Pemikiran Politik Imam Khomeini Jurnal Ilmiah
Oleh : Elmira Alma 210000307
Program Studi Falsafah dan Agama Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina Jakarta
Pendahuluan Membahas suatu pemikiran politik sangat penting dilakukan mengingat bahwa manusia hidup dalam suatu negara berdaulat yang memiliki sistem politik tertentu di dalamnya. Ada banyak pemikir politik dalam dunia Islam. Politik memang sangat menarik perhatian setiap kalangan, tidak terkecuali kalangan Islam. Pemikiran politik telah menjadi persoalan yang paling banyak digeluti oleh kaum intelektual Muslim sejak awal abad ke20. Hal tersebut terjadi karena adanya perjuangan di kalangan rakyat Muslim di berbagai negeri untuk mendapatkan kemerdekaan politik dan kebebasan dari ketergantungan terhadap kekuatan-kekuatan Barat. Perjuangan tersebut hingga saat ini masih belum mencapai tujuan-tujuan yang dimaksud. Oleh karena itu pemikiran politik akan terus berkembang di kalangan kaum Muslimin hingga pada masa mendatang.1 Membahas pemikiran politik Imam Khomeini sangat penting untuk dilakukan terutama dalam pembahasan mengenai pemikiran politik Islam di dunia modern. Hal tersebut karena pemikiran Imam Khomeini disebut-sebut sebagai pembakar semangat umat Islam di seluruh dunia dalam mendirikan sebuah sistem politik yang sesuai dengan Syariah. Pemikiran politik Imam Khomeini menjadi perbicangan dunia saat pecahnya revolusi Islam Iran yang digawangi para ulama. Berbeda dengan revolusi industri atau revolusi ala Marxis yang justru jauh dari agama, revolusi Islam Iran justru menggunakan agama sebagai senjata utama pembakar semangat rakyat dalam melawan kediktatoran kerajaan Syah Reza. Untuk itu, kita perlu mengetahui siapakah tokoh penting dibalik revolusi Iran, latar belakang yang membentuk pemikiran politik tokohnya dan apa yang menjadi argumentasinya dalam menjalankan sistem pemerintahan Islam yang menggantikan sistem kerajaan yang telah bertahan sangat lama di Iran. Riwayat Hidup Imam Khomeini Ayatullah Ruhullah Al Musawi Al Khomeini yang biasa dikenal dengan nama Imam Khomeini lahir di provinsi Khomeini atau yang dulu dikenal dengan nama provinsi Kamareh pada tanggal 23 September 1902 (20 Jumadil Akhir). Ia adalah putra dari Sayyid Mustafa, seorang ulama besar yang meninggal dibunuh oleh tentara rahasia Syah Reza Pahlevi karena penentangannya kepada rezim tersebut. Sayyid Mustafa saat itu meninggalkan 3 orang putri dan 3 orang putra, Imam Khomeini adalah putra bungsunya. Pada usia 15 tahun, ibunya, Hajar bin Ayatullah Mirza Ahmad meninggal dunia. Tak lama kemudian, bibi nya juga meninggal dunia sehingga ia benar-benar yatim piatu 1
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), 1
pada usia 16 tahun, tanggung jawab dalam membesarkannya ada pada kakaknya tertuanya, Sayyid Murtadha.2 Sejak masa kanak-kanak beliau sudah tekun belajar sehingga Ia sangat mahir dalam ilmu bahasa. Hingga akhirnya pada usia 15 tahun Ia belajar ilmu agama Islam pada abangnya yang bernama Pasandideh. Setelahpelajaran privatnya pada kakaknya dirasa sudah cukup, Ia pergi ke Arab untuk belajar bahasa Arab dan kemudian melanjutkan pendidikan agama Islamnya di Qom. Disana Ia menjadi murid dari Syaikh Abdul Karim Hairi Yazdi. Tahun 1922 Beliau menyelesaikan pendidikan tertinggi di sana dan memulai karirnya intelektualnya sebagai pembantu pengajar gurunya. Saat itu, ia berada amat jauh dari ulama-ulama lainnya yang telah memainkan peran politik penting dalam sejarah Iran. Seperti yang dilakukan ulama-ulama seperti Ayatullah Kasyani (meninggal 1962) dan Ayatullah Taliqani (meninggal 1979) yang bergerak di luar lembaga-lembaga keagamaan, menjalin persekutuan dengan bermacam-macam kelompok non-ulama. Bagi Imam Khomeini, konsp kepemimpinan lama selalu dipegangnya dengan teguh dan bukannya tanpa makna bahwa jika menyebutkan pendahulu-pendahulu revolusi Islam ia selalu membatasi dirinya untuk hanya menyebutkan ulama. Perjalanan untuk pindah dari Khumayn ke Arak adalah sebuah peritiwa yang memiliki makna penting dalam hidupnya. Sekitar setahun setelah kedatangan Imam Khomeini di Arak, Ha’iri menerima undangan dari masyarakat dan para ulama Qum untuk tingal di sana. Qum, salah satu pusat Syi’ah Islam paling awal diIran dan tempat makam Sayyidah Ma’sumah, saudara perempuan Imam Ali Ridho yang merupakan Imam Kedelapan dalam mazhab Syiah. Sebelumnya selalu menjadi pusat pengajaran dan ziarah, tapi kota itu dikalahkan oleh kota-kota suci besar di Irak dan bahkan oleh madrasahmadrasah di Isfahan. Menurut Muhammad al-Mahdi al-Isfahani dalam tulisannya yang berjudul “Mengenal Hidup dan Pencapaian-Pencapaian Ha’iri”, kedatangan Ha’iri di sana, yang diikuti oleh bangkitnya lembaga pengajaran keagamaan, adalah salah satu dari serangkaian perkembangan yang menjadikan Qum sebagai ibu kota spiritual Iran dan benteng pertama revolusi Islam. Ha’iri memang tidak pernah berbicara mengenai masalah-masalah politik, akan tetapi keberhasilan-keberhasilannya dalam mengelola lembaga itu yang dikukuhkan dan diperkuat oleh Ayatullah Boroujerdi pada tahun 1945 sampai dengan 1962, memberikan dasar bagi peran yang dipegang oleh Qum dibawah kepemimpinan Imam Khomeini dalam Revolusi.3
2 Hamid Algar, Robin W. Carisen, Mata Air kecemerlangan : Sebuah Pengantar untuk Memahami Pemikiran Imam Khomeini (Bandung : Mizan, 1991) . 65.
Mengutip S.H.R Barassi va Tahlili, empat bulan setelah Ha’iri meninggalkan Arak menuju Qum, Khomeini muda mengikutinya, dan tinggal di madrasah Dar al-Syifa. Memaksa dirinya untuk belajar tekun pada 1962. Kemudian mulailah satu dasawarsa studi langsung di bawah Ha’iri sendiri. Ia mempelajari inti kurikulum itu, fiqh dan ushul.4 Pengusaan ilmu-ilmu ini adalah mutlak untuk karir seorang ‘alim.Pada tahun 1937 ketika Hairi Yazdi telah meninggal dunia, Imam Khomeini sudah dikenal sebagai pengajar terkemuka yang jenius. Banyak orang mulai berguru padanya. Imam Khomeini memiliki dua anak laki-laki dan tiga wanita. Putra sulungnya, Ayatullah Sayyid Mustafa Khomeini, mati syahid pada tanggal 23 Oktobe 1977, dibunuh secara misterius oleh pemerintah tirani Syah Reza Pahlevi. Di masa pemerintahan penindasan rezim Reza Khan (ayah Syah Mohammd Reza, Syah Iran terakhir) di mana orang takut bersuara, Imam Khomini justru dengan tegas mengritik dengan menulis buku berjudul Kasyful Asrar (Mengungkapkan Rahasia). Buku ini ditulis dengan gaya yang tegas dan tidak menenal kompromi. Dalam buku ini beliau mengutuk dengan keras rezim Reza Khan yang secara terang-terangan menggantungkan iri dan menyerah pada kekuatan asing, pada masa itu Inggris. Beliau melihat dengan jelas bahwa permusuhan rezim Pahlevi itu terhadap Islam bukanlah semata-mata karena hasrat seorang diktator, tetapi merupakan bagian dari satu rencana yang luas untuk melenyapkan Islam sebagai satu kekuatan sosial politik, di seluruh dunia.Rencana ini disusun oleh pusat-pusat imperisalisme dan dipercayakan kepada berbagi agen imperialisme setempat seperti Reza Khan. Revolusi Iran pada tahun 1979 M, merupakan peristiwa spektakuler di dunia Islam di abad 20, yang mana peristiwa ini telah berhasil menumbangkan rezim Dinasti Pahlevi. Dengan tumbangnya Dinasti Pahlevi, maka terlepas pula dominasi Barat khususnya Amerika Serikat di negeri para mullah itu. Tentu saja, peristiwa ini tidak lepas dari peran Imam Khomaini. Imam Khomeini sebagai pemimpin pergerakan Islam revolusioner yang meyakinkan, memiliki karakter pribadi yang unik. Gaya hidup beliau sederhana, serta 3 Ibid. 69. Lihat juga Muhammad Mahdi al-Musawi al-Isfahani, Ahsan al-Wadi’a (Najaf, 1388/19680, hal. 268-269, dan Muhammad Syarif Razi, Asar al-Hujja (Qum, 1332/1953), vol. 1, hal. 15-72.
4
Ibid. 69.
menghindari segala kemewahan duniawi ini menjadi fenomena yang kontras dengan Dinasti Pahlevi yang berlebihan, rakus, tidak jujur, otoriter dan senang bermewahmewahan5. Ini berlawanan jauh dengan sikap hidup Imam yang sangat sederhana dan lingkungan yang agamis. Bagi masyarakat Iran, awal Muharram adalah peristiwa penting untuk meningkatkan kesadaran tentang hal-hal yang berbau revolusioner dalam menentang rezim. Saat itu, masyarakat Iran berdemo di depan Istana Syah sambil membawa poster Imam Khomeini sebagai simbol perlawanan terhadap Syah. Pada hari Asyura yang saat jatuh pada tanggal 3 Juni 1963, Khomeini memberikan pidato yang berapi-api tentang kesalahan-kesalahan Rezim Syah. Ia juga menyerukan rakyat agar bersatu melawan Syah atau rakyat akan memaksa Syah untuk meninggalkan Iran. Peringatan Imam Khomeini dijawab dengan penahanan di penjara Qasr Teheran dua hari kemudian selama 19 hari. Kemudian beliau dipindahkan di sektor Dayudiya kota Teheran dan menjalani hidup sebagai tahanan rumah. Di saat yang sama, rakyat melakukan demontrasi besar-besaran menentang penahanan tersebut. Hingga pada 7 April 1964 Khomeini dibebaskan, Namun, subuh 4 November 1964, tentara mengepung rumah Khomeini di Qum dan menahannya. Ia langsung dibawa ke Bandara Mehrabad Teheran dan diterbangkan ke Turki. Di Turki tersebut, Imam menjalani beberapa kali perpindahan tahanan. Awalnya Ia dipenjara di kamar no. 514 Bulvar Palas Oteli provinsi Ankara. Kemudian pada tanggal 12 November, Ia dipindahkan ke Bursa. Di Turki yang sekuler, beliau dilarang memakai pakaian-pakaian yang menunjukkan atribut keulamaannya dan sebenarnya bagi pihak Imam Khomeini, itu adalah sebuah penghinaan. Karena memang tidak mudah bagi seseorang untuk dapat memakai baju ulama dengan jubah dan penutup kepalanya. Pada 3 Desember 1964, Imam Khomeini berjumpa dengan putra sulung beliau bernama Haji Mustafa Khomeini di Bursa. Karena masih diperbolehkan memperoleh buku-buku dan menulis, maka selama di Bursa beliau mengolah Tahrir Al Wasilah, sebuah kompedium yang terdiri dari dua judul yang menjawab seputar hukum-hukum Islam. Pada tanggal 5 September 1965, Imam meninggalkan Turki dan dipindahkan lagi ke Najaf, Irak. Di sana, beliau menetap selama 15 tahun. Najaf yang merupakan pusat pengembangan ajaran Syiah tradisional dan pusat ziarah menjadi tempat pengasingan yang cukup disukai Imam Khomeini.
5 Abdar Rahman Koya, Apa Kata Tokoh Sunni Tentang Imam Khomeini, (Jakarta :Pustaka Iman 2009), 118-119.
Di Najaf, beliau juga dapat mengajarkan fiqih di madrasah Syaikh Murtadha Anshari.6 Di sinilah Imam Khomeini mulai menyampaikan ceramahnya tentang Wilayatul Faqih. Kaset rekamannya disebar secara personal lewat orang-orang Iran yang sedang berziarah ke Iran. Akhirnya gagasan tentang wilayatul faqih dalam karyanya berjudul Vilayat-i Faqih ya Hukumat-i Islami mulai menyebar dikalangan orang Iran. Bahkan orang-orang mulai menggandakan dan menyelundupkan berbagai macam kaset rekaman ceramah dan naskah-naskah Imam Khomeini. Imam Khomeini juga menyebut dalam ceramah-ceramahanya tentang pentingnya revolusi Islam dalam memerangi rezim diktator Pahlevi. Besarnya pengaruh Imam Khomeini membuat Ia menjadi ancaman berat bagi kejaan Syah. Hingga akhirnya Sayyid Mustafa, anak sulung Imam Khomeini meninggal secara misterius. Orangpun mulai mengaitkannya dengan tentara rahasia SAVAK (Sazman e Etelaat va Amniyat Keshvar atau Organisasi Informasi dan Keamanan Wilayah). Kemudian muncul protes dari berbagai wilayah di Iran seperti Syiraz, Teheran, Qom, Yazd, Masyhad, dan Tabriz tentang peristiwa tersebut. Namun, Imam Khomeini justru menghadapi kematian putranya dengan tenang. Karena pengasingan ke Najaf tidak membuat Imam Khomeini surut, pengasingan dipindahkan lagi ke Neauphle-le-Chateau Perancis. Di Perancis ini, pengikut Imam Khomeini juga merekam ceramah-ceramah beliau dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Wartawan Internasional setiap hari berkumpul di sekitar rumah Imam untuk menantikan kabar terbaru dan memperoleh komentar-komentar Imam tentang politik yang sedang terjadi di Iran. Ia kembali ke Iran 1 Febuari 1979 bersama 150 Wartawan dan 50 orang pembantu Imam Khomeini menaiki Boeing 747 Air France. Saat itu Shah telah pergi meninggalkan Iran pada tanggal 17 Januari 1979. Karya-karya yang telah dibukukan adalah Syarh Ra'su Al Jalut, Mishbah AlHidayah, Syarh Doa Sahar, Syarh 40 Hadis, Fuquk Al Hikam, Miftah Al Ghaib, Sirr Ash Shalah (Mi'raj as-Salikin), Risalah Ath-Thalab wa Al Iradah, Kasyful Asrar, Kitab Hadist Junud Al 'Aql wa Al Jahl, Adab Ash-Shalah, Ar Rasa'il, Tahrir, Al Wasilah, Al Bai', Kitab Ath Thaharah dan Al Hukumah Al Islamiyah. Pasca keberhasilan revolusi Islam Iran, Imam Khomeini yang saat itu menjabat sebagai pemimpin spiritual dan politik Iran (Rahbar) mengalami penurunan kondisi kesehatan hingga pada Mei 1989. Pada pagi ahad,29 Syawal 1409 H, (4 Juni,1989),di Teheran Ia meninggal dunia. Pemakamannya dihadiri oleh berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri. Untuk menghindari kerumunan rakyat yang menyebabkan hambatan 6
Ibid Rahman Koya, Apa Kata Tokoh Sunni Tentang imam Khomeini, 59
dalam penguburan Imam Khomeini, maka panitia pemakaman membuat beberapa keranda palsu yang ada di beberapa titik agar jenazah Imam Khomeini dapat segera dimakamkan. Sekarang ini, di komplek pemakaman Imam telah berdiri masjid megah dan masih diziarahi banyak orang. Latar Belakang Pemikiran Politik Ada banyak hal yang melatarbelakangi terbentuknya pemikiran politik Imam Khomeini yang berasal dari faktor intern Syiah sendiri ataupun dari sisi Ulama Sunni. Misalnya pandangan dari seorang ulama syiah yang memandang bahwa semua pemerintahan di masa kegaiban Imam Mahdi adalah tidak sah. Hal itu membuat para ulama dan Fuqaha mengurung diri di madrasah-madrasah (Hauzah) dan sebatas ruang diskusi. Selain itu, tidak ada pemerintahan yang boleh ditegakkan sebelum datangnya Imam Mahdi. Pemikiran ini ditentang Imam Khomeini karena akan menyenangkan pemimpin dzalim. Sehingga Pemimpin Dzalim lah yang akan mengatur segala aturan kemasyarakatan. Menurutnya, seorang ulama memiliki tanggung jawab untuk mencerahkan pemikiran umat. Dalam hal ini rakyat Iran secara umum sehingga kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh rizim yang tiran dapat diberantas. Ia juga mengkritik Qadhi Khomain yang berkata bahwa Manusia harus melakukan maksiat sebanyak-banyaknya agar Imam Zaman segera datang. Karena jika kemaksiatan tidak banyak maka Imam Zaman tidak akan datang. Menurut Imam Khomeini, menunggu Imam Mahdi tidak dapat dilakukan hanya dengan duduk berdiskusi, tapi juga menulis dan menerbitkan buku-buku yang bernafaskan Islam sebagai perjuangan sebagai Muslim sejati. Agar dunia Islam tidak mengalami kemunduran karena hanya tertulis di buku-buku fiqh belaka. Hukum Islam harus di tegakkan, dan salah satu cara menegakkan hukum Islam adalah dengan membentuk pemerintahan Islam. Ia juga mengkritik pemikiran beberapa ulama Sunni yang mengatakan bahwa Setiap pemimpin adalah seorang Ulil Amri yang wajib ditaati. Apalagi ketika Para Ulama menyatakan bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Shah saat itu adalah Kejahatan Agama sehingga pemberontakan kepada pemimpin zalim dianggap Ilegal. Karena mereka berpendapat bahwa “Raja adalah wakil Allah di Bumi, barang siapa yang menghinakannya maka Ia akan dihinakan Allah, Barangsiapa memuliakannya maka akan dimulyakan Allah”. Menurut Imam, apabila pemikiran seperti ini diteruskan, maka penguasa zalim tidak akan pernah dapat digulingkan sehingga hukum Allah tidak akan pernah dapat ditegakkan. Imam menilai bahwa revolusi putih yang dijalankan oleh Syah Pahlevi menemui kegagalan yang sangat nyata. Saat itu, tanah pertanian yang dikuasai oleh kaum feodal dibagi-bagi oleh Syah agar kepemilikannya merata. Namun, hal itu justru menimbulkan permasalahan berkepanjangan diantara para petani. Banyak petani yang akhirnya justru
tidak memiliki apapun untuk dikerjakan karena adanya sistem kontrak tanah yang tidak jelas. Selain itu, data sensus tanah yang dimiliki oleh pihak kerajaan tidak sama dengan data sebenarnya sehingga membuat persoalan tanah makin runyam. Banyak petani yang akhirnya beralih pekerjaan menjadi buruh karena sistem yang diterapkan dalam pengolahan tanah sangat merugikan petani. Ketergantungan Iran pada pihak asing memantik keprihatinan Imam Khomeini karena kekuatan asing sangat menancap di hampir semua wilayah strategis perekonomian Iran. Seperti tembakau yang dikuasai Inggris, minyak bumi, berbagai industri dan bidang jasa yang mebuat orang asli Iran sendiri tidak dapat memperoleh pekerjaan karena kalah saing dengan tenaga kerja asing. Karena selain kalah saing dalam hal keterampilan, orang Iran juga akan digaji lebih kecil walau menempati jabatan yang sama dengan orang asing. Hal tersebut menyulut kesenjangan sosial yang tinggi antara orang Iran dan asing. Apalagi orang asing saat itu secara pergaulan juga tidak pernah bergaul dengan warga lokal. Dengan adanya banyak orang asing di Iran, ada banyak aspek dalam budaya Iran yang terabaikan oleh rezim Syah. Sehingga hal itu membuat kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebudayaan lokal semakin tinggi. Apalagi bangsa Iran memiliki kebanggaan terhadap peradaban masa lampau, yakni peradaban Persia. Masyarakat Iran yang sebagian besar terdiri dari masyarakat tradisional religius menganggap bahwa apa yang sedang terjadi saat ini di pemerintahan Syah adalah sebuah penghinaan terhadap peradaban Persia dan Islam. Karena hal diatas, masyarakat Iran mulai menggunjingkan apa yang dilakukan oleh rajanya. Karena pergunjingan itulah, Syah Pahlevi yang otoriter mulai menaruh kewaspadaan yang berlebihan dengan membentuk SAVAK yang dilatih secara khusus oleh CIA dan Mossad untuk melakukan tekanan-tekanan mental dan fisik pada rakyat Iran yang dicurigai tidak suka terhadap Syah. Kekejaman tentara SAVAK tersebut semakin membuat rakyat mendukung Imam Khomeini yang menyerukan slogan-slogan anti rezim. Pemikiran Politik Imam Khomeini Dari awal memperkenalkan sistem Wilatul Faqih, Imam Khomeini menekankan bahwa sebenarnya konsep ini bukan hal baru dalam Islam. Untuk itu Ia mengawali argumentasinya dengan kajian sejarah pada saat pemerintahan Rasul. Menurutnya, Rasulullah dahulu juga menegakkan pemerintahan, hal itu terlihat saat Rasulullah melaksanakan hukum-hukum, membuat aturan dan sistem administrasi masyarakat. Menugaskan Gubernur di beberapa wilayah, menunjuk seorang hakim, mengirim duta pada kerajaan asing, kepala suku, mengesahkan perjanjian dan memimpin pertempuran. Kemudian beliau mengatakan tentang berbagai pandangan politik lewat pidatonya, salah satunya adalah ungkapan beliau, “Memangnya politik itu apa?, hubungan
antara rezim dan rakyat, hubungan antara rezim dengan pemerintahan yang lain; mencegah berbagai korupsi yang ada. Semua itu adalah politik.”7 Imam juga menekankan pentingnya keterkaitan agama dengan politik. Beliau berkata, “Seraya menyeru manusia agar menyembah Tuhan dan tata cara ibadah kepadaNya, agama Islam juga mengatur manusia bagaimana semestinya hidup, menata hubungan dirinya dengan orang lain, bahkan mengatur masyarakat Muslim bagaimana seharusnya hidup dan bersosial dengan masyarakat yan lain. Tidak ada sau langkah dan praktik seseorang ataupun masyarakat melainkan telah diatur hukumnya oleh Islam. Oleh karena itu wajar jika konsep pemimpin agama dan keagamaan adalah pemimpin ulama agama dalam segenap urusan masyarakat, karena Islam bertanggungjawab memberi petunjuk masyarakat dalam setiap perkara dan dimensinya”8 Segala pemikiran politik Imam khomeini telah disandarkan dengan landasan filosofis agar gerakan politiknya dapat berdampak kuat pada masarakat karena ada sistem pemikiran yang mapan di dalamnya. Diadopsi dari sistem politik yang berbasiskan perwalian dengan bersandar pada faqih yang adil9 untuk memimpin negara selama ghaibnya imam ke dua belas. Dan konsep ini muncul dari doktrin Imamah sebagai basis paham Syi’ah Imamiah.Untuk itu, perlu memahami serta menganalis konsep tersebut secara cemat agar kita memahamibahwa ajaran Islam mampu memenuhi segala lini kehidupan, termasuk konsep dan penataan pemerintah. Dalam karyanya yang berjudul Kasyf Al Asror, Imam Khomeini menyebut sistem pemerintahan yang Ia maksud adalah Wilayatul faqih. Dalam gramatika bahasa Arab, kata wilayah berasal dari runtunan kata kerja wala-yali-wilayata, yang artinya hubungan dekat, persamaan dan pertaliaan. Kemudian dari kata kerja tersebut menjadi isim fa’il yakni menjadi wali yang artinya: sahabat,
7 Akbar Najaf Lakza’i, Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini : Studi atas Teori Politik Islam dari Fikih Politik ke Teologi Politik. (Jakarta: Sadra Press.2010), 20.
8
Ibid, 22-23.
9 78.
Imam Khomaini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta : Sadra Press: 2010),
pendukung, pengikut setia.10Berkaitan dengan pengertian wilayah al-Ishafani menjelaskan bahwa kata wilayah memiliki arti kewenangan.11 Di dalam Al Qur’an sendiri banyak menyinggung kata wala’, muwallat, atau tawalli yang memiliki pengertian persahabatan dan kerjasama. Terkait hal ini, Murthadha Muthahhari 12 menyatakan sudut pandangnya tentang kata wala’, yaitu: 1. Wala’ manfi atau wala’ negatif, artinya seorang Muslim hati-hati ketika
berhadapan dengan non Muslim, dan hubungan antra Muslim dangan non Muslim tidak boleh disamakan. Sikap ini tidak kontradiksi dengan konsep persodaraan dan kemanusiaan. Rasa persodaraan menghendaki seseorang berurusan dengan nasib, kesejahtraan dan kebahagiaan semua manusia. 2. Wala’ ishbat al amm atau wala positif, artinya kaum Muslim hidup dalam
suatu komunitas yang merdeka. Memiliki system dan keterikatan social dan setiap individu merasakan bahwa dirinya bagian dari itu. 3. Wala’ ashbat al-khashs atau wala positif khusus, artinya kecintaan terhadap
keluarga Nabi (Ahl al-bayt). Kecintaan terhadap mereka merupakan bukti cinta kepada Rasulullah. Dalam hadist al Gadhir Khum, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menggap Aku sebagai pemimpin dan walinya, maka hendaklah pula menanggap Ali sebagai pemimpin dan walinya.” Imam Khomaini menyatakan, jika dua syarat
13
–pengetahuan akan hukum dan
keadilan- lalu bangkit dan menegakkan sebuah pemerintahan, Ia akan memilki wewenang 10
Kamus krapyak al Ushri Araby-Indonesia. (Yogyakarta: 1996)
11 84-85
Imam Khomeini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta:Sadra Press:2010),
12
Murthadha Muthahhari. Kepemimpinan Islam, (Banda aceh: Gua Hira 1991), 3-4.
13 84.
Imam Khomaini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta:Sadra press: 2010),
sebagai mana Nabi Saw.dan para imam as.dalam mengatur masyarakat dan menjadi kewajiban bagi semua orang untuk menaatinya. Allah Swt. telah memberikan wewenang yang sama sekarang ini (wilayah al faqih) sebagai mana yang telah diberikan-Nya kepada Rasul Saw dan para Imam as. Memahami al faqih itu bukan hanya ulama semata, yang mana ulama tersebut bukan hanya sebatas ulama yang memahami aturan dan hukum fiqih saja, melainkan ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, tasawuf serta ilmu-ilmu yang lainya. Dan pembentukan pemerintaah Islam merupakan kewajiban orang-orang yang memiliki syarat-syarat itu. Para ulama Syi’ah Imamiah menekankan pentingnya peran ulama yang mampu, sebagai waki dari imam yang digaibkan, untuk diserahi derajat sebagai otoritas, tetapi krusial adalah terkait dengan lingkup dan seberapa luas dan dalam masalah apa saja yang menjadi cakupan atau otoritasnya tersebut. Dalam kaitan ini, seorang ulama syi’ah terkemuka bernama al-Anshari menyatakan, bahwa ulama yang sudah mencapai kualifikasi memiliki beberapa kekuasaan, yaitu: a. Wilayah I’tibari
Wilayah i’tibari meliputi permasalahan yang diwujudkan dengan peletakan dan tergantung pada siapa yang meletakannya. Jika yang meletakannya pembuat syariat maka akan disebut sebagai i’tibari syar’i, namun apabila yang meletakannya adalah manusia untuk pengaturan hidup, maka disebut dengan i’tibari aqli.14 Wilayah seorang faqih yang adil adalah sama dengan wilayah Nabi Saw dan para Imam dalam mazhab Syiah. namun kedudukan (Maqam) tersebut tidak identik dengan Rasulullah. Wilayah pemerintahan dan pengaturan serta pelaksanaan hukum dan bukan suatu keistimewaan serta yang dipahami kebanyakan orang, dan ini justru merupakan tugas yang amat berat. Seorag faqih bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif dan wajib baginya untuk melaksanaan hukum-hukum Allah. Sebuah khutbah dari Imam Husain (Imam ketiga dalam mazhab syiah) yang menunjukan kejelasan, bahwa ulama memiliki peranan penting dalam menetapkan hukum, membimbing dan mengatur semua urusan umat Islam dalam kehidupan, agar tercipta kemaslahatan. Dalam khutbah tentang amar makruf dan nahi munkar dihadapan para ulama, Imam menyatakan:
14 86.
Imam Khomeini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta:Sadra Press, 2010),
“Bencana yang menimpa kalian lebih besar dibandingkan dengan yang lain, kerena tingkat dan martabat yang sebenarnya telah dijauhkan dari kalian. Pengaturan dan perintah-perintah seharusnya dipercaya kepada para ulama yang merupakan para pengawal hak-hak Allah dan yang paling mengetahui perintah-perintah Allah, tentang apa yang dihalalkan dan yang diharamkan. Namun posisi itu telah dirampas oleh tangan kalian, dengan tidak ada maksud lain keculi agar kalin menggalkan jalan yang lurus tentang sunnah, serta mengbaikan kebberadaan yang jelas. Jika kalian kuat dalam menghadapi siksaan dan penderitaan dan siap menanggung kepahitan demi membela Allah, maka kelak segala pengaturan yang diusulkan akan membawa kalian untuk mendapatkan pengesahan kalian dan untuk kalian keluarkan.”15 Hadist diatas merupakan ungkapan tegas berkenaan tentang otoritas para ulama, bahwa para ulama memiliki wewenang dalam memahami, menentukan, mengatur aturanaturan Allah, berdasarkan pada pemahaman dan pengetahuan para ulama tersebut. Hal ini pun dipertegas dengan sebuah hadist Nabi yang sangat terkenal yang menyatakan bahwa penerus Nabi adalah ulama. Tentunya ulama yang sesuai dengan syarat tersebut. b. Wilayah Takwiniyah
Wilayah Takwiniyah berbicara tentang kedudukan atau srata. Artinya kepemimpinan atas seluruh eksisten semesta dan penguasaan atasnya.Pada urutan pertama dan secara esensial wilâyah ini terbatas pada Allah Swt. Pada urutan kedua dan secara aksidental pada para Nabi, Imam Maksum As dan para insan kamil (Ulama/ faqih). Yang mana konsep tersebut tidak terlepas dari sumber hukum yakni al-Qur'an. "Dan Allah, Dialah wali." Wali hakiki manusia dan semesta hanyalah Allah Swt.". (Qs. Al-Syura [42]:9) "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.". (Qs. Al-Ah[zab [33]:6) "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk.". (Qs. Al-Maidah [5]:54) Makna ayat-ayat ini adalah bahwa dengan memperhatikan pembatasan wilâyah "walllahu huwa al-wali.”. Adalah bahwa satu-satunya wali hakiki dan sejati hanyalah Tuhan. Nabi Saw dan Ahlul bait As adalah wali pada urutan kedua dan memiliki wilâyah 15 Dikutip dari sebuah tesis yang berjudul konsep wilayah al faqih Imam Khomaini dan implikasinya dalam system politik kenegaraan republic islam iran, Program pasca serjana UIN Sunan Gunung Jati, yang ditulis oleh Hasan Bisri. Hal. 114
secara aksidental. Mereka merupakan cermin wilâyah Tuhan. Menyetir redaksi indah alQur'an, mereka adalah ayat dan tanda-tanda wilâyah Tuhan.16 Di antara seluruh eksisten di alam semesta ini, manusia memiliki kedudukan dan derajat sedemikian unggul dan tinggi sehingga bahkan para malaikat sekalipun tidak sampai pada kedudukan dan derajat tersebut. Manusia memiliki potensi dan pelbagai kekuatan terpendam di dalamnya dimana apabila ia menemukannya dalam dirinya dan terus ia bina maka ia dapat menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan sebaik-baik makhluk di pelataran semesta.Allah Swt, dari satu sisi, membuka jalan bagi seluruh manusia untuk sampai kepada wilâyah-Nya "Sesungguhnya para wali Allah tiada ketakutan pada diri mereka juga tiada kesedihan."Dari sisi lainnya, Allah Swt memperkenalkan para walinya dengan indah.17 Dengan memperhatikan pandangan diatas, bahwa berkat pembinaan dan penggemblengan pelbagai potensi, meraih pengetahuan dan makrifat yang tinggi dan sampai kepada iman dan yakin yang lebih tinggi mereka memasuki wilâyah Ilahi dimana hasil penuh berkahnya adalah ifadah Allah Swt atas wilâyah takwini-Nya kepada orangorang suci tersebut. Para maksum dalam mencari wilâyahtakwini Allah Swt mampu mengendalikan seluruh eksiten, entitas dan sistem alam semesta dan seluruhnya berkhidmat kepada mereka sehingga kita tidak mampu menghitung segala mukjizat dan aktivitas ekstra mereka. Semua ini merupakan penegas atas realitas yang tidak dapat diingkari ini.18 Cita-Cita dan Idealisme Imam Khomeini Cita-cita dan idealisme Imam Khomeini secara ringkas dapat kita rincikan sebagai berikut: 1. Mendirikan pemerintahan Islami dengan model Republik Islam. 16
Abdullah Jawadi Amuli, Wilâyat Faqih, 122, 123, dan 129.
17 90.
Imam Khomeini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta: Sadra Press, 2010),
18 91.
Ibid Khomeini, Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan, (Jakarta:Sadra Press, 2010), 90-
2. Memutuskan ketergantungan kepada pihak asing. 3. Melindungi kaum Muslimin dan masyarakat lemah dunia. 4. Meraih independensi di bidang ekonomi, budaya, dan politik. 5. Menegakkan kedaulatan agama (Islam) dan nilai-nilai religiusnya di tengah
masyarakat. 6. Memiliki angkatan bersenjata yang tangguh, independen, dan sesuai dengan
kemaslahatan dan kepentingan negara, dunia Islam, juga seimbang dengan bahaya yang mengancam negara. 7. Menempatkan orang-orang yang kompeten pada jabatan penting ataupun
tidak. 8. Membentuk manusia Islami. 9. Menciptakan iklim kebebasan.19
Dengan melihat cita-cita politik Imam Khomeini, sebenarnya bisa kita lihat dengan jelas bahwa adanya keterpengaruhan Imam Khomeini dalam membentuk teorinya dari keadaan dan situasi yang ia alami pada saat itu. Bahwa rezim Syah memang berada di bawah kendali negara Barat, sehingga kepentingan rakyat Iran jauh ditinggalkan oleh kepentingan orang-orang asing. Mungkin bagi kita yang hidup di Indonesia apa yang dikemukakan oleh Imam Khomeini bahwa dengan menegakkan kedaulatan agama Islam negara akan maju dan terlepas dari kungkungan negara Barat serta menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada pihak asing, adalah berlebihan. Namun menurut penulis, jika dilihat dari sudut pandang Iran pada saat itu, sebenarnya Imam Khomeini tidaklah terlalu berlebihan. Hal tersebut karena pada saat itu, masyarakat Iran yang mayoritas penduduknya beragama Islam sedang berada di bawah kendali pihak asing, sehingga satu-satunya cara untuk melepaskan diri adalah dengan mempersatukan masyarakat dalam ikatan agama melalui ulama. Di sisi lain, Imam Khomeini terlihat tidak konsisten antara praktek politik dengan cita-cita idealisme politiknya. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada poin sembilan, bahwa Imam Khomeini bercita-cita menciptakan iklim kebebasan. Namun sebagaimana yang kita temui sejak Iran berada di bawah kepemimpinan Imam Khomeini dan seterusnya, justru kebebasan tampak seperti tidak begitu berarti. Peraturan
19
Ibid, 123
menggunakan hijab bagi seluruh wanita Iran, sekalipun bukan Islam, adalah salah satu contohnya. Proses Pembentukan Wilayah al-Faqih di Kalangan Ulama Pembentukan kekuasaan faqih terhitung sejak keghaiban Imam kedua belas pada tahun 329 H/ 940 M, seiring dengan wafatnya sang mediator khususnya (al sufara) Abu alHasan al-Samiri. Periode ini ditandai sebuah kerisis internal tentang ghaybah, sehingga mendorong ulama Syi’ah untuk merumuskan suatu justifikasi teologis yang membenarkan bahwa iman kedua belas menggaib. Untuk mendukung doktrin tersebut, maka para ulama bukan hanya menggunakan bukti hadis-hadis dan kitab suci melainkan juga menggunakan argumentasi rasional. Doktrin ghaybah ini merupakan konsekuensi dari kepercayaan bahwa dunia ini tidak bisa berlangsung aman, sejahtera dan adil tanpa adanya seorang iman yang akan membimbing manusia kejalan benar dan ketidakamanan situasi politik untuk sang imam, sehingga untuk tetap melanjutkan kepemimpinannya maka imam berada dalam persembunyiannya.20 Dalam masa keghaibannya, komunikasi antar imam dan para pengikutnya dilakukan oleh al-ruwat. Al-ruwat adalah orang yang melaksanakan tugas-tugas kusus dari imam, tanpa terwakilkan, sehingga al-ruwat menjadi wakil umum.Kemudian para ulama syi’ah menginterpretasi al ruwat tersebut dengan faqih yang sudah mencapai marja taqlid dan drajat spiritual yang tinggi. Transformasi institusi imamah menjadi wakil umum yang dijabat oleh para faqih, yang menunjukan bahwa masyarakat syi’ah memerlukan institusi tersebut untuk mewujudkan fungsi keagamaan dan social politik.Atas dasar ini, maka saat imam sedang ghaib, maka institusi tertentu diperlukan untuk mewakikannya.Institusi demikianlah yang kemudian disebut dengan kekuasaan faqih atau wilayah al-Faqih, sehingga dengan institusi tersebut para ulama syi’ah mendapat legimitasi untuk memainkan peranan sosial politik dan keagamaan didunia. Namun, Imam Khomeini dengan tegas mengatakan bahwa Ia tidak bermaksud menjadikan seorang faqih sebagai Raja, mentri, panglima atau bahkan tukang sapu, yang Ia maksud dengan sistem faqih adalah sebuah formatur yang terdiri dari para warga sebuah Negara dan majelis yang membentuk sebuah pemerintahan. Majelis permusyawaratan tersebut hendaknya terbentuk dari orang yang taat kepada Tuhan, adil, bersih dari hawa nafsu, tidak terpolusi dunia dan segala ambisi kekuasaan. Kemudian majelis ini memilih 20
Nasir Tamara, Revolusi Iran, (Jakarta:Sinar Harapan, 1980), 171.
satu orang sebagai pemimpin yang adil dan menjauhi tindakan zalim dan mengutamakan kepentingan rakyat. Apabila Ia sudah jelas tidak lagi dapat mewakili suara rakyat, maka sangat mungkin Ia harus diganti atau diturunkan karena keotoriteran tidak diijinkan dalam sistem ini. Jika hal itu terjadi, maka akan tercipta pemimpin ideal yang akan menjalankan sistem politik Islam dengan benar. Penutup Dengan adanya argumen-argumen tersebut, Imam Khomeini bermaksud mengatakan bahwa pemerintah bukan berfungsi sebagai aparatur hukum agama seperti yang terjadi di negara-negara Islam lainnya, namun justru seharusnya agamalah yang semestinya menjadi pengabdi pemerintah serta alat untuk mengeksekusi tuntutan dan tujuan pemerintah.
Daftar Pustaka Algar, Hamid dan Carlsen, Robin W : Mata Air Kemerlangan : Sebuah Pengantar untuk Memahami Pemikiran Imam Khomeini. Mizan, Bandung, 1991. Enayat, Hamid : Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah. Penerbit Pustaka, Bandung, 1988. Failahzadeh, Mohammad Hadi : A Glimpse of the Islamic Republic of Iran. Tehran International Studies & Research Institute, Tehran, 2006. Kamur Krapyak Al Usuli Arabi-Indonesia.Yogyakarta, 1996. Khomeini : Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan : Konsep Wilayatul Faqih sebagai Epistomologi Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2010. Khomeini, Ahmad : Imam Khomeini, Cahaya, Bogor, 2004. Koya, Abdar Rahman : Apa Kata Tokoh Sunni Tentang Imam Khomeini, Iman, Jakarta, 2009. Lakza’i, Akbar : Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini : Studi atas Teori Politik Islam dari Fiqih Politik ke Teologi Politik. Sadra Press, Jakarta, 2010. Muthahari, Murtadha :Kepemimpinan Islam. Gua Hira, Banda Aceh, 1991. Shabani, Reza : Iranian History at a Glance , Alhoda, Tehran, 2005. Tamara, Nasir : Revolusi Iran, Sinar Harapan, Jakarta, 1980. Velayati, Ali Akbar : Ensiklopedia Islam dan Iran : Dinamika Budaya dan Peradaban Islam yang Hidup. Mizan, Jakarta, 2010.