PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) dalam Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Oleh: SITI LESTARI NIM : 063111037
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
i
ii
iii
MOTTO
ãNà6ßJÏk=yèãƒur öNà6ŠÏj.t“ãƒur $oYÏG»tƒ#uä öNä3ø‹n=tæ (#qè=÷Gtƒ öNà6ZÏiB Zwqß™u‘ öNà6‹Ïù $uZù=y™ö‘r& !$yJx. ÇÊÎÊÈ tbqßJn=÷ès? (#qçRqä3s? öNs9 $¨B Nä3ßJÏk=yèãƒur spyJò6Ïtø:$#ur |=»tGÅ3ø9$# Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan AlHikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. 1
(Q.S. Al-Baqoroh: 151)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.
(Mario Teguh)
1
Soenarjo, Al-Qur an Dan Tarjamahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989) , hlm. 38
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini didedikasikan khususnya untuk kedua oranng tuaku, Bpk. H. Jaelani dan Ibu Wahyuni dan umumnya untuk seluruh cendikiawan yang menghendaki perbaikan dan kemajuan pendidikan Islam
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 6 Desember 2010 Deklarator,
Siti Lestari 063111037
vi
ABSTRAKSI Siti Lestari (NIM: 63111037). Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam. Skripsi. Semarang: Program Strata 1 Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo, 2010. Penelitiaen ini dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan akibat terjadinya dekadensi moral masyarakat yang sebagian besar dilakukan generasi muda yang notabenenya masih menyandang predikat peserta didik atau masih terikat dalam lembaga pendidikan formal. Ketidak seimbangan antara input intelektualitas dan pembentukan karakter ini menimbulkan sikap skeptis dari kalangan masyarakat terhadap kemampuan pendidik sebagai agen pendidikan yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan peserta didik baik spiritual, intelektual, moral, estetika, maupun kebutuhan fisik peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensinya yang meliputi potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sikap ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya mengintegrasikan peran orang tua, guru dan masyarakat sebagai serangkai pendidik yang masing-masing menempati peran vital dalam pembentukan peserta didik yang paripurna dalam hal intelektual, akhlak dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Berdasarkan kondisi di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1). Makna pendidik dalam pendidikan Islam, 2). Pandangan Hamka tentang pendidik dalam pendidikan Islam, 3). Relevansi pemikiran Hamka dengan pendidikan Islam sekarang. Berdasarkan data-data yang terkumpul dalam bentuk deskripsi (tulisan), maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan pendekatan studi tokoh atau pendekatan sejarah, dimana peneliti mengkaji pemikiran seorang tokoh baik itu persoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi terhadap pemikirannya. Pendekatan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemikiran seorang tokoh yaitu dengan cara meneliti karya-karyanya dan biografinya. Selanjutnya peneliti menggunakan metode filsafat Hermeneutik untuk mencari arti dan makna dari sebuah teks untuk ditelaah sehingga ditemukan maknanya yang terdalam dan laten untuk dibawa ke zaman sekarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara pendidik dalam keluarga (orang tua), sekolah (guru) dan masyarakat (komunitas sosial) adalah sangat terkait dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki anak didik menuju perkembangan yang optimal. Untuk mendukung komunikasi antara orang tua, guru dan masyarakat; Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta didik. Pemikiran ini bisa dikembangkan lebih jauh dengan banyak cara seperti kunjungan ke rumah, Case conference, membentuk badan pembantu sekolah, surat menyurat, dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti, dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji hanya milik Allah SWT, tiada harapan dan mimpi yang dapat mencapai pada perwujudannya kecuali Allah telah memeluk dan merestui harapan tersebut. Maka hanya kepada-Nya lah segala ikhtiar disandarkan pada keagungan dan keindahan nama-namaNya. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, sang junjungan yang senantiasa menjadi teladan sepanjang masa serta sang kota ilmu yang kapasitas intelektualitas, spiritualitas dan akhlaknya menjadi inspirasi bagi umat manusia. Skripsi yang berjudul “Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam” merupakan refleksi pemikiran yang penulis geluti selama menempuh studi di IAIN Walisongo Semarang dan aktivitas-aktivitas di luar kuliah yang turut memberikan sumbangsih pengalaman yang amat berharga. Banyak ide dan dorongan semangat yang senantiasa datang dari berbagai penjuru untuk mendukung penyelesaian tulisan atau penelitian ini. Oleh karna itu, terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. DR. H. Ibnu Hadjar, M. Ed selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang senantiasa berusaha memimpin almamater Pendidikan
Islam
dengan
baik
sehingga
membantu
penulis
untuk
menyelesaikan skripsi ini. 2. Drs. H. Fatah Syukur, M. Ag dan Syamsul Ma’arif, M. Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing penulis untuk menyusun skripsi. 3. Prof. DR. H. Erfan Subahar, M. Ag selaku wali studi yang senantiasa memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi. 4. Kedua orang tuaku tersayang, H. Jaelani dan Siti Wahyuni yang merupakan motivasi terbesar dalam hidup untuk mewujudkan banyak harapan dan citacita. Dan kakak terbaikku, Maftukhatul Asriyah dan Ulin Nuha. 5. Seluruh sahabat-sahabat yang inspired, siap sedia ketika dimintai bantuan dan selalu memberikan dukungan.
viii
6. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut terlibat dan membantu dalam penuntasan tugas akhir ini. Tak ada yang dapat penulis lakukan kecuali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan berdoa agar Allah SWT akan membalas dengan yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini memberikan kontribusi yang berarti dalam dunia pendidikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Semarang, 19 Oktober 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................
iv
HALAMAN DEKLARASI ...............................................................................
v
PERSEMBAHAN ............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR.......................................................................................
vii
ABSTRAKSI .....................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Penegasan Istilah.....................................................................
6
C. Permasalahan .........................................................................
10
D. Tujuan Penulisan Skripsi ........................................................
11
E. Kajian Pustaka .......................................................................
11
F. Metode Penelitian ....................................................................
13
PEMIKIRAN
HAMKA
TENTANG
PENDIDIK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Konsep Pendidik Dalam Islam ...............................................
17
1. Orang tua sebagai pendidik. .............................................
19
2. Guru sebagai Pendidik .....................................................
26
3. Masyarakat sebagai Pendidik ...........................................
28
B. Fungsi Penciptaan Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam....................................................................
34
C. Karakteristik Pendidik Ideal ...................................................
43
D. Muhammad, Sang Pendidik Teladan .....................................
49
x
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Latar Belakang Sosial, Intelektual, dan Karir..........................
51
B. Karya-karya Hamka ...............................................................
65
C. Pemikiran Hamka Tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam......................................................................................
BAB IV
RELEVANSI
PEMIKIRAN
HAMKA
70
DENGAN
PENDIDIKAN ISLAM MASA SEKARANG A. Urgensi Pendidik dalam Proses Pendidikan Islam .................
85
B. Relevansi Pemikiran Hamka dengan Pendidikan Islam Masa Sekarang.......................................................................
BAB V
91
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................
99
B. Saran-Saran............................................................................ 100 C. Penutup.................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIODATA PENELITI
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap terjadi dekadensi moral masyarakat, terlebih jika kerusakan tersebut dilakukan oleh para generasi muda yang notabenenya masih menyandang predikat peserta didik atau masih terikat dalam lembaga pendidikan formal, maka hampir semua pihak akan segera menoleh pada lembaga pendidikan dan menuduhnya tidak berkompeten dalam mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada guru yang dianggap alpa dan tidak professional dalam menjaga moralitas bangsa melalui pendidikan moral kepada peserta didik tersebut. Para guru tiba-tiba menjadi sorotan saat musibah kebobrokan moral, ketertinggalan atas perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban. Pribadi guru kemudian dikupas tuntas dan dipertanyakan secara kritis, mulai dari penguasaannya terhadap ilmu, metodologi, komunikasi, hingga moralitasnya. Pandangan dan sikap skeptis yang langsung diarahkan pada guru dan mengadilinya sedemikian rupa pada saat terjadi kebobrokan moral dan ketertinggalan teknologi anak bangsa sebenarnya merupakan sikap yang kurang dewasa. Mendidik pada dasarnya adalah tugas orang tua dengan melibatkan sekolah dan masyarakat. Tugas mendidik anak manusia pada dasarnya ada pada orang tuanya, namun karena beberapa keterbatasan yang dimiliki orang tua, maka tugas ini kemudian diamanatkan kepada pendidik di sekolah (madrasah), masjid, musholla, dan lembaga pendidikan lainnya. Sekolah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung pendidikan setiap generasi karena setiap generasi baru yang lahir akan menjadi bagian dari masyarakat yang diharapkan mampu mengemban tanggung jawab dalam menjawab berbagai persoalan kehidupan umat manusia, merekayasa masa depan masyarakat agar lebih baik dan melestarikan nilai-nilai dan warisanwarisan sosial-kultural.
1
Di dalam dunia pendidikan, pihak yang melakukan tugas-tugas mendidik dikenal dengan dua predikat yakni pendidik dan guru. Pendidik (murabbi) adalah orang yang berperan mendidik subyek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melakukan tugas mengajar (ta lim). Pendidikan mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin, dan memelihara, sedangkan pengajaran bermakna sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan kepada peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan atau didampingi oleh guru dan pendidik. Selain itu, pendidikan memiliki kedalaman etik dan ruhani yang lebih dibandingkan dengan pengajaran atau pembelajaran yang dimungkinkan peserta didik belajar
secara
mandiri
tanpa
diharuskan
hadirnya
guru
yang
mendampinginya. 2 Pada dasarnya, pendidik merupakan salah satu komponen pendidikan yang menempati posisi yang sangat urgen dalam mencapai tujuan dan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan peserta didik baik spiritual, intelektual, moral, estetika, maupun kebutuhan fisik peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensinya yang meliputi potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik sesuai dengan nilainilai ajaran Islam. Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya, baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd Allah sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga dewasa, bahkan sampai meninggal dunia (sepanjang hayat).3 Namun
pada
kenyataannya,
kesadaran
masyarakat
mengenai
pentingnya mengintegrasikan peran pendidik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat masih sangat minim. Sejauh ini, lembaga pendidikan formal atau sekolah masih dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab 2
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 36. 3 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), hlm. 41-42
2
atas terbentuknya peserta didik yang paripurna dalam hal intelektual, akhlak dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Lembaga pendidikan yang pada dasarnya merupakan wakil dan pembantu orang tua dalam mendidik anak, justru menempati posisi yang terlalu vital sehingga mereduksi peran penting orang tua dan masyarakat yang sebenarnya memberikan pengaruh lebih besar dibanding pendidik sekolah. Pemandangan ini menuntun kita untuk kembali mengkaji tokoh-tokoh pendidikan yang memiliki kecenderungan pemikiran mengenai hakikat pendidik
dalam
pendidikan
Islam
sebagai
solusi
alternatif
untuk
menumbuhkan pemahaman tentang tiga macam lembaga pendidikan (rumah, sekolah, dan lingkungan sosial) dimana sosok ”pendidik” ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu orang tua, guru, dan masyarakat sebagai lingkungan sosial. Salah satu pemikir pendidikan yang bergelut dalam bidang tersebut adalah Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amarullah, yang selanjutnya disebut HAMKA. Hamka lahir di Minanjau, Sumatera Barat, Senin, 16 Februari 1908. Ia adalah putra seorang tokoh pembaharu dari Minangkabau, Doktor Haji Abdul Karim Amrullah (sering disebut Haji Rasul) yang merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di makkah, pelopor kebangkitan kaum muda, dan tokoh pembaharu Muhammadiyah di Minangkabau. Hamka adalah seorang ulama intelektual, mubaligh, ahli agama, penulis, sastrawan, sekaligus wartawan majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, Gema Islam. Sosok Hamka adalah multiperan, selain sebagaimana yang telah disebutkan diatas, ia juga seorang pemikir pendidikan. Dalam salah satu pandangan Hamka mengenai pendidikan Islam, ia berpendapat bahwa pendidikan di sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karenanya, menurut ketua umum MUI pertama dan Imam besar Masjid Al-Azhar Jakarta ini; komunikasi antara sekolah dengan rumah dan masyarakat sangatlah penting.4
4
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006), hlm. 64
3
Pemikiran tersebut Hamka landaskan pada kenyataan bahwa orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk dan mewarnai pola kepribadian seorang anak. Dalam hal ini Nabi Muhammad bersabda:
(
)
”Setiap anak (manusia) itu terlahir dalam keadaan suci (fitrah), kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak)nya, apakah menjadikannya seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. (HR. Ibn ’Abd al-Barr)5 Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia, pada hakekatnya merupakan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan mempertahankan kelestarian kehidupannya, kemampuan rasional,
maupun kemampuan
spiritual. Hanya saja, kemampuan tersebut masih bersifat embrio. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan dan memperkaya potensi tersebut secara aktif. Upaya yang efektif untuk maksud tersebut adalah melalui proses pendidikan yang di dalamnya diperlukan peran aktif oleh para pendidik.6 Dengan mengaitkan Hadist di atas, Hamka berpendapat betapa Hadist tersebut memberikan isyarat bahwa proses pembentukan kepribadian pada diri anak ialah lingkungan dimana ia berada. Adapun lingkungan pertama yang mempengaruhi proses tersebut adalah lingkungan keluarga, yang mana ibu dan bapak menjadi pendidik pertama yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai agama yang mendasar bagi peserta didik atau anak. Dalam Islam, proses pendidikan yang dilaksanakan oleh ’pendidik’ orang tua ini secara formal dimulai dengan mengazankan dan mangiqomahkan anak tatkala lahir. Ajaran tersebut sesungguhnya memiliki nilai filosofis tersendiri. Seorang anak lahir dengan membawa anugerah Allah melalui seperangkat fitrah-Nya yang hanif dan dinamis. Sebelum potensi tersebut diisi dan dikembangkan dengan seperangkat nilai pendidikan yang lainnya, maka 5
Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy al-Bisty, Shahih Ibn Hibban, Jilid I, Tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1993), hlm. 336. 6 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 154-155
4
pertama sekali yang perlu ditanamkan adalah nilai-nilai Illahiah. Dengan nilai tersebut, diharapkan jiwa anak akan terpatri oleh nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya, sebagaimana nilai yang terkandung dalam kalimat azan dan iqomah yang dikumandangkan tatkala anak lahir di dunia. Tugas yang mulia ini, dibebankan kepada pendidik berupa orang tua anak.7 Dalam hal ini, Hamka memiliki kerangka pemikiran yang mengimbau sekaligus menegaskan mengenai apa yang sebenarnya menjadi tugas, rambu-rambu dan pelaksanaan pendidikan orang tua sebagai pendidik. Karena menurutnya, tanggung jawab orang tua tidak hanya memberikan nafkah secara materiil dan menghidupinya hingga dewasa. Selanjutnya, Hamka mengartikan sosok pendidik dalam lingkungan sekolah sebagai jembatan atau perpanjangan tangan antara orang tua dan masyarakat. Hal ini karena Hamka menganggap sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara sistematis, serta menjadi miniatur realitas sosial dimana
pendidikan dilaksanakan.
Mengenai hal ini,
Hamka
menempatkan pendidik sebagai komponen yang sangat mempengaruhi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif. Pendidik merupakan penanggung jawab terjadinya transformasi material dan nilai pendidikan, karenanya hubungan yang terjalin antara peserta didik dengan pendidik harus harmonis. 8 Menurut Hamka, seorang pendidik harus bisa menanamkan keberanian pada diri peserta didik untuk berani berargumentasi dan mengeluarkan pendapat, hal ini bisa diupayakan dengan jalan menguatkan pelajaran olah raga, menceritakan riwayat orang-orang yang berani, membiasakan berterus terang dalam bercakap-cakap, tidak percaya pada khurafat, dan memperkaya akal dan ilmu yang memberi faedah.9 Sedang pendidik dalam masyarakat adalah keseluruhan budaya, komunitas sosial, dan segala unsur apapun yang tercakup di dalamnya yang dapat membentuk dan mendukung kepribadian peserta didik. Akhlak peserta 7
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 140-141 8 Ibid. , hlm. 149 9 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm.208-209
5
didik dapat dikatakan sebagai cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada.10 Bahkan, eksistensi masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Karenanya jika semua unsur dalam masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem sosial yang kondusif dan proporsional dalam menopang perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki oleh setiap anak didik, maka bukan hal yang sulit untuk menemukan generasi-generasi yang cemerlang demi perbaikan bangsa seluruhnya. Oleh karena itu, hubungan antara pendidik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat adalah sangat terkait dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki anak didik menuju perkembangan yang optimal. Ketiganya mempunyai andil yang sama besar dan implikasi moral yang sangat strategis dalam mewarnai karakter peserta didik.11 Berdasarkan permasalahan tersebut, sekaligus mempertimbangkan pemikiran Hamka yang sangat relevan, modern, problem solving, dan berkesinambungan dengan masalah di atas, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian terhadap pemikiran Hamka yang berkaitan dengan hakikat pendidik dalam pendidikan Islam. Pemikir yang dalam perjalanan hidupnya sempat ’berkenalan’ dengan pemikir-pemikir pembaharu dan modern seperti Jamluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo ini menjadi alasan yang logis bagi penulis untuk menjadikannya sebagai rujukan utama dalam penulisan ini. Karenanya, penulis mengambil judul ”PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM”.
B. Penegasan Istilah Untuk memperjelas pengertian dan menghindari kesalahpahaman dalam pembahasan penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa istilah agar 10 11
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 13 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 173
6
memperoleh makna yang jelas. Adapun istilah-istilah dalam penelitian yang berjudul ” Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam” akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemikiran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pemikiran adalah
proses, perbuatan, cara memikir: probem yang
memerlukan pemecahan.12 Pemikiran juga bisa diartikan sebagai cara atau hasil berpikir.13 Pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang ada dalam diri manusia yang sangat esensial, yang berperan membentuk, mempertahankan, atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum (kelompok manusia) seperti kejayaan, keruntuhan, dan keadaan manusia.14 Hal ini berarti, Pemikiran merupakan hasil buah pikir seseorang secara mendalam dan akuntable dalam upaya memecahkan suatu permasalahan dengan menawarkan solusi alternatif dan logis terhadap suatu keadaan, sehingga ditemukan gambaran atau langkah-langkah yang
dapat
diperhitungkan dalam rangka pemecahan masalah tersebut. 2. HAMKA (Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amarullah) Hamka (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Hamka merupakan salah satu pemikir pendidikan yang banyak memberikan tawaran-tawaran konsep pendidikan Islam yang benar, yaitu yang sejalur dengan al-Qur’an dan Hadis. Berdasarkan kajiankajian yang pernah dilakukan, hampir semua aspek pemikirannya pernah 12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Edisi 2, hlm. 768 13 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), Edisi 3, hlm. 892 14 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradapan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 1
7
disoroti oleh para peneliti. Hanya saja, kajian yang khusus membicarakan pemikirannya tentang pendidikan Islam, secara utuh hampir belum pernah ditemukan, terutama tentang pendidik. Meskipun dalam bentuk penyajian yang tidak utuh dan spesifik, pemikirannya tentang pendidik, sebagai komponen pendidikan Islam dapat dilacak melalui karyanya, terutama dalam Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Inilah yang kemudian
melandasi
dan
menginspirasi
banyak
generasi
untuk
menerapkan pemikirannya terkait dengan pendidikan Islam, yang menurut hemat penulis; sederhana namun masih sangat relevan untuk dihadapkan pada zaman sekarang. 3. Pendidik Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), ataupun psikomotorik (karsa). Pendidik dapat juga diartikan sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT di bumi serta mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu.15 Pendidik ideal sepanjang zaman adalah Muhammad SAW yang setiap ucapan, perbuatan, maupun takrirnya merupakan teladan paling baik untuk dapat ditiru oleh semua umatnya. Oleh karena itu, dalam menentukan kriteria pendidik yang berdasarkan konsep pendidikan Islam, maka harus mengacu kepada keteladanan akhlak Rasul yang Qur’ani. Sehingga menurut tolok ukur pandangan pendidikan Islam, kriteria pendidik harus menjadikan faktor akhlak sebagai persyaratan pokok. 15
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 87
8
Sehubungan dengan ini, Nashi Ulwan (1981) menjelaskan bahwa seorang pendidik paling tidak memiliki lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah, bahwa seorang pendidik harus memiliki karakteristik berupa: a. Bertakwa kepada Allah. b. Ikhlas c. Berilmu d. Santun, lemah lembut e. Punya rasa tanggung jawab16 4. Pendidikan Islam Dalam al-Qur’an dan Hadist, ditemukan kata-kata atau istilahistilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba, allama, dan addaba (Q.S. al-Isra’: 24, Q.S. al-Alaq: 5, Hadist riwayat adDailamy). Kata rabba yang masdarnya adalah tarbiyyatan memiliki arti mengasuh, mendidik, memelihara, memperbaiki, menambah. Sedang allama yang masdarnya ta liman, berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Sedang addaba yang masdarnya ta diban dapat diartikan sebagai mendidik budi pekerti dan meningkatkan peradaban. Ketiga istilah tersebut merupakan satu kesatuan yang terkait. Artinya, bila pendidikan dinisbatkan kepada ta dib harus melalui pengajaran atau ta’lim, sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik maka diperlukan bimbingan atau tarbiyyah.17 Secara keseluruhan, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai ”Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan normal Islam”. Atau lebih spesifiknya, pendidikan Islam merupakan ”usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiusitas) 16 17
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 124 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 25-26
9
subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.”18 Pendidikan Islam memiliki sedikit perbedaan dengan pengajaran, dalam hal ini Hamka berpendapat bahwa, ”Pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.19 Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak disertai dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.20 C. Permasalahan Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amarullah (HAMKA) tentang Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam? 2. Bagaimana karakteristik pendidik ideal menurut pandangan HAMKA? 3. Apakah relevansi pemikiran Hamka dengan konteks pendidikan Islam sekarang? 18
Ibid, hlm. 28-29 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 266 20 Ibid, hlm. 266-267 19
10
D. Tujuan Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Penulis ingin mengetahui pandangan Hamka tentang pendidik dalam pendidikan Islam 2. Penulis ingin menemukan relevansi pemikiran Hamka dengan konteks pendidikan Islam sekarang.
E. Kajian Pustaka Untuk
menghindari
terjadinya
duplikasi-duplikasi
yang
tidak
diinginkan, maka peneliti menggali teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berhubungan atau yang pernah digunakan oleh penelitipeneliti terdahulu.21 Dalam hal ini, pengkajian dan penelitian terhadap pemikiran Hamka mengenai pendidikan Islam, khususnya pendidik masih sangat sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan masih jarangnya orang yang menganggap bahwa Hamka merupakan salah satu tokoh pemikir pendidikan. Meskipun demikian, penulis menemukan karya ilmiah yang membahas tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan Islam, yaitu: Skripsi karya Muhammad Latif (1192120), Fakultas Dakwah IAIN Walisongo yang berjudul Pemikiran Hamka Tentang Dakwah Islam (1997). Dalam skripsi ini, Muhammad Latif mengulas pemikiran Hamka dalam bidang metode, media dan materi dakwah. Dalam bab media dakwah yang menjadikan lembaga pendidikan formal dan lingkungan keluarga sebagai bagian dari media dakwah, penulis juga menyinggung mengenai pentingnya mencari ilmu. Dalam hal ini, ia mengutip pendapat Hamka bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan, maka ilmu pendidikan yang diajarkan harus berupa teori sekaligus praktek, karna proses pendidikan yang berjalan sistematis akan dapat diperkirakan hasilnya. Skripsi karya Thohar Imroni (4100060), Fakultas Ushuluddin IAIN 21
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm.
111
11
Walisongo yang berjudul Kesehatan Jiwa Dan Badan Menurut prof. Hamka (2006). Skripsi ini menjelaskan tentang pandangan Hamka sebagai ahli tasawuf bahwa untuk mencapai atau memperoleh kesehatan jiwa, manusia harus memperhatikan lima perkara: pertama, bergaul dengan orang-orang budiman; kedua, membiasakan pekerjaan berpikir; ketiga, menahan syahwat dan marah; keempat, bekerja dengan teratur; dan kelima, memeriksa cacatcacat diri sendiri. Skripsi karya Dina (1100101), Fak.Dakwah IAIN Walisongo yang berjudul Konsep Tasawuf Modern Hamka Dan Implementasinya Dalam Bimbingan Konseling Islam (2006). Sebagaimana tulisan diatas, penulis juga menempatkan Hamka sebagai tokoh tasawuf yang dalam pemikirannya, ia berpendapat bahwa hakikat dan tujuan tasawuf yang diartikan sebagai kehendak memperbaiki budi dan membersihkan bathin, dapat dilakukan dengan berusaha memperoleh kebahagiaan; menjaga kesehatan jiwa dan badan; merasa cukup dengan sesuatu yang dikaruniakan (qana’ah), dan berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah SWT (tawakkal). Ajaran tasawuf yang ditawarkan Hamka ini mampu menjembatani persoalan umat berkaitan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman modern ini. Skripsi karya Farida (1102171), Fakultas Dakwah IAIN Walisongo yang berjudul Studi Komparatif Pendapat Hamka Dan Dadang Hawari Dalam Memelihara Kesehatan Jiwa Hubungannya Dengan Fungsi Teknik Bimbingan Dan Konseling Islam (2007). Skripsi ini berkutat pada penjelasan mengenai konsep yang ditawarkan Hamka dan Dadang Hawari dalam upaya memelihara kesehatan jiwa. Tesis karya Akmal, mahasiswa master Pemikiran Islam Universitas Ibnu Khaldun (Uika) yang berjudul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Fokus penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah benar klaim yang sering muncul dari kalangan kaum liberal bahwa Hamka mendukung pluralisme. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa Hamka bukanlah pendukung pluralisme. Hal ini terbukti dari karya-karyanya, seperti Pelajaran
12
Agama Islam yang mengkritik keras dua aliran sesat, yaitu Bahaiyah dan Ahmadiyah.
Para
pendukung
pluralisme,
karena
prinsipnya
yang
menyamaratakan semua agama, justru seringkali membela Ahmadiyah. Skripsi Irham Shohibi yang berjudul Penafsiran Hamka Tentang Politik Dalam Tafsir Al-Azhar (2008). Skripsi yang menempatkan Hamka sebagai tokoh mufassir Indonesia ini berisi tentang penafsiran Hamka tentang tema-tema politik dalam Al-Qur’an menurut karyanya dalam tafsir Al-Azhar. Berdasarkan tulisan-tulisan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti angkat berbeda dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Disebabkan karna masih minimnya penelitian yang menempatkan Hamka sebagai tokoh pendidikan, maka dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pemikiran Hamka yang relevan dengan kondisi pendidikan sekarang, terutama dalam bidang pendidik sebagai komponen utama pendidikan Islam yang memiliki andil besar dalam melancarkan proses pendidikan. Hal ini karna dalam lintas sejarah kehidupannya, ia merupakan tokoh pendidik yang telah ikut andil dalam memperkenalkan pembaharuan pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan orientasi materi pendidikan Islam, yaitu ketika mengelola Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin serta pengembangan masjid al-azhar menjadi institusi pendidikan Islam modern. Selain itu, penulis juga hendak merelevansikan pemikiran Hamka dengan konteks kekinian terhadap pendidikan Islam. F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian biografi, yaitu studi tentang individu meliputi pemikiran dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap turning point moment atau
13
epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri. Dalam hal ini, warisan pemikiran Hamka tentang pendidik merupakan wacana yang sangat potensial untuk diteliti dan dikembangkan dalam rangka memperkaya konsep pendidikan nasional. Penulis juga menggunakan metode pendekatan studi tokoh atau pendekatan sejarah, objek yang dikaji adalah pemikiran seorang tokoh baik itu persoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi terhadap pemikirannya. Menurut Mukti Ali, pendekatan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemikiran seorang tokoh yaitu dengan cara meneliti karya-karyanya dan biografinya. 2. Metode Pengumpulan Data Penyusunan skripsi ini termasuk penelitian library research, yaitu mengumpulkan data teoritis sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan dengan memilih literature yang berkaitan dengan penelitian.22Metode ini digunakan untuk menentukan literatur yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti, di mana penulis membaca dan menelaahnya dari buku-buku bacaan yang ada kaitannya dengan tema skripsi, yaitu pemikiran Hamka tentang pendidik dalam pendidikan Islam. Karena penelitian ini berupa library research, maka pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menelusuri buku-buku atau kitab yang disusun oleh Hamka. Proses pengumpulan data ini dilakukan dengan bahan-bahan dokumen yang ada, yaitu dengan melalui pencarian bukubuku, jurnal dan lain-lain dikatalog beberapa perpustakaan dan mencatat sumber data yang terkait yang dapat digunakan dalam studi sebelumnya. Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Sumber Data Primer 22
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), Cet. 30,
hlm. 9
14
Yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari sumber asli, baik yang berbentuk dokumen maupun sebagai peninggalan lain. 23 Sumber data primer yang dijadikan sumber rujukan dalam penyusunan skripsi ini berupa sumber data tertulis yaitu bukubuku tulisan atau karya Hamka, seperti: 1) HAMKA, Lembaga Hidup (1962) 2) HAMKA, Falsafah Hidup (1984) 3) HAMKA, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka (1983) 4) HAMKA, Lembaga Budi (1985) 5) HAMKA, Hamka di mata hati umat (1994) 6) HAMKA, Pelajaran Agama Islam b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumbersumber data primer. Dalam sumber data sekunder, penulis mengambil karya beberapa penulis yang relevan dengan subyek kajian, seperti: 1) Buku yang berjudul Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (2008) karya Samsul Nizar. 2) Ensiklopedi Tokoh Pendidikan (2005) karya Ramayulis dan Samsul Nizar. 3) Pemikiran Pendidikan Islam (2009), oleh Ahmad Susanto. 4) Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (2005), karya Samsul Nizar. 5) Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006), karya Herry Mohammad. 6) Pemikiran Pendidikan Islam, karya Muhaimin. 7) Manusia dan Pendidikan, oleh Hasan Langgulung. 3. Metode Analisis Data Dalam menafsirkan teks yang tertuang di berbagai karya tulis 23
Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: CV. Tarsito, 1978), hlm. 125
15
Hamka, peneliti menggunakan metode filsafat Hermeneutik. Metode ini digunakan untuk mencari arti dan makna dari sebuah teks untuk ditelaah sehingga ditemukan maknanya yang terdalam dan laten untuk dibawa ke zaman sekarang.24Dengan metode tersebut, penafsir dalam hal ini peneliti dapat memahami suatu teks atau karya Hamka dengan menggunakan bahasa yang dipakai sehari-hari. Bahkan ada penafsiran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi peneliti berada. Selain itu, peneliti juga menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode deskriptif mencoba untuk memaparkan konsep-konsep pemikiran Hamka tentang pendidik. Sementara metode analitis merupkan gabungan antara deduktif, induktif, dan interpretasi. Deduktif digunakan untuk memperoleh gambaran detail tentang pemikiran Hamka dalam melihat makna pendidik dalam pendidikan Islam secara keseluruhan. Induktif digunakan untuk memperoleh gambaran utuh tentang pemikiran Hamka mengenai topik-topik yang diteliti setelah dikelompokkan secara tematik. Terakhir, interpretasi digunakan untuk menyelami pemikiran Hamka sehingga bisa ditangkap nuansa yang dimaksudkannya.
24
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 85
16
BAB II PEMIKIRAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Pendidik Dalam Islam Pendidik adalah komponen yang sangat penting dalam sistim kependidikan, karena ia yang akan mengantarkan anak didik pada tujuan yang telah ditentukan, bersama komponen lain yang terkait dan lebih bersifat komplementatif. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontiniu, sebagai sarana vital untuk membangun kebudayaan dan peradapan umat manusia. Dalam hal ini, pendidik bertanggung jawab memenuhi kebutuhan peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral, estetika maupun kebutuhan fisik peserta didik. Menurut Ahmad D. Marimba (1989) pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab terhadap pendidikan anak didik. Abuddin Nata (1997) menyebutkan, pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Secara singkat Ahmad Tafsir (1994) mengatakan, pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik.25 Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik. Al-Ghazali menganggap bahwa mendidik adalah pekerjaan yang paling mulia. Ia berkata bahwa seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah 25
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet-1, hlm.
30.
17
kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedang ia sendiripun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiripun harum.26 Lebih jauh lagi, al-Ghazali mendefinisikan pendidik sebagai orang yang bertugas menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.27 Pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah mereka yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab mendidik. Dalam Islam, pengertian mendidik tidak hanya dibatasi pada terjadinya interaksi pendidikan dan pengajaran antara guru dan peserta didik di muka kelas, tetapi mengajak, mendorong dan membimbing orang lain untuk memahami dan melaksanakan ajaran Islam merupakan bagian dari aktivitas pendidikan Islam. Oleh karna itu, aktivitas pendidikan Islam dapat berlangsung kapan dan di mana saja, bahkan oleh siapa saja sepanjang yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat baik dilihat dari prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran maupun ajaran Islam.28 Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat pahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat
kedewasaan
sehingga
ia
mampu
menunaikan
tugas-tugas
kemanusiaanya, baik sebagai khalifah maupun abd sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karna itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah, tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
26
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet-1, hlm. 64. 27 http://tanbihun.com/pendidikan/pendidik-dalam-pendidikan-islam/ - _ftn8, 27-01-2010 28 Ahmad Syar’i, op. cit., hlm. 32
18
1. Orang tua sebagai pendidik Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ali, dan nasb. Pembentukan keluarga bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dengan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat sahnya. Oleh sebab itu,
kedua suami istri itu merupakan dua unsur utama dalam
keluarga. Dalam pengertiannya yang sempit, keluarga merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika suami isteri itu dikaruniani seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping dua unsur sebelumnya. 29 Terbentuknya sebuah keluarga melahirkan konsekuensi baru yang menuntut masing-masing unsur tersebut memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, yaitu ayah sebagai pencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah di muka bumi, ibu berkewajiban menjaga, memelihara, dan mengelola keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Sedang anak berkewajiban patuh dan taat kepada orang tua. Tanggung jawab mendidik orang tua terhadap anaknya disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu: Pertama, karena kodrat, yaitu karna orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.30
29
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995) Cet-3, hlm. 346 30 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet-1, hlm. 172
19
Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik adalah orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya, agar mereka terhindar dari azab yang pedih. Firman Allah:
$pköŽn=tæ äou‘$yfÏtø:$#ur â¨$¨Z9$# ydߊqè%ur #Y‘$tR ö/ä3‹Î=÷dr&ur ö/ä3|¡àÿRr& (#þqè% (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ tbrâ•sD÷sム$tB tbqè=yèøÿtƒur öNèdt•tBr& !$tB ©!$# tbqÝÁ÷ètƒ žw ׊#y‰Ï© ÔâŸxÏî îps3Í´¯»n=tB ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q. S. At Tahrim/ 66:6). Ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah dengan orang tua yang menjadi pendidik utamanya. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ayah dan ibu) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini menunjukan bahwa kedua orang tua bertanggung jawab kepada anak-anak dan pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Pemeliharaan terhadap diri dan keluarga dapat dilakukan dengan cara meneladani Nabi dan memberikan bimbingan dan didikan agar terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia kafir dan batu-batu yang pernah dijadikan berhala dengan penyiksaan yang dilakukan malaikat-malaikat yang kasar hati dan perlakuannya sesuai dengan kadar dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka.31 31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 14, Cet-5, hlm. 326-327.
20
Untuk melaksanakan pendidikan terhadap anak didik dapat dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Beberapa aspek yang harus diperhatikan kedua orang dalam rangka pengembangan fitrah anak didik adalah meliputi pendidikan jasmani atau kesehatan, pendidikan akhlak atau moral, pendidikan intelektual (akal), pendidikan psikologikal dan emosi, pendidikan agama, dan pendidikan sosial. a.
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Keluarga mempunyai peranan penting untuk menolong pertumbuhan
anak-anaknya
dari
segi
jasmani,
baik
aspek
perkembangan ataupun aspek perfungsian dan dalam hal memperoleh pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan-keterampilan, kebiasaankebiasaan dan sikap terhadap kesehatan jasmani yang sesuai dengan umur, menurut kematangan, dan pengamatan mereka. Peranan keluarga dalam menjaga kesehatan anak-anaknya dapat dilaksanakan sebelum bayi lahir, yaitu melalui pemeliharaan kesehatan ibu dan memberi makanan yang baik dan sehat. Di antara cara-cara untuk mencapai tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan anak adalah: memberi peluang yang cukup untuk menikmati air susu ibu, menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani dan pakaiannya dan melindunginya dari hal-hal yang membahayakan, menyiapkan makanan yang bergizi dan baik untuk kesehatan, memberikan pengajaran dan teladan untuk berpola hidup sehat. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang termaktub dalam AlQur’an:
ÇÎÈ ö•àf÷d$$sù t“ô_”•9$#ur ÇÍÈ ö•ÎdgsÜsù y7t/$u‹ÏOur ”Bersihkan pakaianmu dan jauhilah kejahatan”. (QS. AlMudatsir: 4-5) Penafsiran ayat di atas (Al-Mudatsir:4) dikaitkan dengan kebiasaan orang arab mengatakan tentang seseorang yang ingkar janji dan tidak menepatinya, bahwa dia kotor pakaian. Tetapi, apabila ia
21
menepati janji dan tidak ingkar, maka orang arab mengatakan ia bersih pakaian. Tapi, sejumlah imam berpendapat bahwa yang dimaksud ayat di atas, adalah mencuci pakaian itu dengan air, apabila pakaian tersebut terkena najis. Hal ini dikarenakan menjaga kebersihan bagian dari upaya menjaga kesehatan jasmani. Sedang ayat 5 menunjukan perintah untuk menjauhi maksiat dan dosa yang dapat menyampaikan kepada adzab di dunia dan di akherat; karena jiwa itu jika bersih dari maksiat dan dosa akan siap untuk berlapang kepada yang lain dan mau mendengar dan rindu kepada apa yang diserukan pendidik untuk lebih dekat kepada Allah SWT.32
4 sptã$|ʧ•9$# ¨LÉêムbr& yŠ#u‘r& ô`yJÏ9 ( Èû÷ün=ÏB%x. Èû÷,s!öqym £`èdy‰»s9÷rr& z`÷èÅÊö•ãƒ ßNºt$Î!ºuqø9$#ur ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (QS. Al-Baqarah: 233) Kata al-walidat dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram; sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara seorang wanita dengan wanita yang lain.
32
Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Semarang: Tohaputra, 1989), hlm.
203-204.
22
Sejak kelahiran
hingga dua
tahun penuh,
para
ibu
diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah
penyusuan
yang
mempunyai
dampak
hukum
yang
mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusuinya. Penyusuan
yang
selama
dua
tahun
itu,
walaupun
diperintahkan, tetapi bukanlah kewajiban.Ini dipahami dari penggalan ayat
yang
menyatakan,
bagi
yang
ingin
menyempurnakan
penyusuannya. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu bapak sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi hendaknya jangan berlebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuannya. 33 b.
Pendidikan Akal (Intelektual) Pendidikan akal dapat dilakukan dengan mempersiapkan rumah tangga dengan segala macam perangsang intelektual dan budaya, seperti gambar edukatif, buku-buku dan majalah untuk menanamkan gemar membaca bagi anak, membiasakan anak berfikir logis, obyektif dan jernih dalam mengambil keputusan. Setelah memasuki usia yang cukup, orang tua dalam mengembangkan akal anak dapat dengan memasukkannya ke intansi pendidikan atau sekolah tanpa berfikir untuk lepas tangan.
c.
Pendidikan Psikologikal dan Emosi Dalam melaksanakan pendidikan psikologikal dan emosi anak, orang tua dapat menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat,
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 1, Cet-7, hlm. 233-234.
23
menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan umurnya, menciptakan penyesuaian psikologikal yang sehat dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain di sekelilingnya. Begitu juga dengan menumbuhkan emosi kemanusiaan yang mulia, seperti cinta kepada orang lain, mengasihi orang lemah, kehidupan emosi yang rukun dengan orang lain dan menghadapi masalah-masalah psikologikal secara positif dan dinamis. Cara orang tua mendidik dan memelihara anak dari segi psikologi adalah dengan mengetahui segala keperluan psikologi dan sosialnya, dan mengetahui cara memuaskannya untuk mencapai penyesuaian psikologinya. Konkretnya, orang tua perlu memberikan penghargaan perhatian, serta memberi anak peluang untuk menyatakan diri, keinginan, fikiran, dan pendapat dengan sopan dan hormat. d.
Pendidikan Akhlak atau Moral Pendidikan akhlak tidak bisa lepas dari pendidikan agama, sebab seorang muslim tidak sempurna agamanya sehingga akhlaknya menjadi baik. Orang tua memegang peranan penting dalam pendidikan akhlak anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya, sehingga segala tingkah lakunya sangat memberi pengaruh pada anak. Dalam hal ini, orang tua berkewajiban untuk memberi contoh atau teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh pada akhlak yang mulia, menyediakan bagi anak-anaknya peluang dan suasana praktis di mana mereka dapat mempraktekkan akhlak yang diterima dari orang tuanya, memberi tanggungjawab yang sesuai kepada anak agar mereka merasa bebas memilih dalam tindak tanduknya, dan menjaga mereka dari pergaulan yang merusak.
e.
Pendidikan Agama Pendidikan
agama
dan
spiritual
dilakukan
dengan
membangkitkan kekuatan dan kesediaan yang bersifat naluri dari diri anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaranajaran agama. Begitu juga membekalkan pada anak pengetahuan dan
24
nilai-nilai agama, kebudayaan Islam yang sesuai dengan umurnya dalam bidang aqidah,
ibadat, muamalat dan sejarah. Untuk
menanamkan semangat keagamaan pada diri anak dapat dilakukan dengan memberi tauladan yang baik pada anak tentang kekuatan iman dan pengamalan syariat, membiasakan mereka menunaikan ibadah sejak kecil, menyiapkan suasana agama, membimbing mereka membaca bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Allah untuk memperteguh iman, serta menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama. f.
Pendidikan Sosial Pendidikan sosial adalah mengupayakan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dalam sistim sosial yang luas, di mana kesediaan-kesediaan
dan
bakat-bakat
asasi
anak
dibuka
dan
dikeluarkan ke dalam kenyataan berupa hubungan-hubungan sosial dengan orang keselilingnya.34 Dalam mendidik seorang anak, orang tua mustahil dapat melakukannya sendiri. Oleh karena itu, orang tua membutuhkan wakil yang dapat membantunya untuk mengembangkan fitrah yang dimiliki anak sehingga dapat mencapai titik maksimal. Pendidik pertama dan utama adalah orang tua. Merekalah yang pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan tentang Allah, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun tugas orang tua untuk mendidik anak membutuhkan bantuan sekolah untuk bidang pengajaran karna sebagian waktu orang tua dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban lain, seperti mencari nafkah. Orang tua juga membutuhkan bantuan masyarakat, karena masyarakat perlu mengatur kebutuhan hidup di dunia ini dengan ikut andil mempersiapkan kaum muda menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Ini menyimpulkan bahwa semua pendidik mengambil bagian dalam usaha 34
Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 363-377
25
meraih
tujuan
hidup
sebagai
makhluk
berkebudayaan
dan
35
bermasyarakat.
2. Guru sebagai Pendidik Sekolah merupakan institusi kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran anak didik, menjadi cerdas. Secara terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan secara metodis, sistematis, intensif, efektif, dan efesien menurut ruang dan waktu yang telah ditentukan. Jadi penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan menurut metode dan sistim yang jelas dan konkret.36 Pencerdasan tersebut dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan mengenai reading (membaca) (berhitung).
Reading,
writing (menulis) dan arithmatics
sasarannya
bukan
hanya
mengembangkan
kemampuan membaca tulisan, tetapi lebih dari itu, yakni kemampuan membaca fakta kehidupan yang sedang berjalan. Adapun writing, sasarannya adalah kemampuan mengungkapkan sesuatu hal yang telah dibaca untuk kemudian disosialisasikan dalam bentuk tulisan. Sedangkan arithmatics, sasaran pokoknya adalah kemampuan menghitung dan membuat perhitungan agar setiap langkah kehidupan dapat menghasilkan kepastian. Untuk itu, materi pendidikan diorganisasi dalam bentuk kurikulum, yang kandungan isinya meliputi beberapa masalah tentang kealaman, sosial-kemanusiaan, moral-keagamaan menurut perbandingan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sosok yang ditugaskan untuk menjalankan seluruh perangkat sekolah tersebut demi pencapaian tujuan pendidikan pada seorang anak didik adalah guru.37 Makna
guru
sebagaimana
dalam
Undang-undang
republik
Indonesia, Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1, Pasal 1,
35
J. I. G. M. Drost, S. J., Sekolah: Mengajar Atau Mendidik? (Yogayakarta: Karnisius, 1998), Cet-7, hlm. 32 36 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), Cet-2, hlm. 105 37 Ibid, hlm. 106
26
Ayat 1 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.38 Makna tersebut dapat dipahami secara universal, maksudnya setiap kegiatan pembelajaran, baik yang terencana maupun tidak tentunya membutuhkan seorang pembimbing yang langsung dan tidak langsuang. Atau dapat dikata bahwa proses pembelajaran dalam masyarakat terdapat istilah learning cultures, yakni masyarakat belajar dengan cara tidak resmi sebagaimana kehidupan rutin sehari-hari dan teaching cultures, yakni masyarakat mendapat pelajaran secara resmi dari warga lain yang lebih tahu. Makna guru pada prinsipnya tidak hanya mereka yang mempunyai kualifikasi keguruan secara formal diperoleh dari bangku sekolah perguruan tinggi; melainkan yang terpenting adalah mereka yang memiliki kompetensi keilmuan tertentu dan dapat menjadikan orang lain pandai dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik. Matra kognitif menjadikan peserta didik cerdas intelektualnya, matra afektif menjadikan siswa mempunyai sikap dan perilaku yang sopan, dan matra psikomotorik menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif dan efesien, serta tepat guna. Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan guru yang artinya digugu dan ditiru. Namun dalam paradigma baru, pendidik tidak hanya berfungsi sebagai pengajar tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar. Pendidik dituntut untuk mampu memainkan peranan dan fungsinya dalma menjalankan tugas kependidikannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat menempatkan kepentingan sebagai individu, masyarakat, warga negara dan pendidik sendiri.
38
Undang-Undang Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2
27
Sebenarnya seorang pendidik bukanlah bertugas sebagai transfer of knowledge saja, tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan, pengarah, fasilitator dan perencana. Oleh karna itu fungsi dan tugas pendidik setidaknya mencakup tiga hal: Pertama,
sebagai
pengajar
(instruksional)
yang
bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah mencipatakannya. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin mengendalikan diri sendiri, anak didik dan masyarakat terkait upaya pengerahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan. 39 Dalam pelaksanaan tugas itu, seorang pendidik, dalam hal ini guru; dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa: (1) memperhatikan: kesediaan kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan anak didik. (2) membangkitkan gairah anak didik untuk belajar, (3) menumbuhkan bakat dan sikap anak didik yang baik, (4) mengatur proses belajar mengajar dengan baik, (5) memperhatikan perubahan-perubahan
kecenderungan
yang
mempengaruhi
proses
mengajar, (6) menciptakan hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.40 3. Masyarakat sebagai Pendidik Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya. Masyarakat juga dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan 39
Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), Cet-1, hlm. 113-114 40 Ibid, hlm. 114
28
tata budaya sendiri. Dalam arti ini, masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan; medan kehidupan manusia yang majemuk (plural: suku, agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya). Manusia berada dalam multikompleks antar hubungan dan antar aksi di dalam masyarakat.41 Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lapangan pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah. Dengan demikian, pengaruh pendidikan di masyarakat tampaknya lebih luas.42 Dalam hal ini, masyarakat sebagai pendidik; maka seluruh masyarakat bertanggung jawab terhadap terhadap penanaman nilai kebaikan, untuk kemudian bisa menumbuhkembangkan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan sosial. 43 Tanggung jawab masyarakat terhadap penanaman kecerdasan spiritual di setiap lini kegiatan sosial bisa menumbuhkan kesadaran bahwa hidup bersama mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan kehidupan ini. Pertumbuhan kesadaran hidup bersama kemudian bisa membuahkan nilai keadilan sosial. Oleh sebab itu, kehidupan masyarakat selanjutnya dijiwai dengan keadilan politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan anak didik menjelma dalam beberapa perkara dan cara yang dipandang merupakan metode pendidikan masyarakat yang utama. Cara yang terpenting adalah: Pertama, Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firmanNya:
41
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum Dan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 55 42 Ibid, hlm. 56 43 Suparlan Suhartono, op. cit., hlm. 107
29
4 Ì•s3YßJø9$# Ç`tã tböqyg÷Ztƒur Å$rã•÷èpRùQ$$Î/ tbrã•ãBù'tƒur ÎŽö•sƒø:$# ’n<Î) tbqããô‰tƒ ×p¨Bé& öNä3YÏiB `ä3tFø9ur ÇÊÉÍÈ šcqßsÎ=øÿßJø9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré&ur ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)
Ç`tã šcöqyg÷Ys?ur Å$rã•÷èyJø9$$Î/ tbrâ•ßDù's? Ĩ$¨Y=Ï9 ôMy_Ì•÷zé& >p¨Bé& uŽö•yz öNçGZä. 4 Nßg©9 #ZŽö•yz tb%s3s9 É=»tGÅ6ø9$# ã@÷dr& šÆtB#uä öqs9ur 3 «!$$Î/ tbqãZÏB÷sè?ur Ì•x6ZßJø9$# ÇÊÊÉÈ tbqà)Å¡»xÿø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNßg÷ZÏiB ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imran: 110) Kedua ayat di atas merupakan firman Allah yang berisi perintah kepada umat manusia sebagai komunitas sosial untuk saling mengingatkan berbuat baik dan mencegak perbuatan yang munkar. Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu; kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kokoh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan
30
itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah dan didikan. 44 Hal ini menunjukan bahwa masyarakat sebagai pendidik tidak akan berlangsung dengan baik jika tidak ada kekuatan berupa tekad untuk memberikan suatu pengaruh baik bagi peserta didik, namun kekuatan atas tekad tersebut tidak akan berjalan baik jika tidak dilakukan secara bersama-sama dengan menyatukan cita-cita untuk membentuk karakter peserta didik sehingga pada masanya dapat menjadi bagian dari masyarakat yang mampu mendatangkan manfaat secara global. Sedang ayat selanjutkan menggambarkan, bahwa ayat di atas mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin supaya mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi, karna umat atau masyarakat yang baik adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman dengan Allah.45 Ayat di atas juga menunjukan bahwa, kewajiban para pembimbing anak adalah menjaga fitrah anak tetap dalam kesucian dan terhindar dari berbagai penyelewengan atau kehinaan. Penjagaan fitrah anak berarti menyiapkan generasi yang suci. Selain itu, seorang pembimbing pun dituntut untuk menanamkan konsep-konsep keimanan ke dalam hati anak pada berbagai kesempatan dengan cara mengarahkan pandangan mereka pada berbagai gejala alam yang menunjukan kekuasaan, kebesaran, dan keesaaan Allah serta membiasakan mereka untuk berperilaku secara Islami. Kedua, dalam masyarakat Islam, seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya. Hal ini karena mereka berpedoman pada sumber ajaran Islam, yang termaktub dalam firman Allah (Al-Hujurat: 10):
44
Tim Tashih Depag, Bustami A. Gani dkk, Al-Qur an dan Tafsirnya, (Semarang: PT Citra Efhar, 1993), Jilid 2, hlm. 16. 45 Ibid, hlm. 22
31
”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.46 Adapun peran Masyarakat terhadap pendidikan anak adalah sebagai berikut: a. Masyarakat berperan serta dalam mendirikan dan membiayai sekolah. b.
Masyarakat berperan dalam mengawasi pendidikan agar sekolah tetap membantu dan mendukung cita-cita dan kebutuhan masyarakat.
c.
Masyarakat ikut menyediakan tempat pendidikan, seperti gedunggedung museum, perpustakaan, panggung-panggung kesenian, kebun binatang, dan sebagainya.
d.
Masyarakat menyediakan berbagai sumber untuk sekolah. Mereka dapat diundang ke sekolah untuk memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu masalah yang sedang dipelajari anak didik. Orangorang yang punya keahlian khusus banyak sekali terdapat di masyarakat, seperti petani, dokter, polisi, dan lain-lain.
e.
Mendukung dan siap sedia menjadi partner yang mempermudah proses pendidikan yang ada di lingkungannya. Semua ini perlu dilakukan karna nilai-nilai kependidikan akan lebih efektif jika anak didik berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, misalnya nilai kesopanan dan nilai yang berkaitan dengan spiritual. 47 Pada dasarnya, pengembangan fitrah manusia atau anak didik dapat
berkembang secara optimal dan mencapai tujuan final pendidikan, yaitu memperoleh akhlak yang mulia dengan didasari ilmu pengetahuan yang mumpuni; dapat terwujud jika pendidik yang berkecimpung dalam keluarga (orang tua), sekolah (guru), dan masyarakat (seluruh komponen masyarakat yang mendukung pendidikan) dapat berintegrasi untuk menyatukan tekad dan
46
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet-3, hlm. 176-177. 47 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 233
32
semangat dalam membimbing anak didik menjadi generasi yang unggul dan berakhlak mulia. Hal ini karena, menurut Sidi Gazalba ketiga pendidik tersebut merupakan satu kesatuan hierarki yang saling terkait, yaitu: 1.
Orang tua atau pendidik dalam rumah tangga, yaitu pendidik primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai usia sekolah. Orang tua dalam menjalankan proses pendidikannya juga tidak bisa lepas dari keterlibatan sanak kerabat, famili, saudara-saudara, teman sepermainan, dan kenalan pergaulan yang secara langsung atau tidak ikut serta dalam memberikan dampak dan pengaruh.
2.
Guru yang profesional, yaitu pendidik sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut.
3.
Kesatuan sosial, yaitu pendidikan tertier yang merupakan pendidikan yang terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat, suasana masyarakat setempat.48 Hal yang paling perlu ditegaskan dalam hal ini adalah, bahwa pendidik
orang tua merupakan pendidik pertama dan utama yang paling besar terlibat dalam pembentukkan dan pengembangan fitrah anak didik, sedang para guru adalah pembantu orang tua pada bidang yang tidak bisa ditanganinya sendiri, yakni pengajaran. Karna guru hanya berkedudukan sebagai pembantu orang tua, maka ia harus peka dan terbuka terhadap keinginan orang tua di dalam situasi tertentu. Kerja sama antara pendidik di keluarga dan sekolah sangat perlu untuk menunjang keberhasilan belajar siswa. Pekerjaan guru di sekolah akan lebih efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan pengalaman anak didik di rumah tangganya. Anak didik yang kurang maju dalam pelajaran, berkat kerja sama orang tua anak didik dengan pendidik, banyak kekurangan anak didik yang dapat teratasi. Apa-apa yang dibawa anak didik dari keluarganya, tidak 48
Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam, Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 26-27.
33
mudah mengubahnya. Kenyataan ini harus benar-benar disadari dan diketahui oleh pendidik, oleh karna itu dalam menjalin kerja sama dapat dilakukan dengan banyak hal, dianataranya adalah melakukan kunjungan ke rumah anak didik, mengundang orang tua ke sekolah, rapat atau konferensi tentang kasus, mengadakan surat-menyurat antara sekolah dan keluarga, dan lain-lain.49 Sedang hubungan pendidik orang tua dan guru dengan masyarakat dapat dilihat dari dua segi, yaitu sekolah sebagai partner masyarakat di dalam melaksanakan fungsi pendidikan. Hal ini karena ketiga pendidik tersebut merupakan pusat-pusat pendidikan yang potensial dan mempunyai hubungan yang potensial. Kedua, sekolah merupakan prosedur yang melayani pesanpesan pendidikan dari masyarakat. Hubungan masyarakat dengan pendidikan sangat bersifat korelatif, bahkan seperti telur dengan ayam. Karenanya, tidak heran jika Mohammad Noor Syam dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, mengatakan; masyarakat maju karna pendidikan, dan pendidikan yang maju hanya akan ditemukan dalam masyarakat yang maju pula.50
B. Fungsi Penciptaan Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya dengan dilengkapi berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti panca indera dan hati. Hal ini agar
manusia
bersyukur
kepada
Allah
yang
telah
menganugerahi
keistimewaan- keistimewaan itu.
ÇÍÈ 5OƒÈqø)s? Ç`|¡ômr& þ’Îû z`»|¡SM}$# $uZø)n=y{ ô‰s)s9 ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q. S, At-Tiin/95:4).
49
Hasbullah, op. cit., hlm. 91-94 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 199 50
34
Huruf na pada kata kholaqo di atas menunjuk kepada makna jamak atau banyak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Para raja pun biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata ”kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Penggunaan na di atas mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Ini menunjukan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang lain itu sebagai ”pencipta” sama sekali tidak seperti Allah, melainkan hanya sebagai alat atau perantara. Ibu bapak mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penciptaan anakanaknya, termasuk dalam penyempurnaan keadaan fisik dan psikisnya. Para ilmuwan mengakui bahwa keturunan, bersama dengan pendidikan, merupakan dua faktor yang sangat dominan dalam pembentukan fisik dan kepribadian anak.51 Pembentukan fisik ini pun disesuaikan dengan fungsinya. Manusia memiliki keistimewaan yang melampaui binatang, yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Sehingga bentuk fisik dan psikis yang baik ini menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsi penciptaannya dengan baik.52
ÇÌÈ çŽ•ÅÁyJø9$# Ïmø‹s9Î)ur ( ö/ä.u‘uqß¹ z`|¡ômr'sù ö/ä.u‘§q|¹ur Èd,ptø:$$Î/ uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# t,n=y{ ”Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah kembalimu” (Q. S, At Taghabun/ 64:3). Tidak jauh berbeda dengan penjelasan ayat sebelumnya, ayat di atas (Q. S, At Taghabun/ 64:3) juga menegaskan bahwa Allah telah membentuk manusia dengan satu bentuk yang unik, dengan bentuk yang sebaik-baiknya
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Volume 15, Cet-X, hlm. 377. 52 Ibid, hlm. 378.
35
sehingga dengan demikian manusia dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya, yaitu khalifah dan abd Allah.53 Secara lebih rinci keistimewaan- keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada manusia antara lain adalah kemampuan berfikir untuk memahami alam semesta, dirinya sendiri, dan memahami tanda-tanda keagungan Allah. Keistimewaan- keistimewaan ini diberikan bukan tanpa tujuan, karena seperti yang tersinyalir dalam Al-Qur’an, Allah SWT menciptakan manusia bukan secara main-main54melainkan dengan suatu tujuan dan fungsi tertentu. Secara global tujuan dan fungsi penciptaan manusia itu dapat diklasifikasikan kepada dua, yaitu: 1.
Khalifah Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat.55 Di antara amanat yang dibebankan kepada manusia adalah memakmurkan kehidupan di bumi. 56 Karena amat mulianya manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.57 Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama, adalah pengganti, yaitu pengganti Allah SWT untuk melaksanakan titahNya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, maka dapat diartikan bahwa manusia telah menerima mandat dari Allah untuk menjadi penguasa yang mengatur bumi dengan segala isinya dengan tujuan memakmurkan kehidupan di bumi. Tugas kekhalifahan ini didukung oleh kewenangan dan kemampuan manusia yang diberikan oleh Allah. Kewenangan mengelola bumi telah melekat pada manusia sejak awal 53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 14, Cet-V, hlm. 264. 54 Lihat dalam Q. S. Al Mukminun/ 23: 115 55 Q. S. Ar Ruum/ 33:72 56 Q. S., Hud/11:61 57 Q. S. Al Baqarah/ 2:30
36
penciptaan manusia, sedang kemampuan untuk menjadi khalifah memerlukan sebuah proses berilmu pengetahuan.58 2.
’Abd (Pengabdi Allah) Konsep ’Abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi ini memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah. Bila tingkat ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadhu , tidak arogan dan akan senantiasa pasrah pada semua perintah Allah. Secara luas, konsep ‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah. Pada dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah yang jika dipahami, dihayati, dan diamalkan maka akan mengantarkan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna atau al-insan alkamil.59 Pandangan di atas merupakan visi filosofis dan antropologis yang
dinukilkan Allah dalam Al-Qur’an yang telah mendudukkan manusia di alam semesta ini ke dalam dua fungsi pokok, yaitu khalifah dan abd. Pandangan kategorikal demikian tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme-dikotomik, tetapi menjelaskan muatan fungsional yang harus diemban manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. Konsep khalifah dan abd tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan, melainkan keduanya harus diletakkan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya memiliki relasi dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya. 58
Agus Mustofa, Membonsai Islam, (Jakarta: Padma Press, 2006), Cet-1, hlm. 122 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Histories, Teoritis Dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 20 59
37
Agar manusia mampu melaksanakan tugas dan fungsi penciptaannya, maka manusia dibekali Allah dengan berbagai potensi dan kemampuan. Dalam Islam, kemampuan ini disebut fitrah. Potensi atau kemampuan itu disebut oleh Hasan Langgulung sebagai sifat-sifat Tuhan yang tersimpul dalam Al-Qur’an dengan nama-nama yang indah (Asmaul Husna), dengan mendasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu secara nonfisik, sebagaimana firman Allah SWT:
ÇËÒÈ tûïωÉf»y™ ¼çms9 (#qãès)sù ÓÇrr•‘ `ÏB ÏmŠÏù àM÷‚xÿtRur ”Dan aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku” (QS. AlHijr: 29)” Ayat di atas membedakan juga dengan jelas asal kejadian manusia dan asal kejadian jin. Perbedaan itu tidak saja pada unsur tanah dan api, tetapi yang lebih penting adalah bahwa pada unsur kejadian manusia ada ruh ciptaan Allah Swt. Unsur ini tidak ditemukan pada iblis atau jin. Unsur rohani itulah yang mengantar manusia lebih mampu mengenal Allah Swt., beriman, berbudi luhur, serta berperasaan halus. Dengan peniupan ruh ini, Allah memberi potensi ruhaniah kepada makhluk manusia yang menjadikannya dapat mengenal Allah Swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya.60 Hal ini berarti bahwa kelahiran manusia tidak lepas dari sifat-sifat keagungan Allah yang tertuang dalam Asmaul Husna, sehingga manusia lahir dengan membawa fitrah, yakni asmaul husna.61 Dalam falsafah Islam, sifatsifat Tuhan hanya dapat diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengakui dirinya sebagai Tuhan. Dalam konteks ini, manusia harus memahami bahwa sifat-sifat itu diberikan Tuhan adalah sebagai amanah, yaitu tanggung jawab yang besar yang pada suatu saat akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah 60
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Volume 14, Cet-V, hlm. 122-123. 61 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), Cet-1, hlm.139.
38
SWT. Untuk itu, manusia harus mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini, baik sebagai abd maupun khalifah di bumi.62 Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia, pada hakikatnya merupakan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan mempertahankan kelestarian kehidupannya, kemampuan rasional,
maupun kemampuan
spiritual. Hanya saja, kemampuan tersebut masih bersifat embrio. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan dan memperkaya potensi tersebut secara aktif. Upaya yang efektif untuk maksud tersebut adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan, dalam perspektif pendidikan Islam, merupakan sarana untuk membantu peserta didik dalam upaya mengangkat, mengembangkan dan mengarahkan potensi pasif yang dimilikinya menjadi potensi aktif yang dapat teraktualisasi dalam kehidupannya secara maksimal. Dimensi ini memberikan pengertian, bahwa dalam konteks ini pendidikan bukan sarana yang berfungsi sebagai indoktrinasi pembentukan corak dan warna kepribadian peserta didik sebagaimana yang diinginkan oleh pendidik atau sistim pendidikan yang ada. Akan tetapi, pendidikan di sini berfungsi sebagai fasilisator berkembangnya potensi peserta didik secara aktif sesuai dengan sunnatullahnya masing-masing dan utuh, baik itu potensi fisik maupun psikis. Untuk itu, sistim dan proses pendidikan yang dilaksanakan, harus mampu menyentuh dan mengayomi keseluruhan dimensi potensi peserta didik sesuai dengan irama perkembangannya secara harmonis dan integral. 63 Adapun jenis fitrah, terbagi dalam banyak bagian, tetapi yang terpenting adalah sebagai berikut: 1. Fitrah agama Sejak lahir, manusia mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui bahwa adanya Dzat maha Pencipta dan maha Mutlak, yaitu 62
Ibid, hlm. 21 Samsul Nizar, Sejarah Dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal Dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet- 1, hlm. 154-155 63
39
Allah SWT. Sejak di alam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya,64 sehingga ketika dilahirkan, ia berkecenderungan pada Al-Hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah). 2. Fitrah intelek Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.65Allah SWT sering mengingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat ”Afala
Ta qilun,
Afala
Tatafakkarun,
Afala
Tubshirun,
Afala
Yatadabbarun, dan seterusnya. Karena fitrah inteleknya inilah derajat manusia jauh lebih tinggi daripada makhluk Allah yang lain dan yang membedakan pula antara manusia dan hewan. 3. Fitrah sosial Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan.
Kebudayaan
ini
merupakan
cermin
manusia
dan
masyarakatnya. Dalam hal ini, tugas pendidikan adalah menjadikan kebudayaan Islam sebagai proses kurikulum pendidikan Islam dalam seluruh peringkat dan tahapannya. 4. Fitrah susila Kemampuan manusia untuk mempertahankan harga diri dan sifatsifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya, serta sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina. 5. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup)
64 65
Lihat: Q. S. , Al-A’raf: 172 Tim. Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Dirjen PKAI, 1987), Jilid 1, hlm. 80
40
Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniah dengan memanfaatkan kekayaan dalam rangka beribadah kepada Allah demi kelangsungan hidupnya. 6. Fitrah seni Kemampuan manusia yang menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat Al-Jamal. Tugas pendidikan dalam hal ini adalah memberikan suasana gembira dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan merupakan proses kesenian yang menuntut adanya seni mendidik. 7. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin dihargai, menikah, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia lainnya.66 Fitrah-fitrah di atas harus mendapat tempat dan perhatian serta pengaruh dari faktor eksogen manusia (environment) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian al-Nafsu Ammarah bis Suu, sehingga manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang menciptakannya, yaitu penghambaan dirinya sebagai abd dan khalifah. Cara yang tepat untuk mengembangkan dan memelihara fitrah manusia ini adalah melalui pendidikan, karena pendidikan mencakup berbagai dimensi: badan, akal, perasaan, kehendak dan seluruh unsur kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna, karena potensi-potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga. Dengan adanya pendidikan ini maka dapat diketahui bakat dan kemampuan anak didik, sehingga bakat dan kemampuan tersebut dapat dibina dan dikembangkan. Dan menjadi tugas pendidiklah untuk membantu anak didik agar mengetahui bakat dan kemampuannya. Di samping itu pendidik 66
Muhaimin, op. cit., hlm. 139-140
41
juga berkewajiban untuk menemukan kesulitan-kesulitan yang membatasi perkembangan potensinya serta membantu menghilangkan hambatan itu untuk mencapai kemajuan anak didik. Jika dilihat dari segi kemampuan dasar paedagogis, manusia dipandang sebagai Homo Edukandum yaitu makhluk yang harus dididik, oleh karena itu, manusia dikategorikan sebagai animal educable, yaitu manusia sebangsa hewan yang dapat dididik. Manusia dapat dididik karena memiliki akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan (homo sapiens), di samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya sendiri. 67Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan bahwa manusia merupakan makhluk paedagogis, yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.68 Beberapa alasan yang mendasari dan mengharuskan manusia harus dididik adalah karena; Pertama, anak manusia lahir tidak dilengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan. Kedua, anak manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara tepat berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif. Ketiga, awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani (bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri), atau mencapai kebebasan fisik dan jasmani.69 Bila landasan biologis yang menjadi salah satu alasan harus dididiknya manusia di atas tidak dilakukan, maka hal ini dapat berimplikasi pada masa depan manusia dalam kehidupan sosial maupun kehidupannya sebagai sebuah individu utuh, diantaranya adalah dapat menjadikan manusia tidak berbudaya, dan karena kemampuan pendidikannya terbatas, atau bahkan sangat kurang, maka perlu dididik kembali atau reedukasi yang prosesnya tentu akan lebih
67
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet-1, hlm.
15 68
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), halm. 16 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), Cet-2, hlm. 33 69
42
rumit dan lama dari pendidikan sejak sebelum atau sesudah manusia lahir sebagaimana konsep pendidikan sepanajang hidup yang diusung dalam agama Islam. Kenyataan bahwa manusia adalah Homo Edukandum, makhluk paedagogis, dan makhluk resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi
dan pengembangan komponen-komponen tersebut.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa sistim pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah, yaitu antara materi dan immateri, dalam pendidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangan dan tidak akan pernah menjadi pribadi yang sempurna (insan kamil).70 Untuk upaya pengembangan fitrah yang merupakan bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, maka diperlukan campur tangan pendidik sebagai salah satu komponen pendidikan Islam yang selalu menyertai proses pendidikan peserta didik. Dalam hal ini, pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan dan kecakapan dalam mendidik. Di sinilah peran orang tua, guru dan masyarakat sebagai pendidik yang secara integral bertanggung jawab atas pembentukan dan pengembangan fitrah yang dimiliki anak didik.
C. Karakteristik Pendidik Ideal Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rosul. Syauki bersyair: ”Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul” 70
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 22
43
Penghargaan ini tidak bisa dilepaskan karena Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Tentang penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan, perlu dicermati tulisan Asma Hasan Fahmi (1979): 1. Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada. 2. Orang yang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, yang berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi seseorang yang berperang di jalan Allah. 3. Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam Islam yang tidak diisi kecuali seorang yang alim lainnya.71 4. Derajat orang yang berilmu pengetahuan lebih tinggi dari pada orang yang tidak berilmu. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam surah alMujadalah, ayat 11 yang berbunyi:
Ëx|¡øÿtƒ (#qßs|¡øù$$sù ħÎ=»yfyJø9$# †Îû (#qßs¡¡xÿs? öNä3s9 Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ) (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$#ur öNä3ZÏB (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# ª!$# Æìsùö•tƒ (#râ“à±S$$sù (#râ“à±S$# Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ)ur ( öNä3s9 ª!$# ÇÊÊÈ ×Ž•Î7yz tbqè=yJ÷ès? $yJÎ/ ª!$#ur 4 ;M»y_u‘yŠ zOù=Ïèø9$# (#qè?ré& Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah: 11) Selain menjelaskan tentang larangan berbisik yang merupakan salah satu tuntutan akhlak, guna membina hubungan harmonis antarasesama; ayat di atas juga menggambarkan kedudukan orang yang berilmu. Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni 71
Khiron Rosyadi, op. cit., hlm. 177
44
yang lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Orang yang diberi pengetahuan sebagaimana yang terdapat dalam ayat di atas adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi manusia yang beriman dalam dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh, tapi juga berpengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.72 Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam menduduki posisi strategis dan vital. Pendidik yang terlibat secara fisik dan emosional dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung ataupun tidak akan memberi warna tersendiri terhadap corak dan model sumber daya manusia yang dihasilkannya. Oleh karna itu, disamping sangat menghargai posisi strategis pendidik, Islam juga telah menggariskan fungsi, peranan dan kriteria atau karakteristik seorang pendidik. Menurut Zuhairini, dkk (1994) dalam melaksanakan proses pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itu pulalah yang menjadi penyebab Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Karena tanpa pendidik, kehidupan manusia selalu berada dalam lingkaran ketentuan Allah dan fitrah manusia dapat dikembangkan secara baik. Sebagai pengembang fitrah kemanusiaan anak didik, maka pendidik harus memiliki nilai lebih dibanding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab itu akan kehilangan arah, tidak tahu kemana fitrah anak didik akan dikembangkan, serta daya dukung apa saja yang dapat digunakan. Nilai lebih yang harus dimiliki oleh pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu
72
M. Quraish Shihab, Volume 14, op. cit., hlm. 79-80.
45
pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang didasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam dengan baik, Mohammad al-Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, yaitu: 1. Bersifat zuhud, dalam arti tidak mengutamakan kepentingan meteri dalam pelaksanaan tugasnya, namun lebih mementingkan perolehan keridhaan Allah. Artinya, pendidik harus lebih menekankan niat dan motivasi mendidik didasarkan atas keikhlasan. 2. Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat atau akhlak buruk, dalam arti bersih secara jasmani/fisik dan bersih secara rohani/mental, sehingga dengan sendirinya terhindar dari sifat/perilaku buruk. Ini perlu dimiliki oleh pendidik Islam, karena sesungguhnya ia adalah teladan bagi peserta didiknya. 3. Bersikap terbuka, yaitu mau menerima kritik dan saran tidak terkecuali dari peserta didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara pendidik dan murid dengan baik dan harmonis. 4. Bersifat pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh dinamika. Terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik sebagai konsekuensi dinamika dan kreativitas, tidak jarang dapat membuat rasa jengkel, kurang puas, menyinggung atau tidak menyenangkan hati pendidik. Sebagai mana manusia biasa, pendidik pun tidak tidak lepas dari marah, kurang senang dan sebagainya. Tetapi hal itu tidak boleh berlangsing lama, karena akan menganggu interaksi pembelajaran yang seharusnya menyenangkan. 5. Bersifat kebapaan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka. 6. Berkemampuan memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik. Dalam konteks ini, seorang pendidik Islam harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
psikologi,
agar
46
mampu
memahami
tabiat,
watak,
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sebagai landasan dasar pengembangan potensi mereka. Selain itu, pendidik juga harus menguasai berbagai strategi dan metode pengembangan pendidikan dan pembelajaran sehingga dapat menyesuaikan dengan tuntutan bakat, tabiat dan watak pendidik. 7. Menguasai bidang studi yang akan dikembangkan atau ajarkan. Ini berarti, pendidik Islam harus terlebih dahulu membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan muatan materi yang diajarkan kepada peserta didik, sehingga sesuai dengan sasaran dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.73 Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang
dapat membedakannya dari yang lain. Dengan
karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan teraktualisasi memlalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Dalam hal ini, an-Nahlawi membagi karakteristik pendidik muslim sebagaimana berikut: 1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya. 2. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik. 3. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya. 4. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik. 5. Berperilaku adil terhadap peserta didiknya.74 Selain itu, dalam menentukkan karakteristik dan kriteria pendidik, maka Nabi Muhammad adalah tolok ukur yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi pendidik Islam. Menurut Hasan Langgulung, gambaran lengkap mengenai kehidupan Nabi Muhammad yang dapat dijadikan landasan keriteria
73 74
Ahmad Syar’i, op. cit., hlm. 35-38. Samsul Nizar, op. cit., hlm. 45
47
pendidik Islam telah terangkum dalam pernyataan Aisyah ra. bahwa akhlaknya adalah al-Qur’an. Sehubungan dengan ini, Nashi Ulwan (1981) menjelaskan bahwa seorang pendidik paling tidak memiliki lima kriteria untuk dapat dikatakan layak sebagai pendidik menurut konsep pendidikan Islam. Kelima kriteria dasar itu adalah, bahwa seorang pendidik harus memiliki karakteristik berupa: 1. Kesesuaian
perkataan
dan
perbuatan,
Rasulullah
saw.
selalu
memerintahkan kebaikan kepada manusia dan beliau adalah orang pertama yang melakukannya dan jika ia mencegah manusia dari kejahatan, maka ia adalah orang pertama yang menjauhinya. 2. Berani, yaitu keberanian dalam berkata-kata, dan keberanian untuk mengakui kesalahan dan kelemahan diri.75 3. Bertakwa kepada Allah. 4. Ikhlas 5. Berilmu 6. Santun, lemah lembut 7. Punya rasa tanggung jawab 8. Mengenakan pakaian muslim bagi pendidik muslimah 9. Menampilkan wajah berseri ketika mengajar76 Berdasarkan kriteria dan karakteristik pendidik yang dalam ajaran Islam sangat penting terdapat pada diri peserta didik, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya karakteristik tersebut terbagi menjadi tiga poin besar, yaitu: 1. Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan atau menjadi beban bagi orang lain.
75
Syalhub Fuad bin Abdul Aziz, Guruku Muhammad, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), Cet-1, hlm. 11 76 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 123124.
48
2. Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain. 3. Kematangan
profesional
(kemampuan
mendidik);
yakni
menaruh
perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik.77
D. Muhammad, Sang Pendidik Teladan Muhammad adalah manusia tersempurna, insan al-kamil, sekaligus guru terbaik sepanjang masa. Ia tidak hanya mengajar dan mendidik, tapi juga menunjukan jalan dan melakukan apa yang ia ajarkan. Jika pendidik diartikan sebagai orang yang secara sengaja mengasuh individu atau beberapa individu lainnya, agar mereka dapat tumbuh dan berhasil dalam menjalani kehidupan, maka dalam konteks pengertian ini Muhammad adalah sosok pendidik agung bagi umat manusia yang dapat dijadikan qiblat sebagai tolok ukur berhasil dan tidaknya seseorang dalam menjalani tugasnya sebagai pendidik. Meskipun pendidik pertama dalam Islam adalah Allah Swt., sedangkan para rasul adalah manusia sempurna yang menyampaikan wahyu Allah melalui bimbingan dan pendidikan. Frase ”membacakan ayat-ayat-Nya” dan ”mensucikan mereka” menunjukan bahwa Muhammad mengajar mereka makna-makna Al-Qur’an dan penciptaan secara gradual,
membimbing
kesempurnaan spiritual.
mereka
menjadi
manusia
sempurna
melalui
78
Muhammad dalam kedudukannya sebagai sang pendidik, memiliki beberapa tugas spesifik kaitannya dengan kependidikan. Al-Qur’an yang merupakan visualisasi dari tugas yang harus dijalankan Nabi memuat ayatayat
yang
menguatkan misi
kependidikan
77
Muhammad.
Muhammad
Hasbullah, , op. cit., hlm. 19 Moh. Slamet Untung, MA, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2005), Cet-1, hlm. 52 78
49
merupakan Nabi dan Rasul penutup, dengan demikian tugas Muhammad adalah menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan risalah terakhir di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah, melalui proses pendidikan. Al-Qur’an bagi Muhammad diartikan bukan sekedar kitab suci yang memberikan justifikasi kenabian atas dirinya, lebih dari itu Al-Qur’an merupakan penjelasan tentang konsep pendidikan Tuhan bagi hambanya. Internalisasi nilai-nilai edukatif Al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi tidak saja lewat nasihat dan pengajaran-pengajaran lain, namun diri Muhammad sendiri menjadi
contoh
yang
hidup
bagi
dasar-dasar
kependidikan
yang
dikembangkannya. Muhammad merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang diajarkan melalui tindakan, kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Sehingga apapun yang diajarkan oleh Muhammad akan segera diterima oleh para sahabat karena ucapannya telah diawali dengan contoh konkret.79 Bukti bahwa Nabi Muhammad adalah teladan yang baik termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21 yaitu:
t•x.sŒur t•ÅzFy$# tPöqu‹ø9$#ur ©!$# (#qã_ö•tƒ tb%x. `yJÏj9 ×puZ|¡ym îouqó™é& «!$# ÉAqß™u‘ ’Îû öNä3s9 tb%x. ô‰s)©9 ÇËÊÈ #ZŽ•ÏVx. ©!$# Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (33:21) Muhammad adalah gurunya para guru. Ia mendidik melalui keteladanan yang hidup dan terperagakan melalui dirinya.80Allah telah mendidik dan mengajarnya dengan sebaik-baik pendidikan dan pengajaran. Muhammad SAW dalam hal ini memberikan penegasan bahwa, telah
mendidik
dan
mengajarku,
maka
Dialah
yang
Tuhanku
membaikkan
pendidikanku . Dengan penegasan ini, dapat dikatakan bahwa Muhammad 79
Ibid, hlm. 55 Aidh Bin Abdullah Al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2004), hlm. 237 80
50
sesungguhnya seorang model dan pembimbing bagi umatnya yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya dapat dijadikan teladan untuk kebahagian dan keberhasilan peserta didik di dunia maupun di akherat.
51
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar Belakang Sosial, Intelektual, dan Karir Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), lahir di Sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Ia juga menjadi penasehat Persatuan Guru-Guru Agama Islam pada tahun 1920an; ia memberikan bantuannya pada usaha mendirikan sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931; ia menentang komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ordonansi guru pada tahun 1920 serta ordonansi sekolah liar tahun 1932.81 Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karna itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.82 Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca AlQur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak ia 81
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI, 1985), Cet-3, hlm. 46. 82 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 15-18
52
peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.83 Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah berkelas. Hamka kecil sangat gemar menonton film. Ia tergolong anak yang tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala. Ia suka keluyuran ke manamana, sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung bioskop untuk mengintip film bisu yang sedang diputar. Selain kenakalan tersebut, ia juga sering memanjat jambu milik orang lain, mengambil ikan di kolam orang, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka kawannya itu akan terus diganggunya. Pendeknya, hampir seluruh penduduk kampung sekeliling
83
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010
53
Padang Panjang tidak ada yang tidak kenal akan kenakalan Hamka.84 Tatkala usianya 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian itu terjadi karena perbedaan pandangan dalam persoalan ajaran agama. Di pihak ayahnya adalah seorang pemimpin agama yang radikal, sedangkan di pihak ibunya adalah pemegang adat yang sangat kental seperti berjanji, randai, pencak, menyabung ayam dan sebagainya.85 Berzanji ialah suatu doa-doa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang dilafalkan dengan suatu irama atau nada yang biasa dilantunkan ketika kelahiran, khitanan, pernikahan dan maulid Nabi Muhammad saw. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, yang disebutkan berturut-turut yaitu silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Di dalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Adapun Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang cukup panjang. Konon kabarnya randai sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul fitri. Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama
dilingkari
oleh
anggota-anggota
lain
yang
bertujuan
untuk
menyemarakkan berlansungnya acara tersebut. Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kabar atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan84
Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) Cet-2, hlm. 53 85 Ibid. , hlm. 53
54
gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela. Jadi, Randai pada awalnya adalah media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika disebut sebagai Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara. Sedangkan pencak; kata pencak berasal dari kata mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan. Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan Padang Panjang pada saat itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistim halaqah. Pada tahun 1916, sistim klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu sistim klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur dan papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistim hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar bukubuku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak diantara teman-teman Hamka yang fasih membaca kitab,
55
akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan sistim pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama. Di antara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses ’mendidik’ (transformation of value). Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistim pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan ilmu bumi. 86 Wawasan Engku Zainuddin yang demikian luas, telah ikut membuka cakrawala intelektualnya tentang dunia luar. Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Pada awalnya, ia hanya diajak untuk membantu melipatlipat kertas pada percetakan tersebut. Sambil bekerja, ia diijinkan untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat dan sastra. Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingatnya yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya. Melalui bacaan tersebut, membuat cakrawala pemikirannya semakin luas.87 Dengan banyak membaca buku-buku tersebut, membuat Hamka semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Kegelisahan intelektual yang dialaminya itu telah menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna menambah wawasannya. Oleh karnanya, di usia yang sangat muda Hamka sudah melalang buana. Tatkala usianya masih 16 tahun, tapatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa; 86 87
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 21-22 Ibid., hlm. 22-23
56
Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah. Di sini Hamka belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, R. M. Suryopranoto, H. Fachruddin, HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir, dan AR. St. Mansur.88 Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dengan Serikat Islam (SI). Ide-ide pergerakan ini banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai suatu yang hidup dan dinamis. Hamka mulai melihat perbedaan yang demikian nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau, yang terkesan statis, dengan Islam yang hidup di Yogyakarta, yang bersifat dinamis. Di sinilah mulai berkembang dinamika pemikiran keIslaman Hamka. Perjalanan ilmiahnya dilanjutkan ke Pekalongan, dan belajar dengan iparnya, AR. St. Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah. Hamka banyak belajar tentang Islam dan juga politik. Di sini pula Hamka mulai berkenalan dengan ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Rihlah Ilmiah yang dilakukan Hamka ke pulau Pulau Jawa selama kurang lebih setahun ini sudah cukup mewarnai wawasannya tentang dinamika dan universalitas Islam. Dengan bekal tersebut, Hamka kembali pulang ke Maninjau (pada tahun 1925) dengan membawa semangat baru tentang Islam. 89 Ia kembali ke Sumatera Barat bersama AR. st. Mansur. Di tempat tersebut, AR. St. Mansur menjadi mubaligh dan penyebar Muhammadiyah, sejak saat itu Hamka menjadi pengiringnya dalam setiap kegiatan kemuhammadiyahan. 90 Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dan dengan maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-Ummah. Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam, dan menjadi
88
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 201-202 89 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, hlm. 101 90 H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet-2, hlm. 2
57
koresponden di harian Pelita Andalas. Hamka juga diminta untuk membantu pada harian Bintang Islam dan Suara Muhammadiyyah di Yogyakarta. Berkat kepiawaian Hamka dalam menulis, akhirnya ia diangkat sebagai pemimpin majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa (1927), Hamka pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja di bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kesaksian Rusydi Hamka, salah seorang puteranya; ”Bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan dengan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula, ia mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat ia meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan pribadinya di belakang hari”. Di Medan ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan Muhammad Rasami, bekas sekretaris Muhammdiyah Bengkalis untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Meskipun mendapatkan banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000 eksemplar setiap penerbitannya. Namun ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman Masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih dilarang dikibarkan. Kebijakan Jepang yang merugikan tersebut tidak membuat perhatiannya untuk mencerdaskan bangsa luntur, terutama melalui dunia jurnalistik. Pada masa pendudukan Jepang, ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah Pedoman Masyarakat yang telah melekat di hati rakyat. Di tengah-tengah kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang sebagai
58
anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan kedudukannya sebagai ”anak emas” Jepang telah menyebabkan Hamka terkucil, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang pada tahun 1945.91 Di Padang Panjang, seolah tidak puas
dengan berbagai upaya
pembaharuan pendidikan yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia mendirikan sekolah dengan nama Tabligh School.92 Sekolah ini didirikan untuk mencetak mubaligh Islam dengan lama pendidikan dua tahun. Akan tetapi, sekolah ini tidak bertahan lama karna masalah operasional; Hamka ditugaskan oleh Muhammadiyyah ke Sulawesi Selatan. Dan baru pada konggres Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka diputuskan untuk melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama menjadi Kulliyyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun. Tujuan lembaga ini pun tidak jauh berbeda dengan Tabligh School, yaitu menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah
menengah tingkat
Tsanawiyyah,
serta
membentuk kader-kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan masyarakat pada umumnya.93 Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang yang amat produtif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian Prof. Andries Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature I. Menurutnya, sebagai pengarang, Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang bernafaskan Islam berbentuk sastra.94 Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun
91
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006), hlm. 62 92 Mardjani Tamin, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Dep P dan K RI., 1997), hlm. 112 93 A. Susanto, op. cit., hlm. 102 94 Sides Sudyarto DS, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 139
59
1959 Majelis Tinggi University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia menyandang titel ”Dr” di pangkal namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusastraan, serta gelar Professor dari universitas Prof. Dr. Moestopo. Kesemuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.95 Ia juga mendapatkan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan hidupnya adalah sebagai berikut: 1. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di Perkebunan Medan dan guru Agama di Padang Panjang. 96 2. Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian diganti namanya menjadi Kulliyyatul Muballighin (1934-1935). Tujuan lembaga ini adalah menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah, serta membentuk kader-kader
pimpinan
Muhammadiyah
dan pimpinan
masyarakat pada umumnya. 3. Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum (1955). 4. Koresponden pelbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta). 5. Pembicara konggres Muhammadiyah ke 19 di Bukittinggi (1930) dan konggres Muhammadiyah ke 20 (1931). 6. Anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah (1934). 95 96
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. XIX http://amir14.wordpress.com/tasawuf-hamka/ 24-02-2010
60
7. Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934) 8. Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936) 9. Menjabat anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada pemerintahan Jepang (1944). 10. Ketua konsul Muhammadiyah Sumatera Timur (1949). 11. Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel oleh pemerintah karna dengan tajam mengkritik konsep demikrasi terpimpin dan memaparkan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan Soekarno. Majalah ini diterbitkan kembali pada pemerintahan Soeharto. 12. Memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1953), menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), di lantik sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta pada tahun 1957 hingga tahun 1958, di lantik menjadi Rektor perguruan tinggi Islam dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta. menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), menghadiri Konferensi Negara-Negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Makkah (1976), Seminar tentang Islam dan Peradapan di Kuala Lumpur, menghadiri peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore, dan Konferensi ulama di Kairo (1977), Badan pertimbangan kebudayaan kementerianPP dan K, Guru besar perguruan tinggi Islam di Universitas Islam di Makassar. 13. Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim, Penasehat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTIQ. 14. Imam Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta, yang kemudian namanya diganti oleh Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Mahmud Syaltut menjadi Masjid Agung Al-Azhar. Dalam perkembangannya, Al-Azhar adalah pelopor sistim pendidikan Islam modern yang punya cabang di berbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah modern berbasis Islam. Lewat mimbarnya di Al-Azhar, Hamka melancarkan kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang digalakkan oleh Soekarno Pasca Dekrit Presiden tahun 1959. Karena
61
dianggap berbahaya, Hamka pun dipenjarakan Soekarno pada tahun 1964. Ia baru dibebaskan setelah Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun 1967. Tapi selama dipenjara itu, Hamka berhasil menyelesaikan sebuah karya monumental, Tafsir Al-Azhar 30 juz. 15. Ketua MUI (1975-1981), Buya Hamka, dipilih secara aklamasi dan tidak ada calon lain yang diajukan untuk menjabat sebagai ketua umum dewan pimpinan MUI. Ia dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh ulama maupun pejabat.97 Namun di tengah tugasnya, ia mundur dari jabatannya karna berseberangan prinsip dengan pemerintah yang ada. Hal ini terjadi ketika menteri agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara mengeluarkan fatwa diperbolehkannya umat Islam menyertai peringatan natal bersama umat Nasrani dengan alasan menjaga kerukunan beragama, Hamka secara tegas mengharamkan dan mengecam keputusan tersebut. Meskipun pemerintah mendesak agar ia menarik fatwanya, ia tetap dalam pendiriannya. Karena itu, pada tanggal 19 Mei 1981 ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua MUI. Hamka merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau ysng berupaya menggugah dinamika umat dan mujaddid yang unik. Meskipun hanya sebagai produk pendidikan tradisional, namun ia merupakan seorang intelektual yang memiliki wawasan generalistik dan modern. Hal ini nampak pada pembaharuan pendidikan Islam yang ia perkenalkan melalui Masjid AlAzhar yang ia kelola atas permintaan pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim. Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga sosial, yaitu (1) Lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam). (2) Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan pesantren kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian. (3). Badan Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu; poliklinik gigi dan poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk para siswa, jemaah masjid, maupun masyarakat umum. (4). Akademi, Kursus, dan Bimbingan 97
Hamka, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 55
62
Masyarakat. Di antara kegiatan badan ini adalah mendirikan Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam, membaca Al-Qur’an, manasik haji, dan pendidikan kader muballigh.98 Di masjid tersebut pula, atas permintaan Hamka, dibangun perkantoran, aula, dan ruang-ruang belajar untuk difungsikan sebagai media pendidikan dan sosial. Ia telah mengubah wajah Islam yang sering kali dianggap ’marginal’ menjadi suatu agama yang sangat ’berharga’. Ia hendak menggeser persepsi ’kumal’ terhadap kiyai dalam wacana yang eksklusif, menjadi pandangan yang insklusif, respek dan bersahaja. Bahkan, beberapa elit pemikir dewasa ini merupakan orang-orang yang pernah dibesarkan oleh Masjid Al-Azhar. Beberapa diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Habib Abdullah, Jimly Assidiqy, Syafii Anwar, Wahid Zaini, dan lain-lain. Beberapa pandangan Hamka tentang pendidikan adalah, bahwa pendidikan sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karena menurutnya, komunikasi antara sekolah dan rumah, yaitu antara orang tua dan guru harus ada. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid AlAzhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta didik. Dengan adanya sholat jamaah di masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa berkomunikasi secara langsung. ”Kalaulah rumahnya berjauhan, akan bertemu pada hari Jum’at”, begitu tutur Hamka.99 Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah puang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.100 Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan
budayawan,
tapi
juga
seorang
pemikir
pendidikan
yang
pemikirannya masih relevan dan baik untuk diberlakukan dengan zaman sekarang.
98
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 102 Herry Mohammad, op. cit. , hlm. 64 100 http://vakho.multiply.com/journal/item/2/Biografi_HAMKA, 07-01-2010 99
63
B. Karya-karya Hamka Sebagai seorang yang berpikiran maju, Hamka tidak hanya merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam cerama agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macam karyanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Sebagai penulis yang sangat produktif, Hamka menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku. Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut: 1. Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat antara tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan. Dalam karya monumentalnya ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qonaah, kebahagiaan yang dirasakan rosulullah, hubungan ridho dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain yang membicarakan tentang tasawuf adalah ”Tasawuf; Perkembangan Dan Pemurniaannya . Buku ini adalah gabungan dari dua karya yang pernah ia tulis, yaitu ”Perkembangan Tasawuf Dari Abad Ke Abad
dan ”Mengembalikan Tasawuf Pada
Pangkalnya . 2. Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri dari XI bab. peMbicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak, penyakit budi,
budi orang yang memegang
pemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi
64
ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman. secara tersirat, buku ini juga berisi tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan Islam, termasuk pendidik. 3. Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku ini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada bab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan tentang undang-undang alam atau sunnatullah. Kemudian tentang adab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya makna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurut Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagi kehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan berbagai dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan Islam sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu alat yang Hamka gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya tentang pendidikan Islam. 4. Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai kewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim, kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam dan politik, Al-Qur’an untuk zaman modern, dan tulisan ini ditutup dengan memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budi dan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secara tersirat. 5. Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab. Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana mencari Tuhan, dan rukun iman. 6. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang paling monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian
65
besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika ia menjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan Tafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang jaz AlQur’an. Kemudian secara berturut-turut dijelaskan tentang jaz AlQur’an, isi mukjizat Al-Qur’an, haluan tafsir, alasan penamaan tafsir Al-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasar untuk memahami tafsir, ia baru mengupas tafsirnya secara panjang lebar. 7. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dan sepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rosul. Hamka melukiskan perjuangan umat pada umumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh Belanda diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakarta tanggal 2 Juni 1945.101 8. Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan autobiografi Hamka. 9. Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan kritikannya terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya tak sesuai dengan perkembangan zaman. 10. Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya untuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari Islam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad pertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk dan perkembangan Islam di Indonesia. 11. Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan kenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi Islam, dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB dan Islam. 101
Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 62
66
12. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas tentang perempuan
sebagai
makhluk
Allah
yang
dimuliakan
keberadaannya.102 13. Si Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalam bahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1979), Di Bawah Lindungan Ka bah (1936), Merantau Ke Deli (1977), Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan, Salahnya Sendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, Cermin Kehidupan. 14. Revolusi pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam Dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, Menunggu Beduk Berbunyi. 15. Di Tepi Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Daljah, Mandi Cahaya Di Tanah Suci, Empat Bulan Di Amerika, Pandangan Hidup Muslim.103 16. Artikel Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah Tentara, Majalah
Al-Mahdi,
Semangat
Islam,
Menara,
Ortodox
Dan
Modernisme, Muhammadiyah Di Minangkabau, Lembaga Fatwa, Tajdid Dan Mujadid, dan lain-lain. 17. Antara Fakta Dan Khayal, Bohong Di Dunia, Lembaga Hikmat, dan lain-lain.104 Sebagai pendidik, Buya Hamka telah membuktikan mampu menunjukan bukti menyakinkan akan keberhasilannya. Walaupun tidak menjadi pendidik dalam arti guru profesional, ia memancarkan secara keseluruhan
sikap
mendidik
sepanjang
hidupnya.
Ini
adalah
karakteristik yang umum di kalangan ulama, karena salah satu etos yang paling umum dianut adalah keharusan menjadikan diri contoh dan teladan moralitas keagamaan. Dalam Ta lim Al-Muta allim merumuskan etos itu dengan singkat; jadilah penuntut ilmu atau pengajarnya! Ini 102
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 47-57 Hamka, Tasauf Modern, op.cit., hlm. XVII-XIX 104 Sides Sudyarto DS, ”Realisme Religius”, op.cit., hlm. 140-141 103
67
sepenuhnya tercermin dalam setiap aspek kehidupan Hamka. Watak mendidik itu akhirnya mencapai titik optimalnya ketika ia menjadi Ketua Umum MUI, dan berpuncak pada ”efek mendidik” dalam setiap ia mengeluarkan keputusan. Penunaian
tugas
sebagai
pendidik
itu
dipermudah
oleh
ketekunananya menjalankan peribadatan perorangan, yaitu dengan kebiasaannya untuk bangun dini hari guna menunaikan sholat subuh, bahkan sembahyang tengah malam ketika orang lain beristirahat, terutama pada usia lanjut, dan keteraturan irama hidupnya mendukung dengan kuat fungsi yang kemudian ditunaikannya secara pribadi sebagai pendidik. Kerja mendidik yang dijalaninya secara fisik itu menjadi wahana yang serasi bagi pesan-pesan keagamaannya yang jelas sekali bernada mendidik pula. Efektifitas pesan-pesan itu tercermin dari kenyataan, bahwa apa yang dikumandangkan Hamka bagaikan terpaku pada sejumlah tema dasar, seperti perlunya dikembangkan kasih sayang sesama muslimin, perlunya sikap saling menghormati dengan orang lain. perlunya solidaritas yang jujur antara sesama warga masyarakat, dan seterusnya. Karena Hamka hanya membatasi diri pada fungsi mendidik masyarakat secara umum, lalu menjadi sulit kerja mengukur kedalaman persepsinya sendiri tentang fungsi yang dilakukannya itu. Dengan kata lain, kualitas hasil didikannya sulit untuk diukur kualitasnya. Ini berarti efektivitas Hamka sebagai pendidik adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan diterima berdasarkan pengamatan lahiriah, tanpa dapat dibuktikan secara ilmiah menurut kriteria yang beragam yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan sendiri. 105 Ketokohan Hamka, bukan hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah, dan Malaysia, bahkan Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa Hamka bukan hanya milik
105
Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?”, dalam Hamka, Hamka Di Mata Hati Umat, op.cit., hlm. 41-43
68
bangsa
Indonesia,
Tenggara.
tetapi
juga
kebanggaan
bangsa-bangsa
Asia
106
Kini, kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosof bernama lengkap Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah --disingkat Hamka-- itu, bisa ditemui di kampung halamannya: Nagari Sungai Batang Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat (Sumbar).
Ratusan
buku
karangan
Hamka,
semenjak
novel
fiksi
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, sampai kepada buku filsafat seperti Tasauf Modern dan Falsafah Hidup, bahkan karyanya yang amat fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikan ketika Buya dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bisa ditemui di museum rumah kelahiran Buya Hamka tersebut. Museum yang diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat tersebut juga menghadirkan berbagai foto yang menggambarkan perjalanan hidupnya.107
C. Pemikiran Hamka Tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam Hamka tidak merumuskan pengertian pendidik secara utuh, namun pandangannya mengenai hal ini dapat dilihat dari ia mengungkapkan pendapatnya tentang tugas seorang pendidik, yaitu sosok yang membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. 108 Hal ini diinsafi dan dirasai oleh beberapa orang pemuka pendidikan bangsa ini, sebagai Ki Hajar Dewantara, M. Syafei, Dr. Sutomo dan lain-lain. Dr. Sutomo pernah menganjurkan supaya sistim pondok secara dahulu dihidupkan kembali. Diadakan seorang pemimpin, pembimbing pendidikan; dalam hal ini penulis menyebut pendidik untuk jangan sampai murid-murid itu 106
M. Yunan, Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005),
107
http://fithab.multiply.com/journal/item/52, 24-02-2010 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 136
hlm. 136 108
69
hanya menjadi orang pintar, tetapi tidak berguna untuk masyarakat bangsanya. Karna pendidikan adalah untuk membentuk watak pribadi. Manusia yang telah lahir ke dunia ini supaya menjadi orang yang berguna dalam masyarakatnya. Supaya dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk.109 Dari batasan di atas, terlihat demikian kompleksnya tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada pendidik. Hal ini menjadikan seorang pendidik, tidak hanya dituntut untuk memliki ilmu yang luas. Lebih dari itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari amanat yang diberikan Allah kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik. Pentingnya pendidik yang berkepribadian karimah, disebabkan karena tugasnya yang suci dan mulia. Eksistensinya bukan hanya sekedar melakukan proses transformasi sejumlah informasi ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih dari itu adalah berupaya membentuk karakter atau kepribadian peserta didik, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. 110 Pendidik yang tidak memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik, tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Kondisi ini akan mengakibatkan peserta didik kurang menanggapi secara seksama, terhadap apa yang akan diajarkan dan dididikkan. Pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah orang tua, guru, dan masyarakat. 1. Orang Tua (Ibu Bapa) Dalam salah satu karyanya yang berjuudul Lembaga Hidup, Hamka membagi tugas dan kewajiban Ayah-Bunda menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. Semasa anak masih menyusu, hendaklah diberi makanan yang sehat. b. Seketika akalnya mulai tumbuh, dia bertanya ini itu. Waktu itu hendaklah ayah-bunda berusaha membuka akal yang baru tumbuh itu, serta menunjukan contoh-contoh yang baik. 109
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm.224 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 43-51 110
70
c. Zaman dia mulai besar, akan meningkat dewasa, ketika itu darahnya sedang panas, khayalnya sedang terbang menerawang. Zaman itu oleh orang ahli dinamai puberteits, zaman pancaroba. Penjagaan kepada anak-anak waktu, sangatlah penting. Karna zaman itulah zaman perjuangan. Ayah-bunda yang budiman sudah dapat menentukan kemana haluan hidup anaknya, lantaran melihat perangainya di waktu zaman pancaroba itu. Hamka juga menegaskan bahwa kewajiban ibu dan bapak mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya di sekolah saja. Karena tempo yang dipakainya di dalam sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang dipakainya di rumah. Tiap-tiap anak mesti mendapat didikan dan pengajaran, yang akan diterimanya di sekolah hanyalah ajaran, sedang didikan sebahagian besar di dapatnya di rumah. 111 Berdasarkan tingkatan kewajiban dan tugas orang tua sebagai pendidik di atas, maka dapat dipahami bahwa orang tua dituntut untuk memberi makanan yang halal al-thayyibat (halal dan bergizi), sabar, kasih sayang, meresponi pertumbuhan akal anak melalui cerita-cerita dan contoh-contoh yang konkret dengan cara bijaksana, sesuai dengan perkembangan emosi seorang anak, serta menuntunnya untuk mampu memcahkan berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Di sini, tugas kedua orang tua adalah menyalurkan kebutuhan anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan menanamkan sendi-sendi moral Islam. 112 Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pada periode ini, pelajaran terhadap materimateri agama belum begitu dibutuhkan. Adapun yang dibutuhkan adalah didikan nilai-nilai agama. Setelah anak dapat memahami dan mulai menggunakan akalnya secara baik, maka materi-materi pelajaran agama baru kemudian diberikan kepadanya, setahap demi setahap, sesuai dengan 111
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm. 178. Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 174 112
71
perkembangan fisik dan psikis, serta kemampuan intelektualnya. Pendekatan ini memberikan kesan adanya pertimbangan tahapan pendidikan yang perlu dilakukan orang tua terhadap seorang anak atau pendidik terhadap peserta didik. Menurut Hamka, anak-anak umur 7 tahun hendaklah disuruh sembahyang, umur 10 tahun paksa supaya jangan ditinggalkannya, sembahyang di awal waktu dengan segera, kalau dapat hendaklah dengan hati tunduk (thau’an). Kalau hati ragu hendaklah paksa pula hati itu (karhan). Inilah yang bernama sugesti menurut ilmu jiwa zaman sekarang. Mudah-mudahan lantaran tiap hari telah diadakan pengaruh demikian, jalan itu akhirnya akan terbuka juga.113 Tetapi apalah hendak dikata, kalau perasaan agama lemah di dalam hati orang tua sendiri. Anaknya diserahkannya kepada suatu sekolah. Menurut Hamka, di sekolah itu yang ada hanya pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan salah, pendidikan yang menghilangkan pribadi. Banyak ilmunya tetapi budinya kurang. Kesudahannya banyaklah kelihatan anak-anak muda yang tidak tentu tujuan hidupnya. Tidak dapat berkhidmat kepada tanah-air tumpah darahnya. Bagaimana akan dapat sedangkan bahasa ibunya tidak diketahuinya.114 Pendidikan agama ini amat perlu, walaupun pada sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan agama. Karna sebagaimana dikatakan tadi, pendidikan dan pengajaran adalah hal yang berbeda. Hamka berpendapat, apa gunanya bersembunyi, bahwasannya pada masa ini, pun banyak terdapat
sekolah-sekolah
yang
mengajarkan
agama,
tetapi tidak
mendidikan agama. Maka keluar pulalah anak-anak muda yang alim ulama, bahasa Arabnya seperti air yang mengalir, tetapi budinya rendah. Sama sajalah harganya sekolah-sekolah semacam ini dengan sekolah yang tidak mengajarkan dan mendidikan agama. 113 114
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Cet-XI, hlm. 60 Ibid., hlm. 225
72
Mengutip pendapat Al-Hakim Al-Musta’shim, Hamka memberikan rambu-rambu bagi kedua orang tua bagaimana cara melaksanakan pendidikan terhadap anak, yaitu: a. Biasakan anak cepat bangun dan jangan terlalu banyak tidur. Sebab, dengan banyak tidur akan membuat anak malas beraktivitas, malas berpikir, dan lamban berkreasi. b. Tanamkan pendidikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana sedini mungkin. Sebab, bila tidak, maka akan sulit untuk mengubah sikap yang telah mengkristal tersebut kepada sebuah kebaikan. c. Membangkitkan panca indera anak dengan mengoptimalkan fungsi pendengaran dan pengelihatan melalui memikirkan penciptaan Allah, baik dari segi keindahan maupun keajaiban serta makna yang terkandung di dalamnya.115 d. Ajari berpola hidup sederhana, yaitu sederhana dalam mengeluarkan belanja; tidak boros dan tidak bakhil, sederhana mengeluarkan perkataan; tidak bocor mulut dan bicara berdasarkan situasi dan kondisi, sederhana mengerjakan pekerjaan, dan sederhana ketika suka maupun duka. e. Melalui cerita-cerita yang menekankan cinta kasih, ajarkan kepada mereka penting-nya kehidupan yang harmonis.116 f. Biasakan anak untuk percaya diri dan tidak menggantungkan diri dengan orang lain, memiliki kemerdekaan dalam mengeluarkan pendapat,
serta bertanggung
jawab terhadap
keputusan
yang
diambilnya. Setidaknya, ada dua pendekatan Islam untuk menanamkan kepercayaaan diri,
yaitu
melalui tauhid dan melalui takdir.
Mempercayai tiada kekuatan dan ketentuan yang final selain aturan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang patut ditakuti, kecuali Allah. Selama suatu aktivitas tidak bertentangan dengan ketentuan dan nilainilai Illahi, maka tidak perlu tumbuh kekhawatiran. Aktivitas yang 115
Mahmud, Abdul Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Al-Qur an, (Semarang: CV Wicaksana, 1986), hlm. 22-25 116 Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 205-206
73
dilakukan akan lebih dinamis dan sekaligus bernilai ketundukan kepada zat yang agung. Tumbuhnya kepercayaan pada diri peserta didik akan menimbulkan daya gerak dan daya pikir secara merdeka.117 Setelah anak beranjak dewasa, kedua orang tua dituntut untuk menghargai pendapat
yang
dikemukakan anak dan
memberikan
kemerdekaan kepadanya untuk berkembang, baik fisik maupun psikis, secara maksimal. Kedua orang tua hendaknya bersikap arif dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Pendekatan yang demikian sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Pandangannya ini didasarkan pada realitas sikap-umumnyaorang tua waktu itu, di mana tatkala menghadapi anak yang nakal, acapkali orang tua bersikap kasar. Padahal, anak yang demikian itu biasanya pada waktu
bersamaan
potensi
akalnya
ikut
berkembang.
Hamka
mengungkapkan bahwasannya di zaman dahulu, menjadi kemegahan seorang ayah kalau anaknya takut kepadanya. Baru saja dia masuk rumah, kembali daripada pekerjaannya, anak itu lari sebagai kucing yang bersalah mencuri dendeng. Sebab itu sampai besarnya, ayah dan anak tidaklah merasai nikmat berayah atau nikmat beranak.118 Hal ini bertentangan dengan salah satu karakteristik pendidik ideal yang menyebutkan bahwa pendidik harus mempunyai karakter atau sifat kebapaan, dalam arti harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka untuk kebaikan anaknya. Tugas kedua orang tua adalah mencontohkan perilaku dan sikap yang baik, menasehatinya, membimbing dan mengontrol-bukan membentuk-agar dinamika fitrah anak berkembang secara maksimal, sesuai dengan nilai ajaran agamanya.119 Pandangan di atas, merupakan reaksi dari praktik pendidikan yang dilakukan kebanyakan orang tua waktu itu. Pada umumnya, anak tidak 117
Ibid., hlm. 151 Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 178. 119 Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha, (Damsyik, Dar al-Fikr, 1983), hlm. 139. 118
74
memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dihadapan orang tuannya, maupun dalam menentukan kehendak gerak hati sesuai dengan cita-citanya. Kedua orang tua seakan berkuasa penuh dalam menentukan masa depan anak-anaknya. Jika orang tuanya seorang ulama, maka ia selalu berkeinginan agar anaknya menjadi ulama sebagaimana orang tuanya. Pola pendidikan yang demikian, sesungguhnya telah ikut mematikan dinamika anak. Akibatnya, anak senantiasa tergantung dan berada di bawah bayang-bayang kehendak orang tua. Praktik yang demikian telah berlangsung sejak sekian lama, terutama di Minangkabau. Sementara itu, ada pula sebagian orang tua yang merasa lepas tanggung jawab mendidik anak bila sudah ditangani seorang guru. Mereka bersikap masa bodoh dan hanya ”dilepas unggaskan” kepada guru, tanpa mau ikut serta membina kepribadian anak-anaknya.120 Menurutnya, model pemikiran umat, terutama kedua orang tua yang demikian seyogyanya dihilangkan. Kedua orang tua hendaknya memiliki visi baru tentang pendidikan anak-anaknya. Kedua orang tua seyogyanya memberikan kebebasan (kemerdekaan) berpikir kepada anak untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Seorang anak hendaknya dididik dan diasuh menurut bakat, kemampuan, serta sesuai dengan tuntutan sosial dan perkembangan zamannya. Di sini, kedudukan dan fungsi orang tua bukan membentuk anak sesuai dengan keinginannya, akan tetapi menuntun dan mengontrol agar kebebasan dan dinamika potensi yang dimiliki anak mampu terealisasi secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya. Kebebasan berpikir merupakan alat untuk membangun peradapan yang lebih maju. Kebebasan berpikir menyebabkan setiap peserta didik lebih bergairah untuk senantiasa meningkatkan mobilitas kreasinya dan melakukan serangkaian eksperimen, sehingga melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang bisa dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Tatkala kebebasan berpikir manusia terikat oleh sebuah tirani 120
Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 204.
75
yang membelenggu dinamika akalnya, maka pada waktu yang bersamaan, umat manusia akan terpuruk pada kehidupan yang statis dan terbelakang. Kebebasan berpikir dan menyatakan pikiran, pada akhirnya menimbulkan keberanian menentang yang munkar, yaitu segala sesuatu yang salah dan tidak diterima oleh perikemanusiaan yang sehat.121 Oleh karena itu, setiap komponen pendidikan hendaknya memberikan nuansa kebebasan berpikir kepada peserta didik untuk bisa berkreasi dan mengeluarkan pendapatnya secara lugas, jujur, dan bertanggung jawan. Pendekatan ini sangat mendukung bagi perkembangan intelektualitas peserta didik itu sendiri.122 Di samping pendekatan di atas, bentuk pembinaan intelektual anak yang perlu mendapat perhatian orang tua adalah menghadirkan sarana yang menunjang pendidikan; diantaranya menyediakan perpustakaan, baik di lingkungan rumah tangga, seklah maupun masyarakat. Tersedianya perpustakaan akan membiasakan peserta didik untuk mengenal sumber informasi dan menunjang daya baca seorang anak. Dengan sikap dan tersedianya sarana yang demikian ini, seorang anak akan terbiasa menelusuri sumber ilmu pengetahuan. Pada awalnya, mungkin anak hanya sekedar mengamati buku, kemudian membaca dan akhirnya menjadikan buku sebagai bagian dari aktivitasnya sehari-hari. Bila kedua orang tua memiliki visi baru terhadap model pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah yang menjadi tanggung jawab guru.123 b. Guru Menurut pandangan Hamka, sebagaimana yang tertulis di salah satu karyanya yang berjudul Lembaga Budi; guru yang mendapat sukses di dalam pekerjaannya dan mendidik muridnya mencapai kemajuan, ialah guru yang tidak hanya mencukupkan ilmunya dari sekolah guru saja, tetapi diperluasnya pengalaman, dan bacaan. Senantiasa teguh hubungannya dengan kemajuan moderen dan luas pergaulannya, baik dengan wali murid 121
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hlm. 65. Samsul Nizar, op, cit., hlm. 145-146 123 Ibid., hlm. 146
122
76
atau dengan sesama guru, sehingga bisa menambah ilmu tentang soal pendidikan. Rapat hubungannya dengan orang-orang tua dan golongan muda supaya dia sanggup mempertalikan zaman lama dengan zaman baru, dan dapat disisihkannya mana yang baik dan masih relevan. Hal ini menunjukan bahwa seorang pendidik, dalam hal ini guru akan dapat
menjalankan proses pembelajaran
yang efektif jika
hubungannya dengan peserta didiknya berjalan secara harmonis. Untuk terciptanya hubungan yang harmonis, seorang pendidik dituntut untuk memiliki sejumlah ilmu yang akan diajarkan, memiliki integritas kepribadian,
mempergunakan berbagai
metode pembelajaran, dan
memahami diferensiasi (kepribadian maupun sosial) peserta didik, baik mental, spiritual, intelektual, maupun agama yang diyakini berikut dengan berbagai pendekatannya. Ada empat konsep yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik, yaitu: Pertama, mengembangkan potensi (fitrah) peserta didik. Kedua, mengembangkan pengajaran yang bersifat verbalistik. Ketiga, mencatat seluruh aktivitas peserta didik sebagai pedoman untuk melakukan pembinaan dan proses pendidikan selanjutnya. Keempat, memformulasi kondisi yang kondusif dalam mengembangkan sistim pendidikan secara efektif dan efesien, serta meminimalisasi faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan Islam. Agar pendekatan di atas terlaksana dengan baik, maka menurut Hamka seorang pendidik dituntut terlebih dahulu mengetahui tugas dan tanggung jawabnya, yaitu berupaya membantu dalam rangka membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan menguasai keterampilan yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun masyarakat luas. Untuk terciptanya kondisi yang demikian, maka seorang pendidik dituntut untuk terlebih dahulu memperluas pengalaman dan wawasan keilmuannya, memperhalus budi pekertinya, bijaksana, pemaaf, tenang dalam memberikan pengajaran, tidak cepat bosan dalam memberikan
pelajaran
terutama
77
terhadap
materi
pelajaran
yang
kurangdimengerti oleh sebagian peserta didik, serta memerhatikan kondisi baik fisik maupun psikis peserta didik.124 Menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan didikan di rumah. Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua murid dengan guru. Kadang-kadang datang mendatangi, ziarah menziarahi, selidik menyelidiki tentang tabiat anak yang dalam didikan itu. Tentu saja di dalam didikan secara Islam, akan mudah melakukan ini. Sebab kalau rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid, sekurangnya sekali sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua murid itu akan bertemu di surau. Dan kalau rumahnya berjauhan, akan bertemu di di Jum’at. Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan dengan baik. Kepandaian orang tua mendidik anak, adalah menjadi penolong guru. Jika tugas mendidik hanya dilimpahkan kepada guru maka hasil akan tidak maksimal. Pengaruh keadaan sekeliling, pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman dahulu, pun besar kepada anaknya. ”Air itu turun dari cucuran atap , demikian kata pepatah. Hal itu dapat dibuktikan; jika ayahnya bodoh, sontok pikirannya, hal itupun menurun kepada anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, maka kepintaran itu akan turun kepada anaknya. Di sinilah gunanya guru.125 Hamka optimis bahwa anak yang berasal dari keturunan orang bodoh dan terbelakang bisa menjadi pandai dan maju jika diajar dan dididik oleh guru yang baik. Adapun pendidik yang baik, menurut Hamka harus memenuhi syarat sekaligus kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu; a. Berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta didiknya. b. Memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah, berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela. Sikap yang demikian akan menjadi contoh yang efektif untuk diteladani peserta didiknya. 124 125
Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 211 Ibid., hlm. 225-226
78
c. Menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutuptutupi. Berikan kepada peserta didik ilmu pengetahuan dan nasihat yang berguna bagi bekal kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. d. Hormati keberadaan peserta didik sebagai manusia yang dinamis dengan memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk berpikir, berkreasi, berpendapat, dan menemukan berbagai kesimpulan lain. e. Memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa mereka.126 f. Tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar peserta didik. Menurut Hamka, tidaklah salah bekerja untuk mencari upah. Tetapi bila usaha itu sudah cari upah semata-mata, sehingga tidak ada lagi rasa tanggung jawab kepada baik atau buruknya pekerjaan, alamat semuanya akan rusak dan akhirnya celaka. Orang yang bekerja hanya semata-mata memandang upah, tidaklah dapat dipercaya. Dia membaguskan pekerjaan dan membereskan buah tangannya bukan karna ingin kebagusan, tetapi karna ingin upah. Jika upah sudah diturunkan, pekerjaannya sudah dibatalkanya, sehingga mutunya menjadi mundur.127 g. Menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik. Keberanian budi, ialah berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya; tidak takut gagal, salah ataupun dicela orang lain. Untuk menanamkan bibit-bibit keberanian kepada anak-anak, maka ahli pendidik di benua Eropa dan Amerika, mendapat beberapa jalan; yaitu: 1) Menguatkan pelajaran senam (sport), sehingga badan dan fikirannya sehat. 2) Mengajarkan dan menceritakan riwayat orang-orang yang berani, yakni para pahlawan bangsa dan pejuang-pejuang Islam. 126 127
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 152 Hamka, Falsafah Hidup, op.cit., hlm. 172.
79
3) Biasakan berterus terang bercakap-cakap. 4) Tidak percaya kepada khurafat. 5) Memperkaya akal dengan ilmu yang memberi faedah. 128 Agar ilmu melekat di hati peserta didik, Hamka mencontohkan Engku M. Syafei (Alm), pendidik yang masyhur di Kayu Tanam. Hamka bercerita: Pada suatu hari datanglah murid-murid kepada Engku M. Syafei (Alm) meminta supaya hari itu diajarkan pelajaran Ilmu Bumi Ekonomi. Ketika itu mereka sedang berada di halaman sekolah, bukan di dalam kelas. Waktu itu sajalah Engku M. Syafei memperlakukan permintaan itu sambil berdiri. Diberinya keterangan tentang kekayaan dan kesuburan tanah air, buah-buahan yang bisa tumbuh dan hasil yang dapat dibawanya kepada putera bumi itu sendiri, kalau mereka bersungguh-sungguh. Disuruhnya murid-muridnya itu menentang puncak Gunung Singgalang bahwa di sana ada kekayaan yang tidak tepermanai. Lalu disuruhnya pula mendengarkan bunyi aliran air di Batang Anai yang hebat dahsyat, lalu dinyatakannya pula faedah yang dapat diambil darinya. Sehingga termenunglah murid-murid itu dan lekat di hati mereka keterangan gurunya. Pelajaran seperti itu jauh lebih besar bekasnya kepada jiwa mereka, dari jika disuruh duduk berbaris menghadapi bangku.129 Hal ini mengindikasikan bahwa suatu ilmu tidaklah lekat di dalam hati dan jiwa, tidaklah terpasang kepada diri kalau tidak diamalkan, dibiasakan, dan dicobakan.130 c. Masyarakat Peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya. Sifat dasar ini membuat interdependensi antar peserta didik dengan manusia lain dalam komunitasnya tak bisa dihindarkan. 128
Ibid., hlm. 209-211. Hamka, Lembaga Budi, op.cit., hlm. 71 130 Hamka, Falsafah Hidup, op.cit., hlm. 54 129
80
Eksistensinya saling bekerja sama dan saling memengaruhi antara satu dengan yang lain. Melalui bentuk komunitas masyarakat yang harmonis, menegakkan nilai akhlak, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama, akan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram. Kondisi dan model masyarakat yang demikian, merupakan prototipe masyarakat ideal bagi terlaksananya pendidikan yang efektif dan dinamis. Oleh karna itu, dalam memformulasi sistim pendidikan, diperlukan pendekatan psikologis-sosiologis.
Pendekatan
yang
dilakukan
hendaknya
mengakomodir dan menyeleksi sistim nilai sosial (adat) dimana pendidikan itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan pendekatan ini pendidikan akan mampu memainkan perannya sebagai agent of change dan agent of social culture. Hamka menyebut peserta didik sebagai bunga masyarakat yang kelak akan mekar atau akan menjadi tubuh dari masyarakat, oleh karna itu tiap anggota masyarakat bertanggung jawab menjaga dan melindunginya dari segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan kecerdasannya.131 Menurut Hamka, akhlak peserta didik dapat dikatakan sebagai cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Hal ini karena kehidupan setiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas sosial, merupakan miniatur kebudayaan yang akan dilihat dan kemudian dicontoh oleh setiap peserta didik. Eksistensi masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif bagi memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan yang efektif. Kesemua unsur yang ada hendaknya senantiasa bekerja sama secara timbal balik sebagai alat sosial-kontrol bagi pendidikan. 132 Hamka menegaskan bahwa, eksistensi adat dalam sebuah komunitas sosial dan kebijakan politik negara, cukup berpengaruh bagi 131
Hamka, Lembaga Hidup, op.cit., hlm. 38 Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet-1, hlm. 274-275. 132
81
proses perkembangan kepribadian peserta didik pada masa selanjutnya. Oleh karena itu, seluruh sistim sosial di mana peserta didik itu berada hendaknya
bersifat
kondusif
dan
proporsional
bagi
menopang
perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki setiap anak didik. Masyarakat maupun negara seyogyanya melihat adat dan kebijaksanaan pemerintah sebagai sesuatu yang fleksibel, serta menghargai setiap pendapat sebagai sebuah keberagaman. Sikap yang demikian akan menumbuhkan dinamika berpikir kritis dan menghargai kemerdekaan yang dimiliki setiap orang, tanpa menyinggung kemerdekaan yang lain. Masyarakat
juga
dituntut
memiliki
kepedulian
sekaligus
mengontrol (social control) terhadap perkembangan pendidikan peserta didik. Kepedulian tersebut bukan hanya bersifat moril maupun materiil, akan tetapi wujud aksi nyata, seperti mengembangkan, majelis-majelis keilmuwan
dalam
komunitasnya.
Keikutsertaan
seluruh
anggota
masyarakat yang demikian akan membantu upaya pendidikan, terutama dalam memperhalus akhlak dan merespon dinamika fitrah peserta didik secara optimal. Prototipe masyarakat yang demikian, sesungguhnya marupakan prototipe masyarakat madani (civil society) sebagaimana yang diidam-idamkan dewasa ini.133 Untuk menciptakan peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, ketiga sosok pendidik di atas hendaknya bekerja sama secara harmonis dan integral. Bila hal itu tidak dilakukan, maka pelaksanaan pendidikan yang ideal hanya akan tinggal sebuah hipotesis. Peran ketiga pendidik di atas memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam
pembentukkan kepribadian peserta didik. Namun demikian, tidak bisa dikelompokkan secara linear faktor mana yang lebih besar pengaruhnya, karna saling mendukung dan menguatkan. Agar pendidikan bersifat interaktif, maka menurut Hamka seorang pendidik hendaknya ’berbuat’ sebagaimana layaknya sikap dan tingkah 133
Samsul Nizar, op. cit., hlm. 155-157.
82
laku anak yang sedang dihadapinya. Dengan pendekatan tersebut, anak akan merasa dekat dengan orang yang mendidiknya. Proses ini merupakan pendekatan yang strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalam hal ini, ia mengutip pendekatan yang dilakukan Rasulullah terhadap Hasan dan Husein. Dalam melaksanakan misi pendidikannya, rosulullah bahkan tidak segan-segan bermain kuda-kudaan dengan cucu-cucunya. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya mampu memformulasi bentuk pendekatan pendidikan yang bersifat persuasif terhadap peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional.
83
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN HAMKA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM MASA SEKARANG
A. Urgensi Pendidik dalam Proses Pendidikan Islam Upaya Hamka dalam menggagas ide-ide pembaruan pendidikan (Islam) tidak hanya dilakukan melalui mimbar atau karya-karya tulisnya. Lebih lanjut lagi ia mengapresiasikan ide-idenya itu secara nyata dalam pendidikan formal. Fenomena ini terlihat dari keterlibatannya sebagai seorang pendidik pada lembaga pendidikan formal yang didirikannya, maupun pada beberapa lembaga pendidikan lain, seperti Tabligh School (1931), Munier School, HIS Muhammadiyyah, Kulliyyatul Muballighin Muhammadiyyah, PTAIN, UI Jakarta, UISU, UMI, PUSROH dan YPI Al-Azhar.134 Hanya saja, perlu diakui bahwa meskipun pemikirannya tentang pendidikan (Islam) ditopang dengan keterlibatannya secara formal, namun dalam karya-karyanya tersebut tidak diperoleh penjelasan secara konkret bagaimana bentuk kurikulum dan langkah operasional yang perlu diambil dalam rangka melaksanakan proses belajar mengajar. Ia tidak membangun sebuah teori pendidikan yang operasionalistik. Tetapi lebih kepada upaya membongkar kebekuan sistim pendidikan Islam waktu itu. Ia hanya memberikan
rambu-rambu
pola
ideal
pendidikan
Islam.
Kerangka
pemikirannya tentang pendidikan lebih bersifat filosofis, sehingga bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena ini merupakan kelemahan sekaligus kelebihan pemikirannya dalam membangun kerangka dasar pendidikan Islam, termasuk mengenai pendidik sebagai salah satu komponen penting dalam pendidikan Islam. Pendidik merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuannya. Crow dan crow menyebut pendidik ini sebagai faktor
134
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 199
84
vital diantara empat faktor lainnya, yaitu peserta didik, tujuan pendidikan, alat dan milieu. Sekolah dengan fasilitas yang lengkap dan peralatan yang modern, tidak akan berjalan optimal apabila tenaga kependidikannya yang ada tidak mampu mefungsikan fasilitas dan alat tersebut, begitu pula sebaliknya.135 Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan pendidik jauh lebih penting dari media pendidikan ataupun komponen pendidikan yang lain. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 UU RI No. 20 th. 2003) bangsa Indonesia telah memberikan rumusan mengenai tujuan pendidikan di Indonesia, yakni : (1) kekuatan spiritual keagamaan, (2) pengendalian diri, (3) kepribadian, (4) akhlak mulia, serta (5) ketrampilan.136 Artinya bahwa dalam menerapkan dan mengimplementasikan pendidikan, tidak hanya terpaku kepada satu tujuan ansich (misalnya kecerdasan saja), namun harus bersifat holistik dengan tujuan yang lain agar bisa membentuk satu karakter manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting untuk ditandaskan agar dalam proses pendidikan di Indonesia tidak terjadi miss oriented. Dari titik inilah pendidik mempunyai peran yang sangat, amat dan terlalu penting, karena beratnya misi yang harus diemban oleh pendidik. Untuk mewujudkan misi ini, tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidik (yang nota bene dipersepsikan guru) namun juga merupakan tugas semua pihak, yaitu orang tua dan masyarakat. Untuk bisa mendidik dengan baik, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efisien, pendidik harus memiliki pengenalan diri (ma rifat) dan pengenalan norma-norma dan etis, agar pendidik menjadi pribadi-pribadi teladan yang patut digugu dan ditiru. Pengenalan diri seorang pendidik dapat dilakukan dengan tiga cara, Pertama, mengenali kekuatan dan kelemahan sendiri. Kedua, mengenali hakekat anak didik dengan segala konstitusi psikofisik, kebutuhan, kepedihan dan harapannya. Ketiga, keterbukaan menuju
135
Abdurrachman Assegaf, Kependidikan Islam , Jurnal Pemikiran, Riset, dan Pengembangan Pendidikan Islam, I, 1, Februari, 1994, hlm. 20-21. 136 http://mabadik.wordpress.com/2010/07/09/urgensi-peran-pendidik-dalam-upaya-untukmencerdaskan-kehidupan-bangsa/
85
ke depan dalam mewujudkan semua potensi dan kemungkinan yang ada pada anak didik, pribadi pendidik, orang tua murid dan perkembangan masyarakat sekitar.137 Kemampuan mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri penting bagi pendidik untuk memberikan keputusan dan tindakan terkait dengan proses mendidik peserta didik. Jika seorang pendidik merasa memiliki kemampuan lebih dalam mengoperasikan teknologi pendidikan untuk optimalisasi suatu metode, maka hal ini bisa diterapkan dalam penyampaian materi sehingga proses belajar tidak berjalan monoton. Begitu juga dengan kemampuan mengenali kelemahan diri. Jika seorang pendidik misalnya merasa lemah dalam olah vokal atau volume suara cenderung rendah, maka memaksakan diri untuk selalu menggunakan metode ceramah merupakan pilihan sikap yang kurang bijaksana. Mengenali hakekat anak didik dengan segala konstitusi psikofisik, kebutuhan, kepedihan dan harapannya adalah salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh para pendidik agar proses belajar yang hanya searah atau tidak memberikan timbal balik tidak terjadi. Pentingnya orang tua, guru dan masyarakat untuk memahami situasi dan kondisi, serta kemampuan menerima materi pendidikan jasmani dan rohani anak didik bertujuan untuk membangun kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Hal ini karna pada dasarnya proses pendidikan melibatkan pendidik dan peserta didik secara bersamaan, bukan menjadikan peserta didik hanya sebagai obyek didikan yang pasif dalam menerima materi pendidikan. Selanjutnya, bersikap terbuka terhadap potensi dan bakat anak didik secara obyektif adalah sikap pendidik sejati. Orang tua tdaklah seharusnya memaksakan kehendaknya agar anaknya menjadi guru seperti dirinya misalnya, jika pada kenyataannya anaknya memiliki bakat dan kecenderungan yang lebih terhadap profesi dokter. Keterbukaan dan kebesaran jiwa semacam ini sangat penting dalam
137
Sutoyo, “Profesionalisme Guru dalam Tinjauan Pendidikan Islam”, Jurnal Wahana Akademia, 7,2, Agustus, 2005, hlm. 230.
86
menumbuhkan karakter positif dan kemajuan bagi akal, hati, dan budi anak didik. Mengenai pendidik, secara garis besar Hamka berpendapat bahwa pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.138 Namun, seiring berjalannya waktu makna pendidik mengalami pergeseran ke arah yang lebih dangkal. Pendidik dianggap sekedar sebagai orang yang mengajar kepada siswa untuk menambah pengetahuan. Hal ini bertentangan dengan kewajiban pendidik untuk tidak hanya mengajar tetapi sekaligus mendidik. Yang dimaksud mengajar dalam hal ini adalah membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Sedangkan mendidik adalah suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani. Jadi pengertian mendidik lebih bersifat mendasar, tidak sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of values. Di lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi sesungguhnya bukanlah pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Transformasi yang terjadi hanya sebatas transformasi yang hanya melibatkan peran keilmuan guru dan kebodohan murid. Asumsinya, murid menjadi pintar berkat pengajaran sang guru. Pendidikan dianggap tidak begitu penting, mungkin saja karena hasilnya dianggap kurang konkrit. Justru pengajaranlah yang begitu ditekankan habis-habisan. “Pendidikan dan Pengajaran” yang menjadi jargon sistem pendidikan di Indonesia selama bertahun-tahun, dengan demikian, menghasilkan format yang tidak seimbang. Dalam “pengajaran”, guru akan bertindak sebagai orang yang paling pintar di kelas, dan siswa adalah objek yang dikenai blue print kemana guru berkehendak, sementara dalam “pendidikan”, yang lebih ditekankan adalah transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi moralitas, dan bukan transformasi gaya berfikir. Makna pendidikan telah tereduksi sedemikian rupa 138
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 2-3
87
sehingga menjadi sekadar sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, atau sekedar pengajaran (termasuk penataran) dan pelatihan, maka semua itu akan berbuah pada irasionalitas, immoralitas, dan agresivitas. Sistem pendidikan di Indonesia telah mengikuti antagonisme pendidikan ’gaya bank’, yaitu guru mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti; guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; guru
memilih apa
yang akan diajarkan,
murid
menyesuaikan diri; guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid; guru adalah subyek proses belajar, murid adalah obyeknya.139 Konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang lebih luas ketimbang sekedar pengajaran. Ada kecenderungan yang memprihatinkan dewasa ini, dimana sistem pendidikan kita semakin lama semakin menjauhi substansi tujuan pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan memang marak ada dimana-mana, namun dari mereka jarang yang membawa misi pendidikan itu sendiri, tak lain sekedar pengajaran, dimana ada transformasi pengetahuan tenang ABC agar siswa juga paham tentang ABC juga tanpa harus tahu dari mana ABC didapatkan. Lebih ironis lagi, maraknya institusi pendidikan ini, secara cermat bisa dikatakan lebih banyak bertujuan untuk kepentingan institusi itu sendiri, bukan untuk kecerdasan siswa. Bahkan skala prioritas tujuan untuk mencerdaskan anak didik mungkin bisa diurutkan pada nomor yang paling buncit, yang penting bagaimana institusi bisa meraih keuntungan maksimal. Dengan kata lain, lembaga pendidikan, ternyata hanya mampu mencetak manusia-manusia tua, bukan manusia-manusia dewasa. Oleh karena itu, dalam mengatasi persoalan ini harus ada upaya bersama untuk menyeimbangkan makna antara pengajaran dan pendidikan. Keduanya perlu mendapatkan perhatian yang serius. 139
Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta; Harian Kompas, 2000), hlm.
11
88
Fenomena seperti inilah yang mendasari pemikiran Hamka bahwa di sekolah itu yang ada hanya pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada pendidikan, hanyalah pendidikan salah, pendidikan yang menghilangkan pribadi. Banyak ilmunya tetapi budinya kurang. Kesudahannya banyaklah kelihatan anak-anak muda yang tidak tentu tujuan hidupnya. Tidak dapat berkhidmat kepada tanah-air tumpah darahnya. Bagaimana akan dapat sedangkan bahasa ibunya tidak diketahuinya.140 Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan
sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam
mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan dan pengajaran) merupakan suatu sistem yang saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia dan akhirat. Karna justru di sekolah-sekolah itulah pendidikan mempunyai makna yang penting untuk pertama kali diaplikasikan. Dalam ruangan yang sempit itulah, konsep pendidikan seharusnya dilaksanakan oleh para guru sebagai pendidik yang mewakili realitas sosial kepada murid.
140
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 225
89
B. Relevansi Pemikiran Hamka dengan Pendidikan Islam Masa Sekarang Keberhasilan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Selain masalah-masalah baru yang bermunculan, terdapat juga berbagai problematika lama yang belum tuntas diselesaikan dan dicarikan penyelesaian, sehingga pekerjaan rumah bagi pemerintah dan stakeholder pendidikan semakin menumpuk. Menurut Arif Rachman, seorang pakar pendidikan, berpendapat bahwa beberapa titik lemah pendidikan Islam di Indonesia yang menghambat kemajuannya adalah: 1. Keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif dan nyaris tidak mengurus ranah efektif dan psikomotorik. 2. Peserta didik menjadi obyek didik dan bukan pelaku aktif. 3. Proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran. Sehingga materi pelajaran menjadi yang tidak relevan dengan kenyataan. Hal ini terbukti dengan terjadinya kesenjangan antara dunia sekolah dan dunia kerja. 4. Titel dan gelar pendidikan menjadi target pendidikan yang tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni sehingga terjadi “pengejaran titel” yang tidak sehat. 5. Profesi guru terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan sehingga hubungan guru dan murid terkesan sebagai hubungan produsen dan konsumen. Hal ini diperparah dengan kedudukan profesi guru yang secara finansial berada pada profesi papan bawah 6. Manajemen
pendidikan
yang
menekankan
tanggung
jawab
penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh stake holder pendidikan seperti masyarakat, ortu, guru dan siswa itu sendiri.141
141
Arif Rachman, Mengurai Benang Kusut Pendidikan Gagasan Para Pakar Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Transformasi UNJ, 2003), hlm. 1989-200.
90
Menurut penulis, rumusan masalah mengenai pendidikan di Indonesia yang telah disebutkan oleh Arif Rachman di atas telah sejak lama menjadi kendala pendidikan nasional yang menggelisahkan pikiran dan hati masyarakat Indonesia, terutama seorang pemikir bernama Hamka. Hal ini terbukti dari hasil pemikiran dan perenungannya yang secara tersirat terdapat di karya-karya tulisnya. Jika Arif Rachman mengatakan bahwa proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran sehingga materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kenyataan, maka jauh-jauh hari Hamka telah berpendapat bahwa pada masa ini, banyak terdapat sekolah-sekolah yang mengajarkan agama, tetapi tidak mendidikan agama. Maka keluar pulalah anak-anak muda yang alim ulama, bahasa Arabnya seperti air yang mengalir, tetapi budinya rendah. Sama sajalah harganya sekolah-sekolah semacam ini dengan sekolah yang tidak mengajarkan dan mendidikan agama.142 Pernyataan di atas mengandung arti bahwa pengajaran semata tanpa diiringi dengan upaya mendidik hanya akan mengasilkan peserta didik yang cerdas tapi kurang berbudi. Hal ini tentu akan menyalahi rumusan tujuan pendidikan Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 UU RI No. 20 th. 2003). Proses pendidikan harus dimulai sejak dini, bahkan semenjak anak lahir ke dunia. Pendidikan pertama yang harus dilakukan ketika anak lahir oleh orang tua sebagai pendidik adalah dengan mengazankan dan mengiqomahkannya. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa rahasia dilakukannya adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir mengandung harapan yang optimis agar mula-mula suara yang terdengar oleh telinga sang bayi adalah seruan adzan yang mengandung makna keagungan dan kebesaran Allah serta syahadat yang menjadi syarat utama bagi seseorang yang baru masuk Islam. Perlakuan ini menerangkan akan kepedulian Nabi Muhammad saw. terhadap aqidah tauhid yang harus ditanamkan secara dini dalam jiwa sang anak dan
142
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., hlm. 205-206
91
sekaligus untuk mengusir setan yang selalu berupaya mengganggu sang bayi semenjak kehadirannya dalam memulai kehidupan barunya di alam dunia.143 Lebih jelasnya, pemikiran Hamka yang menghendaki keseimbangan antara peran orang tua, guru, dan masyarakat dalam proses pendidikan dan pengajaran anak adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut; 1. Perawatan bayi yang baru lahir Begitu anak dilahirkan, dimulailah saat awal dari kehidupan bayi. Inilah yang ditunjukan Islam dalam pendidikan anak, yang berbeda dari seluruh metode pendidikan yang pernah ada di dunia. Orang tua ditugasi untuk menancapkan tiang pendidikan guna membangun masa depan anak. Tiang itu adalah adab Islami, sunnah Nabi dan metode Rabbani. Adapun tiga adab terpenting, diantaranya adalah: Adab pertama, dikumandangkan adzan dan iqomah di kedua telinga bayi sebagaimana sedikit disinggung di atas. Itu dilakukan agar hal pertama yang didengarnya dalam wujudnya adalah ketauhidan Allah yang telah menciptakan dan mengadakan dirinya dari nutfah, lalu alaqoh, kemudian mudhgoh dalam tiga bulan pertama di kandungan. Kemudian mewujudkannya menjadi khalifah Allah di muka bumi. Adzan dan iqomah mengikat kehidupan dalam kesenangan maupun kesedihan, dengan akidah dan agama, agar anggota keluarga berada dalam kegembiraan karena hubungannya dengan Allah swt dan selalu mengingat Allah. Adab kedua, memilihkan nama yang baik untuk anak. Pemilihan nama yang baik adalah pertanda yang jelas dalam pendidikan secara tidak langsung. Karena, dalam nama setiap orang terdapat peruntungannya. Jika namanya bagus, maka bagus pula peruntungannya. Ditambah lagi masalah kejiwaan, seperti yang diutarakan oleh para pakar pendidikan, yaitu tentang panggilan yang baik atau buruk dan pengaruhnya terhadap jiwa
143
http://titipan-cucu.blogspot.com/2010/05/anjuran-menyerukan-adzan-pada-
telinga.html
92
anak. Juga pengaruhnya terhadap hubungannya dengan teman-temannya dan individu masyarakat. Adab ketiga, memuliakan anak dengan pelaksanaan aqiqah untuk memberitakan kebahagiaan dan kesenangan atas kelahirannya. Aqiqah juga merupakan ungkapan syukur kepada Allah swt. Ketiga adab tersebut merupakan satu kesatuan yang dibebankan kepada orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Selain sebagai konsekuensi atas kewajibannya memenuhi syariat Islam, ketiganya dilakukan juga sebagai langkah awal untuk pendidikan selanjutnya agar berlangsung dengan baik dan mudah. 2. Perawatan anak dari kecil Yakni dalam menyediakan makanan, minuman dan pakaiannya, juga menjaga kesehatan fisiknya. Semua itu agar anak sehat akalnya, kuat jasmaninya dan sehat pula inderanya. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia tidak terpisah-pisah, dimana apabila kehidupannya kuat pada waktu ia kecil, maka pada waktu ia dewasa hal itu akan berlanjut. Dan akal yang sehat berada dalam badan yang sehat pula. Kesehatan dan kekuatan berasal dari makanan yang bersih dan terbebas dari segala hal yang haram. Begitu juga dengan ibu hamil dan menyusui, selayaknya mengkonsumsi hanya makanan yang halal. Sebab, air susu atau makanan yang dihasilkan dari makanan yang haram tidak ada berkah di dalamnya dan menimbulkan keburukan dan kerusakan. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan tentang halal dan haram kepada anak, serta membiasakan anak-anak pergi ke masjid, melatih mereka melaksanakan puasa dan infaq, dan berakhlak baik kepada orang yang lebih tua dengan menghormatinya. Metode pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tua adalah dengan menyertai mereka dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan syariat dan menugasi mereka melakukan perbuatan baik. Misalnya meminta anaknya untuk memberi sedekah kepada fakir miskin, lalu menjelaskan kepada mereka
93
maksud perbuatan baik tersebut menurut kacamata Islam. Pengalaman rohani semacam ini akan berkesan di hati anak sepanjang masa. Ini mengisyaratkan bahwa pengetahuan teori keagamaan agaknya harus diikuti dengan praktek agar menjadi perilaku bahkan karakter yang sinergi dengan teori ilmu pengetahuan agama. 3. Membangun hubungan kemasyarakatan yang kuat Diantara unsur-unsur pendidikan Islam adalah agar orang tua memberikan petunjuk kepada anak untuk memilih teman yang baik. Jika tidak, mereka akan memilih teman sekolah sekehendak hati mereka, sedangkan teman berpengaruh besar terhadap perkembangan pribadi anak, baik yang merusak atau memperbaiki. Anak pada pertumbuhan pertamanya mendapat semuanya dari orang tuanya, kemudian ia tumbuh besar. Tetapi ketika ia keluar dari rumahnya, ia masuk kedalam masyarakat dan bercampur dengan orang lain di sekolah, di halaman, di tempat bermain. Metode pendidikan untuk mengarahkan anak-anak dalam memilih teman yang baik adalah orang tua menemani anak-anak mereka ketika mereka berkunjung ke rumah teman-teman orang tuanya, agar anak mengenal teman sebayanya dan orang tua saling mengenal sehingga terjalin hubungan yang baik dalam mengawasi anak-anaknya.144 Upaya-upaya di atas adalah refleksi pemikiran Hamka yang mengutip perkataan Hukama bahwa adab-sopan anak-anak itu dibentuk sejak dari kecilnya. Karena ketika kecilnya masih mudah membentuk dan mengasuhnya, belum dirusakkan oleh adat kebiasaan yang sukar meninggalkan. Tiap-tiap manusia apabila telah terbiasa mengerjakan dan mentabiatkan suatu pekerti sejak kecilnya, yang baik atau yang buruk, sukarlah membelokkannya kepada yang lain, apabila dia telah besar.145
144
Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: A. H Ba’adillah Press, 2002), hlm. 56-67. 145 Hamka, Lembaga Budi, op.cit., hlm. 226
94
Selain itu menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan didikan di rumah. Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua murid
dengan
guru.
Kadang-kadang
datang
mendatangi,
ziarah
menziarahi, selidik menyelidiki tentang tabiat anak yang dalam didikan itu. Tentu saja di dalam didikan secara Islam akan mudah melakukan ini. Sebab kalau rumah guru berdekatan dengan rumah orang tua murid, sekurangnya sekali sehari, diantara Maghrib dan Isya, guru dan orang tua murid itu akan bertemu di surau. Dan kalau rumahnya berjauhan, akan bertemu di hari Jum’at. Kesempurnaan didikan anak itu dapat dibicarakan dengan baik. Pemikiran Hamka mengenai hal tersebut sangat baik jika mampu dipahami,
disadari
mengoptimalkan
dan
proses
diterapkan pendidikan
oleh
para
Islam.
Hal
pendidik ini
dalam
berdasarkan
pertimbangan bahwa fenomena tawuran, narkoba, pergaulan bebas, kecurangan dalam belajar, dan berbagai perilaku menyimpang dan negatif marak terjadi, sehingga para pendidik yang terdiri dari orang tua, guru dan masyarakat diharuskan merapatkan barisan untuk perbaikan mutu akademis dan moral anak didiknya. Di zaman modern seperti ini, pertemuan dan kerja sama para pendidik tersebut dapat ditempuh dengan banyak media, beberapa diantara bentuk perlibatan diri atau partisipasi orang tua dan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai bentuk organisasi, seperti parent teacher organization, komite akuntabilitas perbaikakan sekolah, komite penasehat sekolah, dan sebagainya.146 Selain itu dapat pula ditempuh dengan surat menyurat, kunjung mengunjungi, bahkan dengan menggunakan media elektronik seperti telepon, telegram, dan facebook atau jejaring sosial lainnya.
146
Syamsir, “Pendidik dalam Perspektif Islam”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15, 5, Februari, 2009, hlm. 887.
95
Berdasarkan hasil riset mengatakan bahwa pekerjaan guru di sekolah akan lebih efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan pengalaman anak didik di rumah tangganya. Anak didik yang kurang maju dalam pelajarannya, berkat kerja sama antara orang tua dan guru, banyak kekurangan anak didik yang dapat diatasi. Pada dasarnya cukup banyak cara yang dapat ditempuh untuk menjalin kerja sama antara orang tua dan guru. Berikut ini beberapa contohnya; 1. Adanya kunjungan ke rumah anak didik Pelaksanaan kunjungan ke rumah anak didik ini berdampak sangat positif, di antaranya: a. Kunjungan melahirkan perasaan pada anak didik bahwa sekolahnya selalu memperhatikan dan mengawasinya. b. Kunjungan tersebut memberi kesempatan kepada guru untuk melihat dan melakukan observasi secara langsung cara anak didik belajar, latar belakang hidupnya, dan tentang masalah-masalah yang dihadapi keluarganya. c. Guru memiliki kesempatan untuk memberikan penerangan kepada orang tua anak didik tentang pendidikan yang baik, cara-cara menghadapi masalah yang sedang dihadapinya . d. Hubungan guru dan orang tua akan bertambah erat e. Kunjungan dapat memberikan motivasi kepada orang tua anak didik untuk lebih terbuka 2. Diundangnya orang tua ke sekolah Kalau ada berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah yang memungkinkan untuk dihadiri orang tua, maka akan positif sekali artinya bila orang tua diundang untuk datang ke sekolah. Kegiatankegiatan dimaksud umpamanya class meeting yang berisi perlombaanperlombaan yang mendemonstrasikan kebolehan anak dalam berbagai bidang, pameran hasil kerajinan tangan anak, pemutaran film pendidikan, dan sebagainya.
96
Ini penting untuk menumbuhkan kesadaran pada orang tua akan pentingnya mengetahui di mana kecenderungan bakat anak sehingga bisa mengarahkannya. Perhatian dan keseriusan orang tua terhadap tiap detil perkembangan anaknya sangat memberikan pengaruh terhadap jiwa anak. Ini bisa ditunjukan dengan sikap memberikan penghargaan yang setinggitinggi atas keberhasilan anak terhadap suatu bidang meski sekecil apapun itu dan memberikan hukuman yang edukatif jika terjadi penyimpangan tanpa adanya kekerasan. 3. Case Conference Case conference merupakan rapat atau konferensi tentang kasus. Biasanya digunakan dalam bimbingan konseling. Peserta konferensi ialah orang yang betul-betul mau ikut membicarakan masalah anak didik secara terbuka dan sukarela, seperti orang tua anak didik, guru-guru, petugas bimbingan yang lain, dan para ahli yang ada sangkut pautnya dengan bimbingan seperti social worker dan sebagainya. Konferensi biasanya dipimpin oleh orang yang paling mengetahui persoalan bimbingan konseling, khususnya tentang kasus yang dimaksud. Semua data dari ”commulative record” anak didik dipergunakan, kalau memungkinkan didemonstrasikan. Materi dari pembicaraan di dalam konferensi bersifat confidential (dijaga kerahasiaannya), sesuai dengan sifat kerahasiaan proses bimbingan dan konseling. Konferensi ini bertujuan mencari jalan yang paling tepat agar masalah anak didik dapat di atasi dengan baik. 4. Badan pembantu sekolah Badan pembantu sekolah ialah organisasi orang tua murid dan guru. Organisasi yang dimaksud merupakan kerja sama yang paling terorganisasi antara sekolah atau guru dengan orang tua murid. Badan pembantu sekolah sekarang dikenal dengan istilah Komite Sekolah. Komite Sekolah ini berfungsi untuk mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efesiensi
97
pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini masyarakat dapat menyalurkan berbagai ide dan partisipasinya dalam memajukan pendidikan di daerahnya. Melalui komite sekolah, masyarakat atau orang tua murid sebagai penyumbang dana berhak menuntut sekolah apabila pelayanan dari sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pengadaan media dan fasilitas pendidikan memegang peranan yang urgen pula dalam menunjang keberhasilan dalam proses belajar agar lebih optimal. 5. Mengadakan surat menyurat antara sekolah dan keluarga Surat menyurat ini diperlukan terutama pada waktu-waktu yang sangat diperlukan bagi perbaikan pendidikan anak didik, seperti surat peringatan dari guru kepada orang tua jika anaknya perlu lebih giat, sering membolos, sering berbuat keributan, dan sebagainya. Surat menyurat ini juga sebenarnya sangat baik bila dilakukan oleh orang tua kepada guru atau langsung kepada kepala sekolah untuk memantau keadaan anaknya di sekolah. 6. Adanya daftar nilai atau raport Raport yang biasanya diberikan setiap semester kepada para murid ini dapat dipakai sebagai penghubung antara sekolah dengan orang tua. Guru dapat memberi surat peringatan atau meminta bantuan orang tua bila hasil raport anaknya kurang baik, atau sebaliknya jika anaknya mempunyai keistimewaan dalam suatu mata pelajaran, agar dapat lebih giat mengembangkan bakatnya atau minimal mampu mempertahankan apa yang sudah dapat diraihnya. Demikianlah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjalin kerja sama antara pendidik orang tua dan guru di zaman sekarang. Semua bentuk kerja sama tersebut sangat besar manfaatnya dalam memajukan
98
pendidikan bagi anak didik.147 Namun demikian, saling membantu dan kerja sama ini tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya dua syarat pokok berikut: Pertama, hendaknya antara pengarahan orang tua dan guru tidak bertentangan. Kedua, hendaknya saling membantu dan kerja sama itu bertujuan untuk menegakkan penyempurnaan dan keseimbangan dalam upaya membina pribadi yang Islami. Jika kerja sama ini memenuhi persyaratan tersebut, kemungkinan besar ruhani, jasmani, dan fisik anak akan menjadi sempurna; di samping akan menjadi insan yang berkeseimbangan, juga akan mengundang kekaguman banyak orang.148 Kerja sama di atas merupakan salah satu bentuk ikhtiyar untuk melahirkan generasi-generasi yang tangguh dalam menghadapi tantangantantangan hidup, sehingga pribadi yang berdaya guna dan bermutu tak lagi menjadi pemandangan ganjil di negeri berkembang seperti Indonesia. Kesadaran atas pentingnya mengintegrasikan peran orang tua, guru dan masyarakat merupakan bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada seluruh aspek stakeholder pendidikan Islam. Hal ini agar proses pendidikan dapat terjadi secara optimal dan berkesinambungan, sehingga peserta didik selalu terkontrol dari masa ke masa perkembangannya dan menjadi lebih baik dan meningkat dalam hal akademisi maupun karakternya. Dengan mengimplementasikan pendekatan semacam ini, maka tercapainya tujuan pendidikan tidak hanya akan menjadi anganangan kosong.
147
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum dan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 90-94 148 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), Cet- 1, hlm. 361-362.
99
BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Mengenai pendidik, Hamka berpendapat bahwa pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun kewajiban mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya di sekolah saja. Karena tempo yang dipakainya di dalam sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang dipakainya di rumah. Tiap-tiap anak harus mendapat didikan dan pengajaran, yang akan diterimanya di sekolah hanyalah ajaran, sedang didikan sebahagian besar di dapatnya di rumah. Karnanya Hamka berpemikiran bahwa pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan Islam adalah orang tua, guru, dan masyarakat. 2. Adapun pendidik
yang baik,
menurut
Hamka harus
memenuhi
karakteristik sebagai berikut; berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta didiknya,
memelihara
martabatnya
dengan
akhlak
al-karimah,
berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela, menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutup-tutupi, memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat
dan
waktu,
sesuai
dengan
kemampuan
intelektual
dan
perkembangan jiwa mereka, tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar peserta didik, di samping mentransfer ilmu (pengajaran), seorang pendidik juga dituntut untuk memperbaiki akhlak peserta didiknya (pendidikan) dengan bijaksana (ihsan), menanamkan kebaranian mempunyai cita-cita dalam hidup, menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik.
100
3. Menurut Hamka, didikan di sekolah bertali dengan didikan di rumah. Hendaklah ada kontak yang baik di antara orang tua murid dengan guru. Kadang-kadang datang mendatangi, ziarah menziarahi, selidik menyelidiki tentang tabiat anak yang dalam didikan itu. Tentu saja di dalam didikan secara Islam, akan mudah melakukan ini. Untuk mendukung hal ini, Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan perkembangan peserta didik. Dengan adanya sholat jamaah di masjid, maka antara guru, orang tua dan murid bisa berkomunikasi secara langsung. Pemikiran ini masih sangat relevan untuk diterapkan pada zaman sekarang yaitu dengan beberapa cara seperti surat menyurat, kunjung mengunjungi, Case conference, organisasi orang tua murid dan guru serta masyarakat bahkan menggunakan media elektronik seperti telepon, telegram, dan facebook.
B. Saran-Saran Berdasarkan dari penelian di atas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Membangkitkan kembali esensi pendidikan dalam proses pendidikan, yaitu dengan tidak hanya menekankan unsur pengajaran yang identik dengan proses penambahan ilmu pengetahuan tanpa disertai dengan upaya pembentukan akhlak yang paripurna. Ini bisa terwujud jika pendidikan dan pengajaran dilakukan secara seimbang dan berkesinambungan. 2. Membangun kesadaran pentingnya menjalin kerjasama yang terpadu antara orang tua, guru dan masyarakat sebagai pendidik sejati yang bertanggung jawab secara penuh atas berhasil atau tidaknya anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. 3. Hendaknya
pendidik
tidak
arogan
dalam
menjalankan
tugas
kependidikannya, tetapi harus bersikap terbuka dan mengharmonisasikan hubungannya dengan anak didiknya sehingga bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki anak dapat ditemukan dan kembangkan ke arah yang lebih baik dan optimal.
101
4. Pendidik hendaknya tidak berpikir picik dan dangkal dengan beranggapan bahwa tugas mendidik adalah sebagai profesi yang berorientasi pada urusan finansial atau upah semata, tetapi lebih jauh lagi menganggapnya sebagai pekerjaan mulia dan merasa
bertanggung jawab dalam
membangun generasi bangsa yang mumpuni dalam hal akademis maupun budi pekerti. 5. Menjadikan Muhammad sebagai pacuan dan tolok ukur dalam melakukan intropeksi terkait dengan tugas orang tua, guru dan masyarakat sebagai pendidik sejati.
C. Penutup Segala puji bagi Tuhan semesta alam yang selalu memberikan petunjuk dan bimbingan serta kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akademisi ini, yaitu penyusunan skripsi tanpa halangan yang berarti. Penulis sangat mengharapkan masukan dari pembaca, baik berupa kritik maupun saran atas penyusunan karya ilmiah ini. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
102
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradapan, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Al-Bisty, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abi Hatim al-Tamimiy, Shahih Ibn Hibban, Jilid I, Tahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth, Beirut: Muassasat alRisalat, 1993. Al-Maliky, Sayyid Muhammad Alwy, Insan Kamil; Sosok Keteladanan Muhammad SAW, Surabaya: Dunia Ilmu, 1999, Cet-1. Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Semarang: Tohaputra, 1989. Al-Qarni, Aidh Bin Abdullah, Visualisasi Kepribadian Muhammad, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2004. Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005. An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet-3. An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul Al-Tarbiyat Al-Islamiyat Wa Asalibuha, Damsyik, Dar al-Fikr, 1983, 139. Assegaf, Abdurrachman, Kependidikan Islam , Jurnal Pemikiran, Riset, dan Pengembangan Pendidikan Islam, I, 1, Februari, 1994. Aziz, Syalhub Fuad bin Abdul, Guruku Muhammad, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, Cet-1. Baihaqi, Mif, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi, Bandung: Nuansa, 2007. Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004. Gazalba, Sidi, Pendidikan Umat Islam, Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat, Jakarta: Bhratara, 1970. Hadim, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2000, Cet. 30. Hamka, Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
103
_______, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, Cet-XI. _______, Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. _______, Lembaga Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. _______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987. _______, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992. Harefa, Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta; harian kompas, 2000. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan; Umum Dan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. J. I. G. M. Drost, S. J., Sekolah: Mengajar Atau Mendidik?, Yogayakarta: Karnisius, 1998, Cet-7. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. _______, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995 Cet-3. Mahmud dan Abdul Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Al-Qur an, Semarang: CV Wicaksana, 1986. Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Islami, 2006. Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002, Cet-2. Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993, Cet-1. _______, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999, Cet-1. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Mustofa, Agus, Membonsai Islam, Jakarta: Padma Press, 2006, Cet-1. Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, Cet. 3. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Histories, Teoritis Dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
104
_______, Sejarah Dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal Dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, Cet1. _______, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI, 1985, Cet-3. Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2006, Edisi 3. Quthb, Muhammad Ali, Sang Anak Dalam Naungan Pendidikan Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990. Rachman, Arif, Mengurai Benang Kusut Pendidikan Gagasan Para Pakar Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Transformasi UNJ, 2003. Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensi Dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993. Ramadhan, Tariq, Muhammad Rasul Zaman Kita, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007, Cet-1. Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogyakarta: LkiS, 2009. Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Roziqin, Badiatul, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009 Cet-2. Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Cet-1. Rusydi, H., Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, Cet-2. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur an, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Volume 1, Cet-7. _______, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur an, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Volume 14, Cet-V.
105
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur an, Jakarta: Lentera Hati, 2007, Volume 15, Cet-X. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. Sudyarto, Sides DS, ”Hamka, Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, Cet-2. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, Jakarta: P3M, 1986. Surachmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah, Bandung: CV. Tarsito, 1978. Susanto, A., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. 1. Sutoyo, “Profesionalisme Guru Dalam Tinjauan Pendidikan Islam”, Jurnal Wahana Akademia, 7, 2, Agustus, 2005. Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Syamsir, “Pendidik dalam Perspektif Islam”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15, 5, Februari, 2009, 887. Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, Cet-1. Tamin, Mardjani, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Dep P dan K RI., 1997. Thoifuri, Menjadi Guru Inisiator, Semarang: Rasail Media Group, 2007, Cet-1. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, Edisi 2. Tim Tashih Depag, Bustami A. Gani dkk, Al-Qur an dan Tafsirnya, Semarang: PT Citra Efhar, 1993, Jilid 2. Tim. Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Dirjen PKAI, 1987, Jilid 1. Ulwan, Abdullah Nashih, Pendidikan Anak Menurut Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992, Cet- 1. Untung, Moh. Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2005, Cet-1.
106
Wahid, Abdurrahman, “”Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?”, dalam Hamka, Hamka Di Mata Hati Umat. Yunan, M., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Zuhaili, Muhammad, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Jakarta: A. H Ba’adillah Press, 2002.
Sumber dari Internet Http://Amir14.Wordpress.Com/Tasawuf-Hamka/ 24-02-2010 Http://Fithab.Multiply.Com/Journal/Item/52, 24-02-2010 Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010 Http://Mabadik.Wordpress.Com/2010/07/09/Urgensi-Peran-Pendidik-Dalam-Upaya-UntukMencerdaskan-Kehidupan-Bangsa/ 17-07-2010 Http://Tanbihun.Com/2010/05/Pendidikan/Pendidik-Dalam-Pendidikan-Islam/ - _Ftn8, 07-012010 Http://titipan-cucu.blogspot.com/2010/05/anjuran-menyerukan-adzan-pada-telinga.html, 2106-2010 Http://Vakho.Multiply.Com/Journal/Item/2/Biografi_Hamka, 07-01-2010.
107
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Nama
: Siti Lestari
Tempat/Tanggal Lahir: Demak, 17 Maret 1988 Alamat Asal
: Desa Karangsono RT 08 RW II Kec. Mranggen Kab. Demak
Jenjang Pendidikan
:
1. SDN Karangsono 02 Mranggen Demak lulus tahun 2000 2. MTs Asy-Syarifah Brumbung Mranggen Demak lulus tahun 2003 3. MA Futuhiyyah 02 Mranggen Demak lulus tahun 2006 4. IAIN Walisongo Fakultas Tarbiyah Angkatan Tahun 2006
108
SILSILAH KELUARGA HAMKA
Abdullah Arief (Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo Koto Juo, salah seorang pahlawan perang Padri)
Abdullah Saleh (Tuanku Guguk Katur) memiliki tiga orang istri
1. anak pr Tuo
2. Saerah
Tuanku Tuo di Lawang
Amarullah (Tuanku Kisai)
3. anak pr Koto
Tuanku Sutan (terbuang di Ternate 8 th)
Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) Memiliki 6 orang anak, yaitu: Fatimah HAMKA Abdul Kudus Asma Abdul Bari (meninggal di penjara Padang) Abdul Mu’thi
109
FOTO-FOTO
Masjid Al-Azhar
Kegiatan Pendidikan di Al-Azhar
110
KARYA-KARYA HAMKA
111
112
FOTO DIRI HAMKA
113