BAB IV PEMIKIRAN IMAM KHOMEINI TENTANG WILAYATUL FAQIH
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM
4.1 Biografi Imam Khomeini 4.1.1 Latar Belakang Kehidupan Imam Khomeini Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun 1902. Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama lengkapnya adalah Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Semasa kecil ia sering dipanggil Rohulloh, setelah dewasa dan menjadi seorang fuqoha ia sering dipanggil dengan sebutan Imam Khomeini. AlMusavi merupakan nama keluarga besarnya, yaitu keluarga ulama bermarga Musavi. Ayahnya Sayyid Mustafa adalah seorang ulama terkemuka di Khomein. Ibunya Agha Khanum putri dari Mirza Ahmad Mojtahed-e Khonsari, yang juga seorang ulama terkenal dan sangat dihormati di Iran Tengah (Satori, 2010: 34). Baik dari ayah maupun ibunya, dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini merupakan keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi, yaitu keturunan dari ulama-ulama besar Iran, yang menjadi simbol pemimpin umat Islam. Berbicara mengenai silsilah keturunan, Imam Khomeini adalah keturunan dari Sayyid Mussawi yang diyakini oleh masyarakat Syiah sebagai keturunan Nabi melalui jalur Imam ketujuh Syiah, Imam Musa Al-Kadzim (Baqer Moin, 1998:69).
Mereka berasal dari
Neysyabur, Iran Timur laut. Pada awal abad ke delapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow kerajaan Oudh yang penguasanya menganut mazhab Syiah. Sayyid
Ahmad Musavi Hindi, kakek Imam Khomeini yang
kemudian menjadi seorang ulama terkemuka di India, dilahirkan di Kintur, wilayah Lucknow
India Utara. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Nishapur penulis kitab Abaqat al Anwar, sebuah kitab yang menjadi kebanggaan umat Islam di India. Pada sekitar tahun 1830, Sayyid Ahmad, kakek Imam Khomeini meninggalkan India untuk berziarah ke kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu dengan seorang saudagar terkemuka dari Khomein, melalui perkenalan dengan saudagar dari Khomein ini, Sayyid Ahmad memutuskan untuk pindah ke Khomein dan menjadi pembimbing spiritual di Khomein. Sayyid Ahmad kemudian menikah dengan Sakinah, dan dari pernikahannya, pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yang salah satunya adalah Sayyid Mustafa yang lahir pada tahun 1856. Sayyid Mustafa inilah yang menjadi ayah Imam Khomeini. Terlahir sebagai keluarga ulama besar, sayyid Mustafa pun menjadi seorang ulama terkemuka di Khomein dan Iran. Sayyid Mustafa menikah dengan Agha Khanum, dan dari pernikahannya dikaruniai enam orang anak, dan anak bungsunya adalah Rohulloh Al-Mussavi Khomeini atau Imam Khomeini. Imam Khomeini sudah menjadi yatim sejak berusia sembilan bulan. Ayahnya dibunuh karena menentang dinasti Qajar (Khomeini, 2002:9). Imam Khomeini kemudian diasuh oleh ibunya, yang juga dibantu oleh bibinya, Saheba. Ketika Imam Khomeini berusia lima belas tahun, ibunya meninggal, dan tidak lama kemudian disusul oleh bibinya. Di usianya yang menginjak remaja, Imam Khomeini sudah menjadi yatim piatu. Pengasuhan Imam Khomeini kemudian diambil alih oleh kakak tertuanya, Morteza (Baqer Moen, 1998:70). Semasa dalam asuhan kakaknya, Khomeini tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan sangat menggemari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Bahasa Arab, Syair Persia, kaligrafi, sastra dan juga sejarah menjadi pelajaran yang dikuasainya. Tak heran Pada awal tahun 1930, Imam Khomeini menjadi mujtahid dan menerima ijazah, yaitu suatu level
yang mengizinkannya untuk memberikan interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip keagamaan yang menjadikan ia menempati posisi senioritas ulama yang cukup tinggi (Fauziana, 2009:4) dari empat guru terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan sejarawan terkemuka, yang juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul Qasim Dehkordi Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza Masjed Syahi. Di usia yang ke-27 tahun, Imam Khomeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis buku-buku tentang berbagai seni, dan agama. Pada usia 27 tahun pula, Imam Khomeini menikah dengan Syarifah Batul, putri seorang Ayatollah yang bermukim di Teheran. Dari pernikahannya Imam Khomeini dikaruniai lima orang anak, yaitu dua orang putra dan tiga orang putri. Pada usia 30 tahun hingga awal 1960, Imam Khomeini melewatkan hidupnya di kota suci Qom. Yaitu sebuah kota yang menjadi pusat pendidikan di Iran. Di sana ia mengajar hukum, filsafat, dan etika. Ia bersikeras bahwa Islam memiliki komitmen terhadap kehidupan sosial politik (Satori, 2010:35). Perjalanan masa mudanya dilalui dengan bersikap apolitik, Imam Khomeini mengikuti jejak guru-gurunya untuk beruzlah dan menghindar dari perpolitikan secara langsung, namun setelah gurunya wafat, Imam Khomeini berkecimpung secara langsung ke dalam kancah perpolitikan Iran. Imam Khomeini menjadi orang pertama dan orang yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat Iran yang sudah tidak percaya pada pemerintahan Iran di bawah kekuasaan Syah Reza. Pengasingan dan penjara menjadi konsekuensi yang harus dihadapinya. Hingga tahun 1979, sejarah mencatat sebagai puncak perjuangan dari Imam Khomeini dan masyarakat Iran dalam menumbangkan kerajaan Syah Reza yang berujung dengan Revolusi Rakyat Iran yang membuahkan pergantian bentuk pemerintahan secara menyeluruh dari kerajaan menjadi Republik Islam Iran dengan konsep kepemimpinan
Wilayatul Faqih dan menempatkan Imam Khomeini menjadi orang pertama dalam Revolusi Iran tersebut. Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan memberikan suatu keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, yang melingkupi seluruh aturan manusia, baik secara spiritual, sosial maupun politik. Islam tidak membatasi manusia hanya bergelut dengan ibadah ritual semata, namun Islam pun mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dan menganjurkan umat Islam untuk bisa menguasai ilmu-ilmu modern. Agama dan ilmu pengetahuan bersinergis yang menjadikan negara bisa maju dan tidak berada di bawah hegemoni penjajah. Visi-misi dan keyakinan Imam Khomeini tersebut menjadi salah satu bagian dari karakteristik Republik Islam Iran saat ini. 4.1.2 Latar Belakang Pendidikan Imam Khomeini Imam Khomeini terlahir dari keluarga berpendidikan dan terkemuka, sehingga sejak kecil ia sudah bergelut dengan pendidikan. Riwayat pendidikannya dimulai di kota Khumayun atau Khomein. Imam Khomeini mulai memasuki maktab, yaitu pusat pendidikan agama tradisional pada usia enam tahun. Di maktab ia belajar membaca dan menulis bahasa Arab, ia juga mulai mempelajari kitab suci Al-quran, dan seperti anak-anak kecil lainnya ia diajarkan menghapal surah-surah terakhir di dalam al-Quran dan beberapa frase bahasa Arab serta sejarah Nabi dan para Imam versi Syiah (Baqer Moen, 1998:70). Pada usia tujuh tahun Imam Khomeini baru memasuki sekolah formal pemerintah Iran, disana ia belajar kaligrafi dari Mirza Mahallati, selain itu ia juga belajar sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan sains dasar. Pada perkembangan pendidikannya, Imam Khomeini tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan banyak menguasai ilmu yang dipelajarinya. Pada usia limabelas tahun, Imam Khomeini telah menyelesaikan studi syair Persianya dan mulai menekuni tata bahasa Arab
juga kaligrafi kepada Morteza yang merupakan pengajar tata bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Imam Khomeini adalah remaja yang memiliki minat tinggi dalam belajar, ia juga memiliki bakat khusus dalam beberapa pelajaran yang diminatinya. Ia banyak belajar syair klasik, banyak mengingat ratusan versi dari puisi yang berbeda-beda, pandai menulis dan menyusun syair Persia (Baqer Moen, 1998:71). Ketika Imam Khomeini berusia lima belas tahun, ibu dan bibi yang merawatnya meninggal dunia akibat kolera yang menyerang Iran. Pengasuhan Imam Khomeini jatuh pada kakak tertuanya, Morteza. Setelah pendidikan tata bahasanya selesai, Morteza mengirim Imam Khomeini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia mengirim Imam Khomeini ke Isfahan, kota penting yang merupakan pusat ilmu Syiah. Selain belajar fiqih dan bahasa Arab, Imam Khomeini juga belajar filsafat dan Irfan (tasawuf) dibawah bimbingan seorang ahli irfan Mirza Muhammad Ali Syahabad (Fauziana, 2009:11). Diusia tujuh belas tahun, Imam Khomeini pergi ke Arak (sekarang Sultanabad), yaitu kota yang menjadi pusat ilmu di Iran dan memiliki banyak ulama terkemukanya. Di Arak, ia belajar pada ulama terkemuka, Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, Imam Khomeini belajar fiqih dan ushul fiqih. Imam Khomeini sangat menyukai gurunya ini, sehingga ketika Syekh Haeri Yazdi pindah ke Qum sebagai pusat daerah Syiah Iran karena wilayah Arak sudah menjadi wilayah di bawah mandat Ingris, Imam Khomeini pun mengikuti langkah gurunya untuk pindah ke Qum. Sejak itu Imam Khomini melanjutkan pendidikannya di kota Qum. Imam Khomeini belajar disebuah perguruan tinggi Islam di Qom dan menyelesaikan tahap awal pendidikan tingginya. Ilmu tentang politik banyak Imam Khomeini dapatkan dari Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi. Imam Khomeini juga belajar fiqih dan usul fiqih dari seorang guru dari Kasyan, yaitu Ayatulloh Alio Yasrebi atau Ayatulloh Kasyani. Dalam bidang politik Khomeini lebih mengikuti jejak gurunya Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi,
untuk bersikap pasif terhadap penolakan Reza Shah tentang tradisi dan budaya Islam yang dianut sebagian besar masyarakat Islam. Ia tidak melakukan aktivitas politik hingga tahun 1930, karena ia berpendapat bahwa politik harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki pengaruh keagamaan yang paling kuat. Walaupun selama menempuh pendidikannya Imam Khomeini tidak melakukan aktivitas politik, hanya belajar dan mengajar, Imam Khomeini tetap menaruh perhatian pada hukum Islam (syariat) dan terus memperdalam ilmu politik Islam (Fauziana, 2009:12). Pada tahun 1930, Imam Khomeini menyelesaikan studinya, mendapat ijazah serta menjadi seorang Mujtahid dan mulai mengajar fiqih dan tata bahasa. Selain itu sejak awal Imam Khomein menunjukkan bakat khususnya di bidang studi-studi irfan. Ilmu Irfan sering disebut juga gnositisme, yaitu cabang dari ilmu filsafat yang melingkupi pengetahuan mistis dunia bathiniyah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah (Rahnema,1998: 74). Selain itu Imam Khomeini sendiri mengatakan bahwa al-Qur'an sarat dengan kajian-kajian 'irfani yang hanya bisa difahami oleh seorang yang mumpuni, yang merupakan puncak rahasia dan menjadi sebab keagungan serta kebesaran al-Qur'an. Al-Qur'an yang mulia sangat sarat dengan rahasia, hakikat, makna-makna luhur, tauhid dimana akal ahli makrifat tercengang dengannya dan ini adalah mukjijat agung lembaran cahaya samawi (al-Qur'an) (Satori, 2007:43). Pada usia 27 tahun Imam Khomeini sudah menulis sebuah buku tentang Irfan dalam bahasa Arab sekaligus menjadi guru dalam studi filsafat dan irfan, walaupun Irfan dan puisi yang diminati Imam Khomeini, sebenarnya kurang popular di kalangan mullah di Qom pada masa itu (Yamani, 2003:111). Setelah Ayatullah Abdul Karim Haeri Yazdi wafat pada tahun 1937, Imam Khomeini banyak dipengaruhi oleh Husayn Boroujerdi yang merupakan ulama paling berpengaruh di Qom, dan Imam Khomeini menjadi asistennya. Di bawah bimbingannya Imam Khomeini
belajar ilmu fiqih bersama rekan-rekannya yang suatu saat menjadi rekan dalam penggulingan Syah Reza Pahalvi, diantaranya yaitu Ayatullah Muttahari, Ayatullah Muntaziri, Hujatul Islam Muhammad Javad Bahonar, dan Hujatul Islam Ali Akbar Hashimi Rafsanjani. Pada tahun 1942 Imam Khomeini mulai menampakan ketertarikannya dalam bidang bidang politik. Ia menulis sebuah buku politik yang berjudul Kasful Asrar (Membongkar Tabir Rahasia) yang isinya sindiran tentang kejadian-kejadian politik Iran di bawah Syah Reza yang bekerja sama dengan Barat. Ketika Ayatulloh Burujerdi wafat pada tahun 1961, Imam Khomeini menggantinya dengan menjadi guru besar di Qum, sebagai guru besar, selain dalam bidang politik, Imam Khomeini juga banyak menulis buku-buku dengan tema filsafat, hukum, dan budaya Islam. Selain buku-buku karyanya sendiri, karya-karya Imam Khomeini juga banyak yang disusun oleh orang lain, baik itu dari kumpulan ceramahnya maupun dari kumpulan-kumpulan kuliah umumnya. Pada fase hidupnya tahun 1908-1961, adalah masa ketika Imam Khomeini menghabiskan waktunya dalam jenjang penidikan formal. Ia juga banyak menulis dan mengajarkan ilmunya yang menggambarkan pandangan–pandangannya tentang hidup bernegara dan bermasyarakat berdasarkan ajaran Islam. 4.1.3 Sikap Politik Imam Khomeini Terhadap Pemerintah Iran Tahun 1962 Imam Khomeini terjun ke kancah politik Iran secara langsung. Sebelumnya Imam Khomeini hanya terlibat secara pasif dengan menjadi pemerhati politik dan membuat tulisan-tulisan yang berkomentar tentang Iran. Buku pertama Imam Khomeini dalam bidang politik adalah Kasful Asrar (Menyingkap Tabir Rahasia) yang diterbitkan tahun 1942, isinya sindiran terhadap pemerintahan Syah dan mengopinikan tentang sistem dan pilar-pilar pemerintahan Islam.
Imam Khomeini memasuki debat agama dan politik nasional secara diam-diam setelah Perang Dunia Kedua, yaitu ketika Reza Syah semakin melemah kekuasaannya. Pada mulanya, situasi di Iran sangat tidak memungkinkan para ulama untuk angkat bicara masalah politik. Reza Syah adalah pemimpin yang anti ulama, hal ini mengakibatkan para ulama menghentikan perjuangannya secara terang-terangan dan tunduk di bawah rezim Reza Syah, walaupun hal ini dirasa pilihan yang sulit, namun demi keselamatan para ulama dan masyarakat Syiah, jalan taqiyyah (berdiam diri dan menyembunyikan identitas) diambilnya, seperti dalam Ali Rahnema (1996:83) ―Seandainya Haeri berbicara, mereka (rezim Reza Syah) tentu akan menghancurkan pusat teologi Qum.‖ Jelas seorang kawan dekat Khomeini, Ali Saduqi. Pendekatan pasif ini dibenarkan oleh konsep taqiyah dalam Syi‘ah, untuk melindungi Islam ketika seorang muslim menghadapi bahaya yang tidak mungkin diatasinya. Akhirnya selama pemerintahan Reza Syah, sikap taqiyah inilah yang dilakukan mayoritas ulama Iran, termasuk langkah yang diambil oleh Imam Khomeini. Setelah wafat kedua gurunya, Boroujerdi dan Kasyani, tahun 1962 Imam Khomeini benar-benar
meninggalkan
uzlah
(menyepi/apolitik)
dan
sikap
taqiyyahnya
(menyembunyikan identitas), ia menyuarakan apa yang jarang disuarakan oleh ulama-ulama Iran sebelumnya, yaitu tentang politik sistem pemerintahan Islam. Dalam bukunya dan dalam setiap pidatonya, Imam Khomeini menuduh Syah sebagai orang yang menghancurkan budaya Islam dan patuh terhadap dominasi negara asing. Imam Khomeini juga menyatakan bahwa negara Islam adalah satu-satunya bentuk negara yang paling baik dalam pemerintahannya. Seperti perkataan Imam Khomeini Allah, katanya, menciptakan Republik Islam. Patuhi Allah dan RasulNya dan mereka di sekitarmu yang memiliki otoritas (ulama). Itu adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang diterima Allah pada hari pembalasan. Kami tidak menyatakan bahwa pemerintahan harus dipegang oleh para ulama. Tetapi pemerintahan harus dijalankan dan
diarahkan sesuai dengan hukum Islam yang berlaku, dan hal ini hanya mungkin jika dilakukan pengawasan oleh para ulama (Fauziana, 2009:24).
Kampanye dan opini Imam Khomeini yang pada awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi kemudian segera dilakukan secara terang-terangan. Perlawanan sebelumnya yang ia lakukan adalah perlawanan penentangan kebijakan White Revolution atau Revolusi Putih Syah Reza Pahlevi yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Shah Muhammad Reza pada tahun 1963. Beberapa isi dari White Revolution mengandung program reformasi, yaitu 1. Reformasi tentang peraturan pertanahan, 2. Nasionalisasi hutan, 3. Penjualan saham Badan Usaha Milik Negara kepada pribadi, 4. Memperbolehkan kaum non muslim untuk memiliki dan mengelola bisnisnya secara individu Kebijakan tersebut ditentang oleh para ulama karena mengandung unsur westernisasi yang memuat ide-ide liberalisasi. Imam Khomeini mengumpulkan ulama-ulama dan pelajar Iran untuk memboikot isi kebijakan White Revolution. Pada 22 Januari 1963, Imam Khomeini mengeluarkan deklarasi yang menentang Shah dan rencananya. Hal ini direspon oleh Shah dengan mengadakan pidato di Qom yang isinya ancaman keras terhadap ulama. Perlawanan Imam Khomeini tidak berhenti, penentangannya terhadap Shah semakin keras. Ia mengumpulkan tanda tangan dari ulama-ulama senior terkemuka, melakukan pidatopidato dan mengisi kuliah umum yang dalam setiap pidatonya Imam Khomeini menyerang Shah dengan menyatakan bahwa Shah telah mencederai konstiusi, mengutuk kemerosotan moral yang terjadi di seluruh negara, menuduh Shah bekerjasama dengan Amerika Serikat, membeberkan kerjasama Shah dengan Israel, dan juga pemboikotan terhadap perayaan
Nowruz untuk memperingati tahun baru Iran 1342 yang bertepatan dengan 21 Maret 1963 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah (Fauziana, 2009:26). Perlawanan Imam Khomeini membuat gerah pemerintah. Setelah pidatonya di sekolah agama Fayziyeh, Shah memerintahkan penangkapan terhadap Imam Khomeini. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusuhan besar di Iran selama tiga hari dengan korban tewas kurang lebih 400 orang. Peristiwa 5 Juni 1963 tersebut semakin menunjukan dukungan rakyat terhadap gerakan Imam Khomeini, yel-yel yang diserukan oleh para demonstran adalah : Mati atau Khomeini. Pergolakan dapat dipadamkan oleh pemerintah, kemudian satu persatu para ulama pendukung Imam Khomeini banyak yang ditangkap dan diasingkan bahkan banyak pula yang dihukum mati. Imam Khomeini sendiri ditahan selama delapan bulan. Imam Khomeini tidak menjawab sedikitpun pertanyaan dari pengadilan kerajaan, ia melihat semuanya merupakan sebuah kebohongan dan kerjasama orang-orang Shah. Imam Khomeini terus dipindahpindahkan tempat penahanannya, dalam masa sepuluh bulan hingga 7 April 1964 Imam Khomeini sudah dipindahkan sebanyak lima kali dengan penjagaan yang ketat. Para ulama dan para pendukung Imam Khomeini terus melakukan aksi protes terhadap penahanan Imam Khomeini, semakin hari intensitas protes semakin tinggi, pemerintah menjadi khawatir dan akhirnya membebaskan Imam Khomeini pada tanggal 7 April 1964. Pemerintah menganggap hukuman penahan terhadap Imam Khomeini akan memberikan efek jera dan Imam Khomeini akan berubah sikap menjadi pro terhadap pemerintah, akan tetapi ternyata dugaan tersebut keliru. Setelah keluar dari penjara Imam Khomeini semakin gencar menyerang pemerintah dengan mengecam tindakan penguasa yang melanggar agama dan juga bahayanya penguasa mengakui keberadaan Israel. Dalam dua pidatonya yang disampaikan pada 10 dan 15 April 1964, seperti perkataan Imam Khomeini, Khomeini tidak akan berkompromi, meskipun ia harus digantung di tiang gantungan. Janganlah kalian berangan-angan. Andai kalian menawar Khomeini, maka umat Islam
tidak akan menawar kalian. Kami senantiasa ada di dalam parit (perjuangan) dan kami selalu berada di dalamnya. Kami akan selalu memerangi seluruh keputusan kalian yang menyalahi Islam dan segala bentuk penindasan‖ (Fauziana, 2009:28).
Semenjak keluar dari tahanan, Imam Khomeini terus melakukan penentangan terhadap Shah, sepanjang November 1964 Imam Khomeini terus mencela kebijakan pemerintah dan juga Amerika Serikat, karena pemerintah memberikan kebijakan kekebalan diplomatik terhadap militer Amerika Serikat di Iran. Hal ini menyebabkan militer AS tidak pernah bisa tersentuh hukum Iran sekalipun banyak pelanggaran yang terjadi. Imam Khomeni mendapat peringatan dan ancaman keras atas tindakannya terhadap Amerika, namun ia tidak memperdulikannya. Dalam sebuah surat dari agen Shah berisi ancaman keras, seperti paparannya, Amerika sangat kuat. Serangannya jauh lebih berbahaya daripada serangan orang nomor satu di negeri ini. Jika Ayatulloh Khomeini ingin menyampaikan pidatonya di hari-hari ini, maka waspadalah! Karena, itu akan berbenturan dengan pemerintah Amerika, dan itu sangat berbahaya. Dia akan menghadapi reaksi yang keras dan kejam‖ (Fauziyana, 2009:29).
Ancaman tersebut tidak menjadi hambatan bagi Imam Khomeini. Ia terus berpidato dan mengisi kuliah umum dengan celaan terhadap kebijakan kekebalan diplomatik terhadap militer AS. Ia juga menyebarkan selebaran-selebaran yang berisi ancaman terhadap kebijakan tersebut. Rakyat semakin marah dan suasana semakin panas. Akhirnya pemerintah menahan kembali Imam Khomeini dan mengasingkannya dari Iran. Pada mulanya Imam Khomeini mencari suaka politik ke Turki, namun atas permintaan Syah, Turki menolak keberadaan Imam Khomeini. Kemudian Imam Khomeini pergi ke Najaf Irak, karena hubungan antara Iran dan Irak tidak berjalan baik, maka Imam Khomini diterima oleh pemerintah Irak. Namun kemudian Imam Khomeini pun diusir oleh pemerintah Irak, dan pergi untuk mencari suaka politik di Paris, dan akhirnya Imam Khomeini tinggal di Neauphle-le-Chateau, desa kecil di
Paris. Selama lebih dari empat belas tahun Imam Khomeini mengisi waktunya di pengasingan. Selama di pengasingan ia tidak berhenti berjuang, dalam masa sepuluh tahun 19601970, Khomeini menyelesaikan bukunya tentang formulasi sistem hukum pemerintahan Islam. Ketika ia dipindahkan ke Najaf, ia terus berceramah dan mendiskusikan pemerintahan Islam yang terkandung dalam bukunya Islamic Government Authority Of The Jurist (Hokumat-e islami : Valayat-e faqih). Buku ini merupakan hasil karyanya yang sangat popular dan berpengaruh. Beberapa poin yang menjadi intisari buku ini seperti dalam Fauziana (2009: 31) yaitu : 1) Hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus disusun berdasarkan hukum Allah (syariat Islam) yang mengatur secara lengkap tentang hubungan sesama manusia, dan menjelaskan norma-norma yang ada maupun implementasinya pada setiap norma kehidupan. 2) Karena hukum Islam (syariat) digunakan dalam pemerintahan, maka mereka yang berada di jalur pemerintahan harus mendalami pengetahuan tentang syariat Islam. Dan karena yang mempelajari syariat adalah para faqih, maka hukum dan peradilan negara haruslah disusun berdasarkan pengetahuan para faqih yang disebut marja’. Peraturan yang disusun oleh prinsip monarki ataupun Dewan Parlemen dan legislative yang dipilih berdasarkan suara terbanyak dinyatakan salah dalam Islam. 3) Sistem hukum yang dibuat para ulama sangat diperlukan untuk menghindari adanya ketidakadilan, korupsi, penindasan terhadap masyarakat lemah maupun miskin, dan juga menghindari adanya inovasi atau perubahan dari Islam itu sendiri maupun hukum syariat Islam. Adanya hukum itu juga untuk
menghancurkan pengaruh anti Islam dan konspirasi oleh negara-negara asing yang non muslim. Seruan Imam Khomeini ini ternyata berdampak positif untuk perjuangannya. Walaupun di pengasingan ia tetap tidak putus kontak dengan para pendukungnya. Di pengasingan Imam Khomeini terus berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa Iran yang berkuliah disana, dan merekalah yang menjadi jembatan dan penyalur semangat Imam Khomeini dengan para pendukungnya. Mahasiswa dan pemuda merupakan sasaran yang tepat dalam pergerakan, mereka memiliki semangat dan jiwa muda yang efektif untuk menumbangkan kekuasaan Shah. Gerakan mahasiswa yang menentang Iran ini dibantu oleh rakyat dari berbagai kalangan, hal ini semakin membuat rezim Shah semakin terpojok dan kehilangan cara. Pada tanggal 5 Oktober 1978, Imam Khomeini diusir dari Irak dan dipindahkan ke Paris (Prancis). Hal ini merupakan kesepakatan antara Shah dengan Saddam Hussein pemimpin partai Ba‘ath. Hal ini membuat rakyat Iran sebagai pendukung Imam Khomeini semakin gerah. Dari Paris Imam Khomeini menghimbau rakyat Iran untuk terus menerus melakukan pemogokan total. Pemerintahan Shah menjadi tidak stabil, sehingga kabinet pada masa itu diganti dengan kabinet militer, Ghofam Azhari ditunjuk sebagai perdana mentri. Pemerintah menggunakan kekerasan untuk memaksa rakyat agar mau kembali bekerja, tetapi rakyat tetap pada pendiriannya untuk melakukan pemogokan masal. Kabinet militer Shah tidak berhasil memaksa rakyat, kemudian Shah membubarkan kabinet militernya dan menggantinya dengan kabinet baru dengan perdana mentrinya dari partai Front Nasional Shapour Bahtiar. Usahanya untuk menghentikan pemogokan masal adalah dengan ia berjanji untuk menegakan hukum dan mengikuti kehendak rakyat. Akan tetapi Imam Khomeini dari Paris menghimbau agar rakyat mengambil alih kekuasaan. Imam Khomeini membentuk Dewan Islam pada tanggal 13 Januari 1979.
Situasi politik di dalam negeri Iran semakin tidak menentu, pemogokan masal telah membuat gerak roda ekonomi Iran terhenti. Rakyat meminta Syah Reza dan Kabinet Shapour Bakhtiar untuk turun dan menyerahkan kekuasaan pada rakyat, akibatnya pemerintahan tidak berjalan. Dalam suasana seperti ini, Syah khawatir akan keselamatannya, akhirnya pada tanggal 16 januari 1979 Syah Reza dan istrinya Maharani Farah Diba pergi meninggalkan Iran menuju negara yang bersedia melindungi mereka. Pada awalnya, mereka pergi ke Mesir, kemudian ke Maroko kemudian ke Eropa. Kepergian Syah dan keluarganya semakin menguatkan perjuangan rakyat Iran, namun demikian pemerintahan sementara masih di kuasai oleh Kabinet Shapour Bakhtiar. Imam Khomeini menyatakan ketidak setujuan terhadap Kabinet ini yang merupakan Kabinet bentukan Syah, Imam Khomeini menyeru rakyat Iran untuk mengambil kekuasaan dari Kabinet Shapour Bakhtiar. Terjadi lobi politik antara Imam Khomeini dan Shapour Bakhtiar, namun keputusan Imam Khomeini tetap yaitu bahwa Shapor Bakhtiar harus digulingkan dan setelah itu baru Imam Khomeini akan kembali ke Iran. Suasana Iran semakin memanas. Demonstarsi besar-besaran terjadi setiap hari, korban tewas dan luka-luka berjatuhan. Namun kemudian kubu-kubu tentara terpecah menjadi tentara yang masih mendukung Syah dan tentara yang mendukung Imam Khomeini. Untuk perlawanan anti pemerintahan, atas persetujuan Imam Khomeini di Iran di bentuk Dewan Revolusi Islam. Dewan ini dibentuk untuk memimpin oposisi anti Syah di Iran. Seperti dalam Puar (1979:95), Dewan Revolusi Islam beranggotakan: 1. Jendral Madani (mantan Wakil Panglima Angkatan Laut Iran) 2. Dr. Yazdi (anggota Gerakan Pembebasan dan penasehat Ayatulloh Khomeini) 3. Sadegh Ghotb Zadeh (penasihat Ayatulloh Khomeini) 4. Mehdi Bazargan (anggota Front Nasional, kelompok oposisi terbesar Iran) 5. Fazlollah Bani Sadr (Ketua Kelompok Mahasiswa Badan Front Nasional).
Penentangan terhadap Shapour Bakhtiar semakin memanas, setiap hari rakyat demonstrasi dengan yel-yel hidup Khomeini dan teriakan Allohu Akbar. Dari Neauphle le Chateau, Paris, Imam Khomeini mengumumkan merencanakan pembentukan pemerintahan sementara menuju sebuah Republik Islam. Dikatakannya bahwa keberangkatan Syah dari Iran hanya merupakan langkah pertama menuju diakhirinya kekuasaan tirani yang berlangsung lima puluh tahun. Pembentukan pemerintah sementara akan melahirkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat untuk meratifikasi konstitusi baru. Para pembantu Imam Khomeini mengatakan Perdana Mentri Shapour Bakhtiar harus mengundurkan diri dan melapangkan jalan bagi pembentukan suatu pemerintahan yang mendapat kepercayaan dari Imam Khomeini dan rakyat. Pendekatan Shapour Bakhtiar terhadap Imam Khomeini telah ditolak sama sekali (Puar, 1979:104). Imam Khomeini dikabarkan akan kembali ke Iran pada tanggal 20 Januari 1979, namun situasi di Iran masih belum memungkinkan, Perdana Mentri Shapour Bakhtiar masih mempertahankan perwalian Syah, dan selama beberapa hari pelabuhan udara internasional Iran, Maharabad Teheran ditutup yang diperkirakan untuk menolak kedatangan Imam Khomeini. Imam Khomeini di Paris melakukan pertemuan dengan orang-orang Iran, dalam pidatonya antara lain dikatakan, Revolusi Iran baru saja dimulai. Saya menghimbau semua rakyat Iran dengan tidak memandang partai politik atau ideologi yang mereka anut supaya bersatu membangun kembali Iran yang telah dihancurkan oleh monarki. Saya mengecam Syah atas kejahatan dan pengkhianatannya terhadap negara. Shah harus dibawa ke pengadilan. Shah telah memerintahkan angkatan bersenjata Iran untuk melancarkan suatu kudeta ketika dia meninggalkan Teheran menuju Mesir pekan lalu. Shah juga telah memerintahkan pembom-pembom Angkatan Udara Iran untuk menggempur dan menghancurkan kota Hamadan di Iran Barat, tetapi anggota-anggota militer tidak mengindahkannya (Puar, 1979:112). Para pendukung Imam Khomeini terus berdemonstrasi atas penutupan pelabuhan udara yang menolak kedatangan Imam Khomeini. Ribuan orang memadati pelabuhan udara,
pekuburan Rakyat Miskin Iran, dan di jalan-jalan kenegaraan. Korban tewas dan luka-luka berjatuhan, namun hari-hari selanjutnya para tentara lebih bersahabat dan banyak yang beralih menjadi pendukung Imam Khomeini sehingga mengurangi jatuhnya korban. Pada tanggal 27 Januari 1979 bertepatan dengan hari Karbala, yaitu peringatan hari wafatnya Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW, rakyat Iran berdemonstarsi, arakarakan sepanjang jalan raya Syah Reza dipadati barisan kaum wanita. Mereka bernyanyi disertai mengacungkan tangan bersarung tangan hitam ke udara sambil meneriakan Khomeini Adalah Pemimpin Kami juga nyanyian-nyanyian yang menjunjung Imam Khomeini. Pada hari Kamis, tanggal 1 Februari 1979 pukul 1.10 menjelang dini hari Imam Khomeini bertolak dari lapangan udara Roissy dekat Paris menuju Teheran. Pesawat carteran Boeing milik perusahaan penerbangan Air France membawa Imam Khomeini yang disertai 50 orang Iran lainnya dan juga 150 wartawan dari berbagai negara tiba di pelabuhan udara Teheran pada hari Kamis, 1 Februari 1979 pukul 09.02. Jutaan rakyat Iran berkumpul di pelabuhan udara Teheran menyambut kedatangan Imam Khomeini. Kembalinya Imam Khomeini ke Iran menandakan puncak revolusi Iran terjadi. Imam Khomeini kemudian mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara karena Kabinet Shapour Bakhtiar sudah tidak diindahkan oleh rakyat Iran. Pada tanggal 12 Februari Imam Khomeini melantik Dr. Mehdi Bazargan sebagai kepala pemerintahan sementara Iran. Kemudian tanggal 13 Februari Perdana Mentri Mehdi Bazargan mengumumkan pembentukan Pemerintah Sementara Iran, diantaranya: 1. Dr. Ibrahim yazdi, Wakil Perdana Mentri Urusan Revolusi 2. Hasshem Sabbaghian, Wakil Perdana Mentri Urusan Pemindahan Kekuasaan 3. Amir Estezam, wakil Perdana Mentri Urusan Hubungan Msyarakat
4. Mayor Jendral Mohamad Vali Gharbani, Kepala Staf Angkatan Perang Iran 5. Karim Sanjabi, Mentri Luar Negeri. Dengan dibentuknya pemerintahan sementara yang didukung oleh militer, Pasukan Revolusi menduduki Istana Kerajaan di Nivaran sebelah utara Teheran. Dengan demikian, maka runtuh pulalah kekuasaan Syah dan Kabinet Shapour Bakhtiar. Kekuasaan langsung dipegang oleh pemerintahan Sementara Iran. Imam Khomeini dan Pemerintahan Sementara Iran pada tanggal 30 Maret 1979 melaksanakan referendum pemilihan umum bentuk negara Iran selanjutnya, kemudian Imam Khomeini pada tanggal 1 April 1979 mengumumkan bahwa bangsa Iran telah memberikan suaranya dengan bulat bagi Republik Islam Iran. Imam Khomeini pun mendekritkan tanggal 1 April sebagai Hari Republik Islam Iran untuk menghormati hasil-hasil referendum nasional yang diselenggarakan dua hari sebelumnya (Puar, 1979:181). Pada tanggal 4 April 1979, pemerintah Iran mengumumkan hasil-hasil resmi referendum selama dua hari yang menunjukan 99,3% mendukung peralihan negeri itu menjadi sebuah Republik Islam menggantikan kerajaan yang sudah berlangsung selama 2500 tahun. Perjuangan dan pengorbanan Imam Khomeini dengan para pendukungnya membuahkan hasil manis dengan tumbangkanya Iran dan berganti menjadi Republik Islam Iran pada tahun 1979. 4.2 Sistem Pemerintahan Islam menurut Imam Khomeini Beberapa hal yang akan disampaikan mengenai perbandingan antara politik Sunni dan Syiah adalah sebagai gambaran dan perbandingan tentang pemikiran politik Islam secara lengkap. Sejarah mencatat bahwa setelah meninggalnya Rasul SAW, maka kepemimpinan
diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, dalam bentuk Kekhilafahan, namun kemudian muncul mazhab Syiah, yang diantaranya sebagai landasan pemikiran politik Imam Khomeini. Berbicara tentang politik Islam, maka akan dihadapkan pada dua pendapat besar yang terus mewarnai warisan pemikiran Islam, yaitu Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini menjadi dua kelompok besar dengan perbedaan penafsiran dalam beberapa hal, termasuk dalam politik Islam. Baik Sunni maupun Syiah memberikan penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan apa yang diyakininya sesuai dengan aturan Islam, sehingga walaupun berbeda apabila kedua penafsiran tersebut memiliki landasan hukum Islam, maka keduanya adalah bagian dari ajaran Islam. Betapapun diskusi tentang politik Islam ini telah berlangsung sejak dahulu, namun kedua kelompok ini belum menemukan titik terang menuju fokus yang sama dalam hal bagaimana sistem pemerintahan Islam tersebut. 4.2.1 Pemikiran Politik Islam : Muslim Sunni dan Muslim Syiah Islam, tidak hanya menjadi sebuah agama, namun Islam juga menjadi sebuah sistem politik. Seperti dalam Al-Khatani (2001:5) Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem). Negara Islam dengan sistem pemerintahan Islamnya yang sudah ada sejak abad ke tujuh menjadi sebuah bukti keselarasan Islam atas agama dan politik. Namun setelah bersinggungan dengan berbagai pemikiran Barat, banyak yang terpengaruh dan berkembanglah pemikiran-pemikiran tentang politik Islam. Beberapa kalangan ada yang menerima dan ada pula yang menolak pemikirn Islam tersebut. Kelompok yang menolak keberadaan politik Islam dapat dikelompokan menjadi dua kategori utama, pertama adalah pendukung sekularisme, yang berpendirian bahwa agama harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia. Kelompok yang kedua yaitu kelompok
yang tidak mempermasalahkan adanya pembatasan-pembatasan. Pada prinsipnya mereka setuju bahwa tidak ada yang dapat mencegah hubungan antara individu dengan Tuhannya, namun demikian walaupun Islam memiliki ide-ide tentang politik namun tidak serta merta semuanya harus menggabungkan antara spiritualitas dengan politik. Jadi ia tidak menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Oleh karena itu umat Islam
bebas untuk
mendukung rezim apapun yang mereka inginkan. (Vaezi, 2006:11-14). Terlepas dari perkembangan pemikiran politik Islam yang setuju dan tidak setuju, pemikiran politik Islam semakin berkembang. Sebagai sebuah agama politik dalam perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik. Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan dijadikan teori secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka (Satori, 2007:50). Perdebatan tentang pemikiran politik Islam semakin luas lingkupnya. Banyak ulama dan intelektual membahas berbagai aspek pemikiran-pemikiran politik seperti filsafat politik, ideologi politik, ilmu politik dan sistem-sistem politik. Para pemikir yang membahas hubungan antara Islam dan politik biasanya tertarik untuk mengetahui ilmu politik seperti apa yang diajarkan oleh Islam, apakah Islam mendukung filsafat politik atau apakah sumbersumber Islam mendukung suatu bentuk sistem politik tertentu. Secara historis, pemikiran politik Islam selalu tertarik pada masalah kepemimpinan, caracara penunjukan sebuah otoritas politik dan kualitas-kualitas yang harus dipunyai oleh
seorang penguasa. Meskipun demikian, harus dapat dibedakan sesuatu yang menjadi warisan pemikir-pemikir politik Islam dan ilmu yang terkandung dalam politik Islam. Pemikiran politik Sunni dan Syiah menjadi warisan dari pemikiran-pemikiran Islam, untuk memahami teori politik Sunni dan Syi'ah, diperlukan pandangan ringkas tentang ajaran Islam, sejarah pertumbuhan kedua aliran ini dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya. Menurut Abdu Salam Arief dalam Satori (2007:51), Sunni dan Syiah merupakan dua kelompok besar dalam Islam. Sunni dan Syiah sebenarnya tidak memiliki perbedaan dalam hal inti keimanan, yaitu meyakini keberadaan Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Rasul dan Al-Quran sebagai kitab pedoman hidup. Permasalahan sebenarnya bersumber pada sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun kemudian dicarikan legitismasinya secara teologis. Terpecahnya politik kedua golongan tersebut diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah, namun Muawiyah bin Abu Sufyan menolak eksistensi Kekhalifahan Ali (karena dianggap tidak serius menangani kasus pembunuhan Usman Khalifah ke-3), hal ini menimbulkan ketegangan politik yang terus memanas dari kedua belah pihak yang berujung pada terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sejarawan disebut al-fitnah alkubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam dari generasi ke generasi sesudahnya. Pada masa sesudahnya, perpecahan politik dalam Islam antara kedua kelompok Sunni dan Syi'ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah kepemimpinan, antara Imamah atau Khilafah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi'ah, A. Syarifuddin al– Mussawi dalam Satori yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab perpecahan diantara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada
yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan Imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala dingin (Satori,2007:52). Ulama Syi'ah Thabathaba‘i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, walaupun tidak berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di kalangan kaum muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat (Satori, 2007:53). Ayatullah Rohulloh Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya, Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan yang menekan.
Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah menurut ulama Syiah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini,
Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi. Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kepatuhan. Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari pemahaman kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri. Akar permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan, kadangkala mereka mampu melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam (Alghar, 1981:55).
Beberapa pendapat di atas merupakan pendapat-pendapat para ulama muslim Syiah, sehingga pendapat-pendapat tersebut syarat subjektivitas pemikiran muslim Syiah dan pandangannya terhadap muslim Sunni. Tidak semua muslim Sunni menerima interpretasi tersebut (terutama kalangan Sunni kontemporer), pada faktanya beberapa negara muslim Sunni pun banyak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang tiran seperti yang terjadi pada tahun 2010-2011 yang dialami oleh beberapa negara Sunni seperti Mesir, Tunisia, Yaman dan Libia. Pandangan lain menurut Ahmad Vaezi (2006: 76-84) terhadap perbedaan politik Muslim Sunni dan Syiah juga dapat dilihat dari tiga hal berikut, penunjukan otoritas menjadi seorang Imam (pemimpin), metode penunjukan dan kualitas-kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Menurut Muslim Sunni teori pemerintahan Islam adalah dengan Khilafah. Khilafah secara esensial berarti penerus, atau seseorang yang memegang posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang lain. Akan tetapi kata Khilafah tidak terbatas hanya pada konteks otoritas politik saja. Seorang Khalifah bukan saja penerus dari pemerintahan sebelumnya tetapi bisa juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya, atau menjadi wakil atau penerusnya.
Dalam hal penunjukan otoritas, Muslim sunni berasumsi bahwa otoritas khalifah termasuk segalanya, mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang abadi, dengan sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh ahli fiqih Sunni kontemporer, yang berargumentasi bahwa Allah dan RasulNya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu sebagai penguasa atas kaum muslimin. Dan sebagai konsekuensi logis atas konsep takdir dan jalan Ilahiah yang unik ialah tidak menjadi soal siapa yang memerintah dan bagaimana ia memperoleh otoritas. Sebab, bagaimanapun itu semua tergantung pada kehendak Tuhan. Adapun dalam konsep Imamah Syiah, otoritas penunjukan seorang Imam adalah hal yang sangat fundamental. Otoritas yang sah harus ditunjuk baik langsung atau tidak langsung oleh Tuhan. Seperti halnya dalam keyakinan Syiah, imam-imam Syiah merupakan imamimam yang maksum dan otoritasnya ditunjuk langsung oleh Tuhan. Berkaitan dengan metode penunjukan pemimpin, teori politik Imamah meyakini bahwa hanya ada satu cara yang sah untuk pengangkatan otoritas dan penunjukan Ilahiah. Meskipun perwalian faqih yang adil dibentuk atas dasar ini, mereka adalah wakil kuasa dari Imam yang gaib, yang kepemimpinan Ilahiahnya dibentuk atas dasar penunjukan yang eksplisit, dan secara implisit menyerahkan perwalian atas pengikut-pengikutnya kepada mereka. Dan tentu saja semua otoritas ini dianugrahkan oleh Tuhan Yang maha Kuasa yang mempunyai otoritas dan perwalian mutlak atas semua mahluk. Berbeda dengan Syiah, menurut Sunni ada beberapa cara dimana seorang khalifah dapat dipilih, yang menurut Syiah hal ini tidak termasuk pada legitimasi yang unik. Muslim Sunni menerima penunjukan keempat khalifah pertama setelah wafatnya Nabi, dari mulai sebagai sumber rujukan agama sampai sebagai otoritas yang menegakan sangsi-sangsi politik. Sebagai konsekuensinya dalam penafsiran Sunni, seorang khalifah dapat dipilih oleh
sekelompok kecil elit, oleh penunjukan eksplisit dari pendahulunya atau oleh majelis yang ditunjuk (syura). Perbedaan ketiga berkaitan dengan kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam doktin Syiah, seorang imam tidak saja sebagai seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang pemimpin agama yang mampu menerapkan ilmu-ilmu Ilahiah. Seorang imam harus melengkapi dirinya dengan moral dan kualitas-kualitas intelektual yang sangat tinggi, imunitas dari dosa dan pengetahuan yang tidak mungkin salah. Berbeda dengan pandangan Sunni, Vaezi berpendapat bahwa dalam Sunni, seorang Khalifah tidak harus memiliki syarat tidak pernah berbuat dosa dan memiliki pengetahuan yang tidak pernah salah, dan ketaatan terhadap khalifah harus diberikan walaupun terjadi ketidak adilan atau tirani. Adapun beberapa pandangan tentang sistem khilafah yang lain, yaitu menurut Zallum (2002:53), khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara. Dalam Islam, kekuasaan dan pemerintahan adalah milik umat, dan Khalifah menjadi wakil dari rakyat dalam pelaksanaan urusan tersebut. Syarat seseorang dapat dikatakan khalifah adalah ketika ia memperoleh baiat dari ahlul hali wal aqdi. Adapun beberapa syarat khalifah terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1. syarat Ini‘qod (syarat utama/wajib) 1) Muslim, 2) Laki-laki, 3) Baligh, 4) Berakal, 5) Adil 6) Merdeka 7) Mampu melaksanakan amanat khalifah 2. syarat Afdaliyah (syarat keutamaan) 1) Mujtahid 2) Pemberani dan Politikus ulung
Syarat-syarat menjadi seorang khalifah di atas menjelaskan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dan mana yang menjadi keutamaan saja. Beberapa syarat afdaliah (keutamaan) seperti mujtahid dan politikus ulung, merupakan syarat keutamaan saja, sehingga ketika pun ia tidak memenuhi hal tersebut namun memenuhi syarat Iniqod maka ia dapat diterima sebagai khalifah. Begitupunasal keturunan calon khalifah boleh dari kalangan mana saja, tidak disyaratkan dari kalangan ahlul-bayt saja. Dari pandangan-pandangan di atas, masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda terhadap Sunni dan Syiah, sudut pandang dan kebulatan pemahaman seseorang terhadap suatu hal mempengaruhi bagaimana seseorang akan memberikan sikap. Berkaitan dengan kepemimpinan imamah dan khilafah, menurut Satori (2007:65) bahwa telah banyak para pemikir cendikiawan muslim Sunni dan Syiah yang telah membahas permasalahan antara imamah dan khilafah. Dalam sejarah teori politik Islam klasik, pemikiran politik kalangan Sunni tentang kepemimpinan yaitu terfokus pada konsep-konsep kepemimpinan yang disebut khilafah, khalifah, ahlu hali wal aqdi, sulthan, dan sebagainya. Adapun dalam kelompok Syiah, konsep-konsep kepemimpinannya yaitu imamah dan wilayatul faqih (kepemimpinan ulama/faqih) yang dewasa ini digagas oleh Imam Khomeini. Secara etimologi, Imam atau Imamah berasal dari bahasa Arab amma yang berarti pergi, menuju, atau pergi untuk melihat. Imamah mengandung arti petunjuk jalan atau memberikan suatu contoh. Dalam hal ini imam bisa berarti orang yang mempelopori, bertindak sebagai pemimpin atau yang memiliki keunggulan dibanding yang lain. Oleh sebab itu pemimpin dalam suatu ibadah keagamaan juga disebut sebagai imam. Dalam konteks umum imamah juga didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat. Ini merupakan definisi umum yang diterima baik oleh para tokoh Sunni maupun Syiah. Kedua kelompok ini bersepakat bahwa imamah memang berarti suatu pemerintahan yang menjadikan syariah
sebagai undang-undang pokok atau induk atau yang diistilahkan sekarang sebagai konstitusi (Satori, 2007:66). Perbedaan dari kedua kelompok tersebut ialah di kalangan Syiah, imamah mempunyai makna yang lebih dari sekedar definisi umum seperti pembahasan di atas. Bagi Syiah, imamah merupakan keyakinan yang paling penting, setelah keyakinan terhadap wahyu kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Muslim Syiah meyakini bahwa imamah bukan sekedar kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga bermakna sebagai kepemimpinan relegius, atau kepemimpinan di bidang politik dan sekaligus agama. Konsep Imamah menurut Teori Politik Syiah, penjelasan tentang kepemimpinan Islam dalam pandangan Syiah pada dasarnya bertolak pada konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah konsep yang luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah, sedangkan imamah adalah kepemimpinan (zi’āmah), pemerintahan (hukūmah) dan ri’sah ‘ammah dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi SAW dan para imam sesudahnya. Dalam konsep Syiah kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia yang mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusiamanusia ini adalah para nabi yang menjadi imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan. Para nabi dilanjutkan oleh para aushiya, dan para aushiya dilanjutkan oleh para Imam faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian merupakan keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia (Satori, 2007:67). Wilayatul Faqih, sebagai konsep kepemimpinan Syiah dan dasar doktrin-doktrin politik Syiah terutama pada masa kegaiban Imam Zaman merupakan bagian terpenting dan menjadi komponen universal bagi seluruh muslim Syiah. Baik dalam bertaqiyyah ataupun perjuangan secara terang-terangan muslim Syiah menjadikan Wilayatul Faqih sebagai tujuan
pemerintahan untuk menjembatani antara masa kegaiban hingga turunnya Imam ke 12 yang diyakini muslim Syiah akan kembali. Berkaitan dengan kerukunan Sunni dan Syiah dalam bernegara, setelah Iran menjadi sebuah Republik Islam Iran tahun 1979, dan sebagai negara yang mayoritas penduduknya bermazhab Syiah belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan masyarakat muslim Sunni. Beberapa laporan di media yang mengabarkan adanya penangkapan terhadap muslim Sunni, sulitnya muslim Sunni untuk membangun tempat ibadah dan komunitas pengkajian Sunni masih sering terdengar. Perlakuan ini terkadang berasal dari aparat tapi terkadang juga dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat Syiah. Perpecahan Sunni Syiah yang berawal dari konflik politik pada awalnya, hinga kini setelah lebih dari seribu tahun lamanya tetap menyisakan perpecahan. Belum bersatunya Sunni Syiah ini selain karena perbedaan pemikirannya juga karena adanya upaya-upaya dari pihak musuh yang tidak menginginkan persatuan Islam, sehingga mereka terus mengadu domba dan melanggengkan perpecahan antara Sunni –Syiah ini. Hal ini seperti yang dikatakan Presiden Syuriah Bassar Al-Assad dalam kunjungannya ke Iran pada Februari 2007, dalam perbincangannya Assad menyatakan, Menciptakan konflik antara Syiah dan Sunni di Irak dan Lebanon adalah kartu akhir yang dimiliki Amerika dan sekutunya. Mereka berusaha menutupi kegagalan mereka dengan membuat propaganda-propaganda bohong. AS dan Israel berusaha merusak posisi Iran dan Suriah di kawasan (AP/AFP/OKI) (Kompas Online, 19 Februari 2007).
Upaya pemerintah Iran mengahadapi permasalahan ini memang tidak tinggal diam. Beberapa upaya untuk meredakan konflik ini seperti kerjasama, komunitas dan pertemuanpertemuan antara muslim Sunni dan Syiah, dan penutupan hal-hal yang memicu perpecahan digelar. Seperti ditutupnya makam Abu-Luluah (pembunuh Khalifah Abu Bakar) yang oleh
Muslim Syiah Garis Keras dijadikan sebagai pahlawan dan pemberani. Makam ini ditutup karena dianggap melecehkan muslim Sunni. Kemudian dibangun kerjasama antara Iran dan ulama-ulama
Muslim
Sunni
dengan
membangun
suatu
forum
Sunni-Syiah
(syiahindonesia.com, 2009). 4.2.2
Wilayatul Faqih
4.2.2.1 Definisi dan Sejarah perkembangannya Konsep politik Islam wilayatul faqih merupakan poros sentral dari pemikiran Syiah kontemporer. Sebuah sistem politik yang mengadopsi sistem politik berbasis perwalian, yang bersandar pada seorang faqih yang adil dan kapabel untuk memegang pimpinan pemerintahan selama gaibnya Imam yang maksum. Adapun definisi dari Wilayatul Faqih tersebut, adalah sebagai berikut. Menurut Tehrani (2005:38), dalam bahasa Arab, kata ‗wilayah‘ dari kata wali yang menurut istilah kalangan leksiograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil (tunggal) dalam bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/ hubungan dekat/ persamaan/ pertalian. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata wali: (1) teman; (2) setia/berbakti; (3) Pendukung atau Penyokong. Di samping ketiga arti ini, dua arti lain disebutkan untuk kata wilaya’: (1) kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan; (2) kepemimpinan dan pemerintahan. Dalam bahasa Persia, kata wali memiliki sederet arti, seperti teman, pendukung, pemilik, pelindung, pembantu, dan penjaga. Begitu pula kata wilayah, yang bermakna mengatur dan memerintah.
Kata wilayah dalam Wilayatul Faqih bermakna
pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan. Sebagian kalangan meletakkan makna ini untuk mendapatkan pengertian pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim, dan kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas wali (sang pembawa wilayah) atas mawla ‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah).
Wilayatul Faqih menurut Vaezi (2006:73-84) wilayah memiliki akar kata wali yang artinya (1) teman, (2) pendukung, (3) berbakti, (4) pelindung. Kata lain yang memiliki akar kata wali selain wilayah yaitu maula dan maula alaih. Makna dari perwalian yaitu dimana urusan-urusan seseorang telah diambil alih oleh orang lain. Oleh karena itu siapapun orang yang mengambil alih urusan-urusan ini adalah wali dan konsekuensinya hal itu juga berlaku bagi sebuah pemerintahan. Selain itu wilayah juga memiliki arti utama dekat dengan seseorang atau dengan sesuatu, ditarik ke arti-arti umum seperti mendapat tugas, memerintah, menjalankan otoritas. Dalam fiqih Islam, istilah wilayah mempunyai beberapa penggunaan, diantaranya: (1) wilayatul Qaraba, (2) wilayatul Qada, (3) wilayatul hakim, (4) wilayatul mutlaqa (otoritas mutlak), (5) wilayatul usuba. Adapun berkenaan dengan faqih (orang-orang yang faham ilmu fiqih), meskipun para ahli fiqih imamiah umumnya sepakat atas doktrin Niyabah (vicegerency) yang menekankan peran para ahli fiqih yang kapabel sebagai wakil dari Imam yang gaib, untuk diserahi sebagian derajat otoritasnya. Beberapa peran-peran dan fungsi dari ahli fiqih yang cakap memenuhi syarat sebagai wakil dari Imam adalah sebagai berikut : (1) membuat suatu fatwa (ifta), (2) untuk menghakimi (al-qada), (3) menguasai urusan-urusan hisbiya. Apabila seorang imam telah mendelegasikan otoritas dan tugas-tugasnya secara menyeluruh kepada seorang faqih yang adil dan kapabel sebagai wali/wakilnya selama masa gaib Imam Besar, wilayah fuqaha akan menjadi universal (amma). Keuniversalan wilayah membawa implikasi bahwa masyarakat Islam membutuhkan seorang wali untuk memimpin dan mengatur urusan-urusan mereka, tanpa mempermasalahkan kehadiran seorang imam yang maksum. Berdasar penjelasan di atas, Wilayatul Faqih dapat didefinisikan sebagai sebuah otoritas yang diserahkan kepada fuqaha yang berilmu tinggi, sehingga mereka dapat
mengarahkan dan memberi nasihat pada umat Islam selama tidak hadirnya seorang Imam Maksum. Otoritas ini didapat dari hujjah Tuhan, oleh karena itu wajib menaati semua perintah-perintahnya sebagai otoritas tunggal yang sah, baik dalam urusan keagamaan ataupun pemerintahan. Menurut Yamani (2003:125) mengingat pemerintahan Islam merupakan pemerintahan hukum, maka mengetahui hukum menjadi keharusan bagi para penguasa. Sudah merupakan prinsip yang disepakati bahwa faqih memiliki otoritas atas penguasa. Apabila penguasa mengatur Islam, maka para penguasa harus tunduk pada faqih dan bertanya bagaimana aturan dan cara menerapkan hukum Islam. Maka dengan demikian, sesungguhnya penguasa adalah faqih itu sendiri. Melihat beberapa penjelasan definisi Wilayatul Faqih dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayatul faqih, merupakan sebuah konsep pemerintahan dimana para penguasa (yang memiliki otoritas) yang menjalankan hukumnya adalah seorang faqih atau berada di bawah pengawasan faqih selama dalam masa kegaiban Imam Maksum. Sehingga hukum – hukum Islam senantiasa terjaga baik dalam pemerintahan maupun dalam keagamaan. Beberapa pendapat tentang Wilayatul Faqih (wilayatul amma) adalah suatu perkembangan baru dalam pemikiran Islam dan tidak terkait dengan fuqaha imamiah yang terdahulu. Namun beberapa literatur historis fiqih imamiah menunjukan bahwa Wilayatul Faqih (wilayatul amma) adalah sebuah konsep yang didukung secara luas oleh banyak fuqaha berpengaruh (Vaezi,2006:101). Dua alur pemikiran diantara para pendukung wilayatul amma, yaitu mereka yang secara terang-terangan mengatakan bahwa Wilayatul Faqih adalah universal dan beberapa pendapat lain mengatakan bahwa seorang faqih yang alim dapat diserahi beberapa tugas
utama yang tiga, yaitu ifta, qada, dan hisbah. Pendapat yang kedua ini terjadi pada awal periode fiqih Syiah. Komunitas Syiah di Iran (Persia) pada mulanya merupakan komunitas minoritas tanpa politik (kekuasaan), hingga munculnya dinasti Safawid. Hal ini megakibatkan bahasan otoritas, teori politik dan tugas-tugas penguasa dalam pemerintahan memiliki bahasan yang sedikit dari para fuqaha Syiah. Pendapat-pendapat mereka baik secara hasil ijtihad ataupun secara konsensus umum (ijmaa) tentang pembahasan ini sesuai dengan para fuqaha imamiah, namun para fuqaha tersebut memilih untuk bertaqiah (berdiam diri) berkaitan dengan isu politik, seperti pemerintahan dan otoritas universal, hal tersebut dilakukan oleh situasi sosial politik saat itu yang tidak mendukung kelompok Syiah. (Vaezi, 2006:103). Berkenaan dengan alur pemikiran yang menyatakan secara terang-terangan bahwa wilayatul faqih adalah universal, salah seorang faqih imamiah Al-Muhaqiq al Karaqi berkata, Fuqaha imamiah mempunyai konsensus dalam satu hal, bahwa faqih yang benarbenar memenuhi syarat, dikenal sebagai mujtahid adalah wakil (naib) dari maksumin as dalam segala urusan yang berkaitan dengan niyabah (perwalian). Oleh karena itu, adalah wajib untuk merujuk padanya dalam menerima ligitasi dan menerima putusannya. Jika perlu, ia bisa menjual harta dari pihak yang menolak untuk membayar apa yang menjadi tanggungannya. Hal ini lebih baik daripada jika tidak ada wilayatul amma, dimana banyak urusan-urusan dan keperluan ummat Syiah tidak terselsaikan (Vaezi, 2006: 103).
Adapun menurut Syeh Muhammad Hassan, Melaksanakan hukuman-hukuman Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah agama adalah sebuah kewajiban dalam era gaibnya Imam. Sebagai wakil dari Imam as, banyak hal yang ditangani fuqaha. Status sosial faqih adalah sama dengan Imam. Tidak ada bedanya antara dia dengan Imam as dalam hal ini. Putusan (verdict) dari fuqaha kita dalam hal ini adalah tak terbantahkan. Dalam pekerjaan mereka, kerap kali mereka menggaris bawahi ide untuk merujuk pada seorang wali (hukum) yang merupakan wakil dari Imam yang Gaib. Apabila fuqaha tidak memiliki perwalian yang umum (general vicegerency), maka semua urusan umat Syiah akan tetap tidak tertangani. Yang mengherankan ialah mereka yang menyatakan keberatan atas wilayatul amma dari faqih, seakan-akan seperti mengabaikan jurisprudenci (fiqih) dan
kata-kata Imam Maksum. Mereka tidak merenungkan kata-kata itu berikut maknanya (Vaezi, 2006:104).
Menurut haji Aga Reza Hamedani, Bagaimanapun juga, tidak ada keraguan bahwa fuqaha yang berintegritas tinggi (jami al-Sharayeti), yang mempunyai kualitas-kualitas sempurna yang diperlukan untuk menangani Wilayatul Faqih adalah wakil imam pada saat itu. Fuqaha kita telah membuat pernyataan ini dalam karya mereka yang mengindikasikan bahwa pandangan mereka mengenai Wilayatul Faqih dalam segala hal tidak terbantahkan lagi, sehingga beberapa dari mereka membuat konsensus (ijmaa) untuk dilampirkan sebagai bukti dari perwalian umum faqih (niyabah al-mma) (Vaezi, 2006:105).
Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa pembahasan Wilayatul Faqih merupakan bukan suatu pembahasan baru dalam politik Syiah, namun merupakan suatu bahasan yang tidak terputus dari fiqih imamiah. Setelah Syiah terimplementasikan pada masa dinasti Safavid, ulama-ulama (faqih) Syiah memiliki pengaruh dalam kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Namun lambat laun posisi para ulama kian tersingkirkan dalam ranah politik, bahkan beberapa penguasa menganggap para ulama sebagai oposisi. Setelah sekian lama otoritas faqih tidak diakui, adalah Mulla Ahmad Naraqi atau Fadhil Kasyani Ali Syah seorang faqih terakhir dinasti Qajar pada abad -19 kembali mengungkapkan gagasan mengenai otoritas pemerintahan faqih. Mulla Ahmad Naraqi berpandangan bahwa faqih mempunyai wilayah atas apapun yang dimiliki Nabi Muhammad SAW dan imam-imam maksum. Sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Faqih mempunyai wilayah itu kecuali masalahmasalah yang menurut ijma’ atau nash jelas berada diluar lingkup wilayahnya. Wilayah seorang faqih yaitu apapun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniaan masyarakat yang perlu diselesaikan. Hal ini menurut Naraqi selain sudah merupakan
kesepakatan para faqih terhadap kebenaran hukum Islam, juga karena banyak hadits-hadits yang dengan jelas memberi penekanan pada masalah ini. Kemudian Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) penulis kitab Jawahir mengemukakan pendapatnya mengenai konsep Wilayatul Faqih. Ia menulis, Pernyataan umum tentang wilayah al- faqih di jadikan argumen melalui praktik dan fatwa-fatwa para ahli hukum agama (fuqaha). Ini berarti bahwa dalam pandangan mereka, wilayah al-faqih adalah aksiomatik dan tidak perlu dibuktikan lagi. Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fuqaha ‗pemegang otoritas‘ (ulil amri) sebagai kewajiban kita, bukti-bukti mengenai pemerintahan faqih, khususnya hadits dari Imam Mahdi membenarkan hal itu (Satori, 2007:89).
Dari pernyataan di atas menurut Syeikh Najafi (dalam Satori, 2007:89), bahwa permasalahan pemerintahan faqih, merupakan sesuatu hal yang dapat diterima oleh masyarakat muslim, karena telah banyak dalil-dalil yang memberikan bukti yang sangat jelas. Pandangan lain dikemukakan oleh Ayatullah Burujerdi (w. 1962) dalam Satori (2007:89), yang menganggap bahwa pemerintahan faqih dalam segala urusan telah mempengaruhi masyarakat sebagai aksioma, sehingga tidak diragukan lagi untuk mempengaruhi menyatakan dengan penuh yakin bahwa banyak hadits yang membuktikan masalah ini. Pendapat Burujerdi dibenarkan oleh Ayatullah Syeikh Murthada Hariri, yang merupakan guru dari Ayatullah Khomeini. Ia menganggap perintah suci (berupa stempel, tanda tangan, perintah) dari Imam Mahdi sebagai salah satu bukti tentang Wilayah al-Faqih. Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini (w. 1989) dalam Teherani (2005:56-57) seorang faqih yang kemudian mengaplikasikan konsep Wilayatul Faqih ini secara praksis ke dalam konstitusi Iran, meyakini bahwa faqih menerima otoritas absolut (mutlaqah). Yaitu bahwa faqih yang memenuhi persyaratan penuh (jami’ syarait) diberi semua kekuasaan dan tanggung jawab Imam ke-12 pada masa keghaibannya kecuali bila ada alasan tertentu yang
pasti bahwa kekuatan dan tanggung jawab itu masih berada di tangan Imam. Imam Khomeini mengatakan, Ide wilayah al-faqih bukanlah temuan kita. Wilayah al-faqih adalah sebuah masalah yang telah bergulir lama…yang mana kita hanya menggali serta mendiskusikan aspek-aspek yang berbeda dalam konteks pemerintahan untuk lebih memperjelas duduk perkaranya…ini adalah masalah yang sama dengan yang dipikirkan dan disampaikan para fuqaha itu. Kita mengemukakan inti permasalahan; (jadi selanjutnya) ini tergantung pada generasi sekarang dan yang akan datang untuk meneliti lebih lanjut dan berusaha menemukan cara-cara untuk merealisasikannya…
Dari beberapa pandangan para fuqaha tersebut, bahwa konsep wilayatul faqih merupakan konsep yang telah lama ada dan berkembang seiring waktu. Hingga sampai saat ini ketika konsep tersebut telah direalisasikan dalam konstitusi Republik Islam Iran oleh Imam Khomeini. 4.2.2.2 Dalil dan Dasar Argumentasi Rasional Konsep Wilayatul Faqih Secara prinsipil, masalah Wilayatul Faqih berakar pada dasar-dasar argumentasi rasional dan pada dalil teks-teks keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim Muharram Habsiye dalam Satori (2007:92), argumentasi wilayatul faqih berakar pada: Pertama, keharusan adanya pemerintahan sebuah masalah, selama menyangkut sistem nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, maka otomatis ia akan menjadi objek agama; Kedua, pemerintahan merupakan masalah yang ekstra krusial dalam kebahagiaan itu, maka agama mengingat tujuannya, harus memasuki wacana pemerintahan. Akal mensyaratkan keadilan, pengetahuan agama dan kemampuan memimpin bagi pemerintahan (penguasa). Ketiga, Al-Qur‘an memberi pernyataan pada surah an-Nissa ayat 59,
Wahai orang-orang yang beriman. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang memiliki otoritas atas kalian dan jika kalian bertikai tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu ke Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya..
Dengan meyakini keselarasan dan keserasian antara akal dan keyakinan (naql) maka menurut Satori (2007:93) dengan ayat suci ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal: a. Pemerintahan termasuk wilayah agama, b. Pemerintahan hanya merupakan hak Tuhan, c. Ketaatan terhadap penguasa legitimate seiring dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa dalam pemikiran Syiah, kebutuhan akan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih sudah dibuktikan dalam banyak hadist yang terutama sanadnya disampaikan oleh ahli-ahli hadits kalangan Syiah. Ada banyak hadis dan riwayat dikemukakan sebagai dalil wilayatul faqih, salah satu hadist tersebut antara lain sebagai berikut, Riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib ra, melalui Syekh al-Shaduq, bahwa Rasulallah SAW mengatakan, "Ya Allah! Berikanlah kasih sayang dan kemurahan kepada penggantiku." Ketika ditanya siapakah para penggantinya itu, Rasulallah menjawab, "Mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku.
Menurut Teherani (2005:61-62), terdapat dua catatan penting mengenai riwayat dan sanad dari hadis ini bagaimana memaknai wilayatul faqih: Pertama, Rasulullah SAW mempunyai tiga tanggung jawab utama: (1) menyebarkan wahyu Allah SWT, menyampaikan perintah-perintah agama dan membimbing umat manusia; (2) memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum dan melerai percekcokan; dan (3) masalah wilayah, yakni pemerintahan dan kepemimpinan atas umat Islam. Kedua, maksud dari perkataan "mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku" tertuju pada
para fuqaha, bukan untuk para perawi dan pelapor hadits semata. Karena seseorang yang memiliki keahliah dan dapat menentukan sebuah hadist dan sunah itu berasal dari Rasulullah SAW, berarti telah mencapai maqam faqih dan memiliki kecakapan dalam berijtihad (memberi interpretasi dan pertimbangan mandiri) Dengan mempertimbangkan masalah penting tersebut, maka hadits ini menyatakan sebagai berikut, "Para fuqaha adalah penggantipengganti Nabi SAW." Karena Nabi memegang beberapa kedudukan, sementara tidak ada kedudukan khusus yang disebutkan, maka selanjutnya dikatakan bahwa para fuqaha adalah pengganti-pengganti Nabi SAW dalam semua kedudukan itu Hadits selanjutnya, riwayat dari Imam ke-12, Syekh al-Shaduq meriwayatkan dalam kitab Kamal ad-Din dari Ishaq bin Ya'qub, bahwa Imam Mahdi, Imam ke-12 memberi jawaban atas pertanyaan Ishaq secara pribadi, ia menuliskan yang bersegel tuqi' yang isinya ―Dimasa ketidakpastian (kegaiban Imam) rujuklah para penghantar (perawi) hadis-hadis kami (faqih), Karena mereka adalah hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka‖ (Satori, 2007:44). Dalam menegakkan otoritas fuqaha, para pembela wilayatul faqih sering merujuk pada bagian kedua dari hadits ini, yang berbunyi "Mereka hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka." Bagaimanapun menurut ulama Syiah seperti Imam Khomeini berpendapat bahwa bagian pertama dari hadits tersebut juga bisa digunakan untuk menegakkan otoritas faqih. Bagian pertama dari hadits itu mendorong masyarakat untuk bertanya pada mereka yang dekat dengan ajaran-ajaran para Imam as. menyangkut semua parmasalahan baru yang dihadapi masyarakat. Pernyataan itu membuat jelas bahwa fuqaha bertindak sebagai hujjah dari Imam dalam segala hal dimana Imam bertindak sebagai hujjah Allah dalam bagian kedua hadits tersebut, Imam Khomeini menjelaskan bahwa hujjah Allah sebagai seseorang yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjawab beberapa perkara, artinya segala perbuatan,
tindakan-tindakan, dan perkataan-perkataannya bermakna sebagai hujjah (bukti) bagi kaum muslim. Kesimpulannya menjadi seorang hujjah berimplikasi memegang otoritas atas para pengikutnya dan oleh karenanya semua perintah-perintah dari pemegang status seperti itu haruslah dipatuhi. Inilah yang kemudian dijadikan dalil wilayatul faqih sekaligus menjadi bukti kuat bahwa fakih adalah wakil Imam. (Teherani, 2005:86) 4.2.2.3 Pengertian Faqih dan Kualifikasi Faqih Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam konsep wilayatul faqih, hanya seseorang yang telah mencapai tingkat fuqaha (tingkat seorang faqih) dan cakap dalam menggali hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber yang sahih (al-Qur‘an dan Hadits) saja yang dapat menangani masyarakat Islam. Bagaimanapun juga pemimpin atau penguasa masyarakat Islam harus mampu membuat keputusan dan pertimbangan hukum yang tepat berdasarkan ketentuan yang telah dibuat oleh Tuhan. Di samping itu ijtihad dan kemampuan untuk membuat interpretasi dari keputusan hukum yang mandiri, seharusnya dibatasi dalam sebuah bidang tertentu, Imam Khomeini mengatakan, Seorang wali harus memiliki dua sifat, yang keduanya merupakan ketentuan mendasar dalam pemerintahan -yakni pemerintahan dengan undang-undang Ilahiyang tidak dapat diterima akal kecuali dengan keduanya. Yang pertama adalah pemahaman terhadap undang-undang. Dan yang kedua, keadilan. Sedangkan masalah kafa'ah termasuk ke dalam permasalahan ilmu dengan keluasan ungkapannya, yang juga tidak diragukan keharusannya bagi seorang hakim. Dapat juga Anda katakan syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang mendasa r(Teherani, 2005:74). Dalam buku lain yaitu bukunya yang berjudul Islamic Government, Imam Khomeini (dalam Satori, 2007:96) mengklasifikasikan sekurang-kurangnya ada delapan (8) persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1). Mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; (2). Harus Adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi; (3). Jenius; (4). Dapat dipercaya dan berbudi luhur; (5).Memiliki Kemampuan Administratif; (6). Bebas dari segala pengaruh Asing; (7). Mampu
mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa, dan; (8). hidup sederhana. Sedangkan menurut Jalaludin Rahmat (dalam Satori, 2005:96) secara terperinci seorang faqih harus mencukupi syarat-syarat berikut, antara lain, a. Faqahah
Faqahah adalah pencapaian derajat ijtihad (mujtaid muthlaq), yaitu kemampuan secara ilmi dalam menurunkan hukum syariat dari dalil-dalil yang telah tetap baginya. Juga, faqahah sebagai syarat imamah terbagi dua: Pertama, bahwa untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab, seorang imam hendaknya memiliki kecukupan (kafaah) ilmu dalam setiap permasalahan syariat Islam, mulai dari hukum-hukumnya, tujuan syariat, akhlak syariat, dan metode syariat dalam membenahi setiap perkara, sehingga dia pun dapat mengatur perjalanan politik pemerintah. Juga hendaknya memiliki kemampuan ilmi dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dengan dasar syariat. Dalam hal ini, seorang imam tidak dibenarkan untuk bersandar kepada mujtahid lain. Karena dalam menentukan ketentuan syariat haruslah sesuai dengan permasalahan politik yang ada. Dalam menentukan keperluan umum suatu pemerintahan, diperlukan kebijaksanaan yang selalu sesuai dengan cuaca politik yang ada, serta meliputi seluruh masalah yang diperlukan dalam pemerintahan. Seorang imam harus memiliki pandangan yang jelas tentang seluruh kebutuhan syariat yang harus dimiliki suatu pemerintah, sehingga itu semua tidak akan dapat dicapai kecuali waliul amr ataupun imam adalah seorang mujtahid. Kedua, selain imam adalah seorang mujtahid, sebagai syarat umat dibenarkan taklid kepadanya, akan sangat banyak memudahkan apabila imam juga seorang marja' taqlid, sehingga mempererat keterikatan antara imam dengan umat. Hal ini sangat penting karena keberhasilan pemerintahan Islami juga bergantung pada hubungan keterikatan antara imam dan umat. b. 'Adalah (Bertindak Adil ) 'Adalah yaitu sifat istiqamah dalam tariqah dan syariat Islam. Dengan syarat, istiqamah sudah merupakan tabiat yang tetap bagi seorang yang disifati adil, atau dengan ibarat yang lain, telah menjadi kebiasaan baginya. Demikianlah pendapat yang masyhur di antara para ulama. Mereka tidak mengartikan 'adalah cukup hanya dengan memenuhi kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Tetapi sudah merupakan suatu kekuatan
dalam menguasai diri, sehingga orang percaya bahwa dia tidak lagi akan melakukan pelanggaran meskipun dalam situasi yang sangat sulit. mempertahankan agamanya, menentang hawa nafsunya, taat pada perintah maula-nya, maka bagi orang awam hendaklah bertaklid kepadanya." c. Kafa'ah Makna kafa'ah adalah pemahaman yang dimiliki secara luas mencakup permasalahan kemasyarakatan, politik, dan kemanusiaan, yang semuanya merupakan pendukung untuk sampai kepada wilayah yang baik, seperti yang telah disebutkan dalam hadits. Bersabda Rasul SAW: Siapapun yang memimpin kaum muslim, sementara ia melihat adanya seseorang yang lebih utama darinya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin." Imam Khomeini berkata: "Masalah kafa'ah adalah masalah pengetahuan dalam bentuk luas. Dan tidak diragukan kelazimannya bagi seorang hakim.
4.2.3 Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini Berbicara mengenai konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Imam Khomeini. Imam Khomeini mengungkapkan bahwa persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang bisa segera disepakati, khususnya di kalangan Syiah. Hal tersebut diungkapkan Imam Khomeini dalam kalimat pembuka kumpulan ceramah-ceramahnya mengenai pemerintahan Islam yang diberi judul Hukumat-I Islam (Yamani, 2003:114). Menurut Imam Khomeini dalam buku Hukumat-e Islami tersebut, tema wilayatul faqih sebenarnya dapat diterima keberadaanya dengan mudah dan tidak lagi memerlukan dalil untuk mendukungnya. Keberadaan pemerintahan Islam akan menjamin keberlangsungan ditegakan hukum-hukum Islam. Beberapa hal yang berkaitan dengan konsep wilayatul faqih
Imam Khomeini adalah tentang kebutuhan akan pemerintahan Islam, bentuk pemerintahan Islam dan bagaimana pandangan Imam Khomeini terhadap demokrasi. 4.2.3.1 Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam Menurut Imam Khomeini, Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif, diperlukan kuasaan eksekutif (al-shulthon al-tanfidziyyah). Makna diwajibkannya kaum Muslim menaati ulil amri di samping Allah dan Rasulnya, berarti kaum muslim diwajibkan untuk membentuk pemerintahan. Suatu peraturan akan menjadi sia-sia tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajibankewajiban seorang muslim tidak mengenal waktu dan situasi siapa yang berkuasa saat itu. Tidak ada dasar bagi setiap muslim untuk mengesampingkan kewajiban-kewajiban seorang muslim seperti membayar zakat, jizyah, kharaj, khumus, ataupun dalam pelaksanaan hukum qishas dan hudud (Yamani, 2003: 116). Kewajiban membentuk pemerintahan Islam juga dapat dilihat dari makna kewajiban seorang muslim menjaga integritas wilayah Islam. Sifat dan hukum Islam sendiri memiliki fungsi untuk mengelola urusan politik, ekonomi, soaial dan kebudayaan. Hukum Syariah juga meliputi segenap aspek yang membentuk suatu system social yang lengkap, mulai dari hubungan pertetanggan, kewarganegaraan, kekeluargaan, sampai hubungan internasional. Aturan-aturan bersosial dan ibadah individual dalm Islam prbandingannya adalah seratus banding satu. Pendapat lain adalah keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan
eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor (pengambil keputusan atas suatu masalah). Karnanya, Allah yang maha kuasa, dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis seperti aturan-aturan syariat telah meletakan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh institusi eksekutif dan administratif. Rasul SAW telah membentuk institusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat. Berkaitan dengan penyampaian wahyu, penjelasan, dan penafsiran atas akidah, hukumhukum Islam serta penegakannya, Rasul saw menegakan semua tanggung jawabnya, dan dengan hal tersebut Rasul saw membentuk negara Islam. Dalam penerapannya, Rasul saw tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menerapkannya, seperti hukum memotong tangan, mencambuk dan merajam. Setelah Rasul saw wafat, para penerus kepemimpinan beliau juga melaksanakan fungsi dan tugas yang sama. Ketika Rasul saw menunjuk seorang penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan hanya untuk menjelaskan tentang akidah dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksekusi berdasarkan hukum Allah SWT (Khomeini, 2002:35). Wajibnya pengeksekusian hukum-hukum Islam dan penegakan negara Islam menjadikan adanya penerus Rasul saw adalah suatu hal yang sangat penting. Sepeninggal Rasul, kaum Muslim tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi (menerapkan) hukum-hukum Islam dan menegakan negara Islam, sehingga kaum muslim akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Keberadaan legislative (pembuat hukum) tanpa pelaksanaan hukumnya hanya akan memberikan sedikit manfaat, oleh kaena itu setelah adanya pembuat hukum, harus terbentuk pula eksekutif (pelaksana), dan hal inilah yang akan memberikan manfaat untuk manusia dan masyarakat. Mengingat pentingnya hal tersebut, menurut Imam Khomeini, Islam mewujudkan seseorang yang pantas menduduki kekuasaan eksekutif. Orang yang memegang kekuasaan
eksekutif ini disebut wali amr. Yaitu seseorang yang memiliki otoritas untuk memutuskan suatu perkara atau permasalahan umat. Sebagaimana tersebut dalam Quran surah an-nisa: ―wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan ulil amri kalian‖ (QS. An-nisa: 59). Assunah dan thariqoh (metode rasul) menyajikan bukti atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan. Pertama, Nabi Muhammad sendiri menegakan sebuah pemerintahan, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah, ia melaksanakan hukum-hukum Islam, menegakkan aturan-aturannya dan fungsi administrasinya dalam masyarakat. Nabi Muhammad SAW telah menjalankan seluruh fungsi pemerintahan seperti, mengutus orangorang terpilihnya untuk menjadi Gubernur di daerah-daerah yang berbeda, membentuk badan kehakiman dan menunjuk seorang hakim, mengirim duta (utusan) ke berbagai negara asing, kepala suku dan para Raja, ia juga mensyahkan berbagai perjanjian dan pakta, serta memimpin sendiri pasukan Islam di berbagai pertempuran. Kedua, Nabi Muhammad menunjuk seorang pelaksana aturan-aturan untuk meneruskan kepemimpinan beliau yang didasari atas perintah Allah SWT. Hal ini dapat dimaknai jika Allah Yang Maha Kuasa, melalui Nabi Muhammad SAW, menunjuk seseorang yang akan menjalankan aturan sebagai masyarakat muslim sepeninggalnya, maka ini merupakan indikasi bahwa pemerintahan tetap menjadi kebutuhan setelah wafatnya Nabi. Dengan menjalankan perintah Allah melalui penunjukan seorang penerus kepemimpinan, Rasulullah SAW secara implisit menegaskan perlunya untuk menegakkan pemerintahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kebutuhan akan perundang-undangan dan terbentuknya pemerintahan oleh Nabi SAW tidak terbatas pada masanya, melainkan terus berlanjut setelah Nabi wafat (Khomeini, 2002:35-37). Selanjutnya Imam Khomeini mengatakan,
In truth, the social laws and regulations need an executor. In all countries of the world, legislation alone is not enough and cannot secure people's happiness. The legislative authority that can bring to people the fruits of just legislation. This way Islam decides to establish an executive authority side by side with the legislatif authority and appointed a person in charge to implement. In addition to teaching, disseminating, and explaining. Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan memerlukan keberadaan eksekutor. Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri sendiri, tidak cukup memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk. Islam menentukan untuk keharusan keberadaan eksekutif disamping legislative dan menetapkan seseorang untuk menjadi pelaksananya. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan, menyebarkan dan menjelaskan (Satori, 2007:102).
Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan merlukan keberadaan eksekutor. Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri sendiri, tidak cukup memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk. Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Hal ini akan menjadikan hukum-hukum lebih bermanfaat bagi manusia dan masyarakat juga akan mendapatkan keputusan adil. Kebutuhan akan berjalannya hukum Ilahi, kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuantujuan dari misi kenabian serta tegaknya aturan yang adil yang akan memberikan kebahagiaan bagi umat manusia, menurut Imam Khomeini dapat dilakukan semuanya dengan penunjukan atas seseorang untuk menjadi penerus kepemimpinan yang merupakan pelengkap dari misi kenabian. Imam Khomeini adalah seorang ulama yang menginterpretasikan Islam sebagai agama yang memiliki komitmen terhadap perkembangan sosial dan politik. Bagi Imam Khomeini, masalah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah perlunya Islam dan Iran merdeka dari kolonialisme Barat dan Timur, serta perlunya kaum ulama bertanggung jawab
untuk kemanusiaan, tidak hanya di Iran tetapi juga terhadap orang-orang lapar dan tertindas dimanapun mereka berada. Imam Khomeini yakin bahwa Islam itu bersifat politis, kalau tidak maka agama hanyalah omong kosong belaka. Menurut Khomeini, al-Qur'an memuat seratus kali lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada masalah-masalah ibadah. Menurutnya jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan mahluk-Nya. Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh campur dalam masalah-masalah sosial politik, menurut Imam Khomeini merupakan propaganda dari Imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial politik. Mereka itulah yang menurut Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan pada mereka dari para Imam.
Imam
Khomeini mengutuk sikap para "ulama istana" (ulama of the court/ akhund-ha-e-darbari), yaitu mereka yang berdampingan dengan Syah dan menerima jabatan yang diberikan Syah. Para ulama seperti itu menurut Khomeini merupakan musuh Islam (Satori, 2007:102). Pendapat lain yang menyatakan akan butuhnya pemerintahan islam, yaitu bahwa asas dan karakter hukum-hukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (syariat) menjadi bukti tambahan atas kebutuhan tertegakannya pemerintahan. Hukum-hukum Islam memberikan indikasi bahwa hukum Islam diciptakan untuk menegakan negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Pertama, hukum-hukum syariat mencakup bermacam-macam badan hukum dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial yang lengkap. Pada system ini semua kebutuhan manusia terpenuhi. Kebutuhan ini berupa menjalin hubungan dengan para tetangganya, sesama warga negara, anak-anak dan keluarganya, dan yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan pernikahannya. Kebutuhan ini juga meliputi peraturan tentang perang
dan damai, hubungan dengan negara-negara lain, hukum komersial dan hukum tentang perdagangan dan pertanian. Hukum-hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan persiapan dan bagaimana melakukan ijab qabul dalam pernikahan. Hukum-hukum ini pun meliputi aturan turunannya, seperti aturan-aturan yang berhubungan dengan perkembangan janin dalam kandungan, serta apa yang harus dimakan orang tua saat merencanakan kehamilan. Kemudian hukum-hukum yang menetapkan kewajiban-kewajiban atas para ibu selama mereka menyusui bayi, bagaimana mengasuh anak, dan mengatur hubungan suamiistri serta anak-anak mereka. Keberadaan hukum-hukum tersebut dalam Islam bertujuan untuk membentuk penganutnya (muslim) menjadi manusia seutuhnya yang saleh yang akan menerapkan dan melaksanakan hukum-hukum Islam tersebut secara alaminya. Hal ini menunjukan begitu besarnya perhatian Islam akan sebuah pemerintahan dan hubungan social politik dalam masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembentukan manusia yang tulus dan saleh (Khomeini, 2002: 39). Kedua, jika diteneliti lebih dalam lagi tentang asas dan karakter ketetapan hukum, maka akan disadari bahwa eksekusi dan pelaksanaannya tergantung dari bentuk pemerintahannya, tidak mungkin perintah-perintah Allah (hukum Islam) bisa ditegakan tanpa adanya organ-organ eksekutif (penegak hukum) dan administrative yang sesuai dengan hukum Islam (Khomeini, 2002:39-40). Dari penjelasan-penjelasan di atas, semakin menegaskan akan pentingnya keberadaan sebuah negara dalam rangka pengeksekusin (penerapan) hukum-hukum Islam. Adanya legislative (pembuat hukum) hanya akan menjadi sebuah hiasan tanpa adanya eksekutor (pelaksana) hukum-hukum tersebut. Keberadaan legislative harus diikuti dengan keberadaan
eksekutif supaya hukum-hukum tersebut dapat membuahkan manfaat bagi kehidupan manusia. 4.2.3.2 Bentuk Pemerintahan Islam Imam Khomeini dalam sistem pemerintahan Islam berpendapat bahwa Pemerintahan Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada saat ini. Sebagai contoh, pemerintahan Islam bukan pemerintahan yang bersifat tirani, dimana para pemimpin negara dan pemerintahan yang tiran dapat bertindak sewenang-wenang atas harta dan kehidupan masyarakat mereka, memperlakukan orang sekehendak mereka, membunuh orang yang mereka inginkan, dan memperkaya seseorang yang mereka kehendaki dengan memberikan tanah dan harta milik orang lain. Seperti perkataan Imam Khomeini, Nabi termulia saw, amirul mukminin dan para khalifah tidak diijinkan untuk menjalankan kekuasaan tiran. Pemerintahan Islam tidak bersifat tiran dan juga tidak bersifat absolute kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Namun bukan bersifat konstitusional sebagaimana pengertian saat ini, yaitu berdasarkan persetujuan yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara mayoritas. Pengertian konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin adalah suatu subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang berlaku di dalam kegiatan memerintah dan mengatur negara yang dijalankan oleh pemimpin tersebut, yaitu kondisi-kondisi yang telah dinyatakan oleh al-quran dan as-sunah Nabi saw. Kondisi-kondisi tersebut merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam yang juga terdiri dari kondisikondisi yang harus diperhatikan dan dipraktikan. Pemerintahan Islam karenanya dapat didefinisikan sebagai pmerintahan yang berdasarkan hukum-hukum Ilahi (Tuhan) atas manusia (makhluk). Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki dan republik (Khomeini, 2002: 57).
Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki atau republik.
Karekteristik pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang raja (sebagai perwalian atas rakyat) dengan berdasarkan undangundang (legislasi), sedangkan karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif dan wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif adalah milik Allah SWT. Pembuat undang-undang suci ini adalah satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada seorangpun yang
berhak membuat undang-undang lain dan tidak ada hukum yang harus dilaksanakan kecuali hukum dari pembuat undang-undang yaitu hukum Allah SWT. Atas dasar itulah dalam sebuah pemerintahan Islam, badan atau majelis perencanaan mengambil peran sebagai Majelis legislatif, yang merupakan salah satu dari tiga cabang kekuasaan dalam pemerintahan yang ada saat ini yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Majelis ini menyusun program-program bagi
departemen-departemen kementrian di dalam rangka aturan-aturan Islam dan dengan cara demikian majelis ini akan menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Hukum-hukum Islam yang ada dalam alQur'an dan Sunnah Nabi telah diterima kaum muslim dan ditaati. Penerimaan mereka ini memudahkan tugas pemerintah dan menerapkan hukum-hukum tersebut dan membuatnya agar tetap menjadi milik rakyat dengan mensosialisasikannya. Sebaliknya, pada penerimaan republik atau monarki konstitusional, sebagian besar para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat, yang mana dengan suara mayoritas tersebut rakyat pasti akan mengabulkan apapun yang mereka kehendaki, kemudian memaksakan hal-hal yang menjadi kehendak mereka tersebut kepada seluruh penduduk yang dikuasainya. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berbasis hukum.
Dalam pemerintahan ini, kedaulatan hanyalah milik Allah serta hukum adalah
berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum ini mempunyai kewenangan mutlak atas semua individu dalam sebuah pemerintahan Islam. Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-hukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. Bahkan kekuasaan terbatas (dalam arti sesuai kehendak Allah dalam mendelegasikannya kepada manusia) yang dimiliki oleh nabi saw dan para pelaksana hukum Islam sepeninggal beliau adalah anugrah
Allah kepada mereka. Setiap Rasul saw menjelaskan permasalahan tertentu atau mengajarkan hukum tertentu, maka beliau melakukannya karena ketaatan beliau kepada hukum Allah, hukum dimana setiap manusia tanpa kecuali harus menaati dan mengikutinya. Hukum Allah berlaku bagi pemimpin dan yang dipimpin. Satu-satunya hukum yang sah dan berisi perintah yang wajib untuk ditaati adalah hukum Allah. Dalam pandangan Imam Khomeini, pandangan individu, bahkan pandangan pribadi Nabi saw tidak dapat ikut campur dalam permasalahan pemerintahan atau hukum Allah SWT. Seluruh manusia wajib mengikuti kehendak Allah SWT. Pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, terutama sistem kekaisaran. Pada tipe pemerintahan seperti kekaisaran, pemimpin pemerintahan berkuasa atas harta dan rakyat yang ia pimpin dan rakyat diharuskan memberikan semua yang ia inginkan (Khomeini, 2002:60). 4.2.3.3 Demokrasi menurut Imam Khomeini Berbagai macam bentuk pemerintahan menjadi perdebatan setiap negara untuk menuju perubahan yang lebih baik. Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang menempatkan kedaulatan di tangan seluruh rakyat, atau sebagian besar rakyat, sehingga warga yang menjadi magistrate (raja) lebih banyak daripada warga biasa dan swasta. Dewasa ini bentuk pemerintahan demokrasi mayoritas diterapkan di negara-negara Barat dan disebarluaskannya ke negara-negara timur. Banyak negara muslim yang akhirnya mengadopsi sistem demokrasi. Penentangan dan dukungan terhadap demokrasi sudah ada sejak kemunculan demokrasi. Seperti pendapat Rousseau, Apabila istilah-istilah demokrasi diterima secara ketat, sampai sekarang demokrasi yang sesungguhnya belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada. Suatu hal bertentangan dengan tatanan alami apabila sejumlah besar orang memerinah dan sejumlah kecil diperintah. Tak dapat dibayangkan bahwa rakyat terus menerus
berkumpul untuk menyelesaikan urusan umum. Dengan mudah dapat dipahami bahwa untuk keperluan itu, perlu dibentuk komisi tanpa mengubah bntuk administrasi (Rousseau, 2010:73).
Adapun Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan: Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, karena praktik ―kedaulatan rakyat‖ sering justru menjadi omong-kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang—sekalipun mengatasnamakan rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21). Imam Khomeini mengungkapkan pandangannya tentang sistem pemerintahan akan perlunya partisipasi rakyat dalam memilih para pemimpin. Dalam wasiatnya yang trakhir untuk rakyat Iran (dalam yamani, 2003:135) dia mengingatkan bahwa merupakan tanggung jawab yang berat bagi rakyat untuk memilih para ahli dan wakil yang akan duduk sebagai pemimpin atau dewan kepemimpinan. Imam Khomeini menekankan akan pentingnya posisi rakyat dalam pemerintahan dan negara. Namun demikian, kekuasaan rakyat, bukanlah kekuasaan yang mutlak. Negara, menurut Imam Khomeini adalah instrument bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di muka bumi. Tidak seperti dalam negara demokrasi (murni), pada dasarnya dalam negara Islam, tidak ada hak negara (yaitu lembaga legislative, sebagai wakil rakyat) untuk membuat undang-undang. Otoritas membuat undang-undang dan kedaulatan ada di tangan Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membua undang-undang, selain bertentangan dengan ajaran Islam juga hanya akan memaksa negara untuk menerima perundang-undangan
yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun menolak perundangundangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat (Yamani, 2003:117). Dalam beberapa pemikiran politiknya, Imam Khomeini tampaknya mengkritisi demokrasi Barat yang justru berkembang di dunia Timur. Menurut Imam Khomeini demokrasi Barat telah merusak dunia Timur, khususnya dunia Islam. Untuk itu umat Islam harus mengajarkan kepada orang-orang Barat tentang makna demokrasi yang sebenarnya. Ia menawarkan model baru demokrasi yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam dengan menyebut "demokrasi sejati". Bagi Imam Khomeini, yang dimaksud dengan demokrasi sejati adalah Islam. "inilah demokrasi. Bukan berasal dari Barat, yang sangat kapitalis, bukan pula demokrasi yang diterapkan di timur, yang telah melakukan penindasan kepada rakyat jelata (Haydar, 2001:62). Dalam penjelasannya Imam Khomeini menegaskan, bahwa rakyat memiliki otoritas dalam mewujudkan pemerintahan. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa pemerintahan sebagai perwujudan dari kehendak rakyat.
Partisipasi rakyat dalam penentuan sebuah
kepemimpinan sangat dijunjung tinggi oleh Imam Khomeini. Namun demikian, pada satu sisi rakyat memang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan pemimpinnya, pada sisi lain, Imam Khomeini menekankan agar dalam penentuan pilihan pemimpinnya, rakyat memegang teguh ajaran-ajaran Islam. Menurut Imam Khomeini, penyelenggaraan pemerintahan, penanggungjawab pelaksanaan hukum dan pengelolaan masyarakat harus komitmen menjaga dan menjalankan hukum-hukum agama. Maka dari itu, pemerintahan Islam ialah pemerintahan hukum Tuhan atas rakyat. Namun demikian, Imam Khomeini berpandangan meskipun kekuasaan yang ideal menurutnya dipegang oleh kaum filusuf fuqaha, namun ia sangat menolak jika menggunakan cara-cara pemaksaan. Sebab menurutnya "Kita tidak hendak membenarkan cara itu sehingga
kita jadi diktator. Tuhan dan Nabi Tidak pernah memberikan hak demikian itu kepada kita (Satori, 2007: 111). Ketika pemilu pertama di Iran akan diselenggarakan, Imam Khomeini mengatakan, saya mengajak setiap orang untuk memberikan suaranya kepada Republic Islam. Namun, anda semua dapat memberikan suara secara bebas. Anda memiliki hak untuk memberikan suara kepada rezim kerajaan, rezim demikrasi, atau rezim apapun yang ada dalam kotak suara. Anda bebas (Yamani, 2003:136).
Berbicara tentang sumber keabsahan Dewan pembentuk Konstitusi atau Majelis Konstituante Republic Islam Iran, Imam Khomeini mengatakan, keabsahan dewan pembentuk konstitusi diwujudkan dengan penunjukan dewan tersebut oleh rakyat. Mekanismenya adalah pemilihan umum yang dilaksanakan secara nasional. Dalam satu mekanisme, rakyat memilihnya secara langsung, dan dalam mekanisme yang lain, rakyat memilih wakil-wakil yang bertindak atas nama mereka. Mekanisme apapun yang dipakai, hak memilih itu sejatinya ada pada rakyat itu sendiri (Yamani, 2003:136).
Adapun pendapat Imam Khomeini terkait pemilihan kepala-kepala pemerintahan dan wakil-wakil d lembaga perwakilan adalah sebagai berikut, wali faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, dan kompetnsi yang sudah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figure mana yang sesuai dengan criteria semacam itu. Rakyat sendirilah, sekali lagi, yang harus mengelola urusan-urusan administrative dan bidang-bidang kerja yang serta urusan-urusan lain dalam pemerintahan mereka. Rakyat berhak memilih sendiri presiden mereka, dan memang sudah semestinya demikian. Sesuai dengan hak asasi manusia, anda semua, rakyat, harus menentukan nasib anda sendiri. Majelis (parlemen Iran) menempati posisi tertinggi di atas semua institusi yang lain, dan majelis ini tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat (Yamani, 2003:136).
Dalam kesempatan lain Imam Khomeini menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan menolak konsep bahwa kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu (elit) dalam masyarakat,
Pemilihan umum tidaklah dibatasi pada sekelompok tertentu dalam masyarakat – entah itu kelompok ulama, partai politik, atau yang lain-tetapi berlaku untuk seluruh rakyat. Nasib rakyat ada di tangan mereka sendiri. Dewasa ini hak pilih ada di tangan rakyat. Dalam pemilihan umum, semua warga negara adalah setara satu sama lain, entah itu presiden, perdana menteri, petani, pemilik tanah, atau pedagang. Dengan kata lain, setiap orang tanpa kecuali berhak atas satu suara.
Pada titik ini
Imam Khomeini memilih demokrasi bukan sebagai doktrin atau
ideologi, tetapi sebatas cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksanaannya dapat berkuasa serta efektif secara damai, seiring kebebasan karuniawi manusia. Sebab menurut Imam Khomeini, nasib selamat atas celaka suatu bangsa ada di tangan mereka, mereka bebas. Akan tetapi manakala mereka memilih hukum Islam dan wali faqihnya mereka harus komitmen pada pilihan ini, yakni patuh dan menerima kebebasannya diatur oleh hukum dan wali faqihnya. Hal ini ia lakukan melalui referendum di awal kemenangan revolusi Iran dan pemilihan umum Majelis Ahli (Mejlis Khubreghan). Dari pendapatnya di atas, Imam Khomeini mempertegas bahwa meskipun seorang pemimpin (wali-faqih) secara de jure memiliki kewenangan untuk memerintah, tetapi ia juga memerlukan suara dan kehendak rakyat, untuk dapat menjadi wali, berkuasa dan mengaktifkan kewenangannya secara praktis. Dengan begitu, wali faqih yang berkuasa, akan mendapatkan kekuatan legitimasinya dari dua sisi vertikal, dari Tuhan dan dari rakyat, sebesar jarak antara langit dan bumi (Satori, 2007:113).
Terkait dengan posisi perempuan dalam Islam, Imam Khomeini sangat tidak setuju terhadap intimidasi perempuan. Dalam hal persamaan antara laki-laki dan perempuan Imam Khomeini berpandangan bahwa Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan. Islam pertama muncul di jazirah Arab dimana wanita pada masa itu seperti barang dagangan dan perbedaan status yang sangan jauh dengan laki-laki. Akan tetapi Islam datang untuk menghapus itu semua dan Islam datang untuk ―menyamakan‖ mereka dengan laki-laki.
Beliau menambahkan juga, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan masa depannya dan kami ingin perempuan sampai pada kedudukan yang tinggi dan perempuan harus mampu untuk itu. Mengenai hak perempuan dalam Islam, Imam Khomeini berpandangan dari sisi hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda antara hak laki-laki dan perempuan, karena dua-duanya adalah manusia dan mereka memiliki hak dalam menentukan masa depannya masing-masing. Berusahalah dalam meraih ilmu dan ketaqwaan, karena ilmu adalah milik bersama tanpa pengecualian. Sekarang para perempuan menjadi partner dalam belajar atau hal lainnya di dalam semua bidang ilmu pengetahuan begitu juga industri.
Dalam hal berpolitik, perempuan juga memiliki hak berpolitik dan inilah tugas mereka. Seluruh perempuan dan laki-laki harus masuk dalam masalah sosial, politik bahkan harus menjadi pemantau perkembangan politik yang ada, dan tidak hanya itu mereka juga dituntut untuk menyumbangkan ide-ide mereka, sekarang perempuan harus melaksanakan tugas sosial dan agama mereka dan menjaga kehormatan umum dan di bawah kehormatan tersebut mereka melakukan urusan sosial dan politiknya. Perempuan di dalam urusan sosial politiknya harus menjadi partner para laki-laki, dengan syarat menjaga hal-hal yang telah diatur dalam Islam.
Setelah Iran menjadi Republik Islam Iran, pandangan Imam Khomeini terhadap kedudukan perempuan teraplikasikan dalam UU Republik Islam Iran, yaitu
Wanita dalam Undang-Undang Dasar Dalam menegakan fundasi-fundasi sosial Islam, semua tenaga manusia yang hingga kini telah menjadi pelayan bagi eksploitasi asing, akan diperoleh kembali dengan identitasnya yang sesungguhnya dan hak-hak manusiawinya yang sebenarnya. Dalam memperoleh kembali semua ini, adalah alami bagi kaum wanita, yang hingga kini tlah menderita penindasan yang lebih besar dari sistem tirani, akan lebih dipenuhi hakhaknya.
Keluarga adalah unit fundamental dari masyarakat dan pusat utama pertumbuhan dan kelanjutan umat manusia. Kesesuaian ideal-ideal dan aqidah dalam pembentukan keluarga sebagai pemersiap utama lahan gerakan evolusi dan perkembangan umat manusia, merupakan suatu prinsip dasar dan memberikan prinsip-prinsip, serta mempersiapkan kemungkinan bagi tercapainya tujuan ini, adalah tanggung jawab pemerintahan Islam ini. Dengan presep-presep semacam itu, wanita, sebagai suatu unit masyarakat, tidak lagi akan dipandang sebagai ‗barang‘ atau sebagai alat yang melayani konsumerisme dan eksploitasi. Dalam memperoleh kembali kewajibannya yang penting dan peranannya yang paling terhormat sebagai ibu dalam memelihara manusia-manusia yang berakidah, sebagai pelopor bersama kaum pria, sebagai prajurit yang aktif dalam medan juang kehidupan, akan mengakibatkan dia menerima tanggung jawab yang lebih serius. Dalam pandangan Islam ia akan mendapatkan nilai dan kebajikan yang lebih tinggi (UUD RRI, 10-11).
Adapun dalam aplikasinya pada sistem Iran modern bagaimana posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari dan bernegara, maka posisi perempuan di Iran termasuk ke dalam posisi perempuan yang maju dan dihormati. Hal ini dapat dilihat dari faktor pendidikan, karir, dan penyikapan fasilitas bagi perempuan oleh pemerintah. Ruang publik bagi perempuan Iran telah diberikan dan perempuan Iran pun banyak yang menjadi ilmuwan yang memegang sains high-tech.
Dalam bidang politik, Parlemen Iran mengesahkan menteri perempuan pertama dalam 30
tahun
sejarah
Republik
Islam
Iran,
Kamis
3
September
2009.
Menteri perempuan yang disahkan tersebut adalah Marzieh Vahid Dastjerdi. Marzieh menjabat sebagai menteri kesehatan. Marzieh merupakan salah satu dari 18 nominasi untuk kabinet baru Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Marzieh pada pengalaman politiknya pernah mengajukan proposal perawatan kesehatan terpisah di Iran, perempuan merawat perempuan dan lelaki merawat lelaki. Sebuah gagasan yang bagus untuk melindungi kehormatan kaum perempuan.
Beberapa penghargaan pemerintah terhadap perempuan pun salah satunya dengan dibangunnya fasilitas khusus yang dibuat khusus untuk perempuan,
seperti transportasi
khusus perempuan, yaitu gerbong kereta yang khusus perempuan dan terpisah dari laki-laki. Atas kemajuan perempuan Iran ini, Mentri Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak (Indonesia) Linda Amalia Sari Gumelar melakukan pertemuan dan kerjasama dengan Kepala Pusat Urusan Perempuan dan Keluarga (Iran) Mojtehed. Ketertarikannya untuk bekerjasama dengan Iran adalah karena penerapan sistem organisasi perempuan di setiap departemen di Iran, yaitu setiap departemen atau lembaga pemerintah di Iran memiliki centre of women office dan special advisor. Linda pun mengatakan, Kami sangat cocok untuk bekerja sama dalam isu pemberdayaan perempuan dan anak, lantaran Iran juga punya model yang bagus dalam pemberdayaan perempuan. Dengan hadirnya sistem tersebut, setiap kebijakan yang keluar dari setiap departemen di Iran, selalu diarahkan untuk tidak melupakan kepentingan perempuan dan jender. Adapun di bidang pemberdayaan ekonomi perempuan, pemerintah Iran memiliki kebijakan pemberian alokasi dana khusus bagi pemberdayaan ekonomi perempuan. Alokasi dana itu diberikan terpisah dari program bantuan untuk usaha mikro dan usaha kecil dan menengah (UKM) (Media Indonesia, 21 Oktober 2010)
Perempuan di Iran termasuk kategori yang maju dan berani untuk melakukan terobosanterobosan baru, jumlah lulusan perempuan di universitas sekitar 60% dari total sarjana atau lebih tinggi daripada laki-laki yang hanya sebesar 40% (Media Indonesia, 21 Oktober 2010). Apabila dibandingkan dengan posisi perempuan di berbagai negara, maka Iran dapat dikatakan sebagai negara yang menghargai perempuan. Isu kesetaraan jender yang berkembang dan diusung oleh para feminis merupakan suatu upaya perjuangan penyetaraan yang apabila dikaji lebih jauh akan menimbulkan suatu kontradiksi dan kepincangan. Perjuangan kesetaraan jender yang dikatakan untuk membela kaum perempuan justru banyak yang melechkan dan merugikan kaum perempuan itu sendiri. Dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana Iran memperlakukan perempuan dalam politik, apakah kabinetnya akan diisi oleh perempuan, Ahmaddinejad menjawab,
Kita semua adalah bagian dari bangsa Iran, seharusnya kita tidak memiliki pandangan yang bersifat jender (gender gaze), seluruh individu yang paling cocok dan paling memenuhi kualifikasi (baik pria maupun wanita) akan dipilih. Diskriminasi (yang didasarkan pada jender) pada kenyataannya akan selalu mempunyai konsekuensi negatif (Chaidaroh, 2011:47). Dalam beberapa hal jawaban Ahmaddinejad merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan kaum feminis, yaitu tentang keadilan tanpa mempertimbangkan jender, tapi pertimbangan kualifikasi (kualitas dan kapabilitaas serta akseptabilitas). Apabila kaum feminis berfikir objektif, jika yang diinginkan adalah kesetaraan dan persamaan, maka dalam menduduki peran dan posisi sosial politik, faktor yang terpenting adalah kualitas, kapabilitas dan akseptabilitas, bukan masalah ada atau tidak adanya wanita dalam posisi tersebut. Sehingga konsekuensinya, adanya posisi semisal mentri pemberdayaan wanita, atau meminta jatah kuota 30% merupakan isu yang menyalahi unsur kualitas, kapabilitas dan akseptabilitas. Bahkan isu tersebut secara tidak langsung menunjukan kelemahan perempuan dengan meminta-minta peran, posisi dan bagian bukan dengan menunjukan potensi atau kemampuan dirinya. Tidaklah tepat bahwa hal-hal yang biasanya berkaitan dengan perempuan harus perempuan pula yang mengurusinya karena laki-laki tidak akan memahami apa yang diinginkan perempuan, pada faktanya banyak laki-laki yang mempunyai keahlian
dan
pengetahuan lebih dari perempuan itu sendiri, keadilan perempuan bukan lah berarti dengan harusnya perempuan kembali yang memimpin, namun dengan memahaminya si pemimpin terhadap kebijakan-kebijakan hakiki yang harus diambil demi tebangunnya pemerintahan yang adil. 4.3 Aflikasi Wilayatul Faqih dalam Republik Islam Iran 4.3.1
Pencantuman Wilayatul Faqih Dalam Konstitusi Iran
Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979, telah berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut Dinasti Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigma
baru mengenai sistem pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah, dari monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara sekuler, maka Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara ―teo-demokratis‖ yang didominasi kaum Mullah (ulama Syiah) (Sihbudi, 2004:149-150). Sistem pemerintahan Republik Islam Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama. Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang faqih yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. Sebuah keyakinan bahwa pengaturan urusan-urusan adalah ditangan orang-orang yang alim tentang Allah, yang terpercaya dalam urusan yang menyangkut apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah, sebagai bagian dari kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh berbagai organ negara dan tugas-tugas Islam. Imam Khomeini mempunyai peran sangat penting terhadap berdirinya Republik Islam Iran. Dibawah pimpinan Imam Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang keputusan-keputusannya diikuti, menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam yang sejati dalam perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan wilayatul faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada puncak rezim Pahlevi, memberikan motivasi dan harapan yang jelas terhadap masyarakat Iran akan adanya perubahan pemerintahan di Iran (Satori, 2007:115). Masih pada tahun 1979, pasca terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII yang telah ditulis sejak Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga rancangan UUD rumusan Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua rumusan sebagai masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian
dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15 rumusan ini menyebutkan bahwa suara mayoritas merupakan prinsip negara dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara keIslaman sistem negara didukung oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana tidak tercatat kata wilayatul faqih. Imam Khomeini kembali memberikan waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada seluruh komponen masyarakat untuk memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada musim panas tahun 1979, media massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka yang berlatar belakang agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap sistem negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi. Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari sebagian mereka, baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama dengan para maraji’ memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah ini terus bergulir bagai bola salju yang pada akhirnya mereka meminta agar wilayatul faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD Republik Islam Iran (Satori, 2007:116-117). Menurut Yamani, konsep republik sebagaimana diterapkan dalam RII, telah dimodifikasi dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa disebut sebagai Trias Politika. Adapun mengenai wilayatul faqih, pasal 5 konstitusi Iran menyatakan bahwa selama gaibnya Shahib al-Zaman (Imam Mahdi), wilayah dan kepemimpinan umat beralih ke faqih yang adil dan saleh, yang memahami benar keadaan zamannya. Yang berani, cerdas, dan mampu memerintah, serta diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Adapun yang dirujuk oleh pasal konstitusi ini adalah tentang Imam Khomeini yang secara otomatis mengemban jabatan wali faqih tanpa proses seleksi, bukan eleksi (pemilu) (Yamani, 2003:127).
Selain pendapat-pendapat di atas, menurut Lapadi, tiga marja yang berpengaruh di antara maraji Qom, turut memainkan peran yang sangat penting bagi dimasukkannya prinsip wilayatul faqih ke dalam UUD RII. Pertama, Ayatullah Golpaigani. Beliau dalam manifestonya berkata, Bila UUD secara sempurna tidak sesuai dengan undang-undang syariat maka UUD seperti itu tidak boleh ditulis. Dan jika masalah asas negara yang berlandaskan sistem Imamah dan wilayatul faqih tidak dijelaskan dalam UUD, maka negara berdasarkan thagut dan zalim.
Kedua, Ayatullah Muntazeri yang mengeluarkan statemen berpengaruh dalam sejarah dicantumkannya kata wilayatul faqih dalam UUD. Ringkasnya beliau menyebutkan, …suara mayoritas berdasarkan hukum pemberi hidup Islam sebagai dasar negara...Pada zaman kegaiban besar Imam, maka wilayah (kekuasaan) berada pada mereka yang memiliki syarat-syarat berikut ini: (1) Orang yang memiliki kemampuan dalam masalah agama dan mujtahid; (2) Adil dan bertakwa; (3) Menguasai isu-isu dan dinamika politik. Ketiga, pendapat yang muncul dari usulan-usulan Ayatullah Mar‘asyi Najafi. Salah satu usulan beliau agar wilayatul faqih ditambahkan dalam UUD adalah; ―Wilayatul faqih yang memenuhi segala syarat (jami’us syarait) di setiap masa adalah standar yang tidak dapat diganggu gugat‖. Fatwa-fatwa ini kemudian diikuti oleh ulama lain dan masyarakat yang sejak awal dekat dengan mereka dan semakin memperkuat tekanan untuk memasukkan kata wilayatul faqih ke dalam rancangan UUD. Ditambah kelompok-kelompok lain di luar garis rohaniwan yang ikut mendukung usulan ini (Satori, 2007:117-118). Sejak perintahnya untuk menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini sebagai founding father revolusi tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses penulisan rumusan-rumusan yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan pencerahan
bahwa
yang
diinginkan
adalah
Islam.
Secara
perlahan-lahan
beliau
mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk tetap berada pada jalur Islam. Hal ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir yang berpihak ke Barat. Peran ini secara cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir pengumuman untuk mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII. Dalam tanggapannya terhadap kalangan rohaniawan yang kecewa mengapa kata wilayatul faqih tidak dicantumkan dalam rumusan UUD RII beliau menyampaikan sikapnya dengan ucapan yang sangat arif namun memberikan jawaban yang sesungguhnya. Khomeini menjawab; ―Masalah wilayatul faqih adalah sekian dari masalah yang saat ini tidak tepat bila saya ikut campur tangan, karena satu dan lain hal‖. Kata Wilayatul Faqih pada akhirnya memang tidak secara resmi disebutkan sebagai dasar negara, namun konsep-konsep dan ketentuan wilayatul faqih mewarnai system pemerintahan Republik Islam Iran. Beberapa pasal yang menyatakan secara langsung tentang konsep wilayatul faqih yaiu, Pasal 5 UUD RRI, menyatakan, selama masa ketidak hadiran imam yang ke dua belas (semoga Allah mempercepat kedatangannya), dalam Republic Islam Iran wilayat dan kepemimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa, mengenal zaman, pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang tanggung jawab jabatan ini sesuai dengan pasal 107.
Bab Delapan, Pemimpin dan Dewan Kepemimpinan, Pasal 107 UUD RII, menyatakan, setelah wafatnya marji’ al-taqlid terkemuka dan pemimpin besar revolusi Islam universal, dan pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini – quddisa sirruh al-syarif- yang diakui dan diterima sebagai marji‘ dan pemimpin olh mayoritas besar rakyat, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak para ahli yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan meninjau dan bermusyawarah diantara sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi yang dikhususkan dalam pasal 5 dan 109. dalam hal mereka mendapatkan satu diantara mereka lebih ahli dalam pengaturan Islam, masalah fiqih, atau dalam urusan politik dan sosial, atau memiliki popularitas umum, atau kemenonjolan khusus untuk salah satu dari
kualifikasi yang tersebut pada pasal 109. Mereka harus memilihnya sebagai pemimpin. Bila tidak demikian halnya, dalam ketiadaan keunggulan semacam itu, mereka harus memilih dan menyatakan satu diantara mereka sebagai pemimpin. Pemimpin yang terpilih semacam itu oleh dewan ahli akan memegang semua kekuasaan wilayatul-amr dan semua tanggung jawab yang timbul daripadanya. Pemimpin sama dengan rakyat lainnya dalam negara di mata hukum.
Pasal 109 UUD RII menyatakan, Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin ialah: a. Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih. b. Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan umat Islam. c. Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan.
berani,
mampu
dalam
Dalam hal banyak orang memenuhi kualifikasi dan persyaratan tersebut di atas maka orang yang lebih mahir dalam fiqih dan tajam pandangan politiknya yang akan diutamakan. 4.3.2
Bentuk Pemerintahan Iran
Bulan Januari 1979, ketika menulis gagasannya mengenai draft konstitusi pemerintahan Islam di tempat pengasingannya di Paris, Imam Khomeini ditanya mengenai bentuk negara dan pemerintahan Islam apa yang di cita-citakannya, ia menjawab, "seperti sepuluh tahun pemerintahan Rasulullah atau lima tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib".
Bagi Imam Khomeini, "Negara Islam" seperti Arab Saudi, Libia dan lainnya
bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru (Sihbudi,1991: 78). Menurut Imam Khomeini dalam Satori, mengatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam setidaknya mencakup dua kriteria, Pertama, pemerintahan tersebut harus didasarkan pemilihan umum. Khomeini berpendapat bahwa Seluruh anggota masyarakat ikut bertanggungjawab atas terpilihnya seseorang yang mampu dan bersedia membentuk republik tersebut. Seluruh rakyat memiliki hak untuk memilih dengan bebas.
Kedua, mengenai orang yang terpilih dan doktrin politik, ekonomi atau masalah sosial lainnya, akan didasarkan pada ajaran Islam. Khomeini mengatakan, Dalam pemerintahan yang demikian, pemerintah harus senantiasa melakukan hubungan permanen dengan dewan hasil pilihan rakyat, yang bila mereka tidak menyetujui mengenai suatu hal, pemerintah tak bias mengambil keputusan sendiri. Dan ia yang dipilih rakyat untuk memimpin pemerintahan Islam harus benar-benar memiliki berbagai kondisi yang menjamin kepatuhan kepada rakyat Islam dan bukan mewakili sekelompok minoritas. Sedangkan konstitusi dalam pemerintahan itu dibuat dengan prinsip-prinsip yang benar-benar terbukti berasal dari Qur'an dan tradisi Islam (Satori, 2007:116).
Mengenai Bentuk Pemerintahan Iran, semenjak kemenangan revolusi Islam tahun 1979,
Imam Khomeini dan para founding father Republik Islam Iran dengan penuh
kesadaran memilih bentuk republik. Di satu sisi jelas ini merupakan bukti bahwa mereka tidak tertutup dari gagasan politik baru, di sisi lain ini merupakan bantahan terhadap tuduhan bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur ke jaman abad pertengahan. Republik dipilih tentu saja karena bentuk pemerintahan ini dianggap bisa menjadi wadah bagi pemahaman mereka mengenai tata cara pengaturan negara modern yang sejalan dengan konsep Islam mengenai masalah ini. Meskipun dalam kenyataannya ada banyak hal penting yang perlu diperhatikan (Yamani,2002:127). Konsep republik, sebagaimana di terapkan dalam Republik Islam Iran, telah di modifikasikan dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang biasa disebut Trias Politika (Yamani,2002:127). Dalam hal persetujuannya dengan konsep demokrasi, di mana ditunjukan dengan istilah-istilah republik, konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam system pemerintahan Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara substansial mengenai makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini sekalipun pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum berasal dari Tuhan. Oleh karena itu konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan, yang tertera pada al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih. Menurut Imam Khomeini, negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional, namun pengertian konstitusional dengan negara hukum di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan.
Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif-disamping sebagai
pemegang kedaulatan- tertinggi yang sebenarnya, bukan parlemen (Azzam,1983:128). Singkatnya di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada pada faqih atau fuqaha yang menjalankan fungsi selaku wakil para Imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya berasal dari hukum Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Tetapi, bukan berarti tidak diperlukan adanya parlemen. Parlemen diperlukan guna menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri. Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintahan memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga hukum Islam; (2) melaksanakan hukum Islam; (3) membangun kembali tatanan yang adil; (5) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (6) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam; (7) memajukan pendidikan; (8) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (9) memberikan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi; (10) memecahkan masalah kemiskinan; dan (11) memberi pelayanan kemanusiaan secara umum (Satori, 2007:124).
Adapun berdasarkan asas-asas umum, sistem pemerintahan Republik Islam Iran, yaitu sebagai berikut, BAB 1 Asas-Asas Umum Konstitusi Iran Pasal 1 Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang telah disepakati oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Al-Qur‘an yang benar dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya yang dipimpin oleh Ayatullah al-‘Uzma Imam Khomeini, yang dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal 29 dab 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Djumadil Awal tahun 1399 H, yang ditentukan oleh mayoritas 98, 2% dari jumlah suara orang-orang yang berhak memilih memberikan suara persetujuannya. Pasal 2 Republik Islam Iran menerapkan suatu sistem yang berasaskan hal-hal sebagai berikut; 1. Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti yang terpantul dari kaimat ‘Laailaaha illallāh’). Kemahakuasaan-Nya dan Syari‘at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata dan kewajiban mentaati perintah-Nya. 2. Wahyu Ilahi dan peranannya yang mendasar dalam mengekspresikan dan menetapkan hukum perundang-undangan. 3. Qiyamah (kebangkitan di akhirat) dan peranan konstruktifnya dalam evolusi menuju Tuhan yang berarti kembali kepada Allah di alam Baka‘ 4. Keadilan Allah dalam Penciptaan dan Syari‘ah 5. Imamah dan Kepemimpinan positifnya serta peranannya yang terus menerus dalam kelanjutan Revolusi Islam. 6. Keagungan martabat dan nilai- nilai luhur kemanusiaan yang ada pada manusia dan kehendak bebas bersama tanggung jawab yang berkaitan dengan itu dihadapan Tuhan, yang mempersiapkan tegaknya keadilan, kemerdekaan politik, ekonomi, sosial dan kultural, serta kesatuan nasional, melalui hal-hal sebagai berikut: a. Praktek ijtihad yang berlanjut dari fuqaha yang memenuhi syarat berdasarkan Al-Qur‘an, Hadits Nabi dan para Imam b. Memanfaatkan pengetahuan dan teknologi serta pengalaman-pengalaman insani yang telah maju serta usaha-usaha yang dilakukan ke arah pengembangannya untuk terus memajukannya. c. Menghapus segala macam penindasan serta penyerahan kepada penindasan, menghapus tirani dalam penerapan maupun penerimaannya.
Bentuk dan asas-asas umum pemerintahan Republik Islam Iran semuanya mengacu pada konsep-konsep wilayatul faqih. Penggabungan antara konsep-konsep pemerintahan
dengan konsep yang bukan dari Islam, selalu didasarkan atas penyaringan dan pengkajian terlebih dahulu sehingga apapun yang diadopsi tidak keluar dari jalur aturan Islam yang dipahami oleh para Faqih Syiah Iran tersebut. 4.3.3
Struktur Politik Iran Pasca Revolusi
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada di tangan Imam (pemimpin dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat Syiah) atau dewan kepemimpinan (Syura-e-rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab ajaran Syiah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran utamanya. Pasal 5 Konstitusi Iran 1979 menyebutkan: Selama ketidakhadiran Imam yang kedua belas (semoga Allah mempercepat kedatangannya, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan ummat merupakan tanggung jawab dariseorang faqih (ahli hukum Islam) yang adil dan taqwa, mengenai zaman, pemberani, giat dan berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas ummat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih seperti itu tidak mempunyai mayoritas semacam itu, suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut diatas akan memegang tanggungjawab itu. Selanjutnya dalam pasal 107 disebutkan antara lain, Jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 5…sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (marja’i) dan pemimpin Revolusi Ayatullah Uzma Imam Khomeini. Pemimpin ini berkedudukan wilayatul faqih…apabila tidak demikian halnya maka tiga atau lima marja’i yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan akan dipilih untuk jabatan anggota dewan pimpinan dan diperkenalkan kepada rakyat.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut. Jelas kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan Imam. Semasa hidupnya Imam Khomeini selain berkedudukan sebagai Imam, juga sebagai wilayatul faqih. Kekuasaan Imam atau pemimpin tidak diperoleh melalui suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat. Ayatullah Imam Khomeini,
misalnya muncul sebagai penguasa tertinggi, karena dinilai berhasil memimpin revolusi Islam yang menggulingkan rezim monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam, sehingga Khomeini juga mendapat gelar sebagai ―Pemimpin Revolusi Islam Iran‖ dan ―Bapak Pendiri Republik Islam Iran‖. Meskipun demikian walaupun Imam Khomeini tidak memegang jabatan formal, baik sebagai Presiden ataupun Perdana Menteri, tetapi kekuasaan Khomeini sangatlah besar (Sihbudi,1989:63). Munculnya
Imam
Khomeini
sebagai
pemimpin
kharismatis,
yang
dapat
mempersatukan rakyat Iran, di sisi lain menimbulkan kesulitan bagi para pemimpin Iran dalam mencari penggantinya. Pasal 5 dan 107 Konstitusi Iran 1979 bahkan menyebutkan bahwa dalam hal tidak ada seorang yang dianggap tepat untuk menggantikan Khomeini, maka harus dibentuk suatu Dewan Kepemimpinan (Council of Leadership) yang terdiri dari tiga atau lima orang ulama, untuk menggantikan posisi Imam Khomeini jika ia meninggal. Kekuasaan Imam sangatlah besar seperti terlihat dari sejumlah wewenang yang dimilikinya, sebagaimana tercantum dalam pasal 110 yang antara lain menyebutkan: mengangkat fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shuraye-Nigahban); Fuqaha merupakan bentuk jamak dari faqih (ahli hukum Islam); marja’i adalah ahli agama yang menjadi panutan; sedangkan wilayatul faqih berarti faqih yang alim, adil takwa dan saleh, mengenal zam,an, pemberani, aktif, berinisiatif, yang paling menonjol, dikenal, dan di;akui sebagai pemimpin atau Imam (Konstitusi Iran, 1979: 67-68) mengangkat pejabat kehakiman tertinggi negara; mengangkat dan memberhentikan Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam; membentuk Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional; menyatakan perang dan damai; serta mengesahkan dan memberhentikan presiden (Sihbudi,1989:64).
Menurut Satori, (2007:127-129) menyatakan bahwa pada masa Kekuasaan Imam Khomeini, ada tiga lembaga yang sangat penting yang ada dalam pemerintahan Republik Islam Iran, yaitu: Dewan Revolusi Islam (Revolutionary Council), Partai Republik Islam (Islamic Republic Party), dan Pasadran (Pasukan Pengawal Revolusi Islam). Revolusi Iran (DRI) dibentuk tiga bulan sebelum kejatuhan Syah.
Dewan
Dewan ini dibentuk
dengan tujuan meletakan dasar-dasar negara Republik Islam Iran sebagaimana dikehendaki Khomeini dalam gagasannya tentang wilayatul faqih. Setelah berfungsinya pemerintahan Republik Islam Iran, DRI mulai menjalankan peranannya sebagai lembaga legislatif, dengan tugas utama membuat rancangan Undang Undang Dasar, mempersiapkan referendum, dan menjalankan pemerintahan sementara, namun setelah kejatuhan Presiden Mehdi Bazagan, DRI memegang peranan sebagai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sekaligus. Peranan ini dijalankan sampai berakhirnya masa tugas dewan ini, yaitu setelah terbentuknya parlemen hasil pemilihan umum tahun 1980. Setelah itu DRI kemudian dibubarkan oleh Imam Khomeini. Setelah Dewan Revolusi Islam dibubarkan, Partai Republik Islam (PRI) merupakan partai yang dominan di Iran yang dijadikan basis utama kelompok mullah yang berhasil menyingkirkan kekuatan nasionalis dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting. Kemudian partai ini terpecah menjadi dua fraksi, yaitu: Maktabiyah dan Hujatiyah. Keduanya saling bersaing dalam merebutkan sejumlah posisi. Maktabiyah merupakan fraksi yang radikal yang didukung mullah berhaluan keras, sedangkan hujatiyah merupakan fraksi yang lebih moderat. Namun meskipun terjadi pertentangan tetapi kedua fraksi ini sepakat dalam hal-hal: kepemimpinan Khomeini, perlunya mempertahankan Republik Islam Iran, dan keterlibatan kaum mullah dalam politik. Selanjutnya adalah Pasadran yang dibentuk pada Maret 1979, dengan tugas melindungi Revolusi dan hasil-hasilnya, sebagaimana dinyatakan dalam Kontitusi RII, pasal 150. pembentukan pasadran setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh dua hal: pertama, untuk menyatukan kelompok-kelompok bersenjata (milisi), kedua, untuk memperkuat angkatan bersenjata Iran.
Pasadran mempunyai tugas utama membantu Angkatan Bersenjata Iran
dalam memelihara perdamaian dan kemerdekaan negara, serta melawan musuh-musuh dari luar. Tugas lain Pasadran adalah menumpas apa yang disebut kaum kontra revolusioner,
yaitu geriliya Mujahidin dan Feydan Halq serta suku Kurdi.
Dalam hal ini Pasdaran
berfungsi menjaga kepentingan kaum mullah (Satori,2007:127-128). Dalam prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul faqih) dan keutamaan hukum Islam di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pasal 56 UUD RII, mengenai kedaulatan nasional dan kekuasaan yang berasal dari padanya, telah jelas disebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan Allah Yang Maha Kuasa, yang kekuasaannya atas umat manusia dan di dunia ini adalah mutlak. Adapun tiga kekuasaan dalam Republik Islam Iran adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan di bawah pengawasan wilayatul al-amr yang mutlak dan kepemimpinan umat sesuai dengan pasalpasal yang menyusul dalam Undang Undang Dasar RII. Dalam pelaksanaannya ketiga lembaga ini independen satu sama lainnya, dan presiden adalah penghubung diantara ketiganya. Kekuasaan legislatif melaksanakan prosedurnya melalui Majelis Syura Islami yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Perundang-undangan yang disahkan oleh majelis diteruskan kepada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif untuk penerapannya, setelah menyelesaikan berbagai tahap. Dalam masalah-masalah penting mengenai masa depan negara, persetujuan undang-undang itu dapat diperoleh dengan rujukan langsung kepada suara rakyat. Permintaan untuk melakuksn referendum harus disetujui oleh dua pertiga dari seluruh jumlah anggota Majelis. Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan para menteri, kecuali dalam halhal dimana pemimpin secara langsung bertanggungjawab menurut Undang-undang. Kekuasaan yudikatif dilaksanakan melalui pengadilan, yang harus didirikan di atas dasar
presep-presep Islam dan yang akan menyelesaikan persengketaan, melindungi hak-hak umum dan perluasan wilayah, administrasi keadilan, serta pelaksanaan perintah-perintah Ilahi. Ketiga lembaga negara tersebut di atas, mempunyai kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan semua lembaga dalam RII mengacu pada konsep wilayatul faqih dimana terintegrasi kesatuan antara para faqih dan keikutsertaan rakyat dalam bentuk pemerintahan Republik Islam Iran.
Model Kekuasaan Wilayatul Faqih Imam Khomeini
ALLAH
Pemegang Kedaulatan
NABI 12 IMAM ULAMA
Pemegang Kekuasaan
(Perwakilan Umum)
UMMAT
(Sumber: Satori, 2007:91 )
Berikut bagan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran:
ALLAH NUBUWWAH IMAMAH
DEWAN AHLI Majlis e-Khubregan
Wilayatul Al-Faqih
Presiden &
Dewan wali
perdana mentri
(syura-ye Negahban)
EKSEKUTIF
Dewan maslahat (the council of expediency) (syura-ye maslahat)
LEGISLATIF
Parlemen
Badan-badan
(majlis syuraye Islami)
yudikatif
YUDIKATIF
Catatan : Anggota Dewan Ahli, Presiden, dan anggota Parlemen dipilih dalam pemilu langsung (sumber: Yamani, 2003:164)