Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015), pp. 555-583.
KEBIJAKAN PIDANA QANUN ACEH DALAM PRESKRIPTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA CRIMINAL LAW POLICY ON QANUN ACEH IN THE CRIMINAL LAW PRESCRIPTIVE Oleh: Mohd. Din
*)
ABSTRAK KUHP yang berlaku di Indonesia adalah Wetboekvanstrafrecht. Tuntutan akan adanya KUHP Nasional yang mencerminkan nilai-nilai ke-Indonesiaan sudah lama dirasakan dan sudah diupayakan, kini rancangan KUHP tersebut sudah dilimpahkan kepada DPR untuk dibahas. Di sini lain, perubahan paradigma dalam ketetanegaraan telah memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Provinsi Aceh yang memperoleh kekhususan berdasarkan beberapa Undang-undang dan terakhir dengan Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan beberapa Qanun syariat dan di dalamnya terdapat ancaman pidana yang tidak terdapat di dalam KUHP sebagai induk dari Hukum Pidana materil. Dalam perspektif pembangunan Hukum Pidana, maka kebijakan pidana Qanun NAD dapat dijadikan dasar bagi pembangunan hukum pidana nasional yang berwawasan Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu wawasan pembangunan hukum yang berwawasan nasional. Disarankan hendaknya pidana cambuk dijadikan sebagai pidana alternatif, bukan satu-satunya pidana, dan segera membuat hukum pidana formil serta segera melakukan revisi qanun syari’at dengan mencantumkan sanksi berupa tindakan. KUHP Nasional sebagai induk dari Hukum Pidana materil hendaknya memuat aturan yang dapat dijadikan payung hukum sehubungan dengan tuntutan beberapa daerah dalam menerapkan ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kata Kunci: Kebijakan Pidana, Qanun Aceh, Kebijakan Hukum Pidana. ABSTRACT Aceh Province has been granted specificity bu several laws and the latest by the Act Number 11, 2006 on Aceh Government which has issued several Qanuns (local laws) and included criminal sanctions that does not exist in the Criminal Code as the main materiel of the Criminal Law. In the development perspective of the Penal Code, the criminal policy Qanun NAD can be the foundation for the development of national criminal law-minded unity in diversity as one of the legal development insights national vision. It is suggested that criminal whip should be used as an alternative punishment, is not the only criminal, and immediately mode a formal criminal law and immediately revise by stating qanuns shari’ah sanctioned action. The National Criminal Code as the main materiel of the Penal Code should contain rules that can be used as an umbrella law with respect to the demands of some areas in applying the laws of life in society. Keywords: Criminal Policy, Qanun Aceh, Criminal Law Policy.
*)
Mohd. Din adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. E-mail:
[email protected].
ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
PENDAHULUAN Setiap masyarakat mempunyai pola tersendiri di dalam menata kehidupannya (adagium ubi societas ibi jus). Pada waktu Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, masyarakat Indonesia yang tersebar di kepulauan Nusantara ini bukanlah suatu masyarakat yang tidak mempunyai tatanan hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai tata hukum yang dikenal dengan Hukum Adat. Setelah Indonesia merdeka, pengaruh positivisme begitu kuat dan sebagai konsekuensi dari bekas jajahan Belanda yang menganut sistem hukum Eropa kontinental (civil law), semua aturan hukum harus dalam bentuk tertulis, terutama sekali aturan hukum pidana yang menjunjung tinggi asas legalitas, menghendaki aturan hukum pidana dalam bentuk tertulis dan tertuang ke dalam bentuk kitab undang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk dari hukum pidana materil mengatur tentang tiga pilar pokok hukum pidana, yaitu subjek yang dapat dipidana, tindakan (baik aktif maupun pasif) yang dapat dipidana dan pidana yang dikenakan terhadap subjek pelaku tindakan yang dapat dipidana. KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesiaadalah Wetboek van Strafrecht (WvS) yang sering disebut dengan warisan kolonial Belanda. Menurut Soedarto teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda1. KUHP diundangkan dengan Undang-undang No 1 tahun 1946 dan merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) negeri Belanda. WvS ini dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Sementara di Hindia Belanda sendiri diberlakukan pada tahun 1915. Dari pandangan kriminologi, KUHP yang dibuat pada tahun 1881, kemudian diberlakukan pada tahun 1915 adalah suatu kemunduran, karena keadaan masyarakat pada tahun 1881 tentu tidak sama dengan tahun 1915. Apalagi KUHP ini masih diberlakukan sampai dengan sekarang, yang dapat diartikan memberlakukan undang-undang yang sesuai dengan perkembangan masyarakat ratusan tahun yang lalu.
1
Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3.
556
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
KUHP dirasakan belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum yang ideal adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sedangkan KUHP adalah salah satu produk hukum Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia. KUHP ini bukan saja tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, melainkan dari awal pembentukan juga bukan berasal dari nilai-nilai masyarakat Indonesia. Sehingga ada sesuatu perbuatan yang dianggap suatu kejahatan oleh hukum yang hidup di dalam masyarakat akan tetapi tidak diatur di dalam KUHP. Keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat dan hukum Islam) di Indonesia diakui sejak zaman penjajahan Belanda, meskipun dengan politik hukum Pemeritah Kolonial Belanda, keberadaan hukum Islam mengalami pasang surut dengan mengurangi kewenangan Peradilan Agama yang dibentuknya sendiri. Peradilan Agama dibentuk pada tahun 1882 dengan S 1882 nomor 152 dengan nama Priesteraad di tiap-tiap tempat yang terdapat pengadilan negeri (Landraad). Staatsblad 1882 nomor 152 ini dapat dikatakan mengukuhkan keberlakuan hukum Islam yang ada sejak kerajaan-kerajaan dan pada masa VOC. Belanda kemudian mengembangkan teori receptie dan dengan S. 1937 : 116 yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam hal warisan, karena kewarisan Islam dianggap belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Selanjutnya, setelah merdeka, pada tahun 1957, pengaruh dari S. 1937 : 116 masih berlaku sehingga kewenangan Peradilan Agama hanya terbatas pada Nikah Talak dan Rujuk (NTR)2. Hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan penjelmaan dari nilai-nilai (norma) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam teori Hans Kelsen norma itu bertingkattingkat sehingga membentuk suatu susunan atau hierarki. Yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
2
Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 230-278.
557
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
perundang-undangan yang lebih tinggi. Salah satu tujuan dari ketentuan ini adalah agar adanya tertib hukum dan harmonisasi hukum. Hierarki perundang-undangan juga menunjukkan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem. Satjipto Rahardjo mengemukakan: Karena adanya ikatan oleh asas-asas hukum itu, maka hukum pun merupakan suatu sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri-sendiri itu lalu terkait dalam satu susunan kesatuan disebabkan karena mereka itu bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen dengan jelas sekali menunjukkan hal itu.3 Menurut Hans Kelsen: The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one norm -the lower one- is determined by another -the higher- the creation of which is determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.4 Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma lain yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sampai kepada norma dasar (grundnorm).5 Hierarki perundang-undangan dalam tata hukum Indonesia pertama sekali tertuang dalam Tap. MPRS RI No.XX/MPRS/1966, tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI.Kemudian, sekarang terdapat di dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011. Kedudukan KUHP di dalam hierarki perundang-undangan di atas adalah pada tingkat undangundang yang kedudukannya lebih tinggi dari perundang-undangan yang dibuat oleh perangkat daerah. Inilah yang sering menjadi permasalahan sehubungan dengan Qanun di Aceh, karena idealnya KUHP sebagai induk dari hukum pidana materil sejauh mungkin hendaklah dijadikan pedoman di dalam membuat peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana.
3
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 49. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russel, New York, 1973, hlm. 124. 5 Mengenai istilah yang dipakai untuk Grandnorm (Norma fundamental Negara) sebagai terjemahan dari staatsfundamentalnorm beberapa ahli memakai istilah yang berbeda: A. Hamid S. Attamimi menggunakan istilah “Norma fundamental Negara, Notonegoro menggunakan istilah “Pokok Kaedah Fundamental Negara, dan Joeniarto 4
558
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Namun di sisi lain, KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Meskipun beberapa penyesuaian, akan tetapi apabila dikaitkan
diberlakukan dengan
dengan hierarki norma hukum
yang
digambarkan oleh Hans Kelsen di atas, belum tentu sesuai dengan aturan yang lebih tinggi, sampai ke norma dasar (grondnorm). Usaha untuk membuat KUHP yang sesuai dengan masyarakat Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1968.Usaha ini adalah merupakan kebijakan (politik) hukum pidana. Politik hukum ialah kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.6 Dengan demikian, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu
perundang-undangan pidana yang baik. 7 Perundang-undangan yang baik itu adalah perundangundangan yang mengekspresikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Khusus perundang-undangan pidana, perkembangan pemikiran tentang individualisasi pidana dan pemidanaan dengan sistem dua jalur (double track system), yaitu perumusan sanksi pidana berupa pidana (punishment) dan tindakan (treatment) harus mendapat perhatian yang serius. Kebijakan Hukum Pidana (Penal law Policy) dalam bidang pidana (jenis pidana) terus menerus mencari solusi yang tepat untuk menentukan jenis pidana yang efektif, sehingga di dalam Konsep Rancangan KUHP baru terdapat beberapa jenis pidana baru yang tidak terdapat dalam KUHP sekarang, yaitu antara lain: Pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Selain itu ada juga dalam bentuk tindakan, seperti Perawatan di Rumah Sakit Jiwa, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat-
menggunakan istilah “Norma Pertama”. Lihat. Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan. Dasardasar dan Pembentukannya.Kanisius.Yogyakarta.1998, hlm. 28. 6 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru Bandung. 1983, hlm. 20. 7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002 .hlm. 24
559
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
akibat
tindak
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
pidana dan latihan kerja. 8 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dan
pembangunan hukum pada umumnya, maka kebijakan pidana harus mengekspresikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sejak masa reformasi, usaha untuk membangun hukum sesuai dengan nilai yang hidup dalam masyarakat memasuki babak baru seiring dengan perubahan paradigma dalam kehidupan bernegara, antara lain dengan adanya amandemen UUD 1945. Romli Atmasasmita menyatakan: Telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralistik kepada sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat. Selain itu, produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah.9 Perubahan paradigma tersebut, terutama sekali dengan otonomi daerah yang memberikan kesempatan kepada daerah untuk menentukan kebijakan, dapat menimbulkan disharmonisasi hukum, sehingga menimbulkan masalah baru dalam penegakan hukum.Karena itu, diperlukan payung hukum untuk mengakomudisasi aspirasi daerah dalam pembangunan hukum nasional.Di beberapa daerah terdengar gaung penegakan syaria’at Islam, seperti Kabupaten Cianjur, Tasik Malaya, Bulu Kumba dan Aceh. Di Aceh, sebagai implementasi dari Undang-undang No 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Undang-undang No
44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan terakhir Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, untuk memberlakukan syariat Islam, telah dibuat beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang disebut dengan Qanun. Sejak tahun 2002 sudah banyak Qanun yang disahkan. Dari qanun-qanun itu terdapat sejumlah qanun, yaitu Qanun-qanun tentang pelaksanaan Syariat Islam atau disebut juga Qanun 8
Lihat Mardjono Reksodiputro. Pembaharuan Hukum Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum ( d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta. 1995. hlm 46-47. 9 Romli Atmasasmita: “Menata Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional” . Harian Pikiran Rakyat 03/02/2003
560
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Jinayah. Qanun-qanun ini mencantumkan ancaman pidana cambuk di dalamnya selain ancaman pidana lain, sedangkan sanksi berupa tindakan (treatment) belum diakomudisasi di dalam qanunqanun ini.
Implementasi sanksi pidana terhadap pelanggar qanun-qanun ini dilakukan melalui
sistem peradilan di Mahkamah Syar’iyah. Berdasarkan gambaran di atas, rumusan masalah artikel ini adalah bagaimana perspektif kebijakan pidana di dalam Qanun Aceh dihubungkan dengan pembaharuan hukum pidana nasional.
PEMBAHASAN 1) Kewajiban Negara dalam Negara Hukum Di dalam negara Hukum, kewajiban negara untuk menjaga ketenteraman warga masyarakat dibaringi dengan hak negara untuk menjatuhkan pidana kepada warga masyarakat yang melanggar dan hak ini harus berdasarkan atas hukum. Untuk menghasilkan hukum yang baik sebagai landasan negara menjatuhkan pidana tidak terlepas dari kebijakan hukum pidana sehingga tercapai tujuan pemidanaan yang diharapkan. Negara Hukum adalah negara yang berdasarkan atas hukum, pengertian ini biasanya dilawankan dengan negara berdasarkan kekuasaan.“Dalam suatu Negara Hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan.Negara tidak maha kuasa, Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang.Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.”10 Dalam Negara Hukum bukan hanya kekuasaan negara yang dibatasi, malainkan juga seluruh penduduk dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada hukum yang berlaku. Sebagaimana dinyatakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa: Negara hukum berartisuatu negara yang di dalam wilayahnya: a) Semua alat-alat perlengkapan dari negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-
10
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum. Alumni Bandung. 1983. hlm 3.
561
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
masing tidak boleh sewenang-wenang, malainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. b) Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturanperaturan hukum yang berlaku. 11 Bagir Manan dan Kuntana Magnar menyatakan bahwa dalam
negara hukum
mengandung pengertian kekuasaan itu dibatasi oleh hukum dan sekali gus menyatakan bahwa hukum adalah supreme dibandingkan dengan alat kekuasaan yang lain.12 Sehubungan dengan pembahasan tentang Qanun Nanggroe Aceh Darussalam yang bersumber dari hukum Islam, maka.perlu dikemukakan Negara Hukum dalam Hukum Islam. Muhammad Tahir Azhary mengemukakan bahwa dalam sistem hukum Islam dengan sifatnya yang komprehensif itu, dijumpai pula aspek-aspek hukum ketatanegaraan yang dinamakan al-ahkam alsultaniya.13Negara Hukum dalam Islam dikena dengan istilah Nomokrasi Islam. Nomokrasi Islam adalah negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut: a) Prinsip kekuasaan sebagai amanah. b) Prinsip musyawarah (musyawarat) c) Prinsip keadilan d) Prinsip persamaan e) Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia f) Prinsip peradilan bebas g) Prinsip perdamaian h) Prinsip kesejahteraan i) Prinsip ketaatan rakyat.14
11
Wirjono Prodjodikoro dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005. hlm. 20. 12 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1993, hlm 128. 13 Muhammad Tahir Azhary. Negara Hukum, Suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam. Implementasinya p-ada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Prenada Media. Jakarta. 2003. hlm. 84. 14 Ibid. hlm. 85-86.
562
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Banyak pakar yang mengemukakan pendapat tentang negara hukum, mulai dari perkembangannya, yaitu dari Polis, Negara sebagai penjaga malam sampai kepada negara modern yang tujuannya kesejahteraan rakyat.Parapakar mengemukakan ciri-ciri atau unsur-unsur yang ada dalam Negara Hukum, antara lain Sri Soemantri mengemukakan unsur-unsur Negara Hukum, yaitu: a) bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan; b) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara); c) adanya pembagian kekuasaan dalam negara, d) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle)15 Pendapat ini menunjukkan bahwa dalam negara hukum kekuasaan negara dibatasi oleh hukum.Pemerintah yang diwakili oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan atas hukum. Sistem Peradilan Pidana dengan sub sistemnya dalam penegakan hukum pidana yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan dan eksekusi harus bedasarkan hukum pidana. ”... satu-satunya subyek hukum yang mempunyai hak untuk menghukum (Ius puniendi) ialah negara/Pemerintah”.16 Negaralah yang berhak dan berewenang menjatuhkan pidana demi menegakkan ketertiban masyarakat. “… tugas pertama setiap negara untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban, dan karena itu negara mempunyai alat pemaksa untuk melaksanakannya. Hukum pidana melegitimasi paksaan dan sekali gus menunjukkan batas-batas paksaan itu”17. Hak negara untuk menghukum ini harus dituangkan melalui kebijakan, yang dalam hal ini adalah kebijakan hukum pidana (penal policy). Kebijakan Pidana merupakan bagian dari Kebijakan Kriminal/Politik Kriminal, karena yang dimaksud dengan
Kebijakan/politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk
15
Sri Soemantri. Bunga Rampai Hukum tata Negara Indonesia. Alumni. Bandung, 1992. hlm.29-30. R. Atang Ranuemihardja. Hukum Pidana, azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat Beberapa Sarjana. Tarsito, Bandung, 1984. hlm..20. 16
17
Komariah Emong Sapardjaya. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Sudi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi.Alumni Bandung. 2002. hlm. 3.
563
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
menanggulangi kejahatan, politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya18. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang sangat luas dari pembangunan. Definisi Kebijakan kriminal ini sebelumnya sudah pernah dikemukakan oleh Sudarto bahwa “politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”19 Barda Nawawi Arief membedakan 3 (tiga) tahap dalam kebijakan hukum pidana, yaitu kebijakan legeslatif yang merupakan tahap formulasi, kebijakan yudikatif yang merupakan tahap aflikasi, dan kebijakan eksekutif yang merupakan tahap administratif. 20 Penyusunan Qanun pada tahap kebijakan legeslatif tentu sangat mempengaruhi tahap kebijakan selanjutnya, yaitu kebijakan yudikatif dan aflikatif. Terkait dengan kebijakan legeslatif yang merupakan tahap formulasi, maka tentu tidak terlepas dari pembangunan hukum secara keseluruhan, yakni bagaimana membangun hukum sehingga hukum itu dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Dihubungkan dengan adanya Qanun di Aceh yang bersumber dari hukum Islam dapat dijelaskan bahwa dalam kaitan ini ada tiga istilah yang saling berkaitan, yaitu Syari’ah, Ushul Fiqih dan Fiqih. Syariat adalah ketentua yang diturunkan oleh Allah berupa wahyu melalui Rasulullah. Wahyu ini disebut dengan Al-Quran.Pengertian dan maksud Al-Quran kemudian diterangkan oleh Rasulullah melalui perbuatan dan perkataannya.21 “Fiqih diartikan diambil, atau dikeluarkan denga jalan ijtihad”22 sedangkan “ushul fiqih adalah alat untuk ijtihad yang terpenting”.23
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. 1992. hlm 1. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung, 1881. hlm. 113-114, lihat juga Hukum dan Hukum Pidana ,Alumni. Bandung. 1986. hlm.150. 20 Romli Atmasasmita Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum.Ed. Aman Sembiring Meliala dan Agus Takariawan. Mandar Maju. Bandung. 2001. Hlm. 79. 21 Lihat Haliman . Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah. Bulan Bintang Jakarta. 1971. Hlm. 13 22 Hasbi Ash-iddieqy. Pengantar Hukum Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1963. hlm 23. 23 Ibid hlm. 71. 19
564
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka sumber utama hukum Islam berupa Al-Qur’an dan Hadis
yang terdapat dalam syariah sifanya sangat umum dan luas, sedangkan aplikasinya
dituangkan di dalam fiqih dengan metode pemahaman yang digunakan, yaitu ushul fiqih. Kalau dari segi pembuatan, maka fiqih adalah hasil ijtihad para fuqaha dan karenanya dapat dikatakan sebagai doktrin atau pendapat ahli hukum. Akan tetapi di sisi lain fiqih juga dipakai dan menjadi dasar bagi hakim dalam memutus perkara di Mahkamah. Sehubungan dengan kebijakan pidana, maka perlu pula dijelaskan bahwa dalam literatur Hukum Pidana Islam, Hukum pidana disebut dengan Jinayah, artinya tindakan pelanggaran atau perbuatan tercela yang menuntut pertanggungjawaban terhadap pelakunya 24 Kata jinayah dalam istiah Fuqaha dapat dikatakan sama dengan kata jarimah 25 , meskipun ada pendapat yang menyatakatan bahwa penggunaan kata jarimah terbatas kepada jarimah hudud dan qisas saja. Berdasarkan berat ringannya pidana, maka jarimah dapat digolongkan ke dalam Jarimah Hudud, Qishas-Diat, dan jarimah Ta’zir. 26 Terhadap ketiga jenis jarimah ini, maka peluang penguasa dalam menentukan perbuatan yang dapat dipidana dan pidana apa yang dijatuhkan kepada pelaku adalah pada jenis jarimah Ta’zir. Sedangkan pada jarimah Hudud dan Qishash/diyad, sudah ada ketentuan mengenai perbuatan dan pidananya. Untuk penentuan ta’zir ini digunakan cara sebagaimana disebutkan di atas, yaitu melihat kepada ketentuan syari’at, kemudian melalui ushul fiqih akhirnya melahirkan fiqih. Kebijakan Hukum Pidana (Penal law Policy) dalam bidang pidana (jenis pidana) terus menerus mencari solusi yang tepat untuk menentukan jenis pidana yang efektif untuk mencapai tujuan pidana, sehingga di dalam Konsep Rancangan KUHP baru terdapat beberapa jenis pidana baru seperti Pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat, ditambah dengan Perawatan di Rumah Sakit Jiwa, perampasan keuntungan yang diperoleh
24
Departemen Agama RI. Op.cit. Hlm. 313 Ahmad Hanafi, Asas-asas hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1990. Hlm. 2 26 I b I d, hlm. 7 25
565
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
dari tindak pidana, perbaikan akibat-akibat
tindak pidana dan latihan kerja sebagai bentuk
tindakan. Hukum Pidana adalah hukum sanksi.Sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), meskipun dalam perkembangannya dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana. 27 . Dalam kaitannya dengan pemberian sanksi pidana (pidana) kepada seseorang, terdapat beberapa teori pemidanaan, atas dasar apa negara dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang. Alasan Negara melaksanakan/menjatuhkan pidana antara lain untuk maksud-maksud: a) Pidana dilakukan dengan dasar harus memajukan dan mendukung perbuatan atau tindakan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. b) Pidana harus dapat mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan. c) Negara harus mempertahankan tata tertib kemasyarakatan yang ada d) Negara harus mengembalikan ketenteraman dalam masyarakat apabila ketenteraman itu terganggu.28 Jan Remmelink memulai uraiannya, meskipun ada keberatan, baik berupa keberatan relegius, keberatan Biologis dan keberatan sosial terhadap pemberian pidana oleh Negara, namun ada beberapa teori pembenaran pemberian pidana itu, yaitu teori absolute, relative dan penggabungan.29Van Apeldoorn juga mengemukakan tiga golongan teori pidana: (a) Absolute
27
Romli Atmasasmita. “Penerapan Hukum Pidana dan Asas Non-Retroaktif dalam Pemberantasan Korupsi” dalam Buku "Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi" yang diterbitkan oleh MTI akhir Maret 2005. www.transparansi.or.id April 21, 2005 28 Sutherland dan S. Crressey. The Control of Crime, Pidana dalam Perkembangan Hukum Pidana. Disadur oleh Soedjono D. Tarsito. Bandung. 1974. Hlm. 7-8. 29 Jan Remmelink. Hukum Pidana Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. hlm. 595-598.
566
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
atau vergeldingstheorieen, (b) Relative atau doeltheorieen, (c) Vereenigings atau gemengde theorieen.30 Teori mutlak ialah teori yang membenarkan adanya pidana hanya semata-mata atas dasar tindak pidana yang dilakukan atau karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est), Sedangkan teori relative mencari pembenaran pidana di luar tindak pidana itu, yaitu dalam tujuan yang harus dicapai dengan jalan ancaman pidana dan pemberian pidana. Pidana diberikan supaya orang jangan berbuat jahat (ne peccetur). Teori gabungan atau teori persatuan menyatukan pokok pandangan teori mutlak dan teori relitif bahwa pidana diberikan baik “quia peccatum est” maupun “ne peccetur” Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu: 1) Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen), 2) Teori Relatif atau teori tujuan
(utilitarian/
doeltheorieen). Adapun ciri kedua teori itu adalah sebagai berikut a) Pada teori retribution:
(1)
tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; (2)
pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; (3) kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; (4) pidana harus disesuaikan dengan kesalahan sipelanggar; (5) pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. b) Pada teori utilitarian: (1) tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); (2) pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; (3) hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (missal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; (4) pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat
30
Van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. Cet Ketiga puluh. Pradnya Paramita. Jakarta. 2004. hlm. 331-332.
567
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
untuk pencegahan kejahatan; (5) pidana melihat ke muka (bersipat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsure pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.31 Perkembangan selanjutnya dari tujuan pidana itu adalah selain pembalasan kepada si pelaku kejahatan, juga terdapat tujuan, baik untuk memperbaiki si pelaku maupun upaya pencegahan kepada masyarakat. Menurut Muladi, tujuan pemidanaan itu harus bersifat integratif, dan perangkat tujuan pemidanaan yang bersifat integratif itu adalah: (1) Perlindungan masyarakat; (2) Memelihara solidaritas masyarakat; (3) Pencegahan (umum dan khusus); (4) Pengimbalan/pengimbangan.32 Kecendrungan dari pemidanaan itu adalah adanya kesan untuk menghindari adanya pidana badan, karena pidana badan ini dianggap sebagai suatu jenis pidana yang bersifat klasik. Terlebih dengan issue HAM yang dalam kenyataannya sering dipandang tidak seimbang, dimana penuntutan hak lebih terlihat dari pada kewajiban, pedahal adanya hak tentu berhadapan dengan adanya kewajiban. Deklarasi sejagat tentang Hak Asasi Manusia atau yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 sebenarnya juga tidak hanya mengatur hak-hak semata, seperti ketentuan Pasal 29 ayat (1) “Setiap orang mempunyai kewajiban kepada masyarakat tempat satu-satunya dimana ia dimungkinkan untuk mengembangkan pribadinya secara bebas dan penuh”. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang dalam hukum pidana yang memuat sanksi (pidana) itu terdapat penderitaan, tapi bagaimanapun penderitaan itu ditujukan sebagai “obat”. Sahetapy menyatakan bahwa dalam pengertian pidana (pidana) itu tersimpul unsur penderitaan, tujuan pidana menurutnya adalah “pembebasan” sipelaku dari cara atau jalan keliru yang ditempuh oleh penjahat, karena itu penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar
31 32
568
Muladi dan Barda Nawawi Arief.Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni bandung. 1998. hlm 10. Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. 1992. Hlm.11.
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
sipelaku menjadi menderita akibat suatu pembalasan dendam malainkan harus dilihat sebagai obat untuk memberi kemungkinan bertaobat.33 Sehubungan dengan ketentuan pidana di dalam Qanun-qanun NAD yang bersumber dari Hukum Islam, maka perlu dikaji tentang tujuan dan jenis pidana dalam hukum Islam. Syariat Islam ditetapkan dan dibina untuk kemaslahatan hidup manusia secara totalitas. Larangan melakukan suatu perbuatan pada prinsipnya ada lima tujuan, yaitu untuk melindungi agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta34 . Kelima hal yang dilindungi itu oleh Muhammad Amin Suma disebutkan sebagai lima kebutuhan primer/pokok manusia (al-dharuriyyat al-alkhamsah), yaitu: (1) Jaminan/perlindungan atas agama (hifzh al-din); (2) Jaminan /erlindungan atas jiwa/nyawa atau hak hidup (hifzh al-nafs); (3) Jaminan/perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-‘aql); (4) Jaminan/perlindungan terhadap harta (hifzh al-mal); (5) Jaminan/perlindungan atas kehormatan dan keturunan (hifzh al-‘ardh wa al-nasl).35 Juhaya S. Praja mengemukakan: Tujuan-tujuan hukum Islam itu sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi-fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankannya yang disebut para pakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahshi’l wa al-ibqa’. Oleh karena itu, tujuan hukum Islam pun adalahal-tahshi’l wa alibqa’ atau mengambil maslahat serta sekaligus pula mencegah kerusakan yang biasa disebut jalb al-masha’lih wa daf’ al-mafa’sid.36 (huruf miring dari penulis). Selanjutnya dijelaskan bahwa tujuan hukum islam dari segi pembuat hukum ada tiga, yaitu keharusan berbuat atau tidak, memilih antara melakukan atau tidak dan melakukan atau tidak karena ada atau tidak adanya keharusan keberadaan hukum tersebut. Ketiga tujuan ini dilihat dari segi tingkat dan peringkat kepentingannya bagi manusia, sehingga tujuan hukum Islam dari segi
33
J.E. Sahetapy. Suatu Studi Kasus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Rajawali Pers. 1992. hlm 279-300. 34 Departemen Agama RI, Islam Untuk Disipin Ilmu Hukum. Departemen Agama RI, Jakarta. 2002. hlm. 313. 35 Muhammad Amin Suma “HAM dan KAM dalam Perspektif Hukum Islam” dalam Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional . Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta. 2002. Hlm. 162. 36 Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Pusat Penerbitan Universitas LPPM – Universitas Islam Bandung. Bandung.1995. hlm 100.
569
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
pembuat hukum itu dapat dibagi ke dalam Tujuan primer atau al-diaruriy, tujuan skunder atau alhaajiy, dan tujuan tertier atau al-tahsi’niy.37 A.Djazuli menyatakan bahwa pidana diterapkan demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, karena itu menurut beliau pidana yang baik adalah: a) Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat; b) Tinggi rendahnya pidana sangat tergantung dari kemaslahatan masyarakat; c) Pidana bukan berarti balas dendam; d) Pidana merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat.38
2) Kebijakan Pidana Qanun Aceh Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Pidana Nasional Pembangunan hukum Nasional yang terus-menerus dilakukan, di bidang supermasi hukum, khususnya dalam hukum Pidana, lebih khusus lagi mengenai bentuk pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku, masih dicari bentuk pidana yang sesuai dengan tujuan pemidanaan, yang bermuara kepada kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945. Tujuan Negara menurut UUD 45 untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pidana merupakan masalah yang selalu menguras pikiran dan akan tetap segar sebagai topik diskusi di samping masalah sentral hukum pidana lainnya. Pidana yang oleh Sahetapy dikatakan sebagai nyawa dari hukum pidana, karena hukum pidana tanpa pidana ibarat tubuh manusia tanpa nyawa, tentu akan menjadi mayat, sampai sekarang masih mencari format ideal, terutama mengenai jenis dan pelaksanaanya.
37
I b I d. hlm 101. A. Djazuli. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam). Jakarta. 2000. Hlm. 26-27. 38
570
P.T. RajaGrafindo Persada.
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Masalah sentral dari hukum pidana yang oleh Barda Nawawi Arief terdiri dari (1) perbuatan apa yang semestinya menjadi tindak pidana, dan (2) sanksi apa yang sebaiknya dikenakan terhadap si pelanggar, harus ditambah dengan satu masalah sentral yang paling penting lagi, yaitu masalah bagaimana pidana itu dilaksanakan. Sebab pidana pemasyarakatan yang berasal dari pemenjaraan, sesungguhnya sudah diformat sedemikian rupa sehingga berbeda dengan sistem penjara, tidak banyak membuahkan hasil dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Bahkan ada tudingan yang sulit dibantah kalau lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah bagi penjahat. Banyak sekali keburukan yang dialami oleh seseorang ketika menjalani pidana di penjara. Karena itu, pengalaman dari negara-negara lain adalah lebih baik menerapkan pidana alternatif. Dalam salah satu buku dari abolisionism, Rusman, mengatakan bahwa Indonesia lebih punya pidana alternatif yang lebih baik dari negara barat, yaitu hukuman adat sebagai pemulihan keseimbangan dari apa yang sudah dirusak oleh pelaku. Ini dirasakan lebih baik karena melibatkan masyarakat dan hal ini akan mempercepat sosialisasi.39 Masalah sentral dari hukum pidana yang disebutkan terakhir, yaitu bagaimana pidana itu dilaksanakan (penerapan sanksi pidana) tentu bukan merupakan masalah sederhana, karena melibatkan sistem peradilan pidana yang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Petugas Eksekusi). Dalam banyak hal bekerjanya suatu sistem sangat dipengaruhi oleh subsistem-subsistemnya. Out put yang diharapkan dari suatu sistem dapat saja tidak tercapai hanya karena salah satu subsistem tidak berjalan normal. Dalam sistem peradilan pidana, tuntutan jaksa sangat tergantung kepada hasil penyidikan dari penyidik, begitu selanjutnya sampai ke pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, di mana kesalahan satu subsistem akan berdampak kepada sistem peradilan pidananya. Permasalahan akan bertambah rumit ketika disadari bahwa sistem peradilan pidana sendiri merupakan subsistem dari sistem kemasyarakan yang lebih luas lagi, seperti sistem ekonomi dan sistem politik.
39
Komariah E. Sapardjaja. ”Meninjau Kembali Bentuk-bentuk Hukuman dalam RUU KUHP.” Disampaikan pada seminar Pembaharuan KUHP: Meninjau Kembali Bentuk-bentuk Hukuman dalam RUU KUHP. Bandung, 07 Desember 2005.
571
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Pemberlakuan Pidana cambuk yang menuai pro dan kontra, tentu tidak sederhana. Pidana cambuk sebagai sanksi alternatif, di samping pidana lainnya, tidak banyak memberi harapan kalau tidak didukung oleh komponen lainnya. Keberhasilan pidana cambuk sangat ditentukan oleh komponen lain di dalam penegakan hukum. Membangun materi hukum dengan mencantumkan pidana cambuk sebagai salah satu sanksi alternatif harus diikuti oleh pembangunan komponen lain, sebab hakekat pembangunan hukum adalah pembangunan terhadap komponen-komponen sistemnya secara utuh dan menyeluruh, sedangkan pembangunan materi hukum, lebih khusus lagi masalah pidana yang merupakan bagian dari hukum pidana, hanya merupakan bagian kecil dari sistem hukum yang lebih luas. Pembangunan Hukum bukan hanya diartikan sebagai pembangunan materi hukum semata, seperti yang dikemukakan Gunther Teubner: “Legal development is not identified exclusively with the unfolding of norms, principles, and basic concepts of law. Rather, it is determined by the dynamic interplay of social forces, institutional constraints, organizational structures, and last but not least – conceptual potentials.”40 Adalah Barda Nawawi Arief yang menggambarkan batas-batas kemampuan hukum pidana. Sudarto yang menggambarkan kebijakan kriminal memerlukan disiplin ilmu lain, dan Sahetapy menyatakan masalah pidana harus melibatkan sosiologi hukum. Sahetapy dalam tulisannya mengindikasikan tidak setuju dengan pidana cambuk. Mungkin ketidaksetujuannya ini lebih kepada ketika pidana cambuk itu dilaksanakan melalui mekanisme peradilan yang menurutnya sedang mengalami pembusukan. Dengan demikian, peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis, seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound berikut ini: “The law, in its procedural as well substantive aspects, is essentially made and administered by persons, whose views and interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a ’truism that the quality of justice depends more on the quality of the (persons) who administer the law than on the content of law they administer.”41
40
Gunther Teubner, “Substantive and Reflexive Elements in Modern Law”, Law and Society Reviem, Vol. 17, No. 2 1983. h. 247. Dalam Abdul Gani Abdullah .”Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional” Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi ManusiaRI. Jakarta. 2005. hlm. 3. 41 Frans Hendra Winarta. Reformasi Lembaga Hukum Sebagai Dasar Pelaksanaan Reformasi Hukum Nasional. Oktober 2004. www.komisihukum.go.id
572
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Penulis berpendapat bahwa efektivitas suatu bentuk sanksi pidana sangat tergantung kepada (1) cara penerapan sanksi pidana itu, dan (2) nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Cara penerapan sanksi pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana, selain dasar perundang-undangan yang memadai, harus diisi oleh aparatur yang benar-benar mempunyai komitmen tinggi dalam penegakan hukum. Karena itu, dari faktor-faktor yang berpengaruh di dalam penegakan hukum, tanpa menapikan faktor lainnya, faktor mentalitas petugas sangat memegang peranan penting. Kekurangsempurnaan peraturan perundang-undangan serta keterbatasan sarana masih dapat sedikit teratasi dengan semangat dan mentalitas petugas. Begitu juga dengan kesadaran hukum masyarakat, berangsur dapat ditingkatkan dengan teladan yang diberikan oleh aparatur penegak hukum. Isu pembangunan hukum sebagai suatu sistem perlu menekankan subsistem pembangunan aparatur hukum yang dimulai dari rekrutmen yang bersih dan profesional. Konsep Roscoe Pound, tentang “law as a tool of social engineering” sebenarnya bermakna fungsi hukum membawa perubahan sikap
bagi segenap lapisan masyarakat, termasuk aparat
penegak hukum, fungsi hukum bukan hanya untuk mengubah sikap masyarakat lapisan bawah. Akan tetapi dalam kenyataannya pemahaman akan fungsi dan peranan hukum itu, terlebih lagi hukum pidana, sering disamarkan, sehingga yang menjadi adresat dari hukum itu seolah-olah hanya masyarakat kalangan bawah, dia tidak berlaku bagi kalangan atas, baik aparatur hukum maupun birokrat dalam arti luas. Dengan penekanan kepada pembangunan subsistem aparatur hukum, diharapkan akan terjadi sinergi antara masyarakat dan aparatur hukum,
aparatur hukum
memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan masyarakat mengikuti serta patuh kepada aturan hukum yang diteladankan oleh aparatur hukum. Mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat menjadi lebih rumit ketika kemajemukan bangsa Indonesia disatukan (bhineka tungal ika) yang dilanjutkan dengan upaya unifikasi hukum, unifikasi mana diawali bukan berasal dari salah satu kemajemukan bangsa ini, melainkan berasal dari luar, seperti KUHP dan BW. Penulis setuju kalau nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) itu hilang karena perkembangan masyarakat itu sendiri, namun tidak sedikit 573
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
dari nilai-nilai itu bukan hilang dengan sendirinya, melainkan dihilangkan oleh suatu sistem yang sengaja diciptakan. Sebagai contoh, mengenai beberapa lembaga adat yang ada di Aceh yang tidak diakui keberadaanya oleh beberapa perundang-undangan Pemerintah Daerah. Nilai-nilai yang hilang dengan sendirinya akibat perkembangan masyarakat tidak akan muncul kembali, akan tetapi nilai-nilai yang sengaja dihilangkan akan tetap terasa dalam masyarakat meskipun tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah. Pidana dan jenis pidana juga sangat dirasakan berarti kalau sesuai dengan nilai yang hidup dalam masyarakat. Setiap pidana mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi tersebut dan bagaimana sanksi tersebut dilaksanakan, umpamanya: apakah pidana mati harus dilaksanakan dengan kursi listrik, oleh regu penembak, atau dengan cara digantung, masing-masing mempunyai efek yang berbeda-beda. Demikian pula halnya dengan pidana penjara dalam jangka waktu tertentu, mempunyai arti yang berbeda bagi aneka golongan dalam masyarakat. Muladi dalam tulisannya ketika pembicaraan suatu jenis pidana, yaitu kerja sosial (Community service Order). Pada tahun 1985, Caunsil of Europe mengadakan survai kriminologis tentang alternatif pidana kemerdekaan di negara-negara yang menjadi anggotanya. Dari survai tersebut ternyata pidana kerja sosial merupakan jenis alternatif yang paling banyak diterapkan. Mengenai kemanfaatan dari kerja sosial ini dinyatakan dalam Resolusi 76 (10), tanggal 9 Maret 1976 dari The Committee of Ministers of the Council of Europe antara lain: “a) To study various new alternatives to prison sentence with a view to their possible incorporation into respective legislations and in particular: b) To look into the advantages of community work and more especially the opportunity it provides: - for the offender to make amendes by doing community service; - for the community to contribute actively to the rehabilitation of the offender by accepting his cooperation in voluntary work.”42 Namun demikian, masih ada beberapa negara di Eropa Barat yang belum mengadopsi pidana kerja sosial ke dalam KUHP-nya, yaitu Spanyol, Swedia, Yunani dan Belgia karena keterbatasan
42
574
Dikutip dari Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. UNDIP. 1994-1995, hlm. 262.
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
infrastruktur yang diperlukan untuk penerapan jenis pidana ini. Alasan Swedia tidak memasukkan kerja sosial ke dalam stelsel pidananya adalah: a) masyarakat Swedia adalah masyarakat yang “highlyprofessionalized” dan untuk melakukan pekerjaan profesional tersebut perlu latihan yang intensif. Mengingan CSO tidak dapat bersaing dengan pekerjaan-pekerjaan yang diupah, maka akan sulit sekali menemukan proyek-proyek pelayanan sosial yang cocok. b) Bekerja adalah merupakan hak istimewa dan terhormat dan merupakan bagian penting dari kehidupan sosial, sehingga akan selalu dipertanyakan pembenaran bekerja sebagai sanksi pidana. Persoalan yang ingin diketengahkan adalah apa yang disebutkan terakhir, yaitu walaupun di beberapa tempat, bahkan umumnya pidana kerja sosial dianggap baik dan diterapkan, di Swedia hal ini tidak diterapkan karena bekerja merupakan hak istimewa, sehingga kalau ini diterapkan sebagai salah satu jenis pidana, justru memberikan sanksi positif kepada pelaku tindak pidana. Nilai yang hidup dalam masyarakat Swedia menentukan kerja sosial bukanlah jenis pidana yang dianggap efektif dalam penanggulangan kejahatan. Pidana cambuk yang dicontohkan oleh Sahetapy di Singapura barangkali tidak dapat disamakan dengan penerapan pidana cambuk di negara-negara lain. Khusus mengenai kebijakan pidana cambuk di Aceh, setidaknya berangkat dari asumsi: Pertama bahwa masyarakat Aceh yang nilai-nilai hidupnya berdasarkan Agama Islam dan pidana cambuk merupakan salah satu pidana di dalam hukum Islam, maka pidana ini dapat diasumsikan akan efektif, karena dalam hukum Islam ada dimensi lain, yaitu menjalankan hukum Islam, termasuk penerapan sanksi, merupakan bagian dari ibadah, sehingga pidana cambuk benar-benar memberikan efek terhadap pelaku kejahatan. Kedua dapat dijadikan untuk mengatasi permasalahan selama ini, yaitu sangat terbatasnya jenis pidana (sebagai "obat/remedium") yang dapat dipilih. Tidak sedikit dalam perundang-undangan selama ini digunakan sistem perumusan sanksi pidana yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara tunggal dan kumulatif. Sistem demikian tentunya 575
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
kurang memberi peluang atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana mana yang dianggapnya paling tepat bagi si terpidana. Dengan adanya jenis pidana cambuk dapat memperkaya jenis pidana dan hakim dapat memilih pidana apa yang akan dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Pernyataan ini tentu tidak menapikan keterbatasan kemampuan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Kejahatan bukanlah masalah yuridis semata, melainkan masalah sosial. Sebagai masalah sosial, tentu penanggulangannya tidak cukup dengan mengandalkan sarana hukum pidana. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kekaffahan syariat Islam di Aceh. Pidana cambuk akan efektif mana kala syariat Islam telah secara kaffah diterapkan di Aceh sehingga orang Aceh lebih takut kepada azab akhirat daripada pidana di dunia. Memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adalah suatu keharusan dalam konteks pembangunan hukum, khususnya pembaruan hukum pidana. Kongres PBB tahun 1976 (Fifth UN Congress on Prevention of Crime and the Treatment of Offenders) menyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh Kongres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan. Bahkan dinyatakan bahwa kebijakan pembangunan (termasuk di bidang hukum) yang mengabaikan nilai-nilai moral dan kultural, antara lain dengan diberlakukannya hukum asing warisan kolonial dapat menjadi faktor kriminogen. Kiranya kebijakan pidana dalam qanun Aceh merupakan salah satu wujud akomodasi yang ideal dalam pembangunan hukum, sebab pembangunan hukum nasional harus berwawasan nasional yang meliputi wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhineka tunggal ika. Ketiga wawasan ini harus seimbang; Dengan
Wawasan Kebangsaan, hukum pidana nasional harus
berorientasi kepada kepentingan bangsa Indonesia, dengan wawasan nusantara hukum pidana 576
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
nasional harus satu kesatuan atau unifikasi, dan demi keadilan harus diperhatikan wawasan bhineka tunggal ika yang menghormati latar belakang sosial budaya yang berbeda. Program legislasi Nasional harus mengkaji lebih dalam tentang adanya modal dasar bangsa Indonesia, yaitu kebinekaan. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa sebaiknya dalam membangun hukum nasional, diutamakan asas yang umum diterima bangsa-bangsa tanpa meninggalkan asas hukum asli atau hukum adat yang masih berlaku dan relevan dengan kehidupan dunia modern.43 Selanjutnya dikemukakan bahwa “pedoman yang dapat digunakan dalam membangun hukum nasional adalah untuk mengusahakan kesatuan apabila mungkin, membolehkan keanekaragaman bila keadaan menghendakinya, tetapi bagaimanapun juga mengutamakan kepastian. (Unity whenever possible diversity where desireable, but above all certainty).”44 Untuk menjaga kemajemukan bangsa Indonesia, kebijakan pidana yang dituangkan dalam perundang-undangan tingkat lokal seperti di dalam Qanun Aceh, kiranya suatu perkembangan baru di dalam pembangunan hukum Nasional, khususnya hukum pidana. Hal ini seperti diusulkan oleh Andi Hamzah dengan meniru ketentuan pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan dari DPR. Pasal ini menyebutkan: "In situation where the autonomous areas inhabited by ethnic group cannot completely apply the stipulation of this Law, the organ of state power of the autonomous regions or of the provinces may formulate alternative or supplementary provisions of the local ethnic groups and the basic principles of the stipulation of this Law, and these provisions shall go into effect after they have been submitted to and approved by the Standing Committee of the National People's Congress." Terkait dengan wawasan nusantara yang diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya sebagai satu kesatuan. Dalam pembangunan hukum tentunya harus ada satu kesatuan hukum. Dalam hal ini Bagir Manan menyatakan bahwa adanya “satu hukum” tidak selalu harus diartikan sebagai “ada kesatuan hukum (Unifikasi)” yang (akan) berlaku bagi
43
Muchtar Kusumaatmadja. Konsep Hukum dalam Pembangunan, Ed, H.R. Otje Salman S dan Eddy Damian, Alumni, Bandung. 2002. hlm. 187 44 Ibid. hal 188. Lihat juga. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I. Alumni Bandung. 2000. hlm. 133.
577
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
semua warga Negara atau penduduk Indonesia. Satu hukum Nasional disusun dengan sungguhsungguh memperhatikan kemajemukan masyarakat.45 Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan: Kenyataan bahwa harus dibangun suatu sistem hukum nasional yang satu atau mempersatukan bangsa Indonesia berdasarkan asas-asas atau konsep hukum yang umum dengan memadukannya dengan asas-asas dan konsep hukum adat atau dalam hal-hal tertentu asas-asas dan konsep hukum Islam bisa dianggap suatu beban atau suatu keuntungan.46 Sebagai masyarakat yang religius, maka nilai agama adalah salah satu yang kuat dipegang masyarakat Indonesia, karena itu pembangunan hukum nasional harus memperhatikan aspek dan tata nilai yang diyakini masyarakat Indonesia, yaitu agama. Pengaruh agama di dalam menyusun Hukum Nasional tidak dapat dihindari.Di mana pun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Sebagai contoh adalah Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, akan tetapi dalam kenyataannya hukum Hindu masih memengaruhi hukum India modern. Bahkan ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Budhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Mengingat hukum agama adalah hukum yang hidup dalam masyarakat maka negara tidak dapat merumuskan hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakatnya sendiri. “Dalam merumuskan kaidah hukum positif lainnya, para perumus harus pula merujuk pada faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah hukum yang hidup.”47 Pembangunan Hukum Pidana dengan pemidanaan sebagai salah satu masalah sentralnya, juga harus mengakomudasi nilai-nilai yang hidup tersebut. pemidanaan
dalam perspektif
bangsa
Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pemidanaan dalam perspektif Pancasila antara lain 45
haruslah berorientasi pada prinsip pengakuan manusia
Bagir Manan “Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional”, Makalah disampaikan pada Kuliah Pendahuluan (Pra Pasca) Program Ilmu Hukum Pascasarjana UNPAD, Tgl 1 Oktober 1994. hlm. 9. 46 Muchtar Kusumaatmadja. Loc.cit. hlm. 186. 47 Lihat Yusril Ihza Mahendra dalam ”Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia” makalah yang dia sampaikan dalam seminar internasional ”Islamic Law in Southeast Asia: Opportunity and Challange” di Jakarta 13-12-07.
578
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
sebagai makhluk Tuhan. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama mana pun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana agar bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Jadi pemidanaan harus berfungsi pembinaan mental orang yang dipidana dan mentransformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius. Berdasarkan uraian di atas, kebijakan pidana qanun Aceh dalam persfektif pembangunan hukum pidana, khususnya ancaman pidana cambuk yang merupakan bagian dari jenis pidana dalam Agama Islam dapat memperkaya sanksi alternatif untuk mencari bentuk pidana yang ideal dalam menanggulangi kejahatan. Di sisi lain, sebagaiamana dalam bab terdahulu, qanun hanya memuat sanksi berupa pidana (uqubat), sanksi tindakan tidak ditemukan di dalam beberapa qanun yang sudah ditetapkan. Dalam hukum pidana, perkembangan pemikiran tentang penerapan sanksi pidana melalui dua jalur (double track system) sudah diakomodasi di dalam RUU KUHP. Hendaknya di dalam qanun juga hal tersebut diperhatikan, umpamanya dengan mencantumkan sanksi tindakan berupa penempatan terpidana untuk beberapa waktu di Dayah (Pondok Pesantren). Pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang memungkinkan setiap masyarakat dapat menerapkan hukum yang hidup tersebut walaupun tidak terdapat dalam KUHP, telah diakomodasi di dalam rancangan KUHP. Asas legalitas yang selama ini dianut di dalam hukum pidana mengalami perkembangan dari legalitas formal kepada legalitas materil. Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.“ Ketentuan ini dikecuwalikan oleh ayat (3) yang menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.“ Ketentuan tersebut kiranya belum cukup untuk memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat, karena yang ditentukan dalam Pasal 1 tersebut adalah menganai perbuatan yang dapat 579
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
dihukum, tidak termasuk jenis pidana apa yang dijatuhkan. Pengertian legalitas sendiri adalah Nulla poena sine lege: “tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut Undang-undang“ Nulla poena sine crime: “tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.“ Nula crimen sine poena legali: “tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.“ Dengan pengertian lain asas legalitas bukan hanya dimaknakan sebagai tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ketentuan yang mendahuluinya, melainkan tiada pidana yang dapat dikenakan tanpa ketentuan yang mendahuluinya. Jadi, dalam
KUHP nanti ketentuan seperti Pasal 1 tersebut harus ditambahkan dengan
ketentuan jenis pidana yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dengan ketentuan tersebut hukum yang hidup dalam masyarakat, baik mengenai perbuatan pidana maupun jenis pidana dapat berlaku dan mendapat legitimasi di dalam KUHP sebagai induk dari Hukum Pidana materil.
Dalam
rancangan KUHP memang terdapat ketentuan mengenai pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup, namun ketentuan ini merupakan jenis pidana tambahan. Agar pidana setara dengan perbuatan pidana, maka sebaiknya ketentuan tersebut mendapat pengaturan dengan porsi yang sama antara tindak pidana dan pidana.
KESIMPULAN Dalam perspektif pembangunan hukum pidana nasional, kebijakan pidana Qanun Aceh sebagai perangkat aturan daerah, dapat dijadikan dasar menuju pembangunan sistem hukum nasional yang berwawasan nasional. Terdapat tiga wawasan dalam pembangunan hukum nasional yang harus diakomudir secara seimbang, yaitu wawasan Kebangsaan, wawasan Nusantara dan wawasan Bhineka Tunggal Ika. Disarankan agar perlu segera dibuat Qanun Acara Jinayah yang dapat mengakomudir keperluan dalam penerapan qanun jinayah. Pidana cambuk hendaknya dijadikan pidana alternatif dan bukan satu-satunya pidana. Di samping itu perlu revisi qanun jinayah, terutama mengenai sistem sanksi harus menganut double track system yang mencantumkan sanksi 580
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
berupa pidana dan tindakan. Saran terakhir, KUHP Nasional
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
sebagai induk dari Hukum
Pidana materil hendaknya memuat aturan yang dapat dijadikan payung hukum sehubungan dengan tuntutan beberapa daerah dalam menerapkan ketentuan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Hanafi, 1990, Asas-asas hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Arif Furqan dkk, 2002, Islam Untuk Disipin Ilmu Hukum, Departemen Agama, Jakarta. A. Djazuli, 2000, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).
P.T.
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung. Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Haliman, 1971, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah. Bulan Bintang Jakarta. Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, Russell & Russel, New York. Hasbi Ash-iddieqy, 1963, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undangundang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Jimly Asshiddiqie, tt, ”Ideologi, Pancasila dan Konstitusi”. Mahkamah Konstitusi. Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam. Pusat Penerbitan Universitas LPPM – Universitas Islam Bandung. Bandung. J.E. Sahetapy, 1992, Suatu Studi Kasus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Pers, Jakarta. 581
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Komariah Emong Sapardjaya, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Sudi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni Bandung. Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum
Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum ( d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta. Maria
Farida
Indrati
Soeprapto,
1998,
Ilmu
Perundang-undangan.
Dasar-dasar
dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I. Alumni Bandung. Muchtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep Hukum dalam Pembangunan, Ed, H.R. Otje Salman S dan Eddy Damian, Alumni, Bandung. Mohammad Daud Ali, 1998, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhammad Tahir Azhary, 2003, Negara Hukum, Suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam. Implementasinya p-ada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Prenada Media. Jakarta. Muhammad Amin Suma, 2002, “HAM dan KAM dalam Perspektif Hukum Islam” dalam Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni Bandung. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung. Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. Muladi, 1994, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. UNDIP, Semarang. Nukthoh Arfawie Kurde, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
582
Kebijakan Pidana Qanun Aceh dalam Preskriptif Kebijakan Hukum Pidana Mohd. Din
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67, Th. XVII (Desember, 2015).
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Ed. Aman Sembiring Meliala dan Agus Takariawan. Mandar Maju. Bandung. R. Atang Ranuemihardja, 1984, Hukum Pidana, azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat Beberapa Sarjana. Tarsito, Bandung. Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Syistem dan Implementasinya. Raja Garafindo Persada, Jakarta. Soedarto, 1974, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum tata Negara Indonesia. Alumni. Bandung. Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru Bandung. Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian tentang Negara Hukum. Alumni Bandung. Sutherland dan S. Crressey, 1974, The Control of Crime, Pidana dalam Perkembangan Hukum Pidana, Disadur oleh Soedjono D. Tarsito, Bandung. Van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum. Cet Ketiga puluh.Pradnya Paramita. Jakarta.
583