BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat
dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahannya maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Mengingat permasalahan pertanahan yang muncul dewasa ini dimana secara kwalitas maupun kwantitas semakin meningkat memerlukan penanganan yang sistematis. Berbagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses litigasi (peradilan) yang ada dianggap belum mampu menyelesaikan sengketa yang ada, sehingga berbagai upaya alternatif penyelesaian sengketa pertanahan seperti mediasi, fasilitasi dan lainnya kemudian mengemuka dengan sasaran
untuk
meminimalisir
sengketa
pertanahan
yang
sarat
dengan
kepentingan, baik untuk kepentingan pembangunan maupun masyarakat sendiri. Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik maupun sengketa. Konflik, menurut definisi Coser adalah sebagai berikut: “Conflicts involve struggles between two or more people over values, or
Universitas Sumatera Utara
competition for status, power, or scarce resources”. 1 Jika konflik itu telah nyata (manifest), maka hal itu disebut sengketa. 2 Untuk mengantisipasi konflik pertanahan yang berkembang, kualitas maupun kwantitas yang sudah tidak relevan dengan ketentuan Perundangundangan yang diperlukan adanya kebijakan undang-undang baru yang mengatur tentang konflik pertanahan sesuai dengan kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penologi dan viktimologi yang dapat memberikan perlindungan hukum sesuai dengan rasa keadilan hukum masyarakat 3 Secara sepesifik dan praktis untuk menyelesaikan konflik pertanahan dan menghindari pandangan aparat penegak hukum yang terlalu berpegang pada dalil dan konsep hukum secara positivistis dan legalistis serta kurang memperhatikan dan mengembangkan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law),
perlu
dikembangkan
peradilan
model
inter-face
sebagai
konsekwensi karakter konflik pertanahan yaitu suatu model peradilan yang memadukan pertimbangan ilmu pengetahuan sosial terhadap fakta yang mengandung nilai norma dan pertimbangan yuridis formal dari suatu peraturan perundang-undangan yang secara sosiologis kurang mengikuti perubahan sosial
1
Moore, Konflik dan sengketa tanah di Indonesia, 1996, http://www. iains.com/detailartikel.php, , hal 16 diakses tanggal 11 Juli 2009 2 Moore, Ibid., hal. 17. 3 H. Hambali Thalib, Prof, Dr, SH, M.H, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group 2009, hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
serta pengembangan makna perbuatan melawan hukum materil (materiele wederrechtlijkheid) 4 Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima kelompok, yakni: 5 1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain; 2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; 3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan; 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat. Tipologi sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan) terdiri dari masalah yang berkaitan dengan : 1. Penguasaan dan pemilikan tanah, 2. Penetapan hak dan pendaftaran tanah, 3. Batas atau letak bidang tanah, 4. Pengadaan tanah, 5. Tanah obyek landreform, 6. Tuntutan ganti rugi tanah partikelir, 7. Tanah Ulayat, 4
H. Hambali Thalib, Prof, Dr, SH, M.H, ibid, hal 190 Maria SW. Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta. 2008.hal 110. 5
Universitas Sumatera Utara
8. Pelaksanaan Putusan Pengadilan, 6 . Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi curahan hal yang sama terhadap kerja atau usahanya. Dampak sosial dari konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial di antara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerja sama di antara mereka. Dalam hal terjadi konflik antar instansi pemerintah, hal itu akan menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan pelaksanaan tata ruang. Di samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi objek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.
6
Keputusan Kepala Badan Pertanahan RI No.34 Tahun 2007, Indonesia Legal For Law and Justice Reform Center Publishing, ( Karya Gemilang 2009) hal 8.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata, pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak sebagaimana diuraikan di atas. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform menunjukkan perlunya peningkatan penegakkan hukum di bidang landreform sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi ini mempunyai
kelebihan
bila
dibandingkan
dengan
berperkara
di
muka
pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/ tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan dan paksaan. Menurut data dari BPN RI bahwa Operasi Tuntas Sengketa Tahap I s/d III tahun 2009 yang ditugaskan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara sebanyak 90 sengketa terdiri dari tahap I sejumlah 30 sengketa, tahap II sejumlah 30 sengketa dan tahap III sejumlah 30 sengketa. 7 Dan berdasarkan analisis peta sebaran masalah
7
BPN RI 2009, Perintah Operasi Tuntas Sengketa tahun 2009, Lampiran IV. Jakarta 2009.
Universitas Sumatera Utara
ada sepuluh Provinsi yang berperingkat terbanyak dalam segi jumlah permasalahan, dan Sumatera Utara menduduki posisi ke empat dengan jumlah sengketa 11,68 %. 8 Sebagai contoh, jumlah kasus sengketa tanah yang ada di Wilayah Provinsi Sumatera Utara dalam 5 (lima) tahun terakhir dengan rincian sebagai berikut: 1. Tahun 2004 jumlah sengketa 99 Kasus, konflik 59 kasus dan perkara 240 kasus 2. Tahun 2005 jumlah sengketa 166 Kasus, konflik 64 kasus dan perkara 297 kasus 3. Tahun 2006 jumlah sengketa 169 Kasus, konflik 179 kasus dan perkara 421 kasus 4. Tahun 2007 jumlah sengketa 165 Kasus, konflik 279 kasus dan perkara 328 kasus 5. Tahun 2008 jumlah sengketa 132 Kasus, konflik 208 kasus dan perkara 292 kasus 9 Sedangkan jumlah kasus sengketa di BPN Deli Serdang tahun 2004 sejumlah 15 sengketa dan 15 konflik. Pada tahun 2005 sejumlah 30 sengketa dan 17 konflik. Pada tahun 2006 sejumlah 30 sengketa dan 14 konflik. Pada tahun 2007 sejumlah 57 sengketa dan 66 konflik serta pada tahun 2008 sejumlah 9 sengketa dan 20 konflik. 10
8
Keputusan Kepala BPN RI Nomor: 11 tahun 2009 tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI menangani dan menyelesaikan sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan tahun 2009.hal 7 9 Profil Kantor BPN Provinsi Sumatera Utara 2009 10 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai sengketa yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, pada dasarnya dapat dilihat adanya sengketa yang timbul di antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan perkebunan, dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga pemerintah. Sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini sebenarnya timbul bukan saja karena dampak proses reformasi yang sedang berjalan, tetapi beberapa sengketa sudah terjadi, dan benih-benih persengketaan itu memang sudah ada jauh sebelum era reformasi dimulai. Kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa masyarakat diliputi rasa takut untuk menanyakan, menuntut, ataupun menggugat pihak yang sedang berkuasa, tidak demikian halnya pada masa ini. Dilaksanakannya proses reformasi di segala bidang, mempunyai dampak positif bagi warga masyarakat, terutama dalam hal kebebasan berfikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya, serta keberanian menuntut dan menggugat kepada pihak penguasa untuk mempertahankan ataupun mengembalikan hak-hak yang dipunyainya. Keadaan ini tercermin dari banyaknya kasus pertanahan yang muncul ke permukaan, yang dilaporkan kepada pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun BPN. Untuk mengatasi dan menyelesaikan kasus-kasus pertanahan ini di Sumatera Utara telah lahir lembaga/organisasi yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat Reformasi Agraria (GERAG). Dalam kegiatannya organisasi ini mewakili kelompok masyarakat untuk menuntut dan mendesak kepada pihak penguasa untuk dapat segera menyelesaikan
kasus-kasus
pertanahan
yang
timbul
dan
dimintakan
Universitas Sumatera Utara
penyelesaiannya. 11 dengan cara mengirimkan surat yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang isinya mengusulkan keikutsertaan perwakilan masyarakat sebagai anggota tim penyelesaian masalah tanah di Sumatera Utara pada tanggal 26 September 1988. Hasilnya adalah, pada tanggal 17 Desember 1998 Gubernur Kepala Provinsi Sumatera Utara dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara No.593.05/2814/K Tahun 1998 membentuk Tim Terpadu Penelitian dan Pemecahan Masalah Tanah Garapan Penduduk di Areal HGU PTPN II dan Perkebunan Swasta di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini merupakan penyempurnaan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 593.05/1392/K Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Tim Penertiban Permasalahan Tanah Garapan Penduduk di areal HGU PTPN II dan lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Dalam Tesis ini ada beberapa kasus tanah di Provinsi Sumatera Utara yang dapat diselesaikan melalui jalan
Mediasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang, antara lain: Misalnya, sengketa tanah bekas Hak Milik No. 609/ Bakaran Batu, yang merupakan perubahan dari Sertifikat Hak Milik No. 1/ Desa Bakaran Batu, terdaftar atas nama Sabam Siahaan, seluas 16.599 m2, antara ahli waris Alm. Sabar Siahaan dengan Erick Raharjo/ Bun Yu telah tercapai penyelesaian dengan membagi tanah dimaksud, masing-masing ¼ bagian dari luas tanah (seluas 5.194 m2) menjadi milik
11
Harian Analisa, berdirinya GERAG di Sumatera Utara, tanggal 14 Mei 1998. Hal 7
Universitas Sumatera Utara
ahli waris Alm. Sabar Siahaan dan ¾ bagian dari luas tanah (seluas 11.405 m2) menjadi milik Erick Raharjo/ Bun Yu. Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1278/ Desa Sigara-gara, terdaftar atas nama Robert Marpaung, seluas 18.005 m2, yang terletak di Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Jansen Tarigan dengan Abdul Hariel Nasution dan Sengketa tanah Hak Milik Nomor 1892/ Mulia Rejo, terdaftar An. Keuskupan Agung Medan dengan Nomor 1893/ Mulia Rejo, terdaftar An. Dokter Kianto Nazar dan Sumady Yusuf, terletak di Jalan Binjai Km. 11, Desa Mulia Rejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, antara Sdr. Leedert Joseph Lopulisa dengan Sdri. Lisa Imelda Lopulisa dan pemegang hak tersebut di atas, dimana atas sengketa tersebut telah tercapai kesepakatan bersama antara para pihak yang bersengketa. 12 Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan/ litigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan/ non litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan melalui proses mediasi yang merupakan proses penyelesaian berdasarkan prinsip win-win solution yang diharapkan penyelesaiannya secara memuaskan dan diterima semua pihak.
12
Wawancara dengan Sontian Siahaan SH, Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara, Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 8 Desember 2009.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu fungsi Deputi Bidang Pengkajian dan Penyelesaian Sengketa dan konflik pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 345 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya. Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat di dalam hukum acara perdata yaitu HIR Pasal 130 dan Rbg 154 telah mengatur tentang lembaga perdamain, di mana Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara adjudikasi. Namun dalam pelaksanaannya kurang berhasil. Untuk memberdayakan pasal tersebut, maka dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Untuk melengkapinya, dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, karena memang lembaga mediasi bukanlah lembaga litigasi melainkan berada di luar pengadilan. Seperti diumpamakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa pengadilan formal bagaikan restoran mewah di tengah-tengah masyarakat yang juga membutuhkan pizza dan hamburger untuk makanan murah dan cepat saji. 13 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses 13
Lawrence M. Friedman, American Law and Introduction, 2nd Edition, Penerjemah: Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pattatanusa, 2001), hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
peradilan formal dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi harus memerlukan beberapa tahapan di antaranya adalah tahapan mengajukan pendaftaran perkara, penetapan hakim majelis. Dalam sidang pertama hakim mewajibkan para pihak yang berperkara menempuh mediasi terlebih dahulu sebelum sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya dan memilih para mediator dengan menunjukkan dan menetapkan mediator sekaligus menyerahkan fotocopy berkas perkara kepada para mediator. Dalam penyerahan perkara kepada mediator, di luar pengadilan diberi waktu 20 (dua puluh) hari sejak dimintakan hakim untuk berdamai dan apabila tercapai kesepakatan di luar pengadilan, maka para pihak merumuskan kesepakatan secara tertulis dan memberitahukan hasil kesepakatan itu kepada hakim untuk memenuhi pengukuhan kesepakatan sebagai akta perdamaian oleh hakim. 14
14
Runtung Sitepu, “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Disampaikan dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang? 2. Bagaimana
keberhasilan
mediasi
dalam
menyelesaikan
sengketa
pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang? 3. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam penyelesaian mediasi?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui penerapan mediasi dalam sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang 2. Untuk mengetahui keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pertanahan studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang 3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam penyelesaian mediasi.
Universitas Sumatera Utara
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang pertanahan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam kasus mengenai alternatif penyelesaian sengketa pertanahan. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta mediator, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tanah mempunyai persepsi yang sama.
Universitas Sumatera Utara
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang pertanahan (studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Penyelesaian sengketa
tanah namun jelas berbeda
dengan penelitian ini Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F.
Kerangka Teori Dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.
Kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool as Social Engineering” 15 . Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga tidak menghambat laju perkembangan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi. Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from enjury). 16 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the element of will). 17 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu 15
Roscoe Pound, “Social Control Through Law: Jural Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 578-579, dikutip dari Pound, Jurisprudence, Vol.3, hal.8-10, dikutip dari Stone, Human Law and Human Justice (1965), hal.280. 16 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal. 4-5. 17 George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, (London: Oxford University Press, 1951), hal. 221.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah
kebaikan,
kebahagiaan
yang
sebesar-besarnya
dan
berkurangnya penderitaan. 18 Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang, contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang tidak beruntung itu. 19 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam penyelesaian sengketa
pertanahan
yang
menggunakan
mediasi
sebagai
alternatif
penyelesaiannya Dalam hal mediasi merupakan cermin dari utilitarianisme. Teori tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) 20 . Teori utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. 18
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79. 19 O.K. Thariza, “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, Dikutip dari http//okthariza.multiply.com/journal/item, Diakses tanggal 5 Mei 2009. 20 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
Teori utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes (1588-1679). 21 Filsafat Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip utilitas. Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi undang-undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman sebagai hal yang bermanfaat. Hal ini dapat dipahami dari salah satu fungsi mediasi tersebut yaitu untuk tercapainya penyelesaian sengketa pertanahan. Hukum adalah salah satu kaidah sosial yang digunakan oleh manusia untuk menata diri mereka agar tertib dan berkeadilan. Masih banyak tatanan lain yang hidup, berkembang dan sampai hari ini digunakan oleh masyarakat, seperti tatanan adat, sosial, moral dan juga agama. Bersama dengan hukum, sekalian tatanan itu bekerja menciptakan harmoni dan keteraturan perikehidupan manusia. Meminjam bahasa Satjipto Rahardjo, model penyelesaian sengketa dengan cara kompromi dan perdamaian merupakan ciri khas Indonesia (distinctly Indonesian). 22 Oleh karena itu, menghadapi kecenderungan makin banyaknya sengketa tanah yang telah, sedang dan bakal terjadi di masa mendatang dan cacat penyelesaian sengketa di pengadilan, maka pendekatan penyelesaian sengketa yang berbasiskan budaya setempat dapat dimajukan sebagai alternatif. Salah satu kemungkinan yang dapat dikemukakan sebagai doktrin atau asas alternatif itu adalah menyatakan bahwa Indonesia lebih mengunggulkan “supremacy of moral/ justice” 21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius , 1982),
hal. 63. 22
Satjipto Rahardjo, “Transformasi Nilai-nilai dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum Nasional”, disampaikan pada seminar Proses Pembangunan Hukum dalam PJP II, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 12-14 Juni 1995.
Universitas Sumatera Utara
daripada “supremacy of law”. Dalam supremacy of moral/ justice, nilai-nilai yang dimajukan dalam penyelesaian sengketa adalah perdamaian, moral dan keadilan, empati, kebenaran dan komitmen. 23 Dengan asas baru tersebut, kebekuan, penyelesaian sengketa secara litigasi dapat didobrak dan digantikan dengan cara-cara lain yang lebih segar, efisien dan berkeadilan, yakni dengan memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa secara alternatif juga didukung oleh UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Demikian pula Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menegaskan bahwa setiap perkara perdata yang masuk di pengadilan diwajibkan untuk diselesaikan melalui proses mediasi sebelum disidangkan. Dari paparan terlihat bahwa penyelesaian non-litigasi sengketa tanah mendapatkan habitus yang cocok di Indonesia (khususnya Jawa) di mana budaya rukun (harmoni), saling menghormati dan komunalisme lebih menonjol dari pada budaya saling sengketa dan individualisme-liberalisme. Dari berbagai sengketa yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, pada dasarnya dapat dilihat adanya sengketa yang timbul di antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan
23
Hal ini berbeda dengan implementasi konsep rule of law dalam kehidupan berhukum dimasyarakat. Dalam rule of law, cara berhukum diwujudkan dalam penyelesaian konflik,perundangundangan, prosedur, kebenaran hukum (legal justice) dan birokrasi. Lihat ibid.
Universitas Sumatera Utara
perkebunan, dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga pemerintah. Sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini sebenarnya timbul bukan saja karena dampak proses reformasi yang sedang berjalan, tetapi beberapa sengketa sudah terjadi, dan benih-benih persengketaan itu memang sudah ada jauh sebelum era reformasi dimulai. Kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa masyarakat diliputi rasa takut untuk menanyakan, menuntut, ataupun menggugat pihak yang sedang berkuasa, tidak demikian halnya pada masa ini.
2. Konsepsional Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan mediasi adalah proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) untuk mendapatkan suatu hasil yang saling menguntungkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. 24 Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting, yakni: 1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih;
24
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 569.
Universitas Sumatera Utara
2. pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa; 3. pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. Sengketa Petanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan atau pemilikan, atau penggunaan dan pemanfaatan atas bidang tanah tertentu atau pihak tertentu (Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 34 tahun 2007, Petunjuk Teknis No. 05/ Juknis/D.V/2007). Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak 25 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat
melalui
prosedur
yang
disepakati
para
pihak,
yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 26
25 26
Maria SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta, Kompas. 2008. Hal.4 UU RI No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1
ayat (10)
Universitas Sumatera Utara
Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk dari jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya. 27
G.
Metode Penelitian Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah dan secara
kepustakaan. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif. 28 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process). 29 Penelitian hukum normatif berdasarkan data
27
BPN RI Petunjuk Teknis Nomor: 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Mediasi 28
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105. 29 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118
Universitas Sumatera Utara
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. 30 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
penelitian
kepustakaan
(library
research),
sebagai
suatu
teknik
pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Uraian ataupun gambaran sengketa pertanahan di Sumatera Utara didasarkan pada pengamatan, data, dan informasi yang diperoleh dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Utara di Medan dan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan
prosedur
penelitian
ilmiah
untuk
menemukan
kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 31 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang
30
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003),
hal. 3. 31
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok
tertentu. 32
Deskriptif
analitis
berarti
bahwa
penelitian
ini
menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus tanah di Indonesia. 2. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian berasal dari data sekunder yang dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer terdiri dari : Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di
32
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997),
hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan seperti Petunjuk Teknis BPN RI nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi Keputusan Kepala BPN No.34 Tahun 2007. b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi. 33 c. Bahan hukum tertier : Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah. 34 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.
33
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14. 34
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Studi kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar
hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan
pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 35 4. Analisis Data a. Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan,
putusan-putusan
pengadilan
dan
dianalisis
berdasarkan metode kualitatif. 5. Alat Pengumpulan Data a. Dilakukan melalui studi dokumen dokumen sengketa, perkara dan konflik di Kantor Pertanahan Deli Serdang b. wawancara dengan pihak terkait, dalam hal ini oleh Pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
35
Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97.
Universitas Sumatera Utara