Gambar Sampul “Biotechnology LEMIGAS Culture Collections” (BLCC)
ISSN : 2089-3396
Volume 47, No. 2 Agustus 2013 Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media untuk mempromosikan kegiatan penelitian pengembangan, perekayasaan teknologi dan pengkajian di bidang minyak dan gas bumi yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Pemimpin Redaksi
: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si. (Kimia)
Wakil Pemimpin Redaksi
: Ir. Daru Siswanto (Teknik Kimia)
Redaktur Pelaksana
: Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. (Geofisika)
Dewan Redaksi
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Prof. Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia) Prof. M. Udiharto (Biologi) Prof. Dr. E. Suhardono (Kimia Industri) Dr. Ir. Bambang Widarsono, M.Sc. (Teknik Perminyakan) Dr. Mudjito (Geologi Minyak) Dr. Adiwar (Proses Separasi) Dr. Oberlin Sidjabat (Kimia dan Katalis)
Redaksi
: 1. 2. 3. 4. 5.
Dr. Ir. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan) Ir. Sugeng Riyono, M.Phil. (Teknik Perminyakan) Dr. Ir. Eko Budi Lelono (Ahli Palinologi) Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan) Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia)
Mitra Bestari
: 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Teknik Perminyakan) Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (Teknik Geologi)) Prof. Dr. Wahjudi Wiratmoko Wisaksono (Energi dan Lingkungan) Dr. Ir. M. Kholil, M.Kom. (Manajemen Lingkungan) Ferry Imanuddin Sadikin, S.T., M.E. (Teknik Elektro)
Sekretaris
: Urusan Publikasi
Penerbit
: Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Pencetak
: Grafika LEMIGAS
Alamat Redaksi Sub Bidang Informasi, Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230. Tromol Pos: 6022/KBYBJakarta 12120, INDONESIA, STT: No. 119/SK/DITJEN PPG/STT/1976, Telepon: 7394422 - ext. 1222, 1223, 1274, Faks: 62 - 21 - 7246150, E-mail:
[email protected] Majalah Lembaran Publikasi LEMIGAS (LPL) diterbitkan sejak tahun 1970 yang telah berganti nama menjadi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi, terbit 3 kali setahun. Redaksi menerima Naskah Ilmiah tentang hasil-hasil Penelitian, yang erat hubungannya dengan Penelitian Minyak dan Gas Bumi.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Penanggung Jawab: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si., Redaktur: Ir. Daru Siswanto.
i
ISSN : 2089-3396
Volume 47, No. 2, Agustus 2013
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
ii
PENGANTAR
iii
LEMBAR SARI DAN ABSTRACT
iv
SELEKSI MIKROBA DAN NUTRISI YANG BERPOTENSI MENGHASILKAN BIOSURFAKTAN UNTUK MEOR Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani
59 - 67
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGKAJI PERMASALAHAN SOSIAL PADA PENGEMBANGAN LAPANGAN TUA Indah Crystiana dan Trimuji Susantoro
PENINGKATAN SIFAT ALIR DAN STABILITAS BIODIESEL DENGAN PROSES HIDROGENASI PARSIAL (BAGIAN I): PENGGUNAAN Ni-Al2O3 SEBAGAI KATALIS Oberlin Sidjabat
69 - 77
79 - 85
PENINGKATAN PEROLEHAN RESERVOIR MINYAK ‘R’ DENGAN INJEKSI ALKALI-SURFAKTAN-POLIMER PADA SKALA LABORATORIUM Edward ML Tobing dan Hestuti Eni
87 - 96
MANFAAT SURFAKTAN DARI BAKTERI LAUT HIDROKARBONOKLASTIK UNTUK AKSELERATOR PROSES HIDROKARBON MINYAK BUMI Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari
97 - 104
PEMBUATAN RANCANG BANGUN ADSORBER PENGHILANG MERKURI BERSKALA PILOT PADA INDUSTRI GAS BUMI Lisna Rosyamati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan
ii
105 - 114
PENGANTAR Pembaca yang Budiman, Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi mempunyai peranan penting dalam penyebaran informasi hasil-hasil penelitian dan kajian migas bagi masyarakat dunia ilmu pengetahuan dan industri migas di Indonesia. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Volume 47 No. 2 Agustus 2013 menyajikan beberapa tulisan hasil studi dan penelitian, yakni: 1. Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR; 2. Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua; 3. Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis; 4. Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak 'R' dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium; 5. Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi; 6. Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi . Tim Redaksi berharap Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi Agustus 2013 ini bisa menjadi rujukan bagi para penulis/peneliti. Oleh karena itu saran dan masukan pembaca sangat diharapkan untuk lebih sempurnanya terbitan Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi berikutnya. Dewan redaksi dan dewan penerbit, serta penanggung jawab majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi mengucapkan terima kasih kepada para penulis, penelaah dan penyunting yang telah bekerja keras hingga terbitnya majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi ini. Jakarta, Agustus 2013
Redaksi
iii
LEMBAR SARI DAN ABSTRACT ISSN : 2089-3396
Terbit : Agustus 2013
Kata Kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembaran Abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya.
Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”) Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 59 - 67 ABSTRAK Biosurfaktan merupakan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroba dari golongan bakteri hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan menurunkan tegangan antar muka. Faktor keberhasilan dalam produksi biosurfaktan ditentukan dari jenis mikroba dan nutrisi yang digunakan. Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan yaitu aktivasi dan kultivasi mikroba, seleksi mikroba penghasil biosurfaktan, kurva pertumbuhan mikroba, seleksi nutrisi. Aktivasi dan kultivasi mikroba dilakukan dalam tiga tahapan dengan masa inkubasi masing-masing tahapan yaitu 37 oC selama 24 jam. Hasil seleksi mikroba penghasil biosurfaktan diperoleh tiga jenis mikroba dari tujuh mikroba yang diuji, berdasarkan indikasi luasnya zona lisis yang terbentuk pada media agar darah yaitu, BLCC B-3, BLCC B-4 dan BLCC B-5. Hasil uji lanjut terhadap ketiga mikroba tersebut pada media minyak dengan mengukur tegangan antar muka (IFT), menghasilkan dua mikroba dengan nilai IFT yang terendah yaitu BLCC B-3 dan BLCC B-5. Hasil screening nutrisi berdasarkan pengukuran Tegangan Antar Muka (IFT), Viskositas, Total Plate Count (TPC), dan pH, menunjukkan media BC-4 dan media PA-4 mendukung aktivitas mikroba dalam memproduksi biosurfaktan. Kata kunci: seleksi mikroba, seleksi nutrisi, produksi biosurfaktan
iv
ABSTRACT Biosurfactant is a surfactant derived from hydrocarbonoclastic bacteria which are capable to reduce surface tension. The successful biosurfactant productions are determined by nutrition and microbial species. This research consists of 4 main steps: activation and cultivation of microbes, microbial growth curves, screening of surfactant producing bacteria, and screening of nutrition. Microbial activation and cultivation conducted in 3 sequential cultivation in 24 hours incubation time at 37oC. Screening of surfactant producing bacteria from 7 microbial isolates obtained 3 isolates which show positive result based on diameter of hemolytic area on blood agar. They are BLCC B-3, BLCC B-4 and BLCC B-5. The interfacial tension (IFT) examination result from these 3 isolates showed that BLCC B-3 and BLCC B-5 had the lowest IFT value. The result of nutrition screening based on IFT, viscosity, Total Plate Count, and pH show that BC-4 and PA-4 media are the best composition of media that support the microbes in producing surfactants. Author Keywords: microbe screening, nutrition screening, biosurfactant production.
Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”) Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 69 - 77
ABSTRAK Kajian ini bertujuan memetakan lokasi sumursumur tua di lapangan X dan lapangan Y. Lapangan X di wilayah kota madya dan lapangan Y berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan. Pemetaan kondisi penggunaan lahan dilakukan pada setiap sumur. Hasilnya digunakan untuk menganalisis kemungkinan permasalahan sosial yang timbul dalam pengembangan lapangan tua tersebut. Teknologi penginderaan jauh digunakan untuk memetakan lokasi sumur. Data tersebut menggunakan Citra Ikonos 1 meter. Penggunaan citra Ikonos diharapkan dapat mengidentifikasi lokasi sumur dan penggunaan lahan detil di sekitarnya. Hasilnya menunjukan bahwa citra Ikonos mampu memetakan lokasi-lokasi sumur di Lapangan X dan Y. Hasil lainnya menunjukkan dengan citra Ikonos mampu untuk menginterpretasi penggunaan lahan secara detil. Hal ini dapat menjadi kunci untuk identifikasi permasalahan sosial pada pengembangan lapangan tua. Kajian permasalahan pada pengembangan sumur tua menggunakan buffer dengan pusat kepala sumur pada radius 100 meter. Hal ini untuk menganalisis area yang harus bebas dari kegiatan sosial masyarakat. Survey lapangan dilakukan untuk validasi lokasi sumur dan interpretasi citra Ikonos. Hasil kajian membuktikan citra satelit Ikonos mampu untuk mengidentifikasi lokasi sumur dan permasalahan sosial yang terjadi pada rencana pengembangan sumur tua. Kata kunci: Citra Ikonos, sumur tua, permasalahan sosial, penggunaan lahan. ABSRACT The Aims of this research is mapping of wells location in “X” field and “Y” Field. X field is located in the municipality and Y field is located in the district of South Sumatera Basin. Mapping of landuse is conducted for all of well. The Result of landuse mapping is used for analyzing the possibility of social problem on Brown field development. Remote sensing technology is conducted to map of wells location. In this research is using Ikonos Imagery with 1 meter of spatial resolution. The use of Ikonos imagery is expected to identify of wells location and detail landuse. The Result of this research showing that Ikonos imagery has capability to map well location and detail landuse at X and Y Field. Landuse is key of identification of social problem on Brown Field
development. Research of social problem in Brown Field Development is using buffer for well head in radius 100 meter. The function of buffer is for analysing the area that free for other activities, mainly social activities. Field survey is conducted to validate wells location and landuse interpretation results. The Result of research is proving that Ikonos imagery has capability for identifying of wells location and social problem in Brown Field development planning. Author Keywords: Ikonos Imagery, old well, social problem, landuse.
Oberlin Sidjabat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”) Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al 2 O 3 sebagai Katalis Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 79 - 85 ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar nabati sebagai substitusi minyak diesel/solar yang menjanjikan. Namun masih ada permasalahan dalam hal mutu seperti kestabilan oksidasi dan sifat alirnya yaitu titik tuang dan titik kabut yang sangat penting dalam utilisasi secara komersial. Karakteristik tersebut sangat tergantung pada komponen bahan bakunya yang mengandung asam lemak tak-jenuh.yang mudah teroksidasi membentuk polimer-polimer serta pengaruh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi permasalahan ketidak stabilan produk biodiesel, konsentrasi asam lemak tak jenuh perlu diturunkan melalui proses hidrogenasi parsial dengan bantuan katalis nikel (Ni) berpenyangga (support) alumina (Al 2O 3). Proses hidrogenasi parsial dilakukan dengan sistem reaktor autoclave berpengaduk dengan temperatur 80 oC dan tekanan atmosfir. Karakteristik stabilitas oksidasi dapat meningkat untuk memenuhi spesifikasi yang ditentukan (>10 jam), juga sifat alirnya meningkat secara signifikan dengan penggunaan katalis nikel tersebut. Kata kunci: biodiesel, hidrogenasi parsial, katalis nikel, stabilitas oksidasi, titik kabut, titik tuang v
ABSTRACT Biodiesel is vegetable fuel as promising fuel for substituted diesel oil. However it has some problems for its fuel quality such as oxidation stability and flowing characteristics that is pour point and cloud point, which are very important in commercial utilization. Such characteristics depend on the components that contained in the feedstock such as unsaturated fatty acids which easier oxidised to form polymer and its environment conditions. In order to solve the problem of unstable biodiesel product, the concentration of unsaturated fatty acids should be reduced by partial hydrogenation processing with Nickel (Ni) supported on alumina (Al2O3) as catalyst. Partial hydrogenation processing was conducted by autoclave stirred reactor with temperature 80oC and atmosperic pressure. Characteristic of oxidation stability increase to meet the specification (>10 hours), also flowing characteristics increase significantly by using such catalyst. Author Keywords: biodiesel, partial hydrogenation, nickel catalyst, oxidation stability, cloud point, pour point Edward ML Tobing dan Hestuti Eni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 87 - 96 ABSTRAK Kumulatif perolehan minyak reservoir ’R’ setelah dilakukan injeksi air sampai dengan akhir tahun 2012 sebanyak 33.51% OOIP. Upaya untuk meningkatkan perolehan minyak pada reservoar tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan metodr Enhanced Oil Recovery (EOR). Hasil pemilihan metode EOR terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoar ’R’ menunjukkan bahwa metode yang cocok adalah injeksi Alkali Surfaktan Polimer (ASP). Tulisan ini menyajikan hasil studi laboratorium peningkatan perolehan minyak pada reservoir ’R’ dengan injeksi ASP. Dan tujuan studi tersebut adalah untuk mengetahui penambahan perolehan minyak dengan vi
menginjeksikan ASP pada batuan reservoir ’R’. Berdasarkan hasil uji compatibility, interfacial tension, reologi, thermal stability, filtrasi dan adsorpsi pada fluida injeksi ASP, maka diperoleh konsentrasi optimum dari masing-masing fluida injeksi tersebut. Mengacu pada konsentrasi optimum fluida injeksi ASP tersebut, kemudian dilakukan uji core flooding berdasarkan rancangan fluida injeksi yang sudah ditentukan. Hasil utama dari uji core flooding tersebut menunjukkan adanya peningkatan perolehan minyak sebanyak 9.94% OOIP. Bila hasil uji laboratorium tersebut diaplikasikan pada skala lapangan dengan menginjeksikan fluida ASP melalui sumur injeksi di reservoar ’R’, serta memenuhi persyaratan secara teknik, maka diperkirakan penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta bbl. Kata kunci: injeksi alkali-surfaktan-polimer, perolehan minyak. ABSTRACT Cumulative oil recovery reservoir ‘R’ after water injection until the end of 2012 was 27.87% OOIP. Efforts to improve oil recovery in reservoir ‘R’ can be done by applying the method of Enhanced Oil Recovery (EOR). The result of screening EOR method to the characteristics of the reservoir rock and fluid ‘R’ shows that the most suitable method is to inject Alkaline Surfactant Polymer (ASP). This paper presents the results of a laboratory study of enhanced oil recovery in reservoir ‘R’ with ASP injection. And the purpose of the study is to investigate the addition of oil recovery by injecting ASP in reservoir rocks ‘R’. Based on the results of compatibility, interfacial tension, rheology, thermal stability, filtration and adsorption test on ASP injection fluid, the optimum concentration of each of the injection fluid is obtained. Based on the optimum concentration of the ASP injection fluid, then test core flooding refers to the design of the injection fluid was determined. The main results of core flooding tests show an increase in oil recovery 9.94% OOIP. When the results of the laboratory test was applied to the field scale by injecting ASP fluid through injection wells in the reservoir ‘R’, as well as satisfy the technical requirements, the additional oil production is estimated to 3.88 million bbl. Keywords: alkaline-surfactant-polymer injection, oil recovery.
Durrotun Najiyah1), Nuning Vita Hidayati1) dan Cut Nanda Sari2) (1Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman; 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”) Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 87 - 94 ABSTRAK Pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi telah banyak terjadi di perairan darat maupun laut. Berbagai upaya telah dilakukan salah satunya yaitu penambahan senyawa surfaktan sintetik ke perairan. Pemakaian surfaktan sintetik ternyata akan menjadi limbah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk menaggulanginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bakteri laut hidrokarbonoklastik (Halobacillus trueperi dan Rhodobacteraceae bacterium) dalam memproduksi biosurfaktan. Penelitian dibagi menjadi 5 perlakuan, yaitu kontrol (Media+Minyak Bumi dan Media+Minyak Jelantah), Media+Minyak Bumi+Halobacillus trueperi, Media+Minyak Bumi+Rhodobacteraceae bacterium, Media+Minyak Jelantah+Halobacillus trueperi dan Media+ Minyak Jelantah+Rhodobacteraceae bacterium. Parameter pengukuran meliputi diameter zona bening (uji bakteri penghasil biosurfaktan) bobot biomasa, bobot endapan asam, dan tegangan permukaan (produksi biosurfaktan). Hasil penelitian menunjukkan R. bacterium dengan sumber karbon minyak jelantah lebih berpotensi memproduksi biosurfaktan dibandingkan dengan bakteri H. truperi. Produksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri R. bacterium sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R. bacterium dapat menurunkan tegangan permukaan dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m, kemampuan menurunkan hingga 30,09 mN/m sehingga biosurfaktan yang di produksi bakteri ini dapat digunakan sebagai akselerator biodegradasi hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut. Kata kunci: biosurfaktan bakteri laut hidrokarbonoklastik, akselerasi biodegradasi Crude oil
ABSTRACT Pollution has occurred on landwater and seawater caused by oil spills from petroleum hydrocarbons. Numerous attempts have been made, one of which is the addition of synthetic surfactant compounds into the water. The use of synthetic surfactants is apparently going to be waste that causes damage to the environment, so it takes effort to menaggulanginya. This research aims to know the potential of marine hidrokarbonoklastik bacteria (Halobacillus trueperi and Rhodobacteraceae bacterium) in producing biosurfactant. The research is divided into 5 treatments, namely control (Petroleum Media and Media Oil Jelantah), Petroleum Halobacillus trueperi Media, Media Rhodobacteraceae bacterium Petroleum Oil Media Jelantah Media trueperi and Halobacillus Oil Jelantah Rhodobacteraceae bacterium. Parameters measured is the diameter of the clear zone (biosurfaktan-producing bacteria test) weights, weights biomass sludge acid, and surface tension (biosurfaktan production). The results showed r. bacterium with carbon jelantah oil biosurfaktan producing more potent than the bacteria h. truperi. Biosurfaktan productions produced by r. bacterium of 0,7047 g/l. Isolates of bacteria r. bacterium can lower the surface tension of 40,80 mN/m until you reach 30,09 mN/m, ability to 30,09 mN/m so that the biosurfaktan in the production of these bacteria could be used as an accelerator of hydrocarbon biodegradation of oil pollution at sea. Author Keywords: biosurfactant, marine bacteria hidrocarbonoklastik, acceleration biodegradation hidrocarbon Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”) Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2 Agustus 2013 hal. 105 - 114 ABSTRAK Penelitian pembuatan adsorber merkuri dalam skala pilot telah dilakukan melalui tiga tahap yaitu
vii
aktivasi adsorben karbon aktif tempurung kelapa dalam skala besar, pembuatan alat pilot adsorber merkuri berskala pilot dan uji kinerja alat untuk mengetahui kemampuan penyerapan adsorben terhadap merkuri. Aktivasi karbon aktif tempurung kelapa dilakukan pada temperatur tinggi menggunakan activator ZnCl2. Adsorber merkuri berskala pilot dibuat dari bahan stainlessteel yang terdiri dari separator dan dua adsorber. Uji kinerja alat dilakukan dengan mengukur konsentrasi merkuri dalam gas bumi sebelum dan sesudah melewati kolom adsorber. Hasil uji kinerja alat selama sekitar 9 jam menunjukkan adanya penurunan konsentrasi merkuri dengan efisiensi penyerapan adsorben hampir mencapai 100% pada tekanan gas 100 psia, temperatur 37oC dan laju alir gas 50 Cuft/jam. Kata kunci: adsorber, merkuri, gas bumi. ABSTRACT Research of pilot plan mercury adsorber has been done by three stages, firstly was activation of
viii
coconut shell as activated carbon on a large scale, secondly was designed a pilot plan of mercury adsorber and the last stage was performance test to determine the ability of the adsorbent to absorb mercury. Coconut shell activated carbon was activated at high temperature using ZnCl2 as activator. However, the pilot plan mercury adsorber was designed with stainlessteel material consisting separator and two adsorbers. The performance test of was done by measuring the concentration of mercury in gas before and after the adsorption column approximately 9 hours. The test condition as follows; gas pressure 100 psia, temperature of 37°C and the gas flow rate 50 CUFT / hour. The test result showed the mercury concentration was decrease significantly with the efficiency of mercury absorption almost 100%. Author Keywords: adsorber, mercury, natural gas.
ix
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR (Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 27 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 25 Juni 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Biosurfaktan merupakan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroba dari golongan bakteri hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan menurunkan tegangan antar muka. Faktor keberhasilan dalam produksi biosurfaktan ditentukan dari jenis mikroba dan nutrisi yang digunakan. Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan yaitu aktivasi dan kultivasi mikroba, seleksi mikroba penghasil biosurfaktan, kurva pertumbuhan mikroba, seleksi nutrisi. Aktivasi dan kultivasi mikroba dilakukan dalam tiga tahapan dengan masa inkubasi masing-masing tahapan yaitu 37oC selama 24 jam. Hasil seleksi mikroba penghasil biosurfaktan diperoleh tiga jenis mikroba dari tujuh mikroba yang diuji, berdasarkan indikasi luasnya zona lisis yang terbentuk pada media agar darah yaitu, BLCC B-3, BLCC B-4 dan BLCC B-5. Hasil uji lanjut terhadap ketiga mikroba tersebut pada media minyak dengan mengukur tegangan antar muka (IFT), menghasilkan dua mikroba dengan nilai IFT yang terendah yaitu BLCC B-3 dan BLCC B-5. Hasil screening nutrisi berdasarkan pengukuran Tegangan Antar Muka (IFT), Viskositas, Total Plate Count (TPC), dan pH, menunjukkan media BC-4 dan media PA-4 mendukung aktivitas mikroba dalam memproduksi biosurfaktan. Kata kunci: seleksi mikroba, seleksi nutrisi, produksi biosurfaktan. ABSTRACT Biosurfactant is a surfactant derived from hydrocarbonoclastic bacteria which are capable to reduce surface tension. The successful biosurfactant productions are determined by nutrition and microbial species. This research consists of 4 main steps: activation and cultivation of microbes, microbial growth curves, screening of surfactant producing bacteria, and screening of nutrition. Microbial activation and cultivation conducted in 3 sequential cultivation in 24 hours incubation time at 37oC. Screening of surfactant producing bacteria from 7 microbial isolates obtained 3 isolates which show positive result based on diameter of hemolytic area on blood agar. They are BLCC B-3, BLCC B-4 and BLCC B-5. The interfacial tension (IFT) examination result from these 3 isolates showed that BLCC B-3 and BLCC B-5 had the lowest IFT value. The result of nutrition screening based on IFT, viscosity, Total Plate Count, and pH show that BC-4 and PA-4 media are the best composition of media that support the microbes in producing surfactants. Keywords: microbe screening, nutrition screening, biosurfactant production.
I. PENDAHULUAN Di beberapa negara telah dilakukan penelitian untuk menguras sisa cadangan minyak dengan teknik produksi tersier menggunakan surfaktan. Surfaktan ini dirancang khusus untuk mengeluarkan
minyak dari formasi geologi dengan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air yang merupakan parameter utama dalam EOR (Lake 1989; Fox et al., 1993). Nilai tegangan antarmuka antara minyak dan air yang rendah (ultra low), dapat diperoleh dengan menggunakan senyawa aktif permukaan 59
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
yang berasal dari produk mikroba. Senyawa tersebut biasa disebut dengan biosurfaktan. Teknik ini merupakan suatu langkah maju karena sangat potensial untuk memperoleh sisa-sisa minyak dari reservoir (Ban & Kato, 1993). Oleh karena itu perlu diproduksi biosurfaktan dengan sistematika pengolahan yang cermat dengan mikroba yang tepat. Untuk mendapatkan mikroba yang potensial, perlu dilakukan suatu penelitian seleksi mikroba penghasil biosurfaktan dan seleksi nutrisi pendukung aktivitas metabolisme mikroba penghasil surfaktan. A. Deskripsi Biosurfaktan Biosurfaktan adalah senyawa aktif permukaan ekstraselular yang disekresi sel-sel mikroba yang ditumbuhkan pada hidrokarbon tertentu, juga memungkinkan dihasilkan dari subtrat lain seperti karbohidrat (Chopinean et al., 1988). Keutamaan kultur mikroba adalah kemampuannya mengekskresi relatif besar atau substansi aktif permukaan yang mengemulsi, atau membasahi fase hidrokarbon sehingga pembuatannya tersedia untuk absorpsi selular (Margaritis et al., 1979). Biosurfaktan terdiri dari molekul-molekul hidrofilik dan hidrofobik seperti halnya surfaktan kimia. Biosurfaktan mempunyai sifat yang sama seperti surfaktan sintetik dengan berbagai karakteristik, sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan udara-air, dan tegangan antarmuka dalam cairan-cairan misalnya minyak dan air dan cairanpadatan. (Jack, 1993). Biosurfaktan dapat membentuk partikel-partikel misel, pengemulsi hidrokarbon, dan mengubah karakteristik permukaan batuan. Daya tarik biosurfaktan meningkat akhir-akhir ini karena sangat potensial menurunkan tegangan antarmuka pada konsentrasi rendah dan homogen (Cooper & Zajic, 1980), sangat bervariasi sehingga luas fungsinya, ramah lingkungan, disintesis oleh beragam mikroba, kemungkinan memproduksinya melalui fermentasi. Potensinya dapat diterapkan untuk perlindungan lingkungan, recovery minyak, kesehatan, dan proses industri makanan. Hal yang terpenting adalah diterima lingkungan karena terdegradasi dengan cepat dan mempunyai toksisitas yang rendah daripada surfaktan sintetik (Margaritis et al., 1979; Chopinean et al., 1988; Desai & Banat, 1997). Produksi melalui sintesis mikroba lebih sederhana daripada produksi surfaktan sintetik (Cooper & Zajic, 1980). Perkembangan bioteknologi 60
mempercepat pengembangan metode biologi untuk memproduksi surfaktan dalam skala industri. B. Biosintesis Biosurfaktan Dalam struktur amphifilik, sisi hidrofobik adalah asam lemak rantai panjang, hidroksi asam lemak, atau α alkil (β-hidroksi asam lemak, dan sisi hidrofilik karbohidrat, asam karboksilat, fosfat, asam amino, peptida siklik, atau alkohol. Dua jalur metabolik primer yaitu hidrokarbon dan karbohidrat tercakup dalam sintesis hidrofobik dan hidrofilik. Jalur untuk sintesis dua kelompok prekursor ini beragam dan menggunakan seperangkat enzim spesifik. Dalam berbagai kasus, enzim pertama untuk sintesis prekursor ini adalah enzim regulator, oleh karena itu di samping keragaman, ada beberapa kesamaan umum sintesis dan regulasinya. Kemungkinan sintesis sisi hidrofobik dan sisi hidrofilik yang berbeda dari biosurfaktan dan ikatannya adalah: i) hidrofilik dan hidrofobik disintesis secara de novo oleh dua jalur yang independen; ii) hidrofilik disintesis de novo sedangkan sintesis hidrofobik diinduksi oleh subtrat; iii) hidrofobik disintesis de novo, sedangkan sintesis hidrofilik tergantung subtrat; iv) sintesis hidrofobik dan hidrofilik tergantung subtrat (Desai & Banat, 1997). C. Kinetika Produksi Biosurfaktan Kinetika produksi biosurfaktan menunjukkan berbagai variasi di antara berbagai sistem. Parameter kinetika dapat dikelompokkan ke dalam tipe: i) Produksi yang berasosiasi dengan pertumbuhan, yaitu hubungan yang pararel antara pertumbuhan, penggunaan subtrat dan produksi biosurfaktan. Produksi biosurfaktan pararel dengan pertumbuhan pada subtrat hidrokarbon dan non hidrokarbon selama fase pertumbuhan eksponensial, namun produksi emulsifier terus berlanjut setelah pertumbuhan berhenti (Rosenberg et al., 1979). Produksi rhamnolipida oleh beberapa Pseudomonas spp, glikoprotein AP-6 oleh Pseudomonas fluorescent 378, zat aktif permukaan oleh Bacillus cereus IAF 346, dan biodispersan oleh Bacillus sp galur IAF343 adalah contoh produksi biosurfaktan yang berasosiasi dengan pertumbuhan (Desai & Banat, 1997); ii) Produksi di bawah kondisi terbatas. Produksi di bawah kondisi pembatasan pendukung
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR (Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
pertumbuhan, mempunyai karakteristik peningkatan yang tajam dalam produksi biosurfaktan sebagaimana hasil pembatasan satu atau lebih komponen medium. Penelitian menunjukkan produksi biosurfaktan yang berlebihan oleh Pseudomonas spp jika kultur telah mencapai fase stasioner karena keterbatasan nitrogen dan besi (Desai & Banat, 1997); iii) Produksi oleh sel mati. Produksi oleh sel mati merupakan tipe produksi biosurfaktan yang tidak terjadi multiplikasi sel. Sel terus menggunakan sumber karbon untuk sintesis biosurfaktan. Contoh tipe ini rhamnosa dari Pseudomonas spp, dan Pseudomonas aeruginosa CFTR-6, sophorolipida oleh Torulopsis bombicola, dan Candida apicola, cellobiolipida oleh Ustilago maydis, tre-halosa tetraester oleh Rhodococcus erythropolis, lipida mannosilerithritol oleh Candida antartica. Biosurfaktan yang diproduksi oleh sel-sel mati sangat menguntungkan untuk mengurangi biaya pemanenan produk, karena fase pertumbuhan dan fase pembentukan produk dapat dipisahkan (Desai & Banat, 1997); iv) Produksi dengan penambahan prekursor. Berbagai penelitian telah dipublikasikan, bahwa penambahan prekursor biosurfaktan ke dalam medium menyebabkan perubahan secara kualitatif dan kuantitatif dalam produksi. Sebagai contoh penambahan senyawa lipofilik ke dalam kultur medium T. magnoliae, T. bombicola, dan T. apicola IMET 43747, menghasilkan peningkatan produksi biosurfaktan dengan hasil kurang lebih 120-150 mg/l, Hal yang sama, peningkatan produksi biosurfaktan yang mengandung monosakarida, disakarida, atau trisakarida yang berbeda terjadi pada Arthrobacter paraffmeus DSM 2567, Corynebacterium spp, Nocardia spp, dan Brevibacterium spp dengan penambahan gula dalam medium pertumbuhan (Desai & Banat, 1997).
masing 10 mL media NB, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Aktivasi kedua dilakukan dengan menginokulasikan 1 mL kultur aktivasi pertama ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 mL NB baru, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Aktivasi ketiga dilakukan sama halnya seperti aktivasi pertama dan kedua, yaitu dengan cara menginokulasikan 10 mL biakan kultur aktivasi kedua ke dalam erlenmeyer 200 mL yang telah berisi 90 mL medium NB, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Kultur biakan mikroba yang telah aktif kemudian dikultivasi. Kultivasi biakan mikroba pada prinsipnya sama seperti yang dilakukan pada saat aktivasi biakan mikroba, hanya saja media dan kultur cair mikroba yang digunakan dalam volume besar. Kultivasi dilakukan bertujuan untuk mendapatkan stok kultur aktif mikroba dalam jumlah optimum. Kultur mikroba yang telah dikultivasi selanjutnya dapat digunakan dalam percobaan dan pembuatan kurva tumbuh. B. Seleksi Mikroba Penghasil Biosurfaktan Seleksi atau penapisan mikroba dilakukan dengan tujuan mendapatkan mikroba yang potensial menghasilkan biosurfaktan, dilakukan dalam dua tahapan. Tahapan pertama yaitu uji awal pada media agar darah, dan tahapan kedua uji lanjut pada media minyak. Melalui uji awal pada media agar darah ini dapat diamati mikroba-mikroba yang menghasilkan biosurfaktan melalui indikasi adanya zona bening pada permukaan agar darah (Gambar 1). Uji lanjut pada media minyak dilakukan untuk mengamati pengaruh biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba terhadap tegangan antar muka antara
II. TAHAPAN PENELITIAN A. Aktivasi dan Kultivasi Biakan Mikroba Aktivasi mikroba dilakukan bertujuan untuk mengaktifkan biakan mikroba yang akan digunakan dalam percobaan. Aktivasi pertama dilakukan dengan cara menginokulasikan 1 ose biakan murni mikroba ke dalam tabung reaksi yang telah berisikan masing-
Gambar 1 Skema kerja seleksi mikroba pada media agar darah
61
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
fase minyak dan fase media. Tahapan kerja pada kegiatan ini adalah sebagai berikut: pertama dipilih mikroba-mikroba dengan luas zona bening terluas dari tahapan kegiatan seleksi mikroba menggunakan agar darah. Mikroba-mikroba terpilih ini kemudian dikultivasi untuk mendapatkan stok kultur yang optimum. Setelah kultivasi dilakukan selanjutnya mikroba ditumbuhkan pada media yang telah dicampur minyak. Percobaan ini diinkubasi selama tujuh hari pada suhu 37oC dan pengukuran tegangan antar muka (IFT) dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-7 pengamatan. C. Kurva Pertumbuhan Mikroba Kurva pertumbuhan menggambarkan pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur. Kurva tumbuh dibuat dengan metode cawan hitung Total Plate Count (TPC). Biakan mikroba yang telah diaktivasi diambil sebanyak 15 mL dengan Optical Dencity (OD) ± 0,5 (10 6 sel/mL). Kemudian dimasukkan ke dalam dua erlenmeyer 500 mL yang berisikan masing-masing 285 mL medium NB. Pembuatan kurva tumbuh dimulai dengan mengukur OD setiap 2 jam selama 24 jam menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm, dilanjutkan dengan menghitung koloni mikroba. Sebelum pengukuran kurva tumbuh dimulai, OD mikroba diukur terlebih dahulu menggunakan spektrofotometer. Biakan mikroba yang digunakan dalam pembuatan kurva tumbuh memiliki OD 0,08 sampai 0,1. (Cappucino dan Sherman, 1987). Perhitungan koloni dilakukan dengan membuat seri pengenceran dalam akuades. Satu mL biakan dicuplik dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisikan 9 mL akuades sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2 dilakukan dengan memindahkan 1 mL dari pengenceran 10-1 ke dalam tabung reaksi yang berisikan 9 mL akuades. Proses ini terus dilakukan hingga diperoleh pengenceran 10-13. Penanaman biakan dilakukan secara duplo, dengan cara 1 mL dari masing-masing pengenceran tersebut disebar dengan menggunakan triglaski ke dalam cawan petri yang berisi 10 mL medium Nutrient Agar (NA) steril. Biakan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sesuai dengan aturan perhitungan untuk metode cawan hitung. Data yang dimasukkan dalam perhitungan adalah yang memenuhi persyaratan 30-300 koloni 62
dalam satu cawan. Asumsi dasar dari perhitungan ini adalah satu koloni berasal dari satu sel bakteri. Penentuan umur inokulum yang terbaik dilakukan dengan menghitung laju pertumbuhan dari L. bulgaricus dan S. thermophillus. Laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus (Fardiaz, 1992):
P
ln Nt ln No (Tt To)
dengan Nt adalah jumlah sel pada waktu t, No adalah jumlah sel awal, Tt adalah waktu t dan To adalah waktu awal. Umur inokulum terbaik ditunjukkan oleh waktu dengan laju pertumbuhan mikroba yang tertinggi. D. Seleksi Nutrisi Seleksi nutrisi memiliki tujuan memilih nutrisi yang potensial mendukung aktivitas metabolisme mikroba memproduksi biosurfaktan. Kegiatan ini dilakukan setelah seleksi mikroba, karena mikroba hasil seleksi akan digunakan dalam tahapan kegiatan ini. Nutrisi yang digunakan yaitu media BC untuk mikroba BLCC B-3 dan media PA untuk mikroba BLCC B-5. Media BC dan PA masing-masing terdiri dari lima formulasi. Formulasi dirancang berdasarkan kombinasi antara penggunaan variasi konsentrasi Mineral Salt Medium (MSM) 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan penggunaan media spesifik mikroba BLCC B-3 dan media spesifik BLCC B-5 (Tabel 1). Parameter yang digunakan terdiri dari pengukuran pH, Populasi Bakteri/Total Plate Count (TPC), Tegangan Antar Muka/Interfacial Tension (IFT), dan Viskositas. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-7. III. HASIL UJI DAN PEMBAHASAN A. Aktivasi dan Kultivasi Biakan Mikroba Aktivasi mikroorganisme pada medium NB menunjukkan pertumbuhan mikroba sudah dapat diamati setelah masa inkubasi 24 jam. Setelah kultur mikroba yang digunakan berada dalam kondisi aktif, maka kultur siap digunakan sebagai inokulum atau stok kultur untuk percobaan dan pembuatan kurva tumbuh. Berdasarkan kurva pertumbuhan dapat diketahui umur mikroba terbaik untuk digunakan dalam proses fermentasi.
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR (Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
B. Hasil Seleksi Mikroba 1. Hasil Uji pada Media Agar Darah Metode hidrolisis agar darah merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya biosurfaktan yang dihasilkan oleh suatu mikroba, yaitu dengan indikasi terbentuknya zona hidrolisis (zona lisis) di sekeliling koloni. Metode hidrolisis agar darah dilakukan dengan mengacu pada surfaktan yang merupakan biosurfaktan yang potensial dari kelompok antibiotik lipopeptida yang menyebabkan lisis sel-sel eritrosit dan penghambat pembekuan darah (Anonim, 2004). Gambar 2 menunjukkan pembentukan zona hidrolisis yang dihasilkan oleh mikroba pada percobaan ini. Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 2 memperlihatkan pembentukan diameter zona bening (clear zone) terbesar pada isolat BLCC B-3 diikuti BLCC B-5 dan BLCC B-4. Sementara BLCC B-1, BLCC B-2, BLCC B-6, dan BLCC B-7 juga memperlihatkan zona bening, namun diameternya tidak sebesar BLCC B-3, BLCC B-4, dan BLCC B-5. Dari uji mikroba pada agar darah, dipilih tiga jenis mikroba yaitu BLCC B-3, BLCC B-4, dan BLCC B-5. Terhadap tiga mikroba yang dipilih ini selanjutnya dilakukan uji lanjut pada media minyak. 2. Hasil Uji Pada Media Minyak Hasil uji pada media minyak dari aktivitas biosurfaktan mengakibatkan menurunnya tegangan antar muka/interfacial tension (IFT) mikroba BLCC B-3 dari 7.43 mN/m menjadi 2.15 mN/m. Begitu juga halnya dengan mikroba BLCC B-5, tegangan antar muka turun dari 7.15 mN/m menjadi 2.75 mN/m. Sementara itu mikroba BLCC B-4 juga menunjukkan penurunan tegangan antar muka, akan tetapi penurunan yang terjadi tidak setinggi BLCC B-3 dan BLCC B-5 yaitu dari 7.10mN/m turun menjadi 5.25 mN/m (Tabel 3). Dengan demikian dari hasil percobaan seleksi mikroba penghasil biosurfaktan, diperoleh dua mikroba potensial yaitu BLCC B-3 dan BLCC B-5 yang selanjutnya akan digunakan dalam percobaan seleksi nutrisi. Selama proses metabolisme, mikroorganisme penghasil biosurfaktan mampu membentuk emulsi dari senyawa-senyawa hidrofobik yang larut dalam air. Emulsi yang dihasilkan berbentuk miselmisel atau gelembung-gelembung yang bertahan cukup lama sebelum pecah kembali tergantung
Gambar 2 Pembentukan zona hidrolisis pada medium agar darah Tabel 1 Formulasi media mikroba BLCC B-3 dan BLCC B-5 Konsentrasi MSM (%)
Formulasi BLCC B-3 Formulasi BLCC B-5
5
BC-1
PA-1
10
BC-2
PA-2
15
BC-3
PA-3
20
BC-4
PA-4
25
BC-5
PA-5
Tabel 2 Ketebalan zona hidrolisis yang terbentuk pada medium agar darah No.
Sampel
Pembentukan Zona Hidrolisis
1.
BLCC B-1
++
2.
BLCC B-2
++
3.
BLCC B-3
++++++++
4.
BLCC B-4
++++
5.
BLCC B-5
+++++
6.
BLCC B-6
+++
7.
BLCC B-7
++
Keterangan: ++ = Luas pembentukan zona bening
kestabilannya. Kemampuan biosurfaktan untuk membentuk misel serta menempati antar permukaan berpengaruh terhadap turunnya nilai tegangan permukaan (IFT). Jumlah gelembung misel yang semakin banyak menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan 63
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
semakin banyak jumlahnya, sedangkan semakin lama gelembung misel bertahan setelah pengocokan menunjukkan tingkat kestabilan emulsi yang dihasilkan semakin tinggi. Untuk aplikasinya di lapangan turunnya tegangan antar muka minyak dengan air, menyebabkan tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir akan berkurang, sehingga sisa minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan mudah didesak dan dapat dikeluarkan (Desai & Banat, 1997). C. Kurva Pertumbuhan Mikroba Kurva pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan optimum dan pembentukan optimum metabolit yang dihasilkan oleh suatu mikroba. Pada saat mikroba sangat aktif dalam metabolisme atau memiliki aktivitas sel tertinggi umumnya terjadi pada fase logaritmik. Penggunaan inokulum sesuai kondisi tersebut diatas menyebabkan akan menggunakan substrat pada awal fermentasi sehingga tidak membutuhkan waktu adaptasi. (Maldonado, 1975 dalam Rosdyana, 2004). Kurva pertumbuhan BLCC B-3 (Gambar 3) tidak menunjukkan adanya fase adaptasi. Mikroba BLCC B-3 dapat tumbuh dengan baik pada medium pertumbuhan yang digunakan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri dalam medium tersebut akan langsung menggunakan substrat, dan aktif mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Widiyanti, 2002). Pertumbuhan mikroba BLCC B-3 terlihat dalam fase logaritmik, pertumbuhan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti kandungan nutrisi, pH, kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara. Selama fase logaritmik mikroba tumbuh dengan laju pertumbuhan maksimum (μm). Laju pertumbuhan
maksimum berbeda-beda tergantung pada: 1) spesies mikroba, 2) kondisi kultur dan 3) panjang rantai molekul substrat (Rachman, 1989). Fase logaritmik kurva tumbuh mikroba BLCC B-3, ditunjukkan dari jam ke-0 sampai jam ke-14, kemudian dilanjutkan dengan fase stasioner. Fase stasioner merupakan fase dimana semua sel mikroba berhenti membelah atau bila sel yang hidup dan sel yang mati mencapai keseimbangan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan kurva pertumbuhan umur inokulum mikroba BLCC B-3 yang paling baik digunakan sesuai percobaan yaitu 14 jam. Pada kurva pertumbuhan mikroba BLCC B-5 terlihat adanya fase adaptasi singkat pada jam ke-0 hingga jam ke-4 (Gambar 4). Menurut Fardiaz (1992) lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) medium dan lingkungan pertumbuhan. Jika medium dan lingkungan pertumbuhan sama
Gambar 3 Kurva pertumbuhan mikroba BLCC-3 dalam medium NB Kondisi lingkungan: suhu 37oC, pH awal medium 6,8
Tabel 3 Analisis tegangan antar muka (interfacial tension) mikroba penghasil biosurfaktan Interfacial Tension (mN/m)
Jenis Mikroba
64
Hari ke-0
Hari ke-7
Persentase Penurunan
BLCC B-3
7.43
2.15
71%
BLCC B-4
7.10
5.25
26%
BLCC B-5
7.15
2.75
61%
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR (Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
seperti medium dan lingkungan pertumbuhan yang digunakan sebelumnya, fase adaptasi terjadi dalam waktu singkat atau bahkan tidak diperlukan. Jika kondisi lingkungan dan nutrien berbeda dengan yang digunakan sebelumnya, maka diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesis enzim-enzim. 2) jumlah inokulum. Semakin tinggi jumlah awal sel mikroba yang digunakan maka akan mempercepat fase adaptasi. Sementara itu menurut Rachman (1989), lamanya fase adaptasi sangat tergantung dari kondisi fisiologi mikroorganisme yang digunakan. Pada penelitian ini jumlah mikroba BLCC B-5 yang digunakan belum optimum, hal ini terlihat dari saat dimulainya siklus pertumbuhan, mikroba membelah dengan kecepatan rendah. Namun selanjutnya mikroba mulai aktif membelah, terlihat pada jam ke-4 hingga jam ke-14 terjadinya fase logaritmik dan kemudian diikuti dengan fase kematian. Lama fase adaptasi yang terjadi pada kurva pertumbuhan BLCC B-5 terjadi tidak begitu lama, hal ini menandakan mikroba telah aktif membelah. Berdasarkan hasil pengujian ini, umur inokulum mikroba BLCC B-5 yang paling baik digunakan yaitu 14 jam. Bila dibandingkan antara pertumbuhan BLCC B-5 dengan BLCC B-3, pertumbuhan BLCC B-3 lebih baik karena tidak mengalami fase adaptasi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa parameter selama 7 hari inkubasi seperti terlihat pada Tabel 4, menunjukkan formula nutrisi BC-4 terbaik untuk pertumbuhan mikroba BLCC B-3. Hasil analisis IFT yang mempunyai korelasi dengan produksi biosurfaktan, memperlihatkan penurunan tertinggi yaitu mencapai 80%. Kondisi ini menunjukkan adanya produksi biosurfaktan yang signifikan. Penurunan IFT diikuti dengan menurunnya viskositas mencapai 67%. Dalam pertumbuhan tersebut juga dihasilkan produk lain yaitu bioasam, ditandai dengan adanya penurunan pH sekitar 31%. Bioasam pada kisaran tertentu dapat membantu memperbesar porositas batuan reservoir. Sementara itu dari hasil TPC mikroba BLCC B-3 dengan nutrisi BC-4 menunjukkan peningkatan
C. Hasil Seleksi Nutrisi Nutrisi merupakan faktor penting pendukung aktivitas metabolisme, karena ketersediaan nutrisi yang diperlukan berpengaruh terhadap proses pembelahan sel mikroba dan produktivitas biosurfaktan. Untuk itu formulasi nutrisi yang tepat dan sesuai sangat diperlukan.
Gambar 4 Kurva Pertumbuhan Mikroba BLCC B-5 dalam medium NB Kondisi lingkungan: suhu 37oC, pH awal medium 6,8
Tabel 4 Hasil analisis untuk melihat pengaruh aktivitas mikroba BLCC B-3 terhadap variasi formula nutrisi
Jenis Nutrisi (BLCC B-3)
pH
Interfacial Tension (IFT) (mN/m)
Viskositas (mPas)
Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan
Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan Hari ke-0 Hari ke-7 % Penurunan
BC - 1
8.73
7.43
14
5.36
3.68
31
2.12
1.33
37
BC - 2
8.23
7.22
12
5.45
3.48
36
2.56
1.39
45
BC - 3
7.36
6.01
18
5.12
2.67
47
2.60
0.65
75
BC - 4
7.76
5.33
31
5.77
1.89
67
2.45
0.48
80
BC - 5
7.34
5.12
30
5.43
3.95
27
2.76
0.67
75
65
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
populasi merupakan indikasi adanya pertumbuhan mikroba. Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan dapat
populasi mikroba dari log jumlah sel 2 sel/mL menjadi log jumlah sel 7.78 sel/mL (Gambar 5). Peningkatan populasi mikroba dalam media BC-4 tertinggi bila dibandingkan dengan nutrisi yg lain. Dalam kegiatan lebih lanjut formula nutrisi BC-4 berpotensi mendukung pertumbuhan populasi mikroba BLCC B-3 dalam produksi biosurfaktan. Berdasarkan hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5 dan Gambar 6, menunjukkan media PA-1 tidak baik untuk pertumbuhan mikroorganisme BLCC B-5. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan mikroorganismenya cenderung menurun. Namun dalam kondisi pertumbuhan tidak baik, terjadi penurunan IFT mencapai 55% dan peningkatan viskositasnya 44%. Dalam kondisi demikian mikroorganisme dapat mensintesis berbagai enzim untuk aktivitas metabolismenya. Produk yang bersifat surfaktan dihasilkan dalam kondisi tersebut, disamping itu dapat juga dihasilkan produk ekstraseluler seperti polisakarida yang dapat meningkatkan viskositas liquid media dilingkungannya. Mikroorganisme BLCC B-5 tumbuh dan berkembang biak dengan baik dalam media PA-3 dan PA-4, dan selama 7 hari inkubasi pertumbuhannya tidak berbeda jauh dalam kedua media tersebut. Pada perioda waktu tersebut terjadi penurunan IFT maupun viskositas yang cukup tinggi. Dalam kaitannya dengan penurunan IFT, walaupun perbedaan tidak mencolok namun dalam media PA-4 lebih baik dari pada media PA-3. Dengan demikian media PA-4 dipilih sebagai media mikroba BLCC B-5 untuk penelitian lebih lanjut. Sementara itu hasil TPC mikroba BLCC B-5 pada nutrisi PA-4 menunjukkan peningkatan populasi mikroba dari log jumlah sel 2sel/mL menjadi log jumlah sel 6.48sel/mL (Gambar6). Peningkatan
Gambar 5 Uji populasi mikroba BLCC B-3 pada beberapa variasi nutrisi
Gambar 6 Uji populasi mikroba BLCC B-5 pada beberapa variasi nutrisi
Tabel 5 Hasil analisis untuk melihat pengaruh aktivitas mikroba BLCC B-5 terhadap variasi formula nutrisi Jenis Nutrisi (BLCC B-5)
Viskositas (mPas) Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan
Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan
PA - 1
7.20
6.96
3
2.41
3.48
44% *
3.34
1.48
55
PA - 2
7.38
7.29
1
3.45
3.78
9*
4.36
4.04
7
PA - 3
6.94
6.35
8
3.33
3.21
3
3.72
2.15
42
PA - 4
6.73
5.76
14
3.21
3.14
2
3.76
2.14
43
PA - 5
5.85
5.30
9
3.17
3.08
2
3.67
2.25
38
Keterangan: *Presentase naik
66
Interfacial Tension (IFT) (mN/m) % Hari ke-0 Hari ke-7 Penurunan
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR (Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme uniselular (bersel tunggal), pertumbuhan merupakan pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme, misalnya pertumbuhan yang terjadi pada suatu kultur mikroba.
7. 8.
IV. KESIMPULAN 1. Hasil seleksi mikroba dari tujuh mikroba terpilih yang berpotensi menghasilkan biosurfaktan adalah BLCC B-3 dan BLCC B-5.
9.
2. Pertumbuhan optimum mikroba BLCC B-3 dan BLCC B-5 yaitu pada umur inkubasi 14 jam. 3. Hasil seleksi nutrisi berdasarkan pengukuran pH, Total Plate Count (TPC), Interfacial tension (IFT), dan viskositas menunjukkan media BC-4 untuk BLCC B-3 dan media PA-4 untuk BLCC B-5 optimal mendukung aktivitas mikroba dalam memproduksi biosurfaktan.
10.
KEPUSTAKAAN 1. Anonim, 2004. Biochemical & Reagents for life Science Research. Singapura: SIGMA. 2. Ban, T., and Kato, T. 1993, “Aqueous Microbial Biosurfactant Solution Exhibiting Ultralow Tension at Oil Water Interfaces”, Di dalam: Premuzic E, Woohead A, editor. Microbial Enhancement of Oil Recovery Recent Advances. Proceeding of the International Conference on Microbial Enhanced Oil Recovery. J. Elsevier. Amsterdam. 3. Cappucino, J. G., and Sherman. 1987. Microbiology: A Laboratory Manual. The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc. California. 4. Chopinean et al. 1988, “Production of Biosurfactant from Sugar Alkohol and Vegetable Oil Catalyzed by lipasesin a Non Aqueous Medium”, Biotechnol. Bioeng. 31:208-214. 5. Cooper DG and Zajic JE. 1980, “Surface-Active Compounds from Microorganisms”, Adv. Appl. Microbiol. 26: 229-253. 6. Desai, J. D., and Banat, I. M. 1997, “Microbial Production of Surfactant by Anthrobacter paraffineus
11.
12.
13.
14.
15.
ATCC 19558”, J. Biotech. Bioeng. 24:165-175. Fardiaz, S. 1992, ”Mikrobiologi Pangan I”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fox, S. L et al., 1993, “Comperative Analysis of Microbially Mediated Oil Recovery by Surfactant Produced by Bacillus licheniformis and Bacillus subtilis”, Di dalam: Premuzic E, Woohead A, editor, Microbial Enhancement of Oil Recovery Recent advances, Proceedings of the 1992 International Conferences on Microbial Enhanced Oil Recovery. Amsterdam: Elsevier. Jack TR. 1993, “ MORE to MEOR: an overview of Microbially Enhanced Oil Recovery in Microbial Enhancement of Oil Recovery Recent Advances”, Di dalam: Premuzic E, Woohead A, editor, Microbial Enhancement of Oil Recovery Recent Advances, Proceedings of the 1992 International Conferences on Microbial Enhanced Oil Recovery, Amsterdam: Elsevier Lake, L. W. 1989. “Enhanced Oil Recovery”, New Jersey : Prentice Hall. Margaritis et al., 1979, “Production and Surface Active Properties of Microbial Surfactant”, Biotech. Bioeng. 21: 1151-1162. Marshall KC. 1980. Reactions of Microorganism, Ion and Macromolecules at Interfaces. Contemporary Microbial Ecology. London. Academic Press. Rachman, A. 1989, ”Pengantar Teknologi Fermentasi”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Rosdyana, A. 2004. Optimasi Produksi Vinegar Dari Buah Nanas (Ananas comosus) Menggunakan Metoda Quick Proccess Dengan Melibatkan Ragi Saccharomyces cerevisiae dan Bakteri Acetobacter aceti. Skripsi. Departemen Biologi. Institut Teknologi Bandung. Rosenberg E et al., 1979, ”Emulsifier of Arthrobacter RAG-1: Specificity of Hydrocarbon Substrat”, Appl. Environ. Microbiol, 37: 409-413. Widiyanti, D. 2002. Pembuatan Keju dari Bahan Baku Keledai dengan Proses Fermentasi oleh Bakteri Lactobacillus bulgaricus (Luerssen & Kuhn) Holland dan Jamur Penicillium roqueforti Thom. Skripsi. Departemen Biologi. Institut Teknologi Bandung.
67
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
68
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua (Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 18 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 11 Juli 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Kajian ini bertujuan memetakan lokasi sumur-sumur tua di lapangan X dan lapangan Y. Lapangan X di wilayah kotamadya dan lapangan Y berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan. Pemetaan kondisi penggunaan lahan dilakukan pada setiap sumur. Hasilnya digunakan untuk menganalisis kemungkinan permasalahan sosial yang timbul dalam pengembangan lapangan tua tersebut. Teknologi penginderaan jauh digunakan untuk memetakan lokasi sumur. Data tersebut menggunakan Citra Ikonos 1 meter. Penggunaan citra Ikonos diharapkan dapat mengidentifikasi lokasi sumur dan penggunaan lahan detil di sekitarnya. Hasilnya menunjukan bahwa citra Ikonos mampu memetakan lokasi-lokasi sumur di Lapangan X dan Y. Hasil lainnya menunjukkan dengan citra Ikonos mampu untuk menginterpretasi penggunaan lahan secara detil. Hal ini dapat menjadi kunci untuk identifikasi permasalahan sosial pada pengembangan lapangan tua. Kajian permasalahan pada pengembangan sumur tua menggunakan buffer dengan pusat kepala sumur pada radius 100 meter. Hal ini untuk menganalisis area yang harus bebas dari kegiatan sosial masyarakat. Survey lapangan dilakukan untuk validasi lokasi sumur dan interpretasi citra Ikonos. Hasil kajian membuktikan citra satelit Ikonos mampu untuk mengidentifikasi lokasi sumur dan permasalahan sosial yang terjadi pada rencana pengembangan sumur tua. Kata kunci: Citra Ikonos, Sumur Tua, Permasalahan Sosial, Penggunaan Lahan. ABSRACT The Aims of this research is mapping of wells location in “X” field and “Y” Field. X field is located in the municipality and Y field is located in the district of South Sumatera Basin. Mapping of landuse is conducted for all of well. The Result of landuse mapping is used for analyzing the possibility of social problem on Brown field development. Remote sensing technology is conducted to map of wells location. In this research is using Ikonos Imagery with 1 meter of spatial resolution. The use of Ikonos imagery is expected to identify of wells location and detail landuse. The Result of this research showing that Ikonos imagery has capability to map well location and detail landuse at X and Y Field. Landuse is key of identification of social problem on Brown Field development. Research of social problem in Brown Field Development is using buffer for well head in radius 100 meter. The function of buffer is for analysing the area that free for other activities, mainly social activities. Field survey is conducted to validate wells location and landuse interpretation results. The Result of research is proving that Ikonos imagery has capability for identifying of wells location and social problem in Brown Field development planning. Keywords: Ikonos Imagery, Old Well, Social Problem, Landuse.
I. PENDAHULUAN Cadangan minyak bumi secara umum terus mengalami penurunan. Di lain pihak harga minyak
terus naik. Kondisi mengakibatkan seluruh stake holder berusaha mencari cadangan baru, termasuk di dalamnya mengembangkan lapangan-lapangan
69
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
tua. Terlebih di Indonesia banyak lapangan tua yang sudah ditinggalkan, padahal secara umum masih mempunyai potensi untuk diproduksikan kembali. Usaha untuk mengembangkan dan mengaktifkan kembali lapangan tua merupakan alternatif tercepat untuk penambahan cadangan migas baru. Selain kesempatan investasi di wilayah kerja baru, peluang investasi terbuka untuk mengusahakan dan memproduksikan Minyak Bumi di lapanganlapangan tua. Mengingat terms and conditions-nya dibedakan dari kontrak bagi hasil konvensional. Pada pengusahaan dan pemroduksian minyak di Sumur Tua, Pemerintah c.q Menteri ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Berdasarkan Permen MESDM No. 01/2008 ini KUD, BUMD, Usaha Kecil atau Koperasi berkesempatan mengusahakan dan memproduksikan minyak di Sumur Tua bekerja sama dengan Kontraktor KKS dengan mekanisme imbal hasil (Kementerian ESDM, 2011). Pemerintah berupaya mengembangkan Lapangan tua (Brown Field) dan lapangan kecil (Marginal Field) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi minyak yang memungkinkan Indonesia memperpanjang cadangan minyak. Pengembangan lapangan tua telah dikaji oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi. SKK Migas bersama Kontraktor KKS telah menginventarisasi sumur-sumur lama yang masih berpotensi untuk diproduksikan kembali (reaktivasi). Sumur-sumur lama tersebut sebelumnya ditinggalkan karena berbagai penyebab. Berdasarkan pendataan yang dilakukan, kandidat sumur-sumur untuk direaktivasi sebagian besar berada di wilayah kerja PT Pertamina EP. Sumur yang telah diinventarisasi sebanyak 5.144 sumur dan setelah dievaluasi hanya terdapat 1.755 sumur yang secara teknis dapat diproduksikan kembali. Sumursumur tersebut terdapat di region Sumatera sebanyak 454 sumur, di region Jawa sebanyak 437 sumur, dan di region Kalimantan sebanyak 864 sumur. Selama 2012, jumlah sumur yang sudah direaktivasi sebanyak 154 sumur, dimana sebanyak 118 sumur direaktivasi menjadi sumur produksi dan 36 sumur direaktivasi menjadi sumur injeksi. Kegiatan tersebut berhasil menambah produksi (initial gain) minyak bumi sebesar 18,6 BOPD/sumur dan gas bumi sebesar 2,7 MMSCFD/sumur. Pada tahun 2013 direncanakan 130 sumur akan direaktivasi, dan diperkirakan 70
memberikan kontribusi produksi sekitar 953 BOPD (SKK MIGAS, 2013). Diterangkan oleh Kementerian ESDM (2013) pemerintah menawarkan 13 ribu sumur minyak bumi tua kepada KUD dan BUMD untuk diproduksi kembali, melalui kerja sama Kontrak Jasa dengan KKKS dan PT Pertamina. Langkah ini diharapkan bisa menambah produksi minyak nasional sekitar 5 ribu hingga 12 ribu barel per hari (bph). Saat ini setidaknya terdapat sumur tua minyak bumi aktif 745 dan non aktif 13.079. Sebagian besar berada di wilayah kerja migas PT Pertamina. Sebagian lainnya berada di wilayah kerja perusahaan KKKS. Sumur tua yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia ini adalah sumur yang dioperasikan hingga tahun 1970. Kegiatan pengelolaan sumur tua secara sosial mempunyai resiko konflik yang tinggi. Hal ini disebabkan banyak sumur tua yang terletak di permukiman atau lokasi strategis lainnya. Oleh karena itu dalam rangka mengkaji kondisi sumur tua diperlukan informasi mengenai kondisi terkini dari masing-masing sumur tua tersebut. Hal tersebut penting untuk menganalisis cara penanggulangan permasalahan sosial yang akan muncul. Selama ini pemetaan sumur tua langsung dilakukan melalui survei lapangan. Padahal hal ini mengalami hambatan yang cukup tinggi dan memerlukan waktu yang lama. Hambatan tersebut diantaranya koordinat sumur lama pada umumnya koordinat lokal dan bergeser dengan lokasi yang sebenarnya sehingga banyak sumur yang tidak dapat ditemukan. Salah satu alternatif yang baik untuk mengkaji kondisi sumur tua adalah dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Citra satelit terutama citra resolusi tinggi dengan kenampakan yang detil mampu digunakan untuk interpretasi lokasi sumur dengan baik berikut dengan penggunaan lahan disekitarnya. Sumur-sumur tua terutama yang berlokasi di daerah terbuka dapat terlihat dengan baik dengan citra Ikonos. Diterangkan oleh Wiji (2001) Citra Ikonos dapat memberikan informasi yang aktual sesuai dengan kondisi di lapangan sesuai dengan waktu perekamannya. Kemampuan tersebut memungkinkan akan mendapat informasi yang lebih lengkap dan terkini mengenai kondisi wilayah yang akan dikaji. Maksud dan tujuan dari kajian ini adalah untuk memetakan lokasi sumur-sumur tua di lapangan X
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua (Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
yang berlokasi di wilayah kotamadya dan lapangan Y yang berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan. Selain itu dilakukan pemetaan kondisi penggunaan lahan disetiap sumur untuk dapat menganalisis kemungkinan permasalahan sosial yang timbul dalam pengembangan lapangan tua tersebut. Dimana kondisi penggunaan lahan di sekitar sumur tua dari lapangan tua dapat memberikan gambaran peluang terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar sehingga dapat diantisipasi dampak negatifnya. II. LANDASAN TEORI Penelitian dengan menggunakan data penginderaan jauh untuk kegiatan migas telah banyak dilakukan, diantaranya untuk pemetaan tumpahan minyak (Fingas and Brown, 2005: Hengstermann and Robbe, 2008). Penggunaan data penginderaan jauh lainnya di bidang migas adalah mendeteksi pengaruh kegiatan migas terhadap lingkungan dengan menggunakan berbagai data citra (Kumpula, et.al, 2010) dan penggunaan data citra satelit untuk pemetaan geologi dan eksplorasi diantaranya dilakukan oleh Drury, 1987; Gupta, 2003; Sabins, 1987; Sarp, 2005; Ouattara, 2004; Gloaguen et al., 2007. Penelitian lainnya yang ada diantaranya analisis perkembangan vegetasi pada Lapangan minyak Gudong dengan data penginderaan jauh (Xiaqin, et al., 2005); Pada penelitian ini digunakan citra non foto atau biasa dikenal dengan citra satelit. Dan citra satelit yang digunakan yaitu Citra Ikonos. Satelit ini diluncurkan tahun 1999. Ikonos membawa satu sensor pankromatik dan satu sensor multispectral. Ikonos adalah satelit observasi bumi komersial pertama dengan resolusi mencapai satu meter, resolusi tersebut sangat menguntungkan dalam kemampuannya pengenalan lahan hingga tingkat detil. Resolusi spatial 1 meter yang dihasilkan oleh Citra Ikonos tersebut adalah sebanding dengan resolusi medan (ground resolution distance) foto udara skala 1 : 40.000 dengan resolusi film 40 lines/ mm (Rifai, 2009). Citra Ikonos dapat diaplikasikan untuk pemetaan sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan, analisis bencana alam, kehutanan, pertanian, pertambangan, teknik konstruksi, pemetaan perpajakan, dan deteksi perubahan. Selain itu citra Ikonos mampu menyediakan data yang relevan untuk studi lingkungan. Keunggulan yang dimiliki
oleh Citra Ikonos digunakan dalam penelitian ini sebagai panduan untuk pemetaan penggunaan lahan pada lapangan tua yang akan dikembangkan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh kondisi aktivitas penduduk di sekitar sumur. Sumur tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperti yang tertuang dalam batasan atau definisi sumur tua dalam Permen ESDM No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua disebutkan bahwa yang dimaksud sumur tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor . Sumur-sumur migas itu pada umumnya saat ini sudah bercampur dengan kegiatan sosial masayarakat, karena sumur-sumur itu sudah dikelola sejak jaman Belanda. Kondisi tersebut sangatlah berbahaya bagi keselamatan penduduk sekitar sumur. Pada pengembangan sumur tua pihak kontraktor harus mematuhi Peraturan Ditjen Migas yaitu SNI 13-6910-2002 tentang Operasi Pemboran Darat yang Aman di Indonesia. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa jarak lokasi sumur dengan penduduk minimal 100 meter. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan kerja baik penduduk setempat maupun yang sedang melakukan kegiatan atau luasan 1 hektar (100 meter x 100 meter) lahan disekitar sumur harus bersih dari kegiatan sosial masyarakat. Pertimbangan tersebut maka pada kegiatan ini dilakukan pemetaan penggunaan lahan dengan menggunakan Ikonos. Dijelaskan oleh BPMIGAS (sekarang SKK MIGAS, 2005) bahwa lapangan tua (Brown Field) dan lapangan kecil (Marginal Field) mampu mempertahankan produksi migas Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 1. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa dengan adanya lapangan tua dan lapangan kecil bersama dengan optimalisasi pemeliharaan maka penurunan produksi minyak dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu. III. METODE PENELITIAN Pada Kajian ini dilakukan studi kasus dengan lokasi dibedakan pada lapangan X dan Lapangan Y. Lapangan X merupakan lapangan tua yang berlokasi di wilayah Kotamadya dan Lapangan Y merupakan 71
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
lapangan tua yang berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan. Pengambilan lokasi yang berbeda dari segi perkembangan wilayahnya sehingga dapat diperoleh informasi tingkat kesulitan pengembangan lapangan tua pada wilayah kotamadya dan kabupaten. Pengambilan lokasi ini berdasarkan pendekatan kewilayahan yang merupakan kombinasi antara analisa keruangan dan lingkungan. Wilayah dihampiri dengan pengertian interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada hakekatnya berbeda antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Data primer yang digunakan adalah citra Ikonos. Data-data pendukung lain yang digunakan adalah peta persil tanah (kepemilikan lahan) yang bersumber Gambar 1 dari BPN setempat, peta administrasi Profil Proyeksi Produksi Minyak Indonesia 1994 – 2015 kelurahan dari Pemda dan Badan Informasi (BPMIGAS, 2005) Geospasial (BIG) serta peta kawasan daya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hutan dari Kementerian Kehutanan. Pendekatan hidupnya baik materil maupun spiritual (Vink yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan 1975 dalam Gandasasmita 2001). Barlowe (1986) geografi dimana prinsip keruangan sebagai inti menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan analisis geografi (Johnston, 1983; Hagget, 1984). lahan, terdapat tiga faktor penting yang perlu Interpretasi citra Ikonos secara on screen dipertimbangkan yaitu faktor fisik lahan, faktor digitizing, yaitu mendigitasi penggunaan lahan ekonomi, serta faktor kelembagaan. Selain itu faktor secara manual langsung di computer. Kemampuan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat interpretasi penggunaan lahan sekitar sumur dapat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan dilakukan secara detil karena resolusi spasial Ikonos (Gandasasmita 2001). Hal inilah yang digunakan adalah 1 meter x 1 meter. Pada resolusi tersebut obyek sebagai dasar bahwa penggunaan lahan dapat pada ukuran 1 meter x 1 meter diwakili oleh 1 piksel dikaitkan untuk menganalisis permasalahan yang pada citra Ikonos. Interpretasi secara detil dilakukan mungkin timbul pada pengembangan lapangan tua. pada setiap sumur yang akan dikembangkan dan dilakukan validasi pada setiap sumur tersebut. Pada Survei lapangan dilakukan untuk validasi hasil area di sekitar sumur di Citra Ikonos dilakukan interpretasi. Survey lapangan dilakukan dengan buffering 100 meter. Hal ini mengikuti Peraturan menggunakan metode stratified proportional random Ditjen Migas yaitu SNI 13-6910-2002 tentang sampling yaitu metode pengambilan sampel yang Operasi Pemboran Darat yang Aman di Indonesia. dilakukan pada setiap jenis penggunaan lahan, jumlah Peraturan tersebut menjelaskan bahwa jarak lokasi sampel disesuaikan secara proporsional dengan sumur dengan penduduk minimal 100 meter. Artinya mempertimbangkan luas area keanekaragaman pada luasan 1 hektar (100 m x 100 m) harus bebas pengggunaan lahan yang tersebar di daerah kritikal dari kegiatan sosial masyarakat. Hasil bufferring atau buffer dan sampelnya terdistribusi secara acak. tersebut adalah merupakan batas kritikal kegiatan Data penggunaan lahan yang telah dimutakhirkan sosial masyarakat dan merupakan batas titik fokus ditumpangsusunkan dengan peta kepemilikan kajian. lahan dan peta kawasan hutan, sehingga didapatkan penggunaan-penggunaan lahan yang mempunyai Penggunaan lahan merupakan setiap permasalahan sosial yang rendah hingga tinggi. bentuk campur tangan manusia terhadap sumber 72
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua (Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data penginderaan jauh lokasi sumur dapat dikenali dengan ciri rona dan warna yang cerah atau hijau cerah karena merupakan lahan terbuka yang tidak bervegetasi atau bervegetasi rendah berupa alang-alang. Bentuknya relatif kotak terdapat titik hitam menunjukkan lokasi sumur, ukuran hampir seragam dan pola teratur. Sedangkan tekstur untuk pengenalan lokasi sumur tampak relatif halus karena berupa lahan terbuka untuk lokasi sumur yang aktif atau hamparan Gambar 2 Contoh kenampakan lokasi sumur pada Citra Ikonos di lapangan alang-alang untuk sumur yang tidak X dan lapangan Y aktif. Untuk unsur situs, lokasi sumur pada umumnya kondisi seperti seperti ditunjukkan pada ciri-ciri di atas terdapat dalam satu komplek, dan berasosiasi dengan jalanan yang berujung pada lahan terbuka dan terdapat komplek pengolahan minyak. Berdasarkan data penginderaan jauh lokasi sumur yang ada dapat diidentifikasi dengan baik. Verifikasi melalui survey lapangan pada lapangan X dengan sumur yang berjumlah 288 dan lapangan Y dengan jumlah sumur 212 diperoleh data 80% sumur dapat diinterpretasi dari citra Gambar 2 Penginderaan jauh. Lokasi sumur yang Contoh kenampakan sumur pada citra Ikonos dan kondisi di tidak dapat dideteksi merupakan sumurlapangan dimana kepala sumur sudah tidak ada lagi sumur yang lokasinya sudah menjadi penggunaan lahan lainnya, seperti permukiman, lapangan X penggunaan lahan di sekitar lokasi sumur kebun, industri ataupun kegiatan sosial lainnya. berada di sekitar kegiatan sosial kemasyarakat yang Pada lapangan tua migas, sumur-sumur yang sudah aktif seperti permukiman yang teratur (kompleks dianggap tidak produktif pada umumnya sudah perumahan), permukiman tidak teratur (rumah banyak yang hilang tertimbun secara alami atau sudah di pedesaan), ladang, perkebunan, jasa strategis berubah bentuk penggunaan lahannya sehingga tidak (perhotelan) dan perdagangan. Sedangkan pada dapat diinterpretasi dari penginderaan jauh. Pada saat lapangan Y berada di perkebunan. Identifikasi obyek survey lapangan sumur yang tidak dapat diinterpretasi pada interpretasi penggunaan lahan ini hingga pada di citra penginderaan jauh dilakukan validasi melalui batas satuan bangunan. Kendala yang dihadapi adalah informasi penduduk lokal terutama dari tetua saat identifikasi pada bangunan dengan ukuran kecil kampung. Sumur-sumur yang tidak teridentifikasi ini di bagian kawasan yang padat dengan konfigurasi diperlukan lokasinya untuk menghindari bahaya yang bangunan yang sangat kecil. mengancam jika dilakukan pengembangan sumur. Permasalahan sosial yang mungkin timbul dalam Pada penelitian ini, selain dilakukan intepretasi pengembangan sumur terutama terkait dengan lokasi sumur juga dilakukan intepretasi penggunaan pembebasan lahan area sumur. Peluang konflik lahan. Intepretasi penggunaan lahan ini digunakan dengan penduduk akan terjadi karena perdasarkan untuk mengetahui kegiatan sosial kemasyarakatan interpretasi penggunaan lahan, lokasi sumur tua di sekitar lokasi sumur. Dari hasil interpretasi, pada merupakan kawasan permukiman, pertanian dan 73
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
Gambar 3 Contoh kondisi sumur tua yang berada di lingkungan permukiman padat dan teratur
perkebunan bahkan hotel dan perkantoran lainnya terutama di lapangan X yang berlokasi di wilayah kotamadya. Tumpang susun (overlay) antara lokasi sumur dan penggunaan lahan diperoleh data lokasilokasi sumur berdekatan dan atau berada di lokasi kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi tersebut menyulitkan dalam pengembangan lapangan terutama pengaktifan sumur kembali dengan injeksi atau EOR (Enhanced Oil Recovery). Hal ini dikhawatirkan apabila ada semburan minyak/lumpur/gas (blow up) terjadi di sekitar kegiatan masyarakat. Ganti untung untuk upaya pembebasan lahan merupakan 74
salah satu jalur alternatif yang bisa dilakukan oleh operator sebelum pengembangan lapangan. Faktor inilah yang menjadi alasan dan memperkuat mengapa perlu digunakan citra satelit beresolusi tinggi dalam hal ini citra Ikonos pada penelitian ini, karena kemampuannya mengenali obyek-obyek di permukaan bumi dengan resolusi 1 meter tersebut. Ini berarti obyek-obyek dipermukaan bumi yang mempunyai ukuran 1 meter x 1 meter dapat dicitra. Pada kajian ini dilakukan juga tumpang susun lokasi sumur dengan data persil tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Tumpang
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua (Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
susun ini dilakukan untuk mengetahui lahan-lahan yang telah atau yang belum mempunyai kekuatan hukum (tersertifikasi). Hal ini untuk memudahkan dalam ganti untung dan memudahkan dalam administrasi yaitu terkait dengan status kepemilikan lahannya. Lahan-lahan yang terkena dampak pengembangan lapangan. Berdasarkan data BPN setempat merupakan lahan-lahan yang sudah bersertifikat atau setidaknya sudah memiliki surat ukur/gambar ukur maka secara tidak langsung tanah itu sudah sah secara hukum merupakan milik pribadi,
Gambar 4 Contoh sumur tua yang sudah tertimbun dan berdiri bangunan/rumah
Gambar 5 Contoh sumur tua yang berada di dekat kawasan hotel
75
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
sehingga menyulitkan dalam proses pengembangan sumur tua (Gambar 3). Berdasarkan buffer, pada lokasi penelitian diperoleh fakta-fakta bahwa kegiatan strategis masyarakat ada yang terlalu dekat dengan sumur. Kegiatan strategis tersebut seperti adanya rumah, hotel, perkantoran, dan perkebunan pada jarak kurang dari 50 meter. Pada umumnya kondisi ini terjadi karena ketidaktahuan penduduk akan bahaya yang timbul jika melakukan kegiatan di daerah sumur tersebut. Ditambah lagi untuk sumur-sumur yang sudah lama ditinggalkan dan tidak terurus keberadaannya sangat rentan untuk diambil alih oleh penduduk. Hal itu terjadi karena biasanya kondisi bekas lapangan migas yang umumnya relatif datar dan terbuka, sehingga memungkinkan untuk dijadikan tempat tinggal atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya tanpa dihiraukan bahaya yang akan muncul. Pada Gambar 3 contoh sumur yang akan dikembangkan yang berada di tengah-tengah permukiman penduduk yang padat dan teratur. Pada Gambar 3 tersebut garis kuning menunjukkan batas berdasarkan SNI 136910-2002, jadi di dalam garis tersebut seharunya bebas dari kegiatan sosial penduduk. Pada kajian ini melalui survey lapangan ditemukan sumur yang sudah berada tepat di rumah penduduk. Data ini diperoleh berdasarkan pengakuan penduduk setempat, dimana ditemukan lokasi sumur tua yang sekarang berada tepat di atas dapur rumah warga. Hal ini tentunya mengkhawatikan apabila lapang tersebut mengandung gas dan terjadi kebocoran dari sumur yang ditimbun oleh warga karena dianggap tidak aktip. Bahaya lain yang timbul adalah keracunan gas methan atau sulfur yang mungkin keluar dari sumur tersebut. Gambar 4 adalah contoh lokasi sumur yang berada di dalam rumah. Hasil interpretasi dan didukung oleh survey lapangan ditemukan sumur tua yang lokasinya di dalam kawasan komersial yang berupa hotel dan pusat kegiatan masyarakat (perkantoran dan pertokoan). Kondisi tersebut tidaklah mengherankan karena pada umumnya lapangan tua migas di Indonesia saat ini banyak yang sudah berkembang pesat menjadi kawasan permukiman, hotel dan perkantoran yang tumbuh menjadi kawasan komersial tersebut. Pada daerah yang berkembang di dekat sumur tua tersebut sebuah perkebunan hal tersebut tidaklah terlalu sulit untuk dilakukan negosiasi tentang pengantian ganti untung, tetapi akan berbeda jika yang berkembang 76
adalah hotel berbintang atau kawasan perkantoran. Gambar 5 menunjukkan contoh sumur tua berada di dekat hotel berbintang. V. KESIMPULAN Identifikasi permasalahan sosial yang ada dalam perencanaan pengembangan lapangan tua dapat dilakukan melalui interpertasi citra satelit resolusi tinggi (IKONOS). Kemampuan ini terbukti dalam kajian di lapangan X dan Y di cekungan Sumatera Selatan. Lokasi sumur 80% dapat diinterpretasi melalui citra Ikonos. Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra IKONOS menunjukkan bahwa sumur-sumur pada lapangan tua sudah beralih fungsi menjadi kawasan komersial, pertanian, perkebunan dan permukiman. Berdasarkan data BPN di lapangan X (kotamadya) lokasi sumur sudah tersertifikasi menjadi tanah penduduk setempat. Hal ini perlu menjadi pertimbangan untuk merencanakan pengembangan sumur tua. Kehati-hatian dalam pendekatan dengan masyarakat untuk sosialisasi dan negosiasi rencana pembebasan lahan sangat diperlukan. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT Pertamina EP dan instansi terkait yang telah membantu dalam penyediaan data dan informasi sehingga proses penyusunan penelitian ini dapat terselesaikan. KEPUSTAKAAN 1. BPMIGAS, 2005. Peranan Strategis Litbang Migas dalam Menunjang Industri Migas dan Kebijakan Pemerintah. Luncheon Talk 40 Tahun Lemigas. 2. Barlowe, R. 1986. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate.Prentice-Hall Inc. New York, 653 p. 3. Brown, C.E and MF. Fingas, 2005. A review of Current Global Oil Spill Surveillance, Monitoring and Remote Sensing Capabilities, Proceedings of the Twenty-Eighth Artic and Marine Oil Spill Program Technical Seminar. Environment Canada, Ottawa, Ontario, pp 789-798. 4. Drury, S.A.1987. Image Interpretation in Geology. Department of Earth Sciences. The Open University. Allen & Unwin. London. 5. Gandasasmita K, 2001. Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah Aliran Sungai
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua (Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
14.
Cimanuk Hulu Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gloaguen, R., P. R. Marpu and I. Niemeyer, 2007. Automatic Extraction of Faults and Fractal Analysis from Remote Sensing Data. Nonlin Processes Geophys., 14. 131- 138. Gupta, R.P., 1991. Remote Sensing Geology. Department of Sciences. University of Roorkee. India. Hagget, Peter. (1984). Geography: A Modern Synthesis. New York: Harper and Row. Hengsterman, T and N Robbe, 2008. Airborne oil Spill Remote Sensing. Hydro International. Vol 10. Pp 10-15. Johnston, R.J. (1983). Philosophy and Human Geography: An Introduction To Comtemporary Approach. London : Edward Arnold. Kementerian ESDM, 2011. Peluang Investasi Sektor ESDM (Buku). Diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kementerian ESDM, 2013. 13 ribu Sumur Minyak Bumi Tua ditawarkan Kepada KUD dan BUMD. http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/1636-13-ribusumur-minyak-bumi-tua-ditawarkan-kepada-kuddan-bumd.html. Kumpula, T., BC. Forbes and Stammler, 2010 Remote Sensing and Local Knowledge of Hydrocarbon Exploitation; The Case of Bovanenkovo, Yamal Peninsula, West Siberia, Rusia. Artic. VOl. 63. No 2 (June, 2010) P. 165-178. Ouattara, T., R. Couture, P.T. Bobrowsky and A. More, 2004. Remote Sensing and Geosciences. Geological Survey of Canada. Ottawa.
15. Permen ESDM No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua. 16. Rifai M. 2009.Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk Identifikasi Objek-Objek Kekotaan. Jurnal “ruang“ VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009. Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Universitas Tadulako. 17. Sabin, F.F. 1987. Remote Sensing Principles and Interpretation. W. H. Freeman and Company. New York. 18. Sarp, G., 2005. Lineament Analysis from Satellite Images, North-West of Ankara, Thesis. The Graduate School of Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University. http.etd.lib.metu.edu.tr/ upload/12606520/index.pdf. 19. SNI 13-6910-2002 tentang Operasi Pemboran Darat yang Aman di Indonesia. 20. Suara merdeka, 2005. Caltek Pacifik Nyatakan Minat Kembangkan Lapangan Migas Marginal. http://www. merdeka.com/ekonomi/nasional/caltex-pacifik-nyatakan-minat-kembangkan-lapangan-migas-marginal1gholo8.html. 21. SKKMIGAS, 2013. Laporan Tahunan 2012. http:// www.skkmigas.go.id/wp-content/uploads/2012/08/ Laporan-Tahunan-2012.pdf. 22. Wiji L. 2001. Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk Identifikasi Obyek Pajak Bumi Dan Bangunan. http:// bumipenjelajah.blogspot.com/2011/12/pemanfaatancitra-ikonos-untuk.html. 23. Xiaoqin, W., W. Qinmin, L. Gaohuan and L. Huiguo, 2005. Vegetation Evolvement Analysis at Gudong Oil Field Using Remote Sensing Data. Geoinformation Science. Vol. 7 No. 4.
77
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
78
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 Sebagai Katalis Oberlin Sidjabat Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected] Teregistrasi I tanggal 13 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 1 Juli 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar nabati sebagai substitusi minyak diesel/solar yang menjanjikan. Namun masih ada permasalahan dalam hal mutu seperti kestabilan oksidasi dan sifat alirnya yaitu titik tuang dan titik kabut yang sangat penting dalam utilisasi secara komersial. Karakteristik tersebut sangat tergantung pada komponen bahan bakunya yang mengandung asam lemak tak-jenuh.yang mudah teroksidasi membentuk polimer-polimer serta pengaruh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi permasalahan ketidak stabilan produk biodiesel, konsentrasi asam lemak tak jenuh perlu diturunkan melalui proses hidrogenasi parsial dengan bantuan katalis nikel (Ni) berpenyangga (support) alumina (Al2O3). Proses hidrogenasi parsial dilakukan dengan sistem reaktor autoclave berpengaduk dengan temperatur 80oC dan tekanan atmosfir. Karakteristik stabilitas oksidasi dapat meningkat untuk memenuhi spesifikasi yang ditentukan (>10 jam), juga sifat alirnya meningkat secara signifikan dengan penggunaan katalis nikel tersebut. Kata kunci: biodiesel, hidrogenasi parsial, katalis nikel, stabilitas oksidasi, titik kabut, titik tuang ABSTRACT Biodiesel is vegetable fuel as promising fuel for substituted diesel oil. However it has some problems for its fuel quality such as oxidation stability and flowing characteristics that is pour point and cloud point, which are very important in commercial utilization. Such characteristics depend on the components that contained in the feedstock such as unsaturated fatty acids which easier oxidised to form polymer and its environment conditions. In order to solve the problem of unstable biodiesel product, the concentration of unsaturated fatty acids should be reduced by partial hydrogenation processing with Nickel (Ni) supported on alumina (Al2O3) as catalyst. Partial hydrogenation processing was conducted by autoclave stirred reactor with temperature 80oC and atmosperic pressure. Characteristic of oxidation stability increase to meet the specification (>10 hours), also flowing characteristics increase significantly by using such catalyst. Keywords: biodiesel, partial hydrogenation, nickel catalyst, oxidation stability, cloud point, pour point
I. PENDAHULUAN Bahan bakar biodiesel, merupakan suatu bahan bakar alternatif setara minyak solar, yang diproduksi dari sumber terbarukan seperti minyak nabati dan lemak hewani dengan proses sederhana yaitu transesterifikasi [1, 2]. Secara kimia, biodiesel adalah ester metil asam lemak dan hanya disebut biodiesel bila digunakan
sebagai bahan bakar dalam mesin diesel dan sistem pemanasan[3,4]. Biodiesel mempunyai keuntungan sebagai berikut: (a) mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi; (b) bahan bakar terbarukan, (c) mereduksi emisi gas rumah kaca, (d) dapat terurai atau terdegradasi secara biologi dan tidak toksis, (e) dalam penanganannya sangat aman (titik nyala lebih tinggi daripada bahan bakar minyak diesel)3]. 79
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar campuran dengan minyak solar dengan berbagai perbandingan dan/atau langsung digunakan tanpa memodifikasi mesin kendaraan. Biodiesel merupakan bahan bakar minyak diesel/solar alternatif yang menjanjikan, namun dari beberapa penelitian dan literatur menyebutkan bahwa karakteristiknya, baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan, masih ada permasalahan terutama dalam hal mutu seperti kestabilan oksidasi dan sifat alirnya yaitu titik tuang dan titik kabut, sifat-sifat ini sangat penting dalam penggunaan secara komersial[5, 6]. Karakteristik tersebut sangat tergantung pada bahan bakunya untuk memproduksi biodiesel yaitu kandungan asam lemak tak-jenuh yang terdapat dalam bahan baku. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tidak-jenuh (adanya ikatan rangkap) merupakan penyebab ketidak stabilan biodiesel karena mudah teroksidasi oleh oksigen dari udara membentuk polimer-polimer serta pengaruh faktor lain seperti panas, logam dsb[5, 7]. Telah banyak dilaporkan bahwa semakin bertambah ikatan rangkap maka laju oksidasi akan meningkat kira-kira 10 kali setiap tahap[5]. Mutu biodiesel merupakan hal yang penting dalam penggunaannya secara komersial. Bahan baku yang mengandung komponen asam lemak jenuh tinggi menunjukkan stabilitas oksidasi yang lebih baik. Tetapi bila kandungan asam lemak jenuh yang tinggi dalam bahan baku, akan memberikan sifat alir yang lebih rendah terutama pada kondisi dingin. Masalah utama dari pengaruh karakteristik stabilitas oksidasi adalah selain bahan bakar bias rusak juga menyebabkan penyumbatan saringan mesin atau pompa mesin. Menggunakan bodiesel pada kondisi cuaca dingin juga merupakan masalah serius dalam sifat alir pada kondisi dingin. Dalam hal penggunaan biodiesel maka diperlukan peningkatan mutunya untuk menghindari masalah yang timbul akibat mutu atau spesifikasi yang tidak sesuai. Secara khusus proses hidrogenasi adalah proses praktis karena proses ini juga sering digunakan di kilang pengolahan minyak untuk mereduksi kandungan aromatik. Prinsip hidrogenasi adalah menambahkan atom hidrogen ke asam lemak yang tidak jenuh untuk meningkatkan jumlah kejenuhan dan mengurangi ikatan rangkap. Proses hidrogenasi dapat meningkatkan stabilitas oksidasi biodiesel tanpa menambahkan antioksidan. 80
Proses hidrogenasi sudah sering digunakan untuk minyak yang dapat dimakan (edible oil) menjadi margarin dengan bantuan katalis nikel. Namun untuk proses hidrogenasi parsial biodiesel (metil ester asam lemak) bertujuan untuk meningkatkan kestabilan oksidasi dan tetap mempertahankan karakteristik biodiesel sebagai bahan bakar setara minyak solar, dalam bentuk cair. Stabilitas oksidasi merupakan mata uji yang sangat penting pada spesifikasi biodiesel yang dimasukkan dalam Standard Nasional Indonesia Biodiesel tahun 2012 (SNI 7182-2012). Penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan karakteristik biodiesel sebagai substitusi minyak solar dan khususnya sifat stabilitas oksidasi yang sering menjadi masalah pada mesin kendaraan diesel. dan juga selama penyimpanan[8, 9]. Juga menjadikan acuan untuk mengantisipasi spesifikasi stabilitas oksidasi yang diterapkan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) Biodiesel. II. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan-Bahan Biodiesel yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi dari minyak sawit sebagai bahan baku dengan proses transesterifikasi dan proses dilakukan di pilot plant biodiesel LEMIGAS dengan kapasitas 8 ton per hari. Biodiesel tersebut sudah memenuhi spesifikasi sesuai dengan SNI 04-7182-2006 atau ASTM D-6751. Katalis yang digunakan untuk proses hidrogenasi parsial yaitu logam nikel (Ni) dengan penyangga alumina (Al 2 O 3 ). Katalis dipreparasi dengan mengimpregnasikan logam tersebut ke dalam alumina (Al2O3) dan dikalsinasi pada temperatur 400oC selama 1 jam. B. Proses Hidrogenasi Reaksi hidrogenasi parsial dilakukan pada reaktor autoclave berpengaduk secara tumpak (batch) seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Biodiesel (200 ml) dan katalis (1 gram) dimasukkan dalam reaktor autoclave dengan pengadukan. Gas N 2 dialirkan untuk mengusir oksigen dalam reaktor dan dipanaskan sampai temperatur reaktor dicapai 80oC (sekitar 0,5 jam). Kemudian hidrogenasi dilakukan dengan mengalirkan gas hidrogen 100 ml/menit dengan tekanan atmosfir, serta waktu reaksi yang divariasikan dari 0 sampai 1,5 jam.
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
C. Uji Sifat Alir (Titik Tuang dan Titik Kabut) Produk-produk biodiesel yang sudah dihidrogenasi di uji sifat alirnya (titik tuang dan titik kabut) dengan mengikuti prosedur metode uji ASTM D-97 dan ASTM D-2500 untuk masing-masing mata uji. D. Uji Stabilitas Oksidasi Stabilitas oksidasi produk-produk biodiesel diuji dengan alat uji Rancimat Model 743, dengan diagram seperti disajikan pada Gambar 2 yang mengikuti prosedur metode uji EN 14112. Sampel biodiesel sebanyak 3 gram dipanaskan pada temperatur 110°C dengan mengalirkan udara sejumlah 10 liter/jam. Konduktivitas dicatat secara kontinyu sampai pada 100mS/cm.
Gambar 1 Diagram alir proses hidrogenasi biodiesel
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi dengan bahan baku minyak sawit (CPO, crude palm oil) dan metil alkohol (CH3OH), serta menggunakan katalis NaOH pada temperatur 60°C. Tipikal karakteristik dari biodiesel yang diproduksi dengan bahan baku minyak sawit disajikan pada Tabel 1. Karakteristik biodiesel yang diperoleh dari hasil proses produksi biodiesel sudah memenuhi spesifikasi yang sudah ditentukan (SNI 04-7182-2006 atau ASTM D-6751). Salah satu proses untuk peningkatan mutu biodiesel yang disebabkan adanya ikatan rangkap adalah dengan proses hidrogenasi dengan bantuan suatu katalis tertentu. Katalis yang digunakan dalam percobaan penelitian adalah logam nikel (Ni) dengan pendukung alumina (Al2O3), yaitu Ni-Al2O3. Katalis tersebut dipreparasi dengan metoda impregnasi. Hasil dari proses hidrogenasi produk biodiesel adalah indikasi dari perubahan karakteristik sifat alir produk, antara lain adalah titik tuang (pour point). Setelah proses hidrogenasi, karakteristik produk biodiesel yang dianalisis adalah titik tuang (pour point), titik kabut (cloud point) dan sifat stabilitas oksidasi. Hasil karakterisasi tersebut disajikan pada Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 untuk masingmasing titik tuang (pour point), titik kabut (cloud point), dan sifat stabilitas oksidasi (perioda induksi), dengan menggunakan katalis Ni-Al2O3. Titik tuang produk biodiesel sebelum hidrogenasi adalah 12oC dan titik kabut adalah 13oC (Tabel 1), dan
Gambar 2 Diagram alat uji Rancimat
sesudah mengalami proses hidrogenasi meningkat dengan lamanya waktu reaksi dan kecepatan pengadukan. Kenaikan nilai titik tuang dan titik kabut tersebut mengindikasikan bahwa ikatan rangkap telah mengalami penjenuhan (saturated). Pada umumnya senyawa yang jenuh mempunyai titik tuang dan titik kabut yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa tidak jenuh[5, 10]. Hasil yang diperoleh dari proses hidrogenasi terhadap titik tuang menunjukkan bahwa pengaruh waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan dengan katalis Ni-Al2O3 sangat berpengaruh terhadap kenaikan nilai titik tuang (Gambar 3). Secara keseluruhan bahwa nilai yang diperoleh masih memenuhi spesifikasi biodiesel atau minyak solar, kecuali hasil pada waktu reaksi 1,5 jam dengan katalis Ni-Al2O3 (Run-1) yang melebihi nilai spesifikasi (off-spec) >18oC. Salah satu masalah utama terkait dengan penggunaan biodiesel khususnya di negaranegara yang beriklim dingin, adalah sifat alir pada kondisi dingin (cold flow properties) yaitu titik tuang dan titik kabut. Dalam hal kondisi dingin, nilai 81
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Tabel 1 Tipikal karakteristik produk biodiesel berbahan baku minyak sawit (POME, Palm Oil Metil Ester) dan minyak solar No
KARAKTERISTIK
PRODUK POME SOLAR
o
SPESIFIKASI MINYAK SOLAR MIN
MAKS
1 Spesifik Gravitas, 60/60 F
0.865
0.858
2 Kalkulasi Indeks Setana
58.3
54.3
48
-
D 976
5.72
4.19
2.0
5.0
D 445
12
3
-
18
D 97
3 Viskositas Kinematik, 40/40 oC, cSt
0.820 0.870
METODA ASTM D 1298
Titik Tuang
o
5
Titik Kabut
o
13
5
-
18
D 2500
6
Residu Karbon Conradson, %-brt (pada 10% -vol bottom)
2.24
0.05
-
0.1
D 189
7
Kandungan sulphur, %-brt
0.01
0.37
-
0,5
D 1551
8
Korosi Bilah Tembaga, 100 oC, 2 jam
1a
1a
-
No 1
D 130
370
180
150
-
D 93
4.0
L3
-
3
D 1500
Nil
Nil
-
Nil
D 664
12.31
0.06
-
0.6
C
303.0
202.5
-
-
C
-
>371
-
-
4
9
o
Titik Nyala PMCC
C C
F
10 Warna ASTM (ASTM Colour) Nilai Netralisasi 11 - Strong Acid Number, mg KOH/gr - Total Acid Number,
mg KOH/gr
Distilasi 12
- IBP
o
- EP
o
- Rec. 300oC
17.45
50.50
40
-
13 Nilai Kalor
Btu/lb
17455
19250
-
-
D 240
14 Sedimen
%-brt
Nil
Nil
-
0.01
D 473
15 Air dan Sedimen
%-vol
Nil
Nil
-
-
D 1796
16 Kandungan Air
%-vol
1.35
0.02
-
-
D 95
Jam
-
-
6
-
17 Stabilitas Oksidasi
titik tuang dan titik kabut tinggi maka bahan bakar biodiesel mengalami pembentukan kristal-kristal dan padatan sehingga akan menyumbat saringan dan pipa saluran bahan bakar [5, 11]. Pada umumnya solusi yang dilakukan untuk mengatasi titik tuang tinggi adalah menurunkannya dengan cara yang mencampurkan biodiesel dengan minyak solar atau dengan kerosin (minyak tanah) pada rasio tertentu. Demikian juga terhadap hasil karakteristik titik kabut, mengalami kenaikan nilai akibat proses hidrogenasi dan dipengaruhi oleh waktu reaksi dan kecepatan pengadukan, dengan menggunakan katalis Ni-Al2O3 (Gambar 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa katalis Ni-Al2O3 dan waktu reaksi 1,5 jam dan kecepatan pengadukan 1000 rpm tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan (>18oC) dan hasil lainya masih memenuhi spesifikasi. Menurut beberapa laporan penelitian bahwa hidrogenasi parsial minyak nabati tak jenuh tidak 82
D 86
Rancimat – SNI 7182-2012
hanya menghasilkan reduksi ikatan rangkap (tak jenuh), tetapi juga perpindahan atau migrasi ikatan rangkap dan isomerisasi ikatan rangkap-cis menjadi konfigurasi trans yang lebih stabil[12-14]. Uji stabilitas oksidasi adalah salah satu kriteria penting untuk mengevaluasi kualitas (mutu) biodiesel. Pengujian stabilitas oksidasi dilakukan dengan alat Rancimat berdasarkan perioda induksi (induction period) yang didefinisikan sebagai kerentanan atau kelemahan dari biodiesel terhadap oksidasi dengan keberadaan udara atau oksigen dan ditentukan perioda induksi (waktu) pada nilai konduktivitas 100mS/cm. Hasil karakterisasi stabilitas oksidasi yang disajikan pada Gambar 5 menunjukkan bahwa stabilitas oksidasi (perioda induksi) meningkat dengan pengaruh waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan jenis katalis. Standar spesifikasi untuk stabilitas oksidasi biodiesel di Indonesia (SNI 04-7182-2006)
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
Gambar 3 Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3 terhadap titik tuang (pour point)
Gambar 4 Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3 terhadap titik kabut (cloud point)
belum dimasukkan dan masih diusulkan pada tahun 2012 dengan nilai 6 jam. Sedangkan stabilitas oksidasi yang terdapat pada standar Amerika ASTM D 6751-07b adalah minimal 3 jam dan standar
Gambar 5 Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3 terhadap stabilitas oksidasi (perioda induksi)
Gambar 6 Komposisi senyawa-senyawa poli-, mono-tak jenuh dan jenuh biodiesel dari beberapa bahan baku (Sumber: Ramos, M. J dkk, Bioresources Technology, 2009, 100 [16])
Eropa EN-14214 telah menetapkan minimal 6 jam. Beberapa Negara di Asia menetapkan stabilitas oksidasi minimal 6 jam, dan WWFC (World Wide Fuel Charter) menetapkan minimal 10 jam [15]. 83
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Mengacu hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik stabilitas oksidasi dapat memenuhi kriteria atau standar spesifikasi yang ada. Dengan adanya penjenuhan atau saturasi ikatan rangkap akan mengurangi terjadinya reaksi oksidasi. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk memenuhi standar spesifikasi untuk karakteristik sifat alir (titik tuang dan titik kabut) dan krakteristik stabilitas oksidasi dari produk biodiesel yang mengalami proses hidrogenasi dengan katalis Ni-Al2O3 harus ada kondisi proses yang dikompromikan. Artinya stabilitas oksidasi sudah baik nilainya, tetapi nilai titik tuang dan titik kabut harus diperhatikan pada kondisi proses yang lebih menguntungkan. Dalam hal ini, kondisi operasi proses hidrogenasi yaitu waktu reaksi 0,5 jam dan kecepatan pengadukan 500 rpm sudah dapat memenuhi kriteria standar spesifikasi untuk ketiga karakteristik yang diteliti (titik tuang, titik kabut, dan stabilitas oksidasi). Bila kondisi operasi proses hidrogenasi tidak dikompromikan maka untuk menurunkan sifat alir (titik tuang dan titik kabut) adalah dengan menambahkan aditif peningkat sifat alir (cold flow improver)[5]. Salah satu hasil penelitian dari Ramos dkk[16] menyatakan bahwa kejenuhan (saturated) dan ke-tidakjenuhan (un-saturated) bahan baku mempengaruhi karakteristik produk biodiesel seperti terlihat pada diagram segitiga dalam Gambar 6. Daerah warna kuning mengindikasikan angka setana, nilai iod dan stabilitas oksidasi yang paling baik. Sedangkan daerah warna biru adalah mengidentifikasikan yang paling baik untuk sifat alir (titik tuang, titik kabut) dan daerah warna hijau adalah mengidentifikasikan daerah kompromi. Berdasarkan gambaran dari diagram segitiga tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperbaiki mutunya dapat dikompromikan melalui suatu proses seperti hidrogenasi parsial sehingga didapatkan karakteristik yang diinginkan dengan kompromi dengan mengusahakan karakteristik yang mendekati daerah hijau. Hal ini disebabkan bahan baku yang sangat berbeda karakteristiknya dan harus disesuaikan terhadap spesifikasi serta sifat kestabilan produk, baik dalam penyimpanan maupun dalam penggunaan di lapangan. 84
IV. KESIMPULAN Dari data percobaan proses peningkatan kualitas biodiesel dengan pengembangan teknologi proses pengolahan produksi biodiesel melalui proses hidrogenasi parsial dapat disimpulkan sebagai berikut. Proses hidrogenasi parsial akan menaikkan nilai titik tuang (pour point) dan titik kabut (cloud point) biodiesel, dengan lamanya waktu reaksi dan kecepatan pengadukan dengan meggunakan katalis Ni-Al2O3. Sifat stabilitas oksidasi biodiesel dapat ditingkatkan melalui proses hidrogenasi. Berdasarkan hasil penelitan ini bahwa lamanya proses hidrogenasi selama setengah (0,5) jam dengan katalis Ni-Al2O3 sudah dapat memberikan hasil terbaik untuk sifat alir dan stabilitas oksidasi biodiesel. Dalam perbaikan atau peningkatan kualitas (mutu) biodiesel diperlukan proses kompromi dengan mengatur kondisi operasi seperti lamanya reaksi dan juga mungkin variabel yang lain yang belum diteliti. KEPUSTAKAAN 1. Durrett, T. P.; Benning, C.; Ohlrogge, J., 2008, Plant triacylglycerols as feedstocks for the production of biofuels. Plant J., 54 (4), 593-607 2. Giakoumis, E. G., 2013, A statistical investigation of biodiesel physical and chemical properties, and their correlation with the degree of unsaturation, Renewable Energy”, Vol. 50, pp. 858-878, doi: 10.1016/j. renene.2012.07.040 3. Goto, S., Oguma, M and Chollacoop, N., 2010, Biodiesel Fuel Quality, EAS-ERIA Biodiesel Fuel Trade Handbook: 2010, Benchmarking of Biodiesel Fuel Standardization in East Asia Working Group , Jakarta: ERIA, 27-62. 4. Gunstone, F. D., 1996, Fatty Acid and Lipid Chemistry. Chapman & Hall, London (UK). 5. HartEnergy, International Fuel Quality Center (IFQC), 2011 Worldwide Fuel Specifications, 12th Edition, 6. Lopes, J.C.A., L. Boros., M. A. Krähenbühl, A. J. A. Meirelles, J. L. Daridon, J. Pauly, I. M. Marrucho, and J. A. P. Coutinho, 2008, Prediction of Cloud Points of Biodiesel, Energy & Fuels, 22, 747-752 7. Meher, L.C., Sagar, D.V. and Naik, S.N., Technical Aspects of Biodiesel Production by Transesterification: A review, Renew. Sustainable Energy Rev. 3, 1-21
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat) 8. Mittelbach, M. and Remschmidt, C., 2004, Biodiesel, The Comprehensive Handbook, First edition, Austria, 9. Mittelbach, M.; Gangl, S., 2001, Long Storage Stability of Biodiesel Made from Rapeseed and Used Frying Oil. JAOCS, 78(6), 573-577. 10. Monyem, A.; Canakci, M.; Van Gerpen, J. 2000, Investigation of Biodiesel thermal Stability Under Simulated In-Use Conditions. Applied Engineering in Agriculture, 16 (4), 373-378. 11. Moser, B. R., Haasb, M. J., Winkler, J. k., Jackson, M. A., Erhan, S. Z, and List, G. R., 2007, Evaluation of partially hydrogenated methyl esters of soybean oil as biodiesel, Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109 17-24 DOI 10.1002 lejlt.200600215. 12. Ramos, M. J., Fernandez, C. M., Casa, A., Rodrguez, L., and Perez, A., 2009, Influence of Fatty Acid Composition of Raw Material on Biodiesel Properties, Bioresources Technology, 100, 261-268.
13. Scrimgeour, C., 2005, Chemistry of Fatty Acids in: Bailey’s Industrial Oil and Fat products, Fereidoon Shahidi (Editor), 6th edition, John Wiley & Sons, Inc. 14. Sidjabat, O., 1995, Studi Proses Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menjadi Bahan Bakar Motor Setara Solar, Proceedings Diskusi Ilmiah VIII PPPTMGB ”LEMIGAS”, Jakarta, 13-14 Juni 1995, hal. 227-233. 15. Vicente, G., Martinez, M. and Aracil, J., 2004, Integrated Biodiesel Production: A comparison of different homogeneous catalyst systems, Biores. Technol, 2004, 92, 297-305. 16. Waynick, J. A., 2005, Characterization Of Biodiesel Oxidation And Oxidation Products, The Coordinating Research Council, Task 1 Results, CRC Project No. AVFL-2b, National Renewable Energy Laboratory, U.S. Department of Energy.
85
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
86
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium (Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ’R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium Edward ML Tobing dan Hestuti Eni Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 21 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 25 Juli 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Kumulatif perolehan minyak reservoar ’R’ setelah dilakukan injeksi air sampai dengan akhir tahun 2012 sebanyak 33.51% OOIP. Upaya untuk meningkatkan perolehan minyak pada reservoir tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan metode Enhanced Oil Recovery (EOR). Hasil pemilihan metode EOR terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’ menunjukkan bahwa metoda yang cocok adalah injeksi Alkali Surfaktan Polimer (ASP). Tulisan ini menyajikan hasil studi laboratorium peningkatan perolehan minyak pada reservoir ’R’ dengan injeksi ASP. Dan tujuan studi tersebut adalah untuk mengetahui penambahan perolehan minyak dengan menginjeksikan ASP pada batuan reservoir ’R’. Berdasarkan hasil uji compatibility, interfacial tension, reologi, thermal stability, filtrasi dan adsorpsi pada fluida injeksi ASP, maka diperoleh konsentrasi optimum dari masing-masing fluida injeksi tersebut. Mengacu pada konsentrasi optimum fluida injeksi ASP tersebut, kemudian dilakukan uji core flooding berdasarkan rancangan fluida injeksi yang sudah ditentukan. Hasil utama dari uji core flooding tersebut menunjukkan adanya peningkatan perolehan minyak sebanyak 9.94% OOIP. Bila hasil uji laboratorium tersebut diaplikasikan pada skala lapangan dengan menginjeksikan fluida ASP melalui sumur injeksi di reservoar ’R’, serta memenuhi persyaratan secara teknik, maka diperkirakan penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta bbl. Kata kunci: Injeksi alkali-surfaktan-polimer, perolehan minyak. ABSTRACT Cumulative oil recovery reservoir 'R' after water injection until the end of 2012 was 27.87% OOIP. Efforts to improve oil recovery in reservoir 'R' can be done by applying the method of Enhanced Oil Recovery (EOR). The result of screening EOR method to the characteristics of the reservoir rock and fluid ‘R’ shows that the most suitable method is to inject Alkaline Surfactant Polymer (ASP). This paper presents the results of a laboratory study of enhanced oil recovery in reservoir 'R' with ASP injection. And the purpose of the study is to investigate the addition of oil recovery by injecting ASP in reservoir rocks ‘R’. Based on the results of compatibility, interfacial tension, rheology, thermal stability, filtration and adsorption test on ASP injection fluid, the optimum concentration of each of the injection fluid is obtained. Based on the optimum concentration of the ASP injection fluid, then test core flooding refers to the design of the injection fluid was determined. The main results of core flooding tests show an increase in oil recovery 9.94% OOIP. When the results of the laboratory test was applied to the field scale by injecting ASP fluid through injection wells in the reservoir 'R', as well as satisfy the technical requirements, the additional oil production is estimated to 3.88 million bbl. Keywords: alkaline-surfactant-polymer injection, oil recovery.
87
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
I. PENDAHULUAN Pada umumnya potensi cadangan minyak tersisa setelah tahap awal pengurasan atau “primary recovery” masih cukup besar. Sedangkan operasi produksi minyak pada tahap ini menyebabkan turunnya tekanan reservoir, sehingga produktivitas sumur akan mengecil. Upaya peningkatan produksi dan perolehan minyak dapat dilakukan dengan usaha pengurasan tahap lanjut (secondary recovery) secara intensif. Usaha tersebut diantaranya dengan menginjeksikan air, yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan reservoir dan mendorong minyak tersisa setelah tahap awal pengurasan. Zerpa dan Queipo (1) menyatakan bahwa dari proses injeksi air tersebut, minyak tersisa yang masih ada di dalam reservoir kurang lebih sebanyak 70% OOIP. Penyebab masih tingginya minyak tersisa di dalam reservoar adalah adanya daerah penyempitan pori-pori batuan sehingga minyak terperangkap di dalamnya. Serta perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dengan fluida yang didesak lebih dari 1(satu), yang berarti fluida injeksi lebih mudah menembus daerah minyak sehingga menyebabkan breakthrough yang terlalu dini. Upaya untuk mengurangi minyak tersisa di dalam reservoir tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan metode Enhanced Oil Recovery (EOR), atau metoda perolehan minyak tahap tertiary. Salah satu metode EOR yang secara teknis telah berhasil diterapkan dan memberi sumbangan yang signifikan dalam peningkatan perolehan minyak adalah injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer (ASP). Dari beberapa uji pilot yang dilaporkan oleh Zerpa dan Queipo(1) menunjukkan bahwa kumulatif perolehan minyak mencapai lebih dari 60% OOIP. Kon dkk(2) dalam tulisannya mengungkapkan bahwa pada metode injeksi ASP terdapat beberapa mekanisme dan proses. Alkali mempunyai 3(tiga) fungsi diantaranya: (1). Menaikkan pH. (2). Menurunkan adsorpsi surfaktan yang bersifat anionik ke dalam batuan reservoar dan (3). Batuan reservoir menjadi lebih bersifat water wet. Surfaktan berperan untuk menurunkan Interfacial Tension (IFT) antara fase minyak dan air sehingga dapat meningkatkan mobilitas minyak yang terperangkap. Sedangkan peran polimer adalah untuk menaikkan viskositas fluida pendesak, dan menurunkan perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan fluida yang didesak sehingga akan memperbaiki efisiensi penyapuan volumetrik. 88
Lapangan ‘Q’ adalah lapangan minyak tua yang diproduksikan sejak tahun 1954 terletak di cekungan Sumatera Selatan. Reservoar minyak produktif pada lapangan ini terdiri dari 20 reservoir, dan yang menjadi fokus dalam studi laboratorium ini adalah reservoir ’R’. Berdasarkan metoda volumetrik, diperkirakan OOIP dari reservoir ini 39.01 juta bbl, dan produksi kumulatif sampai dengan akhir tahun 2012 setelah menerapkan teknologi pengurasan tahap lanjut dengan injeksi air adalah 13.07 juta bbl (33.51% OOIP). Dengan demikian minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir sebesar 25.93 juta bbl (66.49% OOIP), yang selanjutnya akan menjadi target untuk diproduksikan dengan menerapkan teknologi EOR. Karakteristik fluida dan batuan reservoir minyak pada umumnya memiliki sifat yang unik, sehingga interaksi antara fluida dan batuan reservoir dengan fluida injeksi ASP memberikan hasil yang unik juga. Dengan demikian studi laboratorium mutlak dilakukan sebelum diterapkan metode EOR injeksi ASP pada reservoir ‘R’. Studi laboratorium ini dilakukan untuk menguji layak atau tidaknya diterapkan metode EOR injeksi ASP pada reservoir ‘R’, dan seberapa banyak peningkatan perolehan minyak yang diperoleh. Dan berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa hingga saat ini studi laboratorium untuk mengetahui kemungkinan dapat atau tidaknya diterapkan injeksi ASP pada reservoir ‘R’ belum pernah dilakukan. Adapun metode studi laboratorium yang dilakukan terdiri atas 2(dua) kegiatan utama yaitu: (1). Uji terhadap batuan dan fluida reservoir (minyak dan air formasi), serta larutan ASP yang akan digunakan. (2). Uji coreflooding untuk mengetahui efektifitas larutan ASP yang diinjeksikan ke dalam batuan reservoir terhadap peningkatan pengurasan minyak. II. BAHAN DAN METODE UJI LABORATORIUM Fluida injeksi yang digunakan dalam studi laboratorium ini adalah Alkali-Surfaktan-Polimer (ASP). Alkali terpilih adalah Na2CO3 dan surfaktan ‘S’ termasuk golongan anionik dengan bahan dasar petroleum sulfonate. Sedangkan polimer ‘P’ termasuk jenis polyacrilamide yang khusus dirancang untuk suhu reservoir tinggi. Sebelum uji laboratorium dilakukan dalam studi ini, terlebih dahulu dilakukan pemilihan metode EOR, untuk memperoleh salah satu metoda yang
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium (Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
cocok diterapkan pada reservoir ‘R”. Pemilihan tersebut dilakukan dengan membandingkan data karakteristik fluida dan batuan reservoir ‘R’ terhadap kriteria pemilihan metode EOR yang dikembangkan oleh Taber dkk(3,4). Dalam merancang proses injeksi ASP harus dicapai 3 (tiga) tujuan utama yaitu: penyebaran larutan ASP, jumlah injeksi larutan ASP yang cukup, dan penyapuan maksimal dari daerah yang menjadi sasaran sehingga akan menaikkan perolehan minyak. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh pemilihan konsentrasi dan ukuran slug injeksi larutan ASP, yang kemudian dapat ditentukan berdasarkan beberapa analisis hasil uji laboratorium. Analisis terhadap air formasi atau brine (sumur R-9) dan air injeksi (stasiun pengumpul) dilakukan untuk mengetahui jumlah kation dan anion yang terdapat di dalamnya, dan Total Dissolved Solid (TDS) dengan menerapkan metode titrasi, serta pengukuran derajat keasaman (pH). Don dan Paul(5) mengemukakan bahwa keberadaan ion kalsium dan magnesium pada air formasi serta air injeksi akan menyebabkan degradasi pada viskositas polimer. Untuk menghindari hal tersebut, kemudian dikembangkan softened water. Softened water adalah brine sintetik yang di dalamnya terdapat kandungan kation dan anion yang setara dengan air formasi, akan tetapi tidak ada kation kalsium dan magnesium. Sampel minyak diambil dari sumur R-9 pada kondisi permukaan di kepala sumur. Dua karakteristik minyak yang diukur yaitu viskositas dan densitas pada kondisi suhu reservoir, 107oC. Uji compatibility terhadap larutan alkali-surfaktan (AS) dan alkali-surfaktan-polimer (ASP) dilakukan untuk memastikan apakah akan terbentuk endapan atau tidak pada larutan selama beberapa hari dengan kondisi suhu ruang. Pengukuran Interfacial Tension (IFT) dilakukan dengan spinning drop tensiometer terhadap larutan ASP. Dan uji reologi dilakukan untuk mengamati kinerja larutan melalui pengukuran viskositas dengan viscometer. Uji thermal stability dilakukan untuk mengetahui daya tahan larutan ASP terhadap panas pada suhu reservoar. Menurut Hirasaki dkk(6) larutan ASP memadai bila kinerjanya tetap stabil oleh pengaruh panas. Uji ini dilakukan dengan cara memasukkan larutan pada kapsul kaca yang tertutup rapat kemudian diletakkan pada oven pada suhu reservoir.
Pada selang waktu 0, 3, 7, 14 dan 30 hari dilakukan pengukuran IFT dan viskositas terhadap larutan ASP. Uji filtrasi dilakukan untuk melihat apakah surfaktan, polimer dan ASP terlarut sempurna (membentuk fasa tunggal) jika dilarutkan pada softened water. Uji ini dilakukan dengan melewatkan sejumlah volume larutan pada kertas saring yang diberi tekanan 1 (satu) atmosfir. Pada sejumlah volume tertentu larutan surfaktan, polimer dan ASP yang melewati kertas saring dicatat waktunya. Kemudian hasil pencatatan diplot, antara volume (ml) terhadap waktu (detik). Uji adsorpsi dilakukan untuk mengetahui chemical loss akibat terserap oleh batuan. Uji ini dilakukan dengan cara menghaluskan batuan reservoir dan disaring dengan ukuran 50-200 mesh dan dikeringkan. Selanjutnya, 50 gram batuan tersaring tersebut direndam dalam larutan surfaktan dan polimer pada suhu reservoir selama 2 hari. Kemudian dilakukan pemisahan antara batuan dan larutan yang berupa filtrat. Konsentrasi filtrat diukur dengan UV Spektrofoto meter sebagai konsentrasi akhir. Adsorpsi dihitung sebagai konsentrasi yang hilang akibat terserap oleh batuan (selisih konsentrasi awal dan akhir dari larutan). Uji pendesakan atau core flooding dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak peningkatan perolehan minyak dari rancangan fluida yang akan diinjeksikan. Sampel core yang akan digunakan untuk core flooding diperoleh dari sumur R-9 pada rentang kedalaman (1367.9-1368.85) meter, yang merupakan hasil coring (conventional core) dengan diameter 3.5 inci. Berdasarkan hasil analisis jenis batuan, batuan reservoir ‘R’ termasuk batu pasir. Dari conventional core sepanjang 0.95 m tersebut diambil core plug dengan diameter rata-rata 3.8 cm dan panjang rata-rata 6.97 cm. Dari 17 (tujuh belas) core plug yang diperoleh, dipilih 4 (empat) core plug yang mempunyai harga porositas dan permeabilitas absolute yang hampir sama. Kemudian keempat core plug tersebut disusun secara seri (nomor core plug 10, 8, 9 dan 6) dan membentuk stacked core dengan panjang 27.89 cm (Gambar 1). Harga porositas ratarata stacked core 30.08% dan karakteristik batuan staked core yang akan digunakan dalam uji core flooding ditunjukkan pada Tabel 1. Rangkaian alat untuk uji core flooding disusun dan secara skematik dapat dilihat pada Gambar 89
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
2. Susunan alat utama yang digunakan terdiri dari: pompa injeksi, tabung fluida (minyak, air dan ASP), core holder, back No. pressure, dan gelas ukur. Pompa injeksi Core yang digunakan adalah jenis pompa torak Plug yang dapat menginjeksikan fluida dengan 6 laju alir konstan (laju alir injeksi minimum 9 sebesar 0.01 cc/menit). Dengan pompa 8 tersebut dapat menginjeksikan fluida 10 (minyak, air, ASP dan polimer) secara bergantian menuju core holder. Stacked Core tersimpan pada core holder yang dilengkapi dengan overburden pressure agar fluida pendesak hanya melewati permukaan stacked core, dan tidak melewati sisi bagian luar. Sedangkan back pressure mendapat tekanan dari gas nitrogen, berfungsi mempertahankan sistem bertekanan pada core holder, akan tetapi tetap dapat mengalirkan fluida ke gelas ukur pada tekanan ruang.
Tabel 1 Data karakteristik core plug Luas Porositas Permeabilitas penampang (%) Absolut (mD) 2 (cm )
Panjang (cm)
Diameter (cm)
7.61
3.8
11.34
30.50
3646
6.98
3.8
11.34
31.00
3897
6.72
3.8
11.34
29.80
3922
6.58
3.8
11.34
29.00
4286
Gambar 1 Susunan stacked core
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data karakteristik fluida dan batuan reservoir ‘R’ ditunjukkan pada Tabel 2, dan kemudian data tersebut dibandingkan dengan parameter kriteria pemilihan metode EOR yang dikembangkan oleh Taber dkk(3,4). Hasil pemilihan metode EOR yang dilakukan terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir, pada umumnya diperoleh lebih dari satu metode yang cocok. Namun hasil pemilihan metode EOR terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’ menunjukkan bahwa metoda injeksi ASP saja yang cocok untuk diterapkan. Meskipun suhu reservoar sebesar 224.64oF melebihi batas kriteria suhu (lebih kecil dari 200oF), namun surfaktan ‘S’ maupun polimer ‘P’ yang terpilih memadai untuk reservoir yang mempunyai suhu tinggi. Hasil analisis terhadap brine (air formasi dan air injeksi) yang ditampilkan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa harga Total Dissolved Solid (TDS) untuk kedua brine tersebut tidak berbeda secara signifikan, yaitu sebesar 18176.7 mg/L dan 19196.8 mg/L. Air formasi dan air injeksi mempunyai harga pH masing masing sebesar 8.78 dan 8.24. Komposisi softened water yang dikembangkan (dengan pH 8.48), didalamnya terdapat kandungan kation dan anion yang setara dengan air formasi, akan tetapi tidak dijumpai kation kalsium dan magnesium, dapat dilihat pada Tabel 4. Analisis terhadap air formasi dan air injeksi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa 90
Gambar 2 Skema rangkaian peralatan core flooding
kedua jenis air ini termasuk dalam kategori hard brine (kesadahan tinggi). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kation divalen Ca++ dan Mg++ pada air formasi masing masing sebesar 30.1 mg/L dan 42.5 mg/L. Dan pada air injeksi masing masing sebesar 30.7 mg/L dan 42.5 mg/L. Jika polimer dilarutkan dalam air injeksi tersebut (dengan kesadahan yang tinggi) untuk pembuatan larutan polimer, maka akan terjadi degradasi yang signifikan terhadap larutan polimer 5), yaitu turunnya harga viskositas larutan polimer akibat adanya kation divalen Ca++ dan Mg++. Demikian juga bila larutan polimer tersebut diinjeksikan ke dalam batuan reservoir yang di dalamnya sudah terdapat air formasi. Bila surfaktan dilarutkan dalam air injeksi (kesadahan yang tinggi)
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium (Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
Tabel 2 Hasil penyaringan metode injeksi ASP pada reservoir ‘R’
Kriteria Penyaringan Metoda Injeksi ASP
Karakteristik Fluida dan Batuan Reservoar
No.
o
API
24
Viskositas Minyak
cp
2.02
< 35
13
Saturasi Minyak
%
61
> 35
53
SS/CB
SS
Permeabilitas rata-rata
mD
3941
Kedalaman
ft, ss
1
Gravity Minyak
2 3 4
Jenis Batuan
5 6
o
> 20
35
Keterangan Memadai untuk Injeksi ASP
Disukai SS > 10
450
4484.4
< 9,000
3250
F
224.64
< 200
80
7
Suhu reservoar
8
Tekanan reservoir
psig
1500
TK
9
Porositas rata-rata
%
17
TK
10
Saturasi air rata-rata
%
39
TK
= Disarankan untuk harga karakteristik reservoar yang lebih tinggi = Disarankan untuk harga karakteristik reservoir yang lebih rendah 80
= Harga rata-rata karakteristik reservoar yang digunakan
TK
= Tidak Kritis
Tabel 3 Analisis air formasi dan air injeksi Komponen
Air Formasi
Air Injeksi
meq
mg/L
meq
mg/L
KATION Sodium
Na2+
297.3
6835.4
304.79
7009.3
Kalsium
2+
1.50
30.1
1.53
30.7
2+
3.50
42.5
3.50
42.5
2+
0.00
0.0
0.01
0.3
2+
0.17
11.5
0.12
8.1
280.00
9928.0
280.00
9928.0
Magnesium Besi Barium
Ca
Mg Fe
Ba
ANION Klorida Bikarbonat Sulfat Karbonat Hidroksida
Cl-
21.19
1293.2
32.09
1958.1
2-
0.00
0.0
0.00
0.0
CO3
2-
1.20
36.0
1.80
54.0
OH
-
0.00
0.0
0.00
HCO3 SO4
TDS (mg/L)
untuk pembuatan larutan surfaktan, maka akan terbentuk senyawa yang tidak larut sempurna dalam bentuk endapan akibat reaksi kimia antara anion surfaktan dengan kation divalen Ca++ dan Mg++, yang dapat menyebabkan plugging (penyumbatan)
18176.70
0.0 19196.80
pada pore throat batuan reservoir. Untuk mengatasi degradasi polimer dan terbentukya endapan pada larutan surfaktan tersebut, maka dikembangkan softened water yang mempunyai kandungan ionion menyerupai air formasi, tanpa adanya kation 91
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
divalen Ca++ dan Mg++. Derajat keasaman (pH) dari softened water sebesar 8.48 yang menunjukkan dalam suasana basa sehingga memadai untuk dapat diterapkan injeksi ASP, seperti apa yang dinyatakan oleh Han dkk(8). Hasil analisis karakteristik minyak menunjukkan bahwa viskositas minyak dan densitas minyak pada suhu reservoar (107oC), masing-masing 2.02 cp dan 0.8842 gr/cm3. Hasil uji compatibility larutan AS yang terdiri dari alkali (Na2CO3) dengan konsentrasi masing-masing 0.5%, 0.1%, 1.5% dan surfaktan pada konsentrasi tetap yaitu 0.1%, yang dilarutkan dalam brine (air formasi, air injeksi dan softened water) menunjukkan semua campuran larutan tampak jernih dan tidak terbentuk endapan, atau dapat dikatakan compatible. Pada Gambar 3 ditampilkan hasil uji compatibility larutan AS dengan brine softened water. Mengingat salinitas air formasi dan air injeksi hampir sama, maka pada uji compatibility campuran alkali, surfaktan dan polimer (ASP) dilakukan hanya dengan brine air formasi dan softened water. Pada campuran ini digunakan konsentrasi alkali 1%, surfaktan 0.1% dan polimer 750 ppm. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Campuran ASP dengan air formasi menunjukkan warna larutan menjadi agak kekuningan tetapi tidak terbentuk endapan, dan campuran ASP dengan softened water tampak jernih. Warna kekuningan tersebut disebabkan adanya interaksi antara polimer dengan ion-ion yang tidak terdapat pada softened water. Karena yang diamati dari uji compatibility adalah terbentuknya endapan yang kemungkinan akan menyumbat batuan, maka terjadinya perubahan warna tidak dianggap sebagai keadaan incompatibility. Hasil pengukuran IFT campuran alkali-surfaktan dapat dilihat pada Tabel 6. Harga IFT terendah dicapai pada penambahan 1.0% alkali yaitu sebesar 5.31 x10-3 dyne/cm. Oleh karena itu, pada campuran ASP yang akan diuji konsentrasi alkali yang digunakan adalah 1.0%. Rancangan campuran ASP yang akan diuji terdiri atas konsentrasi alkali 1% dan surfaktan 0.1%, serta konsentrasi polimer 750 ppm dan 1500 ppm. Pada Tabel 7 ditunjukkan hasil pengukuran IFT larutan ASP, dimana harga IFT konsentrasi polimer 750 ppm (2.72x10-3 dyne/cm) lebih rendah dibanding IFT larutan ASP dengan konsentrasi polimer 1500 ppm (8.30x10-3 dyne/cm). Mengacu pada plot perolehan minyak terhadap bilangan kapiler yang dikemukakan Berger dan Lee(7) pada 92
Tabel 4 Komposisi softened water Bahan Kimia
g/L
KCl
0.238
Na2CO3
0.276
NaHCO3
2.251
NaCl
14.439
Gambar 3 Uji compatibility AS dengan brine softened water
Gambar 4, untuk meningkatkan perolehan minyak yang signifikan, setidaknya bilangan kapiler harus naik menjadi 10-4 atau lebih. Bilangan kapiler yang didapat setelah selesai injeksi air adalah sekitar 10-6, sedangkan harga IFT antara minyak dan air selama injeksi air berlangsung berkisar antara 1 sampai 10 Dyne/cm. Untuk menaikkan bilangan kapiler dari harga 10-6 menjadi 10-4, harga IFT harus diturunkan sekitar 10-2 atau lebih agar dapat meningkatkan efisiensi pendesakan minyak. Berdasarkan harga IFT dari campuran alkali 1%, surfaktan 0.1% dan polimer 750 ppm sebesar 2.72x10-3 dyne/cm, maka menurut Berger dan Lee(9) cukup memadai sebagai fluida injeksi ASP untuk dapat meningkatkan perolehan minyak. Hasil pengukuran viskositas larutan polimer 1150 ppm pada suhu 107oC adalah sebesar 5.371 cp. Harga
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium (Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
viskositas tersebut merupakan hasil ekstrapolasi harga viskositas pada suhu 30, 50, 70 dan 85oC, karena pengukuran viskositas pada suhu di atas titik didih air (85oC) dengan sistem terbuka tidak mungkin dilakukan. Berdasarkan harga viskositas polimer yang sudah diukur, maka dilakukan pencampuran alkali, surfaktan dan polimer. Konsentrasi alkali dan surfaktan masing-masing 1% dan 0.1%, sedangkan konsentrasi polimer terdiri atas 750 ppm dan 1500 ppm. Kedua konsentrasi tersebut dipilih mengingat penambahan surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap viskositas larutan. Hasil pengukuran viskositas ASP ditampilkan pada Tabel 8, dan terlihat bahwa keberadaan surfaktan menurunkan harga viskositas larutan secara signifikan. Viskositas campuran ASP pada suhu 107oC dengan konsentrasi polimer 750 ppm dan 1500 ppm masing masing 2.731 cp dan 3.318 cp. Tujuan polimer ditambahkan pada fluida injeksi adalah untuk meningkatkan viskositas larutan agar lebih tinggi dari viskositas minyak. Wei dan Yongun (10) mengemukakan bahwa hal ini dilakukan untuk menghindari efek “fingering”. Mengingat viskositas minyak pada suhu 107oC adalah 2.02 cp, maka viskositas fluida injeksi harus lebih tinggi dari viskositas minyak tersebut. Hasil pengukuran viskositas larutan polimer dengan konsentrasi 1150 ppm pada suhu 107oC adalah 5.371 cp, atau sama dengan 2.65 kali harga viskositas minyak. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pendorongan minyak secara makro, dalam hal ini sebagai penerapan pada injeksi slug polimer. Hasil uji thermal stability terhadap larutan ASP (1% alkali Na2CO3 + 0.1% surfaktan + 750 ppm polimer), yaitu pengukuran IFT dan viskositas ditunjukkan pada Tabel 9. Harga IFT larutan ASP mengalami kenaikan sebanyak 16 kali dari 3.77x10-3 pada hari ke-0 (sebelum dipanaskan) sampai harga 6.03x10 -2 Dyne/cm pada hari ke-30. Meskipun demikian harga IFT sebesar 6.03x10 -2 masih dianggap memadai untuk fluida injeksi. Sedangkan harga viskositas larutan ASP, mengalami penurunan sebesar 2.3 kali, yaitu dari 3.318 cp sebelum dipanaskan menjadi 1.427 cp setelah pemanasan pada hari ke-30. Sebagai fluida ASP harga viskositas tersebut masih memadai. Gambar 5 menampilkan hasil uji filtrasi berupa plot volume terhadap waktu untuk surfaktan 0.1%, polimer 1150 ppm dan ASP (1% alkali Na2CO3 +
Tabel 5 Hasil uji kompatibilitas ASP Campuran ASP 1% Alkali 0,1% Surfaktan 750 ppm Polimer
Brine
Hasil Pengamatan
Air Formasi
Jernih, warna agak kuning
Softened Water
Jernih
Tabel 6 Hasil pengukuran IFT Alkali dan surfaktan Konsentrasi surfaktan
0.1%
Konsentrasi alkali
IFT (dyne/cm)
0.5%
3.81,E-02
1.0%
5.31,E-03
1.5%
6.18,E-03
Tabel 7 Hasil pengukuran IFT Alkali-surfaktan-polimer Campuran AS
Konsentrasi Polimer (ppm)
1% Alkali
750
IFT (dyne/cm) 2.72,E-03
0,1% Surfaktan
1500
8.30,E-03
Gambar 4 Plot perolehan minyak terhadap bilangan kapiler9)
0.1% surfaktan + 750 ppm polimer). Uji filtrasi dinyatakan memadai jika plot antara volume larutan melewati kertas saring terhadap waktu berbentuk garis lurus, yang berarti tidak terbentuk endapan. Selain itu, harga filtration ratio (FR) yang disarankan oleh Don dan Paul(5) lebih kecil dari 1.2. Filtration Ratio untuk surfaktan, polimer dan ASP masing masing sebesar 1.018, 1.073 dan 1.094. Ketiga harga FR untuk surfaktan, polimer dan ASP lebih kecil dari 1.2, serta membentuk garis lurus. Hal ini berarti bahwa ketiga larutan tersebut memenuhi syarat sebagai fluida injeksi. Hasil uji adsorpsi surfaktan dan polimer tertera pada Tabel 10. Uji adsorpsi surfaktan secara statik dan dinamik masing masing 115.346 μg/g dan 328.496 μg/g. Sedangkan uji adsorpsi statik dan 93
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
dinamik polimer berturut-turut 331.34 μg/g dan 383.22 μg/g. Uji adsorpsi merupakan langkah yang penting karena dari hasil uji tersebut diketahui Chemical loss akibat interaksi dengan batuan. Chemical loss yang terlalu besar akan menyebabkan upaya peningkatan perolehan minyak menjadi kurang efektif, karena dengan menurunnya konsentrasi dari alkali, surfaktan maupun polimer maka akan turun juga fungsi dari masing-masing larutan tersebut. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa chemical yang terserap oleh batuan seminimal mungkin. Seluruh harga adsorpsi yang diuji tidak lebih dari 400 μg/g. Hal ini menunjukkan bahwa chemical loss surfaktan dan polimer relatif kecil, seperti yang dikemukakan Han dkk8) sehingga diharapkan akan efektif sebagai fluida injeksi. Dengan pertimbangan dapat diterapkannya teknologi injeksi ASP di reservoar ’R’, maka fluida injeksi dirancang berdasarkan hasil uji laboratorium yang diperoleh dan data karakteristik reservoir. Dengan menerapkan metode perhitungan yang dikembangkan Don dan Paul(5), maka rancangan injeksi fluida pada stacked core secara bersinambung dengan mengikuti urutan berikut: (1). Tahap pertama menginjeksikan slug softened water sebanyak 1.55 PV. (2). Tahap kedua menginjeksikan slug larutan ASP sebanyak 0.35 PV (1% alkali Na2CO3 + 0.1% surfaktan + 750 ppm polimer). (3). Tahap ketiga menginjeksikan slug polimer 1150 ppm sebanyak 0.3 PV. (4). Tahap keempat menginjeksikan slug “air injeksi” sebanyak 0.8 PV. Sebelum melakukan 4 (empat) tahap tersebut didahului 2 (dua) tahap untuk dapat memenuhi kondisi awal yang terdiri atas: (1). Saturasi air formasi hingga mencapai 100%. (2). Injeksi minyak sehingga dicapai kondisi Soi (Saturasi minyak initial) dan Swc (Saturasi water connate). Seluruh tahap langkah kerja tersebut digambarkan dalam diagram alir dan ditunjukkan pada Gambar 6. Plot perolehan minyak terhadap volume injeksi dari 6 (enam) tahap rancangan fluida injeksi tersebut, ditampilkan pada Gambar 7.
Pada tahap-1 diperoleh volume pori atau pore volume (PV) sebanyak 71.73 cc, dan harga permeabilitas absolut sebesar 2462.5 mD. Pada tahap-2 diperoleh saturasi water connate (Swc) 34.89% dan saturasi minyak initial (Soi) 65.11% atau sebanyak 46.70 cc. Perolehan minyak akibat injeksi air-1 sebanyak 1.55 PV didapat sebanyak 55.91% OOIP. Dari plot perolehan minyak terhadap volume injeksi pada Gambar 7, menunjukkan bahwa injeksi air dari 1.3 PV hingga 1.55 PV memberikan penambahan perolehan minyak hanya 0.71% OOIP. Hal tersebut karena perolehan minyak sudah mendekati kondisi saturasi minyak tersisa atau residual oil saturation. Akibat injeksi larutan ASP 0.35 PV pada stacked
Gambar 5 Hasil uji filtrasi surfaktan, polimer dan ASP Tabel 8 Hasil reologi polimer (Alkali 1%+Surfaktan 0.1%) Viskositas (cP) o
Konsentrasi polimer
Suhu ( C)
1500 ppm
2250 ppm
30
7.646
13.693
50
5.747
9.925
70
4.158
6.877
85
3.968
5.307
107
3.318
4.59
Tabel 9 Uji thermal stability ASP
94
Pengamatan Hari ke-
Parameter
Satuan 0
3
7
14
30
IFT
dyne/cm
3,770E-03
2,030E-02
3,120E-02
4,050E-02
6,030E-02
Viskositas
cp
3.318
3.971
2.563
2.114
1.427
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium (Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
core telah menambah perolehan minyak sebanyak 3.62% OOIP, dan pengaruh injeksi larutan polimer (1150 ppm) sebanyak 0.3 PV menambah perolehan minyak sebanyak 6.32% OOIP. Perolehan minyak akibat injeksi polimer tersebut masih mungkin untuk ditingkatkan dengan cara menambah jumlah PV injeksi larutan polimer, karena pada bagian akhir dari plot perolehan minyak terhadap volume injeksi masih menunjukkan kecenderungan meningkat. Han dkk(8) menyatakan bahwa peran larutan alkali pada slug ASP selain dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan air, juga dapat merubah sifat kebasahan batuan dari yang bersifat oil wet menjadi lebih water wet, sehingga dapat melepaskan sisa minyak dari batuan. Sementara peran surfaktan juga dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan air (5.31x10-3 dyne/cm), sehingga dapat menaikkan mobilitas minyak yang sudah terlepas dari proses yang diperankan alkali sebelumnya. Dan peran polimer adalah untuk menaikkan viskositas fluida pendesak (5.371 cp), yang akan menurunkan perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan fluida yang didesak sehingga akan memperbaiki efisiensi penyapuan volumetrik (6.32% OOIP). Kemudian penambahan perolehan minyak akibat injeksi air-2 sebanyak 0.8 PV setelah akhir injeksi larutan polimer adalah sebesar 2.32% OOIP. Sehingga kumulatif perolehan minyak yang didapat dari rancangan injeksi fluida tersebut adalah sebesar 65.84% OOIP. Dengan demikian penambahan perolehan minyak pada uji stacked core flooding akibat dilakukannya injeksi kimia dengan urutan slug ASP 0.35 PV (1% Alkali Na2CO3 + 0.1% Surfaktan + 750 ppm Polimer), slug 0.30 PV (Polimer 1150 ppm) dan slug 0.8 PV (air) adalah sebanyak 9.94% OOIP. Berdasarkan hasil studi laboratorium yang telah dilakukan, maka selanjutnya dapat dikembangkan pemodelan simulasi injeksi ASP pada skala stacked core. Kemudian dilakukan scale up pada reservoar dengan pola sumur injeksi tertentu (misalkan pola injeksi five spot) dan menggunakan simulator injeksi kimia tiga dimensi. Dari pemodelan simulasi ini dapat dilakukan uji sensitivitas guna memperoleh rancangan fluida injeksi dan pola sumur injeksi yang optimum untuk diterapkan pada skala pilot dan skala lapangan. Bila rancangan core flooding tersebut diatas diaplikasikan pada skala lapangan di reservoir ’R” melalui beberapa sumur injeksi dengan laju injeksi tertentu dari fluida ASP, serta memenuhi persyaratan secara teknik, maka perkiraan penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta
Gambar 6 Diagram alir langkah kerja core flooding
Gambar 7 Plot perolehan minyak terhadap volume injeksi Tabel 10 Hasil uji adsorbsi surfaktan dan polimer Larutan
Uji Absorbsi (P Pg/g) Statik
Dinamik
0,1% Surfaktan
115,346
328,496
750 ppm Polimer
331.34
383.22
bbl. Pada akhirnya pengujian layak atau tidaknya diterapkan metoda injeksi ASP pada reservoir ‘R’, tergantung hasil kajian keekonomian dan kriteria ukuran keberhasilan yang ditetapkan. IV. KESIMPULAN 1. Hasil penyaringan metode EOR terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’ menunjukkan bahwa metode injeksi ASP cocok untuk diterapkan. 95
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
2. Dari hasil uji compatibility campuran ASP dengan softened water tidak membentuk endapan yang menunjukkan campuran tersebut compatible. 3. Berdasarkan hasil uji reologi, thermal stability, filtrasi, serta adsorpsi statik dan dinamik terhadap alkali Na 2CO, surfaktan dan polimer, maka larutan ASP tersebut memadai untuk digunakan pada uji core flooding. 4. Uji core flooding dengan menginjeksikan slug air, ASP dan Polimer menghasilkan kumulatif perolehan minyak sebesar 65.84% OOIP. 5. Penambahan perolehan minyak pada uji core flooding setelah dilakukan injeksi ASP dan polimer adalah sebesar 9.94% OOIP. 6. Bila rancangan core flooding ASP diaplikasikan pada skala lapangan di reservoar ’R”, dan memenuhi persyaratan secara teknik, maka penambahan produksi minyak diperkirakan sebanyak 3.88 juta bbl.
2.
Green W. Don., dan Willhite, G. Paul. (2003), Enhanced Oil Recovery, Society of Petroleum Engineers Richarrdson, Texas, USA, p. 272-278.
3.
6
4.
Luis E. Zerpa,. dan Nestor V. Queipo. (2004), An Optimization Methodology of Alkaline-SurfactantPolymer Flooding Processes Using Field Scale Numerical Simulation and Multiple Surrogates, SPE 89387.
5.
7
6.
9
7.
3
8.
4
9.
10
DAFTAR SIMBOL FR
= (T300 ml – T200 ml) / (T200 ml – T100 ml)
IFT
= Interfacial tension, dyne/cm
Nc
= Capillary number
v
= Kecepatan Darcy, m/detik
μ
= Viskositas, cp
σ
= Interfacial tension, dyne/cm
OOIP = Original Oil In Place, bbl KEPUSTAKAAN 1.
96
Dong, Han., Hong, Yuan., dan Rui, Weng. (2006), The Effect of Wettability on Oil Recovery of Alkaline/ Surfactant/Polymer Flooding, SPE 102564. 8
5
Hirasaki, J. George., Miller, A. Clarence., dan Puerto Maura. (2011), Recent Advances in Surfactant EOR, SPE Journal, p. 889-907. 1
P.D. Berger,. dan C.H. Lee. (2002), Ultra Low Concentration Surfactants for Sandstone and Limestone Flood, SPE 75186. P.D. Berger,. dan C.H. Lee. (2006), Improve ASP Process Using Organic Alkali, SPE 99581. Taber J.J., Martin F.D., dan Seright, R.S. (1997), EOR Screening Criteria Revisited-Part 1: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Recovery Field Projects, SPE Reservoir Engineering, p. 189-198. Taber J.J., Martin F.D., dan Seright, R.S. (1997), EOR Screening Criteria Revisited-Part 2: Aplications and Impact of Oil Prices, SPE Reservoir Engineering, p. 199-205. Wang, Wei., dan Gu, Yongan. (2005), Experimental Studies of the Detection and Reuse of Produced Chemicals in Alkaline/Surfactant/Polymer Floods, SPE Reservoir Evaluation & Engineering, p. 362371.
10. 2Wyatt, Kon., Pitts, Malcolm.J. dan Surkalo, Harry. (2002), Mature Waterfloods Renew Oil Production by Alkaline-Surfactant-Polymer Flooding, SPE 78711.
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi (Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi Durrotun Najiyah1), Nuning Vita Hidayati1) dan Cut Nanda Sari2) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected] 1)
Teregistrasi I tanggal 16 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 10 Juli 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi telah banyak terjadi di perairan darat maupun laut. Berbagai upaya telah dilakukan salah satunya yaitu penambahan senyawa surfaktan sintetik ke perairan. Pemakaian surfaktan sintetik ternyata akan menjadi limbah yang menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk menanggulanginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bakteri laut hidrokarbonoklastik (Halobacillus trueperi dan Rhodobacteraceae bacterium) dalam memproduksi biosurfaktan. Penelitian dibagi menjadi 5 perlakuan, yaitu kontrol (Media+Minyak Bumi dan Media+Minyak Jelantah), Media+Minyak Bumi+Halobacillus trueperi, Media+Minyak Bumi+Rhodobacteraceae bacterium, Media+Minyak Jelantah+Halobacillus trueperi dan Media+ Minyak Jelantah+Rhodobacteraceae bacterium. Parameter pengukuran meliputi diameter zona bening (uji bakteri penghasil biosurfaktan) bobot biomasa, bobot endapan asam, dan tegangan permukaan (produksi biosurfaktan). Hasil penelitian menunjukkan R. bacterium dengan sumber karbon minyak jelantah lebih berpotensi memproduksi biosurfaktan dibandingkan dengan bakteri H. truperi. Produksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri R. bacterium sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R. bacterium dapat menurunkan tegangan permukaan dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m, kemampuan menurunkan hingga 30,09 mN/m sehingga biosurfaktan yang di produksi bakteri ini dapat digunakan sebagai akselerator biodegradasi hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut. Kata kunci: biosurfaktan bakteri laut hidrokarbonoklastik, akselerasi biodegradasi crude oil ABSTRACT Pollution has occurred on landwater and seawater caused by oil spills from petroleum hydrocarbons. Numerous attempts have been made, one of which is the addition of synthetic surfactant compounds into the water. The use of synthetic surfactants is apparently going to be waste that causes damage to the environment, so it takes effort to menaggulanginya. This research aims to know the potential of marine hidrokarbonoklastik bacteria (Halobacillus trueperi and Rhodobacteraceae bacterium) in producing biosurfactant. The research is divided into 5 treatments, namely control (Petroleum Media and Media Oil Jelantah), Petroleum Halobacillus trueperi Media, Media Rhodobacteraceae bacterium Petroleum Oil Media Jelantah Media trueperi and Halobacillus Oil Jelantah Rhodobacteraceae bacterium. Parameters measured is the diameter of the clear zone (biosurfaktan-producing bacteria test) weights, weights biomass sludge acid, and surface tension (biosurfaktan production). The results showed r. bacterium with carbon jelantah oil biosurfaktan producing more potent than the bacteria h.. truperi. Biosurfaktan productions produced by r. bacterium of 0,7047 g/l. Isolates of bacteria r. bacterium can lower the surface tension of 40,80 mN/m until you reach 30,09 mN/m, ability to 30,09 mN/m so that the biosurfaktan in the production of these bacteria could be used as an accelerator of hydrocarbon biodegradation of oil pollution at sea. Keywords: biosurfactant, marine bacteria hidrocarbonoklastik, acceleration biodegradation hidrocarbon 97
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
I. PENDAHULUAN Surfaktan merupakan senyawa komplek yang terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga bersifat larut dalam air maupun minyak (Bica dkk., 1999; Vater dkk., 2002). Sifat tersebut menyebabkan surfaktan memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan cairan (surface tension). Kemampuan ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang diantaranya bidang farmasi, industri dan lingkungan (Mishra dkk., 2009; Dehghan dkk., 2008; Nitschke dkk., 2002; Schramm dkk., 2000; Ni’matuzahroh dkk., 2006) Di bidang lingkungan khususnya lingkungan perairan laut, surfaktan digunakan sebagai akselerator proses biodegradasi hidrokarbon untuk penanggulangan pencemaran minyak di laut (Ni’matuzahroh dkk., 2006). Jenis surfaktan yang banyak digunakan dalam penanggulangan ini adalah surfaktan sintetik. Surfaktan sintetik setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan. Adanya permasalahan inilah yang menyebabkan diperlukan suatu alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi sehingga lebih ramah lingkungan. Biosurfaktan merupakan jenis surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme bersifat alami, dan lebih ramah lingkungan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, namun lebih rendah tingkat toksisitasnya dan mudah terurai secara biologi. Oleh sebab itu penggunaan surfaktan jenis biosurfaktan mendapat perhatian sebagai teknologi alternatif dalam mempercepat proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Selain itu, biosurfaktan juga lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan sintetik (Christova dan Ivshina, 2002). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menghasilkan biosurfaktan adalah jenis bakteri laut hidrokarbonoklastik. Bakteri ini adalah bakteri yang ditemukan di lingkungan perairan laut yang tercemar minyak dan mempunyai kemampuan untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi (Nugroho, 2006). Kemampuan biosurfaktan dalam mempercepat proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dapat dilihat dari kemampuan senyawa ini dalam menurunkan tegangan permukaan (Hidayati dkk., 2011; Kasai dkk., 2001). Suatu jenis surfaktan 98
dikatakan efektif apabila dapat menurunkan tegangan permukaan mencapai ≤35 mN/m (Mulligan dkk., 2004). Bacillus megaterium merupakan bakteri yang ditemukan di perairan yang tercemar minyak dari sedimen mangrove Cilacap Jawa Tengah. Bakteri ini terbukti menghasilkan biosurfaktan ≥ 2,5 gr/L, mampu menurunkan tegangan permukaan mencapai 28,38 mN/m juga terbukti dapat mempercepat proses biodegradasi Polyaromatic Aromatic Hydrokarbon (PAH) yaitu fluorene hingga 230% (Hidayati dkk., 2011). Berdasarkan hasil penelitian Hidayati dkk., 2011 tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai bakteri lain yang diisolasi di perairan yang sama dengan bakteri tersebut. Dua jenis bakteri telah diisolasi dari perairan yang sama dengan B. megaterium yaitu H.trueperi dan R.bacterium. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah kedua bakteri tersebut juga memiliki potensi yang sama dalam produksi biosurfaktan sebagai pemercepat biodegradasi hidrokarbon minyak bumi Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan bakteri uji yang berpotensi memproduksi biosurfaktan. Juga untuk mengetahui besar biosurfaktan yang dihasilkan dari bakteri terpilih, dan mengetahui kemampuan biosurfaktan tersebut dalam menurunkan tegangan permukaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan mengenai bakteri yang dapat memproduksi biosurfaktan dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif teknologi sebagai akselerator proses bioremediasi hidrokarbon minyak bumi. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua jenis bakteri laut hidrokarbonoklastik H. trueperi dan R. bacterium hasil isolasi dari sedimen mangrove Cilacap, Jawa Tengah yang terkontaminasi minyak bumi (Syakti dkk., 2008). Terhadap kedua bakteri ini dilakukan pengujian untuk menentukan bakteri penghasil biosurfaktan yang terbaik. Setelah medapatkan bakteri terbaik maka bakteri inilah yang akan digunakan untuk studi lebih lanjut untuk memproduksi biosurfaktan. Sebagai sumber hidrokarbon digunakan crude oil dan minyak jelantah. Pada penelitian ini juga menggunakan Mineral Salt Medium (MSM) untuk adaptasi bakteri pada media uji.
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi (Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
B. Metode Metode penelitian ini terdiri dari dua tahapan, tahapan pertama yaitu metode uji potensi bakteri penghasil biosurfaktan dan yang kedua yaitu metode produksi biosurfaktan. Rancangan Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Dua perlakuan dari organisme uji dan 2 perlakuan dari media uji. Perlakuan ini masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Faktor penelitian ini meliputi sumber karbon dan jenis bakteri: Kontrol : Media+M. bumi dan Media+M. Jelantah P1B1 : Media+M. Bumi+H. trueperi P1B2 : Media+M. Bumi+R. bacterium P2B1 : Media+M. Jelantah+H. trueperi P2B2 : Media+M. Jelantah+R. bacterium
kultur adaptasi kedua dan 300 mL medium MSM serta penambahan sumber karbon (crude oil dan minyak jelantah) 2%. Selanjutnya diinkubasi pada waterbath shaker dengan suhu 37°C selama 48 jam. Kultur mikroba yang telah teradaptasi ini selanjutnya digunakan untuk uji produksi biosurfaktan. 3. Uji Pendahuluan Produksi Biosurfaktan a. Oil Spreading Test Uji ini adalah uji untuk mendeteksi awal bakteri penghasil biosurfaktan, Uji ini dilakukan dengan memasukan 50 mL akuades steril ke cawan petri, kemudian ditambahkan 20 μl crude oil. Selanjutnya ditambahkan 10 μl supernatant dari adaptasi 3. Zona bening yang terbentuk kemudian diukur dan dihitung dengan menggunakan rumus ODA (Oil Displacement Area) (Morikawa dkk., 2000):
1. Penyegaran dan Kultivasi Isolat Bakteri Penyegaran bakteri dilakukan melalui pengenceran dengan larutan NaCl 0,85%. Bakteri hasil pengenceran dikultivasi pada media marine agar untuk perbanyakan. Sedangkan peremajaan dilakukan dengan cara memindahkan kultur bakteri hasil kultivasi ke dalam medium marine agar miring dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kultivasi dilakukan dengan menambahkan 3 ose kultur bakteri pada medium marine broth 100 mL, kemudian diinkubasi pada waterbath shaker pada suhu 37°C selama 48 jam, setelah itu dilakukan adaptasi. 2. Adaptasi bakteri dengan media uji Adaptasi bakteri dilakukan melalui tiga tahapan. Adaptasi pertama dengan menambahkan 50 mL kultivasi bakteri dan 50 mL Mineral Salt Medium (MSM) pada erlenmeyer 250 mL dengan komposisi: (g/L) NaNO3 15, KH2PO4 3.4, K2HPO4 4.4, KCl 1.1, MgSO 4 .7H 2 O 0.5, FeSO 4 .7H 2 O 0.00028, NaCl 1.1, Glukosa 20, Yeast ekstrak 0.5 dan 0.5 mL larutan trace element berisi (g/L) CaCl2.4H2O 0.24, CuSO4.5H2O 0.25, MnSO4.5H2O 0.17, ZnSO4 .7H 2O 0.29. Adaptasi kedua dilakukan dengan menambahkan 25 mL kultur adaptasi pertama dan 75 mL medium MSM serta penambahan 1% sumber karbon (crude oil dan minyak jelantah). Selanjutnya diinkubasi pada waterbath shaker dengan suhu 37°C selama 36 jam dengan kecepatan 120 rpm. Adaptasi ketiga dilakukan dengan menambahkan 100 mL
22 x (r ) 2 7 r diameter zona bening
ODA (cm 2 )
Setelah zona bening terbentuk dilakukan skoring berdasarkan Techaoei dkk., (2011) diantaranya sebagai berikut : -
: tidak terbentuk zona bening
+
: zone baning 0,1-3,14 cm2
++
: zona bening 3,14-12,57 cm2
+++
: zona bening 12,57-28,28 cm2
++++ : zona bening > 28,28 cm2 b. Kondisi Lingkungan Pertumbuhan Bakteri Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi pertumbuhan optimal, yaitu dilakukan pada kondisi pH 6.0, 7.0, dan 8,0, suhu ruang dan suhu 37°C, dan salinitas 20 ‰, 30 ‰. c. Kurva Pertumbuhan Tahapan dilakukan secara duplo dan diamati setiap 12 jam yang dimulai pada jam ke-0. Pengamatan dilakukan hingga diperoleh fase stasioner dengan menghitung populasinya menggunakan metode Total Plate Count (TPC). 4. Produksi Biosurfaktan Tahapan ini dilakukan dalam erlenmeyer sekali unduh dalam fermentor kapasitas 6 L untuk volume kerja 4 L, prosesnya menggabungkan medium MSM 3,5 L dan prosentase inokulasi biakan bakteri serta 99
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
sumber karbon 2% dari total kultur produksi tersebut, kemudian ditumbuhkan hingga 96 jam (mengacu pada kurva pertumbuhan). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0 hingga jam ke-96. a. Ekstraksi Biosurfaktan Cairan fermentasi sebanyak 100 mL disentrifugasi selama 20 menit pada suhu 4oC dan kecepatan 8.000 rpm untuk memisahkan cairan media, supernatant dan pellet (biomasa sel). Kemudian cairan supernatan diasamkan dengan larutan HCl 10 N sampai pH menjadi 2 dan disimpan pada suhu 4oC selama 12 jam. Selanjutnya larutan disentrifugasi kembali pada suhu 4oC dan kecepatan 11.000 rpm selama 20 menit. Setelah sentrifugasi berjalan membentuk pellet atau endapan asam, pellet tersebut dikeringkan dalam oven suhu 45oC sampai kering hingga diperoleh bobot konstan biosurfaktan. Kemudian endapan kasar biosurfaktan ditimbang dimana bobot endapan asam (Y) dapat di peroleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hidayati dkk,. 2011):
Y
g l
a b g x 10 2 volume contoh (ml )
a = bobot tabung berisi endapan asam b = bobot kosong tabung b. Tegangan permukaan (Surface tension) Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan Processor Tensiometer (Krüss) yang dilengkapi dengan ring plate (Kim dkk., 2000). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Hasil oil spreading (Tabel 1) menunjukkan kedua kultur isolat bakteri H. truperi dan R. bacterium yang diteteskan pada lapisan minyak dan air dapat membentuk zona bening pada berbagai media sumber karbon. Hasil oil spreading kultur isolat bakteri H. truperi dan R. bacterium dapat membentuk zona bening 24.64 cm dan 45.38 cm pada media dengan sumber karbon minyak jelantah sedangkan pada media dengan sumber karbon crude oil membentuk zona bening sebesar 1.54 cm dan 2.55 cm. Hasil ini berbeda dengan kontrol, yang mana 100
tidak terbentuk zona bening. Hal ini disebabkan karena pada zona bening masing-masing kontrol tidak adanya penambahan isolat bakteri ke dalam media uji, sehingga tidak ada aktifitas bakteri guna memanfaatkan sumber karbon dalam memproduksi biosurfaktan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 1) kultur bakteri R. bacterium dapat membentuk zona bening terlebar dengan skoring (****) pada sumber karbon minyak jelantah dan skoring (***) pada sumber karbon crude oil. Faktor yang mempengaruhi produksi biosurfaktan diantaranya adalah kemampuan bakteri dalam mensintesis hidrokarbon yang dapat dilihat dari terbentuknya zona bening. Berdasarkan pernyataan diatas bakteri R. bacterium memiliki kemampuan menghasilkan biosurfaktan yang lebih besar dibandingkan dengan bakteri H. truperi. Hasil oil spreading menunjukkan bahwa kedua kultur isolat bakteri uji H. truperi dan R. bacterium yang diteteskan pada lapisan minyak dan air dapat membentuk zona bening pada berbagai media sumber karbon (Gambar 1). Sementara itu hasil oil displacement area (ODA) menjelaskan bahwa media dengan sumber karbon minyak jelantah pada kedua bakteri uji membentuk zona bening lebih besar yaitu 94-95% dari pada media dengan sumber karbon crude oil. Sumber karbon sangat penting dalam produksi biosurfaktan. Dari beberapa hasil penelitian mengenai produksi biosurfaktan dengan berbagai sumber karbon berbeda dapat menghasilkan zona bening yang berbeda juga (Techaoei, 2011), dan penggunaan sumber karbon yang berbeda dapat menghasilkan biosurfaktan yang berbeda juga (Hidayati dkk., 2011; Robert dkk., dalam Prastikasari, 2000). Dalam biosintesis biosurfaktan selain faktor kemampuan bakteri ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi pembentukan biosurfaktan yaitu lingkungan, nutrien, dan sumber karbon. Pembentukan struktur gugus hidrofilik (karbohidrat, asam amino, peptida siklik, alkohol) dan hidrofobik (asam lemak rantai panjang, asam lemak hidroksi) pada berbagai jenis biosurfaktan tergantung pada sumber karbon yang ada. Gugus-gugus ini disintesis oleh bakeri melalui dua jalur metabolisme, yaitu jalur kabohidrat dan jalur lemak (hidrokarbon) (Desai dan Banat, 1997). Sumber karbon yang ada pada media pertumbuhan bakteri akan digunakan untuk kebutuhan hidup sehingga akan terjadi perubahan
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi (Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Tabel 1 Hasil uji oil spreading oleh bakteri laut H. truperi dan R. bacterium pada dua media Media
MSM+M.Jelantah
MSM+M.Crude Oil
Diameter Zona Bening (cm) U1
U2
U3
U4
U5
U6
Rata-rata
oil displacement area 2 (ODA)(cm )
H. truperi
4.8
5.7
4.9
5.5
6.5
5.7
5.5
24.64***
R. bacterium
5.9
7.3
8.6
8.3
7.5
8
7.6
45.38****
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
H. truperi
0.9
1.6
1.7
1.1
1.6
1.2
1.4
1.54*
R. bacterium
2
2.3
2
2
1.9
1.5
1.95
2.55***
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
Jenis Isolat Bakteri
Keterangan skoring: tidak terbentuk zona bening = -, diameter zona bening 0,1-3,14 cm2 = *, diameter zona bening 3,14-12,57 cm2 = **, diameter zona bening 12,57-28,28 cm2 = *** diameter zona bening > 28,28 cm2 = **** (Techaoei dkk., 2011)
sumber karbon yang ada menjadi energi dan senyawa metabolit sekunder (biosurfaktan) dengan melalui dua jalur pembentukan tersebut. Selain dua jalur diatas beberapa peneliti juga menggolongkan pembentukan gugus hidrofobik dan hidrofilik pada biosurfaktan dalam mensitesis senyawa hidrokarbon (de novo synthesis) yaitu (Sineriz dkk., 2010): 1. Bagian hidrofilik dan hidrofobik disintesis secara de novo yaitu oleh dua jalur metabolisme 2. Bagian hidrofilik disintesis de novo dan bagian hidrofobik disintesis oleh substrat 3. Bagian hidrofobik disintesis oleh de novo dan bagian hidrofilik disintesis oleh substrat 4. Bagian hidrofilik dan hidrofobik disintesis oleh substrat yang digunakan. Dari hasil oil displacement area (ODA) menjelaskan bahwa kedua kultur bakteri uji dengan sumber karbon minyak jelantah membentuk zona bening lebih besar yaitu 94-95% dari pada kultur dengan sumber karbon crude oil. Hidrokarbon pada minyak jelantah lebih cepat dimanfaatkan oleh masing-masing bakteri uji untuk kebutuhan hidup dibandingkan dengan crude oil. Hal ini disebabkan rantai hidrokarbon pada minyak jelantah lebih dominan tersusun dari rantai karbon panjang bercabang namun tidak rangkap (Prastikasari, 2000). Kondisi ini lebih mudah terdegradasi oleh bakteri R. bacterium dan H. truperi daripada crude oil yang sebagian besar rantai karbonnya tersusun oleh rantai panjang bercabang dan berikatan rangkap membentuk cincin dengan 3 ikatan rangkap (hidrokarbon aromatik) (Syakti, 2004; Nugroho, 2006). Kompleksnya struktur ini menyebabkan crude
Gambar 1 Diagram oil displacement area (oda) (cm2) bakteri hidrokarbonoklastik pada media tumbuh dan sumber karbon yang berbeda
oil yang terdegradasi membutuhkan waktu cukup lama karena ikatan rangkap yang panjang, sehingga dengan waktu inkubasi yang sama dan sumber karbon berbeda menghasilkan produksi biosurfaktan yang berbeda pula. B. Produksi Biosurfaktan 1. Ekstraksi biosurfaktan dan bobot biomasa sel Produksi biosurfaktan dilakukan setelah mendapatkan umur optimum pertumbuhan bakteri R. bacterium melalui kurva pertumbuhan yaitu pada jam ke-48. Berdasarkan hasil pengamatan produksi biosurfaktan menunjukkan bahwa peningkatan produksi biosurfaktan berbanding lurus dengan peningkatan biomasa sel isolat bakteri R. bacterium (Gambar 2). Peningkatan terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-12 kemudian diikuti sedikit penurunan 101
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
hingga jam ke-24. Penurunan ini disebabkan sedang terjadinya penyesuaian bakteri dengan kondisi lingkungan pada media tumbuh, sehingga pada jam tersebut isolat bakteri R. bacterium berada pada fase adaptasi. Pada fase ini energi yang di dapat biasanya hanya digunakan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan. Kondisi ini berkorelasi positif terhadap hasil ektraksi endapan asam (biosurfaktan), terlihat dari hasil pengukuran pada jam ke-0 hingga jam ke12 menunjukkan tidak diperolehnya endapan asam. Bobot sel dan endapan asam bakteri mulai meningkat stabil dari jam ke-24 sampai jam ke60. Waktu yang ditempuh R. bacterium dalam meningkatan bobot biosurfaktan terjadi pada jam ke-24 bersamaan dengan meningkatnya populasi bakteri. Pada jam ke-24 hingga jam ke-60 kenaikan bobot biomasa dan endapan asam terus berlangsung, hingga diperoleh bobot biomasa dan endapan asam maksimum (jam ke-60) sebesar 0,059 g/L dan 0,7047 g/L. Kestabilan peningkatan bobot biosurfaktan ini terjadi sejalan dengan waktu kurva tumbuh bakteri memasuki fase eksponensial yang diperoleh saat pembuatan kurva pertumbuhan. Kadarwati dan Leni (2008) menegaskan bahwa, pada saat bakteri memasuki fase eksponensial maka produksi biosurfaktan mulai meningkat stabil. Hasil pembentukan endapan asam selama pertumbuhan bakteri (Gambar 2) menunjukkan bahwa, dengan meningkatnya bobot biomassa maka meningkat pula endapan asam yang diperoleh. Konsentrasi endapan asam mulai meningkat setelah jam ke-12 hingga jam ke-60, selanjutnya relatif konstan. Kosentrasi endapan asam maksimum bakteri dicapai pada jam ke-60 bersamaan dengan tercapainya biomasa maksimum. Hal ini menunjukkan pola peningkatan produksi yang seiring dengan peningkatan biomassa. Berdasarkan hasil ini produksi biosurfaktan mengikuti pola pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan. 2. Ekstraksi biosurfaktan dan tegangan permukaan Kemampuan suatu bakteri sebagai akselerator proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dapat dilihat dari kemampuan biosurfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan (Hidayati dkk., 2011; Nugroho, 2006; Ni’matuzaroh dkk., 2006). Tegangan permukaan dapat dijadikan parameter untuk memprediksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri selama masa pertumbuhan (Morikawa 102
Gambar 2 Kurva biomasa sel dan produksi biosurfaktan isolate bakteri R. bacterium selama pertumbuhan pada media dengan sumber karbon minyak jelantah
Gambar 3 Kurva tegangan permukaan biosurfaktan oleh bakteri R. bacterium selama masa pertumbuhan
dkk., 2000). Nilai tegangan permukaan berkorelasi dengan tingginya biosurfaktan yang dihasilkan oleh media kultivasi. Tegangan permukaan adalah usaha yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas. Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Hasil pengukuran tegangan permukaan (Gambar 3) media biak bakteri R. bacterium mengalami penurunan dari 40,8 mN/m menjadi 31,09 mN/m dan memproduksi biosurfaktan 0 g/L sampai 0,7047 g/L. Penurunan ini terjadi karena media biakan bakteri R. bacterium mulai menghasilkan senyawa ekstraselular yang mempunyai sifat aktif permukaan (biosurfaktan).
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi (Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Biosurfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya (Nitschke dan Pastore, 2002). Biosurfaktan mampu menurunkan tegangan permukaan diantara dua fase. Sifat kepolaran yang berbeda diantara kedua fase mengakibatkannya tidak dapat saling terlarut, dengan adanya molekul surfaktan yang memiliki kecenderungan terhadap kedua fase tersebut maka keduanya dapat saling bercampur. Molekul-molekul cairan yang ada dipermukaan mengalami resultan gaya ke arah dalam badan cairan. Hal ini mengakibatkan molekulmolekul tersebut cenderung menekan atau berdesakan ke dalam menghindari permukaan, dimana molekulmolekul di dalam cairan mengalami resultan gaya yang seimbang. Adanya kecenderungan ke dalam badan cairan menghasilkan gaya, besar daya yang diperlukan untuk memecah permukaan cairan sehingga terbentuk satu luasan baru pada permukaan disebut dengan tegangan permukaan (Vater dkk., 2002). Molekul-molekul non polar tidak mampu menyeimbangkan gaya molekul pada permukaan cairan polar sehingga terdapat batas antara cairan polar dan non polar. Pada gugus polarnya biosurfaktan menyeimbangkan gaya molekul permukaan cairan dan rantai nonpolarnya mengarah pada molekulmolekul hidrofobik. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat di tiga arah gaya lainnya. Setelah jam ke-60 sampai jam ke-72 penurunan tegangan permukaan tidak begitu signifikan yaitu dari 31,09 mN/m sampai 30,39 mN/m. Penurunan yang tidak signifikan menandakan bahwa pada jam tersebut tegangan permukaan mencapai konsentrasi misel kritis. Konsentrasi misel kritis merupakan kelarutan surfaktan dalam fase cair atau kosentrasi minimum yang dibutuhkan untuk mencapai nilai tegangan permukaan. Penurunan tegangan permukaan akibat penambahan biosurfaktan hanya terjadi sampai tercapainya konsentrasi-konsentrasi misel kritis. Hal ini di buktikan pada jam ke-60 (Gambar 3) diperkirakan mencapai masa Critical Micelle
Concentration dengan produksi biosurfaktan maksimal. Pada jam ke-72 biosurfaktan yang dihasilkan menurun, akan tetapi tegangan permukaan yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan surfaktan yang dihasilkan pada jam ke-60 yang mencapai maksimal. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Karsonic dkk., (1987) dimana kosentrasi misel kritis menjadi jenuh dengan biosurfaktan, sehingga penambahan biosurfaktan di atas kosentrasi misel kritis tidak secara nyata menurunkan tegangan permukaan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kedua bakteri uji yaitu bakteri H. truperi dan R. bacterium memiliki kemampuan memproduksi biosurfaktan yang di tandai dengan terbentuknya zona bening pada uji Oil Spreading Test. Selanjutnya dari kedua isolat bakteri, bakteri R. bacterium dengan sumber karbon minyak jelantah lebih berpotensi memproduksi biosurfaktan lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri H. truperi karena zona bening yang di bentuk lebih lebar berdasarkan uji Oil Spreading Test, dan menunjukkan hasil produksi biosurfaktan sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R. bacterium dapat menurunkan tegangan permukaan dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m, kemampuan menurunkan hingga 30,09 mN/m dapat diartikan biosurfaktan yang di produksi bakteri ini dapat digunakan sebagai akselerator biodegradasi hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut. B. Saran Saran terhadap penelitian ini adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai karakteristrik biosurfaktan dari R. bacterium. KEPUSTAKAAN 1. Bica F.C., L.C. Fleck and M.A. Zachio. 1999. Production of Biosurfactant by Hydrocarbon Degrading Rhodococcus rubber and Rhodococcus erythropolis. J. Microbiol, 30: 231-236. 2. Christova, N., Ivshina, I.B. 2002. Microbial Surfactants and Their Use in Field Studies of Soil Remediation. J. Applied Microbiol., 93: 915-929. 3. Dehghan, G., Behravan, dan Moshafi. 2008. Studies on Biosurfactants Production by Bacillus licheniformis Iran. Pharmaceutics Research Center, Kerman University of Medical Sciences.
103
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
4. Desai, JD., Banat, IM. 1997. Microbial Production of Surfactants and Their Comersial Potential. Microbiology and Molecular Biology Review, 61: 47-64. 5. Hidayati , N. V., Endang, H., Abdul, H., Hefni, E., Michel, G., Pierre, D., Agung D. S. 2011. Fluorene Removal by Biosurfactants Producing Bacillus megaterium. Waste and Biomass Valorization. 2: 415422. 6. Kadarwati, S., Leni, H. 2008. Effect Of Biosurfactant Produced By Bacillus In Oily Wastewater Degradation. Lemigas Research and Development Centre for Oil and Gas Technology. 31 (3) : 40-41. 7. Kasai, Y., Kishira, H., Syutsubo, K., Harayama, S. 2001. Molecular detection of Marine Bacterial Popullations on Beaches Contaminated by The Nakhodka Tanker Oil-spill Accident. Environ Microbiol, 3: 46-55. 8. Kim S, Lim E, Lee S, Lee J, dan Lee T. 2000. Purification and Characterization of Biosurfactants from Nocardia sp. L-417. Biotechnology and Applied Biochemistry 31: 249-253. 9. Kosaric, N. 1992. Biosurfactants in Industry. Pure and Appl. Chem, 64: 1731-1737. 10. Mishra, M., Muthuprasanna, Surya, Sobhita, Satish, Sarath, G.Arunachalam and Shalini. 2009. Basics and Potential Applications of Surfactants-A Review. International Journal of PharmTech Research. 1: 1354-1365. 11. Morikawa, Hirata Y, Imanaka T. 2000. A Study On The Structure Function Relationship Of The Lipopeptide Biosurfactants. Biochim Biophys Acta. 1488: 211-218. 12. Mulligan, C.N. and Bernard F. Gibbs. 2004. Types, Productiont Applications of Biosurfactants. Proc. Indian Natn Sci Acad. 1; 31-55. 13. Ni’matuzahroh, Arif Y., dan Mulyadi, T. 2006. Studi Perbandingan Biosurfaktan pseudomonas aeruginosa Ia7d dan Surfaktan Sintetik tween-80 dalam Biodegradasi Solar oleh Mikroba Perairan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Berk. Penel. Hayati: 12:13-18.
104
14. Nitschke, M. and Pastore, G. M., 2002. Biosurfactants: Properties and Applications. Quim. Nova; 25; 772776. 15. Nugroho, Astri. 2006. Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Graha Ilmu Yogyakarta. Yogyakarta. 158 hal. 16. Prastikasari, R. 2000. Pengaruh Hidrokarbon Sebagai Sumber Karbon Terhadap Pertumbuhan, Produksi Rhamnolipid serta Aktivitas Degradasi Hidrokarbon Oleh Pseudomonas aeruginosa. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 17. Schramm, L. L, Elaine N. S. and Gerrard M. 2000. Surfactants and Their Applications. Annu. Rep. Prog. Chem., Sect. C. 99: 3-48. 18. Sineriz, F., Hommel, K.R., Kleber, P.H. 2010. Production of Biosurfactants. Biotechnology, 5. 19. Syakti, A.D. 2004. Biotransformation des hydrocarbures pétroliers et effets sur les acides gras phospholipidiques des bactéries hidrocarbonoclastes marines. Thése-Doctorat. Université Paul Cezzanne Aix Marseille III. 220p. 20. Syakti AD., Hidayati, N.V,. Yani, M., Sidiana, I.M. 2008. PAH-Degaders Marine Bacteria Isolated From Chronically Contamined Sediment by Petroleum Hydrocarbons. Seminar Nasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI). 21. Techaoei S., P., Lumyong, S., Prathumpai, W., Santiarwan, D., Leelapornpisid, P. 2011. Screening Characterization and Stability of Biosurfactant Produced by Pseudomonas aeruginosa SCMU106 Isolated From Soil in Northern Thailand. Asian Journal of Biological Sciences, 4 (4): 340-351. 22. Vater J, Kablitz B, Wilde C, Franke P, Mehta N, and Cameotra SS. 2002. Matrix assisted Laser Desorption Ionization-time of Flihgt Mass Spectrometry of Lipopeptide biosurfactant in Whole Cell and Culture Filtrates of Bacillus subtilis C-1 Isolated from Petroleum Slude. J. Appl. Environ. Microbiol 68: 6210-6219.
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi (Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150 Email:
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 13 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 19 Agustus 2013 Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK Penelitian pembuatan adsorber merkuri dalam skala pilot telah dilakukan melalui tiga tahap yaitu aktivasi adsorben karbon aktif tempurung kelapa dalam skala besar, pembuatan alat pilot adsorber merkuri berskala pilot dan uji kinerja alat untuk mengetahui kemampuan penyerapan adsorben terhadap merkuri. Aktivasi karbon aktif tempurung kelapa dilakukan pada temperatur tinggi menggunakan activator ZnCl2. Adsorber merkuri berskala pilot dibuat dari bahan stainlessteel yang terdiri dari separator dan dua adsorber. Uji kinerja alat dilakukan dengan mengukur konsentrasi merkuri dalam gas bumi sebelum dan sesudah melewati kolom adsorber. Hasil uji kinerja alat selama sekitar 9 jam menunjukkan adanya penurunan konsentrasi merkuri dengan efisiensi penyerapan adsorben hampir mencapai 100% pada tekanan gas 100 psia, temperatur 37oC dan laju alir gas 50 Cuft/jam. Kata Kunci: adsorber, merkuri, gas bumi. ABSTRACT Research of pilot plan mercury adsorber has been done by three stages, firstly was activation of coconut shell as activated carbon on a large scale, secondly was designed a pilot plan of mercury adsorber and the last stage was performance test to determine the ability of the adsorbent to absorb mercury. Coconut shell activated carbon was activated at high temperature using ZnCl2 as activator. However, the pilot plan mercury adsorber was designed with stainlessteel material consisting separator and two adsorbers. The performance test of was done by measuring the concentration of mercury in gas before and after the adsorption column approximately 9 hours. The test condition as follows; gas pressure 100 psia, temperature of 37°C and the gas flow rate 50 CUFT/hour. The test result showed the mercury concentration was decrease significantly with the efficiency of mercury absorption almost 100%. Keywords: adsorber, mercury, natural gas.
I. PENDAHULUAN Gas bumi yang dihasilkan dari berbagai lapangan gas biasanya mengandung senyawa berbahaya seperti CO2, H2S, RSH, COS termasuk pula merkuri (Hg) [Radisav]. Kontaminan yang terikut dalam gas bumi memiliki potensi menurunkan kualitas gas bumi dan dapat merusak peralatan yang digunakan pada saat proses produksi gas bumi. Merkuri (Hg) merupakan salah satu kontaminan dalam gas bumi yang harus dieliminasi karena sifatnya yang merugikan, yang dapat menginisiasi korosi, meracuni katalis,
merusak peralatan, membahayakan kesehatan dan lingkungan [Oil & Gas]. Untuk mengatasi dan meminimalkan bahaya dalam pemanfaatan gas bumi baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku industri, maka permasalahan tersebut harus diatasi dengan pengembangan teknologi adsorpsi adsorben menggunakan alat penghilang merkuri. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya mengenai Rancang Bangun Adsorben Mercury Removal, hasilnya terbukti secara signifikan mampu menyerap merkuri cukup besar [Lisna]. 105
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
Permasalahannya adalah penelitian yang telah dilakukan masih dalam skala laboratorium. Dari hasil penelitian sebelumnya,data menunjukkan bahwa adsorben dengan kondisi ukuran 70 mesh, yang direndam dengan activator ZnCl2 setelah pengaktifan pada suhu 700oC menghasilkan prosentasi Cl yang lebih tinggi. Data ini menjelaskan pula bahwa selain pengaruh luas permukaan dan pori, jumlah Cl yang terbentuk dan terikat pada rancai C adsorben dari hasil perendaman ZnCl2 turut mempengaruhi kemampuan adsorben karbon aktif tersebut dalam menurunkan konsentrasi merkuri (Hg) [Zeng]. Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon (arang) komersial yang berasal dari material tempurung kelapa yang diaktifkan melalui suatu proses pengaktifan fisika dan kimia, sehingga menjadi karbon aktif yang dapat dimanfaatkan sebagai adsorben untuk mengeliminasi kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi [Kismurtono]. Karbon aktif adalah arang yang diproses sedemikian rupa sehingga mempunyai daya serap/adsorpsi yang tinggi [Jankowska,Kismurtono]. Karakterisasi dilakukan setelah pengaktifan karbon dilakukan, diantaranya adalah analisa bilangan iodine untuk mengetahui kemampuan adsorben dalam penyerapan merkuri. Selanjutnya karakterisasi pengukuran luas permukaan dan pori dari adsorben. Karakterisasi adsorben karbon aktif lainnya adalah analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) dan EDX (Energy Dispersive X-ray). Hasil analisa SEM dan EDX tersebut menjelaskan bahwa besarnya jumlah prosentasi Cl yang terbentuk atau terikat pada rantai C dari adsorben turut mempengaruhi besarnya kemampuan adsorben dalam menurunkan konsentrasi merkuri (Hg) dalam gas. Hingga saat ini industri gas bumi di Indonesia mengharapkan adanya rancang bangun adsorben penghilang merkuri dalam skala pilot plant. Untuk itu suatu kajian rancang bangun pilot plant adsorben penghilang merkuri untuk gas bumi, sangat penting dilakukan untuk mendapatkan alternatif adsorben Hg removal gas bumi yang dapat digunakan oleh industri migas. Kegiatan yang dilakukan ini sesuai dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan beracun, yang mengamanatkan agar mendapatkan hasil produk yang aman dan tidak membahayakan 106
lingkungan terhadap produk yang dihasilkan oleh industri migas. Penelitian pembuatan pilot plant adsorber penghilang merkuri dalam gas bumi ini, dilakukan dengan tujuan pertama mendapatkan suatu sistem peralatan adsorber merkuri (Hg) removal berskala pilot yang sesuai dengan kondisi lapangan gas bumi di Indonesia. Kedua adalah untuk mendapatkan karbon aktif yang optimum mengadsorpsi merkuri dalam gas bumi dan terakhir memperoleh nilai tambah dari peningkatan kualitas gas bumi melalui hasil rekayasa peralatan adsorben merkuri (Hg) removal. Dari hasil kegiatan ini diharapkan dapat menunjang kinerja kegiatan industri migas dalam menghilangkan dan atau mengurangi kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi, dapat diaplikasikan untuk menghilangkan dan atau meminimalkan kandungan merkuri dalam gas bumi, khususnya aplikasi di KKKS Indonesia dan meningkatkan kualitas gas bumi di industri gas bumi Indonesia dengan biaya proses seefisien mungkin. Dalam rangka peningkatan kualitas gas bumi Indonesia dan usaha untuk menghasilkan gas bumi dengan kandungan kontaminan seminimal mungkin, dibutuhkan teknologi dan alat yang mampu menanganinya. Kualitas gas bumi yang dihasilkan oleh setiap industri gas bumi sangat mempengaruhi harga jual dan pemanfaatannya. Kualitas gas bumi sangat dipengaruhi oleh adanya kandungan kontaminan gas, salah satunya adalah merkuri. Merkuri merupakan salah satu kontaminan dalam gas bumi yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan dan dapat merusak fasilitas serta peralatan proses di industri gas bumi [Spiric]. Untuk meminimalkan bahaya dari merkuri ini, terkait dengan penanganan gas bumi di lingkungan industri migas, maka aplikasi adsorber untuk eliminasi merkuri dalam skala pilot merupakan salah satu cara pemecahan masalah. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menunjang kinerja kegiatan industri migas dalam menghilangkan dan atau mengurangi kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi. Peralatan pilot plant penghilang merkuri berskala pilot hasil rancangan tim peneliti sudah mempertimbangan faktor keamanan dan keselamatan kerja (safety), persyaratan material dan teknologi adsorpsi. Perancangan peralatan ini didasarkan kepada beberapa literatur yang sudah ada, hanya saja pada peralatan ini dilakukan beberapa modifikasi untuk lebih meningkatkan kinerja alatnya.
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi (Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Desain peralatan penghilang merkuri removal secara umum dikelompokkan menjadi : 1. Peralatan pemisahan 2. Peralatan penyerapan/adsorben 3. Peralatan Metering 4. Peralatan kontrol Pengujian kinerja alat rancang bangun adsorber merkuri removal dilakukan di GDS (Gas Demonstration System) plant di PPPTMGB “LEMIGAS” dengan kondisi pengujian sebagai berikut tekanan aliran gas bumi 100 psi, temperatur lingkungan 39 o C. Percobaan diawali dengan pengaliran gas bumi yang mengandung konsentrasi merkuri tanpa melalui adsorber. Dengan mercury analyzer diketahui konsentrasi merkuri awal adalah 14.570,49 μg/m3. Pengujian dilanjutkan dengan mengalirkan gas bumi melalui adsorber yang telah diisi adsorben karbon aktif terpengaktifan. Di akhir pengujian, konsentrasi merkuri yang melewati adsorber terukur sebesar 3,99 μg/m3 dengan volume gas yang melewati adsorber sebesar 442 cuft. Dari data hasil kinerja alat yang dihasilkan, efisiensi penyerapan merkuri dalam aliran gas bumi yang melewati alat pilot plant adsorber adalah sebesar 99,97%.
dimasukkan ke dalam Tungku Pengaktifan (Furnace) lalu di panaskan dengan kenaikan temperature 5oC permenit sampai pada suhu 600oC ditahan selama 1 jam. selama pemanasan, di alirkan gas Nitrogen yang berfungsi sebagai gas pengaktif. b. Pengaktifan Kimia - Proses awal dari pengaktifan kimia yaitu melakukan penyaringan terhadap karbon aktif yang telah di pengaktifan fisika dengan membilasnya dengan air hangat. - Pada saat pH karbon aktif telah netral maka tahap perendaman dapat dilakukan, lamanya waktu perendaman adalah 24 jam. Setelah tahap perendaman selesai, tahap berikutnya yaitu penyaringan karbon aktif. Selanjutnya karbon aktif yang sudah terpisah dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 70-80oC. Karbon aktif yang telah di oven dimasukkan ke dalam desikator guna mengurangi proses pengembunan. 2. Pembuatan pilot plant adsorber penghilang merkuri berskala pilot Secara skematis metode pembuatan adsorber adalah sebagai berikut:
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Pengaktifan - Karbon Aktif 30 mesh - Gas Nitrogen - ZnCl2 - desikan - HCl - Gemuk lumas suhu tinggi - Hot Plate + stirer (Pemanas) - Oven pengering - Wadah perendam kapasitas 5 dan 10 kg - Desicator - Furnace 1000oC - Reaktor pengaktifan fisika B. Metode 1. Pengaktifan Fisika dan Kimia a. Pengaktifan Fisika Bahan baku Arang di timbang sebanyak 10 kg dan
Gambar 1 Skema metodologi pembuatan rancang bangun adsorber penghilang merkuri
107
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
3. Prosedur Pengujian Gas bumi dialirkan melalui vessel yang mengandung merkuri standar dengan tekanan yang diatur pressure gauge masuk ke vessel separator. Dari separator aliran gas bumi tersebut masuk ke dalam reaktor adsorber yang sudah terisi media adsorben karbon aktif hasil pengaktifan. Gas bumi yang keluar dari reaktor adsorber selanjutnya akan melewati rangkaian tabung yang berisi larutan penangkap logam merkuri, yaitu campuran kalium permanganate dan asam sulfat. Selanjutnya cairan penangkap akan langsung dianalisa dengan alat mercury analyzer untuk mengetahui konsentrasi merkuri yang terkandung dalam gas bumi pada outlet alat adsorber. Dari hasil analisa mercury analyzer tersebut, maka dapat diketahui konsentrasi merkuri yang terserap di dalam adsorben. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari kegiatan penelitian pilot plant adsorber penghilang merkuri dalam gas bumi salah satunya adalah sistem peralatan adsorber penghilang merkuri (Gambar 2) sebagai berikut:
Gambar 2 Pilot plant adsorber penghilang merkuri
A. Media Adsorben Pelaksanaan penelitian rancang bangun pilot plant adsorber penghilang merkuri pada dasarnya meliputi 3 kegiatan, yaitu pengaktifan adsorben 108
karbon aktif tempurung kelapa dalam skala besar, pembuatan alat adsorber penghilang merkuri serta pengujian alat. Berikut adalah hasil karakterisasi adsorben setelah dilakukan pengaktifan. Hasil karakterisasi bilangan iodine menunjukkan bahwa adsorben setelah dipengaktifan kimia memiliki bilangan iodine yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum dipengaktifan. Hal tersebut terlihat pada Gambar 3 grafik hasil analisis bilangan iodine sebelum dan sesudah perendaman dengan activator ZnCl2 yang dilakukan selama 6 kali [ASTM D-1510]. Adanya kenaikan bilangan iodine ini menunjukkan bahwa potensi penyerapan adsorben yang telah dipengaktifan terhadap analit lebih besar. Karakterisasi selanjutnya adalah pengukuran luas permukaan dan pori dari adsorben. Hasil karakterisasi Bett Elmer Teller (BET) ini menghasilkan data yang menunjukkan bahwa adsorben hasil pengaktifan kimia memiliki luas permukaan yang lebih kecil dari sebelumnya, karena sebagian permukaan dari adsorben telah ditutupi oleh gugus Cl dari activator ZnCl2 yang terikat pada atom karbon adsorben. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya luas permukaan dari adsorben, akan tetapi sekaligus menjelaskan bahwa sebagian permukaan adsorben telah ditempati oleh gugus Cl yang siap mengikat gugus merkuri. Analisis luas permukaan BET memberikan evaluasi yang tepat spesifik dari bahan dengan adsorpsi nitrogen multilayer diukur sebagai fungsi dari tekanan relatif dengan menggunakan analisa sepenuhnya otomatis. Teknik ini meliputi wilayah eksternal dan evaluasi daerah pori-pori untuk menentukan total luas permukaan spesifik dalam m2/g menghasilkan informasi penting dalam mempelajari efek dari permukaan porositas dan ukuran partikel dalam banyak aplikasi [Bloom]. Hasil analisa BET dari sampel adsorben karbon aktif tempurung kelapa yang telah dipengaktifan secara fisika dan kimia dapat dilihat pada Gambar 4. Karakterisasi terakhir adalah analisa SEM dan EDX. Hasil analisa SEM dan EDX tersebut (Gambar 5 dan 6) menjelaskan tentang bentuk morfologi permukaan adsorben karbon aktif saat sebelum dan sesudah perendaman dengan activator kimia. Pada Gambar 5 ditampilkan bahwa bentuk permukaan adsorben saat sebelum dan sesudah perendaman jelas berbeda, di mana permukaan adsorben saat sebelum
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi (Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
perendaman lebih kasar dengan celah pori yang lebih sempit. Setelah perendaman dengan bahan kimia, permukaan adsorben tersebut lebih halus dengan celah pori yang lebih lebar. Hal tersebut disebabkan oleh efek dari perendaman dengan bahan kimia (activator) ZnCl 2 yang dapat membentuk pori baru dan memperlebar pori yang sudah ada. Demikian pula dengan besarnya jumlah prosentasi Cl yang terbentuk atau terikat pada rantai C dari adsorben turut mempengaruhi besarnya kemampuan adsorben dalam menurunkan konsentrasi merkuri (Hg) dalam gas. Peranan ZnCl2 sebagai aktifator kimia sangatlah penting karena selain dapat menghasilkan pori-pori baru yang mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi merkuri, perendaman ZnCl2 juga dapat menghasilkan terbentuknya ikatan C-Cl di mana gugus Cl tersebut dapat mengikat merkuri (Hg) secara ikatan kimia menjadi HgCl atau HgCl2 [Zeng]. Karakterisasi terakhir dilakukan dengan mikroskop pemindai elektron (SEM), yaitu mikroskop yang menggunakan hamburan elektron dalam bentuk bayangan elektron berinteraksi dengan atom-atom yang membentuk sample menghasilkan sinyal yang berisi informasi tentang topografi permukaan sample, komposisi dan sifatsifat lain seperti konduktifitas listrik. SEM merupakan pencitraan material dengan mengunakan prinsip mikroskopi. Mirip dengan mikroskop optik, namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Elektron diemisikan dari katoda (elektron gun) melalui efek foto listrik dan dipercepat menuju anoda. Filamen yang digunakan biasanya adalah tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6). Scanning coil, akan mendefleksikan berkas electron menjadi sekumpulan array (berkas yang lebih kecil), disebut scanning beam dan lensa obyektif (magnetik) akan memfokuskannya pada permukaan sampel. SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur, morfologi, komposisi dan informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang diamati oleh SEM berupa bentuk,
Gambar 3 Grafik hasil analisa bilangan iodine
Gambar 4 Grafik hasil analisa BET (Bett Elmer Teller)
ukuran dan susunan partikel. SEM menghasilkan bayangan dengan resolusi yang tinggi, yang maksudnya adalah pada jarak yang sangat dekat tetap dapat menghasilkan perbesaran yang maksimal tanpa memecahkan gambar. Persiapan sampel relative mudah. Kombinasi dari perbesaran kedalaman jarak focus, resolusi yang bagus dan persiapan yang mudah, membuat SEM merupakan satu dari alat-alat yang sangat penting utuk digunakan dalam penelitian saat ini. Hasil karakterisasi morfologi SEM (Scanning Electron Microscope) - ADX menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan pembesaran 200x dan atom Cl muncul pada peak kromatogram karbon aktif setelah direndam sebesar 73%. 109
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
EDX (Energy Dispersive X-ray), merupakan karakterisasi material menggunakan sinar-x yang diemisikan ketika material mengalami tumbukan dengan elektron. Sinar-x di emisikan dari transisi elektron dari lapisan kulit atom, karena itu tingkat energinya tergantung dari tingkatan energi kulit atom. Setiap elemen di dalam tabel periodik atom memiliki susunan elektronik yang unik, sehingga akan memancarkan sinar-x yang unik pula. Dengan mendeteksi tingkat energi yang dipancarkan dari sinar-x dan intenisitasnya, maka dapat diketahui atom-atom penyusun material dan persentase masanya. B. Sistem Peralatan Adsorber Penghilang Merkuri berskala Pilot Peralatan pilot plant penghilang merkuri berskala pilot dirancang oleh Tim Peneliti dengan mempertimbangan faktor keamanan dan keselamatan kerja (safety), persyaratan material dan teknologi adsorpsi. Dasar perancangan peralatan ini didasarkan kepada beberapa literatur yang sudah ada, hanya saja pada peralatan ini dilakukan beberapa modifikasi untuk lebih meningkatkan kinerja alat. Alat ini terdiri dari 2 silinder adsorber dan 1 separator.
ini menggunakan adsorben karbon tempurung kelapa yang telah dipengaktifan fisika dan kimia menggunakan ZnCl2. 3. Adsorber Merkuri I dan II Adsorber (Reaktor) Penyerapan dibuat dari Plat SUS 304 5mm di-roll menggunakan mesin roll plat untuk ukuran plat jenis tebal, lalu di las menggunakan las type Circum welding. Dengan las dasar menggunakan Argon tungsten 2.6. 4. Metering Metering digunakan untuk mengukur volume gas yang masuk ke peralatan merkuri removal, dimana volume gas tersebut merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam perhitungan konsentrasi merkuri yang terserap pada merkuri removal. Jenis metering yang digunakan pada peralatan ini adalah type orifice karena tipe tersebut termasuk salah satu jenis matering gas yang cukup akurat dan relatif murah. C. Hasil Uji Coba Dalam pelaksanaan pengujian alat, digunakan gas bumi (natural gas) dengan tekanan 100 psig.
1. Peralatan Pemisahan (merkuri separator) -
-
-
Merkuri separator digunakan untuk memisahkan kandungan liquid yaitu berupa air dan kondensat. Liquid hasil pemisahan akan di alirkan kesaluran pembuangan sedangkan gas dilewatkan metering (flow meter) untuk di proses penyerapan merkuri/ adsorber. Gas yang masuk separator ini tekanan maksimumnya sebesar 500 psig. Material terbuat dari Plat SUS 316 di-roll menggunakan mesin roll plat untuk ukuran plat jenis tebal, lalu di las menggunakan las type Circum welding. Dengan las dasar menggunakan Argon tungsten 2.6.
2. Peralatan Penyerapan/adsorber Fungsi dari peralatan merkuri adsorber adalah untuk menurunkan kandungan merkuri. Proses penyerapan 110
Gambar 5 Hasil karakterisasi SEM permukaan adsorben karbon aktif tempurung kelapa sebelum dan sesudah pengaktifan kimia
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi (Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Gambar 6 Hasil karakterisasi ADX adsorben karbon aktif tempurung kelapa
Gas bumi yang digunakan pada uji kinerja alat tergolong bersih (dry gas) yang dialirkan ke sistem melalui silinder yang mengandung merkuri standar. Komposisi Gas Bumi yang digunakan dalam pengujian kinerja alat dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil uji kinerja ada pada Tabel 2 di bawah ini. Komposisi gas bumi di atas diperoleh dari hasil analisa sampel gas bumi dengan instrumentasi kromatografi gas dengan tipe GCNGA HP 6890 menggunakan detektor TCD. Analisa komposisi dilakukan dengan menggunakan metode GPA 2261-2000 dan untuk perhitungan nilai kalornya menggunakan metode GPA 2172-2009. Kandungan kontaminan gas bumi, seperti Hidrogen Sulfida
Gambar 7 Skema sistem adsorber penghilang merkuri
111
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
Tabel 1 Komposisi Gas Bumi No
Parameter Analisa Gas Bumi
Satuan
Nilai
Nitrogen
I
0.6577
Karbondioksida
4.3393
Metana
89.3271
Etana
3.3558
Propana
1.3399
%Mol
Iso Butana N-Butana
0.3388
Iso Pentana
0.1312
N-Pentana
0.082
Heksana Plus
0.2218 0.647
Gross Heating Value (GHV)
Btu/Ft3
1034.9986
Nett Heating Value (NHV)
Btu/Ft4
934.3538
Compressibility Factor (Z)
GPA 2172
0.9975
Hidrogen Sulfida (H2S) III
GPA 2261:2000
0.2963
Relative Density II
Metoda
ppmv Pg/m
Merkuri (Hg) Kandungan Air
2.27
3
Lb/MMscf
ASTM D2385
0.37
ISO 6978
7.72
ASTM D1142
Tabel 2 Data hasil uji kinerja alat No
Pengujian tanpa adsorber
Kons. Merkuri (P Pg/m3)
Volume gas bumi (Cuft)
1
Merkuri awal
14570,9
74
No
Pengujian melalui adsorber
Kons. Merkuri (Pg/m )
1
Pengamatan 1
14571
0
2
Pengamatan 2
312,3
124
3
Pengamatan 3
13,36
174
4
Pengamatan 4
8,07
274
5
Pengamatan 5
5,91
374
6
Pengamatan 6
3,99
424
dilakukan dengan metode ASTM D-2385, merkuri menggunakan metode standar ISO 6978 dan kadar air menggunakan metode ASTM D-1142. Konsentrasi merkuri (Hg) yang terukur adalah konsentrasi merkuri yang keluar dari adsorber dan ditangkap oleh cairan kimia KMnO 4 + H 2SO 4 yang kemudian langsung diukur dengan instrumen Lumex Analyzer. Hasil uji kinerja alat selama 8 jam, menunjukkan efisiensi penyerapan adsorben sebesar 99,97% dengan tekanan gas 100 psia, temperatur 37oC dan laju alir gas 50 Cuft/jam. 112
3
Volume gas bumi (Cuft)
Gambar 8 Grafik hasil uji kinerja alat
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi (Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Konsentrasi merkuri pada awal percobaan adalah 14.570,9 μg/m3 dialirkan dengan media gas bumi dan ketika volume gas bumi mencapai 424 Cuft, konsentrasi merkurinya terukur 3.99μg/m3. Hal tersebut membuktikan bahwa sebagian besar uap merkuri telah terserap oleh adsorben karbon aktif yang terdapat di dalam adsorber. IV. KESIMPULAN Sistem peralatan adsorber merkuri (Hg) removal berskala pilot ini telah disesuaikan dengan kondisi operasi di lapangan gas bumi baik temperatur, tekanan dan kapasitasnya. Adsorben karbon hasil aktifasi fisika dan kimia dalam skala industri telah mampu menyerap merkuri dalam aliran gas bumi secara optimal. Peralatan penghilang merkuri ini mampu mengadsorpsi merkuri dalam aliran gas bumi sebanyak 99,97% dalam waktu 8 jam 50 menit dengan volume aliran gas bumi 442 Cuft, tekanan gas sumber 100 psi dan laju alir gas 50 Cuft/jam. Peneliti berharap aplikasinya di lapangan dapat menunjang kinerja kegiatan industri migas dalam menghilangkan dan atau mengurangi kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi serta meningkatkan kualitas gas bumi di Indonesia dengan biaya proses seefisien mungkin. V. SARAN Untuk aplikasi di lapangan gas bumi, masih banyak faktor lingkungan dan kondisi operasi yang lebih kompleks yang harus diantisipasi, sehingga masih diperlukan pengujian terkait dengan parameter pressure drop, kapasitas adsorben, lifetime adsorben dll. KEPUSTAKAAN 1. AWWA.1974.Standard for Granular Carbon. AWWA B604-74. Colorado.
2. ASTM D 1510-03. Standard Test Method for Determination of Carbon Black-Iodine Adsorption Number. 3. Anonim, “Mercury in Natural Gas Production and Processing, Industry”: Petroleum (Oil & Gas) WS 2012-01. 4. Bloom, N. S., “Analysis and Stability of Mercury Speciation in Petroleum Hydrocarbons”, Fresenius’ J. Anal. Chem., 366:438 (2000). 5. Hancai Zeng, Removal of Elemental Mercury from Coal Combustion Flue Gas by Chloride-Impregnated Activated Carbon, ELSEVIER Science Direct, May 2003. 6. Jankowska H, Swiatkowski and Choma J. (1991). Active Carbon. Elis Horwood Ltd. 7. Lisna, Yayun dkk “Rancang Bangun Adsorben Penghilang Merkuri” Nomor 04.06.02.8191.00047.F Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PPPTMGB “LEMIGAS”. Desember 2010. 8. Lisna, Yayun dkk, “Rancang Bangun Pilot Plant Adsorber Penghilang merkuri” Nomor: 04.1913.005.019.521213 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PPPTMGB “LEMIGAS”. Desember 2012. 9. M. Kismurtono; Sumarsono, 1999 “Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa” Prosiding Seminar Nasional III Kimia dalam Pembangunan ISSN : 0854-4778. 10. Mitariten, M. “Adsorption Advances” World Coal, September (2002). 11. Radisav D.Vidic, Control of Mercury Emissions in Flue gases by Activated Carbon Adsorption, University of Pittsburgh, PA 15261. 12. Zdravko Spiric, Innovative Approach to the Mercury Control during Natural Gas Processing, Proceedings of ETCE 2001.
113
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
114
INDEKS SUBYEK A
M
Akselerasi biodegradasi crude oil 97
Microbe screening 59
Acceleration biodegradation hidrocarbon 97
Marine bacteria hidrocarbonoklastik 97
Adsorber 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113 Adsorben 105, 106, 107, 108, 109, 11, 112, 113 Alkali surfaktan polymer injection 87
Merkuri 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113 Mercury 105, 107, 108, 113, 114 N Nickel catalyst 79 Nutrition screening 59
B
Natural gas 105, 110, 113, 114
Biodiesel 79, 80, 81, 82, 83, 84
O
Biosurfactant production 59
Oxidation stability 79
Biosurfaktan bakteri laut hidrokarbonoklastik 97
Old well 69
Biosurfactant 97, 103, 104 C Cloud point 79, 81, 84 Citra ikonos 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77
Oil recovery 87, 88, 96 P Partial hydrogenation 79 Pour point 79, 81, 84 Produksi biosurfaktan 67
H
Permasalahan sosial 69, 70, 71, 72, 73
Hidrogenasi parsial 79, 80, 82, 84
Penggunaan lahan 69, 70, 71, 72, 73, 74,
G
76
Gas bumi 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113
Perolehan minyak 87, 88, 89, 92, 94, 95, 96
I
Stabilitas oksidasi 79, 80, 81, 82, 83, 84
Ikonos imagery 69
Seleksi mikroba 59, 60, 61, 62, 63, 67
Injeksi alkali surfaktan polimer 87, 88
Seleksi nutrisi 67
K
Sumur tua 69, 70, 71, 72, 73
Katalis nikel 79, 80
Social problem 69
L
T
Land use 69
S
Titik kabut 79, 80, 81, 82, 84 Titik tuang 79, 80, 81, 82, 84
1
2
PEDOMAN PENULISAN MAJALAH LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI UMUM 1. Majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media yang khusus diperuntukan bagi karya tulis para Peneliti dan Tenaga Fungsional PPPTMGB “LEMIGAS”, memuat analisis, kajian dan tinjauan ilmiah mengenai subjek-subjek yang berkaitan dengan industri minyak dan gas bumi, terutama yang dilakukan oleh PPPTMGB “LEMIGAS”. 2. Redaksi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi, secara selektif juga menerima tulisan-tulisan dari para ahli baik perseorangan ataupun kelompok, baik atas nama pribadi maupun instansi pemerintah/swasta namun lebih berbobot. Hal ini dimaksudkan sebagai contoh guna mendorong dan meningkatkan mutu para penulis intern LEMIGAS. STANDAR PENULISAN 1. Bahasa Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/istilah bahasa Indonesia yang telah dibakukan berpedoman pada: a. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Lembaga Pembinaan Bangsa. b. Kamus Miyak dan Gas Bumi, terbitan PPPTMGB “LEMIGAS”. c Kamus bahasa Inggris. 2. Naskah/Artikel Judul artikel ditulis pada baris pertama (paling atas), rata kiri (left), memakai huruf besar kecil ukuran 24 points. - Nama penulis ditulis pada baris kedua di bawah judul artikel. - Abstrak/Sinopsis/Sari karangan merupakan keharusan ditulis dalam bahasa Indonesia serta bahasa Inggris dan ditetapkan pada awal artikel/tulisan. Abstrak tidak boleh lebih dari 200 kata. - Artikel disertai dengan kata kunci yang ditulis dibawah judul artikel. - Teks artikel diketik dengan komputer (MS Word), di atas kertas putih ukuran A4, dengan jarak baris 1 ½ spasi. - Sitasi (kutipan) atas pendapat para ahli, disamping dapat dengan dikutip secara verbatim, juga harus diberi nomor urut dengan hurup arab superscript untuk penjelasannya dalam catatan kaki. - Catatan kaki ditulis dalam satu halaman sesuai dangan nomor catatan kaki yang bersangkutan. Catatan kaki ditulis horizontal dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun penerbitan, judul, halaman yang dikutip. Data Publikasi (Kota Penerbitan, Nama Penerbitan, jumlah halaman). - Pendahuluan secara ara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab. - Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. - Hasil disajikan secara jelas tanpa detil yang tidak perlu. Hasil tidak boleh disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar. - Tabel disajikan dalam bahasa Indonesia, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program MS-Excel. - Gambar, grafik, potret dan lain-lain: semuanya asli, jelas memenuhi syarat untuk peroses pencetakan: serta diberi nomor urut dan judul. - Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. - Di samping naskah dan lampiran penunjang seperti gambar/grafik, kirimkan juga disket/CD nya ke redaksi atau melalui e-mail:
[email protected] 3 Kepustakaan Kepustakaan adalah daftar literaktur (buku atau non buku) yang dipakai oleh Penulis dalam meyusun naskah/artikel. Kepustakaan ditulis pada akhir karangan dengan urutan secara alfabetis berdasarkan nama pengarang, seperti contoh sebagai berikut; a. Buku - Satu pengarang Davis, Gordon B., 1976, Management Information System, Conceptual Foundation Structur and developnet, Me Graw Hill. - Dua Pengarang Newman W.H. dan E. Kirby Warren, 1977, The Procces of Management, Concept, Behavior, and Pratice, Pretice-Hall of India Privat Ltd., New Delhi, hlm. 213. - Lebih dari tiga pengarang Bennet J.D., Bridge D. Mcc, Cancron N. R., Djunudin A, Ghazali S. A, Jeffry D.H., Kartawa W., Keats W Rock N.M.S., dan Thompos S.J 1981, The Geology of the Langsa Quadrange, Sumatra, GRDC, Bandung. Atau disingkat Bannet J.D., dkk., 1981. The Geology of the Langsa Quadrangle, Sumatra, GRDC, Bandung. b. Non buku - Udiharto M., 1992. “Pengaruh Aktivitas Bakteri Termofil terhadap Porositas Batuan”, Diskusi Ilmia VII Hasil Penelitian LEMIGAS, Februari, PPTMG “LEMIGAS”, Jakarta. - Weissmann J., Dr.: 1972, ”Fuel for internal Contribution Engines and Furnace”, Report, Inhouse Research, Mei, ”LEMIGAS”, Jakarta. - Gianita Gandawijaya, 1994,”Teknologi GPS, Alat Bantu Navigasi Pesawat Terbang”, Kompas, Juli 27, Jakarta. c. Web sites : http://www.environmental law net.com. Sebutkan tanggal bulan dan tahun. WEWENANG REDAKSI a. Dewan redaksi berhak melakukan penyuntingan atas suatu artikel termasuk mengubah judul artikel. b. Naskah yang telah diperiksa dewan redaksi dan dianggap perlu perbaikan akan dikirim kembali kepada penulis untuk diperbaiki. c. Naskah yang tidak bisa dimuat akan dikembalikan kepada penulis. LAIN-LAIN Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi