KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006-2012 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
oleh: Desty Purwanti 106083003626
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI
TAIIUN 2006.2012 Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh: Desty Purwanti 106083003626
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing
7-_:, /, <--r/b /'* /
Agus Nilmada Azmi" M.Si
NIP: I 97808042009121002
NIP: 1 965 1 2121992031004
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITTK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2013
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul
:
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHI.IN 2006.2012
1.
Merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UnD Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
J.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan hasil jipalakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta.
J
akarta, 6 Desember 20 1 3
Desty Purwanti
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi Menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama Nirn
: Desty Purwanti
: 106083003626
Program Studi : Hubungan Intemasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHTIN 2006-2012 dan telah memenuhi persyaratan untuk
diuji.
J
Mengetahui,
+q
Ketua/Sekretaris Program Studi
akarta, 6 Desember 20 I 3
Menyetujui, Pembimbing
Agus Nilmada Azmi, M.Si
Agus Nilmada Azmi, M.Si
NIP: 1 97808042009121002
NIP: 1 97808042009121002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONBSIA DAI,AM MENANGANI MASALAH PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006.2012 oleh Desty Purwanti 106083003626
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal tanggal 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Intemasional.
Ketua,
Sekretaris,
Agus Nilmada Azmi, M.si NIP : 1 9780 80 42009 121002
MP:
Penguji I,
Penguji II,
/
Agus Nilmada Azmi, M.Si 1 97808042009121002
t.l
ZAZ,t/^,4 Drs. Aiyub Mochsin, M.A NIP:020021540
W \--
Febri Dirgantara Hasibuan, S.8., M.M NIP:
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal20 Desember 2013 Ketua Program Studi Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta AL\ ,
Kiky Rizky, M.Si NIP: 19730321200801 1002
ABSTRAK Kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak memadai membuat banyak warga Indonesia bekerja menjadi PRT di Arab Saudi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka serta keluarganya. Lemahnya perlindungan HAM yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan banyaknya PRT Indonesia di Arab Saudi mengalami berbagai pelanggaran HAM seperti kasus berupa penganiayaan, penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan yang juga disebabkan karena ketidaktahuannya akan hak-hak mereka yang juga tidak terpenuhi secara maksimal. Skripsi ini menjawab pertanyaan penelitian: apa kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan PRT Indonesia di Arab Saudi tahun 2006-2012 ? Penulis menggunakan konsep kebijakan luar negeri, diplomasi dan HAM. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Dengan tiga teknik dalam penulisan ini, yaitu teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik analisa data. Teknik pengumpulan data yakni diperoleh dari referensi buku, jurnal ilmiah, surat kabar dan dokumen. Teknik pengolahan data yakni pengulis mengolahnya dengan cara memahami, serta melakukan identifikasi. Teknik analisa data, pada teknik ini penulis menggunakan metode analisa deskriptif, yaitu memaparkan atau menggambarkan fenomena yang telah diteliti kemudian melakukan interpretasi atas data yang diperoleh. Penelitian ini diawali dengan menjabarkan latar belakang dikeluarkannya kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan PRT di Arab Saudi. Kemudian pada bagian pembahasan, penulis menceritakan sejarah penempatan PRT ke luar negeri, sistem ketenagakerjaan di Arab Saudi, permasalahan PRT illegal dan overstayer dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani PRT yang bermasalah di Arab Saudi menjadi bahasan terakhir yang penulis jabarkan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia yaitu berupa dibentuknya lembaga BNP2TKI pada 2006, dibentuknya satgas TKI pada 2011, Moratorium penempatan TKI khususnya PRT ke Arab Saudi yang diberlakukan sejak tanggal 1 Agustus 2011 dan Memorandum of Understanding (MoU). Keywords: Tenaga Kerja Indonesia, Arab Saudi, Kebijakan Luar Negeri, Diplomasi, HAM.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Robill’aalamiin, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “KEBIJAKAN
PEMERINTAH
INDONESIA
DALAM
MENANGANI
PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006-2012”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tak sanggup penulis gambarkan kepada kedua orang tua tercinta, Badrudin dan Dra. Inne Fatimah. Terima kasih atas seluruh cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih tak terhingga atas berbagai bentuk dukungan tulus baik moril maupun materi. Serta, dengan penuh pengertian dan kesabarannya memberikan kepercayaan, memotivasi dan mendoakan penulis agar tetap sehat dan selalu semangat berjuang untuk menuju pintu keberhasilan. Lebih lanjut, penulis sangat menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik dalam bentuk waktu, tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2. Kiky Rizky, M. Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
vi
3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Serta sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. 4. Pak Jajang dan Pak Amali yang sudah sangat banyak membantu dalam proses administrasi penulis. 5. Seluruh Bapak / Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi HI. 6. Pak Zulfiyandi (Balitfo Depnakertrans), Mas Mustaqim dan Mas Wira (BNP2PRT) terimakasih atas keramahannya dan bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis mendapatkan data dan informasi terkait dengan skripsi penulis. 7. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Terimakasih kepada kakak tersayang yaitu Dikdik Permana Wigandi, S. Kom yang selalu mewarnai hari-hari penulis dengan suka dan duka. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Bi Eti, Mang Dedi, Bang Atun, Mba Sri, Kaka Dea, Abi, Ulil, Ika, Mang Agus, Teh Usi, Firda dan semua sanak saudara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan semangat dan do’a kalian selama ini kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis. Telor Ceplok ( Diah, Dian, Christa ), Mpo Qory, Jeng Atik, Acyd, Didis, Rahma, Natiqoh, Kismayeni, Theubry, Nanda, Kawe, Irvan, vii
Yeni dan Bang Anton yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dengan segala bantuan baik dalam bentuk tukar pikiran, perdebatan maupun pencarian data. Serta yang selalu memotivasi, menyemangati dan menghibur penulis. Dunia ini jadi lebih berwarna dengan adanya kalian brosis., hehee… ^_^ 9. Teruntuk sahabat penulis yang telah tiada (Alm.) Izzun Nahdliyah. Terimakasih telah menjadi pendengar yang baik, yang dengan sabar mendengarkan semua curhatan penulis. Terimakasih atas dukungan semangat, motivasi, do’a, serta pengertian dan perhatianmu menemani hari-hari penulis dengan canda tawa. Penulis tidak akan pernah melupakanmu. Kamu salah satu sahabat terbaik penulis. I really miss U., ^_^ 10. Teman-teman seperjuangan HI angkatan 2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 11. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih. Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan kedepannya.
Jakarta, 6 Desember 2013
Desty Purwanti
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………
ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………
xi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………………....
xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………..
xiii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………....
1
B.
Rumusan Masalah…………………………………………………………..
6
C.
Kerangka Pemikiran………………………………………………………...
6
D. Metode Penelitian…………………………………………………………..
13
E.
14
BAB II
Sistematika Penulisan……………………………………………………… GAMBARAN UMUM TKI DI ARAB SAUDI
A. Sejarah Pengiriman TKI Ke Luar Negeri…………………………………..
16
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PRT Indonesia Bekerja Di Luar Negeri…………………………………………………………………
19
C. Penempatan TKI Ke Arab Saudi…………………………………………...
21
BAB III
KONDISI KETENAGAKERJAAN DI ARAB SAUDI
A. Sistem Ketenagakerjaan Di Arab Saudi……………………………………
25
B. Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi………………………………
28
ix
C. Faktor-faktor Penyebab Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi ……………………………................................................................ BAB
IV
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
INDONESIA
DALAM
31
MENANGANI
PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006-2012 A. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)…………………………………………………
41
B. Satgas TKI……………………………………………………………..
43
C. Moratorium Penempatan PRT Indonesia Ke Arab Saudi……………..
45
D. Memorandum of Understanding (MoU)……………………………...
47
E. Peran Perwakilan Republik Indonesia (RI) Di Luar Negeri Dalam Melindungi PRT Di Luar Negeri……………………………………… BAB V
52
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………
55
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………......
57
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia berdasarkan negara penempatan tahun 2006 – 2012 Tabel 2.2. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Menurut Negara Tujuan Penempatan dan Sektor Tahun 2011 Tabel 3.1. PRT Bermasalah di Arab Saudi Berdasarkan Jenis Masalah Tahun 2008-2012
xi
21 22
28
DAFTAR SINGKATAN
AKAD
: Antar Kerja Antar Daerah
AKAN
: Antar Kerja Antar Negara
BKPTKI
: Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
BNP2TKI
: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
BPPK
: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
HAM
: Hak Asasi Manusia
ILO
: International Labour Organitation
JTC
: Joint Technical Committee
JWC
: Joint Working Committee
KBRI
: Kedutaan Besar Republik Indonesia
KKN
: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
KUKW
: Kantor Urusan Ketenagakerjaan Wanita
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MCN
: Mandatory Consuler Notifikation
MoU
: Memorandum of Understanding
PAP
: Pembekalan Akhir Pemberangkatan
PJTKA
: Penyalur Jasa Tenaga Kerja Asing
PJTKI
: Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PK
: Perjanjian Kerja
PLRT
: Penata Laksana Rumah Tangga
PPTKIS
: Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta
PPTKLN
: Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri
PRT
: Pekerja Rumah Tangga
RI
: Republik Indonesia
TKI
: Tenaga Kerja Indonesia
TKW
: Tenaga Kerja Wanita
UNIFEM
: United Nation Development Fund for Women
WNI
: Warga Negara Indonesia
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Lampiran 2
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Skripsi ini membahas kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani
permasalahan Pembantu Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Arab Saudi dengan periode tahun 2006 – 2012. Penulisan skripsi ini difokuskan pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk menangani permasalahan PRT di Arab Saudi. Penulis memilih periode tahun 2006 – 2012 karena pada tahun 2006 dibentuknya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pada periode tahun 2006 – 2012 ini tersiar kabar berita mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh PRT Indonesia di Arab Saudi di berbagai media cetak (surat kabar) dan media elektronik (televisi dan internet). Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa, “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, “Tenaga kerja Indonesia yang kemudian disebut dengan TKI adalah setiap warga negara
1
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.” Kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih memprihatinkan ditandai dengan kondisi kemiskinan, pengangguran dan dunia pendidikan yang belum dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Lapangan kerja yang minim di dalam negeri menyebabkan kesempatan kerja yang kecil dan besarnya angka pengangguran di Indonesia. Jumlah pencari kerja yang tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang luas menyebabkan minat masyarakat Indonesia untuk melakukan migrasi dan mencari kerja di luar negeri sebagai buruh migran guna memenuhi kebutuhan mereka. Sebagian orang melakukan migrasi karena ia menginginkan standar kehidupan yang lebih baik untuk diri dan keluarga mereka, termasuk pekerjaan yang memberikan penghasilan yang lebih besar. Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam mendayakan tenaga kerja di Indonesia yaitu melalui kebijakan mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Ada dua cara bagi TKI untuk dapat bekerja di luar negeri. Pertama melalui jalur formal yang lazimnya dikelola oleh biro-biro penyalur tenaga kerja dan memiliki izin resmi dari pemerintah. Kedua melalui jalur illegal, dimana para TKI diselundupkan oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan biro-biro penyalur tenaga kerja. Disinilah akar permasalahannya, sebab ketika terjadi tindakan tidak semestinya, pemerintah negara tempat TKI bekerja akan menyalahkan TKI dan pemerintah Indonesia karena masuk secara illegal (Erwan 2007:171).
2
Calo/oknum Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) merekrut orang yang akan diperkerjakan di luar negeri disektor informal contohnya pembantu rumah tangga (PRT). Mereka direkrut dengan tidak mempunyai pendidikan, pengalaman dan wawasan yang cukup. Hal inilah yang memicu terjadinya rentetan permasalahan yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia sebelum berangkat, ditempat kerja, bahkan sampai kembali ke tanah air (Erwan 2007:169). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seringkali disebut sebagai “Pahlawan Devisa”, hal tersebut dikarenakan para pekerja TKI ini mendatangkan banyak pemasukan devisa bagi Indonesia. Selain itu TKI disebut dengan pahlawan devisa negara ini dikarenakan pada penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri ini telah menjadi salah satu sumber devisa. Tahun 2010 bank dunia memperkirakan buruh migran Indonesia akan membawa remitansi sedikitnya 7,1 miliar dollar AS, naik dari 6,7 miliar dollar AS di tahun 2009 (www.nasional.kompas.com). Akan tetapi, disamping meningkatnya pendapatan devisa negara yang sesungguhnya telah menimbulkan sisi negatif yang sangatlah merugikan bagi para PRT yang bekerja di luar negeri yaitu permasalahan yang terjadi pada saat penempatan seperti meningkatnya People Smuggling dan Trafficking yang dilakukan oleh calo/oknum PJTKI illegal yang tidak memiliki izin resmi, dan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran (penganiayaan, hingga menyebabkan seorang meninggal dunia) (www.ilo.org). Terkait remitansi yang didapat dari para PRT tersebut, salah satunya seperti yang dinyatakan oleh Kedeputian Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
3
Indonesia (BNP2TKI) yang mencatat angka remitansi PRT dari Arab Saudi dari Januari hingga Juni 2011 sebesar 1,1 milyar dollar AS (www.bnp2tki.go.id). Beberapa permasalahan yang dialami para PRT selama periode tahun 20062012 antara lain: (1) Yanti Irianti TKW dari Cianjur. Yanti di eksekusi karena diputuskan bersalah oleh Pengadilan Arab Saudi dalam tuduhan pembunuhan terhadap majikannya di wilayah Assier, Arab Saudi, pada Juni 2006. Laporan resmi versi Arab Saudi menyebutkan Yanti membunuh majikannya karena mau mencuri perhiasan. eksekusi atas Yanti ini merupakan eksekusi hukuman mati kedua di Arab Saudi dalam tahun 2008 (www.antaranews.com). (2) Darsem, TKW legal dari Subang, dituduh membunuh majikan pada 2007 dan dijatuhi hukuman mati (www.gatra.com). Namun kemudian pada 2011, Darsem mendapat keputusan pemaafan dengan syarat harus membayar denda atau diyat senilai 2 juta riyal atau sekitar Rp 4,7 miliar. Diyat ini dibayarkan dari APBD dan penggalangan sumbangan (www.tempo.com). (3) Ruyati, asal bekasi menjadi TKW legal sejak 2008, dihukum pancung pada 17 Juni 2011 karena dituduh membunuh majikan perempuannya pada 2009 di Mekkah, Arab Saudi. Tidak ada pemberitahuan dari Arab Saudi mengenai proses berlangsungnya hukuman (www.wartamerdeka.com). (4) Sumiati, asal Nusa Tenggara Barat, merupakan TKW legal yang baru empat bulan menjadi TKW di Arab Saudi melalui jalur resmi mengalami penyiksaan oleh majikannya pada 8 November 2010. Setelah sepuluh hari kasus terungkap ke publik, majikan Sumiati dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Namun akhirnya, majikan Sumiati dibebaskan dengan alasan bukti yang tidak kuat (www.harianjogja.com). 4
(5) Kikim Komalasari, TKW asal Cianjur, ditemukan meninggal dunia pada 5 November 2010 di Arab Saudi karena disiksa oleh majikan. Setelah satu tahun semenjak
meninggal,
jenazah
baru
dipulangkan
ke
Indonesia
(www.wartapedia.com). Pemberitaan media mengenai kasus-kasus yang dialami oleh PRT di negaranegara tujuan penempatan telah menuai berbagai komentar maupun penilaian kritis dari publik setidaknya atas tiga poin penting: (1) kebijakan nasional mengenai penempatan PRT ke luar negeri; (2) pengawasan terhadap praktek penempatan; serta (3) tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warga negara di luar negeri, khususnya PRT (Teguh 2010: 44). Pemberitaan media tentang kasus penganiayaan PRT, khususnya di Arab Saudi, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia tentang pengiriman PRT di luar negeri. Pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan kebijakan moratorium penghentian pengiriman TKI, khususnya tenaga kerja informal atau domestik ke Arab Saudi untuk sementara waktu sejak tanggal 1 Agustus 2011 (Suara Indonesia 2012: 6). Tingginya tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di Arab Saudi mendorong pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mengadakan pertemuan Joint Working Committee (JWC), sebelum membahas pembuatan Nota Kesepakatan Bersama (MoU/Memorandum of Understanding) tentang penempatan dan perlindungan PRT (www.migrantcare.net). Dalam Pertemuan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Jumhur Hidayat (Ketua BNP2TKI), sedangkan delegasi Arab Saudi dipimpin oleh Adel Mohammad Fakieh (Menteri Tenaga Kerja). 5
Pertemuan ini menindaklanjuti hasil dari statement of intent antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi pada 28 Mei 2011. Secara umum, usulan Indonesia mencakup prinsip perlindungan, kerja sama, mekanisme perlindungan dan jangka waktu
pembahasan
penyelesaian
menyampaikan harapan bahwa
MoU,
sedangkan
kerja sama
pihak
Arab
Saudi
antara kedua negara bisa
menguntungkan kedua belah pihak (www.migrantcare.net).
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang tersebut, penulis membuat
pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apa kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani PRT Indonesia yang bermasalah di Arab Saudi ?
C.
Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep teori untuk
mendukung permasalahan yang sedang diteliti. Konsep-konsep tersebut yaitu, kebijakan luar negeri, diplomasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kebijakan Luar Negeri Kebijakan luar negeri merupakan instrumen kebijakan yang dimiliki oleh
pemerintah suatu negara berdaulat untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor lain dalam politik dunia demi mencapai tujuan nasionalnya. Tidak semua tujuan negara dapat dicapai di dalam negeri. Karena itu suatu negara harus menjalin
6
hubungan dengan negara atau aktor-aktor lain dalam sistem internasional (Aleksius 2008: 61). Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya (Banyu Perwita dan Yanyan 2005: 49). Kebijakan luar negeri menekankan aksi atau tindakan atau kebijakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam rangka memperjuangkan atau mempertahankan kepentingan nasionalnya (Aleksius 2008: 61). Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai, explicit and implicit actions of governmental officials designed to promote national interest beyond a country’s territorial boundaries. Dalam definisi ada tiga tekanan utama yaitu tindakan atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri yang melewati batas kewilayahan suatu negara. Dengan demikian semua kebijakan pemerintah yang membawa dampak bagi aktor-aktor lain di luar batas wilayahnya secara konseptual merupakan bagian dari pengertian kebijakan luar negeri (Aleksius 2008: 64). Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri menurutnya 7
ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara (Banyu Perwita dan Yanyan 2005: 49). James N. Rosenau menguraikan konsep foreign policy ke dalam tiga pengertian yang berbeda baik substansi maupun cakupannya. Pada tingkat pertama kebijakan luar negeri dipahami sebagai seperangkat prinsip atau orientasi umum yang menjadi dasar pelaksanaan hubungan luar negeri suatu negara. Kebijakan luar negeri juga bisa diartikan sebagai seperangkat rencana dan komitmen yang menjadi pedoman bagi perilaku pemerintah dalam hubungan dengan aktor-aktor lain di lingkungan eksternal. Akhirnya rencana dan komitmen tersebut diterjemahkan ke dalam langkah atau tindakan yang nyata berupa mobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam pencapaian tujuan (Aleksius 2008: 65-66). Langkah pertama dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri mencakup (Banyu Perwita dan Yanyan 2005: 50):
Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan dan sasaran yang spesifik.
Menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang berkaitan dengan tujuan kebijakan luar negeri.
Menganalisis kapabilitas nasional untuk mengjangkau hasil yang dikehendaki.
Mengembangkan perencanaan atau strategi untuk memakai kapabilitas nasional dalam menanggulangi variable tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 8
Malaksanakan tindakan yang diperlukan.
Secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah berlangsung dalam menjangkau tujuan atau hasil yang dikehendaki.
Diplomasi Kata diplomasi berasal dari kata Yunani, Diploum yang artinya melipat (to
fold). Dokumen resmi yang bukan logam, yang memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan bangsa asing disebut dengan diplomas. Isi surat resmi negara yang berhubungan dengan bangsa asing yang dikumpulkan dalam arsip disebut diplomaticus atau diplomatique. Dari kedua kata diplomas dan diplomaticus atau diplomatique kemudian berkembang menjadi diplomasi yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia internasional. Orang-orang yang terlibat dengan masalah/pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan dunia internasional disebut diplomat (Aiyub 2010:4). Diplomasi berkaitan erat dengan proses kebijakan dan hubungan luar negeri termasuk pada waktu perumusan, pelaksanaan dan evaluasi dari perumusan dan pelaksanaannya. Dalam hal-hal tertentu pengertian diplomasi sama dengan politik luar negeri. Namun secara spesifik dapat dibedakan, diplomasi berkaitan dengan cara-cara dan mekanisme, sedangkan politik luar negeri menyangkut maksud dan tujuan. Kebijakan luar negeri menyangkut substansi dan isi dari hubungan luar negeri, sedangkan diplomasi mengenai masalah metodologi untuk melaksanakan politik luar negeri (Aiyub 2010:19).
9
Konsep diplomasi juga menjadi salah satu cara untuk melaksanakan penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia. Diplomasi menurut R. P. Barston dalam bukunya “Modern Diplomacy” yaitu, diplomasi memberi masukan, membentuk dan merupakan implementasi dari kebijakan luar negeri. Diplomasi pada level internasional adalah memberi masukan kepada usaha perdamaian dalam menyelesaikan pertikaian antara negara-negara dan aktor-aktor lain. Diplomasi berkaitan dengan manajemen hubungan antar negara dan juga antar dengan aktor-aktor lainnya (1997: 1). Jadi, secara tidak langsung diplomasi juga merupakan elemen yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan luar negeri. K.M pannikar menyatakan dalam bukunya “The Principle and practice of Diplomacy”, yang menyatakan bahwa diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (KM. Pannikar 1993: 3). Namun secara konvensional, yang dimaksud dengan diplomasi adalah sebagai usaha suatu negara-bangsa
untuk
memperjuangkan
kepentingan
nasional
dikalangan
masyarakat internasional (KJ. Holsti 1984: 82-83). Diplomasi juga digunakan dalam hubungan internasional untuk mencapai suatu kepentingan nasional. Sedangkan, argumen yang dikemukan oleh Harold Nicholson, yang menyatakan bahwa diplomasi adalah hal-hal yang mencakup politik luar negeri, negosiasi, mekanisme pelaksanaan negosiasi, dan suatu cabang dinas luar negeri (SL. Roy 2000: 4).
10
Terdapat berbagai macam tipe diplomasi, yakni; diplomasi bilateral, diplomasi multilateral, diplomasi komersial, diplomasi kebudayaan, diplomasi ulang – alik, diplomasi puncak, diplomasi preventif, diplomasi publik, diplomasi sumber daya dan lingkungan. Untuk penelitian ini penulis menggunakan diplomasi bilateral. Diplomasi bilateral adalah diplomasi yang terjadi antara dua negara melalui berbagai sarana, seperti; pertemuan dan/atau perundingan yang dilakukan oleh kedua kepala negara/pemerintahan pada saat kunjungan resmi atau kunjungan kerja, antara menteri luar negeri atau menteri-menteri lain yang terkait dengan subyek pembicaraan dari kedua negara pada saat saling kunjungan atau di forum khusus yang dibentuk oleh kedua negara. Para pelaku diplomasi bilateral selain kepala negara/pemerintahan dan para menteri, dapat juga dilakukan oleh para pejabat senior/diplomat yang ditunjuk oleh kedua negara (Aiyub 2010:44). Untuk mencapai suatu pertahanan negara, maka dalam melaksanakan diplomasi hal tersebut dapat dicapai dengan memperkuat hubungan antara negara satu dengan negara lainnya. Melalui diplomasi setidaknya dapat menetralisirkan permasalahan untuk menuju suatu bentuk kesepakatan antara Indonesia dengan Arab Saudi.
Hak Asasi Manusia (HAM) Terus berlarutnya permasalahan ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri
dan permasalahan tentang segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan HAM terhadap para PRT yang berada di Arab Saudi, sesungguhnya tidak terlepas dari suatu konsep yang 11
berhubungan dengan permasalahan diatas yakni, Penulis menggunakan konsep HAM dari berbagai bentuk pernyataan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Hak asasi manusia menurut Declaration Of Human Rights 1948 merupakan hak yang melekat pada setiap manusia tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aliran politik, perbedaan pendapat, kebangsaan, asal muasal secara sosial, kekayaan, tempat kelahiran maupun status seseorang (Dzuriatun 2008: 46). Manusia harus saling menghargai dan menyayangi tanpa membedakan ras, agama, suku dan status sosial ekonomi menjadi prinsip dalam HAM (Dzuriatun 2008: 46). Hak asasi juga diartikan sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat yang harus di hormati (Miriam 2001: 120). Hak manusia mencakup tidak hanya hak politik/menyatakan pendapat namun juga mencakup bidang ekonomi, sosial, budaya untuk dapat hidup bebas dari rasa takut dan ancaman yang mengancam keselamatannya. Hak asasi ini tidak boleh dilanggar dan diabaikan oleh negara.
12
Hak tenaga kerja berdasarkan International Labour Organitation (ILO) terdapat pada pasal 2 Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi yang menyatakan bahwa para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasiorganisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.
D.
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
kualitatif. Sedangkan tipe penelitian ini bersifat deskriptif dimana suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada (Nazir, 1988: 63). Sedangkan menurut whitney (1960) dalam buku Mohammad Nazir, ia mengatakan bahwa penelitian deskriptif yaitu mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk tantangan hubungan, kegiatan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir 2008: 63-65).
13
Penelitian ini akan menggunakan metode pengumpulan data dengan studi dokumen. Studi dokumen didapatkan dari : 1. Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku, jurnal, laporan penelitian, data pemerintahan dari kemnakertrans, BNP2PRT, dan data dari LSM yang konsen pada isu buruh migran. 2. Penelusuran melalui internet yaitu untuk mendapatkan data dan berbagai informasi terkait dengan penelitian.
E.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Kerangka Pemikiran D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan
BAB II
GAMBARAN UMUM TKI DI ARAB SAUDI
A. Sejarah Pengiriman TKI Ke Luar Negeri B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PRT Indonesia Bekerja Di Luar Negeri C. Penempatan TKI Ke Arab Saudi
14
BAB III
KONDISI KETENAGAKERJAAN DI ARAB SAUDI
A. Sistem Ketenagakerjaan Di Arab Saudi B. Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi C. Faktor-faktor Penyebab Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi
BAB
IV
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
INDONESIA
DALAM
MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006-2012 A. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) B. Satgas TKI C. Moratorium Penempatan PRT Indonesia Ke Arab Saudi D. Memorandum of Understanding (MoU) E. Peran Perwakilan Republik Indonesia (RI) Di Luar Negeri Dalam Melindungi PRT Di Luar Negeri
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB II GAMBARAN UMUM TKI DI ARAB SAUDI
A.
Sejarah Pengiriman TKI Ke Luar Negeri Perpindahan tenaga kerja Indonesia antar pulau dan luar negeri tidak bisa
dipisahkan dari masa orde lama dan orde baru, bahkan sejak masa penjajahan di tahun 1887. Pada tahun tersebut, tenaga kerja dikirim ke beberapa daerah jajahan seperti Suriname, Kaledonia dan Belanda (Awani 2003: 34). Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penempatan buruh kontrak ke negara Suriname, Amerika Selatan, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda (www.bnp2tki.go.id). Pada masa kolonial di awal abad dua puluh, kebanyakan pembuatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan produktifitas pertanian, sehingga banyak tenaga kerja dari jawa dipindah ke luar Jawa. Kebijakan migrasi yang dibangun pada masa penjajahan adalah suatu alat yang berguna untuk menghasilkan tujuan dan kepentingan negara serta elit berkuasa (Komnas Perempuan 2002: 4). Geliat perusahaan jasa pengerah TKI pada era awal 1970-an terus meningkat. Pada saat itu di kawasan Timur Tengah terjadi masa keemasan minyak atau disebut oil booming, dengan ditemukannya cadangan minyak dalam jumlah tidak sedikit dan dilakukan ekplorasi besar-besaran, yang menjadikan negaranegara Arab di Timur Tengah utamanya Arab Saudi mendadak kaya raya (Tri Nuke 2007: 45). Fenomena ini semakin memperbanyak lahirnya orang-orang kaya 16
di Arab Saudi, sehingga membuka lapangan kerja yang begitu luas untuk diisi berbagai pihak termasuk pada akhirnya mendorong arus pengiriman PRT ke Arab Saudi. Namun demikian, peluang tersebut ditangkap oleh perusahaan jasa pengerah TKI dengan hanya menempatkan PRT untuk pengguna perseorangan. Kondisi migrasi berlanjut hingga memasuki masa kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi. Tanggal 3 Juli 1947 merupakan hari bersejarah bagi lembaga Kementerian Perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1947 dibentuk lembaga yang mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan (www.bnp2tki.go.id). Migrasi juga tidak hanya terjadi secara nasional, namun internasional. Fenomena migrasi juga dapat dilihat sebelum perang dunia II, banyak warga negara Indonesia yang dikirim ke Malaysia, Guyana dan New Caledonia. Setelah perang dunai II, mulai ada tenaga kerja yang bekerja di Singapura dan negara lainnya. Perpindahan tenaga kerja Indonesia saat itu sebenarnya hanya untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja di beberapa negara tersebut dan tidak masuk dalam kebijakan pemerintah di bidang pekerjaan (Prijono 1999: 126). Salah satu alasan mengapa fenomena migrasi tenaga kerja ini terjadi adalah karena negara asal belum bisa menciptakan lapangan kerja yang kondusif serta penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan hidup. Pada awalnya pengiriman TKI dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan cara mengirim buruh kontrak ke negara Suriname, Amerika Selatan yang saat itu merupakan jajahan Belanda. Saat itu TKI dikirim karena Suriname 17
kekurangan tenaga kerja untuk mengurus perkebunan karena budak asal Afrika yang bekerja di perkebunan Suriname dibebaskan pertengahan 1863 sebagai bentuk pelaksanaan dari politik penghapusan perbudakan. Gelombang pertama TKI yang dikirim tiba di Suriname 9 Agustus 1890 dengan jumlah 94 orang.Mulai saat itu pemerintah Hindia Belanda secara reguler mengirimkan TKI ke Suriname. Pengiriman TKI ke Suriname oleh pemerintah Hindia Belanda berakhir pada 1939 dengan jumlah total mencapai 32.986 orang (www.artikelbahasaindonesia.org). Arab Saudi menjadi tujuan pengiriman TKI karena ada hubungan religius yang erat antara Indonesia dengan Arab Saudi yaitu melalui jalur ibadah haji. Pada saat orang Indonesia melaksanakan ibadah haji mereka berinteraksi dengan warga lokal Arab Saudi, bahkan ada yang kemudian menikah, menetap dan membuka usaha di sana. Lambat laun hubungan semakin erat sampai kemudian hari
ada
yang
mengajak
saudaranya
ke
Arab
Saudi
untuk
bekerja
(www.merdeka.com). Jumlah TKI yang tercatat pertama kali pada 1983, yakni sebanyak 27.671 orang. Mereka bekerja di delapan negara. Jumlah itu bertambah pada 1992 yang mencapai 158.750 orang. Setelah 1980, pemerintah baru menetapkan regulasi untuk mengatur pengiriman TKI karena pemerintah melihat nilai positif dan nilai ekonomis tinggi (www.merdeka.com).
18
B.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PRT Indonesia Bekerja Di Luar Negeri Pada mulanya mobilitas PRT ke luar negeri terjadi berdasarkan pada
prakarsa dan upaya dari PRT itu sendiri. Dampak positif dari kegiatan tersebut adalah sebagai upaya untuk menanggulangi masalah pengangguran, meningkatkan keterampilan kerja dan mendatangkan keuntungan berupa naiknya devisa negara (Natalis 2005: 97). Berbagai faktor yang mempengaruhi mobilitas PRT di luar negeri antara lain (Mardjono 2007: 70) :
Kemudahan informasi, komunikasi dan transportasi, pengalaman kerja ke luar negeri serta daya tarik upah yang lebih tinggi.
Terbukanya pasar kerja luar negeri dengan dominsai peran agen penempatan yang lebih menjanjikan kemudahan memperoleh pekerjaan, penghasilan tinggi dan proses cepat serta janji-janji keuntungan lainnya.
Kesenjangan birokrasi lintas sektoral dalam negeri dalam pelayanan bekerja ke luar negeri serta masih lemahnya penegakan hukum. Menurut Everett Lee, bahwa faktor utama seseorang melakukan migrasi
adalah faktor tempat asal, dalam arti orang yang gagal dalam ekonomi dan social. Mereka berharap di tempat tujuan akan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh di daerah asalnya. Orangorang yang melakukan migrasi ini adalah mereka yang betul-betul potensial, yaitu yang masih produktif (Uke 2003: 327). Sedangkan menurut Mantra, arus migrasi
19
penduduk dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi di suatu wilayah karena alasan utama seseorang untuk berpindah adalah alasan ekonomi (Uke 2003: 327). Salah satu faktor yang mendorong PRT bekerja di luar negeri, antara lain karena tingginya upah yang akan diterima dibandingkan dengan upah di dalam negeri. Upah yang ditawarkan cukup tinggi, berkisar antara 1 sampai 2 juta rupiah. Bahkan ada yang memperoleh pendapatan sampai sekitar 10 juta rupiah, tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Juga tergantung dari negara tujuan yaitu tergantung dari kesepakatan bersama antara pihak pengerah tenaga kerja dengan pihak penerima tenaga kerja (Nurhayati 2003: 335). Wilayah Timur Tengah menjadi salah satu tujuan yang disasar oleh perempuan pencari kerja dan keluarganya khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah dimana budaya agama (Islam) adalah lebih baik dari pada bekerja dengan majikan yang beragama lain. Selain itu, khususnya di Arab Saudi, harapan bahwa PRT bisa sekaligus menunaikan ibadah haji pun menjadi pertimbangan yang penting. Harapan-harapan yang tinggi dieksploitir oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari mereka (Sri 2007: 67). Menjadi Tenaga Kerja di luar negeri harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri (pasal 35), yaitu sebagai berikut: 1. Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; 20
2. Sehat jasmani dan rohani; 3. Tidak dalam keadaan hamil; 4. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat.
C.
Penempatan TKI Ke Arab Saudi Secara kultural tradisional, masyarakat Indonesia telah mempunyai jalinan
hubungan yang erat dengan masyarakat Arab Saudi sejak zaman penjajahan Belanda, jauh sebelum sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Jalinan hubungan tersebut dilatarbelakangi oleh persamaan budaya dalam keyakinan beragama yang sama-sama pemeluk agama Islam (Makarim 2006). Sejak lama, jema’ah haji Indonesia dari tahun ke tahun secara teratur selalu hadir dalam musim haji tersebut yang jumlahnya terus bertambah. Dari proses perjalanan haji ini, banyak jema’ah Indonesia yang tidak mau pulang ke Tanah Air dan memilih bermukim di Arab Saudi dengan alasan menuntut di bidang ilmu ke-Islaman dan bahasa Arab serta mencari kehidupan yang lebih baik. Hubungan tradisional ini terus berlanjut hingga saat ini. Bagi masyarakat Indonesia, Arab Saudi merupakan tanah impian baik dari segi faktor religi, keilmuan bidang ke-Islaman maupun dari segi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah jema’ah umroh dan haji Indonesia setiap tahun, serta menjadi negara tujuan pasokan PRT keluar negeri terbesar. Secara formal hubungan kedua negara terselenggara dengan dibukanya hubungan diplomatik
21
pada tahun 1951 yang sampai saat ini dapat terjaga serta berjalan dengan baik bahkan terus meningkat (Makarim 2006). Arab Saudi merupakan negara tujuan penempatan yang menyerap tenaga kerja Indonesia terbanyak dibanding dengan negara-negara tujuan penempatan TKI yang lain. Namun, pada tahun 2012 terdapat penurunan angka penempatan TKI, penurunan angka tersebut terjadi dikarenakan adanya moratorium penempatan TKI di sektor informal atau domestik. Tabel 2.1 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia berdasarkan negara penempatan tahun 2006 – 2012 No
Negara Penempatan
1.
Arab Saudi
2.
Malaysia
3. 4.
Taiwan Singapore United Emirated Arab Hongkong Kuwait Qatar Yordania Oman Brunei Darussalam Korea Selatan Amerika Serikat Bahrain Syria Italia Jepang Aljazair Afrika Selatan Macao
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
2006 281.08 7 219.65 8 45.706 28.661
2007 257.21 7 222.19 8 50.810 37.469
2008 234.64 4 187.12 3 59.522 21.807
22.685
28.184
20.100 24.600 7.980 10.978 5.210
Tahun 2009
Jumlah
2010
2011
2012
276.233
228.890
137.643
11.814
1.427.928
123.886
116.056
134.108
46.296
1.049.325
59.335 33.077
62.048 39.623
73.498 47.781
30.669 20.430
381.588 228.875
38.092
40.391
37.337
39.857
14.274
220.820
29.973 25.756 10.449 12.062 7.150
30.204 29.218 8.582 11.155 8.309
32.417 23.041 10.010 10.932 9.700
33.262 563 13.559 5.695 9.259
50.283 2.723 16.578 134 7.292
18.237 693 8.476 29 3.375
214.476 106.594 75.634 50.985 50.295
8.482
5.852
3.861
4.785
7.360
10.805
5.703
46.848
4.035
3.830
8.134
1.890
7.596
11.390
6.399
43.274
-
1.263
66
47
475
13.746
5.088
20.685
639 36 -
2.267 953 96 -
2.324 7 232 499
2.837 1.155 362 453
4.844 6.381 13 233 609
4.375 4.222 3.408 2.508 1.084
2.832 1 1.765 1.441 563
20.118 11.759 6.146 4.908 3.208
-
111
-
-
12
2.009
786
2.918
-
164
468
674
826
582
148
2.862
Sumber: www.bnp2tki.go.id 22
Arab Saudi merupakan negara yang menyerap TKI terbanyak di sektor informal sebanyak 105.071 orang atau 33,09 % dari jumlah keseluruhan penempatan TKI pada sektor informal dan ini didominasi oleh PRT perempuan sebanyak 102.305 orang atau 97,37 % dari jumlah TKI sektor informal di negara tersebut (Pusdatinaker Kemnakertrans 2012: 46).
Tabel 2.2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Menurut Negara Tujuan Penempatan dan Sektor Tahun 2011 (orang) Sektor Negara Tujuan Penempatan Formal Informal Saudi Arabia 31.421 105.071 Malaysia 126.449 6.363 Taiwan 18.612 59.484 Hongkong 1.999 47.811 Singapore 9.290 38.031 United Arab Emirates 8.142 31.386 Qatar 3.942 12.512 United States 13.565 50 Korea Selatan 11.221 60 Brunei Darussalam 9.138 1.561 Lainnya 29.817 15.157 Jumlah 263.596 317.485 Sumber: BNP2TKI. Diolah Pusdatinaker
Jumlah 136.491 132.812 78.096 49.811 47.320 39.528 16.454 13.615 11.281 10.699 44.974 581.081
Adapun kelemahan sistem penempatan dan perlindungan PRT di Arab Saudi, yaitu sebagai berikut (BNP2TKI 2013: 23): 1. Tidak adanya kerjasama bidang ketenagakerjaan yang melindungi tenaga kerja sektor domestik antara Pemerintah Arab Saudi dengan Pemerintah Indonesia.
23
2. Kebijakan moratorium menyebutkan maraknya pengiriman PRT illegal yang memanfaatkan visa umrah/kunjungan atau masuk melalui negara ketiga (transit). 3. Masih banyaknya Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang menempatkan PRT secara non prosedural. 4. Adanya kebijakan yang memungkinkan diubahnya visa umrah atau visa kunjungan menjadi visa kerja di Arab Saudi. 5. Masih banyaknya oknum yang memanfaatkan izin PRT cuti sebagai modus menempatkan PRT di masa moratorium. Secara umum masalah ketenagakerjaan tidak banyak berubah dari tahun ke tahun yaitu masih lemahnya perlindungan terhadap PRT yang bekerja di luar negeri. Namun demikian upaya pembenahan sistem maupun operasionalnya telah dilakukan pemerintah Indonesia tanpa henti, meski hasil yang dicapai belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat dimengerti karena masalah ketenagakerjaan sangat komplek dan menyangkut banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda (multidimensional). Dan, hingga saat ini penanganan masalah ketenagakerjaan khususnya PRT belum menemukan solusi yang tepat dari kedua negara baik dari Indonesia maupun Arab Saudi.
24
BAB III KONDISI KETENAGAKERJAAN DI ARAB SAUDI
A.
Sistem Ketenagakerjaan Di Arab Saudi Arab Saudi adalah sebuah negara luas di Timur Tengah yang memiliki
hubungan erat dengan Indonesia. Setiap tahun puluhan ribu orang Indonesia bekerja di negara ini dengan sistem kontrak kerja. Kebanyakan tenaga kerja Indoensia di Arab Saudi adalah wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Komnas HAM: 22). Arab Saudi adalah negara monarki yang berdasarkan hukum Islam. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat undang-undang. Kerena itulah, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik, raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama. Negara ini praktis tidak memiliki undangundang dasar, karena sumber hukumnya adalah agama Islam. Sebuah badan yang disebut Syariah membuat segala peraturan untuk ketertiban masyarakat. Tetapi beberapa peraturan tertentu dibuat dengan dekrit raja (Komnas HAM 2005: 23). Hal-hal yang menjadi tradisi kerja di Arab Saudi yaitu (Komnas HAM 2005: 29) : 1. Wanita tidak boleh bergaul dengan dengan laki-laki bukan muhrimnya. 2. Memberi senyum kepada pria selain keluarga dekat dianggap rendahan (aib). 3. Jangan menerima telepon tanpa seizin majikan, apalagi telepon dari pria. 4. Orang Arab memiliki sifat kasar, baik kata-kata maupun tindakan. 25
5. Mereka kadang-kadang menyebut kata bunuh, sapi, keledai tetapi tidak berarti bahwa benar-benar mau dibunuh. 6. Majikan akan tersentuh hatinya apabila Anda mengucapkan kalimat, “semoga Allah merahmati kedua orang tuamu”, atau, “semoa Allah memperpanjang umurmu” (pada saat meminta gaji yang belum dibayarkan). 7. Majikan suka berterus terang dan tidak sembunyi-sembunyi. Apabila mereka tidak menyukai anda akan mengatakan, “Saya tidak suka Anda melakukan hal itu.” 8. Tidak boleh berkencan, hubungan melalui telepon, menegur pria di tempat umum dan menghubungi pria tanpa seizing majikan. 9. Apabila mengikuti majikan menghadiri pesta, sebaiknya makan terlebih dahulu di rumah karena makan malam pesta biasanya jam 01.00 sampai 02.00 dini hari. 10. Jumlah anggota keluarga rata-rata antara 7 sampai 10 orang. Seringkali orang tua atau saudara majikan tinggal serumah. 11. Rumah tinggal biasanya luas dengan 10 kamar dan pekerjaan diselesaikan oleh satu orang pembantu saja. 12. Apabila kamar tidur terasa panas, anda dapat mencoba meminta kipas angin pada majikan. 13. Peraturan makan adalah majikan laki-laki yang pertama, lalu wanita dan terakhir anda.
26
14. Tata cara makan biasanya mereka menggunakan jari tangan bukan dengan sendok. 15. Pemerintah Arab Saudi sangat ketat melakukan razia kepada orang asing yang iqomah (izin tinggal)-nya telah berakhir masa berlakunya. Pekerja yang tidak bekerja pada majikan dan umrohan, ditangkap, didenda, ditahan dan kemudian dideportasi. Aturan-aturan buruh migran yang berlaku di Arab Saudi, antara lain sebagai berikut (Komnas HAM 2005: 35) : 1. Arab Saudi tidak memiliki undang-undang dasar seperti yang dimiliki negara lain, yang dijadikan undang-undang dasar adalah agama Islam. Kerena itu di Arab Saudi masih berlaku hokum pancung, potong tangan, dan cambuk kepada para pelanggar hukum. 2. Aturan tentang ketertiban masyarakat dibuat oleh sebuah lembaga yang disebut Syariah dan berdasarkan dekrit raja. 3. Kekuasaan kehakiman berada di tangan seorang kadi yang mengepalai badan pengadilan. Namun kekuasaan seorang kadi hanya terbatas pada persoalan hokum dan peraturan yang dikeluarkan oleh Syariah. Jika kasusnya menyangkut peraturan yang diundangkan dengan dekrit raja, maka yang berhak mengadili bukan kadi melainkan gubernur atau kepala daerah setempat.
27
B.
Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi Indonesia adalah negara pengirim buruh migran yang menduduki peringkat
signifikan di Asia, yakni kedua setelah Philipina. Setidaknya saat ini ada 6 juta buruh migran Indonesia yang bekerja di 42 negara tujuan yang berasal dari 361 kabupaten/kota dan 33 provinsi di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, mayoritas bekerja di sektor domestik sebagai PRT (Pekerja Rumah Tangga) migran dan memiliki kerentanan terhadap terjadinya praktek pelanggaran HAM (Anis 2011: 413-414). PPTKIS menurut Undang-Undang yang ada merupakan salah satu aktor utama dalam penempatan buruh migran ke luar negeri, yaitu hampir 70% dari keseluruhan proses migrasi tenaga kerja merupakan peran PPTKIS. Sehingga hal ini menjadi salah satu sumber masalah. Perlu dilakukan perubahan pada peran PPTKIS. Selama ini berdasarkan Undang-Undang yang ada, pendidikan pra penempatan merupakan tanggung jawab PPTKIS dan seringkali menuai persoalan karena pendidikan pra penempatan seringkali hanya diberikan secara formalitas belaka (Anis 2011: 423-424). Permasalahan yang dihadapi oleh PRT telah banyak dibahas oleh berbagai pihak dari waktu ke waktu, baik di dalam maupun diluar negeri. Di tatanan internasional, masalah PRT dibahas melalui kerangka bilateral, regional, maupun internasional (Teguh 2010: 48).
28
Jumlah WNI yang tercatat di Perwakilan pada tahun 2010, berdasarkan data Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, sebanyak 1,1 juta orang. Dari 6.117 kasus yang dialami PRT di Arab Saudi, melakukan pembunuhan 28 orang, gaji tidak dibayar sebesar 26,82%, pekerjaan tidak sesuai Perjanjian Kerja (PK) 22,15%, PRT tidak siap bekerja (11,41%), pelecehan seksual/pemerkosaan 10,44%, penganiayaan 9,55%, sakit 7,06% dan meninggal dunia, hilang kontak, terancam hukuman berat/mati dan overstay 12,57% (BPPK Kemlu 2011: 42).
Tabel 3.1 PRT Bermasalah di Arab Saudi Berdasarkan Jenis Masalah Tahun 2008-2012 NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JENIS MASALAH
PHK Sepihak
2008
2009
2010
2011
2012
(JUMLAH)
(JUMLAH)
(JUMLAH)
(JUMLAH)
(JUMLAH)
8,457
7,672
10,850
4,123
1,679
6,229
8001
3681
1,573
767
2,192
3,996
2,175
2,411
2,342
1,031
531
1,016
1,607
1,031
1,044
1,561
1,978
1,282
537
1,532
974
1041
60
739
1,063
769
240
603
526
354
136
258
393
217
176
167
246
255
108
Sakit Akibat 5,085 Kerja Majikan 1,493 Bermasalah Penganiayaan 1,509 Gaji Tidak 1,996 Dibayar Pelecehan 1,039 Seksual Sakit Bawaan 490 Dokumen Tidak 613 Lengkap Kecelakaan 283 Kerja Pekerjaan Tidak Sesuai 332 PK PRT Hamil
135
29
12 13 14 15 16
Tidak Mampu Bekerja Majikan Meninggal Membawa Anak Komunikasi Tidak Lancar Masalah Lainnya TOTAL
60
93
387
66
44
68
65
219
182
95
51
18
95
296
143
56
92
212
80
16
368
537
591
573
383
22,035
23,760
31,676
18,977
8,940
Sumber: BNP2TKI
KBRI Riyadh mencatat jumlah PRT yang menghadapi masalah pada tahun 2010 sebanyak 3.016 orang. Dari jumlah 3.016 kasus tersebut, sebanyak 2.814 kasus berhasil diselesaikan melalui: proses di Kantor Urusan Ketenagakerjaan Wanita (KUKW) sebanyak 2.344 kasus (77,72%), pindah majikan melalui Disnaker setempat atau PPTKAS 168 kasus (5,57%) dan penyelesaian langsung di KBRI sebanyak 302 kasus (10,01%). Dari kasus berat yang dihadapi PRT di Arab Saudi, eksekusi hukuman mati terhadap PRT sebanyak 2 orang, bebas dari hukuman mati/mendapat keringanan 6 orang, masih menjalani proses peradilan 17 orang dan berhasil dibebaskan 3 orang (BPPK Kemlu 2011: 42). Menakertrans Muhaimin Iskandar mengungkapkan keberadaan PRT Overstayer di Arab Saudi disebabkan antara lain karena PRT lari dari majikan karena berbagai faktor, seperti tidak betah bekerja karena alasan tidak cocok dengan majikan, beban kerja yang berlebihan dan lain-lain. Selain itu ada juga yang tertipu oleh sindikat yang mempengaruhi dan menipu PRT dengan imingiming gaji lebih besar, sehingga berpindah majikan tanpa menyadari resiko status 30
keimigrasian yang sangat merugikan PRT tersebut. Selain itu Muhaimin mengatakan proses pemulangan PRT Overstayer harus melalui karantina (Tarhil) yang ditangani langsung oleh petugas imigrasi Arab Saudi. Tak hanya itu, tambah Muhaimin PRT Overstayer yang akan pulang ke Indonesia harus menyelesaikan segala permasalahan yang terkait kontrak kerja serta dipastikan tidak tersangkut masalah dengan Kepolisian Arab Saudi sehingga dipastikan benar-benar clear dan bebas masalah (www.news.okezone.com).
C.
Faktor-faktor Penyebab Permasalahan PRT Indonesia Di Arab Saudi Sekitar 70-80% permasalahan yang dialami oleh PRT berasal dari dalam
negeri (Indonesia). Permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: proses perekrutan yang masih didominasi oleh para calo/sponsor, pelatihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa, koordinasi antar pemangku kepentingan termasuk kementerian/lembaga terkait yang kurang memadai dan tentu saja faktor sumber daya manusianya sendiri (BPPK Kemlu 2011: 5). Kebutuhan pasar luar negeri akan tenaga kerja informal Indonesia memunculkan dilemma tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi, pengiriman PRT ke luar negeri menjadi solusi bagi tingginya tingkat pengangguran akibat kurangnya ketersediaan lapangan kerja. Namun di sisi lain, kurangnya tingkat pendidikan dan keterampilan menjadi penyebab utama banyaknya permasalahan yang dihadapi PRT di luar negeri. Perbaikan kualitas sumber daya manusia merupakan langkah perlindungan preventif yang utama untuk mengurangi permasalahan PRT (BPPK Kemlu 2011: 5). 31
Secara garis besar, faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya permasalahan PRT, pada tiap-tiap proses penempatan, antara lain (BPPK Kemlu 2011: 6-13): 1. Pada tahap rekruitmen. a. Dominasi peran calo/sponsor dalam proses perekrutan. Proses rekruitmen yang masih didominasi oelh keterlibatan calo, dan sekarang telah menjadi percaloan terstruktur, sulit untuk dihilangkan. Bahkan infrastruktur penempatan PRT dianggap telah terdistorsi sehingga sulit membedakan proses penempatan PRT secara prosedural dan noprosedural (illegal). Sponsor membantu menguruskan dan bahkan memalsukan hampir semua persyaratan administrasi pendaftaran yang diperlukan PRT dan calon PRT tinggal menandatanganinya. Pemalsuan identitas diri ini seringkali menyulitkan PRT terutama ketika mereka menghadapi masalah dan memerlukan perlindungan. Dibalik kemudahan yang diberikan sponsor, sering terjadi praktek-praktek penipuan dan pemerasan terhadap calon PRT.
b. Mengutamakan kebutuhan negara penempatan tenaga kerja tanpa mengindahkan rambu-rambu Undang-Undang. UU No.39 tahun 2004 telah menyebutkan bahwasanya penempatan PRT hanya dilakukan ke negara-negara yang memiliki MoU dengan Indonesia. namun pada prakteknya, penempatan dilakukan
juga ke
negara-negara yang tidak memiliki MoU dengan Indonesia mengingat 32
kebutuhan di negara tersebut yang sangat besar terhadap tenaga kerja asing, terutama tenaga kerja sektor informal.
2. Pada tahap pelatihan. a. Belum
ditanganinya
penyiapan
tenaga
kerja
migran
secara
profesional. Lemahnya kualitas calon PRT antara lain disebabkan tidak semua PPPRTS mempersiapkan (mengadakan pelatihan) calon PRT sesuai ketentuan yang berlaku. Banyak kasus PRT yang menghadapi kesulitan di negara tujuan akibat kurang dipersiapkan dalam hal keterampilan, kemampuan bahasa maupun pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan masyarakat di negara tujuan.
b. Belum adanya jaminan kemampuan calon PRT melalui sertifikasi. Sebagai dampak dari pelaksanaan pelatihan yang terkesan hanya sebagai formalitas, maka dalam hal ini pemberian sertifikat masih ditemui kasus sertifikasi yang tidak melalui proses pelatihan, standar pelatihan yang diharuskan atau tanpa melalui tahap uji keterampilan. Bahkan dalam praktek ditemui banyak sertifikat diberikan tanpa melalui proses pelatihan sama sekali.
33
3. Pada tahap pemberangkatan. a. Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengurusan dokumen perjalanan. Dari sisi kelembagaan, dalam penyelenggaraan penempatan PRT seharusnya banyak stakeholders yang terlibat, yaitu: Kemnakertrans, BNP2PRT, PPPRTS, asuransi, jasa transportasi, LSM, DPR/organisasi sosial politik, akademisi. Namun demikian, Kemenakertrans sesuai fungsinya sebagai regulator, fasilitator dan pengawas serta BNP2PRT sebagai pelaksana penempatan dan perlindungan PRT di luar negeri merupakan instansi yang sangat dominan dalam penyelenggaraan penempatan PRT ke luar negeri. Dalam prakteknya, pelaksanaan penempatan banyak didominasi oleh pihak swasta (bisnis), khususnya PPPRTS.
b. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai dampak dari panjangnya prosedur dan persyaratan pengurusan dokumen. Calon PRT harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit dan kompleks dalam pengurusan dokumen (paspor, visa kerja, bebas fiskal dan tiket). Praktek ini tidak jarang menimbulkan peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelayanan pengurusan dokumen yang melibatkan banyak instansi dengan lokasi pelayanan yang berbeda-beda, sementara ego
34
sektoral masih melekat kuat, maka untuk memperoleh dokumen-dokumen tersebut diperlukan waktu yang lama. Sebagian PPPRTS yang harus segera memberangkatkan calon PRT cenderung ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dalam pengurusan dokumen, dengan melakukan pemalsuan dokumen identitas PRT termasuk alamat tempat tinggal (Teguh 2007: 171). Praktek pemalsuan ini menjadi faktor penghambat dalam upaya perlindungan PRT, terutama pada saat mereka mendapatkan masalah pada saat penempatan.
c. Lemahnya hukum dalam prosedur perjanjian kerja antara calon PRT dan pihak pengguna. Sistem perjanjian kerja antara calon PRT dan pihak pengguna di luar negeri cenderung merugikan calon PRT. Beberapa permasalahan pokok antara lain:
Sistem perjanjian kerja cenderung tidak mengedepankan unsur-unsur perlindungan terhadap PRT.
Rendahnya pemahaman dan penjelasan tentang isi perjanjian kerja bagi calon PRT, sehingga sangat merugikan calon PRT.
Tidak diterimanya salinan/copy surat perjanjian kerja juga menyullitkan calon PRT untuk mencari pertolongan apabila terjadi pelanggaran oleh pihak lain. Akibatnya secara hukum PRT kurang terlindungi dan mempunyai posisi yang lemah
35
dalam menghadapi masalah yang dialami terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban PRT.
d. Lamanya tinggal di penampungan PPPRTS berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan terhadap PRT. Proses penempatan calon PRT yang tidak jelas membawa konsekuensi bagi PPPRTS dalam memenuhi permintaan tenaga kerja dan pengiriman tenaga kerja yang tepat waktu, sehingga PPPRTS cenderung banyak merekrut calon PRT terlebih dahulu tanpa memperhitungkan kepastian keberangkatan calon PRT. Hal ini berimplikasi pada perlunya tempat penampungan bagi calon PRT agar setiap saat dapat diberangkatkan apabila diperlukan oleh pengguna. Dampaknya, calon PRT akan tinggal lebih lama di penampungan dan berbagai permasalahan timbul, seperti pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan ketidakbebasan terkait adanya larangan untuk keluar dari penampungan (Teguh 2007: 171). Jumlah calon PRT di penampungan mengalami penumpukan sebagai dampak dari perekrutan calon PRT sebelum adanya job order dari agensi di negara penempatan.
e. Kurang efektifnya kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Menurut pasal 69 (3) UU No.39 tahun 2004, pemerintah bertanggung jawab memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Kegiatan PAP ini telah diberikan kepada dua lembaga. BNP2PRT melakukan 36
pelatihan PRT yang dikirim berdasarkan kesepakatan antar pemerintah. Sementara, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta agen perekrutan melakukan pelatihan ke semua PRT lain yang akan berangkat. Kapasitas pelatihan dan PAP masih dipusatkan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya seperti Surabaya. Sentralisasi geografis pelatihan ini mengakibatkan biaya tinggi bagi tinggi PRT yang diminta untuk membayar perjalanan mereka sendiri dan biaya akomodasi agar bisa menghadiri pelatihan wajib ini.
Secara yuridis ikatan hak dan kewajiban PRT terjadi dengan PPPRTS dan majikan saja. Hubungan PRT dengan agen tidak jelas tetapi memainkan peran utama terjadinya penempatan PRT serta permasalahannya. PRT rentan terhadap permasalahan selama masa hubungan kerja (Mardjono 2007: 72). Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. PRT yang bekerja pada pengguna perseorangan berada pada kondisi yang kurang menguntungkan disebabkan antara lain:
Kondisi subjektif dalam interaksi kerja karena dalam lingkungan keluarga yang didominasi pelaku keluarga.
Hubungan individual yang rentan pada sikap emosional, konflik serta tekanan fisik/mental yang dapat berpengaruh buruk terhadap PRT.
Lingkungan kerja tertutup yang rentan terhadap pelanggaran waktu kerja dan waktu istirahat atau pelanggaran hak-hak PRT pada umumnya. 37
2. Belum adanya data dasar (data base) keberadaan PRT oleh perwakilan RI menyebabkan sukar dilakukan monitoring. Pembinaan dan penanganan masalahnya dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh:
PPPRTS tidak melaporkan keberangkatan/ketibaan PRT di perwakilan RI.
Agen juga tidak melaporkan kedatangan PRT ke perwakilan.
3. Terbatasnya campur tangan pemerintah dalam proses hubungan kerja sehingga rawan atas pelanggran hak-hak PRT seperti gaji tidak dibayar, pekerjaan terlalu berat, tindakan sepihak majikan, dll.
Faktor-faktor kerentanan adanya tindak kekerasan terhadap PRT antara lain yaitu (Sri 2007: 70-75) : 1.
Budaya Hukum Dua konteks budaya yang berbeda patut dilihat; budaya hukum di dalam
negeri (Indonesia) dan di negara penerioma (timur tengah), meskipun sama-sama banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. a. Konteks Indonesia Kebutuhan akan kerja sebagai cara untuk meningkatkan kehidupan lebih baik bagi diri PRT dan keluarganya dalam kondisi dan situasi dimana daerah masing-masing mereka sangat terbatas akses terhadap sumber daya yang tersedia merupakan kenyataan. Bekerja di luar negeri merupakan cara lain yang penuh resiko baik disadari maupun tidak disadari. Perempuan di dorong untuk bekerja demi kepentingan keluarganya. 38
b. Konteks Negara Timur Tengah Situasi dan kondisi yang beragam di setiap negara di kawasan Timur Tengah tidak dapat digeneralisir. Meskipun demikian pada umumnya ada pandangan bahwa posisi PRT sangat rendah, nyaris setara dengan budak. Hal ini menjadikan sikap dan perilaku yang tidak menghargai para PRT.
2.
Struktur Hukum-Perilaku Aparat Pemerintah Dari proses konsultasi Komnas Perempuan terhadap kelompok masyarakat
pendamping PRT dan para PRT yang telah menjadi korban dari kawasan Timur Tengah, perilaku aparat pemerintah, baik pemerintah pusat dan khususnya perwakilan pemerintah di luar negeri masih dianggap kendala. Suka tidak suka, KBRI menjadi ujung tombak penanganan kasus di negara penerima. Harapan terhadap KBRI menjadi sangat besar oleh masyarakat, sementara KBRI memiliki keterbatasan. Pertama, terkait dengan penyelesaian kasus. Laporan atas kasus yang disampaikan oleh PRT ke KBRI di beberapa KBRI segera diproses dengan cepat, tanpa pengendapan dan penggalian lebih dalam terhadap kasus. Masalah sebenarnya yang dialami oleh PRT baru diketahui (khususnya oleh LSM) setelah PRT dipulangkan ke Indonesia. Hal ini sangat menyulitkan dari proses pemenuhan hak-hak korban baik ha katas keadilan maupun pemulihannya. Kedua, KBRI di kawasan Timur Tengah diharapkan untuk lebih terbuka terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang peduli terhadap nasib PRT (termasuk organisasi yang ada di negara penerima). Informasi dan komunikasi 39
berkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi relative kurang bagi pihak-pihak di luar KBRI dan DEPLU. Kurangnya informasi berpengaruh terhadap pola penanganan kasus yang lemah dari pantauan masyarakat. Ketiga, inisiatif pemerintah (KBRI) di Timur Tengah dianggap masih rendah untuk melakukan upaya-upaya sosialisasi tentang hak-hak PRT di tempat kerja. Inisiatif dari pemerintah secara umum juga rendah untuk dengan cepat membuat
terobosan-terobosan
yang
kemudian
ditindaklanjuti
dengan
pembentukan sistem penanganan kasus secara komperhensif. Keempat, pemerintah dianggap kurang menjalankan pemantauan yang efektif dan tidak tegas terhadap pihak-pihak yang telah melanggar hak-hak PRT bahkan dalam beberapa kasus terlibat sebagai pihak yang mengeksploitasi PRT. Kordinasi antar instasi pemerintah masih lemah. Pemerintah belum berhasil membuat mekanisme pemantauan yang diakui dan dijalankan secara bersama.
3.
Hukum dan Kebijakan Negara Faktor yang berperan dalam kerentanan PRT akan kekerasan antara lain
adalah kelemahan pengaturan hukum dan kebijakan di tingkat nasional yang berpengaruh di dalam dan luar negeri maupun kebijakan di tingkat local (khususnya di wilayah asal PRT). Kelemahan tersebut khususnya dalam perlindungan terhadap PRT ketika ia menjadi korban dalam proses rekruitmen (pra pemberangkatan dna pemulangan di Indonesia) maupun perlindungan PRT di negara penerima.
40
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PRT DI ARAB SAUDI TAHUN 2006-2012
A.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Dalam upaya meningkatan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan
TKI telah dibentuk pula Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BKPTKI) pada 16 April 1999 melalui Keppres No 29/1999 yang keanggotannya terdiri 9 instansi terkait lintas sektoral pelayanan TKI. Pada 2004 lahir Undangundang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pengaturan ini disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 81/2006 tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan PRT, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain-lain (www.bnp2PRT.go.id). Lembaga BNP2TKI merupakan salah satu lembaga yang langsung dibawah naungan pemerintah sebagai perpanjangtangan pemerintah dalam pengurusan TKI dalam berbagai manca negara, lembaga ini merupakan lembaga yang dipercaya langsung oleh pemerintah dalam menangani, mengatasi, mengirimkan para TKI 41
ke luar negeri, bahkan sebagai lembaga resmi yang melakukan komunikasi politik ke luar negeri yang berkerja sama dengan lembaga yang terkait, misalnya lembaga tenaga kerja, Menteri Tenaga Kerja, lembaga yang ditunjuk langsung oleh pemerintah. Dengan Keberadaan BNP2TKI ini maka segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan PRT berada dalam otoritas BNP2TKI, yang dikoordinasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun tanggungjawab tugasnya kepada presiden. Akibat kehadiran BNP2TKI pula, keberadaan Direktorat Jenderal PPTKLN otomatis bubar berikut Direktorat PPTKLN karena fungsinya telah beralih ke BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id). Berdasarkan tugas, fungsi, tujuan, struktur BNP2TKI dan tata kerja, maka dapat dikatakan lembaga BNP2TKI ini tersusun secara sistematis baik itu dilihat secara program, struktur bahkan langsung dari kebijakan pemerintah itu sendiri (pemerintah SBY). Dengan adanya lembaga BNP2TKI maka tenaga kerja Indonesia yang ke luar negeri mengalami peningkatan pada umumnya khususnya ke Arab Saudi. Kondisi pengiriman PRT ke Timur Tengah khususnya Pemerintah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tentu membutuhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mampu menangani dan memberikan solusi yang tepat kepada PRT sehingga PRT dapat terlindungan dari berbagai permasalahan. Visi BNP2TKI yaitu terwujudnya TKI yang berkualitas, bermartabat dan kompetitif. Sedangkan misi BNP2TKI yaitu menciptakan kesempatan kerja di luar negeri seluas-luasnya; meningkatkan keterampilan/kualitas dan pelayanan penempatan TKI; meningkatkan pengamanan, perlindungan dan peberdayaan 42
TKI; meningkatkan kapasitas lembaga penempatan dan perlindungan TKI; meningkatkan
kapasitas
lembaga
pendukung
sarana
prasarana
lembaga
pendidikan dan kesehatan (www.bnp2tki.go.id).
B.
Satgas TKI Satgas merupakan organisasi ad hoc yang direncanakan akan bekerja selama
6 bulan untuk membantu memperjuangkan permasalahan PRT/WNI khususnya di bidang pendampingan/advokasi hukum. Satgas berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam RI (www.polkam.go.id). Satgas TKI dibentuk berdasarkan kepada Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2011. Sesuai dengan Keppres Nomor 17 Tahun 2011, tugas Satgas yaitu mengiventarisasi permasalahan dan kasus-kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang terancam hukuman mati; memberikan advokasi dan bantuan hukum kepada mereka; melakukan evaluasi penanganan hukum terhadap kasus-kasus yang dialami WNI/TKI di luar negeri, termasuk kasus-kasus yang merugikan TKI di negara penempatan; dan memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai langkah-langkah penyelesaian penanganan kasus-kasus WNI/TKI di luar negeri (www.tribunnews.com). Satgas Pembelaan PRT dibentuk setelah Ruyati bin Satubi, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, dijatuhi hukuman mati. Ruyati dieksekusi mati dengan tuduhan membunuh majikannya. Namun eksekusi Ruyati dengan cara dipancung itu tak diberitahukan sebelumnya oleh pihak Saudi kepada Pemerintah Indonesia. Satgas PRT ini akan bertugas memetakan potensi ancaman hukuman mati bagi 43
warga negara Indonesia, di beberapa negara seperti Arab, Cina, dan Malaysia. meski sudah ada Satgas PRT, tidak berarti PRT yang terancam hukuman mati bisa dibebaskan (www.tempo.co). Pembentukan satuan tugas pembebasan tenaga kerja Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai karena birokrasi dan para menteri sulit dikendalikan (www.investor.co.id). Pembentukkan Satgas dinilainya sebagai pengakuan tidak langsung bahwa memang ada yang tidak beres dalam penanganan PRT ke luar negeri. Selama ini, lanjut dia, jika dilihat dari segi peraturan pemerintah Indonesia sudah cukup baik. Yakni berupa kebijakan tertulis yang menyangkut perlindungan tenaga kerja keluar negeri. Tetapi, yang jadi masalah yakni pelaksanaan dan pengawasan atas pelaksanaan peraturan itu (www.republika.co.id). Menurut Arbi Sanit1, pilihan Presiden untuk membentuk badan baru sudah tepat karena lebih mudah untuk dikendalikan, termasuk di antaranya pembentukan satgas untuk pembebasan para PRT di Arab Saudi yang akan dihukum pancung. Ia menilai pembentukan satuan tugas dirasa mampu mempercepat penyelesaian masalah dibanding birokrasi (www.investor.co.id). Satuan Tugas Penanganan Kasus PRT menyatakan bahwa WNI-PRT di Luar Negeri yang terancam hukuman mati mencatat lebih 200 orang di sedikitnya enam negara. Data jumlah WNI-PRT yang terancam hukuman mati berdasarkan temuan Satgas di Arab Saudi (43 orang), Malaysia (149 orang), China (14 orang),
1
Arbi Sanit ialah pengamat politik Universitas Indonesia
44
Iran (tiga orang), dan masing-masing di Singapura dan Brunei Darussalam satu orang (www.jatim.antaranews.com). 17 orang berada di Arab Saudi tempat enam orang sudah kembali ke Tanah Air (Darsem bt Dawud Tawar, Rani bt Bohim Ukar, Bayanah bt Banhawi Sawawi, Jamilah bt Abidin Rofi'I, Mesi bt Dama Idon dan Neneng Sunengsih bt Mamih Ujan). Sebanyak empat orang sedang menunggu proses deportasi yakni Hafidz bin Kholil Sulam, Eni Sulistiyana bt Muhamad Suwarso, Farida Usman dan Miya bt Harun). Dua orang telah berubah menjadi hukuman 10 tahun penjara dan 1.000 cambukan (Sumartini bt Manaungi Galisung dan Warnah bt Warta Niing). Kemudian, tiga orang mendapat pemaafan namun masih menjalani hukuman hak umum (Ahmad Nurhadi Syarifuddin, Fatulah Maksum Muhammad Aliya dan Abdul Wasit Asmani Asmuhi) dan dua orang sudah mendapat pemaafan namun masih menunggu putusan akhir sidang (Emi bt Katma Mumu dan Ahmad Fauzi bin Abu Hasan) (www.jatim.antaranews.com).
C.
Moratorium Penempatan PRT Indonesia Ke Arab Saudi Dalam
penangguhan
kamus
bahasa
Indonesia,
moratorium
(www.kamusbahasaindonesia.org).
berarti
penundaan/
Pemerintah
Indonesia
menerapkan kebijakan Moratorium penempatan PRT ke negara Arab Saudi sejak tanggal 1 Agustus 2011. Kebijakan Moratorium merupakan penghentian sementara pengiriman PRT informal ke Arab Saudi, agar semua pihak baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi melakukan evaluasi dan pembenahan sistem penempatan dan perlindungan PRT (BNP2TKI 2013: 23). 45
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan telah menyiapkan enam langkah terkait permasalahan yang terjadi terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Instruksi diberikan Presiden pasca-eksekusi mati Ruyati binti Satubi yang dihukum pancung pada Tanggal 18 Juni Tahun 2006. Pada 23 Juni 2011 Presiden SBY memberikan keterangan pers mengenai kebijakan pemerintah tentang
ketenagakerjaan,
Pemerintah
memutuskan
untuk
melaksanakan
moratorium pengiriman PRT ke Arab Saudi yang berlaku efektif mulai 1 Agustus 2011 sampai nota kesepahaman perlindungan TKI disepakati antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi (www.presidenri.go.id). Pemerintah sejak tanggal 1 Agustus 2011 mengeluarkan Moratorium (penundaan) penempatan PRT ke Arab Saudi menyusul banyaknya kasus penganiayaan PRT di negara tersebut. Para calon pekerja yang berencana pergi ke Arab Saudi harus segera membatalkan dan mengambil jalur lain. Berdasarkan data BNP2TKI, Indonesia mengirim sekitar 400.000 PRT ke seluruh negara. Dari total tersebut, sekitar 15.000 hingga 20.000 orang di antaranya dikirim ke Arab Saudi setiap bulannya. Pemberlakukan moratorium atau penghentian sementara penempatan TKI ke Arab Saudi hanya diperuntukan bagi PRT. Moratorium PRT dengan Arab Saudi akan dijalankan sampai adanya penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mengenai perbaikan
penempatan
dan
perlindungan
(www.news.okezone.com).
46
PRT
di
Arab
Saudi
Mengatasi persoalan PRT yang bermasalah di luar negeri, tentu tidak lepas dari diplomasi yang harus dilakukan terhadap negara yang bersangkutan, untuk melakukan hal tersebut, dalam hal ini negara harus terlebih dulu memenuhi hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di dalam negeri. Ada hal-hal yang perlu disepakati terlebih dulu dimana hal yang paling penting adalah masalah hak asasi manusia. Hak asasi manusia bagi warga negara Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri yang pertama-tama harus dipenuhi adalah hak untuk memperoleh pekerjaaan di dalam negeri. Karena kebijakan penghentian pengiriman PRT ke luar negeri atau moratorium itu seringkali ditentang karena alasan melanggar hak asasi manusia warga negara untuk bekerja di luar negeri.
D.
Memorandum of Understanding (MoU) MoU menjadi perangkat yang membantu pemerintah Indonesia dalam
mendapatkan jaminan perlindungan bagi PRT di negara penempatan. Namun demikian, keberadaan MoU tidak banyak berarti apabila isi dari MoU tersebut tidak secara komprehensif menjamin perlindungan PRT dan terdapat kelemahan dari sisi implementasi. Keberadaan MoU diharapkan menjadi jembatan bagi perbedaan antara ketentuan nasional negara penempatan, ketentuan hukum internasional mengenai pekerja migran dan ketentuan nasional Indonesia, khususnya bila terjadi kekosongan hukum di negara penempatan. Banyak negara dimana Indonesia tidak memiliki MoU, namun karena hukum domestik negara tersebut cukup baik dalam melindungi tenaga kerja asing, maka perlindungan PRT berjalan cukup baik (BPPK Kemlu 2011: 38). 47
Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Perburuhan Kerajaan Arab Saudi menyampaikan bahwa Pemerintah Arab Saudi belum pernah melakukan penandatangan
MoU
bidang
ketenagakerjaan.
Filosofinya
adalah
ihwal
ketenagakerjaan adalah urusan swasta. Usulan Indonesia untuk membuat MoU akan direkomendasikan kepada instansi terkait dan Dewan Kabinet Arab Saudi (BNP2TKI 2013: 19). Indonesia dan Arab Saudi belum memiliki MoU mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja. Kendati demikian, telah terdapat kemajuan hubungan Indonesia – Arab Saudi terkait ketenagakerjaan, terlihat dari kesediaan pemerintah Arab Saudi untuk melakukan pertemuan dengan pemerintah Indonesia guna membahas perlindungan PRT dan upaya untuk membentuk suatu MoU setelah selama 40 tahun terlaksana pengiriman PRT ke Arab Saudi. Perundingan awal antara kedua belah pihak telah dilaksanakan pada pertemuan pertama Joint Working Committee (JWC) di bidang ketenagakerjaan pada 10-13 Juli 2011 d Riyadh. Adapun pembahasan mengenai MoU ketenagakerjaan secara khusus dilakukan oleh Joint Technical Committee (JTC) yang dibentuk oleh JWC tersebut (BPPK Kemlu 2011: 42). Diharapkan MoU ini dapat menjadi cikal bakal mekanisme perlindungan dan pelayanan bagi tenaga kerja Indonesia di kawasan Timur Tengah di masa yang akan datang. Indonesia mengusulkan Arab Saudi bersedia membahas kerjasama perlindungan PRT Arab Saudi dalam bentuk penandatanganan MoU dengan alasan-alasan sebagai berikut (BNP2TKI 2013: 19) :
48
1. Usulan perjanjian tentang ketenagakerjaan merupakan respon Pemerintah Indonesia terhadap himbauan The High Level Regional Governmental Forum on Women Migrant Workers, Human Trafficking and Labour Law Reform yang diselenggarakan oleh United Nation Development Fund for Women (UNIFEM) di Amman, Jordania pada tahun 2007. Forum yang dihadiri oleh semua negara pengirim dan penerima tenaga kerja tersebut telah mengeluarkan beberapa pernyataan akhir bersama, yaitu: a. Pentingnya negara pengirim dan penerima tenaga kerja membuat perjanjian bilateral yang mengatur hak dan kewajiban PLRT yang sesuai dengan konvensi internasional. b. Pentingnya membuat PK standar yang mengatur hak dan kewajiban majikan dan pekerja. c. Pemberlakuan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran terhadap hak semua pihak terutama pekerja. d. Perlunya Undang-Undang atau instrument hukum lainnya yang mewajibkan agen-agen penyalur tenaga kerja untuk terlibat dalam memberikan perlindungan kepada para pekerja. 2. Pemerintah Indonesia memperhatikan laporan dari berbagai pihak tentang hak dan kewajiban PLRT asal Indonesia di Arab Saudi seperti waktu lembur, hak cuti, akomodasi, upah dan fasilitas lainnya, pada kenyataannya, terdapat ketimpangan yang lebar dimana perlakuan dan hak-hak pekerja yang diperoleh seorang expatriate.
49
3. Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk meyakinkan masyarakat Indonesia dan Internasional tentang upaya dan niat baik kedua pemerintahan, Indonesia dan Arab Saudi dalam memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak tenaga kerja di luar negeri termasuk di Arab Saudi. Dalam permasalahan PRT di Arab Saudi, sistem hukum negara Indonesia tidak dapat menjangkau permasalahan yang terjadi di Arab Saudi. Menangani kasus-kasus PRT yang terjadi di Arab Saudi tidak hanya didasarkan atas peraturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. Pelaksanaannya harus disesuaikan dengan peraturan negara setempat, yaitu sistem hukum Arab Saudi (Syariah) selaku negara yang menjadi tempat terjadinya masalah/kasus. Hal ini mengakibatkan penanganan kasus terhadap PRT di Arab Saudi menjadi sulit, apalagi UU ketenagakerjaan di negara tersebut pada pasal 1 menyebutkan bahwa UU perlindungan ketenagakerjaan tersebut tidak mencakup perlindungan terhadap informal. Bahkan dalam pandangan dan tradisi mereka, para PRT di sana dianggap budak-budak belian, sehingga rawan terjadi perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, dan pelanggaran HAM lainnya. Tindakan yang dilakukan Indonesia dan Arab Saudi dalam menangani permasalahan PRT diwujudkan dalam kebijakan yang bersifat umum yaitu kebijakan yang terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan tindakan-tindakan dari pejabat terkait, diwujudkan juga dalam kebijakan yang bersifat administratif, yaitu kebijakan yang dibuat oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas 50
melaksanakan hubungan luar negeri negaranya, berupa dokumen-dokumen tertulis dalam bentuk aturan hukum yang dipublikasikan secara umum. Upaya pemerintah Indonesia dan Arab Saudi untuk mewujudkan adanya perjanjian bilateral dalam bidang ketenagakerjaan khususnya bidang informal. Hal yang sulit dalam penyelesaian kasus tenaga kerja antara PRT dan majikan pada sektor Informal, khususnya PLRT adalah dikarenakan tidak ada hukum perburuhan atau ketenagakerjaan nasional pada negara tujuan penempatan tersebut dikarenakan sifatnya yang dipandang informal. Di Arab Saudi, konsep PLRT sebagai bagian dari keluarga, membuat profesi PLRT tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu pekerjaan professional yang diatur secara resmi dalam Dekrit Kerajaan Nomor M/51, tahun 2005, bagian VI yang merupakan dasar hukum perburuhan Arab Saudi. Akibatnya, selain tidak adanya standarisasi perlindungan bagi PRT, sengketa antara PRT dengan majikan pun menjadi sulit untuk dibawa ke ranah hukum ketenagakerjaan (Teguh 2010). Untuk menyelesaikan masalah kekosongan hukum ini dan dalam rangka memenuhi mandat Pasal 11 UU No. 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan PRT di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara pengguna PRT atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri RI terus mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang penempatan atau perlindungan PRT antara Indonesia dengan negara-negara tujuan, salah satunya
51
Arab Saudi (Teguh 2010). Hal ini merupakan salah satu bentuk dari diplomasi perlindungan PRT yang terus diupayakan oleh Pemerintah.
E.
Peran Perwakilan Republik Indonesia (RI) Di Luar Negeri Dalam Melindungi PRT Di Luar Negeri Akar permasalahan PRT sebenarnya disebabkan oleh pengelola negara yang
bersifat swasta. Regulasi mengenai PRT itu rumusannya adalah peraturan penempatan dan perlindungan, dimana seolah-olah perlindungan PRT itu menjadi sub ordinat dari penempatan PRT. Menjadi prioritas itu adalah perlindungan terhadap PRT sejak dari calon PRT direkrut, diberangkatkan, ditempatkan, hingga pemulangan kembali ke keluarganya di tanah air. Harus ada pemilahan yang jelas antara peran dan tanggung jawab negara pengirim, negara penempatan dan individu PRT itu sendiri. Adapun yang menjadi hambatan dalam perlindungan PRT di Arab Saudi, antara lain yaitu (BNP2TKI 2013: 24) : 1. Pengawasan yang sangat sulit dilakukan baik oleh pihak kepolisian Arab Saudi maupun perwakilan Indonesia terhadap pekerja sektor domestik yang bekerja di rumah tangga-rumah tangga serta luasnya wilayah sebaran PRT di Arab Saudi. 2. Belum ditandatanganinya kesepakatan Mandatory Consuler Notifikation (MCN) di antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia sehingga perwakilan Indonesia di Arab Saudi sulit untuk mendapat akses kekonsuleran terhadap kasus yang menimpa PRT. 52
3. Masih besarnya minat PRT untuk bekerja di Arab Saudi dan besarnya permintaan PRT dari Arab Saudi. 4. Budaya dikalangan sebagian mayarakat Arab yang memposisikan tenaga kerja PRT sebagai budak yang bisa diperlakukan sewenang-wenang. 5. Masih besarnya jumlah WNI/PRT overstayer di Arab Saudi yang memerlukan penanganan khusus untuk menyelesaikan permasalahan kerja dan pemulangannya. 6. Jumlah SDM yang masih sangat terbatas di perwakilan Indonesia di Riyadh dan Jeddah sehingga upaya pengawasan dan kontrol terhadap permasalahan PRT di seluruh wilayah Arab Saudi kurang memadai.
Sudah menjadi kewajiban internasional bahwa setiap warga negara asing harus menghormati hukum dan kebiasaan setempat. Demikian juga telah menjadi kewajiban secara internasional pula sebagaimana yang diatur dalam Vienna Convention On Consular Relations 1963 tentang kewajiban Negara untuk melindungi warganya. Secara internal, kewajiban Pemerintah Indonesia lewat perwakilan di luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada WNI secara umum di luar negeri diatur dalam UU Hubungan Luar Negeri pada bab V pasal 19 yang menyatakan (Teguh 2007: 62-63) :
53
Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban (Teguh 2007: 63) :
Memupuk persatuan dan kerukunan antara sesame warga Negara Indonesia di luar negeri.
Memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya permasalahan yang dialami PRT adalah dengan mengeluarkan kebijakan pendaftaran Perjanjian Kerja (PK). Menurut prosedur yang legal, calon majikan yang ingin memperkerjakan PRT harus mendatangi PJTKA. Instansi inilah yang kemudian akan menghubungi PPPRTS yang ada di Indonesia dalam proses berikutnya. Adapun langkah awal yang dilakukan PPPRTS adalah mendaftarkan PK ke KBRI dengan membawa visa kerja untuk calon PRT yang sudah diurus dan dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) negara setempat dengan segala ketentuan yang berlaku, mengisi formulir pendaftaran PK (Teguh 2007: 64).
54
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Permasalahan yang dialami oleh PRT khususnya di kawasan Timur Tengah,
merupakan bagian dari masalah PRT secara keseluruhan. Penanganan terhadap masalah di Timur Tengah pun tidak bisa dipisahkan dengan proses penanganan yang terjadi di dalam negeri Indonesia sendiri terkait dengan instansi-instansi pemerintah dan pihak lainnya serta kebijakan komperhensif ketenagakerjaan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Perlindungan terhadap PRT khususnya di kawasan Timur Tengah, merupakan perlindungan hakiki warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya ketika mereka mengalami masalah di luar negeri. Penempatan dan perlindungan TKI pada umumnya khususnya pengiriman TKI ke luar negeri yang tidak mendukung terhadap PRT, padahal pengiriman TKI telah diatur dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 yaitu penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yaitu terdapat pada pasal 92 ayat 2 pemerintah berkewajiban untuk melindungi TKI yang berada di luar negeri. Perekrutan yang dilakukan lembaga BNP2TKI ataupun lembaga PJTKI yang bekerja sama dengan pihak-pihak swasta
yang tidak sesuai dengan prosedur bahkan tidak
bertanggungjawab terhadap PRT tersebut. Selain itu, aturan-aturan BNP2TKI yang masih banyak masalah seperti individu PRT, Pemerintah dan negara tempatan. Proses penempatan di negara tujuan penempatan PRT harus melapor ke Perwakilan RI. Laporan ini dimaksudkan agar para PRT diketahui keberadaannya 55
di luar negeri, sehingga berhak mendapatkan perlindungan yang akan dilakukan oleh Perwakilan RI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan adanya permasalahan-permasalahan yang timbul dan kerap kali terjadi pelanggaran HAM terhadap PRT Indonesia di Arab Saudi, Pemerintah haruslah lebih serius dalam menangani
permasalahan tersebut
dengan
memberikan perlindungan terhadap PRT Indonesia di Arab Saudi dengan jalur diplomasi. Diplomasi pada dasarnya mengacu pada pelaksanaan hubungan antar pihak yang terkait dalam menyelesaikan permasalahan suatu negara dengan negara lain. Kebijakan yang diambil dalam memberikan perlindungan PRT Indonesia di luar negeri harus diupayakan dalam suatu sistem dan mekanisme yang terpadu melalui koordinasi tersebut dibentuk dalam suatu satuan tugas yang khusus menangani berbagai masalah di lapangan. Pendekatan politik dan hubungan luar negeri harus diarahkan kepada pendekatan integratif, sehingga lebih memudahkan penanganan berbagai kasus/masalah yang berkembang di beberapa kawasan yang dapat langsung dipantau dan dimonitor perkembangannya oleh direktoratdirektorat terkait di lingkungan Deplu.
56
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal: Aloewie, Tjepy F. 2007. ”Kebijakan Promosi Tenaga Kerja Profesional dan terampil Indonesia: Dulu, Kini dan Masa Depan”. Jurnal Luar Negeri. Vol.24 No.2. Baharudin, Erwan. 2007. “Perlindungan Hukum Terhadap TKI di Luar Negeri Pra Pemberangkatan, Penempatan dan Purna Penempatan”. Lex Jurnalica. Vol. 4 No.3. Budiarjo, Miriam.2001. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri. 2012. Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Eddyono, Sri Wiyanti. 2007. “Kekerasan Terhadap TKW di Timur Tengah dan Penanganannya”. Jurnal Luar Negeri. Vol.24 No.2. Hidayah, Anis. 2011.“Menuju Pembaruan Kebijakan Buruh Migran Yang Lebih Protektif”. Jurnal Legislasi. Vol. 8 No. 3. Irewati, Awani. 2003. “Kebijakan Indonesia Terhadap Masalah TKI di Malaysia”. Dalam Ed. Awani Irewati, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI Legal di Negara ASEAN. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global Dalam Teori dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu. Kajian upaya peningkatan kualitas perlindungan dan pelayanan TKI di Luar Negeri. 2011. Jakarta: BPPK Kemlu. K. J. Holsti. 1984.International Politics, A Framework for Analysis.Third Edition. New Delhi: Prentice Hall of India. KM. Pannikar. 1993.“The Principle and Practice of Diplomacy”. Diplomasi. Terj: Harwanto dan Mirsawati, Jakarta: PT. Raja Grafindo 57
Laporan Indonesia kepada pelapor khusus PBB untuk HAM. 2002. Buruh Migran Indonesia: Penyiksaan sistematis di dalam dan di luar negeri, Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan. Lubis, Nurhayati. 2003. “Tenaga Kerja Migran Ditinjau Dari Aspek Hukum”. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol.2 No.2. Majalah KJRI Jeddah. Suara Indonesia. Edisi 2. Juli 2012. Mardjono. 2007. “Optimalisasi Citizen Protection Bagi Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah”. Dalam Pertemuan Kelompok Ahli: Optimalisasi Citizen Protection Dalam Penanganan Isu Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah.
Departemen
Luar
Negeri
RI:
Badan
Pengkajian
dan
Pengembangan Kebijakan. Mohsin, Aiyub. 2010. Diplomasi. Nazir, Mohammad. 1988.MetodePenelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Panduan Buruh Migran (Tenaga Kerja Indonesia/TKI) di Arab Saudi. 2005.Jakarta: Komnas HAM. Pigay, Natalis. 2005. Migrasi Tenaga Kerja Internasonal: Sejarah, Fenomena, Masalah dan Solusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Perwita, Anak Agung Banyu, dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pudjiastuti, Tri Nuke. 2007. “Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan Kebijakan Citizen Protection Dalam Penanganan Masalah TKI di Timur Tengah”. Dalam Pertemuan Kelompok Ahli: Optimalisasi Citizen Protection Dalam Penanganan Isu Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah. Departemen Luar Negeri RI: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan. Rasalwati, Uke Hani. 2003. “Migrasi dan permasalahannya”. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol.2 No.2. R. P. Barston. 1997. Modern Diplomacy. New York: Addison Wesley Longman. SL. ROY.Diplomasi.2000. Terj: Harwanto dan Mirsawati. Jakarta:Rajawali Press. Tjiptoherijanto, Prijono. 1999.” Migrasi Internasional: Proses, Sistem dan Kebijakan”. Dalam Ed. M. Arif Nasution.Globalisasidan Migrasi Antar
58
Negara. Bandung: kerja sama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Toyibah, Dzuriatun. 2008. “ASEAN dan Problem Penegakan Hak Asasi Manusia”.ORBIT: Jurnal Hubungan Internasional UIN Jakarta. Vol. 1. Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LIPI Press. Wardoyo, Teguh. 2007. “Optimalisasi Perlindungan Tenaga Kerja (TKI) di Timur Tengah”. Dalam Pertemuan Kelompok Ahli: Optimalisasi Citizen Protection Dalam Penanganan Isu Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah.
Departemen
Luar
Negeri
RI:
Badan
Pengkajian
dan
Pengembangan Kebijakan. Wardoyo, Teguh. 2010 “diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indoensia di Luar Negeri”.Jurnal Diplomasi. Vol.2, No.1. Wibisono, Makarim. 2006. Tantangan Diplomasi Multilateral, Jakarta: LP3ES.
Website: http://www.antaranews.com/print/89965/. Diakses tanggal 4 Oktober 2013. www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/5224-remitansi-tki-2011-tidakterpengaruh-moratorium.html. Diakses tanggal 9 Mei 2013. http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/berita-foto-mainmenu-31/4054sejarah-penempatan-tki-hingga-bnp2tki-.html. Diakses tanggal 9 Mei 2013. http://www.gatra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=772:kro nologi-kasus-darsem&catid=1:nasional&Itemid=70. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.harianjogja.com/baca/2011/03/16/hukuman-3-tahun-untuk-majikansumiati-dibatalkan-89380. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/presentation/wcms_159849.pdf. Oktober 2013. 59
Diakses
tanggal
4
http://kamusbahasaindonesia.org/moratorium. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/19/08161095/nasib.pahlawan.devisa.di. negeri.citra. Diakses tanggal 17 September 2013. http://news.okezone.com/read/2011/01/26/337/418033/redirect. Diakses tanggal 17 September 2013. http://www.polkam.go.id/Beranda/tabid/38/mid/394/newsid394/92/language/enUS/Default.aspx. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.tempo.co/read/news/2011/07/01/173344335/Keppres-PembentukanSatgas-TKI-Keluar-Pekan-Depan. Diakses tanggal 19 Oktober 2013. http://www.wartamerdeka.com/index.php?option=com_content&view=article&id =1455:kasus-tki-dihukum-pancung-di-arab-saudi-keluarga-ruyati-kecewapada-kemenlu-ri&catid=81:politik&Itemid=458.
Diakses
tanggal
30
Oktober 2013. http://wartapedia.com/dunia/hukum-kriminal/5356-kasus-kikim-komala-sarijenazah-. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.bnp2tki.go.id/statistik-penempatan/6756-penempatan-per-tahun-pernegara-2006-2012.html. Diakses tanggal 4 September 2013. http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&art id=1409. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&art id=1415. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.bnp2tki.go.id/organisasi-mainmenu-176/visi-dan-misi-bnp2tkimainmenu-161/79-visi-dan-misi.html. Diakses tanggal 9 Mei 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/23/ln8cg1-pembentukansatgas-tki-harus-sesuai-tupoksi. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://www.investor.co.id/home/pembentukan-satgas-tki-karena-birokrasi-sulitdikendalikan/14868. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/84728/satgas-lebih-200-wni-tki-terancamhukuman-mati. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. http://news.okezone.com/read/2011/06/24/337/472314/bnp2tki-`moratorium-kearab-saudi-hanya-untuk-prt. Diakses tanggal 30 Oktober 2013. 60
http://www.tempo.co/read/news/2011/06/24/063343138/Besok-Tim-PembebasanDarsem-Bertemu-Keluarga-Korban-di-Arab. Diakses tanggal 22 Desember 2013. http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-asal-usul-dan-sejarah-tki-pertamakali.html. Diakses tanggal 22 Desember 2013. http://artikelbahasaindonesia.org/artikel-pendidikan/asal-usul-dan-sejarah-tkiindonesia/. Diakses tanggal 22 Desember 2013. http://www.tribunnews.com/nasional/2012/02/29/sby-beri-tugas-baru-buat-satgastki. Diakses tanggal 22 Desember 2013. http://www.presidenri.go.id/index.php/pers/presiden/2011/06/23/561.html. Diakses tanggal 22 Desember 2013.
61
www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang: a. bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya; b. bahwa setia tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan; c. bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia; d. bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia; e. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang peleksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional; f. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan diluar negeri; g. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri; h. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang; i. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu membentuk undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Mengingat: UNDANG-UNDANG TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
www.bpkp.go.id
2. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagi pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. 3. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. 4. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundangundangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. 5. Pelaksanan penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. 6. Mitra usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negera tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada pengguna. 7. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI. 8. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan. 9. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 10. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syaratsyarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak. 11. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. 12. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan. 13. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta. 14. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu. 15. Orang adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum. 16. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indoensia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri. 17. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Pasal 3 Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawai; b. menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negari, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia; c. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Pasal 4 Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
www.bpkp.go.id
BAB II TUGAS, TANGGUNG JAWAB, DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH Pasal 5 (1) Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagi wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Pemerintah berkewajiban: a. menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri; b. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; c. membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri; d. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan e. memberikan perlindungankepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN TKI Pasal 8 Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk: a. bekerja di luar negeri; b. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri; c. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri; d. memperoleh kebebasan menganut aama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. e. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan. f. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan; g. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penampatan di luar negeri; h. memeproleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal; i. memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli. Pasal 9 Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk: a. menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan; b. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja; c. membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. BAB IV PELAKSANAAN PENEMPATAN TKI DI LUAR NEGERI Pasal 10 Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari: a. Pemerintah; b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.
www.bpkp.go.id
Pasal 11 (1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri. Pasal 13 (1) Untuk dapat memperoleh SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, pelaksana penempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundangan-undangan; b. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan, sekurangkurangnya sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah); c. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) pada bank pemerintah; d. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sekurangkurangnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan; e. memiliki unit pelatihan kerja; dan f. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI. (2) Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat ditinjau kemabli dan diubah dengan Peraturan Menteri. (3) Ketentuan mengenai penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan bentuk serta standar yang harus dipenuhi untuk sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 14 (1) Izin untuk melaksanakan penempatan TKI di luar negeri diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sekali; (2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada pelaksana penempatan TKI swasta selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara periodik kepada Menteri; b. telah melaksanakan penempatan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIPPTKI; c. masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan; d. memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang diaudit akuntansi publik; dan e. tidak dalam kondisi diskors. Pasal 15 Tata cara pemberian dan perpanjangan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 16 Deposito hanya dapat dicairkan dalam hal pelaksanaan penempatan TKI swasta tidak memenuhi kewajiban terhadap calon TKI/TKI sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian penempatan. Pasal 17 (1) Pelaksanaan penempatan TKI swasta wajib menambah biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi. (2) Pemerintah mengembalikan deposito kepada pelaksanan penempatan TKI swasta apabila masa berlaku SIPPTKI telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau SIPPTKI dicabut.
www.bpkp.go.id
(3) Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan menteri. Pasal 18 (1) Menteri dapat mencabut SIPPTKI apabila pelaksana penempatan TKI swasta: a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, atau; b. tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau melanggar larangan dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negei yang diatur dalam undang-undang ini. (2) Pencabutan SIPPTKI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab pelaksana penampatan TKI swasta terhadap TKI yang telah ditempatkan dan masih berada diluar negeri. (3) Tata cara pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud pad ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 19 Pelaksanaan penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI kepada pihak lain. Pasal 20 (1) Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penampatan TKI swasta wajib mempunyai perwakilan di negara TKI ditempatkan. (2) Perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara tujuan. Pasal 21 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat membentuk kantor cabang di daerah diluar wilayah domisili kantor pusatnya. (2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggungjawab kantor pusat pelaksana penampatan TKI swasta. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan kantor cabang pelaksana penempatan TKI swata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 22 Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat memberikan kewenangan kepada kantor cabang untuk: a. melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI; b. meakukan pendaftaran dan seleksi calon TKI; c. menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan d. menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 23 Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, menjadi tanggungjawab kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 24 (1) Penempatan TKI pada Pengguna perseorangan harus melalui Mitra Usaha di negara tujuan. (2) Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundangan di negara tujuan. Pasal 25 (1) Perwakilan Republik Indonesia melakukan penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. (2) Hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia dalam memberikan persetujuan atas dokumen yang dipersyaratkan dalam penempatan TKI di luar negeri.
www.bpkp.go.id
(3) Berdasarkan hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perwakilan Republik Indonesia menetapkan Mitra Usaha dan Pengguna yang bermasalah dalam daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah. (4) Pemerintah mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali. (5) Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penetapan Mitra Usaha dan Pengguna baik bermasalah maupun tidak bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 26 (1) Selain oleh Pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, perusahaan dapat menempatkan TKI di luar negeri, untuk kepentingan perusahaan sendiri atas izin tertulis dari Menteri. (2) Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia. b. TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri; c. perusahaan memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian pekerja yang diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia. d. TKI telah memiliki perjanjian kerja. e. TKI telah diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan/atau memiliki polis asuransi; dan f. TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN. (3) Ketentuan mengenai penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. BAB V TATA CARA PENEMPATAN Bagian Pertama Umum Pasal 27 (1) Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing. (2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan keamana Pemerintah menetapkan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI dengan Peraturan Menteri. Pasal 28 Penempatan TKI pada pekerjaan danjabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 29 (1) Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat , minat dan kemampuan. (2) Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azazi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional. Pasal 30 Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan serta peraturan perundangundangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
www.bpkp.go.id
Bagian Kedua Pra Penempatan TKI Pasal 31 Kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri meliputi: a. pengurusan SIP; b. perekrutan dan seleksi; c. pendidikan dan pelatihan kerja; d. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; e. pengurusan dokumen; f. uji kompetensi; g. pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan h. pemberangkatan. Paragraf 1 Surat Izin Pengerahan Pasal 32 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari Menteri. (2) Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki: a. perjanjian kerjasama penempatan; b. surat permintaan TKI dari Pengguna; c. rancangan perjanjian penempatan; dan d. rancangan perjanjian kerja. (3) Surat permintaan TKI dari Pengguna perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. (4) Tata cara penerbitan SIP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 33 Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI. Paragraf 2 Perekrutan dan Seleksi Pasal 34 (1) Proses perekrutan didahuli dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurangkurangnya tentang: a. tata cara perekrutan; b. dokumen yang diperlukan; c. hak dan kewajiban calon TKI/TKI; d. situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan e. tata cara perlindungan bagi TKI. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara lengkap dan benar. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 35 Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun; b. sehat jasmani dan rohani; c. tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan d. berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.
www.bpkp.go.id
Pasal 36 (1) Pencari kerja yang berminat bekerja ke luar negeri harus terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (2) Pendaftaran pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri. Pasal 37 Perekrutan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta dan pencari kerja yang terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). Pasal 38 (1) Pelaksana Penempatan TKI swasta membuat dan mendatangani perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan. (2) Perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Pasal 39 Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon TKI dibebankan dan menjadi tanggung jawab pelaksana TKI swasta. Pasal 40 Ketentuan mengenai tata cara perekrutan calon TKI, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Pendidikan dan Pelatihan Kerja Pasal 41 (1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan. (2) Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan penddikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Pasal 42 (1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. (2) Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk: a. membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI; b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya agama, dan risiko bekerja di luar negeri; c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahas negara tujuan; dan d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI. Pasal 43 (1) Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan. (2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja. Pasal 44 Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi kompetensi kerja. Pasal 45 Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja.
www.bpkp.go.id
Pasal 46 Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan. Pasal 47 Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Pasal 48 Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. Pasal 49 (1) Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah. (2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dan penunjukan sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 50 Pelaksana penempatatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi. Paragraf 5 Pengurusan Dokumen Pasal 51 Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi: a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir; b. surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah; c. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali; d. sertifikat kompetensi kerja; e. surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat; g. visa kerja; h. perjanjian penempatan kerja; i. perjanjian kerja, dan j. KTKLN. Pasal 52 (1) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 buruf b dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta setelah calon TKI yang bersangkutan terpilih dalam perekrutan. (2) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan alamat pelaksana penempatan TKI swasta; b. nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI; c. nama dan alamat calon Pengguna; d. hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di luar negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna tercantum dalam perjanjian kerjasama penempatan; e. jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan pengguna; f. jaminan pelaksana penempatan TKI swasta kepada calon TKI dalam hal ini Pengguna tidak memenubi kewajibannya kepada TKI sesuai perjanjian kerja; g. waktu keberangkatan calon TKI; h. hanya penempatan yang barus ditanggung oleh calon TKI dan cara pembayarannya; i. tanggungjawab pengurusan penyelesaian musibah; j. akibat atas terjadinya pelanggaran perjanjian penempatan TKI oleh salah satu pihak, dan
www.bpkp.go.id
k. tanda tangan para pihak dalam perjanjian penempatan TKI. (3) Ketentuan dalam perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (4) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan bermaterai cukup dan masing-masing pihak mendapat 1 (satu) perjanjian penempatan TKI yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Pasal 53 Perjanjian penempatan TKI tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Pasal 54 (1) Pelaksanana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI kepada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan melampirkan copy atau salinan perjanjian penempatan TKI. Bagian Ketiga Perjanjian Kerja (1) (2) (3) (4) (5)
Pasal 55 Hubungan kerja antara Pengguna dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja disepakati dan ditandatangi oleh para pihak. Setiap TKI wajib menandatangani perjanjian kerja sebelum TKI yang bersangkutan diberangkatkan ke luar negeri. Perjanjian kerja ditanda tangani di hadapan pejabat instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disiapkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan alamat pengguna; b. nama dan alamat TKI; c. jabatan dan jenis pekerjaan TKI; d. hak dan kewajiban para pihak; e. kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah, dan tata cara pembayaran, baik cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial; dan f. jangka waktu perpanjangan kerja.
Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. (2) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jabatan atau jenis pekerjaan tertentu. (3) Ketentuan mengenai jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang dikecualikan dari jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri. Pasal 57 (1) Perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), dapat dilakukan oleh TKI yang bersangkuatn atau melalui pelaksana penempatan TKI swasta. (2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disepakati oleh para pihak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perjanjian kerja pertama berakhir. Pasal 58 (1) Perjanjian kerja dan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja wajib mendapat persetujuan dari pejabat berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. (2) Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.
www.bpkp.go.id
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan perjajian kerja dan perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 59 TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Pasal 60 Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja. Pasal 61 Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, apabila selama masa berlakunya perjanjian kerja terjadi perubahan jabatan atau jenis pekerjaan, atau pindah Pengguna, maka perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengurus perubahan perjanjian kerja dengan membuat perjanjian kerja baru dan melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia. Pasal 62 (1) Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah. (2) KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan. Pasal 63 (1) KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 hanya dapat diberikan apabila TKI yang bersangkutan: a. telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri; b. telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); dan c. telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi. (2) Ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh KTKLN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 64 Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memiliki KTKLN. Pasal 65 Palaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab atas kelengkapan dokumen penampatan yang diperlukan. Pasal 66 Pemerintah wajib menyediakan pos-pos pelayanan di pelabuhan pemberangkatan dan pemulangan TKI yang dilengkapi fasilitas yang memenuhi syarat. Pasal 67 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sesuai dengan perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2). (2) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap keberangkatan calon TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. (3) Pemberangkatan TKI ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tempat pemeriksaan imigrasi yang terdekat. Pasal 68 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi. (2) Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
www.bpkp.go.id
Pasal 69 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan. (2) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman pendalaman terhadap: a. peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan b. materi perjanjian kerja. (3) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab Pemerintah. (4) Ketentuan mengenai pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Masa Tunggu di Penampungan Pasal 70 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat menampung calon TKI sebelum pemberangkatan. (2) Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. (3) Selama masa penampungan, pelaksana penempatan TKI swasta wajib memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi. (4) Ketentuan mengenai standar tempat penampungan dan lamanya penampungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Masa Penempatan Pasal 71 (1) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negera tujuan. (2) Kewajiban untuk melaporkan kedatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi TKI yang bekerja pada Pengguna Perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 72 Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan. Bagian Keenam Purna Penempatan Pasal 73 (1) Kepulangan TKI terjadi karena: a. berakhirnya masa perjanjian kerja; b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir; c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan; d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya lagi; e. meninggal dunia di negara tujuan; f. cuti; atau g. dideportasi oleh pemerintah setempat. (2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pelaksana penampatan TKI berkewajiban: a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut; b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberikannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan; c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan; d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku de negara yang bersangkutan;
www.bpkp.go.id
e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima. (3) Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimasud pada ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI. Pasal 74 (1) Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negera tujuan. (2) Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Pasal 75 (1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI. (2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal: a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI; b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihakpihak lain yang tidak bertanggungjawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan. (3) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaiman dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pembiayaan Pasal 76 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat membebankan biaya penempatan kepada calon TKI untuk komponen biaya: a. pengurusan dokumen jati diri; b. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; dan c. pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja. (2) Biaya selain biaya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (3) Komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus transparan dan memenuhi asas akuntabilitas. BAB VI PERLINDUNGAN TKI Pasal 77 (1) Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan. Pasal 78 (1) Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan intemasional. (2) Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu. (3) Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 79 Dalam rangka pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri, Perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.
www.bpkp.go.id
Pasal 80 (1) Dengan pertimbangan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain: a. pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional; b. pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan. (2) Ketentuan mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 81 (1) Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI/TKI, pemerataan kesempatan kerja dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri. (2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI. (3) Ketentuan mengenai penghentian dan pelarangan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 82 Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan. Pasal 83 Setiap calon TKI/TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan maupun yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI. Pasal 84 Program pembinaan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PENYELESAIAN PERSELISlHAN Pasal 85 (1) Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah. BAB VIII PEMBINAAN Pasal 86 (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berkenan dengan penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat mengikutsertakan pelaksana penempatan TKI swasta, organisasi dan/atau masyarakat. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Pasal 87 Pembinaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, dilakukan dalam bidang: a. Informasi; b. sumber daya manusia; dan c. perlindungan TKI.
www.bpkp.go.id
Pasal 88 Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, dilakukan dengan: a. membentuk sistem dan jaringan informasi yang terpadu mengenai pasar kerja luar negeri yang dapat diakses secara meluas oleh masyarakat; b. memberikan informasi keseluruhan proses dan prosedur menganai penempatan TKI di luar negeri termasuk resiko bahaya yang mungkin terjadi selama masa penempatan TKI di luar negeri; Pasal 89 Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b, dilakukan dengan: a. meningkatkan kualitas keahlian dan/atau keterampilan kerja calon TKI/TKI yang akan ditempatkan di luar negeri termasuk kualitas kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing; b. membentuk dan mengembangkan pelatihan kerja yang sesuai dengan standar dan persyaratan yang ditetapkan. Pasal 90 Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf c, dilakukan dengan: a. memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan; b. memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI; c. Menyusun dan mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. melakukan kerjasama internasional dalam rangka perlindungan TKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 91 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telab berjasa dalam pembinaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya. BAB IX PENGAWASAN Pasal 92 (1) Pengawasan terbadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleb instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleb Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. (3) Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebib lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 93 (1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaporkan basil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. BAB X BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI Pasal 94 (1) Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, diperlukan pelayanan dan tanggungjawab yang terpadu.
www.bpkp.go.id
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (3) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang berkedudukan di Ibukota Negara. Pasal 95 (1) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. (2) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas: a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan bukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); b. memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: 1) dokumen; 2) pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); 3) penyelesaian masalah; 4) sumber-sumber pembiayaan; 5) pemberangkatan sampai pemulangan; 6) peningkatan kualitas calon TKI; 7) informasi; 8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan 9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya Pasal 96 (1) Keanggotaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terdiri dari wakil-wakil instansi Pemerintah terkait. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dapat melibatkan tenaga-tenaga profesional. Pasal 97 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 98 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Ibukota Provinsi dan/atau tempat pemberangkatan TKI yang dianggap perlu. (2) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI. (3) Pemberikan pelayanan pemrosesan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama-sama dengan instansi yang terkait. Pasal 99 (1) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan. (2) Tata cara pembentukan dan susunan organisasi Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 100 (1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau Pasal 105.
www.bpkp.go.id
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI; c. pencabutan izin; d. pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau e. pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 101 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukam penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan tentang tindak di bidang penempatan dan perlindungan TKI. b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI. (3) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 102 (1) Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang: a. Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau c. Menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 103 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang: a. mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; b. mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33; c. melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;
www.bpkp.go.id
d. menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; e. menempatkan TKI tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50; f. menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51; g. menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68; atau h. memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di penampungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 104 (1) Dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 24; b. menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); c. mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46; d. menempatkan TKI di Luar Negeri yang tidak memiliki KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64; atau e. tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 105 (1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan melapor pada instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik Indonesia. (2) Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan harus memiliki KTKLN. Pasal 106 (1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan berhak untuk memperoleh perlindungan. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 107 (1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang telah memiliki izin penempatan TKI di luar negeri sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Bagi pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum berlakuknya Undang-Undang ini, maka Jangka waktu penyesuaian terhitung mulai sejak Undang-Undang ini berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja TKI terakhir yang ditempatkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini. (3) Apabila pelaksana penempatan TKI swasta dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Undang-undang ini, maka izin pelaksana penempatan TKI swasta yang bersangkutan dicabut oleh Menteri. Pasal 108 Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya UndangUndang ini.
www.bpkp.go.id
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 109 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 133
www.bpkp.go.id
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI I.
UMUM Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati. Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkah banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besamya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah penggangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yang tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnyaa jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yangn berkaitan dengan nasib TKI semakin beragama dan bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undang yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya.
www.bpkp.go.id
Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI. Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang, diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal. Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan dalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. Dengan demikian Undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Menempatkan warga negara Indonesia dalam Pasal ini mencakup perbuatan dengan sengaja memfasilitasi atau mengangkut atau memberangkatkan warga negara Indonesia untuk bekerja pada Pengguna di luar negeri baik dengan memungut biaya maupun tidak dari yang bersangkutan. Pasal 5 Ayat (1) Penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilakukan secara seimbang oleh Pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tersebut dapat berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu mengatur, membina, dan mengawasi pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b Pelaksana penempatan TKI swasta sebelum berlakunya Undang-undang ini disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Jaminan bank dalam bentuk deposito atas nama Pemerintah dimasudkan agar ada jaminan untuk biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI di dalam negeri dan/atau TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI swasta atau menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta yang masih ada karena izin dicabut atau izin tidak diperpanjang atau TKI tersebut tidak diikutkan dalam program asuransi. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan sarana prasarana pelayanan penempatan TKI antara lain tempat penampungan yang layak, tempat latihan kerja, dan kantor. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Yang dimaksud dengan mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI adalah yang dalam praktek sering disebut dengan istilah “jual bendera” atau "numpang proses". Apabila hal ini ditolerir, akan membuat kesulitan untuk mencari pihak yang harus bertanggungjawab dalam hal terjadi permasalahan terhadap TKI. Pasal 20 Ayat (1) Pembentukan perwakilan dapat dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaksana penempatan TKI swasta. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Kantor cabang dapat dibentuk di Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Pengguna perseorangan dalam Pasal ini adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI pada pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasa disebut sebagai pekerjaan di sektor informal. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Persetujuan Perwakilan Republik Indonesia meliputi dokumen perjanjian kerja sama penempatan, surat permintaan TKI, dan perjanjian kerja. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e
www.bpkp.go.id
Perlindungan asuransi yang dimaksud dalam huruf ini sedikit-dikitnya sama dengan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan pertimbangan keamanan pada ayat ini antara lain negara tujuan dalam keadaan perang, bencana alam, atau terjangkit wabah penyakit menular. Pasal 28 Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam Pasal ini antara lain pekerjaan sebagai pelaut. Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelatihan kerja bagi calon TKI dapat dilakukan oleh lembaga pelatihan maupun unit pelatihan yang dimiliki pelaksana penempatan TKI swasta. Huruf d Pemeriksaaan psikologis dimaksudkan agar TKI tidak mempunyai hambatan psikologis dalam melaksanakan pekerjaannya di negara tujuan. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Surat permintaan TKI dari Pengguna dalam huruf ini dikenal dengan sebutan job order, demand letter atau makalah. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
www.bpkp.go.id
Agar informasi dapat diterima secara benar oleh masyarakat, harus digunakan bahasa yang mudah dipahami. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 35 Huruf a Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ketentuan dalam Pasal ini berarti bahwa pelaksana penempatan TKI swasta tidak dibenarkan melakukan perekrutan melalui calo atau sponsor baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan mampu berkomunikasi dengan bahasa asing adalah mampu menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan di negara tujuan. Huruf d Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Yang dimaksud dengan sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensl nasional dan/atau internasional. Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1)
www.bpkp.go.id
Sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan dari psikologi dalam ketentuan ini dapat merupakan milik Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan/atau masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Paspor diterbitkan setelah mendapat rekomendasi dari dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota setempat. Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Jaminan yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah pernyataan kesanggupan dari pelaksana penempatan TKI swasta untuk memenuhi janjinya terhadap calon TKI yang ditempatkannya. Misalnya, apabi1a dalam perjanjian penempatan pelaksana penempatan TKI swasta menjanjikan bahwa calon TKI yang bersangkutan akan dibayar sejumlah tertentu oleh Pengguna, dan ternyata dikemudian hari Pengguna tidak memenuhi sejumlah itu (yang tentunya dicantumkan dalam perjanjian kerja), maka pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar kekurangannya. Demikian pula apabila calon TKI dijanjikan akan diberangkatkan pada tanggal tertentu namun temyata sampai pada waktunya tidak diberangkatkan, maka pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengganti kerugian calon TKI karena keterlambatan pemberangkatan tersebut. Dengan dimuatnya klausul perjanjian penempatan seperti ini, maka pelaksana penempatan TKI swasta didorong untuk mencari dan menempatkan calonTKI pada Pengguna yang tepat. Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Huruf i Cukup jelas Huruf j Dalam perjanjian penempatan dapat diperjanjikan bahwa apabila TKI setelah ditempatkan ternyata mengingkari janjinya dalam perjanjian kerja dengan Pengguna yang akibatnya pelaksana penempatan TKI swasta menanggung kerugian karena dituntut oleh Pengguna akibat perbuatan TKI tersebut, maka dalam perjanjian penempatan dapat diatur bahwa TKI yang melanggar perjanjian kerja harus membayar ganti rugi kepada pelaksana penempatan TKI swasta. Demikian pula dapat diatur sebaliknya bahwa apabila pelaksana penempatan TKI swasta mengingkari janjinya kepada TKI, maka dapat diperjanjikan bahwa pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar ganti rugi kepada TKI. Huruf k Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Ayat (1) Oleh karena proses pengurusan dokumen atau pemeriksaan kesehatan calon TKI membutuhkan waktu yang relatif lama, dan mengingat pelaksanaan pelatihan kerja pada umumnya dipusatkan pada lokasi tertentu sehingga untuk kelancaran pelaksanaan pendidikan dan pelatihan mereka dapat tinggal di penampungan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Pada dasarnya kewajiban untuk melaporkan diri sebagai seorang warga negara yang berada di negara asing merupakan tanggung jawab orang yang bersangkutan. Namun, mengingat lokasi penempatan yang tersebar, pelaksanaan kewajiban melaporkan diri dapat dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 72 Penempatan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan dalam ketentuan perjanjian kerja, misalnya di dalam perjanjian kerja TKI tersebut dipekerjakan dalam jabatan baby sitter (pengaguh bayi), maka pelaksana penempatan TKI swasta tersebut dilarang menempatkan pada jabatan selain jabatan yang tercantum dalam perjanjian kerja dimaksud. Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Ayat(1) Cukup jelas Ayat (2) Setiap negara tujuan atau Pengguna dapat menetapkan kondisi untuk mempekerjakan tenaga kerja aging di negaranya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan adanya tambahan biaya lainnya yang menjadi beban calon TKI. Agar calon TKI tidak dibebani biaya yang berlebihan, maka komponen biaya yang dapat ditambahkan serta besarnya biaya, untuk dibebankan kepada calon TKI. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu, dibahas dan dilakukan bersama oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hubungan luar negeri, Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, dan Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pemerintah termasuk di dalamnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI.
www.bpkp.go.id
Pasal 86 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas Pasal 102 Cukup jelas Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Cukup jelas Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas Pasal 109 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4445
Bahasa Indonesia Version: UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya PEMBUKAAN Negara – negara peserta pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumeninstrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak asasi manusia, khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional tentang Hak sipil dan Politik, Kovensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Hak Anak, Memperhatikan juga prinsip-prinsip dan standar-standar yang dicantumkan dalam instrumen-instrumen terkait yang diuraikan dalam kerangka kerja Organisasi Buruh Internasional (ILO), khususnya Konvensi mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.97), Konvensi mengenai Migrasi Dalam Keadaan Teraniaya dan Pemajuan Persamaan Kesempatan dan Perlakuan bagi Buruh Migran (No.143), Rekomendasi mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.86), Rekomendasi mengenai Buruh Migran (No.151), Konvensi mengenai Kerja Wajib atau Kerja Paksa (No.159), dan Konvensi mengenai Penghapusan Kerja Paksa (No.105), Menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip yang termuat dalam Konvensi menentang Diskriminasi dalam Pendidikan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mengingat Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Derajat Manusia, Deklarasi Kongres ke empat Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan, Aturan Berperilaku Para Pejabat Penegak Hukum, dan Konvensi Mengenai Perbudakan, Mengingat bahwa salah satu tujuan ILO, sebagaimana dicantumkan dalam Konstitusinya, adalah melindungi kepentingan para buruh manakala mereka dipekerjakan di Negara-nagara yang bukan Negaranya sendiri, dengan mengingat keahlian dan pengalaman organisasi tersebut dalam halhal yang berkenaan dengan buruh dan anggota keluarganya,
Mengakui pentingnya pekerjaan yang telah dilakukan sehubungan dengan buruh migran dan anggota keluarganya dalam berbagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Pembangunan Sosial, dan dalam Organisasi Pertanian dan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Organisasi Kesehatan Internasional (WHO), dan juga dalam organisasiorganisasi Internasional lainnya. Mengakui pula kemajuan yang telah dicapai oleh beberapa Negara secara bilateral dan regional, menuju pada perlindungan hak buruh migran dan anggota keluarganya, juga pada penting dan gunanya perjanjianperjanjian bilateral dan multirateral dalam bidang ini. Menyadari pentingnya dan luasnya masalah migrasi, yang melibatkan jutaan manusia dan mempengaruhi sejumlah besar Negara-Negara dalam masyarakat Internasional, Mengetahui akan dampak arus buruh migran pada Negara-negara dan bangsa-bangsa bersangkutan, dan menginginkan untuk menetapkan normanorma yang dapat membantu harmonisasi perilaku Negara-negara tersebut, melalui penerimaan prinsip-prinsip dasar mengenai perlakuan atas buruh migran dan anggota keluarganya, Mempertimbangkan situasi kerentanan yang seringkali dialami buruh migran dan anggota keluarganya, antara lain pada ketidak-beradaannya di Negara asal pada kesulitan-kesulitan yang mungkin mereka hadapi, yang timbul karena keberadaan mereka di Negara tempat mereka bekerja, Meyakini bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan perlindungan Internasional yang layak, Mempertimbangkan adanya kenyataan bahwa migrasi acapkali mengakibatkan masalah-masalah yang serius bagi anggota keluarga para buruh migran dan juga bagi buruh migran itu sendiri, khususnya karena tersebarnya keluarga tersebut, Mengingat bahwa masalah-masalah kemanusiaan yang terlibat dalam migrasi lebih serius dalam kasus migrasi yang tidak biasa, dan oleh karenanya meyakini bahwa tindakan yang tepat harus didorong dalam rangka mencegah dan menghapuskan gerakan-gerakan dan perdagangan buruh migran secara gelap, dan sementara itu memastikan adanya perlindungan atas hak mereka secara mendasar, Menimbang bahwa para buruh yang tidak didokumentasikan atau yang berada dalam situasi yang tidak biasa seringkali dipekerjakan dalam kondisi kerja yang lebih buruk dibandingkan dengan buruh-buruh lain, dan bahwa
beberapa majikan berupaya mencari buruh-buruh semacam itu untuk memperoleh keuntungan dalam persaingan yang tidak wajar, Juga menimbang bahwa saluran untuk mempekerjakan buruh migran yang berada dalam situasi yang tidak biasa, harus dikurangi agar hak yang mendasar dari buruh migran lebih dihormati, dan lebih lanjut lagi, bahwa memberikan seperangkat hak tambahan pada buruh migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang biasa, akan mendorong semua buruh migran dan majikan untuk menghormati dan mematuhi hukum dan prosedur yang ditetapkan oleh Negara-negara yang bersangkutan, Meyakini adanya kebutuhan untuk menetapkan perlindungan internasional pada hak seluruh buruh migran dan anggota keluarganya, menegaskan kembali dan menetapkan norma-norma dasar dalam konvensi yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal, Telah Menyetujui hal-hal sebagai berikut: BAGIAN I RUANG LINGKUP DAN DEFINISI Pasal 1 1. Konvensi ini berlaku, kecuali jika ditentukan sebaliknya di sini, pada semua buruh migran dan anggota keluarganya tanpa pembedaan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, atau kepercayan, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status lainnya. 2. Konvensi ini akan berlaku selama seluruh proses buruh migran dan anggota keluarganya, yang terdiri dari persiapan untuk migrasi, pemberangkatan, transit dan seluruh masa tinggal dan pekerjaan yang dibayar didalam Negara tempat bekerja, dan juga kembalinya ke Negara asal atau Negara tempatnya bertempat tinggal. Pasal 2 Untuk maksud Konvensi ini, maka : 1. Istilah “buruh migran” mengacu pada seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di mana ia bukan menjadi warganegara; 2. (a) Istilah “buruh frontir” mengacu pada buruh migran yang mempertahankan kediamannya sehari-hari dalam Negara tetangga ke tempat mana ia biasanya pulang setiap hari atau setidaknya sekali seminggu; (b) Istilah “buruh musiman” mengacu pada buruh migran yang pekerjaannya tergantung pada kondisi musiman, dan dilakukan hanya dalam sebagian waktu setiap tahun;
(c) Istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang buruh migran yang dipekerjakan diatas kapal yang didaftarkan dalam suatu Negara dimana ia bukan warga Negara; (d) Istilah “buruh pada instalasi lepas pantai” mengacu pada buruh migran yang dipekerjakan pada suatu instalasi lepas pantai yang berada dibawah wilayah hukum suatu Negara dimana ia bukan warga Negara; (e) Istilah “buruh keliling” mengacu pada seorang buruh migran yang harus bepergian ke Negara atau Negara-negara lain untuk waktu singkat sehubungan dengan sifat pekerjaannya, sedang ia bertempat tinggal sehari-hari disuatu Negara; (f) Istilah “buruh proyek” mengacu pada seorang buruh migran yang diterima kedalam suatu Negara tempatnya bekerja untuk jangka waktu kerja tertentu semata-mata untuk proyek tertentu yang dilaksanakan di Negara tersebut oleh majikannya; (g) Istilah “buruh dengan pekerjaan tertentu” mengacu pada pekerjaan migran yang: i. Dikirim oleh majikannya untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu ke suatu Negara tempatnya bekerja, untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu; ii. Untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu melakukan pekerjaan yang memerlukan keahlian profesional, komersial, teknis, atau keahlian khusus yang tinggi lainnya; atau iii. Untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu, atas permintaan majikannya dalam Negara tempatnya bekerja, untuk melakukan buruh yang bersifat sementara dan singkat; dan yang diminta untuk meninggalkan Negara tempatnya bekerja, baik pada saat berakirnya masa tinggalnya atau sebelumnya, apa bila ia tidak lagi melakukan tugas atau kewajiban tertentu yang di perintahkan kepadanya; (h) Istilah “buruh mandiri’’mengacu pada buruh migran yang melakukan; buruh yang dibayar yang bukan berada dibawah perjanjian kerja, dan yang biasanya mencari nafkah melalui kegiatan ini seorang diri atau bersama anggota-anggota keluarganya dan mengacu pada buruh migran lainnya yang diakui sebagai buruh mandiri menurut kentuan legislatif di negara tempatnya bekerja atau menurut perjanjian bilateral dan multilateral PASAL 3 Konvensi ini tidak berlaku pada: (a) Orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh organisasi dan badan-badan internasional, atau orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu Negara diluar wilayahnya untuk menjalankan fungsi resmi, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh hukum internasional yang umum atau oleh konvensi internasional khusus; (b) Orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu Negara atas nama Negara tersebut diluar wilayahnya, yang berpartisipasi
(c) (d)
(e) (f)
dalam program-program pengembangan dan program-program kerjasama lainnya, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh perjanjian dengan Negara tempatnya bekerja, dan sesuai dengan perjanjian tersebut, tidak dianggap sebagai buruh migran; Orang-orang yang bertempat tinggal di Negara yang berbeda dengan Negara asalnya sebagai penanam modal; Pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan tentang hal ini dicantumkan dalam ketentuan perundang-undangan nasional dari Negara yang bersangkutan, atau dalam instrumen internasional yang berlaku bagi Negara peserta tersebut; Pelajar dan orang yang ikut pelatihan; Pelaut dan buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar di Negara tempatnya bekerja.
Pasal 4 Untuk tujuan konvensi ini, istilah “anggota keluarga” mengacu pada orangorang yang kawin dengan buruh migran atau mempunyai hubungan dengannya, yang menurut hukum yang berlaku berakibat sama dengan perkawinan, dan juga anak-anak mereka yang dibawah umur dan orangorang lain yang menjadi tanggungan mereka yang dianggap sebagai anggota keluarga menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara-negara yang bersangkutan. Pasal 5 Untuk tujuan konvensi ini, buruh migran dan anggota keluarganya: (a) Dianggap telah didokumentasikan atau berada dalam situasi yang biasa apabila mereka diberi ijin masuk, bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar dalam negara tempatnya bekerja, sesuai dengan hukum negara tersebut dan perjanjianperjanjian internasional dimana negara tersebut menjadi pihak; (b) Dianggap tidak didokumentasikan atau berada dalam situasi yang tidak biasa apabila mereka tidak mematuhi persyaratanpersyaratan yang diatur dalam sub-ayat (a) dari pasal ini. Pasal 6 Untuk konvensi ini: a. Istilah “Negara asal” berarti negara dimana orang yang bersangkutan merupakan warga negara; b. Istilah “Negara tempat bekerja” berarti negara dimana buruh migran akan, tengah atau telah dipekerjakan dalam pekerjaan yang dibayar, sebagaimana adanya; c. Istilah “Negara transit” berarti negara yang dilalui oleh orang yang bersangkutan dalam perjalanan ke negara tempatnya bekerja atau dari negara tempatnya bekerja ke negara asal atau tempat tinggalnya sehari-hari.
BAGIAN II Non – Diskriminasi dalam kaitannya dengan hak Pasal 7 Negara-negara peserta perjanjian, sesuai dengan instrumen-instrumen international tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan bahwa semua buruh migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau yang tunduk pada yuridiksinya, agar memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukkan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status lainnya. BAGIAN III Hak Azasi bagi semua buruh migran dan anggota keluarganya Pasal 8 1. Pakerja migran dan anggota keluarganya harus bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka. Hak ini tidak boleh dibatasi kecuali sebagaimana ditentukan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum (Order Public), Kesehatan dan moral umum, atau hak dan kebebasankebebasan orang-orang lain, yang sesuai dengan hak lain yang diakui dalam kovenan ini. 2. Buruh migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk memasuki dan tinggal dinegara asalnya setiap waktu. Pasal 9 Hak atas hidup dari buruh migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum Pasal 10 Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Pasal 11 1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat diperbudak atau diperhambakan. 2. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib; 3. Ayat 2 pasal ini tidak boleh mengecualikan kerja keras (hard labour) sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, dinegara-negara yang memperkenankan dijatuhkannya kerja keras sebagai suatu hukuman.
4. Untuk tujuan pasal ini, istilah “kerja paksa atau wajib” tidak mencakup: (a) Setiap pekerjaan atau jasa yang tidak disebutkan dalam ayat 3 pasal ini, yang biasanya diwajibkan pada orang yang ditahan atas perintah yang sadar pengadilan, atau pada orang yang tengah menjalani pembebasan bersyarat dari penahanan tersebut; (b) Setiap tindakan yang dituntut untuk dilakukan dalam keadaan darurat atau bencana yang mengancam kehidupan atau kesejahteraan masyarakat; (c) Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari kewajiban-kewajiban umum asalkan pekerjaan itu juga dibebankan pada warga negara dari negara yang bersangkutan. Pasal 12 1. Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun secara pribadi. 2. Tidak seorang buruh migran dan angota keluarganya dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya, untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan dasar orang lain. 4. Negara-negara peserta dalam kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua, yang setidaknya salah satu diantaranya adalah buruh migran, dan dimana dimungkinkan, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan sendiri. Pasal 13 1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk berpendapat atau campur tangan. 2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatas-pembatas secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 3. Pelaksanaan hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab-tanggung jawab khusus. Oleh karenanya hal ini dapat dikenai pembatasan tertentu, akan tetapi hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan;
a. Untuk menhghormati hak atau nama baik orang lain : b. Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum negara-negara yang bersangkutan atau ketertiban umum (order publik) atau kesehatan atau moral umum; c. Untuk tujuan mencegah propaganda perang: d. Untuk tujuan mencegah upaya yang mendorong kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau keagamaan yang merupakan penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan tindak kekerasan. Pasal 14 Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarga, rumah atau hubungan surat-menyuratnya atau komunikasi lain, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan serangan seperti tersebut diatas. Pasal 15 Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat secara sewenang-wenang dihalangi untuk memiliki properti, baik yang dimilikinya sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Apabila menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara tempatnya bekerja, aset dari buruh migran dan anggota keluarganya disita baik sebagian maupun seluruhnya, orang yang bersangkutan berhak untuk memperoleh kompensasi yang wajar dan memadai. Pasal 16 1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. 2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas perlindungan yang efektif oleh Negara terhadap tindak kekerasan, kerugian fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun perseorangan, kelompok ataupun lembaga. 3. Verifikasi oleh petugas penegak hukum mengenai identitas buruh migran dan anggota keluarganya harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 4. Buruh migran dan anggota keluarganya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif, tidak boleh menjadi sasaran penangkapan atau penahan yang sewenang-wenang; mereka tidak boleh dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 5. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditangkap wajib diberi tahu pada saat penangkapan, mengenai alasan-alasan penangkapannya dalam bahasa yang sedapat mungkin dapat mereka
6.
7.
8.
9.
fahami, dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya dalam bahasa yang mereka fahami. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, harus segera dihadapkan ke depan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Tidak boleh merupakan suatu ketentuan umum bahwa selama menunggu untuk diadili mereka harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan, dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. Apabila seorang buruh migran dan anggota keluarganya ditangkap atau dimasukan kedalam penjara atau tahanan selama menunggu untuk diadili, atau ditahan dalam bentuk lain, maka: a. Konsuler atau pejabat diplomatik Negara asalnya atau Negara tersebut, harus diberitahukan dengan segera mengenai penangkapan atau penahanan tersebut beserta alasanalasannya, apabila yang bersangkutan memintanya. b. Orang yang bersangkutan harus mempunyai hak untuk berkomunikasi dengan pejabat-pejabat yang disebut diatas. Komunikasi dari orang tersebut kepada pejabat yang disebut diatas harus segera disampaikan, dan Ia berhak untuk menerima komunikasi yang dikirimkan oleh pejabat tersebut dengan segera. c. Orang yang bersangkutan harus segera diberitahu mengenai hak ini dan hak yang berasal dari perjanjian yang relevan jika ada, yang berlaku antara Negara-negara yang bersangkutan, untuk berkorespondensi dan bertemu dengan pejabat diatas, dan untuk mengatur pengacara dengan mereka. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan didepan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan dapat dengan segera menentukan keabsahan penahanan mereka, dan memerintahkan pembebasan apabila penahanan tersebut ternyata tidak sah menurut hukum. Dalam menghadiri acara tersebut, buruh migran dan anggota keluarganya harus memperoleh bantuan seorang penterjemah jika mereka tidak memahami bahasa yang dipergunakan, kalau perlu tanpa membayar. Buruh migran dan anggota keluarganya yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan.
Pasal 17 1. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi, dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia dan pada identitas budaya mereka.
2. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dituduh harus dipisahkan dari orang yang dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus. Terdakwa dibawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin dihadapkan kesidang pengadilan. 3. Buruh migran dan anggota keluarganya yang ditahan dalam suatu negara transit atau Negara tempatnya bekerja karena pelanggaran terhadap ketentuan yang berkanaan dengan migrasi, harus sedapat mungkin ditahan terpisah dari orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman atau orang-orang yang tengah menunggu persidangan. 4. Selama jangka waktu pemenjaraan yang dilaksanakan berdasarkan keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman, pembinaan buruh migran dan anggota keluarganya haruslah bertujuan untuk memperbaiki dan melakukan rehabilitasi sosial. Terpidana anak-anak harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka. 5. Buruh migran dan anggota keluarganya yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusan atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. 6. Apabila buruh migran dan anggota keluarganya telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta yang baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan, maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. 7. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum pidana dan hukum acara pidana di Negara yang bersangkutan. Pasal 19 1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana, karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka Ia harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut. 2. Pertimbangan kemanusiaan yang berkenaan dengan status buruh migran, khususnya sehubungan dengan haknya untuk tinggal dan
bekerja, harus dipertimbangkan dalam menjatuhkan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan buruh migran dan anggota keluarganya.
Pasal 20 1. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dipenjara semata-mata berdasarkan ketidak mampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban perjanjian. 2. Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya yang dapat dihalangi haknya atas surat ijin kerja atau bertempat tinggal, atau di usir semata-mata berdasarkan ketidakmampuanya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian kerja, kecuali pemenuhan kewajiban tersebut merupakan prasyarat bagi dikeluarkannya ijin tersebut. Pasal 21 Selain oleh pejabat publik yang diberi kewenangan oleh hukum, perbuatan seseorang yang menghancurkan atau mencoba menghancurkan dokumen identitas, dokumen yang memberi ijin masuk atau keluar, tempat kediaman, atau tempat tinggal dalam wilayah nasional atau ijin kerja merupakan tindakan melawan hukum. Penyitaan tanpa hak atas dokumendokumen tersebut, tidak boleh dilakukan tanpa adanya bukti resmi yang terperinci. Dalam hal apapun tidak di perkenankan untuk menghancurkan paspor atau dokumen yang setara milik buruh migran dan anggota keluarganya. Pasal 22 1. Buruh migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan satu persatu. 2. Buruh migran dan anggota keluarganya hanya dapat dikeluarkan dari wilayah suatu negara didasarkan atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan hukum. 3. Keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada mereka dalam bahasa yang mereka pahami. Apabila tidak diwajibkan, maka atas permintaan orang-orang tersebut keputusan itu harus dikomunikasikan secara tertulis dan juga alasan-alasannya, kecuali dalam keadaan keadaan yang luar biasa berdasarkan keamanan nasional. Orang-orang yang bersangkutan harus diberi tahu mengenai hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu diambil. 4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah diucapkan oleh pejabat pengadilan, orang-orang yang bersangkutan berhak untuk menyampaikan alasan-alasan mengapa mereka harus tidak diusir, dan untuk meminta kasusnya diminta kembali oleh pejabat yang
5.
6.
7.
8.
9.
berwenang, kecuali alasan keamanan nasional menentukan sebaliknya. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang bersangkutan berhak untuk meminta penundaan keputusan pengusiran tersebut. Apabila keputusan pengusiran yang telah dijalankan kemudian dibatalkan, maka orang yang bersangkutan berhak untuk menuntut kompensasi menurut hukum, dan keputusan yang pertama tidak boleh dipergunakan untuk mencegahnya memasuki kembali negara yang bersangkutan. Dalam hal pengusiran, orang orang yang bersangkutan berhak atas kesempatan yang layak sebelum atau sesudah keberangkatannya, untuk menyelesaikannnya pembayaran gaji atau hak lain yang menjadi haknya dan juga hutang-hutangnya. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, buruh migran dan anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut dapat memohon untuk memasuki suatu negara yang bukan negara asalnya. Dalam hal pengusiran buruh migran dan anggota keluargannya, biaya pengusiran tidak boleh dibebankan padanya. Orang-orang yang bersangkutan dapat diminta untuk membayar biaya perjalanannya sendiri. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak apapun yang telah diperoleh buruh migran dan anggota keluarganya sesuai dengan hukum negara tersebut, termasuk hak untuk, menerima gaji dan hak lain yang menjadi haknya.
Pasal 23 Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk memperoleh upaya bagi perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut, apabila hak yang diakui dalam konvensi ini dilanggar. Khususnya dalam hal pengusiran, orang yang bersangkutan harus diberitahu mengenai hak ini dengan segera dan Pejabat dari Negara yang melakukan pengusiran harus memfasilitasi pelaksanan hak tersebut. Pasal 24 Setiap buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diakui dimanapun sebagai pribadi dimuka hukum. Pasal 25 1. Buruh migran dan anggota keluarganya harus mendapatkan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada warganegara dari Negara tempat bekerja dalam hal penggajian dan: a. Kondisi-kondisi kerja lainnya, yakni uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi-kondisi
apapun yang menurut hukum dan praktek nasional dicakup dalam istilah ini; b. Persyaratan kerja lainnya, yakni usia minimum untuk bekerja, pembatasan pekerjaan rumah, dan hal-hal lain yang menurut hukum dan praktek nasional dianggap sebagai persyaratan kerja; 2. Penghapusan prinsip persamaan perlakuan yang dicantumkan dalam ayat 1 dari pasal ini dari perjanjian kerja pribadi, merupakan tindakan yang melanggar hukum; 3. Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah yang tepat untuk memastikan bahwa buruh migran tidak dihalangi haknya yang muncul dari prinsip ini atas alasan adanya pelanggaran dalam masa tinggal atau buruh mereka. Khususnya, majikan tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban yang ada dalam perjanjian ataupun membatasi kewajiban mereka dengan cara apapun dengan alasan adanya pelanggaran semacam itu. Pasal 26 1. Negara-negara peserta mengakui hak buruh migran dan anggota keluarganya: a. Untuk mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan serikat buruh dan perkumpulan lain yang dibentuk menurut hukum, dengan pandangan untuk melindungi kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan kepercayaan lainnya, sesuai dengan peraturan dari organisasi yang bersangkutan. b. Untuk secara bebas bergabung pada serikat buruh-buruh atau perkumpulan-perkumpulan semacam itu sebagaimana telah disebutkan, sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan; c. Untuk mencari bantuan dan sumbangan dari serikat buruh atau perkumpulan apapun yang disebut diatas. 2. Pelaksanaan hak ini tidak boleh dibatasi kecuali menurut ketentuan hukum, dan yang diperlukan dalam negara demokratis demi kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Pasal 27 1. Berkenaan dengan keamanan nasional, buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas perlakuan yang sama di Negara tempatnya bekerja dengan hak yang diberikan pada warga negara, selama mereka memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Negara asal dan Negara tempat bekerja sewaktu-waktu dapat menetapkan ketentuan yang diperlukan untuk menentukan tata cara permohonan norma tersebut. 2. Apabila ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak memberikan tunjangan pada buruh migran dan anggota keluarganya, Negara-negara yang bersangkutan harus mencari kemungkinan untuk
memberikan penggantian pada orang yang bersangkutan jumlah sumbangan yang diberikan pada mereka sehubungan dengan tunjangan itu berdasarkan perlakuan yang diberikan pada warga negara yang berada pada situasi yang sama. Pasal 28 Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk menerima perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk mempertahankan hidup mereka, atau untuk mencegah kerugian yang tidak dapat diperbaiki pada kesehatan mereka, berdasarkan perlakuan yang sama dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan. Perawatan medis mendesak semacam itu, tidak boleh ditolak oleh Negara dengan alasan adanya pelanggaran yang berkaitan dengan masa tinggal atau pekerjaan mereka. Pasal 29 Setiap anak buruh migran berhak atas pendaftaran kelahiran, dan atas kewarganegaraan.
suatu
nama,
atas
Pasal 30 Setiap anak buruh migran mempunyai hak dasar atas akses pada pendidikan berdasarkan persamaan perlakuan dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan. Akses pada lembaga-lembaga pendidikan prasekolah milik Negara tidak boleh ditolak atau dibatasi dengan alasan adanya situasi pelanggaran berkenaan dengan masa tinggal atau pekerjaan salah satu orangtua, atau berdasarkan alasan adanya pelanggaran masa tinggal dalam Negara tempat bekerja. 1.
2.
Pasal 31 Negara-negara peserta harus menjamin penghormatan pada identitas budaya buruh migran dan anggota keluarganya, dan tidak boleh mencegah mereka untuk mempertahankan hubungan budaya dengan Negara asal mereka. Negara-negara peserta dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu dan mendorong upaya-upaya dalam hal ini.
Pasal 32 Pada saat berakhirnya masa tinggal mereka di Negara tempat bekerja, buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk memindahkan pendapatan dan tabungan mereka, dan juga harta pribadi mereka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dari Negara yang bersangkutan. Pasal 33 1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diberitahu oleh Negara asal, Negara tempat bekerja, atau Negara transit mengenai: a. Hak mereka yang muncul dari konvensi ini;
b. Kondisi penerimaan mereka, hak dan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum dan praktek di Negara yang bersangkutan, dan hal-hal lain yang serupa yang memungkinkan mereka untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan administratif dan ketentuan lain di Negara tersebut. 2. Negara-negara peserta harus mengambil semua langkah-langkah yang mereka anggap tepat untuk menyebarluaskan informasi seperti diatas, atau untuk memastikan bahwa informasi itu telah disebarluaskan oleh majikan, serikat buruh dan badan-badan atau lembaga-lembaga lainnya yang tepat. Tergantung pada kebutuhan, mereka dapat pula bekerjasama dengan Negara-negara yang bersangkutan. 3. Informasi yang memadai seperti diatas harus diberikan atas permintaan buruh migran dan anggota keluarganya dengan cumacuma, dan sejauh mungkin dalam bahasa yang mereka fahami. Pasal 34 Tidak satupun hal yang sama dalam Kovenan ini yang akan mengakibatkan buruh migran dan anggota keluarganya terlepas dari kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan Negara transit dan Negara tempat bekerja, atau kewajiban untuk menghormati identitas dan budaya dari penduduk Negara-negara tersebut. Pasal 35 Tidak satupun dari bagian konvensi ini yang dapat diinterprestasikan sebagai mengakibatkan keteraturan situasi buruh migran dan anggota keluarganya yang tidak didokumentasikan, atau yang berada dalam suatu suasana yang tidak biasa dimaksudkan untuk memastikan kondisi yang setara dan baik, untuk migrasi internasional yang dicantumkan dalam bagian VI konvensi ini. BAGIAN IV HAK LAIN DARI BURUH MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA YANG DIDOKUMENTASIKAN ATAU YANG BERADA DALAM SITUASI NORMAL Pasal 36 Buruh migran dan anggota keluarganya yang didokumentasikan atau berada dalam situasi yang umum dalam Negara tempat bekerja, berhak atas hak yang dicantumkan dalam bagian ini dari konvensi ini, disamping hak yang disebutkan dalam bagian III. Pasal 37 Sebelum keberangkatannya atau selambat-lambatnya pada saat diterimanya mereka di Negara tempat bekerja, buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diinformasikan secara penuh oleh Negara asal atau Negara tempat bekerja, manapun yang berlaku, mengenai semua kondisi yang berlaku pada saat mereka masuk, dan khususnya mengenai masa tinggal mereka dan pekerjaan yang dibayar yang mereka lakukan,
beserta persyaratan yang harus mereka penuhi dalam Negara tempat bekerja, dan juga pejabat yang harus mereka hubungi apabila ada perubahan kondisi-kondisi tersebut. Pasal 38 1. Negara tempat bekerja harus melakukan semua upaya untuk mengijinkan buruh migran dan anggota keluarganya untuk berlibur tanpa akibat pada izin menetap atau bekerjanya, manapun yang terjadi. Dalam melakukan hal ini, Negara tempat bekerja harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban-kewajiban khusus buruh migran dan anggota keluarganya, khususnya di Negara asal mereka. 2. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk diberitahu sepenuhnya mengenai persyaratan perizinan seperti tersebut di atas. Pasal 39 1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan untuk bergerak diwilayah Negara tempatnya bekerja dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut. 2. Hak yang disebutkan dalam ayat 1 di atas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali yang ditentukan oleh hukum, dan diperlukan guna melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang lain, dan yang sesuai dengan hak lain yang diakui dalam kovenan ini. Pasal 40 1. Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk membentuk perkumpulan dan serikat buruh dalam Negara tempatnya bekerja untuk memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan kepentingan mereka yang lain. 2. Pelaksanaan hak ini tidak boleh dibatasi kecuali oleh hal yang telah ditentukan oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. 1.
2.
1.
Pasal 41 Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk berpartisipasi dalam masalah pemerintahan di Negara asalnya dan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum di Negara tersebut, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Negara-negara yang bersangkutan harus memfasilitasi pelaksanaan hak ini sebagaimana perlu dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan mereka. Pasal 42 Negara-negara peserta harus mempertimbangkan penetapan prosedur-prosedur atau lembaga, baik di Negara asal maupun di Negara tempat bekerja, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan,
2.
3.
aspirasi dan kewajiban-kewajiban khusus buruh migran dan anggota keluarganya, dan harus merencanakan kemungkinan bagi buruh migran dan anggota keluarganya untuk secara bebas memilih wakilwakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut Negara tempat bekerja harus memfasilitasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional, konsultasi dan partisipasi buruh migran dan anggota keluarganya dalam keputusan-keputusan yang berkenaan dengan kehidupan dan penyelenggaraan masyarakat lokal. Buruh migran dapat menikmati hak politik dalam Negara tempat bekerja.
Pasal 43 1. Buruh migran berhak atas persamaan perlakuan sama dengan warganegara dari Negara tempatnya bekerja sehubungan dengan: a. Akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan pendidikan sesuai dengan persyaratan penerimaan dan ketentuan lain dari lembaga atau pelayanan tersebut; b. Akses pada bimbingan pelatihan kejuruan dan pelayanan untuk penempatan; c. Akses pada pelatihan kejuruan dan fasilitas dan lembaga pelatihan-kembali; d. Akses pada perumahan, termasuk rencana perumahan sosial, dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam hal uang sewa; e. Akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, asalkan persyaratan-persyaratan untuk ikut serta dalam rencanarencana tersebut dipenuhi; f. Akses pada perusahaan koperasi dan swakelola yang tidak mengakibatkan perubahan dalam status migrasi mereka, dan tunduk pada aturan dan ketentuan dari badan yang bersangkutan; g. Akses dan partisipasi pada kehidupan budaya; 2. Negara-negara peserta harus memajukan kondisi untuk memastikan persamaan perlakuan yang efektif untuk memungkinkan buruh migran menikmati hal yang disebutkan dalam ayat 1 pasal ini, apabila persyaratan masa tinggal mereka sebagaimana diizinkan oleh Negara tempatnya bekerja memenuhi persyaratan yang ditetapkan; 3. Negara tempat bekerja tidak boleh mencegah majikan buruh migran untuk menyediakan perumahan atau fasilitas sosial dan budaya bagi mereka. Tunduk pada pasal 70 konvensi ini, Negara tempat bekerja dapat menetapkan bahwa pendirian fasilitas semacam ini tunduk pada sejumlah persyaratan yang berlaku secara umum dalam negara mengenai Instalasi; 1.
Pasal 44 Negara-negara peserta bahwa keluarga merupakan satuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar, dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara, dan harus mengambil langkah-langkah
2.
3.
yang tepat untuk memastikan perlindungan pada kesatuan keluarga buruh migran. Negara-negara harus mengambil langkah yang mereka anggap tepat yang masuk dalam kewenangannya, untuk memfasilitasi penyatuan kembali buruh migran dengan pasangan mereka atau orang-orang yang mempunyai hubungan dengan buruh migran, yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai akibat yang setara dengan perkawinan, dan juga dengan anak-anak mereka yang belum menikah dan dibawah umur. Negara-negara tempat bekerja, berdasarkan alasan-alasan kemanusiaan, harus mempertimbangkan pemberian perlakuan yang sama yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini pada anggotaanggota keluarga lain dari buruh migran. Pasal 45
1.
2.
3.
4.
Anggota-anggota keluarga buruh migran berhak untuk memperoleh persamaan-persamaan perlakuan di Negara-negara tempat bekerja sama dengan waraganegara di Negara tersebut dalam hal-hal: a. Akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan pendidikan sesuai dengan persyaratan penerimaan dan ketentuan lain dari lembaga atau pelayanan tersebut; b. Akses pada lembaga-lembaga bimbingan dan pelaksanaan kejuruan; c. Akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, asalkan persyaratan-persyaratan untuk ikut serta dalam rencanarencana tersebut dipenuhi; d. Akses dalam partisipasi pada kehidupan budaya. Negara-negara peserta harus mengupayakan suatu kebijakan, jika perlu dengan bekerjasama dengan Negara asal, yang ditujukan untuk memfasilitasi integrasi anak-anak buruh migran dan sistem sekolah lokal, khususnya dalam pengajaran mereka dalam bahasa lokal; Negara tempat bekerja harus berusaha untuk memfasilitasi pengajaran bahasa ibu mereka dan budaya mereka pada anak-anak buruh migran, dalam hal dan dalam hal ini Negara asal harus bekerjasama apabila diperlukan. Negara tempat bekerja dapat menyediakan rencana khusus untuk pengajaran anak-anak buruh migran dalam bahasa ibu dan budaya mereka, jika diperlukan dengan bekerjasama dengan Negara asal.
Pasal 46 Buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk menikmati kemudahan-kemudahan dalam bea dan pajak impor dan ekspor, berkenaan dengan milik pribadi mereka dan juga peralatan yang diperlukan untuk bekerja yang dibayar yang menyebabkan mereka diijinkan masuk kedalam Negara tempat bekerja, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Negaranegara yang bersangkutan dan juga perjanjian internasional yang relevan,
serta kewajiban Negara-negara tersebut yang muncul dari keikutsertaan mereka dalam persatuan bea cukai dalam hal : a. Pada saat keberangkatan mereka dari Negara asal atau dari Negara tempatnya menetap sehari-hari; b. Pada saat pertama kalinya mereka memasuki Negara tempatnya bekerja; c. Pada saat keberangkatan terakhir dari Negara tempatnya bekerja; d. Pada saat kembalinya mereka ke Negara asal atau Negara tempatnya menetap sehari-hari. Pasal 47 1. Buruh migran berhak untuk melakukan transfer atas pendapatan dan tabungan mereka, khusus dana-dana yang diperlukan untuk membiayai keluarga mereka, dari Negara tempatnya bekerja ke Negara asal atau Negara lain. Transfer semacam ini harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam ketentuan perundangundangan yang berlaku di Negara-negara yang bersangkutan, dan sesuai pula dengan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku. 2. Negara-negara yang bersangkutan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memfasilitasi transfer tersebut. Pasal 48 1. Tanpa mengurangi perjanjian pajak ganda yang berlaku, buruh migran dan anggota keluarganya dalam Negara tempatnya bekerja, dalam hal yang berkenaan dengan pendapatan mereka berhak: a. Untuk tidak dikenai pajak, bea, atau biaya-biaya dalam jenis apapun yang lebih tinggi atau lebih membebani daripada yang dikenakan pada warganegara dalam keadaan yang sama; b. Berhak atas pengurangan atau pembebasan pajak dalam jenis apapun atau pada kemudahan pajak yang berlaku pada warganegara dalam keadaan yang sama, termasuk kemudahankemudahan pajak bagi anggota keluarga mereka yang masih dalam tanggungan. 2. Negara-negara peserta harus berusaha untuk menetapkan langkahlangkah yang tepat untuk menghindari pengenaan pajak ganda terhadap penghasilan atau tabungan buruh migran dan anggota keluarganya. Pasal 49 1. Apabila Negara tempat bekerja mengharuskan adanya ijin yang terpisah bagi ijin tinggal dan ijin bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Negara tersebut harus mengeluarkan ijin tinggal bagi mereka buruh migran untuk jangka waktu yang setidaknya sama dengan jangka waktu yang mereka perlukan untuk menjalankan pekerjaan yang dibayar. 2. Buruh migran yang dibebaskan untuk memilih pekerjaan yang dibayar di Negara bekerja, tidak boleh dianggap sebagai berada dalam kondisi
yang tidak biasa dan tidak boleh kehilangan ijin tinggal mereka semata-mata berdasarkan kenyataan bahwa mereka menghentikan kegiatan tersebut sebelum habisnya jangka waktu yang dicantumkan dalam ijin kerja mereka atau ijin-ijin lain yang serupa. 3. Dalam rangka memperkenankan buruh migran yang disebut dalam ayat 2 pasal ini untuk mempunyai waktu yang cukup untuk mencari pekerjaan yang lain, ijin tinggal tidak boleh dicabut setidaknya untuk jangka waktu yang setara dengan jangka waktu yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan tunjangan pengangguran. 1.
2.
3.
Pasal 50 Dalam hal meninggalnya buruh migran atau bubarnya perkawinan, Negara tampatnya bekerja harus mempertimbangkan tempat tinggal bagi anggota-anggota keluarga buruh migran yang bertempat tinggal di Negara tersebut berdasarkan keutuhan keluarga; Negara-negara tempat bekerja harus memperhitungkan jangka waktu lamanya mereka telah bertempat tinggal di Negara tersebut. Anggota-anggota keluarga yang tidak diberi ijin tinggal seperti tersebut diatas harus diberikan cukup waktu untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka di dalam Negara tempat bekerja tersebut sebelum meninggalkannya. Ketentuan yang dicantumkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini tidak boleh ditafsirkan sehingga mempengaruhi hak untuk tempat tinggal dan buruh yang diberikan pada anggota keluarga tersebut berdasarkan peraturan perundanng-undangan yang berlaku di Negara tempat bekerja atau perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku pada Negara tersebut.
Pasal 51 Buruh migran yang tidak dibebaskan untuk memilih pekerjaan dalam Negara tempatnya bekerja tidak boleh dianggap sebagai berada dalam situasi yang tidak biasa, dan juga tidak boleh kehilangan ijin tinggal mereka, semata-mata karena akhirnya pekerjaan mereka sebelum ijin kerja mereka habis, kecuali apabila ijin tinggal secara tegas tergantung pada buruh tertentu yang membuat mereka di perkenankan tinggal di Negara tersebut. Buruh migran semacam ini, berhak untuk mencari alternatif pekerjaan untuk berpartisipasi dalam rancangan-rancangan pekerjaan publik dan pelatihan kembali selama waktu yang tersisa dari ijin kerja mereka dan tunduk pada persyaratan dan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam ijin kerja tersebut. Pasal 52 1. Buruh migran dalam Negara tempat bekerja berhak untuk secara bebas menentukan pekerjaan yang dibayar, sesuai dengan pembatasan atau persyaratan dibawah ini. 2. Terhadap seorang buruh migran, Negara tempat bekerja dapat; a. Membatasi akses pada sejumlah kategori pekerjaan fungsi, pelayanan atau kegiatan tertentu apabila diperlukan demi
kepentingan Negara ini dan ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan nasional; b. Membatasi kebebasan dalam memilih pekerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pengakuan kualifikasi pekerjaan yang di peroleh di luar wilayah. Namun demikian, Negara-negara peserta yang bersangkutan harus berusaha untuk memberikan pengakuan atas kualifikasi semacam itu. 3. Bagi buruh migran yang izin kerjanya dibatasi jangka waktunya, Negara tempat bekerja dapat: a. Memberikan persyaratan-persyaratan terhadap hak atas kebebasan memilih pekerjaan, bahwa buruh migran telah bertempat tinggal secara sah dalam wilayah tersebut dengan tujuan untuk bekerja dalam dalam jangka waktu yang di tetapkan oleh peraturan perundang-undangan nasional, yang tidak boleh melebihi waktu dua tahun; b. Membatasi akses buruh migran pada pekerjaan yang dibayar sesuai dengan kebijakan pemberian prioritas pada warga negaranya atau pada orang-orang yang diasimilasi pada mereka untuk tujuan ini, atau perjanjian bilateral dan multilateral. Pembatasan-pembatasan semacam ini tidak lagi berlaku pada seorang migran yang telah bertempat tinggal secara sah dalam wilayah tersebut dengan tujuan untuk melakukan pekerjaan, dalam waktu yang di tentukan oleh peraturan perundangundangan nasional, yang tidak boleh melebihi lima tahun. 4. Negara tempat bekerja harus menegaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar buruh migran yang telah di perkenankan untuk bekerja dapat bekerja atas namanya sendiri, harus pula dipertimbangkan jangka waktu saat dimana buruh migran telah bertempat tinggal di Negara tempat bekerja tersebut secara sah. Pasal 53 1. Anggota-anggota keluarga buruh migran yang memiliki izin tinggal atau izin masuk tanpa batas waktu, atau yang secara otomatis dapat diperpanjang, harus diperkenankan untuk secara bebas memilih pekerjaan yang dibayar dengan syarat-syarat yang sama dengan yang berlaku bagi buruh migran sesuai dengan pasal 52 konvensi ini. 2. Berkenaan dengan anggota keluarga buruh migran yang tidak diperkanankan untuk secara bebas memilih pekerjaan yang dibayar, Negara-Negara peserta harus mempertimbangkan untuk memberikan mereka prioritas untuk mendapat ijin memlakukan pekerjaan yang dibayar daripada buruh-buruh yang meminta untuk masuk ke negara tempat bekerja dan tunduk pada perjanjan-perjajian bilateral Pasal 54 1. Tanpa mengurangi syarat-syarat ijin tinggal atau ijin kerja dan hak yang di sebutkan dalam pasal 25 dan 27 konvensi ini, buruh migran
berhak untuk diperlakukan secara sama dengan warganegara dari Negara tempat bekerja hal-hal: a. Perlindungan terhadap pemecatan; b. Tunjangan pengangguran; c. Akses pada rencana buruh publik yang dimaksudkan untuk memberantas pengangguran; d. Akses pada buruh alternatif dalam hal hilangnya pekerjaan atau berahkirnya pekerjaan lain dibayar, berdasarkan pasal 52 konvensi ini. 2. Apabila seorang buruh migran menyatakan bahwa syarat-syarat perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh majikannya, maka ia berhak untuk mengajukan kasusnya kepada pejabat yang berwenang dari Negara tempat bekerja, berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 18 ayat 1 konvensi ini. Pasal 55 Buruh migran yang telah diberi ijin untuk melakukan pekerjaan yang dibayar, dan tunduk pada ketentuan yang berlaku pada ijin semacam itu, berhak atas persamaan perlakuan sebagaimana warga negara dari negara bekerja dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Pasal 56 Buruh migran dan anggota keluarganya yang disebut dalam bagian ini konvensi ini tidak boleh diusir dari Negara tempat bekerja, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang dirumuskan dalam perundangan-undang Nasional dari Negara tersebut, dan tunduk pada rambu-rambu hukum yang dicantumkan dalam Bagian III. BAGIAN V KETENTUAN YANG BERLAKU BAGI GOLONGAN TERTENTU BURUH MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Pasal 57 Golongan tertentu dari buruh migran dan anggota keluarganya yang dirumuskan dalam bagian ini, dari kovenan ini yang didokumentasikan atau berada dalam situasi yang biasa, harus menikmati yang dicantumkan dalam bagian III, dan bagian IV kecuali yang telah diubah seperti di bawah ini. Pasal 58 1. Buruh frontir, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2 (a) kovenan ini, mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV yang berlaku pada mereka oleh karena keberadaan dan buruh mereka di wilayah Negara tempat bekerja, dengan memperhatian bahwa mereka tidak bertempat tinggal sehari-hari di Negara tersebut.
2. Negara tempat bekerja harus mempertimbangkan pemberian hak pada buruh frontir untuk memilih dengan bebas buruh yang menghasilkan uang setelah jangka waktu tertentu. Pemberian hak tersebut tidak boleh mempengaruhi status mereka sebagai buruh frontir. Pasal 59 1. Buruh manusia, sebagai dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2(b) konvensi ini, mempunyai hak yang dicantumkan jangka waktu yang cukup berarti, kemungkinan dalam bagian IV yang berlaku pada mereka karena keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara tempat bekerja, dan yang sesuai dengan status mereka di Negara tersebut sebagai buruh musiman, dengan memperhatikan bahwa mereka hanya berada di Negara tersebut pada waktu-waktu tertentu di suatu tahun. 2. Dengan memperhatikan ayat 1 diatas, Negara-negara peserta harus mempertimbangkan pemberian hak pada buruh musiman yang telah bekerja di wilayahnya dalam untuk mengambil pekerjaan lain danmemberikan mereka prioritas di bandingkan dengan buruh lain yang meminta untuk masuk ke Negara tersebut, dengan tetap tunduk pada perjanjian bilateral dan multilateral. Pasal 60 Buruh keliling sebagaimana dicantumkan dalam pasal 2 ayat 2 (e) konvenan ini harus mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV yang diberikan pada mereka karena keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara tempat bekerja, dan sesuai dengan status mereka sebagai buruh keliling di Negara tersebut. Pasal 61 1. Buruh yang terikat proyek sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2 (f) konvensi ini dan anggota-anggota keluarganya, harus mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV, kecuali ketentuan yang ada dalam pasal 43 ayat 1 (b) dan (c), pasal43 ayat (d) dalam hubungannya dengan rencana perumahan sosial, pasal 45 ayat 1(b) dan pasal 52 sampai dengan 55. 2. Apabila seorang buruh yang terikat proyek menyatakan bahwa ketentuan dalam perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh majikannya, maka ia berhak untuk mengajukan hal ini ke hadapan pejabat yang berwenang di Negara yang mempunyai yurisdiksi atas majikan tersebut, berdasarkan ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 18 ayat 1 konvensi ini. 3. Negara-negara peserta, dengan mengingat perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku bagi mereka, harus mengusahakan agar buruh yang terikat proyek tetap dilindungi secara memadai oleh sistem jaminan sosial di Negara asal mereka atau di Negara tempat mereka tinggal sehari-hari selama bekerjanya mereka diproyek tersebut. Negara-negara peserta yang
bersangkutan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan tujuan untuk menghindari pengingkaran hak atau duplikasi pembayaran dalam hal ini. 4. Tanpa mengurangi pasal 47 Kovenan ini dan perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku, Negara-negara peserta harus memperkanankan pembayaran pendapatan para buruh yang terikat proyek dalam Negara asal mereka atau Negara tempat mereka tinggal sehari-hari. Pasal 62 1. Buruh untuk pekerjaan tertentu yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat 2 (g) konvensi ini, harus memepunyai hak yang dirumuskan dalam bagian IV, kecuali ketentuan yang ada dalam pasal 43 ayat 1 (b) dan (c), Pasal 43 ayat (d) dalam hubungannya dengan rencana perumahan sosial, Pasal 45 ayat 1 (b) dan Pasal 52 dan Pasal 54 ayat 1 (d). 2. Anggota-anggota keluarga buruh untuk pekerjaan tertentu mempunyai hak yang berhubungan dengan anggota-anggota keluarga buruh migran sebagaimana diatur dalam bagian IV konvensi ini, kecuali ketentuan dalam Pasal 53. Pasal 63 1. Buruh mandiri sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 (h) Konvensi ini, mempunyai hak yang dicantumkan dalam bagian IV, kecuali hak yang secara khusus berlaku pada buruh yang mempunyai perjanjian kerja. 2. Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 52 dan 79 Konvensi ini, berhentinya kegiatan ekonomi dari buruh mandiri tidak boleh berakibat dicabutnya izin tinggal mereka ataupun izin melakukan pekerjaan yang dibayar bagi mereka ataupun anggota-anggota keluarganya di Negara tempat bekerja, kecuali apabila izin tersebut ditegaskan tergantung pada pekerjaan tertentu yang menyebabkan mereka boleh memasuki Negara tersebut. BAGIAN VI MEMAJUKAN KONDISI YANG BAIK, SETARA, MANUSIAWI DAN SAH SEHUBUNGAN DENGAN MIGRASI INTERNASIONAL DARI BURUH DAN ANGGOTA-ANGGOTA KELUARGANYA Pasal 64 1. Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 79 Konvensi ini, Negara-negara peserta yang bersangkutan harus berkonsultasi dan bekerjasama dengan pemikiran untuk meningkatkan kondisi yang baik, setara dan manusiawi dalam kaitannya dengan migrasi internasional dari buruh dan anggota-anggota keluarganya. 2. Dalam hal ini harus perhatian yang sungguh-sungguh bukan hanya diberikan pada kebutuhan dan sumber-sumber buruh, akan tetapi juga pada kebutuhan sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan-kebutuhan
lain dari buruh migran dan anggota keluarganya yang terkait, dan juga akibat-akibat migrasi semacam itu pada masyarakat yang bersangkutan. Pasal 65 1. Negara-negara peserta harus menyediakan badan-badan yang layak untuk menangani masalah-masalah yang bersangkutan dengan migrasi internasional buruh dan anggota keluarganya. Fungsi badanbadan ini adalah, antara lain: a. Merumuskan dan menerapkan kebijakan mengenai migrasi semacam ini; b. Bertukar informasi, berkonsultasi dan bekerjasama dengan pejabat yang berwenang dari Negara-negara peserta lainnya yang terlibat dalam migrasi semacam ini; c. Memberikan informasi yang tepat, khususnya pada majikan, buruh dan organisasi mereka mengenai kebijakan, hukum dan peraturan berkenaan dengan migrasi dan pekerjaan, mengenai perjanjian yang telah dibuat dengan Negara-negara lain mengenai migrasi dan hal-hal lain yang relevan. d. Memberikan informasi dan bantuan yang tepat pada buruh migran dan anggota keluarganya mengenai persyaratan perizinan dan formalitas serta pengaturan mengenai pemberangkatan, perjalanan, kedatangan, bertempat tinggal, pekerjaan yang dibayar, keluar dan masuk, dan juga mengenai kondisi-kondisi kerja dan kehidupan di Negara tempat bekerja dan mengenai bea, nilai tukar uang, pajak dan hukum dan peraturan lain yang relevan. 2. Negara-negara peserta harus memfasilitasi sebagaimana dibutuhkan, penyediaan konsuler yang memadai dan badan-badan lain yang perlu untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan kebutuhan lain dari buruh migran dan anggota keluarganya. Pasal 66 1. Tunduk pada ayat 2 pasal ini, hak untuk melakukan kegiatan untuk merekrut buruh-buruh dari Negara lain untuk bekerja harus dibatasi pada: a. Pelayanan umum atau badan-badan di Negara tempat dilakukannya kegiatan tersebut; b. Pelayanan umum atau badan-badan di Negara tempat bekerja berdasarkan perjanjian antara Negara-negara yang bersangkutan; c. Badan-badan, calon-calon majikan atau orang-orang yang bertindak atas nama mereka juga dapat diizinkan untuk melakukan kegiatan diatas, asalkan ada izin, persetujuan dan pengawasan oleh pejabat publik dari Negara-negara peserta yang bersangkutan yang dapat ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktek di Negara-negara tersebut.
Pasal 67 1. Negara-negara peserta yang bersangkutan harus bekerjasama sebagaimana diperlukan dalam menetapkan langkah-langkah mengenai kepulangan buruh migran dan anggota keluarganya ke Negara asal apabila mereka memutuskan untuk pulang, atau izin tinggal atau izin kerja mereka telah habis waktunya, atau manakala mereka berada dalam Negara tempat bekerja dalam situasi yang tidak biasa. 2. Mengenai buruh migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang biasa, Negara-negara peserta yang bersangkutan harus bekerjasama sebagaimana diperlukan, berdasarkan aturan yang disepakati bersama antar negara-negara tersebut, dengan tujuan memajukan kondisi ekonomi bagi permukiman kembali, dan untuk memfasilitasi reintegrasi sosial dan budaya mereka secara berkesinambungan di Negara asal. Pasal 68 1. Negara-negara peserta, termasuk negara transit, harus bekerjasama dengan maksud untuk mencegah dan menghapuskan gerakan-gerakan dan tindakan memperkerjakan buruh migran secara ilegal atau gelap dalam situasi yang tidak biasa. Langkah-langkah yang harus diambil untuk maksud ini dalam yurisdiksi setiap Negara yang bersangkutan harus mencakup: a. Langkah yang tepat untuk menentang penyebarluasan informasi yang menyesatkan mengenai emigrasi dan imigrasi; b. Langkah-langkah untuk mendeteksi dan menghapuskan gerakan-gerakan yang gelap dan ilegal dari buruh migran dan anggota keluarganya, dan menjatuhkan sanksi yang efektif pada orang-orang, kelompok-kelompok atau perkumpulan yang mengatur, melaksanakan, atau membantu merencanakan atau melaksanakan gerakan-gerakan itu; c. Langkah-langkah untuk menjatuhkan sanksi yang efektif pada orang-orang, kelompok atau perkumpulan yang menggunakan tindak kekerasan, ancaman atau intimidasi terhadap buruh migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang tidak biasa; 2. Negara tempat bekerja harus mengambil langkah-langkah yang layak dan efektif untuk menghapuskan di perkerjakannya buruh migran dalam situasi yang tidak biasa di wilayah mereka, termasuk jika perlu, penjatuhan sanksi pada majikan mereka. Hak buruh migran vis-à-vis majikan mereka yang muncul dari pekerjaan tersebut tidak boleh dirugikan oleh langkah-langkah ini. Pasal 69 1. Apabila di Negaranya terdapat buruh migran dan anggota keluarganya dalam situasi yang tidak biasa, Negara-negara peserta harus
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa situasi demikian tidak berlangsung terus. 2. Apabila Negara-negara peserta yang bersangkutan tengah mempertimbangkan kemungkinan mengatur situasi dari orang-orang tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan nasional dan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku, maka harus diperhatikan sungguh-sungguh situasi masuknya mereka ke dalam Negara tersebut, lamanya mereka tinggal di Negara tempat bekerja, dan pertimbangan-pertimbangan lain, khususnya yang berkenaan dengan situasi keluarga mereka. Pasal 70 Negara-negara peserta harus mengambil langkah-langkah yang tidak lebih buruk daripada yang diterapkan pada warga negara untuk memastikan bahwa kondisi kerja dan kehidupan buruh migran dan anggota keluarganya, dalam situasi yang biasa sesuai dengan standar kebugaran, keselamatan, kesehatan dan prinsip-prinsip martabat manusia. Pasal 71 1. Negara-negara peserta harus memfasilitasi, dimana perlu, pemulangan jenazah buruh migran dan anggota keluarganya ke Negara asal. 2. Berkenaan dengan masalah kompensasi yang berhubungan dengan meninggalnya seorang buruh migran dan anggota keluarganya, Negara-negara peserta harus memberikan bantuan pada orang-orang yang bersangkutan dengan tujuan untuk menyelesaikan segera masalah-masalah tersebut. Penyelesaian masalah ini harus dilaksanakan berdasarkan hukum nasional yang berlaku sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini dan perjanjianperjanjian bilateral dan multilateral. BAGIAN VII PENERAPAN KONVENSI 1.
2
Pasal 72 a. Untuk tujuan meninjau penerapan Konvensi ini, harus dibentuk suatu komite untuk Perlindungan hak semua buruh migran dan anggota keluarganya (selanjutnya disebut “Komite”). b. Komite ini harus terdiri dari sepuluh orang pakar pada saat berlakunya Konvensi ini, dan empat belas orang pakar setelah berlakunya Konvensi bagi Negara peserta yang ke empat puluh satu, yaitu pakar yang memiliki moral yang tinggi, tidak memihak dan diakui kemampuannya dalam bidang yang dicakup oleh Konvensi ini;
a. Anggota-anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara rahasia oleh Negara-negara peserta dari daftardaftar orang-orang dicalonkan oleh Negara-negara peserta, perhatian yang besar harus diberikan pada Negara asal dan Negara tempat bekerja, dan pada perwakilan sistem-sistem hukum yang utama. Setiap Negara peserta dapat mencalonkan lebih dari satu orang diantara warganegaranya; b. Anggota-anggota harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas pribadinya. 3. Pemilihan pertama akan diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan setelah tanggal berlakunya kovenan ini, dan pemilihan-pemilihan berikutnya dilakukan setiap tahun kedua. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan setiap Komite, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa akan mengirimkan undangan tertulis kepada Negara-negara peserta dalam Kovenan ini untuk menyampaikan calon mereka bagi Komite, dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan daftar nama semua orang yang dicalonkan berdasarkan abjad, dengan menyebutkan Negara peserta yang mencalonkan mereka, dan menyampaikan daftar tersebut pada Negara-negara peserta dalam Kovenan ini, tidak lebih dari satu bulan sebelum tanggal pemilihan yang termaksud, bersama dengan riwayat hidup orang-orang yang dicalonkan. 4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang Negaranegara peserta dalam Kovenan ini yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jendral di Markas Besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada persidangan tersebut, yang setidaknya dihadiri oleh dua pertiga Negara-negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan untuk menjadi anggota Komite haruslah calon-calon yang memperoleh suara terbanyak dan merupakan mayoritas mutlak dari suara wakil-wakil Negara peserta yang hadir dan memberikan suara. 5. a. Anggota-anggota Komite bertugas untuk masa jabatan empat tahun. Namun demikian, masa jabatan untuk lima anggota yang terpilih pada pemilihan pertama akan berakhir setelah dua tahun; segera setelah pemilihan pertama, nama-nama kelima anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua persidangan Negara-negara peserta. b. Pemilihan empat anggota tambahan Komite akan diadakan sesuai dengan ketentuan ayat 2,3,dan 4 pasal ini, setelah berlakunya Konvensi ini bagi Negara pihak yang ke empat puluh satu. Masa kerja dua dari anggota tambahan yang dipilih untuk kesempatan ini akan berakhir pada akhir tahun yang kedua; nama-nama anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua persidangan Negara-negara peserta; c. Anggota Komite dapat dipilih kembali apabila dicalonkan kembali.
6. Apabila seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan diri atau menyatakan atas alasan lainnya apapun bahwa ia tidak lagi dapat menjalankan kewajiban Komite, Negara peserta yang mencalonkan pakar tersebut harus menunjukan pakar lain dari antara warga negaranya untuk sisa waktu jabatan tersebut. Pengangkatan baru ini harus memperoleh persetujuan dari Komite. 7. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan staf dan fasilitas yang dibutuhkan agar Komite dapat melaksanakan fungsinya secara efektif. 8. Anggota-anggota Komite memperoleh gaji dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan syarat dan kondisi yang diputuskan oleh Majelis Umum. 9. Anggota-anggota Komite berhak atas fasilitas, hak khusus dan kekebalan sebagai pakar dalam misi Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana ditetapkan dalam seksi-seksi yang relevan dalam konvensi Hak Khusus dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 1.
2.
3. 4.
Pasal 73 Negara-negara peserta berjanji untuk menyerahkan laporan mengenai upaya-upaya legislatif, yudikatif, administratif dan upaya-upaya lain yang telah mereka lakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi ini, kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk ditelaah Komite: a. Dalam waktu satu tahun sejak berlakunya Kovenan ini bagi Negara peserta yang bersangkutan; b. Setelah itu, setiap lima tahun dan manakala Komite memintanya; Laporan yang disiapkan menurut pasal ini harus menyebutkan faktorfaktor dan kesulitan-kesuliatan,apabila ada, yang mempengaruhi penerapan Kovenan ini, dan harus mencakup informasi mengenai karakteristik arus migrasi yang melibatkan Negara peserta tersebut. Komite harus menetapkan pedoman lebih lanjut yang berlaku terhadap isi dari laporan tersebut. Negara-negara peserta harus mengupayakan agar laporan-laporan mereka dapat diperoleh secara luas di Negara mereka sendiri.
Pasal 74 1. Komite harus memeriksa laporan-laporan yang disampaikan oleh setiap Negara peserta dan disampaikan oleh setiap negara peserta dasn menyampaikan komentar-komentar yang dianggapnya perlu pada negara peserta yang bersangkutan. Negara peserta ini dapat menyampaikan pada komite pandangan-pandangan pada komentar yang diberikan oleh komite sesuai dengan pasal ini. Komite dapat meminta informasi tambahan dari negara-negara peserta manakala tengah mempertimbangkan laporan-laporan tersebut. 2. Sekretaris jendral Perserikatan Bangsa Bangsa dalam waktu yang tepat sebelum membuka setiap persidangan komite, harus
3.
4.
5. 6.
7.
8.
1. 2. 3. 4.
menyampaikan salinan laporan yang dibuat oleh negara negara peserta yang bersangkutan dan informasi yang relevan dengan penelaahan laporan ini, kepada direktur jendral organisasi buruh international, untuk memungkinkan organisasi membantu komite dengan kepakaran yang dapat mereka berikan, dalam hal-hal yang ditangani dengan konvensi ini, yang masuk dalam ruang lingkup kewenangan organisasi buruh international. Komite dalam pembahasannya harus mempertimbangkan komentar dan bahanbahan yang diberikan oleh organisasi tersebut. Sekretaris jendral Perserikatan Bangsa Bangsa juga dapat menyampaikan salinan salinan atau bagian dari laporan ini, setelah berkonsultasi dengan komite, kepada badan-badan khusus lainnya dan kepada organisasi-organisasi antar negara. Komite dapat mengundang badan badan dan organ khusus perserikatan bangsa bangsa dan orgabnisasi organisasi antar negara serta badan badan lain yang terkait, untuk menyampaikan informasi tertulis mengenai hal yang ditangani konvensi ini yang masukl dalamn ruang lingkup kegiatan mereka, untuk diperhartikan komite. Organisasi buruh international harus diundang komite untuk menunjuk perwakilannya untyuk berpartisipasi dalam persidangan persidangan komite, dalam kapasitas konsultatif. Komite dapat mengundang perwakilan perwakilan badan badan dan organ khusus perserikatan bangsa bangsa dan organisasi organisasi antar negara, untuk hadir dan didengarkan dalam persidangannya, manakala masalah yang menjadi ruang lingkup mereka tengah dibahas. Komite harus menyampaikan laporan tahunan pada majelis umum perserikatan bangsa bangsa mengenai penerapan konvensi ini, yang berisi pertimbangan dan rekomendasinya sendirian berdaasarkan, khususnya, pada pemeriksaan laporan laporan dan pengamatan yang disampaikan oleh negara negara peserta Sekretaris jendral perserikatan bangsa bangsa harus menyampaikan laporan tahunan dari komite pada negara-negara peserta pada konvensi ini, dewan ekonomi dan sosial, komisi hak azasi manusia perserikatan bangsa bangsa, direktur jendral organisasi buruh international dan organisasi terkait lainnya. Pasal 75 Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri. Komite memilih pejabat pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun. Komite biasanya bersidang setiap tahun. Persidangan persidangan komite umumnya diselenggarakan di markas besar perserikatan bangsa bangsa
Pasal 76 1. Suatu negara peserta dalam kovenan ini sewaktu-waktu dapat menyatakan, berdasarkan pasal ini, bahwa ia mengakui kewenangan komite untuk menerima dan membahas komunokasi yang
berhubungan dengan tuduhan satu negara peserta yang menyatakan bahwa negara peserta lainnya tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan kovenan ini. Komunikasi yang dimaksud dalam pasal ini hanya dapat diterima dan dibahas apabila disampaikan oleh negara peserta yang telah menyatakan bahwa dirinya tunduk pada kewenangan komite. Tidak satupun komunikasi akan diterima oleh komite, apabila hal tersebut berhubungan dengan negara peserta yang belum membuat pernyataan. Komunikasi yang diterima berdasarkan pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur sebagai berikut : a. Apabila Negara peserta dalam Kovenan ini beranggapan bahwa negara peserta lain tidak melaksanakan ketentuan ketentuan kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta perhatuian tentang hal ini kepada negara peserta yang berkepentingan. Negara peserta juga dapat memberitahukan komite mengenai masalah ini. Dalam waktu tiga bulan setelah komunikasi, negara yang menerima harus menyampaikan keterangan atau pernyataan tertulis lainnya kepada negara pengirim, yang menjelaskan masalah tersebut penjelasan mana harus mencakup, sepanjang dimungkinkan dan sesuai, rujukan pada prosedur domestik dan upaya penyelesaian yang telah dan akan ditempuh, ataui yang tersedia tentang masalah tersebut. b. Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara memuaskan bagi kedua negara peserta dalam jangka weaktu enam bulan setelah negara penerima menerima komunikasi awal, maka masing-masing berhak untuk mengajukan masalah itu tersebut kepada komite, dengan memberitahukannya kepada komite dan negara peserta lainnya. c. Komite hanya akan menangani masalah yang diajukan kepadanya setelah ia memastikan bahwa semua penyelesaian domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai dengan asas-asas hukum yang internasional yang diakui. Ketentua ini tidak berlaku apabila menurut pandangan Komite pelaksanaan upaya penyelesaian telah diulur-ulur secara tidak wajar. d. Dengan tetap tunduk pada ayat (c) pasal ini, Komite harus menyediakan jasa-jasa baiknya pada negara-negara peserta yang berkepentingan dengan tujuan untuk mendorong penyelesaian yang bersahabat mengenai masalah ini berdasarkan penghormatan pada kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam konvensi ini; e. Komite harus menyelenggarakan sidang tertutup ketika memeriksa komunikasi-komunikasi berdasarkan pasal ini. f. Dalam setiap masalah yang diajukan padanya sesuai dengan ayat (b), Komite dapat meminta Negara peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), untuk memberikan alasan yang relevan.
g. Negara-negara peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila masalahnya dibahas di Komite, dan untuk menyampaikan hal tersebut baik secara tertulis maupun lisan ; h. Dalam waktu dua belas bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b) pasal ini, Komite harus menyampaikan laporan sebagai berikut: i) Apabila penyelesaian telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam sub ayat (d), maka Komite harus membatasi laporannya pada suatu keterangan singkat tentang fakta-faktanya dan penyelesaian yang telah dicapai ii) Apabila suatu penyelesaian yang diatur dalam sub ayat (d) tidak tercapai, maka Komite dalam laporannya harus memasukkan fakta-fakta yang relevan mengenai masalah antara Negara-negara peserta yang bersangkutan Penyampaian oleh Negara-negara peserta yang bersangkutan secara tertulis dan yang direkam (apabila diajukan secara lisan) harus dilampirkan pada laporan tersebut. Komite juga dapat mengkomunikasikan hanya pada Negara-negara peserta yang bersangkutan, Pandangan-pandangan yang dianggapnya relevan tentang masalah ini diantara mereka. Dalam setiap hal, laporan tersebut harus dikomunikasikan pada negara-negara pesert yang berkepentingan. 2. Ketentuan ketentuan dalam pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh negara peserta dalam kovenan ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 dari pasal ini, Pernyataan tersebut harus diserahkan Negara peserta untuk disimpan Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan salinannya kepada Negara peserta lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik setiap waktu dengan memberitahukan Sekretaris Jendral. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap masalah yang menjadi isu komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan Pasal ini; tidak ada satupun komunikasi lanjutan dari Negara peserta yang dapat diterima setelah pemberitahuan penarikan pernyataan diterima oleh Sekretaris Jendral, kecuali apabila Negara peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru, Pasal 77 1. Suatu Negara peserta pada Konvensi ini pada setiap waktu dapat menyatakan bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas komunikasi dari atau atas nama perseorangan yang berada dibawah yuridiksinya yang menyatakan bahwa hak orang tersebut yang ditetapkan dalam Konvensi ini telah dilanggar oleh Negara peserta. Tidak satupun komunikasi akan diterima Komite
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8.
apabila berkenaan dengan suatu Negara peserta yang belum membuat deklarasi semacam itu. Komite harus menolak komunikasi menurut pasal ini apabila komunikasi tersebut tanpa nama, atau apabila Komite menganggapnya merupakan penyalahgunaan hak untuk menyampaikan komunikasi, atau bila tidak sesuai dengan ketentuanketentuan Konvensi ini. Komite tidak akan mempertimbangkan komunikasi dari perorangan berdasarkan pasal ini, kecuali telah dipastikan bahwa: a. masalah yang sama, belum atau tidak sedang diperiksa menurut prosedur penyelidikan atau penyelesaian internasional lainnya; b. orang tersebut telah menggunakan seluruh upaya penyelesaian domestik yang ada; hal ini tidak berlaku apabila menurut pandangan Komite permohonan untuk upaya pemulihan tersebut telah ditunda-tunda secara tidak wajar atau tidak akan memberikan penyelesaian yang efektif pada orang tersebut. Dengan tetap tunduk pada ayat 2 pasal ini, Komite harus menyampaikan komunikasi apapun yang diajukan berdasarkan pasal ini untuk diperhatikan oleh Negara peserta pada Konvensi ini yang telah membuat deklarasi menurut ayat 1, yang dituduh telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan konvensi. Dalam waktu enam bulan, Negara penerima harus menyampaikan kepada Komite suatu penjelasan tertulis atau pernyataan yang menjelaskan masalah tersebut dan upaya-upaya penyelesaian, jika ada, yang telah diambil oleh Negara tersebut. Komite harus mempertimbangkan komunikasi yang diterimanya berdasarkan pasal 1 ini, berkenaan dengan semua informasi yang disediakan oleh atau atas nama perorangan dan oleh Negara peserta yang bersangkutan. Komite harus menyelenggarakan persidangan tertutup manakala memeriksa komunikasi menurut pasal ini. Komite harus menyampaikan pandangan-pandangannya pada Negara peserta yang bersangkutan dan pada orang yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh Negara peserta dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan diserahkan Negara peserta untuk disimpan Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan salinannya kepada Negara peserta lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik setiap waktu dengan memberitahukan Sekretaris Jendral. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap masalah yang menjadi isu komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan pasal ini; Tidak ada satupun komunikasi lanjutan dari Negara peserta yang dapat diterima setelah pemberitahuan penarikan pernyataan diterima oleh Sekretaris Jendral, kecuali apabila Negara peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru.
Pasal 78 Ketentuan dalam Pasal 76 Konvensi ini harus diterapkan tanpa mempengaruhi prosedur penyelesaian sengketa atau pengaduan dalam bidang ayang dicakup oleh Konvensi ini, yang ditetapkan dalam instrumen yang menyertainya atau dalam konvensi yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus, dan tidak boleh mencegah Negaranegara peserta untuk mengambil prosedur lain untuk penyelesaian sengketa, sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku diantara mereka. BAGIAN VIII KETENTUAN UMUM Pasal 79 Tidak satupun isi dari konvensi ini akan mempengaruhi hak setiap warganegara peserta untuk menetapkan kriteria mengenai buruh migran dan anggota keluarganya ke dalam Negaranya. Mengenai masalah-masalah lain yang bersangkutan dengan situasi dan perlakuan hukum sebagai buruh migran dan anggota keluarganya. Negara-negara peserta harus tunduk pada pembatasan-pembatasan yang dicantumkan dalam Konvensi ini. Pasal 80 Tidak satupun isi Konvensi ini dapat ditafsirkan sehingga mengurangi ketentuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi badanbadan khusus yang merumuskan tanggungjawab terkait dari berbagai organ Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus, sehubungan dengan masalah yang dicakup dalam konvensi ini. Pasal 81 1. Tidak satupun isi Konvensi ini mempengaruhi hak dan kebebasan yang lebih menguntungkan bagi buruh migran dan anggota keluarganya dalam hal: a. Hukum atau praktek disuatu Negara peserta; atau b. Perjanjian bilateral maupun multilateral yang berlaku di Negara peserta yang bersangkutan. 2. Tidak satupun isi Konvensi ini dapat ditafsirkan sehingga mengimplikasikan adanya suatu hak bagi suatu Negara, kelompok atau orang, untuk melakukan kegiatan atau menjalankan suatu tindakan yang dapat mengganggu hak dan kebebasan yang dicantumkan dalam konvensi ini. Pasal 82 Hak buruh migran dan anggota keluarganya yang dicantumkan dalam konvensi ini tidak bioleh dicabut. Dilarang untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun terhadap buruh migran dan anggota keluarganya dengan maksud agar mereka melepaskan hak diatas. Tidak dimungkinkan untuk melalui perjanjian menghapuskan hak yang diakui dalam Kovenan ini. Negarnegara peserta, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan dihormatinya prinsip-prinsip ini.
Pasal 83 Setiap Negara peserta pada Konvensi ini berjanji: a. untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak dan kebebasannya yang diakui disini dilanggar, akan mendapatkan upaya penyelesaian yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; b. untuk menjamin bahwa setiap orang yang mengusahakan upaya penyelesaian diperiksa dan diputuskan kasusnya oleh pejabat pengadilan, adminstratif atau legislatif yang berwenang atau oleh pejabat berwenang lainnya yang ditentukan oleh sistem hukum Negara itu, dan untuk mengembangkan kemungkinankemungkinan upaya penyelesaian yudikatif; c. untuk menjamin bahwa pejabat yang berwenang tersebut melaksanakan upaya-upaya penyelesaian apabila diputuskan untuk dikabulkan. Pasal 84 Setiap Negara peserta berjanji untuk mengambil langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini. BAGIAN IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa ditetapkan sebagai penyimpan Konvensi ini. Pasal 86 1. Konvensi ini terbuka untuk ditanda tangani oleh semua Negara. Konvensi ini harus diratifikasi. 2. Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh setiap Negara. 3. Instrumen ratifikasi atau aksesi akan diserahkan pada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan. Pasal 87 1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari pertama di bulan setelah jangka waktu tiga bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atua aksesi yang ke duapuluh. 2. Bagian setiap Negara peserta yang meratifikasi atau memlakukan aksesi pada konvensi ini setelah berlakunya, konvensi ini mulai berlaku pada hari pertama pada setelah jangka waktu tiga bulan setelah tanggal penyempangan intrumen atau ritifikasinya sendiri .
Pasal 88 Suatu Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi pada konvensi ini tidak dapat mengecualikan penerapan dari bagian manapun dalam konvensi ini, atau tanpa mengurangi pasal 3,mengecualikan katagori tertetu dari buruh migran dalam penerapannya. 1.
2. 3.
4.
Pasal 89 Negara peserta dapat menarik diri dari konvensi ini tidak lebih awal dari lima tahun setelah berlakunya konvensi ini di Negara yang bersangkutan melalui pemberitahuan tertulis yang ditunjukan kepada sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa Penarikan diri ini akan berlaku pada hari pertama di bulan setelah berakhirnya jangka waktu dua belas bulan setelah tanggal penerimaan pemberitahuan oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penarikan diri semacam itu tidak akan melepaskan Negara peserta dari kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini berkenaan dengan tindakan atau ketiadaan tindakan yang terjadi sebelum tanggal mulai berlakunya penarikan diri, dan penarikan diri ini tidak memepengaruhi dengan cara apapun pembahasan yang tengah berlangsung mengenai masalah yang sedang dipertimbangkan Komite sebeleum tanggal mulai berlakunya penarikan diri tersebut. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara peserta mulai berlaku, Komite tidak boleh memulai pembahasan kasus-kasus baru sehubungan dengan Negara tersebut.
Pasal 90 1. Lima tahun setelah berlakunya Konvensi ini, Negara peserta dapat mengusulkan perubahan, dan menyampaikan secara tertulis pada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jendral kemudian akan mengkomunikasikan usul perubahan apapun kepada Negara-negara peserta, dengan permintaan untuk memberitahukan padanya apakah mereka setuju akan diadakannya konferensi Negara peserta untuk membahas danmelakukan pemungutan suara atas usulan tersebut. Apabila dalam waktu empat bulan setelah diterimanya komunikasi itu sekurang-kurangnya terdapat sepertiga Negar-negara peserta yang menyetujui diadakannya konferensi, Sekretaris Jendral akan menyelenggarakan konferensi dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap perubahan yang ditetapkan oleh mayoritas Negara peserta yang hadir dan memberikan suara pada konferensi, akan disampaikan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapat persetujuan. 2. Perubahan-perubahan akan berlaku apabila telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan diterima oleh dua pertiga mayoritas dari Negara peserta, sesuai dengan prosedur konstitusi masing-masing. 3. Apabila perubahan telah berlaku, hal ini akan mengikat Negara-negara peserta yang telah menerimanya, sedang Negara peserta lainnya
masih tetap terikat pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini dan perubahan-perubahan terdahulu yang telah mereka terima. Pasal 91 1. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menerima dan mengedarkan pada semua Negara, naskah reservasi yang dibuat oleh Negara-negara pada saat dilakukannya penandatanganan, ratifikasi dan aksesi. 2. Suatu reservasi yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi ini tidak diperkenankan. 3. Reservasi dapat sewaktu-waktu ditarik kembali melalui suatu pemberitahuan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian harus memberitahukannya pada semua Negara. Pemberitahuan semacam ini akan mulai berlaku pada diterimanya. Pasal 92 1. Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara-negara peserta mengenai interprestasi atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari mereka, harus diajukan untuk arbitrase. Apabila dalam waktu enam bulan sejak tanggal diajukannya permohonan arbitrase tersebut para Pihak tidak dapat menyetujui pengaturan arbitrase, salah satu Pihak dapat menyerahkan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Statuta Mahkamah tersebut. 2. Masing-masing Negara peserta pada saat penandatanganan atau ratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa ia menganggap dirinya tidak terikat oleh ayat 1 pasal ini. Negara-negara peserta lainnya tidak terikat oleh ayat 1 tersebut dalam hubungannya dengan Negara peserta yang telah membuat pernyataan tersebut. 3. Setiap Negara peserta yang telah membuat pernyataan sesuai dengan ayat 2 pasal ini, dapat sewaktu-waktu menarik kembali pernyataan tersebut dengan memberitahukannya pada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 93 1. Teks Konvensi ini dalam bahasa China, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol mempunyai kekuatan yang sama, akan disimpan olen Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyampaikan salinan resmi Konvensi ini pada semua Negara. DEMIKIAN TELAH DISAKSIKAN OLEH para perwakilan Negara-negara dibawah ini, yang telah diberi kuasa sebagaimana mestinya oleh Pemerintah masing-masing, telah menandatangani Konvensi ini. Translated by: KOMNAS HAM RI (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) and British Council-Jakarta