A
Gambar Sampul : Sistem Instrumentasi Seismik dan Seismik Eksplorasi
B
ISSN : 20 2089-3396
Volume 49, No.1, April 2015 Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media untuk penyebarluasan informasi kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan teknologi dan pengkajian di bidang minyak dan gas bumi.
Penanggung Jawab
:
Dr. Ir. Bambang Widarsono, M.Sc. (Teknik Perminyakan, LEMIGAS)
Pemimpin Redaksi
:
Prof. (R) Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia, Scientific Board, LEMIGAS)
Wakil Pemimpin Redaksi
:
Ir. Daru Siswanto (Teknik Kimia, LEMIGAS)
Redaktur Pelaksana
:
Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. (Geofisika, LEMIGAS)
Dewan Redaksi
:
1. Dr. Mudjito (Geologi Minyak, Scientific Board, LEMIGAS) 2. Prof. (R) M. Udiharto (Biologi, Scientific Board, LEMIGAS) 3. Prof. (R) Dr. E. Suhardono (Kimia Industri, Scientific Board, LEMIGAS) 4. Dr. Adiwar (Proses Separasi, Scientific Board, LEMIGAS) 5. Dr. Oberlin Sidjabat (Kimia dan Katalis, LEMIGAS)
Editor Bahasa
:
1. Ferry Imanuddin Sadikin, S.T., M.E. (Teknik Elektro, LIPI) 2. Wiwin Winarsih, S.H.,M.H. (Hukum & Teknologi, LEMIGAS)
Copy Editor
:
Bagus Aribowo, S.Kom
Lay Outer
:
1. Nurhadi Setiawan, A.Md 2. Rasikin
Sekretariat
:
1. Monica Soraya, S.Kom 2. Budi Mulia 3. Dulhamidin
Penerbit
:
Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Pencetak
:
Grafika LEMIGAS
Alamat Redaksi Sub Bidang Informasi, Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230. Tromol Pos: 6022/KBYB-Jakarta 12120, INDONESIA, STT: No. 119/SK/DITJEN PPG/STT/1976, Telepon: 7394422 - ext. 1222, 1223, 1274, Faks: 62 - 21 - 7246150, E-mail:
[email protected] Majalah Lembaran Publikasi LEMIGAS (LPL) diterbitkan sejak tahun 1970 yang telah berganti nama menjadi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi (LPMGB), terbit 3 kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Redaksi menerima Karya Tulis Ilmiah tentang hasil-hasil Penelitian, yang erat hubungannya dengan Penelitian Minyak dan Gas Bumi.
i
ISSN : 20 2089-3396
Volume 49, No.1, April 2015 Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media untuk penyebarluasan informasi kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan teknologi dan pengkajian di bidang minyak dan gas bumi.
Redaksi Ahli
:
1. Dr. Ir. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan, LEMIGAS) 2. Ir. Sugeng Riyono, M.Phil. (Teknik Perminyakan, LEMIGAS) 3. Dr. Ir. Eko Budi Lelono (Ahli Palinologi, LEMIGAS) 4. Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan, LEMIGAS) 5. Drs. Chairil Anwar, M.Si. (Kimia Industri, LEMIGAS) 6. Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia, LEMIGAS) 7. Ratu Ulfiati, S.Si., M.Eng. (Teknik Kimia, LEMIGAS)
Mitra Bestari
:
1. Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar Teknik Perminyakan, ITB - Indonesia 2. Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata Teknik Geologi, ITB - Indonesia 3. Prof. Dr. Renanto, M.Sc Teknik Kimia, ITS - Indonesia 4. Prof. Dr. Ir. Kholil, M.Kom Manajemen Lingkungan, USAKTI/IPB - Indonesia 5. Ir. Bagas Pujilaksono, M.Sc.,Lic.Eng.,PhD. Teknik Fisika, UGM - Indonesia 6. John G. Kaldi, M.Sc., PhD. Teknik Perminyakan - Australia 7. Dr. Robert John Morley Palinologi and Stratigraphi - Inggris 8. David Lloyd Hickman, M.M. Lc. Ekonomi Manajemen - Australia
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Penanggung Jawab : Dr. Ir. Bambang Widarsono, M.Sc., Wakil Pemimpin Redaksi : Ir. Daru Siswanto.
iii
PENGANTAR Pembaca yang Budiman, Dalam edisi ini di ulas mengenai penelitian untuk sektor hulu yaitu: Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik yang merupakan pengembangan geophone berbasis pegas menjadi magnet sehingga menghasilkan frekuensi alami yang lebih baik untuk mendapatkan informasi citra bawah permukaan bumi pada survey seismic sedangkan Pengolahan Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas adalah mendapatkan citra yang mudah untuk diinterpretasi secara visual di gunakan penajaman kontras, fusi, dan analisis komponen utama (PCA). Penelitian sektor hilir mengenai Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited merupakan penelitian untuk mendapatkan minyak lumas transformator yang selama ini masih impor. Konversi Plastik menjadi Senyawa Alkana Rantai C6-C12 menggunakan Katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit menghasilkan senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 adalah 77,02% untuk jenis katalis Zn/ zeolit dan 76,87% untuk jenis katalis Ni/zeolit. Perhatian pemerintah terhadap BBM terkait perkembangan teknologi mesin dan kebutuhan masyarakat pengguna kendaraan bermotor jenis bensin saat ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan angka oktana bahan bakar jenis bensin sesuai dengan kinerja mesin. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kemiri Sunan via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku dengn Katalis Ni γ A12O3 menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan yang dihasilkan dari bahan baku biodiesel Non Pangan. Sedangkan Penelitian Pengaruh Rasio Pelarutan LiOH dalam Air terhadap Karakteristik Gemuk Lumas untuk mendapatkan data rasio LiOH/air yang optimal, sehingga dapat diperoleh karakteristik gemuk lumas yang terbaik. Terkait dengan kebijakan yang harus diambil pemerintah guna mengatasi impor BBM yang terus menerus meningkat dilakukan penelitian Pembangunan Kilang Baru guna mendapatkan strategi terwujudnya kilang BBM dan Petrokimia baru tersebut termasuk cara pengadaan minyak mentahnya Dewan redaksi dan dewan penerbit serta penanggung jawab majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisannya, reviewer dan penyunting yang telah bekerja keras hingga terbitnya majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi No.1 April 2015. Semoga terbitan ini bermanfaat bagi para pembaca dan juga bagi ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang Migas.
Jakarta, April 2015
Dewan Redaksi
v
ISSN : 20 2089-3396
Volume 49, No. 1, April 2015
DAFTAR ISI PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vii
LEMBAR ABSTRAK
ix
KARAKTERISASI SPRINGLESS GEOPHONE DAN PERANCANGAN SISTEM SELEKTOR SINYAL GEOPHONE ARRAY UNTUK MENINGKATKAN SIGNAL TO NOISE RATIO DATA SEISMIK Yudi Kuntoro
1-14
KONVERSI PLASTIK MENJADI SENYAWA ALKANA RANTAI C 6 -C 12 MENGGUNAKAN KATALIS NI /ZEOLIT DAN ZN /ZEOLIT Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim
15-22
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA FORMULASI MINYAK LUMAS TRAFO INHIBITED Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih
23-31
KEBUTUHAN ANGKA OKTANA KENDARAAN BERMOTOR MESIN BENSIN DI INDONESIA Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono
33-40
PENGOLAHAN DATA CITRA SATELIT UNTUK MENGIDENTIFIKASI POTENSI JEBAKAN DALAM KEGIATAN EKSPLORASI MIGAS Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus
41-51
PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KEMIRI SUNAN VIA HIDROGENASI KATALITIK BAHAN BAKU DENGAN KATALIS Ni γ Al2O3 Herizal dan Chairil Anwar
53-60
PEMBANGUNAN KILANG BARU Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik
61-71
PENGARUH RASIO PELARUTAN LiOH DALAM AIR TERHADAP KARAKTERISTIK GEMUK LUMAS Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M.
73-80
MODIFIKASI MINYAK SAWIT SEBAGAI PENSUBSTITUSI MINYAK SOLAR Chairil Anwar
81-90
vii
LEMBAR ABSTRAK ISSN : 2089-3396
Terbit : April 2015
Kata Kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembaran Abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya.
UDC: 537.6/.8:550.3+622.1 Yudi Kuntoro (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2014, hal. 1 - 14. ABSTRAK Geophone adalah gerbang pertama informasi citra bawah permukaan bumi pada survei seismik. Akurasi geophone memainkan peranan yang sangat penting pada survei tersebut. Hampir semua geophone yang berada di industri berbasis pegas. Masalah utama yang muncul pada geophone jenis pegas adalah perubahan nilai k (konstanta pegas) akibat pembebanan terus menerus. Perubahan nilai tersebut akan berpengaruh pada akurasi sinyal seismik yang dihasilkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebuah geophone berbasis magnet yang menggunakan gaya tolak menolak magnet sekutub sebagai pengganti pegas telah dikembangkan dan dinamakan springless geophone. Secara kualitatif, springless geophone dapat mempunyai frekuensi alami yang lebih baik dibandingkan geophone konvensional namun nilai sensitivitasnya lebih rendah. Permasalahan lain juga muncul pada sistem perekaman. Geophone array yang hanya dikonfigurasi dengan kombinasi seri paralel menyebabkan error atau noise dari masing-masing geophone tidak dapat terdeteksi. Sebuah sistem selektor sinyal seismik telah dirancang untuk menghilangkan permasalahan error tersebut. Sistem tersebut bekerja dengan mengevaluasi sinyal dari masing-masing geophone, kemudian menyeleksi sinyal-sinyal yang identik
dan mengeliminasi sinyal-sinyal yang tidak identik sehingga sinyal yang direkam hanya sinyalsinyal yang identik. Jika nilai sinyal geophone terletak di antara batas atas dan batas bawah filter, maka sinyal dinilai identik. Jika tidak maka sinyal harus dieliminasi. Batas atas filter adalah penjumlahan dari nilai rata-rata dan deviasi standar sinyal geophone dalam satu grup. Sedangkan batas bawah adalah nilai rata-rata dikurangi deviasi standar. Kata Kunci : springless geophone, seismik, geophone array, noise. ABSTRACT
Geophone is the first gate for subsurface information
on seismic survey. Geophone accuration plays very important role in this survey. Most of industrial geophoneis spring-based. The main problem of spring-based geophone is the change of k value (spring constant) because of load continuously. The change of k value will reduce the accuration of the observed seismic data. To solve this problem, a magnet-based geophone which uses repulsion force of magnets to substitute the use of springhas been developedand named springless geophone. Qualitatively, the springless geophone has better natural frequency than conventional one but the sensitivity is lower. Another problem also takes place in recording system. Array geophone which is configured by series and parallel combination causeserror or noise from each geophone can not be detected. A geophone array signal selector system has been designed to solve this problem. This system evaluates signal fromeach geophone simultaneously, then selects some identical signals, and eliminates unidentical signals so that only identical signal that will be recorded. If geophone signal is between top level and bottom level of filter, then the signal is considered as identic. If not, then the signal must be eliminated. Top level of the filter
ix
is addition of average and standard deviation of group geophones signals. Bottom level of filter is the difference between average and standard deviation. Author Keywords: springless geophone, seismic, array geophone, noise.
UDC: 542.9+543.2 Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim (Universitas Jember, Fakultas MIPA Kimia, Jl. Kaimantan 37, Jember) Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12 Menggunakan Katalis Ni /Zeolit dan Zn/Zeolit. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 15 - 22. ABSTRAK Telah dilakukan penelitian konversi plastik menjadi senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 menggunakan katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit serta reaktor sistem fixed bed. Katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit dipreparasi melalui teknik perendaman dalam air, kalsinasi, oksidasi, impregnasi basah logam Ni dan Zn dan reduksi. Kalsinasi, oksidasi dan reduksi dilakukan pada suhu 500oC dengan laju alir gas (nitrogen, oksigen atau hidrogen) 20 mL/menit. Hasil yang diperoleh dari perengkahan plastik menjadi senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 adalah 77,02% untuk jenis katalis Zn/zeolit dan 76,87% untuk jenis katalis Ni/zeolit. Kata Kunci: katalis Ni/zeolit, katalis Zn/zeolit, plastik, senyawa alkana. ABSTRACT Has done research into the conversion of plastic compounds with long- chain alkanes C6 - C12 using the catalyst Ni zeolite and Zn/zeolite and the fixed bed reactor system . Catalyst Ni/zeolite and Zn/ zeolite prepared through immersion technique, calcination, oxidation, wet impregnation of Ni and Zn metal and reduction. Calcination, oxidation and reduction is carried out at a temperature of
x
500°C with a flow rate of gases (nitrogen, oxygen or hydrogen) 20 mL/min. The results obtained from the cracking of plastic into a compound alkanes with chain lengths C6 - C12 is 77.02% for the type of catalyst Zn/zeolite and 76.87% for the type of catalyst Ni / zeolite. Author Keywords: Ni/zeolit catalyst, Zn/zeolit catalyst, plastic, alkane compounds.
UDC: 544.6+542.8 Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 23 - 31. ABSTRAK Tr a n s f o r m a t o r p a d a p e m b a n g k i t l i s t r i k membutuhkan bahan dielektrik sebagai bahan isolasi untuk memisahkan dua atau lebih penghantar listrik yang bertegangan. Sehingga antar penghantar tersebut tidak terjadi hubung singkat yang dapat menyebabkan lompatan api atau percikan. Salah satu bahan dielektrik yang digunakan adalah minyak lumas transformator. Minyak di Indonesia masih impor, untuk itu perlu dilakukan formulasi minyak lumas trafo dengan berbagai komposisi. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo di Indonesia cukup besar dan pemenuhan minyak trafo masih dengan cara impor. Dilakukan formulasi minyak trafo dengan berbagai komposisi untuk menghasilkan enam belas formula, kemudian diambil tiga formula yang mendekati sifat fisika kimia minyak trafo di pasaran. Dari tiga formula itu menunjukkan bahwa Formula 6 memiliki hasil uji terbaik dengan hasil uji viskositas kinematik pada temperatur 40oC 11,6 cSt, titik nyala 180oC, angka asam total 0,04 mgKOH/gr, dielectric breakdown voltage (DBV) 39 kV, dan interfacial tension (IFT) 41 mN/m. Sehingga formula ini memenuhi spesifikasi SNI 7069.18 : 2008 dan IEC 60296-2003.
Kata Kunci: trafo, dielectric breakdown voltage, interfacial tension, angka asam total, minyak transformator. ABSTRACT Transformer of a power plant requires dielectric materials as insulation to separate two or more electrically conductive voltage substances. So that substance conductivity will not occur a short circuit that could cause fire or spark jumps. One of the dielectric material used is a lubricating oil transformer (transformer oil). Installed capacity and number of transformers in Indonesia is quite large and the fulfillment of transformer oil in Indonesia is still imported. Therefore it is necessary to formulate lubricating oil transformer with various compositions to produce at least sixteen formulas, and then it will be chosen three samples with the closest physicochemical properties of transformer oil in the market. Of the three formulas show that Formula 6 has the best test results according test results at temperatures of 40°C kinematic viscosity is 11.6 cSt, flash point is 180oC, the total acid number (TAN) is 0.04 mgKOH/g, the dielectric breakdown voltage (DBV) is 39 kV, and the interfacial tension (IFT) is 41 mN/m. And this formula meets the specifications of ISO 7069.18: 2008 and IEC 60296-2003. Author Keywords: transformers, dielectric breakdown voltage, the interfacial tension, total acid number, transformer oil.
UDC: 549.2+662.6 Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan Bermotor Mesin Bensin Di Indonesia Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 33 - 40 ABSTRAK Pesatnya perkembangan teknologi mesin pada kendaraan bermotor jenis mesin bensin saat ini,
menyebabkan meningkatnya kebutuhan angka oktana bahan bakar jenis bensin sesuai dengan kinerja mesinnya. Studi mengenai penentuan nilai angka oktana bahan bakar jenis bensin sangat penting dilakukan karena setiap negara perlu menetapkan tingkat angka oktana bensin yang disuplai ke pasar. Studi ini sangat bermanfaat untuk pemerintah sebagai penentu kebijakan (terutama dalam menentukan kebijakan pengaturan bahan bakar minyak bersubsidi), produsen pabrikan kendaraan dan konsumen. Metodologi yang digunakan pada studi ini antara lain dengan melakukan survey mengenai populasi jenis kendaraan bermotor jenis mesin bensin di Indonesia, kemampuan produksi kilang Pertamina yang berkaitan dengan angka oktana pada bensin dan perkembangan teknologi mesin kendaraan bermotor. Kemudian, diformulasikan dalam bentuk matriks rencana penentuan kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase populasi kendaraan tipe sedan dan kendaraan roda empat dengan penggerak dua roda (tipe 4X2) sebanyak 70%, yang memiliki tingkat rasio kompresi tinggi (di atas 9:1) sehingga membutuhkan bahan bakar dengan angka oktana di atas RON 90. Sedangkan saat ini, kapasitas produksi kilang Pertamina per tahun untuk Bensin RON 92 sekitar 10,91% sehingga diperlukan peningkatan kapasitas produksi kilang. Selain itu, berdasarkan hasil survey terdapat kurang lebih 12 merek mobil dengan 113 tipe kendaraan yang saat ini beredar di Indonesia. Dari 113 tipe kendaraan yang ada, sebanyak 59 tipe kendaraan (52,21%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 92, sebanyak 32 tipe kendaraan (28,32%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 95, dan sebanyak 22 tipe kendaraan (19,47%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 88. Kata Kunci: perkembangan teknologi mesin, angka oktana, rasio kompresi. ABSTRACT Currently due to the rapid development of engine technology in motor gasoline the octane number requirement for gasoline increases inconjunction with engine’s performance. Therefore, conducting
xi
a studi on octane number requirement for gasoline is essential because every country should decide the octane level of gasolines to be supplied to the market. This study is very useful for the government as policy maker (especially in subsidize fuel regulation), vehicle manufacturer and consumer. The Methodology of this study was carried out by collecting data on the production capacity of the Pertamina’s refinery related to gasoline octane number, development of vehicle engine technology and population of gasoline vehicles in Indonesia. The data was then formulated into a matrix of planning determination of octane number requirement of vehicles in Indonesia. The Results show that vehicle population of sedan type and cars that use two-wheel drive system (4X2 type) are about 70% from total vehicles in Indonesia. Those types of vehicles have high compression ratio (above 9:1) there are the gasoline for the vehicles should have octane number (RON) higher than 90. The current production capacity of gasoline with RON 90 of Pertamina’s refinery is approximatly 10.91%, Consequently to increasing the production capacity of the refinery is needed. In addition, based on the survey there are about 12 vehicle brands with 113 types are availabel in Indonesia. From total 113 types, 59 types (52.21%) are recommended to use gasoline RON 92, while 32 types (28.32%) are suggested to use gasoline RON 95, and only 22 types of vehicle (19.47%) are recommended to use gasoline RON 88. Author Keywords: engine technology development, octane number, compression ratio.
UDC: 550.8:622.1 Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Pengolahan Data Citra Satelit Untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan Dalam Kegiatan Eksplorasi Migas Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 41 - 51
xii
ABSTRAK Penggunaan teknologi penginderaan jauh saat ini mulai dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi pemetaan. Proses ekstraksi informasi pada data penginderaan jauh dapat didasarkan pada pengamatan visual, nilai spektral, serta berdasar obyek. Evaluasi terhadap pemrosesan citra dilakukan untuk mendapatkan citra yang mudah untuk diinterpretasi secara visual. Interpretasi dilakukan untuk mengidentifikasi potensi area jebakan migas. Hal ini dilakukan dengan pemetaan perbedaan tinggian topografi di daerah landai. Metode pengolahan citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah penajaman kontras, fusi, dan analisis komponen utama (PCA). Identifikasi potensi jebakan migas melalui pemetaan tinggian dilakukan dengan kombinasi dari perbedaan topografi, pola pengaliran, pola kelurusan, pemetaan penggunaan lahan dan pola perlapisan. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan topografi, pola pengaliran, pola kelurusan dan pola perlapisan dapat dikenali dengan baik dengan pengolahan data citra satelit dengan metode penajaman kontras. Pemetaan penggunaan lahan tampak dengan sangat jelas dengan metode fusi dengan melalui pansharpening obyek. Sedangkan obyek-obyek yang berupa lahan terbuka atau lahan kering tampak terlihat sangat jelas pada proses pengolahan PCA. Hal ini ditunjukkan dengan warna cyan keputihan dan rona sangat cerah. Pada kombinasi dengan Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) di daerah landai kurang memberikan efek yang berarti dalam menonjolkan obyek ataupun topografinya. Validasi dilakukan menggunakan data permukaan (Differential GPS) dan menggunakan data bawah permukaan (seismik, sumur, dan lapangan migas). Hasilnya menunjukkan bahwa potensi jebakan migas dapat dikenali melalui perbedaan tinggian topografi. Hasil validasi dengan data lapangan menunjukkan sekitar 44% berada pada struktur yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon. Kata Kunci: citra satelit, jebakan migas, penajaman kontras, fusi, analisis komponen utama (PCA).
ABSRACT The use of remote sensing technology began to be applied in a variety of mapping applications. The process of information extraction in remote sensing data can be based on visual observations, spectral values, and grounded object. The evaluation of image processing conducted in order to obtain images that are easy to interpret visually. The interpretation conducted for identifying of potential trapping area. This matter conducted by difference altitude of topographic mapping in sloping area. Image processing method used in this study is sharpening contrast, fusion and principal component analysis (PCA). Identification of oil and gas trapping potential through altitide difference conducted by combination of topografi, drainage pattern, lineament, landuse landcover and sedimentation pattern. The result showed differences of topographic, drainage pattern, lineament and sedimentation pattern can be recognized well by image data processing of sharpening contrast. Landuse mapping is very clear by using the fusion method through pansharpening object. Interpretation of barren land and dry land is very clear using principal component analysis method. This matter showed by colour of cyan to white and very bright. Combination of Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) in sloping areas is not significant efect for highlighting object or topographic. The validation conducted by surface data (GPS Differential) and sub surface data (seismic, well and oil and gas field. The results of trapping area potential can be identified by altitude topographic. The validation by oil and gas field shown that trapping area around of 44% were on oil and gas field. Author Keywords: satellite imagergy, oil and gas trap, enhancement, fusion, principal component analysis (PCA).
UDC: 662.6:665.3 Herizal dan Chairil Anwar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan Via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku dengan Katalis Ni γ Al2O3 Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 53 - 60 ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar diesel yang bersumber dari fosil, solusi berkelanjutan untuk sumber energi dan ramah lingkungan. Pengembangan biodiesel ke masa depan agar tidak bersentuhan dengan kebutuhan pangan, sebaiknya diarahkan ke bahan baku nonpangan. Salah satu alternatif bahan baku nonpangan yang berpotensi sebagai bahan baku baku biodiesel adalah minyak kemiri sunan. Minyak kemiri sunan memiliki angka iodium yang tinggi, sehingga jika langsung digunakan sebagai bahan baku biodiesel akan menghasilkan produk dengan kandungan angka iodium yang tinggi, melebihi dari yang ditetapkan dalam SNI 7182:2012. Tujuan dari penelitian ini adalah menurunkan angka iodium dari minyak kemiri sunan melalui proses hidrogenasi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel. Hidrogenasi dilakukan dengan reaktor autoclave menggunakan katalis 30% Ni γ Al2O3 sebanyak 0,6% berat, dengan kondisi operasi suhu 200oC, tekanan 3 bar, waktu 3 jam dan pengadukan 300 rpm. Angka iodium minyak kemiri sunan hasil hidrogenasi dapat diturunkan dari 129,34 menjadi 112,02 (g-I2/100 g). Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan dua tahap yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi dilakukan pada kondisi operasi, metanol sebesar 1,5 kali jumlah FFA dalam minyak, konsentrasi H2SO4 3% berat, suhu reaksi 60oC, waktu reaksi 3 jam dan pengadukan sekitar 1000 rpm. Transesterifikasi dilakukan pada kondisi operasi, rasio molar Metanol/CPO sebesarnya 10, konsentrasi katalis KOH antara 1% - berat, waktu reaksi 60 menit, suhu reaksi 60oC dan pengadukan
xiii
sekitar 1000 rpm. Perolehan biodiesel yang diproses menggunakan minyak kemiri sunan yang sudah dihidrogenasi adalah sebesar 86,65% berat. Secara umum spesifikasi biodesel dari minyak kemiri sunan yang dihasilkan telah memenuhi spesifikasi SNI 7182 tahun 2012.
been hydrogenated is equal to 86.65% by weight. In general specification of biodiesel from Teutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw produced has met the specifications of SNI 7182 in 2012. Author
Kata Kunci: minyak kemiri sunan, angka iodium, esterifikasi, transesterifikasi.
Keywords: reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw, iodine number, esterification, transesterification.
ABSTRACT Biodiesel is an alternative fuel substitute for diesel fuel sourced from fossil, sustainable solutions for energy sources and environmentally friendly. Biodiesel development in the future so as not to come into contact with food needs, should be directed to the non-edible vegetable oil as raw materials. One alternative that has the potential of non-edible vegetable oil as raw feedstock biodiesel is Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw. Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw has a high iodine number, so that if it is directly used as a raw material for biodiesel will result in products with a high content of iodine number, in excess of that specified in SNI 7182 in 2012. The purpose of this study was to reduced iodine number of Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw by hydrogenation process, so it can be used as a feedstock for biodiesel production. Hydrogenation was performed in an autoclave reactor using 30% Ni γ Al2O3 catalyst as much as 0.6% by weight with the operating conditions of temperature 200oC, a pressure 3 bar, the time of reaction 3 hours and stirring 300 rpm. Iodine number of hydrogenated oils can be reduced from 129.34 into 112.02 (g-I2/100 g). The process of making biodiesel is done in two stages, esterification and transesterification. Esterification performed on the operating conditions, methanol as much as 1.5 times the amount of FFA in the oil, H2SO4 concentrations 3% by weight, the reaction temperature 60oC, the time of reaction between 3 hours and stirring 1000 rpm. Transesterification performed on the operating condition, the molar ratio of methanol / CPO around 10, concentration of KOH catalyst 1% by weight, reaction time 60 minutes, reaction temperature 60oC and stirring 1000 rpm. Yield of biodiesel that is processed using Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw that has xiv
UDC: 662.7+061.1 Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Pembangunan Kilang Baru. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 61 - 71 ABSTRAK Indonesia membutuhkan 2 (dua) kilang baru dengan kapasitas 300 ribu bph untuk mengatasi impor BBM. Pemerintah telah menerima beberapa pengajuan rencana pembangunan kilang baru dari beberapa investor seperti Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum melalui kerja sama dengan Pertamina. Namun belum ada keputusan yang konkrit untuk kerjasama terkait, sehingga Pemerintah perlu mencari strategi untuk terwujudnya pembangunan kilang tersebut, termasuk cara pengadaan minyak mentah untuk bahan baku, penentuan konfigurasi kilang serta pola pendanaannya. Untuk menyatukan pendapat terkait pengembangan kilang, LEMIGAS telah melakukan FGD (Focus Group Discussion) pada 26 Juni 2014 di Bogor dengan peserta lintas kementrian. Hasil presentasi & diskusi dari berbagai sudut pandang diperoleh gambaran bahwa pemerintah harus segera membangunan kilang baru, memilih pola pendanaan yang layak, dan mampu laksana. Pemilihan konfigurasi kilang BBM & petrokimia mampu memberikan marjin lebih baik, karena menghasilkan produk petrokimia yang lebih ekonomis dan memaksimalkan pemanfaatan hidrokarbon, serta mengoptimalkan penggunaan utilitas. Kilang pembiayaan swasta memberikan IRR sebesar 6% tanpa insentif dari pemerintah. Dengan insentif (tax allowance atau tax holiday dan pembebasan PPN barang kena pajak strategis) IRR akan meningkat menjadi 7%. Namun inipun belum cukup menarik untuk investor swasta, yang memerlukan IRR minimum sebesar 12%. Skema
Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang disertai insentif dapat meningkatkan IRR menjadi sekitar 10-12%. Kenaikan IRR ini diakibatkan oleh 70% equity merupakan dana pemerintah. Meskipun demikian, kemungkinan pelaksanaan pendanaan secara KPS akan memerlukan proses dan waktu cukup panjang. Pembiayaan oleh Pemerintah seluruhnya dapat memberikan IRR 8,4%. Ini akan menarik apabila Pemerintah dapat menjual obligasi valas atau Sukuk valas/obligasi syariah yang dimasa lalu dengan kupon/imbal jasa lebih rendah dari 6% dan menurun. Kata Kunci: tax allowance atau tax holiday, IRR. ABSTRACT Indonesia needs 2 (two) new refineries with capacity 300 bph for overcome fuel import. The goverment has taken some plan for developing new refinery from investors such us Saudi Aramco, and Kuwait Petroleum cooperation with Pertamina. But, there is no concrete decision related to cooperation so that the government needs to find strategy for the realization of refinery development, include procurement of crude oil for feed, determine refinery configuration, and funding patterns to unify opinion about development refinery, Lemigas has done FGD (Focus Group Disscusion) on June 26, 2014 in Bogor with participants acros ministries. Results presentation and discussion of the various angles of view obtained that the government should immediately develop a new refinery, choose the appropriate funding patterns, and able to implemented. Selection of fuel and petrochemical refinery configuration capable of providing better margins, because it produces a more economical petrochemical products and maximize the utilization of hydrocarbons, as well as optimizing the use of utilities. Private refinery give IRR as 6% without goverment incentives. With incentives (tax allowance or tax holiday and value added taxable goods strategic) IRR would increase to 7%. However, this is not enough attractive to private investors, which requires minimum IRR as 12%. Cooperation sceme public private patnership (PPP) with incentives can increase the IRR about 10 - 12%. The increase is cause by IRR of 70% equity as a goverment fund. Nevertheless, the possibility of funding implementation of PPP would require a long process and time. Funding by goverment can take IRR about 8.4% . It would be interesting if the goverment can sell foreign currency bonds or currency sukuk / Islamic bond,
which in the past with a cuopon compensation is lower than 6% and decreased. Author Keywords: tax allowance or tax holiday, IRR. UDC: 542.4+543.6:665.2 Milda Fibria, Setyo Widodo, Endah Juwita M. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Pengaruh Rasio Pelarutan LiOH Dalam Air Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 73 - 80 ABSTRAK Gemuk sabun litium merupakan gemuk sabun sederhana yang banyak digunakan. Penggunaan litium hidroksida (LiOH) sebagai bahan thickener, dalam prosesnya dibutuhkan sejumlah air untuk melarutkannya. Penggunaan air untuk melarutkan LiOH diharapkan seefisien mungkin, karena banyaknya air yang digunakan dalam pencampuran LiOH dapat berpengaruh terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai rasio pelarutan LiOH dalam air serta pengaruhnya terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Percobaan pelarutan LiOH dalam air selama 90 menit dan pemanasan di suhu 750C dengan rasio berat LiOH : Air = 1:2 ; 1:3; 1:3,5; 1:4; 1:5 dilakukan untuk melihat hasil kelarutannya secara visual, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan gemuk lumas untuk melihat pengaruhnya terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data rasio LiOH/air yang optimal, sehingga dapat diperoleh karakteristik gemuk lumas yang terbaik. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa semakin banyak air yang digunakan, scar diameter semakin kecil akan tetapi kestabilan gemuk menurun. Dengan melihat keseluruhan data hasil uji, dapat disimpulkan bahwa penggunaan air paling efisien adalah pada rasio berat LiOH: air sebesar 1:3,5. Dengan komposisi ini akan mendapathan hasil uji karateristik yang paling optimal, yaitu dropping point 185˚C, NLGI 2 dan Scar diameter 0,597 mm. Kata Kunci: rasio, LiOH, air, gemuk lumas.
xv
ABSTRACT Lithium soap greases are simple soap greases which are widely used for general purpose applications. However, during the manufacture process of lithium soap, LiOH is not quite soluble in oil, consequently some water is required to dissolve this compound. On the other hand, the amount of water used in dissolving LiOH may affect the characteristics of greases. Therefore, research on the dissolution ratio LiOH in water and their effect on the characteristics of lubricating greases produced is essential. The objective of this current study is to get data on LiOH/ water ratio, in order that the best characteristic of grease produced is obtained. Dissolution experiments LiOH in water for 90 minutes and heating at a temperature of 75˚C with a weight ratio of LiOH: water = 1: 2; 1: 3; 1: 3.5; 1: 4; 1: 5 respectively, was carried out to observe the visual results of solubility, followed by manufacturing of lubricating greases to study its effect on the characteristics of lubricating greases produced. The result shows that the more water used, the smaller the scar diameter, however the grease stability decreses. This current study demonstrates that the most efficient of the weight ratio of LiOH: water is 1: 3.5. In addition by using this ratio, the optimal characteristics of the test results are obtained, i.e. dropping point 185˚ C, NLGI 2 and scar diameter 0.597 mm. Author Keywords: ratio, LiOH,water, grease.
UDC: 542.4+543.6 Chairil Anwar. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS") Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49, No. 1, April 2015, hal. 81 - 90 ABSTRAK
yang semula tidak, menjadi memenuhi spesifikasi minyak solar 48. Pada variasi pencampuran minyak sawit 20% volume menunjukkan sifat fisika kimia masih dalam rentang spesifikasi minyak solar. Dalam kondisi tersebut minyak sawit dengan berat jenis yang semula 871 kg/m3 menjadi 851 kg/m3 dan viskositasnya dari 5,572 cSt menjadi 4,382 cSt. Dengan demikian bahan bakar diesel hasil penelitian ini mempunyai nilai lebih dari biodiesel yang dicampur dengan minyak solar, hal ini disebabkan minyak sawit dapat langsung dicampurkan tanpa harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu menjadi biodiesel. Penggunaan minyak sawit untuk mesin diesel yang bermasalah, terutama karena berviskositas tinggi dengan modifikasi dapat diatasi. Sebagai sumber energi terbarukan, minyak sawit dengan masing-masing karakter yang telah dibahas dapat menjadi pilihan yang layak untuk mempertahankan kebutuhan energi jangka panjang. Kata Kunci: energi alternatif, minyak nabati, minyak sawit, bahan bakar diesel, spesifikasi. ABSTRACT Pure palm oil can be used as an alternative diesel fuel by improving its quality. It can be done by mixing with diesel oil. Test results on the physical and chemical properties of palm oil and its mixture with diesel oil show that some characters which are previously do not meet specification diesel fuel can be made to meet the specification of 48. At a variation of palm oil 20% volume, physical and chemical properties of the mixture is still within the limits of diesel fuel specifications. In these conditions the specific gravity of palm oil can be brought down from originally 871 kg / m3 to 851 kg / m3 and viscosity of 5,572 cSt to 4.382 cSt. Thus the diesel fuel this research has more value than biodiesel, because palm oil can be mixed directly without being processed into biodiesel. The use of pure vegetable oil for diesel engines which is problematic due to high viscosity can be overcome. As a source of renewable energy, palm oil with each of the characters that have been discussed can be a viable option to sustain long-term energy needs. Author
Minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel alternatif dengan perbaikan kualitasnya. Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan cara pencampuran menggunakan minyak solar. Hasil uji sifat fisika kimia terhadap minyak sawit dan setelah Keywords: alternative energy, vegetable oil, pure dicampur dengan minyak solar beberapa karakter palm oil, diesel fuel, specification.
xvi
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro) Vol. 49 No.1 April 2015 : 1-9
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik (Characterization of Springless Geophone and Designing of Array Geophone Signal Selector System to Improve Signal to NoiseRatio of Seismic Data) Yudi Kuntoro Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav.109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: +62-21-7394422, Fax.: +62-21-7246150 Teregistrasi I tanggal 30 Januari 2015; Diterima tanggal 30 Januari 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Geophone adalah gerbang pertama informasi citra bawah permukaan bumi pada survei seismik. Akurasi geophone memainkan peranan yang sangat penting pada survei tersebut. Hampir semua geophone yang berada di industri berbasis pegas. Masalah utama yang muncul pada geophone jenis pegas adalah perubahan nilai k (konstanta pegas) akibat pembebanan terus menerus. Perubahan nilai tersebut akan berpengaruh pada akurasi sinyal seismik yang dihasilkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebuah geophone berbasis magnet yang menggunakan gaya tolak menolak magnet sekutub sebagai pengganti pegas telah dikembangkan dan dinamakan springless geophone. Secara kualitatif, springless geophone dapat mempunyai frekuensi alami yang lebih baik dibandingkan geophone konvensional namun nilai sensitivitasnya lebih rendah. Permasalahan lain juga muncul pada sistem perekaman. Geophone array yang hanya dikonfigurasi dengan kombinasi seri-paralel menyebabkan error atau noise dari masingmasing geophone tidak dapat terdeteksi. Sebuah sistem selektor sinyal seismik telah dirancang untuk menghilangkan permasalahan error tersebut. Sistem tersebut bekerja dengan mengevaluasi sinyal dari masing-masing geophone, kemudian menyeleksi sinyal-sinyal yang identik dan mengeliminasi sinyalsinyal yang tidak identik sehingga sinyal yang direkam hanya sinyal-sinyal yang identik. Jika nilai sinyal geophone terletak di antara batas atas dan batas bawah filter, maka sinyal dinilai identik. Jika tidak maka sinyal harus dieliminasi. Batas atas filter adalah penjumlahan dari nilai rata-rata dan deviasi standar sinyal geophone dalam satu grup. Sedangkan batas bawah adalah nilai rata-rata dikurangi deviasi standar. Kata Kunci: springless geophone, seismik, geophone array, noise. ABSTRACT Geophone is the first gateforsubsurface informationonseismic survey. Geophone accurationplays very important role in this survey. Most of industrial geophoneis spring-based. The main problem of spring-based geophone is the change of k value (spring constant) because of load continuously. The change of k value will reduce the accuration ofthe observedseismic data. To solve this problem, a magnet-based geophone whichusesrepulsion force of magnetstosubstitutethe use of springhas been developedand named springless geophone. Qualitatively, the springless geophone has betternatural frequency than conventional one but the sensitivity is lower. Another problem also takes place in recording system.Array geophone which is configured by series and parallel combination causeserror or noise from each geophone can not be detected. A geophone array signal selector systemhas been designedto solve this problem. This system evaluates signal fromeach geophone simultaneously, then selectssome identical signals, and eliminatesunidentical signals so that only identical signal that will be recorded. If geophone signal is between top level and bottom level of filter, then the signal is considered as identic. If not, then the signal must be eliminated. Top level of the filter is addition of average and standard deviation of group geophones signals. Bottom level of filter is the difference between average and standard deviation. Keywords: springless geophone, seismic, array geophone, noise. 1
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
I. PENDAHULUAN Pada metode seismik, keberadaan geophone sangat penting. Geophone adalah perangkat tranduser gelombang seismik yang menjalar di bawah permukaan bumi, sehingga merupakan pintu gerbang informasi tentang lapisan bawah permukaan. Geophone yang berkembang di industri saat ini berjenis moving coil geophone, yaitu geophone dengan kumparan digantung pada pegas dan dapat bergerak terhadap magnet. Masalah utama yang muncul dari penggunaan pegas pada geophone adalah berubahnya nilai k pegas terhadap waktu akibat pembebanan mekanis. Hal ini akan mengurangi tingkat akurasi geophone karena nilai frekuensi alami (natural frequency) geophone akan berubah. Selain itu, masalah lain yang juga muncul pada sistem perekaman seismik konvensional adalah masih ditemukannya beberapa kasus geophone yang tidak dapat merekam sinyal. Hal ini akan mengurangi kualitas data. Setiap geophone membawa informasi spesifik yang tidak dapat diwakilkan oleh pendekatan dengan metode numerik, sehingga sedapat mungkin setiap geophone harus bekerja dengan baik pada sebuah survei seismik. Melalui penelitian ini penulis ingin mencari metode baru sistem geophone tanpa pegas dan metode untuk mengatasi kegagalan perekaman pada beberapa geophone yang tidak bekerja, dengan menyeleksi sinyal geophone. Untuk mencapai tujuan
tersebut, penelitian dilakukan dengan merancang dan mengkarakterisasi purwarupa (prototype) geophone menggunakan magnet dengan kutub saling tolakmenolak untuk menggantikan penggunaan pegas dan sistem selektor sinyal geophone yang dapat mengeliminasi sinyal dari geophone mati/error pada konfigurasi array. Telaah Pustaka Metode Seismik Menurut Gadallah (2005), seismik eksplorasi adalah kegiatan survei untuk mencitrakan struktur bawah permukaan bumi dengan mengukur respon bumi terhadap energi gelombang mekanik yang diinjeksikan ke bawah permukaan. Secara fisika, metode seismik dijelaskan pada Gambar 1. Sistem Instrumentasi Seismik Menurut McQuillin (1984), dalam survei seismik, sistem instrumentasi berawal dari sumber gelombang (source) yang menghasilkan energi mekanik yang memancar ke segala arah. Energi tersebut menjalar melalui bumi dalam bentuk gelombang longitudinal dan transversal. Gelombang tersebut akan diterima oleh sensor-sensor yang disebut geophone. Geophone mengubah getaran mekanik menjadi sinyal listrik. Sinyal yang diterima oleh geophone kemudian direkam oleh sistem perekam
ke perekam
source
sensor
lapisan 1
lapisan 2 Gambar 1 Seismik eksplorasi
2
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
Sumber
Trigger
Perekam
Penyimpan
Multichannel Sensor
Gambar 2 Sistem Instrumentasi Seismik
data dan kemudian disimpan dalam bentuk digital. Sistem instrumetasi seismik selengkapnya dijelaskan melalui Gambar 2 Sistem instrumentasi seismik. Gelombang seismik mulai menjalar ketika source meledak. Agar waktu penjalaran gelombang dapat diukur, pada saat yang besamaan perekam harus mulai merekam, sehingga diperlukan sinkronisasi. Pada survei seismik, sinkronisasi dilakukan oleh geophone tunggal yang disebut geophone trigger. Geophone trigger diletakkan sangat dekat dengan sumber gelombang, sehingga pada saat source meledak, geophone trigger mengirimkan sinyal kepada perekam untuk memulai perekaman. Geophone Geophone adalah sensor pasif yang digunakan untuk mendeteksi gelombang seismik. Secara prinsip fisika, geophone terdiri atas kumparan yang dapat bergerak bebas di sekitar medan magnet permanen atau sebaliknya, magnet yang bergerak bebas di sekitar kumparan. Geophone bekerja dengan berprinsip pada Hukum Lenz yang menyatakan bahwa arus listrik sesaat akan muncul pada kawat konduktor yang digerakkan di dalam medan magnet. Secara fisis, prinsip gejala induksi menurut Hukum Lenz digambarkan pada Gambar 3. Arus listrik sesaat tersebut akan menghasilkan tegangan induksi yang nilainya sebanding dengan
perubahan fluks magnetik terhadap perubahan waktu :
ܧൌ െܰ
݀߶ ݀ݐ
(1)
keterangan = ggl induksi / electromotive force (mV). = jumlah lilitan = nilai fluks
Fluks magnet dapat didefinisikan dengan rapat fluks dan luasan yang dilalui oleh aliran fluks tersebut , sehingga :
ܧൌ ܰܤത
݀ܣ ݀ݐ
(2)
Perubahan luasan dapat dinyatakan dan adalah keliling kumparan dan adalah pergeseran sesaat magnet terhadap kumparan, maka :
ܧൌ ܰܤത݈
݀ݏ ൌ ܰܤത݈ݒҧ ݀ݐ
(3)
Kuantitas dan adalah konstanta, sehingga keluaran geophone hanya merupakan fungsi terhadap saja, sehingga sering disebut dengan geophone velocity meter. Gaya yang bekerja pada gerak osilasi kumparan yang tergantung pada pegas terhadap magnet pada geophone antara lain gaya gravitasi, gaya redaman dan gaya interaksi beban dengan 3
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
ܤത ܤത ݒҧ
ݒҧ
݈
݈
(a)
(b)
Gambar 3 Gejala induksi menurut Hukum Lenz. (a) analogi 2-D, (b) analogi 3-D
pegas. Persamaan gerak kumparan akibat gaya gravitasi adalah :
ܨ ൌ ݉ܽ ൌ ݉
݀ଶ ݕ ݀ ݐଶ
(4)
Notasi menyatakan massa kumparan yang bergerak dan notasi menyatakan simpangan magnet terhadap kumparan. Gaya yang bekerja akibat redaman mempunyai persamaan sebagai berikut :
ܨௗ ൌ ܥ൬
݀ݔ݀ ݕ െ ൰ ݀ݐ݀ ݐ
(5)
keterangan
== ܥkonstanta redaman == ݔsimpangan osilasi permukaan bumi Sedangkan gaya akibat interaksi magnet mempunyai persamaan :
(6)
ܨ ൌ ݇ሺ ݕെ ݔሻ
sehingga persamaan gerak kumparan di dalam geophone yang memenuhi adalah sebagai berikut :
݉
݀ଶ ݕ ݀ݔ݀ ݕ ܥ൬ െ ൰ ݇ሺ ݕെ ݔሻ ൌ Ͳ ଶ ݀ݐ݀ ݐ ݀ݐ
(7)
Dengan menganggap ݕ ݔdan ݕെ ݔൌ ݖ, maka : ଶ
ଶ
݀ ݔ ݀ ݖ ݀ݖ ݀ݔ݀ ݕ Ǣ ݉ ቆ ଶ ଶ ቇ ܥ ݇ ݖൌ Ͳ ݀ݐ ݀ݐ݀ ݐ ݀ݐ݀ ݐ
(8)
Dengan memindahkan unsur ke ruas kanan, persamaan tersebut dapat ditulis
4
݉
݀ݖ ݀ଶ ݔ ݀ଶ ݖ ܥ ݇ݖ ൌ െ݉ ݀ݐ ݀ ݐଶ ݀ ݐଶ
(9)
Persamaan 11 dapat ditulis
݀ଶ ݖ ݀ݖ ʹߚ ߱ଶ ݖൌ ߱ଶ ܺ ݁ ఠ௧ ଶ ݀ݐ ݀ݐ
(10)
dengan
ߚൌ
݇ ܥ Ǣ߱ଶ ൌ ݉ ʹ݉
(11)
ߚ adalah koefisien redaman dan adalah frekuensi sudut alami geophone. Keadaan-keadaan yang dapat muncul dari persamaan di atas adalah : - Keadaan under damping g (teredam lemah) ߱ଶ ߚଶ - Keadaan critical damping (teredam kritis)
߱ଶ ൌ ߚଶ - Keadaan over damping (teredam kuat) ߱ଶ ൏ ߚଶ Ketiga keadaan tersebut, jika diplotkan akan menghasilkan grafik seperti pada Gambar 4. Sensitivitas Geophone Untuk mengetahui korelasi antara sinyal masukan dan keluaran geophone, perlu diketahui kecepatan dari gerakan mekanik sinyal masukan, misalkan gerak osilasi sinusoidal.
ݔሺݐሻ ൌ ܣሺ߱ ݐ ߜሻ
(12)
simpangan
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
under damping critical damping waktu
over damping
Gambar 4 Gerak Osilasi Teredam pada Geophone
ܣ ߱ ߜ
keterangan = amplitudo maksimum = frekuensi sudut () = fasa
Maka, persamaan kecepatan dari gerak tersebut adalah turunannya.
ݒሺݐሻ ൌ ߱
ܣሺ߱ ݐ ߜሻ
(13)
Kecepatan maksimum untuk gerak tersebut adalah :
ݒ௫ ൌ ߱ ܣൌ ʹߨ݂ܣ
(14)
Sensitivitas geophone dapat diperoleh dengan membagi tegangan maksimum dari kurva keluaran dengan kecepatan maksimum dari kurva kecepatan.
ܵൌ
ܸ௫ ݒ௫
Asumsi umum dari beberapa kasus pemrosesan sinyal array adalah bahwa setiap sensor menghasilkan sinyal yang identik karena merekam informasi dari sumber yang sama. Sedangkan noise pada tiap-tiap sensor bersifat acak dan spesifik. Contoh paling sederhana dari penerapan array signal processor sebagai peningkat signal to noise ratio adalah dengan merata-ratakan keluaran sensor.
(15)
Konfigurasi Geophone Pada awal perkembangan seismik, geophone dikonfigurasikan secara tunggal, yang berarti setiap channel dihubungkan dengan satugeophone. Namun, pada perkembangan berikutnya, setiap channel dihubungkan dengan beberapa geophone. Konfigurasi tersebut dikenal dengan istilah geophone array. Menurut Stark (2008), tujuan utama dari konfigurasi geophone array adalah untuk meningkatkan signal to noise ratio. Sinyal pada masing-masing geophone dalam satu channel akan saling menguatkan sementara white noise akan saling menghilangkan.
ܸ ᇱሺ௧ሻ
ெ
ெ
ୀ ୀଵ
ୀଵ
ͳ ͳ ൌ ܸ ሺݐሻ ൌ ݏሺݐሻ ݊ ሺݐሻ ܯ ܯ
(16)
Sinyal dari masing-masing sensor akan saling menguatkan karena mempunyai amplitudo yang identik. Sedangkan noise, yang bersifat acak akan saling menghilangkan. II. BAHAN DAN METODE Perancangan Penelitian terdiri atas perancangan dan pengujian dari sistem-sistem. Perancangan sistem perangkat
meliputi springless geophone dan sistem selektorsinyal geophone. Sistem selektor sinyal dilengkapi dengan perancangan perangkat lunak untuk menampilkan dan menganalisa sinyal yang direkam. Perancangan springlessgeophoneterdiri atas pembuatan kerangka sistem, pembuatan kumparan, pemasangan magnet dan pemasangan casing.Perbedaan utama skema springless geophone terhadap geophone konvensional digambarkan seperti pada Gambar 5. 5
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
(aa)
(b)
Gambar 5 Perbandingan Skema Geophone Konvensional (a) dan Springless Geophone (b)
Sistem selektor sinyal geophone array terdiri dari ADC yang menerima input, processor yang mengolah data dan DAC yang memberikan nilai output hasil pengolahan processor dalam bentukanalog untuk dapat diteruskan ke sistem perekam data. Sistem yang dirancang pada penelitian ini terdiri atas empat channel geophone dan NI cDAQ 9191 sebagai array signal processor yang mengevaluasi dan mengambil keputusan pada selektor sinyal. Sistem terebut membentuk bagan sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Secara rinci, prinsip kerja dari sistem selektor sinyal dapat dilihat melalui diagram alir pada Gambar 7. Pengujian Karakterisasi springless geophone dilakukan dalam skala laboratorium dengan melakukan tiga pengujian untuk mendapatkan beberapa kuantitas.
i input
ADC
i input
ADC
input i
ADC
i input
ADC
Geophone diberi masukan berupa gelombang buatan dengan frekuensi yang dapat diatur, kemudian keluaran (tegangan listrik) diukur dan direkam untuk dapat melakukan perhitungan variabel-variabel yang dicari. Pemberian sinyal masukan dilakukan menggunakan bantuan alat meja vibrasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8. Meja vibrasi digerakkan oleh gear yang berputar menghasilkan fungsi sinus. Frekuensi vibrasi dapat diatur dengan mengatur kecepatan putaran gear. Pengujian tersebut dilakukan untuk memperoleh : - Sensitivitas(perbandingan output dan input geophone) Sensitivitas akan diperoleh menggunakan Persamaan 15. - Respon Frekuensi(sensitivitas pada variasi frekuensi dari rendah ke tinggi)
Processor
DAC C
Gambar 6 Bagan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array.
6
output
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
Mulai
Membaca sinyal geophone array(ܸଵ , ܸଶ , ܸଷ , ܸସ )
Menghitung rata-rata dan deviasi standar sinyal(ܸത ǡ ߪ)
Menentukan nilai batas seleksi : Batas atas ሺܣܤሻ ൌ ܸത ߪ Batas bawahሺܤܤሻ ൌ ܸത െ ߪ
Memulai evaluasi sinyal ݅ൌͳ ܸ௧௧ ൌ Ͳ ݊ൌͲ
ܤܤ൏ ܸ ൏ ܣܤǫ
Tidak
Ya ܸ௧௧ ൌ ܸ௧௧ ܸ ݊ ൌ݊ͳ
݅ ൌ ݅ ͳ
Tidak
݅ Ͷ ǫ Ya Menghitung rata-rata ܸൌ
ܸ௧௧ ݊
Nilai hasil seleksi sinyalܸԢ
Selesai Gambar 7 Diagram Alir Sistem Selektor Sinyal Geophone Array
7
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
keluaran tersebut dapat dianalisa apakah sistem dapat mengeliminasi sinyal-sinyal yang telah diberi gangguan tersebut. III. HASIL DAN DISKUSI Hasil Perancangan dan Pengujian Geophone Geophone dirancang dalam beberapa eksperimen untuk menghasilkan performa yang lebih baik dari eksperimen sebelumnya. Secara keseluruhan,springless geophone telah mengalami perubahan rancangansebanyak empat kali. Tampilan fisik dari keempat geophone tersebut disajikan pada Gambar 9.
Gambar 8 Meja Vibrasi, Sumber Getaran Sinus Buatan Generasi 1
Pembentukan kurva respon frekuensi dilakukan dengan menguji sensitivitas pada berbagai variasi frekuensi, kemudian memplotkannya pada kurva. - Frekuensi alami (ࢌ ) dan koefisien redaman (ࢼ). Frekuensi alami menyatakan frekuensi sistem ketika tidak ada vibrasi paksa dari luar. Koefisien redaman menggambarkan seberapa cepat getaran tersebut mengalami penurunan amplitudo getarnya hingga akhirnya berhenti bergetar. - Konstanta redaman () ( kemampuan pegas dalam meredam getaran) Nilai konstanta redaman dapat dihitung dari massa pegas dan frekuensi alami berdasarkan persamaan 11. - Konstanta pegas virtual (࢜ ). Konstanta pegas () merupakan hasil perkalian antara kuadrat frekuensi alami () dan massa beban yang bervibrasi (), dalam hal ini magnet berperan sebagai beban.Konstanta pegas virtual dapat kita turunkan dari persamaan 11 menjadi :
Generasi 2
Generasi 3
݇௩ ൌ ߱ଶ ݉ Sistem selektor sinyal geophone diuji dengan memberikan masukan sinyal dari geophone. Pada beberapa channel diberikan gangguan agar sinyal yang dihasilkan mempunyai error ataunoise. Pada keluaran sistem, sinyal diukur dan dievaluasi. Dari 8
Generasi 4
Gambar 9 Springless Geophone Hasil Rancangan
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
a
b
c
Gambar 10 Rancangan Magnet dan Kumparan Geophone (a) Geophone Generasi 1, (b) Geophone Generasi 2, (c) Geophone Generasi 3 dan 4
Springless geophone generasi pertama hingga ke-empat mempunyai dimensi, spesifikasi dan konsep yang berbeda-beda. Setiap geophone ditempatkan dalam casing yang terbuat dari bahan yang mempunyai suseptibilitas magnetik rendah. Rancangan yang digunakan pada masing-masing geophoneditunjukkan pada Gambar 10. Spesifikasi masing-masing geophone disajikan dalam tabel 1. Keempat generasi geophone tersebut dikarakterisasi dalam lingkungan dan parameter yang sama. Dari pengujian-pengujian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut : - Sensitivitas Pengukuran sensitivitas dilakukan pada frekuensi
12 untuk semua geophone. Sedangkan amplitudo vibrasi dipilih 6 pea o pea . Dari masukan tersebut, maka akan diperoleh ݒ௫ kurva kecepatan dengan nilai ݒ௫ sebesar :
ݒ௫ ൌ ʹߨ݂ܣ ݒ௫ ൌ ʹʹ ݉݉Τݏ Pada uji sensitivitas tegangan intrinsik, keempat generasi geophone di atas menghasilkan sinyal keluaran sebagaimana pada Gambar 11. Dari hasil tersebut terlihat bahwa geophone generasi 1 belum dapat memberikan keluaran yang mempunyai korelasi dengan masukan yang diberikan. Magnet pada geophone 1 tidak
Tabel 1. Spesifikasi masing-masing Geophone
Variabel Resistansi kumparan (R) Jumlah lilitan (N) Diameter kawat Bahan magnetik Diameter magnet (d) Massa magnet (m)
p Generasi 1 60 300 0.2 mm ferrite 8 mm 24 gr
g gg p Generasi 2 Generasi 3 160 180 400 500 0.1 mm 0.1 mm ferrite ferrite 15 mm 15 mm 30 gr 30 gr
Generasi 4 180 500 0.1 mm ferrite 15 mm 30 gr
9
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
Geophone1
Geophone2
Geophone3
Geophone4
2.5 2 1.5 tegangan (Vout)
1 0.5 0 -0.5 0
50
100
150
200
250
-1 -1.5 -2 -2.5
waktu (ms) Gambar 11 Sinyal Hasil Keluaran Geophone
berosilasi dengan baik akibat gesekan dengan dinding geophone. Sedangkan pada geophone generasi ke-2 sudah ada perkembangan. Dari kurva tersebut, jika diregresi ke dalam persamaan sinus dapat diketahui bahwa yang dihasilkan ketiga geophone tersebut berturut-turut adalah 1,1V,1,3V dan 2V. Maka berdasarkan Persamaan 24, sensitivitas geophone tersebut adalah :
ܸ௫ ݒ௫ ͳǡͳܸ ܸ ܵଶ ൌ ൌ Ͷǡͻ ݉ ܿ݉ Τݏ ʹʹǡ Τݏ ͳǡ͵ܸ ܸ ܵଷ ൌ ൌ ͷǡͺ ݉ ܿ݉ Τݏ ʹʹǡ Τݏ ʹܸ ܸ ܵସ ൌ ൌ ͺǡͺ ݉ ܿ݉ Τݏ ʹʹǡ Τݏ ܵൌ
Geophone industri yang sudah banyak digunakan, misalkan SM-24 atau tipe GS-20DX, mempunyai sensitivitas tegangan intrinsik 28 V/m/s. Dengan demikian, springless geophone mempunyai sensitivitas yang lebih rendah. - Respon frekuensi Pengukuran sensitivitas untuk membentuk kurva respon frekuensi dilakukan pada variasi frekuensi½, 1, 2, 3, 5, 8, 12, 15 dan 19Hz. 10
Kemudian nilai sensitivitas pada masing-masing frekuensi diplot pada koordinat Cartesius dengan sumbu x logaritmik dan sumbu y linier. Kurva yang diperoleh dari geophone generasi ke-dua hingga ke-empat adalah sebagaimana tertera pada Gambar 12. Dari kurva di atas, dapat diamati bahwa geophone generasi 2 mengalami kestabilan sensitivitas dimulai pada frekuensi sekitar 5 Hz, geophone generasi 3 pada 9-10 Hz dan generasi 4 pada 7-8 Hz. Geophone SM-24 dan tipe GS-20DX mempunyai frekuensi alami 10Hz, sehingga akan merespon dengan baik frekuensi di atas 10 Hz, dan kurang baik pada frekuensi di bawah 10 Hz. Dari hasil di atas, springless geophone mempunyai respon yang lebih baik. - Frekuensi alami dan koefisien redaman Pengukuran frekuensi alami () dan koefisien redaman () dilakukan dengan cara memberikan masukan setengah periode gelombang kepada geophone sehingga terbentuk gelombang paku (spike). Perekaman dilakukan dengan sampling rate 5 ms atau 200 Hz. Pengukuran tersebut pada springless geophone generasi 2 hingga 4 menghasilkan kurva pada Gambar 13. Dengan mengetahui periode getaran, frekuensi alami dan frekuensi sudut alami dapat ditentukan dengan persamaan :
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
Sensitivitas (V/m/s)
Geophone2
Geophone3
Geophone4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0.1
1
10
100
frekuensi (Hz) Gambar 12 Kurva Respon Frekuensi Geophone
ͳ ܶ ߱ ൌ ʹߨ݂
݂ ൌ
Gambar di atas menunjukkan bahwa periode getaran untuk geophone 2, 3 dan 4 berturut-
Geophone2
turut adalah 200 ms, 110 ms, 140 ms. Dengan demikian, frekuensi alami () dan frekuensi sudut alami () dari masing-masing geophone adalah : Redaman gerak osilasi ideal mengakibatkan penurunan amplitudo secara eksponensial,
Geophone3
Geophone4
250 200
Vout (mV)
150 100 50 0 -50
0
200
400
600
800
1000
-100 -150
waktu (ms) Gambar 13 Kurva Pengukuran n ݂ dannߚ geophone
11
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
sehingga koefisien redaman dapat diperoleh melalui persamaan : ݂ ଶ ൌ
ͳ ൌ ͷݖܪ ʹͲͲ
݂ ଷ ൌ
߱ ଷ ൌ ͳͺǡʹߨ ܴܽ݀ൗݏ
߱ ଶ ൌ ͳͲߨ ܴܽ݀ൗݏ ݂ ସ ൌ
ͳ ൌ ͻǡͳ ݖܪ ͳͳͲ
ͳ ൌ ǡͳݖܪ ͳͶͲ
߱ ସ ൌ ͳͶǡʹߨ ܴܽ݀ൗݏ
Dengan memasukkan nilai pada kurva di atas ke dalam persamaan tersebut, diperoleh nilai pada masing-masing geophone sebagai berikut : - Analisis Getaran Sistem terhadap Redaman Dari nilai ߱ dan ߚ dapat dianalisa kategori getaran tersebut. Geophone
β2(S-2)
ω2n(S-2)
Perbandingan
ke-2
396
987
β2 < ω2n
ke-3
396
3269
β2 < ω2n
ke-4
408
1990
β2 < ω2n
NI 9239dan cDAQ 9191. Secara fisik, komponenkomponen tersebut digambarkan pada Gambar 14. Perangkat lunak sistem selektor sinyal geophone array yang telah dirancang mempunyai blok diagram vi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15. Diagram blok vi pada Gambar 20 adalah bentuk pemrograman komputer berbasis grafis yang dijalankan atau dikompilasi oleh perangkat lunak LabView. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sinyal keluaran geophone digambarkan pada bagian kiri atas, display sinyal keluaran pada bagian kanan atas, sedangkan bagian bawah merupakan representasi algoritma pengolahan sinyal.
Semua sistem mempunyai nilai , sehingga getaran yang dihasilkan dari ketiga sistem tersebut masuk ke dalam kategori underdamping (teredam lemah). - Konstanta Redaman Konstanta redaman dihitungdengan memasukkan nilai koefisien redaman dan massa magnet ke dalam persamaan 16. Perhitungan tersebut menghasilkan nilai berikut :
ܥଶ ൌ ͳǡͳͻͶ
݇݃ൗ ݏ
ܥସ ൌ ͳǡʹͳʹ
ܥଷ ൌ ͳǡͳͺͺ
݇݃ൗ ݏ
݇݃ൗ ݏ
- Konstanta Pegas Virtual Dari massa magnet dan frekuensi alami sistem springless geophone, melalui persamaan 17 diperoleh nilai konstanta pegas virtual sebagai berikut : ݇݃ ݇݃ ݇௩ ଶ ൌ ʹͻǡ ଶ ݇௩ ଷ ൌ ͻͺǡͳ ଶ ݏ ݏ
݇௩ ସ ൌ ͷͻǡ
݇݃ ݏଶ
- Hasil Perancangan Sistem Selektor Sinyal Perangkat antarmuka yang digunakan untuk menangkap sinyal keluaran geophone adalah modul 12
Gambar 14 Modul Antarmuka Akuisisi NI 9239 dan cDAQ 9191
Hasil Pengujian Sistem Selektor Sinyal Sistem selektor sinyal geophone array diuji dengan memberikan tiga masukan sinyal identik dan satu sinyal error. Empat geophonetersebut diberi sinyal yang sama. Pada waktu tertentu, salah satu geophone dilepas dari meja vibrasi, sehingga tidak menghasilkan sinyal yang identik dengan tiga geophone lain. Hasil pengujian tersebut ditunjukkan sebagaimana tertera pada Gambar16.
1. Karakterisasi Springless Geophone dan Perancangan Sistem Selektor Sinyal Geophone Array untuk Meningkatkan Signal to Noise Ratio Data Seismik. (Yudi Kuntoro)
while loop
Gambar 15 Diagram Blok Vi Sistem Selektor Sinyal Geophone
Gambar 21 di atas menunjukkan bahwa pada saat salah satu geophone dilepas, sinyal keluaran yang dihasilkan tidak lagi menyertakan sinyal dari geophone tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem dapat menyeleksi sinyal yang tidak identik dalam mengumpulkan sinyal geophone array. Peningkatan signal to noise ratio yang diperoleh dari sistem tersebut sebanding dengan noise yang terdapat pada masing-masing geophone. Secara kuantitatif, pendeteksian noise didefinisikan dalam dua kondisi : - Geophone mati (ditunjukkan dengan tanda elips merah pada gambar 21). Besarnya error / noise y g oleh sistem selektor ini adalah : yang dikoreksi
ܧ ൌ ቀ
ܧ ൌ
ೝೝ σୀଵ ሺܸ െ ܸ ሻ ݊
di mana ܸ adalah tegangan keluaran geophone error ke-i dan ܸ adalah tegangan keluaran geophone normal.
݊ ቁ ܸ ݊
di mana ܧ adalah error akumulatif (grup), ݊ adalah jumlah geophone yang mati, ݊ adalah jumlah seluruh geophone dalam satu grup dan adalah tegangan keluaran geophone normal. - Sumber eksternal (ditunjukkan dengan tanda elips hijau pada gambar 21). Besarnya error/ noise secara akumulatif adalah selisih antara tegangan keluaran geophone yang mengalami sinyal ekstrim dengan geophone normal dibagi jumlah seluruh geophone dalam satu channel.
Gambar 16 Hasil Pengujian Sistem Selektor Sinyal Geophone Array
13
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 1 - 14
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Springless geophone mempunyai frekuensi alami yang lebih baik namun sensitivitasnya lebih rendah dibanding geophone konvensional. Sensitivitas springless geophone maksimum hanya dapat mencapai 8,8 V/m/s sedangkan geophone konvensional mempunyai nilai 28 V/m/s. Sistem selektor sinyal geophone yang dirancang pada penelitian ini berhasil mengkoreksi noise / error sinyal geophone array sehingga dapat meningkatkan signal to noise ratio data seismik yang akan direkam. Error / noise yang dapat ditekan / direduksi oleh sistem ini antara lain kondisi geophone mati dan geophone yang mendapatkan vibrasi dari sumber lain sehingga menghasilkan amplitudo lebih besar. KEPUSTAKAAN Brincker, R., Lagö, T.L.et al., 2005.Improving the Classical Geophone Sensor Element by Digital Correction.23rd International Modal Analysis Conference (IMAC), Orlando, Florida. Gadallah, M.R., Fisher, R.L., 2005.Applied Seismology: A Comprehensive Guide to Seismic Theory and Application. Pennwell.Oklahoma. Johnson, D.H., & Dudgeon, D. E.,1993. Array Signal Processing: Concepts and Techniques. PTR Prentice Hall.New Jersey.
14
McQuillin, R., Bacon, M.,& Barclay, W., 1984. An Introduction to Seismic Interpretation: Reflection Seismic in Petroleum Exploration. Gulf Publishing. Houston. O’Brien, P.N.S., 1964.Geophone Distorsion of Seismic Pulses and its Compensation. Twenty Sixth Meeting of The European Association of Exploration Geophysics in Pau, 19. Palmer, R. A., 1964. A New Technique For The Measurement of Geophone Parameter under Fields Conditions. Twenty Sixth Meeting of The European Association of Exploration Geophysics in Pau, 423. Rost, S.,Thomas, C., 2002. Array Seismology: Methods and Applications.American Geophysical Union. Reviews of Geophysics, 40, 3. Sismanto., 1996. Pengolahan Data Seismik. Universitas Gadjahmada. Yogyakarta. Stark, A., 2008. Seismic Methods and Applications: A Guide for the Detection of Geologic Structures, Earthquake Zones and Hazards, Resource Exploration, and Geotechnical Engineering. BrownWalker Press.Florida. Stone, D. G., 1994. Designing Seismic Surveis in Two and Three Dimensions. Society of Exploration Geophysicists.Oklahoma Streickeisen et al., 1982. Design and Performance, The Leaf-Spring Seismometer,72, 2352. Thomson, W. T., 1981. Theory of Vibration with Application, 2nd edition. Prentice Hall. New Jersey. Yilmaz, Ö., 1987. Seismic Data Processing. Society of Exploration Geophysicists.Oklahoma.
2. Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12dan Menggunakan Katalis Ni /Zeolit dan Zn /Zeolit. LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK GAS BUMI (Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim)
Vol. 49 No.1 April 2015 : 2-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12 Menggunakan Katalis Ni/Zeolit dan Zn/Zeolit Conversion Plastic to be Alkanes Compound of Chain C6 - C12 Using Ni /Zeolit and Zn /Zeolit Catalyst Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim Universitas Jember, Fakultas MIPA Kimia Jl. Kaimantan 37, Jember Telepon: +6281229307700 E-mail:
[email protected],
[email protected] Teregistrasi I tanggal 11 November 2014; Diterima tanggal 2 Desember 2014; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Telah dilakukan penelitian konversi plastik menjadi senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 menggunakan katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit serta reaktor sistem fixed bed. Katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit dipreparasi melalui teknik perendaman dalam air, kalsinasi, oksidasi, impregnasi basah logam Ni dan Zn dan reduksi. Kalsinasi, oksidasi dan reduksi dilakukan pada suhu 500oC dengan laju alir gas (nitrogen, oksigen atau hidrogen) 20 mL/menit. Hasil yang diperoleh dari perengkahan plastik menjadi senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 adalah 77,02 % untuk jenis katalis Zn/zeolit dan 76,87% untuk jenis katalis Ni/zeolit. Kata Kunci: katalis Ni/zeolit, katalis Zn/zeolit, plastik, senyawa alkana. ABSTRACT Has done research into the conversion of plastic compounds with long- chain alkanes C6 - C12 using the catalyst Ni zeolite and Zn/zeolite and the fixed bed reactor system . Catalyst Ni/zeolite and Zn/zeolite prepared through immersion technique, calcination, oxidation, wet impregnation of Ni and Zn metal and reduction. Calcination, oxidation and reduction is carried out at a temperature of 500°C with a flow rate of gases (nitrogen, oxygen or hydrogen) 20 mL/min. The results obtained from the cracking of plastic into a compound alkanes with chain lengths C6 - C12 is 77.02% for the type of catalyst Zn/zeolite and 76.87% for the type of catalyst Ni/zeolite. Keywords: Ni/zeolit catalyst, Zn/zeolit catalyst, plastic, alkane compounds.
I. PENDAHULUAN Plastik digolongkan bahan yang sulit untuk didegradasi, plasik membutuhkan waktu yang relatif sangat lama untuk dapat didegradasi oleh alam (Ofoma, 2006). Metode yang digunakan untuk mengkonversi plastik menjadi bahan bakar cair adalah melalui reaksi perengkahan plastik, baik perengkahan termal (pirolisis) maupun perengkahan katalitik (Junya 2004; Ofoma 2006). Pemanfaatan sampah plastik sebagai sumber bahan bakar cair, merupakan salah satu metode yang dapat dilaksanakan untuk mengurangi masalah yang ditimbulkan oleh sampah plastik. Junya et al. (2004) berhasil mengkonversi limbah plastik menjadi fraksi bahan bakar cair sebesar 59,5%
berat, dengan BTX (benzena, toluena dan xylena) sebagai produk terbanyak (60% dari total produk fraksi bahan bakar cair). Penelitian yang dilakukan oleh Trisunaryanti (1996) berhasil mengkonversi plastik menjadi bahan bakar cair yang memiliki distribusi titik didih lebih rendah dari pada minyak diesel ketika menggunakan katalis jenis zeolit alam. Plastik merupakan polimer yang tersusun atas banyak monomer, seperti polietilena, polipropilena, poli(vinil klorida) dan lain-lain. Plastik secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu termoplastik dan termoset. Termoplastik umumnya merupakan turunan etilena yang memiliki sifat fisik lunak jika dipanaskan dan keras jika didinginkan. Sedangkan plastik termoseting akan mengalami perubahan kimia 15
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 15 - 22
O
O
H H Etilena Glikol
H =
C
=
C - OH + n HO -C-C-O H
Asam Tereftalat
O
=
H H
=
=
O n HO-C
C-O -C H Poli(Etilena Tereftalat)
Gambar 1 Polimerisasi Poli(etilena tereftalat) dari asam tereftalat. (Saunders,1994; Stevens, 2001)
jika dipanaskan, secara fisik plastik jenis ini akan lunak pada awal pemanasan, kemudian mengeras secara permanen (Stevens 2001) seperti gambar 1. Poli(etilena tereftalat) (PET) merupakan poliester linier yang paling banyak digunakan. PET dapat dipreparasi dari asam tereftalat (padatan putih dengan titik sublimasi 300°C) dan etilena glikol (cairan tidak berwarna dengan titk didih 197°C), polimer ini bisa dipreparasi dalam padatan atau dalam larutan dengan memakai etilena glikol berlebih untuk menaikkan laju esterifikasi. Proses ini mula-mula menghasilkan poliester terterminasi hidroksil yang berat molekulnya rendah, yang kemudian ditransesterifikasi dengan lepasnya glikol berlebih untuk memperoleh polimer dengan berat molekul tinggi (Saunders 1994; Stevens 2001) seperti pada Gambar 1. Asam tereftalat memiliki titik lebur tinggi dan sangat tidak larut dalam sebagian besar pelarut umum. Karena alasan inilah, lebih sering digunakan reaksi transesterifikasi dimetil tereftalat (padatan putih dengan titik leleh 142°C) dengan etilena glikol untuk membuat poli(etilena tereftalat). Reaksi transesterifikasi tersebut melibatkan suatu pertukaran ester awal untuk membentuk suatu diester dan melepaskan metanol, yang diikuti pertukaran kedua untuk membentuk polimer (Saunders 1994; Stevens 2001). Polipropilena (PP) adalah polioelefin yang memiliki titik leleh 155 - 160 °C pada homopolimernya dan 160-165°C pada kopolimer bloknya. PP diproduksi secara komersial menggunakan katalis Ziegler-Natta dengan proses polimerisasi fase cair dalam propilena cair (C3H6) pada temperatur 55oC
dan tekanan 20 atm, dengan reaksi sebagai berikut (seperti pada Gambar 2). PP memiliki sifat resistansi yang baik terhadap bahan kimia, tahan panas, barier air dan mudah diproses. Oleh karena itu, banyak digunakan sebagai botol kecap, botol obat, tempat air minum dan lain-lain (Saunders 1994). Polietilena merupakan poliolefin yang terbentuk dari polimerisasi etilena (C2H4) dengan reaksi seperti berikut: Plastik jenis PE banyak digunakan untuk bagian dalam mesin cuci, komponen mobil, kursi, tangkai pegangan, kotak, keranjang, pipa, isolator listrik, kemasan (lembaran tipis) untuk makanan dan barang (Billmeyer 1991). Polietilena dibagi menjadi produk massa jenis rendah (LDPE: Low-density Poly Ethylene) dengan massa jenis lebih kecil dari 0,94 g/ cm3. Dan produk massa jenis tinggi (HDPE: Highdensity Poly Ethylene) yang merupakan polimer etilena linier dengan massa jenis lebih dari 0,920,99 g/cm3, sehingga lebih rapat, lebih kuat, dan bertitik lebur lebih tinggi dari pada LDPE (Oxford University 1999). Yang menjadi permasalahan utama adalah bahwa sampah plastik berisifat tidak dapat diperbaharui dalam waktu yang singkat, jumlahnya sangat melimpah dan mengganggu estetika lingkungan. Oleh karena itu timbul permasalahan utama yaitu bagaimana mengolah sampah plastik sehingga menjadi senyawa yang bermanfaat. Bahan dan Metode Alat dan Bahan H
Propilena
polipropilena
Gambar 2 Polimerisasi Polipropilena (Saunders, 1994)
16
H C C
H
H Gambar 3 Polimerisasi Polietilena
H H C C H H
n
2. Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12 Menggunakan Katalis Ni /Zeolit dan Zn /Zeolit. (Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim)
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peralatan gelas, neraca analitik, termometer, kolom aktivasi, kolom pirolisis, reaktor jenis fixed bed, oven, GC, Analyser Surface Area, Spektofotometer AAS, pengaduk, saringan, wadah plastik, alat refluks, cawan porselin dan krus teflon. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: zeolit alam dari PT. Prima Zeolita Wonosari Yogyakarta, serpihan plastik PP, kristal NiCl2.6H2O, kristal ZnSO4.6H2O, gas nitogen (N2), gas oksigen (O2), larutan HF 1% dan 4%, larutan HCL 6M, larutan NH4Cl 1M, larutan aquaregia (HNO3(pa): HCL(pa) = 1:3), larutan NH4OH (gas NH3), glass wool, akuades, garam dan es. II. BAHAN DAN METODE Prosedur Pembuatan Katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit Zeolit alam dicuci dalam erlenmeyer dan dikeringkan dengan alat vacum drying oven kemudian dilanjutkan dengan kalsinasi dengan mengalirkan gas nitrogen pada temperatur 500ºC selama 4 jam. Kemudian dioksidasi menggunakan oksigen pada temperatur 400ºC selama 1,5 jam (Handoko 2001). Zeolit alam direndam dalam larutan HF 1% dengan perbandingan volume 1:2 dalam gelas beaker selama 10 menit pada temperatur kamar. Kemudian disaring dan dicuci berulang-ulang dengan akuades sampai pH 6. Endapan zeolit alam kemudian direfluks dengan menggunakan HCl 6M selama 30 menit pada temperatur 90ºC sambil diaduk dengan pengaduk magnetik. Setelah itu dilanjutkan dengan penyaringan dan pencucian dengan akuades hingga pH 6, dikeringkan dalam oven pada temperatur 130ºC selama 3 jam (Trisunaryanti 1991). Selanjutnya adalah penambahan NH4Cl 1M ke dalam zeolit kemudian dipanaskan pada temperatur 90ºC selama 3 jam setiap hari selama 6 hari sambil diaduk setiap satu jam selama pemanasan. Setelah itu, disaring dan dicuci dengan akuades hingga pH 6, kemudian dikeringkan dalam oven pada
temperatur 130ºC selama 3 jam. Setelah dingin dihaluskan dan diletakkan dalam cawan porselin. Selanjutnya dipanaskan pada temperatur 500ºC selama 4 jam dalam tanur lalu didinginkan kembali sehingga diperoleh zeolit alam dengan pengasaman (NZA) (Khairinal 2000). Katalis NZA kemudian dihidrotermal dengan cara mengalirkan uap air selama 5 jam pada temperatur 500°C, didinginkan dan dilanjutkan dengan proses kalsinasi dengan dialiri gas nitrogen, selama 3 jam pada temperatur 500ºC, kemudian didinginkan. Proses dilanjutkan dengan oksidasi dengan gas oksigen, selama 1,5 jam pada temperatur 400ºC (Handoko 2001). Selanjutnya didinginkan dan diperoleh katalis H5NZA. Pembuatan katalis Ni/H5NZA (Ni/zeolit) dilakukan dengan cara pengembanan logam Ni pada katalis H5NZA melalui proses impregnasi dengan metode semi basah, yaitu dengan cara mencampur katalis H5NZA dan larutan NiCl 2.6H 2O pada temperatur 90oC sambil diaduk sampai terbentuk serbuk dan diperoleh katalis Ni(II)/H5NZA. Sedangkan katalis Zn(II)/H5NZA (Zn/zeolit) dibuat dengan cara pengembanan logam Zn pada katalis H5NZA melalui proses impregnasi dengan metode semi basah, yaitu dengan cara mencampur katalis H5NZA dan larutan ZnSO4.6H2O pada temperatur 90oC sambil diaduk sampai terbentuk serbuk dan diperoleh katalis Zn(II)/H5NZA. Perbandingan berat H5-NZA dan berat NiCl2.6H2O serta ZnSO4.6H2O yang diembankan, seperti pada Tabel 1. Setelah selesai, sampel katalis dikalsinasi dengan gas nitrogen berkecepatan ±5 mL/detik pada temperatur 500oC selama 3 jam. Pada proses kalsinasi, sampel katalis ditempatkan dalam reaktor aktivasi dan dipanaskan pelan-pelan hingga temperatur 500oC sambil dialiri gas nitrogen dengan kecepatan ±5 mL/detik. Setelah temperatur mencapai 500oC, dipertahankan selama 3 jam, dilanjutkan dengan proses oksidasi dengan cara mengalirkan gas oksigen dengan kecepatan ±5 mL/detik, temperatur 500oC selama 2 jam kemudian didinginkan (Handoko
Tabel 1 Perbandingan berat NiCl2.6H2O dan Berat ZnSO4.6H2O (2% b/b) dalam 100 gram Katalis No No.
Jenis Logam Jenis Logam
Berat BeratLogam Logam (gram) (gram)
Berat H5-NZA (gram) (gram)
Berat Berat Kristal Kristal Logam Logam (gram) (gram)
1
Ni
2
98
8,1
2
Zn
2
98
8,24
Catatan: BM ZnSO4.6H2O = 269,44 g/mol, BM NiCl2.6H2O = 237,6 g/mol
17
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 15 - 22
2001). Dari proses tersebut diperoleh katalis Ni/ zeolit dan Zn/zeolit. Prosedur Perengkahan Plastik dengan Menggunakan Katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit Katalis diuji-cobakan dalam reaksi perengkahan terhadap plastik pada kisaran temperatur 350450ºC (variable temperature: 350, 400 dan 450oC) menggunakan reaktor fixed bed. Prosedur uji aktivitas katalis dilakukan dengan meletakkan sampel katalis sebanyak 2,5 gram dimasukkan ke
Keterangan: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Regulator aliran gas. Evaporator Furnace Saluran penghubung Furnace Reaktor Katalis Pendingin Penampung produk
Gambar 4 Peralatan Reaktor Fixed Bed
dalam kolom reaktor dan 5 gram pirolat plastik diletakkan ke dalam evaporator. Selanjutnya dilakukan penyusunan alat seperti dalam Gambar 4. Pemanas kolom (furnace) reaktor katalitik (tempat katalis) dipanaskan pada kisaran temperatur 350450ºC dengan mengatur regulator tegangan. Setelah proses katalitik selesai, produk ditempatkan dalam botol yang bersih kemudian dianalisis dengan menggunakan alat GC-MS. III. HASIL DAN DISKUSI Perengkahan Plastik Secara Termal Perengkahan secara termal plastik dilakukan pada temperatur 400-500ºC terhadap 10 gram sampel plastik menggunakan reaktor. Profil pemanasan diatur agar reaktor mencapai temperatur 400°C dalam waktu 30 menit dan mencapai temperatur 500°C dalam waktu 1,5 jam. Pada temperatur tinggi persentase pemutusan rantai cukup efektif (madorsky dan Flynn dalam Stevens 2001). Sehingga pada perengkahan termal plastik diperoleh senyawasenyawa yang lebih pendek dengan panjang rantai yang relatif tidak beraturan dibandingkan produk depolimerisasi. Pada perengkahan termal pertama 18
diperoleh 5,4 g produk yang berwujud padat pada temperatur 25ºC. Oleh karena itu dilakukan perengkahan termal ke-dua untuk memperoleh produk yang berwujud cair pada temperatur 25ºC. Pada perengkahan termal pirolat plastik, diperoleh rata-rata 4 g produk cair dan 0,4 g kokas. Perengkahan Termal Pirolat Plastik PP Pada perengkahan sampel pirolat plastik (hasil pirolisis plastik) PP, mulai diperoleh produk pada temperatur antara 400 sampai dengan 450ºC dan dibutuhkan waktu 2-2,5 jam untuk memperoleh 100% produk. Produk perengkahan termal pirolat plastik PP memiliki warna kuning jernih. Berdasarkan kromatogram produk, diperoleh 165 puncak kromatogram produk perengkahan termal plastik PP. Sehingga berdasarkan banyaknya senyawa yang dihasilkan dari proses perengkahan termal yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diambil suatu hipotesis bahwa mekanisme pembentukan Tabel 2 Sebaran Puncak Kromatogram Produk Perengkahan Termal Pirolat Plastik PP pada Temperature 450 oC TR (menit) <10 10 – 20 >20
Jumlah Puncak Konsentrasi (%) 44 33,54 84 55,61 37 10,84
produk melalui reaksi depolimerisasi sangat kecil dan sebagian besar melalui mekanisme pemutusan rantai secara acak, seperti pada Tabel 2. Perengkahan Katalitik Plastik Perengkahan katalitik plastik dilakukan pada temperatur 350-450ºC terhadap 5 g sampel pirolat plastik menggunakan reaktor fixed bed. Profil pemanasan diatur agar reaktor mencapai temperatur 350°C dalam waktu 30 menit dan mencapai temperatur 450°C dalam waktu 1,5 jam terhitung mulai awal pemanasan. Dalam perengkahan katalitik pirolat plastik yang telah dilakukan dalam penelitian ini diperoleh produk rata-rata sebanyak 4,2 g atau sekitar 84%. Pada proses ini juga diperoleh produk yang berwujud gas yang tidak tertampung dalam botol produk dan produk yang tertinggal dalam reaktor berupa kokas rata-rata sebanyak 0,5 g. - Perengkahan katalitik menggunakan katalis Ni/zeolit Pada produk perengkahan katalitik pirolat plastik PP pada tempertur 450oC menggunakan katalis
2. Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12 Menggunakan Katalis Ni /Zeolit dan Zn /Zeolit. (Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim)
Tabel 3 Sebaran Puncak Kromatogram Produk Perengkahan Katalitik Pirolat Plastik Pp Menggunakan Katalis Ni/ Zeolit pada Temperature 450Oc p
TR (menit) < 10 10 – 20 > 20
Jumlah puncak 52 68 5
Konsentrasi (%) 54,76 43,70 1,14
Ni/zeolit diperoleh lebih dari 98% senyawa dalam produk memiliki waktu retensi dibawah 20 menit, hasil analisis menggunakan GC-MS disjikan dalam Pada perengkahan katalitik menggunakan katalis Ni/zeolit diperoleh produk yang meningkat pada waktu retensi <10 yaitu 54,76% dibandingkan saat perengkahan secara termal yaitu 33,54% keadaan ini kemungkinan disebabkan terjadi peningkatan aktivitas katalis Ni/zeolit. Produk yang dihasilkan dari perengkahan secara katalitik dengan menggunakan katalis Ni/zeolit menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan secara termal (Gambar 5). - Perengkahan katalitik menggunakan Katalis Zn/zeolit Pada produk perengkahan katalitik pirolat plastik PP menggunakan katalis Zn/zeolit diperoleh lebih dari 98% senyawa dalam produk memiliki waktu retensi dibawah 20 menit, hasil seperti
Tabel 4 Sebaran Puncak Kromatogram Produk Perengkahan Katalitik Pirolat Plastik Pp Menggunakan Katalis Zn/Zeolit TR (meenit)
Jumlah Puuncak
Konsentrasi (%)
< 10
55
60,95
10 – 20
55
37,69
> 20 2
7
1,36
pada Table 4. Pada perengkahan menggunakan katalis Zn/zeolit menunjukkan hasil bahwa reaksi perengkahan berlangsung lebih baik dibandingkan saat digunakan katalis Ni/zeolit. Keadaan ini menunjukkan bahwa katalis Zn/zeolit cenderung lebih aktif dibandingkan saat digunakan katalis Ni/zeolit yang dikarenakan konfigurasi electron untuk Zn lebih rapat dikarenakan jari-jari atomnya lebih kecil dibandingkan Ni, Ni memang lebih banyak electron yang belum berpasangan tetapi untuk Ni setelah menyerap electron mempunyai kecenderungan sulit untuk melepaskan electron yang terserab. Aktivitas katalis pada perengkahan pirolat plastik PP Penggunaan katalis dalam perengkahan pirolat plastik ternyata menghasilkan produk dengan
Gambar 5 Kromatogram Produk Perengkahan Katalitik Pirolat Plastik PP Menggunakan Katalis Ni/Zeolit
19
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 15 - 22
Gambar 6 Kromatogram produk perengkahan katalitik pirolat plastik PP menggunakan katalis Zn/zeolit
kelimpahan di daerah waktu retensi kurang dari 20 menit yang lebih besar daripada produk perengkahan termal. Penggunaan katalis dalam perengkahan pirolat plastik PP menyebabkan pergeseran sebaran produk ke daerah waktu retensi kurang dari 10 menit dan terjadi penurunan jumlah produk dengan waktu retensi lebih dari 20 menit. Pada produk perengkahan katalitik pirolat plastik PP terdapat lebih dari 40% produk dengan sebaran waktu retensi di bawah 10 menit (Tabel 5). Produk perengkahan pirolat plastik PP secara katalitik, terdapat sejumlah produk yang identik dengan hasil perengkahan termal dengan konsentrasi relatif sekitar 23%. Produk tersebut merupakan produk utama yang dihasilkan karena pengaruh termal pada perengkahan katalitik pirolat plastik PP. Sedangkan puncak kromatogram spesifik
yang dimiliki oleh produk perengkahan katalitik pirolat plastik merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan karena pengaruh penggunaan katalis dalam reaksi perengkahan tersebut. Selektivitas Katalis dalam Pembentukan Produk Bahan Bakar Cair dari Plastik Penentuan selektivitas katalis dilakukan pada produk perengkahan pirolat plastik PP. Produk perengkahan katalitik pirolat plastik PP dapat dibandingkan langsung dengan bahan bakar cair (bensin dan solar) karena merupakan senyawa hidrokarbon dan memiliki kemiripan (similarly index) dengan bensin dan solar saat dianalisis dengan kromatografi gas (seperti Tabel 6). Penggunaan katalis dalam perengkahan pirolat plastik PP menghasilkan produk di daerah
Tabel 5 Pengaruh penggunaan katalis terhadap sebaran puncak produk perengkahan pirolat plastik PP
TR (m menit) < 10 10 0 – 20 > 20
20
Ka atalis
Termal Jumla ah 44 84 37
Konse entrasi (% %) 33,,54 55,,61 10,,84
Ni/zeo olit
Zn n/zeolit
Jumlah Konse entrasi (%) Jumlah 52 5 6 68 5
5 54,76 4 43,70 1,15
55 55 7
K Konsentrasi (%) 60,95 37,69 1,36
2. Konversi Plastik Menjadi Senyawa Alkana Rantai C6 - C12 Menggunakan Katalis Ni /Zeolit dan Zn /Zeolit. (Donatus Setyawan Purwo Handoko dan Wahid Hasyim)
Tabel 6 Data Sebaran Puncak Kromatogram Produk Perengkahan Katalitik Pirolat Plastik Pp Berdasarkan Range Bahan Bakar pada Temperature 450Oc PERENGKAHAN KATALITIK Perengkahan katalitik DAERAH T TRR Daerah <
Ni(II)/H5NZA Ni(II)/H 5NZA KONSENTRASI Konsentrasi JUMLAH Jumlah (%) 32 36,57 61 53,65 11 2,37 21 7,41
waktu retensi yang lebih kecil dan meningkatkan pembentukan senyawa yang memilki waktu retensi di daerah waktu retensi fraksi bensin dan senyawasenyawa di bawah fraksi bensin (fraksi senyawa dengan TR di bawah 20 menit). Produk perengkahan plastik PP menggunakan katalis Ni/zeolit dan Zn/zeolit menghasilkan masingmasing 21 dan 16 puncak kromatogram yang memiliki waktu retensi di daerah waktu retensi solar, dan menghasilkan 61 puncak kromatogram yang memiliki waktu retensi di daerah waktu retensi bensin. Sehingga katalis Ni/zeolit memiliki selektivitas yang lebih tinggi daripada Zn/zeolit dalam pembentukan produk yang memiliki waktu retensi di daerah waktu retensi solar, dan memiliki selektivitas yang sama dalam pembentukan produk yang memiliki waktu retensi di daerah waktu retensi bensin. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Zn(II)/H NZA Zn(II)/H 5NZA 5 KONSENTRASI Konsentrasi JUMLAH Jumlah (%) 33 40,1 61 53,38 7 1,4 16 5,13
Cair Kayu Bengkirai, Tidak Dipublikasikan. Tesis. Yogyakarta: UGM. Hughes, R., 1984, Deactivation of Catalyst, Academic Press Inc. Ltd., London. Junya, Masaaki, Hironobu, Tadashi, & Nobuhiko, 2004, Development of Feedstock Recycling Process for Converting Waste Plastics to Petrochemicals. IHI Engineering Review. Vol. 37 No. 2. June 2004. Khan, A. K., 2002, Research into Biodiesel, Kinetics & Catalyst Development, Department of Chemical Engineering, The University of Queensland, Brisbane. Kloprogge T.J., Doung Loc V., & Ray L. Frost, 2005, A Review of The Synthesis and Characterization of Pillared Clays and Related Porous Material for Cracking of Vegetable Oil to Produce Biofuel, Env. Geo. J, 47, 7, 967-981. Knothe, G., 2005, Dependence of Biodiesel Fuel Properties on the Structure of Fatty Acid Alkyl Esters, Fuel Process. Technol., 86, 1059– 1070.
Konversi plastik menjadi senyawal alkana dapat dilakukan dengan metode katalitik cracking dengan katalis Zn/zeolit dan Ni/zeolit pada temperature 350 hingga 450oC menggunakan reactor system fixed bed. Hasil yang diperoleh dari perengkahan plastik jenis polypropilen (PP) menjadi senyawa alkana dengan panjang rantai C6-C12 adalah sebagai berikut: 77,02 % untuk jenis katalis Zn/zeolit dan 76,87 % untuk jenis katalis Ni/zeolit.
Knothe, G., 2000, Monitoring a Progressing Transesterification Reaction by Fiber-Optic Near Infrared Spectroscopy with Correlation to 1H Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy, J. Am. Oil Chem. Soc., 77, 94, 489–493.
KEPUSTAKAAN
Laidler, K., J., 1950, Chemical Kinetics, 1st edition., McGraw-Hill Book Company, Inc., New York.
Dyer, A., 1988, An Introduction to Zeolite Molecular Sieves, John Wiley and Sons Ltd., Chichester. Derouane, E.G., 1992, Zeolite Microporous Solids: Synthesis, Structure, and Reactivity, Kluwer Academic Publishers, London. Harber, J., 1991, Manual on Catalyst Characterization, Pure and Appl. Chem., 63, 9, 1227-1246. Handoko, D.S.P., 2001, Modifikasi Zeolit Alam dan Karakterisasinya sebagai Katalis Perengkahan Asap
Ketaren, 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kunkeler P.J., 1998, Zeolite Beta: The Relationship between Calcination Procedure, Aluminum Configuration, and Lewis Acidity, J. Catal. 180, 234.
Lowell, S. & Shields, J.E, 1984, Powder Surface Area and Porousity, 2nd edition, Chapman and Hall, New York. Martinez, T.J., Diaz, C.M.J., Camblor, M.A., Fornes, V., Maesen, T.L.M. & Corma, A., 1999, The Catalytic Performance of 14-Membered Ring Zeolites, J. Catal., 182, 463-469. May, C. Y., 2004, Transesterification of Palm Oil: Effect of Reaction Parameters, J. Oil Palm Res., 16, 2, 1-11.
21
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 15 - 22
Ofoma, I., 2006, Catalytic Pirolysis of Polyolefins. Publicated. Thesis. Georgia: Georgia Institute of Technology. Oxford University., 1999. Polymer Data Handbook. New York: Oxford University Press, Inc. Saunder, K.J., 1994. Organic Polymer Chemistry. 2nd Edition. Glasgow: Chapman and Hall. Stevens, M.P., 2001. Kimia Polimer. Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Iis Sopyan, M.Eng. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Sang, O.Y., 2003, Biofuel Production From Catalytic Cracking of Palm Oil, Energy Sources J, 9, 25. Santos, L.T., 2003, Nickel Activation for Hydrogenolysys Reaction on USY Zeolite, Catal. Lett. 92, 81. Satterfield, C.N., 1980, Heterogenous Catalysis in Practices, McGraw-Hill Book Co., New York. Sayles, S., & Ohmes, R., 2005, Clean Fuels: What are the Issues ?, Hydrocarbon Process.:2, 84, 39-43. Trisunaryanti, et al. 1996. Characterization and Modification of Indonesian Natural Zeolites and Their Properties for Hydrocracking of Paraffin. Dalam Journal of The Japan Petroleum Institute. Volume 39. hal. 20-25. Trisunaryanti, W. 2005. “Pengaruh Perlakuan Asam Klorida terhadap Karakter Zeolit Alam Wonosari dan Uji Aktivitas Katalitiknya untuk Perengkahan n-Heksadekana”. Dalam Prosiding Seminar Nasional Kimia II. Hal: 112-121. Sayles, S., and Ohmes, R., 2005, Clean Fuels: What are the Issues ?, Hydrocarbon Process.:2, 84, 39-43. Setiaji, B., 1990, Penentuan Keasaman Permukaan Padatan Dengan Cara Termal Analisis, Berkala Ilmiah MIPA, FMIPA UGM, Yogyakarta. Setyawan, P.H.D., 2001, Modifikasi Zeolit Alam dan Karakterisasinya Sebagai Katalis Perengkahan Asap Cair Kayu Bengkirah, Program Pasca Sarjana Kimia UGM, Jogjakarta.
22
Sibilia, J.P., 1996, A Guide to Materials Characterization and Chemical Analysis, 2nd Edition. VCH Publishers, Inc., New York. Smith, K., 1992, Solid Support and Catalyst in Organic Synthesis, Ellis Horwood PTR, Prentice Hall, London. Sutarti, M. & Rachmawati, M., 1994, Zeolit: Tinjauan Literatur, Pusat dokumentasi dan dan Informasi LIPI, Jakarta. Sykes & Peter, 1995, A Primer to Mechanism in Organic Chemistry, Addison Longman Ltd., Edinburgh. Treacy, M.M.J., & Higgins, J.B., 2001, Collection of Simulated XRD Powder Patternsfor Zeolite, Elsevier, Amsterdam Van Santen, R.A. & Kramer, G.J., 1995, Reactivity Theory of Zeolitic Bronsted Acidic Sites, J. Am. Chem. Soc : Chem. Rev, 95, 637-669. West, A.R., 1984, Solid State Chemistry and It’s Application, John Willey & Sons, New York. Wibowo Sulstyo Ary, 2009, Pengaruh Temperatur Reaksi Terhadap Deaktivasi Katalis Ni/zeolit pada Hidrorengkah 1-oktadekena, Skripsi FMIPA UGM, Yogyakarta. Wu Jing, 2005, Kinetics and Reactor Design, Department of Chemical Engineering, Hong Kong. Yoon, C., 1997, Hydrogenation of 1,3-butadiena on Platinum Surfaces of Different Structures, Catal. Lett, 46, 37. Yuan, W., Hansen, A. C., & Zhang, Q., 2005, Vapor Pressure and Normal Boiling Point Predictions for Pure Methyl Esters and Biodiesel Fuels, Fuel, 84, 943-950. Zhang, W. & Smirniotis, P.G., 1999, Effect of Zeolite Structure and Acidity on the Product Selectivity and Reaction Mechanism for n-Octane Hydroisomerization and Hydrocracking, J. Catal., 182, 400-416. Zhilong Yao, 2008, Research on Hydrogenation of FAME to Fatty Alcohol at Supercritical Conditions, Beijing Institute of Petrochemical Technology, Beijing.
3. Karakteristik Fisika dan KimiaGAS Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK BUMI (Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih) Vol. 49 No.1 April 2015 : 3-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited Chemical Physical Characteristics of Inhibited Transformer Oil Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav.109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Telepon: +62-21-7394422, Fax.: +62-21-7246150 e-mail:
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 2 Januari 2015; Diterima tanggal 3 Februari 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Transformator pada pembangkit listrik membutuhkan bahan dielektrik sebagai bahan isolasi untuk memisahkan dua atau lebih penghantar listrik yang bertegangan. Sehingga antar penghantar tersebut tidak terjadi hubung singkat yang dapat menyebabkan lompatan api atau percikan. Salah satu bahan dielektrik yang digunakan adalah minyak lumas transformator. Minyak di Indonesia masih impor, untuk itu perlu dilakukan formulasi minyak lumas trafo dengan berbagai komposisi. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo di Indonesia cukup besar dan pemenuhan minyak trafo masih dengan cara impor. Dilakukan formulasi minyak trafo dengan berbagai komposisi untuk menghasilkan enam belas formula, kemudian diambil tiga formula yang mendekati sifat fisika kimia minyak trafo di pasaran. Dari tiga formula itu menunjukkan bahwa Formula 6 memiliki hasil uji terbaik dengan hasil uji viskositas kinematik pada temperatur 40oC 11,6 cSt, titik nyala 180oC, angka asam total 0,04 mgKOH/gr, dielectric breakdown voltage (DBV) 39 kV, dan interfacial tension (IFT) 41 mN/m. Sehingga formula ini memenuhi spesifikasi SNI 7069.18 : 2008 dan IEC 60296-2003. Kata Kunci: trafo, dielectric breakdown voltage, interfacial tension, angka asam total, minyak transformator. ABSTRACT
Transformer of a power plant requires dielectric materials as insulation to separate two or more electrically conductive voltage substances. So that substance conductivity will not occur a short circuit that could cause fire or spark jumps. One of the dielectric material used is a lubricating oil transformer (transformer oil). Installed capacity and number of transformers in Indonesia is quite large and the fulfillment of transformer oil in Indonesia is still imported. Therefore it is necessary to formulate lubricating oil transformer with various compositions to produce at least sixteen formulas, and then it will be chosen three samples with the closest physicochemical properties of transformer oil in the market. Of the three formulas show that Formula 6 has the best test results according test results at temperatures of 40°C kinematic viscosity is 11.6 cSt, flash point is 180oC, the total acid number (TAN) is 0.04 mgKOH/g, the dielectric breakdown voltage (DBV) is 39 kV, and the interfacial tension (IFT) is 41 mN/m. And this formula meets the specifications of ISO 7069.18: 2008 and IEC 60296-2003. Keywords: transformers, dielectric breakdown voltage, the interfacial tension, total acid number, transformer oil.
I. PENDAHULUAN Transformator merupakan suatu peralatan listrik elektromagnetik statis yang berfungsi untuk memindahkan dan mengubah daya listrik dari suatu rangkaian listrik ke rangkaian listrik lainnya, dengan
frekuensi yang sama dan perbandingan transformasi tertentu melalui suatu rangkaian magnet dan bekerja berdasarkan prinsip induksi elektromagnetis, dimana perbandingan tegangan antara sisi primer dan sisi sekunder berbanding lurus dengan perbandingan 23
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 23 - 31
jumlah lilitan dan berbanding terbalik dengan perbandingan arusnya (Muchsin, 2013). Minyak trafo sangat penting dalam sebuah transformator pembangkit karena kegagalan insulasi dapat menyebabkan masalah serius, dan kegagalan itu diantaranya disebabkan oleh panas, kontaminasi (debu, air, dan oksigen), tekanan mekanik dan tekanan listrik (Kiameh, 2001). Sebagian besar trafo yang beroperasi di dunia adalah trafo dengan insulasi minyak (Heathcote, 2007). Kebutuhan minyak trafo semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi beberapa perusahaan listrik di Indonesia yang dipengaruhi oleh rasio elektrifikasi. Berdasarkan data statistik PLN di Jawa Barat pada tahun 2011, kapasitas terpasang trafo gardu induk sebesar 71.615 MVA dengan jumlah trafo gardu induk sebanyak 1.233 unit, terdiri atas trafo sistem 500 kV sebanyak 47 unit, sistem 275 kV sebanyak 7 unit, sistem 150 kV sebanyak 980 unit, sistem 70 kV sebanyak 196 unit, dan sistem < 30 kV sebanyak 3 unit. Sedangkan kapasitas terpasang dan jumlah trafo gardu distribusi sebesar 39.277 MVA sebanyak 318.431 unit. Jumlah ini menggambarkan rasio elektrifikasi sebesar 71,2% (RUPTL 2013-2022). Dengan data ini menunjukkan bahwa kebutuhan minyak trafo di Indonesia cukup besar. Sejumlah komposisi tertentu antara minyak lumas dasar mineral dan sintetik dengan aditif, diharapkan mampu menghasikan minyak lumas transformator yang baik. Oleh karena itu penelitian mengenai perancangan minyak lumas transformator ini perlu dilakukan karena selama ini kebutuhan akan minyak lumas jenis ini hanya dapat dipenuhi dengan cara impor.
formulasi minyak trafo sebaiknya merupakan aditif yang mampu menangkap radikal bebas atau bersifat fenolik atau deactivator metal amina dan nitrogen heterosiklik. Karena menggunakan aditif paket rust and oxidation inhibitor maka jenis minyak trafo ini termasuk jenis inhibited oil. Aditif ini merupakan alkil ester ditiofosfat dan merupakan deaktifator metal turunan dari tolutriazole. Digunakan empat jenis base oil dari Grup-III dan Grup-IV serta dua jenis aditif penghambat oksidasi. Perancangan Formula Formula dirancang untuk memenuhi spesifikasi yang tercantum dalam SNI 7069.18:2008 dan IEC 60296:2003 yaitu spesifikasi minyak insulasi mineral untuk trafo dan switchgear. Campuran base oil dan aditif dihitung berdasarkan persen berat dan selanjutnya digunakan sebagai ukuran untuk blending skala laboratorium. Blending Proses blending minyak trafo dilaksanakan pada skala laboratorium, dengan cara pengadukan menggunakan stirrer berbahan silika, selama 1 jam dengan disertai pemanasan pada suhu 65-70oC. Proses pengadukan ini merupakan proses yang umum dilakukan dalam suatu tahapan formulasi minyak lumas. Oleh karena minyak lumas dasar yang digunakan memiliki kandungan air yang tinggi, maka diperlukan perlakuan tambahan berupa vakum. Vakum dilakukan selama 3 jam, pada temperatur 7580oC dan tekanan -10 inHg (-0,34 bar). Pengujian dan evaluasi
II. BAHAN DAN METODE Perancangan formula minyak lumas dilaksanakan dengan metode sebagai berikut : Pemilihan Bahan Dasar (Minyak Lumas Dasar dan Aditif) Bahan dasar berupa base oil dan aditif, diperoleh dari produsen minyak lumas dasar dari dalam dan luar negeri serta produsen aditif. Base oil yang digunakan merupakan jenis parafinik dan karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihannya antara lain viskositas kinematik pada temperatur 40oC, angka asam total, kadar air (water content), titik nyala dan dielectric breakdown voltage (DBV). Aditif yang digunakan dalam 24
Karakteristik produk minyak lumas selanjutnya diuji sifat fisika kimianya. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan formula yang telah dibuat. Hasil uji sebanyak satu formula terbaik yang kemudian dibandingkan spesifikasi yang ada dipasaran. Oleh karena itu dipilih beberapa sifat yang mewakili masing-masing karakteristik minyak trafo yang sesuai dengan IEC 60296-2003, yaitu : - Fungsi, diwakili oleh sifat viskositas pada temperatur 40oC dan dielectric breakdown voltage (DBV). - Kestabilan, diwakili oleh sifat tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) dan angka asam total. - Kesehatan dan keselamatan kerja, diwakili oleh titik nyala.
3. Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited (Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih)
III. HASIL DAN DISKUSI Pada umumnya minyak lumas trafo terdiri atas 95-99,5% minyak lumas dasar dan 5% aditif (Lapopolo, 2005). Menurut Bock (2007), minyak lumas trafo yang digunakan pada saat ini terdiri dari minyak lumas dasar parafinik antioksidan serta sifat penghambatan korosi yang baik. Titik tuang yang rendah akan membuat minyak trafo mampu bekerja pada temperatur rendah. Sifat viskositas yang rendah, stabilitas oksidasi dan kelarutan yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan dielectric strength dan memperpanjang masa pakai minyak trafo tersebut. Penggunaan minyak lumas dasar yang stabil secara termal seperti jenis API Grup-III atau minyak lumas dasar sintetik terbukti memiliki sifat ketahanan terhadap oksidasi yang baik (Pirro, 2001). Minyak Lumas Dasar Pemilihan base oil BO-1 dan BO-2 menjadi salah satu bahan pertimbangan utama dalam penelitian ini. BO-1 dan BO-2 memiliki nilai indeks viskositas yang tinggi sehingga membuat minyak lumas dasar tahan terhadap perubahan temperatur sistem. Base oil ini juga memiliki sifat ketahanan terhadap oksidasi yang baik karena memiliki kadar molekul hidrokarbon aromatik dan non-hidrokarbon seperti sulfur, nitrogen dan oksigen yang rendah pula (Wartawan, 1981). Minyak lumas dasar yang diperoleh dari hasil proses perengkahan hidrogen (hydrocracking) memiliki sifat gassing tendency atau kecenderungan minyak untuk mengadsorpsi dan mendesorpsi atom hidrogen, sehingga dapat digunakan dalam formulasi minyak trafo (Olavessen et al., 1992). Terdapat beberapa karakteristik utama yang perlu diperhatikan dalam formulasi ini yaitu viskositas kinematik pada temperatur 40oC, angka asam total (total acid number), titik nyala dan dielectric breakdown voltage (DBV). Dalam proses formulasi suatu minyak lumas, diperlukan suatu jenis minyak lumas dasar yang memiliki sifat viskositas (untuk temperatur tertentu)
dan satu paket aditif untuk membentuk suatu karakteristik (Hsu dan Gates, 2001). Menurut spesifikasi minyak trafo dalam IEC 60296-2003, karakteristik viskositas kinematik dibatasi maksimal 12 cSt. BO-1 dan BO-2 memiliki viskositas kinematik lebih besar dari nilai tersebut sehingga dalam proses formulasi dibutuhkan minyak lumas dasar BO-3 atau BO-4 yang memiliki nilai viskositas kinematik lebih rendah dari 12 cSt (Tabel 1). Nilai TAN dibatasi maksimal 0,01 mgKOH/gr sampel, sedangkan hasil pengujian BO-1, BO-2, BO-3 menunjukkan nilai TAN yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kadar air dalam minyak lumas dasar akibat penyimpanannya yang tidak baik. Sedangkan spesifikasi membatasi kadar air dalam minyak lumas maksimal sebesar 30 mg/ kg (ppm). Tingginya kadar air dalam minyak lumas dasar mempengaruhi nilai karakteristik dielectric breakdown voltage (DBV), yaitu salah satu karakteristik utama dari unjuk kerja minyak trafo dalam menahan breakdown listrik dalam suatu instrumen. Nilai karakteristik DBV dibatasi minimal 30 kV. Sedangkan pada Tabel 1, nilai DBV cukup rendah untuk ketiga jenis base oil. Tingginya kadar air yang mempengaruhi nilai TAN dan nilai DBV menyebabkan perlunya dilakukan suatu tahapan untuk mengurangi kadar air dalam minyak trafo dalam proses blending. Karakteristik titik nyala menunjukan kondisi penguapan jenuh diatas permukaan minyak lumas sehingga memungkinkan untuk menyala sesaat. Seperti halnya minyak lumas yang lain, minyak trafo juga memerlukan pengujian titik nyala untuk memastikan tingkat kontaminasi bahan bakar minyak dan gas-gas yang mudah terbakar. Minyak trafo sangat rentan terhadap polutan gas berpotensi menimbulkan ledakan dari hasil oksidasi sehingga dibatasi nilai minimumnya. Pada ketiga jenis base oil ini yaitu BO-1, BO-2, BO-3 (Tabel 1) menunjukkan
Tabel 1 Hasil Uji Karakteristik Minyak Lumas Dasar (Base Oil) dan Aditif Rust and Oxidation Inhibitor
j
No.
Karakteristik
1. 2. 3. 4.
Viskositaspada40 C,cSt Angkaasamtotal,mgKOH/g Titiknyala,oC 3 Kadarair,gr/cm Dielectricbreakdownvoltage (DBV),kV
5.
o
y
MetodeUji ASTMD445 ASTMD664 ASTMD92 ASTMD1298 ASTMD877
(
)
HasilUjiMinyakLumasDasar(BaseOil) BOͲ1 BOͲ2 BOͲ3 BOͲ4 18,56 33,27 5,048 1,64 0,0702 0,094 0,0856 0,065 240 260 178 92 47,31 28,75 38,17 31,4 16,40
27,00
18,80
23,00
HasilUjiAditif ROͲ1 ROͲ2 10,92 80 ͲͲ ͲͲ ͲͲ ͲͲ ͲͲ ͲͲ ͲͲ
ͲͲ
25
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 23 - 31
Tabel 2 Spesifikasi Minyak Trafo Menurut IEC 60296-2003
p
No. Property 1. Function a. Viscosityat40oC b. Pourpoint c. Watercontent d. Breakdownvoltage o e. Densityat20 C o f. DDFat90 C 2. Refining/stability a. Acidity b. Interfacialtension 3. Health,safetyandenvironment(HSE) a. Flashpoint
y
TestMethod
Transformeroil
ISO3104 ISO3018 IEC60814 IEC60158 ISO3675orISO12185 IEC60247orIEC61620
Max.12mm2/s o Max.Ͳ40 C Max.30mg/kg Min.30kV Max.0,895g/ml Max.0,005
IEC62021 ISO6295
Max.0,01mgKOH/g Nogeneralrequirement
ISO2719
Min.135oC
hasil uji diatas 135oC, kecuali untuk BO-4 yang berada di bawah spesifikasi IEC 60296-2003 (Tabel 2) dan SNI 7069.18:2008 (Tabel 3). Sehingga BO-4 untuk formulasi minyak trafo tidak digunakan dalam penelitian ini. Menurut Fein (1992), karakteristik minyak lumas bergantung pada base oil (campuran berbagai base oil) dan aditif yang digunakan. Aditif dan minyak lumas dasar sering berinteraksi satu dengan lainnya dengan reaksi yang sulit untuk dimengerti sehingga proses formulasi juga kebanyakan dilakukan melalui proses trial and error (Hsu, 2001). Produk Hasil Formulasi Dari hasil seleksi base oil tadi maka digunakan tiga jenis minyak lumas dasar yaitu dua jenis minyak lumas dasar Grup-III (BO-1 dan BO-2) dan satu jenis minyak lumas dasar Grup IV (BO3). Semua karakteristik minyak lumas dasar serta aditif tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1. Berbagai komposisi bahan dasar yang terdiri dari base oil dan
aditif kemudian dicampur sehingga total dari persen berat satu formula mencapai seratus persen berat. Dihasilkan 16 formula yang kemudian dievaluasi karakteristik fisika kimia yang mengacu pada spesifikasi SNI 7069.18 : 2008 dan IEC 602962003. Dari semua formula itu kemudian diambil tiga formula terbaik yaitu Formula 2, Formula 6 dan Formula 15 untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang ada dipasaran. Komposisinya dapat dilihat pada Tabel 4. Produk yang ada di pasaran dipilih berdasarkan merk yang paling populer serta memiliki tingkat kerja yang sama dengan ketiga formula minyak lumas yang dirancang. Pengambilan sampel produk minyak trafo di pasaran menghasilkan 3 jenis yaitu MT-1, MT-2, dan MT-3 (Tabel 5). - Viskositas kinematik pada temperatur 40 oC (ASTM D 445). Karakteristik ini merupakan hal penting dalam penentuan tingkat viskositas yang telah ditetapkan dalam ISO 3448. Dari Gambar 1 dapat disimpulkan bahwa semua minyak lumas hasil formulasi memiliki nilai yang berada dalam
Tabel 3 Spesifikasi Minyak Lumas Trafo Menurut SNI 7069.18 : 2008 Tabel 3. Spesifikasi Minyak Lumas Trafo Menurut SNI 7069.18 : 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
26
Karakteristik AnilinePoint Warna,maks Titiknyala,min Titiktuang,maks Gravitasispesifik o Viskositaskinematik0 C,maks o Viskositaskinematik40 C,maks o Viskositaskinematik100 C,maks Kadarair,maks Angkaasamtotal,maks Sulfurkorosif KandunganPCB
Satuan o
C ͲͲ o C o C ͲͲ cSt cSt cSt ppm mgKOH/g ͲͲ ͲͲ
Batasan Tipe1 Tipe2 Sesuaispesifikasiprodusen Sesuaispesifikasiprodusen 145 145 Sesuaispesifikasiprodusen 0,91 091
MetodeUji ASTMD611 ASTMD1500 ASTMD92 ASTMD97 ASTMD1298 ASTMD445
Sesuaispesifikasiprodusen 35 0,03
35 0,03 Tidakkorosif Tidakterdeteksi
ASTMD1533 STMD974 ASTMD1275 ASTMD4059
3. Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited (Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih)
Tabel 4 Komposisi Minyak Lumas Dasar, dan Aditif dalam Formula 2, Formula 6 dan Formula 15 No.
NamaProduk
1. 2. 3. 4. 5.
BOͲ1 BOͲ2 BOͲ3 ROͲ1 ROͲ2
Jenis
Tipe
Formula2 0 45 54,95 0,05 0 100
Sintetik/GrupͲIII Sintetik/GrupͲIII PAO/GrupͲIV Penghambatoksidasi Penghambatoksidasi
Minyaklumas dasar Aditif Jumlah
batasan yang ditetapkan yaitu maksimum 12 cSt. Kekentalan yang rendah ini diharapkan minyak trafo mampu bersirkulasi secara maksimum sesuai tugasnya sebagai pendingin maupun bahan isolasi. Pada saat minyak bersirkulasi, panas yang berasal dari belitan akan dibawa oleh minyak sesuai jalur sirkulasinya dan akan didinginkan pada sirip–sirip radiator. Minyak trafo ini akan mengisi ruang-ruang diantara lilitan-lilitan (coil) pada belitan-belitan (winding) inti dan ruang-ruang lain didalam tangki transformator. Karena transformator tidak memiliki bagian yang berputar maka proses transfer panas dilakukan dengan cara sirkulasi. Sehingga dibutuhkan viskositas minyak trafo yang tidak tinggi yaitu tidak lebih dari 12 cSt. - Titik nyala (ASTM D 92). Standar SNI 7069.18 : 2008 menetapkan nilai standar titik nyala dan dibatasi nilai minimum, yaitu 145oC, sedangkan IEC 60296-2003 membatasi nilai minium
Dosis,%berat Formula6 0 45 54,95 0 0,05 100
Formula15 79 0 20,97 0 0,03 100
135oC. Titik nyala menunjukkan bahwa minyak trafo tersebut dapat menerima panas akibat kerja transformator sampai dengan temperatur tertentu sebelum uap yang timbul akibat panas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat flammability minyak lumas sehingga digunakan sebagai acuan faktor keamanan. Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa minyak trafo mempunyai nilai titik nyala yang cukup tinggi kecuali Formula 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16. Sehingga semakin tinggi titik nyala dari suatu minyak trafo maka semakin baik kinerja yang diberikan minyak trafo tersebut pada suatu sistem tenaga listrik. - Angka asam total (TAN – ASTM D 664) sering disebut juga angka netralisasi dan digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan minyak lumas. Hasil uji menunjukkan bahwa untuk Formula 10, 12, 13, 14, 15 memiliki nilai TAN di atas spesifikasi (Gambar 3). Bahkan untuk Formula 1 memiliki nilai ekstrim tinggi. Nilai
12,00
Viskositas KInematik 40oC, cSt
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00 F-1
F-2
F-3
F-4
F-5
F-6
F-7
F-8
F-9
F-10
F-11
F-12
F-13
F-14
F-15
F-16
Max
Gambar 1 Hasil Uji Viskositas Kinematik Pada Temperatur 40OC Hasil Formulasi Minyak Lumas Trafo
27
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 23 - 31
20 0
Titik Nyala, 0C
C o , laa y N k tii T
0
Gambar 2 Hasil Uji Titik Nyala Hasil Formulasi Minyak Lumas Trafo
TAN minyak lumas dipengaruhi oleh nilai TAN bahan dasarnya (Stadtmiller, 1969). Oksigen yang terdapat dalam udara dan temperatur yang tinggi menyebabkan oksidasi yang cenderung meningkatkan tingkat keasaman yang mereprsentasikan ukuran kerusakan (deterioration) dari suatu bahan isolasi. Jika keasaman tinggi maka endapan pada dinding transformator maupun pada
lapisan isolasi belitan akan mempersulit proses pendinginan. Sehingga Formula 1 tidak bisa dijadikan bahan insulasi dalam suatu transformator karena telah menunjukkan adanya perubahan kimia dalam aditifnya. - Dielectric breakdown voltage (DBV – ASTM D 874). Analisis ini sangat penting dan menjadi salah satu tolok ukur mutu dari suatu minyak lumas trafo.
0,08 0,07 0,06
TAN,mg KOH/gr
0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
"Batas Maksimal Spesifikasi"
Gambar 3 Hasil Uji Angka Asam Total Hasil Formulasi Minyak Lumas Trafo
28
3. Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited (Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih)
Delectric breakdown voltage, kV
50
40
30
20
10
0
"Batas minimal spesifikasi"
Gambar 4 Hasil Uji Dielectric Breakdown Voltage Hasil Formulasi Minyak Lumas Trafo
Dibatasi nilai minimum 30 kV, dihasilkan tiga formula yang memiliki nilai dielectric breakdown voltage diatas 30 kV yaitu Formula 2, Formula 6 dan Formula 15(Gambar 4). Semakin tinggi hasil pengujian tegangan tembus suatu minyak trafo, maka kekuatan isolasijuga akan semakin tinggi. Namun tegangan tembus minyak trafo dapat mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya partikel-partikel hasil oksidasi dan kandungan airnya. Sehingga perlu dilakukan treatment purifikasi secara periodik untuk menghilangkan hasil oksidasi tersebut. - Interfacial tension atau tegangan permukaan (ISO 6296). Adanya kontaminasi dengan zat yang terlarut (soluble contamination) atau hasil kerusakan minyak, umumnya menurunkan
50
Interfacial tension, mN/m
40
30
20
10
0
"Batas minimal spesifikasi"
Gambar 5 Hasil uji interfacial tension (IFT) hasil formulasi minyak lumas trafo 29
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 23 - 31
Tabel 2 Spesifikasi Minyak Trafo Menurut IEC 60296-2003
p No.
Karakteristik o
1. Viskositas40 C 2. Titiknyala Angkaasamtotal 3. (TAN) Dielectric 4. Breakdown Voltage(DBV) Interfacialtension 5. (IFT)
MetodeUji
Satuan
ASTMD445 ASTMD92
cSt o C
IEC60296Ͳ2003 FͲ2 Min Maks ͲͲ 12 11,57 135 ͲͲ 164
FͲ6
FͲ15
MTͲ1
MTͲ2
MTͲ3
11,60 180
10,41 134
11 130
7,6 150
9,4 172
ASTMD664 mgKOH/g
ͲͲ
0,01
0,02
0,04
0,04
0,01
0,01
0,01
ASTMD877
kV
30
ͲͲ
40
39
33
55
42,6
46,3
ISO6295
nM/m
ͲͲ
ͲͲ
33
41
37
40
49
48
nilai tegangan permukaan. Penurunan tegangan permukaan juga menurunkan indikator yang peka bagi awal kerusakan minyak.13 Jika angka asam mengalami kenaikan maka tegangan permukaan akan mengalami penurunan akibat oksidasi, yang berasal dari oksigen di udara, air yang mencemari minyak trafo tersebut akibat kebocoran, panas dan tekanan elektrik. Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa Formula 2 dan 6, memiliki indikasi terkontaminasi hasil oksidasi namun cukup kecil karena masih diatas nilai IFT minimum 35 dyne/cm untuk jenis minyak trafo baru (Guide for Acceptance and Maintenance of Insulating Oil in Equipment).
Hasil pengujian karakteristik fisika kimia dari enam belas rancangan formula minyak lumas trafo tersebut menunjukkan bahwa formula 2, formula 6 dan formula 15 merupakan produk terbaik (Tabel 5). Bila ketiga produk formula minyak lumas trafo tersebut dibandingkan dengan minyak lumas trafo dipasaran yaitu MT-1, MT-2, MT-3, maka Formula 6 menunjukkan nilai yang paling mendekati dan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan diantara karakteristik fisika kimianya (Gambar 6), yaitu untuk nilai viskositas kinematik pada temperatur 40oC, titik nyala, interfacial tension, angka asam total (TAN) dan dielectric breakdown voltage (DBV). Meskipun untuk interfacial tension
Viskositas pada 40o C 14 12 10 8 6 IFT
Titik Nyala
4 2 0
DBV
F-2
Angka Asam Total
F-6
F-15
MT-1
MT-2
MT-3
Gambar 3 Hasil Uji Angka Asam Total Hasil Formulasi Minyak Lumas Trafo
30
3. Karakteristik Fisika Kimia Formulasi Minyak Lumas Trafo Inhibited (Shinta Sari Hastuningtyas dan Catur Yuliani Respatiningsih)
(IFT) menunjukkan kemampuan lebih rendah dari minyak trafo di pasaran (Gambar 3) namun masih termasuk dalam klasifikasi good oils karena memiliki IFT diatas 30 mN/m pada Transformers Oil Classification (Kiameh, 2001). IV. KESIMPULAN DAN SARAN Perancangan formula minyak trafo dapat dilakukan dengan memanfaatkan base oil serta aditif yang mampu menghasilkan minyak lumas transformator yang memenuhi sebagian besar spesifikasi IEC 60296:2003 dan SNI 7069.18:2008. Bila dibandingkan dengan minyak lumas trafo yang dipasaran, Formula 6 menunjukkan karakteristik viskositas kinematik, TAN, IFT, dan flash point yang sebanding dengan beberapa produk yang ada di pasaran. Namun demikian masih perlu dilakukan penelitian untuk memperbaiki kemampuan tegangan tembus dari hasil formula ini.
Bock, Wolfgang. 2007. Turbine Oils. Lubricants and Lubrication 2nd Ed. Wiley-VCH. Weinheim. USA. Fein, Richard S, 1992. Liquid Lubricants. ASM Handbook Vol. 18 Friction. Lube Wear Test. ASM International. USA. P : 82-87. Heathcote, J. Martin, 2007. The J & P Transformer Book. Thirteen edition. Charon Tec Ltd. Chennai. India. Hsu, S.M. Gates, R.S, 2001. Boundary Lubrication and Boundary Lubricating Films. In : Modern Tribology Handbook. CRC Press. New York. Kiameh, Phillip, 2002. Power Generation Handbook:Selection, Applications,Operations and Maintenance . McGraw Hill Handbook. New York. Lapopolo, Vittoria, 2005. Development andTesting of an Antiwear Gas Turbine Lubricant in Challenging Offshore Environment. Proceeding of 16th Symposium on Industrial Application of Gas Turbine (IAGT) October 12-14 2005. IAGT Committee. Alberta. Canada.
KEPUSTAKAAN
Muchsin, Ismail, 2013.Tenaga Listrik dan Elektronika. Pusat Pengembangan Bahan Ajar-UMB. Jakarta.
Anonim, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2013-2022. (http.//www.djlpe.esdm. go.id, diakses 1 November 2014).
Olavesen et al, 1992. Process for Producing Transformer Oil From Hydrocracked Stock. Paten United States No. US005167847.
Anonim, Departemen Pertambangan dan Energi. Standar Perusahaan Umum Listrik Negara. SPLN 49-1:1982. Minyak Isolasi. Bagian 1 : Pedoman Penerapan Spesifikasi dan Pemeliharaan Minyak Isolasi. Jakarta. Guide for Acceptance and Maintenance of Insulating Oil in Equipment, 2002. IEEE C57.106-2001. Institute of Electrical and Electronics Engineers. New York.
Pirro, D.M., A.A. Wessol, 2001. Stationary Gas Turbine. Lubrications Fundamentals. 2nd Ed. CRC Press. Virginia. Stadtmiller, W.H, 1969. The Lubrication of Steam and Gas Turbine “Standard Handbook of Lubrication Engineering” Editor by Eugene A. Avalone. Technical Consultant by John Boyd. ASSLE. New York. Wartawan, Anton L, 1981. Dasar-dasar Pelumas dan Pelumasan. Gramedia.Jakarta.
31
4. Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS Bermotor BUMI Mesin Bensin di Indonesia (Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono) Vol. 49 No.1 April 2015 : 4-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan Bermotor Mesin Bensin di Indonesia Octane Number Requirement Based on Gasoline Vehicles Population in Indonesia Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: +62-21-7394422, Fax.: +62-21-7246150 e-mail:
[email protected] Teregistrasi I tanggal 9 Maret 2014; Diterima tanggal 9 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Pesatnya perkembangan teknologi mesin pada kendaraan bermotor jenis mesin bensin saat ini, menyebabkan meningkatnya kebutuhan angka oktana bahan bakar jenis bensin sesuai dengan kinerja mesinnya. Studi mengenai penentuan nilai angka oktana bahan bakar jenis bensin sangat penting dilakukan karena setiap negara perlu menetapkan tingkat angka oktana bensin yang disuplai ke pasar. Studi ini sangat bermanfaat untuk pemerintah sebagai penentu kebijakan (terutama dalam menentukan kebijakan pengaturan bahan bakar minyak bersubsidi), produsen pabrikan kendaraan dan konsumen. Metodologi yang digunakan pada studi ini antara lain dengan melakukan survey mengenai populasi jenis kendaraan bermotor jenis mesin bensin di Indonesia, kemampuan produksi kilang Pertamina yang berkaitan dengan angka oktana pada bensin dan perkembangan teknologi mesin kendaraan bermotor. Kemudian, diformulasikan dalam bentuk matriks rencana penentuan kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase populasi kendaraan tipe sedan dan kendaraan roda empat dengan penggerak dua roda (tipe 4X2) sebanyak 70%, yang memiliki tingkat rasio kompresi tinggi (di atas 9:1) sehingga membutuhkan bahan bakar dengan angka oktana di atas RON 90. Sedangkan saat ini, kapasitas produksi kilang Pertamina per tahun untuk Bensin RON 92 sekitar 10,91% sehingga diperlukan peningkatan kapasitas produksi kilang. Selain itu, berdasarkan hasil survey terdapat kurang lebih 12 merek mobil dengan 113 tipe kendaraan yang saat ini beredar di Indonesia. Dari 113 tipe kendaraan yang ada, sebanyak 59 tipe kendaraan (52,21%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 92, sebanyak 32 tipe kendaraan (28,32%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 95, dan sebanyak 22 tipe kendaraan (19,47%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 88. Kata Kunci: perkembangan teknologi mesin, angka oktana, rasio kompresi. ABSTRACT Currently due to the rapid development of engine technology in motor gasoline the octane number requirement for gasoline increases inconjunction with engine’s performance. Therefore, conducting a studi on octane number requirement for gasoline is essential because every country should decide the octane level of gasolines to be supplied to the market. This study is very useful for the government as policy maker (especially in subsidize fuel regulation), vehicle manufacturer and consumer. The Methodology of this study was carried out by collecting data on the production capacity of the Pertamina’s refinery related to gasoline octane number, development of vehicle engine technology and population of gasoline vehicles in Indonesia. The data was then formulated into a matrix of planning determination of octane number requirement of vehicles in Indonesia. The Results show that vehicle population of sedan type and cars that use two-wheel drive system (4X2 type) are about 70% from total vehicles in Indonesia. Those types of vehicles have high compression ratio (above 9:1) there are the gasoline for the vehicles should have octane number (RON) higher than 90. The current production capacity of gasoline with RON 90 of
33
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 33 - 40
Pertamina’s refinery is approximatly 10.91%, Consequently to increasing the production capacity of the refinery is needed. In addition, based on the survey there are about 12 vehicle brands with 113 types are availabel in Indonesia. From total 113 types, 59 types (52.21%) are recommended to use gasoline RON 92, while 32 types (28.32%) are suggested to use gasoline RON 95, and only 22 types of vehicle (19.47%) are recommended to use gasoline RON 88. Keywords: engine technology development, octane number, compression ratio
I. PENDAHULUAN Salah satu bentuk bahan bakar cair yang paling banyak digunakan adalah Bahan Bakar Minyak atau BBM jenis bensin. BBM untuk sektor transportasi, khususnya penggunaan bensin merupakan salah satu sumber energi yang memiliki nilai strategis. Penggunaan bensin sampai saat ini masih cukup tinggi dan terus meningkat. Kebutuhan bahan bakar bensin tahun 2011 sebesar 22,9 Juta KL, dengan kemampuan produksi kilang menghasilkan bensin sebesar 10,6 Juta KL mengakibatkan Pemerintah harus mengimpor bensin sebesar 12,3 Juta KL. Dengan semakin meningkatnya populasi kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin (Tabel 1) menyebabkan kebutuhan kuantitas bensin semakin meningkat. Di sisi lain, kualitas produk BBM dari kilang di Indonesia masih membutuhkan aditif untuk mencapai spesifikasi produk yang dipersyaratkan serta memenuhi kebutuhan teknologi mesin. Kebutuhan teknologi mesin terutama angka oktana sangat berpengaruh pada proses pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor. Penentuan kebutuhan angka oktana populasi kendaraan di suatu negara, contohnya Indonesia hanya dapat dilakukan dengan jalan menguji sejumlah kendaraan yang jenis dan modelnya dianggap mewakili populasi kendaraan di Indonesia. Kajian mengenai kebutuhan angka oktana untuk kendaraan di Indonesia pernah dilaksanakan pada tahun 1976, 1978 dan 1983 sehingga saat
ini kita ketahui bensin di Indonesia mempunyai nilai angka oktana 88, 91 dan 95 (Kaslan, 1984), akan tetapi mengingat perkembangan teknologi kendaraan yang terus berkembang sangat perlu dilakukan kajian kembali dengan pengembangan metode pelaksanaannya. Oleh sebab itu, studi saat ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor mesin bensin di Indonesia dengan adanya suatu matriks/kurva dan level tentang kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor yang tepat untuk pemasaran sesuai dengan yang dibutuhkan dengan populasi kendaraan bermotor di Indonesia. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Angka Oktana Suatu Kendaraan Angka oktana adalah mutu bakar bensin yang menunjukkan kemampuan ketahanan bensin terhadap tekanan dan panas untuk tidak terbakar sendiri atau sebagai tingkat mutu anti ketukan (anti knocking) bahan bakar bensin (Mardono, 2001). Untuk menentukan angka oktana bensin digunakan skala oktana dengan dua hidrokarbon parafinik murni sebagai standar yang mempunyai karakteristik fisika yang mirip, tetapi mempunyai ketahanan terhadap ketukan yang sangat berbeda. Pertama isooctane (2,2,4 trimetil pentana) mempunyai nilai 100 yang mempunyai tahanan terhadap ketukan yang sangat tinggi. Kedua adalah n-heptana yang mempunyai nilai 0 dan mempunyai tahanan terhadap ketukan yang sangat rendah. Angka oktana suatu bahan
Tabel 1 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor dirinci Menurut Jenisnya Tahun 2008-2012 (BPS, 2012) Jenis Kendaraan
34
2008
2009
2010
2011
2012
Pertumbuhan per tahun (%)
Mobil Penumpang
7.489.852
7.910.407
8.891.041
9.548.866
10.432.259
8,64
Bis
2.059.187
2.160.973
2.250.109
2.254.406
2.273.821
2,51
Mobil Barang
4.452.343
4.498.171
4.687.789
4.958.738
5.286.061
4,38
Sepeda Motor
47.683.681
52.767.093
61.078.188
68.839.341
76.381.183
12,50
Jumlah
61.685.063
67.336.644
76.907.127
85.601.351
94.373.324
11,22
4. Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan Bermotor Mesin Bensin di Indonesia (Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono)
bakar bensin adalah persentase volume campuran iso-oktana dan n-heptana yang menunjukkan kinerja antiketuk yang sama dengan bensin yang diuji pada suatu mesin standar di bawah kondisi standar (Owen and Coley, 1995). Kebutuhan angka oktana mesin kendaraan bermotor sangat bermanfaat dalam menentukan kualitas bahan bakar yang diperlukan untuk suatu kendaraan atau populasi kendaraan. Kebutuhan angka oktana juga bermanfaat untuk membandingkan kinerja beberapa bahan bakar yang berbeda pada suatu kendaraan di jalan raya atau pada mesin CFR (Cooperative Fuel Research Engine) (La Puppung, 2000). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan angka oktana suatu kendaraan, yaitu: - Jenis bahan bakar yang dipakai - Disain mesin - Umur mesin - Keadaan udara sekeliling - Jenis bahan bakar yang dipakai Bahan bakar dengan sensitivity (S) yang rendah akan menurunkan tingkat kebutuhan angka oktana dari kendaraan yang memakainya. Bahan bakar dengan sensitivity yang rendah mempunyai sifat anti knock yang lebih stabil dibandingkan dengan bahan bakar yang mempunyai sensitivity tinggi. Oleh karena itu Iso Oktana dan Normal Heptana yang mempunyai sensitivity S=O dipakai sebagai bahan bakar standard. - Disain Mesin Disain mesin terdiri atas lima faktor yaitu perbandingan kompresi mesin, bentuk dan material dari ruang bakar, sistem penyalaan, sistem karburator dan sistem injeksi. a. Perbandingan kompresi mesin Pada umumnya mesin mempunyai perbandingan kompresi tinggi membutuhkan bahan bakar dengan angka oktana yang tinggi. Suatu studi yang dilakukan di Amerika dan Eropa menunjukan dengan kenaikan satu angka dari perbandingan kompresi suatu mesin akan membawa pengaruh dengan kenaikan sekitar 4 sampai 7 angka kebutuhan oktana bahan bakarnya. b. Bentuk dan material dari ruang bakar Bentuk ruang bakar mesin sangat mempengaruhi kebutuhan angka oktana bahan bakarnya. Untuk mesin dengan perbandingan kompresi sama tetapi mempunyai bentuk berbeda dapat mempunyai kebutuhan angka
oktana yang berbeda. Material dari ruang bakar mesin juga dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan angka oktana c. Sistem Penyalaan Waktu penyalaan dengan perbedaan satu derajat dapat mengakibatkan perbedaan satu angka oktana. d. Sistem karburator Perbedaan campuran bahan bakar dengan udara dapat membawa akibat perbedaan kebutuhan angka oktana. e. Sistem injeksi Pencampuran bahan bakar dan udara akan lebih sempurna - Umur Mesin Umur mesin dapat mempengaruhi kebutuhan angka oktana karena deposit yang terdapat pada ruang bakar mesin, semakin banyak deposit pada ruang bakar kebutuhan angka oktana cenderung naik. - Kondisi Udara Sekeliling Suhu, tekanan udara dan kelembaban membawa pengaruh terhadap kebutuhan angka oktana kendaraan. a. Suhu Dengan naiknya suhu udara sekeliling dapat menyebabkan kenaikan kebutuhan angka oktana suatu kendaraan. Kenaikan 1 derajat Celsius dapat menaikan angka oktana sebesar 0,05 angka oktana. b. Tekanan Udara Kenaikan tekanan udara akan membawa akibat naiknya kebutuhan angka oktana. Ditempat yang tingginya 1.000 m diatas permukaan laut dapat menurunkan kebutuhan angka oktana sekitar 4,5 angka oktana. c. Kelembaban Kelembaban yang tinggi dapat menurunkan kebutuhan angka oktana, diwaktu hujan kebutuhan angka oktana kendaraan dapat turun 3 sampai 4 angka oktana. II. BAHAN DAN METODE Studi ini dilakukan dengan melakukan survei data yaitu pengumpulan data kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor jenis mesin bensin di Indonesia yang meliputi perkembangan teknologi mesin kendaraan bermotor yang beredar di 35
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 33 - 40
Indonesia, kebutuhan angka oktana kendaraan bermotor mesin bensin dari pabrikan, serta dari dealer, pengguna kendaraan dan asosiasi kendaraan bermotor di Indonesia. Selain itu survey juga dilakukan untuk mengetahui data kemampuan produksi kilang di Indonesia berkaitan dengan angka oktana pada bensin. Data-data hasil survey dikumpulkan, kemudian dilakukan penyusunan data dan analisis dari datadata teknis yang sudah diperoleh. Hasil dari analisis data diolah dan disusun menjadi sebuah matriks dan gambaran level kebutuhan angka oktana bahan bakar kendaraan bermotor mesin bensin di Indonesia. III. HASIL DAN DISKUSI Data yang diperoleh pada studi adalah berupa data kendaraan dari beberapa provinsi di Indonesia, Biro Pusat Statistik (BPS), data kendaraan di Indonesia dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan data produksi kilang Pertamina. Berdasarkan data BPS (2012), sekitar 51% populasi kendaraan di Indonesia (termasuk sepeda motor) berada di Pulau Jawa (Tabel 2). Sesuai dengan data pada Tabel 2, data berdasarkan hasil survey ke Dinas Pendapatan Daerah di beberapa provinsi menunjukkan bahwa jumlah kendaraan terbanyak terdapat di provinsi-provinsi di Pulau Jawa seperti terlihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa populasi kendaraan terbesar adalah jenis sedan dan jeep yang pada umumnya menggunakan bahan bakar bensin. Data yang diperoleh dari Gaikindo tentang populasi kendaraan di Indoensia dari tahun 2006– 2013 yang didominasi oleh kendaraan tipe sedan
dan mobil yang menggunakan sistem penggerak dua roda (tipe 4X2) sebanyak 70% seperti yang terlihat pada Gambar 3. Saat ini perkembangan teknologi mesin otomotif sangat pesat, hal ini terlihat dari berbagai tipe kendaraan yang beredar di pasaran yang memiliki rasio kompresi mesin tinggi. Dari Gambar 3 tersebut dapat diasumsikan bahwa sebanyak 70% kendaraan di Indonesia adalah tipe sedan dan mobil yang menggunakan sistem penggerak dua roda (tipe 4X2) yang pada umumnya memiliki rasio kompresi di atas 9:1. Tipe kendaraan dengan mesin yang memiliki rasio kompresi tinggi (di atas 9:1) dianjurkan untuk menggunakan bahan bakar di atas RON 90 (Gambar 4). Sedangkan pada Tabel 3 memperlihatkan bahan bakar jenis bensin yang saat ini ada di Indonesia dan hubungannya dengan rasio kompresi kendaraan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Gaikindo dan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) kendaraan bermotor, satu merek kendaraan dapat memiliki beberapa tipe dengan rasio kompresi yang berbeda-beda sehingga memerlukan angka oktana yang berbeda-beda pula seperti ditunjukkan didalam Tabel 4 yaitu kebutuhan angka oktana berbagai merek kendaraan bermotor di Indonesia sesuai dengan rekomendasi dari pabrik. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa terdapat kurang lebih 12 merek mobil dengan 113 tipe kendaraan yang saat ini beredar di Indonesia. Dari 113 tipe kendaraan yang ada, sebanyak 59 tipe kendaraan (52,21%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 92, 32 tipe kendaraan (28,32%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 95, dan 22 tipe kendaraan (19,47%) direkomendasikan menggunakan
Tabel 2 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor (termasuk Sepeda Motor) \ Menurut Kepulauan di Indonesia Dari Tahun 2008-2012 Kepulauan
2009
2010
2011
2012
Pertumbuhan per tahun (%)
Sumatera
14.969.746
14.969.746
16.615.121
16.615.121
18.542.195
18.542.195
20.956.454
23.590.794
12,04
Jawa Jawa
32.667.607 32.667.607
35.147.726 35.147.726
39.602.154 39.602.154
43.742.819 43.742.819
48.125.915 48.125.915
10,17 10,17
Bali-Nusa Bali-Nusa Tenggara Tenggara
4.267.083 4.267.083
4.730.278 4.730.278
5.474.537 5.474.537
6.096.358 6.096.358
6.473.434 6.473.434
10,98 10,98
Sumatera
36
2008
20.956454
23.590.794
12,04
Kalimantan Kalimantan
4.655.392 4.655.392
5.102.776 5.102.776
5.065.796 5.065.796
6.407.949 6.407.949
7.167.013 7.167.013
11,39 11,39
Sulawesi Sulawesi
4.401.567 4.401.567
4.830.229 4.830.229
5.513.590 5.513.590
6.989.741 6.989.741
7.457.241 7.457.241
14,09 14,09
PapuaPapuaKepulauan Maluku
674.409 674.409
761.738 761.738
1.070.116 1.070.116
1.179.174 1.179.174
1.272.659 1.272.659
17,21 17,21
4. Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan Bermotor Mesin Bensin di Indonesia (Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono)
Gambar 2 Grafik Kebutuhan Angka Oktana Berdasarkan Rasio Kompresi Kendaraan (Sumber: http://www.daytona-sensors.com/tech_tuning.html)
bahan bakar bensin RON 88. Oleh karena itu, perlu diperhatikan juga kapasitas produksi bahan bakar bensin (yang memiliki RON di atas 90) dalam negeri apakah memenuhi untuk semua populasi kendaraan yang ada atau tidak. Tabel 5 memperlihatkan kapasitas produksi bahan bakar bensin PT. Pertamina dari setiap refinery unit-nya.
Berdasarkan data dari Tabel 5 dapat dihitung bahwa kapasitas produksi kilang Pertamina untuk Bensin RON 88 adalah sebesar 74,08% sedangkan untuk Bensin RON 92 sebesar 10,91%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan bakar saat ini dengan angka oktana di atas 90 belum dapat memenuhi kebutuhan 70% populasi kendaraan di Indonesia yang memiliki rasio kompresi di atas 9:1.
Gambar 3 Grafik Data Populasi Kendaraan di Indonesia Dari Tahun 2006 – 2013 (Sumber: Gaikindo, 2013)
37
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 33 - 40
Tabel 3 Hubungan angka oktana dengan rasio kompresi mesin kendaraan
Jenis Bensin Premium Pertamax Pertamax
Angkaa Oktana 88 92 95
Rasio Kompreesi 7:1 – 9:1 9:1 – 10:1 10:1 – 11:1
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Gambar 4 Grafik Kebutuhan Angka Oktana Berdasarkan Rasio Kompresi Kendaraan (Sumber: http://www.daytona-sensors.com/tech_ tuning.html)
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Sekitar 51% populasi kendaraan (termasuk sepeda motor) di Indonesia berada di Pulau Jawa. Kurang lebih terdapat 12 merek mobil dengan 113 tipe kendaraan yang saat ini beredar di
Tabel 4 Kebutuhan Angka Oktana Berbagai Merek Kendaraan Bermotor Di Indonesia Sesuai Dengan Rekomendasi Pabrik
No
Merek
JumlahTipe
1
Daihatsu
2
88
92
95
5
Ͳ
4tipe
1tipe
Honda
18
Ͳ
12tipe
6tipe
3
Opel
1
Ͳ
Ͳ
1tipe
4
Suzuki
16
7tipe
7tipe
2tipe
5
Peugeot
3
2tipe
1tipe
Ͳ
6
Toyota
21
3tipe
13tipe
5tipe
7
Nissan
12
1tipe
8tipe
3tipe
8
BMW
4
Ͳ
1tipe
3tipe
9
Mazda
13
6tipe
7tipe
Ͳ
10
KIA
4
1tipe
3tipe
Ͳ
11
Mitsubishi
6
1tipe
2tipe
3tipe
12
MercedesBenz
10
1tipe
1tipe
8tipe
Jumlah
113
22
59
32
19,47
52,21
28,32
Persentase(%)
Sumber: Gaikindo dan ATPM
38
JenisBahanBakaryangDirekomendasikan
4. Kebutuhan Angka Oktana Kendaraan Bermotor Mesin Bensin di Indonesia (Cahyo Setyo Wibowo, Lies Aisyah, Hery Widhiarto, dan Sugeng Riyono)
Indonesia. Sebanyak 59 tipe kendaraan (52,21%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 92, 32 tipe kendaraan (28,32%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 95, dan 22 tipe kendaraan (19,47%) direkomendasikan menggunakan bahan bakar bensin RON 88. Kapasitas produksi bahan bakar jenis bensin RON 88 adalah 5878,18 ribu barrel perbulan (74,08%), produksi bahan bakar jenis RON 92 jauh lebih kecil yaitu 866 ribu barrel perbulan (10,91%)
dan impor HOMC adalah 1191 ribu barrel perbulan (15,01%). Dari data Gaikindo diperoleh persentase populasi kendaraan tipe sedan dan mobil yang menggunakan sistem penggerak dua roda (tipe 4X2) sebanyak 70%, yang memiliki tingkat rasio kompresi tinggi (di atas 9:1) sehingga membutuhkan bahan bakar dengan angka oktana di atas RON 90. Sedangkan saat ini, kapasitas produksi kilang Pertamina pertahun untuk Bensin RON 92 sekitar 10,91% sehingga diperlukan peningkatan kapasitas produksi kilang.
Tabel 5 Kapasitas Produksi Kilang Pertamina untuk Bensin Ron 88, Bensin Ron 92 dan Nafta dengan Impor Homc (Sumber: Pertamina, 2012)
Refinery Unit (RU)
RU-II Dumai
Produk
RU-V Balikpapan
MB/Bln 4,6
137
Bensin RON 88
17,9
538
Bensin RON 92
0
0
4,5
135
HOMC Import/KLBB
4,9
147
Bensin RON 88
18,2
546
Bensin RON 92
0
0
19,8
595
Nafta
RU-IV Cilacap
MBSD
HOMC Import/KLBB
Nafta
RU-III Plaju/S. Gerong
Kapasitas
HOMC Import/KLBB
14,6
437
Bensin RON 88
60,0
1800
Bensin RON 92
0
0
Nafta
8,0
240
HOMC Import/KLBB
15,7
470
Bensin RON 88
44,6
1338
Bensin RON 92
0,5
16
Nafta
22,0
660
HOMC Import
0 54,0 28,3
0 1620 850
RU-VI Balongan
Bensin RON 88 Bensin RON 92
0
0
RU-VII Kasim
Bensin RON 88
1,2
36.18
Impor HOMC
39,7
1191
Bensin RON 88
194,7
5878.18
Bensin RON 92
28,9
866
Nafta ke Balongan
54,3
1630
Nafta
TOTAL
39
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 33 - 40
KEPUSTAKAAN Statistic Transportasi, Biro Pusat Statistik (BPS), 2012, , BPS, Jakarta. Spesifikasi Bahan Bakar Minyak Indonesia Jenis Bensin 88, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, SK Dirjen Migas No.933.K/10/DJM.S/2013 tanggal 19 November 2013. Spesifikasi Bahan Bakar Miinyak Indonesia Jenis Bensin 91 dan 95, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, SK Dirjen Migas No.3674K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006. Domestic Auto Market & Exim by Category 20062013, Gaikindo, 2013, Gaikindo, Jakarta. Kaslan, Widjoseno, 1984, “Tingkat Tingginya Kebutuhan Angka Oktana Bahan Bakar Untuk Populasi Kendaraan di Indonesia Dibandingkan Terhadap Tingkat Tingginya Angka Oktana Bahan Bakar Di Negara Jepang, Eropa dan Amerika Serikat”, Lemigas, Jakarta. La Puppung, P., 2000, Kenaikan Kebutuhan Angka Oktana Mesin Kendaraan Bermotor, Lembaran Publikasi Lemigas, Vol. 34, No. 3, hal 27-37.
40
Mardono, 2001, Kebutuhan Angka Oktana Bahan Bakar Bensin untuk Kendaraan Bermotor di Indonesia Sesuai Rekomendasi Pabrik, Lembaran Publikasi Lemigas, Vol. 35, No.3, hal. 30-34. Owen, K., and Coley, S., 1995, Automotive Fuels Reference Book, Second Edition, Society of Automotive Engineers, Inc., Warrendale, USA. Pertamina, 2012, “Sistem Produksi Gasoline dan Gasoil (Premium, Pertamax, Solar-48, Pertamina Dex) di Kilang-kilang Pengolahan BBM, Jakarta. Annual Book of ASTM, The American Standard Testing Materials (ASTM), 2010, Philadelphia Worldwide Fuel Charter (WWFC), Proposed Fifth Edition, December 2012 http://www.suzuki4u.co.uk/forum/viewtopic. php?t=14973, “Fuel Octane Requirement”, Aug 24, 2011 http://www.daytona-sensors.com/tech_tuning.html, “Engine Tuning Principles and Guidelines” viewed 11 December 2014
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifi kasi Potensi dalam Kegiatan Eksplorasi Migas LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK danJebakan GAS BUMI (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
Vol. 49 No.1 April 2015 : 5-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas Satelite Image Data Processing to Identify Potential of Trapping Area in Oil and Gas Exploration Indah Crystiana1, Tri Muji Susantoro2, dan Nurus Firdaus3 Peneliti Pertama, 2Peneliti Muda, 3Penyelidik Bumi Muda
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: 62-21-7394422, Facsimile: 62-21-7246150 e-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected] .go.id Teregistrasi I tanggal 9 Maret 2015; Diterima tanggal 9 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Penggunaan teknologi penginderaan jauh saat ini mulai dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi pemetaan. Proses ekstraksi informasi pada data penginderaan jauh dapat didasarkan pada pengamatan visual, nilai spektral, serta berdasar obyek. Evaluasi terhadap pemrosesan citra dilakukan untuk mendapatkan citra yang mudah untuk diinterpretasi secara visual. Interpretasi dilakukan untuk mengidentifikasi potensi area jebakan migas. Hal ini dilakukan dengan pemetaan perbedaan tinggian topografi di daerah landai. Metode pengolahan citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah penajaman kontras, fusi, dan analisis komponen utama (PCA). Identifikasi potensi jebakan migas melalui pemetaan tinggian dilakukan dengan kombinasi dari perbedaan topografi, pola pengaliran, pola kelurusan, pemetaan penggunaan lahan dan pola perlapisan. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan topografi, pola pengaliran, pola kelurusan dan pola perlapisan dapat dikenali dengan baik dengan pengolahan data citra satelit dengan metode penajaman kontras. Pemetaan penggunaan lahan tampak dengan sangat jelas dengan metode fusi dengan melalui pansharpening obyek. Sedangkan obyek-obyek yang berupa lahan terbuka atau lahan kering tampak terlihat sangat jelas pada proses pengolahan PCA. Hal ini ditunjukkan dengan warna cyan keputihan dan rona sangat cerah. Pada kombinasi dengan Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) di daerah landai kurang memberikan efek yang berarti dalam menonjolkan obyek ataupun topografinya. Validasi dilakukan menggunakan data permukaan (Differential GPS) dan menggunakan data bawah permukaan (seismik, sumur, dan lapangan migas). Hasilnya menunjukkan bahwa potensi jebakan migas dapat dikenali melalui perbedaan tinggian topografi. Hasil validasi dengan data lapangan menunjukkan sekitar 44% berada pada struktur yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon. Kata Kunci: citra satelit, jebakan migas, penajaman kontras, fusi, analisis komponen utama (PCA) ABSTRACT The use of remote sensing technology began to be applied in a variety of mapping applications. The process of information extraction in remote sensing data can be based on visual observations, spectral values, and grounded object. The evaluation of image processing conducted in order to obtain images that are easy to interpret visually. The interpretation conducted for identifying of potential trapping area. This matter conducted by difference altitude of topographic mapping in sloping area. Image processing method used in this study is sharpening contrast, fusion and principal component analysis (PCA). Identification of oil and gas trapping potential through altitide difference conducted by combination of topografi, drainage pattern, lineament, landuse landcover and sedimentation pattern. The result showed differences of topographic, drainage pattern, lineament and sedimentation pattern can be recognized well by image data processing of sharpening contrast. Landuse mapping is very clear by using the fusion method through pansharpening object. Interpretation of barren land and dry land is very clear using principal component analysis method. This matter showed by colour of cyan to white and very bright. Combination of Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) in sloping areas is not significant efect for highlighting object or 41
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 41 - 51
topographic. The validation conducted by surface data (GPS Differential) and sub surface data (seismic, well and oil and gas field. The results of trapping area potential can be identified by altitude topographic. The validation by oil and gas field shown that trapping area around of 44% were on oil and gas field. Keywords :
Satellite imagergy, oil and gas trap, enhancement, fusion, principal component analysis (PCA)
I. PENDAHULUAN Upaya penemuan cadangan migas baru mendorong semakin digiatkan penemuan metode ataupun konsep baru dalam eksplorasi migas. Konsep atau metode baru pada mature area diperlukan untuk membuktikan kelayakan penerapan konsep baru tersebut pada prospek-prospek migas yang ada di Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena kegiatan eksplorasi migas memerlukan biaya, teknologi, dan resiko yang tinggi. Untuk meningkatkan kegiatan tersebut diperlukan metode/konsep baru yang effisien dan efektif melalui pendekatan-pendekatan teknologi eksplorasi yang sedang berkembang. Penggunaan teknologi penginderaan jauh saat ini mulai dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi pemetaan. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, atau fenomena yang dikaji (Lillesand, et al., 2007). Proses ekstraksi informasi pada data penginderaan jauh dapat didasarkan pada pengamatan visual, nilai spektral, serta berdasar obyek. Pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi terhadap beberapa pemrosesan citra agar didapatkan citra yang mudah untuk diinterpretasi secara visual. Dengan demikian maka kualitas citra dapat mempengaruhi tingkat pengenalan obyek. Peningkatan kualitas citra dapat dilakukan dengan beberapa metode pengolahan citra yaitu penajaman kontras, pemfilteran atau melakukan integrasi/ penggabungan citra. Perbaikan kualitas diperlukan karena seringkali citra yang diuji mempunyai kualitas buruk, misalnya citra mengalami derau (noise) pada saat pengiriman melalui saluran transmisi, citra terlalu terang/gelap, citra kurang tajam, dan kabur. Melalui pemrosesan awal inilah kualitas citra diperbaiki sehingga citra dapat digunakan untuk aplikasi lebih lanjut, misalnya untuk aplikasi pengenalan objek di dalam citra (Munir, 2006). Aplikasi pengolahan citra satelit melalui fusi dengan Digital Terrain Model (DTM) dapat dilakukan untuk investigasi hubungan antara topografi yang mengekpresikan struktur geologi dan sifat bentuk lahan (Florinsky, 1998). Pada kajian ini dilakukan pengolahan citra satelit dengan metode 42
penajaman kontras, fusi, dan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengkaji perbedaan topografi atau tinggian pada daerah landai di Indramayu dan sekitarnya. Harapannya sebagai daerah yang terbukti menghasilkan migas, kajian ini dapat mengidentifikasi perbedaan tinggian pada daerah aluvial untuk mendukung kegiatan eksplorasi migas. Perbedaan tinggian tersebut diduga merupakan ekspresi dari perangkap struktur migas yang ada di daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi metode pemrosesan citra satelit yaitu metode penajaman kontras, fusi, dan PCA melalui interpretasi secara visual untuk pengenalan perbedaan topografi/ tinggian di daerah aluvial. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu identifikasi secara visual karakteristik daerah potensi penghasil minyak dan gas bumi pada daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki karakteristik sama dengan daerah Indramayu. II. BAHAN DAN METODE Pada penelitian ini data yang digunakan adalah Citra Satelit Landsat TM yang direkam pada bulan Juni Tahun 1976 dan Citra Satelit Landsat 8 yang direkam pada bulan Juni-Juli Tahun 2013 untuk daerah Indramayu dan sekitarnya. Pemilihan dan penggunaan data Citra Landsat TM perekaman tahun 1976 dengan pertimbangan daerah Indramayu tataguna dan tutupan lahannya belum berkembang, sehingga masih dapat mencerminkan kondisi asli topografi daerah tersebut. Sedangkan citra satelit Landsat 8 dalam kajian ini digunakan sebagai data pendukung. Pata citra satelit seri Landsat multispektral dapat mendeteksi dan memantau perubahan-perubahan objek pada permukaan bumi. Pemilihan kanal spektral yang tepat dan metode pengolahan dan analisis digital yang tepat maka data citra satelit Landsat 8 akan efektif dan efisien digunakan (Gokmaria, 2010). Pengolahan data citra satelit dalam penelitian ini menggunakan software ENVI. Koreksi geometrik merupakan tahapan awal dalam pengolahan citra yang dilanjutkan dengan pengolahan citra lainnya. Dalam penelitian ini
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
akan dibandingkan beberapa metode pengolahan citra untuk mendapatkan teknik pengolahan citra yang sesuai agar diperoleh kenampakan citra yang mudah untuk diidentifikasi secara visual. Pengolahan citra yang akan dilakukan adalah penajaman kontras, transformasi spectral PCA, dan metode penggabungan citra berupa teknik pansharpening dan penggabungan citra dengan SRTM. Koreksi geometrik dilakukan untuk memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Selain itu juga bertujuan untuk menghilangkan kesalahan geometrik pada citra serta mendapatkan hubungan antara sistem koordinat citra dengan sistem proyeksi. Ada beberapa cara dalam pengoreksian geometrik, antara lain triangulasi, polinomial, orthorektifikasi dengan menggunakan titik-titik kontrol lapangan (ground control point), proyeksi peta ke peta, dan registrasi titik yang telah diketahui (Wahyu & Sukartono, 2002). Dalam penelitian ini koreksi dilakukan dengan cara polinomial yaitu dengan menyiapkan peta yang sudah diakui kebenarannya pada daerah sama dengan citra yang akan dikoreksi. Koreksi citra tersebut juga dikenal dengan sistem koreksi image to map. Dalam upaya peningkatan kualitas kenampakan citra maka citra yang telah terkoreksi dilakukan penajaman dan penajaman kontras citra. Penajaman citra merupakan upaya peningkatan kualitas visual citra agar informasi penting yang diperlukan dapat lebih ditonjolkan. Penajaman citra dilakukan dengan mengubah nilai pixel secara sistematis sehingga menghasilkan efek kenampakan citra yang lebih ekspresif sesuai dengan kebutuhan pengguna. Penajaman citra tersebut meliputi semua operasi yang menghasilkan citra baru dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral yang berbeda. Penajaman kontras bertujuan untuk memperoleh kesan kontras yang lebih tinggi dengan mentransformasi seluruh nilai kecerahan. Hasilnya berupa citra baru dengan nilai maksimum baru yang lebih tinggi dari nilai maksimum awal, dan nilai minimum baru lebih rendah dari nilai minimum awal (Soemantri, 2009). Penajaman Citra dapat dicirikan dalam dua hal yaitu operasi titik dan operasi lokal. Operasi titik mengubah nilai kecerahan setiap piksel di dalam suatu data citra secara terpisah, dan operasi lokal mengubah nilai tiap piksel dalam hubungannya dengan nilai kecerahan piksel di sekitarnya (Awaluddin & Bambang, 2010). Pada prinsipnya penajaman kontras dilakukan agar menghasilkan citra dengan visualisasi baru sehingga batas antar objek terlihat jelas dan mudah untuk di delineasi serta diidentifikasi. Penajaman
kontras akan memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan hanya menggunakan citra komposit tanpa ada olahan. Nilai yang harus direntangkan atau dimampatkan dalam penajaman kontras citra diatur berdasarkan informasi apa yang akan ditonjolkan dari citra tersebut. Pada hasil pengolahan ini daerah tinggian ditunjukkan dengan obyek yang terlihat cerah. Peningkatan kualitas kenampakan citra selanjutnya melalui transformasi citra. Transformasi citra dilakukan untuk mendapatkan informasi baru yang ditampilkan oleh citra. Salah satu teknik transformasi yang dipakai adalah dengan PCA. PCA merupakan teknik rotasi yang diterapkan pada sistem koordinat multisaluran (lebih dari 3 dimensi) sehingga menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang lebih sedikit (Danoedoro, 2012). Teknik PCA telah dimasukkan dalam pengolahan citra digital dan berguna dalam menghilangkan atau mengurangi redundansi dalam data gambar multi-spektral. PCA efektif merangkum mode dominan spasial, spektral dan temporal variasi data dalam hal kombinasi linear dari frame gambar. Citra digital dapat dianggap sebagai dua atau lebih fungsi dimensi nilai-nilai pixel dan direpresentasikan sebagai 2D (grayscale image) atau 3D (gambar warna) (Ales, 2013). Tahap selanjutnya adalah melakukan fusi atau penggabungan dua jenis data penginderaan jauh. Prinsip dari fusi citra adalah menggabungkan citra komposit resolusi rendah dengan citra tunggal resolusi tinggi untuk menghasilkan citra keluaran yang mengacu pada ukuran piksel citra resolusi tinggi. Teknik transformasi tersebut secara jelas menghasilkan citra dengan kualitas visual yang lebih baik dibandingkan dengan citra asli sehingga sangat membantu dalam proses interpretasi. Penggabungan citra (image fusion) adalah aplikasi untuk menggabungkan citra dengan perbedaan sensor, perbedaan waktu perekaman, atau perbedaan resolusi spasial pada daerah yang sama untuk meningkatkan kualitas citra dan tingkat interpretasi (Khoiriah dan Farda, 2012). Fusi yang dilakukan pada kegiatan ini adalah melakukan metode pansharpening. Pada metode pansharpening ini ditunjukkan terjadinya penyatuan yang cukup baik antara dua citra pada daerah yang sama meskipun memiliki resolusi spasial yang berbeda (Ehlers, 2010). Penggabungan citra yang kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM). Pansharpening merupakan proses fusi antara citra pankromatik high-resolution dengan citra multispektral low-resolution untuk 43
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 41 - 51
memperoleh citra dengan kualitas high-resolution dan natural color image. Kedua pengolahan citra tersebut adalah teknik peningkatan kualitas citra dengan cara menggabungkan dua citra atau data yang mempunyai karakter yang berbeda pada suatu daerah sehingga menghasilkan data baru yang saling menguatkan diantara keduanya. Penggabungan citra adalah aplikasi untuk menggabungkan citra dengan perbedaan sensor, perbedaan waktu perekaman, atau perbedaan resolusi spasial pada daerah yang sama untuk meningkatkan kualitas citra dan tingkat interpretasi (Khoiriah dan Farda, 2012). Dalam interpretasi citra, untuk menentukan tinggian-tinggian yang diidenifikasi sebagai tinggian yang berpotensi hidrokarkon dikenali dengan pendekatan: 1) daerah yang pada citra terlihat kasar dengan undulasi topografi yang jelas, 2) pola kelurusan, 3) pola perlapisan, 4) pada daerah landai didasarkan pemikiran bahwa daerah tinggian cenderung lebih kering, dan 5) pola pengaliran. Dasar pendekatan tersebutlah yang digunakan sebagai acuan dalam pengolahan citra untuk mendapatkan kualitas kenampakan citra yang maksimal sehingga kenampakan citra yang ditampilkan mudah untuk diinterpretasi. Untuk menverifikasi hasil interpretasi/ identifikasi dilakukan dengan uji lapangan melalui differensial GPS, pengamatan visual di lapangan, dan menggunakan data bawah permukaan. Verifikasi dengan menggunakan bawah permukaan dilakukan dengan tumpang susun peta sumur dan lapangan dengan hasil interpretasi.Verifikasi dengan data sumur dan lapangan dilakukan untuk membuktikan bahwa bawah permukaan hasil interpretasi berada pada struktur yang berpotensi sebagai jebakan hidrokarbon.
(A)
III. HASIL DAN DISKUSI Umum Pada penelitian ini peningkatan kualitas untuk identifikasi tinggian tidak lepas dari kemampuan citra dalam menampilkan karakteristik geologi daerah penelitian. Daerah Indramayu dan sekitarnya secara regional memiliki topografi landai namun dikenal sebagai daerah penghasil migas sehingga sulit diinterpretasi melalui citra satelit secara visual. Untuk menghadapi kondisi tersebut, pada peneltian ini dilakukan beberapa pengolahan citra. Koreksi geomerik citra satelit sebagai tahap awal sebelum citra digunakan adalah untuk mendapatkan letak geografis seperti di lapangan. Hal tersebut dilakukan sebagai akibat dari sifat perekaman citra satelit yang relatif miring sehingga mengakibatkan adanya distorsi dibeberapa titik permukaan bumi. Hasil dari koreksi citra pada penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Penajaman Kontras Citra Kombinasi citra yang digunakan pada kajian ini adalah kombinasi 457. Citra landsat 457 merupakan citra yang menonjolkan kenampakan objek tanah. Objek selain tanah seperti vegetasi, lahan terbangun, ataupun tubuh air tetap terlihat. Untuk itu perlu dilakukan ekstraksi citra yang dapat membantu dalam interpretasi. Pada Gambar 2 ditunjukkan ilustrasi hasil penajaman kontras terhadap salah satu saluran yaitu saluran 4 yang digunakan pada kajian ini.
(B)
Gambar 1 Citra Satelit yang Belum Dikoreksi (A), Citra Satelit Yang Sudah Dikoreksi (B)
44
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
(A)
(B)
Gambar 2 Citra Satelit Landsat TM Saluran 4 yang Belum Dilakukan Penajaman Kontras (A) dan Citra Satelit yang Sudah Dilakukan Penajaman Kontras (B)
Dalam proses fusi pada citra pansharpening diperoleh kualitas yang cukup bagus, karena diperoleh informasi resolusi spasial sesuai dengan
saluran pankromatik yaitu 10 meter pada masingmasing saluran citra yang digunakan (Gambar 3). Pada citra yang telah dilakukan fusi pada citra pansharpenning, obyek-obyek tataguna/tutupan lahan dapat dideskripsikan semakin baik dan lebih jelas. Hal tersebut karena adanya peningkatan resolusi spasial 10 meter dan resolusi spektral sesuai saluran aslinya menjadikan obyek-obyek dapat terpisahkan dengan baik serta mudah diidentifikasi/interpretasi. Namun untuk menampilkan atau mempertegas
(A)
(B)
Pada Gambar 2 terlihat jelas bahwa ketegasan masing-masing obyek morfologi, topografi maupun tataguna/tutupan lahannya pada citra yang telah dilakukan penajaman kontras dapat di deskripsikan dengan baik. Fusi Citra
Gambar 3 Citra Satelit Landsat Tm Saluran 4 yang Belum Dilakukan Fusi Pansharpenning (A) Dan Setelah Dilakukan Fusi Pansharpenning (B)
45
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 41 - 51
anomali tinggi di daerah landai masih sulit dan bahkan tidak terlihat. Anomali tinggi masih tidak dapat dikenali dengan baik menggunakan metode pengolahan citra ini. Pola kelurusan yang muncul pada citra didominasi pola kelurusan jalan. Fusi citra pansharpening hanya baik untuk identifikasi penggunaan/tutupan lahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gokmaria (2008). Proses pengolahan citra melalui proses fusi dengan data SRTM diperoleh kualitas citra satelit yang bagus, terutama dalam pengenalan morfologi/ topografi. Hal ini karena data SRTM merupakan data kontur pada permukaan bumi sehingga citra yang dihasilkan merupakan citra berbentuk tiga dimensi. Namun pada daerah landai seperti daerah Indramayu perbedaan ketinggian tidak begitu tegas. Penyebabnya adalah data SRTM yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai resolusi spatial 30 m dan interval kontur 50 m. Kondisi interval kontur yang lebar tidak cukup membantu pada daerah landai. Dimana efek topografi kurang tampak. Fusi data SRTM dan citra satelit akan sangat berarti untuk daerah-daerah yang memiliki undulasi topografi yang tegas. Hasil penelitian Pandelisman (2013) menunjukkan bahwa dengan fusi tersebut citra mampu mengenai satuan batuan dan struktur geologi. Pada Gambar 4 ditunjukkan citra yang telah difusikan dengan data SRTM dan diproses dengan teknik tiga dimensi.
(A)
Analisis Komponen Utama (PCA) Hasil dari transformasi PCA tampak adanya ketegasan topografi yang ditunjukkan oleh obyek dengan karakter lebih cerah dan batasnya tegas. Obyek-obyek yang lebih cerah dibanding daerah sekitarnya merupakan suatu tinggian. Hal tersebut diasumsikan suatu tinggian akan lebih kering jika dibandingkan dengan daerah rendah. Dimana sesuai dengan sifat air yang selalu mengalir ke bawah sehingga lebih lembab (Gambar 5). Hasil ini sesuai dengan penelitian Franto (2003) dimana citra hasil pengolahan secara digital memberikan informasi yang lebih baik. Proses penajaman kontras, fusi, dan PCA mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi dalam identifikasi dan interpretasi citra. Pada Gambar 6 merupakan perbandingan hasil pengolahan citra penajaman kontra, fusi dan PCA. Obyek air, sungai, jalan dan penggunaan lahan di permukaan bumi terlihat jelas dan dapat dikenali serta dipisahkan pada citra hasil fusi dengan pankromatik. Obyek berupa lahan terbuka atau lahan kering tampak terlihat jelas pada citra hasil proses pengolahan PCA. Pada citra tersebut ditunjukkan dengan warna cyan keputihan dan rona sangat cerah. Pada kombinasi dengan SRTM di daerah landai kurang dapat memberikan efek yang berarti dalam menonjolkan obyek ataupun topografinya.
(B)
Gambar 4 Citra Satelit Landsat TM 457 Sebelum Dilakukan Fusi dengan SRTM (A) dan Setelah Dilakukan Fusi dengan SRTM (B)
46
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
(A)
(B)
Gambar 5 Kombinasi Citra Asli Sebelum Dilakukan PCA (A) dan Setelah Dilakukan Pemrosesan PCA (B)
Gambar 6 Perbandingan Hasil Pengolahan Citra
47
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 41 - 51
Pada kajian ini validasi data digunakan untuk mendapatkan tingkat keyakinan terhadap hasil interpretasi citra dalam penentuan daerah potensi migas. Validasi dilakukan dengan menggunakan data permukaan yaitu dengan pengukuran langsung di lapangan dengan metode defferential GPS, pengamatan visual saat pengukuran (Gambar 7) dan menggunakan data bawah permukaan dengan menggunakan sesimik (Gambar 8). Data sumur dan
data lapangan migas digunakan untuk memverifikasi bahwa perbedaan topografi/tinggian merupakan cerminan dari struktur bawah permukaan yang sudah terbukti menjadi stuktur migas (Gambar 9). Validasi dengan pengamatan visual dilakukan pada semua lokasi hasil interpretasi. Pada pengamatan visual ini identifikasi melalui perbedaan tinggi terasiring/ sengkedan sawah dan perbedaan kenampakan ketinggian lokasi. Validasi menggunakan defferential
A. Contoh hasil h interrpretasi po otensi jebakan migas m yang m merupakan hasil interpretasi dari datta Landsat TM yang akkan divaalidasi deengan differential GPS.
B. Validasi dengan di differential GPS pada hasil interpretasi citra dilak kukan dengan pengukuran p n di lapaangan dengan metode grid. Hasil pengukuraan tersebut kkemudian dibuat d kontur permukaaan. Hassilnya menunjukkkan ada beeda tinggi hasil interpretasi tersebut. C. Merupakann penamppang melin ntang hasil penggkuran denngan differential GPS, dim mana pada profil terrsebut tampak addanya perubbahan ketinggian baik dari arah T Timur ke Barat maupun Utara ke Selaatan
D. Hasil Griddding yangg mencerminkan adanya undulasi/per u rbedaan tinggi t pada hasill interpretaasi yang diduga berpotensi sebagai jebbakan migass
Gambar 7 Validasi Hasil Interpretasi Dengan Differential GPS
48
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
A. Contoh hasil interpretasi potensi jebakan. Dimana terlihat ada perbedaan tinggi pada lokasi tersebut yang berpotensi sebagai lokasi jebakan migas yang akan divalidasi dengan data seismik B. Validasi dengan seismik melalui proses tumpang susun(overlay) dengan menggunakan lintasan seismik yang melewati salah satu hasil interpretasi yaitu lintasan 77GT19 C. Hasil tumpang susun dengan data seismik menunjukkan bahwa lokasi yang diduga sebagai jebakan migas masih merupakan kelanjutan struktur bawah permukaan yang diduga sebagai struktur antiklin
Gambar 8 Validasi Hasil Interpretasi Dengan Seismik
A. Contoh hasil interpretasi potensi jebakan. Dimana terlihat ada perbedaan tinggi pada lokasi tersebut yang berpotensi sebagai lokasi jebakan migas yang akan divalidasi dengan data lapangan dan sumur migas Hasli validasi yang dilakukan melalui proses tumpangsusun/overlay dengan lapangan dan sumur eksisting menunjukkan bahwa hasil interpretasi merupakan struktur yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon.
Gambar 9 Validasi Hasil Interpretasi Dengan Lapangan dan Sumur Migas
49
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 41 - 51
GPS dilakukan pada tiga lokasi hasil interpretasi yang berbeda untuk mendetilkan pengamatan secara visual. Hasil validasi menunjukkan bahwa berdasar metode defferential GPS pada lokasi yang diinterpretasi sebagai tinggian yang berpotensi sebagi jebakan mempunyai perbedaan tinggi. Validasi dengan dengan data seismik daerah yang diidentifikasi sebagai topografi tinggi merupakan cerminan adanya pola struktur di bawah permukaan. Berdasarkan data bawah permukaan dan lapangan menunjukkan daerah yang diinterpretasi sebagai topograi tinggi dengan menggunakan data citra, 44% merupakan struktur (lapangan migas) yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi sekitar 56% lokasi struktur tinggian yang diduga berpotensi sebagai jebakan. Potensi-potensi tersebut perlu dianalisis lebih lanjut melalui data seismik/bawah permukaan untuk membuktikan adanya struktur migas di lokasi tersebut. Berdasarkan kajian ini membuktikan bahwa pengolahan citra satelit dengan metode penajaman kontras, fusi, dan analisis komponen utama (PCA) dapat digunakan untuk membantu dalam analisis awal kegiatan eksplorasi migas.
ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bambang Widarsono, Dr Mujito selaku tim Scientific Board yang telah memberikan saran dan masukannya pada penelitian ini. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS; Drs. Prodjo Danoedoro, M.Sc, Ph.D; Dr. Achmad Dinoto; Ir. Suliantara; Dodi Kurniawan S.T.; Abdul Gaffar; Dian Nur yang telah memberikan masukan dan sarannya dan membantu dalam survei lapangan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Erna, K. Perentangan Kontras Citra Landsat Komposit 432 untuk Analisis Penutup Lahan Dengan Pendekatan Pola Pantulan Spektral (Studi Kasus Pesisir Utara Jawa Tengah). Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. terdapat di: academia.edu
Identifikasi obyek di permukaan bumi dapat dikenali dengan baik pada citra dengan pengolahan citra sederhana yaitu dengan penajaman kontras. Proses fusi citra dengan pansharpening menghasilkan obyek terpisahkan dengan sangat jelas. Obyek-obyek yang berupa lahan terbuka atau lahan kering tampak terlihat sangat jelas pada proses pengolahan PCA, yaitu ditunjukkan dengan warna cyan keputihan dan rona sangat cerah. Pada kombinasi dengan SRTM di daerah yang landai kurang memberikan efek yang berarti dalam menonjolkan obyek ataupun topografinya. Hasil validasi menggunakan data permukaan (Differential GPS) dan menggunakan data bawah permukaan (seismik, sumur, dan lapangan migas) menunjukkan bahwa tinggian-tinggian yang diidentifikasi tersebut sekitar 44% berada pada struktur yang sudah terbukti menghasilkan hidrokarbon. Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada PPPTMGB “LEMIGAS” yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini dan LAPAN yang telah memberikan data SRTM 30 meter dan citra satelit Landsat 8. Pada kesempatan 50
KEPUSTAKAAN Ales, H, 2013. Image Compression and Face Recognition: Two Image Processing Applications of Principal Component Analysis. International Circular of Graphic Education and Research, No. 6, pp. 56-61 Awaluddin, M & Bambang D.Y, 2010. Penajaman dan Segmentasi Citra pada Pengolahan Citra Digital. Teknik, Vol. 31, No. 1, pp.63-67. Danoedoro, P, 2012. Pengantar Penginderaan Jauh. Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Ehlers, M, 2010, Multi-sensor image fusion for pansharpening in remote sensing, International Journal of Image and Data Fusion, Vol.1, Issue 1, pp. 25-45
Franto, 2003. Pemanfaatan Citra Landsat TM Digital untuk survei pendahuluan pencarian struktur jebakan minyak bumi. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Terdapat di: Electronic Theses and Disertation (ETD) Florinsky, I.V., 1998. Combined analysis of terrain models and remotely sensed data in landscape inventigations. Proggress in Physical Geography. Sage Journals. http://ppg.sagepub.com/content/22/1/33.short Gokmaria S, 2010. Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan Jauh Satelit LDCM (Landsat-8). Berita Dirgantara Vol. 11, No. 2, pp. 47-58. Gokmaria S. ,dkk, 2004. Aplikasi Teknik dan Metode Fusi Data ETM-Plus Landsat dan Radarsat untuk Ekstraksi Informasi Geologi Pertambangan Batubara. Majalah LAPAN, Vol 6, No.1, pp.33-30. Gokmaria S, 2008. Teknik dan Metode Fusi (Pansharpening) Data ALOS (AVNIR-2 dan PRIM) untuk Identifikasi Penutup Lahan/Tanaman Pertanian Sawah. Majalah LAPAN, Vol. 3, No.1, pp.33-49. Khoiriah, IF & Farda, NM, 2012. Perbandingan Akurasi
5. Pengolahan Data Citra Satelit untuk Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas (Indah Crystiana, Tri Muji Susantoro, dan Nurus Firdaus)
Klasifikasi Penutup Lahan Hasil Penggabungan Citra ALOS AVNIR-2 dan ALOS PALSAR pada Polarisasi Berbeda dengan Transformasi Wavelet. Jurnal Bumi Indonesia, Volume 1, Nomor 2, pp.75-84.
Soemantri L, 2009. Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Jurusan Pendidikan Geografi . UPI
Lillesand T.M., Kiefer, R.W., 2007. Remote Sensing And Image Interpretation, 6th Edition, Jhon Wiley & Sons Inc, New York.
http://www.rastermaps.com/2014/02/spesifikasilandsat-8.html
Munir, R, 2006. Aplikasi Image Thresholding untuk Segmentasi Objek. Dilihat pada 17 Febuari 2015. Dari http://webmail.informatika.org/~rinaldi/Penelitian/ Makalah-1-SNATI-2006.pdf Pandelisman HF, 2013. Studi Struktur Geologi dan Litologi Menggunakan Metode Pemetaan Geologi Berbasis Penginderaan Jauh Pada Blok Kolbano, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Teknik Geologi, Universitas Diponegoro. Perpustakaan Digital
Rastermaps, 2014. Spesifikasi Landsat-8. di lihat pada 16 Febuari 2015, dari
Das RP. Principal Component Analysis In Multispectral Satellite Images. Department of Computer Science and Engineering, NMIET, Bhubaneswar. Di lihat pada 16 Febuari 2015, dari http://ficta.in/attachments/article/55/18%20PRINCIPAL %20COMPONENT%20 ANALYSIS%20IN%20MULTISPECTRAL%20 SATELLITE%20IMAGES.pdf Wahyu, S & Sukartono, 2002. Teknik Perbaikan Data Digital (Koreksi Dan Penajaman) Citra Satelit. Buletin Teknik Pertanian Vol. 7. No 1, pp.4-6.
51
6. Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan ViaMINYAK Hidrogenasidan Katalitik Baku Dengan Katalis Ni γ Al2O3 LEMBARAN PUBLIKASI GASBahan BUMI (Herizal dan Chairil Anwar)
Vol. 49 No.1 April 2015 : 6-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan Via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku Dengan Katalis Ni γ Al2O3 Making Biodiesel From Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw Via Catalytic Hydrogenation of Raw Material With Ni γ Al2O3 Catalyst Herizal dan Chairil Anwar Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: 62-21-7394422, Facsimile: 62-21-7246150 e-mail:
[email protected];
[email protected] Teregistrasi I tanggal 2 Maret 2015; Diterima tanggal 2 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar diesel yang bersumber dari fosil, solusi berkelanjutan untuk sumber energi dan ramah lingkungan. Pengembangan biodiesel ke masa depan agar tidak bersentuhan dengan kebutuhan pangan, sebaiknya diarahkan ke bahan baku nonpangan. Salah satu alternatif bahan baku nonpangan yang berpotensi sebagai bahan baku baku biodiesel adalah minyak kemiri sunan. Minyak kemiri sunan memiliki angka iodium yang tinggi, sehingga jika langsung digunakan sebagai bahan baku biodiesel akan menghasilkan produk dengan kandungan angka iodium yang tinggi, melebihi dari yang ditetapkan dalam SNI 7182:2012. Tujuan dari penelitian ini adalah menurunkan angka iodium dari minyak kemiri sunan melalui proses hidrogenasi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel. Hidrogenasi dilakukan dengan reaktor autoclave menggunakan katalis 30 %Ni γ Al2O3 sebanyak 0,6% berat, dengan kondisi operasi suhu 200oC, tekanan 3 bar, waktu 3 jam dan pengadukan 300 rpm. Angka iodium minyak kemiri sunan hasil hidrogenasi dapat diturunkan dari 129,34 menjadi 112,02 (g-I2/100 g). Proses pembuatan biodiesel dilakukan dengan dua tahap yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi dilakukan pada kondisi operasi, metanol sebesar 1,5 kali jumlah FFA dalam minyak, konsentrasi H2SO4 3% berat, suhu reaksi 60oC, waktu reaksi 3 jam dan pengadukan sekitar 1000 rpm. Transesterifikasi dilakukan pada kondisi operasi, rasio molar Metanol/CPO sebesarnya 10, konsentrasi katalis KOH antara 1 %-berat, waktu reaksi 60 menit, suhu reaksi 60oC dan pengadukan sekitar 1000 rpm. Perolehan biodiesel yang diproses menggunakan minyak kemiri sunan yang sudah dihidrogenasi adalah sebesar 86,65% berat. Secara umum spesifikasi biodesel dari minyak kemiri sunan yang dihasilkan telah memenuhi spesifikasi SNI 7182 tahun 2012. Kata Kunci: minyak kemiri sunan, angka iodium, esterifikasi, transesterifikasi. ABSTRACT Biodiesel is an alternative fuel substitute for diesel fuel sourced from fossil, sustainable solutions for energy sources and environmentally friendly. Biodiesel development in the future so as not to come into contact with food needs, should be directed to the non-edible vegetable oil as raw materials. One alternative that has the potential of non-edible vegetable oil as raw feedstock biodiesel is Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw. Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw has a high iodine number, so that if it is directly used as a raw material for biodiesel will result in products with a high content of iodine number, in excess of that specified in SNI 7182 in 2012. The purpose of this study was to reduced iodine number of Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw by hydrogenation process, so it can be used as a feedstock for biodiesel production. Hydrogenation was performed in an autoclave reactor using 30% Ni γ Al2O3 catalyst as much as 0.6% by weight with the operating conditions of temperature 200oC, a pressure 3 bar, the time of reaction 3 hours and stirring 300 rpm. Iodine number of hydrogenated oils can be reduced from 129.34 into 112.02 (g-I2/100 g). The process of making biodiesel is done in two stages, esterification and transesterification. Esterification performed on the operating conditions, methanol as much as 1.5 times the amount of FFA in the oil, H2SO4 concentrations 3% by weight, the reaction temperature 60oC, the time of 53
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 53 - 60
reaction between 3 hours and stirring 1000 rpm. Transesterification performed on the operating condition, the molar ratio of methanol / CPO around 10, concentration of KOH catalyst 1% by weight, reaction time 60 minutes, reaction temperature 60oC and stirring 1000 rpm. Yield of biodiesel that is processed using Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw that has been hydrogenated is equal to 86.65% by weight. In general specification of biodiesel from Teutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw produced has met the specifications of SNI 7182 in 2012. Keywords: reutealis trisperma (Blanco) airy shaw, iodine number, esterification, transesterification.
I. PENDAHULUAN Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar diesel yang bersumber dari fosil. Selain dapat digunakan pada mesin diesel, biodiesel juga memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut: (a) mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi; (b) bahan bakar terbarukan; (c) mereduksi emisi gas rumah kaca; (d) dapat terurai atau terdegradasi secara biologi dan tidak toksis; (e) dalam penanganannya sangat aman (titik nyala lebih tinggi dari bahan bakar diesel). Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif setara minyak solar, dapat diproduksi dari sumber terbarukan seperti minyak nabati dan lemak hewani dengan proses transesterifikasi (Marchetti dkk. 2008). Secara kimia biodiesel adalah metil ester asam lemak dan hanya disebut biodiesel bila digunakan sebagai bahan bakar dalam mesin diesel dan sistem pemanasan (Sidjabat 2013). Pengembangan biodiesel ke depan agar tidak bersentuhan dengan kebutuhan pangan, sebaiknya diarahkan ke bahan baku nonpangan (non edible). Sumber minyak non edible memiliki potensi untuk menurunkan biaya biodiesel (Kombe1 dkk. 2013). Penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku yang bersaing dengan pasokan pangan menyumbang harga yang lebih tinggi dari biodiesel, biaya bahan baku menyumbang 60% sampai 80% dari total biaya bahan bakar biodiesel tersebut (Atabani dkk. 2012). Untuk Indonesia salah satu adalah minyak kemiri sunan. Kemiri sunan merupakan bahan baku yang relatif baru yang dapat dijadikan sumber bahan baku pembuatan biodiesel. Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw) merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang berpotensi sebagai bahan baku untuk pembuatan biodiesel. Tanaman ini berasal dari Philipina, berkembang di Indonesia khususnya di daerah Jawa Barat. Tanaman ini dapat menghasilkan 300-500 kg biji kering per pohon per tahun dengan kadar minyak 50-56 persen. Suatu potensi yang sangat menjanjikan. Dengan kadar minyak dan potensi produksi seperti ini berarti dalam satu hektar dengan populasi 100 pohon dapat menghasilkan 50 ton biji kering, setara dengan 15-25 54
ton minyak, lebih tinggi dibanding potensi produksi yang dihasilkan Kelapa Sawit. Komposisi asam lemak yang terdapat dalam minyak kemiri sunan terdiri dari 10% Palmitic Acid, 9% Stearic Acid, 12% Oleic Acid, 19% Linoleic Acid dan 51% α-elaeostearic acid (Anonymous 2013, Pranowo 2014). Minyak kemiri sunan memiliki angka iodium yang tinggi (133-160) g-I2/100 g, hal ini disebabkan adanya 3 (tiga) ikatan rangkap terkonjugasi yang dimiliki oleh komponen asam α-elaeostearic yang merupakan kandungan terbesar dalam minyak kemiri sunan. Jika minyak kemiri sunan langsung digunakan sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel, akan menghasilkan produk dengan kandungan angka iodium yang tinggi, melebihi dari yang ditetapkan dalam SNI 7182 tahun 2012. Hal inilah yang masih menjadi kendala bagi proses pembuatan biodiesel dari minyak kemiri sunan. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka diperlukan satu proses tambahan yaitu proses hidrogenasi terhadap bahan baku. Proses hidrogenasi ditempatkan sebagai proses pretreatment bahan baku sebelum dilakukan proses pembuatan biodiesel (Soerawidjaja 2014). Proses hidrogenasi ini mampu menurunkan angka iodium yang ada di dalam minyak kemiri sunan. Proses hidrogenasi secara khusus adalah proses praktis karena proses ini juga banyak digunakan pada kilang pengolahan minyak bumi untuk mereduksi kandungan aromat. Prinsip proses hidrogenasi adalah menambahkan atom hidrogen pada asam lemak yang tidak jenuh untuk meningkatkan jumlah kejenuhan dan mengurangi ikatan rangkap (Sidjabat 2013, Siahaan 2012). Proses hidrogenasi dapat dilakukan dengan menggunakan logam-logam transisi sebagai katalis, seperti nikel (Ni), platina (Pt), dan paladium (Pd). Pemilihan logam transisi sebagai katalis berdasarkan kondisi operasi proses hidrogenasi dan senyawa yang akan dihidrogenasi. Karena harga Pt dan Pd lebih mahal, maka segi ekonomi pemakaian logam Ni lebih menguntungkan (Widiyarti & Rahayu 2010). Pengurangan angka iodium minyak nabati melalui proses hidrogenasi katalitik menggunakan katalis Ni telah banyak dilaporkan oleh beberapa
6. Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan Via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku Dengan Katalis Ni γ Al2O3 (Herizal dan Chairil Anwar)
peneliti. Hidrogenasi dilakukan pada reactor batch dengan menggunakan logam nikel (Ni) sebagai katalis pada temperatur 150oC - 220oC dan tekanan sebesar 3-15 bar (Jovanovic dkk.1998, Widiyarti & Rahayu 2010, Haerudin dkk. 2003, Karabulut dkk. 2003). Minyak kemiri sunan yang sudah melalui proses hidrogenasi kemudian diproses menjadi biodiesel menggunakan proses esterifikasi dan transesterifikasi (Aunillah & Pranowo 2012, Djenar & Lintang 2012, Pranowo 2014). Penelitian ini bertujuan menurunkan angka iodium minyak kemiri sunan sebagai bahan baku biodiesel melalui proses hidrogenasi katalitik. Diharapkan dengan proses hidrogenasi katalitik angka iodium minyak kemiri sunan dapat diturunkan, sehingga angka iodium dari produk biodiesel yang dihasilkan dapat memenuhi spesifikasi SNI No. 7182 Tahun 2012. II. METODE DAN PENELITIAN Bahan-Bahan Minyak kemiri sunan sebagai bahan baku dalam penelitian diperoleh dari MABI (Masyarakat Ahli Bioenergi Indonesia). Bahan katalis yang digunakan adalah garam Ni(NO3)2. 6H2O dan γ Al2O3 sebagai penyangga, dimana kedua bahan tersebut diperoleh dari Merck. Gas hidrogen sebagai pereaktan diperoleh dari penyedia bahan kimia dan gas yang ada di Jakarta. Metanol, Asam Sulfat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan biodiesel. Sedangkan KOH sebagai katalis alkali dipakai dalam
penelitian ini, karena harganya cukup murah dan lebih reaktif dibandingkan katalis lainnya. Preparasi Katalis Hidrogenasi Preparasi katalis dilakukan dengan metoda impregnasi dan kalsinasi. Katalis yang dipreparasi mengandung logam Ni sebesar 10, 20 dan 30% wt. Sejumlah tertentu garam Ni dilarutkan dalam aquabides yang kemudian diimpregnasikan ke dalam penyangga γ Al2O3 dengan metoda perendaman. Campuran garam Ni dan γ Al 2 O 3 kemudian dipanaskan dalam beker gelas pada suhu 70oC sampai hilang aquabidesnya yang kemudian pemanasan dilanjutkan dalam oven pada suhu 110oC selama 12 jam. Kemudian katalis tersebut dikalsinasi dalam suatu kalsinator pada suhu 500oC dengan aliran gas nitrogen 150 mL/men selama 5 jam untuk menghilangkan garamnya. Katalis tersebut kemudian dikarakterisasi menggunakan alat Surface Area and Pore Volume Analyzer NOVA 1200e untuk mengetahui luas permukaannya dengan metoda BET. Hidrogenasi Minyak Kemiri Sunan Hidrogenasi dilakukan terhadap minyak kemiri sunan dengan tujuan untuk menurunkan angka iodium. Proses hidrogenasi minyak kemiri sunan dilakukan dalam reaktor autoclave kapasitas 1 Lt pada suhu 200°C dan tekanan 3 atm selama 2 dan 3 jam dengan pengadukan 300 rpm. Katalis hidrogenasi yang digunakan adalah 10, 20 dan 30% γ Al2O3 dengan jumlah katalis yang digunakan sebanyak
Gambar 1 Diagram Alir Proses Hidrogenasi Minyak Kemiri Sunan
55
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 53 - 60
0,2; 0,4 dan 0,6% wt terhadap minyak kemiri sunan. Minyak kemiri sunan yang telah terhidrogenasi di ukur angka iodiumnya menggunakan metoda AOCS official Cd 1-25 (AOCS, 1989). Diagram alir hidrogenasi minyak kemiri sunan menggunakan autoclave disajikan pada Gambar 1.
Proses pembuatan biodiesel dilakukan dua tahapan proses, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Diagram alir proses pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku minyak kemiri sunan yang telah dihidrogenasi disajikan dalam Gambar 1. III. HASIL DAN DISKUSI
Pembuatan biodiesel Pemurnian minyak kemiri sunan dilakukan dengan proses degumming menggunakan H3PO4 0,07% wt dan bentonit 0,3% wt pada suhu 110oC selama 30 menit dengan pengadukan. Pembuatan biodiesel dari minyak kemiri sunan yang telah dihidrogenasi dilakukan dalam suatu reaktor gelas, yaitu berupa labu leher tiga yang dilengkapi dengan pengaduk dan kondensor refluk serta pemanas.
Preparasi katalis hidrogenasi Hasil analisa luas permukaan katalis yang dihasilkan dengan menggunakan metoda BET adalah disajikan dalam Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa luas permukaan γ Al2O3 sebagai penyangga katalis adalah sebesar 245,65 m2/g, luas permukaan katalis 10% Ni γ Al2O3 sebesar 243,30 m2/g, luas permukaan katalis
Minyak Kemiri Sunan
Gum
Degumming T = 90 - 110oC t = 30 menit RPM = 300
Waste Katalis
Hidrogenasi T = 200oC P = 3 Bar t = 3 jam, RPM = 300
Air
Esterifikasi T = 60oC t = 3 Jam RPM = 1000
Gliserol
Transesterifikasi T = 60oC t = 1 Jam RPM = 1000
Air Pengotor
Pencucian T = 50oC
Air
Penguapan T = > 100oC
H3PO4 0,07% wt Bentonit 0,3% wt
Katalis 30%Ni J Al2O3
Metanol 1,5 x FFA H2SO4 3%
Metanol / Kemiri Sunan 10 KOH 1%
Air
Biodiesel Gambar 2 Diagram Alir Proses Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan
56
6. Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan Via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku Dengan Katalis Ni γ Al2O3 (Herizal dan Chairil Anwar)
Tabel 1 Luas Permukaan Katalis Hidrogenasi Minyak Kemiri Sunan
No
Luas Permukaan, m2/g
Formula Katalis
1
10 % Ni J Al2O3
243,30
2
20 % Ni J Al2O3
167,90
3
30 % Ni J Al2O3
155,30
J Al2O3
245,65
Alumina
20% Ni γ Al2O3 sebesar 243,30 m2/g sedangkan luas permukaan katalis 30 % Ni γ Al2O3 sebesar 155,30 m2/g. Semakin tinggi kandungan logam Ni yang diimpregnasikan ke dalam penyangga γ Al2O3 menyebabkan semakin banyak logam Ni yang terserap ke dalam pori-pori penyangga, sehingga menyebabkan terdispersikannya logam-logam Ni pada permukaan pori-pori penyangga yang menyebabkan terjadinya penurunan luas permukaan dari katalis yang dihasilkan (Haerudin dkk. 2003). Hidrogenasi Bahan Baku Minyak Kemiri Sunan Karakteristik bahan baku minyak kemiri sunan Pengukuran dan metode uji yang digunakan disajikan dalam Tabel 2, angka Iodium yang ditentukan memberikan hasil sebesar 129,34 g-I2/100g. Hasil analisa angka iodium minyak kemiri sunan yang telah dihidrogenasi dengan katalis nikel pada pada kondisi T = 200°C, P = 3 Bar, t = 2 jam disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 2 dan 3 terlihat bahwa telah terjadi penurunan angka iodium minyak kemiri sunan dari 129,34 menjadi 116,13 (g-I2/100g) pada hidrogenasi menggunakan katalis 20% Ni γ Al2O3
Metoda
BET
pada suhu 200oC, tekanan 3 bar, waktu selama 2 jam dan jumlah nisbah katalis terhadap minyak sebesar 0,6% wt. Penurunan angka iodium ini menunjukkan bahwa katalis yang digunakan telah menunjukkan aktivitasnya. Berkurangnya angka iodium ini disebabkan terjadinya reaksi hidrogenasi terhadap ikatan rangkap yang dimiliki oleh asam lemak yang terdapat dalam minyak kemiri sunan, yang mengakibatkan berubahnya asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Angka iodium merupakan ukuran total ketidakjenuhan terlepas dari proporsi relatif dari mono-, di-, tri-, dan senyawa poli tak jenuh (lebih dari tiga ikatan ganda) (Sigurd dan Mittelbach 2007). Dari Tabel 4 juga terlihat bahwa semakin tingginya kandungan logam dalam katalis dan semakin banyaknya jumlah katalis yang digunakan memberikan efek terhadap penurunan angka iodium (Jovanovic dkk.1998, Widiyarti & Rahayu 2010, Haerudin dkk. 2003, Karabulut dkk. 2003). Dari Tabel 2 dan 4 terlihat bahwa telah terjadi penurunan angka iodium minyak kemiri sunan dari 129,34 menjadi 112,02 (g-I2/100 g) pada hidrogenasi menggunakan katalis 30% Ni γ Al2O3
Tabel 2 Karakteristik Bahan Baku Minyak Kemiri Sunan
No
Parameter
1
FFA
2
Angka Iodium
3
Angka asam
4
Density, 40°C
5
Viscosity, 40°C
Satuan
Nilai
Metode Uji
% wt
14,98
AOCS
g-I2/100 g
129,34
AOCS Cd 1-25
mgKOH/gram
29,81
ASTM D.664
Kg/m3
919,3
ASTM D 4052
77,53
ASTM D 445
2
mm (cst)
57
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 53 - 60
Tabel 3 Hidrogenasi Minyak Kemiri Sunan Pada T = 200 °C, P = 3 Bar, T = 2 Jam
No
Katalis
1
10% Ni J Al2O3
2
20% Ni J Al2O3
Jumlah Katalis, %wt 0,2
Angka Iodium g-I2/100 g 119,82
0,2
118,74
0,4
117,56
0,6
116,13
dan pada suhu 200oC, tekanan 3 bar, waktu selama 3 jam dan nisbah katalis terhadap minyak sebesar 0,6% wt. Semakin tinggi kandungan logam dalam katalis menyebabkan aktivitas katalis semakin tinggi dan reaksi berlangsung semakin baik, terbukti dengan semakin menurunnya angka iodium untuk hidrogenasi menggunakan katalis 30% Ni γ Al2O3. Lamanya waktu reaksi berpengaruh terhadap aktivitas katalis, dimana waktu kontak katalis dan minyak kemiri sunan lebih panjang sehingga reaksi menjadi lebih sempurna. Proses ini juga menyebabkan pengurangan ikatan rangkap lebih banyak, sehingga semakin banyak asam lemak tak jenuh berubah menjadi asam lemak jenuh yang menyebabkan berkurangnya nilai angka iodium (Jovanovic dkk.1998, Widiyarti & Rahayu 2010, Haerudin dkk. 2003, Karabulut dkk. 2003). Pembuatan Biodiesel Hasil analisa karakteristik dari minyak kemiri sunan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2. Kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati belum di bawah tingkat yang diinginkan untuk dapat berlangsungnya reaksi transesterifikasi dengan alkali yaitu kurang dari
Metoda
AOCS cd 1-25
3% (Atadashi dkk. 2010). Beberapa peneliti lain melaporkan, jika kandungan FFA lebih kecil dari 5% maka proses pembuatan biodiesel dapat langsung dilakukan melalui proses transesterifikasi, namun bila kandungan FFA lebih besar dari 5% maka proses pembuatan biodiesel dilakukan melalui dua tahapan proses yaitu proses esterifikasi dan transesterifikasi. Dua tahapan proses ini dilakukan untuk menghindari terjadinya reaksi penyabunan akibat tingginya kandungan FFA dalam bahan baku biodiesel yang dapat mengurangi perolehan dari produk biodiesel (Aunillah 2012, Djenar 2012, Pranowo 2014). Hasil analisa spesifikasi biodiesel minyak kemiri sunan yang dihasilkan, dimana bahan baku yang digunakan dihidrogensai terlebih dahulu menggunakan katalis 30% Ni γ Al2O3 pada kondisi suhu 200oC, tekanan 3 bar, lamanya reaksi 3 jam dan katalis yang digunakan sebanyak 0,6% wt terhadap minyak adalah disajikan dalam Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa biodiesel (R2) yang diproses tanpa melalui tahapan hidrogenasi bahan baku mempunyai angka iodium sebesar 129,425 (g-I2/100 g) sedangkan yang ditetapkan dalam spesifikasi biodiesel SNI No. 7182 Tahun 2012, maksimum sebesar 115 (g-I2/100 g). Sedangkan
Tabel 4 Hidrogenasi Minyak Kemiri Sunan Pada T = 200 °C, P = 3 Bar, T = 3 Jam No
1
2
58
Katalis
20% Ni J Al2O3
30% Ni J Al2O3
Jumlah Katalis,
Angka Iodium
%wt
g-I2/100 g
0,2
115,36
0,4
114,89
0,6
114,46
0,2
114,26
0,4
113,35
0,6
112,02
Metoda
AOCS cd 1-25
6. Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Kemiri Sunan Via Hidrogenasi Katalitik Bahan Baku Dengan Katalis Ni γ Al2O3 (Herizal dan Chairil Anwar)
Tabel 5 Karakteristik Biodiesel Kemiri Sunan Tanpa Hidrogenasi dan Dengan Hidrogenasi Bahan Baku No
Parameter
Satuan
SNI 7182 : 2012
Biodiesel
Biodiesel
Kemiri Sunan (R-2), 2013
Kemiri Sunan (R-3), 2014
kg/m 3
850 – 890
885,7
887,8
mm 2 (cst)
2,3 – 6,0
8,973
9,282
min. 51
**
**
Titik nyala (mangkok tertutup )
ƒC
min. 100
160,5
182,5
ƒC
1
Massa Jenis pada 40 ƒC
2
Viskositas kinematik pada 40 ƒC
3
Angka Setana
4 5
Titik kabut
6
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 ƒC)
7
Residu karbon -Dalam contoh asli , atau
%-massa
-Dalam 10 % ampas distilasi 8
Air dan sedimen
9
Temperatur distilasi 90 %
10
Abu tersulfatkan
11 12 13
Angka asam
14
Gliserol bebas
15
maks. 18
17
18
maks. No. 1
1a
1a
maks . 0,05
0,8218
0,6919 Trace
(maks . 0,3) %-vol
maks . 0,05
Trace
ƒC
maks . 360
**
**
%-massa
maks . 0,02
0,004
0,044
Belerang
ppm-m (mg/kg)
maks . 100
**
**
Fosfor
ppm-m (mg/kg)
maks. 10
0,20
0,98
mg-KOH/g
maks. 0,6
0,3825
0,3095
%-massa
maks. 0,02
0,035
0,0273
Gliserol total
%-massa
maks. 0,24
0,222
0,2466
16
Kadar ester alkil
%-massa
min. 96,5
99,25
99,12
17
Angka iodium
%-massa (g-I2/100 g)
maks . 115
129,425
112,02
18
Stabilitas oksidasi : - Metode Petro Oksi
Menit
- Metode Rancimat 19
Nilai kalor
MJ/kg
27 360
31,2
16,2
-
39,16
39,44
R-2 = Biodesel tanpa hidrogenasi; R3 = Biodesel dengan hidrogenasi bahan baku ** = Alat Rusak
biodiesel (R3) yang diproses terlebih dahulu melalui hidrogenasi bahan baku mempunyai angka iodium sebesar 112,02 (g-I2/100 g). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan hidrogenasi terhadap minyak kemiri sunan sebelum digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan biodiesel dapat menurunkan angka iodium, sehingga angka iodium biodiesel yang dihasilkan dapat memenuhi spesifikasi biodiesel SNI No. 7182 Tahun 2012. Mengacu kepada SNI No. 7182:2012 angka iodium biodiesel kemiri sunan yang dihasilkan via proses hidrogenasi bahan baku dapat memenuhi spesifikasi, nilai ini masih cukup tinggi yang mendekati batas maksimum diperbolehkan. Hal ini akan berpengaruh antara lain pada rendahnya stabilitas oksidasi dari biodiesel yang dihasilkan, ditengarai disebabkan oleh masih tingginya kandungan asam lemak α-elaeostearic yang terdapat dalam minyak kemiri sunan, dimana asam lemak tersebut memiliki 3 (tiga) ikatan rangkap terkonjugasi yang menjadikan biodiesel kemiri sunan mudah teroksidasi. Angka iodium biodiesel yang tinggi karena peningkatan kandungan ester asam lemak tak jenuh akan rentan terhadap panas, oksidasi serta proses degradasi (Sigurd dan Mittelbach 2007). Sifat stabilitas oksidasi terutama diperlukan untuk penyimpanan yang lama, sedangkan Oksidasi
biodiesel selama periode penyimpanan dapat diatasi dengan penggunaan antioksidan.(Kapilan dkk 2009). Parameter uji lain yang terkait, viskositas lebih tinggi dari SNI disebabkan semakin banyaknya asam lemak jenuh akibat hidrogenasi terhadap ikatan rangkap yang merubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Perlakuan hidrogenasi terhadap minyak kemiri sunan sebelum digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan biodiesel dapat menurunkan angka iodium, sehingga angka iodium biodesel yang dihasilkan dapat memenuhi spesifikasi biodiesel SNI No. 7182 Tahun 2012. Hidrogenasi terhadap minyak kemiri sunan menggunakan katalis 30% Ni γ Al2O3 pada kondisi suhu 200oC, tekanan 3 bar, lamanya reaksi 3 jam dan katalis yang digunakan sebanyak 0,6% wt terhadap minyak telah dapat menurunkan angka iodium dari 129,34 menjadi 112,02 (g-I2/100 g). Perolehan biodiesel melalui tahapan hidrogenasi bahan baku dan proses esterifikasi serta transesterifikasi sebesar 86,65%. Secara umum biodiesel yang dihasilkan telah dapat memenuhi
59
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 53 - 60
spesifikasi SNI No. 7182 Tahun 2012, dengan demikian berpotensi untuk dapat dipakai sebagai pencampur minyak solar untuk bahan bakar biosolar dengan perbandingan tertentu.
Haerudin, H., Tursiloadi, S., Widiyarti, G., & Wuryaningsih, W. S., 2003, ”Pengaruh Metode Preparasi Pada Katalis Nikel Dengan Penyangga Bentonit”, Indonesian Journal of Chemistry, 3 (2), hal. 118-125.
KEPUSTAKAAN
Karabulut, I., Kayahan, M., dan Yaprak, S., 2003, “Determination of Changes in Some Physical and Chemical Properties of Soybean Oil During Hydrogenation”, Food Chemistry, 81, 453-456.
Anonymous, 2013, “Potensi Kemiri Sunan Sebagai Alternatif Bahan Bakar Biodiesel,” Samro Technology Indonesia. Aunillah, A., & Pranowo, D., 2012, ”Karakteristik Biodiesel Kemiri Sunan Meggunakan Proses Transesterifikasi Dua Tahap”, Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Vol. 3, No. 3, November. Atabani, A. E., Silitonga, A. S., Badruddin, A. I., Mahlia, T. M. I., & Mekhilef., 2012, “A comprehensive review on biodiesel as an alternative energy resource and its characteristics”, Renewable and Sustainable Energy Reviews Volume 16, Issue 4, May, Pages 2070–2093 Atadashi, I., Aroua, M., & Aziz, A., 2010, “High quality biodiesel and its diesel engine application: A review”, Renewable and Sustainable Energy Reviews 14, 1999–2008. Djenar, N. S., & Lintang, N., 2012, “Esterifikasi Minyak Kemiri Sunan (Aleurites Trisperma) Dalam Pembuatan Biodiesel”, Bionatura-Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik, Vol. 14, No. 3, November. Pranowo, D., 2014, “Pembuatan Biodiesel dari Kemiri Sunan [Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw] dan Pemanfaatan Hasil Samping”, IAARD Press. Siahaan, Donald., & Hasibuan, A, A., 2012, “Optimasi Hidrogenasi Minyak Inti sawit Skala 100 Kg/ Batch Dan Rafinasi Cocoa Butter Substitute Yang dihasilkan”, Prosiding InSINas, Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, 29-30 November 2012. Jovanovic, D., Radovic, R., Mares, L., Stankovic, M., & Markovic, B., 1998, “Nickel Hydrogenation Catalyst for Tallow Hydrogenation and for The Selective Hydrogenation of Sunflower Seed Oil and Soybean Oil”, Catalysis Today, 43, 21-28.
60
Kombe, G. G., Abraham, K. T., Hassan, M. R., Godwill, D., Mrema1, Jibrail, K., & Lee, T. K., 2013, “PreTreatment of High Free Fatty Acids Oils by Chemical Re-Esterification for Biodiesel Production—A Review”, Advances in Chemical Engineering and Science, 2013, 3, 242-247. ACES Kapilan, N., Ashok Babu, T. P., & Reddy, R. P., 2009, “Technical Aspects of Biodiesel and its Oxidation Stability”, Int.J. ChemTech Res.,1(2). Marchetti, J. M., Miguel, V. U., Errazu, A. F., 2008, “Techno-economic study of different alternatives for biodiesel production”, Fuel Processing TechnologyVolume 89, Issue 8, August, Pages 740–748 Sidjabat, O., 2013, “Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 Sebagai Katalis”, Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013, 79 – 85. Soerawidjaja, H. T., 2014, “Pemerahan, Penanganan dan Rute-Rute Pengolahan Minyak Kemiri Sunan”, Focused Group Discussion (Pengembangan Bioenergi Berbasis Kemiri Sunan, Garut, 27 Maret 2014 Sigurd, S., & Mittelbach, M., 2007, “Iodine value and biodiesel: Is limitation still appropriate?”, Lipid Technology December, Vol. 19, No. 12 Widiyarti, G., Wuryaningsih, W. S., 2010, “Pengaruh Metode Preparasi dan Kandungan Logam Aktif Terhadap Aktivitas Katalis Ni/Kieselguhr”, Jurnal Sains Materi Indonesia,Vol. 11. No. 2, Februari 2010, hal. 1-5.
LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik) Vol. 49 No.1 April 2015 : 7-8 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Pembangunan Kilang Baru New Refinery Development Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: 62-21-7394422, Facsimile: 62-21-7246150 Teregistrasi I tanggal 9 Maret 2014; Diterima tanggal 9 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Indonesia membutuhkan 2(dua) kilang baru dengan kapasitas 300 ribu bph untuk mengatasi impor BBM. Pemerintah telah menerima beberapa pengajuan rencana pembangunan kilang baru dari beberapa investor seperti Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum melalui kerja sama dengan Pertamina.Namun belum ada keputusan yang konkrit untuk kerjasama terkait, sehingga Pemerintah perlu mencari strategi untuk terwujudnya pembangunan kilang tersebut, termasuk cara pengadaan minyak mentah untuk bahan baku, penentuan konfigurasi kilang serta pola pendanaannya. Untuk menyatukan pendapat terkait pengembangan kilang, LEMIGAS telah melakukan FGD (Focus Group Discussion) pada 26 Juni 2014 di Bogor dengan peserta lintas kementrian. Hasil presentasi & diskusi dari berbagai sudut pandang diperoleh gambaran bahwa pemerintah harus segera membangunan kilang baru, memilih pola pendanaan yang layak, dan mampu laksana. Pemilihan konfigurasi kilang BBM & petrokimia mampu memberikan marjin lebih baik, karena menghasilkan produk petrokimia yang lebih ekonomis dan memaksimalkan pemanfaatan hidrokarbon, serta mengoptimalkan penggunaan utilitas. Kilang pembiayaan swasta memberikan IRR sebesar 6% tanpa insentif dari pemerintah. Dengan insentif (tax allowance atau tax holiday dan pembebasan PPN barang kena pajak strategis) IRR akan meningkat menjadi 7%. Namun inipun belum cukup menarik untuk investor swasta, yang memerlukan IRR minimum sebesar 12%. Skema Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang disertai insentif dapat meningkatkan IRR menjadi sekitar 10-12%. Kenaikan IRR ini diakibatkan oleh 70% equity merupakan dana pemerintah. Meskipun demikian, kemungkinan pelaksanaan pendanaan secara KPS akan memerlukan proses dan waktu cukup panjang. Pembiayaan oleh Pemerintah seluruhnya dapat memberikan IRR 8,4%. Ini akan menarik apabila Pemerintah dapat menjual obligasi valas atau Suku valas/obligasi syariah yang dimasa lalu dengan kupon/imbal jasa lebih rendah dari 6% dan menurun. Kata Kunci: tax allowance atau tax holiday, IRR. ABSTRACT Indonesia needs 2 (two) new refineries with capacity 300 bph for overcome fuel import. The goverment has taken some plan for developing new refinery from investors such us Saudi Aramco, and Kuwait Petroleum cooperation with Pertamina. But, there is no concrete decision related to cooperation so that the government needs to find strategy for the realization of refinery development, include procurement of crude oil for feed, determine refinery configuration, and funding patterns. To unify opinion about development refinery, Lemigas has done FGD (Focus Group Disscusion) on June 26, 2014 in Bogor with participants acros ministries. Results presentation and discussion of the various angles of view obtained that the government should immediately develop a new refinery, choose the appropriate funding patterns, and able to implemented. Selection of fuel and petrochemical refinery configuration capable of providing better margins, because it produces a more economical petrochemical products and maximize the utilization of hydrocarbons, as well as optimizing the use of utilities. Private refinery give IRR as 6 % without goverment incentives. With incentives ( tax allowance or tax holiday and value added taxable goods strategic) IRR would increase to 7%. However, this is not enough attractive to private investors, which requires minimum IRR as 12%.
61
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 61 - 71
Cooperation sceme public private patnership (PPP) with incentives can increase the IRR about 10 - 12 %. The increase is cause by IRR of 70 % equity as a goverment fund. Nevertheless, the possibility of funding implementation of PPP would require a long process and time. Funding by goverment can take IRR about 8.4% . It would be interesting if the goverment can sell foreign currency bonds or currency sukuk / Islamic bond, which in the past with a cuopon compensation is lower than 6 % and decreased. Keywords: tax allowance or tax holiday, IRR.
I. PENDAHULUAN Undang-undang Energi nomor 30 tahun 2007, Pasal 3 a dan b, menyatakan bahwa “Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Undang-undang Migas nomor 22 tahun 2001 pasal 8 menyatakan bahwa Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) yang cukup dan tidak rentan kepada kelangkaan merupakan wujud ketahanan energi yang sangat penting di negara ini. Namun, dewasa ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara pasokan BBM dari kilang dalam negeri dan kebutuhan BBM nasional. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia memerlukan impor BBM yang sangat besar, yaitu sekitar 33,63 juta kilo liter atau sekitar 580 ribu barel per hari (bph). Di samping menimbulkan beban fiskal yang besar, volume impor yang tinggi juga menyebabkan nilai tukar rupiah yang melemah, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan harga BBM impor dalam denominasi rupiah dan beban lebih berat pada APBN. Impor BBM yang besar juga rentan terhadap berbagai isu yang berpengaruh kepada ketahanan energi nasional seperti kelangkaan BBM, kerusakan kilang dalam negeri. Kerawanan tersebut juga dimanfaatkan oleh para trader minyak, dimana semakin besar isu-isu tersebut semakin meningkat pula harga BBM impor. Pemerintah telah menerima 13 pengajuan rencana pembangunan kilang baru di beberapa lokasi di Indonesia dan beberapa investor asing seperti Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum melalui kerja sama dengan Pertamina.(Viva news, 18 Peb.2012) Sebaliknya, pemerintah telah menolak rencana pembangunan kilang minyak dengan kapasitas 300.000 barrel per hari di Indonesia oleh Kuwait 62
Petroleum Corporation (KPC), karena pemerintah tidak bisa memenuhi sejumlah permintaan insentif oleh perusahaan negara Timur Tengah tersebut. (www.aktual.co, 5 Mei 2015). Kebutuhan pembangunan kilang baru dalam negeri sudah sangat mendesak, namun kerjasama tersebut tetap belum ada keputusan dan realisasi yang konkrit sehingga pemerintah perlu mencari strategi untuk terwujudnya pembangunan kilang tersebut. Untuk mengatasi hambatan pembangunan kilang baru, Lemigas sebagai litbang pemerintah perlu memberikan masukan kepada pemerintah terkait pembangunan kilang baru, yaitu; kebutuhan BBM & bahan petrokimia dalam negeri, pengadaan minyak mentah untuk bahan baku, penentuan konfigurasi kilang, keekonomian kilang, potensi pedanaan investasi kilang, dan insentif. Untuk menyatukan pandangan antar pemangku kepentingan terkait pembangunan kilang telah diadakan pertemuan lintas kementrian pada Focus Group Discussion sektorsektor terkait adalah Balitbang ESDM, Ditjen Migas, Kementrian Keuangan(BKF), Kemenprin, Pertamina Tulisan ini bertujuan mengkaji pertimbangan alternatif pembangunan kilang baru yang layak, dan mampu laksana. II. BAHAN DAN METODE Metodologi penelitian dilakukan dengan melakukan survei dan pengumpulan data primer / sekunder; melakukan perhitungan analisa pasokan dan kebutuhan BBM dan bahan petrokimia Indonesia; melakukan tinjauan terhadap feasibility study kilang BBM & petrokimia; melakukan perhitungan keekonomian kilang; pemilihan model pembiayaan pembangunan kilang, dana identifikasi insentif yang layak diberikan pemerintah. Kebutuhan BBM dan Bahan Petrokimia Dalam Negeri Dewasa ini, dengan kapasitas kilang Pertamina sebesar sekitar 1,15 juta bph, rasio kapasitas kilang
7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik)
Tabel 1 Rasio Kapasitas Kilang per Jumlah Penduduk di Kawasan Asia
No 1 2 3 4 5 6 7 8
KapasitasKilang JumlahPenduduk (Liter) (Orang)
Negara
Indonesia Australia China India Jepang Singapura KoreaSelatan Thailand
181,578,000 105,417,000 1,835,973,000 643,791,000 676,386,000 221,805,000 459,033,000 200,340,000
234,181,400 22,421,417 1,339,190,000 1,184,639,000 127,380,000 4,987,600 49,773,145 63,525,062
RasioKap.Kilang/ Penduduk (Liter/Orang) 0.775 4.702 1.371 0.543 5.310 44.471 9.223 3.154
Sumber: BP Statistik 2013, diolah
di Indonesia saat ini terhadap jumlah penduduk hanya sekitar 0,775 liter/tahun/orang (Tabel 1), jauh lebih rendah dari negara-negara Asia lainnya. Singapura, yang memiliki kapasitas kilang yang melebihi kebutuhan domestiknya, merupakan negara pengekspor BBM terbesar di kawasan Asia. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) yang cukup dan tidak rentan kepada kelangkaan merupakan wujud ketahanan energi yang sangat penting di negara ini. Namun, dewasa ini, terdapat perbedaan
yang sangat besar antara pasokan BBM dari kilang dalam negeri dan kebutuhan BBM nasional. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia memerlukan impor BBM yang sangat besar, yaitu sekitar 33,63 juta kilo liter atau sekitar 580 ribu barel per hari (bph). Untuk Indonesia, apabila tidak ada pengembangan kilang dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2025, maka defisit BBM hasil olahan dalam negeri akan menjadi 1,293 juta bph (Gambar 2), artinya akan
Sumber: Ditjen Migas, 2014 2500 2000 1500
MBCD
1000 500 0 2013
2015
2017
Refinery capacity Fuel production Fuel needs Fuel deficit New Refinery Capacity Needeed
Gambar 1 Kebutuhan Tambahan Kapasitas Kilang Indonesia Sampai Tahun 2025
63
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 61 - 71
Tabel 2 Kapasitas Produksi Nasional dan Kebutuhan Produk Petrokimia
Produk
Kapasitas
Kebutuhan
Ethylene
600,000 TPY
1,200,000 TPY
Propylene
540,000 TPY
630,000 TPY
Paraxylene
750,000 TPY
1,000,000 TPY
Sumber: Kemenperin, Juni 2014
diperlukan tambahan kapasitas kilang kumulatif sekitar 1500 ribu bph atau setara dengan 5 (lima) kilang minyak masing-masing dengan kapasitas 300 ribu bph. (Ditjen Migas, 2014) Saat ini, bahan baku petrokimia di Indonesia seperti nafta (fraksi ringan minyak dari kilang) masih diimpor dari Timur Tengah. Selain itu, pabrik-pabrik petrokimia di Indonesia juga masih rendah kapasitasnya sehingga kekurangan produkproduk petrokimia seperti Etilena, Propilena dan Paraksilena, sehingga masih diimpor dalam jumlah besär, masing-masing sekitar 50%, 15% dan 35% dari kebutuhan nasional. Kebutuhan ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perekonomian (Tabel 2). PEMBANGUNAN KILANG BARU Umum Pembangunan kilang harus dapat beroperasi secara optimal dan memberikan keuntungan yang besar baik untuk negara, investor maupun masyarakat. Disamping itu, pembangunan kilang tersebut harus memperhatikan ketersediaan bahan baku, konfigurasi kilang, pemasaran produk, lokasi kilang dan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya dan lain-lain. Pemilihan Impor Minyak Mentah Bagi suatu kilang baru, pemilihan jenis dan kualitas minyak mentah sebagai umpan didasarkan kepada jenis dan komposisi produk yang akan dihasilkan kilang tersebut, serta ketersediaan dan usia ke depan cadangan minyak mentah tersebut. Beberapa minyak ringan atau campurannya yang 64
lebih diinginkan sebagai umpan kilang di Indonesia antara lain adalah Basra light, Bonny light, Arabian light dari Timur Tengah dan Espo (Eastern Siberian Pacific Ocean) dari Rusia. Namun sebagian besar minyak yang tersedia di pasaran memiliki sifat berat dan kandungan sulfur tinggi, sehingga hanya jenis minyak ini yang paling banyak tersedia untuk kilang minyak baru di Indonesia, yang tentu akan mempengaruhi rancangan konfigurasi kilang baru tersebut. Di samping itu, biaya operasi kilang yang menggunakan minyak ringan juga lebih mahal. Lebih dari 90% biaya kilang adalah biaya minyak mentah. Meskipun investasi kilang minyak berat lebih mahal, yang berakibat pada kenaikan biaya depresiasi, namun kenaikan depresiasi ini lebih ringan dibanding kenaikan biaya bahan baku. Itulah sebabnya kilang modern lebih mengandalkan minyak berat. Minyak ringan dipakai oleh kawasan dimana sistem harga sudah menjamin return yang cukup atau karena alasan lingkungan. Minyak Espo bersifat ringan dengan kandungan sulfur sedang. Pada tahun 2010 minyak Espo dijual dengan harga diskon karena spesifikasinya yang belum dikenal di pasaran. Sekitar akhir tahun 2013, cadangan terbukti Rusia mencapai 93,6 milyar barel, dengan kapasitas produksi sebesar 10 juta bph. Saat ini, minyak Espo mulai diminati oleh kilang-kilang minyak di wilayah Asia dan Amerika karena memiliki kualitas yang bersaing dengan minyak Dubai. Beberapa kilang di negara-negara Asia seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapore menggunakan minyak Espo sebagai umpan kilang berdasarkan pertimbangan letak geografis yang lebih dekat serta kemudahan transportasi minyak melalui jaringan
7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik)
produk Euro 4 untuk bensin dan solar. Konfigurasi yang dihasilkan adalah unit-unit utama berupa Hydrocracker, Fluid Catalytic Cracking, Condradson Carbon Residue, Platformer, Isomerator, dan unit penghasil produk petrokimia berupa Aromatic Complex, serta unit-unit pendukung lain seperti Coker, Solvent Deasphalting dan Lube Plant . Kilang tersebut menghasilkan 222 ribu bph BBM dan 56 ribu bph produk petrokimia aromatik dan olefin . Konfigurasi kilang BBM dan Petrokimia seperti pada Gambar 2, dan komposisi produk kilang pada Gambar 3.
pipa langsung menuju wilayah Asia Pasifik. (www. Platts.com, 2014). Minyak Espo sebagai umpan kilang baru Indonesia dapat sebagai alternatif karena diperkirakan lebih mudah mendapatkannya berhubung peminatnya masih sedikit, letak geografisnya lebih dekat ke Indonesia dan kualitasnya bersaing dengan minyak Timur tengah. Konfigurasi Kilang Pemilihan konfigurasi kilang didasarkan kepada kapasitas olah, jenis minyak untuk umpan, jumlah, jenis dan spesifikasi produk yang akan dihasilkan. Konfigurasi tersebut akan berpengaruh pada besarnya nilai investasi untuk pembangunan kilang. Dewasa ini, konfigurasi kilang-kilang baru pada umumnya dirancang berintegrasi dengan kilang petrokimia. Unit pengolahan BBM di kilang tersebut dapat menghasilkan bahan baku petrokimia, yang kemudian diolah di unit pengolahan petrokimia menjadi produk petrokimia dasar yang terutama berupa olefin dan aromatik. Konfigurasi kilang BBM dan petrokimia yang terintegrasi dipilih karena dapat meningkatkan marjin kilang di nilai ekonomi produk petrokimia lebih tinggi dari BBM, pemanfaatan hidrokarbon dapat maksimal, serta pemakaian bahan bakar dan utilitas lainnya dapat lebih optimal. Telah dilakukan suatu simulasi kilang dengan umpan minyak Basra light (200 ribu bph) dicampur Arabian light (100 ribu bph) dengan spesifikasi (sumber; Pertamina, 2013,diolah)
III. HASIL DAN DISKUSI Asumsi Perhitungan Keekonomian Berdasarkan kajian pembangunan kilang yang telah dilakukan oleh Pertamina, asumsi perhitungan keekonomian yang dipakai adalah sebagai berikut: - Biaya investasi sebesar US$ 7,855 miliar - Equity sekitar 30%. - Operating margin sebesar US$ 1,005 miliar - Jangka waktu proyek selama 20 tahun - Bunga bank sebesar 12% per tahun - PPh kilang sebesar 30% - Harga beli umpan dan produk tertera pada Lampiran 1 Pola Pembiayaan
Isomerat
LPG H. Nafta
LPG
Mixed Crude
LPG
Kero Diesel
Nafta, Diesel, Kero
P-Xylene
H. Nafta
Benzene
LPG Gasoline Kero Diesel
M-Xylene Platformat
Toluene
H. Nafta Nafta H. Nafta
Gasoline
H. Nafta
Coke
Gasoline SDA
Lube
Gambar 2 Konfigurasi Kilang BBM dan Petrokimia
65
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 61 - 71
(sumber; Pertamina, 2013,diolah) Losses 2% Sulphur 1%
P-Xylene Poly propilene 1% 7% Poly Ethylene LDPE Benzene Butadiene Poly Ethylene HDPE 2% 1% 3% 3% MEG 3%
DEG 0%
Gambar 3 Komposisi Produk Kilang BBM & Petrokimia Dalam Persen BPD
Pemerintah memerlukan dukungan swasta dan BUMN dalam kegiatan investasi terutama infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Alokasi anggaran pembiayaan infrastruktur sekitar 20% dari pendapatan nasional oleh karena itu pemerintah merasa perlu membentuk Kerjasama Pemerintah Swasta atau KPS (Public Private Partnership) untuk menutupi kekurangan pendanaan (Financing GAP) dalam pembangunan infrastruktur tersebut. (Ahmad Nawawi, dit.. Penyusun APBN). - Pola Pembiayaan Swasta Untuk mendapatkan kondisi keekonomian yang layak dalam pembangunan kilang baru, di samping pembiayaan swasta, telah dikaji dua pola pembiayaan alternatif, yaitu pembiayaan pemerintah (APBN) serta kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Pada jenis pola pembiayaan ini seluruh biaya investasi, dan operasional ditanggung oleh swasta. Peran pemerintah yang dapat diterapkan untuk mendukung pola pembiayaan ini antara lain : a) Menjamin penyerapan pasar produk-produk kilang BBM melalui mekanisme penugasan pembelian ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN). b) Memfasilitasi kerjasama penyediaan bahan baku kilang untuk meningkatkan security of supply minyak mentah untuk kilang baru tersebut. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas, 66
diperoleh Internal Rate return (IRR) sebesar 6,23% dan Net Present Value (NPV) @ Depreciation Factor(DF) 10% sebesar – 1047 juta US$. Kedua besaran tersebut jelas tidak menarik bagi investor swasta. - Pola Pembiayaan Pemerintah Pada pola pembiayaan ini biaya investasi pembangunan kilang baru ditanggung oleh pemerintah melalui APBN. Biaya operasional dari kilang akan ditanggung oleh badan usaha yang ditunjuk sebagai operator kilang. Peran pemerintah yang dapat diterapkan untuk mendukung pola pembiayaan ini antara lain: a) Menunjuk badan usaha yang akan menjadi operator kilang baru. b) Menjamin penyerapan pasar untuk produk kilang BBM melalui mekanisme penugasan pembelian produk kilang ke badan-badan usaha terkait. c) Menjamin pasokan bahan baku kilang sehingga akan meningkatkan security of supply minyak mentah untuk kilang baru tersebut. - Pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta Pada jenis pola pembiayaan ini biaya investasi pembangunan kilang baru ditanggung pemerintah melalui APBN dan badan usaha swasta, sedangkan biaya operasional dari kilang akan ditanggung oleh badan usaha tersebut. Peran pemerintah yang dapat diterapkan untuk mendukung pola pembiayaan ini antara lain: a) Menyediakan lahan untuk pembangunan kilang baru sebagai bentuk partisipasi dalam
7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik)
biaya investasi pembangunan kilang baru b) Menjamin penyerapan pasar untuk produk kilang BBM melalui mekanisme penugasan pembelian produk kilang ke badan-badan usaha terkait. c) Memfasilitasi kerjasama penyediaan bahan baku kilang sehingga akan meningkatkan security of supply minyak mentah untuk kilang baru tersebut. Pada pola pembiayaan KPS diasumsikan besaran equity sekitar 30%, diambil dari share swasta, sedangkan 70% merupakan dana pemerintah sehingga asumsi suku bunga bank menjadi asumsi BI rate. Diasumsikan besaran BI rate adalah sebesar 7,5% didasarkan pada nilai BI rate pada 5 tahun terakhir. - Perbandingan Hasil Perhitungan Keekonomian Pada Semua Pola Pembiayaan Rencana pembangunan kilang minyak di dalam negeri masih menghadapi sejumlah kendala khususnya penetapan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR). Karena pemerintah belum dapat memberikan IRR yang memadai bagi investor, baik dalam maupun luar negeri yang tertarik menggarap kilang minyak. Dari hasil Studi kelayakan kilang yang sudah selesai, hanya IRR yang belum cukup, sehingga perlu ada insentif terkait dengan investasi di sektor minyak dan gas, termasuk pembangunan kilang.(Plt. Kemenkeu, 2013, www.kanalsatu.com) Tingkat pengembalian investasi (IRR) pembangunan kilang BBM di Indonesia masih kurang dari 10 persen, sedangkan swasta akan
berminat jika Internal Rate of Return (IRR) diatas 12 %. (Wamen ESDM, 2013, www.Berita satu.com) Perlu upaya kongkrit dari pemerintah untuk mengatasi hambatan pembangunan kilang baru, karena infrastruktur kilang merupakan kewajiban pemerintah untuk penyediaan BBM dalam negeri. Pembangunan kilang baru memberikan keuntungan bagi kooporat, pemerintah berupa pajak, dan memberikan efek multi terhadap perekonomian nasional maupun regional . Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa bahwa IRR yang paling tinggi yaitu sekitar 9,65% dimiliki oleh pola pembiayaan KPS. Dapat dicatat bahwa Rate of return tersebut masih di bawah bunga bank yang berlaku saat ini. Pola pembiayaan pemerintah memberikan rate of return sebesar 8,36% dan akan menjadi layak bilamana didanai oleh sumber dengan beban modal di bawah besaran tersebut. - Keekonomian Kilang Dengan Insentif Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah pemberian insentif yang dapat menaikkan keekonomian pembangunan kilang baru. Kebijakan fiskal yang berpotensi untuk mendukung investasi kilang baru adalah yang bersifat protektif atau pengaturan pendapatan negara. Kebijakan protektif yang ada saat ini dan mungkin diterapkan pada pengembangan kilang baru antara lain adalah Tax Holiday, Tax Allowance, dan Pembebasan PPn barang strategis. - Tax Holiday Dasar Hukum diberlakukannya kebijakan ini
Tabel 3 Keekonomian Pembangunan Kilang Baru Pada Berbagai Pola Pembiayaan Pola Pembiayaan Parameter
No.
Ekonomi
Kerjasama Pemerintah
Swasta
Pemerintah dan Swasta (KPS)
1
IRR (%)
2
NPV @ DF 10%
8,36
6,23
9,65
-781,69
-1.047
-86,37
9,6
14,5
12,4
0,89
0,85
0,99
(juta US$) 3
POT (tahun)
4
PI
67
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 61 - 71
antara lain adalah: a) Pasal 18 ayat (5) UU 25/2007 b) Pasal 29 PP 94/2010 c) PMK 130/PMK.011/2011 Bentuk Fasilitas yang akan diberikan pemerintah antara lain : d) Pembebasan PPh badan dalam jangka waktu 5 s.d. 10 tahun, terhitung sejak tahun pajak dimulainya produksi komersial. e) Tambahan fasilitas berupa pengurangan PPh badan sebesar 50% selama 2 tahun pajak sejak berakhirnya fasilitas pembebasan PPh badan. - Tax Allowance Dasar Hukum diberlakukannya kebijakan ini antara lain: a) Pasal 31A UU 7/1983 stdtd. UU 36/2008 b) PP 1/2007 stdtd. PP 52/2011 c) PMK 144/PMK.011/2012 Bentuk Fasilitas yang akan diberikan pemerintah antara lain : d) Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal dibebankan selama 6 tahun; e) Penyusutan dan amortisasi dipercepat; f) Pengenaan PPh kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% atau tarif tax treaty; g) Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10 tahun dengan persyaratan tertentu. - Pembebasan PPN Barang Strategis Dasar Hukum diberlakukannya antara lain : a) Pasal 16B UU 8/1983 stdtd. UU 42/2009 b) PP 12/2001 stdtd. PP 31/2007 c) KMK 155/KMK.03/2001 stdtd. PMK 31/
PMK.03/2008 Bentuk Fasilitas yang akan diberikan pemerintah antara lain: d) Pembebasan PPN, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, atas impor dan/ atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) strategis. e) Termasuk dalam kriteria BKP strategis adalah: barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang. Hasil Perhitungan Keekonomian Hasil simulasi keekonomian dengan skenario kebijakan insentif tax holiday dan tax allowance disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 di atas dan dibandingkan dengan Tabel 4 terlihat bahwa pemberian tax holiday dan tax allowance membuat keekonomian semua pola pembiayaan menjadi lebih baik. Di samping itu pola pembiayaan dengan KPS lebih menarik dibandingkan dengan pembiayaan sepenuhnya oleh pemerintah ataupun swasta. Namun perlu dicatat bahwa pola KPS akan memerlukan jadwal realisasi yang lebih panjang. Peluang Pendanaan Dengan Obligasi dan Sukuk Valas Pemerintah Skema pembiayaan melalui sukuk memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah jumlah pembiayaan dapat lebih besar karena pendanaan yang bersumber dari pasar keuangan dengan basis investor yang luas, yield yang lebih kompetitif, pilihan currency yang lebih beragam, jangka waktu
Tabel 4. Keekonomian Pembangunan Kilang Minyak Baru Dengan Memberikan Tax Holiday Atau Tax Allowance Pola Pembiayaan Swasta
Pola Pembiayaan KPS
Parameter
No.
Ekonomi
1
IRR (%)
2
NPV @ DF 10%
Tax Holiday
Tax Allowance
Tax Holiday
Tax Allowance
7,17
6,91
12,01
10,86
-788,66
-858,36
489,37
205,83
(juta US$)
68
3
POT (tahun)
13,7
13,9
11
11,8
4
PI
0,89
0,88
1,07
1,03
7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik)
(sumber: www.idx.com)
Gambar 4 US Dollar Bond
atau tenor lebih panjang bila dibandingkan dengan pembiayaan dari pinjaman ataupun utang luar negeri. (Adam Marchino, Dit.Penyusun APBN) Obligasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia selama periode tahun 2005 – 2014 memberikan kupon yang bervariasi antara 9%(2005) – 4.15% (2014) dengan kecenderungan menurun kecuali pada tahun 2009, kupon melonjak menjadi 11% lebih. Itu hanya
(sumber: www.idx.com)
terjadi satu kali saja selama 10 tahun. Pemerintah juga menerbitkan obligasi syariah atau sukuk valas dengan imbal jasa antara 4-6% (Gambar 4 dan 5). Imbal jasa ini lebih rendah dari obligasi swasta (Gambar 6). Mengingat cukup rendahnya kupon obligasi valas maupun tingkat imbal jasa sukuk dibanding IRR kilang sebesar 8,36%, jenis pendanaan tersebut dapat dipertimbangkan sebagai sumber dana
Gambar 5 Bond Sukuk
69
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 61 - 71
sumber: http://em.cbonds.com
Gambar 6 Obligasi Valas Korporasi
investasi kilang dengan pembiayaan sepenuhnya oleh Pemerintah. Hampir dua dekade usia kilang Pertamina RU VI Balongan terakhir dibangun. Peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri tidak diimbangi dengan peningkatan produksi kilang sehingga Indonesia mengalami defisit BBM. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dewasa ini yang sudah mencapai sekitar 1,2 juta barel per hari, Pemerintah Indonesia harus melakukan impor BBM yang sangat besar yaitu sekitar 580 ribu bph. Situasi ini sangat memberatkan beban fiskal Pemerintah dan membuat rentan ketahanan energi nasional. Selama ini Pemerintah belum ada upaya yang jelas untuk realisasi pembangunan kilang untuk mengatasi impor BBM. Strategi Pemerintah untuk mengurangi hambatan pada rencana pembangunan kilang BBM dan petrokimia Indonesia, adalah sebagai berikut: - Konfigurasi kilang BBM & petrokimia - Umpan minyak mentah yang kemungkinan harganya lebih murah dan kontrak pembelian minyak lebih mudah adalah minyak Rusia. - Pembangunan kilang membutuhkan investasi besar membutuhkan waktu jangka panjang dan marjinnya kecil sehingga kurang diminati investor. Pemerintah perlu melakukan strategi pola pembiayaan dan insentif agar pembangunan kilang BBM dan Petrokimia dapat segera terlaksana, antara lain : a) Pemilihan Pola pembiayaan KPS memberikan 70
IRR sebesar 12%, dengan insentif tax holiday dan tax allowance memberikan IRR sebesar 15 – 17%, Namun, pola KPS membutuhkan waktu yang panjang untuk mempersiapkan kesepakatan kerjasama dan peratur yang mendukung. b) Pola pembiayaan Pemerintah melalui APBN diperoleh IRR sebesar 7,22%. Jika pemerintah mendanai investasi pembangunan kilang melalui obligasi valas karena IRR 7,22% masih diatas nilai coopun yang diterbitkan pemerintah sebesar 6,13%. Pola pembiayaan ini dapat segera dilaksanakan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Sesuai dengan uraian terkait pembangunan kilang baru, maka kami memberikan kesimpulan, berikut: - Untuk memenuhi kebutuhan BBM dewasa ini yang sudah mencapai sekitar 1,2 juta barel per hari, Pemerintah Indonesia harus melakukan impor BBM yang sangat besar yaitu sekitar 580 ribu bph. Situasi ini sangat memberatkan beban fiskal Pemerintah dan membuat rentan ketahanan energi nasional. - Kilang baru sebaiknya dirancang menggunakan minyak minyak berat, karena ketersediaan minyak ringan makin terbatas, sehingga harganya diperkirakan akan makin mahal. Minyak Espo dari Rusia meskipun termasuk light crude, saat ini dan hanya untuk beberapa tahun kedepan diperkirakan masih akan dijual dengan discount karena masih belum banyak peminat dan
7. Pembangunan Kilang Baru (Holisoh, Fiqih Ghifhari, Dessy Yudiartini, dan Mubaher Sidik)
-
-
-
-
hubungan politik Rusia dengan dunia Barat. Konfigurasi kilang minyak yang terintegrasi dengan kilang petrokimia pada umumnya dapat meningkatkan marjin kilang. Kilang swasta memberikan IRR sebesar 6% tanpa insentif dari pemerintah. Dengan insentif (tax allowance atau tax holiday dan pembebasan PPN barang kena pajak strategis) IRR akan meningkat menjadi 7%. Namun inipun belum cukup menarik untuk investor swasta, yang memerlukan IRR minimum sebesar 12%. Skema Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang disertai insentif dapat meningkatkan IRR menjadi sekitar 10-12%. Kenaikan IRR ini diakibatkan oleh 70% equity merupakan dana pemerintah sehingga suku bunga bank menjadi BI rate yang diasumsikan sebesar 7,5%. Meskipun demikian, kemungkinan pelaksanaan pendanaan secara KPS akan memerlukan proses dan waktu cukup panjang. Pembiayaan oleh Pemerintah seluruhnya dapat memberikan IRR 8,4 %. Ini akan menarik apabila Pemerintah dapat menjual obligasi valas atau Sukuk valas/obligasi syariah yang dimasa lalu dengan kupon/imbal jasa lebih rendah dari 6% dan menurun.
Ucapan Terima kasih - Balitbang ESDM, PPPTMGB “LEMIGAS” atas terlaksananya kegiatan Kajian Pembangunan Kilang Baru yang dibiayai dari DIPA 2014.
go.id ,Warta Anggaran Edisi 25 Tahun 2012 Ditjen Migas Kementrian ESDM, “Rencana Pembangunan Kilang Minyak”, 26 Juni 2015. Husein K, Abdel Are,Muhammad A. Alschlani,“Petroleum Economic and and Economic Design for Process”, Third Edition, CRC Press,2014. Jumina dan Wijaya Karma (2012), “Ketahanan Energi dan Kebijakan BBM”, Pusat Studi Energi UGM. Kemenprin, “Pengembangan Kilang BBM Terintegrasi Petrokimia, Bahan Baku Alternatif”, 26 Juni 2014 Kementrian Keuangan, “Peluang Insentif dalam Pembangunan Kilang”, 26 Juni 2014. M.A. Fahim, T.A. AlSahhaf,A.S.Elkilani, “Fundamental of Petroleum Refining”, 1 ed., Elsevier, 2010. Maizar Rahman, Prof. Riset., Husaini, “Strategic Development of Refinery & Petrochemical Plant in Indonesia”, Seminar Nasional Industri Petrokimia Sebagai Pilar Pembangunan Ekonomi Indonesia, Jakarta 11-12 Maret 2014. Pertamina , “Cost and Benefit Analysis”, Pertamina, 26 Juni 2014 Robert E. Marple, “Petroleum Refinery Process Economic”, 2ed, PenWell,2000. Thane Brown,”Engineering Economical and Engineering Design for Process Engineer ”, CRC Press, Tay lor France, 2007 www.Platts.com, Platts Mc Graw Hill Financial, 2014 www.Platts.com, Platts, “Special Report Oil”, 2010 www.BP.com , Statistical of World Energy 2013” www. Opec.org, “World Oil Outlook 2013”.
KEPUSTAKAAN Adam Marchino,”Project Based Sukuk”, www. Anggaran. Depkeu.go.id ,Warta Anggaran Edisi 25 Tahun 2012. Ahmad Nawawi,”Viability Gap Fund : Skema Baru Pembiayaan Infrastruktur”, www. Anggaran. Depkeu.
www.idx.com, Indonesia Stock Exchange http://em.cbonds.com www. Berita satu.com,”Tingkat Pengembalian Rendah, Pembangunan Kilang Butuh Insentif”, 4 jan.2013 www.aktual.com, 5 Mei 2015 www.Vivanews, 18 Pebruari 2012.
71
8. Pengaruh Rasio Pelarutan Lioh Dalam Air Terhadap LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI Karakteristik Gemuk Lumas (Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M) Vol. 49 No.1 April 2015 : 8-8
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Pengaruh Rasio Pelarutan LiOH Dalam Air Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas The Dissolution Ratio LiOH in Water and Their Effect to The Grease Characteristics Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: 62-21-7394422, Facsimile: 62-21-7246150 e-mail:
[email protected] Teregistrasi I tanggal 12 Maret 2015; Diterima tanggal 12 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK Gemuk sabun litium merupakan gemuk sabun sederhana yang banyak digunakan. Penggunaan litium hidroksida (LiOH) sebagai bahan thickener, dalam prosesnya dibutuhkan sejumlah air untuk melarutkannya. Penggunaan air untuk melarutkan LiOH diharapkan seefisien mungkin, karena banyaknya air yang digunakan dalam pencampuran LiOH dapat berpengaruh terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai rasio pelarutan LiOH dalam air serta pengaruhnya terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Percobaan pelarutan LiOH dalam air selama 90 menit dan pemanasan di suhu 750C dengan rasio berat LiOH : Air = 1:2 ; 1:3; 1:3,5; 1:4; 1:5 dilakukan untuk melihat hasil kelarutannya secara visual, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan gemuk lumas untuk melihat pengaruhnya terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data rasio LiOH/air yang optimal, sehingga dapat diperoleh karakteristik gemuk lumas yang terbaik. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa semakin banyak air yang digunakan, scar diameter semakin kecil akan tetapi kestabilan gemuk menurun. Dengan melihat keseluruhan data hasil uji, dapat disimpulkan bahwa penggunaan air paling efisien adalah pada rasio berat LiOH: air sebesar 1:3,5. Dengan komposisi ini akan mendapathan hasil uji karateristik yang paling optimal, yaitu dropping point 185˚C, NLGI 2 dan Scar diameter 0,597 mm. Kata Kunci: rasio, LiOH, air, gemuk lumas. ABSTRACT Lithium soap greases are simple soap greases which are widely used for general purpose applications. However, during the manufacture process of lithium soap, LiOH is not quite soluble in oil, consequently some water is required to dissolve this compound. On the other hand, the amount of water used in dissolving LiOH may affect the characteristics of greases. Therefore, research on the dissolution ratio LiOH in water and their effect on the characteristics of lubricating greases produced is essential. The objective of this current study is to get data on LiOH/water ratio, in order that the best characteristic of grease produced is obtained. Dissolution experiments LiOH in water for 90 minutes and heating at a temperature of 75˚C with a weight ratio of LiOH: water = 1: 2; 1: 3; 1: 3.5; 1: 4; 1: 5 respectively, was carried out to observe the visual results of solubility, followed by manufacturing of lubricating greases to study its effect on the characteristics of lubricating greases produced. The result shows that the more water used, the smaller the scar diameter, however the grease stability decreses. This current study demonstrates that the most efficient of the weight ratio of LiOH: water is 1: 3.5. In addition by using this ratio, the optimal characteristics of the test results are obtained, i.e. dropping point 185˚ C, NLGI 2 and scar diameter 0.597 mm. Keywords: ratio, LiOH, water, grease.
73
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 73 - 80
I. PENDAHULUAN Gemuk lumas merupakan kombinasi minyak lumas, bahan pengental (thickener), additif, dan filler (Miller, 1993) . Gemuk lumas (grease) merupakan pelumas dalam bentuk setengah padat (semi solid) tetapi lembut, masyarakat mengenal jenis pelumas ini dengan sebutan gemuk atau vaselin atau stempet (Wartawan, 1998). Keberadaannya dapat mencegah kontak langsung antar dua permukaan yang bergesekan, agar berkurang keausan (wear) dan kehilangan energinya akibat gesekan (friction) tersebut (Yousif A.E., 1982). Ada dua jenis bahan pengental yang digunakan dalam pembuatan gemuk lumas, yaitu pengental sabun (soap thickener) dan pengental bukan sabun (non-soap thickener) (Paul A.B., 1999). Bahan pengental (thickener) dalam gemuk lumas dibuat salah satunya dengan mereaksikan asam 12-Hidroksistearat (HSA) dan litium hidroksida untuk menghasilkan gemuk lumas yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap air dan mampu bekerja pada suhu tinggi (Barriga J.A., 2006 ; Theo M. & Wilfried, 2007). Thickener memberikan karakteristik kekakuan terhadap gemuk lumas yang merupakan ukuran resistensi terhadap deformasi oleh gaya yang diberikan (Sukirno, 2009). Lithium hidroksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus LiOH. Berbentuk kristal
putih dan merupakan material yang higroskopis. LiOH dapat larut dalam air dan namun sedikit larut dalam etanol (Lide, David R, 2006). Informasi umum mengenai kelarutan litium hidroksida (LiOH) dalam pelarutnya dapat dilihat pada tabel 1. Litium hidroksida tidak dapat larut dalam minyak, dapat larut dalam air dengan bantuan suhu dan pengadukan (Fibria, 2014). Pada uji wetting untuk mengetahui sifat pembasahan pada material serbuk LiOH yang telah dipadatkan dengan mesin kompaksi, dapat dilihat pada gambar 1 dapat diketahui bahwa material LiOH sangat sulit untuk larut dalam minyak. Penggunaan LiOH dalam pembuatan grease adalah dengan melarutkannya terlebih dahulu dengan menggunakan air (Ulfiati R., 2009). Litium hidroksida tidak dapat larut dalam minyak, akan tetapi dapat larut dalam air dengan bantuan suhu dan pengadukan (Fibria, 2014). Penggunaan LiOH dalam pembuatan grease adalah dengan melarutkannya terlebih dahulu dengan menggunakan air (Ulfiati R., 2009). Penggunaan air untuk melarutkan LiOH diharapkan seoptimal mungkin, karena air dapat mengganggu kestabilan gemuk lumas (Fibria, 201). Oleh sebab itu dilakukan penelitian mengenai rasio pelarutan LiOH dalam air dengan maksud mengetahui jumlah air yang digunakan untuk melarutkan LiOH yang bertujuan untuk mendapatkan hasil optimum berdasarkan uji karakteristik terhadap gemuk lumas yang dihasilkan.
Tabel 1 Properti Litium Hidroksida (LiOH) Tabel 1. Properti litium hidroksida (LiOH) anhydrous: 12,7g/100mL(0°C) 12,8g/100mL(20°C) 17,5g/100mL(100°C) Kelarutandalamair monohydrate: 22,3g/100mL(10°C) 26,8g/100mL(80°C)
Dayalarutdalammetanol
anhydrous: 9,76g/100g(20°C,48jampencampuran) monohydrate: 13,69g/100g(20°C,48jampencampuran)
Kelarutandalametanol
anhydrous: 2,36g/100g(20°C,48jampencampuran) monohydrate: 2.18g/100g(20°C,48jampencampuran)
Sumber: Lide, David R., ed. (2006); Khosravi, Javad (2007)
74
8. Pengaruh Rasio Pelarutan Lioh Dalam Air Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas (Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M)
Gambar 1 Hasil Uji Wetting Lioh Dengan Minyak (Kiri) dan Air (Kanan)
II. BAHAN DAN METODE Metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan uji efektifitas kelarutan LiOH dalam air, pembuatan gemuk lumas dan uji karakteristik gemuk lumas. Efektifitas kelarutan LiOH dalam air dilakukan dengan melakukan percobaan dengan cara melarutkan LiOH dalam air selama 90 menit dan pemanasan di suhu 750C dengan rasio berat LiOH : Air = 1:2 ; 1:3; 1:3,5; 1:4; 1:5. Hasil kelarutannya secara visual digunakan sebagai acuan penggunaan jumlah air dalam formulasi gemuk lumas. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan gemuk lumas untuk
melihat pengaruhnya terhadap karakteristik gemuk lumas yang dihasilkan Proses pembuatan gemuk lumas dalam penelitian ini menggunakan sistem cold set yaitu menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi diantaranya meliputi: Pemanasan asam 12-Hidroksistearat pada temperatur lelehnya yaitu 850C selama 1 jam, pelarutan LiOH dalam air pada suhu 750C, serta blending gemuk lumas yang dilakukan selama 90 s/d 120 menit sampai homogen dengan menjaga temperatur blending pada suhu 65-700C. Uji karakteristik gemuk lumas meliputi dropping point, penetrasi, scar diameter, copper strip corrosion.
Rasio 1:2
Rasio 1 : 3,5
Rasio 1:3
Rasio 1 : 4
Rasio 1 : 5
Gambar 2 Campuran LiOH Dalam Air Dengan Rasio Tertentu
75
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 73 - 80
Tabel 2 Komposisi Gemuk Lumas Dengan Rasio Pencampuran LiOH Dalam Air
GL 1
GL 2
GL 3
GL 4
(1 : 3)
(1 : 3,5)
(1 : 4)
(1 : 5)
-
18 g
21 g
24 g
30 g
Li OH
1,2 %
6g
6g
6g
6g
HSA
15 %
75 g
75 g
75 g
75 g
83,8 %
419 g
419 g
419 g
419 g
Bahan
Komposisi
Air
Minyak Jarak
III. HASIL DAN DISKUSI Pelarutan LiOH menggunakan air selama 90 menit dan pemanasan di suhu 750C dengan rasio: 1:2 ; 1:3; 1:3,5; 1:4; 1:5, dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa LiOH yang dilarutkan dalam air dengan rasio 1:2 dan 1:3 masih mengandung butiran LiOH yang tidak dapat terlarutkan. Fenomena ini terjadi karena air sudah jenuh dan tidak lagi dapat melarutkan LiOH. Sedangkan LiOH dapat larut secara optimum dalam air pada pencampuran dengan rasio LiOH dan air yaitu 1:3; 1:3,5; 1:4; 1:5, agar supaya saponifi kasi yang baik dalam pencampurannya bersama asam lemak dapat diperoleh. Suspensi LiOH dalam air pada rasio 1:2 tidak dilanjutkan ke tahap pembuatan gemuk lumas karena masih sangat banyak serbuk LiOH yang tidak larut.
suhu dropping point
186
Sampel gemuk lumas yang akan diteliti adalah GL 1 untuk pembuatan dengan rasio LiOH: air sebesar 1:3, GL 2 untuk pembuatan dengan rasio LiOH:air sebesar 1:3,5, GL 3 untuk pembuatan dengan rasio LiOH:air sebesar 1:4, serta GL 4 untuk pembuatan dengan rasio LiOH:air sebesar 1:5. Komposisi yang digunakan dalam pembuatan sampel gemuk lumas adalah komposisi dengan jumlah bahan-bahan pembentuk yang sama, seperti pada penggunaan LiOH, asam 12-hidroksistearat dan minyak jaraknya. Dengan demikian dapat lebih jelas dianalisis ada tidaknya perbedaan hasil uji karakteristiknya, sehingga penyebab terjadinya perbedaan hasil karena pengaruh air yang digunakan dalam pencampuran LiOH dapat terdeteksi dengan akurat. Komposisi bahan-bahan pembuat gemuk lumas dapat dilihat pada Tabel 2.
185
185
185
185
184 183 182 181
180
180 179 1:3
1 : 3,5
1:4
1:5
Rasio LiOH : Air Gambar 3 Grafik Pengaruh Rasio Lioh dan Air Terhadap Dropping Point Gemuk Lumas
76
8. Pengaruh Rasio Pelarutan Lioh Dalam Air Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas (Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M)
315
nilai penetrasi NLGI (0,1 mm)
305 295
Unworked penetration
285
Worked penetration
275 265 255 245 1:3
1 : 3,5
1:4
1:5
Rasio LiOH : Air
Gambar 4 Grafik Pengaruh Rasio Lioh dan Air Terhadap Penetrasi Gemuk Lumas
Pengaruh rasio LiOH dan air terhadap dropping point gemuk lumas Pengaruh rasio LiOH dan air terhadap hasil uji dropping point dari gemuk lumas sabun litium hidroksistearat dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam Gambar 3 terlihat bahwa dropping point yang diperoleh pada berbagai rasio LiOH dan air pada proses pencampurannya adalah ≥ 175 0C, hasil ini sesuai dengan pendapat gutrhie (1960) yang menyatakan bahwa dropping point gemuk sabun litium berkisar antara 340-3600F atau sekitar 171–1820C. Dropping point yang didapat pada pencampuran litium dalam air dengan rasio 1 : 3 adalah yang paling rendah dibandingkan dengan yang lain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak sempurnanya pencampuran serbuk LiOH dalam air pada rasio 1:3 karena air yang sudah sangat jenuh. Sedangkan hasil dropping point pada gemuk
lumas yang lain berada pada suhu 1850C. Artinya bahwa pembuatan gemuk lumas dengan komposisi seperti pada Tabel 2 dengan rasio Li OH: air 1: 3,5 menghasilkan gemuk lumas dengan dropping point optimal yaitu 1850C. Berdasarkan Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa semakin baik kelarutan LiOH dalam air, maka semakin tinggi dropping point yang dihasilkan. Karena makin tinggi tingkat kelarutan LiOH akan memperbaiki proses saponifikasi yang terjadi akibatnya ikatannya dengan minyak makin sempurna, sehingga minyak tidak mudah menetes akibat kenaikan suhu. Pengaruh rasio LiOH dan air terhadap kekerasan serta konsistensi gemuk lumas Tingkat kekerasan gemuk lumas diukur dengan melakukan penetrasi sebelum dan sesudah
perubahan tekstur (%)
25,00 20,00
20,00
15,00 10,00
9,89
5,00
3,39
4,14
0,00 1:3
1 : 3,5
1:4
1:5
Rasio LiOH : Air
Gambar 5 Grafik Pengaruh Rasio Lioh : Air Terhadap Perubahan Tekstur Gemuk Lumas
77
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 73 - 80
perlakuan kerja yang diterima oleh gemuk lumas. Penetrasi sesudah perlakuan kerja (worked penetration) dimaksudkan untuk melihat tingkat kekerasan gemuk lumas. Fenomena ini digunakan konsumen untuk menyesuaikan tingkat kekerasan gemuk lumas dengan kebutuhan bagian mesin yang akan diberi gemuk lumas. Sedangkan penetrasi sebelum perlakuan kerja (unworked penetration) merupakan nilai awal untuk mengukur perubahan tingkat kekerasan gemuk lumas yang digunakan untuk melihat kestabilannya. Pengaruh rasio LiOH dan air terhadap kekerasan gemuk lumas serta konsistensinya dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam Gambar 4 terlihat bahwa, rasio LiOH dan air mempengaruhi tingkat kekerasan gemuk lumas (worked penetration). Pada rasio pencampuran LiOH dengan air yang lebih sedikit didapatkan gemuk lumas dengan tingkat kekerasan yang lebih kecil, dan semakin banyak air yang digunakan dalam rasio pencampuran LiOH, maka gemuk lumas akan semakin keras. Peristiwa ini bisa terjadi karena tingkat kelarutan LiOH dalam air yang lebih sempurna sehingga proses saponifikasi atau pembentukan thickener menjadi lebih baik, akibatnya thickener yang terbentuk akan lebih tebal, yang selanjutnya akan menghasilkan gemuk lumas yang lebih keras. Setelah gemuk lumas dikenakan perlakuan kerja, tingkat kepadatannya (teksturnya) berubah. Data hasil work penetration menunjukkan adanya perubahan tingkat kepadatan yang berarti yang akan mengubah tekstur gemuk lumas tersebut. Besarnya perubahan tekstur gemuk lumas dapat dihitung dengan menggunakan persentase perubahan nilai kekerasan yang ditunjukkan pada Gambar 5. Berdasarkan data persentase perubahan tekstur
Rasio 1 : 3
Rasio 1: 3,5
gemuk lumas, penambahan air pada proses pencampuran LiOH mengakibatkan turunnya tingkat kestabilan gemuk lumas ditandai dengan besarnya nilai prosentase perubahan tekstur sebelum perlakuan (unwork penetration) dan sesudah perlakuan kerja (work penetration). Semakin kecil jumlah air yang digunakan dalam pencampuran LiOH didapatkan tingkat kestabilan yang semakin baik dibandingkan dengan komposisi yang menggunakan jumlah air lebih besar pada pencampuran LiOH nya. Pengaruh rasio pencampuran LiOH dalam air terhadap scar diameter Pelarutan LiOH dalam air dengan rasio tertentu memberikan hasil scar diameter pada uji semi unjuk kerja gemuk lumas dengan metode four ball seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar 6 tampak bahwa, gemuk lumas GL 1 adalah gemuk lumas yang menghasilkan scar diameter paling besar dibandingkan dengan yang lain. Merujuk pada hasil pencampuran LiOH dalam air (Gambar 2), terlihat bahwa pada pencampuran LiOH dalam air dengan rasio 1:3 tidak menunjukkan larutan yang sempurna, masih terdapat butiran sisa yang tidak dapat lagi terlarutkan. Sedangkan pada GL 2, GL 3, dan GL 4, dengan rasio masing-masing 1:3,5 ; 1:4 ; 1:5, mendapatkan hasil larutan yang baik, dan menghasilkan scar diameter dengan perbedaan ukuran yang tidak signifikan. Fenomena ini terjadi karena butiran LiOH terlarut lebih sempurna di dalam air yang semakin banyak, dan ketika butiran LiOH terlarut semakin sempurna, maka gemuk lumas yang dihasilkan akan semakin lembut. Perbandingan ukuran scar diameter antara dengan gemuk lumas pada rasio Li(OH):air yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar 7.
Rasio 1: 4
Rasio 1 : 5 L2 Length : 592.4 um
L2 Length : 601.9 um
L1 Length : 619.4 um
L2 Length : 584.3 um
L1 Length : 611.5 um
L2 Length : 611.5 um
L1 Length : 582.4 um
L1 Length : 600.0 um
Gambar 6 Perbedaan Scar Diameter Uji Four Ball Pengaruh Rasio Suspensi Lioh
78
8. Pengaruh Rasio Pelarutan Lioh Dalam Air Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas (Milda Fibria, Setyo Widodo, dan Endah Juwita M)
Scar diameter (mm)
0,611 0,609
0,610
0,607 0,605 0,603 0,601 0,599
0,598
0,597
0,597
0,596
0,595 1:3
1 : 3,5 1:4 Rasio LiOH : Air
1:5
Gambar 7 Pengaruh Rasio Lioh dan Air Terhadap Scar Diameter
Pengaruh rasio pencampuran LiOH dalam air terhadap hasil uji korosi bilah tembaga Dari hasil uji korosi bilah tembaga yang ditunjukkan pada Gambar 8 menunjukan warna batang tembaga yang berada pada kelas yang sama yaitu 1a. Dapat disimpulkan bahwa rasio LiOH dan air tidak berpengaruh terhadap hasil uji korosi bilah tembaga, seluruh hasil gemuk lumas mampu melindung permukaan logam dari korosi akibat asam. Secara umum gemuk lumas yang diharapkan adalah yang dapat memenuhi spesifikasi ideal yaitu mempunyai nilai dropping point yang tinggi, stabil dan melindungi permukaan logam dari aus akibat
gesekan. Hasil uji karakteristik gemuk lumas pada penelitian ini menunjukan bahwa hasil yang cukup optimal diperoleh dari gemuk lumas GL 2 yang memiliki nilai dropping point yang cukup tinggi dengan tingkat kestabilan yang lebih baik. Tingkat kekerasan gemuk lumas dapat dinaikkan dengan cara menambah thickener (pengental) pada komposisi gemuk lumas. V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh rasio LiOH dan air terhadap gemuk lumas, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah air yang
Gambar 8 Copper Strip Hasil Uji Korosi Bilah Tembaga
79
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 73 - 80
digunakan akan memperbaiki proses saponifikasi dalam pembuatan gemuk lumas, namun banyaknya air yang digunakan juga harus optimal, karena apabila air yang digunakan terlalu banyak dapat menyebabkan gemuk lumas kehilangan kestabilan/ konsistensinya. Rasio LiOH: air yang optimal adalah 1:3,5. Dengan mencampur air, LiOH, HSA dan minyak jarak dengan komposisi 21 gr, 6 gr,75 gr dan 419 gr dapat diperoleh gemuk lumas dengan dropping point 185˚C, NGLI 2 dan scar diameter 0,597 mm. KEPUSTAKAAN Barriga J.A, (2006), “Sunflower based grease for heavy duty applications”, Mecânica, Exp., 13, pp: 129-133. Fibria,M, “Pengaruh Waktu Milling LiOH Terhadap Karakteristik Gemuk Lumas Bio Untuk Aplikasi Temperatur Tinggi”, LPL. Volume48, No.3, 2014, ISSN: 2089-3396, pp:151-160 Khosravi, Javad (2007), “9: Results”. “Production Of Lithium Peroxide And Lithium Oxide In An Alcohol Medium”. ISBN 978-0-494-38597-5
80
Lide, David R., ed (2006), “CRC Handbook of Chemistry and Physics” (87th.ed.). Boca Raton, FL: CRC Press. ISBN 0-8493-0487-3 Paul A.B. and David S.S. (1999), “Synthetic Lubricants and High Performance Functional Fluids”, New York, ISBN: 0-8247-0194-1, pp: 519-537. Robert W.Miller. (1993), “Lubricants and their Applications” ,67, Arizona,USA, ISBN 0-07-0419922pp : 9-25; 67-68. Sukirno, Fajar, R. Bismo and Nasikin,M., ,“Biogrease Based on Palm Oil and Lithium Soap Thickener: Evaluation of Antiwear Property”. World Applied Sciences Journal. 6 (33) 2009, pp: 401-407. Ulfiati R. (2009), “Formulasi Gemuk Lumas sabun Litium dengan Bahan Dasar Minyak Jarak” Lembar Publikasi Lemigas, 98. Vol.43, No.2. 2009 ISSN 0125-9644pp: 98-106. Wartawan L.A. (1998), “Pelumas Otomotif dan Industri”, Balai Pustaka, Jakarta, pp:117-136. Yousif A.E. (1982), “Rheological Properties of Lubricating Greases Wear”, 82 (13) pp: 13-25.
9. Modifi kasi Minyak LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan Sawit GAS Sebagai BUMI Pensubstitusi Minyak Solar (Chairil Anwar) Vol. 49 No.1 April 2015 : 9-9
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI LEMIGAS Journal Homepage: http://www.journal.lemigas.esdm.go.id
Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar Modified Palm Oil As Diesel Fuel Substitutes Chairil Anwar Kelompok Program Riset Teknologi Proses Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telepon: 62-21-7394422, Facsimile: 62-21-7246150 Teregistrasi I tanggal 12 Maret 2015; Diterima tanggal 12 Maret 2015; Disetujui terbit tanggal: 30 April 2015 ABSTRAK
Minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel alternatif dengan perbaikan kualitasnya. Pada penelitian ini dimodifikasi dengan cara pencampuran menggunakan minyak solar. Hasil uji sifat fisika kimia terhadap minyak sawit dan setelah dicampur dengan minyak solar beberapa karakter yang semula tidak, menjadi memenuhi spesifikasi minyak solar 48. Pada variasi pencampuran minyak sawit 20% volume menunjukkan sifat fisika kimia masih dalam rentang spesifikasi minyak solar. Viskositas dan berat jenis tinggi dapat diatasi dengan modifikasi. Minyak sawit dengan viskositas semula 5,572 cSt menjadi 4,382 cSt, berat jenis yang semula 871 kg/m3 menjadi 851 kg/m3 dan indeks setana lebih tinggi dari 47,9 menjadi 54,9. Bahan bakar diesel hasil penelitian ini mempunyai nilai lebih dari biodiesel yang dicampur dengan minyak solar. Minyak sawit dan minyak solar langsung dicampur, tanpa harus diproses terlebih dahulu menjadi biodiesel. Minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan dengan masing-masing karakter yang telah dibahas kiranya menjadi pilihan yang layak untuk mempertahankan ketahanan energi jangka panjang. Kata Kunci: energi alternatif, minyak nabati, minyak sawit, bahan bakar diesel, spesifikasi. ABSTRACT
Pure palm oil can be used as an alternative diesel fuel by improving its quality. In this study, modified by mixing using diesel oil. Test results of the chemical physical properties of palm oil and diesel oil after being mixed with some characters previously do not meet specification diesel fuel can be made to meet the spesification of 48. At a variation of palm oil 20% volume, shows physical and chemical properties of the is still within limits of diesel fuel specifications. Viscosity and high specific gravity can be overcome with modifications. The viscosity of palm oil can be brought down from originally 5,572 cSt to 4.382 cSt and specific gravity 871 kg / m3 to 851 kg / m3 and higher cetane index of 47.9 to 54.9.Thus the Diesel fuel this research has more value than biodiesel blended with petroleum diesel. Palm oil and diesel oil are mixed directly without being processed into biodiesel. Palm oil as a renewable energy source with each characters that has been discussed would be a viable option to sustain long-term energy needs. Keywords: alternative energy, vegetable oil, pure palm oil, diesel fuel, specification.
I. PENDAHULUAN Minyak sawit merupakan salah satu bagian dari minyak nabati. Minyak tersebut mempunyai beberapa karakter yang mendekati minyak solar (bahan bakar diesel). Dengan demikian minyak sawit menarik untuk digunakan sebagai bahan bakar diesel alternatif. Nilai kalor (LHV) dari minyak nabati sangat dekat dengan bahan bakar
diesel (Baquero et al. 2010). Meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan sifat fisika dan kimia, yang akan berpengaruh terhadap kualitasnya. Angka setana misalnya, adalah variabel yang mempengaruhi kualitas pengapian dan kemudahan terbakar dari bahan bakar diesel ( Sidibe´ et al. 2010). Sebagai minyak nabati minyak sawit dari sisi kualitas tidak serta merta dapat digunakan sebagai bahan bakar. 81
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 81 - 90
Hal ini banyak tergantung dari kebutuhan pemenuhan akan jenis mesin. Secara umum untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel, minyak sawit perlu diperbaiki kualitasnya. Untuk memperbaiki dan menaikkan kualitas dari minyak sawit agar layak menjadi bahan bakar diperlukan modifikasi. Modifikasi dapat dilakukan dengan pencampuran minyak sawit dengan bahan bakar yang cocok dengan mesin diesel yaitu minyak solar. Viskositas tinggi, volatilitas yang rendah dan karakteristik poli tak jenuh adalah penyebab minyak nabati tidak cocok digunakan secara langsung untuk mesin diesel. Meskipun penggunaan minyak nabati murni untuk mesin diesel bermasalah karena berviskositas tinggi dan volatilitas yang rendah (Leung et al., 2010), namun masalah-masalah ini bisa diatasi dengan metode tertentu seperti pirolisis, pengenceran (pencampuran langsung), mikro-emulsi, dan transesterifikasi. Proses transesterifikasi umumnya digunakan untuk produksi biodiesel (Khan et al. 2014). Pencampuran bahan bakar adalah salah satu metode menurunkan viskositas (Happiness et al. 2015). Penelitian ini bertujuan memperbaiki kualitas minyak sawit dengan cara pengenceran dengan minyak solar, guna mengetahui seberapa jauh potensinya sebagai komponen pencampur atau pensubstitusi pada minyak solar. Pengenceran dipandang sebagai cara paling sederhana dan relatif murah dalam memodifikasi minyak sawit bila dibandingkan misalnya dengan mengubah secara katalitik menggunakan katalis homogen maupun heterogen. Modifikasi dengan pencampuran langsung tidak memerlukan biaya tambahan untuk katalis dan bahan baku lain seperti metanol/etanol pada proses mengubahnya menjadi biodiesel. Pemilihan bahan baku minyak sawit tidak terlepas dari ketersediaan dan kemudahannya didapat. Oleh karena itu, pada penelitian ini bahasan sifat fisika kimia produk pencampuran menjadi penting. Pemahaman akan karakteristik bahan baku dan produk yang diinginkan akan mengantarkan kepada pemilihan proses dan pada akhirnya sasarannya adalah kelayakan ekonomi dan lebih murah. Saat ini, biaya bahan baku menyumbang lebih dari 80% dari biaya produksi biodiesel. Hal ini merupakan salah satu kendala serius dalam kelayakan ekonomi dari industri biodiesel yang dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan baku yang lebih murah (Kumar et al. 2014). Modifikasi minyak sawit dengan pengenceran akan mengurangi biaya bahan baku, otomatis akan menurunkan biaya produksi. Keberhasilan penelitian akan ditunjukkan dengan pemenuhan terhadap spesifikasi 82
minyak solar, dari minyak sawit setelah dilakukan pengenceran. Minyak sawit yang merupakan sumber daya alam terbarukan, diharapkan dapat digunakan sebagai komponen campuran dengan konsentrasi antara 5-20% volume dengan minyak solar menjadi (blending component) bahan bakar diesel alternatif. Aplikasi dalam mesin diesel, minyak nabati melepas emisi yang sama dengan minyak diesel, kelebihannya minyak nabati rendah sulfur dan CO2 yang netral. Dengan demikian terjadi perbaikan yang mengarah ke teknologi diesel bersih yang akan menguntungkan kedua bahan bakar. II. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan utama yaitu minyak solar (bahan tidak terbarukan) dan minyak sawit (bahan terbarukan) yang diperoleh dari pasaran. Bahan lainnya adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk setiap metode uji. Metode Uji Pengujian sifat-sifat fisika kimia mengacu pada metode uji baku ASTM atau metode lainnya yang digunakan untuk pengujian produk minyak bumi, SNI Biooil dan SNI Biodiesel. Penampilan visual, ASTM D 1298, ASTM D 976, ASTM D 445, ASTM D 97, ASTM D 93, ASTM D 86, ASTM D 4294, ASTM D 473, ASTM D 482, ASTM D 664. Pencampuran Dalam kegiatan ini diperlukan pencampuran bahan baku yaitu minyak solar dengan komponen pecampur berupa minyak sawit. Pencampuran dalam % volume dari masing-masing minyak sawit/minyak solar. Dalam hal ini ada empat perlakuan yaitu: membuat komposisi campuran dalam (%Volume minyak sawit)/(%Volume minyak solar) yaitu: C(5/95) %v/v; C(10/90) %v/v; C(15/85) %v/v dan C(20/80) %v/v. C(a/b): Campuran a %v minyak sawit dengan b %v minyak solar. Masing-masing bahan baku dan perlakuan campuran, terhadapnya dilakukan pengujian sifat fisika kimia mengacu pada spesifikasi bahan bakar minyak jenis minyak solar 48. III. HASIL DAN DISKUSI Secara substansi minyak nabati memiliki kesamaan sifat fisika dan kimia dengan minyak bumi.
9. Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar (Chairil Anwar)
dibandingkan dengan minyak solar murni dan setelah pencampuran terlihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 ditampilkan hasil pengujian 100% minyak minyak sawit dan 100% minyak solar dan campuran (5/95 s/d 20/80) %v/v. Terhadap beberapa parameter Spesifikasi Minyak Solar (spesifikasi bahan bakar minyak jenis minyak solar 48) (DJ Migas 2013) tidak dilakukan pengujian seperti kandungan FAME dan kandungan metanol, karena minyak ini adalah minyak sawit.
Atas dasar kesamaan ini diharapkan minyak nabati ketika diaplikasikan ke dalam mesin diesel di ruang bakar akan berperilaku seperti bahan bakar setara. Beberapa sifat minyak nabati seperti viskositas, titik tuang, stabilitas termal, indeks setana, secara langsung berhubungan dengan komposisi kimia dari bahan baku tanaman asal. Oleh karena itu minyak yang diperoleh dari bahan baku berbeda, akan memiliki sifat-sifat kimia yang bervariasi. Hasil pengujian terhadap karakter minyak sawit
Tabel 1 Hasil Analisis Sifat Fisika Kimia Minyak Nabati, Minyak Solar 48 dan Campurannya
No
1
Parameter
Satuan
Metode Uji ASTM
Spesifikasi * Minyak Solar 48
Hasil Pengukuran/perhitungan Minyak Solar 100%
C
C
C
C
(5/95)
(10/90)
(15/85)
(20/80)
Minyak Sawit 100%
Min
Maks
48
Ͳ
Bilangan setana Angka Setana
D 613
Indeks Cetana
D 4737
55.7
55.5
55.3
55.2
54.9
47.9
45
-
kg/m3
D 1298
844
844
847
849
851
871
815
860
4.213
4.231
4.31
4.382
5.572
2.0
4.5
-
0.35
Berat Jenis pd 15 °C Visk. Kinematik pd 40 UC Kandungan Sulfur
cSt
D 445
4.176
%wt
D 1552
0.35
0.322
0.278
0.265
0.259
0.013
Distilasi : IBP
°C
D 86
191
191.5
193.5
195
203.5
308
%vol
47.5
46
42.5
40
39
**)
6
Recovery pd 300"C 90% Vol. Penguapan Titik Nyala PMCC
°C
D 93
70
70
71
71.5
74
189,71
52
-
7
Titik Tuang
°C
D 97
3
3
3
3
3
9
-
18
8
Residu Karbon
%m/m
D 4530
0.1
9
Kandungan Air
mm/kg
D 6304
500
10
Biological Growth
kg/m
11
Kandungan FAME
%v/v
12
Kandungan Metanol Korosi Bilah Tembaga Kandungan Abu Kandungan Sedimen Angka Asam Kuat (SAN) Angka Asam Total (TAN)
%v/v
D 4815
Merit
D 130
%wt
D 482
0
0
0
%wt
D 473
0
0
0
D 664
Nil
Nil
D 664
0.045
2 3 4 5
13 14 15 16 17
°C
370
3
mgKO H/gr mgKO H/gr
-
18
Penampilan Visual
19
Warna
No. ASTM
D1500
20
Lubricity (HFRR wear scar dia. 60oC)
Mikron
D6079
-
-
-
-
-
-
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
Ͳ
0
0
0
-
-
0
0
0.01
0
0.01
Nil
Nil
Nil
Nil
Nil
-
0.045
0.046
0.047
0.05
0.113
SM&S
SM&S
SM&S
SM,S, F,W
SM,S, F,W
SM,S, F,W
Nihil Ͳ
Ͳ
Tidakterdeteksi Ͳ
Kelas1
Jernih dan terang Ͳ
460
83
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 81 - 90
Gambaran umum dari Tabel 1, penampilan visual minyak sawit menunjukkan adanya bahan tersuspensi, sedimen, busa dan air. Viskositasnya relatif tinggi (5,572 cSt), meskipun tidak berada dalam kisaran spesifikasi minyak solar, tapi tidak berbeda jauh dengan biodiesel. Hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang dilaporkan (Demirbas 2008), viskositas minyak nabati murni (23-53 cSt pada 311 oK) hampir sepuluh kali dari biodieselnya (2,8-5,1 cSt pada 311 oK). Berat jenis minyak sawit juga tidak berada dalam kisaran spesifikasi minyak solar, namun indeks setana bahkan melebihi yang dipersyaratkan dalam spesifikasi minyak solar. Parameter uji lainnya diuraikan lebih detil pada hasil uji pencampuran. Indeks Setana Terhitung - ASTM D.976 Angka setana bahan bakar diesel merupakan suatu sifat karakteristik diukur dalam mesin CFR standar- ASTM D.613, sebagai indikator utama dari kualitas bahan bakar untuk mesin diesel, yang secara akurat menggambarkan perilaku pengapian bahan bakar di ruang bakar. Sifat ini dapat ditentukan dengan secara langsung maupun dengan suatu pendekatan perhitungan. Untuk tujuan perhitungan dapat didekati dengan metode seperti Calculated Cetane Index (ASTM D 976 dan ASTM D) 4737. Pendekatan ini dilakukan karena uji mesin dianggap lebih rumit dan mahal, namun hasil perhitungan ini memberikan nilai yang mendekati pengukuran angka setana yang sesungguhnya. Nasikin dan Makhdiyanti (2003) membandingkan metode ASTM D-976 dan ASTM D-4737 dalam menghitung indeks setana, terdapat perbedaan hasil perhitungan metode ASTM D 4737 maksimal 0,5% lebih tinggi dari ASTM D 976. Metode ASTM D 4737 pada Keputusan Dirjend Migas No. 978.K/10/DJM.S/2013, dijadikan acuan untuk menentukan bilangan setana dalam spesifikasi mutu minyak solar 48 yang dipasarkan dalam negeri. Angka setana dalam penelitian ini tidak diukur secara langsung, melainkan menggunakan metode Calculated Cetane Index ASTM D-976. Bahan bakar diesel memiliki angka setana yang lebih tinggi dari pada minyak nabati. Angka setana untuk sebagian besar minyak nabati, berkisar sekitar 10-20% lebih rendah dibandingkan dengan diesel fosil (Sidibé et al. 2010). Dari penelitian ini perbedaan indeks setana terhitung untuk minyak solar dengan minyak sawit sebesar 16,3%. Angka setana bahan bakar diesel yang lebih tinggi menyiratkan penundaan pengapian lebih pendek (Hossain & Davies 2010) dan perubahan kecil dalam efisiensi mesin (Mustafa 2011). 84
Gambar 1 Perubahan Indeks Setana Campuran
Hasil penentuan Calculated Cetane Index (indeks setana terhitung) dengan menggunakan metode ASTM D-976 menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai Indeks Setana Terhitung untuk campuran C(5/95 s/d 20/80) %v/v dari 100% minyak solar, walaupun tidak terlalu signifikan yaitu berkisar antara 0,2 s/d 0,8 atau sekitar 0,36 s/d 1,44%. Hal ini menunjukkan bahwa pada pencampuran, semakin tinggi kandungan minyak sawit kualitas pembakaran semakin berkurang. Namun demikian, nilai setana terhitung pada campuran sampai 20/80 %v/v masih di atas batas minimum indek setana terhitung minyak solar (45). Sebaliknya dengan 100% minyak sawit, indeks setana terhitung semula sebesar 47,9 sudah lebih tinggi nilainya dari baku mutu minimum minyak solar dan pada 20/80 %v/v menjadi lebih tinggi mencapai nilai 54,9, peningkatan sebesar 14,6%. Pada Gambar 1 disajikan perubahan indeks setana campuran C(5/95 s/d 20/80) %v/v dari 100% minyak solar dan batas minimum indeks setana terhitung yang diperbolehkan sesuai spesifikasi mutu minyak solar 48 ( spesifikasi bahan bakar minyak jenis minyak solar 48). Dengan demikian angka setana campuran mempunyai sifat penyalaaan yang lebih baik dari minyak sawit 100%. Peningkatan angka setana menyiratkan penurunan CO, HC, fraksi partikulat yang mudah menguap, dan bahkan suara mesin idle yang ideal dapat dicapai. Angka setana (cetane number) tinggi di kisaran 49-52 dapat mengurangi emisi partikulat hingga 0,01 g/km (Iorga et al. 2002). Berat Jenis pd 15 °C - ASTM D.1298 Penentuan berat jenis ASTM D-1298 dan IP-160 pada dasarnya adalah membandingkan berat contoh dengan berat air pada volume yang sama dan suhu tertentu. Berat jenis bukanlah merupakan suatu
9. Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar (Chairil Anwar)
indikasi terhadap mutu, tapi dapat memberikan suatu keterangan mengenai mutu bila dihubungkan dengan pengujian lain. Berat jenis yang tinggi dihubungkan dengan hidrokarbon aromatik dan naptenik, sedang berat jenis rendah dihubungkan dengan hidrokarbon parafinik. Energi panas dari bahan bakar sedikit turun dengan kenaikan berat jenis. Berat jenis termasuk properti utama bahan bakar, yang secara langsung mempengaruhi karakteristik performa mesin. Dari sistem satuan yang tertera spesifikasi minyak solar akan lebih tepat bila menggunakan densitas. Densitas mempengaruhi massa bahan bakar diinjeksikan ke dalam ruang bakar atau rasio udara-bahan bakar. Kelengkapan injeksi pompa bahan bakar ini dengan volumetrik bukan oleh massa dan bahan bakar lebih padat berisi massa yang lebih besar dalam volume yang sama. Dengan demikian, perubahan dalam densitas bahan bakar akan mempengaruhi daya output mesin karena injeksi massa bahan bakar yang berbeda. Oleh karena inilah diperlukan spesifikasi untuk membatasi nilai parameter. Batasan minimal dan maksimal berat jenis pada minyak solar yang dipasarkan dalam negeri di Indonesia dewasa ini adalah 815 kg/m3 dan 860 kg/m3 (Dirjen Migas 2013). Densitas pada biodiesel diketahui sangat tergantung dari kandungan ester dan sisa alkohol sehingga pemilihan awal minyak nabati untuk bahan baku perlu selektif karena akan berpengaruh terutama pada densitas (Encinar et al. 2010). Kontaminasi yang signifikan pada biodiesel mempengaruhi berat jenis, oleh karena itu berat jenis juga bisa menjadi indikator kontaminasi dalam bahan bakar. Hasil pengukuran berat jenis dengan menggunakan metode ASTM.D.1298 dan perubahannya sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2, menunjukkan bahwa densitas minyak solar 100% adalah sebesar 844 kg/ m3, sedangkan untuk minyak sawit 100% adalah sebesar 871 kg/m3. Dengan kisaran panjang rantai karbon yang sama minyak sawit dan minyak solar akan memiliki nilai densitas yang lebih tinggi.
Setelah dilakukan pencampuran minyak solar dengan minyak sawit C(5/95 s/d 20/80) %v/v, perubahan yang terjadi adalah peningkatan densitas sesuai dengan jumlah persentase minyak sawit yang ditambahkan yaitu antara 844 s/d 851 kg/m3, jadi terdapat peningkatan sekitar 0,37 s/d 0,78%. Semakin tinggi bobot molekul asam lemak dan gliserida dan semakin rendah ketidakjenuhannya, maka densitasnya semakin besar. Komposisi asam lemak tidak jenuh terbesar dari minyak sawit adalah asam palmitat (16:0) 40-46%, dan asam oleat (18:1) 39-45% yang secara otomatis mempengaruhi densitas minyak. Peningkatan densitas tersebut masih berada dalam batas spesifikasi minyak solar. Viskositas Kinematik pada 40 °C - ASTM D.445 Viskositas bahan bakar sebagaimana diketahui merupakan faktor penting pada mesin diesel karena mempunyai efek langsung terhadap pompa dan pengaruh pada pola semprot sistem injector. Dewasa ini untuk jenis minyak solar di Indonesia pada kisaran (2-4,5) cSt. Minyak sawit menunjukkan viskositasnya yang relatif tinggi sebagai akibat intermolekular dari rantai panjang molekul-molekul gliserida. Karakteristik viskositas yang tinggi ini menjadi salah satu kendala dalam penggunaannya secara langsung terhadap mesin diesel. Secara umum, viskositas minyak menurun dengan semakin tingginya ketidakjenuhan, dan meningkat dengan adanya penjenuhan (Rao et al. 2010). Minyak yang mengandung asam lemak dengan berat molekul rendah cenderung memiliki viskositas lebih rendah dibandingkan minyak dengan derajat ketidakjenuhan sama, yang hanya mengandung asam-asam lemak berat molekul tinggi. Hasil pengukuran viskositas kinematik untuk sampel minyak solar 100% adalah 4,176 cSt dan Minyak sawit 100% adalah sebesar 5,572 cSt. Pada campuran antara minyak solar dengan minyak sawit dengan variasi konsentrasi C(5/95 s/d 20/80)
Gambar 2 Perubahan Berat Jenis Campuran
Gambar 3 Perubahan Viskositas Campuran
85
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 81 - 90
%v/v memberikan hasil 4,213, 4,231, 4.31 dan 4,382 cSt. Hal ini menunjukkan peningkatan nilai viskositas antara 0,89%, s/d 4,93%, namun demikian peningkatan tersebut masih berada dalam batas spesifikasi minyak solar. Batasan viskositas maksimal yang diperbolehkan spesifikasi mutu minyak solar 48 dengan nilai 4,5 cSt. Perubahan viskositas selang pencampuran dapat dilihat pada Gambar 3. Dari gambar terlihat viskositas campuran minyak sawit dan minyak solar sampai dengan nisbah campuran C(20/80) %v/v viskositasnya masih berada dalam kisaran spesifikasi minyak solar. Hasil ini menunjukkan campuran minyak sawit cukup baik, karena bila viskositas tinggi akan menyebabkan miskinnya atomisasi. Dalam hal ini semprotan bahan bakar dapat menimpa pada dinding silinder, membasuh film minyak pelumas dan menyebabkan pengenceran minyak bak mesin. Sebaliknya bahan bakar diesel berviskositas rendah semprotan tidak menembus cukup jauh di dalam ruang bakar. Viskositas yang rendah menyebabkan kebocoran yang berlebihan melewati plunger pompa injeksi. Dalam kedua kasus hasilnya pembakaran miskin, kehilangan daya dan keausan meningkat di kedua sistem bahan bakar dan mesin. Dari sisi nilai parameter uji viskositas campuran, efek yang tidak menguntungkan ini diprediksikan tidak terjadi bilamana minyak sawit ini diaplikasikan sebagai bahan bakar. Kandungan Sulfur - ASTM D.4294 Kandungan sulfur minyak nabati umumnya mendekati nol dan lebih rendah daripada bahan bakar diesel (≤100 ppm), spesifikasi di Eropa untuk diesel di sekitar 10-15 ppm (Moser et al. 2011), di India jauh lebih tinggi mencapai 500 ppm, dan di Amerika Serikat 5.000 ppm. Spesifikasi kandungan sulfur di Burkina Faso untuk diesel dan heavier fuel oils bahkan lebih tinggi berturut-turut 10.000 ppm dan 30.000 ppm. Blin J et al. (2013) dengan alasan ini menyatakan analisis kandungan sulfur dalam minyak sawit bila digunakan dalam mesin stasioner tidaklah wajib.
Pada Gambar 4, hasil pengukuran kandungan sulfur dalam sampel minyak solar 100% adalah sebesar 0,35 %wt (pada batasan maksimum spesifikasi). Hasil pengukuran untuk campuran antara minyak solar dengan minyak sawit dengan berbagai konsentrasi C(05/95 s/d 20/80) %v/v, pada Gambar 4 ditunjukkan terjadi penurunan kandungan sulfur (%wt) antara 0,322 s/d 0,259 atau sebesar7,94% s/d 26,06%. Mengacu kepada yang telah dilaporkan Blin et al. (2013), membandingkan batas spesifikasi kandungan sulfur minyak solar dengan hasil pengukuran kandungan sulfur minyak sawit 100% yang demikian rendahnya, maka pengukuran sulfur pada campuran tidak begitu relevan. Distilasi - ASTM D.86 Sifat distilasi 90 %Vol. penguapan maksimal pada 370°C pada spesifikasi minyak solar tidak dilakukan pada penelitian ini, pada distilasi ditentukan nilai IBP. Ada korelasi yang signifikan di antara T90 dan angka setana, densitas, viskositas, titik awan dan karbon dan oksigen dari FAME (Giakoumis 2013). Hasil distilasi menunjukkan bahwa nilai IBP untuk sampel minyak solar 100% adalah 191,0 °C, sedangkan untuk minyak sawit nilai IBP 308 °C. Untuk campuran C(5/95 s/d 20/80) %v/v nilai IBP berturut-turut 191,5; 193,5;195.5 dan 203,5 °C, menunjukkan adanya kenaikan yaitu berkisar antara 0,26% s/d 6,54%. Dari nilai indeks setana, densitas, dan viskositas yang baik dari campuran C(5/95 s/d 20/80) %v/v diprediksi pada kisaran tersebut campuran minyak nabati dan minyak solar ini akan berkinerja baik sebagaimana halnya minyak solar. Tujuan modifikasi harus membawa sifat pembakaran campuran lebih dekat dengan solar ( Sonune And Farkade 2012). Biodiesel terdiri dari komponen bahan bakar dengan volatilitas yang rendah, dibandingkan dengan minyak solar. Ketika biodiesel diinjeksikan ke dalam ruang bakar mesin, komponen rendah yang mudah menguap, selama periode itu sebagian terbakar, sebahagian lainnya dapat meninggalkan deposit pada kepala silinder dan dinding silinder (Atomulesei 2010). Dengan memperhatikan IBP campuran yang sangat dekat dengan minyak solar 100% (IBP 191°C), diharapkan hal ini tidak terjadi pada campuran minyak sawit dan minyak solar. Ditunjang dengan indeks setana, densitas, viskositas yang baik dan memenuhi kualitas minyak solar maka diharapkan kinerja campuran minyak sawit dan minyak solar C(5/95 s/d 20/80) %v/v akan baik. Titik Nyala - ASTM D.93
Gambar 4 Perubahan Kandungan Sulfur Campuran
86
Titik nyala menunjukkan suhu minimum di mana bahan bakar akan terbakar (flash) pada aplikasi dari
9. Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar (Chairil Anwar)
sumber pengapian dalam kondisi tertentu. Suhu minimum titik nyala diperlukan untuk keamanan dan penanganan bahan bakar. Titik nyala ASTM D.93, adalah suhu terendah yang terkoreksi pada tekanan barometer 760 mmHg (101,3 kPa), dimana uap di atas permukaan contoh uji dapat menyala bila dilakukan penyalaan dengan kondisi uji yang ditentukan. Metode uji titik nyala dalah metode uji dinamik yang tergantung pada kecepatan tertentu dari pemanasan agar mencapai presisi metode uji. Kecepatan pemanasan, mungkin tidak dalam semua kasus memberikan presisi pada metode uji karena konduktifitas panas yang rendah dari beberapa material. Nilai titik nyala merupakan sebuah fungsi desain alat, kondisi alat yang digunakan, dan prosedur operasi yang dijalankan. Hasil pengukuran titik nyala terhadap sampel minyak solar 100% adalah 70°C sedangkan untuk minyak sawit 100% titik nyala 189,71°C. Pengamatan Tutunea et al. (2013), titik nyala tidak mempengaruhi pembakaran langsung, berbanding terbalik dengan volatilitas bahan bakar. Sebagai gambaran di Amerika Serikat, titik nyala biodiesel minimum adalah 93°C, 100°C di Brazil dan 120°C di Eropa. Titik nyala dapat menunjukkan masih adanya sisa alkohol dalam sampel biodiesel. Keberadaan sisa 0,5% metanol dalam biodiesel mengurangi biodiesel titik nyala dari 170°C hingga 50°C. Semua pemerikasaan biodiesel memiliki titik nyala lebih dari 120° C dengan titik nyala tertinggi 175° C pada biodiesel. Suhu diperlukan untuk keamanan dan penanganan bahan bakar, batasan minimum titik nyala pada minyak solar 52°C. Semakin tinggi titik nyala dari suatu bahan bakar semakin aman penanganan dan penyimpanannya. Nilai tinggi titik nyala mengurangi risiko kebakaran (Vuppaladadiyam et al. 2013). Biodiesel memiliki titik nyala yang lebih tinggi daripada diesel minyak bumi yang maknanya kurang mudah terbakar sehingga dalam penanganannya lebih aman. Namun, biodiesel memiliki stabilitas oksidasi yang tidak sebaik dari minyak solar dan akan memburuk di bawah kondisi penyimpanan, akibat oksidasi dengan adanya udara (Alnuami et al. 2014). Minyak nabati memiliki sifat yang sama dengan biodiesel dalam hal terbarukan, Dube et al. (2007) menyatakan bahwa biodiesel merupakan bahan bakar yang ideal untuk digunakan dalam lingkungan yang sensitif, seperti wilayah laut, taman nasional dan hutan, dan kota-kota sangat tercemar dengan profil emisi yang relatif rendah.
Gambar 5 Perubahan Titik Nyala Campuran
Hasil pengukuran titik nyala terhadap sampel murni dan setelah pencampuran minyak solar dengan minyak sawit dengan variasi konsentrasi (5/95 s/d 20/80) %v/v menjadi 70, 71, 71.5 dan 74°C, jauh lebih rendah dari titik nyala minyak sawit 100% (189,71°C). Dalam kondisi campuran peningkatan titik nyala seiring dengan penambahan jumlah minyak sawit. Peningkatan nilai titik nyala berkisar antara 1,43% s/d 5,71% dan peningkatan ini berada diatas batas minimum, spesifikasi minyak solar dengan nilai minimum titik nyala pada 52°C. Titik nyala campuran minyak sawit yang lebih tinggi dari minyak solar menguntungkan dari resiko kebakaran. Perubahan titik nyala campuran dan batasan minimal titik nyala yang dipersyaratkan disajikan pada Gambar 5. Titik Tuang – ASTM D.97 Pengukuran diperlukan untuk mengetahui suhu terendah di mana bahan bakar dapat tertuang atau mengalir bila didinginkan pada kondisi tertentu. Umumnya bahan bakar memerlukan penanganan yang berbeda-beda antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Dengan mengetahui titik tuang, maka dapat diketahui perlakuan yang harus dilakukan terhadap minyak tersebut. Hal ini ada hubungannya dengan indikasi sifat-sifat pemompaan alir pada suhu rendah, merupakan indikasi yang sangat kasar untuk suhu terendah di mana bahan bakar minyak dapat dipompakan. Hasil pengukuran titik tuang terhadap sampel minyak solar 100% adalah 3 °C dan minyak minyak sawit adalah 9 °C. Sedangkan untuk campuran antara minyak solar dengan minyak sawit dengan berbagai variasi konsentrasi C(5/95 s/d 20/80) %v/v nilai titik tuangnya sama yaitu 3 °C, dapat dilihat pada Gambar 5. Titik tuang harus cukup rendah, karena jika minyak membeku, mesin tidak akan bisa dinyalakan (Alnuami et al. 2014). Secara umum lebih
87
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 81 - 90
tinggi titik tuang sering membatasi penggunaannya sebagai bahan bakar untuk mesin diesel dalam kondisi iklim yang dingin. Ketika suhu di bawah titik tuang minyak, lilin dalam minyak nabati akan mengendap dan minyak kehilangan karakteristik sifat alirnya. Lilin ini dapat memblokir filter dan jalur suplai bahan bakar, pada kondisi bahan bakar ini tidak dapat dipompa melalui injektor (Antony Raja et al. 2011).
bahan bakar ini dari sisi kandungan sedimen sebagai salah satu penyebab di dalam bahan bakar yang akan menyumbat saringan bahan bakar dan juga pembentukan deposit pada sistem injeksi atau ruang pembakaran dapat disingkirkan. Sedimen dikhawatirkan juga dapat mengakibatkan proses pengausan pada pompa minyak bakar. Penggunaan minyak nabati murni sebagai bahan bakar terbarukan akan mendukung kebijakan pemerintah, sejalan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No.12 Tahun 2015. Angka Asam Total - ASTM D.664
Gambar 6 Perubahan Titik Tuang Campuran
Pengenceran dengan minyak solar memperbaiki titik tuang minyak sawit dan nilai titik tuang dari campuran setelah pengenceran memenuhi spesifikasi minyak solar. Hal ini campuran minyak sawit sampai dengan 20% tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam titik tuang, sehingga resiko bahan bakar akan membeku dan terbentuknya kristal-kristal lilin yang dapat menyumbat saluran bahan bakar dapat dihindari. Kandungan Abu-ASTM D.482 ahan pembentuk abu umumnya disebabkan oleh kotoran yang tidak dikehendaki atau kontaminan. Abu dapat dihasilkan dari minyak atau logam yang terlarut dalam air atau debu dan karat. Hasil penentuan kadungan abu baik di dalam minyak solar, minyak sawit maupun dalam campurannya mulai C(5/95 s/d 20/80) %v/v tidak didapatkan kandungan abu atau 0 %wt. Hal ini menunjukkan dalam pembakaran campuran ini tidak terdapat kandungan abu yang berasal dari metal atau zat anorganik yang bersifat korosif pada peralatan. Kandungan Sedimen - ASTM D.473 Hasil penentuan, tidak didapatkan kandungan sedimen dalam sampel minyak solar, sedangkan dalam minyak sawit kandungan sedimen sebesar 0,01% wt. ntuk campuran antara minyak sawit dengan, minyak solar mulai C(5/95 s/d 20/80) %v/v pada umumnya tidak didapatkan kandungan sedimen di dalam sampel. Selang penggunaan 88
Asam berasal dari sumber asam yang digunakan dalam produksi yang tidak benar-benar terhilangkan dalam proses produksi minyak nabati; dan degradasi oleh oksidasi (Sanjay 2013). Ini adalah jumlah basis yang diperlukan untuk titrasi sampel ke titik akhir yang ditentukan. Asam lemak bebas yang berlebihan dalam bahan bakar dapat merusak dan dapat menunjukkan gejala adanya air dalam bahan bakar atau produksi yang buruk atau mengalami degradasi oksidatif. Asam lemak bebas yang berlebihan dalam bahan bakar dapat menghambat proses transesterifikasi dan menyebabkan pembentukan sabun. Dari data yang disajikan dalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai asam terukur 0,113 mgKOH/g dari minyak sawit tidak begitu tinggi dibandingkan dengan spesifikasi jenis minyak solar 48. Hasil penentuan Angka Asam Total (Total Acid Number = TAN) untuk sampel minyak solar 100% adalah sebesar 0,045 mgKOH/gr sedangkan minyak sawit 100% sebesar 0,113 mgKOH/gr. Angka Asam Total untuk campuran C(5/95) %v/v adalah sama dengan minyak solar 100%, sedangkan untuk campuran berikutnya yaitu C(10/95) %v/v sampai dengan C(20/80) %v/v terjadi kenaikan TAN yaitu antara 0,046 mgKOH/gr s/d 0,050 mgKOH/gr atau sebesar 2,22 % s/d 11,11 %, namun demikian kenaikan tersebut masih dalam spesifikasi minyak solar. Nilai asam yang tinggi akan merusak pompa bahan bakar dan filter bahan bakar (Sanjay 2013). Angka Asam Kuat - ASTM D.664 Dalam minyak baru atau bekas konstituen yang dapat menyebabkan sifat asam adalah senyawa asam organik dan anorganik, ester, senyawa fenol, resin, garam dari logam berat, garam dari amonia dan basa lemah lainnya, garam asam dari senyawa asam polibasa dan zat tambahan seperti inhibitor atau detergen. Hasil penentuan Angka Asam Kuat (Strong Acid Number = SAN) baik di dalam minyak solar 100%, minyak sawit 100% maupun di dalam campurannya mulai C(5/95 s/d 20/80) %v/v
9. Modifikasi Minyak Sawit Sebagai Pensubstitusi Minyak Solar (Chairil Anwar)
nilai SAN adalah Nil. Adanya SAN menunjukkan keberadaan asam lemak bebas yang korosif dan sifat oksidasi produk. Angka asam pada bahan bakar menjadi sangat penting karena konsentrasi asam kuat yang tinggi dapat merusak seal dan selang yang ratarata terbuat dari karet. Disamping itu juga bersifat korosif yang dapat merusak peralatan yang terbuat dari logam. Dengan demikian adanya nilai SAN menunjukkan bahwa pencampuran minyak sawit kedalam minyak solar sampai dengan 20% aman dari pengaruh negatif asam kuatnya.
penelitian ini mempunyai nilai lebih dari biodiesel yang dicampur dengan minyak solar. Minyak sawit dan minyak solar langsung dicampur, tanpa harus diproses terlebih dahulu menjadi biodiesel. Kualitas yang memadai dan konstan dari minyak sawit dapat ditunjukkan dan dipenuhi. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa minyak sawit sampai dengan 20 %v berpotensi untuk digunakan sebagai komponen pencampur atau pensubstitusi untuk minyak solar.
Appearance - Visual
Alnuami, W.; Buthainah, A.; Etti, C. J.; Jassim L. I.; Gomes, G. A., 2014, Evaluation of Different Materials for Biodiesel Production. International Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering, 3, (8), 1-8. Antony Raja, S., Robinson smart D.S., Robert Lee C., 2011, Biodiesel production from jatropha oil and its characterization. Research Journal of Chemical Sciences, 1 (1) 81-85. Atomulesei C., 2010, Combustibili alternativi. Scribd. com. [Online] 04 February 2010. http://www.scribd. com/doc/26379472/Combustibili-alternativi. Baquero G, Esteban B, Rius A, Riba JR, Puig R., 2010, Small-scale productionof straight vegetable oil from rapeseed and its use as biofuel in the Spanish territory. Energy Policy 38:189-96. Blin J., Brunschwiga C., Chapuisa A., Changotadea O., Sidibea S., Noumia E., Girard P., 2013, Characteristics Of Vegetable Oils For Use As Fuel In Stationary Diesel Engines - Towards Specifications For A Standard In West Africa, Renewable And Sustainable Energy Reviews 22 (2013) 580-597. Demirbas A., 2008, Relationships derived from physical properties of vegetable oil and biodiesel fuels; Fuel, Vol 87, Pages 1743–1748. Dirjen Migas, 2013, Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No. 978.K/10/DJM.S/2013. Dube MA, Tremblay AY, Liu J., 2007, Biodiesel production using a membrane reactor. Bioresource Technology 98:639–47. Encinar, J. F.; González, G.; Martínez, N.; Sánchez; J.; González, G., 2010, Synthesisand characterization of biodiesel obtained from castor oil transesterification, International Conference on Renewable Energies and Power Quality, 13th to 15th. Giakoumis Evangelos G., 2013, A Statistical Investigation of Biodiesel Physical and Chemical Properties, and their Correlation with the Degree of Nnsaturation. Renewable Energy Vol. 50, pp. 858-878. Happiness Mlay, Jamidu H. Y. Katima, Rwaichi J. A. Minja., 2015, Plant Oil Blends as Alternative Fuels for Low- and Medium Speed Diesel Engines: Natural Gas Condensate Utilisation. American Journal of
Hasil pengamatan terhadap appearance (penampakan) secara visual terlihat bahwa untuk sampel campuran C(5/95 dan 10/90) %v/v terdapat bahan tersuspensi dan sedimen, sedangkan untuk sampel C(15/85 dan 20/8) %v/v dan minyak sawit 100% terdapat bahan tersuspensi,sedimen, busa dan air. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa dengan meningkatnya penambahan minyak sawit mengarah kekualitas yang kurang baik. Hal ini mungkin disebabkan minyak sawit mengandung air atau bahan lain yang tidak terlarut dalam minyak sawit dan campurannya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini metode pengenceran dapat dilakukan untuk memodifikasi mutu minyak sawit sehingga dapat memenuhi spesifikasi mutu minyak solar pada batasan pencampuran tertentu. Analisis dan interpretasi data uji sifat fisika kimia terhadap campuran minyak solar dengan minyak minyak sawit pada beberapa variasi konsentrasi yaitu C(5/95, 10/90, 15/85 dan 20/80) %v/v menunjukkan bahwa sifat fisika kimia dari campuran tersebut masih dalam batas spesifikasi mutu minyak solar, namun parameter penampilan visual teramati cenderung menjadi kurang baik dengan penambahan konsentrasi minyak sawit. Studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar sifat fisika kimia minyak sawit yang dievaluasi untuk memenuhi Spesifikasi Jenis Minyak Solar 48 sesuai dengan nilai standar. Secara spesifik menunjukkan bahwa sifat campuran minyak minyak sawit dan minyak solar yang dievaluasi sesuai dengan nilai-nilai standar minyak solar. Viskositas dan berat jenis tinggi dapat diatasi dengan modifikasi. Minyak sawit dengan viskositas semula 5,572 cSt menjadi 4,382 cSt, berat jenis yang semula 871 kg/ m3 menjadi 851 kg/m3 dan indeks setana lebih tinggi dari 47,9 menjadi 54,9. Bahan bakar diesel hasil
KEPUSTAKAAN
89
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 49 No. 1, April 2015: 81 - 90
Engineering, Technology and Society. Vol. 2, No. 3, 2015, pp. 35-45. Hossain A. K and Davies P. A., 2010, “Plant oils as fuels for compression ignition engines: A technical review and life-cycle analysis,” Renewable Energy, vol. 35, no. 1, pp. 1-13. Iorga D, Chedli M, Ostoia D., 2002, Modificarea Instalatiei de injectie a unui moror diesel de la o pompa normalamonopunct la o pompa de alimentare multipunct. Targu Jiu :UTGJIU, 2002. 8th International Conference. Khan T.M.Y., Atabani A.E., Badruddin Irfan Anjum, Badarudin Ahmad, Khayoon M.S., Triwahyono S., 2014, Recent Scenario And Technologies To Utilize Non-Edible Oils For Biodiesel Production, Renewable And Sustainable Energy Reviews 37 840–851. Kumar Prem, Sharma M.P., Dwivedi Gaurav, 2014, Impact of biodiesel on Combustion, Performance and Exhaust Emissions of Diesel Engines, J Integr Sci Technol, 2(2) 57-63.
Nasikin M. dan Makhdiyanti A., 2003, Sintesis Metil Ester Sebagai Aditif Bahan Bakar Solar Dari Minyak Sawit, JURNAL TEKNOLOGI, Edisi No.1, Tahun XVII, Maret, 45-50. ISSN 0215-168545 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, No.12 Tahun 2015. Penggunakan Minyak Nabati Murni. Rao G.Lakshmi Narayana, Ramadhas A.S, Nallusamy N, and Sakthivel P., 2010, Relationships Among The Physical Properties Of Biodiesel And Engine Fuel System Design Requirement Energy And Environment. Volume 1, Issue 5, pp.919-926. Sanjay, B., 2013, Non-Conventional Seed Oils as Potential Feedstocks for Future Biodiesel Industries: A Brief Review. Research Journal of Chemical Sciences, 3(5), 99-103. Sidibe´ SS, Blin J, Vaitilingom G and Azoumah Y., 2010, Use of crude filtered vegetable oil as a fuel in diesel engines state of the art: literature review. Renew Sust Energy Rev.14:2748-59.
Leung D.Y.C., Xuan W., Leung M.K.H., 2010, A review on biodiesel production using catalyzed transesterification. Appl. Energy, 87, 1083–1095.
Sonune P. P. And Farkade H. S., 2012, Performance and Emissions of CI Engine Fuelled With Preheated Vegetable Oil and Its Blends, International Journal of Engineering and Innovative Technology (IJEIT), Volume 2, Issue 3, September.
Moser BR, Vaughn SF., 2011, Evaluation Of Alkyl Esters From Camelina Sativa Oil As Biodiesel And As Blend Components In Ultra Low-Sulfur Diesel Fuel Bioresource Technology 101:646-53.
Tutunea Dragos, Bica Marin, Cernaianu Corina, Dima Alexandru, 2013, Correlation Between PhysicoChemical Properties Of Biodiesel Blends And Fossil Diesel, Termotehnica 2. pp.67-70.
Mustafa Ertunc T., 2011, Cetane number effect on the energetic and exergetic efficiency of a diesel engine fuelled with biodiesel. Fuel Process Technol 2011;92:1311-21.
Vuppaladadiyam, V.K.; Sangeetha, C.J; Sowmya V., 2013, Transesterification of Pongamia pinnata Oil Using Base Catalysts: A Laboratory Scale Study. Universal Journal of Environmental Research and Technology, 3, (1), 113-118.
90
INDEKS SUBYEK A
J
air 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83
jebakan migas 45
alkane compounds 15
interfacial tension 23, 24, 29, 30
analisis komponen utama (PCA) 45, 50, 54
K
angka asam total 23, 24, 25, 27, 28, 30 angka iodium 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63 angka oktana 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43 array 1, 2, 5, 6, 7, 12, 13, 14 citra satelit 45, 46, 48, 50, 54, 55 compression ratio 34 D dielectric breakdown voltage 23, 24, 25, 28, 29, 30
katalis Ni/zeolit 15, 17, 18, 19, 21, 22 katalis Zn/zeolit, 15, 19, 20, 21 L LiOH 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 M minyak kemiri sunan 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64 minyak transformator 23 N noise 1, 5, 8, 13, 14
E
Ni/zeolit catalyst 15
engine technology development 34
O
enhancement 46
octane number 33, 34
esterifikasi 57, 58, 59, 60, 62, 64
oil and gas trap 45, 46
esterification 58, 64
P
F
penajaman kontras 45
fusi 45, 46, 47, 48, 49, 50, 54
perkembangan teknologi mesin
fusion 45, 46, 54
plastik 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21
G
plastic 15, 21
geophone 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14
principal component analysis (PCA)
gemuk lumas 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 grease 77,78,84 I iodine number 57, 58 IRR 65, 66, 70, 71, 73, 74, 75
R rasio 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 rasio kompresi 33, 36, 37, 38, 40 ratio 77, 81, 82 reutealis trisperma (blanco) airy shaw 57, 58, 64
91
S satellite imagergy 46 seismik 1, 2, 3, 5, 14 senyawa alkana 15, 21 springlessgeophone 1, 5, 6, 14 T tax allowance 65, 66, 71, 72, 74, 75 tax holiday 65, 66, 71, 72, 74, 75 the interfacial tension 23 total acid number 23, 25 trafo 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 transesterifikasi 57, 58, 60, 62, 64 transesterification 58 transformers 23, 30 transformer oil 23, 31 W water 77 Z Zn/zeolit catalyst 15
PERATURAN DAN PEDOMAN PENULISAN LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK DAN GAS BUMI
L
embaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah resmi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Penulisan dalam bahasa Inggris diterima dari para penyelidik/peneliti di institusi-institusi seluruh Indonesia dan luar negeri.
PERATURAN KONDISI PENERIMAAN Penulisan yang diterima oleh Lembaran Pulbikasi Minyak dan Gas Bumi dengan pemahaman bahwa: - Semua penulis telah menyetujui pengajuan - Hasil-hasil atau ide-ide yang terdapat dalam penulisan adalah yang asli - Penulisan belum pernah dipublikasikan sebelumnya - Penulisan tidak sedang dalam proses publikasi di tempat lain dan tidak akan diajukan ditempat lain, kecuali setelah ditolak oleh Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi atau diambil kembali dengan pemberitahuan tertulis kepada editor Lembar Publikasi Minyak dan Gas Bumi - Jika diterima untuk dicetak dan dipublikasikan, artikel, atau sebagian darinya, tidak akan dipublikasikan ditempat lain kecuali telah mendapat persetujuan tertulis dari editor Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi - Reproduksi dan penggunaan artikel pada Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diperbolehkan jika sesuai dengan ketentuan hukum hak cipta di Indonesia, asalkan tujuan penggunaannya untuk tujuan pendidikan nirlaba. Semua penggunaan mewajibkan persetujuan dan biaya mana yang sesuai. PENGEMBALIAN BAHAN - Tulisan yang ditolak: Ketika telah diputuskan untuk tidak mempublikasikan sebuah tulisan, naskah dan ilustrasi asli dikembalikan kepada penulis dengan kopian review dan halaman depan surat. - Tulisan dikembalikan untuk perbaikan: Bahan diperlukan untuk referensi atau untuk diperbaiki dikembalikan kepada penulis pada saat perbaikan dibutuhkan. Jika perbaikan tidak dikembalikan dalam waktu 1 bulan atau jika tidak membuat janji dengan editor, maka naskah dinyatakan telah ditarik. FORMULIR PUBLIKASI - Artikel: Jurnal mempublikasikan artikel laporan penelitian yang asli, di bidang teknologi minyak dan gas bumi. - Artikel Review: Hanya review ilmiah yang dipublikasikan. Review yang tidak berbobot sebaiknya tidak perlu dimasukan, tapi topik dapat diusulkan oleh editor atau anggota dewan editor. - Komentar yang mengkritik: Komentar yang mengkritik adalah untuk memperbaiki kesalahan fakta yang dipublikasikan, menyediakan alternatif pengartian dari data yang terpublikasikan, atau memberikan teori baru berdasarkan pada informasi yang terpublikasikan. PENYERAHAN HARD COPY Seluruh naskah harus disiapkan dan dimasukan sesuai dengan pedoman pada seksi ini dan bagian berikutnya sesuai untuk kategori laporan. - Laporan: Naskah diketik pada satu sisi yang berkualitas saja, kertas putih, ukuran A4. - Pengetikan: Semua bagian dari naskah asli diketik satu setengah spasi. Diketik dengan ukuran 12 (Times New Roman). Pengurangan ukuran, walau hanya dalam tabel, tidak diperbolehkan. Spasi dan pemberian tanda yang proposional tidak perlu digunakan, i,e., jangan menyesuaikan marjin tangan kanan. Tidak boleh meninggalkan spasi antara paragraf dalam tulisan. Hanya satu huruf yang boleh digunakan. - Penyerahan: Untuk sebuah naskah baru, masukan yang asli dan 3 kopi disiapkan sesuai dengan Peraturan
dan Pedoman yang terkandung di dalamnya. Ketika naskah sudah diterima oleh editor untuk dipublikasikan, instruksi khusus untuk persiapan perbaikan akan diberikan. Ini akan menjadi tanggung jawab penulis untuk memberikan kopian dari naskah untuk referensi dan untuk melindungi dari kehilangan. Naskah sebaiknya dialamatkan kepada: Ketua Editor Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. ARTIKEL Naskah akan diatur dalam format dan ketentuan sebagai berikut, dengan semua halaman, pembukaan dengan apa yang digunakan untuk judul utama. - Judul Utama: Menyebutkan nama penulis (gunakan et al., untuk lebih dari dua) dan gelar yang dipersingkat. Seluruh lembar judul utama tidak melebihi 60 karakter dan spasi. - Judul: Segera setelah running head berikan judul artikel, nama penulis dan alamat dari penulis pertama. Termasuk alamat email, dengan tulisan miring, hanya penulis yang menjawab. Judul dan nama penulis diketik dalam tulisan tebal, dengan ukuran hurus yang sama seperti naskah. Semua informasi lain diketik dengan Times New Roman. Judul sebaiknya singkat dan diskriptif. - Abstrak: Mengikuti langsung setelah alamat penulis dengan tidak ada penambahan spasi antara keduanya. Anda sebaiknya menyediakan abstrak dari tulisan yang tidak melebihi 200 kata. Abstrak berisikan fakta (memberikan indikasi) dan memberikan outline kepada tujuan, mengunakan metode, penutupan dan studi yang signifikan. Abstrak berjudul Abstrak, dan diketik dalam tulisan besar semua dan tebal, diakhiri dengan sebuah tanda ktip diketik tebal. Teks ditulis setelah tanda kutip, tidak bagi-bagi, dan tidak mengandung kutipan literatur. - Pendahuluan: Pengenalan harus mengikuti abstrak dan tidak berjudul. Pedahuluan akan menentukan koteks dari penulisan dengan mengungkapkan bidang umum dari kepentingan, memberikan penemuan dari yang lain yang akan ditantang atau dikembangkan, dan memspesifikasikan spesifik pertanyaan yang diberikan. Akun pekerjaan yang sebelumnya akan dibatasi minimal pada informasi penting untuk memberikan sebuah pandangan yang sesuai. Pedahuluan tidak diperbolehkan pada sesi ini atau seluruh penulisan untuk dibagi dan memberikan spasi lebih antara dua paragraf. - Bahan dan Metode: Pada seksi ini memberikan informasi yang cukup untuk memperbolehkan melakukan pengulangan studi oleh orang lain. Penggunaan metode dan aparatur seharusnya mengindikasikan, tetapi nama merek khusus dan model perlu disebutkan jika signifikan. Sumber, e.g., kota dan negara, keduanya dieja secara penuh, dari peralatan atau kimia tertentu semestinya tertulis. - Judul utama dari seksi ini semestinya diketik dalam huruh cetak tebal dan dimulai pada marjin sebelah kiri halaman. Judul tidak dinomor dan berakhir tanpa tanda baca. Judul pada barisan kedua diketik tebal pada barisan terpisah dimulai pada marjin kiri. Huruf inisial dari kata pertama hanya huruf besar kecuali huruf besar diperlukan untuk kata benda yang tepat. Judul-judul ini tidak diberi nomor dan berakhir dengan tanpa tanda baca. Judul pada barisan ketiga diidentikan untuk sebuah paragraph, berhuruf miring, dan berakhir dengan sebuah tanda kutip juga dimiringkan. Huruf inisial kata pertama hanya ditulis dengan huruf cetak, kecuali untuk kata benda yang sesuai. Penulisan dibuat mengikuti judulnya. Selanjutnya, subdivisi tidak dibutuhkan. Jika seksi bahan dan metoda dibuat pendek, sebaiknya tidak dibuat subdivisi, tidak perlu disubdivisikan; tidak diperlukan untuk memberikan judul, melebihi judul utama, untuk sebuah seri pada subseksi yang terdiri dari satu paragraf. - Hasil: Bagian ini harus berisikan ringkasan informasi baru. Tabel dan gambar digunakan dengan sebaikbaiknya, tetapi informasi yang tersedia di dalamnya sebaiknya tidak mengulang yang terdapat pada teks. Menghindari perincian metode dan pengartian hasil pada bagian ini. Bagian hasil boleh dibagi dan diberi judul seperti bagian bahan dan metode. - Diskusi: Sebuah pengartian dan penjelasan hubungan dari hasil hingga ilmu yang telah ada harus ditampilkan dalam bagian diskusi. Penekanan harus ditempatkan pada penemuan baru yang penting, dan hipotesa baru harus teridentifikasikan secara jelas. Judul utama dan subdivisi, jika dibutuhkan, pada bagian ini seperti yang telah dideskribsikan untuk bagian bahan dan metode. - Kesimpulan dan Saran: Harus didukung dengan fakta dan data. Penutupan menyajikan penjelasan singkat tentang topik artikel, tujuan dan objek. Harus disajikan pada bagian ini.
- Pengakuan: Harus singkat. Etika-etika membutuhkan kolega-kolega dikonsultasikan sebelum diakui bantuannya dalam studi tersebut. Judul dari bagian ini adalah sebagai judul utama yang didiskribsikan untuk bagian bahan dan metode. Subdivisi tidak digunakan pada bagian ini. - Tabel: Tabel hanya digunakan untuk menyajikan data yang tidak dapat disampaikan melalui teks. Nilai dari pengujian statistik tidak dipublikasikan seperti tabel, pengujian yang dilakukan dan kemungkinan yang didapat untuk sebuah hubungan dapat diutarakan dalam bagian bahan dan metode dengan perbedaan yang signifikan diindikasikan dalam tabel dengan catatan di bawah atau dalam tulisan dengan sebuah pernyataan. Tabel harus dirancang untuk muat dalam 1 atau 2 kolom. Jarang sekali tabel dirancang untuk disesuaikan dengan tinggi halaman yang dicetak. Pada umumnya, jika lebar tidak sesuai dengan tinggi halaman, maka tabel terlalu lebar. Tabel dapat dilanjutkan pada halaman berikut dengan mengakomodasikan panjang, tetapi halaman-halaman tersebut tidak dapat diketik secara bersama-sama, pengurangan ukuran, satu spasi melebihi ukuran atau dimodifikasi untuk memuat lebih banyak tulisan. Tabel berupa nomor dengan angka roman dalam seri yang berkelanjutan dan sehingga direferensikan, dalam urutan, dalam tulisan. Keterangan diketik diatas data pada halaman yang sama. Semua kolom dalam satu table harus punya judul, dengan huruf pertama dari kata pertama dan kata benda yang tepat dikapitalisasi, e.g., Contoh angka, % didapat. Garis horizontal sebaiknya dihindarkan dalam badan tabel; garis vertikal tidak diperbolehkan. Jika simbol dibutuhkan, tabel harus disiapkan seperti membuat garis dan diperlakukan sebagai gambar. Penggunaan huruf dan angka seperti yang ditulis diatas dan yang ditulis di bawah tidak diperbolehkan. Perancangan tabel harus digunakan dalam urutan wajib menarik. - Gambar: Semua gambar tampil dengan teratur, menarik, secara langsung setelah tulisan. Jangan menempatkan keterangan gambar pada halaman yang sama dengan gambar. Setiap gambar atau piringan gambar harus punya keterangan. Keterangan ditulis dalam paragrap, awali dengan kata “FIGURE”. Keterangan diketik dalam huruf roman. Untuk lembarannya, sebuah ringkasan pernyataan akan pramenyerahkan penjelasan pesifikasi dari setiap angka. Hindari pengulangan informasi pada setiap gambar yang terpasang di pernyataan ringkasan. Nama-nama spesies dieja lengkap setiap digunakan pada keterangan. Keterangan harus berisikan penjelasan dari sebemua singkatan yang digunakan dalam gambar dan mengindikasikan nilai garis dan baru untuk menunjukan ukuran (paling tidak nilai yang ditunjukan secara langsung pada gambar). Ukuran sebaiknya tidak diindikasikan dengan pembesaran keterangan karena gambar mungkin tidak tercetak dengan ukuran yang perhitungkan. Gambar diberi nomor urut dalam urutan yang disebutkan dalam teks. Referensi yang tidak dikurung untuk angka dalam teks tidak disingkat, i.e., Gambar 1: Gambar 1, 2; Gambar 1-3; referensi untuk gambar dalam kurung pada teks boleh disingkat, i.e., Fig. 1, Figs, 1,2; Fig, 1-3. Semua symbol yang digunakan pada gambar harus didefinisikan jika memungkinkan dengan kunci dalam badan gambar. Gaya, termasuk bentuk singkatan, harus digunakan dalam jurnal. Gambar dapat digunakan sediri atau dalam grup in lembaran. Pada kasus lain, aslinya harus dipasang dalam lembaran ilustrasi dengan marjin paling kecil 25 mm pada semua sisi. Foto dan gambar tidak boleh dikombinasi pada satu lembar. Jika dibutuhkan kombinasi, tambahan pengeluaran ditagihkan kepada penulis. Semua gambar diidentifikasikan pada belakang nama penulis dan gambar nomor dengan bagian atas diindikasikan. Gambar-gambar satuan tidak diberi nomor di depan, tapi setian gambar pada sebuah lembaraan harus memasukan nomor dan huruf, digunakan pada gambar, jika memungkinkan, tanpa tambahan latar belakang. Gambar diatur untuk membentuk lembaran menyatu tanpa spasi atau tengahtengah diantaranya. - Literatur dikutip: Semua literatur yang digunakan sebagai referensi harus dikutip di dalam teks, dan sebaliknya semua literature yang dikutip di dalam teks harus tertulis sebagai referensi. Referensi seharusnya terdapat paling sedikit 10 sumber yang berhubungan dengan topik dengan mengikuti beberapa persyaratan seperti: - 80% dari referensi harus sudah terpublikasikan dalam 10 tahun terakhir - 80% dari referensi harus termasuk dalam kategori sumber utama (i.e. jurnal, terbitan berkelanjutan, thesis, disertasi)
- publikasi berganda untuk penulis yang sama a. Penulis yang sama; beda tahun konvensi normal (penulis, tahun, judul, dll) b. Penulis yang sama; tahun yang sama lebih dari satu referensi oleh seorang penulis di tahun yang sama: hal ini dibedakan dengan menggunakan abjad yang dikecilkan setelah tahun publikasi (eg. 1988a, 1988b, 1988c, dll). Akhiran sama digunakan untuk mengetahui referensi tersebut untuk kutipan di dalam teks. - Daftar referensi disusun berdasarkan huruf dengan menggunakan penulis utama a. penulis berganda. Gunakan urutan nama-nama keluarga sesuai dengan yang dipublikasikan. Penulis utama, i.e., kontributor utama, di urutan pertama setelah penerbit. b. Penulis yang sama: Tahun yang beda: susun referensi penulis sesuai dengan kronologi, dimulai dengan tanggal terdahulu. Tahun yang sama: gunakan akhiran abjad (e.g. 1983a, 1983b) Contoh 1. Buku Tipe Buku Penulis tunggal
Pengutipan di Teks Pada akhir kalimat: (Holt 2010)
Penulisan Referensi Holt, D.H., 1997, Prinsip dan Praktek Manajemen, Prentice-Hall, Sydney.
Pada awal kalimat: Holt (2010) seperti itu Dua penulis
(Laudon & Laudon 2003)
Laudon, K.C. & Laudon, J.P., 2003, Esensial dari Sistem Informasi : Mengatur Prusahaan Digital, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Tiga penulis
Dalam Teks: awalnya (Coveney, Ganster & King 2003)
Coveney, M., Ganster, S. & King, D., 2003, Kekurangan Strategy: Teknologi Leveraging untuk Strategi Kemenanggan , Wiley, Hoboken, New Jersey.
Dalam teks: kemudian (Coveney et al. 2003) Bond, W.R., Smith, J.T., Brown, K.L. & George, M., 2011, Manajemen Perusahaan Kecil, McGraw-Hill, Sydney.
Lebih dari tiga Penulis
(Bond et al. 2011)
Penulis korporasi
Dalam teks: Awalnya (Department of Foreign Affairs Departemen Luar Negeri dan, 2002, Connecting with Asia's Tech Future: and Trade 2002) Kesempatan Ekspor ICT , Unit Analisa Ekonomi, Pemerintah Persemakmuran, Canberra. Dalam teks: Kemudian (DFAT 2002)
2. Jurnal, Pemeriksaan Perkara, Tesis, dan Disertasi: mengutip jurnal, pemeriksanaan perkara, tesis, disertasi di dalam teks ha 2. Jurnal, Pemeriksaan Perkara, Tesis, dan Disertasi: mengutip jurnal, pemeriksanaan perkara, tesis, disertasi di dalam teks harus ditulis dengan cara yang sama seperti mengutip sebuah buku Tipe Sumber
Artikel Jurnal: Jurnal yang dicetak
Pengutipan dalam Teks Pada tengah atau di akhir kalimat: (Conley & Galeson 1998)
Penulisan Referensi Conley, T.G. & Galeson, D.W., 1998, 'Kelahiran dan Kemakmuran di Pertengahan Abad 19', Jurnal Sejarah Ekonomi, vol. 58, no. 2, pp. 468-493.
Pada Awal kalimat: Conley & Galeson (1998) menyatakan bahwa…
Artikel jurnal: Database Elektronik
(Liveris 2011)
Liveris, A., 2011, 'Etika sebagai Strategi', Kepemimpinan Sempurna, vol. 28, no. 2, pp.17-18. Terdapat pada: Proquest [23 Juni 2011].
Lanjutan Konverensi: Cetak
(Eidenberger, Breiteneder & Hitz 2002)
Eidenberger, H., Breiteneder, C. & Hitz, M., 2002, 'Kerangka Kerja untuk Informasi Visual Pengambilan', in S-K. Chang, Z. Chen & S-Y.Lee (eds.), Kemajuan Terkini pada Sistem Informasi Visual: Konferensi Internasional ke-5, VISUAL 2002 Kelanjutan, Hsin Chu, Taiwan, 11-13 Maret 2002, pp. 105-116.
Konferensi melanjutkan: Electronik
(Fan, Gordon & Pathak 2000)
Fan, W, Gordon, MD & Pathak, R 2000, 'Personalisasi Pelayanan Alat Pencarian untuk Pengambilan and Manajemen Pengetahuan yang Efektif ', Kelanjutan Konferensi Internasional yg ke-21 tentang Sistem Informasi , pp. 20-34. Available from: ACM Portal: ACM Perputakaan Digital. [24 June 2004].
Koferensi melanjutkan: Tidak Diterbitkan
(Brown & Caste 2009)
Brown, S & Caste, V 2009, 'Kerangka Kerja Pendeteksi Hambatan yang Terintegrasi '. Karya tulis pada IEEE Simposium Kendaraan , IEEE, Detroit MI.
Tesis atau Disertasi: Tidak diterbitkan
(Hos 2005)
Hos, J.P., 2005, Nanomaterials Sintetis secara Mecanokimia untuk Tingkat Tengah Temperatur Bahan Bakar. Ph.D. disertasi, Universitas Australia Bagian Barat.
Tesis atau Disertasi: Diterbitkan
(May 2007)
May, B., 2007, Survei Velositas Radial pada Awan Debu. Bristol UK, Penerbit Canopu.
Tesis atau Disertasi: Diambil dari Database
(Baril 2006)
Baril, M., 2006, Distribusi Model Konseptual untuk Aliran Proses Salinity Generasi: Pendekatan Sistematik Data . WU2006.0058. terdapat di: Program Tesis Digital. [12 Augustus 2008].
3. World Wide Web (Website Internet) Tipe Sumber
Pengutipan di Dalam Teks
Penulisan Referensi
Dokumen di WWW (penuliis/sponsor diberikan tapi tidak tertanggal)
Menurut Greenpeace (n.d), modifikasi makanan secara genetikal adalah ….
Terindikasikan, Penulis personal
Greenpeace (n.d.:1) merekomendasikan bahwa lebih sedikit secara genetikal .. (Arch & Letourneau 2002)
E-book
(Eck 2002)
E-jurnal
(Mueller , Heckathorn & Fernando 2003)
Peta: Online
(maps.com 1999)
Greenpeace n.d., The Future Is GE Free , dilihat 28 September 2005, dari http://www.greenpeace.org.au/ge/farming/canola.html . Catatan: Judul pada website digunakan seperti judul buku. Ditulis dengan huruf italik Arch, A. & Letourneau, C., 2002, ‘Tambahan Manfaat dari Design Website yang Mudah diakses ', dalam W3C Web Accessibility Initiative , di lihat pada 26 Februari 2004, dari http://www.w3.org/WAI/bcase/benefits.html . Eck, D.J., 2002, Pengenalan pada Pengprograman Menggunakan Java, edisi ke-3, OOPWeb.com, dilihat pada 26 Februari 2004, dari http://www.oopweb.com/Java/Documents/IntroToProgrammingUsingJava/VolumeFr ames.html . Mueller, J.K., Heckathorn, S.A. & Fernando, D., 2003, 'Identifikasi Kloroplas Dehidrin pada Daun tanaman Dewasa’ , Jurnal Internasional Ilmu Tumbuh-Tumbuhan vol. 164, no. 4, pp. 535-542, dilihat pada 10 September 2003, dari http://www.journals.uchicago.edu/IJPS/journal/no.s/v164n4/164053/164053.html . maps.com, 1999, Bhutan , dilihat pada 11 September 2003, dari http://www.maps.com/cgibin/search/hyperseek.cgi?search=CAT&Category=Asia%3ABhutanP&Qualifier =
4. Sumber Lain Tipe Sumber
Pengutipan di Dalam Teks
Peta: Cetak
(Viking O'Neil 1991:32-33)
Publikasi Pemerintah
(Department of Education, Science & Training 2000)
Penulisan Referensi Viking O'Neil, 1991, Atlas Jalan-Jalan Australia , Edisi ke-10., Penguin Books Australia, Melbourne, pp. 32-33. Departemen Pendidikan, Science & Training, 2000, Annual Report 1999-2000 , AGPS, Canberra. Departemen Imigrasi dan Urusan Multikultural 2001, Immigration: Federation to Century's End 1901-2000 , Bab Statistik, Cabang Bisnis, Departemen Imigrasi dan Urusan Multikultural, Canberra.
Regulasi Pemerintah dan Legislasi
(Keputusan Presiden Republik Indonesia No 55 Tahun 2012)
Keputusan Presiden No 55 Tahun 2012 tentang Tambahan Strategi Nasional pada Pencegahan dan Pemberantasn Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 Regulasi Presiden Republik Indonesia No 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Bisnis Dekat dengan Investasi dan Bisnis Lahan Terbuka, dengan Persyaratan untuk Berinvestasi
Standarisasi
Menurut Standarisasi Australia (1997), …
Paten
Tan and Arnold (1993) memformalisasikan dan menjaga ide-ide mereka… Atau Tan and Arnold (1993, n.p.) melindung ide-ide mereka dengan ‘…’
Assosiasi Standarisasi Australia, 1997, Standar: Australia tentang Peralatan Tekanan-Manufaktur , (AS4458-1997), Standard Australia, Sydney Utara. Tan, I.S. & Arnold, F.F., (Angkatan Udara USA) 1993, Komposisi Molekul di Tempat Semula Berdasarkan Rigid-rod Polyamides , paten USA 5 247 057.
98