kerjasamanya memerlukan penelitian lebih lanjut. Koefisien regresi standard kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan petani adalah 0,148 dengan t-statistik = 2,182 (t-tabel = 1,6449) memberi indikasi bahwa pada taraf nyata 5% terdapat hubungan positif dan signifikan, sehingga dapat digunakan sebagai estimasi model dan menguji hipotesis. Semakin baik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang ditentukan oleh variabel eksogenya menunjukkan semakin tinggi kesejahteraan petani.
Untuk
meningkatkan
untuk
kesejahteraan
petani
jagung
dimungkinkan
210
ditingkatkan dengan memperbaiki kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Apabila kolaborsi antar lembaga dalam rantai pasok ditingkatkan sebesar 1 (satu) persen mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani sebesar 0,148 persen. Mengacu pada teori kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok (the collaboration supply chain theory) yang menempatkan kinerja organisasi sebagai outcome, pada penelitian ini dimodifikasinya dengan kesejahteraan
petani,
tampak
sebagai
suatu
sistem
yang
saling
berhubungan satu dengan lainnya. Selain itu, kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memberi kontribusi bagi tercapainya efisiensi rantai pasok, yaitu menurunkan biaya, memperkecil kebutuhan modal dan meningkatkan laba seluruh anggota dalam rantai pasok, serta memperkuat kemampuan bersaing dari ancaman para pesaing di luar anggota rantai pasok. Oleh karena itu dinilai logis apabila kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memiliki keterkaitan yang positif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani sebagai mana telah terbukti dari hasil uji hipotesis pada p-value 0,000 < 0,05 sebagai mana tampak pada Gambar 6.8 dan Tabel 6.30. Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dibangun suatu premis mayor : apabila kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap keunggulan kompetitif, keunggulan kompetitif berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani, maka premis minornya adalah kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani. Dengan demikian diyakinkan bahwa konstruk logika tersebut didukung oleh fakta empiris sebagai mana telah dibahas di depan.
211
Dalam model analisis jalur dirumuskan bahwa terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh terhadap kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif. Oleh karena itu dampak kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok ditentukan oleh variabel eksogennya sebagai prasyarat (persamaan identitas) hubungannya dengan kesejahteraan petani jagung. Pengembangan agribisnis jagung tidak berhenti pada peningkatan produksi, melainkan harus berlanjut sampai penangan pascaproduksi, pengolahan hasil dan pemasarannya melalui kerjasama kemitraan (kolaborasi) antara petani dan perusahaan, sebab bila terhenti hanya sampai peningkatan produksi, maka harapan peningkatan kesejahteraan petani jagung hanya sebagai angan-angan belaka, sebab ketika produksi meningkat dan berlimpah, maka hukum ekonomi (hukum permintaan dan penawaran)
akan
bereaksi
yang
pada
akhirnya
bermuara
pada
menurunnya harga jagung di tingkat petani, sehingga peningkatan produksi bukannya menaikkan kesejahteraan petani, tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu merosotnya pendapatan para petani. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah pembatasan luas areal penanaman jagung, agar harga jagung berada di atas biaya produksi, sehingga petani dapat memperoleh surplus produsen. Mghenyi, et al. (2010) dari hasil penelitiannya di perdesaan Kenya menyimpulkan bahwa perubahan harga berdampak terhadap keuntungan kesejahteraan di daerah sentra produksi, sementara kerugian kesejahteraan di daerah sentra konsumen, dan sebagian besar rumahtangga di perdesaan tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Juga hasil penelitian Mason dan Myers (2013) di Zambia
212
mengungkapkan bahwa kenaikan harga jagung akibat kebijakan pembelian oleh Food Reserve Agency (FRA) telah membantu produsen jagung memperoleh surplus, meskipun tidak memungkinkan menimbulkan efek besar pada kesejahteraan rumahtangga miskin, sementara produsen yang relatif kaya cenderung memperoleh keuntungan dari kenaikan harga ratarata jagung. Informasi ilmiah ini bersesuaian dengan kondisi ekonomi rumah tangga petani di lokasi penelitian, yaitu petani dengan luas lahan kurang dari 1 (satu) hektar tetap dalam kondisi kemiskinan dengan pendapatan per kapita kurang dari 2 (dua) dolar Amereika per hari, sementara petani dengan luas lahan garapan yang luas menikmati manfaat dari kebijakan subsidi input (benih dan pupuk). 6.14.2 Pengaruh Tidak Langsung Pada analisis jalur (Gambar 6.8) diperlihatkan bahwa variabel integrasi proses bisnis berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani jagung dengan variabel mediasi (antara) manajemen rantai pasok dan/atau keunggulan kompetitif. Variabel manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif merupakan variabel mediasi mutlak bagi variabel integrasi proses bisnis, artinya harus dilalui agar dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan petani. Sebagai mana tampak pada Gambar 6.8 bahwa variabel integrasi proses bisnis berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan karena koefisien jalur antara integrasi proses bisnis dengan manajemen rantai pasok dan antara manajemen rantai pasok dengan kesejahteraan petani yang relatif besar, mengakibatkan kooefisien jalur antara integrasi proses bisnis dengan kesejahteraan petani menjadi relatif kecil.
213
Namun dengan menggunakan perhitungan pengaruh tak langsung, maka dapat diketahui nilai koefisien regresi standard tak langsungnya sebagai mana tampak pada Tabel 6.33. Pada Tabel 6.33 tampak bahwa variabel integrasi proses bisnis (IRP) berpengaruh tidak langsung melalui variabel mediasi manajemen rantai pasok (MRP) terhadap variabel kesejahteraan petani (KSP). Oleh karena koefisien jalur IRP->MRP dan MRP->KSP menunjukkan signifikan (p-value = 0,000), maka secara otomatis pengaruh tidak langsung sebesar 0,451 juga signifikan. Dengan demikian dapat digunakan sebagai estimator, yaitu peningkatan integrasi proses bisnis sebesar 1% mengakibatkan kenaikan kesejahteraan petani sebesar 0,451%. Berdasarkan hasil uji efektivitas model (Lampiran 15) menunjukkan bahwa model memenuhi syarat untuk dijagunakan sebagai peramalan (forcasting) dengan tingkat keyakinan 99%. Tabel 6.33 Hasil Perhitungan Pengaruh Tidak Langsung Arah Jalur
Variabel Mediasi
IRP ->KSP
MRP
Pengaruh Tidak Langsung 0,746x0,605
Signifikansi
= 0,451**
0,000
Keterangan : ** signifikan pada taraf nyata 0,01. Variabel manajemen
integrasi rantai
proses
pasok,
serta
bisnis
berpengaruh
variabel
nyata
manajemen
terhadap
rantai
pasok
berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan petani, maka integrasi proses bisnis berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan petani, artinya apabila integrasi proses bisnis ditingkatkan dapat mengakibatkan peningkatan terhadap kesejahteraan petani. Variabel integrasi proses bisnis cenderung sebagai variabel moderating dan eksogen terhadap variabel endogen manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif sebagai mana diungkapkan oleh Battezzaghi (1999)
214
bahwa model bisnis yang terintegrasi dan kolaboratif telah disarankan sebagai suatu pendekatan bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk mengkombinasikan informasi lokal dan global untuk mencapai proses yang multifokus dan fleksibel. Argumen Battezzaghi (1999) tersebut diperkuat oleh Spekman, et al. (2001) yang mengemukakan bahwa integrasi proses pada level multi-entrprise akan membawa dampak pada peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan dan peningkatan keragaan keseluruhan perusahaan dalam rantai pasokan melalui penciptaan nilai (Anatan dan Elitan, 2008). Dengan kedudukan sebagai variabel eksogen memungkinkan memiliki pengaruh yang kuat, namun melalui variabel mediasi tertentu atau membutuhkan
variabel
moderating
lainnya
yang
dapat
memperkuat
pengaruhnya, sebab integrasi proses bisnis hanya bisa terjadi apabila ada wadah organisasi yang memungkinkan diterapkan integrasi tersebut seperti kolaborasi dan manajemen rantai pasok. Posisi variabel integrasi proses bisnis dalam structural equation modeling (SEM) berpengaruh tidak langsung, sementara variabel keunggulan kompetitif berpengaruh langsung terhadap variabel kesejahteraan petani, oleh karena itu dari tinjauan konstruk logika dengan menggunakan primis mayor dan primis minor dapat diterima, sebagai berikut: apabila manajemen rantai pasok berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani, dan integrasi
proses
bisnis
berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
manajemen rantai masok, maka integrasi proses bisnis berpengaruh positif dan
signifikan
terhadap
kesejahteraan
petani,
dibuktikan
dari
hasil
perhitungan efek tidak langsung yang menunjukkan signifikan pada taraf keyakinan 99% (Tabel 6.33).
215
Hubungan kausalitas antara variabel integrasi proses bisnis dengan keunggulan kompetitif banyak disinggung terutama ketika mengemukakan tentang pengaruh variabel manajemen rantai pasok terhadap kesejahteraan petani jagung.
Hal ini terkait
dengan posisi variabel-variabel
yang
berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani jagung. Dari hasil analisis structural equation modeling memperlihatkan bahwa koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis ke keunggulan kompetitif menempati ranking ke-2 setelah koefisien regresi standard manajemen rantai pasok ke keunggulan kompetitif (persamaan 5.3). Hasil penelitian empiris ini memperlihatkan bahwa integrasi proses bisnis berpengaruh kuat terhadap keunggulan kompetitif perusahaan, di mana semakin tinggi integrasi proses bisnis mengakibatkan semakin tinggi keunggulan kompetitif. Dengan koefisien jalur sebesar 0,268 pada p-value = 0,0120 memberi indikasi bahwa peningkatan integrasi proses bisnis mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif. Sebagai penggerak dalam pengembangan agribisnis jagung di Provinsi Nusa Tenggara adalah SKPD Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Hasilnya menunjukkan bahwa kemajuan dalam pencapaian target program dilihat dari sisi peningkatan produksi tampak signifikan (Tabel..5.4). Keberhasilan tersebut belum sepadan dengan peningkatan kesejahteraan petani jagung (Tabel 6.9; 6.11; 6.12, 6.13, 6.14 dan 6.15) disebabkan sempitnya luas lahan usahatani, sehingga dampaknya relatif kecil bagi petani berlahan sempit. Sebaliknya bagi petani dengan lahan usahatani yang luas memperoleh peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi. Oleh karena luas usahatani kurang dari satu hektar, maka pengelolaan usahatani
216
menjadi
kurang
efisien.
Penyebab
kurang
efisiennya
adalah
belum
seimbangnya antara nilai produksi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan, akibatnya pendapatan dan surplus produsen usahatani berada pada level yang rendah. Penghasilan yang diperoleh dari usahatani jagung belum mampu menutupi pengeluaran konsumsi rumah tangga petani. Untuk meningkatkan pendapatan atau surplus produsen diperlukan perbaikan produksi per hektar (produktivitas) bukan pada perluasan areal (Mghenyi, 2006). Sementara yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah
peningkatan
produksi
disebabkan
oleh
perluasan
areal
dan
peningkatan produktivitas (Sjah, 2011). Dengan memperhatikan hasil penelitian tampak bahwa kerjasama antara perusahaan dengan petani (kolaborasi) telah mampu menaikkan kesejahteraan petani jagung
pada level yang rendah. Peningkatan
kesejahteraan petani masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi jika sekiranya organisasi rantai pasok yang dibangun bersinergi positif dalam jangka panjang. Dengan memperbaiki kolaborasi antar petani dan perusahaan dan memperbaiki manajemen rantai pasok, serta meningkatkan integrasi proses bisnis terbuka peluang peningkatan kesejahteraan petani jagung. Dalam Grand Staretegi Pengembangan Agribisnis Jagung tahun 2009…s.d 2013 ditegaskan bahwa SKPD - Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat
bertugas meningkatkan
kelancaran pemasaran jagung dengan menerapkan konsep manajemen rantai pasok (supply chain management).
Sampai dengan penelitian ini
dilaksanakan, peranan SKPD Dinas Perindustrian dan Perdagangan adalah menyelenggarakan pasar lelang bagi komoditi pertanian dan perkebunan
217
yang di dalamnya termasuk jagung.
Dari aspek rantai pasok telah
menunjukkan peningkatan volume perdagangan jagung antar pulau, hanya saja pihak yang terlibat dalam pasar lelang berjangka tersebut bukanlah petani melainkan para pedagang antar pulau. Semestinya yang terlibat dalam pasar lelang tersebut adalah para petani, sehingga petani dapat langsung memasarkan produksinya sesuai pengarahan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ketika membuka pasar lelang tersebut. Yang diuntungkan dari pasar lelang berjangka tersebut adalah para pedagang antar provinsi. Kegiatan lain yang dilaksanakan oleh SKPD Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah memetakan rantai pasok jagung. Rantai pasok jagung bergerak dari sentra produksi menuju sentra konsumsi. Kabupaten penghasil jagung adalah semua kabupaten di wilayah provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
(Tabel
5.5)
yang
sebagian
besar
diperdagangkan melalui pedagang antar pulau di Kabupaten Lombok Timur, selanjunya dipasarkan ke Provinsi Bali untuk campuran pakan ternak ayam petelur (layer), dan sebagian digunakan sebagai bahan baku industri (pabrik) pakan ternak (feed) di Jawa Timur. Hasil penelitian ini searah dengan hasil penelitian Hamid (2011) menggunakan SEM (Structural Equation Modeling) dalam menganalisis hubungan antara praktik rantai pasok dengan rantai permintaan. Hasil penelitiannya
menyimpulkan
bahwa
praktik
rantai
pasok
dan rantai
permintaan memiliki hubungan yang positif terhadap keunggulan komparatif. Keunggulan
kompetitif
memiliki
pengaruh
positif
terhadap
keragaan
perusahaan baik keragaan keuangan maupun keragaan nonkeuangan.
218
Indrajit dan Djokopranoto (2003) cit. Prihatiningsih (2007) mengungkapkan bahwa rantai pasok (supply chain) adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para konsumen. Rantai pasok ini juga merupakan jaringan atau jejaring (networks) dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang (Prihatiningsih, 2007). 6.14.3 Pengaruh Total Pengaruh total adalah penjumlahan dari pengaruh langsung dan pengaruh tak langsung. Pengaruh total sama dengan koefisien jalur langsung ditambah dengan hasil kali semua koefisien jalur tak langsung. Tabel 6.34 Pengaruh Jalur Terhadap Kesejahteraan Petani Jagung No 1 2 3 4 5 6
Jalur KRP -> KKP->KSP KRP -> MRP->KSP KRP -> IRP -> MRP->KSP*) KRP-> IRP -> KKP->KSP KRP -> MRP-> KKP->KSP KRP -> IRP -> MRP -> KKP->KSP Jumlah
Jalur 0,1860 0,2690 0,4802 0,1851 0,1621 0,1868
Koefisien*) Diterminan(%) 12,73 18,59 29,61 12,33 11,40 13,67 98,33
Sumber : *) Diolah Dari Tabel 6.26 dan Tabel 6.29. Keterangan : *) terbesar Model keseluruhan sebagai mana ditampakkan pada Tabel 6.34 di atas memperlihatkan bahwa jumlah dari koefisien diterminan sebesar 98,33 persen, artinya model persamaan struktural yang menjelaskan keterkaitan antar variabel dalam model bersesuaian antara teori dengan data empiris yang digunakan dalam analisis, di mana variasi variabel yang ada di dalam model mampu menjelaskan variasi
kesejahteraan petani sebesar 98,33 persen, sisanya
sebesar 1,77 persen dijelaskan oleh variasi lain di luar model. Dengan demikian
219
hipotesis-4 dapat diterima yang menyatakan bahwa manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani jagung. Dengan diterimanya hipotesis-4, maka model persamaan struktural sebagai mana dirumuskan di atas dapat digunakan untuk merumuskan strategi prioritas dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung. Juga didukung oleh hasil uji efektivitas model (model fit) dengan tingkat kepercayaan 99% (Lampiran 15). 6.15 Strategi Prioritas Terbaik Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung Seiring dengan hasil analisis model persamaan struktural yang telah diuraikan di atas, bahwa pada Gambar 6.8 diperlihatkan hasil analisis jalur antar variabel terhadap variabel kesejahteraan petani. Dari empat variabel yang diidentifikasi berpengaruh terhadap kesejahteraan petani, terdapat 3 (tiga) variabel yang berpengaruh langsung dan 1 (satu) variabel yang berpengaruh tidak langsung (Tabel 6.32 dan Tabel 6.33). Adapun variabel yang berpengaruh langsung adalah keunggulan kompetitif, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, sedangkan yang berpengaruh tidak langsung adalah integrasi proses bisnis. Dengan membandingkan koefisien jalur standard dan koefisien diterminan dalam model persamaan struktural keseluruhan (ovel all model) dapat ditentukan atau dipilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada Tabel 6.34 tampak bahwa variasi perubahan kesejahteraan petani (KSP) terbesar terjadi apabila dilakukan perubahan variasi kolaborasi antar lembaga dan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis dan keunggulan
220
kompetitif secara serentak. Pengaruh terbesar terjadi pada jalur KRP -> IRP -> MRP-> KSP (Prioritas ke-1), dan diikuti
KRP -> MRP -> KSP (Perioritas ke-2)
dan jalur KRP -> IRP -> MRP -> KKP ->KSP (Periotas ke-3). Berdasarkan hasil uji hipotesis-4 dengan menggunakan analisis jalur sebagai mana telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kesejahteraan petani jagung dapat dilakukan melalui pemilihan strategi prioritas terbaik, yaitu peningkatan integrasi proses bisnis serta perbaikan maanajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Oleh karena itu terbuka peluang untuk dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung yang lebih efektif dari beberapa alternatif yang tersedia pada Tabel 6.35. Tabel 6.35 Strategi Prioritas Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung No
Variabel Eksogen KRP || KKP KRP || MRP KRP || IRP || MRP*) KRP|| IRP || KKP KRP || MRP|| KKP KRP || IRP || MRP || KKP Jumlah Sumber : Tabel 6.27 dan Tabel 6.30. Keterangan : *) = terbesar || = serentak 1 2 3 4 5 6
Koefisien Diterminan 0,1273 0,1859 0,2961 0,1233 0,1140 0,1367 0,9833
Prioritas 4 2 1 5 6 3
Dalam rangka memperoleh outcome kesejahteraan petani dibutuhkan strategi terintegrasi dengan melakukan perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, serta peningkatan integrasi proses bisnis, sebab secara langsung atau tidak langsung akan berdampak simultan terhadap peningkatan keunggulan kompetitif yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan petani jagung.
221
Gambar 6.8 Hasil Analisis Jalur pada Smart PLS Keterangan BIF = Berbagi informasi U1 = Informasi harga U2 = Informasi teknologi U3 = Informasi skim kredit SNK = Sinkronisasi keputusan V1 = Jenis input produksi V2 = Kualitas input V3 = Biaya modal KSI = Keselarasan Insentif W1 = Harga input W2 = Harga output W3 = Berbagi biaya
KRP = Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok X1 = Kesamaan tujuan X2 = Peran&tanggung jawab X3 = Pembagian resiko X4 = Fasilitator IRP = Integrasi proses bisnis X5 = Hubungan baik dengan pelanggan X6 = Operasional biaya rendah X7 = Pengembangan ke depan X8 = Kesehatan aliran kas X9 = Penyerapan tenaga kerja
KKP = Keunggulan kompetitif Y1 = Efisiensi Y2 = Kualitas produk Y3 = Ketergantungan pengiriman Y4 = Diversifikasi produk Y5 = Waktu tempuh ke pasar MRP = Aktivitas manajemen rantai pasok Y6 = Koordinasi antar lembaga Y7 = Aliran produk Y8 = Aliran pelayanan Y9 = Aliran modal KSP = Kesejahteraan petani Z5 = Surplus produsen Z6 = Pengeluaran rumah tangga Z7 = Tabungan investasi
222
6.15.1 Peningkatan Kesejahteraan Petani Melalui Jalur KRP -> IRP -> MRP -> KSP Pada Gambar 6.9
telah ditampakkan jalur yang efektif dalam upaya
peningkatan kesejahteraan petani jagung di Nusa Tenggara Barat, yaitu jalur yang terpendek namun koefisien jalur dan koefisien diterminannya paling besar (optimum). Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani jagung hendaknya dipilih jalur yang paling efektif, yaitu jalur dengan koefisien jalur dan koefisien diterminan terbesar. Satu dari 6 (enam) alternatif jalur yang paling besar peluang untuk terpilih sebagai strategi prioritas terbaik adalah KRPIRPMRPKSP.
MRP
KSP
IRP
KRP Gambar 6.9 Jalur Yang Paling Besar Peluangnya Untuk Terpilih Sebagai Strategi Prioritas Terbaik Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. . Dari berbagai hasil studi terdahulu yang telah dilakukan di berbagai tempat membuktikan peranan positif integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok terhadap kinerja operasional maupun terhadap peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan (Ariani dan Dwiyanto, 2013; Bagchi, et al., 2007; Sachan, et al., 2006).
223
Pada diagram jalur (Gambar 3.3 dan Gambar 6.8) tampak bahwa keunggulan kompetitif merupakan variabel endogen, sementara variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis sebagai variabel eksogen di satu pihak dan keunggulan kompetitif merupakan variabel ekogen dari variabel endogen kesejahteraan petani. Oleh sebab variabel keunggulan kompetitif menjadi variabel yang unik (spesifik) jika dibandingkan dengan variabel lainnya, yaitu sebagai output dari proses interaksi intra manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Karena kedudukan variabel keunggulan kompetitif sebagai output, maka perubahannya dapat disebabkan oleh variabel eksogennya, sekaligus mempengaruhi kesejahteraan petani. Optimasi peningkatan kesejahteraan petani dapat ditempuh melalui integrasi variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok. Untuk memperkuat argumentasi ini, maka dibangun premis mayor dan presmis minor sebagai berikut: apabila kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif; dan keunggulan kompetitif berpengaruh terhadap kesejahteran petani; maka kolaborasi antar lembaga antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Atas dasar argument di atas, maka hipotesis-5 dapat diterima, yaitu peningkatan kesejahteraan petani jagung dapat diupayakan melalui strategi perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok serta peningkatan integrasi proses bisnis.
224
Apabila dimaksudkan untuk segera meningkatkan kesejahteraan petani jagung, maka poin-poin berikut patut menjadi perhatian: 1. Sinkronisasi keputusan, yaitu melibatkan petani dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam penetapan jenis input yang diinginkan petani, harga input yang sama dengan harga pasar, paket teknologi yang telah teruji kapasitas, produktivitas dan daya adaptasi lingkungan, serta harga minimal sama dengan harga pasar. Melakukan mark-up terhadap harga input merupakan bentuk menyimpangan yang dilakukan perusahaan terhadap konsep rantai pasok, serta membeli jagung dengan harga di bawah harga pasar merupakan suatu tindakan yang mencederai kesepakatan dan menghapus kepercayaan. Dalam konteks kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, petani mestinya dipandang sebagai pelanggan bagi perusahaan baik sebagai pelanggan pasar input maupun sebagai pelanggan pemasok bahan baku. 2. Keselarasan insentif, adalah memberikan insentif yang proporsional dengan insentif yang diterima oleh perusahaan dan/atau pedagang melalui mekanisme harga input dan ouput serta pembebanan biaya operasional atau bunga modal kepada petani. Perusahaan semestinya berperan sebagai penyangga harga atas produk pertanian, khususnya pada musim panen raya ketika harga jagung berada pada limit rendah. Perusahaan mestinya bersedia membeli dengan harga di atas harga pasar agar petani tidak terdegradasi pada harga yang menyebabkan petani mengalami kerugian. Perusahaan semestinya bertindak sebagai penyangga harga dan melindungi petani agar tidak menderita rugi, sebab kerugian dalam jangka panjang akan berdampak kepada kerugian perusahaan atau pedagang, karena bila petani merugi terus
225
menerus, maka kemampuan reinvestasi petani akan merosot, pada gilirannya petani tidak lagi bersedia mengusahakan tanaman jagung, sehingga perusahaan kehilangan pelanggan. 3. Sinkronisasi keputusan dan keselaran insentif menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan berbagi informasi. Berbagi informasi merupakan suatu keniscaayaan dalam kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Mengikutsertakan petani dalam pertemuan atau rapat sebagai satu strategi berbagi informasi sekaligus sinkronisasi keputusan. Pelayanan langsung kepada petani dinilai sebagai upaya berbagi informasi secara akurat untuk mencegah distorsi informasi dan mengurangi atau mencegah penyimpangan, semakin lebar jarak antara sumber dengan sasaran semakin besar peluang terjadinya misinformasi. Contoh misinformasi ini dijumpai pada pembebanan biaya operasional kepada petani sebagai imbalan pelayanan jasa yang belum diketahui oleh petani, dan ketidakjelasan bagi petani tentang teknis bagi hasil. Juga keinginan petani tidak diketahui secara tepat oleh pimpinan perusahaan, sehingga paket teknologi yang diusulkan petani dalam Rencana Difinitif Kebutuhan Kelompok tani tidak sama dengan realisasinya. 4. Realisasi paket teknologi yang terlambat tiba memaksa petani menerima peket teknologi yang dibawa oleh koordinator lapang daripada tidak menanam sama sekali, karena petani menyadari bahwa apabila petani tidak menanam, maka petani kehilangan kesempatan mempertahankan tingkat kesejahteraannya paling sedikit sama dengan perubahan surplus produsen usahatani jagung sebesar Rp 2 juta/ha/musim tanam (Tabel 6.9 dan Gambar..6.2). Perlu ada terobosan baru untuk mengubah keadaan melalui perbaikan sistem komunikasi dengan petani, sehingga efektivitas komunikasi
226
dan informasi dapat ditingkatkan pada masa yang akan datang atau musim tanam berikutnya. 5. Kesibukan petani di ladang dan keterbatasan personil perusahaan menjadi kendala
dalam
meningkatkan
intensitas
dan
efektivitas
komunikasi.
Keterbatasan ini dapat diatasi melalui perubahan metode komunikasi dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia seperti handpon dan web. 6. Pemecahan masalah persaingan dan inefisiensi melalui kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dinilai belum cukup untuk mengangkat kemampuan organisasi agar memiliki daya saing yang kuat. Solusi yang ditawarkan berupa integrasi proses bisnis tampaknya dapat diterima sebagai main stream logika rasional, sebab kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok bisa menjadi beban pembiayaan jika proses produksi, penanganan pascaproduksi, pengolahan hasil, pengangkutan dan penyimpanan tidak mampu
dikelola
secara
efisien,
bahkan
dapat
menimbulkan
efek
pembekakan biaya karena bertambahnya pekerjaan mengkoordinasikan para anggota kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Selain fokus perhatian di atas, masih diperlukan integrasi vertikal dan horizontal sebagai berikut: 1. Petani menjual produksi jagung tidak melalui makelar, melainkan langsung menjualnya ke perusahaan, sehingga memperoleh harga jual yang lebih tinggi, yaitu mencapai Rp 1.300 sampai dengan Rp 1.500/kg tongkol kering panen, sementara kalau petani menjual melalui makelar, maka harganya lebih rendah, yaitu antara Rp 900/kg sampai dengan Rp 1.200/kg. 2. Pedagang pengumpul melakukan proses pemipilan dan pengeringan di gudang dan di lantai jemur pedagang besar, sementara pedagang besar
227
menerima jasa pemipilan sebesar Rp 4.000/ku dan sewa lantai jemur Rp.2.000/ku, upah buruh jemur Rp 6.000/ku. Oleh karena itu,
proses
produksi jagung menyerap lapangan kerja pada level usahatani (in farm), pasca produksi (on farm) dan industri pengolahan (out farm). Dengan memanfaatkan
barang
modal
bersama
(sharing)
dapat
dipastikan
terbentuknya integrasi horizontal, sehingga dapat menekan biaya produksi dan menjadi bagian dari upaya proses produksi biaya rendah. 3. Pedagang besar selain memperoleh penerimaan dari upah pemipilan dan pengeringan juga mendapatkan keuntungan dari transaksi beli jual jagung pipilan kering. Integrasi proses bisnis tersebut memberikan keuntungan baik bagi pedagang pengumpul maupun pedagang besar antar pulau. Transaksi jual beli mempengaruhi kesehatan aliran kas masuk dan kas keluar. 4. Untuk menekan biaya transportasi, pedagang pengumpul menggunakan kendaraan pick up (open cup) milik sendiri, sebagai bagian dari proses operasional biaya rendah. Hal yang sama juga dilakukan oleh pedagang besar antar pulau. Dengan memanfaatkan kredit perbankan mereka membeli truk sebagai sarana transportasi mengangkut jagung ke konsumen pengguna baik di dalam provinsi maupun di luar provinsi (Bali). Bila menggunakan jasa ekspedisi mengharuskan pengeluaran biaya transportasi yang besarnya antara Rp 10.000 s.d. Rp 12.000/ku. Dengan menggunakan kendaraan miliki sendiri memungkinkan baginya mendapatkan biaya operasional lebih sedikit bila dibandingkan dengan menggunakan jasa ekspedisi. Langkah ini sekaligus sebagai upaya mendapatkan opportunity cost terhadap biaya pengangkutan, sekaligus sebagai proses produksi dengan biaya rendah (Lampiran 20).
228
5. Bisnis jagung dinilai sebagai bisnis yang menguntungkan oleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar antar pulau, karena memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha lainnya seperti usaha beras, kacang tanah dan kedele. Oleh karena itu hampir semua petani dan perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara menghendaki upaya pengembangan ke depan dengan memperbesar volume usaha 1,5 s.d 2 kali lipat dari volume usaha sekarang. 6.15.2 Peningkatan Kesejahteraan Petani Melalui Jalur KRP -> MRP -> KSP Apabila integrasi proses bisnis belum memungkinkan untuk dilaksanakan, karena keterbatasan sumberdaya manusia dan modal, maka dimungkikan untuk memilih jalur yang lebih sederhana (simple), yaitu melalui perbaikan kolaborasi dan manajemen rantai pasok. Pilihan ini menempati ranking-2 dengan koefisien diterminan sebesar 18,59% lebih kecil bila dibandingkan koefisien diterminan yang menempati ranking-1 sebesar 29,61%.
•Kesamaan tujuan •Peran dan tanggung jawab •Pembagian resiko •Fasilitator
KRP
MRP •Koordinasi antar lembaga •Aliran Produk •Aliran Pelayanan •'Aliran Modal
•Surplus produsen •Pengeluaran RT Petani • Tabungan investasi
KSP
Gambar 6.10 Jalur Yang Paling Simpel Sebagai Alternatif Strategi Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
229
Jalur KRPMRPKSP merupakan jalur yang paling pendek, tanpa melalui integrasi proses bisnis. Apabila petani belum memungkinkan untuk melakukan integrasi vertikal (memperpedek rantai pasok) atau belum mampu menyelenggarakan integrasi horizontal sebagai akibat belum kondusifnya kelembagaan petani, maka ini paling memungkinkan untuk diterapkan oleh petani, perusahaan selaku avalis dan Pemerintah Daerah. Peningkatan kesejahteraan petani melalui perbaikan kolaborasi dan manajemen rantai pasok dapat diupayakan sebagai berikut: 1. Dalam membangun koordinasi dan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok diperlukan tiga tahapan kegiatan, yaitu (Marqui, et al., 2013): (1).pengenalan karakteristik
dan perilaku yang memungkinkan
terselenggaranya praktik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, (2).merumuskan persyaratan yang diperlukan dalam berkoordinasi, dan (3).mengimplementasikan
karakteristik
dan
perilku
tersebut
dalam
berkolaborasi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Ketua Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian Lapangan dan Manajer Lapang Perusahaan (Lampiran 20) diperoleh informasi bahwa dari tiga tahapan yang mesti dilalui tersebut, belum seluruhnya terlaksana sebagai mana mestinya, yaitu tahap pertama tidak dilakukan sama sekali, yang dilakukan adalah tahapan kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan: (1) kurangnya pengetahuan para pengelola dan Petugas Lapang (PL) akan tahapan kegiatan yang mesti dilakukan, (2) keterbatasan jumlah PL bila dibandingkan dengan jumlah petani mitra
yang
mesti
menjadi sasaran, (3) keterbatasan waktu,
(4)..serta diperlukan tambahan biaya persiapan yang mesti dikeluarkan.
230
Untuk memperbaiki kolaborasi rantai pasok diperlukan kelengkapan seluruh tahapan yang mesti dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. 2. Perbaikan manajemen rantai pasok dimungkinkan melalui upaya bersama antar lembaga yang terlibat dan tersedianya media untuk berubah (Knoppen dan Saenz, 2009); sementara kurangnya pengetahuan dan tranparansi biaya mengakibatkan proses optimasi menjadi sulit (Salmela, et al., 2011). Kelemahan dalam pelaksanaan manajemen rantai pasok menjadi pemicu timbulnya ketidakpuasan di antara para pihak yang bekerjasama, seperti mark-up harga input dan pembebanan biaya kepada petani, serta kurangnya pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dampaknya adalah
timbulnya
kesulitan
dalam
membangun
kerjasama
yang
berkelanjutan. 3. Mengimplementasikan kerjasama bukan sesuatu yang mudah, banyak kendala dan kesulitan yang mesti harus diatasi. Satu diantaranya adalah tersedianya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan bagi pihak-pihak
yang
bekerjasama
untuk
berkoordinasi
terutama
dalam
mewujudkan integrasi proses bisnis. Manzoni dan Islam (2007) dan Bayazit (2007) telah menegaskan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam manajemen rantai pasok sebagai media penghubung antar pihak-pihak yang bekerjasama dalam rantai pasok serta mendorong perusahaan untuk mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan mitra bisnisnya. Di daerah perdesaan, terutama di lokasi penelitian, media informasi dan komunikasi yang tersedia dan telah memasyarakat adalah handpon dan sebagian kecil telah menggunakan fasilitas internet kecamatan.
231
Media
ini
semestinya
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
efektivitas
komunikasi serta mengurangi biaya koordinasi. 4. Penggunaan media informasi dan komunikasi handpon telah memasyarakat hampir pada semua lapisan masyarakat tidak terkecuali masyarakat petani. Pemilikan handpon sebanyak 25,38 persen (Tabel 6.1) terkait erat dengan perilaku petani dalam kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Bagi petani yang tidak memiliki handpon dan kurang informasi menjadi sasaran makelar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menekan harga di tingkat petani. Oleh sebab itu, peranan informasi menjadi inti penentu efektivitas dan efisiensi manajemen rantai pasok (Bititci, et al., 1997; Kabayashi, et al., 2002), namun bisa informasi pasar yang transparan bias sebagai komplik, karena
bagi para pedagang informasi yang asismetris
memberikan keuntungan ekstra di atas keuntungan normal bagi para pedagang (Tanaya, et al., 2012). 6.15.3 Peningkatan Kesejahteran Petani Melalui Jalur KRP ->IRP ->MRP-> KKP->KSP Pilihan jalur ranking-3 merupakan pilihan yang lebih kompleks dengan dampak terkecil bila dibandingkan dengan dua alternative pilihan sebelumnya. Jalur ini kurang efisien, sebab dengan memilih dua jalur sebelumnya, maka secara otomatis akan berdampak simultan terhadap peningkatan keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan keunggulan kompetitif merupakan output dari kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok, sementara kesejahteraan petani merupakan outcome keseluruhan model.
232
IRP
MRP
KRP
KKP
KSP
Gambar 6.11 Jalur Yang Paling Lengkap Sebagai Alternatif Strategi Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berikut ini beberapa hal yang memperkuat argumentasi yang terkait dengan kesejahteraan petani jagung: 1. Konsep manajemen rantai pasok merupakan jawaban atas kebutuhan para pelaku
bisnis
untuk
meningkatkan
daya
saing
perusahaan
dengan
menghimpun diri dalam organisasi rantai pasok untuk mengatasi kendala modal, teknologi, informasi dan skala usahaha. Intinya, bahwa manajemen rantai pasok sebagai strategi untuk memenangkan persaingan dengan menyelenggarakan koordinasi lintas organisasi perusahaan.
Dengan kata
lain, manajemen rantai pasok adalah suatu upaya untuk mengurangi persaingan internal organisasi rantai pasok dan memperkuat daya saing eksternal dan bukan untuk menyusun kekuatan higemoni monopoli bagi tercapainya keuntungan satu perusahaan belaka. Yang diharapkan dari konsep manajemen rantai pasok adalah meningkatkan keuntungan seluruh lembaga yang berpartisipasi di dalam organisasi rantai pasok (Tunggal, 2011).
233
2. Oleh karena petani sebagai anggota atau bagian dari rantai pasok dan masuk dalam ranah koordinasi dari integrator, maka sudah sewajarnya manajemen rantai pasok berdampak posif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani sebagai mana telah dibuktikan pada hasil uji model (model fit) pada Lampiran..15). Konstruk logika peningkatan manajemen rantai pasok berdampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani jagung di lokasi penelitian adalah diterima dengan asumsi variabel-variabel lain dalam model tidak berubah. 3. Logika hubungan kausalitas yang sangat kuat tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar dan melalui kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Goldsmith (2011) mengungkapkan bahwa: (1) perusahaan yang bertindak sebagai integrator (avalis) adalah perusahaan penyedia input pertanian yang mencari cara untuk menangkap keuntungan dari inovasi mereka dalam produk baru; (2) melalui kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan mengadopsi berbagai perjanjian kerjasama antar perusahaan hulu dan hilir berupaya melakukan kontrol (integrasi) vertikal, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar atas benih, pupuk dan pestisida. Kekuatan pasar dapat meningkatkan perputaran ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan petani, namun hasil instrogasi menunjukkan bahwa pengaturan pasar telah berdampak merugikan kesejahteraan petani, sebab permintaan perusahaan lebih besar dan inelastik. Menurut Hagedorn, et al. (2004) bahwa kerugian kesejahteraan petani disebabkan rendahnya kemampuan pemasaran petani jagung, yaitu sebagian besar produk yang dihasilkan dijual ketika harga pasar di bawah harga rata-rata tahunan. Kerugian kesejahteraan tersebut sebanarnya dapat dihindari dengan cara mengatur waktu penjualan.
234
4. Untuk menghindari kerugian kesejahteraan petani, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan resi gudang, yaitu suatu kebijakan yang memungkinkan petani menyimpan hasil pertaniannya di gudang yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat resi gudang. Sertifikat resi gudang dapat dijadikan agunan kredit pada bank umum, sehingga petani dapat menutupi kebutuhannya yang mendesak dan segera harus dipenuhi. pertaniannya
ketika
Sementara petani dapat menjual produk hasil
harga
pasar
di
atas
harga
rata-rata
berikut
mengembalikan kreditnya. Walau program resi gudang telah disosialisasikan sejak 4 (empat) tahun terakhir, namun hingga penelitian ini dilaksanakan belum sepenuhnya direspon positif oleh petani. Petani lebih memilih menjual produksi jagung segera setelah panen, yaitu ketika harga berada pada limit terendah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa alasan petani segera menjual produknya ketika musim panen adalah untuk memenutupi hutanghutangnya dan memenuhi kebutuhan yang sudah lama tertunda dan mendesak untuk segera dipenuhi, serta memenuhi kebutuhan pembiayaan usahatani musim tanam berikutnya. Hasil penelitian ini relevan dengan perilaku rumahtangga petani di China di mana rumahtangga dengan hutang pada umumnya menjual jagung mereka jauh lebih awal jika dibandingkan dengan rumahtangga bebas hutang, sehingga berpotensi kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi, demikian juga rumah tangga yang ada anggota keluarganya menderita sakit sejak tahun sebelumnya cenderung lebih cepat menjual daripada rumah tangga miskin lainnya (Sun, et al., 2013).
235
5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti dan Khomsan (?) menyimpulkan bahwa kesulitan dan tekanan ekonomi yang dialami keluarga petani miskin menyebabkan terbatasnya pilihan hidup. Seluruh perhatian keluarga fokus pada upaya bertahan bagai mana agar mereka tetap hidup, sehingga rumah tangga petani sulit bebas dari himpitan sosial ekonomi yang menderanya. 6. Pada penelitian ini yang digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani adalah surplus produsen, pengeluaan konsumsi dan tabungan/pengeluaran investasi rumah tangga sekaligus sebagai outcome penelitian. Apabila manajemen rantai pasok mampu meningkatkan laba seluruh anggota dalam rantai pasok akibat bersinergi dengan semua anggota dalam rantai pasok, maka dikatakan bahwa manajemen rantai pasok tersebut berhasil; sebaliknya jika menimbulkan dampak negatif atau stagnan, maka manajemen rantai pasok dinilai gagal. Oleh karena nilai indek keragaan manajemen rantai pasok berada pada skala dari 2,6 s.d 3,6 dengan kategori hampir baik (moderat), maka manajemen rantai pasok yang dikoordinasikan oleh perusahaan tidak termasuk gagal dan belum termasuk berhasil. Oleh karena itu masih ada kesempatan bagi pihak-pihak yang berkolaborasi untuk bernegosiasi ulang memperbaiki beberapa kesepakatan yang sebelumnya masih diperselisihkan, sehingga ke depan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi petani dan perusahaan. 7. Upaya tersebut dimungkinkan sebab masih terbuka peluang untuk melakukan beberapa perbaikan manajemen, karena perusahaan dan petani masih saling membutuhkan, bahkan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat sangat berkepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerah diantaranya penyerapan lapangan kerja (mengurangi pengangguran) dan pada gilirannya
236
meningkatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat umumnya. 8. Berangkat dari pengalaman pada tahun-tahun lalu serta belum dicapainya target perusahaan yang telah ditetapkan, maka para manajer cabang perusahaan yang bertugas mensukseskan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan
Bebasis
Korporate
(GP3K)
melakukan
improvisasi
dengan
memodifikasi kebijakan-kebijakan manajemen sebelumnya, diantaranya telah menghapuskan sistem bagi hasil yang digantikan dengan manajemen fee atau dengan pembebanan biaya operasional, serta memberlakukan agunan kepada kelompok tani. Namun hal yang paling penting adalah apapun kebijakan manajemen yang diberlakukan dapat berdampak positif terhadap peningkatan insetif yang diterima petani, sehingga meningkatkan kegairan petani di dalam berproduksi dengan cara memberikan konvensasi minimal sama dengan surplus produsen yaitu Rp 2 juta/ha/musim tanam. Melalui pertimbangan demikian diharapkan agar petani tetap semangat dan tidak meninggalkan usahatani jagung dengan beralih keusaha lain, serta tetap loyal dalam organisasi rantai pasok.
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: 1. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa keragaan manajemen rantai pasok jagung di Nusa Tenggara Barat masuk dalam klasifikasi hampir baik, artinya telah berlangsung koordinasi antar pelaku dalam rantai pasok mulai dari rekruitmen dan seleksi petani mitra, penyusunan dan pengusulan Rencana Definitif Kegiatan Kelompok (RDKK); aliran modal berupa realisasi kredit (biaya pembukaan dan pengolahan lahan dan input pertanian); aliran pelayanan dalam bentuk pembinaan kelompok tani, pendampingan budidaya dan pemantauan panen; serta aliran produk berupa pembelian hasil panen jagung. Kinerja manajemen rantai pasok belum masuk klasifikasi baik, disebabkan masih adanya keluhan petani atas koodinasi dan pelayanan yang diberikan perusahan kepada petani, dan sebaliknya masih adanya keluhan perusahaan kepada petani atas aliran produk dan aliran pengembalian modal yang belum sesuai dengan harapan perusahaan, yaitu baru mencapai sepertiga dari target sebesar 100 persen. 2. Keunggulan kompetitif jagung pada level petani masuk dalam klasifikasi moderat, artinya proses produksi usahatani jagung belum efisien, karena ratarata produktivitas yang dihasilkan baru mencapai 6,581 ton/ha dari target 10 ton/ha; kualitas masih rendah karena hampir semua petani menghasilkan produk jagung tongkol kering panen dengan kadar air 18% s.d 22% dari yang seharusnya 14% jagung pipil kering panen; jagung yang dihasilkan homogen dari yang semestinya petani menghasilkan diversifikasi produk; serta produk dijual segera setelah panen, sehingga petani rata-rata menjual di bawah
238
harga rata-rata tahunan. Tingkat persaingan pada level pedagang perantara masuk dalam klasifikasi tinggi, artinya terjadi persaingan yang ketat antar pedagang perantara dieksternal rantai pasok, disebabkan mudahnya masuk pesaing baru, satu-satunya yang menghambat masuknya pesaing baru adalah kebutuhan modal yang besar (minimal Rp 500 juta); sementara persaingan diinternal rantai pasok dapat dieliminasi dengan menjalin kerjasama antara perusahaan selaku avalis dengan petani sebagai pemasok dan peternak ayam petelur sebagai pembeli dengan menerapkan manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis. 3. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi proses bisnis berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok, artinya perubahan tingkat kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok dan perubahan tingkat integrasi proses bisnis (baik integrasi vertikal maupun integrasi horizontal) akan mengakibatkan perubahan yang positif terhadap tingkat manajemen rantai pasok. 4. Integrasi proses bisnis berkorelasi positif dengan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, artinya semakin baik kerjasama antar lembaga dalam rantai pasok diikuti oleh peningkatan integrasi proses bisnis. Hubungan positif antara integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, disebabkan peningkatan kerjasama antara perusahaan dengan petani dan perusahaan memfasilitasi petani dalam pemanfaatan barang-barang modal, seperti lantai jemur, mesin pemipil, dan kendaraan angkutan barang, maka kerjasama antar kelembagaan tersebut akan meningkat. 5. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai pasok berpengaruh positif terhadap keunggulan kompetitif
239
jagung, artinya perubahan positif variasi kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi proses bisnis serta manajemen rantai pasok mengakibatkan perubahan positif variasi keunggukan kompetitif. Pengaruh yang positif tersebut disebabkan perbaikan manajemen rantai pasok mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif jagung di internal rantai pasok
ditinjau dari aspek
efisiensi, kualitas produk,
ketergantungan
pengiriman, diversifikasi produk dan waktu tempuh ke pasar. 6. Tingkat kesejahteraan petani jagung dipengaruhi oleh tingkat kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif jagung, serta integrasi proses bisnis; artinya perubahan positif faktor-faktor kolaborasi dan manajemen rantai pasok serta keunggulan kompetitif dan integrasi proses bisnis mengakibatkan perubahan yang positif terhadap tingkat kesejahteraan petani jagung. 7. Penggabungan pengaruh langsung dan tak langsung menghasilkan bahwa jalur KRPIRPMRPKSP memiliki koefisien jalur paling besar bila dibandingkan dengan jalur lainnya, sehingga paling besar peluangnya untuk terpilih
sebagai
strategi
prioritas
terbaik
dalam
upaya
peningkatan
kesejahteraan petani jagung. 8. Strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung adalah meningkatkan produktivitas usahatani jagung melalui aplikasi teknologi
budidaya
dan
pascaproduksi,
di
samping
memperbaiki
penyelenggaraan manajemen rantai pasok, meningkatkan integrasi proses bisnis dan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok.
240
7.2 Saran 7.2.1
Saran bagi peneliti dan pengembangan hasanah ilmu pengetahuan
1. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas kolaborasi antar lembaga dan manajemen rantai pasok pada ekosistem lahan sawah dan ladang. 2. Persentase petani yang menyimpang dari perjanjian kontrak relatif lebih besar bila dibandingkan dengan persentase petani yang berperilaku loyal, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab pengingkaran petani jagung terhadap perjanjian kontrak, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan hubungan antara perusahaan dan petani mitra. 7.2.2 Saran bagi perusahaan untuk perbaikan manajemen rantai pasok 1. Perningkatan kinerja manajemen rantai pasok agar difokuskan pada peningkatan koordinasi antar lembaga dalam rantai pasok dan peningkatan pelayanan kepada petani. Peningkatan koordinasi dan pelayanan diutamakan pada penghapusan sistem bagi hasil atas dasar net profit (laba usahatani bersih) menjadi bagi hasil atas dasar gross revenue (penerimaan kotor), serta menjual input sesuai harga pasar dan membeli output minimal sama dengan harga pasar. 2. Perusahan yang berperan sebagai avalis atau leader dalam manajemen rantai pasok disarankan agar melaksanakan integrasi proses bisnis dengan melakukan koordinasi dan pelayanan langsung kepada petani dan menjual langsung komoditas jagung ke konsumen pengguna, karena integrasi vertikal dalam mereduksi persaingan internal rantai pasok dan meningkatkan keunggulan kompetitif rantai pasok terhadap eksternal rantai pasok jagung.
241
3. Untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasok disarankan kepada pihak-pihak yang bekerjasama, yaitu perusahaan dan petani untuk melakukan perbaikan manajemen dengan melakukan negosiasi ulang yang meliputi harga input produksi, harga pembelian produk dan biaya operasional. 7.2.3 Saran bagi pemerintah dan penyusunan kebijakan 1. Disarankan kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan kelembagaan terhadap perusahaan yang berkolaborasi dengan petani agar berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani secara seimbang dengan kepuasan konsumen pengguna. Oleh karena itu strategi prioritas terbaik yang dapat dipilih adalah memperkuat kolaborasi (kerjasama) antara perusahaan dengan petani, meningkatkan skala usahapetani melalui pembinaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani agar dapat setara dengan perusahaan, serta ditingkatkan kemampuan Gabugan Kelompok Tani agar memiliki akses langsung terhadap lembaga keuangan sebagai sumber penyediaan modal. 2. Sebaiknya Pemerintah Daerah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tentang Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Tanaman Pangan dan Peraturan Gubernur Provinsi NTB tentang Petunjuk Teknis Operasional Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Jagung antara perusahaan dengan petani. 3. Diperlukan kebijakan perlindungan bagi petani jagung agar mereka tetap bergairah berproduks. Tindakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah adalah membeli exess supply jagung pada musim panen dan menjualnya di luar musim panen, sehingga harga jagung di tingkat petani tidak merosot dan harga di tingkat konsumen pengguna (peternak ayam petelur) tidak melampaui harga tertinggi yang mampu dibeli oleh peternak.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, J. dan Jarnilah, 2007. Analisis Kinerja Pasar pada Pemasaran Jagung. Jurnal Eksekutif. Volume-4 Nomor 3. Desember 2007. Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Loksemawe Aceh. Adinugroho,B., 2010. Manajemen Rantai pasok (Studi kasus : Frida Agro Kecamatan Lembang kabupaten Bandung Barat. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ali, S., 2010. Teori Surplus Perusahaan (Produsen). syukronali.files. wordpress.com/2010/05/teori-surplus-perusahaan-produsen.docx Alene, A.D., A.Menkir, Ajala, S.O., B.B.Apraku, A.S. Olanrewaju, V.M.Manyong, dan A.Ndiaye, 2009. The economic and poverty impacts of maize research in West and Central Africa. Agricultiral Economics The Journal of the International Association of Agricultural Economists. Vol 40 Issue 5.p.535-550. Ambaroz and Praprotnik, 2008. Organisational Effectiveness and Customer Stisfaction. Organizacija, Volume 41. Number 5, September-October 2008. Anatan, L. dan L.Ellitan, 2008. Supply Chain Management: Teori dan Aplikasi. Alfabeta. Bandung. Anggraeni,W., 2009. Pengukuran Kinerja Pengelolaan Rantai Pasok pada PT Crown Closures Indonesia. Fakultas Teknologi Industri. Universitas Gunadarma. Jakarta. Anonimous, 2012. Pasar Fisik Komoditas : Pasar Bagi Komoditas Agro Indonesia. PT iPasar Indonesia. Jakarta. Ariani, D. dan Dwiyanto, B.M., 2013. Analisis Pengaruh Supply Chain Manahement Terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Pada Industri Kecil dan Menengah Makanan Olahan Khas Padang Sumatera Barat. Diponogoro Journal of Management. Vol. No. Tahun 2013. p.1-10. Arifin, 2004. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Rantai Pasokan Dalam Mencapai Kinerja Pemasaran Perusahaan di Industri Garmen Kota Pekalongan. Pascasarajana Udip. Semarang. Arshinder, Kanda,A., and Deshmukh, S.G., 2008. Supply Chain Coordination : Perspectives, Empirical Studies and Research Dorection. International Journal of Production Economics, 115, 316-335. Ba, S. and Johansson,W.C., 2005. An Exploratory Study of the Impact of eService Process on Online Customer Satisfaction. Forthcoming in Production and Operations Management. Bagchi, P.K., B.C.Ha, T.S. Larsen and L.B. Soerensen, 2007. Nature and extent of supply chain integration in Nordic Firms. International Journal of Integrated Supply Management. Vol 3 No.1 p.25-51. Ballou, R. H. ,2004. Business Logistic/ Supply Chain Management: Planning, Organizing, and Controlling The Supply Chain, Fifth Edition, Prentice Hall, New Jersey.
243
Bansod,S.V. dan A.B.Borade, 2007. Domain of Supply Chain Management – A State of Art. Journal of Technology Management & Innovation. Vol.2 Issue 4.p. 109-121. Barterzzaghi, E., 1999. The Evolution Models is a New Paradigm Emerging ?. International Journal of Operation and Production Management. Amsterdam v.19.n.2.p.229-250. Bayazit, O., 2007. An Examination of current collaborative supply chain practices. International Journal of Business Inovatiob abd Research. Vol 1 No.3 p.253-266. Bezu, S, G.Kassie, B.Shiferaw, and J.R. Gilbert, 2013. Impact of Improved Maize Adoption on Welfare of Farm Households in Malawi: A Panel Data Analysis. MPRA.http://mpra.ub.uni-muenchen.de/48763. Bititci, U.S, Carrie, A.S, McDevitt, L.G, 1997 “Integrated Performance Measurement Systems: A Development Guide”, International Journal of Operations and Production Management, Vol 17 no 6, May/June 1997, MCB University Press, ISSN 0144 Bolbuaca, S.D. and Jantschi, L., (2006). Pearson versus Spearman, Kendall's Tau Correlation Analysis on Structure-Activity Relationships of Biologic Active Compounds. Leonardo Journal of Sciences. July-December 2006. p.179-200. Bourlakis, M.A and Weigtman,W.H., 2004. Food Supply Chain Management. School of Agriculture, Food and Rural Development, University of Newcastle, U. K. BPS NTB, 2010. NTB Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. BPS NTB, 2011. NTB Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. BPS, 2012. Berita Resmi Statistik No.06/01 Th.VXI. 2 Januari 2012. Cachon, G.P. dan M.A. Lariviere, 1999. Capacity Choice and Allocation : Strategic Behavior and Supply Chain Performance. Management Science. Institute for Operations Research and Management Sciencees. Vol.45 No. 8. Agustus 1999. p.1091-1108. Cahyono, J., 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Jangka Panjang untuk Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Perusahaan. Journal Aset. Vol.12 No.2 September 2010. p.135-164. Carambas,MCDM., Analysis Marketing Margins in-Eco Labeled Products. Center for Development Research. University of Bonn. Bonn. Childerhouse,P. dan D.R.Topwill, 2002. Analisys of Factors Afecting Real-Word Value Stream Performance. International Jounal of Production Research 40. p.3499-3518. Cochran, 1977. Sampling Design for Social Science. Cambrige University Press. New York. Daniel,M., Darmawati, Nieldalina, 2011. PRA (Participatory Rural Appraisal: Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Bumi Aksara. Medan.
244
Dewi, S.O., 2013. Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Keunggulan Bersaing SamudraToserba Tasikmalaya. Jurnal Manajemen dan Bisnis. Universitas Siliwangi. Tasikmalaya.p.1-11. Diperta NTB, 2009. Program Unggulan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Dumairy, 1991. Matematika Terapan untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Kedua. BPFE. Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Dwyer,F.R., P.H.Shurr dan S.Oh, 1987. Developing Buyer – Seller Relationships. Journal of Marketing. 52(2), p.11-27. Ekelund,R.B., dan Robert F.Hebert, 1997. A History of Economic Theory and Method. McGraw-Hill Companies.Inc. New York. Ervil,R., P.Suwignjo dan A.Rusdiansyah, 2010. Pengembangan Model Pengukuran Kinerja Supply Chain Berbasis Balanced Scorcard: Studi Kasus di PT Semen Padang. Jurusan Teknologi Industri, ITS. Surabaya. Ferdinand,A., 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. BP Undip. Semarang. Ferrianta,Y., 2011. Dampak Liberalisasi Perdagangan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) Terhadap Kinerja Ekonomi Jagung di Indonesia. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UB. Malang. Ghozali,I., 2011. Structural Equation Modeling: Metode Alternatif dengan Partial Least Square - PLS. Badan Penerbit Undip. Semarang. Goldsmith, P.,2001. Innovation, Supply Chain Control and the Welfare of Farmers: The Economics of Genetically Modified Seeds. American Behavioral Scientist. Vol.44 No. 8. April 2001. P.1302-1326. Guangyin,X., Z.Xianyang dan QU Jianhua, 2010. Study on Index System of Supply Chain Performance Appraisal. Agricultural University. Zhenzhou.p.567-573 Hadi, S., 1988. Statistika 2. Andi Offset. Yogyakarta. Hadijah, A.D., 2009. Identifikasi Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di NTB. Proseding Seminar Nasional Serealia. ISBN, 978-979-8940-27-9. Hamid,H., 2011. Hubungan Antara Praktik Rantai Pasok, Rantai Permintaan, Keunggulan Kompetitif dan Kinerja Perusahaan ; Studi Pada Perusahaan-perusahaan Konstruksi di Kota Tarakan kalimantan Timur. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hamidi,H., 2008. Keterkaitan Antar Pelaku dan Dampak Kemitraan Dalam Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hamzah,H., 2011. Pemasaran Korelasian Pelanggan dan Kolaborasi Pemasok Dalam Rangka Meningkatkan Sumberdaya Perusahaan Serta Implikasinya Terhadap Keunggulan Bersaing dan Kinerja Pemasaran; Sitau Survey pada UKM Komponen Otomotif Logam di Pulau Jawa. http://repository.unpad.ac.id/handle/123556789/2703. Hardinis, 2009. Kepuasan dan Loyalitas Konsumen: Makalah Seminar Manajemen Pemasaran. FE Universitas Mercua Buana. Jakarta.
245
Hartono,R. dan A.W.Muhaimin, 2009. Analisis Rantai Pasokan Emping Melinjo: Studi Kasus pada Agroindustri Emping Melinjo di Desa Pojok, Ngantru, Tulungagung. Jawa Timur. Agritek Vo.17 No.5. p.865-873 Hasbi, 2001. Rekayasa sistem kemitraan usaha pola mini pada agroindustri kelapa sawit. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mathuramaytha, C., 2011. Supply Chain Collaboration – What’s an outcome ?: A Theoretical Model. International Conference on Financial Management and Economics. IPEDR Vol.11.@2011 IACSIT Press. Singapore, Hagedorn, L.A., Irwin, S.H. and Good,D.L., 2004. The Marketing Performance of Illinois Corn and Soybean Producers. Paper presented at the NCR34 Conference on Applied Commodity Price Analysis, Forecasting, and Market Risk Management St. Louis, Missouri, April 19-20, 2004 Heyman, C. and Saosaovaphak,a., 2012. Risk Analysis of Supply Chain of Corn Seed Production Business in the Republic of the Union of Myanmar Proceedings- Sufficiency Economy and Community Enterprise-005 4th International Conference on Humanities and Social Sciences April 21st , 2012 Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkla University Hedratman,D., 2009. Analisis Pengaruh Kualitas Hubungan Bisnis dengan Outlet dan Strategi Pelayanan Outlet Terhadap Kinerja Penjualan dalam Meningkatkan Loyalitas Outlet: Studi Kasus PT Indosat Semarang. Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Hervani,A.A., M.M.Helms dan J.Sarki, 2005. Performance Measurement for Green Supply Chain Management. Benchmark. International Journal 12, p.330-353. Hetharia,D., 2012. Rancangbangun Model Penyediaan Tepung Jagung Pada Rantai Pasok Industri Berbasis Jagung. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Huang,G.G., J.S.K. Lau dan K.L.Mak, 2003. The Impact of Sharing Production Information on Supply Chain Dynamics. A Review of Literature. International Journal of Production Research 41, p.1483.1517. Irmawati, 2007. Pengaruh Manajemen Rantai Pasokan terhadap Kinerja di PTPN VIII Gunung Mas Bogor. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Immelt,J.R., 2012. General Electric Matrix.Life123.com.: Imran, A. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Israel, G.D., 2013. Determining Sample Size. Agricultural Education and Communication Department, University of Florida /IFAS Extension. Original Publication Date November 1992. Revised April 2009. Reviewed June 2013. Jackson, J.C. dan A.P.Cheater, 1994. Contract Farming in Zimbabwe: Case Studies of Sugar, Tea, and Cotton. Dalam Little, P.D. and M.J. Watts (eds). Libing Under Contract. Madison,WI: Univesity of Wilconsin Press.
246
Jamess E.. Baartt, J.E. Joe W.. Kottrlliikk, and C. C. Hiiggiinss, 2001. Organizational Research: Determining: Appropriate Sample Size in Survey Research. Information Technology, Learning, and Performance Journal, Vol. 19, No. 1, Spring Jarrar, Y.F. and Aspinwall, E.M., 1999. Integrating total quality management and business process re-engineering: is it enough ?. Total Quality Management Journal. VOL. 10, NOS 4&5, 1999, S584± S593 Jogiyanto, 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasis Varian Dalam Penelitian Bisnis. UPP STMIK YKPN. Yogyakarta. Just,R.E., D.L. Hueth dan A.Schmitz, 2004. The Welfare Economics of Public Policy. Edward Elgar. Northamton. USA. Kamalabadi,N. A.Bayat, A.Ebrahimi dan M.S.Kahreh, 2008. Presentation a New Algorithm for Performance Measurement of Supply Chain by using FMADM Approach. World Aopplied Sciences Journal 5(5): ISSN 18184952. p.582-589 Kamaludin,A., A.Budiman dan A.Y.Widiastuti, 2010. Pengaruh Motivasi, Koordinasi, dan ketepatan Penempatan Pegawai Terhadap Kepuasan Kinerja Pada Dinas, Badan dan Kantor Di Lingkungan Pemerintahan Kota Tasikmalaya. Program Magister Manajemen Program Pascasarna Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Kariyasa, K dan B.M.Sinaga, 2004. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pasar Jagung di Indonesia.Jurnal Agro Ekonomi Vol.22.No.2.p.167-194. Khomsan, A., 2009. Garis Kemiskinan Yang Baru. Jakarta 45. Politikan Konstitusi Pancasila Indonesia. Jakarta. Knoppen, D., and M.J. Saenz, 2009. Collaboration simulation through supply chain simulation. Internastional Journal of Procurement Management. Vol 2 No.4.p.403-414. Kobayashia,T, Tamakia, M., Komodab, N., 2002. Business process integration as a solution to the implementation of supply chain management systems, Journal Information & Management 40 (2003) 769–780, Koutsoyiannis, A. 1982. Modern Microeconomic. Second Edition. The Macmillan Press, Ltd. Hongkong. Kurniawan,F., 2006. Efektivitas Kolaborasi Antara Perum Perhutani dengan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan kasus PHBM di KPH Madiun dan KPH Nganjuk , Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kustiari, R. dan N. Nuryanti, 2009. Perubahan Tingkat Harga Komoditi Pangan di Pasar Dunia dan Dampaknya Terhadap Konsumsi dan Harga di Pasar Domestik. Seminar Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan : Tantangan dan Peluang Bagi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Lam, JSL., 2013. Benefits and barriers of supply chain integrastion: empirical analysis of liner shipping. Internasional Journal of Shipping and Transport Loistics. Vol 5 No.1 p.13-30.
247
Lengnick-Hall, C dan Lengnick-Hall, M. 1990. Interactive Human Resources Management and Strategic Planning, Quorum Books, Westport, CT. Lin,C., T.H.Chiu dan Y.H. Tseng, 2006. Agility Evaluation Using Fuzzy Logic. Internatinal Journal of Production Economics 1 p.353-368. Lipton and Moore, 1980. Metodologi Studi Pedesaan di Negara-negara Berkembang. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta. Majeed, S., 2011. The Impact of Competitiva Advantage on Organizational Performance. European Journal of Business and Management.Vol.3 No.4. International Institute Studies Technplogy and Education. p.191196 Mangiaracina, R., M.Melacini, and A.Perego, 2012. A Critical Analysis of Vendor Management Inventory in The Grocery Supply Chain. International Journal Integrated Supply Chain Management. Vol.7 Nos 1/2/3/p. Manzoni, A. and S.M.N.Islam, 2007. Measuring collaboration effectiveness in globalised supply networks : a data envelopment analysis application. International Journal of Logistics Economics and Globalisation. Vol 1 No.1 p.77-91. McQuitty, F.W., 2000. Systematically Varying Consumer Satisfaction and its Implications for Product Choice Academy of Marketing Science Review Volume 2000 No. 10 Available: http://www.amsreview.org/articles/ mcquitty10-2000.pdf Copyright © 2000 – Academy of Marketing Science. Mardhiyyah,N., 2008. Kinerja Penyampaian Suku Cadang PT Toyota-Astra Motor Dengan Model Supply Chain Operations Reference. Departemem Manajemen Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Marqui, A.C., K.S.De Moura, R.L.C. Alcantara, 2013. Colaborative Supply Chain : a conceptual model for operationalisation. Internasional Journal of Management and Decision Making. Vo. 12 No.3 p.195-214. Mason, N.M., dan R.J.Myers, 2013. The Efects of The Food Reserve Agency on Maize Market Prioce in Zambia. Agricultiral Economics The Journal of the International Association of Agricultural Economists.. Vol 44 Issue 2.p.203-216. Mathuramaytha, C. 2011. Supply Chain Collaboration – What’s an outcome ? : A Theoreties Model. International Conference on Financial Management and Economics. IPEDR. Vol.11 @2011. IACSIT Press.Singapore. p.102-108. Mghenyi, E.W., 2006. Wefare Effects of Maize Pricing Policy on Rural Households in Kenya. Michigan State in University. Departement of Agricultural Economics. Mghenyi, E., R.J.Myers and T.S. Jayne, 2010. The Efects of a Large Discreate Maize Proce Increase on the Distribution of Household Welfare and Poverty in Rural Kenya. Agricultiral Economics The Journal of the International Association of Agricultural Economists.. Vol 42 Issue 3. P.343-356.
248
Mentzer, J., DeWitt, W., Keebler, J., Min, S., Nix, N., Smith, C. and Zacharia, Z., 2001. “Defining supply chain management”, Journal of Business Logistics, Vol. 22, no. 2, pp. 1-24. Nazir, Moh., 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nugraha,A., 2001. Doversifikasi Pangan Pokok di Indonesia: Penerapan Model AIDS untuk Permintaan Pangan.Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho,H.A., 2005. Analisis Kinerja Rantai pasokan dengan Pendekatan Inventory dan Peranannya Terhadap Keunggulan Kompetitif : Studi Kasus di PT Capsugel Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurhasanah, 2012. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Hibdrida Pendekatan Stochastic Production Frontier di Desa Sukolilo Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Ogunsumi, L.O., S.O. Ewuola, and A.G.Daramola, 2005. Socio Economic Impact Assessment of Maize Production Technology on Farmers’ Welfare in Southwest – Nigeria. Journal Central European Agriculture. Vol 6 (2005) p.15-26. Ong, J.W. and Ismail, 2012. Competitive Advantage and Firm Performance : Evidence from small and medium enterprises. International Journal of Bsiness and Globalisation. Vol 9 No.2 p.195-206. Parel,C.P.P., P.L. Ferrer, G.C. Caldito, 1973. Sampling Design and Procedures. The Agricultural Development Council. New York. Pawisari, 2011. Sistem Manajemen Mutu Pada Rantai Pasok Komoditi Jagung. Manajemen dan Bisnis -Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pemda NTB, 2009. Grand Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Bappeda Provinsi NTB. Mataram. Pemda NTB, 2011. Evaluasi Program Pijar Nusa Tenggara Barat. Bappeda Provinsi NTB. Mataram. Permana,H.P.P., 2011. Analisis Pengadaan Bahan Baku Sebagai Bagian Dari Internal Supply Chain Management PT Hadinata Brother. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pindyck, R.S. and D.L.Rubinfield, 1991. Econometric Modells and Economic Forecast. Third Edition.McGraw-Hill International Edition. Singapore. Porter, M.E., 1998. Competitive Strategy: Techniques For Analysis Industries and Competitors With A New Intruduction. The Free Press. New York. Prasetya, GLH., 2008. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Aliansi Stratejik Untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Program Magister Manajemen. Universitas Diponegoro. Semarang. Prihatiningsih,N., 2007. Analisis Efisiensi Rantai Rasokan Komoditi Bawang Merah: Studi Kasus di Kota Madya Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pujawan, I.Y.,2005. Supply Chain Management. Edisi I.Guna Widya. Surabaya. Puspita,K.T., 2007. Perancangan Balanced Scorcard Sebagai Instrumen Pengukuran Kinerja pada PT Unitek,Tbk. Departemen manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Instutut Pertanian Bogor. Bogor.
249
Putra A.C. Y.G.Bulu, S.Hastuti, K.Puspadi dan A.Hipi, 2005. Efisiensi Pemasaran Jagung di Pulau Lombok NTB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat. Mataram. Putra A.,C., 2006. Kinerja Ekonomi Usahatani dan Pemasaran Jagung di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu NTB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) NTB. Narmada. Putra,I N.N.A., 2012. Persfektif Teori Keagenan Dengan Struktur Kepemilikan Manajemen Pada Lembaga Keuangan Mikro (Studi pada BPR di NTB). PDIM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang. Rahman,F.A., 2011. Rumput Laut : Mengejar Ketertinggalan (Kritik Terhadap Program Pijar). http://lombok-seaweed.blogspot.com/ 2011/05/lombokseaweed-rumput-laut-mengejar.html. Rajkumar, P., 2013. Service quality measurement of the public distribution system in food grains supply chain. International Journal of Business Performance and Supply Chain Modelling. Vo. 5 No.2 p.131-147. Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Riyanto,B., 1999. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan Edisi 4. BPFE Yogyakarta. Roekel, JV., S.Williem and D.M. Boselie, 2002. Agri-Supply Chain Management: To Stimulate Cross-Border Trade in Developing Countries and Emerging Economies. Agri Chain Competence center and Agricultural Economics Research Institute. Sachan, A., B.S. Sahay, R.Mohan, 2006. Assessing benefits of supply chain integraition using system dynamics methodology. Internatinal Journal of Servicess Technology and Management. Vol 7 No.5/6. Sadikin,I., 1999. Analisis Daya Saing Komoditi Jagung dan dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat Pasca Krisis Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Deptan RI. Bogor
Salmela, E., A.Happonen and J.Huiskonen, 2011. Best collaboration practices in supply chain of technical wholesale items. International Journal of Collaborative Enterprise. Vol 2 No.1 p.16-38. Sanglestsawai,S., Rejesus, R.M. and Yorobe, J.M., 2012. Production Risk, Farmer Welfare, and Bt Corn in the Philippines. Selected Paper prepared for presentation at the Agricultural and Applied Economics Association 2012 AAEA Annual Meeting, Seattle, WA. August 12-14, 2012 Sari, P.N., 2012 Analisis Network Supply Chain dan Pengendalian Persediaan Beras Organik (Studi Kasus : Rantai Pasok Tani Sejahtera Farm, Kab. Bogor). Instutut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso.W., ? . Pengukuran Kinerja Supply Chain dengan Metode SCOR. http://wahyusantoso,staff.umm.ac.id/Ilmu Rekayasa Industri. Saodulet, E., 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins Univercity Baltimore and London.
250
Sayaka, B., 2005. Marketing Conduct of The Corn Seed Producers : Multinational versus Local Companies. Jurnal Agroekonomi.Vol. 23 No.2 Oktober 2005. p.101-135. Sekaran,U. dan R.Bougie, 2010. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Fifth Edition. A John Wiley and Sons Ltd Publication. Chichester. Semaoen,I. dan S.M.Kiptiyah, 2011. Mikro Ekonomi. UB Press. Malang. Setiawan, N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel Krejcie-Morgan: Telaah Konsep dan Aplikasi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Setiawan dan D.E.Kusrini, 2010. Ekonometrika. Andi. Yogyakarta. Shaban, N., 2005. Analisis of Correlation and Regression Coefficient of Integration Between Yielad and Some Parameters of Snap Beans Plants. Trakia Journal of Sciences, Vol. 3, No. 6, p. 27-31. Shafiee, M. dan N. Shams e-alam, 2011. Supply Chains Performance Evaluation With Rough Data Envelopment Analysis: Case Study Food Industry (Ramak Co.) International Conference on Business and Economics Research 2010. IACSIT. Kuala Lumpur. Sidarto, 2009. Konsep Pengukuran Kinerja SCM pada Sistem Manufaktur Dengan Model Performance of Aktivity (POA) dan Supply Chain Operations Reference (SCOR), Jurnal Teknologi Institut Akprind, Volume 1. Number 1. Siegel.,S., 1986. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta. Silalahi,M., 2007. Analisis Pengaruh Kualitas Layanan Dalam Kaitannya Dengan Loyalitas Pasien Rawat Inap di RSI Malahayati. Medan. Simanjuntak,S.P.H., 2006. Analisis Pengaruh Kualitas Kemitrakerjaan Terhadap Kinerja Pemasaran : Studi Pada Perusahaan Mitra Kerja PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Semarang di Kota Semarang. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Sinaga, B.M., 1989. Economtric Model of The Indonesia Hardwood Products Industry : A Policy Simulation Analysis. Ph.D. Dissertation. University if The Philippines. Los Banos. Sinjal,D., 2009. Kemitraan Jagung Berkelanjutan. Jurnal Agrina. Sinungan, M., 2000. Manajemen Dana Bank. Bumi Aksara. Jakarta. Sjah,T., 2011. Peluang Peningkatan Produksi Jagung di Nusa Tenggara Barat. Agroteksos: Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian. Volume 21.Nomor 2-3.ISSN 0852-8286.p.158-164. Smale, M., M.R. Bellon, J.A.Aguirre, I.M.Rosas, J.Mendoza, A.M.Solabo, R.Martinez, A. Ramirez, and J.Berthaud, 2005. The economic costs and benfits of a participatory project to conserve maize landraces on farms in Oaxaca, Mexico. Agricultiral Economics The Journal of the International Association of Agricultural Economists.. Vol 29. Issue 3 p.265-275.
251
Solimun, 2010. Analisis Multivariat Pemodelan Struktural: Metode Partial Least Square-PLS. CV Citra Malang. Malang. Spekman, R.E., J.W. Kamauff Jr. dan N.Myhr, 2001. An Emprirical Investigation into Supply Chain Management: A Perspektive on Partnerships. International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, 28(8). Stadtler,H., 2005. Supply chain management and advanced planning––basics, overview and challenges. European Journal of Operational Research 163 (2005) 575–588. Suharjito, Machfud, B.Haryanto dan Sukardi, 2010. Optimalisasi Penentuan Jadwal Tanam Jagung dengan Menggunakan Integrasi Model Resiko Rantai Pasok. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 20(1) p.48-56. Suharjito, 2011. Pemodelan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan Cerdas Manajemen Resiko Rantai Pasok Produk/Komoditi Jagung. Sekolah Pascasarajana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendi, A. 2009. Keuntungan Kompetitif Melalui Strategi Kompensasi Sumberdaya Manusia dan Orientasi Pasar: Studi Kasus Pada PT Indosat, Tbk. Program Studi Magister Manajemen. Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Sun, D., H.Qiu, J.Bai, H.Liu, G.Lin, S.Rozelle, 2013. Liquidity Constraints and Postharvest Selling Behavior: Evidence from China’s Maize Farmers. The Developing Economies Journal. Vol 51 Issue 3.p.260-277. Sunarti, E., dan Khomsan, A. ( ? )Kesejahteraan Keluarga Petani: Mengapa Sulit Diwujudkan ?. Institut Pertanian Bobor (IPB). Bogor. Suri, T., 2011. Selection and Comparative Advantage in Technology Adoption.Journal Econometrica. Vol 79 Issue 1 p.159-209. Suryabrata, S., 1983. Metode Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta. Syaifullah, 2010. Pengenalan Metode AHP (Analitical Hierarchy Process). Wordpress.com Tanaya,I.G.L.P., M.McGregor dan P.Batt, 2002. Buyer-Seller Relationships in Dryland Farming Supply Chains in Lombok Indonesia, 1Muresk Institut Pertanian, Curtin University of Technology, Australia, 2Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, Indonesia Tanaya,I.G.L.P., 2010. Inclusion Small-Scale Farmers in Supply Chain Management: Empirical Evidence from Dryland Farmers in Lombok. Department of Agribusiness – University of Mataram Thomas,D.J. dan P.M.Grifin, 1996. Coordinated Supply Chain Management. European Jurnal of Operation Research. Vol.94. No.1 pp.1-15. Tunggal,A.W. 2011. Dasar-dasar Intergrated Supply Chain Management. Harvarindo. Jakarta. Utomo,D., 2011. Strategi Supply Chain Management pada Proses Produksi dan Saluran Distribusi terhadap Agroindustri Mangga mangifera indica di Kabupaten Probolinggo. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Vredenbregt,J., 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta.
252
Vuuren, T, Lambard, M.R., and Tonder, E., 2012. Customer satisfaction, trust and commitment. the Department of Marketing Management, University Johannesburg.Southern African Business Review.Volume 16 Number.3.. Walter,A., Mueller, Thilo A., Helfert, G., 2008. The Impact of Satisfaction, Trust, and Relationship Value on Commitment: Theoretical Considerations and Empirical Results. Organizacija, Volume 41. Number 5, SeptemberOctober 2008. Warning,M. dan N.Key, 2002. The Social Performance and Distributional of Consequences of Contract Farming: An Equilibriym Analysis of Arachide de Bouche Program and Sinegal, Word Development 30(2).255-63. Wenno, D., 2010. Analisis Pendapatan Petani Jagung Peserta Program Agribisnis Pedesaan di Kabupaten Nabire. Journal Agroforestry. Vol.V No. 2 Juni 2010. p.156-164. Whang,S. dan Cheung,W., 2004. E-Business Adoption by Travel Agencies : Prime candidates for Mobile e-Business. International Journal of Electronic Comerce. Vol.8 (3) pp.43-63. Widodo,K.H., K.Pramudya, A.Abdullah dan N.Pujawan, 2011. Supply Chain Management Agroindustri yang Berkelanjutan. Lubuk Agung. Bandung. Wilson,D.T., 1995. An Integrated Model of Buyer-Seller Relationships. Journal of The Academy of Marketing Science, 23(4) p.335-346. Winter, P., Phil Simmons, dan I.Patrick, 2005. Evaluation of a Hybrid Seed. Contract between Smalholders and Multinasional Company in East Java-Indonesia. The Journal of Development Studies, 41.p.62-89. Yahya,M. dan Y.Agunggunanto, 2011, Teori Bagi Hasil dan Perbankan Syariah Dalam Ekonomi Syariah. Yamin, S. dan H.Kurniawan, 2009. Structural Equation Modeling: Belajar Lebih Mudah Teknik Analisis Data Kuesioner dengan Kisrel – PLS. S lemba Infotek. Jakarta. Yacoub, Amak M., 2012. Pengaruh Mediasi Kepercayaan pada Hubungan Antara Kolaborasi Supply Chain dan Kinerja Operasi. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan.Vol.14 No.2 September 2012. p.138146. Yusuf,P., 2009. Hubungan Kualitas Pelayanan Dengan Kepuasan Pengusaha di Kawasan Berikat Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A2 Tangerang. FISIP Universitas Indonesia. Jakarta. Zhao, Y., 2012. A Study of Strategic Orientation and Products. International Journal of Quality and Innovation. Vol.2 No.1 Inderscience Enterprises Ltd. p.44-60 Zulganef, 2008. Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Graha Ilmu. Yogyakarta.