1 Kawah Candradimuka Bernama Lemigas
1
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
M
enyusul disahkannya UU Migas Indonesia yang pertama pada tahun 1960, pemerintah membentuk Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) agar Indonesia memiliki suatu badan yang mampu menghimpun pengetahuan teknik tentang perminyakan. Dengan demikian Lemigas dapat memberikan masukan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan. Di awal tahun 70-an, Lemigas melakukan rekrutmen aktif ke perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pemenuhan SDM Lemigas melalui metode ini bertujuan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan Lemigas. Pada masa itu, Lemigas merupakan sebuah lembaga sendiri, belum berada di bawah kementerian. Kelak, pada tahun 1977 Lemigas diberikan opsi apakah akan menginduk ke Pertamina atau berada di bawah Kementerian ESDM. Kemudian diputuskan berada di bawah Kementerian ESDM dan status pegawai Lemigas berubah menjadi pegawai negeri sipil. Saya sendiri mendapat kesempatan dalam proses seleksi Lemigas yang dilakukan di kampus ITB pada tahun 1973. Saat itu, tepatnya Desember 1973, saya yang berstatus mahasiswa tingkat akhir diperkenankan mengikuti proses seleksi. Padahal ujian sidang skripsi baru dilaksanakan pada 1 Februari 1974. Panitia rekrutmen Lemigas yang hadir di ITB pada saat itu adalah Bapak Ir. Nur Subagyo (pernah menjadi Direktur PGN) dan Bapak Ir. Adil Abbas. Mereka merupakan alumni Teknik Perminyakan ITB dan Teknik Sipil UGM. Setelah dinyatakan lulus ujian tertulis di ITB selanjutnya saya mengikuti seleksi wawancara di kantor Lemigas, Jakarta. Perjalanan menuju tahap wawancara di Jakarta inilah yang cukup menarik karena bertepatan dengan pecahnya demonstrasi besar-besaran yang lebih dikenal dengan peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta, di Cianjur sudah tersiar kabar bahwa di Jakarta sedang terjadi kerusuhan besar. Namun, saya tetap niatkan meneruskan perjalanan karena proses seleksi wawancara ini penting bagi saya. Selain itu, berhubung ditemani oleh adik membuat ada perasaan lebih aman meneruskan perjalanan.
2
Kawah Candradimuka Bernama Lemigas
Meskipun peristiwa Malari masih bergejolak, proses interview tetap berjalan. Keputusan meneruskan perjalanan tersebut memang tepat karena ternyata demo yang terjadi di mana-mana tidak mengubah jadwal interview. Bagi saya, interview ini meninggalkan kesan tersendiri. Belakangan saya juga baru tahu bahwa Bapak-Bapak yang menginterview saya juga menyimpan kesan yang sama. Ceritanya begini. Saya diwawancarai oleh lima orang panitia seleksi. Entah mengapa, saat interview justru saya sebagai peserta interview yang banyak bertanya kepada panitia. Tentang apa itu Lemigas, apa saja tugas yang harus saya terima, dan menyampaikan komentar-komentar mengenai Lemigas. Anehnya para pewawancara malah lebih banyak terdiam padahal pada sesi wawancara tersebut harusnya pihak pewancara yang lebih banyak mengajukan pertanyaan. Bapak-bapak yang menjadi panitia dan pewancara saya tersebut merupakan atasan saya ketika sudah diterima di Lemigas nantinya. Beberapa tahun berselang, mereka pernah mengungkapkan, “Kamu ini peserta wawancara paling cerewet yang pernah masuk ke Lemigas. Masa’ yang diwawancara malah lebih galak dibandingkan pewawancara?” kenang mereka. Kesan “cerewet” itu pun saya sadari setelah wawancara. Saya sendiri juga merasa heran kenapa saat wawancara kok malah jadi banyak mengajukan pertanyaan. Sempat ada kekhawatiran, jangan-jangan tidak lulus karena dinilai terlalu cerewet. Tetapi alhamdulillah, akhirnya dinyatakan lulus juga. Setelah wisuda sarjana di ITB pada 28 Februari 1974, saya langsung mulai bekerja di Lemigas pada 4 Maret 1974. Artinya durasi “menganggur” selepas wisuda hanya empat hari.
Menjalani Pendidikan Keahlian Setiap pegawai baru Lemigas diwajibkan mengikuti program pendidikan. Program tersebut terdiri dari tiga tahap. Pertama, belajar mandiri di perpustakaan Lemigas. Kedua, kursus kader pengolahan minyak di Cepu,
3
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Jawa Tengah. Dan ketiga, meneruskan pendidikan kader khusus pengolahan di Palembang, belajar langsung di kilang minyak milik Pertamina. Saya memperoleh pelajaran berharga ketika menjalani program belajar mandiri di perpustakaan, yakni bagaimana menjaga kondisi tubuh agar tetap fit meskipun harus kerja lembur. Saat itu saya memang hanyut mendalami ilmu baru di perpustakaan Lemigas karena background pendidikan saya adalah Kimia Murni, sementara di Lemigas harus bisa menyesuaikan dengan bidang di Lemigas. Akibatnya, tanpa terasa sudah menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Ternyata belajar tentang minyak bumi di perpustaan Lemigas itu menarik sekali. Meskipun hanya sebulan mendalami minyak bumi di perpustakaan, saya yang mendapat pendidikan kimia murni seolah “dicemplungkan” ke area yang menggugah semangat. Saya bersyukur melalui sebulan lamanya di perpustakaan, belajar dan diberi tugas. Dengan begitu memperoleh bekal pengetahuan dasar yang sangat bermanfaat. Sangkin asyiknya menyerap ilmu perihal minyak bumi di perpustakaan sampai lupa waktu sehingga kondisi tubuh mulai memperlihatkan gejala menjelang sakit. Barangkali karena melihat saya terlalu asyik menghabiskan waktu di perpustakaan, salah seorang pegawai Lemigas memberikan tips praktis yang di kemudian hari selalu saya terapkan. Bahkan ketika mendapat amanah sebagai Dirjen Migas yang tuntutan pekerjaannya sangat luar biasa tinggi, tips sederhana ini sangat membantu untuk menjaga kondisi tubuh tetap bugar. “Mbak, kalau kita kerja atau belajar hingga larut malam, agar segar kembali rahasianya minum jeruk dan makan telur setengah matang,” begitu ungkapnya. Bagi saya tips itu sebenarnya biasa saja, sepertinya juga bukan rahasia-rahasia amat. Meskipun begitu saya memang belum pernah mencobanya. Mengingat pesan minum jeruk dan makan telur setengah matang itu, saya kira tidak ada salahnya dicoba. Setelah menjalankan anjuran “rahasia begadang” itu saya merasa kok manfaatnya benar-benar terasa. Setelah sebulan bergelut dengan buku di perpustakaan, tepat pada 21 April 1974 saya berangkat ke Cepu. Di sana kami mengikuti kursus kader spesialis
4
Kawah Candradimuka Bernama Lemigas
pengolahan (refinery). Selain belajar refinery, disana dibekali juga mengenai asal usul minyak bumi, bagaimana teknik mengambilnya dari perut bumi, apa yang diperlukan, bagaimana drilling dilakukan, development, sampai tahap production. Seluruh peserta kursus belajar mengenai pengolahan minyak bumi secara lebih mendalam. Kurang lebih sembilan bulan berkutat mendalami minyak bumi di Cepu. Berada di lokasi yang cenderung terisolasi seperti itu dalam waktu berbulanbulan merupakan pengalaman pertama. Salah satu yang mengobati rindu berada di mess yang penuh nyamuk adalah ayah saya pernah berkunjung ke sana. Pacar saya—yang kini menjadi suami—juga pernah berkunjung ke Cepu. Saat itu dia masih kuliah dan saya sudah bekerja, padahal angkatan masuk ke ITB suami saya setahun lebih awal. Pertama kali berangkat ke lapangan, dua kunjungan istimewa itu tentu sangat bermanfaat mengobati rasa bosan yang mendera. Bersama rekan-rekan seangkatan yang berasal kampus lain seperti UNDIP, UGM, dan UI, kami menjalani program kader spesialis pengolahan secara intensif di Cepu. Total yang berangkat ke Cepu saat itu adalah lima orang. Diantara berlima hanya saya sendiri yang perempuan. Artinya, sejak awal karir saya memang berada di dunia laki-laki. Ini sangat bermanfaat kelak ketika menjadi Dirjen Migas. Semua orang menganggap minyak bumi dan gas adalah dunianya para pria. Tapi dengan pengalaman puluhan tahun berkecimpung dalam seluk beluk dunia migas, jadi tidak ada masalah dengan itu. Menjelang berakhirnya program pendidikan kader spesialis pengolahan di Cepu, dilakukanlah acara perpisahan sekaligus memberikan penghargaan kepada peserta terbaik. Meskipun satu-satunya peserta perempuan, ketika itu saya menyabet status sebagai peserta terbaik. Ini semakin memberikan semangat bahwa perempuan pun sanggup berkiprah di bidang migas. Saya tidak melihat penghargaan itu sebagai prestasi yang harus dibanggabanggakan tetapi itu menjadi pelecut di kemudian hari untuk berkarya sebaik-baiknya. Selesai dari Cepu kami langsung ke Palembang menjalani program pendidikan kader khusus pengolahan secara on the job training bersama rekan-rekan
5
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Pertamina. Program pendidikan tersebut berlangsung selama tiga bulan. Di tempat ini saya benar-benar mendapatkan pengalaman bagaimana pengolahan minyak bumi dilakukan. Intinya belajar banyak mulai dari ilmu minyak bumi sampai pada pengolahannya (petrokimia).
Pengalaman di Lab Analitik Sepulang dari on the job training di Palembang, saya ditempatkan di Lab Analitik (sejak April 1975). Di lab ini saya mendapat peran sebagai chemist, sesuai dengan bidang ilmu di bangku kuliah. Saya mendapat tugas di bagian spektometri untuk infrared dan ultraviolet. Perbedaan mendasar antara lab di perguruan tinggi dengan di Lemigas mengenai fokus yang dikerjakan. Sesuai bidangnya, lab di Lemigas fokus untuk minyak bumi, sedangkan di kampus cenderung lebih umum. Oleh karena itu saya harus banyak menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan belajar hal baru lagi. Beberapa kegiatan pengujian misalnya menguji sampel dari bea dan cukai. Memastikan apakah sampel yang dikirim terbuat dari plastik atau bukan. Meneliti plastik tersebut terdiri dari polimer jenis apa. Kemudian ada pula sampel yang diuji untuk meneliti kandungan air buangan. Memastikan apakah kandungan berbahayanya berada pada batas yang masih diperbolehkan. Di lab analitik ini saya menjalani peran sebagai analis kimia. Metodologi yang digunakan kurang lebih sama dengan apa yang dipelajari di kampus. Perbedaannya hanya pada aspek kasusnya saja, yakni di lab analitik Lemigas dilakukan pengujian untuk kasus minyak bumi dan petrokimia. Bekerja di lab analitik membutuhkan ketelatenan yang ekstra. Pasalnya, kelembapan udara di Indonesia sangat berbeda dengan di luar negeri. Humidity (tingkat kelembapan udara) di Indonesia sangat tinggi, sementara peralatan dan bahan-bahan di lab banyak yang terbuat dari NaCl (garam) sehingga kelembapan udara menjadi masalah sendiri. Oleh karena itu kita menggunakan dehumidifier khusus untuk menyesuaikan kelembapan udara di dalam lab. Humidity rata-rata di Indonesia adalah 90% sementara persyaratan lab yang diminta maksimal 60%. Jadinya, setiap pagi saya
6
Kawah Candradimuka Bernama Lemigas
bertugas membuang air yang diserap oleh dehumidifier tersebut agar kelembapan di lab tetap terjaga. Di masa awal bergabung di Lemigas ini saya sempat mengalami saat-saat yang membingungkan. Masalahnya, budaya kerja di Lemigas cenderung berbeda dengan di perguruan tinggi. Di kampus saya sudah terbiasa dengan standar kerja yang tinggi, serius, dan harus tuntas. Sedangkan budaya kerja di lab analitik saat itu bisa dikatakan cenderung rileks. Sebagai pegawai baru, saya bingung harus bagaimana menempatkan diri. Di satu sisi, saya sudah terbiasa dengan budaya chemist yang berstandar tinggi, tapi akan berbenturan jika diterapkan di lab analitik karena posisi kami sama-sama pegawai. Dalam kegamangan budaya kerja tersebut, saya merasa harus menentukan sikap. Akhirnya saya niatkan dalam diri untuk tidak mengalah dengan idealisme. Daripada ikut dalam ke budaya yang membuat saya tidak nyaman, justru lebih baik kalau bisa berhasil menularkan standar kerja chemist yang tinggi ke rekan-rekan di lab. Nilai positif dari kejadian itu adalah saya belajar bagaimana mempengaruhi lingkungan dengan sikap positif. Pembelajaran ini kelak sangat berguna bagi saya karena kehadiran kita di satu lingkungan baru harus memberikan nilai tambah. Bahkan tidak cukup hanya sekedar nilai tambah, kita juga harus mampu mengajak orang-orang di lingkungan tersebut menerima kebaikan dan mau berubah. Karir saya di lab analitik terbilang cukup lama, yakni lebih dari sepuluh tahun. Secara struktural, saya juga merasakan hampir seluruh jenjang di lab analitik. Setelah delapan tahun menjadi analis, pada tahun 1985 saya mendapat amanah menjadi Kepala Seksi Bidang Pelayanan Teknologi Analisa. Namun, di waktu yang hampir bersamaan, suami saya berangkat ke Jerman melanjutkan pendidikannya. Posisi sebagai Kepala Seksi Analitik tidak sampai setahun saya emban karena pada tahun 1986 harus menyusul suami berangkat ke Jerman. Sebelumnya saya mengajukan cuti di luar tanggungan kepada Lemigas. Tetapi pimpinan Lemigas waktu itu, Prof. Dr. Wahyudi Wicaksono menolak rencana cuti di luar tanggungan. Beliau mengusulkan agar mencari beasiswa juga ke Jerman agar bisa sekolah bersama suami saya di sana.
7