MEI 2017
MEI 2017
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan ridhaMei 2017 diterbitkan. Buku ini merupakan asesmen terhadap perkembangan ekonomi Jawa Barat terkini yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, perbankan dan sistem pembayaran, keuangan daerah, ulasan perkembangan kesejahteraan masyarakat serta mencakup pula prospek perekonomian ke depan. Dalam penyusunan buku ini, data dan informasi selain dari internal Bank Indonesia, juga bersumber dari berbagai instansi terkait, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan dinas-dinas terkait, BPS Jawa Barat, BULOG Divre III, Kementerian Keuangan c.q. DJP Jawa Barat I, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, PLN, berbagai perusahaan, asosiasi dan akademisi. Sehubungan dengan hal tersebut, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini. Akhir kata, kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan ridha-Nya dan menerangi setiap langkah kita.
Bandung, 6 Juni 2017 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat Ttd Wiwiek Sisto Widayat Direktur Eksekutif
FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR
...............
i ii
DAFTAR TABEL
iii iv ...
TABEL INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAWA BARA
vii
...........
x
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL 1.1
1 1.1.
....
1.1.1. Sisi Pengeluaran
..
1.1.1.1.
.
5 10
...
16
1.1.1.2. Investasi 1.2
1.1.1.3. Ekspor Impor
23
1.1.2 Sisi Lapangan Usaha
29
1.1.2.1 Industri Pengolaha
32
1.1.2.2 Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-
.....
36
1.1.2.3 Pertanian, Kehutanan dan
38
1.1.2.4 Konstruksi
...
40
1.2.
41
BAB II KEUANGAN PEMERINTAH 2.1
2.1.
.....................................................
48
2.2.
49 50
2.2.2 Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 ..................................................
51
2.2.3 Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat ............................................................................................
53
2.2.4 Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 ..........................................................
55
2.2
2.3.
... 58
2.3
2.4.
60 ..
ii
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI Kondisi Umum 3.1
3.1. Perkembangan Inflasi Periode Triwulan II
66 .....
66
3.1.2 Inflasi Triwulanan (qtq)
72
3.1.3 Inflasi Tahunan (yoy)
74
3.2. Perkembangan Inflasi Menurut Kota
77
3.3. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi .............................
80
3.4. Perkembangan Inflasi Triwulan I 2017.........................................................................................
85
3.5. Program Pengendalian Inflasi Daerah
87
3.5.1
89 95
Boks 1 E-Priangan
96
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM 4.1
4.1. Perkembangan Kinerja Bank Umum
100
4.1.1 Aset dan Aktiva Produktif
iii
..
100
4.1.2 Dana Pihak Ketiga
100
4.1.3
102
4.1.3.1 Penyaluran Kredit di Sektor Utama Penopang Perekonomian Jawa Barat
105
4.1.3.2 Penyaluran Kredit Menurut Kota/Kabupaten di Jawa Barat
107
4.1.4 Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
107
4.1.4.1 Penyaluran Kredit UMKM di Jawa Barat
107
4.1.4.2 Penyaluran Kredit UMKM Menurut Kabupaten/Kota
109
4.1.4.3 Program Bank Indonesia dalam Pengembangan UMKM
109
4.2. Asesmen Sektor Korporasi
113
4.2.1 Sumber-Sumber Kerentanan Sektor Korporasi
113
4.2.2 Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
114
4.2.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
116
4.3. Asesmen Sektor Rumah Tangga
117
4.3.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
117
4.3.2. Kinerja Keuangan Rumah Tangga
119
4.3.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Rumah Tangga
120
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH 5.1
5.1
Sistem Pembayaran Non Tunai
5.2
5.1.1 Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
..
...
123 123
5.1.2 Upaya Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
124
5.1.3 Upaya Pengembangan Layanan Keuangan Non Tunai dan Elektronifikasi
125
5.2
128
Pengelolaan Uang Rupiah
5.2.1 Penarikan dan Penyetoran Perbankan
128
5.2.2 Upaya Penyediaan Uang Layak Edar
129
5.2.3 Temuan Uang yang Tidak Sesuai Dengan Ciri Keaslian Rupiah
131
5.2.4 Upaya Menekan Peredaran Uang Palsu
..
Boks 2 Budaya Elektronifikasi Bank Sentral
131 133
BAB VI KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN 6.1
6.1
....
136
6.2
6.2
141
6.3
6.3
144
BAB VII PROSPEK PEREKONOMIAN 7.1. Prospek Ekonomi Makro Regional ........................................................................................................... 149 7.1.1. Prospek Ekonomi Triwulan II 2017..........................................................................................
149
7.1.2. Prospek Ekonomi Tahun 2017................................................................................................
152
7.2. Prakiraan Inflasi ...........................................................................................................................
157 161
TIM PENYUSUN ............................................................................................................................................................ 163
iv
Tabel 1.1
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Sisi Pengeluaran (% yoy)
Tabel 1.2
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Sisi Lapangan Usaha (% yoy)
Tabel 1.3
Struktur (ADHB)
Tabel 1.4
Laju
Tabel 1.5
Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran (% yoy)
9
Tabel 1.6
Struktur Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
10
Tabel 1.7
Struktur Komponen Investasi Provinsi Jawa Barat (% yoy)
17
Tabel 1.8
Struktur Ekspor-
Tabel 1.9
Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Jawa Barat (HS 2 Digit)
Tabel 1.10
Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
Tabel 1.11
Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (% yoy)
31
Tabel 1.12
Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (%)
32
Tabel 1.13
Perkembangan
34
Tabel 1.14
UMK Kab/Kota di Jawa Barat
43
Tabel 2.1
Ringkasan Realisasi APDB Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan
49
PDRB
Provinsi
Jawa
Barat
Berdasarkan
.................................................................. ..................................
Komponen Pengeluaran
Atas
Dasar
Harga
Berlaku ..........
2 3 9 9
................................................
24
.................................
27
............
Tabel 2.2
30
50
Tabel 2.3
Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan IV 2016
52
Tabel 2.4
Anggaran Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 dan 2016
54
Tabel 2.5
Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan III 2016
55
Tabel 2.6
Anggaran Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat
60
Tabel 2.7
Realisasi Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan III 2016
61
Tabel 2.8
Realisasi Komponen Belanja APBN Berdasarkan Fungsi di Provinsi Jawa Barat
62
Tabel 3.1
Perbandingan Inflasi Bulanan Menurut Kelompok Barang (%, mtm)
67
Tabel 3.2
67
Tabel 3.3
71
Tabel 3.4
72
Tabel 3.5
Perkembangan Inflasi B
72
Tabel 3.6
Inflasi & Andil Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Ke
75
Tabel 3.7
77
Tabel 3.8
Perkembangan Inflasi dan Andil Inflasi Kota
79
Tabel 3.9
Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Administered Prices di Jawa Barat Triwulan IV 2016 (%, yoy)
81
Tabel 3.10
Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Volatile Food di Jawa Barat Triwulan IV
82
Tabel 3.11
Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Core Inflation di Jawa Barat Triwulan IV
84
Tabel 4.1
109
iii
Tabel 4.2
Dana Rumah Tangga Untuk Membayar Cicilan d
120
Tabel 4.3 Tabel 6.1
120
Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama (Juta Orang)
137
.............
Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4
138 138
Klasifikasi Penduduk Bekerja (Juta
.
139
Tabel 6.5
139
Tabel 6.6
140
Tabel 6.7
Penduduk
140
Tabel 7.1
152
Tabel 7.2
158
iv
Grafik 1.1 Grafik 1.2 Grafik 1.3 Grafik 1.4 Grafik 1.5 Grafik 1.6 Grafik 1.7 Grafik 1.8 Grafik 1.9 Grafik 1.10 Grafik 1.11 Grafik 1.12 Grafik 1.13 Grafik 1.14 Grafik 1.15 Grafik 1.16 Grafik 1.17 Grafik 1.18 Grafik 1.19 Grafik 1.20 Grafik 1.21 Grafik 1.22 Grafik 1.23 Grafik 1.24 Grafik 1.25 Grafik 1.26 Grafik 1.27 Grafik 1.28 Grafik 1.29 Grafik 1.30 Grafik 1.31 Grafik 1.32 Grafik 1.33 Grafik 1.34 Grafik 1.35 Grafik 1.36 Grafik 1.37 Grafik 1.38 Grafik 1.39 Grafik 1.40 Grafik 1.41 Grafik 1.42 Grafik 1.43 Grafik 1.44 Grafik 1.45 Grafik 1.46 Grafik 1.47 Grafik 1.48 Grafik 1.49 Grafik 1.50 Grafik 1.51 Grafik 1.52 Grafik 1.53 Grafik 1.54 Grafik 1.55 Grafik 1.56
Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa 2015 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi Lapangan Usaha Tahun 2016....................... ......... Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Jawa ................. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyaluran Kredit. ... .. Pertumbuhan Ekonomi dan Outflow Uang Kartal ............. .. Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT .......... Perkembangan Indeks Penjual Eceran Riil (IPR) ....................................... Indeks Keyakinan Konsumen .................... Indeks Ekonomi Saat Ini ...... Penggunaan Pendapatan Rumah Tangga Perkembangan Harga .. Pertumbuhan Harga Properti Per Tipe . Perkembangan Impor Barang Konsumsi ...................... .. .. Perkembangan Nilai Tukar Petani (Rata-rata). ...................................... .................. ....................... . Indeks ............................................. Perkembangan Permintaan Domestik..................................................................................... Perkembangan Kredit Perkembangan KPR Berdasarkan Kategori dan Timeline Penerapan LTV .................. Perkembangan Suku Bunga Kredit Konsumsi dan Rumah Tangga................................ Realisasi Belanja Operasional......................................... Realisasi Belanja Operasional-APBD di Jawa Barat ................................................................... Simpanan Pemda di Perbankan Pertumbuhan .......................................................... Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Berdasarkan Laporan Wajib LKPM... Pertumbuhan PMA ke Sektor Utama di Jawa Barat ................................................................ Pertumbuhan PMDN ke Sektor Utama di Jawa Barat.............................................................. Struktur Investasi di Jawa Barat Tahun 2016 (PMA serta PMDN LKPM dan Non LKPM)............ Distribusi Distribusi PMDN (LPKM+ Andil Pertumbuhan Investasi (PMA+PMDN) Tahun 2016 (yoy) Per Sektor Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Bangunan Penjualan Semen Jawa Barat ................................................................................................ ............................ Perkembangan ............................................................... Perkembangan Investasi Pelaku Usaha Liaison ...................................................... Perkembangan Kredit Investasi Jawa Barat . .......... ............ .... Perkembangan Neraca Perdagangan Antar Daerah Jawa Barat .............................................. Keyakinan Konsumen Provinsi Mitra Dagang Jawa . Perkembangan Nilai & Volume Ekspor Penjualan Ekspor Pelaku Usaha Liaison Bank Indonesia ......... Struktur Komoditas Ekspor Jawa Barat ..................... ............ Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Jawa Barat Ekspor Jawa Barat ke Negara/Kawasan Tujuan Utama Perkembangan PMI Negara Mitra Dagang Utama .. ... Perkembangan Nilai Volume Impor Jawa . Perkembangan Nilai Tukar .. Perkembangan Impor Jenis Penggunaan .............................
1 5 5 6 6 7 7 10 11 11 11 11 12 12 13 13 13 14 14 14 14 15 15 16 16 16 17 17 18 18 19 19 19 20 20 21 21 21 22 23 23 23 23 24 24 25 26 26 26 26 28 28 28 28 29 33
Grafik 1.56 Grafik 1.57 Grafik 1.58 Grafik 1.59 Grafik 1.60 Grafik 1.61 Grafik 1.62 Grafik 1.63 Grafik 1.64 Grafik 1.65 Grafik 1.66 Grafik 1.67 Grafik 1.68 Grafik 1.69 Grafik 1.70 Grafik 1.71 Grafik 1.72 Grafik 1.73 Grafik 1.74 Grafik 1.75 Grafik 1.76 Grafik 1.77 Grafik 1.78 Grafik 1.79 Grafik 1.80 Grafik 1.81 Grafik 1.82 Grafik 1.83
....................... Konsumsi Perumahan dan Perlengkapan Rumah Tangga.... Konsumsi Pakaian dan Alas Kaki ............................................. Konsumsi Makanan Minuman Selain Restoran
.................. Perkembangan Permintaan Domestik ....................................... Pemakaian Listrik Industri ............................. Perkembangan Lalu Lintas di Tol.................................... Perkembangan Produksi Mobil ....................... Kredit Industri Pengolahan ............................ . NPL Industri Pengolahan ............................ . ..... Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT ............................ . Indeks Keyakinan Konsumen ............................ . Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini........................ . Kredit Lapangan Usaha Perdagangan..................................................................................... NPL Lapangan Usaha Perdagangan ......................................................................................... SKDU Pertanian............................................................................................................... Kapasitas Produksi Pertanian ................................................................................................... Likert Scale Penjualan Domestik............................................................................................. Likert Scale Penggunaan Tenaga Kerja .......................................................................................... Indeks yang Diterima Petani.............................................................................................. Kredit Pertanian.................................................................................................. NPL Pertanian................................................................................................... SKDU Konstruksi.......................................................................................................... Pertumbuhan KPR............................................................................................................. Kredit Konstruksi ................................................................................................................... ......................................................................................................... Indeks Ekspektasi Konsumen Jawa Barat..................................................................................
33 33 33 33 34 34 35 35 35 36 36 37 37 37 37 37 38 38 39 39 39 40 40 40 40 41 41 42
Grafik 2.1
Perkembangan APBD Provinsi Jawa Barat .........................................................................
42
Grafik 2.2 Grafik 2.3 Grafik 2.4 Grafik 2.5 Grafik 2.6 Grafik 2.7 Grafik 2.8 Grafik 2.9 Grafik 2.10 Grafik 2.11 Grafik 2.12 Grafik 2.13 Grafik 2.14 Grafik 3.1 Grafik 3.2 Grafik 3.3 Grafik 3.4 Grafik 3.5 Grafik 3.6 Grafik 3.7 Grafik 3.8 Grafik 3.9 Grafik 3.10 Grafik 3.11 Grafik 3.12 Grafik 3.13
Perkembangan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat .............................. Pangsa Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat ........................................... Proporsi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat ..................................................................... Persentase Realisasi Anggaran Belanja Per Triwulan (%)...................................................... Perkembangan Belanja Operasi dan Modal............................................................................. Pangsa Realisasi Belanja Operasi (%).......................................................................... Pertumbuhan Komponen Belanja Operasi...................................................................... Pangsa Anggaran Belanja Kab/Kota 2016 (%).................................................................. Struktur Belanja APBD Kab/Kota 2015 dan 2016 .............................. Perkembangan Realisasi Belanja 18 Kab/Kota di ............................... Pangsa Realisasi Belanja APBN di Jawa Barat.......................................................................... Perkembangan Belanja APBN di Jawa Barat ......................................................................... % Realisasi APBN di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Belanja Per Triwulan Inflasi Jawa Barat dan Nasional Inflasi Tahunan Provinsi di Kawasan Jawa Ringkasan Perkembangan Inflasi Jawa Barat (yoy) Rata-Rata I Inflasi B ..
50 51 55 56 57 57 57 59 59 60 61 61 61 58 58 59 60 61 61 61 63 64 66 66 67 67
.................... ..
Pertumbuhan Industri Besar Menengah
Rata-Rata Inflasi Bulanan Sub Kelompok Transpor Inflasi Bulanan Tarif Pulsa Ponsel Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Bulanan (mtm) Inflasi Triwulanan Kelompok Bahan Makanan Inflasi Triwulanan Subkelompok Bumbu-Bumbuan Inflasi Triwulanan Kelompok Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan Inflasi Triwulanan Subkelompok Transpor Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Triwulanan (qtq)
..............................
v
vi
Grafik 3.14 Grafik 3.15 Grafik 3.16 Grafik 3.17 Grafik 3.18 Grafik 3.19 Grafik 3.20 Grafik 3.21 Grafik 3.22 Grafik 3.23 Grafik 3.24 Grafik 3.25 Grafik 3.26 Grafik 3.27 Grafik 3.28 Grafik 3.29 Grafik 3.30 Grafik 3.31 Grafik 3.32 Grafik 3.33 Grafik 3.34 Grafik 3.35 Grafik 4.1 Grafik 4.2 Grafik 4.3 Grafik 4.4 Grafik 4.5 Grafik 4.6 Grafik 4.7 Grafik 4.8 Grafik 4.9 Grafik 4.10 Grafik 4.11 Grafik 4.12 Grafik 4.13 Grafik 4.14 Grafik 4.15 Grafik 4.16 Grafik 4.17 Grafik 4.18 Grafik 4.19 Grafik 4.20 Grafik 4.21 Grafik 4.22 Grafik 4.23 Grafik 4.24 Grafik 4.25 Grafik 4.26 Grafik 4.27 Grafik 4.28 Grafik 4.29 Grafik 4.30 Grafik 4.32 Grafik 4.33 Grafik 4.34 Grafik 4.35
Inflasi Tahunan Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar Inflasi Tahunan Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Tahunan (yoy)
Inflasi Kota di Jawa Barat Triwulan IV 2016 (yoy Inflasi Tahunan Kota Inflasi
Disagregasi Inflasi Jawa ................................ Inflasi Administered prices Kelompok Energi dan Non Energi (yoy) ................................ Perkembangan Inflasi Core Traded dan Non Traded (yoy) ......................................... Disagregasi Inflasi Core Traded
Perkembangan Harga Properti Residensial Inflasi Core Kelompok Bahan Bangungan Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Perkembangan Disagregasi Inflasi Indeks Ekspektasi Harga (IEH) 3 Bulan Mendatang Perkembangan IEH 3Bulan Berdasarkan Kelompok Barang Perkiraan Harga Jual Pelaku Usaha
Pertumbuhan
NPL dan Kredit Ind Pengolah
NPL
Perkembangan Kegiatan Usaha LikertSscale Permint
67 70 70 70 72 72 72 72 74 74 74 74 75 75 78 78 79 79 79 79 80 81 100 100 101 101 101 101 101 103 103 103 104 104 105 105 106 106 107 107 107 107 108 108 108 109 109 114 114 114 114 115 116 116 116 116
Grafik 4.36 Grafik 4.37 Grafik 4.38 Grafik 4.39 Grafik 4.40 Grafik 4.41 Grafik 4.42 Grafik 4.43 Grafik 5.1 Grafik 5.2 Grafik 5.3 Grafik 5.4 Grafik 5.5 Grafik 5.6 Grafik 5.7 Grafik 5.8 Grafik 5.9 Grafik 5.10 Grafik 5.11 Grafik 5.12 Grafik 6.1 Grafik 6.2 Grafik 6.3 Grafik 6.4 Grafik 6.5 Grafik 6.6 Grafik 6.7 Grafik 6.8 Grafik 6.9 Grafik 6.10 Grafik 6.11 Grafik 6.12 Grafik 7.1 Grafik 7.2 Grafik 7.3 Grafik 7.4 Grafik 7.5
Ekspektasi Perkembangan Kredit RT NPL Kredit RT Perkembangan S Perkembangan SKNBI Spasial Kliring Provinsi Tujuan Kliring Jawa Barat Asal Provinsi Kliring ke Jawa Barat Perkembangan Jumlah Agen LKD di Jawa Barat Sebaran Agen LKD per Kab/Kota di Jawa Barat Perkembangan Jumlah Mesin ATM Perkembangan Jumlah Mesin EDC Penarikan dan Penyetoran Perbankan Indeks Kondisi Ekonomi Perkembangan pemusnahan Indeks Penggunaan Tenaga Kerja Indeks Penggunaan Tenaga Kerja (Prakiraan) Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan Penghasilan Saat Ini Indeks Ekspektasi Ketenagakerjaan, dan Penghasilan Saat Ini NTP Jawa Barat dan Komponen Penyusunnya NTP Berdasarkan Subsektor di Jawa Barat Indeks yang Diterima Petani Jawa Barat Indeks yang Dibayar Petani Jawa Barat .. . Nilai Tukar Usaha Petani Jawa Barat Perkembangan Indikator Kesejahteraan Jawa Barat Pertumbuhan Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Struktur Perekonomian Berdasarkan Penggunaan Indeks Ekspektasi Konsumen Jawa Barat Indeks Pengeluaran 3 Bulan Mendatang
Plotting Pertumbuhan Ekspor LN Jawa Barat dan Harga Minyak Global Perkembangan Andil Lapangan Usaha
117 118 118 118 119 119 121 121 123 123 123 124 124 127 127 128 128 128 128 131 136 136 141 141 142 142 143 143 144 145 145 145 150 150 153 156 156
vii
RINGKASAN EKSEKUTIF
LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI (PDRB) Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,24% (yoy) pada triwulan I 2017, lebih rendah dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 5,45% (yoy)
Perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh melambat dibanding triwulan sebelumnya, yakni dari 5,45% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 5,24% (yoy) pada triwulan I 2017. Namun demikian, realisasi ini lebih tinggi dibanding rata-rata LPE triwulan I pada kurun waktu 2014-2016 yang tercatat sebesar 4,90%. Hal ini menandakan bahwa perbaikan kinerja perekonomian Jawa Barat yang berlangsung sejak tahun 2016 masih terus berlanjut. LPE Jawa Barat kembali tercatat lebih tinggi dari nasional (5,01%). Dari sisi pengeluaran, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Perlambatan ini didorong oleh beberapa faktor antara lain: (1) efek base year, di mana pada triwulan I 2016 belanja Pemerintah mengalami akselerasi dalam rangka persiapan penyelenggaraan acara PON ke-19 dan Peparnas ke-15; dan (2) wait and see investor terkait perekonomian regional khususnya di tengah berlangsungnya Pilkada di sejumlah daerah. Dari sisi lapangan usaha, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 didorong oleh melambatnya laju pertumbuhan mayoritas lapangan usaha di Jawa Barat khususnya lapangan usaha utama yakni perdagangan, pertanian dan konstruksi. Namun demikian, industri pengolahan masih tumbuh cukup kuat. Sejalan dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan dengan berlalunya libur akhir tahun, lapangan usaha perdagangan mengalami perlambatan. Lapangan usaha pertanian juga mengalami perlambatan setelah sebelumnya tumbuh cukup tinggi di triwulan IV 2016. Sementara itu, lapangan usaha industri pengolahan tumbuh cukup signifikan. Peningkatan pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan terutama didorong oleh menguatnya permintaan global. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada triwulan II 2017. Dari sisi pengeluaran, peningkatan konsumsi rumah tangga diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2017, dipengaruhi oleh faktor seasonal yakni pergeseran momen Ramadhan dan Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan serta Lebaran berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, pada triwulan II 2017 juga berlangsung sejumlah perioe libur panjang. Telah diselesaikannya perbaikan Jembatan Cisomang yang kembali beroperasi normal pada awal triwulan II 2017 juga diperkirakan dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih efisien dan kondusif. Sementara dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat triwulan II 2017 diperkirakan didorong oleh pertumbuhan ketiga lapangan usaha Jawa Barat yakni industri pengolahan, perdagangan besar-eceran dan reparasi kendaraan serta pertanian, kehutanan dan perikanan. Menguatnya permintaan ekspor diperkirakan masih berlanjut sedangkan permintaan domestik juga akan meningkat karena momen Ramadhan dan Lebaran sehingga mendorong kinerja lapangan usaha industri pengolahan serta perdagangan.
vii
RINGKASAN EKSEKUTIF
PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Jawa Barat pada triwulan I 2017 terkendali walau mencatatkan sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan disagregasi kelompok, peningkatan tekanan inflasi tahunan ini disebabkan baik oleh faktor fundamental pada kelompok core serta faktor non fundamental dari kelompok administered prices. Di sisi lain, penurunan tekanan inflasi pada kelompok volatile food menjadi penahan inflasi yang lebih tinggi lagi.
Inflasi IHK Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 3,37% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 2,75% (yoy). Namun realisasi ini masih lebih rendah dibanding rata-rata historis inflasi triwulan IV sebesar 5,11% (yoy). Berdasarkan disagregasi kelompok, tekanan inflasi pada triwulan I 2017 disumbang oleh kelompok core dan administered prices dengan andil masing-masing sebesar 1,66% (yoy) dan 1,04% (yoy). Sementara itu, kelompok volatile food memberikan andil inflasi yang lebih rendah yakni 0,67% (yoy). Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan tekanan inflasi tercermin dari andil inflasi kelompok core dan administered prices yang meningkat. Sementara itu, andil inflasi kelompok volatile food yang menurun menjadi faktor penahan tekanan inflasi di triwulan I 2017. Peningkatan inflasi core dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy) pada triwulan I 2017 disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 0,76% (qtq) akibat adanya kenaikan Fed Fund Rate pada tanggal 15 Maret 2017; (2) meningkatnya harga emas di domestik yang tercermin dari kenaikan harga emas Antam; serta (3) penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran antara lain seperti Jalan Tol Soroja dan perbaikan Jembatan Cisomang menyebabkan peningkatan harga semen. Inflasi kelompok administered prices juga tercatat meningkat tajam yakni dari -0,0 4% (yoy) menjadi 5,20% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan ini khususnya terjadi pada sub kelompok energi seiring dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan golongan 900VA secara bertahap pada tahun 2017. Dari sub kelompok non energi, tekanan inflasi disumbang oleh kenaikan cukai rokok tahunan yang meningkat pada bulan Februari 2017. Di sisi lain, inflasi volatile food juga tercatat menurun tajam yakni dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72% (yoy) pada triwulan I 2017. Penurunan ini terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya masa panen untuk komoditas padi di sejumlah sentra di Jawa Barat yang tercermin pada harga beras di pasar tradisional yang terpantau menurun. Selain itu harga komoditas cabai yang tinggi dari awal tahun 2017, pada akhir triwulan I 2017 mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas.
viii
Inflasi IHK tahunan Jawa Barat pada triwulan II 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,9% - 4,3% (yoy), meningkat dibanding realisasi inflasi triwulan I 2017 sebesar 3,37% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi ini terutama didorong oleh kebijakan pemerintah menaikkan tarif administered prices yaitu kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA tahap 3 pada triwulan II 2017, selain itu juga terdapat momen bulan Ramadhan dan Lebaran yang terjadi penuh di triwulan II 2017.
RINGKASAN EKSEKUTIF
STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM Tekanan risiko korporasi terindikasi menurun sebagai dampak menguatnya permintaan ekspor. Risiko di sisi rumah tangga juga berada di level aman terlihat dari konsumsi dan kemampuan membayar yang masih cukup solid.
Kinerja pembiayaan perbankan tercatat meningkat diiringi dengan non performing loan yang stabil. Peningkatan terjadi baik di sisi kredit untuk korporasi maupun rumah tangga. Di sisi lain, menguatnya permintaan global mendorong peningkatan kinerja korporasi sedangkan dari sisi rumah tangga, baik pembiayaan perbankan di sektor rumah tangga maupun kemampuan membayar (DSR) rumah tangga masih stabil.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Terjadi peningkatan netinflow karena efek seasonal awal tahun serta perlambatan kinerja transaksi kliring baik volume maupun nilai karena dampak perubahan kebijakan kliring
Sementara itu, pada sistem pembayaran tunai, perputaran uang di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, net inflow yang dihasilkan lebih besar dibandingkan periode triwulan IV 2016 karena adanya efek seasonal awal tahun (dropping anggaran negara, pembayaran pajak, dsb). Sedangakn di sisi sistem pembayaran non tunai, baik volume maupun nilai transaksi kliring mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2016. Hal ini lebih disebabkan base year effect karena perubahan kebijakan caping kliring.
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN Melambatnyaa kinerja perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran terbuka pada triwulan laporan
Melambatnya kinerja perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 201 7 berdampak pada penurunan kondisi ketenagakerjaan pada triwulan laporan. Tingkat pengangguran terbuka tercatat meningkat menjadi 8,89%. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha, kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat yang tercermin dari indeks perkembangan penggunaan tenaga kerja menunjukkan pelemahan dengan penurunan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari triwulan IV 2016 sebesar 1,73 menjadi 2,03 pada triwulan I 2017.
PRAKIRAAN PEREKONOMIAN KE DEPAN Pada triwulan III 2017, perekonomian Jawa Barat diperkirakan tumbuh melambat dibanding triwulan II 2017. Namun untuk keseluruhan tahun 2017, LPE Jawa Barat diperkirakan meningkat terbatas dibanding tahun 2016.
Pada triwulan III 2017, perekonomian Jawa Barat diperkirakan tumbuh meningkat dibanding triwulan I 2017 yakni pada kisaran 5,6% - 6,0% (yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga akibat faktor seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, mulai berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga Mampu per 1 Juli 2017 juga berpotensi menahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi Pemerintah juga diperkirakan tertahan pada triwulan III 2017, disebabkan oleh efek base year yakni diselenggarakannya PON ke-19 pada akhir triwulan III 2016 (September 2016). Untuk keseluruhan tahun 2017, akselerasi pertumbuhan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen PDRB. Konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan upah serta stimulus baik dari sisi fiskal maupun moneter. Investasi untuk keseluruhan tahun juga diperkirakan meningkat khususnya dari sisi pemerintah seiring dengan percepatan penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis. Dari aspek eksternal, prospek positif pada kinerja ekonomi mantra dagang utama seperti Amerika Serikat diperkirakan menjadi faktor pendorong, sejalan dengan prospek positif dari kerjasama dengan negara-negara di kawasan
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
ASEAN. Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan sedikit meningkat pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, namun masih berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Dampak kenaikan tarif yang diatur pemerintah (administered prices) serta second round effect-nya perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan gejolak khususnya memasuki periode Ramadhan dan Lebaran pada triwulan II 2017. Selain itu, potensi peningkatan harga minyak dunia serta dampaknya kepada harga BBM di dalam negeri juga perlu diwaspadai.
x
I. EKONOMI MAKRO REGIONAL INDIKATOR Produk Domestik Regional Bruto (%, yoy)
2015 I r) 4.93
2015
2016
2016
2017
II r) 6.06
III
IV
5.04
I r) 5.20
5.97
5.45
5.67
5.24
5.23 -21.60 -0.71 6.49 -30.27 10.38 4.35
5.07 -8.13 8.10 4.16 -16.51 5.46 2.20
5.78 7.90 2.81 0.79 -8.98 0.66 -4.11
5.92 5.61 10.57 5.33 -14.00 0.46 -3.10
5.90 6.11 -7.82 4.02 23.34 1.98 -0.95
4.81 2.48 9.19 7.98 26.84 9.80 12.92
5.60 5.48 3.76 4.59 3.99 3.34 1.66
5.03 2.07 4.95 3.97 1.79 15.19 14.66
4.59 -8.44 4.02 -11.54 9.84 6.41
0.16 0.41 4.39 -6.80 5.88 6.43
-1.51 -0.39 5.14 4.86 2.46 6.27
5.21 -6.84 5.29 -1.79 5.62 7.06
11.10 0.42 4.64 5.38 9.43 2.70
9.39 3.04 4.03 4.93 7.65 4.35
5.80 -0.97 4.77 3.37 6.33 5.02
5.75 0.95 4.75 6.33 7.84 4.08
I
Berdasarkan Permintaan/ Penggunaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah PMTB Perubahan Inventori Ekspor Impor
Berdasarkan Penawaran/ Lapangan Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik, Gas Pengadaan Air Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya
3.62
3.71
2.48
4.18
5.52
5.42
4.44
5.33
10.24 8.24 17.96 8.88 7.21 6.44
8.90 8.10 16.31 7.36 5.46 8.15
7.74 9.39 16.71 10.13 8.15 7.71
6.46 6.59 14.43 18.40 7.06 6.61
13.18 9.66 13.66 10.25 6.60 9.67
7.79 11.56 12.50 9.34 4.29 8.58
8.84 9.31 14.27 11.89 6.51 8.16
6.06 9.42 10.37 1.41 4.50 7.80
0.80
5.53
3.57
17.20
-7.68
0.51
2.98
0.84
7.94 14.71 8.03
10.17 14.14 8.96
10.69 11.86 10.88
9.12 7.33 7.81
5.85 9.52 9.75
5.18 9.25 6.67
7.61 9.48 8.73
8.03 7.73 8.96
6,132 1,605
24,791 6,661
5,891 1,622
6,500 1,669
5,992 1,568
6,545 2,028
24,927 6,887
6,866 1,660
2,826 468
10,928 1,961
2,735 521
2,924 591
2,587 499
2,823 525
11,068 2,136
2,646 568
117.33 117.33 116.79 117.80 118.09 119.09 116.00 116.74
121.03 121.71 121.20 120.15 121.69 121.96 118.94 121.10
121.77 122.42 120.68 121.94 122.98 122.62 119.28 122.01
122.49 123.23 121.13 122.89 123.58 123.03 120.10 123.07
123.13 123.67 121.86 123.64 124.37 123.99 120.61 123.44
124.36 125.28 123.07 124.35 126.07 125.09 121.16 124.43
124.36 125.28 123.07 124.35 126.07 125.09 121.16 124.43
125.87 126.35 124.55 126.19 128.32 126.87 122.55 125.73
5.46 6.26 5.04 5.09 5.03 6.09 4.52 5.90
2.73 3.93 2.22 1.87 2.70 2.20 1.56 3.53
3.78 4.34 3.33 3.51 4.14 2.96 2.83 4.51
3.22 3.54 2.75 3.49 3.02 2.70 2.12 4.14
2.54 2.54 2.09 2.90 2.53 2.52 1.95 3.62
2.75 2.93 2.47 2.60 3.60 2.57 1.87 2.75
2.73 3.93 2.22 1.87 2.70 2.20 1.56 3.53
3.37 3.21 3.21 3.49 4.34 3.47 2.74 3.05
Ekspor Nilai Ekspor Non Migas (USD juta) Volume Ekspor Non Migas (ribu ton)
Impor Nilai Impor Non Migas (USD juta) Volume Impor Non Migas (ribu ton)
Indeks Harga Konsumen (IHK)
x
Jawa Barat Kota Bandung Kota Bekasi Kota Depok Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Tasikmalaya
Laju Inflasi Tahunan (%, yoy) Jawa Barat Kota Bandung Kota Bekasi Kota Depok Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Tasikmalaya Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat ( r) Angka Revisi) Ket : Data IHK menggunakan Tahun Dasar 2012.
II. PERBANKAN INDIKATOR (dalam Rp Triliun kecuali dinyatakan lain)
2015 I
2015
435.18 314.06 279.83 454.75 89.10 32.49 22.78 26.03 34.12 114.27
2016
2016
2017 I
517.14 370.65 335.19 521.54 90.44
517.14 370.65 335.19 521.54 90.44
522.21 373.56 335.91 522.92 89.92
41.84 29.56 30.30 42.09 102.48
41.84 29.56 30.30 42.09 102.48
42.11 29.86 30.76 44.03 103.00
I
II
III
IV
472.30 343.94 306.13 489.93 89.01
478.61 346.71 308.24 486.83 88.91
496.02 358.29 322.24 506.80 89.94
500.71 360.02 325.53 510.52 90.42
36.78 26.40 28.40 36.38 107.60
36.90 26.14 28.38 36.17 108.57
38.32 27.37 28.76 39.39 105.08
39.27 28.32 29.53 40.49 104.27
Bank Umum Konvensional Total Aset Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor* Kredit - Lokasi Bank Pelapor Kredit - Lokasi Proyek Loan to Deposit Ratio (LDR) (%)
Bank Umum Syariah Total Aset Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor Pembiayaan - Lokasi Bank Pelapor Pembiayaan - Lokasi Proyek Financing to Deposit Ratio (FDR)
Total Bank Umum Total Aset 467.67 509.07 515.52 534.34 539.98 558.98 558.98 564.32 Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor 336.83 370.33 372.85 385.66 388.35 400.21 400.21 403.42 Giro 63.86 64.17 74.77 72.83 76.43 71.50 71.50 74.42 Tabungan 132.06 155.41 148.82 162.59 161.42 174.21 174.21 168.12 Deposito 140.91 150.75 149.26 150.24 150.50 154.50 154.50 160.88 Kredit/Pembiayaan - Lokasi Bank Pelapor 305.86 334.54 336.62 351.00 355.06 365.49 365.49 366.67 Kredit/Pembiayaan - Lokasi Proyek** 488.87 526.31 523.01 546.19 551.01 563.63 563.63 566.94 Modal Kerja 200.74 213.97 206.52 215.90 215.91 219.90 219.90 216.61 Investasi 102.34 107.18 106.56 111.69 110.22 110.67 110.67 111.79 Konsumsi 185.78 205.15 209.93 218.59 224.87 233.06 233.06 238.55 Kredit UMKM - Lokasi Proyek 95.23 100.54 100.50 107.86 109.88 113.12 113.12 123.93 90.80 90.33 90.28 91.01 91.43 91.33 91.33 90.89 Loan to Deposit Ratio (LDR) (%) Rasio Non Performing Loan (NPL) Gross 2.73 2.45 2.81 3.51 3.57 3.24 3.24 3.26 Sumber: Bank Indonesia * Lokasi bank pelapor : pencatatan berdasarkan transaksi perbankan (baik penghimpunan dana maupun penyaluran kredit) yang dilakukan oleh bank-bank yang berkantor di Jawa Barat * Lokasi proyek : pencatatan berdasarkan realisasi kredit yang disalurkan di wilayah Jawa Barat (tidak terbatas kepada penyaluran oleh bank yang berkantor di Jawa Barat
III. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH INDIKATOR
2015 I
2015
20.33 6.58 13.75 43.96 1.30
2016
2016
2017 I
18.92 12.36 6.56
88.04 49.40 38.63
21.55 8.34 13.22
76.36 2.18
341.19 8.64
78.11 2.02
I
II
III
IV
81.30 47.06 34.24
22.30 7.00 15.30
17.36 21.57 -4.22
29.46 8.47 20.99
207.01 5.77
81.51 2.15
89.51 2.30
97.22 2.01
Transaksi Tunai Inflow (Rp Triliun) Outflow (Rp Triliun) Netflow (Rp Triliun)
Transaksi Non Tunai (Kliring) Nominal (Rp Triliun) Volume
xi Sumber: Bank Indonesia
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Triwulan I 2017 Perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh melambat dibanding triwulan IV 2016. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Jawa Barat melambat dari 5,45% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 5,24% (yoy) pada triwulan I 2017. Namun demikian, realisasi ini lebih tinggi dibanding rata-rata LPE triwulan I pada kurun waktu 2014-2016 yang tercatat sebesar 4,90%. Hal ini menandakan bahwa perbaikan kinerja perekonomian Jawa Barat yang berlangsung sejak tahun 2016 masih terus berlanjut. Perkembangan LPE Jawa Barat ini berbeda dengan kawasan Jawa yang pada triwulan I 2017 tumbuh meningkat menjadi 5,66% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi kawasan Jawa terutama ditopang oleh peningkatan pertumbuhan DKI Jakarta dan Banten (Gambar 1.1). Tingginya realisasi pertumbuhan DKI Jakarta antara lain didorong oleh berlangsungnya Pemilihan Gubernur yang berlangsung dua putaran dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, serta meningkatnya laju pertumbuhan investasi.
Sumber : BPS Indonesia dan Provinsi Gambar 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa (%, yoy)
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 kembali tercatat mengungguli perekonomian Nasional yang tumbuh sebesar 5,01% (Grafik 1.1). Pada triwulan I 2017, Jawa Barat masih menjadi salah satu penopang utama perekonomian nasional dengan pangsanya yang mencapai 13,18%, tertinggi ketiga setelah DKI Jakarta (17,79%) dan Jawa Timur (14,88%). Adapun sumbangan PDRB Jawa Barat terhadap nasional ini mengalami penurunan dibanding triwulan I 2016 (13,48%), demikian halnya dengan Jawa Timur. Tingginya kontribusi Jawa Barat terhadap nasional disebabkan karena Jawa Barat merupakan kontributor sektor industri pengolahan terbesar terhadap nasional dengan pangsa mencapai 1
27,5%.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: BPS, Tahun Dasar 2010 (diolah) Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jabar & Nasional
Sumber: BPS, Tahun Dasar 2010 (diolah) Grafik 1.2 Share Perekonomian Provinsi di Jawa Terhadap Nasional (Triwulan I 2016 & Triwulan I 2017)
Dari sisi pengeluaran, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Perlambatan laju pertumbuhan konsumsi pemerintah dibanding triwulan sebelumnya terutama disebabkan oleh efek base year, di mana pada triwulan I 2016 belanja Pemerintah mengalami akselerasi dalam rangka persiapan penyelenggaraan acara PON ke-19 dan Peparnas ke-15 di Jawa Barat. Sebagaimana diketahui, mayoritas dana yang digunakan untuk acara PON dan Peparnas bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, perlambatan laju pertumbuhan PMTB/investasi khususnya terjadi investasi yang bersifat non bangunan yang tercermin melalui melambatnya impor barang modal setelah sebelumnya terus mengalami ekspansi sepanjang tahun 2016. Mulai beroperasinya pabrik otomotif baru serta optimalisasi pemanfaatan barang modal yang telah diimpor sebelumnya pada tahun 2016 diperkirakan menjadi faktor yang melatarbelakangi perkembangan ini. Namun demikian, perlambatan yang lebih dalam ditahan oleh masi h meningkatnya laju pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga serta net ekspor luar negeri. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tengah tantangan berupa kenaikan sejumlah tarif yang diatur Pemerintah di awal tahun (TTL 900 VA, bensin, biaya STNK, dan cukai rokok) menunjukkan resiliensi daya beli rumah tangga Jawa Barat serta optimisme konsumen yang masih terjaga. Adapun kenaikan laju pertumbuhan net ekspor luar negeri didorong oleh ekspor luar negeri yang pada triwulan I 2017 mencapai titik pertumbuhan tertinggi sejak triwulan IV 2014. Hal ini sejalan dengan membaiknya 2
perekonomian global, khususnya negara/kawasan mitra dagang utama Jawa Barat yakni Amerika Serikat, ASEAN, dan Eropa. Berdasarkan jenis barangnya, peningkatan tertinggi terjadi pada pertumbuhan ekspor otomotif khususnya ke Filipina dan beberapa negara di kawasan ASEAN lainnya. Dari sisi lapangan usaha, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 didorong oleh melambatnya laju pertumbuhan mayoritas lapangan usaha di Jawa Barat khususnya lapangan usaha utama yakni perdagangan, pertanian dan konstruksi. Nam un demikian, industri pengolahan masih tumbuh cukup kuat sehingga menopang perlambatan lebih dalam. Sejalan dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan dengan berlalunya libur akhir tahun, lapangan usaha perdagangan mengalami perlambatan dengan tumbuh 5,33%, melambat dari triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 5,42% (yoy). Perlambatan lapangan usaha perdagangan terkonfirmasi dari
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
melambatnya pertumbuhan indeks perdagangan riil di Jawa Barat dari 40,93% menjadi 39,47% (yoy) yang terutama bersumber dari melambatnya perdagangan di kelompok barang pakaian dan perlengkapan lainnya. Sementara itu, lapangan usaha pertanian mengalami perlambatan setelah sebelumnya tumbuh tinggi 9,39% menjadi 5,75% (yoy) di triwulan I 2017. Petani Jawa Barat yang menerapkan panen tidak serentak diindikasi menyebabkan pertumbuhan pertanian di triwulan ini tidak setinggi perkiraan sebagaimana pola panen raya dua triwulan sekali. Namun demikian, dampak positif diharapkan akan terjadi pada triwulan II 2017. Sementara itu, lapangan usaha industri pengolahan tumbuh cukup signifikan dari 4,03% menjadi 4,75% (yoy) sehingga mampu menahan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat lebih dalam. Peningkatan pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan terutama didorong oleh menguatnya permintaan global dan mulai berakhirnya konsolidasi korporasi. Hal ini terkonfirmasi dengan membaiknya pertumbuhan ekspor produk manufaktur Jawa Barat dari 5,3% menjadi 16,7% pada triwulan I 2017, dengan peningkatan pada hampir semua kelompok produk dan kenaikan paling tinggi pada ekpor produk otomotif. Pada triwulan I 2017, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dari sisi pengeluaran masih ditopang oleh komponen utamanya yakni konsumsi rumah tangga dengan andil mencapai 3,21% (Grafik 1.3). Selanjutnya, net ekspor luar negeri memberikan andil terbesar kedua yakni mencapai 1,38% seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan ekspor luar negeri yang lebih besar dibanding impor luar negeri. PMTB yang memberikan pangsa terbesar kedua pada struktur PDRB Jawa Barat memberikan andil terbesar ketiga (0,94%) akibat adanya perlambatan pada investasi khususnya yang bersifat non bangunan. Adapun net ekspor antar daerah kembali memberikan andil negatif pada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, disebabkan oleh nilai impor antar daerah Jawa Barat yang lebih besar dibandingkan ekspor antar daerahnya.
3
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sejalan dengan sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dari sisi lapangan usaha juga masih ditopang lapangan usaha utama yakni industri pengolahan yang memberikan andil mencapai 2,06% (Grafik 1.4). Selanjutnya, lapangan usaha (LU) perdagangan yang merupakan LU terbesar kedua di Jawa Barat juga memberikan andil pertumbuhan terbesar kedua (0,81%). Masih tingginya andil LU perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang juga masih mengalami peningkatan. Selanjutnya, LU pertanian memberikan andil terbesar ketiga (0,45%) dan LU informasi & komunikasi memberikan andil terbesar keempat (0,39%).
Sumber: BPS (diolah) Grafik 1.3 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi Pengeluaran Triwulan I 2017
Sumber: BPS (diolah) Grafik 1.4 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi Lapangan Usaha Triwulan I 2017
Dari aspek intermediasi perbankan, di tengah perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017, pertumbuhan penyaluran kredit kembali mengalami peningkatan, yakni dari 7,09% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 8,40% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.5). Mulai meningkatnya penyaluran kredit ini setelah sebelumnya perbankan melakukan konsolidasi di tahun 2016 menghadapi peningkatan risiko kredit dan mengacu kepada tingkat NPL pada triwulan I 2017 yang masih relatif stabil dibanding triwulan IV 2016. Selain itu, pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia baik melalui penetapan suku bunga kebijakan yang akomodatif serta pelonggaran ketentuan LTV turut berperan dalam mendorong peningkatan intermediasi perbankan. Seiring dengan berlangsungnya sejumlah periode libur panjang yang lebih banyak dibanding triwulan I 2016, pertumbuhan outflow uang kartal di Jawa Barat mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya (Grafik 1.6).
4
Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyaluran Kredit
Grafik 1.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Outflow Uang Kartal
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017. Hal ini ditopang oleh optimisme konsumen Jawa Barat yang masih terjaga dan terus meningkat tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang meningkat dari 138,53 menjadi 139,90 pada
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
triwulan II 2017. Berdasarkan komponen penyusunnya, peningkatan ekspektasi tersebut terutama didorong oleh meningkatnya indeks ekspektasi penghasilan serta indeks kegiatan usaha. Hal ini juga sejalan dengan survei BPS yang memperkirakan Indeks Tendeksi Konsumen (ITK) Jawa Barat pada triwulan II 2017 sebesar 116,50, meningkat cukup signifikan dibanding triwulan I 2017 sebesar 104,50. Meningkatnya perkiraan ITK di triwulan II 2017 ini terutama didorong oleh peningkatan perkiraan pendapatan rumah tangga mendatang yakni menjadi 123,01 dari realisasi pada triwulan I 2017 sebesar 104,30. Secara umum, perkiraan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2017 terutama dipengaruhi oleh faktor seasonal yakni pergeseran momen Ramadhan dan Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan serta Lebaran berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, meningkatnya perkiraan penghasilan didorong oleh kembali diberikannya gaji ke-13 bagi PNS serta pemberian THR kepada pegawai secara umum dengan nilai yang diperkirakan meningkat dibanding tahun 2016. Selain itu, selama triwulan II juga terdapat serangkaian periode libur panjang dengan rincian 2 kali di bulan April, tiga kali di bulan Mei, dan dua kali di bulan Juli. Untuk satu kali periode libur panjang dapat berdurasi tiga hingga empat hari. Mengingat Jawa Barat (khususnya Kota Bandung dan Kota Bogor) merupakan wilayah tujuan wisata utama masyarakat ibukota pada momen-momen liburan, hal ini juga berpotensi mendorong pertumbuhan konsumsi serta perdagangan yang lebih tinggi di Jawa Barat pada triwulan II 2017. Berlanjutnya transmisi suku bunga kebijakan yang akomodatif terhadap suku bunga pinjaman di daerah serta pelonggaran LTV juga diharapkan dapat menjadi faktor pendorong ekspansi konsumsi masyarakat, kegiatan usaha serta investasi pelaku usaha. Dari sisi investasi, masih berlangsungnya pembangunan proyek infrastruktur strategis pemerintah hingga triwulan II 2017 diharapkan menjadi faktor pendorong kegiatan investasi bersifat bangunan. Sebagaimana diketahui, cukup banyak proyek infrastruktur strategis yang sedang berjalan di Jawa Barat antara lain meliputi : Tol Soreang Pasir Koja (Soroja), Tol Cileunyi Sumedang Dawuan (Cisumdawu), Tol Cimanggis Cibitung, Bogor Outer Ring Road, Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR), Kereta Cepat Jakarta-Bandung, LRT Terintegrasi Jabodebek, serta Bandara Internasional Kertajati. Telah diselesaikannya program Tax Amnesty juga diharapkan dapat menambah likuiditas di dalam negeri yang dapat menjadi sumber pembiayaan baru untuk ekspansi ekonomi. Selain tambahan pendapatan pemerintah melalui tebusan pajak, perekonomian domestik juga memperoleh tambahan likuiditas melalui komitmen dana repatriasi yang diketahui telah seluruhnya terealisasi pada bulan April, namun sekitar 70% masih ditempatkan di perbankan. Seiring dengan kondisi ekonomi yang semakin kondusif dengan prospek perbaikan yang semakin solid, diharapkan dana repatriasi tersebut dapat segera disalurkan ke sektor riil sejak triwulan II 2017.
MEI 2017
5
EKONOMI MAKRO REGIONAL
1.1. Sisi Pengeluaran Dari sisi pengeluaran, perlambatan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya disebabkan oleh melambatnya laju pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB)/investasi dan konsumsi pemerintah. Melambatnya laju pertumbuhan investasi khususnya bersumber dari investasi yang bersifat non bangunan antara lain seperti impor barang modal. Sementara itu, melambatnya laju pertumbuhan konsumsi pemerintah selain disebabkan oleh kecenderungan
backloading pada belanja Pemerintah, juga disebabkan karena pada triwulan I 2016 belanja Pemerintah didorong oleh adanya belanja hibah dalam rangka persiapan PON. Tabel 1. 1. Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kom ponen Penggunaan
2014
r)
2015*
I
r)
II
2016** r) III
r)
IV
2016**
2017 I
Konsumsi Rumah Tangga
63.58
64.51
66.16
64.66
64.94
66.51
65.56
66.76
Konsumsi LNPRT
0.66
0.58
0.59
0.57
0.57
0.58
0.58
0.58
Konsumsi Pemerintah
5.86
6.45
4.81
6.21
5.96
8.52
6.40
4.84
PMTB
24.97
25.12
24.09
24.77
24.49
26.39
24.95
23.87
Perubahan Inventori
5.61
5.02
4.96
4.15
4.06
4.38
4.38
4.07
Ekspor
36.39
36.71
35.11
34.54
36.64
41.06
36.88
39.28
Impor
37.07
38.39
35.73
34.90
36.66
47.44
38.74
39.41
PDRB
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Pada struktur perekonomian Jawa Barat, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian Jawa Barat, dengan pangsa mencapai 66,76% terhadap PDRB Jawa Barat pada triwulan I 2017 (Tabel 1.1). Secara umum, pangsa konsumsi rumah tangga terus mengalami peningkatan sejak tahun 2015, di mana hal ini menjelaskan resiliensi perekonomian Jawa Barat serta ekspansi pertumbuhan pada tahun 2016 yang mampu mengungguli mayoritas provinsi lainnya di Pulau Jawa. Pada posisi kedua, PMTB atau investasi memberikan pangsa sebesar 23,87%, menurun dibandingkan pangsa pada triwulan sebelumnya, di mana hal ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan investasi pada triwulan I 2017. Pangsa investasi pada triwulan ini juga tercatat lebih rendah dibanding historis tahun 2014 dan 2015. Perkembangan yang positif tercermin pada pangsa net ekspor total yang membaik dari -6,38% pada 6
triwulan IV 2016 menjadi -0,13% pada triwulan I 2017. Hal ini ditopang oleh meningkatnya sumbangan baik pada net ekspor luar negeri (dari 10,69% menjadi 10,96%) maupun net ekspor antar daerah (dari 17,07% menjadi -11,10%). Hal ini turut mengindikasikan perbaikan baik pada permintaan domestik maupun ekspor terhadap output dari Jawa Barat, yang terutama dipengaruhi oleh membaiknya perekonomian dan harga komoditas global.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Tabel 1. 2. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Pengeluaran (% yoy) 2014r)
2015*
Konsumsi Rumah Tangga
3.95
5.07
5.78
Konsumsi LNPRT
3.49
-8.13
7.90
Konsumsi Pemerintah
3.64
8.10
2.81
PMTB
7.11
4.16
0.79
Perubahan Inventori
-2.15
-16.51
Ekspor
5.64
5.46
Kom ponen Penggunaan
I r)
2016** II r) III r) 5.92
IV
2016**
2017 I
5.90
4.81
5.60
5.03
5.61
6.11
2.48
5.48
2.07
10.57
-7.82
9.19
3.76
4.95
5.33
4.02
7.98
4.59
3.97
-8.98
-14.00
23.34
26.84
3.99
1.79
0.66
0.46
1.98
9.80
3.34
15.19
Impor
3.68
2.20
-4.11
-3.10
-0.95
12.92
1.66
14.66
PDRB
5.09
5.04
5.20
6.06
5.97
5.45
5.67
5.24
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Tabel 1. 3. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran (%) Kom ponen Penggunaan
2014r)
2015*
2016** I r)
II r)
III r)
IV
2016**
2017 I
Konsumsi Rumah Tangga
2.51
3.19
3.66
3.69
3.68
3.07
3.52
3.21
Konsumsi LNPRT
0.02
-0.05
0.05
0.03
0.04
0.01
0.03
0.01
Konsumsi Pemerintah
0.20
0.43
0.12
0.52
-0.45
0.63
0.21
0.21
PMTB
1.74
1.04
0.20
1.31
0.99
2.02
1.14
0.94
-0.10
-0.74
-0.35
-0.61
0.73
0.77
0.14
0.06
Ekspor
1.95
1.90
0.23
0.16
0.69
3.55
1.17
5.02
Dikurangi Impor
1.24
0.73
-1.30
-0.96
-0.30
4.59
0.54
4.21
Perubahan Inventori
PDRB
5.09
5.04
5.20
6.06
5.97
5.45
5.67
5.24
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Di tengah melambatnya laju pertumbuhan PMTB/investasi dan konsumsi pemerintah, pertumbuhan komponen pengeluarannya yakni konsumsi rumah tangga dan ekspor tercatat mengalami peningkatan (Tabel 1.2). Berdasarkan sub komponennya, peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga terutama terjadi pada konsumsi yang berbasis jasa serta kebutuhan sekunder (kesehatan & pendidikan, transportasi & komunikasi, perumahan, serta restoran & hotel). Hal ini merupakan sinyal positif bahwa di tengah tantangan meningkatnya sejumlah tarif di awal tahun yang berpotensi menggerus daya beli masyarakat, optimisme serta ekspansi konsumsi masyarakat terus meningkat bahkan untuk kebutuhankebutuhan yang tidak lagi bersifat primer semata. Sejalan dengan perkembangan ini, andil pertumbuhan konsumsi rumah tangga (3,21%) menempati posisi pertama dan meningkat dibanding triwulan sebelumnya (Tabel 1.3). Pada posisi kedua, andil pertumbuhan terbesar diberikan oleh PMTB yakni sebesar 0,94%, walaupun andil tersebut menurun dibanding triwulan sebelumnya seiring dengan melambatnya laju pertumbuhan investasi. Sejalan dengan perubahan struktur yang telah dijelaskan sebelumnya, net ekspor memberikan andil terbesar ketiga pada triwulan I 2017 yakni mencapai 0,80%. Andil net ekspor meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang bahkan mendorong deselerasi dengan andil sebesar -1,05%. Meningkatnya kondisi perekonomian serta permintaan baik dari domestik maupun ekspor menjadi faktor pendorong meningkatnya andil positif dari net ekspor. Perbaikan ekonomi global serta meningkatnya harga komoditas selain berpengaruh kepada meningkatnya permintaan ekspor luar negeri, juga berpengaruh kepada meningkatnya permintaan ekspor antar daerah seiring dengan meningkatnya
MEI 2017
7
EKONOMI MAKRO REGIONAL
pendapatan dari daerah-daerah mitra dagang yang perekonomiannya berbasis SDA (Sumatera dan Kalimantan).
1.1.1. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,81% (yoy).
Berdasarkan
struktur komponen penyusunnya, konsumsi rumah tangga di Jawa Barat didominasi oleh konsumsi makanan dan minuman selain restoran dengan pangsa sebesar 41,77% dan diikuti oleh transportasi dan komunikasi (26,01%) serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga (11,54%) (Tabel 1.4). Khususnya pangsa konsumsi makanan dan minuman tercatat menurun dibanding triwulan sebelumnya, diimbangi dengan meningkatnya pangsa konsumsi yang bersifat jasa seperti transportasi dan komunikasi serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga. Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga terutama disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan konsumsi kelompok transportasi dan komunikasi (dari 4,82% menjadi 5,29%) serta kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga (dari 0,13% menjadi 0,84%) (Grafik 1.7). Pada kelompok transportasi dan komunikasi, hal ini turut dipengaruhi oleh berlangsungnya beberapa periode libur panjang selama triwulan I 2017 yang meningkatkan kegiatan wisata serta transportasi pendukungnya ke daerah-daerah tujuan wisata warga ibukota yang mayoritas tersebar di Jawa Barat. Sementara peningkatan pada
pertumbuhan kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga
diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain berlanjutnya transmisi pelonggaran LTV serta nilai tukar rupiah yang stabil di mana beberapa jenis peralatan rumah tangga khususnya elektronik mayoritas diperoleh melalui impor. Tabel 1. 4. Struktur Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
8
Kom ponen Konsum si Rum ah Tangga
2014r)
2015*
Makanan dan Minuman, Selain Restoran
38.96
Pakaian dan Alas Kaki
4.11
Perumahan dan Perlengkapan Rumah Tangga
2016**
2016**
2017 I
42.01
41.33
41.77
4.08
4.11
4.04
11.61
11.49
11.74
11.54
5.56
5.59
5.54
5.59
5.57
26.33
26.19
26.09
25.83
26.11
26.01
5.86
5.73
5.72
5.67
5.74
5.69
5.43
5.36
5.35
5.38
5.38
5.37
I r)
II r)
III r)
IV
39.40
40.51
41.24
41.52
4.19
4.10
4.14
4.11
11.86
12.11
12.11
11.77
Kesehatan dan Pendidikan
5.95
5.78
5.66
Transportasi dan Komunikasi
26.82
26.80
Restoran dan Hotel
6.49
6.02
Lainnya
5.81
5.71
Konsum si Rum ah Tangga
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.7 Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT
Peningkatan pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercermin dari peningkatan keyakinan konsumen Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya. Berdasarkan Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia, meningkatnya optimisme konsumen terjadi dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (121,18 pada triwulan IV 2016 menjadi 121,66 pada triwulan I 2017) serta Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (dari 102,45 menjadi 106,29) (Grafik 1.8). Adapun peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat didorong oleh peningkatan indeks dari seluruh komponen penyusunnya, terutama indeks konsumsi barang kebutuhan tahan lama dan indeks penghasilan saat ini (Grafik 1.9). Meningkatnya indeks penghasilan saat ini diperkirakan sejalan dengan meningkatnya kegiatan usaha khususnya yang terkait dengan pemenuhan permintaan ekspor baik luar negeri maupun antar daerah.
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia Grafik 1.8 Indeks Keyakinan Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1.9 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini Grafik Error! No text of specified style in document. 1.
9 Selain itu, Survei Konsumen juga menunjukkan adanya peningkatan pada pangsa pengeluaran untuk konsumsi dari total pendapatan masyarakat ( Marginal Propensity to Consume) dari 64,6% menjadi 64,7% (Grafik 1.10). Peningkatan tendensi konsumsi ini diiringi dengan menurunnya pangsa pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan (Marginal Propensity to Saving) yakni dari 22,9% menjadi 16,4%. Sejalan dengan masih melambatnya konsumsi untuk kelompok makanan dan minuman, Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia juga menunjukkan adanya penurunan pada pertumbuhan Indeks Penjualan Riil (IPR) kelompok makanan & minuman dari 12,99% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -0,07% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.11).
MEI 2017
10
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia Grafik 1.10 Penggunaan Pendapatan Rumah Tangga
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1.11 Perkembangan Indeks Penjualan Eceran Riil (IPR)
Mulai pulihnya kegiatan konsumsi masyarakat di Jawa Barat juga tercermin dari pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang secara triwulanan mengalami peningkatan dari 0,81% (qtq) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,77% (qtq) pada triwulan I 2017. Walau demikian, secara tahunan IHPR masih tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 1.12). Berdasarkan tipe rumahnya, perlambatan IHPR secara tahunan terutama terjadi pada rumah tipe kecil dan besar, sementara indeks harga rumah tipe menengah masih konsisten tumbuh meningkat secara bertahap (Grafik 1.13).
Sumber: Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia Grafik 1.12 Perkembangan Harga Properti Residensial
Sumber: Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia Grafik 1.13 Pertumbuhan Harga Properti Per Tipe
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, masih meningkatnya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara lain didukung oleh meningkatnya penghasilan saat ini (Survei Konsumen Bank Indonesia). Dari sisi dunia usaha, hal ini dikonfirmasi oleh Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada indeks kegiatan dunia usaha. Indeks kegiatan dunia usaha meningkat dari 7,24% SBT menjadi 22,10% SBT pada triwulan I 2017 (Grafik 1.14). Berdasarkan lapangan usaha, peningkatan ini khususnya terjadi pada lapangan usaha industri pengolahan (dari 2,83% SBT menjadi 9,63% SBT) dan pertanian (dari -1,90% SBT menjadi 2,12% SBT). Peningkatan pada kegiatan usaha industri pengolahan sejalan dengan pertumbuhan yang cukup signifikan pada ekspor luar negeri serta peningkatan permintaan ekspor antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut, wawancara liaison yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI Provinsi Jawa Barat kepada 45 (empat puluh lima) perusahaan di Jawa Barat secara umum menyampaikan bahwa penjualan domestik tumbuh terbatas dibandingkan triwulan sebelumnya, tercermin dari likert scale permintaan domestik yang meningkat dari 0,69 pada triwulan IV 2016 menjadi 0,70 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.20). Sejalan dengan hasil survei SKDU, peningkatan permintaan domestik terjadi pada contact di lapangan usaha industri pengolahan (LS
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
meningkat dari 0,65 menjadi 0,81) dan lapangan usaha pertanian (LS meningkat dari 0,33 menjadi 0,89). Pada lapangan usaha industri pengolahan, peningkatan permintaan domestik secara khusus dikonfirmasi oleh contact liaison pada sub lapangan usaha industri makanan & minuman, industri tekstil & produk tekstil (TPT), industri kayu dan barang dari kayu, serta industri kertas.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia Grafik 1.14 Indeks Perkembangan Dunia Usaha
Sumber: Liaison Bank Indonesia Grafik 1.15 Perkembangan Permintaan Domestik
Meningkatnya kegiatan konsumsi rumah tangga di Jawa Barat antara lain juga dikonfirmasi oleh perkembangan arus lalu lintas kendaraan di 11 gerbang tol1 ruas Purbaleunyi yang secara total tumbuh meningkat dari 2,04% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 4,17% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik
1.16).
Adapun
lalu
lintas
kendaraan
golongan I (jenis sedan, jip, pick up/truk kecil, dan bus) yang mendominasi penggunaan ruas tol
Sumber : PT. Jasa Marga Cabang Purbaleunyi Grafik 1.16 Perkembangan Lalu Lintas Tol Purbaleunyi
Purbaleunyi dengan pangsa mencapai 88% juga tumbuh meningkat dari 2,60% menjadi 3,75% pada triwulan I 2017. Hal ini seiring dengan berlangsungnya serangkai periode libur panjang yang meningkatkan arus wisata ke kota Bandung dari ibukota. Kenaikan pertumbuhan tertinggi pada triwulan I 2017 khususnya terjadi pada kendaraan golongan V (kendaraan truk dengan 5 gandar) di mana pasca larangan melintas selama perbaikan Jembatan Cisomang yang sempat menciptakan kemacetan dan inefisiensi transportasi pada triwulan IV, mulai membaik pada triwulan I 2017. Di tengah meningkatnya berbagai indikator di atas, terdapat sejumlah aktivitas konsumsi rumah tangga yang tumbuh melambat dibanding triwulan sebelumnya. Dari aspek eksternal, di tengah keputusan The Fed kembali
terhadap US
Dollar terpantau relatif stabil dan aman dari gejolak, dengan depresiasi dibanding triwulan sebelumnya hanya sebesar 0,75% (qtq). Namun di tengah stabilnya nilai tukar Rupiah tersebut, impor barang konsumsi terpantau tumbuh melambat yakni dari 16,4% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -2,7% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.17). Secara spesifik, perlambatan yang paling dalam terjadi pada impor barang konsumsi bersifat non-durable dan impor makanan & minuman yang telah diproses (siap
Ruas tol Purbaleunyi mencakup gerbang tol Sadang, Jatiluhur, Cikamuning, Padalarang, Baros, Pasteur, Pasirkoja, Kopo, Moh. Toha, Buah Batu, Cileunyi 1
MEI 2017
11
12
EKONOMI MAKRO REGIONAL
konsumsi oleh rumah tangga). Hal ini sejalan dengan perkembangan konsumsi rumah tangga kelompok makanan & minuman di Jawa Barat yang melambat pada triwulan I 2017, diimbangi oleh meningkatnya konsumsi berbagai kelompok jasa serta kebutuhan sekunder lainnya. Dari segmen konsumsi masyarakat pedesaan atau petani, terdapat indikasi penurunan konsumsi yang tercermin dari penurunan indeks Nilai Tukar Petani dari 104,0 pada triwulan IV 2016 menjadi 102,7 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.18). Hal ini disebabkan oleh percepatan masa panen ke triwulan I 2017 serta masih terjaganya stok beras dari masa panen sebelumnya, sehingga pasokan terjaga dan harganya jual ke masyarakat relatif stabil. Sementara di sisi lain, peningkatan tarif yang diatur oleh Pemerintah di awal tahun (listrik, bensin, biaya STNK, dan cukai rokok) berdampak kepada meningkatnya beban pengeluaran masyarakat di pedesaan yang cenderung lebih sensitif terhadap kenaikan tarif ini dibanding masyarakat di perkotaan. Sebagai akibatnya, ruang untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga petani menjadi terbatas.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1.17 Perkembangan Impor Barang Konsumsi
Grafik 1.18 Perkembangan Nilai Tukar Petani (Rata-rata)
Adapun laju pertumbuhan pendaftaran kendaraan baru (BKKBN 1) yang tercatat di Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat terpantau mengalami perlambatan. Pertumbuhan pendaftaran mobil pribadi baru tumbuh melambat dari 17,51% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi
-2,72% (yoy) pada triwulan
I 2017, sementara pendaftaran sepeda motor baru melambat dari -5,08% (yoy) menjadi -17,72% (yoy) (Grafik 1.19). Namun demikian, perlambatan ini diperkirakan lebih disebabkan oleh keputusan rumah tangga untuk menunggu pembelian kendaraan baru menjelang Lebaran, sebab terdapat kecenderungan masyarakat di Jawa Barat untuk mengganti kendaraannya dengan model yang lebih baru menjelang masa Lebaran. Selain itu, kenaikan biaya STNK di awal tahun juga diperkirakan berdampak kepada keputusan masyarakat baik untuk membeli maupun mendaftarkan kendaraan bermotor barunya. Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan konsumsi listrik rumah tangga juga terpantau melambat yakni dari 0,33% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi
-1,13% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.20). Kontraksi
pada pertumbuhan konsumsi listrik rumah tangga ini diperkirakan sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah melakukan penyesuaian bertahap pada tarif listrik rumah tangga golongan 900VA dalam rangka pencabutan subsidi untuk pelanggan rumah tangga mampu di golongan ini. Rumah tangga diperkirakan merespon kenaikan sebanyak dua tahap pada triwulan I 2017 ini dengan melakukan efisiensi pada penggunaan listriknya.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat, diolah Grafik 1.19 Perkembangan Impor Barang Konsumsi
Sumber: PT. PLN Distribusi Jawa Barat Grafik 1.20 Konsumsi Listrik Rumah Tangga Jawa Barat
Dari indikator perbankan, pertumbuhan kredit konsumsi dan rumah tangga terpantau relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit konsumsi meningkat terbatas dari 13,60% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 13,63% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.21). Dari kelompok kredit rumah tangga, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih memegang pangsa terbesar yakni mencapai 51,62%, diikuti kredit multiguna (27,62%) dan kredit kendaraan bermotor (13,99%). Dari segmen kredit rumah tangga, ketiga kelompok jenis kredit mengalami peningkatan pertumbuhan, dengan peningkatan terbesar pada pertumbuhan kredit multiguna (dari 4,27% menjadi 6,01%), diikuti Kredit Kendaraan Bermotor (dari 3,08% menjadi 3,73%) dan Kredit Pemilikan Rumah/KPR (dari 14,70% menjadi 14,90%) (Grafik 1.22). Peningkatan pada ketiga jenis kredit ini menunjukkanseiring dengan konsolidasi yang telah dilakukan perbankan pada tahun sebelumnya serta semakin solidnya optimisme masyarakat terhadap kondisi perekonomian yang diikuti dengan ekspansi pembiayaan baik untuk konsumsi jangka pendek (multiguna) maupun jangka panjang (KPR).
Grafik 1.21 Perkembangan Kredit Konsumsi
Grafik 1.22 Perkembangan KPR, KKB, dan Multiguna
13
Jika dianalisa secara lebih spesifik, pemberlakuan pengetatan LTV (LTV I) pada September 2013 telah berhasil memperlambat pertumbuhan KPR (Grafik 1.23). Adapun pelonggaran KPR yang mulai diterapkan pada akhir Agustus 2016 telah meningkatkan pertumbuhan penyaluran KPR secara terbatas dari 14,22% (yoy) pada triwulan III menjadi 14,90% pada akhir triwulan I 2017. Berdasarkan tipe rumahnya, ekspansi penyaluran KPR khususnya terlihat pada rumah tipe menengah, sementara KPR ke rumah tipe kecil dan besar masih menurun. Hal ini sejalan dengan perkembangan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang juga meningkat pada rumah kelas menengah. Secara umum, penurunan suku bunga kebijakan oleh Bank Indonesia sejak awal tahun 2016 juga telah diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan, yakni antara lain suku bunga kredit konsumsi (40 bps), KPR (61 bps) dan KKB (50 bps) (Grafik 1.24).
MEI 2017
14
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.23 Perkembangan KPR Berdasarkan Kategori dan Timeline Penerapan LTV
Grafik 1.24 Perkembangan Suku Bunga Kredit Konsumsi dan Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan
I 2017 melambat
dibanding triwulan
sebelumnya, seiring dengan masih terbatasnya progress belanja Pemerintah di awal tahun. Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 4,95% (yoy), melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 9,19% (yoy). Hal ini sejalan dengan pola historis belanja Pemerintah Daerah yang umumnya relatif terbatas di awal tahun mengacu kepada masih berlangsungnya lelang proyek-proyek maupun pengadaan di tahun berjalan. Belanja pemerintah diperkirakan mulai terakselerasi memasuki triwulan kedua hingga akhir tahun. Pada triwulan I 2017 realisasi belanja operasional Pemerintah Pusat di Jawa Barat yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bantuan sosial melalui APBN sebesar Rp5,09 Triliun, lebih tinggi dibanding realisasi pada triwulan I 2016 sebesar Rp4,87 Triliun. Dengan demikian,
realisasi belanja
operasional Pemerintah Pusat di Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh 4,46% (yoy), meningkat dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 0,17% (yoy) (Grafik 1.25). Peningkatan ini terutama terjadi pada pertumbuhan belanja barang (dari 11,45% menjadi 27,50%), di mana pangsa belanja barang terhadap total belanja APBN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai 34%. Di sisi lain, belanja pegawai yang menyumbang 57% terhadap total realisasi belanja APBN di Jawa Barat tumbuh melambat dari 6,99% menjadi -5,66% pada triwulan I 2017. Hal ini terkait dengan implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang berimplikasi kepada pengalihan sebagian wewenang ke Pemerintah Provinsi, termasuk di dalamnya beban gaji pegawai dari badan yang mengalami pengalihan wewenang. Secara umum, persentase realisasi belanja operasional APBN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar 15,91%, sedikit meningkat dibanding triwulan I 2016 sebesar 15,23% terhadap pagu.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: Kanwil Perbendaharaan Jawa Barat Grafik 1.25 Realisasi Belanja Operasional Barat
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jawa Barat APBN di Jawa
Grafik 1.26 Realisasi Belanja Operasional Provinsi Jawa Barat
APBD
Berbeda halnya dengan realisasi belanja APBN, adapun realisasi belanja operasi pemerintah daerah melalui APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar Rp2,68 Triliun, menurun dibanding triwulan I 2016 sebesar Rp3,59 Triliun. Dengan demikian, pertumbuhan belanja operasi APBD Provinsi hingga triwulan I 2017 sebesar -25,45% (yoy), melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 16,77% (Grafik 1.26). Berdasarkan komponennya, perlambatan laju pertumbuhan disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan belanja hibah & bantuan keuangan dari 20,96% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -55,04% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun belanja hibah & bantuan keuangan memberikan kontribusi terbesar pada realisasi belanja Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 yakni mencapai 52,19%. Perlambatan belanja hibah & bantuan keuangan ini disebabkan oleh efek base
year di mana pada triwulan I 2016 belanja hibah mengalami akselerasi yang cukup signifikan karena menjadi sumber pendanaan untuk persiapan penyelenggaraan PON di Jawa Barat. Di sisi lain, peningkatan laju pertumbuhan belanja dibanding triwulan sebelumnya terjadi pada belanja pegawai (dari 8,60% menjadi 139,42%) dan belanja barang (dari 5,22% menjadi 202,85%) masih mengalami peningkatan dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini khususnya sebagai implikasi dari pengalihan wewenang dari Pemerintah Kab/Kota ke Provinsi yang meningkatkan beban belanja Pemerintah Provinsi, baik untuk belanja pegawai maupun belanja barang. Sebagaimana diketahui, terdapat sekitar 28.000 PNS yang dialihkan dari Pemerintah Kab/Kota ke Pemerintah Provinsi. Secara umum, persentase realisasi belanja operasi pada APBD Pemerintah Provinsi terhadap pagunya pada triwulan I 2017 sebesar 11,31%, menurun dibanding triwulan I 2016 sebesar 19,28%. Realisasi belanja pemerintah yang masih terbatas di awal tahun tercermin dari simpanan pemerintah pada perbankan di daerah yang terpantau meningkat, yakni dari Rp36,64 Triliun pada triwulan IV 2016 menjadi Rp49,39 Triliun pada triwulan I 2017 (Grafik 1.27). Selain itu, pertumbuhan deposito juga terpantau meningkat yakni dari -22,66% (yoy) menjadi 3,03% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun melambatnya pertumbuhan giro pemerintah pada awal tahun 2017 disebabkan oleh adanya pembayaran belanja-belanja rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang yang meningkat secara tahunan.
MEI 2017
15
16
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.27 Simpanan Pemda di Perbankan
1.1.2. Investasi Pertumbuhan komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB)
mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 7,98% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,97% (yoy) pada triwulan I 2017. Perlambatan terdalam khsusunya terjadi pada investasi yang bersifat nonbangunan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perlambatan investasi di Jawa Barat pada triwulan I 2017, antara lain meliputi : (1) telah dilakukannya investasi melalui impor barang modal yang ekspansif sepanjang tahun 2016, sehingga memasuki tahun 2017 pelaku usaha fokus kepada optimalisasi barang modal yang telah diakuisisi; (2) kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi menghambat proses pengerjaan proyek infrastruktur di Jawa Barat. Melalui hasil liaison diketahui bahwa kapasitas terpasang di pabrik saat ini masih berada di bawah kondisi optimalnya sehingga fokus pelaku usaha adalah meningkatkannya ke level optimumnya. Adapun investasi di Jawa barat didominasi oleh investasi bangunan dengan pangsa sebesar 74,38% (Tabel 1.5). Perlambatan laju pertumbuhan investasi pada triwulan I 2017 disebabkan terutama oleh melambatnya laju pertumbuhan investasi non bangunan (dari 21,26% menjadi 3,61%) maupun perlambatan terbatas pada investasi bangunan (dari 4,35% menjadi 4,08%) (Grafik 1.28). Mulai melambatnya pertumbuhan investasi non bangunan ini terjadi setelah sebelumnya konsisten mengalami peningkatan sepanjang tahun 2016. Tabel 1. 5. Struktur Komponen Investasi Provinsi Jawa Barat (% yoy) Kom ponen Investasi
2014
r)
2015*
2016** I r)
II r)
III r)
IV
2016**
2017 I
Struktur Investasi Bangunan
75.22
75.43
74.98
74.38
74.79
74.37
74.62
74.38
Investasi Non Bangunan
24.78
24.57
25.02
25.62
25.21
25.63
25.38
25.62
Total
MEI 2017
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.28 Pertumbuhan Komponen Investasi
Melambatnya laju pertumbuhan investasi tersebut juga dikonfirmasi oleh data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI yang menunjukkan bahwa pada triwulan I 2017 terjadi perlambatan baik pada pertumbuhan realisasi PMA dan PMDN di Jawa Barat. Nilai realisasi PMA pada triwulan I 2017 sebesar USD1,52 miliar atau tumbuh sebesar -5,96%
(yoy),
melambat
dibanding
triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 97,39% (yoy)
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI Grafik 1.29 Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Berdasarkan Laporan Wajib LKPM
(Grafik 1.29). Secara umum, Jawa Barat masih menjadi provinsi tujuan PMA utama secara nasional, sejalan dengan banyaknya industri dan kawasan industri yang berkembang di Jawa Barat. Pada triwulan I 2017, Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai tujuan PMA dengan pangsa terhadap nasional mencapai 20,8%, diikuti DKI Jakarta dengan pangsa sebesar 12,8%. Dukungan implementasi Paket Kebijakan Ekonomi khususnya dalam mempermudah kegiatan investasi dan pengurusan perijinan juga menjadi salah satu penarik PMA ke Jawa Barat. Terkait implementasi salah satu Paket Kebijakan yakni pendirian KLIK (Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi) di kawasan industri, dari semula terdapat 5 KLIK di Jawa Barat, kini telah ditambah menjadi total berjumlah 11 KLIK yang tersebar di 11 kawasan industri di Jawa Barat. Dengan demikian, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah KLIK terbanyak secara nasional. Sementara itu, realisasi PMDN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai Rp9,1 Triliun atau tumbuh sebesar 49,58% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 261,87% (yoy). Secara nasional, PMDN ke Jawa Barat juga menempati posisi tertinggi ketiga dengan pangsa sebesar 13,2%, setelah DKI Jakarta (17,2%) dan Jawa Timur (13,7%).
MEI 2017
17
18
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI Grafik 1.30 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA ke Sektor Utama di Jawa Barat
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI Grafik 1.31 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMDN ke Sektor Utama di Jawa Barat
Secara sektoral, perlambatan PMA ke Jawa Barat disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan PMA ke seluruh sektor utama. Hal ini tercermin dari penurunan andil pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya, khususnya pada industri otomotif (dari 32,8% menjadi -19,9%), industri elektronik (dari 24,6% menjadi 4,0%), industri makanan (dari 25,7% menjadi -6,7%) dan industri karet & plastik (dari 12,4% menjadi -2,7%) (Grafik 1.30). Melambatnya pertumbuhan PMA ke industri-industri utama Jawa Barat pada awal tahun diperkirakan karena investor yang pada umumnya merupakan pemodal dari industri-industri yang ada di Jawa Barat masih mengantisipasi uncertainty pada perekonomian Jawa Barat secara khususnya serta perekonomian nasional secara umum. Mempertimbangkan investasi besar yang telah masuk sepanjang tahun 2016, pada awal tahun 2017 diperkirakan pelaku usaha masih fokus kepada mengoptimalkan investasi yang telah diakuisisi pada tahun sebelumnya. Di sisi PMDN, perlambatan pada triwulan I 2017 disumbang oleh mayoritas industri utama. Hal ini tercermin dari penurunan andil pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya, khususnya pada industri elektronik (dari 153,9% menjadi 7,0%), industri makanan (dari 42,6% menjadi -9,5%), dan industri kertas (dari 67,1% menjadi 20,1%) (Grafik 1.31). Namun demikian, perlambatan yang lebih dalam ditahan oleh masih meningkatnya laju pertumbuhan PMDN ke sektor konstruksi dan industri kimia. Berdasarkan negara asalnya, perlambatan PMA terjadi dari seluruh negara asal utama. Hal ini tercermin dari penurunan andil pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya pada PMA dari Jepang (dari 62,2% menjadi -16,9%), Hongkong (dari 18,4% menjadi -7,5%), Belanda (dari 20,2% menjadi 6,5%) dan Singapura (dari 12,2% menjadi 9,7%) (Grafik 1.32). Pada triwulan I 2017, PMA terbesar ke Jawa Barat bersumber dari Jepang dengan pangsa mencapai 43,78%. PMA dari Jepang ini mayoritas masuk ke industri otomotif dan industri
Grafik 1.32 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA Dari Negara Asal Utama di Jawa Barat
elektronik. Secara spasial, pangsa penyaluran terbesar baik untuk PMA maupun PMDN pada triwulan I 2017 ditujukan ke Kab. Karawang dengan pangsa PMA sebesar 41,0% dan pangsa PMDN sebesar 34,5%. Hal ini sejalan dengan karakteristik Kab. Karawang yang kini telah berkembang menjadi pusat kawasan
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
industri utama di Jawa Barat setelah Kab. Bekasi. Adapun jenis industri yang beroperasi di Kab. Bekasi ini sangat beragam, terutama didominasi industri otomotif dan elektronik. Di posisi kedua, penyaluran PMA terbesar adalah ke Kab. Bekasi (30,3%), sejalan karakteristiknya sebagai basis wilayah industri dan memberikan sumbangan terbesar terhadap output sektor industri pengolahan Jawa Barat. Secara historis, umumnya Kab. Bekasi menjadi wilayah utama penerima PMA di Jawa Barat, namun pada triwulan I 2017 pangsanya menurun dibandingkan Kab. Karawang seiring dengan penurunan laju pertumbuhan PMA ke Kab. Bekasi yang juga cukup signifikan.
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Grafik 1.33 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA ke Kab/Kota Utama di Jawa Barat
Grafik 1.34 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMDN ke Kab/Kota Utama di Jawa Barat
Melambatnya pertumbuhan PMA ke Jawa Barat juga tercermin melalui penurunan andil pertumbuhan PMA ke wilayah-wilayah utama di Jawa Barat, antara lain Bekasi (dari 59,9% menjadi -40,8%), Kab. Purwakarta (dari 13,9% menjadi 4,2%), dan Kab. Bogor (dari 13,1% menjadi 2,5%) (Grafik 1.33). Sejalan dengan hal tersebut, perlambatan PMDN ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 juga tercermin pada penurunan andil pertumbuhan PMDN ke wilayah-wilayah utama, yakni Kab. Bekasi (dari 123,7% menjadi -12,9%), Kab. Karawang (dari -11,5% menjadi -14,7%), dan Kota Bekasi (dari 21,4% menjadi -4,2%) (Grafik 1.34). Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya,
melambatnya laju pertumbuhan investasi di Jawa Barat pada triwulan I 2017 terutama disebabkan oleh perlambatan pada investasi non-bangunan. Hal ini dikonfirmasi oleh pertumbuhan impor 19
barang modal Jawa Barat yang melambat dari 16,2% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,9% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.35). Secara spesifik, perlambatan terjadi pada impor barang
Grafik 1. 35 Impor Barang Modal Jawa Barat
modal kecuali untuk transport equipment yakni dari 15,99% (yoy) menjadi 7,75% (yoy) pada triwulan I 2017. Di sisi lain, impor barang modal untuk kebutuhan industri alat angkutan (transport equipment) masih tumbuh meningkat dari 460,8% (yoy) menjadi 564,4% (yoy). Tingginya impor barang modal pada industri alat angkutan ini didorong salah satunya oleh akan beroperasinya pabrik otomotif baru di Jawa Barat pada triwulan I 2017. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurunnya pertumbuhan impor barang modal di Jawa Barat pada triwulan I 2017 terutama terjadi pada industri non-otomotif.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Diperkirakan para investor asing yang mayoritas memiliki usaha di Jawa Barat tersebut masih menahan investasi ekspansif barang modal untuk menambah kapasitas pabrik mempertimbangkan uncertainty yang masih mewarnai di awal tahun seiring dengan berlangsungnya Pilkada di sejumlah daerah termasuk di Jawa Barat (Kab. Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya). Di sisi lain, pertumbuhan investasi bangunan pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan yang terbatas
(dari
4,35%
menjadi
4,08%).
Sebagaimana diketahui, belanja modal Pemerintah umumnya realtif terbatas di awal tahun karena masih
berlangsungnya
khususnya
untuk
proses
proyek
lelang
proyek,
yang tidak
bersifat
multiyear. Hal ini dikonfirmasi oleh pertumbuhan
Grafik 1. 36 Perkembangan Belanja Modal Pemerintah di Jawa Barat
belanja modal APBD Provinsi Jawa Barat yang melambat dari 17,15% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -1,38% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.36). Di sisi lain, pertumbuhan belanja modal APBN di Jawa Barat tercatat membaik yakni dari -18,89% (yoy) menjadi -2,38% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun pangsa belanja modal APBN terhadap total belanja modal di Jawa Barat (provinsi dan APBN tanpa kab/kota) mencapai 97,7%. Membaiknya pertumbuhan belanja APBN di Jawa Barat ini sejalan dengan arahan Presiden untuk mempercepat penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis. Adapun beberapa proyek infrastruktur strategis yang sedang berjalan di Jawa Barat antara lain meliputi Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), Tol Soreang-Pasir Koja (Soroja), Tol Cimanggis Cibitung, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Bandara Internasional Kertajati, dan LRT Terintegrasi Jabodebek.
20 Grafik 1. 37 Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Bangunan
Grafik 1. 38 Penjualan Semen Jawa Barat
Relatif stabilnya perkembangan investasi bangunan ini juga tercermin pada tingkat inflasi kelompok bahan bangunan, khususnya bahan bangunan barang yang stabil dibandingkan triwulan IV 2016 (Grafik 1.37). Adapun inflasi bahan bangunan jasa terpantau meningkat yakni dari 1,12% (yoy) menjadi 1,28% (yoy) pada triwulan I 2017. Masih meningkatnya belanja modal APBN seiring dengan berjalannya pembangunan sejumlah proyek infrastruktur strategis kemudian mendorong penjualan semen di Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh meningkat (dari -16,9% menjadi -0,4%) (Grafik 1.38).
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Melambatnya kegiatan investasi pada triwulan I 2017
dibanding
triwulan
sebelumnya
juga
dikonfirmasi oleh hasil wawancara liaison yang menunjukkan penurunan likert scale investasi pelaku usaha dari 1,19 pada triwulan IV 2016 menjadi 0,52 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.39). Secara sektoral, perlambatan investasi tersebut terjadi pada sektor industri pengolahan dan perdagangan. Berdasarkan hasil liaison, hanya 14% dari total contact liaison
Grafik 1. 39 Perkembangan Investasi Pelaku Usaha -
Liaison
yang merealisasikan investasi bersifat ekspansif pada triwulan I 2017. Sementara itu, 22% dari total contact merealisasikan investasi yang bersifat rutin. Adapun investasi ekspansif yang direalisasikan antara lain meliputi : realisasi bertahap pembangunan pabrik baru subsektor mamin; pembelian mesin dengan teknologi yang baru pada subsektor elektronik; serta perluasan pabrik pada subsektor TPT. Pada sisi kredit, meskipun investasi tumbuh melambat, penyaluran kredit investasi di Jawa Barat tumbuh meningkat. Kredit investasi untuk lokasi proyek di Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar Rp111,79 Triliun atau tumbuh 4,9% (yoy) (Grafik 1.40). Laju pertumbuhan kredit investasi pada triwulan ini meningkat dibanding triwulan sebelumnya (3,3%). Dengan demikian, ekspansi kredit investasi mulai berjalan di Jawa Barat, setelah sebelumnya sejak triwulan II 2016 konsisten melambat. Mulai meningkatnya laju pertumbuhan kredit investasi ini, selain dilatarbelakangi oleh konsolidasi yang telah dilakukan perbankan pada tahun sebelumnya, juga didorong oleh terus menurunnya suku bunga kredit investasi, yakni dari 10,22% pada triwulan IV 2016 menjadi 10,06% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.41). Dengan demikian, transmisi dari kebijakan moneter melalui suku bunga akomodatif secara perlahan terus berjalan.
21
Grafik 1. 40 Perkembangan Kredit Investasi Jawa Barat
Grafik 1. 41 Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi
1.1.3. Ekspor Impor Neraca perdagangan Jawa Barat pada triwulan I 2017 secara total masih mencatatkan defisit (ADHB), yakni sebesar Rp556,68 Miliar, menurun dibandingkan defisit pada triwulan IV 2016 sebesar Rp26,84 Triliun. Kondisi defisit ini disebabkan oleh karakteristik neraca perdagangan antar daerah yang selalu mengalami defisit. Namun demikian, defisit neraca perdagangan antar daerah ini sudah menurun dari Rp71,77 Triliun pada triwulan IV 2016 menjadi Rp47,20 Triliun pada triwulan I 2017,
MEI 2017
22
EKONOMI MAKRO REGIONAL
yang menyebabkan penurunan defisit neraca perdagangan total pada triwulan I 2017. Di sisi lain, neraca perdagangan luar negeri Jawa Barat sesuai dengan karakteristiknya masih konsisten mencatatkan surplus, di mana surplus neraca perdagangan luar negeri pada triwulan I 2017 meningkat dari Rp44,93 Triliun menjadi Rp46,64 Triliun. Adapun struktur neraca ekspor Jawa Barat pada triwulan I 2017 didominasi oleh ekspor luar negeri (56,51%). Di sisi lain, neraca impor Jawa Barat didominasi oleh impor antar provinsi (71,50%) (Tabel 1.6). Tabel 1. 6. Struktur Ekspor-Impor Provinsi Jawa Barat (%) 2014r)
2015*
Ekspor Luar Negeri
65.31
Ekspor Antar Provinsi
Kom ponen
2016**
2016**
2017 I
53.32
56.88
56.51
47.63
46.68
43.12
43.49
33.19
28.39
23.62
28.78
28.50
66.81
71.61
76.38
71.22
71.50
I r)
II r)
III r)
IV
62.07
59.91
63.15
52.37
34.69
37.93
40.09
36.85
Impor Luar Negeri
36.17
31.19
31.98
Impor Antar Provinsi
63.83
68.81
68.02
Ekspor
Im por
Kinerja pertumbuhan net ekspor baik luar negeri maupun antar daerah pada triwulan I 2017 tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Net ekspor luar negeri Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 15,49% (yoy), meningkat cukup signifikan dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 0,18% (yoy) (Grafik 1.42). Hal ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan ekspor luar negeri yang jauh lebih tinggi dibandingkan impor luar negeri. Sejalan dengan hal tersebut, net ekspor antar daerah pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 12,48% (yoy), juga meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 10,70% (yoy) (Grafik 1.43). Kinerja yang sangat baik pada perdagangan luar negeri terutama didorong oleh membaiknya kinerja seluruh negara/kawasan mitra dagang, baik Amerika Serikat, ASEAN, maupun Eropa. Perbaikan pada Eropa terutama memberikan dorongan pada kinerja ekspor, setelah sebelumnya ekspor ke Eropa terus melambat selama semester II 2016 pasca Brexit. Dari antara seluruh negara/kawasan mitra dagang tersebut, pertumbuhan tertinggi adalah pada ekspor ke ASEAN, khususnya untuk produk otomotif. Khususnya pada net ekspor antar daerah, peningkatan didorong oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi sejumlah provinsi mitra dagang utama khususnya yang perekonomiannya berbasis SDA (Sumatera dan Kalimantan) sebagai implikasi dari meningkatnya harga komoditas global. Adapun perbaikan wilayah-wilayah berbasiskan SDA tersebut diperkirakan mendorong ekspor antar daerah untuk produk makanan & minuman (seiring dengan membaiknya pendapatan masyarakat setempat) serta alat angkutan (sebagai barang modal untuk industri pertambangan/penggalian) dari Jawa Barat.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1. 42 Perkembangan Neraca Perdagangan Luar Negeri Jawa Barat
Grafik 1. 43 Perkembangan Neraca Perdagangan Antar Daerah Jawa Barat
Ekspor-Impor Antar Daerah Pertumbuhan ekspor antar daerah pada triwulan I 2017 sebesar 27,45% (yoy) meningkat dibanding triwulan
sebelumnya
yang
tumbuh
sebesar
27,44%. Peningkatan ini terutama didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian dari wilayah mitra dagang. Berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia,
peningkatan
keyakinan
konsumen
terjadi di sejumlah daerah yang menjadi mitra dagang utama Jawa Barat, antara lain Sumatera
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia, diolah Grafik 1. 44 Keyakinan Konsumen Provinsi Mitra Dagang Jawa Barat
Selatan (dari 109,67 menjadi 125,23), DKI Jakarta (dari 106,10 menjadi 121,10), Jawa Tengah (dari 128,87 menjadi 134,03), dan Jawa Timur (dari 117,63 menjadi 117,83) (Grafik 1.44).
Ekspor-Impor Luar Negeri Ekspor Luar Negeri Pertumbuhan ekspor luar negeri Jawa Barat kembali mengalami peningkatan yang cukup signifikan
yakni
dari
-0,76%
(yoy)
23
pada
triwulan IV 2016 menjadi 8,04% (yoy) pada triwulan I 2017. Pertumbuhan pada triwulan ini merupakan yang tertinggi sejak triwulan IV 2014. Sejalan dengan hal tersebut, nilai ekspor barang FOB (freight on board) pada triwulan ini juga meningkat dari 5,61% (yoy) pada triwulan IV
Grafik 1.45 Perkembangan Nilai & Volume Ekspor Jawa Barat
2016 menjadi 16,56% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.45). Total nilai ekspor FOB Jawa Barat pada triwulan ini mencapai USD6.866 juta, meningkat dibanding triwulan IV sebesar USD6.545 juta. Berlanjutnya perbaikan kinerja ekspor luar negeri Jawa Barat selama dua triwulan terakhir dipengaruhi
MEI 2017
24
EKONOMI MAKRO REGIONAL
oleh perekonomian global yang juga terus membaik serta harga komoditas yang secara bertahap terus meningkat sejak akhir tahun lalu.
Grafik 1. 46 Struktur Komoditas Ekspor Jawa Barat
Grafik 1. 47 Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Jawa Barat
Berdasarkan pangsanya, komoditas ekspor terbesar dari Jawa Barat pada triwulan I 2017 adalah dari subkelompok Tekstil dan Produk Tekstil (20,1%), diikuti oleh Kendaraan (17,1%), Elektronik (15,3%), dan Kimia (7,5%) (Grafik 1.46). Pangsa ekspor kendaraan mengalami kenaikan cukup signifikan bahkan mencapai dua kali lipat dari pangsanya pada triwulan I 2016 (8,2%). Dengan perkembangan tersebut, ekspor otomotif telah menggeser posisi ekspor elektronik yang selama ini memegang pangsa terbesar kedua pada total ekspor Jawa Barat. Terus meningkatnya ekspor otomotif dari Jawa Barat berlangsung seiring dengan terus penurunan kinerja ekspor elektronik selama beberapa tahun terakhir. Pesatnya perkembangan ekspor otomotif dari Jawa Barat tercermin dari pertumbuhannya yang mencapai 142,5% (yoy) pada triwulan I 2017, kembali meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 98,2% (yoy) (Grafik 1.47). Secara spesifik, pertumbuhan yang signifikan ini terjadi pada ekspor otomotif Jawa Barat ke Filipina yang tumbuh dari 560,13% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 671,09% (yoy) pada triwulan I 2016, khususnya untuk kelas mobil SUV (Sport Utility Vehicle). Dengan demikian, akselerasi pertumbuhan ekspor otomotif menjadi faktor utama pendorong akselerasi ekspor luar negeri Jawa Barat pada triwulan I 2017. Selain otomotif, pertumbuhan ekspor manufaktur utama lainnya juga tercatat mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 seiring terus membaiknya perekonomian global, yakni pertumbuhan ekspor industri kimia (dari -4,20% menjadi 16,50%), industri elektronik (dari -5,35% menjadi 10,05%), dan industri tekstil & produk tekstil/TPT (dari -5,38% menjadi 1,99%). Selain ekspor otomotif, ekspor kimia juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup signifikan sehingga pada triwulan I 2017 pangsa ekspor kimia menempati posisi keempat terbesar, menggeser posisi ekspor mesin dan ekspor karet & plastik yang pada triwulan I 2016 memberikan pangsa lebih besar. Peningkatan ekspor kimia Jawa Barat pada triwulan I 2017 terutama bersumber dari ekspor yang ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia yakni Turki, Filipina, China, Thailand, dan Vietnam.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Tabel 1. 7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Jawa Barat (HS 2 Digit) Tw IV 2016 Kom oditas (HS 2 Digit)
Tw I 2017 Nilai Ekspor Pangsa
87 - Vehicles other than railw ay
(Juta USD)
(% )
Kom oditas (HS 2 Digit)
Nilai Ekspor Pangsa (Juta USD)
(% )
808
12.34
87 - Vehicles other than railw ay
1,066
15.52
85 - Elect. machinery, sound rec., tvetc.
1,027
15.70
85 - Elect. machinery, sound rec., tvetc.
973
14.17
84 - Nuclear react.,boilers,mech. appli.
695
10.62
84 - Nuclear react.,boilers,mech. appli.
707
10.29
61 - Articles of apparel accessories
493
7.53
61 - Articles of apparel accessories
536
7.81
62 - Articles of apparel acces. not knit
319
4.88
62 - Articles of apparel acces. not knit
362
5.27
64 - Footw ear; part of such articles
378
5.77
64 - Footw ear; part of such articles
360
5.24
40 - Rubber and articles thereof
337
5.15
40 - Rubber and articles thereof
338
4.92
55 - Man-made staple fibres
225
3.43
55 - Man-made staple fibres
295
4.29
39 - Plastics and articles thereof
194
2.96
39 - Plastics and articles thereof
205
2.99
48 - Paper and paperboard
175
2.67
48 - Paper and paperboard
205
2.98
54 - Man-made filaments.32
182
2.79
54 - Man-made filaments.32
198
2.89
Lainnya
1,712
26.16
Lainnya
1,622
23.62
Total
6,545
Total
6,866
Grafik 1. 48 Ekspor Jawa Barat ke Negara/Kawasan Tujuan Utama
Grafik 1. 49 Perkembangan PMI Negara Mitra Dagang Utama
Sementara itu dari sisi negara tujuan, meningkatnya pertumbuhan ekspor luar negeri terjadi ke semua negara mitra dagang utama dengan peningkatan tertinggi pada ekspor ke ASEAN. Nilai ekspor barang FOB dari Jawa Barat ke ASEAN, Amerika Serikat, dan Eropa tercatat masing-masing sebesar USD1.664 juta, USD1.296 juta dan USD881 juta. Pertumbuhan ekspor ke ASEAN meningkat dari 23,85% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 33,98% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.48). Secara spesifik, peningkatan pertumbuhan terbesar terjadi pada ekspor ke Vietnam (dari 11,00% menjadi 41,49%), Singapura (dari -6,52% menjadi 15,95%) dan Thailand (dari 19,09% menjadi 24,83%). Peningkatan pertumbuhan ekspor Jawa Barat ke ASEAN ini terutama didorong oleh ekspor otomotif (dari 126,31% menjadi 166,69%). Selanjutnya, pertumbuhan ekspor Jawa Barat ke Amerika Serikat juga membaik dari 0,13% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 11,83% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan pertumbuhan ekspor ke Amerika Serikat pada triwulan I 2017 terutama terjadi pada ekspor elektronik (dari -3,42% menjadi 33,24%) dan ekspor garmen (dari 0,01% menjadi 19,49%). Setelah mengalami perlambatan sejak triwulan III 2016, pada triwulan I 2017 ekspor Jawa Barat ke Eropa mulai membaik dengan tumbuh dari -3,77% (yoy) menjadi 1,83% (yoy). Peningkatan ekspor Jawa Barat ke Eropa terutama terjadi pada ekspor elektronik (dari -15,31% menjadi -6,05%) dan ekspor makanan & minuman (dari 17,65% menjadi 121,04%). Meningkatnya permintaan dari mitra dagang utama ini sejalan dengan
MEI 2017
25
26
EKONOMI MAKRO REGIONAL
perkembangan Purchasing Manager Index (PMI) yang meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Adapun PMI Amerika Serikat meningkat dari 53,87 pada triwulan IV 2016 menjadi 54,17 pada triwulan I 2017, sementara PMI Eropa meningkat 54,03 menjadi 55,57 (Grafik 1.49). Poin penting yang perlu dicermati adalah bahwa PMI dari mayoritas negara mitra dagang utama Jawa Barat saat ini sudah berada di atas level 50 yang berarti berada di area optimis.
Impor Luar Negeri Pertumbuhan impor luar negeri Jawa Barat juga mengalami perbaikan seiring dengan ekspor namun dalam persentase kenaikan yang lebih rendah dibandingkan ekspor , yakni dari -1,58% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 2,50% (yoy) pada triwulan I 2017. Di sisi lain, pertumbuhan impor barang CIF juga mengalami perlambatan yakni dari 5,92% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -3,23% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.50). Hal ini terjadi di tengah berlangsungnya depresiasi terbatas Rupiah pada triwulan I 2017 sebesar 0,75% (qtq) seiring dengan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga kebijakannya (FFR) pada bulan Maret 2017 (Grafik 1.51). Walau demikian, dampak kenaikan FFR terhadap volatilitas nilai tukar pada triwulan I 2017 tergolong sangat terbatas karena minim gejolak. Hal ini mengindikasikan bahwa perlambatan laju pertumbuhan impor barang pada triwulan I 2017 disebabkan oleh faktor selain pergerakan nilai tukar Rupiah. Mengacu kepada pertumbuhan perubahan inventori yang melambat dari 26,84% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,79% (yoy) pada triwulan I 2017, diperkirakan perusahaan masih memanfaatkan stock bahan baku yang dimiliki untuk mendukung kegiatan produksinya di awal tahun sehingga kegiatan impor barang masih terbatas.
Grafik 1. 50 Perkembangan Nilai Volume Impor Jawa Barat
Grafik 1. 51 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (USD/IDR)
Berdasarkan jenis penggunaannya, impor ke Jawa Barat didominasi oleh impor bahan baku (79,7%), sedangkan impor barang modal dan barang konsumsi masing-masing memiliki pangsa 14,2% dan 6,1% (Grafik 1.52). Secara umum, perlambatan laju pertumbuhan impor luar negeri didorong oleh perlambatan ketiga jenis barang, baik impor barang konsumsi (dari 16,38% menjadi -2,65%), impor barang modal (dari 16,24% menjadi 7,94%) dan impor bahan baku (dari 3,32% menjadi -5,03%) (Grafik 1.53). Adapun impor barang modal untuk pertama kalinya mengalami perlambatan setelah sebelumnya konsisten mengalami peningkatan sepanjang tahun 2016.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1. 52 Pangsa Komoditas Impor Berdasarkan Jenis Penggunaan
Grafik 1. 53 Perkembangan Impor Jenis Penggunaan
1.2 Sisi Lapangan Usaha Perlambatan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan IV 2016 disebabkan oleh melambatnya sebagian lapangan usaha di Jawa Barat, khususnya lapangan usaha dengan pangsa besar seperti perdagangan, pertanian dan konstruksi. Namun demikian, industri pengolahan yang merupakan sektor ekonomi utama di Jawa Barat meningkat seiring menguatnya permintaan ekspor. Sejalan dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan dengan berlalunya libur akhir tahun, lapangan usaha perdagangan mengalami perlambatan mencapai 5,33%, dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 5,42% (yoy). Perlambatan lapangan usaha perdagangan terkonfirmasi dari melambatnya pertumbuhan indeks perdagangan riil di Jawa Barat dari 40,93% menjadi 39,47% (yoy), terutama bersumber dari melambatnya perdagangan kelompok barang pakaian dan perlengkapan lainnya. Sementara itu, lapangan usaha pertanian mengalami perlambatan di triwulan I 2017 menjadi 5,75% (yoy) setelah triwulan sebelumnya tumbuh tinggi 9,39% . Pola panen yang tidak serentak diindikasikan menyebabkan pertumbuhan lapangan usaha pertanian di triwulan ini tidak setinggi perkiraan sebagaimana pola panen raya dua triwulan sekali. Sejalan dengan banyaknya proyek pemerintah yang masih dalam tahap lelang menyebabkan lapangan usaha konstruksi tumbuh melambat dari 4,35% menjadi 4,08% (yoy) pada triwulan I 2017. Hal ini sebagaimana pola historis belanja pemerintah. Selain lapangan usaha utama, mayoritas lapangan usaha lainnya yakni transportasi dan pergudangan; penyediaan akomodasi dan makan minum; informasi dan komunikasi; jasa keuangan; jasa kesehatan danlainnya juga mengalami perlambatan pada triwulan I 2017. Sementara itu, lapangan usaha industri pengolahan masih menunjukkan perkembangan yang menggembirakan yakni tumbuh cukup signifikan dari 4,03% menjadi 4,75% (yoy). Peningkatan pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan terutama didorong oleh menguatnya permintaan global dan mulai berakhirnya konsolidasi korporasi. Hal ini terkonfirmasi dengan membaiknya pertumbuhan ekspor produk manufaktur Jawa Barat dari 5,3% menjadi 16,7% pada triwulan I 2017,
MEI 2017
27
28
EKONOMI MAKRO REGIONAL
dengan peningkatan pada hampir semua kelompok produk dan kenaikan paling tinggi pada ekpor produk otomotif. Selain lapangan usaha industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, pengadaan air, jasa pendidikan serta jasa lainnya juga mengalami peningkatan laju pertumbuhan di triwulan I 2017. Tabel 1.8. Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Lapangan Usaha
2014r)
2015*
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik, Gas Pengadaan Air Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB
8.72 2.43 43.64 0.79 0.07 8.09
2016** IIIr)
2016**
2017 I
6.78 1.62 42.91 0.79 0.09 8.56
8.90 1.53 42.49 0.72 0.08 8.12
9.03 1.54 42.66 0.75 0.09 7.74
15.30
15.69
15.15
14.91
5.40 2.53 2.70 2.74 1.01 0.39
6.10 2.59 2.68 2.77 1.00 0.40
5.76 2.70 2.82 2.88 1.00 0.41
5.72 2.60 2.75 2.79 1.02 0.40
5.70 2.70 2.94 2.75 1.04 0.41
2.17
2.59
2.19
2.40
2.34
2.09
2.71 0.75 1.97 100.00
2.65 0.69 1.89 100.00
2.65 0.72 1.92 100.00
2.81 0.77 2.02 100.00
2.70 0.73 1.95 100.00
2.81 0.77 2.07 100.00
Ir)
IIr)
8.69 1.71 43.03 0.75 0.08 8.26
9.26 1.43 43.03 0.71 0.08 7.87
9.95 1.47 42.39 0.66 0.08 8.03
9.64 1.60 41.65 0.72 0.08 7.98
15.26
15.24
14.76
14.81
4.79 2.43 2.46 2.56 1.04 0.39
5.50 2.50 2.60 2.61 1.02 0.40
5.62 2.58 2.81 2.78 1.06 0.40
2.32
2.41
2.55 0.63 1.82 100.00
2.66 0.70 1.85 100.00
IV
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Tabel 1. 9. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (% yoy) Lapangan Usaha
2014r)
2015*
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik, Gas Pengadaan Air Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB
0.58 1.57 5.11 4.79 5.94 5.45
2016** IIIr)
2016**
2017 I
9.39 3.04 4.03 4.93 7.65 4.35
5.80 -0.97 4.77 3.37 6.33 5.02
5.75 0.95 4.75 6.33 7.84 4.08
5.52
5.42
4.44
5.33
6.46 6.59 14.43 18.40 7.06 6.61
13.18 9.66 13.66 10.25 6.60 9.67
7.79 11.56 12.50 9.34 4.29 8.58
8.84 9.31 14.27 11.89 6.51 8.16
6.06 9.42 10.37 1.41 4.50 7.80
3.57
17.20
-7.68
0.51
2.98
0.84
10.69 11.86 10.88 5.20
9.12 7.33 7.81 6.06
5.85 9.52 9.75 5.97
5.18 9.25 6.67 5.45
7.61 9.48 8.73 5.67
8.03 7.73 8.96 5.24
Ir)
IIr)
0.16 0.41 4.39 -6.80 5.88 6.43
-1.51 -0.39 5.14 4.86 2.46 6.27
5.21 -6.84 5.29 -1.79 5.62 7.06
11.10 0.42 4.64 5.38 9.43 2.70
3.30
3.71
2.48
4.18
7.78 6.00 17.47 4.36 4.46 6.92
8.90 8.10 16.31 7.36 5.46 8.15
7.74 9.39 16.71 10.13 8.15 7.71
0.46
5.53
14.42 15.78 8.82 5.09
10.17 14.14 8.96 5.04
IV
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Berdasarkan sumber pertumbuhan, industri pengolahan masih menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar yakni 2,06%, dan meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
perlambatan laju pertumbuhan industri pengolahan yang meningkat. Di posisi kedua, lapangan usaha perdagangan besar-eceran dan reparasi kendaraan memberikan andil pertumbuhan terbesar kedua yang mencapai 0,81%, menurun dibanding triwulan sebelumnya (0,87%). Lapangan usaha penyumbang pertumbuhan terbesar ketiga adalah pertanian, kehutanan dan perikanan dengan andil sebesar 0,45%. Pada tahun 2016 khususnya sejak triwulan II 2016, lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan konsisten memberikan andil pertumbuhan yang tinggi di kisaran 0,4%
0,9% didorong oleh laju
pertumbuhannya yang meningkat signifikan sejak triwulan II 2016. Selanjutnya, lapangan usaha informasi dan komunikasi memberikan andil pertumbuhan sebesar 0,39% atau terbesar keempat. Meskipun laju pertumbuhannya melambat namun angka pertumbuhan lapangan usaha ini yang konsisten mencapai double digit mampu memberikan andil pertumbuhan yang positif dan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat ditambahkan sejak kapan double digitnya. Lapangan usaha penyumbang pertumbuhan berikutnya adalah konstruksi, transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makanan minuman serta jasa keuangan. Secara umum, keseluruhan lapangan usaha memberikan andil pertumbuhan positif pada triwulan laporan. Tabel 1. 10. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (%) Lapangan Usaha Industri Pengolahan Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Informasi dan Komunikasi Konstruksi Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Jasa Pendidikan Jasa lainnya Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Real Estate Jasa Keuangan Jasa Perusahaan Pengadaan Listrik, Gas Pertambangan dan Penggalian Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Pengadaan Air
2014r)
2015*
2.26 0.54
2016** r)
2016**
2017 I
1.78
2.07
2.06
0.87
0.70
0.81
0.89 0.47 0.22 0.62 0.24 0.16 0.19 0.07 0.07 0.25 0.04 0.03 0.01
0.54 0.45 0.38 0.36 0.29 0.15 0.14 0.07 0.05 0.24 0.04 0.03 0.07
0.45 0.50 0.41 0.41 0.23 0.20 0.17 0.07 0.07 0.29 0.03 0.02 -0.02
0.45 0.39 0.32 0.29 0.24 0.22 0.19 0.06 0.05 0.04 0.03 0.03 0.02
0.34
-0.17
0.01
0.06
0.02
0.00
0.01
0.01
0.00
0.01
r)
r)
I
II
III
IV
1.92
2.24
2.29
1.99
0.59
0.39
0.65
0.87
0.02 0.49 0.44 0.33 0.14 0.34 0.16 0.10 0.05 0.10 0.03 0.03 0.04
0.01 0.51 0.52 0.40 0.19 0.26 0.17 0.10 0.06 0.18 0.03 -0.04 0.01
-0.13 0.57 0.49 0.36 0.23 0.28 0.22 0.09 0.09 0.25 0.03 0.02 -0.01
0.45 0.49 0.56 0.30 0.16 0.24 0.15 0.05 0.08 0.42 0.03 -0.01 -0.16
0.01
0.11
0.07
0.00
0.00
0.00
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
1.2.1 Industri Pengolahan
29
Industri pengolahan sebagai lapangan usaha utama perekonomian Jawa Barat tumbuh cukup signifikan pada triwulan I 2017, meningkat dari 4,03% menjadi 4,75% (yoy). Peningkatan kinerja industri pengolahan terutama didorong oleh membaiknya permintaan ekspor ke negara mitra dagang seiring dengan menguatnya perekonomian global. Selain itu, menguatnya perekonomian beberapa provinsi mitra perdagangan dalam negeri Jawa Barat juga turut mendorong peningkatan permintaan untuk keluaran produk manufaktur Jawa Barat. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan Bank Indonesia kepada pelaku-pelaku usaha di Jawa Barat mengindikasikan adanya peningkatan kinerja lapangan usaha industri pengolahan di triwulan I 2017, terlihat dari peningkatan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) indeks dari 2,83 menjadi 9,63 SBT (Saldo
MEI 2017
30
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Bersih Tertimbang). Selain peningkatan pada indeks realisasi kegiatan usaha, indeks investasi dan penggunaan tenaga kerja industri pengolahan juga mengalami peningkatan di triwulan I 2017 yakni masing-masing dari 0.73 menjadi 1.49 SBT untuk investasi dan dari -1.84 menjadi 4.41 SBT di indeks penggunaan tenaga kerja. Peningkatan kinerja industri pengolahan ini diindikasi didorong kuat oleh menguatnya permintaan global sehingga meningkatkan permintaan ekspor produk otomotif Jawa Barat.
Grafik 1.54 SKDU Industri Pengolahan
Grafik 1.56 Pangsa ekspor Manufaktur Jawa Barat
Grafik 1.55 PMI Negara Mitra Dagang Utama
Grafik 1.57 Ekspor Manufaktur Jawa Barat
Hingga Maret 2017, Purchasing Manager Index (PMI) dari beberapa negara mitra dagang utama Jawa Barat terpantau meningkat, khususnya Eropa. Sejalan dengan peningkatan PMI negara mitra dagang, ekspor manufaktur Jawa Barat mengalami peningkatan dari 5,3% menjadi 16,7%. Peningkatan terutama didorong meningkatnya ekspor otomotif dan terjadi pada semua subsektor kecuali kulit dan mamin. Peningkatan ekspor otomotif Jawa Barat terkonfirmasi dengan data peningkatan ekspor dari GAIKINDO yang menyebutkan bahwa terdapat kenaikan sangat signifikan untuk ekspor khususnya ekspor tipe CKD Set (Complete Knock Down) dan ekspor untuk komponen. Namun demikian, data GAIKINDO tidak menunjukkan peningkatan ada produksi kendaraan yang diindikasi karena adanya perbedaan klasifikasi antara produksi mobil dengan CKD dan komponen.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.58 Ekspor CKD Set
Grafik 1.59 Ekspor Komponen
Grafik 1.60 Produksi Mobil - GAIKINDO
Selain didorong oleh peningkatan permintaan ekspor, meningkatnya kinerja industri pengolahan juga didorong oleh meningkatnya permintaan domestik khususnya yang berasal dari beberpa provinsi mitra dagang domestikJawa Barat, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi dimaksud. Peningkatan permintaan domestik ini terindikasi dari informasi contact liaison Bank Indonesia yang menyebutkan adanya kenaikan penjualan domestik dengan peningkatan likert scale dari 0,65 menjadi 0,76. Jika dilihat dari lalu lintas transaki keuangan melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, maka indikasi konsumen domestik industri pengolahan di Jawa barat adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat danSumatera Utara. Sebagian besar dari provinsi-provinsi tersebut menggunakan output atau keluaran final dari industri pengolahan di Jawa Barat sebagai input konsumsi. Oleh karena itu, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut akan mendorong permintaan output industri pengolahan di Jawa Barat.
31
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.61 Provinsi mitra dagang Jabar berdasarkan lalulintas transaksi SKNBI
Grafik 1.63 Likert Scale Penjualan Domestik
Grafik 1.62 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Mitra Dagang Jawa Barat
Grafik 1.64 Perkembangan Industri Mikro dan Kecil
Sejalan dengan peningkatan kinerja industry pengolahan tersebut, berdasarkan data produksi industri manufaktur BPS Provinsi Jawa Barat yang dirilis pada triwulan I 2017, produksi industri manufaktur mikro dan kecil tercatat mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan pertumbuhan triwulan IV 2016, dari
sebesar -1,54% menjadi 2,38% (yoy). Peningkatan pada industri manufaktur mikro dan kecil
khususnya terjadi pada sub lapangan usaha industri peralatan listrik, pengolahan tembakau, farmasi, produk kimia dan obat tradisional dan alat angkut lainnya. Peningkatan industry mikro dan kecil alat angkut sejalan dengan peningkatan industri otomotif secara umum dimana hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kinerja otomotif telah mampu mendorong peningkatan industri hulu berskala UMK.
32
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Tabel 1. 11. Perkembangan Industri Mikro dan Kecil
JENIS INDUSTRI KECIL & MENENGAH Industri Peralatan Listrik Industri Pengolahan Tembakau Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional Industri Alat Angkutan Lainnya Industri Pengolahan Lainnya Industri Makanan Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Furnitur Industri Bahan Kimia dan Barang dari Kimia Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Minuman Industri Pakaian Jadi Industri Barang Galian Bukan Logam Industri Tekstil Industri Kayu, Barang dari Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya Industri Kertas dan Barang dari Kertas Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman Industri Logam Dasar Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya
2015 IV
2016 II -6.90 11.85 -15.49 -15.07 -5.93 0.28 -3.27 1.43 14.62 0.79 4.67 6.72 2.13 -1.11
II -10.88 15.99 -16.60 -7.79 -4.96 5.36 -13.10 -2.79 -16.77 1.54 6.96 -6.77 -5.32 -7.29
IV -8.10 -4.73 -14.84 -20.23 0.29 5.77 -0.17 7.78 -14.61 2.00 1.92 -5.91 2.14 -26.86
2017 I 39.30 9.84 -1.24 -10.02 9.15 14.32 8.36 14.55 -7.96 5.55 5.30 -3.07 4.65 -26.31
∆
31.70 -23.30 -3.34 1.79 9.32 -12.11 -6.22 18.76 17.60 5.68 7.58 -10.08 -4.89
I -5.58 2.88 -10.98 -11.71 -2.97 0.65 -16.41 -2.95 1.33 10.98 3.47 4.57 -10.44 -0.65
-3.45
-1.46
-1.37
-3.04
1.82
-0.22
-2.04
41.93 11.23 -12.68
-17.01 29.47 -0.54 -5.00
-23.17 23.14 -10.94 -2.79
-12.80 63.10 -5.79 -2.01
-14.40 34.36 -23.58 -2.49
-18.09 28.62 -30.23 -11.79
-3.69 -5.74 -6.65 -9.30
47.40 14.57 13.60 10.21 8.86 8.55 8.53 6.77 6.65 3.55 3.38 2.84 2.51 0.55
Namun demikian dari segi pembiayaan, perkembangan kredit atau pembiayaan dari perbankan pada lapangan usaha Industri Pengolahan pada triwulan I 2017 kembali menunjukkan perlambatan. Laju pertumbuhan kredit industri pengolahan pada triwulan I 2017 melambat dari -4,32% di triwulan IV 2016 menjadi -4,78% pada triwulan I 2017. Namun demikian repayment capacity industri pengolahan pada triwulan I 2017 menunjukkan perbaikan dengan menurunnya NPL dari 4,82% menjadi 4,15%. Industri Makanan minuman masih menyumbangkan NPL tertinggi namun mulai menurun sedangkan industri alat angkutan masih konsisten menunjukkan NPL yang rendah.
33 Grafik 1.65 Kredit Industri Pengolahan
Grafik 1.66 NPL Industri Pengolahan
1.2.2 Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Motor Lapangan usaha perdagangan besar-eceran dan reparasi dengan pangsa terbesar kedua (15,15%) melambat dibandingkan triwulan sebelumnya dari tumbuh sebesar 5, 42% menjadi 5,33% (yoy). Perlambatan lapangan usaha perdagangan sejalan dengan berlalunya momen Natal dan Libur AKhir Tahun. Meski konsumsi rumah tangga meningkat cukup signifikan, namun tidak kemudian menjadi pendorong permintaan di lapangan usaha perdagangan, karena peningkatan konsumsi lebih banyak
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
didorong oleh konsumsi jasa seperti pendidikan. Hal ini sejalan dengan peningkatan kinerja lapangan usaha jasa pendidikan dan jasa lainnya di Jawa Barat. Perlambatan pada pertumbuhan lapangan usaha perdagangan tercermin dari perkembangan penjualan riil yang melambat di tengah optimisme konsumen yang secara keseluruhan masih relatif terjaga. Berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, Indeks Penjualan Riil Jawa Barat tumbuh melambat dari 14,77% (yoy) pada triwulan IV menjadi 2,59% pada triwulan I 2017. Perlambatan ini terutama terjadi baik pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, peralatan rumah tangga, peralatan komunikasi dan rekreasi. Berlalunya momen Natal dan Libur Akhir Tahun serta kenaikan beberapa administred prices seperti tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak membuat masyarakat mengurangi konsumsi barang retail. Meski demikian, secara umum keyakinan konsumen masih terjaga dengan baik. Berdasarkan Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) masih terus meningkat hingga periode laporan. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) meningkat dari 102,45 pada triwulan IV 2016 menjadi 106,29 pada triwulan I 2017. Dengan demikian, IKE Jawa Barat telah masih terjaga di level optimis (>100) setelah sejak triwulan II 2015 konsisten berada pada level pesimis hingga triwulan III 2016. Berdasarkan komponen penyusunnya, hal ini didorong oleh peningkatan indeks konsumsi barang kebutuhan lama (dari 88,96 menjadi 96,51) dan indeks penghasilan saat ini (dari 112,46 menjadi 117,25). Selain itu, dari sisi alokasi pendapatan rumah tangga, perkembangan share alokasi pendapatan untuk konsumsi relatif stabil (dari 64,60% menjadi 64,63%), yang diikuti dengan penurunan share pada alokasi cicilan pinjaman (dari 13,46% menjadi 12,44%) serta peningkatan share alokasi tabungan (dari 21,94% menjadi 22,93%) (Grafik 1.69).
34
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1.67 Indeks Penjualan Riil
MEI 2017
Grafik 1.68 Indeks Keyakinan Konsumen
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1.69 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia juga menkonfirmasi adanya penurunan di lapangan usaha perdagangan, terlihat dari penurunan saldo bersih tertimbang dari 1,13 SBT menjadi 0,61 SBT. Penurunan juga terjadi pada indeks investasi dan penggunaan tenaga kerja yang masingmasing menurun dari 2,46 SBT menajdi 2,19 SBT (investasi) dan dari 0,27 SBT menjadi 0,20 SBT (tenaga kerja). Selain SKDU, informasi liaison juga mengindikasikan bahwa penjualan lapangan usaha perdagangan pada triwulan I 2017 mencatatkan penurunan dibanding triwulan IV 2016. Hal ini ditunjukkan dengan likert scale penjualan, baik penjualan domestik maupun ekspor yang mengalami penurunan masing
masing dari 1,22 menjadi 0,5 (domestik) dan dari 0,25 menjadi -0,5 (ekspor). Sejalan
dengan penurunan penjualan, informasi liaison mengindikasikan penurunan harga jual dan margin per
unit output yang menunjukkan adanya penurunan output/penjualan lapangan usaha tersebut. Likert scale harga jual juga menurun dari 1,44 menjadi 0,43 (harga jual) dan dari 1.22 menjadi 0,07 (margin). Penurunan penjualan pada contact liaison juga terkonfirmasi dari penurunan penggunaan tenaga kerja dan upah dengan penurunan likert scale dari 0,56 menjadi 0,14 (tenaga kerja) dan dari 1,50 menajdi 1,33 (upah).
35
Grafik 1.70 SKDU Perdagangan
Grafik 1.71 Likert Scale Penjualan
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.72 Likert Scale Harga Jual dan Margin
Grafik 1.73 Likert ScaleTenaga Kerja
Penurunan kinerja lapangan ushaa perdagangan terindikasi terjadi pada sublapangan usaha perdagangan besar seperti penjualan kendaraan bermotor. Pada triwulan I 2017, terjadi perlambatan penjualan mobil di Jawa Barat pada. Melambatnya penjualan kendaraan tsb juga dikonfirmasi oleh data pendaftaran kendaraan bermotor di Bapenda Jabar serta penjualan kendaraan roda empat di Jabar. Pertumbuhan pendaftaran kendaraan bermotor/BBBNKB 1 melambat baik untuk mobil pribadi maupun sepeda motor baru dengan perlambatan terdalam pada sepeda motor (dari -5,08% menjadi -17,72%). Di tengah
uncertainty khususnya kenaikan berbagai tarif yang diatur Pemerintah, masyarakat diperkirakan menahan ekspansi konsumsinya khususnya untuk barang kebutuhan tidak mendesak/tahan lama. Selain itu, impor barang konsumsi juga tercatat melambat yang mengindikasikan bahawa masyarakat menahan konsumsi untuk barang-barang yang sifatnya tersier. Impor barang konsumsi hingga triwulan I 2017 tercatat tumbuh melambat (16,4% menjadi -1,6%). Penurunan ini terutama terjadi pada impor barang konsumsi yang bersifat non-durable serta makanan dan minuman yang telah diproses. Penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga di awal tahun diperkirakan mendorong melembatnya pemrintaan impor barang konsumsi.
36
Grafik 1.74 Pendaftaran Kendaran Bermotor
Grafik 1.75 Impor Barang Konsumsi
Dari segi perbankan, pembiayaan perbankan pada sektor perdagangan melalui kredit mengalami peningkatan pada triwulan I 2017, naik dari 7,94% (yoy) menjadi 10,25% (yoy). Selain itu, peningkatan kredit ini juga disertai dengan membaiknya repayment capacity sektor perdagangan yang terlihat dengan menurun NPL dari 4,34% mjd 4,19%. NPL ini mulai terlihat menurun dibandingkan periode sebelumnya sejak awal tahun yang konstan meningkat bahkan pernah melebihi 5%. Pertumbuhan pada kredit rumah tangga tercatat stabil, kredit multiguna tercatat dari 1.05% menajdi 1.22%, sedangkan kredit
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
kepemilikan kendaraan bermotor tercatat stabil sedikit menurun dari 1.27% menjadi 1.26%. Demikian halnya dengan kredit konsumsi yang tercatat stabil dari 13.60% menjadi 13.63%. NPL kredit konsumsi tercatat meningkat dari 1.61% menjadi 1.79% namun masih terjaga dalam level rendah.
Grafik 1.76 Kredit Lapangan Usaha Perdagangan
Grafik 1.77 NPL Lapangan Usaha Perdagangan
1.2.3 Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kinerja sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan pada triwulan laporan tumbuh sebesar 5,75% melambat dibandingkan pertumbuhan di triwulan I V 2016 sebesar 9,35%. Hal ini sejalan dengan berlalunya musim panen raya di triwulan III dan IV 2016. Panen yang berjalan tidak serentak mengakibatkan panen raya yang sekiranya terjadi di triwulan ini terbagi di triwulan berikutnya. Perlambatan kinerja lapangan usaha pertanian ini terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia yang mengindikasikan bahwa terdapat penurunan kapasitas produksi terpakai lapangan usaha pertanian dari 84,5% menjadi 81,8%.
37
Grafik 1.78 Kapasitas Produksi Pertanian - SKDU
Grafik 1.79 Kredit Pertanian
Sementara itu, perkembangan kredit atau pembiayaan dari perbankan pada sektor pertanian juga mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit perbankan terhadap sektor pertanian triwulan I 2017 masih mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV 2016, dengan pertumbuhan kredit tercatat dari -0,62% menjadi -1,00% (yoy). Hal ini mengindikasikan petani yang menahan pengajuan kredit karena memperkirakan produksi yang tidak setinggi triwulan sebelumnya.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Namun demikian kredit pertanian mengalami perbaikan kualitas kredit yang terlihat dari menurunnya NPL kredit pertanian dari 5,52% di triwulan IV 2016 menjadi 4,64% pada triwulan I 2017. Perlambatan lapangan usaha pertanian juga terkonfirmasi dari liaison yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan hasil liaison dengan beberapa Gapoktan diperoleh informasi bahwa panen beras yang bergeser menjadi bulan Oktober sebenarnya mendorong peningkatan produksi pada triwulan ini. Namun, peningkatan produksi pangan itu tertahan oleh tingginya curah hujan pada triwulan ini menyebabkan serangan hama penyakit pada aneka tanaman hortikultura. Akibatnya produksi cabai mengalami penurunan hingga 30% dibandingkan kondisi normalnya yang berdampak pada agregat produksi pertanian keseluruhan di triwulan IV. Sementara itu, pada komoditas daging ayam, sejumlah poultry shop besar pada triwlan IV ini melakukan percepatan panennya untuk menghindari gagal panen akibat serangan penyakit di kondisi cuaca dengan curah hujan tinggi. Walaupun di ujung triwulan mengalami penurunan produksi akibat kerugian yang dialami beberapa bulan sebelumnya. Informasi liaison mengindikasikan bahwa penjualan produk lapangan usaha pertanian pada triwulan IV 2016 mencatatkan penurunan dibanding triwulan III 2016. Hal ini ditunjukkan dengan likert scale penjualan domestik yang mengalami penurunan dari 1,10 menjadi 0,33 SBT. Selain itu, likert scale penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha ini juga menurun dari -0,10 menjadi -0,40 SBT.
Grafik 1.80 Likert Scale Penjualan Domestik
Grafik 1.81 Likert Scale Penggunaan Tenaga Kerja
38 Sejumlah penyakit tercatat menyerang produksi pertanian di Jawa Barat, diantaranya adalah penyakit busuk leher yang menyerang produksi gabah di Purwakarta dan menyebabkan anjloknya produksi, penyakit patek yang melanda produksi cabai di Sukabumi, dan hama wereng di Karawang. Selain itu bencana juga menyebabkan berkurangnya produksi seperti banjir di pantura Indramayu akibat jebolnya Bendungan Sumur Watu yg merendam lahan pertanian dan areal tambak. Pada triwulan I 2017 terdapat penurunan indeks yang diterima petani dari 104,0 pada triwulan IV 2016 menjadi 102,7 pada triwulan I 2017. Hal ini mengindikasikan berkurangnya produksi pertanian pada triwulan ini.
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Grafik 1.82 Indeks Yang Diterima Petani
Tracking Perkembangan Ekonomi Makro Regional Triwulan II 2017 Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan I 2017, dengan perkiraan pertumbuhan pada rentang 5,7% - 6,1% (yoy). Dari sisi pengeluaran, peningkatan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen dengan akselerasi konsumsi rumah tangga masih menjadi menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2017. Perkiraan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan II 2017 didorong oleh beberapa faktor antara lain : 1. Faktor seasonal yakni terjadi pergeseran momen Ramadhan dan Lebaran menjadi seluruhnya berlangsungnya pada triwulan II 2017, sementara pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan serta momen Lebaran berlangsung pada awal triwulan III. 2. Pemberian baik Tunjangan Hari Raya (THR) maupun gaji ke-13 (bagi PNS) pada akhir triwulan II 2016 3. Berlangsungnya serangkaian momen libur panjang pada triwulan II 2016 yang lebih banyak dibandingkan triwulan II 2016 juga menjadi faktor pendorong utama meningkatnya konsumsi dan kegiatan perdagangan, mengingat Jawa Barat merupakan wilayah tujuan wisata utama oleh warga ibukota 4. Telah diselesaikannya perbaikan Jembatan Cisomang yang kembali beroperasi normal pada April 2017 juga diperkirakan turut mendorong perokonomian tumbuh lebih baik dibanding triwulan I 2017 saat perbaikan masih berlangsung dan lalu lintas kendaraan golongan II-V masih dialihkan ke jalur alternatif 5. Berlanjutnya perbaikan ekonomi global termasuk negara/kawasan mitra dagang Jawa Barat (ASEAN, Amerika Serikat, dan Eropa) serta kenaikan harga komoditas global yang mendorong permintaan terhadap ekspor dari Jawa Barat 6. Meningkatnya belanja pegawai Pemerintah Provinsi akibat pengalihan wewenang pengelolaan 28.000 PNS dari Pemerintah Kab/Kota ke Pemerintah Provinsi Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menahan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan II 2017, yakni : 1. Kenaikan tarif listrik tahap III untuk golongan 900VA berpotensi menahan daya beli rumah tangga
MEI 2017
39
40
EKONOMI MAKRO REGIONAL
2. Adanya base year effect, di mana pada triwulan II 2017 konsumsi Pemerintah Daerah mengalami ekspansi sebagai bagian dari finalisasi persiapan menjelang pelaksanaan PON
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2017 - Sisi Pengeluaran
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 1. 83 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Jawa Barat
Sumber : BPS Jawa Barat, diolah Grafik 1. 84 Perkiraan Indeks Tendensi Konsumen Jawa Barat
Perkiraan peningkatan konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan sesuai dengan optimisme konsumen yang tercermin dari hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia, di mana Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada triwulan II 2017 sebesar 139,90 meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 138,53 (Grafik 1.83). Peningkatan IEK ini terutama didorong oleh peningkatan indeks ekspektasi kegiatan usaha (dari 143,96 menjadi 147,51) dan indeks ekspektasi penghasilan (dari 149,11 menjadi 151,76). Peningkatan ekspektasi kegiatan usaha ini juga dikonfirmasi oleh Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memperkirakan SBT kegiatan usaha di triwulan II 2017 sebesar 57,44 meningkat dibandingkan triwulan I 2017 sebesar 22,10. Adapun ekspektasi peningkatan penghasilan selain sebagai imbas dari meningkatnya kegiatan usaha, juga disebabkan oleh adanya pencairan THR dan gaji ke-13 bagi PNS. Selain itu, survei yang dilakukan BPS Jawa Barat juga menunjukkan perkiraan yang sejalan. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) pada triwulan II 2017 diperkirakan sebesar 116,50 atau meningkat cukup signifikan jika dibandingan ITK triwulan I 2017 sebesar 104,50. Transmisi pelonggaran kebijakan moneter diperkirakan berlanjut dan semakin dirasakan dampaknya pada triwulan II 2017. Hal ini sejalan dengan perkembangan kredit yang mulai menunjukkan sinyal perbaikan sejak akhir tahun 2016 hingga triwulan I 2017. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga 7 Days Repo Rate (RR) di level 4,75% sejak awal tahun 2017 untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi. Selain itu, relaksasi kebijakan LTV sejak Agustus 2016 diperkirakan terus mendorong permintaan masyarakat terhadap KPR. Pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017, sejalan dengan pola spending pemerintah mulai meningkat memasuki triwulan II. Pada konsumsi Pemerintah Provnsi, peningkatan terbesar diperkirakan terjadi pada pertumbuhan belanja pegawai dan belanja barang. Hal ini sebagai implikasi lanjutan dari diterapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sejak awal tahun 2017 yang menyebabkan beralihnya beberapa kewenangan kotakabupaten ke provinsi, provinsi ke nasional, maupun sebaliknya. Beberapa kewenangan yang beralih dari sebelumnya di kota/kabupaten ke provinsi adalah pendidikan menengah, ketenagakerjaan, ESDM,
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
perhubungan dan kehutanan sehingga berdampak pada dialihkannya PNS kota/kabupaten ke provinsi sebanyak 28 ribu orang, dengan proporsi terbesar adalah tenaga guru termasuk honorer. Dengan demikian, pemerintah provinsi juga harus mengeluarkan belanja tambahan untuk THR pegawai-pegawai yang dialihkan tersebut. Pertumbuhan
investasi
juga
diperkirakan
mengalami peningkatan pada triwulan II 2017 dibandingkan
triwulan
sebelumnya.
Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan adanya peningkatan perkiraan kegiatan investasi dunia usaha yakni dari dari 15,40% SBT pada triwulan I 2017 menjadi 26,41% SBT pada triwulan II 2017 (Grafik 1.85). Secara sektoral, peningkatan terjadi pada seluruh sektor utama Jawa Barat. Berdasarkan jenisnya,
peningkatan
investasi
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia Grafik 1. 85 Perkiraan Investasi Dunia Usaha
bangunan
diperkirakan menjadi faktor utama pendorong peningkatan laju investasi pada triwulan II 2017. Hal ini terutama didorong oleh percepetan penyelesaian pembangunan sejumlah proyek infrastruktur strategis di Jawa Barat, antara lain meliputi pembangunan jalan Tol Cisumdawu, Tol Soroja, Bandung Intra Urban Toll Road, Tol Cimanggis-Cibitung, Bogor Ring Road, Tol Cikarang-Tj. Priok, Tol Cileunyi-Nagreg-Tasikmalaya, LRT Terintegrasi Jabodebek serta Bandara Internasional Kertajati. Selain itu, kembali normalnya operasionalisasi Jembatan Cisomang juga diperkirakan mendorong pelaku usaha untuk kembali meningkatkan kegiatan investasinya, didukung proses logistik yang kembali lancar. Investasi nonbangunan diperkirakan juga berpotensi kembali meningkat, khususnya untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi dalam memenuhi permintaan menjelang Ramadhan & Lebaran. Sebagaimana perkembangan pada triwulan I 2017, investasi non bangunan di industri otomotif diperkirakan akan kembali meningkat, khususnya mengingat strategi pelaku industri otomotif dalam mengeluarkan mobil jenis/tipe terbaru menjelang Lebaran sehingga biasanya membutuhkan mesin dengan spesifikasi baru. Pertumbuhan ekspor luar negeri juga diperkirakan kembali meningkat pada triwulan I 2017 setelah menunjukkan perbaikan yang sangat positif selama beberapa triwulan terakhir. Pendorong utama perkiraan peningkatan ekspor Jawa Barat terutama bersumber dari ASEAN dan Eropa. Prospek positif pada ASEAN sama halnya dengan mayoritas negara berkembang lainnya, terutama didorong oleh kekuatan konsumsi domestiknya yang masih solid. Kinerja Eropa pada triwulan I 2017 bahkan berada di atas prediksi di awal tahun, di mana PMI Eropa pada bulan Maret 2017 bahkan mencatatkan level tertingginya sejak April 2011. Prospek Eropa ke depan juga diperkirakan membaik seiring dengan terpilihnya Presiden baru Perancis yang dipercaya mampu berpartisipasi mendorong perbaikan kinerja Eropa. Adapun perekonomian Amerika Serikat yang menunjukkan sinyal terus membaik turut memberikan prospek positif pada kinerja ekspor Jawa Barat, namun perlu diwaspadai masih adanya tendensi kebijakan proteksionis yang akan diambil Presiden Amerika Serikat khususnya terhadap negaranegara yang menciptakan defisit neraca perdagangan yang cukup besar bagi Amerika Serikat.
MEI 2017
41
42
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Berlanjutnya prospek kenaikan harga komoditas global juga memberikan dampak positif baik kepada harga jual produk ekspor Jawa Barat di pasar global maupun peningkatan permintaan ekspor antara daerah dari wilayah-wilayah yang pendapatannya meningkat karena perekonomiannya berbasis sumber daya alam/SDA (seperti Sumatera dan Kalimantan). Sejalan
dengan
pertumbuhan
ekspor,
pertumbuhan
impor
juga
diperkirakan
meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya dengan persentase peningkatan yang lebih rendah diband ing ekspor, sehingga memberikan ruang bagi peningkatan net ekspor luar negeri Jawa Barat . Impor barang konsumsi diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan menjelang momen Ramadhan dan Lebaran, khususnya untuk kelompok makanan & minuman, alat komunikasi, serta
furniture. Impor bahan baku juga diperkirakan meningkat setelah pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan. Peningkatan impor bahan baku diperkirakan untuk mendukung kegiatan produksi yang juga meningkat menjelang Ramadhan dan Lebaran. Adapun impor barang modal juga diperkirakan meningkat terbatas, khususnya untuk barang modal pendukung industri otomotif dalam rangka memproduksi jenis/tipe mobil terbaru.
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2017 - Sisi Lapangan Usaha Laju pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan diperkirakan meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini terindikasi dari peningkatan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk lapangan usaha industri pengolahan yang meningkat dari 9,75 menjadi 17,22 SBT. Selain itu meningkatnya keyakinan konsumen atas kondisi ekonomi ke depan yang terlihat dari meningkatnya IEK pada triwulan I 2017 juga menjadi demand pull factor bagi kinerja industri pengolahan khususnya menyambut momen ramadhan dan lebaran. Peningkatan ekspor khususnya ekspor otomotif yang sanagat signifikan diindikasi masih akan berlanjut di triwulan II 2017 karena peningkatan ini diindikasi didorong oleh membaiknya permintaan global terlihat dari meningkatnya purchasing index negara-negara mitra dagang Jawa Barat.
Purchasing Manager Index (PMI) Eropa mencatatkan level tertingginya sejak April 2011. Prospek Eropa ke depan juga diperkirakan membaik seiring dengan terpilihnya Presiden baru Perancis yang dipercaya mampu berpartisipasi mendorong perbaikan kinerja Eropa. Namun demikian PMI bbrp mitra dagang lainnya khususnya Amerika justru mengalami penurunan.Sudah beroperasinya Jembatan Cisomang untuk kendaraan golongan II ke atas juga memperlancar arus barang baik bahan baku maupun distribusi produk. Namun demikian risiko repayment capacity industri pengolahan yang cukup tinggi dibandingkan lapangan usaha utama lainnya perlu diwaspadai. Laju pertumbuhan lapangan usaha perdagangan besar-eceran & reparasi kendaraan diperkirakan meningkat dibanding triwulan sebelumnya sesuai pola historis Ramadhan dan Lebaran. Keyakinan konsumen Jawa Barat yang tercermin dari indeks keyakinan konsumen mengalami peningkatan pada triwulan II 2017 dibandingkan triwulan I 2017. Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) pada triwulan I 2017 menunjukkan peningkatan, khususnya untuk komponen penyusunannya yakni durable goods. Peningkatan indeks ini mengindikasikan peningkatan konsumsi masyarakat atas durable goods yang merupakan salah satu subsektor perdagangan besar. Indeks Tendeksi Konsumen (ITK) yang dirilis BPS
MEI 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
menunjukkan peningkatan prakiraan pada triwulan II 2017 dari 104.5 menjadi 116.5. Selain itu, IPR tumbuh meningkat dari 2,59% menjadi 3,67% pada awal triwulan II 2017. Berdasarkan kelompok barangnya, peningkatan terutama pada kelompok mamin tembakau dan bahan bakar. Dari hasil SKDU, terindikasi adanya peningkatan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk lapangan usaha perdagangan yang meningkat dari 8.41 menjadi 11.28 SBT. Semantara itu dari segi risiko, dampak kenaikan tarif-tarif yang diatur pemerintah di awal tahun telah mulai dapat di-adjust oleh masyarakat sehingga dampaknya terhadap pengurangan daya beli masyrakat telah dapat diminamilisir. Sementara itu, kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan II 2017 diperkirakan melambat dibandingkan triwulan sebelumnya seiring kembali masuknya masa tanam. Hal ini tercermin dari penurunan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk lapangan usaha pertanian yang menurun dari 6,48 menjadi 5,28 SBT. Pergeseran masa tanam sejak akhir tahun 2015 menyebabkan masa panen raya telah terjadi pada triwulan I 2017 sehingga pada triwulan II panen raya telah berakhir. Pola seasonal ini menyebabkan menurunnya produksi pertanian khsusunya beras pada triwulan II 2017 dibandingkan dengan triwulan I 2017. Beberapa produksi pertanian hingga April 2017 mengindikasikan penurunan contihnya produksi beras di Priangan Timur yang sudah berlangsung secara kontinyu setiap bulan tetapi pada bulan Mei 2017 ini, produksi beras lebih rendah dibandingkan triwulan I dan April karena telah berakhirnya puncak panen sehingga secara keseluruhan sektor pertanian menurun.
43
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
BAB II
47
MEI 2017
48
KEUANGAN PEMERINTAH
2.1. Gambaran Umum Total anggaran belanja fiskal Jawa Barat untuk tahun 2017 mencapai Rp171,94 Triliun, meliputi belanja APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp32,43 Triliun (pangsa 20,96%), belanja APBD kabupaten/kota di Jawa Barat1 sebesar Rp83,92 Triliun (pangsa 54,25%) dan belanja APBN sebesar Rp38,35 Triliun (pangsa 24,79%). Dibandingkan tahun 2016, terjadi peningkatan belanja fiskal Jawa Barat sebesar 0,73% (yoy), di mana peningkatan terbesar terjadi pada belanja Provinsi yakni sebesar 9,95% (yoy) dan APBN sebesar 0,43% (yoy). Di sisi lain, total belanja fiskal kabupaten/kota pada tahun 2017 justru mengalami penurunan dengan tumbuh sebesar -2,31% (yoy). Secara spasial, anggaran belanja APBD kabupaten/kota tertinggi dimiliki oleh Kota Bandung yang mencapai Rp7,36 Triliun (pangsa 8,1%) dan terendah adalah Kota Banjar sebesar Rp711,16 Miliar (pangsa 0,85%). Pada triwulan I 2017, realisasi belanja untuk anggaran belanja Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota yang tercermin melalui persentase realisasi belanja terhadap pagu mengalami penurunan dibanding triwulan I 2016, sedangkan belanja APBN mengalami peningkatan. Persentase realisasi anggaran belanja APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar 8,27% (triwulan I 2016 sebesar 12,59%) (Tabel 2.1), APBD gabungan 24 kab/kota sebesar 7,85% (triwulan I 2016 sebesar 10,15%). Di sisi lain, persentase realisasi APBN sebesar 14,48% (triwulan I 2016 sebesar 14,13%). Sejalan dengan hal tersebut, realisasi gabungan belanja fiskal di Jawa Barat pada triwulan I 2017 yang mencapai Rp14,22 Triliun juga mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -15,81% (yoy). Kontraksi pertumbuhan belanja ini khususnya terjadi pada APBD Provinsi yang tumbuh -25,38% (yoy) dan APBD Kab/Kota yang tumbuh -24,71% (yoy). Secara spasial, persentase realisasi belanja terhadap pagu tertinggi terjadi di Kota Cimahi (19,90% dari pagu) dan terendah di Kab. Bandung Barat (1,54% dari pagu). Sementara itu, pertumbuhan belanja tertinggi pada triwulan I 2017 dialami oleh Kota Depok (55,87%, yoy) dan terendah di Kab. Bandung Barat (-83,38%, yoy). Adapun realisasi APBN di Jawa Barat masih mengalami ekspansi dengan tumbuh sebesar 3,84% (yoy). Dari sisi pendapatan, realisasi penerimaan APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar Rp7,08 Triliun atau 23,19% dari target. Persentase realisasi ini lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 15,28% dari target. Tingginya realisasi pendapatan pada APBD Provinsi ini terutama didorong oleh transfer dana perimbangan yang mencapai 25,57% dari target (triwulan I 2016 sebesar 6,51% dari target). Tingginya realisasi transfer dana perimbangan ini secara khusus didorong oleh pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik periode triwulan I 2017 dari Kementerian Keuangan. Selain itu, melalui DAK juga telah dilakukan pencairan sebagian Dana Desa tahap pertama.
1
Data APBD Kab/Kota mencakup 27 kab/kota yang ada di Jawa Barat, di mana data diambil dari Pengawasan Realisasi Anggaran (TEPRA) : monev.lkpp.go.id
MEI 2017
situs Tim Evaluasi dan
KEUANGAN PEMERINTAH
Tabel 2.1. Ringkasan Realisasi APDB Provinsi Jawa Barat Triwulan I 201 7 No.
Uraian
I
Pendapatan
1 2 3
Lain-lain Pendapatan
APBD 2016 P (Rp Miliar)
S.d. Triwulan I 2016 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
APBD 2017 (Rp Miliar)
S.d. Triwulan I 2017 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
26.491
4.097
15,3
30.541
7.084
23,2
Pendapatan Asli Daerah
16.267
3.402
21,0
16.524
3.497
21,2
Dana Perimbangan
10.196
690
6,5
13.987
3.576
25,6
29
5
15,8
30
11
37,0
29.493
3.601
12,6
32.429
2.687
8,3
19.566
3.590
19,3
23.668
2.676
11,3
3.328
11
0,3
2.292
11
0,5
27
-
-
-
II
Belanja
1
Belanja Operasi
2
Belanja Modal
3
Belanja Tidak terduga
4
Belanja Transfer Surplus/ (Defisit)
6.572 (3.002)
495
-
61
-
6.409
2,7
(1.888)
4.396
14,9
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, diolah
2.2. APBD Provinsi Jawa Barat Dukungan fiskal Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2017 (APBD) mencapai Rp30,54 Triliun untuk anggaran pendapatan dan Rp32,43 Triliun untuk anggaran belanja dan transfer (Grafik 2.1). Anggaran pendapatan meningkat 15,29% (yoy) dibanding tahun 2016 sebesar Rp26,49 Triliun. Peningkatan target ini seiring dengan berlanjutnya prospek perbaikan ekonomi di tahun 2017 serta kenaikan sejumlah tarif maupun pajak yang menjadi sumber pendapatan daerah (contoh : biaya STNK, harga BBM, dll). Di sisi lain, anggaran belanja tahun 2017 meningkat sebesar 9,95% (yoy) dibanding tahun 2016 sebesar Rp29,49 Triliun. Peningkatan pada anggaran belanja ini terutama didorong oleh peningkatan yang signifikan pada pos belanja pegawai (140,1%, yoy) sehubungan dengan mulai diterapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang berimplikasi pada beralihnya beberapa kewenangan kota-kabupaten ke provinsi, provinsi ke nasional, maupun sebaliknya. Beberapa kewenangan yang beralih dari sebelumnya di kota/kabupaten ke provinsi adalah pendidikan menengah, ketenagakerjaan, ESDM, perhubungan dan kehutanan yang berdampak kepada dialihkannya PNS kota/kabupaten ke provinsi sebanyak 28 ribu orang, dengan proporsi terbesar adalah tenaga guru termasuk honorer. Sebaliknya, PNS provinsi yang dialihkan ke kabupaten/kota maupun nasional hanya sebesar 162 orang. Adapun pengalihan wewenang yang cukup besar ke Pemerintah Provinsi tersebut tidak dibarengi dengan pengalihan/penambahan DAU/DAK. Hal ini berdampak pada proporsi anggaran Pemerintah Provinsi di tahun 2017, di mana beberapa dinas/SKPD mengalami pengurangan anggaran untuk mengkompensasi peningkatan biaya gaji di tahun 2017. Secara ringkas, persentase realisasi baik pada anggaran belanja maupun pendapatan Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 lebih rendah dibanding triwulan I 2016. Persentase realisasi belanja pada triwulan I tahun 2017 sebesar 8,29% dari pagu, lebih rendah dari triwulan I 2016 sebesar 12,59%. Sebaliknya,
MEI 2017
49
50
KEUANGAN PEMERINTAH
realisasi pendapatan menunjukkan pencapaian yang jauh lebih baik, yakni mencapai 23,19% dari target pada triwulan I 2017, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 sebesar 15,28%. Jika ditinjau dari segi pertumbuhan tahunan, terjadi perlambatan khususnya pada sisi belanja Pemerintah Provinsi (Grafik 2.2). Pertumbuhan belanja pada triwulan I 2017 sebesar -25,38% (yoy), melambat cukup signifikan dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh mencapai 17,80% (yoy). Secara spesifik, kontraksi pada pertumbuhan belanja Pemerintah Provinsi terjadi pada pos belanja hibah yang tumbuh -55,32% (yoy) dan belanja modal yang tumbuh -1,38% (yoy). Kontraksi pertumbuhan
ini salah satunya
disebabkan oleh base year effect di mana pada tahun 2016 terdapat penyelenggaraan kegiatan PON dan Peparnas yang dalam rangka persiapannya telah menyerap anggaran sejak triwulan I 2016. Di sisi lain, pendapatan Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 mengalami ekspansi dengan tumbuh sebesar 72,92% (yoy), meningkat cukup signifikan dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh mencapai 14,45% (yoy). Secara spesifik, peningkatan ini didorong oleh transfer dana perimbangan yakni pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik maupun pencairan sebagian dana desa tahap pertama. Berdasarkan perkembangan-perkembangan di atas, pada triwulan I 2017 neraca APBD Provinsi Jawa Barat meraih surplus anggaran sebesar Rp4,40 Triliun, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang mengalami surplus anggaran sebesar Rp495 Miliar.
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI) Grafik 2.1. Perkembangan APBD Provinsi Jawa Barat
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI) Grafik 2.2. Perkembangan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat
2.2.1. Anggaran Pendapatan Provinsi Jawa Barat Pada tahun 2017, kenaikan anggaran pendapatan daerah Provinsi Jawa Barat terutama ditopang oleh kenaikan pada anggaran transfer dana perimbangan yang naik cukup signifikan hingga 37,19% (yoy), khususnya didorong oleh peningkatan pada pagu Dana Alokasi Umum (DAU) yang meningkat dari Rp1,02 Triliun pada tahun 2016 menjadi Rp2,99 Triliun pada tahun 2017 atau tumbuh 192,98% (yoy) (Tabel 2.2). Peningkatan transfer DAU ke Pemerintah Provinsi ini antara lain merupakan implikasi dari pengalihan urusan pendidikan SMA/SMK dan urusan lainnya dari Pemerintah Kab/Kota ke Provinsi. Sejalan dengan hal tersebut, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan sebesar 19,19% (yoy). Peningkatan ini khususnya terjadi pada pagu DAK Non Fisik seiring dengan adanya penambahan jenis DAK Non Fisik yakni : (1) dana pelayanan administrasi kependudukan dan (2) tunjangan khusus guru PNSD di desa sangat tertinggal. Anggaran pendapatan asli daerah (PAD) yang
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
menjadi penopang utama pendapatan daerah tumbuh terbatas yakni sebesar 1,58% (yoy) pada tahun 2017, terutama didorong oleh peningkatan target pendapatan pajak daerah tahun 2017 sebesar 1,50% (yoy). Tabel 2.2. Anggaran Pendapatan Daerah Perubahan Provinsi Jawa Barat 2016 dan 2017 APBD 2016 P (Rp APBD 2017 (Rp
No. Uraian
I
Miliar)
PAD
16.524
15.013
15.238
70
58
(16,73)
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
335
323
(3,35)
d. Lain-lain PAD
849
904
6,49
10.196
13.987
37,19
a. Bagi Hasil Pajak
1.396
1.724
23,49
b. Dana Alokasi Umum
1.021
2.992
192,98
c. Dana Alokasi Khusus
7.779
9.271
19,19
29
30
3,57
24
22
(6,24)
b. Lain-lain Penerimaan
0
0
0,00
c. Dana Penyesuaian dan Otsus
5
8
50,00
26.491
30.541
15,29
b. Retribusi Daerah
III
(yoy)
16.267
a. Pajak Daerah
II
% Perubahan
Miliar)
Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan a. Bantuan Keuangan (Hibah)
Total Pendapatan
1,58 1,50
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat (angka sementara), perhitungan staf BI Rasio derajat otonomi fiskal (DOF) Provinsi Jawa Barat masih dalam kategori baik, tercermin dari 54,10%
anggaran pendapatan pada tahun 2017 bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun demikian, DOF ini mengalami sedikit penurunan dibanding tahun 2016 sebesar 61,40% seiring dengan meningkatnya pangsa dana perimbangan. Pajak daerah masih menjadi komponen terbesar PAD dengan pangsa mencapai 92,2%, relatif tidak berubah dibanding tahun 2016 (Grafik 2.3). Pertumbuhan target penerimaan pajak daerah tahun 2017 sebesar 1,50% (yoy) lebih rendah dibanding pertumbuhan target penerimaan pajak tahun 2016 sebesar 5,16% (yoy). Secara spesifik, penurunan pada tahun 2017 terjadi pada target Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor/PBBKB yang terkontraksi sebesar -2,71% (yoy) serta target Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/BBNKB yang terkontraksi sebesar -2,79% (yoy). Adanya penurunan pada target BBNKB diperkirakan salah satunya sebagai dampak dari kenaikan biaya STNK. Sementara itu, penurunan target PBBKB diperkirakan memperhitungkan kebijakan Pemerintah yang kembali tidak menaikkan harga BBM subsidi khususnya sepanjang semester I 2017. 51
Grafik 2.3. Pangsa Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat
MEI 2017
52
KEUANGAN PEMERINTAH
2.2.2. Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 Pada triwulan I 2017, realisasi pendapatan APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp27,74 Triliun atau 104,73% terhadap target, lebih tinggi dibanding tahun 2015 sebesar Rp24,20 Triliun atau 101,08% terhadap target (Tabel 2.3). Adapun komponen pendapatan dengan persentase realisasi tertinggi pada tahun 2016 adalah Pendapatan Asli Daerah (105,08%), diikuti oleh dana perimbangan (104,19%). Ditinjau dari sisi pertumbuhan tahunan, maka komponen yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah dana perimbangan yang mencapai 323,74% (yoy). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, peningkatan ini disebabkan oleh adanya peralihan pos anggaran penerimaan Dana Bos dari semula melalui Dana Penyesuaian & Otsus menjadi melalui Dana Alokasi Khusus. Tabel 2.3. Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 APBD 2016 P
No. Uraian I
Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
16.267
3.402
21,03
15.013
3.275
70
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah d. Lain-lain PAD
PAD b. Retribusi Daerah
III
Dana Perimbangan
APBD 2017
S.d Tw I 2017 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
16.524
3.497
21,16
21,93
15.238
3.321
21,80
14
20,79
58
11
19,72
335
0
0,00
323
1
0,22
849
113
12,99
904
163
18,03
(Rp Miliar)
a. Pajak Daerah
II
S.d Tw I 2016
(Rp Miliar)
10.196
690
6,51
13.987
3.576
25,57
a. Bagi Hasil Pajak
1.396
378
23,61
1.724
749
43,47
b. Dana Alokasi Umum
1.021
312
25,00
2.992
960
32,08
c. Dana Alokasi Khusus
7.779
0
0,00
9.271
1.867
20,14
Lain-lain Pendapatan
29
5
15,76
30
11
37,04
24
0
0,00
22
3
15,76
0
0
0,00
0
0
0,00
5 26.491
5 4.097
100,00 15,28
8 30.541
8 7.084
100,00 23,19
a. Bantuan Keuangan (Hibah) b. Lain-lain Penerimaan c. Dana Penyesuaian dan Otsus Total Pendapatan
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat (angka sementara), diolah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pada triwulan I 2017, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat mencapai Rp3,50 Triliun atau tumbuh sebesar 2,78% (yoy), meningkat dibanding triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar 0,69% (yoy). Peningkatan pertumbuhan terjadi pada seluruh komponen PAD, kecuali retribusi daerah. Adapun komponen pajak daerah sebagai komponen dengan pangsa terbesar (92,2%) tercatat tumbuh sebesar
1,43%
(yoy)
pada
triwulan
I
2017.
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI) Grafik 2.4. Pangsa Realisasi Pajak Daerah Tw I 2017
Penerimaan pajak daerah ini terutama bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor/PKB (48,5%), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/BBNKB (21,8%), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor/ PBBKB (12,0%) (Grafik 2.4). Tingginya pangsa penerimaan dari PKB tidak terlepas dari upaya pemerintah meningkatkan
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
partisipasi wajib pajak melalui pembebasan BBNKB dan denda BBNKB dari luar provinsi Jawa Barat yang melakukan mutasi masuk ke Provinsi Jawa Barat pada semester II 2016 lalu.
Dana Perimbangan Pada triwulan I 2017, realisasi transfer dana perimbangan mencapai Rp3,58 Triliun atau 25,57% terhadap pagu anggaran, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp690 Miliar atau 6,51% terhadap pagu anggaran. Peningkatan ini terjadi pada ketiga komponen dana perimbangan. Dana Alokasi Khusus (DAK) ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 terealisasi sebesar Rp1,87 Triliun atau 20,14% terhadap pagu anggaran, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang belum terealisasi sama sekali. Peningkatan DAK ini terutama didorong oleh adanya tambahan dua pos anggaran pada DAK Non Fisik. Berdasarkan data Dirjen Perimbangan Kementerian Keuangan RI, DAK triwulan I 2017 telah disalurkan pada Februari 2017 sebesar total Rp15,4 Triliun (secara nasional) atau 87,5% dari pagu anggaran triwulan I 2017. Selain itu, pencairan dana desa tahap pertama yang secara nasional sebesar 36,7% dari pagu anggaran juga telah disalurkan pada Maret 2017. Adapun Dana Alokasi Umum (DAU) ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 terealisasi sebesar Rp960 Miliar atau 32,08% terhadap pagu, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp312 Miliar atau 25% terhadap pagu. Peningkatan ini salah satunya merupakan kompensasi Pemerintah Pusat terhadap meningkatnya beban belanja pegawai Pemerintah Provinsi pasca pengalihan sekitar 28.000 PNS dari wewenang Pemerintah Kab/Kota. Dilihat dari sumbernya, komponen Dana Alokasi Khusus (DAK) memberikan kontribusi terbesar yakni mencapai 52,21%, disusul oleh Dana Alokasi Umum (26,84%) dan Dana Bagi Hasil (20,95%). Sebagian dana dari DAK ini ditujukan bagi alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana Alokasi Umum (DAU) sangat penting bagi daerah karena dana yang bersumber dari APBN ini merupakan bagian dari perwujudan desentralisasi dan dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal) dalam rangka mendanai kebutuhan daerah. Pengalokasian DAU tersebut didasarkan atas
fiscal gap2 dan alokasi dasar3. Dana Bagi Hasil (DBH) ditujukan untuk mengatasi ketimpangan fiskal vertical (antara pemerintah pusat dan daerah), dengan fokus alokasi kepada daerah penghasil. Dana Alokasi Khusus (DAK) ditujukan untuk mengatasi ketimpangan penyediaan infrastruktur layanan publik (DAK fisik) serta mendukung operasional penyelenggaraan layanan publik (DAK non fisik).
Lain-lain Pendapatan Pada komponen lain-lain pendapatan, realisasi pada triwulan I 2017 sebesar Rp11 Miliar atau 37,04% terhadap pagu anggaran. Realisasi ini meningkat dibanding triwulan I 2016 sebesar Rp5 Miliar atau Fiscal gap adalah kebutuhan fiskal (meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB per kapita, dan indeks pembangunan manusia (IPM)) dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah (terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). 2
3
Alokasi dasar dihitung berdasarkan atas jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.
MEI 2017
53
KEUANGAN PEMERINTAH
15,76% terhadap pagu anggaran. Berdasarkan komponennya, realisasi ini terdiri dari bantuan keuangan (hibah) sebesar Rp3 Miliar atau 15,76% terhadap pagu dan Dana Penyesuaian & Otsus sebesar Rp 8 Miliar atau 100% terhadap pagu.
2.2.3. Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat Anggaran belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri dari anggaran belanja dan transfer pada APBD 2017 mencapai Rp32,43 Triliun atau meningkat sebesar 9,95% (yoy) dibanding tahun 2016 (Tabel 2.4). Peningkatan terbesar terjadi pada anggaran belanja yang meningkat dari Rp22,92 Triliun pada tahun 2016 menjadi Rp26,02 Triliun pada tahun 2017 (13,52%, yoy). Di sisi lain, anggaran transfer menurun dari Rp6,57 Triliun pada tahun 2016 menjadi Rp6,41 Triliun pada tahun 2017 (-2,49%, yoy). Penurunan anggaran transfer yakni bagi hasil pajak salah satunya mempertimbangkan kenaikan beban belanja Pemerintah Provinsi akibat pengalihan wewenang yang cukup besar dari Kab/Kota ke Provinsi. Secara nominal, komponen belanja yang mengalami peningkatan terbesar adalah belanja operasi yakni sebesar Rp4,10 Triliun (20,97%, yoy). Secara spesifik, komponen belanja operasi yang meningkat signifikan adalah belanja pegawai yakni dari Rp2,22 Triliun pada 2016 menjadi Rp5,34 Triliun pada 2017 (140,1%, yoy). Berdasarkan strukturnya, komponen belanja operasi masih mendominasi alokasi belanja APDB Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan pangsa yang mencapai 91,0% (Grafik 2.5). Tabel 2.4. Anggaran Belanja Daerah Provinsi Perubahan Jawa Barat Tahun 2016 dan 2017 No. 1
Uraian Belanja Operasi
APBD 2017
% Perubahan
(Rp Miliar)
(Rp Miliar)
(yoy)
19.566
23.668
2.225
5.342
140,10
b. Belanja Barang
3.097
3.641
17,55
c. Belanja Bunga
0
0
d. Belanja Subsidi
15
15
0,00
10.181
10.382
1,98
18
38
109,35
4.029
4.249
5,46
f. Belanja Bantuan Sosial g. Belanja Bantuan Keuangan 2
Belanja Modal
3
Belanja Tidak Terduga
4
Belanja Transfer a. Bagi hasil pajak b. Bagi hasil retribusi
Total Belanja
3.328
2.292
27
61
6.572
6.409
6.572
6.409
0,00
(31,14) 125,14 (2,49) (2,49)
0
0
0,00
29.493
32.429
9,95
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI
MEI 2017
20,97
a. Belanja Pegawai
e. Belanja Hibah
54
APBD 2016 P
KEUANGAN PEMERINTAH
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI Grafik 2.5. Proporsi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat
Peningkatan belanja operasi ini diimbangi dengan penurunan pada anggaran belanja modal sebesar Rp1,04 Triliun (-31,14%, yoy). Sama halnya dengan belanja transfer, penurunan pada anggaran belanja modal pada tahun 2017 merupakan bentuk kompensasi terhadap meningkatnya komponen belanja pegawai pada belanja operasi seiring dengan pengalihan 28.000 PNS dari wewenang Kab/Kota ke Provinsi.
2.2.4. Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 Realisasi belanja dan transfer APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai Rp2,69 Triliun atau 8,29% terhadap pagu yang ditetapkan (Tabel 2.5). Secara tahunan, realisasi belanja pada triwulan I 2017 menurun dibandingkan triwulan I 2016 dengan pertumbuhan sebesar -25,38% (yoy). Adapun komponen belanja yang mengalami penurunan realisasi dibanding periode yang sama tahun 2016 adalah belanja hibah dan belanja modal. Tabel 2.5. Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan I 2017
No. 1
Uraian Belanja Operasi
APBD 2016 P (Rp Miliar) 19.566
s.d Tw I 2016 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
APBD 2017 (Rp Miliar) 23.668
s.d Tw I 2017 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thd APBD
3.590
19,28
2.676
11,31
a. Belanja Pegawai
2.225
291
12,24
5.342
696
13,03
b. Belanja Barang
3.097
3.641
193
6,36
583
16,02
c. Belanja Bunga
0
0
0,00
0
0
0,00
d. Belanja Subsidi
15
0
0,00
15
0
0,00
10.181
3.107
32,17
10.382
1.388
13,37
18
0
0,00
38
0
0,00
4.029
0
0,00
4.249
9
0,21
3.328
11
0,31
2.292
11
0,47
27
0
0,00
61
0
0,00
0 0 0
0,00 0,00 0,00
0 0 0
0,00 0,00 0,00
3.601
12,59
2.687
8,29
e. Belanja Hibah f. Belanja Bantuan Sosial g. Belanja Bantuan 2
Belanja Modal
3
Belanja Tidak Terduga
4
Belanja Transfer a. Bagi hasil pajak b. Bagi hasil retribusi
Total Belanja
6.572 6.572 0 29.493
6.409 6.409 0 32.429
55
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI
MEI 2017
56
KEUANGAN PEMERINTAH
Jika
mengevaluasi
Pemerintah
pola
realisasi
anggaran
yang
memiliki
Provinsi
kecenderungan backloading, setelah mengalami sedikit perbaikan pola pada tahun 2016, pada triwulan I 2017 pola serapan anggaran kembali terhambat sebagaimana yang terjadi pada tahun 2013-2015 (Grafik 2.6). Pada triwulan I 2017, realisasi
belanja
sebesar
8,29%
menurun
dibanding tahun 2016 (12,59%), namun setara dengan rata-rata serapan triwulan I periode
Grafik 2.6. Persentase Realisasi Anggaran Belanja Per Triwulan (%)
2013-2015 sebesar 8,28%. Walau demikian, perlu diperhatikan bahwa perbaikan pola serapan anggaran di awal tahun pada 2016 antara lain didorong oleh persiapan penyelenggaraan acara PON dan Peparnas di Jawa Barat. Penurunan persentase serapan belanja operasi pada triwulan I 2017 dibanding triwulan I 2016 terutama disebabkan oleh belanja operasi yang terealisasi sebesar 11,31% terhadap pagu, menurun dibanding triwulan I 2016 (19,28%). Satu-satunya komponen belanja operasi yang menjadi penyebab penurunan persentase realisasi ini adalah belanja hibah, di mana pada tahun 2016 pos belanja hibah merupakan sumber anggaran untuk persiapan penyelenggaraan PON. Sejalan
dengan
realisasinya,
penurunan
pertumbuhan
persentase
realisasi
belanja
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (-25,38%, yoy) juga tercatat menurun baik dibandingkan dengan triwulan IV 2016 (12,4%, yoy) maupun triwulan I 2016 (86,1%, yoy) (Grafik 2.7). Penurunan pertumbuhan belanja yang terdalam juga
terjadi
pada
belanja
komponen belanja hibah.
operasi,
yakni
Sumber : Biro Keuangan Prov.Jawa Barat, diolah staf BI Grafik 2.7. Perkembangan Belanja Operasi dan Modal
Belanja Operasi Realisasi belanja operasi pada triwulan I 2017 mencapai Rp2,68 Triliun atau sebesar 11,31% terhadap pagu anggaran serta tumbuh sebesar -25,45% (yoy). Realisasi pertumbuhan belanja yang mengalami kontraksi ini merupakan yang terendah selama lima tahun terakhir. Kontributor utama dari realisasi belanja operasi tersebut masih didominasi oleh komponen belanja hibah dengan pangsa mencapai 51,9%, diikuti oleh belanja barang (21,8%), dan belanja pegawai (26,0%) (Grafik 2.8). Dari sisi pertumbuhan, komponen dengan pertumbuhan terendah pada triwulan I 2017 adalah belanja hibah (-55,32%, yoy), sementara belanja barang dan belanja pegawai mengalami ekspansi dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 202,85% (yoy) dan 139,42% (yoy) (Grafik 2.8).
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat Grafik 2.8. Pangsa Realisasi Belanja Operasi (%)
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat Grafik 2.9. Pertumbuhan Komponen Belanja Operasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kontraksi pada pertumbuhan belanja hibah disebabkan oleh
base year effect di mana pada triwulan I 2016 terjadi realisasi belanja hibah yang cukup besar dalam rangka persiapan PON dan Peparnas. Sebaliknya, meningkatnya laju pertumbuhan realisasi belanja pegawai disebabkan karena sejak awal tahun 2017 terdapat pengalihan wewenang dari kab/kota ke provinsi yang menambah beban gaji atau belanja pegawai pada triwulan I 2017. Adapun rincian alokasi belanja hibah APBD Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: a.
Sebanyak 54,19% dari anggaran belanja hibah adalah untuk penyaluran Dana BOS bagi jenjang SD (di mana hingga akhir tahun seluruh dana telah tersalurkan)
b. Sebanyak 24,25% merupakan alokasi hibah untuk lembaga berbadan hukum (umumnya koperasi) c.
Sebanyak 20,32% merupakan hibah dalam bentuk penyaluran Dana BOS untuk jenjang SMP
d. Sebesar 1,23% merupakan hibah kepada pemerintah pusat yakni umumnya dalam rangka kegiatan pengamanan di daerah (contoh : KODAM).
Belanja Modal Realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar Rp10,87 Miliar atau terealisasi 0,47% dari pagunya. Realisasi ini lebih rendah dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp11,01 Miliar atau dengan kata lain tumbuh sebesar -1,38% (yoy). Pola backloading masih sangat terlihat pada pos belanja modal, khususnya jika dibandingkan dengan belanja operasi. Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan tertahannya realisasi belanja modal pada triwulan I 2017, antara lain : (1) berulangnya pola historis di mana proses lelang proyek masih berlangsung pada triwulan I dan baru dapat mulai bekerja pada triwulan II; dan (2) curah hujan yang tinggi selama triwulan I menghambat proses penyelesaian pekerjaan dari proyek multiyear. Terkait proyek pembangunan infrastruktur, penyelesaian Tol Soroja yang dimundurkan dari target awal pada saat penyelenggaraan PON menjadi ke akhir tahun 2016 dan selanjutnya ke April 2017 ternyata kembali terlambat dari jadwal. Kendala yang sama yakni faktor cuaca diperkirakan masih menjadi penghambat utama. Selain Soroja, terdapat beberapa proyek infrastruktur strategis yang sedang berlangsung di Jawa Barat, yakni antara lain pembangunan Tol Cisumdawu, Tol Soroja, Tol Bogor-CiawiSukabumi, LRT terintegrasi Jabodebek dan Bandara Internasional Kertajati. Pembebasan lahan masih
MEI 2017
57
KEUANGAN PEMERINTAH
menjadi kendala yang kerap muncul dan hal ini juga berpotensi untuk menghambat realisasi penyerapan belanja modal dari pembangunan fisiknya.
2.3. Belanja APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat Anggaran belanja untuk 27 kabupaten/kota4 pada tahun 2017 tercatat sebesar Rp83,92 Trilun atau menurun sebesar -2,31% (yoy) dibanding gabungan anggaran belanja tahun 2016 sebesar Rp85,90 Triliun. Penurunan anggaran belanja ini salah satunya merupakan implikasi dari pengalihan sebagian wewenang dari pemerintah kab/kota ke provinsi. Secara spasial, anggaran belanja untuk 5 kab/kota besar di Jawa Barat memiliki pangsa mencapai 34,43% terhadap total anggaran belanja kab/kota di Jawa Barat. Adapun anggaran belanja tertinggi dimiliki oleh Kota Bandung dengan pangsa mencapai 8,2%, diikuti oleh Kab. Bogor (7,8%), Kota Bekasi (6,3%), Kab. Bekasi (6,2%), dan Kab. Bandung (5,9%) (Grafik 2.10). Di sisi lain, kab/kota dengan pangsa belanja terendah adalah Kota Cirebon (1,62%), Kab. Pangandaran (1,59%), Kota Sukabumi (1,37%), dan Kota Banjar (0,85%).
Sumber : TEPRA (monev.lkpp.go.id) Grafik 2.10. Pangsa Anggaran Belanja Kab/Kota 2017 (%)
Berdasarkan strukturnya, anggaran belanja kab/kota masih didominasi oleh belanja pegawai (45,0%), kemudian diikuti oleh belanja barang/jasa (22,2%), belanja modal (19,1%), dan belanja hibah & bantuan (13,7%) (Grafik 2.11).
58
Sumber : TEPRA (monev.lkpp.go.id) Grafik 2.11. Struktur Belanja APBD Kab/Kota 2016 dan 2017
4
Data bersumber dari situs TEPRA, menggunakan Anggaran Perubahan
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja APBD dari 24 kab/kota5 yang ada di Jawa Barat mencapai 7,9% terhadap pagu anggaran, lebih rendah dibanding triwulan I 2016 yang mencapai 10,15% terhadap pagu anggaran. Dari data 24 kab/kota yang ada, persentase realisasi terendah dialami oleh oleh Kab. Bandung Barat (1,54%) sementara realisasi tertinggi dialami oleh Kota Cimahi (19,90%). Secara nominal, realisasi belanja tertinggi pada triwulan I 2017 diraih oleh Kota Bekasi yang mencapai Rp508,2 Miliar sementara nilai realisasi terendah dialami oleh Kota Sukabumi sebesar Rp34,4 Miliar (Grafik 2.12). Menurunnya kinerja realisasi belanja belanja APBD Kab/Kota ini terutama disebabkan oleh berkurangnya beban anggaran khususnya untuk belanja pegawai dari PNS yang kewenangannya dialihkan ke Provinsi (termasuk guru SMA dan SMK).
Sumber : Situs TEPRA (monev.lkpp.go.id) Grafik 2.12. Perkembangan Realisasi Belanja 24 Kab/Kota di Jawa Barat Triwulan
7
2.4. Belanja APBN di Jawa Barat Dalam rangka membiayai belanja serta programnya di daerah, pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah anggaran APBD untuk direalisasikan di Jawa Barat. Anggaran penerimaan APBN tersebut hanya berasal dari penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta hibah. Selain alokasi ini, belanja APBN juga disalurkan dalam bentuk Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah melalui Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Belanja pemerintah pusat melalui APBN tersebut antara lain digunakan untuk membiayai gaji pegawai Kementerian atau instansi pemerintah pusat yang berada di Jawa Barat, seperti Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara dan Kantor Wilayah Pajak. Selain itu, anggaran ini juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur strategis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Berdasarkan strukturnya, belanja APBN di Jawa Barat terutama dialokasikan untuk belanja pegawai (45,54%) dan belanja barang (37,28%) (Tabel 2.6).
5
Hingga periode penyusunan laporan, data yang tersedia di situs TEPRA untuk realisasi hingga Maret 2017 hanya tersedia untuk 24 kabupaten/kota di Jawa Barat
MEI 2017
59
KEUANGAN PEMERINTAH
Tabel 2.6. Anggaran Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat TA 2016 No.
Jenis Belanja
1
Belanja Pegawai
2 3
Belanja Barang Belanja Modal
Pagu
TA 2017
Pangsa
(Rp Miliar) 16,980
Pangsa
(%) (Rp Miliar) 44.47 17,464
14,986 6,000
4 Belanja Bantuan Sosial Total Belanja
Pagu
39.25 15.71
(%) 45.54
14,295 6,369
% Perubahan (yoy) 2.85
37.28 16.61
-4.62 6.16
216
0.57
219
0.57
1.35
38,182
100.00
38,347
100.00
0.43
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Kanwil Jawa Barat (diolah)
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja APBN di Jawa Barat adalah sebesar telah mencapai Rp5,55 Triliun atau 9,99% terhadap total pagu, meningkat dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp5,35 Triliun (Tabel 2.7). Berdasarkan komponennya, komponen belanja barang mengalami peningkatan baik secara nominal maupun persentase realisasi belanja dibanding triwulan I 2016. Adapun komponen belanja dengan pangsa realisasi terbesar adalah belanja pegawai (57,5%), diikuti belanja barang (34,0%), dan belanja modal (8,4%) (Grafik 2.13). Tabel 2.7. Realisasi Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 Tw I 2016 No.
Jenis Belanja
Realisasi
Tw I 2017 %
Realisasi
% %
Pertumbuhan
(Rp Miliar) Realisasi (Rp Miliar) Realisasi
(yoy)
1
Belanja Pegawai
3.384
20,33
3.193
18,28
-5,66
2 3
Belanja Barang Belanja Modal
1.481 479
9,80 8,17
1.888 468
13,21 7,34
27,50 -2,38
4
1,84
5
0,03
28,48
5.348
14,13
5.554
9,99
3,84
4 Belanja Bantuan Sosial Total Belanja
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Kanwil Jawa Barat (diolah)
Berdasarkan nilai pertumbuhannya, terjadi peningkatan laju pertumbuhan realisasi total belanja pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2017, belanja APBN tumbuh sebesar 3,84% (yoy) atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar -3,10% (yoy) (Grafik 2.14), di mana peningkatan khususnya terjadi pada pertumbuhan belanja barang dan belanja modal.
60
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah) Grafik 2.13. Pangsa Realisasi Belanja APBN di Jawa Barat
MEI 2017
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah) Grafik 2.14. Perkembangan Belanja APBN di Jawa Barat
KEUANGAN PEMERINTAH
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah) Grafik 2.15. % Realisasi APBN di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Belanja Per Triwulan
Berdasarkan fungsinya, alokasi belanja di Jawa Barat terutama ditujukan untuk mendukung fungsi ekonomi (pangsa 76,30%), diikuti fungsi pendidikan (pangsa 8,88%) dan kesehatan (pangsa 4,23%) (Tabel 2.8). Pada triwulan I 2017, persentase realisasi tertinggi diraih oleh belanja untuk fungsi perlindungan sosial (25,87%), diikuti oleh fungsi perumahan dan fasilitas umum (8,80%), dan fungsi lingkungan hidup (8,16%). Tabel 2.8. Realisasi Komponen Belanja APBN Berdasarkan Fungsi di Provinsi Jawa Barat No Fungsi
Pagu 2016 (Rp Miliar)
S.D. Tw I 2016 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thdp pagu
Pagu 2017 (Rp Miliar)
S.D. Tw I 2017 Realisasi
% Realisasi
(Rp Miliar)
thdp pagu
1 Pelayanan Umum
158
5
3,15
193
4
2,11
2 Pertahanan
53
0
0,00
73
0
0,62
3 Ketertiban dan Keamanan
276
3
1,07
83
5
5,71
3973
422
10,63
4860
386
7,94
91
2
1,83
57
5
8,16
6 Umum
375
22
5,94
191
17
8,80
7 Kesehatan
510
2
0,39
269
1
0,55
4 Ekonomi 5 Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas
8 Agama
79
1
0,86
71
1
0,80
9 Pendidikan
683
22
3,20
565
48
8,43
10 Perlindungan Sosial TOTAL BELANJA MODAL
17
0
2,10
5
1
25,87
6216
479
7,70
6369
468
7,34
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat
61
MEI 2017
BAB III
64
PERKEMBANGAN INFLASI
KONDISI UMUM Inflasi Jawa Barat pada triwulan I 2017 terkendali walau mencatatkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi IHK Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 3,37% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 2,75% (yoy). Namun realisasi ini masih lebih rendah dibanding ratarata historis inflasi triwulan I (2012-2016) sebesar 5,11% (yoy). Perkembangan inflasi Jawa Barat pada triwulan ini kembali mencatatkan realisasi yang lebih rendah dibanding inflasi nasional sebesar 3,49% (yoy), di mana hal ini telah konsisten terjadi sejak tahun 2014 (Grafik 3.1). Secara spasial di Kawasan Jawa, realisasi inflasi pada triwulan I 2017 Jawa Barat menempati posisi terendah kedua setelah Jawa Tengah (3,30%, YoY). Inflasi di Jawa Barat terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan beberapa tarif pada awal tahun antara lain, BBM non subsidi, tarif listrik golongan 900VA, cukai dan harga eceran terendah rokok, dan biaya administrasi STNK. Realisasi inflasi triwulan I tahun 2017 dari provinsi-provinsi di Kawasan Jawa tercatat lebih rendah dibanding tahun 2016 (Grafik 3.2).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 1. Inflasi Jawa Barat dan Nasional
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 2. Inflasi Tahunan Provinsi di Kawasan Jawa
Secara triwulanan, inflasi IHK Jawa Barat mengalami peningkatan yakni dari 1,00% (qtq) pada triwulan IV 2016 menjadi sebesar 1,22% (qtq) pada triwulan I 2017, serta lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang tercatat sebesar 0,61% (qtq). Peningkatan inflasi triwulanan ini khususnya terjadi pada kelompok perumahan, air, listrik gas dan bahan bakar seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan beberapa tarif pada triwulan I 2017. Secara historis, realisasi inflasi triwulanan Jawa Barat pada triwulan I 2017 ini lebih tinggi dibanding rata-rata historis 5 tahun terakhir sebesar 0,95% (qtq).
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
Grafik 3.3. Ringkasan Perkembangan Inflasi Jawa Barat (yoy)
Berdasarkan disagregasi kelompok, peningkatan tekanan inflasi tahunan dibanding triwulan sebelumnya ini disebabkan baik oleh faktor fundamental pada kelompok core serta faktor non fundamental dari kelompok administered prices . Namun demikian, penurunan tekanan inflasi pada kelompok volatile food menjadi faktor penahan. Berdasarkan besar andilnya, tekanan inflasi pada triwulan I 2017 disumbang oleh kelompok core dan administered prices dengan andil masing-masing sebesar 1,66% (yoy) dan 1,04% (yoy). Sementara itu, kelompok volatile food memberikan andil inflasi yang lebih rendah yakni 0,67% (yoy). Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan tekanan inflasi tercermin dari andil inflasi kelompok core dan administered prices yang meningkat. Sementara itu, andil inflasi kelompok volatile food yang menurun menjadi faktor penahan tekanan inflasi di triwulan I 2017. Peningkatan inflasi core dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy) pada triwulan I 2017 disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 0,76% (qtq) akibat adanya kenaikan Fed Fund Rate pada tanggal 15 Maret 2017; (2) meningkatnya harga emas di domestik yang tercermin dari kenaikan harga emas Antam; serta (3) penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran antara lain seperti Jalan Tol Soroja dan perbaikan Jembatan Cisomang menyebabkan peningkatan harga semen (Grafik 3.3). Dengan demikian, inflasi core tercatat meningkat lebih tinggi dibanding triwulan IV 2016. Sejalan dengan hal tersebut, inflasi kelompok administered prices juga tercatat meningkat tajam yakni dari -0,0 4% (yoy) menjadi 5,20% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan ini khususnya terjadi pada sub kelompok energi seiring dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan golongan 900VA secara bertahap pada tahun 2017. Dari sub kelompok non energi, tekanan inflasi disumbang oleh kenaikan cukai rokok tahunan yang meningkat pada bulan Februari 2017. Di sisi lain, inflasi volatile food juga tercatat menurun tajam yakni dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72% (yoy) pada triwulan I 2017. Penurunan
MEI 2017
65
PERKEMBANGAN INFLASI
ini terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya masa panen untuk komoditas padi di sejumlah sentra di Jawa Barat yang tercermin pada harga beras di pasar tradisional yang terpantau menurun. Selain itu harga komoditas cabai yang tinggi dari awal tahun 2017, pada akhir triwulan I 2017 mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas.
3.1. Perkembangan Inflasi Periode Triwulan I 2017 3.1.1. Inflasi Bulanan ( mtm) Pada triwulan I 2017, rata-rata inflasi bulanan Jawa Barat sebesar 0,40% (mtm), meningkat dibandingkan rata-rata inflasi bulanan di triwulan IV 2016 sebesar 0,33% (mtm). Realisasi ini juga menunjukkan inflasi yang lebih tinggi dibanding dengan rata-rata historis inflasi bulanan di triwulan I (periode 2012-2016) sebesar 0,31%. Selama triwulan I 2017, tekanan inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari 20117 akibat kebijakan pemerintah meningkatkan beberapa tarif seperti kenaikan tarif listrik pelanggan golongan 900VA dan bensin non subsidi , kenaikan tarif pengurusan STNK sebesar 100% untuk kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat, serta kenaikan tarif cukai rokok di tahun 2017 dengan rata-rata sebesar 10,54%. Selain itu, peningkatan inflasi juga bersumber dari meningkatnya fundamental permintaan yang didorong oleh sejumlah efek seasonal yaitu momen tahun baru, libur sekolah dan tahun baru Imlek. Inflasi bulanan pada Januari 2017 ini juga tercatat lebih tinggi dibanding rata-rata historis 5 (lima) tahun terakhir (Grafik 3.4). Inflasi bulan Februari 2017 (0,36%) juga tercatat sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata historisnya (0,16%), di mana hal ini terutama disebabkan oleh dampak dari kenaikan tarif listrik 900VA dengan pelanggan pascabayar. Di sisi lain, inflasi bulan Maret 2017 (0,08%) tecatat lebih rendah dibanding rata-rata historisnya (0,27%), terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya panen sejumlah komoditas pangan.
66
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 4. Rata-rata Inflasi Bulanan 5 Tahun Terakhir
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 5. Inflasi Bulanan Provinsi di Kawasan Jawa
Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di kawasan Jawa, rata-rata inflasi bulanan Jawa Barat pada triwulan I 2017 merupakan yang tertinggi kedua setelah Banten. Hal ini terutama didorong oleh realisasi inflasi periode Maret 2017 yang lebih tinggi dibanding Provinsi lainnya. Secara historis, inflasi provinsi di
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
kawasan Jawa pada triwulan IV 2016 lebih rendah dibanding triwulan I 2016, terutama disebabkan oleh terkendalinya inflasi pangan pada awal tahun 2017 (Grafik 3.5). Tabel 3.1 Perbandingan Inflasi Bulanan Menurut Kelompok Barang (%, mtm) No Kelompok
Tw I (2012-2016) Jan Feb Mar 0.41 0.21 0.13 1.46 0.74 0.18
Ratarata 0.25 0.79
Okt 0.09 -0.29
0.34
0.29
0.41
0.20
0.26
0.15 0.29 0.18
0.15 -0.01 0.26
0.25 0.15 0.31
0.37 -0.24 0.30
-0.03
0.03
0.04
-0.27
-0.07
-0.39
Umum 1 Bahan Makanan Makanan jadi, minuman, 2 rokok & tembakau 0.60 Perumahan, air, listrik, dan 3 bahan bakar 0.45 4 Sandang 0.16 5 Kesehatan 0.49 Pendidikan, rekreasi, dan 6 olahraga 0.11 Transportasi, komunikasi, 7 dan jasa keuangan -0.82
Tw IV 2016 Nov Des 0.55 0.36 1.78 0.45
Ratarata 0.33 0.65
Jan 0.78 0.07
Tw I 2017 RataFeb Mar rata 0.36 0.08 0.40 -0.21 -0.14 -0.10
0.48
0.31
0.40
0.70
0.06
0.39
0.18 -0.06 0.71
0.12 -0.24 0.57
0.22 -0.18 0.53
1.12 0.27 0.16
0.68 0.32 0.47
0.30 0.11 0.13
0.70 0.23 0.25
-0.02
0.02
0.05
0.02
0.10
0.19
0.14
0.14
0.09
0.27
0.76
0.37
2.04
0.33
-0.01
0.79
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
Tabel 3.2. Andil Inflasi Bulanan Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%, mtm) No Kelompok
Tw IV 2016 Okt Nov Des -0.07 0.39 0.09
Ratarata 0.14
Jan 0.01
0.04
0.08
0.05
0.06
0.12
0.01
0.06
0.05
0.03
0.06
0.29
0.18
0.08
0.19
0.00 0.03
-0.01 0.02
-0.01 0.02
0.01 0.01
0.02 0.02
0.00 0.00
0.01 0.01
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.05
0.13
0.07
0.37
0.06
0.00
0.14
1 Bahan Makanan Makanan jadi, minuman, 2 0.03 rokok & tembakau Perumahan, air, listrik, dan 3 0.10 bahan bakar 4 Sandang -0.01 5 Kesehatan 0.01 Pendidikan, rekreasi, dan 6 0.00 olahraga Transportasi, komunikasi, 7 0.02 dan jasa keuangan
Tw I 2017 Feb Mar -0.05 -0.02
Ratarata -0.02
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
Berdasarkan kelompok barangnya, peningkatan tekanan inflasi rata-rata bulanan dibanding triwulan sebelumnya terutama disumbang oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan dan kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar (Tabel 3.1). Rata-rata inflasi bulanan kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan tercatat meningkat dari 0,37% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi 0,79% (mtm) pada triwulan I 2017. Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata andil inflasi bulanannya juga meningkat dari 0,07% (mtm) menjadi 0,14% (mtm) pada triwulan I 2017. Hal ini mengikuti pola
seasonal di mana meningkatnya fundamental permintaan yang didorong oleh sejumlah efek seasonal yaitu momen tahun baru, libur sekolah dan tahun baru Imlek. Secara spesifik, inflasi rata-rata bulanan terbesar selama triwulan I terjadi pada sub kelompok sarana dan penunjang transpor (4,13%); komunikasi dan pengiriman (1,28%); dan transpor (0,28%). Beberapa komoditas dari kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi bulanan utama selama triwulan I 2017 adalah biaya perpanjangan STNK, tarif pulsa ponsel dan bensin. Komoditas tersebut mengalami kenaikan tarif akibat dari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pada bulan Januari 2017.
MEI 2017
67
68
PERKEMBANGAN INFLASI
Beberapa faktor yang melatarbelakangi kenaikan inflasi bulanan dari beberapa komoditas tersebut meliputi : a.
Terhitung 1 Januari 2017, Pemerintah menaikkan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor (STNK) sebesar 100% untuk kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat. Kenaikkan tarif STNK ini secara rata-rata inflasi bulanan pada triwulan I 2017 sebesar 35,82% (mtm).
b. Tarif pulsa ponsel mengalami peningkatan rata-inflasi bulanan dari triwulan IV 2016 sebesar 1,03% menjadi 2,42% pada triwulan I 2017. Hal ini didorong oleh peningkataan permintaan akibat momen tahun baru, lbur sekolah dan tahun baru Imlek. c.
Pada bulan Januari, harga BBM non subsidi mengalami kenaikan kembali yaitu Pertamax dan Pertamax Plus masing-masing Rp300/liter, yang mana mendorong rata-rata inflasi bulanan pada triwulan I 2017 mencapai 1,16%.
Selanjutnya, peningkatan tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar yakni dari rata-rata 0,22% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi 0,70% (mtm) pada triwulan I 2017, diikuti peningkatan rata-rata andil inflasi bulanan dari 0,06% menjadi 0,19%. Hal ini terutama didorong oleh peningkatan rata-rata inflasi bulanan pada sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air (dari 0,45% menjadi 2,69%). Pada tahun 2017, terdapat kebijakan pemerintah untuk meningkatkan tarif listrik secara bertahap pada pelanggan golongan 900VA. Pada triwulan I 2017, kenaikan tarif listrik ini terjadi pada bulan Januari dan Maret. Kenaikan tarif listrik ini berlaku bagi semua pelanggan, baik prabayar maupun pascabayar. Pada bulan Januari 2017, tarif listrik memiliki andil terhadap inflasi sebesar 0,25% (mtm), hal ini didorong oleh kenaikan pada bulan Januari sebesar 30%. Pada bulan Februari, andil tarif listrik terhadap inflasi bulanan juga masih terbilang tinggi yaitu sebesar 0,12%, tingginya andil inflasi ini disebabkan oleh pelanggan pascabayar yang melakukan pembayaran pada bulan Februari atas kenaikan pada bulan Januari 2017. Begitupun pada bulan Maret 2017, andil inflasi masih terbilang tinggi walaupun lebih rendah dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 0,05%, angka ini masih terbilang cukup rendah karena ditahan oleh komoditas pangan akibat adanya panen raya. Kenaikan tarif listrik pada triwulan 1 2017 merupakan penyumbang utama pada inflasi Jawa Barat. Peningkatan tekanan inflasi bulanan yang lebih tinggi ditahan oleh menurunnya rata-rata inflasi bulanan pada kelompok bahan makanan (dari 0,65% menjadi -0,10%). Rata-rata inflasi bulanan pada kelompok bahan makanan dari triwulan I 2017 adalah sebesar -0,02 menurun tajam dari rata-rata inflasi bulanan triwulan IV 2016 sebesar 0,14%. Komoditas yang paling besaar menyumbang deflasi dari kelompok bahan makanan adalah cabai dengan rata-rata inflasi bulanan sebesar -8,59%, pada triwulan I 2017. Deflasi komoditas cabai ini dipengaruhi oleh mulai menurunnya harga cabai akibat terus bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti kabupaten Garut, kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas. Selain cabai, tomat buah dan tomat sayur juga menjadi penyumbang deflasi pada triwulan 1 2017 dengan rata-rata inflasi bulanan masing-masing sebesar-9,32% dan -9,32%. Berdasarkan disagregasi kelompok, penahan tekanan inflasi bulanan ini terutama disebabkan oleh penurunan inflasi volatile food dari rata-rata 0,69% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi -0,16%
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
(mtm) pada triwulan I 2017 (Grafik 3.6). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adanya panen raya untuk komoditas padi di sejumlah sentra di Jawa Barat dan meningkatnya pasokan cabai dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas membuat harga komoditas tersebut menurun.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 6. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Bulanan (mtm)
Inflasi kelompok administered prices mengalami peningkatan dari rata-rata 0,45% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,24% (mtm) pada triwulan I 2017. Secara spesifik, peningkatan ini terutama di dorong oleh subkelompok AP energi yang meningkat dari rata-rata 0,47% (mtm) menjadi 2,17% (mtm) pada triwulan I 2017. Meningkatnya inflasi subkelompok energi ini terutama didorong oleh kebijakan pemerintah yang menaiikan beberapa tarif seperti tarif listrik pelanggan golongan 900VA, dan bensin non subsidi. Dari sub kelompok AP non energi, terdapat peningkatan dari rata-rata 0,44% (mtm) menjadi 0,57% (mtm) yang terutama disebabkan oleh peningkatan tarif administrasi STNK kendaraan bermotor dan peningkatan cukai rokok tahunan. Di sisi lain, kelompok core juga tercatat mengalami peningkatan rata-rata inflasi bulanan dari 0,19% (mtm) pada triwulan III menjadi 0,30% (mtm) pada triwulan I 2017. Secara spesifik, penurunan terutama terjadi pada sub kelompok core non traded yang didorong oleh pelemahan nilai tukar rupiah dan meningkatnya harga emas di domestik. Di sisi lain, pada subkelompok core traded terjadi peningkatan ratarata inflasi bulanan pada kelompok food related (dari 0,25% menjadi 0,33%). Hal ini diperkirakan didorong oleh pengingkatan harga bahan makanan pada awal triwulan 2017. Peningkatan rata-rata inflasi di kelompok core juga didorong oleh penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran seperti Jalan Tol Soroja dan perbaikan Jemabatan Cisomang. Tabel 3.3. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi (%, mtm) Inflasi (mtm)
2016 1
2
3
4
5
Headline 0.59 -0.17 0.20 -0.37 0.25 Core 0.22 0.23 0.07 0.09 0.19 Core Traded 0.27 0.23 0.11 0.11 0.29 Core Non Traded 0.14 0.24 0.01 0.05 0.04 Administered Prices -0.64 -0.62 -0.17 -1.50 0.12 Energi -1.70 -2.02 -0.83 -3.47 -0.20 Non Energi 0.19 0.44 0.33 -0.05 0.35 Volatile Food 3.22 -1.07 1.09 -0.73 0.52
6
7
0.72 0.14 0.21 0.04 0.45 0.17 0.65 3.08
0.47 0.14 0.15 0.13 1.43 0.61 2.01 0.57
8
9
10
-0.17 0.22 0.09 0.30 0.31 0.09 0.19 0.19 0.14 0.48 0.51 0.01 -0.97 0.52 0.47 0.64 0.30 0.67 -2.08 0.67 0.33 -0.94 -0.36 -0.42
11
12
1
0.55 0.22 0.20 0.26 0.22 0.25 0.21 2.09
0.36 0.24 0.20 0.31 0.66 0.48 0.79 0.39
0.77 0.40 0.21 0.71 2.57 4.27 1.36 0.04
2017 2 0.36 0.42 0.42 0.42 0.80 1.56 0.25 -0.33
69 3 0.08 0.08 0.12 0.03 0.34 0.67 0.10 -0.19
Secara umum, komoditas yang menjadi penyumbang inflasi bulanan utama selama triwulan I 2017 adalah tariff listrik (0,14%), biaya perpanjangan STNK (0,06%), tarif pulsa ponsel (0,05%), cabai rawit (0,04%), dan bensin (0,04%)(Tabel 3.4). Di sisi lain, komoditas yang menjadi penyumbang deflasi bulanan utama
MEI 2017
70
PERKEMBANGAN INFLASI
selama triwulan I 2017 meliputi cabai merah (-0,05%), daging ayam ras (-0,03%), dan telur ayam ras (0,03). Dapat disimpulkan bahwa kelompok pangan merupakan penaham inflasi pada triwulan I 2017, akibat masa panen yang mulai berlangsung di awal tahun 2017. Tabel 3.4. Sumbangan Inflasi & Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, mtm) Komoditas Penyumbang Inflasi Bulanan Utama (%) Februari 2017
Januari 2017 Komoditas Tarif Listrik Biaya Perpanjangan STNK Tarif Pulsa Ponsel
Sumbangan (%) Komoditas 0.26 Tarif Listrik
Maret 2017
Sumbangan (%) Komoditas 0.12 Tarif Listrik
Sumbangan (%) 0.05
0.17
Bayam
0.04
Bayam
0.03
0.13
Bawang Merah
0.04
Bayam
0.03
Cabai Rawit
0.11
Cabai Rawit
0.04
Caging Ayam Ras
0.02
Bensin
0.09
Kontrak rumah
0.04
Bawang Merah
0.02
Kaso
0.02
Tarif Pulsa Ponsel
0.04
Mas
0.02
Rokok kretek filter
0.01
Kentang
0.03
Bensin
0.01
Konrak Rumah
0.01
Tarip Pulsa Ponsel
0.03
Jengkol
0.01
Sewa Rumah Tarif air minum pikulan
0.01
Rokok Kretek
0.02
Petai
0.01
0.01
Bensin
0.01
Minyak Goreng
0.01
Januari 2017 Komoditas Bawang Merah
Komoditas Penyumbang Deflasi Bulanan Utama (%) Februari 2017
Sumbangan (%) Komoditas
Maret 2017
Sumbangan (%) Komoditas
Sumbangan (%)
-0.07
Daging Ayam Ras
-0.08
Cabai Merah
-0.06
Cabai Merah
-0.04
Telur Ayam Ras
-0.05
Cabai Rawit
-0.04
Daging ayam ras Tomat sayur
-0.03
Cabai Merah
-0.04
Telur Ayam Ras
-0.02
-0.03
Jeruk
-0.02
Tarif Pulsa Ponsel
-0.02
Semen
-0.03
Mas
-0.01
Kentang
-0.01
Angkutan Udara Jengkol
-0.02
Daun Bawang
-0.01
Tomat Sayur
-0.01
-0.01
Tomat Buah
-0.01
Jagung Manis
-0.01
Telur ayam ras
-0.01
Asbes
-0.01
Semen
-0.01
Tomat Buah Kacang Panjang
-0.01
Semen
-0.01
Pisang
-0.01
-0.01
Angkutan Udara
-0.01
Semangka
-0.01
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
3.1.2. Inflasi Triwulanan (qtq) Inflasi triwulan I 2016 sebesar 1,22% (qtq) tercatat lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar 1,00% (qtq) (Tabel 3.5). Realisasi ini tercatat lebih tinggi jika dibandingkan triwulan I 2016 (0,61%, qtq) maupun historis 5 tahun terakhir sebesar 0,95% (qtq).
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
Tabel 3.5. Perkembangan Inflasi Triwulanan Jawa Barat Serta Andilnya (%, qtq) No Kelompok Umum 1 Bahan Makanan Makanan jadi, minuman, rokok & 2 tembakau 3 Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 4 Sandang 5 Kesehatan 6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga Transportasi, komunikasi, dan jasa 7 keuangan
Inflasi Triwulanan (%) 2016 2017 Tw II Tw III Tw IV Tw I 0.59 0.52 1.00 1.21 2.61 -0.58 1.95 -0.29
Andil Inflasi Triwulanan (%) 2016 2017 Tw II Tw III Tw IV Tw I 0.59 0.52 1.00 1.21 0.55 -0.12 0.41 -0.06
1.14
1.13
0.94
1.17
0.19
0.19
0.16
0.20
0.01 1.26 0.24 -0.20
0.68 0.42 1.51 1.94
0.67 -0.54 1.59 0.05
2.12 0.70 0.76 0.42
0.00 0.06 0.01 -0.02
0.18 0.02 0.06 0.15
0.18 -0.02 0.06 0.00
0.58 0.03 0.03 0.03
-1.10
0.10
1.13
2.37
-0.20
0.02
0.20
0.43
Peningkatan inflasi triwulanan ini terutama terjadi pada kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar (dari 0,67% menjadi 2,12%) dan transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (dari 1,13% menjadi 2,37%). Sejalan dengan hal tersebut, kedua kelompok tersebut juga memberikan andil inflasi triwulanan terbesar, di mana kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar memberi andil 0,58% (qtq) dan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan memberi andil 0,43% (qtq).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 7. Inflasi Triwulanan Kelompok Perumahan, Air, Listrik dan Bahan bakar
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3.8. Inflasi Triwulanan Subkelompok Bahan Bakar, Penerangan dan Air
Mencermati perkembangan yang terjadi pada triwulan I 2017, berikut analisis lebih lanjut terhadap dua kelompok yang menyumbang inflasi terbesar. Inflasi subkelompok bahan bakar, penerangan dan air meningkat dari 1,35% (qtq) menjadi 8,15% (qtq) (Grafik 3.7). Pendorong inflasi pada subkelompok ini adalah komoditas tarif listrik, bahan bakar rumah tangga dan Lampo TL/Neon/PL/XL (Grafik 3.8). Inflasi triwulanan terbesar terutama terjadi pada tarif litrik (dari 2,06% menjadi 13,49%) dan tarif air minum pikulan (dari 3,93% menjadi 26,49%). Sementara itu, pada triwulan I 2016 inflasi triwulanan tarif listrik dan tarif air minum pikulan masing-masing tercatat hanya sebesar -2,44% %(qtq) dan 0,00% (qtq), bahkan mengalami deflasi. Kenaikan inflasi pada tarif listrik merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan kenaikan tarif listrik secara bertahap pada tahun 2017 bagi pelanggan golongan 900VA. Pada triwulan I, kenaikan tarif listrik ini terlihat sangat berpengaruh, karena kenaikan terjadi di bulan januari dan Maret 2017. Kenaikan tarif listrik ini diduga memberikan dampak pada tarif air minum pikulan, dimana proses produksinya menggunakan listrik, sehingga komoditas ini mengalami inflasi pada triwulan I 2017.
MEI 2017
71
PERKEMBANGAN INFLASI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 9. Inflasi Triwulanan Kelompok Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3.10. Inflasi Triwulanan Subkelompok Sarana dan Penunjang Transpor
Pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, peningkatan inflasi triwulanan terbesar adalah pada sub kelompok transpor yakni dari 1,05% (qtq) menjadi 13,65% (qtq) pada triwulan I 2017 (Grafik 3.9). Pendorong inflasi pada subkelompok ini adalah kenaikan inflasi triwulanan pada biaya perpanjangan STNK (dari 0,00% menjadi 107,45%), pemeliharaan/service (dari 0,00% menjadi 0,72%), dan helm (dari -0,12% menjadi 0,24%) (Grafik 3.10). Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif administrasi STNK untuk kendaraan bermotor, dimana kenaikan 100% untuk kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat. Sedangkan untuk Untuk helm dan pemeliharaan/service, diduga pada awal tahun terdapat operasi simpatik 2017 yang menyebabkan para pengendara lebih memperharikan keselamatan, selain itu juga menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran dimana terdapat aktivitas mudik membutuhkan kendaraan dalam kondisi baik. Berdasarkan disagregasi triwulanan (qtq), meningkatnya tekanan inflasi didorong oleh peningkatan inflasi core (dari 0,56% menjadi 0,91%) dan inflasi administered prices (dari 1,37% menjadi 3,75%) (Grafik 3.11). Peningkatan kelompok core dan administered price ini sejalan dengan permintaan fundamental yang meningkat akibat banyak hari libur pada awal tahun 2017 dan juga kebijakan pemerintah yang menetapkan kenaikkan oada beberapa tarif.
72 Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 11. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Triwulanan (qtq)
3.1.3. Inflasi Tahunan (yoy) Pada triwulan I 2017, Jawa Barat tercatat mengalami inflasi sebesar 3,37% (yoy) atau berada di bawah tingkat inflasi nasional (3,49%). Tingkat inflasi tahunan ini meningkat dibanding triwulan IV 2016 sebesar 2,75% (yoy). Perkembangan ini didorong oleh meningkatnya tekanan inflasi tahunan pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa serta kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar. Berdasarkan
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
andilnya, kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar menjadi penyumbang terbesar yakni mencapai 0,95% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya (0,35%). Selanjutnya, andil inflasi yang meningkat dibanding triwulan sebelumnya adalah kelompok trasnportasi, komunikasi dan jasa (dari -0,24% menjadi 0,46%)) (Tabel 3.6). Tabel 3.6. Inflasi & Andil Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Kelompok Barang & Jasa (%, yoy) No Kelompok Umum 1 Bahan Makanan Makanan jadi, minuman, rokok & 2 tembakau 3 Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 4 Sandang 5 Kesehatan 6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga Transportasi, komunikasi, dan jasa 7 keuangan
Inflasi Triwulanan (%) 2016 2017 Tw II Tw III Tw IV Tw I 3.22 2.54 2.75 3.37 9.88 6.95 6.92 3.70
Andil Inflasi Triwulanan (%) 2016 2017 Tw II Tw III Tw IV Tw I 3.22 2.54 2.75 3.37 1.98 1.41 1.42 0.78
5.46
5.14
4.63
4.45
0.92
0.86
0.78
0.76
0.61 2.72 3.25 1.11
0.95 1.99 3.87 1.98
1.29 1.74 4.06 1.96
3.51 1.85 4.15 2.22
0.17 0.12 0.13 0.09
0.26 0.09 0.15 0.16
0.35 0.08 0.16 0.16
0.95 0.08 0.16 0.18
-1.04
-2.28
-1.26
2.48
-0.20
-0.43
-0.24
0.46
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
Pada kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar, peningkatan tekanan inflasi tahunan khususnya terjadi pada sub kelompok bahan bakar, penerangan, dan air (Grafik 3.12). Pada sub kelompok bahan bakar, penerangan, dan air kenaikan inflasi tahunan disumbang oleh tarif listrik (dari 7,53% menjadi 18,58%), komoditas tarif air minum pikulan (dari 17,07% menjadi 31,47%) serta beberapa komoditas bahan bangunan seperti paku dan daun pintu. Hal ini seiring dengan perbaikan usaha properti yang didorong oleh kebijakan Bank Indonesia pada awal tahun 2017 yaitu pelonggaran Loan to Value (LTV). Selain itu dampak positif dari tax amnesty juga menjadi pendorong perbaikan usaha properti.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 12. Inflasi Tahunan Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
73
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 13. Inflasi Tahunan Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, peningkatan tekanan inflasi tahunan khususnya terjadi pada subkelompok komunikasi dan pengiriman serta sarana dan penunjang transpor (Grafik 3.13). Pada subkelompok transpor, peningkatan andil inflasi tahunan khususnya disumbang oleh komoditas biaya perpanjangan STNK, tarif kereta api dan angkutan udara. Sebagaimana diketahui, sepanjang triwulan IV 2016 pemerintah menetapkan kebijakan untuk menaikkan biaya adminitrasi STNK untuk kendaraan bermotor. Kenaikan yang ditetapkan pemerintah sangat besar yaitu sebesar 100% untuk kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat, sehingga inflasi tahunannya mencapai
MEI 2017
74
PERKEMBANGAN INFLASI
107,45%. Komoditas yang mengalami peningkatan inflasi tahunan adalah tarif kereta api dan angkutan udara, hal ini dikarenakan pada triwulan I 2017 terdapat hari libur yang cukup banyak antara lain, tahun baru dan Imlek. Hal inilah yang memicu tingginya permintaan kedua komoditas tersebut.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3. 14. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Tahunan (yoy)
Berdasarkan disagregasinya, peningkatan inflasi tahunan pada triwulan I 2017 didorong oleh kenaikan inflasi core dan administered prices dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 3.14).
Administered Price yang memberikan andil terbesar terhadap inflasi Jawa Barat mulai mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 setelah sebelumnya konsisten mengalami deflasi sejak triwulan II 2016 hingga triwulan IV 2016 masih terbilang rendah atau mengalami deflasi. Administered Price mengalami peningkatan inflasi tahunan dari -0,04% menjadi 3,72%. Kenaikkan beberapa tarif seperti listrik, tarif STNK, cukai rokok tahunan serta kenaikan tarif angkutan udara yang terjadi selama triwulan I 2017 merupakan beberapa penyebab kenaikan inflasi Administered Price ini. Sejalan dengan hal tersebut, core inflation juga mengalami peningkatan dari 2,28% pada triwulan IV 2016 menjadi 2,67% padaa triwulan I 2017.Peningkatan ini disebabkan oleh peningktan permintaan fundamental dari banyak munculnya hari libur selama triwulan I 2017. Selain itu fluktuasi nilai tukar selama triwulan I 2017 juga mempengaruhi kenaikan inflasi pada kelompok ini, nilai tukar terutama dipengaruhi oleh pengumuman kenaikan FFD rate pada bulan Januari dan Maret 2017. Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, inflasi volatile food justru mengalami penurunan signifikan dari 7,58% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,36% (yoy) pada triwulan I 2017. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan haraga cabai pada akhir triwulan I 2017, dimana harga cabai turun hingga Rp30.000/kg menjadikan harga cabai turun menjadi Rp100.000/kg. Selain itu, komoditas padi juga menjadi penyumbang rendahnya inflasi pada kelompok volatile food karena terdapat panen yang cukup baik pada beberapa sentra padi di Jawa Barat. Berdasarkan komoditasnya, tekanan inflasi pada triwulan I 2017 terutama masih disumbang oleh komoditas tarif listrik, tarif pulsa ponsel, biaya perpanjangan STNK dan cabai rawit (Tabel 3.7). Tekanan inflasi yang tinggi pada beberapa tarif tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif tersebut. Tarif listrik pelanggan golongan 900VA akan meningkat secara bertahap sebanyak tiga tahap, dimana masig-masing penigkatan adalah sebesar 30%, dan akan dilakukan adjustment tarif pada bulan Juli 2017, dimana untuk pelanggan golongan 900VA yang termasuk rumah tangga mampu (RTM) makan akan diterapkan tarif normal. Selain itu, peningkatan tarif STNK juga menjadi penyumbang inflasi tahunan yang cukup besar yaitu sebesar 0,17%. Cabai rawit pada awal tahun 2017
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
mwngalami kenaikan harga yang sangat tinggi, dimana harga tertinggi di Jawa Barat mencapai Rp150.000 Rp160.000 per kg pada bulan Februari 2017yang terjadi di kota Bandung. Hal inilah yang menybabkan cabai rawit menjadi penyumbang inflasi tahunan hingga 0,19%. Tabel 3.7. Sumbangan Inflasi & Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, yoy) Komoditas Penyumbang Inflasi Tahunan Utama (%) Tw I 2017 Tw IV 2016 Komoditas
Sumbangan (%) Komoditas
Sumbangan (%)
Cabai Merah
0.23
Tarif Listrik
0.57
Bawang Merah
0.21
Tarif Pulsa Ponsel
0.24
Rokok Kretek Filter
0.19
0.19
Beras
0.13
Cabai Rawit Biaya Perpanjangan STNK
Bawang Putih
0.13
Rokok Kretek filter
0.15
Cabai Rawit
0.12
Kentang
0.10
Rokok Kretek
0.09
Rokok Kretek
0.08
Tarip Pulsa Ponsel
0.09
Bayam
0.08
Sewa Rumah
0.09
Minyak Goreng
0.07
Kentang
0.08
Nasi dengan Lauk
0.07
0.17
Komoditas Penyumbang Deflasi Tahunan Utama (%) Tw I 2017 Tw IV 2016 Komoditas
Sumbangan (%) Komoditas
Sumbangan (%)
Bensin
-0.39
Semen
-0.09
Solar
-0.10
Cabai Merah
-0.06
Semen
-0.05
Tomat Sayur
-0.05
Telur Ayam Ras
-0.05
Telur Ayam Ras
-0.06
Wortel
-0.03
Daging Ayam Ras
-0.02
Laptop/Notebook
-0.02
Bensin
-0.07
Buncis
-0.02
Solar
-0.03
Angkutan Dalam Kota
-0.02
Angkutan Dalam Kota
-0.02
Kacang Panjang
-0.02
Laptop/Notebook
-0.02
Bahan Bakar RT
-0.01
Tarif Taksi
-0.01
3.2. Perkembangan Inflasi Menurut Kota Pada triwulan I 2017, terdapat 3 (tiga) kota yang mengalami inflasi tahunan di atas tingkat inflasi Jawa Barat yaitu Bogor (4,34%), Depok (3,49%) dan Sukabumi (3,47%) (Grafik 3.15). Sementara itu, Cirebon kembali menjadi kota dengan inflasi terendah di Jawa Barat pada triwulan I 2017 dengan realisasi inflasi sebesar 2,74% (yoy). Secara umum, tingkat inflasi tahunan dari seluruh kota perhitungan pada triwulan I 75
2017 mengalami peningkatan dibanding triwulan IV 2016 (Grafik 3.16).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI) Grafik 3.15 Inflasi Kota di Jawa Barat Triwulan I 2017 (yoy)
Sumber : BPS , Perhitungan Staf BI Grafik 3.16 Historis Inflasi Tahunan Kota Perhitungan Inflasi di Jawa Barat
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
Terdapat risiko yang perlu diwaspadai khususnya pada kota-kota dengan bobot inflasi yang besar terhadap Jawa Barat. Jika dilakukan pemetaan dengan menggunakan variabel bobot kota dan tingkat inflasi, dapat dilihat bahwa kota dengan bobot inflasi tertinggi (Bandung) juga mengalami inflasi yang relatif tinggi (Grafik 3.17). Meskipun demikian, pada triwulan 1 2017 ini menunjukkan pemetaan dengan menggunakan data inflasi pangan memperlihatkan bahwa seluruh kota masih dibawah rata-rata inflasinya (Grafik 3.18).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, : Perhitungan Staf BI
Grafik 3.17 Inflasi Tahunan Kota Inflasi
Grafik 3.18 Inflasi Pangan Tahunan Kota Inflasi
Jika dievaluasi berdasarkan capaian inflasi di kota-kota inflasi dibandingkan dengan inflasi Jawa Barat, kota Bogor dan Depok memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding Jawa barat (Tabel 3.15). Sedangkan kota Tasikmalaya yang konsisten dari triwulan IV 2015 selalu mengalami inflasi di atas Jawa Barat, pada triwulan I 2017 inflasinya berada di bawah Jawa Barat. Sementara itu berdasarkan andilnya, Kota Depok masih menjadi pemberi andil inflasi tahunan terbesar di Jawa Barat (0,66%) dan disusul oleh Kota Bogor (0,59%). Tabel 3.8. Perkembangan Inflasi dan Andil Inflasi Kota Terhadap Inflasi IHK Jawa Barat (%, yoy) No Kelompok
1 2 3 4 5 6 7
76
Jawa Barat Kota Bandung Kota Bekasi Kota Depok Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Tasikmalaya
Tw I 3.78 4.34 3.33 3.51 4.14 2.96 2.83 4.51
Inflasi Tahunan (%) 2016 Tw II Tw III Tw IV 3.22 2.54 2.75 4.22 2.54 2.93 5.22 2.09 2.47 6.22 2.90 2.60 7.22 2.53 3.60 8.22 2.52 2.57 9.22 1.95 1.87 10.22 3.62 2.75
2017 TW I 3.36 3.21 3.21 3.49 4.34 3.47 2.74 3.05
Andil Terhadap Inflasi Tahunan Jabar 2016 2017 Tw I Tw II Tw III TW IV TW I 3.78 3.22 2.54 2.75 3.36 0.73 0.60 0.43 0.50 0.55 0.57 0.47 0.36 0.43 0.55 0.67 0.66 0.55 0.50 0.66 0.56 0.41 0.34 0.49 0.59 0.35 0.31 0.29 0.30 0.40 0.30 0.23 0.21 0.20 0.29 0.49 0.45 0.39 0.30 0.33
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
3.3. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi Berdasarkan disagregasi kelompok, peningkatan inflasi tahunan dibanding triwulan lalu terjadi pada kelompok core dan administered prices , sementara kelompok volatile food mengalami penurunan (Grafik 3.19). Jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya, baik realisasi inflasi IHK, core, administered
prices dan volatile food lebih rendah dibanding historis(Grafik 3.20). Tren inflasi yang rendah ini khususnya
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
untuk kelompok volatile food terutama disebabkan oleh musim panen raya yang mulai pada awal tahun 2017. Namun untuk kelompok AP dan CI, meskipun masih rendah dibanding rata-rata historisnya, tekanan inflasi pada triwulan 2017 masih cukup besar, akibat kebijakan kenaikan beberapa tarif dari pemerintah.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3.19. Disagregrasi Inflasi Jawa Barat
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3.20. Perbandingan Inflasi Dengan Historisnya
Administered prices Perkembangan tekanan inflasi kelompok administered prices pada akhir triwulan I 2017 tercatat mengalami peningkatan, setelah sebelumnya konsisten mengalami penurunan hingga triwulan IV 2016. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kenaikan inflasi pada kelompok AP ini terutama didorong oleh kebijakan pemerintah terkait peningkatan tarif listrik pelanggan golongan 900VA. Sebagai dampaknya, inflasi AP energi mengalami peningkatan dari -5,07% (yoy) pada triwulan III menjadi 5,95% (yoy) pada triwulan I 2017. Sepanjang triwulan I 2017, pemerintah menetapkan kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA tepatnya bulan Januari dan Maret 2017 sebesar 30%. Pertumbuhan tarif listrik rata-rata tahunan meningkat dari -1,76% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,88% (yoy) pada triwulan I 2017. Secara spesifik, kenaikan tertinggi adalah pada golongan pelanggan rumah tangga, karena kenaikan tarif listrik pada tahun 2017 dikhususkan pada pelanggan rumah tangga mampu golongan 900VA.
77
Sumber : PT. PLN , Perhitungan Staf BI Grafik 3.21. Perkembangan Tarif Listrik Berdasarkan Kelompok Pelanggan
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Grafik 3.22. Inflasi Administered prices Kelompok Energi dan Non Energi (yoy)
Sejalan dengan AP energi, tingkat inflasi tahunan dari kelompok administered prices non energi juga meningkat dari 3,87% (yoy) menjadi 4,65% (yoy) pada triwulan I 2017. Kenaikan biaya administrasi STNK dan berlanjutnya transmisi kenaikan cukai rokok terhadap harga rokok mendorong komoditas ini menjadi
MEI 2017
78
PERKEMBANGAN INFLASI
penyumbang inflasi utama pada kelompok administered prices. Hingga akhir triwulan I 2017, biaya adminitrasi STNK mengalami inflasi sebesar 107,45%, rokok kretek filter mengalami inflasi sebesar 7,97% (yoy), rokok kretek sebesar 7,11% (yoy), dan rokok putih sebesar 6,83%. Di sisi lain, inflasi yang lebih tinggi ditahan oleh masih berlangsungnya deflasi pada komoditas bahan bakar utama yakni bensin dan solar. Namun deflasi pada kedua komoditas tersebut relatif menurun dibanding triwulan sebelumnya, sejak Pemerintah menaikkan harga BBM non subsidi. Tabel 3.9. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Adminstered Prices di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy) Komoditas
Inflasi (%, yoy) Inflasi
Andil
18.58
0.57
107.45
Rokok Kretek Filter
Komoditas
Deflasi (%, yoy) Deflasi
Andil
Bensin
-2.10
-0.07
0.17
Solar
-7.38
-0.03
7.97
0.15
Angkutan Dalam Kota
-0.38
-0.02
Rokok Kretek
7.11
0.08
Tarif Taksi
-4.19
-0.01
Tarip Kereta Api
16.81
0.06
Rokok Putih
6.83
0.03
Tarif Air Minum PAM
6.04
0.03
Tarif Parkir
8.10
0.02
Angkutan Udara
35.01
0.01
Tarip Listrik Biaya Perpanjangan STNK
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
Volatile Food Tekanan inflasi volatile food pada triwulan I 2017 tercatat relatif menurun dari triwulan sebelumnya, yakni dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72%. Namun demikian, realisasi ini masih lebih tinggi dibanding rata-rata historis 5 (lima) tahun terakhir sebesar 6,97% (yoy). Dengan demikian, untuk triwulan I 2017, menurunnya inflasi volatile food dibanding triwulan IV 2017 menjadi faktor penahan kenaikan inflasi, di tengah kenaikan inflasi administered prices dan core pada triwulan ini. Menurunnya tekanan inflasi volatile food pada triwulan I 2016 dibanding triwulan sebelumnya disebabkan oleh mulai berlangsungnya masa panen untuk tanaman padi di sejumlah sentra di Jawa Barat dan juga peningkatan pasokan cabai dari berbagai sentra produksi cabai. Beberapa komoditas pangan utama yang tercatat mengalami penurunan inflasi tahunan dibanding triwulan sebelumnya adalah cabai merah (dari 60,25% menjadi -12,14%), bawang putih (dari 51,01% menjadi 13,62%), bawang merah (dari 36,22% menjadi -0,82%), daun bawang (dari 14,81% menjadi -17,65%), dan tomat sayur (dari 9,47% menjadi -22,37%). Pada komoditas cabai merah, penignkatan pasokan cabai dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas menjadikan harga cabai di pasaran turun, sehingga penurunan inflasi pada komoditi ini pun cukup tinggi. Sementara pada komoditas hortikulutra seperti bawang merah, bawang putih, dan sayur-
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
sayuran seperti daun bawang dan tomat sayur, kondisi kemarau basah (la nina) sepanjang tahun 2016 justru menambah produktivitas tanamn terus serta volume panennya yang berawal di tahun 2017. Di sisi lain, penurunan yang lebih dalam ditahan oleh perkembangan beberapa komoditas yang mengalami peningkatan inflasi dibanding triwulan sebelumnya. Komoditas bayam merupakan penyumbang kenaikan andil inflasi tahunan terbesar dari triwulan IV 2016 ke triwulan I 2017. Inflasi bayam meningkat dari 7,73% (yoy) menjadi 40,45% (yoy) pada triwulan I 2017, komoditas lain seperti kol putih/kubis juga meningkat dari -8,42% (yoy) menjadi 22,23% (yoy), petai naik dari 73,20% (yoy) menjadi 101,60% (yoy). Selanjutnya, kenaikan inflasi juga terjadi pada komoditas cabai rawit (dari 75,23% menjadi 98,91%), hal ini disebabkan oleh tanaman, selain itu juga cuaca curah hujan yang tinggi membuat produktivitas pada tanaman ini berkurang. Tabel 3.10. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Volatile food di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy) Komoditas
Inflasi (%, yoy) Inflasi
Andil
Cabai Rawit
98.91
0.19
Kentang
31.31
Bayam
Komoditas
Deflasi (%, yoy) Deflasi
Andil
Cabai Merah
-12.14
-0.06
0.10
Telur Ayam Ras
-7.16
-0.06
40.45
0.08
Tomat Sayur
-22.37
-0.05
Minyak Goreng
7.69
0.07
Daging Ayam Ras
-1.46
-0.02
Beras
1.46
0.05
Daun Bawang
-17.65
-0.01
Petai
101.60
0.04
Anggur
-11.02
-0.01
Jagung Manis
33.67
0.04
Tomat Buah
-22.92
-0.01
Bawang Putih
13.62
0.04
Bawang Merah
-0.82
-0.01
Cumi-Cumi
26.38
0.03
Pepaya
-2.39
-0.01
Mie kering Instant
7.28
0.03
Kacang Panjang
-6.96
-0.01
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
Inflasi Core Inflasi core pada triwulan I 2017 meningkat, yakni dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy). Dengan demikian, inflasi core sudah mulai meningkat setelah sebelumnya konsisten mengalami penurunan sejak triwulan II 2015. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan permintaan masyarakat pada awal tahun yang disertai dengan banyaknya ghari libur, seperti tahun baru dan Imlek, serta hari besar keagaaman lain selama triwulan I 2017. Selain itu, peningkatan tarif pulsa ponsel secara konsisten sejak September 2016 yang dilakukan perusahaan provider untuk mengkompensasi kenaikan biaya investasi pada periode sebelumnya turut menjadi pendorong. Jika dianalisis secara lebih dalam, peningkatan ini khususnya didorong oleh meningkatnya tekanan inflasi pada kelompok core non traded (Grafik 3.23). Kenaikan tarif pulsa ponsel dan sewa rumah menjadi faktor utama pendorong kenaikan ini. Sejalan dengan hal tersebut, inflasi core traded juga tercatat meningkat pada triwulan I 2017. Hal ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar Rupiah pada triwulan I akibat pada bulan Januari dan Maret 2017. Adapun kelompok core
traded yang terpantau mengalami sedikit peningkatan secara sepsifik adalah food related (Grafik 3.24).
MEI 2017
79
PERKEMBANGAN INFLASI
Banyaknya hari libur membuat penignkatan jumlah wisatawan ke Jawa Barat, hal ini diduga menyebabkan kenaikan permintaan bahan makan pada kelompok core.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Grafik 3.23 Perkembangan Inflasi Core Traded dan Non Traded (yoy)
Grafik 3.24 Disagregasi Inflasi Core Traded (yoy)
Permintaan terhadap properti baik jual maupun sewa terpantau mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari inflasi tahunan dari jasa sewa properti khususnya sewa rumah yang menurun dari 2,02% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,34% (yoy) pada triwulan I 2017. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) juga terpantau menurun untuk selutuh tipe, namun yang paling besar penurunannya adalah tipe rumah besar (Grafik 3.25). Hal ini mencerminkan permintaan masyarakat terhadap properti baik jual maupun sewa mulai menurun.
Sumber : Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia Grafik 3.25 Perkembangan Indeks Harga Properti Residensial
80 Terkait faktor eksternal, Rupiah mengalami pelemahan pada triwulan I 2017 (Grafik 3.26). Hal ini turut berkontribusi kepada meningkatnya tekanan inflasi beberapa komoditas pada kelompok core traded. Di sisi lain, sejalan dengan tren penguatan dollar Amerika Serikat, harga emas global terpantau mengalami perlambatan pada triwulan I 2017 (Grafik 3.27). Inflasi pada komoditas emas perhiasan domestik juga tercatat mengalami penurunan yakni dari 1,57% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,42% (yoy) pada triwulan I 2017.
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
Sumber : Bloomberg, Perhitungan Staf BI
Sumber : Bloomberg, Perhitungan Staf BI
Grafik 3.26 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Grafik 3.27 Harga Komoditas Emas Global
Dari sisi sumbangan inflasi core, komoditas core non traded memberikan sumbangan inflasi terbesar pada triwulan ini, yaitu tarif pulsa ponsel dan sewa rumah. Di sisi lain, beberapa komoditas core traded terpantau mengalami deflasi yakni semen, laptop, dan kulkas. Tabel 3.11. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Core Inflation di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy) Komoditas
Inflasi (%, yoy) Inflasi
Andil
Tarip Pulsa Ponsel
12.19
0.24
Nasi dengan Lauk
2.88
Sewa Rumah
Komoditas
Deflasi (%, yoy) Deflasi
Andil
Semen
-7.00
-0.09
0.07
Laptop/Notebook
-7.30
-0.02
1.34
0.06
Kulkas/Lemari Es
-4.43
-0.01
Kontrak Rumah
1.26
0.05
Ketupak/Lontong Sayur
13.37
0.05
Kue Kering Berminyak
7.81
0.05
Tukang Bukan mandor
1.94
0.04
Akademi/Perguruan Tinggi
2.59
0.04
Sekolah Dasar
4.28
0.04
Pasir
4.02
0.04
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
3.4. Perkembangan Inflasi Triwulan II 2017 Inflasi IHK tahunan Jawa Barat pada triwulan II 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,9% - 4,3% (yoy), meningkat dibanding realisasi inflasi triwulan I 2017 sebesar 3,37% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi ini terutama didorong oleh kebijakan pemerintah menaikkan tarif administered prices yaitu kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA tahap 3 pada triwulan II 2017, selain itu juga terdapat momen bulan Ramadhan dan Lebaran yang terjadi penuh di triwulan II 2017. Pada bulan April 2017, Jawa Barat tercatat mengalami inflasi sebesar 0,17% (mtm) atau 3,92%(yoy), meningkat dibandingkan Maret 2017. Secara historis, realisasi inflasi bulanan April 2017 ini lebih rendah dibanding polanya yaitu rata-rata periode 2012-2016 sebesar 0,52%. Secara komponen pembentuknya, tekanan inflasi April 2017 didorong oleh inflasi kelompok administered prices (AP) sebesar 1,15% (mtm) dan kelompok core inflation (CI) sebesar 0,17% (mtm) (Grafik 3.28), kedua kelompok tersebut mengalami inflasi bulanan lebih tinggi dibanding rata-rata historisnya sebesar 0,11% (mtm) dan 0,16% (mtm). Di sisi
MEI 2017
81
82
PERKEMBANGAN INFLASI
lain, inflasi kelompok volatile food (VF) mengalami deflasi pada bulan April 2017 sebesar -1,04% (mtm) tercatat lebih rendah dibanding rata-rata historisnya sebesar -1,24% (mtm). Rendahnya inflasi kelompok VF ini terutama didorong oleh terjaganya stok pangan sejumlah komoditas utama seperti bawang merah, cabai rawit dan cabai merah. Pada kelompok inflasi core, secara bulanan pada April 2017 terjadi peningkatan inflasi dari 0,08%
Sumber : BPS, diolah Grafik 3.28 Perkembangan Disagregasi Inflasi
menjadi 0,17% dan secara tahunan dari 2,67% menjadi 2,76%. Tarip pulsa ponsel masih menjadi pendorong utama inflasi untuk kelompok ini. Komoditas itu telah konsisten mengalami peningkatan sejak September 2016 dan pada Januari 2017 mengalami inflasi sebesar 0,97% (mtm). Hal ini menjadi penyebab utama peningkatan inflasi core non traded dari 0,03% (mtm) di Maret 2017 menjadi 0,10% (mtm). Selain itu, penyumbang inflasi lain adalah pada subkelompok core traded dimana terdapat peningkatan harga emas dunia yang membuat harga emas domestik ikut meningkat. Meski demikian, tekanan pada kelompok ini tertahan akibat nilai tukar rupiah yang terapresiasi sebesar 0,29% (mtm) sepanjang bulan April 2017 yang menurunkan tekanan imported inflation (barang impor). Kelompok bergejolak (volatile food/VF) mengalami deflasi pada bulan April 2017 yakni sebesar -1,04% (mtm) meningkat dibanding bulan Maret 2017 sebesar -0,19% (mtm). Secara tahunan, inflasi VF pada April 2017 tercatat sebesar 3,39% (yoy) atau menurun dibanding bulan sebelumnya (3,72%) serta lebih rendah dibanding rata-rata historisnya (7,66%). Penyumbang deflasi kelompok volatile food bersumber dari komoditas bawang merah, cabai rawit dan cabai merah. Hal ini disebabkan terdapat panen raya sehingga bulan April mengalami deflasi akibat harga yang sudah terpantau stabil seiring dengan terus bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kab. Garut, Kab. Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas. Namun demikian, beberapa komoditas seperti seperti bawang putih, jeruk dan daging ayam ras mengalami kenaikan harga sehingga menahan deflasi dari bulan sebelumnya. Kelompok harga diatur pemerintah (administered prices/AP) pada April 2017 tercatat mengalami inflasi bulanan sebesar 1,15% (mtm), meningkat dibanding Maret 2017 sebesar 0,34% (mtm). Dengan demikian, kenaikan harga pada kelompok AP menjadi pendorong utama inflasi di bulan ini. Dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA menjadi pendorong utama kenaikan di kelompok barang ini. Tarif listrik untuk pelanggan 900VA meningkat dari Rp791/kWh per 1 Januari 2017 menjadi Rp1.034/kwh per 1 Maret 2017, dengan pangsa pemakaian listrik pada golongan ini sebesar 32,08% maka kenaikan tarif sebesar 30,72% tersebut mendorong inflasi pada komoditas ini sebesar 5,36% dan menyumbang kenaikan inflasi bulanan pada Januari 2017 sebesar 0,19%. Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia memperkirakan tekanan harga akan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017. Hal ini ditunjukkan melalui Indeks Ekspektasi Harga (IEH) rata-rata triwulan II 2017 sebesar 173,58 atau meningkat dibanding rata-rata triwulan I 2017 sebesar 152,30 (Grafik
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
3.29). Berdasarkan kelompok barang, peningkatan indeks ekspektasi harga terjadi pada kelompok perumahan, listrik, gas, BB dan bahan makanan (Grafik 3.34).
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 3.29 Indeks Ekspektasi Harga (IEH) 3 Bulan Mendatang
Secara ringkas, beberapa upward risk yang berpotensi mendorong kenaikan inflasi pada triwulan II 2017 meliputi :
Terdapat momen Ramadhan dan Lebaran yang terjadi sepenuhnya di triwulan II 2017
Kenaikan tarif listrik tahap 3 untuk pelanggan golongan 900VA untuk rumah tangga mampu.
Kenaikan harga komoditas global yang akan berpengaruh terhadap harga komoditas domestik
Kembali diberikannya gaji ke-13 kepada PNS menjelang Lebaran
Berjalannya proyek pembangunan infrastruktur strategis di Jawa Barat (Tol Cisumdawu, Tol Soroja, Bandung Intra Urban Toll Road, Tol Cimanggis-Cibitung, Bogor Ring Road, Tol Cikarang-Tj. Priok, Tol Cileunyi-Nagreg-Tasikmalaya, serta Bandara Internasional Kertajati).
3.5. Program Pengendalian Inflasi Daerah Sepanjang tahun 2009 s.d 2016, FKPI Jawa Barat telah melakukan banyak upaya baik dalam hal penguatan kelembagaan maupun dalam upaya pengendalian inflasi di Jawa Barat. Secara ringkas identifikasi masalah dan kebijakan yang diambil oleh FKPI Jawa Barat setiap tahunnya adalah sebagai berikut:
83
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
TAHUN
IDENTIFIKASI MASALAH Kurangnya awareness anggota
2009
Kenaikan harga gula pasir
KEBIJAKAN Edukasi peningkatan awareness pentingnya pengendalian inflasi Jangka pendek: Pasar Murah dan Operasi Pasar; Jangka panjang: Revitalisasi merin dan pabrik gula, Ekspansi lahan tebu dan pabrik gula High Level Meeting, percepatan launching raskin, mendorong pemkab/kota agar mempercepat penyaluran raskin dan pelaksanaan OP, mengarahkan ekspektasi masyarakat yang diantaranya melalui kunjungan ke gudang BULOG. 10 langkah strategis pengendalian inflasi. Contoh: meningkatkan produktivitas padi, memberikan bantuan bibit ikan dan kapal tangkap, mendorong pembentukan TPID Kota Bekasi, Depok, Sukabumi serta meningkatkan awareness masyarakat terhadap inflasi melalui media massa. 5 Plus 1 Paket Kebijakan Inflasi, diantaranya mengedukasi masyarakat melalui media massa secara intensif.
2010
Potensi kenaikan harga beras
2011
Gangguan produksi bahan pangan
2012
Kebijakan Pemerintah dan gangguan produksi bahan pangan
2013
Kebijakan Pemerintah Pusat terkait harga/tarif
2014
Penguatan infrastruktur
2015
Kebijakan pemerintah mengenai energi, selain gangguan terhadap produksi bahan pangan yang dilatari pengaruh iklim atau cuaca
Paket 5 Plus 1, Upaya peningkatan produksi komoditas penyumbang inflasi, upaya menjaga kecukupan stok komoditas pangan strategis saat lonjakan permintaan, revitalisasi pasar dan kajian yang berhubungan dengan pengendalian tingkat inflasi serta usaha peningkatan infrastruktur dan mekanisme kerja sama dan koordinasi antar instansi berwenang
Ketersediaan dan distribusi pangan
PROPER KAHIJI UTAMA, Upaya pengendalian inflasi dengan fokus pada peningkatan produksi, antisipasi lonjakan permintaan, penyusunan kajian pendukung, peningkatan kualitas infrastruktur serta peningkatan jaringan konektivitas, koordinasi dan kerjasama dan mendorong pemberdayaan petani
2016
3 Plus 1, Memperkuat upaya stabilisasi melalui peningkatan produksi dan stok, akses informasi dan kelancaran distribusi serta mengoptimalkan kerjasama perdagangan antar daerah. 5 Plus 1, Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung
Pada tahun 2017, komoditas pangan masih merupakan penyumbang utama tingkat inflasi. Kondisi ketersediaan pangan dan alur distribusinya masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi fluktuasi harga kelompok volatile foods. Melanjutkan fokus pengendalian inflasi tahun 2016, FKPI Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 mencanangkan pendekatan upaya pengendalian inflasi yang dikemas dalam tajuk
84 1. Peningkatan produksi komoditas penyumbang inflasi; 2. Antisipasi lonjakan permintaan menjelang peak season; 3. Revitalisasi pasar; 4. Penyusunan kajian pendukung pengendalian inflasi dan peningkatan kompetensi sumber daya pendukung; 5. Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung (irigasi, perbaikan jalan, jembatan) serta penguatan sistem logistik bahan pangan strategis; 6. Peningkatan jaringan konektivitas, koordinasi dan kerjasama; serta 7. Usaha Tani Mandiri, yaitu penguatan/pemberdayaan petani melalui sinergi dengan pihak terkait.
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
Gambar 3.1. Upaya Pengendalian Inflasi Jawa Barat Tahun 2017 (PROPER KAHIJI UTAMA JILID II)
3.5.1. Pelaksanaan Kegiatan FKPI Jawa Barat Sepanjang triwulan I 2017, berbagai upaya pengendalian inflasi telah dilakukan oleh FKPI Jawa Barat, baik dari sisi koordinasi, seperti penyelenggaraan pertemuan-pertemuan meliputi Rapat Teknis, High Level
Meeting, Rapat Koordinasi TPID 7 (Tujuh) Kota maupun dari sisi strategis melalui pengembangan Priangan(Portal Informasi Harga Pangan Strategis) dan sosialisasi e-Priangan. Upaya pengendalian inflasi tersebut dilakukan melalui Program Kerja FKPI baik Program Rutin dan Program Strategis.
Rutin Rapat Teknis
Strategis Revitalisasi Sistem Resi Gudang
Rapat HLM Rakor se-Jawa Barat Rakor Antar Provinsi/Rakornas
Revitalisasi Priangan
Capacity Building
Penyusunan Model Kerjasama
Kunjungan ke TPID Terbaik
Antar Daerah
85
Gambar 2.2. Program Kerja Rutin dan Strategis FKPI Provinsi Jawa Barat
A. Program Rutin FKPI Program Rutin Rapat Teknis
Tanggal 10 Februari 2017
Keterangan Rapat Teknis FKPI dalam rangka evaluasi program kerja pengendalian inflasi tahun 2016 dan penajaman roadmap pengendalian inflasi tahun 2017 serta terkait kelembagaan sehubungan dengan adanya perubahan nomenklatur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) beberapa anggota Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi (FKPI) Provinsi Jawa Barat.
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
High Level Meeting
14 Maret 2017
High Level Meeting FKPI Provinsi Jawa Barat dibuka dan dipimpin langsung oleh GUbernur Jawa Barat, Bp. Ahmad Heryawan. Dalam rapat tersebut dibahas mengenai pentingnya sinergi seluruh stakeholder agar program kerja FKPI Provinsi Jawa Barat tahun 2017 yang bertajuk PROPER KAHIJI UTAMA Jilid II dapat berjalan dengan optimal.
Rakor TPID 7 (Tujuh) Kota Sampel IHK di Jawa Barat
19-20 Januari 2017
Rakor TPID 7 (tujuh) Kota Sampel IHK di Jawa Barat dengan topik bahasan terkait evaluasi pencapaian kinerja inflasi tahun 2016 serta merumuskan strategi pengendalian inflasi 2017.
Capacity Building FKPI
16-17 Maret 2017
Dalam rangka peningkatan kapasitas SDM yang menjadi PIC TPID di jajaran pemerintah tingkat provinsi maupun kab/kota, maka telah dilaselenggarakan capacity building di Kab. Pangandaran.
dan TPID Kab/Kota seJawa Barat
i materi dipaparkan oleh narasumber dari internal jabar (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, TPID Kota Depok maupun BPS Prov.Jabar) maupun eksternal Jawa Barat (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian).
Monitoring /Audiensi
14 Februari 2017
Pembahasan antara KPw BI Prov. jabar dengan TPID kab. Purwakarta mengenai peran TPID Kab.Purwakarta dalam pengendalian inflasi Kab.Purwakarta pasca terbentuknya TPID Kab.Purwakarta pada tahun 2014.
9 Maret 2017
Pembahasan antara KPw BI Prov. Jabar dengan TPID kab. Purwakarta mengenai penajaman program kerja TPID Kab.Sumedang agar selaras dengan program kerja FKPI Provinsi Jawa Barat tahun 2017.
TPID Kab/Kota seJawa Barat
B. Program Strategis FKPI Program Strategis Optimalisasi Portal Infomasi Harga Pangan (Priangan)
Tanggal 5 Januari 2017
Keterangan Pembahasan dengan mitra e-Priangan yang terdiri dari Bulog Divre Jabar dan PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Regional Bandung sebagai merchant serta PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR) sebagai penyedia jasa logistik pengantaran barang terkait validasi pengembangan sistem e-PRIANGAN. Selain itu juga dibahas mengenai rencana pengembangan Priangan tahun 2017.
9 Januari 2017
KPw BI Provinsi Jawa Barat berkoordinasi dengan Bagian Perekonomian Kota Bandung menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi e-PRIANGAN kepada jajaran TPID Kota Bandung. e-PRIANGAN diharapkan dapat menjadi salah satu media untuk mengendalikan harga pangan di kota Bandung dan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat di kota Bandung perlu diimplementasikan segera.
86
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
29 Januari 2017
Sosialisasi langsung disampaikan kepada masyarakat kota Bandung di area CFD Dago dengan menekankan bahwa ePRIANGAN hadir bukan untuk tujuan komersil, namun memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mendapatkan bahan pokok secara mudah, harga murah, namun demikian kualitas barang tetap terjaga.
2 Februari 2017
Sosialisasi e-Priangan kepada Perkumpulan Pensiunan Bank Indonesia (PPBI). Sosialisasi ditekankan pada aspek latar belakang dan tujuan pengembangan e-Priangan, yaitu untuk menjadi pintu gerbang bagi masyarakat dalam mengakses kebutuhan pokok secara mudah, harga yang terjangkau namun kualitasnya tetap terjaga.
13 Februari 2017
Rapat koordinasi dengan konsultan IT pengembang ePriangan untuk membahas rencana pengembangan Priangan di tahun 2017.
22 Februari 2017
Sosialisasi e-Priangan kepada Unsur Kewilayahan dan Anggota TPID Kota Bandung. e-Priangan diharapkan dapat menjadi solusi untuk memperpendek / efisiensi rantai distribusi pangan sehingga dapat meredam gejolak harga pangan.
13 Maret 2017
Cakupan operasional e-Priangan akan diperluas meliputi wilayah Bandung Raya (Kab.Bandung, Kab.Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kab.Sumedang) agar pengunaannya lebih optimal.
Dukungan Kajian Komprehensif
21 Februari 2017
Pembahasan mengenai mapping isu strategis untuk diperdalam dalam kajian pangan guna mendukung pengendalian inflasi.
Optimalisasi Sistem Resi Gudang (SRG)
24 Januari 2017
Pembahasan mengenai evaluasi kinerja SRG Tasikmalaya 2016 dan Strategi 2017 sebagai tindak lanjut peresmian integrasi SRG dan Pasar Lelang Komoditas (PLK).
25 Januari 2017
Dilakukan kunjungan ke gudang SRG Kab. Garut dengan hasil kunjungan didapati bahwa kegiatan SRG di Gudang SRG Kab. Garut sudah dapat dijalankan secara optimal.
31 Januari 2017
Mitra pembiayaan SRG di Jawa Barat mengungkapkan optimismenya akan pencapaian target penyaluran kredit skema SRG di Jawa Barat tahun 2017.
Kampung Peduli Inflasi
14 Februari 2017
Pembahasan dengan stakeholder terkait mengenai upaya pengaktifan gudang SRG Kab. Purwakarta. Pembahasan dengan stakeholder optimalisasi SRG Kab. Sumedang.
terkait
mengenai
9 Maret 2017
Pembahasan dengan stakeholder optimalisasi SRG Kab. Subang.
terkait
mengenai
10 Maret 2017 7 Februari 2017
Upaya monitoring atas program Kampung Peduli Inflasi yang diinisiasi oleh KPw BI Prov. Jabar melalui pemantauan
MEI 2017
87
PERKEMBANGAN INFLASI
langsung ke lokasi Kampung Peduli Inflasi di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung.
Kerjasama Antar Daerah
24 Maret 2017
Pemantauan lanjutan ke lokasi Kampung Peduli Inflasi di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung.
17 Februari 2017
Pembahasan untuk mendorong peran strategis Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), terutama dalam kaitan pengendalian inflasi.
28 Februari 2017
Inisiasi kerjasama antara BUMD DKI Jakarta dengan BUMD Jawa Barat dalam hal lahan pengembangbiakkan sapi.
16-17 Maret 2017
Peningkatan kapasitas SDM BUMD Jawa Barat dengan narasumber BUMD pangan DKI Jakarta sehingga diharapkan dapat meningkatkan kerja sama antar daerah.
3.5.2. Tantangan Dalam Pelaksanaan Pengendalian Inflasi Daerah Secara umum, tantangan atau kendala dalam rangka pengendalian inflasi di Jawa Barat masih bersumber dari faktor cuaca, momen tahunan seperti hari besar keagamaan dan faktor kebijakan pemerintah pusat terkait harga komponen administered prices. Namun demikian, selain tantangan atau kendala sebagaimana dijelaskan sebelumnya yang cukup krusial dalam pengendalian inflasi yaitu mengenai distribusi komoditas pangan strategis yang belum efisien. Selama ini, distribusi komoditas pangan strategis, contohnya saja cabai merah dan beras, yang sebagian besar dipasok ke luar Jawa Barat. Penguatan kerjasama antar daerah untuk menjaga kecukupan stok pangan di dalam Jawa Barat itu sendiri menjadi tantangan yang terus diupayakan melalui sinergi dengan stakeholder.
88
MEI 2017
IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
4.1. Perkembangan Kinerja Bank Umum 4.1.1. Aset dan Aktiva Produktif Total aset bank umum di Jawa Barat pada triwulan I 2017 adalah sebesar Rp 564,32 triliun, tumbuh 9,5% atau meningkat dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,05% (Grafik 4.1). Pertumbuhan aset perbankan di Jawa Barat disinyalir terdorong oleh membaiknya pertumbuhan penyaluran kredit oleh perbankan di Jawa Barat yang tumbuh 9,25% (yoy)1 setelah pada triwulan sebelumnya sempat tumbuh melambat di angka 8,89%. Sejalan dengan pertumbuhan kredit, kualitas kredit pada triwulan IV 2016 juga tercatat membaik terlihat dari non performing loan yang menurun dari 3,72% menjadi 3,54% 2. Di sisi lain, suku bunga DPK perbankan terpantau menurun yang mengakibatkan menurunnya cost of fund perbankan Jawa Barat. Dilihat dari kelompok banknya, Bank Pemerintah masih memiliki aset terbesar di antara bank lainnya. Dibandingkan dengan triwulan IV 2016, aset BPD dan bank asing mengalami penurunan proporsi dibandingkan dengan aset bank pemerintah dan bank swasta (Grafik 4.2).
Q4
Grafik 4.1 Pertumbuhan aset perbankan
Q1
Grafik 4.2 Pangsa aset per kelompok bank
4.1.2. Dana Pihak Ketiga DPK bank umum pada triwulan I 2017 mencapai Rp403,42 triliun atau secara tahunan tumbuh 8,20%, meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 8,07%. Peningkatan didorong oleh peningkatan deposito (pangsa 41%) yang meningkat signifikan dari 2,49% menjadi 7,78% (yoy) dan 100
pertumbuhan tabungan (pangsa 42%) yang meningkat dari 12,09% menjadi 12,97%. Sementara itu, giro melambat dari 11,41% menjadi -0,47% (yoy). Perlambatan pada giro disebabkan perlambatan giro pemerintah di awal tahun sedangkan pertumbuhan deposito didorong oleh baik deposito pemerintah yang disebabkan pencairan DAU di akhir tahun dari yang sebelumnya ditunda, maupun swasta yang mengindikasikan membaiknya keyakinan konsumen tercermin dari meningkatnya instrumen dana jangka panjang. Berdasarkan kelompok bank, DPK pada semua kelompok bank tumbuh melambat kecuali pada bank pemerintah. Namun pada kelompok BPD, terdapat peningkatan pertumbuhan giro dan deposito yang 1 2
Kredit berdasarkan lokasi bank NPL kredit berdasarkan lokasi bank
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
signifikan di akhir tahun yang diperkirakan didorong oleh masuknya dana DAU dari Pemerintah Pusat yang sebelumnya ditahan pada semester II 2016.
Grafik 4.3 Pertumbuhan DPK dan Komponennya
Grafik 4.4 Pertumbuhan DPK per Kelompok Bank
Grafik 4.5 Pertumbuhan DPK BPD
101
Grafik 4.6 Struktur DPK berdasarkan jenisnya
Grafik 4.7 DPK berdasarkan kelompok Bank
DPK bank pemerintah dan bank asing tumbuh meningkat, masing-masing dari 13,44% menjadi 17,07%dan dari 3,56% menjadi 5,43%, keduanya didorong oleh peningkatan yang terjadi pada komponen deposito dari 16,02% menjadi 8,37% untuk bank pemerintah dan 5,28% menjadi -8,75% untuk bank asing. Perlambatan deposito dimaksud khususnya terjadi pada kelompok nasabah perseorangan yang tumbuh melambat dari 15,25% menjadi 14,81% untuk bank pemerintah dan 2,78% menjadi -8,20% untuk bank asing. Kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan suku bunga deposito bank pemerintah dari 6,29% menjadi 6,09% dan
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
penurunan suku bunga deposito bank asing yang tidak jauh berbeda yakni dari dari 6,41% menjadi 6,06%. Sementara itu, kenaikan suku bunga tabungan pada bank asing dari 1,32% menjadi 1,41% mampu mendorong kinerja penghimpunan tabungan dari 9,09% menjadi 20,13% sehingga menahan perlambatan DPK bank asing secara keseluruhan. Namun, tidak demikian halnya dengan bank pemerintah. Meski suku bunga tabungan pada bank pemerintah mengalami penurunan dari 1,33% menjadi 1,25%, namun pertumbuhan komponen tabungan pada bank pemerintah ternyata masih positif (dari 12,69% menjadi 18,16%). Berbeda dengan tren perlambatan DPK yang terjadi pada bank pemerintah dan bank asing, DPK bank swasta mengalami peningkatan dari 7,05% menjadi 9,93% terutama dipengaruhi peningkatan jenis simpanan tabungan dari 12,13% menjadi 20,11%. Sama halnya dengan kondisi di bank pemerintah, peningkatan tabungan pada bank swasta juga terjadi di tengah penurunan suku bunga tabungan dari 1,84% menjadi 1,81%. Kondisi ini memang sejalan dengan hasil survei konsumen Bank Indonesia triwulan IV 2016 yang menunjukkan peningkatan proporsi penghasilan masyarakat untuk ditabung. Meski demikian, pengaruh suku bunga yang lebih terlihat pada deposito dibandingkan tabungan mengindikasikan bahwa masyarakat pada dasarnya masih lebih memilih instrumen jangka pendek meski imbal hasil yang diberikan tidak meningkat. Hal ini menunjukkan masih adanya keraguan dari sebagian masyarakat terhadap pemulihan kondisi ekonomi ke depan.
4.1.3. Kredit dan Risiko Kredit Kredit perbankan Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 8,40%, meningkat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan IV 2016 sebesar 7,09%. Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan kredit bank umum terjadi pada semua jenis kredit baik Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) dengan peningkatan paling signifikan pada kredit modal kerja. Kredit modal kerja meningkat dari 2,77% menjadi 4,89% (yoy) pada triwulan I 2017, mengindikasikan peningkatan kinerja pelaku usaha pada triwulan berjalan. Kredit investasi tumbuh dari 3,26% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 4,90% (yoy) pada triwulan I 2017, didorong oleh peningkatan optimisme pelaku usaha dan persiapan investasi yang umum dilakukan di awal tahun. Sedangkan kredit konsumsi stabil cenderung meningkat dari 13,60 menjadi 13,63% (yoy). Peningkatan pertumbuhan kredit modal kerja mengindikasikan adanya pertumbuhan kinerja 102
lapangan usaha yang diperkirakan terdorong untuk meningkatkan produksi/output guna menghadapi momen Ramadhan dan Lebaran. Secara umum, suku bunga kredit turun dari 11,66% (triwulan IV 2016) menjadi 11,56% pada triwulan I 2017, sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit. Penurunan suku bunga terbesar terjadi pada Kredit Investasi dari 10,22% menjadi 10,06%, Kredit Modal Kerja dari 10,82% menjadi 10,73% dan Kredit Konsumsi yang turun dari 13,14% menjadi 13,03%. Penurunan suku bunga ini sejalan dengan adanya penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yang diharapkan akan semakin mendorong penyaluran kredit ke depannya.
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 4.8 Perkembangan Kredit per Jenis Penggunaan
Grafik 4.9 Proporsi Kredit menurut Jenis Penggunaan
Grafik 4.10 Perkembangan Suku Bunga
Empat lapangan usaha terbesar untuk penyaluran kredit di Jawa Barat adalah Industri Pengolahan (24%), Perdagangan (16%), Jasa Dunia Usaha (4%) dan Konstruksi (4%). Penyaluran kredit di lapangan usaha konstruksi, perdagangan dan jasa dunia usaha terpantau meningkat, masing-masing dari 18,13% menjadi 24,28% untuk konstruksi; 7,94% menjadi 10,25% untuk perdagangan; dan dari 4,22% menjadi 11,49% untuk jasa dunia usaha pada triwulan I 2017. Sedangkan kredit industri pengolahan menurun dari -4,32% menjadi -4,78% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, jika dilihat dari skala usaha debitur, perlambatan kredit terjadi pada kredit rumah tangga yang tumbuh dari 8,84% menjadi 7,54% dengan pangsa sebesar 57,48%. Perlambatan kredit rumah tangga pada triwulan IV 2016 terjadi seiring dengan penurunan suku bunga dari 13,70% menjadi 13,64%
Sementara itu, kredit korporasi dengan pangsa sebesar 38,66% mengalami perlambatan dari
8,35% menjadi 8,13%, meski demikian suku bunga kredit korporasi tidak tercatat naik. Perlambatan pertumbuhan kredit korporasi ini terjadi seiring melambatnya kinerja beberapa lapangan usaha utama Jawa Barat seperti industri pengolahan.
MEI 2017
103
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 4.11 Proporsi Kredit menurut Lapangan Usaha
Grafik 4.12 Perkembangan Kredit menurut Lapangan Usaha
Sejalan dengan peningkatan kredit investasi di triwulan I 2017, hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga menunjukkan peningkatan kinerja investasi di Jawa Barat, yang tercermin dari penningkatan angka Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari 7,63 pada triwulan IV 2016 menjadi 7,91 di triwulan I 2017. Likuiditas bank umum yang tercermin dari rasio LDR secara kumulatif masih terjaga dengan rasio LDR ratarata bank umum di Jawa Barat mencapai 91,33% pada triwulan I 2017. Rasio ini tercatat meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 90,93%. Peningkatan LDR ini dipengaruhi oleh peningkatan penyaluran kredit yang lebih tinggi daripada peningkatan pertumbuhan DPK. Dilihat dari kelompok bank, rasio LDR tertinggi dimiliki oleh kelompok bank pemerintah, yaitu mencapai 104,8% dan telah melewati batas LDR maksimal sebesar 93.5% (PBI No. l 8/3/PBV2016). Kondisi ini perlu dicermati untuk memitigasi risiko likuditas di masa mendatang. Peningkatan risiko likuiditas pada periode ini tercermin pula melalui komponen alat likuid yang didominasi dana jangka pendek yakni tabungan (39,6%), deposito jangka waktu 1 bulan (18,5%}, giro (17,6%). serta deposito jangka waktu 3 bulan (14,7%).
104
Grafik 4.13 Perkembangan LDR
Grafik 4.14 Pemetaan NPL dan LDR Bank
Risiko penyaluran kredit di awal tahun 2017 menunjukkan perbaikan. Selain kredit yang tumbuh meningkat, kualitas kredit dimaksud pun masih terjaga dengan NPL di level aman dan cenderung stabil dari 3,24% menjadi 3,26% di triwulan I 2017. Risiko penyaluran kredit pada triwulan I 2017 relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya, masih terjaga di level aman. NPL tercatat sebesar 3,26% sedikit meningkat dibandingkan NPL pada triwulan IV 2016 sebesar 3,24%.
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Berdasarkan jenis penggunaannya, peningkatan NPL terjadi pada jenis kredit investasi dan kredit konsumsi sementara itu NPL kredit modal kerja menurun. NPL kredit modal kerja turun dari 4,43% menjadi 4,16% sedangkan kredit investasi meningkat dari 4.28% menjadi 4.63% dan kredit konsumsi meningkat dari 1,61% menjadi 1,79%. Peningkatan NPL kredit investasi menunjukkan risiko di balik mulai ekspansifnya penyaluran kredit untuk kredit dimaksud. Dari sisi lapangan usaha, sebagian lapangan usaha menunjukkan penurunan NPL, sebagian meningkat namun tidak tajam. Sementara itu, kenaikan tertinggi terjadi pada NPL konstruksi yang memiliki pangsa penyaluran keempat terbesar di Jawa Barat bahkan tidak jauh beda dengan pangsa kredit jasa dunia usaha. Kenaikan cukup besar juga terjadi pada NPL jasa dunia usaha yang meningkat menjadi 5.73%. NPL konstruksi naik dari 3,98% menjadi 7,05% pada triwulan I 2017. Di tengah pertumbuhan kredit konstruksi yang meningkat tajam maka peningkatan NPL ini menjadi risiko yang perlu diwaspadai. NPL Industri pengolahan tercatat menurun dari 4,82% menjadi 4,15%. Penurunan terutama disumbangkan oleh NPL tekstil dan produk tekstil sedangkan NPL industri plastik dan karet tercatat meningkat cukup signifikan.
Grafik 4.15 NPL per Jenis Penggunaan
Grafik 4.16 NPL per Lapangan Usaha Penyaluran Kredit
Jika dilihat dari klasifikasi per-BUKU bank, kenaikan NPL terjadi di semua kelompok bank. NPL tertinggi masih terjadi pada bank-bank yang tergolong BUKU I, dengan rata-rata NPL sebesar 8,74%, dIIIkuti oleh bank BUKU III sebesar 4,67%, bank BUKU IV sebesar 3,57% dan terendah adalah pada kelompok bank BUKU IV sebesar 3,03%. Pada triwulan ini, kenaikan NPL pada bank BUKU IV cukup signifikan dan perlu mendapat perhatian mengingat besarnya pangsa penyaluran kredit BUKU IV (26,51%). Selain itu, NPL yang tinggi dan melampui ambang batas 5% pada bank BUKU I perlu menjadi perhatian terhadap kehati-kehatian dalam penyaluran kredit bank, meskipun secara agregat porsi penyaluran kredit dari bank BUKU I masih yang paling kecil (3,50%). Adapun jika dilihat dari besaran LDR-nya, kenaikan LDR pada triwulan III 2016 disebabkan oleh kenaikan LDR bank BUKU IV yang cukup signifikan yakni dari 53,67% menjadi 70,75%. Sementara itu, LDR pada kelompok bank lain tercatat masih tinggi meskipun sedikit mengalami penurunan. Keketatan paling besar terjadi pada bank BUKU I di mana nilai LDR mencapai 123,70%, diikuti oleh bank BUKU IV 108,75%.
MEI 2017
105
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
4.1.3.1 Penyaluran Kredit di Sektor Utama Penopang Perekonomian Jawa Barat Sejalan dengan struktur perekonomian Jawa Barat yang ditopang oleh sektor lndustri Pengolahan, sektor Perdagangan Besar dan Eceran, serta Sektor Pertanian, kredit perbankan juga didominasi oleh sektor-sektor tersebut, kecuali sektor Pertanian. Pada triwulan I 2017, penyaluran kredit pada sektor lndustri Pengolahan sebesar Rp135,76 triliun, mendominasi 24,86% dari total portofolio kredit, dikuti Sektor Perdagangan sebesar Rp84,85 triliun dengan pangsa 15,53%. Sementara itu, kredit untuk Sektor Pertanian masih relatif kecil, yaitu hanya Rp8,40 triliun atau 1,54% dari total kredit yang disalurkan.
Grafik 4.17. Proporsi Kredit Sektoral
Kredit sektor lndustri Pengolahan di triwulan I 2017 tumbuh semakin melambat dari triwulan sebelumnya yakni dari -2,14% pada triwulan IV 2016 menjadi -9,61% di triwulan I 2017, sementara itu kinerja lapangan usaha industri pengolahan memang menurun namun masih relatif stabil. Hal ini mengindikasikan adanya sumber pendanaan lain bagi industri pengolahan. Sejalan dengan hal tersebut, informasi liaison menyebutkan bahwa pembiayaan perusahaan manufaktur lebih banyak berasal dari non-bank (parent
company) dengan proporsi rata-rata pembiayaan investasi sebesar 28,2% (bank) dan 71,70% (non bank) dan pembiayaan modal kerja 28,01% (bank) dan 71,99% (non bank). Dengan demikian, kinerja sektor industri pengolahan dapat tetap tumbuh meski laju pertumbuhan kredit industri manufaktur melambat, namun hal ini sekaligus mengimplikasikan adanya eksposure risiko nilai tukar yang lebih besar bagi industri pengolahan Jawa Barat disebabkan oleh rata-rata parent company yang berasal dari luar negeri.
106
Grafik 4.18 Kredit Industri Pengolahan
MEI 2017
Grafik 4.19 Kredit Sektor Perdagangan
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Sementara itu kredit di sektor perdagangan pada triwulan I 2017 relatif stabil atau hanya sedikit melambat dari 9,45% menjadi 9,22%. Hal ini juga terkonfirmasi dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen hasil Survei Konsumen Bank Indonesia menjadi 118,0 dari 109,4. Demikian halnya dengan kredit yang disalurkan pada sektor konstruksi yang mengalami perlambatan dari 16,39% menjadi 15,78%, sejalan dengan peningkatan kinerja lapangan usaha konstruksi yang tumbuh sebagai dampak akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan invetasi bangunan oleh sektor swasta. Dari sisi kualitas kredit, hampir seluruh sektor utama mengalami peningkatan rasio NPL, kecuali sektor Pertanian. Sementara itu, rasio NPL sektor utama Jawa Barat meningkat khususnya pada sektor industri pengolahan, yakni dari 4,80% menjadi 5,48%. Kenaikan NPL yang cukup signifikan ini terutama disebabkan oleh kenaikan NPL di subsektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau serta subsektor industri pengolahan elektronik. Berdasarkan focus group discussion yang dilakukan Bank Indonesia terhadap perbankan Jawa Barat, peningkatan rasio NPL sektor industri pengolahan antara lain dipengaruhi oleh pemburukan kinerja beberapa korporasi di sektor dimaksud.
Grafik 4.20 NPL dan Kredit Ind Pengolahan
Grafik 4.21 NPL dan Kredit Sektor Perdagangan
4.1.3.2 Penyaluran Kredit Menurut Kota/Kabupaten di Jawa Barat Secara spasial penyaluran kredit bank umum masih terkonsentrasi di 5 (lima) kabupaten/kota di Jawa Barat yang mencapai pangsa 61,18% dari total kredit yang disalurkan di Jawa Barat, yaitu meliputi Kabupaten Bekasi (18,39%), Kota Bandung (17,18%), Kabupaten Bogor (9,08%), Kabupaten Bandung (9,00%), dan Kabupaten Karawang (7,53%). Penyaluran kredit di Jawa Barat masih terkonsentrasi di kota/kabupaten lokasi kantor atau pabrik industri pengolahan dan perdagangan. Kelima daerah tersebut juga memiliki rasio NPL yang terjaga di bawah 5% kecuali untuk Kabupaten Bandung dengan NPL sebesar 5,77%. Sementara itu, beberapa daerah lain yang masih memiliki NPL di atas ambang batas 5% adalah Kabupaten Sukabumi (8,18%), Kabupaten Garut (7,06%), Kabupaten Tasikmalaya (5,70%) dan Kabupaten Subang (5,61%).
MEI 2017
107
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 4.22 Sebaran Kredit Kota/kabupaten
Grafik 4.23 NPL Kredit per Kota/Kab
4.1.4. Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) 4.1.4.1. Penyaluran Kredit UMKM di Jawa Barat Berbeda dengan penyaluran kredit secara umum, penyaluran kredit UMKM di Jawa Barat justru mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan IV 2016, dari 8,64% menjadi 9,36% dengan nominal sebesar Rp 117 triliun. Peningkatan terjadi seiring dengan suku bunga kredit UMKM yang turun yakni dari 13,88% menjadi 13,84%. Berdasarkan skala usahanya, kredit UMKM didominasi oleh usaha menengah yang mencapai Rp 50,11 triliun, dengan pangsa 46,83%, dIIIkuti skala usaha kecil sebesar Rp 29,57 triliun (pangsa 27,63%) dan skala usaha mikro sebesar Rp 27,33 triliun dengan pangsa 25,54%. Peningkatan pertumbuhan penyaluran kredit terjadi pada kelompok usaha mikro meningkat dari 10,33% menjadi 11,15%. Sementara penyaluran kredit untuk usaha kecil dan menengah tercatat melambat. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah debitur usaha mikro. Secara umum, kualitas kredit UMKM di Jawa Barat mengalami perbaikan dengan penurunan rasio NPL dari 6,33% menjadi 5,49%, meski demikian rasio tersebut telah melewati ambang batas 5% dan perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
108
Grafik 4.24 Perkembangan Kredit UMKM
Grafik 4.25 NPL Kredit UMKM
Penyaluran kredit UMKM mayoritas ditujukan untuk tiga sektor utama yakni Sektor Perdagangan (56,36%), lndustri Pengolahan (15,35%), dan Jasa Dunia Usaha (7,52%). Pertumbuhan kredit UMKM ke sektor Perdagangan Besar dan Eceran melambat dari 17,06% pada triwulan III 2016 menjadi 12,64%, demikian
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
pula sektor lndustri Pengolahan yang turut melambat dari 7,48% menjadi 6,99% dan sektor Jasa Dunia Usaha yang melambat dari 8,89% menjadi 5,86%.
Grafik 4.26. Proporsi Kredit UMKM
Bank Indonesia terus mendorong penyaluran kredit UMKM dengan menetapkan target proporsi kredit UMKM pada perbankan berdasarkan milestone tertentu. Pada tahun 2015, target yang ditetapkan Bank Indonesia adalah 5%, tahun 2016 sebesar 10%, tahun 2017 sebesar 15% dan minimal 20% di tahun 2018 (Peraturan Bank lndonesia No.14/12/PBl/2012). Selain itu, Bank Indonesia berupaya mendorong peningkatan kinerja kredit UMKM melalui penerbitan kebijakan insentif memperlonggar batas LFR (Loan to Funding Ratio) menjadi 94% per 1 Agustus 2015 bagi bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dengan kualitas kredit yang baik sesuai Peraturan Bank Indonesia No.17/11/PBl/2015.
4.1.4.2. Penyaluran Kredit UMKM Menurut Kabupaten/Kota Secara spasial 54,42% penyaluran kredi UMKM di Jawa Barat terkonsentrasi di 6 daerah, meliputi Kab Bekasi, Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bogor, Kab. Karawang dan Kota Bekasi. Peningkatan paling signifikan terjadi di kab Bekasi di mana share kredit UMKM yang sbelumnya 10.8% naik menjadi 18.6% (relatif terhadap kredit UMKM total se-Jawa Barat). Dari sisi kualitas kredit, mayoritas daerah utama penyaluran kredit UMKM tersebut memiliki rasio rasio NPL kredit UMKM di bawah 5%. Sementara itu, beberapa daerah lain yang masih memiliki NPL di atas ambang batas 5% adalah Kabupaten Sukabumi 109
(5,0%), Kota Bogor (5,1%), Kabupaten Bandung (5,2%), and Kabupaten Garut (7,7%).
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 4.27 Kredit UMKM Kota/kabupaten
Grafik 4.28 NPL Kedit UMKM per Kota/Kab
4.2. Asesmen Sektor Korporasi 4.2.1 Sumber-Sumber Kerentanan Sektor Korporasi Salah satu faktor yang dapat memberikan tekanan pada kinerja korporasi Jawa Barat khususnya sektor industri pengolahan adalah permintaan global atau demand negara mitra dagang. Pada triwulan I 2016,
demand Negara mitra dagang jawa Barat tercatat menurun. Ekspor luar negeri produk manufaktur yang memegang pangsa sekitar 99,5% terhadap total ekspor luar negeri Jawa Barat mengalami peningkatan pertumbuhan pada triwulan I 2017. Berdasarkan pangsanya, komoditas ekspor terbesar dari Jawa Barat adalah dari subkelompok Tekstil dan Produk Tekstil (23%), diikuti oleh Elektronik (15,9%), Mesin (8,9%), serta Kendaraan (8,5%). Pertumbuhan ekspor luar negeri produk manufaktur Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 16,7%, m,eningkat dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 5,3%. Sementara itu dari sisi negara tujuan, terlihat bahwa pertumbuhan ekspor Jawa Barat ke kawasan utama yakni Amerika Serikat, Eropa dan ASEAN mengalami secara konsisten terus mengalami peningkatan.
110
Grafik 4.29 Perkembangan Ekspor Manufaktur
Grafik 4.30 PMI Negara Mitra Dagang Utama
Permintaan domestik juga merupakan sumber tekanan pada kinerja korporasi manufaktur di Jawa Barat khususnya subsektor industri pengolahan makanan dan minuman yang banyak bertumpu pada konsumsi domestik. Di triwulan I 2017 ini, konsumsi rumah tangga tercatat meningkat. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam ditahan oleh masih meningkatnya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
dan kinerja ekspor luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari berlangsungnya sejumlah momen libur panjang selama triwulan I 2017 dan berlangsungnya Pilkada serentak yang dijadikan sebagai hari libur nasional. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy), mmeningkat dibandingkan laju pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,81%. Adapun laju pertumbuhan 2 (dua) komponen konsumsi rumah tangga utama yakni makanan dan minuman (7,00%) serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga (5,02%) mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Dari perkembangan hasil survei konsumen pada triwulan I 2017 dapat disimpulkan bahwa pemulihan keyakinan masyarakat umum masih berlangsung secara konsisten. Namun demikian, masyarakat masih cenderung menahan kegiatan konsumsi yang tidak mendesak serta ekspansi konsumsi melalui pengajuan pinjaman kepada perbankan dalam mengantisipasi uncertainty ke depannya.
Grafik 4.31 Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT
Grafik 4.32 Indeks Keyakinan Konsumen
4.2.2 Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia mengindikasikan adanya perlambatan peningkatan kinerja korporas di triwulan I 2017. Peningkatan kinerja korporasi tersebut tercermin dari peningkatan saldo bersih tertimbang realisasi kegiatan usaha menjadi 4,27 SBT, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar -1,18 SBT. Peningkatan realisasai kegiatan usaha tersebut terutama didorong meningkatnya kinerja korporasi manufaktur yang tercermin dari peningkatan indeks realisasi usaha dari -1,84% menjadi 4,41%. 111
Grafik 4.33 Perkembangan Kegiatan Usaha - SKDU
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Walaupun masih dibayangi dengan risiko perekonomian global serta kondisi permintaan domestik yang belum sepenuhnya pulih, namun konsumsi masyarakat yang masih cukup solid dan meningkatnya permintaan ekspor memberikan dampak positif pada kinerja keuangan korporasi di Jawa Barat, khususnya korporasi industri pengolahan yang memiliki share terbesar di Jawa Barat. lndikator kinerja keuangan korporasi yang diukur dari produktivitas, profitabilitas, solvabilitas, likuiditas dan Debt Equity Ratio (DER) korporasi industri pengolahan cenderung stabil3. Rentabilitas perusahaan yang dilihat dari rasio return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) cenderung stabil dari triwulan III 2016 ke triwulan IV 2016 sedangkan profit margin tercatat meningkat dari 6,94% menjadi 7,39%. Sementara itu, current ratio dan quick ratio yang menunjukkan likuiditas perusahaan juga tercatat stabil. Rasio solvabilitas jangka panjang yang ditunjukkan dengan solvability ratio dan debt to equity ratio menunjukkan peningkatan. Solvability ratio meningkat dari 1,97 menjadi 2,03 sedangkan debt to equity
ratio membaik dari semula 1,03 menjadi 0,97. Demikian halnya dengan, repayment capacity yang ditunjukkan dengan debt to service ratio yang membaik dari 1,62 menjadi 1,49. Sementara itu, wawancara liaison oleh Bank Indonesia kepada 39 (tiga puluh sembilan) perusahaan di Jawa Barat secara umum menyampaikan bahwa laju pertumbuhan penjualan domestik pada triwulan I 2017 stabil dibanding triwulan sebelumnya dengan likert scale dari 0,69 menjadi 0,70 pada triwulan I 2017. Kondisi penjualan domestic ini ditunjukkan oleh contact pada mayoritas sektor seperti industri pengolahan, perdagangan, pertanian, pengangkutan dan komunikasi, dan perhotelan. Sementara itu, kinerja penjualan ekspor pada triwulan I 2017 berdasarkan liasioan justru mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Perlambatan permintaan ekspor ini tercermin dari hasil liaison kepada pelaku usaha di Jawa Barat, di mana pada likert scale permintaan ekspor menurun dari 0,33 pada triwulan IV 2016 menjadi 0,10 pada triwulan I 2017.
112
Grafik 4.34 Likert scale Permintaan Domestik
Grafik 4.35 Likert Scale Penjualan Ekspor
4.2.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit secara umum di Jawa Barat, penyaluran kredit korporasi juga meningkat cukup menngembirakan dengan tumbuh sebesar 3,47% setelah pada triwulan sebelumnya 3
Data 16 korporasi Manufaktur Tbk di Jawa Barat, data terakhir per triwulan I 2016
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
tumbuh 2,97%. Dilihat dari jenisnya, peningkatan kredit korporasi terjadi utamanya pada kredit modal kerja yang meningkat dari 0,44% ke 1,37% (yoy) sementara kredit investasi tumbuh dari 7,30% menjadi 7,80%. Peningkatan kredit modal kerja dan kredit investasi korporasi menjadi sinyal ekspansi yang akan dilakukan korporasi di triwulan/tahun berikutnya. Peningkatan kredit korporasi diiringi dengan penurunan NPL dari 4,93% menjadi 4,59%. Baik NPL KI maupun KMK mengalami penurunan dimana NPL KMK kembali terjaga di level aman (di bawah 5%). Secara sektoral, peningkatan kredit korporasi terjadi pada mayoritas kredit sektor utama yakni perdagangan, jasa dunia usaha dan konstruksi, dengan kenaikan terbesar pada korporasi yang bergerak di bidang jasa dunia usaha. Namun kredit koporasi industrinpengolahan tercatat menurun dan masih kontraksi dari -3,78% menjadi -4,51% yoy. NPL kredit koporasi jasa dunia usaha dan konstruksi tercatat meningkat dan berada di atas 5% sedangkan NPL industri pengolahan menurun dan berada di bawah 5%.
Grafik 4.36 Perkembangan Kredit Korporasi
Grafik 4.37 Kredit Koporasi Sektor Utama
113 Grafik 4.38 NPL Kredit Korporasi
4.3. Asesmen Sektor Rumah Tangga 4.3.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Dalam suatu sistem keuangan, rumah tangga berperan baik sebagai pihak penyedia dana ( lender) maupun penerima pendanaan dari institusi keuangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan rumah tangga adalah tingkat pendapatan, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi, dan kondisi pembiayaan/kredit
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
oleh rumah tangga. Secara umum, tingkat pendapatan, tingkat pengangguran dan tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh kinerja perekonomian. Pada triwulan I 2017, kinerja perekonomian Jawa Barat mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Dari sisi penggunaan, komponen konsumsi rumah tangga masih menjadi motor pendorong utama pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan andil terbesar. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy), meningkat dibandingkan laju pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,81%. Terlepas dari berlalunya efek seasonal, secara umum daya beli masyarakat masih terjaga didukung oleh beberapa faktor yakni: (1) tingkat inflasi yang terkendali dan relatif rendah (inflasi periode Lebaran tahun 2016 merupakan yang terendah selama beberapa tahun terakhir); (2) berlanjutnya tren penguatan nilai tukar rupiah; (3) penurunan suku bunga kredit sebagai bentuk transmisi dari pelonggaran kebijakan moneter (penurunan suku bunga kebijakan); dan (4) kembali dilonggarkannya kebijakan LTV yang berlaku sejak Agustus 2016 dan. Selain itu, tren inflasi yang terkendali di tengah perkembangan harga tarif dasar listrik serta stimulus moneter berupa pelonggaran suku bunga kebijakan sejak awal tahun turut berkontribusi dalam menjaga optimisme rumah tangga untuk melakukan kegiatan konsumsi. Di sisi lain, untuk 6 bulan ke depan, membaiknya ekspektasi rumah tangga terhadap kondisi ekonomi terutama didorong oleh ekspektasi meningkatnya ketersediaan lapangan kerja. Hal ini menjadi faktor yang memperkecil kerentanan sektor rumah tangga dalam sektor keuangan di Jawa Barat.
Grafik 4.39. Persepsi Rumah Tangga Jawa Barat Terhadap Perkembangan Ekonomi Saat Ini
Grafik 4.40. Ekspektasi Rumah Tangga Jawa Barat Terhadap Kondisi Ekonomi 6 Bulan Mendatang
114 Berdasarkan hasil Survei Konsumen yang dilakukan oleh KPw BI Jawa Barat, peningkatan penghasilan rumah tangga pada triwulan I 2017 dialami oleh 37,22% responden sementara sebanyak 43,15% responden mengaku bahwa pendapatan mereka sama dengan 6 bulan yang lalu. Sisanya sebanyak 19,63% responden mengaku bahwa pendapatan mereka menurun dibanding 6 bulan yang lalu. Berdasarkan sektornya, persentase yang mengalami peningkatan pendapatan terbesar dialami oleh responden yang bekerja di sektor jasa keuangan dan asuransi (43%), dIIIkuti oleh sektor restoran & hotel (42%), jasa profesional (39%), jasa pendidikan (38%), dan perdagangan (36%). Di sisi lain, persentase yang mengalami penurunan pendapatan terbesar terjadi di sektor jasa kesehatan (29%). Meskipun demikian, persentase yang mengalami penurunan
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
penghasilan pada sektor tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan persentase responden yang mengalami peningkatan penghasilan.
Grafik 4.41. Perubahan Penghasilan Saat Ini Dibanding 6 Bulan yang Lalu
Sumber tekanan lainnya adalah potensi tekanan harga yang berdampak kepada penurunan daya beli masyarakat. Pada awal triwulan I 2017, rumah tangga di Jawa Barat menghadapi tekanan harga yang relatif tinggi secara triwulanan yang disebabkan oleh kenaikan beberapa administred prices seperti tarif dasar listrik, cukai rokok dan bahan bakan minyak. Pada triwulan II mendatang, tekanan harga diperkirakan bergerak dalam meningkat hingga akhir triwulan, di mana peningktan tekanan harga terbesar diperkirakan terjadi pada kelompok bahan makanan. Stabilisasi permintaan dan pasokan ke pasar pasca momentum Hari Raya serta berlanjutnya tren penguatan nilai tukar rupiah menjadi faktor utama yang meredam tekanan harga di triwulan II 2017 dan berpotensi meningkatkan daya beli rumah tangga.
4.3.2. Kinerja Keuangan Rumah Tangga Secara umum, alokasi penggunaan pendapatan rumah tangga ( disposable income) terbesar masih ditujukan untuk keperluan konsumsi. Pada triwulan I 2016, pengeluaran untuk konsumsi mencapai 64,5% terhadap total pengeluaran, meningkat dibanding triwulan sebelumnya dengan pangsa sebesar 63,6%. Selain itu, pangsa cicilan pinjaman juga sedikit meningkat dari 14,2% menjadi 14,3%. Peningkatan pada kedua segmen pengeluaran ini dIIIringi dengan penurunan pangsa pengeluaran untuk tabungan dari 22,3% menjadi 21,2%. Sejalan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri dan libur sekolah mendorong masyarakat meningkatkan pengeluaran konsumsi musimannya di mana pembiayaan untuk konsumsi ini selain berasal dari pendapatan pribadi juga bersumber dari pinjaman maupun mengambil dana dari tabungan pribadi. Apabila dilihat berdasarkan golongan pendapatannya, pangsa pengeluaran konsumsi terbesar dimiliki oleh kelompok rumah tangga golongan menengah ke bawah dengan pengeluaran bulanan >Rp 4 juta. Namun demikian, secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada porsi pengeluaran untuk konsumsi antar golongan. Diferensiasi pangsa tercermin pada cicilan pinjaman, di mana terlihat bahwa semakin besar pengeluaran bulanan rumah tangga maka semakin besar pula cicilan pinjamannya. Porsi pembayaran cicilan pinjaman terbesar adalah pada rumah tangga yang memiliki pengeluaran lebih dari Rp5 juta.
MEI 2017
115
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Grafik 4.42. Ekspektasi Perubahan Harga Oleh Rumah Tangga 3 Bulan Mendatang
Grafik 4.43. Ekspektasi Perubahan Harga 3 Bulan Mentang Berdasarkan Komoditas
Sementara itu jika dilihat dari perilaku berutang, terdapat penurunan risiko dari sisi kredit karena secara agregat terjadi penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki debt service ratio lebih dari 30% pendapatannya (DSR>30%). Pada triwulan I 2017, jumlah rumah tangga dengan DSR>30% turun sebesar 7,32% dibanding triwulan sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya rasio DSR pada kelompok rumah tangga dengan golongan pengeluaran di atas Rp4 juta. Institusi keuangan menilai bahwa rumah tangga dengan DSR>30% memiliki risiko yang tinggi dan berpotensi menjadi penyebab NPL (non performing loan). Di sisi lain, terjadi peningkatan risiko pada perilaku menabung. Hal ini tercermin dari bertambahnya persentase rumah tangga yang tidak menabung hingga 30,65% (qtq). Rumah tangga yang paling besar peningkatannya dalam hal tidak menabung adalah pada kelompok pendapatan Rp3,1 juta s.d. Rp4 juta. Rumah tangga yang tidak dapat menabung menimbulkan risiko pada stabilitas keuangan daerah karena berpotensi mengganggu likuiditas insitusi keuangan dari sisi penghimpunan dana.
Rp 1 - 2 jt 3.52% 2.59% 1.30% Rp 2,1 - 3 jt 4.26% 6.85% 2.78% Rp 3,1 - 4 jt 2.04% 5.93% 3.89% Rp 4,1 - 5 jt 0.56% 1.67% 3.52% > Rp 5 jt 1.11% 2.78% 3.33% Total 11.48% 19.81% 14.81%
MEI 2017
>30%
>20%-30%
14.63% 15.93% 7.96% 5.37% 2.96% 46.85%
>10%-20%
1.11% 2.04% 1.30% 0.56% 2.04% 7.04%
Triwulan I 2017 Tabungan >0-10%
TMP
Tabel 4.3. Dana Rumah Tangga Untuk Menabung dan Perubahannya Berdasarkan Tingkat Pengeluaran/Bulan Pengeluaran/ bulan
>30%
>20%-30%
>10%-20%
116
Triwulan I 2017 Debt Service Ratio (DSR) >0-10%
Pengeluaran/ bulan
Tabel 4.2. Dana Rumah Tangga Untuk Membayar Cicilan dan Perubahannya Berdasarkan Tingkat Pengeluaran/Bulan
TMB
Rp 1 - 2 jt 4.63% 2.59% 1.48% 1.67% 12.78% Rp 2,1 - 3 jt 10.56% 4.07% 3.70% 3.52% 10.00% Rp 3,1 - 4 jt 7.96% 4.44% 2.22% 2.78% 3.70% Rp 4,1 - 5 jt 4.26% 1.67% 1.85% 1.67% 2.22% > Rp 5 jt 6.85% 1.67% 1.11% 1.30% 1.30% Total 34.26% 14.44% 10.37% 10.93% 30.00%
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
40.00% -31.82% 0.00% 18.75% -43.75% -16.67%
50.00% 37.50% 133.33% -70.00% -31.25% -7.32%
-5.95% 16.22% 48.28% 52.63% 0.00% 13.96%
TMP : Tidak memiliki pinjaman *Perubahan triwulan I 2017 dibanding triwulan IV 2016 Sumber : Survei Konsumen KPw BI Jawa Barat, diolah
>30%
>30%
-12.50% -7.50% 14.29% -40.00% -40.00% -13.71%
>20%-30%
>20%-30%
171.43% 0.00% 10.00% -57.14% -40.00% 8.77%
>10%-20%
>10%-20%
Rp 1 - 2 jt Rp 2,1 - 3 jt Rp 3,1 - 4 jt Rp 4,1 - 5 jt > Rp 5 jt Total
>0-10%
>0-10%
TMP
Perubahan Tabungan* (qtq)
Pengeluaran/ bulan
Pengeluaran/ bulan
Perubahan DSR* (qtq)
TMB
Rp 1 - 2 jt Rp 2,1 - 3 jt Rp 3,1 - 4 jt Rp 4,1 - 5 jt > Rp 5 jt Total
-3.85% 5.56% 13.16% -25.81% -31.48% -8.87%
100.00% -29.03% 26.32% -35.71% -47.06% -11.36%
-11.11% -9.09% -7.69% 25.00% 0.00% -3.45%
-43.75% 0.00% 50.00% 80.00% -58.82% -11.94%
18.97% 31.71% 81.82% 33.33% 40.00% 30.65%
TMB : Tidak menabung *Perubahan triwulan I 2017 dibanding triwulan IV 2016 Sumber : Survei Konsumen KPw BI Jawa Barat, diolah
4.3.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Rumah Tangga Secara umum, kinerja kredit rumah tangga masih menunjukkan keyakinan konsumen dan repayment
capacity yang terjaga. Kredit Kepemilikan Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Kepemilikan RUmah (KPR) dan kredit multiguna mengalami peningkatan yang walau diiringi dengan kenaikan NPL namun masih dalam level terjaga. Penyaluran kredit untuk kepemilikan kendaraan bermotor terpantau meningkat di triwulan I 2017 dibandingkan dengan triwulan IV 2016 yakni dari 3,06% menjadi 3,74%. Peningkatan terutama terjadi pada kredit kepemilikan sepeda motor yang membaik dari -17,4% menjadi -12,15% meskipun masih kontraksi. Sementara kredit kepemilikan mobil melambat dari 12,06% menjadi 11,90% sejalan dengan melambatnya penjualan mobil di Jawa Barat. Sementara itu, NPL kredit kepemilikan kendaraan masih berada pada level yang cukup rendah yakni 1,26% dan sedikit menurun dibandingkan triwulan IV 2016.
117 Grafik 4.44 Perkembangan Kredit RT
Grafik 4.45 NPL Kredit RT
Penyaluran kredit kepemilikan rumah juga meningkat dengan tumbuh di angka 14,91% setelah pada triwulan IV 2016 tumbuh 14,70%. Peningkatan hanya terjadi pada kredit tipe rumah sedang (tumbuh dari 17.39% menjadi 18.86%). Sedangkan kredit tipe rumah kecil melambat cukup dalam dari 13,42% menjadi 6,17% dan kredit rumah besar melambat dari 7.28% menjadi 5,44% yoy. Meningkatnya kredit kepemilikan rumah dibayangi dengan meningkatnya NPL KPR dari 2,42% menjadi 2,73%. Namun dmikian NPL dimaksud masih dalam level terkendali. Kredit multiguna terpantau meningkat dari 4,27% menjadi 6,00%. Namun
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
demikian kenaikan multiguna diirngi dengan kenaikan NPL menjadi 1,22% namun masih dalam level terkendali. Secara umum, kinerja kredit rumah tangga masih menunjukkan keyakinan konsumen dan
repayment capacity yang terjaga.
Grafik 4.46 Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
118
MEI 2017
Grafik 4.47 Perkembangan Kredit Kepemilikan Rumah
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
BOKS 1 UPAYA BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN UMKM Bank Indonesia mempunyai tujuan utama yaitu terkait pengendalian inflasi terutama dari sisi supply. Berkenaan dengan hal tersebut, yang dapat dilakukan oleh Kantor Perwakilan adalah menjaga inflasi dari sisi
supply, yaitu memastikan ketersediaan pasokan bahan pangan terutama komoditas penyumbang inflasi. Untuk itu, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2016, KPw BI Provinsi Jabar telah melakukan pembinaan kebeberapa klaster, sebagai berikut: Tabel 4.1. Pengembangan Klaster Bank Indonesia Jawa Barat No
Komoditas Program Pengembangan Klaster
Lokasi
Tahun Dimulai
1
Paprika
Kec. Cisarua. Kab. Bandung Barat
2007
2
Cabai Merah
Kab. Garut
2011
3
Alas Kaki
Kec. Cibaduyut, Kota Bandung
2012
4
Sapi Potong
Kec. Purabaya, Kab. Sukabumi
2014
5
Sayuran
Kac. Pangalengan, Kab. Bandung
2014
6
Sapi Potong
Kec. Cikelet, Kab.Garut
2015
7
Sayuran
Kec. Lembang, Kab. Bandung Barat
2015
Selain melakukan pembinaan kepada klaster terpilih, Bank Indonesia juga melakukan pembinaan terhadap UMKM Unggulan di Jawa Barat untuk dikembangkan baik dari sisi produksi ataupun akses pasar. Pengembangan UMKM Unggulan tersebut dipilih berdasarkan tema/kriteria, antara lain: a. Daerah perbatasan/tertinggal; perbatasan representasi kedaulatan NKRI, meningkatkan penggunaan Rupiah melalui peningkatan perekonomian daerah b. Pemberdayaan perempuan; peran wanita dalam menentukan kesejahteraan keluarga dan dominasi TKI perempuan, meningkatkan partisipasi wanita dalam kegiatan produktif dan mengurangi pengiriman TKW
low skill ke LN c. Nelayan ; mengoptimalkan potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia d. Industri kreatif; keragaman budaya dan tingginya kreativitas anak bangsa merupakan potensi utk tumbuhnya industri kreatif kedepan, meningkatkan kontribusi ekonomi kreatif dalamm perekonomian e. Komoditi ekspor/subtitusi impor; menekan defisit neraca perdaganan berbasis pada komoditi ekspor/subtitusi impor, meningkatkan kemandirian ekonomi. Menindaklanjuti hal tersebut, KPw BI Jawa Barat memilih pengembangan UMKM Unggulan dengan kategori Pemilihan UMKM dengan kategori sebagaimana dimaksud dengan pertimbangan: 1. Hasil survey KPJU Unggulan tahun 2011, sektor sayuran di Kecamatan Cisarua masuk dalam kategori komoditas unggulan dengan indeks 3,8 yang merupakan nilai indeks tertinggi persektor;
MEI 2017
119
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
2. Merupakan komoditi ekspor karena hasil produknya (buncis, tomat) telah masuk akses pasar ke Singapura; 3. Sudah mempunyai kelompok tani, sehingga memudahkan proses penguatan/peningkatan kelembagaan (misal:koperasi) 4. Lokasi yang tidak terlalu jauh sehingga memudahkan untuk pelaksanaan monitoring. Gambar 4.1 Program dan Roadmap Pengembangan UMKM Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat Formulating activities & getting commitment
Implementing Local Economic Development
Expanding the effort measuring the impact
Phasing out : evaluating & monitoring
Bagan diatas adalah roadmap pengembangan UMKM yang terdiri atas 4 tahapan sesuai dengan arahan dari Kantor Pusat Bank Indonesia, dimana masing-masing bagian memiliki tahapan-tahapan kembali yang harus dicapai. Demikian penjelasannya: Tahap 1, Formulating Activities & Getting Commitment a.
Identifikasi potensi
b. Identifikasi program c.
Koordinasi dengan stakeholders
d. Asesmen, perumusan fokus program dan strategi LED e.
Pembagian peran dan mendapatkan komitmen stakeholders
f.
Menetapkan program dan ketentuan pendukung
Tahap 2, Implementing Local Economic Development a.
Pembentukan kelembagaan
b. Pendampingan dan pembinaan c.
Peningkatan kinerja usaha
d. Monev tahapan pelaksanaan LED 120
e.
Asesmen perluasan aktivitas LED
Tahap 3, Expanding the Effort measuring the impact a.
Pelaksanaan perluasan aktivitas LED Koordinasi kerjasama dan fasilitasi dalam rangka akses pasar dan akses pembiayaan.
b. Monitoring dan evaluasi perluasan aktivitas LED c.
Pengukuran hasil pengembangan
Tahap 4, Phasing out: evaluating & monitoring a.
Pengukuran hasil pengembangan
b. Phasing out ke Pemda c.
MEI 2017
Monitoring dan evaluasi oleh BI
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Terkait dengan peningkatan akses pasar dan akses pembiayaan menjadi salah satu indikator kemandirian bagi klaster, untuk itu Bank Indonesia terus berupaya melakukan pendampingan dan pemberian bantuan untuk menunjang peningkatan kedua hal tersebut. Upaya peningkatan akses pasar, antara lain: 1. Pembuatan kajian yang terkait dengan komoditas tersebut, untuk memberikan pedoman dasar pelaksanaan pengembangan klaster binaan; 2. Peningkatan produktifitas yang dibarengi dengan peningkatan kualitas produk. Hal ini dilakukan melalui pemberian bantuan: -
Bantuan teknis peralatan tepat guna, seperti rain shelter, mesin cuci sayuran, cultivator, sumur bor air tanah; dan
-
Bantuan pelatihan, seperti perencanaan keuangan, kelembagaan, pengawetan, dll
3. Pendampingan bagi klaster Terkait dengan peningkatan akses pembiayaan, beberapa upaya yang dilakukan antara lain: 1. Pembuatan kajian terkait dengan Value Chain Financing; 2. Pendampingan koordinasi antara klaster binaan dengan stakeholder lainnya. Tantangan Dalam Peningkatan Akses Pembiayaan Secara umum, tantangan atau kendala dalam rangka akses pembiayaan adalah penilaian dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya terhadap profil dari kelompok tani tersebut. Perbankan atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan, akan menilai secara detail kelengkapan dokumen-dokumen atau operasional produksi dari petani, hal ini terasa cukup memberatkan petani. Kendala dari sisi pembiayaan berkaitan dengan (1) kesenjangan skala (scale gap) yaitu besarnya pinjaman kredit yang diharapkan pelaku UMKM dan maksimal kebutuhan kredit mikro oleh bank yang relatif kecil; (2) kesenjangan perizinan (formalization gap) persyaratan formal bank seperti perizinan usaha, sertifikasi, pajak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan usaha; serta (3) kesenjangan informasi ( information gap) seperti informasi mengenai persyaratan dan prosedur bank. 121
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Gambar 4.2. Gap Antara Perbankan dengan UMKM
Program Kerja yang mendukung Pengembangan Klaster dan UMKM pada Triwulan IV-2016 di KPw BI Provinsi Jawa Barat 1. Pekerjaan Penelitian KPJU Unggulan UMKM Tahun 2016 yang bertujuan untuk mengklasifikasikan UMKM yang dikategorikan sebagai unggulan dan potensial unggulan dimulai dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat provinsi, telah selesai dilakukan. Kajian ini telah menghasilkan beberapa komoditas dan/atau potensi dari 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat. Hasil dari KPJU Unggulan UMKM ini juga telah didiseminasikan kepada stakeholder yaitu seluruh pemerintah kab/kota dan provinsi se-Jawa Barat, akademisi, perbankan, dan juga pengusaha yang dapat masing-masing pihak gunakan baik sebagai referensi ataupun masukan untuk pengambilan keputusan (contoh) pembuatan kebijakan untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan di suatu wilayah. 2. Pelaksanaan magang bagi kelompok ternak dari klaster sapi potong binaan KPwBI Jawa Barat, yaitu Kelompok Ternak Garu Harapan Jaya yang berasal dari Kecamatan Cikelet, Kab. Garut. Magang dilakukan di PT. Karya Anugerah Rumpin, Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. 3. Pemberian Bantuan PSBI kepada Kelompok Ternak Garu Harapan Jaya berupa Kandang Komunal
122
untuk Sapi Potong. Bantuan berupa kendang komunal ini bertujuan untuk selain menampung sapi dari anggota kelompok ternak, juga untuk melindungi sapi-sapi tersebut dari kondisi cuaca (panas/hujan). Selain kendang, juga terdapat bak penampungan kotoran sapi yang akan diolah untuk menghasilkan bio gas dan pupuk sehingga pengoperasian klaster sapi potong bisa dilakukan secara terintegrasi (integrated farming). 4. Rekrutmen WUBI (Wirausaha Bank Indonesia) 2016, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandiria, skill dan akses pasar, yang dapat dilakukan melalui kegiatan keikutsertaan WUBI dalam berbagai pameran atau pemberian pelatihan. Sampai dengan akhit TRIWULAN IV-2016 telah terpilih sebanyak 47 peserta calon WUBI (dari pendaftar awal sekitar 300 peserta) yang kemudian akan
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
dilakukan proses validasi lapangan kembali sebelum para peserta mengikuti boothcamp yang berencana dilakukan Maret 2017 mendatang. 5. Menyelenggarakan Pelatihan Edukasi Keuangan bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) dengan menggunakan modul Pelatihan Edukasi Keuangan untuk Calon TKI di BLKLN (Bank Indonesia, OJK, Kemnaker, BNP2TKI; 2016). Hal ini penting untuk meningkatkan skala dampak edukasi keuangan untuk CTKI. Pelatihan pengawetan produk olahan pangan yang diikuti oleh pelaku usaha UMKM melalui P3UKM Jawa Barat. Tujuan pelatihan untuk menjadikan produk hasil olahan pangan yang lebih awet dengan tetap mempertahankan sifat fisik (tekstur, warna) dan zat gizinya serta memperpanjang masa simpan. Selain itu pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka dalam menghadapi persaingan di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
123
MEI 2017
V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
5.1. Sistem Pembayaran Non Tunai 5.1.1 Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Pada triwulan I 2017, transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan, baik secara nominal maupun volume. Transaksi SKNBI di Jawa Barat yang secara total mencapai Rp 78,11 triliun tumbuh melambat menjadi -19,92% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 20,18% (yoy). Faktor utama yang menyebabkan perlambatan tersebut adalah adanya pemberlakuan ketentuan baru atas caping transaksi kliring menjadi Rp100 juta sejak 1 Juli 2016 di mana pada triwulan IV 2015 sempat berlaku caping sebesar Rp500 juta atau lebih besar. Sehingga terdapat base year effect yang menyebabkan pertumbuhan triwulan ini rendah. Namun demikian transaksi harian melalui SKNBI juga menurun dari Rp0,87 triliun menjadi Rp0,80 triliun per harinya. Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping transaksi kliring melalui SKNBI juga berdampak kepada melambatnya pertumbuhan volume transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat melambat dari 31,05% (yoy) menjadi -6,11% (yoy) pada triwulan I 2017 atau dari 2,17 juta transaksi menjadi 2,02 juta transaksi. Perlambatan
volume
transaksi
yang
relatif
tidak
sebesar
perlambatan
pada
nominal
transaksi
mengindikasikan perlambatan SKNBI memang lebih didorong oleh adanya base year effect karena perubahan kebijakan caping.
Grafik 5.1 Perkembangan SKNBI Nominal
Grafik 5.2 Perkembangan SKNBI - Volume
Dilihat dari spasialnya, transaksi kliring terutama terjadi di kota Bandung (48%), Kab. Bekasi (11%), Kota Bogor (11%), Cirebon (10%) dan Tasikmalaya (6%) (Grafik 5.3). Pola ini sesuai dengan karakteristik daerah-daerah tersebut relatif memiliki usaha kecil menengah lebih banyak dari daerah lainnya di Jawa Barat. Adapun dari pola transaksi kliring kredit dengan provinsi lain, selama triwulan IV 2016 Jawa Barat lebih besar dalam mengirimkan dana daripada menerima dana (net outgoing) dengan pengiriman t erkonsentrasi ke DKI Jakarta (82%) yang mengindikasikan penggunaan SKNBI untuk transaksi industri (Grafik 5.4). Selanjutnya, 16% pengiriman dana melalui SKNBI di Jawa Barat ditujukan untuk daerah Jawa Barat sendiri atau transaksi domestik. Diikuti
Grafik 5.3 Spasial Kliring
FEBRUARI 2017
123
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
dengan transaksi-transaksi menuju Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan seterusnya. Secara kawasan, pengiriman dana melalui SKNBI di Jawa Barat terkonsentrasi di kawasan Jawa. Dari sisi penerimaan dana melalui SKNBI, transaksi didominasi oleh transaksi domestik atau yang berasal dari Jawa Barat sendiri sebesar 54% (Grafik 5.5). Selanjutnya diikuti dengan pengiriman dari provinsi asal DKI Jakarta (33%). Hal ini semakin memperkuat indikasi hubungan ekonomi yang kuat antara Jawa Barat dengan DKI Jakarta. Sama halnya dengan pengiriman dana, transaksi penerimaan dana melalui SKNBI juga didominasi dari kawasan Jawa. Hal ini menunjukkan keterkaitan Jawa Barat yang lebih besar di inter regional Jawa dibandingkan antar regional.
Grafik 5.4 Provinsi Tujuan Kliring Jawa Barat
Grafik 5.5 Asal Provinsi Kliring ke Jawa Barat
5.1.2 Upaya Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran a. RTGS & SKNBI Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan sistem pembayaran di Jawa Barat, Bank Indonesia telah melakukan serangkaian upaya. Pada aspek infrastruktur, sejak triwulan IV 2016 telah dilakukan pemasangan dan operasionalisasi mesin pemrosesan warkat debit baru. Selain itu, dalam rangka meningkatkan pemahaman perbankan terhadap ketentuan Bank Indonesia, maka telah dilakukan sosialisasi ketentuan bilyet giro dan sistem pembayaran Bank Indonesia kepada perbankan di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat. b. KUPVA & PTD 124
Sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran yang melakukan fungsi perizinan dan pengawasan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat secara aktif selalu mendorong peningkatan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) di Jawa Barat menjadi KUPVA yang berizin. Upaya ini dilakukan melalui berbagai sosialisasi, diantaranya dilakukan di daerah Cianjur, Sukabumi dan Subang. Selain memberikan sosialisasi mengenai aturan bahwa dalam pelaksanaan usaha KUPVA harus memperoleh izin Bank Indonesia serta penjelasan tata cara perizinannya, penanggulangan terhadap KUPVA tidak berizin juga dilakukan melalui koordinasi dengan aparat kepolisian serta Pemerintah Daerah setempat. Hasil yang diperoleh cukup menggembirakan. Pada triwulan IV 2016 tercatat terdapat dua KUPVA telah mengajukan dan memperoleh izin dari Bank Indonesia. Sehingga saat ini tercatat
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
terdapat 16 KUPVA serta 5 Penyelenggara Transfer Dana (PTD) berizin di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat.
5.1.3 Perkembangan Inklusi Keuangan Jawa Barat Sebagai otoritas sistem pembayaran di Indonesia, salah satu peran Bank Indonesia adalah sebagai fasilitator pengembangan sistem pembayaran oleh industri. Pelaksanaan peran ini menjadi sangat strategi dalam rangka mendukung upaya pemerintah, Bank Indonesia maupun otoritas terkait lainnya dalam rangka peningkatan inklusi keuangan. Terkait inklusi keuangan, hal tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika setiap anggota masyarakat memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sharma (2010) dalam Index of
rasio jumlah rekening simpanan terhadap jumlah penduduk dewasa di suatu wilayah. Sementara itu dimensi of
diwakili oleh rasio jumlah kantor bank per 1.000 penduduk dewasa dan
jumlah volume kredit dan simpanan terhadap total produk domestik bruto (PDB atau PDRB) suatu wilayah.
125
FEBRUARI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Tabel 5.1. Rasio Penetrasi Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Kab/Kota
Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Barat
Rasio Jml Rasio Jml Rasio Jml Rasio Jml Rekening Rekening Rekening Rekening Simpanan per Simpanan per Tabungan per Tabungan per Penduduk Penduduk Penduduk Penduduk Dewasa Dewasa Dewasa (Tw Dewasa (Tw I (Maret '17) (Des'16) '17) IV '16) 0,45 0,45 0,46 0,46 0,55 0,55 0,56 0,55 0,61 0,62 0,62 0,63 0,67 0,68 0,68 0,70 0,61 0,63 0,62 0,64 0,56 0,58 0,57 0,59 0,78 0,79 0,79 0,80 0,98 0,96 0,99 0,97 0,58 0,60 0,59 0,61 0,60 0,63 0,61 0,64 0,74 0,74 0,75 0,75 0,77 0,78 0,78 0,79 0,71 0,71 0,72 0,72 0,96 0,96 0,98 0,98 0,84 0,82 0,85 0,83 1,05 1,03 1,08 1,05 0,16 0,16 0,16 0,16 1,91 1,83 2,01 1,93 3,25 3,13 3,32 3,20 2,17 2,11 2,32 2,25 3,48 3,32 3,60 3,44 1,03 1,01 1,08 1,06 1,00 0,96 1,04 1,00 2,42 2,59 2,48 2,65 1,54 1,50 1,57 1,53 1,14 1,04 1,16 1,06 0,89 0,88 0,91 0,91
Sumber: OJK KR 2 dan BPS Jawa Barat, diolah
Dari Tabel 5.1. di atas, terlihat bahwa secara umum penetrasi perbankan di Jawa Barat belum mencapai kondisi ideal, dimana setidaknya satu orang memiliki satu rekening atau dengan rasio sebesar 1,00. Dari seluruh kabupaten/kota (Kabupaten Pangandaran masih disatukan dengan Kabupaten Ciamis), hanya 126
terdapat sekitar 10 Kabupaten/kota dengan rasio lebih besar atau sama dengan 1,00. Namun demikian, terlihat banyak daerah yang mengalami peningkatan rasio tersebut, terutama di kota-kota pilot project bantuan sosial (bansos) non tunai Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) seperti pada Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kota Cirebon. Selain daerah tersebut, terdapat kabupaten lain yang mengalami peningkatan yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. Secara garis besar, dapat disimpulkan sementara bahwa uji coba program bansos non tunai membantu meningkatkan inklusi keuangan melalui aspek penetrasi perbankan kepada masyarakat.
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Tabel 5.2. Rasio Ketersediaan Layanan Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Kab/Kota Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Barat
Rasio Jml Kantor Bank/100.000 Penduduk Dewasa 8,62 9,92 9,61 15,13 11,10 11,55 15,01 14,14 10,55 13,26 16,10 13,05 13,83 15,38 15,21 14,79 2,66 35,98 36,73 49,54 59,17 21,72 18,18 26,99 20,77 25,00 16,49
Rasio Jml Kegiatan Layanan Kas/100.000 Penduduk Dewasa*) 34,65 17,94 21,29 26,61 16,90 16,22 14,08 21,15 19,11 20,56 25,82 22,69 27,58 49,46 53,26 66,10 5,50 151,87 127,69 173,58 206,23 135,78 94,13 77,81 56,69 78,69 52,79
Sumber: OJK KR 2 dan BPS Jawa Barat, diolah (Ket: *) mencakup ATM/ADM, Payment Point dan layanan kas keliling
Sementara itu, dari Tabel 5.2, terlihat bahwa ketersediaan layanan bank di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat pun relatif masih beragam dan masih relatif terpusat di perkotaan. Dari keseluruhan kabupaten/kota, rasio ketersediaan layanan di Kota Cirebon menempati peringkat paling tinggi diikuti oleh Kota Bandung dan Kota Bogor. Di sisi lain, peningkatan aspek ini perlu mendapat perhatian terutama di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Dalam rangka meningkatkan jangkauan bank tersebut, peningkatan program Layanan Keuangan Digital (LKD) dapat menjadi salah satu alternatif solusi.
127
5.1.4 Upaya Pengembangan Layanan Keuangan Non Tunai dan Elektronifikasi Upaya peningkatan inklusi keuangan di wilayah Jawa Barat terus dilakukan melalui berbagai bentuk. Salah satunya yang sedang diupayakan di tahun 2017 adalah mendukung implementasi integrasi penyaluran bansos secara non tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) menggunakan 1 (satu) akun pada kartu combo yang merupakan program Kementerian Sosial bekerjasama dengan berbagai instansi termasuk Bank Indonesia. Salah satu bentuk dukungan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat adalah melalui pelaksanaan edukasi bekerjasama dengan Dinas Sosial beberapa kota pilot project dan bank penyelenggara. Kegiatan edukasi tersebut diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Pendamping penerima bansos non tunai, serta Tenaga Kerja
FEBRUARI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Sosial Kecamatan (TKSK). Edukasi bertujuan untuk meningkatan awareness mengenai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dan Keuangan Inklusif, serta pengetahuan terhadap mekanisme penyaluran bansos itu sendiri. Melalui edukasi tersebut diharapkan masyarakat dapat mulai mengubah sikap bertransaksi yang sebelumnya terbiasa menggunakan tunai menjadi transaksi secara non tunai. Bentuk edukasi yang diberikan adalah
Training of Beneficiary (ToB) khusus kepada KPM, atau Training of Trainer (ToT) dengan harapan materi yang diterima dapat disampaikan kembali kepada keluarga, tetangga, atau masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing peserta. Selain itu, dalam rangka mendukung kesuksesan uji coba implementasi penyaluran bansos non tunai, KPw BI Provinsi Jawa Barat juga telah melakukan survei monitoring penyaluran bantuan di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Responden survei meliputi penerima bansos, pendamping, agen LKD, bank penyelenggara, serta Dinas Sosial setempat. Pergeseran kebudayaan masyarakat dari tunai menjadi non tunai merupakan suatu tantangan yang besar, namun dengan kerjasama antar pihak, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan baik yang tercermin dari perilaku masyarakat saat ini tidak lagi merasa aneh dengan transaksi menggunakan kartu kombo tersebut. Bahkan sebagian besar responden menyatakan bahwa penyaluran secara non tunai dirasa lebih menguntungkan bagi KPM karena penggunaan kartu yang mudah, agen bank yang terjangkau, serta waktu pencairan yang fleksibel dan cepat sehingga tidak menghabiskan sumber daya dari para KPM tersebut. Sementara terkait dengan rekomendasi model bisnis bantuan pemerintah secara non tunai pada sektor pendidikan melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), telah dilakukan edukasi kepada operator dan kepala sekolah dari beberapa sekolah pilot project pada tanggal 3 Maret 2017 lalu. Rencana model bisnis yang akan diterapkan pada prorgam BOS tersebut antara lain:
Operator melakukan penginputan data kebutuhan sekolah
Kepala sekolah menyetujui daftar kebutuhan yang telah diinput oleh operator
Melalui aplikasi mobile yang dimiliki oleh kepala sekolah, aplikasi tersebut akan menerbitkan barcode untuk kemudian akan dikirimkan kepada rekanan sekolah.
Barcode yang diterima oleh rekanan sekolah akan discan melalui aplikasi mobile khusus untuk rekanan. Setelah barcode di scan, akan muncul daftar kebutuhan operasional serta biaya yang dapat diakses oleh rekanan sekolah.
128
Di sisi lain, terkait pengembangan dan perluasan elektronifikasi di KPwDN khususnya di KpwBI Jawa Barat pada tahun 2017 antara lain mendorong perluasan elektronifikasi transaksi pemerintah, dalam hal ini transaksi penerimaan pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung. Elektronifikasi pada transaksi penerimaan Dishub Kota Bandung yaitu melalui penerimaan pada Terminal Parkir Elektronik (TPE), bis Trans Metro Bandung (TMB), bike sharig, serta uji kendaraan bermotor (KIR). Pengembangan Layanan Keuangan Digital melalui Pondok Pesantren juga telah dilakukan sejak tahun sebelumnya. Salah satunya yaitu pengembangan Layanan Keuangan Digital (LKD) di kawasan Pondok Pesantren Misbahunnur Cimahi. Elektronfikasi di kawasan pondok pesantren Misbahunnur melalui program LKD telah dilaksanakan dari akhir tahun 2016 dengan launching pada triwulan I 2017. Model bisnis yang dilakukan di kawasan ponpes yaitu memberlakukan elektronifikasi pada jajan santri dengan menggunakan
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
instrumen uang elektronik. Masing-masing santri akan mendapatkan satu kartu uang elektronik chip based yang telah diberikan data identitas diri pada bagian depan kartu. Pada akhir hari, kartu akan dikumpulkan ke masing-masing wali kelas untuk kemudian akan dilakukan top-up uang senilai uang yang disetujui oleh orang tua santri. kartu tersebut berikutnya dapat digunakan untuk bertransaksi di koperasi ponpes dan sepenuhnya akan menggunakan non tunai. Pada tahun 2017 akan dilakukan pengembangan model bisnis yang tidak hanya sebatas uang jajan santri. Pihak pengelola ponpes berencana untuk mengembangkan pembayaran seperti untuk PPOB yang dibuka kepada masyarakat umum. Target masyarakat yang dituju untuk tahap awal adalah peserta pengajian yang rutin dilaksanakan pada setiap minggu di ponpes tersebut. Berikutnya, tidak menutup kemungkinan penggunaan transaksi non tunai oleh masyarakat disekitar ponpes secara umum. Saat ini, sebagian besar transaksi di Pondok Pesantren tersebut telah dilakukan secara non tunai. Selain berbagai hal di atas, dalam rangka mendorong pengetahuan masyarakat terhadap manfaat penggunaan transaksi non tunai, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat aktif melakukan berbagai kegiatan edukasi. Pada triwulan laporan, telah dilaksanakan edukasi non tunai kepada pelajar, mahasiswa dan komunitas wanita Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Kabupaten Bandung Barat.
5.2. Pengelolaan Uang Rupiah 5.2.1 Penarikan dan Penyetoran Perbankan Pada triwulan I 2017, Jawa Barat kembali mengalami net inflow sebagaimana pola wilayah Jawa Barat yang lebih cenderung net intflow . Perputaran uang di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, net inflow yang dihasilkan lebih besar dibandingkan periode triwulan IV 2016 karena adanya efek seasonal awal tahun (d ropping anggaran negara, pembayaran pajak, dsb). Pada triwulan I 2017, inflow mencapai 21,5 triliun rupiah sedangkan
outflow sebesar 8,3 triliun sehingga terdapat net inflow sebesar 13,2 triliun.
129
Grafik 5.10 Penarikan dan Penyetoran Perbankan
Grafik 5.11 Pemusnahan UTLE
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat senantiasa memastikan ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat di wilayah kerja baik melalui kerjasama dengan perbankan maupun penyelenggaraan layanan kas keliling. Pada triwulan I tahun 2017, jumlah pemusnahan UTLE mengalami penurunan dari Rp
FEBRUARI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
8,03 triliun, menjadi Rp 7,69 triliun. Penurunan pemusnahan UTLE sejalan dengan menurunnya net inflow pada triwulan I 2017 serta komitmen Bank Indonesia dalam menjaga kelayakan uang beredar. Hingga triwulan I 2017, presentase pemusnahan terhadap net penyetoran mengalami penurunan. Perkembangan pemusnahan dilakukan sejalan dengan perkembangan net penyetoran.
5.2.2 Upaya Penyediaan Uang Layak Edar Dalam upaya penyediaan uang layak edar terlebih dahulu perlu diketahui kualiatas uang layak edar yang berada di masyarakat di wilayah kerja KPw BI Provinsi Jawa Barat, sehingga beberapa upaya yang dilakukan antara lain : 1. Melakukan survei dan analisa terhadap kondisi uang di ATM 2. Melakukan survei dan analisa terhadap kondisi uang di Masyarakat 3. Melakukan analisa terhadap hasil sortasi uang setoran bank Dari hasil analisa tersebut segera dapat diketahui kondisi uang yang beredar, sehingga beberapa upaya yang dilakukan oleh KPw BI Provinsi Jawa Barat dalam rangka penyediaan uang layak edar di masyarakat, adalah sebagai berikut: 1. Efektifitas Distribusi Uang Melakukan monitoring kecukupan stock uang layak edar secara harian dan bulanan terhadap posisi kas di masing-masing KPw BI di Depo Kas Bandung dengan mengacu pada posisi Kas Minimum yang telah ditetapkan DPU. Melakukan koordinasi dengan Kantor Pusat (DPU) dan KPw BI lainnya di wilayah koordinasi (Depo Kas Bandung) dan di luar wilayah koordinasi dalam rangka pemenuhan stock uang layak edar. Merealisasikan Estimasi Kecukupan Uang (EKU) sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh Departemen Pengelolaan Uang (DPU) termasuk memantau realisasi EKU terhadap KPw BI dibawah koordinasi. 2. Efektifitas Layanan Kas Upaya yang telah dilakukan terkait efektifitas kegiatan layanan kas dalam rangka meningkatkan kualitas uang beredar di masyarakat, antara lain : a. Layanan Penarikan Melakukan pembayaran uang ke perbankan dalam kondisi layak edar dengan cara mengutamakan pembayaran uang HCS dan ULE eks peredaran hasil sortasi dan meminimalkan
130
pembayaran menggunakan setoran bank ULE kecuali dalam keadaan mendesak. Melakukan pembayaran kepada nasabah dengan menggunakan uang layak edar dan termasuk dalam pengisian uang pada mesin ATM. b. Layanan Penyetoran Mengoptimalkan layanan Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) sebelum melaksanakan penyetoran uang ke Bank Indonesia untuk Uang Layak Edar (ULE) sedangkan untuk Uang Tidak layak Edar (UTLE) dihimbau kepada perbankan untuk segera disetorkan ke Bank Indonesia.
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Melakukan penerimaan setoran atau penukaran uang baik dari nasabahnya atau bukan, khususnya pada uang tidak layak edar (UTLE), uang rusak, uang ditarik/dicabut dari peredaran baik uang logam maupun uang kertas. Melakukan edukasi ke nasabahnya terkait dengan kualitas uang antara ULE dan UTLE dan bagaimana memperlakukan uang dengan baik sehingga uang yang didapat tetap terjaga kualitasnya. c. Layanan Penukaran Melakukan kerjasama dengan seluruh Bank Umum dengan 153 kantor cabang bank dan 22 BPR di wilayah kerja KPw. BI Prov. Jabar Untuk melayani penukaran kepada masyarakat dalam rangka memudahkan masyarakat memperoleh uang yang layak edar. Melakukan kerjasama dengan perbankan yang mempunyai mobil layanan kas untuk mendistribusikan uang HCS kepada masyarakat. Menghimbau kepada perbankan untuk menerima Uang Kertas (UK) dan Uang Logam (UL) tidak layak edar dari masyarakat dan menghimbau masyarakat untuk menggunakan transaksi uang elektronik. d. Layanan Kas Keliling Meningkatkan frekuensi dan jangkauan layanan kas keliling ke daerah-daerah yang masih banyak beredar uang yang lusuh, terutama ke pasar-pasar tradisional baik di dalam kota, luar kota maupun daerah remote area (daerah terpencil). Efektifitas pelaksanaan kegiatan kas keliling, diantaranya dilakukan dengan dengan : Membuat jadwal kegiatan kas keliling dan diinformasikan kepada media dan masyarakat, Menarik uang tidak layak edar di perbankan dengan kas keliling wholesale, Bekerjasama dengan PD. Pasar Bandung Bermartabat, Perbankan dan Mitra Kerja SP dalam melakukan kas keliling di pasar-pasar. Bekerjasama dengan Aprindo mengenai penukaran kepada minimarket diantaranya Alfamart, Indomart, Circle K, Yomart dan minimarket lainnya. e. Layanan Kas Titipan Dalam rangka mengoptimalkan layanan kas dan clean money policy, maka pada awal bulan November 2016 telah dilakukan pembukaan kas titipan di wilayah Kota Sukabumi, dan ditargetkan selambat-lambatnya pada bulan Mei 2017 sudah terbentuk lagi Kas Titipan di wilayah Kabupaten Subang. f. Kegiatan Lainnya Meningkatkan frekuensi edukasi CIKUR dan Cara Memperlakukan Uang dengan baik kepada masyarakat, perbankan dan instansi lainnya. Optimalisasi dalam penyebaran informasi Layanan Bank Indonesia melalui media cetak dan elektronik serta iklan layanan masyarakat. 3. Efektifitas Pengolahan Uang a. Meningkatkan kualitas uang dengan tetap memperhatikan soil level yang telah ditetapkan oleh DPU.
FEBRUARI 2017
131
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
b. Memantau jadwal service mesin secara berkala dan melaporkan segera kepada DPU jika mengalami kerusakan mesin. c. Melakukan pembinaan secara berkala kepada perbankan yang kualitas setorannya kurang baik. d. Melakukan pemusnahan uang sesuai dengan plafon yang telah ditetapkan DPU dan apabila melebihi dari plafon maka dilakukan koordinasi dengan DPU.
5.2.3 Temuan Uang yang Tidak Sesuai Dengan Ciri Keaslian Rupiah Sejalan dengan intensifikasi edukasi CIKUR (Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah) dan koordinasi dengan pihak yang berwenang, maka penemuan uang yang diragukan keasliannya mengalami kenaikan. Jumlah uang yang diragukan keasliannya di Jawa Barat yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan I 2017 sebesar 4.571 lembar (per Februari 2017), atau lebih tinggi dari temuan triwulan sebelumnya yang sebesar 2.734 lembar. Meningkatnya temuan uang yang diragukan keasliannya tidak terlepas dari edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah dan juga didukung oleh penguatan koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib mengenai penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya.
Grafik 5.12 Perkembangan Upal
5.2.4. Upaya Menekan peredaran uang palsu Dalam rangka menekan dan menanggulangi peredaran uang rupiah Palsu di wilayah kerja KPw 132
BI Provinsi Jawa Barat telah dilakukan beberapa upaya, antara lain : 1. Upaya Preventif antara lain dilakukan dengan cara : Meningkatkan frekuensi kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah dengan cara edukasi kepada Masyarakat Umum, Pedagang, Pegawai Perbankan, Pelajar, Mahasiswa, Pegawai Instansi Pemerintah/Swasta baik di dalam kota maupun di luar kota termasuk dan di pelosok daerah (termasuk daerah remote area) guna mempermudah masyarakat mengenali keaslian uang Rupiah Diterawang).
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Edukasi dimaksud dilakukan baik secara langsung yaitu bertatap muka) maupun melalui sarana media misalnya talkshow di radio, televisi, pembagian brosur, leaflet dan pemasangan baligo serta iklan layanan masyarakat. Menyelenggarakan Training for Trainers (workshop) bagi pegawai dari beberapa instansi penegak hukum seperti pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Melaksanakan pelatihan secara berjenjang & berkelanjutan kepada seluruh petugas kasir perbankan sampai ke level supervisor dan pimpinan bank serta meningkatkan kompetensi petugas kasir BI pasca penemuan uang palsu dan berkoordinasi dengan DHk untuk melakukan pembekalan hukum, sehingga petugas kasir mampu menjelaskan fungsinya sebagai fisrt line of defence. 2. Upaya Represif, antara lain : Bekerjasama dengan Kepolisian dalam mempercepat proses klarifikasi uang palsu maupun penyerahan bukti uang palsu sehingga dapat mempercepat proses sampai ke pengadilan. Menyediakan Saksi Ahli Uang Rupiah untuk proses di Kepolisian dan Pengadilan. Meningkatkan kerjasama dengan aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) untuk mendorong pengenaan sangkaan pasal dengan sanksi yang maksimal untuk memberikan efek jera bagi pelaku pemalsu uang Rupiah. 3. Upaya lainnya Melaporkan setiap kasus pemalsuan uang kepada Anggota Dewan Gubernur yang membidangi KPw BI Prov. Jabar telah melakukan pemetaan terhadap kasus uang rupiah palsu yang dilaporkan pihak kepolisian mulai dari bahan uang, tehnik cetak dan nomor seri dan data uang palsu tersebut telah kami petakan berdasarkan Kota/Kabupaten di Jawa Barat. Melakukan penginputan data ke dalam aplikasi BI-CAC (Bank Indonesia Counterfeit Analysis
Center) yang dapat membantu KPBI cq. Departemen Pengelolaan Uang (DPU) untuk melakukan analisis lebih lanjut. Melakukan rekonsiliasi data dengan aparat penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan terhadap kasus-kasus yang terjadi di Jawa Barat mulai dari pelaku, kronologi kejadian, persidangan sampai dengan putusan pengadilan.
FEBRUARI 2017
133
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
BOKS 2 MENGHADAPI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DI BIDANG KEUANGAN Dalam menjalankan tugas sebagai bank sentral, salah satu pilar tugas Bank Indonesia adalah menetapkan kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah yang kredibel dan proaktif. BI bertindak sebagai regulator serta sekaligus sebagai fasilitator khususnya terkait dengan sistem pembayaran. Sementara itu perkembangan di era teknologi telah memunculkan inovasi-inovasi di berbagai bidang, termasuk di sektor keuangan (financial technology). Financial technology (fintech) merupakan fenomena perpaduan antara teknologi dengan fitur keuangan yang mengubah model bisnis dan melemahnya barrier to entry dimana 56% dari startup bergerak dalam kategori payment, clearing, dan settlement. Fintech juga akan berdampingan dengan institusi keuangan konvensional dan tradisional, agar dapat mendorong peningkatan perputaran produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengan (UMKM) dengan tetap memperhatikan upaya mitigasi risiko stabilitas sistem keuangan dan perekonomian secara menyeluruh. Namun inovasi harus berada dalam koridor regulasi agar potensi risiko dapat diatasi dengan baik. Oleh melengkapi pesatnya terobosan teknologi di bidang keuangan dan perniagaan dengan tetap menjaga besarnya potensi positif yang seiring dengan risiko tinggi. Melalui edukasi dan sosialisasi ketentuan sistem pembayaran yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, diharapkan dapat mendukung perkembangan industri fintech di Jawa Barat yang tetap selaras dengan ketentuan serta memperhatikan aspek keamanan sistem pembayaran dan perlindungan konsumen. Model bisnis Fintech cenderung mereplikasi model bisnis lembaga keuangan formal namun dengan memberikan fleksibilitas dalam sisi regulasi yang lebih longgar apabila dibandingkan dengan lembaga keuangan formal. Hal ini merupakan salah satu daya tarik spesial yang mengakibatkan perkembangan fintech di masyarakat tumbuh dan berkembang dengan pesat. Disamping itu, terdapat pasar yang besar di Indonesia yang belum sepenuhnya tergarap oleh sektor keuangan formal. hal ini merupakan peluang besar 134
bagi Fintech untuk mengembangkan area cakupan transaksi. Kesulitan yang dihadapi oleh para perusahaan startup saat ini adalah regulasi yang semakin ketat untuk dapat memulai suatu aplikasi berbasis fintech. Walaupun demikian, Bank Indonesia Fintech Office (BI-FTO) yang telah diresmikan pada tanggal 14 November 2016 memiliki satu solusi yaitu melalui Regulatory
Sandbox. Sandbox adalah laboratorium uji terhadap produk inovatif dan sekaligus memfasilitasi pengembangan inovasi. Bagi perusahaan startup yang baru saja memulai startup di bidang Fintech, dapat mengajukan aplikasi dan mensubmit produknya ke BI-FTO untuk kemudian dilakukan evaluasi kelayakan oleh BI-FTO untuk dapat masuk kedalam regulatory sandbox.
MEI 2017
PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN
Setelah aplikasi diterima, perusahaan tersebut dapat menjalankan startup yang telah disusun dengan tetap memberikan laporan perkembangan secara periodik kepada BI-FTO. Apabila perkembangan startup dinilai baik dan pesat, BI-FTO kemudian akan menfasilitasi dan memberikan informasi kepada startup tersebut dan diarahkan untuk dapat mengurus perizinan formal kepada lembaga atau instansi terkait lain. Di sisi lain, startup tersebut akan hilang dengan sendirinya apabila perkembangan startup tidak sesuai dengan yang diharapkan atau apabila terjadi kemunduran. Kebijakan sandbox ini akan sangat membantu para perusahaan startup khususnya yang memiliki keterbatasan seperti keterbatasan modal awal namun tetap ingin mengembangkan aplikasi fintech yang telah dirintis sebelumnya.
135
FEBRUARI 2017
BAB VI
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Melambatnya kinerja perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 berdampak pada kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan pada triwulan laporan. Tingkat kemiskinan Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Pada September 2016, tingkat kemiskinan mencapai 8,77% dari total penduduk, atau sebanyak 4,17 juta jiwa. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Februari 2017 mencapai 60,65%, meningkat 0,31% dibandingkan Februari 2016. Namun, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Barat juga masih relatif tinggi. Selain memberikan konsekuensi pada tingkat kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran diindikasi berdampak pada meningkatnya ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan Jawa Barat yang diukur dengan Indeks Gini Ratio tahun 2016 masih relatif tinggi yakni berada pada kisaran 0,402.
6.1. KETENAGAKERJAAN Perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 menunjukkan kondisi perbaikan dibanding triwulan sebelumnya. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha, kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat yang tercermin dari indeks perkembangan penggunaan tenaga kerja menunjukkan peningkatan dengan perubahan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari triwulan IV 2016 sebesar -1,18 menjadi 4,27 SBT pada triwulan I 2017 (Grafik 6.1). Indeks perkembangan penggunaan tenaga kerja pada triwulan I 2017 menyebutkan bahwa penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha utama yakni industri pengolahan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kinerja industri pengolahan karena menguatnya permintaan global, selain itu tenaga kerja di lapangan usaha konstruksi juga mengalami peningkatan. Sejalan dengan melambatnya kinerja lapangan usaha perdagangan dan pertanian, SKDU juga menyebutkan bahwa penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha ini juga mengalami penurunan, masing-masing dari 0,21 SBT menjadi 0,00 SBT untuk pertanian dan 0,27 SBT menjadi 0,20 SBT untuk lapangan usaha perdagangan, hotel dan restauran. Kondisi peningkatan ketenagakerjaan diperkirakan masih berlanjut bahkan meningkat cukup signifikan pada triwulan II 2017 sesuai dengan indeks prakiraan perkembangan penggunaan tenaga kerja SKDU (Grafik 6.2). Hal ini sejalan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat di triwulan II 2017 yang diperkirakan meningkat terdorong oleh momen Ramadhan dan Lebaran.
136
Grafik 6. 1 Indeks Penggunaan Tenaga Kerja Sumber: Survei Bank Indonesia
FEBRUARI 2017
Grafik 6. 2 Indeks Penggunaan Tenaga Kerja (Prakiraan) Sumber: Survei Bank Indonesia
Potensi pasokan tenaga kerja Jawa Barat yang tersedia pada triwulan laporan mengalami peningkatan, tercermin dari jumlah penduduk usia kerja Jawa Barat pada Februari 2017 yang mengalami peningkatan dibandingkan Agutsus 2015. Pada Februari 2017 jumlah penduduk usia kerja atau usia produktif Jawa Barat sebesar 34,75 juta orang, atau meningkat 1,85% dibandingkan dengan Februari 2016 yang berjumlah 33,79 juta orang (Tabel 6.1). Potensi tenaga kerja di Jawa Barat masih sangat banyak jika dilihat dalam hal kuantitas penduduk usia produktif. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang meningkat, jumlah penduduk yang menjadi angkatan kerja juga mengalami peningkatan di triwulan laporan. Jumlah angkatan kerja meningkat 2,37% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari 20,59 juta orang menjadi sebanyak 21,08 juta orang. Tabel 6.1 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama (Juta Orang) Jenis Kegiatan Bekerja Pengangguran Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya Bukan Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Total Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Setengah Penganggur Terpaksa (Setengah Penganggur) Setengah Penganggur Sukarela (Pekerja Paruh Waktu) Total Setengah Penganggur (Pekerja Tak Penuh)
2015 Februari 19,230,943 1,775,196 21,006,139 2,953,193 7,828,307 1,677,761 12,459,207 8.45 62.77 33,465,346 1,560,496 3,245,480 4,805,976
2016 Februari 18,791,482 1,794,874 20,586,356 3,090,504 8,555,422 1,885,201 13,351,127 8.72 60.34 34,117,483 1,562,538 2,791,570 4,354,108
2017 Februari 19,202,038 1,873,861 21,075,899 3,136,149 8,725,263 1,810,007 13,671,419 8.89 60.65 34,747,318 1,187,558 2,575,374 3,762,932
Tingkat pengangguran Jawa Barat per Februari 2017 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2017, dari 21,08 juta angkatan kerja, 1,87 juta diantaranya masih dalam posisi mencari pekerjaan atau menganggur (belum diserap oleh pasar kerja), angka ini meningkat 4,40% dari Februari 2016. Dalam setahun terakhir, jumlah angkatan kerja bertambah sekitar 489 ribu orang, jumlah penduduk bekerja bertambah sekitar 410 ribu orang dan jumlah penganggur bertambah sekitar 78 ribu orang. Presentase kenaikan jumlah penganggur ini lebih besar daripada kenaikan jumlah angkatan kerja yang bekerja.
137
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Februari 2017 juga mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. TPAK, yang mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi, mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Berdasarkan hasil Sakernas bulan Februari 2017, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Provinsi Jawa Barat diperkirakan sebesar 64,43%. Jika dibandingkan dengan Februari 2016 yang sebesar 66,08%, terjadi penurunan TPAK sebesar 1,65 %. Penurunan TPAK menunjukkan adanya peningkatan TPT. Dalam setahun terakhir, TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) naik sebesar 0,17% dari 8,40% menjadi 8,57%. TPT pada Februari 2017 sebesar 8,57% artinya, dari 100 orang angkatan kerja, sekitar 9 orang diantaranya tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan usaha. Pada
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Februari 2017, TPT terendah ada pada penduduk dengan jenjang pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 6,05%, sementara TPT tertinggi pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 14,30%. Dalam setahun terakhir, TPT pada jenjang pendidikan SMK, Diploma dan Universitas mengalami kenaikan, jenjang pendidikan lainnya mengalami penurunan (Tabel 6.2). Tabel 6.2 Jenjang Pendidikan TPK Pendidikan Tertinggi yang
TPT (%)
TPT (%)
Ditamatkan
Februari 2016
Februari 2017
SD Kebawah
6,34
6,05
Sekolah Menengah Pertama
10,77
10,30
Sekolah Menengah Atas
11,54
8,91
Sekolah Menengah Kejuruan
11,67
14,30
Diploma I/II/III
5,50
8,33
Universitas
4,71
8,39
Total
8,72
8,89
Latar belakang pendidikan penduduk yang bekerja di Jawa Barat masih didominasi oleh jenjang pendidikan rendah (SMP kebawah), namun jenjang pendidikan menengah mengalami kenaikan proporsi dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Februari 2017, jumlah penduduk yang bekerja dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah tercatat sebanyak 12,41 juta orang atau menurun dibandingkan Februari 2016 yang tercatat sebanyak 12,97 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja dengan tingkat pendidikan menengah (SMA) tercatat sebanyak 5,71 juta orang atau meningkat dibandingkan Februari 2016 yang tercatat sebanyak 5,28 juta orang. Sementara itu, jumlah penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi (Diploma dan Universitas) tercatat sebanyak 2,16 juta orang, sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya sebesar 2,21 juta orang (Tabel 6.3). Hal ini menandakan bahwa ketersediaan jumlah tenaga kerja dengan keterampilan yang lebih tinggi (pendidikan menengah) di Jawa Barat pada tahun 2016 telah mengalami peningkatan. Tabel 6.3 Jumlah Penduduk Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan (Juta Orang) 138
Tahun
Feb 6
Feb 7
Pendidikan Rendah
Menengah
Tinggi
12,97
5,28
2,21
(63,41%)
(25,79%)
(10,80%)
12,41
5,71
2,16
(61,18%)
(28,15%)
(10,67%)
Secara umum, komposisi jumlah penduduk bekerja menurut jam kerja perminggu tidak mengalami perubahan. Jumlah pekerja penuh waktu Jawa Barat sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sejalan dengan kinerja ekonomi Jawa Barat triwulan IV 2016 yang
FEBRUARI 2017
melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, jumlah pekerja berwaktu penuh Jawa Barat per Februari 2017 tercatat sebanyak 15,48 juta orang atau menurun dibandingkan dengan Februari 2016 yang tercatat sebanyak 16,04 juta orang. Penyerapan tenaga kerja Jawa Barat pada periode laporan sebesar 76,32% merupakan pekerja berwaktu penuh (full time worker), yaitu penduduk yang bekerja pada kelompok 35 jam ke atas per minggu. Sementara untuk jumlah pekerja berwaktu tidak penuh mengalami peningkatan, yaitu dari 4,41 juta menjadi 4,80 juta orang pada periode yang sama (Tabel 6.4). Tabel 6.4 Klasifikasi Penduduk Bekerja (Juta Orang) Feb 2016
Feb 2017
Penduduk yang Bekerja Jumlah
%
Jumlah
%
4,41
21,58
4,80
23,68
Setengah penganggur
1,54
7,55
1,72
8,49
Pekerja paruh waktu
2,87
14,03
3,08
15,19
16,04
78,42
15,48
76,32
20,46
100,00
20,28
100,00
Pekerja tidak penuh
Pekerja penuh Total
Struktur lapangan pekerjaan tidak mengalami perubahan. Sektor Perdagangan masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Pada Februari 2017, lapangan usaha tersebut menyerap tenaga kerja sebesar 5,10 juta orang atau 28,58% dari total penduduk yang bekerja di Jawa Barat. Penyerapan tenaga kerja di lapangan usaha perdagangan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya yang sebesar 25,26% (Tabel 6.5). Namun demikian, jumlah penduduk yang bekerja di lapangan usaha pertanian dan industri pengolahan mengalami penurunan cukup dalam. Penyerapan pekerja di lapangan usaha pertanian menurun dari 20,37% menjadi 17,47% pada Februari 2017. Demikian halnya dengan pekerja di lapangan usaha industri pengolahan yang menurun dari 20,88% menjadi 19,64%. Tabel 6.5 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha (Juta Orang)
Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Perburuan Industri Konstruksi Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi TOTAL
2015 Februari 3.85 (19,8%) 4.01 (20,61%) 1.57 (8,07%) 5.09 (26,18%) 19.44 100%
2016 Februari 4.17 (20,37%) 4.27 (20,88%) 1.45 (7,10%) 5.17 (25,26%) 20.46 100%
2017 Februari 3.54 (17,47%) 3.98 (19,64%) 1.41 (6,98%) 5.79 (28,58%) 20.28 100%
139
Dari aspek ketenagakerjaan, sebaran penyerapan tenaga kerja tidak sejalan dengan distribusi pada PDRB berdasarkan lapangan usaha, pangsa PDRB Jawa Barat terpusat di lapangan usaha industri pengolahan
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
(42,91%), lalu diikuti oleh lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran (18,39%), dan lapangan usaha transportasi, pergudangan dan informasi (8,58%). Hal ini menjadi indikasi awal dari distribusi pendapatan yang kurang merata, di mana sektor industri pengolahan dengan pangsa terbesar hanya menyerap 17.47% tenaga kerja. Sementara sektor perdagangan yang menyerap 28,58% tenaga kerja memiliki pangsa PDRB yang relatif jauh lebih kecil sebesar 17,32%. Kemudian lapangan usaha konstruksi sebagai lapangan usaha terbesar ketiga justru hanya menyerap 6,98% tenaga kerja, sebaliknya pertanian dengan serapan tenaga kerja sebanyak 17,47% justru hanya memiliki pangsa PDRB sebesar 6,78% (Tabel 6.6). Jenis pendidikan dalam rangka mempersiapkan sumber daya angkatan kerja di Jawa Barat perlu memperhatikan struktur lapangan usaha Jawa Barat yang lebih terkonsentrasi pada lapangan usaha sekunder seperti industri pengolahan dan perdagangan serta pergeseran yang cukup cepat ke arah lapangan usaha tersier seperti informasi dan komunikasi. Tabel 6.6 Perbandingan Kinerja lapangan Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerjanya
Lapangan Perkerjaan Utama Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Pertambagan dan Penggalian Industri Pengolahan Penyediaan Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi, Pergudangan dan Informasi Keuangan, Real Estate, Usaha Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Lainnya TOTAL
Tenaga Kerja Jumlah 3,542,464 132,939 3,982,044 105,856 1,414,388 5,794,509 1,011,942 792,612 3,500,344 20,277,112
PDRB ADHB Tw I 2017 Pangsa (%) Nominal (T) Pangsa (%) 17.47 28.61 6.78 0.66 6.83 1.62 19.64 180.42 42.91 0.52 3.68 0.87 6.98 35.98 8.56 28.58 77.34 18.39 4.99 36.06 8.58 3.91 18.05 7.29 17.26 33.6 7.99 100 420.48 100
Jenis pekerjaan yang dominan pada Februari 2017 adalah kelompok orang yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebesar 45,76%. Meski demikian, secara agregat penduduk bekerja di jawa Barat lebih banyak terjun ke sektor informal. Data pada bulan Februari 2017 mencatat jumlah pekerja sektor formal Jawa Barat sebanyak 9,92 juta orang atau 48,92% sedangkan pekerja di sektor informal sebesar 10,36 juta atau 51,08% (Tabel 6.7). Jumlah pekerja di sektor formal mengalami pengingkatan dari periode Februari 2016 sebesar 47,92% sedangkan pekerja di sektor formal mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar 140
52,08%. Tabel 6.7 Penduduk Bekerja Menurut Status Kegiatan Pekerja (Juta Orang)
Kegiatan Pekerjaan Utama Formal Informal
Februari 2016 Jumlah % 9.8 47,92 10.65 52,08
Februari 2017 Jumlah % 9.92 48,92 10.36 51,08
Pada triwulan I 2017, konsumen telah memandang kondisi ketenagakerjaan Jawa Barat triwulan I 2017 lebih baik dibandingkan dengan triwulan IV 2016. Hal tersebut tercermin dari hasil survei konsumen di Jawa Barat yang menunjukkan bahwa tingkat keyakinan konsumen Jawa Barat terhadap kondisi ketersediaan lapangan
FEBRUARI 2017
pekerjaan saat ini meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Indeks keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada triwulan I 2017 meningkat dari 93,66 menjadi 94,60. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan tingkat keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan saat ini. Hal ini merupakan sinyal positif bahwa kondisi ketenagakerjaan di triwulan I 2017 sudah lebih baik.
Grafik 6.3 Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan Penghasilan Saat Ini Sumber: Survei Bank Indonesia
Grafik 6.4 Indeks Ekspektasi Ketenagakerjaan, dan Penghasilan Saat Ini Sumber: Survei Bank Indonesia
Pada triwulan II 2017, konsumen masihmemandang optimis ketersediaan lapangan pekerjaan, konsumen meyakini adanya peningkatan kondisi ketenagakerjaan yang akan datang. Berdasarkan hasil survei konsumen di Jawa Barat, pandangan konsumen melihat kondisi lapangan kerja yang akan datang meningkat. Hal ini terlihat dari indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja yang meningkat menjadi 125,43 dari sebelumnya 118,41. Peningkatan ekspektasi ketersediaan lapangan pekerjaan tersebut diindikasi sebagai dampak keyakinan konsumen atas peningkatan kondisi ekonomi di triwulan II 2017 yang didorong oleh membaiknya permintaan global dan domestik sebagai dampak Ramadhan dan Lebaran.
6.2 NILAI TUKAR PETANI Pertumbuhan tahunan Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2016 sejalan dengan perlambatan kinerja pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan laporan. Lapangan usaha tersebut pada triwulan laporan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 5,75% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan lalu yang tercatat sebesar 9,39% (yoy). Sementara itu NTP pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 98,67% atau melambat -2,73% (yoy) dibandingkan NTP triwulan sebelumnya yang tumbuh -1,70% (yoy) (Grafik 6.5). Perlambatan pertumbuhan NTP ini merupakan indikasi kesejahteraan petani mengalami penurunan akibat turunnya daya beli petani di pedesaan. Hal ini tercermin dari indeks yang diterima petani melambat lebih dalam dibandingkan dengan indeks yang dibayar petani. Perlambatan NTP tersebut juga dapat disebabkan oleh berkurangnya panen dan pada triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan NTP Jawa Barat pada triwulan I 2017 didorong oleh perlambatan NTP pada sub lapangan usaha tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat dan peternakan. Sedangkan NTP sub lapangan usaha hortikultura dan perikanan meningkat pada triwulan I 2017. Sub lapangan usaha yang mengalami perlambatan NTP paling besar adalah sub lapangan usaha tanaman perkebunan rakyat yang melambat dari
FEBRUARI 2017
141
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
4,01% menjadi -0,47%, perlambatan NTP Tanaman perkebunan rakyat ini diindikasi terjadi pada tanaman teh dan karet yang mengalami penurunan produksi pada triwulan I 2017 akibat rusaknya areal perkebunan teh di beberapa wilayah serta berkurangnya produktivitas karet akibat reproduksi karet per pohon yang sudah berkurang atau bahkan habis (Grafik 6.6). Penurunan selanjutnya terjadi pada sub lapangan usaha tanaman pangan yang melambat sebesar -10,10% setelah sebelumnya tumbuh -8,07%. Hal ini sejalan dengan berlalunya panen raya padi yang terjadi pada triwulan III dan IV 2016 sehingga menyebabkan berkurangnya produksi padi. Perlambatan selanjutnya terjadi pada sub lapangan usaha peternakan yang tumbuh 1,45%, melambat dibandingkan pertumbuhan indeks triwulan sebelumnya pada 1,76% yang terindikasi disebabkan berkurangnya produksi ayam ras di beberapa peternakan. Sementara itu, NTP sub lapangan usaha hortikultura meningkat dari 4,33% menjadi 6,37% (yoy). Peningkatan ini terjadi seiring dengan kenaikan harga yang sangat signifikan pada tanaman cabai rawit. Selanjutnya kenaikan juga terjadi pada pertumbuhan NTP perikanan yang tumbuh dari 0,64% menjadi 1,52% (yoy). Kondisi La Nina lemah pada triwulan I 2017 disinyalir justru berdampak positif pada produksi perikanan khususnya di daerah Cirebon.
Grafik 6.5 NTP Jawa Barat dan Komponen Penyusunnya
Grafik 6.6 NTP Berdasarkan Subsektor di Jawa Barat
Indeks yang diterima petani (IT) pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 0,91%, melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 2,13% (yoy). Perlambatan tersebut terutama didorong oleh perlambatan pertumbuhan indeks yang diterima untuk sub lapangan usaha tanaman pangan, tanaman 142
perkebunan rakyat dan peternakan. Indeks yang diterima untuk sub lapangan usaha tanaman pangan pada triwulan I 2017 tercatat terkontraksi sebesar -6,15%, melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar -3,99%. Kemudian IT sub lapangan usaha tanaman rakyat dan peternakan melambat masing-masing dari 7,65%menjadi 2,93% (yoy) untuk tanaman perkebunan rakyat dan 4,78% menjadi 4,03% (yoy) untuk sub lapangan usaha peternakan (Grafik 6.7). Sementara itu, indeks yang diterima petani untuk subsektor hortikultura dan perikanan mengalami peningkatan pertumbuhan. Selain melambatnya indeks yang diterima petani, indeks yang dibayar petani (IB) juga tercatat melambat namun tidak sedalam perlambatan pada IT. Indeks yang dibayar petani pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 3,77%, melambat dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 3,90% (Grafik 6.8). Perlambatan indeks ini terjadi pada seluruh sub lapangan usaha. Namun demikian, perlambatan pada sub lapangan usaha
FEBRUARI 2017
tanaman pangan dan tanaman perkebunan rakyat tercatat yang paling kecil. Dengan kondisi indeks yang diterima petani tanaman pangan dan tanaman perkebunan rakyat melambat paling dalam sedangkan perlambatan pada indeks yang dibayar pada sub lapangan usaha ini hanya kecil, maka nilai tukar petani untuk kedua sub lapangan usaha ini tercatat menurun paling signifikan dibandingkan sub lapangan usaha yan lain. Hal ini mengindikasikan kesejahteraan petani tanaman pangan dan tanaman perkebunan rakyat yang paling signifikan menurun pada triwulan I 2017.
Grafik 6.7 Indeks yang Diterima Petani Jawa Barat
Grafik 6.8 Indeks yang Dibayar Petani Jawa Barat
Kemampuan produksi petani pada periode laporan tercatat mengalami penurunan. Kemampuan produksi petani yang tercermin dari Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar -1,07%, melambat dibandingkan pertumbuhan di triwulan IV 2016 sebesar -0,13% (yoy) atau dengan nilai indeks sebesar 113,67% (Grafik 6.9). Perlambatan NTUP pada triwulan laporan terjadi pada sub lapangan usaha tanaman perkebunan rakyat dan tanaman pangan. Hal ini sejalan dengan berlalunya masa panen raya untuktanaman pangan yang masih bersifat seasonal serta terjadinya kerusakan lahan pada perkebunan teh dan menurunnya produksi karet akibat lambatnya reproduksi. Sementaraitu, NTUP sub lapangan usaha hortikultura, peternakan dan perikanan tumbuh meningkat. Adanya peningkatan signifikan pada indeks yang diterima petani (IT) sub lapangan usaha holtikultura sementara indeks yang dibayar (IB) mengalami penurunan, menyebabkan petani di subsektor holtikultura mendapatkan insentif dalam meningkatkan produksinya. 143
Grafik 6.9 Nilai Tukar Usaha Petani Jawa Barat
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
6.3 KESEJAHTERAAN Angka kemiskinan Jawa Barat pada September 2016 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan tersebut terutama didorong oleh penurunan angka kemiskinan yang ada di kawasan pedesaan Jawa Barat. Tingkat kemiskinan Jawa Barat per September 2016 tercatat sebanyak 4.170 ribu jiwa atau 8,77% dari jumlah penduduk Jawa Barat, menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang berjumlah 4.562 ribu jiwa atau 9,58% dari jumlah penduduk. Penurunan jumlah penduduk miskin tersebut terutama didorong oleh penurunan jumlah penduduk miskin yang berada di pedesaan, dari 2.790 ribu jiwa pada September 2015 menjadi 2.716 ribu pada September 2016. Di sisi lain, jumlah penduduk miskin yang ada di perkotaan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dari 1.772 ribu jiwa pada September 2015 menjadi 1.790 ribu pada September 2016. Dibandingkan dengan kondisi di bulan Maret 2016, angka kemiskinan Jawa Barat pada September 2016 juga mengalami penurunan sebesar 0,18%, yang terutama didorong oleh penurunan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan. Apabila dibandingkan dengan periode Maret 2016, jumlah penduduk miskin di perkotaan turun sebesar 2,59% atau setara dengan 48 ribu orang. Sementara di pedesaan, jumlah penduduk miskin turun sebesar 0,86% atau setara dengan 24 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2016 mencapai 2.716 ribu jiwa sedangkan di perkotaan mencapai 1.790 ribu jiwa atau memiliki porsi sekitar 40% dari total penduduk miskin di Jawa Barat. Tingkat kemiskinan Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Februari 2017 mencapai 60,65%, meningkat 0,31 % dibandingkan Februari 2016. Namun, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Barat juga masih relatif tinggi. TPT Februari 2017 tercatat 8,89%, lebih tinggi 0,17% dibandingkan TPT Februari 2016. Jumlah setengah penganggur (orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih relatif tinggi, Februari 2017 mencapai 6,18% penduduk bekerja. Selain memberikan konsekuensi pada tingkat kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran akan berdampak pada meningkatnya ketimpangan pendapatan Ketimpangan pendapatan Jawa Barat, yang diukur dengan indeks gini ratio tahun 2016 masih relatif tinggi yakni berada pada kisaran 0,402 (Grafik 6.10).
144
Grafik 6.10 Perkembangan Indikator Kesejahteraan Jawa Barat
FEBRUARI 2017
Pada bulan September 2016 gini ratio Jawa Barat mengalami penurunan dibandingkan September 2015 (0,426). Gini ratio pada September 2016 tercatat sebesar 0,402 atau masih terjadi ketimpangan sedang antar pendapatan penduduk di Jawa Barat. Tingginya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan di suatu wilayah tidak terlepas dari strategi pembangunan yang diterapkan. Namun demikian, sebuah provinsi dengan penopang perekonomian utamanya adalah industri pengolahan akan cenderung memiliki gini ratio tang lebih tinggi daripada wilayah dengan penopang ekonomi di sector primer seperti pertanian, terlebih dengan karakteristik geografi yang luas. Kinerja perekonomian Jawa Barat periode 2010
2015 menunjukkan tren penurunan, namun pada tahun
2016 menunjukkan adanya perbaikan. Pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan dan jasa selalu lebih tinggi dibandingkan sektor riil, kecuali tahun 2013 (Grafik 6.11), sementara sektor riil masih mendominasi jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga terdapat kecenderungan ketimpangan pendapatan. Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga juga masih men-drive struktur ekonomi Jawa Barat sedangkan komponen investasi (PMTB) memiliki share terhadap PDRB yang masih relatif rendah (Grafik 6.12) sedangkan investasi dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas dan meningkatan jumlah pastisipasi kerja. Faktor-faktor struktural seperti ini yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi kualitas kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Grafik 6.11. Pertumbuhan Sektor Primer, Sekunder dan Tersier
Grafik 6.12. Struktur Perekonomian Berdasarkan Penggunaan
Sementara itu, garis kemiskinan terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh peningkatan garis kemiskinan pedesaan. Berdasarkan pembagian kelompok kemiskinan antara perkotaan dan pedesaan, garis kemiskinan di perkotaan dalam periode yang sama tercatat mengalami peningkatan tahunan sebesar 7,74% dari Rp286.014 per kapita/bulan menjadi Rp308.163 per kapita/bulan. Sementara itu, garis kemiskinan di daerah pedesaan mengalami kenaikan sebesar 11,69%, dari Rp277.802 per kapita/bulan menjadi Rp310.295 per kapita/bulan. Dalam satu tahun terakhir, garis kemiskinan kota dan desa meningkat 9,78% dari Rp281.750 perkapita/bulan pada Maret 2015 menjadi Rp309.314 per kapita/bulan pada Maret 2016. Apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dilapangan usahakan sebagai penduduk miskin maka kenaikan garis kemiskinan dapat mempengaruhi angka kemiskinan karena ambang nilai kemiskinan turut mengalami peningkatan.
FEBRUARI 2017
145
BAB VII
48
PROSPEK PEREKONOMIAN
Mengacu kepada realisasi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 yang masih sejalan dengan path perbaikan ekonomi di tahun 2017, serta mempertimbangkan kondisi terkini perekonomian global yang terus membaik dan perekonomian domestik yang masih terjaga, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2016. Pada triwulan III 2017, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan sedikit melambat dibandingkan triwulan II 2017 dengan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga akibat faktor seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, mulai berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga Mampu per 1 Juli 2017 juga berpotensi menahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi Pemerintah juga diperkirakan tertahan pada triwulan III 2017, disebabkan oleh efek base year yakni diselenggarakannya PON ke-19 pada akhir triwulan III 2016 (September 2016). Untuk keseluruhan tahun 2017, akselerasi pertumbuhan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen PDRB. Konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan upah serta stimulus baik dari sisi fiskal maupun moneter. Pada tahun 2017, UMK seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat meningkat sebesar 8,25% (yoy) mengacu kepada Peraturan Gubernur. Stimulus baik dari sisi fiskal (implementasi paket kebijakan secara lebih komprehensif) maupun moneter (pelonggaran suku bunga kebijakan, penurunan Giro Wajib Minimum, dan pelonggaran ketentuan loan to value ratio) juga diperkirakan masih menjadi motor pendorong baik bagi kegiatan investasi maupun konsumsi masyarakat. Investasi untuk keseluruhan tahun juga diperkirakan meningkat khususnya dari sisi pemerintah seiring dengan percepatan penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis, seperti Jalan Tol Cisumdawu yang merupakan bagian dari proyek Tol Trans Jawa, Bandara Internasional Kertajati di Majalengka, LRT Terintegrasi Jabodebek, Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), serta pembangunan tol dalam kota di Bandung (Bandung Intra Urban Toll Road/BIUTR). Dari aspek eksternal, prospek positif pada kinerja ekonomi mitra dagang utama seperti Amerika Serikat diperkirakan menjadi faktor pendorong, sejalan dengan prospek positif dari kerjasama dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Selain itu, implementasi kebijakan tax amnesty yang diperkirakan menarik repatriasi ke dalam negeri pada awal tahun 2017 diharapkan dapat menjadi tambahan likuiditas bagi sumber pembiayaan di dalam negeri serta menambah ruang fiskal pemerintah. Hal ini pada akhirnya dapat memperkuat peran pemerintah untuk mendorong ekspansi ekonomi melalui kapasitas fiskalnya. Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan meningkat pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, namun Bank Indonesia bersama-sama Pemerintah dalam forum TPI/TPID berkomitmen untuk menjaga inflasi berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Potensi peningkatan inflasi tahun 2017 dipengaruhi oleh beberapa upside risk antara lain : (1) berlanjutnya efek La Nina di awal tahun 2017 yang berdampak kepada produktivitas hortikultura; (2) implementasi rencana Pemerintah melakukan penyesuaian tarif listrik melalui pencabutan subsidi untuk pelanggan golongan 900VA Rumah Tangga Mampu (RTM) secara bertahap sepanjang tahun 2017; (3) kenaikan biaya administrasi STNK di awal
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
tahun; (4) kembali dinaikkannya cukai rokok di tahun 2017; (5) akselerasi pertumbuhan ekonomi regional yang berpotensi meningkatkan permintaan dan pada akhirnya harga-harga; (6) kenaikan harga komoditas global terutama minyak dunia yang berpotensi mendorong kenaikan harga BBM di dalam negeri; serta (7) risiko tekanan di sisi komoditas pangan. Namun demikian, dengan semakin diperkuatnya sinergi dan kerjasama antar daerah dalam rangka pengendalian inflasi, diharapkan risiko-risiko ini dapat diantisipasi termasuk dampak lanjutannya ( second round effect).
7.1. PROSPEK PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL 7.1.1. Prospek Perekonomian Global Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2016. Proyeksi pertumbuhan yang dirilis oleh IMF melalui World Economic Outlook (WEO) dan berdasarkan
consensus forecast juga mengindisikan adanya peningkatan kinerja ekonomi global pada tahun 2017 hingga 2018 (Tabel 7.1). Membaiknya perekonomian global diperkirakan masih ditopang oleh kembali meningkatnya kinerja ekonomi negara berkembang seiring dengan bobotnya terhadap perekonomian global yang juga terus meningkat. Secara spesifik, perekonomian yang perlu di-highlight sebagai salah satu sumber pertumbuhan utama di emerging economies adalah Tiongkok dan India. Adapun perekonomian Tiongkok di tengah masih berlanjutnya agenda rebalancing economy, penurunan laju pertumbuhan ekonominya berlangsung lebih gradual dibandingkan perkiraan semula (soft landing). Sementara akselerasi pertumbuhan India konsisten setiap tahunnya dilatarbelakangi oleh kesuksesan reformasi strukturalnya. Selain itu, pertumbuhan ekonomi negara maju ( advanced economies) juga diperkirakan membaik di tahun 2017, khususnya ditopang oleh perbaikan kinerja ekonomi Amerika Serikat. Stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintahan baru Amerika Serikat diprediksikan menjadi salah satu pendorong, namun diiringi dengan adanya kekhawatiran mengenai rencana pengenaan tarif impor khususnya kepada negara-negara yang ditengarai menimbulkan defisit neraca perdagangan luar negeri yang tinggi dalam transaksinya dengan Amerika Serikat. Selain itu, akselerasi perekonomian global di tahun 2017 juga ditandai dengan kenaikan harga komoditas. Adapun harga minyak (minas & ICP) untuk di tahun 2017 diperkirakan mencapai USD 55,2/barel, meningkat dibanding tahun 2016 sebesar USD 42,8/barel. Peningkatan pertumbuhan ekonomi global pada akhirnya mendorong kenaikan volume perdagangan dunia, di mana negara emerging market (terutama Tiongkok) sebagai negara dengan volume perdagangan terbesar di dunia menjadi sumber utama perbaikan. Volume perdagangan dunia pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh 3,8% (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2016 sebesar 2,2% (yoy).
MEI 2017
149
50
PROSPEK PEREKONOMIAN
Tabel 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia Realisasi 2015
WEO IMF
Consesus Forecast
Bank Indonesia
(Apr'17)
(Mar'17)
(Feb'17)
2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018
Dunia
3,1
3,1
3,5
3,6
3,2
3,6
3,8
3,1
3,4
3,6
Negara Maju
1,9
1,7
2,0
2,0
1,7
1,9
1,9
1,6
1,9
1,9
Amerika Serikat
2,5
1,6
2,3
2,5
1,6
2,2
2,4
1,6
2,3
2,4
Kawasan Eropa
1,5
1,7
1,7
1,6
1,7
1,6
1,5
1,6
1,5
1,5
Jepang
0,6
1,0
1,2
0,6
1,0
1,2
1,0
0,8
0,8
0,5
4,0
4,1
4,5
4,8
4,6
5,1
5,2
4,1
4,5
4,7
Negara Berkembang Negara Berkembang Asia
6,6
6,4
6,4
6,4
Tiongkok
6,9
6,7
6,6
6,2
6,7
6,5
6,2
6,7
6,5
6,5
India
7,3
6,8
7,2
7,7
7,0
7,3
7,4
7,4
7,4
7,5
Volume Perdagangan Dunia (barang & jasa) (%, yoy) 2,6
2,2
3,8
3,9
Minyak (Minas & ICP, Dolar AS per barel)
42,8
55,2
55,1
50,9
Sumber : WEO IMF, Consesus Forecast, Bank Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang semakin solid didukung oleh konsumsi dan investasi yang membaik. Konsumsi yang solid didukung oleh kondisi ketenagakerjaan yang membaik, antara lain tercermin pada menurunnya tingkat pengangguran dan meningkatnya pertumbuhan upah. Selain itu, investasi AS juga membaik, bersumber dari investasi nonresiden, terutama di sektor energi seiring dengan kenaikan harga minyak. Perekonomian Eropa berpotensi membaik ditopang perbaikan konsumsi dan ekspor. Optimisme pertumbuhan ekonomi Eropa didukung kinerja manufaktur yang meningkat sejalan perbaikan konsumsi dan ekspor serta risiko geopolitik Eropa yang mulai menurun. Pada April 2017 Purchasing Manager Index (PMI) Uni Eropa bahkan meningkat ke level tertingginya sejak tahun 2011. Adapun risiko politik di Perancis terkait pemilu sudah mereda seiring dengan terpilihnya presiden baru yang dipercaya mampu mendorong proses pemulihan Eropa. Sejalan dengan hal tersebut, risiko pasca Brexit juga sudah mulai mereda sehingga secara umum meningkatkan keyakinan investor dan minat investasi ke Uni Eropa. Sejalan dengan berlangsungnya agenda rebalancing economy, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diperkirakan kembali melambat pada tahun 2017. Namun demikian, perlambatan ini berlangsung lebih
gradual dibanding periode-periode sebelumnya (soft landing). Rebalancing yang bersifat gradual ini tercermin pada investasi yang melambat (terutama Pemerintah), di tengah investasi swasta yang membaik pada sektor tersier. Perbaikan investasi swasta Tiongko
(MIC)
intangible assets produktivitas China. Sumber pertumbuhan ekonomi baru di Tiongkok juga muncul seiring rencana
New Area sebagai Special Economic Zone serta pengembangan Greater Bay Area untuk mendukung konektivitas Mainland
Hongkong yang diumumkan pada tanggal 1 dan 11 April
2017. Secara umum, perekonomian Tiongkok masih tetap solid didukung oleh konsumsi yang kemudian ditransmisikan kepada peningkatan kinerja manufaktur yang tercermin dari peningkatan Purchasing
Manager Index (PMI) China sejak awal tahun 2017.
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun 2017 pada bulan Mei direvisi ke atas yakni menjadi 1,2% (yoy), dari prediksi sebelumnya sebesar 0,8% (yoy). Peningkatan proyeksi ini didorong oleh membaiknya permintaan domestik dan eksternal. Pada jangka pendek, peningkatan kinerja Jepang didorong oleh
cyclical recovery pada perdagangan dan manufaktur global sejak pertengahan 2016. Menguatnya permintaan ini tercermin dari perkembangan industrial production (IP) Jepang yang terus meningkat sejak awal tahun 2017. Namun
demikian
di
tengah
berbagai
perkembangan positif tersebut, terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Risiko pertama adalah kenaikan suku bunga kebijakan Amerika Serikat diperkirakan berlangsung tiga kali lagi sepanjang tahun 2017, setelah kenaikan pertama yang berlangsung pada Maret
2017.
Perkiraan
ini
didorong
oleh
Source : Bloomberg
perkembangan inflasi serta kondisi ketenagakerjaan
Grafik 7.1
di Amerika Serikat yang lebih kuat. Kenaikan FFR diperkirakan kembali terjadi pada Juni dan September, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya pada Juni dan Desember (Grafik 7.1). Risiko lainnya yang perlu diwaspadai dari perekonomian global adalah wacana penurunan besaran neraca bank sentral Amerika Serikat serta dampaknya terhadap pasar keuangan global serta perkembangan terkini geopolitik.
7.1.2. Prospek Perekonomian Nasional Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2017 diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun 2016. Dalam asumsi dasar makro APBN 2017, digunakan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,1% (yoy) (Tabel 7.2), meningkat dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016 sebesar 5,02% (yoy). Momentum pemulihan ekonomi diperkirakan terus berlanjut, ditopang oleh konsumsi swasta yang diperkirakan masih tumbuh kuat; peningkatan konsumsi pemerintah serta perbaikan investasi, baik swasta maupun pemerintah; serta peningkatan ekspor sejalan dengan prospek perbaikan ekonomi global.
151
Tabel 7.2. Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN Asumsi Makro APBN
2016
2017
Pertumbuhan ekonomi (%, yoy)
5,30
5,10
Inflasi (%, yoy)
4,70
4,00
13.900
13.300
5,50
5,30
Harga Minyak Mentah Indonesia (USD/barel)
50
45
Lifting Minyak Bumi (ribu/barel/hari)
830
815
1.155
1.150
Nilai Tukar (Rp/USD) Tingkat Bunga SPN 3 bulan rata-rata (%)
Lifting Gas Bumi (ribu/barel/hari)
Sumber : Kementerian Keuangan RI
MEI 2017
52
PROSPEK PEREKONOMIAN
Perkiraan peningkatan investasi salah satunya didorong oleh belanja modal Pemerintah dalam rangka percepatan penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur. Adapun investasi swasta yang bersifat non bangunan diperkirakan mulai meningkat pada semester kedua sejalan dengan berakhirnya konsolidasi yang dilakukan oleh korporasi yang kemudian dilanjutkan ke fase ekspansi. Pertumbuhan ekspor diperkirakan meningkat khususnya sejalan dengan perbaikan ekonomi global serta peningkatan harga sejumlah komoditas global. Peningkatan ekspor akan didorong oleh peningkatan harga komoditas utama seperti CPO, batubara, bijih logam, kimia organik dan otomotif yang telah menujukkan pergerakan positif sejak akhir tahun 2016. Tujuan ekspor utama diperkirakan masih kepada negara-negara Asia seperti Tiongkok, India, Thailand, dan Jepang. Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan Negara, namun terdapat efek negative yaitu potensi kenaikan inflasi administered prices. Dari aspek intermediasi perbankan, ekspansi pembiayaan diperkirakan terjadi pada tahun 2017 setelah sebelumnya perbankan melakukan konsolidasi di tahun 2016. Ekspansi pembiayaan ini dapat menjadi motor pendorong kegiatan investasi di domestik. Adapun inflasi nasional pada tahun 2017 diperkirakan tetap berada pada kisaran sasaran sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh semakin kuatnya koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengatasi sejumlah risiko. Adapun risiko inflasi yang terutama dihadapi pada tahun 2017 adalah terkait penyesuaian AP sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh Pemerintah. Di tengah berbagai faktor yang mendorong perbaikan kondisi ekonomi nasional di atas, Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko pada tahun 2017, antara lain arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat, risiko pelemahan nilai tukar Rupiah antara lain akibat kenaikan FFR, kenaikan inflasi akibat
administered prices yang dapat berpengaruh kepada daya beli, serta adanya risiko shortfall pajak.
7.2. PROSPEK PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA BARAT 7.2.1. Prospek Pertumbuhan Ekonomi Kinerja ekonomi Jawa Barat pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnyayakni pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Hal ini terutama dipengaruhi oleh pola
seasonal di mana sebagian periode Ramadhan dan Lebaran bergeser ke triwulan II 2017, setelah sebelumnya pada tahun 2016 berlangsung di awal triwulan II 2016. Selain itu, efek base year lainnya yang diperkirakan menahan laju ekonomi Jawa Barat di triwulan III 2017 adalah diselenggarakannya PON ke-19 pada akhir triwulan III 2016 (September 2016).
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
Tabel 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat
PDRB (%, yoy)
2015
2016
Sisi Permintaan 2017
IIP
IIIP
Total-p
5,04
5,67
5,8 - 6,2
5,5 - 5,9
5,5 - 5,9
Konsumsi Rumah Tangga
5,07
5,60
5,7 - 6,1
5,5 - 5,9
5,4 - 5,8
Konsumsi LNPRT
-8,13
5,48
0,7 - 1,1
1,5 - 1,9
1,0 - 1,4
Konsumsi Pemerintah
8,10
3,76
(3,4) - (3,0)
6,5 - 6,9
4,4 - 4,8
Pembentukan Modal Tetap Bruto
4,16
4,59
6,7 - 7,1
7,8 - 8,2
6,8 - 7,2
Ekspor LN
0,53
-3,28
0,4 - 0,8
(0,6) - (0,2)
2,0 - 2,4
Impor LN
-3,26
1,42
(1,5) - (1,1)
(2,5) - (2,1)
(0,8) - (0,4)
Net Ekspor Antar Daerah
-7,04
-19,69
(7,0) - (6,6)
(7,7) - (7,3)
2,9 - 3,3
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh melambat dibanding triwulan II 2017, yakni pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Perkiraan melambatnya konsumsi rumah tangga ini terutama dipengaruhi oleh efek seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan Lebaran ke triwulan II 2017. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia, di mana Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 6 bulan mendatang di Jawa Barat menurun dari rata-rata 139,9 pada triwulan II 2017 menjadi 137,0 pada triwulan III 2017. Penurunan terbesar khususnya terjadi pada komponen indeks ekspektasi kegiatan usaha dan indeks ekspektasi penghasilan (Grafik 7.2). Selain itu, mulai berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga Mampu per 1 Juli 2017 juga berpotensi menahan daya beli masyarakat.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 7.2. Indeks Ekspektasi Konsumen Jawa Barat
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik 7.3. Indeks Pengeluaran 3 Bulan Mendatang
153
Sejalan dengan perkiraan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2017, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan mengalami akselerasi di tahun 2017 dengan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy). Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat berada di atas perkiraan nasional, baik untuk tahun 2016 dan 2017, di mana hal ini sejalan dengan tren realisasi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang sejak tahun 2010 selalu mencatatkan realisasi pertumbuhan tahunan di atas nasional. Hal ini terutama disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi nasional ditahan oleh dampak penurunan harga komoditas global yang dirasakan khususnya oleh provinsi-provinsi eksportir komoditas di Kawasan Timur Indonesia.
MEI 2017
54
PROSPEK PEREKONOMIAN
a. Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy) atau relatif stabil dalam level yang cukup tinggi sebagaimana realisasi pada tahun 2016, sehingga mampu menjadi pendorong utama laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Berdasarkan Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 6 bulan mendatang tercatat secara konsisten terus mengalami peningkatan hingga triwulan II 2017 dan berada di area optimis (indeks di atas 100). Berdasarkan komponen penyusunannya, ekspektasi konsumen yang positif ini didorong oleh kenaikan yang konsisten pada indeks ekspektasi penghasilan, disusul oleh kenaikan pada indeks ekspektasi kegiatan usaha dan terakhir pada indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja. Kenaikan pada indeks ekspektasi penghasilan salah satunya didasarkan pada kenaikan tahunan UMK, mengacu kepada formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Percepatan pembangunan infrastruktur yang kembali menjadi fokus pemerintah di tahun 2017 juga diperkirakan memberikan multiplier effect kepada pendapatan masyarakat. Selain itu, inflasi yang relatif terkendali juga memberikan dampak positif berupa terjaganya daya beli dan pada akhirnya tingkat konsumsi masyarakat. Dari sisi moneter, pelonggaran suku bunga kebijakan yang dilakukan sepanjang tahun 2016 diperkirakan akan terus ditransmisikan kepada penurunan suku bunga kredit di tahun 2017. Pelonggaran lainnya yakni pada ketentuan LTV ( loan to value ) berupa penurunan rasio DP (down payment) untuk pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang berlaku sejak Agustus 2016 juga diperkirakan dapat mendorong konsumsi masyarakat untuk perumahan (KPR) dan kendaraan bermotor di tahun 2017. Selain itu, perkiraan penguatan (apresiasi) nilai tukar rupiah sebagaimana dicantumkan dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN yakni dari Rp13.500/USD
pada
APBN-P
2016
menjadi
Rp13.300/USD pada RAPBN 2017 diperkirakan juga berpotensi mendorong kegiatan konsumsi masyarakat. Pada Grafik 7.4 di samping, terlihat bahwa apresiasi nilai tukar rupiah sepanjang tahun
2016
diikuti
oleh
peningkatan
laju
Grafik 7.4 Perkembangan Impor Barang Konsumsi Jawa Barat dan Nilai Tukar
pertumbuhan impor barang konsumsi di Jawa Barat. Hal ini tidak terlepas dari posisi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak serta semakin meningkatnya porsi masyarakat kelas menengah di Jawa Barat dengan kualitas jenis barang yang diminta juga turut meningkat dan umumnya berbasis impor. Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi menahan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2017, yakni:
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
1. Kebijakan pemerintah yang kembali tidak menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2017 2. Rencana pemerintah melakukan penyesuaian berupa kenaikan tarif listrik 450VA dan 900VA secara bertahap masing-masing 3 kali dan 4 kali ditahun 2017 berpotensi menurunkan daya beli masyarakat serta meningkatkan inflasi
b. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) / Investasi PMTB/investasi pada tahun 2017 diperkirakan mampu tumbuh pada rentang 6,3 % - 6,7% (yoy) atau meningkat dibandingkan perkiraan realisasi investasi pada tahun 2016. Berdasarkan komponen penyusunnya, investasi non bangunan yang secara konsisten tumbuh membaik sepanjang tahun 2016 sejalan dengan terus meningkatnya pertumbuhan impor barang modal, diperkirakan berlanjut ke tahun 2017 seiring dengan positifnya persepsi pelaku usaha terhadap perekonomian di tahun 2017. Selain itu, kegiatan pembangunan serta perluasan pabrik yang bersifat multiyears dan diperkirakan beroperasi pada tahun 2017 juga berpotensi kembali meningkatkan investasi fisik berupa pembelian mesin. Adapun subsektor industri yang diperkirakan memberikan sumbangan terbesar pada peningkatan investasi non bangunan ini adalah industri alat angkutan dan industri tekstil & produk tekstil (TPT). Hal ini mengingat kedua industri ini memiliki kencenderungan untuk meng-update model atau varian produksinya sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan selera masyarakat. Adapun setiap perubahan model atau varian produksi membutuhkan mesin dengan spesifikasi yang berbeda. Tabel 7.3. Daftar Proyek Infrastruktur Strategis di Jawa Barat Panjang
Target
(km)
Penyelesaian
1 Soreang - Pasir Koja
10.57
2018
2 Bandung Intra Urban Toll Road
27.30
2010
3 Cisumdawu
60.10
2019
4 Bogor - Ciawi - Sukabumi
54.00
2020
5 Cimanggis - Cibitung
25.90
2019
6 Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing)
34.02
2018
7 Bogor Ring Road
8.44
2019
8 Depok - Antasari
19.93
2019
No Ruas PROYEK JALAN TOL
9 Sukabumi - Ciranjang
28.00
2021
10 Ciranjang - Padalarang
33.00
2023
11 Cileunyi - Nagreng - Tasikmalaya
70.00
2019
12 Tasikmalaya - Ciamis - Banjar
70.00
2022
13 Banjar - Pangandaran
80.00
2023
155
PROYEK INFRASTRUKTUR LAINNYA 1 Bandara Internasional Kertajati
-
2018
2 LRT Terintegrasi Jabodebek
181.00
2019
3 Kereta Cepat Jakarta - Bandung
142.00
2019
Keterangan : : Sedang Dalam Pengerjaan : Sedang Proses Feasibility Study (FS)
Sumber : Pemerintah Provinsi Jawa Barat & Informasi Anekdotal
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
Di sisi lain, investasi bangunan juga diperkirakan mengalami akselerasi terbatas dengan disertai dinamika pertumbuhan di setiap triwulannya. Investasi bangunan memberikan pangsa sekitar 70% terhadap total investasi di Jawa Barat sehingga peningkatannya memberikan daya dorong yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari sisi pemerintah, penyelesaian berbagai proyek infrastruktur yang ada di Jawa Barat menjadi pendorong utama pertumbuhan investasi bangunan. Beberapa proyek infrastruktur strategis ini meliputi Bandara Internasional Kertajati, Tol Cisumdawu sebagai bagian dari Tol Trans Jawa, Tol Soreang Pasir Koja (Soroja), Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), kereta cepat Jakarta-Bandung, LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Tabel 7.3), serta mulai digarapnya proyek pembangunan Pelabuhan Patimban sebagai pelabuhan internasional pertama di Jawa Barat. Namun demikian, perlu diwaspadai tantangan pada kapasitas fiskal khususnya Pemerintah Pusat (mengingat mayoritas proyek strategis ini merupakan wewenang nasional dan menggunakan anggaran K/L). Sementara itu, investasi bangunan dari pihak swasta diperkirakan cenderung terbatas selain daripada proyek pembangunan/perluasan pabrik yang bersifat multiyear mengingat saat ini mayoritas perusahaan masih berfokus untuk meningkatkan kapasitas utilisasinya yang masih berada di bawah level optimum. Berdasarkan hasil liaison rata-rata kapasitas utilisasi sektor industri pengolahan di Jawa Barat sepanjang tahun 2016 berada pada rentang 73% - 78%. Adapun berdasarkan sumbernya, diperkirakan pertumbuhan investasi di tahun 2017 masih akan ditopang oleh PMA mengingat mayoritas industri yang ada di Jawa Barat bersifat PMA dan cenderung mengandalkan pembiayaan dari headquarters dalam kegiatan investasi atau ekspansi usahanya.
c. Ekspor dan Impor Luar Negeri Ekspor luar negeri Jawa Barat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang (-1,1%) - 0,7% (yoy) sementara impor luar negeri diperkirakan tumbuh pada rentang (-5,7%) - (-5,3)% (yoy), di mana baik perkiraan pertumbuhan ekspor maupun impor LN ini membaik dibandingkan perkiraan tahun 2016. Perekonomian global diperkirakan membaik pada tahun 2017, terutama ditopang oleh Amerika Serikat dan Tiongkok. IMF, Concensus Forecast dan Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2017 pada kisaran 3,4% - 3,6% (yoy) meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2016 yang diperkirakan pada kisaran 3,1% - 3,3% (yoy).
56 Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun 2017 diproyeksikan pada kisaran 2,2% - 2,4% (yoy) meningkat dibandingkan tahun 2016 yang diperkirakan pada kisaran 1,5% - 1,7% (yoy). Perbaikan ekonomi Amerika Serikat ini didukung oleh konsumsi dan investasi yang meningkat. Konsumsi Amerika Serikat yang solid tercermin dari pertumbuhannya yang mencapai 2,5% (yoy) pada triwulan IV 2016. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor utama Jawa Barat dengan pangsa pada tahun 2016 mencapai 20,07%, sedikit meningkat dibanding tahun 2015 sebesar 19,91%. Adapun jenis barang ekspor utama Jawa Barat ke Amerika Serikat adalah garmen dengan pangsa mencapai 26,42%, diikuti oleh barang elektronik rumah tangga (12,37%). Prospek konsumsi Amerika Serikat yang masih solid ini
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
memberikan dorongan positif terhadap prospek kinerja ekspor luar negeri Jawa Barat, mengingat komoditas ekspor utama Jawa Barat ke AS tergolong sebagai jenis barang konsumsi tahan lama. WEO IMF pada Januari 2017 memperkirakan bahwa pertumbuhan negara berkembang Asia pada tahun 2017 sebesar 6,4% (yoy), meningkat dibanding tahun 2016 yang diperkirakan sebesar 6,3%. Secara gabungan, pangsa ASEAN sebagai negara tujuan ekspor Jawa Barat pada 2016 mencapai 21,69%. Pangsa ini meningkat dibanding 2015 sebesar 20,59%. Seiring dengan masih lemahnya permintaan dari Eropa, berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa kini sebagian pelaku usaha mulai mengalihkan fokus tujuan ekspornya ke negara-negara berkembang di kawasan Asia. Sebagai contoh, perusahaan tekstil kini mulai meningkatkan penetrasi pasarnya ke India, khususnya untuk produk kelas premium. Demikian juga perusahaan-perusahaan otomotif semakin meningkatkan transaksi perdagangannya dengan negaranegara di kawasan ASEAN seperti Thailand dan Filipina. Prospek yang positif pada pertumbuhan negara berkembang Asia ini diperkirakan turut menjadi motor pendorong pertumbuhan Jawa Barat pada tahun 2017. Harga
minyak
dunia
juga
diperkirakan
meningkat pada tahun 2017. WEO IMF pada Januari 2017 memperkirakan bahwa harga minyak (minas & ICP) pada 2017 dapat mencapai 51,2 USD/barel meningkat dibanding 2016 sebesar
43
USD/barel.
Berdasarkan
regresi
sederhana, diketahui bahwa pertumbuhan harga minyak dunia memiliki korelasi positif yang signifikan dengan pertumbuhan ekspor luar negeri Jawa Barat (Grafik 7.4). Peningkatan
Grafik 7.4. Plotting Pertumbuhan Ekspor LN Jawa Barat dan Harga Minyak Global
harga minyak dunia menjadi salah satu cerminan dari peningkatan permintaan dan perdagangan global. Selain itu, harga dari beberapa produk manufaktur Jawa Barat juga dipengaruhi oleh harga minyak dunia, salah satunya produk tekstil polyester yang bahan bakunya menggunakan produk turunan minyak mentah. Dengan demikian, prospek positif dari harga minyak dunia diperkirakan juga turut menjadi salah 157
satu motor pendorong pertumbuhan Jawa Barat pada tahun 2017. Secara sektoral, Dari sisi regional Jawa Barat, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Jabar tahun 2017 diperkirakan masih ditopang lapangan usaha utama Jawa Barat khususnya Industri Pengolahan serta Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Kendaraan. Dalam empat tahun terakhir, industri pengolahan memberikan andil pertumbuhan rata-rata 2,34% sedangkan Perdagangan memberikan andil rata-rata 0,67%. Pada tahun 2017, diperkirakan kinerja pertumbuhan lapangan usaha Industri Pengolahan meningkat didorong oleh membaiknya penjualan ekspor dan domestik khususnya untuk industri otomotif. Terkait penjualan ekspor, salah satu faktor pendorong utama adalah adanya pengalihan pusat pengolahan completely knocked down (CKD / kendaraan siap rakit) dari ASEAN ke Indonesia. Pengalihan yang terjadi pada akhir tahun 2016 ini diperkirakan akan mendorong pertumbuhan
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
manufaktur pada tahun 2017, terlebih dengan base year effect yang akan ditimbulkan pada semester I 2017. Adapun kinerja lapangan usaha Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Kendaraan diperkirakan menjadi penyumbang pertumbuhan terbesar kedua. Semakin solidnya konsumsi masyarakat yang dipengaruhi menguatnya proyeksi nilai tukar dan inflasi yang terjaga, serta dampak kenaikan UMK untuk buruh diperkirakan akan mendorong kinerja lapangan usaha ini. Selanjutnya, lapangan usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Konstruksi serta Informasi dan Komunikasi diperkirakan menjadi mesin penggerak pertumbuhan berikutnya. Risiko anomali cuaca yang diperkirakan minim, kemampuan adaptif petani untuk melakukan panen tidak serentak dan pemanfaatan teknologi seperti varietas jagung hibrida akan menjadi pendorong pertumbuhan lapangan usaha Pertanian, terutama karena pada tahun sebelumnya (2016) lapangan usaha ini sempat terkontraksi karena dampak El Nino. Progres pembangunan proyek-proyek strategis pemerintah seperti BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) serta konstruksi swasta seperti pembangunan pabrik otomotif Wuling akan mendorong pertumbuhan di lapangan usaha ini. Sejalan dengan kondisi fiskal Pemerintah yang membaik dan ekspansi usaha oleh pelaku usaha, konstruksi diharapkan menyumbang pertumbuhan lebih tinggi di tahun 2017. Sedangkan lapangan usaha Informasi dan Komunikasi yang konsisten tumbuh tinggi diperkirakan akan tumbuh semakin tinggi di tahun 2017, dipengaruhi masifnya kebutuhan penggunaan internet dan sarana teknologi informasi. Selain beberapa faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, Bank Indonesia tetap mewaspadai beberapa risiko yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2017, yakni: 1. Kebijakan Pemerintah menaikkan sejumlah tarif pada tahun 2017 berpotensi meningkatkan inflasi dan menahan daya beli masyarakat 2. tahun 2017 berpotensi mendorong arus modal keluar dan melemahkan nilai tukar Rupiah Risiko geopolitik yang masih tinggi di Eropa berpotensi melemahkan permintaan ekspor dari negara tersebut ke Jawa Barat. Kawasan Eropa merupakan salah satu tujuan ekspor utama Jawa Barat dengan pangsa pada tahun 2016 mencapai 14,32%.
58
7.2.2. Prospek Inflasi Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan sedikit meningkat pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, namun masih berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Secara umum, perkembangan inflasi Jawa Barat menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2013 dan mencapai titik terendahnya pada tahun 2015 seiring dengan perlambatan ekonomi dan rendahnya harga komoditas global. Untuk keseluruhan tahun, potensi peningkatan harga minyak dunia yang mulai terlihat sejak akhir triwulan I 2016 menjadi risiko yang juga perlu diwaspadai. Namun demikian, pada akhir tahun inflasi
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
Jawa Barat diperkirakan dapat berada dalam rentang sasaran inflasi nasional. Secara ringkas, beberapa faktor pendorong dan penahan laju inflasi Jawa Barat pada tahun 2017 disajikan dalam tabel berikut. Tabel 7.2. Upward dan Downward Risk Inflasi Jawa Barat Tahun 2017
Faktor Pendorong (Upside Risk)
Faktor Penahan (Downside Risk )
Penyesuaian tarif listrik secara bertahap untuk kelompok pelanggan 900 kVA
Produksi pertanian untuk keseluruhan tahun 2017 diperkirakan lebih baik dibanding tahun 2016 seiring berlalunya efek La Nina selepas triwulan I 2017
Harga minyak dunia yang diperkirakan meningkat akan mendorong penyesuaian harga BBM Rencana penerapan skema BBM satu harga Kenaikan tarif cukai rokok dan biaya administrasi STNK tahun 2017 Berlanjutnya efek La Nina di awal tahun terhadap produksi komoditas hortikultura (khususnya aneka cabai dan bawang merah)
159
MEI 2017
PROSPEK PEREKONOMIAN
Daftar Istilah ADHB
Atas Dasar Harga Berlaku, menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun pada suatu daerah.
ADHK
Atas Dasar Harga Konstan, menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi suatu daerah.
Administered price
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya diatur oleh pemerintah.
Andil inflasi
Sumbangan perkembangan harga suatu terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan.
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Bobot inflasi
Besaran yang menunjukkan pengaruh suatu komoditas terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan, yang diperhitungkan dengan melihat tingkat konsumsi masyarakat terhadap komoditas tersebut. Sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah.
Dana Perimbangan
komoditas/kelompok
barang/kota
Faktor Fundamental
Faktor fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yakni interaksi permintaan-penawaran atau output gap, eksternal, serta ekspektasi inflasi masyarakat
Faktor Non Fundamental
Faktor non fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang berada di luar kewenangan otoritas moneter, yakni produksi maupun distribusi bahan pangan (volatile foods), serta harga barang/jasa yang ditentukan oleh pemerintah (administered price)
Imported inflation
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu inflasi yang berasal dari pengaruh perkembangan harga di luar negeri (eksternal)
Indeks Ekspektasi Konsumen
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap ekspektasi kondisi ekonomi 6 bulan mendatang, dengan skala 1 100.
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Sebuah indeks yang merupakan ukuran perubahan rata-rata harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat pada suatu periode tertentu. Sejak Januari 2014 menggunakan Tahun Dasar 2012 = 100.
Indeks Kondisi Ekonomi
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan skala 1 100.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi kondisi ekonomi enam bulan mendatang. Indeks ini memiliki skala 1 100.
Investasi
Kegiatan meningkatkan nilai tambah suatu kegiatan produksi melalui peningkatan modal.
Inflasi inti
Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental
Liaison
Kegiatan pengumpulan data/statistik dan informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara periodik melalui wawancara langsung kepada pelaku ekonomi mengenai perkembangan dan arah kegiatan ekonomi dengan cara yang sistematis dan didokumentasikan dalam bentuk laporan
Migas
Minyak dan gas. Merupakan kelompok lapangan usaha industri yang mencakup
161
PROSPEK PEREKONOMIAN
industri minyak dan gas. Mtm
Month to month. Perbandingan antara data satu bulan dengan bulan sebelumnya.
Omzet
Nilai penjualan bruto yang diperoleh dari satu kali proses produksi.
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto. Pendapatan suatu daerah yang mencerminkan hasil kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah tertentu dengan menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Dasar.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi suatu daerah seperti hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.
Perceived risk
Persepsi risiko yang dimiliki oleh investor terhadap kondisi perekonomian sebuah negara
Qtq
Quarter to quarter. Perbandingan antara data satu triwulan dengan triwulan sebelumnya.
Saldo Bersih
Selisih
SBT
Saldo Bersih Tertimbang. Nilai yang diperoleh dari hasil perkalian saldo bersih lapangan usaha/subkategori usaha yang bersangkutan dengan bobot lapangan usaha/subkategori usaha yang bersangkutan sebagai penimbangnya. Lapangan usaha ekonomi yang mempunyai nilai tambah besar sehingga mempunyai pengaruh dominan pada pembentukan PDRB secara keseluruhan.
Lapangan usaha ekonomi dominan
162
antara
persentase
jumlah respondenyang memberikan jawaban jumlah responden yang memberikan jawaban
Volatile food
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya sangat bergejolak karena faktor-faktor tertentu.
West Texas Intermediate
Jenis minyak bumi yang menjadi acuan untuk transaksi perdagangan minyak dunia.
Yoy
Year on year. Perbandingan antara data satu tahun dengan tahun sebelumnya.
TIM PENYUSUN PENANGGUNG JAWAB Wiwiek Sisto Widayat, Ismet Isnono
KOORDINATOR PENYUSUN Suarpika Bimantoro
EDITOR Wahyu Ari Wibowo
TIM PENULIS Rahma Dewi P, Nur Annisa H, Wahyu Putri Pamungkas
KONTRIBUTOR Fungsi Data Statistik Ekonomi dan Keuangan Divisi Sistem Pembayaran, Komunikasi dan Layanan Publik Divisi Pengembangan Ekonomi Daerah
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI Devy Anggraeni Mulyani
KANTOR PERWAKILAN B ANK INDONESIA PROVINSI JAWA B ARAT Divisi Advisory Ekonomi dan Keuangan Daerah Jl. Braga No. 108 Bandung, 40111 No. Telp. (022) 4230223 ext. 8290 No. Fax.(022) 4214326 Email :
[email protected]
Softcopy dapat diunduh di http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Ekonomi_Regional/KER/Jabar/