Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
KEBIJAKAN PUBLIK PELAYANAN ADMINISTRASI PERNIKAHAN DALAM MEMBANGUN CITRA POSITIF KEMENTERIAN AGAMA RI Murtiadi AKOM BSI Jakarta,
[email protected] ABSTRAK Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat krusial. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Islam RI yang berada di tingkat Kecamatan, satu tingkat dibawah Kantor Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten. KUA memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan. Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI (Studi Kasus Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung). Penelitian ini menggunakan metode paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif menggunakan analisa studi kasus, untuk menggambarkan Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI. Objek penelitian ini adalah Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya suatu usaha pembuktian bahwa Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI . Sudah cukup baik dilaksanakan sesuai Tugas Pokok dan Fungsi dari KUA. Kata Kunci: Strategi Komunikasi Kebijakan Publik, Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan, Citra Kementrian Agama RI ABSTRACT Office of Religious Affairs as the spearhead of the Ministry of Religious in serving the people in the religious field has a very crucial role. Religious Affairs Office (KUA) is a Technical Implementation Unit (TIU) Directorate of Islamic Affairs Directorate General of the Ministry of Islamic Guidance of Islamic Religion RI located at district level, one level below the level of the Ministry of Religious City / Regency. RAO has a Main Duties and Functions (TOR) carry out some tasks Religious Affairs Office of the City / County in the field of Islamic religious affairs and help the development of public administration in the field of religion at the district level. Communication Strategy for Public Policy Administration Services Marriage In Building Positive Image Ministry of Religious Affairs (Case Study of Service Quality Administrative District of Marriage In KUA Pulogadung). This study uses a constructivist paradigm with qualitative approach using case study analysis, to illustrate the Communication Strategy for Public Policy Administration Services Marriage In Building Positive Image Ministry of Religious Affairs. The object of this study is the Quality of Administrative Services Marriage In KUA District of Pulogadung. The results showed that the existence of a business proving that the Communications Strategy for Public Policy Administration Services Marriage In Building Positive Image Ministry of Religious Affairs. Already quite well implemented in accordance Main Duties and Functions of KUA. Keywords: Public Policy Communications Strategy, Quality of Marriage Administrative Services, Citra Ministry of Religious Affairs
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
73
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
PENDAHULUAN Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat krusial. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Islam RI yang berada di tingkat Kecamatan, satu tingkat dibawah Kantor Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten. KUA memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan. Fungsi yang dijalankan KUA meliputi fungsi administrasi, fungsi pelayanan, fungsi pembinaan dan fungsi penerangan, serta penyuluhan. KUA juga berperan sebagai koordinator pelaksana kegiatan Pendidikan Islam serta kegiatan Penyuluh Agama Fungsional (PAF). Di samping itu, KUA memiliki beberapa badan semi resmi yang dibentuk hasil kerjasama aparat dengan masyarakat, antara lain Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4), Penyuluh Pengamalan Ajaran Agama Islam (P2A) dan Badan Kesejahteraan Masjid (BKM), semuanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, memiliki ketahanan keluarga yang sangat tinggi, terbinanya Keluarga Sakinah yang bermoral atau berakhlakul karimah. Meski memiliki banyak peran di bidang pembangunan keagamaan, namun fungsi paling menonjol yang dijalankan KUA saat ini adalah administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.1 tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Pasal 5, 6 dan 7. Produk-produk hukum ini ditunjang dengan peraturan-peraturan di tingkat menteri yang menjabarkan dengan rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi pencatatan perkawinan. Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun
belakangan mendapat sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya administrasi perkawinan yang harus dibayarkan oleh para catin, yang jumlahnya variatif antara satu catin dengan catin yang lain. Besaran ini, menurut beberapa warga, tergantung keistimewaan tempat dan lokasi menikah. Jika menikah di lokasi atau daerah elit atau di tempat mahal, seperti gedung, maka biaya pencatatan perkawinan pun menjadi mahal, bahkan biaya pencatatan bisa mencapai Rp. 1 juta. Kementerian Agama sendiri juga tidak menutup mata dan telinga terkait keresahan yang dihadapi oleh warga masyarakat, terkait ketidakjelasan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Pada tahun 2008 Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan juga pernah melakukan penelitian mengenai unit cost untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA. Besaran biaya pencatatan pernikahan sendiri, sebagai salah satu bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), telah diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 30.000,-. Besaran biaya ini, dikembalikan lagi kepada KUA sebagai anggaran operasional. Jika mengacu pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-32/PB/2009 Pasal 2 ayat 2, maka paling besar Kementerian Agama melalui Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dapat menarik kembali adalah 80% dari total keseluruhan jumlah dana yang diterima dari sekiann peristiwa nikah. Dari dana kembali yang sebesar itu maka, sesuai Peraturan Menteri Agama No. 71 tahun 2009, KUA hanya menerima paling besar 80%, karena harus dibagi dua dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Jika mengacu pada kondisi perekonomian saat ini dan telah terjadinya beberapa kali kenaikan bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, maka besaran biaya tersebut tentunya tidak memadai untuk biaya operasional KUA. Namun demikian, apakah dengan kondisi yang pelik tersebut kemudian masyarakat yang dilimpahkan beban untuk menanggung itu semua? Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian yang benar-benar memfokuskan kajian pada pencarian besaran ideal biaya pencatatan
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
74
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
perkawinan di KUA untuk saat ini perlu dilakukan. KAJIAN LITERATUR Kajian pustaka dan Kerangka Pemikiran merupakan panduan penulisan dalam aspek konseptual dan teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai konsep kebijakan komunikasi, konsep implementasi, serta teori-teori tentang implementasi sebuah kebijakan dan teori – teorinya. Citra organisasi dapat dibentuk dengan kebijakan komunikasi. Kebijakan komunikasi adalah hal yang paling menakjubkan, kunci berjalan lancarnya kehidupan. Masyarakat bertahan dan berkembang, karena adanya kebijakan kouminkasi. Demikian juga dalam organisasi, kebijakan komunikasi merupakan salah satu unsur penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Bahkan banyak literatur yang mengemukakan, bahwa kebijakan komunikasi dan keberhasilan suatu organisasi sangat berhubungan erat. Beberapa penelitian mengenai Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI Studi Kasus Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung. Cahyono (2008) misalnya, yang berdasarkan penelitiannya di KUA Serpong menemukan, bahwa masih banyak warga yang tidak mau berurusan langsung dengan KUA. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan prosedur pelayanan pencatatan perkawinan yang diterapkan oleh KUA. Sebagian besar dari warga, tidak mengetahui langkah-langkah pendaftaran pencatatan perkawinan dan besaran biaya yang harus dikeluarkan, terutama jika melangsungkan perkawinan di luar KUA. Hal ini karena warga tidak mengetahui atau belum diberitahu oleh pihak KUA besaran biaya yang harus dikeluarkan. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan ketidakpuasan di pihak warga masyarakat terhadap pelayanan pencatatan perkawinan di KUA. (Cahyono, 2008). Kementerian Agama sendiri juga tidak menutup mata dan telinga terkait keresahan yang dihadapi oleh warga
masyarakat, terkait ketidakjelasan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Pada tahun 2008 Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan juga pernah melakukan penelitian mengenai unit cost untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA. (Ruhana,008) yang melakukan penelitian di wilayah kerja KUA Kecamatan Menteng misalnya, menemukan fakta bahwa besaran biaya pencatatan perkawinan yang dikeluarkan masyarakat bervariasi, mulai dari Rp. 30.000,- hingga Rp. 1.000.000.-. Bervariasinya besaran biaya pencatatan perkawinan yang dibebankan kepada masyarakat, selain karena keterbatasan biaya yang diperoleh KUA untuk operasional kantor dan penghulu, juga karena perilaku masyarakat yang menuruti keinginan mereka mencatatkan perkawinan di luar KUA dan bukan pada jam kerja KUA, dan menggunakan jasa perantara atau calo pada saat melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitaitif dengan pendekatan studi kasus dalam prespektif kebijakan publik. Menurut Kaye (1994) kebijakan public lahir karena adanya tuntutan untuk menjembatani antara teoritisi dengan praktisi komunikasi. Para teoritisi menghadapai keterbatasan dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya. Sementara para praktisi komunikasi mengalami keterbatasan rujukan teoritis atau ilmu komunikasi. Perspektif kebijakan publik yang digunakan adalah pengaruh social, sudut pandang ini menekankan pada pentingnya penerapan fungsi-fungsi kebijakan public dan memiliki focus perhatian kepada perubahan (pendapat, sikap, kepercayaan dan perilaku). Komunikasi merupakan faktor penentu keberhasilan persuasi, karena komunikasi memiliki kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku. Penelitian dalam konteks ini adalah perihal kebijkan public dan pelayanan administrasi Atas Realitas Citra Kementerian Agama RI Studi Kasus Program Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4) Mengenai Pungli Di KUA.
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
75
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
Key Informan dan Informan Penelitian Dalam penelitian ini, memilih key informan (narasumber) dan informan yang menurut penulis sesuai dengan keperluan penelitian. Key Informan menurut (Moleong,2006) adalah mereka tidak hanya bisamemberi keterangan tentang sesuatu kepada peneliti, tetapi juga bisa memberikansaran tentang sumber bukti yang mendukung serta menciptakan sesuatu terhadap sumber yang bersangkutan. Key informan dari penelitian ini adalah: Bapak Abdul Azis selaku Kepala Penghulu yang bisa ditemui di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.Sedangkan Informan adalah orang yang diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian.(Burhan Bungin,2007:108). Metode Pengumpulan Data Penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif melalui berbagai tahapan. Pada penelitian ini, dalam pengumpulan data yang diinginkan, penulis menggunakan metode wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan. PEMBAHASAN Penelitian yang peneliti ambil adalah Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI (Studi Kasus Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung). Wawancara dilakukan pada hari Senin, 27 Januari 2014 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pulogadung di. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI (Studi Kasus Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung).” Penelitian ini menggunakan metode kualitaitif dengan pendekatan studi kasus dalam perspektif kebijakan publik. Menurut Kaye (1994) kebijakan publik lahir karena adanya tuntutan untuk
menjembatani antara teoritisi dengan praktisi komunikasi. Para teoritisi menghadapai keterbatasan dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya. Sementara para praktisi komunikasi mengalami keterbatasan rujukan teoritis atau ilmu komunikasi. Citra Positif Kementerian Agama (Kemenag) RI Membangun citra positif disetiap perusahaan tidak mudah, karena harus banyak factor yang harus diterapkan. Menurut Onong Uchjana Effendy, (2006:289) citra (image) didefinisikan sebagai berikut: a. Gambaran antara fisik yang menyerupai kenyataan seperti manusia, binatang atau benda sebagai hasil lukisan, perekaman oleh kamera foto, film, atau televisi; b. Penampilan secara optis dari suatu objek seperti yang dipantulkan oleh sebuah cermin; c. Perwakilan atau representasi secara mental dari sesuatu baik manusia, benda, atau lembaga yang mengandung kesan tertentu. Citra organisasi dapat dibentuk dengan kebijakan komunikasi. Kebijakan komunikasi adalah hal yang paling menakjubkan, kunci berjalan lancarnya kehidupan. Masyarakat bertahan dan berkembang, karena adanya kebijakan kouminkasi. Demikian juga dalam organisasi, kebijakan komunikasi merupakan salah satu unsur penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Bahkan banyak literatur yang mengemukakan, bahwa kebijakan komunikasi dan keberhasilan suatu organisasi sangat berhubungan dengan erat. Kebijakan Publik Dalam pembuatan sebuah kebijakan hendaknya didasarkan pada analisis kebijakan yang baik sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang baik. Menurut Winarno (2007) ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan diantaranya, yakni: 1. Fokus utamanya adalah mengenai penjelasan kebijakan bukan mengenai anjuran kebijakan yang pantas. 2. Sebab-sebab dan konsekuensikonsekuensi dari kebijakankebijakan publik diselidiki dengan
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
76
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
teliti dan dengan menggunakan metodelogi ilmiah. 3. Analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya, sehingga dapat diterapkanya terhadap lembagalembaga dan bidang-bidang kebijakan yang berbeda. Dengan demikian analisis kebijakan dapat bersifat ilmiah dan relevan bagi masalah-masalah politik dan sosial. Proses Pembentukan Citra Salomon, dalam Rakhmat, (2000) menyatakan proses pembentukan citra terdiri dari semua sikap yang bersumber pada organisasi kognitif - pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh John. S Nimpoeno, dalam laporan penelitian tentang Tingkah Laku Konsumen, seperti yang dikutip Danasaputra, sebagai berikut;
Proses dari pembentukkan citra dari keterangan gambar di atas memaknai citra yang dibentuk Corporate Communications menurut Soemirat (2008), yaitu “Corporate Communications digambarkan sebagai input - output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi-kognisimotivasi-sikap.“…proses-proses psikodinamis yang berlangsung pada individu konsumen berkisar antara
komponen-komponen persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap konsumen terhadap produk. Keempat komponen itu diartikan sebagai mental representation (citra) dari stimulus” Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Soemirat juga mengungkapkan bahwa stimulus (rangsang) yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika rangsang ditolak proses selanjutnya tidak akan berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsang itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian dari organisme, dengan demikian proses selanjutnya tetap berjalan. Adanya dugaan pungutan liar (pungli) terjadi di kantor urusan agama (KUA) telah disinyalir sebelumnya oleh Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Agama (Kemenag) sejak setahun lalu. Diduga pungli di KUA ini mencapai Rp1,2 triliun per tahun. Pungli umumnya terjadi saat proses pengurusan pernikahan. saya menyayangkan belum adanya UU Gratifikasi mengingat banyaknya penghulu yang menikahkan di luar jam kerja. Input atau stimulus yang dimaksud dalam model pembentukan citra adalah berupa kegiatan-kegiatan Corporate Communications yang dilakukan oleh Corporate Communications Kemenag RI yang termasuk dalam strategi Corporate Communications demi membangun citra positif perusahaan, sedangkan output atau responnya adalah tanggapan dari masyarakat atau publik mengenai citra Kemenag RI, tanggapan dari masyarakat bisa berupa tanggapan positif maupun tanggapan negatif tergantung pada efektif atau tidaknya pesan atau stimulus yang disampaikan oleh komunikator, dalam hal ini Humas Kemenag RI. Perbedaan itu terjadi karena para sikap dari para penghulunya dan calon pengantinnya. Kalau dari penghulunya sesuai prosedurnya hanya Biaya PNBP saja, namun untuk Calon Pengantinnya yang terkadang suka memberikan uang terimakasih yang beraneka ragam, membuat peluang untuk penghulu
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
77
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
memberikan tarif biaya pernikahan. Dugaan pungli itu terjadi karena banyak fakor menurut M.Jasin, diantaranya Kemenag tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur besaran biaya tambahan menikah di luar jam kerja dan di luar kantor. Kalau sebagian besar masyarakat meminta menikah di luar, seharusnya dihitung biaya tambahan berdasarkan jarak dan waktu. Dengan demikian, ada kejelasan berapa biaya tambahan yang boleh ditarik dari masyarakat. Pelayanan Administrasi Pernikahan Publik Di KUA Kecamatan Pulogadung Secara prosedural Pelayanan Administrasi pada umumnya harus dilakukan dengan spenuh hati dan secara transparan, sejauh ini pelayanan administrasi pernikahan public yang diterapkan di KUA Kecamatan Pulogadung. Dari segi waktu bisa di katakan cepat karena hanya memakan waktu 20 menit, setelah selesai menyerahkan dokumen / berkas penunjang untuk mendaftar nikah, kemudian akan diminta untuk membayar uang yang nantinya masuk ke Kas Negara sebesar Rp. 30.000,- dan Rp. 20.000,- untuk sumbangan PMI. Proses secara kelurahan dari Pelayanan Administrasi Pernikahan di KUA Kecamatan Pulogadung pada umumnya berjalan sesuai Standard Operation Prosedure (SOP) yang berlaku di KUA yang telah ditetapkan Kementerian Agama RI, yaitu melakukan pernikahan dikantor KUA, namun tidak menutup kemungkina bagi calon pengantin melakukan pernikahannya tersebut diluar Kantor KUA, seperti di Gedung, di Rumah, dan lain-lain. Mengacu pada sejarah administrasi publik, Dwiyanto (2003) mengatakan pelayanan publik secara sederhana diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik (whatever government does is public service). Pelayanan Administrasi Pernikahan Publik Di KUA Kecamatan Pulogadung terlihat dari hasil penelitian diatas, menilai cukup baik dalammelayani para calon pengantin yang akan melakukan pencatatan pernikahan di KUA.
Pelayanan Administrasi Pelayanan secara bahasa (KBBI, 2008) menurut P. Kotler (dalam Cahyono, 2008) adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Secara istilah, seperti dijelaskan, pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun. Produk yang dihasilkan bisa terikat dalam bentuk fisik pun bisa bukan berupa fisik. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan menurut (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008) adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang sifat dasarnya tak teraba (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun atau sesuatu. Pelayanan bisa berupa pelayanan fisik dan pelayanan administratif. Pelayanan fisik lebih bersifat pribadi sebagai manusia sementara pelayanan administratif adalah kegiatan yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (besar maupun kecil). Dengan memberikan definisi yang jelas mengenai pelayanan publik, terutama jika mengacu pada dua kriteria di atas, maka penentuan luas-sempitnya cakupan pelayanan publik dan tindakan yang harus diambil oleh manajemen pelayanan publik dalam menjami akses warganya untuk memenuhi kebutuhannya dapat lebih jelas diputuskan. Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan publik sendiri dapat dinilai dari sisi internal organisasi birokrasi sebagai pemberi layanan dan sisi eksternal organisasi yang berkenaan dengan kebermanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat penggunan pelayanan publik. Islamy (1999) menjelaskan beberapa prinsip pokok yang dipahami aparat birokrasi publik mengenai aspek internal organisasi pelayanan publik Aksesibilitas, Kontinuitas, Teknikalitas, Profitabilitas, dan Akuntabilitas. Pemerintah, melalui Keputusan Menpan No. 63 tahun 2004, juga telah menjelaskan kualitas pelayanan publik yang pada hakikatnya adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
78
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan prima menurut kanz (2010:30) ini memiliki landasan; Transparansi, terbuka; Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan; Kondisional, artinya sesuai dengan kondisi untuk memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi; Partsipatif, mendorong peran serta masyarakat; Kesamaan hak atau tidak diskriminatif, dan Keseimbangan hak dan tanggung jawab antara pihak pemberi dan penerima layanan. Sayangnya, meski telah dibekali banyak peraturan dan pedoman, namun ketidakpastian akan kualitas pelayanan publik masih juga melekat dalam praktik pelayanan publik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat peraturan perundang-undangan dan pedoman di tingkat kementerian masih terlalu abstrak untuk diterapkan di tingkat pelaksana. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar pelayanan. Padahal, Max Weber dalam Dwiyanto (2007:114) sejak hampir satu abad yang lalu telah mengingatkan arti pentingnya pelayanan prima, yaitu: pentingnya kepastian pelayanan yang tertulis dalam standard operating procedures. Dengan standar ini, maka dapat membuat proses pelayanan menjadi predictable, nondiskriminatif, dan non-partisan. Selain adanya penyebab gagalnya SPM berlaku di Indonesia, ada penyebab lain yang juga tidak kalah penting yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Penyebab tersebut adalah kompleks dan panjangnya prosedur pelayanan yang ada di Indonesia. Hal ini muncul karena semangat pembuatan prosedur bukan untuk memermudah, menyederhanakan, dan mencipatkan kepastian pelayanan, melainkan dari pola pikir warisan kolonial untuk mengontrol perilaku warga agar tidak melakukan moral hazards. Karenanya, prosedur lebih sering dibuat untuk mengendalikan perilaku warga daripada untuk memfasilitasi praktik penyelenggaraan layanan agar dapat dikelola dengan mudah, efisien, dan predictable. Harga Pelayanan Pengembangan sistem pelayanan public menurut Dwiyanto (2010: 114) di Indonesia menuju ke sistem Seperti dijelaskan di atas, kegagalan pemerintah dalam mencapai standar pelayanan
minimal salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan harga pelayanan yang harus dibayarkan masyarakat pada saat masyarakat mengurus keperluan mereka di kantor pelayanan milik pemerintah. Ketidakjelasan ini karena pemerintah pusat abai tidak pernah tertarik menentukan biaya pelayanan. Pemerintah pusat hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, informasi mengenai standar biaya pelayanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas. Terkait harga atau tarif dalam pelayanan pencatatan pernikahan yang diungkapkan oleh informan tokoh Bapak M .Jasin penelitian ini disetiap KUA, adalah calon pengantin hanya dikenakan Biaya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) biaya biaya percatatan pernikahan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2004 , yang besarnya hanya Rp 30 ribu per peristiwa dan Biaya Seminar Bimbingan Pra Nikah yang diadakan KUA sebesar Rp 20.000,- namun tidak wajib bagi para calon pengantin yang sibuk. Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Terlihat dalam kasus yang terdapat pada peneletian ini Masyarakat yang hendak melakukan pencatatan perkawinan di KUA ini mengaku diminta menyediakan biaya sebesar Rp. 500 ribu hingga Rp. 700 ribu, baik menikah di KUA maupun di luar KUA. (kompasonline.com, 2010) Besaran ini, menurut beberapa warga, tergantung keistimewaan tempat dan lokasi menikah. Jika menikah di lokasi atau daerah elit atau di tempat mahal, seperti gedung, maka biaya pencatatan perkawinan pun menjadi mahal, bahkan biaya pencatatan bisa mencapai Rp. 1
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
79
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016
juta.Terjadi sebuah interaksi simbolik dalam hal pencatatan perkawinan. Corporate Communications Corporate Communications disetiap instansi mempunyai tugas dan fungsi yang sangat berpengaruh, baik dalam melakukan pelayanan, maupun membina hubungan baik dengan masyarakat, terkait kualitas pelayanan pencatatan pernikahan di KUA kecamatan pulogadung. Corporate Communications adalah fungsi manajemen yang khas dan mendukung pembinaan, pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dengan publiknya, menyangkut aktivitas komunikasi, pengertian, penerimaan, dan kerja sama melibatkan manajemen dalam menghadapi opini publik mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif, bertindak sebagai sistem peringatan dini dalam mengantisipasi kecenderungan penggunaan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai sarana utama. (Kartono,1978:89). Definisi tersebut menempatkan Corporate Communications sebagai sebuah fungsi manajemen yang khas dan dapat mendukung pembinaan dan pemeliharan hubungan perusahaan dengan publiknya dengan aktivitas komunikasi agar dapat mendapatkan opini publik yang positif dan memanfaatkannya untuk kepentingan organisasi/ perusahaan. Penghulu terkait dalam pelayanan administrasi merupakan Corporate Communications bagi KUA, karena menjalin hubungan baik dengan masyarakat dalam hal ini calon pengantin. Penghulung sebagai ujung tombak dari KUA bisa dikatakan sebagai Corporate Communications. KUA, karena para Penghulu yang sering berhubungan langsung dengan masyarakat baik dalam proses pencatatan pernikahan, penyelanggaraan pernikahan, bahkan sampai proses perceraian sekalipun dengan begitu tidak beda jauh dengan tugas dan fungsi dari Corporate Communications. Strategi Komunikasi Strategi menurut Soemirat (2008) sebagai hal-hal yang terkait dengan kemenangan, kehidupan atau daya juang. Artinya “menyangkut dengan hal-hal yang berkaitan dengan
mampu atau tidaknya perusahaan menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau dari luar.” Dalam strategi komunikasi yang diterapkan pada pelayanan administrasi pernikahan masih banyak kekurangan, diantaranya Tidak adanya kontrol karena tidak memakai kuitansi biaya pencatatan pernikahan untuk para calon pengantin yang datang melakukan pencatatan pernikahan membuat peluang terjadinya Pungli. Selama ini hanya memberikan informasi secara lisan tidak tertulis kepada para calon pengantin yang hendak melakukan pencatatan pernikahan di KUA kami, sehingga membuat mereka bertanya tidak adanya bukti pembayaran atas transaksi tersebut. Dari hasil penelitian dan wawancara yang peneliti lakukan, banyak terdapat kekurangan yang dilakukan oleh KUA dalam proses Strategi Komunikasi mengenai Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan di KUA. Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individuindividu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Strategi Komunikasi yang Tepat untuk Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung Dalam membangun strategi yang tepat untuk kebijakan publik pelayanan administrasi pernikahan di KUA Kecamatan Pulogadung, pembahasan dilakukan dengan berdasarkan kepada model pembuatan strategi komunikasi dari Falcao (2010:214). Berikut adalah Model strategi komunikasi dalam kebijakan publik yang disajikan dalam gambar berikut:
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
80
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016 Model Pembuatan Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung MASALAH KOMUNIKASI ANALISIS SITUASI Eksplorasi masalah
Bagaimana pemahaman Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung menurut pasangan pengantin dapat diatasi dengan perbaikan strategi komunikasi?
Konteks aktivitas
YA
Peluang merangkul
MEMBANGUN STRATEGI KOMUNIKASI
1) Sasaran strategi komunikasi program Stakeholder 2) Peningkatan kesadaran tentang hak calon pengantin 3) Kelompok target dari program peningkatan Kesadaran tentang pelayanan administrasi Evaluasi 4) daya Key message yang dapat digunakan dalam setiap bentuk komunikasi dalam program sumber peningkatan kesadaran tentang kebijakan public 5) Pendekatan dan channel/media komunikasi yang dibutuhkan dalam program Komunikasi peningkatan kesadaran tentang kebijakan public pelayanan administrasi pernikahan
Pembahasan masing-masing langkah pembuatan strategi komunikasi bagi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung adalah sebagai berikut: Analisis Situasi Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak
akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini (Edward,1999:45), yaitu: Transmisi, Kejelasan informasi, dan Konsistensi informasi yang disampaikan. Evaluasi Sumber Daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efiktif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Hal ini yang membuat adanya perbedaan dalam pelayanan administrasi, oleh karena itu menurut Ano calon pengantin mengatakan:“Pemerintah atau instansi terkait membuat peraturan mengenai
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
81
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016 pembiayaan pernikahan yang baru. Dari pada murah tapi ada tambahan lagi, mending mahal dikit tapi sudah All In yang tercantum dalam UUD.” Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Hal itupun yang diungkapkan oleh H.Abdul. Azis Kamalludin MA mengenai informasi terkait pencatatan pernikahan, yaitu: “Calon pengantin hanya dikenakan Biaya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp 30.000,- dan Biaya Seminar Bimbingan Pra Nikah yang diadakan KUA sebesar Rp 20.000,- namun tidak wajib bagi para calon pengantin yang sibuk.” Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat
dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Struktur Organisasi Struktur organisasi yang panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Begitupun dampak yang diharapkan dari strategi komunikasi yang H.Abdul. Azis Kamalludin MA,yaitu: “Dampak dari strategi komunikasi yang kami lakukan sangat membantu meningkatkan citra Kementerian Agama RI dan KUA Kecamatan Pulogadung” Peneliti juga melihat adanya suatu usaha pembuktian bahwa “Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI (Studi Kasus Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung).” Sudah cukup baik dilaksanakan sesuai Tugas Pokok dan Fungsi dari KUA. PENUTUP Simpulan Dalam penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa strategi komunikasi akan efektif bila memperhatikan dua aspek, yaitu: Secara makro (Planned multi-media strategi) dan Secara mikro (single communication medium strategy). Kedua aspek tersebut mempunyai fungsi ganda, yaitu: 1. Strategi Komunikasi Kebijakan Publik Pelayanan Administrasi Pernikahan Dalam Membangun Citra Positif Kementerian Agama RI dapat dibentuk dengan kebijakan komunikasi. Kebijakan komunikasi adalah hal yang paling menakjubkan, kunci berjalan lancarnya kehidupan. Masyarakat bertahan dan berkembang, karena adanya kebijakan kouminkasi. Demikian juga dalam organisasi, kebijakan komunikasi merupakan
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
82
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016 salah satu unsur penting dalam pencapaian tujuan organisasi. 2. Pemahaman Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung menurut pasangan pengantin terkait dugaan Pungli itu terjadi karena banyak fakor, diantaranya tidak adanya tunjangan lembur jika mereka bertugas melakukan pencatatan pernikahan diluar jam kerja yang telah ditentukan seperti dihari dan minggu, bahkan dilakukannya diluar gedung KUA, padahal di KUA itu sendiri sudah punya ruangan khusus yang telah disediakan untuk melakukan pernikahan, walaupun tidak besar dibandingkan gedung-gedung resepsi tempat pilihan para calon pengantin. 3. Pengelolaan Citra Negatif Kementerian Agama RI mengenai Kualitas Pelayanan Administrasi Pernikahan Di KUA Kecamatan Pulogadung, dilihat dari Proses secara kelurahan dari Pelayanan Administrasi Pernikahan di KUA Kecamatan Pulogadung karena kurang intens KUA dalam hal ini induk KUA, yaitu Kementerian Agama RI dalam mensosialisasikan SOP tersebut. Kami akui KUA sangat minim budget, terlihat dari Kantor KUA yang masih bergabung dengan Kantor kecamatan, dikarenakan dari Kementerian Agama RI tidak ada anggaran tersebut REFERENSI Abdulah., Syukur. 1987. Pelaksanaan Kebijakan Publik Terpusat. Jogjakarta: PD. Angkasa Pusaka. Abidin, Zaenal. 2002. Kebijakan Publik Terpusat. Jogjakarta: PD. Gerai Makmur. Afifudin, dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Surabaya: PT. Unggul Sejati.
Ardianto, Elvinaro. 2010.Metode Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Cutlip, Scott M. Allen H. Center, Glen M. Broom. 2009.Effective Public Relations. Jakarta: Kencana Permada Media Group. Dunn, Emil. 2000. Kebijakan Publik Pemerintah. Surakarta: CV. Aksara Karya. Effendy, Onong Uchjana. 2006. Hubungan Masyarakat Suatu Komunikologis. Bandung : Remaja Rosdakarya. Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta. Grindle., S. Merille. 1980. Pelaksanaan Kebijakan Publik Terpusat. Jogjakarta: PD. Angkasa Pusaka. Indarto., J. Marroli. 2002. Manajemen Komunikasi Pemerintah Dalam Kebijakan Transparansi Informasi. Jakarta: Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Jefkins, Frank. 1996. Public Relations Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Kotler, Philip dan Gary Armstrong, 2000. Principles of Marketing, Terjemahan Damos Sihombing, Jakarta: Prenhalindo. Kriyantono, Rachmat. 2007. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi Pemasaran. Jakarta: Kencana. Magdalena., Merry. 2010. Public Relations
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
83
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 1 April 2016 Ala Wimar. Jakarta: Grasindo. Mulyana, Achmad, 2008. Teori Komunikasi-modul 10. Jakarta: Era Prakarsa. Moeleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurdin, dan Usman., 2004. Kebijakan Publik Dan Implementasi. Semarang: PT. Unggul Sejati. Nasir, Moh. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nova, Firsan. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta: Rajawali Pers. Rachmadi, F. 1996. PR dalam Teori dan Aplikasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rifai, Noverino dan Kharizt Attria Gupta. 2004. Business Intelligence. Bandung: ITB. BIODATA PENULIS Murtiadi, S.I.Kom, M.I.Kom. Lahir di Jakarta, 10 September 1986. Lulus S1 dari FIKOM jurusan Public Relations di Univ Persada Indonesia Y.A.I, Jakarta; S2 pada Prodi Magister Ilmu Komunikasi di Pascasarjana Univ Mercu Buana, Jakarta; dan Sedang Menempuh Kuliah S3 Program Doktoral Ilmu Komunikasi Univ Sahid Jakarta. Pernah menjadi Supervisor di Fun World, CSO Bank Mandiri (2007-2009), Dosen D3 AKOM BSI, Staf PUDIR 3 Bidang Kemahasiswaan di BSI Jakarta (2011) dan Public Relations Specialist di TVONE (2010-2015). Kini menjadi Praktisi Government Public Relations (Tenaga Humas Pemerintah) Kemenkominfo yang di tempatkan pada Kemenkes RI, sekaligus Dosen D3 Lp3i, S1 Fikom IBIK 57, S1 STIKOM Prosia.
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
84