BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI A. ANALISIS PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IMAM AL-GHAZALI 1. Analisis Tujuan Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah dalam upaya membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai khalifah Allah yang mendapatkan ridho Allah SWT. Imam
Al-Ghazali
memberikan
perhatian
besar
terhadap
pendidikan akhlak, karena kuatnya keyakinan beliau bahwa pendidikan akhlak yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membentuk akhlakul karimah, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara beramal sholeh, beribadah, mengenal dan mencintai Allah sehingga mendapatkan keridhaanNya. Pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
merupakan
gambaran
tentang
pemikiran
bagaimana
membimbing dan membina peserta didik sejak dini, supaya berakhlak mulia dan hal tersebut relevan dengan tujuan
Islam yaitu membantu
manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pencegahan jiwa manusia dari hal-hal yang mengotori jiwa, penanggulangan rusaknya jiwa manusia, dan pengembangan akhlak manusia dalam membangun
190
191
kehidupan yang diridhoi Allah yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Studi mengenai pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak ini menyingkapkan bahwa Imam Al-Ghazali telah berhasil menata suatu sistem pendidikan akhlak yang lengkap, menyeluruh dengan batasan-batasan yang jelas. Imam Al-Ghazali melaksanakan sistem pendidikan akhlaknya berdasarkan pada syari’ah Islam dan memastikan sistem pendidikan akhlaknya itu benar-benar mengarah kepada tujuan pendidikan akhlak yang benar, yaitu meraih ridho Allah SWT. Dia bercitacita dapat membentuk individu-individu yang mulia dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan kepada seluruh umat manusia. Pada umumnya, pemikiran tentang pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
Islam memiliki karakteristik relijius
moralis yang terlihat melalui tujuan dan metodenya. Dengan tidak mengesampingkan urusan-urusan duniawi, pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak secara umum sesuai dengan konsepsi pendidikan akhlak para ulama-ulama Islam. Imam Al-Ghazali tidak mengabaikan urusan-urusan keduniaan. Beliau telah mempersiapkan urusan-urusan ini dalam pendidikan akhlak. Beliau memandang bahwa persiapan untuk urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia. Beliau memandang dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat
192
yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, orang yang memahami akan hal ini akan menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri yang abadi. Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak ialah kesempurnaan insan di dunia dan akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencaharian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan
itu
akan
memberinya
mendekatkannya kepada
Allah,
kebahagiaan
di
sehingga dia akan
dunia
serta
mendapatkan
kebahagiaan di akhirat Keadaan Imam Al-Ghazali sebagai orang yang taat beragama dan ahli pendidikan akhlak telah mempengaruhi pandangannya untuk menjadikan pendekatan diri kepada Allah dan pencapaian kebahagiaan akhirat
sebagai
tujuan
pendidikan
akhlaknya.
Sehingga
beliau
menggariskan di dalam kitab-kitabnya bahwa tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah mencapai ridho Allah dengan cara beribadah dan beramal sholeh serta makrifat dan cinta kepada Allah SWT.
2. Analisis Metode Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali Imam
Al-Ghazali
tidak
mengharuskan
pendidik
untuk
menggunakan metode tertentu dalam melaksanakan proses pendidikan akhlak.
Akan
tetapi,
Imam
Al-Ghazali
mempersilakan
pendidik
menggunakan metode apa pun selama pendidik memenuhi prinsip kasih
193
sayang terhadap peserta didik. Dengan demikian, metode pendidikan akhlak dalam perspektif pemikiran Imam Al-Ghazali sangat beragam, yaitu : metode keteladanan, metode pembiasaan, metode bercerita, metode pemberian tugas, metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab, dan metode-metode lainnya. Intinya, metode pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali boleh menggunakan metode apa saja asalkan sesuai dengan syariat Islam dan penuh dengan kasih sayang antara pendidik dengan peserta didik. Metode pendidikan akhlak yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali sangat beragam dan fleksibel. Fleksibilitas penggunaan metode
inilah yang menempatkan
pemikiran pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali pada barisan pemikiranpemikiran yang relevan dalam kehidupan manusia sekarang ini. Karena, di zaman modern sekarang ini, fleksibilitas penting dilakukan mengingat semakin
beragamnya
manusia
ditinjau
dari
latar
belakangnya,
karakteristiknya, permasalahannya yang membutuhkan metode-metode yang beragam pula. Dari keterangan di bab sebelumnya, tersingkap bahwa Al-Ghazali tidak lupa merinci akhlak yang baik serta tatacara berperilaku. Dia tidak hanya menasihati peserta didik agar berakhlak, bertabi’at, dan beradat sebagai individu, tetapi juga meletakkan dasar-dasar pergaulan yang berakhlak untuk diterapkan dalam bergaul dengan sesama manusia. Kemudian Al-Ghazali mengungkapkan langkah-langkah pendidikan akhlak, metode mendidik anak dalam rangka pengajaran akhlak serta
194
membiasakan ibadah. Al-Ghazali mengingatkan orang tua dan pendidik agar memperhatikan kepentingan bermain bagi anak. Dia menjelaskan, bahwa bermain mempunyai nilai sebagai alat pembantu di dalam mendidik dan mengajar anak, sebagai alat bagi anak untuk mengekspresikan fitrahnya, dan mengimbangi kejenuhan dan kesusahan bagi anak ketika belajar. Jelas sekali, bahwa perkataan Al-Ghazali ini mengandung nilai pendidikan akhlak modern. Permainan dipandang sebagai salah satu alat pendidikan anak. Permainan bukan hanya sebagai alat memberikan kesenangan kepada mereka. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberagamaan Al-Ghazali serta upayanya dalam mensucikan individu agar keutamaan tersebar di dalam masyarakat, telah menjadi pendorong utama baginya untuk memperhatikan pendidikan akhlak. Juga dapat disimpulkan, bahwa dia benar-benar yakin bahwa pendidikan yang benar itu dapat berbuat banyak dalam rangka memperbaiki akhlak dan tingkahlaku. Dia menjelaskan bahwa sifat-sifat dan bahkan tabiat-tabiat manusia pada umumnya hasil interaksi antara tabiat-tabiat fitrah dengan faktor-faktor lingkungan sekitarnya. Dalam pandangan ini, Imam Al-Ghazali sejalan persis dengan para pendidik modern yang berpandangan bahwa kepribadian individu menampakkan
hasil antara tabiat-tabiat fitrahnya
dengan faktor-faktor lingkungan sekitarnya.
195
Atas dasar itu, Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya memperhatikan tabi’at-tabi’at fitrah manusia serta upaya mengarahkan dan menyeimbangkan sedapat mungkin, sehingga suatu tabi’at yang ekstrim dapat menjadi wajar dan seimbang di tengah kedua kutub yang berlawanan. Misalnya, akhlak atau sifat hemat adalah pertengahan antara sifat boros dan sifat kikir, akhlak atau sifat pemberani adalah pertengahan antara sifat nekad dan sifat penakut, sifat tawadhu adalah pertengahan antara sifat sombong dan sifat minder, dan contoh-contoh lainnya. Dalam pandangannya ini – bahwa sebaik-baiknya perkara itu adalah yang paling wajar – Imam Al-Ghazali mengingatkan kita pada Hadits Rasulullah SAW bahwa perkara yang paling utama berada di jalan tengah, yaitu yang paling wajar. Al-Ghazali membahas secara luas dan mendalam tentang tabi’attabi’at fitrah atau bakat manusia. Dia menjelaskan, bahwa tabi’at manusia itu diciptakan dengan maksud memenuhi kebutuhan vital manusia, sehingga hilangnya tabi’at ini akan membahayakan eksistensi manusia, serta membawanya beserta keturunannya kepada kerusakan, bahkan kemusnahan. Selanjutnya, Al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara tabi’attabi’at manusia itu ada yang lebih kuat serta lebih mudah mengarahkannya dari yang lain. Pandangan Al-Ghazali tentang tabiat seperti itu sejalan dengan pandangan pendidikan akhlak di era modern yang membedabedakan berbagai tabiat fitrah ditinjau dari sudut kekuatannya serta
196
kemungkinannya
untuk
mengarahkannya.
Demikian
pula
tentang
pentingnya tabiat-tabiat fitrah bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup manusia. Dalam kupasannya yang luas tentang tabiat manusia ini, AlGhazali mengemukakan pula bahwa sebagian tabiat itu ada yang dibawa sejak lahir, dan ada pula yang terbentuk sejalan dengan bertambahnya usia pada tingkat-tingkat perkembangan tertentu.
Pandangan ini pun
menampakkan unsur-unsur pendidikan akhlak di era modern yang menerangkan bahwa tabiat-tabiat fitrah mencapai derajat intensitas dan kejelasan tertentu pada fase-fase tertentu dari fase pertumbuhan individu. Pembahasan Al-Ghazali tentang penyeimbangan dan pengarahan tabiat-tabiat
sewaktu mengajar dan mendidik individu, seakan-akan
menempatkan ia dalam jajaran pendidik dewasa ini yang paling modern, yang memandang bahwa proses pendidikan akhlak itu harus mencakup proses perubahan tabiat melalui peningkatan dan pengembangannya sehingga sifat pemarah berubah menjadi bijaksana, sifat tunduk takluk kepada suatu kekuatan berubah menjadi pengawal dan pembela negara, dan sebagainya. Dalam pada itu Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak yang sehat tidak mungkin dicapai dengan jalan melepaskan dan
memusnahkan tabiat-tabiat
fitrah
itu.
Cara
itu
bertentangan dengan tabiat manusia. Al-Ghazali menandaskan pentingnya murid secara psikologis.
guru memahami
tabiat
Menurut pandangannya, pemahaman guru
197
tentang dimensi psikis muridnya adalah suatu syarat mutlak. Pemahaman ini akan mendorong guru dalam memilih metode yang seyogyanya digunakan
dalam memperlakukan muridnya, baik sewaktu mengajar
maupun sewaktu mendidik dan memberi petunjuk, baik terhadap murid yang masih kanak-kanak maupun yang sudah menginjak dewasa. Kadang-kadang ketidakfahaman guru tentang dimensi psikis murid dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Pandangan Al-Ghazali ini sejalan benar dengan pandangan yang berlaku sekarang, yang mengatakan bahwa pengkajian psikologi termasuk salah satu tuntutan penting dalam mempersiapkan guru sebaik-baiknya. Guru tidak mungkin menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, manakala dia belum memahami secara memadai tilikan psikologis yang menyingkap perilaku muridmuridnya, tabiat hereditetnya, kecenderungan fitrahnya, serta cara mengembangkan pemikirannya semasa berkembang, dan bidang studi lain sebagainya yang mengarahkan guru dan pendidik dalam memilih metode pendidikan akhlak. Al-Ghazali berbicara pula tentang ganjaran dan hukuman serta penggunaannya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan akhlak. AlGhazali mendudukkan masalah hadiah dan hukuman itu dalam proporsi yang wajar. Ia menandaskan betapa pentingnya untuk tidak berlebihan dalam menghukum anak. Ia tidak pula menyetujui terlalu banyak mencela dan membeberkan keburukan anak sebagai hukuman baginya atas perbuatannya yang salah. Para pendidik dewasa ini menganggap
198
pandangan
Al-Ghazali
tersebut
sebagai
pandangan
yang
sehat.
Pengalaman menunjukkan, bahwa berbagai masalah psikologis dan kegagalan hidup yang diderita manusia banyak disebabkan oleh karena orang-orang yang bertanggung jawab dalam mendidik anak terlalu banyak mencela anak bila berbuat salah, di samping bisa menghambat kemauan keras mereka yang lamban di dalam menangkap pelajaran. Bisa juga disebabkan oleh karena mereka merasa puas dengan keburukan akhlak secara umum. Al-Ghazali menandaskan pentingnya mengarahkan anak kepada hidup beragama, kegiatan kerohanian, berzuhud dan menjauhkan diri dari kehidupan materialistis yang serba mewah. Dia menekankan, betapa pentingnya mengikuti metode pengendalian diri sebagai alat untuk mencapai tujuan. Di antara pandangan Al-Ghazali yang benar-benar mengagumkan ialah, bahwa dia tidak hanya meletakkan dasar pendidikan akhlak secara individual, melainkan juga secara mendasar, menyoroti pergaulan hidup antara sesama manusia Dengan kata lain, dia juga meletakkan dasar-dasar pendidikan sosial. Ringkasnya Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh yang mencurahkan perhatiannya pada pembinaan hubungan antar manusia berdasarkan atas kasih sayang dan saling menghormati dan saling membimbing secara wajar dalam pergaulan antar individu. Pandangannya ini merupakan manifestasi dari landasan hidup demokratis yang merupakan pola hidup Islam.
199
Al-Ghazali memberikan perhatian juga kepada pengisian waktu senggang murid. Dijelaskan, bahwa masa muda dan kekosongan termasuk faktor-faktor yang membantu menyimpangnya akhlak para pemuda dan mengarah kepada pencarian hidup ria berfoya-foya yang kadang-kadang tidak baik. Al-Ghazali selanjutnya menandaskan bahwa pengisian waktu luang siswa termasuki perkara yang harus mendapat perhatian guru. Dinasihatkan, hendaknya murid dibiasakan gemar membaca, terutama membaca
Al-Qur’an,
serta
pustaka
keagamaan,
sehingga
dapat
membantunya dalam mengisi waktu senggang. Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan akhlak, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan akhlak, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikan akhlaklah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan halhal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ Ulumuddin yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci). Imam Al-Ghazali termasuk tokoh pendidikan akhlak yang yakin bahwa sifat-sifat dan tabiat-tabiat manusia pada umumnya hasil interaksi
200
antara tabiat-tabiat fitrah dengan faktor-faktor lingkungan sekitar. Dilihat dari kemungkinan untuk dididik, Al-Ghazali membedakan manusia menurut tingkat kesulitannya untuk dididik. Ada peserta didik yang mudah untuk dididik, ada yang agak sulit, ada yang sulit, bahkan ada yang sangat sulit untuk dididik. Pengetahuan tentang tingkat kesulitan penerimaan peserta didik akan pendidikan akhlak ini penting bagi para pendidik agar tepat dalam memilih metode yang digunakan. Dalam kupasannnya yang luas tentang tabiat manusia, Imam AlGhazali juga mengemukakan bahwa sebagian tabiat itu ada yang dibawa sejak lahir dan ada pula yang terbentuk sejalan dengan bertambahnya usia pada
tingkat-tingkat
pertumbuhan
tertentu.
Pandangan
ini
pun
menampakkan unsur-unsur psikologi modern yang menerangkan bahwa tabiat-tabiat fitrah mencapai derajat intensitas dan kejelasan tertentu pada fase-fase tertentu dari fase pertumbuhan individu.
3. Analisis Materi Pendidikan Akhlak Di antara hal terpenting yang menarik perhatian dalam karya AlGhazali tentang pendidikan akhlak ialah pemikirannya mengenai materimateri pendidikan akhlak. Al-Ghazali tidak menulis tentang pendidikan akhlak dengan menyandarkan pada retorika (kepandaian berbicara), melainkan berdasarkan konsep yang jelas, mudah tersingkap bagi para pembacanya. Al-Ghazali adalah seorang filosof yang berfikiran logis. Pola fikir falsafahnya gamblang dan beraturan. Oleh karena itu, ketika menulis
201
tentang pendidikan akhlak, Al-Ghazali memulai dengan menerangkan tujuan yang hendak dicapai, dengan dibimbing alam fikiran murni dan realistis berdasarkan wahyu dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Demikian pula dalam pembinaan kurikulum untuk para siswa, Al-Ghazali tidak melaksanakannya secara sembarang, melainkan sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan akhlak yang telah dia letakkan sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak yang telah dia gariskan. Ia mengklasifikasi, membagi, dan menilai ilmu-ilmu serta meletakkannya pada derajat hirearki berdasarkan seleksi yang ia tetapkan ditinjau dari kegunaannya bagi murid dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Dengan mengkaji bahan pelajaran yang diungkapkan Al-Ghazali, diperoleh
gambaran
adanya
kurikulum
pendidikan
akhlak
yang
komprehensif, cocok untuk setiap jenjang pendidikan, baik dasar, menengah, ataupun tinggi. Imam Al-Ghazali menerangkan materi-materi pendidikan akhlak yang harus dikuasai di dalam kitab-kitab beliau yaitu kitab Ayyuhal Walad, kitab Bidayatul Hidayah, kitab Minhajul Abidin, kitab Mukasyafatul Qulub, dan kitab Ihya’ Ulumuddin. . Dari kitab-kitab tersebut dijelaskan bahwa materi pendidikan akhlak yang dirumuskan Al-Ghazali mencakup dua hal, pertama pandangan religius dan kedua pandangan realistis yang memperhatikan aspek kemanfaatan karena Imam Al-Ghazali juga memperhatikan akhlakakhlak yang berhubungan dengan keduniaan.
202
Pendidikan akhlak adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (cipta, rasa, karsa) dan jasmani (panca indra serta keterampilan). Apabila pendidikan akhlak itu berjalan dengan baik, lancar serta sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, maka hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya program dan keseriusan, maka hasilnyapun akan mengecewakan. Melalui pendidikan akhlak para pendidik Islam menghasilkan pribadi-pribadi yang kelak menjadi pendidik pula, menyebarkan akhlak Islam kepada generasi yang akan datang. Materi pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali tetap berjalan, berkembang dan maju sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap tak terbawa arus oleh gejolak-gejolak zaman. Pendalaman tentang pendidikan akhlak yang dipelajari oleh para murid memerlukan adanya pemahaman dan pengamatan yang mendalam pula, kemudian Imam AlGhazali
menyusun
materi pendidikan akhlak
yang tidak
hanya
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek kognitif saja, melainkan juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan aspek afektif dan psikomotor. Pelaksanaan hal ini memang diperlukan usahausaha yang besar dan serius. Ilmu memang tidak mudah didapat tapi bila sudah dapat melaksanakannya banyak manfaat yang diperoleh.
203
ANALISIS RELEVANSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK DI ERA MODERN
Salah satu yang bisa memancing perhatian umat Islam adalah tokoh pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat genius dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dalam mengungkap permasalahan, dan ternyata beliau mampu menyelesaikan pertentanganpertentangan intelektual pada masanya serta mampu melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan akhlak yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan akhlak, ia pula memikirkan soalsoal pendidikan akhlak, dan mempraktikkan pemikiran-pemikirannya. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak mempunyai relevansi dengan kehidupan pada masa sekarang atau relevan jika diimplementasikan pada masa sekarang. Banyak aspek atau sudut pandang yang bisa digunakan untuk melihat relevansi pemikiran Imam Al-Ghazali di era kekinian. Aspek-aspek tersebut yaitu :
204
1. Aspek Tujuan Pendidikan Akhlak Pada aspek tujuan pendidikan akhlak, menurut penulis, Imam Al-Ghazali menggariskan tujuan pendidikan akhlak adalah semata-mata untuk meraih ridho Allah SWT. Tujuan ini mencerminkan tauhid yang kuat. Tidak ada agama yang paling sesuai pada masa sekarang melainkan agama Tauhid, yaitu agama Islam. Tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Al-Ghazali sangat menguatkan tauhid. Tidak ada tujuan lain dalam menempuh pendidikan akhlak selain untuk meraih ridho Allah SWT. Bukan untuk meraih popularitas, bukan pula untuk meraih kedudukan, bukan untuk meraih jabatan, bukan untuk meraih kekayaan, melainkan semata-mata untuk meraih ridho Allah SWT. Ini merupakan tauhid yang sangat jelas. Sehingga pada aspek ini, pemikiran Imam Al-Ghazali sangat relevan di era kekinian, karena agama tauhidlah, ajaran tauhidlah, ajaran yang menguatkan tauhidlah yang paling modern dalam sejarah peradaban umat manusia. Manusia dalam sejarahnya pernah menganut dinamisme, animisme, politeisme, sampai yang terakhir adalah monoteisme atau tauhid.Selain monoteisme atau tauhid adalah sesat,dan tauhid inilah yang paling modern dalam sejarah kehidupan umat manusia. Sehingga dalam hal ini, pemikiran Imam Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan akhlak yang menekankan tauhid sangatlah relevan di era kekinian. Hal lain yang menarik perhatian pengkaji pemikiran pendidikan akhlak Al-Ghazali ialah pemikiran Al-Ghazali tentang upaya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia menunjukkan pemikiran keagamaannya
205
bagi pencapaian kebahagiaan akhirat, tetapi pemikirannya yang bernuansa keduniaan untuk bekal akhirat
tidak
membuatnya silau terhadap
kebahagiaan dunia semata. Ia berpandangan bahwa kebahagiaan duniawi mungkin dapat dicapai melalui jalan kehidupan yang utama, mensucikan jiwa dari kotoran-kotoran dan bergaul dengan baik bersama sesama manusia. Menurut
Al-Ghazali, kebahagiaan duniawi dikaitkan dengan
menjauhkan diri dari materialistik, tanpa mengesampingkan aspek kegunaan dalam kehidupan. Ia menasihatkan, hendaknya guru mengajarkan ilmu-ilmu yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya. Umpamanya ilmu kedokteran, ilmu matematika, dan berbagai ilmu teknologi. Di sini tampak Al-Ghazali memperhatikan aspek-aspek kegunaan yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia. Fathiyah Hasan Sulaiman berpendapat bahwa Imam Al-Ghazali dalam menyusun sistem pendidikan akhlaknya, mengarah kepada satu tujuan, yaitu Allah SWT. Tujuan dapat dicapai melalui taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT hingga menjadi insan kamil yang membuat manusia berbahagia di dunia dan di akhirat.Imam Al-Ghazali tidak mengabaikan urusan-urusan keduniaan. Beliau telah mempersiapkan urusan-urusan ini dalam sistem pendidikan akhlaknya. Beliau meletakkan urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya sebagai alat untuk mencapai
206
kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia. 1 Sama dengan Fathiyah, Majid Irsan Al-Kilani pun berpendapat bahwa Imam Al-Ghazali memandang bahwa menuntut ilmu harus dengan tujuan ikhlas, yaitu mencari ridha Allah SWT. Menurut Majid Irsan AlKilani, Imam Al-Ghazali telah melakukan sebuah perubahan revolusioner di dalam dunia pendidikan. Di dalam berbagai karyanya, Imam Al-Ghazali membongkar penyakit-penyakit pemikiran di dalam masyarakat. Pada masa Imam Al-Ghazali, penyakit-penyakit pemikiran itu berupa banyaknya pertikaian antar madzhab, maraknya perdebatan seputar hal-hal yang sepele, melupakan hal-hal yang pokok, kecenderungan ilmuwan atau ulama untuk dekat dengan pusat kekuasaan yang dzolim yang menyebabkan rusaknya tujuan mencari ilmu, dari mencari keridhoan Allah SWT menjadi mencari kemegahan dunia. Analisis Al-Kilani menyimpulkan bahwa kemenangan umat Islam dalam perang salib dengan tokoh sentralnya Sholahuddin AlAyyubi bukanlah kemenangan yang datang dengan tiba-tiba, melainkan merupakan sebuah proses panjang yang dimulai dari masa Imam AlGhazali. Proses situ berupa mengobati berbagai penyakit pemikiran yang ada di dalam masyarakat. Pengobatan berbagai penyakit pemikiran yang ada di dalam masyarakat saat itu dilakukan oleh Imam Al-Ghazali dan Syekh Abdul Qodir Al-Jilani. Imam Al-Ghazali dan Syekh Abdul Qodir Al-Jilani merupakan tokoh kunci dalam pemberantasan berbagai kerusakan 1
Prof. Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu, (Bandung : CV Diponegoro, 1986), hlm. 31
207
pemikiran di masyarakat. Mereka berdua bekerja sama memperbaiki masyarakat, hingga lahirlah masyarkat baru. Masyarakat baru tersebut kemudian dipimpin oleh Sholahuddin Al-Ayyubi untuk menghadapi tentara Kristen dalam Perang Salib. Kemudian, masyarakat baru di bawah kepemimpinan Sholahuddin Al-Ayyubi tersebut berhasil secara gemilang merebut kembali Palestina dari tangan penguasa Kristen pada tahun 1187.2 Menurut Sholeh Ahmad Asy-Syami, ada banyak ulama yang mendukung Imam Al-Ghazali. Di antaranya adalah Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Imam Haromain, Ibnul Jauzi, Ibn Ahmad Al-Hanbali, Syekh AlMaraghi. Adz-Dzahabi berkata : “Dialah syekh Imam yang ilmunya mensamudera, hujjatul Islam. Keajaiban yang pernah dimiliki zaman, hiasan agama, melahirkan karya monumental dengan kecerdikan yang luar biasa.” Ibnu Katsir berkata : “Dia menguasai banyak sekali ilmu, melahirkan karya yang sangat banyak dalam berbagai disiplin keilmuan, sehingga dengan kecerdasannya menjadi yang terdepan dalam membicarakan persoalan apa pun.” Imam Haromain berkata : “Dia adalah bahtera yang mensamudera. Ibn Jauzi berkata : “Al-Ghazali mengarang kitab yang sangat baik, sangat sistematis, dan jelas.” Ibn Ammad Al-Hanbali berkata :“Saya tidak pernah menemukan orang yang luar biasa seperti dia” Al-Maraghi berkata : “Jika disebutkan nama para ulama, maka pandangan akan mengarah kepada spesifikasi kepakaran ilmu yang digelutinya. Ketika disebut nama Ibnu Sina
2
Muntasir LD. Kebangkitan Islam : Belajar Dari Kasus Perang Salib, aci110111.blogspot.co.id/2014/04/kebangkitan-islam-belajar-dari-kasus.html dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015
208
atau Al-Farabi, maka yang terlintas di benak adalah seorang filosof agung yang pernah Islam miliki. Jika disebut nama Ibnu Arabi yang terlintas adalah seorang sufi besar yang pendapatnya sebagian harus diseleksi. Jika disebutkan Bukhari Muslim dan Ahmad yang terlintas adalah orang yang kuat hapalannya, jujur, terpercaya. Dan bilamana Al-Ghazali yang disebut, maka yang terlintas adalah seorang ulama ushul yang cerdas dan pandai, ahli fiqih yang tidak fanatik, Imam pembela Teologi Ahlussunnah Wal Jama’ah, pakar ilmu alam dan kejiwaan, seorang filosof ulaung atau seorang yang dapat menghancurkan filsafat (sesat) itu sendiri, ahli pendidikan, sufi yang zuhud.”3 Habib Muhammad Luthfi bin Yahya mengatakan bahwa pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak yang tertuang dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah langkah awal bagi penuntut ilmu untuk menimba ilmu tentang pendidikan akhlak. 4 Tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali ternyata terserap ke dalam jiwa manusia-manusia Indonesia hingga masyarakat Indonesia melalui
wakil-wakil
rakyatnya
menyusun
Undang-Undang
Sistem
Pendidikan Nasional yang berisi fungsi dan tujuan pendidikan yang tidak bertentangan dengan apa yang menjadi pemikiran Imam Al-Ghazali. Disebutkan di dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak 3
Abdul, Ismail, Husni, Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali, dikutip pada ismailsyak.blogspot.co.id/2012/11/pemikiran-pendidikan-islam-al-ghazali.html, tanggal 31 Agustus 2015 4 Muhibbin, Malam Rabu Bersama Habib Luthfi, www.muhibbin.com/2015/03/malamrabu-bersama-habib-luthfi-bin.html/, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015
209
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal itu berarti sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali yang menekankan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia yang diridhoi Allah SWT atau melaksanakan pendidikan akhlak untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali tidak hanya digunakan untuk pendidikan akhlak di masa Imam Al-Ghazali tetapi juga digunakan di masa sekarang, era modern. Jadi, dalam hal ini, tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah relevan dengan tujuan pendidikan akhlak di era modern.
2. Aspek Metode Pendidikan Akhlak Aspek yang kedua adalah pada aspek metode pendidikan akhlak. Menurut penelitian penulis, Imam Al-Ghazali tidak mengharuskan pendidik untuk
menggunakan
metode tertentu
dalam
melaksanakan
proses
pendidikan akhlak. Akan tetapi, Imam Al-Ghazali mempersilakan pendidik menggunakan metode apa pun selama pendidik memenuhi prinsip kasih sayang terhadap peserta didik. Dengan demikian, metode pendidikan akhlak dalam perspektif pemikiran Imam Al-Ghazali sangat beragam, yaitu :
210
metode keteladanan, metode pembiasaan, metode bercerita, metode pemberian tugas, metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab, dan metode-metode lainnya. Metode pendidikan akhlak yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali sangat beragam dan fleksibel. Keberagaman dan fleksibilitas penggunaan metode inilah yang menempatkan pemikiran pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali pada barisan pemikiran-pemikiran yang relevan dalam kehidupan manusia sekarang ini. Karena, di zaman modern sekarang ini, fleksibilitas penting dilakukan mengingat semaikin beragamnya manusia ditinjau dari latar belakangnya, karakteristiknya, permasalahannya yang membutuhkan metode-metode yang beragam pula. Karya Al-Ghazali menyingkapkan bahwa sebelum menjadi seorang penulis, terlebih dahulu ia menjadi seorang yang banyak bekerja dalam praktek kehidupan. Pandangan-pandangannya tampak bersumber kepada kebersihan hidupnya, dari kearifan yang ditimbanya, dari pengalamannya yang luas, serta berbagai problem kehidupan yang dihadapinya sepanjang hayatnya. Misalnya dalam pendidikan akhlak kepada anak, Al-Ghazali menganjurkan mula-mula dengan jalan menanamkan keyakinan, dan kemudian memantapkannya dengan penalaran yang berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an serta perenungan tentang maknanya. Al-Ghazali merasa yakin akan ketepatan metode ini atas dasar pengalaman kerjanya sepanjang masa kehidupannya yang didasari akhlak.
211
Al-Ghazali adalah seorang Imam agama dan ahli pendidikan akhlak. Di dalam mendidik anak, pertama-tama dia memperhatikan pendidikan akhlak dengan ilmu pengetahuan, pendidikan akhlak dengan ibadah dan pengenalan kepada Allah serta pendekatan diri kepadaNya. Perkara-perkara ini hanya akan dapat dicapai dengan jalan menanamkan dasar-dasar akhlak yang benar di dalam dada anak-anak semenjak masa pertumbuhannya. Alasannya ialah pada usia ini anak dalam keadaan siap untuk menerima aqidah-aqidah akhlak semata-mata atas dasar iman, tanpa meminta dalil untuk menguatkannya atau menuntut kepastian dan penjelasan. Ketika ia menginjak dewasa, sedikit demi sedikit makna ajaran akhlak tersebut akan tersingkap baginya. Jadi prosesnya dimulai dengan hapalan, diteruskan dengan pemahaman, pembenaran, dan pemantapan. Akhlak ini harus dimantapkan dan dikuatkan dalam jiwa anak dan orang awam, hingga meresap dan tak tergoyahkan. Pemantapan dan penguatan ini bukan dengan jalan mengetahui cara-cara berdebat dan berbicara, melainkan dengan membaca Al-Qur’an beserta tafsirnya dan Hadits
beserta
makna-maknanya,
serta
menyibukkan
diri
dengan
menunaikan kewajiban ibadah. Aqidah akan semakin meresap dengan mendengarkan dalil-dalil dan hujjah-hujjah Al-Qur’an, dengan menerima kesaksian dan faidah Hadits, dengan cahaya ibadah dan ketentuanketentuannya, juga dengan menyaksikan, menemani, dan mendengarkan cerita-cerita dan tingkah laku orang-orang sholeh dalam tunduk, takut, dan merendahkan diri kepada Allah SWT
212
Pandangan Al-Ghazali tentang metode pendidikan akhlak didasarkan atas sikap hidupnya sebagai seorang ulama dan seorang yang tekun beribadah. Dari pengalaman pribadinya di dalam hidup, dia menemukan bahwa cara untuk mencegah manusia dari kesangsian terhadap persoalan akhlak ialah keimanan kepada Allah, menerima dengan jiwa yang jernih akan aqidah yang benar pada usia sedini mungkin dan kemudian mengokohkannya dengan argumentasi-argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran Al-Qur’an serta Hadits-hadits secara mendalam disertai ketekunan dalam beribadah. Al-Ghazali telah memberikan perhatiannya yang besar kepada pendidikan akhlak. Dia banyak menulis tentang masalah ini. Di antara tulisannya yang paling penting tentang pendidikan akhlak adalah bahwa dia mengumpamakan jiwa manusia seperti tubuh manusia itu sendiri. Apabila tubuh manusia itu sehat, teratur, dan seimbang, maka tubuh itu pun akan sehat dari penyakit-penyakit. Tapi apabila salah satu anggota tubuh itu sakit atau cedera, maka seluruh tubuh akan kehilangan keseimbangannya dan menjadi sakit. Demikian pula halnya dengan akhlak. Keseimbangan akhlak dan sifat manusia menunjukkan bahwa jiwanya sehat. Sebaliknya, penyimpangan akhlak menunjukkan bahwa jiwanya sakit. Dengan menghilangkan penyakit dari tubuh manusia, maka tubuh itu akan sembuh dan sehat. Demikian juga dengan menghilangkan penyakit dari jiwa manusia, menghilangkan kotoran-kotoran jiwa, mensucikan jiwa dari
213
gejolak-gejolak buruk, maka jiwa itu akan sembuh dari berbagai penyakitnya Al-Ghazali
mengatakan,
bahwa
penyembuhan
badan
memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macammacam penyakitnya, dan tentang cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan pendidikan akhlak. Keduanya memerlukan pendidik yang tahu tentang tabiat dan kelemahan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru dan pendidik akan merusak akhlak muridnya. Sesungguhnya setiap penyakit mempunyai obat dan cara penyembuhannya. Al-Ghazali
berpendapat
bahwa
anak
dilahirkan
dengan
membawa fitrah yang sehat dan seimbang. Kedua orang tuanya lah yang menjaga fitrah itu dengan memberikan pendidikan akhlak kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat-sifat buruk dari lingkungan yang dihidupinya, dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanya, dan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna. Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan akhlak yang ditunjang dengan makanan bergizi. Demikian pula halnya dengan tabi’at yang difitrahkan kepada anak, yang merupakan pemberian Sang Khaliq kepadanya. Tabiat ini dalam keadaan berkekurangan dan mungkin dapat
214
disempurnakan serta diperindah dengan pendidikan yang baik yang oleh Al-Ghazali dipandang sebagai salah satu proses yang penting. Al-Ghazali tidak menganjurkan penggunaan satu metode saja. Dia menganjurkan agar guru memilih metode pendidikan akhlak sesuai dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap, dan daya tolaknya, sejalan dengan situasi kepribadiannya. Dengan ini, Al-Ghazali memperhatikan masalah perbedaan individual di dalam melaksanakan pendidikan akhlak. Al-Ghazali mengemukakan
pendapatnya yang pada saat ini
dipandang sebagai pendapat terbaru dalam pendidikan akhlak modern. Ia telah menganjurkan agar perbedaan indivudu ikut diperhatikan dalam pengajaran. Dari sinilah tampak oleh kita pentingnya aliran pendidikan akhlak Al-Ghazali. Al-Ghazali tidak lupa merinci akhlak dan tingkahlaku yang baik serta tatacara berperilaku. Dia tidak hanya menasihatkan pendidikan akhlak bagi anak agar anak berakhlak, bertabiat, dan beradat sebagai individu, tetapi juga meletakkan dasar-dasar untuk diterapkan dalam bergaul dengan sesama manusia. Dengan kata lain, dia juga memperhatikan pendidikan sosial. Al-Ghazali mengingatkan orang tua dan pendidik agar memperhatikan kepentingan bermain anak. Dia menjelaskan bahwa bermain mempunyai nilai sebagai alat pembantu di dalam mendidik anak. Permainan digunakan
sebagai
alat
untuk
mengekspresikan
fitrah
anak
dan
mengimbangi kejenuhan serta kesusahan bagi anak ketika belajar. Jelas
215
sekali bahwa perkataan Al-Ghazali ini menjadi bibit pemikiran pendidikan akhlak modern. Permainan dipandang sebagai salah satu alat pendidikan akhlak, bukan hanya alat meraih kesenangan. Ini merupakan benih-benih pemikiran yang sesuai dengan pemikiran pendidikan akhlak modern. 5 Pemikiran Al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara tabiat-tabiat manusia itu ada yang lebih kuat serta lebih mudah mengarahkan dari yang lain. Pandangan Al-Ghazali tentang tabiat seperti itu sejalan dengan pandangan pendidikan akhlak modern yang membeda-bedakan berbagai tabiat fitriah ditinjau dari sudut kekuatannya serta kemungkinannya untuk mengarahkannya. 6 Pandangan Al-Ghazali yang menjadi bibit-bibit pemikiran pendidikan akhlak modern yang lain adalah pandangannya tentang tingkattingkat perkembangan manusia. Pemikiran Al-Ghazali menerangkan bahwa tabiat-tabiat fitrah mencapai derajat intensitas dan kejelasan tertentu pada fase-fase tertentu dari fase pertumbuhan individu.7 Selain itu, Al-Ghazali jug menandaskan betapa pentingnya guru memahami tabiat murid secara psikologis. Menurut pandangannya, pemahaman guru tentang dimensi psikis muridnya adalah suatu syarat mutlak. Pemahaman ini akan menolong guru dalam memilih metode yang sebaiknya digunakan untuk mendidik anaknya. Pandangan ini menjadi bibit pendidikan akhlak modern yang mengatakan bahwa pengkajian psikologi 5
Prof. Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu, (Bandung : CV Diponegoro, 1986), hlm. 82 6 Ibid, hlm. 83 7 Ibid, hlm. 84
216
termasuk salah satu tuntutan penting dalam mempersiapkan guru dengan sebaik-baiknya.8 Hasan Langgulung berpendapat bahwa pandangan Al-Ghazali mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi). Pemikiranpemikirannya tentang kejiwaan dalam Islam kalau dikaji secara mendalam akan sampai pada kesimpulan bahwa ia adalah psikolog muslim terbesar. Pengaruhnya dalam psikologi dan pemikirannya tentang pembagian jiwa dan fungsi dalam psikologi mempengaruhi psikologi modern.9 Prof. Dr. Zakiah Darajat pun berpendapat demikian, bahwa pemikiran Al-Ghazali tentang kejiwaan sejalan dengan ajaran Islam tentang kejiwaan. Dia menyimpulkan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau psikolog agung yang karya-karyanya tentang ilmu jiwa bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits. 10 Para pendidik di era modern menganggap pandangan Al Ghazali sebagai pandangan yang sehat. Pandangan beliau tersebut adalah bahwa penggunaan ganjaran dan hukuman haruslah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan akhlak dan digunakan secara wajar. Ia menandaskan betapa pentingnya untuk tidak berlebihan dalam menghukum anak. Ia tidak pula menyetujui terlalu banyak mencela dan membeberkan keburukan anak sebagai hukuman baginya atas perbuatannya yang salah. Pengalaman
8
Ibid, hlm. 84 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : AlMa’arif, 1980), hlm. 132 10 Zakiah Daradjat, “Aspek-aspek Psikologi Dalam Karya Al-Ghazali, Makalah yang disampaikan pada symposium tentang Al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKS Perg.Tinggi Islam Swasta Indonesia di Jakarta, 26 Januari 1985, hlm. 8 9
217
menunjukkan bahwa berbagai masalah psikologis dan kegagalan hidup yang diderita manusia banyak disebabkan oleh karena orang-orang yang bertanggung jawab dalam mendidik anak terlalu banyak mencela mereka bila berbuat salah, di samping bisa menghambat kemauan keras mereka yang lamban di dalam menangkap pelajaran, bisa juga disebabkan karena mereka puas dengan keburukan yang selalu dialamatkan kepada mereka.11 Adanya ganjaran dan hukuman
ini adalah pendekatan
behavioristik dalam pendidikan akhlak. Namun pendekatan behavioristik gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Di samping itu, Al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa Al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi,
11
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu, (Bandung : CV Diponegoro, 1986), hlm. 85
218
yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya. Imam Al-Ghazali termasuk tokoh pendidikan akhlak yang yakin bahwa sifat-sifat dan tabiat-tabiat manusia pada umumnya hasil interaksi antara tabiat-tabiat fitrah dengan faktor-faktor lingkungan sekitar. Dalam pandangan ini, tampak betapa kuatnya pandangan Imam Al-Ghazali tentang kemungkinan dilaksanakan pendidikan akhlak, seperti memperbaiki, menyempurnakan, dan mendidik akhlak individu dan mensucikan jiwa mereka. Dengan latihan, tabiat binatang pun dapat diubah, sehingga binatang yang buas menjadi jinak, apalagi manusia. Tabiat manusia lebih memungkinkan dan lebih mudah untuk dirubah dan dibina. Dilihat dari kemungkinan untuk dididik, Al-Ghazali membagi manusia menjadi empat macam, yaitu manusia yang mudah untuk dididik akhlaknya, manusia yang agak sulit, manusia yang sulit, dan manusia yang sangat sulit untuk dididik akhlaknya. Tingkat kesulitan ini dipengaruhi oleh seberapa kuatnya pengaruh lingkungan buruk yang mempengaruhi pribadi peserta didik. Dalam kupasannnya yang luas tentang tabiat manusia, Imam Al-Ghazali juga mengemukakan bahwa sebagian tabiat itu ada yang dibawa sejak lahir dan ada pula yang terbentuk sejalan dengan bertambahnya usia pada
tingkat-tingkat
pertumbuhan
tertentu.
Pandangan
ini
pun
menampakkan unsur-unsur pendidikan akhlak modern yang menerangkan bahwa tabiat-tabiat fitrah mencapai derajat intensitas dan kejelasan tertentu pada fase-fase tertentu dari fase pertumbuhan individu.
219
Oleh karena itu, pendidikan akhlak harus diperhatikan sejak anak baru lahir. Pendidikan akhlak yang sangat penting ini diberikan sejak anak masih suci. Jiwanya yang suci bagaikan mutiara yang indah dan halus, bagaikan kertas yang bersih dari segala kotoran. Ia bagaikan kanvas bersih yang siap menerima segala lukisan yang akan dilukiskan kepadanya. Ia bisa condong kepada apa saja yang dicondongkan kepadanya. Pemikiran Al-Ghazali tentang makna serta upaya pendidikan akhlak dalam rangka perbaikan individu dan masyarakat ternyata paralel dengan pola pemikiran para filosof dan pendidik serta ahli sosial, baik yang hidup sebelum dia maupun sesudahnya. Masing-masing berkeyakinan bahwa pendidikan akhlak yang benar, yang berakar pada kebenaran, yang tentu saja kebenaran itu adalah berasal dari Allah SWT yang diturunkan kepada para Rasulnya dan yang terakhir adalah Rasul Muhammad SAW adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki individu-individu yang selanjutnya menjurus kepada perbaikan masyarakat. Begitu pula pendidikan akhlak dalam perspektif Imam AlGhazali sangat relevan dengan kehidupan sekarang bila dilihat dari teori konvergensi yaitu teori yang menggabungkan antara teori nativisme (teori yang mengatakan ahwa anak membawa bakat dari orang tuanya) dan teori empirisme (teori yang mengatakan bahwa anak dipengaruhi oleh lingkungannya). Imam Al-Ghazali termasuk tokoh pendidikan yang menganut teori tabularasa atau teori kertas putih di mana Imam Al-Ghazali mengikuti sabda Nabi Muhammad SAW bahwa setiap anak dilahirkan
220
dalam keadaan fitrah beragama Islam dan mempunyai potensi akhlak, orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Artinya, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Jiwanya yang suci bagaikan kertas yang bersih dari segala kotoran.Ia siap menerima segala lukisan yang dilukiskan kepadanya. Ia bisa condong kepada apa saja yang dicondongkan kepadanya. Maka orang-orang di sekitarnya lah yang turut membentuk akhlakul karimah anak yang masih suci tersebut. Apabila lingkungan pendidikan akhlaknya baik, tentu kesuciannya, kefitrahannya tetap terjaga, tetapi apabila lingkungan pendidikannya buruk, tentu kesucian dan kefitrahannya akan ternodai. Jadi, jelaslah, jika ditinjau dari aspek metode, pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan akhlak ini sangat relevan diimplementasikan pada zaman sekarang. Secara umum, Al-Ghazali dapat dipandang sebagai salah seorang filosof yang telah meletakkan dasar serta sistem pendidikan akhlak yang universal, memiliki tujuan yang jelas dan metode yang mantap. Pemikiran Al-Ghazali tentang metode pendidikan akhlak ternyata terwadahi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu UU. No. 14 Tahaun 2005 tentang guru dan dosen. Terdapat kesamaan persepsi dan pandangan antara UU No. 14 Tahun 2005 dengan pemikiran Al-Ghazali, di mana dalam undang-undang tersebut secara tegas dinyatakan bahwa tenaga pendidik (guru dan dosen) merupakan suatu profesi yang harus melaksanakan tugasnya secara profesional. Dalam pandangan AlGhazali,
pendidik
merupakan orang
yang
berusaha
membimbing,
221
meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya: “Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya” Dengan demikian, dalam pandangan Al-Ghazali, pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam
bidang
yang
diajarkan
yang
tercermin
dalam
kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu: (1). Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang. (2). Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah. (3). Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT. (4). Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid di depan umum. (5). Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya. (6). Menghargai perbedaan
222
potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu. (7). Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya. (8). Berpegang teguh pada prinsip
yang diucapkannya dan berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam UU No. 14 Tahun 2005, pendidik adalah orang yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Profesional yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut bahwa seorang pendidik (guru dan dosen) sekurang-kurangnya harus memiliki kompetensi, yaitu; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dengan demikian, apa yang telah dirumuskan oleh Al-Ghazali terkait hakikat pendidik dan kriteria-kriteria pendidik yang baik sangat relevan dengan konteks kekinian sistem pendidikan nasional termasuk sistem pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam sebagai bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional, terutama dalam konteks menghadapi tantangan masa depan dalam lingkup global.
223
3. Aspek Materi Pendidikan Akhlak Aspek yang ketiga adalah materi pendidikan akhlak. Di dalam kitab-kitabnya, Imam Al-Ghazali menguraikan materi-materi pendidikan akhlak yang harus dikuasai oleh peserta didik. Tentu materi pendidikan akhlak tidak hanya dikuasai secara kognitif saja, tetapi juga secara afektif dan psikomotorik. Mengetahui akhlak-akhlak yang baik saja belumlah cukup, tetapi harus ditambah selain mengetahui juga mengamalkan akhlakakhlak yang baik. Akhlak-akhlak yang baik diuraikan panjang lebar oleh Imam AlGhazali di dalam kitab-kitabnya, yaitu kitab Ayyuhal Walad, kitab Bidayatul Hidayah, kitab Minhajul Abidin, kitab Mukasyafatul Qulub, dan kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab Ihya Ulumuddinlah yang paling banyak memuat ajaran-ajaran tentang akhlakul karimah. Akhlak yang baik tersebut dilihat dari kacamata pemikiran-pemikiran modern sangat relevan bila diterapkan di era sekarang karena akhlak-akhlak yang baik yang ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali adalah akhlak-akhlak yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang mana berlaku sepanjang zaman sejak pada masa Nabi Muhammad SAW sampai dengan kelak pada hari kiamat. Akhlak Nabi Muhammad SAW bersifat komprehensif, universal, dan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kapan saja, di mana saja, dalam keadaan bagaimana saja, sejak dari lahir sampai meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak yang disusun oleh Imam Al-Ghazali sangatlah relevan bila diterapkan di era sekarang karena
224
Imam Al-Ghazali mengambil rujukan kepada akhlak Nabi Muhammad SAW. Secara panjang lebar, Al-Ghazali berbicara tentang macammacam keburukan yang mungkin mengotori akhlak anak dan cara menanggulanginya. Al-Ghazali mengupas berbagai cacat akhlak serta cara memperbaikinya. Kita melihat cara perbaikan yang telah digambarkan oleh Al-Ghazali itu didasarkan atas pengekangan kehendak sesuatu, atas merendahkan diri dan atas melatih anak dalam mengekang diri serta menanggung derita. Dengan demikian, anak dapat terbiasa mengekang nafsu dan syahwatnya. Al-Ghazali mengemukakan bahwa pendidikan anak termasuk perkara yang sangat penting. Dikatakannya bahwa anak adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang suci ibarat permata berharga yang masih bersahaja, belum digosok dan dibentuk. Hati ini sensitif terhadap berbagai pengaruh dan cenderung meniru segala yang dekat kepadanya. Oleh karena itu, apabila hati dibiasakan dan diajar untuk selalu berbuat baik, niscaya ia akan tumbuh di atas kebaikan, serta akan bahagia di dunia dan akhirat. Maka kedua orangtuanya pun akan kebagian pahala, begitu pula guru dan pendidiknya. Tetapi, jika anak dibiasakan untuk berbuat dosa, maka orangorang yang bertanggungjawab dalam mendidiknya akan menerima dosanya Dengan mengkaji bahasan tentang pendidikan akhlak
yang
digambarkan Al-Ghazali, tampak dengan jelas betapa Al-Ghazali seperti menghindari perkara keduniaan, berhias, bersolek, berharum-haruman yang
225
berlebih-lebihan. Bahkan bahasannya tentang pendidikan akhlak sejalan dengan pegangan yang kokoh orang-orang sholeh seperti zuhud, qana’ah, haya’, tawadhu’. Di sini, pandangan akhlaknya yang murni tampak dengan jelas. Pandangan inilah yang membuat Al-Ghazali cenderung kepada kehidupan kerohanian, berzuhud, mengenyampingkan perkara-perkara keduniaan semata. Pandangannya ini pula yang mendasari cara mendidik anak dengan sifat-sifat tersebut di atas, yang merupakan bagian dari pendidikan akhlaknya. Setelah menerangkan cara penyembuhan beberapa penyakit jiwa, Al-Ghazali mengatakan bahwa dia tidak mungkin menerangkan cara mengatasi seluruh kekurangan dalam bidang akhlak. Maka, dia membatasi diri pada langkah-langkah umum yang bisa dijadikan petunjuk oleh orangtua atau guru atau pendidik dalam rangka memperbaiki kepincangan akhlak anak. Langkah-langkah ini berkisar pada upaya untuk tidak menuruti keinginan dan kesenangan nafsu yang kadang-kadang mendorong anak untuk mengikuti perilaku buruk. Lebih dari itu, Al-Ghazali menasihatkan, hendaknya pendidik atau orang tua benar-benar mengendalikan setiap keinginan anak. Dengan kata lain, secara umum dapat dikatakan bahwa nasihat Al-Ghazali di dalam mendidik tingkah laku adalah mengekang keinginan dan hawa nafsu serta anjuran untuk berbuat sebaliknya. Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidik harus memperhatikan keseimbangan dan
226
kemantapan dalam mendidik akhlak anak. Berkenaan dengan apa yang mungkin dilakukan oleh pendidik untuk mencapai keseimbangan dan kemantapan dalam mendidik akhlak anak, Al-Ghazali menganjurkan kepada para pendidik bahwa pendidik harus selalu melihat penyakit peserta didik yang akan disembuhkan. Apabila yang dihadapinya itu penyakit bakhil, yaitu penyakit yang membinasakan dan menjauhkan diri dari Allah, maka cara yang digunakan adalah menafkahkan harta. Akan tetapi kadang-kadang menafkahkan harta ini terperosok sampai tahap pemborosan, dan pemborosan ini pun merupakan suatu penyakit. Jadi bagaikan orang yang hendak mengatasi dingin dengan panas, sehingga apabila panasnya itu berlebihan, maka akan menjadi penyakit pula. Maka yang diharapkan ialah diupayakannya
tercapainya
keseimbangan
antara
pemborosan
dan
kebakhilan, sehingga tidak termasuk ke dalam kutub yang berlawanan. Jika pendidik ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan kesimbangan, maka perhatikanlah
perbuatan yang ditimbulkan oleh akhlak yang akan
disembuhkan itu. Apabila perbuatan itu lebih mudah dan lebih enak peserta didik rasakan dibanding dengan perbuatan yang sebaliknya, maka peserta didik telah dikuasai oleh perbuatan itu. Seperti apabila menahan dan menimbun harta lebih enak dan lebih mudah bagi anda dibanding dengan menafkahkannya kepada orang yang berhak menerimanya, maka ketahuilah, bahwa saat itu peserta didik telah dikuasai oleh akhlak bakhil, dan oleh karena itu berlatihlah untuk rajin menafkahkan harta. Kemudian, apabila menafkahkan harta kepada orang yang tidak berhak menerimanya lebih
227
enak dan ringan bagi peserta didik dibanding menafkahkannya kepada orang yang berhak menerimanya, berarti peserta didik telah dikuasai oleh sifat pemboros dan oleh karena itu, pendidik hendaknya menganjurkan peserta didik untuk rajin menahan harta Al-Ghazali menyuguhkan pendidikan akhlak yang bertumpu pada Al-Qur’an dan Hadits. Kitab-kitab beliau terutama Ihya Ulumuddin penuh dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Ajaran-ajaran akhlak seperti zuhud, ridha, tawakal, dan lain-lain diberinya landasan AlQur’an dan Hadits. Pemikiran pendidikan Al-Ghazali diresapi oleh umat Islam secara luas. Di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pemikiran-pemikiran pendidikan akhlak Al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikasi untuk hadir kembali. Dalam menjalani tauhid, Ia menyuguhkan konsep cinta (mahabbah), makhafah (takut), dan ma’rifah (pengetahuan). Menurut Al Ghazali, dalam menjalani tauhid, manusia harus menyatukan kemauannya, kehendaknya disatukan sama dengan kemauan dan kehendak Allah SWT. Manusia dalam bertauhid adalah dengan cara mencari keridhaan Allah SWT, melalui taubat, membersihkan diri dari dosa, zuhud yaitu tidak bergantung kepada selain Allah, tawakal yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah, ridha yaitu rela terhadap keputusan Allah, cinta kepada Allah yang diwujudkan juga dengan cinta kepada makhluk Allah, Kemudian ia mengerti dan mengenal Allah atau yang disebut ma’rifatullah. Ajaran-ajaran
228
akhlak yang seperti ini
yang terasa menyejukan di tengah masyarakat
modern yang kerap teraleniasi bagaikan oase di padang pasir. Para pendidik akhlak berpendirian bahwa pemikran Al Ghazali yang tertuang dalam kitab-kitab beliau adalah rujukan pokok
untuk
membentuk akhlak umat Islam. Telah sembilan ratus tahun Imam Al Ghazali meninggal dunia, tetapi ajaran akhlaknya masih tetap relevan. Hal itu dikarenakan : Pertama, Al Ghazali menghadirkan ajaran akhlak yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Kedua, tangga-tangga kehidupan akhlak yang dititi Imam Al Ghazali memberi pelajaran dalam proses penemuan kebenaran. Ketiga, kitab-kitab Al-Ghazali terutama Ihya Ulumuddin ditulis untuk mengurangi dosis serba formal dalam tubuh umat Islam. Keempat, pemikiran pendidikan akhlak Imam Al Ghazali bisa memberikan solusi terhadap kecenderungan masyarakat modern yang merasa terasing dan secara psikologis menderita dalam keterasingan itu.12 Al-Ghazali punya konsep tersendiri tentang hakikat manusia yang mana konsep tersebut sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad para ulama dan perkembangan zaman. Sementara, paham liberalisme lebih memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, manusia bisa melakukan apa saja yang disukainya tidak terikat oleh aturan-aturan atau moral agama. Salah satu tokoh aliran liberalisme adalah John Dewey.John Dewey. Berdasarkan filsafat liberalisme ini, muncullah berbagai paradigma tentang manusia, di antaranya yang dikembangkan oleh para psikolog Barat, seperti; 12
Abdul Muqsith Ghazali, Relevansi Tasawuf Al-Ghazali, ushuluddin.uinjkt.ac.id/?p=420 relevansi tasawuf al-ghazali, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015
229
aliran psikoanalisa. Freud yang memandang dasar manusia ditentukan “libido sex dan dorongan kematian atau agresi”. Aliran Behavioristik yang dipelopori oleh Skinner dan Watson, memandang bahwa tingkah laku manusia tidak lain hanyalah respon terhadap perangsang luar, ganjaran atau peneguhan. Sedangkan Al-Ghazali mendasarkan konsep pemikirannya tentang hakikat manusia pada wahyu Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah SAW. Pemikirannya pun tidak lekang dimakan zaman. AlGhazali memandang bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur rohani pun bisa dalam bentuk al-aql, al-qolbu, ar-ruh, annafs. Unsur jasmani akan hancur ketika manusia meninggal dunia, akan tetapi unsur rohani akan tetap hidup di alam barzakh setelah manusia meninggal dunia, dan dengan unsur rohani inilah manusia akan menerima pertanggungjawaban atas perbuatan manusia di dunia, sesuai ataukah tidak dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan pemahaman seperti itu, manusia tidak bisa bebas begitu saja berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus diselaraskan dengan kehendak Allah SWT yang mana kehendak Allah SWT selalu rahmatallillalamiin, memberi kasih sayang kepada semua makhluk. Dengan demikian, manusia yang memahami hakikat dirinya tentu tidak akan berbuat kerusakan di muka bumi seperti mabuk-mabukan, free sex, merampok, mencuri, membunuh, berbuat tindak kejahatan lainnya, sebaliknya berusaha memakmurkan bumi sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam,
230
Al-Ghazali yakin bahwa tidak ada kata-kata sia-sia untuk pendidikan, pembinaan, dan penanaman akhlak kepada masyarakat meskipun masyarakat tersebut telah merosot akhlaknya. Pendidikan akhlak Al-Ghazali tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Meskipun para sosiolog dan ilmuan Barat pernah meramalkan bahwa agama akan tergusur, bahkan lenyap oleh kemajuan sains dan teknologi, namun ternyata agama tak pernah lenyap dari panggung sejarah. Bahkan di kalangan ilmuwan sekuler (Barat), belakangan muncul upaya mendialogkan, atau mengintegrasikan antara agama dan sains. Al-Ghazali memiliki konsep pendidikan akhlak yang berbasis afektif dengan model pembelajaran keilmuan yang dapat memberikan kontribusi kesalihan dalam berfikir, berperasaan, dan berperilaku. Hasil pendidikan akhlak yang diharapkan adalah terwujudnya subjek didik yang cerdas memahami realitas hidup yang beranekaragam dalam kebersamaan, mencintai kedamaian keharmonisan, saling menghormati dan menghargai sebagai tuntutan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Gagasan tentang pendidikan afektif tersebut secara akademik dapat dibenarkan, karena koheren dengan arah pendidikan Islam yang mendukung terhadap pengembangan aspek spiritual dan intelektual subjek didik. Al-Ghazali menyeru pada akhlak, zuhud dan tawakkal, tetapi beliau tidak menyeru untuk mengabaikan kehidupan dunia, seperti bertani,
231
industri, kedokteran dan sebagainya. Karena itu, pendidikan akhlak dalam perspektif al-Ghazali adalah hal yang sangat urgen dalam mengembangkan sifat-sifat akhlakul karimah yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Menurut Al-Ghazali, pangkal kebahagiaan hidup di dunia dan akherat adalah ilmu, sehingga menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu merupakan amal yang terbaik. Di sinilah letak kemuliaan dan keutamaan ilmu pengetahuan menurut Al-Ghazali. Menurut beliau, ilmu yang tiada dapat memberikan manfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah sia-sia. Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara garis besar ke dalam kategori ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Yang termasuk dalam kategori ilmu fardhu ’ain adalah ilmu-ilmu agama atau Al’ulum Al -diniyah yang berasaskan prinsip-prinsip ketuhanan (wahyu) dan kenabian (sunnah) tanpa harus mempertimbangkan potensi akal dalam implementasinya, termasuk di dalamnya adalah ilmu pendidikan akhlak, dan yang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu-ilmu umum atau Al- ‘ulum Al ‘aqliyah (ilmu-ilmu intelektual) adalah ilmu yang diperoleh melalui pemikiran manusia semata seperti, matematika, logika, fisika dan ilmu alam. Meskipun Al-Ghazali telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, namun beliau tidak pernah mempertentangkan pendidikan akhlak dengan ilmu-ilmu yang bersifat aqliy (rasional) apa lagi mendikotomikannya. Hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa betapa pemikiran Al-Ghazali sangat
232
berkontribusi besar terhadap perkembangan pendidikan akhlak baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Begitu juga, bahwa pandangan Al-Ghazali di atas sangat relevan dengan konteks pembaharuan sistem pendidikan akhlak dewasa ini yang merupakan bagian integral dalam sistem pendidikan nasional, terutama terkait perannya sebagai instrumen strategis dalam membangun akhlak bangsa yang saat ini. Relevansi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan akhlak di era sekarang semakin jelas. Banyak ulama dan tokoh-tokoh pendidikan akhlak yang mengagumi beliau. Banyak pula di antara mereka yang menyusun kitab-kitab syarah dari kitab-kitab pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali. Di antara ulama yang memuji Imam Al-Ghazali adalah Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Imam Muhammad ibnu Yahya. Di kalangan tokoh pendidikan akhlak kontemporer, ada Abul Hasan Ali An-Nadawi yang mengatakan bahwa Imam Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang cemerlang, cendekiawan yang agung, serta tokoh reformasi yang telah berusaha membangun kembali konstruksi baru bidang pemikiran pendidikan akhlak. Tokoh-tokoh pendidikan akhlak kontemporer lain pengagum beliau adalah Musthofa Al-Maraghi (mantan Syaikh Al-Azhar), Abul A’la Al-Maududi, dan Ahmad Fuad Ahwani. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab pendidikan akhlak karya al-Ghazali seperti Bidayah Al-Hidayah, Minhaj Al-Abidin, hingga kitab Ihya Ulum Ad-Din. Kitab Bidayah Al-Hidayah mendapatkan kedudukan khusus di kalangan santri
233
yunior (mubtadi), kitab Minhaj Al-Abidin menjadi bahan kajian santri setengah senior (mutawassith), dan kitab Ihya Ulum Ad-Din mendapatkan perhatian pokok di kalangan santri senior (muntahi) dan para ustadz bahkan kiaipengasuh pondok pesantren. Para pendidik Islam dan pemangku pondok pesantren berpendirian bahwa tiga kitab itu adalah rujukan pokok untuk membentuk akhlak umat Islam. Di dalam kitab itu misalnya dijelaskan tentang tata cara hidup zuhd (asketik), wara’ (menjauhkan diri dari hal-hal yang diduga tak dikehendaki Allah), taubat, ridla (mencari kerelaan Allah), dan sebagainya. Itu sebabnya, seluruh pondok pesantren salaf di Jawa seperti berlomba untuk mengajarkan tiga kitab pendidikan akhlak itu pada para santri.13 Itu sebabnya, karya-karya Al-Ghazali mendapat elaborasi dan komentar dari para ulama setelahnya. Di antaranya yang paling monumental adalah karya Murtadha Az-Zabidi berjudul Itihaf As-Sadah Al-Muttaqinbi Syarh Asrar Ihya Ulum Ad-Din sebagai kitab syarah terhadap kitab Ihya Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali. Para ulama Nusantara tak ketinggalan ikut menerjemahkan dan memberikan syarah terhadap karya akhlak spiritual Imam Ghazali.Di antaranya, Abdusshamad Al-Palimbani (yang hidup dan aktif berkarya pada abad ke 18) misalnya menulis kitab Hidayah As-Salikin Fi Suluk Maslak Al-Muttaqin sebagai karya terjemahan berbahasa Melayu dari kitab Bidayah Al-Hidayah karya Imam Al-Ghazali, dan kitab Sair As-Salikin ila Ibadah Rabb Al-Alamin yang juga merupakan terjemahan berbahasa Melayu dari kitab Ihya Ulum Ad-Din.Bahkan, Al-Palimbani menulis buku 13
Abdul Muqsith Ghazali, Relevansi Tasawuf Al-Ghazali, ushuluddin.uinjkt.ac.id/?p=420 relevansi tasawuf al-ghazali, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015
234
khusus yang menjelaskan kelebihan dan keistimewaan kitab Ihya Ulum AdDin yang berjudul Fadhail Al-Ihya Li Al-Ghazali. Di samping Al-Palimbani, Kiai Ihsan Ibn Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri membuat kitab berbahasa Arab berjudul Siraj Ath-Thalibin (dua jilid) sebagai syarah terhadap kitab Minhaj Al-Abidin. Namun, di antara buku-buku syarah terhadap Bidayah Al-Hidayah karya Al-Ghazali yang paling populer di pesantren adalah Maraqi Al-Ubudiyah karya Syaikh Nawawi Banten. Karya-karya Imam Ghazali menyebar di seluruh dunia Islam. Tak hanya di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir, Maroko, melainkan juga di Asia tenggara. Secara agak berlebihan, ada yang berkata bahwa di kalangan Islam, Imam Ghazali adalah orang kedua setelah Rasulullah yang ajaranajarannya berpengaruh cukup luas. Fazlur Rahman berkata bahwa pengaruh Imam Ghazali tak terkirakan. Baginya, Imam Ghazali tak hanya membangun kembali Islam ortodoks dengan menjadikan akhlak sebagai bagian integralnya, melainkan juga ia merupakan pembaharu besar pendidikan akhlak.. Melalui pengaruhnya, pendidikan akhlak mendapatkan tempat di hati umat Islam. Bahkan, ada yang berkata bahwa popularitas Imam Al-Ghazali tak hanya berlangsung dalam umat Islam melainkan juga hingga non-Muslim. 14 Menurut HAMKA, karya-karya Al-Ghazali mendapat sambutan hangat dari para ulama. Bahkan tokoh Kristen yang bernama Ds Zwemmer berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW ada dua pribadi yang amat besar jasanya dalam menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena 14
Abdul Muqsith Ghazali, Relevansi Tasawuf Al-Ghazali, ushuluddin.uinjkt.ac.id/?p=420 relevansi tasawuf al-ghazali, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015
235
pengumpulan haditsnya, kedua Imam Al-Ghazali karena karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin.15 Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak dipuji-puji oleh para ulama, di antaranya adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Katsir, Imam Muhammad Bin Yahya.16 Selain itu, pemikiran Imam Al-Ghazali mendapat dukungan
dari Al-Imam Al-Faqih Al-Hafidz Abu Zakariyya
Muhyiddin An-Nawawi (Imam Nawawi Shohibul Majmu’ yang hidup dua abad setelah Imam Al-Ghazali), Quthbil Auliya’ As-Sayyid Abdullah AlAydrus, Al-Imam Al-Faqih Al-Hafidz Abul Fadhl Al-I’raqi, Al-Faqih Al‘Alamah Ismail Bin Muhammad Al-Hadhrami Al-Yamani, Jalaluddin AshShuyuthi, Murtadha Az-Zabidi. 17 Dari kalangan ulama pendidikan akhlak di era modern adalah Abul Hasan Ali An-Nadawi, Musthafa Al-Maraghi (mantan Syaikh Al-Azhar), Abul A’la Al-Maududi, Ahmad Fuad Ahwani. 18 Juga An-nawawi Al-Jawi ,Hasyim Asy’ari, Hamka, Habib Muhammad Luthfy Bin Yahya. Menurut Abul Hasan Ali An-Nadawi, seorang ulama besar kontemporer asal India Imam Al-ghazali adalah seorang pemikir yang cemerlang, cendekiawan yang agung, serta tokoh reformasi yang telah
15
Ismail Yakub, Ihya’ Al-Ghazali, (Semarang : CV Faizan, 1977), hlm. 15 Khairul Umam Thaib, Imam Al-Ghazali : Sebuah Telaah Tentang Metodologi Reformasi, pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/jan96/8.htm, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015 17 Qultu Man Ana, Pembelaan Singkat Atas Imam Al-Ghazali Dan Ihya Ulumudiin, http://singkirkankepalsuan.blogspot.co.id/2012/09/pembelaan-singkat-atas-imam-al-ghazali.html, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015 18 Khairul Umam Thaib, Imam Al-Ghazali : Sebuah Telaah Tentang Metodologi Reformasi, pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/jan96/8.htm, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015 16
236
berusaha membangun kembali konstruksi baru bidang pemikiran dalam dunia Islam khususnya bidang akhlak.19 Banyak kitab tentang pendidikan akhlak yang isinya memperjelas bahwa pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak masih relevan digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan akhlak di era sekarang. Di antaranya adalah kitab ta’lim muta’alim karya Imam Burhanul Islam Azzarnuji, kitab akhlakullibanin karya Al-Ustadz Umar Baradja, kitab adabul alim wal muta’alim karya K.H. Hasyim Asy’ari. Banyak buku tentang pendidikan akhlak yang isinya semakin menegaskan relevansi pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali dengan pendidikan akhlak di era kekinian. Di antaranya adalah ESQ karya Ary Ginanjar Agustian, buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu, buku Manajemen Qolbu karya Abdullah Gymnastiar, buku Percik-percik Kesufian dan Pelatihan Dasar Kepemimpinan (Leadership) karya Achmad Suyuti. Pendidikan akhlak di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di Indonesia pun mengadopsi dari ajaran-ajaran pendidikan akhlak Imam AlGhazali. Baik pendidikan akhlak kurikulum KTSP maupun pendidikan akhlak kurikulum 2013 banyak berisi ajaran-ajaran pendidikan akhlak Imam AlGhazali. Hal itu berlaku dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD/MI, kelas 7 sampai dengan kelas 9 SMP/MTs, dan kelas 10 sampai dengan kelas 12 SMA/MA. Hal itu dapat dilihat dari kurikulum-kurikulum, silabus-silabus dan buku-buku yang digunakan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. 19
Khairul Umam Thaib, Imam Al-Ghazali : Sebuah Telaah Tentang Metodologi Reformasi, pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/jan96/8.htm, dikutip pada tanggal 31 Agustus 2015