KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU
SITI ISTIQOMAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016 Siti Istiqomah NIM B251130051
_________________________ * Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN SITI ISTIQOMAH. Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Dibimbing oleh MIRNAWATI B SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA. Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai bahan pengawet khususnya pada bakso. Bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak. Bahan tambahan pangan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit. Penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan. Boraks termasuk bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Penelitian penggunaan boraks pada bakso pernah dilakukan di Kota Bengkulu pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 10% dari 100 sampel bakso yang diuji positif mengandung boraks. Mengingat bahaya boraks apabila dikonsumsi terus menerus dan adanya peningkatan jumlah pedagang bakso sampai tahun 2013 di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan penelitian dengan cakupan besaran sampel bakso yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso dan mengukur karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lapang cross sectional yang menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel bakso di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh pedagang bakso yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 sampel bakso dari pedagang (100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap. Pengambilan sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggilingan bakso yang ada di Kota Bengkulu. Deteksi keberadaan boraks pada bakso dilakukan secara dua tahap yaitu tahap pertama pengujian keberadaan boraks pada bakso yang beredar di Kota Bengkulu secara kualitatif, tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan dan daya simpan. Hasil pengujian kualitatif menunjukkan 165 sampel (100%) yang diambil dari pedagang bakso dan tempat pengilingan tidak mengandung boraks. Dari hasil survei diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso mayoritas berada dalam kategori baik. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi sikap adalah akses informasi dari televisi dan pengetahuan. Tingkat pengetahuan penggiling bakso sebagian besar dalam kategori sedang, dan sikap seluruh penggiling bakso dalam kategori baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada praktik penambahan boraks dalam bakso baik sampel bakso yang berasal dari pedagang maupun penggiling bakso tetapi penyuluhan tetap harus dilakukan oleh instansi terkait mengingat baru sebagian pedagang dan penggiling yang mendapat penyuluhan. Pengawasan dengan cara pengambilan sampel secara menyeluruh harus dilakukan secara menyeluruh pada pedagang bakso yang menetap dan tidak menetap, baik yang membuat bakso sendiri maupun yang tidak membuat bakso sendiri. Data jumlah pedagang dan penggiling bakso yang perlu diperbaharui secara rutin dan penelitian
lanjutan perlu dilakukan untuk pengambilan sampel dari pedagang bakso keliling dan penjual bakso di pasar. Kata kunci: bakso, boraks, pedagang, pengetahuan, sikap
SUMMARY SITI ISTIQOMAH. Characteristics, Knowledges, Attitudes, and Practices of Meatball Traders on Addition of Borax in Bengkulu City. Supervised by MIRNAWATI B SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA. Borax is one of food additives that are often used as a preservative, especially in meatballs. Meatballs are processed foodstuffs of animal origin that can damage easily. Food additives can extend the shelf life of the foods by inhibit the growing of disease-causing organisms. The addition of borax is performed in food processing. Borax is one of the toxic materials when used in food and harmful to human health. The last research about using of borax in meatballs in Bengkulu City in 2011 showed that 10% (10/100) of meatballs containing borax. The dangerous effect of borax and increasing the number of meatball traders in 2013, it is necessary to do the research about meatball with more meatballs samples. The study was aimed to detect the presence of borax in meatballs and identify the characteristics, knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and grinders in Bengkulu City. The study was conducted using cross sectional study using two types of data, they were data of meatball sample test in the laboratory and questionnaire data about characteristics, knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and grinders in Bengkulu City. The samples were collected from all the settle meatballs traders in Bengkulu City (160 traders). Sampling also carried out on five samples from grinders place in Bengkulu City. Detection of the content of borax in meatballs were done in two stages, the first stage was testing the content of borax in meatballs qualitatively, the second stage consists of three types of testing namely spectrophotometry, heating and storability. The qualitative method showed that all of samples (100%) didn’t contain borax. The knowledges and attitudes level of traders were at a good level. The education level had the association with the knowledge. The factors that are associated with attitude were sourced from television and knowledge. Most of the knowledge of meatball grinders were in the medium category and all of their attitudes were at good levels. The result study showed that no additional borax in meatball traders and grinders but they must get the socialization from related agencies to increase their knowledge. It is important to perform the surveillance programme to all of the meatballs traders (including settle and not settle traders) and producers of meatballs. Data of total meatballs traders and grinders should be updated frequently and need further research which sampling from meatballs traders on the street and in the market. Keywords: attitude, borax, knowledge, meatball, trader
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU
SITI ISTIQOMAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto dan Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi serta bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH-IPB dan Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta seluruh staf. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah memberikan beasiswa serta kepada Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu dan Kepala UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah memberikan ijin untuk melakukan pengujian di UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya Balai Pengawas Obat dan Makanan Bengkulu dan Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung yang telah membantu dalam peneguhan pengujian. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekanrekan mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2012, 2013 dan 2014 baik program khusus maupun regular yang telah bersama-sama dalam menempuh pendidikan di kampus FKH IPB tercinta, serta rekan-rekan dari Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah bersama-sama melaksanakan tugas belajar di IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada ayahanda Drs Suparmin, ibunda Umi Marwiyatun, kakak-kakakku tersayang atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya serta pihakpihak lain yang turut membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016 Siti Istiqomah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tambahan Pangan (BTP) Karakteristik Boraks Kegunaan Boraks Bahaya Boraks
2 2 5 5 7
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Kerangka Konsep Disain Penelitian Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Koleksi Sampel Pengujian Sampel Analisis Data
10 10 11 11 11 12 12 12 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan Sampel dan Hasil Pengujian Laboratorium Karakteristik Pedagang Bakso Praktik Pedagang Bakso Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Pengetahuan Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap Pengetahuan Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap Karakteristik Penggiling Bakso Praktik, Pengetahuan, dan Sikap Penggiling Bakso Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Instansi Pemerintah
14 15 16 18 20 22 24 26 28 29 31
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
32 32 33
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Profil toksisitas akut boraks Wilayah dan besaran sampel bakso yang diambil dari pedagang bakso Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks Hubungan antara karakteristik personal terhadap tingkat pengetahuan pedagang bakso dalam penambahan boraks Hubungan antara karakteristik personal terhadap sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks Karakteristik personal penggiling bakso di Kota Bengkulu Praktik pengolahan bakso oleh penggiling bakso di Kota Bengkulu Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap penggiling bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks
8 16 17 18 21 23 25 26 29 30 31
DAFTAR GAMBAR 1 Struktur molekul boraks 2 Skema kerangka konsep penelitian 3 Peta lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu
7 11 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner pedagang bakso di Kota Bengkulu 2 Kuesioner penggiling bakso di Kota Bengkulu 3 Surat penerimaan artikel
41 48 55
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi tantangan utama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Manajemen risiko yang efektif untuk pencapaian hal tersebut berdasarkan informasi dan studi ilmu pengetahuan diperlukan oleh industri pangan (pengusaha, pedagang), dan konsumen. Perkembangan informasi melalui berbagai media meningkatkan tuntutan dan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan pangan. Informasi berdasarkan penelitian ilmiah salah satu kunci menilai pangan yang beredar di suatu wilayah memenuhi persyaratan yang berlaku. Pangan asal hewan seperti daging, susu, dan telur serta hasil olahannya pada umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF) (Lukman 2008). Bakso merupakan hasil olahan daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang. Kebutuhan masyarakat (konsumen) terhadap protein dapat dipenuhi dengan mengonsumsi bakso (Cahyadi 2008). Bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak dan sering diberikan bahan tambahan pangan dalam proses pembuatannya. Bahan tambahan pangan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit. Tahun 1900-an awal boraks secara luas digunakan sebagai pengawet makanan (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014). Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai bahan pengawet khususnya pada bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit, tahu, dan bakmi. Penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan untuk meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, memberi rasa gurih dan kepadatan (Saparinto dan Hidayati 2006). Boraks di pasaran memiliki nama berbeda-beda, di Jawa Tengah disebut air bleng atau garam bleng, di daerah Sunda disebut bubuk gendar, di Jakarta disebut pijer (Sugiyatmi 2006). Boraks termasuk bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Penggunaan boraks dalam pembuatan makanan untuk diperdagangkan secara internasional tidak diizinkan pada banyak negara. Penggunaan secara ilegal di beberapa negara untuk memperpanjang masa simpan masih dilakukan sehingga terus menimbulkan risiko kesehatan bagi konsumen (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014). Penelitian bakso di Kota Bengkulu pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 10% dari 100 sampel bakso yang diuji positif mengandung boraks (Suningsih 2011). Mengingat bahaya boraks apabila dikonsumsi terus menerus dan adanya peningkatan jumlah pedagang bakso di Kota Bengkulu (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014), maka perlu dilakukan penelitian dengan cakupan sampel bakso yang lebih besar. Pengamatan yang dilakukan meliputi keberadaan boraks dalam bakso, daya simpan bakso, dan penelusuran faktor-faktor pendorong penambahan boraks dalam bakso.
2 Tujuan Penelitian
1. 2.
Penelitian ini bertujuan untuk: Mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso. Mengukur karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjamin keamanan, kesehatan, dan ketentraman batin masyarakat Kota Bengkulu dalam mengonsumsi bakso yang beredar di Kota Bengkulu. Data dan informasi hasil penelitian sebagai bahan penyuluhan bagi pedagang dan penggiling bakso mengenai bahaya yang dapat ditimbulkan dari bakso yang mengandung boraks.
2 TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tambahan Pangan (BTP) Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes 2012). Nama BTP atau jenis BTP, selanjutnya disebut jenis BTP, adalah nama kimia/generik/umum/lazim yang digunakan untuk identitas bahan tambahan pangan, dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (BPOM 2013). Penggunaan bahan tambahan pangan bukan temuan modern, sudah sejak 5000 tahun yang lalu dilakukan dan awalnya penggunaan cuka untuk pengawetan sayuran, pengasinan, dan pengasapan untuk membantu mengawetkan daging dan ikan, penggunaan bahan-bahan herbal untuk meningkatkan rasa, dan mewarnai sayuran untuk memperbaiki penampilan makanan. Bahan tambahan pangan sekarang sangat beragam dengan tujuan untuk mengatur keasaman, meningkatkan tekstur, meningkatkan warna dan kualitas makanan, dan sebagainya. Bahan tambahan alami misalnya asam askorbat (vitamin C) dalam buah jeruk, lesitin dalam telur dan kedelai, atau bisa sintetik. Beberapa bahan tambahan pangan memiliki lebih dari satu fungsi misal kitinase digunakan sebagai pengental juga memiliki beberapa sifat antibakteri. Penggunaan jumlah kecil dalam makanan baik bahan tambahan pangan alami atau sintesis. Pertengahan abad kedua puluh peningkatan penggunaan bahan tambahan pangan signifikan (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014).
3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 75 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Pasal 76 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif, ayat (2) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin. Pasal 136 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan bahan tambahan pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp10 000 000 000 (sepuluh miliar rupiah) (Pemerintah Republik Indonesia 2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan mengatur BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau memengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Penggolongan BTP berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut: 1. Antibuih (Antifoaming agent) 2. Antikempal (Anticaking agent) 3. Antioksidan (Antioxidant) 4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent) 5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt) 6. Gas untuk kemasan (Packaging gas) 7. Humektan (Humectant) 8. Pelapis (Glazing agent) 9. Pemanis (Sweetener) 10. Pembawa (Carrier) 11. Pembentuk gel (Gelling agent) 12. Pembuih (Foaming agent) 13. Pengatur keasaman (Acidity regulator) 14. Pengawet (Preservative) 15. Pengembang (Raising agent) 16. Pengemulsi (Emulsifier)
4 17. Pengental (Thickener) 18. Pengeras (Firming agent) 19. Penguat rasa (Flavour enhancer) 20. Peningkat volume (Bulking agent) 21. Penstabil (Stabilizer) 22. Peretensi warna (Colour retention agent) 23. Perisa (Flavouring) 24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent) 25. Pewarna (Colour) 26. Propelan (Propellant) dan 27. Sekuestran (Sequestrant) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP yaitu: 1. Asam borat (Boric acid) dan senyawanya 2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin) 5. Formalin (Formaldehyde) 6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol) 9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine) 13. Nitrobenzen (Nitrobenzene) 14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole) 16. Biji tonka (Tonka bean) 17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP salah satunya yaitu asam borat (boric acid) dan senyawanya. Boraks tidak diperbolehkan dipergunakan di dalam makanan dan dinyatakan ilegal apabila ditemukan di dalam makanan termasuk jika dipergunakan untuk pelapis (wax) buah-buahan dan sayur-sayuran (USFDA 2013). Asam borat (boric acid) dan senyawanya banyak dipergunakan pada mie dan bakso ikan di Malaysia, meskipun dilarang penggunaannya (Yiu et al. 2008). Kadar boraks lebih tinggi pada bakso yang dibuat oleh produsen daripada bakso yang dibuat oleh pedagang. Pedagang menggunakan boraks pada bakso dikarenakan bakso yang dihasilkan mempunyai tekstur yang lebih kenyal, tahan lama, dan harga terjangkau sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar (Nurkholidah et al. 2012). Masyarakat/konsumen memilih bakso berdasarkan kualitas bakso, lokasi penjualan, harga, rasa, dan produk yang terjamin (Purnomo dan Rahardiyan 2008).
5 Bakso daging adalah produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan ternak yang dicampur pati dan bumbu-bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan. Daging meliputi daging sapi, kerbau, kambing, domba, babi, hewan ternak lainnya, dan atau hewan unggas. Daging ternak termasuk urat dan jantung. Klasifikasi bakso terdiri dari bakso daging merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 45% dan bakso daging kombinasi merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 20% (BSN 2014). Penelitian mengenai penambahan boraks pada bakso di Kota Bengkulu tahun 2011 memperoleh hasil 10% dari 100 sampel bakso yang diteliti. Sampel bakso yang diambil berasal dari pedagang bakso pada warung menetap dan tidak ada pemisahan pedagang bakso melakukan pembuatan sendiri atau berasal dari penggiling. Hasil penelitian dari tujuh kecamatan yang ada di Kota Bengkulu ditemukan enam kecamatan terdapat sampel bakso positif mengandung boraks (Suningsih 2011). Peningkatan jumlah pedagang bakso berdasarkan pelaksanaan inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan asal hewan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu terdapat 158 unit usaha bakso (pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit usaha, di mall enam unit usaha, di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum ada data secara detail dari masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso sendiri atau berasal dari penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta terdapat beberapa unit usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014).
Karakteristik Boraks Boraks dengan rumus kimia Na2B4O7.10H2O mempunyai nama lain yaitu disodium tetraborat decahydrate, boraks decahydrate, atau boraks 10 dengan nomor registrasi Chemical Abstracts Registry (CAS) 1303-96-4 mempunyai ciri-ciri tidak berbau, keadaan fisik padat, berbentuk butiran kristal tidak berwarna/putih atau serbuk, bersifat alkali, tidak menyebabkan korosi pada logam besi, berat molekul 381.43 g/mol, pelarut gliserol (USEPA 2008a). Boraks memiliki berat jenis 1.73 larut dalam air dingin (47.1 g/l pada suhu 20 °C), sangat larut dalam air panas dan tidak larut dalam asam dan etanol, pemanasan di atas 320 °C akan menghilangkan kandungan air (EFSA 2013).
Kegunaan Boraks Boraks biasanya digunakan dalam industri gelas, pelicin porselen, alat pembersih, dan antiseptik. Kegunaan boraks yang sebenarnya adalah sebagai zat antiseptik, obat pencuci mata (barie acid 30%), salep (boorzalf) untuk menyembuhkan penyakit kulit, salep untuk mengobati penyakit bibir (borax glicerin), dan pembasmi semut (barie acid borax) (Saparinto dan Hidayati 2006). Penggunaan boraks dalam obat antifertilitas yaitu Pippalyadiyoga sebanyak 19.8% (Shaila et al. 2005).
6 Boraks merupakan bahan aktif dalam produk pestisida yang digunakan sebagai insektisida, akarisida, algasida, herbisida, fungisida, dan pengawet kayu. Boraks dipakai pada kegiatan manusia untuk produk laundry, pembakaran batu bara, pembangkit listrik, manufaktur kimia, peleburan tembaga, roket (Harper et al. 2012). Boraks dapat dipergunakan dalam proses penambangan emas untuk menghilangkan merkuri (Steckling et al. 2014). Boraks efektif sebagai fungisida dalam pemberantasan Fusarium sulphureum pada kentang (Li et al. 2012). Boric acid dan boraks merupakan faktor yang bagus sebagai fire retardant untuk melindungi serat serbuk gergaji dari kebakaran (Nagieb et al. 2011). Boraks dapat memperpanjang umur simpan kertas karena antibakteri dan efektif mengontrol pertumbuhan mikroorganisme pada kertas, sehingga kondusif untuk pengawetan dan memperpanjang umur kertas. Penggunaan karbon dioksida (CO2SCF) dikombinasikan dengan larutan boraks alkohol menjadikan kertas lebih kuat dan biaya ekonomis (Yanjuan et al. 2013). Boraks dapat sebagai antidota bersifat antagonis terhadap keracunan aluminium. Boraks pada dosis 3.25 dan 13 mg/kg berat badan dapat melindungi tikus yang diinduksi aluminium AlCl3 5 mg/kg berat badan. Partikel boraks memblok kenaikan mikronukleat hepatosit dan signifikan dengan efek genotoksik karena pengaruh AlCl3 (Turkez et al. 2012a). Boraks dapat menghambat pertumbuhan aflatoksin B1 (AFB1). Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan sister chromatid exchange (SCE) dan micronucleus (MN) pada aplikasi boraks (1, 2, dan 5 ppm) yang ditambah dengan AFB1 3.12 ppm. Boraks dapat memberikan 30 sampai 50% perlindungan terhadap AFB1 (Turkez et al. 2012b). Pemberian boraks pada kelinci secara oral dengan dosis 10, 30, dan 50 mg/kg berat badan setiap 96 jam selama tujuh bulan tidak menunjukkan perubahan parameter gambaran darah. Dosis tersebut tidak berefek terhadap gambaran darah. Boraks berefek pada hepatic steatosis dan lemak visceral dengan menurunkan stres oksidatif dan mempengaruhi profil lipid, meskipun dosis 50 mg/kg tidak menunjukkan efek (Basoglu et al. 2010). Seperti halnya dengan penelitian Pawa dan Ali (2006) pemberian boraks sebagai pretreatment dengan dosis 4 mg/kg yang diberikan secara oral selama tiga hari pada tikus yang mengalami fulminant hepatic failure (FHF) dapat menormalkan hati dan mengimbangi efek kerusakan yang dihasilkan oleh FHF dengan mengatur parameter oksidatif stres yang ditunjukkan dengan peningkatan glutathione (GSH) dan penurunan lipid peroksidase. Struktur molekul boraks seperti terlihat pada Gambar 1 (USEPA 2008a). Boraks dapat digunakan sebagai kontrol parasit pada tembakau (Kannan et al. 2015). Bernard et al. (2010) menyebutkan boraks digunakan untuk kontrol Fomes annosus dan kontrol ganggang di kolam renang, kontrol kutu/pinjal di karpet, penggunaan boraks untuk hal ini bersifat kontroversi karena beberapa tingkat aplikasi yang tinggi dapat menyebabkan keterpaparan pada anak-anak dan hewan peliharaan. Boraks juga disebut sodium borat, sodium tetraborat, atau disodium tetraborat merupakan senyawa boron, mineral, dan garam dari boric acid. Boron merupakan mineral yang digunakan untuk industri glass, keramik, otomotif dan cat. Boraks biasanya ditemukan senyawa boron. Boron berefek pada sistem enzim, mempengaruhi metabolisme lipid, energi, mineralisasi, Ca, P, Mg, vitamin D, menurunkan kolesterol, dan trigliserida. Penambahan boron dapat berefek pada pertumbuhan tulang, beberapa efek berbeda ditunjukkan pada unggas dan hewan
7 laboratorium. Boron dapat digunakan untuk masalah obesitas, fatty liver, dan diabetes atau untuk pengobatan masalah kesehatan tulang baik pada hewan domestik dan manusia. Meskipun penelitian tentang efek penggunaan boraks (boron) ini sudah dilakukan selama sepuluh tahun terakhir informasi yang dihasilkan tetap belum mencukupi (Kabu dan Akosan 2013; Kabu et al. 2015c).
Gambar 1 Struktur molekul boraks (USEPA 2008a)
Bahaya Boraks Boraks bersifat toksik bagi sel, berisiko terhadap kesehatan manusia yang mengonsumsi makanan mengandung boraks (See et al. 2010). Pengaruh boraks terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal boraks antara 0.1 sampai 0.5 g/kg berat badan. Keracunan kronis akibat boraks karena absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang ditimbulkan antara lain anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, kebotakan (alopecia), anemia, dan konvulsi. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu peristaltik usus, kelainan pada susunan saraf, depresi, dan kekacauan mental. Dosis tertentu mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati, dan kulit karena boraks cepat diabsorpsi oleh saluran pernafasan dan pencernaan, kulit yang luka, atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati 2006). Paparan jangka pendek (akut) boraks dapat mempengaruhi sistem saraf. Keterpaparan berlebihan dapat menyebabkan kejang, ketidaksadaran, dan kematian. Paparan jangka panjang (kronis) boraks dapat menyebabkan kerusakan otak, ginjal, dan hati (Pohanish 2012). Pemberian boraks secara oral dengan lethal dose (LD50) 4550 mg/kg pada tikus jantan dan 4980 mg/kg pada tikus betina dapat mengakibatkan keracunan akut. Tabel 1 menunjukkan profil toksisitas akut untuk boraks (USEPA 2008b). Hasil penelitian pada tikus menunjukkan boraks tidak menyebabkan perubahan histologi pada ginjal, usus besar, hati, dan lambung pada dosis rendah, tetapi jika dosis meningkat terdeteksi adanya inflamasi sel tanpa disertai gejala klinis. Dosis tinggi gejala klinis yang teramati edema, inflamasi sel dan
8 neovaskularisasi, dua dari enam tikus mati dalam waktu lima jam. Boraks dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan kematian mendadak dan terjadi juga pada waktu yang lama dan dosis lebih tinggi dapat mengakibatkan radang usus (Kabu et al. 2015a). Tabel 1 Profil toksisitas akut boraks (USEPA 2008b) Toksisitas akut Toksisitas akut oral/tikus Toksisitas akut oral/anjing Toksisitas akut dermal/kelinci Iritasi akut mata/kelinci Iritasi akut kulit/kelinci
Level toksisitas LD50 Jantan = 4550 mg/kg LD50 Betina = 4980 mg/kg LD50 > 974 mg/kg LD50 > 2000 mg/kg Korosif Tidak iritasi
Kategori toksisitas III III III I IV
LD50/LC50 merupakan ukuran umum dari toksisitas akut yaitu lethal dose (LD50) atau lethal concentration (LC50) yang menyebabkan kematian (dihasilkan dari satu atau terbatas paparan) pada 50 persen hewan perlakuan. LD50 umumnya dinyatakan sebagai dosis dalam miligram (mg) kimia per kilogram (kg) dari berat badan. LC50 sering dinyatakan sebagai mg kimia per volume (liter/l) media (udara atau air). Zat kimia dianggap sangat beracun bila LD50/LC50 kecil dan praktis tidak beracun ketika nilai besar. LD50/LC50 tidak mencerminkan efek dari paparan jangka panjang (kanker, kelahiran cacat atau toksisitas reproduksi) mungkin terjadi pada tingkat bawah yang menyebabkan kematian (Harper et al. 2012). Penurunan jumlah sperma dan atrofi testis pada tikus jantan serta penurunan ovulasi pada tikus betina yang diberi perlakuan dengan boraks 1170 ppm (58.5 mg/kg/hari) selama 14 minggu (USDA 2006). Boraks bersifat toksik terhadap reproduksi berdasarkan hasil penelitian pada tikus dengan no observed adverse effect levels (NOAELs) sebesar 17.5 mg(B)/kg berat badan berpengaruh terhadap kesuburan tikus jantan dan 9.6 mg(B)/kg berat badan dan terganggunya perkembangan (Bolt et al. 2012). Paparan boron (boric acid dan boraks) dari debu, makanan, dan air berkorelasi dengan urin orang yang mengonsumsinya. Konsentrasi boron pada urin berkorelasi dengan total konsentrasi paparan boron pada makanan, air, dan udara. Konsentrasi boron pada urin berkorelasi dengan boron pada darah dan semen. Total paparan boron rata-rata sebesar 41.2 mg per hari pada laki-laki yang bekerja di industri boron (Xing et al. 2008). Pekerja pada industri boron (boric acid dan boraks) yang terpapar terus menerus dikhawatirkan berpengaruh pada siklus spermatogenesis. Perbandingan boron pada sperma pekerja yang tidak bekerja di industri boron dengan pekerja yang bekerja di industri boron menunjukkan bahwa rata-rata 42 mg boron per hari (standar deviasi 58 mg boron per hari). Perbandingan kandungan boron pada sperma lebih rendah pada laki-laki yang bekerja di industri boron dibandingkan dengan laki-laki yang tidak bekerja di industri boron. Boron dalam darah pekerja rata-rata 499.2 ppb, paling tinggi 96.1, dan paling rendah 47.9 ppb. Tidak ada korelasi antara darah atau urin dan parameter boron dalam semen (Robbins et al. 2010). Pekerja yang terpapar boron level tinggi 125 mg(B)/hari di Provinsi Liaoning China tidak menunjukkan efek yang signifikan pada karakteristik semen. China produksi boron terbanyak yaitu boric acid (> 10 000 ton) dan boraks (> 200 000 ton) tahun 1998 (Scialli et al. 2010).
9 Bandirma Turki adalah area produksi dan ekspor boric acid dan boraks (boron). Pekerja banyak terpapar oleh produk ini. Penelitian menunjukkan konsentrasi boron dalam darah 223.89±69.49 atau 152.82 sampai 454.02 ng/g (Basaran et al. 2012). Hasil investigasi efek reproduksi dengan paparan boron (boric acid dan boraks) pada pekerja di Bandirma Turki dengan pemeriksaan darah, semen, dan urin pada tempat kerja akibat paparan boron dari udara, makanan, dan sumber air. Efek reproduksi (konsentrasi, motilitas, morfologi sperma, dan follicle stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan total testosteron tidak teramati. Paparan boron 3.32 sampai 35.62 mg per hari. Paparan ini lebih rendah dari penelitian pada hewan yang menyebabkan penurunan jumlah sperma dan atrofi testis, sehingga tidak ada efek pada reproduksi manusia yang terkena paparan boron (Duydu et al. 2011). Menurut Duydu et al. (2012) tidak ada kerusakan DNA pada sperma akibat pengaruh paparan boraks melalui pengujian COMET assay. Kerusakan testis karena polutan bahan kimia seperti pemakaian pestisida untuk produk pertanian yang mengandung organofosfat sering dilaporkan, sedangkan kasus boron (boric acid, boraks) yang berpengaruh terhadap spermatogenesis jarang dilaporkan. Oleh karena itu biosentinel spesies sangat cocok untuk memonitor polusi di perairan atau ekosistem. Kesehatan lingkungan yang terganggu atau stres berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi dari makhluk hidup yang ada di dalamnya. Biosentinel spesies invertebrata laut (Octopus mimus), ikan zebra Danio rerio dan amfibi atau binatang akuatik lainnya dapat dipergunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui adanya polutan bahan kimia (Bustos-Obregon dan Hartley 2008). Pemberian boraks dengan dosis 30 g/hari pada sapi perah selama periode periparturient tidak memberikan efek terhadap metabolisme lipid, total kolesterol, high density lipoprotein (HDL), non esterified fatty acids (NEFA), atau tingkat βhydroxybutyric acid (BHBA) setelah partus. Boraks meningkatkan tingkat blood urea nitrogen (BUN) pada minggu pertama laktasi, tetapi level tersebut sama dengan periode transisi sebelum dan sesudah partus (Kabu dan Civelek 2012). Pemberian boraks pada sapi perah dalam periode periparturient secara oral sebanyak 30 g per hari dapat menyebabkan efek terhadap beberapa parameter gambaran darah seperti sel darah putih (monosit dan neutrofil), hematokrit, hemoglobin, platelet, mean cospuscular hemoglobin. Peningkatan sel darah putih terjadi pada periode calving, monosit juga meningkat pada periode tersebut, neutrofil meningkat pada satu minggu sebelum partus dan mengalami penurunan pada satu minggu setelah partus. Hematokrit, hemoglobin, platelet, mean cospuscular hemoglobin signifikan pada periode periparturient (Kabu et al. 2014). Pemberian boraks secara oral dengan dosis 0.2 mg/kg/hari selama empat minggu pada sapi Australian simmental yang sedang laktasi menunjukkan peningkatan konsentrasi boraks dalam serum pada minggu 1, 2, 3, dan 4 tetapi tidak menunjukkan efek negatif pada periode awal laktasi. Meskipun demikian perlu dilakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui efek boraks pada periode awal laktasi (Kabu dan Uyarlar 2015b). Toksisitas food additive boraks menduduki urutan kedua (IC50 570 mg/l) setelah sodium nitrite (410 mg/l) dan masih di atas aluminium potassium sulfate atau potash alum (830 mg/l). Boraks dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri Escherichia coli setelah diinkubasi selama tiga hari yang ditunjukkan dengan adanya perubahan pada morfologi sel bakteri dengan atomic force microscopy
10 (AFM) (Yu et al. 2013). Pertumbuhan dan proliferasi sel dapat dihambat dengan menggunakan boraks (Park et al. 2005). Boraks dapat menghambat proliferasi sel imun (limfosit) dan menyebabkan kerusakan genetik. Konsentrasi 0.15 mg/ml merupakan konsentrasi minimal boraks bersifat toksik terhadap sel imun. Semakin tinggi konsentrasi boraks semakin tinggi efek sitotoksik pada sel imun. Boraks pada konsentrasi 0.15, 0.2, 0.3 mg/ml memengaruhi sel dan kromosom manusia (jumlah dan struktur abnormal) (Pongsavee 2009a). Boraks dapat mengakibatkan abnormalitas kromosom manusia dan menyebabkan cacat genetik (Pongsavee 2009b). Penelitian Gulsoy et al. (2015) juga menunjukkan genotoksik karena boraks pada ikan zebra Danio rerio yang terpapar akut pada 24, 48, 72, dan 96 jam ditandai dengan kerusakan DNA tertinggi pada 96 jam. Kerusakan DNA tertinggi pada dosis 64 mg/l, lalu diikuti 16 mg/l, 4 mg/l, dan 1 mg/l. Paparan 24 jam menyebabkan paling sedikit kerusakan DNA, dan semakin lama kerusakan DNA semakin banyak. Berbeda dengan penelitian Hojati dan Dehghanian (2014) yang menunjukkan bahwa boraks tidak bersifat mutagenik dengan Salmonella Typhimurium reverse mutation (Ames) test. Turkez (2008) menyebutkan bahwa boraks dapat mempertahankan antioksidan dan tidak bersifat genotoksik, ditunjukkan dengan boraks dapat menurunkan genotoksisitas TiO2 dalam darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa boraks tidak seluruhnya menghambat sister chromatid exchange (SCE) dan micronuklei (MN) akibat titanium dioxide (TiO2) yang biasa dipergunakan untuk industri obat dan kosmetik. Peningkatan dosis boraks pada darah manusia dapat menyebabkan stres oksidatif dengan menurunnya aktifitas enzim antioksidan, total glutathione (TGSH), total antioxidant capacity (TAC) dan meningkatnya malondialdehyde (MDA) meskipun pada dosis tertentu dapat mempertahankan kapasitas antioksidan (Turkez et al. 2007). Boraks meningkatkan konsentrasi glutathione (GSH) dalam darah dan tingkat vitamin C dalam plasma. Pemberian nutrisi yang mengandung boraks dengan dosis 100 mg/kg pada tikus selama 28 hari dapat menurunkan lipid peroxidation (LPO) dan meningkatkan mekanisme pertahanan antioksidan dan status vitamin. Tidak ada perbedaan keseimbangan oksidan/antioksidan dengan parameter biokimia, kecuali serum vitamin A pada serum dan konsentrasi glutathione (GSH) pada hati (Ince et al. 2010). Pemberian suplemen yang mengandung boraks pada ayam broiler menunjukkan tidak mempengaruhi pertumbuhan berat badan tetapi memengaruhi parameter biokimia pada hati, otot, dan saluran pencernaan, menimbulkan gangguan metabolisme, dan keseimbangan elektrolit (Eren et al. 2012).
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan dari April sampai Desember 2015. Pengambilan sampel dilakukan di Kota Bengkulu dan pengujian sampel dilaksanakan di UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Provinsi Bengkulu dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu.
11 Metode Penelitian Kerangka Konsep Kerangka konseptual penelitian karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso di Kota Bengkulu dapat dilihat seperti pada Gambar 2. A. Karakteristik personal: - Umur - Tingkat pendidikan - Skala usaha - Omset - Lama usaha - Keterlibatan organisasi - Akses informasi
Pengetahuan
Praktik
Sikap Uji Kualitatif Hasil uji positif
Hasil uji negatif STOP
Daya simpan pada suhu ruang dan suhu refrigerator Total plate count (TPC)
Pemanasan
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Organoleptik Total plate count (TPC)
Gambar 2 Skema kerangka konsep penelitian Disain Penelitian Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel bakso di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Responden yang akan diwawancarai adalah pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Wawancara dilakukan secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Pertanyaannya meliputi karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso dalam menggunakan boraks dalam bakso. Pengukuran pengetahuan menggunakan pertanyaan dengan tiga pilihan jawaban yaitu ya, tidak, dan tidak tahu. Pengukuran sikap menggunakan pernyataan (terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif) dengan tiga pilihan jawaban yaitu setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Pengukuran praktik menggunakan pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah disediakan. Wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan dengan instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bengkulu; Dinas Pertanian,
12 Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan (Distannakbunhut) Kota Bengkulu; dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu. Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh (100%) pedagang bakso yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan penggiling bakso yang berada di Kota Bengkulu. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian yang menggunakan kuesioner untuk pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusun harus mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu teknik pengukuran ulang, teknik belah dua, dan teknik paralel (Ancok 1995). Uji validitas dan reliabilitas telah dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan di lapangan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap 30 responden. Adapun teknik yang digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik belah dua (Ancok 1995). Koleksi Sampel Berdasarkan data pelaksanaan inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan asal hewan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu terdapat 158 unit usaha bakso (pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit usaha, di mall enam unit usaha, di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum ada data secara detail dari masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso sendiri atau berasal dari penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta terdapat beberapa unit usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014). Pengambilan sampel bakso pada penelitian ini dilakukan pada seluruh pedagang bakso yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 pedagang bakso (100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap. Pengambilan sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggiling bakso yang ada di Kota Bengkulu. Pengambilan sampel bakso sebanyak 200 g untuk setiap pedagang dan penggiling bakso. Variasi ukuran bakso tidak dilihat dalam pengambilan sampel bakso dan hanya bakso daging sapi yang diambil untuk dilakukan pengujian. Pengujian Sampel Pengujian sampel di laboratorium dilakukan terhadap sampel bakso dari pedagang dan tempat penggilingan bakso di Kota Bengkulu. Pengujian sampel dilakukan secara dua tahap yaitu: tahap pertama adalah pengujian boraks secara kualitatif, apabila hasil tahap pertama positif maka dilanjutkan dengan pengujian tahap kedua yang terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan, dan daya simpan. Jika hasil uji tahap pertama negatif, maka tidak dilanjutkan ke tahap pengujian kedua.
13 Metode pengujian tahap pertama yang dipergunakan berdasarkan metode standar AOAC nomor 970.33 dengan tipe tes secara kualitatif (AOAC 2007) untuk mengetahui keberadaan boraks. Pengujian secara kualitatif terdiri dari dua tahap pengujian yaitu uji pendahuluan dan uji konfirmasi. Uji pendahuluan dilakukan dengan cara sampel dipanaskan dengan air secukupnya untuk menjadikan larutan sebelum proses pengasaman. Sampel diasamkan dengan HCl 37% (7 ml asam untuk setiap 100 ml sampel). Kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut dan angkat segera. Jika terdapat boraks, maka kertas turmeric akan berubah menjadi warna merah. Bakso positif hasil uji pendahuluan dilanjutkan dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi dilakukan dengan cara 25 gram sampel positif uji pendahuluan dibuat dalam keadaan basa dengan ditambahkan kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dan diuapkan sampai kering menggunakan penangas kukus. Setelah itu sampel tersebut dibakar (dengan suhu rendah) sampai bahan organik terbakar seluruhnya. Lalu didinginkan, kemudian dilarutkan dengan 15 ml air, dan ditambahkan HCl tetes demi tetes sampai larutan menjadi asam pada pH 5. Setelah itu kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut dan dikeringkan menggunakan penangas kukus. Keberadaan boraks ditunjukkan oleh perubahan warna menjadi warna merah. Metode pengujian tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan, dan daya simpan. Tujuan uji spektrofotometri adalah untuk mengetahui kadar boraks dalam bakso. Apabila terdapat bakso yang positif mengandung boraks di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan pengujian spektrofotometri untuk mengetahui kadar boraks yang ada dalam bakso yang dijual di Kota Bengkulu. Tujuan uji pemanasan adalah untuk mengetahui kadar boraks setelah dilakukan pemanasan. Pada saat konsumen membeli bakso, pedagang bakso akan mencelupkan bakso dalam air mendidih terlebih dahulu, dan bakso tersebut yang disajikan dan siap dikonsumsi oleh konsumen. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian pemanasan pada bakso positif boraks untuk mengetahui ada atau tidak penurunan kadar boraks dalam bakso setelah dipanaskan. Sedangkan untuk uji daya simpan tujuannya untuk mengetahui daya simpan bakso yang mengandung boraks yang bisa dijadikan parameter bagi pedagang bakso untuk mengantisipasi kemungkinan adanya bakso yang mengandung boraks berdasarkan daya simpan bakso boraks pada suhu ruang dan refrigerator. Metode spektrofotometri mengacu pada Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) nomor 07/MM/00 tentang penetapan kadar asam borat dan senyawanya dalam makanan (BPOM 2000). Spektrofotometri dilakukan dengan cara pembuatan larutan uji, pembuatan larutan baku, dan ditetapkan kadar boraksnya dengan spektrofotometer. Larutan uji dibuat dengan cara sampel bakso ditimbang 0.5 sampai 1 g (0.5 g) dan dimasukkan ke dalam krus porselen. Sampel tersebut ditambah 4 ml larutan natrium karbonat 1% dan dicampur sampai homogen. Lalu campuran itu diuapkan di atas penangas air, kemudian dikeringkan di dalam oven 100 °C, setelah itu dipanaskan dengan api bunsen sampai tidak mengeluarkan asap, dan dipijarkan dalam tanur 500 °C selama 3 jam. Sampel tersebut kemudian didinginkan, ditambah 1 sampai 2 ml HCl (1:4), lalu dipanaskan di atas penangas air, dan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 ml, setelah itu didinginkan lalu ditambah air sampai tanda (A). Pembuatan larutan baku dilakukan dengan cara dipipet 1, 2, 3, 4, 5, dan 10 ml larutan 100 µg/ml baku pembanding asam borat, lalu dimasukkan ke dalam enam krus porselen (sebaiknya krus platina) yang berbeda, kemudian ditambah 4 ml larutan natrium karbonat 1% b/v, dan dicampur sampai
14 homogen. Perlakukan sama pada larutan uji (B1, B2, B3, B4, B5, dan B6). Cara penetapan kadar boraks yaitu masing-masing larutan A, B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dipipet sebanyak 0.5 ml ke dalam labu propilen yang berbeda, ditambah 3 ml larutan kurkumin 0.125%, 3 ml larutan asam asetat-sulfat (1:1) dicampur sampai homogen dan didiamkan selama 1 sampai 4 jam. Setelah itu 15 ml larutan amonium asetat ditambahkan dan dicampur sampai homogen. Serapan larutan berwarna merah jingga diukur dalam kuvet kuarsa 1 cm pada panjang gelombang maksimum ±540 nm menggunakan air yang diperlakukan sama seperti larutan uji sebagai blangko, dibuat kurva baku antara serapan dan kadar asam borat. Kadar asam borat dihitung menggunakan rumus berikut: Ca x F Bu Ca = mikrogram asam borat yang diperoleh dari kurva baku (µg) Bu = berat sampel yang ditimbang (g) F = faktor pengenceran Pengujian pemanasan dilakukan dengan cara sampel bakso (hasil pengujian tahap pertama yang positif boraks) dipanaskan atau direbus kembali dalam air mendidih (100 °C) selama lima menit, kemudian dilakukan pengujian kuantitatif (spektrofotometri) kembali. Pengujian daya simpan bakso yang mengandung boraks dilakukan baik pada sampel bakso yang positif maupun yang negatif (hasil pengujian tahap pertama) dengan besaran sampel masing-masing 10 sampel. Sampel bakso yang diambil yaitu bakso yang diproduksi pada hari pertama. Sampel bakso yang diamati disimpan dalam suhu ruang dan suhu refrigerator (2 sampai 8 °C) sampai terjadi perubahan organoleptik yaitu warna, bau, tekstur. Pengujian total plate count (TPC) dilakukan pada hari nol, satu, dua, tiga, dan seterusnya sampai terjadi perubahan organoleptik atau maksimal enam hari. Pengujian TPC berdasarkan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 2897 tahun 2008 tentang metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil olahannya (BSN 2008).
Analisis Data Data hasil wawancara yang diperoleh yaitu karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Bengkulu terdiri dari sembilan kecamatan yaitu Selebar, Kampung Melayu, Gading Cempaka, Ratu Agung, Ratu Samban, Singaran Pati, Teluk Segara,
15 Sungai Serut, dan Muara Bangkahulu. Jumlah penduduk Kota Bengkulu pada tahun 2013 sebanyak 334 529 jiwa dengan 84 866 rumah tangga. Luas wilayah Kota Bengkulu 146.69 km², kepadatan penduduk sebesar 2280 jiwa/km² (BPS Kota Bengkulu 2014).
Pengambilan Sampel dan Hasil Pengujian Laboratorium Sebanyak 160 sampel bakso telah diambil dari pedagang bakso yang berada di Kota Bengkulu (Tabel 2) dan diuji secara kualitatif menunjukkan hasil negatif boraks. Demikian pula 15 sampel yang sama dari pedagang bakso diuji di Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung juga memperlihatkan hasil negatif. Lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu
16 Pengambilan sampel juga telah dilakukan dari penggiling bakso di Kota Bengkulu, terdapat lima sampel yang berasal dari tempat penggilingan yaitu Moro Seneng, Helen, Langen Sari, Ika Jaya, dan Gilingan Bakso Alfa. Hasil uji kualitatif dari kelima sampel yang berasal dari tempat penggilingan bakso memperlihatkan hasil negatif. Kelima sampel dari lima tempat penggilingan tersebut juga diuji oleh Laboratoriun Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Bengkulu, dan hasilnya juga menunjukkan negatif. Ada kekhawatiran penambahan boraks pada bumbu/BTP di tempat penggilingan bakso dalam proses pengolahan bakso, akhirnya dilakukan pengambilan sampel terhadap bumbu/BTP tersebut dan dilakukan uji kuantitatif dengan spektrofotometri oleh BPOM Bengkulu hasilnya menunjukkan bumbu/BTP tersebut negatif boraks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu tidak menggunakan boraks sebagai BTP dalam pengolahan bakso yang diperdagangkan. Tabel 2 Wilayah dan besaran sampel bakso yang diambil dari pedagang bakso No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Wilayah kecamatan Selebar Kampung Melayu Gading Cempaka Ratu Agung Ratu Samban Singaran Pati Teluk Segara Sungai Serut Muara Bangkahulu Total sampel
Besaran sampel (n) 23 7 16 10 32 24 17 11 20 160
Karakteristik Pedagang Bakso Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu meliputi umur, tingkat pendidikan, skala usaha, omset, lama usaha, keterlibatan organisasi, dan akses informasi yang dimiliki dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan 71.3% pedagang bakso di Kota Bengkulu berusia 30 sampai dengan 50 tahun, 18.8% berusia lebih dari 50 tahun, dan 10% berusia kurang dari 30 tahun. Tingkat pendidikan yaitu pendidikan terakhir pedagang bakso terdiri dari tidak sekolah (7.5%), SD sampai SMP (54.5%), lebih dari atau sama dengan SMA (38.1%). Sebagian besar pedagang bakso berpendidikan SD sampai SMP. Skala usaha pedagang bakso di Kota Bengkulu sebagian besar termasuk kriteria usaha mikro (69.4%) dan sisanya kriteria usaha kecil (30.6%). Ketentuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, usaha kriteria mikro yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 000 000. Usaha kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 000 000 sampai dengan paling banyak Rp500 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 000 000 sampai dengan paling banyak Rp2 500 000 000 (Pemerintah Republik Indonesia 2008).
17 Tabel 3 Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu Karakteristik personal Umur - < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan - Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha - Mikro - Kecil Omset - Tidak menjawab - < Rp300 000 000 - Rp300 000 000-Rp2 500 000 000 Lama usaha - < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan Ya Tidak - Pelaku penyuluhan Balai Pengawas Obat dan Makanan Bengkulu Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu - Informasi dari sumber lain Televisi Internet Media cetak Lain-lain
Jumlah (n=160) n % 16 114 30
10.0 71.3 18.8
12 87 61
7.5 54.4 38.1
111 49
69.4 30.6
26 87 47
16.3 54.4 29.4
18 86 56
11.3 53.8 35.0
149 11
93.1 6.9
47 113
29.4 70.6
42 14 5
26.3 8.8 3.1
137 14 20 17
85.6 8.8 12.5 10.6
Omset pedagang bakso di Kota Bengkulu berdasarkan hasil penjualan tahunan kurang dari Rp300 000 000 sebanyak 54.4% dan hasil penjualan tahunan Rp300 000 000 sampai Rp2 500 000 000 (29.4%). Lama usaha sebagian besar antara satu sampai 10 tahun (53.8%), di atas 10 tahun 35%, dan kurang dari satu tahun 11.3%. Mayoritas pedagang bakso tidak mengikuti organisasi (perkumpulan/paguyuban/arisan pedagang bakso) 93.1%. Akses informasi diperoleh dari penyuluhan dan sumber lain. Pedagang bakso yang tidak mendapat penyuluhan 70.6%, sedangkan yang mendapatkan penyuluhan 29.4%. Penyuluhan banyak dilakukan oleh BPOM Bengkulu (26.3%), lainnya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bengkulu (8.8%), dan Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu (3.1%). Informasi dari sumber lain mayoritas
18 berasal dari televisi (85.6%), sisanya media cetak (koran/majalah), internet, dan lain-lain seperti radio dan kata orang/teman.
Praktik Pedagang Bakso Praktik pengolahan bakso di Kota Bengkulu seperti terlihat pada Tabel 4, rata-rata jumlah daging setiap pembuatan kurang dari 5 kg (62.5%), lima sampai 10 kg (26.9%), dan lebih dari 10 kg (10.6%). Frekuensi penggilingan bakso sebagian besar dilakukan setiap hari (63.8%), dua sampai empat hari sekali (28.8%), lima sampai tujuh hari (4.4%), dan hanya 3.1% yang melakukan penggilingan bakso lebih dari satu minggu. Mayoritas pedagang bakso di Kota Bengkulu melakukan penggilingan bakso setiap hari. Tabel 4 Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu Uraian praktik Rata-rata jumlah daging setiap pembuatan - < 5 kg - 5-10 kg - > 10 kg Penggilingan bakso dilakukan - Setiap hari - 2-4 hari sekali - 5-7 hari sekali - > 1 minggu Tempat penggilingan - Penggilingan sendiri - Pasar Panorama - Pasar Minggu - Selain di Pasar Panorama dan Pasar Minggu Penambahan bumbu atau bahan tambahan pangan - Pedagang bakso sendiri - Tempat jasa penggilingan Bumbu ditambah boraks - Tidak Pernah melihat boraks - Ya - Tidak Mudah mendapatkan boraks - Sulit - Kadang sulit kadang mudah - Mudah - Tidak pernah melihat boraks Perolehan boraks - Luar kota - Pemasok tertentu - Dijual bebas di pasar - Tidak tahu - Tidak pernah melihat boraks
n
Jumlah (n=160) %
100 43 17
62.5 26.9 10.6
102 46 7 5
63.8 28.8 4.4 3.1
1 77 83 1
0.6 48.1 51.9 0.6
81 79
50.6 49.4
160
100.0
25 135
15.6 84.4
3 17 5 135
1.9 10.6 3.1 84.4
8 3 14 135
5.0 1.9 8.8 84.4
19 Uraian praktik Bakso habis dalam satu hari - Ya - Tidak Yang dilakukan jika bakso tidak habis - Simpan di refrigerator - Simpan di suhu ruang - Freezer - Lain-lain - Bakso habis dalam satu hari Lama bakso disimpan sampai habis - < 2 hari - 3 hari sampai 1 minggu - > 1 minggu - Bakso habis dalam satu hari Tempat penyimpanan bakso - Simpan di refrigerator - Simpan di suhu ruang - Freezer - Lain-lain - Bakso habis dalam satu hari Penyimpanan bakso setelah dipanaskan - Ya - Tidak - Kadang-kadang - Bakso habis dalam satu hari Larangan penggunaan boraks - Ya tahu - Tidak tahu Bahaya penggunaan boraks - Ya tahu - Tidak tahu
Jumlah (n=160) n % 58 102
36.3 63.8
30 1 69 2 58
18.8 0.6 43.1 1.3 36.3
64 34 4 58
40.0 21.3 2.5 36.3
30 1 69 2 58
18.8 0.6 43.1 1.3 36.3
39 59 4 58
24.4 36.9 2.5 36.3
134 26
83.8 16.3
109 51
68.1 31.9
Kandungan nutrisi dan kadar air yang tinggi menyebabkan bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam hingga satu hari pada penyimpanan suhu ruang. Penyimpanan dan pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya dilakukan dengan penjualan pada kondisi suhu kamar dan lingkungan yang tidak higienis, sehingga hanya mampu bertahan hingga satu hari. Berbeda dengan bakso yang dipasarkan di toko-toko atau swalayan yang mengandalkan fasilitas pendingin, sehingga dapat mempertahankan umur simpan bakso hingga lebih dari satu bulan (Syamadi 2002). Tempat penggilingan bakso banyak dilakukan di Pasar Minggu (51.8%) meliputi Ika Jaya, Langen Sari, dan Gilingan Bakso Alfa, kemudian Pasar Panorama (48.1%) yaitu Moro Seneng dan Helen, sisanya 0.6% penggilingan sendiri dari PT Raja Top Food Jakarta, dan 0.6% selain Pasar Panorama dan Pasar Minggu yaitu penggilingan di Pagar Dewa. Penambahan bumbu/BTP 50.6% dilakukan oleh pedagang bakso sendiri dan oleh tempat penggilingan (49.4%). Seluruh pedagang (100%) mengatakan bahwa mereka tidak menambah boraks dengan alasan pedagang tahu bahwa boraks berbahaya untuk kesehatan, sebagian keluarga memakan bakso buatannya sendiri, tidak tahu apa itu boraks,
20 pada umumnya bakso yang dijual setiap hari habis, adanya rasa lain, tidak disediakan di penggilingan, dan bakso yang tidak habis disimpan dalam freezer. Mayoritas pedagang bakso tidak pernah melihat boraks 84.4%. Pedagang bakso yang pernah melihat boraks berdasarkan hasil wawancara 10.6% menyatakan kadang sulit kadang mudah untuk mendapatkan boraks dan 8.8% tidak tahu diperoleh dari mana, hanya 5% yang menyatakan diperoleh dari luar kota seperti Curup, Lampung atau dari Pulau Jawa. Pada umumnya bakso yang dijual tidak habis dalam sehari (63.8%). Bakso yang tidak habis disimpan di freezer (43.1%) dan lama penyimpanan kurang dari dua hari (40%). Sebanyak 83.8% dari pedagang mengetahui ada larangan penggunaan boraks dalam bakso. Mereka pada umumnya mendapatkan informasi dari televisi (58.8%), sisanya dari teman/orang lain, dan pemerintah. Mereka juga menyadari akan bahaya boraks dalam bakso (68.1%). Hal itu pada umumnya mereka peroleh dari televisi (46.9%). Pedagang bakso menyebutkan bahaya boraks dalam bakso yaitu dapat merusak kesehatan atau menimbulkan penyakit (41.9%), selain itu dapat merusak organ tubuh, kanker, jantung, bahkan kematian, dan risiko besar untuk anak-anak. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Tumbel (2010) terhadap mie basah di Kota Makassar yang berasal dari pasar tradisional (24 sampel), dan supermarket (5 sampel), serta industri (8 sampel) menunjukkan negatif boraks. Pedagang mie basah tradisional menyatakan mie berasal industri yang lokasinya dekat dengan pasar. Pihak industri mie basah menyatakan mie dijual ke warung atau pedagang dan kepada masyarakat langsung. Masyarakat banyak yang melakukan pembelian langsung karena relatif mie baru. Mie dapat bertahan lebih lama tanpa boraks, jika dimasukkan dalam freezer. Penggunaan boraks pada mie akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal, lebih awet yaitu dapat disimpan hingga empat hari. Dikarenakan industri selalu membuat mie baru maka tidak ada penambahan boraks pada mie basah yang beredar di Kota Makassar. Seperti halnya pedagang bakso di Kota Bengkulu mayoritas melakukan penggilingan untuk pembuatan bakso setiap hari, sehingga bakso selalu baru dan tidak diperlukan penambahan boraks, dan bakso yang tidak habis juga disimpan di dalam freezer. Penggunaan pengawet alami untuk menghindari pengawet sintetis pada bakso bisa dilakukan dengan cairan chitosan 1.5 sampai 2.5%, hal ini dapat memperpanjang daya simpan bakso selama tiga hari. Hasil tes organoleptik meliputi warna, bau, tekstur dari bakso, panelis lebih memilih dengan cairan chitosan 1.5% (Purba et al. 2014). Selain itu hasil penelitian Arief et al. (2012) menyebutkan bakteriosin diproduksi dari indigenus Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal mempunyai aktifitas antimikrobia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella Typhimurium. Bakteriosin dari L. plantarum 2C12 efektif untuk biopreservative pada bakso. Bakteriosin (0.3%) dapat memperpanjang daya simpan bakso pada suhu 4 ºC dan tidak berpengaruh terhadap perubahan kualitas fisik dan kimia bakso.
Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang bakso di Kota Bengkulu (55.6%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai bakso yang
21 mengandung boraks pada kategori baik, 33.1% pedagang bakso memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan sisanya (11.3%) pedagang memiliki tingkat pengetahuan dengan kategori buruk. Sebesar 92.5% dari 160 pedagang bakso di Kota Bengkulu memiliki sikap yang dikategorikan baik, sedangkan sisanya memiliki sikap yang dikategorikan sedang (7.5%) dan tidak ada pedagang bakso yang mempunyai sikap yang dikategorikan buruk seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks Kategori Pengetahuan - Buruk - Sedang - Baik Sikap - Sedang - Baik
Jumlah (n=160) n
%
18 53 89
11.3 33.1 55.6
12 148
7.5 92.5
Hasil survei diperoleh hasil bahwa tidak ada pedagang yang menggunakan boraks. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso pada kategori baik. Sikap adalah kecenderungan melakukan tindakan terhadap obyek. Terbentuknya sikap seseorang diawali dengan terbentuknya pengetahuan terhadap obyek yang dihadapi. Dari pengetahuan kemudian terbentuk respon batin berupa sikap terhadap obyek tersebut. Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya sikap terhadap obyek. Baik dan tidak sikap seseorang terhadap obyek tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh orang mengenai obyek itu (Sugiyatmi 2006). Hasil penelitian Sugiyatmi (2006) menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan pembuat makanan jajanan dengan penambahan boraks pada makanan jajanan tradisional di pasar-pasar Kota Semarang. Semakin baik sikap seseorang pada proses pembuatan makanan jajanan yang sesuai dengan peraturan, dengan tidak menggunakan boraks, maka makin kecil kemungkinan terjadinya penambahan boraks pada makanan jajanan tradisional. Oktavia (2012) menyebutkan ada pengaruh pengetahuan terhadap penggunaan boraks dalam bakso oleh pedagang. Variabel pengetahuan memberikan pengaruh paling besar terhadap penggunaan boraks, responden dengan pengetahuan rendah memiliki peluang 5.3 kali lebih tinggi untuk menggunakan boraks. Mujianto et al. (2005) menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan penggunaan boraks. Sikap merupakan faktor risiko perilaku penggunaan boraks. Menurut Green (2008) Keamanan pangan bergantung pada perilaku manusianya. Perilaku bersifat sangat kompleks, tidak hanya pengetahuan yang memengaruhi perilaku seseorang. Perilaku ini bisa ditingkatkan melalui pendidikan tentang keamanan pangan. Pedagang bakso di Kota Bengkulu selain mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik, di tempat penggilingan bakso juga tidak disediakan bahan tambahan pangan seperti boraks. Bumbu-bumbu tambahan bakso yang beredar dan dipergunakan oleh penggiling bakso meliputi si kenyal, kofta, pemutih, bumbu bakso, dan perisa daging tidak mengandung boraks. Si kenyal diproduksi oleh
22 PDKR Bogor untuk Pada Suka Pangan Indonesia, P-IRT No. 206320103953, bersertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan komposisinya tepung tapioka, sagu aren, sekuestran, pengemulsi. Kofta diproduksi oleh PT Kofta Unitrada-Indonesia, P-IRT No. 5113671030126-19, telah mempunyai izin dari MUI, dan komposisinya pati-pati tepung impor, pengemulsi, penstabil, pengikat, pati rumput laut merah. Pemutih Sunsea Brand diproduksi oleh Roha, sudah tercatat di BPOM, MD No. 377728023251, dan berlabel MUI. Bumbu bakso hanya berupa bubuk putih dalam kemasan putih transparan sebagai biang penambahan dalam pembuatan si kenyal atau kofta dan hasil tetap negatif berdasarkan hasil uji secara kuantitatif dengan metode spektrofotometri, demikian juga dengan perisa daging yang pada awalnya dicurigai dikarenakan warna kuning ke arah oranye seperti warna bleng, kemasan dalam plastik putih transparan tanpa merek juga tidak mengandung boraks.
Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Pengetahuan Data karakteristik pedagang bakso yang memengaruhi pengetahuan mengenai bakso yang mengandung boraks disajikan pada Tabel 6. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan pedagang (Tabel 6). Karakteristik lain seperti umur, skala usaha, omset, lama usaha, keterlibatan organisasi, dan akses informasi tidak memiliki hubungan yang nyata dengan pengetahuan pedagang bakso. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang yang akan menentukan perilakunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik tingkat pengetahuan dan perilaku dari pedagang bakso daging sapi di Kota Pekanbaru. Tingkat pendidikan yang rendah diasumsikan memiliki keterkaitan dengan tingkat pengetahuan yang rendah termasuk pengetahuan keamanan pangan (Handoko et al. 2010). Menurut Nurkholidah et al. (2012) semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Seperti halnya pada penelitian Yasmin dan Madanijah (2010) menunjukkan adanya perbedaan nyata antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan pada penjaja pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di Jakarta dan Sukabumi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik tingkat pengetahuan terhadap gizi dan keamanan pangan. Hasil penelitian Salim (2014) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan signifikan terhadap pengetahuan mengenai keamanan pangan, responden yang mempunyai tingkat pendidikan sama dengan atau di atas universitas mayoritas mempunyai pengetahuan yang baik dalam menjamin keamanan daging. Menurut Budiyono et al. (2009) penelitian terhadap penjamah makanan pada warung makan di Kelurahan Tembalang Kota Semarang menunjukkan tingkat pendidikan responden bervariasi dari tidak tamat SD sampai tamat perguruan tinggi, dan mayoritas tamat SMP (38.9%). Pengetahuan responden mengenai higiene dan sanitasi makanan banyak yang masih berada dalam kategori kurang (63.9%). Hasil penelitian Muyanja et al. (2011) sebagian besar penjual makanan di Uganda mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat higiene sanitasi oleh penjual tidak memuaskan serta menimbulkan potensi kontaminasi silang. Pendidikan rendah diasumsikan dengan rendahnya praktik
23 higiene sanitasi selama menangani dan menyimpan makanan sehingga dapat meningkatkan risiko kontaminasi makanan. Peningkatan pendidikan perlu dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan. Untuk meningkatkan keamanan pangan pemerintah daerah bersama dengan akademisi harus bersama-sama memberikan pelatihan, ada prosedur serta petunjuk keamanan pangan kepada penjual makanan. Tabel 6 Hubungan antara karakteristik personal terhadap tingkat pengetahuan pedagang bakso dalam penambahan boraks Karakteristik pedagang bakso Umur - < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan - Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha - Mikro - Kecil Omset - < Rp300 000 000 - Rp300 000 000Rp2 500 000 000 Lama usaha - < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan Ya Tidak - Pelaku penyuluhan BPOM Dinkes Distannak bunhut - Informasi dari sumber lain Televisi Internet Media cetak Lain-lain
Tingkat pengetahuan Buruk Sedang Baik n % n % n %
χ2
p
3 12 3
18.8 10.5 10.0
5 36 12
31.2 31.6 40.0
8 66 15
50.0 57.9 50.0
1.789
0.774
1 10 7
8.3 11.5 11.5
7 34 12
58.3 39.1 19.7
4 43 42
33.3 49.4 68.9
10.256
0.036
12 6
10.8 12.2
35 18
31.5 36.7
64 25
57.7 51.0
0.609
0.737
10 5
11.5 10.6
24 18
27.6 38.3
53 24
60.9 51.1
1.653
0.438
5 6 7
27.8 7.0 12.5
5 26 22
27.8 30.2 39.3
8 54 27
44.4 62.8 48.2
8.610
0.072
17 1
12.7 3.8
45 8
33.6 30.8
72 17
53.7 65.4
2.096
0.351
3 15
6.4 13.3
16 37
34.0 32.7
28 61
59.6 54.0
1.605
0.448
3 -
7.1 -
13 6 2
31.0 42.9 40.0
26 8 3
61.9 57.1 60.0
1.339 2.171 0.672
0.512 0.338 0.715
13 -
9.5 -
43 6 7 7
31.4 42.9 35.0 41.2
81 8 13 10
59.1 57.1 65.0 58.8
5.594 2.171 2.957 2.547
0.061 0.338 0.228 0.280
*Menunjukkan adanya asosiasi (p < 0.05)
24 Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan kurangnya pengetahuan penjual makanan dalam higiene pangan dan kesehatan. Sebanyak 48% penjual berpendidikan SD dan 42% tidak sekolah (buta aksara). Pengetahuan mengenai higiene personal dan kesehatan rendah, banyak penjual yang sedang sakit, kotor, dan bau badan. Isolasi bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus sp. ditemukan pada makanan yang dijual (Abdalla et al. 2009). Hasil penelitian Wariyah dan Dewi (2013) menunjukkan ada korelasi antara pendidikan pedagang PJAS dengan pengetahuan tentang bahan berbahaya (boraks), pengetahuan yang kurang mendorong terdapatnya PJAS yang tidak memenuhi kriteria kualitas dan membahayakan kesehatan. Demikian halnya dengan hasil penelitian Sugiyatmi (2006) yang menunjukkan bahwa makanan jajanan tradisional yang mengandung boraks yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang ditemukan pada pembuat makanan berpendidikan tidak tamat SD. Jika dikaitkan dengan berbagai kajian di atas mengenai pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan, sebagian besar pedagang bakso di Kota Bengkulu berpendidikan SD sampai SMP (54.4%), dan sama dengan atau di atas SMA (38.1%), hanya 7.5% yang tidak sekolah (Tabel 3). Kemungkinan hal ini yang menyebabkan bakso di Kota Bengkulu negatif terhadap boraks karena pedagang bakso tergolong mempunyai tingkat pendidikan yang baik sehingga tingkat pengetahuan mengenai penambahan boraks dalam bakso juga tergolong baik. Semakin tinggi pendidikan, maka tingkat pengetahuan semakin baik seperti terlihat pada Tabel 6.
Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap Akses informasi berpengaruh penting terhadap sikap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang bakso yang mendapatkan informasi mengenai penambahan boraks dalam bakso bersumber dari televisi mempunyai sikap dalam kategori baik (94.9%) dan kategori sedang (5.1%). Sedangkan pedagang bakso yang mendapatkan informasi dari internet, media cetak, dan lain-lain (radio, kata orang/teman) seluruhnya (100%) mempunyai sikap dalam kategori baik (Tabel 7). Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa televisi mempunyai pengaruh terhadap peningkatan sikap. Adapun media lain yaitu internet, media cetak, dan lain-lain (radio, kata orang/teman) seluruhnya termasuk pedagang bakso yang mempunyai sikap yang baik. Pedagang bakso di Kota Bengkulu mendapatkan informasi mengenai bakso boraks mayoritas dari televisi (85.6%). Responden yang mempunyai pengetahuan rendah terkait BTP dan ciri makanan berpengawet biasanya responden yang kurang terpapar informasi mengenai BTP dari berbagai media khususnya televisi (Habsah 2012). Pengetahuan seseorang diterima melalui indera, kurang lebih 75% sampai 87% diperoleh melalui indera pandang, 13% melalui indera pendengaran dan 12% lainnya tersalur melalui indera lain. Audio visual merupakan alat bantu yang paling tepat. Seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat, pembuatan maupun pemakaian media audio visual tidak lagi menjadi sesuatu yang mahal. Sebagian masyarakat baik di desa apalagi di perkotaan telah memiliki sarana audio visual di rumah (Arsyad 2002; Rahmawati et al. 2007; Wirawan et al. 2014).
25 Tabel 7 Hubungan antara karakteristik personal terhadap sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks Karakteristik pedagang bakso Umur - < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan - Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha - Mikro - Kecil Omset - < Rp300 000 000 - Rp300 000 000Rp2 500 000 000 Lama usaha - < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan Ya Tidak - Pelaku penyuluhan BPOM Dinkes Distannakbunhut - Informasi dari sumber lain Televisi Internet Media cetak Lain-lain
Sikap Sedang n %
Baik n
%
χ2
p
1 8 3
6.2 7.0 10.0
15 106 27
93.8 93.0 90.0
0.345
0.842
1 9 2
8.3 10.3 3.3
11 78 59
91.7 89.7 96.7
2.594
0.273
8 4
7.2 8.2
103 45
92.8 91.8
0.045
0.530
5 3
5.7 6.4
82 44
94.3 93.6
0.022
0.578
2 6 4
11.1 7.0 7.1
16 80 52
88.9 93.0 92.9
0.383
0.826
11 1
8.2 3.8
123 25
91.8 96.2
0.597
0.387
2 10
4.3 8.8
45 103
95.7 1.010 91.2
0.258
2 -
4.8 -
40 14 5
95.2 0.615 100.0 1.244 100.0 0.418
0.344 0.320 0.674
7 -
5.1 -
130 14 20 17
94.9 100.0 100.0 100.0
0.016 0.320 0.189 0.247
7.850 1.244 1.853 1.542
*Menunjukkan adanya asosiasi (p < 0.05)
Penelitian terhadap jajanan anak Sekolah Dasar (SD) yang dilakukan oleh Suhariyadi et al. (2015) di Surabaya sebanyak 0.29% jajanan (1 dari 336 sampel yang diuji boraks) positif mengandung boraks dan tidak ada sampel yang mengandung magenta dan metanil yellow. Media elektronik sering melaporkan tentang makanan atau jajanan yang mengandung bahan pengawet berbahaya yang dilarang pemerintah. Jajanan anak SD yang dijual oleh penjual dengan harga murah sering tidak memperhatikan kualitas, higiene dan sanitasi jajanan yang dijual. Boraks masih ditemukan satu dari 11 sampel sosis yang dijual di SD Desa Mojo,
26 Surabaya. Jajanan anak sekolah dari 6 provinsi (Jakarta, Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) sebanyak 72.08% positif bahan berbahaya (Suhariyadi et al. 2015).
Pengetahuan Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu dalam penambahan boraks yang dinyatakan pada taraf nyata (p < 0.05) seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks Pengetahuan pedagang bakso Buruk Sedang Baik
Sikap Sedang n % 9 50.0 1 1.9 2 2.2
Baik n 9 52 87
% 50.0 98.1 97.8
χ2
p
52.812
0.000
*Menunjukkan adanya asosiasi (p<0.05)
Sikap merupakan lanjutan dari pengetahuan yang diterapkan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas yang baik dan sesuai. Sikap seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor psikologis dan fisiologis serta eksternal berupa intervensi yang datang dari luar individu, misalnya berupa pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (Rahmawati et al. 2007). Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu fisik, mental, dan sosial baik, tidak ada penyakit dan tidak lemah. Higiene adalah praktik menjamin kesehatan yang baik dan bersih. Pengetahuan dan praktik higiene personal sangat penting, apabila pengetahuan mengenai higiene personal rendah akan menyebabkan rendahnya praktik higiene personal. Terdapat hubungan signifikan antara praktik higiene personal terhadap kesehatan seseorang (Hossain 2012). Jaminan keamanan pangan tergantung pada petugas yang menangani pangan, dimana motivasi yang tinggi berkontribusi terhadap produktifitas, loyalitas dan kenyamanan pada tempat kerja. Rendahnya motivasi petugas yang menangani pangan dikarenakan banyak hal salah satunya pengetahuan yang rendah mengenai keamanan pangan (Jevsnik et al. 2008). Pelatihan dalam penanganan pangan perlu dilakukan, dikarenakan sedikitnya pelatihan menjadikan pengetahuan yang rendah dari petugas yang menangani pangan. Pengetahuan merupakan prekursor utama dalam merubah perilaku seseorang. Sikap seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. Sikap negatif terhadap keamanan pangan menjadikan praktik yang tidak baik dalam penanganan pangan (Bas et al. 2006). Pengetahuan mengenai keamanan pangan dan higiene pangan di sektor komersial dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan mengenai hal tersebut, sehingga dapat merubah perilaku yang lebih baik dalam penanganan pangan (Egan et al. 2007). Tingkat pengetahuan petugas mengenai keamanan dan higiene pangan mayoritas pada petugas yang telah lama bekerja dan sikap dalam kategori baik pada petugas yang menghadiri pelatihan tentang keamanan dan
27 higiene pangan, sehingga mayoritas petugas melakukan pencegahan dan pengendalian terhadap foodborne disease (Nee dan Sani 2011). Seperti halnya hasil penelitian Samapundo et al. (2015) pengetahuan dan sikap penjual makanan di Port-au-Prince Haiti dalam kategori baik, dan penjual makanan yang telah mendapatkan pelatihan mengenai food safety lebih baik daripada penjual makanan yang tidak mengikuti pelatihan. Sedangkan hasil penelitian Apanga et al. (2014) penjual makanan di Rural Northern Ghana mempunyai tingkat pengetahuan mengenai food safety dalam kategori tinggi tetapi tidak diaplikasikan ke dalam praktik dalam penjualan makanan sehingga diperlukan sumber informasi utama tentang masalah-masalah keamanan pangan yang dapat memberikan edukasi dan disebarluaskan kepada penjual. Grujic et al. (2013) menyatakan bahwa pengetahuan yang baik mengenai kualitas pangan dan bahan tambahan pangan yang dipergunakan dalam proses pembuatan pangan akan berdampak pada pemilihan pangan yang baik. Penelitian Cuprasitrut et al. (2011) menunjukkan ada hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap petugas yang menangani pangan terhadap praktik pencemaran pangan yang ditangani. Pengetahuan dan sikap petugas hanya di bawah 20% yang berada pada kategori baik sehingga ditemukan adanya pencemaran bakteri, boraks, formalin, sodium hydrosulfite, asam salisilat, dan organofosfat pada produk yang ditangani. Dalam kajian lain ditunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik pengetahuan masyarakat tentang penyakit (demam berdarah) dan dengan pengetahuan yang baik, masyarakat mempunyai sikap yang mendukung pemberantasan sarang nyamuk, maka dilakukan perilaku pemberantasan sarang nyamuk yang benar sebagai upaya pencegahan demam berdarah dengue di Banjar Badung, Desa Melinggih, wilayah Puskesmas Payangan (Bakta dan Bakta 2015). Seperti halnya pada penelitian Shinta et al. (2005) tingkat pengetahuan masyarakat yang baik mengenai penyakit (malaria) sehingga masyarakat mempunyai sikap positif dan perilaku yang baik dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tersebut. Pengetahuan yang baik mengenai kejadian penyakit, mendorong sikap positif bagi masyarakat dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit dan melakukan praktik yang baik dengan mengubah gaya hidup sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit tersebut (Yahya et al. 2012). Pengetahuan yang buruk mengenai kejadian penyakit di dalam suatu komunitas menjadikan sikap negatif dan praktik dalam pencegahan serta pengendalian terhadap penyakit di dalam komunitas tersebut rendah (Maina et al. 2011). Demikian juga seperti pada penelitian Upadhyay et al. (2008) rendahnya tingkat pengetahuan terhadap suatu penyakit sehingga sikap dan praktik pencegahan penyakit tersebut juga dalam kategori rendah. Menurut Chukuezi (2010) minimnya pengetahuan pada penjual makanan keliling di Owerri Nigeria mengenai keamanan pangan menyebabkan praktik dalam penjualan makanan juga kurang sehingga menimbulkan adanya kontaminasi berbahaya terhadap makanan yang dijual. Seperti hasil penelitian Thanh (2015) rendahnya pengetahuan dan rendahnya sikap penjual makanan keliling di Kota HoChiMinh Vietnam menjadikan rendahnya praktik dalam higiene pangan sehingga hasil analisis mikrobiologi menunjukkan cemaran terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli pada makanan yang dijual. Hal yang sama pada hasil penelitian
28 Moutz et al. (2012) rendahnya pengetahuan penjual makanan di Gizan Saudi Arabia mengenai higiene pangan menjadikan rendahnya praktik keamanan pangan. Kontaminasi bakteri Staphylococcus aureus, Salmonella spp., Escherichia coli, dan Bacillus spp. ditemukan. Pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktik merupakan empat faktor yang berkaitan. Pendidikan memungkinkan seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Pengetahuan seseorang dapat membentuk sikap. Selanjutnya sikap akan mempengaruhi terjadinya praktik. Sebagai akibat adanya praktik akan terjadi suatu gejala. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin baik pengetahuannya. Pengetahuan yang baik akan terbentuk sikap yang baik. Sikap yang baik ini akan menyebabkan praktik yang baik, dan hasil yang diperoleh akan baik. Sebaliknya bila pendidikannya rendah, pengetahuan dan sikapnya juga terbatas. Akibatnya praktik yang dilakukan kurang baik. Hasil yang diperoleh juga tidak baik. Demikian halnya dengan masalah pencemaran bahan toksik boraks. Seseorang yang memiliki pendidikan rendah pengetahuannya terhadap bahaya boraks dan pewarna terlarang juga terbatas. Karena pengetahuannya tentang bahaya boraks terbatas maka sikapnya dalam penggunaan boraks tidak sesuai dengan yang dikehendaki dalam peraturan. Selanjutnya praktik yang dilakukan dalam pembuatan makanan juga tidak sesuai dengan yang dikehendaki dalam peraturan. Sebagai akibatnya terjadi pencemaran pada makanan jajanan yang dibuatnya (Sugiyatmi 2006). Seluruh sampel bakso di Kota Bengkulu negatif boraks, sejalan dengan penelitian Sultan et al. (2013) yang menunjukkan hasil negatif terhadap boraks dan hasil wawancara terhadap penjual di SDN Kompleks Mangkura Kota Makassar bahwa tingkat pengetahuan yang baik dan sikap penjual positif sehingga praktik penambahan boraks tidak ada. Hasil wawancara penjual mengatakan boraks itu merupakan zat yang beracun dan dapat merusak kesehatan apabila dikonsumsi sehingga tidak baik untuk ditambahkan dalam proses pembuatan bakso.
Karakteristik Penggiling Bakso Karakteristik personal penggiling bakso di Kota Bengkulu meliputi umur, tingkat pendidikan, skala usaha, omset, lama usaha, keterlibatan organisasi, dan akses informasi yang dimiliki dapat dilihat secara rinci pada Tabel 9. Hasil penelitian menunjukkan penggiling bakso berusia 30 sampai 50 tahun (60%), lebih dari 50 tahun (40%). Tingkat pendidikan tidak sekolah (20%), SD sampai SMP (20%), lebih dari atau sama dengan SMA (60%). Skala usaha penggiling bakso di Kota Bengkulu seluruhnya termasuk kriteria usaha kecil dengan ketentuan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yaitu memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 000 000 sampai dengan paling banyak Rp500 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 000 000 sampai dengan paling banyak Rp2 500 000 000. Omset hasil penjualan tahunan Rp300 000 000 sampai Rp2 500 000 000 (80%). Lama usaha di atas 10 tahun sebanyak 60%, sisanya mempunyai lama usaha satu sampai sepuluh tahun. Seluruh penggiling tidak mengikuti organisasi dan akses informasi dari penyuluhan 40%. Penyuluhan dilakukan oleh BPOM sekitar 40% dan penggiling bakso di Kota Bengkulu memperoleh informasi mengenai
29 penambahan boraks dalam bakso yang berasal dari sumber lain yaitu televisi (80%) dan dari teman (20%). Tabel 9 Karakteristik personal penggiling bakso di Kota Bengkulu Karakteristik personal Umur - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan - Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha - Kecil Omset - Tidak menjawab - Rp300 000 000- Rp2 500 000 000 Lama usaha - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak Akses informasi - Penyuluhan Ya Tidak - Pelaku penyuluhan BPOM Tidak mendapat penyuluhan - Informasi dari sumber lain Televisi Lain-lain
Jumlah (n=5) n
%
3 2
60.0 40.0
1 1 3
20.0 20.0 60.0
5
100.0
1 4
20.0 80.0
2 3
40.0 60.0
5
100.0
2 3
40.0 60.0
2 3
40.0 60.0
4 1
80.0 20.0
Praktik, Pengetahuan, dan Sikap Penggiling Bakso Praktik penggiling bakso di Kota Bengkulu seperti terlihat pada Tabel 10. Permintaan BTP oleh pedagang 40%, penggiling 40%, dan sisanya pedagang/penggiling 20%. Seluruh penggiling memastikan pedagang mengetahui BTP yang ditambahkan dalam bakso yang dibuat. Jumlah pelanggan 20 sampai 70 pedagang (80%) dan lebih dari 70 pedagang bakso (20%) pada setiap tempat penggilingan bakso. Rata-rata pedagang yang menggiling per hari lima sampai 25 pedagang (40%), lebih dari 25 (40%) dan kurang dari lima (20%) pada setiap tempat penggilingan bakso. Seluruh penggiling menyatakan bahwa bumbu tidak ditambah boraks. Hanya 40% penggiling yang pernah melihat boraks, dan boraks diperoleh dari luar kota/dijual bebas di pasar. Penggiling yang membuat bakso sebanyak 20% dikarenakan mempunyai warung bakso. Bakso tidak habis dalam satu hari dan disimpan di refrigerator kurang dari dua hari.
30 Tabel 10 Praktik pengolahan bakso oleh penggiling bakso di Kota Bengkulu Uraian praktik Permintaan bahan-bahan tambahan - Pedagang sendiri - Tempat jasa penggilingan - Lain-lain Pedagang mengetahui bumbu/bahan yang ditambahkan - Mengetahui Jumlah pelanggan - 20-70 pedagang bakso - > 70 pedagang bakso Rata-rata jumlah pedagang bakso yang menggiling per hari - < 5 pedagang bakso - 5-25 pedagang bakso - > 25 pedagang bakso Bumbu ditambah boraks - Tidak Pernah melihat boraks - Ya - Tidak Mudah mendapatkan boraks - Kadang sulit kadang mudah - Tidak pernah melihat boraks Perolehan boraks - Luar kota - Dijual bebas di pasar - Tidak pernah melihat boraks Penggiling membuat bakso - Ya - Tidak Bakso habis dalam satu hari - Tidak - Tidak membuat bakso Yang dilakukan jika bakso tidak habis - Simpan di refrigerator - Tidak membuat bakso Lama bakso disimpan sampai habis - < 2 hari - Tidak membuat bakso Tempat penyimpanan bakso - Refrigerator - Tidak membuat bakso Penyimpanan bakso setelah dipanaskan - Ya - Tidak membuat bakso Larangan penggunaan boraks dalam bakso - Ya tahu Bahaya penggunaan boraks dalam bakso - Ya tahu
Jumlah (n=5) n % 2 2 1
40.0 40.0 20.0
5
100.0
4 1
80.0 20.0
1 2 2
20.0 40.0 40.0
5
100.0
2 3
40.0 60.0
2 3
40.0 60.0
1 1 3
20.0 20.0 60.0
1 4
20.0 80.0
1 4
20.0 80.0
1 4
20.0 80.0
1 4
20.0 80.0
1 4
20.0 80.0
1 4
20.0 80.0
5
100.0
5
100.0
31 Penyimpanan bakso dilakukan setelah dipanaskan. Seluruh penggiling mengetahui ada larangan penambahan boraks dalam bakso dari penyuluhan BPOM, televisi, dan informasi teman. Seluruh penggiling juga mengetahui bahaya penambahan boraks dalam bakso, sumber informasi dari BPOM dan televisi. Mereka menyebutkan bahayanya yaitu dapat merusak kesehatan/menimbulkan penyakit dan merusak organ tubuh. Hasil penelitian pada penggiling bakso di Kota Bengkulu menunjukkan tingkat pengetahuan kategori sedang (60%) dan pengetahuan baik (40%). Seluruh penggiling bakso di Kota Bengkulu memiliki sikap yang dikategorikan baik (100%) seperti pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap penggiling bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks Kategori Pengetahuan - Sedang - Baik Sikap - Baik
Jumlah (n=5) n
%
3 2
60.0 40.0
5
100.0
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Instansi Pemerintah Wawancara telah dilakukan dengan instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan Kota Bengkulu; Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu; dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu dalam usaha mencegah dan menyelenggarakan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang penggunaan boraks bagi pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Hasil wawancara diketahui bahwa seluruh instansi telah menyelenggarakan KIE. Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu melakukan penyuluhan kepada pedagang tentang bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya. Penyuluhan dilakukan kepada pedagang pasar dan petugas pasar melalui program pasar bebas bahan berbahaya. Penyuluhan juga dilakukan pada penjual di kantin sekolah (PJAS) dan masyarakat melalui program penyuluhan informasi obat dan makanan. BPOM Bengkulu juga rutin melakukan pengujian bakso baik dalam bentuk program pangan jajanan anak sekolah (PJAS) maupun pada program pengawasan takjil (bukoan) di bulan Ramadan. Hasil pengujian ditindaklanjuti dengan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Bengkulu sesuai dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Dinas Kesehatan Kota Bengkulu juga menyelenggarakan KIE, penyuluhan sering dilakukan pada Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan bersertifikasi, target penyuluhan dilakukan ke pedagang langsung di lokasi dan dilakukan per tiga bulan. Pengawasan dilakukan dengan pengambilan sampel pada kegiatan pemeriksaan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) termasuk bakso jajanan anak
32 sekolah yang dilaksanakan satu tahun sekali dan pemeriksaan tempat pengolahan makanan (TPM) di pasar setiap tiga bulan, seperti tempat penggilingan bakso. KIE juga diselenggarakan oleh Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu. Penyuluhan dilakukan dengan mengumpulkan pedagang bakso dan pelaku usaha olahan asal ternak tentang larangan dan bahaya menggunakan boraks, formalin dan zat pewarna pada makanan. Pengawasan dilakukan dengan mengambil sampel dari pedagang bakso dan dianalisa di UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu, Balai Veteriner Lampung, dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH). Kelompok usaha bakso makmur sehat merupakan paguyuban usaha bakso yang langsung dibina oleh Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu. Penyuluhan penting dilakukan mengingat di Kota Bengkulu baru sebagian pedagang bakso (29.4%) dan penggiling bakso (40%) berdasarkan hasil penelitian yang telah mendapat penyuluhan, dan sumber informasi mengenai bakso yang mengandung boraks mayoritas dari televisi. Hal ini untuk mengantisipasi adanya pedagang bakso dan penggiling bakso yang baru dan belum tentu memiliki pengetahuan dan sikap yang baik. Hasil penelitian Ningsih (2014) menunjukkan ada perbedaan pengetahuan dan praktik higiene sanitasi makanan dan minuman pada pedagang jajanan di lingkungan SDN Favorit Kota Samarinda sebelum dan sesudah penyuluhan. Perbedaan peningkatan pengetahuan antara sebelum dengan sesudah penyuluhan sebesar 67%, responden mulai paham mengenai proses menciptakan higiene dan sanitasi makanan.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil pengujian kualitatif menunjukkan 165 sampel (100%) yang diambil dari pedagang bakso dan tempat pengilingan tidak mengandung boraks. Dari hasil survei diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso mayoritas berada dalam kategori baik. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi sikap adalah akses informasi dari televisi dan pengetahuan. Televisi merupakan media yang efektif untuk pembelajaran di masyarakat dalam peningkatan sikap, dimana sikap adalah lanjutan dari pengetahuan. Seluruh hasil uji kualitatif bakso di Kota Bengkulu menunjukkan hasil negatif boraks dikarenakan sikap pedagang bakso sebagian besar dalam kategori baik. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan terhadap pengetahuan mengenai larangan penggunaan boraks. Adapun yang memengaruhi sikap pedagang terhadap larangan penambahan boraks adalah tingkat pengetahuan dan akses informasi televisi. Tingkat pengetahuan penggiling bakso sebagian besar dalam kategori sedang, dan sikap seluruh penggiling bakso dalam kategori baik.
33 Saran Penyuluhan dan pengawasan oleh instansi terkait terhadap pedagang bakso dan penggiling bakso harus dilakukan secara menyeluruh (pada seluruh pedagang bakso yang menetap dan yang tidak menetap, baik pedagang bakso yang membuat bakso sendiri maupun yang tidak membuat bakso sendiri). Data jumlah pedagang dan penggiling bakso yang perlu diperbaharui secara rutin, mengingat beberapa pedagang bakso yang ada pada data tahun 2013 sudah tutup dan telah ganti dengan pedagang yang baru di tahun 2015. Penelitian lanjutan perlu dilakukan di mana pengambilan sampel dari pedagang bakso keliling dan penjual bakso di pasar.
DAFTAR PUSTAKA Abdalla MA, Suliman SE, Bakhiet AO. 2009. Food safety knowledge and practices of street food-vendors in Atbara City (Naher Elneel State Sudan). Afr J Biotechnol. 8(24):6967-6971. Ancok D. 1995. Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. Di dalam: Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Ed ke-2. Jakarta (ID): LP3ES. hlm 122-146. Apanga S, Addah J, Sey DR. 2014. Food safety knowledge and practice of street food vendors in Rural Northern Ghana. Food and Public Health. 4(3):99103.doi:10.5923/j.fph.20140403.05. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International. Horwitz W, Latimer GW Jr, editor. Maryland (US): AOAC Int. Arief II, Jenie BSL, Suryati T, Ayuningtyas G, Fuziawan A. 2012. Antimicrobial activity of bakteriocin from indigenous Lactobacillus plantarum 2C12 and its application on beef meatball as biopreservative. J Indonesian Trop Anim Agric. 37(2):90-96. Arsyad A. 2002. Media Pembelajaran. Ed ke-1. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Bakta NYK, Bakta IM. 2015. Hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebagai pencegahan demam berdarah dengue (DBD) di Banjar Badung, Desa Melinggih, wilayah Puskesmas Payangan tahun 2014. EUM. 4(6):1-12. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitudes, and practices of food handlers’ in food businesses in Turkey. Food Control. 17:317–322.doi:10.1016/j.foodcont.2004.11.006. Basaran N, Duydu Y, Bolt HM. 2012. Reproductive toxicity in boron exposed workers in Bandirma, Turkey. J Trace Elem Med Biol. 26:165167.doi:10.1016/j.jtemb.2012.04.013. Basoglu A, Baspinar N, Ozturk AS, Akalin PP. 2010. Effects of boron administration on hepatic steatosis, hematological and biochemical profiles in obese rabbits. Trace Elem Electroly. 27(4):225–231.
34 Bernard CE, Harrass MC, Manning MJ. 2010. Boric acid and inorganic borate pesticides. Di dalam: Krieger R, editor. Hayes’ Handbook of Pesticide Toxicology. Ed ke-3. California (US): Academic Pr. hlm 2033-2053. Bolt HM, Basaran N, Duydu Y. 2012. Human environmental and occupational exposures to boric acid: reconciliation with experimental reproductive toxicity data. J Toxicol Environ Health. 75:508-514.doi: 10.1080/15287394.2012.675301. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2000. Keputusan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Nomor 07 Tahun 2000 tentang Penetapan Kadar Asam Borat dan Senyawanya dalam Makanan. Jakarta (ID): BPOM. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta (ID): BPOM. [BPS Kota Bengkulu] Badan Pusat Statistik Kota Bengkulu. 2014. Statistik Daerah Kota Bengkulu 2014. Bengkulu (ID): BPS Kota Bengkulu. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2014. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3818 Tahun 2014 tentang Bakso Daging. Jakarta (ID): BSN. Budiyono, Junaedi H, Isnawati, Wahyuningsih T. 2009. Tingkat pengetahuan dan praktik penjamah makanan tentang hygiene dan sanitasi makanan pada warung makan di Tembalang Kota Semarang tahun 2008. JPKI. 4(1):50-60. Bustos-Obregon E, Hartley RB. 2008. Ecotoxicology and testicular damage (environmental chemical pollution). A review. Int J Morphol. 26(4):833-840. Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Ed ke2. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Chukuezi CO. 2010. Food safety and hygienic practices of street food vendors in Owerri, Nigeria. Stud Sociol Sci. 1(1):50-57. Cuprasitrut T, Srisorrachatr S, Malai D. 2011. Food safety knowledge, attitude and practice of food handlers and microbiological and chemical food quality assessment of food for making merit for monks in Ratchathewi District, Bangkok. Asia J Public Health. 2(1):27-34. [Disnakkeswan Prov Bengkulu] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu. 2014. Pelaksanaan Inventarisasi dan Pendataan Unit Usaha Pangan Asal Hewan di Provinsi Bengkulu 2013. Bengkulu (ID): UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu. Duydu Y, Basaran N, Ustundag A, Aydin S, Undeger U, Ataman OY, Aydos K, Duker Y, Ickstadt K, Waltrup BS et al. 2011. Reproductive toxicity parameters and biological monitoring in occupationally and environmentally boron-exposed persons in Bandirma, Turkey. Arch Toxicol. 85:589– 600.doi:10.1007/s00204-011-0692-3. Duydu Y, Basaran N, Ustundag A, Aydin S, Undeger U, Ataman OY, Aydos K, Duker Y, Ickstadt K, Waltrup BS et al. 2012. Assessment of DNA integrity (COMET assay) in sperm cells of boron-exposed workers. Arch Toxicol. 86:27–35.doi:10.1007/s00204-011-0743-9.
35 [EFSA] European Food Safety Authority. 2013. Scientific opinion on the reevaluation of boric acid (E 284) and sodium tetraborate (borax) (E 285) as food additives. JEFSA. 11(10):3407. Egan MB, Raats MM, Grubb SM, Eves A, Lumbers ML, Dean MS, Adams MR. 2007. A review of food safety and food hygiene training studies in the commercial sector. Food Control. 18:1180-1190.doi:10.1016/j.foodcont. 2006.08.001. Eren M, Uyanik F, Guclu BK, Cinar M. 2012. Effect of dietary boric acid and borax supplementation on growth performance and some biochemical parameters in broilers. Rev Med Vet. 163(11):546-551. Green LR. 2008. Behavioral science and food safety. J Environ Health. 71(2):4749. Grujic S, Grujic R, Petrovic D, Gajic J. 2013. Knowledge of food quality and additives and its impact on food preference. Acta Sci Pol. 12(2):215-222. Gulsoy N, Yavas C, Mutlu O. 2015. Genotoxic effects of boric acid and borax in zebrafish, Danio rerio using alkaline comet assay. EXCLI J. 14:890-899.doi: 10.17179/excli2015-404. Habsah. 2012. Gambaran pengetahuan pedagang mi basah terhadap perilaku penambahan boraks dan formalin pada mi basah di kantin-kantin universitas x Depok tahun 2012 [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Handoko J, Anita S, Jose C. 2010. Aspek lingkungan sosial dan potensi munculnya perilaku penambahan boraks dalam proses produksi bakso daging sapi di Kota Pekanbaru. JIL. 2(4):128-138. Harper B, Gervais JA, Buhl K, Stone D. 2012. Boric acid technical fact sheet. npic [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 16]. Tersedia pada: http://npic.orst.edu/ factsheets/borictech.pdf. Hojati Z, Dehghanian F. 2014. Evaluation of mutagenic potentials of some food additives by Ames test. J Food Biosci Technol. 4(2):73-81. Hossain MM. 2012. A study on knowledge, attitude and practice about personal hygiene and disease awareness of east west university students in Dhaka City [dissertation]. Dhaka (BD): East West University Bangladesh. Ince S, Kucukkurt I, Cigerci IH, Fidan AF, Eryavuz A. 2010. The effects of dietary boric acid and borax supplementation on lipid peroxidation, antioxidant activity, and DNA damage in rats. J Trace Elem Med Biol. 24:161– 164.doi:10.1016/j.jtemb.2010.01.003. Jevsnik M, Hlebec V, Raspor P. 2008. Food safety knowledge and practices among food handlers in Slovenia. Food Control. 19:1107-1118.doi:10.1016/ j.foodcont.2007.11.010. Kabu M, Civelek T. 2012. Effects of propylene glycol, methionine and sodium borate on metabolic profile in dairy cattle during periparturient period. Rev Med Vet. 163(8-9):419–430. Kabu M, Akosman MS. 2013. Biological effects of boron. Rev Environ Contam T. 225:57-75.doi:10.1007/978-1-4614-6470-9_2. Kabu M, Civelek T, Birdane FM. 2014. Effects of boron, propylene glycol and methionine administration on some hematological parameters in dairy cattle during periparturient period. Vet Arhiv. 84(1):19-29.
36 Kabu M, Tosun M, Elitok B, Akosman MS. 2015a. Histological evaluation of the effects of borax obtained from various sources in different rat organs. Int J Morphol. 33(1):255-261. Kabu M, Uyarlar C. 2015b. The effects of borax on milk yield and selected metabolic parameters in Austrian simmental (fleckvieh) cows. Vet Med. 60(4):175–180.doi:10.17221/8104-VETMED. Kabu M, Uyarlar C, Zarczynska K, Milewska W, Sobiech P. 2015c. The role of boron in animal health. J Elem. 20(2):535-541.doi:10.5601/jelem.2014.19.3. 706. Kannan C, Aditi P, Zwanenburg B. 2015. Quenching the action of germination stimulants using borax and thiourea, a new method for controlling parasitic weeds: A proof of concept. Crop Prot. 1-7.doi:10.1016/j.cropro.2015. 01.008. Li Y, Yang Z, Bi Y, Zhang J, Wang D. 2012. Antifungal effect of borates against Fusarium sulphureum on potato tubers and its possible mechanisms of action. Postharvest Biol Tec. 74:55-61.doi:10.1016/j.postharvbio.2012.06.016. Lukman DW. 2008. Menjaga pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, halal. higiene pangan dan kesmavet [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 25]. Tersedia pada: http://higiene-pangan.blogspot.com/search?q=ASUH. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 2]. Tersedia pada: http://binfar.kemkes.go.id. Maina WK, Ndegwa ZM, Njenga EW, Muchemi EW. 2011. Knowledge, attitude, and practices related to diabetes among community members in four provinces in Kenya: a cross-sectional study. Afr J Diabetes Med. 19(1):1518. Moutz E, Suliman S, Abdalla M. 2012. Surveillance of food safety practices of street food-vendors in Gizan Saudi Arabia. Agric For. 58(4):119-128. Mujianto B, Purba AV, Widada NS, Martini R. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan boraks pada bakso di Kecamatan Pondok GedeBekasi. Bul Penel Kesehatan. 33(4):152-161. Muyanja C, Nayiga L, Brenda N, Nasinyama G. 2011. Practices, knowledge and risk factors of street food vendors in Uganda. Food Control. 22:15511558.doi:10.1016/j.foodcont.2011.01.016. Nagieb ZA, Nassar MA, El-Meligy MG. 2011. Effect of addition of boric acid and borax on fire-retardant and mechanical properties of urea formaldehyde saw dust composites. Int J Carbohydr Chem. 2011(146763):1-6.doi:10.1155/ 2011/146763. Nee SO, Sani NA. 2011. Assessment of knowledge, attitudes and practices (KAP) among food handlers at residential colleges and canteen regarding food safety. Sains Malays. 40(4):403–410. Ningsih R. 2014. Penyuluhan hygiene sanitasi makanan dan minuman, serta kualitas makanan yang dijajakan pedagang di lingkungan SDN Kota Samarinda. KEMAS. 10(1):64-72. Nurkholidah, Ilza M, Jose C. 2012. Analisis kandungan boraks pada jajanan bakso tusuk di sekolah dasar di Kecamatan Bangkinang Kabupaten Kampar. JIL. 6(2):134-145.
37 Oktavia LS. 2012. Pengaruh pengetahuan dan motif ekonomi terhadap penggunaan formalin dan boraks oleh pedagang dalam pangan siap saji (bakso) di Kecamatan Medan Denai dan Medan Tuntungan tahun 2011 [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Park M, Li Q, Shcheynikov N, Muallem S, Zeng W. 2005. Borate transport and cell growth and proliferation not only in plants. Cell Cycle. 4(1):24-26. Pawa S, Ali S. 2006. Boron ameliorates fulminant hepatic failure by counteracting the changes associated with the oxidative stress. Chem Biol Interact. 160:89– 98.doi:10.1016/j.cbi.2005.12.002. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. komisi informasi pusat Republik Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 November 2]. Tersedia pada: http://www.komisiinformasi.go.id/regulasi/view/uu-nomor-20-tahun2008. Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. hukum online [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 2]. Tersedia pada: http://codexindonesia.bsn.go.id/uploads/ download/UU_Pangan_No.18_.pdf Pohanish RP. 2012. Sittig’s Handbook of Toxic and Hazardous Chemicals and Carcinogens. Ed ke-6. Waltham (US): Elsevier. Pongsavee M. 2009a. Effect of borax on immune cell proliferation and sister chromatid exchange in human chromosomes. J Occup Med Toxicol. 4(27):16.doi:10.1186/1745-6673-4-27. Pongsavee M. 2009b. Genotoxic effects of borax on cultured lymphocytes. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 40(2):411-418. Purba R, Suseno SH, Izaki AF, Muttaqin S. 2014. Application of liquid smoke and chitosan as natural preservatives for tofu and meatballs. Int J Appl Sci Technol. 4(2):212-217. Purnomo H, Rahardiyan D. 2008. Indonesian traditional meatball. Int Food Res J. 15(2):101-108. Rahmawati I, Sudargo T, Paramastri I. 2007. Pengaruh penyuluhan dengan media audio visual terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan buruk di Kabupaten Kotawaringin Barat Propinsi Kalimantan Tengah. IJCN. 4(2):69-77. Robbins WA, Xun L, Jia J, Kennedy N, Elashoff DA, Ping L. 2010. Chronic boron exposure and human semen parameters. Reprod Toxicol. 29:184190.doi:10.1016/j.reprotox.2009.11.003. Salim SG. 2014. Food safety knowledge attitudes and practices among women in selected areas in Khartoum City. SJPH. 9(1):15-23. Samapundo S, Climat R, Xhaferi R, Devlieghere F. 2015. Food safety knowledge, attitudes and practices of street food vendors and consumers in Port-au-Prince, Haiti. Food Control. 50:457-466.doi:10.1016/j.foodcont.2014.09.010. Saparinto C, Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Ed ke-1. Yogyakarta (ID): Kanisius. Scialli AR, Bonde JP, Bruske-Hohlfeld I, Culver BD, Li Y, Sullivan FM. 2010. An overview of male reproductive studies of boron with an emphasis on studies of highly exposed Chinese workers. Reprod Toxicol. 29:10-24. doi:10.1016/j.reprotox.2009.10.006.
38 See AS, Salleh AB, Bakar FA, Yusof NA, Abdulamir AS, Heng LY. 2010. Risk and health effect of boric acid. Am J Appl Sci. 7(5):620-627. Shaila D, Santosh MK, Chowdhury B, Rajyalakshmi I, Sanjeevarao I. 2005. Standardization study of antifertility drug-Pippalyadiyoga. E-J Chem. 2(2):126-130. Shinta, Sukowati S, Sapardiyah TS. 2005. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap malaria di daerah non endemis, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. JEK. 4(2):254-264. Steckling N, Bose-O’Reilly S, Shoko D, Muschack S, Schierl R. 2014. Testing local conditions for the introduction of a mercury-free gold extraction method using borax in Zimbabwe. J Health Pollut. 4(7):54-61. Sugiyatmi S. 2006. Analisis faktor-faktor risiko pencemaran bahan toksik boraks dan pewarna pada makanan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang tahun 2006 [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Suhariyadi, Setianingrum R, Prastyo FA, Christyaningsih J. 2015. Survey on the use of borax, magenta and metanyl yellow in food samples procured from state elementary schools of Surabaya City. Res J Pharm Biol Chem Sci. 6(1):1587-1592. Sultan P, Sirajuddin S, Najamuddin U. 2013. Analisis kandungan zat pengawet boraks pada jajanan bakso di SDN Kompleks Mangkura Kota Makassar. MKMI. 13:24-36. Suningsih. 2011. Identifikasi boraks pada bakso di Kota Bengkulu [skripsi]. Bengkulu (ID): Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Syamadi RK. 2002. Aplikasi penggunaan hidrogen peroksida (H2O2) dan iradiasi dalam pengawetan bakso sapi pada penyimpanan suhu kamar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Thanh TNC. 2015. Food safety behavior, attitudes and practices of street food vendors and consumers in Vietnam [dissertation]. Belgia (BE): Ghent University. Tomaska LD, Brooke-Taylor S. 2014. Food additives: food additives-general. Di dalam: Motarjemi Y, Moy GG, Todd EC, editor. Encyclopedia of Food Safety. Volume 2. San Diego (US): Academic Pr. hlm 449-454. Tumbel M. 2010. Analisis kandungan boraks dalam mie basah yang beredar di Kota Makassar. Chemica. 11(1):57-64. Turkez H, Geyikoglu F, Tatar A, Keles S, Ozkan A. 2007. Effects of some boron compounds on peripheral human blood. Z Naturforsch C. 62:889-896. Turkez H. 2008. Effects of boric acid and borax on titanium dioxide genotoxicity. J Appl Toxicol. 28:658-664.doi:10.1002/jat.1318. Turkez H, Geyikoglu F, Tatar A. 2012a. Borax counteracts genotoxicity of aluminum in rat liver. Toxicol Ind Health. 29(9):775-779.doi:10.1177/07482 33712442739. Turkez H, Geyikoglu F, Dirican E, Tatar A. 2012b. In vitro studies on chemoprotective effect of borax against aflatoxin B1-induced genetic damage in human lymphocytes. Cytotechnology. 64:607–612.doi:10.1007/s10616012-9454-1. Upadhyay DK, Palaian S, Shankar PR, Mishra P. 2008. Knowledge, attitude and practice about diabetes among diabetes patients in Western Nepal. Rawal Med J. 33:8-11.
39 [USDA] United States Department of Agriculture. 2006. Human health and ecological risk assessment for borax (Sporax®) final report. Forest Service [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 29]. Tersedia pada: http://www.fs.fed.us/foresthealth/pesticide/pdfs/022406_borax.pdf. [USEPA] United States Environmental Protection Agency. 2008a. Health effects support document for boron. EPA [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 27]. Tersedia pada: http://www.epa.gov/safewater/ccl/pdf/boron.pdf. [USEPA] United State Environmental Protection Agency. 2008b. Report of the food quality protection act (FQPA) tolerance reassessment eligibility decision (TRED) for boric acid/sodium borate salt. EPA [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 29]. Tersedia pada: http://www.epa.gov/oppsrrd1/REDs /boric_acid_tred.pdf. [USFDA] United States Food and Drug Administration. 2013. Food additives status list. Food [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 16]. Tersedia pada: http://www.fda.gov/food/ingredientspackaginglabeling/foodadditivesingredi ents/ucm091048.htm. Wariyah C, Dewi SHC. 2013. Penggunaan pengawet dan pemanis buatan pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di wilayah Kabupaten Kulon Progo-DIY. Agritech. 33(2):146-153. Wirawan S, Abdi LK, Sulendri NKS. 2014. Penyuluhan dengan media audio visual dan konvensional terhadap pengetahuan ibu anak balita. Kemas. 10(1):8087. Xing X, Wu G, Wei F, Liu P, Wei H, Wang C, Xu J, Xun L, Jia J, Kennedy N et al. 2008. Biomarkers of environmental and workplace boron exposure. J Occup Environ Hyg. 5:141–147.doi:10.1080/15459620701845132. Yahya R, Muhamad R, Yusoff HM. 2012. Association between knowledge, attitude and practice on cardiovascular disease among women in Kelantan, Malaysia. Int J Collab Res Internal Med Public Health. 4(8):1507-1523. Yanjuan W, Yanxiong F, Wei T, Chunying L. 2013. Preservation of aged paper using borax in alcohols and the supercritical carbon dioxide system. J Cult Herit. 14:16-22.doi:10.1016/j.culher.2012.02.010. Yasmin G, Madanijah S. 2010. Perilaku penjaja pangan jajanan anak sekolah terkait gizi dan keamanan pangan di Jakarta dan Sukabumi. JGP. 5(3):148-157. Yiu PH, See J, Rajan A, Bong CF. 2008. Boric acid levels in fresh noodles and fish ball. Am J Agric Biol Sci. 3(2):476-481. Yu D, Yong D, Dong S. 2013. Toxicity detection of sodium nitrite, borax and aluminium potassium sulfate using electrochemical method. J Environ Sci. 25(4):785-790.doi:10.1016/S1001-0742(12)60119-3.
39
40
LAMPIRAN
41 Lampiran 1 Kuesioner pedagang bakso di Kota Bengkulu
KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU
KUESIONER PEDAGANG BAKSO DI KOTA BENGKULU
Tanggal
:
Nomor Kuisioner
:
-
-
42
PERNYATAAN PERSETUJUAN Nama saya .......................................... dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Kami akan mengadakan penelitian mengenai Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini. Informasi dari Bapak/Ibu akan membantu kami di dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan dapat menjadi informasi untuk pemantauan dan pengawasan terhadap bakso yang beredar di Kota Bengkulu. Wawancara akan berlangsung sekitar ±20 menit. Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya, nama dan nomor telepon Bapak/Ibu yang dicatat pada kuesioner hanya sebagai tindakan jika kami memerlukan konfirmasi untuk menghubungi Bapak/Ibu di kemudian hari, dan tidak akan disertakan dalam laporan atau diserahkan kepada pihak lain/ketiga. Partisipasi dalam wawancara ini bersifat sukarela, dan kami berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi, karena informasi dari Bapak/Ibu sangat penting. Apakah Bapak/Ibu bersedia mengisi kuesioner/diwawancara? Ya Tidak Jika tidak, mohon berikan alasannya mengapa Bapak/Ibu tidak bersedia mengisi kuesioner/diwawancara. ....................................................................................................................................
43
I. DATA RESPONDEN 1. Nama pedagang 2. Nama tempat usaha 3. Alamat tempat usaha
: : :
4. Nomor telephone/HP 5. Jenis kelamin 6. Jumlah karyawan
: : :
II. KARAKTERISTIK PERSONAL 7. Umur 8. Pendidikan terakhir 9. Skala usaha (kecil/sedang/besar) 10. Kapasitas penjualan per hari (kg) 11. Omset 12. Lama usaha 13. a. Keterlibatan dalam organisasi b. Sebagai apa, sebutkan
: : : : : : : :
III. PRAKTIK 14. Berapa rata-rata jumlah kilogram daging setiap pembuatan bakso? Kurang dari 5 kg, sebutkan: ............................ 5–10 kg, sebutkan: ............................ Lebih dari 10 kg, sebutkan: ............................ 15. Berapa hari sekali dilakukan pembuatan atau penggilingan bakso dilakukan? Setiap hari 2-4 hari sekali, sebutkan: ............................ 5-7 hari sekali, sebutkan: ............................ Lebih dari satu minggu sekali, sebutkan: ............................ 16. Dimana tempat penggilingan daging dilakukan? a. Penggilingan sendiri, alamat sebutkan: ............................ b. Jasa penggilingan di Pasar Panorama Nama tempat penggilingan sebutkan: ............................ c. Jasa penggilingan di Pasar Minggu Nama tempat penggilingan sebutkan: ............................ d. Selain di Pasar Panorama dan Pasar Minggu Nama dan alamat tempat penggilingan sebutkan: ...........................
44 17. Dimana penambahan bumbu atau bahan-bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso dilakukan? Pedagang bakso sendiri Tempat jasa penggilingan 18. Apakah bumbunya ditambahkan boraks/pijer/garam bleng dan biar apa? Ya, alasannya sebutkan: ............................ Tidak, alasannya sebutkan: ............................ 19. Apakah Bapak/Ibu pernah melihat bleng/pijer/garam bleng? Ya Tidak Jika “tidak” langsung ke pertanyaan nomor 22 20. Jika “ya” apakah mudah untuk mendapatkannya? Sulit Kadang sulit kadang mudah Mudah 21. Diperoleh dari mana dan berapa harganya? Diperoleh dari luar kota, sebutkan: ............................ Harga sebutkan: ............................ Ada pemasok tertentu, sebutkan: ............................ Harga sebutkan: ............................ Dijual bebas di pasar, harga sebutkan: ............................ Tidak tahu 22. Apakah bakso habis dalam 1 hari? Ya Tidak Jika “ya” langsung ke pertanyaan nomor 27 23. Jika “tidak” apa yang dilakukan jika bakso tidak habis dijual? Simpan di refrigerator (lemari es) Simpan di suhu ruang Freezer Lain-lain, sebutkan: ............................ 24. Berapa lama bakso disimpan sampai habis? Kurang dari 2 hari, sebutkan: ............................ 3 hari sampai 1 minggu, sebutkan: ............................ Lebih dari 1 minggu, sebutkan: ............................ 25. Dimana tempat penyimpanan bakso? Refrigerator (Lemari es) Suhu ruang
45 Freezer Lain-lain sebutkan: ............................ 26. Apakah penyimpanan bakso setelah dipanaskan/dimasak? Ya Tidak Kadang-kadang 27. Apakah Bapak/Ibu mengetahui ada larangan penggunaan boraks/pijer/ garam bleng dalam bakso? Ya tahu Tidak tahu Jika “tahu” darimana sumber informasinya, sebutkan: ............................ 28. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang bahaya penggunaan boraks/pijer/ garam bleng dalam bakso? Ya tahu Tidak tahu Jika “tahu” darimana sumber informasinya, sebutkan: ............................ Apa bahayanya, sebutkan: ............................
IV. PENYULUHAN DAN INFORMASI 29. Apakah pernah ada penyuluhan mengenai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng? Ya Tidak 30. Jika “ya” siapa yang melakukan penyuluhan? a. Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) b. Dinas Kesehatan Kota Bengkulu c. Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu d. Lain-lain, sebutkan: ............................ 31. Selain penyuluhan darimana Bapak/Ibu mengetahui informasi tentang bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng? a. Televisi b. Internet c. Baca koran/majalah d. Lain-lain, sebutkan: ............................
46
V. PENGETAHUAN Berilah tanda (V) pada jawaban pertanyaan di bawah ini yang sesuai dengan Bapak/Ibu: No.
Pertanyaan
32.
Boraks/pijer/garam bleng adalah bahan pengawet makanan
33.
Boraks/pijer/garam bleng itu merupakan bumbu yang harus ditambahkan dalam adonan bakso
34.
Pemakaian boraks/pijer/garam bleng pada kerupuk/lontong/mie sudah biasa, sehingga pemakaian dalam bakso juga tidak masalah
35.
Penambahan boraks/pijer/garam bleng boraks pada bakso boleh dilakukan asal sedikit
36.
Boraks/pijer/garam bleng ditambahkan ke dalam bakso agar rasanya semakin enak
37.
Bakso yang mengandung boraks/pijer/ garam bleng tekstur lebih kenyal (seperti bola bekel), lebih tahan lama/tidak mudah basi jika dibandingkan dengan bakso tanpa boraks/pijer/garam bleng
38.
Bakso yang mengandung boraks/pijer/ garam bleng tidak mudah rusak jika disimpan pada suhu ruang selama beberapa hari
39.
Boraks/pijer/garam bleng perlu ditambahkan dalam pembuatan bakso agar konsumen lebih sehat
40.
Masyarakat Indonesia sebagai konsumen bakso lebih menyukai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng
41.
Pemakaian boraks/pijer/garam bleng dalam bakso tidak dilarang di Indonesia
Ya
Tidak
Tidak tahu
47
VI. SIKAP Berilah tanda (V) pada jawaban pernyataan di bawah ini yang sesuai dengan Bapak/Ibu: No.
Pernyataan
42.
Saya yakin bahwa penggunaan boraks/ pijer/garam bleng dapat merusak kesehatan
43.
Saya tidak setuju apabila dalam pembuatan bakso dicampur dengan boraks/pijer/garam bleng
44.
Saya setuju apabila pembuatan bakso ditambah dengan boraks/pijer/garam bleng asalkan sedikit saja
45.
Saya percaya bakso yang dicampur boraks/pijer/garam bleng lebih bagus kualitasnya dan lebih disukai konsumen
46.
Saya yakin bakso yang ditambah boraks/pijer/garam bleng lebih tahan lama sehingga tidak mudah rusak/basi
47.
Saya setuju bahwa boraks/pijer/garam bleng merupakan bumbu yang harus ditambahkan dalam pembuatan bakso
48.
Saya yakin boraks/pijer/garam bleng itu penting dalam pembuatan bakso
49.
Saya yakin bakso yang ditambah boraks/ pijer/garam bleng juga diperbolehkan karena untuk pembuatan kerupuk/lontong/mie juga memakai itu
50.
Saya tidak percaya penggunaan boraks/ pijer/garam bleng pada bakso itu dilarang
51.
Saya percaya masyarakat Indonesia menyukai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
48 Lampiran 2 Kuesioner penggiling bakso di Kota Bengkulu
KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU
KUESIONER PENGGILING BAKSO DI KOTA BENGKULU
Tanggal
:
Nomor Kuesioner
:
-
-
49
PERNYATAAN PERSETUJUAN Nama saya .......................................... dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Kami akan mengadakan penelitian mengenai Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini. Informasi dari Bapak/Ibu akan membantu kami di dalam menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dan dapat menjadi informasi untuk pemantauan dan pengawasan terhadap bakso yang beredar di Kota Bengkulu. Wawancara akan berlangsung sekitar ±20 menit. Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya, nama dan nomor telepon Bapak/Ibu yang dicatat pada kuesioner hanya sebagai tindakan jika kami memerlukan konfirmasi untuk menghubungi Bapak/Ibu di kemudian hari, dan tidak akan disertakan dalam laporan atau diserahkan kepada pihak lain/ketiga. Partisipasi dalam wawancara ini bersifat sukarela, dan kami berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi, karena informasi dari Bapak/Ibu sangat penting. Apakah Bapak/Ibu bersedia mengisi kuesioner/diwawancara? Ya Tidak Jika tidak, mohon berikan alasannya mengapa Bapak/Ibu tidak bersedia mengisi kuesioner/diwawancara. ....................................................................................................................................
50
I. DATA RESPONDEN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama pemilik usaha penggilingan Nama tempat usaha Alamat tempat usaha Nomor telephone/HP Jenis kelamin Jumlah karyawan Jam operasional penggilingan
: : : : : : :
II. KARAKTERISTIK PERSONAL 8. Umur 9. Pendidikan terakhir 10. Skala usaha (kecil/sedang/besar) 11. Kapasitas penggilingan per hari (kg) 12. Omset 13. Lama usaha 14. a. Keterlibatan dalam organisasi b. Sebagai apa, sebutkan
: : : : : : : :
III. PRAKTIK 15. Oleh siapa permintaan bahan-bahan tambahan dalam proses pembuatan bakso dilakukan? Permintaan pedagang bakso sendiri Inisiatif tempat jasa penggilingan Lain-lain, sebutkan: ............................ 16. Apakah pedagang bakso mengetahui secara rinci bumbu/bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan bakso yang dilakukan oleh pengusaha jasa penggilingan bakso? Mengetahui Tidak mengetahui Lain-lain, sebutkan: ............................ 17. Berapa perkiraan jumlah pedagang bakso yang menjadi pelanggan jasa penggilingan bakso di tempat Bapak/Ibu? Kurang dari 20 pedagang bakso, sebutkan: ............................ 20-70 pedagang bakso, sebutkan: ............................ Lebih dari 70 pedagang bakso, sebutkan: ............................ 18. Berapa rata-rata pedagang bakso yang menggiling di tempat Bapak/Ibu setiap harinya? Kurang dari 5 pedagang bakso, sebutkan: ............................ 5-25 pedagang bakso, sebutkan: ............................ Lebih dari 25 pedagang bakso, sebutkan: ............................
51 19. Apakah bumbunya ditambahkan boraks/pijer/garam bleng dan biar apa? Ya, alasannya sebutkan: ............................ Tidak, alasannya sebutkan: ............................ 20. Apakah Bapak/Ibu pernah melihat bleng/pijer/garam bleng? Ya Tidak Jika “tidak” langsung ke pertanyaan nomor 23 21. Jika “ya” apakah mudah untuk mendapatkannya? Sulit Kadang sulit kadang mudah Mudah 22. Diperoleh dari mana dan berapa harganya? Diperoleh dari luar kota, sebutkan: ............................ Harga sebutkan: ............................ Ada pemasok tertentu, sebutkan: ............................ Harga sebutkan: ............................ Dijual bebas di pasar, harga sebutkan: ............................ Tidak tahu 23. Apakah tempat penggilingan membuat bakso? Ya Tidak Jika “tidak” langsung ke pertanyaan nomor 29 24. Apakah bakso habis dalam 1 hari? Ya Tidak Jika “ya” langsung ke pertanyaan nomor 29 25. Jika “tidak” apa yang dilakukan jika bakso tidak habis dijual? Simpan di refrigerator (lemari es) Simpan di suhu ruang Freezer Lain-lain, sebutkan: ............................ 26. Berapa lama bakso disimpan sampai habis? Kurang dari 2 hari, sebutkan: ............................ 3 hari sampai 1 minggu, sebutkan: ............................ Lebih dari 1 minggu, sebutkan: ............................
52 27. Dimana tempat penyimpanan bakso? Refrigerator (Lemari es) Suhu ruang Freezer Lain-lain sebutkan: ............................ 28. Apakah penyimpanan bakso setelah dipanaskan/dimasak? Ya Tidak Kadang-kadang 29. Apakah Bapak/Ibu mengetahui ada larangan penggunaan boraks/pijer/ garam bleng dalam bakso? Ya tahu Tidak tahu Jika “tahu” darimana sumber informasinya, sebutkan: ............................ 30. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang bahaya penggunaan boraks/pijer/ garam bleng dalam bakso? Ya tahu Tidak tahu Jika “tahu” darimana sumber informasinya, sebutkan: ............................ Apa bahayanya, sebutkan: ............................
IV. PENYULUHAN DAN INFORMASI 31. Apakah pernah ada penyuluhan mengenai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng? Ya Tidak 32. Jika “ya” siapa yang melakukan penyuluhan? a. Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) b. Dinas Kesehatan Kota Bengkulu c. Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu d. Lain-lain, sebutkan: ............................ 33. Selain penyuluhan darimana Bapak/Ibu mengetahui informasi tentang bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng? a. Televisi b. Internet c. Baca koran/majalah d. Lain-lain, sebutkan: ............................
53
V. PENGETAHUAN Berilah tanda (V) pada jawaban pertanyaan di bawah ini yang sesuai dengan Bapak/Ibu: No.
Pertanyaan
34.
Boraks/pijer/garam bleng adalah bahan pengawet makanan
35.
Boraks/pijer/garam bleng itu merupakan bumbu yang harus ditambahkan dalam adonan bakso
36.
Pemakaian boraks/pijer/garam bleng pada kerupuk/lontong/mie sudah biasa, sehingga pemakaian dalam bakso juga tidak masalah
37.
Penambahan boraks/pijer/garam bleng boraks pada bakso boleh dilakukan asal sedikit
38.
Boraks/pijer/garam bleng ditambahkan ke dalam bakso agar rasanya semakin enak
39.
Bakso yang mengandung boraks/pijer/ garam bleng tekstur lebih kenyal (seperti bola bekel), lebih tahan lama/tidak mudah basi jika dibandingkan dengan bakso tanpa boraks/pijer/garam bleng
40.
Bakso yang mengandung boraks/pijer/ garam bleng tidak mudah rusak jika disimpan pada suhu ruang selama beberapa hari
41.
Boraks/pijer/garam bleng perlu ditambahkan dalam pembuatan bakso agar konsumen lebih sehat
42.
Masyarakat Indonesia sebagai konsumen bakso lebih menyukai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng
43.
Pemakaian boraks/pijer/garam bleng dalam bakso tidak dilarang di Indonesia
Ya
Tidak
Tidak tahu
54
VI. SIKAP Berilah tanda (V) pada jawaban pernyataan di bawah ini yang sesuai dengan Bapak/Ibu: No.
Pernyataan
44.
Saya yakin bahwa penggunaan boraks/ pijer/garam bleng dapat merusak kesehatan
45.
Saya tidak setuju apabila dalam pembuatan bakso dicampur dengan boraks/pijer/garam bleng
46.
Saya setuju apabila pembuatan bakso ditambah dengan boraks/pijer/garam bleng asalkan sedikit saja
47.
Saya percaya bakso yang dicampur boraks/pijer/garam bleng lebih bagus kualitasnya dan lebih disukai konsumen
48.
Saya yakin bakso yang ditambah boraks/ pijer/garam bleng lebih tahan lama sehingga tidak mudah rusak/basi
49.
Saya setuju bahwa boraks/pijer/garam bleng merupakan bumbu yang harus ditambahkan dalam pembuatan bakso
50.
Saya yakin boraks/pijer/garam bleng itu penting dalam pembuatan bakso
51.
Saya yakin bakso yang ditambah boraks/ pijer/garam bleng juga diperbolehkan karena untuk pembuatan kerupuk/ lontong/mie juga memakai itu
52.
Saya tidak percaya penggunaan boraks/ pijer/garam bleng pada bakso itu dilarang
53.
Saya percaya masyarakat Indonesia menyukai bakso yang mengandung boraks/pijer/garam bleng
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
55 Lampiran 3 Surat penerimaan artikel
56
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 16 Mei 1981 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Drs Suparmin dan Umi Marwiyatun. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 5 Surakarta, Jawa Tengah dan melanjutkan pendidikan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis lulus program Sarjana Kedokteran Hewan tahun 2005 dan melanjutkan ke Program Profesi Dokter Hewan pada tahun yang sama. Penulis lulus dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2006. Penulis masuk Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor tahun 2013 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur beasiswa dari Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu. Penulis adalah Dokter Hewan yang bertugas di UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu sejak tahun 2008 hingga saat ini. Selama mengikuti program S2, sebuah artikel berjudul “Penambahan Boraks dalam Bakso dan Faktor Pendorong Penggunaannya bagi Pedagang Bakso di Kota Bengkulu” telah diterima dan rencana akan diterbitkan pada Jurnal Sain Veteriner FKH UGM Volume 34 Nomor 1 bulan Juni 2016. Karya ilmiah tersebut merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S2 penulis.