Majalah
KEAMANAN PANGAN VOLUME 28 TAHUN XIV 2015
PANGAN AMAN UNTUK SEMUA
Cemaran
Deteksi Molekuler Mikroba Pencemar Pangan
Profil Program
Kiprah Kader Keamanan Pangan Desa
ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS) sebagai Bentuk Kerjasama ASEAN di Bidang Keamanan Pangan
dari redaksi
Info Utama
DAFTAR ISI VOLUME 28 TAHUN XIV 2015
Tantangan Keamanan Pangan dalam MEA 2016
K
eamanan pangan merupakan faktor utama yang perlu mendapat perhatian, baik oleh pemerintah, produsen maupun konsumen. Tantangan keamanan pangan menjadi meningkat seiring dengan semakin terbukanya pasar dan perdagangan global, terutama dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2016. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah peredaran dan distribusi pangan yang semakin luas dan mudah. Apalagi setiap Negara ASEAN memiliki regulasi dan standar yang berbedabeda, sehingga diperlukan harmonisasi dan peningkatan jaminan keamanan pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibentuklah ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS), yang bertujuan membantu negara-negara ASEAN dalam meningkatkan keamanan pangan, serta memfasilitasi isu perdagangan dan rencana strategis terkait keamanan pangan. Majalah Keamanan Pangan edisi ini secara khusus mengulas peranan dan fungsi AEGFS, dimana Indonesia terlibat aktif dalam forum tersebut. Untuk mendukung keamanan pangan, tentunya diperlukan metode deteksi yang mutakhir, diantaranya dengan menggunakan deteksi molekuler, yang juga menjadi salah satu pembahasan dalam edisi ini. Isu mengenai alergen beserta pelabelannya, iklan susu formula, dan juga pengawasan pangan fortifikasi wajib juga menjadi diskusi menarik dalam majalah ini. Tidak kalah menariknya adalah pembahasan mengenai produk pangan tradisional, seperti moci, yang juga disajikan beserta tips keamanan pangannya. Semoga informasi yang kami berikan bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Selamat membaca,
03
Info Utama
ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS) sebagai Bentuk Kerjasama ASEAN di Bidang Keamanan Pangan
Profil Program Kiprah Kader Keamanan Pangan Desa
Wawasan Kemasan Cerdas Pengawasan Pangan Fortifikasi Wajib
Regulasi Alergen Pangan dan Penandaannya pada Label Kemasan Iklan Susu Formula
9 14 17
ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS) sebagai Bentuk Kerjasama ASEAN di Bidang Keamanan Pangan
20 23
Teknologi Pangan Si Mungil Moci
25
Peristiwa Workshop Monitoring Evaluasi Gerakan Keamanan Pangan Desa “Membangun Desa Pangan Aman” Peresmian Food Safety Corner Badan Pom Audiensi Badan POM Dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
27 28 29
Cemaran Deteksi Molekuler Mikroba Pencemar Pangan
30
Pemimpin Redaksi Penasehat : DR. Roy A. Sparringa, MAppSc, Pengarah : Drs. Suratmono, MP, Drs. Halim Nababan, MM, Drs. Mustofa, Apt, M.Kes, Ir. Tetty H Sihombing, MP, Dra. Elin Herlina, Apt, MP, Dra. Nany Bodrorini, Apt, Pemimpin redaksi/Penanggung Jawab : Drh. A.A. Nyoman Mertanegara, Redaktur pelaksana : Yustina Muliani, M.Si, Yanti Ratnasari, SP, MP, Yanti Kamayanti Latifa, SP, M.Epid, Fauzi Achmadi, STP, MP, Indra Pramularsih, SFarm, Apt, Editor : Chyntia Dewi Nurhayati Suharma, S.T.P., Vinni Rahayu Ningsih, SFarm, Apt., Disainer layout : PT. Media Pangan Indonesia Sirkulator : Hasan Hidayat, Dadi Styawan, SH
Oleh : Retno Anggrina Khalistha Dewi, S.Si., Apt. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
Alamat Redaksi Jl. Percetakan Negara No. 23, Gd. F. Lt. II Jakarta Pusat 10560 Tlp. 021 428 78701, Fax. 021 428 78701 e-mail
[email protected]
K
erjasama ASEAN Bidang Kesehatan
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara yang dibentuk pada tahun 1967 sebagai wadah kerjasama politik, ekonomi dan stabilitas regional. Organisasi regional ini berada dalam satu wadah asosiasi karena adanya suatu kepentingan bersama dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam keanggotaan dengan landasan utama kerja sama adalah musyawarah untuk saling membantu demi kepentingan bersama. Kerja sama regional
ini bersifat kooperatif, sehingga negara-negara anggota ASEAN sepenuhnya memiliki kedaulatan ke dalam maupun ke luar. Salah satu bentuk kerjasama ASEAN adalah dalam bidang kesehatan, hal ini sesuai dengan Piagam ASEAN yang diratifikasi ke dalam UndangUndang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara (Charter of the Association of Southeast Asian Nations), yaitu terdapat beberapa forum koordinasi bidang kesehatan terkait negara-negara anggota ASEAN. Forum koordinasi tertinggi bidang kesehatan adalah yang
melingkupi tingkat Menteri Kesehatan ASEAN, yaitu Badan Kementerian Sektoral ASEAN bidang kesehatan atau ASEAN Health Ministers Meeting (AHMM). Dalam melaksanakan perannya, AHMM dibantu oleh Senior Officials Meeting on Health Development (SOMHD) yang menjalankan fungsi koordinasi dan penetapan keputusan-keputusan yang bersifat managerial. Berdasarkan kesepakatan pada pertemuan AHMM ke-10 tahun 2010 yang kemudian didukung pula pada pertemuan AHMM ke-11 tahun 2012, terdapat 10 (sepuluh) subsidiary bodies/ working group/ task force yang Majalah Keamanan Pangan | 3
bertugas melaksanakan work plan yang bersifat regional di bawah koordinasi Focal Point subsidiary bodies, serta 6 (enam) non-badan subsider bidang kesehatan. Badan subsider adalah kumpulan dari Focal Point 10 (sepuluh) Negara anggota ASEAN yang dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan kerjasama dalam satu area spesifik melalui mekanisme yang telah disepakati. Beberapa badan subsider ASEAN di bidang kesehatan adalah: 1. ASEAN Working Group on Pharmaceutical Development (AWGPD), 2. ASEAN Task Force on AIDS (ATFOA), 3. ASEAN Experts Group on Communicable Diseases (AEGCD), 4. ASEAN Experts Group on Food Safety (AEGFS), 5. ASEAN Working Group on Pandemic and Preparedness Response (AWGPPR), 6. ASEAN Focal Point on Tobacco Control (AFPTC), 7. ASEAN Task Force on Maternal and Child Health (ATFMCH), 8. ASEAN Task Force on NonCommunicable Diseases (ATFNCD), 9. ASEAN Task Force on Tr a d i t i o n a l Medicine (ATFTM), 10. ASEAN Mental Health (AMT). Sedangkan non-badan subsider adalah kumpulan dari Focal Point 10 (sepuluh) Negara anggota ASEAN/ ASEAN Plus Three yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan ASEAN Strategic Framework on Health Development 2010 – 2015 untuk menindaklanjuti amanat Joint Statement AHMM. Non-badan subsider ini tidak mempunyai mekanisme rapat reguler,
4 | Majalah Keamanan Pangan
namun langsung berada di bawah supervisi SOMHD. Nonbadan subsider ASEAN bidang kesehatan yaitu: 1. Focal Point of Increase Access to Health Services for ASEAN People, 2. Focal Point of Migrant Health, 3. Health Impact Assessment, 4. ASEAN Plus Three Universal Health Coverage Network, 5. ASEAN Plus Three Field E p i d e m i o l o g y Tr a i n i n g Network, dan 6. E-Health Bulletin. Tiap badan subsider memiliki Focal Point yang akan mewakili AMS dalam setiap komunikasi, kegiatan di tingkat nasional dan regional, serta dalam tiap pertemuan teknis. Hasil keputusan badan subsider akan diangkat ke tingkat SOMHD tiap 1 tahun sekali untuk disepakati dan selanjutnya diresmikan pada pertemuan Menteri Kesehatan ASEAN/ AHMM dalam kurun waktu dua tahun sekali. Focal Point badan subsider bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan melalui Sekretaris Jenderal.
ASEAN Experts Group on Food Safety (AEGFS)
Keamanan pangan merupakan salah satu aspek penting dari kerjasama ASEAN di bidang kesehatan. Kerangka kerjasama ASEAN senantiasa melakukan upaya terpadu untuk memastikan pergerakan pangan yang aman, sehat dan berkualitas. Dalam lingkup kerjasama tersebut, AEGFS merupakan salah satu badan subsider ASEAN yang memiliki peran penting, utamanya keamanan pangan. Sesuai dengan hasil KTT ASEAN di Bali pada bulan Oktober 2003, para pemimpin ASEAN mendeklarasikan Bali Concord II untuk bersama-sama
membentuk Komunitas ASEAN. Komunitas tersebut mencakup tiga pilar, yaitu Political and Security Community, Economic Community, dan Socio-Cultural Community yang saling bersinggungan dan saling mendorong dalam rangka mendukung terciptanya perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan bersama. AEGFS berkontribusi terhadap implementasi Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Blueprint/ ASCC Blueprint), terutama terkait dengan poin B3 Peningkatan Keamanan dan Ketahanan Pangan, dimana tujuan strategis pada poin B3 ini adalah menjamin akses pangan yang memadai setiap saat bagi seluruh rakyat ASEAN dan menjamin keamanan pangan di Negara anggota ASEAN. Berdirinya AEGFS dalam hal ini memiliki tujuan untuk membantu pemerintah di setiap Negara anggota ASEAN dalam memperkuat sistem keamanan pangan nasional yang berorientasi pada masyarakat, serta berupaya mengembangkan program bersama antara Negara anggota ASEAN di bidang keamanan pangan. Salah satu kegiatan pokok AEGFS berupa capacity building dan pertukaran informasi terkait keamanan pangan diantara Negara anggota ASEAN. Dalam rangka mengimplementasikan tugas pokok dan fungsinya, AEGFS mengembangkan ASEAN Food Safety Improvement Plan (AFSIP) yang berisi rencana aksi yang akan dilaksanakan selama jangka waktu 5 (lima) tahun. Pelaksanaan rencana aksi tersebut dievaluasi tiap akhir periode. AFSIP I berlaku dari tahun 2004 – 2008. Sejalan dengan berakhirnya AFSIP I pada tahun 2008, maka rencana
aksi yang baru diformulasikan kembali dan diberi nama AFSIP II. AFSIP II terdiri atas 7 (tujuh) Focus Area, sebagai berikut: 1. Legislation dengan lead country Philippines 2. Laboratories dengan lead country Singapore 3. Monitoring and Surveillance dengan lead country Malaysia 4. Implementation of food safety systems dengan lead country Thailand 5. F o o d I n s p e c t i o n a n d Certification dengan lead country Malaysia 6. Information Sharing dengan lead country Thailand 7. Consumer Participation and Empowerment dengan lead country Indonesia Focal Point AEGFS untuk Indonesia diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 167/ MENKES/SK/IV/2013 tanggal 16 April 2013 tentang Susunan Keanggotaan Focal Point The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Bidang Pembangunan Kesehatan – Indonesia, yaitu Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM dan Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan. AEGFS memiliki agenda rutin setiap tahun yang wajib diikuti oleh Focal Point dari setiap Negara anggota ASEAN (ASEAN Member States/ AMS). Sesuai rotasi alphabet, pada tahun ini posisi Indonesia sebagai Chair/ host country pada 12 th Meeting of AEGFS dan bertindak selaku Vice-Chair adalah Lao PDR.
Penyelenggaraan 12TH AEGFS di Yogyakarta, Indonesia
Pada tanggal 20 – 22 Oktober 2015, Direktorat Surveilan
Pembukaan 12th Meeting oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY yang ditandai dengan pemukulan gong
dan Penyuluhan Keamanan Pangan bekerja sama dengan Biro Kerjasama Luar Negeri, telah menyelenggarakan 12 th Meeting of AEGFS di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 65 (enam puluh lima) peserta, dengan peserta dari ASEAN Member States (AMSs), ASEAN Sectoral Bodies, Development Partners, serta ASEAN Sekretariat. Acara ini juga dihadiri oleh lintas sektor di dalam negeri, diantaranya Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kesehatan, D i re k t o r a t B i n a P ro d u k s i dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Badan Ketahanan Pangan DIY. Lintas unit yang turut serta menghadiri acara ini adalah Biro Kerjasama Luar Negeri, Biro Hukum dan Humas, Balai Besar POM di Yogyakarta, unit eselon II di Kedeputian III serta staf di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 12th AEGFS Meeting dibuka secara resmi pada tanggal 20 Oktober 2015 pagi, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY yang ditandai dengan pemukulan gong. Pada acara pembukaan, Kepala Badan POM, Dr Roy A. Sparringa, M.AppSc juga
memberikan sambutan dengan menggarisbawahi pentingnya persatuan negara-negara anggota ASEAN dalam menjaga keamanan pangan. Setelah itu, terdapat acara penyerahan cinderamata oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada para ketua delegasi dilanjutkan dengan pertemuan AEGFS yang dimulai dengan penyerahan chairmanship dari Kamboja selaku outgoing chair kepada Drs. Suratmono, MP., Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM selaku chair dan Dr Sivong Sengaloundeth, Deputy Director of Food and Drug Department, Ministry of Health Lao PDR selaku Vice-Chair pada 12th AEGFS Meeting. Agenda awal pertemuan ini membahas outcome dari beberapa pertemuan internal ASEAN maupun yang terkait dengan ASEAN Sectoral Bodies dan Working Group. Beberapa hal penting yang disampaikan antara lain mengenai ASEAN Food Safety Policy yang telah diendorse pada 10th SOMHD pada bulan September 2015 di Da Lat, Viet Nam. Selain itu beberapa kesepakatan pada SOMHD terkait keamanan pangan yaitu mengenai pencantuman input/ usulan dari AEGFS pada draft Regional Strategies of the Post-2015 Health Priorities dan Majalah Keamanan Pangan | 5
Para peserta 12TH AEGFS Meeting sedang berdiskusi endorsement terhadap plan of action pada MOU ASEAN China dibidang kesehatan. 12th AEGFS Meeting tahun ini menjadi penghujung program kerja AEGFS yaitu ASEAN Food Safety Improvement Plan (AFSIP) II sekaligus sebagai penghantar program kerja yang baru. Berdasarkan kesepakatan dari SOMHD, food safety kini menjadi salah satu klaster dalam ASEAN Regional. Sehingga AEGFS sebagai satu-satunya working group di bidang keamanan pangan perlu lebih berperan aktif dalam penjaminan keamanan pangan. Hal tersebut menjadi salah satu topik penting beserta pembahasan target dan indikatornya. Selain itu, dibahas pula kelangsungan programprogram yang memegang peranan penting secara regional, seperti kesinambungan ASEAN Risk Assessment Center (ARAC) dan Consumer Participation and Empowerement (CPE). Pada pembahasan Focus Area Monitoring & Surveillance, terkait ARAC, dengan adanya endorsement 4 (empat) Standard Operating Procedures ARAC pada 10th SOMHD, maka perlu adanya update nominasi
6 | Majalah Keamanan Pangan
personil pada Scientific Committee, Scientific Panels, dan ARAC’s focal points. Terkait aktivitas ARAC dalam hal pilot kajian risiko, usulan kajian risiko yang telah disetujui adalah kajian risiko Aflatoxin B1 pada jagung dan kacang serta Salmonella pada ayam. Malaysia dan Indonesia sebagai lead country pada kajian risiko Aflatoxin B1 pada jagung dan kacang. Sementara Indonesia bertindak sebagai lead country pada kajian Salmonella pada ayam, berkolaborasi dengan Kamboja. Selain itu topik kajian risiko yang juga disetujui adalah siklamat yang diusulkan oleh Product Working Group on Prepared Foodstuff (PFPWG). 12th AEGFS Meeting sepakat untuk mengendorse usulan work plan ARAC yang disampaikan oleh Malaysia yang mencakupi 4 (empat) aktivitas utama ARAC, antara lain : preparatory workshop for submission of risk assessment; launching of ARAC; 1st Scientific Committee meeting dan 1 st scientific panel meeting. Dalam hal CPE, Indonesia selaku lead country menyampaikan hasil Inception Workshop of CPE yang telah diselenggarakan pada tanggal
4 – 5 Agustus 2015 di Hotel Ambhara, Jakarta, dengan beberapa kesepakatan yang diperoleh pada pertemuan tersebut antara lain: (a) Survei CPE merupakan salah satu perangkat yang dibutuhkan untuk pengembangan program CPE di masing-masing negara; (b) Menyetujui outline dari country profile; (c) Menyetujui perlunya preliminary report pada implementasi CPE. Pertemuan ini menyepakati perlunya tambahan waktu bagi AMS untuk memfinalisasi country profile hingga akhir Oktober 2015. Sedangkan pada pembahasan Focus Area on Food Inspection and Certification, disepakati bahwa food safety response system di ASEAN menjadi salah satu aktivitas penting dari AEGFS post 2015. Pada pertemuan ini terdapat open session di hari kedua penyelenggaraan yang dihadiri oleh ASEAN Food and Beverage Association (AFBA) selaku salah satu ASEAN Sectoral Bodies dan beberapa Development Partners yaitu World Health Organization (WHO), International for Life Science Institute (ILSI) dan ARISE Regional Integration Support from EU (ARISE). Dalam kesempatan ini, WHO menyampaikan penerapan strategi di bidang keamanan pangan dan mengemukakan pentingnya koordinasi nasional diantara stakeholder terkait keamanan pangan untuk menghindari duplikasi aktivitasaktivitas keamanan pangan yang dilakukan. Perwakilan ILSI-SEAR mengemukakan kegiatan yang saat ini menjadi prioritas antara lain ASEAN Food Consumption Database; ASEAN Risk Profiling Wo r k s h o p ; d a n A S E A N Technical Guidance on Food Additives and Flavourings. Penyelenggaraan workshop
mengenai risk profiling direncanakan pada bulan Maret 2016. Terkait hal tersebut delegasi Indonesia menekankan pentingnya partisipasi aktif dari seluruh AMS pada ASEAN Risk Profiling Workshop, untuk menyamakan pemahaman mengenai risk profiling di antara AMS. ARISE selaku developing partner AEGFS menyampaikan dukungan terhadap beberapa kegiatan AEGFS, antara lain pengembangan ASEAN Food Safety Policy, dukungan tenaga ahli pada mapping exercise of food regulatory AMS dan pada kegiatan CPE, serta dukungan ARISE pada pengembangan dan operasionalisasi ARAC. Selain diskusi dan pemaparan, diselenggarakan juga jamuan makan malam
resmi (welcome dinner) pada hari Selasa, 20 Oktober 2015 malam bertempat di pendopo Gadri, Bale Kambang yang terletak di dalam area hotel Royal Ambarrukmo. Pada jamuan makan malam tersebut para delegasi disuguhi sendratari ramayana mini dan diiringi alunan gamelan yang mengiringi jalannya acara. Jamuan makan malam ini merupakan ajang ramah tamah antar delegasi dan peserta 12 th AEGFS Meeting sekaligus merupakan kesempatan untuk memperkenalkan tarian dan kuliner khas DIY. Acara ditutup dengan kunjungan peserta ke area museum mini yang berada di lokasi pendopo Gadri dengan didampingi juru kunci museum. Pada penghujung acara 12th
AEGFS Meeting ini, salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah kesepakatan mengenai Regional Strategies and Targets for Food Safety. 12 th AEGFS Meeting ditutup oleh Drs. Suratmono, MP selaku chair pada 12 th AEGFS Meeting ini. AEGFS meeting selanjutnya akan dilaksanakan di Kamboja selaku host country pada 13 th AEGFS Meeting. Pasca meeting AEGFS, diharapkan tidak hanya progress dari beberapa program AEGFS, namun juga peningkatan kiprah AEGFS selaku satu-satunya working group yang ada di klaster keamanan pangan di Regional Strategy for Health Development di ASEAN.
Tabel 1. FINALISATION OF THE REGIONAL STRATEGIES, INDICATORS, TARGETS, AND REGIONAL ACTIVITIES FOR ASEAN POST-2015 HEALTH DEVELOPMENT AGENDA, CLUSTER 4 : FOOD SAFETY Regional Strategies
Regional Targets
Note
Enhance regional mechanism for strengthening food control system in ASEAN Member States based on ASEAN Food Safety Policy by:
Target 1: Having scientific 1. Strengthening risk communication database and network on risk networks on food safety (i.e. assessment for food safety through INFOSAN, ARASFF, ASEAN Food the ARAC. Safety Network) will be use as an indicators for programme indicators
a. providing the scientific advice for developing evidence-based food safety risk management measures
Target 2: All Member States that implemented a risk-based food safety measures based on risk assessment.
2. Having a [capacity building programme for food control system] work programme on food safety will be use as an indicators for programme indicators
b. improving and enhancing utilization of appropriate mechanism for food safety information sharing, and rapid response in food safety issues or crisis
c. promoting cross-sectoral collaboration
d. providing necessary mechanisms and capacity building to minimize differences among the national food control systems
Majalah Keamanan Pangan | 7
Profil Program
Workshop on Consumer Engagements on Food Safety Network Oleh : Yanti Kamayanti Latifa, S.P., M.Epid Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
Para peserta workshop, perwakilan dari 9 negara berfoto bersama ASEAN secretariat dan ARISE
P
ada tanggal 4-5 Agustus 2015 telah dilaksanakan Workshop on Consumer Engagements on Food Safety Network di Hotel Ambhara, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan atas kerjasama Badan POM (c.q Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan), ASEAN Secretariat dan ASEAN Regional Integration Support from the EU (ARISE). Workshop tersebut merupakan bagian dari program Consumer Participation and Empowerment yang menjadi salah satu fokus area ASEAN Food Safety Improvement Plan (AFSIP) pada forum ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS). Indonesia ditunjuk menjadi lead project untuk fokus area tersebut. Workshop tersebut dihadiri oleh AEGFS Focal Point dari 9 Negara ASEAN Member States (AMS) yaitu Brunei Darussalam, Cambodia, Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Viet Nam. Singapura tidak
8 | Majalah Keamanan Pangan
hadir pada workshop tersebut. Workshop tersebut bertujuan untuk diseminasi sekaligus persamaan persepsi Guidelines for Consumer Participation and Empowerment diantara negara ASEAN. Workshop dibuka oleh Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Drs. Halim Nababan, MM. Acara dilanjutkan dengan presentasi oleh Mr. Rajinder Raj Singh dari ARISE dan Mrs. Jintana Sriwongsa dari ASEAN Secretariat. Setelah pembukaan selesai, agenda pokok workshop dimulai dengan presentasi oleh konsultan yang ditunjuk ARISE yaitu Dr. Yadi Haryadi. Beliau menjelaskan Pedoman analisis situasi, Kuesioner dan format laporan yang akan digunakan oleh ASEAN Member States untuk analisis situasi program Consumer Participation and Empowerment di Sekolah Dasar pada negaranya masing-masing. Analisis situasi akan memberikan potret program keamanan
pangan di Sekolah Dasar pada masing-masing negara ASEAN. Berdasarkan potret tersebut, akan dihasilkan rekomendasi pengembangan program Consumer Participation and Empowerment di Sekolah Dasar untuk level negara sekaligus level regional ASEAN. Pada workshop tersebut, setiap negara mempresentasikan profil negaranya masingmasing khususnya program Consumer Participation and Empowerment di Sekolah Dasar. Pada kesempatan tersebut, Drs. Halim Nababan, MM menyampaikan best practices dari Indonesia, yaitu program Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah. Di akhir acara, seluruh AMS yang hadir saat itu menyetujui Pedoman analisis situasi serta Kuesioner yang sudah disampaikan konsultan dengan beberapa input perbaikan dari seluruh peserta. Selanjutnya disepakati bahwa AMS akan melakukan situasi analisis di negaranya masingmasing dengan melakukan pilot project survey di Sekolah Dasar dengan cakupan jumlah sampel sesuai kemampuan anggaran masing-masing negara. AMS yang sudah melakukan survey di Sekolah Dasar seperti Thailand menyatakan tidak akan melakukan survey kembali dan akan menyampaikan best practices pada forum AEGFS. Progres program Consumer Participation and Empowerment dari masingmasing AMS dipresentasikan pada 12th AEGFS Meeting tanggal 20 – 22 Oktober 2015 di Yogyakarta.
Kiprah Kader Keamanan Pangan Desa Oleh : Dra.Novinar, M. Epid. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
K
egiatan Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD) memasuki tahun kedua, sekitar 390 desa di 31 propinsi telah mengikuti program GKPD dan sekitar 3.900 Kader Keamanan Pangan Desa (KKPD) yang terdiri dari Ibu PKK, Karangtaruna, Guru, tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan District Food Inspector (DFI) telah dilatih. Para kader tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam membangun keamanan pangan di desanya masing-masing. Untuk mengenal KKPD lebih dekat, tim majalah keamanan pangan mewawancarai 3 (tiga) KKPD, yaitu Ni Wayan Suitningsih (KKPD yang berasal dari perwakilan PKK & posyandu serta kader siaga dari Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung – Bali), Erna Luisa (KKPD yang berasal dari Ketua Tim Penggerak PKK Kepanjen – Desa Panggungreja – Kabupaten Malang – Jawa Timur), dan Suparman, S.KOM (KKPD yang berasal dari perwakilan Karangtaruna yang juga kader PNPM Pariwisata, aktivis budaya, lingkungan & sosial dari Kelurahan Talise, Kota Palu – Sulawesi Tengah). Setelah dilatih menjadi kader keamanan pangan desa, program atau kegiatan terkait keamanan pangan apa saja yang telah dilakukan KKPD Klungkung – Bali : Menyebarkan informasi keamanan pangan kepada berbagai komunitas desa seperti ibu rumah tangga dan anggota PKK, pedagang kaki lima (PKL), warung / toko penjual makanan, pembina posyandu
lainnya. Berbagai informasi keamanan pangan tersebut antara lain yaitu bagaimana membeli dan mengolah makanan dengan baik dan aman. Dulu banyak makanan yang dijual dengan warna menyolok atau dibungkus kertas koran, sekarang sudah banyak berkurang. KKPD Malang – Jawa Timur : Rasanya bangga setelah menjadi kader keamanan pangan yang berkolaborasi dengan Badan POM, apa yang disampaikan Badan POM sudah dipaparkan ke masyarakat. Para Kader yang dilatih telah menyebarluaskan/sosialisasi informasi keamanan pangan ke masyarakat melalui pertemuan yang biasa dilakukan di desa, seperti pengajian, pertemuan pos yandu, dll. KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Secara frontal belum ada, tetapi secara umum sudah dilakukan soisalisasi keamanan pangan kepada masyarakat. Apa kiat-kiat kader keamanan pangan desa agar masyarakat yang dibina keamanan pangan mampu memahami materi yang disampaikan hingga mampu dan mau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari KKPD Klungkung – Bali : Pada saat pertemuan desa seperti arisan rutin desa, acara gotong royong, acara Balita di posyandu, dll, dimanfaatkan untuk menyampaikan masalah keamanan pangan, pentingnya keamanan pangan, bagaimana praktik keamanan pangan yang baik seperti mencuci Majalah Keamanan Pangan | 9
Gambar 3. Kader KKPD Kab Malang bersama Kepala BBPOM di Surabaya
sesuai kapasitas dan aturan penyimpanan pangan yang aman. Semua ditularkan ke masyarakat menjadi budaya bersih atau merubah mind set orang.
Gambar 1. Para KKPD dan Tim Keamanan Pangan Desa Kamasan Kabupaten Klungkung
tangan sebelum menangani makanan, bagaimana memilih makanan yang aman, ciri-ciri makanan yang tidak aman misalnya berjamur, dan lain-lain. KKPD Malang – Jawa Timur : Untuk mempercepat praktik penerapan keamanan pangan di masyarakat, dilakukan uji bahan kimia berbahaya pada produk makanan secara cepat dengan menggunakan rapid test kit. Pedagang makanan yang menyalahi aturan akan ditegur oleh Dinas Kesehatan, sehingga makanan yang tidak layak jual sudah tidak dijual lagi. Dengan menggunakan test kit tersebut, ada perubahan pada pedagang, tidak lagi menggunakan bahan kimia berbahaya, KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Ada kendala dalam hal kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap masalah keamanan pangan. Walaupun sudah tahu. Perlu kiat budaya malu, yaitu budaya malu tidak bersih, malu buang sampah sembarangan, dll. Bagaimana pangan mau higieneis, harus budayakan dulu tangan yang bersih/higienis. Coba dulu dibudayakan di keluarga, baru dibudayakan ke masyarakat. Melatih keluarga untuk memilih pangan yang aman, tidak sekedar murah. Selain itu, menggiring masyarakat dengan simulasi/gambar, contoh-contoh keamanan pangan dan diskusi agar masyarakat lebih paham, karena tidak semua masyarakat memiliki cara pikir dan pandang yang sama. Materi keamanan pangan juga ditularkan ke mahasiswa, agar mahasiswa juga bisa membantu menyebarluaskan materi keamanan pangan dan menerapkannya di lingkungan mahasiswa.
10 | Majalah Keamanan Pangan
Pada saat dilatih menjadi kader keamanan pangan, materi apa yang dianggap sulit KKPD Klungkung – Bali : Paling sulit adalah 5 Kunci Keamanan Pangan dan “melihat” makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya formalin dan boraks, atau bagaiamana / seperti apa pangan yang aman. Tetapi tetap berusaha sebaik mungkin. KKPD Malang – Jawa Timur : Materi sudah cukup bagus, hanya saja sulit menghafalkan semua materi (5 kunci keamanan pangan) KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Semua dianggap “sulit”, karena mau merubah pola pikir (“mind setting”) massyarakat, yang biasa bangun jam 12 harus bangun jam 7, yang biasa jorok harus biasa bersih. Kendala di lapangan yaitu sangat sulit merubah perilaku (mind set) masyarakat untuk merubah menjadi sesuatu harus berulang. Contohnya membersihkan pangan dengan air mengalir, akan timbul asumsi mahal bayar listrik, sehingga perlu diberi pemahaman berulangulang mana yang lebih mahal, apakah biaya sakit atau biaya listrik. Keamanan pangan dicoba diformasikan ke masyarakat yang cara berfikirnya berbeda, tidak punya uang, dll. Apa manfaat dilatihnya kader keamanan pangan dan apa manfaat kegiatan keamanan pangan di desa KKPD Klungkung – Bali: Manfaat bagi KKPD yaitu menambah ilmu pengetahuan dan menambah teman, yang tadinya tidak tahu dan tidak mengerti tentang pangan yang aman, sekarang menjadi mengerti, dan dapat dijadikan
Gambar 2. Erna Luisa, Kader KKPD dari Desa Panggungreja – Kabupaten Malang
sarana bagi tujuan kader dalam menciptakan desa pangan aman. Manfaat kegiatan keamanan pangan desa yaitu membuat masyarakat desa menjadi mengerti tentang pangan yang aman, sehingga masyarakat dapat menyediakan dan mengonsumsi pangan yang aman, yang akhirnya akan meningkatkan dan memelihara kesehatan mereka, dan diharapkan dapat memperpanjang umur mereka. KKPD Malang – Jawa Timur : Terasa sekali manfaatnya, cilok atau jajanan anak sekolah yang biasanya menggunakan saos merah (menyala), sekarang menggunakan saos kacang /kecap, dan saos yang hanya bisa dibeli di toko. Selain itu, kita bisa lebih hati-hati dalam memilih makanan atau pangan jajanan. KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Sangat bermanfaat, dengan adanya program Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD) ini, menjadi tahu bagaimana pangan yang aman, bagaimana mengelola sampah dengan baik hingga tidak mencemari pangan. Kembali ke rumah, harus dilakukan di rumah. Dulu hanya memilih makanan yang murah, sekarang membeli pangan sudah mulai memilih pangan yang segar dan aman. Jika pelayannya langsung memegang makanan setelah memegang uang, maka lebih baik membeli makanan di tempat lain. Dulu stok makanan berminggu-minggu, sekarang stok makanan
Sebagai kader keamanan pangan desa, program / kegiatan keamanan pangan apa saja yang akan diusulkan ke Kepala Desa / Lurah untuk direalisasikan KKPD Klungkung – Bali : Kader di masingmasing banjar dibina lebih dahulu, kemudian masing-masing banjar membuat kegiatan untuk membina masyarakat agar masyarakat paham dan mau menerapkan praktik keamanan pangan, sehingga masyarakat mampu meyediakan makanan yang aman di masing-masing banjar. Untuk masalah insentif, terserah kepala desa. Jika ada insentif, terimakasih dan diterima dengan rasa syukur, jika tidak ada, maka rela dan siap mengabdi kepada masyarakat. KKPD Malang – Jawa Timur : diusulkan agar kegiatan keamanan pangan diprogramkan di program desa, dapat bekerjasama dengan dasa wisma, kelompok wanita tani maupun posyandu, atau kolaborasi dengan Perguruan Tinggi (Airlangga). Ada usul untuk Badan POM, agar perogram dan kegiatan sosialisasi keamanan pangan di desa dilaksanakan sesering mungkin, dengan waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konidisi masyarakat di desa, ada yang minta hari minggu, atau jam 7 malam. KKPD Palu – Sulawesi Tengah: Akan mengundang pedagang jajanan / pangan kuliner untuk disosilisasi keamanan pangan, bagaimana mengolah, menyiapkan dan menyajikan pangan dengan aman. Ciptakan pangan yang higienis berdasarkan standar kebersihan dan keamanan pangan. Saat ini banyak pedagang yang memegang makanan setelah memegang Majalah Keamanan Pangan | 11
Gambar 4. Ni Wayan Suitningsih KKPD dari Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung
uang, sampah berserakan atau di sekitar tenpat mengolah makanan banyak sampah menumpuk. Kemudian dilakukan pengawasan oleh kader terhadap setiap pelaku usaha kuliner yang telah dibina. Jika para pelaku usaha kuliner mau dibina dan dibantu, maka akan dibina dan dibantu untuk memenuhi persyaratan keamanan pangan. Sebaliknya jika tidak mau, maka akan diminta untuk tidak berjualan lagi didaerah tersebut. Jangan salahkan masyarakat tidak datang ke warung makan, jika masyarakat mengerti tentang higiene sanitasi. Untuk implementasi program tersebut, apa usaha yang dilakukan kader keamanan pangan desa KKPD Klungkung – Bali : Memang sebaiknya ada dana atau anggaran yang menunjang, sehingga sosialisasi bisa dilakukan lebih luas dan bisa dilakukan simulasi atau sambil dipraktikkan, termasuk cara uji bahan kimia berbahaya di dalam makanan dan mempraktikkan bagaimana membuat makanan yang aman sebagai contoh, agar masyarakat lebih mudah memahami dan mempraktikkan keamanan pangan. Namun jika tidak ada dana atau anggaran, maka dapat dilakukan melalui diskusi atau sosialisasi saat berbagai acara pertemuan rutin di masing-masing banjar. KKPD – Malang – Jawa Timur : wilayah
12 | Majalah Keamanan Pangan
desa harus bebas dari makanan-makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya atau bahanbahan tidak layak konsumsi lainnya. KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Karangtaruna akan memetakan permasalahan lebih dahulu, sehingga tahu mau memulai dari mana. Saat ini permasalahan yang didapat yaitu tiidak adanya “Budaya Malu” pada masyarakat. Oleh karena itu harus dibangun budaya malu di masyarakat, malu untuk tiidak bersih, malu kalau makanan tidak higienis, malu jika masyarakat bertanya apakah gorengannya menggunakan minyak jelantah. Lakukan sosialisai dahulu agar masyarakat paham budaya dan prinsip keamanan pangan, lalu menggerakkan masyarakat peduli keamanan pangan dan peduli kesehatan (sudah menggiring massa). Warung makan yang memenuhi persyaratan akan diberi tanda agar masyarakat tahu, hal ini merupakan simulasi keamanan pangan dalam bentuk nyata bagi masyarakat. Kesan dan Pesan apa yang akan disampaikan ke masyarakat dan kepala desa / lurah, termasuk kaitannya dengan kader keamanan pangan desa KKPD Klungkung : Pesan kepada masyarakat yaitu jaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan yang aman, pintarlah memilih makanan yang aman. Pesan kepada para kepala desa yaitu tolong perhatikan pengabdian kader desa dengan bijak. Program desa mudah-mudahan diarahkan untuk kegaiatan keamanan pangan, agar ada anggaran keamanan pangan sehingga program keamanan pangan dapat terus dilanjutkan di desa, karena keamanan pangan penting untuk kesehatan masyarakat di desa. KKPD Malang – Jawa Timur : Diharapkan sosialisasi keamanan pangan ini dapat terus dilakukan atau daksanakan melalui berbagai kelompok seperti posyandu, ibu rumah tangga, kelompok pengajian, dan selalu diulang untuk pemantapan. Diharapkan pula masing-masing kader (KKPD) menyebarluaskan informasi keamanan pangan ke seluruh masyarakat desa dengan cara “ketuk tular” dan mendukung program ini berkelanjutan atau berkesinambungan, sehingga pangan di desa menjadi aman. Selain itu, masyarakat agar menerapkan praktik keamanan pangan sesuai dengan apa yang sudah
Gambar 5. Bersama para KKPD Desa Kamasan Kab Klungkung
disampaikan oleh para KKPD, dan mengubah perilaku sesuai dengan apa yang dilakukan. KKPD Palu : Sehat itu lebih “mahal” harganya dibandingkan sakit. Ikan yang bagus lebih mahal harganya dibandingkan ikan yang sudah tidak layak konsumsi Yang tidak kalah pentingnya dan mungkin bisa menjadi acuan bagi kader desa lainnya, bagaimana agar Kader Keamanan Pangan Desa mempunyai rasa percaya diri dan mampu membina masyarakat desa di bidang keamanan pangan KKPD Klungkung – Bali : sebagai kader keamanan pangan desa, sudah dibekali dengan ilmu dan pengetahuan tentang keamanan pangan, sehingga pasti mampu menerapkan dan menularkannya ke masyarakat. Untuk menghilangkan rasa takut, tunjukkan diri kita mempunyai ilmu, dan setelah dibina harus punya keyakinan bisa menerapkannnya dan menyebarkannya, sehingga rasa takut akan hilang dengan sendirinya. Tanamkan pada diri sendiri bahwa kalau dibina harus bisa membina. Selain itu, rasa mengabdi yang besar, walaupun tidak sepenuhnya mendapat imbalan di dunia, nanti akan dinikmati di akhirat, akan mendorong kita untuk mampu membina masyarakat di bidang keamanan pangan. KKPD Malang – Jawa Timur : dua (2) menit pertama grogi, tangan dingin. Untuk menimbulkan Percaya Diri (PD) dan menghilangkan rasa nervous, maka harus punya rasa tanggungjawab terhadap amanah yang diberikan untuk menyampaikan kembali informasi keamanan pangan ke berbagai lapisan masyarakat lainnya. Selain itu, juga berkomunikasi dengan kader
lainnya. Calon kader keamanan pangan tidak lahir begitu saja, tetapi juga perlu pendampingan lebih dahulu dari Badan POM untuk mengubah perilaku masyarakat. Kemudian kader ditantang dengan target membina masyarakat di bidang keamanan pangan. KKPD Palu – Sulawesi Tengah : Kendala yang terjadi yaitu karena tidak biasa, meskipun sebenarnya bisa. Biasanya kita tidak memberi kesempatan kepada yang lain. Tidak ada manusia bodoh, yang ada hanya yang tidak mau. Untuk menjadi pemimpin/tampil, siapkan mental dan ilmu untuk tampil. Jangan berfikir tidak bisa, berfikirlah bisa karena harus tampil. Tetap kembali pada budaya malu, malu tidak bisa tampil, malu tidak bisa bicara. Kadang calon kader perlu digiring untuk tampil dadakan. Seseorang itu ala bisa karena biasa. Terimakasih Para Kader Desa Keamanan Pangan (KKPD), semoga keinginan dan cita-cita kalian untuk mewujudkan desa pangan aman terwujud serta menjadi inspirasi dan contoh yang baik bagi KKPD lainnya. Ayooo .... para Kepala Desa / Bapak dan Ibu Lurah bantu dan dukung para KKPD untuk mewujudkan Desa / Kelurahan Pangan Aman. Masyarakat membutuhkan Bapak dan Ibu Kepala Desa / Lurah dan KKPD yang tangguh bahu membahu menciptakan masyarakat yang sehat melalui pangan yang aman. Semangat ya para KKPD ...... terimakasih atas amal baktinya untuk massyarakat. Semoga informasi di atas menambah khasanah dan menginsiprasi pembaca, khususnya KKPD lainnya dalam membina masyarakat di bidang keamanan pangan.
Majalah Keamanan Pangan | 13
Wawasan
KEMASAN
CERDAS Oleh : Dwi Retno W, S.T., M.Si. Direktorat Pengawasan Bahan Berbahaya
Pada beberapa dekade terakhir, salah satu perkembangan yang cukup inovatif dalam kemasan pangan adalah kemasan cerdas (intelligent packaging). Kemasan cerdas dirancang untuk dapat memonitor kondisi pangan yang dikemas atau lingkungan di sekeliling pangan.
S
istem kemasan cerdas mampu menjalankan fungsi cerdas seperti penginderaan, mendeteksi, melacak, merekam dan mengomunikasikan kualitas atau kondisi pangan sepanjang rantai pangan (termasuk selama transportasi dan penyimpanan). Berbeda dengan kemasan “konvensional” pada umumnya yang hanya memberikan informasi tentang produk (seperti informasi tentang produsen, tanggal kedaluwarsa, komposisi), maka kemasan cerdas dapat menginformasikan perubahan yang terjadi pada produk atau lingkungannya (contoh suhu, pH, dan pertumbuhan mikroba). Hal ini membantu konsumen untuk mengetahui kondisi produk pangan yang mereka beli. Fungsi cerdas dari kemasan ini dapat diperoleh dari indikator, biosensor, dan/atau peralatan yang mampu mengomunikaskan informasi dalam sistem kemasan. Indikator dapat memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi di dalam produk atau lingkungan sekitar produk melalui perubahan visual. Indikator yang diaplikasikan pada kemasan pangan antara lain adalah indikator suhu-waktu (time-temperature indicator), indikator gas oksigen, indikator karbondioksida, dan indikator kesegaran. Sedangkan biosensor merupakan peralatan yang mampu mendeteksi, merekam, dan mentransfer informasi tentang reaksi biologis yang terjadi dalam kemasan dengan ketelitian yang tinggi.
14 | Majalah Keamanan Pangan
Time-Temperatur Indicator (TTI)
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kerusakan pangan. TimeTemperatur Indicator menyediakan informasi visual dari perubahan suhu selama distribusi dan penyimpanan, khususnya berguna untuk kewaspadaan terjadinya kesalahan pengaturan suhu pada pangan yang didinginkan atau dibekukan. Prinsip kerja TTI berdasarkan pada reaksi fisika, kimia, mikrobiologi atau enzimatis. Salah satu contoh TTI adalah indikator yang diproduksi oleh OnVu TM, yang berisi pigmen yang dapat berubah warna dari waktu ke waktu bergantung pada suhu. Indikator ini akan teraktivasi oleh adanya paparan sinar UV menjadi berwarna biru tua dan akan memudar sedikit demi sedikit seiring waktu dan/atau peningkatan suhu. Jika warnanya masih biru tua menunjukkan produk masih segar/baru, dan jika warnanya sudah memudar menandakan produk sudah tidak layak dikonsumsi.
Gambar 1. OnVuTM Time-Temperature Indicator (Indikator suhu-waktu)
Indikator Gas
Komposisi gas dalam kemasan dapat dengan mudah berubah karena adanya interaksi antara pangan dengan lingkungannya. Indikator gas bermanfaat untuk memonitor komposisi gas di dalam kemasan melalui perubahan warna pada indikator akibat adanya reaksi kimia atau enzimatis. Indikator ini mampu memberi tanda
apabila terjadi kebocoran dalam kemasan, atau untuk memverifikasi efisiensi dari penjerap oksigen (oxygen absorber). Indikator gas dapat memberitahu ada atau tidaknya oksigen, karbondioksida, uap air, etanol, dll. dalam lingkungannya. Salah satu jenis indikator gas adalah indikator oksigen. Prinsip kerjanya didasarkan pada perubahan warna karena adanya reaksi redoks. Indikator redox dye, seperti methylene blue adalah salah satu contohnya. Saat redox dye dalam indikator teroksidasi oleh oksigen, maka akan terjadi perubahan warna pada indikator, yang dapat memperingatkan konsumen bahwa telah terjadi kebocoran pada kemasan. Contoh aplikasi penggunaan indikator oksigen adalah pada kemasan MAP (Modified Atmosphere Packaging) produk daging atau ikan.
Indikator SensorQ™ memanfaatkan teknologi pH dyes (pewarna yang sensitif terhadap pH), misalnya antosianin, untuk mendeteksi tingkat kesegaran/kebusukan produk pangan seperti daging dan unggas melalui reaksi antara amin biogenik yang berasal dari mikroba. Warna oranye dalam huruf Q akan berubah warna menjadi hijau gelap jika daging busuk.
Gambar 4. Sensor kesegaran (SensorQ™)
Tinta termokromik (Thermochromic Inks)
Gambar 2. Indikator oksigen pada produk daging dan ikan (O2SenseIM)
Indikator dan Sensor Kesegaran
Indikator ini bertujuan untuk memonitor perubahan kualitas pangan dalam kemasan yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba atau perubahan kimia. Prinsip kerjanya didasarkan pada perubahan warna indikator akibat reaksi kimia antara metabolit mikroba dengan indikator. Metabolit tersebut dapat berupa glukosa, asam organik (misalnya asam laktat), etanol, karbondioksida, amin biogenik, senyawa nitrogen yang mudah menguap atau senyawa sulfur. Di pasaran tersedia indikator kesegaran berdasarkan deteksi tidak langsung metabolit melalui indikator warna (contoh pH) atau berdasarkan deteksi langsung metabolit yang menjadi target menggunakan biosensor. Beberapa perusahaan telah mengembangkan indikator ini, seperti RipeSense® dan SensorQ™. RipeSense ® merupakan sensor yang dapat mendeteksi tingkat kematangan buah dengan mendeteksi aroma yang dikeluarkan oleh buah tersebut.
Gambar 3. Sensor kesegeran pada buah (RipeSense®)
Tinta termokromik adalah tinta yang sensitif terhadap perubahan suhu. Perubahan warna pada tinta termokromik dapat irreversible maupun reversible. Tinta termokromik yang irreversible tidak terlihat sampai terpapar suhu tertentu, dan jika sudah berubah warna, perubahan warnanya permanen sebagai indikasi telah terjadi perubahan suhu. Tinta termokromik reversible akan berubah warna saat dipanaskan/didinginkan dan kembali ke warna semula jika suhu kembali ke suhu awal. Tinta ini dapat diaplikasikan sebagai kemasan cerdas untuk meyakinkan konsumen bahwa produk dalam kemasan tersebut sudah cukup dingin untuk dikonsumsi atau untuk mengingatkan konsumen bahwa pangan masih panas (hot alert).
Pengidentifikasi frekuensi radio (Radio Frequency Identification – RFID)
Radio Frequency Identification merupakan teknologi yang menggabungkan frekuensi radio untuk mengidentifikasi suatu produk. Sistem ini terdiri dari sirkuit yang terintegrasi dengan antena untuk mengirimkan informasi yang tersimpan dalam suatu chip ke suatu alat baca (reader). Penggunaan RFID menjadi alternatif dalam dunia industri menggantikan barcode. Keunggulan RFID dibandingkan barcode, bahwa RFID tidak memerlukan kontak langsung/dapat menggunakan remote control karena line-ofsight scanning tidak diperlukan. Beberapa jenis barang dapat dimonitor pada saat yang sama, dan alat ini mampu menyimpan berbagai macam informasi (asal, parameter proses, informasi komersial, dll) untuk mendapatkan identifikasi yang khas dari suatu produk dan mudah telusur Majalah Keamanan Pangan | 15
Wawasan (traceability). Dalam perkembangannya sistem RFID diintegrasikan dengan fungsi lainnya seperti indikator atau sensor time-temperature (TT), untuk memonitor dan mengomunikasikan informasi suhu dan kualitas produk pangan. TT sensor tag dipasang pada kotak atau pallets selama transportasi sehingga suhu pangan selama transportasi dapat diketahui.
Perkembangan di Indonesia
Perkembangan kemasan cerdas di pasar global semakin meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, penggunaan kemasan cerdas di Indonesia masih terbatas. Salah satu contoh kemasan cerdas yang dapat ditemui di dalam negeri adalah sendok makan bayi yang dapat berubah warna jika terkena panas. Sendok ini memanfaatkan teknologi termochromic ink (tinta yang sensitif terhadap perubahan suhu), sehingga sendok bayi akan berubah warna jika makanan bayi terlalu panas untuk dimakan bayi. Meskipun kemasan cerdas masih sangat jarang ditemui di Indonesia, penelitian mengenai kemasan pangan cerdas telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak di perguruan tinggi dan instansi pemerintah. Beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hasnedi (2009) mengenai pengembangan kemasan cerdas dengan sensor berbahan dasar chitosanasetat, polivinil alkohol, dan indikator pewarna bromthymol blue sebagai pendeteksi kebusukan fillet ikan nila. Novrida et al. (2013) meneliti mengenai pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan warna label cerdas indikator warna dari daun erpa (Aerva sanguinolenta) pada buah nanas. Penelitian serupa juga dilakukan untuk kemasan cerdas susu yang dapat mendeteksi kerusakan pada susu melalui perubahan warna. Label/film indikator warna yang dikembangkannya dapat memantau dan mengomunikasikan informasi tentang kualitas pangan terkemas dengan bantuan indikator warna. Prinsip kerja dari indikator warna daun erpa adalah berdasarkan pada perubahan warna yang diakibatkan oleh perubahan pH. Produk yang ditengarai rusak dan mengalami penurunan pH, akan menyebabkan terjadinya perubahan warna indikator.
Aspek keamanan
Berbeda dengan konsep keamanan kemasan konvensional yang dirancang agar sedapat mungkin inert (meminimalkan interaksi antara pangan dengan kemasan), kemasan cerdas justru memanfaatkan interaksi antara pangan atau lingkungan di sekitar pangan. Hal ini memunculkan tantangan baru untuk mengevaluasi keamanannya, antara lain kemungkinan migrasi
16 | Majalah Keamanan Pangan
komponen dari kemasan cerdas ke pangan, penggunaan kemasaan yang kurang tepat dikarenakan kurangnya informasi pada label (misalnya menghindari kemasan cerdas dalam bentuk sachet tertelan), dan mengenai klaim fungsi kemasan cerdas (misalnya indikator dapat memberi informasi adanya bakteri patogen).
Regulasi
Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011, kemasan cerdas termasuk salah satu jenis bahan kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan. Dalam regulasi tersebut, persyaratan kemasan cerdas belum diatur secara khusus. Sementara itu, kemasan cerdas yang dipasarkan di Uni Eropa harus memenuhi Regulation (EC) No 1935/2004 dan Regulation (EC) No. 450/2009. Di Uni Eropa, semua kemasan cerdas yang baru harus dievaluasi terlebih dahulu oleh European Food Safety Authority (EFSA). Kemasan jenis ini juga diharuskan untuk mencantumkan label untuk memberitahukan kepada konsumen bahwa kemasan ini tidak boleh dimakan. Kedepan Indonesia perlu mengatur persyaratan kemasan cerdas termasuk cara evaluasi keamanannya.
Referensi BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan]. 2011. Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan. Jakarta : BPOM. EC [Commission Regulation]. 2009. EC No. 450/2009 on Active and Intelligent Materials and Articles Intended to Come into Contact with Food. Dainelli D et al. 2008. Active and intelligent food packaging: legal aspects and safety concern, Trends in Food Science and Technology 19: S103-S112. Hasnegi YG. 2009. Pengembangan Kemasan Cerdas (Smart Packaging) dengan Sensor Berbahan Dasar ChitosanAsetat, Polivinil Alkohol, dan Pewarna Indikator Bromthymol Blue sebagai Pendeteksi Kebusukan Fillet Ikan Nila. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Perubahan Warna Label Cerdas Indikator Warna dari Daun Erpa (Aerva sanguinolenta). Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 23(3): 232-241(2013). Nofrida R. Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) sebagai Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya. [Tesis]. Bogor:Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Suyatma MD. 2014. Active and Intelligent Packaging, Disampaikan dalam Pembahasan Kajian Keamanan Kemasan Pangan Aktif di Jakarta pada 11 November 2014. Restucia D et al. 2010. New EU regulation aspects and glocal market of active and intelligent packaging for food indusry applications, Food Control 21:1425-1435. Realini CE, Marcos B. 2014. Active and intelligent packaging systems for a modern society, Meat Science 98: 404–419. Warsiki E. 2014.Perkembangan Teknologi Kemasan Pangan, Disampaikan dalam Rapat Penyusunan Roadmap Pengawasan Kemasan pangan di Bogor pada 22 Desember 2014
PengawasanPangan
FORTIFIKASI WAJIB Oleh : Spica Arumning Ardhi Gusti, S.Farm., Apt. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
K
ementerian Kesehatan menetapkan jenis dan jumlah zat gizi yang ditambahkan pada pangan yang potensial ditingkatkan nilai gizinya. Kementerian Perindustrian menetapkan jenis pangan yang wajib diperkaya dengan mengeluarkan peraturan mengenai pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI fortifikasi yang pemberlakuannya secara wajib adalah untuk garam konsumsi beryodium, tepung terigu sebagai bahan makanan, dan minyak goreng sawit. Industri pangan fortifikasi wajib harus memastikan bahwa produk yang diproduksi telah memenuhi ketentuan dan tata cara pengayaan/fortifikasi zat gizi. Penerapan fortifikasi wajib harus diiringi dengan pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), yaitu dengan mewajibkan produk pangan fortifikasi terdaftar di Badan POM.
Dalam rangka menanggulangi kekurangan dan/atau penurunan zat gizi masyarakat, perlu dilakukan upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortifikasi zat gizi. Pemerintah, industri, dan masyarakat diharapkan bahu membahu mensukseskan pelaksanaan program penanganan masalah gizi nasional.
Strategi Pengawasan Pangan Fortifikasi
Strategi utama pengawasan pangan fortifikasi dilaksanakan melalui (1) Penguatan manajemen pangan fortifikasi, (2) Peningkatan supply & demand pangan fortifikasi, (3) Pengembangan capacity Majalah Keamanan Pangan | 17
building, (4) Pemantauan kualitas pangan fortifikasi, dan (5) Monitoring dan evaluasi pangan fortifikasi. Berdasarkan strategi utama ini, disusunlah peta kegiatan pengawasan pangan fortifikasi yang fokus utamanya pada tahun 2014 dan 2015, adalah : 1. A d v o k a s i / F G D untuk penguatan jejaring pengawasan pangan daerah terkait pengawasan pangan fortifikasi, 2. P e n g u a t a n koordinasi kelembagaan fortifikasi pangan pusat dan daerah, 3. Penguatan industri garam konsumsi beryodium, tepung terigu sebagai bahan makanan, dan minyak goreng sawit, 4. P e n i n g k a t a n k e s a d a r a n masyarakat melalui KIE, 5. Peningkatan kompetensi pengawas, 6. Penguatan laboratorium Balai Besar/Balai POM, 7. Pengadaan test kit, 8. Pengawasan di tingkat produksi dan distribusi, 9. Monitoring dan evaluasi. Dalam kurun waktu 4 ( e m p a t ) t a h u n t e r a k h i r, pengawasan garam konsumsi beryodium menunjukkan hasil yang fluktuatif namun juga menggembirakan. Pada tahun 2014, proporsi jumlah sampel yang memenuhi syarat (MS) meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Hal ini merupakan tantangan bagi seluruh pemegang peran, baik pemerintah, industri, maupun masyarakat, untuk selalu meningkatkan proporsi memenuhi syarat atau minimal mempertahankannya di tengah berbagai permasalahan industri dan tata niaga garam. Hal yang tidak jauh berbeda terlihat pada hasil pengawasan tepung terigu sebagai bahan makanan. Setelah proporsi jumlah sampel MS pada tahun 2013 mengalami penurunan, pada tahun 2014 proporsi MS dapat kembali ditingkatkan. Permasalahan pada tepung terigu memang relatif tidak sekompleks permasalahan pada garam, sehingga diharapkan di tahun 2015 ini proporsi MS akan dapat ditingkatkan.
Pengawasan tepung terigu sebagai bahan makanan (2012-2014)
18 | Majalah Keamanan Pangan
Pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit secara Wajib
Perjalanan penetapan minyak goreng sawit sebagai vehicle terbaru pada program fortifikasi pangan cukup panjang dan berliku. Awalnya, SNI minyak goreng sawit secara wajib mulai diberlakukan tanggal 27 Maret 2015. Namun pemberlakuan ini diundur karena berdasarkan hasil evaluasi kunjungan lapang terhadap 43 perusahaan di p ro v i n s i S u m a t e r a U t a r a , DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur diketahui bahwa baru 8.3 % perusahaan yang sudah memiliki SPPT-SNI. Hal ini mendasari dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/M-IND/PER/3/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87/M-IND/PER/12/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Goreng Secara Wajib yang waktu pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit diundur selama satu tahun menjadi tanggal 27 Maret 2016. Hal ini sejalan dengan penundaan wajib kemasan untuk minyak goreng sawit yang tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 21/M-DAG/ PER/3/2015 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Perdagangan No 80/M-DAG/ PER/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan. Selain itu, sehubungan dengan usulan dari Kementerian Kesehatan, kadar minimal kandungan vitamin A pada minyak goreng sawit di peredaran diturunkan dari minimal 40 IU menjadi sebesar minimal 20 IU. Sistem sertifikasi SNI juga mengalami perubahan dari yang sebelumnya menggunakan “Sertifikasi Produk Tipe 5” menjadi “Sertifikasi Produk Tipe 5 dan Tipe 4”. Sertifikasi Tipe 4 mencakup penerapan sistem manajemen mutu cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB). Sertifikasi Tipe 5 mencakup penerapan sistem manajemen mutu SNI ISO 9001:2008 atau sistem manajemen keamanan pangan SNI ISO 22000:2009 atau sistem manajemen mutu lainnya yang diakui. Selain itu, penggunaan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) sebagai alat pada saat pengujian mutu dapat diganti dengan alat uji vitamin A lainnya pada saat monitoring internal di industri. Setelah berbagai persiapan oleh berbagai pihak dilakukan untuk menyambut pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit secara Wajib di tahun 2016, pada tanggal 25 November 2015 Kementerian Perindustrian menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 100/M-IND/PER/11/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87/M-IND/PER/12/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Goreng Secara Wajib. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penerapan pemberlakuan SNI 7709:2012 secara wajib terhadap Minyak Goreng Sawit mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2018.
Pengawasan garam konsumsi beryodium 2011-2014
Perkuatan Kompetensi Petugas Fortifikasi Pangan
Sejak wacana akan diberlakukannya SNI Minyak Goreng Sawit secara wajib pada tahun 2015, maka sudah sejak tahun 2012, Badan POM mengadakan workshop dan pelatihan terkait fortifikasi pangan, terutama fortifikasi Vitamin A dalam minyak goreng sawit. Pelatihan tersebut dihadiri oleh perwakilan Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan seluruh provinsi di Indonesia khususnya petugas pemeriksaan dan penyidikan dan petugas laboratorium pangan. Pada tahun 2014, Badan POM mengundang kembali peserta yang telah dilatih untuk mengikuti program evaluasi penerapan prinsipprinsip pengawasan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit di peredaran, termasuk penggunaan iCheck Chrome untuk menganalisis vitamin A dalam minyak goreng sawit. Secara umum kualitas pelatihan bagi pengawas dan penguji perlu ditingkatkan. Dengan adanya pengunduran waktu pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit secara wajib hingga 31 Desember 2018, maka Badan POM memanfaatkan kesempatan ini untuk mempersiapkan dan memperkuat diri dengan lebih baik. Pada bulan Juni-Juli
2015, Badan POM melakukan pelatihan monitoring fortifikasi vitamin A minyak goreng sawit di 3 wilayah Indonesia (bagian barat, tengah, dan timur). Pelatihan ini berfokus pada pemahaman teknologi fortifikasi vitamin A dan jaminan mutunya. Selain itu pada bulan September 2015 telah dilakukan perkuatan kompetensi petugas sampling fortifikasi pangan yang berfokus pada teknik sampling pangan fortifikasi di peredaran. Badan POM juga telah membuat perencanaan untuk kegiatan perkuatan kompetensi personel dan laboratorium tahun 20162018 khusus untuk fortifikasi pangan.
Badan POM Siap Melakukan Pengawasan
Penanganan masalah fortifikasi pangan perlu dilakukan secara terstruktur, terukur, dan terpadu secara lintas sektor, khususnya pengawasan di tingkat produsen dan peredaran, serta pembinaannya. Dalam hal ini, Badan POM memerlukan dukungan, kerjasama, dan kemitraan dengan seluruh pemangku kepentingan secara terus menerus baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan strategi, kegiatan, dan upaya yang telah dilakukan untuk memperkuat dan meningkatkan pengawasan fortifikasi pangan, Badan POM siap mengawal pelaksanaan fortifikasi pangan nasional. Majalah Keamanan Pangan | 19
Regulasi
Alergen Pangan
dan Penandaannya pada Label Kemasan Penulis : Yennie Rosyiani Wulansary, S.SI, Apt Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Alergi pangan merupakan kondisi dimana sistem kekebalan tubuh memberikan respon yang berlebihan akibat adanya komponen tertentu pada pangan (umumnya protein) yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.
P
revalensi alergi pangan meningkat di beberapa negara di dunia, terutama di negara-negara maju (Van Putten et al. 2006). Berdasarkan jenis respon kekebalan tubuh yang diberikan, alergi pangan dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu alergi yang dipicu oleh immunoglobulin E (IgE) dan non- immunoglobulin E (non-IgE) (Fernandez, Asero 2014). IgE adalah salah satu zat antibodi yang ada di dalam
20 | Majalah Keamanan Pangan
sistem kekebalan tubuh yang berperan dalam reaksi alergi (Health, Services 2003). Alergi pangan tipe IgE merupakan kejadian alergi yang paling umum terjadi. Alergi ini ditandai dengan adanya reaksi yang segera terjadi setelah penderita mengonsumsi pangan. Umumnya gejala terjadi pada jam pertama atau bahkan pada menit-menit pertama, dan reaksi terjadi mulai dari tingkat ringan hingga parah. Sementara itu, reaksi alergi yang dipicu oleh non-IgE umumnya mengakibatkan gangguan pada saluran pencer naan, dan muncul setelah beberapa jam bahkan beberapa hari setelah mengonsumsi pangan (Fernandez, Asero 2014).
Gejala Alergi Pangan
Gejala alergi timbul pada beberapa organ tubuh seperti mulut, kulit, saluran pencernaan, dan saluran pernapasan. Alergi pangan dapat ditandai dengan adanya gejala rasa gatal, dengan atau tanpa angioedema (pembengkakan) pada bibir, lidah, langit-langit, tenggorokan, dan/atau telinga dan hidung. Gejala dapat juga berupa rasa mual, muntah, retensi lambung, hipermotilitas usus, sakit perut karena kejang kolon, diare, hingga sesak napas. Pada beberapa kasus terjadi anafilaksis yaitu reaksi alergi yang berpotensi kematian, yang disebabkan oleh pelepasan mediator dari sel mast dan/atau basofil di seluruh tubuh secara tiba-tiba dalam jumlah besar. Gejala anafilaksis ditandai dengan
adanya beberapa reaksi yang melibatkan saluran pencernaan, pernapasan, kulit hingga gejala yang melibatkan kardiovaskular seperti hipotensi, palpitasi, kolaps, dan dysrhythmia (Fernandez, Asero 2014).
Alergen Pangan
Setiap jenis pangan umumnya memiliki potensi untuk menginduksi reaksi alergi. Lebih dari 150 jenis pangan dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi. Namun, sebagian besar reaksi alergi dipicu oleh sejumlah kecil jenis pangan. Pada tahun 1995, FAO mengidentifikasi delapan kelompok pangan sebagai penyebab alergi yang paling umum terjadi di seluruh dunia yaitu susu, telur, kacang tanah, tree nuts, gandum, kedelai, ikan, dan kerang. Sejak saat itu, jenis pangan tersebut telah dikenal sebagai ‘delapan besar alergen’ dan masuk ke dalam daftar alergen peraturan di seluruh dunia. Namun demikian, studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa faktor usia dan perbedaan geografis juga berperan penting dalam menentukan prevalensi terjadinya alergi (Fernandez, Asero 2014). Selain bahan pangan yang telah disebutkan sebelumnya,
zat aditif yang ditambahkan ke dalam pangan (bahan tambahan pangan/BTP) juga dapat memicu terjadinya reaksi alergi. Terjadinya urtikaria, angioedema, asma atau bahkan anafilaksis juga dicurigai akibat penggunaan BTP pada pangan. BTP yang dimaksud adalah sulfit, paraben, natrium benzoat, tartrazin, MSG, aspartam, butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), nitrat/nitrit, dan BTP alami seperti anato, karmin, dan mannitol (Bosso, Robertson 2014).
Manajemen Pangan
Alergi
B a g i p e n d e r i t a a l e rg i pangan, menghindari pangan yang berpotensi menimbulkan alergi merupakan kunci untuk mencegah terjadinya reaksi alergi. Namun, menghindari seutuhnya sulit untuk dilakukan karena alergen dapat tersembunyi pada pangan yang lain. Adanya kontaksilang saat produksi produk pangan pun memungkinkan masuknya alergen yang tidak diinginkan dalam produk pangan. Sebagai contoh, pada beberapa kasus dilaporkan bahwa produk cokelat hitam diproduksi menggunakan jalur yang sama dengan produk lain yang mengandung susu (misal cokelat susu), oleh karena itu produk cokelat hitam tersebut dimungkinkan memiliki riwayat kontak dengan susu. Begitu pula halnya dengan produksi produk yang mengandung kacang-kacangan. Konsumen, khususnya penderita alergi pangan, perlu mengetahui apa yang terdapat di dalam pangannya, sehingga mereka memiliki pilihan untuk memperoleh pangan yang aman untuk dikonsumsi. Dalam hal ini, kunci utama
yang diperlukan adalah adanya komunikasi risiko melalui informasi yang jelas, akurat, dan terkini mengenai alergen pada suatu produk pangan. Informasi yang dimaksud mencakup jenis pangan dan bahan yang digunakan, serta informasi tentang kemungkinan kontaksilang pada saat pengolahan pangan (Acebal et al. 2014; Hattersley, Ward 2014) Agar produsen pangan dapat menyediakan informasi yang akurat dan terkini mengenai alergen pada produknya, maka diperlukan manajemen risiko terkait pemahaman bahan pangan yang digunakan, termasuk semua turunannya, yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Produsen pangan harus memiliki prosedur untuk mengelola keberadaan alergen dalam manajemen good manufacturing practices (GMP), hazard analysis and critical control points (HACCP), serta sistem informasi produk. Dengan demikian, informasi mengenai alergen dapat diketahui secara tepat sepanjang rantai pangan (Acebal et al. 2014; Hattersley, Ward 2014).
Pelabelan Pangan
Alergen
Perlindungan terhadap konsumen melalui komunikasi risiko telah diimplementasikan melalui Codex General Standard for the Labeling of Pre-Packaged yang menyatakan bahwa sumber alergen pangan harus selalu dicantumkan dalam informasi komposisi bahan pada label produk pangan, termasuk juga keberadaan sulfit dengan konsentrasi 10 mg/kg atau lebih. Sama halnya dengan Codex, pelabelan mengenai alergen pun diatur secara luas di beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Canada, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan New Zealand Majalah Keamanan Pangan | 21
Regulasi (Hattersley, Ward 2014; Taylor, Hefle 2006). Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, dinyatakan bahwa pangan olahan yang mengandung bahan yang dapat menimbulkan alergi pada konsumen tertentu dapat mencantumkan keterangan tentang alergen sesuai ketentuan yang berlaku. Bahan yang dapat menimbulkan alergi meliputi sereal yang mengandung gluten (seperti gandum, rye, barley, oats, spelt), kerang-kerangan dan hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah, kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya termasuk laktosa, tree nuts dan hasil olah kacang, serta sulfit (>10 ppm) (BPOM 2011). Saat ini, peraturan p e l a b e l a n a l e rg e n h a n y a mengatur tentang penggunaan bahan alergen dalam produk pangan. Namun, penderita alergi dapat memiliki risiko jika mengonsumi pangan yang mengandung bahan alergen dengan kadar yang signifikan sebagai akibat kontaminasi silang pada beberapa tahap dalam rantai pangan. Selain informasi yang diatur dalam peraturan pelabelan pangan, diperlukan juga beberapa informasi tambahan dalam pelabelan pangan. Pada umumnya produsen pangan di Uni Eropa secara sukarela mencantumkan peringatan dalam bentuk kotak “allergy advice” serta dilengkapi dengan kalimat seperti “contains egg, soy and peanuts’, ‘may contain nuts’, ‘made in a factory that also uses nut ingredients’, atau ‘not suitable for someone with a nut allergy’ (Hattersley, Ward 2014). Beberapa produsen
22 | Majalah Keamanan Pangan
dan importir pangan di Indonesia juga secara sukarela mencantumkan informasi seperti “mengandung kacang ” atau “dapat mengandung susu”. Dulu, penderita alergi pangan disarankan untuk menghindari secara total pangan yang berpotensi menimbulkan alergi. Pendekatan zero tolerance dilakukan karena adanya anggapan bahwa setiap level keberadaan alergen dapat memicu reaksi alergi. Namun kini, terdapat bukti yang jelas bahwa terdapat ambang batas untuk timbulnya reaksi alergi. Perdebatan di antara para ahli dengan multidisiplin di tingkat internasional menghasilkan suatu konsensus bahwa zero risk bukanlah pilihan yang realistis untuk manajemen alergi pangan. Sementara pembahasan dan penelitian mengenai ambang batas sebagai panduan mengenai pelabelan alergen tengah berlangsung, pihak industri perlu mempertimbangkan strategi komunikasi yang efektif melalui kejelasan informasi a l l e rg e n p a d a p e l a b e l a n pangan (Hattersley, Ward 2014; Sherlock et al. 2014). Di Indonesia, peraturan mengenai pencantuman alergen masih bersifat sukarela. Mengingat pelabelan alergen merupakan bagian dari pemberian hak konsumen untuk mengetahui infor masi tentang produk, maka produsen dipandang perlu untuk mencantumkan i n f o r m a s i a l e rg e n u n t u k mencegah terjadinya reaksi alergi pada konsumen. Di lain sisi, diperlukan peran aktif konsumen khususnya penderita alergi pangan untuk selalu membaca dan memperhatikan informasi pada label pangan.
IKLAN SUSU FORMULA Oleh : Latifah, S.Si., Apt. Direktorat Standardisasi Produk Pangan
D , EGG AN EAT, SOY H IN W A T S N IN O C CONTA NTS. MAY S. IE D E R G T NU MILK IN OF TREE TRACES
Referensi Acebal ML, Muñoz‐Furlong A, Sampson HA. 2014. The Management of Food Allergy. Food Allergy: Adverse Reactions to Foods and Food Additives, Fifth Edition. John Wiley & Sons Ltd, p. 452-463. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Pangan RI Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan. Jakarta : BPOM. Bosso JV, Robertson DM. 2014. Urticaria, Angioedema, and Anaphylaxis Provoked by Food Additives. Food Allergy: Adverse Reactions to Foods and Food Additives, Fifth Edition. John Wiley & Sons Ltd, p. 346-360. Fernández-Rivas M, Asero R, 2014. Which foods cause food allergy and how is food allergy treated?, In:Taylor CBMWRCML (Ed.). Risk Management for Food Allergy. Academic Press: San Diego. p. 2543. Hattersley S, Ward R. 2014. Regulatory Controls for Food Allergens. Risk Management for Food Allergy. Academic Press,p. 273. Health UDO, Services H. 2003. Understanding The Immune System How It Works. NIH Publication Sherlock R et al. 2014. May Contain To Use or Not? Risk Management for Food Allergy. p. 261. Taylor SL, S.L. Hefle. 2006. Food allergen labeling in the USA and Europe. Current opinion in allergy and clinical immunology. 6(3): p. 186-190. Van Putten M et al. 2006. Consumers, Communication and Food Allergy. Understanding Consumers of Food Products. Woodhead Publishing Limited,p. 443-462.
Sepertiga dari ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan di Inggris menyatakan pernah melihat iklan formula bayi di televisi dan majalah (Faircloth, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Berry et al. (2010) di Australia, menunjukkan bahwa sebagian besar responden (67 %) mengatakan pernah melihat iklan formula bayi. Fakta tersebut menjadi pertanyaan besar mengingat Inggris dan Australia memiliki aturan untuk melarang iklan formula bayi. Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
A
pa yang terjadi di I n d o n e s i a m e m p e rlihatkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan di Inggris maupun di Australia. Hasil penelitian menunjukkan b a h w a 8 9 % re s p o n d e n mengatakan pernah melihat iklan formula bayi di berbagai media cetak maupun elektronik. Sejumlah responden penelitian tersebut (62 %) menyatakan bahwa iklan formula bayi paling banyak dilihat melalui media televisi (Sihombing, 2008). Iklan pangan olahan
adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan olahan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang disampaikan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan olahan. Iklan merupakan ujung tombak pemasaran. Melalui iklan, industri berusaha mengomunikasikan produk yang mereka miliki kepada konsumen. Oleh karena itu iklan dibuat semenarik mungkin agar konsumen tertarik untuk membeli produk yang
diiklankan. Selain itu, iklan dapat mengubah opini dan meyakinkan konsumen terhadap produk yang diiklankan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Iklan merupakan alat komunikasi yang paling kuat untuk menyampaikan pesan kepada konsumen (Kumar et al. 2013). Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk mengonfirmasi hasil penelitan mengenai iklan susu formula di atas. Hal ini didasari oleh kemungkinan masyarakat belum dapat membedakan apakah iklan yang dilihat adalah iklan produk formula bayi atau produk susu lainnya. Produk susu diketahui ada beberapa jenis bergantung pada peruntukkan untuk usia tertentu. Di Indonesia, terdapat formula bayi untuk bayi sampai umur 6 bulan, formula lanjutan untuk bayi usia 6-12 bulan, dan for mula pertumbuhan yang diperuntukkan bagi anak usia lebih dari 12 hingga 36 bulan. Sedangkan di negara lain, selain formula bayi juga dikenal followup formula untuk target usia konsumen 6-12 bulan (Inggris, Norwegia, Irlandia, Swedia, Perancis, New Zealand, Australia, Rusia); milk supplement untuk usia 6-36 bulan (Filipina); growing-up formula untuk usia 12-36 bulan (Perancis dan New Zealand); dan toddler formula untuk usia 12-36 bulan (Australia). Bias yang terjadi dalam penelitian atau survei mengenai adanya iklan susu formula kemungkinan karena penggunaan nama dagang atau merek antara formula bayi, formula lanjutan, dan formula pertumbuhan yang hampir sama. Ketentuan mengenai iklan Majalah Keamanan Pangan | 23
Teknologi Pangan
susu formula ditetapkan dalam beberapa peraturan. Pada Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Pasal 47, Ayat 4) menetapkan bahwa Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan 1 (satu) tahun, dilarang dimuat dalam media massa, kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, dan dalam iklan yang bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan pengganti ASI. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Pasal 19, huruf e), produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif yaitu berupa pengiklanan susu formula bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, dan media luar ruang. Peraturan Menteri Kesehatan No 39 Tahun 2013 tentang Susu formula bayi dan produk bayi lainnya (Pasal 20) menetapkan bahwa formula bayi hanya dapat diiklankan melalui media cetak khusus mengenai kesehatan. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi dan Formula Bayi Untuk Keperluan Medis Khusus dan Peraturan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pengawasan Formula Lanjutan (Pasal 7) menetapkan bahwa formula bayi (0-6 bulan) maupun formula lanjutan (6-12 bulan) dilarang untuk diiklankan. Dari beberapa peraturan tersebut, disimpulkan bahwa iklan susu formula bayi dilarang dimuat dalam media massa kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan.
24 | Majalah Keamanan Pangan
Peraturan-peraturan tersebut sejalan dengan International Code of Marketing of Breastmilk Substitutes yang ditetapkan oleh WHO (WHO, 1981). Pertanyaan selanjutnya adalah sudah efektifkah peraturan yang telah ditetapkan tersebut ? Jika melihat kondisi yang ada saat ini, ada dua hal yang dapat diamati. Pertama, cara promosi formula lanjutan yang dilakukan sehingga sangat sulit membedakannya dengan formula bayi. Kedua, logo dan nama perusahaan yang melekat dengan nama dagang formula bayi, sehingga konsumen mengenal logo dan nama perusahaan tersebut sebagai satu kesatuan dengan produk formula bayi. Sehingga jika logo dan nama tersebut digunakan untuk produk lain seperti fomula lanjutan, maka konsumen sudah memiliki persepsi mengenai produk formula bayi. Pemberian nama dan pelabelan formula lanjutan yang menyerupai for mula bayi menyiratkan bahwa iklan formula lanjutan dan formula bayi dipromosikan secara bersamaan. Saat orangtua melihat iklan formula lanjutan maka mereka menyangka telah melihat iklan fomula bayi. Hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Berry et al. (2010) di Australia. Di Australia, toddler milk memiliki tampilan produk seperti desain kemasan dan nama dagang yang hampir sama dengan formula bayi. Perbedaan identitas hanya ada pada penambahan kata toddler pada nama dagang utama. Asumsi yang didapat adalah iklan toddler milk berperan sekaligus sebagai iklan untuk produk formula bayi. Hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut terutama oleh pemerintah sebagai regulator, sesuai dengan pernyataan UNICEF Inggris: “Comprehensive and complete legislation is required
to implement the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes if such legislation is to be effective”. Referensi BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan RI]. 2008. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.52.1831 Tahun 2008 tentang Pedoman Periklanan Pangan. Jakarta: Badan POM. BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan RI]. 2011. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.03.1.52.08.11.07235 Tahun 2011 tentang Pengawasan Formula Bayi Dan Formula Bayi Untuk Keperluan Medis Khusus. Jakarta: Badan POM. BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan RI]. 2013. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pengawasan Formula Lanjutan. Jakarta: Badan POM. Faircloth C. 2008. A weak formula for legislation: how loopholes in the law are putting babies at risk. Downloaded: 4 Maret 2015. http:// www.savethechildren.org.uk/ sites/default/files/docs/babymilk_ legislation_1.pdf. Kumar, Prasanna D, Raju, Venkateswara K. 2013. The role of advertising in consumer decision making. IOSR Journal of Business and Management. 14 (4) Kementerian Kesehatan RI. 2013. Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya. Jakarta: Kemenkes. Nina JB, Jones S. Iverson D. 2010. Toddler milk advertising in Australia: the infant formula ads we have when we don’t have infants formula ads. In P. Ballantine P. Ballantine & J. Finsterwalder (Eds.), ANZMAC annual conference 2010: Australian and New Zealand Marketing Academy Conference 2010 - ‘Doing more with less’ (pp. 1-8). New Zealand: University of Canterbury. Pemerintah RI. 1999. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara. Pemerintah RI. 2012. Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara. Sihombing TH. 2008. Kajian Klaim Gizi dan Kesehatan pada Produk Pangan untuk Bayi dan Balita Serta Ibu Hamil dan Menyusui. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. WHO [World Health Organization]. 1981. International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. Geneva: WHO.
Si Mungil
Moci
Oleh : Anita Nur Aini, S.Si., Apt. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
MOCI, siapa yang tidak kenal dengan cemilan asal daerah Sukabumi yang satu ini. Bentuknya bulat berwarna-warni dengan isi dan taburan pada kulit yang beraneka ragam menjadikan moci sebagai cemilan yang digemari oleh masyarakat. Kali ini kami akan mengajak pembaca mengetahui bagaimana teknik membuat moci dan tips agar moci yang dihasilkan memiliki rasa yang enak dan aman untuk dikonsumsi.
Majalah Keamanan Pangan | 25
Peristiwa Bagaimana mengolahnya?
Berikut ini adalah bahan baku dan peralatan yang digunakan untuk membuat moci Cara pembuatan moci 1. Tepung ketan, tepung beras, gula pasir halus, garam dan mentega leleh, dicampur dan diaduk-aduk sambil ditambahkan air matang, setelah itu ditambahkan pewar na makanan (jika diinginkan) dan esens rasa, diaduk hingga warna merata. 2. Adonan dituang ke loyang dan dimasukkan ke dalam dandang yang telah berisi air, dikukus hingga matang (kira-kira 35 menit sejak air mendidih), jika sudah matang adonan diangkat. 3. Pembuatan isi dilakukan dengan menggoreng/ menyangrai kacang tanah yang sudah dihaluskan, kemudian diaduk dengan gula pasir halus. 4. Setelah adonan dan isi siap, disiapkan plastik sebagai alat bantu membuat moci. Adonan kulit moci diambil satu sendok dan diletakkan diatas alas platik dan ditutup dengan plastik, lalu dipipihkan dengan
Keterangan
Bahan untuk kulit
menggunakan roler kayu hingga adonan berbentuk lembaran. 5. Tu t u p p l a s t i k d i b u k a , kemudian isi kacang diletakkan di bagian tengah dan lembaran adonan dikatupkan hingga isi tidak terlihat serta dibentuk bulatan. 6. B u l a t a n - b u l a t a n moci tersebut digulingkan di atas tepung maizena yang telah disangrai untuk mencegah pelekatan antar bulatan moci. 7. Moci diangkat dan ditata di atas piring saji dan siap dihidangkan.
Tips membuat moci yang enak dan aman Memilih tepung • Pilihlah tepung ketan dan tepung beras yang telah terdaftar di Badan POM atau Dinas Kesehatan. • Jika membeli tepung dalam kemasan curah dalam plastik kiloan, maka pastikan untuk mengayaknya terlebih dahulu sebelum digunakan. • Pilihlah tepung yang berwarna putih, baunya normal (tidak apek), tidak menggumpal, tidak ada serangga ataupun cemaran fisik lainnya.
Bahan untuk isi
Mengolah bahan • Pastikan semua peralatan dalam kondisi bersih sebelum digunakan dan begitu pula dengan tangan pekerja. • Tambahkan seluruh bahan kering terlebih dahulu, diaduk rata baru ditambahkan air sedikit demi sedikit. Hal ini untuk mencegah penggumpalan dan mempercepat pencampuran tepung dengan air. • Te p u n g m a i z e n a y a n g digunakan untuk melapisi kulit (taburan) harus disangrai terlebih dahulu untuk membuatnya matang dan membunuh mikroba. Taburan tepung maizena dapat diganti dengan wijen atau bahan lain (tergantung selera). Sama halnya dengan tepung maizena, bahan taburan ini harus disangrai terlebih dahulu hingga matang.
Bahan
Jumlah
Peralatan
Tepung ketan
150 g
Tepung beras
15 g
Air matang
165 mL
Gula pasir halus
50 g
Garam
secukupnya
Wadah tahan panas Kain kasa Panci Talenan Loyang (pirex/stainless) Dandang Celemek, Hairnet, sarung tangan Baskom Pengaduk Wajan & Sutil Sendok & Piring Mangkuk Plastik alas Roler kayu
Mentega putih leleh Pewarna makanan
3 tetes
Esens rasa (sesuaikan dengan pilihan pewarna makanannya)
10 tetes
Tepung maizena, sangrai (taburan)
30 g
Kacang tanah
75 g
Gula pasir halus
1 sdm
Catatan : isi dapat diganti dengan kacang hijau kupas atau selai
26 | Majalah Keamanan Pangan
WORKSHOP MONITORING EVALUASI GERAKAN KEAMANAN PANGAN DESA “Membangun Desa Pangan Aman”
Memilih pewarna dan esens • Jika ingin menggunakan perwarna dan esens, pastikan pewarna dan esens yang digunakan telah terdaftar di Badan POM (bernomor regristrasi BPOM RI MD atau ML) dan digunakan sesuai takaran yang tertera dalam aturan/cara pakai di labelnya.
Oleh : Teti Rosniawati, S.T.P. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
P
rogram Gerakan Keamanan Pangan Desa (GKPD) yang diinisiasi Badan POM sejak tahun 2014 telah memasuki tahun kedua. Dalam rangka sinergisme dan sinkronisasi program/kegiatan terkait desa dengan kementerian/lembaga, Badan POM telah melakukan berbagai upaya baik secara persuasif melalui audiensi, talkshow bersama di media, melibatkan kementerian/ lembaga lain dalam penilaian lomba desa pangan aman dan program GKPD lainnya serta upaya proaktif. Secara proaktif Badan POM dan BB/BPOM terus melakukan rangkaian kegiatan GKPD, yaitu 1) penguatan kapasitas desa melalui advokasi terhadap SKPD terkait baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota dan peningkatan kapasitas Kader Keamanan Pangan Desa (KKPD); 2) pemberdayaan komunitas desa melalui bimbingan teknis terhadap masyarakat desa oleh KKPD dan bimbingan teknis terhadap usaha pangan desa (UPD) oleh tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP)Pengawas Pangan Kabupaten/ Kota (District Food Inspector/ DFI); 3) Pengawasan keamanan pangan desa oleh KKPD untuk pangan siap saji dan petugas PKP/DFI untuk UPD; 4) monitoring evaluasi GKPD.
Hingga tahun 2015, Badan POM telah mengintervensi 390 desa di 31 provinsi dan menghasilkan ±3.600 Kader Keamanan Pangan Desa terdiri dari ibu PKK, karangtaruna, guru, tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan District Food Inspector (DFI) serta 10.800 komunitas desa/kelurahan. Pada akhir tahun 2015, tepatnya tanggal 16-17 November 2015, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM telah menyelenggarakan Workshop Monitoring Evaluasi Gerakan Keamanan Pangan Desa di Hotel Lumire Jakarta. Acara workshop ini dibuka resmi oleh Kepala Badan POM dan diikuti oleh peserta dari 31 BB/ BPOM di seluruh Indonesia; lintas sektor terkait seperti Sekretariat Kabinet, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Sosial, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, TNI Angkatan Darat dan Seafast Centre IPB; serta unit teknis di Badan POM. Pada workshop ini, Badan POM memberikan anugerah Desa Pangan Aman (Desa Paman) kepada 7 (tujuh) desa/ kelurahan dari 7 wilayah yaitu Nagari Cupak di Kabupaten Solok-Sumatera Barat, Kelurahan Lokatabat Selatan di Kota Banjarbaru-Kalimantan Selatan, Desa Kuala Secapah di Kab Mempawah- Kalimantan Barat, Pekon Pujiharjo di Kabupaten PringsewuLampung, W irogunan di Yogyakarta, Desa Mendalo Darat di Kabupaten Muaro Jambi dan Kelurahan Cibubur di Jakarta Timur. Anugerah Desa Paman diberikan oleh Kepala Badan POM kepada Kepala Desa/Lurah dari 7 (tujuh) desa/kelurahan. Anugerah Desa Paman ini merupakan bentuk apresiasi Badan POM terhadap desa/ kelurahan yang telah berupaya memberikan edukasi dan menerapkan praktek keamanan pangan di pedesaan. Penilain Desa Paman didasarkan pada 2 (dua) indikator yaitu indikator keberhasilan program keamanan pangan dan indikator program mandiri keamanan pangan. Selain penilaian terhadap kedua indikator tersebut, komitmen perangkat desa/kelurahan juga menjadi pertimbangan penilaian seperti mengalokasikan kegiatan keamanan pangan dalam anggaran desa dan jadwal kegiatan rutin tahunan masingmasing desa/kelurahan. Majalah Keamanan Pangan | 27
Peristiwa Adapun rekomendasi dari pertemuan workshop ini adalah: 1. perlu adanya sinkronisasi dan evaluasi terhadap program/ kegiatan desa di semua kementerian/lembaga yang pelaksanaannya dilakukan secara proprosional dan melibatkan berbagai pihak baik pemerintahan maupun swasta 2. menjadikan program GKPD menjadi gerakan yang dibutuhkan masyarakat dengan menjadikan kader/ tokoh masyarakat sebagai penggiat dengan akses
pembelajaran bersama yang mudah (e-learning) serta disinergiskan d e n g a n p ro g r a m d e s a dari kementerian/lembaga lainnya 3. m e m p e r k u a t lembaga kemasyarakatan desa sebagai upaya untuk mendapatkan rumah tangga yang sadar pangan aman 4. m e n j a d i k a n k e a m a n a n pangan sebagai budaya dalam peningkatan kesadaran akan keamanan pangan yang akan memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan
Indeks Desa Mambangun (IDM) 5. Tujuan dari program GKPD adalah meningkatkan perekonomian desa melalui peningkatan daya saing usaha desa dan meningkatkan kemandirian masyarakat desa dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang aman dan bermutu sampai tingkat perseorangan. Tujuan ini dapat tercapai dengan adanya kolaborasi dan sinergisme program dengan kementerian/lembaga terkait.
Penandatanganan Nota Kesepahaman Antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Universitas Negeri Jakarta dan Peresmian Food Safety Corner Badan POM
B
Oleh : Chyntia Dewi Nurhayati S., S.T.P & Indra Pramularsih S.Farm, Apt. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
ertempat di Aula Gedung C Badan POM pada tanggal 7 Desember 2015 telah dilakukan penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan POM dengan Universitas Negeri Jakarta. Penandatanganan dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta, Prof Djaali dan Kepala Badan POM, DR. Roy A Sparringa, M.App.Sc. Penandatangan Nota Kesepahaman ini bersamaan juga dengan ditandatanganinya Kesepakatan Bersama antara
Gambar 1. Penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan POM (Tengah) dengan UNJ (kanan)
Badan POM dengan Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, Prof. Dr. Yohana Yembise Food Safety Corner (FSC) diresmikan pada tanggal 7 Desember 2015 oleh Kepala Badan
28 | Majalah Keamanan Pangan
POM, Bapak Dr. Roy A. Sparringa, M.AppSc. dan Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Djaali. Peresmian Food Safety Corner merupakan rangkaian dari acara Penandatanganan Kesepakatan Bersama Antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Penandatanganan Kesepakatan Bersama Antara Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Rektor Universitas Negeri Jakarta. Tujuan dilakukannya Nota Kesepahaman ini adalah untuk meningkatkan hubungan kerja sama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh Badan POM dan Universitas Negeri Jakarta sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing Setelah penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan POM dengan Universitas Negeri Jakarta, dilanjutkan dengan peresmian Food Safety Corner. Food Safety Corner
(FSC) diresmikan pada tanggal 7 Desember 2015 oleh Kepala Badan POM dan Rektor Universitas Negeri Jakarta. Food Safety Corner merupakan wadah edukasi keamanan pangan yang bertujuan untuk mempermudah pengunjung Badan POM memperoleh produk informasi keamanan pangan secara mandiri. Kita dapat mencari berbagai jenis produk informasi keamanan pangan (PIKP) dalam bentuk buku, leaflet, majalah, poster, maupun video dengan bantuan Situs Produk I nf o r ma si Kea ma na n Pa ngan (SISTOPAR-http://klubpompi.pom. go.id/id/sistopar). Pengunjung juga dapat berinteraksi langsung dengan keluarga POMpi secara interaktif di area ini. Food Safety Corner berlokasi di Badan POM, Gedung F, Lantau 2, Jl. Percetakan Negara No.23, Jakarta Pusat.
Gambar 2. PPenandatanganan plakat peresmian Food Safety orner oleh Rektor UNJ (Kiri) dan Kepala Badan
Audiensi Badan Pom Dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia Oleh : Teti Rosniawati, S.T.P. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
B
adan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada hari Senin tanggal 19 Oktober 2015 melakukan audiensi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia di Ruang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Te r t i n g g a l dan Transmigrasi di Kalibata Jakarta Selatan. Pertemuan tersebut dihadiri langsung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kepala Badan POM. Selain itu pada acara tersebut hadir pula dari pihak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi : Sekretaris Jenderal, Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) dan Direktur Pelayanan Sosial Dasar pada Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Sedangkan dari Badan POM dihadiri pula oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dan Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Kepala Badan POM, Roy Sparringa menyampaikan bahwa Gerakan Nasional Keamanan Pangan Desa/ Kelurahan (GKPD/K) yang telah diinisiasi Badan POM sejak
tahun 2014 merupakan kegiatan yang sangat penting karena selaras dengan agenda prioritas pemerintah (Nawacita) yang ke-3 dan ke-7 yaitu : • M e m b a n g u n Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. • Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, antara lain : pangan, energi, keuangan. GKPD/K ini merupakan gerakan nasional yang berbasis pemberdayaan masyakarat yang bertujuan untuk : meningkatkan kemandirian masyarakat desa dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang aman sampai pada tingkat perseorangan dan memperkuat ekonomi desa dengan meningkatkan daya saing usaha pangan desa. Saat ini pengembangan program desa Pangan Aman (Paman) b e ro r i e n t a s i p a d a e m p a t landasan yaitu : landasan pemberdayaan masyarakat, peningkatan akses keamanan pangan, kearifan lokal yang menunjukkan akar sosial budaya dan pengembangan produk unggulan desa.
Desa yang akan diintervensi program keamanan pangan adalah desa yang memiliki potensi baik potensi wisata maupun produk pangan lokal unggulan dengan target desa 100 desa/kelurahan per tahun selama tahun 2015-2019 Menteri Desa, Pembangunan Daerah Te r t i n g g a l dan Transmigrasi, Jafar Marwan menyampaikan bahwa peran Badan POM sangat terbuka untuk kerjasama d e n g a n p ro g r a m / k e g i a t a n yang ada di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang baru saja dilaunching yaitu Indeks Desa Membangun (IDM). Program GKPD/K dapat disinergikan dalam program tersebut sebagai salah satu tolok ukur dalam mencapai 2000 desa mandiri. Selain itu, Jafar Marwan menyampaikan bahwa perlu dibuat kerja konkret ke depan dan pertemuan lebih lanjut yang membahas poin-poin yang akan dikerjasamakan terkait titik singgung antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan Badan POM.
POM (Kanan)
Majalah Keamanan Pangan | 29
Cemaran
DETEKSI MOLEKULER MIKROBA PENCEMAR PANGAN Oleh : Dr.Diana E. Waturangi, M.Si. Kontaminasi mikroba dapat terjadi pada berbagai produk makanan dan minuman yang dapat diakibatkan antara lain oleh sanitasi yang kurang baik pada saat pengolahan, penyimpanan maupun penyajian makanan dan minuman. Apabila kontaminan merupakan bakteri patogen, maka berpotensi mengakibatkan penyakit bagi yang mengkonsumsi.
P
atogen pada pangan dapat mengakibatkan penyakit dan beberapa kasus dapat mengakibatkan kematian, bahkan pada negara maju sekalipun. Patogen tersebut tidak jarang dapat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa. Penyakit yang diakibatkan oleh kontaminasi pangan berdampak penting juga bagi perekonomian suatu negara, karena turunnya kepercayaan konsumen serta pengaruhnya pada perdagangan internasional produk-produk pangan. Untuk mencegah hal tersebut, selain peningkatan sanitasi yang baik, tentunya deteksi ataupun diagnostik mikrob pencemar pada pangan tersebut penting untuk dilakukan. Salah satu hal yang sering menjadi kendala ialah proses deteksi yang lambat baik dari segi administrasi maupun teknik deteksi, sehingga penanganan penderita menjadi lebih lambat. Metode tradisional mengidentifikasi patogen berdasarkan sifat fenotipenya, yaitu klasifikasi berdasarkan pertumbuhannya pada media tertentu dan kemampuannya memetabolisme bahan kimia tertentu. Perbaikan dari metode tradisional tersebut telah dilakukan termasuk perbaikan media isolasi serta metode identifikasi cepat berdasarkan reaksi biokimia.
30 | Majalah Keamanan Pangan
Kebutuhan akan teknik yang lebih cepat dan akurat semakin mendesak untuk peningkatan kualitas dan keamanan pangan. Teknik deteksi yang cepat dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan pendekatan deteksi secara molekuler. Pada analisis molekuler, deteksi dapat dilakukan melalui asam nukleat (DNA dan RNA) sehingga deteksi kontaminan pangan dapat dilakukan secara cepat dan selektif. Saat ini teknik molekuler telah dilakukan bersamaan dengan teknik diagnostik konvensional dalam pemeriksaan patogen secara rutin. Sampai saat ini ada tiga teknik molekuler yang umum dilakukan yaitu: PCR, NASBA, dan DNA microarray.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Teknik PCR sampai saat ini merupakan teknik yang sangat penting dalam riset biologi molekuler. Primer spesifik akan mendeteksi DNA yang bersifat homolog dengan primer (Mulis, et al., 1987). Adanya produk amplifikasi menunjukkan hasil keberadaan organism tertentu dalam sampel. Implementasi PCR dapat digunakan untuk mendeteksi bakteri, cendawan maupun virus yang mengkontaminasi makanan. (McPherson MJ, Moller S, 2000). PCR merupakan
teknik yang paling banyak digunakan, modifikasi serta pengembangan teknik PCR yang lebih diskriminatif juga telah dilakukan. Beberapa teknik deteksi berdasarkan PCR telah digunakan untuk deteksi rutin sampel pangan serta klinik.
Nucleic Acid Sequence Based Amplification (NASBA)
Teknik ini berkembang pada tahun 90an yang digunakan untuk mengamplifikasi asam nukleat tanpa penggunaan thermal cycler. Teknik ini paling umum digunakan untuk mendapatkan kopi RNA dari beberapa molekul RNA (Compton, 1991). Penggunaan NASBA berkontribusi besar terhadap pengembangan teknik yang mudah dan akurat dalam mendeteksi patogen. Penggunaan molekul DNA dalam deteksi kadang dapat menghasilkan positif palsu dalam analisis, karena bisa saja DNA yang terdapat dalam sampel berasal dari mikroba yang sudah mati. Salah satu manfaat penting dari penggunaan RNA dalam deteksi ialah kita yakin bahwa hasil yang positif berasal dari mikroba yang masih hidup.
DNA microarray
Dalam kontrol kualitas makanan, sangatlah penting untuk mengidentifikasi
secara cepat patogen yang mengakibatkan gejala atau kontaminasi. Akurasi dari deteksi patogen ini juga sangat penting mengingat banyak patogen yang dapat berkerabat sangat dekat dan dapat berada pada makanan yang sama. Jika keduanya tidak dapat dibedakan, deteksi dapat menghasilkan positif palsu ataupun negatif palsu. Jenis dan kisaran keragaman patogen yang dapat mencemari makanan dapat berdampak pada lamanya deteksi suatu patogen. Penggunaan DNA microarray memungkinkan deteksi patogen dengan jumlah yang besar dari segi keragaman dan sifatnya juga sangat sensitif serta spesifik. Wang et al., (2007) melaporkan array based assay untuk identifikasi 23 patogen pada makanan, teknik ini didesain untuk menghibridisasi gen 16S pada patogen target. Analisis DNA Microarray lainnya yang banyak dikembangkan ialah untuk Shigella sp. dan Escherichia coli. Kedua bakteri ini banyak menjadi perhatian pengembangan untuk diagnostiknya (Li et al., 2006). Identifikasi yang spesifik untuk serotype E. coli sangatlah penting mengingat patogenisitasnya sangatlah bervariasi mulai dari K-12 yang tidak berbahaya sampai yang dapat mematikan yaitu O157:H7 (Palaniappan et al., 2006). Surveilan yang efektif untuk kontaminan pangan dapat dilakukan melalui kombinasi antara teknik konvensional dan teknik molekuler, karena keterbatasan dari metode konvensional dan molekuler dapat saling melengkapi. Penggunaan teknik molekuler telah banyak dilakukan baik untuk deteksi, spesiasi, typing, klasifikasi serta karakterisasi patogen pada pangan. Teknik tersebut ter masuk pulsed
field gel electrophoresis (Schwartz dan C a n t o r, 1984) (Nobble et al., 2012), multilocus sequence typing (Colles et al., 2011), random amplified polymorphism deoxyribonucleic acid (Aditzey et al., 2012), repetitive extragenic palindromic (Versalovic et al., 1991), dan DNA sequencing serta multiplex PCR (Shi et al., 2011). Penggunaan teknik molekuler sangat penting, sehingga kita dapat lebih memahami sumber utama kontaminan produk pangan, sumber infeksi serta keragaman genetik dari kontaminan tersebut (Keramas et al., 2004). Manfaat yang diperoleh dari teknik ini dalam hal waktu analisis yang lebih cepat, lebih sensitif serta lebih spesifik membuat teknik ini semakin luas digunakan dan berkembang dengan sangat cepat (Myint et al., 2006). Dari tulisan ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami pentingnya deteksi yang cepat serta akurat, bukan hanya sampai tingkat spesies bahkan beberapa kasus sampai tingkat galur dari mikrob kontaminan pangan. Berdasarkan hal di atas, diharapkan pengobatan bagi penderita dapat lebih terarah, dan perbaikan kualitas pangan dapat lebih mudah dicapai. Daftar Pustaka Adzitey F, Rusul G, Huda N, Cogan T, Corry J. 2012. Prevalence, antibiotic resistance and RAPD typing of Campylobacter species isolated from ducks, duck rearing and processing environments in Penang, Malaysia. Int J Food Microbiol. 154:197–205. Colles FM, Ali JS, Sheppard SK, McCarthy ND, Maiden MCJ. 2011. Campylobacter populations in wild and domesticated Mallard ducks (Anas platyrhynchos) Environ Microbiol Rep. 3:574–580. Compton J. 1991. Nucleic acid sequence-based amplification. Nature 350:91–92. Keramas G, Bang DD, Lund M, Madsen
M, Bunkenborg H, Telleman P, Christensen CBV. 2004. Use of culture, PCR analysis and DNA microarrays for detection of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli from chicken faeces. J Clin Microbiol. 47:3985– 3991. Li Y, Liu D, Cao B, Han W, Liu Y, Liu F, Guo X, Bastin DA, Feng L, Wang L. 2006. Development of a serotypespecific DNA microarray for identification of some Shigella and pathogenic Escherichia coli strains. J Clin Microbiol 44:4376–4383. McPherson MJ, Moller S. 2000. PCR: the basics. BIOS, Oxford. Mullis K, Faloona F, Scharf S, Saiki R, Horn G, Erlich H. 1987. Specific enzymatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Cold Spring Harb Symp Quant Biol 51(Pt 1):263–273. Myint MS, Johnson YJ, Tablante NL, Heckert RA. 2006. The effect of pre-enrichment protocol on the sensitivity and specificity of PCR for detection of naturally contaminated Salmonella in raw poultry compared to conventional culture. Food Microbiol. 23:599–604. Noble DJ, Lane C, Little CL, Davies R, De Pinna E, Larkin L, Morgan D. 2012. Revival of an old problem: an increase in Salmonella enterica serovar Typhimurium definitive phage type 8 infections in 2010 in England and Northern Ireland linked to duck eggs. Epidemiol Infect. 140:146–149. Palaniappan RU, Zhang Y, Chiu D, Torres A, Debroy C, Whittam TS, Chang YF. 2006. Differentiation of Escherichia coli pathotypes by oligonucleotide spotted array. J Clin Microbiol 44:1495–1501. Schwartz DC, Cantor CR. 1984. Separation of yeast chromosomesized DNAs by pulsed field gradient gel electrophoresis. Cell. 37:67–75. Shi XM, Long F, Suo B. 2010. Molecular methods for the detection and characterization of foodborne pathogens. Pure Appl Chem. 82:69– 79. Versalovic J, Kapur V, Lupski JR. 1991. Distribution of repetitive DNA sequences in eubacteria and application to fingerprinting of bacterial genomes. Nucleic Acids Res. 19:6823–6831. Wang XW, Zhang L, Jin LQ, Jin M, Shen ZQ, An S, Chao FH, Li JW. 2007. Development and application of an oligonucleotide microarray for the detection of food-borne bacterial pathogens. Appl Microbiol Biotechnol 76:225–233.
Majalah Keamanan Pangan | 31
32 | Majalah Keamanan Pangan