Cerita Tak Bernama
Re.
Cerita Tak Bernama Copyright © 2014 by Reyuni Adelina Barus
Penerbit Nulis Buku www.nulisbuku.com
[email protected]
© Hak cipta dilindungi undang-undang
Daftar Isi
Friday — 11 Dream Catcher — 22 Tentang Rasaku Padamu — 48 Ternyata Bukan Cinta — 79 Secret Admirer — 87 Cinta untuk Kamila — 98 Dia Ada, Untukku — 111 Pengagum Jingga — 123 Black Coffee — 126 Angan Sehembus Angin — 154 Datang untuk Pergi — 156 Di Persimpangan Jalan — 158 Untitled — 161
Cerita tak bernama bukan berarti cerita tak bermakna...
F
riday
A
ku mengaduk ice cappuccino yang baru saja kupesan. Sambil menyeruputnya sedikit, aku membaca ulang tulisanku. Bibirku mengulas
senyuman
tipis.
Kemudian
aku
kembali
mengetik,
meneruskan tulisanku. Aku terlalu larut dalam berjuta kata-kata hingga
aku merasa hanya akulah penghuni bumi. Aku tak keberatan jika itu terjadi. Aku tak pernah kesepian. Hari-hariku selalu ramai ditemani jutaan kata yang selalu melayang dalam otakku, berputar mengelilingi tiap sudut pikiranku. Sekilas pandanganku tertuju pada sepasang remaja yang tengah bersenda-gurau di balik jendela kaca kafe ini. Aku tertegun, mereka tampak bahagia sekali. Seindah itukah jatuh cinta? Aku ingin merasakannya. Ah, tidak, tidak! Aku tidak ingin merasakannya. Namanya saja jatuh, sudah pasti sakit. Tapi, sekali lagi, kuperhatikan mereka diamdiam. Mereka berjalan santai sambil melahap ice cream masing-masing. Sesekali mereka menyuapi satu sama lain. Persis seperti di novel-novel roman yang sering kubaca. Aku memutuskan untuk kembali sibuk dengan tulisanku yang akan kukirim pada redaksi majalah remaja minggu depan.
Tak terasa matahari sudah menyingsing me-ninggalkan goresan jingga pada langit senja. Senja. Aku sangat menyukai pesonanya. Setiap hari Jumat aku nongkrong di kafe ini hanya untuk menunggu senja menghampiriku dengan warnanya yang membuatku terpukau. Kadang aku berangan, andaikan ada orang yang begitu mempesona seperti senja datang menghampiriku. Kurasa, aku adalah gadis paling beruntung. Ah, sudahlah. Hidup dalam angan-angan membuatku jengah jua. Aku memutuskan untuk pulang setelah membereskan peralatanku. Kegiatanku terhenti begitu melihat sebuah tisu tergeletak di atas meja. Aku memungutnya, lalu membaca tulisan rapih yang terukir disana.
Aku suka sekali melihat ekspresimu ketika menulis. -SenjaAku membaca ulang isi tisu itu─mencoba me-yakinkan diri sendiri bahwa penglihatanku tidak salah. S e n j a. Pengirimnya bernama Senja, begitu? Ini benar-benar kebetulan yang aneh. Aku menyukai senja dan tiba-tiba saja ada orang bernama Senja mengirimiku surat yang mengatakan bahwa ia menyukai ekspresiku ketika menulis. Nah, memangnya seperti apa ekspresiku ketika menulis? Aku mengedarkan pandangan ke penjuru kafe, mencoba menemukan siapa kira-kira orang iseng yang mengirimiku surat tisu semacam ini. Apakah tadi aku sebegitu larutnya dalam tulisan hingga tak menyadari kehadiran Senja di mejaku? Ini benarbenar me-musingkan, apalagi tak ada tanda-tanda Senja ada di tempat ini. Dan akupun memutuskan untuk pulang.
Ceritaku sudah dimuat dalam majalah remaja edisi minggu ini. Aku tidak menyangka, cerita tentang si misterius Senja yang kutuai dalam cerita begitu banyak peminatnya. Dan akhirnya, akupun mulai dihantui oleh deadline. Ini menyenangkan sekaligus merepotkan. Menyenangkan karena aku bisa menghabiskan waktu untuk menulis, dan merepotkan karena aku tidak tahu harus melanjutkan cerita bersambung Senja yang sedang kugarap. Aku memutuskan untuk pergi ke kafe biasa yang setiap hari Jumat kukunjungi. Setelah memesan ice cappuccino, aku menyalakan laptop dan membuka akun Twitterku. Sudah lama sekali aku tidak mem-bukanya. Setelah login, aku membuka notifications. Tidak ada yang terlalu menarik, hanya beberapa mentions dari para readers. Lalu mataku tertuju pada satu pemberitahuan: Senja followed you. Kuperhatikan detail waktunya, 2 minggu yang lalu. Aku membuka profil Senja. Dan yang pertama kali ditangkap oleh indera penglihatanku adalah: background, header, dan avatar miliknya, semuanya bergambar senja. Dan aku benar-benar terkejut membaca sebuah tweet. Aku suka sekali melihat ekspresimu ketika menulis. Lalu kuklik tombol view photo untuk melihat gambar yang di share-nya. Astaga! Ini fotoku! Tidak salah lagi. Ini benar-benar fotoku Jumat yang lalu tepat di kafe ini. Siapa sebenarnya orang ini? Apakah dia me-ngenalku? Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang… aneh. Aku mendongak dan terkejut mendapati seorang lelaki duduk tepat di hadapanku, menatapku datar tanpa ekspresi. “Si-siapa kau?” Tidak ada jawaban.
“A-apa yang kaulakukan di sini?” Aku menatapnya was-was sambil memperbaiki letak kacamataku. “Melihatmu,” jawabnya datar. “A-apa?” “Aku menyukaimu. Setiap hari aku datang ke sini menunggu kedatanganmu. Tetapi kau hanya datang setiap hari Jumat.” “Hah?” Ia mengedikkan bahu tak acuh. Setelah itu ia pergi meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh kemudian hilang dari pandangan dengan kening berkerut penuh tanda tanya. Aku mendengus kesal, lalu mataku tertuju pada selembar tisu di atas meja. Aku memungutnya dengan ragu.
Aku harus pergi. Semoga kita bisa bertemu lagi. -Senja-
Tentang Penulis
Reyuni Adelina Barus
Seorang mahasiswi yang akrab disapa Rey atau Reye, tetapi memutuskan untuk menggunakan nama Re sebagai nama pena-nya. Suka menulis dan membaca sejak duduk di sekolah menengah. Cerita Tak Bernama merupakan kumpulan cerpen dan tulisan-tulisan singkat yang pertama kali ia terbitkan. Namun ada banyak naskah-naskah terbengkalai yang pada akhirnya hanya tersimpan di dalam draft. Sekarang ini, ia masih berusaha mencuri kesempatan untuk menulis di sela-sela kesibukan kuliah. Re bisa dihubungi lewat: @Reyuniadelina Reyuni Adelina Barus
[email protected]