BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia membentuk pemerintah bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Oleh sebab itu tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokrasi yang di laksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. 1 Salah satu bentuk dari pembangunan
hukum
yang
menunjang
pembangunan di bidang hukum adalah yang menyangkut tentang perbuatan malanggar hukum. salah satunya pembentukan
hukum
tentang lembaga
keuangan, Lembaga Keuangan merupakan badan hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan sebagai perantara yang menghubungkan pihak yang berlebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Dengan demikian, lembaga keuangan berperan sebagai perantara keuangan masyarakat. Bahwa pembangunan hukum di tujukan untuk
memanfaatkan
dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang telah mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati
1
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang system Perencanaan Pembangunan Nasional
1
2
iklim kepastian dan ketertiban hukum, dan hukum
menjadi
pengayom
masyarakat serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.2 Perbuatan melanggar hukum sebagaimana dirumuskan secara khusus dalam Pasal 1365 KUH Perdata bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian. 3 Pada dasarnya perumusan yang diberikan oleh undang-undang mengenai perbuatan melanggar hukum ini, ialah sebagaimana yang tercantum dalam Pasala 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Setiap orang itu bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang di sebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang di sebabkan karena kelalaian atau karena kurang hati-hatinya. 4 Menururut ketentuan Pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Adapun yang dimaksud kerugian ialah kerugian yang timbul karena melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak dinyatakan lalai. kewajiban ganti-rugi tidak
2 3 4
Ibid. hlm 119 Satrio, Hukum Perikatan, Bagian Pertama, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 147. Elise T Sulistiani, Rudy T Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.26
3
dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai. 5 Salah satu bentuk nyata dari pembangunan hukum yang menunjang pembangunan di bidang ekonomi adalah pembentukan hukum tentang lembaga keuangan (Perbankan). Lembaga Keuangan merupakan badan hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan sebagai perantara yang menghubungkan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Dengan demikian, lembaga keuangan berperan sebagai perantara keuangan masyarakat Perbankan
merupakan suatu wahana yang dapat menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang berasaskan demokrasi ekonomi mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. 6 Salah satu jenis perbankan yang ada di Indonesia yaitu jenis bank yang khusus melayani masyarakat kecil terutama bagi mereka yang memerlukan modal yang begitu besar. Kendati pada umumnya di Negara asing perbankan tidak di tujukan untuk melayani masyarakat kecil. Pemberian kredit merupakan salah satu jenis usaha bank, yaitu dengan menyalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana kredit. Adapun yang di berikan kredit oleh bank adalah untuk mengmbangkan pembangunan berdasarkan prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan sekecilkecilnya untuk dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besranya.
5
Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, cet.II, Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 1986. hlm. 147.
6
Mariana Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. 1994, hlm. 106
4
Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan partum,buhan ekonomi, dan stabilitas nasionala, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Karena kemakmuran rakyatlah yang diutamakan, sebab perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Hal tersebut sesuai dengan asas perusahaan. Perusahaan merupakan suatu badan usaha berbentuk badan hukum yang anggotanya terdiri dari orang perorangan atau badan hukum perusahaan di mana kegiatan didasarkan atas prinsif ekonomi kerakyatan berdasarkan atas asas-asas kekeluargaan untuk mencapai tujuan kemakmuran anggota. Dalam pergaulan hukum, manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban salah satunya adalah
PT. Tritunggal Patryaksa. Selain
mempunyai kepentingan perseorangan (individual), di samping itu pula manusia sering kali mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Berkumpul dan mempersatukan diri. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan bersama, dimana karena kepentingan terjadi apabila dalam pelaksanaannya merugikan kepentingan orang lain. Oleh karena itu setiap manusia yang akan melakukan kepentinagan baik kepentinagan individu maupun kepentingan bersama dengan orang lain harus memperhatikan resiko yang akan terjadi. Bentuk resiko yang mungkin timbul dari suatu hubungan hukum adalah tidak di penuhinya prestasi oleh salahsatu pihak dalam suatu perjanjian, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
5
Pada
dasrnya
badan
hukum
juga
merupakan
subyek
hukum
(rechtspersoon) di samping manusia pribadi atau naturlijk person. Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan satu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum. 7 Dalam praktek peradilan menerima bahwa badan hukum dapat juga melakukan perbuatan melanggar hukum dan karenanya dapat di pertanggung jawabkan berdasarakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut : “Tiap Perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Kerugian yang di sebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugian materil dan dapat berupa kerugian immateril. Kerugian materil dapat terdiri dari kerugian yang nyata di derita dan hilangnya keuntungan yang di harapkan. Dalam hal ini dapat di terapkan melalui Pasal 1246 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh di tuntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah di deritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan di sebut di bawah ini”. Perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati Undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang dibuat, maka di anggap sama dengan
7
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 147
6
melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum8 Pengertian
“perbuatan
melanggar
hukum”
jika
melihat
kepada
yuriprudensi dan perkembangan sebelum dan sesudah tahun 1919. dalam hal ini di kenal 2 (dua) ajaran, yaitu : 9 1. Pengertian sempit, yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum harus di artikan berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hak si pembuat atau melanggar hak orang lain. 2. Pengertian luas, bahwa perbuatan melanggar hukum yaitu tidak hanya jika melanggar kewajiban hukum tertulis, tetapi juga melanggar kepatutan dan itikad baik yang berlaku dalam masyarakat. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka suatu perbuatan melanggar hukum haruslah mengandung unsurunsur sebagai berikut :10 1. Adanya suatu perbuatan. 2. Perbuatan tersebut melanggar hukum. 3. Adanya kesalan dari pihak pelaku. 4. Adanya kerugian bagi korban. 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Gugatan
perbuatan
melanggar
hukum
berbeda
dengan
gugatan
wanprestasi. Menurut teori klasik yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum, tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi.
8
Satrio, Hukum Perikatan, Bagian Pertama, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 147. Ibid. hlm. 160 10 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm. 10. 9
7
Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang di harapkan. Tujuan gugatan perbuatan melanggar hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum, ganti rugi yang di berikan adalah kerugian yang nyata. Kitab Undang-undang Hukum Perdata membedakan antara gugatan wanprestasi yang di dasarkan pada hubungan kontraktual antara penggugat dengan tergugat dalam gugatan perbuatan melanggar hukum, di mana tidak ada hubungan kontraktual antara penggugat dengan tergugat. Perkembangan dalam praktik putusan-putusan pengadilan menunjukkan bahwa terjadinya pergeseran teori tersebut karena hubungan kontraktual antara penggugat dengan tergugat tidak menghalangi di ajukannya gugatan perbuatan melanggar hukum.11 Dalam gugatan, pihak-pihak yang akan di tarik haruslah orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas sebagai pihak penggugat maupun pihak tergugat. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.12 Seperti dalam Putusan Nomor 52/Pdt.G/2006 PN.Bdg kasus tentang perbuatan melanggar hukum yang di lakukan oleh Drs. Agoes Bhakti ( Tergugat I ), Bank Sumatra Selatan bangka Belitung Cabang Pangkal Pinang (Tergugat II ) terhadap Ir Cecep Kosasih (Penggugat I). Dimana dalam kasus ini, berdasarkan surat kuasa yang diberikan PT. Patryaksa Konsultan (Penggugat I) kepada Drs. Agoes Bhakti (tergugat) di maksud adalah untuk membuka rekening pada bank Sumatra selatan Cabang
11 12
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisam Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 136. Ibid. hlm. 145
8
Pangkal Pinang (tergugat II) atas nama penggugat. Pembukaan rekening di maksud adalah untuk mengatur tentang mekanisme penerimaan pembayaran yang harus di lakukan melalui penyetoran rekening pada tergugat I dengan tujuan adanya pengawasan terhadap proses pembayaran dari hasil pekerjaan proyek yang akan di bayarkan melalui tergugat II. Namun sejumlah uang dari hasil pekerjaan proyek di maksud yang seharusnya di terima penggugat, sekalipun pekerjaan proyek telah sesuai dengan jadwal penggugat belum menerima sepeserpun dan setelah di selidiki penggugat, ternyata pembayaran telah di laksanakan seluruhnya dan di terima secara langsung dan tunai oleh tergugat I. Hasil pembayaran proyek yang seharusnya disetorkan kerekening perusahaan melalui tergugat II ternyata tidak di setorkan, melainkan di ambil secara tunai dari tergugat II, padahal berdasarkan bukti legalitas yang ada tergugat II tidak mempunyai hak untuk membayar langsung kepada tergugat I melainkan harus melalui mekanisme pencairan rekening. Untuk itu penggugat yaitu Ir. Cecep Kosasih selaku direktur PT. Tritunggal Patryaksa dalam hal ini kuasa hukumnya berdasarkan kuasa khusus tertanggal 9 pebruari 2006, kepada Absar Kartabrata, SH, M.Mam. Agustinus Pohan, SH.MS, serta memiliki domisili di kantor pengacara/ penasehat hukum, beralamat di Jl. Buah batu Dalam II No.3 Bandung yang bertindak untuk diri sendiri dan juga bertindak sebagai kuasa hukum penggugat, para penggugat telah mengajukan surat gugatannya tertanggal 9 Nopember 2006 yang telah terdaftar di kepanitiaan Pengadilan Negeri Bandung kelas IA Bandung pada tanggal 22 November 2006 di bawah Register Perkara Nomor 52/PDT.G/2006/PN.BDG.
9
Bahwa tindakan tergugat I,II, dan III selalu direktur PT. Tritunggal Patryaksa Bandung terhadap penggugat/anngota perusahaan lainnya, telah menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis di rasa perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul : “ PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR 52 TAHUN 2006
TENTANG
PERBUATAN
(ONRECHTMATIGEDAAD)
DALAM
HUKUM”
MELANGGAR PENCAIRAN
DANA
PT.
TRITUNGGAL PATRYAKSA BANDUNG ”
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan di kaitkan dengan judul skripsi, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pertimbangan hukum perkara perdata No 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung terhadap alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. 2. Bagaimana putusan pengadilan negeri dalam perkara perdata registrasi No. 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung telah dapat di kategorikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum .
10
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hukum perkara perdata No 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung terhadap alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. 2. Untuk mengetahui apakah putusan pengadilan negeri dalam perkara perdata No. 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung telah dapat di katagorikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum .
D. Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan yang bersifat teoritis maupun kegunaan yang bersifat praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah di bandung Ilmu Hukum pada umumnya dan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritis dalam rangka pengembangan Hukum perdata, khususnya umumnya permasalahan hukum yang berkenaan dengan perbuatan melakukan melanggar hukum. 2. Secara praktis Dalam penemuan kaidah dan niali-nilai hukum yang di terapkan dalam putusan Badan Peradilan terhadap suatu peristiwa hukum yang kongkrit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penegak hukum, khususnya pada hakim sehingga dapat menjadi bahan evaluasi dalam menegakan hukum di Indonesia.
11
E. Kerangka Pemikiran Tujuan nasional sebagaimana di tegaskan dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945), amandemen ke IV, di wujudkan melalui penyelenggaraan Negara yang berkedaulatan rakyat dan demokrasi dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Penyelenggaraan Negara dilaksanakan melalui
pembangunan nasional dalam aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggaraan Negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pada dasarnya setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan baik, sebagai mana di jelaskan dalam Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Sebagai berikut : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atua tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Karena pada kenyataannya setiap manusia warga Negara Indonesia, khususnya para korban berhak untuk mendapatkan rasa aman dari perbuatan orang lain, baik untuk dirinya ataupun untuk harta bendanya. Oleh sebab itu Negara Indonesia melalui Undang-Undang harus selalu melindungi setiap warga Negaranya, karena semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya.
12
Pasal 33 ayat (1) Undang-undang 1545 menyatakan sebagai berikut : “Perekonomian
di
susun
sebagai
uasaha
bersama
berdasar
atas
asas
kekeluargaan.” Dalam pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “Perekonomian Nasional diselengarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsif kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masayarakat yang diutamakan, kemakmuran seseorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarakan asas kekeluargaan. Pada hakikatnya tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan di bidang ekonomi harus di tunjang oleh pembangunan di bidang hukum, karena hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan dan tahapan pembangunan. Hal tersebut sebagaimana di kemukakan oleh Moch tar Kusumaatmadja bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai salah satu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masayarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan
13
proses (processes) yang dapat di perlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. 13 Pada dasarnya hukum menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju tujuan yang di inginkan, bahkan perlu menghilangkan kebiasaan masyarakat yang di pandang negative. Roscue Pound mengatakan, bahwa tujuan hukum adalah sebagai alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). 14 Di Indonesia konsep Roscue Pound di kembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang dalam konsep hukumnya di artikan sebagai “alat” tetapi sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah : 15 (1) Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang di ingingkan, bahkan mutlak perlu, dan (2) Bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang di kehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hkum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam pandangan itu, bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
13
Mochtar Kusumaatmadja, Humum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1976, hlm.12 14 Angga Handian, Law as a tool of social Engeneering ,Melalui :
diamibil pada tgl 8 Mei 2011, Pkl. 8.00 wib 15 Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Melalui: < http://www.hukumonline.com> diambil tgl 30 April 2011
14
Dengan adanya peraturan hukum yang tertulis menjadikan hukum itu sebagai pelindung bagi masyarakat, dan dengan adanya hukum masyarakat merasa terlindungi dan aman dari rasa keadilan. Dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang dapat
berfungsi
sebagai
alat (pengatur) atau
sarana
pembangunan. Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa “hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.” Pembinaan hukum yang pertama di lakukan melalui hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, salah satu contoh adalah peraturan hukum yang mengatrur tentang perikatan yang tercantum dalam buku tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 16 Hukum perikatan adalah aturan yang mengatur hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogen recht) antara dua orang atau lebih, yang memberi hak (recht) pada salah satu pihak (schuldesiser/Kreditur) dan memberi kewajiban (plicht) pada pihak yang lain (schuldenaar/debitur) atas sesuatu prestasi. 17 Dalam perikatan berdasarkan Undang-undang salah satunya adalah karena perbuatan manusia, yaitu :
16 17
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2002, hal.1 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Bardin, 1977, hlm 1-2
15
1. Perbuatan menurut hukum (Zaakwarneming) 18 2. Perbuatan melanggar hukum (Onrechmatigr daad) 19 Dinamakan
perbuatan
melanggar
hukum
apabila
perbuatan
itu
bertentangan dengan orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian sutau perbuatan yang di anggap sebagai perbuatan melanggar hukum ini tetap harus dapat dipertanggung jawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak. Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang di lakukan seseorang dalam hubungannya dengan perbuatan melanggar hukum ini, sehingga dapat di tentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya. 20 Suatu perbuatan ini dapat digolongkan perbuatan melanggar hukum, karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku b. Melanggar hak subjektif orang lain. c. Melanggar kaidah kesusilaan d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian
18
Zaakwarneming adalah suatu perbuatan, dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya untuk mengurus kepentingan oranglain, dengan perhitungan dan resiko untuk orang lain tersebut (Pasal 1354 KUHPdt) 19 Onrechmatigdaad adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis yang harus di taati dalam hidup bermasyarakat 20 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1979, hlm. 56.
16
Pasal 1365 menyatakan sebagai berikut : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Para ahli dalam Pasal 1365 di atas, mengatur pertanggung jawaban yang diakibatkan oleh perbuatan melanggar hukum baik karena perbuatan melanngar hukum baik karena berbuat/positif (culpa in committendo) atau karena tidak berbuat/pasif (culpa in committendo). Pada dasarnya hukum di Indonesia mengatur tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mennganti kerugian. Intinya, apabila ada seorang yang melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian. Sisi yang lain, orang yang mengalami kerugian tetrsebut dijamin haknya oleh undang-undang untuk menuntut ganti rugi. 21 F. Langkah-langkah Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-analitis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. 22 Dan selanjutnya meneliti sejauhmana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur mengenai pertanggung
21
Zakaria. Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Penguasa, Melalui : diambil tgl 8 Mei 2011, pkl. 11.00 wib 22 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumentri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 97
17
jawaban badan hukum dalam melakukan perbuatan melanggar hukum dalam hal mengganti kerugian. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang berarti penelitian terhadap Pasal-pasal yang mengatur hal yang menjadi permasalah di atas. Juga dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam praktek. Metode pendekatan di atas digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan yaitu hubungan peraturan perundang-undangan satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. seperti putusan perbuatan melawan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung No. 52 Tahun 2006 tentang perbuatan melanggar hukum. 2. Sumber Data Adapun data sekunder 23 yang penulis kumpulkan antara lain dalam penelitian ini terdiri dari : a. Bahan hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1), Pasal 33 Ayat (1) dan (4) 2. Undang-Undang SPPN No 25 Tahun 2004 3. Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365, Pasal 1243 tentang ganti kerugian b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan dapat memahami bahan primer, seperti buku-buku, dan lain-lain yang berkaitan 23
Ibid.
18
dengan masalah yang akan diteliti, seperti misalnya Putusan
No.
52/Pdt.G/2006 PN. Bdg. c. Bahan hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, berupa kamus, artikel, dan tulisan-tulisan lainnya yang mendukung penulisan sekiripsi. 3. Jenis Data Jenis data yang di kumpulkan adalah jenis data kualitatif, kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi yang di lakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada,
24
yaitu data yang di kumpulkan berupa data
jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang di rumuskan pada tujuan yang telah ditetapkan mengenai melakukan perbuatan melanggar hukum. 4. Teknik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: a. Studi kepustakaan, dilakukan melalui penulisan bahan pustaka, yang meliputi bahan hukum primer berupa ketentuan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yang berupa buku-buku literature yang berkaitan dengan masalah pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung terhadap Putusan Perbuatan Melanggar Hukum, dan bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. b. Studi lapangan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
24
Lexy J Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2008. Hlm. 5
19
1) Pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Bandung tentang melakukan perbuatan melanggar hukum. 2) Wawancara atau diskusi, yaitu mengadakan tanya jawab untuk memperoleh data primer secara langsung kepada Rina Pertiwi, SH Sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Bandung. 5. Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan kemudian secara umum dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut: 25 a. Mengkaji semua data yang terkumpul dari berbagai sumber baik primer maupun sekunder sesuai dengan penelitian yang diteliti. b. Menginventarisir seluruh data dalam satuan-satuan sesuai dengan masalah yang diteliti. c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka pemikiran. d. Menarik kesimpulan dari data yang dianalisis dengan memperhtikan rumusan masalah. 6. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Bandung dengan data sekunder yang diperoleh sebagai berikut: a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung b. Perpustakaan Umum UIN Sunan Gunung Djati Bandung c. Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1
25
Ibid.
BAB II TINJAUAN TERHADAP PERBUATAN MANUSIA DALAM MELAKUKAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM UNTUK MENGGANTI KERUGIAN
A. Tinjauan Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum Sebagai Akibat Dari Perbuatan Manusia 1. Pengertian Perbuatan Manusia Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggraraan kepentingan (zaakwaarneming). Perbuatan disini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal manusia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum. (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kuasa yang di perbolehkan. Menurut hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa
telah melakukan/tidak melakukan
suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan iti tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira-kirakan. Dapat dikira-kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu
20
21
perbuatan seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan juga harus diukur secara objektif, artinya apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. 26 Selain itu ukuran objektif dan subjektif itu, orang yang berbuat itu harus dapat dipertanggung jawabkan (responsible). Artinya orang yang berbuat itu sudah dewasa, sehat akalnya, tidak berada dibawah pengampunan. Dalam pengertian ”tanggung jawab” itu termasuk juga akibat hukum dari perbuatan orang yang berada dibawah pengawasannya.
2. Pengertian Perbuatan Melanggar
Hukum Sebagai Akibat Dari
Perbuatan Manusia Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, oleh sebab itu, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, hukum harus di tegakan, bila hukum tidak di tegakan, maka lambat laun suatu negara akan runtuh.27 Dalam bahasa Belanda, perbuatan melanggar hukum disebut onrechmatige daad dan dalam bahasa inggris di sebut tort yang dalam bahasa latinnya disebut torquere atau tortus. Dalam bahasa perancis, disebut wrong
yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada
prinsifnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang di kemudian di kenal dengan perbuatan melanggar hukum ini adalah untuk dapat mencapai 26 27
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 79. Ibid
22
seperti apa yang di katakan dalam pribahasa bahasa latin, yaitu juris praecepta sunt luxex, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). 28 Oleh Karen itu perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. 29 Pada dasarnya perumusan yang diberikan oleh undang-undang mengenai perbuatan melanggar hukum ini, ialah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Setiap orang itu bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang di sebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang di sebabkan karena kelalaian atau karena kurang hatihatinya.30 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Setiap orang itu bertanggung jawab tidak saja
28
Abdul Salam, Perbuatan Melanggar Hukum, Kencana, Jakarta, 2003, hlm 24. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, Hlm 23. 30 Elise T Sulistiani, Rudy T Erwin, op,cit, hlm.26 29
23
untuk kerugian yang di se kerugian yang di sebabkan karena kelalaian atau karena kurang hati-hatinya. 31 Ada tiga syarat yang harus di penuhi dalam halnya perbuatan melanggar hukum yaitu : 32 1. Adanya tindakan yang melawan hukum 2. Ada kesalahan pada pihak yang melakukannya 3. Ada kerugian yang diderita Salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan itu tidak termasuk dalam perbuatan melanggar hukum. oleh karena itu tindakan melanggar hukum ialah tiap perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak seorang lain atau bertentangan dengan kewajiban sipelaku atau berlawanan dengan kesusialaan atau dengan ketertiban yang ada didalam masyarakat. 33 Pada umumnya suatu gangguan pada suatu hak hukum dapat merupakan perbuatan melanggar hukum. Dalam hal terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum, seseorang yang terkena kerugian dapat mengajukan suatu gugatan atas dasar perbuatan yang melanggar hukum. Suatu gugatan yang berdasarkan atas perbuatan melanggar hukum, tidak memperdulikan adanya suatu hak mutlak atas suatu harta benda yang di ganggu, melainkan pada umumnya berdasarkan atas suatu perbuatan yang dapat dikatakan melanggar hukum dengan syarat (adanya tindakan
31 32
33
Ibid Ibid
Ibid
24
yang melawan hukum, ada kesalahan pada pihak yang melakukannya dan ada kerugian yang di derita). 34 Bila di lihat dari model pengaturan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melanggar hukum lainnya, dan seperti juga di Negara-negara dalam system hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut : 35 a.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sepereti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
b.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
c.
Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari bentuknya suatu sistem
hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai sepereti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu : Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, aliterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya).
34 35
Ibid. hlm. 27 Ibid.
25
Semula, banyak pihak yang meragukan apakah perbuatan melanggar hukum memang merupakan suatu bidang hukum tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah,
yakni
merupakan kumpulan
pengertian-pengertian hukum yang berserak-serakan dan tidak masuk kesalah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan kesalahan dalam bidang perdata. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang diamksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pada pemeriksaan di tingkat kasasi, Hoge Raad merupakan pengertian melanggar hukum yaitu setiap perbuatan atau tidak berbuat yaitu sebagai berikut :36 1. Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan oleh undang-undang) 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku (kewajiban ditentukan undang-undang). 3. Bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiiki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
36
Ibid.
26
Pengertian ”perbuatan melanggar hukum” dapat dilhihat dari dua segi pengertian yaitu sebagai berikut:37 a. Pengertian secara sempit, yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai perbuatan atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hak si perbuatan atau melanggar hak orang lain. b. Pengertian secara luas, bahwa perbuatan melanggar hukum yaitu tidak hanya melanggar kewajiban hukum tertulis, tetapi juga melanggar kepatutan dan itikad baik yang berlaku dalam masyarakat.
3. Sejarah Perkembangan Perbuatan Melanggar Hukum Sejarah perkembangan perbuatan melanggar hukum di negeri belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan di Indonesia, karena berdasarkan asas konkordansi, kaidah hukum yang berlaku di negeri belanda akan berlaku juga di negeri jajahannya, termasuk di indonesia. Di negeri belanda sejarah tentang perbuatan melawan hukum dapat di bagi 3 (tiga) periode sebagai berikut : 38 a. Periode sebelum Tahun 1838. Sampai dengan kodifikasi Burgelijk Wetboek (BW) di negeri Belanda pada tahun 1838, maka ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia saat ini tentu belum ada di Belanda. Karena kala itu, tentang 37
Ibid
38
Munir Fuady, Op Cit, hlm. 30
27
perbuatan melawan hukum ini, pelaksanaannya belum jelas dan belum terarah. b. Periode Antara Tahun 1838-1919 Setelah BW Belanda dikodifikasi, maka mualailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang pergugatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah di tafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat (pasif) yang merugikan orang lain, baik yang di sengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap tidak termasuk kedalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan
tindakan
yang
bertentanagan
dengan
kesusilaan
dan
bertentangan dengan putusan masyarakat prihal memoerhatikan kepentingan orang lain. c. Periode Setelah Tahun 1919 Pada tahun 1919 terjadi perkembangan yang luar biasa dalam bidangh hukum tentang perbuatan melawan hukum, khususnya di negeri Belanda, sehingga demikian juga diindonesia. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, yang semula cukup kaku, kepada perkembangan yang luas dan luwes. Perkembangan tersebut terjadi dengan diterimanya penafsiran luas terhadap perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad ( Mahkamah Agung) negeri Belanda,
28
yaknin penafsiran terhadap Pasal 1401 BW Belanda yang sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Putusan Hoge Raad tersebut adalah terhadap kasus Lindenbaum versus cohen. Kasus Lindenbaum versus cohen tersebut pada pokonya berkisar tentang persoalan persaiangan tidak sehat dalam bisnis. Baik Lindenbaum maupun Cohen adalah sama-sama perusahaan yang bergerak di bidang percetakan ysng psling bersaing satu sama lain. Dalam kasus ini, dengan maksud untuk menarik pelanggan-pelanggan dari lindenbaum, seorang pegawai lindenbaum tersebut mau memberitahukan kepada Cohen salinan dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum kepada masyarakat, dan memberi tahu nama-nama dari orang tersebut orang yang mengajukan order kepada Lindenbaum. Tindakan cohen tersebut akhirnya tercium oleh lindenbaum. Akhirnya, lindenbaum menggugat Cohen kepengadilan di amsterdam dengan alasan bahwa Cohen telah melakukan perbuatabn melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga melanggar Pasal 1401 BW Belanda, yang sama denfan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Ternyata langkah Lindenbaum untuk mencari keadilan tidak berjalan mulus. Memang ditingkat pengadilan pertama Lindenbaum dimenangkan, tetapi di tingklat banding justru Cohen yang di menangkan, dengan alasan bahwa cohen tidak perbah melanggar suatu pasalpun dari perundangundangan yang berlaku. Dan pada tingkat kasasi turunlah putusan yang memenangkan Lindenbaum, suatu putusan yang sangat terkenal dalam
29
sejarah hukum, dan merupakan tonggak sejarah perkembangan yang revolusioner tentang perbuatan melawan hukum. Dalam putusan tingkat kasasi tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa yang di maksud dengan perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang-undang yang tertulis seperti yang di tafsirkan saat ini, melainkan juga termasuk kedalam pengertian perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan sebagai berikut :39 1. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, atau 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (gode zeden) 4. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Dengan demikian, dengan adanya terbitnya putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut, maka perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaksudkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga termasuk perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat, padahal, sebelum putusan lindenbaum versus Cohen tersebut, hanya pelanggaran
39
Munir Fuady,Op cit, hlm. 23
30
terhadap pasal-pasal dalam perundang-undangan saja yang dapat di anggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. 40 Perkembangan yang revolusioner dari pengertian perbuatan melawan hukum di Negara Belanda sejak tahun 1919 tersebut, kemudian juga masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi, yakni asas yang memberlakukan setiap hukum di Negeri Belanda ke negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Suatu perkembangan yang penting dalam teori hukum adalah mengenai pengertian melawan hukum yang di atur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu yang melawan undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.
4. Unsur-Unsur Perbuatan Melanggar Hukum Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melanggar hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
40
Munir Fuady, Op Cit, hlm. 30
31
a. Ada Suatu Perbuatan 41 Perbuatan disini ialah perbuatan melakukan melanggar hukum yang di lakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuata sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam dalam perbuatan melanggar hukum ini harus tidak ada unsur kuasa persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kasus yang di perbolehkan seperti yang terdapat dalam suatu perjanjian kontrak. b. Perbuatan itu Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehinggab meliputi hal-hal seabagai berikut :42 1) Perbuatan melanggar undang-undang 2) Perbuatan yang bertentangan dengan orang lain yang di lindungi hukum 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 4) Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden) 5) Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain
41
Abdul Salam, Perbuatan Melanggar Hukum.Melalui :, Diambil pada tanggal 01 Juni 2011, Pukul 12.00 WIB. 42 Ibid
32
Dalam rumusan ini, yang harus di pertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasarakan Undang-undang (wet). Jadi perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiaban hukumnya sendiri yang di berikan oleh undang-undang. Dengan demikian, melanggar hukum ( onrechmatig) sama dengan melanggar unadang-undang (onwetmatig). Dengan tafsiran sempit ini banyak kepentingan masyarakat di rugikan, tetapi tidak menuntut apa-apa. c. Ada Kesalahan Pelaku Pengertian kesalahan disini adalah pengertian dalam hukum perdata, bukan dalam hukum pidana. Kesalahan dalam Pasala 1365 KUHP Perdata itu mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti ”sengaja” sampai kesalahan dalam arti ”tidak sengaja” (lalai). Menurut
hukum
perdata,
terhadapnya dapat disesalkan bahwa
seorang
dikatakan
bersalah
jika
telah melakukan/tidak melakukan
suatu perbuatan yang seharusnya dui hindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari dapat dapat tidaknya hal itu dikira-kirakan. Dapat dikira-kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan juga harus diukur secara objektif, artinya apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan/tida dilakukan. 43
43
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm 56.
33
Selain itu ukuran objektif dan subjektif itu, orang yang berbuat itu harus dapat dipertanggung jawabkan (responsible). Artinya orang yang berbuat itu sudah dewasa, sehat akalnya, tidak berada di bawah pengampun. Dalam pengertian “tanggung jawab” itu termasuk juga akibat hukum dari perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1367 : “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang yang menjadi tanggungannya atau di sebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.” Menurut Undang-undang dan yurisprudensi masyarakat untuk dapat dikategorikan perbuatan melanggar hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggung jawab tanpa kesalahan (Struct Ziabi Ziy), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Karena Pasala 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia masyarakat untuk dikategorikan perbuatan melanggar hukum harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap
mengandung
unsure
kesalahan,
sehingga
dapat
diminta
pertanggung jawabkan hukum, jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
34
1. Ada unsur kesengajaan 2. Ada unsur kelalaian Tidak
ada
alasan
pembenar
atau
alasan
pemaaf
(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan memaksa (overmacht), membela diri, tidak waras dan lain-lain. Perlu atau tidak, perbuatan melanggar hukum mesti ada unsur kesalahan, selain unsur melanggar hukum, disisni terdapat 3 (Tiga) aliran teori sebagai berikut :44 a) Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur melawan hukum. Aliran ini menyatakan, dengan unsur melawan hukum dalam arti luas, sudah mencakup unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Oven. b) Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsure kesalahan Aliran ini sebaliknya menyatakan, dalam unsure kesalahan, sudah mencakup juga unsure perbuatan melanggar hukum. Di negeri belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever. c) Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan hukum dan unsure kesalahan. Aliran ini mengajarkan , suatu perbuatan menggar hukum mesti ada unsur perbuatan melanggar hukum ada unsur kesalahan, karena unsur melanggar hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negara Belanda, aliran ini dianut oleh
44
Abdul Salam, op.cit, hlm. 60
35
meyeres. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melanggar hukum adalah kesalahan dalam arti ”kesalahan hukum” dan ”kesalahan sosial”. Dalam hal ini, hukum penafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan sesorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man). d. Ada Kerugian Bagi Korban Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wanprestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan berdasarkan wanprestasi hanya mengenal kerugian materil, kerugian yang bersifat materil ataupum yang bersifat immateril. Menurut yurisprudensi (H. R. 23 Juni 1922 W. 10984) Pasal 1264 s/d Pasal 1248 KUH Perdata mengenai ganti kerugian dalam hal wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung pada perbuatan melanggar hukum. Dalam Pasal-pasal mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi kerugian itu meliputi tiga unsur yaitu : biaya, kerugian yang sesungguhnya, dan keuntungan yang di harapkan adalah bunga. Sedangkan ukuran yang dipakai adalah bunga. Dalam gugatan perbuatan melanggar hukum selain mengandung kerugian materil juga mengandung kerugian immateril, unsur kerugian dan
36
ukuran penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melanggar hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur tersebut, dan kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang. untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut. Pada dasarnya pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi, tidak hanya kerugian yang telah diberi pada waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa yang akan diderita pada waktu yang akan datang. e. Ada Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian Adanya hubungan kausal dapat disimpulkan dari kalimat Pasal 1365 ”Perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian”. Kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu. Jika tidak ada perbuatan, tidak ada akibat yaitu kerugian. 45 Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, terdapat dua teori, yaitu :46 1) Teori Adequate Veroozaking dari Voon Kries. Menurut teori ini, yang dianggap sebagi sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi, antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung.
45
Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 257
46
Ibid
37
Vollmar 47 merumuskan: terdapat hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melanggar hukum 2) Teori Conditio sine qua non (Von Buri) Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakuakan dengan kerugian yang terjadi, merupakan syarat dari bsuatu perbuatabn melanggar hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan factual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara factual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab factual. Dalam perbuatan melanggar hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum mengenai “but For” atau “sin qua non”. Von Buri, seorang ahli hukum Eropa Kontinental adalah pendukung teori factual ini. Atas dasar inilah Von Buri sampai pada kesimpulan bahwa yang harus di anggap sebagai penyebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Oleh sebab itu maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab. Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapai elemen kepastian hukum dan hukum yang adil, maka lahirlah konsep “sebab kira-kira” (proximately cause). Teori ini, adalah bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai perbuatan melawan hukum ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori legal cause. Semakin banyak
47
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, 1983, hlm. 20
38
orang mengetahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan semakin berkurang. Mencegah melakukan perbuatan melawan hukum, jauh lebih baik dari pada menerima sanksi hukum.
5. Sifat Dari Perbuatan Melanggar Hukum Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum Masing-masing anggota masyarakat tentunya mempunyai pelbagai kepentingan, yang beraneka warna. Ujud dan jumlah kepentingan ini tergantung dari ujud dan sifat kemanusiaan yang berada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing.48 Pada dasarnya setiap manusia mempunyai keinginan, dimana jika keinginann ini sudah sedemkian matang sehingga menimbulkan pelbagai usaha untuk melaksanakannya, maka disitulah mulai ada bentrokan antara pelbagai kepentingan para anggota masyarakat, yang kemudian diikuti pula oleh bentrokan orang-orangnya para anggota masyarakat itu. Akibat dari benterokan ini adalah masyarakat goncang. Sedang kegoncangan inilah yang seberapa boleh harus dihindarkan. Dan penghindaran kegoncangan inilah yang sebetulnya masuk tujuan hukum. Maka hukum menciptkan pelbagai hubungan-hubungan tertentu dalam masyarakat.
48
Wirdjono Prodjodikoro,op.cit, hlm.7
39
Dalam
mengatur
dalam
hubungan-hubungan
ini,
hukum
mengadakan suatu imbangan diantara pelbagai kepentingan. Jangan samapai kepentingan terlantar di samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuan seluruhnya. Hanya jika masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, yakni ada keselamtan dalam masyarakat yang bermanfaat. Dan kelurusan neraca ini hanya dapat tercapai kalu hukum yang mengaturnya dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar. Oleh sebab itu sifat perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga, apabila peraturan-pereaturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat. 49
B. Tinjauan Terhadap Ganti Kerugian 1. Pengertian Ganti Kerugian Ganti rugi adalah penggantian berupa uang atau barang lain kepada seseorang yang merasa dirugikan karena harta miliknya diambil dan dipakai untuk kepentingan orang banyak.50 Menururut ketentuan Pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur 49
50
setelah
dinyatakan
lalai
memenuhi
perikatannya,
tetap
Ibid Anjar Dachta,Atikel Ganti Kerugian,Melalui., Diambil tgl 18 juni 2011,pkl 10.34 Wib.
40
melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling”(lalai melakukan ganti kerugian) atau ”in morastelling”(kewajiban ganti rugi). Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu: a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan. b. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga. c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya. Menurut Abdul Kadir Muhammad,51 dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur tersebut harus ada. yang ada mungkin kerugian yang
51
http//www,Hukumonline,com> loc.cit
41
sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya. Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:52 1.
Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (Pasal 1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
2.
Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
3.
Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (Pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, Pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
52
Ibid
42
2. Ganti Kerugian Menurut KUH Perdata Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata, (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata diderita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial). Dalam hal perkara perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Sehingga terdakwa dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri
43
Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggil terdakwa untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terdakwa tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang milik terdakwa sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita. Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata.
44
Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata. Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lajimnya, dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya
perbuatan
melawan hukum pelaku. Jika mencermati perumusan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka di pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio (menetapkan) penggantian kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan. Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : 1. Kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan 2. kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat
45
adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat
dimasa
mendatang
adalah
kerugian-kerugian
yang
dapat
diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
3. Syarat-Syarat Ganti Kerugian. Tidak setiap kerugian yang diderita oleh kreditur harus diganti oleh debitur, Undang-undang menentukan bahwa debitur hanya wajib membayar ganti rugi atas yang memenuhi dan syarat-syarat kerugian yaitu:53 a. Kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan dibuat. b. Kerugian yang merupakan akibat langsung dan serta merta ingkar janji. Menurut Pasal 1247 BW, bahwa debitur hanya wajib mengganti kerugian atas kerugian yang dapat diduga pada waktu perikatan dibuat, kecuali jika ada arglist (kesengajaan).54 Menurut, Asser’s Losecaat55 yang dimaksud dengan arglist adalah jika debitur dengan sengaja dan sadar melanggar akan kewajiban tanpa
53
ibid R. Setiawan, op.cit, hlm,24. 55 Asser, Atikel Tentang Kerugian. Melalui .Diambil tgl,19 juni 2011,pkl 14.30.Wib 54
46
menghiraukan ada atau tidaknya maksud dari pada debitur untuk menimbulkan kerugian, ”dapat diduga” harus di artikan secara obyektif, yaitu menuru manusia yang normal timbulnya kergugian tersebut harus dapat diduga. Yang harus dapat di duga bukan hanya terjadinya kerugian akan tetapi juga besarnya kerugian pun harus dapat diduga. Antara ingkar janji dan kerugian harus mempunyai hubungan causal, jika tidak, maka kerugian tidak harus di ganti.untuk timbulnya suatu akibat tertentu, terdapat sejumlah syarat-syarat yang tidak terbatas yang mendukung terjadinya akibat tersebut. Suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang dapat ditiadakan untuk adanya akibat. Berbagai peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang di sebut ”sebab”. Bahwa suatu syarat merupakan sebab,
jika menurut sifatnya pada umumnya
sanggup untuk menimbulkan akibat. Menurut Hoge Read memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab akibat jika menurut pengalaman dapat diharapkan atau di duga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Kreditur yang menuntut ganti rugi harus mengemukakan dan membuktikan
bahwa
debitur
telah
melakukan
ingkar
janji
yang
mengakibatkan timbulnya kerugian pada kreditur. Menurut Pasal 1244 BW, debitur dapat melapaskan dirinya dari pertanggung jawaban jika dapat membuktikan bahwa tida terlaksananya perikatan, di sebabkan oleh keadaan yang tidak terduga dan tidak dapat di persalahkan kepadanya.
47
4. Konsep Atau Teori Yang Berhubungan Dengan Ganti Kerugian Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, terdapat dua teori, yaitu : 56 a. Teori Adequate Veroozaking dari Voon Kries. Menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi, antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung. Vollmar57 merumuskan : terdapat hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melanggar hukum. b. Teori Conditio sine qua non (Von Buri) Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakuakan dengan kerugian yang terjadi, merupakan syarat dari bsuatu perbuatabn melanggar hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan factual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara factual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab factual. Dalam perbuatan melanggar hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum mengenai “but For” atau “sin qua non”. Von Buri, seorang ahli hukum Eropa Kontinental adalah pendukung teori factual ini. 56 57
Ibid H.F.A. Vollmar, op.cit, hlm. 20
48
Atas das inilah Von Buri sampai pada kesimpulan bahwa yang harus di anggap sebagai penyebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Oleh sebab itu maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab. Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapai elemen kepastian hukum dan hukum yang adil, maka lahirlah konsep “sebab kira-kira” (proximately
cause).
Teori
ini,
adalah
bagian
yang
paling
membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai perbuatan melawan hukum ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori legal cause. Semakin banyak orang mengetahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan semakin berkurang. Mencegah melakukan perbuatan melawan hukum, jauh lebih baik daripada menerima sanksi hukum.
49
BAB III
PENGAJUAN GUGATAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR 52 TAHUN 2006 TENTANG PERBUATAN MELANGGAR HUKUM DALAM PENCAIRAN DANA PT. TRITUNGGAL PATRYAKSA BANDUNG DI HUBUNGKAN PASAL 1365 KUH PERDATA
A. KASUS POSISI58 Bahwa penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 9 Nopember 2006 yang telah terdaftar di kepanitiaan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal
22
Nopember
di
bawah
Register
Nomor
Perkara
:
52/Pdt/6/2006/PN.Bdg, Pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut: Bahwa kasus tentang perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Drs. Agus Bhakti 9Tergugat I), Bank Sumsel Bangka Belitung cabang pangkal pinang (Tergugat II) dan CV. Manunggal Perkasa (Tergugat III) selaku direktur PT. Tritunggal Patryaksa Bandung terhadap Ir. Cecep Kosasih (Penggugat I). Kasus ini berawal sekitar bulan Juni 2003 dalam kesempatan khususnya di lingkungan masing-masing maupun bersama Drs. Agus bhakti (Tergugat I), Bank Sumsel Bangka Belitung Cabang Pangkal Pinang (Tergugat II) dan CV. Manunggal Perkasa (Terggugat III) bertemu dan mensosialisasikan dengan penggugat/anggota/karyawan PT. Tritunggal Patryaksa Bandung baik sendiri maupun bersama-sama dengan maksud mengajak untuk mengatur 58
Putusan PN Bandung No.52/Pdt.G/2006/PN.Bdg
50
mekanisme penerimaan pembayaran yang harus dilakukan penyetoran rekening untuk mensejahterakan anggota/karyawan PT. Tritunggal Patryaksa Bandung. Bahwa program proyek tersebut dilakukan dengan anggota/karyawan berupa proyek pengembangan infrastruktur pengolahan Dana Elektronik Provinsi kepulauan Bangka Belitung yang selanjutnya untuk keputusan Tergugat I, II, III dapat dilakukan oleh anggota/karyawan dengan mengajukan pembukaan rekening melalui Bank Sumatera Selatan Bangka Belitung dengan keuntungan yang dapat di nikmati anggota/karyawan. Bahwa untuk maksud program pencairan tersebut di atas Tergugat I, II, dan III menyatakan telah bekerjasama turut tergugat, begitupun dengan yang selanjutnya dalam berbagai kesempatan hingga proses pencairan pembuatan rekening sebagai koordinator proyek
PT. Tritunggal Patryaksa
Bandung. Kepulauan Bangka Belitung telah selesai pada tanggal 13 Desember 2003 (180 hari kalender terhitung 16 juni 2003 sampai dengan 13 Desember 2003) namun termin pembayaran menurut pengakuan Tergugat I belum diterima, dan setiap ditanyakan mengenai hal tersebut belum diterima, bahkan terakhir pada bulan agustus 2004, saat di laksanakan rapat perusahaan antara lain di bahas mengenai termin pembayaran pekerjaan tersebut dan Tergugat I tetap menjawab belum cair serta menginformasikan akan di bahas pada bulan oktober 2004. Karena terbayang di dalam pikiran anggota/karyawan yang mana menjanjikan bagi kesejahteraan serta memperhatikan hubungan Tergugat I, II, dan III dengan turut penggugat, selanjutnya dengan waktu yang di batasi
51
sekitar bulan september 2003 hingga oktober 2004 anggota/karyawan di hadiri Tergugat I, II, dan III selaku Tergugat I bertindak atas nama PT, Tritunggal Patryaksa
Bandung
dalam
pengambilan
keputusan,
penandatanganan,
pembukaan rekening, pencairan dan serta mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan pengembangan Infrastruktur Pengolahan Data Elektronik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Akan tetapi turut penggugat sangat terkejut, belum tahun 2004, tanpa alasan yang jelas Tergugat I menyatakan mengundurkan diri sebagai Direktur PT. Budi Cakra Perusahaan satu grup dengan penggugat. Setelah pengunduran diri tergugat, penggugat sampai bulan oktober 2004, mengenai pembayaran tersebut sebagaimana di janjikan Tergugat I, namun sampai dengan terlewatinya bulan oktober 2004 tersebut, ternyata janji Tergugat I tersebut tidak pernah terealisasikan. Pada akhirnya, penggugat menegaskan
staf dari Bandung untuk
mengecek kepada Tergugat II dan turut Tergugat I, II, dan III, informasi yang di peroleh sangat mengagetkan penggugat, ternyata proyek pengembangan Infrastruktur pengolahan data elektronik Provinsi kepulauan Bangka Belitung Pembayaran telah di laksanakan seluruhnya dan di terima secara langsung dan tunai oleh Tergugat I, dengan pencairan sebagai berikut : 1) Termin Pembayaran tanggal 21 November 2003 sebesar Rp. 134.120.000,- (seratus tiga puluh empat juta seratus dua puluh ribu rupiah)
52
2) Termin Pembayaran tanggal 09 November 2003 sebesar Rp. 134.120.000,- (seratus tiga puluh empat juta seratus dua puluh ribu rupiah) 3) Termin Pembayaran tanggal 09 November 2003 sebesar Rp. 134.120.000,- (seratus tiga puluh empat juta seratus dua puluh ribu rupiah) 4) Termin Pembayaran tanggal 29 November 2003 sebesar Rp. 134.120.000,- (seratus tiga puluh empat juta seratus dua puluh ribu rupiah) 5) Termin Pembayaran tanggal 29 November 2003 sebesar Rp. 335.300.000,-(tiga ratus tiga puluh lima juta tuga ratus ribu rupiah) 6) Termin Pembayaran tanggal 29 November 2003 sebesar Rp. 67.060.000,-(enam puluh tujuh tuta enam puluh ribu rupiah) 7) Termin Pembayaran tanggal 29 November 2003 sebesar Rp. 335.300.000,- (tiga ratus tiga puluh lima juta tuga ratus ribu rupiah) 8) Termin Pembayaran tanggal 29 November 2003 sebesar Rp. 67.060.000,- (enam puluh tujuh tuta enam puluh ribu rupiah) Total dari pembayaran yang di terima tergugat I, sebesar Rp.1.341.200.000,- (satu miliyar tiga ratus empat puluh satu juta dua ratus ribu rupiah) sedangkan dari total termin pembayaran yang di terima setelah di potong PPN dan PPH, jumlah yang di terima tergugat seluruhnya adalah sebesar Rp.1.170.502.000,- (satu miliyar seratus tujuh puluh juta lima ratus dua ribu rupiah).
53
Dari total termin pembayaran setelah di kurangi PPN dan PPH, yaitu sebesar Rp.1.170.502.000,- (satu miliyar seratus tujuh puluh juta lima ratus dua ribu rupiah). Di terima oleh penggugat dengan cara di setor di rekening perusahaan melalui Tergugat II oleh Tergugat I adalah Rp.1.170.502.000,(satu miliyar seratus tujuh puluh juta lima ratus dua ribu rupiah) x 49 % = Rp.573.540.200,- (lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus empat puluh ribu dua ratus rupiah). Namun sejumlah Rp.573.540.200,- (lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus empat puluh ribu dua ratus rupiah) hasil termin pembayaran proyek pengembangan/infrastruktur pengolahan Data Elektronik provinsi kepulauan Bangka Belitung setelah di potong PPN dan PPH, oleh Tergugat I yang seharusnya di setorkan ke rekening perusahaan melalui Tergugat II ternyata tidak di setorkan melainkan di ambil secara tunai dari Tergugat II, padahal berdasarkan bukti legalitas yang ada Tergugat II tidak mempunyai hak membayar langsung kepada Tergugat I melainkan harus melalui mekanisme pencairan rekening, sebagaimana di maksud dalam surat kuasa tergugat juni 2003. Bahwa tindakan I, II, dan III selaku pengurus terhadap pengugat dalam kapasitasnya sebagai anggota PT, Tritunggal Patryaksa Bandung telah menyalahi aturan hukum yang berlaku, yang mana pengurus wajib memberitahukan kepada perusahaan tiap kejadian penting yang mempengaruhi jalannya pencairan.
54
Bahwa akibat tindakan para tergugat secara jelas dan tegas penggugat merasa di rugikan di permainkan dan di rugikan baik materil maupun imateril, dan sudah sewajarnya pula dari akibat yang di tanggung penggugat tersebut di atas penggugat mengajukan tuntutan hukum untuk mengganti segala kerugian baik yang bersipat materil agar mengembalikan uang wajib yang telah di berikan Tergugat II selaku Bank Sumsel pangkal Pinang yang bila di kalkulasikan dengan jumlah penggugat Rp. 573.542.000,- (lima Ratus juta tujuh puluh tiga juta lima ratus empat puluh dua ribu rupiah). Dalam hal ini Tergugat I, II, dan III, telah melakukan perbuatan melanggar hukum
yang menimbulkan kerugian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : ” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Untuk itu penggugat di Rektur PT. Tritungal patryaksa Bandung dalam surat kuasa khusus tertanggal 9 Pebruari 2006, kepada Absar kartabrata,SH M.Hum, dan Agustinus pohan, SH. MS, serta memilih domisili di kantor pengacara penasehat hukum di jl. Buah Batu dalam II No.3 Bandung yang bertindak untuk diri sendiri dan juga bertindak sebagai kuasa hukum penggugat. Para penggugat telah mengajukan surat gugatannya tertanggal 09 November 2006 yang telah terdaftar di kepanitiaan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung pada tanggal 22 November 2006 di bawah Register Perkara Perdata No. 52/Pdt.G /2006/PN/Bdg.
55
B. Pertimbangan Hukum Perkara Perdata Pengadilan Negeri Bandung Terhadap Alasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Perdata
No.
52/PDT.G/2006/PN. Bdg Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan oleh sebab itu, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, hukum harus ditegakan, biar hukum tidak ditegakan, maka lambat laun negara runtuh. Untuk tegaknya hukum tersebut perlu analisis hukum oleh para sarjana atau para pembela hukum di negara ini.59 Sehubungan dengan itu, pasal 1 Undang-undang No. 48 tahun 2009 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Peradilan di Indonesia harus ditegakan secara adil dan tertib khususnya perihal masalah perjanjian terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 yang
disebut suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orsang lain atau lebih. Yang mengandung pengertian suatu perbuatan hukum antara dua orang atau lebih yang saling yang didasarkan kesepakatan
59
Bahsan Mustofa, Sistem Hukum Indonesia, Remaja Karya CV, Bandung, 1995, hlm 10
56
mengikatkan diri (communis opinio doctorum).60 Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan, apabila perbuatan tersebut dilanggar oleh salah satu pihak maka disebut perbuatan melawan hukum. Pada dasarnya perumusan yang diberikan oleh Undang-undang mengenai perbuatan melanggar hukum ini diartikan sebagai perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain atau kewajiban hukum sipelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun keharusan yang diindahkan dalam pergaulan hidup. Konsep perbuatan melanggar hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang tetapi berbuat dengan atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain.61 Dalam kaidah hukum perdata perbuatan melanggar hukum tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan : ”Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut” Namun Molengraaff 62 mengemukakan bahwa pengertian melawan hukum seperti dalam pasal 1365 Burgelik Weetbook tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan undang-undang melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
60
Subekti, Aneka Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, 1999, dikutip dalam sebuah Diktat mata kuliah Hukum Perikatan Dewi Mayaningsih, 2005, hlm. 15 61 Ibid, hlm. 60 62 Ibid hlm. 77
57
segala sesuatu yang ada di luar undang-undang yaitu kaidah-kaidah sosial lainya yang meliputi kebiasaan sopan santun, kesusilaan dan ketertiban umum. Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, salah satu pihak yang melakukan perjanjian bila dirugikan dalam hal barang dan/atau jasa dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Apabila ada hubungannya kontraktual antara kedua belah pihak, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakanya prestasi oleh salah satu pihak. Jadi, jika tidak ada hubungan kontraktual antara kedua belah pihak, maka tidak ada tanggung jawab (hukum). Dalam ilmu hukum inilah yang disebut sebagai doktrin privity of contract. Di dalam doktrin ini terkandung prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada tanggung jawab” (no privity – no liability principle).63 Jika gugatan salah satu pihak yang dirugikan menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Dengan kualifikasi gugatan ini, pihak yang dirugikan sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur:64 a. adanya perbuatan melawan hukum; b. adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha/pengusaha; c. adanya kerugian; d. adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.
63
A. Zen Umar Purba, “Kesederajatan Kedudukan antara Konsumen dan Pengusaha”: Beberapa catatan, makalah pada Diskusi Terbatas Development of Indonesia Consumer Protection Act, diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 27 October 1994 64 R. Setiawan, Op. Cit hlm. 76
58
Dalam hukum perdata telah lama di akui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri) dapat melakukan perbuatan melanggar hukum (on rech matigdaad). Masalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh badan hukum adalah persoalan yang perlu diketahui dan sangat penting bagi badan hukum. Bahwa badan hukum adalah bertanggung jawab (aansprakewleheid) artinya dapat digugat untuk perbuatan perbuatannya yang melanggar hukum yang dilakukan oleh organnya sebagi organ. Sebagaimana layaknya subyek hukum, badan hukum salah satunya perusahaan mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum iti hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga maka dalam mekanisme pelaksanaan pencairan bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya. Perbuatan melanggar hukum merupakan salah satu dasar dalam yang paling sering di gunakan dalam kasus perdata. Hingga saat ini teori-teori yang mendukukung ajaran perbuatan melanggar hukum itu masih berkembang sehingga
perlu
pemahaman
yang
mendasar
untuk
mengantisipasi
perkembangan selanjutnya dari perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Kerangka yang mendasari adanya prinsip tanggung jawab lebih mendapat penekanan dalam penelitian ini, karena terkait dengan kedudukan hukum. Sesungguhnya perikatan yang terjadi di antara para pihak merupakan wujud dari ketentuan yang tercamtum dalam Pasal 1233 Yung to. Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu tiap-tiap perikatan lahir karena
59
adanya persetujuan atau undang-undang, dan setiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatau, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perikatan dalam suatu transaksi menimbulkan suatu janji bahwa satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji. Untuk memahami konsep tanggung jawab di jalankan dalam permasalahan yang di hadapi para pihak maka tanggung jawab tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:65 1. Tanggung jawab atas informasi Tanggung jawab informasi adalah bahwa penawaran yang dilakukan salah seorang pihak terhadap produk berupa barang bergerak maupun tidak bergerak dan atau jasa harus memuat keterangan yang tidak menimbulkan salah interprestasi mengenai keadaan barang atau jasa tersebut. 2. Tanggung jawab hukum atas produk (product liability) Tanggung jawab hukum atas produk (product liability) adalah tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari para pihak akibat produk yang digunakannya. 3. Tanggung jawab atas keamanan Para pihak yang terlibat dalam transaksi harus mempunyai sistem kepercayaan yang tinggi terhadap infrastuktur jaringan yang digunakan.
65
Ibid, hlm 360
60
Keamanan yang diberikan bertujuan untuk mencegah ancaman (threats) yang mungkin timbul sebelum benar-benar terealisasi, meminimalisasikan kemungkinan terjadinya ancaman tersebut, dan mengurangi akibat yang akan timbul setelah ancaman tersebut terrealisasi. Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dengan begitu harus ada ganti rugi dari pihak yng telah merugikan salah satu pihak.66 Pada dasarnya hukum indonesia mengatur tiap-tiap melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajiban orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian intinya, hukum (on rech matighdad) maka diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian, sisi lain, orang yang mengalami kerugian tersebut dijamin haknya oleh undang-undang untuk menuntutnya ganti rugi. Hal itu diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kepentingan, baik kepentingan individu ataupun kepentingan bersama, dimana karena kepentingannya tersebut saling bertentangan. Konflik kepentingan terjadi apabila dalam pelaksanaanya merugikan kepentingan orang lain. Oleh karena itu setiap manusia yang akan melakukan kepentingan baik kepentingan individu ataupun kepentingan bersama dengan orang lain harus memperhatikan resiko yang akan terjadi. 66
Ibid, hlm 361
61
Bentuk resiko yang mungkin akan timbul dari suatu hubungan hukum adalah tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Ganti rugi adalah penggantian berupa uang atau barang lain kepada seseorang yang merasa dirugikan karena harta miliknya diambil dan dipakai untuk kepentingan orang banyak.67 Menururut ketentuan Pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” (lalai melakukan ganti kerugian) atau ”in morastelling”(kewajiban ganti rugi). Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu: 1.
Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.
67
Anjar Dachta,Atikel Ganti Kerugian,Melalui., Diambil tgl 18 juni 2011,pkl 10.34 Wib.
62
2.
Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga.
3.
Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya. Dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat untuk syahnya
suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata: 1. 2. 3. 4.
Sepakat mereka yang mengikutkan dirinya Cukup untuk membuat suatu perjanjian Suatu hal tertentu; dan Suatu sebab yang halal.
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:68 a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 Kitab UndangUndang Hukum Perdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 Kitab Undang-
68
Satrio, Melalui , Op. Cit.
63
Undang Hukum Perdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. b.
Cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan: 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
c.
Suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
menentukan
hanya
barang-barang
yang
dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa:
64
barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. d.
Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga
dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (apabila ada salah satu pihak yang berkeberatan dengan tidak dipenuhinya syarat subjektif dapat diajukan pembatalan). Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (perjanjian yang batal tau tidak memiliki akibat hukum sejak awal diadakan, dianggap tidak pernah memiliki akibat hukum) Dalam hal perjanjian pada kasus yang di angkat yakni tentang perbuatan melanggar hukum yang di lakukan oleh badan hukum yakni orang, pada putusan No. 52/Pdt.G/2006/PN.Bdg. Dimana
penggugat mengajak
tergugat I, II, dan III untuk pencairan rekening dalam perusahaan PT. Tritunggal Patryaksa Bandung. Bahwa pada bulan juni 2003 Penggugat bekerja sama CV. Manunggal Perkasa/ turut Tergugat III mendapatkan proyek pekerjaan dari Tergugat I berupa proyek pengembangan Infrastruktur pengolahan Data Elektronik
65
Provinsi kepualauan Bangka Belitung, dengan kesepakatan pembagian hak masing-masing penggugat mendapat 49 % (empat puluh sembilan persen) sedangkan turut tergugat mendapat 51 % (lima puluh satu persen dari nilai keuntungan dari yang diperoleh. Bahwa pekerjaan tersebut dikerjakan oleh penggugat dengan memberikan kuasa penuh kepada Tergugat I, sebagaimana ternyata dari surat kuasanya No 035/TEE/VI/2003 tertanggal 26 Juni 2003. Bahwa selanjutnya, guna keperluan proyek tersebut telah dilakukan pembukaan rekening Bank tergugat II, dan diikuti kyuasa penuh kuasa kepada tergugat I, sekaligus sebagai koordinator proyek PT. Tritunggal Patryaksa Konsultan. Sebagaimana dari surat kuasa No. 014/5-Kuasa/IX/03 tertanggal 15 september . Menimbang bahwa dari dalil-dalil penggugat maupun dari dalildalil sangkalan tergugat I, dan tergugat II, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa persoalan pokok dalam perkara ini adalah benar Tergugat I dan tergugat II telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan penggugat. Dengan demikian, bahwa Tergugat I dan Tergugat II karena kesalahan yaitu tanpa kewenangan telah membayar pembayaran dari Turut Tergugat I dan II kepada Tergugat I tanpa menempuh mekanisme pencairan melalui Rekening Nomor; 144-30-50415, yang sudah barang tentu perbutan-perbuatan. Para Tergugat ini nyata-nyata merugikan Penggugat dan jelas-jelas dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum (on recht matigedaad), sehingga karenanya
adalah beralasan untuk dihukum mengembalikan hak-hak
Penggugat sejumlah tersebut diatas di tambah ganti kerugian.
66
Oleh karenanya beralasan hukum bilamana terhadap Tergugat I dan Tergugat II dihukum secara tanggung renteng untuk membayar uang sejumlah Rp. 573.542.000,- (lima ratus tuhuh puluh tiga lima ratus empat puluh dua ribu rupiah) secara tunai, seketika dan sekaligus, ditambah ganti kerugian sebesar 5 % dari Rp. 573.542.000,- (lima ratus tuhuh puluh tiga lima ratus empat puluh dua ribu rupiah) setiap bulannya, terhitung sejak bulan januari 2004 sampai kewajibannya di bayar lunas. Berdasarkan Pasal-pasal dari Undang-undang yang berkaitan dengan perkara ini, majlis hakim memutuskan : a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian b. Menyatakan perbuatan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat. c. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III selaku Pengurus Pencairan rekening PT. Tritunggal Patryaksa Bandung bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sebanyak Rp. 573.542.000,- (lima ratus tujuh puluh tiga lima ratus empat puluh dua ribu rupiah) di tambah ganti kerugian sebesar 5% (lima persen) sampai putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum pasti. d. Menyatakan sita jaminan dalam perkara ini terhadap harta-harta Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
67
Dengan demikian sehubungan dengan dalil-dalil dan tuntutan Penggugat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada Penggugat karena memang tidak ternyata adanya hubungan antara perbuatan hukum Tergugat II kepada Penggugat. Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tentang bukti-bukti tersebut, majelis Hakim berpendirian sebagai berikut ; 1. Bahwa Penggugat telah memberi kuasa kepada Tergugat I untuk membuka rekening pada Bank SUMSEL cabang Pangkal Pinang (Tergugat II) untuk menerima pembayaran dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Turut Tergugat I dan turut Tergugat II), dan bahkan kuasa dari Penggugat kepada Tergugat I tersebut selain untuk membuka rekening juga untuk hal-hal lain termasuk mencairkan dana tersebut dari Tergugat II 2. Bahwa hubungan yang nyata terjadi adalah antara Penggugat dengan Tergugat I disatu pihak, dan Tergugat I dengan Tergugat II dipihak lain sedangkan diantara Penggugat dengan Tergugat II tidak ternyata ada hubungan perbuatan hukum. 3. Bahwa Tergugat I telah mencairkan dana tersebut dari Tergugat II tanpa memberikannya kepada Penggugat sehingga Penggugat merasa dirugikan
68
4.
Bahwa pencairan dana tersebut adalah tanggug jawab Tergugat I sebab hanya Tergugat I lah yang mengambil keuntungan dari pencairan dana tersebut.
5. Bahwa Tergugat II mencairkan dana tersebut kepad Tergugat I selain tidak ternyata memperoleh keuntungan dari peristiwa pencairan tersebut. Pencairan dana tersebut dilakukan dengan dasar adanya surat kuasa yang diberikan Penggugat kepada Tergugat I termasuk untuk pencairan dana dimaksud.
C. Penerapan Hukum pada Putusan Pengadilan Negeri Perkara Nomor 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung tentang Perbuatan Melanggar Hukum. Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu kedua pihak, dan pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat di kategorikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum (onrechmatigedaad) sebagaimana di tentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dalam melaksanakan pertanggung jawaban tersebut tidak terlepas dari kendala-kendala yang dapat timbul dalam mengatasi perbuatan melanggar hukum yaitu : Tergugat I, II, dan III selaku pengurus atas pencairan rekening dalam perusahaan PT. Tritunggal Patryaksa Bandung.
69
Bahwa setelah melihat apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim PN Bandung, pihak pengurus khususnya Tergugat I, II, dan III juga harus mengganti kerugian yang di derita oleh penggugat ataupun perusahaan. Karena pada kenyataannya telah jelas melakukan perbuatan melanggar hukum, Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, dengan membuktikan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, yaitu: 1) Adanya perbuatan, 2) Perbuatan tersebut melawan hukum, 3) Adanya kerugian, kerugian yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum dapat memenuhi unsur-unsur yang meliputi : a.
Kerusakan yang diderita (schade)
b.
Keuntungan yang diharapkan (winst)
c.
Biaya yang di keluarkan (kosten)
4) Adanya kesalahan Kesalahan dalam hukum perdata tidaklah mengenai kualitas dan gradasi atau tingkat-tingkatan seperti halnya dalam KUH Pidana. Dengan kata lain, kualitas kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus) maupun kealfaan (culpa) di dalam hukum perdata diberiakn akibat yang sama. Menurut Hukum Perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa seseorang telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan
70
yang
seharusnya
dihindarkan.
Adapun
perbuatan
yang
seharusnya
dilakukan/tidak dilakukan ini tidak terlepas dari dapat hal itu dikira-kirakan dengan tolak ukur sebagai berikut : 69 a.
Secara subjektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu, perbuatan itu seharusnya dilakukan atau sebaliknya tidak dilakukan.
b.
Secara subjektif, artinya orang dalam kedudukan tertentu dapat mengirangirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan;
c.
Mampu dibertanggungjawabkan, artinya orang yang melakukan perbuatan harus dapat bertanggung jawab atau di pertanggung jawabkan, sehingga orang tersebut harus sudah dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada dibwah pengampuan.
5) Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kesalahan dengan kerugian. Kelima unsur tersebut di atas bersifat kumulatif, artinya semua unsur tersebut harus terpenuhi, suatu perbuatan melanggar hukum mungkin dapat terjadi, asalkan harus dapat dibuktikan unsur-unsurnya tersebut di atas. Apabila unsur-unsur tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum sebagaimana telah di atur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melanggar hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang di perkirakan memang melanggar undang-undang, 69
Amstrong Sembiring, Artikel Perbuatan Melanggar Hukum Gaya [http://batapiase.com.id/node,] diambil pada tanggal 28 Juni 2011, Pkl 09.00 WIB
Baru,
Melalui
71
bertentangan dengan hak orang lain. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Bertentangan dengan kesusilaaan dan ketertiban umum. Atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang di anggap sebagai perbuatan melanggar hukum ini tetap harus dapat di pertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak. Sesuai dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat kepada penggugat secara jelas, ada kesalahan pada pihak tergugat yang secara nyata telah melakukan pencairan rekening oleh dirinya sendiri tanpa sepengetahuan berbagai pihak yang berkepentingan, dan adanya kerugian yang diderita penggugat karena ulah tergugat yang mempergunakan uang yang dicairkan dengan tanpa sepengetahuan penggugat.70 Maka
dari
itu
putusan
majelis
hakim
atas
perkara
No.52/Pdt.G/2006/PN.Bdg diputuskan terhadap para Tergugat I, II dan III, dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti (inkrah), mewajibkan tergugat I, II dan III
untuk
melaksanakan
pertanggung
jawabannya
terhadap
Penggugat/perusahaan yakni dengan cara menjalankan isi putusan majlis hakim Pengadilan Negeri Bandung. Berdasarkan ketentuan yang di atas, pengurus hususnya tergugat harus memberitahukan setiap kejadian penting yang terjadi dalam jalanya pencairan kepada perusahaan, namun kenyataanya tergugat tidak 70
Hasil wawancara dengan penggugat pada tanggal 1 januari 2011, pukul 15.00 WIB
72
memberitahukannya kepada pengugat ataupun perusahaan. Selain itu pihak Tergugat harus menjalankan apa yang telah di putuskan oleh hakim. Akan tetapi pada kenyataannya pihak Tergugat khususnya Tergugat I, II dan III tidak melaksanakannya apa yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Bandung. Pada dasarnya ganti kerugian yang di maksud dalam perkara ini adalah ganti kerugian yang selayaknya yakni jumlah uang yang semestinya di bayar oleh Tergugat I, II dan III selaku pengurus Perusahaan PT. Tritunggal Ptryaksa Bandung terhadap Penggugat selaku anggota atau direktur perusahaan PT. Patryaksa Bandung. Bahwa pada akhirnya penggantian kerugian tersebut dilaksanakan, maka untuk lebih mudah kebanyakan penggantian kerugian berwujud pemberian sejumlah uang tunai oleh si pelanggar hukum kepada si korban atapun perusahaan. Meskipun tergugat mengakui akan kesalahanya namun tergugat merasa keberatan karena tergugat melakukan hal tersebut karena untuk mengganti kerugian yang di alaminya ketika tergugat belum bekerja sama dengan penggugat. Penggantian kerugian itu berupa akomodasi, honor tim, transfortasi, presentasi dan lain-lain. Begitu juga dengan perihal gugatan yang dilakukan oleh pengurus baru bukan pengurus lama, padahal tergugat melakukan kerja sama dengan pengurus lama dari PT Tri Tunggal Patryaksa Konsultan.71 Berdasarkan putusan hakim bahwa pihak Tergugat Khususnya Tergugat I wajib mempertanggung jawabkan kerugian yang ditimbulkan akibat
71
Hasil wawancara dengan tergugat pada tanggal 23 januari 2011 pada pukul 11 WIB.
73
perbuatan melanggar hukum terhadap penggugat ataupun perusahaan dengan cara mengganti kerugian sebesar Rp. 573.542.000,- (lima ratus tujuh puluh tiga lima ratus empat puluh dua ribu rupiah). Namun Tergugat I, II dan III selaku pengurus atau pencairan
tidak mengganti kerugian yang di derita oleh
penggugat, bahwa ketentuan pertanggung jawaban tesebut telah di putuskan oleh hakim dan mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkrah), yang seharusnya putusan itu mengikat kedua belah pihak yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam Pasal 5 point (1) Undang-undang No. 48 tahun 2009 yang menyatakan: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan pasal diatas itu, dalam kasus perkara Nomor 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung meskipun telah terlihat jelas terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat karena telah melanggar undang-undang dan hak orang lain yaitu penggugat. Menurut penulis majelis hukum yang dipimpin oleh Robert Siahaan S.H, M.H. kurang tepat memberikan keputusan kepada tergugat atas kesalahannya dengan membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp 573.542.000,-(lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus empat puluh dua rupiah). Karena setelah melihat fakta kejadian melalui wawancara penulis terhadap tergugat, tergugat melakukan perbuatan melawan hukum hukum dikarenakan untuk memperkecil kerugian dan memilih bermasalah dengan internal daripada harus berurusan dengan client (turut tergugat II). Dan penggugat ternyata pengurus baru dari PT
74
Tri Tunggal Patryaksa. Kalaupun mau menggugat seharusnya pengurus lama yang
melakukan
penggantian
gugatan.
kerugian
Sehingga
terhadap
Hakim
tergugat
tidak
seharusnya
mengurangi
seluruhnya,
hal
itu
dipertimbangkan dengan seksama karena tergugat melakukan perbuatan hukum itu semata-mata hanya untuk memperkecil kerugian yang di alamainya karena sebelum
terjadinya
kerja
sama
terhadap
penggugat,
tergugat
sudah
mengeluarkan biaya untuk honor tim, transfortasi, presentasi dan lain-lain. Hal itu dipertimbangan berdasarkan keadilan yang berhak di terima oleh tergugat sebagai warga Negara Indonesia.
75
BAB IV SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertimbangan hukum perkara perdata No 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung terhadap alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut menurut penulis putusan hakim dirasa kurang adil karena hanya memperhatikan kesalahan dari tergugat saja, sedangkan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dikarenakan untuk memperkecil kerugian dan memilih bermasalah dengan internal daripada harus berurusan dengan client (turut tergugat II). Dan penggugat ternyata pengurus baru dari PT Tri Tunggal Patryaksa. Kalaupun mau menggugat seharusnya pengurus lama yang melakukan gugatan. Sehingga Hakim seharusnya mengurangi penggantian kerugian terhadap tergugat tidak seluruhnya, hal itu dipertimbangkan dengan seksama karena tergugat melakukan perbuatan hukum itu semata-mata hanya untuk memperkecil kerugian yang di alamainya karena sebelum terjadinya kerja sama terhadap penggugat, tergugat sudah mengeluarkan biaya untuk honor tim, transfortasi, presentasi dan lain-lain. Meskipun pada kenyataanya tergugat belum mengganti kerugian tersebut. 2. Putusan pengadilan negeri dalam perkara perdata registrasi No. 52 Tahun 2006 Pengadilan Negeri Bandung telah dapat di kategorikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum karena tergugat I telah mencairkan dana dari tergugat II tanpa sepengetahuan penggugat sehingga terjadi kerugian yang 75
76
di alami penggugat. Sehingga tergugat harus mengganti kerugian penggugat sebesar 1% dari Rp. 573. 542.000,- (Lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus empat puluh dua rupiah) selama 12 bulan terhitung dari bulan januari 2004 sampai tergugat membayar lunas kewajibannya.