KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb., Salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastyastu. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karuniaNya kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional Arsitektur 2011 “(Re-) Kontekstualisasi Arsitektur Nusantara” dapat terlaksana dengan baik. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah yang dipresentasikan pada kegiatan tersebut, serta telah melalui proses perbaikan sesuai dengan masukan-masukan dari peserta seminar. Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Nasional Arsitektur 2011 “(Re-) Kontekstualisasi Arsitektur Nusantara” selama 2 (dua) hari dari tanggal 18 s.d 19 Oktober 2011 di Werdhapura Sanur, Denpasar, Bali, dengan mengambil sub tema “Pengaturan Bangunan dan Lingkungan Perumahan Tradisional Melalui Konservasi, Revitalisasi, dan Preservasi serta Peningkatan Kualitas Lingkungan” pada hari pertama dan sub tema “ Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Bali berbasis Green Building dan Adaptasi Perubahan Iklim” pada hari ke dua. Tujuan dari kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional Arsitektur 2011 “(Re-) Kontekstualisasi Arsitektur Nusantara” adalah : 1. 2. 3. 4.
Mengidentifikasi konsep/ pola pengembangan dan konservasi lingkungan perumahan tradisional; Merumuskan konsep/ pola pengembangan dan konservasi lingkungan perumahan tradisional; Merumuskan pola peningkatan kualitas lingkungan permukiman tradisional berbasis kearifan local; Merumuskan usulan ataupun rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan untuk penyempurnaan peraturan daerah di masa yang akan dating.
Kami sadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan prosiding ini. Oleh karena itu, sumbang saran dan pemikiran guna meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan selanjutnya sangat kami harapkan. Besar harapan kami agar prosiding hasil seminar ini dapat berguna bagi perkembangan arsitektur nusantara dan para pembaca pada umumnya. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung dalam penyusunan prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Denpasar, Desember 2011 Balai PTPT Denpasar
Iwan Suprijanto, ST, MT NIP. 197109301998031001
Proceeding Semiloka
i
TIM EDITOR Ketua
: Iwan Suprijanto, ST, MT.
Anggota
: 1. Drs. Muhajirin, MT. 2. Rusli, ST, MT. 3. Desak Putu Damayanti, ST. 4. I Putu Agus Wira Kasuma, ST. 5. Dianisari Rinda Astoeti Munarto, ST.
Proceeding Semiloka
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................................... i Tim Editor ............................................................................................................................. ii Daftar Isi ............................................................................................................................... iii Eksistensi Lingkungan Permukiman Rumah Tradisional Suku Tobadij di Perairan Teluk Youtefa Papua – Jayapura
Jasmihul Ashary ..................................................................................................................... 1 Investigasi Perilaku Tiang Penopang (Sub Struktur) Rumah Tradisional Bajo dari Pengaruh Lingkungan Laut Studi Kasus Kearifan Lokal Tanpa Teks
Muhamad Yunus, Agus Salim .................................................................................................. 14 Pola Permukiman Desa Petungsewu
Endratno Budi, Antariksa, Eddi Basuki ..................................................................................... 34 Pengaruh Organisasi Masyarakat Adat pada Pelestarian Rumah Tradisional Suku Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau
Lia Yulia Iriani ........................................................................................................................ 50 Parameter-parameter yang Berpengaruh pada Upaya Pelestarian Komponen Perumahan Tradisonal (Kajian Literatur : Revitalisasi Lingkungan Permukiman Tradisional 2005)
Ayu Putu Utari P, Desak Putu Damayanti, Iwan Suprijanto, Ni Made Dwi Sulistia B, I Putu Agus Wira Kasuma .................................................................... 60 Analisis Tingkat Perubahan Bangunan Tradisional Sebagai Dasar Tindak Penanganan Pelestarian (Studi Kasus : Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Kalimantan)
Desak Putu Damayanti, Ayu Putu Utari P, Iwan Suprijanto, Ni Made Dwi Sulistia B, I Putu Agus Wira Kasuma .................................................................... 66 Adaptasi Ekologis Perumahan Tradisional di Kawasan Timur Indonesia
Aris Prihandono ..................................................................................................................... 79 Fleksibilitas Sistem Sambungan Struktur Rumah Tongkonan, Upaya Preventif dalam Menerima Gaya Gempa
St. Hadijah Sultan .................................................................................................................. 88 Identification And Development Of Climate Responsive Wall Based On Traditional For Contemporer House
Agung Murti Nugroho ............................................................................................................. 96
Proceeding Semiloka
iii
Kelangsungan (Sustainability) Elemen Kaki Rumah Suku-Suku Laut di Wilayah Jayapura Kayu Swan Tanaman Endemik Cagar Alam Cycloop
Darwis, Jasmihul Ashary ......................................................................................................... 109 Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Tradisional Bidang Pekerjaan Umum (Studi Kasus di Propinsi Bali & NTB)
Muhajirin ............................................................................................................................... 126 Prospek Pengembangan Produk Bebak Komposit Pada Aplikasi Rumah Tradisional NTT
Rusli, Dedi Kusmawan, Iwan Suprijanto................................................................................... 143 Implementasi Nilai-nilai Tradisional Dalam Mewujudkan Arsitektur Bali Untuk Mendukung Pencapaian Bali Mandara
I Gde Wenten Mahayasa ........................................................................................................ 148 Notulensi “Pengaturan Bangunan dan Lingkungan Perumahan Tradisional Melalui Konservasi, Revitalisasi, dan Preservasi serta Peningkatan Kualitas Lingkungan” .......................................... 156 Notulensi “Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Bali berbasis Green Building dan Adaptasi Perubahan Iklim” ......................................................................... 162
Proceeding Semiloka
iv
KELANGSUNGAN (SUSTAINABILITY) ELEMEN KAKI RUMAH SUKU-SUKU LAUT DI WILAYAH JAYAPURA KAYU SWAN TANAMAN ENDEMIK CAGAR ALAM CYCLOOP Darwis1 Djasmihul Ashary 2 1
2
Lektor Kepala Unismuh Makassar Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar
[email protected]
Abstrak Elemen tiang atau kaki menjadi komponen utama yang sangat menentukan eksistensi rumah yang berlokasi di atas permukaan perairan. Suku-suku laut yang bermukim pada tiga kawasan di sekitar Jayapura yakni suku Tobadij, Engros, dan Hai yang mendiami Teluk Youtefa ; suku Youwe, Sibi, Soro, dan Hai yang mendiami Kayu Pulau ; serta suku Makanwei dan Hai yang mendiami kawasan Kayu Batu. Local genius yang telah berkembang ratusan tahun dalam masyarakat pada ketujuh suku tersebut membawa mereka pada pilihan untuk bahan tiang/kaki rumah mereka yang berada pada kawasan perairan, yakni kayu Swan atau Soang atau Suang. Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan melalui studi literatur, wawancara, observasi, dan uji laboratorium. Penelitian tentang kayu Swan sangat minim, bahkan studi yang spesifik tentang kayu Swan belum ada, kecuali informasi dari WWF Indonesia bahwa kayu Swan (Xanthostemum sp.), merupakan tumbuhan endemic pada Cagar Alam Cycloop. Penetapan Cagar Alam Cycloop berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 memiliki areal seluas 22.500 Ha. Temuan hasil wawancara dengan sesepuh suku di ketiga wilayah permukiman suku laut, ternyata kayu Swan dengan diameter 15-20 cm yang digunakan sebagai tiang rumah dapat bertahan sampai 3-4 generasi atau setara 70-100 tahun. Informasi lain menurut tokoh setempat bahwa penggunaan jenis kayu lain (merbau, bakau) sebagai tiang, maksimum bertahan maksimum 10 tahun. Pengujian laboratorium memberikan informasi atas parameter keawetan dan kekuatan dari kayu Swan hasil yang didapatkan antara lain ; unit weight 1,21 gram/cm3, absorpsi 12,50 %, kuat tarik 64,50 N/mm2, kuat tekan 66,72 N/mm2, kuat geser 15,50 N/mm2, dan kuat lentur 125,50 N/mm2. Dari observasi dan informasi literatur diketahui bahwa populasi kayu Swan secara keseluruhan berada dalam kawasan Cagar Alam Cycloop (Dafon Soro), sehingga sejak tahun 1987 seharusnya kayu Swan tidak boleh lagi dilakukan dieksploitasi. Kesimpulan penelitian bahwa kontinuitas penggunaan kayu Swan sebagai tiang/kaki rumah suku laut yang bermukim di sekitar Jayapura sudah tidak dapat dipertahankan. Alternatif pengganti tidak dapat menggunakan kayu lain, disebabkan tidak ada yang menyamai keawetannya. Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan untuk memberikan inovasi baru dari bahan buatan yang memiliki durability dan strength yang mendekati karakteristik fisis dan teknis material kayu Swan untuk digunakan sebagai material tiang/kaki rumah suku laut. Kata kunci: tiang, swan, cycloop.
Proceeding Semiloka
109
I.
PENDAHULUAN Permukiman suku-suku laut yang ada di wilayah administrasi kota Jayapura tersebar di tiga kawasan, yakni : 1. 2. 3.
Kawasan Tobati ; yang didiami oleh suku Tobadij, suku Engros, dan suku Hai, dengan jumlah rumah ± 976 unit. Kawasan Kayu Pulau ; yang didiami oleh suku Youwe, suku Sibi, suku Soro, dan suku Hai, dengan jumlah rumah ± 1100 unit. Kawasan Kayu Batu ; yang didiami oleh suku Makanwei dan suku Hai, dengan jumlah rumah ± 600 unit.
Pola penataan permukiman suku laut pada tiga kawasan tersebut berbentuk Linear, yakni rumah-rumah dibangun sejajar dalam formasi 2 (dua) deret yang saling berhadapan di sisi jeramba (jembatan kayu), merupakan suatu kontak pandang. Dari beberapa sumber terkumpul informasi tentang jenis dan bentuk rumah tradisional sukusuku laut di wilayah Jayapura dikenal ada dua macam, yakni : 1. 2.
Rumah SWAY ; yang pada hakekatnya digunakan sebagai tempat inisiasi (pendewasaan) remaja laki-laki, namun belakangan digunakan pula untuk bangunan rumah ibadah (gereja). Rumah MUA ; digunakan sebagai tempat tinggal keluarga.
Dalam masyarakat suku laut seperti Tobadij, Engros, Sibi, Soro, dan lain-lain, meskipun adanya perbedaan status atau derajat sosial dalam struktur masyarakatnya, namun tidak harus diwujudkan dalam bentuk atau ukuran bangunan tempat tinggalnya. Hampir semua tempat tinggal memiliki bentuk, ukuran dan tampilan yang relatif sama. Hanya dapat dibedakan dari ornamen yang menghiasi tempat tinggalnya. Misalnya Keret Itar (pemburu) memiliki ornamen yang berhubungan dengan perburuan babi. Sedangkan Keret Sanyi (nelayan) menghiasi rumahnya dengan ornament-ornamen yang berhubungan dengan hasil laut. Penggunaan material bangunan pada suku tradisional pada umumnya didasarkan pada kebiasaan yang dikembangkan dari local genius ataupun local wisdom. Demikian pula halnya dengan masyarakat suku laut yang bermukim di wilayah Jayapura, berdasarkan pengalaman empiris yang berlangsung ratusan tahun mereka membangun rumah di zone lepas pantai, telah menemukan jenis kayu Swan yang memiliki durabilitas digunakan sebagai elemen tiang/kaki rumah hingga mencapai puluhan bahkan ratusan tahun di dalam air laut. Hasil observasi langsung pada kawasan hutan di sekitar Jayapura (Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura), ternyata spesies kayu Swan tersebut merupakan tumbuhan endemic di Cagar Alam Cycloop. Hal ini diperkuat pula oleh hasil penelitian dari WWF Indonesia (World Wildlife Fund) pada tahun 2007, yang menginformasikan bahwa kayu Swan tidak ada di kawasan hutan lain di Papua/PNG, selain yang tumbuh di kawasan Cagar Alam Cycloop. Disamping itu tumbuhan ini juga membutuhkan waktu pertumbuhan yang cukup lama, bahkan hingga di atas 50-an tahun sebelum ukuran batangnya layak pakai. Dari uraian di atas jelas bahwa kontradiksi dua kepentingan terhadap eksistensi kayu Swan, yang di satu pihak merupakan kebutuhan pokok masyarakat suku laut untuk elemen tiang rumah lepas pantai, namun di lain pihak semua populasinya berada dalam kawasan Cagar Alam Cycloop yang sudah tidak mungkin lagi dieksploitasi secara berkesinambungan. Hal ini memerlukan kajian dan inovasi baru untuk menemukan material lain yang dapat dipergunakan sebagai elemen tiang/kaki rumah suku-suku laut yang bermukim di wilayah Jayapura.
Proceeding Semiloka
110
II. KAJIAN PUSTAKA Durabilitas tiang/kaki rumah yang dibangun di atas air, merupakan faktor penentu yang utama terhadap eksistensi rumah tersebut. Elemen gelagar, kolom (tiang atas), lantai, kuda-kuda, dan elemen lainnya pada umumnya cukup mudah untuk diganti per elemen tanpa pembongkaran total. Tetapi penggantian elemen kaki yang mengalami kerusakan, harus dilakukan dengan pembongkaran total bangunan rumah di atas laut. Pada umumnya masyarakat yang bermukim secara tradisional di atas laut, telah mengembangkan local genius mereka untuk menemukan jenis material lokal yang memiliki kekuatan (strength) dan keawetan (durability) yang handal berdasarkan pengalaman empiris mereka sekian ratus tahun dalam membangun rumah di atas laut. Demikian pula halnya dengan suku-suku laut yang bermukim di sekitar wilayah Jayapura yang telah menemukan jenis kayu SWAN/SOANG/ SUANG, yang dapat bertahan selama puluhan tahun dipergunakan sebagai kaki untuk rumah di atas laut. Keawetan material kayu berdasarkan keadaan atau kondisi penggunaan kayu dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel-1 : Kelas Kayu Menurut Keawetannya Kelas Awet Selalu berhubungan dengan tanah lembab Hanya terbuka terhadap angin dan iklim tetapi dilindungi terhadap pemasukan air kelemasan Di bawah atap tidak berhubungan dengan tanah lembab dan dilindungi terhadap kelemasan. Seperti di atas (c) tetapi dipelihara yang baik,selalu dicat,dll
I
II
III
8 thn
5 thn
3 thn
20 thn
15 thn
10 thn
Beberapa tahun
Sangat pendek
Tak terbatas
Tak terbatas
Sangat lama
Beberapa tahun
pendek
Tak terbatas
Tak terbatas
Tak terbatas
20 thn
Serangan oleh rayap
Tidak
jarang
Serangan oleh bubuk kayu kering
Tidak
tidak
Agak cepat Hampir tidak
Sangat cepat Tak seberapa
Sumber : PIKA (1979)
IV Sangat pendek
V Sangat pendek
20 thn Sangat cepat Sangat cepat
Sedangkan kekuatan kayu ditinjau dari beberapa jenis dan karakteristik beban yang bekerja terhadap material kayu dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel-2 : Karakteristik Kayu berdasarkan Kelas Kelas Kuat
Berat Jenis Kering Udara
Kuat Lentur Mutlak (kg/cm2)
I II III IV V
≥ 0,90 0,90 – 0,60 0,60 – 0,40 0,40 – 0,30 ≤ 0,30
≥ 1100 1000 – 725 725 – 500 500 – 360 ≤ 360
Sumber : (SNI, 2002)
Proceeding Semiloka
Kuat Lentur Izin (kg/cm2) 150 100 75 50 –
111
Kuat Tekan mutlak (kg/cm2) ≥ 650 650 – 425 425 – 300 300 – 215 ≤ 215
Kuat Tekan// Izin (kg/cm2) 130 85 60 45 –
Kuat Tekan⊥ Izin (kg/cm2) 40 25 15 10 –
Setiap benda yang masuk ke dalam fluida, akan mengalami gaya apung (uplift) sebesar berat fluida yang dipindahkannnya (Hukum Archimedes). Apabila berat benda tersebut lebih kecil dari gaya apung fluida maka benda akan mengapung ; bila berat benda tersebut sama besar dengan gaya apung fluida maka benda akan melayang ; dan bila berat benda tersebut lebih besar dari gaya apung fluida maka benda akan tenggelam di dalam fluida. Dalam menerima beban akibat pergerakan fluida, bentuk benda yang berada di dalam media fluida sangat menentukan besar gaya yang dipikulnya. Benda dengan bidang kontak tegak lurus terhadap arah datangnya gaya fluida akan menerima beban yang lebih besar, dibandingkan dengan beban pada benda yang memiliki bidang kontak lebih besar dari 90o. Keadaan ini dapat diilustrasikan dengan gambar di bawah ini.
(a) Penampang Persegi
(b) Penampang Bulat
Gambar-1 : Bentuk Tekanan Fluida pada Beberapa Bentuk Penampang Tiang yang ditanam (dipancang) ke dalam lapisan tanah dan bekerja secara individual disebut ”tiang tunggal”, sedangkan tiang yang disatukan dengan elemen pengaku yang disebut pile cap, dan bekerja secara bersama-sama disebut ”tiang kelompok”. Tiang tunggal pada dasarnya dibedakan atas posisi tiang di dalam media tanah pendukungnya, yakni : (1) Tiang Tunggal Tahanan Ujung (end bearing piles) ; yaitu pondasi tiang yang ujungnya diposisikan sampai ke lapisan tanah keras, sehingga daya dukungnya dominant merupakan kontribusi dari tahanan ujung tiang. Jenis pondasi semacam ini bisa dari tiang pancang, tiang tekan, atau tiang bor. Perhitungan daya dukung pondasi tiang end bearing, biasanya mengabaikan tahanan gesek kulit, terutama bila media tanah disekeliling kulit tiang merupakan jenis tanah granular (non cohesive). (2) Tiang Tunggal Tahanan Kulit (friction bearing piles) ; yaitu pondai tiang yang ujungnya diposisikan tidak mencapai lapisan tanah keras, sehingga daya dukungnya dominan merupakan kontribusi dari tahanan gesek dari kulit tiang. Jenis pondasi semacam ini bisa dari tiang pancang atau tiang tekan. Tetapi hampir tidak pernah kita menemukan tiang bor yang diposisikan sebagai friction piles. Besarnya daya dukung pondasi tiang semacam ini sangat tergantung pada gaya adhesi yang timbul antara permukaan kulit tiang dengan partikel tanah yang membungkus kulit tiang, dan tahanan pada ujung tiang sangat kecil sehingga harus diabaikan di dalam perhitungan daya dukungnya. Material tiang yang dipergunakan sebagai pondasi, dapat berupa bahan kayu, besi (pipa), beton, dan material komposit. Pembuatan pondasi tiang beton precast dapat dibuat secara massal dengan pabrikasi, dan dapat pula dibuat secara manual di site proyek pemasangannya. Penggunaan tiang precast biasanya untuk pondasi yang dipancang (Driven Piles) atau pondasi yang ditekan (Pressure Piles). Beberapa bentuk penampang pondasi precast yang biasa dibuat, antara lain :
Proceeding Semiloka
112
(1) Tiang berpenampang bulat (2) Tiang berpenampang persegi (3) Tiang berpenampang segi-8 (4) Tiang berpenampang segi-3
(a) Bulat
(b) Segi-4
(c) Segi-8
(d) Segi-4
Gambar-2 : Beberapa bentuk penampang pondasi tiang precast
Daya dukung pondasi tiang dapat terdiri atas komponen tahanan ujung (Qe) dan/atau komponen tahanan gesek kulit (Qs), tergantung dari tipe dan posisi pondasi tiang di dalam tanah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga formula daya dukung pondasi tiang dapat dituliskan secara umum sebagai berikut ; Q tot =
Qe Qs + SF1 SF2
…………………….(1)
Yang mana : Q tot
= kapasitas daya dukung total pondasi tiang
Qe
= daya dukung ujung tiang
Qs
= daya dukung gesek kulit tiang
SF 1 , SF 2 = faktor keamanan menurut Tomlinson diambil ; SF 1 = 2 &
SF 2 = 3.
Kapasitas daya dukung ujung (end bearing) pada pondasi tiang tunggal, sangat tergantung pada jenis tanah yang menjadi lapisan pendukungnya. Beberapa formula empiris yang telah dikembangkan oleh ahli rekayasa pondasi, yang masing-masing tergantung pada jenis tanahnya. Beberapa formula yang telah dikembangkan para ahli pondasi dalam menghitung daya dukung ujung ponasi pada lapisan pendukung tanah kohesif, antara lain :
Proceeding Semiloka
113
(a)
Formula Meyerhoff : Menurut Meyerhoff, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah : Qe = c.Nc’.Ap.
…………………….(2)
Yang mana : Qe c Nc’ Ap (b)
= daya dukung ujung tiang = kohesi pada lapisan tanah pendukung = faktor daya dukung Meyerhoff (modified), Meyerhoff memberi Nc’=9 = Luas penampang tiang.
Formula Terzaghi : Menurut Terzaghi, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah : Qe = q ult .Ap.
…………………….(3)
Yang mana : Qe Ap q ult q ult c q’
= = = = =
daya dukung ujung tiang Luas penampang tiang. daya dukung ultimate yang dihitung dengan persamaan 1,3.c.Nc+q’.Nq kohesi pada lapisan tanah pendukung
= tekanan overburden =
∑(γi.hi )
Nc,Nq = faktor daya dukung Terzaghi. (c)
Formula Tomlinson : Menurut Tomlinson, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah : Qe = c.Nc’.Ap.
…………………….(4)
Yang mana : Qe c Nc’ Ap
= = = =
daya dukung ujung tiang kohesi pada lapisan tanah pendukung faktor daya dukung Terzaghi Luas penampang tiang.
Beberapa formula yang telah dikembangkan para ahli pondasi dalam menghitung daya dukung ujung ponasi pada lapisan pendukung tanah non kohesif ini, antara lain :
(a)
Formula Meyerhoff : Menurut Meyerhoff, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah :
Proceeding Semiloka
114
Untuk
L Lc ≤ ; maka daya dukung ujung tiang, menggunakan persamaan : B B Qe = q’.Nq’.Ap.
Untuk
…………………….(5)
L Lc > ; maka daya dukung ujung tiang, menggunakan persamaan : B B Qe = q’.Nq’.Ap < 50.Nq’.tanφ . Ap
…………………….(6)
Yang mana : Qe q’ Nq’ Ap φ L B
Lc B
= daya dukung ujung tiang = tekanan overburden = = = = = =
∑(γi.hi )
faktor daya dukung Meyerhoff. luas penampang tiang sudut geser dalam pada lapisan pendukung panjang tiang diameter tiang
= angka kedalaman kritis (the critical depth ratio), yang didapatkan
dari grafik bearing capacity factor dari Meyerhoff. (b)
Formula Terzaghi : Menurut Terzaghi, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah : Qe = q ult . Ap
…………………….(7)
Yang mana :
(c)
Qe Ap q ult q ult
= = = =
daya dukung ujung tiang Luas penampang tiang. daya dukung ultimate yang dihitung dengan persamaan q’.Nq.aq + γ.B.Nγ.aγ
q’
= tekanan overburden =
∑(γi.hi )
γ = berat volume tanah pendukung. B = diameter tiang Nq,Nγ = faktor daya dukung Terzaghi. aq, aγ = faktor penampang, Yang selanjutnya dirumuskan : Untuk tiang penampang persegi ; aq = 1,0
dan
aγ = 0,4
Untuk tiang penampang lingkaran; aq = 1,0
dan
aγ = 0,3
Formula Tomlinson : Menurut Tomlinson, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan tanah kohesif, adalah : Qe = q’.Nq’.Ap.
Proceeding Semiloka
…………………….(8)
115
Yang mana : Qe
= daya dukung ujung tiang
q’ Nq Ap
= tekanan overburden =
∑(γi.hi )
= faktor daya dukung Terzaghi. = luas penampang tiang
Beberapa formula yang telah dikembangkan para ahli pondasi dalam menghitung daya dukung ujung ponasi pada lapisan pendukung common soil (tanah bergradasi campuran), antara lain : (a)
Formula Meyerhoff : Menurut Meyerhoff, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan common soil, adalah : Qe = (c.Nc’ + η.q’.Nq’).Ap.
…………………….(9)
Apabila didalam perhitungan beban pada pondasi, diperhitungkan pula “berat sendiri dari material tiang, maka persamaan digunakan adalah : Qe = {c.Nc’ + η.q’.(Nq’-1)}.Ap.
…………………….(3.10)
Yang mana : Qe c
= daya dukung ujung tiang = kohesi lapisan tanah pendukung
q’
= tekanan overburden =
∑(γi.hi )
Nc’,Nq’ = faktor daya dukung Meyerhoff. Ap = luas penampang tiang η = factor koreksi tekanan tanah, yang besarnya dapat dihitung : η (b)
=
(1 + 2.Ko) ; 3
Ko = 1 – sin φ
Formula Tomlinson : Menurut Tomlinson, bahwa kapasitas daya dukung ujung pada tiang tunggal yang berada pada lapisan common soil, adalah :
Qe = (c.Nc+q’.Nq’).Ap.
…………………….(10)
Yang mana : Qe c q’
= daya dukung ujung tiang = kohesi lapisan tanah pendukung = tekanan overburden =
∑(γi.hi )
Nc,Nq = faktor daya dukung Terzaghi. Ap = luas penampang tiang
(c)
Formula Coyle & Castello : Qe = q’.Nq*.Ap.
…………………….(11)
Yang mana :
Proceeding Semiloka
116
Qe c
= daya dukung ujung tiang = kohesi lapisan tanah pendukung
q’
∑(γi.hi )
= tekanan overburden =
Nq*
= faktor daya dukung Coyle & Castello (Grafik).
Sedangkan untuk daya dukung kulit tiang tunggal, beberapa formula yang telah dikembangkan oleh para ahli perancangan pondasi, akan tetapi yang paling banyak dipergunakan di dalam perencanaan selama ini, ada tiga metode, yaitu : (1)
Metode-α (Tomlinson)
(2)
Metode-λ (Vijay Vergiya dan Foct)
(3)
Metode Praktis (menggunakan parameter dari uji lapangan).
Metode-α (Tomlinson) : Metode ini dapat dipergunakan untuk semua jenis tanah yang media tanah yang berinteraksi dengan kulit tiang. Formula Tomlinson ini, dapat didiskripsikan sebagai berikut : (a) Untuk tiang yang berada pada media tanah berbutir halus (c-soil) ; Qs = α.c.As
......................(12)
(b) Untuk tiang yang berada pada media tanah berbutir kasar (φ-soil) ; Qs = Ks.q’.tanδ.As (c)
......................(13)
Untuk tiang yang berada pada media tanah campuran (c-φ-soil) ; Qs = α.c.As + Ks.q’.tanδ.As ......................(14) Yang mana : Qs c q’
= daya dukung gesek kulit tiang = kohesi tanah media tiang = tekanan overburden =
∑(γi.hi )
α = faktor adhesi antara tanah dengan kulit tiang Ks = koefisien tekanan lateral tanah (Ko
Qs =
∫
L
α.c.p.dL +
0
∫
Ks.q’.tanδ.p.dL ......................(15)
0
Yang mana : p = keliling penampang tiang
Proceeding Semiloka
117
&
L = panjang tiang
Tabel-3 : Nilai δ dan Ks (Tomlinson, 1971) Material Tiang
Nilai δ
Besi (baja)
20o
Nilai Ks Dr rendah 0,50
Dr tinggi 1,00
1,10
2,00
1,50
4,00
3 φ 4 2 φ 3
Beton Kayu
Tabel-4 : Nilai faktor adhesi α (Tomlinson, 1971)
Konsistensi Tanah Pasir+Kerikil, terletak di atas tanah kohesif yang kaku s/d sangat kaku Lempung lunak atau lumpur di atas tanah kohesif yang kaku s/d sangat kaku Tanah kohesif yang kaku s/d sangat kaku, dan tebalnya sampai ke lapisan atas
Nilai Penetrasi (NSPT)
Nilai Faktor Adhesi (α)
< 20 blow/ft
1,25
> 20 blow/ft
---
8 – 20 blow/ft
0,40
> 20 blow/ft
---
8 – 20 blow/ft
0,50
> 20 blow/ft
---
Apabila Ks diambil mendekati nilai Ko, maka nilai Ko dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : Ko = (1 – sin φ) .
......................(16)
OCR
Yang mana : Ko
= koefisien tekanan lateral tanah media
φ
= sudut geser dalam tanah media
OCR
= over consolidated ratio =
qc
= tekanan pra-konsolidasi tanah.
qo
= overburden pressure tanah media = γ.h
qc qo
Persamaan Tomlinson ini, pada tahun 1978 dimodifikasi oleh Broms, dengan memberikan faktor koreksi pada komponen tahanan gesek dari kontribusi sudut geser dalam (φ). Formula yang ditawarkan Broms adalah sebagai berikut : Qs = α.c.As + ½ .Ks.q’.tanδ.As ......................(17)
Proceeding Semiloka
118
III. METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis dan obyektif mengenai bentuk existing dari sistem konstruksi tiang/kaki rumah tradisional suku Tobadij. Kemudian selanjutnya dielaborasi kelemahan dan kelebihan tersebut, sekaligus akan dijabarkan usulan sistem konstruksi yang memiliki potensi kekokohan dan nilai estetika yang lebih baik dan tetap relevan dengan nilai-nilai kultur masyarakat suku Tobadij. Selanjutnya untuk menghasilkan data tentang karaktersitik teknis dari elemen tiang/kaki rumah tradisional suku Tobadij, dilakukan pengujian Laboratorium terhadap material kayu local endemic yang oleh masyarakat setempat disebut kayu SWAN. Uraian terhadap karakteristik teknis ini didiskripsikan dalam bentuk tabulasi dari hasil analisis statistik terhadap hasil pengujian laboratorium.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil interview dengan beberapa sesepuh kampung Tobati, kayu Batu, dan kampung Kayu Pulau, informasi yang didapatkan bahwa seratus persen, digunakan jenis kayu SWAN sebagai tiang/kaki rumah di atas laut. Kondisi semacam ini telah berlangsung ratusan tahun, sebagai suatu pengetahuan masyarakat (local genius), yang membuktikan pada mereka bahwa hanya kayu SWAN yang bisa bertahan puluhan tahun, bahkan dapat diwariskan kepada beberapa generasi sebagai tiang/kaki rumah di atas laut. Melalui pengujian di laboratorium, dihasilkan parameter karaktersitik dari kayu SWAN tersebut sebagai berikut : Tabel-5 : Parameter Fisis dan Teknis Kayu SWAN & Batasan Kayu Kelas-1 No 1 2 3 4 5 6
Parameter Berat Jenis Absorpsi Kuat Tarik Kuat Tekan Kuat Geser Kuat Lentur
Nilai Uji Konversi Laboratorium 1,21 gr/cm3 1.210 kg/m3 12,50 % 2 64,50 N/mm 657,49 kg/cm2 66,72 N/mm2 680,12 kg/cm2 2 15,50 N/mm 158 kg/cm2 125,50 N/mm2 1279,31 kg/cm2
Batasan Keterangan Kayu Kls-I tenggelam ≥ 900 kg/m3 durability tinggi ≥ 650 kg/m2 σ tr-izin =130kg/cm2 ≥ 650 kg/m2 σ tk-izin =40 kg/cm2 ≥ 125 kg/m2 τ izin = 20 kg/cm2 ≥1100 kg/m2 σ lt-izin =150kg/cm2
Dari diskripsi hasil pengujian laboratorium di atas, ternyata jenis kayu SWAN memang sangat tepat untuk dipergunakan sebagai kaki rumah yang dibangun di atas perairan. Sebagai justifikasi atas pilihan jenis kayu ini, berikut akan diuraikan tentang keunikan dan kekhasan dari kayu SWAN sebagai berikut : (1) Absorpsi Rendah ; angka absorpsi 12,5% menunjukkan bahwa kandungan air dalam kayu SWAN yang terendam terus menerus sangat kecil, sehingga proses pelapukannya berjalan lambat dibandingkan dengan jenis kayu lain. Keadaan ini dimungkinkan karena kerapatan dan kekerasan serat kayu SWAN cukup tinggi, sehingga pori-porinya relative kecil. (2) Berat Jenis Besar ; angka unit weight 1,210 kg/cm3 cukup besar untuk jenis material kayu, dan ternyata ini menjadi salah satu keunggulan kayu SWAN sehingga eksistensinya cukup stabil dipergunakan sebagai tiang yang tertanam ke dalam dasar laut, dengan lapisan tanah berkonsistensi lempung kelanauan. Disamping itu akibat berat jenis kayu SWAN yang cukup
Proceeding Semiloka
119
besar ini, juga menyebabkannya tidak terlalu terpengaruh dengan impact arus dan gelombang yang terjadi setiap hari di wilayah perairan. (3) Kekuatan (Strength) Tinggi ; kekuatan-kekuatan tarik, tekan, geser dan lentur yang dimiliki oleh kayu SWAN secara komprehensif semuanya berada di atas range yang ditentukan untuk jenis Kayu Kelas I. Dengan demikian dapat diterima secara rasional bila kayu SWAN dengan diameter yang relative kecil mampu memikul beban superstructure dari rumah berkonstruksi kayu yang dibangun di atas perairan. Di balik sekian banyak keunikan (kelebihan) kayu SWAN, masyarakat suku laut di kawasan Jayapura menggunakannya dengan sistem konstruksi yang sangat sederhana. Hal ini dapat kita lihat pada gambar rumah tradisional suku Tobadij di bawah ini.
Gambar-3 : Bentuk Konstruksi Kaki Rumah Suku Tobadij, tersambung gelagar dengan mekanisme ROL. Pada gambar di atas terlihat jelas bahwa sambungan antara kaki dengan gelagar utama adalah ROL, yang mana gelagar hanya diletakkan bebas di atas pencabangan/alur kayu SWAN tanpa pengikat. Kondisi ini cukup menakjubkan karena goncangan di atas rumah suku Tobadij relative kecil dan tidak mengganggu kenyamanan penghuninya. Menurut penulis ada tiga faktor penyebab kestabilan struktur yang sederhana ini, yakni : 1. Lokasi permukiman suku Tobadij (pada umumnya suku-suku laut di wilayah Jayapura) cukup terlindung di dalam teluk yang berliku, sehingga wilayah perairannya relative aman dari gelombang dan arus, maupun angin. 2. Tiang/kaki rumah dari bahan kayu bulat, sehingga pergerakan arus air laut tidak memberikan move impact yang significant terhadap tiang rumah. 3. Karakteristik berat jenis kayu SWAN yang lebih besar dari berat jenis air laut, mengakibatkan gaya apung (uplift) terhadap tiang/kaki rumah tidak dapat mencabut tiang rumah. Disamping keunggulan kayu SWAN sebagai tiang rumah mereka, kondisi tanah pada dasar laut di sekitar wilayah Jayapura juga cukup mendukung. Berdasarkan observasi di wilayah teluk Youtefa, teluk Kayu Pulau dan teluk Kayu Batu, lapisan tanah dasar laut adalah jenis Marine Silty Clay.
Proceeding Semiloka
120
Gambar-4 : Sample Marine Silty Clay
Karaktersitik teknis dari jenis lempung laut kelanauan semacam ini, memiliki kohesi yang cukup besar sehingga dapat memobilisasi skin friction yang memadai pada tiang. Disamping itu kepadatan alami (relative density) relatif besar pula, sehingga konsistensi daya dukung tanah cukup memadai untuk memikul beban-beban yang ringan. Dengan sifat tanah dasar semacam ini, maka stabilitas (daya dukung & deformasi) tiang yang tertanam ke dalam dasar laut cukup baik. Akan tetapi kondisi stabil semacam ini belum dapat dijamin bila digunakan tiang beton konvensional, karena beberapa jembatan kompleks di kawasan tersebut yang menggunakan beton pracetak berpenampang persegi, mengalami deformasi yang besar, dan bahwa bangunan balai pertemuan suku Engros yang menggunakan tiang beton rubuh (total failure) ketiga menerima arus Tsunami Jepang 2011 yang lalu. Kegagalan penggunaan beton konvensional sebagai tiang/kaki bangunan di wilayah Jayapura selama ini, menurut hemat penulis disebabkan tiga faktor, yakni : 1. 2. 3.
Berat sendiri (body force) yang cukup besar dan melampaui daya dukung tanah dasar, sehingga terjadi deformasi jangka panjang (long term deformation). Penampang beton persegi, yang memungkinkan impact arus terhadap tiang cukup significant, yang mengakibatkan terjadinya lateral deflection pada tiang. Pembuatan beton pracetak yang kurang bermutu, sehingga permukaan beton porous, sehingga mempercepat proses korosi pada tulangan beton.
Keunggulan penggunaan kayu SWAN sebagai elemen tiang atau kaki pada rumah di perairan Jayapura, sudah dapat dibenarkan secara ilmiah dan sudah dibuktikan dengan pengalaman beberapa suku laut di kawasan tersebut. Akan tetapi secara rasional pemanfaatan jenis kayu ini dalam jangka panjang tidak dapat berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yakni : 1. 2.
Species kayu SWAN saat ini hanya tumbuh di kawasan Cagar Alam Cycloop (tumbuhan endemic), yang secara hukum sudah berstatus tanaman dilindungi sejak tahun 1987. Masa pertumbuhan kayu SWAN cukup lama, karena dibutuhkan waktu pertumbuhan minimal 50 tahun sebelum layak tebang, sehingga cukup sulit bila dibudidayakan oleh masyarakat guna kepentingan bahan ramuan rumah.
Proceeding Semiloka
121
Melihat kendala yang menghadang dan menyulitkan masyarakat setempat untuk pengadaan bahan tiang rumah di atas perairan yang memiliki kehandalan dan keawetan yang baik, maka sangat diperlukan inovasi dan rekayasa material tiang buatan sebagai alternative bahan pengganti kayu SWAN. Material buatan tersebut harus memiliki karakteristik yang hampir sama dengan kayu SWAN, karena akan dipergunakan di tempat dan kondisi yang sama yaitu zona perairan Jayapura. Sifat dan karakteristik yang dituntut dapat dimiliki oleh material buatan tersebut, antara lain : 1. Memiliki berat jenis sekitar 1,2 sampai 1,4 ton/m3 ; hal ini diperlukan untuk menghindarkan deformasi jangka panjang yang terjadi akibat ketidakmampuan lapisan tanah dasar mendukung berat sendiri dari tiang serta beban-beban dari superstruktur yang ada. 2. Penampang tiang berbentuk bulat ; hal ini diperlukan agar gaya arus/gelombang air laut tidak akan memberikan impact yang significant untuk mengganggu kenyamanan hunian pada rumah di atas laut.s 3. Permukaan tiang harus kedap air ; hal ini diperlukan untuk menghindarkan infiltrasi air ke dalam material tiang sehingga dapat merusak material reinforcement di dalam tiang tersebut. 4. Penggunaan reinforcement dari material non-logam ; hal ini diperlukan untuk menghindarkan terjadinya korosi pada tiang. 5. Bentuk elemen tiang disesuaikan dengan kaidah konstruksi yang benar ; hal ini diperlukan agar struktur sambungan tiang dengan gelagar rumah lebih kokoh. Dengan mengacu pada tuntutan karakteristik material buatan untuk bahan alternative tiang/kaki rumah di atas perairan, maka penulis telah merancang material tiang buatan dari beton beton berlubang berdimensi kecil, yang diberi nama “micropiles hole concrete”. Material ini terdiri atas permukaan dalam dari PPV yang membentuk hole di tengah penampang, kemudian dibalut dengan ram dari bahan plastic, dan dibungkus dengan mortar beton pada bagian terluar. Pembuatan tiang ini dilakukan secara manual dengan bantuan alat cetak manual sentrifugal, yang diputar hingga beton dalam cetakan padat. Untuk memperjelas ide material buatan serta sistem penyambungannya dengan struktur atas bangunan rumah di atas perairan, berikut ini ditunjukkan gambar sebagai berikut :
Gambar-5 : Elemen Tiang, Topi Tiang & Gelagar
Proceeding Semiloka
122
Gambar-6 : Bentuk Sambungan Tiang, Topi Tiang & Gelagar
Gambar-7 : Formasi Tiang dan Sambungan Gelagar
Proceeding Semiloka
123
V.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis ilmiah yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Perlu ditemukan suatu material buatan yang dapat menjadi alternative pilihan masyarakat yang bermukim di atas perairan di wilayah Jayapura, untuk menggantikan material kayu SWAN yang sudah seharusnya dilindungi sebagai tumbuhan endemic kawasan Cagar Alam Nasional Cycloop. Oleh karena itu maka melalui tulisan ini, penulis merasa perlu untuk menyarankan dan merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap gagasan material buatan yang telah diajukan oleh penulis di atas. Sehingga dapat dihasilkan solusi material pengganti kayu SWAN yang sulit untuk dipertahankan penggunaannya. 2. Perlu dirumuskan peraturan daerah (propinsi), untuk menjabarkan dan mengoperasionalkan Kepmen Kehutanan RI Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 , yang content dan subtansinya harus disesuaikan dengan keadaan alam Cagar Alam Nasional Cycloop, serta kultur dan kebiasaan masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut.
Proceeding Semiloka
124
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Ringkasan Kawasan, Pengalaman Pengelolaan dan Hambatannya. WWF-Indonesia Region Sahul, Jayapura. Anonim, 2007. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Cycloop. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Jayapura. Anonim, 2008. Kajian Teknis Keadaan Sosial Ekonomi dan Ekologi Rehabilitasi Kawasan Konservasi Cagar Alam Cyclop. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Jayapura. Blaang, Djemabut. Desember 1986. Perumahan dan Permukiman, Obor Indonesia. Budi A. Sukada. 1989. Memahami Arsitektur Tradisional dengan Pendekatan Tipologi Cernica Jhon. 1995. Geotechnical Engineering & Foundation Design. Jhon Wiley & Sons. Daryanto. 2010. Konstruksi Kayu. Penerbit Satu Nusa. Darwis. 1990. Studi Pengaruh Formasi Tiang Terhadap Daya Dukung Dan Penurunan Pondasi Kelompok Tiang. Thesis Master Of Science Degree, Institut Teknologi Bandung. Darwis. 1991. Studi Pengaruh Kemiringan Tiang Terhadap Daya Dukung Lateral Pada Pondasi Tiang. Penelitian Model Test pada Laboratorium Mekanika Tanah Universitas 45 Makassar. Darwis. 1992. Kombinasi Efektip Antara Beban Vertikal Dan Beban Lateral Pada Pondasi Tiang Tunggal. Penelitian Model Test pada Laboratorium Mekanika Tanah Universitas 45 Makassar. Heinz Frick et.al. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu. Suryapranata University Press – Semarang. Kafiar, A. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebuyaan Daerah. Jakarta. Kapisa, N. 2007. Kondisi Terkini Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan Danau Sentani Berdasarkan Citra Landsat Terkini (Materi disampaikan pada Sosialisasi dan Evaluasi Pelestarian CA Cycloop dan Danau Sentani tanggal 25 Juli 2007). Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua, Jayapura. Kramadibrata Soedjono. 2002. Perencanaan Pelabuhan, Penerbit ITB. Marc-Antonie Laugier. 1753. dalam Essai sur L’ Archirecture. Muhadjir. 2002. Pendekatan phenomenologi bersifat holistik. Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Paembonan, S. 2008. Jayapura.
Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS Sentani Provinsi Papua,
Pika. 1981. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Penerbit Yayasan Kanisius Semarang. Roger G.Barry & Richard J.Chorley, 1992. Atmosphere, Weather and Climate, Routledge. Sapulette, E. 2007. DAS Sentani Kondisi Kini dan Arahan Pengelolaannya (Materi disampaikan pada Sosialisasi dan Evaluasi Pelestarian CA Cycloop dan Danau Sentani tanggal 25 Juli 2007). Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungau Mamberamo, Jayapura. Salim, Agus. 2001. Basis Kepercayaan Utama Dari Sistem Berfikir (Ontologi, Epistemologi dan Metodologi). Suteliffe R., PhD, 1998. Meteorology for Aviators, Routledge. Sugiarto, A. 2005. Kajian Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia. Bandung. Triatmodjo Bambang. 1999. Teknik Pantai, Cetakan Pertama – Beta Offset. USDA, 1999. Handbook Wood (wood as an engineering material), Forest Rervice.
Proceeding Semiloka
125
NOTULENSI “Pengaturan Bangunan dan Lingkungan Perumahan Tradisional Melalui Konservasi, Revitalisasi, dan Preservasi serta Peningkatan Kualitas Lingkungan” Hari Selasa, 18 Oktober 2011 Topik : Identifikasi Bangunan Dan Lingkungan Perumahan Tradisional Indonesia Makalah : Jasmihul Ashary : Eksistensi Lingkungan Permukiman Rumah Tradisional Nsuku Tobadij Di Permukiman Teluk youtefa ada suku tobadji, suku engross, suku hai. Suku tobadji adalah suku induknya. Terjadi perubahan pola permukiman dari saat jaman perang hingga kini. Pola permukiman linear yang ada sekarang cukup efisien karena dengan satu lajur jeramba dapat digunakan oleh dua deret rumah. Muhamad Yunus : Investigasi Perilaku Tiang Penopang (Sub Struktur) Rumah Tradisional Bajo Dari Pengaruh Lingkungan Laut Metode yang digunakan yaitu mengidentifikasi perilaku material dan perilaku dinamik struktur. Hasil investigasi lapangan dan uji laboratorium menunjukkan bahwa kayu pingsan mempunyai kualitas kekuatan dan ketahanan yang sangat baik pada lingkungan laut. Penggunaan kayu tersebut sebagai elemen tiang penyokong yang terpisah dengan badan rumah memberikan dampak positif, berupa respon struktur yang fleksibel terhadap getaran sehingga mempunyai kemampuan menyerap energI yang besar. Endratno Budi : Pola Permukiman Desa Petungsewu Dalam sebuah konteks pola permukiman, ada suatu penghormatan terhadap adanya suatu proses kelahiran dan kematian. Jika suatu konsep antara agama/kepercayaan dengan budaya bercampur menjadi satu dalam hal membentuk suatu konsep ruang, maka akan terjadi perubahan unsur asli. Lia Yulia Iriani : Organisasi Masyarakat Adat Pada Pelestarian Rumah Tradisional Suku Talang Mamak Di Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau Tujuan dalam penelitian ini adalah mengkaji pengaruh sistem pemerintahan adat tradisional masyarakat Suku Talang Mamak terhadap ketentuan disain rumah dan pola ruang yang merupakan satu kesatuan dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Terdapat satu peruntukan ruang yang dikhususkan untuk anak gadis yang belum menikah. Dan semua masyarakat menurutinya (adat pola ruang dalam rumah tinggal mereka) karena yang paling mereka takutkan adalah dikucilkan oleh masyarakat. Diskusi : Pertanyaan dari : Pak Made Gede Sudarsana, Kabid pengkajian dan pengembangan Dinas PU Propinsi Bali: Terkait identifikasi perumahan tradisional, 1 mengutip tentang struktur, dan tiga lainnya tentang pola ruang. Mari kita samakan persepsi mengenai identifikasi perumahan tradisional, seperti : Dibuat semacam matrik :
Proceeding Semiloka
156
Identifikasi fisik : sistem struktur Identifikasi non fisik :social (jumlah penduduk, tipologi social), pola ruang, orientasi, Terkait dengan pak endratno, perlu kehati-hatian dalam menyebutkan animism atau dinamisme. Karena kita percaya pada satu tuhan dan tidak mengenal animism. Armini, Balai Pelestarian Sejarah : Kami perlu mengkritik untuk panitia agar memberikan kepada kami kopian makalah seminar ini. Kami beberapa kali meneliti desa2 tradisional. Satu masalah yang selalu menghambat adalah masalah sanitasi. Yang kurang adalah JALIR (jalan,lingkungan dan air). Sekarang, pihak departemen PU yang terkait dengan pengaturan pola permukiman sebaiknya diaplikasikan ke daerah2 tradisional yang masih terbatas mengenai sarana dan prasarana. Beberapa Buku referensi yang beredar di masyarakat, data tahunnya terlambat Wayan Sudarma, Balai Pelestarian Sejarah : Arsitektur tradisional kami gali di daereh2 meskipun basic kami bukan dari arsitek. Bertanya thp pak endratno; yang lebih banyak disoroti adalah kajian nilainya, masalah kepercayaannya. Sedangkan dalam membangun sebuah rumah terlebih di bali ini, pembangunan rumah atau pola rumah, bukan berdasarkan kepercayaan, melainkan menggunakan konsep2 seperti konsep tri hita karana. Kepada ibu lia; yang disampaikan adalah bentuk2 rumah, dan desainnya. Apakah disana ada ketentuan2 atau hukum2 jika melanggar aturan tersebut Pak Ida Bagus Suta : Masukan Mengenai matrik ; 1. Orientasi wilayah 2. Masalah kebudayaan (7 unsur kebudayaan) – agama, religi, bahasa ,dsb 3. Pola desa 4. Arsitektur secara umum, baik bentuk,denah, tampak, dsb 5. Konstruksi 6. Ornament 7. Prosesi (upacaranya) 8. Sanksi (terhadap point2 diatas) Dari hal diatas akan ditemukan karakteristiknya.
Jawaban/Tanggapan dari penulis atas pertanyaan di atas: Ibu lia : Ruang khusus bagi gadis yang belum menikah, jika ada yang melanggar baik terhadap desain maupun ukuran ruangan tersebut, maka akan dijatuhi hukuman oleh monti (setingkat RT/RW) yang sebelumnya dinasehati dulu oleh tetua adat. Aturannya dibuat melalui proses musyarawah. Tidak ada peraturan yang tertulis, hanya ada aturan dari pemuka adat saja.
Proceeding Semiloka
157
Pak endratno : jika ada salah interprestasi, mohon dimaafkan. Penelitian ini lebih focus pada kajian nilai. Jadi yang saya angkat hanyalah sesuatu yang dilihat sangat signifikan, dan kebetulan pada desa tersebut, hal yang sangat mencolok adalah pada faktor kepercayaan. Dan untuk aturan2 mengenai konsep dan desain ruang, 90 % menggunakan konsep pada primbon. Dalam primbon ini nantinya akan menghasilkan banyak sekali varian2 karena tergantung terhadap hari lahir pemilik rumah, Pak yunus : kami meneliti khusus pada identifikasi bagian struktur karena basic kami adalah sipil. Kesimpulan : 1. Perlu dibuatkan konsep mengenai identifikasi bangunan dan lingkungan,. -
Konsep fisik : struktur, material bangunan
-
Konsep non fisik : social, pola ruang, orientasi
2. Aturan-aturan yang dihasilkan dari seminar ini (mengenai peraturan2 terhadap desain bangunan dan permukiman) perlu diaplikasikan pada desa2 tradisional terlebih pada desa tradisional yang masih memerlukan sarana dan prasarana penunjang permukiman. 3. Perlu ada aturan tertulis terhadap konsep dalam sistem perumahan.
Topik : Pengalaman, Strategi ataupun Rencana Tindak dalam Pelestarian (Konservasi, Revitalisasi dan Preservasi) Bangunan dan Lingkungan Perumahan Tradisional di Indonesia Makalah : -
-
Pt Ayu Utari Phartami Lestari: Parameter-Parameter yang Berpengaruh pada Upaya Pelestarian Komponen Perumahan Tradisional (Kajian Literatur: Revitalisasi Lingkungan Permukiman Tradisional 2005) Desa Pt Damayanthi : Analisis Tingkat Perubahan Bangunan Tradisional Sebagai Dasar Tindak Penanganan Pelestarian (Studi kasus : Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan) Aris Prihandono: Adaptasi Ekologis Perumahan Tradisional Di Kawasan Timur Indonesia St. Hadijah Sultan : Fleksibilitas Sistem Sambungan Struktur Rumah Tongkonan Upaya Preventif adalam Menerima Gaya Gempa.
Diskusi : Prof Runa : Kepada pak Aris : Sebaiknya tidak hanya memaparkan adaptasi ekologis bangunan tradisional saja, namun juga memaparkan kekinian atau perubahan yang terjadi pada Arsitektur tradisional juga. Pak Aris : Perubahan atau kekinian pada bangunan tradisional contohnya pergantian material organik menjadi seng yang berdampak pada kenyamanan termal dan berubahnya gaya-gaya yang berpengaruh pada bangunan. Di bajo, jika ada perubahan material dan bentuk atap maka bila terjadai badai besar, yang akan roboh terlebih dahulu bukan bagian bawahnya melainkan bagian atap.
Proceeding Semiloka
158
Pak Agus : Melanjutkan pertanyaan moderator. Di lombok Timur juga banyak ada Suku Bajo, ada kasus atau trend pemerintahan kurang peka dan umumnya mengeneralisasi arsitektur tradisional, contohnya ingin memukimkan perumahan tradisional di laut ke daratan. Sejauh mana informasi yang ada mengenai peran pemerintah dalam kasus seperti itu?? Atau hal-hal perubahan yang disebabkan pemerintah? Pak. Aksa (Sulawesi Tengah): Di daerah kami ada enam rumah tradisional yang akan direkonstruksi kembali. Apakah ada kemungkinan bapak/ibu meneliti di wilayah Sulawesi Tengah tersebut dan apakah ada bantuan pemeliharaan? Pak Aris : Penelitian yang kami lakukan terdiri dari 3 tahap yaitu identifikasi permasalahan, permodelan, dan protipe skala penuh, termasuk rumah di suku Bajo tanpa merubah ekologi mereka. Masalah yang kini dihadapi di permukiman suku Bajo adalah masalah kekumuhan yang menyebabkan terhambatnya terumbu karang hidup. Terbatasnya waktu penelitian, 1 obyek memerlukan waktu ± 4 tahun jadi perlu bergiliran pada waktu pengerjaan juga dana. Bu Hadijah : Berhubung teman saya yang lebih detil membahas tentang struktur tidak diruangan ini maka saya tidak memberikan jawaban. Dama: Peran pemerintah berbeda-beda disetiap bidang, berbeda mind set, dan tergantung pimpinan yang menjabat saat itu. Peran pemerintah yang merugikan contohnya di salah satu permukiman di Lombok, masuknya bantuan PNPM pada perkerasan jalan, adanya pergantian atap tradisional menjadi seng membuat wisatawan asing tidak datang berkunjung lagi ke desa tersebut, dan hal itu merugikan masyarakat desa. Ayu: Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil inventarisasi oleh pemerintah, jadi hasilnya merupakan hasil penelitian versi pemerintah. Pak Aryan (Sulawesi Tengah) : Semua bangunan di Bali ada perdanya. Bisakah dibuat perda yang mengatur tentang bangunan, misalnya boleh menggunakan atap beton tapi tetap eksteriornya diselimuti oleh ijuk atau alangt-alang supaya tradisionalnya kelihatan? Ibu Angela : Bangunan tradisonal biasanya menggunakan bahan bangunan tradisional yabf semakin langka. Apakah bisa pemerintah membuat material penggati bangunan tradisional namun yang tidak memberikan efek negatif? Dama : Kembali lagi pada pandangan siapa saja, rasa siapa saja sehingga masih menungkinkan untuk diperdakan. Perda muncul karena keinginan masyarakatnya sendiri misal Hal Ulayat masyarakat Badui yang ingin mempertahankan wilayahnya dan ketradisionalannya. Balik lagi melihat kebutuhan perda
Proceeding Semiloka
159
apakah dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tersebut? Banyak aspek yang harus ditinjau untuk membuat perda seperti itu dan kebutuhannya perlu sejauh mana. Pak Aris : Yang dipertahankan tidak hanya fisik tapi juga nilai-nilai ketradisionalannya, contoh boleh menggunakan bahan yang lebih tipis namun tetap nyaman. Kesimpulan : 1) Penelitian secara teks yang terkait dengan bangunan tradisional sangat penting sekali, apakah teks tersebut masih bisa dipergunakan lagi atau tidak, karena itu sebagai salah satu kearifan nusantara yang kita miliki. 2) Kearifan tradisional sangat memperhatikan ekologi lingkungan namun terkait perkembangan zaman ada hal-hal yang perlu disesuaikan karena sega;a sesuatu tidak bisa tetap, tapi yang tetap adalah perubahan. 3) Sebaiknya perda mengenai bangunan tradisional dibuat sesuai dengan kondisi daerah masingmasing.
Topik : Pengalaman, Strategi, ataupun Rencana Tindak dalam Peningkatan Kualitas Bangunan dan Lingkungan Perumahan Tradisional di Indonesia Makalah :
Agung Murti Nugroho : Identifikasi dan Pengembangan Dinding Tanggap Iklim pada Rumah Tradisional Indonesia. Identification and Development of Climate Responsive Wall Based on tradisional for counterporer house Menguraikan materi tentang dinding dan dinding pintar (dinding yang bisa bernafas)
Darwis, Djasmihul Ashary : Kelangsungan (Sustainability) Elemen Kaki Rumah SukuSuku Laut di Wilayah Jayapura Kayu Swan Tanaman Endemik Cagar Alam Cycloop Menguraiakan elemen kaki dari kayu swam(memiliki keistimewaan bisa bertahan sampai 3 s/d 4 generasi sampai atau 50 - 100 th) pada bangunan tradisional suku laut di jayapura Pembangunan rumah harus mengikuti kearifan lokal – upacara dan lainnya. Kayu swam sudah jarang dan susah didapat => diperlukan kayu pengganti Perlu ditemukan suatu bahan alternatif pengganti yang diperlukan masyarakat untuk membangun rumah tradisional.
Muhajirin : Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Tradisional Bidang Pekerjaan Umum Terbatasnya pelayanan umum , sarana dan prasarana dalam masyarakat desa tradisional terutama tempat pembuangan sampah dan drainase.
Proceeding Semiloka
160
Rusli, Dedi Kusmawan, Iwan Suprijanto : Prospek Pengambangan Produk Bebak komposit pada Aplikasi Rumah Tradisional NTT Pohon gewang => daun sebagai atap rumah, pelapah gewang sebagai dinding, dan pohon sebagai bahan komponen struktur rumah. Peningkatan kualitas dilakukan pada pelapah gewang menjadi pelepah gewang laminasi sebagai komponen dinding (terlebih dahulu dilakukan pemipihan pelepah). Perlu dilakukan sosialisai lebih lanjut untuk pengembangan bebak
Diskusi : Pak Galih (pertanyaan) : Bagaimana kalau teknologi dengan bahan tradisonal itu akan ditinggalkan oleh masyarakat , karena masyarakat sekarang lebih suka pada beton dan kaca yang dianggap lebih canggih? Ibu Nurul (pertanyaan) : Hawwa di Wogo dingin => apakah sudah disesuaikan pada simulasi (rumah-rumah perumnas)? Pak Aswin (masukan) : Peningkatan sarana dan prasarana di desa tenganan mungkin akan diperluas ke daerah selatan karena harus mengikuti tata aturan yang ada di desa desa tersebut. Pak Darwis (jawaban) : Agar teknologi masyarakat tetap mau menerima teknologi tradisional tersebut harus lebih berteknologi => diperlukan pemahaman untuk merubah main set / pola pikir kepada masyarakat. Pak Murti (jawaban) : Ada dua model dinding bangunan => Aktif puring dan pasif puring
Proceeding Semiloka
161
NOTULENSI “Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Bali berbasis Green Building dan Adaptasi Perubahan Iklim” Hari Rabu, 19 Oktober 2011
Topik : Implementasi Persyaratan Arsitektur Tradisional Bali (Kondisi Ideal) Rangkuman Hasil : 1. Perda 2,3,4 tahun 1974 mengamanatkan untuk ditindak lanjuti dengan peraturan yang lebih bersifat teknis atau aturan pelaksana 2. Perda No 5 tahun 2005 merupakan pengejawantahan dari UU no 28 tahun 2002, yang masih perlu dilengkapi dengan peraturan pendukung lainnya 3. Perda No.5 Tahun 2005, Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gdung, memuat hal-hal yang bersifat normatif 4. Review perlu dilakukan untuk mengantisipasi isu perubahan iklim dan mitigasi bencana, dan kondisi kekinian 5. Penerapan prinsip ATB (Arsitektur Tradisional Bali) acuan normatif seperti lontar asta bumi, asta kosala kosali, sebagai pembentuk karakter bangunan di Bali 6. Penerapan prinsip: a. Tata ruang b. Tata letak c.
Bentuk bangunan
d. Bentuk struktur e. Utilitas dan ergonomi f.
Ornamen dan bahan
7. Pada perda 5 tahun 2005, tidak mencantumkan sanksi, sehingga dalam perda ATB (Arsitektur Tradisional Bali) di masing-masing Kabupaten-kota sebaiknya bersifat lebih aplikatif dan detail, termasuk didalamnya memuat tentang sanksi 8. Pertimbangan untuk bangunan khusus, berkaitan dengan mitigasi bencana, tidak sematamata hanya masalah ketinggian, namun berkaitan dengan hal lain seperti early warning, dan sistem pendukung lainnya 9. Bangunan pemerintahan dapat menjadi percontohan bagi penerapan prinsip dan kaidah ATB (Arsitektur Tradisional Bali)
Proceeding Semiloka
162
Topik : Aktualisasi Persyaratan Arsitektur Tradisional Bali (Fakta di Lapangan) Rangkuman Hasil : 1. Kondisi Arsitektur di Bali saat ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman, baik pengaruh alam, lingkungan, perubahan iklim maupun pelaku di dalam pembangunan arsitekturnya. 2. Kondisi arsitektur di Bali saat ini dapat dikatagorikan ke dalam wujud arsitektur untuk ibadah, fungsi sosial, fungsi perumahan 3. Dari pemahaman masyarakat, ada yang mengikuti aturan tradisional Bali dan banyak yang tidak mematuhi aturan-aturan yang ada (pelanggaran-pelanggaran) 4. Pelangraran-pelanggaran ini dapat dilihat dari perwujudan, pelaku dan aturan yang ada, terjadi pelanggaran yang sifatnya sakral ditempatkan pada bangunan fungsi profan 5. Dari pelanggaran perwujudan arsitektur cenderung terjadi pada fungsi publik (umum) dan fungsi perumahan yang tidak sesuai dengan pedoman arsitektur tradisional Bali, peraturan pemerintah (UU Bangunan Gedung No 28 Tahun 2002 dan Perda No 5 Tahun 2005) 6. Pelanggaran yang terjadi, akibat dari : •
Belum adanya pedoman yang detail/ standar minimal tentang wujud gaya arsitektur tradisional Bali (Building Codes)
•
Belum semua masyarakat memahami tentang wujud gaya arsitektur tradisional Bali
•
Kurang tegasnya sanksi terhadap pelanggaran
Rekomendasi : 1. Perlu adanya pedoman teknis terkait dengan gaya arsitektur tradisional Bali yang memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) 2. Perlunya pengawasan yang melibatkan pihak sampai pada tingkatan desa adat 3. Pemberian sanksi kepada pelanggar yang tegas dan pemberian reward kepada pihak yang mematuhi aturan 4. Perlu ketentuan lebih detai yang berkaitan dengan arsitektur warisan (pusaka budaya)
Topik : Restorasi Persyaratan Arsitektur Tradisional Bali dengan Konsep Green Building (Alternatif Penyempurnaan) Rangkuman Hasil : 1. Perlu dirumuskan prinsip prinsip Green Building versi Bali berbasis genius loci 2. Prinsip prinsip Green Building versi Bali dapat mengadopsi prinsip dalam tri hita karana, kosmologi ala bali dipadukan dengan prinsip yang berlaku secara universal 3. Di dalam perda perlu dipertimbangkan untuk membahas: a. Penghargaan terhadap potensi site (pemanfaatan air tanah, pemannfaatan lahan, dll) b. Minimalisir dampak negatif terhadap site dan lingkunganya c.
Pemanfaatan energi (tingkat konsumsi energi)
Proceeding Semiloka
163
d. Metode pembangunan (termasuk pengelolaan site) e. Siklus ekologi di dalam gedung
Rekomendasi : •
Pembahasan lebih lanjut terhadap konsep green building versi bali sesuai dengan konteks iklim, budaya, sosial, setempat
•
Review terhadap perda dalam kaitan penerapan prinsip green building
Proceeding Semiloka
164