HASIL DAN PEMJ3AHASAN
1 Epidemiologi filariasis
Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan oleh Puskesmas Gondanglegi kepada Sub Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan RI. sampai dengan Oktober 2000, sebanyak tiga orang. Setelah dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita elefantiasis sehingga menjadi lima orang. Survei epidemiologi di Kabupaten Malang menemukan kasus elefantiasis skroti di kecamatan Bantur yang tempat tinggal asalnya adalah desa Gondanglegi. Kelima penderita elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon sejak terkena gejala penyakit pertama kali sampai terjadi elefantiasis, selalu bertempat tinggal di desa tersebut, yang berarti tejadi penularan setempat (indigenous). Hasil pemeriksaan filariasis terhadap 323 orang penduduk di sekitar penderita, ditemukan adanya beberapa penduduk yang mengalami gejala klinis akut filariasis. Gejala tersebut di antaranya berupa pembengkakan kelenjar getah bening pada lipat paha atau ketiak yang disertai demam berulang atau tidak (Iimfadenitis), dan perstdangan pada payudara dan di sekitar kelamin. Jumlah penduduk yang mengalami gejala klinis akut tersebut sebanyak 24 orang, yang berarti angka kesakitan akut (AKA) sebesar 7,4 %, sedangkan penderita elefantiasis yang ditemukan adalah sebanyak lima orang, yang berarti angka kesakitan kronis (AKK) sebesar 1 3 5 % (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil pemeriksaan darah terhadap filariasis berdasar sebaran umur dan jenis kelamin di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Februari 200 1
Keterangan : Pos = Positif
L = Laki - laki
P = Perempuan
Menurut Partono (1989) jika ditemukan (elefantiasis), epidemiologis
maka
diperkirakan
akan tertular
10 % penduduk
satu penderita kronis dalam
satu
wilayah
filariasis dan 10 % dari yang tertular filariasis
diperkirakan akan menunjukkan gejala klinis filariasis. Dengan demikian keadaan kesakitan filariasis di desa Gondanglegi Kulon sudah cukup tinggi bila dikaitkan dengan pernyataan di atas. Berdasarkan tanda-tanda klinis akut yang ditemukan, kasus filariasis di desa Gondanglegi Kulon dapat dikategorikan sebagai filariasis bancrofti (WHO 1984). Gejala klinis akut yang khas berupa peradangan pada lipat paha dan berlanjut pada alat kelamin dan sekitarnya serta payudara, juga disertai demam
berkala atau tidak.
Berdasarkan gejala klinis kronis, elefantiasis yang ada juga
termasuk jenis elefantiasis bancrofti. Hasil anamnese penduduk dan pemeriksaan fisik penderita elefantiasis diketahui
bahwa, sebelum terjadi
limfudema umumnya didahului dengan
peradangan atau pembengkakan pada kelenjar limfe (limfadenitis), dan menjalar pada saluran limfe sampai ke bagian bawah kaki (limfmgitis). Gejala limfadenitis dan limfangitis yang dialami penderita elefantiasis terkadang disertai demam berkala 3-5 hari atau tidak, dan dapat terjadi sebanyak 4-7 kali setiap tahunnya. Tabel 3 Sebaran umur dan jenis kelamin penderita filariasis klinis di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Pebruari 2001
Keterangan :AKA : Angka Kesakitan Akut
AKK : Angka Kesakitan Kronis
Gambar 3 dan 4 menunjukkan
adanya limfudema pada kaki bagian
bawah (distar) pada penderita yang berumur 15 dan 25 tahun, dan Gambar 5 untuk limfudema pada kaki bagian bawah lutut pada penderita yang berumur 60 tahun. Gejala tersebut dialami para penderita selama
kurun waktu sembilan sampai
dengan 35 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan darah terhadap 323 penduduk di desa Gondanglegi Kulon sebagai sarnpel tidak ditemukan adanya mikrofilaria dalam. Padahal cara pengambilan dan pemeriksaan darah telah menggunakan metode pemeriksaan darah tepi dan darah vena segar di bawah mikroskop, dengan provokasi obat DEC (diethyl carbamazine citrate) sebelum diambil darahnya, pemeriksaan sediaan darah tetes tebal dan pemeriksaan sediaan darah dengan membran filter (Tabel 2). Filariasis di desa Gondanglegi Kulon mengena pada hampir semua kelompok urnur (Tabel 2 ) , dari kelompok umur 0-5 tahun sampai > 65 tahun ditemukan penderita klinis filariasis akut dan kronis. Dari penyebaran kasus menurut kelompok umur tersebut dapat dinyatakan bahwa kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon semakin tahun semakin bertambah jumlahnya dm mengena pada penderita berumur tua (70 tahun) sampai muda (15 tahun). Pada umumnya penderita elefantiasis adalah perempuan (100 Oh). Di samping itu dari segi penyebaran kasus menurut wilayah, penderita elefantiasis menyebar pada radius satu sampai tiga kilometer, yang berarti masih dalam satu wilayah epidemiologi atau dalam jangkauan penularan vektor. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut telah terjadi peningkatan kasus filariasis
Gambar 3 Elefantiasis (limfbdema) di kaki b e a n b a d (disral) p d a penderita be~mur15 tahun (di Gondanglegi, Malang, Tahun 2001).
Gambar 4 Hefantiasis (limfidema) di kaki bagian b a d (distaf)pada penderita berumur 25 tahun (Di Gondanglegi, Malang, Tahun 2001).
Gambar 5 Elefantiasis (limfudema) di kaki bagian bawah lutut pada penderita berumur 60 tahun @i Gondanglegi, Malang, Tahun 2001).
secara klinis atau perbanyakan kasus pada jangka waktu tertentu, semakin lama semakin bertambah dan mengena pada umur yang lebih muda. Diduga di daerah tersebut mungkin telah terjadi penularan kasus filariasis pada waktu yang lalu. Saat ini penularan filariasis belum dapat dibuktikan secara mikroskopis karena belurn ditemukan mikrofilaria dalam darah penderita dan penduduk yang ada di sekitarnya. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa di daerah tersebut tidak ada penularan filariasis, karena secara epidemiologi telah ditemukan bukti yang cukup mengarah akan adanya penyebaran atau perbanyakan kasus. Selain itu saat ini secara berkala penderita elefentiasis masih sering menunjukkan gejala klinis 1 Komunitas nyamuk dan vektor filariasis yang diduga 1.1 Komunitas nyamuk yang tertangkap
Sebanyak 3310 nyamuk berhasil ditangkap dengan beberapa cara penangkapan. Nyamuk yang tertangkap terdiri atas empat genus dan 11 spesies, yaitu empat spesies dari genus Culex, lima spesies Anopheles, satu spesies Aedes dan satu spesies Armigeres. Penangkapan nyamuk sembilan spesies, dengan
dengan umpan orang dalam rumah didapatkan
umpan orang di
luar rumah memperoleh sembilan
spesies, sedangkan yang hinggap di dinding dalam rumah 11 spesies (Tabel 4). Di antara 11 spesies nyamuk yang diperoleh di daerah penelitian, terdapat enam spesies yang telah dinyatakan dan dikonfirmasi sebagai vektor filariasis bancrofti di luar propinsi Jawa Timur (DEPKES 1996). Keenam spesies tersebut adalah Cx.
quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus, An. subpictus, An. aconitus, An. vagus dan Ar. subalbatus.
Hasil menunjukkan
penangkapan nyamuk
dengan
beberapa
cara penangkapan
bahwa C x . quinquefasciatus mempunyai populasi paling besar
yaitu 9,204 ekor/orang/jam, kemudian diikuti berturut-turut C x . tritaeniorhynchus (2,804),
An. vagus (0,796),
aconitus (0,158),
Ae. aegypti (0,4831, An. indeflnitus (0,183),
An. subpictus (0,063),
C x . hitaeniorhynchus (0,058),
An. Ar.
subalbutus (0,033), An. annularis (0,004) dan C x . pseudovishnui (0,004) (Tabel 4).
Tabel 4 Banyaknya nyamuk yang tertangkap per orang per jam (MHD) Di desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 200 1
Keterangan : UD : Umpan orang dalam rumah HD : Hinggap di dinding dalam rumah UL : Umpan orang luar rurnah MHD : Man Hour Density
Spesles Nyamuk
Gambar 6 Kepadatan nyarnuk per orang per jam berdasar cara penangkapan Di desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001. 2.2 Analisis komunitas nyamuk yang tertangkap Hasil penangkapan menunjukan bahwa komunitas dan angka kepadatan populasi nyamuk digambarkan dalam beberapa parameter yaitu angka padat populasi (MHD), angka kelimpahan nisbi, angka kekerapan tertangkap dan angka dominasi.
2.2.1 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertangkap dengan umpan orang di dalam rumah
Hasil penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam rumah, diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang paling tinggi adalah Cx. quinquefasciatus (70,63 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (1 8,76 %), An. vagus (3,93 %) dan Ae. aegypti (3,63 96). Spesies lain angka kelimpahan
nisbinya antara 1,08 % - 0,O %. Angka kekerapan tertangkap yang tertinggi juga pada Cx. quinquefasciatus (9 1 3 3 %), selanjutnya Cx. tritaeniorhynchus (62,7 1
%), Ae. aegypti (26,27 %) dan An. vagus (20,34 %), sedangkan spesies lainnya
antara 9,3 Oh - 0,O %. Angka dominasi
dapat menggambarkan peranan komunitas nyamuk
yang sebenamya di suatu daerah dibanding parameter kepadatan yang lain. Angka dominasi spesies nyamuk dari hasil penangkapan urnpan orang di dalam rumah yang
tertinggi
adalah
Cx.
quinquejhsciatus
(64,64
%),
diikuti
Cx.
tritaeniorhynchus (11,76 %), Ae. aegypti (0,95 %) dan An. vagus (0,79 %),
sedangkan spesies Iainnya antara 0,101 X ' - 0,000 % (Tabel 5).
Tabel 5 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertangkap dengan umpan orang di dalam rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001
10 An. annularis
0,OO
0,OO
0,000
11
0,OO
0,OO
0,000
Cx. pseudovishnui
Garnbar 7 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi nyamuk per spesies di dalam rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001. 2.2.2 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah Hasil penangkapan nyarnuk dengan umpan orang di luar rumah , diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang paling besar pada
Cx. quinquefasciatus (64,51 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (22,36 %), An. vagus (6,24 %), Ae. aegypti (2,88 %). Spesies lain angka kelimpahan nisbinya antara 1,36 % - 0 , O %. Nyamuk yang paling kerap tertangkap adalah Cx.
quinquefasciatus (93,22 Oh),selanjutnya Cx. tritaeniorhynchus (58,47 Oh), An. vagus (28,81 %) dun Ae. aegypti (22,88 %), 10,17 Oh-O,o%.
sedangkan spesies lainnya antara
Tabel 6 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001
10 An. annularis 11
C x . pseudovishnui
0.00
0.00
0,000
0.00
0.00
0,000
Spesies Nyarnuk
Gambar 8 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi nyamuk per spesies di luar rumah di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001.
Angka dominasi spesies nyamuk dari hasil penangkapan umpan orang di luar rumah yang tertinggi adalah Cx. quinquefasciatus (60,135 %), diikuti Cx.tritaeniorhynchus
(13,09 %), An. vagus (0,00,18 %) dan Ae. aegypti (0,67
%), sedangkan spesies lainnya antara 0,14 %-0,00 % (Tabel 6).
2.2.3 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyarnuk yang tertnngkap yang hinggap di dinding dalam rumah Hasil penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah, diketahui bahwa nyamuk dengan angka kelimpahan nisbi yang tertinggi adalah
Cx. quinguefasciatus (65,61 %), diikuti oleh Cx. tritaeniorhynchus (19,40 %), An. vagus (7,01 %) dan Ae. aegypti (4,13 %). Spesies lain angka kelimpahan nisbinya
antara 1,54 Oh - 0,10 Oh. Nyamuk yang paling kerap tertangkap adalah
Cx.
quinquefasciatus (91,53 %), diikuti Cx. tritaeniorhynchus (58,47 %), Ae. aegypti
(27,12 %) dan A n . vagus (25,42 %), sedangkan spesies lainnya antara 9,32 %-
Tabel 7 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi spesies nyamuk yang hinggap di dinding dalarn rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001
Garnbar 9 Angka kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap d m angka dominasi nyamuk per spesies di dinding dalam rumah di Desa Gondanglegi Kulon, Malang, Maret - Agustus 2001.
Angka dominasi spesies nyamuk yang hinggap di dinding rumah
yang
tertinggi
.tritaeniorhynchus
adalah
Cx.
quinquefasciatus
dalam
(60,050), diikuti
Cx
(1 1,347), An. vagus (01,783) dun Ae. aegypti (1,120),
sedangkan spesies lainnya antara 0,143 - 0,001 (Tabel 7). Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa Cx. quinquefasciatus memiliki kepadatan populasi, kelimpahan nisbi, kekerapan tertangkap dan angka dominasi yang paling besar pada berbagai jenis penangkapan. Angka dominasi tertinggi diperoleh pada cara penangkapan umpan orang dalam rumah malam hari. Dengan demikian Cx. quinquefasciatus telah memenuhi dua persyaratan sebagai vektor filariasis bancrofti karena mempunyai komunitas paling dominan dan paling sering berkontak fisik dengan manusia dari pada spesies nyamuk yang lain.
2.3 Perkiraan umur nyamuk
Perkiraan umur nyamuk dapat diketahui berdasarkan angka nyamuk pernah bertelur (parous rate) dan angka peluang hidup nyamuk per hari. Angka parous rate menunjukkan angka besarnya nyamuk yang pemah bertelur dari
semua nyamuk yang diperiksa. Peluang hidup nyamuk per hari menggambarkan adanya besarnya peluang nyamuk untuk hidup dimasa mendatang. Tabel 8 dan lampiran 7 menunjukan bahwa perkiraan umur nyamuk sangat bervariasi, dengan kisaran umur antara dua sampai 24,5 hari. Untuk dapat memenuhi syarat menjadi vektor filariasis nyarnuk harus mempunyai umur relatif lebih panjang dari pada masa inkubasi ekstrinsik cacing (Sasa
1976). Masa
inkubasi ekstrinsik W bancroftti 10 - 1 1 hari (Beaver et al. 1984) atau 6
-
12 hari
(Brown 1969), sedangkan B. maIayi 6 - 6,5 hari (Sasa 1976) atau dalam waktu 10 hari (Edeson dan Wharton 1957) atau pada suhu optimum 7-9 hari (Bahang 1987), dan B. timori 7 - 10 hari (WHO 1987). Tabel 8 Perkiraan umur nyamuk di Gondanglegi Kulon, Malang, Maret-Agustus 200 1
7 An. subpiclus 2 8 Cx. bitaeniorhynchus 2 9 Ar. subalbatzcs 2 10 An. annularis 2 1 1 Cx. ~seudovishnui I Catatan : Perkiraan umur nyamuk (Lampiran 7)
-
24,5 - 24,5 - 24,5 - 24,5
2 2 2
5,9 4,3 10,4
2
2
7 I I rata-rata per spesies per penangkapan
2 -
7 -
I
Berdasarkan perkiraan umur nyamuk menurut angka modus maupun angka median, dapat dinyatakan bahwa C x . quinquefasciatus dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti, karena angka modusnya 10,5 hari dan angka mediannya 11,5 hari, yang berarti masih lebih panjang umurnya dari pada masa inkubasi ekstrinsik cacing filaria. Apabila melihat hasil penangkapan nyamuk setiap kali penangkapan, maka C x . quinquefisciatus di desa Gondanglegi Kulon dan sekitarnya tidak setiap saat atau setiap bulan dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti (Lampiran 7), karena pada bulan-bulan tertentu perkiraan umur nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih pendek daripada masa inkubasi ekstrinsik W. bancrofti. Ar. subalbatus rnempunyai angka median (10,4), artinya meskipun
dapat bertindak sebagai vektor filariasis bancrofti kernungkinannya lebih kecil, karena angka modusnya kecil sekali (2 hari), yang berarti perkiraan umur nyamuk lebih pendek
daripada masa inkubasi ekstrinsik W. bancrofti. Spesies nyamuk
yang lain, kemungkinan dapat bertindak sebagai vektor filariasis akan lebih kecil lagi karena baik angka median (2-8,9 hari) maupun angka modusnya (2-7,4 hari) relatif lebih pendek daripada masa inkuhasi ekstrinsik W: bancrofti.
2.3 Kerentanan nyamuk terhadap lama filariasis 2.4.1 Keberadaan larva filariasis dalam tubuh nyamuk secara alami Dari 3310 nyamuk (11 spesies) yang tertangkap dengan berbagai cara penangkapan setelah dilakukan pendedahan tidak ditemukan larva cacing filaria di dalam tubuhnya (Tabel 9).
Tabel 9 Hasil pembedahan nyamuk di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001
Karena angka infeksi filariasis secara mikroskopis pada manusia belum ditemukan atau mungkin sangat rendah, sehingga intensitas infeksinya terutama dalam tubuh vektor mungkin juga rendah, maka masih diperlukan metode lain yang lebih sensitif daripada yang telah dilakukan.
2.4.2 Keberadaan larva dalam nyamuk secara eksperimental Pada infeksi percobaan, nyamuk dari lokasi penelitian di desa Gondanglegi Kulon Malang digigitkan pada penderita filariasis yang positif mengandung mikrofilaria di daerah Bekasi, Jawa Barat. Penderita filariasis yang dijadikan umpan untuk digigitkan ke nyamuk sebanyak lima orang, dengan kepadatan mikrofilaria antara 10 - 45 ekor /20 mm3 atau 0,s - 2,25 mikrofilaria per mm3.
Jumlah nyamuk yang digigitkan sebanyak 200 ekor. Setelah itu dibawa ke Surabaya dan dipelihara sampai 14 hari, jumlah yang masih hidup atau yang dapat dibedah sebanyak 126 ekor yang terdiri atas enam spesies, di antaranya Cx. quinquefaciatw (60 ekor) , Cx. tritaeniorhynchus (30 ekor), A n v a g w (27 ekor), Ae. aegypti (5 ekor), An. inde3nitus (2 ekor) dan An. subpictus (2 ekor). Dari
nyamuk yang dibedah ditemukan 8 nyamuk Cx. quinqueJasciatus yang positif mengandung Iarva W. bancrojli bentuk L2 dan L3 ( Tabel 10). Angka infeksi dan angka infektif Cx. quinquefasciatus adalah sama yaitu 13,33, karena nyamuk yang mengandung L2 dan L3 maupun L3 saja jumlahnya sama, yaitu delapan ekor dari semua nyamuk yang dibedah. Spesies nyamuk lain tidak mengandung larva W. bancrofti baik bentuk infektif rnapun non infektif. Adapun kepadatan larva L3
per nyamuk adalah 13,87. Tabel 10
Hasil infeksi percobaan vektor filariasis
Menurut Oemijati (1999) W. bancrof;'i kurang adaptif terhadap inang definitif dan sangat adaptif terhadap vektornya. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan tersebut di atas, yaitu lebih sulit ditemukan mikrofilaria dalarn tubuh manusia, sedangkan dalarn tubuh nyamuknya sendiri dapat dibuktikan adanya larva infektif filaria melalui infeksi percobaan, dengan demikian berarti larva infektif lebih adaptif terhadap vektornya. Dengan hasil infeksi percobaan diatas telah terbukti bahwa nyamuk C x .
quinquefasciatus dapat dikatakan bersifat toleran terhadap kehadiran larva W. bancrofti secara eksperimen. 2.5 Kebiasaan nyamuk menggigit Kebiasaan nyamuk menggigit manusia mempunyai pola tertentu yang terjadi di dalam maupun di luar rumah. Aktifitas menggigit nyamuk dipengaruhi oleh siklus gonotrofik dan waktu.
Tabel 11 Aktifitas menggigit Cx. quinquefasciatus di dalarn dan di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus - 2001
05.00-06.00 Jumlah Persentase
61 719 47.15
8.5 100
56 806 52,85
6,9 100
117 1525 100
7,7 100
.*,
.
~ ~ a b dalam s a satu siklus gonotropik nyamuk dapat menggigit lebih dari satu kali akan lebih efektif untuk menjadi vektor. Aktifitas menggigit nyamuk *
I
juga sangat erat kaitannya dengan efektifitas nyamuk menjadi vektor. Iiasil penelitian di desa Gondanglegi Kulon (Tabel 11) menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciutw menggigit umpan orang di dalam rumah pada jam
penangkapan pertama (18.00
- 19.00) m p a i penangkapm terakhir ( 05.00 -
06.00 ). Aktifitas menggigit nyamuk Cx. quinquefbuha di dalam maupun di
luar nunah menunjukkan fl-
yang relatif sama, yaitu mulai meningkat
kepadatan menggigitnya pada puku121.00 sampai 02.00 (48,4 % ) dan mencapai puncaknya pada puku124.00. Pukul 02.00 - 04.00 menurun dan meningkat lagi pukul04.00-06.00 (Tabel 11 dan Gambar 10).
Gambar 10 Pola men&$
Cx. quinquefaciatw di dalam $an di luar ruinah di
Desa Oondanglegi Kulon, Maret - Agustus 200 1.
EIasil di atas
sesuai dengan penelitian terdahulu di Jakarta yang
menerangkan bahwa Cx. quinquefasciarus aktif menggigit dari pukul 22.00 05.00 dengan puncak aktifitas antara pukul 01.00 sampai pukul 04.00 (Hoedojo 1962). Hasil penelitian di Tangerang menyebutkan bahwa aktifitas menggigit Cx. quinquefasciatus di dalam rumah terbanyak antara pubil 21.00 sampai pukul
03.10 (71,22 %) dan diluar rumah antara pukul 22.00 sampai 02.10 (57,81 %),
dengan puncak kepadatan menggigit sesuai dengan puncak kepadatan mikrofilaria di dalam darah tepi penderita yaitu antara
pukul 00.29 sampai 01.02 (Munir
1992).
Dalam penelitian ini, karena tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah penderita filariasis klinis, maka pola menggigit Cx. quinquefasciarus tidak dapat dibandingkan dengan kepadatan mikrofilaria.
Tabel 12 Aktifitas menggigit Cx. tritaeniorhynchus di dalam dan di luar rumah Di Desa Gondanglegi Kulon, Maret - Agustus - 200 1
04.00-05.00 05.00-06.00 Jumlah Persentase
8 11 188 40.52
4.3 5.9 100
1 1 1 1
14 18 276 59.48
5.2 6.4 100
-
22 29 464 100
5 6 100
~d&
menggigit
Cx. quinquefosciatus di luar nunah h a d uji
statistiknya menunjukkan tidak ada beda nyata (P>O,O5) antara kepadatan
.
I
nyamuk menggigit orang di dalam rumah dengan di Luar rumah. M t a s menggigit Cx. tritaeniorhynchus terhadap manusia di dalam dan
di luar rumah meski tidak selalu ditemukan pada setiap jam penangkapan (dalam rekapitulasi hasil penangkapan), namun angka total selama enam bulan penelitian menunjukan bahwa 13.tritaeniorhynchus dapat ditemukan pada awal jam
-
+
penangkapan (18.00) sampai pada akhirjam penangkapan (06.00), baik menggigit
di dalam maupun di luar mah.Pola fluktuasi menggigit Cx. tritaeniorbchus di dalam nunah relatif sama dengan di luar m a h (Gambar 1l), dengan kepadatan menggigit di dalam mah lebih rendah (40,52 %) dibandingkan di luar rumah (59,48%) (Tabel 12).
Gambar 11 Pola menggigit Cx. tritaeniorhynchus di dalam dan di luar rumah di
Desa Oondanglegi Kulon, Maret - Agustus 2001.
2 Pembahasan umum 3.1 Aspek epidemiologi filariasis
Kasus filariasis di desa Gondanglegi Kulon diketahui sejak dilaporkan adanya kasus elefantiasis oleh Puskesmas Gondanglegi kepada Dinas kesehatan Kabupaten Malang dan Sub Direktorat FiIariasis dan Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI. pada tahun 2000. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa desa Gondanglegi Kulon dapat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis klinis, karena telah diketahui adanya penduduk yang mengalami gejala klinis filariasis akut dan kronis, dengan angka kesakitan akut sebesar 7,4 % dan angka kesakitan kronis sebesar 1,55 %. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penderita eiefantiasis sebanyak lima orang, dengan gejala klinis berupa limfudema pada kaki bagian bawah atau bawah lutut, yang dialami sejak sembilan tahun sampai 35 tahun yang lalu. Semua penderita elefantiasis sebelum terjadi limfudema didahului oleh adanya gejala limfadenitis pada kelenjar getah bening dan limfangitis pada saluran getah bening yang menjalar ke kaki bagian bawah sehingga terjadi pembengkakan. Setiap timbul gejaIa limfadenitis dan limfangitis disertai demam berkala 3-5 hari, dan kejadian tersebut berulang 4-7 kali setiap tahunnya. Secara epidemiologi kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon terjadi penularan setempat, dan sebaran umur berkisar antara 15-70 tahun, serta proporsi jenis kelamin 100 % perempuan. Adanya penderita elefantiasis semua perempuan, mungkin berkaitan dengan aktifitas penduduk perempuan di desa Gondanglegi Kulon, yang sebagian besar aktifitasnya lebih banyak berada di sekitar rumah dibandingkan dengan penduduk IakClakinya. Hal ini didukung adanya hasil pemeriksaan darah filariasis
terhadap penduduk, sebagian besar (67,18 %) yang datang dan diperiksa darahnya adalah perempuan. Meskipun pemeriksaan dilakukan pada tiga tempat (wilayah RT) yang berbeda dan waktu pemeriksaan juga berbeda, serta telah diupayakan mendatangi rumah-rumah penduduk, namun yang datang dan dapat diperiksa tetap sebagian besar perempuan. Data Sub Direktorat Filariasis dan Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI. tentang sebaran urnur dan jenis kelamin penderita filariasis positif di desa Perigi Baru Tangerang Tahun 1990, menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara penderita lakilaki (43,33 %) dan penderita perempuan (56,67%). Transrnisi filariasis pada saat ini dan beberapa tahun terakhir diduga tidak tejadi. Hal ini terlihat pada hasil pemeriksaan darah baik terhadap penderita klinis filariasis maupun kontak serumah serta penduduk di sekitar penderita sarnpai radius 1-2 k m tidak ditemukan adanya penderita positif
mikrofilaria.
Tetapi melihat semakin bertarnbahnya jumlah penderita elefantiasis dari satu menjadi lima penderita, berarti pada waktu yang lalu telah terjadi penularan filariasis, karena tempat domisili penderita elefantiasis masih dalam satu wilayah epidemiologi, yang berarti penularan filariasis di desa Gondanglegi Kulon bersifat setempat (indigenous).
3.2 Aspek ekologi dan kevektoran Desa
Gondanglegi Kulon
terutama di
sekitar tempat
penderita
elefantiasis, merupakan tempat yang sangat sesuai bagi perkembangbiakan vektor filariasis. Di daerah ini banyak dijumpai genangan air yang positif terdapat jentik nyamuk dari berbagai spesies, diantaranya berupa empang yang banyak dipunyai
warga masyarakat yang digunakan untuk mandi cuci sehari-hari, genangan air limbah rumah tangga yang terbuka, got yang tidak mengalir, sawah yang airnya tergenang, juga
banyak
dijumpai semak-semak, kebun dan tegalan
pepohonan rindang yang sangat mungkin
serta
menjadi ternpat istirahat nyamuk.
Beberapa jenis genangan air tersebut temyata sesuai dengan spesies nyamuk yang diternukan saat penangkapan (Tabel 4). Beberapa aspek kevektoran dalam penelitian ini adalah, perkiraan umur nyamuk, kepadatan populasi nyamuk, adanya kontak nyamuk dengan manusia dan tingkat reseptifitas nyamuk terhadap larva infektif filaria (L3) melalui infeksi percobaan,
ha1 ini telah sesuai dengan syarat-syarat nyamuk untuk menjadi
vektor. Hasil penelitian terhadap komunitas nyamuk dan vektor filariasis yang diduga, menunjukan bahwa nyamuk di desa Gondanglegi Kulon jenisnya bervariasi, yaitu ditemukan sebanyak 11 spesies nyamuk (Tabel 4), enam spesies diantaranya telah dilaporkan dan dikonfirmasi atau diisolasi sebagai vektor filariasis bancrofti, yaitu Cx. quinquefasciarus di Aceh (Brug 1931) di Jakarta dan Jawa Barat (Lie 1970) di Semarang (Brug 1931) dan Tangerang (Munir 1992) dan Cx. bitaeniorhynchus (Lie
1970 dan Munir
1992), An. subpictus dan An.
vagus sebagai vektor filariasis bancrofti di Flores (Lee et aL. 1983), An. aconitus
telah diisolasi melalui infeksi percobaan sebagai vektor filariasis bancrofti (Lie 1970). Di antara komunitas nyamuk yang terdapat berkontak fisik dengan manusia, populasi Cx. quinquefasciarus yang paling besar, baik dilihat dari analisis kelirnpahan nisbi (67,57
Oh),
angka kekerapan (92,38 %) maupun angka
dominasi (62,39 76). Dengan demikian Cx. quinquefasciatus telah memenuhi syarat sebagai vektor dari segi padat populasi tertinggi dan spesies yang paling sering berkontak fisik dengan manusia. Dari segi reseptifitas nyamuk terhadap filariasis tidak ditemukan larva infektif filaria dalam tubuh nyamuk secara alami, tetapi melaui infeksi percobaan (isolasi) terbukti Cx. quinquefasciatus mengandung L3 W.bancrofti dengan angka infektif 13,33 % dan kepadatan larva per nyamuk 13,87 ekor. Dengan demikian dari segi reseptifitas nyamuk terhadap cacing filaria, Cx. quinquefasciatus di desa Gondanglegi Kulon telah memenuhi syarat sebagai vektor filariasis bancrofti. Populasi Cx. quinquejasciatus sangat dominan dibanding dengan spesies yang
lain, ha1 ini
karena didukung adanya habitat yang
sesuai untuk
perkembangbiakan nyamuk tersebut. Keadaan ekologi desa Gondanglegi Kulon tersebut seperti banyak terdapat empang (kolam) yang digunakan untuk kebutuhan mandi cuci sehari-hari, banyak terdapat buangan air limbah rumah tangga yang berupa genangan air atau got terbuka yang kurang lancar aliran airnya dan banyak didapatkan jentik Cx. quinquefasciatus. Empang dan buangan air limbah yang kurang memenuhi
syarat kesehatan
tersebut
sangat cocok
untuk tempat
perindukan nyamuk, seperti dikemukakan oleh Hoedojo (1962) bahwa tempat perkembangbiakan pradewasa C x . quinquefisciatus adalah di air tawar yang mengandung material organik seperti genangan air tanah yang kotor dan terutama air ymg terpolusi. Sebagian empang juga ditemukan ikan beunter (Puntius
binotatus) yang terbawa dari aliran sungai, dan pada empang tersebut ternyata jarang ditemukan jentik nyamuk. Sesuai penelitian Usman dan Soemarlan (1 974),
bahwa jumlah jentik rata-rata yang dimakan ikan beunter
(Puntius binotatus)
yakni 52,8 ekor setiap harinya. Keadaan lingkungan lain yang mendukung populasi Cx. quinquefasciatus dan
spesies
lain
seperti
Cx.
tritaeniorhynchus, An.
vagus
dan
Cx.
bitaeniorhynchus adalah adanya kandang sapi dan buangan air limbah yang
bercampur dengan kotoran sapi yang kebanyakan sangat berdekatan dengan rumah. Ketiga spesies tersebut dikenal sebagai nyamuk kandang, maka keadaan lingkungan tersebut telah cocok sebagai faktor penunjang perkembangbiakan nyamuk. Keadaan ini tepat, karena masyarakat di desa Gondanglegi Kulon banyak yang betemak sapi perah sebagai mata pencaharian selain bertani. 3.3 Upaya pengendalian Secara klinis akut dan kronis desa Gondanglegi Kulon telah terbukti merupakan daerah endemis filariasis klinis, meskipun secara mikroskopis belum ditemukan positif mikrofilaria dan di alam belum ditemukan vektornya. Namun bukan berarti filariasis di desa Gondanglegi Kulon dan sekitarnya bukan bermasalah, bahkan sebaliknya penderita elefantiasis dan keluarganya telah mengalami penderitaan dan kerugian yang cukup besar baik secara fisik, psikologi, materi maupun sosial.
Untuk itu upaya pemberantasan penyakit
filariasis dan pengendalian vektornya perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan pemberatasan penyakit filariasis dm pengendalian vektornya, di antaranya adalah (1) Terhadap penderita elefantiasis pengobatan dengan DEC perlu dilanjutkan,
karena telah terbukti setelah dilakukan pengobatan sebanyak 25 kali
para
penderita banyak mengalami kemajuan kesehatannya. Terutama dari gejala klinis
yang biasa dialami penderita secara berkala seperti demam 3-5 hari yang diikuti rasa nyeri dan panas pada permukaan tubuh yang mengalami limfudema, perasam mual dan hilang nafsu makan, rasa gelisah dan tidak dapat tidur, gejala tersebut sering dialami penderita harnpir setiap satu atau dua bulan sekali. Setelah diberikan pengobatan maka penderita tidak menunjukkan gejala klinis lagi, dan kaki yang mengalmi limfudema juga mengecil ukurannya. (2) Terhadap penderita klinis akut filariasis perlu dipantau terus kesehatannya dan
perlu dilakukan pemeriksaan darah ulang. Akan lebih baik bila dilakukan penelitian dengan metode pemeriksaan darah yang lebih sensitif dan lebih tepat waktu pengambilannya disesuaikan dengan puncak kepadatan vektomya. (3) Untuk pengendalian vektomya, perlu dilakukan penataan keadaan lingkungan
fisik khususnya sistem pembuangan air limbah rumah tangga agar memenuhi syarat kesehatan dan tidak menjadi tempat perindukan vektor filariasis. Kolam (empang) di sekitar rumah yang banyak terdapat
di desa Gondanglegi Kulon
perlu diisi ikan, terutama ikan yang dapat berperan sebagai pemakan jentik dan sekaligus dapat dikonsumsi masyarakat, seperti ikan mujaer, ikan emas dan lainlain. Beberapa
kemungkinan
yang
menyebabkan
tidak
ditemukannya
mikrofilaria dalarn darah antara lain adalah (1) kepadatan mikrofilaria dalam darah penderita sangat rendah, dan kemungkinan mikrofilaria yang dihisap sangat rendah atau jarang sekali terjadi (2) kepadatan populasi Cx. quinquefasciutus dengan berbagai cara penangkapan cukup tinggi, tetapi umur nyamuk pada setiap penangkapan tidak selalu panjang (melebihi masa inkubasi ekstrinsik), sehingga kemungkinan nyamuk menjadi vektor filariasis tidak terjadi secara terus menerus
(3) galur Cx. quinquefisciatus di daerah penelitian relatif tidak akomodatif terhadap larva (4) telah timbul respon kekebalan terhadap filariasis pada penderita, terutama penderita yang dewasa (5) metode pemeriksaan darah yang digunakan masih kurang sensitif untuk mendeteksi mikrofilaria dalam konsentrasi yang rendah (6) waktu pengambilan darah pada penderita dan penduduk masih kurang tepat pada kepadatan mikrofilaria tertinggi (7) petugas yang melakukan penangkapan nyamuk masih kurang terampil.