KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN KESUSILAAN TERHADAP ANAK THE CRIMINAL LAW POLICY IN COPING WITH DECENCY CRIME AGAINST CHILDREN
1
Charisma Bill Brintton Simatupang, 2M. Said Karim, 2Slamet Sampurno 1
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2 Bagian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Koersponden: Charisma Bill Brintton Simatupang Bagian Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar 90245 Hp. 081354105205 Email:
[email protected]
Abstrak Salah satu bentuk kejahatan yang memposisikan anak-anak sebagai korban adalah bentuk kejahatan kesusilaan terhadap anak.Penelitian ini bertujuan mengetahui kebijakan pidana dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan terhadap anak dan mengetahui upaya-upaya penanggulangan kejahatan kesusilaan terhadap anak. Penelitian ini dilakukan di Polrestabes Kota Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar, Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kota Makassar, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Kota Makassar, dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Makassar. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literature, dokumentasi, dan wawancara. Data dianalisis dengan menggunakan analisis kualiatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sesusilaan berupa kebijakan penal dan nonpenal mengalami perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam hal sanksi pidana denda, serta pembentukan lembaga-lembaga yang fokus pada perlindungan terhadap anak. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan ksusilaan, yaitu berupa upaya preventif terfokus pada pencegahan dan upaya represif terfokus pada penanggulangan. Pelaksanaan upaya-upaya tersebut belum berjalan optimal sebab beberapa hal, yakni kurang penyuluhan dan sosialisasi, kurang koordinasi lintas sector, masyarakat kurang kesadaran hukum dan masyarakat lebih memilih untuk menempuh perdamaian. Kata kunci: kebijakan hukum pidana, kejahatan kesusilaan, korban anak.
Abstract One form of crime that position children as victims is a form of crime against children decency.The study aims to describe the criminal law policy in coping with decency crime against children and investigate the endeavor to cope with such crime. The study was carried out in Makassar City Police Resort, District Attorney of Makassar, District Court of Makassar, the First Grade Makassar Correctional Institution, Integrated Sevice Center of Women and Children Empowerment (P2TP2A) of Makassar, Makassar Legal Aid Council of Indonesia Women Association for Justice (LBH-APIK), and Child Protection Agency (LPA) of Makassar City. The data were collected through bibliographical and documentary study, and interview. They were analysed in qualitative measure. The study indicates that the criminal law policy in coping with decency crime consist of penal and non-penal policies and has undergone important development. This can be seen in the imprisonment criminal sanction and in criminal fine sanction and the establishment of instituions which focus on children protection. The efforts to handle decency crime in preventive manner focus on prevention and the repressive efforts focus on fighting which in their implementation has not been effective due to lack of socialization and extension, inefficient across-sector coordination, the absence of legal awareness of the community, and the community prefers to conciliate by non-legal settlement. Keywords: criminal law policy, decency crime, chil victim
PENDAHULUAN Hukum tidak dapat lepas dari kehidupan manusia terkait fungsi hukum itu sendiri yakni berperan sebagai benteng moral dan norma yang senantiasa menjaga dan memberi batasanbatasan karena tanpa adanya hukum akan tercipta ketidakteraturan dalam masyarakat. Dengan tertib hukum dalam masyarakat dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat adil dan makmur dengan berdasarkan Pancasila. Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia di hari mendatang, anaklah yang menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa yang akan datang. Selain itu anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak mempunyai peran yang sangat strategis sebagai succesoratau individu penerus suatu bangsa. Betapa pentingnya peran anak sebagai generasi penerus bangsa, maka Negara kemudian diberikan amanah oleh konstitusi untuk memberikan perlindungan dan rasa aman dari tindakantindakan yang tentunya mempengaruhi perkembangan si anak. Perhatian terhadap permasalahan perlindungan anak sebagai objek kejahatan telah dibahas dalam beberapa pertemuan berskala internasional antara lain Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak) (Muladi dan Arief N. B, 1992). Kemudian instrument internasional dalam perlindungan anak yang termasuk dalam instrument HAM yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah UN Rules for The Protection of Juveniles Desprived of Their Liberty, UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (Tokyo Rules), UN Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines)(Salam, 2005). Sesuai pasal yang ada dalam convention on the right of the child yang termasuk dalam hak-hak sipil dan kemerdekaan antara lain pencatatan kelahiran (Pasal 7), hak atas identitas dan kewarganegaraan (Pasal 8), hak atas kebebasan berpendapat (Pasal 13), hak atas kebebasan berfikir,berhati nurani dan berkeyakinan (Pasal 14), hak kebebasan berkumpul (Pasal 15), hak atas privasi (Pasal 16), hak atas informasi (Pasal 17), hak atas perlindungan dari kekerasan, penyiksaan, dan perlakuaan hukum yang tidak manusiawi (Pasal 37 ayat a). Banyaknya instrumen dan rekomendasi dari pertemuan tersebut nampaknya belum memperlihatkan hasil yang signifikan dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Padahal sebagaimana
diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak, yaitu "….the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including
appropriate legal. protection,
before as well as after birth…" Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali mengemukakan prinsip "First Call for Children," yang menekankan pentingnya upaya-upaya Nasional dan Internasional untuk memajukan hal-hak anak atas "survival protection, development and participation”. Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani juga meratifikasi KHA tgl 2 Sep 1990, melalui Keppres No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Maka Indonesia terikat secara politis dan yuridis atas seluruh isi KHA. Pemerintah/negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharuskan untuk melaporkan dan hadir di hadapan Komite Hak-Hak Anak PBB secara berkala untuk kemudian mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam hal mengimplementasikan Konvensi ini dan status hak-hak anak dalam negara tersebut.Hak anak dan kewajiban negara-negara yang menandatangani dan meratifikasinya untuk melindungi anak dalam hal pekerja anak, pengangkatan anak, konflik bersenjata, peradilan anak, pengungsi anak, eksploitasi, kesehatan, pendidikan keluarga, hak-hak sipil, dan hak-hak ekonomi, sosial dan ekonomi, sosial dan budaya yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang rentan menjadi korban (victim). Perlindungan terhadap anak sebagai objek kejahatan ini sudah secara implisit diakui oleh masyarakat internasional, terbukti dengan diakuinya kejahatan perdagangan anak (human traficking) dan kejahatan seksual terhadap anak (termasuk perkosaan dan perbuatan cabul) sebagai salah satu dari kejahatan internasional (international crimes). Tujuan dan dasar pemikiran perlindungan hukum terhadap anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan bagaimana mewujudkan kesejahteraan anak sebagai bagian integral dari mewujudkan kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Selain dari perlindungan hukum terhadap anak dalam hal melakukan pelanggaran pidana, tidak kalah pentingnya perlindungan terhadap anak sebagai objek atau sasaran tindak pidana, dalam hal ini anak sering dipakai sebagai objek kesewenang-wenangan orang tua atau alat bagi kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap kehidupan anak. Salah satu bentuk kejahatan
yang memposisikan anak-anak sebagai korban adalah
bentuk kejahatan kesusilaan terhadap anak. Umumnya bentuk tindakan itu berupa tindakan untuk
mencari pelampiasan nafsu seksual. Tindak pelecehan seksual ini sangat meresahkan karena yang menjadi korban adalah anak-anak yang begitu rentan terhadap tindak kejahatan dan kurang memiliki posisi tawar dalam menghadapi pelaku. Pelecehan seksual ini menimbulkan trauma psikis yang tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Dampak tindak kekerasan seksual itu Perilaku kejahatan kesusilaan terhadap anak juga membuka peluang untuk terjadinya tindak pidana lainnya seperti penculikan, penganiayaan, pembunuhan, mutilasi dan lain-lain. Kasus kejahatan kesusilaan terhadap anak di Indonesia mulai ramai setelah pada tahun 2001 seorang turis dari Italia, Mario Manara, mencabuli 12 bocah di Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Ia hanya dihukum 9 bulan penjara karena aturan hukum pidana pada saat itu masih sangat lemah. Hal ini pula yang turut melatari lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak. Untuk ketentuan pidana mengenai kejahatan kesusilaan terhadap anak dalam UUPA terdapat dalam ketentuan pasal 81 dan pasal 82. Dalam kedua pasal ini ancaman pidana penjara bagi pelaku kejahatan kesusilaan terhadap anak ditingkatkan menjadi maksimal/paling lama 15 tahun penjara. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberi rasa takut bagi calon-calon pelaku pedofilia Sehingga melalui ketentuan hukum penjara yang berat diharapkan memberi efek peventif terhadap kejahatan pedofilia. Dalam ketentuan BAB XI UUPA diamanatkan mengenai pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat KPAI) yang independen dan keberadaannya dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlidungan anak (Pasal 74 UUPA). Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai dasar hukum berdirinya KPAI. Namun keberadaan KPAI dan juga peningkatan ancaman hukuman penjara maksimal menjadi 15 tahun penjara bagi pelaku kejahatan kesusilaan terhadap anak tampaknya belum mampu memberi efek ampuh bagi penanggulangan kejahatan kesusilaan terhadap anak. Hal ini terlihat dengan data jumlah kasus kejahatan kesusilaan terhadap anak di tingkat nasional yang menunjukkan trend kenaikan dari tahun ke tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kesusilaan terhadap anak.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yakni dari Informan yang konsern dan terkait dengan upaya penanggulangan kejahatan kesusilaan terhadap anak.Data sekunder diperoleh dengan menggunakan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan.Selain itu bahan hukum sekunder lainya yang diperlukan meliputi buku hukum (text book), Jurnal Ilmiah, hasil penelitian hukum, dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan kejahatan kesusilaan terhadap anak. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah, Penyidik POLRESTABES Makassar, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar, Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar, Pelaku pada Lapas Kelas I A Kota Makassar, P2TP2A Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak Kota Makassar, LBH APIK Kota Makassar. Sampel yang ditetapkan sebagai responden, yaitu Penyidik pada POLRESTABES Makassar sebanyak 3 orang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar sebanyak 2 orang, Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar sebanyak 2 orang, Petugas P2TP2A sebanyak 1 orang, Petugas LBH APIK sebanyak 1 orang, Pelaku sebanyak 15 orang. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, dokumentasi, dan wawancara.Studi Literatur yang meliputi pustaka (text book) hukum, peraturan Perundang-undangan, jurnal ilmiah hukum. Hasil penelitian di bidang hukum, dan berbagai bahan hukum tertulis lainya.Dokumentasi yaitu mengambil salinan berbagai dokumen yang ada diberbagai berbagai instansi penegak hukum yang memiliki kaitan dengan kejahatankesusilaan terhadap Anak. Wawancara (Interview) yaitu dilakukan dengan mendatangi informan kemudian dilakukan dengan tanya jawab mendalam. Bentuk pertanyaan yang diajukan dalam bentuk terbuka (bebas) dan terstruktur yang didasarkan pada konsep pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif, yakni analisis yang bersifat mendeskripsikan data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder kemudian diberi penafsiran dan kesimpulan. Penulis mencoba
mengidentifikasi dan memahami sifat-sifat fakta atau gejala yang benar-benar terjadi kemudian direlevansikan dengan rujukan dan teori yang ada hingga tiba pada kesimpulan atau jawaban atas rumusan masalah.
HASIL Hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat, yakni Sebagai sarana pengendalian sosial, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. Kepada pelaku kejahatan kesusilaan terhadap anak, setelah melalui proses persidangan dan pemutusan oleh pengadilan tentunya akan mendapatkan pemidanaan sesuai dengan kuantitas dan kualitas tindak pidana yang dilakukan. Pemberian pemidanaan ini penting , agar para pelaku dapat menjadi jera atau paling tidak untuk memberikan pembelajaran agar tidak lagi mengulangi kejahatan kesusilaan maupun kejahatan yang lainnya. Pasal-Pasal tentang Kejahatan Kesusilaan Terhadap Anak pada KUHP terdapat dalam Bab XIV yaitu Pasal Tindak pidana kesusilaan termuat dalam Pasal 287, Pasal 288,Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal294, dan Pasal 295 KUHP. Perbuatan persetubuhan dengan wanita yang belum dewasa yaitu Pasal 287 dan pasal 288, perbuatan cabul dan persetubuhan dengan orang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun yaitu Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3), perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis yaitu Pasal 292, perbuatan berupa dengan pemberian menggerakkan orang yang belum dewasa berbuat cabul yaitu pasal 293, perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan oleh orang tua atau orang yang mempunyai hubungan yaitu pasal 294, memudahkan anak di bawah umur untuk berbuat cabul yaitu Pasal 295 ayat (1) dan ayat (2).Persetubuhan dan perbuatan cabul memiliki kaitan yang erat. karena perbuatan cabul memiliki tendensi untuk kemudian menjadi persetubuhan. Perbuatan cabul merupakan perbuatan awal/mula-mula sedangkan persetubuhan adalah perbuatan akhir. Namun batasan antara keduanya adalah terjadi/tidak perpaduan antara alat kelamin korban dan pelaku. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka dalam hal perlindungan anak khususnya kejahatan kesusilaan terhadap anak mengacu pada Undang-Undang ini. Hal ini mengacu pada asas “Lex Speciali Derogat Legi Generali” yang artinya aturan / Undang-Undang yang khusus lebih diutamakan keberlakuannya daripada aturan /
Undang-Undang yang umum atau Aturan yang khusus mengeyampingkan aturan yang bersifat Umum. Melihat ketentuan terkait kejahatan kesusilaan yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 yaitu pada pasal 81 dan 82. Dari segi bentuk perbuatannya sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang ini hanya terdiri atas 2 yakni persetubuhan dan perbuatan cabul. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 merupakan perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat beberapa perubahan terkait sanksi pidana serta denda. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 terkait dengan kejahatan kesusilaan menempatkan perbuatan yang dilarang pada pasal 76D dan Pasal 76E dan kemudian ancaman pidananya pada Pasal 81 dan Pasal 82. Dengan melihat ketentuan pada Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka bentuk tindak pidananya yang dilarang adalah Melakukan persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 76D ) kategori pemerkosaan, Melakukan atau pembiaran perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,memaksa,melakukantipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk (Pasal 76E), Melakukan persetubuhan dengan tipu muslihat,serangkaiankebohongan, atau membujuk (Pasal 82 ayat (2). Hukum pidana hanya mengakui orang sebagai pelaku, sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan (asas culpalibilitas) yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pelaku delik, disamping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus memenuhi unsur-unsur kesalahan. Melihat ketentuan Pasal 287, 288, 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal294, dan Pasal 295 KUHP untuk hal subyek hukum menggunakan istilah barang siapa. Barang siapa menunjukkan orang sebagai subyek. Ketentuan dalam KUHP berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah saja yang dapat dibebani tanggung jawab pidana, karena hanya manusia yang merupakan subyek hukum dalam KUHP. Sistem perumusan sanksi pidana pada pasal 81 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 memakai sistem perumusan pidana secara Kumulatif dan perumusan pidana pokok yaitu pidana dan denda. Dengan minimal dan maksimal penjara serta minimal dan maksimal denda. Pada pasal 81 (3) memakai sistem perumusan pidana secara Kumulatif dan perumusan pidana pokok yaitu pidana dan denda. Dengan min dan maksimal penjara serta maksimal denda juga pemberatan 1/3.
Negara bukanlah satu-satunya pihak yang dituntut untuk melakukan penanggulangan kejahatan ini. Para pihak yang dapat memberikan kontribusi nyata penanggulangan kejahatan adalahNegara dengan peraturan perundangan dan aparaturnya, Orang tua, anak-anak dan bahkan sekolah, Masyarakat, apartur penegakan Hukum, Komnas Anak, dan LSM. Terkait hal ini, pada Pasal 72 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014terdapat ketentuan yang kembali menekankan peran serta masyarakat dan media massa. Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai pengatur dan pengendali kehidupan berbangsa dan bernegara telah melakukan upaya-upaya non penal namun tetap dalam koridor hukum dengan mengeluarkan kebijakan membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasanpenyelenggaraan pemenuhan Hak Anak (Pasal 74 ayat 1 uu no 35 tahun 2014). MengeluarkanInstruksi PresIden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kejahatan seksual terhadap anak
(GN-AKSA). Di dalamnya terdapat instruksi-instruksi terkait pencegahan
kejahatan seksual terhadap anak, termasuk peran serta media dan masyarakat. Membuat beberapa layanan Perlindungan Anak yaitu TESA 129 (Telepon Sahabat Anak 129), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak),RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak). Perlindungan anak suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban masyarakat,bangsa tertentu. Jadi demi pengembangan manusia seutuhnya dan beradaban, maka kita wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai kemampuan, demi kepentingan nusa dan bangsa. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan, dan gangguan pada proses pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus senantiasa diusahakan apabila ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan meliputi kebijakan penal, telah terjadi perbaikan dari segi penal melalui perbaikan ketentuan Undang-Undang Perrlindungan Anak berupa restitusi dan penambahan sanksi pidana. Kebijakan
untuk memberikan
perlindungan
sosial (social defence policy) salah
satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi
tindak
pidana/kejahatan
ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy)
dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasukbagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy)(Arief N. B, 2003). Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “criminal policy (kebijakan kriminal)“.Kebijakan kriminal pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya
untuk
kesejahteraan
sosial”
(social
welfare
policy)
dan
“kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (social defence policy) (Arief N. B, 2010). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui penal policy.Oleh karena itu kelemahan dalam tahap ini dapat mengganggu tahap berikutnya yaitu aplikasi dan eksekusi.Criminal Policy pemerintah Indonesia adalah ingin mengembangkan hukum yang modern dimana hukum tersebut mempunyai substansi yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Aswanto, 2012). Hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya, dan pendekatan yang integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan pada umumnya. Kebijakan paling strategis melalui sarana “non penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan / kelemahan (yaitu bersifat fragmentaris,simplistis / tidak struktural fungsional; simtomatik / tidak kausatif / tidak eliminative;individualistic atau “offender-oriented/tidak victim-oriented”; lebih bersifat represif / tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi) (Arief N. B, 2005)
.
Munculnya kejahatan- kejahatan dengan berbagai dimensi
baru
dan modus yang
beragam merupakan dampak negatif dari perkembangan ekonomi,sosial dan budaya di dalam masyarakat yang sangat cepat.Menurut Lunden di negara berkembang kejahatan timbul disebabkan olehMarlina (2009),besarnya jumlah dan sukarnya melakukan pencegahan terhadap gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota, terjadinya konflik antar norma adatpedesaan (tradisional) dengan norma baru yang tumbuh dalam proses dan perkembangankehidupan sosial yang cepat di kota besar, memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada
pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remajanya mulai kehilangan pola kepribadian atau samar pola menentukan perilakunya. Usaha- usaha pengendalian kejahatan tidak hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” namun dapat pula dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Usaha-usaha non penal berupaPenyantunan dan pendidikan sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, Peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli atau pengawasan secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan dan sebagainya (Muladi dan Arief N. B, 2005). Usaha-usaha non penal bertujuan untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu dan juga mempunyai efek pencegahan (preventif) terhadap kejahatan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan meliputi kebijakan penal, telah terjadi perbaikan dari segi penal melalui perbaikan ketentuan Undang-Undang Perrlindungan Anak berupa restitusi dan penambahan sanksi
pidana. Kebijakan non penal berupa kebijakan
pemerintahsalah satunya pembentukan KPAI dan P2TP2A. Terhadap aturan Perlindungan anak yang ada pada saat ini hendaknya selalu dilakukan kajian dan penelitian keberlakuannya secara berkala. Hal ini dalam rangka pembaharuan hukum pidana, penguatan aspek-aspek yang dirasa belum/sudah tidak sesuai dan untuk menjawab tantangan kehidupan masyarakat di masa akan datang yang senantiasa dinamis.
DAFTAR PUSTAKA Arief, N. B. (2005). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : PT. CitraBakti. Arief, N. B.(2003).Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung : CitraAditya Bakti. Arief, N. B. (2010). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta : Kencana Aswanto. (2012). Hukum dan Kekuasaan Relasi Hukum Politik dan Pemilu, Yogyakarta. Rangkang Education. Keppres RI No.77/ 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Marlina. (2009).Peradilan Pidana Anak Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung.Refika Aditama. Muladi & Arief N. B. (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Muladi & Arief N. B.(2005).Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumni. Salam FaisalMoch. (2005). Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak