KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-I) Dalam Ilmu Ushuluddin
Oleh: MAHMUDDIN SIRAIT NIM. 440804188 Jurusan : Filsafat Politik Islam
FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN 2012
0
ABSTRAKSI
Keragaman yang dimiliki Indonesia bisa menjadi kelebihan sekaligus sebagai kekurangan. Potensi keberagaman ini jika terjalin dengan baik akan menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik. Kasus-kasus yang terjadi di Poso, Ambon, dan Papua serta peristiwa-peristiwa pembakaran gereja akan menjadi sejarah kelam dalam perkembangan bangsa Indonesia ke depan. Isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang menjadi khasanah bernegara bisa menjadi ragam mutu manikam yang menggiurkan. Sebaliknya SARA juga bisa menjadi ancaman untuk kekokohan NKRI. Kota Medan dengan pluralitas suku, budaya maupun agamanya mempunyai potensi yang positif dalam menjalin kerukunan sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Akan tetapi sangat rawan konflik jika kerukunan itu tidak dibina dengan baik. Apalagi bila setiap agama mempunyai prinsip eksklusif sehingga akan memberikan dampak negatif bagi interaksi sosial antar umat beragama. Kebijakan pemerintah kota Medan merupakan elemen yang penting bagi terciptanya kerukunan umat beragama. Dengan memberikan dukungan baik itu berupa pidato yang menghimbau masyarakat kota Medan tentang pentingnya kerukunan maupun bantuan yang berupa finansial agar terlaksananya kegiatankegiatan keagamaan, bersikap adil dengan semua agama, dan membentuk jaringan yang berupa organisasi Forum Kerukunan Umat Beragama, menunjukkan peran yang dimainkan oleh pemerintah kota Medan dalam membina kerukunan di kota Medan agar tetap rukun dan harmonis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kerukunan yang tercipta di Kota Medan dipengaruhi oleh tingginya semangat dalam mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang diajarkan agama, seperti toleransi, cinta kasih dan lainnya. Budaya masyarakat Batak, Jawa, dan Melayu merupakan penunjang kerukunan yang ada di kota Medan. Sejauh ini konflik yang ada di kota Medan belum terlalu banyak dan masih bisa diminimalisir.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya kepada Allah SWT yang tiada hentinya mencurahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluknya di bumi Allah yang indah ini. Salawat dan salam mari kita mohonkan kiranya Allah curahkan kepada Khotamannabiyyi wa nabiyya ba’dahu, seorang panutan umat manusia dan teladan yang tidak ada duanya. Dialah Muhammad SAW, Rasul dan kekasih Allah di dunia dan akhirat. Dengan izin Allah SWT, penulis telah berhasil menyusun sebuah skripsi yang berjudul
“KEBIJAKAN
PEMERINTAH
KOTA
MEDAN
TERHADAP
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat akademik untuk mencapai gelar sarjanan pada Fakultas Ushuluddin IAIN-SU Medan. Ungkapan rasa terimakasih kepada ayah dan ibunda atas segala yang tidak dapat penulis uraikan dengan bait-bait kata karena besarnya kasih sayang, pengorbanan dan perjuangan mereka untuk penulis. Terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Bapak Dr.H.Arifinsyah, M.Ag dan Ibu Siti Ismahani M. Hum sebagai pembimbing I dan II, yang atas segala pelajaran, ilmu dan nasehat, bantuan dan pengarahannya kepada penulis sehingga terselesaikanlah penyusunan skripsi ini. Demikian pula kepada Bapak Dekan, Bapak Pembantu Dekan, dosen-dosen, dan
ii
seluruh staf karyawan akademis Fakultas Ushuluddin IAIN SU Medan yang telah membantu dan mendidik penulis selama kuliah. Tak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih kepada seluruh pihak yang telah member dukungan, bantuan baik moril maupun materil kepada penulis, serta temanteman yang penulis sayangi, handai tolan dan sahabat yang senantiasa mewarnai kehidupan penulis selama menuntut ilmu. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya penyempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan, sehingga kekurangan-kekurangannya semakin dapat tertutupi.
Medan, November 2012 Penulis
MAHMUDDIN SIRAIT NIM. 440804188
iii
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAKSI............................................................................................................ i KATA PENGANTAR............................................................................................. ii DAFTAR ISI............................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah................................................................................................. 5 C. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................... 6 D. Batasan Istilah....................................................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian................................................................................................... 7 F. Kegunaan Penelitian.............................................................................................. 8 G. Metode.................................................................................................................. 9 1. Jenis Penelitian................................................................................................ 9 2. Lokasi Penelitian............................................................................................. 9 3. Data dan Sumber Data.................................................................................... 9 4. Teknik Pengumpulan Data.............................................................................. 10 5. Teknik Analisis Data....................................................................................... 11 6. Sistematika Pembahasan................................................................................. 12 BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN A. Sejarah Singkat Kota Medan................................................................................. 13 B. Kondisi Geografis..................................................................................................17 C. Kondisi Demografis...............................................................................................20 D. Agama....................................................................................................................23 E. Budaya................................................................................................................... 26 F. Pendidikan............................................................................................................. 28 BAB III KAJIAN TEORITIS A. Kerukunan Umat Beragama.................................................................................. 30 B. Konflik Umat Beragama........................................................................................35 C. Kebijakan Pemerintah terhadap Kerukunan Umat Beragama............................... 42
iv
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA A. Bentuk-Bentuk Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Kerukunan Umat Beragama............................................................................................................... 50 B. Faktor Pendukung Terciptanya Kerukunan Umat Beragama di Kota Medan....... 57 C. Faktor Pemicu Konflik Umat Beragama di Kota Medan...................................... 60 D. Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Konflik Sosial yang Bernuansa Agama....................................................................................................................63 E. Hambatan dan Tantangan Pemerintah Kota Medan dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama..................................................................................................... 65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................................ 66 B. Saran...................................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 68
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, akan tetapi keanekaragaman ini juga tidak jarang menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan tidak jarang menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Potensi konflik biasanya dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek- aspek primordial, seperti etnis, agama, ataupun kebudayaan. Karena sifatnya yang inheren, potensi konflik yang berasal dari aspek primordial cenderung sulit untuk dihilangkan. Untuk mengatasi hal itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, mulai dari rezim orde lama hingga saat ini. Upaya- upaya tersebut pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan kehidupan antar etnis dan agama yang rukun, aman, damai, dan tenteram yang merupakan kondisi terwujudnya integrasi sosial dalam masyarakat. Walaupun banyak upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi konflik tersebut, ternyata masih saja banyak konflik yang terjadi di lapangan.
1
Di Poso misalnya, kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal antara kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok, sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok Muslim (putih) disatu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak lain.1 Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang majemuk di Indonesia. Kemajemukan kota
Medan
dapat dilihat dari keberadaan berbagai
lembaga keagamaan yang terdapat di kota Medan, seperti; Muhammadiyah, Al Wasliyah, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Mayoritas penduduk di kota Medan adalah pemeluk agama Islam. Lebih lanjut, di kota Medan juga terdapat beberapa etnis yang membentuk suatu organisasi yang berbasiskan marga atau keluarga. Organisasi tersebut umumnya didirikan untuk melindungi eksistensi dan kepentingan dari etnis yang mendirikannya. Organisasi tersebut diantaranya; Ikatan Aceh Sepakat, Himpunan Keluarga Besar Mandailing, Perkumpulan Marga Panjaitan, Ikatan Keluarga Gasan Saiyo, Persatuan Warga Sunda, Pujakesuma, Forum Komunikasi Warga Putra- Putri Jawa, Pendawa, dan lainlain. Dalam hubungan antar kelompok etnis dan agama di kota Medan, sentimensentimen primordial tidak sepenuhnya dapat dihilangkan. Akan tetapi, sentimen tersebut umumnya tidak diperlihatkan dalam interaksi sosial, inilah yang 1
Puslitbang Kehidupan Beragama, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2003), h. 82.
2
menyebabkan mengapa kota Medan
menjadi kota percontohan untuk kategori
integrasi sosial kota yang majemuk. Masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun. Masyarakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain. Dalam kemajemukannya, masyarakat kota Medan tetap dapat menjaga integrasi bangsa. Semua suku dan agama tetap mempertahankan identitas masing-masing tanpa harus adanya etnosentrisme atau menjadi lawan dari suku atau agama lainnya. Mereka tetap dapat bekerjasama dan hidup rukun di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan beragamnya masyarakat kota Medan, mustahil tidak ada konflik. Apalagi konflik yang berhubungan dengan agama karena berbicara masalah agama merupakan masalah yang esensial bagi masyarakat kota Medan. Sebagaimana penulis ketahui bahwa masyarakat Medan adalah masyarakat yang agamais. Sebenarnya konflik di kota Medan tetap ada, tetapi masih bisa diminimalisir oleh pemerintah kota Medan sehingga konflik tersebut tidak meluas yang menimbulkan bentrokan fisik. Kerukunan antar umat beragama masyarakat kota Medan tidak terlepas dari peran pemerintah kota Medan itu sendiri. Kebijakan seorang pemerintah ialah
3
merupakan peran utama dalam hal ini karena pemerintah berkewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya dari berbagai konflik. Sebagai seorang pembuat suatu kebijakan, pemerintah harus adil karena sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual.2 Sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 58 yang menyeru seorang pemimpin untuk bersikap adil :
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat"3 Kebijakan pemerintah kota Medan yang telah berhasil mempersatukan tokohtokoh agama, masyarakat dari elemen yang kecil hingga besar dan kelompokkelompok organisasi keagamaan merupakan suatu contoh yang dilakukan untuk 2
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), h. 379. 3 Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 88. 4
mencapai suatu keharmonisan antar umat beragama di kota Medan. Banyak kasuskasus konflik agama yang terjadi di kota lain di Indonesia dikarenakan kurangnya pemantauan Pemerintah Daerah terhadap konflik-konflik antar kelompok yang pada mulanya konflik berskala kecil dan lama-kelamaan menjadi konflik yang berskala besar yang memakan korban jiwa dan harta benda. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas lebih mendalam tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan sehingga terciptanya kerukunan umat beragama. Pembahasan ini akan penulis angkat menjadi suatu Karya Ilmiah dengan judul “KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka timbul beberapa masalah yang disusun menjadi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya pemerintah kota Medan mempersatukan masyarakat yang beragam agama mulai dari lapisan masyarakat kecil sampai pada lapisan masyarakat besar sehingga potensi konflik di Medan masih bisa diminimalisir? 2. Apa saja kebijakan pemerintah kota Medan ketika terjadi konflik antar umat beragama? 3. Apa saja hambatan dan tantangan pemerintah kota Medan ke depan dalam membuat kebijakan masalah keagamaan?
5
C. Ruang Lingkup Penelitian Agar penelitian tidak terlalu melebar dan mengaburkan penelitian, maka penulis membuat ruang lingkup penelitian sebagai berikut : - Penelitian ini bersifat mengkaji dan meneliti lebih dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kota Medan terhadap kerukunan umat beragama. D. Batasan Istilah Untuk menghindari salah penafsiran terhadap maksud peneliti ini, diadakan definisi terhadap istilah-istilah pokok berikut ; 1. Kebijakan Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya sifat terpuji, baik budi, pandai, banyak akal, mahir, kata-katanya sopan dan masuk di akal.4 Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.5 Kebijakan yang dimaksud pada penelitian ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota Medan untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda agama.
4
Kamirsa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Kartika, 1997), h. 83. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 20. 5
6
2. Pemerintah Kota Medan Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1974 yang dimaksud pemerintah daerah ialah kepala daerah beserta seluruh aparatnya seperti sekretaris daerah yang membawahi sekretariat daerah, ditambah dinas-dinas daerah yang ada di daerah tersebut sebagai aparat eksekutif.6 Pemerintah kota Medan yang dimaksud di sini adalah walikota Medan beserta aparat-aparatnya, ditambah dengan dinas-dinas yang ada di kota Medan. 3. Kerukunan Umat Beragama Kerukunan umat beragama ialah pola hubungan antar berbagai kelompok umat beragama yang rukun, saling menghormati, saling menghargai dan damai, tidak bertengkar dan semua persoalan dapat diselesaikan sebaik-baiknya dan tidak mengganggu kerukunan hubungan antar umat beragama pada suatu daerah tertentu.7 E. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah kota Medan mempersatukan masyarakat yang beragam agama mulai dari lapisan masyarakat kecil sampai pada lapisan masyarakat besar sehingga potensi konflik di Medan masih bisa diminimalisir.
2.
Untuk mengetahui apa saja kebijakan pemerintah kota Medan ketika terjadi konflik antar umat beragama.
6
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU) (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 79. 7 Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia (Jakarta: Prasasti, 2009), h. 6. 7
3.
Untuk mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah kota Medan ke depan dalam membuat kebijakan masalah keagamaan.
F. Kegunaan Penelitian Kontribusi penelitian ini secara garis besar dapat dipergunakan pada dua keperluan yaitu : 1. Kontribusi Akademis Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan masukan atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya. 2. Kontribusi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah kota Medan dalam melaksanakan kebijakan masalah kerukunan umat beragama. 3. Penulis Sebagai suatu eksperimen yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya. Dapat menambah wawasan dan pengalaman baru yang nantinya dapat dijadikan modal dalam meningkatkan proses belajar sesuai dengan disiplin ilmu penulis, terutama setelah terjun ke dunia politik.
8
G. Metode 1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini menerapkan metode penelitian Deskriptif Kualitatif yang bersifat mendeskripsikan tentang masalah yang akan diteliti kemudian diterjemahkan berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam memperoleh data dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan dua jenis penelitian antara lain: 1. Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara memperolehnya dari buku-buku, majalah-majalah, dan situs-situs yang berkaitan dengan judul penelitian ini. 2. Penelitian lapangan (Field Research ) yaitu dengan cara mengunjungi langsung ke Kantor Walikota Medan dan Kantor FKUB Medan. 2. Lokasi Penelitian Karena penelitian ini menyangkut tentang kebijakan pemerintah kota Medan dalam memelihara kerukunan, maka penelitian ini dilakukan di Medan. 3. Data dan Sumber Data Untuk menganalisis dan menginterpretasikannya dengan baik serta untuk memperoleh hasil penelitian yang tepat maka diperlukan data yang valid dan dapat dipercaya. Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diperoleh dari sumber data antara lain :
9
1. Data Primer Data primer yang digunakan dalam penelitian ini ialah Walikota Medan. 2. Data Sekunder Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah FKUB Kota Medan. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data maka peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan data yang terdiri dari: 1. Observasi Yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang nampak, pengamatan dan pencatatan yang dimaksud dalam pembahasan ini ialah mengamati kebijakan-kebijakan pemerintah kota Medan terhadap kerukunan umat beragama. Pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa. 2. Wawancara Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan oleh peneliti. Wawancara (interview) dilakukan secara mendalam. Maksud dari interview ini adalah dengan mengumpulkan data melalui wawancara atau tanya jawab secara langsung dengan staf atau pejabat di Kantor Walikota Medan dan pengurus FKUB kota Medan.
10
Sutrisno Hadi dalam hal ini mengemukakan bahwa interview adalah metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan.8 Dengan demikian sumber-sumber data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini terjaga keasliannya (valid). Untuk mendapatkan data digunakan pedoman wawancara. Salim dan Syahrum dalam buku mereka mengemukakan bahwa wawancara merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih dimana pertanyaan diajukan oleh seseorang yang berperan sebagai pewawancara. Teknik wawancara dapat digunakan sebagai strategi penunjang teknik lain untuk mengumpulkan data.9 3. Dokemuntasi Dokumentasi adalah teknik pengambilan data dengan obyek-obyek penelitian yang
diperoleh
melalui
catatan-catatan,
berkas-berkas,
ataupun
dokumen
pemerintahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data yang telah ter dokumentasikan yang menyangkut tentang keagamaan dari data primer dan data sekunder yang telah disebutkan di atas sebagai sarana untuk mendapatkan data yang valid. 5. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan setelah data-data yang diperlukan terkumpul, adapun analisa dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode induktif, yaitu cara menganalisa data dari yang bersifat khusus kepada yang umum.
8
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), Jilid II, h. 193. Salim dan Syahrum, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Citapustaka, 2010), h.
9
120. 11
H. Sistematika Pembahasan Penelitian ini ditulis dan disusun teridiri dari lima bab pembahasan, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Hal ini dimaksudkan agar pembahasannya lebih terarah dan dapat dipahami dengan mudah. Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : Bab I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, ruang lingkup penelitian, batasan istilah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II adalah gambaran umum kota Medan yang berisikan sejarah singkat Kota Medan, kondisi geografis, kondisi demografis, agama, budaya dan pendidikan. Bab III adalah kajian teoritis yang berisikan kerukunan umat beragama, konflik umat beragama, dan kebijakan pemerintah terhadap kerukunan umat beragama. Bab IV adalah kebijakan pemerintah kota Medan terhadap kerukunan umat beragama yang berisikan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah kota Medan terhadap kerukunan antar umat beragama, faktor pendukung terciptanya kerukunan umat beragama di kota Medan, faktor pemicu konflik umat beragama di kota Medan, kebijakan pemerintah kota Medan terhadap konflik sosial yang bernuansa agama, dan hambatan dan tantangan pemerintah kota Medan dalam memelihara kerukunan umat beragama. Bab V adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
A. Sejarah Singkat Kota Medan Usaha menyusun sejarah kota Medan hanya bisa dilengkapi dengan cara mempertimbangkan pula sumber-sumber setempat yakni, berupa keterangan yang diberikan oleh orang tua dan tokoh masyarakatnya. Hal ini dapat diperoleh melalui serangkaian wawancara di berbagai tempat terutama di Hamparan Perak, Sunggal, Percut dan Kampung Baru, selain yang didapat di Deli, Langkat dan Serdang.10 Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu)
10
Timbul, Sejarah Kota Medan (Medan: Yayasan Pembina Jiwa Pancasila Sumatera Utara, 1980), h. 29. 13
membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.11 Sekitar tahun 1612 setelah dua dasawarsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Kesultanan Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara. Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal bergelar "Sri Indra Baiduzzaman Surbakti". Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan masa penjajahan Belanda di Kota Medan. Untuk menguasai Sumatera,
11
Belanda
juga
menyerang
Aceh,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Medan, 31 Oktober 2012.
14
Minangkabau
dan Sisingamangaraja XII di daerah Tapanuli. Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung,Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan". Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur. Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang 15
zaman Belanda disebut gemeentebestuur oleh Jepang dirobah menjadi Medan Sico (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung. Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Kemudian, Pada tahun 1998, dari 1 hingga 12 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan "Reformasi" ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.
16
Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun. Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai. B. Kondisi Geografis Kota Medan yaitu daerah tingkat II berstatus kotamadya, ibukota propinsi Sumatera Utara. Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265, 10 Km2) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Medan merupakan kota ke 3 terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Medan merupakan kota dengan tingkat perekonomian termaju di Pulau Sumatera. Posisi kota Medan sangat strategis, karena selain berada di jalur pelayaran dan perdagangan internasional yang cukup padat, kota ini juga bertetangga dekat dengan tiga negara terkemuka di Asia Tenggara (Malaysia, Singapura dan Thailand). Posisi geografis yang strategis tersebut membuat kota Medan menjadi pintu gerbang utama bagi jalur internasional di bagian Barat Indonesia.12 Secara geografis kota Medan terletak pada 30 30’ – 30 43’ Lintang Utara dan 980 35’ – 98 0 44’ Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut, dengan perbatasan wilayah sebagai berikut : 12
Maratua dan Arifinsyah, Peta Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Utara (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 7-8. 17
Sebelah Utara
: Selat Malaka
Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Barat
: Kabupaten Deli Serdang
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas administrasi kota Medan melalui beberapa kali perkembangan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis, dan sosial ekonomis.13 Untuk lebih jelasnya nama-nama kecamatan tersebut dan luas daerahnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. TABEL 2.1 LUAS WILAYAH KOTA MEDAN MENURUT KECAMATAN No
Kecamatan
Luas Area (Km2)
Persentase (%)
1
Medan Tuntungan
20,68
7,80
2
Medan Johor
12,81
4,83
3
Medan Amplas
14,58
5,50
4
Medan Denai
11,19
4,22
5
Medan Area
9,05
3,41
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan, 31 Oktober 212. 18
6
Medan Kota
7,99
3,01
7
Medan Maimun
5,27
1,99
8
Medan Polonia
5,52
2,08
9
Medan Baru
5,84
2,20
10
Medan Selayang
9,01
3,40
11
Medan Sunggal
2,98
1,13
12
Medan Helvetia
15,44
5,83
13
Medan Petisah
13,16
4,97
14
Medan Barat
6,82
2,57
15
Medan Timur
5,33
2,01
16
Medan Perjuangan
7,76
2,93
17
Medan Tembung
4,09
1,54
18
Medan Deli
20,84
7,86
19
Medan Labuhan
36,67
13,83
20
Medan Marelan
23,82
8,99
21
Medan Belawan
26,25
9,90
Jumlah/total
265,10
100,00
Sumber data : Skripsi Khaulid (mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama IAIN SU tahun 2009 yang diambil dari Pemerintahan Kota Medan
19
Kabag Tata
Disamping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat kota Medan saat ini. Sekarang ini, Medan adalah sebuah kota dengan ciri khas melambangkan kemajuan pesat yang dialami oleh kawasan perkebunan. Sebuah istana barok bergaya Batavia-Moresko, tempat tinggal resmi Sultan, berdampingan dengan gubuk-gubuk orang Kalinga. Toko-toko Tionghoa bertampak depan seperti rumah berhala Yunani dan pemiliknya pasti berpendapat bahwa arsitektur ini sesuai untuk menjual makanan kalengan, obat-obatan, baju dalam dan pemutar piringan hitam yang tersimpan ditokonya. Toko-toko ini bertetangga dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa, kantor dan bank, tempat sepanjang hari bergemerincing mata uang perak yang tak terhitung jumlahnya di tangan kasir-kasir yang berkulit kuning.14 C. Kondisi Demografis Penduduk kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk kota Medan bersifat terbuka. Fikarwin Zuska menyebutkan bahwa relasi antar suku, klen dan agama di Medan terbangun secara baik atas alasan penghormatan pada kelompok, populasi yang berimbang, kelompok mayoritas Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera yang tidak agresif, dan faktor Melayu dan Islam. Argumentasi yang dibangun oleh Zuska dilandaskan pada sentimen atau loyalitas kesukuan, termasuk di dalamnya agama, daerah asal, dan bahasa yang tidak cukup kuat dijadikan alat oleh orang-orang untuk menggerakkan individu-individu untuk menyerang secara fisik individu-individu lain dari etnis yang berbeda. Kesetiaan yang besar pada kelompok primordial, dan rasa hormat yang kuat pada kelompok primordial, menjadi penyebab orang-orang di Sumatera Utara tidak mau membawa-bawa atau dibawa-bawa kelompok etniknya 14
Daniel Perret, Kolonisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur (Jakarta: KPG, 2010), h. 281. 20
untuk dibenturkan atau berbenturan dengan kelompok etnik yang lain. Mereka menyadari setiap benturan hasilnya hanya rugi: “kalah jadi abu, menang menjadi arang”. Komposisi penduduk berdasarkan kelompok etnik yang jumlahnya relatif berimbang (kecuali kelompok etnis Jawa) diantara kelompok-kelompok yang sangat beragam, itu membuat para pihak berpikir lebih panjang dan akhirnya bersikap seperti cerita kanak-kanak: sama-sama takut.15 Zulkifli Lubis Menyebutkan bahwa kota Medan sebagai kota plural mampu menjadi kota yang harmonis karena dua hal. Pertama adalah karena ketiadaan budaya dominan, dan kedua karena struktur sosial ekonomi warga yang tidak terlalu senjang.16 Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Dari Data Base Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan tahun 2010, penduduk Kota Medan adalah 2.783.688 jiwa yang terdapat di 21 kecamatan. Untuk
15
The Interseksi Foundation, Kota-Kota di Sumatera: Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi (Jakarta: Hivos, 2012), h. 137-138. 16 Ibid. 21
lebih jelasnya jumlah penduduk dalam setiap kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut ini. TABEL 2.2 PENDUDUK KOTA MEDAN MENURUT KECAMATAN DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2010 Laki-Laki No
Perempuan
Jumlah
Kecamatan >= 17 Thn
< 17 Th
Jlh
>=17
< 17 Thn
Jlh
01
MEDAN KOTA
52.410
12.541
64.951
52.543
11.628
64.171
129.122
02
MEDAN SUNGGAL
59.040
17.914
76.954
57.927
16.334
74.261
151.215
03
MEDAN HELVETIA
68.218
21.516
89.734
68.871
20.064
88.935
178.669
04
MEDAN DENAI
80.996
24.537
105.533
76.655
22.558
99.213
204.746
05
MEDAN BARAT
42.373
12.560
54.933
43.124
11.931
55.055
109.988
06
MEDAN DELI
66.358
25.480
91.838
63.960
23.164
87.124
178.962
07
MEDAN TUNTUNGAN
36.870
10.888
47.758
37.377
10.172
47.549
95.307
08
MEDAN BELAWAN
45.973
18.097
64.070
43.262
17.088
60.350
124.420
09
MEDAN AMPLAS
59.579
19.257
78.836
59.024
17.725
76.749
155.585
10
MEDAN AREA
59.676
16.480
76.156
58.903
15.056
73.959
150.115
11
MEDAN JOHOR
57.599
19.707
77.306
57.559
18.178
75.737
153.043
12
MEDAN MARELAN
49.446
19.407
68.853
47.532
17.794
65.326
134.179
13
MEDAN LABUHAN
48.158
18.544
66.702
47.274
17.372
64.646
131.348
14
MEDAN TEMBUNG
72.516
21.018
93.534
71.309
19.752
91.061
184.595
15
MEDAN MAIMUN
27.103
7.827
34.930
27.247
7.290
34.537
69.467
16
MEDAN POLONIA
26.398
8.304
34.702
26.156
7.755
33.911
68.613
17
MEDAN BARU
24.557
5.700
30.257
25.087
5.409
30.496
60.753
18
MEDAN PERJUANGAN
57.382
16.290
73.672
58.053
14.873
72.926
146.598
22
19
MEDAN PETISAH
37.134
10.177
47.311
38.958
9.445
48.403
95.714
20
MEDAN TIMUR
54.730
17.348
72.078
55.723
16.173
71.896
143.974
21
MEDAN SELAYANG
45.309
14.142
59.451
44.819
13.005
57.824
117.275
1.071.825
337.734
1.409.559
1.061.363
312.766
1.374.129
2.783.688
JUMLAH
Sumber : Data Base Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan 2010
Itulah gambaran tentang keadaan penduduk kota Medan dari segi jumlah penduduknya, berdasarkan jumlah penduduknya di tiap kecamatan dan jenis kelamin. D. Agama Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan suatu substansi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Karena agama merupakan petunjuk hidup di dunia guna mencapai kebahagiaan di akhirat. Posisi agama yang demikian penting karena agama merupakan fitrah yang di dalamnya terdapat tata pergaulan hidup, baik secara vertikal maupun horizontal, termasuk unsur keimanan dan kepercayaan. Ada tiga pendapat yang dapat dijumpai dalam hal mengartikan kata agama secara harfiah. Pertama mengartiakan tidak kacau, kedua, tidak pergi (maksudnya diwarisi turun temurun) dan ketiga jalan bepergian (maksudnya jalan hidup). Terlepas dari pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya memang memandang agama itu sebagai jalan yang dipegang dan diwarisi turun temurun oleh masyarakat manusia agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.17 Keberadaan agama sangat berpengaruh pada keadaan dan kehidupan masyarakat. Setiap individu yang menginginkan sebuah kehidupan yang lebih baik, tenang dan damai akan memilih agama sebagai pedoman dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Sehingga orang yang memeluk sebuah agama akan timbul sikap 17
Rohadi Abdul Patah, Sosiologi Agama (Jakarta: Kencana Mas, 2004), h. 10-11. 23
berhati-hati terhadap perbuatan yang dilarang agama dan terus berusaha agar dapat menjalani hidup dengan baik dan bermanfaat. Pada dasarnya setiap manusia memiliki keyakinan/agama yang dianut dan diyakininya, karena agama membawa nuansa damai dalam setiap hati yang memeluknya. Agama merupakan wisata hati bagi para penganutnya. Dengan agamalah manusia dapat sadar akan eksistensi dirinya sendiri sehingga dengan beragama kehidupan akan semakin terarah. Agama merupakan hak asasi setiap individu untuk memeluknya, artinya tidak ada paksaan dalam menganut sebuah agama. Begitu juga penduduk di kota Medan yang mempunyai keheterogenan pemeluk agama. Untuk lebih jelasnya tentang keadaan penduduk menurut agamanya dapat dilihat pada tabel berikut ini : TABEL 2.3 PENDUDUK KOTA MEDAN MENURUT KECAMATAN DAN AGAMA TAHUN 2010
A.Kep ercay aan
JUMLAH
Hindu
Budha
Kong hucu
2.624
133
26.671
3
43
129.122
26.095
3.769
1.795
14.430
0
2
151.215
116.967
50.994
5.943
476
4.288
0
1
178.669
MEDAN DENAI
142.795
49.857
4.653
88
7.155
69
129
204.746
MEDAN BARAT
66.372
16.355
1.984
923
24.350
3
1
109.988
NO.
KECAMATAN
Islam
Kristen
1
MEDAN KOTA
62.170
37.478
2
MEDAN SUNGGAL
105.124
3
MEDAN HELVETIA
4 5
Katholik
24
6
MEDAN DELI
144.506
22.252
1.319
270
10.609
3
3
178.962
7
MEDAN TUNTUNGAN
39.216
47.608
8.071
156
256
0
0
95.307
8
MEDAN BELAWAN
94.875
24.299
1.236
59
3.945
0
6
124.420
9
MEDAN AMPLAS
112.795
38.705
3.041
37
957
0
50
155.585
10
MEDAN AREA
105.982
8.434
1.234
46
34.391
19
9
150.115
11
MEDAN JOHOR
105.224
28.443
5.404
563
13.403
6
0
153.043
12
MEDAN MARELAN
120.509
6.888
607
188
5.977
8
2
134.179
13
MEDAN LABUHAN
93.576
27.795
2.197
24
7.750
0
6
131.348
14
MEDAN TEMBUNG
133.675
30.345
3.610
84
16.860
20
1
184.595
15
MEDAN MAIMUN
48.809
5.326
1.291
786
13.255
0
0
69.467
16
MEDAN POLONIA
44.805
10.720
1.734
2.305
9.049
0
0
68.613
17
MEDAN BARU
28.184
24.378
3.347
1.400
3.441
0
3
60.753
18
MEDAN PERJUANGAN
90.526
37.248
2.660
499
15.663
2
0
146.598
19
MEDAN PETISAH
44.337
25.675
2.669
2.048
20.972
0
13
95.714
20
MEDAN TIMUR
92.284
22.066
2.418
658
26.536
7
5
143.974
21
MEDAN SELAYANG
70.466
37.401
6.860
1.218
1.322
1
7
117.275
1.863.197
578.36 2
66.671
13.756
261.280
141
281
2.783.68 8
JUMLAH
Sumber : Data Base Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan Tahun 2010
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa penduduk kota Medan adalah mayoritas umat Islam dengan jumlah 1.863.197. Kemudian penganut Kristen Protestan berjumlah 578.362, Kristen Katolik berjumlah 66.671, Hindu dengan jumlah 13.756, Budha dengan jumlah 261.280 dan Konghucu berjumlah 141 serta aliran kepercayaan berjumlah 281. 25
E. Budaya Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada seperti budaya Melayu, Batak, Jawa, Minang dan sebagainya, juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai-nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan. Sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di kota Medan.18 Untuk lebih jelasnya jumlah perbandingan etnis di kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
18
Khaulid, “Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Membina Kerukunan Di Kota Medan”,(Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara, 2009), h. 49. 26
TABEL 2.4 PERSENTASE PERBANDINGAN ETNIS DI KOTA MEDAN PADA TAHUN 2000 Etnis
Tahun 2000
Jawa
33,03%
Batak
20,93%
Tionghoa
10,65%
Mandailing
9,36%
Minangkabau 8,6% Melayu
6,59%
Karo
4,10%
Aceh
2,78%
Sunda
------
Lain-lain
3,95%
Sumber : (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan) tahun 2012 Dari data tersebut, suku Jawa merupakan mayoritas dibandingkan dengan etnis lain. Penulis melihat disamping kerukunan yang tercipta di kota Medan adalah karena berimbangnya jumlah tiap etnis, kemungkinan juga sangat dipengaruhi oleh ciri khas etnis jawa yang lebih mengutamakan kelembutan dan kesopanan daripada kekerasan. Adanya pluralitas ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh
27
karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis. Dari data penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa budaya masyarakat Batak/Mandailing yaitu Dalihan Natolu secara harfiah “tiga tungku” yaitu sistem bangunan kekerabatan sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru. Di Mandailing dikenal dengan mora, kahanggi, dan anak boru. Sangat mempengaruhi kerukunan yang ada di wilayah kota Medan. F. Pendidikan Pendidikan merupakan suatu hal yang amat penting dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat ke arah yang lebih baik dengan kata lain masyarakat rukun, damai, harmonis dapat diwujudkan jika pendidikan dapat terpenuhi. Jadi maju mundurnya suatu masyarakat dapat diukur dari seberapa tinggi tingkat pendidikan masyarakatnya. Oleh sebab itu, fungsi pendidikan adalah sangat mutlak diperlukan dalam rangka pembinaan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Sebenarnya arti penting pendidikan bagi masyarakat adalah agar mereka mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang teruji dan terlatih, sehingga nantinya diharapkan mereka dapat berperan dalam pembangunan daerah dan bangsanya. Akan tetapi betapapun pentingnya arti pendidikan bagi masyarakat, sampai saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum bias mengenyam urgennya pendidikan yang dilatarbelakangi oleh berbagai sebab.
28
Hal tersebut merupakan kenyataan yang masih banyak kita jumpai di masyarakat. Jika dilihat tidak sedikit anak-anak yang putus sekolah pada tingkat SD, SMP, SMA, dan hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi. Latar belakang dari permasalahan masyarakat di atas tidak terlepas dari permasalahan ekonomi dan tingkat kemauan masyarakat untuk mengenyam pendidikan.
29
BAB III KAJIAN TEORITIS
A. Kerukunan Umat Beragama Agama merupakan suatu komponen kehidupan yang sangat penting bagi manusia yang membedakannya dengan hewan. Manusia diberi akal oleh Tuhan sehingga mereka bisa memikirkan siapa pencipta alam ini. Fakta-fakta kehidupan beragama tampak di Indonesia. Berdasarkan penelitian historis-kultural, bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersifat religious, bangsa yang agamais. Hal ini terbukti bahwa kehidupan bangsa kita tidak dapat dilepaskan dari kehadiran dan perkembangan agama-agama besar dunia : Hindu, Budha, Islam, Kristen, (Katolik, Protestan). Karena itu pertumbuhan kebudayaan Indonesia amat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai dan normanorma agama. Agama dan kehidupan keagamaan benar-benar menjiwai dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.19 Dengan fakta seperti ini maka bangsa Indonesia perlu hidup rukun karena setiap agama mengajarkan untuk hidup rukun. Kerukunan antar umat beragama dalam Islam dapat diistilahkan sebagai “tasamuh” atau toleransi, yang mengarah pada kerukunan sosial kemasyarakatan. Namun dalam pelaksanaan perihal aqidah dan ibadah, toleransi ini tidak dibenarkan, seperti masalah penunaian shalat, puasa, atau haji, tidaklah ada toleransi dan harus tetap bersumber pada aturan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
19
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta: Depag RI, 1979), h. 9. 30
Rukun berasal dari kata bahasa Arab “ruknun” yang berarti asas-asas atau dasar. Rukun dalam pengertian adjektiva memiliki makna baik atau damai. Kerukunan antar umat beragama berarti hidup dalam suasana damai, tidak saling berselisih paham meski terdapat perbedaan agama. Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, alam dan manusia. 20 Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain. Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
“(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama 20
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 378. 31
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.21 Dari ayat di atas sudah jelaslah bahwa perdamaian itu sangatlah penting bagi kehidupan kita ini. Tanpa adanya perdamaian itu maka kehidupan manusia ini akan kacau Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan umat beragama mencakup 3 kerukunan, yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.22 Istilah “Kerukunan Umat Beragama” secara formal digunakan pertama kali ketika penyelenggaraan Musyawarah Antar Umat Beragama oleh pemerintah pada tanggal 30 Nopember 1967 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta.23 Diselenggarakannya Musyawarah Antar Umat Beragama, karena saat itu bangsa kita mengalami ketegangan hubungan antar berbagai penganut agama di beberapa daerah, yang jika tidak segera diatasi akan membahayakan persatuan bangsa Indonesia. Musyawarah tersebut merupakan pertemuan awal antara pemimpin/pemuka berbagai agama di Indonesia dalam rangka membahas masalah masalah mendasar dalam hubungan antarumat beragama di Indonesia. Meskipun banyak pihak menilai pertemuan pertama tersebut berlanjut berbagai jenis pertemuan dan kegiatan antar
21
Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 338. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kompilasi Kebijakan Peraturan PerundangUndangan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Depag RI, cet. 12, 2009), h. 6. 23 Puslitbang Kehidupan Beragama, Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 16. 22
32
agama, (umumnya diprakarsai oleh pemerintah), antara lain berupa dialog, musyawarah, konsultasi, kunjungan kerja pimpinan majelis-majelis agama secara bersama-sama ke daerah, seminar cendekiawan antar berbagai agama dan sebagainya. Berikut ini merupakan landasan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai dasar sikap kerukunan antar umat beragama:24 1. Landasan Idiil Sila pertama dalam Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2. Landasan Konstitusional - UUD 1945, pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. - UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. 3. Landasan Strategis Ketetapan MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, disebutkan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral, dan etika bagi pembangunan nasional, yang
24
(http://www.scribd.com/doc/53398966/kerukunan-umat-beragama, 31 Oktober 2012)
33
tercermin dalam suasana kehidupan harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila. 4. Landasan Operasional - UU No. 1/PNPS/1965 mengenai larangan dan pencegahan penghinaan agama - Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No. 01/Ber/Mdn/1969 mengenai pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan dalam pengembangan ibadah pemeluk agama. - SK Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI No. 01/1979 mengenai tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia. - Surat edaran Menteri Agama RI No. MA/432/1981 terkait perhelatan peringatan hari besar keagamaan. Landasan-landasan hukum di atas menjadi tolak ukur penerapan kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara seharihari. Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 juga menyinggung tentang pensyiaran agama sebagai rule of game atau aturan main bagi pelaksanaan dakwah dan pengembangan tiap-tiap agama, demi terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama. Kerukunan umat beragama sangat kita perlukan, agar kita semua bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai,
34
sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu, agenda-agenda kemanusiaan
yang
seharusnya dilakukan dengan
kerjasama
antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan sebaik-baiknya. Agenda-agenda tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan; 1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama 2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu 3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan 4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah. B. Konflik Umat Beragama Dalam percakapan dan pemahaman sehari-hari, konflik dan kekerasan dipandang sebagai dua hal yang identik. Padahal, konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sementara kekerasan adalah segala sesuatu yang meliputi tindakan, perkataan, sikap berbagai sturuktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara
35
fisik, mental, sosial lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.25 Pertentangan atau konflik sosial jika ditinjau secara psikologis dapat dikatakan sebagai refleksi dari kondisi psikis manusia dalam kerangka interaksi sosialnya. Sturuktur energi psikis manusia yang terdiri dari ide, ego dan super ego merupakan proses dinamika individu. Dalam proses tersebut sering terjadi pertentangan antara kebutuhan dan keinginan ego dengan norma-norma yang dipegang oleh super ego. Ego sebagai lembaga yang bekerja untuk mencapai tujuan berada pada garis persimpangan antara keinginan untuk secepatnya tercapai dengan kekuatan super ego yang selalu mempertimbangkan norma dan nilai dalam usaha mencapai tujuan ego.26 Ada beberapa teori mengenai berbagai penyebab konflik yaitu sebagai berikut:27 1. Teori hubungan masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus menerus, terjadi ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah untuk meningkatkan komunikasi dan saling mengerti antara kelompokkelompok yang mengalami konflik, dan mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang niscaya ada di dalam masyarakat. 2. Teori negosiasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras, adanya perbedaan tentang sesuatu hal oleh pihak25
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 108. 26 Darmansyah, (et.al.), Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei) (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 232. 27 Puslitbang Kehidupan Beragama, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2005), h. 65-66. 36
pihak yang mengalami konflik dengan memisahkan perasaan pribadi dan berbagai masalah atau isu, bagaimana memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka dari suatu posisi tertentu yang sudah ada, sekaligus
tetap
melancarkan proses pencapaian
kesepakatan
yang
menguntungkan kedua pihak atau semua pihak. 3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam diri manusia disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia secara fisik, mental dan sosial, yang tidak terpenuhi atau dihalangi keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah untuk membantu pihak-pihak yang mengalami konflik dalam mengidentifikasikan dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak tercapai dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Hal itu dilakukan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. 4. Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu dan mengakibatkan penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai melalui teori ini adalah dengan melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihakpihak yang mengalami konflik agar mereka dapat mengidentifikasikan ancamanancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
37
5. Teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah untuk menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain dan meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. 6. Teori transformasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dalam sikap pengertian jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik, mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan. Pada setiap konflik, secara umum dapat dibedakan dalam :28 a. Konflik data disebabkan antara lain : kekurangan informasi, kesalahan informasi, perbedaan pandangan terhadap data mana yang relevan, perbedaan interpretasi data, perbedaan terhadap prosedur. b. Konflik relasi disebabkan oleh : emosi yang kuat, salah persepsi, miskin komunikasi, salah komunikasi, mengulang prilaku negatif.
28
Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 29. 38
c. Konflik nilai disebabkan oleh : perbedaan kriteria untuk mengevaluasi gagasan atau perilaku orang lain, nilai baru untuk mencapai tujuan yang dikemukakan terlalu eksklusif, gaya hidup yang berbeda, perbedaan politik, ideologi, agama. d. Konflik kepentingan disebabkan oleh isi, prosedur, dan kepentingan psikologis. Dalam sejarah bangsa kita, kemajemukan telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya, berbagai suku, agama, adat istiadat dan budaya dapat hidup berdampingan dan memiliki ruang negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, keragaman yang terajut indah itu bisa terkoyak dan tercabik-cabik oleh sikap eksklusif yang tumbuh dari akar primodialisme sempit kesukuan, agama dan golongan. Peristiwa konflik atau kerusuhan terjadi di beberapa daerah, baik dalam eskalasi kecil maupun besar dengan membawa korban harta, manusia, bangunan perkantoran maupun perdagangan dan lainnya sehingga menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan kita. Salah satu persoalan utama yang mengganjal upaya membangun keharmonisan hubungan antar umat beragama adalah ketidaksediaan kita untuk mengakui bahwa potensi konflik itu hadir dan tertanam kuat dalam masyarakat, bahwa terdapat serangkaian kondisi yang menyuburkan potensi tersebut, dan ketidaksediaan kita meniadakan kondisi-kondisi tersebut sesuatu yang memang mungkin sekali memaksa kita mengorbankan sebagian kebanggaan, Kenyamanan dan kepercayaan yang telah kita yakini selama bertahun-tahun.29 Walaupun tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, konflik dan penguasaan terhadap mereka yang berbeda secara paksa, namun kita juga tidak bisa menutup mata melihat kenyataan bahwa agama sering “dikesankan” dengan wajah
29
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 133. 39
kekerasan. Keterlibatan agama sebagai pemicu terjadinya konflik tentu saja menimbulkan tanda tanya besar. Sebab diturunkannya agama ke muka bumi justru membawa pesan ketuhanan dan kemanusiaan yang sama, meskipun jenis agamanya berbeda. Salah satu pesan yang ditekankan oleh semua agama adalah pentingnya penciptaan perdamaian berdasarkan prinsip persamaan dan kesatuan manusia.30 Pesan ini tampaknya belum menjadi rujukan kolektif semua pemeluk agama, karena kompleksitas persoalan teologis, historis, dan sosiologis yang melekat pada pemeluk setiap agama. Jika kita ingin berbicara masalah konflik agama, sebenarnya kita harus mengetahui juga terlebih dahulu mengenai dua macam wacana mengenai agama. Menurut yang satu, agama-agama merupakan berkat bagi masyarakat. Betapa tidak, agama diasosiasikan dengan gambaran orang yang berbudi luhur, lapang hatinya, baik hati, jujur, adil, tidak picik, tidak sempit, tidak dendam, yang menguasai emosi, yang membalas yang buruk dengan yang baik, berbalas kasih, berdamai. Dalam wacana satunya, agama dihubungkan dengan kepicikan, kebencian, pertikaian, perbuatan keji, pembunuhan, hura-hara, perusakan, kerusuhan, terorisme.31 Konflik agama atau konflik sosial atas dasar agama banyak terjadi pada zaman dahulu, tegasnya pada zaman pra-modern. Konflik agama berskala terbesar dan berlangsung paling lama (lebih seabad) adalah perang Salib atau “the crusade”. Tetapi itu tidak berarti bahwa dalam konflik-konflik itu tidak terdapat unsur-unsur perebutan kekuasaan atau sumber-sumber daya yang bersifat sekuler. Sebaliknya pada zaman modern, konflik-konflik sosial atau komunal yang terjadi tidak disebut sebagai konflik agama dengan alasan konflik itu tidak dilakukan atas dasar perbedaan agama. Tetapi itu tidak berarti bahwa unsur-unsur agama tidak dilibatkan dalam konflik-konflik tersebut.32 30
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 19. 31 Franz Magnis Suseno, Mencari Makna Kebangsaan (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 158. 32 Puslitbang Kehidupan Beragama, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Depag RI, 2003), h. 11. 40
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturanbenturan atau konflik di antara mereka. Konflik antar umat beragama yang terjadi di tanah air semakin memprihatinkan. Bahkan dengan adanya konflik-konflik baru akan bisa merambah ke daerah lain kalau masyarakat mudah menerima isu dan terprovokasi. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Di dalam konflik antaragama itu sendiri muncul tindakan yang justru bertentangan dengan ajaran agama, dikarenakan emosi yang tidak dapat terkendali sehingga dengan mudahnya mereka bertindak anarki di luar ajaran agama. Jika dikaitkan antara ajaran agama dan tingkah laku umat yang membakar tempat ibadah dan membunuh sesama umat sungguh sangat kontroversial. Padahal semua agama mengajarkan betapa pentingnya kerukunan dan kedamaian. Kalau pun terjadi konflik antar umat beragama, maka bukanlah ajaran agamanya yang salah namun umat itu sendirilah yang sempit dalam memahami ajaran agama. Dalam konflik agama, pelaksanaan konflik bisa sangat destruktif dan tidak mengenal belas kasihan, karena pelakunya merasa melakukan hal itu bukan untuk kepentingan diri mereka sendiri, melainkan untuk sesuatu tujuan abstrak yang dipandang lebih tinggi dan mulia. Simbol-simbol keagamaan dapat dipakai untuk membenarkan kesemua elemen konflik tersebut secara bertahap atau bersama-sama. Simbol-simbol keagamaan dapat dipakai untuk menjadi dasar atau pembenar, pada saat konteks pendukung terbentuk seperti dalam penyusunan pola pemukiman, atau pada tataran akar konflik ketika penderitaan sosial itu kebetulan mengenai komunitas agama tertentu, atau pada tataran pembentukan sumbu konflik, atau pada tataran pemicu konflik itu sendiri
41
ketika misalnya kebetulan melibatkan sarana keagamaan, tokoh agama, atau sekedar melibatkan dua pemeluk agama yang berbeda, atau pada kesemua tataran tersebut.33 Munculnya konflik antar umat beragama dapat disebabkan berbagai aspek, seperti adanya kecurigaan antar pemeluk agama yang satu terhadap pemeluk agama yang lain. Selain itu ada juga permainan politik kotor yang ingin mengadu domba umat beragama untuk kepentingan politik tertentu. Kecurigaan antara pemeluk agama yang sudah terpendam lama begitu mudah dimanfaatkan oleh politikus yang tidak bermoral untuk membuat konflik berkepanjangan. Rakyat yang awam pada permainan politik akhirnya hanya menanggung korban, baik harta maupun jiwa. Selain itu konflik antar umat beragama dapat disebabkan oleh faktor ketidakadilan. Di antaranya dalam hal kesenjangan ekonomi antar penganut agama. Hal itu juga tampak dalam perlakuan politik berdasarkan agama yang dianut, terutama di masa rezim Orde Baru, di mana demi memperoleh dukungan politik, rezim itu memberikan posisi-posisi strategis kepada elite-elite dari agama tertentu. Perlakuan kurang adil itu bisa memancing kecemburuan dari satu kelompok terhadap kelompok lain. C. Kebijakan Pemerintah terhadap Kerukunan Umat Beragama Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai
33
Ibid., h. 7. 42
tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan (business policy) itu bertingkat-tingkat dan tersusun secara vertikal, struktural, mulai dari kebijakan yang bersifat umum (misalnya “codes of ethics and profession conduct, line of business), sampai pada kebijakan yang bersifat praktikal dan konkrit (misalnya “prohibition of drinking on the job”), enam tingkat berturutturut major policies, secondary policies, functional policies, minor policies, procedures and standard operating plans, dan rules. Struktur kebijakan di sekitar publik mutatis-mutandis demikian juga, tersusun sesuai dengan hierarki kekuasaan (kompetisi) di dalam organisasi publik yang bersangkutan.34 Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan yaitu sebagai berikut :35 a. Optimisme Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa untuk memecahkan persoalan akan selalu ada. b. Keberanian Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah daripada politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.
34
Taliziduhu Ndraha, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru 2), (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) h. 491-492. 35 Wahyudi, Etika…, h. 377-379. 43
c. Keadilan yang Berwatak Kemurahan Hati Sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Seorang pembuat suatu kebijakan harus tegas mengambil suatu keputusan dimana keputusan itu merupakan awal berhasil atau tidaknya suatu program ke depan. Dalam kondisi ketidakpastian dengan banyak perubahan yang mendadak, maka aktivitas pengambilan keputusan merupakan aktifitas yang paling sulit dalam manajemen, namun juga merupakan usaha yang penting bagi pimpinan. Dalam pengambilan keputusan tercakup kemahiran menyeleksi dan menentukan keputusan yang paling tepat dari sekian banyak alternatif jawaban atau pemecahan masalah. Selanjutnya karena dibebani oleh tanggung jawab etis, maka merupakan tugas yang cukup berat untuk memastikan satu keputusan di tengah situasi yang tidak menentu, yang belum dikenal sebelumnya, atau yang sering muncul dengan mendadak.36 Pengambilan suatu keputusan secara mendadak terasa sangat sulit di tengah masyarakat pluralistis yang memiliki macam-macam ideologi, kemauan dan kepentingan sendiri-sendiri. Sebab dalam masyarakat sedemikian pasti banyak keanekaragaman, rivalitas dan konflik/pertentangan. Maka konflik dan oposisi menjadi way of life dalam masyarakat modern, dengan banyak konflik interorganisasi dan antarorganisasi, yang jelas menyulitkan pemimpin dalam mengambil keputusan yang paling benar. 36
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), h. 145. 44
Adapun tata cara pengambilan keputusan ialah sebagai berikut :37 1. Kuorum. Dalam melakukan tata cara pengambilan keputusan, pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Setiap rapat resmi dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum). 2. Keputusan berdasarkan mufakat. Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan. Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir. 3. Keputusan berdasarkan suara terbanyak. Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara rahasia apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dipandang perlu. Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi
37
Toni Andrianus (et.al.), Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi (Bandung: Nuansa, 2006), h. 153. 45
suara, atau tanda lain yang dapat menghilangkan kerahasiaan atau dapat juga dilakukan dengan cara lain tetap menjamin sifat kerahasiaan Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Kerukunan umat beragama merupakan salah satu dimensi penting yang ditekankan oleh pemerintah dalam pembangunan pada sektor keagamaan. Dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), disebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional di bidang keagamaan adalah terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama suasana saling menghormati dan semangat keberagaman. Sering ditekankan bahwa kerukunan beragama merupakan instrumen penting dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa. Agar tercipta kerukunan beragama, pemerintah melalui Departemen Agama melaksanakan berbagai program yang mencakup dialog antar agama, konferensi, dan seminar-seminar yang dihadiri oleh para pemuka agama dengan latar belakang agama yang berbeda. Selain itu, pemerintah juga melakukan survey dan penelitian mengenai hubungan antar agama di berbagai daerah di tanah air.38 Di antara program-program tersebut, dialog antar umat beragama tampak memiliki prioritas penting. Pada awalnya kegiatan ini tidak berjalan lancar, namun pada masa jabatan Menteri Agama Mukti Ali (1971-1978) dialog antar agama digalakkan. Mukti Ali menyadari pentingnya dialog antar agama dalam membangun sikap saling menghormati antar umat beragama. Mukti Ali merupakan pionir pertama dalam mengupayakan dialog-dialog antar agama di Indonesia. Dia adalah seorang pakar dalam bidang Perbandingan Agama. Selama masa jabatannya sebagai Menter Agama, Mukti Ali membangun dialogdialog keagamaan yang diikuti oleh berbagai kalangan dari agama yang berbeda. 38
Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 48-49. 46
Tujuan utama dari kebijakan pelaksanaan dialog antar agama ini, sebagaimana dikemukakannya adalah bagaimana pemerintah dapat menyelenggarakan suatu forum yang berfungsi dengan baik untuk membawa penganut agama di Indonesia untuk saling menghormati, saling memahami satu sama lain, dan membuat mereka merasa bahwa mereka hidup bersama dan berdampingan dalam satu bangsa. Di tahun pertama jabatannya, Ali mengusulkan dalam Departemen Agama satu bidang khusus yang dinamakan “Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama”, yang secara khusus dibentuk untuk menyelenggarakan dialog-dialog antar agama, seminar, penelitian, survey dan penerbitan-penerbitan dalam rangka membangun kerukunan hidup beragama di tanah air. Pada masa jabatan Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983), dialog-dialog antar agama masih terus berlanjut namun tidak lagi dianggap sebagai satu hal yang sangat penting. Masalah krusial dan kontroversi yang timbul pada masa jabatannya adalah mengenai kebijakan hukum yang dikeluarkannya untuk mengontrol dan mengatur agama serta kegiatan keagamaan. Kebijakan Alamsyah yang paling penting adalah diterbitkannya keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77, pada tahun 1978. Keputusan pertama mengatur bahwa penyebaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang yang sudah memeluk agama dan tidak boleh dilakukan melalui cara-cara memberikan hadiah-hadiah, makanan dan minuman, dan juga pengobatan, juga tidak boleh dilakukan dengan spandukspanduk, bulletin, buku dan sebagainya. Keputusan lainnya berisi hal-hal pokok dan tegas mengenai bantuan luar negeri baik bantuan finansial maupun bantuan personal yang ditujukan bagi lembaga keagamaan di Indonesia.39 39
Ibid., h. 51. 47
Pada tanggal 30 juni 1980, Alamsyah mendirikan Wadah Musyawarah antar umat beragama. Wadah ini terdiri dari lima lembaga yang mewakili komunitas mereka masing-masing yaitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi umat Islam, Persatuan Gereja Indonesia (PGI) bagi umat Protestan, Konferensi Pendeta Indonesia (KPI) bagi umat Katolik, Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), dan Persatuan Hindu-Darma Indonesia. Wadah ini merupakan forum dialog antar agama. Namun dialog ini tidak mendiskusikan tentang hal-hal teologis dan doktrin agama, namun lebih kepada hal-hal yang bersifat sosial dan pembangunan. Masalah-masalah teologis dan doktrin tidak terlalu diperhatikan. Dalam periode 1983-1988 dan 1988-1993Munawir Sjadzali berhasil menduduki posisi Menteri Agama. Di bawah kepemimpinannya sebagai menteri, program dialog antar agama kembali berlanjut, namun bukan prioritas utama. Dalam programnya, Sjadzali lebih memberi penekanan pada modernisasi Islam di Indonesia melalui peningkatan Peradilan Agama dan Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam. Untuk meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi Agama Islam, dia mengirim banyak dosen-dosen muda untuk mempelajari studi Islam di negara-negara Barat dan mempererat hubungan kerjasama dengan beberapa universitas di Barat.40 Pada tahun 1993, jurusan Perbandingan Agama di IAIN Yogyakarta menyelenggarakan kongres nasional pertama mengenai agama-agama di Indonesia bertepatan dengan peringatan 100 tahun dewan agama sedunia. Disponsori oleh Departemen Agama seminar ini berujung pada pelantikan Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB) yang berpusat di Yogyakarta. Sebagai lembaga baru yang didirikan dalam periode kementerian Tarmizi Taher, LPKUB lebih fokus kepada pengkajian dari pada forum dialog. 40
Ibid., h. 53. 48
Antara tahun 1995 dan 1997, Menteri Agama Tarmizi Taher mengunjungi beberapa negara untuk menyampaikan pidato mengenai hubungan antar agama di Indonesia. Hal ini dilakukan secara sebagian untuk menghindari image negatif bangsa Indonesia di mata masyarakat Barat dikarenakan banyaknya konflik yang terjadi pada saat itu. Sebagai upaya mengurangi konflik, Taher juga merasa perlu menggalakkan penerbitan karya-karya mengenai kerukunan beragama. salah satu publikasi tersebut berjudul “Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia”, yang disusun atas kerjasama seluruh dewan keagamaan di Indonesia. Buku tersebut berisi tuntunan kerukunan hidup beragama dari perspektif teologis berbagai agama di Indonesia. Istilah “Kerangka Teologis” dalam buku ini bukan merupakan suatu teologi atau ajaran agama baru yang ditawarkan pemerintah dan bukan pula untuk menciptakan batasan bagi teologi dan ajaran agama di Indonesia. Penggunaan istilah ini lebih menekankan pada pengertian kesatuan teologi dari masing-masing agama yang dimaksudkan sebagai tuntunan untuk menciptakan kerukunan antara pemeluk agama. Namun, kebanyakan penjelasannya masih membahas seputar konsep “Tiga Kerukunan” sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Agama, Alamsyah pada tahun 1980.41
41
Ibid., h. 58. 49
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
A. Bentuk-Bentuk Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Kerukunan Umat Beragama Sebagai kota yang plural dan menghargai satu sama lain, kota Medan begitu mendapat dukungan yang penuh dari pemerintahnya sendiri terhadap kerukunan sehingga konflik umat beragama masih bisa diminimalisir. Adapun kebijakan ataupun dukungan dari pemerintah kota Medan ialah sebagai berikut:42 1. Pidato, Kunjungan Seremonial Keagamaan dan Program Kerja Pidato merupakan jenis komunikasi lisan yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan berpidato yang menarik dan meninggalkan kesan, pendengar bisa terpukau dengan seseorang. Begitu juga halnya dengan Bapak Walikota Medan, dalam berbagai momen Walikota Medan selalu memberikan pidato ataupun himbaun terutama tentang menjamin kebebasan hidup beragama dalam kehidupan. Perlunya kerukunan selalu juga disampaikan kepada masyarakat.
42
Suaidi Lubis (Kabag Agama dan Pendidikan), wawancara di Kantor Walikota Medan, 15 Oktober 2012, pukul 10.00 Wib. 50
Selain pidato-pidato tentang kerukunan, Walikota Medan juga sering mengunjungi acara-acara seremonial keagamaan. Berikut ini daftar kunjungan keagamaan dan himbauan Walikota pada tahun 2012: TABEL 2.5 KUNJUNGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA WALIKOTA MEDAN TAHUN 2012 No
Nama Kunjungan/himbauan
Tanggal
Tempat
Menghadiri pelantikan pengurus pimpinan Aula pimpinan wilayah PNU Sumatera 1.
cabang Ikatan Pemuda Nadhatul Ulama
14 Januari Utara Jl. Sei Batang Hari, Medan
Periode 2011-2013 2.
Menutup imlek fair 2012
15 Januari
Membuka persidangan Sinode tahunan GPIB 3.
Central Business District Polonia Medan Convention Hotel Danau Toba
23 Februari 2012
International Medan
Mengajak seluruh warga untuk jadikan 4.
Masjid Al-Ikhlas jl. Umar, kelurahan 31 Maret
Medan terus aman dan kondusif
Gelugur Darat I, Medan Timur
Gelar jamuan makan malam dengan peserta 5.
Pendopo rumah dinas jalan Sudirman, 27 April
Muktamar XV IMM
Medan
Membuka rapat kerja kantor Kementerian 6.
Hotel Inna Natour Parapat Kab. 4 Mei
Agama
Simalungun
Membuka acara pelayanan kesehatan dan RSU Methodist Susanna Wesley Jl. 7.
pengobatan gratis dalam rangka perayaan
5 Mei Harmonika Padang Bulan
Hari Aldersgate 2012 GMI Wilayah I 8.
Menghadiri konser horas
16 Mei
51
Hotel Tiara Medan
Membuka Festival Budaya Melayu Agung 9.
6 Juli
Lapangan Merdeka Medan
2012 Pertemuan menjembatani perdamaian antara 10.
Ormas Pemuda Pancasila dan Ikatan Pemuda
17 Juli Ruang Rupatama Polresta Medan
Karya yang bertikai akibat kesalahpahaman Membuka acara santiaji kerukunan umat 11.
13 September
Hotel Grand Antares Medan
24 September
Garuda Plaza Hotel Medan
25 September
Aston City Hall Medan
beragama Pembukaan dialog kalangan guru-guru 12. agama kota Medan Mengukuhkan FKUB dan Dewan Penasehat 13. FKUB Kota Medan Periode 2012-2017 Audiensi Yayasan Shri Maha Wisnu dan 14.
4 Oktober
Ruang khusus walikota Medan
Koran Medan Pentahbisan lima imam/pastor Katholik Ordo 15.
Gereja Katholik Parokisantha Paulus 27 Oktober
Karmel Indonesia 16.
Pasar Merah jl. HM.Joni, Medan
Dialog kerukunan siswa SLTA lintas agama 23 Oktober
Hotel Dharma Deli Medan
angkatan II
Sumber: Bagian Protokol dan Hubungan Masyarakat Walikota Medan Selain data yang telah ditulis diatas, masih banyak lagi kegiatan dan kunjungan yang diadakan oleh Walikota untuk menginformasikan tentang kerukunan umat beragama yang tidak bisa penulis jelaskan satu per satu Lebih lanjut lagi pemerintah kota Medan sendiri mempunyai program kerja yaitu Religious Character Building. Dimana tujuan program kerja ini mewujudkan
52
kondusifitas kehidupan beragama.43 Orientasi character building merupakan program kerja yang baru saja diselenggarakan pada bulan oktober ini yang dihadiri oleh semua utusan agama di hotel Inna Dharma Deli yang tujuannya ialah menanamkan kembali karakter nilai-nilai budaya bangsa ini 2. Memberikan Bantuan yang Berupa Finansial Semua kegiatan-kegiatan yang bersifat kegamaan dibantu oleh pemerintah kota Medan secara finansial kepada semua agama melalui organisasi-organisasi keagamaan masing-masing misalnya masyarakat Islam melalui MUI, Budha Melalui Walubi, Kristen, Hindu maupun Konghuchu. Pemberian bantuan oleh pemerintah kota Medan kepada organisasi-organisasi keagamaan tentunya harus sesuai dengan program kerja organisasi-organisasi keagamaan tersebut. 3. Publikasi Tentang Kerukunan
Publikasi dapat dilakukan dengan membuat spanduk tentang kerukunan umat beragama dan ini biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Untuk menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah kota Medan selalu memberikan himbauan atau surat edaran yang berhubungan dengan keagamaan. Misalnya Walikota Medan menyampaikan surat edaran kepada pemilik atau pengusaha hiburan malam, yang berisi penutupan sementara tempat usaha hiburan umum pada hari-hari besar keagamaan. Yang tidak mengindahkan kebijakan ini akan diambil tindakan tegas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Contoh yang lain ialah pengelolaan restaurant dan rumah makan selama bulan suci Ramadhan dihimbau untuk tidak memajangkan makanan secara terbuka/menyolok 43
Rencana Program dan Kegiatan Pembangunan Kota Berdasarkan Prioritas Kota Tahun 2012, SKPD : Bagian Agama dan Pendidikan Setda Kota Medan. 53
untuk menghormati umat yang melaksanakan ibadah keagamaan. Masalah Peraturan Daerah yang berhubungan dengan keagamaan, Pemerintah Daerah tidak berwenang membuat suatu peraturan.44 Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan di atasnya, dan bahwa ada lima area yang bukan kewenangan daerah yaitu: politik luar negeri, pertahanan- keamanan, yustisi, moner dan fiskal, serta agama.45
4. Berlaku Adil terhadap Semua Agama Bapak Walikota Medan tidak pernah membeda-bedakan umat beragama, misalnya beliau membuka pasar sembako murah untuk umat islam pada bulan Ramadhan, pasar sembako murah pada hari raya Natal dan juga tahun Baru. Adapun dengan agama yang lain, dipidatokan walikota diberbagai tempat karena agama lainkan tidak dominan dan tidak mempengaruhi harga pasar. Perlu kita ketahui Walikota Medan (Rahudman Harahap) mendapat penghargaan dari luar negeri satu kali untuk kerukunan umat beragama. Menteri dalam negeri meminta supaya kota medan sebagai model kota yang rukun dan damai.
44
Ahmad Doni (Kepala Subbag Peraturan Perundang-undangan) diskusi di Kantor Walikota Medan, tanggal 01 November 2012, pukul 15.00 Wib. 45
http://www.leimena.org/id/page/v/577/lakukan-advokasi-terhadap-kebijakan-kebijakanyang-diskriminatif Tanggal 3 November 2012.
54
5. Memberdayakan FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan alat perpanjangan tangan pemerintah untuk menyatukan umat berbagai agama. Kegiatan mengenai dialog keagamaan diserahkan kepada FKUB. FKUB Memiliki peran strategis dalam memelihara kerukunan melalui penyelesaian kasus-kasus keagamaan antar umat agama. Ketua FKUB kota Medan mengatakan bahwa kota Medan adalah kota yang sangat plural baik itu dari segi agama, suku, budaya dan lainnya. FKUB kota Medan memiliki beberapa program untuk keharmonisan umat beragama. Seperti yang dituturkan oleh ketua FKUB Medan kepada penulis.46 Ketua FKUB Medan mengatakan bahwa tugas FKUB dalam mendukung kerukunan dan keharmonisan ialah sebagai berikut: a. Mengadakan dialog dengan masyarakat. Pada bulan September dan bulan Oktober 2012 FKUB kota Medan mengadakan dialog dengan 1000 Kepala Lingkungan, 150 orang guru Lintas agama, 150 orang siswa SLTA lintas agama, 200 orang tokoh-tokoh lintas agama, 150 orang tokoh-tokoh pemuda lintas agama. Adapun inti dari dialog yang disampaikan FKUB tersebut ialah bahwasanya keberagaman itu adalah fakta dan tak bisa dipungkiri dan itu takdir dari Tuhan. Lebih lanjut ketua FKUB kota Medan mengatakan bahwa 46
Palid Muda Harahap (Ketua FKUB Kota Medan), wawancara di Kantor FKUB Kota Medan, tanggal 04 Oktober 2012, pukul 10.50 Wib. 55
keragaman itu sebagai suatu kekuatan untuk membangun kebersamaan dan untuk menjalin hubungan yang baik. b. Melayani Umat Beragama Jika ada umat beragama yang ingin membangun rumah ibadah, FKUB memberikan rekomendasi asalkan harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan untuk membangun rumah ibadah. Adapun persyaratannya telah ditetapkan di dalam buku panduan pendirian rumah ibadat yang terdapat pada bab IV Pasal 14 yaitu sebagai berikut:47 1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. 2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota. d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
47
Syahrin Harahap, et. All, Buku Panduan Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, (Medan: FKUB Kota Medan, 2011), h. 31-32. 56
B. Faktor Pendukung Terciptanya Kerukunan Umat Beragama di Kota Medan Kerukunan adalah persoalan esensial proses pembangunan bangsa. Hal ini disebabkan pembangunan merupakan agenda seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Oleh karena itu, mutlak diperlukan iklim saling mempercayai antar seluruh warga. Manakala iklim ini tidak dipelihara dengan baik maka perjalanan pembangunan bangsa dengan sendirinya akan sia-sia.48 Terwujudnya kondusifitas dan kerukunan masyarakat kota merupakan salah satu persyaratan bagi percepatan pembangunan, itulah sebabnya pemerintah bersama majelis-majelis agama secara sungguh-sungguh membina dan mengembangkan kerukunan hidup umat beragama. Menyikapi masyarakat yang pluralis seperti kota Medan, dialog merupakan sangat penting dan krusial dilakukan terutama dalam membangun kerukunan umat beragama dalam system trilogi kerukunan umat beragama, dan juga dalam percepatan pembangunan kota Medan yang modern, madani, dan religious. Banyak hal menarik yang penting digarisbawahi dari sejarah interaksi sosial antar umat beragama di kota Medan. Persentuhan bermacam etnis dan agama selama puluhan tahun telah membuahkan beragam pola adaptasi, akomodasi, akulturasi, dan asimilasi. Interaksi ini menjadi semakin menarik karena etnis pendatang dengan etnis setempat memiliki dinamika tersendiri.
48
Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), h. 35. 57
1. Kesadaran Adanya Musuh Merupakan Masalah Bersama Secara teoritis adanya ancaman baik yang bersifat fisik maupun non-fisik yang datang dari luar suatu komunitas yang heterogen akan mengurangi sikap etnosentris atau etnoreligius pada masing-masing komunitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, setiap etnis akan lebih memilih bersikap akomodatif terhadap upaya koordinasi untuk menghadapi adanya musuh bersama.49 Dalam konteks kehidupan sosial di Medan, dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia, wujud dari musuh bersama tersebut antara lain dapat diidentifikasikan sebagai sekelompok orang tertentu yang dengan sengaja melakukan tindakan provokasi terhadap masyarakat dengan tujuan untuk menimbulkan sikap saling mencurigai, memancing sikap permusuhan, dan menciptakan keresehan sosial. Sebahagian masyarakat, terutama dari lapisan grassroots, mungkin bisa terpancing dengan tindakan ini, tapi tidak pada lapisan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Sebaliknya, dengan kesadaran akan adanya musuh bersama tersebut, para pemuka antaragama dan tokoh masyarakat secara lebih intens melakukan kegiatankegiatan antisipatif seperti dialog, diskusi, seminar, dan temu ramah. 2. Komposisi Latar Belakan Etnis/Agama yang Berimbang Dari segi komposisi penduduknya, ada dua karakteristik utama yang membedakan kota Medan dengan beberapa daerah yang saat ini sedang bergejolak
49
Chuzaimah Batubara, Faktor-faktor Pemicu dan Peredam Konflik Sosial di Kota Medan, dalam Jurnal Penelitian Medan Agama, (Medan, Pusat Penelitian IAIN Sumatera Utara, Edisi 4, Des. 2005), h. 91.
58
dengan kerusuhan bernuansa SARA, dan karakteristik ini sekaligus menjadi benteng tersendiri bagi komunitas Medan dari kemungkinan merebaknya kerusuhan serupa. Pertama, kelompok pendatang yang ada di kota Medan tidak berasal dari satu etnis saja dan tidak didominasi oleh etnis tertentu. Komposisi masing-masing etnis pendatang sepert Batak, Jawa, Minang secara umum berimbang dengan Melayu. Perimbangan kekuatan ini mungkin telah menyebabkan masing-masing etnis saling menjaga dan menahan diri. Kedua, pada salah satu komunitas yang tergolong mayoritas yaitu masyarakat Batak terjadi crosslink antara latar etnis dengan latar agama. Satu marga tertentu bisa terdapat dalam penganut agama yang berbeda, atau sebaliknya, kesamaan etnis dengan agama yang berbeda menyebabkan masyarakat tidak dapat dengan mudah terprovokasi dengan pancingan kerusuhan baik yang dikemas dalam faktor etnis atau agama. Ketiga, sistem kekerabatan pada etnis yang termasuk rumpun Batak, antara lain dalihan natolu (Batak Toba, Batak Angkola, Mandailing), daliken sitelu (Karo), sulang silima (Pakpak), dan tolu sahundulan lima saudoraan (Simalungun) telah mengikat komunitas etnis tersebut pada aspek sosial kemasyarakatan di kota Medan hingga melampaui perbedaan agama sebagai sistem nilai yang mungkin dapat menjadi pemicu konflik.
59
C. Faktor Pemicu Konflik Umat Beragama di Kota Medan Meskipun konflik, baik dalam bentuk laten maupun manifest seperti yang dikatakan oleh Bercovitch (1984), seolah-olah bersifat inherent dan sekaligus menjadi ciri adanya interaksi pada suatu komunitas, terutama yang heterogen, namun suatu konflik jelas tidak terjadi begitu saja. Faktor pemicu senantiasa ada dalam setiap konflik sosial dan keagamaan yang muncul. Pada dasarnya konflik umat antar umat beragama berakar dari pola pemahaman dan wawasan keagamaan yang sempit. Ketika agama difahami secara sempit dan tidak toleran terhadap agama lain berarti agama menjadi subjektif. Berkaitan dengan itu dimungkinkan akan muncul fanatisme keagamaan yang berlebihan sehingga tidak ada lagi peluang untuk toleransi dan prejudice yang menganggap agama lain rendah dan tidak pantas untuk diberikan apresiasi. Kedua hal ini juga terus dikembangkan maka disintegrasi dan konflik semakin terbuka diantara pemeluk yang berbeda. Faktor pemicu konflik di kota Medan adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman Ajaran yang Eksklusif Mungkin terkesan tidak fair menyalahkan agama sebagai pemicu konflik, karena pada dasarnya semua agama-agama besar yang ada di dunia (world religions) menawarkan konsep-konsep bernilai luhur seperti keselamatan, kedamaian dan cinta kasih. Akan tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sentiment dan simbol agama sangat kental dalam banyak kekerasan dan kerusuhan yang terjadi, seperti yang terlihat dalam kasus Ambon dan Maluku.50
50
Ibid., h. 79.
60
Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integrasi) dan bisa juga berperan sebagai faktor pemecah (disintegrasi), fenomena ini banyak dipengaruhi oleh empat hal, yaitu: a. Teologi agama dan doktrin ajarannya. b. Sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut. c. Lingkungan sosial kultural yang mengelilinginya. d. Peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam mengarahkan pengikutnya. Agama pada tataran pemahaman (interpretation dan understanding) dan praktek (living religion) dan bukan pada tataran ajaran kewahyuan (revelation) memang dapat memicu konflik yang bersifat latent maupun manifest. Komaruddin Hidayat mengemukakan tiga alasan mengapa ini bisa terjadi. Pertama, hampir semua agama besar di dunia dilahirkan pada masyarakat tertutup dan langsung berhadapan dengan musuh. Ketika ayat tertentu difahami hanya secara tekstual dan tidak melihat kontes sosial dan historis turunnya perintah tersebut, seorang penganut agama akan memandang penganut lain sebagai musuh abadi. Kedua, jalan keselamatan yang diajarkan oleh semua agama bisa difahami sebahagian penganutnya secara eksklusif sehingga muncul keyakinan bahwa hanya ada satu jalan menuju ke sorga dan dengan adanya perintah syi’ar agama kemudian sebahagian penganut merasa berkewajiban untuk mengajak seluruh umat manusia mengikuti satu-satunya jalan keselamatan tersebut.
61
Ketika penganut agama lain merasa wajib melakukan tindakan yang sama, ini akan menimbulkan akses negatif: saling mencurigai, yang pada gilirannya dapat mengarah kepada benturan-benturan fisik. Ketiga, setiap agama pada gilirannya melahirkan realitas sosial berupa the community of believers. Keberadaan komunitas lain dengan nilai dan keyakinan berbeda dinilai sebagai outgroups atau outsiders, saingan yang harus disingkirkan dengan berbagai cara. 2. Ternak Masalah ternak (babi) merupakan salah satu faktor pemicu konflik juga di kota Medan. Karena dalam agama Islam ternak tersebut diharamkan. Kenyataannya di Medan banyak umat Kristen yang memelihara ternak tersebut di kawasan yang banyak masyarakat Islamnya. Bahkan daging ternak tersebut juga diperjual-belikan di pajak-pajak tradisional, sehingga masyarakat Islam merasa terganggu dengan hal tersebut, karena selain dilarang oleh agama Islam, aroma ternak tersebut pun sangat tidak mengenakkan.51 3. Provokasi Third Party Banyak pihak, terutama aparat kepolisian, yang mensinyalir bahwa hampir setiap kerusuhan yang terjadi dipicu oleh adanya intervensi dan provokasi dari pihak ketiga (third party), atau yang sering diistilahkan dengan provokator. Para provokator yang menjalankan scenario dan rekayasa yang dirancang oleh “aktor intelektual” ini berusaha memancing dan membesar-besarkan sikap permusuhan, kebencian, kecemburuan dan sakit hati antara golongan masyarakat tertentu terhadap yang lainnya lalu mewujudkannya dalam aksi penentangan dan benturan fisik.52 Kesimpulan ini didasarkan karena agama mengajarkan kedamaian, kerukunan, cinta kasih bagi pemeluknya, dan juga karena melihat beberapa kasus konflik umat
51 52
Khaulid, Skripsi, h. 81. Batubara, Faktor-faktor Pemicu, h. 90-91. 62
beragama yang terjadi di berbagai daerah ternyata bermula dari faktor sosial, ekonomi, dan politik. D. Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Konflik Sosial yang Bernuansa Agama Sejauh ini, konflik umat beragama belum terlihat di medan. Cuma yang ada proses pendirian rumah ibadah, ada kelompok-kelompok tertentu kadang-kadang belum memenuhi syarat sudah mau mendirikan rumah ibadah sehingga menimbulkan protes dari lingkungannya. Itu pun masih bisa diatasi.53 Pemerintah kota Medan begitu tegas. Jika ada terjadi masalah-masalah yang mengarah kepada konflik, pemerintah kota Medan langsung tanggap dan cepat mengantisipasi dengan langsung mengadakan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dan mengundang tokoh-tokoh agama. Muspida merupakan forum duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, berbagai kepala-kepala instansi di sebuah daerah. Jika di kabupaten/kota, maka Muspida terdiri atas bupati/walikota, Komandan Korem, Kapolres, Kepala Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Ketua DPRD.54
53
Suaidi Lubis (Kabag Agama dan Pendidikan), wawancara di Kantor Walikota Medan, 15 Oktober 2012, pukul 10.00 Wib. 54 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090519224310AAOHsZT, 31 Oktober, 2012. 63
Musyawarah merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan. Dengan bermusyawarah, seorang pemerintah bisa mengambil tindakan dengan cepat. Al-Quran mengajarkan ada beberapa sikap yang dilakukan ketika bermusyawarah sebagaimana sebagaimana yang dijelaskan surat Ali Imran ayat 159 sebagai berikut:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya". (Q.S. Ali-Imran: 159)55 Dari ayat tersebut ada tiga sikap yang patut kita contoh ketika Nabi Muhammad bermusyawarah yaitu: Pertama, adalah sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi.56
55
56
Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Quran dan Terjemahannya, h. 72. Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 473-474. 64
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Ketiga, kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. E. Hambatan dan Tantangan Pemerintah Kota Medan dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama Sejauh ini, hambatan tentang kerukunan umat beragama itu tidak ada, hanya saja pemerintah kota Medan perlu mensosialisakan kerukunan itu terutama generasi muda dan perlu dijelaskan kepada mereka bahwa perbedaan itu adalah fitrah.
65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. b. Kerukunan yang tercipta di kota Medan dikarenakan tingkat pengalaman yang sudah mulai tinggi, artinya keragaman agama yang ada tidak menjadikan umat beragama bersifat fanatik, ekslusif, tetapi saling memahami. c. Untuk mempersatukan masyarakat kota Medan yang beragam ini tentunya banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota Medan sehingga tercipta kerukunan. Kebijakan tersebut dapat dilakukan pemerintah kota Medan dengan selalu menyampaikan pidato kerukunan, memberikan bantuan finansial, dan berlaku adil sebagai pemerintah.
66
d. Selain kebijakan yang telah disebutkan, untuk mewujudkan kerukunan umat beragama pemerintah kota Medan mempunyai perpanjangan tangan terhadap kerukunan yaitu FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Adapun tujuan dari forum ini ialah sebagai tempat dimusyawarahkannya berbagai masalah keagamaan sehingga kerukunan tetap terjalin harmonis dan rukun. e. Masalah konflik agama di kota Medan bisa dikatakan jarang terjadi, kalaupun ada masih bisa diminimalisir. Masyarakat kota Medan menyadari bahwa pebedaan itu adalah kehendak Tuhan. Perbedaan dijadikan sebagai alat pemersatu kota Medan. B. Saran a. Kepada pemerintah kota Medan agar lebih maksimal lagi menjalankan fungsinya memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat karena kondisi masyarakat terus berubah. Dikhawatirkan konsep-konsep yang digunakan tidak relevan lagi dengan kondisi yang akan datang. b. Kepada pemerintah kota Medan hendaknya lebih maksimal lagi mendukung organisasi-organisasi keagamaan agar kerukunan itu tetap terjaga. c. Agar umat beragama yang ada di kota Medan menyadari bahwa pluralitas yang da merupakan kekayaan yang harus disyukuri dan dijadikan sebagai faktor untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan sehingga keharmonisan tercipta. d. Agar umat beragama bisa menerima keberadaan agama lain dan hidup berdampingan dengan sikap inklusif, saling tolong menolong, tidak menjadikan simbol-simbol keagamaan secara berlebihan. 67
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Rohadi Patah. Sosiologi Agama. 2004. Jakarta: Kencana Mas. Andrianus, Toni, dkk. Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi. 2006. Bandung: Nuansa. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia. 2001. Jakarta: Depag RI. Darmansyah, dkk. Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei).1986. Surabaya: Usaha Nasional. Daniel Perret. Kolonisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur. 2010. Jakarta: KPG. Fuad, Zainul. Diskursus Pluralisme Agama: Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia . 2007. Bandung: Citapustaka Media. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research Jilid II. 1995. Yogyakarta: Andi Offset http://www.scribd.com/doc/53398966/kerukunan-umat-beragama. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Medan. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090519224310AAOHsZT.
http://www.leimena.org/id/page/v/577/lakukan-advokasi-terhadap-kebijakankebijakan-yang-diskriminatif. Jurnal Penelitian Medan Agama. Medan: Pusat Penelitian IAIN Sumatera Utara, Edisi 4, Des 2005. Kamirsa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. 1997. Surabaya: Kartika. Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. 2010. Jakarta: Raja Grafindo. Khaulid, “Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Membina Kerukunan Di Kota Medan”. 2009. Medan: (Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara).
Kumorotomo, Wahyudi. Etika Administrasi Negara. 1992. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Lubis, Ridwan. Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. 2005. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama. Maratua, dan Arifinsyah. Peta Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Utara. 2011. Medan: Perdana Publishing.
68
Miriam Budiardjo, Prof. Dasar-Dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. 2010. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Ndraha, Taliziduhu. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru 2). 2003. Jakarta: Rineka Cipta. Poloma, Margaret. Sosiologi Kontemporer. 1994. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. 1979. Jakarta: Depag RI. Puslitbang Kehidupan Beragama. Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama. 2004. Jakarta: Depag RI. Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kompilasi Kebijakan Peraturan PerundangUndangan Kerukunan Umat Beragama Edisi Ke Sebelas. 2009. Jakarta: Depag RI. Puslitbang Kehidupan Beragama. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. 2003. Jakarta: Depag RI. Puslitbang Kehidupan Beragama. Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2005. Jakarta: Depag RI. Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia. 2009. Jakarta: Prasasti. Puslitbang Kehidupan Beragama, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. 2003. Jakarta: Depag RI.
Salim, dan Syahrum. Metodologi Penelitian Kualitatif. 2010. Bandung: Citapustaka. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat. 1997. Bandung: Penerbit Mizan. Suseno, Franz Magnis. Mencari Makna Kebangsaan. 1998. Yogyakarta: Kanisius. Syahrin, dkk. Buku Panduan Pendirian Rumah Ibadat Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. 2011. Medan: FKUB Kota Medan.
The Interseksi Foundation. Kota-Kota di Sumatera: Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. 2012. Jakarta: Hivos. Timbul. Sejarah Kota Medan. 1980. Medan: Yayasan Pembina Jiwa Pancasila Sumatera Utara.
Waileruny, Samuel. Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku. 2010. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
69