PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN SUMEDANG
DADANG ROMANSAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK DADANG ROMANSAH. Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.; Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. Pengelolaan hutan rakyat ini pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Penelitian ini mencoba mengungkap peranan hutan rakyat di dalam perekonomian wilayah khususnya di Kabupaten Sumedang. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat minimnya informasi mengenai dampak riil pembangunan hutan rakyat yang ada saat ini. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui praktek pengusahaan hutan rakyat dan tingkat kelayakan finansial pengusahaan komoditas hutan rakyat jenis jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikelola secara monokultur maupun campuran, mengetahui jaringan dan margin pemasaran kayu rakyat jenis jati dan mahoni, mengetahui peran sektor hutan rakyat dalam struktur perekonomian wilayah ditinjau dari total nilai produksi, nilai tambah bruto (NTB), struktur permintaan serta multiplier output dan pendapatan melalui pendekatan analisis input output. Hasil penelitian menunjukkan dari tujuh pola pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Sumedang, pola kebun campuran antara jati, mangga, padi dan jagung merupakan pola tanam yang paling menguntungkan bagi petani dengan nilai IRR 47,83%. Pada tingkat suku bunga 18% pola ini menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 13.505.330,- dan BCR 2,25 dengan daur pengusahaan selama 20 tahun. Hal tersebut menunjukkan efektivitas biaya yang tinggi sehingga petani masih mampu mengembalikan modal pinjaman pada tingkat suku bunga 18%. Pelaku pemasaran dalam tataniaga kayu rakyat terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, industri penggergajian, industri meubelair, dan pedagang/industri pengolahan antar kabupaten/propinsi. Petani menjual hasil kayu rakyat melalui pedagang pengumpul dalam bentuk pohon berdiri. Dalam tata niaga kayu rakyat ini petani cenderung hanya berperan sebagai price taker (pengambil harga). Harga rata-rata di tingkat petani untuk kayu mahoni sebesar Rp. 283.209,47/m3, sedangkan harga rata-rata kayu jati sebesar Rp. 574.071,71/m3. Berdasarkan hasil analisis input-output peran hutan rakyat dalam perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang relatif kecil dibanding sektor-sektor lainnya. NTB yang dihasilkan sektor hutan rakyat hanya sebesar Rp. 17,36 milyar (0,45%) yang terdiri dari upah dan gaji Rp. 397 juta, surplus usaha Rp. 16,74 milyar, penyusutan Rp. 196 juta dan Rp. 21 juta pajak tak langsung. Selain itu dilihat dari nilai multiplier output, peningkatan permintaan akhir sektor hutan rakyat sebesar satu satuan hanya akan meningkatkan ouput seluruh sektor perekonomian termasuk sektor kehutanan itu sendiri sebesar 1,03 satuan. Analisis multiplier pendapatan menunjukkan bahwa sektor hutan rakyat memiliki efek pengganda pendapatan sebesar 1,14 (tipe I) dan 1,45 (tipe II). Peran hutan rakyat yang masih relatif kecil ini diharapkan tetap dapat menjadi pendorong pengembangan usaha hutan rakyat ke depan.
PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN SUMEDANG
DADANG ROMANSAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
Dadang Romansah E051020261
Judul
: Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang
N a m a Mahasiswa
: Dadang Romansah
NRP
: E051020261
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A Ketua
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.
Tanggal Ujian: 5 Februari 2007
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Hutan rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pola pemanfaatan lahan ini sudah berlangsung sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Saat ini keberadaannya menjadi penting mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari hutan rakyat. Penelitian dengan judul “Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang” ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar peranan hutan rakyat dalam perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang mengingat cukup besarnya potensi hutan rakyat di daerah tersebut serta tingkat kelayakan pengusahaan hutan rakyat oleh masyarakat Sumedang. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tulisan ini serta Bapak Dr. Ir. Hardjanto, MS yang telah banyak memberi saran untuk perbaikan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang atas segala bantuannya serta kepada para pendamping yang telah mendampingi penulis pada saat pegumpulan data di lapangan. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk ayah, ibu, istri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan doa dan dorongan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat memberi manfaat bagi pembangunan di Kabupaten Sumedang, terutama dalam pengembangan hutan rakyat.
Bogor, Februari 2007
Dadang Romansah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1975 di Sumedang Jawa Barat sebagai putra dari pasangan H. Maman dan Hj. Oom. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah atas diselesaikan di Sumedang mulai tahun 1984 – 1995. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Negeri Cibugel pada tahun 1989, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Cibugel diselesaikan pada tahun 1992 serta pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sumedang selesai pada tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan dan pada tahun 2002 diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA........................................................................................................
vi
DAFTAR ISI.....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xii
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................................
1
Perumusan Masalah ....................................................................................
3
Tujuan Penelitian ........................................................................................
3
Manfaat Penelitian ......................................................................................
4
Kerangka Pemikiran ...................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
6
Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat ...........................................................
6
Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Rakyat ...............................................
8
Pendapatan Pengusahaan Hutan Rakyat .....................................................
8
Saluran Pemasaran dan Margin Pemasaran ................................................
9
Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah ........................................
9
Pengertian Perencanaan Ekonomi...............................................................
10
Analisis dan Model Tabel Input-Output .....................................................
11
Peranan Analisis Input-Output....................................................................
13
Analisis Input-Output .................................................................................
14
METODOLOGI ................................................................................................
17
Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................................
17
Pendekatan ..................................................................................................
17
Jenis Data ....................................................................................................
17
Metode Pengambilan Contoh......................................................................
18
Batasan dan Pengertian (Terminologi) .......................................................
18
Analisis Deskriptif Praktek Pengusahaan Hutan Rakyat ............................
19
Analisis Kelayakan Pengusahaan Komoditas Hutan Rakyat ......................
20
vii
Analisis Pemasaran Komoditas Hutan Rakyat ...........................................
21
Penyusunan Tabel Input-Output .................................................................
21
Klasifikasi Sektor ........................................................................................
22
Pengolahan Data .........................................................................................
23
Analisis Data ...............................................................................................
24
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELTIAN Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan .......................................
31
Kondisi Sumberdaya Alam .........................................................................
31
Kependudukan ............................................................................................
34
Perekonomian .............................................................................................
35
Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga ......................................................
38
Keadaan Sarana Transportasi dan Komunikasi ..........................................
39
Penggunaan Lahan ......................................................................................
41
Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang .............................
45
Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Hutan Rakyat .................
49
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
51
Karakteristik Petani.....................................................................................
51
Penguasaan Lahan Hutan Rakyat ...............................................................
56
Kerapatan Hutan Rakyat .............................................................................
58
Sistem Pengusahaan Hutan Rakyat.............................................................
61
Penggunaan Input Produksi ........................................................................
75
Sumber Pendanaan ......................................................................................
76
Pemasaran Kayu Rakyat .............................................................................
76
Tata Usaha Kayu Rakyat ............................................................................
88
Analisis Kelayakan Usaha Hutan Rakyat ..................................................
92
Kontribusi Hutan Rakyat Bagi PAD ...........................................................
96
Peran Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Wilayah ...........................
98
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
110
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................
111
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tabel transaksi input-output sederhana ....................................................
26
2.
Luas wilayah Kabupaten Sumedang berdasarkan kelompok ketinggian diatas permukaan laut. ............................................................
32
3.
Luas Kabupaten Sumedang berdasarkan jenis tanah ...............................
33
4.
Tingkat curah hujan di Kabupaten Sumedang .........................................
34
5.
PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan harga berlaku periode 1999-2003.................................................................................................
37
6.
Panjang jalan di Kabupaten Sumedang ....................................................
39
7.
Luas lahan menurut jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang .................................................................................................
42
8.
Luas Kecamatan Tomo berdasarkan penggunaan lahan .........................
43
9.
Luas Kecamatan Darmaraja berdasarkan penggunaan lahan ...................
45
10. Luas Kecamatan Jatigede berdasarkan penggunaan lahan .......................
45
11. Produksi kayu rakyat di wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2004 .......
46
12. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok umur ...........................
51
13. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ..................................
53
14. Pengalaman petani responden dalam mengelola hutan rakyat ..................
54
15. Jumlah tanggungan rumah tangga petani di lokasi penelitian...................
55
16. Luas kepemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian .................................
57
17. Kerapatan tegakan rata-rata hutan rakyat .................................................
60
18. Penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan hutan rakyat .......................
65
19. Perkembangan industri meubel di Kabupaten Sumedang periode 1999-2003.................................................................................................
80
20. Harga jual kayu jati dan mahoni di tingkat petani ...................................
84
21. Komponen biaya tataniaga mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang .......
85
22. Komponen biaya tataniaga jati rakyat di Kabupaten Sumedang..............
86
23. Margin rata-rata tataniaga kayu bulat.......................................................
87
24. Hasil analisis finansial pengusahaan hutan rakyat per hektar di Kabupaten Sumedang ...............................................................................
93
25. Hasil uji sensitivitas pengusahaan hutan rakyat per hektar di Kabupaten Sumedang ...............................................................................
95
ix
26. Retribusi angkutan hasil hutan kayu rakyat tahun 2004 ..........................
96
27. Produksi kayu rakyat tahun 2004 .............................................................
97
28. Permintaan antara dan permintaan akhir sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang Tahun 2003...................................
99
29. Konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah terhadap sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ..............................
100
30. Kontribusi nilai tambah bruto sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ..........................................................
101
31. Distribusi output sektoral perekonomian Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ...............................................................................................
103
32. Multiplier output sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang .................................................................................................
104
33. Multiplier pendapatan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang .................................................................................................
105
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian ................................................................
5
2.
Persentase wilayah berdasarkan ketinggian tempat .................................
33
3.
Padi sawah siap panen di lokasi penelitian ..............................................
36
4.
Perkembangan PDRB sektor pertanian periode tahun 1999-2003 ...........
38
5.
Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang ...............
47
6.
Pemanfaatan lahan berbatu untuk penanaman hutan rakyat ....................
56
7.
Jumlah tegakan berdasarkan kelas umur: tegakan jati; (b) tegakan mahoni; (c) tegakan seluruh jenis kayu-kayuan; dan (d) tegakan kayukayuan dan buah-buahan ..........................................................................
61
Proporsi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan tanaman pangan di hutan rakyat ..........................................................................................
66
Proporsi penggunaan tenaga kerja pada tanaman hutan pengusahaan hutan rakyat ..............................................................................................
67
10. Proporsi penggunaan tenaga kerja untuk tanaman hortikultur pada pengusahaan hutan rakyat ........................................................................
68
11. Proporsi penggunaan pupuk oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat ..............................................................................................
71
12. Proporsi kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh responden pada pemeliharaan hutan rakyat .......................................................................
73
8. 9.
13. Obat pembasmi hama tradisional yang digunakan petani ; (a) ekstrak daun mindi, (b) ekstrak daun suren, (c) ekstrak rebung ............................
75
14. Alur tataniaga kayu mahoni dan kayu jati ................................................
77
15. Barang setengah jadi yang dihasilkan dari kayu rakyat ...........................
81
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Peta administrasi kabupaten sumedang ....................................................
2.
Data pokok petani hutan rakyat di Desa Ciranggem dan Desa Karedok Kecamatan Jatigede ................................................................... Data pokok petani hutan rakyat di Desa Neglasari dan Desa Karangpakuan Kecamatan Darmaraja ...................................................... Data pokok petani hutan rakyat di Desa Jembarwangi dan Desa Darmawangi Kecamatan Tomo ................................................................ Rekapitulasi data pokok responden pedagang kayu rakyat di lokasi penelitian .................................................................................................. Rekapitulasi data pokok pemilik industri meubel .................................... Jumlah dan jenis kayu rakyat yang dimiliki oleh petani hutan rakyat ..... Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola I di Kab. Sumedang ................................................. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola I di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000-,) ....................................................... Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola I di Kab. Sumedang ................................................................................................. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola I (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ................................ Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola II di Kabupaten Sumedang .................................... Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola II di Kab. Sumedang (x Rp. 1000,-) ......................................................................... Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola II di Kabupaten Sumedang ................................................................................................. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola II (Df 18%) di Kab. Sumedang (x Rp 1.000,-) ......................................... Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola III di Kab. Sumedang ............................................ Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola III di Kab. Sumedang (x Rp 1.000-,) ......................................................................... Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola III di Kab. Sumedang ................................................................................................. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola III (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ............................. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang ............................................ Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang .................................................................................... Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang (x Rp 1.000-,) ................................................................. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola IV (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) .............................
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
112 113 114 115 116 118 120 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
xii
24. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola V di Kab. Sumedang.............................................. 25. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola V (x Rp 1.000-,) ..................................................................................................... 26. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola V di Kab. Sumedang ........................................................................................ 27. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola V (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ............................... 28. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VI di Kab. Sumedang ............................................ 29. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VI (x Rp 1.000-,) ..................................................................................................... 30. Produksi dan hasil Penjualan tanaman hasil HR pola VI di Kab. Sumedang ................................................................................................. 31. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola VI (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ............................. 32. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VII di Kab. Sumedang ........................................... 33. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VII (x Rp 1.000-,) ..................................................................................................... 34. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola VII di Kab. Sumedang ................................................................................................. 35. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola VII (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ............................
138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian, khususnya sub-sektor kehutanan telah memberikan andil yang sangat besar dalam pembangunan nasional selama ini. Bahkan sub-sektor kehutanan pada awal pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru menjadi tulang punggung perekonomian nasional guna memperoleh dana lancar yang cepat sebagai modal awal pembangunan. Dana lancar tersebut diperoleh melalui pemanenan kayu dari hutan alam. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kontinuitas pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu yang hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam sulit diharapkan. Demikian pula pasokan dari HTI (Hutan Tanaman Industri) yang masih jauh dari target. dikembangkan
oleh
Untuk mengatasi hal tersebut, alternatif lain yang bisa pemerintah
saat
ini
salahsatunya
adalah
dengan
mengembangkan dan membangun Hutan Rakyat (HR). Pengelolaan Hutan Rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.
Masyarakat di daerah pedesaan
telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa.
Misalnya di Jawa Barat ada yang dinamakan talun, tembawang di
Kalimantan Barat dan repong damar di Krui Lampung.
Mereka umumnya
mengelola lahan milik tersebut dengan aneka tanaman keras dan biasanya dipadukan dengan tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak atau dengan tanaman pangan lainnya yang biasanya disebut sebagai pola agroforestry. Pola ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi. Jawa Barat merupakan daerah yang cukup potensial dalam upaya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat. Demikian pula halnya dengan Kabupaten Sumedang, dimana sektor pertanian masih merupakan sektor andalan dalam memacu perekonomian wilayah.
Berdasarkan nilai PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan
Usaha pada tahun 2002 (BPS, 2002), untuk Kabupaten Sumedang sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan penyumbang terbesar dibanding dengan sektor-sektor lainnya yaitu Rp. 1.174.965 juta.
Diurutan
selanjutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran Rp. 914.482 juta, sektor industri pengolahan Rp. 590.410 juta, sektor jasa Rp. 366.904 juta, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 141.408 juta. Dengan demikian, sebagai salah satu sektor andalan sektor pertanian tentunya sangat diharapkan untuk terus berkembang dan mampu menjadi leading sektor (sektor pemimpin) dalam pembangunan perekonomian wilayah. Dalam kontribusinya sektor pertanian khususnya kehutanan di Kabupaten Sumedang telah memberikan peran yang cukup penting sebagai daerah penghasil kayu baik kayu dari kawasan hutan negara (Perum Perhutani Unit III) maupun kayu dari tanah milik (hutan rakyat) di Jawa Barat.
Berdasarkan data BPS
Kabupaten Sumedang (2002), jenis kayu yang selama ini menjadi produk utama dari wilayah Kabupaten Sumedang adalah kayu jati, mahoni, dan pinus. Produksi ketiga jenis kayu tersebut dari areal hutan rakyat mengalami peningkatan pada tahun 2002 dibanding tahun sebelumnya, sementara produksi dari Perum Perhutani mengalami penurunan seiring dengan pelaksanaan moratorium logging. Produksi kayu jati rakyat tahun 2001 sebesar 5.724,9 m3 meningkat pada tahun 2002 menjadi 10.367,4 m3. Demikian pula dengan jenis kayu mahoni, tahun 2001 sebesar 14.319 m3 meningkat menjadi 24.080,7 m3 pada tahun 2002. Sedangkan untuk kayu pinus mengalami penurunan dimana pada tahun 2001 produksi kayu pinus sebesar 1.907,6 m3 menjadi 1.165,7 m3 pada tahun 2002. Namun secara keseluruhan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Sumedang pada tahun 2002 mengalami peningkatan dimana tahun 2001 hanya menghasilkan kayu sebesar 22.344,9 m3 meningkat menjadi 36.239,8 m3 pada tahun 2002.
2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Berapa besar peranan hutan rakyat terhadap total nilai produksi (output), NTB (Nilai Tambah Bruto), struktur permintaan dan multiplier output dan pendapatan terhadap sektor-sektor lainnya. b. Berapa besar tingkat kelayakan secara finansial pengusahaan komoditas kayu rakyat yang dikembangkan oleh petani. c. Bagaimana peranan kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui praktek pengusahaan hutan rakyat dan tingkat kelayakan secara finansial pengusahaan komoditas hutan rakyat jenis jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikelola secara monokultur (murni) maupun campuran. b. Mengetahui jaringan dan margin pemasaran kayu rakyat jenis jati dan mahoni c. Mengetahui peran sektor hutan rakyat dalam struktur perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang ditinjau dari total nilai produksi, Nilai Tambah Bruto (NTB), struktur permintaan serta multiplier output dan pendapatan. Manfaat Penelitian Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: a. Informasi dasar bagi para penentu kebijakan perekonomian wilayah dalam membuat rumusan program pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan sektor kehutanan.
3
b. Landasan analisis untuk menggali sumber pertumbuhan ekonomi baru terutama untuk pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini, potensi dan peranan hutan rakyat dalam struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang perlu diungkap mengingat minimnya informasi mengenai dampak riil pembangunan hutan rakyat yang ada saat ini. Secara makro perkiraan peranan hutan rakyat terhadap perekonomian wilayah dilakukan dengan pendekatan analisis input output. Dengan demikian maka dapat dilakukan analisis pengaruh sektor hutan rakyat terhadap ekonomi regional juga terhadap sektor perekonomian lainnya. Untuk mengetahui peranan hutan rakyat di tingkat petani dilakukan melalui analisis pengusahaan hutan rakyat secara mikro. Parameter yang digunakan antara lain tingkat kelayakan pengusahaan hutan rakyat dan saluran pemasaran. Polapola pengusahaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat perlu dianalisis dan dikembangkan agar dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Demikian pula dengan pola pemasaran yang selama ini berlangsung perlu dikaji sehingga dapat memberikan manfaat yang berimbang bagi setiap pelaku pemasaran.
4
PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT
Makro
Kontribusi komoditas hutan rakyat thd PDRB
Mikro
Lembaga Pemasaran
Tingkat Kelayakan
Keterkaitan thd sektor perekonomian lain
Petani
Wilayah
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni: 1. Analisis Finansial dan Sensitivitas (NPV, BCR, IRR) 2. Margin Pemasaran 3. Lembaga Pemasaran: (Saluran Tata Niaga)
Analisis InputOutput Metode Non-Survey
Harga
Dampak pengusahaan hutan rakyat terhadap: 1. Nilai Produksi/Output Wilayah 2. Nilai Tambah Bruto 3. Permintaan Akhir 4. Multiplier Effect
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni : 1. Tingkat Kelayakan dan Sensitivitas 2. Pola Pemasaran
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat Dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara dimana hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak tersebut sering disebut dengan hutan rakyat. Awang (2003) menyatakan ciri dari hutan rakyat adalah bahwa kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat. Walaupun demikian kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon, dan manfaatnya untuk masyarakat. Hutan rakyat ini ada yang bersifat subsisten dan ada yang dengan tujuan komersial. Program hutan rakyat biasanya diawali dengan satu kampanye dari pihak pemerintah kepada rakyat yang sebagian lahannya terlantar karena kritis. Lahan kritis ini bisa saja terjadi di lahan petani kecil maupun petani besar. Berdasarkan UU Kehutanan No.41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat tersebut sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang semakin hancur dewasa ini. Di Indonesia kegiatan pengembangan hutan rakyat pada dasarnya ada dua bentuk: 1) penanaman pohon yang bersifat swadaya, 2) penanaman pohon di atas lahan milik yang karena ada stimulasi dari program pemerintah seperti
penghijauan dan gerakan sejuta pohon. Hutan rakyat swadaya dapat dijumpai di daerah Gunung Kidul, pengembangan sengon di Purworejo, Wonosobo, Sukabumi, Garut, Sleman dan masih banyak tempat lainnya. Dephut (1990) mengemukakan bahwa berdasarkan jenis dan pola penanamannya hutan rakyat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan sistem wanatani atau tumpang sari. Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara monokultur. Hutan rakyat murni lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya namun dari segi silvikultur bentuk hutan rakyat murni memiliki beberapa kelemahan, diantaranya mudah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit dan gangguan alam seperti angin. Dari segi ekonomi hutan rakyat murni kurang fleksibel, tidak ada diversifikasi komoditas, sehingga ketahanan ekonominya kurang karena tergantung hanya pada satu jenis komoditas dan resiko yang besar. Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. Dari segi silvikultur bentuk hutan ini lebih baik daripada hutan rakyat murni. Hutan rakyat campuran lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan gangguan alam (angin). Selain itu dapat mengurangi terjadinya persaingan penggunaan zat hara oleh akar dan penggunaan cahaya matahari. Dari segi ekonomi, hutan rakyat campuran memiliki ketahanan dan fleksibilitas yang lebih tinggi, karena terdapat diversifikasi komoditas secara horizontal dan resiko yang lebih kecil sehingga tidak tergantung pada satu komoditas saja. Hutan rakyat dengan sistem wanatani merupakan hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usahatani lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada suatu lokasi. Hutan rakyat dengan sistem wanatani berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologi.
Bentuk hutan seperti ini
mempunyai daya tahan terhadap hama penyakit dan angin. Secara ekonomi, bentuk hutan ini memberikan keuntungan ganda melalui pemanenan bertahap yang berkesinambungan.
Adanya diversifikasi komoditas secara vertikal dan
7
horizontal mengakibatkan nilai ekonomi diperoleh semakin tinggi dan penyerapan tenaga kerja semakin banyak dan berkelanjutan.
Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Rakyat Biaya adalah satuan-satuan nilai yang dikorbankan untuk proses produksi. Pengorbanan ini hanya merupakan biaya, jika nilai yang dikorbankan mempunyai nilai ekonomis yang bertujuan untuk memprodusir barang-barang atau jasa (Adikoesoemah, 1982). Dalam pengusahaan hutan rakyat untuk jenis sengon, petani hutan rakyat umumnya menjual hasil hutannya berupa kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada pedagang perantara (tengkulak). Oleh karena itu maka biaya pemanenan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran tidak ditanggung oleh petani melainkan ditanggung oleh pembeli (Wahyuningsih, 1993). Dengan demikian, biaya produksi yang ditanggung oleh petani hanyalah biaya pembangunan pengelolaan hutan mulai dari biaya sewa tanah, pengadaan barang modal (peralatan), pengadaan bibit, tenaga kerja, pupuk, obat-obatan pembasmi hama dan penyakit, bunga modal dan pajak. Pendapatan Pengusahaan Hutan Rakyat Pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari penjualan hasil hutan rakyat berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar. Besarnya pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat dapat dihitung berdasarkan kepada banyaknya ratarata panen dari bentuk produk pohon berdiri per satuan luas dikalikan dengan harga yang berlaku saat itu. Menurut
Sumarta
(1963),
besarnya
pendapatan/penerimaan
dari
pengusahaan hutan rakyat belum merupakan indikator bagi besarnya keuntungan yang diperoleh petani pemilik karena masih tergantung kepada besar kecilnya ongkos produksi yang dikeluarkan.
Besarnya keuntungan pengusahaan hutan
rakyat tergantung pada faktor-faktor lokasi (ekonomi) dan kesuburan tanah, cara pembinaan, jenis tanaman campuran, dan harga hasil produksi.
8
Saluran Pemasaran dan Margin Pemasaran Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya kepada konsumen. Dalam proses penyaluran produk dari petani hingga ke tangan konsumen memiliki banyak alternatif saluran pemasaran dan melibatkan lembaga-lembaga pemasaran yang merupakan badan yang meyelenggarakan kegiatan dan fungsi pemasaran. Produk-produk yang melalui beberapa lembaga pemasaran akan mengalami peningkatan harga. Peningkatan harga ini terjadi karena adanya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pendistribusian dan keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran.
Biaya-biaya yang digunakan oleh lembaga pemasaran ditujukan
untuk melakukan fungsi pemasaran yang akan dapat meningkatkan kegunaan, bentuk, waktu dan tempat dari produk yang didistribusikan. Hanafiah dan Saefudin (1986), mengemukakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran suatu barang niaga ditandai dengan berapa banyaknya pedagang perantara yang dilalui oleh barang niaga tersebut sejak dari produsen hingga konsumen akhir. Bila pedagang perantara yang dilaluinya banyak maka dikatakan bahwa saluran pemasaran dari barang niaga tersebut panjang. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses barang dari produsen ke konsumen akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut diantara tingkat produsen dan konsumen akhir dan semakin besar pula harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Perbedaan harga tersebut disebut margin pemasaran. Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah Wilayah merupakan suatu nodal atau polarisasi yang terdiri atas satuansatuan homogen, seperti kota dan desa yang secara fungsional saling terkait (Sukirno, 1976). Atas dasar pengertian tersebut, wilayah diklasifikasikan menjadi tiga tipe wilayah yaitu, (1) wilayah formal, (2) wilayah fungsional, dan (3) wilayah perencanaan. Wilayah formal diartikan sebagai bagian dari permukaan bumi atau wilayah geografis yang seragam menurut kriteria tertentu.
Pada
awalnya digunakan keseragaman fisik (topografi, iklim, dan vegetasi), kemudian berkembang menjadi kriteria sosial politik.
Sedangkan wilayah fungsional
9
diartikan sebagai wilayah geografis yang memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu, sementara wilayah perencanaan merupakan kombinasi antara wilayah formal dan wilayah fungsional. Selanjutnya Glasson (1977) menyatakan bahwa wilayah perencanaan tersebut antara lain haruslah cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi berskala ekonomi dan harus mampu memasok industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang diperlukan. Disamping itu, sekurang-kurangnya harus mempunyai satu titik pertumbuhan dengan menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan dimana masyarakat mempunyai kesadaran bersama terhadap semua persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, pembangunan atau pengembangan wilayah dalam arti sempit dapat diturunkan dari pengertian regional development, sedangkan dalam arti luas dikembangkan dari pengertian regional planning yang lebih menekankan analisisnya pada aspek-aspek tata ruang, tataguna lahan dan perencanaan. Menurut Todaro (1983), keberhasilan pembangunan suatu negara harus didasarkan pada empat kriteria yaitu: (1) pendayagunaan tenaga kerja, (2) pengurangan tingkat kemiskinan, (3) kebijakan untuk distribusi pendapatan, dan (4) peningkatan produktivitas tenaga kerja. Keempat kriteria tersebut harus berjalan secara simultan, sehingga di dalam proses pembangunan yang sedang berjalan terlihat adanya perubahan struktur masyarakat, keuntungan untuk seluruh masyarakat melalui distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan efisiensi. Pengertian Perencanaan Ekonomi Perencanaan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke waktu dengan melibatkan kebijaksanaan (policy) dari pembuat keputusan berdasarkan sifat sumberdaya yang tersedia dan disusun secara sistematis (Soekartawi, 1990).
Dalam prakteknya dibedakan menurut skala jangkauan
jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Oleh karena itu suatu perencanaan akan selalu berkesinambungan dan bertahap serta saling berkait antara satu tahap dengan tahapan lainnya.
10
Ardani dan Iswara dalam Soekartawi (1990) menyatakan bahwa perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain: a. Perencanaan yang diartikan sebagai pemilihan alternatif b. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumberdaya yang tersedia c. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran, dan d. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan. Menurut Dalton dalam Jhingan (1999), perencanaan ekonomi dalam pengertian yang paling luas adalah pengaturan dengan sengaja oleh orang yang berwenang mengenai sumber-sumber kegiatan ekonomi ke arah tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya Lewis dalam Jhingan (1999) mengartikan perencanaan ekonomi sebagai suatu rencana pengorganisasian perekonomian di mana pabrik, perusahaan, dan industri yang terpisah-pisah dianggap sebagai unit-unit terpadu dari satu sistem tunggal dalam rangka memanfaatkan sumber yang tersedia untuk mencapai kepuasan maksimum kebutuhan rakyat dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam perencanaan pembangunan regional terdapat beberapa teknik analisis regional yang dapat dipergunakan untuk menentukan atau memilih aktivitas ekonomi yang dikembangkan dalam suatu daerah atau menentukan lokasi yang sesuai dengan aktivitas ekonomi. Teknik-teknik yang dimaksud ini antara lain Basis
Ekonomi,
Multiplier
Regional,
Model
Gravitasi,
Analisis
Titik
Pertumbuhan dan Analisis Input-Output (Richardson, 1972). Analisis dan Model Tabel Input-Output Pendekatan Analisis input-output untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930 yang didasarkan pada pendekatan bahwa hubungan interdependensi antara suatu sektor dengan sektor lainnya dalam perekonomian adalah sedemikian rupa sehingga dapat dinyatakan dalam rangkaian persamaan linier. Sedangkan keadaan struktur perekonomian terlihat pada besarnya nilai-nilai ketergantungan antarsektor tersebut.
Tujuan utama dari model input-output 11
adalah untuk menjelaskan besarnya arus antarindustri atau antar sektor sehubungan dengan tingkat produksi masing-masing sektor. Untuk itu diperlukan beberapa asumsi dasar yaitu : 1. Tiap komoditas (kelompok komoditas) dihasilkan oleh suatu industri atau sektor produksi saja. 2. Input yang dibeli atau digunakan oleh tiap sektor merupakan suatu fungsi linier dari tingkat output sektor bersangkutan. 3. Efek total dari pelaksanaan berbagai tipe produksi merupakan jumlah masing-masing sektor secara terpisah. Hal yang demikian ini juga disebut sebagai asumsi additivitas yang mengabaikan faktor-faktor luar. Fungsi utama dari model input-output Leontief adalah dapat memberikan dasar bagi eksplorasi empiris di dalam wahana interaksi interindustri. Model ini memberikan kerangka yang konsisten dalam pengumpulan data, walaupun dalam pengujian
asumsinya masih menunjukkan formulasi teoritis yang komplek.
Model-model komplek seperti ini dibutuhkan data yang banyak dengan tetap menggunakan prinsip dasar model analisis interindustri. Lebih lanjut Glasson (1977) menyatakan model input-output dapat digunakan untuk meramalkan pengaruh pengganda output, pengganda pendapatan dan pengaruh pengganda tenaga kerja bagi setiap sektor ekonomi suatu wilayah. Apabila suatu target telah ditetapkan, misalnya maksimalisasi pendapatan wilayah atau tenaga kerja, maka analisis input-output dapat digunakan untuk menentukan sektor-sektor yang perlu mendapat injeksi investasi. Model tabel Miernyk (1969) menyatakan bahwa pada dasarnya sistem analisis Leonitief merupakan tabel transaksi input-output, yang penyusunannya mempunyai fleksibilitas pengklasifikasian penentuan sektor-sektor dalam tabel input-output tersebut. Sektor industri ataupun sektor-sektor lainnya dapat dipecahkan ke suatu tingkat detail sesuai dengan yang diinginkan dalam batas data yang tersedia. Demikian juga untuk sektor-sektor pembayaran (payment sectors) atau komponen permintaan akhir (final demand) dapat dipecahkan ke dalam sektor yang diinginkan.
12
Sehubungan dengan ketentuan teoritis, O'Connor dan Henry (1975) menyatakan bahwa tabel input-output harus disusun berdasarkan perlakuan impor secara kompetitif dan berdasarkan perlakuan impor secara non-kompetitif. Tabel input-output yang disusun berdasarkan perlakuan impor secara kompetitif, nilai impor dimasukkan ke dalam kolom khusus dengan tanda negatif dan ditempatkan di sebelah kanan dari kuadran permintaan akhir. Disamping itu, dalam tabel ini, arus transaksi antar industri dalam tabel terdiri atas komoditas, baik yang berasal dari sumber domestik maupun yang berasal dari impor. Tabel yang disusun berdasarkan impor secara non-kompetitif, maka nilai impor tersebut ditempatkan dalam baris tersendiri di dalam kuadran input primer. Selain model yang lain lagi yaitu model statis, model regional dan model interegional. Pada tabel input-output model statis disusun berdasarkan data yang terjadi pada saat tertentu sehingga koefisien-koefisien yang diperoleh juga bersifat disusun untuk tujuan analisis suatu daerah tertentu dan penyusunannya didasarkan pada data daerah yang bersangkutan. Untuk model interegional, tabel input-output disusun untuk tujuan analisis antar daerah. Oleh karena untuk kepentingan antar daerah, maka dalam penyusunannya harus didasarkan pada pengelompokkan sektor-sektor kegiatan ekonomi menurut daerah. Hal demikian dimaksudkan untuk dapat melihat hubungan transaksi baik antarsektor maupun antar daerah.
Peranan Analisis Input-Output Menurut Miernyk ( 1969), bahwa penggunaan analisis input-output pada dasarnya ditujukan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah untuk mengetahui : Struktur perekonomian Tabel input-output secara simultan menggambarkan hubungan permintaan dan penawaran pada tingkat keseimbangan. Dimana dalam kondisi struktur perekonomian yang seimbang ini maka baik interaksi maupun interdependensi antar segenap struktur ekonomi bisa diketahui pola dan kecenderungan perkembangannya.
13
Peramalan ekonomi Hubungan antara permintaan akhir dengan tingkat output terdapat hubungan yang bersifat linier. Atas dasar hubungan yang demikian ini, dengan melalui perlakuan (menentukan nilai permintaan akhir sedemikian rupa sesuai dengan nilai yang diprediksi akan terjadi di masa mendatang), maka akan dapat dilihat pengaruhnya terhadap tingkat output (pertumbuhan ekonomi) di masa yang akan datang. Sehubungan dengan peramalan ekonomi, Stone ( 1966) menyatakan bahwa dengan melalui metode RAS terhadap tabel input-output maka informasi perekonomian dimasa mendatang dapat diketahui. RAS tersebut diartikan sebagai suatu perkalian antara R sebagai pengali pengganti yang beroperasi di sepanjang baris, A sebagai matriks koefisien input antara dan S sebagai pengali fabrikasi yang beroperasi di sepanjang kolom. Akibat dari permintaan akhir Melalui proses pengolahan data maka dari tabel input-output dapat dihasilkan berbagai jenis nilai koefisien, yang masing-masing mempunyai fungsi analisis sesuai dengan aspek perekonomian yang dikaji. Atas dasar fungsifungsinya tersebut maka melalui tabel input-output dapat diketahui dampak dari suatu injeksi investasi, seperti halnya terhadap pendapatan, penyerapan tenaga kerja, keterkaitan antar sektor, kepekaan sektoral, multiplier dan sebagainya. Kelayakan dan kepekaan sektoral Tabel input-output juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pengembangan sektoral sekaligus derajat kepekaan sektoral. Oleh karena itu maka dapat diketahui pula mengenai sektor yang secara nyata mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian wilayah. Analisis Input-Output Melalui mekanisme perhitungan rumus-rumus yang berlaku di dalamnya maka tabel input-output dapat digunakan untuk mengetahui gambaran perekonomian suatu wilayah sesuai dengan aspek kepentingan analisis. Aspek-
14
aspek yang mempunyai fungsi dan kedudukan penting di dalam analisis perekonomian suatu wilayah di antaranya adalah : Efek pengganda Telah dinyatakan oleh Kadariah (1978) bahwa peningkatan aktivitas pemimpin sektor (leading sektor) ekonomi di suatu daerah pada masa berikutnya akan berpengaruh terhadap meningkatnya arus pendapatan ke daerah tersebut, meningkatkan konsumsi, meningkatkan permintaan barang dan jasa sektor-sektor lain yang pada akhirnya akan meningkatkan pula aktivitas sektor-sektor lain yang belum sempat menjadi pemimpin sektor. Demikian pula bahwa apabila terjadi mekanisme yang sebaliknya maka akan terjadi pengaruh yang sebaliknya pula. Efisiensi teknis Mengingat bahwa sistem perekonomian makro suatu daerah pada dasarnya juga merupakan suatu aktivitas produksi atau aktivitas ekonomi maka sehubungan dengan tersedianya faktor produksi yang terbatas, perlu dikaji mengenai kemampuan efisiensi ekonominya. Aktivitas perekonomian suatu daerah dikategorikan sebagai aktivitas produksi yang efisien apabila dalam menghasilkan output daerahnya mampu menciptakan proporsi nilai tambah bruto (NTB) yang lebih besar dari pada kebutuhan input antara. Sebaliknya bahwa apabila proporsi NTB yang diciptakannya lebih kecil dari pada proporsi input antara yang dibutuhkan, maka hal demikian berarti menunjukkan kemampuan produksi daerah yang bersangkutan tidak efisien. Hal demikian ini pada dasamya juga menunjukkan bahwa aktivitas produksi daerah yang bersangkutan terlalu menggantungkan pada faktor sumberdaya lingkungan setempat dari pada mementingkan pertumbuhan ekonomi. Keterkaitan antar sektor ekonomi Pada dasarnya upaya pembangunan ekonomi setiap daerah merupakan upaya menghidupkan segenap sektor perekonomian sebagai satu kesatuan, tetapi menjadi persoalan adalah bagaimana tingkat keterkaitan antar sektornya masingmasing, karena tidak semua sektor dalam suatu daerah perekonomian mempunyai nilai keterkaitan antarsektor yang sama. 15
Di dalam pembangunan ekonomi, suatu program dikategorikan efektif apabila injeksi investasi yang dilakukan lebih cenderung ditujukan kepada sektorsektor yang mempunyai derajat keterkaitan yang tinggi. Karena hal demikian pada dasarnya menunjukkan bahwa nilai keterkaitan antara sektor suatu sistem perekonomian daerah yang tinggi, juga menunjukkan kemampuan di dalam menciptakan kekokohan ekonomi daerah. Mengingat kondisi yang demikian ini berarti mempunyai kedudukan interaksi antarsektor yang kondusif. Derajat penyebaran antar sektor Injeksi investasi akan menghasilkan nilai tambah (value added) yang tinggi apabila sasaran injeksi tersebut diarahkan pada sektor yang mampu menarik sektor-sektor lainnya untuk meningkatkan outputnya, yang dalam hubungan analisis input-output disebut sebagai sektor yang mempunyai nilai backward spread tinggi. Di samping mampu menarik, maka suatu sektor dalam perkembangannya mampu menciptakan kepekaan terhadap perkembangan sektorsektor lainnya. Suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian apabila sektor tersebut mampu mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya dalam meningkatkan outputnya, yang dalam analisis input-output disebut sektor yang mempunyai nilai forward spread tinggi.
16
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan selama 6 bulan pada bulan Oktober 2004 – Maret 2005 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penetapan lokasi penelitian ini didasarkan pada sebaran luasan hutan rakyat dan sebaran jenis kayu jati dan mahoni di Kabupaten Sumedang. Penelitian dilakukan di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Jatigede, Darmaraja dan Tomo. Pendekatan Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pendekatan yang dipergunakan adalah : Pendekatan intersektoral dengan analisis input-output Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat peran dan potensi sektor-sektor dalam merangsang pengembangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Melalui analisis keterkaitan antar sektor dalam tabel transaksi input-output dapat diketahui pengaruh masing-masing sektor terhadap sektor-sektor lainnya. Identifikasi daerah Identifikasi daerah dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai situasi daerah dengan penekanan pada aspek fisik, penggunaan lahan dan kependudukan. Di samping itu, dimaksudkan untuk melihat masalah-masalah daerah yang perlu mendapat prioritas penyelesaian dalam rangka pengembangan pengusahaan hutan rakyat. Jenis Data Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan sebagai bahan analisis adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumedang dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Selain itu diperlukan pula data primer yang
mencakup informasi karakteristik petani, karakteristik komoditas hutan rakyat beserta outputnya, jenis kegiatan usaha lainnya diluar hutan rakyat, aspek biaya dan penerimaan dari pengusahaan hutan rakyat, serta aspek lembaga pemasaran
dan lembaga lainnya yang berperan atau terkait pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang. Metode Pengambilan Contoh Populasi contoh dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani yang mengusahakan hutan rakyat, pedagang, industri pengolah kayu hasil hutan rakyat, serta beberapa instansi daerah yang terkait dalam pembangunan hutan rakyat. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh tingkat tiga (three stage sampling). Satuan contoh tingkat pertama adalah kecamatan, satuan contoh tingkat kedua adalah desa, dan satuan contoh tingkat ketiga adalah rumah tangga. Dalam penelitian ini diambil 3 kecamatan contoh, yaitu di Kecamatan Darmaraja, Jatigede dan Tomo dimana dari masing-masing kecamatan diambil 2 desa contoh yaitu Desa Ciranggem dan Karedok mewakili Kecamatan Jatigede, Desa Karangpakuan dan Neglasari mewakili Kecamatan Darmaraja, Desa Darmawangi dan Jembarwangi mewakili Kecamatan Tomo. Penentuan kecamatan terpilih dilakukan secara purposive sampling atau contoh yang diarahkan dengan memperhatikan besar luasan hutan rakyat dan sebaran jenis kayu jati dan mahoni di wilayah kecamatan tersebut. Sedangkan contoh tingkat desa dipilih berdasarkan kriteria sedikitnya 50 persen dari seluruh rumah tangganya adalah petani yang memiliki lahan yang potensial untuk pengusahaan hutan rakyat. Selanjutnya dari masing-masing desa tersebut diambil sebanyak 10-15 rumah tangga petani contoh yang dipilih secara acak. Rumah tangga petani contoh ini adalah para petani hutan rakyat yang mengelola hutan rakyat jenis jati dan mahoni baik secara monokultur maupun campuran. Untuk pedagang, pengambilan sampel dilakukan terhadap pedagang kecil (pedagang dalam desa) maupun pedagang besar (pedagang antar kecamatan maupun antar kabupaten). Batasan dan Pengertian (Terminologi) 1. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik yang terdiri dari tanaman berkayu dengan berbagai pola tanam baik secara monokultur (murni) maupun campuran, yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah. 18
2. Hutan rakyat murni adalah areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami kayukayuan sejenis. 3. Hutan rakyat campuran adalah areal hutan rakyat yang ditanami dengan dua jenis atau lebih tanaman kayu-kayuan. 4. Kayu rakyat adalah komoditas kayu yang berasal dari hutan rakyat yang ditanam oleh pemiliknya atau tumbuh secara alami. 5. Pendapatan pengusahaan hutan rakyat adalah pendapatan yang diperoleh dari penjualan kayu rakyat. 6. Pemasaran kayu rakyat adalah penjualan kayu rakyat dalam bentuk tertentu (pohon berdiri, kayu bulat, kayu olahan) 7. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada hutan rakyat dengan jenis kayu mahoni (Swietenia macrophylla) dan kayu jati (Tectona grandis). Oleh karena itu penyebutan hutan rakyat dalam penelitian ini mengandung pengertian hutan rakyat dengan jenis kayu mahoni dan kayu jati. Analisis Deskriptif Praktek Pengusahaan Hutan Rakyat Untuk mengetahui gambaran umum praktek pengusahaan hutan rakyat dilakukan analisis deskriptif terhadap data-data yang telah dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner. Praktek pengusahaan hutan rakyat yang dimaksud disini adalah meliputi pengalaman mengusahakan hutan rakyat, tujuan utama penanaman/pengusahaan hutan rakyat, sistem penguasaan lahan (misal: tanah milik yang meliputi tanah warisan atau tanah hasil jual beli, tanah gadean, tanah sewa), penggunaan/penyerapan tenaga kerja dari dalam maupun luar rumah tangga petani, sistem permodalan, sumber bibit jati dan mahoni, pemeliharaan, pemanenan hasil, waktu menebang/ menjual, perhatian terhadap perkembangan harga kayu, keanggotaan dalam kelompok tani. Selain itu juga dilakukan analisis terhadap kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat yang mendukung terhadap pembangunan dan pengembangan pengusahaan hutan rakyat.
19
Analisis Kelayakan Pengusahaan Komoditas Hutan Rakyat Untuk menentukan kelayakan usaha dari komoditas hutan rakyat jenis jati dan mahoni di tingkat petani dilakukan dengan pendekatan analisis BCR, NPV dan IRR.
BCR (Benefit Cost Ratio) merupakan perbandingan antara total
pendapatan terdiskon dengan total biaya terdiskon, NPV (Net Present Value) merupakan nilai keuntungan bersih pengusahaan saat ini, dan IRR (Internal Rate of Return) merupakan tingkat kemampuan pemanfaatan modal usahatani dengan membandingkannya terhadap nilai peluang pemanfaatan modal usaha. Secara matematis ketiga parameter penilai tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: (1) BCR (Benefit-Cost Ratio) n
∑B BCR =
t =0 n
∑C t =0
t
/(1 + i ) n
t
/(1 + i )
…………………………………………………..(1) n
(2) Net Present Value (NPV) n
NPV = ∑ t =0
( Bt − Ct ) ………………………………………… ………….(2) (1 + i ) n
(3) Internal rate and Return (IRR), yaitu niai i pada saat nilai keuntungan bersih saat ini sama dengan 0. Bt − Ct
n
∑ (1 + i) t =0
n
=0
………………………........................…………(3)
dimana: Bt
:
Benefit tahun ke-t
Ct
:
Cost tahun ke-t
n
: Lama waktu dalam tahun
t
: Tahun ke-…
i
: Discount rate (dalam desimal) Kriteria kelayakan pengusahaan komoditas hutan rakyat dalam penelitian ini
dianggap layak jika: (1) BCR lebih besar dari 1 (2) NPV positif (> 0) (3) IRR lebih besar dari discount rate 20
Analisis Pemasaran Komoditas Hutan Rakyat
Untuk melihat peranan masing-masing pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu rakyat di daerah penelitian maka dilakukan analisis saluran pemasaran secara deskriptif. Margin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima produsen untuk produk yang sama. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut: M ji = Psi − Pbi , atau
M ji = bti + π i , atau
π i = M ji − bti
……………………………………………….. (4)
Total margin pemasaran (M) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: n
M j = ∑ M ij atau M j = Pr − Pf
…..................…(5)
i =1
Dimana: Mji : margin lembaga pemasaran tingkat ke-i Psi
: harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Pbi
: harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke-i
bti
: biaya pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke-i
πi
: keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Mj
: total margin pemasaran
Pr
: harga ditingkat konsumen
Pf
: harga ditingkat produsen Penyusunan Tabel Input-Output
Menurut BPS (2000) tabel input-output (I-O) adalah suatu uraian statistik dalam matriks yang menggambarkan transaksi barang dan jasa antar berbagai kegiatan ekonomi.
Sebagai suatu metode kuantitatif, tabel I-O memberikan
gambaran menyeluruh tentang:
21
a. Struktur perekonomian wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor. b. Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi. c. Struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor yang berasal dari wilayah lain. d. Struktur permintaan barang dan jasa baik permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Tabel I-O dibedakan menjadi dua jenis yaitu tabel penyedia dan penggunaan (supply and use table) dan tabel I-O simetris (symetric input-output table). Tabel penyedia dan pengguna biasanya disebut sebagai tabel I-O empat persegi panjang (rectangular input-output table). Tabel I-O simetris biasa disebut tabel I-O bujur sangkar atau tabel I-O model Leontief. Tabel I-O model bujur sangkar dapat berupa tabel komoditas menurut komoditas atau industri. Tabel I-O yang akan digunakan dalam analisis penelitian ini adalah tabel I-O model Leontief atau tabel I-O bujur sangkar. Tabel I-O yang disusun dalam penelitian ini, menggunakan model statis dan bersifat terbuka dengan periode observasi satu tahun yaitu selama tahun tabel I-O terakhir disusun. Tabel yang dimaksud adalah Tabel I-O Jawa Barat tahun 2000 dan akan dijadikan sebagai bahan acuan utama dalam penelitian ini. Klasifikasi Sektor
Dalam penyusunan tabel I-O yang merupakan metode kuantitatif maka masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengidentifikasi secara jelas kegiatankegiatan ekonomi yang sangat beragam tersebut untuk memudahkan mengadakan penilaian secara kuantitatif. Untuk mengatasi masalah tersebut maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan
penyederhanaan
dimana
seluruh
kegiatan
perekonomian
diklasifikasikan ke dalam satuan-satuan sektor ekonomi dan atau sub sektor agar transaksi-transaksi diantaranya dapat lebih mudah diidentifikasi.
22
Sejalan dengan maksud di atas, maka untuk keperluan penyusunan Tabel Input-Output Kabupaten Sumedang, seluruh kegiatan ekonomi atau lapangan usaha yang ada di kabupaten tersebut diklasifikasikan menjadi 15 sektor yaitu : (1) Tanaman Bahan Makanan, (2) Tanaman Perkebunan, (3) Peternakan, (4) Hutan Rakyat, (5) Hasil Hutan Lainnya, (6) Perikanan, (7) Pertambangan dan Galian (8) Industri Pengolahan, (9) Listrik, Air, dan Gas, (10) Bangunan dan Konstruksi, (11) Perdagangan Besar dan Eceran, (12) Hotel dan Restoran, (13) Transportasi dan Komunikasi, (14) Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (15) Jasa-jasa. Dasar klasifikasi yang digunakan sesuai dengan konsep satuan ekonomi yang dianut yaitu atas dasar satuan kelompok komoditas dan dasar satuan aktivitas. Pengolahan Data
Untuk memperoleh tabel I-O Kabupaten Sumedang tahun 2003 data yang tersedia diolah dengan menggunakan perangkat lunak komputer program GRIMP versi 7.2 (Generation of Regional Input-Output Model Program). Melalui penggunaan program ini dapat diperoleh data baru sebagai bahan analisis. Semua proses pengolahan data tabel input-output yang bertujuan untuk menyusun tabel input-output baru, dilakukan melalui metode RAS. Metode RAS ini diartikan sebagai suatu metode yang berupaya memperoleh suatu set multiplier yang dapat melakukan adjustment terhadap baris maupun kolom sedemikian rupa sehingga sel-sel dalam matriks dapat sesuai dengan total baris dan total kolom yang telah ditentukan diluar model. Metode ini pada dasarnya merupakan sebuah rumus matriks yaitu (A) merupakan matriks koefisien input antara pada periode t; (R) merupakan matriks diagonal yang menunjukkan pengganda menurut baris; dan (S) merupakan matriks diagonal yang menunjukkan pengganda menurut kolom. Asal rumus RAS dapat dijabarkan dengan menggunakan rumus matematika, yaitu dengan meminimumkan fungsi ZRAS yang telah ditentukan kendalanya, yaitu: ZRAS = Min∑ij[aij,t+1{ln aij, t+1/aij}] ……………….(6) Dimana kendalanya adalah: ∑j[aij, t+1Xj, t+1] = ∑jXij, t+1
23
∑i[aij, t+1Xj, t+1] = ∑iXij, t+1
i,j = 1,2,3,….n
dimana: aij
: Koefisien input antara
Xj
:
Output sektor j
∑jXij
:
Total permintaan antara terhadap output sektor j
∑iXij
:
Total input antara yang ditawarkan oleh sektor i
t dan t+1 : periode waktu n
: banyaknya sektor produksi Analisis Data
Hasil-hasil yang diperoleh dari analisis program GRIMP yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah : Nilai tambah bruto
Dari aspek nilai tambah bruto (NTB) ini dapat diketahui kondisi perekonomian Kabupaten Sumedang yang meliputi : 1. Besarnya masing-masing komponen yang terkandung di dalam NTB tersebut yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. 2. Tingkat efisiensi ekonomi daerah, baik terhadap penggunaan segenap faktor produksi yang tersedia dalam menghasilkan output total daerah maupun terhadap kemampuan dalam menciptakan besarnya NTB itu sendiri. Permintaan akhir
Melalui permintaan akhir (PA) dapat diketahui masing-masing komponen yang terkandung di dalamnya, yaitu yang meliputi: permintaan konsumsi rumah tangga, pemintaan konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor netto. Disamping itu, juga dapat diketahui interaksi antar komponen itu sendiri baik terhadap masing-masing sektor maupun segenap sektor perekonomian daerah.
24
Khususnya berkenaan dengan ekspor netto maka dapat diketahui kemampuan perekonomian daerah dalam menciptakan nilai surplus ekonomi kegiatan ekspor masing-masing sektor. Dalam nilai yang ditunjukkan oleh komponen ekspor ini, apabila terjadi nilai positif berarti sektor yang bersangkutan telah mampu melakukan kegiatan ekspor, baik luar negeri, ke luar propinsi maupun ke luar kabupaten. Sebaliknya, apabila dalam nilai tersebut terjadi nilai negatif maka hal ini menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan belum mampu melakukan kegiatan ekspor atau dengan kata lain bahwa sektor tersebut masih bergantung pada kegiatan impor. Tingkat ketergantungan faktor input
Tingkat ketergantungan faktor input (TKFI) dimaksudkan sebagai kapasitas penggunaan faktor input suatu sektor untuk menghasilkan output. Semakin tinggi nilai TKFI suatu sektor, maka hal demikian menunjukkan semakin tinggi ketergantungan pada faktor input oleh sektor tersebut untuk menghasilkan output. Di dalam tabel input-output terdapat dua jenis input, yaitu input antara dan input primer. Input antara diartikan sebagai segenap faktor input atau biaya, baik dalam bentuk barang maupun jasa bagi segenap sektor perekonomian yang penggunaannya adalah secara langsung pakai dan langsung habis. Input primer diartikan sebagai input atau biaya yang timbul sebagai akibat penggunaan faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi. Faktor produksi di sini terdiri tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Wujud dari input primer adalah upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal dan pajak tak langsung. Mengingat kedua input tersebut tidak bisa dipisahkan, maka nilai-nilai koefisien input keduanya bisa digunakan untuk menganalisis tingkat efisiensi teknis produksi daerah. Asumsi di sini didasarkan pada dalil bahwa jumlah koefisien input antara dan koefisien input primer adalah 1. Jika nilai koefisien input antara lebih besar dari 0,5 maka hal demikian menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan masih mengutamakan ketergantungan pada penggunaan faktor produksi (faktor input produksi) daripada mengutamakan penciptaan NTB atau balas jasa yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemampuan teknis sektor yang bersangkutan belum efisien. 25
Apabila nilai koefisien input primer lebih besar 0,5 maka hal demikian menunjukan bahwa sektor yang bersangkutan sudah meningkatkan efisiensi teknis untuk menciptakan NTB atau pendapatan yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas. Jika kondisi ini sudah bisa terjadi berarti sektor yang bersangkutan sudah mampu melakukan efisiensi teknis demi menghemat penggunaan faktor input. NTB, PA dan TKFI secara simultan dapat dijelaskan melalui analisis tabel input-output, yaitu dengan menganalisis hubungan antar angka transaksi dalam tabel. Pada dasarnya penyusunan tabel input-output adalah untuk memperlihatkan bagaimana output suatu sektor yang dialokasikan ke sektor-sektor lain atau sebaliknya. Untuk itu dalam tabel input-output secara horizontal atau menurut baris ditempatkan alokasi output masing-masing sektor ke sektor komponen lainnya dalam tabel tersebut. Secara vertikal atau menurut kolom ditempatkan susunan input yang memperlihatkan perincian susunan input masing-masing sektor yang berasal dari sektor komponen lainnya. Tabel transaksi input-output tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel transaksi input-output sederhana Alokasi Output Susunan Input
Permintaan Antara
Permintaan
Total
Sektor
Akhir
Output
i
……
J
……
n
Sektor i
Xii
……
Xij
……
Xn
Fi
Xi
………
……
……
…….
……
……
…….
…..
Sektor j
Xji
……
Xjj
……
Xjn
Fj
Xj
………
……
……
……
……
……
……
…...
Sektor n
Xni
……
Xnj
……
Xnn
Fn
Xn
Input Primer
Vi
……
Vj
……
Vn
-
V
Total Input
Xi
……
Xj
……
Xn
F
X
Sumber : Richardson, 1972. Isian angka menurut kolom menunjukkan input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi sehingga dihasilkan output. Dari Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa sektor i akan menghasilkan output sebesar Xi dan kemudian dialokasikan secara baris sebesar
26
X11, X12 dan X13 berturut-turut kepada sektor i, j dan n sebagai permintaan antara serta sebesar F1 untuk memenuhi permintaan akhir . Secara aljabar maka alokasi output secara keseluruhan sektor dapat dirumuskan sebagai berikut : X11 + X12 +...... + Xln + F1 = X1 X21 + X22 +...... + X2n + Fi = X2 Xnl +Xn2 +...... +Xnn +Fn = Xn ........................................................(7) rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi: n
∑ Xij + Fi = Xi ;untuk i=1,2,3 dan seterusnya .................................(8) i =1
dimana : Xij : Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j Fi : Permintaan akhir (PA) sektor i Dengan mengikuti cara membaca seperti demikian maka persamaan aljabar secara kolom dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut : X11 + X21 +...... + Xn1 + V1 = X1 X21 + X22 +...... + Xnj + Vj = X2 X1n +X2n +...... +Xnn +Vn = Xn ...........................................................(9) Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi : n
∑ Xij + Vj = Xj
; untuk j=1,2,3 dan seterusnya ...................................(10)
j =1
dimana : Xij : Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j Vj : Input primer (NTB) sektor j Dari Tabel 1 di atas lebih lanjut dapat dianalisis mengenai koefisien input antara dan koefisien input primer. Koefisien input menggambarkan jumlah unit input dari masing-masing sektor menurut kolom yang dibutuhkan oleh sektor tersebut untuk menghasilkan produksi sebesar satu unit. Koefisien input dibedakan atas koefisien input antara (aij) dan koefisien input primer (vj). Untuk memperoleh kedua koefisien input tersebut digunakan rumus sebagai berikut:
27
aij =
vij =
X ij Xi
Vij Xj
untuk i dan j = 1,2,.....n .........................................................(11)
untuk i dan j = 1,2,.....n ..........................................................(12)
dimana : Xij : Jumlah output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j untuk menghasilkan output sebesar Xi Xj : Total input sektor j, yang besarnya adalah sama dengan total output (Xi) Vj : Total input primer (NTB) untuk menghasilkan total input (Xj) aij : Jumlah unit output sektor i yang digunakan sebagai input antara sektor j untuk menghasilkan output sektor i : Jumlah unit input primer yang dibutuhkan oleh sektor j untuk vj menghasilkan output sendiri sebesar satu unit Dengan koefisien input tersebut dapat disusun matriks sebagai berikut: a11x1 a21x1 ........ ........ an1x1
+ a12x2 + + a22x2 + + ........ + + ........ + + an2x2 +
..... ..... ..... ..... .....
+ ainxn + Y1 + a2nxn + Y2 + ........ + ..... + ........ + ..... + annxn + Yn
= X1 = X2 = .... = .... = Xn
............................................................(13)
Atau dalam bentuk matriks dapat ditulis sebagai berikut:
a11........................ain
x1
........................
...
an1.........................ann
xn
Yn
Xn
A
X
Y
X
AX+Y=X
Y1 +
...
Y=X-AX
X1 =
...
Y=[I-A]X .........(14)
Dimana [I-A] disebut matriks Leontief. Bentuk matriks Leontief selengkapnya adalah sebagai berikut:
⎡ (1 − a11 )..................ain ⎢ [I-A] = ⎢ ⎣⎢ − a n1 ..............(1 − a nn )
⎤ ⎥ ⎥ ...........................................(15) ⎦⎥
28
Selanjutnya dari persamaan Y= (I-A)X, didapatkan X= [I-A] –1; dimana [I-A]-1 merupakan matriks kebalikan Leontief. Fungsi matriks ini dalam Tabel IO berguna untuk analisa ekonomi, karena disini tergambar saling keterkaitan antara sektor baik pada tingkat produksi maupun pada tingkat permintaan akhir. Dampak pengganda
Beberapa hal yang dapat dihasilkan dari persamaan analisis input-output yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengganda pendapatan dan pengganda output. a. Pengganda pendapatan tipe I
Pengganda pendapatan tipe I adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar 1 unit.
Pengganda pendapatan tipe ini merupakan penjumlahan
pengaruh langsung dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang dapat dirumuskan sebagai berikut: MI =
Pengaruh langsung + Pengaruh tidak langsung Pengaruh langsung
Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut: n
MI j =
∑P + C i =1
i
Pi
ij
i = 1,2,3,….n. ……...………………..(16)
dimana: Mij : Pengganda pendapatan tipe I sektor j Pi : Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor i Cij : unsur kebalikan matriks Leontief b. Pengganda pendapatan tipe II
Pengganda pendapatan tipe ini, selain menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induced effects). MII = Pengaruh langsung + Pengaruh tidak langsung + Pengaruh Induksi Pengaruh langsung Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut:
29
n
∑P MII j =
j =1
j
+ Dij
j = 1,2,3,…n ………………………..(17)
Pj
MIIj : Pengganda pendapatan tipe II sektor j Pj
: Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j
Dij :Unsur kebalikan matriks Leontief tertutup c. Pengganda output sederhana
Pengganda output sederhana bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghitung pengganda output sederhana digunakan rumus sebagai berikut: n
MXS j = ∑ C ij
i = 1,2,3,…n ………………………..…..(18)
i =1
Dimana: MXSj : pengganda output sederhana sektor j Cij
: unsur kebalikan matriks Leontief
d. Pengganda output total
Pengganda output total bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonnomian suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung dan tidak langsung maupun induksi. Untuk menghitung pengganda output total secara sederhana digunakan rumus sebagai berikut: n
MXT j = ∑ Dij
i = 1,2,3,…n ………………..…………………(19)
i =1
Dimana: MXTj : pengganda output total sektor j Dij
: unsur kebalikan matriks Leontief tertutup.
30
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 3,4 persen dari luas total Jawa Barat atau sekitar 1.522,20 km2. Secara geografis Kabupaten Sumedang berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Indramayu di sebelah utara, Kabupaten Garut di sebelah selatan, Kabupaten Majalengka di sebelah timur dan Kabupaten Bandung di sebelah barat atau tepatnya terletak diantara 6o40 – 7o83 Lintang Selatan dan 107o – 44o Bujur Timur. Kabupaten Sumedang memiliki posisi yang cukup strategis karena letaknya yang relatif dekat menuju pusat ibukota Propinsi Jawa Barat yaitu Bandung. Jarak dari ibukota propinsi ± 45 km dan berada di antara jalur Bandung - Cirebon. Secara administratif pemerintahan, sejak tahun 2000 wilayah Kabupaten Sumedang telah mengalami pemekaran wilayah kecamatan dimana sebelumnya terdapat 18 buah wilayah kecamatan dan pada saat ini telah dimekarkan menjadi 26 wilayah kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan tetap yaitu sebanyak 269 buah. Pemekaran wilayah tersebut terjadi seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah pusat.
Kondisi Sumberdaya Alam Sebagaimana sebagian besar wilayah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Sumedang juga merupakan daerah agraris yang cukup subur. Sektor pertanian masih menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat.
Hal tersebut tidak
terlepas dari karakteristik sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Sumedang. Karakteristik ini dicirikan oleh berbagai faktor, antara lain: fisiografi dan topografi daerah, jenis tanah, iklim dan curah hujan, serta tanaman penutup yang ada di atasnya. Berbagai aspek tersebut akan menentukan kesesuaian lahan bagi pengembangan sektor pertanian yang secara alami akan menentukan tingkat produktivitasnya. Berikut ini diuraikan berbagai parameter lahan yang terdapat di Kabupaten Sumedang.
Fisiografi dan topografi Wilayah Kabupaten Sumedang secara fisiologi terdiri dari daerah dataran rendah, bergelombang, dan berbukit-bukit dengan ketinggian antara 25-1.001 m dpl.
Daerah yang berada di wilayah Kecamatan Cimanggung, Tanjungsari,
Sumedang Selatan dan Cibugel merupakan daerah yang termasuk dataran tinggi dengan sebagian wilayahnya berada pada ketinggian diatas 1.000 m dpl. Sedangkan daerah dataran rendah umumnya adalah daerah-daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Daerah tersebut antara lain Ujungjaya, Buahdua, dan Tomo serta sebagian Jatigede.
Luas wilayah
berdasarkan ketinggian dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok seperti disajikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Luas wilayah Kabupaten Sumedang berdasarkan kelompok ketinggian diatas permukaan laut. No. 1 2 3 4 5 6
Kelompok Ketinggian (m dpl) 25 – 50 51 – 75 76 – 100 101 – 500 501 – 1.001 >1.001
Luas (ha) 5.858,05 5.673,54 7.294,82 66.564,55 49.339,71 17.464,78
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang, 2003
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Sumedang berada pada ketinggian 101-500 m dpl, yaitu seluas 66.564,55 ha (44,88%) dan pada ketinggian 501-1.001 m dpl, yaitu seluas 49.339,71 ha (30,47%).
Ketinggian tempat tersebut sangat mempengaruhi pola budidaya
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Sumedang di masing-masing wilayah dan juga preferensi masyarakat terhadap jenis tanaman. Secara grafis kelompok ketinggian wilayah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
32
50,00
44,88
45,00 40,00 Jumlah (%)
35,00 30,47
30,00 25,00 20,00 15,00 10,00
4,88
4,51
5,34
51-75
76-100
9,92
5,00 0,00 25-50
101-500
501-1000
>1000
Ketinggian (m dpl)
Gambar 2. Persentase luas wilayah berdasarkan ketinggian tempat Jenis Tanah Jenis tanah yang ada di Kabupaten Sumedang terdiri atas tanah alluvial, regosol, andosol, grumusol, mediteran, latosol, dan podzolik merah kuning. Jenis tanah latosol merupakan jenis yang paling dominan yaitu sebesar 54,95%. Jenis latosol tersebut hampir merata di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Sumedang. Tanah latosol umumnya memiliki sifat fisik yang baik, pH lebih tinggi daripada tanah podsolik dan lebih tahan terhadap erosi. Jenis tanah lainnya yang relatif cukup tersebar luas adalah jenis tanah grumusol. Secara lengkap luas Kabupaten Sumedang berdasarkan jenis tanah disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Luas Kabupaten Sumedang berdasarkan jenis tanah No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Tanah Tanah Aluvial Tanah Regosol Tanah Andosol Tanah Grumusol Tanah Mediteran Tanah Latosol Tanah Podzolik Merah Kuning
Luas (ha) 7.894,67 11.909,77 19.821,29 23.313,17 5.266,99 83.865,69 558,67
Persentase(%) 5,17 7,80 12,99 15,27 3,45 54,95 0,37
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang, 2003
33
Iklim dan Curah Hujan Kabupaten Sumedang termasuk wilayah yang beriklim tropis dengan temperatur normal rata-rata 150 C – 260 C dengan kelembaban 70%. Selama tahun 2003 kondisi curah hujan mencapai 28.174 mm/tahun, kuantitas curah hujan ini menurun dibanding tahun 2002 yang mencapai 29.976 mm/tahun. Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya curah hujan mencapai lebih dari 30.000 mm/tahun. Daerah-daerah yang memiliki curah hujan paling tinggi diantaranya adalah Rancakalong, Sumedang Selatan, Situraja, dan Sumedang Utara. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April kecuali bulan Juli dan Agustus dimana tidak terjadi hujan sama sekali. Data ratarata curah hujan per bulan disajikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Tingkat curah hujan di Kabupaten Sumedang Tahun 2000 2001 2002 2003
Intensitas (mm/bln) 2.119 2.598 1.665 1.565
Jumlah hari Hujan/th 112 122 99 88
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang, 2003
Kependudukan Pada tahun 2003 penduduk Kabupaten Sumedang berjumlah 1.014.319 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki 511.488 jiwa dan penduduk perempuan 502.831 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 101,7 artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk laki-laki.
Hal ini menunjukkan
bahwa di Kabupaten Sumedang lebih banyak penduduk laki-laki dibanding perempuan. Jika melihat struktur umur penduduk, maka penduduk Kabupaten Sumedang termasuk struktur umur muda dimana penduduk umur 0-14 tahun sebesar 26%, penduduk usia produktif (15-49 tahun) sebesar 68% dan penduduk usia 65 tahun ke atas sebesar 6% sehingga diperoleh Angka Beban Ketergantungan (ABK) sebesar 46,96 artinya setiap 100 orang penduduk produktif harus menanggung 46 orang yang tidak produktif.
Angka beban
ketergantungan tahun 2003 lebih kecil dibanding tahun 2002 yaitu sebesar 51,2.
34
Semakin kecil angka beban ketergantungan maka semakin baik, berarti struktur umur penduduk produktif lebih tinggi dibanding tidak produktif. Pertumbuhan penduduk selalu dipengaruhi oleh faktor tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Kabupaten Sumedang yang semakin berkembang menjadi daerah pendidikan dan pemukiman terutama di Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, dan Tanjungsari mengakibatkan jumlah penduduk mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2001 sebesar 1,05%, maka terlihat ada kenaikan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2003 sebesar 2,30%. Meningkatnya penduduk di Kabupaten Sumedang terjadi terutama di daerah Jatinangor, Cimanggung, dan Tanjungsari yang memang dikembangkan sebagai daerah pendidikan, industri dan pemukiman. Ditinjau dari tingkat pendidikan, penduduk Kabupaten Sumedang sampai saat ini baru mampu menyelesaikan pendidikannya rata-rata sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Angka rata-rata lama sekolah pada tahun 2003 menunjukkan angka 7,3 tahun, artinya rata-rata penduduk Kabupaten Sumedang hanya mampu menamatkan pendidikan sampai kelas satu SLTP.
Perekonomian Sebagian besar penduduk Kabupaten Sumedang masih bekerja pada sektor pertanian. Sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja karena jenis pekerjaan pada sektor ini dapat dilakukan oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan dan tidak membutuhkan jenis keterampilan khusus. Keadaan ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor potensial bagi perekonomian daerah yang menyumbang 32,66% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sumedang. Berkembangnya sektor pertanian sangat didukung oleh kondisi lahan dan iklim setempat.
35
Gambar 3. Padi sawah siap panen di lokasi penelitian
Hingga saat ini Kabupaten Sumedang masih dikenal sebagai daerah agraris dengan hasil utama beras. Selain itu produk hasil hutan berupa kayu jati, mahoni, pinus, juga kayu rawa lainnya mulai dikenal sebagai salah satu produk kehutanan yang dihasilkan oleh masyarakat Sumedang. Produk kayu tersebut mulai memasuki bursa perdagangan lokal maupun perdagangan antar daerah. Selain sektor pertanian, sektor lain yang memiliki peranan penting dalam perekonomian
daerah
Kabupaten
Sumedang
adalah
sektor
industri.
Perkembangan industri di Kabupaten Sumedang sampai dengan tahun 2002 adalah sebanyak 4.262 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 61.325 orang dan investasi yang tertanam sebesar Rp. 1.181.317.623.000,- dan US$ 61.627.174,00. Industri-industri tersebut terdiri dari Kelompok Industri Besar 43 unit usaha, Industri Menengah 13 unit usaha, Industri Kecil 843 unit usaha dan Industri Rumah Tangga 3.363 unit usaha. Komoditi industri yang paling banyak dihasilkan adalah Tekstil dan Produk Tekstil untuk Kelompok PMA, PMDN, dan Non PMA/PMDN, sedangkan untuk Kelompok Industri Kecil/Kerajinan dan Industri Rumah Tangga adalah Tahu, Meubelair/Furniture, Senapan Angin, Ukiran Kayu, Sale Pisang, Wayang Golek dan lain-lain (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang, 2003). Secara lengkap PDRB Kabupaten Sumedang selama beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
36
Tabel 5. PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan harga berlaku periode 19992003 (juta rupiah) NO. 1 2
LAPANGAN USAHA PERTANIAN
1999 833,091.75
2000 928,424.72
2001
2002
2003
1,019,946.28
1,174,965.06
1,252,961.53
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
3
INDUSTRI PENGOLAHAN
4
LISTRIK, GAS
2,614.52
3,003.09
4,481.28
5,276.02
6,497.15
345,681.43
402,073.38
496,485.16
590,410.12
648,211.74
DAN AIR BERSIH
25,660.39
33,585.67
42,725.13
54,790.46
66,789.41
5
BANGUNAN/KONSTRUKSI
66,381.13
74,032.65
83,739.35
97,838.90
111,875.50
6
PERDAGANGAN, HOTEL 653,701.61
719,254.28
820,811.52
914,482.31
1,017,009.43
91,300.93
105,415.71
121,538.33
146,112.13
167,683.41
91,418.71
107,511.06
128,448.79
141,407.72
160,462.47
DAN RESTORAN 7
PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
8
KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN
9
JASA-JASA PDRB
234,958.79
267,218.45
324,748.67
366,903.62
405,799.22
2,344,809.26
2,640,519.01
3,042,924.51
3,492,186.34
3,837,289.86
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang, 2003
Kontribusi terbesar PDRB Kabupaten Sumedang untuk sektor pertanian diperoleh dari subsektor tanaman bahan makanan dimana pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar Rp. 927.594,72 juta atau sebesar 74.03%. Selanjutnya sumbangan terbesar kedua diperoleh dari subsektor peternakan Rp. 214.552,64 juta atau sebesar 17.12%, disusul oleh subsektor perkebunan sebesar Rp. 66.211,33 juta (5.28%), subsektor perikanan sebesar Rp. 26.218,96 juta (2,09%) dan sumbangan terkecil diberikan oleh sub sektor kehutanan sebesar Rp. 18.383,88 juta (1,47%).
Pada dasarnya kontribusi semua subsektor tersebut
mengalami peningkatan selama kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 1999 sampai dengan 2003). Peningkatan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 4 di bawah ini:
37
1.000.000,00 Nilai PDRB (x juta rupiah)
900.000,00 800.000,00 700.000,00 600.000,00 500.000,00 400.000,00 300.000,00 200.000,00 100.000,00 1999 Tanaman Bahan Makanan
2000 Perkebunan
2001 Tahun
2002
Peternakan
2003 Kehutanan
Perikanan
Gambar 4. Perkembangan PDRB sektor pertanian periode tahun 1999-2003
Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga Tingkat pendapatan di suatu wilayah dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat bersangkutan.
Untuk mengukur tingkat
pendapatan dapat digunakan data pengeluaran sebagai suatu pendekatan. Secara garis besar pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua bagian yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Semakin sejahtera masyarakat maka proporsi pengeluaran untuk bukan makanan akan semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat juga akan memberikan dampak terhadap meratanya porsi pendapatan yang diterima masyarakat. Berdasarkan hasil Susenas 2003, data pengeluaran perkapita penduduk Kabupaten Sumedang selama tahun 2002-2003 mayoritas berada pada golongan Rp. 200.000,- s.d. Rp. 299.999,-/kapita/bulan, meningkat dari tahun sebelumnya yang mayoritas berada pada golongan pengeluaran Rp. 100.000,- s.d. 149.999,/kapita/bulan. Hal ini tentunya cukup menggembirakan karena semakin tinggi golongan pengeluaran suatu masyarakat menunjukkan kecenderungan bahwa masyarakat tersebut semakin sejahtera.
38
Keadaan Sarana Transportasi dan Komunikasi Keberadaan sarana transportasi dan komunikasi memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan usaha termasuk pengembangan usaha dan roda perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Arus barang sangat dipengaruhi oleh kedua faktor pendukung tersebut. Transportasi dan komunikasi yang baik akan semakin memperlancar arus distribusi barang baik barang yang masuk maupun yang keluar dari suatu wilayah.
Mobilitas para pelaku usaha tentunya akan
semakin lancar dan semakin memperluas akses pasar. Demikian pula halnya bagi para pelaku usaha hutan rakyat yang meliputi petani, pedagang pengumpul, pedagang besar maupun industri pengolahan kayu keberadaan sarana transportasi dan komunikasi sangatlah dibutuhkan. Secara umum kondisi sarana transportasi dan komunikasi di Kabupaten Sumedang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Keadaan sarana jalan Pembangunan
di
bidang
ekonomi
tidak
dapat
dipisahkan
dari
pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan sarana jalan. Dengan jumlah dan kualitas yang memadai akan memperlancar arus barang dalam wilayah Kabupaten Sumedang maupun dari dan keluar wilayah Kabupaten Sumedang yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perekonomian daerah yang memiliki jalan tersebut. Permasalahan yang sering dihadapi di lapangan adalah bahwa pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan, karena penyediaan jumlah jalan terkait pula dengan kemampuan suatu daerah dalam mengalokasikan dana (perekonomian daerah). Berikut disajikan panjang jalan di Kabupaten Sumedang berdasarkan jenis permukaan jalan.
Tabel 6. Panjang jalan di Kabupaten Sumedang Jenis Permukaan a. Diaspal b. Kerikil c. Tanah Jumlah
Negara 60.724 60.724
Status Jalan Propinsi Kabupaten 124.017 554.38 193.4 8.7 124.017 756.48
Jumlah 739.121 193.4 8.7 941.221
Sumber:BPS Kabupaten Sumedang, 2003
39
Berdasarkan Tabel 6 diatas tampak bahwa jalan negara dan jalan propinsi 100% permukaannya diaspal dan dalam kondisi baik.
Jalan negara tersebut
merupakan jalur utama dari Bandung menuju Majalengka dan Cirebon. Sedangkan jalan kabupaten sebanyak 73.28% diaspal dan sisanya sebanyak 26.72% merupakan jalan dengan permukaan kerikil dan tanah. Dari keseluruhan jalan kabupaten, 85.02% diantaranya dalam kondisi rusak. Untuk memperlancar jalur transportasi dari Bandung – Sumedang saat ini sedang direncanakan pembangunan jalan Tol Cileunyi – Sumedang sepanjang 20 km. Pengembangan jalan tersebut terkait pula dengan rencana pengembangan fungsi Pelabuhan Cirebon dan pengembangan wilayah Sumedang Timur.
Keadaan sarana transportasi darat Kondisi angkutan darat di Kabupaten Sumedang dan juga di lokasi penelitian secara umum cukup memadai. Angkutan darat berupa mobil pribadi, bus umum, maupun truk angkutan barang sudah dapat dinikmati oleh masyarakat. Namun khusus untuk lokasi penelitian Kecamatan Jatigede sarana transportasi angkutan umum relatif lebih jarang dibandingkan dengan kecamatan lainnya karena kondisi jalan saat ini sebagian besar dalam keadaan rusak.
Sehingga
untuk menjangkau kecamatan Jatigede dari arah Kecamatan Darmaraja atau Kecamatan Wado masyarakat cenderung menggunakan kendaraan sepeda motor sebagai sarana angkutan (ojeg).
Sedangkan untuk Kecamatan Darmaraja
lokasinya cukup strategis karena dilalui oleh jalan propinsi yang menghubungkan Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Tasik dan Garut (Jalur SumedangMalangbong). Oleh sebab itu di jalur ini angkutan penumpang dapat dengan mudah diperoleh. Lain halnya untuk kecamatan Tomo, kendaraan relatif lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan di Kecamatan Jatigede. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Majalengka sehingga khusus untuk akses penjualan kayu rakyat yang selama ini mengalir ke daerah Cirebon relatif lebih gampang dilakukan oleh para pedagang pengumpul dari daerah tersebut. Demikian juga untuk pemasaran hasil pertanian lainnya.
40
Khusus untuk sarana transportasi angkutan kayu berupa kendaraan truk, hingga saat ini tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan jasa angkutan kendaraan tersebut. Umumnya di tiap kecamatan terdapat beberapa keluarga yang memiliki truk pribadi yang dapat disewakan kepada mayarakat yang memerlukan jasa angkutan truk tersebut. Bahkan sebagian besar pedagang kayu (pedagang pengepul) memiliki truk pribadi yang dapat digunakan untuk mengangkut kayu yang dibeli dari masyarakat.
Sarana komunikasi Salah satu sarana komunikasi bagi penduduk Kabupaten Sumedang adalah telepon, melalui PT. Telkom yang telah memberikan pelayanan berupa penyediaan jaringan telepon bagi masyarakat Kabupaten Sumedang. Ketersediaan sarana komunikasi sangat membantu untuk kelancaran usaha masyarakat. Sayangnya masih terdapat beberapa wilayah yang belum bisa menikmati sarana komunikasi tersebut. Namun keadaan tersebut cukup terbantu dengan adanya jaringan telepon selular (handphone) yang sudah bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu pada daerah-daerah yang cukup terpencil. Bagi para pelaku usaha, keberadaan sarana komunikasi ini tentunya sangat penting, tak terkecuali bagi para pelaku usaha kayu rakyat. Para pedagang kayu umumnya melakukan kontak bisnis dengan para pengusaha di luar daerah dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi. Hal tersebut diakui oleh para pedagang lebih efektif dan efisien.
Penggunaan Lahan Wilayah Kabupaten Sumedang dengan luas 152.220 km2 secara administratif dibagi ke dalam 26 wilayah kecamatan, 262 desa, dan 7 kelurahan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Sumedang dikelilingi oleh hutan yang terdiri dari hutan negara seluas 44.473 ha dan hutan rakyat 13.936 ha. Dengan adanya luas hutan yang cukup besar tersebut secara tidak langsung mendukung perkembangan usaha budidaya pertanian di kabupaten Sumedang karena menjadikan semakin luasnya daerah tangkapan air.
41
Selain hutan, penggunaan lahan untuk sawah dan tegalan atau ladang masih merupakan penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Sumedang. Secara rinci luas lahan menurut jenis penggunaannya disajikan pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Luas lahan menurut jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang No. 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Penggunaan
Luas (ha)
Sawah a. Satu kali tanam b. Dua kali tanam c. Sementara tidak diusahakan Pekarangan Tegal/Kebun Ladang/Huma Padang rumput Kolam Bera Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan Lain-lain Jumlah Jumlah Tahun 2002
7.234 26.274 11.437 34.874 7.024 612 33 13.936 44.473 3.711 2.612 152.220 152.220
Sumber: BPS Kabupaten Sumedang, 2003
Sedangkan penggunaan lahan di 3 Kecamatan yang menjadi lokasi penelitian secara lengkap dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penggunaan lahan di Kecamatan Tomo Wilayah Kecamatan Tomo merupakan kecamatan yang berada pada posisi paling utara di wilayah Kabupaten Sumedang dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Majalengka (Kadipaten).
Sebagian besar wilayah ini
merupakan wilayah dataran rendah yang didominasi oleh jenis tanah regosol. Penggunaan lahan di wilayah ini sebagian besar merupakan wilayah hutan negara (Perum Perhutani Unit III) yang didominasi oleh tanaman utama jenis jati. Wilayah hutan negara tersebut lebih kurang 34.31% dari total luas Kecamatan Tomo. Jenis penggunaan lahan lain yang cukup besar adalah sawah (20.4%), pemukiman (17.29%), dan tegalan (12.69%). Sedangkan luas hutan rakyat di wilayah Kecamatan Tomo sebesar 4.6% dengan jenis kayu yang dikembangkan
42
sebagian besar adalah jenis jati.
Berikut disajikan luas lahan berdasarkan
penggunaan lahan di Kecamatan Tomo: Tabel 8. Luas Kecamatan Tomo berdasarkan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Sawah
Tegalan
Perkebunan Rakyat
Besar
Hutan Rakyat
Hutan Negara
Pemukiman
Kolam
Lainlain
Jumlah
1.Tomo
107.00
96.00
-
-
18.00
602.90
215.00
-
261.94
1,300.84
2. Tolengas
126.00
118.00
-
-
10.00
300.00
431.19
2.02
-
987.20
3. Marongge
146.50
137.45
-
-
35.00
-
13.49
-
47.18
379.62
4. Darmawangi
197.69
236.79
105.00
-
50.00
600.00
246.24
0.10
137.18
1,572.99
5. Jembarwangi
163.61
40.28
68.00
-
43.00
57.00
13.80
0.50
0.56
386.75
6. Karyamukti
206.00
69.00
-
-
15.00
400.00
137.22
-
85.55
912.77
7. Bugel
180.00
173.00
-
-
15.00
66.40
305.88
-
137.00
877.28
8. Cipeles
439.00
45.27
-
-
25.00
341.50
22.11
-
3.38
876.26
97.00
118.49
10.00
-
164.20
429.50
25.00
1.50
13.31
859.00
1,662.80
1,034.28
183.00
-
375.20
2,797.30
1,409.92
4.12
686.10
8,152.71
9. Cicarimanah Jumlah
Sumber: Dishutbun Kab. Sumedang, 2003
Penggunaan lahan di Kecamatan Darmaraja
Luas Kecamatan Darmaraja secara keseluruhan lebih kecil jika dibandingkan dengan Kecamatan Tomo. Namun penggunaan lahan untuk hutan rakyat dan perkebunan rakyat di wilayah ini cukup besar yaitu masing-masing 15.55% dan 14.9%.
Sedangkan lahan yang digunakan untuk tegalan dan
persawahan masing-masing sebesar 14.5% dan 8.82%. Beberapa desa di wilayah ini dikenal memiliki areal persawahan yang cukup subur seperti di Desa Cipaku, Pakualam dan Cibogo dengan hasil panen rata-rata 7,3 ton gabah kering/hektar. Desa-desa tersebut merupakan daerah sentra padi di Kecamatan Darmaraja. Sedangkan penggunaan lahan yang dijadikan hutan negara oleh Perum Perhutani di wilayah ini relatif kecil yaitu seluas 175.2 hektar atau 3.69% dan tersebar di dua desa yaitu Desa Neglasari dan Pakualam. Tabel 9 berikut menyajikan secara lengkap tingkat penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Darmaraja.
43
Tabel 9. Luas Kecamatan Darmaraja berdasarkan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Sawah
Tegalan
Perkebunan Rakyat
Besar
Hutan Rakyat
Hutan Negara
Pemukiman
Kolam
Lainlain
Jumlah
1. Darmaraja
20.00
51.25
15.50
1.30
18.84
-
15.80
2.00
3.66
128.35
2. Darmajaya
5.80
60.56
17.00
1.37
49.47
-
35.53
5.00
0.80
175.53
3. Sukamenak
1.50
10.33
10.00
8.50
84.86
-
57.00
4.00
8.31
184.50
12.80
34.00
13.60
7.40
21.86
-
33.00
2.00
80.92
205.58
5. Sukaratu
6.00
40.00
5.00
2.70
36.55
-
22.61
2.50
14.75
130.11
6. Cikeusi
12.00
19.95
70.90
1.62
80.56
-
30.00
1.00
139.47
355.50
7. Cipeuteuy
6.80
70.82
163.50
4.01
72.51
-
8.00
1.00
533.56
860.20
8. Jatibungur
5.00
37.50
8.70
8.50
29.20
-
25.00
0.50
1.60
116.00
9. Cieunteung
75.80
21.91
92.60
1.67
21.95
-
70.00
4.00
111.17
399.10
10. Krg-pakuan
14.10
95.00
40.00
4.00
58.10
-
43.00
1.50
18.80
274.50
109.50
26.35
65.50
6.00
31.40
60.00
33.00
0.50
141.43
473.68
12. Cibogo
15.90
75.00
49.00
4.00
27.60
-
20.00
1.00
163.07
355.57
13. Neglasari
10.80
18.68
57.50
1.90
25.70
115.20
50.00
3.00
182.49
465.27
14. Cipaku
24.00
99.91
35.20
5.60
92.53
-
20.00
1.00
8.21
286.45
15. Tarunajaya
98.00
14.30
62.20
9.80
86.00
-
35.00
5.00
20.95
331.25
418.00
675.56
706.20
68.37
737.13
175.20
497.94
34.00
1,429.17
4,741.57
4. Leuwihideung
11. Pakualam
Jumlah
Sumber: Dishutbun Kab. Sumedang, 2003
Penggunaan lahan di Kecamatan Jatigede Kecamatan Jatigede merupakan daerah yang memiliki wilayah cukup luas diantara wilayah kecamatan di Kabupaten Sumedang. Luas wilayah Kecamatan Jatigede ± 11.900 ha. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Tomo dan juga wilayah Kabupaten Majalengka.
Sebagian besar wilayah
Kecamatan Jatigede digunakan sebagai hutan Negara oleh Perum Perhutani dengan luas 6.247 ha atau sebesar 52.24%. Hutan Negara tersebut tersebar di seluruh desa (12 desa) yang ada di Kecamatan Jatigede. Luas lahan untuk tegalan seluas 3.121 ha (26.1%), sawah seluas 1.435 ha (12%) dan hutan rakyat 916 ha (7,66%). Wilayah kecamatan ini dilalui oleh aliran Sungai Cimanuk dimana daerah persawahan yang berada disekitar Sungai Cimanuk diketahui sangat produktif dengan rata-rata panen 2-3 kali dalam setahun.
44
Tabel 10. Luas Kecamatan Jatigede berdasarkan penggunaan lahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Sawah
Tegalan
Perkebunan Rakyat
Besar
Hutan Rakyat
Hutan Negara
Pemukiman
Kolam
Jumlah
1. Cijeungjing
47.00
76.80
-
-
30.00
355.00
7.00
3.50
2. Kadujaya
62.00
227.71
-
-
225.00
350.00
20.00
3.00
519.30 887.71
3. Lebaksiuh
151.00
383.82
-
-
37.50
239.00
13.88
-
825.20
4. Cintajaya
115.00
93.75
-
-
35.00
450.00
15.00
-
708.75
5. Cipicung
85.00
229.95
-
-
25.00
170.00
25.90
2.00
537.85
6. Mekarasih
186.00
103.87
-
-
-
848.00
16.37
0.65
1,154.89
7. Sukakersa
166.00
34.44
-
-
45.00
560.00
28.00
0.25
833.69
8. Ciranggem
106.00
280.50
-
-
60.00
729.00
36.00
2.00
1,213.50
55.00
276.04
-
-
35.00
665.00
30.00
0.50
1,061.54
130.00
305.39
-
-
-
981.00
15.00
0.10
1,431.49 1,953.58
9. Cisampih 10. Jemah 11. Karedok
215.00
978.58
-
-
393.50
355.00
11.00
0.50
12. Kadu
117.00
130.39
-
-
30.61
545.00
8.50
0.30
831.80
1,435.00
3,121.24
-
-
916.61
6,247.00
226.65
12.80
11,959.29
Jumlah
Sumber: Dishutbun Kab. Sumedang, 2003
Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang sudah berlangsung cukup lama, bahkan bisa dikatakan merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang telah berkembang puluhan tahun yang lalu. Jenis kayu rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Sumedang antara lain; jati, mahoni, suren, manglid, pinus, sengon, meces/aprika, kihiang, tisuk dan jenis kayu rimba lainnya. Sebagian masyarakat mengelola hutan rakyat dengan menerapkan sistem agroforestry atau kebun campuran. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang selama 4 tahun terakhir kayu mahoni dan jati masih merupakan jenis kayu yang dominan dikembangkan dan dihasilkan oleh masyarakat. Jenis ini selain dikenal memiliki kualitas kayu yang baik juga memiliki tingkat harga yang tinggi.
Tabel 11
dibawah ini menunjukkan jumlah produksi kayu rakyat yang dihasilkan pada tahun 2004.
45
Tabel 11. Produksi kayu rakyat di wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2004 Jenis Komoditi No.
Cabang Dinas
Jati
Mahoni
Pinus
Rimba Campuran
Jumlah
Kayu bakar
Volume
Volume
Volume
Volume
Volume
Volume
(m3)
(m3)
(m3)
(m3)
(m3)
(m3) 28.00
1
Citarik-Cikeruh
28.49
14.00
18.00
22.00
82.49
2
Cipeles Hulu
18.49
-
-
-
18.49
3 4
Ciherang-Cisugan Cileuleuy-Cikoneng
6.40 -
1,830.06
203.99 60.96
5.39 20.66
215.78 1,911.68
-
5
Cimuja-Cigoler
52.70
3,232.42
41.85
183.82
3,510.79
-
6
Cibeureum
108.72
1,088.86
15.63
-
1,213.21
-
7 8
Cikandung Cipanas-Cikaramas
547.71 4,708.76
749.31 3,452.73
-
39.37 -
1,336.39 8,161.49
1,148.00
9
Cinambo
2,877.35
305.82
-
15.44
3,198.61
1,148.00
10 11
Cipeles Hilir Cipelang Hulu
1,756.88 619.49
467.90 126.77
41.42 -
0.48 4.17
2,266.68 750.43
880.00
12
Cipelang Hilir
547.74
3,120.68
111.85
2.44
3,782.71
3,528.00
13 14
Cikujang-Cihonje Cialing-Cacaban
85.94 254.49
362.61 2,181.88
98.96 346.81
22.00 235.53
569.51 3,018.71
-
15
Cicapar-Cimacan
425.42
1,777.02
4.41
48.24
2,255.09
-
12,038.59
18,710.06
943.88
599.54
32,292.06
6,732.00
JUMLAH
Sumber: Dishutbun Kabupaten Sumedang, 2004
Berdasarkan catatan selama empat tahun terakhir, produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang mengalami penurunan. Puncak produksi terjadi pada tahun 2003 dimana sejak tahun 2001 terus mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2004 produksi kayu rakyat mengalami penurunan hampir pada semua jenis kayu. Hanya jenis kayu pinus yang mengalami peningkatan produksi, sementara jenis kayu lainnya seperti jati, mahoni, dan jenis rimba campuran mengalami penurunan. Grafik perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang disajikan pada Gambar 5 berikut:
46
35000 30000
Volume (m3)
25000 20000 15000 10000 5000 0 2001
2002 Rimba Campuran
Tahun Pinus
2003 Jati
2004 Mahoni
Gambar 5. Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang Perkembangan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang saat ini sangat dipengaruhi oleh maraknya permintaan kayu baik untuk kebutuhan lokal maupun permintaan dari luar Kabupaten Sumedang.
Permintaan kayu
rakyat dari Cirebon, Jepara dan Surabaya saat ini cukup tinggi terutama untuk jenis kayu jati dan mahoni.
Berdasarkan hasil survey di lapangan diperoleh
informasi bahwa hasil penjualan kayu rakyat secara ekonomi cukup menjanjikan terutama untuk jenis kayu mahoni dimana saat ini banyak dicari oleh para tengkulak atau para pedagang pengumpul. Jenis kayu ini cukup banyak diminati karena nilai jual yang cukup tinggi serta daur yang relatif sedang dalam artian bukan kayu daur cepat seperti halnya kayu sengon namun juga tidak terlalu lama sebagaimana kayu jati. Dengan umur tebang sekitar 10 - 15 tahun kayu mahoni rata-rata memiliki diameter 25-30 cm atau memiliki volume 0.3 – 0.4 m3. Harga di pasaran (tingkat pedagang) rata-rata saat ini untuk ukuran diameter tersebut Rp. 500.000/m3. Sedangkan untuk jenis kayu jati permintaan pasar masih sangat terbuka dimana pasar luar Kabupaten Sumedang masih merupakan pasar utama yaitu Jepara dan Cirebon disamping pasar lokal di sentra meubelair Kecamatan Paseh. Namun daur tanaman yang cukup lama menjadi salah satu faktor terhambatnya suplai bahan baku sehingga saat ini yang tersedia umumnya adalah tanaman jati dengan usia yang relatif masih muda.
47
Adanya prospek pasar yang cukup baik merupakan peluang usaha yang cukup menguntungkan bagi para petani. Namun kondisi riil di tingkat petani saat ini menunjukkan bahwa tingginya permintaan kayu rakyat tersebut belum diimbangi dengan peningkatan teknologi budidaya yang cenderung masih sangat sederhana. Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang masih menerapkan pola-pola warisan yang kurang intensif. Kegiatan pemeliharaan tanaman jarang sekali dilakukan termasuk kegiatan pemupukan. Mereka umumnya menganggap bahwa tanaman kayu tersebut sebagai tabungan atau dalam istilah setempat dikenal dengan istilah teundeun poho yang sewaktu-waktu dapat digunakan.
Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Hutan Rakyat Potensi sumberdaya hutan rakyat yang cukup strategis menuntut berbagai pihak untuk lebih meningkatkan peran masing-masing, tidak terkecuali dalam hal ini adalah pemerintah daerah.
Salahsatu upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Sumedang untuk lebih menajamkan perannya adalah dengan membentuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten serta membentuk Cabang Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada wilayah kerja yang lebih sempit. Dengan adanya cabang dinas tersebut dimaksudkan pembinaan dan pengawasan akan lebih terkonsentrasi dan lebih efektif. Wilayah kerja masingmasing cabang dinas meliputi satu atau dua wilayah kecamatan yang dibagi berdasarkan wilayah-wilayah sub-DAS yang ada di Kabupaten Sumedang. Saat ini terdapat 15 cabang dinas yang telah dibentuk dan mulai menjalankan fungsinya sejak tahun 2002. Selain itu dalam rangka pengendalian peredaran hasil hutan dan tertib administrasi pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan Dan Perkebunan mengatur tata usaha kayu rakyat.
Dalam hal ini pemerintah daerah telah
menetapkan prosedur pelayanan kayu rakyat yang menyangkut perijinan dan peredarana hasil hutan agar terdapat keseragaman pelayanan tata usaha kayu rakyat di wilayah Kabupaten Sumedang sebagai acuan bagi masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan dalam melaksanakan tata usaha kayu rakyat di wilayah kerja masing-masing.
48
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten juga memberikan pelayanan pembinaan kepada para petani hutan rakyat terkait dengan pengembangan pengelolaan hutan rakyat.
Pertemuan-pertemuan formal berupa pemberian
penyuluhan dengan petani dan atau kelompok tani telah dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Terakhir ini kegiatan penyuluhan dan pembinaan kepada para petani dilakukan terkait dengan kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Melalui GNRHL Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga berperan dalam pembinaan pembuatan persemaian kepada para petani. Selanjutnya bibit tanaman hutan yang dihasilkan oleh para petani dibeli dan dimanfaatkan untuk kegiatan rehabilitasi lahan, walau tidak semua bibit dapat terserap oleh kegiatan tersebut. Dalam pelaksanaan GNRHL Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga turut berperan dalam pendistribusian bantuan bibit kepada para petani. Untuk menguatkan organisasi di tingkat petani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan telah membentuk beberapa Kelompok Tani Penghijauan (KTP) yang khusus menekuni bidang tanaman kehutanan yang meliputi kegiatan persemaian, penanaman tanaman kehutanan hingga pemasaran.
KTP tersebut tersebar di
seluruh wilayah (desa) yang ada di Kabupaten Sumedang. Dalam pengembangan hutan rakyat, perkembangan sektor hulu (petani) harus sejalan dengan perkembangan sektor hilir (industri). Untuk pengembangan sektor
industri
perkayuan/meubelair,
pemerintah
daerah
melalui
Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) memberikan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan teknis para para pelaku industri/pengrajin tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan studi banding terhadap industri-industri kayu yang ada di Jepara atau sengaja mendatangkan beberapa tenaga teknis dari Jepara untuk memberikan pelatihan kepada para pengrajin meubelair yang ada di Kabupaten Sumedang.
Selain itu untuk
meningkatkan mutu tampilan produk Disperindag juga melakukan kerjasama dengan para ahli desain dari ITB dan STISI Bandung. Hingga saat ini industri meubelair di Kabupaten Sumedang lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Paseh yang dikenal sebagai sentra meubelair.
49
Dinas Perindustian dan Perdagangan juga berperan dalam melakukan promo terhadap produk-produk industri yang dihasilkan oleh para pengrajin. Salah satunya adalah dengan menampilkan beberapa produk unggulan kabupaten pada beberapa kegiatan pameran, baik lokal maupun nasional. Kegiatan tersebut setidaknya dapat membantu memperkenalkan produk-produk unggulan kabupaten termasuk produk yang dihasilkan oleh industri meubelair. Untuk membantu penyediaan modal, Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga menjadi fasilitator yang menghubungkan pelaku industri dengan perbankan (Bank Syariah). Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan rekomendasi kepada pihak perbankan (Bank Syariah) bagi para pelaku industri yang betul-betul layak untuk memperoleh pinjaman modal dengan bunga ringan yaitu 6-7 % per tahun (wawancara pribadi dengan Kepala Sub Dinas Perindustrian Kab. Sumedang).
50
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Umur petani Umur merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kinerja seseorang dimana akan mempengaruhi produktivitas kerja. Demikian pula halnya pada pengelolaan hutan rakyat atau budidaya pertanian lain pada umumnya. Kekuatan fisik akan sangat dipengaruhi oleh umur karena pada batas usia tertentu kekuatan fisik akan semakin menurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum rata-rata umur petani pengelola hutan rakyat di lokasi penelitian berada pada usia 54,1 tahun dengan kisaran umur 30 – 71 tahun.
Dari 6 desa yang dijadikan sebagai sampel
pengambilan responden sangat jarang dijumpai para petani berusia muda. Pada Tabel 12 di bawah ini disajikan jumlah responden (petani hutan rakyat) yang dibagi berdasarkan kelompok umur. Tabel 12. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok umur Lokasi Penelitian (Desa)
Kelompok Umur
Kec. Jatigede
Kec. Darmaraja
(tahun)
Ciranggem
Karedok
25-34
2
35-44
2
Neglasari
Karangpakuan
-
-
-
2
Frekuensi
Kec. Tomo
(Jiwa)
Jembarwangi
Darmawangi
1
-
-
3 (3,9%)
2
3
-
9 (11,8%)
45-54
6
5
3
2
5
7
28 (36,8%)
>55
5
9
9
5
2
6
36 (47,4%)
JUMLAH
15
14
14
10
10
13
76 (100%)
Sumber: Data Primer, 2004
Pada Tabel 12 di atas tampak bahwa sebagian besar petani pengelola hutan rakyat di lokasi penelitian berada pada kelompok umur > 55 tahun (47,4%), disusul oleh kelompok umur 45-54 tahun (36,8%), kelompok umur 35-44 tahun (11,8%), dan selanjutnya kelompok umur 25-34 tahun (3,9%). Dengan demikian tampak pengelolaan hutan rakyat lebih banyak dilakukan oleh para petani usia lanjut. Dari sejumlah responden yang berhasil diwawancara hanya sebagian kecil yang berusia kurang dari 30 tahun. Namun faktor usia setidaknya tidak menyurutkan semangat para petani usia lanjut yang masih berupaya dan bahkan memiliki keinginan kuat untuk terus mengelola hutan rakyat sebagai sebuah
tradisi turun-temurun. Faktor umur responden ini juga menyiratkan bahwa tradisi untuk pengelolaan hutan rakyat masih dipertahankan oleh kelompok masyarakat golongan tua dan sedikit mendapat perhatian dari kelompok golongan muda. Hal ini juga memperlihatkan bahwa usaha hutan rakyat tidak menarik bagi kelompok usia muda. Kondisi ini dapat dijelaskan pada rentang waktu perolehan keuntungan yang relatif lebih lama dibandingkan tanaman semusim maupun tanaman hortikultur lainnya yang menghasilkan buah dalam jangka waktu yang lebih singkat. Kondisi ini juga merupakan dampak dari pergeseran persepsi kelompok muda dari usaha pertanian tradisional menjadi non pertanian yang dianggap lebih menguntungkan dan periodisasi lebih singkat (menghasilkan uang lebih cepat). Sedangkan kelompok tua lebih memilih pertanian konvensional yang lebih mementingkan kestabilan produksi pada jangka panjang dan keuntungan yang besar untuk keturunannya pada akhir produksi/panen kayu atau sebagai tabungan. Kelompok tua ini juga cenderung lebih arif dalam penggunaan lahan untuk hutan rakyat karena mereka menggunakan lahan-lahan yang relatif kritis/kurang produktif sehingga dalam hal ini merupakan usaha konservasi lahan dalam jangka panjang dan mengembalikan tingkat kesuburan lahan. Usaha konservasi lahan ini juga relatif tidak mengeluarkan dana besar sehingga menjadi alternatif metode yang murah dalam peningkatan produksi pertanian tanaman semusim. Kelompok tua ini juga cenderung untuk mempertahankan kearifan lokal untuk peningkatan kualitas lingkungan di sekitar mereka. Kelompok ini juga lebih resisten terhadap pengaruh dari luar yang terus mempengaruhi perilaku dan budaya pertanian mereka dimana sudah mulai kehilangan daya tarik bagi sebagian besar golongan muda. Pendidikan petani Faktor pendidikan petani menjadi sangat penting dalam pemahaman mereka terhadap usaha hutan rakyat. Dengan pendidikan yang semakin tinggi membuat persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap teknologi lebih terbuka dan tersaring dengan baik berdasarkan pengalaman pertanian konvensional selama ini. Prosesproses serapan dan aplikasi teknologi lebih mudah bagi petani dengan pendidikan yang lebih tinggi serta adanya kecenderungan perubahan teknologi ini membuat
52
mereka dapat meningkatkan produktivitas lahannya dan mampu menghadapi persaingan usaha sejenis. Para petani di lokasi penelitian sebagian besar (bahkan hampir mencapai 90%) memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pendidikan petani di 6 desa tersebut sebesar 78,9% hanya pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar. Bahkan terdapat 7,9% petani yang tidak tamat dalam menyelesaikan pendidikan dasar (SD). Namun ada pula petani yang mengenyam pendidikan SLTP sebesar 7,9%, SLTA sebesar 3,9% dan pendidikan D2 sebesar 1,3% (Gambar 8). Walaupun demikian, setidaknya para rensponden (petani) di lokasi penelitian pernah mengenyam pendidikan dasar serta dapat membaca dan menulis. Tingkat pendidikan formal yang cukup rendah tersebut dapat dipahami karena kondisi ekonomi keluarga pada saat dulu tidak cukup mendukung untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu dimungkinkan juga karena kurang tersedianya sarana prasarana serta jarak yang cukup jauh untuk menjangkau sarana pendidikan yang ada sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun umumnya para petani responden menyatakan beruntung mereka bisa mengenyam pendidikan dasar ditengah sulitnya ekonomi keluarga pada saat itu.
Kegiatan sekolah pun dilakukan ditengah-tengah sibuknya
membantu pekerjaan orang tua di sawah atau pun di ladang (huma). Berikut disajikan tingkat pendidikan responden di 6 desa lokasi penelitian. Tabel 13. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian Lokasi Penelitian (Desa) Tingkat Pendidikan
Frekuensi Kec. Jatigede
Kec. Darmaraja
Kec. Tomo
(Jiwa)
Ciranggem
Karedok
Neglasari
Karangpakuan
Jembarwangi
Darmawangi
TS/TTSD
1
-
1
1
-
3
6 (7,9%)
SD
12
10
12
6
10
10
60 (78,9%)
SLTP
1
1
1
3
-
-
6 (7,9%)
SLTA
1
2
-
-
-
-
3 (3,9%)
D2
-
1
-
-
-
-
1 (1,3%)
15
14
14
10
10
13
76 (100%)
Sumber: Data Primer, 2004 Ket: TS/TTSD= Tidak Sekolah/Tidak Tamat Sekolah Dasar
53
Pengalaman kerja Bertambahnya usia seseorang akan diikuti oleh meningkatnya pengalaman kerja. Rata-rata pengalaman petani responden dalam melakukan budidaya kayu rakyat/ hutan rakyat secara langsung pada lahan milik maupun lahan garapan di lokasi penelitian cukup tinggi yaitu 25,03 tahun. Bahkan beberapa responden menyatakan bahwa sejak kecil mereka sudah diajarkan menanam tanaman kayukayuan oleh orang tua mereka. Hal tersebut sangat dimungkinkan mengingat pola usaha tani berupa kebun campuran antara tanaman kayu-kayuan dan tanaman semusim telah dilakukan sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kebiasan tersebut diturunkan antar generasi dan bertahan hingga saat ini. Lebih jelasnya pengalaman responden dalam mengelola hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Pengalaman petani responden dalam mengelola hutan rakyat Lokasi Penelitian Pengalaman Kerja (Tahun)
Kec. Jatigede
Kec. Darmaraja
Kec. Tomo
Frekuensi (Jiwa)
Ciranggem
Karedok
Neglasari
Karangpakuan
Jembarwangi
Darmawangi
5-9
-
-
3
1
-
3
7 (9,2%)
10-14
4
2
-
4
1
4
15 (19,7%)
15-19
1
2
-
-
1
-
4 (5,3%)
20-24
6
3
1
-
3
2
15 (19,7%)
25-29
1
-
1
-
1
2
5 (6,6%)
30-34
1
5
9
3
3
2
23 (30,3%)
>35
2
2
-
2
1
-
7 (9,2%)
15
14
14
10
10
13
76 (100%)
Sumber: Data Primer, 2004
Berdasarkan Tabel 14 di atas tampak bahwa lebih dari 90% dari total responden memiliki pengalaman mengelola kayu/hutan rakyat lebih dari 10 tahun. Dengan demikian menanam kayu bukanlah pekerjaan yang asing bagi mereka. Umumnya mereka adalah para petani dengan usia rata-otyrata di atas 40 tahun. Sejak kecil mereka sudah diajak dan dilibatkan oleh orang tua mereka dalam melakukan budidaya tanaman keras (kayu-kayuan). Artinya pengalaman mengelola hutan rakyat diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka. Sebagian petani mengaku bahwa diantara kayu yang mereka miliki saat ini
54
terdapat beberapa batang kayu yang ditanam bersama dengan orang tua mereka yang saat ini telah diwariskan dan menjadi hak milik mereka. Jumlah tanggungan rumah tangga petani Besarnya beban tanggungan yang harus dipikul oleh petani sebagai kepala keluarga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah anggota keluarga petani. Semakin banyak jumlah anggota keluarga petani maka akan semakin besar beban tanggungan petani yang berakibat semakin menurunnya tingkat kesejahteraan rumah tangga. Namun pada sisi lain besarnya jumlah anggota keluarga dapat pula menambah penghasilan keluarga karena masing-masing angggota keluarga dapat pula terlibat dalam kegiatan yang mampu mendatangkan penghasilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara umum rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga petani di lokasi penelitian 3,6 orang dengan kisaran 1-6 orang. Jumlah tanggungan rumah tangga petani tersebut lebih jelasnya ditunjukkan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Jumlah tanggungan rumah tangga petani di lokasi penelitian Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (Jiwa)
Lokasi Penelitian Kec. Jatigede
Kec. Darmaraja
Ciranggem
Karedok
Neglasari
Frekuensi (Jiwa)
Kec. Tomo
Kr. pakuan
Jbr. wangi
Dm. wangi
<3
3
6
6
-
1
4
20 (26,3%)
3-5
12
8
8
10
8
6
52 (68,4%)
>5
-
-
-
-
1
3
4 (5,3%)
JUMLAH
15
14
14
10
10
13
76 (100%)
Sumber: Data Primer, 2004
Berdasarkan Tabel 15 di atas tampak bahwa, sebanyak 68,4% memiliki tanggungan rumah tangga sebanyak 3 - 5 orang. Kecilnya jumlah tanggungan rumah tangga petani responden di 6 desa lokasi penelitian dikarenakan sebagian besar dari anak-anak mereka sudah berumah tangga dan hidup mandiri serta ada pula sebagian yang bekerja di kota. Sehingga tak jarang mereka yang tinggal di daerah penelitian ini hanya merupakan keluarga inti saja (ayah dan ibu) serta putra/putri mereka yang masih kecil. Kondisi ini juga dipengaruhi kelompok umur dari responden yang dominan pada kelompok > 55 tahun sehingga pada kelompok tersebut cenderung memiliki tanggungan lebih kecil karena usia anak rata-rata sudah melebihi 20 tahun dan 55
juga sebagian besar sudah hidup mandiri. Kondisi jumlah tanggungan ini juga menyiratkan bahwa petani yang memilih usaha hutan rakyat ini relatif tidak memiliki tekanan kebutuhan ekonomi terlalu tinggi akibat jumlah anggota keluarga yang besar sehingga usaha ini bisa dianggap sebagai usaha sampingan maupun tabungan mereka dalam jangka panjang. Penguasaan Lahan Hutan Rakyat Para petani di lokasi penelitian umumnya menjadikan lahan tanah kering sebagai lahan budidaya hutan rakyat. Sebagian diantaranya adalah lahan dengan topografi miring. Selain itu terdapat pula lahan berbatu yang mereka jadikan sebagai hutan rakyat (Gambar 6). Pemanfaatan lahan tersebut dimaksudkan agar lahan menjadi lebih produktif melalui penanaman tanaman kayu-kayuan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dengan menerapkan strategi ekonomi ini
diharapkan dalam waktu 10-20 tahun mendatang tanaman kayu bisa mereka panen untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lahan-lahan tersebut sebagian besar berstatus sebagai lahan milik (hak milik) dan terdapat sebagian kecil yang berstatus sebagai lahan garapan (lahan pangangonan/ tanah kas desa). Lahan milik umumnya merupakan lahan warisan dari orang tua mereka. Tanah kas desa yang dikelola menjadi lokasi hutan rakyat merupakan tanah-tanah terlantar kurang produktif. Menurut Hardjanto (2003) strategi ini akan menjadikan lahan lebih produktif dan juga dapat meningkatkan mutu lingkungan. Sementara petani akan sangat terbantu dikarenakan sempitnya lahan yang mereka miliki.
Gambar 6. Pemanfaatan lahan berbatu untuk penanaman hutan rakyat Penggunaan/pemanfaatan tanah kas desa oleh petani banyak ditemukan di Kecamatan Darmaraja baik di Desa Karangpakuan maupun Desa Neglasari. Hal 56
yang sama pun terjadi di kecamatan lainnya, seperti di Desa Ciranggem yang merupakan wilayah Kecamatan Jatigede dengan jumlah yang relatif sedikit. Menurut kepala Desa Ciranggem pengelolaan lahan milik desa oleh petani sangat bermanfaat baik bagi desa maupun bagi petani pengelola itu sendiri. Mereka menerapkan sistem bagi hasil dengan pola 7:3, artinya dari 10 pohon yang dipanen 7 pohon merupakan hak petani dan 3 pohon untuk kas desa. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, diketahui bahwa ratarata penguasaan lahan hutan rakyat adalah sebesar 0,34 ha/KK. Luasan tersebut mencakup hutan rakyat yang dikelola pada tanah milik maupun pada tanah kas desa. Namun mayoritas merupakan hutan rakyat yang dikelola pada lahan milik petani. Para petani responden di Desa Ciranggem memiliki luas lahan hutan rakyat rata-rata terbesar dibanding dengan desa contoh lainnya, yaitu 0,43 ha/KK. Bahkan di desa ini terdapat 3 orang responden yang memiliki lahan hutan rakyat lebih dari 1 ha yang dikelola di atas lahan milik. Tingginya luas kepemilikan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh masih rendahnya harga tanah di wilayah tersebut. Harga tanah yang relatif jauh dari pemukiman penduduk berkisar antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- per bata (14 m2). Sebaliknya, nilai rata-rata penguasaan lahan hutan rakyat terkecil terdapat di Desa Karangpakuan, yaitu sebesar 0,21 ha/KK. Angka tersebut sudah termasuk tanah kas desa yang dikelola oleh para petani. Sebagian responden mengakui bahwa sebagian lahan yang mereka miliki sudah mendapatkan ganti rugi proyek pembangunan Waduk Jatigede. Berikut disajikan luas kepemilikan areal hutan rakyat di lokasi penelitian. Tabel 16. Luas kepemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian Luas
Lokasi Penelitian
Frekuensi
Kepemilikan HR (m2)
Ciranggem
Karedok
Neglasari
Karangpakuan
Jembarwangi
Darmawangi
(Jiwa)
<1000
2
3
-
2
1
4
12 (15,8%)
1000-2499
9
4
6
5
1
2
27 (35,5%)
2500-4999
-
3
5
2
2
5
17 (22,4%)
5000-7499
-
3
2
1
5
2
13 (17,1%)
7500-9999
1
-
-
-
-
-
1 (1,3%)
>10000
3
1
1
-
1
-
6 (7,9%)
JUMLAH
15
14
14
10
10
13
76 (100%)
Sumber: Data Primer, 2004
57
Berdasarkan Tabel 16 di atas hanya ada 6 responden yang memiliki luas hutan rakyat di atas 1 hektar (7,9%). Kelompok ini umumnya merupakan keluarga yang memiliki kecukupan ekonomi di desa mereka. Sebagian besar responden bahkan hanya memiliki lahan hutan rakyat di bawah 0,25 hektar. Bahkan ada yang memiliki lahan di bawah 0,1 hektar (15,8%). Kerapatan Hutan Rakyat Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerapatan hutan rakyat di lokasi penelitian cukup variatif. Demikian juga dengan jenis tanaman keras yang dikembangkan oleh masyarakat. Preferensi masyarakat di masing-masing lokasi penelitian cukup beragam dengan alasan yang cukup beragam pula antara lain karena kesesuaian dengan lahan mereka, harga yang cukup tinggi, bibit mudah diperoleh dan kualitas kayu yang cukup bagus. Namun para petani tersebut umumnya bertahan mengelola jenis-jenis kayu yang sebelumnya telah dikembangkan oleh orang tua mereka dan terbukti cocok dengan tapak setempat. Pengalaman mereka dan juga generasi sebelum mereka (orang tua) umumnya menjadi dasar dalam pemilihan jenis yang dikembangkan. Walaupun disadari bahwa jenis kayu yang dikembangkan memiliki daur yang cukup lama seperti halnya jenis kayu jati dan mahoni, kedua jenis kayu tersebut tetap menjadi pilihan para petani hutan rakyat di lokasi penelitian. Ide penanaman umumnya merupakan inisiatif sendiri karena sudah merupakan budaya yang sudah turun temurun. Namun diakui pula oleh sebagian responden adanya pengaruh program yang dilakukan pada masa lalu seperti kegiatan penghijauan, program Rakgantang (Gerakan Gandrung Tatangkalan) yang merupakan program Propinsi Jawa Barat pada masa Gubernur Solihin GP dan juga kegiatan rehabilitasi lahan yang masih berlangsung hingga saat ini. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa kerapatan tegakan hutan rakyat tertinggi terdapat di Desa Ciranggem, Kecamatan Jatigede dengan kerapatan tegakan rata-rata mencapai 944,32 pohon/ha.
Jumlah kayu yang
dihitung merupakan tanaman keras (kayu-kayuan) mulai dari tingkat pancang atau minimal 2 tahun umur penanaman sampai dengan tingkat pohon. Sedangkan tingkat semai atau anakan alami tidak dihitung. Hal tersebut dilakukan mengingat jumlah anakan alami yang sangat besar terutama anakan untuk jenis mahoni. 58
Tingginya tingkat kerapatan di desa ini dikarenakan jarak tanam yang dilakukan oleh beberapa responden cukup rapat yaitu sekitar 2 x 3 m dan juga rapatnya anakan alami yang tumbuh di lahan mereka yang dipelihara. Lokasi
lain
yang
memiliki
kerapatan
cukup
tinggi
yaitu
Desa
Karangpakuan, Kecamatan Darmaraja. Di lokasi ini kerapatan rata-rata hutan rakyat mencapai 925,02 pohon/ha. Sama halnya dengan petani di Ciranggem beberapa petani di Karangpakuan menggunakan jarak tanam yang sangat rapat. Hal itu dilakukan mengingat kebutuhan bibit selama ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Banyaknya anakan alami yang tumbuh (terutama mahoni) dan juga banyaknya penangkar bibit sangat mendukung bagi ketersediaan bibit. Sementara lokasi penelitian yang memiliki kerapatan tegakan cukup rendah yaitu di Desa Jembarwangi, Kecamatan Tomo dan Desa Karedok, Kecamatan Jatigede.
Di Desa Jembarwangi kerapatan tegakan rata-rata hanya mencapai
189,117 pohon/ha, sedangkan di Desa Karedok 277,971 pohon/ha.
Terdapat
beberapa hal yang menyebabkan rendahnya tingkat kerapatan hutan rakyat di dua lokasi tersebut antara lain adanya peralihan preferensi masyarakat dari tanaman kayu-kayuan terhadap buah-buahan terutama mangga (terutama mangga gedong gincu). Bahkan terdapat responden yang sengaja menebang pohon jati yang baru berdiameter 10-15 cm dan rencananya akan diganti dengan jenis mangga gedong gincu. Jenis mangga ini menjadi primadona masyarakat di Kecamatan Tomo mengingat harga dipasaran cukup tinggi yaitu Rp. 7000,- s.d. Rp. 18.000,- per kg. Tanaman ini pada umur 5 tahun sudah mulai berbuah dan pada usia 10 tahun sudah berbuah maksimal dimana per pohon mampu menghasilkan buah seberat 100 - 150 kg. Dengan demikian mereka menilai tanaman mangga lebih cepat menghasilkan daripada harus menanam tanaman jati dimana harus menunggu 15 sampai 20 tahun. Tanaman mangga juga dipandang mampu memberikan hasil yang kontinyu setiap tahun. Sedangkan bagi masyakat Desa Karedok selain karena ada ketertarikan terhadap tanaman mangga, faktor aksesibilas juga menjadi alasan masyarakat untuk mengganti tanamannya. Untuk mengangkut kayu dari lokasi desa tersebut sangat sulit karena harus melewati sungai Cimanuk sementara tidak ada jalan jembatan
yang
melintasi
sungai
tersebut.
Satu-satunya
sarana
jalan
59
penyeberangan yang ada untuk menuju desa tersebut adalah dengan menggunakan jembatan gantung yang hanya dapat dilewati dengan kendaraan roda dua. Adapun yang dilakukan oleh para pedagang pengumpul jika akan melakukan pengangkutan kayu dari lokasi tersebut adalah menunggu musim kering sehingga mobil mampu memotong Sungai Cimanuk.
Oleh karena itu harga jati yang
mereka miliki seringkali ditawar murah oleh para pedagang pengumpul. Salah seorang responden menyatakan menjual kayu jati sebanyak 83 batang dengan diameter rata-rata lebih dari 20 cm (kelas OD) hanya dengan harga Rp. 10 juta. Dengan demikian harga per batang hanya sekitar Rp. 120.000,- sementara dia harus menunggu selama kurang lebih 15 - 20 tahun untuk mencapai diameter tersebut. Rendahnya harga jual tersebut cukup beralasan mengingat besarnya biaya angkut yang harus ditanggung para pedagang pengumpul. Oleh sebab itu peran pemerintah dalam perbaikan maupun pembangunan sarana jalan baru akan sangat membantu kelancaran usaha hutan rakyat, baik pada pihak petani mapun pedagang.
Tidak hanya itu, aksesibilitas yang semakin meningkat akan
merangsang tumbuh dan berkembangnya usaha hutan rakyat di kalangan masyarakat. Berikut disajikan secara lengkap tingkat kerapatan tegakan di masing-masing lokasi penelitian: Tabel 17. Kerapatan tegakan rata-rata hutan rakyat No 1.
Jumlah Jati dan Mahoni
Ciranggem
5.891,00
130,00
13,00
6.039,00
97,55
2,15
0,22
100,00
1.268,00
14,00
84,00
1.369,00
92,62
1,02
6,14
100,00
Persentase (%) 2.
Karedok Persentase (%)
3. 4. 5.
Neglasari
Jumlah Buahbuahan
Jumlah Total
3.918,00
199,00
7,00
4.126,00
Persentase (%)
94,96
4,82
0,17
100,00
Karangpakuan
1.862,00
54,00
35,00
1.951,00
Persentase (%)
95,44
2,77
1,79
100,00
782,00
-
56,00
838,00
93,32
-
6,68
100,00
1.296,00
-
68,00
1.364,00
95,01
-
4,99
100,00
Jumlah (1 s.d. 6)
15.017,00
397,00
263,00
15.687,00
Persentase Total
95,73
2,53
1,68
100,00
Jembarwangi Persentase (%)
6.
Jumlah Kayu Lokal
Desa
Darmawangi Persentase (%)
Kerapatan Jati dan Mahoni
Kerapatan Kayukayuan
Kerapatan Total
923,93
944,32
947,15
274,93
277,97
296,83
701,40
737,02
738,63
898,95
925,02
941,92
189,12
189,12
202,66
426,32
426,32
448,68
581,60
596,97
607,55
Sumber: Data Primer (2004)
60
Berdasasarkan secara keseluruhan kerapatan tegakan hutan rakyat untuk kayu-kayuan saja mencapai 596,97 pohon/ha. Angka tersebut masih lebih tinggi dari standar kerapatan hutan rakyat yang biasa digunakan yaitu sebesar 400 pohon/ha. Tegakan yang ada terdiri berbagai kelas umur. Sebaran kelas umur tegakan hutan rakyat di lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: 160, 07
15 7 , 2 4 180
18 0
160
16 0 14 0
85,05
140
12 0
77, 85
120
10 0
4 7 , 13
80
100 80
60
60
2 1, 2 6
16, 65
40
40
20
20
0
6, 31
0
<5
5 - 10
10 - 15
> 15
< 5
U m u r T e ga k a n ( T a h u n )
10- 15
> 15
(b)
(a) 2 6 4, 7 9
5- 10
U mur T e ga k a n ( t a hun)
265, 76
241, 01
300
300
250
250
200
200
242, 22
150
150 53, 95 100
40, 20
48, 02
100
54, 53
50
50
0
0 < 5
5- 10
10- 15
> 15
U mur T ega k a n ( t a hun)
(c)
< 5
5- 10
10- 15
> 15
U mur T e ga k a n ( t a hun)
(d)
Gambar 7. Jumlah tegakan berdasarkan kelas umur: (a) tegakan jati; (b) tegakan mahoni; (c) tegakan seluruh jenis kayu-kayuan; dan (d) tegakan kayu-kayuan dan buah-buahan. Sistem Pengusahaan Hutan Rakyat Petani hutan rakyat di Kabupaten Sumedang mengusahakan hutan rakyat di lahan ladang dan lahan pekarangan yang merupakan areal tanah kering. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan tampak pula adanya penanaman kayukayuan di pematang sawah walaupun jumlah kayu yang ditanam relatif sedikit dan sporadis dibanding di lahan kering. Tanaman kayu biasanya ditanam dengan tanaman lain (tumpangsari) yaitu dengan tanaman pangan seperti padi gogo dan jagung. Pola ini merupakan yang 61
paling banyak dilakukan oleh petani hutan rakyat di lokasi penelitian.
Padi
sebagai bahan makanan utama tampaknya harus selalu ada dalam pola pemanfaatan lahan mereka. Selain itu ada pula sebagian kecil yang melakukan tumpang sari dengan kacang-kacangan (kacang tanah). Pola tumpangsari ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil tambahan dari lahan yang mereka kelola sehingga dapat menambah pasokan kebutuhan pangan keluarga petani dan sekaligus juga untuk menambah pendapatan keluarga sebelum tanaman pokok (kayu-kayuan) berproduksi.
Selain palawija, mereka juga memperoleh hasil
buah-buahan berupa pisang, petai, mangga, dan buah-buahan lainnya. Jenis buahbuahan ini ditanam dalam jumlah yang relatif sedikit namun dapat menambah pendapatan mereka dari hutan rakyat. Budidaya tanaman palawija pada lahan hutan rakyat dilakukan pada saat tajuk tanaman pokok belum menutupi areal dimana cahaya matahari masih mampu menembus lantai hutan sehingga pertumbuhan tanaman pertanian tidak terganggu. Sebagian besar petani menanam tanaman palawija hingga tanaman pokok berumur 2 atau 3 tahun. Namun ada pula yang melakukan penanaman hingga usia tanaman pokok 5 tahun. Hal tersebut sangat tergantung dengan jarak tanam yang mereka lakukan. Petani yang melakukan pola tanam dengan palawija sangat tergantung dengan jarak tanam yang diterapkan oleh para petani serta pertumbuhan tanaman (penutupan tajuk).
Semakin rapat jarak tanam maka
semakin pendek waktu yang dapat digunakan untuk melakukan penanaman palawija. Selain menerapkan pola tumpangsari palawija, terdapat pula sebagian responden yang hanya menanam tanaman keras saja pada lahan mereka. Terdapat beberapa alasan sehingga sebagian petani melakukan hal tersebut, antara lain: (1) lokasi lahan yang cukup jauh dari tempat tinggal sehingga sulit untuk melakukan pengkontrolan dan perawatan, (2) waktu yang sangat terbatas, (3) lebih memfokuskan diri pada pengelolaan sawah, dan (4) lahan dianggap tidak produktif atau berbatu. Jenis kayu yang ditanam sebagian besar adalah jenis jati dan mahoni. Terdapat pula sebagian kecil jenis kayu lokal seperti aprika, sonokeling, tisuk, juar, kihiang dan beberapa jenis cepat tumbuh seperi sengon dan akasia.
62
Pola usahatani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat di lokasi penelitian sangat beragam.
Jarak tanam yang digunakan oleh petani dalam mengatur
tanaman pokok pun bervariasi.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar petani menerapkan jarak tanam yang tidak teratur. Bahkan sebagian petani hanya melakukan penjarangan terhadap bibit tanaman alami yang dihasilkan oleh pohon yang sudah tua (pohon induk). Hal itu tampak dari tidak adanya larikan penanaman yang jelas. Namun ada pula petani yang menggunakan jarak tanam 2 x 3, 3 x 4, dan 5 x 5 m. Petani yang melakukan hal tersebut umumnya mereka yang pernah atau biasa ikut bekerja pada penanaman kayu di Perum Perhutani. Sedangkan penggunaan jarak tanam 5 x 5 m umumnya banyak digunakan sesuai dengan anjuran pelaksanaan GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) atau Gerhan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para petani agar masa penanaman tanaman tumpangsari dapat dilakukan lebih lama. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa intensifikasi dalam pengelolaan hutan rakyat tampaknya masih kurang. Hal tersebut tampak dari tingkat penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida yang masih sangat kurang. Demikian pula halnya dengan kegiatan pemeliharaan, sebagian besar pemeliharaan yang dilakukan hanyalah penyiangan. Kegiatan itu pun dilakukan dengan frekuensi yang tidak teratur. Sementara pelaksanaan kegiatan pemupukan lebih dikarenakan adanya kegiatan pemupukan terhadap tanaman palawija (tumpangsari) sehingga dapat dikatakan terjadi penggunaan pupuk kolektif. Sedangkan untuk tanaman keras (kayu-kayuan) hanya berupa pupuk kandang sebagai pupuk dasar pada saat awal penanaman. Oleh sebab itu dalam pengelolaan hutan rakyat masyarakat menganggap biaya yang dikeluarkan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pertanian intensif lainnya. Perawatan tanaman keras tidak serumit perawatan terhadap tanaman semusim. Namun ada pula petani yang mencoba melakukan pemupukan terhadap tanaman pokok dengan menggunakan pupuk berimbang jenis urea dan TSP serta jenis pupuk lainnya walaupun dosisnya masih sangat rendah.
63
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan beberapa pola penanaman hutan rakyat yang dilakukan oleh petani, antara lain: 1. Pola I: penanaman jati secara monokultur dengan tanaman tumpangsari padi, dan jagung. 2. Pola II: penanaman mahoni secara monokultur dengan tanaman tumpangsari padi dan jagung 3. Pola III: penanaman jati secara monokultur dengan tanaman tumpangsari kacang tanah. 4. Pola VI: penanaman campuran antara jenis jati, mahoni, tanaman buahbuahan dengan tanaman tumpangsari padi dan jagung 5. Pola V: penanaman jati murni tanpa tanaman tumpangsari 6. Pola VI: penanaman mahoni murni tanpa tanaman tumpangsari 7. Pola VI: penanaman campuran antara jati dan mangga dengan tanaman tumpangsari padi dan jagung. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani meliputi kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Sedangkan kegiatan pemanenan dan pemasaran tidak dilakukan oleh petani karena umumnya petani menjualnya dalam bentuk pohon berdiri. Oleh sebab itu biaya pemanenan dan pemasaran dibebankan kepada pihak pembeli (pedagang pengumpul maupun pengepul). Idealnya pemanenan tersebut dilakukan pada saat umur tanaman minimal 20 tahun untuk tanaman jati dan 15 tahun untuk tanaman mahoni. Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden disajikan pada Tabel 18.
64
Tabel 18. Penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan hutan rakyat No
Pola Hutan Rakyat
Penggunaan Tenaga Kerja (HOK/Ha) Persiapan lahan
Olah lahan
Pengangkutan Bibit
Penanaman
Penyulaman
Pemeliharaan
Pemanenan
Pascapanen
- Tanaman Pangan
2
56
0
13
0
33
25
10
-Tanaman Kehutanan Pola II
0
0
2
14
8
12
0
0
- Tanaman Pangan - Tanaman Kehutanan
4 0
60 0
0 2
13 16
0 7
26 12
20 0
8 0
- Tanaman Pangan
4
70
0
14
0
56
21
10
- Tanaman Kehutanan Pola IV
0
0
2
16
8
12
0
0
- Tanaman Pangan
2
63
0
14
0
20
21
7
0 0
0 0
1 4
2 16
0 5
2 12
0 0
0 0
5
- Tanaman Horti - Tanaman Kehutanan Pola V - Tanaman Kehutanan Pola VI
6
0
2
14
8
16
0
0
6
- Tanaman Kehutanan Pola VII
6
0
2
14
8
24
0
0
7
- Tanaman Pangan
5
65
0
22
0
28
25
12
- Tanaman Horti
0
0
4
8
2
24
0
0
1
2
3
4
Pola I
Pola III
- Tanaman Kehutanan Rata-rata Pangan Rata-rata Horti Rata-rata Kehutanan
Sumber : Data lapang (2004)
0
0
1
3
1
4
0
0
3,4
62,8
0
15,2
0
32,6
22,4
9,4
0
0
2,5
5
1
13
0
0
1,7
0,0
2,1
13,3
6,4
13,1
0,0
0,0
Dari tabel di atas diperoleh bahwa rata-rata penggunaan tenaga kerja pada persiapan lahan di tanaman pangan sebesar 3,4 HOK/ha, pengolahan lahan sebesar 62,8 HOK/ha, penanaman 15,2 HOK/ha, pemeliharaan 32,6 HOK/Ha, pemanenan sebesar 22,4 HOK/Ha, dan pascapanen 9,4 HOK/Ha. Untuk tanaman hortikultur diperoleh bahwa rata-rata pengangkutan bibit 2,5 HOK/ha, Penanaman 5 HOK/Ha, pemeliharaan 13 HOK/Ha. Sedangkan untuk tanaman kehutanan diperoleh rata-rata persiapan lahan 1,7 HOK/ha, pengangkutan bibit 2,1 HOK/Ha, penanaman 13,3 HOK/ha, Penyulaman 6,4 HOK/ha, dan Pemeliharaan 13,1 HOK/ha.
6%
Persiapan Lahan
2%
15%
Pengolahan Lahan 44%
Penanaman Pemeliharaan
23%
Pemanenan 10%
Pascapanen
Gambar 8. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan tanaman pangan di hutan rakyat. Sedangkan berdasarkan gambar di atas memperlihatkan proporsi penggunaan tenaga kerja pada tanaman pangan yaitu didominasi oleh pengolahan lahan sebesar 44%, kemudian diikuti oleh pemeliharaan (23%), pemanenan (15%), penanaman (10%), pascapanen (6%), dan persiapan lahan (2%). Besarnya proporsi tenaga kerja pada kegiatan pengolahan lahan dikarenakan cara pengolahan lahan yang dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian cukup intensif khususnya untuk pengolahan tanah dimana tanah digemburkan terlebih dahulu sebelum ditanam dengan tanaman palawija. Hal ini dilakukan oleh para petani yang melakukan pola tumpangsari pada lahan hutan rakyat yang mereka kelola. Menurut mereka dengan digemburkan terlebih dahulu tanaman akan lebih produktif dibanding dengan pola tanam tanpa olah tanah . Namun bagi petani 66
yang tidak melakukan pola tanam tumpangsari cukup dengan membuat lubang tanam saja.
5%
6%
Persiapan lahan
36%
Pengangkutan bibit Penanaman 35% 18%
Penyulaman Pemeliharaan
Gambar 9. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada tanaman hutan pengusahaan hutan rakyat Sedangkan uraian secara detail kegiatan pengusahaan hutan rakyat disajikan berikut ini. 1. Kegiatan penanaman Dalam kegiatan penanaman, masyarakat pemilik lahan biasanya melakukan beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan lahan, pengadaan bibit, pengolahan lahan dan penanaman. a. Persiapan lahan Kegiatan persiapan lahan dilakukan untuk membersihkan lahan dari semak belukar, rumput, dan tumbuhan pengganggu lainnya dengan menggunakan sabit dan parang (golok).
Kegiatan persiapan lahan ini
umumnya dilakukan pada areal yang sebagian besar tertutup oleh semak belukar. Pada areal yang relatif sudah bersih kegiatan ini dapat diabaikan. Banyaknya tenaga kerja yang dan biaya untuk kegiatan persiapan lahan ini sangat tergantung kondisi lahan dan banyaknya pohon yang ditanam. Pada kondisi demikian persiapan lahan hanya pada bagian lahan yang akan ditanam yaitu dengan membersihkan semak belukar berukuran 1 m x 1 m atau bahkan kurang (sistem cemplongan). Kemudian bagian lahan bersih dibuat lubang tanam dengan ukuran rata-rata 0,3 x 0,3 x 0,3 m.
67
12% Pengangkutan bbibit 23%
Penanaman Penyulaman
60% 5%
Pemeliharaan
Gambar 10. Proporsi penggunaan tenaga kerja untuk tanaman hortikultur pada pengusahaan hutan rakyat b. Pengolahan lahan Kegiatan pengolahan lahan secara intensif biasanya dilakukan oleh responden yang memanfaatkan lahan dengan pola tumpang sari dengan palawija. Tanah pada umumnya dicangkul untuk digemburkan. Setelah itu baru ditugal (ngaseuk). Hal tersebut berbeda dengan pola perladangan yang dilakukan masyarakat diluar jawa dimana penanaman palawija di ladang (padi maupun jagung) dilakukan tanpa melakukan pengolahan lahan terlebih dahulu. Sedangkan untuk penanaman tanaman kayu pengolahan lahan yang dilakukan hanya berupa pembuatan lubang tanam. Pengolahan lahan merupakan kegiatan yang membutuhkan jumlah tenaga kerja yang paling besar. c. Pengadaan bibit Bibit kayu jati dan kayu mahoni sebagian besar diperoleh petani dari bibit alami yang tumbuh di hutan-hutan maupun di lokasi tanaman yang sudah ditanam sebelumnya. Bibit ini merupakan bibit-bibit puteran atau cabutan yang akan langsung ditanam ataupun diadakan perlakuan lagi dengan menanamnya di kantong polybag. Perlakuan penanaman bibit cabutan ini sebagai upaya untuk menekan tingkat kematian dari bibit yang ada. Penggunaan bibit cabutan ini dilakukan untuk menekan ongkos atau biaya pengadaan bibit.
68
Selain itu terdapat sebagian petani yang memanfaatkan langsung anakan yang tumbuh alami dilahan mereka.
Anakan alami tersebut
dipelihara dan jika terlalu banyak/rapat sebagian anakan dijarangi. Dengan demikian mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penyediaan bibit. Biaya pengadaan bibit oleh petani jika membeli langsung dari penangkar setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp. 400,- Rp.1.200,- per anakan dengan ukuran tinggi 40-60 cm dari pangkal batang. Bibit tersebut dapat diperoleh dari petani penangkar lokal yang memiliki persemaian. d. Penanaman Kegiatan penanaman dimulai pada saat bibit telah tersedia dan lahan telah siap untuk ditanami. Kegiatan penanaman ini sangat terkait dengan awal musim hujan. Masyarakat di lokasi penelitian melakukan penanaman pada bulan Oktober atau November bersamaan dengan musim tanam tanaman pertanian. Hal ini dimaksudkan agar tanaman tidak stress/mati karena kekurangan air. Kegiatan penanaman meliputi kegiatan pembuatan lubang tanam dan memasukan tanaman tersebut ke dalam lubang tanam. Tidak ada ketentuan pasti mengenai ukuran lubang tanam yang dibuat. Mereka umumnya menggunakan taksiran dengan perkiraan bahwa lubang tersebut cukup untuk ukuran bibit yang ditanam. Ukuran lubang berdiameter kurang lebih 30 cm tergantung besar polibag dan umur tanaman yang akan ditanam. Lamanya kegiatan dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini sangat tergantung jumlah tanaman yang ditanam. Dalam kegiatan penanaman biasanya menggunakan tenaga kerja upahan. Besarnya upah tenaga kerja rata-rata per hari adalah Rp. 15.000,-. Selain menggunakan bibit, untuk tanaman jati petani juga seringkali memanfaatkan tunas yang tumbuh dari tunggak kayu bekas tebangan atau biasa lebih dikenal dengan istilah sistem trubusan.
Caranya dengan
membiarkan salah satu tunas untuk tetap tumbuh dan membuang tunastunas yang lain. Cara ini pada dasarnya dapat lebih menghemat biaya karena petani dapat mengurangi biaya pengadaan bibit. Selain itu dengan sistem trubusan ini diyakini pertumbuhan tanaman lebih cepat dan lebih 69
bagus.
Berdasarkan pengalaman mereka, pada usia 6-8 tahun ukuran
diameter pohon jati sudah bisa mencapai 20-25 cm. Kecepatan pertumbuhan tanaman dengan menerapkan sistem trubusan ini menurut petani disebabkan karena perakaran dari tunggak sudah kuat dan banyak sehingga mampu menyerap unsur hara dalam jumlah yang lebih banyak. Namun sistem ini memiliki kelemahan dimana pohon jati mudah rebah terutama jika ada angin kencang. 2. Kegiatan Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani meliputi pemupukan, penyiangan, penjarangan, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Dari beberapa kegiatan pemeliharaan ini, kegiatan penyiangan merupakan kegiatan yang hampir pasti dilakukan oleh setiap petani. Sedangkan kegiatan lainnya jumlah dan frekuensinya sangat jarang.
Hal tersebut mengingat
kendala biaya yang dimiliki oleh petani. Hanya petani-petani tertentu (petani bermodal cukup) yang melakukan kegiatan pemupukan dan pemberantasan hama. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pemupukan Kegiatan pemupukan dilakukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, sehingga akan diperoleh hasil produksi kayu rakyat yang optimal.
Kegiatan pemupukan yang seringkali dilakukan oleh petani
adalah pada saat awal penanaman yaitu penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk dasar. Kegiatan pemupukan lanjutan sangat jarang dan bahkan bagi sebagian petani tidak dilakukan sama sekali. Harga pupuk yang mahal menjadi alasan bagi mereka untuk tidak melakukan kegiatan tersebut. Sehingga kalaupun ada yang melakukan pemupukan hanya mereka yang merupakan para petani yang memiliki kecukupan ekonomi. Dari 76 responden yang diwawancarai terdapat 20 petani responden (26%) yang melakukan pemupukan tanaman dalam kegiatan pemeliharaan. Pupuk yang digunakan berupa pupuk buatan yaitu jenis urea dan TSP. Sebagian petani juga menggunakan pupuk kandang sebagai alternatif pilihan lain. Rata-rata pemupukan dilakukan satu kali dalam satu periode
70
penanaman kayu-kayuan, itu pun dengan dosis yang cukup kecil yaitu 50100 kg/ha.
menggunakan pupuk 26%
tidak menggunakan 74%
Gambar 11.
Proporsi penggunaan pupuk oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat. Dengan adanya pola tumpangsari, sebagian besar petani memang
tidak secara langsung melakukan pemupukan pada tanaman keras mereka, akan tetapi mereka melakukan pemupukan pada tanaman musiman yang mereka tanam (tanaman tumpangsari). Pemupukan pada tanaman palawija merupakan suatu kegiatan pasti yang mereka lakukan. Dengan demikian secara tidak langsung tanaman keras pun mendapat tambahan hara dari kegiatan tersebut. b. Penyiangan Kegiatan penyiangan ini dilakukan dengan cara membersihkan tanaman penggangu atau pun rumput dan alang-alang di sekitar tanaman kayu. Kegiatan penyiangan rata-rata dilakukan 3 kali pada saat tanaman berumur satu tahun. Selanjutnya umur 2 sampai dengan 3 tahun masingmasing satu kali penyiangan. Setelah tanaman berumur 3 tahun kegiatan penyiangan cenderung tidak dilakukan karena lahan sudah tertutup tajuk sehingga hanya sedikit tumbuhan bawah yang dapat tumbuh. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis tumbuhan bawah yang tumbuh antara lain jenis rumput-rumputan dan beberapa jenis liana. Tumbuhan bawah ini seringkali dimanfaatkan oleh petani yang memiliki ternak untuk makanan ternak. Dengan demikian secara tidak langsung petani telah melakukan kegiatan penyiangan. Namun jika kegiatan penyiangan bagai petani yang 71
melakukan pola tumpangsari akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Hal itu terkait dengan kegiatan penyiangan pada pemeliharaan tanaman palawija. Biasanya mereka menggunakan tenaga kerja upahan dengan rata-rata 7 jam kerja perhari. Untuk meminimalkan biaya pada kegiatan ini, anggota keluarga juga diikutsertakan. Bagi beberapa responden yang tergabung dalam kelompok tani, kegiatan ini seringkali dilakukan secara bergotong royong. c. Penjarangan Kegiatan penjarangan dilakukan agar tingkat persaingan diantara pohon semakin berkurang sehingga memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada tegakan tinggal. Selanjutnya diharapkan dapat dihasilkan pertumbuhan dan kualitas kayu yang baik. Frekuensi kegiatan penjarangan ini sangat bervariasi tergantung pada keadaan hutan.
Semakin rapat
tegakan hutan yang ditanam maka diperlukan frekuensi dan intensitas penjarangan yang lebih banyak. Pada hutan rakyat umumnya penjarangan dilakukan pada hutan rakyat murni dimana yang ditanam sejak awal adalah hanya tanaman kayu-kayuan.
Menurut Simon (2004), sesuai dengan
petunjuk teknis kegiatan penjarangan pada pengelolaan hutan jati di Perhutani dilakukan sebanyak 13 kali selama satu daur (80 tahun) yaitu pada umur 3, 6, 9, 13, 17, 22, 27, 32, 37, 45, 53, 63, dan 73 tahun. Selama 13 kali penjarangan tersebut dibutuhkan 104 HOK selama 73 tahun untuk daur 80 tahun. Tingkat dan frekuensi penjarangan tersebut tentunya sangat berbeda dalam penjarangan yang dilakukan pada hutan rakyat. Selain karena daur yang digunakan cukup pendek yaitu selama 15 - 20 tahun juga karena keterbatasan biaya dan jumlah bibit yang ada. Sebagian besar petani bahkan tidak melakukan penjarangan dikarenakan tanaman yang ditanam jumlahnya sedikit dan jarak tanam yang cukup.
Kalaupun
penjarangan dilakukan frekuensi dan intensitasnya cukup rendah dimana dilakukan pada saat tanaman jati rata-rata berumur 4 atau 5 tahun dimana tanaman atau pohon sudah mencapai ”manjing usuk”.
Hal tersebut
dilakukan agar kayu dapat dimanfaatkan untuk kayu perkakas atau kebutuhan bangunan, tidak hanya sekedar untuk kayu bakar. Adapun 72
penjarangan selanjutnya adalah secara tidak langsung melalui pemanenan dengan sistem tebang pilih. Kayu yang sudah layak ditebang dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi dipanen, sedangkan sisanya dibiarkan tumbuh hingga mencapai kondisi layak tebang.
Melakukan penjarangan 32%
tidak menjarangi 68%
Gambar 12. Proporsi kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh responden pada pemeliharaan hutan rakyat Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden hanya 24 responden (32%) yang melakukan kegiatan penjarangan dengan frekuensi rata-rata dua kali selama daur pada usia 4 dan 10 tahun untuk tanaman jati. Sementara itu 68% sisanya tidak melakukan penjarangan karena jarak tanaman pokoknya relatif jauh atau tidak ada usaha untuk mengadakan perawatan. Sedangkan untuk kayu mahoni penjarangan dilakukan pada usia tanam 2 atau 3 dan 8 tahun dengan daur tanam rata-rata 10-15 tahun (usia dimana tanaman sudah layak panen/ daur ekonomis). d. Pemberantasan hama dan penyakit Kegiatan pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan tujuan untuk mencegah serangan hama dan penyakit yang dapat menggangu pertumbuhan tanaman.
Pemberantasan terhadap serangan hama dan
penyakit dilakukan antara lain dengan cara penyemprotan insektisida terhadap tanaman. Namun terdapat pula pola yang cukup ekstrim dimana tanaman kayu yang sudah terserang hama oleh masyarakat lebih cenderung untuk memusnahkannya dengan cara ditebang.
Hal itu
dimaksudkan agar hama dan penyakit yang ada tidak berkembang dan
73
menular kepada tanaman lain yang masih sehat. Hal tersebut dilakukan jika hama yang menyerang tanaman mereka sulit diberantas. Tanaman mahoni lebih mudah terserang hama daripada tanaman jati. Hama penggerek pucuk bisanya merupakan musuh utama dari tanaman ini. Para responden pun menyatakan belum memiliki cara yang efektif untuk mengendalikan dan mencegah masuknya hama tersebut. Cara pemusnahan (menebang) tanaman yang terkena hama merupakan cara yang selama ini sering mereka lakukan. Dengan cara tersebut diharapkan hama tersebut tidak menyebar. Selain itu daun mahoni dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sedangkan pada tanaman jati hama yang sering timbul adalah hama ulat yang menyerang daun yang biasanya menyerang pada bulan Desember atau Januari pada saat tanaman berumur 1-3 tahun. Hama ulat tersebut biasa disebut hama ungeuh. Untuk membasmi hama ulat tersebut sebagian petani menggunakan insektisida jenis Decis dan Dursban. Namun tidak semua petani melakukan kegiatan pemberantasan hama dan penyakit tersebut mengingat cukup mahalnya biaya insektisida. Dari 76 responden yang diwawancarai hanya ada 2 responden (2,6%) yang melakukan kegiatan tersebut. Bahkan salah seorang petani menggunakan resep sendiri (resep tradisional) untuk membasmi hama ulat atau serangga lainnya yang menyerang tanaman kayu yang ia miliki. Insektisida tersebut dibuat ekstrak daun suren dan mindi. Selain itu dia juga menggunakan ekstrak rebung sebagai perangsang akar. Menurutnya selain sangat murah juga cukup efektif dalam membasmi hama terutama jenis ulat.
74
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. Obat pembasmi hama tradisional yang digunakan petani; (a) ekstrak daun mindi, (b) ekstrak daun suren, (c) ekstrak rebung
Penggunaan Input Poduksi Input usahatani yang biasa digunakan dalam pengusahaan hutan rakyat terdiri dari alat, bibit, pupuk, dan tenaga kerja.
Alat yang digunakan untuk
mengolah lahan dan juga dibutuhkan dalam pemeliharaan adalah cangkul, sabit, dan golok.
Sedangkan jenis pupuk yang sering digunakan yang paling utama
adalah pupuk kandang sebagai pupuk dasar pada saat penanaman. Selain itu digunakan juga jenis urea dan TSP. Penggunaan pupuk urea dan TSP umumnya dilakukan pada tahun ke-1 (masa persiapan tanam) sampai pada tahun ke-3 setelah penanaman. Hanya sebagian kecil petani yang melakukan pemupukan tanaman kayu-kayuan. Rata-rata penggunaan pupuk untuk tanaman kayu baik jenis jati dan mahoni maupun jenis lainnya di lokasi penelitian 50-100 kg/ha. Dosis penggunaan pupuk ini tentunya masih jauh dari kebutuhan pupuk sebenarnya. Input produksi lainnya adalah bibit. Untuk memenuhi kebutuhan bibit, para petani lebih banyak menggunakan bibit alami (cabutan) yang berasal dari pohon induk. Bibit-bibit tersebut menurut petani mudah diperoleh karena di sekitar perkampungan mereka banyak pohon jati dan mahoni yang sudah tua dan di bawahnya banyak tumbuh permudaan alami. Atau ada juga diantara mereka yang sengaja memungut biji kemudian disemaikan dengan cara yang sangat sederhana. 75
Sedangkan untuk bibit tanaman pangan (jagung dan padi gogo) dapat diperoleh dengan cara membeli atau menyisihkan sebagian hasil panen tahun sebelumnya untuk bibit. Sedangkan tanaman buah-buahan seperti jenis mangga harumanis, gedong gincu dan lainnya umumnya diperoleh dengan cara membeli dari para pedagang bibit. Input lain yang tak kalah pentingnya dalam pengusahaan hutan rakyat adalah tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut digunakan untuk kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pasca panen. Khusus untuk tanaman kehutanan masyarakat di lokasi penelitian umumnya tidak melakukan pemanenan dan pengolahan pasca panen karena mereka umumnya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri (kebonan) sehingga tenaga kerja untuk kegiatan tersebut merupakan tanggungjawab pembeli (pedagang pengumpul atau pengepul). Penggunaan tenaga kerja tersebut diambil dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Sistem pengupahan yang dilakukan adalah harian dimana upah harian tenaga kerja saat penelitian dilakukan adalah Rp. 15.000,-/hari. Jam kerja sehari sekitar 7 jam yaitu dari jam 07.00 – 14.00 (dikenal dengan istilah sabedug). Upah harian tersebut dibayarkan ketika seluruh pekerjaan selesai.
Sumber Pendanaan Dalam pengusahaan hutan rakyat permodalan untuk pembiayaan usaha tani pada umumnya diperoleh dari swadaya petani (modal sendiri). Jasa perbankan dan koperasi belum dapat dimanfaatkan oleh petani. Walaupun demikian para petani masih mampu mengelola hutan rakyat dengan keterbatasan kemampuan kemampuan yang mereka miliki. Adapun bantuan bibit yang saat ini diberikan oleh pemerintah melalui kegiatan GNRHL jumlahnya masih sangat terbatas dan terkadang kondisi bibit pada saat diterima oleh petani dalam kondisi yang rusak karena faktor pengangkutan. Pemasaran Kayu Rakyat Kelancaran pemasaran kayu rakyat merupakan faktor penting dalam mendukung pengembangan usaha hutan rakyat serta peningkatan kesejahteraan
76
petani. Lancarnya pemasaran hasil sangat didukung oleh keberadaan lembagalembaga pemasaran yang juga menentukan aliran/jaringan pemasaran dari produsen (petani) ke konsumen. Sistem pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Sumedang terdiri dari pelakupelaku kegiatan pemasaran yang berperan dalam rantai tataniaga mulai dari petani hingga ke konsumen. Mereka adalah para pedagang pengumpul baik tingkat desa maupun kecamatan yang membeli langsung kayu dari petani dan para pedagang besar yang menampung kayu hasil pembelian pedagang pengumpul serta industri pengolahan kayu baik industri skala kecil maupun industri yang berskala besar. Dalam kenyataannya di lapangan sangat sulit menentukan para pedagang pengumpul tingkat desa karena umumnya mereka juga berkeliling mencari kayu ke desa-desa lain yang berada di luar kecamatan. Untuk mengetahui lebih lengkap mata rantai tataniaga kayu bulat mahoni dan jati di Kabupaten Sumedang dapat digambarkan sebagai berikut:
Industri Penggergajian
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar Antar Kecamatan
Industri Pengolahan Antar Kab.
(a) Tataniaga Kayu Mahoni
Industri Meubelair Kabupaten
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar Antar Kecamatan
Industri Pengolahan Antar Kab.
(b) Tataniaga Kayu Jati Gambar 14. Alur tataniaga kayu mahoni dan kayu jati 77
Berdasarkan Gambar 14 di atas terdapat beberapa saluran tataniaga kayu rakyat baik untuk kayu mahoni maupun kayu jati. Saluran tataniaga tersebut adalah: 1. Kayu mahoni a. Saluran I terdiri dari: Petani, pedagang pengumpul, industri penggergajian. b. Saluran II terdiri dari: Petani, pedagang pengumpul, pedagang besar antar kecamatan, industri pengolahan antar kabupaten/propinsi. 2. Kayu jati a. Saluran I terdiri dari: Petani, pedagang pengumpul, industri meubel . b. Saluran II terdiri dari: Petani, pedagang pengumpul, pedagang besar antar kecamatan, industri pengolahan antar kabupaten/propinsi. Para pedagang pengumpul umumnya tidak memiliki kelembagaan yang terstruktur. Keadaan ini menyebabkan terjadinya persaingan antar para pedagang pengumpul. Siapa yang memiliki banyak modal maka mereka yang akan lebih banyak mendapatkan barang dan memperoleh banyak keuntungan. Para pedagang pengumpul ini memiliki pengetahuan yang cukup tentang terjadinya fluktuasi harga di pasaran sehingga mereka dapat mengikuti trend harga yang terjadi. Hal itu didasarkan pada pengalaman mereka selama ini. Sebagian diantara pedagang pengumpul diberikan modal oleh para pedagang besar. Bahkan secara struktur mereka dapat dikatakan sebagai cabang dari para pedagang besar yang memberikan modal kepada mereka. Biasanya para pedagang pengumpul kayu tersebut mencari lokasi kayu yang akan dijual oleh petani selanjutnya setelah ditaksir volume kayu yang akan dihasilkan (diklem/pengukuran diameter) dan harga telah disepakati mereka pun meminjam dana kepada pedagang besar. Hal itu umumnya terjadi ketika pembelian kayu di atas Rp. 3 juta. Namun tentunya dengan jaminan bahwa kayu tersebut harus dijual kepada pedagang besar yang telah meminjamkan uang kepada mereka. Hal ini seringkali terjadi karena umumnya pedagang pengumpul merupakan pedagang kecil yang sangat minim dalam permodalan. Hingga saat ini, secara umum pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Sumedang khususnya kayu mahoni dan kayu jati berlangsung cukup lancar. Hal tersebut didukung oleh permintaan pasar yang cukup stabil dan lokasi pasar yang 78
tidak terlampau jauh, terutama permintaan dari para pedagang maupun pengusaha kayu di Cirebon.
Selain itu adanya sentra industri meubel di kabupaten
Sumedang (Kecamatan Paseh) turut mendukung bagi ketersediaan pasar kayu rakyat di kabupaten Sumedang. Di sentra meubel ini dibuat berbagai jenis bentuk meubel seperti lemari, kursi, desk bar, tempat tidur, rak TV yang sebagian besar dipasarkan ke luar Kabupaten Sumedang seperti Bandung dan Jakarta. Industri meubel di Kecamatan Paseh tersebut menggunakan kayu jati sebagai bahan baku utama, sedangkan kayu mahoni yang dihasilkan dari para petani di kabupaten Sumedang banyak dipasarkan ke Cirebon, Jepara, dan Surabaya dalam bentuk kayu gelondongan (log) dan sebagian kecil dalam bentuk kayu olahan dengan ukuran sesuai pesanan.
Kayu mahoni olahan tersebut antara lain dikirim ke
Gresik Jawa Timur yaitu ke PT. Sumber Alam Sentosa. Tebal, lebar, dan panjang kayu ditentukan oleh pemesan. Kayu tersebut diolah oleh pedagang besar itu sendiri karena pada umumnya mereka memiliki penggergajian/sawmil. Hingga tahun 2003 di Kabupaten Sumedang tercatat 144 unit usaha industri meubel ditambah dengan ratusan unit usaha skala rumah tangga. Keberadaan industri meubel di Kecamatan Paseh dari tahun ke tahun mengalami perkembangan dan juga menumbuhkan industri-industri meubel baru di wilayah lain diantaranya di Kecamatan Conggeang, Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Tomo, Situraja dan lainnya. Industri meubeler di Kabupaten Sumedang telah ada dan berkembang sejak puluhan tahun lalu khususnya untuk wilayah Kecamatan Paseh dan sekitarnya. Dalam perkembangannya industri ini mengalami pasang surut. Namun sejak beberapa tahun terakhir ini industri meubel mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal tersebut terbukti dengan adanya penambahan jumlah unit usaha dari tahun ke tahun. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 19 berikut:
79
Tabel 19. Perkembangan industri meubel di Kabupaten Sumedang periode tahun 1999-2003 Jumlah Investasi
Jumlah Tenaga Kerja
(Rp)
(Orang)
102
2.963.916.000
1.026
2000
109
3.235.291.000
1.093
2001
119
3.647.241.000
1.127
2002
138
6.359.206.000
1.363
2003*
144
7.273.206.000
1.438
Tahun
Jumlah Unit Usaha
1999
*) Angka Sementara Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang
Sejak tahun 1990-an di Kabupaten Sumedang mulai tumbuh industriindustri meubel dengan menggunakan teknologi yang lebih maju (seperti penggunaan mesin gergaji sirkel dan mesin serut). Hal tersebut terjadi setelah datangnya pembinaan dari pemerintah baik berupa pelatihan teknologi produksi maupun manajemen perusahaan serta melalui penyuluhan yang sering diberikan para petugas penyuluh lapangan terutama untuk melayani permintaan proyekproyek pemerintah dan swasta (Pendidikan, perhotelan dan perkantoran). Pasang surut industri meubeler terjadi pada saat krisis moneter melanda Indonesia sekitar tahun 1997-1998, sehingga ada beberapa perusahaan yang gulung tikar karena kesulitan bahan baku dan adanya fluktuasi harga bahan penolong disamping adanya penurunan daya beli masyarakat. Pada tahun 1999 mulai tumbuh kembali industri meubeler dan beberapa perusahaan mulai memperbaiki/melengkapi mesin peralatan dengan menambah mesin pengering kayu (oven), mesin profil dan mesin/alat finishing (sprayer). Demikian pula halnya dengan pemasaran mengalami perkembangan yang cukup pesat diantaranya ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, dan Cirebon. Ditinjau dari pola pemasaran, hasil industri meubel di Kabupaten Sumedang pada dasarnya masih bertumpu kepada pasar tradisional, walaupun wilayah pemasarannya telah meluas ke Jakarta dan Cirebon, namun untuk menembus pasar yang lebih modern atau pasar ekspor masih memerlukan bantuan, bimbingan dan promosi yang lebih gencar agar dapat tampil dan bersaing dengan daerah-daerah lain yang lebih maju. Tentunya untuk menuju kearah tersebut 80
peluangnya sangat terbuka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubdin
Perindustrian diperoleh informasi bahwa Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang pun terus berupaya untuk memperkenalkan produk meubeler yang dihasilkan dengan mengikutsertakan beberapa pengusaha pada ajang pameran baik tingkat regional Jawa Barat maupun Nasional.
Gambar 15. Barang setengah jadi yang dihasilkan dari kayu rakyat Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut secara tidak langsung akan sangat berdampak pada perkembangan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang. Dengan semakin berkembangnya industri meubeler tersebut akan semakin membuka peluang pasar bagi komoditas kayu rakyat. Untuk itu diperlukan pula koordinasi diantara instansi terkait. Dalam rantai perdagangan kayu rakyat, jumlah petani hutan rakyat lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul kayu rakyat. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan pasar yang tidak sempurna dan dapat mengarah pada monopsoni dimana penentuan harga cenderung dilakukan oleh pembeli. Terlebih dengan adanya pola daur butuh yang selama ini dilakukan oleh petani. Kondisi tersebut menyebabkan posisi petani hutan rakyat menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pedagang pengumpul, artinya struktur pasar pada rantai tataniaga menjadi tidak seimbang. Pemasaran hasil hutan rakyat mahoni maupun jati di tingkat petani dilakukan dengan cara tebang pilih (eceran) dan tebang habis (borongan). Cara 81
tebang pilih umumnya dilakukan karena tidak semua tanaman kayu rakyat yang dikelola petani merupakan tegakan seumur tetapi terdiri dari beragam umur dan juga beragam ukuran diameter. Oleh sebab itu petani menentukan pohon mana saja yang akan mereka jual kepada pedagang pengumpul. Cara ini adalah cara yang banyak dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian. Cara ini secara tidak langsung merupakan proses penjarangan yang dilakukan oleh petani karena memberikan ruang tumbuh yang lebih luas bagi tegakan sisa. Sedangkan cara tebang habis (borongan) dilakukan pada tegakan yang relatif seumur atau setidaknya semua tegakan yang berada di atas lahan sudah layak tebang dan layak jual. Dalam proses tebang pilih ini arah rebah diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan banyak kerusakan terhadap pohon yang ada disekitarnya (tegakan sisa).
Pihak pemilik biasanya menyaksikan kegiatan penebangan
tersebut. Hal itu dilakukan selain untuk menyaksikan proses penebangan yang dilakukan oleh pembeli juga untuk antisipasi terjadinya kecurangan yang dilakukan pembeli dengan menebang pohon diluar atau melebihi jumlah pohon yang telah disepakati. Selanjutnya batang pohon yang sudah rebah dipotong-potong menjadi sortimen berukuran 1,5 – 2 meter. Pembagian batang tersebut disesuaikan dengan panjang batang pohon yang dapat dimanfaatkan. Pada umumnya para pedagang sudah dapat memperkirakan pembagian batang sejak pohon tersebut masih berdiri. Batang kayu yang sudah dipotong-potong tersebut umumnya tidak dapat langsung diangkut dengan menggunakan kendaraan truk maupun colt bak terbuka dikarenakan lokasi hutan rakyat umumnya berada cukup jauh dari jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan (mobil). Sortimen-sortimen tersebut terlebih dahulu harus diangkut ke tepi jalan (TPn) dengan menggunakan jasa tukang pikul (dalam istilah setempat ”tukang panggul”). Proses ini biasanya membutuhkan biaya yang cukup besar terlebih jika cuaca kurang mendukung (misal: hujan deras). Setelah sortimen-sortimen tersebut terkumpul pengangkutan menuju TPK dengan menggunakan mobil baru dapat dilakukan. Mobil yang digunakan umumnya menggunakan mobil colt bak terbuka. Mobil truk jarang digunakan mengingat 82
jalan yang relatif sempit. Bahkan sebagian pedagang mengatakan pengangkutan dari TPn kadang dilakukan dengan menggunakan mobil Toyota Jeep (Hardtop) double gardan mengingat medan jalan yang cukup sulit. Satu kali pengangkutan mampu memuat 2 - 2,5 m3 kayu log.
Dari TPK itulah selanjutnya kayu
dipasarkan kepada para pedagang kayu di Cirebon, Jepara, maupun Surabaya. Penjualan kayu rakyat yang terjadi selama ini berlangsung baik terhadap pedagang yang berasal dari satu kecamatan maupun luar kecamatan. Bahkan ada pula pedagang pengumpul dari luar kabupaten yang sengaja mencari kayu kepada para petani di wilayah Kabupaten Sumedang.
Pedagang tersebut umumnya
adalah pedagang yang berasal dari wilayah kabupaten yang berbatasan dengan Sumedang, seperti dari wilayah Majalengka.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan responden dari 6 desa contoh menyatakan bahwa mereka menjual kayu rakyat mereka dalam bentuk pohon berdiri kepada para pedagang pengumpul. Mekanisme pemasaran pada dasarnya dilakukan dengan dua cara, yaitu petani mendatangi pedagang pengumpul untuk menawarkan kayu atau sebaliknya pedagang yang mendatangi petani.
Pola yang paling umum adalah petani
menawarkan kayu mereka kepada para pedagang pada saat mereka butuh uang. Namun ada pula pedagang yang mendatangi petani untuk mencari kayu. Kondisi ini relatif lebih menguntungkan posisi petani dimana mereka bisa menawarkan harga kayu mereka relatif lebih tinggi. Harga kayu di tingkat petani cukup variatif. Harga kayu bisa berbeda walaupun umur dan diameter sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: lokasi dimana pohon berada berbeda satu sama lain (jarak penyaradan), penjualan dilakukan pada saat ”daur butuh”, pengetahuan akan harga pada sebagian petani masih minim, serta kualitas batang kayu yang berbeda (tingkat kelurusan batang). Semakin dekat lokasi kayu rakyat dengan jalan maka harga jual cenderung akan semakin tinggi. Hal tersebut akan memudahkan pedagang dalam melakukan penyaradan sehingga biaya operasional semakin kecil. Namun kondisi petani yang menjual kayu dengan sistem ”daur butuh” juga cukup berpengaruh terhadap harga. Dalam kondisi tersebut posisi tawar petani sangat lemah sehingga pedagang dapat menekan harga serendah mungkin.
83
Berdasarkan hasil analisis harga di tingkat petani, harga rata-rata untuk kayu jati sebesar Rp. 574.071,71/m3. Sedangkan harga rata-rata kayu mahoni sebesar Rp. 283.209,47/m3. Berikut disajikan harga jual kayu rakyat pada tingkat petani di lokasi penelitian: Tabel 20. Harga jual kayu jati dan mahoni di tingkat petani No. Responden
Jumlah Kayu (btg)
Usia Pohon (th)
Diameter (cm)
Volume /Btg (m3)
Jumlah Volume (m3)
Harga Jual (Rp)
Harga /Btg (Rp)
Harga /m3 (Rp)
Kayu Jati 1
11
25
30
0,421
4,631
270.0000
245.454,55
583027,42
2
19
15
23
0,219
4,161
170.0000
89.473,68
408555,64
3
24
20
25
0,266
6,384
3.200.000
133.333,33
501253,13
4
83
20
25
0,266
22,078
10.000.000
120.481,93
452939,58
5
7
17
25
0,266
1,862
1.000.000
142.857,14
537056,93
6
3
20
30
0,421
1,263
700.000
233.333,33
554235,95
7
1
23
31
0,466
0,466
325.000
325.000,00
697424,89
8
18
18
25
0,266
4,788
3.000.000
166.666,67
626566,42
9
7
18
25
0,266
1,862
1.500.000
214.285,71
805585,39
19,56
26,56
185.654,04
574071,71 350877,19
Rata-rata Kayu Mahoni 1
40
13
20
0,285
11,4
4.000.000
100000,00
2
10
15
25
0,425
4,25
1.200.000
120000,00
282352,94
3
20
12
20
0,285
5,7
2.000.000
100000,00
350877,19
4
15
13
25
0,425
6,375
1.300.000
86666,67
203921,57
5
3
20
35
0,834
2,502
500.000
166666,67
199840,13
6
15
12
20
0,285
4,275
1.400.000
93333,33
327485,38
7
5
17
30
0,599
2,995
800.000
14,57
25
Rata-rata
160000,00
267111,85
118095,24
283209,47
Sumber: Data Primer 2004
Waktu pemanenan kayu jati maupun mahoni yang dilakukan oleh petani sebagian besar masih menggunakan pola ”daur butuh” dimana mereka akan menjual kayu bilamana mereka membutuhkan uang yang mendesak misalnya untuk menyekolahkan anak atau untuk kebutuhan lainnya. Namun walaupun demikian mereka juga paham pada umur berapa dan diameter berapa kayu mahoni dan kayu jati mereka layak jual atau layak panen. Berdasarkan Tabel 20 di atas para responden umumnya menjual kayu dengan diameter >20 cm. Pada kelas diameter tersebut harga kayu tidak terlampau rendah (harga kayu kelas OD). Sedangkan umur yang dibutuhkan untuk mencapai diameter tersebut oleh kayu mahoni adalah rata-rata 15 tahun sedangkan kayu jati membutuhkan waktu 20 tahun (daur ekonomis). 84
Dalam tataniaga kayu rakyat ini terdapat beberapa komponen biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang, baik pedagang pengumpul maupun para pedagang besar. Biaya yang dikeluarkan untuk tiap lokasi pemanenan/ daerah secara umum akan berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jarak tempuh baik jarak tempuh untuk penyaradan (jarak Tpn dengan lokasi pemanenan) maupun jarak pengangkutan. Komponen biaya tersebut terdiri dari biaya pemanenan, pengangkutan, muat bongkar, retribusi dan biaya tambahan lainnya seperti biaya ijin desa, kecamatan, polsek, dan perum Perhutani. Besarnya biaya rata-rata yang harus dikeluarkan untuk tiap komponen tersebut pada tataniaga kayu mahoni dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 21. Komponen biaya tataniaga mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang No
Uraian
A. 1.
Komoditas Mahoni Saluran I Biaya Pemanenan a. Biaya Sewa Chainsaw b. Biaya Penyaradan Biaya Pengangkutan a. Biaya Angkut dari TPn-Penggergajian Biaya Muat Bongkar b. Biaya Muat Bongkar dari TPn-Penggergajian Biaya Retribusi a. Biaya SIT (Surat Ijin Tebang) b. SKSHH/ Surat PAS Biaya Lain-lain JUMLAH Komoditas Mahoni Saluran II Biaya Pemanenan a. Biaya Sewa Chainsaw b. Biaya Penyaradan Biaya Pengangkutan a. Biaya Angkut dari TPn-TPK b. Biaya Angkut dari TPK – Penjualan Akhir Biaya Muat Bongkar a. Biaya Muat Bongkar dari TPn –TPK b. Biaya Muat dari TPK Biaya Retribusi a. Biaya SIT (Surat Ijin Tebang) b. SKSHH/ Surat PAS Biaya Lain-lain JUMLAH
2. 3. 4.
5. B. 1.
2.
3.
4.
5.
Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Rp/m3 % Rp/m3 %
8.333,00 60.000,00
5,68 40,91
-
-
33.333,33
22,73
-
-
20.000,00
13,64
-
-
10.000,00 8.333,00 6666,67 146.666,00
6,82 5,68 4,55 100,00
-
-
8.333,00 60.000,00
-
-
40.000,00
6,49 46,75 0,00 31,17
20.000,00
15,58
128.333,00
100,00
66.666,67
55,56
20.000,00
16,67
10.000,00 8.333,00 15000,00 119.999,67
8,33 6,94 12,50 100,00
85
Keterangan: 1.
Biaya Penyewaan chainsaw Rp. 125.000,- per hari denga prestasi kerja 15 m3 per hari
2.
Penyaradan dilakukan oleh 2 orang tenaga kerja dengan upah harian Rp. 30.000,-
3.
Biaya angkut rata-rata dari TPn ke TPK = Rp. 100.000,-/ mobil colt dengan kapasitas 2,5 m3
4.
Biaya Bongkar Muat = Rp. 20.000,-/m3
5.
Biaya penyewaan truk Rp. 400.000,-/truk dengan kapasitas 6 m3 (tujuan Cirebon).
6.
Biaya pembuatan SKSHH = Rp. 50.000,-/truk
7.
Biaya pembuatan SIT (Surat Ijin Tebang) untuk kayu mahoni Rp. 10.000,-/m3
Sedangkan biaya rata-rata yang harus dikeluarkan untuk tiap komponen pada perdagangan kayu jati disajikan pada Tabel 22 di bawah ini: Tabel 22. Komponen biaya tataniaga jati rakyat di Kabupaten Sumedang No
Uraian
Komoditas Jati Saluran I Biaya Pemanenan a. Biaya Sewa Chainsaw b. Biaya Penyaradan 2. Biaya Pengangkutan a. Biaya Angkut dari TPn-Industri Meubel 3. Biaya Muat Bongkar b. Biaya Muat Bongkar dari TPn-Industri Meubel 4. Biaya Retribusi a. Biaya SIT (Surat Ijin Tebang) b. SKSHH/ Surat PAS 5. Biaya Lain-lain JUMLAH B. Komoditas Jati Saluran II 1. Biaya Pemanenan a. Biaya Sewa Chainsaw b. Biaya Penyaradan 2. Biaya Pengangkutan a. Biaya Angkut dari TPn-TPK b. Biaya Angkut dari TPK – Penjualan Akhir 3. Biaya Muat Bongkar a. Biaya Muat Bongkar dari TPn –TPK b. Biaya Muat dari TPK 4. Biaya Retribusi a. Biaya SIT (Surat Ijin Tebang) b. SKSHH/ Surat PAS 5. Biaya Lain-lain JUMLAH Sumber : Data Primer 2004
Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Rp/m3 % Rp/m3 %
A. 1.
8.333,00 60.000,00
5,00 36,00
-
-
41.666,67
25,00
-
-
20.000,00
12,00
-
-
15.000,00 8.333,00 13.333,33 166.666,00
9,00 5,00 8,00 100,00
-
-
8.333,00 60.000,00
-
-
40.000,00
6,49 46,75 0,00 31,17
20.000,00
15,58
128.333,00
100,00
66.666,67
50,00
20.000,00
15,00
15.000,00 8.333,00 23.333,33 133.333,00
11,25 6,25 17,50 100,00
86
Pada perdagangan kayu jati terdapat beberapa perbedaan komponen biaya antara lain dalam pembuatan SIT dihitung Rp. 15.000,-/m3. Selain itu menurut para pedagang biaya perjalanan dalam pengiriman kayu jati umumnya akan lebih besar. Hal itu dikarenakan banyaknya ”pemeriksaan” yang dilakukan selama dalam perjalanan. Berdasarkan harga jual dan biaya-biaya yang dikeluarkan maka dapat diketahui besarnya margin pemasaran pada tataniaga kayu jati dan mahoni. Besarnya margin pemasaran yang diterima oleh masing-masing pelaku pemasaran hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 23 berikut: Tabel 23. Margin rata-rata tataniaga kayu bulat No
Produsen dan Golongan Pedagang
Harga Jual (Rp/m3)
Biaya (Rp/m3)
Margin Bersih
283.209,47 550.000,00
146.666,00
120.124,53 120.124,53
283.209,47 525.000,00 750.000,00
128.333,00 119.999,67
113.457,53 105.000,33 218.457,86
574.071,00 875.000,00
166.666,00
134.263,00 134.263,00
574.071,00 800.000,00 1.100.000,00
128.333,00 133.333,00
97.596,00 166.667,00 264.263,00
A
Komoditas Mahoni Saluran I Petani Pedagang Pengumpul Margin Total B. Komoditas Mahoni Saluran II 1 Petani 2 Pedagang Pengumpul 3 Pedagang Besar Margin Total C. Komoditas Jati Saluran I 1 Petani 2 Pedagang Pengumpul Margin Total D. Komoditas Jati Saluran II 1 Petani 2 Pedagang Pengumpul 3 Pedagang Besar Margin Total Sumber : Data Primer 2004 1 2
Berdasarkan Tabel 23 di atas diketahui bahwa margin tataniaga pada kedua saluran untuk komoditi mahoni terdapat perbedaan antara margin yang diterima oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar. Pedagang besar menerima margin relatif lebih besar mengingat besarnya korbanan yang harus dikeluarkan serta kemampuan mereka dalam posisi menawar disamping mereka juga memiliki jaringan yang lebih kuat. Margin total pada saluran I sebesar Rp. 120.124,53/m3 dan Rp. 218.457,86/m3 pada saluran II. 87
Untuk komoditas kayu jati pedagang besar juga mendapatkan margin lebih besar dibanding dengan pedagang pengumpul.
Hal itu dikarenakan mereka
menguasai jaringan pasar dan modal. Pada saluran I margin total sebesar Rp. 134.263,00/m3 dan pada saluran II sebesar Rp. 264.263,00/m3. Margin yang diperoleh pada tataniaga kayu jati ini lebih besar dibanding kayu mahoni. Namun menurut para pedagang memiliki resiko biaya yang lebih besar. Pengiriman kayu bulat jati dan mahoni oleh pedagang pengumpul ke pedagang besar umumnya dilaksanakan setelah penebangan selesai. Sedangkan pembayaran dilaksanakan setelah proses pengiriman dan penghitungan kubikasi sesuai dengan volume kayu yang dikirim. Untuk pembelian kayu di atas Rp. 3 juta, beberapa pedagang pengumpul biasanya meminjam modal kepada pedagang besar dan sebagai jaminan berupa tandon tegakan. Hal ini merupakan bentuk ikatan kerjasama antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar. Tata Usaha Kayu Rakyat Perijinan Dalam pelaksanaannya, pemasaran kayu rakyat di kabupaten Sumedang diatur oleh aturan perijinan yang telah ditetapkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang. Adapun tata cara penurusan perijinan tersebut adalah sebagai berikut: a. Setiap Badan Hukum/Perorangan yang akan menebang pohon harus mengajukan permohonan Surat Ijin Tebang (SIT) dengan dilengkapi persyaratan: 1) Permohonan Pemilik langsung - Fotokopi KTP/identitas lain dari pemohon/pemilik tanah - Bukti pemilikan hak atas tanah - Surat Keterangan dari desa/kelurahan tentang status lahan 2) Khusus lahan milik desa, pengajuan permohonan surat ijin tebang oleh desa dengan disetujui oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) b. Perorangan atau badan hukum mengajukan permohonan secara tertulis diajukan kepada Cabang Dinas dan atau Kepala Dinas dengan ketentuan sebagai berikut:
88
1) Kepala Cabang Dinas Apabila jumlah tegakan ≤ 40 pohon untuk kelas I (jati, pinus, mahoni, rasamala, sonokeling dll), jumlah tegakan ≤ 100 pohon untuk kelas II (tancang, resak, kibeureum dll), jumlah tegakan ≤ 200 pohon untuk kelas III (sengon, surian, aprika dll), jumlah tegakan tak terbatas untuk kelas IV (bambu dan sejenisnya). 2) Kepala Dinas Apabila jumlah tegakan pohon kelas I, II, III melebihi jumlah seperti point 1 di atas, permohonan ijinnya Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang. c. Dinas atau Cabang Dinas dapat memberikan ijin penebangan setelah melakukan pengkajian teknis di lapangan. d. Hasil pengkajian teknis dilapangan ditetapkan dengan berita acara pemeriksaan lapangan. e. Pemeriksaan lapangan dilaksanakan oleh tim komisi yang terdiri dari : - Unsur Dinas/Cabang Dinas Kehutanan dan Perkebunan - Unsur Kecamatan - Unsur Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA), bila lokasi yang dimohon berbatasan dengan kawasan konservasi - Unsur Perum Perhutani, apabila jenis pon yang dimohon sama dengan di wilayah cabang dinas setempat dengan jenis pohon yang dibudidayakan oleh Perum Perhutani. - Dalam keadaan tertentu yang secara teknis diperlukan, dapat mengikutsertakan kepolisian setempat. f. Pemeriksaan kajian teknis meliputi - Kesesuaian lokasi - Konservasi lahan - Pengecekan tegakan untuk menaksir jumlah pon dan kubikasi serta jenis g. Kepala Cabang Dinas atau Kepala Dinas menerbitkan Surat Ijin Tebang (SIT) setelah kelengkapan administrasi dan melunasi kewajiban finansial (retribusi). 89
h. Pemegang ijin tidak boleh memindahtangankan dan atau menggadaikan surat ijin pada pihak lain tanpa persetujuan pemberi ijin i. Ijin yang digunakan tidak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pemohon diwajibkan membuat ijin baru sesuai dengan prosedur yang berlaku. Perpanjangan ijin tebang hanya diberikan satu kali apabila target sesuai permohonan belum tercapai/selesai dan diajukan selambat-lambatnya satu bulan setelah ijin pertama berakhir. Penebangan Setiap badan usaha/perorangan pemegang SIT yang akan menebang harus melaporkan rencana kegiatan kepada kepala cabang dinas/kepala dinas dengan pelaksanaan penebangan wajib membuat Laporan Hasil Produksi (LHP) atas produksi kayu bulat, dengan dilengkapi informasi penomoran pohon, penomoran batang, pengisian buku ukur dan pemberian tok kayu yang dibuat oleh petugas pembuat LHP sebagai pemegang ijin. Laporan Hasil Produksi dibuat setiap blok tebangan dengan pengesahan sebagai berikut: -
Petugas pembuat LHP mengajukan permohonan dan pemeriksaan LHP kepada kepala Dinas/Cabang Dinas
-
LHP diperiksa oleh kepala cabang dinas dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tata cara pemeriksaan LHP setelah menerima permohonan dari pemilik
kayu agar segera melaksanakan pemeriksaan LHP yang meliputi pemeriksaan administrasi, pemeriksaan fisik kayu dan hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sebayak rangkap 4 selanjutnya dilakukan penandaan tok kayu yang dibuat pada saat pemeriksaan LHP. Pengangkutan Pengangkutan kayu bulat yang berasal dari hutan rakyat/milik wajib menggunakan dokumen SKSHH yang telah diberi tanda kayu rakyat pada sudut bagian kanan atas.
Permohonan yang berasal dari produsen (pemilik SIT)
mengajukan permohonan SKSHH kepada pejabat penerbit dengan melampirkan 90
persyaratan sesuai ketentuan (SIT) kayu bulat yang akan diangkut meliputi jenis, jumlah batang, volume yang dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan (DHH) serta tujuan pengangkutan. Penerbit memberikan SKSHH apabila persyaratan sudah terpenuhi dan telah dilakukan penelitian administrasi dan pengecekan fisik yang hasilnya dituangkan dalam BAP. Penerimaan di tempat tujuan Dokumen SKSHH yang menyertai kayu rakyat sesampainya ditempat tujuan
wajib
dilaporkan
kepada
petugas
yang
menangani
kehutanan
setempat/Pejabat Pengawas Penguji Kayu Bulat (P3KB) di industri Satuan Pelaksana Teknis Pemeriksaan dan Pengawas Peredaran Hasil Hutan (SPT-PHH) setempat. Petugas dinas yang menangani tentang kehutanan atau P3KB/SPT-PHH yang menerima dokumen SKSHH wajib mematikan dengan cara memberi tanda telah digunakan/dimatikan dan tanggal diterima serta mengambil lembar kesatu dokumen dimaksud.
Lembar dua dokumen SKSHH yang menyertai kayu
rakyat/milik tersebut diserahkan kepada penerima kayu rakyat ditempat tujuan sebagai arsip. Penggunaan dokumen SKSHH kayu rakyat Surat Ijin Tebang (SIT) merupakan salah satu dasar penerbitan SKSHH kayu bulat produksi hutan rakyat/milik. Penerbit SKSHH kayu rakyat ditetapkan oleh kepala dinas kehutanan propinsi atas usulan kepala dinas kehutanan kabupaten yang memiliki kualifikasi penguji atau memiliki kemampuan pengukuran/pengujian kayu rakyat. Penanda tangan dokumen SKSHH adalah pejabat penerbit yang telah dirunjuk melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Pejabat Penerbit SKSHH pada dinas yang menangani tentang kehutanan kabupaten/kota hanya boleh menerbitkan kayu bulat produksi kayu rakyat/milik dan setelah berubah bentuk maka SKSHH lanjutan diterbitkan oleh pejabat penerbit SKSHH Sentra Industri pada wilayah kerja yang bersangkutan.
91
Analisis Kelayakan Usaha Hutan Rakyat Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat Analisis finansial merupakan salah satu alat analisis untuk menilai kelayakan suatu program atau usaha.
Analisis ini ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan analisis keuntungan usaha, analisis biaya, dan analisis pendapatan.
Sedangkan parameter yang digunakan untuk menilai kelayakan
pengusahaan hutan rakyat yaitu dengan NPV (Net Present Value), BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) pada rentang waktu pengusahaan untuk masing-masing jenis tanaman pokok (tanaman kehutanan). Analisis finansial pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang meliputi analisis terhadap produksi dan nilai produksi, biaya produksi dan pendapatan (keuntungan) pengusahaan. Analisis finansial ini dilakukan terhadap beberapa pola pengelolaan yang selama ini telah dan banyak dilakukan oleh masyarakat petani hutan rakyat di lokasi penelitian.
Hal lain yang menjadi
pertimbangan dalam melakukan analisis finansial ini adalah umur panen tanaman yang ada di lokasi penelitian serta tingkat suku bunga yang berlaku saat ini. Unsur biaya dalam pengusahaan hutan rakyat ini mencakup biaya investasi dan biaya operasional.
Jenis biaya investasi antara lain: pengadaan tanaman
(pangan, buah, dan kehutanan), biaya operasional meliputi biaya-biaya langsung dalam proses penanaman sampai dengan pemanenan dan pascapanen, seperti biaya pemupukan tanaman (tanaman pangan, buah, dan kehutanan), biaya pemeliharaan tanaman, biaya pemanenan dan biaya-biaya lain yang sifatnya langsung berpengaruh terhadap perolehan hasil (pendapatan), termasuk dalam hal ini yaitu biaya pemasaran. Dalam analisis perhitungan pengelolaan tanaman kayu biaya pemanenan dan pemasaran tidak diperhitungkan karena biaya tersebut sepenuhnya dibebankan kepada pembeli (pedagang pengumpul).
Biaya yang
harus dikeluarkan oleh petani dalam mengusahakan hutan rakyat setiap hektar serta pendapatan yang diperoleh petani diuraikan pada lampiran. Besarnya biaya pengusahaan hutan rakyat yang harus dikeluarkan oleh petani dihitung untuk masing-masing pola pemanfaatan lahan dengan lama pengusahaan
didasarkan
kepada
pertimbangan
lamanya
jangka
waktu
pengusahaan atau daur ekonomis tanaman pokok (tanaman kehutanan) yaitu 15 92
tahun untuk tanaman mahoni dan 20 tahun untuk tanaman jati. Biaya operasional dihitung berdasarkan prestasi kerja (HOK) di lokasi penelitian untuk setiap jenis kegiatan yang dilakukan. Total biaya produksi (biaya operasional) selama pengusahaan hutan rakyat merupakan total biaya penanaman, biaya pemeliharaan, biaya pemanenan dan biaya pemasaran. Untuk pengelolaan tanaman kayu hanya diperhitungkan biaya penanaman dan pemeliharaan. Sedangkan biaya pemanenan merupakan tanggungan pedagang. Pada saat penelitian dilakukan upah tenaga kerja yang berlaku sebesar Rp. 15.000,-/hari, dengan jam kerja kurang lebih selama 6-7 jam per hari. Untuk mengetahui kelayakan usaha hutan rakyat di Kecamatan Darmaraja, Jatigede, dan Tomo dilakukan analisis finansial dengan menggunakan metode aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto (discounted cash flow analysis). Besarnya suku bunga yang digunakan adalah 18% dengan jangka waktu pengusahaan (daur) selama 20 tahun untuk jenis jati dan 15 tahun untuk mahoni. Garis besar dari hasil analisis finansial pengusahaan hutan rakyat dengan beberapa pola pengusahaan yang meliputi lokasi Kecamatan Darmaraja, Jatigede, dan Tomo disajikan pada Tabel 24 di bawah ini: Tabel 24. Hasil analisis finansial pengusahaan hutan rakyat per hektar di Kabupaten Sumedang (i=18%). No.
Pola Pengusahaan Hutan Rakyat
IRR (%)
1 2 3 4 5 6 7
Pola 1 (Jati, padi, jagung) Pola 2 (Mahoni, padi, jagung) Pola 3 (Jati, kacang tanah) Pola 4 (Jati, mahoni, holtikultur, padi, jagung) Pola 5 (Jati) Pola 6 (Mahoni) Pola 7 (Jati, mangga, padi, jagung)
27,18 28,49 25,73 32,53 22,21 26,89 47,83
NPV (x Rp. 1.000,-)
BCR
2.585,41 3.962,04 2.625,15 8.456,00 1.626,93 3.602,18 13.505,33
1,31 1,44 1,26 1,93 1,59 2,10 2,25
Sumber : Hasil Analisis (2005)
Perhitungan finansial sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 24 di atas memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan pola 1 secara ekonomi cukup layak untuk dikembangkan pada tingkat suku bunga 18% berdasarkan nilai NPV, BCR, dan IRR yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan
93
oleh nilai NPV yang positif sebesar Rp. 2.585.410,- yang menandakan bahwa usaha hutan rakyat dengan pola 1 ini layak untuk diusahakan, dan nilai BCR sebesar 1,31 yang menunjukkan efektivitas biaya dimana untuk setiap Rp. 1.000,biaya yang dikeluarkan dapat menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp. 1.310 kepada petani yang mengusahakan hutan rakyat. Pola 2 dengan output berupa kayu mahoni, padi dan jagung masih layak diusahakan sampai dengan tingkat suku bunga 18%. Pada tingkat suku bunga tersebut IRR yang dihasilkan masih menunjukkan angka lebih besar dari suku bunga, NPV memiliki nilai positif dan BCR lebih dari 1. Dengan demikian petani masih mampu mengembalikan modal pinjaman pada tingkat bunga 18%. Dari 7 pola pengusahaan hutan rakyat yang dianalisis, pola 7 dengan output berupa kayu jati, mangga, padi dan jagung merupakan kombinasi atau sistem penanaman yang paling menguntungkan bagi petani. Pada tingkat suku bunga 18% diperoleh nilai IRR sebesar 47,83%, NPV sebesar Rp. 13.505.330,- dan BCR sebesar 2,25.
Perolehan hasil produksi terbesar pada pola ini diperoleh dari
produksi tanaman mangga yang dalam pola ini merupakan tanaman pokok. Sedangkan jati oleh petani diperlakukan sebagai tanaman pagar di batas areal mereka. Tanaman mangga mampu memberikan hasil yang kontinyu kepada para petani dimana pada umur 5 tahun pohon mangga sudah mulai berbuah dan pada usia 10 tahun mampu menghasilkan produkdi buah buah optimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani pada usia 10 tahun satu pohon mangga mampu menghasilkan 100 s.d. 150 kg mangga.
Mereka umumnya menjual mangga
tersebut kepada para bandar/tengkulak dengan sistem tebasan (jual di pohon). Analisis Sensitivitas Hasil sensitivitas ini memperlihatkan elastisitas dari pola pengusahaan hutan rakyat terhadap skenario yang diujikan berupa kenaikan biaya sebesar 20%, penurunan pendapatan 15%, dan kombinasi dari dua faktor tersebut yaitu kenaikan biaya 10% dan pendapatan turun sebesar 10%. Berdasarkan analisis sensitivitas, pola 7 merupakan pola yang paling stabil dimana pola ini memiliki nilai IRR yang paling besar pada tiga skenario yang diujikan masing-masing 37,12% , 38,06%
dan 36,28%. Pada tingkat suku bunga 18%
NPV yang
dihasilkan masih bernilai positif yaitu sebesar 9.987.160,- dan BCR sebesar 94
1,84. Hasil analisis secara detail disajikan pada Tabel 25. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa adanya tiga skenario yang diujikan mengakibatkan terjadinya perubahan nilai IRR, NPV, dan BCR. Perilaku penurunan IRR selama masih di atas suku bunga mengambarkan pola pengusahaan hutan rakyat yang masih layak secara finansial. Sedangkan nilai BCR di atas nilai satu juga masih menggambarkan perilaku pola pengusahaan yang sama. Tabel 25. Hasil uji sensitivitas pengusahaan hutan rakyat per hektar di Kabupaten Sumedang No.
1
2
3
4
5
6
7
Pola Pengusahaan Hutan Rakyat
IRR (%) 20,14 Biaya naik 20% Pendapatan turun 15% 20,69 Pola 1 (Jati, padi, jagung) Biaya naik 10% dan 19,66 pendapatan turun 10% 22,19 Biaya naik 20% Pola 2 (Mahoni, padi, jagung) Pendapatan turun 15% 22,74 Biaya naik 10% dan 21,69 pendapatan turun 10% 19,17 Biaya naik 20% 23,26 Pendapatan turun 15% Pola 3 (Jati, kacang tanah) Biaya naik 10% dan 18,72 pendapatan turun 10% 27,16 Biaya naik 20% Pola 4 (Jati, mahoni, Pendapatan turun 15% 27,67 holtikultur, padi, jagung) Biaya naik 10% dan 26,71 pendapatan turun 10% 20,51 Biaya naik 20% Pendapatan turun 15% 20,69 Pola 5 (Jati) Biaya naik 10% dan 20,34 pendapatan turun 10% 24,64 Biaya naik 20% Pendapatan turun 15% 24,89 Pola 6 (Mahoni) Biaya naik 10% dan 24,42 pendapatan turun 10% 37,12 Biaya naik 20% Pola 7 (Jati, mangga, padi, Pendapatan turun 15% 38,06 jagung) Biaya naik 10% dan 36,28 pendapatan turun 10% Skenario
NPV BCR (x Rp. 1.000,-) 934,14 1,09 959,14 1,12 675,59
1,07
2.146,43 2.006,03
1,20 1,22
1.750,23
1,18
607,46 718,11
1,05 1,07
344,95
1,03
6.643,40 5.828,15
1,61 1,64
5.797,80
1,58
1.073,41 967,75
1,32 1,35
910,72
1,30
2.948,60 2.571,67
1,75 1,79
2.588,38
1,72
11.337,69 9.853,80
1,87 1,91
9.987,16
1,84
Sumber : Hasil Analisis (2005)
95
Kontribusi Hutan Rakyat Bagi PAD Pendapatan dari sektor hutan rakyat diperoleh dari retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah berupa SIT (Surat Ijin Tebang) dan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan).
Retribusi ijin tebang dan ijin angkut ini
dibebankan kepada para pedagang/tengkulak ataupun petani hutan rakyat tergantung pola penjualannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa petani hutan rakyat umumnya menjual kayu kepada pedagang/ tengkulak dalam bentuk pohon berdiri.
Dengan demikian maka proses penebangan dan
pengangkutan merupakan tanggung jawab pedagang dan secara otomatis retribusi juga dibebankan kepada pedagang.
Sebaliknya jika penebangan dan
pengangkutan dilakukan oleh petani maka beban retribusi menjadi tanggungan petani. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang jumlah retribusi angkutan yang masuk ke kas pemerintah daerah pada tahun 2004 adalah sebesar Rp. 61.593.819,00. Secara lengkap jumlah pemasukan retibusi tersebut disajikan pada Tabel 26 berikut: Tabel 26. Retribusi angkutan hasil hutan kayu rakyat tahun 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Cabang Dinas Citarik-Cikeruh Cipeles Hulu Ciherang-Cisugan Cileuleuy-Cikoneng Cimuja-Cigoler Cibeureum Cikandung Cipanas-Cikaramas Cinambo Cipeles Hilir Cipelang Hulu Cipelang Hilir Cikujang-Cihonje Cialing-Cacaban Cicapar-Cimacan Jumlah Total
Asal Produksi Jatinangor, Sukasari, Cimanggung Tanjungsari Pamulihan, Rancakalong Sumedang Selatan, Ganeas Sumedang Utara, Cimalaka Paseh, Cisarua Buahdua, Tanjungkerta Tanjungmedar, Surian Jatigede Tomo Conggeang Ujungjaya Darmaraja, Cibugel Wado, Jatinunggal Situraja, Cisitu
Jumlah Reribusi 182.770,00 3.370.622,50 2.183.167,00 178.094,00 18.339.695,50 414.927,00 3.193.022,00 1.672.457,50 5.465.638,50 420.749,00 3.029.575,50 2.963.698,50 15.179.402,00 61.593.819,00
Sumber: Dishutbun Kabupaten Sumedang, 2004
Besaran pungutan retribusi oleh pemerintah daerah pada dasarnya telah diatur dalam Perda No. 27 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan Administrasi 96
Pengelolaan Kayu Milik. Perda tersebut mengatur besarnya tarif/pungutan serta obyek kegiatan yang dikenakan tarif. Besarnya retribusi yang harus dibayar untuk penebangan kayu milik adalah: a. Kelas I (Jati, mahoni, pinus, rasamala, sonokeling dll) sebesar Rp. 1.500,/batang b. Kelas II (tancang, resak, kibeureum dll) sebesar Rp. 1.250,-/batang c. Kelas III (sengon, surian, aprika, dll) sebesar Rp. 1.000,-/batang d. Kelas IV (bambu dan sejenisnya) sebesar Rp. 150,-/batang Sedangkan besarnya retribusi yang harus dibayar untuk penerbitan surat angkutan adalah: a. Surat angkutan kayu milik Rp. 3.500/m3 b. Surat angkutan kayu bakar Rp. 350,-/sm Berdasarkan angka produksi hutan rakyat pada tahun 2004 produksi jenis kayu mahoni merupakan jumlah terbesar dibanding kayu-kayu lainnya, disusul oleh kayu jati. Secara lengkap jumlah produksi kayu hutan rakyat disajikan pada Tabel 27 di bawah ini. Tabel 27. Produksi kayu rakyat tahun 2004 No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Komoditas Jati Mahoni Pinus Rimba Campuran Jumlah
Jumlah (Batang) 184.740,00 194.061,00 20.954,00 7.199,00 406.954,00
Volume (m3) 11.760,25 17.977,18 924,26 599,54 31.261,23
Sumber: Dishutbun Kabupaten Sumedang, 2004
Dengan pemberlakuan tarif sesuai dengan Perda No. 27 tahun 2000 maka pemerintah daerah Kabupaten Sumedang akan memperoleh pemasukan dari retribusi kayu rakyat/kayu milik sebesar Rp. 718.045.555,00. Jumlah tersebut terdiri dari dari retribusi penebangan sebesar Rp. 608.631.250,00 dan retribusi pengangkutan sebesar Rp. 109.414.305,00. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi kayu jati, mahoni, dan pinus masuk kategori kayu kelas I sedangkan kayu rimba campuran termasuk kayu kelas II.
Jumlah retribusi tersebut belum
termasuk retribusi pengangkutan kayu bakar.
97
Peran Sektor Kehutanan Dalam Perekonomian Wilayah Untuk melakukan analisis peran sektor kehutanan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang tabel input-output Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penyusunan tabel input-output Kabupaten Sumedang sehingga dihasilkan gambaran mengenai struktur perekonomian di Kabupaten Sumedang Tahun 2000.
Selanjutnya dengan
menggunakan data tahun 2003 disusun tabel input-output Kabupaten Sumedang tahun 2003 dengan klasifikasi 15 sektor perekonomian. Gambaran mengenai struktur perekonomian Kabupaten Sumedang tersebut meliputi beragam aspek yaitu struktur permintaan dan penawaran, struktur konsumsi masyarakat dan pemerintah dan struktur nilai tambah bruto. Dalam penyusunan tabel input-output Kabupaten Sumedang diasumsikan bahwa Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sumedang memiliki struktur perekonomian yang sama. Permintaan dan penawaran output Total permintaan barang dan jasa yang dihasilkan oleh Kabupaten Sumedang pada tahun 2003 mencapai Rp. Rp. 5,65 trilyun. Jumlah tersebut terdiri atas permintaan antara sebesar Rp. 1,76 trilyun dan permintaan akhir sebesar Rp. 3,89 trilyun. Dengan menggunakan asumsi keseimbangan antara permintaan dan penawaran maka total penawaran sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang sama dengan nilai permintaannya Rp. 5,65 trilyun. Berdasarkan Tabel Input-Output Kabupaten Sumedang Tahun 2003, permintaan antara sektor hutan rakyat hanya mencapai Rp. 16,45 milyar atau sekitar 0,94% dari total permintaan antara Kabupaten Sumedang.
Jumlah
permintaan antara tersebut masih di bawah sektor pertanian lainnya dimana permintaan antara sektor bahan tanaman makanan mencapai Rp. 148,78 milyar (8,46%) dan peternakan Rp. 52,61 milyar (2,99%). Masih rendahnya permintaan antara sektor hutan rakyat tersebut menunjukkan masih rendahnya peranan output sektor hutan rakyat yang dihasilkan untuk digunakan sebagai input oleh sektor lain di dalam perekonomian Kabupaten Sumedang. Jika dilihat dari permintaan akhir tampak bahwa sektor hutan rakyat memiliki nilai permintaan akhir yang paling rendah yaitu hanya mencapai Rp. 98
1,22 milyar atau sebesar 0,03% dari total permintaan akhir. Sedangkan jika dilihat dari sektor pertanian secara keseluruhan jumlah permintaan akhir mencapai Rp. 1,29 trilyun. Tingginya permintaan akhir sektor pertanian dikarenakan sektor pertanian berkaitan dengan fungsi makanan sebagai kebutuhan dasar khususnya bagi manusia. Sebagian digunakan untuk konsumsi domestik dan ekspor. Lebih tingginya permintaan akhir terhadap sektor pertanian dibandingkan dengan nilai permintaan antaranya menunjukkan bahwa output sektor pertanian cenderung digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung. Hal ini menyebabkan rendahnya nilai keterkaitan sektor pertanian Kabupaten Sumedang dengan sektorsektor lainnya. Tabel 28. Permintaan antara dan permintaan akhir sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang tahun 2003 (juta rupiah). No.
Permintaan Antara
Permintaan Akhir
Total Permintaan
Jumlah
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Sektor
1
Tanaman bahan makanan
2
Persen
148.779
8,46%
993.640
25,55%
1.142.419
20,23%
Perkebunan
16.214
0,92%
54.844
1,41%
71.058
1,26%
3
Peternakan
52.610
2,99%
209.848
5,40%
262.458
4,65%
4
Hutan rakyat
16.449
0,94%
1.221
0,03%
17.670
0,31%
5
Hasil hutan lainnya
990
0,06%
74
0,00%
1.064
0,02%
6
Perikanan
15.713
0,89%
28.549
0,73%
44.261
0,78%
7
Tambang dan galian
3.698
0,21%
4.783
0,12%
8.481
0,15%
8
Industri pengolahan
1.004.918
57,16%
311.840
8,02%
1.316.758
23,32%
9
Listrik, air dan gas
50.387
2,87%
102.654
2,64%
153.042
2,71%
10
Bangunan/konstruksi
21.794
1,24%
252.959
6,50%
274.753
4,87%
11
Perdagangan
124.941
7,11%
786.778
20,23%
911.720
16,14%
12
Hotel dan restoran
26.524
1,51%
500.273
12,86%
526.797
9,33%
13
Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan
119.871
6,82%
137.108
3,53%
256.978
4,55%
10.047
0,57%
20.740
0,53%
30.786
0,55%
Jasa-jasa
145.223
8,26%
483.788
12,44%
629.011
11,14%
TOTAL 1.758.158 Sumber: Hasil Analisis (2005)
100,00%
3.889.098
100,00%
5.647.255
100,00%
14 15
Struktur konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah Konsumsi masyarakat Kabupaten Sumedang pada tahun 2003 terhadap output total adalah sebesar Rp. 3,13 trilyun. Dari jumlah tersebut pengeluaran untuk sektor hutan rakyat hanya mencapai Rp. 2,74 milyar atau 0,09% dari total
99
pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Sedangkan jika dilihat dari jumlah
pengeluaran sektor pertanian secara keseluruhan (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan) mencapai Rp. 1,23 trilyun atau sekitar 39,3%.
Dengan jumlah tersebut sektor pertanian merupakan sektor
terbesar dalam memenuhi konsumsi rumah tangga. Tabel 29. Konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah terhadap sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang tahun 2003 (juta rupiah) Konsumsi RT
No.
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tanaman bahan makanan Perkebunan Peternakan Hutan rakyat Hasil hutan lainnya Perikanan Tambang dan galian Industri pengolahan Listrik, air dan gas Bangunan/konstruksi Perdagangan Hotel dan restoran Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan Jasa-jasa TOTAL
Jumlah
Konsumsi Pemerintah
Persen
1.003.605 32,01% 48.883 1,56% 148.250 4,73% 2.739 0,09% 165 0,01% 28.418 0,91% 5.003 0,16% 240.189 7,66% 92.645 2,96% 0,00% 688.123 21,95% 486.805 15,53% 129.886 4,14% 17.532 0,56% 242.741 7,74% 3.134.983 100,00%
Jumlah
Persen 0,00% 16 0,01% 9 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 2.186 0,76% 7.805 2,71% 14.640 5,09% 7.488 2,60% 9.578 3,33% 5.437 1,89% 1.973 0,69% 238.420 82,91% 287.551 100,00%
Sumber: Hasil Analisis (2005)
Dari Tabel 29 di atas dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2003 jumlah konsumsi pemerintah Kabupaten Sumedang mencapai Rp. 287,55 milyar. Konsumsi pemerintah pada tahun 2003 terbesar dialokasikan untuk jasa-jasa yang meliputi
jasa-jasa
pemerintahan
umum
dan
pertahanan,
jasa
sosial
kemasyarakatan seperti pendidikan, riset, panti asuhan, rumah ibadah, serta jasa rekreasi, kebudayaan dan olahraga. Konsumsi pemerintah untuk jasa-jasa tersebut mencapai Rp. 238,42 milyar (82,91%). Untuk konsumsi sektor pertanian hanya mencapai 25 juta yang meliputi sub sektor perkebunan sebesar Rp. 16 juta dan sub sektor peternakan Rp. 9 juta dan untuk sub sektor pertanian lainnya konsumsi pemerintah masih bernilai nol. Konsumsi pemerintah yang dimaksud disini hanya 100
mencakup semua pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan administrasi dan pertahanan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk konsumsi yang sifatnya pembentkan modal. Struktur nilai tambah Nilai tambah bruto merupakan balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi.
Dalam input-output perekonomian
Kabupaten Sumedang nilai tambah bruto meliputi penerimaan upah gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan Tabel 30 dapat diketahui bahwa total nilai tambah bruto Kabupaten Sumedang Tahun 2003 adalah sebesar Rp. 3,89 trilyun dengan perincian Rp 919,40 milyar (23,64%) berasal dari upah gaji, Rp.2,68 trliyun (68,95%) dari surplus usaha, Rp. 183,06 milyar (4,70 %) dari penyusutan, Rp. 105,09 milyar (2,70%) dari pajak tak langsung. Tabel 30. Kontribusi nilai tambah bruto sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang tahun 2003 (juta rupiah) No.
Sektor
1
Tanaman bahan makanan
2
Upah dan Gaji 150.686
Surplus Usaha 760.981
Rasio U/G
Penyusutan
0,20
10.523
Pajak Tak Langsung 9.183
Nilai Tambah Bruto Jumlah 931.373
Persen 23,95%
Perkebunan
12.582
51.774
0,24
1.778
423
66.557
1,71%
3
Peternakan
33.105
175.342
0,19
3.734
2.638
214.819
5,52%
4
Hutan rakyat
397
16.745
0,02
196
21
17.359
0,45%
24
1.008
0,02
12
1
1.045
0,03%
3.543
21.222
0,17
925
1.021
26.712
0,69%
5
Hasil hutan lainnya
6
Perikanan
7
Tambang dan galian
312
6.632
0,05
304
8
7.256
0,19%
8
Industri pengolahan
93.234
517.464
0,18
28.641
16.399
655.738
16,86%
9
Listrik, air dan gas
18.125
46.717
0,39
16.318
94
81.253
2,09%
10
Bangunan/konstruksi
59.914
45.388
1,32
9.140
6.522
120.964
3,11%
161.948
555.887
0,29
33.261
41.982
793.077
20,39%
Hotel dan restoran
70.148
108.004
0,65
34.702
19.851
232.706
5,98%
Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan
30.919
108.899
0,28
27.510
2.178
169.506
4,36%
3.958
25.244
0,16
454
102
29.759
0,77%
Jasa-jasa
280.507
240.238
1,17
15.560
4.668
540.973
13,91%
TOTAL
919.402
2.681.546
0,34
183.060
105.090
3.889.098
100,00%
11
Perdagangan
12 13 14 15
Sumber: Hasil Analisis (2005)
Pada tahun 2003 sektor hutan rakyat menyumbang nilai tambah bruto sebesar Rp. 17,36 milyar atau sebesar 0,45% yang terdiri dari upah dan gaji Rp. 397 juta, surplus usaha Rp. 16,74 milyar, penyusutan Rp. 196 juta dan Rp. 21 juta
101
pajak tak langsung. Tanaman bahan makanan merupakan sektor pertanian yang memberikan nilai tambah bruto paling besar yaitu Rp. 931,37 milyar atau sebesar 23,95% diikuti oleh sektor peternakan sebesar Rp. 214,82 milyar atau sebesar 5,52%.
Tingginya kontribusi tanaman bahan makanan yang disumbangkan
menunjukkan besarnya besarnya peranan sektor tersebut dalam pembentukan PDRB Kabupaten Sumedang pada sektor pertanian. Jika diperbandingkan antara nilai upah dan gaji terhadap surplus usaha maka akan diperoleh nilai rasio upah dan gaji dengan surplus usaha. Nilai rasio tersebut menunjukkan perbandingan antara besarnya upah dan gaji yang diterima produsen. Rasio upah dan gaji dengan surplus usaha termasuk kategori baik jika rasionya mendekati keseimbangan yang berarti bahwa proporsi penerimaan dalam bentuk upah dan gaji dengan surplus usaha bagi produsen berimbang. Berdasarkan hasil analisis rasio upah dan gaji dengan surplus usaha seperti pada Tabel 30, ternyata pada sektor pertanian termasuk hutan rakyat memiliki nilai surplus usaha yang lebih besar dibandingkan dengan upah dan gaji. Hal ini terlihat dari nilai rasio yang lebih kecil daripada satu. Kondisi ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan antara pemilik modal dan pekerja tidak merata atau terjadi ketimpangan yang sangat besar yang disebabkan oleh adanya eksploitasi tenaga kerja oleh pemilik modal terhadap tenaga kerja. Kondisi tersebut terjadi antara lain karena tingkat keterampilan petani yang rendah yang dipengaruhi pula oleh umur petani, dan pendidikan tenaga kerja sektor pertanian yang rendah. Struktur nilai produksi sektoral Nilai produksi merupakan output (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh sektor perekonomian.
Dari tabel input-output Kabupaten Sumedang dapat
diketahui besarnya nilai produksi yang diciptakan oleh masing-masing sektor. Berdasarkan Tabel 31 terlihat bahwa nilai produksi/output total perekonomian Kabupaten Sumedang sebesar Rp. 5,65 trilyun. Output sektor pertanian mencapai Rp. 1,54 trilyun atau sebesar 27,25% yang terdiri dari sektor tanaman bahan makanan Rp. 1,14 trilyun, perkebunan Rp. 71,06 milyar, peternakan Rp. 262,46 milyar, hutan rakyat Rp. 17,67 milyar, hasil hutan lainnya Rp. 1,06 milyar dan perikanan Rp. 44,26 milyar.
Dengan jumlah tersebut sektor tanaman bahan
102
makanan mencapai urutan kedua setelah sektor industri pengolahan sebagai penyumbang nilai produksi terbesar dalam perekonomian Kabupaten Sumedang. Tabel 31. Distribusi output sektoral perekonomian Kabupaten Sumedang tahun 2003 (juta rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sektor
Jumlah
Persen
Tanaman bahan makanan
1.142.419
20,23%
Perkebunan Peternakan Hutan rakyat Hasil hutan lainnya Perikanan Tambang dan galian Industri pengolahan Listrik, air dan gas Bangunan/konstruksi Perdagangan Hotel dan restoran Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan Jasa-jasa TOTAL
71.058 262.458 17.670 1.064 44.261 8.481 1.316.758 153.042 274.753 911.720 526.797 256.978 30.786 629.011 5.647.255
1,26% 4,65% 0,31% 0,02% 0,78% 0,15% 23,32% 2,71% 4,87% 16,14% 9,33% 4,55% 0,55% 11,14% 100,00%
Sumber: Hasil Analisis (2005)
Analisis multiplier a. Multiplier output Tabel 32 merupakan tabel nilai-nilai multiplier output sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sumedang.
Dilihat dari multiplier tipe I, sektor
industri pengolahan menduduki peringkat tertinggi dengan nilai 1,93. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan permintaan akhir di sektor industri pengolahan sebesar satu rupiah maka ouput pada semua sektor akan meningkat sebesar Rp. 1,93. Apabila efek konsumsi masyarakat diperhitungkan dengan memasukan rumah tangga ke dalam model maka akan didapat nilai pengganda output tipe II yang nilainya selalu lebih besar jika dibandingkan dengan nilai pengganda tipe I.
Dilihat dari output tipe II ternyata sektor industri pengolahan
menduduki peringkat pertama dengan nilai 2,5. Nilai tersebut mengandung arti jika terjadi peningkatan pengeluaran rumahtangga yang bekerja di sektor
103
tersebut sebesar satu satuan maka nilai produksi/output di semua sektor perekonomian akan meningkat sebesar 2,5. Tabel 32. Multiplier output sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang Sektor
1
Tanaman bahan makanan
1
0,19
0,12
0,30
1,60
1,30
1,60
2
Perkebunan
1
0,06
0,04
0,35
1,45
1,10
1,45
3
Peternakan
1
0,18
0,12
0,29
1,59
1,30
1,59
4
Hutan rakyat
1
0,02
0,01
0,05
1,07
1,03
1,07
5
Hasil hutan lainnya
1
0,02
0,01
0,05
1,07
1,03
1,07
6
Perikanan
1
0,40
0,28
0,27
1,95
1,67
1,94
7
Tambang dan galian
1
0,14
0,07
0,14
1,35
1,22
1,35
8
Industri pengolahan
1
0,56
0,37
0,57
2,50
1,93
2,50
9
Listrik, air dan gas
1
0,47
0,3
0,40
2,17
1,77
2,17
10
Bangunan/konstruksi
1
0,50
0,32
0,28
2,10
1,81
2,10
11
Perdagangan
1
0,13
0,07
0,40
1,59
1,20
1,59
12
Hotel dan restoran
1
0,56
0,35
0,43
2,33
1,90
2,33
13
Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan
1
0,34
0,18
0,40
1,92
1,52
1,92
1
0,03
0,02
0,25
1,30
1,05
1,30
Jasa-jasa
1
0,14
0,09
0,87
2,10
1,23
2,10
14 15
Initial First Indust Cons'm Total
Type Type I II
No.
Sumber: Hasil Analisis (2005)
Nilai pengganda output sektor hutan rakyat dalam perekonomian Kabupaten Sumedang menempati urutan terakhir dari 15 sektor yang ada. Dari Tabel 32 dapat dilihat bahwa peningkatan permintaan akhir sektor hutan rakyat sebesar satu satuan akan meningkatkan ouput seluruh sektor perekonomian termasuk sektor kehutanan itu sendiri sebesar 1,03 satuan. Proses terjadinya nilai pengganda sektor hutan rakyat sebesar 1,03 terjadi secara bertahap. Peningkatan output sektor hutan rakyat sebesar satu satuan (efek awal) akan memberikan dampak langsung terhadap penyedia input sebesar 0,02 satuan (efek putaran pertama) kemudian diikuti oleh peningkatan output
putaran
kedua
yang
terjadi
secara
bergelombang
sehingga
mengakibatkan peningkatan output sebesar 0,01 satuan (efek dukungan industri). Sehingga total peningkatan output seluruhnya mencapai 1,03 satuan (multiplier I).
Peningkatan sebesar itu belum termasuk efek induksi dari 104
konsumsi rumah tangga sebesar 0,05 satuan yang terjadi karena meningkatnya pendapatan rumah tangga dengan adanya peningkatan penjualan ke permintaan akhir sektor hutan rakyat. Sehingga efek total pengganda akibat peningkatan output yang terjadi di sektor hutan rakyat bernilai 1,07 (multiplier II). b. Multiplier pendapatan Pengganda
pendapatan
digunakan
untuk
mengukur
peningkatan
pendapatan yang terjadi akibat suatu perubahan dalam perekonomian. Dalam tabel input-output, yang dimaksud pendapatan hanya upah dan gaji dan penerimaan diluar upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pendapatan lainnya seperti deviden atau bunga bank tidak termasuk di dalamnya. Hasil analisis multiplier pendapatan masing-masing sektor disajikan pada Tabel 33 di bawah ini: Tabel 33. Multiplier pendapatan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Sumedang No.
Sektor
Initial
First
Indust Cons'm Total
Type Type I II
1
Tanaman bahan makanan
0,13
0,02
0,01
0,05
0,21
1,24
1,58
2
Perkebunan
0,18
0,01
0,00
0,05
0,24
1,08
1,37
3
Peternakan
0,13
0,02
0,01
0,04
0,20
1,25
1,59
4
Hutan rakyat
0,02
0,00
0,00
0,01
0,03
1,14
1,45
5
Hasil hutan lainnya
0,02
0,00
0,00
0,01
0,03
1,14
1,45
6
Perikanan
0,08
0,04
0,03
0,04
0,19
1,86
2,37
7
Tambang dan galian
0,04
0,03
0,01
0,02
0,10
2,07
2,63
8
Industri pengolahan
0,07
0,05
0,04
0,04
0,20
2,23
2,84
9
Listrik, air dan gas
0,12
0,07
0,04
0,06
0,28
1,86
2,36
10
Bangunan/konstruksi
0,22
0,06
0,04
0,09
0,40
1,44
1,84
11
Perdagangan
0,18
0,03
0,01
0,06
0,28
1,23
1,57
12
Hotel dan restoran
0,13
0,06
0,04
0,06
0,30
1,76
2,24
13
Transp dan komunikasi Bank dan lembaga keuangan
0,12
0,08
0,02
0,06
0,28
1,83
2,33
0,13
0,01
0,00
0,04
0,18
1,08
1,37
Jasa-jasa
0,45
0,02
0,01
0,13
0,61
1,08
1,37
14 15
Sumber: Hasil Analisis (2005)
Berdasarkan klasifikasi 15 sektor (Tabel 33) analisis multiplier pendapatan menunjukkan bahwa sektor hutan rakyat memiliki efek pengganda pendapatan sebesar 1,14 (tipe I). Hal ini menunjukkan jika terjadi peningkatan 105
pendapatan sektor hutan rakyat sebesar satu satuan maka akan menyebabkan peningkatan pendapatan sektor perekonomian sebesar Rp. 1,14. Apabila efek induksi konsumsi rumah tangga diperhitungkan maka akan terjadi peningkatan pendapatan di seluruh perekonomian sebesar 1,45 (tipe II). Efek pengganda terbesar baik pengganda pendapatan tipe I atau pun tipe II sektor perekonomian adalah sektor industri pengolahan, hal ini menunjukkan apabila terjadi peningkatan pendapatan di sektor industri pengolahan sebesar satu satuan (Rp. 1,00) maka akan terjadi peningkatan pendapatan di seluruh sektor perekonomian sebesar 2,23 (tipe I) dan 2,84 (tipe II).
106
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kombinasi antara tanaman jati, mangga, dengan tanaman tumpangsari padi dan jagung (kebun campuran) merupakan pola tanam yang paling menguntungkan bagi petani dengan nilai IRR 47,83% dengan daur pengusahaan selama 20 tahun. Pada tingkat suku bunga 18% pola ini menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 13.505.330,- dan BCR 2,25. Berdasarkan analisis sensitivitas pola ini merupakan pola paling stabil dengan nilai IRR paling besar, NPV positif dan BCR lebih besar dari 1 pada tiga skenario yang diujikan. 2. Dalam tataniaga kayu rakyat terjadi pasar monopsoni dimana jumlah petani yang banyak sedangkan pedagang jumlahnya lebih sedikit. Dengan demikian pedagang lebih banyak menentukan harga kayu sedangkan petani hanya sebagai price taker (pengambil harga). Tata niaga kayu rakyat jenis jati dan mahoni terdapat beberapa saluran tataniaga.
Untuk jenis kayu mahoni
terdapat 2 saluran tataniaga yaitu saluran I: Petani - pedagang pengumpul industri penggergajian dan saluran II: Petani - pedagang pengumpul pedagang
besar
antar
kecamatan
-
industri
pengolahan
antar
kabupaten/propinsi. Sedangkan dalam tataniaga kayu jati saluran I: Petani pedagang pengumpul - industri meubel dan saluran II: Petani - pedagang pengumpul - pedagang besar antar kecamatan - industri pengolahan antar kabupaten/propinsi. Harga rata-rata di tingkat petani untuk kayu mahoni sebesar Rp. 283.209,47/m3, sedangkan harga rata-rata kayu jati sebesar Rp. 574.071,71/m3. Margin total pada saluran I untuk jenis kayu mahoni sebesar Rp. 120.124,53/m3 dan Rp. 218.457,86/m3 pada saluran II. Sedangkan margin total saluran I untuk jenis kayu jati sebesar Rp. 134.263,00/m3 dan pada saluran II sebesar Rp. 264.263,00/m3. 3. Peran hutan rakyat terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang relatif kecil dibanding sektor-sektor lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari
besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh sektor hutan rakyat hanya sebesar Rp. 17,36 milyar atau sebesar 0,45% yang terdiri dari upah dan gaji Rp. 397 juta, surplus usaha Rp. 16,74 milyar, penyusutan Rp. 196 juta dan Rp. 21 juta pajak tak langsung. Selain itu dilihat dari nilai pengganda output (multiplier output), peningkatan permintaan akhir sektor hutan rakyat sebesar satu satuan akan meningkatkan ouput seluruh sektor perekonomian termasuk sektor kehutanan itu sendiri sebesar 1,03 satuan. Analisis multiplier pendapatan menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki efek pengganda pendapatan sebesar 1,14 (tipe I).
Hal ini menunjukkan jika terjadi
peningkatan pendapatan sektor hutan rakyat sebesar satu satuan maka akan menyebabkan peningkatan pendapatan sektor perekonomian sebesar Rp. 1,14. Apabila efek induksi konsumsi rumah tangga diperhitungkan maka akan terjadi peningkatan pendapatan di seluruh perekonomian sebesar 1,45 (tipe II). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat keinginan sebagian petani hutan rakyat untuk mengganti tanaman kayu-kayuan dengan tanaman buah-buahan jenis mangga. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah setempat, sehingga tidak secara total tanaman kayukayuan diganti dengan jenis buah-buahan (mangga)
mengingat keterbatasan
cadangan kayu dimasa yang akan datang serta pentingnya fungsi dari hutan rakyat sebagai pengatur tata air dan fungsi lingkungan lainnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu mengembangkan alternatif pola pengusahaan hutan rakyat yang lebih menguntungkan bagi para petani sehingga keberadaan hutan rakyat tetap dapat dipertahankan serta menerapkan suatu kebijakan insentif yang mampu mendorong pengusahaan hutan rakyat sehingga petani hutan rakyat dapat mengelola hutan rakyat dengan lebih baik dan memperoleh manfaat (keuntungan) yang lebih besar. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengelolaan hutan rakyat merupakan suatu budaya turun-temurun dimana merupakan faktor penting bagi keberlanjutan usaha hutan rakyat di masyarakat.
Namun demikian masih
diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah karena petani hutan rakyat
108
masih menghadapi berbagai kendala, antara lain: luas kepemilikan lahan yang sempit dan kelembagaan di tingkat petani yang masih lemah. Untuk mendorong pengembangan usaha hutan rakyat ke depan dapat dilakukan beberapa alternatif strategi, antara lain: pemanfaatan tanah kas desa untuk usaha kayu rakyat, pengembangan sistem informasi pasar, mengoptimalkan fungsi kelompok tani serta membagun kemitraan multipihak, membangun kelompok usaha di tingkat petani, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
penunjang,
meningkatkan
kemampuan
teknik
budidaya
serta
pengembangan sentra industri pengolahan kayu rakyat di Kabupaten Sumedang. Selain itu perlu dilakukan kajian peran hutan rakyat berdasarkan manfaat ekologi seperti keanekaragaman hayati, pencegahan erosi, dan pemeliharaan tata air (manfaat hidrologi), sehingga hutan rakyat tidak hanya dinilai berdasarkan nilai ekonomis kayu yang dihasilkan semata. Hal tersebut penting agar diperoleh informasi yang lebih komprehensif mengenai peran dan manfaat hutan rakyat bagi manusia dan lingkungan sekitar.
109
DAFTAR PUSTAKA Adikoesoemah S. 1982. Biaya dan Harga Pokok. Tarsito, Bandung. Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta. . 2002. Hutan Rakyat: Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE, Yogyakarta. . 2002. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Kreasi Wacana, Yogyakarta. [BPS Kabupaten Sumedang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2002. Sumedang Dalam Angka Tahun 2002. Sumedang: BPS Kabupaten Sumedang. [BPS Propinsi Jawa Barat] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 2001. Tabel Input Output Jawa Barat Tahun 2000. Bandung: BPS Propinsi Jawa Barat. ______. 2002. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha. Bandung: BPS Propinsi Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta: BPS Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Manual Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Jakarta. Dephut, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. [Disperindag Kabupaten Sumedang] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang. 2003. Industri Kecil Unggulan Meubel Kabupaten Sumedang 2003. Sumedang: Disperindag Kabupaten Sumedang. . 2003. Peluang Investasi dan Potensi Industri Kabupaten Sumedang. Sumedang: Disperindag Kabupaten Sumedang. Gittinger JP. 1986. Analisa Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Edisi Kedua. UI Pres, Jakarta. Glasson J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional (Terjemahan). Kerjasama Program Perencanaan Nasional, Fakultas Ekonomi Universitas IndonesiaBadan Perencanaan Pembangunan Nasional. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Hanafiah, AM Saefuddin. 1986. Tataniaga Hasil Perikanan. UI Press, Jakarta. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hulu E. 1992. Beberapa Metoda Non Survei Estimasi Koefisien Input-Output Pusat Antar Universitas-Bidang Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta Jhingan ML. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kadariah. 1978. Ekonomi Perencanaan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
Miernyk WH. 1969. The Element of Input-Output Analysis. Random House, New York. Mangiri K. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom: Pendekatan Model Input-Output. Edisi Kedua. CV. Nasional Indah. Jakarta. O’Connor R, Henry EW. 1975. Charles Griffin, London.
Input-Output Analysis and its Applications.
Rhicardson H. 1972. Input-Output and Regional Economics. A Halsted Press Book John Wiley, New York. Simon H. 2004. Membangun Desa Hutan: Kasus Dusun Sambiroto. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan dengan Pokok Bahasan Khusus Perencaan Pembangunan Daerah. Rajawali Press, Jakarta. Stone R. 1966. Mathematics in the Social Sciences and Other Essays. The MIT Press, Michigan. Sumarta II. 1963. Analisa Ongkos-Ongkos dan Penghasilan Hutan Rakyat di Cicurug Bogor. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan. Sutomo S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Todaro PM. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Terjemahan). Penerbit Erlangga, Jakarta. Wahyuningsih L. 1993. Peranan Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Terhadap Pendapatan Masyarakat di Wonosobo Jawa Tengah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.
111
Lampiran 1. Peta Administrasi Kabupaten Sumedang
112
Lampiran 2. Data Pokok Petani Hutan Rakyat di Desa Ciranggem dan Desa Karedok Kecamatan Jatigede No. Responden
Usia
1 2 Desa Ciranggem 1 51 2 45 3 60 4 75 5 42 6 62 7 40 8 54 9 30 10 52 11 30 12 46 13 56 14 45 15 70 50,53 Desa Karedok 1 56 2 54 3 59 4 53 5 60 6 49 7 50 8 70 9 66 10 70 11 54 12 70 13 60 14 57 55,20
Jumlah Anggota Keluarga 3
Pendidikan Luas HR
Jenis Tanaman Hutan Rakyat
Jarak Tanam
Pekerjaan Utama
7
8
4
5
6
4 4 2 2 4 4 3 5 3 5 3 5 5 4 2 3,67
SD SD SD TS SD SD SD SD STM SD SMP SD SD SD SD
1,000 0,196 0,840 0,084 0,070 0,210 0,168 0,098 0,210 0,210 0,140 0,210 0,140 1,400 1,400 0,425
Jati, mahoni Jati, mahoni Jati, mahoni, sonokeling Jati Jati, mahoni, juar Jati, mahoni Jati, mahoni Mahoni Mahoni Jati, mahoni, mangga Jati, mahoni Jati, mahoni Jati, Mahoni Jati Jati, Mahoni, Kihiang, Aprika
2x3, tidak teratur 2x2, tidak teratur Tidak teratur 2x3, tidak teratur Tidak teratur 3x2, tidak teratur tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur 2x3, tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur 2x3, tidak teratur Tidak teratur
Petani Tembakau Buruh Tani, Tembakau Petani Tembakau Petani Tembakau Petani tembakau Petani Tembakau Petani, Tembakau Petani Petani Petani, tembakau Petani Petani Tembakau Petani Petani, Tembakau Petani
4 4 3 5 3 2 3 2 2 1 2 5 2 3 2,73
D2 SMEA SD SD SD SD SD SD SD SD SD SPG SD SLTP
1,000 0,210 0,140 0,070 0,560 0,035 0,560 0,420 0,560 0,280 0,105 0,210 0,042 0,420 0,307
Jati, mangga Jati, mahoni, mangga Jati, mahoni, Jati Jati, mahoni, mangga Jati Jati, kihiang Jati, mahoni, mangga, petai Jati, mahoni, kihiang Jati Jati Jati Jati Jati, kihiang, mangga
3x5, tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur 3x4 Tidak teratur 1x3, tidak teratur Tidak teratur 3x4, tidak teratur 3x3 4x4, tidak teratur 3x4 Tidak teratur
PNS (Guru SD) Petani Petani, Aparat desa Petani, aparat desa Petani Petani penggarap Petani Petani Petani petani Petani Pensiunan PNS Petani Petani
Lampiran 3. Data Pokok Petani Hutan Rakyat di Desa Neglasari dan Desa Karangpakuan Kecamatan Darmaraja No. Responden 1 Desa Neglasari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Usia 2
50 62 43 65 60 42 70 70 60 65 50 60 47 71 54,33 Desa Karangpakuan 1 56 2 64 3 32 4 41 5 60 6 60 7 40 8 45 9 50 10 62 51,00
Jumlah Anggota Keluarga 3
Pendidikan Luas HR
Jenis Tanaman Hutan Rakyat
Jarak Tanam
Pekerjaan Utama
7
8
4
5
6
2 3 5 3 3 3 1 2 3 2 2 4 4 2 2,60
SD SD SD SD SD SD SD SMP SD TS SD SD SD SD
0,280 0,490 0,630 1,400 0,420 0,196 0,140 0,490 0,280 0,140 0,140 0,560 0,210 0,210 0,372
Jati, mahoni, sengon, bambu Jati, mahoni, sengon Jati, mahoni, sengon Jati, mahoni, suren, manglid Jati, mahoni, sengon, randu Jati, mahoni, sengon Sengon, mahoni, petai Jati, mahoni, sengon, pinus,jengkol Jati, mahoni, sengon, suren Mahoni Jati, mahoni, suren, sengon Jati, mahoni Mahoni Jati, mahoni, bambu
2x2, Tidak teratur 2x2, tidak teratur 2x3, tidak teratur Tidak teratur 2x3 Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur 2x2 Tidak teratur 2x3, tidak teratur 2x3 Tidak teratur
Bertani, pedagang Petani Petani Petani Petani Petani Petani Pensiunan PNS Petani Petani Petani Petani Petani Pensiunan TNI
5 3 4 4 4 3 5 4 3 3 3,80
ST/SMP SD SMP SMP SD SD SD TS SD SD
0,700 0,280 0,035 0,070 0,245 0,140 0,140 0,210 0,140 0,111 0,207
Jati, mahoni, sonokeling Mahoni, sengon, mangga Mahoni, petai Jati, mahoni Jati, mahoni Jati, mahoni Jati, mahoni Jati, mahoni Mahoni, sawo Jati, mahoni, mangga, petai
4x4 Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur 2x2 2x2, tidak teratur 2x2 5x5 3x4, tidak teratur
Petani Petani Buruh Tani Petani, tukang kayu Petani Petani Petani Buruh Bangunan Pedagang Buruh tani
Lampiran 4. Data Pokok Petani Hutan Rakyat di Desa Jembarwangi dan Desa Darmawangi Kecamatan Tomo No. Responden
Usia
1 2 Desa Jembarwangi 1 50 2 50 3 40 4 41 5 53 6 42 7 62 8 52 9 49 10 60 49,90 Desa Darmawangi 1 47 2 56 3 52 4 59 5 50 6 50 7 45 8 50 9 65 10 59 11 67 12 56 13 50 54,31
Jumlah Anggota Keluarga 3
Pendidikan Luas HR
Jenis Tanaman Hutan Rakyat
Jarak Tanam
Pekerjaan Utama
7
8
4
5
6
4 3 4 4 3 4 3 6 5 2 3,8
SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
1,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,250 0,100 0,035 0,250 0,500 0,414
Jati, mangga Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati
10x10, 2x2 2x2, 5x5 5x5 5x5 Tidak teratur Mangga 10x10 Mangga 10x10 Tidak teratur 2x3 5x5
Petani Petani Petani Petani Petani Tembakau Petani Petani Petani tembakau Petani Petani
4 4 4 3 5 6 2 6 4 2 1 2 6 3,77
SD TS SD SD SD TS SD SD SD SD TS SD SD
0,490 0,056 0,245 0,245 0,210 0,070 0,056 0,098 0,250 0,500 0,250 0,500 0,070 0,234
Jati Jati Jati Jati Jati Jati, mahoni Jati, mahoni Jati Jati Jati Jati Jati Jati
3x3 3x3 3x3 3x4 5x5 Tidak teratur Tidak teratur 3x3 Tidak teratur 3x3, 5x5 Tidak teratur 5x5 Tidak teratur
Petani, jual beli HB Buruh tani Petani tembakau Petani Tembakau Petani Petani tembakau Petani tembakau Petani Tembakau Petani tembakau Petani Temabakau Petani Petani tembakau Buruh tani
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Pokok Responden Pedagang Kayu Rakyat di Lokasi Penelitian No. Responden
Alamat
Usia
Pendidikan
Mulai Berdagang
Jumlah Modal (juta)
Sumber Modal
Jenis kayu
Omzet kayu/bln
Membeli dari:
Menjual ke:
Daerah tujuan pemasaran
Keterangan
1
Ciranggem (Jatigede)
38
SD
2004
10
Pribadi
Jati Mahoni
20 m3
Petani
Pengrajin Pedagang
Paseh
2
Cisampih (Jatigede)
40
SMA
1989
50
Pribadi
Jati Mahoni
20 m3
Petani
Pengrajin Pedagang
Cirebon Bandung Jakarta
3
Cisurat
48
SD
2000
30
Pribadi
Jati Mahoni Pinus
80 m3
Petani melalui pedagang perantara
Pedagang Perusahaan
Cirebon (Plumbon)
Memiliki 2 pangkalan (TPK) yaitu di Hariang Buahdua untuk Jati (40m3/bln) dan di Wado untuk mahoni (90% Mahoni)
4
Karedok
60
SD
1975
50
Pribadi
Jati mahoni
50 m3
Petani
Perusahaan Meubelair
Cirebon Bandung Jakarta Sumedang
Biaya penyaradan dan pengangkutan hampir sama dengan biaya pembelian
5
Jatigede
50
SMP
1990
50
Pribadi BRI
Jati mahoni sengon kihiang
Jati: 25 m3 Mahoni: 60 m3
Petani
Perusahaan
Cirebon Surabaya
Salah perhitungan jumlah hari penyaradan akan sangat berdampak pada tingkat keuntungan
6
Situraja
42
SMA
2000
100
Pribadi
200 m3
Petani Tengkulak
Perusahan dan Pedagang
Cirebon Surabaya
Pemesanan kayu dalam bentuk palet tjuan PT. SUMBER ALAM SENTOSA Jl. Sunan Giri Gresik Jatim
7
Cisitu
60
SD
1998
100
Pribadi BRI
500 m3
Pedagang pengumpul
Perusahaan (Suplyer)
Cirebon Surabaya Jepara
Cirebon: Mahoni dan Jati Jepara: Mahoni dan Jati
8
Neglasari
43
SD
2000
5
Jati Mahoni Sengon Kayu Rawa Mahoni Jati Kayu Rawa Mahoni Sengon jati
5-10 m3
Petani
Pedagang besar (GunGun)
Wado
90 persen jenis kayu mahoni, terdapat kerjasama dengan pedagang besar
Pribadi Pinjaman dari pedagang besar (Gun gun)
50% kayu yang ada saat ini termasuk kelas OD (diameter 20-29 cm) -
116
No. Responden
Alamat
Usia
Pendidikan
Mulai Berdagang
Jumlah Modal (juta)
Sumber Modal
Jenis kayu
Omzet kayu/bln
Membeli dari:
Menjual ke:
Daerah tujuan pemasaran
Keterangan
9
Darmaraja
50
SD
1995
5
Pribadi
Mahoni Pinus Kayu rawa
5-6 m3
Petani
Pedagang besar
Wado
Sebagian besar kayu yang dibeli adalah kayu mahoni dan pinus
10
Cipicung (Jatigede)
55
SD
1995
10
Pribadi
Jati Mahoni
16-30 m3
Petani
Perusahaan
Cirebon
-
11
Cibugel
50
SD
1990
5
Pribadi
10 m3
Petani
-
Darmawangi
44
TS
2000
10
Pribadi dan Pinjaman
16 m3
Petani
Perusahaan Pedagang Besar Perusahaan
Cirebon
12
Mahoni Kayu rawa Jati
Cirebon
Hanya melakukan jual beli dari Darmawangi
13
Tolengas, Tomo
57
SMEP/SMEA
1998
50
Pribadi, sebagian kecil pinjaman
Jati Mahoni Akasia
65 m3
pedagang pengumpul, sebagian kecil petani
Perusahaan Suplier
Jepara Semarang Cirebon Bandung Jakarta
Jenis yang diperdagangkan: 70% jati 25% Mahoni 5% Akasia
117
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Pokok Pemilik Industri Meubel
No Resp.
Alamat
Tahun Berdiri
Jenis Industri
Jenis Produk
Jumlah tenaga kerja
Jumlah Modal (juta)
Jenis Kayu Digunakan
Stok kayu/bln
Daerah tujuan jual
Keterangan
1
Ciranggem
1999
Produk jadi
Lemari Ranjang Kusen Bupet
2 orang
2.000.000
Jati
tidak tentu
Desa dan luar desa
-
2
Karangpakuan
1997
Produk jadi
Lemari Tempat tidur Kusen Pintu Jendela
2 Orang
1.000.000
Jati Mahoni Suren
Tidak tentu
Desa dan luar desa
-
3
Paseh
1990
Produk jadi
Kamar set Rak TV Desk Bar Kitchen set
40 orang
300.000.000
Jati Mahoni Tisuk
Jati= 5 M3 Mahoni=2 M3 Tisuk= 1 M3
Bandung Jakarta Cirebon Surabaya
Untuk meningkatkan kualitas produk dan keterampilan melakukan studi banding ke Jepara yang difasilitasi oleh disperindag Kab. Sumedang
4
Paseh
1976
Barang setengah jadi
Kursi tamu Kursi makan
30 0rang
100.000.000
Jati Mahoni Tisuk Salam
Jati= 20 M3/bln Mahoni, tisuk, salam= 2-3 M3/bln
Bandung
Kayu mahoni, tisuk, dan salam digunakan untuk rangka jok kursi.
5
Paseh
1970, Berbadan Hukum Tahun 1986
Barang jadi
Lemari, Kursi, Desk Bar, Bangku sekolah, Perlengkapan Kantor
50 orang
150.000.000
Jati Mahoni Tisuk Salam Cayur
Jati=120 M3/bln Kayu Rawa= 80 M3/bln
Jakarta (cawang), Jawa Tengah, Riau, Lampung
-
CV Rawa Jaya melakukan pembinaan terhadap 50 home industri di wilayah paseh, Ujungjaya, Tomo. CV Rawa Jaya sedang melakukan penjajagan untuk ekspor langsung ke Jepang. Dari Cawang produk CV Rawa Jaya di pasarkan ke konsumen lokal dan juga di ekspor ke Singapura.
118
No Resp.
Alamat
Tahun Berdiri
Jenis Industri
Jenis Produk
Jumlah tenaga kerja
Jumlah Modal (juta)
Jenis Kayu Digunakan
Stok kayu/bln
Daerah tujuan jual
Keterangan
6.
Paseh
1990
Barang Jadi
Meja, kursi, Kamar set, lemari pajangan
20 orang
20.000.000
Jati
Jati = 8 M3 Kayu rawa = 1 M3
Sumedang, Bandung
-
7.
Paseh
1992
Barang Jadi
Meja dan kursi makan
15 orang
14.000.000
Jati
Jati = 5-6 M3
Sumedang, Bandung
-
119
Lampiran 11. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola I (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) Tahun Ke-
Uraian 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
ARUS KAS MASUK SALDO KAS AWAL HASIL PENJUALAN
-
(1.115)
1 TANAMAN PANGAN
3.255
2.930
169
2.604
2 TANAMAN KEHUTANAN
-
-
-
Jumlah Arus Kas Masuk
3.255
1.814
2.773
(109)
-
(191)
-
(109)
178
-
(191)
-
830
-
639
178
(191)
-
-
-
-
(191)
(191)
-
-
(191)
(191)
(191)
3.498
-
(191)
-
4.150
-
3.959
3.498
(191)
-
-
-
-
(191)
(191)
-
-
(191)
(191)
-
-
(191)
3.498
-
-
(191)
(191)
-
-
3.498
(191)
-
-
(191)
(191)
-
(191)
(191)
(191)
3.638
-
8.789
88.720
93.700
88.530
ARUS KAS KELUAR BIAYA PENGADAAN TANAMAN 1 TANAMAN PANGAN a.
Biaya Kebutuhan Alat
227
28
25
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b.
Biaya Kebutuhan Bibit
26
26
26
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
77
c.
Biaya Kebutuhan Pupuk
385
385
385
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.155
d.
Biaya Kebutuhan Tenaga Kerja
Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman Pang
280
1.935
1.935
1.935
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5.805
2.572
2.374
2.371
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7.317
-
-
-
255
-
-
-
-
255
-
-
-
-
255
-
-
-
-
-
1.020
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
457
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2 TANAMAN KEHUTANAN
-
a.
Biaya Kebutuhan Alat
255
b.
Biaya Kebutuhan Bibit
415
c.
Biaya Kebutuhan Pupuk
332
d.
Biaya Kebutuhan Tenaga Kerja
Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman Kehu Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman
BIAYA PEMASARAN BIAYA TAK TERDUGA Jumlah Arus Kas Keluar Saldo Kas Akhir
ANALISIS FINANSIAL Arus Kas Masuk (Inflow) Arus Kas Keluar (Outflow) Selisih (Proceeds) Discount Factor 18 % Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R
42 -
332
540
180
180
180
360
180
180
180
180
360
180
180
180
180
180
180
180
180
180
180
4.320
1.542
222
180
180
615
180
180
180
180
615
180
180
180
180
435
180
180
180
180
180
6.129
4.114
2.595
2.551
180
615
180
180
180
180
615
180
180
180
180
435
180
180
180
180
180
13.445
214
138
135
9
31
9
9
9
9
31
9
9
9
9
22
9
9
9
9
9
696
43
28
27
2
6
2
2
2
2
6
2
2
2
2
4
2
2
2
2
2
139
4.370
2.761
2.713
191
652
191
191
191
191
652
191
191
191
191
461
191
191
191
191
191
14.280
(191)
178
(191)
(191)
(191)
(191)
(191)
(191)
(191)
(191)
(461)
(191)
(191)
(191)
(191)
88.530
88.209
88.720
102.489
(1.115)
169
(109)
3.498
18% 3.255
2.930
2.604
4.370
2.761
2.713
(1.115)
169
(109)
-
830
-
4.150
191
191
191
(191)
(191)
(191)
0,7182
0,6086
0,5158
2.104
1.585
-
3.704
1.983
1.651 (67)
-
191 (191)
2.758
121
-
652 178
0,8475
(945)
-
191 (191)
0,4371 363
0,3704
0,3139
0,2660
0,2255
-
-
-
-
652 3.498 0,1911 793
-
-
-
-
-
-
-
-
-
191
191
191
191
461
191
191
191
191
(191)
(191)
(191)
(191)
(461)
(191)
(191)
(191)
(191)
191
14.280
88.530
88.209
0,1619
0,1372
0,1163
0,0985
0,0835
0,0708
0,0600
0,0508
0,0431
0,0365
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.239
98
285
71
60
51
43
125
31
26
22
19
39
14
11
10
8
(98)
78
(71)
(60)
(51)
(43)
668
(31)
(26)
(22)
(19)
(39)
(14)
(11)
(10)
(8)
-
-
-
-
793
-
-
-
-
-
-
-
-
10.842
7
8.256
3.232
2.585
3.239
10.842
8
9.908
27,180% 2.585 1,313
ANALISIS SENSITIFITAS BIAYA NAIK Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R PENDAPATAN TURUN Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R BIAYA NAIK DAN PENDAPATAN TURUN Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R
20% 2.758
2.104
1.585
-
363
4.444
2.379
1.982
118
342
85
72
61
52
149
37
31
27
23
46
16
14
12
10
(118)
21
(85)
(72)
(61)
(52)
643
(37)
(31)
(27)
(23)
(46)
(16)
(14)
(12)
(10)
3.230
934
-
-
-
-
674
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.753
9.216
7
8.256
2.746
959
2.915
9.758
8
9.082
2.907
676
(1.686)
(275)
(397)
-
20,140% 934 1,094 15% 2.345
1.788
1.347
3.704
1.983
1.651
(1.359)
(194)
(304)
-
308 98
285
71
60
51
43
125
31
26
22
19
39
14
11
10
8
(98)
23
(71)
(60)
(51)
(43)
549
(31)
(26)
(22)
(19)
(39)
(14)
(11)
(10)
(8)
-
-
-
-
714
-
-
-
-
-
-
-
-
20,690% 959 1,116 10% 2.483
1.894
1.426
-
327
4.074
2.181
1.817
108
313
78
66
56
47
137
34
29
24
21
42
15
13
11
9
(108)
13
(78)
(66)
(56)
(47)
577
(34)
(29)
(24)
(21)
(42)
(15)
(13)
(11)
(9)
(1.591)
(287)
(390)
-
19,660% 676 1,074
125
Lampiran 14. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola II di Kabupaten Sumedang Tahun KeUraian
Satuan
Produksi
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
PRODUKSI : TANAMAN PANGAN a.
Padi gogo
Kg/Ha
1.400
1.400
1.260
1.120
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.780
b.
Jagung
Kg/Ha
700
700
630
560
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.890
2.100
1.890
1.680
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5.670
Jumlah Produksi Tanaman Pangan
TANAMAN KEHUTANAN a.
Produksi Mahoni Akhir Dau
M3/Ha
247
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
247
247
b.
Produksi Penjarangan I
Batang/Ha
166
-
-
-
166
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
166
c.
Produksi Penjarangan II
Batang/Ha
83
-
-
-
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
166
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
247
496
2.100
1.890
1.680
166
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
247
6.166
1
2
Jumlah Produksi Tanaman Hutan Total Produksi
Uraian
Satuan
Harga per satuan
83
Tahun KeJumlah 3
4
5
6
7
8
9
10
HASIL PENJUALAN ( X Rp. 1.000,-) TANAMAN PANGAN a.
Padi gogo
Kg
1,600
2.240
2.016
1.792
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.048
b.
Jagung
Kg
1,250
875
788
700
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.363
3.115
2.804
2.492
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.411
69.931
Jumlah Hasil penjualan tanaman pangan
TANAMAN KEHUTANAN a.
Produksi Mahoni Akhir Dau
283,209
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
69.931
b.
Produksi Penjarangan I
Pohon
M3
3,000
-
-
-
498
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
498
c.
Produksi Penjarangan II
Pohon
35,000
-
-
-
-
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
-
2.905
Jumlah hasil penjualan tanaman hutan Total jumlah hasil penjualan
-
-
-
498
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
69.931
73.334
3.115
2.804
2.492
498
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
69.931
81.745
128
Lampiran 18. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola III di Kab. Sumedang Tahun KeUraian
Satuan
Produksi
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
PRODUKSI : TANAMAN PANGAN a.
Kacang Tanah
Kg/Ha
700
Jumlah Produksi Tanaman Pangan
700
630
560
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.890
700
630
560
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.890
TANAMAN KEHUTANAN a.
Jati pada akhir daur
M3/Ha
155
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
155
b.
Produksi Penjarangan
Pohon
166
-
-
-
-
166
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
166
c.
Produksi Penjarangan
Pohon
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah Produksi Tanaman Hutan
-
-
-
-
166
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
404
Total Produksi
700
630
560
-
166
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
2.294
Uraian
Satuan
Harga per satuan
83
Tahun KeJumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
HASIL PENJUALAN ( X Rp. 1.000,-) TANAMAN PANGAN a.
Kacang Tanah
Kg
6,000
Jumlah Hasil penjualan tanaman pangan
4.200
3.780
3.360
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11.340
4.200
3.780
3.360
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11.340
88.720
TANAMAN KEHUTANAN a.
Jati pada akhir daur
574,071
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
88.720
b.
Produksi Penjarangan
Pohon
M3
5,000
-
-
-
-
830
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
830
c.
Produksi Penjarangan
Pohon
50,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.150
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.150
Jumlah hasil penjualan tanaman hutan Total jumlah hasil penjualan
-
-
-
-
830
-
-
-
-
4.150
-
-
-
-
-
-
-
-
-
88.720
93.700
4.200
3.780
3.360
-
830
-
-
-
-
4.150
-
-
-
-
-
-
-
-
-
88.720
105.040
132
Lampiran 22. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang Tahun KeUraian
Satuan
Produksi
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
PRODUKSI : TANAMAN PANGAN a.
Padi gogo
Kg/Ha
1.400
1.400
1.260
1.120
b.
Jagung
Kg/Ha
700
700
630
560
1.400
1.260
1.120
Jumlah Produksi Tanaman Pangan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.780
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.780
TANAMAN HORTIKULTUR a.
Petai
Ikat/Ha
100
-
-
-
-
-
-
-
-
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
c.
Mangga
Kg/Ha
800
-
-
-
-
-
-
-
-
-
800
800
800
800
800
800
800
800
800
800
800
d.
Pisang
Kg/Ha
150
Jumlah Produksi Tanaman Hortikultur
-
-
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
-
-
150
150
150
150
150
150
150
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
TANAMAN KEHUTANAN a.
Produksi Jati pada akhir dau
M3/Ha
83
-
-
-
-
b.
Produksi jati Penjarangan I
Pohon
91
-
-
-
-
91
83 91
c.
Produksi jati Penjarangan II
Pohon
45
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
45
d.
Produksi mahoni pada akhir
M3/Ha
103
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
103
-
-
-
-
-
103
e.
Produksi mahoni Penjaranga Pohon
69
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
69
f.
Produksi Mahoni Penjaranga Pohon
35
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
103
-
-
-
-
1.400
1.260
1.270
150
150
150
150
150
150
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1.050
1
2
Jumlah Produksi Tanaman Hutan Total Produksi
Uraian
Satuan
Harga per satuan
69
35
45
83 -
1.153
35 83
186
1.133
16.566
Tahun KeJumlah 3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
HASIL PENJUALAN ( X Rp. 1.000,-) TANAMAN PANGAN a.
Padi gogo
Kg
1,700
2.380
2.142
1.904
b.
Jagung
Kg
1,250
875
788
700
2.380
2.142
1.904
Jumlah Hasil penjualan tanaman pangan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.426
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.426
TANAMAN HORTIKULTUR a.
Petai
Kg
5,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
500
5.500
c.
Mangga
kg
1,600
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
44.000
d.
Pisang
kg
0,700
Jumlah Hasil penjualan tanaman Hortikultur
-
-
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
750
13.500
-
-
750
750
750
750
750
750
750
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
5.250
63.000
47.643
TANAMAN KEHUTANAN a.
Produksi Jati pada akhir dau
574,071
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
47.643
b.
Produksi jati Penjarangan I
Pohon
M3
5,000
-
-
-
-
453
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
453
c.
Produksi jati Penjarangan II
Pohon
50,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.265
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.265
M3
29.248
d.
Produksi mahoni pada akhir
283,209
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29.248
-
-
-
-
-
e.
Produksi mahoni Penjaranga Pohon
3,000
-
-
-
207
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
207
f.
Produksi Mahoni Penjaranga Pohon
35,000
-
-
-
-
-
-
-
1.208
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.208
Jumlah hasil penjualan tanaman hutan Total jumlah hasil penjualan
-
-
-
207
453
2.380
2.142
2.654
957
1.203
-
-
1.208
-
2.265
-
-
-
-
29.248
-
-
-
-
47.643
81.024
750
750
1.958
750
7.515
5.250
5.250
5.250
5.250
34.498
5.250
5.250
5.250
5.250
52.893
87.450
136
Lampiran 26. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola V di Kab. Sumedang Tahun KeUraian
Satuan
Produksi
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
TANAMAN KEHUTANAN a.
Jati
155
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
155
b
Produksi Penjarangan Pohon/Ha
M3/Ha
166
-
-
-
-
166
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
166
c
Produksi Penjarangan Pohon/Ha
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah Produksi Tanaman Hutan
-
-
-
-
166
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
404
Total Produksi
-
-
-
-
166
-
-
-
-
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
155
404
Uraian
Satuan
Harga per satuan
83
Tahun KeJumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
HASIL PENJUALAN ( X Rp. 1.000,-) TANAMAN KEHUTANAN a.
Jati
574,071
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
88.720
b.
Produksi Penjarangan
Pohon
M3
5,000
-
-
-
-
830
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
830
c.
Produksi Penjarangan
Pohon
50,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.150
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.150
-
-
-
-
-
Jumlah hasil penjualan tanaman hutan
-
-
-
-
830
-
-
-
-
4.150
Total jumlah hasil penjualan
-
-
-
-
830
-
-
-
-
4.150
88.720
-
-
-
-
88.720
93.700
-
-
-
-
88.720
93.700
140
Lampiran 30. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola VI di Kab. Sumedang Tahun KeUraian
Satuan
Produksi
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
TANAMAN KEHUTANAN a.
Mahoni Akhir Daur
M3/Ha
247
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
247
247
b.
Penjarangan I
Pohon
166
-
-
-
166
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
166
c.
Penjarangan II
Pohon
83
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
83
Jumlah Produksi Tanaman Hutan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
247
247
Total Produksi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
247
247
Uraian
Satuan
Harga per satuan
Tahun KeJumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
HASIL PENJUALAN ( X Rp. 1.000,-) TANAMAN KEHUTANAN a.
Mahoni Akhir Daur
283,209
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
69.931
b.
Penjarangan I
Pohon
M3
3,000
-
-
-
498
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
69.931 498
c.
Penjarangan II
Pohon
35,000
-
-
-
-
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
-
2.905
Jumlah hasil penjualan tanaman hutan
-
-
-
498
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
69.931
73.334
Total jumlah hasil penjualan
-
-
-
498
-
-
-
2.905
-
-
-
-
-
-
69.931
73.334
144
Lampiran 35. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola VII (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) Tahun Ke-
Uraian 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
ARUS KAS MASUK SALDO KAS AWAL HASIL PENJUALAN
-
(1.413)
1.264
5.360
7.408
8.432
9.354
9.456
9.456
9.456
9.456
9.396
8.432
7.408
6.384
5.360
1 TANAMAN PANGAN
3.115
2.804
2.492
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.024
2.048
6.144
8.192
9.216
10.240
10.240
10.240
10.240
10.240
10.240
9.216
8.192
7.168
6.144
5.120
123.904 20.462
2 TANAMAN BUAH-BUAHAN
(558)
(876)
(688)
78
103.170 -
3 TANAMAN KEHUTANAN
-
-
-
Jumlah Arus Kas Masuk
3.115
1.390
1.934
-
-
(876)
336
8.411
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
20.462
2.126
7.408
13.552
16.624
18.672
19.594
19.696
19.696
19.696
19.696
18.612
16.624
14.576
12.528
30.943
ARUS KAS KELUAR BIAYA PENGADAAN TANAMAN 1 TANAMAN PANGAN a.
Biaya Kebutuhan Alat
b.
Biaya Kebutuhan Bibit
c.
Biaya Kebutuhan Pupuk
d.
Biaya Kebutuhan Tenaga Kerja
Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman Pangan
227
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
26
26
26
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
77
385
385
19
385
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.155
262
2.175
2.175
2.175
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.525
2.812
2.604
2.602
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.019
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
390
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
720
13.632
840
720
720
720
720
780
720
720
720
720
780
720
720
720
720
720
14.641
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2 TANAMAN BUAH-BUAHAN a.
Biaya Kebutuhan Alat
210
b.
Biaya Kebutuhan Bibit
320
32
c.
Biaya Kebutuhan Pupuk
81
36
42
48
60
d.
Biaya Kebutuhan Tenaga Kerja
570
462
504
576
1.181
530
546
624
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman Buah-Buahan
-
60
-
-
60
60
352 267
3 TANAMAN KEHUTANAN a.
Biaya Kebutuhan Alat
90
b.
Biaya Kebutuhan Bibit
67
c.
Biaya Kebutuhan Pupuk
54
d.
Biaya Kebutuhan Tenaga Kerja
Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman Kehutanan Jumlah Biaya Pengadaan Tanaman
BIAYA PEMASARAN BIAYA TAK TERDUGA Jumlah Arus Kas Keluar Saldo Kas Akhir
ANALISIS FINANSIAL Arus Kas Masuk (Inflow) Arus Kas Keluar (Outflow) Selisih (Proceeds) Discount Factor 18 % Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R
7 -
40
40
170 74 54
135
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
1.275
346
67
60
60
100
60
60
60
60
100
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
1.572
4.339
3.201
3.208
684
940
780
780
780
780
880
780
780
780
780
840
780
780
780
780
780
24.232
158
134
133
3
5
3
3
3
3
5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
480
32
27
27
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
96
4.528
3.361
3.368
688
946
784
784
784
784
886
784
784
784
784
844
784
784
784
784
784
24.808
(688)
78
1.264
5.360
7.408
8.432
9.354
9.456
9.456
9.456
9.456
9.396
8.432
7.408
6.384
5.360
24.799
127.969
1.024
2.048
6.144
8.192
9.216
10.240
10.240
10.240
10.240
10.240
10.240
9.216
8.192
7.168
6.144
25.582
152.777
(1.413)
(558)
(876)
18% 3.115
2.804
2.492
4.528
3.361
3.368
(1.413)
(558)
(876)
688
946
784
784
784
784
886
784
784
784
784
844
784
784
784
784
784
24.808
(688)
78
1.264
5.360
7.408
8.432
9.354
9.456
9.456
9.456
9.456
9.396
8.432
7.408
6.384
5.360
24.799
127.969
0,4371
0,3704
0,3139
0,2660
0,2255
0,1911
0,1619
0,1372
0,1163
0,0985
0,0835
0,0708
0,0600
0,0508
0,0431
0,0365
0,8475
0,7182
0,6086
2.640
2.013
1.517
-
448
759
1.929
2.179
2.078
1.957
1.658
1.405
1.191
1.009
855
652
491
364
265
934
3.838
2.414
2.050
355
414
290
246
208
177
169
127
108
91
77
70
55
47
40
34
29
10.838
(355)
34
468
1.683
1.971
1.901
1.787
1.531
1.298
1.100
932
785
597
444
325
231
905
13.505
24.344
(1.198)
(401)
(533)
0,5158
24.344
47,830% 13.505 2,246
ANALISIS SENSITIFITAS BIAYA NAIK Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R PENDAPATAN TURUN Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R BIAYA NAIK DAN PENDAPATAN TURUN Net Inflow Net Outflow Net Proceeds IRR NPV BC-R
20% 2.640
2.013
1.517
-
448
759
1.929
2.179
2.078
1.957
1.658
1.405
1.191
1.009
855
652
491
364
265
934
4.605
2.897
2.460
426
496
348
295
250
212
203
152
129
109
93
85
67
56
48
41
34
13.006
(426)
(49)
410
1.634
1.929
1.866
1.753
1.506
1.276
1.081
916
771
586
435
317
224
900
11.338
1.639
1.852
1.766
1.663
1.409
1.194
1.012
858
727
554
418
310
225
(1.965)
(883)
(943)
37,120% 11.338 1,872 15% 2.244
1.711
1.289
3.838
2.414
2.050
(1.594)
(703)
(761)
-
380
645
794
20.692
355
414
290
246
208
177
169
127
108
91
77
70
55
47
40
34
29
10.838
(355)
(33)
355
1.393
1.644
1.589
1.494
1.282
1.087
921
781
656
499
371
270
191
765
9.854
38,060% 9.854 1,909 10% 2.376
1.812
1.365
-
403
683
1.736
1.961
1.870
1.761
1.492
1.265
1.072
908
770
587
442
328
238
841
21.909
4.221
2.655
2.255
390
455
319
271
229
194
186
140
118
100
85
77
61
52
44
37
31
11.922
(390)
(52)
363
1.465
1.732
1.676
1.575
1.353
1.146
971
823
692
526
391
284
201
809
9.987
(1.845)
(843)
(890)
36,280% 9.987 1,838
149