PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I.)
Oleh: ROUDLOTUL JANNAH NIM 11110003
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail:
[email protected] Achmad Maimun, M.Ag. Dosen STAIN Salatiga NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 Eksemplar Hal : Naskah Skripsi Sdri. Roudlotul Jannah Kepada: Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama NIM Jurusan/Progdi Judul
: Roudlotul Jannah : 111 10 003 : Tarbiyah/PAI : PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqasyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 12 Januari 2015 Pembimbing
Achmad Maimun, M.Ag. NIP. 197005101998031003
SKRIPSI PEMIKIRAN HAMKA TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DISUSUN OLEH ROUDLOTUL JANNAH NIM: 11110003 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 21 Februari 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A.
Sekretaris Penguji
: Achmad Maimun, M.Ag.
Penguji I
: Miftachur Rif‟ah, M.Ag.
Penguji II
: Imam Mas Arum, M.Pd.
Salatiga, 21 Februari 2015 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. NIP. 19670112 199203 1 005
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id E-mail:
[email protected] PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Bismillahirrohmanirrohim Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Roudlotul Jannah
NIM
: 11110003
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 12 Januari 2015 Yang Menyatakan,
Roudlotul Jannah Nim: 11110003
MOTTO
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S Al-Qolam (68): 4)
ِاِمَّنَا بع ت ِلََُتِّ َم َم َكا ِرَم ْالَ ْخ ََل ِق ث ْ ُ ُ
"Sesungguhnya saya diutus di bumi ini untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia” (H.R.Bukhori dan Abu Dawud)
PERSEMBAHAN Alhamdulillah dengan izin Allah skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua orang tua saya (bapak Ngatminanto dan ibu Jazariyatun) yang selalu penulis hormati, yang telah memberikan motivasi dan inspirasi sehingga penulis bisa lebih semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Dalam do‟a penulis selalu meminta, semoga dalam hidup ini Allah SWT selalu meridhoi cita-cita penulis untuk menjadi anak sholikhah yang bisa menyenangkan hati kedua orang tua dan bisa selalu menempatkan posisi keduanya pada derajat yang Engkau muliakan. 2. Kakakku Uswatun Khasanah dan Agus Badawi yang telah menjadi penyemangat hidupku dalam meraih kehidupan yang lebih baik. 3. Dosen pembimbing skripsiku bapak Achmad Maimun, M.Ag., yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing saya dengan penuh ketulusan dan kesabaran. 4. Dosen-dosen STAIN Salatiga, terimakasih telah mengalirkan ilmu yang dimiliki dan mendidik dengan penuh keihlasan serta kesabaran. Terimakasih, jasa-jasamu tidak akan saya lupakan. 5. Abah As‟ad Haris Nasution, ibunda Nyai Fatihah Ulfah Imam Fauzi, ibunda Nyai Husnul Halimah, dan abah Taufiqurrahman serta ustadz-ustadzah PonPes Al-Manar yang telah berjuang dalam agama Allah SWT. 6. Sahabat-sahabatku Awalina Maftukhah, Fajar Khusnul Mufidah, Ika Fitri Handayani, Atin Handayani, yang selalu menemani penulis dalam perkuliahan di STAIN Salatiga dan yang telah memberikan motivasi serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Semua temen-teman PAI angkatan 2010 khususnya PAI A, terimakasih atas kebersamaan yang telah mewarnai perjalanan di STAIN Salatiga ini. 8. Mas Thoif Ahmad, yang telah memberikan motivasi serta dukungan terbaiknya dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman Pondok AL-Manar yang telah menemani selama di Pesantren.
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Pemikiran Hamka Tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Ketua STAIN Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
3.
Bapak Rasimin, S.Pdi., M.Pd., selaku Ketua Program Studi S1 Pendidikan Agama Islam.
4.
Bapak Achmad Maimun, M.Ag., selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5.
Dra. Siti Asdiqoh, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan selama masa kuliah.
6.
Segenap dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku perkuliahan.
7.
Ayahku (Ngatminanto) dan ibuku (Jazariyatun) yang selalu memberikan dukungan dan semangat serta dengan tulus ikhlas mendoakan agar cepat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.
8.
Kakakku (Uswatun Khasanah) dan (Agus Badawi) yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
9.
Para pustakawan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menggali wacana.
10. Sahabat-sahabat dan seluruh pihak yang tidak bias penulis sebutkan satupersatu. Terimakasih atas segala bantuan dan do‟anya. Akhirnya penulis hanya bisa berdo‟a semoga Allah senantiasa memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda kepada mereka. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kajian yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, amin.
Salatiga, 12 Januari 2015 Penulis,
Roudlotul Jannah Nim: 11110003
ABSTRAK Jannah, Roudlotul. 2015. Pemikiran Hamka Tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag. Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan, Budi Pekerti, Hamka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti?, dan (2) bagaimana relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan pendidikan saat ini?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian menggunakan pendekatan kepustakaan. Metode penelitian yang digunakan dengan jenis penelitian kepustakaan (Library research), sumber data primernya adalah Tafsir al-Azhar dan buku-buku karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian di antaranya adalah buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi, buku Lembaga Hidup, dan buku Tasawuf Modern, sedangkan sumber data sekundernya adalah buku-buku lain yang relevan dengan obyek pembahasan penulis. Adapun teknis analisa data menggunakan metode deduktif dan induktif. Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Hamka tentang nilainilai pendidikan budi pekerti yaitu (a) nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah berupa ketakwaan, keimanan, tawakkal, syukur, taubat, sabar, dan istiqamah, (b) nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri berupa tanggung jawab, iffah, dan pengendalian diri, (c) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua berupa birrul walidain, dan mentaati kedua orang tua dalam kebaikan, (d) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain berupa kejujuran, amanah, pemaaf, dermawan, rendah hati, kemanusiaan, toleransi, keadilan dan ihsan. Adapun relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan pendidikan saat ini adalah sama-sama terdapat nilai pendidikan religius, nilai pendidikan kejujuran, nilai pendidikan toleransi, nilai pendidikan peduli sosial, dan nilai pendidikan tanggung jawab, sehingga pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti sangat tepat jika diajarkan pada pendidikan saat ini. Skripsi ini di dalamnya terdapat kesimpulan yang penting, bahwasannya Hamka membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya kalau dispesifikkan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i LEMBAR BERLOGO .............................................................................. ...ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... iii PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................. iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................... v MOTTO ...................................................................................................... vi PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................... viii ABSTRAK .................................................................................................... x DAFTAR ISI................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5 E. Telaah Pustaka ................................................................................... 6 F. Penegasan Istilah ................................................................................ 7 G. Metode Penelitian ............................................................................ 10 H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13 BAB II BIOGRAFI HAMKA A. Konteks Internal ............................................................................... 16 1. Aspek Geneologis ........................................................................ 16
2. Aspek Pendidikan ........................................................................ 17 3. Aspek Karir dan Peran ................................................................ 19 B. Konteks Eksternal ............................................................................ 22 1. Aspek Sosial Politik .................................................................... 22 2. Aspek Sosial Keagamaan ............................................................ 24 3. Aspek Kultural ............................................................................ 26 4. Pemikiran-pemikiran yang Berpengaruh ..................................... 27 C. Karya-karyanya ................................................................................ 29 BAB III TINJAUAN KARYA HAMKA A. Penamaan Tafsir Al-Azhar .............................................................. 35 1. Faktor yang Melatarbelakangi Tersusunnya Tafsir Al-Azhar ..... 35 2. Sebab Dinamai Tafsir Al-Azhar .................................................. 35 B. Karya Hamka Tentang Budi Pekerti Selain dalam Tafsir Al-Azhar 36 1. Buku Akhlaqul Karimah ............................................................. 36 2. Buku Lembaga Budi .................................................................... 38 3. Buku Lembaga Hidup ................................................................. 40 4. Buku Tasauf Moderen ................................................................. 40 BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI A. Tinjauan Konseptual tentang Budi Pekerti ............................................ 42 B. Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti............... 46 C. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti dengan pendidikan saat ini .................................................................. 98
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 107 B. Saran .............................................................................................. 108 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini lebih menekankan aspek intelektual saja. Kepandaian otak ternyata belum cukup untuk membantu anak didik menjadi manusia yang lebih utuh, bahkan bagi beberapa siswa kepandaian otak malah membantu siswa berperilaku yang merugikan orang lain (Soewandi, 2005: 107). Pendidikan remaja, bukanlah hanya soal pendidikan dan pengembangan pengetahuan, apalagi hanya otak. Hal itu tidak cukup, karena hanya akan membawa orang mengerti, tetapi belum pasti bahwa mereka dapat hidup berselaras dengan Tuhan, orang tua, dan orang lain (Soewandi, 2005: 111). Melihat realita saat ini kemerosotan budi pekerti sudah terjadi di negara ini, terutama generasi muda. Kenakalan remaja setiap tahun menunjukkan peningkatan yang cukup kompleks. Di antara mereka terlibat narkoba, terlibat tawuran, terlibat seks bebas, akses media porno, aborsi, berlagak jagoan, dan perbuatan yang mengandung unsur negatif lainnya. Mengatasi kenakalan remaja, merupakan tanggung jawab bersama terutama orang tuanya untuk mengingatkan mereka agar menjauhi tingkah laku yang buruk yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bentuk
kenakalan
remaja
di
Indonesia
salah
satunya
adalah
penyalahgunaan narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) sudah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di
Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekedar coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) BNN dan Kombes Pol Sumirat Dwiyanto seperti dihubungi detik Health pada hari Rabu 6 Juni 2012 (http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/05/kriminalitas-remaja-di-sekitar-kita/ diakses 24 April 2014). Uraian di atas menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia kebanyakan adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Dengan demikian pendidikan budi pekerti itu sangat penting, terutama bagi para pelajar dan mahasiswa. Banyak tokoh Nasional maupun Internasional yang menjelaskan di dalam karya-karyanya tentang pendidikan budi pekerti yang seharusnya perlu dijadikan pembelajaran bagi masyarakat, khususnya bagi para pelajar dan mahasiswa. Salah satu tokoh yang menjelaskan tentang pendidikan budi pekerti adalah Hamka. Beliau adalah ulama besar, ahli tafsir, imam besar masjid, ahli sejarah, petinggi politik. Beliau pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), petinggi Muhammadiyah, hingga menjadi novelis, sastrawan, pujangga di Indonesia (http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir/, diakses 3 April 2014).
Menurut Hamka budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran. Ukuran untuk menetapkan budi pekerti adalah akal dan syara’ (Hamka, 1992: 4).
Allah SWT telah berfirman memuja Nabi-Nya dengan menyatakan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya di dalam al-Qur‟an surat AlQolam (68) ayat 4 yang berbunyi:
ِ مك لَ َعلَى ُخلُ ٍق َع ِظْي ٍم َ َوان “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar, berbudi pekerti yang luhur” (Tim Departemen Agama RI, 2006: 564).
Di dalam hadis riwayat Bukhori dan Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
ِ ِ ت ِلََُتِّ َم َم َكا ِرَم ْالَ ْخ ََل ِق ُ ْامَّنَا بُعث “Sesungguhnya saya diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia” (Faruq, 2005: 121).
Maka dari itu pendidikan budi pekerti memang sangat diperlukan oleh seorang muslim terlebih generasi muda. Seorang muslim seharusnya semenjak dini haruslah diajarkan tentang pendidikan budi pekerti Islam, supaya mereka kelak bisa mengemban tugas serta tanggung jawab dengan baik yang akan dihadapinya dimasa yang akan datang, serta sebagai bahan acuan bagi para remaja muslim dalam bertingkah laku sehari-hari, supaya mereka dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak.
Berdasarkan permasalahan di atas, dan begitu besarnya perhatian serta usaha yang dicurahkan Hamka dalam menampilkan pendidikan budi pekerti yang selama ini kurang diterapkan dalam kehidupan, maka penulis tertarik untuk
mengangkat skripsi yang berjudul “Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti? 2. Bagaimana relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan pendidikan saat ini?
C. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Mengetahui pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti.
2.
Mengetahui relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi dengan pendidikan saat ini.
D. Manfaat penelitian Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah di atas mempunyai manfaat sebagai berikut: 1.
Manfaat teoritis a.
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan di Indonesia secara umum dan pendidikan Islam pada khususnya.
b.
Sebagai salah satu sumbangan dari pokok-pokok pemikiran Hamka tentang pendidikan budi pekerti pada masa mendatang.
2.
Manfaat praktis a.
Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan panduan bahwa pendidikan budi pekerti memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan perilaku remaja di lingkungan sekitarnya.
b.
Bagi orang tua, penelitian ini dapat dijadikan panduan dalam membimbing remaja agar memiliki budi pekerti yang luhur.
c.
Bagi remaja, dengan penelitian ini nantinya dapat menambah pengetahuan
tentang
pendidikan
budi
pekerti,
supaya
dapat
diaplikasikan dalam bertingkah laku sehari-hari, serta dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak. E. Telaah Pustaka Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan budi pekerti pernah dikaji oleh beberapa tokoh, salah satu di antaranya adalah kajian pemikiran tokoh Hamka. Akan tetapi penulis belum menemukan tulisan yang secara khusus membahas dan mengupas secara komprehensif tentang “Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti”. Sejauh yang penulis ketahui, kajian tentang pemikiran Hamka sendiri telah diangkat sebagai skripsi oleh Nur Kholis yang berjudul “Studi Komparasi antara Konsep Hamka dengan Abdullah Nasih Ulwan tentang pendidikan Akhlak”, adapun fokus masalahnya membahas tentang persamaan dan perbedaan pemikiran Hamka dan Abdullah Nasih Ulwan tentang Pendidikan Akhlak, serta hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran antara Hamka dan Abdullah Nasih Ulwan tentang Pendidikan Akhlak. Pendidikan akhlak menurut keduanya merupakan upaya
adanya proses akhlak pada diri manusia untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, yang pada akhirnya berorientasi pada percapaian kebahagiaan dunia akhirat. Perbedaan antara keduanya yaitu pandangan Hamka lebih bersifat objektif. Semua manusia mempunyai kewajiban untuk mendapatkan pendidikan akhlak, terutama pada mereka yang terbiasa dengan perangai atau tabi‟at yang jelek, sehingga diharapkan tabi‟at tersebut berubah menjadi lebih baik. Sementara Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa tabi‟at atau perangai merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dirubah. Lingkungan dan pendidikan orang tua sangat mempengaruhi dalam bentuk tabi‟at manusia (Kholis, 2003: x). Dari penelitian di atas, sejauh pengamatan penulis
belum ada yang
membahas pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Penelitian di atas penulis gunakan untuk memperkuat penelitian terkait pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Harapan penulis dengan penelitian ini dapat melengkapi informasi yang ada sebelumnya dan menambah wacana khasanah keilmuan.
F. Penegasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalahpahaman, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut: 1.
Pengertian nilai menurut beberapa pendapat sebagai berikut: a.
Nilai adalah sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 615).
b.
Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan (Saliman dan Sudarsono, 1994: 157).
c.
Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut
keyakinan
seseorang
atau
kelompok
orang
sehingga
preferensinya tercermin dalam perilaku, sikap dan perbuatanperbuatannya (Maslikhah, 2009: 106). d.
Nilai berarti aspek kepribadian yang bersifat menilai yang menjadi dasar pegangan dan kriteria bagi orang bersangkutan dalam menentukan baik atau buruk, bermanfaat atau tidak dan penting atau tidak penting (Asifudin, 2004: 161).
2.
Pengertian pendidikan menurut beberapa pendapat sebagai berikut: a.
Pendidikan berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan awalan pedan akhiran -an yang berarti pengukuhan sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, cara dan perbuatan mendidik (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 263).
b.
Pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari seorang pendidik untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya (Saliman dan Sudarsono, 1994: 178).
c.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, bangsa dan negara (Maslikhah 2009: 130).
d.
Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Hasbullah, 2009: 4). e.
Pendidikan ialah menanamkan akhlak yang utama, budi pekerti yang luhur serta didikan yang mulia dalam jiwa anak-anak, sejak kecil sampai ia menjadi orang yang kuasa untuk hidup dengan kemampuan usaha dan tenaganya sendiri (Al-Ghulayaini, 2009: 315).
3.
Pengertian budi pekerti menurut beberapa pendapat sebagai berikut: a.
Budi adalah alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk, sedangkan pekerti adalah perangai, tabiat, akhlak, watak (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1989: 131).
b.
Menurut Saliman dan Sudarsono (1994: 37), budi adalah akal, daya untuk berfikir.
c.
Budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran (Hamka, 1992: 4).
d.
Budi sering diartikan sebagai nalar, pikiran, akal. Dengan nalar itulah, orang berpekerti yaitu bertindak baik. Maka pelajaran budi pekerti, menjadi pelajaran tentang etika hidup bersama (bertindak baik) yang berdasarkan nalar. Ada unsur kesadaran dan ada unsur melaksanakan kesadaran itu (Soewandi, 2005: 112).
e.
Menurut Syadzili (2005: 7), budi pekerti atau akhlak adalah tata cara berperilaku dan berhubungan dengan orang lain.
Jadi nilai pendidikan budi pekerti adalah suatu sifat yang diperoleh seseorang melalui proses belajar dalam rangka mengembangkan potensi diri, sehingga dapat mendorong untuk melaksanakan tingkah laku yang baik dan benar.
G. Metode Penelitian 1.
Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber literatur perpustakaan. Obyek penelitian digali lewat beragam informasi kepustakaan berupa buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah dan dokumen (Zed, 2004: 89).
2.
Sumber Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah karya Hamka yaitu Tafsir al-Azhar dan buku-buku karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian di antaranya adalah buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi, buku Lembaga Hidup, dan buku Tasauf Modern. Kemudian yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah Ensiklopedi Tematis Dunia Islam karya Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam Indonesia karya Harun Nasution, Ensiklopedi Pendidikan karya Soegarda Poerbakawatja dan Harahab, Ensiklopedi Al-Qur‟an karya Ahmad Fawaid Syadzili, buku Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka karya Ahmad Hakim dan M. Thalhah, buku Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym karya Sulaiman Al-Kumayi, buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter
karya Muchlas Samani dan Hariyanto, dan buku-buku yang lain yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. 3.
Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan tafsir, ensiklopedi, dan buku. Adapun yang menjadi sumber data primer yaitu karya Hamka yaitu Tafsir alAzhar dan buku-buku karya Hamka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian di antaranya adalah buku Akhlaqul Karimah, buku Lembaga Budi, buku Lembaga Hidup, dan buku Tasauf Modern. Dan sumber data sekunder di antaranya adalah Ensiklopedi Tematis Dunia Islam karya Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam Indonesia karya Harun Nasution, Ensiklopedi Pendidikan karya Soegarda Poerbakawatja dan Harahab, Ensiklopedi AlQur‟an karya Ahmad Fawaid Syadzili, buku Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka karya Ahmad Hakim dan M. Thalhah, buku Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym karya Sulaiman Al-Kumayi, buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter karya Muchlas Samani dan Hariyanto, dan buku yang relevan lainnya. Setelah data terkumpul maka penulis mengidentifikasi ayat-ayat alQur‟an dan buku-buku karya Hamka yang membahas tentang pendidikan budi pekerti, kemudian penulis mencocokkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan tentang pendidikan budi pekerti dengan tafsir al-Azhar, langkah selanjutnya penulis mengidentifikasi nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung di dalam tafsir al-Azhar dan buku-buku karya Hamka yang membahas tentang pendidikan budi pekerti, sehingga penulis dapat memperoleh data atau informasi untuk bahan penelitian.
4.
Teknik analisis data Yaitu penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan mengenai halnya. Macam-macam metode yang digunakan dalam menganalisis masalah adalah sebagai berikut: a.
Deduktif Yaitu apa saja yang di pandang benar pada suatu peristiwa dalam suatu kelas atau jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk di dalam jenis itu (Hadi, 1981: 36). Metode ini digunakan penulis untuk menganalisa data tentang budi pekerti di sekitar kita, baik budi pekerti kepada Allah, kepada diri sendiri, kepada orang tua, dan kepada orang lain.
b.
Induktif Yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwaperistiwa yang kongkret, kemudian dari peristiwa-peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981: 42). Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa ayat-ayat alQur‟an dalam tafsir al-Azhar dan buku-buku Hamka yang membahas tentang pendidikan budi pekerti, sehingga dapat diketahui nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung di dalamnya, guna ditarik kesimpulan dan dicari relevansinya dengan pendidikan saat ini.
H. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini dengan mudah, penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab, maka disusunlah pembahasan dalam suatu sistematika sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian E.
Telaah Pustaka
F.
Penegasan Istilah
G. Metode Penelitian H. Sistematika Penulisan BAB II
Biografi Hamka A. Konteks Internal, yang meliputi: aspek geneologis, aspek pendidikan, aspek karir dan peran. B.
Konteks Eksternal, yang meliputi: aspek sosial politik, aspek sosial keagamaan, aspek kultural dan pemikiran-pemikiran yang berpengaruh.
C.
Karya-karyanya, yang meliputi: buku dibidang sastra, buku dibidang politik dan budaya, buku dibidang keagamaan Islam, majalah dan tafsir.
BAB III
Tinjauan Tafsir Al-Azhar A. Penamaan
Tafsir
al-Azhar,
yang
meliputi:
faktor
yang
melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar, dan sebab dinamai Tafsir al-Azhar. B.
Karakteristik Penafsiran Tafsir al-Azhar, yang meliputi: landasan penafsiran Tafsir al-Azhar, metode penafsiran Tafsir al-Azhar, corak penafsiran Tafsir al-Azhar dan langkah-langkah penafsiran Tafsir al-Azhar.
C.
Karya Hamka Tentang Budi Pekerti Selain Dalam Tafsir alAzhar.
BAB IV
Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti A. Tinjauan Konseptual Tentang Budi Pekerti, yang meliputi: persamaan serta perbedaan moral, etika, akhlak, budi pekerti dan pengertian akhlak maupun budi pekerti menurut para ahli. B.
Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti.
C.
Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti dengan Pendidikan Saat Ini.
BAB V Penutup berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II BIOGRAFI HAMKA
A. Konteks Internal 1.
Aspek Geneologis Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada tanggal 17 Februari 1908 bertepatan dengan (14 Muharram 1329 H) di Kampung Molek, Minangkabau, Sumatera Barat. Dia lahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan
ajaran
agama
Islam
(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, diakses 24 Maret 2014). Hamka merupakan keturunan dari seorang ulama terkenal yang berasal dari Maninjau bernama Abdullah Saleh murid dari Tuanku Pariaman Panglima Perang Tuanku Imam Bonjol. Ayah Hamka bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul yang terlahir pada 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Minangkabau
(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahunwafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014). Ayah Hamka adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Saat berusia 17 tahun, dia dibawa ke Makkah untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama di tanah suci. Pada tahun 1941 ayahnya ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi
karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan
umum
pada
masa
itu
(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahunwafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014). Akhirnya, ayah Hamka wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum proklamasi. Pada tahun 1976 makamnya dipindahkan ke kampung
halamannya,
Muara
Pauh,
Sungai
Batang,
Maninjau
(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahunwafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014). Sementara ibu Hamka, bernama Siti Shafiyah berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun kakek Hamka dari ayahnya, yakni Muhammad
Amrullah
dikenal
sebagai
ulama
pengikut
Tarekat
Naqsyabandiyah.(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amru llah, diakses 24 Maret 2014). 2.
Aspek Pendidikan a.
Lembaga pendidikan yang pernah dimasuki Hamka mengikuti pendidikan formal hanya sampai kelas 2 Sekolah Dasar. Setelah kelas 2 Sekolah Dasar, dia tidak pernah bersekolah formal lagi. Hamka lebih suka belajar sendiri. Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Dari ayahnya, Hamka mendapat pendidikan agama, seperti nahwu, sharaf, hadis, dan fikih sehingga beliau lebih cepat pandai daripada kawan sebayanya (Pramuko, 2001: 9). Sewaktu berusia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji al-Qur‟an dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada
sekolah-sekolah Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek (Hamka, 1985: XV). b.
Guru-guru yang pernah mengajarnya Pada tahun 1916 sampai tahun 1923 Hamka bersekolah di Diniyah School dan Sumatera Thawalib, guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri (Hamka, 1985: XV). Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Perantauan mencari ilmu dari tanah Jawa ia mulai dari kota Yogyakarta. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadi Kusumo, di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur‟an darinya. Ia juga bertemu dengan H.O.S Tjokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan sosialisme. Hamka juga mendapat kesempatan untuk bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal, tokoh Jong Islamieten Bond, suatu organisasi yang bertujuan mempelajari Islam dan mengajarkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan, serta mengembangkan rasa simpatik kepada Islam dan pengikutnya, di samping juga menunjukkan rasa toleran terhadap pemeluk agama lain (Hakim dan Thalhah, 2005: 26).
3.
Aspek Karir dan Peran Hamka memulai pengabdian pada ilmu pengetahuan dengan menjadi guru agama Islam pada 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada
tahun 1929 M, ia juga menekuni profesi guru agama di Padang Panjang (Ghofur, 2008: 209). Pada tahun 1930 kongres Muhammadiyah ke-4 berlangsung di Bukit Tinggi dan Hamka tampil sebagai pemateri dengan judul “Agama Islam dan Adat Minangkabau.” Dan ketika Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka tampil dengan materi yang berjudul “Muhammadiyah di Sumatera”. Setahun kemudian atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hamka diutus ke Makasar menjadi mubaligh. Pada tahun 1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang. Tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap majelis Muhammadiyah Sumatera Tengah (AlKumayi, 2004: 25). Sekembalinya dari Makasar, Hamka mendirikan Kulliyatul Mubalighin di Padang Panjang dan aktif sebagai mubaligh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan, di kota ini Hamka bersama Dr. Yunan Nasution menerbitkan majalah “Pedoman Masyarakat.” Majalah yang menurut Yunan Nasution memberikan pengaruh besar bagi hasil karyanya di masa depan (AlKumayi, 2004: 26). Pada tahun 1946, berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang,
dan
Hamka
terpilih
sebagai
ketuanya.
Situasi
ini
sangat
menguntungkan Hamka, sehingga bakatnya sebagai penulis dan penceramah bertambah populer (Hakim dan Thalhah, 2005: 27). Hamka merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949. Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat sebagai pejabat tinggi Departemen Agama, Hamka memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk
mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji Masyarakat. Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili partai politik modern Islam, Masyumi. Karir politik berakhir dengan dibubarkannya majelis ini oleh presiden Sukarno (Hakim dan Thalhah, 2005: 27). Di saat Hamka menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama, kedudukan tersebut memberikan peluang baginya untuk mengikuti konferensi di luar negeri. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundangnya untuk menetap selama empat bulan. Selama kunjungan tersebut, Hamka mempunyai pandangan yang lebih terbuka terhadap negara-negara non-Islam. Sekembalinya dari Amerika Serikat, secara berturut-turut Hamka menjadi anggota misi kebudayaan di Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama untuk menghadiri peringatan mangkatnya Budha di Birma (1954), menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958) dan menghadiri undangan Universitas AlAzhar Kairo untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (Hakim dan Thalhah, 2005: 27). Hamka merupakan salah seorang tokoh yang sangat berjasa dalam dunia keilmuan, beliau dikaruniai gelar kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari Universitas al-Azhar pada tahun 1958 M. Karena karir intelektualnya yang cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M, ia dilantik sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah dipegangnya pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi imam besar masjid Al-Azhar. (Ghofur, 2008: 210). Setelah dibebaskan dari tahanan, beberapa tahun kemudian Hamka memperoleh Gelar (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Kebangsaan
Malaysia pada tahun 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno juga diterimanya dari pemerintah Indonesia (Ghofur, 2008: 212). Pada tahun 1975, Hamka dipercaya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak mengherankan karena Hamka dikenal alim, pemberani, teguh dalam pendirian, juga ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketuai Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal, di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara dan meminta untuk mencabutnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 28).
B. Konteks Eksternal 1.
Aspek Sosial Politik Pada awal abad ke-19, Tanah Minangkabau sebagai tanah kelahiran Hamka, telah disorot sebagai suatu gerakan kebangkitan Islam yang disebut dengan Gerakan Paderi, gerakan yang belum terorganisir dengan baik serta didukung dengan militerisme yang tinggi. Kebangkitan ini dipelopori oleh empat tokoh, yakni Syeikh Taher Djamaluddin, Syeikh Muhammad Djamil Djambek, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan Haji Abdullah Ahmad. Walaupun Syeikh Taher Djamaluddin bermukim di Singapura, namun beliau berpengaruh besar terhadap ketiga tokoh terakhir yang merupakan muridnya. Pengaruh tersebut tersalur melalui majalah al-Imam (1906-1909)
yang membuat artikel-artikel masalah keagamaaan, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia Islam, serta pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan juga melalui sekolah al-Iqbal al-Islamiyah (Hakim dan Thalhah, 2005: 29). Langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan oleh tiga serangkai, Syeikh Muhammad Djamil Djambek melalui organisasi Samaratul Ikhwan, Syeikh Abdul Karim Amrullah melalui bukunya Qati‟u Razbi al-Mulhidun, dan haji Abdullah Ahmab melalui majalah al-Munir, mendapat reaksi yang cukup keras, terutama dari kalangan Ulama Kaum Tua. Tindakan mereka dalam memberantas paham bid‟ah, takhayul dan khurafat, dipandang oleh Ulama Tua mendesak posisi mereka ke kawasan pinggiran. Kenyataan ini mengindikasikan betapa tingginya intensitas perdebatan masalah-masalah keagamaan di Minangkabau pada awal abad ke-20, yang menurut Taufik Abdullah hal ini telah menciptakan polarisasi sosial. Kondisi tersebut bertambah keras ketika para Ulama Kaum Muda memunculkan lembaga-lembaga pendidikan dan juga melahirkan sebuah organisasi politik yang dikenal dengan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) sebagai proses lanjutan kaderisasi Sumatera Thawalib (Hakim dan Thalhah, 2005: 29). Ketegangan sosial dalam bentuk polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda, serta ditambah dengan konflik Kaum Adat dan pemerintah kolonial Belanda, telah memunculkan sikap kritis yang begitu tajam dalam pemikiran Kaum Agama di Minangkabau, dan menimbulkan sikap kultural yang mengidentikkan Minangkabau dengan Islam. Di tengah latar belakang sosial demikianlah Hamka lahir dan dibesarkan oleh orang tua dan kakek-neneknya (Hakim dan Thalhah, 2005: 30).
Pada tahun 1959, tidak lama setelah berfungsinya masjid Al-Azhar, suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI dalam mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka bertambah mengikat, masjid Al-Azhar pun tidak luput dari kondisi tersebut. Masjid ini dituduh menjadi pusat “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Tanpa diduga sebelumnya, pada hari senin 12 Ramadhan 1382 yang bertepatan dengan 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan kurang lebih dari seratus orang Kaum Ibu di masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama, lalu dijebloskan ke dalam tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Mega Mendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir al-Azhar. Akhirnya setelah Orde lama jatuh, kemudian Orde baru bangkit di bawah pimpinan Suharto dan kekuatan PKI pun telah dirampas, Hamka dibebaskan dari tuduhan. Kesempatan
ini
dipergunakan
Hamka
untuk
memperbaiki
serta
menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang pernah ia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 31). 2.
Aspek Sosial Keagamaan Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi
ketua
MUI
pertama
tahun
1975
(http://Biografi_Buya_Hamka-
Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014). Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesanpesan moral Islam (http://Biografi_Buya_Hamka-Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014). Ada satu yang sangat menarik dari Hamka, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi Hamka. Pada zamam pemerintah Soekarno, Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Hamka juga terus menerus mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep demokrasi terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan (http://Biografi_Buya_HamkaBiografi_Web.html diakses 17 Mei 2014). 3.
Aspek Kultural
Hamka merupakan sosok intelektual yang unik. Keunikannya terletak pada latar belakang lembaga pendidikannya yang tradisional, namun ia mempunyai wawasan generalistik dan modern. Keberadaan Hamka merupakan sebuah kontiniuitas intelektual Melayu yang sudah tidak ada lagi di zaman modern ini. Kemampuannya berkomunikasi sesuai dengan kemelayuan baik melalui bahasa lisan maupun tulisan telah menempatkan dirinya pada kedudukan khusus dalam sejarah intelektual Islam di kawasan rumpun Melayu. Bukan hanya karena beliau banyak menulis buku-buku sejarah, khususnya sejarah Islam di nusantara termasuk biografi, melainkan pemikiran Hamka telah dapat
mengisi
kekosongan
khazanah
peradaban
Islam
di
nusantara.
Kemasyhuran pemikiran dan intelektualitasnya melampaui batas tanah air bahkan menyebar sampai ke negeri-negeri Islam baik di kawasan kelompok Melayu maupun Timur Tengah. Dalam konteks ini Hamka dapat dikatakan sebagai
pewaris
dan
penyambung
intelektual
Islam
Melayu
klasik
(http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalamkonteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014). Jaringan intelektual Hamka bukan hanya terbatas di Indonesia saja akan tetapi juga merambah ke kawasan negara-negara rumpun Melayu khususnya Malaysia dan Singapura bahkan sampai ke Timur Tengah. Di Malaysia, bukubuku karya Hamka beredar secara luas dan mendapat tempat di kalangan masyarakat Melayu. Bahkan beberapa di antaranya dijadikan sebagai rujukan dan buku teks pada beberapa lembaga pendidikan. Beberapa karya tersebut telah dicetak ulang di Kuala Lumpur. Bagi orang-orang Melayu, Hamka adalah putra besar alam Melayu yang tampil pada saat umat mengalami ketegangan dalam menangani berbagai persoalan berat yang diakibatkan oleh penjajah
(http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalamkonteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014). Sebagai seorang ilmuwan, Hamka memberikan perhatian serius terhadap isu-isu kemelayuan dan keislaman. Sebagai seorang putra Melayu, Hamka sangat mencintai seluruh bumi Melayu tanpa dihalangi oleh batas-batas wilayah. Sebagai seorang yang mempunyai kesadaran sejarah dan budaya, Hamka tidak dapat melepaskan pola pikirnya dari ikatan kemelayuan yang seagama, dan sebudaya. Tingginya penghargaan masyarakat Melayu terhadap pemikiran Hamka, telah mengantarkan dirinya sebagai sosok yang dikagumi dan
dicintai
oleh
berbagai
kalangan
(http://ulama-
minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014). 4.
Pemikiran-pemikiran yang Berpengaruh Hamka selain dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, H. O. S Cokroaminoto, A. R. Sutan Mansur dan lainnya, pemikiran Hamka juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang terjadi semasa hidupnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Semisal karyanya, Tafsir al-Azhar, yang di dalamnya banyak dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang telah disatualurkan dengan kerangka pemikiran yang terdapat dalam dalil-dalil al-Qur‟an dan
al-Hadis,
ditambah
dengan
corak
pemikiran-pemikirannya
yang
diekspresikan ketika dalam tahanan yang sedikit banyak telah memberikan warna pemikiran yang dijiwai oleh semangat perjuangan keras dalam upaya melawan ketidakadilan ataupun kekerasan yang dilakukan oleh Orde lama, sehingga terasa lazim dan inovatif bila Hamka mengaitkan penafsirannya
dengan berbagai peristiwa kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu (Hakim dan Thalhah, 2005: 32). Kemudian buku Di Bawah Lindungan Ka‟bah, yang ditulis berdasarkan pengalamannya di Makkah selama enam bulan, dan juga karyanya yang berjudul Empat Bulan di Amerika, yang ditulis berdasarkan pengalamannya sewaktu berkunjung ke Amerika selama empat bulan, yang telah memberikan wawasan luas tentang pluralitas budaya yang ada, dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan sistem pemikiran bangsa Indonesia di berbagai bidang, terutama bidang pendidikan (Hakim dan Thalhah, 2005: 32).
C. Karya-karyanya 1.
Buku dibidang sastra, yaitu: a.
Si Sabariyah, (1928).
b.
Laila Majnun (1932) di terbitkan oleh Balai Pustaka.
c.
Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi), (1934).
d.
Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Haji Agus Hakim, Alumni Kulliyyatul Muballighin, yang didirikan Hamka di Padang Panjang, menceritakan bahwa naskah buku di atas telah ditulis pada tahun 1935 di Medan, akan tetapi oleh Balai Pustaka diterbitkan pada tahun 1937.
e.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, buku ini menurut pengalaman Hamka, dikarang sebab inspirasi ketika beliau menjadi muballigh PB. Muhammadiyah di Makasar. Buku ini diterbitkan pada tahun 1936 di Medan.
f.
Merantau ke Deli, cerita roman ini dikarang berdasar inspirasi yang beliau tangkap ketika beliau menjadi guru agama di perkebunan Bajalingge. Buku ini diterbitkan pada tahun 1938 di Medan.
g.
Didalam Lembah Kehidupan. Dalam buku ini banyak disinggung tentang kemudharatan pernikahan poligami yang kurang perhitungan. Buku ini diterbitkan pada tahun 1939 oleh Balai Pustaka.
h.
Dijemput Mamaknya (1939).
i.
Keadilan Ilahi (1939) di Medan.
j.
Tuan Direktur (1939).
k.
Terusir (1940) di Medan.
l.
Margaretta Gauthier, 1940 (Hakim dan Thalhah, 2005: 33).
m. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946). n.
Di Tepi Sungai Nil (1950) di Jakarta.
o.
Di Tepi Sungai Dajlah (1950) di Jakarta.
p.
Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950) di Jakarta.
q.
Ayahku (1950) di Jakarta.
r.
Pribadi (1950).
s.
Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pada tahun 1950.
t.
Kenangan-kenangan hidup 2.
u.
Kenangan-kenangan hidup 3.
v.
Kenangan-kenangan hidup 4.
w. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dari Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
x.
Empat Bulan di Amerika jilid 1 dan 2 (1953) di Jakarta (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).
2.
Buku dibidang politik dan budaya, yaitu: a.
Negara Islam diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
b.
Islam dan Demokrasi diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
c.
Revolusi Fikiran diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
d.
Revolusi Agama diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
e.
Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
f.
Dari Lembah Cita-cita diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
g.
Sesudah Naskah Renville diterbitkan di Sumatera Barat.
h.
Dilamun Ombak Masyarakat diterbitkan di Sumatera Barat.
i.
Merdeka diterbitkan di Sumatera Barat.
j.
Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, (1947).
k.
Urat Tunggang Pancasila diterbitkan pada tahun 1950 di Jakarta.
l.
Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
m. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. n.
Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
o.
Fakta dan Khayal Tuanku Rao, (1970).
p.
Urat Tunggang Pancasila (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).
3.
Buku dibidang keagamaan Islam, yaitu: a.
Khathibul Ummah (1925) di Padang Panjang.
b.
Agama dan Perempuan (1929).
c.
Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq), (1929).
d.
Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).
e.
Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
f.
Kepentingan Tabligh (1929).
g.
Ayat-ayat Mi‟raj (1929).
h.
Arkanul Islam (1932) di Makassar.
i.
Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937; Cetakan ke 2 tahun 1950.
j.
Falsafah Hidup (1938) di Medan.
k.
Lembaga Hidup (1938) di Medan.
l.
Pedoman Muballigh Islam (1938) di Medan.
m. Tasauf Moderen (1938) di Medan. n.
Lembaga Budi (1938) di Medan.
o.
Agama dan Perempuan, (1939).
p.
Sejarah Islam di Sumatera (Zaman Jepang, 1943).
q.
Semangat Islam diterbitkan (Zaman Jepang, 1943).
r.
Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman (1946) di Padang Panjang, Sumatera Barat.
s.
Menunggu Beduk Berbunyi, sedang Konferansi Meja Bundar di Bukittinggi, Sumatera Barat.
t.
Falsafah Ideologi Islam 1950 (sekembali dari Mekkah).
u.
Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dari Mekkah).
v.
Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950) di Jakarta.
w.
Lembaga Hikmat, (1953) oleh Bulan Bintang, Jakarta.
x.
Sejarah Ummat Islam Jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
y.
Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
z.
Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
aa. Sejarah Ummat Islam Jilid 4 (1955). bb. Pelajaran Agama Islam (1955). cc. Pelajaran Agama Islam, 1956. dd. Pandangan Hidup Muslim (1960). ee. Soal jawab (1960), disalin dari karangan-karangan Majalah Gema Islam. ff. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam (1968). gg. Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Kristan (1970). hh. Islam dan Kebatinan, (1972); Bulan Bintang. ii.
Studi Islam (1973), diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
jj.
Kedudukan Perempuan dalam Islam, (1973).
kk. Doa-doa Rasulullah S.A.W, (1974). ll.
Himpunan Khutbah-khutbah.
mm. Bohong di Dunia. nn. Muhammadiyah
di
Minangkabau
(1975),
(Menyambut
Kongres
Muhammadiyah di Padang). oo. Akhlaqul Karimah diterbitkan pada tahun 1992 di Jakarta (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).
4.
Majalah, yaitu: a.
Majalah Seruan Islam diterbitkan pada tahun 1927 di Tanjung Pura (Langkat).
b.
Majalah 'Tentera' (4 nomor), 1932, di Makassar.
c.
Majalah Al-Mahdi (9 nomor), 1932, di Makassar.
d.
Majalah Pedoman Masyarakat diterbitkan pada tahun 1936 di Medan.
e.
Majalah 'Semangat Islam' (Zaman Jepang, 1943).
f.
Majalah 'Menara' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946 (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).
5.
Tafsir , yaitu: tafsir Al-Azhar Tafsir Al-Azhar diterbitkan sebanyak tiga puluh juz oleh Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta pada tahun 1984, yaitu sekitar tiga tahun setelah wafatnya Hamka. Tafsir Al-Azhar ini merupakan karya utama dan terbesar Hamka di antara lebih dari seratus lima belas karyanya pada bidang sastra, politik dan budaya, keagamaan Islam. Tafsir Al-Azhar di dalamnya terdapat penyajian tafsir yang dibarengi dengan peristiwa-peristiwa kontemporer, dan tetap berjalan pada kehati-hatian dalam penyusunannya dari cerita-cerita Isra‟iliyyat. Hal ini menjadikan Tafsir Al-Azhar lebih menonjol dan mempunyai ciri khas tersendiri dari tafsir-tafsir lain semasanya (Hakim dan Thalhah, 2005: 34).
BAB III TINJAUAN KARYA HAMKA
A. Penamaan Tafsir Al-Azhar 1.
Faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir alAzhar, yaitu:1) semangat generasi muda Islam di Indonesia dan di daerahdaerah yang berbahasa Melayu, yang berminat untuk mengetahui isi al-Qur’an di zaman sekarang, tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai bahasa Arab. 2) kecenderungan Hamka dalam penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman
para muballigh yang kadang-kadang
mengetahui banyak atau sedikit bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan umumnya. Para muballigh saat ini menghadapi masyarakat yang sudah cerdas, sehingga dalam menyampaikan dakwahnya perlu diberikan keterangan alQur’an secara langsung. Maka tafsir ini merupakan suatu alat penolong bagi muballigh untuk menyampaikan dakwahnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 35). 2.
Sebab dinamai Tafsir al-Azhar Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan setelah shalat subuh di Masjid Agung Al-Azhar. Atas usul dari tata usaha majalah, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, segala pelajaran tafsir waktu subuh dimuat di dalam majalah yang bernama Gema Islam sejak bulan Januari 1962. Tempat kantor redaksi dan administrasi majalah terdapat di dalam ruang masjid Agung Al-Azhar (Hamka, 1985: 48).
Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada bulan Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta.Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir al-Azhar, sangat berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir ini yaitu Masjid Agung al-Azhar yang terletak di
Kebayoran
Baru
sejak
tahun
1959(http://el-
fathne.blogspot.com/2010/05/tafsir-al-azhar.htmldiakses 28 Agustus 2014).
B.
Karya Hamka Tentang Budi PekertiSelain Dalam Tafsir al-Azhar Selain dari tafsir al-Azhar ada beberapa karya Hamka yang menerangkan tentang budi pekerti yaitu: 1.
Buku Akhlaqul Karimah Menurut Hamka budi pekerti yang baik adalah perangai dari para Rasul dan orang terhormat, sifat orang yang muttaqien dan hasil dari perjuangan orang yang ‘abid. Sedang budi pekerti yang jahat adalah racun berbisa, kejahatan dan kebusukan yang menjauhkan diri dari Rabbil Alamin. Budi pekerti jahat menyebabkan orang terusir dari jalan Tuhan, dan masuk di jalan setan. Budi pekerti jahat adalah pintu menuju neraka, sedang budi pekerti yang baik, seperti pintu menuju jannah Illahi (Hamka, 1992: 1). Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa, akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi, ia lebih berbahaya dari penyakit badan (Hamka, 1992: 1). Hakikat budi ialah suatu persediaan yang telah ada di dalam jiwa, yang menimbulkan perilaku dengan mudah, sehingga tidak berkeinginan untuk
berfikir lama. Jika persediaan itu dapat menimbulkan perilaku yang terpuji, maka dinamai budi pekerti yang baik. Tetapi jika yang tumbuh perilaku tercela menurut akal dan syara‟, maka dinamai budi pekerti yang jahat(Hamka, 1992: 4). Budi pekerti adalah perilaku yang bersumber dalam batin. Karena ada juga orang yang menafkahkan hartanya dengan ringan, tetapi tidak bersumber dari dalam batin, akan tetapi karena ada maksud yang terselip di dalamnya. Sumber dari budi pekerti ada empat perkara yaitu: a.
Hikmatialah keadaan batin yang dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, sehingga segala perbuatannya berhubungan dengan ikhtiar. Syuja‟ahialah kekuatan marah yang dituntun oleh akal, baik maju dan
b.
mundurnya. c.
„Iffahialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara‟.
d.
Adlialahkeadaannafs, yaitu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik (Hamka, 1992: 5).
2.
Buku Lembaga Budi Dalam buku ini Hamka menuliskan sebuah pantun yang menyatakan bahwa hidup berbudi itu merupakan tujuan hidup. Diribut runduklah padi, Dicupak Datuk Temenggung, Hidup kalau tidak berbudi, Duduk tegak kemari canggung, Bersamaan bunyi pantun Melayu ini dengan sebuah syair Arab Syauqi Bey:
ِ َخ ََلقُ ُه ْم َذ َهبُ ْوا ْ َت َوإِ ْن ُُهُْو َذ َهب ْ ََخ ََل ُق َمابَقي ْتأ ْ َوإِمَّنَا ْاْل َُم ُم ْاْل Satu bangsa terkenal ialah lantaran budinya. Kalau budinya telah habis, nama bangsa itupun hilanglah. Maksud dari pantun dan syair di atas menurut Hamka adalah hendaklah pada diri ada kemauan untuk mengikuti jalan yang benar dan menjauhi kehendak yang jahat. Kalau nafsu dituruti, dialah yang menjadi raja di dalam kehidupan, tetapi kalau dihindari, akan menjadikan selamat di dunia dan akhirat. Untuk mengekang nafsu ada dua cara yang pertama apabila melihat suatu perkara, jangan dilihat luarnya saja. Yang kedua hendaklah sanggup melawan kehendak nafsu kepada keburukan, dan sanggup juga melawan kehendak nafsu yang lupa dari pada kebaikan (Hamka, 1980: 13). Menurut penyelidikan ahli-ahli ilmu budi bangsa Barat, budi dapat menjadi rusak disebabkan karena sempitnya lapangan tempat manusia hidup. Orang yang sempit lapangan hidupnya, tidak dapat melihat orang lain, melainkan hanya dirinya sendiri saja, tabiatnya egoistis, merupakan sedekat-dekatnya berbuat jahat. Sebab segala kejahatan yang dilakukannya dirasa hanya memberi manfaat untuk dirinya sendiri, tanpa berfikir akan merugikan orang lain (Hamka, 1980: 17). Obat budi yang rusak adalah dengan mempertinggi derajat sosial di dalam masyarakat. Menanamkan perasaan tolong menolong kepada sesama manusia, mendidik anak-anak di dalam lapangan olahraga beramai-ramai, sehingga terasa kepada mereka bahwa dirinya adalah satu rangkaian dengan masyarakat umum, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Hamka, 1980: 17).
Untuk memperbaiki kerusakan budi maka perlu menyediakan dua penjagaan. Pertama menjaga masyarakat dan kedua menyediakan ancaman hukuman. Dalam memperbaiki dan menjaga kerusakan budi masyarakat bisa melalui berbagai jalan, yaitu: a. Memajukan olahraga b. Memajukan pengajaran dan pendidikan pemuda-pemuda c. Memberantas pemabukan dan pelacuran d. Melarang keras bergelandang e. Menjaga perkara-perkara yang bisa menjadikan para remaja kepada pelacuran, misalnya menjalankan sensus secara teliti atas film-film dan buku-buku cabul (Hamka, 1980: 19).
3.
Buku Lembaga Hidup Dalam buku ini Hamka menuliskan bahwa salah satu hak perorangan adalah hak budi. Hak budi yaitu pemeliharaan kesehatan diri sendiri, baik diri yang lahir (jasmani) dengan berikhtiar supaya tetap sehat, kuat, sigap dan tangkas, serta hak batin dengan menambah ilmu pengetahuan dan menjaga kesopanan. Dilarang meminum minuman keras, menghisap candu, berzina dan sejenisnya, karena semua itu membahayakan badan (Hamka, 1991: 17). Adanya larangan meminum minuman keras, karena dapat merusak budi pekerti dan menghilangkan akal. Meminum minuman keras juga dapat merusak kesehatan, sehingga pecandu minuman keras menjadi penyakit yang berbahaya bagi masyarakat. Meminum minuman keras merupakan pintu dari berbagai kejahatan, perzinaan, pembunuhan dan pencurian (Hamka, 1991: 55).
4.
Buku Tasauf Moderen
Dalam pembahasan ke-3 buku ini Hamka menuliskan tentang keutamaan budi. Keutamaan budi ialah menghilangkan segala perangai yang buruk, adat istiadat yang rendah, yang di dalam agama telah dinyatakan mana yang harus dibuang dan mana yang harus dipakai. Serta biasakan perangai-perangai yang terpuji, membekas di dalam pergaulan setiap hari dan terasa nikmat memegang adat yang mulia (Hamka, 1988: 87). Jika sesuatu yang dilarang Allah ditinggalkan dan mengerjakan yang diperintahkan, tetapi merasa bahwa perbuatannya terpaksa, maka merupakan tanda bahwa belum naik tingkat keutamaan budinya. Sebab haruslah senantiasa berpegang dengan diri dan berjuang dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat mencapai tujuan yang mulia (Hamka, 1988: 87). Dalam pembahasan ke-4 Hamka menuliskan tentang kesehatan jiwa dan badan. Supaya tidak terkena penyakit jiwa dan badan, beliau salah satunya menyuruh untuk bergaul dengan orang budiman. Pergaulan membentuk kepercayaan dan keyakinan. Maka untuk membersihkan jiwa, hendaknya bergaul dengan orang-orang yang berbudi(Hamka, 1988: 106). Orang yang berbudi akan merasa berat mengerjakan kejahatan karena menyalahi keutamaan. Tetapi jika bertemu suatu golongan yang mengerjakan kejahatan secara bebas, berbicara tidak baik, melanggar peraturan budi dan kesopanan, maka orang yang berbudi semakin lama akan mudah terpangaruh. Sehingga dalam pergaulan sehari-hari harus dapat memilih teman yang berbudi pekerti baik (Hamka, 1988: 107).
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
D. Tinjauan Konseptual Tentang Budi Pekerti Istilah budi pekerti, akhlak, moral dan etika sering disinonimkan antara yang satu dengan yang lainnya, karena pada dasarnya semuanya mempunyai fungsi yang sama yaitu menentukan nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dari aspek baik dan buruknya, benar dan salahnya. Beberapa point di bawah ini akan memberikan penjelasan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam pembahasan budi pekerti. Tujuannya supaya dapat mempermudah pemahaman akan perbedaan antara istilah-istilah tersebut, seperti penjelasan di bawah ini: 1.
Moral Saliman dan Sudarsono (1994: 149) menyatakan di dalam kamus pendidikan dan pengajaran, bahwa kata moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan yang menjadi dasar baik atau buruk. Sedangkan secara terminologis moral adalah nilai-nilai atau adat kebiasaan yang bersumber dari masyarakat baik secara terpaksa ataupun tidak. Moral bermanfaat untuk menentukan batas-batas dari sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan yang dapat dinyatakan baik atau buruk dan benar atau salah. Lawan dari moral adalah a-moral. Orang yang bermoral adalah yang dalam tingkah lakunya selalu baik dan benar. Ukuran untuk menetapkan moral adalah adat kebiasaan yang bersumber dan berkembang di dalam masyarakat.
2.
Etika Etika menurut Poerbakawatja dan Harahab (1982: 98) berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap batin. Sedangkan secara terminologis etika adalah ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk moral. Etika merupakan filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik dan buruk. Etika juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri (Poerbakawatja dan Harahab, 1982: 98). Ukuran untuk menetapkan etika adalah pertimbangan akal pikiran manusia, atau rasio.
3.
Akhlak Akhlak secara etimologis menurut Nasution (1992: 98) berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari khuluk. Kata khuluk atau akhlak dalam ensiklopedi tematis dunia Islam berarti tabi‟at, perangai, kebiasaan atau karakter (Abdullah, 2003: 326). Akhlak dalam ensiklopedi pendidikan berarti budi pekerti, watak dan kesusilaan yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia (Poerbakawatja dan Harahab, 1982: 12). Secara terminologis, akhlak menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Akhlak dibagi menjadi dua yaitu akhlak mahmudah yaitu akhlak yang baik dan akhlak mazmumah yaitu akhlak yang buruk. Ukuran untuk menetapkan akhlak adalah al-Qur’an dan sunnah.
4.
Budi Pekerti
Kata budi menurut Poerbakawatja dan Harahab (1982: 51) berarti akal atau daya untuk berfikir. Budi pekerti mencakup segi-segi kejiwaan (daya fikir) dan perbuatan manusia (pekerti). Secara terminologis, budi pekerti menurut Hamka (1992: 4) adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran. Ukuran untuk menetapkan budi pekerti adalah akal dan syara’. Persamaan antara moral, etika, akhlak, dan budi pekerti dapat dilihat dari fungsinya yang sama-sama menentukan nilai suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dari aspek baik dan buruknya, benar dan salahnya, yang sama-sama bertujuan untuk memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia secara lahir dan batin. Sedangkan perbedaan antara moral, etika, akhlak, dan budi pekerti yaitu moral adalah nilai-nilai yang bersumber dari masyarakat baik karena terpaksa ataupun tidak, etika adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk moral, akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran, sedangkan budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran. Adapun pengertian budi pekerti dan akhlak menurut beberapa pendapat para ahli adalah sebagai berikut: a.
Pengertian Akhlak Menurut Al-Ghazali Akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Al-Ghazali membagi
akhlak menjadi dua yaitu akhlak yang baik (mahmudah) dan akhlak tercela (mazmumah). Akhlak yang baik (mahmudah) adalah kebaikan batin. Kebaikan batin adalah bila sifat-sifat terpuji mengalahkan sifat-sifat yang tercela. Akhlak tercela (mazmumah) adalah akhlak yang harus dihindari dan tidak dilaksanakan. b.
Pengertian Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih Akhlak menurut Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tahzib al-Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tanpa memerlukan pemikiran (Abdullah, 2003: 326). Ibnu Miskawaih membagi akhlak menjadi dua yaitu akhlak yang baik (mahmudah) dan akhlak tercela (mazmumah).
c.
Pengertian Budi Pekerti Menurut Hamka Budi pekerti adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran (Hamka, 1992: 4). Secara garis besar Hamka membagi nilai budi pekerti menjadi dua yaitu: budi pekerti yang baik dan budi pekerti yang buruk (jahat). Budi pekerti yang baik adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku terpuji menurut akal dan syara’, sedangkan budi pekerti yang buruk (jahat) adalah suatu persediaan yang telah ada pada jiwa seseorang, yang dapat menimbulkan tingkah laku tercela menurut akal dan syara’. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hamka menyamakan makna budi pekertinya dengan akhlak Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, yaitu berkenaan dengan keadaan di dalam jiwa seseorang yang
mendorong untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran. Jadi, Hamka mengikuti pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, sehingga dapat diduga kuat bahwa pendapat hamka tidak murni dari pemikirannya sendiri, melainkan terinspirasi oleh pendapat Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.
E.
Pemikiran Hamka Tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti Nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran Hamka dikategorikan menjadi empat, yaitu: pendidikan budi pekerti terhadap Allah, pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri, pendidikan budi pekerti terhadap kedua orang tua, dan pendidikan budi pekerti terhadap orang lain. Adapun penjelasannya seperti yang tertera di bawah ini: 1.
Pendidikan Budi Pekerti terhadap Allah Manusia telah diciptakan oleh Allah dengan ciptaan yang paling sempurna dari makhluk lainnya, yaitu diberi akal dan pikiran oleh Allah. Manusia diciptakan di bumi ini untuk beribadah kepada Allah dan juga diberi kepercayaan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Sebelum seorang muslim berbudi pekerti sesamanya, bahkan terhadap dirinya, dia harus terlebih dahulu berbudi pekerti terhadap Allah. Kualitas cinta kepada sesamanya tidak boleh melebihi kualitas cinta kepada Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah hendaknya memegang teguh prinsip akidah yang telah diyakininya, karena akidah merupakan pondasi yang utama dalam pembentukan budi pekerti yang luhur.
Maka dari itu pendidikan akidah terhadap Allah perlu diajarkankan kepada peserta didik, karena pendidikan akidah merupakan langkah awal terbentuknya pendidikan budi pekerti terhadap Allah. Adapun pendidikan budi pekerti terhadap Allah yang terdapat dalam tafsir al-Azhar yaitu: a.
Ketakwaan Takwa adalah menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Takwa tidak akan sempurna, kecuali jika seseorang telah meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan melakukan segala perbuatan yang baik. Penjelasan tentang takwa banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan takwa, yaitu: 1)
Surat al-Baqarah ayat 2
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. al-Baqarah/2: 2).
Kata takwa diambil dari rumpun kata wiqayah artinya memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan. Memelihara diri jangan sampai terperosok kepada suatu perbuatan yang tidak diridhai Tuhan. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang tidak baik (Hamka, 1985: 114).
Pada akhir Desember 1962 Hamka mengadakan Konferensi Kebudayaan Islam di Jakarta. Dengan beberapa temannya, Hamka telah membicarakan pokok isi dari Kebudayaan Islam. Kesimpulan Konferensi ialah bahwa Kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa. Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal shalih. Terkadang takwa diartikan dengan takut, padahal arti takwa lebih luas lagi. Bahkan dalam takwa terdapat juga arti berani memelihara hubungan dengan Tuhan, bukan hanya karena takut, tetapi karena ada kesadaran diri sebagai hamba (Hamka, 1985: 115). Tafsir di atas menjelaskan
bahwa takwa
merupakan
perwujudan dari iman dan amal shalih. Takwa tidak hanya sebatas takut kepada Allah, karena takut hanya sebagian kecil dari takwa. Takwa mengandung adanya kesadaran pada diri sebagai hamba untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Jadi inti dari takwa adalah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan. 2)
Surat Ali Imran ayat 102
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam” (Q.S. Ali Imran/3: 102).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (Hamka, 1987: 25).
Takwa adalah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan. Orang yang memegang takwa dengan sebenar-benar takwa, terpelihara tujuan hidupnya, sebab arti takwa sendiri ialah pemeliharaan (Hamka, 1987: 25).
“Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Hamka, 1987: 26).
Pegang teguh takwa dan sampai mati tetap dalam Islam. Sekali telah datang ke dunia, maka jiwa telah terisi dengan kepercayaan kepada Tuhan dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan demikian jiwa menjadi kuat dan besar (Hamka, 1987: 26). Tafsir di atas menjelaskan bahwa ciri dan hasil dari orang yang bertakwa adalah akan terpelihara tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia yang sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Adapun ciri dari orang yang bertakwa kepada Allah, yaitu dengan menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
b.
Keimanan Iman berarti mengakui, mempercayai atau meyakini. Beriman kepada Allah artinya mengakui, mempercayai atau meyakini bahwa Allah itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan Maha suci dari segala sifat yang buruk. Dasar pendidikan akhlak bagi orang muslim adalah akidah yang benar, karena akhlak tersarikan dari akidah yang benar. Akidah seseorang akan benar dan lurus jika keimanan terhadap Allah juga benar dan lurus. Orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga orang yang beriman tidak mungkin akan menjauh bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang ditetapkan Allah. Penjelasan tentang iman banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan iman, yaitu: 1)
Surat Al-Baqarah ayat 3
Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S. Al-Baqarah/2: 3).
Iman berarti percaya, yaitu pengakuan hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan
hidup. Maka iman dengan yang ghaib merupakan tanda dan syarat pertama dari takwa (Hamka, 1985: 116). Ditingkat
pertama
percaya
kepada
yang
ghaib
dan
kepercayaan kepada yang ghaib dibuktikan dengan salat, sebab hatinya dihadapkan kepada Allah yang diimaninya. Maka dengan kesukaan bersedekah dan menolong, imannya telah dibuktikan kepada masyarakat. (Hamka, 1985: 119). Dari tafsir di atas dapat di simpulkan bahwa iman adalah pengakuan hati diucapkan oleh lisan yang dibuktikan dengan perbuatan. Iman seseorang kepada Allah dibuktikan dengan salat sedangkan
dengan
bersedekah
imannya
dibuktikan
kepada
masyarakat. 2)
Surat Al-Anfal ayat 2
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila
dibacakan
ayat-ayatNya
bertambahlah
iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (Q.S. Al-Anfal/8: 2).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka” (Hamka, 1993: 250).
Seandainya ada orang yang mengaku dirinya beriman, menurut ayat ini, belum akan diterima iman dan belum terhitung ikhlas, kalau hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut orang. Apabila nama Allah disebut terbayanglah dalam ingatan orang yang beriman betapa Maha Besar kekuasaan Allah, yang mengadakan, menghidupkan, mematikan dan melenyapkan. Dan ingatan kepada Allah itu bukan semata-mata karena disebut, melainkan karena melihat kekuasaan-Nya. Maka merasa takut jika usianya akan habis padahal dia belum melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah (Hamka, 1993: 250). “Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya)” (Hamka, 1993: 250).
Sedangkan mendengar nama Allah disebut orang, hati dan jantung bergetar karena takut, apalagi jika ayat-ayat Allah dibaca orang, niscaya ayat-ayat itu menambah iman kepada Allah. Ayat-ayat Allah dapat dibaca pada segala sudut alam ini dengan alat ilmu
pengetahuan. Semua menunjukkan bahwa Allah Esa adanya (Hamka, 1993: 250). Tafsir diatas menjelaskan bahwa orang yang beriman adalah orang yang bergetar hatinya ketika mendengar nama Allah disebut orang. Jika ayat-ayat Allah dibaca orang, maka akan menambah keimannya kepada Allah. c.
Tawakkal Tawakkal berarti berserah diri kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Tawakkal merupakan implikasi dari iman. Penjelasan tentang tawakkal banyak terdapat di dalam tafsir alAzhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan tawakkal, yaitu:
1)
Surat Hud ayat 123
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya, dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Hud/11: 123).
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi” (Hamka, 1988: 156).
Apa saja urusan yang dihadapi di dunia ini, dan bagaimana kesulitan yang dihadapi, bukakanlah pintu hati dan lihatlah alam sekitar. Semuanya Allah yang menciptakan dan menguasai. Semua penuh keghaiban, dengan rahasia (Hamka, 1988: 156). “Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya” (Hamka, 1988: 157).
Dia yang mengetahui semua dan Dia yang menentukan. Sesudah hidup ini pasti ada kematian, nanti juga akan dihisab amal manusia di akhirat. Pahala atau dosa semua menjadi urusan kepadaNya (Hamka, 1988: 157).
“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Hamka, 1988: 157).
Karena rahasia langit, bumi dan rahasia manusia, Tuhan yang menguasai. Kemana akan bertawakkal menyerah diri, kalau tidak kepada-Nya. Dengan menghambakan diri dan bertawakkal, dapat mengisi jiwa dengan kekuatan yang baru, untuk meneruskan hidup. Maka Kaum Muslimin harus menghambakan diri dan bertawakkal diiringi dengan bekerja dan beramal (Hamka, 1988: 157). Tafsir di atas menjelaskan bahwa ketika ditimpa suatu kesulitan, maka harus tabah dan berserah diri kepada Allah. Sesudah hidup ini pasti ada kematian, dan akan dihisab amal manusia di akhirat. Dengan menghambakan diri dan bertawakkal, dapat mengisi jiwa dengan kekuatan untuk meneruskan hidup. Menghambakan diri dan bertawakkal kepada Allah juga harus diiringi dengan bekerja dan beramal. 2)
Surat at-Taghabun ayat 13
Artinya: “(Dia-lah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja” (Q.S. at-Taghabun/64: 13).
Apa saja musibah yang menimpa diri, jika sudah tawakkal, menyerah atau pasrah, dengan sendirinya jiwa menjadi kuat. Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah adalah akibat yang wajar dari akidah tauhid (Hamka, 1985: 245). Dengan tawakkal bukan berarti manusia berhenti berusaha. Segala daya dan upaya sebagai insan, segala kecerdikan dan kecerdasan akal akan dipergunakan sebaik-baiknya, tetapi seorang mukmin sangatlah insaf bahwa kepandaiannya, ikhtiar dan usahanya sebagai manusia adalah sangat terbatas (Hamka, 1985: 245). Tafsir di atas menjelaskan bahwa seberapa besar musibah yang menimpa diri, maka hendaknya bertawakkal. Dengan tawakkal jiwa akan menjadi kuat. Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah merupakan akibat dari akidah tauhid. Dengan tawakkal manusia
bukan berarti berhenti berusaha, akan tetapi segala daya dan upaya sebagai insan, segala kecerdikan dan kecerdasan akal akan dipergunakan sebaik-baiknya. d.
Syukur Syukur berarti mempergunakan sesuatu yang telah diberikan Allah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Bersyukur kepada Allah berarti juga patuh atau taat kepada Allah. Allah berfirman di dalam surat Ibrahim ayat 7:
Artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; „Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih‟" (Q.S. Ibrahim/14: 7).
Ayat ini merupakan peringatan Tuhan kepada Bani Israil setelah mereka dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan itu adalah perkara besar yang wajib disyukuri. Dalam bersyukur seharusnya tetap berusaha untuk mengatasi kesulitan. Setelah bebas dari tindasan Fir‟aun, mereka harus membangun. Jangan mengeluh seandainya belum tercapai apa yang dicita-citakan. Syukuri yang ada, maka pasti akan ditambah Tuhan. Tetapi jika mengeluh seakan-akan pertolongan Tuhan tidak segera datang, maka itu namanya kufur, artinya melupakan nikmat, tidak mengenal terima
kasih. Orang yang demikian akan mendapat siksa yang pedih (Hamka, 1983: 122). Tafsir di atas menyatakan bahwa Allah memberi peringatan kepada Bani Israil setelah mereka dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan yang mereka dapat merupakan suatu hal yang besar yang harus disyukuri. Dilarang mengeluh seandainnya apa yang dicita-citakan belum berhasil, karena mengeluh merupakan bentuk dari kufur. e.
Taubat Makna taubat menurut bahasa adalah kembali. Maksudnya adalah kembali taat kepada Allah setelah sebelumnya ingkar kepada Allah. Taubat berarti menyesali yang telah terlanjur diperbuat, menghentikan kesalahan yang pernah diperbuat dan tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Kemudian berbuat amal ibadah sebanyak-banyaknya, supaya dapat beristiqamah di jalan Allah. Allah berfirman di dalam surat at-Tahrim ayat 8:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudahmudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Q.S. at-Tahrim/66: 8).
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya)” (Hamka, 1985: 314).
Orang yang telah beriman disuruh memeliharakan diri dan keluarga dari azab neraka. Demikian orang yang telah beriman disuruh supaya taubat, dengan sebenar-benarnya taubat. Bukan orang yang berdosa saja yang disuruh bertaubat, orang yang tidak bersalah juga disuruh bertaubat. Dalam ayat ini Hamka memberi arti taubat sejati. Asal dari kata nasuha ialah bersih. Maka menjadilah taubat yang bersih (Hamka, 1985: 314). “Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (Hamka, 1985: 316).
Seseorang yang telah benar-benar taubat nasuha, pasti Allah akan menghapus dosanya dan menghapus keburukkan yang selama ini melekat dalam pribadinya. Di sini terdapat dua janji yang pasti dari Tuhan. Janji pertama di dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar taubat hidupnya akan diperbaiki oleh Tuhan, kalau selama ini dirinya telah cacat karena dosa, tetapi karena wajah hidupnya telah dihadapkan kepada Tuhan dan dengan segera Tuhan akan merubah dirinya dari orang buruk jadi orang baik, muka yang keruh akan dosa selama ini akan berganti beransuransur menjadi jernih berseri karena sinar iman yang memancar dari dalam roh. Janji yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam surga sebagai ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha hendak bebas dari pengaruh hawa nafsu dan syaitan (Hamka, 1985: 316). “Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (Hamka, 1985: 317).
Begitu jiwa orang yang beriman, meskipun tidak berbuat dosa besar, namun mereka tetap memohon taubat nasuha kepada Tuhan agar cahaya itu ditambah dan disempurnakan dan agar diberi ampun, karena yang maha sempurna hanyalah Allah. Dalam melanjutkan hidup mereka tidak mau melupakan bahwa Tuhan dapat merubah keadaan. Orang yang tadinya taat dan tekun, kalau Allah menentukan bisa saja berputar haluan jadi orang yang sesat atau kembali terperosok ke dalam lumpur kehinaan (Hamka, 1985: 317). Tafsir di atas merupakan perintah kepada orang yang berdosa maupun orang yang beriman supaya bertaubat dengan taubat nasuha yaitu taubat sejati atau taubat yang bersih. Seseorang yang telah benar-benar taubat nasuha, Allah akan menghapus dosanya dan menghapus keburukkan yang selama ini melekat dalam pribadinya. Ada dua janji yang pasti dari Tuhan. Janji pertama di dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar taubat hidupnya akan diperbaiki oleh Tuhan. Janji yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam surga. Orang yang beriman, meskipun tidak berbuat dosa besar, namun mereka tetap taubat nasuha kepada Tuhan, karena Tuhan dapat mengubah keadaan orang yang beriman menjadi orang yang sesat. f.
Sabar Sabar ialah menyerahkan diri kepada Tuhan dengan penuh kepercayaan dan menghilangkan segala keluhan serta kegelisahan dalam hati. Sabar merupakan syarat utama dalam membina iman dan kebajikan. Allah berfirman di dalam surat al-Furqan ayat 75:
Artinya: “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”(Q.S. alFurqan/25: 75).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang sabar akan diberi ganjaran tempat yang mulia di surga. Kesabaran berjuang menegakkan kepribadian sebagai muslim, menyebabkan kebahagiaan jiwa, karena mendapat surga jannatun na‟im, tempat tinggal yang nyaman, disambut dengan para Malaikat Tuhan dengan ucapan selamat dan salam bahagia (Hamka, 1992: 48). Tafsir di atas menunjukkan bahwa Allah akan memberi pahala tempat yang mulia di surga bagi orang yang sabar. Kesabaran berjuang sebagai seorang muslim, dapat membahagiakan jiwa karena mendapat surga.
g.
Istiqamah
Istiqamah berarti teguh atau tetap pada pendirian. Orang yang beristiqamah tidak dapat dicondongkan ke kiri maupun ke kanan. Ia tetap berada pada tempat berdirinya dan tidak berubah. Allah berfirman di dalam surat Fushshilat ayat 30:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: „Tuhan kami ialah Allah‟ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: „Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu‟" (Q.S. Fushshilat/41: 30).
Ayat ini menyuruh manusia agar menetapkan pendirian dan memegang teguh, tidak dilepaskan lagi. Teguh pendirian ialah tegap dengan pendirian, tidak bergeser dan berubah. Istiqamah membentuk pribadi orang, sehingga memenuhi arti dirinya sebagai insan sejati, khalifah
Allah di bumi. Maka di dalam shalat lima waktu, di dalam shalat nawafil dan rawatib, yang fardhu dan yang sunnat, hendaknya membaca alFatikhah. (Hamka, 1982: 224). Supaya terbaca inti do‟a kepada Tuhan untuk kebahagiaan hidup yaitu “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Mustaqim ialah rangkaian kata dari iatiqamah. Jika jalan yang lurus telah diberikan, maka akan tercapai istiqamah. Agar istiqamah dapat dicapai, maka harus berdo‟a, mengharap agar Tuhan membawa kepada istiqamah. Orang yang telah mencapai istiqamah bukan jin, iblis, syaitan dan manusia jahat yang mendekatinya, melainkan malaikat (Hamka, 1982: 225). Tafsir di atas menyuruh manusia supaya memegang teguh pendiriannya. Istiqamah dapat membentuk pribadi seseorang, sehingga memenuhi arti dirinya sebagai insan sejati, khalifah Allah di bumi. Agar istiqamah dapat dicapai, maka harus berdo‟a, mengharap agar Tuhan membawa kepada istiqamah.
2.
Pendidikan Budi Pekerti terhadap Diri Sendiri Islam mengajarkan bahwa setiap muslim untuk berbudi pekerti terhadap diri sendiri. Manusia yang telah diciptakan oleh Allah dalam potensi fitrah, wajib menjaganya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin. Adapun pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri yang terkandung dalam tafsir al-Azhar meliputi: a.
Tanggung jawab Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati artinya sudah menjadi bagian hidup manusia bahwa setiap manusia di bebani dengan tangung jawab. Apabila dikaji, tanggung jawab adalah kewajiban yang harus di pikul
sebagai
akibat
dari
perbuatan
pihak
yang
berbuat.
Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan. Allah berfirman di dalam surat alMuddatstsir ayat 38:
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,” (Q.S. al-Muddatstsir/74: 38).
Pada ayat sebelumnya telah diperingatkan terserah kepada manusia sendiri, sesudah manusia diberi peringatan, apakah akan maju ke muka, apakah akan berbuat amal yang mulia terlebih dahulu semasa masih hidup ini, untuk bekal pertahanan diri di akhirat kelak, atau apakah dia akan mundur, akan ragu-ragu atau tidak peduli kepada yang diserukan oleh Rasul sebagai pelaksana dari pada perintah Tuhan (Hamka, 1983: 219).
Telah banyak ayat-ayat lain yang menerangkan bahwa di hari kiamat kelak akan dilakukan perhitungan (hisab) yang teliti. Tidak akan ada orang yang terhukum dengan aniaya. Ganjaran adalah imbalan dari apa yang dikerjakan. Kalau yang jahat yang dikerjakan, pasti ganjaran buruk yang akan diterima. Berat atau agak ringan kesalahan yang diperbuat sangat menentukan berat dan ringannya ganjaran. Allah itu adalah Hakim Yang Maha Adil (Hamka, 1983: 219). Tafsir di atas menjelaskan di akhirat nanti manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat semasa di dunia. Jika manusia berbuat baik maka ganjaran yang akan diterimanya, dan jika berbuat buruk atau jahat maka siksaan atau hukuman yang akan diterimanya sebagai wujud pertanggung jawaban atas perbuatannya. b.
Iffah Secara bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah yaitu menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara yang diharamkan dan menginginkannya. Menurut Hamka (1992: 5), ‘iffah adalah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara’. Penjelasan tentang ‘iffah banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan‘iffah, yaitu:
1)
Surat al-Maidah ayat 90
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah
perbuatan-perbuatan
itu
agar
kamu
mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Maidah/5: 90).
Diharamkannya khamar karena termasuk minuman yang menimbulkan dan menyebabkan mabuk, kadang disebut arak atau tuak. Minuman itu menimbulkan mabuk oleh karena telah ada alkoholnya. Alkohol timbul dari ragi (Hamka, 1983: 31). Orang Arab negeri tempat tuak mulai diharamkan, membuat tuak atau arak dari buah anggur atau kurma. Dan diambil juga dari beras ketan, yang asalnya sebagai tapai, tetapi setelah dipermalamkan
beberapa hari bisa juga memabukkan. Maka segala minuman yang memabukkan menjadi haram untuk diminum (Hamka, 1983: 31). Orang yang telah minum arak, fikiran menjadi kacau karena mabuk. Terlepas nafsu manusia daripada mengekangnya dan jatuh kemanusiaannya. Di waktu mabuk orang lupa diri dan tidak dapat mengendalikan diri (Hamka, 1983: 32). Dari tafsir di atas sudah jelas bahwa segala minuman yang memabukkan maka hukumnya adalah haram. Diharamkannya minuman yang memabukkan dikarenakan banyak kerugiannya. Jika seseorang telah mabuk maka fikirannya akan kacau, nafsunya terlepas tanpa terkendali, sehingga tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Orang yang sedang mabuk sangat mudah melakukan perilaku yang keji lainnya, seperti berjudi bahkan berzina. 2)
Surat al-Isra‟ ayat 32
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. al-Isra‟/17: 32).
Zina adalah segala persetubuhan yang tidak disyahkan dengan nikah, atau yang tidak syah nikahnya. Dengan kesimpulan sekali persetubuhan yang tidak disyahkan lebih dahulu dengan nikah, sudah termasuk zina. Tetapi ada juga nikah terlebih dahulu, namun nikahnya
tidak syah, yaitu bersetubuh dengan mahram, menikahi istri orang, atau menikahi orang dalam „iddah (Hamka, 1992: 56). Dalam ayat ini dijelaskan ”janganlah kamu mendekati zina”, artinya segala sikap dan tingkah laku yang dapat membawa kepada zina, jangan dilakukan dan supaya dijauhi. Karena pada laki-laki dan pada perempuan ada syahwat setubuh. Apabila seorang laki-laki dan perempuan telah berdekatan, susah menghindari syahwat. Sesuai pada arti sebuah hadits: “kalau seorang laki-laki dan seorang perempuan telah khalawat (berdua) maka yang ketiga adalah syaitan”. Ketika duduk sendiri dengan tenang, akal dan pertimbangan budi dapat berbicara, tetapi kalau seorang laki-laki telah berdua saja dengan seorang perempuan, akal budi tidak dapat berbicara, melainkan yang berbicara adalah syahwat. Apabila nafsu sudah terpenuhi, akal akan berbicara dan menyesal. Tetapi sebelum terpenuhi, semua terasa gelap (Hamka, 1992: 57). Tafsir di atas menjelaskan bahwa zina adalah persetubuhan tanpa adanya ikatan pernikahan yang syah. Satu kali persetubuhan saja sudah dinamakan zina. Segala perbuatan yang dapat menjadikan zina harus dihindari. Jika seorang laki-laki dan perempuan berdekatan maka syahwat yang berbicara, karena tiap laki-laki dan perempuan memiliki syahwat untuk bersetubuh. c.
Pengendalian Diri Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan akan dan fikiran, harus dapat mengendalikan dirinya dari segala yang diharamkan dan dari hawa nafsu. Nafsu adalah salah satu organ rohani manusia, yang
sangat besar pengaruhnya dan sangat banyak mengeluarkan intruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak. Sikap seseorang ketika tergoda nafsu seharusnya dengan mengendalikan nafsu dengan kendali agama. Sikap pengendalian ini yang baik dan dibenarkan oleh agama. Penjelasan tentang pengendalian diri banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir alAzhar yang berkaitan dengan pengendalian diri, yaitu: 1)
Surat Shad ayat 26
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan” (Q.S.
Shad/38: 26).
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu” (Hamka, 1994:
212).
Hawa adalah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci. Dalam bahasa asing bahwa hawa ialah emosi atau sentimen. Bahaya akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum dipengaruhi oleh hawanya (Hamka, 1994: 212). Tafsir di atas menjelaskan bahwa seorang penguasa ketika menjatuhkan hukuman jangan menggunakan hawa nafsunya, akan tetapi harus sesuai dengan peraturan yang telah di buat oleh pemerintah seperti menggunakan undang-undang, supaya tercipta keadilan. Hawa nafsu merupakan keinginan yang ada pada diri sendiri untuk berkehendak sesuai dengan kemauan diri sendiri tanpa membutuhkan pertimbangan dari orang lain. Maka hanya diri sendiri yang dapat mengendalikan nafsunya. 2)
Surat al-Isra‟ ayat 27
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudarasaudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Q.S. al-Isra‟/17: 27).
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan” (Hamka, 1992: 50).
Ayat ini menjelaskan bahwa pemboros adalah kawan syaitan. Biasanya kawan yang karib atau teman setia besar pengaruhnya kepada orang yang ditemaninya. Orang yang telah ditemani syaitan sudah kehilangan pedoman dan tujuan hidup (Hamka, 1992: 50). “Dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Hamka, 1992: 50).
Sudah jelas apabila seseorang telah membuang harta tanpa bermanfaat, maka pengaruh syaitan telah masuk ke dalam dirinya. Oleh karenanya syaitan tidak mengenal terima kasih, menolak dan melupakan ni‟mat, karena telah menjadi sahabat orang
yang
bersangkutan. Maka sifat dan perangai syaitan telah memasuki dan mempengaruhi pribadinya, sehingga segala tingkah laku hidupnya tidak mengenal terima kasih. Begitu banyaknya rizki dan ni‟mat yang dilimpahkan Allah kepada dirinya, tetapi dibuang dengan sia-sia (Hamka, 1992: 50). Tafsir di atas menjelaskan bahwa pemboros adalah kawan dari syaitan. Jika seseorang telah berkawan dengan syaitan maka dirinya akan kehilangan pedoman dan tujuan hidup. Orang yang boros tidak dapar mensyukuri ni‟mat yang Allah berikan, karena telah menbuang rizki dan ni‟mat dengan sia-sia. Maka dari itu manusia harus dapat mengendalikan dirinya supaya tidak membelanjakan hartanya dengan berlebihan.
3.
Pendidikan Budi Pekerti terhadap Kedua Orang Tua Setiap muslim harus membangun budi pekerti dalam lingkungan keluarganya. Budi pekerti yang luhur terhadap keluarga dapat dilakukan dengan berbakti kepada kedua orang tua. Setiap muslim jangan sekali-kali melakukan yang sebaliknya, misalnya berani kepada orang tua. Adapun pendidikan budi pekerti terhadap orang tua yang terkandung dalam tafsir alAzhar meliputi: a.
Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) Kata “al birr” adalah kata yang mengandung arti seluruh kebaikan, sedangkan birrul walidain berarti berbuat kebaikan kepada kedua orang tua
sebanyak-banyaknya. Sehingga dengan pendidikan birrul walidain diharapkan dapat menumbuhkan masyarakat yang peduli akan kasih sayang. Allah berfirman di dalam surat al-Isra‟ ayat 23 dan 24:
. Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan „ah‟ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: „Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil‟” (Q.S. al-Isra‟/17: 23-24).
“Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya” (Hamka, 1992: 40).
Bahwasannya berkhidmat kepada ibu bapak menghormati kedua orang tua yang telah menjadi sebab anaknya dapat hidup di dunia ini ialah kewajiban yang kedua setelah beribadah kepada Allah. Manusia apabila telah berumah tangga sendiri, beristri dan mempunyai anak, sering tidak memperhatikan lagi berkhidmat kepada ibu bapaknya. Harta benda dan anak keturunan sering menjadi fitnah ujian bagi manusia di dalam perjuangan hidupnya, di sanalah kasih sayang ibu bapak kepada anaknya. Namun anak yang telah berdiri sendiri sering terlupa memperhatikan ibu bapaknya (Hamka, 1992: 40). “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan (ah)” (Hamka, 1992: 41).
Jika usia keduanya (ibu dan bapak), atau salah satu seorang diantara keduanya sampai meningkat tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup sendiri dan sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya, hendaklah sabar berlapang hati memelihara orang tua. Bertambah tua kadang-kadang bertambah seperti anak-anak minta dibujuk dan minta belas kasih anak. Mungkin ada bawaan orang yang telah tua yang membosankan
anak, maka janganlah terlanjur dari mulut satu kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel memelihara orang tua (Hamka, 1992: 41). “Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Hamka, 1992: 41).
Sesudah dilarang mengucapkan kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel, janganlah keduanya dibentak, dihardik dan dibelalaki mata. Perumpamaan qiyas yang dipakai para ahli ushul fiqih, yaitu: Sedangkan mengeluh uffin yang tidak kedengaran saja tidak boleh, apalagi membentak-bentak dan menghardik-hardik (Hamka, 1992: 41). “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan” (Hamka, 1992: 42).
Sebagai anak, jika merasa telah menjadi orang besar, jadikanlah kecil di hadapan bapak ibu. Apabila dengan tanda-tanda pangkat dan pakaian kebesaran datang mencium mereka, niscaya air mata keterharuan akan berlinang di wajah mereka tidak dengan disadari. Itu sebabnya di dalam ayat ditekankan “minar rahmati” karena sayang yang datang dari hati yang tulus dan ikhlas (Hamka, 1992: 42).
“Dan ucapkanlah: „Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil‟" (Hamka, 1992: 45).
Pada ayat ini tergambar susah payah ibu bapak mengasuh mendidik anak diwaktu masih kecil, penuh kasih sayang. Yaitu kasih sayang yang tidak mengharapkan balasan jasa (Hamka, 1992: 45). Tafsir di atas menjelaskan bahwa berkhidmat dan menghormati kedua orang tua ialah kewajiban yang kedua setelah beribadah kepada Allah. Jika usia keduanya (ibu dan bapak), atau salah satu seorang diantara keduanya bertambah tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup sendiri dan sudah sangat bergantung kepada belas kasih puteranya, maka disuruh bersabar dan berlapang hati dalam memelihara orang tua, serta jangan mengucapkan kalimat yang mengandung rasa bosan atau jengkel dan jangan membentak, menghardik dan membelalaki mata kepada keduanya. Sebagai seorang anak jika merasa telah menjadi orang besar, jadikanlah kecil di hadapan bapak ibu, karena mereka telah bersusah payah mengasuh mendidik diwaktu masih kecil, dengan penuh kasih sayang dan tidak mengharapkan balasan jasa. b.
Mentaati kedua orang tua dalam kebaikan Ketaatan seorang anak kepada orang tuanya hampir disejajarkan dengan besarnya kewajiban beribadah kepada Allah. Bentuk ketaatan seorang anak kepada orang tua sangat banyak, mencakup semua dimensi kebajikan, selama tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. Penjelasan tentang mentaati kedua orang tua banyak terdapat di dalam tafsir al-Azhar. Tetapi di sini penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan mentaati kedua orang tua, yaitu: 1)
Surat al-Ankabut ayat 8
Artinya: “Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada orang orang tuanya bersikap baik. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. alAnkabut/29: 8).
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada orang orang tuanya bersikap baik” (Hamka,1982: 152).
Tuhan mendatangkan wasiyat, artinya perintah. Tuhan mewajibkan dan memerintahkan kepada manusia supaya kepada ayah dan ibunya hendaknya bersikap yang baik. Karena kedua orang tua
asal dari kejadian manusia. Dengan perantara keduanya Allah menghadirkan setiap manusia ke bumi ini. Ayah mencarikan segala perlengkapan hidup, ibu mengasuh dan menjaga di rumah (Hamka,1982: 152). “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Hamka,1982: 152).
Sebagai orang yang telah beriman kepada Allah seorang mukmin tidak mengenal lagi adanya Tuhan selain Allah. Seandainya diajak menyembah Tuhan yang lain, orang mukmin tidak dapat mengikutinya, sebab Tuhan yang lain tidak ada dalam akidah. Seandainya ayah atau ibu, mengajak supaya menyembah Tuhan yang lain, mukmin tidak boleh menuruti. Ayah dan ibu wajib dihormati, tetapi mereka tidak boleh dipatuhi dalam hal yang mengenai akidah. Jika bertemu hak Allah dengan hak kedua orang tua, yang tidak dapat diperdamaikan, hak Allah yang harus didahulukan (Hamka,1982: 152). “Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Hamka, 1982: 152).
Di hadapan Allah nanti akan dipisahkan antara iman dan kufur sejelas-jelasnya. Meskipun ayah kandung dan ibu kandung, tidak mempercayai Keesaan Tuhan, beliau akan di tempatkan di golongan
orang musyrikin, jauh terpisah dari anaknya yang telah beriman (Hamka, 1982: 152). Tafsir di atas menjelaskan bahwa kepada ayah dan ibu hendaknya bersikap yang baik, karena mereka telah menjadi perantara seorang anak dilahirkan di dunia. Ayah dan ibu wajib dihormati, tetapi mereka tidak boleh dipatuhi dalam hal yang mengenai akidah. Jika bertemu hak Allah dengan hak kedua orang tua, yang tidak dapat diperdamaikan, maka hak Allah yang harus didahulukan. Allah nanti akan memisahkan antara iman dan kufur sejelas-jelasnya, jadi orang tua kandung yang musyrik akan terpisah dari anaknya yang beriman. 2)
Surat Luqman ayat 15
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. Luqman/31: 15).
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Hamka, 1988: 130).
Ilmu yang sejati niscaya diyakini oleh manusia. Manusia yang berilmu akan susah dipengaruhi oleh orang lain kepada sesuatu pendirian yang tidak berdasar ilmiah. Bahwa Allah adalah Esa, merupakan puncak dari segala ilmu dan hikmah. Pada saat seorang anak yang setia kepada orang tua akan didesak, dikerasi, kadangkadang dipaksa oleh orang tuanya untuk mengubah pendirian yang telah diyakini. Sekarang terjadi orang tua yang wajib dihormati sendiri yang mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan, menukar
tauhid dengan syirik. Maka jangan diikuti keduanya (Hamka, 1988: 130). “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (Hamka, 1988: 130).
Bahwa keduanya selalu dihormati, disayangi, dicintai dengan sepatutnya, dengan yang ma‟ruf. Jangan mereka dicaci dan dihina, melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah memang berbeda akidah engkau dengan akidah beliau. Seandainya mereka sudah tua, asuh mereka dengan baik. Tunjukkan bahwa seorang muslim adalah seorang manusia yang berbudi (Hamka, 1988: 130). Tafsir di atas menjelaskan bahwa manusia yang berilmu akan susah dipengaruhi oleh orang lain dengan suatu pendirian yang tidak berdasarkan ilmiah. Jika orang tua yang wajib dihormati sendiri yang mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan, menukar tauhid dengan syirik, maka jangan diikuti keduanya. Jangan mencaci dan menghina, melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal akidah memang berbeda dengan akidah beliau dan tunjukan bahwa orang muslim adalah manusia yang berbudi pekerti baik.
4.
Pendidikan Budi Pekerti terhadap Orang Lain Dalam pergaulan dengan orang lain setiap muslim harus dapat berbudi pekerti sesuai dengan status dan posisi masing-masing. misalnya sebagai pemimpin, seorang muslim hendaknya memiliki budi pekerti yang luhur seperti
bersifat jujur, amanah dan adil terhadap rakyatnya. Adapun pendidikan budi pekerti terhadap orang lain yang terkandung dalam tafsir al-Azhar meliputi: a.
Kejujuran Kata jujur atau benar dalam bahasa Arab, disebut sidiq, lawan dari kidhib yaitu bohong atau dusta. Kejujuran adalah sendi yang terpenting untuk tegak berdirinya masyarakat. Tanpa kejujuran masyarakat akan hancur, karena tidak akan ada rasa saling mempercayai antara satu orang dengan yang lainnya. Padahal manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 119 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”(Q.S. atTaubah/9: 119).
Meskipun kadang-kadang berat ujian yang akan ditempuh, namun takwa hendaknya ditegakkan terus. Ka‟ab bin Malik dan kedua temannya, sebagai orang-orang yang beriman telah mempertahankan takwa, walaupun untuk mereka telah menderita sementara, dikucilkan 50 hari. Mereka
saksikan orang-orang yang berbohong dapat melepaskan diri dari kesulitan dan mereka kalau bercakap jujur akan dimurkai. Namun mereka tetap tidak mau masuk golongan munafik yang berbohong untuk melepaskan diri. Kejujuran kadang-kadang meminta pengorbanan dan penderitaan, tetapi mereka tetap bertahan pada kejujuran. Mereka tetap mengambil pihak dan memilih hidup bersama dalam golongan orang yang benar dan jujur. Kadang-kadang orang munafik bangga karena munafiknya (Hamka, 1994: 81). Ka‟ab bin Malik tidak mau memilih pihak dari barisan munafik, sebab meskipun pada dhahirnya munafik kelihatan senang, terhadap apa saja yang mereka bangun, apa saja yang mereka tegakkan, namun sebenarnya hati mereka akan tetap bergoncang dan ragu kepada diri sendiri. Mereka baru akan hilang goncangan hatinya, kalau hatinya sendiri telah terpotong-potong. Ka‟ab bin Malik dan orang-orang yang menempuh jalan yang benar itu berpendirian, meskipun kelihatan pada dhahir oleh orang lain menderita, asal batin merasa bahagia sebab tetap berdiri pada yang benar. Yang benar akhirnya akan tegak terus. Maka sampailah dia di puncak kebahagiaan, apabila kebenarannya diakui Tuhan, bahwa bagaimanapun susahnya menegakkan kebenaran, tirulah Ka‟ab bin Malik dan kedua temannya, yaitu hendaknya selalu berdiri dipihak yang benar. (Hamka, 1994: 81). Tafsir di atas menjelaskan bahwa meskipun berat ujian hidup yang akan ditempuh, namun takwa harus selalu ditegakkan. Kejujuran terkadang membutuhkan pengorbanan dan penderitaan, tetapi seberapa besar ujian itu, harus tetap bertahan pada kejujuran. Allah memerintahkan agar kita
mencontoh Ka‟ab bin Malik dan kedua temannya, yang selalu berdiri dipihak yang benar, walaupun banyak ujian yang harus dihadapi. b.
Amanah Amanah adalah memenuhi hak-hak Allah dan para hamba-Nya. Memenuhi hak-hak Allah berarti menjelankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Demikian pula dengan memenuhi hak-hak para hamba-Nya, berarti akan mengembalikan semua titipan kepada yang berhak menerimanya. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72, yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S. al-Ahzab/33: 72).
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia” (Hamka, 1988: 111).
Tuhan memanggil tujuh lapis langit, kemudian Tuhan menawarkan kepadanya tentang kesanggupan memikul amanat yang akan diletakkan kepadanya. Langit dengan hormat telah menolak tawaran Allah, karena amanat itu sangat berat (Hamka, 1988: 111). Setelah ketujuh langit telah menyatakan tidak sanggup, Tuhan memanggil bumi. Kepada bumi ditawarkan agar suka menerima amanat itu. Maka bumi menyatakan penolakan, karena tanggung jawab memikul amanat terlalu sangat berat (Hamka, 1988: 111). Kemudian Tuhan memanggil gunung-gunung menawarkan amanat itu. Gunung-gunung yang menjadi pasak bumi semua menyatakan tidak sanggup. Lebih baik menolak dengan terus terang daripada menyanggupi padahal akhirnya tidak bisa memikul. Maka Tuhan murka jika lebih dahulu telah disanggupi padahal setengah jalan telah menyatakan tidak sanggup meneruskan. Manusia yang menampilkan diri untuk memangku amanat (Hamka, 1988: 111). “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Hamka, 1988: 111).
Manusia disebut zalim karena mereka sia-siakan amanat, tidak mereka junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, bahkan
mereka sia-siakan. Mereka menjadi terhitung bodoh karena tidak tahu harga diri, sampai ada yang suka mempersekutukan Allah dan suka menjadi orang munafik (Hamka, 1988: 111). Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya: “Ini adalah kata majaz, atau sindiran. Sedangkan langit, bumi, dan gunung-gunung merasa berat memikul, sebab hal tersebut manusia hendak berhati-hati” (Hamka, 1988: 112). Tafsir di atas menunjukkan bahwa manusia telah bersedia untuk memangku amanat Allah, padahal ketujuh langit, bumi dan gunung ketika dipanggil Allah untuk memikul amanat menyatakan tidak sanggup. Manusia disebut zalim karena mereka sia-siakan amanat, tidak mereka junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, bahkan mereka siasiakan. Maka dari itu manusia hendaknya berhati-hati dalam mengemban amanat Allah maupun amanat yang telah diberikan rakyat kepada seorang pemimpin. c.
Pemaaf Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf disebut al-„afw yang juga memiliki arti penghapusan, ampun, dan anugerah. Dalam al-Quran kata al-„afw disebut sebanyak dua kali, akan tetapi penulis mencantumkan salah satu ayat dalam tafsir al-Azhar yaitu surat al-A‟raf ayat 199, yang berbunyi:
Artinya: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta
berpalinglah
dari
pada
orang-orang
yang
bodoh”(Q.S. al-A‟raf/7: 199).
Arti „afwa ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Setiap manusia walaupun baik hatinya dan shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan (Hamka, 1983: 221). Dalam pergaulan hidup, berkumpul dengam banyak manusia yang masing-masing
mempunyai
kelebihan,
tetapi
masing-masing
juga
mempunyai segi kelemahan, yang kadang-kadang membosankan dan menyinggung perasaan. Maka kekurangan-kekurangan pada perangai demikian, hendaknya memperbanyak maaf (Hamka, 1983: 221). Tafsir di atas menjelaskan bahwa setiap manusia walaupun baik hatinya dan shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan dan kekurangan. Maka kelemahan dan kekurangan pada tingkah laku, hendaknya harus diperbanyak dengan mohon maaf. d.
Dermawan Dermawan berarti pemurah hati, atau orang yang suka berderma (beramal, bersedekah). Dermawan adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Allah berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 134, yang berbunyi:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran/3: 134).
Dalam ayat ini diberikan tuntunan terperinci dan lebih jelas yang diperlombakan ialah kesukaan memberi, kesukaan menderma untuk mengejar surga yang seluas langit dan bumi, sehingga semua bisa masuk dan tidak akan ada perebutan tempat. Disebut dengan jelas yaitu dalam waktu senang dan dalam waktu susah, orang senang berderma dan susah juga berderma. Tidak ada yang bersemangat meminta, tetapi semuanya bersemangat memberi. Sehingga orang miskin tidak berjiwa kecil, yang hanya mengharap belas kasih orang. Meskipun dia tidak mempunyai uang, namun dia mempunyai ilmu untuk diajarkan atau tenaga untuk diberikan (Hamka, 1987: 89). Seumpama mendirikan sebuah masjid di suatu desa, yang kaya mempunyai uang untuk membeli apa yang patut dibeli. Yang mempunyai hutan bersedia kayunya ditebang untuk dijadikan tiang tonggak dan papan,
sedangkan yang ahli pertukangan bersedia bekerja dengan tidak mengharap upah. Yang lain bergotong royang mengangkut pasir dan batu dari sungai, kaum ibu memasak nasi dan lauk pauk serta menghantarkan makanan kepada orang yang bekerja. Semuanya berlomba-lomba mengejar surga yang luas dan lapang (Hamka, 1987: 89). Tafsir di atas menjelaskan bahwa Allah akan memberikan tuntunan terperinci dan lebih jelas kepada orang yang suka memberi, suka menderma untuk mendapatkan surga yang seluas langit dan bumi, sehingga semua bisa masuk dan tidak akan ada perebutan tempat. Sehingga orang yang miskin meskipun tidak memiliki harta benda, mereka mempunyai ilmu untuk diajarkan dan mempunyai tenaga untuk diberikan. e.
Rendah hati Rendah hati berarti tidak sombong atau tidak angkuh. Rendah hati adalah sifat bijak yang melekat pada seseorang, yaitu memposisikan dirinya dengan orang lain sama, merasa tidak lebih baik, tidak lebih mahir, tidak lebih pintar, dan tidak juga lebih mulia. Penulis mengambil dua ayat dalam tafsir al-Azhar yang berkaitan dengan rendah hati, yaitu: 1)
Surat al-Furqan ayat 63
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata
(yang
mengandung)
keselamatan”(Q.S. al-Furqan/25: 63).
Orang yang berhak disebut „Ibadur rahman (hamba-hamba daripada Tuhan yang Maha Pemurah), ialah orang-orang yang berjalan di bumi dengan sikap sopan-santun, lemah-lembut, tidak sombong, dan sikapnya tenang. Bagaimana dia akan mengangkat muka dengan sombong, padahal alam sekitar menjadi saksi bahwa dia pasti menundukkan diri. Dia ada seperti padi yang telah berisi, sebab dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesama manusia, karena dia insaf bahwa dia tidak akan sanggup hidup sendiri di dunia ini. Apabila berhadapan dengan orang bodoh yang bertanya kepada dia dan dangkal fikirannya, maka pertanyaan orang bodoh dijawab dengan memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang benar. Orang yang seperti itu pandai menahan hati (Hamka, 1992: 41). Tafsir di atas menjelaskan bahwa sebagai manusia hendaknya bersikap rendah hati, karena manusia tidak akan sanggup hidup sendiri di dunia ini tanpa adanya orang lain. Apabila ada orang bodoh yang bertanya maka jawablah dengan jawaban yang memuaskan. Apabila orang bodoh salah dalam berpendapat, maka tunjukkanlah kebenaran yang sebenarnya dan jangan menunjukkan sifat sombong padanya.
2)
Surat al-Isra‟ ayat 37
Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”(Q.S. al-Isra‟/17: 37).
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong” (Hamka, 1992: 68).
Sombong yaitu orang yang tidak mengetahui tempat dirinya. Bersifat angkuh, karena dia telah lupa bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah karena pinjaman Tuhan. Lupa bahwa asalnya hanyalah air mani yang bergetah. Dan dia akan kembali menjadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserakan, dan menakutkan. Lalu Allah memperingatkan diri manusia yang mencoba sombong (Hamka, 1992: 68).
“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi” (Hamka, 1992: 68).
Ini adalah kata kiasan yang tepat untuk orang yang sombong. Seseorang yang sombong di atas bumi, menghardik menghantam tanah, namun bumi tidak akan luka karena hantaman kakinya (Hamka, 1992: 68). “Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung” (Hamka, 1992: 68).
Ini suatu ungkapan yang tepat untuk orang yang sombong. Dia menengadah ke langit seperti menantang puncak gunung dan melawan awan, padahal puncak gunung akan melihat dia menantang gunung. Oleh sebab itu seorang mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri, kemudian meletakkkan dirinya pada tempat yang sebenarnya (Hamka, 1992: 68). Tafsir di atas menjelaskan bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah sementara. Maka hendaknya manusia jangan berlaku sombong di dunia ini. Seorang mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri, kemudian meletakkkan dirinya pada tempat yang sebenarnya. Sehingga dapat menjauhkan dirinya dari sifat kesombongan. f.
Kemanusiaan Manusia adalah makhluk sosial ysng tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Maka dari itu manusia hendaknya jangan
saling membunuh satu sama lainnya, kecuali membunuh yang dibenarkan oleh Allah. Allah berfirman dalam surat al-Isra‟ ayat 33, yang berbunyi:
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”(Q.S. al-Isra‟/17: 33).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar” (Hamka, 1992: 61).
Membunuh seseorang termasuk menyalahi hak hidup yang sudah diberikan Allah kepada yang dibunuh, maka Allah melarangnya, kecuali misalnya terjadi peperangan yang tidak dapat dihindari niscaya terjadi bunuh-membunuh, atau seseorang membunuh sesama manusia, maka berlaku hukum qishas, yaitu nyawa dengan nyawa atau hukum mati yang dijatuhkan Hakim menurut undang-undang yang berlaku. Maka semacam ini pencabutan nyawa seseorang adalah dalam lingkungan kebenaran, atau dibenarkan (Hamka, 1992: 61). “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” (Hamka, 1992: 61).
Maksud ayat di atas adalah jika seseorang dibunuh orang dengan aniaya, sewenang-wenang diluar hukum, maka wali terdekat atau keluarga yang bertanggung jawab menuntut keadilan kepada penguasa, akan tetapi penguasa yang mengambil tindakan misalnya menangkap, menjatuhkan hukum, baik hukumannya dibunuh atau diwajibkan membayar diyat, yaitu harta benda ganti kerugian (Hamka, 1992: 61). “Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh” (Hamka, 1992: 62).
Inti ayat ini adalah perlakuan prikemanusiaan yang diwajibkan menjaganya. Artinya jika seseorang dihukum mati karena dia telah membunuh orang lain, kemudian dilakukan kepadanya hukum dibunuh, maka lakukanlah hukuman dengan cepat, ringkas dan menegakkan wibawa
hukum. Misalnya setelah orang itu mati, jangan dicincang atau dikerati badannya, sebab yang demikian bukan hukum melainkan balas dendam. Menurut Ath-Thabariy peringatan ini adalah untuk Nabi SAW dan seterusnya untuk para penguasa sesudah beliau (Hamka, 1992: 62). “Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan” (Hamka, 1992: 62).
Orang yang mati terbunuh dengan aniaya, pemerintah akan menuntutkan belanja. Jika walinya mengadu kepada pemerintah, pengaduannya akan diperhatikan, dia akan ditolong. Sebab urusan kematian seseorang dengan aniaya bukanlah perkara kecil. Dan orang yang mati teraniaya, sedang wali atau keluarganya tidak ada, penguasalah yang menjadi wali dan penuntut haknya (Hamka, 1992: 62). Tafsir di atas menjelaskan bahwa perlakuan prikemanusiaan wajib dijaga setiap manusia. Allah melarang manusia membunuh sesamanya karena termasuk menyalahi hak Allah. Membunuh diperbolehkan seperti dalam suatu peperangan yang tidak dapat dihindari lagi. Orang yang membunuh sesamanya maka akan dihukum qishas, yaitu nyawa dengan nyawa atau hukum mati yang dijatuhkan Hakim menurut undang-undang yang berlaku. Maka semacam itu pencabutan nyawa seseorang adalah dalam lingkungan kebenaran, atau dibenarkan. g.
Toleransi Dalam bahasa Arab toleransi disebut “tasamuh”. Arti tasamuh ialah bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Sikap toleransi harus ada dalam kehidupan bermasyarakat, karena di dalam masyarakat terdapat
banyak perbedaan antara satu orang dengan lainnya, seperti perbedaan dalam beragama dan keyakinan. Tanpa adanya toleransi, tidak mungkin dapat tercipta kerukunan dan kedamaian hidup dalam masyarakat. Allah berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(Q.S. alBaqarah/2: 256).
“Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Hamka, 1986: 22).
Kalau anak sudah menjadi Yahudi, maka tidak boleh dipaksa memeluk agama Islam. Keyakinan suatu agama tidak boleh dipaksakan, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. orang boleh menggunakan akalnya untuk menimbang dan memilih kebenaran itu dan orang juga memiliki fikiran sehat untuk menjauhi kesesatan (Hamka, 1986: 22). “Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Hamka, 1986: 22).
Agama Islam memberi kesempatan kepada seseorang supaya menggunakan fikirannya yang murni, untuk mencari kebenaran. Asalkan sudi membebaskan diri dari yang hanya ikut-ikutan dan pengaruh dari hawa nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran. Apabila inti kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Allah akan muncul, dan kalau iman kepada Allah yang Maha Esa telah muncul, segala pengaruh dari yang lain akan hilang. Tetapi suasana yang seperti ini tidak bisa dengan paksaan, pasti muncul dari keinsafan sendiri (Hamka, 1986: 22). Toleransi pada ayat ini terkadang dijadikan kesempatan yang baik oleh pemeluk agama Kristen di negara-negara Islam untuk mendesak umat Islam. Oleh sebab itu jika semangat beragama telah mundur pada kaum
muslimin sendiri, padahal ayat ini ada, maka akan mudah benteng-benteng mereka diruntuhkan. Mereka oleh agamanya sendiri tidak boleh memaksakan agama kepada orang lain, padahal orang lain dengan segala daya dan upaya memaksa mereka meninggalkan Islam (Hamka, 1986: 25). Tafsir di atas menjelaskan bahwa seorang anak jangan dipaksa dalam hal keyakinannya, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. Agama Islam telah memberikan kebebasan kepada semua orang supaya menggunakan akal dan fikirannya untuk mencari suatu kebenaran. Ayat di atas terkadang dijadikan kesempatan oleh pemeluk agama Kristen untuk mempengaruhi keyakinan umat Islam, dengan segala cara memaksa oranag Islam untuk meninggalkan keyakinannya. h.
Adil dan ihsan Adil adalah kondisi jiwa yang memimpin syahwat, dan membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan hukum. Ihsan adalah perbuatan yang harus dilakukan ketika melakukan kebaikan. Ibnu Abbas r.a. berkata,”Berlaku adil adalah melepaskan sekutusekutu dari Allah. Sedangkan ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Menurut Hamka (1992: 5), adil adalah keadaan nafs, yaitu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik. Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 90, yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu
agar
kamu
dapat
mengambil
pelajaran”(Q.S. an-Nahl/16: 90).
Ada tiga hal yang diperintahkan oleh Allah supaya dilakukan sepanjang waktu sebagai wujud dari ta‟at kepada Tuhan. Pertama jalan adil, yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah, dan membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang punya dan jangan berbuat zalim. Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri, mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah adalah kawan atau keluarga sendiri. Maka selama keadilan masih terdapat dalam masyarakat, maka pergaulan akan aman sentosa, muncul amanat dan saling mempercayai (Hamka, 1983: 280). Diperintahkan melatih diri berbuat ihsan. Arti ihsan adalah mengandung dua maksud. Pertama selalu mempertinggi mutu amalan, berbuat yang lebih baik daripada yang sudah dilakukan, sehingga semakin
lama tingkat iman semakin naik. Maksud ihsan yang kedua adalah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi dari keadilan. Misalnya memberi upah yang sesuai pekerjaannya, itu adalah sikap adil. Tetapi jika dilebihi upahnya, maka pemberian yang berlebih itu dinamai ihsan. Sebab itu ihsan adalah latihan budi yang lebih tinggi tingkatnya daripada adil (Hamka, 1983: 280). Yang ketiga adalah memberi kepada keluarga terdekat. Ini juga lanjutan dari ihsan. Karena kadang orang yang berasal dari satu ayah atau ibu berbeda nasibnya, ada yang kaya dan ada yang kekurangan rizkinya. Maka yang mampu dianjurkan berbuat ihsan kepada keluarganya yang terdekat, sebelum mementingkan orang lain (Hamka, 1983: 281). Tafsir di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada manusia supaya melaksanakan tiga hal sepanjang waktu, sebagai wujud dari ta‟at kepada Tuhan, yaitu adil, ihsan dan memberi kepada keluarga terdekat. Adil yaitu menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah, dan membenarkan mana yang benar. Ihsan yaitu berbuat lebih tinggi dari keadilan, sedangkan memberi kepada keluarga terdekat merupakan lanjutan dari ihsan.
F. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti dengan Pendidikan Saat Ini Pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti merupakan sumbangan keilmuan yang dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan oleh para pakar pendidikan saat ini. Pada kenyataannya pemikiran Hamka terdahulu telah mencakup aspek budi pekerti yang saat ini sedang mengalami kemerosotan yang
sedang diresahkan semua warga negara Indonesia terutama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Siswa saat ini, diharapkan dapat mencapai kompetensi lulusan dengan keseimbangan antara soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap (afektif), keterampilan (psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Jadi siswa tidak hanya dapat mencapai aspek kognitif saja yaitu hanya mengerti, tetapi juga dapat melaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek di atas, maka pendidikan budi pekerti tidak akan efektif, dan pelaksanaannya harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Maka dari itu pendidikan budi pekerti harus didukung dengan ketiga aspek di atas, supaya pendidikan budi pekerti tidak hanya sekedar pengetahuan bagi peserta didik melainkan supaya peserta didik dapat mengaplikasikan secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan budi pekerti juga harus dikembangkan oleh guru atau dosen, agar para pelajar dan mahasiswa dapat berperilaku atau berkarakter yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia, dan supaya menjadi insan kamil. Merujuk pada buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Samani dan Hariyanto (2013: 52) menyatakan, bahwa Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian
Pendidikan
Nasional
tahun
2011
telah
mengidentifikasikan nilai-nilai karakter atau budi pekerti yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
No. 1.
Nilai Religius
Deskripsi atau Indikator Perilaku a. Berdo‟a sebelum dan sesudah pembelajaran. b. Taat dan istiqamah dalam melaksanakan ajaran
2.
Jujur
3. Toleransi
c. d. a. b. c. d. a. b.
4. Disiplin
a. b.
5. Kerja Keras
6. Kreatif
a. b. c. a. b. c. d.
7. Mandiri
a. b.
8.
Demokratis
9.
Rasa Ingin Tahu
a. b. c. a. b.
10. Semangat
a.
Kebangsaan b.
11. Cinta Tanah Air
c. a. b.
agama yang dianutnya. Membiasakan berinfaq setiap hari jum‟at. Bersyukur kepada Tuhan atas yang diperoleh. Menyatakan apa adanya dan terbuka. Konsisten antar apa yang dilakukan. Berani karena benar. Dapat dipercaya dan tidak curang. Menghargai perbedaan agama, suku, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda. Tidak memaksakan agama kepada keluarga, teman dan orang lain. Dapat mengontrol tindakan, perilaku, dan kebiasaan diri sendiri. Tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Rajin dan ulet dalam bekerja. Tidak menunda pekerjaan. Tidak pernah berputus asa dalam bekerja. Mampu menyelesaikan masalah dengan inovatif, luwes, dan kritis. Berani mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.. Memiliki ide baru dan ingin terus berubah. Dapat membaca situasi dan memanfaatkan peluang baru. Tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas. Berusaha menyelesaikan persoalan yang dihadapi dengan kemampuannya. Menghargai pendapat orang lain. Berprinsip musyawarah untuk mufakat. Bersifat terbuka. Berusaha mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya. Berusaha mengetahui apa yang dilihat dan didengar. Membiasakan melakukan pekerjaan secara ikhlas untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Memperkuat persatuan dan kesatuan. Lebih mencintai produk-produk dari negaranya. Menempatkan kepentingan negara di atas
12. Menghargai Prestasi
13. Bersahabat
atau
Komunikatif 14. Cinta Damai
15.
Gemar Membaca
16.
Peduli Lingkungan
17. Peduli Sosial
18. Tanggung Jawab
kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. c. Bangga dengan negara Indonesia. a. Bersyukur atas prestasi yang diperoleh. b. Tidak sombong setelah mendapat prestasi yang bagus. c. Tidak menyobek hasil nilai ulangan atau test yang jelek. d. Tidak menghina teman yang prestasinya lebih jelek dari kita. a. Mengakui dan menghargai keberhasilan orang lain. b. Mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. a. Mau bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. b. Menjalin dan memelihara perdamaian melalui saling percaya dan saling peduli. a. Suka membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembelajarannya. b. Menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan. a. Menyayangi manusia dan makhluk lain. b. Mencegah kerusakan pada lingkungan alam dan sekitarnya. c. Mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. a. Memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. b. Memperlakukan orang lain dengan sopan. c. Tidak suka menyakiti orang lain. d. Mau berbagi dengan orang lain. e. Tidak merendahkan orang lain. f. Tidak mengambil keuntungan dari orang lain. g. Mau terlibat dalam kegiatan masyarakat. a. Melakukan tugas sepenuh hati. b. Bekerja dengan etos kerja yang tinggi. c. Berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik. d. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. e. Menerima segala resiko terhadap pilihan dan keputusan yang diambil.
Dari 18 identifikasi nilai karakter atau budi pekerti di atas, dapat diperoleh relevansi atau kesesuaian pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan nilai-nilai pendidikan karakter atau budi pekerti pada pendidikan saat ini yaitu sebagai berikut: 1.
Nilai religius berupa nilai ketakwaan, nilai keimanan, nilai tawakkal, nilai syukur, nilai taubat, nilai sabar, dan nilai istiqamah.
2.
Nilai jujur.
3.
Nilai toleransi.
4.
Nilai peduli sosial berupa nilai amanah, nilai pemaaf, nilai dermawan, nilai rendah hati, nilai kemanusiaan, nilai adil dan ihsan.
5.
Nilai tanggunng jawab. Sedangkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran Hamka yang tidak tercantum dalam 18 identifikasi nilai karakter atau budi pekerti adalah sebagai berikut: a.
Pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri, terdiri dari nilai-nilai; (1) iffah (2) pengendalian diri.
b.
Pendidikan budi pekerti terhadap kedua orang tua, terdiri dari nilai-nilai; (1) birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), (2) mentaati kedua orang tua dalam kebaikan. Dari 4 nilai pendidikan budi pekerti menurut pemikiran Hamka, yang tidak tercantum dalam 18 identifikasi nilai karakter atau budi pekerti menurut Kementerian Pendidikan Nasional di atas, perlu diaplikasikan dalam pendidikan saat ini sebagai tambahan materi mengajar guru pada seluruh mata pelajaran terlebih pada mata pelajaran agama Islam dan
pendidikan kewarganegaraan, mengingat terjadinya kemerosotan budi pekerti bangsa Indonesia saat ini. Dalam proses belajar mengajar saat ini ayat-ayat al-Qur’an sangat dibutuhkan sebagai penguat dan pendukung materi pembelajaran, agar dalam jiwa dan fikiran peserta didik tertanam nilai keagamaan. Maka dari itu tafsir al-Azhar merupakan wacana yang tepat untuk mempermudah guru dalam menyampaikan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an kepada peserta didik. Jika dilihat dari konteks pendidikan saat ini, maka sebenarnya pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti sudah tercakup dalam pendidikan di Indonesia. Adapun pendidikan di Indonesia dikategorikan menjadi 3, yaitu: 1)
Pendidikan Informal (Pendidikan Keluarga) Pendidikan keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan budi pekerti dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain (Hasbullah, 2009: 38). Pendidikan
informal
(pendidikan
keluarga)
merupakan
pendidikan awal sebelum peserta didik dihadapkan dengan pendidikan formal (pendidikan sekolah). Melalui pendidikan keluarga akan membentuk budi pekerti seorang anak yang kelak akan dibawa ke pendidikan sekolah. Adapun pendidikan budi pekerti dalam keluarga yang diajarkan Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah melalui contoh perlindungan orang tua kepada keluarganya seperti dalam al-Qur‟an surat at-Tahrim ayat 6 yaitu perintah kepada orang yang beriman
supaya memelihara diri dan keluarganya dari api neraka, perintah Luqman kepada anaknya seperti dalam al-Qur‟an surat Luqman ayat 11-17 yang menyuruh anaknya supaya beriman dan menyembah Allah, bersyukur kepada Allah, melarang anaknya menyekutukan Allah, menyuruh anaknya berbakti kepada kedua orang tuanya, menyuruh
berbuat
jujur,
menyuruh
agar
mendirikan
shalat,
mengerjakan yang baik, mencegah dari perbuatan yang mungkar dan menyuruh bersabar terhadap apa yang menimpa anaknya. 2)
Pendidikan Formal (Pendidikan Sekolah) Pendidikan di sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan keluarga. Kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan dengan masyarakat kelak (Hasbullah, 2009: 46). Pendidikan
formal
biasanya
sangat
terbatas
dalam
memberikan pendidikan budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh formalitas hubungan antara guru dan siswa. Dalam pendidikan sekolah perlu
dikembangkan
strategi
dalam
pembelajaran,
khususnya
pendidikan agama Islam dan budi pekerti. Adapun strategi pendidikan yang diajarkan Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah dengan cara guru memberikan teladan yang baik (uswatun khasanah) kepada murid sesuai dengan sifat Nabi Muhammad di dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 21. Seorang guru harus memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, karena biasanya peserta didik cenderung meniru kelakuan yang ada di
sekitarnya. Termasuk sikap seorang guru terhadap peserta didik, dengan guru lain, maupun kepada masyarakat. 3)
Pendidikan Nonformal (Pendidikan Kemasyarakatan) Pendidikan nonformal dalam perkembangannya saat ini tampaknya sulit memberikan perhatian besar terhadap pendidikan budi pekerti. Hal ini berhubungan dengan proses perubahan budaya dan perkembangan teknologi yang sedang terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Selain pendidikan budi pekerti dalam keluarga dan sekolah, pendidikan budi pekerti di masyarakat juga perlu diperhatikan. Anak mudah terpengaruh budaya yang ada di masyarakat, jika anak bergaul dengan orang yang berbudi maka dia akan menjadi seorang yang berbudi luhur, dan sebaliknya jika bergaul dengan orang yang buruk budinya, maka dia akan mudah terpengaruh yang mengakibatkan buruk budinya. Adapun pendidikan budi pekerti dalam masyarakat yang diajarkan Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah melalui dakwah (ajakan kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar), seperti yang tertulis dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran ayat 104. Pendidikan merupakan salah satu media paling efektif dalam mengatasi kemerosotan budi pekerti saat ini. Pendidikan budi pekerti harus dikembangkan, tidak hanya mencangkup sebatas pengetahuan, melainkan perlu adanya praktek dalam keseharian, misalnya guru memberikan contoh secara langsung kepada siswa perilaku dermawan, yaitu dengan mengajak siswa mengunjungi para korban gunung meletus, dengan memberikan bantuan kepada korban. Sehingga
dengan praktik secara langsung, dapat merangsang siswa supaya memiliki kesadaran agar selalu berbuat baik kepada orang lain. Terwujudnya manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional. Maka pendidikan yang berorientasikan pada nilai-nilai pendidikan budi pekerti menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan di Indonesia. BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis sebagaimana dalam babbab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti yaitu (a) nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah berupa ketakwaan, keimanan, tawakkal, syukur, taubat, sabar, dan istiqamah, (b) nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri berupa tanggung jawab, iffah, dan pengendalian diri, (c) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua berupa birrul walidain, dan mentaati kedua orang tua dalam kebaikan, (d) nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain berupa kejujuran, amanah, pemaaf, dermawan, rendah hati, kemanusiaan, toleransi, keadilan dan ihsan. Adapun relevansi pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti dengan pendidikan saat ini adalah sama-sama terdapat nilai pendidikan religius, nilai pendidikan kejujuran, nilai pendidikan toleransi, nilai pendidikan peduli
sosial, dan nilai pendidikan tanggunng jawab, sehingga pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti sangat tepat jika diajarkan pada pendidikan saat ini. Berdasarkan
uraian
di
atas
terdapat
kesimpulan
yang
penting,
bahwasannya Hamka membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya kalau dispesifikkan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.
B.
Saran Berdasarkan temuan yang peneliti uraikan dalam skripsi ini, maka peneliti merekomendasikan sebagai berikut: 1.
Penelitian ini hanya menfokuskan pada pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Banyak hal yang harus diteliti lagi, misalnya terkait dengan pemikiran Hamka tentang pendidikan akidah yang direlevansikan dengan kehidupan saat ini. Untuk memperdalam masalah tersebut, maka penulis merekomendasikan untuk melakukan penelitian lanjutan.
2.
Bagi pendidik, akan lebih baik jika dapat mengembangkan dan menggunakan strategi, metode, serta evaluasi yang tepat dalam pembelajaran, sehingga nilainilai pendidikan budi pekerti dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 3. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Al-Ghulayaini, Musthafa. 2009. Izhatun Nasyi’in. Terjemahan jilid 1 oleh Siroj Zaenuri Hadi Nur. Jakarta: PT Albama. Al-Kumayi, Sulaiman. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun. Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Faruq dkk., Umar. 2005. Pidato 3 Bahasa. Surabaya: Pustaka Media. Ghofur, Saiful Amin. 2008. Profil Para Mufasir al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hakim, Ahmad dan M. Thalhah. 2005. Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka. Yogyakarta: UII Press. Hamka. 1980. Lembaga Budi. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1982. Tafsir al-Azhar Juz XX. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982. Tafsir al-Azhar Juz XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982. Tafsir al-Azhar Juz XXIV. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983. Tafsir al-Azhar Juz XIII. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983. Tafsir al-Azhar Juz XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985. Tafsir al-Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985. Tafsir al-Azhar Juz XXVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985. Tafsir al-Azhar Juz XXIX. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1986. Tafsir al-Azhar Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1987. Tafsir al-Azhar Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1988. Tafsir al-Azhar Juz XII. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1988. Tafsir al-Azhar Juz XXI. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1988. Tafsir al-Azhar Juz XXII. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1988. Tasauf Moderen. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1991. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1992. Akhlaqul Karimah. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1992. Tafsir al-Azhar Juz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1992. Tafsir al-Azhar Juz XIX. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1993. Tafsir al-Azhar Juz IX. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1994. Tafsir al-Azhar Juz XI. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Kholis, Nur. 2003. Studi Komparasi Antara Konsep Hamka Dengan Abdullah Nasih Ulwan Tentang Pendidikan Akhlak. Salatiga: STAIN Salatiga. Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. Poerbakawatja, Soegarda dan Harahab. 1982. Ensiklopedi Pendidikancet ke-3. Jakarta: Gunung Agung. Pramuko, Yudi. 2001. Hamka Pujangga Besar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saliman dan Sudarsono. 1994. Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soewandi dkk., Slamet. 2005. Pelangi Pendidikan.Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Syadzili, Ahmad Fawa‟id. Kharisma Ilmu.
2005. Ensiklopedi Tematis Al-Qur‟an. Jakarta:
Tim Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke 2: Balai Pustaka.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, Maret 2014.
diakses
24
http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir/, diakses 3 April 2014. http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/05/kriminalitas-remaja-di-sekitar-kita/, diakses 24 April 2014. http:// daftar karya buya hamka.htm, diakses 10 Mei 2014. http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-wafatnyabuya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014. http://biografi_buya_hamka-biografi_web.html, diakses 17 Mei 2014. http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-kontekssosio.html, diakses 19 Agustus 2014. http://el-fathne.blogspot.com/2010/05/tafsir-al-azhar.html, diakses 28 Agustus 2014.