KATA PENGANTAR ا ا ا Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa Rahmat dan Inayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Shalawat beriringan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, yang diutus membawa misi islam keseluruh pelosok dunia sampai akhirat. Selanjutnya menyadari bahwa penulis skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku sekertaris Jurusan Siyasah Syar’iyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam penyelesaian skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi.
3.
Yang terhormat Bapak Drs. Muharrom dan Bapak Atep Abdurrofiq. M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
i
4.
Segenap pengurus Perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya.
5.
Yang teristimewa pengorbanannya Mama dan Mimi tercinta selaku orang tua yang telah memberikan segalanya baik formil maupun materil serta do’anya tanpa balas jasanya sampai penulis menyelesaikan masa studi S1.
6.
Kakak-kakak tersayang ka’ Iis, ka’ Puad dan kakak ipar kak Mukhlis dan Mba Nuri dan adik-adik tercinta Ikhwan dan Amri, keponakan yang lucu Dihya dan Emil, Nasihat dan Do’a kepada penulis.
7.
Teman-teman Aliansi SS 2004 yang Penulis banggakan: H. Asep yang kalau ngomong ngenakin, Bauk El-Marshush sang pujangga, Heri yang kekedik aja kaya bang Oting, Joko orang jawa yang paling lucu, Arman kalo kena kasur langsung pules, Jaki yang seneng main Musik, mbah bocah tua nakal, Arul,Rini,Atul, Urwah, Santi, Putri, Jejen, Ajay Si anak hilang, Syarif Marawis yang selalu mendampingi dan memberikan semangat, ketika penulis di puncak keputusasaan sampai penulis bangkit untuk menyelesaikan skripsi ini.
8.
Teman-teman IKTIMAL, MAZOEL 98’, THE Juki Community dan semuanya, terimakasih atas semua kebaikan,keceriaan, dan kebersamaan selama ini. “TakKan Ku Lupakan Jasa Pengorbananmu Semua”.
9.
Keluarga besar jama’ah Majelis Ta’lim Miftahul Khoir.
10. Bang Udin sudah penulis anggap Orang tua yang sering bawain makanan ke kosan dan selalu mendukung, memberikan motivasi, masukannya, dan tak lupa
ii
kekasih pujaan hati yang selalu mendo’akan, serta seluruh sahabat terimakasih atas semua dukungan dan do’anya. Kebaikan yang telah semua berikan kepada penulis, tak mampu penulis membalasnya hanya Allah SWT yang akan membalasnya dengan pahala berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaatbagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, Desember 1431 H/2010 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iv BAB I:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………. 8 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………….. 9 E. Metode Penelitian ……………………………………………..... 11 F. Sistematika Penulisan…………………………………………… 11
BAB II:
MACAM-MACAM UTANG LUAR NEGERI INDONESIA A. Pengertian Utang ………………………………………………... 13 1. Utang dalam Pengertian Konvensional ……………..……..... 13 2. Utang dalam Pengertian Fiqh ………………..…………….... 15 3. Tinjauan Fiqh Siyasah Terhadap Utang Luar Negeri 4. Pengertian Utang Luar Negeri Indonesia ….……….……….. 20 B. Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia ………….………………. 22 C. Bantuan Utang Multilateral ……………………......…………... 36 D. Bantuan Utang Bilateral ………………………..……………… 39
iv
BAB III: KONDISI UTANG LUAR NEGERI INDONESIA SAAT INI A.
Dina mika Utang Luar Negeri Pemerintah…………………….... 42
B.
Heg emoni Asing di Negara Kesatuan Republik Indonesia …….. 59
BAB IV: UTANG
LUAR
NEGERI
ANTARA
KESENJANGAN
DAN
KESEJAHTERAAN A.
Utan g Sebagai Alat Hegemoni ………………………………... 71
B.
Utan g Luar Negeri dan Kesejahteraan Rakyat
BAB V:
PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………….…. 96 B. Saran-saran ………………………………………………….…. 98
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….… 100 LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 benar-benar merupakan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Peristiwa itu tidak hanya menyebabkan semakin terpuruknya kondisi perekonomian Indonesia, proses pemulihannya pun ternyata cenderung berlarut-larut. Bila ditinjau ke belakang, krisis ekonomi yang menyebabkan porak-porandanya fondasi ekonomi politik orde baru itu, pada mulanya bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia berlangsung bersamaan dengan terjadinya krisis serupa di beberapa Negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya. Reaksi masing-masing negara dalam menghadapi terjangan krisis ketika itu memang berbeda-beda. Demikian pula dengan akibat yang ditimbulkannya. Indonesia, Thailand, Korea Selatan, menghadapi terjangan krisis dengan cara menguras cadangan devisa. Sedangkan Malaysia, sebagai perkecualian, cepat-cepat menutup pintu lalu-lintas devisa mereka dan menerapkan rezim kurs tetap sebagai sebuah tindakan pengamanan. Akibatnya, Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, terperosok ke lembah krisis yang lebih dalam. Selain mengalami pengeringan devisa, nilai mata uang ketiga negara ini merosok secara tajam. Sebaliknya dengan Malaysia. Walaupun sempat sama-sama mengalami guncangan politik pada masa permulaan krisis, Malaysia berhasil mengamankan cadangan devisa dan mempertahankan nilai ringgit mereka. vi
Yang paling celaka adalah nasib Indonesia, karena nasib ekonomi yang dialami Indonesia cenderung berlarut-larut, dan bahkan meluas menjadi krisis ekonomi politik, kontrak kerjasama Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) yang seharusnya hanya berlangsung empat tahun, secara diam-diam diperpanjang menjadi lima tahun. Bahkan, dalam mengakhiri kontrak International Monetary Fund (IMF) tersebut, pemerintah Presiden Megawati sepakat untuk memilih opsi pemantauan pasca program (post program monitoring) hingga 2007. Akibatnya, selain masih terus terperangkap di dalam jebakan krisis, kondisi ekonomi Indonesia kini benar-benar terpuruk ke dalam lembah pelecehan ekonomi politik yang cenderung berkepanjangan. Kurs rupiah hingga kini masih terus bertengger pada kisaran Rp 9.000 per satu dollar Amerika Serikat. Investasi asing langsung dan ekspor masih terus merosot. Sedangkan setiap tiga bulan sekali, Indonesia harus bersiap-siap untuk dievaluasi dan digurui oleh International Monetary Fund (IMF).1 Ketika krisis ekonomi melanda Asia pada pertengahan 1997, negara-negara asia timur dan tenggara tersebut justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai momentum historis untuk melakukan berbagai langkah perbaikan structural. Mahathir misalnya, dengan sadar menolak resep International Monetary Fund (IMF) karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat
1
Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3-5
vii
menggembirakan dengan stabilitas ekonomi dan financial Malaysia, pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja juga tinggi.2 Sikap pemerintahan terhadap utang luar negeri ternyata belum banyak berubah. Anjuran berbagai pihak agar pemerintah “menghapuskan utang lama dan menolak utang baru,” cenderung diabaikan begitu saja. Alih-alih minta penghapusan utang, sekedar mempercepat penghapusan pelunasan utang kepada International Monetary Fund (IMF) pun pemerintah tampak berat hati. Sikap pemerintah yang sangat bersahabat dengan utang luar negeri dan International Monetary Fund (IMF) itu sangat jelas bertolak belakang dengan kecendrungan internasional mengenai hal tersebut. Sebagaimana diketahui, secara internasional, kritik terhadap utang luar negeri cendrung semakin meningkat. Kritik tidak hanya muncul sehubungan dengan efektifitasnya, tetapi meluas hingga mencakup sisi kelembagaan, sisi idiologi, serta implikasi sosial dan politiknnya. Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara dunia ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial. Merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan. Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan
2
Rizal Ramli, Pengantar CATATAN HITAM LIMA PRESIDEN INDONESIA Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Menuju Indonesia (Jakarta: UFUK PUBLISHING HOUSE, PT Cahaya Insan Suci. 2008).
viii
negara-negara Dunia ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan. Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB), tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak auntabel. Keduanya telah diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara dunia pertama pemegang utama saham mereka, untuk mengintervensi Negara-negara penerima pinjaman. Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh Negaranegara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme Neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia. Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung ia diyakini turut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan.3
3
Revrisond Baswir,. “Krisis Ekonomi Dunia”. Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia” (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 2
ix
Para kritisi pembangunan saat ini cenderung menuduh bahwa rezim neoliberal adalah rezim yang paling bertanggungjawab atas kegagalan pembangunan tersebut. “The Silent Takeover: Global Capitalism and The Death of Democrazy.” Saat ini keberadaan state atau government (seperti politisi, partai, elit, militer, pendidik) cenderung hanya sebagai instrumen yang memfasilitasi ekspansi pasar bebas. Rezim neo-liberal (seperti pemerintah USA, EROPA, Asian Development Bank (ADB), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank) telah melumpuhkan kemampuan negara dalam hal kontrol atas sumber daya dalam hal ini dicurigai sebagai penyebab kematian demokrasi.4 Setelah kejatuhan Presiden Soekarno, banyak teknokrat merapat dan mengabdi selama 32 tahun kepada rezim otoriter Soeharto. Banyak dari anggotanya yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang ekonomi dan menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank Dunia dan USAID. Para teknokrat sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ekonomi ini di kemudian hari dikenal dengan “Washington
Konsensus”.
Istilah
“Washington
Konsensus”
pertama
kali
diperkenalkan oleh ekonom kondang John Williamson dari Institute for International Economics, istilah ini digunakan John Williamson untuk merujuk hasil konsensus
4
Noreena Hertz, Perampok Negara; Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Penerjemah Muhammad Mustafid (Yogyakarta: Alenia, 2005), h. 229-242.
x
yang dihasilkan oleh ekonom-ekonom dari kubu konservatif dan liberal di Washington dalam menggagas dan merumuskan lembaga multilateral (IMF dan Bank Dunia) beserta pemerintah Amerika Serikat (diwakili Menteri Keuangan), serta beberapa “tangki pemikiran” (think tanks) di kota itu. Dunia sekarang dicirikan sebagai “keterhubungan berskala global”. Dalam cuaca yang demikian itu, Indonesia sedang berusaha merumuskan identitas dirinya. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri: terdapat arus kultur global yang bergerak begitu cepat dikendalikan oleh iklim kapitalisme dan neoliberalisme; sebuah kultur dengan kekuatan dasar daya ekonomi. Kenyataan lain yang tidak dapat disangkal Indonesia sebagai bagian dari jagat global memiliki kebudayaan lokal sendiri yang tidak semestinya lenyap pada dominasi budaya global itu, memang dalam situasi dunia yang mengglobal, pencarian identitas kultural tidak dapat dikatakan mudah. Bahkan untuk berdiri sendiri sebagai subjek-otonom yang mampu menemukan makna dari bagi dirinya sendiri pun sudah rumit. Dengan memahami definisi fiqh sebagai al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyyah alamaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafsiliyya’5 (mengetahui hukum syari’a amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global), fiqh memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Artinya definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya
5
Adib Rofi’uddin Izza, AZ-ZUBAD, (Cirebon: Buntet Pesantren Sindanglaut, 1994), h. 1-3
xi
dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita kenal sebagai ijtihad itu bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga mengembangkan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Perkembangan cara menjajah bangsa, mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik melalui fisik, ideologi, budaya. Seperti halnya fiqh yang selalu mengalami dinamisasi perkembangan, politik juga mengalami perubahan yang sama. Sehingga pemahaman mengenai kolonialisme juga mengalami cara pandang baru. Dalam konteks utang luar negeri sebagai alat invasi politik seperti terjadi di Indonesia, utang luar negeri bisa menjadi sandungan yang sangat berarti dalam proses terciptanya sebuah bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, pandangan fiqh menjadi menarik dalam tulisan ini. Karena dalam pandangan fiqh ada sesuatu yang perlu dikaji ulang mengenai mekanisme utang luar negeri yang terjadi di Indonesia, yang selama ini utang luar negeri tidak memberikan tangguhan sampai Indonesia bisa membayarnya. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 280 Allah menjelaskan:
⌧
$%&'()* # !" &☺9 * /456 $ /012 +,:;<=> Artinya “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 280)
xii
Dengan dasar pemikiran inilah penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang POLITIK UTANG LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PANDANGAN FIQH SIYASAH.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Untuk mengkaji lebih dalam dan mendasar tentangn utang indonesia, terutama mengenai utang luar negeri indonesia, maka penulis perlu membatasi masalah, sedangkan batasan sekripsi yang penulis simpulkan adalah berkisar pada permasalahan yang berhubungan dengan utang luar negeri indonesia di tinjau dari Fiqh siyasah. Perumusan masalah yanng penulis ajukan dalam tulisan ini adalah 1.
Bagaimana manfaat utang luar neegeri indonesia?
2.
Bagaimana pandangan fiqh siyasah terhadap utang luar negeri indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan skripsi ini antara lain : 1.
Untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan utang luar negeri yang terjadi di Indonesia
2.
Untuk mengkaji perkembangan utang luar di Indonesia
3.
Untuk memberi gambaran tentang efektifitas utang luar negeri dalam mewujudkan kemandirian politik dan ekonomi xiii
4.
Untuk memberikan prespektif dalam pandangan fiqh mengenai utang luar negeri yang terjadi di Indonesia
Adapun manfaat yang didapat penulis sebagai berikut : 1.
Memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang Utang Luar Negeri Indonesia
2.
Mendapatkan informasi yang valid tentang dampak-dampak Utang Luar Negeri Indonesia
3.
Merupakan sumber referensi dan saran pemikiran di dalam menunjang penelitian selanjutnya yang akan bermanfaat bagi penelitian yang lain sebagai bahan perbandingan.
D. Tinjauan Pustaka Kejahatan intelektual Mafia Ekonomi sangat terbatas diketahui publik dan lebih mudah untuk disebut konsumsi terbatas sehingga buku-buku mengenai Utang Luar Negeri terhitung sangant langka. Sehingga penulis sampai saat ini belum banyak menemukan sumber utama (primer) tentang Utang Luar Negeri. Di antara tulisantulisan yang ditemukan penulis adalah pertama, artikel Revrisond Baswir, Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia, di dalam artikel tersebut menuliskan masalah Utang Luar Negeri yang terjadi di Indonesia. Kedua, artikel Kusfiardi, ”Melepas Jerat Beban Utang Haram dan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia”, artikel ini menjelaskan masalah solusi di luar mekanisme yang diusung oleh IMF dan Word Bank tersebut, terdapat banyak inisiatif untuk pengurangan utang indonesia. xiv
Ketiga, Buku Prof. Dr. Mubyarto, ”Ekonomi Terjajah”, buku ini mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata yakni: sesungguhnya Utang Luar Negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Keempat, Buku DR. Yusuf AlQardhawi, ”Bunga Bank Haram”, buku ini menjelasklan bahwasanya segala bentuk riba itu haram. Kelima, Buku John Perkins yang
berjudul ”Pengakuan Bandit
Ekonomi” yang di dalamnya membahas tentang pengakuan tokoh terhadap kejahatankejahatan ekonomi yang dilakukan di negara-negara yang disinggahinya sehingga perekonomian negara dipenuhi dengan utang. kemudian tulisan-tulisan artikel dan buku ini dijadikan sebagai sekunder dan sebagai penunjang, penulis memakai tulisantulisan para pemikir ekonom baik yang berhaluan liberal maupun anti liberal dan pengkritik pasca kolonialisme serta tulisan-tulisan lain yang mendukung dalam fokus pembahasan yang dipilih. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada judul skripsi yang khusus mengkaji Politik Utang Luar Negeri Indonesia dalam pandangan Fiqh Siyasah yang dibahas rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum jurusan Siyasah Syar’iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu penulis tertarik mengungkap dan mendeskripsikan Politik Utang Luar Negeri Indonesia dalam pandangan Fiqh Siyasah.
E. Metode Penelitian
xv
Salah satu tahapan yang penting dalam penulisan karya ilmiah adalah penerapan metodologi yang tepat yang di gunakan sebagai pedoman penelitian dalam mengungkap fenomena serta mengembangkan hubungan antara teori yang menjelaskan gambaran situasi dengan realitas yang terjadi sesungguhnya. Penelitian ini dapat di golongkan sebagai penelitian normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan studi dokumenter. Dalam penelitian ini
sumber data dibagi tiga yaitu:6
Pertama, sumber data primer tentang utang luar negeri Indonesia. Kedua, bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti, buku-buku tentang utang luar negeri Indonesia dan ketatanegaran Indonesia serta hukum ketatanegaraan Islam. Ketiga, bahan tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti, kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif. Dalam menganalisa data-data hasil penelitian ini, penulis menggunakan metode teknik pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena sosial yang diteliti. Artinya, dalam penelitian ini terdapat usaha menambah informasi kualitatif, dapat diperoleh pula pecanderaan yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi yang diteliti.
Sedangkan pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008”.
6
Soerjono Soekamto dan Sri Mujdi, “ Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat “, (Jakarta : PT Raja Grafindo), hal;24.
xvi
F. Sistematika Penulisan Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Macam-macam Utang luar Negeri yang terdiri dari sejarah utang luar negeri Indonesia, pengertian utang, dan di dalam pembahasan pengertian utang luar negeri terdapat beberapa sub yaitu pengertian utang dalam hukum konvensional, pengertian utang dalam fiqh, dan yang terakhir membahas pengertian utang luar negeri. Selanjutnya membahas tentang utang luar negeri multilateral, dan utang luar negeri bilateral. Bab III. Membahas masalah kondisi utang luar negeri indonesia pada saat ini, yang meliputi, bantuan yang mengikat, dan yang terakhir hegomoni asing di negara kesatuan republik Indonesia. Bab IV. Akan membahas utang luar negeri Indonesia di lihat dalam pandangan fiqh siyasah yang di dalamnya terdapat, Utang Piutang dalam Fiqh, dan Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Utang Luar Negeri Indinesia. Bab V. Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
xvii
BAB II MACAM-MACAM UTANG LUAR NEGERI
A. Pengertian Utang 1.
Utang dalam Pengertian Konvensional Pengertian Utang menurut Beberapa Pakar Hukum Setiawan, S.H.
"Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasi Kini", dikutip pernyataan sebagai berikut: Utang seyogianya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana Debitor telah menerima sejumlah uang tertentu dan Kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan Debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.7 Kartini Muljadi, S.H., "Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan"8 berpendapat istilah utang dalam Pasal 1 dan Pasal 212 UUK (undangundang keuangan) seharusnya, merujuk pada Hukum Perikatan dalam Hukum
7
Ahmad Rodoni, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Grafika Karya Utama, 2006), h. 104 8
Kartini Muljadi, S.H., Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 27
xviii
Perdata, bahwa tiap-tiap ikatan memberikan sesuatu untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Contohnya: 1.
Kewajiban Debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang meminjamkan
2.
Kewajiban Penjual untuk menyerahkan mobil kepada Pembeli mobil tersebut
3.
Kewajiban Pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada Pembeli rumah.
4.
Kewajiban Penjamin (guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman Debitor kepada Kreditor. Dilihat dari perspektif Kreditor, kewajiban membayar Debitor tersebut
merupakan "hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang" atau right to payment. Namun, apabila hak Kreditor itu belum muncul, maka tidaklah hak Kreditor itu dapat dikatakan utang Debitor yang dapat didaftarkan untuk pencocokan (verifikasi) utang-utang dalam rangka kepailitan Debitor tersebut. Apabila terjadi ketidaksepakatan mengenai "adanya" utang tersebut, maka adanya utang itu harus terlebih dahulu diputuskan oleh pengadilan. Bahkan pengadilan harus pula memutuskan kepastian mengenai "besarnya" utang itu. Utang yang dimaksudkan dalam UUK (undang-undang keuangan) itu adalah bukan setiap kewajiban apa pun juga dari Debitor kepada Kreditor karena adanya perikatan di antara mereka, tetapi hanya sepanjang kewajiban itu berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang, baik kewajiban membayar itu timbul karena perjanjian apa pun atau karena ditentukan oleh undang-undang (misalnya kewajiban membayar pajak yang xix
ditetapkan oleh Undang-undang Pajak), atau karena berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Menyadari telah timbulnya kesimpangsiuran mengenai arti “utang” karena tidak diberikannya definisi atau pengertian menyeluruh di dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 sebagaimana telah diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 1998 maka dalam UU No. 4 Tahun 1998 yang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, telah memberikan definisi atau pengertian mengenai utang di dalam Pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Masalah yang dapat timbul dalam definisi ini adalah “kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang”, hal ini menunjuk pada sesuatu yang belum pasti nilainya. Apakah kurator diberi wewenang untuk menilai, baik dengan persetujuan atau tampa persetujuan Hakim Pengawas, apakah berdasarkan kesepakatan antara Kreditor yang bersangkutan dengan Debitor atau Kurator.9 Hal ini dapat menimbulkan kecurigaan akan permainan-permainan yang tidak fair.
9
Ibid, h. 107
xx
2.
Utang dalam Pengertian Fiqh Utang artinya pinjaman yang harus dikembalikan berupa uang atau uang yang
dipinjam (pinjaman) yang harus dibayar kembali. Sedangkan utang-piutang, maksudnya adalah utang kita kepada orang (lain), dan utang orang (lain) kepada kita.10 Menurut Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM dalam literatur hukum Islam, utang lazim dikenal dengan sebutan dayn; sedangkan utang-piutang disebut dengan istilah mudayanah. Dayn, diambil dari akar kata dana-yadinudaynan-wa-dinan, yang secara literal antara lain berarti: mengutangi, memberi pinjaman, berutang atau meminjam. Bersamaan dengan itu, kata dana juga digunakan untuk arti menjadi rendah-hina (dzalla), menundukkan, merendahkan, melayani, membalas, memperbudak dan durhaka di samping juga memiliki makna berbuat baik, menjadi mulia, dan taat. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa utang, memiliki dampak positif di satu pihak, dan dampak negatif di sisi lain. Banyak orang/pihak/bangsa dan negara menjadi bermartabat dan terhormat atau dihormati justru berkat utang luar negerinya untuk kemudian membangun diri/keluarga/masyarakat/bangsa dan negaranya yang kemudian sukses. tetapi, pada saat yang bersamaan, juga tidak sedikit orang/
10
H. sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: SINAR BARU ALGENSINDO, Bandung), h.
306
xxi
keluarga/ pihak/ bangsa dan negara menjadi rendah, hina atau dihinakan karena tidak sukses dalam mengelola dana utangnya.11 Utang (dayn), kalau boleh diilustrasikan, memang laksana senjata tajam yang bisa memberikan multi manfaat bagi orang/ pihak yang mau dan mampu menggunakannya secara benar dan tepat tetapi senjata tajam, sekaligus juga bisa menjadi pembunuh/pemusnah bagi orang/pihak yang tidak mau dan atau tidak mampu untuk menggunakannya dengan benar dan tepat. Buktinya, seperti baru ditegaskan, banyak orang/pihak/lembaga bahkan bangsa dan negara menjadi maju dan terhormat atas kebijakan utang luar negerinya untuk membangun bangsa dan negaranya tetapi dalam saat yang bersamaan, tidak sedikit untuk tidak mengatakan lebih banyak lagi negara yang justru menjadi rendah, hina atau malahan dihinakan atas kebijakan utang luar negerinya yang ceroboh, tidak proporsional dan tidak profesional. Masih dalam konteks utang-piutang memuat sistem Qur’ani, ada istilah lain yang lebih khas, meskipun penggunaannya sampai kini masih belum memasyarakat apalagi merakyat secara luas. Istilah yang dimaksudkan ialah QARDHAN HASANAN, yang dijadikan judul tulisan dalam kolom ini. Qardhan hasanan terdiri atas kata qardhan dan hasanan. Qardhan, yang diambil dari kata qaradha – yaqridhu – qardhan, arti asalnya: memotong, memakan, menggigit dan mengerip. Dalam dunia transaksi ekonomi, qardhan biasa digunakan untuk arti utang atau pinjaman.
11
http://www.fshuinjkt.net/index.php?option=com_content&task=view&id=61 &Itemid=64/di unduh pada hari rabu/16/12/17:17Wib
xxii
Sedangkan hasanan, artinya baik atau bagus (jayyid). Jadi, secara sederhana, qardhan hasanan artinya utang (piutang) utang-piutang yang baik. Dalam al-Qur’an, kata qardhan hasanan diulang sebanyak 6 kali dalam lima surat dan 6 ayat. Masing-masing adalah surat al-Baqarah (2): 245, CJ, 1BC% DEFGH A1BC% % ?@" NM#B ML⌧NOPQR C5(KL WX0GH VBC% 5TPU CSCJ# &[,* LGR2 6YZ),0H artinya “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.(QS. Al-Baqarah: 245) Dan terdapat ayat Al-Qur’an yang lain diantaranya: al-Ma’idah (5): 12, al-Hadid (57): 11 dan 18; at-Taghabun (64): 17, dan al-Muzzammil (73): 20. Yang menarik, kata qardhan hasanan (utang-piutang yang baik), ini dalam al-Qur’an tidak selamanya digunakan dalam konteks ekonomi khususnya keuangan; akan tetapi, lebih dari itu, dalam perspektif kehidupan yang lebih luas lagi. Al-Qur’an, sebagai sumber utama dan pertama agama Islam, selalu dan selamanya mengarahkan manusia supaya menuju ke arah kehidupan yang baik (hayatan thayyibatan); sebaliknya, Islam (al-Qur’an) tidak akan pernah memberikan sinyal apapun yang menuju ke arah atau titik kehidupan yang sebaliknya (kehidupan yang buruk). Termasuk tentunya dalam hal utang-piutang. Anehnya, tidak ada satu
xxiii
katapun dalam al-Qur’an yang menyebutkan utang buruk alias qardhan hasanan, karena al-Qur’an memang sama sekali tidak menghendaki utang-piutang yang (berakibat) buruk itu. Kosa kata (qardhan hasanan), ini mengingatkan kita pada kehidupan lebih makro yang juga disimbolkan Al-Qur’an dengan kehidupan yang baik (hayatan thayyibatan) dalam surat an-Nahl (16): 97 #
\PU
?_"
C☯9O(^
P\☺
?"
ML@5!g59 ⌦?" " &d `abc# /k@HFAl52 $ 5h0iR 5&gL $%&bCPU
C"
:?(KLno
md[# &9☺ H
Artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97) Tanpa pernah mengemukakan lawan katanya yakni kehidupan yang buruk (hayatan khabitsatan). Dengan demikian, maka cukup alasan kiranya jika di tengah-tengah percaturan dunia global yang antara lain diwarnai dengan transaksi “Utang-Piutang (Mudayanah) yang serba buruk, ini kita mencari terobosan baru, untuk mengonsep utang-piutang (mudayanah) yang baik, yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan qardhan hasanan. Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah saw. terdapat dalam Hadits Ibnu Majah:
xxiv
Artinya: ”Dari Ibnu Mas’ud:”Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”.(HR. Ibnu Majah)
Dalam Utang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada:12 a.
Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
b.
Ada yang memberi hutang / kreditor
c.
Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
d.
Ada barang atau uang yang akan dihutangkan Utang piutang dapat memberikan banyak manfaat kepada kedua belah pihak.
Utang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Utang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. 3. Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap Utang Luar Negeri Jika di telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil. Pertama Utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba).13 Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauhnya. Allah SWT berfirman :
12
H. sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h, 307 Yusuf Al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, Penerjemah Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: AKBAR Media, Eka Sarana, 2001), h. 27-28 13
xxv
rsL pGgqG2C% VBC% @\L# $%&oFi2C% Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275). Rasulullah Saw bersabda:
ا ون وأ ه أن ا أ Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…”14 (HR. Ibnu Majah). Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan (keuntungan) yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini; “Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. (HR. Imam Bukhari)
14
HR. Ibnu Majah, hadits No.2275;, dengan sanad yang shahih
xxvi
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari] Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi. Ketiga utang luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Semua jenis sarana atau perantaraan yang dapat membawa kemudharatan (dharar) padahal keberadaannya telah diharamkan adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:
ا إ اام “Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan”. 4.
Pengertian Utang Luar Negeri Utang luar negeri adalah semua utang yang menimbulkan kewajiban
membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah. Termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah pinjaman dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri. 15
15
Drs. Yanuar Ikbar, M.A, Ekonomi Politik Internasional 2, Implementasi Konsep dan Teori. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 199
xxvii
Utang luar negeri Indonesia dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu utang luar negeri yang diterima Pemerintah (public debt) dan utang luar negeri yang diterima swasta (private debt). Dilihat dari sumber dananya, utang luar negeri dibedakan ke dalam utang multilateral, dan utang bilateral. 16 Sedangkan dilihat dari segi persyaratan pinjaman, dibedakan dalam pinjaman lunak (concessional loan), pinjaman setengah lunak (semi concenssional loan) dan pinjaman komersial (commercial loan). Selain utang luar negeri, terdapat juga penerimaan dalam bentuk hibah. Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dengan Ketua BAPPENAS No.185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tanggal 5 Mei 1995
yang
telah
dirubah
No.KEP.264/KET/09/1999
dengan
tanggal
29
SKB
No.
September
459/KMK.03/1999 1999
tentang
dan
Tatacara
Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam Pelaksanaan APBN, pengertian utang Luar Negeri, adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.17 Sedangkan Hibah Luar Negeri, adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang
16
Ibid, hal. 204 Cyrilluc Harinowo, UTANG PEMERINTAH, Perkembangan, Pengelolaannya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 73 17
xxviii
Prospek,
dan
dan atau dalam bentuk jasa temasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali. Utang luar negeri yang diterima Pemerintah, dimaksudkan sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan, disamping sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan baik tabungan masyarakat dan sektor swasta. Salah satu masalah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah keterbatasan modal dalam negeri. Hal ini tercermin pada angka kesenjangan tabungan investasi “Saving-Investment Gap” (S-I gap) dan “Foreigan Exchange Gap” (forex gap). Saving Investment gap menggambarkan kesenjangan antara tabungan dalam negeri dengan dana investasi yang dibutuhkan.
B. Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif
xxix
utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.18 Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar, bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar. Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto. Bagaimanapun, pewarisan utang pemerintah suatu era kepada era berikutnya telah berlangsung. Tidak ada penghapusan beban utang dalam besaran yang cukup berarti, yang disebabkan oleh pergantian kekuasaan atau kebijakan pemerintah baru.
18
Cyrilluc Harinowo, UTANG PEMERINTAH, Perkembangan, Prospek, dan pengelolaannya
h. 4
xxx
Keringanan atas beban utang hanya diberikan oleh para kreditur berupa penjadwalan pembayaran untuk waktu yang tidak terlampau lama, ketika terjadinya krisis 1997. Krisis justeru memaksa pemerintah untuk menambah posisi utangnya melalui pinjaman kepada IMF. Meskipun sifatnya adalah untuk berjaga-jaga dan akhirnya ”tidak dipergunakan”, biaya utangnya tetap harus dibayar. Selain itu, krisis memberi beban tambahan bagi pemerintah. Diantaranya berupa jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta tanggungan pemerintah atas beberapa utang swasta yang gagal bayar (default).19 Kreditur luar negeri malah cenderung sedikit berbaik hati tatkala Indonesia mendapat musibah tsunami Aceh dan Nias. Beberapa miliar dolar ULN pemerintah yang mestinya jatuh tempo pada tahun itu, dijadwal ulang pembayarannya untuk lima tahun ke depannya, dengan masa jeda pembayaran antara satu sampai dengan dua tahun.
1.
Utang Pemerintah Orde Lama Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah
Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak
19
Cyrilluc pengelolaannya h.74
Harinowo,
UTANG
PEMERINTAH,
xxxi
Perkembangan,
Prospek,
dan
dinyatakan dihapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pemerintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.20 Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negaranegara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun dihentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri. Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang
20
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”. Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia” (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 4
xxxii
kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga terhadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan mengemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karena berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.21 Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi. Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD 17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun
21
Sri Edi Swasono dan Ridjal F, ed., “Masalah Bantuan Perkembangan Bagi Indonesia”, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), h. 195-218
xxxiii
kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia dinyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.22 Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat dalam data statistik oleh Kusfiardi23 utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno. Masalah utang luar negeri sama sekali bukan masalah baru bagi Indonesia. Walaupun masalah ini baru terasa sebagai masalah yang cukup serius sejak terjadinya transfer negatif bersih (net negatif transfer) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985, masalah utang luar negeri sudah hadir di 22
Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia” (Jakarta: Koalisi Anti Utanng, 2006), h. 3 23 Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”, h. 4
xxxiv
Indonesia sejak awal kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, kemerdekaan secara resmi baru diakui oleh masyarakat internasional pada Desember 1949. Namun sebagai persiapan untuk memperoleh utang luar negeri telah berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat wacana, perbincangan mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat telah berlangsung sejak November 1945. Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera setelah pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan keuangan pemerintah. Lebih-lebih, sesuai dengan hasil konferensi meja bundar (KMB), pengakuan kedaulatan Indonesia ternyata harus dibayar mahal dengan mengakui utang luar negeri Hindia Belanda.24 Akibatnya, terhitung sejak 1950, pemerintah serta merta memiliki dua jenis utang luar negeri: warisan Hindia Nelanda 4 Milyar Dollar AS, dan utang baru Rp 3,8 Milyar. Setelah itu utang luar negeri terus mengalir. Dalam periode 1951-1956, utang luar negeri yang dibuat pemerintah masing-masing berjumlah: Rp 4,5 Milyar, Rp 5,3 Milyar, Rp 5,2 Milyar, Rp 5,2 Milyar, Rp 5,0 Milyar, dan Rp 2,9 Milyar.25 Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak pendiri bangsa untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan faktor-faktor produksi di tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar negeri, sikap para Bapak pendiri
24
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”, h.4
25
Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”, h. 3
xxxv
bangsa cenderung mendua. Di satu sisi mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi, di sisi lain, mewaspadai penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka cenderung menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri. Sikap waspada para pendiri bangsa terhadap bahaya utang luar negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad hatta berikut: pertama, Negara memberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri Negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen setahun, ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur, harus lebih dari itu.26 Sikap waspada Soekarna-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata tidak mengada-ngada. Setidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh Negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia. Peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediaannya untuk memberikan pinjaman sebesar US $100 juta, pemerintah Amerika kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi oleh Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh Amerika.
26
Sri Edi Swasono dan Ridjal F, ed., “Masalah Bantuan Perkembangan Bagi Indonesia”, h.
201
xxxvi
Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan kepada PBB untuk meningkatkan pengiriman bahan-bahan mentah strategis seperti karet, ke Cina. Sebagai Negara produsen karet dan agnggota PBB, permintaan tersebut akhirnya dipenuhi Indonesia. Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan pelaksanaan program stabilisasi IMF, Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri Konfrontasi dengan Malaysia. 27 Campur tangan Amerika tersebut, ditengah-tengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, ditanggapi soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika. Ungkapan “go to hell with your aid” yang terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada Amerika puncaknya, tahun 1965, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan beberapa perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia. Namun demikian, perlawanannya yang sangat keras itu akhirnya harus dibayar mahal oleh Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi nasional pada
16
Burhanuddin Abdullah. Menanti Kemakmuran Negeri, Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama, 2006), h. 73-75
xxxvii
pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11 Maret 1966 Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai berakhirnya era Soekarno, peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.28
PEMBUATAN UTANG LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAHAN SOEKARNO29
TAHUN 1950,utang pemerintah tercatat 6,3 miliar dollar AS. Terdiri dari: 1. Utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS. 2. Utang luar negeri baru 2,3 miliar dollar AS. • Utang luar negeri warisan Hindia Belanda memang tidak pernah dibayar oleh Soekarno, tetapi utang luar negeri baru terus mengalir. • Utang luar negeri yang di buat pemerintah dalam periode 1950-1956 masing-masing berjumlah: 1. 1950 Rp. 3,8 miliar. 2. 1951 Rp. 4,5 miliar. 3. 1952 Rp. 5,3 miliar. 4. 1953 Rp. 5,2 miliar. 5. 1954 Rp. 5,2 miliar. 6. 1955 Rp. 5 miliar. 7. 1956 Rp. 2,9 miliar. 28
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”, h. 15
29
Kusfiardi, statistik utang luar negeri pemerintahan Indonesia, h. 2
xxxviii
C. Utang Pemerintah Orde Baru Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undangundang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF.30 Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok
30
Joseph Hanlon, Warisan Hutang Rezim Soeharto, penerjemah Zaim Saidi dan Kurniawati, (PIRAC dan INSIST PRESS: Juni 2000), h. vii
xxxix
sebagian besar utang.31 Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga. 32 PEMBUATAN UTANG LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAHAN SOEHARTO33
Commitment Jmlh Yg Dicairkan
1989 12.512.300 6.674.924
Commitment Jmlh yg dicairkan
1990 10.748.406 4.437.649
1991 11.508.084 6.418.417
1992 15.652.13 6.631.957
1993 22.631.35 6.275.948
1994 15.732.03 6.093.997
1995 18.184.67 5.796.205
1996 20.621.77 6.003.554
1997 7.802.787 4.501.393
D. Pasca Reformasi Pemerintahan presiden BJ. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakankebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup 31
Cyrilluc Harinowo, Pengelolaannya, h. 43
UTANG
PEMERINTAH,
Perkembangan,
32
Prospek,
dan
http://daengaco.wordpress.com/2009/01/20/sejarahsingkatutangp emerintahindonesia/rabu/16/12/2009/18:08Wib 33
Kusfiardi, statistik utang luar negeri pemerintahan Indonesia,h. 2-3
xl
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.34 Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan persoalan ekonomi antara lain :35 a.
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
34
http://onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomianindonesia/comment-page-1// di unduh pada tanggal 16/2009/17:52Wib 35
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”, h. 7
xli
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional. Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang xlii
salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif. E. Bantuan Utang Multilateral Bantuan Utang Multilateral yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).
xliii
Bantuan Utang Multilateral adalah badan internasional yang mengurus bantuan luar negeri dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Negara-negara anggotanya. badan-badan multilateral yang memiliki hubungan dengan urusan bantuan untuk program pembangunan dan yang ada hubungannya dengan “United Nations Development system” dibagi dalam empat kelompok:36 1.
Kelompok Bank Pembangunan (Development Bank); yang terpenting dalam kelompok bank ini yaitu: bank Dunia (World Bank), The International Bank of Development Association (IDA), International Bank of Recontruction and Development (IBRD), dan International Finance Coorporation (IFC):
2.
Bank Dunia, mempunyai tujuan untuk meningkatkan ekonomi pembangunan bagi Negara-negara anggotanya dengan jalan menyediakan modal investasi untuk usaha produktif. Modal pokoknya diperoleh dari iurannegara-negara anggotanya ditambah dari pinjaman pasar modal dunia.
36
Drs. Yanuar Ikbar, M.A, Ekonomi Politik Internasional 2, Implementasi Konsep dan Teori, hal. 194
xliv
a. IDA, memberikan pinjaman-pinjaman pada Negara debitor dengan syaratsyarat lunak untuk pembangunan ekonomi Negara-negara miskin yang menjadi anggotanya. Badan yang didirikan pada tahu 1960 ini memiliki sumber-sumber yang siap dipergunakan yang diperolehnya dari iuran anggotanya yang termasuk Negara-negara maju.hampir tiga tahun sekali dana IDA ditam,bah untuk melancarkan pengelolaannya. b. IFC, bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dengan jalan investasi, dan dengan demikian juga berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi perusahaan-perusahaan swasta di Negara-negara anggota IFC memutar modal pokok yang diperoleh dari iuran anggotanya dan memperoleh sumber tambahan dari penjualan investasi-investasi serta pinjaman dari Bank Dunia. c. Bank-bank pembangunan regional (bukan bagian dari system PBB tetapi member jasa-jasa serupa dengan kelompok Bank Pembangunan di antaranya adalah Asian Development Bank (ADB), inter American Development Bank (IDB), The Carribian Development Bank (CBD), dan The African Development Bank (Af.DB). 3.
Kelompok Badan-badan Khusus PBB (UN Special Bodies). Badan-badan khusus PBB yang penting adalah United Nation Development Programme (UNDP), suatu badan dengan pembiayaan untuk mengurus bantuan teknik yang harus dilaksanakan oleh PBB. United Nations Conference On Trade and Development (UNCTED). United Nations Industrial development Organization (UNIDO). xlv
Keduanya merupakan bagian dari secretariat PBB, sekalipun kantor pusatnya tidak di New York. Sumber dana UNDP diperoleh dari iuran sukarela dari pemerintah Negara-negara anggotanya. Badan serupa yang ditunjang oleh iuran anggota Negara-negara di antaranya adalah United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF), World Food Programme (WFP), dan lain-lain. 4.
Kelompok Badan-badan khusus PBB lainnya (UN Specialised Agencies). Lembaga-lembaga khusus di luar (ad.2) yang mengurus masalah-masalah khusus, seperti International Labour Organization (ILO), The Food and Agriculture Organization (FAO), The United Nations Eductional Scientific Cultural Organization (UNESCO), The World Health Organization (WHO).
TABEL UTANG LUAR NEGERI MULTILATERAL PERIODE 1967-200537 Kreditor
ADB IBRD IDA
37
Outstanding Miliar USD
Rp triliun (9000/USD)
%
8.40 7.86 1.00
75.65 70.78 8.98
13.6 12.7 1.6
Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”. h. 9
xlvi
IDB NIB EIB IFAD MIGA
0.19 0.13 0.12 0.07 0.00
1.71 1.18 1.06 0.65 0.00
0.3 0.2 0.2 0.1 0.0
TOTAL
17.78
160.01
28.8
F. Bantuan Utang Bilateral Bantuan Utang Bilateral yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment). Bantuan utang bilateral adalah suatu badan yang mengurus pemberian bantuan tersebut di bawah otoritas pemerintahnya masing-masing. 38
Disamping badan-badan bilateral yang mempunyai hubungan dengan program pemberian bantuan luar negeri, biasanya di bagian besar Negara pemberi bantuan tersebut, terdapat badan kelembagaan khusus yang bertanggungjawab atas kebijakan bantuan yang diberikan kepada Negara-negara peminta bantuan dengan prosedur bilateral. Badan bilateral ini terbagi atas empat macam:
38
Drs. Yanuar Ikbar, M.A, , Ekonomi Politik Internasional 2, Implementasi Konsep dan Teori. hal. 194
xlvii
1.
Kementrian (antara lain jerman dan inggris)
2.
Badan semi-otonom di bawah kementrian (antara lain Kanada, Prancis, dan Swedia.)
3.
Badan otonom dalam kementrian (antara lain Amerika Serikat)
4.
Badan dengan tanggung jawab tersebar pada beberapa kementrian, badan di bawah koordinasi kementrian, tetapi melakukan koordinasi dengan badan atau kementrian lain dengan kedudukan semi otonom (misalnya Jepang). Setiap Negara pemberi bantuan memiliki karakter sendiri dalam kebijakan
memberi bantuannya kepada Negara-negara lain (debitor), artinya ialah program yang dilaksanakan disesuaikan dengan selera masing-masing pemerintah. Prancis misalnya, banyak mengaitkan program bantuan mereka dengan program kebudayaan dan kesusastraan. Kemudian Jerman, berusaha mewujudkan bantuannya dengan globalisasi sistem perdagangan sesuai dengan sistem bebas yang mereka anut. Inggris, berusaha menciptakan stabilitas Negara-negara Dunia Ketiga, sehingga bermanfaat bagi perkembangan stabilitas industri dan perdagangan mereka. Sementara itu, Belanda seringkali mengaitkan berbagai macam bantuan luar negerinya dengan politic prestise dan kepentingan domestik pemerintah yang berkuasa, misalnya bantuan-bantuan untuk kemanusiaan. Sedangkan Amerika Serikat, banyak mengaitkan bantuan mereka untuk stabilitas politik Negara-negara yang
dibantu
dan
masalah-masalah
keamanann,
menguntungkan.
xlviii
Jepang
mengaitkan
yang
TABEL UTANG LUAR NEGERI BILATERAL PERIODE 1967-200539
Kreditor
Outstanding Miliar USD
Rp triliun (9000/USD)
%
JAPAN GERMANY UNITED STATES FRANCE UNITED KINGDOM AUSTRIA NETHERLANDS AUSTRALIA SPAIN CANADA OTHERS
25.43 3.80 3.53 2.49 1.78 1.61 1.60 0.89 0.58 0.49 1.84
228.83 34.17 31.80 22.42 16.04 14.50 14.41 7.97 5.20 4.41 16.59
41.1 6.1 5.7 4.0 2.9 2.6 2.6 1.4 0.9 0.8 3.0
TOTAL
44.04
396.33
71.2
39
Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”. h. 10
xlix
BAB III DINAMIKA UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
A. Dinamika Paham Ekonomi Indonesia setelah presiden soekarno lengser, kelompok mafia berkeley merapat dan mengabdi selama 32 tahun kepada rezim otoriter soeharto. Banyak anggotanya yang menduduki posisi kunci dalam bidang ekonom dan menjadi seluruh strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, dan bank dunia dan USAID. Mafia berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh washington. Garis kebijakan ini kemudian hari dikenal dengan “washington konsensus”, yang terdiri dari: a. Kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi. Kebijakan anggaran konservatif, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang kepada kreditor dan lembaga keuangan internasional. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat banyak seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan untuk dihapus agar tersedia surplus anggaran untuk membayar cicilan utang luar negeri. b. Liberalisasi keuangan
l
Liberalisasi keuangan, selain bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi dan transaksi global keuangan, juga dimaksudkan untuk menjamin agar modal dan diveden dapat keluar dari negara berkembang setiap saat. Kebijakan ini dimaksudkan juga untuk mempermudah integrasi pasar keuangan nasional ke dalam sistem global. c. Lliberalisasi industri dan perdagangan Dimaksudkan untuk memudahkan negara-negara maju untuk mengekspor barangbarang produksinya kenegara berkembang. Sementara negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui mekanisme kuota, ekspor restrant, subsidi dan hambatan non tarif. d. Vripatisasi Penjualanm aset-aset milik negara dimaksudkan agar peraan negara di dalam ekonomi berkurang sampai sekecil mungkin, untuk digantikan oleh suwasta terutama suwasta asing. Dalam prakteknya progra penjualan aset-aset tersebut dilakukan dengan hargA SANGANT MURAH (ander-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization). Sekilas program wasington konsensus tersebut sangant wajar dan netral, namun demikian dibalik program tersebut tersembunyi kepentingan-kepentingan negara maju yang merupakan kreditor utama utang luar negeri indonesia atau negara dunia ketiga lainnya. Demikian juga dalam prakteknya, kebijakan konsensus wasington sering dipaksakan sekaligus kepada negara berkembang tanpa tahapan, fleksibilitas dan persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi di dalam negeri.
li
Menurut, joseph E. Stiglitz, ada satu hal yang saya anggap paling menggusarkan saat saya pindah jabatan dari ketua dewan penasehat ekonomi presiden menjadi kepala ekonom bank dunia, yaitu sikap IMF dan departemen keuangan Amerika Serikat. Di luar negeri mereka seringkali mendesakkan kebijakan yang sama sekali bertentangan dengan apa yang kami perjuangkan di dalam negeri. Di dalam negeri kami perjuang menentang privatisasi jaminan sosial, dan di luar negeri kita menggencarkannya. 40 Pada negara yang berhasil menentang konsensus wasington seperti cina misalnya, walaupun melakuan liberalisasi, tetapi proses liberalisasi tersebut dilakukan secara bertahap dan dipersiapkan dengan terlebih dahulu memperkuat kekuatan produktif di dalam negeri. Cina misalnya menolak melakukan liberalisasi sektor keuangan karena terlebih dahulu mempreoritaskan penguatan sektor riil terutama industri, pertanian dan ekspor. Bahkan ketika cadangan devisanya mencapai US $ 1Trilyun, cina masih belum bersedia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan penentuan nilai tukarnya. Pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita indonesia, malaysia, Thailan, Taiwan, Cina nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 1000 perkapita. Setelah itu lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut pada tahun 2004, mencapai: indonesia sekitar US$ 1000, Malaysia US$ 4. 520, Korea Selatan US$ 14.000, Tailan US$ 2.490, Taiwan US$ 14.590, Cina US$ 1.500 (Current Price, Atlas Method). Bahkan cina memiliki potensi untuk terus tinggi (8%-10% pertahun) dalam waktu
40
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia, Penerjemah Aan Suheni, (Tangerang: Marjin Kiri, 2006), h. 242.
lii
yang lama, dan diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi, politik dan militer terbesar di Asia dalam satu dekade mendatang.41
B. Utang sebagai Sumber Devisa Pemerintah Jumlah utang luar negeri pemerintah yang besar pada akhirnya harus dibandingkan dengan kekayaan yang ada. Selain aset BUMN maupun yang dimiliki BPPN, pemerintah masih memiliki kekayaan yang sangat besar dalam bentuk sumber daya alam. Dalam hal ini, ketergantungan neraca pembayaran maupun APBN pada hasil sumber daya alam ini masih sangat besar. Penerimaan minyak maupun pajak yang dikenakan pada perusahaan minyak secara netto merupakan suatu jumlah yang masih cukup mendominasi. Jumlah aliran dana dari minyak tersebut diperoleh dari perusahaan-perusahaan minyak asing, selain Pertamina, yang jumlahnya terbatas. Namun, mengingat jumlahnya sangat krusial, perlu suatu upaya monitoring yang sangat ketat agar semua sumber daya yang seharusnya memang menjadi hak Pemerintah itu jauth ke tangan pemerintah. Di masa yang lalu, penerimaan minyak ini di transfer langsung dari perusahaan-perusahaan minyak asing ke rekening Bank Indonesia di New York. Tidak begitu jelas lagi apakah mekanisme semacam ini masih berlangsung demikian dan dilakukan secara disiplin. Demikian juga, perlu dijaga agar jumlah yang di
41
Data diperoleh dari tulisan Rizal Ramli, “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasioanal, “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia”. (Jakarta: koalisi Anti Utang, 2006), h.4.
liii
transfer tersebut memang jumlah yang seharusnya diserahkan. Dalam hal ini, perlu dijaga agar proses tersebut dapat berjalan dengan suatu mekanisme control yang diperkuat. Jika untuk penjualan suatu asset yang tidak seberapa nilainya di audit maupun proses due-diligence yang sangat ketat, kiranya sudah waktunya (atau malah sudah terlambat) untuk melakukan hal itu bagi penerimaan yang sangat vital bagi Negara ini. Dengan melihat hal tersebut secara lebih menyeluruh, rasanya kekhawatiran besar yang selama ini selalu melingkupi masyarakat dapat sedikit demi sedikit dikurangi, sehingga Tim Ekonomi dapat bekerja dalam tantangan yang lebih “manageable”. Namun sebagaimana digambarkan strategi pembangunan dengan memanfaatkan pembiayaan utang pada akhirnya telah berhasil membangun basis yang kuat pada perekonomian untuk menciptakan kemampuan dalam melakukan pelunasan utang tersebut. Kemampuan
negara
dalam
mengumpulkan
penerimaan
pajak
serta
kemampuan perekonomian dalam mendukung ekspor adalah dua hal penting yang dibutuhkan dalam memupuk kemampuan pemerintah untuk melakukan pelunasan kewajiban bunga dan cicilan utang luar negeri. Secara kronologism, perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia dapat diikuti dari tabel berikut ini
liv
Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah (dalam Juta Dollar)42 Tahun
Tahun
1966
Total ULN Pemerintah 2.015
Tahun
1978
Total ULN Pemerintah 11.330
1990
Total ULN Pemerintah 45.100
1967
2.076
1979
11.775
1991
45.725
1968
2.74
1980
12.994
1992
48.769
1969
2.437
1981
13.945
1993
52.462
1970
2.778
1982
16.767
1994
58.616
1971
3.225
1983
19.953
1995
59.588
1972
3.617
1984
21.589
1996
55.303
1973
4.426
1985
25.321
1997
53.865
1974
4.851
1986
31.521
1998
67.315
1975
6.611
1987
38.417
1999
75.720
1976
8.295
1988
38.983
2000
74.891
1977
9.654
1989
39.577
42
Data dari Bank Indonesia untuk akhir tahun 2000 menunjukan seluruh utang luar negeri Indonesia berjumlah141,7 miliar dollar AS, yang terdiri dari Utang Pemerintah sebesar 74,9 miliar dollar, sedangkan selebihnya dilakukan oleh BUMN, bank-bank dan swasta non bank. Sementara itu, data untuk bulan Februari 2001 dari Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan RI menyebutkan bahwa data utangn luar negeri Pemerintah adalah 61,2 miliar dollar AS.
lv
Berdasarkan
gambaran
keseluruhan
tersebut
dapat
dilihat
bahwa
perkembangan utang luar negeri pemerintah memang mengalami fluktuasi meskipun trendnya tetap menunjukan peningkatan. Pada pertenganhan dasawarsa 1970-an terdapat lonjakan yang cukup tinggi karena “credit worthiness” pemerintah meningkat dengan adanya kenaikan nilai ekspor migas. Namun pada saat yang sama kenaikan pinjaman tersebut juga terjadi karena pada akhirnya pemerintah harus menanggung utang yang semula dilakukan oleh pertamina. Pada pertengahan dasawarsa 1980-an terdapat lonjakan berikutnya. Hal ini terjadi karena menguatnya mata uang yen terhadap dollar AS sehingga pada akhirnya mempengaruhi jumlah utang yang ada dalam satuan dollar AS. Sementara itu, jatuhnya harga minyak pada pertengahan dasawarsa tersebut membuat pemerintah terpaksa menarik utang luar negeri yang lebih besar, termasuk dari IMF dalam bntuk “compensatory Financing Facility”, selain pinjaman dari Bank Dunia, ADB dan pemerintah jepang dalam bentuk “fast disbursing loans”. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai tukar mata uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia maupun terjadinya perubahan kurs antara mata uang utama. Pada tahun 1998 kenaikan pinjaman tersebut sebesar 13,45 milyar dollar AS. Sedangkan pada tahun 1999 masih terjadi kenaikan lagi sebesar 8,4 miliar dollar AS. Namun demikian, lvi
tahun 2000 jumlah utang kembali mengalami sedikit penurunan. Perkembangan tersebut merupakan suatu bahan “renuangan” yang menarik mengenai strategi pembiayaan pembangunan dengan memanfaatkan utang luar negeri.
lvii
BAB IV UTANG LUAR NEGERI ANTARA KESENJANGAN DAN KESEJAHTERAAN A. Utang Sebagai Alat Hegemoni Buku berjudul Confessions of Economic Hit Man (CEHM) telah terbit di Indonesia dalam edisi yang sudah diterjemahkan. Buku ini sungguh menggelitik dan menarik untuk disimak, terutama berkaitan dengan pembicaraan perihal hegemoni asing di Indonesia.43 Mengapa? Setidaknya dua alasan penting dapat dikemukakan. Pertama, buku tersebut mengungkap sepak terjang dan modus operandi negara-negara barat dalam mengeruk keuntungan dari negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia. Proses pengerukan itu dalam realitasnya bisa secara mudah dan langgeng dijalankan karena bersembunyi di balik dalih bantuan dan pinjaman luar negeri yang dipagari dengan rambu-rambu hukum di negara penerima utang. Kedua, buku itu ditulis oleh orang yang melakukan secara langsung modus operandi proses tersebut. John Perkins, nama Si Aktor, resminya adalah ekonom Bank Dunia yang bertugas meracik proyeksiproyeksi ekonomi negara-negara penerima pinjaman sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lembaganya. Akan tetapi, di luar itu, menurut pengakuannya, dia juga berfungsi sebagai agen rahasia. Melalui angka-angka ekonomi yang disulapnya itulah ia mengemban misi agar kucuran utang itu terus berlangsung. Dengan begitu,
43
Jhon Perkins, Confessions of Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani (Jakarta: Abdi Tandor, 2005), h. 3
lviii
negara debitur akan semakin terperangkap utang sehingga kepentingan negara-negara yang tergabung ke dalam Bank Dunia akan terus bisa terpenuhi. CEHM, buku "pertobatan" serupa juga telah diluncurkan. Globalization and its Discontents, judul buku itu,dikarang oleh Joseph E. Stiglitz. Stiglitz bukanlah orang sembarangan. Selain penerima Nobel Ekonomi 2001, ia adalah mantan Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Presiden Clinton dan pernah menjabat Wakil Presiden Senior dan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia. Agak berbeda dengan Perkins yang lebih banyak berkisah pengalaman pribadinya, Stiglitz secara panjang lebar menyoroti segi-segikegagalan IMF dan Bank Dunia dalam menjalankan kegiatannya dinegara-negara dunia ketiga hingga mengantarkan negara-negara itu ke ambang kebangkrutannya dewasa ini. Dalam kaitannya dengan IMF, Stiglitz merumuskan kekeliruan IMF itu ke dalam "Daftar Dosa IMF". Dalam konteks Indonesia, dosa-dosa itu setidaknya dapat dijabarkan dalam lima hal, yaitu: 1.
IMF telah mengabaikan dan melanggar kaidah demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan baik ditingkat lembaga itu sendiri maupun pada level rekomendasi yang diberikan di suatu negara. Di tingkat IMF pengambilan keputusan dilakukan atas dasar besarnya sumbangan modal yang diberikan oleh negara anggotanya. Artinya semakin besar sumbangan modal yang diberikan oleh suatu negara, maka semakin besar pula hak suara yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan. Dalam posisi yang demikian, negara tersebut dengan lix
mudah menitipkan kepentingan-kepentingannya kepada IMF. Di tingkat rekomendasi, hal ini tampak pada pengalaman ketika lembaga ini memaksakan pencabutan subsidi BBM di tengah-tengah maraknya kemiskinan dan pengangguran sehingga bermuara pada kerusuhan massal. Selain itu, pemaksaan kebijakan privatisasi BUMN ditengah-tengah situasi birokrasi politik yang korup, terbukti bukan saja membuat kebijakan itu tidak menunjukkan efektivitasnya, tetapi juga semakin menyuburkan praktik politik uang di dalam kehidupan politik Indonesia. 2.
IMF telah mengkhianati komitmen semula sebagai lembaga yang bertindak netral untuk melakukan stabilisasi ekonomi suatu negara. Dalam kenyataannya sekarang, menurut Stiglitz, IMF telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan komunitas keuangan di AS (Washington Consensus).
3.
Sangat kentalnya watak kolonial IMF dengan mengarahkan perekonomian negara-negara yang ditanganinya kepada penjualan aset-aset negara strategis kepada pihak asing dengan kedok pemulihan ekonomi. Praktik ini tampak jelas dari kebijakan yang direkomendasikan kepada Argentina, Mexico dan Indonesia.
4.
Kedangkalan pemahaman IMF akan bekerjanya pasar uang. diulangi lagi dengan pemaksaan untuk melikuidasi 16 bank. Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan itu dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku paradeposan. Di tengah-tengah ancaman penutupan bank-bank, nasib para deposan dibiarkan begitu saja untuk menyelamatkan dirinya masinglx
masing. Dampaknya seperti telah pernah kita rasakan adalah kejatuhan dan kelumpuhan sistem finansial di Indonesia. 5.
Kegagalan badan ini dalam memahami arti penting transformasi sosial sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Dampak dari kebijakan ekonomi yang direkomendasikan nyaris tak pernah diperhitungkan oleh IMF. Maka tak mengherankan jika kerusuhan dan kekerasan selalu menyertai setiap pelaksanaan kebijakan IMF. Tiga catatan penting mengenai keberadaan preman ekonomi itu adalah
sebagai berikut. Pertama, preman ekonomi bekerja di bawah koordinasi badan keamanan nasional. Walaupun secara resmi ekonom penjajah direkrut, dilatih, dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara operasionalmereka dikerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika. Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General Electric, Nike, General Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh. Kedua, misi preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para penjabaprnjabat Negara dunia ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika. Dalam perjalanan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan apapun, termasuk melakukan cara-cara illegal. Target mereka adalah mendorong para pejabat Negara-negara Dunia ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya, sehingga Negara mereka tidak mampu membayarnya. Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bekanlah terakhir dari upaya pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi lxi
menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang ditandainya oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan atas pembinaan seorang penjahat Negara dunia ketiga. Kedua, penaklukan Negaranegara dunia ketiga yang bersangkutan melalui operasi militer.44
B.
Uta ng Luar Negeri dan Kesejahteraan Rakyat
Menurut imam Ghazali mengatakan tujuan utama syari’at adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan,akal, keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin berlindungnya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki Ibnul Qayyim berpendapat bahwa basis syari’at adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan itu terletakpada keadilan sempurna, rahmat, kesejahteraan dan hikmah. Apa saja yang membuat keadilan menjadi aniaya, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syari’at. Kebahagian manusia telah menjadi tujuan utama dari semua masyarakat manusia. Namun, ada perbedaan pandangan mengenai apa yang membentuk kebahagian itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan. Meskipun kondisi materil bukanlah satu-
44
Jhon Perkins, Confessions of Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani, h. 3-32
lxii
satunya isi dari kebahagiaan itu, pandangan sekuler modern yang sangat menekankan pada kondisi-kondisi demikian tampak percaya bahwa kebahagian dapat dijamin bila tujuan-tujuan materi tertentu dapat direalisasikan. Tujuan-tujuanini antara lain adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua individu, ketersedian peluang bagi setiap oranng untuk dapat hidup secara terhormat, dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Bagaimanapun juga tidak ada sebuah negara di dunia ini, baik itu kaya maupun miskin, yang telah berhasil merealisasikan sasaran materiil ini. Perekonomian perencanaan pusat yang telah mengklaim dapat menjamin sasaransasaran material, bukan saja telah gagal klaimnya, melainkan juga telah mengalami krisis ekonomi serius. Di pihak lain, euxforia di kalangan negara-negara ekonomi pasar makin yakin akan superioritas sistem ekonomi pasar daripada sebelumnya. Meskipun kinerja negara-negara ekonomipasar tetap lebih baik, tetapi mereka gagal dalam mewujudkan sasaran-sasaran materiil yang diinginkan. Kegagalan-kegagalan mereka justru tampak lebih kentara seperti adanya ketidakstabilan ekonomi dan ketidak keseimbangan makroekonomi yang direfleksikan melalui tingginya frekuensi fluktuasi ekonomi, lalu inflasi dan pengangguran yang tinggi, membengkaknya defisit anggaran dan neraca
pembayaran, dan ketidakstabilan nilai tukar, pasar,
barang, dan bursa saham. Negara0-negara yang sedang berkembang lebih jauh diselimuti oleh persoalan-persoalan cicilan utang luar negeri yang mengancam bukan saja masa depan pembangunan mereka, tetapi juga kesehatan dan kelangsungan sistem keuangan internasional. lxiii
Bila kita menggunakan amanat konstitusi, di dalam undang-undang dasar 1945 dengan jelas disebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kemudian disebutkan pula bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Dengan demikian sudah menjadi keseharusan bagi pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah dana agar setiap warga negara mendapatkan pendidikan alokasi belanja pemerintah juga harus bisa meningkatkan lapangan pekerjaan bagi setiap orang yang membutuhkannya. Itu pula sebabnya kenapa fungsi-fungsi anggaran harus dapat mewujudkan peran penting dalam perekonomian. Fungsi tersebut adalah pertama, fungsi alokasi, yaitu kemampuan APBN dalam menyediakan dana untuk kebutuhan masyarakat menyayangkan sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa, sarana dan prasarana, kesehatan, dan lain sebagainya. Kedua, fungsi distribusi, sebagai sarana untuk pemerataan yang mencakup pemerataan pendapatan dan pemerataan pembangunan guna mengurangi kesenjangan. Ketiga, fungsi stabilisasi, yaitu usaha untuk menciptakan stabilitas perekonomian dan sosial. Dan keempat, fungsi stimulus pertumbuhan, mengurangi pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja sekaligus merupakan usaha untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Selama ini dana utang tidak dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dana utang hanya untuk dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan sekaligus untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Sehingga diperlukan sebuah solusi dalam menyelesaikan persoalan beban utang luar negeri, solusi harus dipatokan lxiv
pada pengurangan jumlah utang sebagai pilihan satu-satunya. Penghapusan jumlah utang atau debt cancellation, sebagaimana yang didesakkan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara, patut ditempuh pemerintah.
lxv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pada akhirnya Penulis dapat menyimpulkan bahwa utang luar negeri adalah: 1.
Utang luar negeri dalam segi manfaatnya bagi kesejahteraan indonesia menurut penulis
dirasakan
kurang
manfaatnya
dikarenakan
mempercayakan
perekonomian indonesia kepada utang luar negeri tidak hanya negara yang bangkrut tapi rakyat indonesia jua akan menjadi terbelakang dan bodoh. Hal ini perlu diluruskan kembalil strategi pemberdayaan rakyat indonesia tanpa dihasilkan dari utang. Kekayaan sumber daya alam kita dan potensi sumber daya manusia perlu ditingkatkan sehingga mampu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 2.
Menurut pandangan fiqh siyasah persoalan utang luar negeri di indonesia tidak lepas dari aspek bung dan pemaksaan yang dilakuakan oleh kreditor sehingga aspek adanya bunga dan tanpa Ridha bi Ridha (pemaksaan mengakibatkan utang luar negeri dalam pandangan fiqh siyasah dianggap tidak sah. Kita TAHU UTANG LUAR NEGERI bunganya cukup besar sehingga terkadang antara utang dengan bunganya besar bunganya, belum lagi aspek pemaksaan dari paham
lxvi
pemikiran idiologi, politik, dan sebagainya. Oleh sebab itu menurut penulis dalam pandangan fiqh siyasah utang luar negeri terdapat banyak keganjalan jika memakai tinjauan fiqh siyasah atau dalam bahasa penulis, utang luar negeri tidak sesuai dengan ajaran islam.
lxvii
lxviii