KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM IMAM AL-G}AZA>LI
Zakiyatus Soimah Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Faqih Asy’ari Kediri
Abstrak Al-G{aza>li adalah seorang tokoh pemikir Islam yang menguasai berbagai bidang keilmuan antara lain fikih, us}u>l fiqh, ilmu kalam, logika (mantiq), filsafat, tasawuf, akhlak dan lain sebaginya. Karyakaryanya tidak hanya dapat dinikmati dalam satu bidang ilmu saja, tetapi juga bidang kajian lainnya. Karya terpenting al-G{aza>li adalah Ihya>' 'Ulumuddi>n. Hakikat hukum menurut al-G{aza>li adalah bahwa hukum merupakan uraian mengenai khit>ab al-Sha>ri’. Metode penggalian hukum yang dilakukan Al-G{aza>li terdiri dari pendekatan semantik, kontekstual, dan tekstual. Menurut Al-G{aza>li sumber hukum itu ada empat, yakni al-Qur’an, sunah, al-ijma>’, dan akal pikiran, sedangkan yang lainnya bukan termasuk dalil-dalill pokok (us{u>l aladillah). Kata kunci : al-G}aza>li, hukum Islam. Pendahuluan Al-G{aza>li merupakan salah satu tokoh yang muncul setelah sepeninggalnya imam empat. Al-G{aza>li adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara umum. Dia juga salah seorang yang berotak cemerlang yang memiliki berbagai keunggulan dan jasa dalam berbagai aspek. Dan juga salah seorang tokoh di masanya yang sangat menguasai ilmu agama. Ilmu pengetahuan yang dikuasainya mencakup fikih,
us}u>l, ilmu kalam, logika (mantiq), filsafat, tasawuf, akhlak dan yang lain. Dia telah menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah diakui kedalamannya, orisinalitas, ketinggian dan memiliki jangkauan yang panjang. el-Faqih: Jurnal Pemikiran & Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2015
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Karya-karya al-G{aza>li mencakup berbagai cabang keilmuan Islam; teologi, filsafat, tasawuf dan yurisprudensi (fikih). Akan tetapi pemikirannya dalam bidang yurisprudensi tidak sepopuler pemikirannya dalam bidang keilmuan yang lain, sebagaimana ia lebih dikenal sebagai ahli tasawuf, filsafat dan teologi. Dalam sejarah Islam, al-G{aza>li lebih dikenal sebagai filsuf dari pada seorang pakar hukum (fikih). Padahal pemikirannya dibidang us}u>l fiqh sangat fenomenal. Diantarannya dengan menempatkan akal sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur'an, Sunah, dan ijma>'. Ia membuka ijtihad seluas-luasya agar umat Islam tidak terbelenggu pada taklid buta. Pemikiran hukum al-G{aza>li ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga bisa menempatkan akal sebagai sumber hukum yang keempat setelah al-Qur’an, Sunah, dan ijma>'. Biografi Singkat Imam al-G{aza>li Nama lengkapnya adalah Abu Hamid b. Muhammad b. T{u>s Ahmad alT{u>si al-G{aza>li al-Sha>fi'i.1 Gelar al-Sha>fi’i karena al-G{aza>li bermazhab Shafi’iyyah, Abu Hamid karena salah satu anaknya bernama Hamid dan alG{aza>li> al-T}u>si karena profesi ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan ia dilahirkan di Desa G{aza>lah, Bandar T{u>s Khurasan (Iran) pada tahun 450 H/1058 M.2 Al-G{aza>li dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu (wol) dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anakanak.
1
Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 266. Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 130. 2
2
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika al-G{aza>li masih kecil, dia dan saudaranya (Abu al-Futuh Ahmad b. Muhammad b. Ahmad al-T{u>si AlG{aza>li yang dikenal dengan sebutan Majdudin)3 diserahkan kepada seorang ahli tasawuf
(sahabat karib ayahnya) yang kelak mendidiknya.4 Dia
menitipkan kedua anaknya sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ‛Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu
pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.‛5 Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-G{aza>li dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al-G{aza>li mempelajari dasar-dasar fikih.6 Setelah dari madrasah tersebut, Al-G{aza>li melanglang buana, melakukan safari intelektual dan pemikiran ke berbagai tempat (diantaranya Syam, Damaskus, dan Makkah), melakukan meditasi dan refleksi untuk menemukan hakikat jalan kebenaran. Setelah melewati pengembaraannya yang cukup panjang, pada tahun 1106 M Al-G{aza>li kembali ke Tus dan wafat di sana pada tahun 1111 M.7 Perjalanan Pendidikan al-G{aza>li Pendidikan Al-G{aza>li di masa kanak-kanak berlangsung di kampung halamannya. Setelah ayahnya wafat, Al-G{aza>li dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, yakni Ahmad b. Muhammad al-Razikani al-T{u>si yang merrupakan ahli 3
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 266. Ahmad Syadeli, Filsafat Umum, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), 178. 5 Zaky Mubarak, Al-Akhlāk ‘Inda al-G{azāli, (Mesir: Da>r al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at alNashr, 1968), 47. 6 Abid Rohmanu, ‚Imam al-G{aza>li dan Kerangka Keilmuan Us{u>l al-Fiqh‛, dalam Jurnal Justitia Islamica, Vol. 6 No. 2, Desember, (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009), 4. 7 Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 131. 4
3
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
tasawuf dan fikih. Pada mulanya sufi ini mendidik mereka secara langsung, namun, setelah harta mereka habis, sedangkan sufi tersebut tidak dapat menafkahi mereka, kemudian mereka dimasukkan ke sebuah asrama yang bernama Niz}a>m al-Mulu>k (panti asuhan yang didirikan oleh Perdana Menteri Niz{a>m al-Mulk)8 di kota Tus yang memberi beasiswa (sepenuhnya) kepada murid yang berprestasi.9 Di sana Al-G{aza>li belajar ilmu fikih, s}arf, dan nahwu secara mendalam kepada muhammad al-Razikani al-T{u>si, belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassa>j dan dari Imam Abu Ali al-Fadl b. Muhammad al-Farmazi alTusi. Al-G{aza>li belajar di T{u>s sampai usia 20 tahun. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Jurjan pada tahun 471 H dengan berguru kepada Abu alQa>sim Ismail b. Mas’adah al-Isma>’ily.10 Al-G{aza>li belum merasa puas dengan pelajarannya yang diterima di Jurjan, kemudian ia pulang kembali ke Tus selama beberapa bulan. Setelah itu, pada tahun 471 H, Al-G{aza>li menuju Naisabur untuk belajar di Sekolah Tinggi Nizamiyah. Disinilah ia mempelajari berbagai ilmu (seperti, fikih, kalam, filsafat, logika, jadal, dll) kepada Abu al-Ma‘a>li D{iya> al-Di>n ‘Abd Ma>lik al-Juwayni11 (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Imam alHaramayn, seorang teolog Ash‘a>riyah).12 Setelah belajar di Naysabur, kemudian Al-G{aza>li pindah ke Mu‘askar dan berkenalan dengan Niz{a>m alMulk, Perdana Menteri Bani Saljuk.13 Pada tahun 478 H/1085 M, Al-G{aza>li pergi ke kampus Niz{a>m alMulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan.14 Pada tahun 479 H, ketika Imam Haramayn meninggal dunia, ia ditunjuk oleh perdana menteri Niz}a>m al-Mulk untuk 8
Ibid., 130. Imroatul Azizah, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, dalam Jurnal al-Qa>nu>n, Vol. 10, No. 2, Desember, (Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel, 2005), 791. 10 Bahruddin Abdul Aziz, Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Iqra Insan Press, 2005), 134. 11 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 32-33. 12 Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 131. 13 Ibid. 14 M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 28-29. 9
4
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
menggantikanna sebagai rektor di Universitas tersebut. Rektor yang sangat muda itu itu telah menunjukkan kecakapan yang luar biasa, sehingga menarik simpati dari berbagai kalangan.15 Al-G{aza>li menjadi pengajar dan rektor di Universitas tersebut kurang lebih selama 4.5 tahun. Pada fase ini dikenal dengan fase Baghdad di mana beliau banyak menghabiskan waktunya untuk belajar menelaah buku-buku filsafat secara otodidak dan menulis buku. Dari sini lahirlah beberapa karya Al-G{aza>li dalam berbagai bidang ilmu seperti fikih, us}u>l al-fiqh, logika, jadal (dialektika), filsafat dan tentang ba>t}iniyah. Beberapa karyanya tersebut tidak hanya bercorak deskriptif, tetapi juga argumentatif berupa penolakan unsurunsur tertentu.16 Dari sini pula Al-G{aza>li menulis karyanya yang monumental yakni Ihya>’ Ulum al-Di>n.17 Kemasyhuran tak selamanya menjamin hidup seseorang menjadi tenang, begitu halnya apa yang dialami Al-G{aza>li, selama 10 tahun sejak 489 H. Ia mengalami fase baru dalam sejarah hidupnya, yakni zaman sangsi dan ragu-ragu (skeptisisme) di dalam segala hal. Al-G{aza>li mulai berpetualang (menjalankan safari ilmiyah) ke Damaskus, Palestina, Mesir, serta MakkahMadinah dalam rangka menyucikan jiwa dan menggali kebenaran.18 Di Damaskus, mula-mula Al-G{aza>li melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, ber-i’tika>f, menyucikan diri dari jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya, selalu berfikir tentang Allah SWT. Dari situ kemudian pergi ke Yerussalem, di sini pula Al-G{aza>li menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Makdis. Setelah lama kemudian, ia pergi ke Mesir dan seterusnya ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji.19 Setelah berpetualang selama 10 tahun, al-G{aza>li sudah bertekad bulat untuk pulang ke tanah kelahirannya. Perdana Menteri Fakhr al-Mulk (putera 15
Imroatul Azizah, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, 792. Aksin Wijaya, ‚Epistemologi Keraguan dalam Dialogia‛, dalam Jurnal Justitia Islamica,Vol. 7, No. 2, Desember, (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009), 276. 17 Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 131. 18 Imroatul Azizah, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, 794. 19 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, cet ke 2 , (Jakarta: Rajawali Press, 2002), 151. 16
5
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Niz{a>m al-Mulk) meminta supaya al-G{aza>li segera pulang ke Naysabur (Baghdad) untuk memimpin Universitas Niz{a>miyah yang ditinggalkannya. Pada tahun 499 H al-G{aza>li mulai mengajar kembali, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun. Kemudian ia kembali ke T{u>s untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha>’ dan za>wiyah atau khandaqah untuk para
mutasawwifi>n.20 Akhir perjalanan hidup al-G{aza>li digunakan sepenuhnya untuk mendidik, dan mengarang berbagai disiplin ilmu. Setelah mengabdikan diri untuk imu berpuluh tahun lamanya, dan sesudah memperoleh kebenaran sejati, pada akhir hayatnya, al-G{aza>li meninggal di Tus pada tanggal 14 Jumadil akhir, 505 H/19 Desember 1111 M.21 Karya al-Ghaza>li Al-G{aza>li adalah seorang intelektual dan pemikir yang produktif serta berwawasan luas. Karya-karyanya tidak hanya dapat dinikmati dalam satu bidang ilmu saja,
tetapi juga bidang kajian lainnya.22 Berikut ini
beberapa karya-karya al-Ghaza>li dalam berbagai disiplin keilmuan Islam :23 a. Dalam bidang fikih dan us}u>l al-fiqh 1) al-Basi>t} fi> al-Furu>' 'ala> Niha>yah al-Mat}lab li Imam al-Haramain; 2) al-Wasit} al-Muh}it} bi Iqt}a>r al-Basit}; 3) al-Wai>z fi al-Furu>'; 4) Asrar al-Ha>jj, dalam Fiqh al-Shafi'i>; 5) al-Mustas}fa> fi 'Ilm al-Us}ul> ; 6) al-Mankhu>l fi 'Ilm al-Us}ul> . b. Bidang Tafsir 1) Jawa>hir al-Qur'an; 2) Ya>qu>t al-Ta'wi>l fi Tafsi>r al-Tanzi>l 3) Qanu>n al-Ta’wi>l c. Bidang Akidah 20 21
Ibid.
Muhamad Zuhri, Hukum Islam, 131. Abdul Aziz, Pejuang dan Pemikir Islam, 134. 23 Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Elsas, 2004), 42-45. 22
6
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
1) Al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d; 2) Al-Risa>lah al-Qudsiyah fi Qawa'id al-Aqa'id; 3) Al-Munqid} min al-D}ala>l; 4) Kita>b al-Arba’i>n fi Us}u>l al-Di>n; 5) al-Ajwibah al-G{aza>liyah fi al-Masa>il al-Ukhra>wiyah; 6) Ilja>m al-‘Awa>m ‘an 'Ilm al-Kala>m; 7) Aqi>dah Ahl al-Sunnah; 8) Fad}a>ih al-Ba>t}iniyah wa Fad{a>il al-Mustaz}ariyah; 9) Fais}a>l al-Tafriqah bayna al-Isla>m wa al-Zindiqiyah; 10) Al-Qist}as} al-Mustaqi>m; 11) Kimiyah al-Sa'adah 12) Al-Maqs}id al-Ithna fi Ma'ani Asma Allah al-Husna>; 13) Al-Qaul al-Jami>l fi al-Radd 'ala Man Ghayyara al-Inji>l. d. Bidang Filsafat dan Logika 1) Mishkah al-Anwar; 2) Tahafut al-Fala>sifah;
3) Risa>lah al-T}ah> ir; 4) Mihak al-Naz}r; 5) Maqa>s}i>d al-Fala>sifah; 6) Mi’ya>r al-‘Ilm; 7) Ma'ary al-Qudsi fi Madarij Ma'rifah al-Nafs; 8) al-Mut}al fi 'Ilm al-Jida>l. e. Bidang Tasawuf 1) Adab al-S}ufiyah; 2) Ihya>' ‘Ulu>m al-Di>n; 3) Bida>yah al-Hida>yah wa Tahz{i>b al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah; 4) Al-Adab fi al-Din; 5) Al-Imla’ ‘an Ashka>l al-Ihya’; 6) Ayyuhal Walad; 7) Miza>n al-Amal; 8) Al-Risa>lah al-Laduniyah; 9) Al-Kashf wa al-Tabyi>n;
7
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
10) Minha>j al-‘A>bidi>n ila al-Jannah; 11) Mukashafah al-Qulu>b al-Muqarrab ila Had}rah Alla>m al-Gayb. Demikianlah karya-karya imam al-G{aza>li, dan masih banyak lagi karya beliau yang tidak tercantum di sini.24 Karya terpenting al-G{aza>li adalah Ihya>' ‘Ulu>m al-Di>n. Para fuqaha>’ menilai buku ini hampir mendekati kedudukan al-Qur’an. Jika semua kitab yang dikarang tentang Islam dimusnahkan, sehingga yang tertinggal hanya kitab Ihya>’, maka manusia telah mendapatkan ganti dari semua kitab yang hilang.25 Pemikiran Hukum Islam al-G{aza>li a.
Hukum dan Sumber Hukum menurut al-G{aza>li Hakikat hukum menurut Al-G{aza>li adalah bahwa hukum merupakan
uraian mengenai khit>ab al-sha>ri’ (obyek hukum yang ditentukan oleh syariat yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf). Jadi seandainya tidak ada khita>b dari sha>ri’ maka hukum itu tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, menurut al-G{aza>li akal pikiran manusia tidak punya tempat untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Tidak ada hukum apapun bagi segala perbuatan manusia sebelum syariat itu datang.26 Metode penggalian hukum yang dilakukan al-G{aza>li terdiri dari metode penggalian hukum dengan pendekatan semantik, kontekstual, dan
tekstual. Dari pendekatan semantik, al-G{aza>li membaginya ke dalam empat bagian yakni, mujmal-mubayan, z}a>hir-mua’awwal, amr-nahi, dan a>m-kha>s{. Dari pendekatan kontekstual pembahasannya kepada masalah iqtid{a>’,
isha>rah, lafad}, memahami hukum dari ‘illat-nya, memahami arti di balik kata-kata yang diucapkan, dan mafhu>m. Adapun pendekatan tekstual membahas qiya>s.27 Dari metode penggalian metode hukum ini menjadi jelas bahwa sumber hukum itu ada empat, yakni al-Kita>b, Sunah, al-ijma>’, dan
24 25
Ibid.
Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, terj. Bahruddin Fanani, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 178. 26 Imroatul Azizah, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, 801. 27 Ibid.
8
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
akal pikiran, sedangkan yang lainnya bukan termasuk dalil-dalill pokok (us{u>l
al-adillah).28 Sebagaimana juga ulama fikih yang lain, al-G{aza>li berpendapat bahwa sumber syariat Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadi>th. Adapun keyakinannya tentang fatwa Sahabat Nabi dapat dijadikan sumber syariat sebenarnya
lebih disebabkan oleh persepsinya bahwa para sahabat
mengetahui persis ajaran Nabi. Dengan kata lain, fatwa sahabat adalah ‚kutipan tidak langsung‛ mereka dari Nabi. Hadi>th sebagai sumber syariat Islam yang dimaksud al-G{aza>li adalah yang meyakinkan berasal dari Nabi, hadi>th mutawa>tir termasuk di dalamnya.29 Meskipun al-G{aza>li sangat terikat dengan wahyu, namun ia tidak mengabaikan peranan akal sama sekali. Karena ia juga menyadari bahwa persoalan hukum itu akan terus bertambah, sementara jumlah teks wahyu tidak mungkin bertambah. Oleh karena itu, al-G{aza>li berpendapat bahwa apabila sebuah kasus hukum ternyata tidak ditunjuki oleh nas{s}, maka qiya>s dapat digunakan. Inti qiya>s adalah menyejajarkan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas}s}. Titik kesamaan disebut ‘illat. al-G{aza>li tidak mau menjadikan hikmah sebagai ‘illat (ta’li>l al-ah}ka>m bi al-h}ikmah), ia hanya mau menetapkan hukum berdasarkan ‘illat (ta’lil al-ah}ka>m bil- ‘illah).30 b.
Konsep Ijtihad al-G{aza>li Metode ijtihad al-G{aza>li memberi peluang sebesar-besarnya bagi
umat Islam yang telah sampai pada taraf mujtahid untuk berijtihad. Baginya,
mujtahid tidak terbatas pada mujtahid mut{laq (yang memerlukan syaratsyarat ketat sebagai seorang mujtahid), tetapi juga mujtahid muqayyad (terbatas pada hal-hal tertentu), dan seorang mujtahid tidak boleh berfatwa dalam seluruh persoalan shara’. Boleh jadi, seseorang hanya menguasai metode qiya>s, maka ia dibenarkan memberikan fatwa hukum yang secara
28 29 30
Ibid. Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 134. Ibid, 135.
9
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
khusus mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan qiya>s, meskipun ia tidak mahir dalam bidang hadis. Artinya, untuk dapat menjadi seorang mujtahid tidak harus hafal ayat-ayat atau hadi>th-hadi>th hukum, tetapi cukup mengetahui sebatas ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang sedang dicari hukumnya (kurang lebih 500 ayat) dan dapat dengan cepat-cepat menunjukkannya ketika diperlukan.31 c.
Independensi Pemikiran al-G{aza>li Al-G{aza>li yang notabene pengikut mazhab Sha>fi’i tidak serta merta
mengikuti pendapat imam mazhabnya. Sebagai bukti independensi pemikirannya, Al-G{aza>li berani menempatkan akal sebagai sebagai sumber hukum keempat.32 d.
Isi dan Sistematika al-Mustas}fa> Sebelum memasuki bahasan inti, al-G{aza>li memulai kitabnya dengan
al-Muqaddimah.
Dalam
pendahuluannya
al-Ghaza>li
menjelaskan
motivasinya menulis al-Mustas}fa>, pemaparan tentang us}u>l al-fiqh dan kajiannya tentang
keterkaitan disiplin ini
dengan logika Yunani.
Motivasinya menulis menurut penuturannya sendiri adalah respon terhadap permintaan para mahasiswanya ketika ia mengajar di Lembaga Pendidikan Nizamiyyah, Naisabur, untuk membuat tulisan tentang us}u>l al-fiqh yang sederhana, sistematis akan tetapi bersifat komprehensif.33 Selanjutnya al-G{aza>li memaparkan konsepsi keilmuan us}u>l al-fiqh, meliputi definisi us}u>l al-fiqh, posisinya dalam struktur keilmuan Islam dan ruang lingkupnya. Al-G{aza>li mendefinisikan us}u>l al-fiqh sebagai ilmu yang mengkaji
tentang
sumber-sumber
(origins)
hukum,
syarat-syarat
keabsahannya (validity) dan model, struktur serta metode penunjukannya
31
Imroatul Azizah, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, 801-802. Ibid, 803. 33 Abu Hamid Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa min ‘Ilm al-Us}u>l, (Beirut: Dar Ihya` al-Turath al-‘Arabi, 1997), 14. 32
10
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
pada hukum.34 Us}ul> al-fiqh sebagaimana terdefinisikan tersebut menurutnya adalah ilmu yang mulia karena telah menggabungkan antara potensi nalar dan wahyu. Disiplin ini berbeda dengan ilmu kalam (teologi) yang bersifat
kulli merupakan keilmuan Islam yang bersifat partikular, karena mengkonsentrasikan diri pada bahasan dalil-dalil hukum shara’. Ini sebagaimana ilmu tafsir, hadi>th dan tasawuf. Dus, secara hirarkis us}u>l al-fiqh berada di bawah payung teologi. Mereka yang belajar us}u>l al-fiqh diasumsikan telah mapan dalam aspek teologis.35 Pandangan dasar (pra asumsi) terkait dengan bahasan us}u>l al-fiqh diterima secara taken for granted dari ilmu kalam. Artinya bahwa us}u>l al-fiqh tidak melakukan verifikasi, karena telah dilakukan oleh ilmu kalam, misalnya tentang hakikat wahyu, kenabian dan syariat. Pendefinisian epistemologi us}u>l al-fiqh al-G{aza>li (origin, method dan
validity) membawa pada implikasi pada ruang lingkup dan sistematika bahasan us}u>l al-G{aza>li. Maksud studi us}u>l al-fiqh menurutnya untuk mengetahui ‚bagaimana menemukan hukum dari dalil‛. Jawaban atas pertanyaan ini mengimplikasikan pengetahuan detail tentang hukum, dalil dan pembagiannya, bagaimana memeras hukum dari dalil dan kualifikasi subjek yang menemukan hukum. Hukum adalah buah yang tentu mempunyai karakter (ciri), mempunyai (pohon) yang mengeluarkan buah, yang memetik dan cara (metode) memetik. Dalam ungkapan lain, us}u>l
al-fiqh
berkepentingan untuk menjawab; apakah hukum shar’i itu? Di mana hukum
tersebut ditemukan (apa sumber hukum itu)? bagaimana cara (metode) menemukan hukum dan siapa yang berwenang menggali hukum tersebut? Karena itu, ruang lingkup dan sistematika kajian us}u>l al-fiqh al-G{aza>li meliputi 4 poros bahasan, sebagaimana tergambar pada pertanyaanpertanyaan mendasar di atas. Berdasar karakteristik bahasan di atas, maka al-Mustas}fa al-G}aza>li termasuk kitab yang mengambil garis manhaj al-mutakallimin. Manhaj ini
34
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 23. 35 Al-G}aza>li, Al-Mustas}fa, 17.
11
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
berupaya untuk melakukan kajian persoalan us}u>liyyah secara tuntas dengan kajian
yang
bersifat
teoritis
dan
menghindari
persoalan-persoalan
khilafiyyah dan furu’iyyah. Hal ini karena tujuan metode ini adalah memperoleh kaidah usuliyyah yang kuat. Ciri lain dari metode ini adalah usaha merelevansikan kaidah usuliyyah dengan dilala>t al-lafz} dan prinsipprinsip kebahasaan.36 Pro Kontra atas Pemikiran al-G}aza>li Pengaruh Al-G{aza>li sangat luas, kuliah-kuliah dan karya-karyanya diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran Al-G{aza>li terkenal di kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat. Meskipun sudah hampir seribu tahun Al-G{aza>li meninggal, namun ilmunya dan tetesan kalam buah penanya mengekal abadi. Karya-karyanya berpengaruh karena diperlukan dan ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.37 Tokoh al-G{aza>li menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Dia ahli agama, pendidikan dan hukum Islam, selain itu juga memiliki ilmu yang luas tentang filsafat, tasawuf, akhlak, dan masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia Islam ia amat berpengaruh bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam memimpin mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil. Sampai sekarang pengaruh alG{aza>li masih terus ada di seluruh dunia Islam.38 Di Timur al-G{aza>li mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan spiritual umat, sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam. Bukunya Ihyā ‘Ulūm al-Di>n adanya bukti dari adanya usaha tersebut. Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam 36
Khalid Ramadan Hasan, Mu’jam Usu>l al-Fiqh (Mesir: al-Rawdah,1998), 8. Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, terj. Amrouni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), 225. 38 Yahya Jaya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental,, (Jakarta: Rahama, 1994), 12-13. 37
12
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
dan umatnya dari pengaruh negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam, dan aliran kebatinan. Melalui pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari pemujaan akal atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah swt., yaitu dalam arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan dapat dicapai. Menurut al-G{aza>li, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak diperoleh dari akal pikiran tetapi harus hati dan rasa.39 Ketidakgentaran
al-G{aza>li
dalam
mencari
kebenaran
melalui
kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf banyak pula mendatangkan kritikan dan pertentangan di kalangan Mutakallimin, baik ketika Al-G{aza>li masih hidup maupun setelah meninggal. Di Andalusia, seorang qa>d}i (hakim) dari Cordoba, Abu Abdillah Muhammad b. Hamdin, menyalahkan karangankarangan al-G{aza>li. Para qa>d}i di Spanyol pada umumnya menerima pengutukan itu, hasilnya seluruh karya-karya al-G{aza>li dibakar. Masyarakat dilarang memiliki karya-karya al-G{aza>li dengan ancaman sangsi hukuman mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihyā ‘Ulūm al-Di>n.40 Karya-karya al-G{aza>li pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash, Ali b. Yu>suf b. Tashfin, pemimpin pada daerah tersebut adalah seorang yang berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah agama. Ia menerima saran dari ulama ortodoks yang memiliki otoritas pada masa itu. Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan menganggap bahwa filsafat dan teologi keduanya dapat merusak keyakinan, akidah yang benar. Oleh karena itu, ia melarang beredarnya buku-buku alG{aza>li dan mengeluarkan perintah agar membakar seluruh karya al-G{aza>li.41 Pengeritik lainnya adalah Ibn Rushd, salah seorang filsuf Spanyol. Ia menganggap al-G{aza>li tidak konsisten dalam doktrin emanasi, ia juga mengeritik karya-karya al-G{aza>li khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan mengarang kitab Tahāfut al-Tahāfut. Dia menganggap bahwa ajaran
168.
39
Poerwantama, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
40
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, 226.
41
Ibid.
13
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Al-G{aza>li kadang-kadang merusak shari>‘ah, terkadang merusak filsafat, terkadang merusak keduanya.42
Kesimpulan Al-G{aza>li memiliki nama lengkap Abu Hamid b. Muhammad b. T{u>s Ahmad al-T}u>si al-G{aza>li al-Sha>fi'i. Ia dilahirkan di Desa G{aza>lah, Bandar T}u>s Khurasan (Iran) pada tahun 450 H/1058 M. Al-G{aza>li pada masa kecil belajar dikampung halamannya, kemudian melanjutkan ke Jurjan dan selanjutnya ke Naysabur (Bagdad). Dari Naysabur ia pindah ke Mu‘askar dan berkenalan dengan Niza>m al-Mulk, Perdana Menteri Bani Saljuk. Kemudian beliau mengangkat al-G{aza>li sebagai pengajar di Universitas Niz}a>miyah. Di Baghdad al-G{aza>li menjadi terkenal karena kepandaiannya. Dan ia pun menulis
karya-karyanya
dalam
berbagai
khazanah
keilmuan
yang
dikuasaianya. Al-G{aza>li meninggalkan kedudukan yang terhormat di Baghdad, menuju beberapa tempat seperti Damaskus, Mesir, Makkah dan Madinah untuk menjalani safari pemikiran dan intelektualnya serta mencari arti kebenaran yang sesungguhnya. Setelah 10 tahun lamanya, al-G{aza>li mengalami masa skeptis dan melakukan perjalanan ilmiyahnya ke berbagai wilayah, akhirnya kembali mengajar atas permintaan perdana menteri. Setelah 2 tahun kembali mengajar, akhirnya al-G{aza>li pulang ke kampung halamannya dan menetap di sana dengan membangun madrasah bagi fuqaha> dan za>wiyah bagi mutasawwifi>n. Dan akhirnya al-G{aza>li meninggal di tanah kelahiranya, Tus pada hari Senin 14 Junmadil Akhir 505 H/ 1111 M. Menurut Al-G{aza>li sumber hukum itu ada empat, yakni al-Kitab, Sunah, al-ijma’ (konsensus mujtahid), dan akal pikiran, sedangkan yang lainnya bukan termasuk dalil-dalill pokok (us{u>l al-adillah). Karya-karyanya tidak hanya dapat dinikmati dalam satu bidang ilmu saja, tetapi juga bidang kajian lainnya seperti, fikih, us}u>l al-fiqh, kalam, tasawuf, dll. Karyanya yang paling fenomenal adalah Ihya>' ‘Ulu>m al-Di>n. 42
Ibid.
14
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Daftar Pustaka Abdul Aziz, Bahruddin, Pejuang Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Iqra Insan Press, 2005. Abdullah, M. Amin, Antara Al-G{aza>li dan Kant, Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002. Abidin, Ahmad Zainal, Riwayat Hidup Imam Al-G{aza>li, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Abu Hamid Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-G}aza>li, Al-
Mustas}fa min ‘Ilm al-Us}ul> , Beirut: Da>r Ihya>` al-Tura>th al-‘Arabi, 1997. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Amin, Husain Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, terj. Bahruddin Fanani, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. Azizah, Imroatul, ‚Pemikiran Hukum al-G{aza>li‛, dalam Jurnal al-Qa>nu>n, Vol. 10, No. 2, Desember, Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel, 2005. Hasan, Ali, Perbandingan Madzhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Jaya, Yahya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian
dan Kesehatan Mental, Jakarta: Rahama, 1994. Khalid Ramadan, Hasan, Mu’jam Usu>l al-Fiqh, Mesir: al-Rawd}ah,1998. Mubarak, Zaky, al-Akhlāk ‘Inda al-G}azāli, Mesir: Da>r al-Kitab al-Arabiy li al-Tiba>‘at wa al-Nashr, 1968. Ni’am Sholeh, Asrorun, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Elsas, 2004. Poerwantama, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
15
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Rohmanu, Abid, ‚Imam Al-G{aza>li dan Kerangka Keilmuan Usul al-Fiqh‛, dalam Jurnal Justitia Islamica, Vol. 6, No. 2, Desember, Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2002. Smith, Margareth, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-G{aza>li, terj. Amrouni, Jakarta: Riora Cipta, 2000. Syadeli, Ahmad, Filsafat Umum, Jakarta: Pustaka Setia, 1997. Wijaya, Aksin, ‚Epistemologi Keraguan Dalam Dialogia‛, dalam Jurnal
Jurnal Justitia Islamica, Vol. 7, No.2, Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009. Zuhri, Muhammad, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
16