KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
NOVALINA KRISTINAWATI MANURUNG 067005019/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh NOVALINA KRISTINAWATI MANURUNG 067005019/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
: KEBIJAKAN KRIMINAL ( CRIMINAL POLICY ) TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Novalina Kristinawati Manurung : 067005019 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Alm. Prof. Muhammad Daud, SH) Ketua
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 03 Juni 2009
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 03 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Alm. Prof. Muhammad Daud, SH
Anggota
: 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK Berdasarkan data statistik Polda Sumut dari tahun 2004-2007 ada 13.456 pelaku yang terlibat dengan narkoba, sedangkan untuk Poltabes Medan khusus anak yang memakai narkoba yang berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian ada 578 orang selama kurun waktu tahun 2005–2007. Berdasarkan data statistik tersebut dapat diketahui bahwa begitu pesat perkembangan narkoba di Kota Medan dalam beberapa tahun terakhir ini. Data di atas juga menunjukkan bahwa mayoritas pengguna narkoba adalah orang yang berusia muda. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa terkontaminasi oleh pengaruh yang buruk, selain itu pada umumnya pelaku tindak pidana terutama kelompok pemakai adalah orang yang berusia muda. Meningkatnya tindak pidana narkotika pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu: bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya menimbulkan keberanian. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab sehingga anak menggunakan narkoba di Kota Medan.Untuk mengetahui Kebijakan kriminal (criminal policy) apa yang selama ini dilakukan di Kota Medan untuk anak pemakai narkoba serta untuk mengetahui kebijakan kriminal (criminal policy) apa yang dapat dibangun di masa yang akan datang untuk anak yang menggunakan narkoba di Kota Medan. Lokasi Penelitian adalah di Kota Medan yaitu Kepolisian Kota Besar Medan, Kejaksaan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Medan, Bapas Medan, Lapas Anak Medan serta PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), alas an pemilihan lokasi di Kota Medan karena Kota Medan termasuk ke dalam pusat peredaran narkoba di Indonesia. Data yang diambil berdasarkan studi dokumen, observasi, dan wawancara. Sedangkan responden yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah anak pemakai narkoba yang ada di Lapas Anak Medan, petugas Kepolisian, Jaksa yang ada di Kejaksaan Negeri Medan, Hakim, petugas Bapas, petugas Lapas Anak Medan, pemerhati anak di PKPA Medan. Dengan demikian metode penelitian yang dilakukan adalah dengan cara menggabungkan antara penelitian yuridis normative dan yuridis sosiologis (empiris), dianalisis secara kualitatif dan ditulis dengan menggunakan penulisan diskriptif analitis. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa bahwa faktor penyebab anak menggunakan narkoba di kota Medan pada umumnya adalah karena faktor lingkungan yaitu lingkungan pergaulan si anak, dimana anak dipengaruhi oleh teman, dan adakalanya narkoba pertama sekali diberikan secara gratis pada anak, selain itu anak juga terlibat narkoba karena pengaruh keluarga yang berantakan sehingga anak mengalami kurang perhatian, adapun kebijakan kriminal (criminal policy) yang dipergunakan bagi anak pemakai narkoba adalah dengan menggunakan sarana penal
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dan sarana non penal. Adapun sarana penal yang dipergunakan selama ini di kota Medan dari pihak Kepolisian adalah dengan menerapkan sarana penal (hukum pidana) itu sebagai upaya terakhir untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba, yang paling diutamakan adalah dengan menerapkan sarana non penal untuk menanggulangi anak yang memakai anak yang memakai narkoba. Pihak Kejaksaan juga menerapkan sarana penal dan sarana non penal bagi anak pemakai narkoba. Pihak Bapas Medan tidak menyetujui diterapkannya sarana penal bagi anak pemakai narkoba, anak pemakai narkoba hendaknya diatasi dengan menggunakan sarana non penal karena masa depan masih cukup panjang selain itu anak pemakai narkoba adalah juga merupakan korban atas perbuatannya sendiri. Sementara Hakim berpendapat bahwa terhadap anak dapat diterapkan sarana penal dan non penal dengan lebih mengutamakan sarana non penal tapi pada umumnya kepada semua pemakai umumnya diterapkan sarana penal. Lapas anak Medan berpendapat bahwa kepada anak pemakai narkoba hendaknya ditempatkan di suatu tempat yang khusus untuk merehabilitasi anak pemakai narkoba, karena umumnya Lapas Anak Medan banyak dihuni untuk kasus narkoba, selain itu menurut PKPA Medan mengemukakan bahwa anak adalah merupakan generasi bangsa di masa yang akan datang oleh karena itu kepada anak hendaknya diterapkan sarana non penal sebab anak sebagai pemakai adalah merupakan korban juga atas perbuatannya sendiri. Di masa yang akan datang politik kriminal yang dapat diprgunakan bagi anak pemakai narkoba adalah dengan menerapkan saran penal dan non penal tetapi dengan lebih mengutamakan penerapan sarana non penal, sementara penerapan sarana non penal adalah merupakan sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium), hendaknya pemerintah mendirikan satu tempat khusus bagi anak pemakai narkoba.
Kata Kunci: Kebijakan Kriminal, Anak, Narkoba
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT Based on the data of the statistic from 2004 to 2007 provided by Sumatera Utara Police Department, there were 13.456 persons got involved in the case of narcotic and drug while from 2005 to 2007, Medan Police Department succeeded in arresting 578 children using narcotic. This statistic data shows that the development of narcotic and drug in Medan is so fast in the past few years and majority of the narcotic and drug users are young persons. This condition is very much worried about because it can ruin our young generation. In general, the incident of narcotic and drug criminal act is caused by two things: it promises a big financial benefit to the narcotic and drug dealers and to the users, it promises a peace that can terminate the psychological and mental problems they are facing. These promises lessen the fear of getting arrested and instead, it even creates a nerve in them. The purpose of this normative juridical and sociological (empirical) juridical study is to analyze the factors which cause the children to narcotic and drud in Medan, to find out the criminal policy which has been applied to the children using narcotic and drug in Medan, and to analyze and formulate the kind of criminal policy that can be made in the future in Medan for the children using narcotic and drug. This study was conducted in the offices of Medan Police department, Medan Court of First Instance, Medan Correctional Institution, Medan Child Penitentiary and the Center for Child Protection Studies. Medan was chosen as the research location because Medan is regarded one of the narcotic and drugs distribution hubs in Indonesia. The data for this study were obtained through documentation study, field observation and interviews while the respondents for this study were the narcotic and drug users being arrested in Medan Child Petinentiary, police officers, the public procecutors serving in Medan Attorney Office, judges, the officers of Medan Correctional Institution, the officers of Medan Child Petinentiary, and the child observers of the Medan Center for for Child Protection Studies. The data obtained were qualitatively analyzed and then analytical descriptively written. The result of this study shows that the factors which made the children use narcotic and drug are their environment in wich the children were influenced by their friends or their friends first gave the narcotic and drug to them for free and broken home in which their parents did not paid enough attention to them. The criminal policy applied to the children using narcotic and drug was the one with penal or nonpenal system. The penal system which has been applied by the police officers in Medan was the criminal law which was used as a last effort to handle the children using narcotic and drug but the most prioritized one to be used to is to handle the children using narcotic and drug is the application of the non-penal system. The attorney office also applies the penal and non penal facilities to handle the children using narcotic and drug. Medan Correctional Institution does not agree with the application of penal system to the children using narcotic and drug and suggests to use the non-penal system in handling the children using narcotic and drug because the children using narcotic and drug because the children still have along future Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
and they are the victims of their own acts. In their opinion, the judges think that both penal and non penal system can be applied to the children using narcotic and drug but the non-penal system should be prioritized, yet in general, the penal system is applied to all of the children using narcotic and drug. The officers of Medan Child Petinentiary suggests that the children using narcotic and drug should be placed in a special place for the rehabilition of the children using narcotic and drug such as the Medan Child Petinentiary because , in general most of its inmates are those with narcotic and drug cases. The officers of the Medan Center for Child Protection Studies said that children are our future national generation therefore it should be better if the non penal system is applied to them who became the victim of their own acts. It is suggested that the criminal politic in the forms of penal and non-penal systems can still be applied to the children using narcotic and drug yet the application of the non penal system is more prioritized. While the application of the non penal system is a last attempt (ultimum remedium), the government should estabilish a special place for the rehabilitation of the children using narcotic and drug.
Key Words : Criminal Policy, Child, Narcotic and Drug
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas segala rahmad dan karunianya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) terhadap Anak Pemakai
Narkoba di Kota Medan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh Ujian Sarjana (Strata-2) guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan material maupun bantuan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Prof. Muhammad Daud, SH, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan penuh ketelitian dan kesabaran. Selanjutnya Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Kepala Satuan Narkoba Poltabes Medan, Kompol. Ahmad Yanuar Insan, Sik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Satuan Narkoba Poltabes Medan. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Seluruh Penyidik dan Responden di Satuan Narkoba Poltabes Medan yang telah membantu mendapatkan bahan-bahan untuk penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas IA Medan, beserta seluruh staff dan responden yang sudah diwawancarai serta sudah membantu memberikan bahanbahan untuk penyelesaian tesis ini. 4. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini. 5. Bapak Kepala Pengadilan Negeri Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini. 6. Bapak Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Medan beserta seluruh staff yang sudah memberikan bantuan bahan untuk penyelesaian tesis ini. 7. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 8. Para Dosen dan Staff Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dibidang Ilmu Hukum. 9. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan di sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, sahabat dan rekan penulis (Vera, Ngatas, Benita, Joice, Ema, Mariani, dll), rekan-rekan NHKBP Kemenangan yang telah banyak memberikan kontribusi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
10. Secara Khusus dengan penuh rasa kasih sayang penulis sampaikan terimakasih kepada Orang Tua yang tercinta : St. B. Manurung dan R. Sinambela, S. Pd, atas cinta dan do’anya yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua, Amin.
Medan,
Juni 2009
Penulis
Novalina Kristinawati Manurung, SH.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Novalina Kristinawati Manurung
Tempat/ Tgl Lahir
: Balige, 14 Februari 1982
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: CPNS Kejaksaan
Pendidikan
: Sekolah Dasar Negeri 064962 Medan, Sumatera Utara (Lulus Tahun 1996). Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Medan, Sumatera Utara (Lulus Tahun1998). Sekolah Menengah Umum Swasta Sumatera Utara (Lulus Tahun 2000).
Raksana
Medan,
Fakultas Hukum UNIKA St. Thomas Medan (Lulus Tahun 2004) Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2009).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ………………………………………………………………….. i ABSTRACT ………………………………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
v
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar belakang Masalah ………………………………………….
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………..
15
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….
16
D. Manfaat Penelitian ……………………………………..............
16
E. Keaslian Penelitian ……………………………………..............
17
F. Kerangka Teori dan Konsep ……………………………………
18
1. Kerangka Teori ………………………………………….
18
2. Kerangka Konsep ………………………………………...
31
G. Metode Penelitian ……………………………………………..
34
a. Pendekatan Masalah …………………………………….
34
b. Sumber dan Pengumpulan Data ……………….….........
35
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
c. Analisis Data …………………………………………...
36
BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGGUNAKAN NARKOBA ...................................................................................
37
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan dari Sudut Pandang Kriminologi ..………………………………………
37
1. Faktor Biologis ………………………………………….
38
2. Faktor Sosiologis…………….…………………………..
40
a. Teori Anomie ………… ……………………………
41
b. Teori Sub Kultur Delinkuen ………………………..
43
c. Differential Association Theory……………………..
44
B. Faktor-faktor Anak Menggunakan Narkoba………………….
62
1. Faktor Internal …………………………… …………….
64
a. Reaksi Frustasi Negatif/ Kegonjangan Jiwa .......….….
64
b. Perasaan Egois/ Emosional Pada Anak..........................
66
c. Kehendak Ingin Bebas ………………………………..
66
d. Rasa Keingintahuan ………………………………….
66
2. Faktor Eksternal …………………………………….......
67
a. Faktor Keluarga ...........…………………………........
67
b. Faktor Lingkungan Sekolah ..........................................
70
c. Faktor Milieu (Lingkungan sekitar) …………………...
72
C. Tahapan Penyalahgunaan Narkoba ...........................................
84
D. Dampak Penyalahgunaan Narkoba ...........................................
85
E. Tanda-tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Narkoba .............
88
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB III KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG SELAMA INI DILAKUKAN TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN ...........................
91
A. Tindak Pidana Narkoba ………………………………………
91
a. Perbuatan Pidana
………………………………………...
91
b.Sanksi Pidana ……………………………………………...
97
c. Pertanggungjawaban Pidana ………………………………
101
B. Kebijakan Penal (Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan ...........................................
112
1. Peranan Sistem Peradilan Pidana dalam Menanggulangi Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan ..............................
113
a. Tahap Pemeriksaan sebelum Persidangan .....................
115
b. Tahap Pemeriksaan di Persidangan ……………………
126
c. Tahap Pemeriksaan sesudah Persidangan ……………....
129
2. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanggulangan Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan .............................
137
C. Kebijakan Non Penal dalam Menanggulangi Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan ............................................ 144 BAB IV KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN DI MASA YANG AKAN DATANG ............
150
A. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak .........
150
1. Tinjauan Umum Kebijakan Kriminal ........………………….
150
2. Sistem Peradilan Pidana Anak ................................................
166
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
B. Perspektif Ke Depan Kebijakan Kriminal yang dilakukan Terhadap Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan ........................................ 173
1. Kebijakan Penal ( Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan .........................................
173
2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan di masa yang akan Datang .......………………………………………………
178
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....…………………………………..
190
A. Kesimpulan ………………………………………………………..
190
B. Saran ………………………………………………………………
193
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
196
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1
Data Kasus Tindak Pidana Narkoba Di Indonesia Tahun 2001-2006 (Akhir November) ............................................................
4
Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Status Pekerjaan Tahun 2001-2006 ..............................................................
5
Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba berdasarkan Usia Tahun 2001-2006 ...............................................................................
7
Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran Poltabes MS Dalam Kurun Waktu 3 (tiga) Tahun (2005-2007) Menurut Umur ....................................................................................
12
Pendapat Narapidana Anak terhadap alasan Memakai Narkoba ..............................................................................................
73
Jumlah Penghuni Lapas Anak Medan berdasarkan Jenis Kejahatan ...........................................................................................
134
2
3
4
5
6
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
No
Judul
Halaman
1
Distribusi Peredaran Narkoba ............................................................
2
2
Grafik Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba Di Sumatera Utara .............................................................................
11
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1
Perbuatan dan Sanksi pidana yang ada dalam UU Psikotropika dapat dilihat dalam gambaran tabel dibawah ini ...............................
202
Tentang UU Narkotika .......................................................................
207
2
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah Belakangan ini berjuta-juta remaja di Asia telah menggunakan narkoba, mulai dari menghirup bahan-bahan kimia (ngelem) oleh anak jalanan, kemudian ekstasi oleh remaja sampai kepada pecandu berat heroin (putaw). Dikalangan anak jalanan usia 7-8 tahun sudah ada yang menggunakan lem atau ganja. Meningkatnya kasus orang yang meninggal akibat over dosis adalah gejala yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia disebut-sebut sebagai produsen sebenarnya dapat dihindari, paling tidak dibatasi produksinya, bila ada tindakan ketat dari aparat keamanan untuk melakukan pengawasan di bandara, khususnya terhadap warga negara tertentu yang diduga kuat menjadi kurir. 1
Indonesia yang semula menjadi negara transit atau pemasaran,
sekarang sudah meningkat menjadi salah satu negara tujuan bahkan telah pula merupakan negara eksportir atau negara produsen benda berbahaya tersebut. Perkembangan masyarakat dewasa ini telah membawa kemudahan dalam segala aspek kehidupan didorong secara ekstra pesat oleh sistem informasi dan komunikasi beserta permasalahannya di berbagai bidang yang didukung oleh teknologi canggih dan kemajuan serta perkembangan sosial budaya telah mencapai titik yang menakjubkan. Namun kemajuan ini berdampak dalam dua belahan yang
1
Muhammad Taufik Makarao, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 2-3. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tidak sama yaitu ada yang positif dan memberi kesejahteraan hidup manusia dan belahan yang lain membawa manusia kehidupan yang sengsara dan maut. 2 Membawa kesengsaraan maksudnya adalah hasil teknologi canggih di dunia medis dan farmatologis yaitu narkotika dan psikotropika (tanpa kedua zat ini dunia kedokteran akan lumpuh). Zat ini dipergunakan untuk membius pasien yang akan dioperasi atau menghilangkan nyeri pada pasien yang menderita luka parah pada tubuhnya. Keadaan semacam inilah yang menyebabkan terciptanya kemudahan bagi terbentuknya mata rantai peredaran narkotika. Dan hal ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan tidak menutup kemungkinan di kota-kota besar di Indonesia terdapat mata rantai perdagangan narkotika internasional. Seperti gambar distribusi peredaran narkoba di bawah ini, yang bersumber dari Badan Narkotika Kota Banyumas.
GOLDEN TRIANGLE BANGKOK SURABAYA
MEDAN
BALI
JAKARTA Gambar 1. Distribusi Peredaran Narkoba 2
O.C. Kaligis dan Soedjono Dirjosisworo, Narkoba dan Perdilan di Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2002), hlm. XI. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Golden Triangle (segitiga emas) adalah negara-negara Birma-Thailand-Laos (melalui Hongkong). Narkoba dari Hongkong masuk ke Indonesia melalui Surabaya, Medan, Bali dari ke tiga kota ini masuk ke Jakarta, seperti yang terlihat dalam peta distribusi di atas. Berdasarkan peta distribusi tersebut dapat diketahui bahwa Medan adalah merupakan jalur masuknya narkoba. Perkembangan teknologi dan kemampuan manusia mengemas narkoba penggunaannya bukan lagi sekedar untuk pengobatan tapi melainkan sebagai perangsang yang memberi efek halusinasi sehingga orang yang menggunakanya merasa senang, gembira, dan terbebas dari masalah atau beban yang menimpa pikirannya. Padahal dampak yang ditimbulkannya sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga pemakai maupun orang lain. Ini terjadi karena hasil teknologi yang gemilang disalahgunakan. Penyalahgunaan oleh si pemakai dan kemudian dijadikan komoditas bisnis haram dan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi produsen dan pengedar gelapnya. Sementara si pemakai
yang pasti kecanduan
dan hidup dalam
kebergantungan yang pada akhirnya membawa kematian. Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN, mengemukakan bahwa pengguna narkoba selama kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir ini telah berjumlah 56. 524 orang, seperti yang terlihat dalam Tabel di bawah ini.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba Di Indonesia Tahun 2001-2006 ( Akhir November) No
Kasus
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah Total
1
Narkotika
1907
2040
3929
3874
8171
9422
29343
2
Psikotropika
1648
1632
2590
3887
6733
5658
22148
3
Bahan Adiktif
62
79
621
648
1348
2275
5033
Jumlah
3617
3751
7140
8409
16252
17355
56524
% Kenaikan
-
3,7
90,3
17,8
93,3
6,8
205
Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa, tindak pidana narkoba di Indonesia tahun 2001 sampai dengan akhir November 2006 secara keseluruhan berjumlah 56.524. Jumlah ini telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, untuk narkotika pada tahun 2001 ada sebanyak 1.907 kasus, tahun 2002 ada 2.040 kasus, 3929 kasus untuk tahun 2003, tahun 2004 ada 3.847 kasus, 8171 kasus untuk tahun 2005 dan 9.422 kasus pada tahun 2006 (bulan 11), jumlah total untuk narkotika 29.343 kasus. Hal ini berarti untuk pemakai narkotika mengalami kenaikan yang cukup signifikan.. Psikotropika pada tahun 2001 ada 1.648 kasus, tahun 2002 ada 1.632 kasus, tahun 2003 ada 2.590 kasus, 3.887 kasus untuk tahun 2004, 6.733 kasus untuk tahun 2005, pada tahun 2006 ada 5.658 kasus, jumlah totalnya 5. 658 kasus. Pengguna bahan adiktif pada tahun 2001 ada 62 kasus, tahun 2002 ada 79 kasus, 621 kasus untuk tahun 2003, tahun 2004 ada 648 kasus, 1.348 kasus untuk tahun 2005 dan 2.275 kasus pada tahun 2006 (bulan 11), jumlah total untuk bahan adiktif 5.033 kasus.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Indonesia disebut-sebut sebagai produsen sebenarnya dapat dihindari, paling tidak dibatasi produksinya, bila ada tindakan ketat dari aparat keamanan untuk melakukan pengawasan di bandara, khususnya terhadap warga negara tertentu yang diduga kuat menjadi kurir. 3 Ancaman narkoba sekarang ini cukup mengkhawatirkan bukan hanya kalangan dewasa yang menikmati barang haram tersebut melainkan juga pelajar yang jumlahnya mencapai 1.920, seperti yang dapat di lihat dalam Tabel 2 di bawah ini Tabel 2. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Menurut Status Pekerjaan Tahun 20012006 TAHUN NO
PEKERJAAN
JUMLAH TOTAL
2001
2002
2003
2004
2005
2006
39
31
57
64
137
121
449
6
40
54
112
233
201
646
1288
1766
2991
3548
8143
13914
31650
1
PNS
2
POLRI & TNI
3
SWASTA
4
WIRASWASTA
769
656
1029
1580
3504
4663
12201
5
TANI
127
99
132
222
323
478
1381
6
BURUH
833
582
1111
1774
4389
4675
13364
7
MAHASISWA
202
257
345
356
610
678
2448
8
PELAJAR
141
153
309
214
393
710
1920
9
PENGANGGURAN
1579
1726
3689
3453
5048
6195
21690
4924
5310
9717
11323
22780
31635
85689
JUMLAH
Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007
3
Muhammad Taufik Makarao, Suhasril dan Moh. Zakky, op. cit., hlm. 2-3.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel data di atas menunjukkan bahwa PNS yang menggunakan narkoba dalam kurun waktu tahun 2001-2006 ada sebanyak 449. Sementara untuk POLRI dan TNI ada 646 orang, untuk yang kalangan swasta ada 31.650, selain itu untuk wiraswasta ada 12201, buruh 13.364, mahasiswa yang menggunakan narkoba ada sebanyak 2448 orang, dan untuk kalangan pelajar yang menggunakan narkoba ada sebanyak 1920 dan untuk kalangan yang penggangguran ada 21.690 orang. Berdasarkan data yang diungkapkan di atas bahwa bahwa penggunaan narkoba diantara masing-masing kalangan selalu terjadi kenaikan dari tahun ke tahun. Perkembangan terakhir ini menunjukkan bahwa tampaknya masalah narkoba telah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Peredarannya telah menyusup ke sendi-sendi masyarakat, mulai dari anak sampai dewasa. Dikalangan anak jalanan yang berusia 7-8 tahun sudah ada yang menggunakan lem selain itu dalam perkembangannya siswa sering dibujuk dengan “snack narkoba” seperti permen dan makanan kecil yang sudah mengandung narkoba. Pada awalnya mereka akan membayar dengan uang jajannya sendiri ketika uang jajan tidak memadahi maka, mereka akan menggunakan uang SPP atau mencuri. Angka orang yang menggunakan narkoba berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 3. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba berdasarkan Usia Tahun 2001-2006 TAHUN NO
USIA
JUMLAH TOTAL
2001
2002
2003
2004
2005
2006
25
23
87
71
127
175
508
1
< 16 Thn
2
16-19
501
494
500
763
1668
2447
6373
3
20-24
1428
1755
2457
2879
5503
8383
22405
4
25-29
1366
1386
2417
2888
6442
8105
22604
5
>29
1604
1652
4256
4722
9040
12525
33799
JUMLAH
4924
5310
9717
11323
22780
31635
85689
Sumber : Data Statistik BNN Tahun 2007
Tabel di atas menunjukkan bahwa yang menggunakan narkoba di bawah usia 16 tahun ada sebanyak 508 orang, sementara untuk yang berusia antara 16-19 tahun ada 6373. Masa remaja dianggap sebagai masa yang kritis karena dalam masa periode ini sedang terjadi gejolak untuk mencari jati dirinya menjelang dewasa karena belum memiliki pegangan dan masih labil. Sementara untuk usia 20-24 tahun yang menggunakan narkoba sepanjang tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 (akhir November), yang menggunakan narkoba berjumlah 22.405 orang, yang berusia 25-29 tahun ada sebanyak 22.799 orang
dan untuk yang berusia di atas 29 tahun ada sebayak 85.689 orang.
Berdasarkan data di atas yang paling memprihatinkan adalah korban pada umumnya remaja dan dewasa muda yang justru sedang usia produktif. Adapun jenis narkoba yang dipergunakan oleh kelompok teratur pakai adalah ganja (71%), sabu (50%),
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
ekstasi (42%), dan penenang (22%). Di sisi lain yang menjadi masalah di Indonesia ada sekitar 572.000 pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik. 4 Penyalahgunaan narkoba serta zat adiktif lainnya sudah menjadi isu umum di kalangan masyarakat. Peredaran serta penggunaan narkoba dari waktu ke waktu sudah semakin meluas, saat ini konsumennya sudah semakin beragam mulai dari anak-anak, remaja sampai dengan orang yang sudah dewasa. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika generasi muda yang diharapkan menjadi generasi penerus telah terkontaminasi hal yang buruk Penggunaan narkoba umumnya dimulai sejak masa anak-anak atau remaja. Penelitian dari Dadang Hawari, psikiater yang banyak menangani korban narkoba, sekitar 90% korbannya adalah remaja usia sekolah atau mulai terlibat dengan masalah narkoba pada usia sekolah. Tak sedikit dari mereka yang sudah mulai mengenal dan menggunakan pada kelas 5-6 SD. Para pengedar memang mengincar anak-anak yang masih polos ini karena keingintahuan yang tinggi dan tidak mau dianggap ketinggalan dari kelompoknya. 5 Keberadaan anak memang perlu mendapat perhatian terutama mengenai tingkah lakunya. Proses perkembangan seseorang kearah dewasa, kadang-kadang menimbulkan perbuatan yang lepas kontrol, mulai dari anak-anak menuju remaja sering sekali mencoba hal-hal yang baru misalnya saja mencoba narkotika yang pada akhirnya menimbulkan kecanduan. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena
4 5
http;//www.sinarharapan.com/ diakses 31 Januari 2008. http://www.scholarships.com/home. diakses 28 Januari 2008
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak yang belum stabil dan juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan pergaulannya. Kepala Pusat Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN), Muji Waluyo mengungkapkan, saat ini ribuan anak sekolah telah mengkomsumsi narkoba. Siswa yang mengkonsumsi narkoba ada 15.800 orang, 11.000 diantaranya berada dijenjang sekolah menengah atas. Sisanya, empat ribu orang di sekolah menengah pertama, 800 siswa di sekolah dasar. 6 Ketua
pelaksana
BNN
Sutanto
mengemukakan
bahwa
salah
satu
permasalahan bangsa ini adalah meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia. Berdasarkan survey nasional tahun 2003 di 26 propinsi, yang dilaksanakan BNN bersama UI dengan sampel 13.710 responden, diperoleh data sebagai berikut: Prevalensi penyalahgunaan narkoba terdeteksi sebesar 3,9 % atau 4 dari 100 pelajar adalah penyalahguna narkoba, usia rata-rata pertama kali menyalahgunakan narkoba adalah 15 tahun. 7 Penyalahgunaan narkoba di Indonesia terbukti mengakibatkan kerugian di segala bidang. Selama 2004 saja, besaran biaya ekonomi dan kriminal akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 23,6 triliun, jumlah itu 78 persennya merupakan kontribusi biaya ekonomi. Biaya terbesar timbul dari konsumsi narkoba, sebanyak Rp 11,3 triliun. Begitulah sepenggal isi hasil penelitian BNN tentang biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba pada 10 kota 6
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional diakses 28 Januari 2008 http://www.ui.edu/post/seminar-nasional-tentang -narkoba, ditulis Admin pada tanggal 11 Juli 2005 diakses 28 Januari 2008 7
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
besar di Indonesia tahun 2004 yang disosialisasikan kepada para pengurus dan staf Badan Narkotika Provinsi . 8 Berdasarkan data di atas sungguh sangat mengejutkan, belum lagi mereka yang terkena dampak lain akibat narkoba yaitu orang yang terkena penyakit AIDS(acquired immune deficiency syndrome) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh yang hingga kini belum ditemukan obatnya karena penggunaan jarum suntik yang sudah terkontaminasi penyakit tersebut. Narkoba adalah zat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi susunan syaraf pusat, sehingga menimbulkan perubahan aktivitas mental, emosional, dan perilaku penggunanya dan sering menyebabkan ketagihan dan ketergantungan kepada zat tersebut. Kapolda Sumut Irjen Pol Nurdin Usman mengungkapkan, bahwa kasus penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara (Sumut) dari tahun ke tahun terus menunjukkan grafik menaik. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 terjadi trend peningkatan yang cukup signifikan. Hingga akhir November tercatat kasus penyalahgunaan narkoba yang ditangani Polda Sumut sepanjang tahun 2007 mencapai 2.769 kasus dengan jumlah tersangka 3.875 orang. Grafik penanganan kasus narkoba yang cenderung menaik tersebut terhitung dari tahun 2004 sebanyak1.303 kasus dengan tersangka 1.757 orang, tahun 2005 sebanyak 2.089
8
http;//warnawarnibali.blogspot.com/2005 diakses 13 Februari 2008. Hasil survey salah satu rumah sakit di Bandung menunjukkan dari tahun ke tahun penyalahgunaan narkoba semakin meningkat. Pada tahun 1998 penderita yang hasil tesnya positif hanya ada 16 orang,pada tahun 1999 melonjak menjadi 104 orang, dan tahun 2002 menjadi 150 orang. Dari 62 pasien yang dirawat pada tahun 2002 diketahuiberdasarkan jenis kelamin lebih banyak pria dari pada wanita (88,7% dan 11,3%) dan pada umunya usia pertama kali memakai narkoba adalah usia 12tahun. harianumumpikiranrakyat.com/ Sabtu 31 Mei 2003. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
kasus dengan tersangka 2.982 orang, tahun 2006 sebanyak 3.207 kasus dengan tersangka 4.842 orang, dan tahun 2007 hingga akhir November tercatat 2.769 dengan jumlah tersangka 3.875 orang. 9 Seperti yang dapat dilihat dalam grafik 1 berikut ini. Grafik 1. Jumlah Kasus Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara 4842
5000
3875 4000 2982
3207
3000 2000
1757 1303
2769 KASUS
2089
TERSANGKA
1000 0 2004
2005
2006
2007
Gambar 2. Grafik Jumlah kasus Tindak Pidana Narkoba di Sumatera Utara
Berdasarkan gambar grafik di atas, maka segenap komponen masyarakat sangat dituntut untuk mewaspadai bahaya dari narkoba. Tahun demi tahun, terus berganti angka pengguna narkoba di kota Medan pun terus mengalami peningkatan. Bahkan, diduga telah menjangkiti semua kalangan, baik itu pelajar, PNS, hingga kalangan professional. Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari segi medis, psikiatrik, psikolosial (ekonomi, politik, sosial budaya, kriminal, dan sebagainya). Pada dasarnya narkotika maupun zat adiktif merupakan zat yang sangat bermanfaat di bidang kedokteran. Zat ini dapat
9
http://www.isekolah.org/ diakses 28 Januari 2000
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
digunakan untuk membius pasien yang akan dioperasi guna menghilangkan rasa nyeri atau sakit pada pasien. Seiring dengan bertambahnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan karena perkembangan zaman serta kemampuan manusia untuk mengolah, mengemas untuk penggunaan zat tersebut, bukan lagi untuk pengobatan tapi untuk penenang atau perangsang yang dapat menimbulkan efek halusinasi sehingga setiap orang yang menggunakannya merasa senang dan gembira dan dapat meringankan beban pikiran. Padahal dampak dari penggunaannya sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa maupun raga si pemakai, selain itu dapat menimbulkan ketergantungan. Penyalahgunaan narkoba sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap mayarakat diharapkan partisipasinya untuk menanggulangi bahaya narkoba. Pengguna narkoba untuk kalangan anak dan remaja sudah mencapai peningkatan yang cukup mengkuatirkan. Sedangkan berdasarkan usia untuk mereka yang terlibat kasus narkoba dapat dilihat di dalam tabel 5 di bawah ini. Tabel 4. Data Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran Poltabes MS Dalam Kurun Waktu 3 (tiga) Tahun (2005-2007) Menurut Umur TAHUN NO
UMUR
2005
2006
2007
JUMLAH
1
< 15
9
18
12
39
2
16-19
130
244
165
539
3
20-24
436
754
425
1615
4
25-29
297
606
454
1357
5
30 >
508
685
610
1803
Jumlah
1380
2307
1666
5353
Sumber: Sat Narkoba Poltabes MS, tahun 2008 Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan tabel di atas tahun 2005, untuk anak yang berusia kurang dari 15 tahun ada 9 orang, sementara untuk tahun 2006 ada 18 orang dan untuk tahun 2007 ada 12 orang, antara tahun 2005 sampai tahun 2006 ada kenaikan 2 kali lipat. Sementara untuk dari tahun 2006 sampai ke tahun 2007 terjadi sedikit penurunan. Untuk anak yang berusia 16-19 pada tahun 2005 ada 130 orang, tahun 2006 ada 244 orang, dari sini dapat kitahui ada terjadi kenaikan antara 2005 sampai ke tahun 2006. Tahun 2007 (akhir November) ada sebanyak 165 orang, di sini terjadi penurunan angka orang yang menggunakan narkoba. Usia 20-24, pada tahun 2005 ada 436 orang dan tahun 2006 ada 754 orang di sini terjadi kenaikan yang cukup signifikan dan pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 425 orang. Tahun 2005, untuk yang berusia 25-29 ada sebanyak 297 orang, tahun 2006 ada kenaikan yang cukup pesat yaitu 606 orang, dan terjadi penurunan menjadi 454 orang. Usia di atas 30 tahun pada tahun 2005 ada sebanyak 508 orang dan ada kenaikan sedikit pada tahun 2006 ada sebanyak 685 orang dan pada tahun 2007 ada penurunan menjadi 610 orang. Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas pengguna narkoba adalah orang yang berusia muda. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini jika generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa terkontaminasi oleh pengaruh yang buruk, selain itu pada umumnya pelaku tindak pidana terutama kelompok pemakai adalah orang yang berusia muda. Meningkatnya tindak pidana narkotika pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu: Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang sangat besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. 2. janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya menimbulkan keberanian. 10 Menurut Kasat Narkoba Sundarti, kasus narkoba dikalangan pelajar akan tetap tetap diproses secara hukum. Tapi jika usianya belum sampai 17 tahun, maka akan didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). 11 Kapolda Sutanto mengemukakan suatu diskresi agar pengusutan anak-anak pemakai narkoba tidak diperkenankan sebagai tersangka. Dia menegaskan selaku penyidik polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana. Sedangkan menurut Hendarman Supanji hal tersebut harus dilaksanakan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapatkan diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran Oleh karena itu sebelum hal tersebut disepakati maka kasus demi perkasus harus dibahas secara komprehensif. Kebijakan yang dikemukakan oleh Kapolri mendapat dukungan dari Komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya. 12
10
Ibid http://www.kapanlagi.com senin, 14 Mei 2007 diakses 28 Januari 2008 12 http://www.pikiran-rakyat.com/ di akses tanggal 28 Januari 2008 11
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Diskresi Polri ini dari segi kemanusian adalah merupakan hal yang mengembirakan karena anak adalah generasi muda yang masih panjang masa depannya dan sudah sepantasnya anak mendapatkan perlindungaan. Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak
dimana
anak-anak
berhak
mendapat
peraturan
yang
melindunginya. 13 Pemberian perlindungan juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak.
Anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang
dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu pembinaan yang diterapkan kepadanya tidak dapat disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa justru akan berdampak negatif bagi anak-anak. 14 Berdasarkan alasan di atas, maka
penulis tertarik untuk menyajikannya
menjadi suatu penelitian dalam tesis ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagi berikut:
13
14
Ibid.
http://www.harian republika.com diakses 13 Februari 2008
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi anak memakai narkoba di Kota Medan? 2. Bagaimana politik kriminal (criminal politic) yang selama ini dilakukan di kota Medan terhadap anak pemakai narkoba? 3. Bagaimana politik kriminal di masa yang akan datang terhadap anak yang memakai narkoba di Kota Medan? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah yang menjadi faktor penyebab sehingga anak menggunakan narkoba. 2. Untuk mengetahui politik kriminal (criminal politic) apa yang selama ini dilakukan di Kota Medan untuk anak pemakai narkoba. 3. Untuk mengetahui desain politik kriminal (criminal politic) apa yang dapat dibangun dimasa yang akan datang untuk anak yang menggunakan narkoba.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum kepidanaan serta menambah khasanah perpustakaan. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai desain politik kriminal untuk berbagai kalangan yaitu: a. Aparat/ Praktisi hukum agar mengetahui politik kriminal (criminal politic) yang dapat dipergunakan untuk mengatasi maraknya penggunaan narkoba. b. Pelaku yaitu orang yang memakai atau menggunakan narkoba, agar mereka dapat mengetahui bahaya penggunaan narkoba. c. Masyarakat umum agar dapat mengetahui efek negatif dari narkoba dan politik kriminal (criminal politic) apa yang dapat di gunakan untuk memberantas peredarannya di masyarakat.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah ” Politik Kriminal (Criminal Politic) terhadap Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan”. Akan tetapi ada beberapa tesis membahas tentang narkoba pada anak tapi di dalam tesis ini yang dibicarakan adalah mengenai desain politik kriminal terhadap anak yang memakai narkoba sehingga permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
permasalahan sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya kontruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori Teori yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori politik
criminal (criminal politic) dari G. Peter Hoefnagels. Menurut beliau, criminal politic is the rational organization of the social reaction to crime.
15
Hal ini berarti bahwa
politik criminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Upaya menanggulangi kejahatan atau tindak pidana termasuk kedalam kerangka politik kriminal (criminal politic). Di sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan. Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu: 16 1.
criminal law application (penerapan hukum pidana);
2.
prevention without punishment ( pencegahan tanpa pidana);
15 16
G. Peter hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Holland : Kluwer Deventer), hlm. 57. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3.
influencing views of society on crime and punishment (mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media). Politik kriminal adalah sebahagian daripada kebijakan sosial
dalam hal
menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat, baik dengan sarana
penal
maupun non penal. Upaya ini hakekatnya memberikan perlindungan masyarakat (social defence planning atau protection of society) untuk mencapai kesejahteraan. antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga keduanya harus berjalan beriringan. 17 Salah satu wacana yang mempengaruhi jalannya reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good governance, yang mana menekankan pentingnya suatu kepemerintahan kolaboratif yang mengikut sertakan stakeholder di luar negara dalam proses pengambilan kebijakan. Kolaborasi antar negara dan aktor lain di luar pemerintah menjadi sarat bagi efektifitas sebuah kebijakan. Negara tidak akan dapat memahami permasalahan masyarakat tanpa adanya dukungan dari aktor lain. Politik kriminal sebagai sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat dilepas dari perubahan wacana dalam suatu proses kebijakan. Dalam konteks kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik untuk menangulangi masalah kejahatan. 18
17
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa Persada,1997), hlm.
18
http://www.politikhukum.com diakses tanggal 08-02-2008
24.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Politik kriminal tidak dapat berdiri sendiri mencakup berbagai hal baik itu penegak hukum yang mencakup hukum pidana, hukum perdata maupun administrasi, semua hal tersebut adalah bagian dari social policy (kebijakan sosial), yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dikatakan sebahagian daripada kebijakan sosial (social policy), oleh karena untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial yang lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana termuat dalam GBHN. 19 Sehubungan dengan kebijakan kriminal adalah bagian dari politik sosial dapat diketahui dari rumusan yang terdapat dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat internasional maupun pendapat yang dikemukakan oleh W. Clifford pada”The 32 nd International seminar Course on Reform in Criminal Justice” tahun 1993 di Jepan: Kongres ke4 PBB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders tahun 1970; kongres ke 5 Tahun 1975 Deklarasi Caracas yang dihasilkan kongres PBB ke 6 tahun 1980 Milan Plan of Action yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke 7 tahun 1995 di Milan; termasuk juga di dalam “Guiding Principles for Crime Prevention and criminal Justice in Context of Development and a News Internasional. Economic Order di Kongres PBB ke 7 di Milan; Kongres PBB di Havana, Cuba. 20 Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai usaha yang 19
M. Hamdan, op. cit, hlm. 24. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, ( Bandung : Citra Aditya Bakty, 1996), Hlm. 5. 20
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social politic” mencakup di dalamnya “social welfare politic” dan “social defence politic”. Jadi tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 21 Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, politik kriminal (criminal politic) secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penal dan non penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya; baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka
pendek adalah
resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan sosial.22 Politik kriminal (criminal politic) dengan menggunakan sarana pidana (penal) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal politic) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman pada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal politic) tersebut
21 22
M. Hamdan, op. cit, hal 24. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping kriminologi dan criminal law. 23 Dengan demikian, penal politic (politik hukum pidana) pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman pada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana. Selain itu jika politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menangulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Hukum pidana di sini berfungsi ganda yaitu primer sebagi sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan kontrol sosial secara spontan dibuat oleh negara dan alat kelengkapannya. 24 Menurut Muladi hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku
(daad-dader straafrecht), stelsel
sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. 25
23
Teguh Prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), ( Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18. 24 M. Hamdan, op. cit., hlm.49. 25 Sholehhuddin, Sistem sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track Sistem & Implementasinya), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 3. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang rasional, karena jika tidak akan
menimbulkan “the crisis of overcriminalization” (krisis kelebihan
kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law” (krisis pelampauan batas dari hukum pidana). Pentingnya pendekatan rasional telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi, antara lain: G.P Hoefnagels, Karl O. Christiansen, J. Andenaes, Mc. Grath W. T dan W. Clifford. 26 Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam hal menggunakan sarana non penal adalah meliputi usaha yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial. Usahausaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Demikian pula dengan cara melakukan pembinaan media massa, pers yang bertanggungjawab sehingga media massa tidak menjadi faktor kriminogen. Media massa dapat menjadi faktor kriminogen (yang dapat menyebabkan terjadinya kriminal), diantaranya dapat terlihat dalam pemberitaan yang sensasional, pemberitaan yang cenderung menerangkan hal-hal yang negatif tentang terjadinya suatu peristiwa kejahatan, yang dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat melakukan kejahatan. 26
Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tujuan utama dari usaha-usaha non penal itu adalah memperbaiki kondisikondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Masalah utama adalah menginterpretasikan dan mengharmonisasikan kebijakan penal dan non penal kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan. Dengan pendekatan kebijakan yang integral inilah diharapkan “social defence planning” benar-benar dapat berhasil. 27 Pada dasarnya kebijakan penal policy lebih menekankan pada tindakan represif setelah terjadinya tindak pidana, sedangkan non penal policy menekankan kepada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana. Politik kriminal pada hakikatnya adalah merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. 28 Politik kriminal (criminal politic) telah menjadi pembicaraan dalam perkembangan pemikiran tentang hakikat tujuan pemidanaan. Ada beberapa teori 27
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998),
hlm.160. 28
http://www.islakomputer.com/nurois diakses tanggal 08 -02-2008
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/ utilitarian), teori penggabungan (integratif), treatment dan perlindungan sosial (social defence). Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi beriorentasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.
29
Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai
konsekuensi dari adanya kejahatan. 30 Teori relatif (deterrence), teori ini memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagi sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Tujuan
29 30
Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 90. Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., hal. 12
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. 31 Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 32 Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender. Namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaftasi baru. Oleh karena itu pengenaan sanksi
31
Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96-97. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 162-163. 32
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
harus mendidik pula. 33 Dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment. Treatment sebagai tujuan pemidaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun faktor kemsyarakatannya. 34 Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk resosialisasi pelaku. Social defence (perlindungan sosial) adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dngan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, sedangkan menurut Marc Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturanperaturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya. 35
33
Teguh prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 100-101. Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., hlm. 150 35 Ibid. 34
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakkan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) secara singkat dapat diartikan sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen-komponen penyelenggara, diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya saling terkait dan diharapkan adanya kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada satu sistem maka akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian. Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice sistem, sehingga terjadi koordinasi yang baik. Gambaran ini hanya salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana dapat dikatakan luas, meliputi: 36
36
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi I (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 85. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2. menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan 3. berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu
untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pembuat kejahatan (offender centered), dilatar belakangi pandangan bahwa sistem peradilan pidana diselenggarakan
untuk mengadili tersangka dan bukan untuk
melayani kepentingan korban kejahatan karena kejahatan adalah melanggar kepentingan publik (hukum publik) maka reaksi terhadap kejahatan
menjadi
monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi praktik peradilan pidana, akibatnya orang yang dilanggar haknya dan menderita akibat kejahatan diabaikan oleh sistem peradilan pidana. 37 Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistematik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha menstranformasikan masukan menjadi keluaran yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah
37
Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit., hlm. 118.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. 38 Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku sub sistem kepolisian bertugas sebagai penyelidik dan juga penyidik; sub sistem kejaksaan bertugas sebagai penyidik dan penuntut, dan dalam tindak pidana khusus dapat juga bertindak sebagai penyidik; sub sistem pengadilan bertugas untuk mengadili suatu kasus atau peristiwa pidana yang dimajukan
oleh pihak Kejaksaan; dan sub sistem lembaga
pemasyarakatan pada dasarnya bertugas untuk pembinaan bagi terpidana, atau terhukum. Proses kerja dari sistem ini seolah-olah sebagai ban berjalan, yakni pelaku dari suatu peristiwa pidana bergerak dari satu tempat ketempat yang lain, dalam hal bergerak dan berpindah dari satu sub sistem ke sub sistem yang lain proses pergerakan maupun perpindahannya telah diatur suatu ketentuan yang berlaku. 39 Penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksana undang-undang, yang terdiri dari komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja yang terstruktur. Dari sini dapat diketahui bahwa komponen-komponen aparat penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya pelaksanaan penegakan hukum. 38
Mahmud Mulyadi, Diktat Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, (Medan : Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 42. 39 Chainur Arrasjid, Diktat Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, (Medan : Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tugas penegakan hukum tidak semata-mata hanya menjadi tugas aparat penegak hukum tapi juga merupakan tugas dari seluruh komponen masyarakat. Dilihat sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum pidana, maka pemidanaan yang biasa juga diartikan pemberian pidana tidak lain merupakan proses kebijakan yang sengaja direncanakan. Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal dalam arti keseluruhan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejateraan. Politik kriminal atau penanggulangan kejahatan harus rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari pada penerapan metode-metode yang rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan defenisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Pendekatan yang rasional merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan .
2. Kerangka Konsep Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori
dan
observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan absraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus dan disebut sebagai defenisi operasional. Salah satu fungsi logis dari konsep adalah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
atribut-atribut tertentu.
40
Berkat definisi operasional dan fungsi logis konsep
memungkinkan untuk menghindarkan perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk menjadi pegangan pada proses penelitian tesis ini, yaitu: politik kriminal (criminal politic), anak, anak nakal, psikotropika dan narkotika. Menurut G. Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime.
41
Hal ini berarti bahwa politik
criminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) adalah merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik untuk memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menetapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari
modern criminal science di samping
criminology dan criminal law. 42 Kebijakan non penal (non penal policy) adalah kebijakan penanggulangan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana 43, misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggungjawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan 40
Jhonny Ibrahim, Theory & Metodologi Penelitian Normatif, (Malang: Penerbit Bayumedia Publishing, Cet. Ke-2, 2006), hlm. 306. 41 G. Peter hoefnagels, op. cit., hlm. 57. 42 Teguh prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, op. cit, hlm. 18. lihat pendapat Marc Ancel tentang kebijakan hukum pidana (penal policy). 43 Ibid. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
sebaginya, peningkatan usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah dan termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia). 44 Anak adalah setiap manusia yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak). 45 Anak Nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) 46 Psikotropika adalah zat atau obat, baik yang alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 47 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan 44
Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice sistem) di Indonesia. Penerbit UNICEF Indonesia, hlm. 2-3. 45 Ibid. 46 Ibid. 47 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Tim Pusaka Merah Putih tahun 2007 hlm.10. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudia ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. 48
G. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah kombinasi pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang bersifat kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan. Mengutip istilah Ronald Dworkin, penelitian ini disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as written in the book), maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 49 Penelitian yuridis sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai 48
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Tim Pusaka Merah Putih tahun 2007 hlm.59. Bismar Nasution (II), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum (Makalah disampaikan dalam dialog interaktif tentang penelitian Hukum dan hasil Penulisan Hukum pada makalah Akreditasi, (Medan : Fakultas Hukum Universiatas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003), hlm. 1. 49
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
kekuatan sosial. Dalam politik kriminal (criminal politic) selain pendekatan penal melalui penerapan hukum pidana, maka pendekatan non penal (non penal policy), berupa pemberdayaan masyarakat menjadi kekuatan besar untuk mencegah dan mengurangi angka kejahatan. Oleh sebab itu pendekatan yuridis sosiologis sangat besar peranannya untuk melihat pola-pola penanggulangan kejahatan yang ada dalam masyarakat yaitu dengan melakukan usaha-usaha yang rasional. b. Sumber dan Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan (field research), kemudian studi data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka (documentary research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari berbagai konsepsi, teori, asas, doktrin-doktrin dan berbagai dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden tentang desain politik kriminal yang dipergunakan untuk mengatasi anak yang memakai narkoba, sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan
dalam tesis ini. Untuk itulah studi lapangan dilakukan melalui
wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan yang terdiri dari: 1. Kepolisian Kota Besar (Poltabes Medan); 2. Kejaksaan Negeri Medan; 3. Pengadilan Negeri Medan; 4. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Anak; Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
5. Balai Pemasyarakatan Medan 6. Lembaga Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA); 7. Anak yang memakai Narkoba. c. Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan asumsi kerja seperti yang disarankan oleh data. 50 Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan. 51 Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan
akan dapat menghasilkan
kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.
50
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 103. 51 Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 93. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGGUNAKAN NARKOBA
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan dari Sudut Pandang Kriminologi Teori-teori dari perspektif biologis memiliki asumsi yang sama bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi fisik dan mental yang mendasari dan memisahkan penjahat dan bukan penjahat. Tindak kejahatan yang mewarnai kehidupan tidak terlepas dari latar belakang keadaan keluarga, tekanan ekonomi, ketiadaan lapangan kerja dan semakin kerasnya orientasi orang pada kebendaan, merupakan motivasi yang paling domain dari setiap tindak kejahatan. 52 Kejahatan adalah suatu gejala sosial yang buruk, yang sebab-sebabnya demikian banyak dan beraneka ragam dan boleh dikatakan sukar ditentukan secara pasti, berlainan dengan ilmu pasti, ilmu sosial segalanya serba sukar ditentukan segalanya masih sangat relatif. 53 Teori sebab-sebab suatu kejahatan dalam kriminologi adalah karena faktorfaktor biologis (kejahatan karena bakat yang diperoleh sejak lahir) dan faktor sosiologis (kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat) yang dapat diuraikan di bawah ini.
52 53
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.10. Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. Faktor Biologis Pemikiran bahwa perilaku dan juga perilaku kriminal ditentukan oleh faktor bakat yang diwariskan sudah sejak zaman kuno dikemukakan. Ini bukan hal yang menegherankan sebab dalam pandangan kebanyakan orang anak-anak bertindak seperti orang tuanya. Peribahasa “anak harimau tidak akan menjadi anak kambing” banyak dijumpai di mana-mana. 54 Kejahatan timbul karena faktor biologis maksudnya adalah bahwa kejahatan ada karena memang sudah menjadi bakat seseorang. Faktor-faktor biologis meliputi keadaan, sifat-sifat antropologis (sifat-sifat jasmaniah) dan psikologis dari si pembuat dan memperhatikan kriminalitas sebagai pernyataan hidup si pembuat. Cesare Lombroso, berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan membawa serta bakat-bakat tertentu. Kalau bakat seseorang itu sudah jahat, kapan saja dia bisa cenderung jahat. Sebab bakat jahat sudah ada sejak lahir dan bukan karena pengaruh lingkungan.
55
Teori Lambroso tentang born criminal menyatakan bahwa para
penjahat adalah suatu bentuk lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang yang mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan dengan mereka yang bukan penjahat. Mereka dapat dibedakan dari non kriminal melalui beberapa atavistic stigmata, ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal perkembangan,
54
J.J.M. van Dijk, H.I. sagel-Grande, L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, ( Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1998), hlm. 98-99. 55 G. W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm.40. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
sebelum mereka benar-benar manusia. Pada dasarnya teori lambroso ini membagi penjahat dalam 4 golongan, yaitu 56: a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat. b. Insome criminal yaitu orang yang termasuk ke dalam golongan orang idiot dan paranoid. c. Occasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pengalaman terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya. d. Criminal of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena cinta, marah, ataupun karena kehormatan. Di samping teori biologi dari Lambroso, terdapat beberapa teori lain yang menitikberatkan pada kondisi individu penjahat, antara lain: 57 1. Teori Psikis, di mana sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi kejiwaan seseorang. Sarana yang digunakan adalah tes-tes mental seperti tes IQ. Tes ini di buat bagi sejumlah narapidana, yang memiliki rata-rata IQ di bawah 100. jadi penjahat menurut teori ini adalah orang-orang memiliki keterbelakangan mental atau bodoh. Namun teori ini gugur, manakala dilakukan tes pada para serdadu Amerika dan ternyata mereka yang dipandang sebagai pahlawan dan orang yang baik ternyata sebagian besar memiliki IQ di bawah 100. 2. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh orang tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki karakter 56
Topo santoso dan Eva Achiani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2001),
57
Ibid
hlm. 24.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
seperti orang tuanya tapi pada dasarnya hal sama bisa juga dijumpai terhadap anak yang diangkat sebagai anak. 3. Teori Psikopati: berbeda dngan teori yang menekankan pada intelejensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya. 4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai crime without
victim (kejahatan tanpa korban)
seperti pemabuk, gelandangan,
perjudian, prostitusi, penggunaan obat bius.
2. Faktor Sosiologis Teori-teori dari perspektif biologis memiliki asumsi bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi fisik dan mental yang mendasari dan memisahkan penjahat dan bukan penjahat. Mencoba mengidentifikasi manusia yang seperti apa yang menjadi penjahat dan mana yang bukan penjahat berbeda dengan hal di atas, faktor sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control (kontrol sosial). Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan 1940 dan Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
masih populer hingga hari ini. Teori ini memusatkan perhatian kepada kekuatankekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Teori kontrol sosial mempunyai pendekatan yang berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori ini mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturanaturannya efektif. 58
a. Teori Anomie Pengertian anomie berasal dari sosiolog Perancis. Beliau menyatakan bahwa perubahan sosial yang cepat dan mencekam mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju suatu masyarakat modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang di butuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok akan menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan aturan yang umum, tindakan dan harapan orang disatu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapatnya diprediksi perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh dan masyarakat berda dalam kondisi 58
Ibid, hlm. 58
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
anomie. 59 Nilai dan norma yang penting, yang sampai saat ini diterima, menjadi kabur dan lenyap. Akibatnya adalah orang-orang yang mulai untuk memakai tujuan norma yang saling bertentangan, bahwa individu-individu merasa pasti. Seorang Amerika yang bernama Merton mengambil alih pendapat Durkheim. Ia menyatakan bahwa masyarakat barat lebih banyak menekankan pada pencapaian kesejahteraan material dan status sosial yang tinggi, yang berakibat kebutuhan dan harapan orang banyak makin berkembang tetapi masalahnya masing-masing individu tidak memiliki sarana dan kesempatan yang sama untuk merealisasikan tujuan tersebut. 60 Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social
change
(perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial). Merton menekankan pentingnya dua unsur penting di setiap masyarakat, yaitu (1) cultural aspiration atau culture goals yang diyakini berharga untuk diperjuangkan ; dan (2) institutionalized means atau accepted ways untuk mencapai tujuan itu. Berdasarkan perspektif di atas, struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan
(karena itu pendekatan ini kadang-kadang disebut dengan a
structural explanation). 61 Menurut Merton ada beberapa cara untuk mengatasi ketegangan atau tekanan yang dihasilkan dari ketidakmampuan mencapai sukses.
59
J. Robert Lilly, Francis T. Cullen and Richard A. Ball, Criminological Theory, Context and Consequences, (United States: SAGE Publication, 1995), hlm 76-77. 60 Ibid. 61 J. Robert Lilly, Francis T. Cullen and Richard A. Ball, op. cit.hlm. 53-54. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Teori Sub Kultur Delinkuen Teori ini dikemukakan oleh Cohen, teori ini lebih spesifik dibandingkan dengan teori anomie dari Merton yang digunakan dalam kerangka menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku remaja di Amerika, yang bercirikan gang-gang jalanan. 62 Dengan demikian sebagian besar dari mereka kehilangan kemampuan untuk mendapatkan kepuasan dengan menunda kebutuhannya dan mereka kurang mendapat pengendalian mengenai perasaannya terhadap agresi, kenyataannya mereka disosialisasikan secara lebih jelek. Oleh karena itu selalu timbul konflik (di sekolah misalnya), dan karena para remaja mendapat kesulitan dengan perasaan rendah diri mereka (yang disebut frustasi-status). 63 Cohen ingin menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku kejahatan di daerah kumuh (slum). Perilaku kejahatan dikalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi budaya Amerika. 64 Para remaja ini tidak dapat melepaskan diri dari perasaan rendah diri maka mereka merasa tidak memiliki harga diri oleh karena itu mereka membentuk kelompok (gang). Maka kelompok (gang) yang pada umumnya terdiri dari teman sebaya ini membuang nilai middle-class secara radikal dan menggantikan dengan 62
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Penerbit: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 111. 63 J. Robert Lilly, Francis T. Cullen and Richard A. Ball, op. cit, hlm. 137. 64
Mahmud Mulyadi, op. cit, hlm.111
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
nilai dan norma yang sama sekali lain, yang bertentangan dengan nilai dan norma yang dominan berlaku. Maka terjadilah sub kultur kolektif dengan kriteria status yang sama sekali baru dan aturan aturan yang baru yaitu: sub kultur delinkuen. Di dalam sub kultur ini para remaja memperoleh status yang tidak diperolehnya di tempat lain dengan sikap yang menantang dan diantaranya sikap suka mencuri, bahkan minum-minuman keras, memakai narkoba dan lain sebagainya.
c. Differential Association Theory Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principles of Criminology pada tahun 1939.
Differential association
didasarkan pada sembilan dalil yaitu: 65 1) Criminal behavior is learned (tingkah laku kriminal yang dipelajari). Tingkah laku tidak diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang dilahirkan jahat secara langsung melainkan karena dipelajari. 2) Criminal behavior is learned in interaction with other person ini process of communication (tingkah laku kriminal yang dipelajari dalam interaksi dengan orang laindalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam komunikasi verbal maupun non verbal.
65
Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principles of Criminologi, Sixth Edition, J.B. Lippincott Company, New York, 1960, hlm.77-78. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3) The Principal part of learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok orang intim/ dekat). Keluarga dan kawan-kawan mempuyai pengaruh yang besar dalam memepelajari tingkah laku yang menyimpang. Komunikasi mereka lebih banyak daripada media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar. 4) When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of commting the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (ketika tingakah laku dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah
dan
(b)
arah
khusus
dan
motif-motif,
dorongan-dorongan,
rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu maka dia akan melakukan sendiri, dengan kata lain dengan terus berlatih maka dia akan memiliki ketarampilan dan berpengalaman. 5) The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or and favorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui defenisi-defenisi dari aturan-autran hokum apakah dia menguntungkan atau tidak). 6) A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violiton of law over definitions unfavorable to violition of law over definitions Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
unfavorable to violition of law (seseorang menjadi delinquent karena definisidefinisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini prinsip kunci dari toeri differential association, arah utama teori ini. Dengan kata lain mempelajari tingkah laku kriminal bukan semata-mata persoalan hubungan teman atau kawan buruk. Tetapi mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang dipelajari tergantung dari berapa banyak definisi yang dipelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum. 7) Diffrential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity
(asosiasi
difrensial
mungkin
bermacam-macam
dalam
frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya). Tingkat asosiasi / definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/ definisi kepada individu. 8) The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involvel in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminalmelibatkan semua mekanisme yang ada disetiap pelajaran). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari tingkah laku yang konvensional dan tidak sekedar persoalan meniru ataupun melakukan pengamatan. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
9) While criminal behaviour is an expression of general needs and values, since non criminal behaviour is an (walaupun tingkah laku
expression of the same needs and values
kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-
kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan yang umum dan nilai-nilai umum tersebut. Pencuri mencuri untuk mendapatkan apa yang dibutuhkanya. Orang-orang bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta status sosial, konsep diri yang rendah, dan semacamnya menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal. Menurut apa yang sudah diuraikan di atas bahwa tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Di dalam kelompok yang dipelajari adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan (nilai-nilai, motif, rasionalisasi, dan tingkah laku) yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Kejahatan adalah hasil dari lingkungan sekitar individu (environment). Gabriel Tarde seorang psikolog sosial berpendapat bahwa
pentingnya nafsu meniru sebagai sebab
kejahatan. Ditekankannya bahwa seseorang yang mencuri atau membunuh, sebenarnya meniru dari orang lain yang pernah melakukan perbuatan serupa. 66 Sementara menurut Quinney meyakini bahwa kejahatan bukanlah sesuatu yang
66
G. W. Bawengan, op. cit, hlm. 42.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
melekat inheren dalam perilaku seseorang, tetapi merupakan suatu penilaian yang dibuat seseorang terhadap tindakan dan ciri-ciri orang lain. 67 Kejahatan adalah rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berkuasa. Dalam suatu masyarakat yang secara politis terorganisir dan kejahatan merupakan suatu hasil perumusan perilaku yang diberikan kepada sejumlah orang oleh orang lain. Dengan kata lain kejahatan adalah sesuatu tindakan yang diciptakan. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Sering terdengar keluhan para orang tua khususnya para Ibu, bahwa mendidik anak di lingkungan perkotaan merupakan tugas yang sangat berat pada masa sekarang ini. Mereka tidak mengetahui pedoman apa yang dapat dipergunakan agar anak mau mengikuti dan memilih jalan yang baik, tumbuh sebagai orang dewasa, ada ketakutan orang tua bahwa anaknya akan putus sekolah, terlibat perkelahian, pemabuk, pecandu narkoba. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak/kurang menilai akibat akhir tindakan yang diambilnya, sebagai contoh anak suka coret-coret dinding, pagar atau tembok orang, melempar batu. Perbuatan tersebut secara hukum dilarang dan dikenakan sanksi pidana. Anak yang telah melakukan perbuatan harus diperbaiki agar jangan dikorbankan masa depan anak dengan memasukkannya dalam proses sistem pengadilan pidana dan menerima hukuman berat atas perbuatannya tersebut.
67
Mamik Sri Spatmi dan Herlina Permata Sari, Dasar-Dasar Teori Sosial Kejahatan, (Jakarta: PTIK Press, 2007), hlm. 116-117. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Di Amerika menurut Joy G. Dryfoos ada beberapa kebutuhan yang sangat penting untuk membuat seorang anak mencapai dewasa, yaitu 68: 1. Pencarian identitas diri. 2. Pencarian sebuah nilai kepribadian. 3. Tambahan konpentensi yang dibutuhkan untuk dewasa seperti penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan. 4. Tambahan kemahiran dibutuhkan untuk interaksi sosial. 5. Pencapaian kebebasan emosi dari orang tua. 6. Kemampuan negosiasi diantara kebutuhan untuk pencapaian pribadi dan kebutuhan untuk mendapatkan dukungan teman sebaya. 7. Kebutuhan untuk eksperimen (mencoba) dengan prilaku akhlak dan kegiatan yang bebas. Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidak semuanya dapat dipenuhi sendiri oleh seorang anak akan tetapi membutuhkan bantuan dari orang dewasa. Orang tua/orang dewasa mempunyai kewajiban membantu anak secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak. Anak yang dalam proses perkembangan mendapatkan hambatan pemenuhan kebutuhan dan perhatian menyebabkan anak terhambat perkembangannya dan bahkan dapat menyebabkan terganggu mentalnya. Pada akhirnya dapat menyebabkan anak menjadi pelaku delinquency.
68 Joy G. Dryfoos. (1990). Adolescents at Risk, Prevalence and Prevention. New York:Oxford University Press, hal. 25 yang dikutif dari Clemens Bartollas, Op.Cit., hal. 70
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Persoalan perkembangan anak dan pemenuhan kebutuhan anak telah banyak dilakukan penelitian. Hal ini berkaitan dengan sikap yang bagaimanakah yang harus diambil oleh orang dewasa/orang tua serta masyarakat terhadap penangganan anak. Di Amerika salah satu penelitian yang dilakukan tentang beberapa perhatian/pandangan penting yang harus diberikan kepada anak muda dan masalah prilakunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Richard Dembo, et al. Hasil penelitian Richard Dembo, et. al mengatakan bahwa anak muda yang dalam perjalanan kehidupannya banyak mendapatkan pengalaman kesulitan-kesulitan, seperti kesulitan sosialisasi dalam keluarga, tertekan secara ekonomi atau masyarakat ekonomi rendah beresiko lebih tinggi menjadi pelaku delinquency daripada seorang anak yang menderita kekurangan pisik dan seksual. 69 Selanjutnya menurut hasil penelitian yang dilakukan Richard Dembo, et al bahwa tindakan delinquency yang dilakukan anak kebanyakan kurang pendidikan dan kejujuran dan cendrung menjadi terlibat dalam penyalahgunaan obat dan alkohol dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya, yang paling sering adalah keterlibatan mereka dengan kelakuan yang tidak disukai masyarakat. 70 Tindakan delinkuensi yang dikemukakan oleh Richard Dembo, et al ditemukan juga pada saat M. Le Blanc melakukan penelitiannya. Menurut hasil penelitiannya masalah prilaku anak muda khususnya delinquency yaitu obat-obatan, alkholol, drop out dari sekolah dan ketidak
69 Clemens Bartollas, Op.Cit, hal 70, yang dikutip dari Richard Dembo, et. al. (1994) Development and Assessment of a Classification of High risk Youth. Journal of Drug Issues 24 (winterspring, hal 26 70 Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
terlindungan dari sex dan tindakan lainnya yang berhubungan dengan kejahatan lainnya. 71 Anak-anak yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui/diidentifikasi oleh guru, petugas panti asuhan, pelatih bermain anak dan pekerja-pekerja lain yang dekat dengan anak. Hasil penelitian ada tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi untuk memprediksikan prilaku anak yang beresiko tinggi pelaku delinquency yaitu: 72 Umur (anak yang lebih muda jika dia masuk ke suatu sistem tertentu akan beresiko tinggi); Pscyhological variables (sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang dihargai); School performance, (anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya, pembolos); Home adjustment, (kurang interaksi dengan orang tua dan saudara, kurang disiplin dan pengawasan dan minggat dari rumah); Drugs and alcohol use, (penggunaan alkohol dan obat; anak yang sudah mulai memakai alkohol apabila orang tua punya riwayat pemakai alkohol); neighbourhood (lingkungan tetangga), lingkungan mudah mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan prilaku; Social adjustment of peers (Pengaruh kekuatan teman sebaya) pertemanan mempengaruhi prilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan kekacauan di sekolah (onar), geng, sex dan lain-lain. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Salle mengatakan bahwa disamping faktor-faktor yang dikemukakan 3 peneliti sebelumnya, ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan delinquency yaitu: 71 M.Le Blanc. (November 1990). Family Dynamics, Adolescent Delinquency and Adult Criminality. Colorado: Paper Presented at the Society for Life History Research conference, Keystone. hal. 7. 72
Clemens Bartollas. Op.Cit., hal. 71.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. Jenis kelamin dan prilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibanding anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. 2. Adanya pengaruh teman bermain anak, anak yang bergaul dengan anak yang tidak sekolah dan kurang perhatian dari orang tuanya maka anak tersebut besar kemungkinan akan melakukan delinquency. 3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi rendah/lemah. Prilaku kriminal ini disebabkan oleh kekurangan pasilitas untuk bermain dan belajar yang sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan anak. Disamping itu orang tua dari mereka kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dikarenakan keterbatasan ekonomi. Sehingga pada akhirnya anakanak tersebut harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang menyenangkan. Disamping itu dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-anak mengambil barang orang lain untuk memilikinya/ memenuhi kebutuhan pribadinya. Seperti anak melakukan pencurian sandal dan pakaian, anak mengambil mainan temannya, anak mengambil tape mobil dan sebagainya.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam delinquent adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. 73 Adanya pengaruh keluarga yang berantakan (broken home) dengan prilaku nakal anak, pernah dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika Serikat. Banyak hasil penelitian empiris memberikan dukungan bahwa delinquency disebabkan oleh suatu keadaan broken home. Diantaranya George B. Mangold menyatakan broken home diperkirakan satu penyebab delinquency yang paling sering muncul. Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin 74 mempelajari hubungan broken home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward didapat kesimpulan bahwa: 1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15% lebih tinggi daripada tidak broken home 2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada bentuk-bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi pada krimnal serius (seperti pencurian dan kekerasan kepada seseorang) 3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan delinquency atau tidak. Contoh broken home karena perceraian orang tua lebih kuat dari pada karena orang tua yang meninggal. 4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency. 73 Clemens Bartollas, Op.Cit, hal 70‐71 yang dikutip dari hasil Interview with Kathleen Sallee from first Judicial Districk Juvenile Court Services, Waterloop, Lowa. 74 L. Edward Well dan Joseph H. Rankin. (1991). Families and Delinquency:A Meta –analysis of the Impact of Broken Homes Social Problems. London: hal 87‐88.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau perempuan. Perkembangan kejiwaan dan pisik anak yang mempengaruhi anak melakukan delinquency disebabkan oleh dua hal penting yaitu: a. Social background (Latar belakang sosial). Latar belakang sosial anak sangat mempengaruhi perkembangan kejiwaaan dan pisiknya di masa depan. Banyak anak yang tumbuh tanpa tahu harapan yang akan diperolehnya setelah dia dewasa. Pada saat masih kecil di rumah/keluarga makanan terbatas, tempat tinggal tidak layak dan kesehatan tidak dipenuhi dengan baik sehingga kebanyakan mereka lari dari rumah. Anak tidak mendapatkan pelajaran sebagaimana mestinya sehingga anak tersebut kelak akan kesulitan mendapatkan kesuksesan dalam kehidupan seperti karir, keluarga dan masyarakat. Kesulitan mendapatkan kesuksesan dikarenakan banyak anak-anak yang tidak tahu jalan yang bagaimana harus ditempuh untuk dapat meraih sukses dimasa depan. Ketidaktahuan tersebut menyebabkan anak menghabiskan hari-harinya dengan hura-hura, mabukmabukan, dan melakukan perbuatan lainnya yang tidak berguna dan meresahkan. Karena anak tidak mempunyai kegiatan dan pandangan masa depan yang cerah maka pada akhirnya anak tersebut akan terlibat kriminal. Pendapat serupa disampaikan oleh Clemens Bartollas dalam bukunya Juvenile Delinquency bahwa ketidakadaan kegiatan positif yang dilakukan dan ketidakadaan pengetahuan untuk mencapai kesuksesan dimasa depan menyebabkan anak kesulitan menjalani kehidupannya sehingga pada akhirnya melakukan kegiatan kriminal. Perbuatan anak tersebut sangat dipengaruhi oleh geng-geng yang dimasuki Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dan jika tidak segera diperbaiki prilaku kriminal tersebut akan terbawa sampai dewasa. 75 Attitude
(Sikap/pendirian),
anak
yang
rawan
terhadap
delinquency
mempunyai attitude (sikap/pendirian) yang adil dalam keterlibatan mereka dalam delinquency, seperti pandangan-pandangan yang didapat dari kehidupan sehari-hari di implementasikan seperti: a. jika anda tidak memperhatikan diri mu sendiri, tak akan ada yang memperhatikannya. Mereka merasa hidup di jalanan tanpa pengawasan orang tua sebagai kemandirian yang sebenarnya. b. Mencari perhatian masyarakat dengan membuat keonaran yang menarik perhatian orang banyak. c. Merasa tak ada yang di sayangkan, tidak ada sesuatu apapun yang takut kehilangan. d. Mengaplikasikan kehunekan dengan berbagai cara. e. Kelompok bisa dijadikan tempat menempa emosi dan perkembangan. f. Sistem yang ada berbuat tidak adil kepada saya, sehingga tak ada aturan/norma yang mesti dipatuhi. g. Materi adalah segalanya untuk mengatasi semua permasalahan dalam hidup sehingga nilai-nilai moral tidak menjadi hal yang terlarang untuk dilanggar dan perlu dipertimbangkan dalam mengambil tindakan.
75
Clemens Bartollas, Op.Cit., hal 84.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Menurut hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April tahun 2005 dengan 20 informan narapidana di lembaga pemasyarakatan anak Tanjung Gusta Medan disimpulkan penyebab anak melakukan kejahatan diantaranya adalah: 1. Pengaruh pergaulan: Anak-anak yang ada dilembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta terjadi dikarenakan mereka sering berteman dengan anak-anak yang kurang baik contohnya berteman dengan anak yang tidak sekolah, andaikan masih sekolah anak tersebut sering membolos atau menganggu temannya sehingga suka berkelahi, atau berteman dengan anak-anak yang suka mengambil barang orang lain meskipun itu hanya sekedar mengambil sandal atau mainan anak-anak sebayanya. 2. Kurang perhatian. Kedua orang tua yang sibuk dan kurangnya perhatian dari saudara-saudara serumah terhadap anak, hingga anak merasa kurang perhatian. Kekurang perhatian membuat anak-anak tersebut bertindak sesuai dengan pola pikir dan kemauannya akibatnya melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak-anak seperti, mencuri, memukul, menendang dan tindak kekerasan lainnya. Orang tua yang kurang perhatian tentunya tidak mengetahui dan tidak mempunyai kesempatan waktu yang ruang untuk memberikan pengarahan dengan baik dan benar kepada anak-anaknya mengenai perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Disamping itu juga orang dewasa yang ada disekitarnya kurang
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
memberikan contoh yang baik pada anak-anak. Artinya anak-anak kurang mendapatkan bimbingan keagamaan. 3. Keluarga broken home (Keluarga berantakan) Anak yang berasal dari broken home kebanyakan menjadi anak nakal, karena kehidupannya sudah kacau dan orang tuanya sudah sulit untuk memberikan pengarahan. 4. Ekonomi Tingkat ekonomi yang rendah pada umumnya menyebabkan orang tua tidak memiliki waktu untuk memberikan pemenuhan kebutuhan buat anaknya. Akibatnya anak akan mencari pemenuhan keinginan dan kebutuhan sesuai dengan pola pikir yang dimilikinya. Oleh karena itu maka terkadang anak melakukan perbuatan mengambil barang milik orang lain atau melakukan tindakan asusila. 5. Pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berguna. Dengan banyaknya waktu yang dimiliki oleh anak sedangkan kegiatan yang terarah tidak ada, mengakibatkan anak melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya baik dan sering bergabung dengan anak-anak yang dari golongan sama. Akibatnya terkadang perbuatan yang dilakukannya adalah kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum seperti mencoret tembok, melempar orang, berkelahi, bolos sekolah dan lain sebagainya.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Secara teori banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi delinquency. Misalnya ada teori biologis dan biososial yang membahas tentang samatotype, warisan, pengaruh kebiasaan (conditionability and delinquency); teori psikologi, teori social disorganization dan anomie yang menyatakan bahwa kenakalan anak adalah disebabkan oleh faktor lingkungan dimana seseorang itu berada, teori control, teori lower class, dan teori differential culture (teori penyimpangan kebudayaan). Sebagai paparan saya akan uraikan sekilas tentang teori psikologi terhadap terjadinya delinquensi. Menurut teori psikologi, para ahli memberikan pembedaan individu dengan menggunakan faktor inteligensia atau kecerdasan, kepribadian atau faktor lainnya di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat menentukan adanya delinquency atau tidak pada seorang anak. Inilah yang disebut teori psikologi dalam delinquency. Teori ini juga menyangkut keturunan dan keadaan lahir seseorang. Faktor psikologi juga merupakan faktor yang ada sejak lahir, seperti kecerdasan. 76 Dengan dikenalnya test kecerdasan pada awal abad 20, maka orang mulai memfokuskan pada faktor mental dari seseorang, walaupun menurut analisis kecerdasan merupakan faktor turunan sehingga masih dapat disebut sebagai faktor biologi. Di akhir abad 19 seorang ahli psikologi bernama Sigmund Freud menulis tentang aktivitas internal dari daya fikir dan kepribadian seseorang dan bagaimanakah komponen internal tersebut dapat mempengaruhi tingkah laku ataupun kriminalitas. 76
Donald J. Shoemaker, Op.Cit., hal. 47.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pembahasan seperti ini menggunakan pendekatan psychiatric-psychoanalytis yang memfokuskan pendekatan pada masalah tingkah laku manusia. Menurut konsep peradilan anak yang dikenal pada tahun 1899, pengaruh kedudukan psyciatric pada kejahatan anak sangat mendominan. Anak kriminal ditunjukkan dengan mempunyai kelakuan yang dipengaruhi oleh suatu penyakit, yaitu suatu kondisi yang memperlihatkan kemungkinan akan menjadi sangat buruk bila tidak diberikan penanganan yang serius. Sehubungan dengan filosofi tersebut didirikan klinik panduan yang menangani pengaruh faktor psyciatric anak pada awal abad 20 yang di aplikasikan sebagai peradilan anak (juvenile court). Pada awal abad 20 pendekatan psikologi terhadap kejahatan anak mulai diterapkan. Banyak variasi yang mengemukakan dari semua pendekatan yang ada termasuk konsep penurunan mental (mental defisiency), gangguan berfikir (psyciatric disturbance) dan faktor dalam diri yang dimiliki seperti rasa malas, marah, tersinggung dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian diatas ada beberapa kesimpulan yang menjadi asumsi menurut para ahli psikologi yaitu; penyebab dasar delinquency meliputi pola individu dan perkembangannya. Prilaku anak merupakan manifestasi dari keadaan internalnya. Kedua, Gangguan psikologi yang serius akan membentuk sebuah pola tingkah laku anak. Selain itu faktor internal dalam diri anak muncul karena pengaruh faktor external, lingkungan. Oleh karena itu gangguan pada diri anak merupakan hal serius
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
yang harus dipecahkan dan diatasi sebaik-baiknya untuk kepentingan perkembangan psikologinya yang lebih baik dan terarah. 77 Ada teori yang menghubungkan antara kecerdasan dan delinquency. Para ahli menyebutkan bahwa kekurangan kecerdasan mempunyai pengaruh yang penting dalam melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab kriminal. Menurut asumsi dasar antara delinquency dan penyakit sosial mempunyai hubungan seperti adalah kekurangan kecerdasan secara langsung menjadi awal terjadinya prilaku kriminal dan kondisi anak yang mempunyai masalah lain. Kedua diasumsikan rendahnya kecerdasan menyebabkan kesulitan mengontrol emosi dan hasrat yang timbul dari dalam dirinya dan mudah terjerumus ke dalam kriminalitas. Ada juga ahli yang menyatakan asumsi pengaruh rendahnya kecerdasan tidak secara langsung menyebabkan delinquency, karena hanya mengakibatkan faktor lain yang mana punya hubungan yang lebih erat terjadinya delinquency. 78 Berdasarkan penelitian terbaru tentang teori kecerdasan bahwa kecerdasan berdasarkan pada logika. Seorang anak yang mempunyai kecerdasan rendah di tempatkan pada kelompok institusi yang memiliki kecerdasan rendah atau dengan beberapa petugas yang sama rendahnya, Alfred Binet dan Theodore S Terman membuat alat pengujian kecerdasan (IQ) yang dapat digunakan test IQ sekarang. H. H. Goddard seorang Kepala Sekolah New Jersey School tahun 1912 membuat kesimpulan dari penelitiannya bahwa perilaku kriminal cukup kuat
77 78
Ibid., 48‐50. Ibid,
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dipengaruhi oleh lemahnya kecerdasan. Goddard mengatakan lemah pikiran yaitu mempunyai hasil IQ 75 dan dibawahnya. Dia juga membuat studi yang hasilnya, lemah pikiran dialami oleh 25-90% dari jumlah seluruh narapidana. Hasil ini mendorong militer Amerika Serikat untuk melakukan testing IQ kepada calon tentarannya pada perang dunia I. 79 Selain kecerdasan ada penyebab lain seseorang melakukan penyimpangan dalam bertingkah laku. Persoalan dapat dijawab dengan pendekatan Psyciatricpsychoanalitic. Psychiatric dipergunakan untuk melihat dan memahami kejiwaan seseorang (pribadi). Diantara cara untuk mengungkap pribadi seseorang dengan psychoanalitic. 80yaitu; Setiap orang (kecuali orang idiot) tumbuh dan berkembang dengan tingkatan-tingkatan khususnya difokuskan pada perkembangan sexsual. Dalam sejumlah kasus, dengan alasan khusus ketidaknormalan dapat membuat konflik diantara manusia dalam mengembangkan kepribadiannya (biasanya pada anak kecil); Konflik akan meningkat pada umumnya dari pengaruh antara gerakan nestrik (kemauan) dan hambatan/pengekangan sosial; Konflik-konflik dan alasan-alasan dasar untuk perkembangannya merupakan kesadaran pribadi/diri atau ditekan orang lain atau juga angan-angan yang tinggi; Usaha untuk mengatasi tekanan dan konflik-konflik yang berkembang dalam diri seseorang manusia dalam bentuk mekanisme perlawanan dan mekanisme-mekanisme lain dapat menjadi awal
79 80
Shoemaker, Op.Cit., hal 52 Ibid., hal 55.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pola/bentuk pribadi tidak normal dan manifestasinya adalah prilaku untuk menjadi delinquency. Menurut S. Freud semua orang mempunyai 3 komponen kepribadian yang disebut : id, the ego, dan superego. Id merupakan kemauan dasar, motivasi manusia dan aspek nafsu jiwa manusia yang merupakan satu elemen dari id adalah libido. Libido merupakan pendorong nafsu seksual dan energi. Ego adalah mengasumsikan pengaturan potensi id dari pengaruh merusak. Ego lebih menunjukkan rasio dan kesehatan jiwa dalam diri manusia. Superego merupakan pengekangan dari dalam diri, bersumber dari norma sosial dan sanksi yang ada. Hal ini disebut juga dengan perasaan hati manusia, kepekaan terhadap yang salah untuk merenungkan pelanggaran aturan. Heally dan Bronner menyimpulkan dari studinya 91% dari prilaku kriminal anak merasa tidak bahagia dan memiliki gangguan emosional. Dalam hal ciri-ciri pribadi pelaku digambarkan sebagai pencemburu, merasa kurang dalam hal pribadi, dan selalu merasa dipersalahkan, 81 contohnya pshycopat.
B. Faktor-faktor Anak Menggunakan Narkoba Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sudah merupakan suatu penomena global yang sangat menakutkan dan membahayakan bagi bangsa dan negara. Hampir setiap hari di media cetak, dan elektronik ditampilkan orang-orang
81
Ibid., hal 60
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
yang menyalahgunakan narkoba. 82 Hal ini mengindikasikan begitu mudah seseorang mendapatkan narkoba, secara legal maupuan ilegal, yang pada akhirnya akan mengancam dan merusak generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. Maraknya penyalahgunaan narkoba jelas berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menjadi salah satu modal pembangunan nasional. Bahaya penggunaan narkoba tidak mengenal waktu, tempat dan strata sosial seseorang. Narkoba akan selalu mengancam dan menghantui di mana pun dan kemana pun manusia berada. Narkoba mampu menembus batas dimensi ruang dan waktu. Obat terlarang ini, mampu menyentuh dan merambah seluruh lapisan masyarakat. Mulai pelajar, mahasiswa, kalangan profesional, selebritis, akademisi, birokrat (legislatif maupun eksekutif), bahkan aparat penegak hukum (oknum PolriTNI) 83, serta atlet olahraga, kini juga terjerat oleh obat yang membuat sengsara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak menggunakan narkoba, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (endogen) berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menanggapi lingkungannya dan semua pengaruh dari luar. Tindakan yang mereka lakukan adalah merupakan reaksi yang salah atau irrasional dari proses belajar. Faktor eksternal atau faktor eksogen dikenal
82
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003 ), hlm. 3. 83
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pula sebagai faktor alam sekitar, faktor sosiologis adalah semua perangsang dan pengaruh dari luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak-anak. 84
1. Faktor Internal Ada beberapa hal penyebab kejiwaan yang mendorong seseorang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba, penyebab internal antara lain yaitu: a. Reaksi Frustasi Negatif/ Kegonjangan Jiwa Hal ini timbul karena secara kejiwaan tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan keadaan zaman yang serba modern dan kompleks, cara adaptasi yang salah terhadap tuntutan zaman yang serba kompleks, semua pola kebiasaan dan tingkah laku patologis sebagai akibat masuknya konflik batin yang salah, sehingga menimbulkan reaksi yang keliru atau tidak cocok. 85 Semakin berkembang dan pesatnya pembangunan di segala bidang yang mengakibatkan semakin kompleksnya keadaaan masyarakat, sehingga menyebabkan anak-anak khususnya remaja perlu melakukan penyesuaian diri terhadap banyaknya perubahan sosial, lalu mereka mengalami banyak kejutan, frustasi, ketegangan batin. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkoba maka ia dengan mudah dapat terlibat dengan narkoba.
84
Kartini Kartono, Patologi Sosial Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.109 85
Muhammad Taufik Makarao, Suhasril dan Moh. Zakky,op. cit, hlm. 54.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pandangan psikoanalisa menyatakan bahwa sumber semua gangguan psikiatris, termasuk pula gangguan pada proses perkembangan anak remaja menuju pada kedewasaan serta proses adaptasi pada lingkungan sekitar, ada pada individu itu sendiri, berupa: 86 2.
Konflik batiniah, yaitu pertentangan antara dorongan dari dalam diri anak melawan pertimbangan yang rasional. Terjadilah kemudian ketegangan jiwa dan timbulnya rasa cemas, sehingga menghambat proses adaptasi dari anak kepada lingkungannya.
3.
Pemasakan intrapsikis yang keliru terhadap segala pengalaman yang dihadapi sehingga mengakibatkan timbulnya harapan palsu, fantasi, ilusi, kecemasan yang sifatnya semu tapi kemudian dihayati sebagai suatu kenyataan. Akibatnya anak bereaksi terhadap tingkah laku yang salah, berupa: apatisme, putus asa, pelarian diri terhadap narkoba, tinddak kekerasan, kegemaran berkelahi dan yang lainnya.
4.
Menggunakan reaksi frustasi negative yaitu pembelaan diri yang salah, melalui cara yang tidak rasional. Anak mencoba membela diri melalui perilaku yang tidak wajar dengan bergabung dengan kelompok “gang”. Semua keadaan di atas sangat tidak baik sifatnya dan dampaknya amat
merisaukan jiwa anak. Reaksi ini menyebabkabkan munculnya ketegangan batin pada diri anak, yang semakin membuata anak salah tingkah dan tidak mampu menanggapi kesulitan hidupnya dengan jalan yang wajar. 86
Kartini Kartono, op. cit, hlm.112
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Perasaan Egois/ Emosional Pada Anak Perasaan egois merupakan sifat yang dimiliki setiap orang. Sifat ini sering mendominasi perilaku seseorang dengan tanpa sadar, begitu juga dengan orang yang terlibat dengan narkoba atau para penggunan dan pengedar narkoba. Suatu waktu ketika rasa egois dapat mendorong anak untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang dapat diperoleh dari narkoba. 87 c. Kehendak Ingin Bebas Kehendak bebas adalah merupakan salah satu sifat alamiah manusia, setiap manusia tentu ingin memiliki kebebasan yang penuh tanpa dikekang oleh suatu apapun, apalagi anak yang menjelang remaja sangat ingin memiliki kehendak yang bebas, tidak ingin diatur atau dikekang oleh suatu peraturan. 88 Mereka beranggapan bahwa aturan akan menyebabkan mereka terkekang, tidak ada lagi kehendak bebas. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak sekali norma-norma serta aturan yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali menghadapi himpitan
dalam melalukan
interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkoba, maka akan dengan sangat mudah mereka terjerumus pada suatu tindak pidana narkoba. d. Rasa Keingintahuan Perasaan ini cenderung lebih dominan melekat pada anak-anak, perasaan tidak ingin terbatas pada hal-hal yang positif tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya
87 88
Kartini Kartono, op. cit, hlm. 117 Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
negatif. Rasa ingin tahu mendorong anak-anak menggunakan narkoba dari ingin coba-coba sehingga menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan anak menjadi susah terlepas dari narkoba. 89
2. Faktor Eksternal Banyak sekali faktor eksternal yang menyebabkan anak menggunakan narkoba, diantaranya yang paling penting adalah: a. Faktor Keluarga Keluarga adalah merupakan tempat pertama proses terjadinya sosialisasi dan sivilisasi pribadi anak. Di dalam keluarga seorang anak belajar untuk mengenal cinta, kasih sayang, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan, agama dan pendidikan. Peranan keluarga sangat penting bagi tumbuh dan berkembang jiwa anak, pembentukan watak dan menjadi unit sosial terkecil yang merupakan fondasi utama bagi perkembangan anak. Ada beberapa hal yang mempengaruhi sehingga menyebakan anak menggunakan narkoba: 90
1) Rumah Tangga berantakan (Broken Home) Baik buruknya strukturnya keluarga
memberikan dampak baik atau
buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak. Apabila rumah tangga terus menerus dipenuhi konflik yang serius, sehingga menyebabkan keluarga retak dan pada
89 90
Hasil wawancara dengan Penghuni Lapas Anak Medan, 6-7 Juli, 2008. Kartini Kartono, op. cit, hlm. 120.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
akhirnya mengakibatkan terjadinya perceraian, maka mulailah terjadi banyak kesulitan pada semua anggota keluarga terlebih pada anak-anak. Keadaan ini menyebabkan anak menjadi sangat bingung dan merasa jiwanya hampa dan merasakan ketidakpastian emosional. 91 Pada saat orang tua bertengkar maka timbul rasa cemas, tertekan, emosi dan batin si anak akan merasa terluka, kemudian muncullah konflik batin dan kegalauan jiwa, anak menjadi tidak tenang belajar, tidak betah tinggal di rumah. 92 Untuk melupakan luka batin dan penderitaannya maka anak melampiaskan kemarahannya dengan cara menjadi nakal, urakan, berandalan, tidak mau mengenal aturan dan norma sosial dimasyarakat, terlibat dengan anggota geng dan untuk menghilangkan luka batin maka mereka menggunakan narkoba. 2) Perlindungan berlebih dari orang tua. Jika
orang
tua
terlalu
memanjakan
dan
melindungi
anaknya,
mengakibatkan jiwa anak menjadi rapuh dan lemah sehingga si anak tidak sanggup untuk hidup secara mandiri. Maka anak tersebut akan selalu bergantung kepada orang tua dan tidak dapat mengambil tindakan sendiri semua hal mengandalkan orang tua.93 Hal ini menyebabkan jiwa anak menjadi tidak sehat maka anak akan mudah merasa cemas, bimbang serta ragu-ragu dan kepercayaan dirinya menjadi hilang. Tanpa adanya orang tua membuat anak tidak dapat berbuat sesuatu dan tidak memiliki motivasi yang kuat. Sebagai akibatnya anak melakukan identifikasi 91
Abu Haraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), hlm.86. Ibid 93 Kartini Kartono, op. cit, hlm. 121. 92
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
total terhadap gangnya, terutama terhadap pemimpin gang yang secara tidak langsung menyebabkan dirinya terlibat kepada narkoba. 3) Penolakan Orang Tua. Ada orang tua yang tidak dapat melakukan tanggungjawabnya sebagai orang tua. Orang tua ingin terus melanjutkan hidupnya seperti kebiasaannya yang lama bersenang-senang sendiri sama seperti sebelum kawin. 94 Mereka tidak memikirkan tanggungjawab mereka sebagai orang tua. Anak dianggap sebagai beban dan hambatan dalam meniti karir mereka. Keluarga yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi dan keadaan yang baru itu membuat jiwa anak menjadi kalut dan timbulnya kecemasan. Dalam keadaan yang seperti ini maka tidak akan terdapat ketenangan sehingga membuat perkembangan jiwa anak menjadi terhambat. Anakanak merasa terhina
dan menanam kebencian pada orang tua
sehingga untuk
mengbati kekecewaan batinnya membuat anak menjadi berandalan dan menggunakan narkoba sebagai pelarian. 4) Pengaruh Buruk dari Orang Tua. Sikap buruk dari orang tua dengan melakukan tindakan kriminal atau asusila (suka main perempuan, korupsi, senang berjudi, menghisap ganja, menggunakan obat-obat terlarang, kebiasaan meminum-minuman keras, bersikap otoriter dan sebagainya) dari orang tua atau salah satu anggota keluarga akan bisa
94
Ibid, hlm.122.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
memberikan pengaruh negatif (menular) kepada anak. 95 Anak menjadi ikut-ikutan melakukan tindakan kriminal dan asusila atau menjadi anti sosial. Keadaan keluarga yang serba tidak menentu, kisruh, kacau dan acakacakan tanpa aturan dan disiplin merupakan tindakan yang tidak mendidik dan tidak memunculkan iklim yang manusiawi, sehingga menyebabkan anak tidak terkendali dan frustasi. Keadaan ini akan membuat anak-anak mencari suatu ketenangan, suatu tempat yang mebuat dirinya dihargai yaitu dengan menggunakan narkoba dan bergaul dengan para anggota gang yang merasa memiliki perasaan senasib dengan dirinya. 96 b. Faktor Lingkungan Sekolah Sekolah adalah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Sekolah adalah tempat anak-anak dapat berinteraksi dengan teman-teman yang lain, yang secara tidak langsung dapat membawa pengaruh yang baik maupun pengaruh yang buruk pada temen di sekitar lingkungannya. Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak baik, dalam sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada teman yang lain. Sesuai dengan keadaan seperti ini sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak menjadi sumber terjadinya konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delinikuen. 97
95
Ibid, hlm.124. Hasil Wawancara dengan Salah Satu Hakim di Pengadilan Negeri Medan, 14 Juli 2008. 97 Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm.130. 96
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Banyak hal yang membuat sehingga membuat anak didik merasa terlantar disekolah antara lain di sekolah anak merasa kurang diperhatikan, hal ini disebabkan pengaruh negatif dari perkonomian yang dialami oleh pendidik sehingga secara tidak langsung mengurangi perhatiannya pada anak didik. 98 Pendidik sering tidak masuk akibatnya anak terlantar, bahkan sering sekali akhirnya pendidik marah kepada anak didiknya, pada saat anak ingin diperhatikan di rumah tapi tidak ada orang tua yang memperhatikan dan pada saat disekolah yang diharapkan dapat menjadi tempat yang menyenangkan ternyata dapat menjadi hal yang menakutkan pada anak. Tidak adanya tempat anak untuk mengungkapkan curahan hatinya akhirnya anak masuk kekomunitas anak-anak yang memiliki masalah seperti dirinya dan agar diakui mereka membentuk kelompok (gang). Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/ sanksisanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya, terjadinya disharmonis antara peserta didik dan pendidik. Kurikulum selalu berubah-ubah tidak menentu sehingga membuat bingung para pengajar maupun murid, selain itu materi yang selalu ketinggalan zaman dan tidak bisa menyerap aspirasi anak. 99 Kondisi ini menyebabkan anak malas belajar, gampang jenuh dan lelah secara psikis. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap kali memberi pengaruh
98 99
langsung atau tidak langsung terhadap
Ibid. Ibid. 131.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
peserta didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan anak berperilaku negatif. Minat belajar anak menjadi menurun, sebaliknya mereka menjadi lebih tertarik pada hal-hal non persekolahan, misalnya: masalah seks, hidup santai, minum-minuman keras, mengisap ganja dan bahan narkotik lainnya, suka membolos sekolah dan berkumpul dengan teman sekelompoknya berkeliaran di jalan-jalan raya. 100
c. Faktor Milieu (Lingkungan Sekitar) Milieu atau lingkungan sekitar tidak selalu berpengaruh baik dan menguntungkan bagi perkembangan anak. Lingkungan adakalanya dihuni oleh orang dewasa serta anak-anak muda kriminal dan anti sosial, yang dapat menimbulkan reaksi emosional buruk pada anak-anak yang masih labil jiwanya, sehingga anak mudah terjangkit oleh pola tindakan kriminal, asusila dan anti sosial. 101Lingkungan merupakan tempat yang sangat berpengaruh perkembangan jiwa anak, adakalanya lingkungan dapat memberikan dampak negatif dan positif. Oleh karena itu agar anak jangan sampai terpengaruh pada hal yang buruk dari lingkungan yang tidak baik anak harus diberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup serta diberikan pemahaman agama yang baik sehingga kemungkinan anak terpengaru hal yang buruk semakin kecil. Menurut informan dari Lapas Anak Medan ada beberapa penyebab mereka mempergunakan narkoba sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini
100 101
Ibid Kartini Kartono, op.cit, hlm.126-127.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 5. Pendapat Narapidana Anak terhadap alasan memakai Narkoba No 1
Faktor Penyebab Anak Memakai Narkoba Keluarga (Broken Home)
Jumlah Informan 1
Persentase (0 %) 25
2
Pengaruh Lingkungan
3
50
3
Coba-coba
1
25
Jumlah
5
100
Sumber: Data Primer Hasil Wawancara dengan Anak Penghuni Lapas Anak Medan
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa faktor dominan yang membuat anak memakai narkoba adalah karena pengaruh lingkungan tempat tinggal, selain itu faktor penyebab anak memakai narkoba adalah karena pengaruh keadaan keluarga dan karena ingin coba-coba. Anak yang terpengaruh lingkungan yang tidak sehat, baik itu lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekolah pada akhirnya akan ikut serta dalam suatu komunitas atau kelompok (gang)
yang pada akhirnya
membuat anak memakai narkoba, yang bisa saja ditawari gratis oleh temantemannya. Sebagaimana telah uraikan dalam sebelumnya bahwa dalam teorinya Sutherland, yang dikenal dengan assosiasi diffrensial menyatakan bahwa perilaku termasuk perilaku jahat merupakan suatu perbuatan dari proses belajar. Demikian juga dengan anak yang memakai narkoba pada umumnya mereka memakai narkoba karena belajar dari lingkungannya melalui suatu proses interaksi dalam pergaulan
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
yang akrab. Dengan kata lain anak yang memakai narkoba terlibat dalam suatu interaksi yang akrab dengan orang-orang yang ada di sekitar lingkungannya. Berdasarkan faktor-faktor dominan yang menyebabkan anak memakai narkoba di Kota Medan tersebut dapat diketahui bahwa bahwa faktor yang menyebabkan orang untuk berbuat jahat bukan karena faktor biologis seperti yang dikemukakan oleh Cesare Lambroso melainkan karena faktor sosiologis. Jika dikaji dari sudut faktor sosiologis bahwa anak yang berbuat jahat sebahagian besar karena dipengaruhi lingkungan sehingga belajar berbuat yang tidak baik dari lingkungannya. Salah satu anak penghuni Lapas Anak Medan mengaku bahwa alasan memakai narkoba adalah karena dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, yang mau tidak mau membuatnya terpengaruh untuk mengkonsumsi narkoba.102 Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa awalnya hanya coba-coba saja untuk memakai narkoba. Dari tindakan coba-coba yang dipelajari dari teman-temannya yang memakai narkoba, sehingga akhirnya dia terpengaruh untuk memakai narkoba. 103 Hal senada juga diungkap penghuni yang lain bahwa pada awalnya memakai narkoba pada saat Kelas II SMP, karena terpengaruh oleh teman-teman di lingkungan tempat tinggal, yang mengajak untuk memakai narkoba. Pada awalnya tidak mau tapi teman-teman akan mengejek sebagai anak yang tidak gaul, bahwa
102
Wawancara dengan S, anak berusia 16 tahun yang menjadi penghuni Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 6 Juni 2008. 103 Wawancara dengan M. Ir. H, anak berusia 18 tahun yang menjadi penghuni Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 6 Juni 2008. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dengan memakai narkoba segala masalah akan hilang. 104 Pengaruh lingkungan sangat mempengaruhi bagi perkembangan jiwa anak, karena anak memiliki jiwa yang labil, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anak di Lapas Anak Medan, bahwa pertama kali memakai narkoba karena pengaruh lingkungan di mana lingkungan, yang akibat bujukan dari teman-teman yang memakai narkoba di lingkungan yang akhirnya mempengaruhinya sehingga memakai narkoba. 105 Pendapat yang berbeda dikemukan oleh penghuni yang lain dia pertama kali memakai narkoba karena ingin mendapat kesenangan dan dapat terlepas dari masalah yang dihadapinya, orang tua yang bercerai. Oleh temannya ditawari narkoba secara gratis yang kemudian membuatnya menjadi kecanduan akan narkoba. 106 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa jiwa anak yang labil akan sangat cepat terpengaruh apabila melihat dan tinggal di lingkungan yang kurang sehat. Pengaruh buruk itu antara lain dengan melihat banyak perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh orang dewasa, maka mereka akan dengan mudah terjangkit perilaku yang buruk tadi sehingga dijadikan pola kebiasaan yang menetap. Pola-pola asusila sangat mudah menjalar pada kumpulan anak muda yang putus sekolah yang tidak memiliki motivasi lagi untuk belajar dan meningkatkan kepribadiannya. 107
104
Wawancara dengan OP, anak yang berusia 17 tahun yang menjadi penghuni Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 6 Juni 2008. 105 Wawancara dengan MS, anak yang berusia 16 tahun yang menjadi penghuni Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 6 Juni 2008 106 Wawancara dengan DS, anak yang berusia 17 tahun yang menjadi penghuni Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 6 Juni 2008. 107 Wawancara dengan Kepala Lapas Anak Kelas IIA Medan, tanggal 7 Juni 2008. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Menurut Graham Blaine, seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkoba adalah: 108 1. Untuk membentuktikan keberanian dalam melakukan tindakan –tindakan yang berbahaya dan yang memiliki risiko, sehingga agar keberaniannya imbula maka mereka mempergunakan narkoba, misalnya berkelahi, lomba balapan motor illegal, ngebut dan tindakan berbahaya lainnya. 2. Untuk menentang suatu otoritas yaitu terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang lainnya, ada anggapan bahwa mereka adalah merupakan mengekang terhadap kebebasan. 3. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian, hal ini terjadi karena pemakai merasa dirinya kurang diperhatikan, merasa disingkirkan sehingga memakai narkoba karena dirinya ingin dianggap ada. 4. Untuk melepaskan diri dari masalah dan ingin pikiran yang tenang, sehingga dengan menggunakan narkoba, meraka (pemakai) dapat menemukan arti hidup. 5. Mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawankawan. 6. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosity) dan karena iseng (just for kicks). Hal yang senada diungkapkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, yang mengatakan bahwa sebab-sebab penggunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) keinginan,yaitu: 109 108
Hari Sasangka, op.cit hlm. 5.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. Ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkoba, dengan memakai perasaan akan senang, riang dan merasa dirinya melayang (fly). 2. Ingin menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap bahwa dalam keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dari masalah dan merupakan suatu situasi yang nyaman untuk lepas dari segala permasalahan hidup. 3. Ingin merubah kepribadian (personality change) yaitu mereka yang beranggapan bahwa menggunakan narkoba dapat merubah kepribadian, seperti untuk menampakkan kepercayaan diri, menambah keberanian, menjadi lebih fleksibel dalam artian tidak kaku dalam menghadapi teman-teman sepergaulannya. Menurut I ketut Gde Adi Saputra bahwa anak memakai narkoba di pengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 110 1. Lingkungan Faktor lingkungan menyangkut teman sebaya, orang tua, dan remaja (individu) itu sendiri.Pada masa remaja, teman sebaya menduduki peran uatama pada kehidupan mereka, bahkan menggantikan peran keluarga/orang tua dalam
109
Soedjono Dirdjosisworo, Pathologi Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni Bandung, 1982) hlm.
70-71. 110
I Ketut Gde Adi Saputra, Peran Generasi Muda Dalam Penanggulangan Bahaya Narkoba, disampaikan dalam Saresehan Penangulangan Narkoba di Kerta Sabha, 19 Juli 2007 yang diselenggarakan oleh BITD Prov Bali.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
sosialisasi dan aktivitas waktu luang dengan hubungan yang bervariasi dan membuat norma dan sistim nilai yang berbeda. Faktanya: a. Pada masa remaja terjadi jarak fisik dan Psikologis yang cendrung berakibat penurunan kedekatan emosi,dan kehangatan, bahkan cendrung timbul konflik remaja dengan orang tua. b. Konflik keluarga membuat remaja tergantung pada teman sebaya uantuk dukungan emosi. 2. Faktor Individu Selain faktor lingkungan, peran genetik juga merupakan komponen yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba, setidaknya untuk beberapa individu. Sederhananya, orang tua pelaku penyalahgunaan narkoba cendrung menurun kepada anaknya, terlebih pada ibu yang sedang hamil. Kecemasan dan depresi juga berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba. Faktor-faktor individu lainnya adalah: Sifat mudah terpengaruh, kurangnya pemahaman terhadap agama, pencarian sensasi atau kebutuhan tinggi. 3. Faktor Teman Sebaya Teman sebaya memiliki pengaruh yang paling dasyat terhadap penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja. Anak dari keluarga baik-baik, nilai sekolah baik, lingkungan baik cenderung telibat narkoba jika teman-temannya menggunakan narkoba.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Faktor Sekolah, Kerja, dan Komunitas a. Kegagalan Akademik b. Komitmen rendah terhadap sekolah : datang sekolah hanya untuk ketemu teman , merokok, lalu bolos. c. Transisi sekolah : peralihan jenjang sekolah yang berakibat penurunan prestasi memberi andil dalam penyalahgunaan narkoba. d. Faktor komunitas biasanya akibat : komunitas permisif terhadap hukum dan norma, kurang patuh terhadap aturan,status sosial ekonomi. Menurut I Made Mangku Pastika, ada beberapa faktor mengapa seseorang bisa bisa terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Faktor-faktor tersebut antara lain yaitu: 111 1. Faktor keluarga. Faktor keluarga meliputi, apakah suatu keluarga demokratis, kaku atau permisif. Keluarga kaku adalah keluarga yang otoriter. Larangan adalah larangan. Tidak ada toleransi. Semua keputusan ada di tangan orang tua dan anak tidak berhak untuk
mengambil
keputusan.
Keluarga
permisif
adalah
keluarga
yang
memperbolehkan anaknya melakukan apa saja. Tipe keluarga ini cenderung menjadi kelurga liberal, yakni memperbolehkan anak melakukan sesuatu tanpa pengawasan dan pertimbangan orang tua. Sedangkan keluarga demokratis adalah keluarga yang dalam melaksanakan keputusan harus ada kesepahaman dan kesepakatan antara orang tua dengan anak. 111
http//www.ikonbali.org, Ign, Wahyunda, tanggal 5 Oktober 2007
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Faktor lingkungan. Setiap orang tua wajib tahu di lingkungan apa anaknya bergaul. Termasuk didalamnya, bagaimana latar belakang keluarga teman anak mereka. Bukan bermaksud mencampuri, hanya saja ini sebagai bentuk kewaspadaan terhadap anakanak agar tidak terpengaruh ke lingkungan yang buruk. 3. Faktor ketersediaan narkoba. Saat ini, hampir 60-70 persen penghuni Lembaga Permasyarakatan adalah berkaitan dengan kasus narkoba. menggiurkan.
Mereka
akan
Sebab bisnis narkoba adalah bisnis yang
bersedia
menukarkan
nyawa
mereka
asalkan
mendapatkan uang yang banyak. 112 “Bayangkan, harga satu kilo ganja di Aceh hanya Rp 300.000, tetapi ketika sudah mencapai di Bali, harganya bisa mencapai Rp 3.000.000. Bagaimana orang-orang tidak tertarik untuk menekuni bisnis ini. Orangorang yang sudah terjun ke bisnis narkoba akan rela melakukan apa saja termasuk rela dipenjara selama bertahun-tahun. “Toh dia akan bisa mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara,”. Bahkan untuk saat ini ada sindikat yang berusaha mempergunakan anak sebagai perantara. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 3 orang polisi 113 yang berada di Poltabes Medan mengenai faktor-faktor penyebab anak menggunakan narkoba yaitu karena faktor lingkungan dan faktor keluarga. Menurut Kepolisian
112
Ibid Wawancara dengan anggota Kepolisian Kota Besar Medan dengan menggunakan snowball approach (bola salju) , dengan jumlah informan sebanyak 4 orang polisi. 113
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
faktor yang paling dominan menyebabkan anak memakai narkoba adalah karena faktor lingkungan. Menurut
informan
aparat
Kepolisian
yang
menyebabkan
anak
mempergunakan narkoba adalah karena pengaruh lingkungan, dimana seorang anak dalam pergaulannya sangat mudah sekali terpengaruh dengan orang yang ada disekitar lingkungannya, bahkan dari semua informan memberi penjelasan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi anak mempergunakan narkoba adalah faktor lingkungan yaitu lingkungan tempat bergaulnya sehari-hari. Ada kecendrungan dalam pergaulan dengan teman-temannya jika si anak tidak merokok yang telah ada ganjanya si anak disebut sebagai anak yang tidak gaul. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi anak mempergunakan narkoba adalah karena faktor keadaan keluarga, dengan kata lain keluarga broken home, perceraian orang tua membuat anak merasa kehilangan pegangan sehingga menimbulkan rasa tidak percaya diri dan akhirnya untuk membuat dia merasa berani maka si anak menggunakan narkoba. Hal senada diungkapkan PKPA Medan, 114 bahwa lingkungan keluarga merupakan benteng pertama mencegah seseorang untuk jatuh ke lembah penyalahgunaan narkoba. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap individu dalam pembentukan karakter dan perilakunya. Dimulai dari keluarga, seorang individu dapat dibangun mental dan moralnya melalui pembelajaran budi pekerti dan sopan santun.
114
Wawancara dengan PKPA Medan, tanggal 25 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Sementara menurut informan dari Balai Pemasyarakatan Medan, bahwa litmas (penelitian masyarakat) yang dilakukan terhadap anak yang menggunakan narkoba hampir semuanya memakai narkoba karena pengaruh lingkungan pergaulan si anak. Anak yang memakai narkoba akhirnya kecanduan selain itu ada anak yang terlibat narkoba karena frustasi sebab di rumah tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, sehingga waktunya banyak yang terbuang untuk melakukan hal-hal yang tidak benar. Anak sebagai pemakai biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sementara kalau dia sebagai pengedar itu di sebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi ada kecendrungan bahwa anak menggunakan narkoba karena faktor lingkungan pergaulan. 115 Sedangkan informan dari Kejaksaan Negeri Medan mengungkapkan bahwa faktor-faktor penyebab anak mempergunakan narkoba adalah pengaruh dari temantemannya yang pada mulanya ditawarkan gratis kepada anak, selain itu juga dipengaruhi oleh keadaan keluarga, anak kurang mendapat perhatian dari orang tua. Tapi faktor yang paling dominan adalah pengaruh dari lingkungan atau teman-teman yang mempengaruhi untuk memakai narkoba. 116 Hasil wawancara dengan lima orang Jaksa di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan menggambarkan bahwa faktor paling dominan yang mempengaruhi anak mempergunakan narkoba adalah karena pengaruh pergaulan atau lingkungan.
115 116
Wawancara dengan Pegawai Balai Pemasyarakatan Medan, tanggal 3 Juli 2008. Wawancara dengan Jaksa di Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 9 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Sementara itu pendapat yang senada dikemukakan oleh Hakim yang ada di Pengadilan Negeri Medan bahwa faktor penyebab anak menggunakan narkoba adalah karena pengaruh dari teman, selain itu karena ingin coba-coba tapi faktor yang paling dominan adalah karena pengaruh teman atau lingkungan yang kurang sehat bagi pergaulan anak. 117 Hal yang senada juga diungkapkan oleh pegawai di BAPAS Medan yang sering mendampingi klien anak yang tersangkut paut dengan narkoba, pada umumnya mereka beranggapan bahwa anak memakai narkoba karena dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang tidak baik dan kurang mendapat pengawasan dari orang tua membuat anak memakai narkoba, dan faktor yang paling dominan adalah karena pengaruh lingkungan. 118 Para informan dari Lapas Anak Medan mengungkapkan bahwa anak mempergunakan narkoba karena pengaruh dari teman, pertama sekali narkoba diberikan secara cuma-cuma kepada anak, pada akhirnya si anak menjadi kecanduan selain itu kondisi ini didukung oleh kondisi lingkungan yang kurang baik, sementara orang tua kurang menanamkan nilai agama, pada akhirnya orang tua tidak menyadari kalau anaknya mengkonsumsi narkoba dan orang tua baru tahu pada saat anaknya sudah tertangkap di kantor Polisi. 119 Selain itu berdasarkan wawancara dengan salah satu informan di Bapas Medan bahwa anak yang memakai narkoba biasanya dipengarhi lingkungan sedangkan untuk pengedar biasanya karena faktor ekonomi.
117
Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan, 26 Juli 2008, loc. cit Wawancara dengan Pegawai Bapas, loc.cit 119 Wawancara dengan Siswanto Kepala Lapas Anak Medan Kelas IIA Medan, 7 Juli 2008 118
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
C. Tahapan Penyalahgunaan Narkoba Ada beberapa tahapan dalam penyalahgunaan narkoba, yaitu: 120 1. Tahap coba-coba Awalnya hanya pengin tahu dan memperlihatkan kehebatan. Kebanyakan tidak melanjutkan tahap ini. Tapi, ada beberapa dari kita yang lanjut ke proses yang lebih"canggih". 2. Kadang-kadang atau pemakaian reguler Sebagian setelah tahap coba-coba kemudian melanjutkan pemakaian psikoaktif sehingga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, karena pemakaian bahan-bahan tersebut masih terbatas, tidak ada perubahan mendasar yang dialami pemakai. Mereka tetap bersekolah dan melakukan kegiatan lainnya. 3. Ketagihan Pada tahap ini frekuensi, jenis, dan dosis yang dipakai meningkat, termasuk bertambahnya pemakaian bahan-bahan berisiko tingggi maka dapat terjadi gangguan fisik, ganguan mental dan masalah sosial lainnya akan semakin jelas. Tahap ini sering juga disebut dengan tahap kritis karena timbul bahaya yang sangat nyata. Tetapi pada beberapa pemakai masih bisa berhenti pada tahap ini dan harus ada bantuan dari orang sekeliling dan adanya kemauan dari si pemakai untuk sembuh.
120
Hari Sasangka, op. cit, hlm. 7
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Ketergantungan Merupakan bentuk ekstrem dari ketagihan, upaya mendapatkan zat psikoaktif dan memakainya secara regular merupakan aktivitas utama sehari-hari, mengalahkan semua kegitan lain, kondisi fisik dan mental terus menerus menurun, dan biasanya hidup tidak bergairah dan kehilangan makna. Keadaan pemakai selalu membutuhkan obat tertentu agar dapat berfungsi secara wajar, baik fisik maupun psikologis. Ketergantungan fisik, misalnya badan menjadi lemah dan sendi-sendi terasa nyeri kalau tidak menggunakan obat dalam jangka waktu tertentu. Ketergantungan secara psikologis ditunjukkan oleh adanya perasaan tidak percaya diri dalam pergaulan sehari-hari kalau tidak menggunakan obat. 121
D. Dampak Penyalahgunaan Narkoba 1. Aspek Yuridis a. Tindak Pidana Narkotika Sangsi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1997, diklasifikasikan sebagai berikut: 122 a. Sebagai pengguna dikenakan ketentuan pidana pasal 78 dengan pidana 4 tahun. b. Sebagai pengedar dikenakan ketentuan pidana pasal 81 dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun/seumur hidup/mati + denda.
121 122
Ibid, hlm. 8 UU No. 22 Tahun 1997, Tentang Narkotika.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
c. Sebagai produsen dikenakan ketentuan pidana pasal 80 dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun/seumur hidup/mati + denda. b. Tindak Pidana Psikotropika. Sangsi bagi pelaku penyalahgunaan Prikotropika menurut UU No. 5 tahun 1997 sebagai berikut: 123 a. Sebagai pengguna dikenakan ketentuan pasal 59 dan 62 dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun, maksimal 15 tahun + denda. b. Sebagai pengedar dikenakan ketentuan pasal59 dan 60 dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun + denda. c. Sebagai prodosen dikenakan ketentuan pasal 80, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun + denda. 2. Aspek Medis Gangguan kesehatan yang bersifat kompleks dapat membawa efek terhadap tubuh si pemakai seperti jantung, ginjal susunan saraf pusat paru-paru dan lain-lain dan bahkan sampai pada kematian, diantaranya sebagai berikut: 124 1. Euphoria ialah suatu perasaan riang gembira yang ditimbulkan oleh narkoba yang membuat lemah jasmani si pemakai. Ini adalah efek pemakaian dosis yang terlalu tinggi.
123 124
UU No. 5 Tahun 1997, Tentang Psikotropika. Hari Sasangka, op. cit, hlm. 8-9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Delirium menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai adanya kegelisan, perasaan tidak nyaman atau tidak tenang. Efek delirium ini terjadi akibat pemakaian dosis yang lebih tinggi. 3. Halusinasi yaitu kesalahan panca indera, sehingga apa yang dilihat tidak seperti kenyataan sesungguhnya. 4. Weakness adalah kelemahan jasmani atau rohani yang terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba. 5. Drowsiness yaitu kesadaran yang menurun atau keadaan antara sadar dan tidak sadar disertai dengan pikiran yang kusut dan kacau. 6. Collapse yaitu keadaan pingsan dan jika sipemakai over dosis, dapat mengakibatkan kematian. dan kesediantaranya : seperti jantung, ginjal, susunan saraf pusat, paru-paru dan lain-lain, bahkan sampai pada kematian. 3. Aspek Sosial a. Terhadap Pribadi 1. Merubah keperibadian secara drastis, pemurung, pemarah dan tidak takut dengan siapapun. 2. Timbul sikap masa bodoh,lupa sekolah,rumah, tempat tidur. 3. Semangat belajar/bekerja turun bahkan dapat seperti orang gila. 4. Tidak ragu melakukan sex bebas karena lupa dengan norma-norma. 5. Tidak segan-segan menyiksa diri untuk menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan sifat ketergantungan obat bius. 6. Pemalas bahkan hidup santai. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Terhadap Keluarga 1. Tak segan mencuri uang/ menjual barang di rumah untuk beli narkoba. 2. Tidak menghargai barang milik di rumah, seperti memakai kendaraan sembrono hingga rusak bahkan hancur sama sekali. 3. Mengecewakan harapan keluarga, keluarga merasa malu di masyarakat. c. Terhadap Kehidupan Sosial 1. Berbuat tidak senonoh (jahil/tidak sopan) terhadap orang lain. 2. Tak segan mengambil milik tetangga untuk tujuan yang sama. 3. Mengganggu ketertiban umum,seperti mengganggu lalu lintas. 4. Menimbulkan bahaya bagi ketentraman dan keselamatan umum misalnya tidak menyesal bila melakukan kesalahan.
E. Tanda-tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Narkoba a. Fisik Secara fisik ada beberapa tanda-tanda dari orang yang memakai narkoba, yaitu: 1) berat badan turun drastis, 2) mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman, 3) tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan,
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4) buang air besar dan kecil kurang lancar, 5) sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas,
b. Emosi Menurut informan dari PKPA Medan, bahwa dari segi emosi ada beberapa tanda-tanda anak yang memakai narkoba, yaitu: 125 1) sangat sensitif dan cepat bosan 2) bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya. 3) nafsu makan tidak menentu. 4) sangat sensitif dan cepat bosan bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya. 5) nafsu makan tidak menentu.
c. Perilaku Dari segi perilaku ada beberapa tanda-tanda anak memakai narkoba, yaitu: 1) malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya. 2) menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga.
125
Wawancara dengan PKPA, bulan Juli 2008
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3) sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam. 4) suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikan barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-barang berharga miliknya, banyak yang hilang dan selalu kehabisan uang. 5) waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya. 6) takut akan air. Jika terkena akan terasa sakit karena itu mereka jadi malas mandi, sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan, biasanya terjadi pada saat gejala putus zat. 7) sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada maunya, seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat 8) sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan . 9) mengalami jantung berdebar-debar, sering menguap. 10) mengeluarkan air mata berlebihan 11) mengeluarkan keringat berlebihan. 12) sering mengalami mimpi buruk. 13) mengalami nyeri kepala/nyeri atau ngilu sendi-sendi.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB III KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG SELAMA INI DILAKUKAN TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN
A. Tindak Pidana Narkoba a. Perbuatan Pidana Istilah Perbuatan pidana diambil dari bahasa Belanda yaitu istilah het strafbsre feit. Menurut Moeljatno, perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti: perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya dan juga sebagai istilah teknis seperti istilah perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
126
Perkataan perbuatan berarti di buat seseorang dan
menunjuk, bahwa timbul yang menunjukkan adanya handeling atau gedraging sesorang. Dengan perkataan tidak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku. Beliau memberi rumusan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam
dengan pidana dan perbuatan tersebut harus pula benar-benar dirasakan masyarakat yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana secara mutlak harus termasuk unsur formil, yaitu mencocokkan dengan rumusan undang-undang dan unsur materil, yaitu sikap pertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswirdigkeit). 127
127
Ibid, hlm. 208.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Dalam hukum pidana masalah perbuatan jahat perlu dibedakan dalam: a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara konkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat, yaitu perbuatan manusia yang memperkosa atau menyalahi norma-norma dasar masyarakat secara kongkrit. Ini adalah pengertian perbuatan jahat dalam arti kriminologis. b. Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana. Perbuatan jahat di sini adalah perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Mengenai masalah unsur tindak pidana menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
128
Sedangkan
unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus lakukan. Unsurunsur subjektif dari tindak pidana meliputi: 129 a.
Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);
b.
Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
128
PAF. Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm.192 129 Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 3233. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
c.
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam tindak pidana pencurian;
d.
Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnyayang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Sedangkan unsur objektif dari tindak pidana meliputi: 130 1. Sifat melanggar (melawan) hukum; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP. (Dalam Pasal 415 KUHP antara lain ditegaskan :”Seseorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum……..”) 3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat. Perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan pidana dalam tindak pidana narkoba seluruhnya adalah merupakan delik kejahatan, sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana narkoba di atur dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 tahun 1997 tentang
Narkotika. UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika untuk selanjutnya disingkat dengan UU Psikotropika, dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66 seluruhnya adalah merupakan delik kejahatan. Psikotropika adalah obat yang mempengaruhi susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, dan berpotensi 130
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
menyebabkan sindroma ketergantungan. Penggunaan psikoropika harus dilakukan secara benar dalam rangka pengobatan, sehingga apabila dipakai secara bebas mengakibatkan penderitaan suatu penyakit dan ketagihan ingin selalu menggunakan psikotropika. 131 Perbuatan pidana dalam psikotropika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti
memproduksi,
mengedarkan
secara
gelap
maupun
penyalahgunaan
psikotropika, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Memproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika pada akhirnya akan dikonsumsi oleh orang lain, yang pada akhirnya yang membuat orang yang mengkonsumsi menjadi sakit. Jika yang memakai psikotropika banyak jumlahnya maka masyarakat akan sakit bahkan momok yang ditakutkan adalah terjadinya lost generation. Produksi dan peredarannya menyangkut
transaksi
jual beli yang
mendatangkan keuntungan, akan tetapi karena transaksinya gelap maka tidak ada penarikan pajak sehingga negara dirugikan, inilah yang menjadi alasan mengapa tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Dari seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Psikotropika, dilihat dari segi perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk kelompok, sebagai berikut: a. Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika (Pasal 59 ayat (1) huruf b, Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 60 ayat (1) UU Psikotropika) 131
Undang-Undang Psikotropika dan Narkotika, (Jakarta: Tim Pusaka Merah Putih, 2007)
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika (Pasal 59 ayat (1) huruf c dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Psikotropika) c. Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika (Pasal 59 ayat (1) huruf d, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 63 ayat (1) UU Psikotropika). d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika (Pasal 59 ayat (1) huruf d, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63 ayat (1) UU Psikotropika) e. Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika (Pasal 59 ayat (1) huruf a) f. Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotropika (Pasal 64) g. Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UU Psikotropika) h. Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika (Pasal 64) i. Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UU Psikotropika) j. Kejahatan yang menyangkut transaksi dalam perkara psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UU Psikotropika) k. Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UU Psikotropika). l. Kejahatan yang menyangkut saksi dalam perkara psikotropika (Pasal 66) m. Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf d. Dalam Undang-undang Narkotika No. 22 tahun 1997, untuk selanjutnya disingkat dengan UU Narkotika, tidak disebutkan dengan tegas bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, tetapi hal tersebut tidak perlu Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
diragukan sebab semua tindak pidana dalam UU tersebut adalah kejahatan alasannya kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan
diluar kepentingan-kepentingan
tersebut sudah pasti
merupakan kejahatan, sebab akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia. Menurut UU Narkotika perbuatan pidana dalam tindak pidana narkotika dapat dikelompok sebagai berikut: 1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika (Pasal 80 UU Narkotika) 2.
Kejahatan menyangkut jual beli narkotika (Pasal 82 UU
Narkotika) 3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. (Pasal 81 UU Narkotika) 4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan Narkotika (Pasal 79 dan Pasal 78 UU Narkotika). 5. Kejahatan
yang
menyangkut
penyalahgunaan
Narkotika (Pasal 84 UU Narkotika). 6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu Narkotika (Pasal 46 UU Narkotika). 7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi. (Pasal 41, 41, Pasal 89 UU Narkotika) 8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan (Pasal 92 UU Narkotika). Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
9. Kejahatan
yang
menyangkut
penyitaan
dan
pemusnahan narkotika (Pasal 94 UU Narkotika) 10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu (Pasal 95 UU Narkotika) 11. Kejahatan yang menyangkut Penyimpangan fungsi lembaga (Pasal 99 UU Narkotika) 12. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur (Pasal 87 UU Narkotika).
b. Sanksi Pidana Pada dasarnya kepada
seseorang pelaku suatu tindak pidana harus
dikenakan suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa sanksi pidana, akan tetapi adakalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenarnya tidak merupakan pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukum perdata. Bahkan dalam hal tertentu tidak dikenakan suatu hukuman. Ditinjau dari sudut kerugian terpidana, sanksi pidana dapat mengenai: a. jiwa si pelaku: pidana mati; b. badan pelaku: pencambukan dengan rotan sekian kali, pemotongan bagian badan (mis jari tangan), dicap-bara (brandmerk) dan lain sebagainya; c. Kemerdekaan pelaku: Pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pidana buangan, pengasingan, pengusiran, penawanan dan sebagainya: Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
d. Harta benda kekayaan: pidana denda, perampasan barang (tertentu) membayar harga suatu barang yang tidak/ belum dirampas sesuai dengan taksiran dan lain sebagainya. Di dalam KUHP pidana-pidana yang ditentukan ada 2 jenis yaitu pidana pokok yang terdiri dari: pidana mati; pidana penjara; pidana tutupan, pidana kurungan, dan pidana denda, serta pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim (Pasal 10). Menurut sistem KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dalam hal hanya satu tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif
pada pasal tindak pidana yang
bersangkutan dilakukan. Di dalam perundang-undangan di luar KUHP, dapat ditmukan ketentuanketentuan yang menyimpang dari sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam KUHP. Penyimpangan-penyimpangan itu dapat berupa: a. Dapat menjatuhkan dua pidana pokok sekaligus ( Undang-undang TPE dan TPK). b. Dapat menjatuhkan pidana pokok tunggal atau ganda dan pidana tambahan tunggal atau ganda disertai dengan tindakan tata tertib (Undang-undang TPE) c. Menyelesaikan suatu tindak pidana tertentu secara administratif (vide ordonansi) Bea dan Undang-undang perbendaharaan Indonesia. d. Dalam hal-hal tertentu dapat: 1. Menjatuhkan pidana mati, walaupun yang diancamkan pidana seumur hidup;
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Menjatuhkan pidana penjara walaupun yang diancamkan pidana kurungan atau sebaliknya. e. Menyelesaikan tindak pidana tertentu secara hukum disiplin, f. Pengusiran terhadap seorang terpidana yang telah melaksanakan pidananya (Undang-undang Narkoba). Kekhususan terhadap a, b, dan c adalah untuk sebanyak mungkin mengembalikan kerugian Negara. Untuk d dan e adalah dalam rangka pemberatan ancaman pidana bagi justisiabel peradilan militer di satu pihak, akan tetapi dilain pihak adalah untuk memupuk disiplin bagi militer dan yang dipersamakan. Sedangkan kekhususan untuk tersebut f ialah bahwa masyarakat tidak membutuhkan warga negara asing apabila kelakuanya yang berkaitan dengan narkotika tidak berkenan dihati masyarakat. Di dalam KUHP dikenal perampasan kemerdekaan maksimum, yang diatur secara umum. Maksimum penjatuhan pidana penjara terbatas adalah 15 tahun, yang hanya boleh dilewati 20 tahun (dan sekali lagi tidak boleh dilewati lagi) dalam hal: a. Diancamkan secara alternatif pidana mati, pidana mati seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu atau terbatas (20 tahun); b. Diancamkan secara alternatif pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu (20 tahun); c. Ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP (kejahatan yang berhubungan dengan jabatan), dan 52a (menyalahgunakan bendera kebangsaan RI). Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Minimum pidana penjara adalah “terbatas” tersebut adalah satu hari. Pidana penjara seumur hidup tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi apabila diancamkan pidana satu-satunya penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi apabila diancamkan pidana penjara seumur hidup, maka pidana itu tidak mungkin dikurangi dalam putusan hakim. Kalaupun ada pengurangannya hanya mungkin setelah putusan mempunyai kekuatan yang tetap, yaitu melalui grasi (pengampunan) dan remisi (pengurangan). Maksimum pidana kurungan adalah satu tahun empat bulan (dan sekali-kali tidak boleh dilewati lagi) dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan atau karena ketentuan tersebut Pasal 52/52 a. Sedangkan minimumnya adalah 1 (satu) hari. Dalam Pasal 10 KUHP ada diatur mengenai jenis hukuman atau sanksi yang dapat diberikan kepada pelaku yang terbukti kesalahannya yaitu: (1) Hukuman-hukuman pokok: a. Hukuman mati, b. Hukuman penjara, c. Hukuman kurungan, d. Hukuman denda; (2) Hukuman-hukuman tambahan: a. Pencabutan beberapa hak tertentu, b. Perampasan barang yang tertentu, c. Pengumuman keputusan hakim.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Perbuatan dan sanksi pidana yang di atur dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika bisa dilihat pada lampiran dari tesis ini.
c. Pertanggungjawaban Pidana Di dalam konteks hukum pidana untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana akan dijatuhi pidana sesuai dengan yang diancamkan tergantung pada, apakah dalam melakukan tindak pidana tersebut, orang tersebut melakukan kesalahan, hal ini sangat urgen sekali karena asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang secara tegas menyatakan:”tidak dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda berbunyi: “geen straf zonder sculd”. 132 Dalam bahasa latin asas tersebut dirumuskan dengan actus non facit reum misi mens sit rea”. Sedangkan dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan ungkapan:”an act does not make a person quality, unless the mind is quality”. 133 Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah
132 133
Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana , (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 74. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak di pidana. 134 Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut ajaran dualisme. Ajaran dualisme memandang bahwa untuk mejatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu: 135 1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan ini. 2. Apakah pertanyaan diatas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan udnangundang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertangung jawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kesalahan, dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa asas kesalahan adalah merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana. Sekalipun dalam KUHP kesalahan tidak ada dirumuskan, tetapi asas ini hidup di dalam masyarakat sebagai hukum yang tidak tertulis yang di Indonesia diakui keberadaannya sebagai sumber hukum. Secara doktriner, 136 kesalahan diartikan sebagai keadaan psychis yang tertentu pada orang yang 134 Roeslan Saleh (1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua pengertian dasar dalam hukum Pidana. Jakarta: Aksara baru. Hal. 75.
Ibid., hal 89 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta:Penerbit PT. Bina Aksara, 1987), hlm:158.
135
136
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pengertian kesalahan tersebut tersimpul, bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan perbuatan/tindak pidana, yaitu: 137 a. Adanya kesalahan psychis (batin) yang tertentu. b. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam masyarakat. Syarat pertama di atas mensyarakatkan adanya keaadaan batin pelaku haruslah sedemikian rupa, hingga pelaku mengerti makna perbuatannya misalnya pelaku telah dewasa. Syarat kedua mengandung arti, bahwa keadaan batin dengan perbuatan yang dilakukan haruslah sedemikian rupa, sehingga atas perbuatannya tersebut ia dapat dicela, misalnya jiwanya itu normal atau sehat. Dengan keadaan batin demikian seperti itulah pelaku tersebut sadar dan insyaf atas pebuatannya. 138 Syarat kedua inilah yang secara teoritis sering disebut dengan istilah “kemampuan bertanggungjawab”. Hanya terhadap orang-orang yang berjiwa normal inilah, dapat diharapkan tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat, sehingga terhadap pelanggarnya dapat dicelakan padanya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan bertanggungjawab
137 138
Fuad Usfa dan Tongat, op. cit, hlm. 74 Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
merupakan dasar yang sangat penting untuk adanya kesalahan. Oleh karena masalah kemampuan bertanggungjawab ini sangat penting yaitu sebagai dasar adanya kesalahn, maka sebelum berbicara tentang kesalahan maka sebelum berbicara tentang kesalahan, akan dibahas tentang kemampuan bertanggungjawab. 139 Secara doktriner, untuk kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal, yaitu: 140 1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hukum. 2. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut. Hal pertama yang menjadi syarat di atas adalah merupakan faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan syarat kedua adalah merupakan faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan terhadap yang mana diperbolehkan dan yang mana tidak diperbolehkan. Di dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab tidak diberikan batasan. KUHP, hanya merumuskan secara negative, yaitu mensyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu bertanggungjawab. Menurut Pasal 44 KUHP (1), seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena dua alasan, yaitu: 141
139 140
Ibid, hlm.75. Moeljatno, op.cit, hlm 156-166.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya. 2. Jiwanya terganggu karena penyakit. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka apabila seseorang itu jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau sehingga karenanya misalnya menjadikan dia tidak mampu membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas alasan tidak ada kemampuan bertanggungjawab. Pasal 44 (1) hanya mensyaratkan bahwa tentang ketidakmampuan bertanggungjawab hanya berkaitan dengan cacat jiwa dalam tumbuhnya
atau
terganggu
karena
penyakit.
Dengan
demikian,
apabila
ketidakmampuan bertanggungjawab pelaku disebabkan karena jiwa (usia) yang masih sangat muda, Pasal 44 tidak bisa menjadi dasar untuk menghapuskan pidana. Dalam hal demikian terjadi, maka dapat dipakai dasar yang tidak tertulis, yaitu asas tidak dipidana tanpa ada kesalahan. J.E Jonkers menyebutkan ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu: 142 a. Kemungkinan untuk menetukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan. b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya dari perbuatan tersebut. c. Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat. 141
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 60. 142 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, tahun 2001), hlm: 144. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Moeljatno
menarik
kesimpulan
tentang
adanya
kemampuan
bertanggungjawab, ialah: 143 1. harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan anatara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. 2. harus adanya kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit untuk membuktikannya dan akan membutuhkan biaya yang sangat besar, maka dalam praktekhukum dipakai fiksi, bahwa semua orang dianggap mampu bertanggungjawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya. Apabila ada tanda yang demikian sehingga Hakim meragukan kemampuan bertanggungjawab pelaku maka Hakim memerintahkan agar diadakan pemeriksaan terhadap jiwa pelaku. Apabila dari hasil pemeriksaan dianggap bahwa jiwanya tidak normal, maka sesuai dengan Pasal 44 (1) maka pelaku tidak dapat dijatuhi pidana. Seseorang mungkin dihinggapi oleh penyakit jiwa secara terus menerus tapi mungkin saja bisa hanya sementara (temporair) atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila
kumat-kumatan
tercakup
dalam
pasal
44
KUHP.
Semula
sistem
pertanggungjawaban seseorang yang berusia belum dewasa (anak-anak) didasarkan juga pada kemampuan bertanggungjawab di samping ditentukannya umur-umur
143
Moeljatno, op. cit, hlm:165.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tertentu. Oleh karena itu maka ketentuan-ketentuan penyelesaian suatu tindakan pidana yang pelakunya anak-anak, di tempatkan setelah Pasal 44. Ketidakmampuan bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 (keadaan jiwa yang cacad, terganggu dan tak sadar) sangat berbeda dengan kemampuan bertanggungjawab dari seorang anak yang belum dewasa, (kecuali keadaan jiwa anak tersebut ditentukan dalam Pasal 44 tersebut). Ketidakmapuan bertanggungjawab seorang anak di dasarkan kepada apakah anak itu sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk, dan yang menyelidiki ini adalah seorang hakim. Selanjutnya mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (criminee wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toelichtig (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. 144
144 Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Cetakan ke‐2, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP. hal. 102‐105, lihat juga Zainal Abidin Farid (1995). Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 282‐284
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsurunsur delik dalam rumusan undang-undang, sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori Moeljatno tersebut lebih cendrung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah : Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang dikehahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai (2) antara motif , perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. 145
145
Moeljatno. (1984). Asas‐Asas Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara. hal. 172‐173.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Secara umum ilmu hukum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu: 146 1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana. 2. kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi. 3. kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis. Mengenai kelalaian Moeljotno mengutif pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut: Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu 146
Hamzah Hatrik. Op.Cit., hal 89.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
karena kealpaannya. Disini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannnya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu. 147 Jika anak tersebut berusia 16 tahun tapi belum dewasa maka hakim harus menyelidiki apakah anak itu sudah mencapai akal yang dapat memebedakan hal yang baik atau hal yang buruk. Jika ternyata sudah berakal maka terhadap anak tersebut sesuai dengan asas peradilan, dapat dipidana dengan pengurangan sepertiganya. Dan jika sebaliknya, anak tersebut tidak dapat dipidana, tetapi harus diberikan didikan paksaan. Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertangung jawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan.
Pemidanaan
terhadap
anak
hendaknya
harus
memperhatikan
perkembangan seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang berfikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana. Sebagaimana di peroleh dari hasil penelitan dengan pemerhati anak seperti ibu Apong Herlina, 148 ibu Purnianti dan ibu Made 149, bahwa anak itu tidak mempunyai motif
Ibid., hal. 98. Wawancara dengan Apong Herlina Pemerhati Anak, Jakarta, tanggal 2 Juni 2005. 149 Wawancara dengan Purnianti dan I Made, Pemerhati Anak, Jakarta, Tanggal 2 Juni 2005. 147 148
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya. Pemberian
pertanggungjawaban
pidana
terhadap
anak
harus
mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 UU No.3 Tahun 1997 pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa: (a) Pidana penjara; (b) Pidana kurungan; (c) Pidana denda atau (d) Pidana Pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai dengan 12 tahun, akan diberikan tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya; (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara. Menurut
peraturan
yang
berlaku
sekarang
ini
bahwa
sistim
pertanggungjawaban anak-anak tidak lagi berdasarkan pada mampu atau tidaknya bertanggungjawab.
Semua
anak
asalkan
jiwanya
sehat
dianggap
mampu
bertanggungjawab dan dapat dituntut. Namun demikian harus dapat dipahami bahwa Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
terhadap anak yang dianggap mampu bertanggungjawab
masih tetap diadakan
kemungkinan untuk tidak dipidana, alasan untuk tidak dipidana, terutama untuk anak yang masih sangat muda, anatara lain belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan dan pula menginsyafi ketercelaan dari tindakannya, yang demikian tiada kesalahan pada si pelaku tersebut.
B. Kebijakan Penal (Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan kepada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana. Menurut Marc Ancel bahwa penal policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dapat dilakukan secara baik dan agar dapat memberikan suatu pedoman kepada para pembuat undang-undang dan kepada para pelaksana keputusan pengadilan. 150 Dengan demikian dilihat sebagai bagian dari politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan, merumuskan suatu perundang-undangan yang baik. Politik kriminal melalui sarana hukum pidana (penal policy), merupakan kegiatan yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penentuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan 150
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to criminal Problems, (London: Routledge & Kegan Paul,1995), hlm. 4-5. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Pada hakikatnya penal policy adalah merupakan bagian usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum
pidana). 151 Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan negara, korban dan pelaku tindak pidana. Selain itu penal policy hakikatnya juga adalah merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social walfare). Politik hukum pidana juga adalah merupakan bagian integral
dari kebijakan
atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat juga diartikan sebagai usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahtreaan masyarakat sekaligus melingkupi perlindungan
kepada masyarakat. 152
1. Peranan Sistem Peradilan Pidana dalam Menanggulangi Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan Penegakan hukum (law enforcement) telah menjadi ungkapan sehari-hari dikalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, pelaku, dan anggota masyarakat biasa. Demikian pula dengan kalangan pers, sangat dekat dengan ungkapan ini. Penegakan hukum adalah merupakan tugas dari aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Menurut
151 152
M. Hamdan, op. cit, hlm.23. Ibid, hlm. 24.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Purpura 153 sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sistem peradilan pidana diartikan sebagai sebagai suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum. Sistem peradilan pidana memiliki komponen-komponen yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga peradilan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana. 154 Tujuan sistem peradilan pidana adalah untuk melindungi
dan menjaga ketertiban
masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan melakukan penahanan terhadap pelaku kejahatan. Kegiatan SPP adalah meliputi kegiatan yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh Lembaga pemasyarakatan. Proses yang berjalan berurutan itu menuju tujuan yang bersama yang dikehendaki. Keseluruhan proses itu bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga sebagai sub sistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
153
Philip P. Purpura, Criminal Justice an Introduction, (Boston: Butterworth-Heinemann, 1997), hlm.83. 154 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm: 44.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
a. Tahap Pemeriksaan sebelum Persidangan Sebelum suatu perkara dilimpahkan dan diperiksa pada proses peradilan (pra adjukasi) maka diperlukan suatu tahap pemberkasan. Di sinilah tugas kepolisian dan bekerjasama dengan pihak kejaksaan. Kepolisian bertugas untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap anak yang tertangkap memakai narkoba
sebagaimana diatur dalam Pasal 4-12 KUHAP. Kejaksaan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan penuntutan sesuai dengan Pasal 13-15 KUHAP. Di dalam organisasi kepolisian ada 2 macam tugas dan tanggung jawab Kepolisian yaitu 155: 1. Polisi administratif, Polisi keamanan atau Polisi jalanan (lalu lintas) yang disebut juga service public. Tugas umum Polisi ini adalah memberikan pelayan umum, bantuan atau pertolongan kepada masyarakat, menegakkan hukum
yang bersifat mengatur baik dari pusat maupun di daerah
dan
menjaga ketertiban umum serta cakupannya luas, tanpa batas. Tugas Polisi ini sering juga disebut dengan tugas polisi secara preventif. 2. Polisi Peradilan, Polisi Rahasia, atau reserse (Polisi Yudisial), tugas umumnya adalah menegakkan hukum pidana, mencari pelaku, mengumpulkan buktibukti dan nantinya proses akan berjalan di pengadilan. Tugas polisi ini sering disebut sebagai tugas yang bersifat refresif. Tugas polisi ini diarahkan untuk menegakkan hukum pidana.
155
Ibid, hlm.24
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tugas Kepolisian yang secara umum bila dikaitkan dengan bahasa Kepolisian sekarang ialah tugas-tugas pengawasan atau preventif dan tugas-tugas penyidikan, penindakan atau refresif. Secara keseluruhan pada hakikatnya tugas-tugas itu merupakan kontrol oleh Polisi terhadap masyarakat. Politik kriminal (criminal politic) yang selama ini dilakukan pihak polisi di Kota Medan adalah dengan mengadakan pemberkasan perkara kejahatan narkoba melalui proses penyelidikan dan penyidikan serta meneruskannya kepihak kejaksaan, melalui BAP yang dikirimkan pihak kepolisian kepada pihak kejaksaan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana, supaya dapat ditentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan penyidikan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 156 Berdasarkan hasil data Kepolisian bahwa ada sekitar 578 anak yang memakai narkoba yang berhasil ditangkap oleh pihak Poltabes Medan dalam kurun waktu 2004-2007. 157
Kondisi ini menggambarkan bahwa begitu banyak anak yang
memakai narkoba, hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab semua pihak, sebab anak
156 157
Lihat Pasal 1 butir 5 dan butir 2 KUHAP. Data dari Satuan Narkoba Poltabes Ms, tahun 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
adalah masa depan bangsa. Menurut keterangan dari pihak kepolisian kota Medan, 158 terhadap anak tetap dilakukan penahanan, walaupun pada dasarnya masih dalam kategori anak. Fakta ini sesungguhnya berbeda dengan apa yang diatur dalam undang-undang dimana penahan pada anak prinsipnya merupakan langkah yang bersifat esensial seperti yang dirumuskan dalam Pasal 45 (1) UU No. 3 tahun 1997 yaitu: penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan si anak dan atau kepentingan masyarakat. Menurut informan dari Poltabes Medan bahwa hampir semua anak yang memakai narkoba yang berhasil ditangkap dikenakan penahanan hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera (deterrence effect) pada anak yang memakai narkoba agar jangan sampai mengulangi kembali perbuatannya. 159 Dalam proses pemeriksaan terhadap anak yang memakai narkoba sedapat mungkin pihak Poltabes Medan selalu berusaha untuk langsung menghubungi Bapas agar dapat melakukan pendampingan terhadap anak, tetapi adakalanya pihak Bapas tidak langsung bisa segera dihubungi karena masalah waktu. Pada saat dilakukan pendampingan maka pihak Bapas akan melakukan litmas (penelitian masyarakat) yaitu tentang apa latar belakang sehingga anak memakai narkoba, bagaimana kondisi keluarga, lingkungan, tempat tinggal si anak. Hasil laporan dari Bapas ini yang akan diserahkan oleh pihak Bapas kepada pihak Kepolisian dan yang akan menjadi pertimbangan bagi pihak Kepolisian. Hasil litmas 158
Wawancara dengan Brigadir Rismanto. P yang merupakan penyidik di satuan Narkoba Poltabes Medan, tanggal 4 Juli 2008. 159 Ibid. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
akan dilampirkan dalam berkas pemeriksaan Polisi dan akan diserakan kepada Jaksa dan hal ini yang akan menjadi pertimbangan bagi jaksa untuk melakukan penuntutan. Di instansi Kepolisian ada dikenal istilah diskresi 160 kepolisian yaitu kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian untuk menyaring suatu perkara, berdasarkan wewenang yang ada padanya polisi dapat menilai dan menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan. Jika peristiwa itu merupakan peristiwa pidana maka Kepolisian melakukan penyidikan. Kewenangan yang dimiliki oleh polisi tersebut tidak dapat diartikan bahwa polisi boleh menggunakan hak atau wewenangnya didasarkan kriteria mau tau tidak mau, wewenang kepolisian atau police discretion lebih ditekankan pada kewajiban menggunakan wewenangnya, disinilah sangat dituntut kemampuan intelektual dan pengabdian dari Polisi sebagai aparat penegak hukum. 161 Dalam hal ini Kepolisian memiliki kewenangan diskresioner untuk melakukan diversi yang bertujuan menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum agar
160
Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, Polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana. Pada tanggal 11 November sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya. Penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba. "Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, teruta2007ma anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban," kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu. 161
M. Faal, op. cit. hlm.21.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
ditempatkan diluar sistem peradilan pidana. Adapun yang menjadi tujuan diversi adalah: 162 1. untuk menghindari anak dari penahanan. 2. untuk menghindari cap/ label anak sebagai penjahat. 3. untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 4. agar anak lebih bertanggung jawab akan perbuatan yang dilakukannya. 5. menghindari anak mengikuti proses peradilan 6. menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan. Bahwa setelah dilakukannya seleksi ditingkat Kepolisian, maka sebagian kasus anak dipandang perlu untuk dilanjutkan ketingkat penuntutan. Terhadap anakanak yang kasusnya akan dilanjutkan ketingkat penuntutan memiliki kecedrungan untuk dikenakan penahanan. Situasi ini dikarenakan beberapa hal yaitu: 163 a. Kasus anak yang diputuskan untuk dilanjutkan merupakan kasus yang sangat serius dan diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. b. Mereka yang kasusnya dilanjutkan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang jelas dan tidak dengan mudah dapat dihadirkan dipersidangan. Berdasarkan keterangan informan dari pihak Poltabes Medan
bahwa
kepolisian memang memiliki kewenangan untuk melakukan diversi tapi untuk kasus anak yang memakai narkoba belum pernah dilakukan diversi.
Diversi bisa saja
dilakukan mengingat anak yang memakai narkoba selain sebagai pelaku sebenarnya 162
http//:www.childrencenter.com, telegram Kabareskrim POLRI No.Pol.:TR/1124/xi/2006 tgl 16 Nopember 2006. 163 Wawancara dengan polisi di Sat Narkoba Poltabes Medan, loc.cit. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
adalah merupakan korban. Tetapi melakukan diversi haruslah sangat hati-hati, selain itu untuk melakukan diversi haruslah ada payung hukum yang jelas. 164 Untuk mendorong dilakukannya diversi pada tingkat penyidikan oleh Kepolisian diperlukan langkah sebagai berikut: 165 1) Peningkatan Polisi tentang ekses-ekses negatif dari Sistem Peradilan Pidana Anak serta manfaat pendekatan non penal terhadap kenakalan anak. Dengan demikian ada keyakinan pada penyidik bahwa prosedur hukum bukanlah satu-satunya cara penyelesaian kasus anak. 2) Diperlukan adanya pedoman tentang prosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak yang beriorentasi pada UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak, maupun instrumen-instrumen internasional lainnya. 3) Diperlukan adanya pedoman bagi penyidik yang berisi kriteria maupun prosedur dalam menggukan kewenagna diskresionernya untuk melakukan diversi. 4) Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai
yang memandang
penggunaan kewenangan diskresioner yang tepat sebagai langkah positif daripada langkah diminta pertanggung jawaban. Dengan kata lain diversi dipandang sebagai kewajaran bukan sebagai pengecualian. 5) Diperlukan upaya untuk menjalin kerjasama, baik instansi pemerintah terkait dengan LSM sebagai upaya kepolisian untuk melakukan diversi. Dalam hal ini
164 165
Ibid Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
diperlukan promosi
dan dikembangkan model restorative justice (konsep
keadilan pemulihan) sebagai solusi. Kemungkinan untuk mendorong diversi pada tingkat penuntutan masih dihadapkan pada kendala tidak adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan. Kecuali apabila dikembangkan alasan untuk penghentian penuntutan, yang selama ini semata-mata dimungkinkan karena alasan teknis yuridis. Diversi pada tingkat pengadilan, 166 pada dasarnya adalah terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Pengadilan tidak dapat dengan pertimbangan tertentu untuk menghentikan perkara pidana dan mengeluarkan kasus tertentu anak dari SPP anak. Karena itu yang dapat dilakukan pengadilan bukanlah diversi dalam pengertian mengalihkan dari SPP Anak tetapi sebagai upaya lebih memilih tindakan atau pidana lain selain dari pidana penjara atau kurungan, atau karena pidana denda maupun pdana pengawasan adalah bagian SPP anak. 167 Umumnya menurut persepsi Polatabes Medan bahwa pemberian pidana bagi anak adalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium). Poltabes Medan lebih mengutamakan tindakan preventif dan pre emtif dengan melakukan razia dan penyuluhan namun ketika si anak tertangkap memakai narkoba maka terhadap si anak akan langsung dikenakan penahan. Selain itu tujuan pemidanaan bagi anak pemakai narkoba adalah untuk memberikan efek jera (deterrence effect) pada anak sehingga jangan lagi mengulangi perbuatannya. Dengan demikian jika dijatuhkan pidana maka
166 167
http//:www.childrencenter.com, op. cit, hlm.2 Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
orang lain akan merasa takut dan tidak akan mencoba untuk memakai narkoba karena ada kecendrungan bagi masyarakat untuk takut dikurung di dalam ruang tahanan. 168 Penyidik Kepolisian bertugas untuk memastikan apakah tindak pidana sesuai dengan prosedur KUHAP dan kemudian hasilnya dibukukan dalam BAP, dalam pembuatan BAP Kepolisian meminta saran dan pertimbangan dari Bapas selain itu agar Bapas dapat melakukan pendampingan terhadap anak. Bapas dalam melaksanakan tugasnya kemudian akan mengadakan penelitian masyarakat (untuk selanjutnya disingkat dengan litmas) dari hasil litmas nantinya akan dapat diketahui faktor penyebab anak memakai narkoba, apakah anak tersebut terpengaruh lingkungan atau karena kondisi atau keadaan keluarga yang kacau. Selain itu aparat kepolisian khususnya Poltabes Medan selalu berusaha untuk menggali dan mengungkap apa yang menjadi penyebab anak sampai terlibat ke dalam penyalahgunaan narkoba. 169 Untuk sampai pada kesimpulan pelanggaran yuridis, maka penyidik berusaha menggali aspek lanjutan, oleh karena itu Polisi dalam berkas penyidikan ada membuat resume fakta-fakta yang terjadi. Resume diakhiri dengan kesimpulan bahwa kasus ini telah terpenuhi unsure-unsur pasal yang melanggar undang-undang setelah lengkap barulah kemudian dikirimkan kepada pihak Kejaksaan sehingga nantinya perkara dapat dilimpahkan kepada pihak Pengadilan.
168 169
Wawancara dengan Polisi di Poltabes Medan, tanggal 5 juli 2008. Wawancara dengan Polisi di Poltabes Medan, tanggal 5 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Menurut informan yang ada di Kejaksaan Negeri Medan menyatakan bahwa anak yang tertangkap memakai narkoba tetap diproses dan dilakukan penahanan hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dalam hal proses pemeriksaan Kejaksaan selalu berpedoman kepada KUHAP, UU Narkotika dan UU Psikotropika dan UU Pengadilan Anak, dimana UU Pengadilan Anak memuat ketentuan khusus bagi anak dan lebih meringankan bagi anak, sehingga menurut pandangan Jaksa bahwa hak diskresioner untuk melakukan diversi yang dimiliki oleh polisi bagi kasus anak yang terlibat narkoba belum bisa dilakukan. Hal ini disebabkan belum ada aturan yang sangat jelas bahwa diversi dapat dilakukan. 170 Informan
Kejaksaan
memiliki
kecendrungan
tidak
setuju
dengan
dilakukannya diversi dan mereka memiliki kecendrungan untuk memilih pidana penjara dari pada jenis pidana lainnya. Hal ini sebagai tindakan balasan atas perbuatan yang dilakukan selain itu dapat memberikan effect jera sehingga anak jangan mengulangi perbuatannya. Selain itu teman-teman sepergaulan si anak yang tertangkap memakai narkoba akan merasa ketakutan untuk mengalami nasib yang serupa dengan temannya yang berada di balik jeruji penjara sehingga dengan sendirinya tidak akan mempergunakan narkoba. 171 Kesulitan lain bagi Jaksa adalah untuk melakukan “penghentian penuntutan bagi kepentingan umum”, tidak dapat digunakan sebagai upaya diversi, dikarenakan kewenangannya tersebut dimaksudkan dapat digunakan dalam hal “penuntutan”
170 171
Wawancara dengan Jaksa di Kejaksaan Negeri Medan, tanggal 10 Juli 2008 Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
bertentangan dengan “kepentingan umum”. Selain itu kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh setiap Jaksa melainkan dimiliki oleh Jaksa Agung. Kemungkinan untuk mendorong dilakukannya diversi pada tingkat penuntutan masih dihadapkan pada kendala tidak adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan. Kecuali apabila dikembangkan alasan untuk melakukan penghentian penuntutan yang selama ini semata-mata hanya dimungkinkan karena alasan yang bersifat teknis yuridis. 172 Sebelum
membuat
tuntutan
pada
terdakwa
penuntut
umum
mempertimbangkan dari BAP dan lampiran hasil litmas dari Bapas dan juga berdasarkan fakta-fakta dipersidangan membuat rencana penuntutan dengan mempertimbangkan unsur yang memberatkan dan unsur yang meringankan. Salah satu unsur yang memberatkan terdakwa adalah: 173 1. Terdakwa anak tidak kooperatif di persidangan. 2. Tidak memiliki sikap sopan dan santun selama di persidangan. 3. Sudah pernah di hukum sebelumnya. 4. Tidak memiliki penyesalan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Hal yang meringankan bagi terdakwa anak adalah: 1. Terdakwa anak masih di bawah umur/ masih sangat muda dan masih ada kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakunya. 2. Bersikap kooperatif selama di persidangan. 3. Belum pernah dihukum.
172 173
Ibid Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan. Tanggal 25 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Terdakwa menyesali perbuatan yang dilakukannya. 5. Terdakwa juga adalah merupakan korban atas perbuatannya sendiri. Unsur-unsur yang memberatkan dan meringankan menjadi pertimbangan penuntut umum dalam hal melakukan rencana tuntutan. Prinsip yang dipegang oleh Kejaksaan dengan melakukan penuntutan di Pengadilan yaitu untuk memberikan efek jera kepada anak agar jangan mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini pihak Poltabes Medan dan Kejaksaan Negeri Medan dalam menangani suatu perkara sering saling memeri masukan terhadap suatu perkara yang ditangani, hal ini dapat dilihat dalam ada kasus yang sulit maka kedua belah pihak akan melakukan konsultasi. Konsultasi yang dilakukan adalah mengenai pasal berapa yang cocok dipergunakan, tentang barang bukti hal ini dilakukan agar berkas perkara agar jangan bolak-balik anatar Polisi dan Jaksa. Selain itu dilakukannya gelaran perkara dimana pihak kepolisian mengundang pihak kejaksaan untuk gelar perkara yang sedang dihadapi. 174 Apabila suatu berkas perkara belum lengkap maka pihak Kejaksaan akan mengembalikan kepada pihak kepolisian hal inilah yang menjadi salah satu ganjalan dalam hubungan koordinasi antar penyidik (Polisi) dan penuntut umum (Jaksa), alasan pengembalian berkas perkara adalah karena kurang lengkap (P-19) dan penyidik harus segera memperbaiki sesuai dengan petunjuk yang disampaikan oleh jaksa apabila sudah lengkap maka berkas perkara yang disertai dengan lampiran hasil litmas yang menjadi pertimbangan bagi jaksa untuk melakukan rencana 174
Wawancara dengan Polisi di Poltabes Medan, tanggal 5 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
penuntutan. 175 Kelemahan yang lain adalah bahwa hubungan antara Polisi dan Jaksa hanya sebatas proses pemeriksaan perkara dan apabila sudah dinyatakan semua hasil pemeriksaan sudah lengkap maka hubungan mereka putus hanya sampai disitu saja.
b. Tahap Pemeriksaan di Persidangan Pengadilan adalah suatu lembaga yang fokus pada penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan. Proses yang ingin dicapai dalam persidangan adalah untuk mencapai tujuan yaitu menentukan batasan bersalah atau tidak bersalahnya si terdakwa. Dalam hal untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara di bidang narkoba di kota Medan, maka Hakim di Pengadilan Negeri Medan melakukan penahanan terhadap terdakwa, dan semua anak yang terlibat kasus narkoba umumnya dilakukan penahanan.. 176 Hakim dapat melakukan penahanan kepada anak untuk kepentingan pemeriksaan paling lama 15 hari (UUPA Pasal 47 ayat 1-2). Penahanan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 hari dan apabila jangka waktu ini terlampaui namun hakimbelum memutuskan perkaranya
maka anak harus dikeluarkan dari
tahanan. (UUPA Pasal 47 ayat 3-4). Hakim
dalam
mengadili
anak
yang
memakai
narkoba
selalu
mempertimbangkan faktor-faktor apa yang membuat anak sampai menggunakan narkoba, apakah ada pengaruh dari lingkungan tempat tinggal atau pengaruh keadaan
175 176
Ibid Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan, tanggal 25 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 orang hakim yang ada di Pengadilan Negeri Medan bahwa tujuan pemidanan terhadap anak pemakai narkoba adalah untuk memberikan efek jera kepada anak agar jangan mengaulangi perbuatannya dan satu orang hakim mengatakan bahwa pemidaan dilakukan agar anak dapat pembinaan (treatment) sehingga anak tidak lagi memakai narkoba. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hakim di Pengadilan Negeri Medan mayoritas berpendapat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera (deterrence effect) pada anak. 177 Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan detterence ini berakar pada aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya yaitu, Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Becaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei delitti e delle pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya jangan melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam. 178 Peranan hakim
dalam politik kriminal di kota Medan selama ini sangat
dominan dilakukan dengan memeriksa dan memutus perkara di sidang proses pengadilan, dalam
hal ini pengadilan juga melibatkan masyarakat dalam hal
menyadarkan bahaya narkoba bagi masyarakat. Selain itu meminta kepada para orang
177 178
Ibid. C. Ray Jeffery, op. cit, hal 17.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tua agar lebih memperhatikan perkembangan si anak agar jangan sampai anak terjerumus kepergaulan yang tidak benar. Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan, 179 Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, Hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, Hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Dalam ayat 2 pasal yang sama, disebutkan juga bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Sejak diundangkan dan berlaku pada 1 September 1997, belum pernah ada satu pun vonis hakim yang memberi hukuman rehab pada pecandu. Vonis rehab seperti sebuah vonis yang tabu bagi para hakim. Hukuman penjara menjadi satusatunya pilihan yang diterapkan untuk memvonis para pecandu. Kebijakannya lebih pada lama masa tahanan. Hal demikian juga di Pengadilan Negeri Medan, Hakim belum pernah menjatuhkan vonis rehab bagi pemakai narkoba. Menurut salah seorang Hakim bahwa hal ini dikarenakan kebijakan masa tahanan selain itu ada asumsi jika pemakai narkoba di vonis rehab maka ada kecendrungan timbul dugaan bahwa ada permainan atau persekongkolan 179
dari Hakim dan Jaksa. Oleh karena itu dalam
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
menjatuhkan vonis Hakim harus benar-benar mempertimbangkannya. 180 Sementara koordinasi antara kepolisian, kejaksaan dan hakim dapat terlihat hanya pada saat proses persidangan. Selain itu terkadang hakim menjatuhkan vonis tidak sesuai denga alat-alat bukti yang disediakan dan tidak sesuai dengan tuntutan dari Jaksa.
c. Tahap Pemeriksaan sesudah Persidangan Anak setelah melalui proses persidangan (adjukasi) berarti sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang pada akhirnya dapat ditempatkan di dalam lembaga atau dimungkin di luar lembaga untuk dibina sesuai vonis yang dijatuhkan oleh Hakim. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 270 KUHAP, jaksa sebagai pihak eksekutor yang bertanggung jawab
melaksanakan putusan pidana. Sistem pemasyarakatan
merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Anak yang bersalah pembinaannya di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (untuk selanjutnya disingkat Lapas Anak). Penempatan anak yang bersalah dalam Lapas Anak dipisahkan menurut status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil. Perbedaan status menjadi dasar untuk melakukan pembinaan kepada anak yang di Lapas Anak. 181
180 181
Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan, tanggal 25 Juli 2008 Wawancara dengan petugas di Lapas Anak Tanjung Gusta Medan, Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pada hakikatnya anak sebagai warga binaan pemasyarakatan yaitu sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Kalimat di atas menjadi pembuka konsiderans dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang sampai kini masih berlaku di negeri ini. Kalimat itu menegaskan, sistem pemenjaraan yang sebelumnya diberlakukan bagi warga negara yang melakukan tindak pidana tak sesuai dengan dasar negara, Pancasila.
182
Lapas sebagai ujung tombak pelaksanaan
asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan pembinaan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan) menyebutkan lagi, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali masyarakat. Warga binaan, terutama narapidana (napi), setelah keluar dari penjara diharapkan dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Karena itu, Pasal 5 UU Pemasyarakatan menegaskan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas: 183
182 183
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
(a) pengayoman, (b) persamaan perlakuan dan pelayanan, (c) pendidikan, (d) pembimbingan, (e) penghormatan harkat dan martabat manusia, (f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan (g) terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Oleh karena itu, napi sesuai Pasal 14 UU No 12/1995 juga diberikan hak mendapat perawatan rohani atau jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak lain sesuai dengan UU yang berlaku. Tanggung jawab pembinaan ada ditangan Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan bergerak, artinya narapidana hanya dapat bergerak di Lembaga Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak, telah dirampas untuk jangka waktu tertentu.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Dalam proses pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan yang mendapat porsi lebih besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui proses persidangan di Pengadilan.
Pada awalnya tujuan dari pemidanaan adalah penjeraan, membuat
pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat maupun kepada pelaku tindak pidana, agar keduanya tidak melakukan tindakan hokum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadahi. 184 Pembinaan yang dilakukan di
Lapas Anak dapat berupa pembinaan diri
pribadi dengan memberikan skill kepada anak yang didik di Lapas Anak Medan. Pembinaan diri yang sering dilakukan adalah: 185 1. Kegiatan ceramah atau memberikan pendidikan keagamaan kepada anak, hal ini dapat dilakukan melalui ibadah pengajian dan ceramah yang diberikan kepada anak binaan yang beragama Islam dan memberikan PA (Penalaan Alkitab)/ atau kebaktian pada anak binaan yang beragama Kristen. 2. Memberikan kegiatan ceramah kepada anak serta tentang kedsadaran akan hukum dan bahaya narkoba bagi mereka yang memakai narkoba.
184
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Penerbitan Djambatan, 1995), hlm.
185
Hasil wawancara dengan Pegawai di Lapas Anak Medan, 7 Juli 2008.
79.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3. Pembinaan dengan mengikutkan anak program pendidikan kesetaraan Paket A, Paket B dan Paket C yang dilakukan dengan bekerjasama dengan beberapa LSM yang konsern terhadap pendidikan. 4. Memberikan kursus atau pelatihan bagi anak-anak baik itu menyelenggarakan kegiatan pertukangan (kerajinan tangan), otomotif, bengkel las listrik, sablon agar nanti setelah keluar dari Lapas Anak dapat bekerja dengan menghidupi dirinya sendiri dan agar jangan terjun lagi untuk melakukan pelanggaran hukum. Selain itu pembinaan yang dapat dilakukan kepada anak yaitu dengan melakukan tahap assimilasi yaitu dengan melakukan pembinaan diri anak melalui hubungannya dengan masyarakat. Bersamaan dengan tindakan ini mulai dipupuk rasa percaya diri pada diri anak, tatakrama sehingga masyarakat luas timbul kepercayaan dan berubah sikapanya kepada narapidana (anak). Selain itu dilakukan kegiatan integrasi ini adalah tahap akhir dalam pembinaan yaitu dengan memberikan pelepasan bersyarat atau cuti bersyarat dalam tahap ini proses pembinaannya adalah berupa agar masyarakat luas
sedangkan pengawasannya
semakin berkurang
sehingga narapidana akhirnya dapat hidup dengan masyarakat. Menurut informan yang ada di Lapas Anak Medan, untuk saat ini jumlah keseluruhan anak sampai dengan Juli 2008 ini ada berjumlah 899 orang dengan daya tampung 250 orang. Berikut tabel jumlah penghuni di LP Anak Medan.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 6. Jumlah Penghuni Lapas Anak Medan berdasarkan Jenis Kejahatan KASUS
Narkoba Pencurian Kesusilaan Perampokan Pembunuhan Penggelapan Penganiayaan Ketertiban umum Penculikan Penipuan Senjata tajam Lalu lintas/ kelalaian Pemalsuan Perjudian Penadahan Lain-lain Jumlah
JUMLAH
383 281 69 59 22 16 13 9 9 8 7 6 6 4 4 3 899
%
43% 31% 8% 7% 2% 2% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 0% 0% 0% 100%
Sumber: Data Statistik LP Anak Kelas IIA Medan Tahun 2008
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa jumlah penghuni Lapas Anak Medan 899 orang, dengan rincian terdiri dari narapidana 398 orang dan tahanan 501 orang dengan 52 kamar. Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa terjadi over kapasitas di LP Anak Medan. Dengan rincian untuk kasus narkoba berjumlah 383 orang, pencurian 281 orang, kesusilaan 69 orang, pencurian 281 orang, perampokan 59 orang kasus pembunuhan 22 orang, penggelapan 16 orang, penganiayaan 13 orang, ketertiban umum 9 orang, penculikan 9 orang, penipuan 8 orang, senjata tajam 7, lalu lintas/kelalaian 6 orang, pemalsuan 6 orang, perjudian 4 orang, penadahan 4 orang, dan lain-lain 3orang.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Penghuni Lapas Anak Medan paling banyak dihuni oleh orang yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Salah satu informan mengakui mengalami kewalahan karena jumlah penghuni tidak sesuai dengan penjaga yang hanya berjumlah 32 orang, Tapi rutinitasnya hanya dijaga petugas laki-laki di antaranya dua di pintu utama, dua di dalam dan dua lagi mengawasi seluruh kamar. 186 Menurut informan dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), perlu dibedakan tingkatan pengunaan narkoba (drug user): 187 a) orang yang dalam keadaan tak memakai narkoba (abtinence); b) tahap coba-coba (experimen user); c) pemakaian narkoba sebagai bagian dari kegiatan rekreasi atau pesta (social user); d) pemakaian narkoba secara teratur (habitual user); e) pemakai yang merasa tergantung dengan norkoba (addict). Pada tahap ini, secara psikologis penggunanya merasa sulit terlepas dari narkoba; f) pemakai yang sudah tergantung dengan narkoba (H-C addict/dependent). Pada tahap ini, secara fisik dan psikologis sang pecandu sudah sulit melepaskan diri dari ketergantungannya mengonsumsi narkoba. Tingkatan a - d relatif masih bisa ditolong. Mereka juga belum perlu menjalani proses ditoxsifikasi (mengeluarkan racun narkoba dalam darah). Mereka hanya perlu terapi sosial, tetapi
186 187
Wawancara dengan informan di LP Anak Medan, 6 Juli 2008 Wawancara dengan PKPA Medan.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
bagi yang sudah berada pada tahap addict dan dependent, mereka perlu didetox dan menjalani proses rehabilitasi secara intensif. Mengenai efek jera, kalau sudah ditangkap sekali, pasti merasa jera. Tapi kalau yang sudah benar-benar kecanduan, kan nggak bias jera. Penanggulangannya yang perlu dibedakan. Karena untuk pemberantasan kejahatan, termasuk diantaranya narkoba, peran pencegahan yang penting. Kalau di bidang hukum penanganan dapat dilakukan melalui penal (secara hukum), itu kurang. Penanganan non penal (di luar hukum) akan lebih efektif, lebih penting. Kalau represif, umpamanya hakim memberi hukuman yang tinggi, nggak dijamin mereka tidak akan melakukan lagi. 188 Jadi berdasarkan uraian tersebut tidak benarlah jika setiap anak yang memakai narkoba langsung di proses dalam SPP karena haruslah dilihat terlebih dahulu latar belakang masing-masing anak tersebut. Selain itu sudah saatnya jika anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba ditempatkan diruangan yang tersendiri. Menurut Denny Thong, penting sekali menjatuhkan vonis rehab untuk pecandu. Itu kalau masyarakat bisa membedakan sesuatu hal yang kelihatan simpel, tapi sulit. Yakni membedakan antara pengedar dengan pemakai. Karena di antara itu ada grey area di mana pemakai adalah pengedar juga. Itulah yang disebutkan sebagai pengedar kepepet. Sebenarnya kalau mau cari pengedar yang murni, orang-orang gede yang tidak pernah menyentuh barang. Jadi mereka melakukan murni hanya
188
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
untuk uang. Orang-orang ini yang tidak pernah tertangkap. Sekarang yang ditangkap paling para pengedar kepepet. 189 Dilihat dari sudut dunia medis narkoba dianggap sebagai satu sakit. Jadi orang yang sakit harus disembuhkan ini di luar garis hukum legalitas. Orang yang sakit dan merasa disakiti, harusnya dibantu bukan dihukum dengan memasukkan ke dalam Penjara. Dalam mengobati itu, ada banyak sekali taktik dan strategi. Dimana salah satu adalah memang rehabilitasi. Bukan terbaik, tapi itu salah satu. Jadi mereka yang telah tertangkap demikian, tetapi menunjukkan ada itikad ingin berhenti, seharusnya masyarakat mengulurkan tangan. Itu juga tidak menjamin bahwa dia akan sembuh. Tapi paling sedikit berusaha menyembuhkan. Dari pada ngambil satu sikap di mana mereka hanya dilihat hitam putih, salah dan tidak salah, yang tampaknya dalam halhal tertentu, tidak menyembuhkan. 190 2. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanggulangan Anak Pemakai Narkoba di Kota Medan
Politik kriminal dengan menggunakan sarana penal pada hakikatnya adalah merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy). Hal ini tentunya dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana (Criminal
189 190
http//:www.bnpbali/rehab-pecandu/ diankses tanggal 24 Juli 2008. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Justice System), yang terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem Kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem Lemabaga Pemasyarakatan. 191 Keseluruhan proses ini bekerja dalam satu sistem, sehingga antar masingmasing lembaga
itu sebagai satu sistem yang saling berhubungan dan saling
pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang kesemuanya bekerja dengan berlandaskan KUHAP. Sebagai suatu alur yang sistematik maka komponenkomponen sistem peradilan pidana ini diharapkan dapat diharapkan bekerja secara terpadu sehingga memiliki visi yang sama untuk dapat menanggulangi anak-anak yang memakai narkoba di kota Medan. Oleh karena itu dalam SPP perlu dicegah adanya fragmentasi, yang maksudnya masing-masing lembaga bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan interelationship diantara masing-masing sub sistem. Kerjasama ini ibaratnya cara kerja jam dinding, bila satu onderdilnya rusak atau tidak dapat berfungsi maka akan mengacaukan kinerjanya secara keseluruhan. Walaupun masing-masing sub sistem memiliki fungsi yang berbeda-beda dan berdiri sendiri tetapi harus mempunyai satu tujuan dan persepsi yang sam sehingga merupakan kekuatan yang utuh yang saling mengikat antara Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam rangkaian SPP, Kepolisian merupakan sub sistem yang cukup menentukan keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain sebagai alat negara penegak hukum, polisi adalah
191
Mahmud Mulyadi, op. cit, hlm. 93-94.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat. Dari hal tersebut dapat diketahui tugas Polisi adalah: 192 a. Selaku alat negara penegak hukum berkewajiban memelihara dan meningkatkan tertib hukum yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: 1. Melaksanakan penindakan/ refresif terhadap setiap pelanggaran hukum. 2. Menjaga tegaknya hukum yaitu agar tidak terjadi pelanggaran hukum. 3. Memberikan bimbingan kepada masyarakat agar terwujud kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat (law abiding citizens). b.
Mengayomi dan melindungi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dilaksakan melalui kegiatan-kegiatan:
1. Melindungi masyarakat, pribadi maupun harta bendanya dengan melakukan patroli,
penjagaan atau pengawalan.
2. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan kepolisian. 3. Mengayomi masyarakat agar mampu mengamankan diri dan harta bendanya antara lain melalui upaya-upaya sistem keamanan swakarsa. c.
Membimbing
masyarakat
bagi
terciptanya
kondisi
yang
menunjang
terselenggaranya keamanan dan ketertiban masyarakat, dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: a. Memberi penerangan dan penyuluhan tentang pentingnya keamanan dan ketertiban masyarakat bagi kelancaran jalannya pembangunan nasional. 192
M. Faal, op.cit, hlm. 72.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Penerangan dan penyuluhan tenatang sistem keamanan masyarakat guna terciptanya keamandan ketertiban masyarakat. Berdasarkan ruang lingkup tugas kepolisian yang cukup luas, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab kepolisian sangat besar dibandingkan dengan sub sistem SPP lainnya karena polisi langsung berinteraksi dengan masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya dalam memberantas peredaran narkoba ada beberpa kendala, kendala yang paling mendasar adalah masalah dana operasional/ anggaran dana untuk melakukan kegiatan rutin yaitu untuk melakukan razia
untuk Poltabes sendiri
memang tidak ada kendala yang urgent tapi untuk polisi yang ada di luar kota, karena di daerah belum ada Laboratorium untuk memeriksa apakah jenis narkoba atau tidak karena laboratoium hanya ada di Kota Medan sehingga akan menyulitkan bagi Polisi yang di daerah sehingga untuk itu harus membutuhkan dana untuk memeriksakan ke Medan sementara dana yang dikeluarkan sangat terbatas. Meskipun sudah dilakukan upaya preventif dari pihak poltabes tapi kenyataannya masih banyak anak yang memakai narkoba, hal ini didasarkan oleh masyrakat yang tidak mau melapor jika ada orang yang tinggal di lingkungannya yang memakai narkoba hal ini karena ada kecendrungan takut menjadi saksi. 193 Sebahagian masyarakat memilikii keengganan untuk memberikan informasi yang akurat kepada pihak kepolisian hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai contoh: 194
193 194
Hasil wawancara dengan salah seorang Polisi di Poltabes Medan, 4 Juli 2008. Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
a. Orang yang terlibat adalah anggota keluarga. b. Orang yang terlibat adalah tetangga. c. Ada rasa takut untuk melaporkan orang lain yang terlibat narkoba karena ada opini yang berkembang di masyrakat bahwa pihak Kepolisian akan memeberikan identitas pemberi informasi kepada pelaku kejahatan narkoba walaupun kekuatiran ini sama sekali tidak beralasan karena polisi sudah berkomitmen untuk melindungi atau menjaga kerahasiaan pemberi informasi. Politik kriminal melalui peradilan pidana memerlukan koordinasi yang intensif diantara komponen-komponen SPP, agar bisa tercapai tujuan yang maksimal untuk memberantas peredaran narkoba di Kota Medan seperti yang diketahui bahwa persebaran narkoba telah mencapai tahap yang sangat mmperihatinkan karena sekarang ini para pengedar sudah mulai memanfaatkan anak-anak untuk memperlancar peredarannya. Benturan-benturan konflik sering sekali terjadi di lapangan oleh komponen-komponen SPP walaupun bukan institusinya, melainkan antar pribadi dari aparatnya masing-masing. 195 Hal ini dapat dilihat dalam uraian sebelumnya bahwa sering sekali bolakbalik berkas perkara antara pihak kepolisian dengan pihak Kejaksaan sebagai penuntut selain itu masing-masing pihak muncul suatu sikap tidak perduli dengan lembaga yang lain bahwa yang paling utama adalah melaksanakan tugas dan fungsi institusi masing-masing. 196
195 196
Ibid Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Selain itu tidak adanya saling kontrol antar masing-masing lembaga, sehingga tanggung jawab masing-masing komponen hanya sebatas selesainya pekerjaan. polisi sebagai penyidik akan menganggap bahwa tugasnya hanya sampai batas penyelidikan dan penyidikan serta mengajukan berkas perkara pada Jaksa Penuntut Umum, tanpa memperhatikan dakwaan yang akan diajukan oleh Jaksa apakah berat atau ringan yang penting tugasnya telah selesai demikian juga dengan kejaksaan hanya membuat dakwaan bagaimana keadaan si terpidana di LP tidak diperhatikan, jadi di sini tanggung jawab hanya sebatas tugas (just doing my job).
Terkait dengan hal tersebut bahwa belum sistematiknya mekanisme kinerja dari SPP disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 197: a.
Masing-masing komponen SPP (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga pemasyarakatan) mempuyai yurisdiksi yang independent. Masingmasing komponen mempunyai tugas, otoritas, garis komunikasi dan pertanggungjawaban yang terpisah, sehingga hal ini terkadang menjadi penghalang untuk menjalin kerjasama anatar komponen. Selain itu juga terjadi konflik kepentingan, kurangnya saling pengertian, dan tekanan dari komunitas politik yang berbeda pada masing-masing komponen menjadikan peradilan pidana tidak bekerja sebagai sebuah sistem.
b.
Masalah yuridiksi dan opersional. Masing-masing komponen SPP mempunyai yurisdiksi yang independent. Dalam kinerja sehari-hari depertemen atau 197
Mahmud Mulyadi, op. cit, hlm. 143-144
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tingkatan operasional dari komponen-komponen sistem peradilan pidana, sumpah setia untuk mencegah dan menagani kejahatan telah diganti menjadi suatu keperluan untuk mengerjakan tugas saya (doing my job). Masing-masing komponen
mempunyai
tugas
otoritas,
garis
komunikasi,
dan
pertanggungjawaban yang terpisah, sehingga hal ini terkadang menjadi penghalang
untuk
terjalinnya
kerjasama
antar
komponen
sehingga
mengakibatkan SPP tidak bekerja sebagai suatu komponen. c.
Permasalahan individu dari masing-masing anggota komponen SPP. Setiap individu yang bertugas dalam SPP mempunyai tipe dan karakter, latar belakang social, pendidikan dan pelatiahn sikap dan nilai-nilai aturan yang berbeda-beda.
d.
Adanya isu-isu yang substantive yang meliputi masih kurang baiknya pelatihan baik itu pelatihan kepolisian, rendahnya penyelesaian kasus-kasus, terbatasnya pemidanaan
alternative,
manageman
pengadilan
yang
kurang
baik,
penyalahgunaan jaminan. Terjadinya ketidaksistematikan
dalam hal untuk memberantas kejahatan
melalui SPP menurut Marjono Reksodiputro, maka menimbulkan berbagai kerugian, yaitu 198: 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas-tugas mereka; 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem); 198
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari SPP.
C. Kebijakan Non Penal dalam Menanggulangi Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan Politik kriminal (criminal politic) dapat meliputi ruang lingkup yang luas. Menurut G. P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat
dilakukan
melalui: 199 1. Penerapan Hukum Pidana (Criminal Law Application). 2. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment) dan 3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punisment). Berdasarkan uraian di atas politik kriminal (criminal politic) secara garis besar dapat dibagi 2 yaitu melalui jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Point A adalah upaya penal dan point B dan C adalah upaya penal. Politik kriminal (criminal politic) lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan terhadap terjadinya suatu kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor inilah disebabkan oleh masalah atau kondisi-kondisi sosial baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang dapat menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian 199
G. Peter hoefnagels, op. cit, hlm. 57.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
upaya non penal menempati posisi kunci dan strategis dari seluruh upaya politik kriminal. 200 Beberapa masalah dan kondisi yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan non penal. Demikian juga dengan politik kriminal yang dilakukan terhadap anak pemakai narkoba tidak hanya semata-mata menggunakan penerapan hukum pidana
(penal policy) tapi juga memerlukan jalur non penal
yang dapat dipergunakan secara berdampingan yang harus dilakukan oleh aparat yang terkait. Pendekatan non penal policy oleh Kepolisian adalah merupakan upaya yang utama untuk menegakkan hukum, melayani kepentingan masyarakat umum oleh karena itu Polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat umum, selain itu polisi juga melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian informasi yang luas tentang bahaya narkoba disekitar lingkungan masyarakat. Upaya yang paling baik dalam menanggulangi penyalahgunaan narkoba tentunya adalah melalui upaya pencegahan. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba dengan meningkatkan kapasitas lintas bidang yang terkait, meningkatkan kualitas individu aparat
keamanan
(polisi) serta menumbuhkan kesadaran dan
keperdulian serta peran aktif seluruh komponen
masyarakat melalui Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Keagamaan, organisasi kemasyarakatan.
200
Mahmud Mulyadi, op. cit, hlm. 55.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Mencegah
terjadinya
penyalahgunaan
narkoba
dengan
berbasiskan
masyarakat, mendorong dan menggugah kesadaran, keperdulian dan peran serta aktif seluruh komponen masyrakat karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Pola pencegahan di Poltabes Medan menyangkut fungsi preventif dan fungsi pre-emtif. 1. Upaya Preventif Pencegahan adalah lebih baik dari pada pemberantasan, oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian Polisi Hazard (PH) untuk mencegah supply and demand agar tidak terjadi saling interaksi atau dengan kata lain mencegah terjadinya ancaman faktual upaya preventif yang dilakukan oleh Poltabes Medan adalah dengan melakukan pengawasan di daerah-daerah yang dianggap rawan terhadap peredaran narkoba sehingga perlu dilakukan patroli rutin, kemudian melakukan razia ditempat yang rawan lainnya seperti diskotik, cafe dan tempat yang lainnya yang dianggap rawan oleh pihak Poltabes Medan. Menurut informan dari pihak Poltabes Medan daerah yang sangat rawan adalah daerah kampung kubur dan daerah perumahan kodam, sehingga di daerah ini oleh Poltabes Medan melalui Sat Narkoba sering melakukan razia rutin terhadap pemakai maupun pengedar. Selain itu upaya lain yang dilakukan adalah dengan mengadakan penyuluhan tentang bahaya narkoba di beberapa sekolah yang ada di kota medan diantaranya adalah sekolah SMK Negeri 4 Medan pada masa orientasi siswa (MOS) yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 14 Juli 2008. 201
201
Wawancara dengan salah seorang Polisi di Sat Narkoba Poltabes Medan, 3 juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Upaya Preemtif Upaya ini adalah merupakan upaya pencegahan secara dini yang dilakukan dengan mencari akar masalah melalui kegiatan edukatif dengan sasaran mempengaruhi faktor-faktor penyebab, peluang yang sering disebut dengan faktor korelatif kriminogen dengan terjadinya pengguna untuk menciptakan suatu kesadaran. Menciptakan daya tangkap guna terbentuknya kondisi perilaku dan norma hidup bebas dari penyalahgunaan narkoba. Dengan kata lain merupakan pembinaan pengembangan lingkungan serta pengembangan sarana dan kegiatan positif. Upaya preemtif yang dilakukan Poltabes Medan adalah dengan membentuk Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (selanjutnya disebut dengan BKPM) 202 yang dulunya disebut dengan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas), BKPM ada disetiap Kelurahan yang ada di kota Medan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dengan melibatkan masyarakat terlibat langsung dalam proses menjaga keamanan disekitar lingkungannya, dengan kehadirannya maka diharapkan masyarakat dapat bermitra dengan pihak Kepolisian. Tujuannya
adalah
agar
masyarakat
turut
serta
berperan
menjaga
langsung
menjaga
ketertiban.Adapun tugas pokok dari BKPM adalah: 203 1. Membina kesadaran hukum masyarakat desa/ kelurahan. 2. Menjaring
keikutsertaan
masyarakat
untuk
terlibat
lingkungan tempat tinggal lingkungannya.
202 203
Wawancara dengan Kabag Binamitra Poltabes MS, Juli 2008. Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3. Mengamankan kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat. 4. Menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat. 5. Menyelesaikan seluruh masalah-masalah sosial ditengah masyarakat dengan kriteria, dengan contohnya yaitu masalah tawuran, perpolisian masyarakat tugasnya adalah mencari akar permasalahan sebelum permasalahan itu menjadi permasalahan yang besar. 6. Penanganan tingkat pertama kejahatan, pelanggaran atau kecelakaan TKP. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa tugas utama dari BKPM adalah memberikan pelayan kepada masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat (Tokoh Agama, RT dan RW, Kepala Lingkungan, masyarakat yang berkonflik). Polisi adalah alat kelengkapan negara (aparat negara) sehingga bertanggungjawab melaksanakan tugas memberikan rasa aman kepada masyarakat melalui penegakan hukum pidana. Dari sini juga dapat diketahui bahwa BKPM adalah merupakan informan dari pihak kepolisian. Sementara Babinkamtibnas dulu dalam pelaksanaan tugasnya berdiri sendiri dengan pergi ke wilayah-wilayah dengan menghimpun masyarakat. Usaha yang dilakukan oleh Binamitra dalam menanggulangi peredaran narkoba adalah dengan cara melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat.
Dalam hal ini untuk menanggulangi penggunaan narkoba pada anak maka Binamitra Poltabes Medan mengadakan penyuluhan tentang bahaya narkoba di beberapa sekolah yang ada di kota Medan diantaranya adalah Sekolah Perguruan Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Harapan Mandiri Medan, pada hari Rabu 16 Januari 2008, sekolah SLTA Negeri 3 Medan, pada hari Jumat 18 Januari 2008, Perguruan metodist 1, pada hari Senin 21 Januari 2008, sekolah SMK Negeri 4 Medan pada masa orientasi siswa (MOS) yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 14 Juli 2008 dan banyak lagi sekolah yang lainnya. 204 Kinerja Poltabes Medan dalam penanggulangan terhadap anak pemakai narkoba yang dilakukan melalui pendekatan preventif dan preemtif telah berupaya dilakukan secara maksimal dengan melakukan razia kedaerah-daerah yang rawan peredaran narkoba. Pendekatan yang dilakukan oleh BKPM kesetiap kelurahan belum dapat berjalan secar maksimal karena masih kurangnya personil kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dimasyarakat. Bintara Polisi Masyarakat ada 293 orang dengan rincian 292 wilayah ditambah 1 kawasan dimana di Medan ada 293 desa, jadi 1 desa 1 bintara polisi masyarakat. Selain itu kendala yang dihadapi antara lain yaitu kurangnya fasilitas dan prasarana yang ada. 205
204 205
Ibid. Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOBA DI KOTA MEDAN DI MASA YANG AKAN DATANG
B. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Tinjauan Umum Kebijakan Kriminal Secara teoritis, Sudarto membagi pengertian kebijakan kriminal kedalam 3 pengertian yaitu: 1) Dalam arti sempit , ialah keseluruhan asas dan mode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian. 3) Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 206 Sementara dalam pengertian praktis politik kriminal adalah merupakan usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, dan aparat eksekusi pemidanaan. Kebijakan kriminal (criminal policy), dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu pendekatan penal (pendekatan melalui hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana), sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab 1. 206
Barda Nawawi Arief, op. cit , Hlm. 1.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. 207 Kejahatan sebagai masalah sosial tampaknya tidak hanya merupakan masalah bagi suatu masyarakat secara nasional tapi juga merupakan masalah internasional yaitu masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia. Hal tersebut di atas menjadi pertimbangan Deklarasi Kongres PBB ke-4 Tahun 1970 di Kyoto, Jepang, mengenai pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku yang menyatakan: 208 Believing that the problem of crime in many countries in its new dimensions is far more serious that at any other time in the long history of these congresses. Tema umum yang dibicarakan dalam kongres ke-4 PBB ini adalah masalah kejahatan dan pembagunan (crime and development).
207
Saparinah Sadli, Persepsi sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 56. 208 Fourth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1971) hlm. 9. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Kesimpulan pembahasan pada kongres ke-4 ini menyangkut “Social Defence Polies in Relation to Development planning,” ditegaskan: “Social defence planning should be an integral part of national planning. No country can efford to exclude the social defence element in its over-all social and economic planning and its allocation of adequate resources to that and. The prevention of crime and the treatment of offenders effectively undertaken unless it is closely and intimately related to social and economic trends. Social and economic planning would be unrealistic if it did not seek to neutralize criminogenic potential by the appropriate investment in development programmes.” 209 Meningkatnya kuantitas dan kualitas penjahat ditegaskan lagi dalam kongres ke-5 PBB tahun 1975 di Genewa, yang membahas topik khusus yaitu: 210 1. Perubahan bentuk-bentuk dan dimensi kejahatan , baik secara trans-nasional maupun nasional, dan 2. Akibat-akibat ekonomi dan sosial kejahatan. Mengenai akibat-akibat ekonomi dan sosial dari kejahatan, dalam laporan kongres ke-5 PBB ini antara lain dikemukakan bahwa biaya kejahatan yang tersembunyi lebih besar dari biaya kejahatan yang diketahui. Namun dikemukakan bahwa biaya kegiatan untuk operasi penanggulangan kejahatan menghabiskan sumber daya yang cukup besar, yaitu di atas 16% dari anggaran atau budget penyelengara pemerintah. Proporsi sumber daya untuk menanggulangi kejahatan dinegara-negara 209
Ibid., hlm. 13. Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1976) hlm. 14 No.119. 210
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
berkembang lebih besar dari pada negara yang sudah berkembang, sumber daya yang diperlukan untuk pembagunan seperti untuk industrialisasi, kesehatan, pendidikan dan aspek-aspek lain dari pembangunan, telah dialihkan untuk usaha menanggulangi kejahatan. 211 Dilihat dari akibatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa kejahatan membawa akibat-akibat sebagai berikut: 1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. 212 Akhirnya kongres PBB ke-5 menyimpulkan bahwa berbagai aspek dari kebijakan untuk menanggulangi kejahatan harus dikoordinasikan dan secara keseluruhan harus terintegrasi dalam kebijakan sosial setiap negara. Dikatakan juga bahwa kongres ke-5 PBB ini berada pada saat yang paling kritis
dari sejarah
kemanusian dan usaha-usaha PBB untuk meminimalkan pengaruh kejahatan melalui strategi jangka panjang merupakan pengakuan dan realisasi dari hak asasi manusia, yaitu “bebas dari kejahatan” (freedom from crime). Akibat ancaman dari kejahatan yang semakin meningkat oleh kongres PBB ke-6 menegenai pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku pada tahun1980 di Caracas malahan dipandang cukup membahayakan kualitas lingkungan hidup. Oleh
211
Ibid, hlm. 41 No. 306 dan 307. Ibid, hlm. 41 No. 305: “There was no doubt that, in its effects, crime disorted national goals and impeded of national resources” 212
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
karena itu tema sentral dari kongres ke-6 adalah crime prevention and quality of life (PencegahanKejahatan dan kualitas Hidup).
Deklarasi Caracas menyatakan lebih rinci, sebagai berikut: 213 “crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political sistem, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order; it is matter of great importance and priority that program’s for crime prevention and treatment of offenders should be based on the social cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and respect for human right, that member states should develop an effective capacity for the formulation and planning of criminal policy, and that all crime prevention policies should be co-coordinated with strategies for social, economic, politic and cultural development; criminal policy and administration of justice should be based on principles that will quarantee the equality of everyone before the law whithout any discrimination….; Continous effort should be made to seek new approaches and develop better techniques for crime prevention and treatment of offenders, and to that end, criminal law should be developed in such a way as to play an effective and important role in creating stable social conditions free from oppression and manipulation.” Dalam Deklarasi Caracas dinyatakan bahwa pencegahan kejahatan dan sistem peradilan sebaiknya dipertimbangkan dalam konteks pembangunan ekonomi, sistem politik, sosial dan nilai budaya dan perubahan sosial baik dalam konteks ekonomi internasional yang baru, hal penting yang menjadi prioritas dari pencegahan dan pembinaan pelaku kejahatan dapat menjadi dasar nilai budaya, politik dan ekonomi dari negara yang merdeka dan yang menghargai hak asasi manusia. Hal tersebut sangat efektif untuk formulasi dan rencana politik kriminal (criminal politic) dan
213
Six United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1981) hlm. 25. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
semua kebijakan pencegahan kejahatan dikoordinasikan dengan strategi untuk sosial, ekonomi, politik, pembangunan budaya, bahwa masalah kejahatan
merintangi
kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang. Kogres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan tentang Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in The Context of Development and a new International Economic Order, juga menyatakan harus ada keterpaduan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan kebijakan di bidang ekonomi, politik dan budaya sebagai bagian dari kebijakan sosial, yang dinyatakan sebagai berikut: “crime prevention and criminal justice should not be treated as isolated problem to be tackled by simplistic, fragmentary method, but rather as complex and widerangging activities requiring sistematic strategies and differentiated in relation to: a. The socio-economic, political and cultural contect and circumstances of the society in which they are applied; b. The development stage, which special emphasis on the changes taking place and likely to occur and related requirements; c. The respective tradition and customs, making maximum and effective use of human indigeneus options.” 214 Dalam kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, ditegaskan bahwa: “ Convinced that crime prevention and criminal justice in the context of development should be oriented towards the observance of the principles 214
Seventh United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1986) hlm. 9. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
contained in the caracas Declaration, the Milan Plan of Action, The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the context of development and a New International Economic Order and other relevan resolutions and recommendations of Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.” 215 Berdasarkan pernyataan dalam kongres PBB yang ke-7 dan kongres yang ke-8 jelas sekali terlihat adanya penegasan
bahwa pemabangunan itu sendiri pada
hakikatnya tidak bersifat kriminogen, terlebih bila didistribusikan secara adil kepada masyarakat untuk menunjang kondisi sosial masyarakat. Dari sudut kriminal, masalah strategis yang harus ditanggulangi adalah penanganan masalah dan kondisi sosial yang secara tidak langsung menumbuh suburkan kajahatan. Penanganan masalah inilah yang menajadi strategi menanggulangi kejahatan dari sudut politik kriminal (criminal politic). Dari
hasil uraian tersebut di atas dapat juga diketahui bahwa
keberhasilan untuk menanggulangi kejahatan harus ada integralitas berbagai pendekatan baik itu penal maupun non penal. Pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat yang berbentuk negara merupakan suatu pertumbuhan dan perkembangan yang sengaja direncanakan untuk tujuan tertentu yang umumnya dilakukan melalui pembangunan yang dilakukan secara terencana untuk mencapai kualitas harus tercipta suatu keselarasan dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Untuk menjamin keutuhan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat yang selaras, sehingga diperlukan adanya norma atau
215
Eighth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1991) hlm. 9.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tatanan tata tertib dan melanggar tatanan tat tertib yang sudah diatur melalui peraturan
perundang-undangan
adalah
merupakan
tindakan
kriminal
yang
mengganggu tatanan masyarakat. Meningkatnya kriminalitas dapat mengganggu kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat yang ingin dijaga. Oleh karena itu kebijakan perencanaan untuk meningkatnya kesejahteraan sosial harus dibarengi dengan perencanaan perlindungan sosial. Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). 216 Tujuan akhir dari politik kriminal adalah ialah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, merupakan bagian pula dari keseluruhan kebijakan sosial. Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang menyimpang, yang selalu ada dan melekat pada setiap perilaku masyarakat, dan tidak ada masyarakat yang sepi dari masalah kejahatan. Seperti yang telah diuraikan oleh Saparinah Sadli di atas, bahwa perilaku menyimpang itu adalah merupakan ancaman yang sangat nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan
216
G. Peter hoefnagels, op. cit, hlm. 57, di sini hoefnagels mengemukakan berbagai rumusan :” the science of responses”; the science of crime prevention”; a policy designating human behavior as crime”. Politik kriminal dalam arti sempit, luas dan paling luas dikemukakan pula oleh Sudarto dalam Kapita Selekta Hukum Pidana. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
individu maupun ketegangan-ketengan sosial dan merupakan ancaman dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Salah satu upaya untuk menanggulangi kriminalitas sebagai suatu gejala sosial adalah dengan melakukan pendekatan penal dengan cara pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana oleh Sistem Peradilan Pidana (criminal justice sistem) yang dibentuk oleh negara dan melakukan pendekatan non penal yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan ditekankan padaberbagai kebijakan sosial dan upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif non penal sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat strategis. Kegagalan dalam menggarap posisi yang strategis justru akan berakibat fatal bagi usaha untuk menanggulangi kejahatan. Pendekatan dengan menggunakan sarana penal terus menerus dilakukan dengan melakukan berbagai usaha penyempurnaan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi, perbaikan sarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, maupun peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan. Pelaksanaan kebijakan kriminal oleh sistem peradilan pidana harus memiliki keterpaduan kerja. Komponen-komponen sistem Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
peradilan
pidana
adalah
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
lembaga
pemasyarakatan dalam sub sistem sendiri. a. Politik Kriminal (Criminal Politic) dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana). Masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu, dan 2. aksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 217 Pengenalan terhadap dua masalah ini tidak dapat terlepas dari konsep integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Konsepsi
kebijakan
penanggulangan
kejahatan
yang
integral
mengandung
konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang harus terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha-usaha yang bersifat non penal. 218 Seperti yang sudah dikemukan sebelumnya dalam bab I bahwa, menurut G.P Hoefnagels, suatu politik kriminal (criminal politic) harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of responses to crime. Pendekatan rasional merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada
217
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984), hlm.160. 218 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, ( Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), hlm. 33. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
setiap langkah dalam mengambil kebijakan, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan sering ditetapkan secara emosional. Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah yang di buat secara sadar. Ini berarti pula bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar sudah memperhitungkan semua faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataan. 219 Sehingga diperlukan pula pendekatan yang fungsional, ini merupakan pendekatan yang melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional. Dalam Suatu Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan
sebagai salah satu sarana
untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi ini inipun membawa konsekwensi pada pendekatan yang rasional, seperti yang dikemukakan oleh J. Andenaes sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arif, berikut ini: 220 “Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat (social defence) maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum yang harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian,
219
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 153. Barda Nawawi Arief, Op. Cit. J. andenaes: “if one bases the penal law on the consept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum results must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and effectiviness of the various form of sanction”. 220
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pidana dapat dibenarkan bila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Sebaliknya apabila pidana tidak diperlukan maka tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bila tidak ada sesuatu kebutuhan bagi masyarakat. Menurut Bassioni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan tersebut menurut Bassioni adalah: 221 1. Pemeliharaan ketertiban dalam masyarakat. 2. Perlindungan masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain. 3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum. 4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang beriorentasi pada kebijakan (policy orientedapproach) yang lebih pragmatis dan rasional dan juga pendekatan yang beriorentasi pada nilai. Pidana yang hendak dijatuhkan kepada si pelanggar harus sesuai dengan
221
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit, hlm. 165-166.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
nilai-nilai kemanusiaan yang beradap, tetapi harus juga membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan masyarakat. Penggunaan upaya penal (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Dalam hal ini Nigel Walker mengemukakan prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain 222: 1. Jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk tujuan pembalasan. 2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/ membahayakan. 3. Jangan menggunakan sarana hukum pidana sebagai tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan. 4. Jangan menggunakan hukum pidana bila kerugian atau bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/ bahaya dari perbuatan atau tindak pidananya sendiri. 5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah. 6. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
222
Heru Permana, Politik Kriminal (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), hlm:
49. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Secara lebih singkat Hebert L. Parker pernah mengingatkan
bahwa
menggunakan sanksi pidana secara sembarangan/ menyamaratakan dan secara paksa akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancaman yang utama. 223 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa keterbatasan pidana untuk menanggulangi kejahatan adalah karena penanggulangan atau penyembuhan lewat hukum pidana selama ini hanya merupakan penyembuhan atau pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif dan pemidanaannya
hanya bersifat
individual/ personal tidak bersifat fungsional/ struktural. Usaha-usaha penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun kenyataannya hasilnya kurang memuaskan. Habib_ur-Rahman khan dalam tulisannya yang berjudul Prevention –it is Society Which Needs The Treatment and not The Criminal, mengemukakan: “Dunia modern sepenuhnya menyadari akan problem yang akut ini. Orang demikian sibuk melakukan penelitian, seminar-seminar, konfrensi-konfrensi internasional dan menulis buku-buku untuk mencoba memahami masalah kejahatan dan sebab-sebabnya agar mengendalikannya. Tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah sebaliknya kejahatan bergerak terus”. 224 Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Dan hal tersebut masih dipersoalkan seperti yang telah dikemukan oleh Herbert L. Parker. Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana adalah upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk di dalamnya kebijakan hukum.
223 224
Ibid. Barda Nawawi Arif, op.cit, hlm. 16-17.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Politik Kriminal (Criminal Politic) dengan menggunakan sarana non penal. Kebijakan kriminal adalah merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dapat menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan (sarana penal) dapat juga dilakukan dengan sarana non penal dengan berbagai usaha pencegahan tanpa menggunakan sistem hukum, pembaharuan hukum perdata, dan administrasi. Kebijakan penanggulangan pidana dengan menggunakan sarana non penal atau dengan kata lain menanggulangi kejahatan tanpa menggunakan sarana pidana (prevention without punishment), pada hakikatnya sarana ini adalah merupakan tindakan preventif (tindakan pencegahan). Oleh sebab itu, tujuan utamanya adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Usaha non penal dapat meliputi berbagai bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha non penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung memiliki pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan kata lain dari sudut politik kriminal
keseluruhan usaha
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana non penal mempunyai kedudukan yang strategis. Sarana non penal dikatakan memiliki posisi yang strategis karena lebih bersifat pencegahan terjadinya suatu tindak pidana.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama kebijakan kriminal, pada dasarnya pencegahan kejahatan adalah segala tindakan yang memiliki tujuan khusus untuk membatasi meluasnya kejahatan dan kekerasan. Pada umumnya strategi preventif dalam menanggulangi kejahatan: 225 1. Pencegahan Primer (primary prevention) adalah strategi melalui kebijakan sosial ekonomi serta kebijakan sosial lainnya, secar khusus mencoba mempengaruhi krimonegenik dan akar kejahatan. Hal ini misalnya dilakukan melalui pendidikan, perumahan, lapangan kerja dan rekreasi yang sering disebut dengan pre-offence intervention. Dalam hal ini target utama masyarakat umum. 2. Pencegahan Sekunder ( secondary prevention) hal ini dapat dilihat dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya secara praktis, seperti peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Misalnya kegiatan polisi dalam Badan Narkotika Nasional (BNN). 3. Pencegahan Tersier terutama mengarah pada residivisme oleh polisi dan lembagalembaga lain. Targetnya adalah mereka yang pernah melakukan kejahatan.
Sasaran utama dari usaha non penal adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Sebagai suatu usaha yang strategis untuk menanggulangi kejahatan maka kebijakan kriminal harus dapat diintegrasikan dengan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif
225
Heru Permana, op. cit, hlm. 90.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
yang non penal dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Dalam hal ini Radzinowicz mengemukakan: 226 Kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventif dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas dan akhirnya
mengkoordinasikan
keseluruhannya dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur.
2. Sistem Peradilan Pidana Anak Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang selalu berkembang dari hari ke hari. Anak adalah masa depan kehidupan bangsa dan negara, sehingga anak sangat memerlukan pembinaan dan bimbingan agar dapat berkembang secara baik, baik dari segi fisik maupun mental. Anak adalah bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis sebagai penerus bangsa di masa yang akan datang. Setiap perlakuan yang keliru dan membahayakan anak identik dengan gangguan terhadap kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Tersedianya sejumlah peraturan perundang-undangan tentang anak terutama tentang anak yang berhadapan dengan hukum belum bisa menjamin terciptanya perlindungan yang optimal bagi anak. 227
226
Barda Nawawi Arief, op. cit. hlm 33-34 Mahmul Siregar, Marlina, Rosmalinda dan Azmiati Zuliah, Melindungi Anak dengan Hukum pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, (Medan: Penerbit Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2007), hlm. 3. Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) adalah sebuah lemabaga yang konsen terhadap persoalan anak yang salah satunya adalah memberikan bantuan dan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 227
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pada tahun 90-an, pernah mencuat kasus Andang, anak yang diduga mencuri burung merpati yang mendekam di tahanan dan bercampur dengan tahanan orang dewasa. Saat itu, UU tentang Pengadilan Anak belum ada. Kini, setelah 10 tahun sejak UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak disahkan, Mohammad Azwar yang akrab dipanggali Raju mengalami nasib yang sama seperti Andang menghabiskan waktu di balik terali besi bersama tahanan orang dewasa. 228 Ada tidaknya UU Pengadilan Anak tidak memberikan arti bagi anak nakal. Perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hak anak secara umum. Jaminan perlindungan hak-hak anak telah diatur dalam berbagai instrumen internasional antara lain: Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924, Universal Declararion of Human Rights of 1948, (UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan I International Covenant On Civil And Political Right), International Covenant On Civil And Political Right (Pasal 23 dan 24), International Covenant Economic, Social, and Culture Rights (UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Pasal 10), Declaration of the Rights of the Child of 1959, Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan martabat manusia). 229 Perlindungan khusus terhadap anak yang bermasalah dengan
228 229
Ibid, hlm 26-27. Unicef, op. cit.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
hukum, secara eksplisit, dapat ditemukan Convention on the Rights of the Child tahun 1989 (Konvensi tentang Hak-hak Anak/KHA) yang telah diratifikasi melalui Kepres 36 tahun 1990. 230 Criminal Justice System (CJS) atau yang lebih dikenal Sistem Peradilan Pidana adalah "the network of courts and tribunal which deal with criminal law and its enforcement"(sumber black's law dictionary). Hal ini terfokus fungsi keadilan Sistem Peradilan Pidana dalam perkara yang melibatkan orang dan lembaganya ( Polisi, Jaksa, dan Pengadilan, Lembaga Permasyarakatan). Di masyarakat Indonesia yang semakin demokratis, SPP harus dapat mencerminkan semangat reformasi yang menjunjung tinggi promosi dan perlindungan HAM dan kekuasaan Hakim yang merdeka. Nilai-nilai yang ada dalam SPP harus dihayati, ditaati, dan dijunjung tinggi sebagai "Professed Values and Underlying Values". Namun di sisi lain, ketidaktegasan model sistem peradilan pidana yang dianut, sehingga sering inkonsistensi. Model sistem peradilan pidana
yang selama ini bersifat kondusif
terhadap ketertiban atau kepentingan publik dan hak-hak pelaku ( Daad-dader Strafrecht) tetapi belum ramah terhadap korban kejahatan. Padahal ramah terhadap korban kejahatan sangat diperlukan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sebagai bentuk sarana perlindungan hak-hak korban kejahatan (victim right). 231
230
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1997),
hlm. 5. 231
www.pontianakpos sumber hafids
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) secara singkat dapat diartikan sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen-komponen penyelenggara, diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya saling terkait dan diharapkan adanya kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada satu sistem maka akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian. Peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana adalah UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara, UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas kepolisian yang terkait dengan subsistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan (pasal 1 ayat 4 KUHAP, pasal 14 ayat 1 huruf a KUHAP dan UU no. 2 tahun 2002. Disamping itu fungsi penyelidikan kepolisian mempunyai wewenang secara umum dalam tindak pidana apapun. Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu merupakan salah satu subsistem. Kejaksaan berperan untuk melakukan proses penuntutan, undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan adalah UU No. 5 Tahun 1991. Pengadilan sebagai subsistem peradilan dewasa ini sudah mengalami pergeseran makna yang signifikan dalam konteks penegakan hukum dan keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum, fluktuasi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
lembaga peradilan yang benar-benar mandiri dan merupakan benteng terakhir dalam penegakan hukum dan keadilan menjadi suatu keharusan. Fenomena degradasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lemabaga peradilan semakin menunjukkan betapa masyarakat mulai mencari alternative cara penyelesaian masalah yang dihadapi. Alternatif yang dicapai oleh masyarakat ada yang menjurus kearah luapan emosional semata sehingga menimbulkan tindakan yang anarkis dan arogan yang bersifat massal ini dilakukan untuk menggambarkan kekecewaan terhadap lembaga peradilan yang sudah mencapai titik kulminasi yang tinggi. Dalam perspektif normatif yuridis, keberadaan lembaga peradilan sebenarnya sudah dilengkapi
dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan sebagai pedoman. Undang-Undang yang mengatur tentang kinerja lembaga perdilan adalah UU no. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman, UU no. 35 tahun 1999 tentan revisi terhadap UU no. 14 tahun 1970, UU no. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum, UU no. 14 tahun 1985. 232 Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata sistem peradilan pidana, sebagai sebuah tahapan akhir maka sudah semestinya tingkatan ini harus menjadi harapan dan tujuan sistem peradilan yang terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan mulai dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Hal tersebut dapt dilakukan melalui proses
232
Sidik sunarya, Sistim Perdilan Pidana (Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hlm. 232. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
pembinaan kepada penghuni lemabaga pemasyarakatan yang disebut dengan narapidana. Sejak pertama Kepolisian melakukan tindakan hukum kepada seorang tersangka, Jaksa melakukan tindakan penuntutan dan Hakim melakukan tindakan hukum melalui pemeriksaan, pembuktian di depan Pengadilan sampai akhirnya memutuskan suatu perkara yang dalam hal ini harus disadari kemungkinan dampak yang ditimbulkan dikemudian hari
dalam proses penyadaran kepada pelaku
kejahatan melalui proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan. 233 Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar Sistem Peradilan Pidana Anak (yang selanjutnya disingkat SPPA) juga berlaku untuk anak dengan penambahan dan penyesuaian. SPPA juga harus didasarkan pada beberapa asas dasar peradilan pidana yaitu: equality before the law (Pasal 1 KHA); due process of law, simplicity and expediency, accountability, legality principle presumption of innocent (Pasal 37 dan 40 KHA). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan terhadap anak merupakan jalan lain terakhir (Pasal 3 huruf b). Penanganan terhadap anak nakal lebih bersifat terapi dari pada penghukuman, dan cenderung kurang menitik beratkan pada aspek hukumnya, prosedur peradilan bersifat informal. Di Indonesia SPPA mengacu pada ketentuan UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat dipisahkan dalam masalah ini adalah UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan 233
Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Anak. Kepastian hukum dan kelancaran persidangan tidak dapat mengalahkan prinsip perlindungan
hak
tersangka
(anak).
Anak
harus
dibebaskan
dari
segala
ketidakmampuan dan kegagalan manajemen sistem peradilan pidana. Kepastian hukum dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana dengan membangun sistem peradilan pidana anak. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman harus segera merealisasikan sistem peradilan pidana yang kondusif bagi anak di Indonesia. Pasal 1 dengan jelas menentukan adanya Polisi, Jaksa, dan Hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh Polisi, Jaksa, dan Hakim khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3) dengan melibatkan petugas kemasyarakatan. Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1997).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
B. Perspektif Ke Depan Kebijakan Kriminal yang dilakukan Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan 3. Kebijakan Penal ( Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan Generasi muda adalah merupakan aset terbesar bagi suatu bangsa. Mereka merupakan generasi penerus yang mudah-mudahan nantinya mampu menggantikan para pendahulu mereka. Masa depan suatu bangsa akan ditentukan oleh kualitas fisik, mental, emosional, dan spiritual generasi mudanya. Keseimbangan antara keempat aspek ini sangat diperlukan, tidak hanya per-individu tetapi juga secara kolektif, terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Generasi muda, terutama mereka yang masih dalam usia remaja, merupakan kelompok yang sangat rentan. Berita yang disiarkan oleh berbagai macam media belakangan ini, memberikan gambaran tentang maraknya penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan dan kecanduan narkoba mulai mencerai-beraikan aspek dasar kehidupan komunitas, dan ke dalam hati setiap anggota masyarakat, serta keluarga yang ada di Indonesia. Terutama, menghancurkan hati para orangtua, yang menjerit dalam belenggu rasa malu, tanpa bisa berbuat apa-apa, harus kehilangan anak-anak mereka di dalam horor dunia narkoba. Setiap masyarakat jangan hanya memikirkan cara untuk mencegah dan melupakan mereka yang sudah terkena, karena bagaimanapun juga mereka masih memiliki harapan serta masa depan. Generasi muda adalah permata hati bangsa dan merekalah yang akan menyinari masa depan bangsa dengan kekuatan yang timbul dari kualitas karakter mereka sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pengetahuan masyarakat mengenai hal ini masih sangat kurang, tentang strategi yang diperlukan untuk menghadapi masalah penggunaan, penyalahgunaan, kecanduan, dan masalah-masalah yang terkait dengan ketiga hal tersebut. Selain itu, peningkatan penggunaan, penyalahgunaan, dan kecanduan narkoba akan selalu melahirkan masalah-masalah baru yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan Hepatitis C, ekonomi (uang), kejahatan dan tindak kekerasan. Menurut informan yang ada di Poltabes Medan untuk masa yang akan datang sarana penal (pidana) masih cukup efektif untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba. Tetapi untuk kedepannya Poltabes Medan akan lebih mengutamakan tindakan pencegahan dan sarana penal (pidana) adalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium). Selain itu ada baiknya terhadap anak dapat dipergunakan hak diskresi dari Kepolisian untuk melakukan diversi tapi untuk itu harus segera dibuat suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang diversi karena hal ini baik bagi perkembangan jiwa anak. 234 Hal senada juga diungkapkan oleh Jaksa yang ada di Kejaksaan Negeri Medan
mengatakan bahwa sarana penal (pidana) masih cukup efektif untuk
mengatasi anak yang memakai narkoba hal ini agar anak bisa jera terhadap perbuatan yang dilakukan. Selain itu kalau selama ini dalam undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak nakal adalah anak yang berusia 8 tahun dan di bawah 18 tahun, untuk ini menurut beliau umur anak harus lebih dimudakan kembali, misalnya usia 15 tahun yang termasuk kategori anak, berarti usia 16 sudah tidak 234
Wawancara dengan informan Poltabes Medan, Bulan Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
dianggap anak lagi. Sebab sekarang ini banyak sekali anak yang lebih dewasa kelakuannya dibandingkan dengan usianya. 235 Menurut informan dari Bapas Medan bahwa terhadap anak hendaknya di masa yang akan datang jangan lagi diterapkan sarana pidana sebab dengan memberikan pidana akan membuat anak mendapatkan cap negatif (label stigmatisasi) dari lingkungannya. Bahkan ada kecendrungan bahwa dengan dipidana di dalam Lapas Anak, anak bukannya menjadi bertobat tapi malah belajar untuk menjadi jahat. Karena si anak yang tadinya hanya sebagai korban pengaruh lingkungan dapat saja belajar kejahatan yang lain di dalam Lapas Anak sebab Lapas Anak yang ada di Medan saat ini telah mengalami over kapasitas. Selain itu terhadap anak yang memakai narkoba hendaknya di masukkan kedalam suatu Lembaga Rehabilitasi 236 Menurut Hakim yang ada di Pengadilan Negeri Medan kesemuanya berpendapat bahwa penerapan sarana pidana dimasa yang akan datang masih cukup efektif untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba, hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera agar jangan kembali mengulangi perbuatannya. Selain itu kepada orang dewasa yang memanfaatkan jasa anak kecil untuk menjual narkoba harus di jatuhi hukuman yang berat. Untuk masa yang akan datang ada baiknnya sarana diversi perlu dilakukan terhadap anak tetapi hal ini dapat dilakukan tidak untuk semua kasus, hanya untuk kasus-kasus tertentu.Selain itu perlu didirikan
235 236
Wawancara dengan Informan di Kejaksaan Negeri Medan, 10 Juli 2008. Wawancara dengan Informan di Bapas Medan, 8 Juli 2008
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Lembaga Rehabilitasi sehingga hakim tidak ragu untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi bagi anak pemakai narkoba. 237 Sementara menurut pihak Lapas Anak Medan bahwa kebijakan penal (pidana) masih efektif dilakukan terhadap anak tapi harus memperhatikan kasus per kasus jadi ada kasus tertentu yang tidak perlu sampai masuk kejalur SPS sebab anak masih memiliki masa depan yang panjang sebab ada kecendrungan di masyarakat untuk melakukan yang namanya stigmatisasi (pelebelan), selain itu kalau setiap masalah kedepannya masuk ke Lapas Anak maka Lapas Anak tidak akan muat lagi.238 Saat ini saja Lapas Anak sudah mengalami over kapasitas dengan klasifika penghuni narapidana 271, B II 1 (120), B II b (1), B III (6). Tahanan kategori A I (35), A II (260), A III (192), AIV (13) dan A V (1). 239 Dengan usia 18 tahun ke bawah dan 18 s/d 21 tahun. Kasus terbanyak adalah narkoba sebanyak 383 orang, sedangkan kasus pembunuhan 22 orang, pencurian 281 orang, perampokan 59 orang, penganiayaan 13 orang, kesusilaan 69 orang, penipuan 8 orang, penggelapan 16 orang, lalu lintas/kelalaian 6 orang, senjata tajam 7orang, perjudian 4 orang, ketertiban umum 9 orang, penadahan 4 orang, penculikan 9 orang, pemalsuan 6 orang dan lain-lain 3 orang. 240 Oleh karena itu berdasarkan uraian tersebut di atas untuk kedepannya sarana pidana masih efektif untuk dilakukan tetapi harus memperhatikan kasus demi kasus
237
Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan, 28 Juli 2008. Wawancara dengan Kepala Lapas Anak Medan, 8 Juli 2008. 239 Ibid 240 Ibid 238
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
yang dihadapi anak tersebut, kalau kasusnya adalah kasus yang berat dan membahayakan bagi kepentingan umum maka si anak dapat dibina di lapas Anak tapi kalau kasusnya masih ringan dan tidak terlalu urgen hendaknya si anak jangan sampai masuk ke Lapas Anak mengingat stigmatisasi yang ada di masyarakat. Sama halnya dengan Lapas Anak bahwa menurut PKPA Medan bahwa sarana pidana memang masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan tapi untuk kasus yang ringan janganlah hendaknya sampai ke Lapas Anak. Hal ini tidak terlepas dari keprihatinan masih jauhnya standar kelayakan di Lapas Anak. Selain itu untuk orang terlibat penyalahgunaan narkoba, kejahatan narkoba sangat berbeda dengan kejahatan lainnya. Pencuri, misalnya. Setelah masuk Lapas, napi tersebut tidak bisa mencuri lagi. Tapi bagi napi narkoba, mereka selalu berusaha untuk memperolehnya kembali, karena secara medis seorang pecandu narkoba tidak boleh diputus langsung begitu saja. Tetapi harus dengan metode pengurangan dosis secara bertahap dalam rangka rehabilitasi penyembuhannya. Oleh karena itu hendaknya anak yang murni sebagai pemakai hendaknya janganlah masuk ke Lapas Anak dan disamakan dengan tahanan yang lain kedepannya hendaknya kepada anak yang memakai dapat masuk ke panti rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan dan bukannya masuk kepenjara atau lapas. 241
241
Wawancara dengan PKPA, tanggal 23 Juli 2008, loc.cit.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Terhadap Anak yang Memakai Narkoba di Kota Medan di masa yang akan Datang Politik kriminal yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan mengandung suatu konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan suatu kesatuan yang terpadu. Dengan kata lain politik kriminal dengan mempergunakan sarana pidana haruslah dipadukan dengan usaha-usaha yang bersifat non penal. Usaha atau tindakan non penal adalah merupakan suatu bidang yang sangat luas sekali. Tujuan utama diterapkannya usaha non penal adalah adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu yang secara tidak langsung dapat memberikan
pengaruh preventif terhadap kejahatan, khususnya kejahatan penyalahgunaan narkoba. Sehingga jika dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif non penal memiliki kedudukan yang sangat strategis, untuk diefektifkan. Di dalam mengatasi bahaya perkembangan narkoba di masa depan, diperlukan kerja keras dari semua pihak, baik secara preventif maupun kuratif melalui badan atau lembaga yang terkait dengan hal tersebut. Menurut W.A. Bonger, seorang ahli kriminologi, mengatakan bahwa “mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang yang baik kembali.” 242 Oleh karena itu, usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba bagi anak adalah dengan melakukan pembinaan di dalam keluarga, seperti yang diketahui bahwa sekarang ini banyak sekali orang tua yang sangat sibuk 242
W.A. Bonger, Pengatar Tentang Kriminologi,Terjemahan R.A. Koesnoen, (Jakarta: Penerbit Pustaka Sarjana, 1962), hlm 192. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
sehingga memiliki perhatian yang sangat kurang bagi anak dan anak mencari kasih saying di luar. Oleh karena itu untuk kedepannya hendaknya orang tua lebih memperhatikan anak dengan kasih sayang dari kedua orang tua, sehingga tidak terlibat lagi dalam penyalahgunaan narkoba. Pembinaan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan atau menumbuhkan serta membina kehidupan beragama pada anak Menurut informan di Poltabes Medan untuk masa yang akan datang, penggunaan sarana pidana masih cukup efektif untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba, hal ini bisa dilakukan sebagai efek jera (deterrent effect) pada anak-anak yang lain. Tapi untuk kasus yang tertentu dapat juga dilakukan diversi tetapi harus benar-benar memperhatikan banyak hal agar jangan sampai hak diskresioner untuk melakukan diversi disalahgunakan. 243 Tindakan non penal yang dapat dilakukan di masa yang akan datang menurut Poltabes Medan adalah dengan melakukan kerjasama lintas bidang terkait untuk menanggulangi peredaran narkoba di kalangan anak muda. Kerjasama yang dapat dilakukan yaitu dalam bidang penyuluhan terhadap bahaya narkoba, misalnya dengan melakukan kerjasama dengan instansi kesehatan karena pihak Kepolisian tentunya tidak bisa menjelaskan dampak negatif narkoba terhadap tubuh secara anatomi sebab yang dapat menjelaskan dan menggambarkan secara mendetail tentang bahaya narkoba dan dapat menjelaskan secara lengkap kerusakan anatomi tubuh yang
243
Wawancara dengan Polisi di Poltabes Medan. Juni-Juli, 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
diakibatkan oleh narkoba adalah hanya orang berprofesi di bidang kesehatan. 244 Selain itu untuk kedepannya harus dibagun koordinasi yang lebih baik lagi diantara sub sistem peradilan pidana dengan meningkatkan komunikasi diantara sub sistem agar dapat saling memahami diantara masing-masing sub sistem sehingga dapat bekerja dengan tugas masing-masing dengan visi yang jelas untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba. perlu dilakukan sosialisasi mengenai narkoba, pola asuh, dan keluarga. Menurut informan yang ada di Kejaksaan Negeri Medan bahwa untuk kedepannya sarana non penal yang dapat dilakukan adalah perlu dilakukan sosialisasi mengenai narkoba, sebab sosialisasi di media massa baik cetak maupun elekronik juga kurang banyak karena saat ini penggunaan media. Jadi hanya menghimbau saja bahwa ini penting, bahwa ini harus didengarkan oleh publik. Tinggal media yang bersangkutan mau menjalani himbauan tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah ini atau tidak. 245 Hal senada diungkapkan oleh pihak Bapas Medan, bahwa tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap anak yang memakai narkoba adalah dengan melakukan penyuluhan keberbagai sekolah-sekolah tentang bahaya penyalahgunaan narkoba. Selain perlu dilakukan sosialisasi mengenai narkoba, pola asuh, dan keluarga sebab keluarga adalah merupakan benteng pertama mencegah seseorang untuk jatuh ke lembah penyalahgunaan narkoba. 246
244
Ibid Wawancara dengan Pihak Kejaksaan Negeri Medan, Juli 2008. 246 Wawancara dengan Pihak Bapas Medan, 3 Juli 2008. 245
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Sementara menurut Hakim di Pengadilan Negeri Medan bahwa sarana non penal dapat dilakukan melalui seminar tentang bahaya narkoba, selain itu hal yang paling utama yang dapat dilakukan agar anak jangan samapai memakai narkoba adalah tentunya dengan pendekatan yang dilakukan oleh orang tua terhadap, yaitu dengan memannamkn nilai-nilai agama terhadap anak sehingga walaupun lingkungan tempat tinggal tidak baik tapi jika anak dibentengi iman yang kuata tentang agama dan bahaya narkoba bagi tubuh maka tentunya si anak akan terhindar narkoba. Selain itu yang paling utama adalah dengan bekerjasama dengan pihak sekolah tentang bahaya narkoba. 247 Hampir senada dengan pendapat dari Polisi bahwasanya mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba oleh Lapas Anak Medan dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan lintas bidang terkait, meningkatkan kualitas individu aparat, serta menumbuhkan kesadaran, kepedulian dan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, pelajar, mahasiswa dan pemuda, pekerja, serta lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. (Pendidikan, Kesehatan sosial, Sosial-pemuda, lembaga ekonomi). Kerjasama lintas terkait dapat dilakukan melalui penyuluhan dengan mengandeng instansi lain dalam bekerjasama yaitu Dinas Kesehatan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Badan POM).
247
Wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan, Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Selain itu ada baiknya untuk kedepannya sarana non penal dapat dilakukan adalah lebih bersifat kepembinaan terhadap jiwa anak dengan banyak menciptakan kegiatan bagi anak-anak muda bisa misalnya dengan membuat acara rutin seminar atau diskusi yang bekerjasama dengan ahli kesehatan dan juga mengahadirkan para mantan pemakai (user). Bagi yang sudah bertobat dengan diadakannya acara diskusi tersebut anak-anak bisa mengetahui secara nyata bahaya narkoba bagi kehidupan, selain dengan membuat bermacam ajang perlombaan yang mengasah kreatifitas anak dengan mengajak kerjasama pemerintah daerah setempat atau pihak kelurahan ataupun kecematan sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dengan hal-hal yang negatif dengan maupun pihak-pihak yang lain yang ingin memanfaatkan anak untuk penyalahgunaan narkoba. Hal yang lain perlu juga dilakukan yaitu melalui seminar yang khusus bagi orang tua bagaimana cara mendeteksi secara dini agar anak jangan samapai terlibat dengan narkoba, karena banyak sekali orang tua yang tidak menyadari bahwa anaknya memakai narkoba sesudah tertangkap baru orang tua mengetahui. Selain itu ada beberapa rencana strategis yang ingin hendak dilakukan oleh pihak Lapas Anak Medan yaitu: 248 2.
Menciptakan Lapas Anak yang ramah anak, sehingga bisa diciptakan satu tempat tinggal yang nyaman, seperti yang diketahui bahwa Lapas Anak selama ini menagalami over kapasistas.
248
Wawancara dengan informan di Lapas Anak Medan.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
3.
Merenovasi kamar/ blok hunian anak agar sesuai dengan standar minimum ruang gerak yang wajar.
4.
Meminimalisir segala bentuk penggunaan alat/sarana keamanan yang tidak sesuai dengan pendekatan ramah anak.
5.
Menghidupkan kembali peran wali anak melalui asessment dan pelatihan.
6.
Melakukan kajian terhadap perubahan struktur organisasi.
7.
Memberi kesempatan bagi anak untuk mengaktualisasikan hasil karya kepada masyarakat melalui kegiatan pameran, kunjungan ke museum, dsb. Menurut PKPA Medan, untuk sarana non penal yang perlu dilakukan kedepannya
adalah dengan melakukan kegiatan pencegahan melalui tindakan pre emtif yaitu melakukan penyuluhan kesekolah-sekolah, membentuk forum antara sekolah dan para orang tua agar dapat memonitoring kegiatan anak di lingkungan sekolah. Pembinaan yang dapat dilakukan hendaknya perlu dilakukan dengan mengandeng pihk-pihak lain yang terkait misalnya kerjasama antara pemerintah daerah dengan LSM-LSM yang terkait untuk mensosialisasikan tentang bahaya narkoba bagi tubuh manusia. 249 Berdasarkan
hal
tersebut
maka
untuk
menghalau
perkembangan
penyalahgunaan narkoba maka perlu sekali adanya intervensi dari berbagai pihak untuk menghalau peredaran gelap narkoba. Ada beberapa tindakan intervensi yang dilakukan sebagai tindakan untuk memberantas peredaran narkoba. 249
Wawancara dengan PKPA Medan, 23 Juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
a. Intervensi sebagai Tindakan Nyata dalam Menghadapi Narkoba Secara sederhana intervensi dapat diartikan sebagai suatu tindakan campur tangan terhadap suatu masalah atau krisis, dengan tujuan untuk mencegah perkembangan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh masalah dan krisis tersebut. Agar tindakan intervensi ini dapat berjalan dengan baik dan memenuhi sasaran, harus dapat memahami setepat mungkin sifat dari masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini tentu saja permasalahan yang dimaksud adalah narkoba. Pengetahuan dasar ini sangat penting agar dapat menentukan langkah apa saja yang dapat diambil. Intervensi yang dilakukan juga bertujuan untuk memaparkan fakta tentang keadaan yang terjadi secara obyektif, tidak membeda-bedakan, tidak menghakimi, dan menunjukkan perhatian sebagai masyarakat yang peduli. Ada
tiga
strategi
dasar
yang
dapat
dilakukan
untuk
menghadapi
penyalahgunaan narkoba. strategi supply reduction, yaitu dapat memotong jalur penyediaan narkoba di seluruh negara. Jangan melupakan prinsip ekonomi yang mengatakan : Dimana ada permintaan pasti akan ada penyediaan barang. Saat tidak ada permintaan, siapapun mampu untuk menciptakan permintaan tersebut. Saat permintaan meningkat, penyediaan barang juga akan semakin meningkat. Apabila penyediaan barang menurun, akan tetapi permintaan tetap, maka harga akan naik. Harga yang naik akan menyebabkan permintaan bertambah, maka penyediaan barang akan bertambah agar keuntungan meningkat. 250
250
www.yakita.com, 12 juli 2008.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Prinsip ekonomi ini akan mendasari semua kegiatan bisnis, termasuk bisnis narkoba. Orang-orang yang mendapatkan informasi lebih baik tentang dunia narkoba dapat memahami bahwa strategi Supply Reduction saja tidak akan dapat menanggulangi masalah yang timbul. Oleh karena itu, masyarakat juga memerlukan suatu pendidikan yang lebih baik tentang dunia narkoba beserta masalah-masalahnya yang terkait, program pemulihan terhadap pecandu, program pendamping sebaya, program outreach, hotline sebagai pusat informasi, pendidikan mengenai kesehatan dan kesejahteraan, komunitas terapi, dan lain-lain sebagai pendukung strategi Demand Reduction. 251 Bagaimanapun, ini juga tidak akan menjadi jawaban terhadap krisis yang sedang dihadapi karena kesuksesannya akan tergantung dari berbagai macam pendekatan, dan berbagai faktor lainnya, seperti ahli-ahli yang tersedia di bidang pencegahan bahaya narkoba, pusat-pusat perawatan yang menyediakan kualitas pemulihan memadai, dan juga program pasca-perawatan bagi pecandu dan keluarganya. Bagaimanapun juga dengan adanya program perawatan dan pencegahan yang memadahi dengan program supply reduction, agar dapat menghadapi bahaya yang berhubungan dengan narkoba, yang secara terus menerus menyebar di dalam populasi mereka yang besar, terutama di kalangan generasi muda. b.Tiga Strategi Dasar Intervensi. Tiga strategi dasar yang dapat diterapkan untuk menciptakan sebuah strategi komprehensif di dalam menghadapi penyalahgunaan narkoba beserta masalah251
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
masalah lain yang timbul sebagai akibat dari hal tersebut, seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, adalah kombinasi antara Program Supply Reduction, Demand Reduction, dan Harm Reduction. Berikut merupakan uraian ringkas tentang ketiga program ini. 1. Strategi Supply Reduction Supply Reduction merupakan aspek yang paling banyak mendapat perhatian publik saat ini. Masyarakat menginginkan kebijakan yang lebih ketat dari lembagalembaga hukum dan polisi sebagai bagian dari respon mereka terhadap meledaknya krisis penggunaan narkoba.
252
Tidak dapat disangkal lagi bahwa memang harus lebih
serius dalam usaha membatasi arus peredaran narkoba, menemukan dan menghancurkan tempat-tempat produksinya, memotong jalur transaksi, menciptakan hukum yang lebih jelas dan ketat, serta merekonstruksi sistem lembaga permasyarakatan yang dimiliki. Tetapi dalam hal ini, juga harus lebih peka dan meyadari bahwa hukum yang diciptakan untuk "pelanggaran kecil" hanya akan membuat para pengguna, penyalahguna, dan pecandu menjauh dari bantuan yang sebenarnya dan untuk mendapatkan pertolongan dari sektor kesehatan dan medis. Program rehabilitasi yang sekarang ada sudah seharusnya mendapatkan bantuan dari Pemerintah, Lembaga Penegak Hukum, pihak Militer, dan komunitas sekitarnya. Hukum yang ketat sendiri akhirnya dapat menimbulkan permainan uang/ korupsi di dalam Lembaga Penegak hukum dan instansi yang terkait. 252
Ibid.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Untuk itu, dibutuhkan kejujuran di dalam menjalankan sistem. Bagaimanapun juga, sistem ini akan menciptakan suatu perubahan dan sebagai anggota masyarakat perlu mambantu pihak yang berwenang untuk memonitor jalannya sistem ini, sehingga sejak dini dapat dihalau peredaran narkoba.
2. Strategi Demand Reduction Demand Reduction adalah merupakan aspek yang memainkan peran signifikan di dalam efektifitas dari seluruh rencana dan strategi komprehensif. Akan tetapi Demand Reduction sering disalah artikan di antara tiga strategi. Tindakan preventif adalah merupakan elemen kunci dalam Demand Reduction, dimana juga harus membicarakan pemulihan bagi mereka yang sudah terlanjur kecanduan, memberikan pengertian tentang dunia narkoba dan bahaya narkoba bagi mereka yang baru mulai mencoba dengan harapan mereka akan sadar dan mau berhenti, serta memberikan informasi sejak usia dini sehingga mereka sadar akan konsekwensi yang akan timbul dan mengurungkan niat mereka untuk "bereksperimen". Cara ini diharapkan
setidaknya dapat menciptakan keadaan yang stabil
sehingga masalah tidak berubah menjadi krisis yang lebih kompleks. Dengan usaha yang berkesinambungan, juga berharap agar dampak dari narkoba dapat dikurangi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjalankan strategi Demand Reduction: 253
253
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
a. Kampanye yang konsisten dan berkesinambungan dengan menggunakan materi yang berkualitas dan informatif tentang dunia narkoba, sehingga dapat menjangkau berbagai macam golongan umur. Menyediakan informasi secara reguler sehingga dapat dengan mudah di akses di sekolah-sekolah, instansiinstansi, masyarakat, dsb. b. Pesan yang disampaikan harus dapat dengan mudah dimengerti dan dapat dengan mudah untuk diingat. Sesuai dengan masalah dasar yang muncul serta penggunaan multimedia akan mengurangi tingkat kebosanan dan membuat publik terus merasa tertarik. c. Menyediakan pelayanan hotline dan pusat konseling dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi yang berkualitas kapan saja mereka butuhkan. Membantu mereka yang memiliki masalah dengan narkoba dan virus serta informasi umum kepada masyarakat secara global. d. Menyediakan pusat pemulihan dan membentuk komunitas terapi dengan program yang terpadu (Pelayanan Hotline, Tim Intervensi, Tim Intervensi Krisis, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pusat Detoksifikasi, Program Rawat Inap, Program Keterlibatan Keluarga, Program Pencegahan Relapse, Komunitas Berdasarkan Dukungan Keluarga, dan Program Pasca-pemulihan) yang terjangkau oleh masyarakat luas. Semua ini dilakukan dengan kesadaran bahwa pemulihan adalah merupakan proses jangka panjang dan seringkali timbul berbagai macam hal selama masa
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
perawatan. Relapse dan perilaku beresiko dapat terjadi selama dan bahkan setelah suatu proses perawatan yang sukses.
3. Strategi Harm Reduction Harm reduction seringkali disalahartikan, bahkan oleh mereka yang secara rutin bekerja untuk membantu penyalahguna dan pecandu narkoba. Strategi Harm Reduction memberikan pendekatan yang dapat membantu mengurangi dampak buruk yang berhubungan dengan penggunaan narkoba. 254 Pendekatan dan kegiatan Harm Reduction termasuk juga memberikan konseling melalui panti rehabilitasi kepada mereka yang berisiko tinggi. Meningkatkan pemahaman dari masing-masing anggota masyarakat tentang bahaya penggunaan narkoba tanpa memandang apakah mereka menggunakannya ataupun tidak. Hal-hal tersebut adalah merupakan tindakan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi krisis yang sedang dihadapi saat ini, ada kekuatiran apabila hal ini dibiarkan berlanjut maka ada kemungkinan akan terjadi lost generation (generasi yang hilang) di masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, generasi muda adalah harapan bangsa dan kelangsungan negeri ini sebagai suatu negara bergantung pada generasi muda.
254
Ibid
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak memakai narkoba di Kota Medan adalah karena keadaan lingkungan (mileu), dimana anak-anak yang memakai narkoba terkena pengaruh dari teman-teman yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu hal lain yang membuat anak memakai narkoba adalah karena faktor keadaan keluarga (orang tua yang bercerai) sehingga anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, sebagai upaya untuk menghilangkan kesepian dan masalah yang dihadapinya maka mereka mencari pelarian dengan mengkonsumsi narkoba. Hal lain yang membuat anak memakai narkoba adalah karena ingin coba-coba hal ini dilakukan karena kurang mendapatkan pengetahuan tentang narkoba. Dan hal yang paling ekstrem adalah narkoba diberikan secara gratis yang pada akhirnya di anak menjadi kecanduan dan pada akhirnya tidak dapat lagi terlepas dari narkoba. 2. Politik kriminal yang dipakai selama ini di kota Medan untuk menanggulangi anak yang memakai narkoba dengan mempergunakan 2 (dua) sarana, yaitu sarana penal dan non penal. Sarana penal yang dilakukan dengan menerapkan hukum pidana yang secara refresif kepada anak yang memakai narkoba, dengan menerapkan sarana penal maka diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent efect) baik kepada pemakai maupun kepada orang lain yang belum berbuat. Penal policy dilaksanakan oleh aparat penegak hukum melalui Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
mekanisme sistem peradilan pidana. Proses pemeriksaan dilakukan melaui tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Ada suatu anggapan dan ketakutan dalam masyarakat untuk masuk penjara (Lembaga Pemasyarakatan). Sarana pidana adalah merupakan indikator yang
ditakuti oleh para pelaku
kejahatan narkoba, yaitu ditangkap Polisi, dengan demikian diharapkan tujuan pemidanaan yaitu menimbulkan deterrence effect terhadap pelaku pidana dan orang lain sehingga tidak mencontoh perbuatan tersebut. Sementara sarana non penal dapat dilakukan melalui tindakan preventif dan pre emtif,
melalui
penyuluhan baik yang dilakukan kesekolah-sekolah maupun razia yang dilakukan di tempat-tempat yang rawan tempat peredaran narkoba. Tindakan peyuluhan yang dilakukan
dengan mengajak bekerjasama instansi-instansi yang lain,
misalnya dengan dinas kesehatan setempat karena yang bisa menjelaskan secara lengkap kerusakan anatomi tubuh akibat penyalahgunaan narkoba adalah orangorang yang bekerja dibidang kesehatan. 3. Politik kriminal yang dipakai di kota Medan di masa yang akan datang, dilakukan dengan berusaha mengutamakan penerapan sarana non penal bagi anak, sehingga anak dapat terhindar dari sistem peradilan pidana dengan mulai memberlakukan diversi di Kota Medan bagi anak yang memakai narkoba karena di sini anak juga merupakan korban atas perbuatannya sendiri. Bagi anak yang terbukti sebagai pengedar maka terhadap anak dapat dijatuhi pidana tetapi ini adalah merupakan sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium). Selain itu hendaknya Hakim haruslah mulai menjatuhkan vonis rehabilitasi bagi anak pemakai narkoba sebab Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
penjara bukanlah solusi yang terbaik bagi anak, selama ini di Kota Medan jarang sekali Hakim menjatuhkan vonis rehabilitasi bagi anak yang memakai narkoba padahal
undang-undang
sudah
memberikan
kemungkinan
untuk
dapat
dilakukannya rehabilitasi. Sarana non penal hendaknya lebih dimakasimalkan di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan
bimbingan keagamaan yang lebih dalam lagi kepada anak dengan
menghimbau kepada orang tua lebih memberikan perhatian kepada anak. Selain itu di masa depan hendaknya lebih banyak didirikan tempat rehabilitasi dan lembaga konseling serta bimbingan penyuluhan sehinggga anak-anak yang memakai narkoba dapat dibina lagi mental dan kejiwaannya dengan mengharapkan peran serta masyarakat luas. Hendaknya lembaga konseling tersebut adalah mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat sebab masalah penanggulangan bahaya narkoba bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah tapi juga merupakan tanggung jawab dari masyarakat luas. Untuk kedepannya ada beberapa upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menghalau peredaran narkoba yaitu: 1. Kampanye yang konsisten dan berkesinambungan dengan menggunakan materi yang berkualitas dan informatif tentang dunia narkoba, sehingga dapat menjangkau berbagai macam golongan umur. Menyediakan informasi secara reguler sehingga dapat dengan mudah di akses di sekolah-sekolah, instansiinstansi, masyarakat, dsb.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
2. Pesan yang disampaikan harus dapat dengan mudah dimengerti dan dapat dengan mudah untuk diingat. Sesuai dengan masalah dasar yang muncul serta penggunaan multimedia akan mengurangi tingkat kebosanan dan membuat publik terus merasa tertarik. 3. Menyediakan pelayanan hotline dan pusat konseling dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi yang berkualitas kapan saja mereka butuhkan. Membantu mereka yang memiliki masalah dengan narkoba dan virus serta informasi umum kepada masyarakat secara global. 4. Menyediakan pusat pemulihan dan membentuk komunitas terapi dengan program yang terpadu terdiri dari Pelayanan Hotline, Tim Intervensi, Tim Intervensi Krisis, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pusat Detoksifikasi, Program Rawat Inap, Program Keterlibatan Keluarga, Program Pencegahan Relapse, Komunitas Berdasarkan Dukungan Keluarga, dan Program pascapemulihan) yang terjangkau oleh masyarakat luas.
D. Saran 1. Dalam UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan, Pasal 64 ayat (1) menyatakan bahwa penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik si anak. Dengan kata
lain
penahanan
dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan si anak dan untuk kepentingan masyarakat. Selain itu penyediaan sarana dan prasarana khusus bagi anak tapi kenyataannya
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
selama ini sarana dan prasarana di lembaga pemasyarakatan masih kurang memadahi, selain itu terhadap anak yang memakai narkoba kesemuanya dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan anak bukannya ke panti rehabilitasi. Sebab itu kepada anak yang memakai narkoba perlu dibuatkan satu tempat khusus yang terpisah dari pelaku-pelaku kejahatan yang lain, karena bisa saja lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah untuk berbuat kejahatan. Selain itu hendaknya fasilitas yang ada di lembaga di perbaharui lagi sehingga sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 2. Hendaknya dibuat satu peraturan perundangan yang jelas tentang penerapan diversi terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga anak tidak lagi menjalani penahanan dan tidak mendapat stigmatisasi dari masyarakat. Masyarakat juga hendaknya lebih perduli lagi terhadap lingkungan sekitarnya sebagai upaya untuk menghalau peredaran narkoba disekitar lingkungan tempat tinggal. Orang tua juga harus lebih memperhatikan anak, karena keluarga adalah tempat pertama kali si anak tumbuh dan berkembang dan perlunya dibentuk sebuah forum orang tua dan sekolah dan instansi yang terkait agar dapat menghalau secara dini penyalahgunaan narkoba pada anak. 3. Mendirikan satu Lembaga Pemasyarakatan yang khusus bagi anak-anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba selain itu meningkatkan anggaran bagi pembinaan, pembimbingan, bagi Narapidana dan penambahan sarana dan prasarana Latihan kerja, pendidikan, olahraga di lapas Anak Medan.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
4. Masing-masing Sub sistem Peradilan Pidana hendaknya dapat melakukan koordinasi yang lebih baik lagi, selain itu perlu juga dijalin koordinasi dengan pihak swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat luas agar dapat menanggulangi peredaran narkoba.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Ali Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofisdan Sosiologis), Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk, 2002. Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998. _______________,Muladi, Teori-teori dan kebijakan pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998. ________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. ________________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996.
Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system) di Indonesia. Penerbit UNICEF Indonesia. Ancel Marc, Social Defence, A Modern Approach to criminal Problems, London: Routledge & Kegan Paul,1995.
Bawengan G.W, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Pradnya Paramita, 1971. Bonger, W. A, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Beccaria, Cessare, Of Crime and Punishment. Original Italian Title Dei Dellitte e Delle Pene, English Translation by Jane Grigson, Edition Copy Right, New York: Marsilio Publsiher. Chawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Dewa Made Dana, Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Dijk, J.J.M. van, H.I. Sagel-Grande, L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1998.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Dirjosisworo Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Alumni, 1987. Faal M, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
Hamzah Andi , Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Indonesia: Ghalia, 1986. ___________, Sistim Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Haraerah Abu , Kekerasan terhadap Anak, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006. Hamdan. M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa Persada, 1997. . Hoefnagels, G. Peter, The Other Side of Criminology, Holland: Kluwer Deventer. Ibrahim Jhonny, Theory & Metodologi Penelitian Normatif, Malang: Penerbit Bayumedia Publishing, Cet. Ke-2, 2006.
Kansil CST, dan Cristine Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana untuk Setiap Orang, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. Kartono Kartini, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Kunarto, Trend Kejahatan dan Peradilan Pidana, Jakarta: Cipta Manunggal, 1996. Kaligis, O. C. & Assciates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia Reformasi Hukum Pidana melalui Perundang-undangan dan Peradilan, Bandung: Alumni, 2002. Kanter E.Y dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002
Lilly, J. Robert, Francis T. Cullen and Richard A. Ball, Criminological Theory, Context and Consequences, United States: SAGE Publication, 1995.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Lamintang, PAF, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997 Mulyadi Mahmud, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Penerbit: Pustaka Bangsa Press, 2008 Marpaung Leden, Asas Teori dan Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Makarao Taufik Muhammad, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003. Moleong J. Lexy, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002. Nasution Bismar(II), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum (Makalah disampaikan dalam dialog interaktif tentang penelitian Hukum dan hasil Penulisan Hukum pada makalah Akreditasi, Medan: Fakultas Hukum Universiatas Sumatera Utara,2003. Permana Heru, Politik Kriminal (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007. Poernomo Bambang, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Buana Aksara, 1982. Prasetyo Teguh dan Halim Abdul Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, 2005. Prints Darwan, Hukum Anak Indonesia Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1997 Purpura, Philip, Criminal Justice an Introduction, Boston: Butterworth-Heinemann, 1997. Reksodiputro Marjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi I, Jakarta: Penerbit Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,1994. Rukmini Mien, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi sebagai Bunga Rampai, Bandung: Alumni, 2006.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Salam Abdul, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007. Santoso Topo dan Eva Achiani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001 Sadli Saparinah, Persepsi sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Sasangka Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003. Siregar Mahmul, Marlina, Rosmalinda dan Azmiati Zuliah, Melindungi Anak dengan Hukum pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Medan: Penerbit Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2007. Supramono Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, edisi revisi, Jakarta: Djambatan, 2004. Suprapto Hadi, Juvenile Deliquency, Pemahaman dan Penanggulangan, Bandung: Citra Aditya bakti, 1997. Sutherland Edwin H. and Donald R. Cressey, Principles of Criminologi New York: Sixth Edition, J.B. Lippincott Company, 1960. Simanjuntak Noach , IL. Pasaribu, Kriminologi, Bandung: Tarsito, 1984. Sunaryo Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005. Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Supatmi Mamik Sri dan Herlina Permata Sari, Dasar-Dasar Teori Sosial Kejahatan, Jakarta: PTIK Press, 2007 Sholehhuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track Sistem & Implementasinya), Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta,2004. Soemitro Ronny Hanitjo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001. Usfa Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Malang : UMM Press, 2004. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Wadong Maulana Hasan, Pengantar Advokasi dan Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, 2000. Widiyanti Ninik, Yulius Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Jakarta: Bina Aksara, 1987). _______________ dan Panji Anaroga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya ditinjau dari segi Kriminologi dan Sosial, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.
B. Diktat, Majalah, Jurnal Ilmiah, Surat Kabar
Fourth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1971. Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1976. Six United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1981. Seventh United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1986. Eighth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. New York: Departement of Economic and social Affairs, UN, 1991. I Ketut Gde Adi Saputra, Peran Generasi Muda Dalam Penanggulangan Bahaya Narkoba, disampaikan dalam Saresehan Penangulangan Narkoba di Kerta Sabha, 19 Juli 2007 yang diselenggarakan oleh BITD Prov Bali.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensii Hak-Hak Anak. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Tim Pusaka Merah Putih tahun 2007. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Tim Pusaka Merah Putih tahun 2007. UU. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU No. 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian Republik Indonesia. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. SUMBER LAIN Internet: http://www.banyumaskab.go.id diakses 13 Februari 2008 http://www.harian republika.com diakses 13 Februari 2008 http://www.isekolah.org/ diakses 28 Januari 2008 http://www.kapanlagi.com senin, 14 Mei 2007 diakses 28 Januari 2008 http://www.pikiran-rakyat.com/ di akses tanggal 28 Januari 2008 http://www.politikhukum.com diakses tanggal 08-02-2008 http://www.sinarharapan.com/ diakses 31 Januari 2008. http://www.scholarships.com/home. diakses 28 Januari 2008 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional diakses 28 Januari 2008 http://www.ui.edu/post/, diakses 28 Januari 2008 http://warnawarnibali.blogspot.com/2005 diakses 13 Februari 2008. http://www.yakita.com, 12 juli 2008. Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
LAMPIRAN Perbuatan dan Sanksi pidana yang ada dalam UU Psikotropika dapat dilihat dalam gambaran tabel di bawah ini: No
Pasal
Perbuatan
Sanksi
1
59 ayat (1) (UU Barang siapa menggunakan, Psikotropika) memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi, mengedarkan, mengimpor, secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.
dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
2
59 ayat (2)
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara teroganisasi.
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar RP 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3
59 ayat (3)
Jika tindak pidana dipidananya pelaku tindak sebagaimana dimaksud pidana, kepada korporasi dalam pasal ini dilakukan dikenakan pidana denda sebesar Rp. oleh korporasi. 5.000.000.000,- (lima juta rupiah).
4
60 ayat (1)
Barangsiapa memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Rp Memproduksi atau banyak mengedarkan psikotropika 200.000.000,00,- (dua ratus dalam bentuk obat yang tidak juta rupiah). memenuhi standard dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, atau Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggungjawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). 5
Pasal 60 ayat (2)
Barang siapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
6
Pasal 60 ayat (3)
Barang siapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah).
7
Pasal 60 ayat (4)
Barang siapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4).
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
8
Pasal 60 ayat (5)
Barang siapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
9
Pasal 61 ayat (1).
Barang siapa mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau Mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetuajuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau Melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor dan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (4).
dipidana dengan pidana penjara paling lam 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,(tiga ratus juta rupiah).
10
Pasal 61 ayat (2)
Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggungjawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) .
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
11
Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
12
Pasal 63 ayat (1)
Barangsiapa melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan sebagimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan perubahan Negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, atau Melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah).
13
Pasal 63 ayat (2)
Barangsiapa tidak mencantumkan label sebagimana dimaksud dalam Pasal 29 yaitu pada kemasan psikotropika; atau mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu harus lengkap dan tidak menyesatkan; atau mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) yaitu pada
Dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
14
Pasal 64
Barangsiapa menghalanghalangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi dan/atau rehabilitasi sebagiman dimaksud dalam Pasal 37, atau Menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
15
Pasal 65
Barangsiapa tidak melapor adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 20.000.000,(dua puluh juta rupiah).
16
Pasal 66
Saksi dan orang lain yang dipidana dengan pidana bersangkutan dengan perkara penjara paling lama 1 psikotropika yang sedang (satu) tahun. dalam pemeriksaan di sidang pengadilan menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya pelapor sebagiman dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Tentang UU Narkotika: No
Pasal
Perbuatan
Sanksi
1
78 ayat (1) (UU Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menanam, Narkotika) memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, atau Memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2
78 ayat (2)
Apabila tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 25.000.000,- dua puluh lima juta upiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
3
78 ayat (3)
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,(dua milyar lima ratus juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Apabila tindak pidana dipidana denda paling sebagimana dimaksud dalam banyak Rp 5.000.000.000,ayat (1) dilakukan oleh (lima milyar rupiah). korporasi.
4
78 ayat (4)
5
Pasal 79 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan sub a UU melawan hukum memiliki, menyimpan untuk memiliki Narkotika atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
6
Pasal 79 ayat (1) Memiliki, menyimpan untuk atau untuk sub b UU memiliki persediaan, atau menguasai Narkotika narkotika golongan III.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,- ( seratus juta rupiah).
tindak pidana Pasal 79 ayat (2) Apabila dimaksud sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, Narkotika didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
tindak pidana Pasal 79 ayat (2) Apabila dimaksud sub b UU sebagaimana dalam: ayat (1) huruf b, Narkotika didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
tindak pidana Pasal 79 ayat (3) Apabila sub a sebagimana dimaksud dalam: ayat (1) dilakukan secara UUNarkotika terorganisasi.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua milyar rupiah).
7
8
9
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
10
11
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). tindak pidana dipidana denda paling Pasal 79 ayat (4) Apabila sub a UU sebagimana dimaksud dalam banyak Rp 3.000.000.000,ayat (1) huruf a, dilakukan (tiga milyar rupiah). Narkotika oleh korporasi. tindak pidana Pasal 79 ayat (3) Apabila sub b UU sebagimana dimaksud dalam: ayat (1) dilakukan secara Narkotika terorganisasi.
12
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 79 ayat (4) Apabila 1.000.000.000,sub b UU sebagimana dimaksud dalam banyak ayat (1) huruf b, dilakukan (satu milyar rupiah). Narkotika oleh korporasi.
13
Pasal 80 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan sub a UU melawan hukum Memproduksi, mengolah, Narkotika mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I.
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah).
Pasal 80 ayat (1) Barang siapa tanpa hak dan hukum sub b UU melawan Memproduksi, mengolah, Narkotika mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan II.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
14
15
dipidana dengan pidana mengolah, penjara paling lama 7 Pasal 80 ayat (1) Memproduksi, sub c UU mengkonversi, merakit, atau (tujuh) tahun dan denda banyak Rp menyediakan narkotika paling Narkotika 200.000.000,- (dua ratus golongan III. juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
tindak pidana Pasal 80 ayat (2) Apabila dimaksud sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, Narkotika didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua milyar rupiah).
tindak pidana Pasal 80 ayat (2) Apabila dimaksud sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf b, Narkotika didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah).
18
tindak pidana Pasal 80 ayat (2) Apabila dimaksud sub c UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf c, Narkotika didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
19
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 80 ayat (3) Apabila dimaksud mati atau pidana penjara sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, seumur hidup atau penjara Narkotika dilakukan secara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 terorganisasi. (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,(lima milyar rupiah).
16
17
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
20
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 80 ayat (3) Apabila dimaksud mati atau pidana penjara sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf b, seumur hidup, atau pidana Narkotika dilakukan secara penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan terorganisasi. denda paling banyak Rp 3.000.000.000,(tiga milyar rupiah).
21
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 80 ayat (3) Apabila dimaksud penjara paling lama 15 sub c UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf c, (lima belas) tahun dan Narkotika dilakukan secara denda paling paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua terorganisasi. milyar rupiah).
22
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 80 ayat (4) Apabila sub a UU sebagimana dimaksud dalam banyak Rp 7.000.000.000,ayat (1) huruf a, dilakukan (tujuh milyar rupiah). Narkotika oleh korporasi.
23
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 80 ayat (4) Apabila sub b UU sebagimana dimaksud dalam banyak Rp 4.000.000.000,ayat (1) huruf b, dilakukan (empat milyar rupiah). Narkotika oleh korporasi.
24
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 80 ayat (4) Apabila sub c UU sebagimana dimaksud dalam banyak Rp 3.000.000.000,ayat (1) huruf c, dilakukan (tiga milyar rupiah). Narkotika. oleh korporasi.
25
Pasal 81 ayat (1) barang siapa tanpa hak dan sub a UU melawan hukum: membawa, mengirim, Narkotika memgangkut atau mentransito narkotika golongan I.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15(lima belas)tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
26
Pasal 81 ayat (1) Membawa,mengirim,mengan dipidana dengan pidana atau mentransito penjara paling lama 10 sub b UU gkut (sepuluh) tahun dan denda narkotika golongan II. Narkotika paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
27
Pasal 81 ayat (1) Membawa,mengirim,mengan dipidana dengan pidana atau mentransito penjara paling lama 7 sub c UU gkut (tujuh) tahun dan denda narkotika golongan III. Narkotika paling banyak Rp 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).
28
tindak pidana Pasal 81 ayat (2) Apabila dimaksud sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) didahului Narkotika dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun danpaling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua milyar rupiah).
tindak pidana Pasal 81 ayat (2) Apabila dimaksud sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) didahului Narkotika dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b.
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
tindak pidana Pasal 81 ayat (2) Apabila dimaksud sub c UU sebagaimana dalam ayat (1) didahului Narkotika dengan permufakatan jahat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp
29
30
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
maka terhadap tindak pidana 500.000.000,- (lima ratus sebagaimana dimaksud juta rupiah ). dalam ayat (1) huruf c.
31
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 81 ayat (3) Apabila dimaksud mati atau pidana seumur sub a UU sebagaimana dalam Ayat (1) huruf a, hidup atau pidana penjara Narkotika dilakukan secara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 terorganisasi. (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 4.000.000.000,(empat milyar rupiah).
32
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 81 ayat (3) Apabila dimaksud penjara paling lama 15 sub b UU sebagaimana dalam Ayat (1) huruf b, (lima belas) tahun dan Narkotika dilakukan secara denda paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua terorganisasi. milyar rupiah).
33
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 81 ayat (3) Apabila dimaksud penjara paling lama 10 sub c UU sebagaimana dalam Ayat (1) huruf c, (sepuluh) tahun dan denda Narkotika banyak Rp dilakukan secara paling 1.000.000.000,(satu terorganisasi. milyar rupiah).
34
paling tindak pidana dipidana denda Pasal 81 ayat (4) Apabila dimaksud banyak Rp 5.000.000.000,sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, (lima milyar rupiah). Narkotika dilakukan oleh korporasi.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
35
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 81 ayat (4) Apabila dimaksud banyak Rp 3.000.000.000,sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf b, (tiga milyar rupiah). Narkotika dilakukan oleh korporasi.
36
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 81 ayat (4) Apabila dimaksud banyak Rp 2.000.000.000,sub c UU sebagaimana (dua milyar rupiah). dalam ayat (1) huruf c, Narkotika dilakukan korporasi.
37
Pasal 82 ayat (1) Barangsiapa tanpa hak dan sub a UU melawan hukum: Mengimpor,mengekspor, Narkotika menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I.
dipidana dengan pidana mati atau dipidana penjara seumur hidup, atau dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
38
Pasal 82 ayat (1) Barangsiapa tanpa hak dan sub b UU melawan hukum: Mengimpor,mengekspor, Narkotika. menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan II.
dipidana penjara paling lama 18 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Pasal 82 ayat (1) Barangsiapa tanpa hak dan sub c UU melawan hukum: Mengimpor,mengekspor, Narkotika. menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
dipidana penjara paling lama 10 ( sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
39
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan III. 40
41
42
43
tindak pidana Pasal 82 ayat (2) Apabila dimaksud sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, Narkotika. didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (duaratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua milyar rupiah).
tindak pidana Pasal 82 ayat (2) Apabila dimaksud sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf b, Narkotika. didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana denganpidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah).
tindak pidana Pasal 82 ayat (2) Apabila dimaksud sub c UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf c, Narkotika. didahului dengan permufakatan jahat.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 82 ayat (3) Apabila dimaksud mati atau dipidana penjara sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, seumur hidup atau pidana Narkotika. dilakukan secara penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling terorganisasi. lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
paling banyak 5.000.000.000,milyar rupiah).
Rp (lima
44
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 82 ayat (3) Apabila dimaksud penjara paling lama 20 sub b UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf b, (dua puluh) tahun dan Narkotika. dilakukan secara denda paling banyak Rp 4.000.000.000,(empat terorganisasi. milyar rupiah).
45
tindak pidana dipidana dengan pidana Pasal 82 ayat (3) Apabila dimaksud penjara paling lama 15 sub c UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf c, (lima belas) tahun dan Narkotika. dilakukan secara denda paling banyak Rp 2.000.000.000,(dua terorganisasi. milyar rupiah).
46
paling tindak pidana dipidana denda Pasal 82 ayat (4) Apabila dimaksud banyak Rp 7.000.000.000,sub a UU sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, (tujuh milyar rupiah). Narkotika. dilakukan oleh korporasi.
47
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 82 ayat (4) Apabila sub b UU sebagaimana dimaksud ayat banyak Rp 4.000.000.000,(1) huruf b, dilakukan oleh (empat milyar rupiah). Narkotika. korporasi.
48
tindak pidana dipidana denda paling Pasal 82 ayat (4) Apabila sub c UU sebagaimana dimaksud ayat banyak Rp 3.000.000.000,(1) huruf c, dilakukan oleh (tiga milyar rupiah). Narkotika. korporasi.
49
Pasal 83 Narkotika.
UU Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika, sebagaimana di atur dalam
Diancam dengan pidana yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
Pasal 78,79,80,81 dan Pasal tersebut. 82.
50
Pasal 84 (a) UU Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum Narkotika. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
51
Pasal 84 (b) UU Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum Narkotika. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
52
Pasal 84 (c) UU Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum Narkotika. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima juta rupiah).
53
Pasal 85 (a) UU Barangsiapa tanpa hak dan dipidana dengan pidana melawan hukum penjara paling lama 4 Narkotika. menggunakan narkotika (empat) tahun. golongan I untuk diri sendiri.
54
Barangsiapa tanpa hak dan dipidana dengan pidana hukum penjara paling lama 2 (dua) Pasal 85 (b) UU melawan menggunakan narkotika tahun. Narkotika. golongan II untuk diri sendiri.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
55
Pasal 85 (c) UU Barangsiapa tanpa hak dan dipidana dengan pidana melawan hukum penjara paling lama 1 Narkotika. menggunakan narkotika (satu) tahun. golongan III untuk diri sendiri.
56
Pasal 86 ayat (1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur UU Narkotika. yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor.
dipidana dengan pidana kurungan paling lam 6 (enam) bulan atau denda sebanyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). tidak dituntut pidana.
57
Pasal 86 ayat (2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah UU Narkotika. dilaporkan orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
dipidana dengan pidana penjara seumur atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.0000,(enam ratus juta rupiah).
58
Pasal 87 Narkotika.
menyuruh, UU Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu, memeberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagiman yang dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83 dan pasal 84.
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,(dua juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
59
Pasal 88 ayat (1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan UU Narkotika. sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
dipidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,(satu juta rupiah)
60
Pasal 88 ayat (2) Keluarga pecandu narkotika sebagiamana dimaksud UU Narkotika. dalam ayat (1) yang sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
61
Pasal 89 Narkotika.
UU Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
62
Pasal 92 Narkotika.
UU Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan tindak pidana narkotika dimuka sidang pengadilan.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
63
Pasal 93 Narkotika.
atau kapten UU Nakhoda penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagiman dimaksud dalam Pasal 24 atau Pasal 25.
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,(satu juta rupiah).
dikenakan
sanksi
sesuai
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
64
dengan peraturan Pasal 94 ayat (1) Penyidik Pejabat Pegawai perundang-undangan yang UU Narkotika. Negari Sipil yang secara berlaku. melawan hukum tidak tidak melakasanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71.
65
Polisi Negara Pasal 94 ayat (2) Pejabat Indonesia yang secara UU Narkotika. melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
66
Pasal 95 Narkotika.
UU Saksi yang memberikan keterangan yang tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
67
Pasal 99 Narkotika.
UU a. Pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika golongan II dan golongan III bukan untuk pelayanan kesehatan,
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008
b. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
c.
Pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, atau
d. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I yang bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Novalina Kristinawati Manurung : Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, 2009 USU Repository © 2008