I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanaman jagung di Indonesia (Zea mays L.) merupakan komoditas tanaman pangan terpenting kedua setelah padi. Tanaman ini berasal dari Amerika. Sekitar abad ke-16, orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Tanaman jagung tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan daerah penghasil utama berada di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung (Purwanti dkk., 2002). Selain sebagai bahan pangan, jagung yang masih muda dapat dikonsumsi manusia sebagai sayuran dan yang tua dapat diolah menjadi tepung jagung serta dapat digunakan sebagai makanan ternak, bahan dasar industri kertas, minyak, dan lainlain (Danarti & Najiati, 1999). Kebutuhan terhadap konsumsi jagung di Indonesia terus meningkat terutama bagi usaha peternakan dan industri. Pada tahun 2006, Indonesia mengimpor jagung sebanyak 400 ribu ton, dan pada tahun 2007 sebesar 1,6 juta ton. Pada tahun 2008, pemerintah telah mencanangkan swasembada jagung dengan target produksi 15 juta ton. Target tersebut dapat terpenuhi apabila ada dukungan dari pemerintah melalui pemberian subsidi benih unggul pada kelompok tani (Chevny, 2006 dalam Laila, 2007).
2
Angka Ramalan I (ARAM I) produksi jagung tahun 2009 diperkirakan sebesar 16,48 juta ton pipilan kering. Dibandingkan produksi tahun 2008, terjadi kenaikan sebesar 154,32 ribu ton (0,95%). Kenaikan produksi tahun 2009 diperkirakan terjadi karena naiknya luas panen seluas 5,87 ribu ha (0,15%) dan produktivitas sebesar 0,32 kuintal/ha (0,78%) , serta penurunan kerusakan jagung akibat serangan penyakit dan hama, yaitu dengan penggunaan varietas jagung unggulan (Agro-Indonesia 14-20 April 2009). Provinsi Lampung hingga saat ini menduduki urutan ketiga sebagai salah satu produsen jagung di Indonesia setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jagung Lampung pada tahun 2009 mencapai 850,23 ribu ton biji kering. Dibandingkan tahun 2008, produksi naik 73,74 ribu ton atau 9,5%, dan 3,04 juta ton (22,85%) di tahun 2007. Kenaikan produksi 2009 itu karena adanya peningkatan panen seluas 46,2 ribu ha (7,81%) dan kenaikan produktivitas 0,2 kuintal per ha (1,52%) (BPS Propinsi Lampung, 2009). Kenaikan produksi ini menunjukkan bahwa jagung merupakan komoditas strategis yang produksi nasionalnya yang perlu ditingkatkan. Namun demikian, usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain kesuburan tanah, budi daya yang kurang baik, serta permasalahan hama dan penyakit tanaman jagung. Hama penting yang ada pada pertanaman jagung antara lain ulat penggerek batang (Ostrinia furnacalis), ulat penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), lalat bibit (Atherigona sp.) dan ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Kartasapoetra, 1987).
3
Ulat penggerek batang (Ostrinia furnacalis) banyak terdapat di daerah pertanian India, Jepang dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dalam serangannya setiap lubang yang digereknya, sering terdapat lebih dari seekor ulat. Dengan demikian ulat ini mampu merusak bunga dan bakal buah yang masih muda dengan melalui lubang yang digereknya dalam batang. Ulat ini berkembang dengan pesat di daerah yang beriklim kering atau kemarau. Ulat penggerek batang ditemukan hampir di seluruh tanaman jagung di Provinsi Lampung dan mengakibatkan penurunan hasil produksi (Surtikanti, 2002). Ulat penggerek tongkol (Helicoverpa armigera) terkenal sebagai perusak tanaman jagung yang terdapat di dataran rendah ataupun dataran tinggi. Bagian tanaman jagung yang dirusaknya terutama buah-buah jagung. Ulat Helicoverpa yang tidak berhasil masuk ke dalam buah jagung, sebagai makanannya merusak daun jagung yang masih muda. Tongkol yang terserang ditandai rambut atau ujungnya nampak termakan ulat penggerek tongkol atau pada bagian tersebut nampak aktivitas penggerek (Pracaya, 2005). B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan ulat penggerek batang (Ostrinia furnacalis) pada batang dan ulat pengggerek tongkol (Helicoverpa armigera) pada tanaman jagung pada dua musim berbeda di Kecamatan Metro Kibang Lampung Timur. C. Kerangka Pemikiran Ulat penggerek batang dan penggerek tongkol merupakan hama utama pada tanaman jagung. Hama ini dapat mengakibatkan produktivitas tanaman yang
4
terserang menurun hingga 10%, sedangkan varietas tertentu dapat mencapai 40% (Kompas, 2008). Serangan ulat penggerek batang (Ostrinia furnacalis) muncul sejak tanaman jagung mulai berbuah, atau sejak bunga betina muncul. Hama ini meletakkan telurnya pada daun. Setelah menetas, larvanya akan memakan batang jagung dan menyerang rambut serta pucuk tongkol buah. Tanda serangan ulat yang masih muda terlihat garis-garis putih bekas gigitan, berikutnya tampak adanya lubang gerekan pada batang yang disertai adanya tepung gerek (Endros, 2009). Ulat penggerek buah atau tongkol (Helicoverpa armigera) menyerang setelah tanaman berumur 45 hari setelah tanam. Kuncup buah jagung yang masih muda jika terserang akan rusak dan apabila seludangnya dibuka di dalamnya ditemukan ulat. Bagian dari biji-biji jagung yang sudah terserang ulat tersebut menjadi hampa. Biji hampa dalam keadaan seludang terbuka memudahkan terkontaminasi jamur sehingga menjadi busuk dan berwarna hitam (Pracaya, 2005). Tingkat serangan hama ini diduga berbeda pada kondisi iklim yang berbeda yaitu pada musim hujan dan musim kemarau. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh tingkat populasi hama yang berbeda pada kedua musim tersebut. Lokasi tanaman juga kemungkinan berpengaruh terhadap tingkat serangan hama tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan pada kedua musim yang berbeda dan lokasi tanam yang berbeda pula. Penelitian ini menggunakan varietas yang digunakan oleh petani di Kecamatan Metro Kibang Lampung Timur. Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat serangan hama penggerek batang (Ostrinia furnicalis) pada batang dan penggerek
5
tongkol (Helicoverpa armigera) pada tanaman jagung pada musim hujan dan musim kemarau.