SKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh: MAY MUFLIHAH AR ROZI NIM: 121 08 008
JURUSAN TARBIYAH PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
i
ii
KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323 706, 323 433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
SKRIPSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DISUSUN OLEH: MAY MUFLIHAH AR ROZI NIM: 12108008
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 03 April 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam. Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Dr. M. Zulfa, M.Ag
Sekretaris Penguji
: Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd
Penguji I
: Drs. Bahrudin,M.Ag
Penguji II
: Drs. Kastolani, M. Ag
Penguji III
: Drs. Miftahuddin, M.Ag
Salatiga, 03 April 2013
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP: 19580827 198303 1002
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudari: Nama
: May Muflihah Ar Rozi
NIM
: 12108008
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam Judul
: PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan.
Salatiga, 15 Maret 2013 Pembimbing
Drs. Miftahuddin, M.Ag. NIP. 19700922 199403 1 002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: MAY MUFLIHAH AR ROZI
NIM
: 12108008
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 15 Maret 2013 Yang Menyatakan
May Muflihah Ar Rozi 12108008
v
MOTTO
tb öqyg÷Ztƒur Å$ rã÷èpRùQ$Î/ tb rããBù'tƒur ÎŽösƒø:$# ’n<Î)tb qãã ô‰ tƒ ×p¨Bé&öN ä3 YÏiB ` ä3 tFø9ur
ÇÊÉÍÈ šc
qßs Î=øÿßJ ø9$#ãN èd y7 Í´¯»s9'ré&ur 4Ìs3 YßJ ø9$# Ç` tã
(QS. Ali Imran: 104)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
v
Kedua orang tua Ibu Siti Saodah dan Bapak Fachrurrozi, yang senantiasa membimbing, mendidik dengan sabar dan penuh kasih sayang, serta doa yang tak pernah luput untuk penulis
v
Bapak Drs. Miftahudin, M.Ag yang telah membimbing penulis dalam pembuatan skripsi ini penuh dengan kesabaran dan ketelatenan.
v
Untuk kakakku Mbak. Sofa yang selalu menjadi motifator agar adikadiknya selalu melakukan yang terbaik, adikku Udin yang tak pernah putus menyemangati dan memberi doa.
v
Keluarga besar Ponpes. Annida Salatiga, Alm. Bpk. KH. Ali As’ad, Alm. Bpk. KH. Nuh Muslim, Bpk. KH. Syamsudin dan Ibu Nyai Siti Fatimah selaku pengasuh. Ust. Abdul Ghoni, Ust. Sukedi, Ust. Dahlan, dan Ibu Ngatiyah Terima kasih sebanyak-banyaknya atas ilmu yang beliau ajarkan kepada penulis.
v
Keluarga Besar Ponpes. Al Hasan Banyuputih timur Salatiga, Bpk. KH. Tafrikhan beserta isteri dan keluarga, Ibu Nyai Kamalah Ishom dan keluarga, Terimakasih yang tiada terkira atas bimbingan, ajaran serta kesabaranya kepada penulis selama menjadi santri.
v
Keluarga Besar lembaga Pendidikan Islam Al Azhar Kec. Wirosari Kab. Grobogan.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi robil’alamin, segala curahan rasa syukur kami panjatkan kepada Dzat yang menjadi Rabb Al samaawaati Wa Al Ardl Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pemikiran Ki Hajar Dewantar tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti” Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada uswah hasanah kita, sang putera padang pasir yang membawa pedang kebenaran, mengubah gelapnya kejahiliyahan menuju terangnya dinnul islam. Beliaulah Nabi Agung Muhammad SAW,
serta kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta para pengikut-
pengikutnya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini berjudul “Pemikiran Ki Hajar Dewantar tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti” Peneliti skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Bapak. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Tarbiyah.
viii
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Progdi PAI STAIN Salatiga. 4. Bapak. Drs. Miftahuddin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini. 6. Karyawan-karyawati STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan. 7. Kedua orang tua penulis, Ibu Siti Saodah dan Bapak Fachrurrozi, yang senantiasa membimbing, mendidik dengan sabar dan penuh kasih sayang, serta doa yang tak pernah luput untuk penulis 8. Untuk kakakku Mbak. Sofa yang selalu menjadi motifasi agar adikadiknya selalu melakukan yang terbaik, adikku Udin yang tak pernah putus menyemangati dan memberi doa. 9. Rekan-rekan seperjuangan di LDK Darul Amal (Lembaga Dakwah Kampus), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Kota Salatiga yang telah mewarnai kehidupan penulis. 10.
Sahabat-sahabat yang telah banyak melakukan hal terbaik kepada
penulis, sebagai teman dalam susah maupun senang, yang tidak akan pernah bisa terbalaskan baik budinya untuk Mas. Ishlah, Maz. Imam, Dedy, Ulya, Hida, Fina, Puz, Dek. Rozi dll
ix
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti khususnnya serta para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 15 Maret 2013 Penulis
May Muflihah Ar Rozi 12108008
x
ABSTRAK Muflihah Ar Rozi, May. 2013. Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Salatiga. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Drs. Miftahuddin, M.Ag.. Kata kunci: Budi Pekerti, konsep pendidikan, Ki Hajar Dewantara Di era globalisasi ini manusia diajak untuk tanggap segala informasi aktual dengan segera melalui teknologi-teknologi modern. Kemajuan teknologi dan Informasi menuntut persaingan bebas menjadikan manusia berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, baik kebutuhan pokok ataupun kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu dalam rangka memenuhi persaingan global.Selain itu globalisasi juga dapat menyebabkan ancaman moral dan budaya bangsa. Budaya global akan muncul dan dapat mematikan budaya lokal. Hal ini sangat membahayakan sebab budaya lokal akan hilang terggantikan dengan budaya global setelahnya identitasidentitas bangsa yang bermoral hanya tinggal cerita saja.Berdasarkan latar belakang di atas, yakni begitu urgennya fungsi dan kedudukan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Adapun tujuan daripenelitian ini adalah untuk mengetahui karir intelektual Ki Hajar Dewantara, status sosialnya, karakteristik pemikiran, konseppemikiran beliau tentang pendidikan budi pekerti dan relevansinya di masa kini. Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada refrensi buku dan sumber-sumber yang relevan. Pencarian data dicari dengan pendekatan library research yaitu suatu penelitian kepustakaan murni, menggunakan metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variable-variabel yang berupa catatan seperi buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, dan sebagainya. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah Ki Hajar Dewantar seorang pejuang yang di segani dan di hormati rakyat, Memiliki keunikan berfikir dimana beliau memberikan nafas kebangsaan yang beraliran kebudayaan pada konsep pendidikanya. Dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti memiliki maksud dan tujuan, berusaha memberi nasehat-nasehat, anjuran-anjuran, materimateri yang dapat mengantarkan anak didik menjadi sadar untuk berbuat baik dan terbentuk watak dan kepribadian dengan baik juga. Di ajarkan sesuai tingkatan usia perkembangan anak, dari masa kecilnya hingga dewasa agar mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Dalam proses pendidikanya berdasarkan pancadharma yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Menggunakan metode ngerti, ngrasa dan ngelakoni. Sebagaimana disampaikan diatas, perlu kiranya penulis memberikan sumbangsih berupa saransaran antara lain, konsep pemikiran KI Hajar Dewantara memiliki konsep tujuan yang bagus, serta teta[ re;evan hingga saat ini. Konsep tersebut sangat tepat di terapkan kepada bangsa ini yang telah mengalami degradasi moral. Sebagai seorang guru hendaknya dapat menjadi sosok yang patut dijadikan suri tauladan “digugu lan ditiru”.
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO .............................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................
iii
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................
iv
MOTTO .......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vii
ABSTRAK.................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................
6
C. Tujuan Penelitian........................................................................
7
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................
8
E. Metode Penelitian .......................................................................
8
F. Telaah Pustaka ........................................................................... 10 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 14 BAB II RIWAYAT HIDUP KI HAJAR DEWANTARA ........................... 16 A. Biografi Ki Hajar Dewantara ...................................................... 17 B. Peran Sosial KI Hajar Dewantara................................................ 21 a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pejuang Bangsa .................. 22 b. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pendidik ............................ 27 c. Ki Hajar Dewantara Sebagai Budayawan ........................ 31 d. Ki Hajar Dewantara Sebagai Pemimpin Rakyat............... 32 C. Karya-Karya Ki Hajar Dewantara...................................................................................... 33 BAB III PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI .......................... 36 A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti ...................................... 37 xii
B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti............................................ 39 C. Dasar Pendidikan Budi Pekerti ............................................. 40 a. Kodrat Alam ................................................................... 42 b. Azas Kemerdekaan ......................................................... 44 c. Azas Kebudayaan ........................................................... 46 d. Azas Kebangsaan ............................................................ 47 e. Azas Kemanusiaan .......................................................... 48 D. Materi Pendidikan Bud Pekerti ............................................ 49 a. Taman Indria dan Taman Anak (5-8 tahun) ..................... 50 b. Taman Muda (umur 9-12 tahun ....................................... 51 c. Taman Dewasa (umur 14-16 tahun.................................. 51 d. Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20 tahun) ....... 52 E. Metode Pendidikan Budi Pekerti .......................................... 53 BAB IV Pemikiran Ki hajar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti Dalam Konteks Keknian .................................. 57 A. Implementasi ........................................................................ 57 B. Relevansi Pemikiran ............................................................. 59 C. Implikasi .............................................................................. 68 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 109 A. Kesimpulan ............................................................................... 109 B. Satan-saran ................................................................................ 112 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 114
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini manusia diajak untuk tanggap segala informasi aktual dengan segera melalui teknologi-teknologi modern. Kemajuan teknologi dan Informasi menuntut persaingan bebas menjadikan manusia berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, baik kebutuhan pokok ataupun kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu dalam rangka memenuhi persaingan global. Seperti yang dikatakan oleh Firedman maupun Kenich Ohmae, globalisasi telah merubah cara hidup individu demikian pula negara dan masyarakat, tidak ada seorangpun lagi yang dapat keluar dari arus globalisasi dewasa ini. Setiap orang hanya ada dua pilihan yaitu dia memilih dan menempatkan dalam arus perubahan globalisasi atau dia hanyut dibawa arus gelombang globalisasi yang anonim. (H. A. R Tilaar, 2006: 143) Gelombang arus globalisasi mempunyai aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif dari era ini antara lain adalah peserta didik diajak untuk meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakat dunia, mengetahui kemampuan dasar intelektual dan bertanggungjawab memasuki dunia yang baru. (Nurani Soyomukti, 2010: 6). Kini setiap orang merasa bertanggung jawab dengan keadaan lingkungan sekitarnya seperti menjaga
1
kelestarian planet bumi agar dapat meminimalisir global warming, illegal logging, polusi udara, darat dan laut. Aspek negatifnya menurut H. M Arifin bahwa teknologi modern telah menampakan diri di depan mata kita, yang pada drinsipnya melemahkan daya mental dan spiritual yang sedang tumbuh dan berkembang dengan segala bentuk penampilannya. Kondisi inilah salah satu yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan para remaja ( Prof. H.Muzayyin Arifin, M.Ed. 2011: 10). Selain itu globalisasi juga dapat menyebabkan ancaman moral dan budaya bangsa. Budaya global akan muncul dan dapat mematikan budaya lokal. Hal ini sangat membahayakan sebab budaya lokal akan hilang terggantikan dengan budaya global setelahnya identitas-identitas bangsa yang bermoral hanya tinggal cerita saja. Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi manusia cenderung bersikap individualis. Mereka menjadi “gandrung teknologi” menyibukkan diri dengan penemuan-penemuan baru di bidang IPTEK tanpa memperhatikan kesejahteraan dirinya sebagai manusia sosial. Bahkan secara faktual di era globalisasi ini banyak merebak isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkotika dan obat-ibatan terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang lain, perampasan, penipuan, pengguguran kandungan, penganiyaan, perjudian, pelacuran, pembunuhan dan lain-lain ( Dr. C. Asri Budiningsih, 2008 : 1).
2
Hal tersebut diatas tadi sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum bisa diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak bisa lagi disebut sebagai permasalahan yang sederhana. Karena tindakan-tindakan tersebut sudah mengarah kepada tindakan kriminal yang
harus
diproses
secara
hukum.
Kondisi
ini
tentunya
sangat
memprihatinkan di kalangan masyarakat, terutama orangtua, para guru (pendidik), sebab para pelakunya beserta korban-korbanya adalah kaum remaja, khususnya kaum pelajar dan mahasiswa. Menurut Dr. C. Asri Budiningsih Kondisi demikian diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kondisi ini. Mereka yang telah melewati system pendidikan selama ini, mulai dari pendidikan dalam keluarga,lingkungan sekitar, dan pendidikan sekolah, kurang memiliki kemampuan mengelola konflik dan kekacauan tersebut (Dr. C. Asri Budiningsih, 2008: 1). Masih segar dalam ingatan kita bahwa “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah sebuah tema yang diusung oleh kementrian pendidikan dalam memperingati hari pendidikan nasional tahun 2010. Sejak saat itu banyak sekali para ahli pendidikan, pengamat pendidikan dan praktisi pendidikan mencoba menterjemahkan pendidikan karakter menurut versinya masing-masing. Isu pendidikan karakter mengedepan tidak hanya karena sebagai peringatan hari pendidikan padatahun 2010, akan tetapi juga sebagai wujud
3
keprihatinan terhadap dunia pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah dan hasilnya. Karena semakin hari pendidikan di Indonesia semakin mengalami degradasi moral. Apa yang salah dalam dunia pendidikan di Indonesia, setelah lebih dari enam puluh tahun kita merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang bangsa yang berkarakter. Sebenarnya pendidikan agama telah mencakup aspek pendidikan karakter yang menjadi pengendali dari setiap tindakan yanag akan dilakukan. Orang yang pernah mendapatkan pendidikan agama setidaknya dapat mengontrol dirinya agar tidak melakukan hal-hal yang mencoreng citra pendidikan nasioa; dan dapat membantu kesuksesan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan risalah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda dalam hadist nya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti). Ini menjadi rujukan agar kita semua para pendidik sadar untuk memberikan Pendidikan akhlak (budi pekerti) kepada peserta didik agar ia mampu
mengemban
tugasnya
sebagai
seorang
pelajar
dan
dapat
mengharumkan citra pendidikan. Pendidikan agama merupakan pondasi kehidupan harusnya mencakup keseluruhan hidup sebagai pengendali tindakan. Seseorang yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dia tidak mampu bertindak dengan sukarela untuk norma yang harus ia patuhi dan norma yang harus ia tinggalkan.
4
Apabila agama masuk ke dalam pembinaan pribadi seseorang, maka dengan sendirinya segala sikap, tindakan, perbuatan dan perkataanya akan dikendalikan oleh pribadi, yang telah terbina di dalamnya pendidikan agama, yang akan menjadi pengendali bagi moralnya ( Zakiyah Darajat, 1977 : 49 ). Ungkapan-ungkapan di atas menegaskan urgensinya pendidikan akhlak yang terdapat dalam pendidikan agama sebagai pengendali pribadi. Selaras dengan pendidikan agama, bahwa kepentingan pendidikan budi pekerti yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang mempunyai andil yang sama dalam membentuk kepribadian manusia. Hal ini masih tetap abadi untuk disimak kembali sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ki Hajar dewantara bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain adalah: “Menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin, dari sifat kodratnya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum” (Ki hajar Dewantara : 1977 : 485). Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bab I Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang dipelukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”( Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : 2003 : 4) Namun pada kenyataanya banyak warga Negara yang tidak berakhlak mulia seperti melakukan tindakan-tindakan kriminal yang telah disebut diatas tadi, tidak mandiri karena bersifat komsumtif, tidak bertanggung jawab 5
terhadap hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya. Hal itu semua sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Citra pendidikan bangsa Indonesia yang semakin tidak jelas arahnya. Semakin banyak kaum yang dianggap terpelajar dan berpendidikan telah bercitra seperti orang yang tidak mengenal pendidikan. Semakin maraknya perkelahian pelajar, tindakan kriminal yang dilakukan pelajar, serta tindakantindakan asusila lainnya, mencerminkan gagalnya dunia pendidikan dalam mencetak generasi yang beradab. Sekolah tidak berhasil melaksanakan konsep mendidiknya. Berdasarkan latar belakang di atas, yakni begitu urgennya fungsi dan kedudukan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang meliputi tujuan, materi pendidikan dan metode pendidikannya. Pemikiranpemikiran beliau tentang budi pekerti selaras dengan pendidikan karakter yang sedang mengedepan dalam pendidikan nasional Indonesia. Maka penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul “Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti”.
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini rumusan masalahnya adalah Bagaimana konsep pendidikan budi pekerti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara ?. Rumusan masalah tersebut akan dijawab dengan sub – sub pertanyaan sebagai berikut:
6
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Ki Hajar Dewantara? 2. Bagaimana perjalanan karir intelektual Ki Hajar Dewantara? 3. Bagaimana peran sosial Ki Hajar Dewantara? 4. Bagaimana pokok-pokok pemikiran Ki Hajar Dewantara? 5. Bagaimana karakteristik pemikiran Ki Hajar dewantara? 6. Bagaimana pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang konsep pendidikan budi pekeri? 7. Bagaimana relevansi konsep pemikiran budi pekerti Ki Hajar dewantara dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan Peneltian Dengan sub-sub pertanyaan dalam rumusan masalah di atas
maka
tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang kehidupan Ki Hajar Dewantara. 2. Untuk mengetahui perjalanan karir intelektual Ki Hajar Dewantara. 3. Untuk mengetahui peran sosial Ki Hajar Dewantara. 4. Untuk mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Ki Hajar Dewantara 5. Untuk mendiskripsikan karakteristik pemikiran Ki Hajar Dewantaraan 6. Untuk mendiskripsikan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang konsep pendidikan budi pekerti 7. Untuk mengetahui relevansi konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam konteks kekinian.
7
D. Kegunaan Penelitian Manfaat hasil penelitian yang penulis harapkan adalah: 1. Teoritis: Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan Indonesia secara umum dan pendidikan islam pada khususnya. 2. Praktis: memberikan Informasi ulang kepada praktisi pendidikan tentang konsep budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara. Untuk dijadikan rujukan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah.
E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal pokok yang mendasari penelitian, antara lain: Jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan analisis data. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada refrensi buku dan sumber-sumber yang relevan. Penelitian literer lebih di fokuskan kepada studi kepustakaan. ( Tatang M. Amirin, 1995: 135) 2. Sumber data Dalam penelitian ini untuk melengkpai sumber data-datanya penulis menggunakan karya ilmiah Ki Hajar Dewantara berupa buku dengan judul “Bagian Pertama : Pendidikan” terbitan tahun 1977 oleh Majelis luhur persatuan taman siswa Yogjakarta. Buku ini merupakan karya pertama Ki Hajar Dewantara Yang dibukukan, di dalamnya memuat beberapa hal meliputi pedoman pendidikan,landasan pendidikan, alat
8
pendidikan, lembaga pendidikan, dan kajian tentang konsep pendidikan budi pekerti. Dalam buku ini fokus utama tentang pendidikan nasionalisme dan budi pekerti. Ki Hajar Dewantara berargumentasi bahwa kondisi sosial bangsa pada masa itu menghadapi penjajah, sehingga nasionalisme perlu ditanamkan kepada anak didik di dunia pendidikan Indonesia. Sebagai bukti konkrit penanaman nilai nasionalisme itu berupa pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah. Adapun konsep budi pekerti dijadikan landasan pendidikan bangsa Indonesia saat itu, karena budi pekerti sebagai tiang penyangga akhlak bangsa Indonesia untuk melawan penjajah. 3. Teknik Pengumpulan Data Pencarian data dicari dengan pendekatan library research yaitu suatu penelitian kepustakaan murni. Dengan demikian pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variable-variabel yang berupa catatan seperi buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 2010: 202). Dimana semua data-data atau variable-variabel tersebut berupa karya Ki Hajar Dewantara atau karya-karya mengenai beliau baik tentang sejarah kehidupanya maupun konsep pemikirannya.
9
4. Teknik analisis data Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Deduktif Metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus. (Sutrisno Hadi, 1981: 42). Metode ini digunakan untuk menjelaskan konsep pendidikan budi pekerti yang merupakan salah satu sistem pendidikan karakter di Indonesia. b. Induktif Metode Induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta
peristiwa
khusus
dan
konkret,
kemudian
ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.(Sutrisno Hadi, 1981: 42). Metode ini digunakan untuk membahas sejumlah data tentang konsep budi pekerti menurut Ki hajar dewantara guna di tarik kesimpulan di dalamnya dan dicari relevansinya dengan dunia pendidikan nasional pada masa kini.
F. Telaah Pustaka Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang penting di Indonesia. Ia adalah tokoh yang mendapat gelar Bapak Pendidikan Indonesia dan menjadi salah seorang yang mendapatkan gelar pahlawan di mata pemerintah.
10
Karena begitu besar pengaruh dan peranannya, maka ada beberapa yang telaj mengkaji mengenai Ki Hajar Dewantara. Baik berupa karya, skripsi, tesis dan buku. Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa penulusuran mengenai pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang konsep pendidikan maupun konpes pendidikan budi pekerti, baik berupa thesis maupun skripsi diantaranya yaitu: 1. Ratna Setyawati (PAI 2003) “Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara ditinjau dari Konsep Pendidikan Islam”. Dengan kesimpulanya bahwa pendidikan yang di gagas oleh Ki Hajar Dewantara mengedepankan nilanilai kemaslahatan umat dan memerangi kebodohan. Karena Ki Hajar Dewantara memunculkan ide konsep pendidikan pada masa penjajahan maka beliau mengedepankan nilai kebangsaan. Sedangkan pendidikan islam selalu berkembang seiring dengan penenmuan-penemuan baru para pakar Islam Yang menyesuaikan perkembangan zaman. 2. Cholifah Rodiyah (2011) “Pendidikan Karakter dalam prespektif pemikiran Ki Hajar Dewantara”. Dengan kesimpulanya disarankan tetap mempertahankan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang baik, sambil menggapai strategi pembelajaran yang lebih baik. Andaikan menemukan kejanggalan atau sesuatu yang kontradiktif dalam pembelajaran Ki Hajar Dewantara, hendaknya dijadikan sebagai pijakan atau tantangan secara ilmiah(sains) bagi intellektual dan para pakar pendidikan untuk membuktikan kebenaran atau positif dan negatif dari konsep Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter. Hasil penelitian ini belum bisa di
11
katakan final secara sempurna, untuk itu di harapkan terdapat penelitian lebih lanjut yang mengkaji ulang hasil penelitian dengan topik yang serumpun. 3. Nur Idlokh (2011) “Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Hadist-Hadist Nabi SAW tentang Pendidikan. Dengan Kesinpulanya meliputi: Pertama Konsep pendidikan keluarga yaitu, keluarga sebagai pusat pendidikan, yang berarti menuntut adanya berbagai pendidikan baik pendidikan individual maupun pendidikan sosial bagi anak dilakukan dalam lingkungan keluarga. Sedangkan lembaga pendidikan lain berfungsi sebagai pelengkap dan pendorong bagi jalannya pendidikan keluarga. Orang tua berperan penting dalam mendidik anakanaknya, karena pertumbuhan budi pekerti anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya masingmasing. Alam keluarga merupakan tempat terbaik untuk melangsungkan pendidikan, karena lingkungan keluarga adalah tempat pendidikan permulaan bagi setiap individu sebab disitulah pertama kalinya pendidikan yang diberikan oleh orangtua, yang kedudukannya sebagai guru (penuntun), pengajar dan sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi
pembentuk
watak
kepribadian
anak.
Dalam
kehidupan
kesehariannya, anak banyak berkumpul dengan keluarga. Segala tingkah laku orang tua terutama orang tuanya akan ditiru oleh anak, sebab anak merupakan peniru yang ulung. Bila obyek peniruannya jelek, orang tua tidak memberikan kasih sayang yang memadai dan tidak memberikan
12
teladan yang baik, serta jauh dari nuansa agama, maka jangan berharap kedua orang tuanya akan menuai buah hasil yang baik. Namun apabila kedua orang tuanya memberikan teladan yang baik, saling menghormati, menyayangi, jalinan yang baik sesama anggota keluarganya, tidak bersifat masa bodoh, selalu memberikan contoh yang bernuansa ajaran islami, maka semua itu akan tercetak (terlukis) pada diri anak dan ia senantiasa akan meniru segala perbuatan yang terekam mulai pagi hari sampai sore hari. Kedua Sumbangan pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan adalah menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah diakui dunia bahwa
kecerdasan,
keteladanan dan
kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka dapat ditegaskan bahwa Ki Hajar Dewantara mengajak masyarakat untuk meningkatkan pendidikan agar nantinya dapat mendapatkan kecerdasan, keteladanan serta merasakan hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, orang tua, tenaga pengajar, para peneliti, dan semua pihak yang membutuhkan.
Adapun buku buku yang telah terbit mengenai beliau diantaranya: 1. Ditulis oleh Banbang Dewantara yang merupakan putera beliau dengan 100 Tahun Ki hajar Dewantara, Buku inimembahas perjalanan hidup beliau, mulai dari kehidupan keluarganya dan perjuangannya melawan penjajah. Dan diterbitkan oleh Pustaka Kartini pada tahun 1989 di Jakarta. 13
2. Ditulis oleh H. A. H Harahap dan B. S Dewantara dengan judul Ki Hajar Dewantara Dkk, diterbitkan oleh PT. Gunung Agung pada tahun 1980 di Jakarta. 3. Ditulis oleh Abdurrachman Surjomihardjo dengan judul Ki Hajar Dewantara Dan Taman siswa Dalam Sejarah Modern, diterbitkan oleh penerbit sinar harapanpada tahun 1986 di Jakarta. Dari beberapa tulisan tersebut diatas, sejauh pengamatan penulis belum ada yang membahas secara murni pemikiran beliau tentang konsep pendidikan budi pekerti. Harapan penulis konsep yang akan disampaikan ini dapat melengkapi informasi yang ada sebelumnya dan menambah wacana khasanah keilmuan.
G. Sistematika Penulisan Agar mendapatkan pengetahuan secara menyeluruh dalam skripsi ini terdapat lima bab untuk membahas Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti, sebagaimana dijelaskan di bawah ini
BAB I: Pendahuluan Dalam pendahuluan ini memuat tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan skripsi.
BAB II: Biografi Ki Hajar Dewantara
14
Sebelum melangkah jauh ke penelitian mengenai konsep pemikiran beliau tentang pendidikan budi pekerti, penulis mengajak terlebih dahulu untuk menganal sosok Ki Hajar Dewantara melalui Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara, Setting-sosial Politik dan pengaruhnya terhadap pemikiran Ki Hajar Dewantara, Karya – Karya Ki Hajar Dewantara.
BAB III: Konsep Pendidikan Budi Pekerti Menurut Ki Hajar Dewantara Untuk memaparkan pemikiran beliau yang merupakan inti dari skripsi ini maka penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai Pengertian dan Dasar Pendidikan Budi Pekerti, Tujuan Pendidikan Budi Pekerti, Dasar Pendidikan Budi Pekerti, Materi Pendidikan Budi Pekerti, Metode Pendidikan Budi Pekerti.
BAB IV: PEMBAHASAN Mengingat konsep beliau ini merupakan pengkajian ulang setelah sekian lama terpendam, maka penulis mencoba merelavansikan dengan dunia pendidikan nasional saat ini dengan memaparkan Signifikansi Pemikiran Ki Hajar Dewantara, Relevansi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Implikasi pemikiran Ki Hajar Dewantara. BAB V: Penutup Merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
15
BAB II RIWAYAT HIDUP KI HAJAR DEWANTARA
Sosok Ki Hajar Dewantara sudah tidak asing lagi di mata penduduk bangsa Indonesia. Beliau adalah tokoh yang mempunyai jiwa pejuang yang tidak kenal kata menyerah, seorang pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya, seseorang yang kritis terhadap dunia pendidikan, yang telah menghasillkan berbagai gagasan yang meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang pejuang, pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia. Orang pertama di Indonesia seorang Ir. Soekarno bahkan sangat menghormati dan memuliakan beliau, seperti yang disampaikan dalam pidatonya bahwa “saya datang di sini sebagai Presiden ataupun sebagai Bung Karno. Dalam kedua – duanya hal itu saya yakin, menjadi penyambung lidah rakyat, dan saya datang disini ialah untuk menyatakan pangabekti kepada Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara” (Bambang S Dewantara, 1989: 11). Ki Hajar Dewantara juga sangat disegani masyarakat luas karena kesederhanaanya, beliau tidak segan bergaul dengan masyarakat awam di luar termasuk dengan hamba sahaya nya meski beliau adalah seorang keturunan berdarah biru. Untuk mengetahui keseluruhan tentang Ki Hajar Dewantara maka penulis mengajak pembacaa untuk membahas bersama mengenai beliau diantaranya yaitu:
16
A. Biografi Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara Lahir pada 2 Mei 1889 (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330). Beliau adalah putera ke lima pangeran Soeryaningrat putera dari Sri Paku alam III. Pada waktu dilahirkan diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Darsiti Soeratman, 1983/1984: 8-9). Alasan utama pergantian nama itu adalah keinginan Ki Hadjar Dewantara untuk lebih merakyat atau mendekati rakyat. Dengan pergantian nama tersebut, akhirnya dapat dengan leluasa bergaul dengan rakyat. Sehingga dengan demikian perjuangannya menjadi lebih mudah diterima oleh rakyat pada masa itu. Menurut silsilah susunan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara masih mempunyai alur keturunan dengan Sunan Kalijaga (Darsiti Soeratman, 1983/1984: 171). Jadi Ki Hadjar Dewantara adalah keturunan bangsawan dan juga keturunan ulama, karena merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga. Sebagaimana seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio kultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara dilingkungan keluarga sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilai-nilai kultural sesuai dengan lingkungannya. Pendidikan keluarga yang tersalur melalui pendidikan kesenian, adat sopan santun, dan pendidikan agama turut mengukir jiwa kepribadiannya.
17
Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta (H. A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, 1980: 12) Jadi Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara adalah samasama cucu dari Paku Alam III atau satu garis keturunan. Sebagai tokoh Nasional yang disegani dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan, Ki Hadjar Dewantara sangat kreatif, dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen dan berani. Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya hingga akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang mendalam, disertai rasa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam mengantar bangsanya ke alam merdeka (Ki Hariadi, 1989: 39) Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dan pada tanggal 16 Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor: 316 tahun 1959 (Ki Hajar Dewantara, 1977 : XIII). Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya Mujamuju Yogyakarta. Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki
18
Hajar Dewantara dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, kemudian diserahkan kepada Majlis Luhur Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, jenazah diberangkatkan ke makam Wijaya Brata Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki Hajar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto. Dalam lingkungan budaya dan religius yang kondusif demikianlah Ki Hadjar Dewantara dibesarkan dan dididik menjadi seorang muslim khas jawa yang lebih menekankan aspek hakikat daripada syari’at. Dalam hal ini Pangeran Ki Hariyadi, Ki Hajar Dewantara sebagai Pendidik, Budayawan, Pemimpin Rakyat, dalam Buku Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya, Soeryaningrat pernah mendapat pesan dari ayahnya: “syari’at tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syari’at batal” (Darsiti soeratman, 1981/1982 : 16). Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku Alam tersebut. Ki Hadjar Dewantara juga mendapat pendidikan formal di luar antara lain: 1. ELS (Europeesche Legere School). Sekolah Dasar Belanda III. 2. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta. 3. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hadjar Dewantara sakit (Gunawan, 1992: 302-303). 4. Europeesche Akte, Belanda 1914.
19
Selain itu Ki Hajar Dewantara memiliki karir dalam dunia jurnalistik, politik dan juga sebagai pendidik sebagai berikut, diantaranya: a. Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara (Bambang Sokawati Dewantara, 1981 : 48). b. Pendiri National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 Bambang Sokawati Dewantara, 1981 : 66). c. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. d. Boedi Oetomo 1908 e. Syarekat Islam cabang Bandung 1912 f. Pendiri
Indische
Partij (partai politik pertama
yang beraliran
nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912 Penghargaan penghargaan yang pernah diraih oleh beliau diantaranya adalah: a. Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional Pahlawan Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959) b. Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957
20
B. Peran Sosial Ki hajar Dewantara Mengangkat pemikiran seorang tokoh besar seperti Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soeryaningrat) tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan politik masa hidupnya yang melingkari pertumbuhan ataupun mobilitas pemikirannya, boleh jadi akan memberikan citra kurang baik, sebab pada dasarnya ia merupakan produk sejarah masanya. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara terlahir dari keluarga kerajaan Paku Alaman merupakan keturunan bangsawan, lahir di Yogyakarta pada hari kamis legi tanggal 2 Puasa 1818 atau 2 Mei 1889 dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat , putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III. Ki Hajar Dewantara merupakan keturunan dari Paku Alam III. Beliau mendapat pendidikan agama dari ayahnya yang tunanetra itu dengan berpegang pada ajaran yang berbunyi “syariat tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syariat adalah batal.” (Darsini Soeratman, 1985 : 16) Beliau juga mendapat pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari cerita wayang dan juga satra jawa gending. Di lingkungan keluarga sendiri, Ki Hajar Dewantara banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya seorang keturunan dari peku alam III, namun
21
demikian, ia seorang yang sangat dekat dengan rakyat, karena pada masa kecilnya ia suka bergaul dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung, sekitar puri tempat tinggalnya. Ia menolak adat foedal yang berkembang di lingkungan kerajaan. Hal ini dirasakan olehnya bahwa adat yang demikian menganggu kebebasan pergaulannya (Darsini Soeratman, 1985 : 19-20) Ia juga cinta terhadap ilmu pengetahuan dan agama. Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda. Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi ia kurang senang karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama karena hanya seorang anak dari rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik sampai dengan pendidikan. Ia juga menentang
kolonialisme
dan
foedalisme
yang
menurutnya
sangat
bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata (Darsini Soeratman, 1985: 19-20). a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pejuang Bangsa Kurang berhasilannya beliau dalam menempuh pendidikan tidaklah menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Akhirnya perhatiannya dalam
bidang
jurnalistik
inilah
yang
menyebabkan
Soewardi
22
Soeryaningrat diberhentikan oleh Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung untuk membantu Douwes Dekker dalam mengelola harian De Expres. Melalui
De Expres inilah Soewardi Soeryaningrat mengasah
ketajaman penanya mengalirkan pemikirannya yang progesif dan mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Soewardi Soeryaningrat dan puncaknya adalah Sirkuler yang mengemparkan pemerintah Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was”! Andaikan aku seorang Belanda ! tulisan ini pula yang mengantar Soewardi Soeryaningrat ke pintu penjara pemerintah Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangun Kusumo dan Douwes Dekker di asingkan ke negeri Belanda (Gunawan, 1992 :303). Tulisan tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya secara paksa kepada rakyat Indonesia. Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi marah. Kemudian Belanda memanggil panitia De Expres untuk diperiksa. Dalam suasana seperti itu, Cipto Mangun Kusumo menulis dalam harian De Expres 26 Juli 1913. Untuk menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan atau ketakutan). Selanjutnya Soewardi Soeryaningrat kembali menulis dalam harian De Expres tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul “Een Voor Allen, Maar Ook Allen Voor Een.” (Satu buat semua, tetapi juga semua buat satu)” (Moch. Tauhid, 1963 : 21).
23
Pada tanggal 30 juli 1913 Soewardi Soeryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel yang tepisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya terhadap kedua temannya melalui harian De Expres, 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Heiden: Tjipto Mangoenkoesoemo En R.M.
Soewardi
Soeryaningrat”
(Dia
pahlawan
kita:
Tjipto
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soeryaningrat) (Gunawan, 1992 : 299). Untuk menguji keberanian dan kepahlawanan mereka berdua. Atas putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 Nomor: 2, a, ketiga orang tersebut diinternir. Ki Hajar Dewantara ke Bangka, Cipto Mangunkusuma ke Banda, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Namun ketiganya menolak dan mengajukan dieksternir ke Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menuju pengasingan Ki Hajar Dewantara menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan judul: “Vrijheidsherdenking end Vrijheidsberoowing.”
(Peringatan
kemerdekaan
perampasan
kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow” tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala Moch. Tauhid, 1963 : 22). Di Belanda Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusuma, Douwes Dekker langsung aktif dalam kegiatan politik. Di Denhaag Ki Hadjar
24
Dewantara mendirikan “Indonesische Persbureau” (IPB), yang merupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan nasional Indonesia. Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara tetap aktif dalam berjuang. Oleh partainya Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) di Semarang. Ki Hajar Dewantara juga menjadi redaktur “De Beweging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan “Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga memegang pimpinan harian De Expres yang diterbitkan kembali. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hajar Dewantara dua kali masuk penjara Moch. Tauhid, 1963 : 27-28). Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Melalui bidang pendidikan inilah Ki Hajar Dewantara berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Namun pihak kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah “Onderwijs Ordonantie 1932” (Ordinansi Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur Jendral tanggal 17 September 1932. pada tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di Tosari Jawa Timur untuk merundingkan Ordinansi tersebut.
25
Hampir seluruh Mass Media Indonesia ikut menentang ordonansi tersebut. Antara lain: Harian Perwata Deli, Harian Suara Surabaya, Harian Suara Umum dan berbagai Organisasi Politik (PBI, Pengurus Besar Muhamadiyyah, Perserikatan Ulama,
Perserikatan Himpunan Istri
Indonesia, PI, PSII dan sebagainya. Dengan adanya aksi tersebut, maka Gubernur Jendral pada tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordonansi baru yaitu membatalkan “OO” 32 dan berlaku mulai tanggal 21 Februari 1933 (Sugiyono, 1989 :113-114). Menjelang kemerdekaan RI, yakni pada pendudukan Jepang (19421945) Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangakai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Pada hari minggu pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Disamping itu juga mengangkat Menteri-Menterinya. Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Bambang S Dewantara, 1989 : 111). Pada tahun 1946 Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan
Pendidikan
dan
Pengajaran
RI,
ketua
pembantu
pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di
26
Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan menjadi anggota Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat (Bambang S Dewantara, 1989 : 119). Pada tahun 1948, Ki Hajar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu
Beliau
bersama
partai-partai
mencetuskan
pernyataan
untuk
menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun ikrar pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana peringatan Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda Desember 1949 Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah menjadi DPR RI. Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Taman Siswa sampai akhir hayatnya. b. Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban
menghadiri
sekolah”,
kata
Illich.
Demikian
pula
halnya
dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
27
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah
sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader
yang berpikir,
berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan (http//:edukasi kompasiana.com).
Kepeloporan Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada budaya bangsanya diakui oleh bangsa Indonesia. Perannya dalam mendobrak tatanan pendidikan kolonial yang mendasarkan pada budaya asing untuk diganti dengan sistem pendidikan nasional menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan kolonial yang ada dan berdasarkan pada budaya barat, jelas-jelas tidak sesuai dengan kodrat alam bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara memberikan alternatif lain yaitu kembali ke jalan Nasional Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berdasarkan pada budaya bangsanya sendiri. Sistem pendidikan kolonial yang menggunakan cara paksaan dan ancaman hukuman harus diganti dengan jalan kemerdekaan yang seluas-luasnya kepada anak didik dengan tetap memperhatikan tertib damainya hidup bersama (Ki Hariadi, 1989 : 42). Reorientasi perjuangan Ki Hajar Dewantara dari dunia politik ke dunia pendidikan mulai disadari sejak berada dalam pengasingan di negeri
28
Belanda. Ki Hajar Dewantara mulai tertarik pada masalah pendidikan, terutama terhadap aliran yang dikembangkan oleh Maria Montessori dan Robindranat Tagore. Kedua tokoh tersebut merupakan pembongkar dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia baru. Selain itu juga tertarik pada ahli pendidikan yang bernama Freidrich Frobel. Frobel adalah seorang pendidik dari Jerman. Ia mendirikan perguruan untuk anak-anak yang bernama Kindergarten (Taman Kanak-kanak). Oleh Frobel diajarkan menyanyi, bermain, dan melaksanakan pekerjaan anak-anak. Bagi Frobel anak yang sehat badan dan jiwanya selalu bergerak. Maka ia menyediakan alat-alat dengan maksud untuk menarik anak-anak kecil bermain dan berfantasi. Berfantasi mengandung arti mendidik angan anak atau mempelajari anak-anak berfikir (Darsini Soeratman, 1985 : 69). Ki Hajar Dewantara juga menaruh perhatian pada metode Montessori. Ia adalah sarjana wanita dari Italia, yang mendirikan taman kanak-kanak dengan nama “Case De Bambini”. Dalam pendidikannya ia mementingkan hidup jasmani anak-anak dan mengarahkannya pada kecerdasan budi. Dasar utama dari pendidikan menurut dia adalah adanya kebebasan dan spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan hidup yang seluas-luasnya. Ini berarti bahwa anakanak itu sebenarnya dapat mendidik dirinya sendiri menurut lingkungan masingmasing. Kewajiban pendidik hanya mengarahkan saja. Lain pula dengan pendapat Tagore, seorang ahli ilmu jiwa dari India. Pendidikan menurut Tagore adalah semata-mata hanya merupakan alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan
29
dalam arti yang sedalam dalamnya, yaitu menyangkut keagamaan. Kita harus bebas dan merdeka. Bebas dari ikatan apapun kecuali terikat pada alam serta zaman, dan merdeka untuk mewujudkan suatu ciptaan. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Cita-cita perguruan tersebut adalah “Saka” “saka” adalah singkatan dari “Paguyuban Selasa Kliwonan” di Yogyakarta, dibawah pimpinan Ki Ageng Sutatmo Suryokusumo. Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta(Darsiti Soeratman, 1985: 84-85). Yakni: mengayu-ayu sarira (membahagiakan diri), mengayu-ayu
bangsa
(membahagiakan bangsa) dan mengayu-ayu
manungsa (membahagiakan manusia). Untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicitacitakan tersebut. Ki Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “Tutwuri Handayani”. (“Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut kemampuannya. “Tutwuri Handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang,
memberi
kebebasan
dan
keleluasaan
bergerak
yang
30
dipimpinnya. Tetapi ia adalah “handayani”, mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan wibawanya (www.tamansiswa.org). Metode Among merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan (Djumhur dan Danasuparta, 1976 : 174). Metode among menempatkan anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek sekaligus dalam proses pendidikan. Metode among mengandung pengertian bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani (www.tamansiswa.org). . c. Ki Hajar Dewantara sebagai Budayawan Teori pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta nilainilai yang
terkandung dan digali dari masyarakat dilingkungannya.
Sebagaimana disampaikan oleh DJumhur dan Danasuparta bahwa “Trikon” nya Ki Hadjar Dewantara adalah: “Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya” (Djumhur dan Danasuparta, 1976 : 174-174) 31
Selektif adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut harus memilih yang baik dalam rangka usaha memperkaya kebudayaan sendiri, kemudian disesuikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan pancasila sebagai tolak ukurnya. Semua nilai budaya asing perlu diamati secara selektif. Manakala ada unsur kebudayaan yang bisa memperindah, memperhalus, dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak. Nilai kebudayaan yang sudah kita terima kemudian perlu disesuaikan dengan kondisi dan psikologi rakyat kita, agar masuknya unsur kebudayaan asing tersebut dapat menjadi penyambung bagi kebudayaan nasional kita. Demikian luas dan intensnya Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan dan mengembangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itu, M Sarjito Rektor Universitas Gajah Mada menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa (DR-Hc) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hadjar Dewantara pada saat Dies Natalis yang ketujuh tanggal 19 Desember 1956 (Bambang Sokawati Dewantara, 1989 : 76). Pengukuhan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Soekarno. d. Ki Hajar Dewantara sebagai pemimpin Rakyat Sebagai seorang pemimpin, Ki Hadjar Dewantara tidak diragukan lagi. Dalam memimpin rakyat, Ki Hadjar Dewantara menggunakan teori kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang telah berkembang dalam masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah Ing 32
Ngharsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani: Di depan seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak buahnya, ditengah (dalam masyarakatnya) seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat dan tekad anak buah. Dan dibelakang harus mampu memberikan dorongan dan semangat anak buah. Ki Hadjar Dewantara adalah seorang demokrat yang sejati, tidak senang pada kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin yang mengandalkan pada kekuasannya tanpa dilandasi oleh rasa cinta kasih. Dalam hal ini, kita merasakan betapa demokratis dan manusiawinya Ki Hadjar Dewantara memperlakukan orang lain. Ki Hadjar Dewantara selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dengan sikap yang arif beliau menerima segala kekurangan dan kelebihan orang lain, untuk saling mengisi, memberi dan menerima demi sebuah keharmonisan dari lembaga yang dipimpinnya.
C. Karya – Karya Ki Hajar Dewantara Diantara karya-karya Ki Hajar Dewantara yaitu: 1. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian pertama: tentang Pendidikan Buku ini khusus membicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam bidang pendidikan di antaranya tentang hal ihwal Pendidikan Nasional. Tri Pusat Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan Etika, Pendidikan dan Kesusilaan.
33
2. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian kedua: tentang Kebudayaan Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan kesenian di antaranya: Asosiasi Antara Barat dan Timur, Pembangunan Kebudayaan Nasional, Perkembangan Kebudayaan di Jaman Merdeka, Kebudayaan nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan lainlain. 3. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan. Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, dan tulisan-tulisan mengenai wanita, pemuda dan perjuangannya. 4. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis: Ki Hadjar Dewantara Dalam buku ini melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidup perintis dan pahlawan kemerdekaan Ki Hadjar Dewantara. 5. Tahun 1912 mendirikan Surat Kabar Harian “De Ekspres” (Bandung), Harian
Sedya Tama
KaumMuda
(Bandung),
(Yogyakarta)
Midden Java (Yogyakarta),
Utusan Hindia
(Surabaya),
Cahya Timur
(Malang) ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 330). 6. Monumen Nasional “Taman Siswa” yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 331). 7. Pada tahun 1913 mendirikan Komite Bumi Putra bersama Cipto Mangunkusumo,
untuk memprotes
rencana
perayaan
100
tahun
34
kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 secara besar-besaran di Indonesia (Bambang S. Dewantara, 1989 : 116). 8. Mendirikan IP (Indice Partij)tanggal 16 September 1912 bersama Dauwes Dekker dan Cjipto Mangunkusumo ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 330). 9. Tahun 1918 mendirikan Kantor Berita Indonesische Persbureau di Nederland. 10. Tahun 1944 diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok Yoku Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan) (Bambang S. Dewantara, 1989 : 76). 11. Pada tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai
perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia. 12. Pada tanggal 19 Desember 1956 mendapat gelar kehormatan Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Negeri Gajah Mada. 13. Pada tanggal 17 Agustus dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha putera tinggat I 14. Pada tanggal 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya Lantjana Kemerdekaan (Irna HN dan Hadi Soewito, 1985 : 132).
35
BAB III PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan budi pekerti sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan yang tidak hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani tanpa diimbangi dengan budi pekerti dapat berdampak buruk terhadap perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang sombong dan durjana. Secara mendalam Ki Hajar Dewantara tidak sepakat dengan sistem pendidikan yang diwariskan oleh kolonial belanda, orientasi pada pendidikan warisan tersebut hanya pada segi kognitf (penalaran) tanpa melihat dari segi yang lain, yaitu pendidikan budi pekerti (akhlak) sehingga produk yang di hasilkan oleh sistem pendidikan tersebut adalah lahirnya manusia yang sombong, tidak mempunyai perangai yang baik dan pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan budi pekerti. Dengan pendidikan budi pekerti, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi masyarakat luas. Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan akan tetapi bagaimana peserta didik memilki budi pekerti yang mulia merupakan tujuan utama dalam pendidikan.Sehingga peserta didik yang nantinya menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan kecerdasanya untuk menipu orang lain. Untuk menumbuhkan
36
perasaan dan kehalusan budi pekerti, Ki Hajar Dewantara mempunyai konsep tentang pendidikan budi pekerti yang kemudian di kembangkan dalam Perguruan Taman Siswa. Konsep tersebut adalah sebagai berikut: A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti Peranan pendidikan bagi manusia sangatlah penting karena manusia telah menyadari tentang arti sebuah kehidupan sehingga pendidikan menjadi perhatian tersendiri dalam rangka mencari eksistensi dirinya. Sebelum masuk pada pembahasan definisi dari pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara, penulis akan membahas tentang definisi pendidikan secara umum menurut Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara mengemukan beberapa definisi tentang pendidikan. Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah: “Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 20).
Lebih jelas lagi Ki Hajar dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah: ”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dank arakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”( Ki Hajar Dewantara, 1977 : 14-15).
Definisi pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai suatu yang proses yang dinamis dan berkesinambungan. Disini tersirat pula 37
wawasan kemajuan, karena sebagai proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Keseimbangan unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses penulasan atau transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowladge) saja. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda) penuh dengan semangat keduniawian (materialism), penalaran (intellektualism) serta individualism (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 139). Jadi secara simultan menurut beliau pendidikan juga merupakan proses penularan nilai dan norma serta penularan keahlian dan ketrampilan. Pendapat Ki Hajar Dewantara di atas dapat diambil kesimpulan sementara yaitu pendidikan merupakan usaha secara sadar dalam rangka menumbuh kembangkan segala potensi yang terdapat pada peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Langeveld seperti yang dikutip Zahara Idris dalam bukunya, bahwa pendidikan merupakan proses mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing merupakan usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja (Zahara Idris dan Lisma Jamal, 1992 : 3). Selain dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional,
Ki Hajar
Dewantara juga mengembangkan pendidikan budi pekerti yang merupakan salah satu pendukung utama dalam melaksanakan tujuan pendidikan nasional. Menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti berarti pikiran, perasaan,
38
kemauan. Sedangkan pekerti berarti tenaga. Budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan sampai terjelma sebagai tenaga. Jadi yang dimaksud budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara adalah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang akhirnya menimbulkan tenaga (Ki Hajar Dewantara, 1977 :25). Ki Hajar Dewantara meringkaskan tentang pengertian pendidikan budi pekerti adalah Segala usaha dari orang tua terhadap anak-anak dengan maksud
menyokong
kemajuan
hidupnya,
dalam
arti
memperbaiki
bertumbuhnya segala kekuatan rohani dan jasmani yang ada pada anak-anak karena kodrat irodatnya sendiri.
B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pengukuran dari proses pendidikan tersebut adalah bagaimana tujuan pendidikan itu tercapai. Tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam diri pribadi manusia. Terbentuknya nilai-nilai tersebnut dapat diaplikasikan dalam perencanaan kurikulum pendidikan sebagai landasan dasar operasional pelaksanaan itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut: “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” (Ki Hajar Dewantara, 1977 :20). 39
Jika dilihat dari tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara di atas dapat diketahui bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan
manusia
yang
mempunyai
fungsi
untuk
membantu
perkembangan manusia untuk mencapai manusia yang seutuhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Zahara Idris, bahwa tujuan pendidikan adalah memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya. Dalam arti, supaya dapat mengembangkan potensi fisik, emosi, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan semaksimal mungkin agar menjadi manusia dewasa. Sejalan
dengan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara, Undang-
undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dijelaskan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin dari sifat kodrati menuju keperadapan sifatnya yang lebih umum (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 485). C. Dasar Pendidikan Budi Pekerti Semakin merosotnya akhlak warga negara telah menjadi salah satu keprihatinan kita semua, kemerosotan akhlak (budi pekerti) itu agaknya
40
terjadi pada semua lapisan masyarakat. Sebagai akibatnya banyak keluarga yang kehilangaan kebahagiaan dan ketentraman, bahkan banyak para pejabat yang tak berakhlak dan berhati nurani. Untuk itu dalam Islam dianjurkan bahwa sebuah keluaraga itu haruslah dijaga dengan sebaik-baiknya Karen anak adalah titipan dari Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat AtTahrim ayat 6: Ôâ Ÿx Ïî îps3 Í´¯»n=tB $pköŽn=tæ äou‘$yf Ïtø:$#ur ⨠$¨Z9$#$yd ߊqè%ur #Y‘$tR ö/ä3 ‹Î=÷d r&ur ö/ä3 |¡ àÿRr&(#þqè% (#qãZtB#uä tûïÏ% ©!$#$pkš‰r'¯»tƒ ÇÏÈ tb râsD÷sム$tB tb qè=yèøÿtƒur öN èd ttBr&!$tB ©! $# tb qÝÁ ÷ètƒ žw ׊#y‰ Ï© Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamum dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka Dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Dalam menjalankan pendidikannya Ki Hajar Dewantara menggunakan azas atau dasar yang dicetuskan beliau pada juli 1922 sebagai berikut : ”1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengikuti tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum (maatschappelijk saamhoorigheid), itulah azas kita yang pertama. Tertib dan damai (tata lan tentrem, orde en vrede) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak adalah ”ketertiban” terdapat, kalau tak bersandar pada ”perdamaian”. Sebaliknja tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groi) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluasnya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat” paksaan-hukuman-ketertiban” (”regering-tucht en orde”, ini perkataan dalam ilmu pendidikan) kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak. yang kita pakai sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sedikit. Inilah kita namakan”Among methode”; 2. dalam systeem ini maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus djuga mendidik si murid akan dapat mecjari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama; 3. tentang 41
zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada didalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan harus untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah acapkali kita merusak sendiri kedamaian hidup kita; 4. oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil dari pada rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakjat yang terbesar dapat pengajaran secukupnja. Kekuatan bangsa dan negeri itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum dari pada mempertinggi pengajaran kalau usaha mempertinggi ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran; 5. untuk dapat berusaha menurut azas dengan bebas dan laluasa, maka kita harus bekedja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tak mau terikat atau terperintah pada kekuasan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri; 6. oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segala belanja dari usaha kita itu di pikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Inilah yang kita namakan ”zalfbedruipingsysteem”, yang jadi alatnya semua perusahaan yang hendak hidup tetap dengan berdiri sendiri; dan 7. dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, berniatlah kita berdekatan dengan sang anak. Kita tidak meminta hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada sang anak.” (Ki Hajar Dewantara, 1977: 48-49). Apa yang telah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara tentang azas pendidikannya pada tahun 1947 diadakan perbaikan yang tidak jauh berbeda dari rumusan awal. Seperti yang disampaikan oleh Djumhur dan Danusuparta Azas tersebut yang meliputi : a. Kodrat Alam Dasar pendidikan budi pekerti yang pertama yaitu azaz kodrat alam yaitu azaz yang dimanfaatkan untuk dapt mengembangkan segenap bakat, potensi dan kemungkinan kodrati.
Menurut
yang terdapat dalam diri manusia secara
azas kodrat alam manusia itu terlahir sama dan
merdeka.
42
Jadi Ki Hadjar Dewantara selalu menganggap bahwa semua orang itu sama dan merdeka. Ki Hajar Dewantara tidak setuju dan menentang sikap rasis dan foedalisme walaupun beliau adalah keturunan bangsawan. Sesuai dengan kodrat alam semua orang dilahirkan sama. Tidak ada yang tinngi dan tidak ada yang lebih rendah. Menurut Ki Hadjar Dewantara harga atau nilai seseorang bukan karena bangsawan, bukan pula karena ia seorang yang kaya raya, nilai atau harga sesorang ditentukan oleh jasa dan perbuatannya terhadap masyarakat.
Mulia tidaknya sesorang tergantung pada perbuatannya.
Islam mempunyai konsep kodrat alam dapat diartikan dengan fitrah.. Pemaknaan fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, dan budi nurani. Sebagaimana disampaikan dalam surat Al Rum ayat 30: šÏ9ºsŒ 4«! $# È, ù=yÜ Ï9 Ÿ@ ƒÏ‰ ö7s? Ÿw 4$pköŽn=tæ }¨ $¨Z9$# tsÜ sù ÓÉL©9$# «! $# |N tôÜ Ïù 4$Zÿ‹ÏZym ÈûïÏe$ #Ï9 y7 ygô_ ur óO Ï%r'sù ÇÌÉÈ tb qßJ n=ôètƒ Ÿw Ĩ $¨Z9$#uŽsYò2 r& Æ
Å3 »s9ur ÞO ÍhŠs)ø9$#Úú
ïÏe$!$#
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. Sebagaimana diketahui bahwa secara eksplisit Ki Hajar Dewantara adalah alur keturunan bangsawan dan ulama. Ki Hajar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosiokultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Dia dididik dan dibesarkan menjadi seorang muslim yang lebih menekankan aspek hakekat dari pada syari’at. Dengan azasnya kodrat alam, penulis dapat memahami bahwa sesungguhnya Ki Hadjar Dewantara juga mengakui adanya kekuasaan Tuhan karena yang dimaksud kodrat alam adalah kekuasaan Tuhan. 43
Meskipun beliau seorang yang agamis, tetapi beliau lebih suka menggunakan bahasa-bahasa budaya untuk mencurahkan pemikiranpemikirannya dari pada bahasa-bahasa Islami. Tetapi semua itu tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. b. Azas Kemerdekaan Kemerdekaan merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap makhluknya, termasuk juga manusia, setiap manusia mempunyai hak unruk
merdeka dan bebas mengatur
dirinya. Dalam mencapai kebahagiaan hidupnya, setiap orang mempunyai kebebasan untuk berpikir dan berbuat. Semua orang berhak hidup bahagia. Akan tetapi kebebasan di sini bukan berarti kebebasan berbuat semaunya. Sunguhpun setiap orang bebas berpikir dan berbuat, namun ia harus memperhatikan ketertiban masyarakat. Kebebasan seseorang jangan sampai mengganggu dan merusak ketertiban masyarakat. Ki Hajar
Dewantara menjunjung tinggi kemerdekaan. beliau
menolak penjajahan. Dari ketidaksetujuanya mengenai hal itu bahkan beliau menolak bantuan subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah HindiaBelanda kepada Taman Siswa. Dapat dikatakan azas kemerdekaan dapat dimaknai dengan independensi dari seseorang atau organisasi. Tidak adanya keterikatan dengan apapun yang dapat mengurangi rasa kemerdekaan yang ada pada tiap-tiap individu maupun masyarakat, akan tetapi dalam kebebesan ada nilai-nilai yang mengatur.
44
Didalam prinsip sistem among yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada
dalam kekuasaan golongan apapun. Kemerdekaan ini
diinternalisasi dengan sedemikian rupa dalam kehidupan praksis anak didik sehingga mereka merasa sudah berada dalam kehidupannya, bukan kehidupan yang lain yang diupayakan masuk dalam kehidupannya (Moh Yamin, 2009 :174). Hal tersebut merupakan Cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara lewat Taman Siswanya yaitu denagan cara membina manusia yang merdeka lahir dan batin. Ki Hajar Dewantara, mendidik orang agar berpikir merdeka dan bertenaga merdeka. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara manusia merdeka ialah manusia yang tidak terikat lahir dan batinnya, orang yang merdeka ialah orang yang tidak tergantung pada orang lain (mandiri). Kemerdekaan manusia dibatasi oleh potensi yang ada pada dirinya. Kemerdekaan manusia ada 3 macam: berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung kepada orang lain (anafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (zelfsbeschikking) (Ki Hajar Dewantara, 1977 :4). Dari uraiaan di atas dapat dipemahami bahwa kemerdekaan yang sejati tidak hanya dalam arti kebebasan, akan tetapi keharusan memelihara tertib damainya diri dan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama, berdasarkan harmonisasi kehidupan secara individuil dan masyarakat.
45
c. Azas Kebudayaan Azas kebudayaan merupakan landasan yang memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan budi pekerti. Azas ini digunakan untuk membimbing anak agar tetap mennghargai serta mengembangkan kebudayaan sendiri. Hal ini bertujuan untuk menjaga keaslihan budaya lokal, sehingga Ki Hadjar
Dewantara
mempunyai
konsentrasi
tersendiri
dalam
mengembangkan pendidikan nasional yang berlandaskan atas kebudayaan murni
indonesia.
Azas
kebudayaan.
Perlunya
memlihara,
mengembangakan dan melestarikan nilai-nilai dan bentuk kebudayaan nasional. Menurut Ki Hajar Dewantara kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri. Namun Ki Hadjar Dewantara selalu bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan dari luar yang dapat mengembangkan khazanah kebudayaan Indonesia. Menurut Ki Hajar Dewantara kebudayan Indonesia merupakan segala puncak dari sari kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Puncak-puncak kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan usur-unsur budaya lokal yang dapat memperkuat solidaritas nasional (H. A.R Tilaar, 2007: 90). Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara Kebudayaan nasional Indonesia didukung oleh kebudayan-kebudayaan daerah yang tinggi mutunya, baik yang lama maupun yang ciptaan baru. Kebudayaan nasional Indonesia bersumber pada kebudayaan kita sendiri. Kebudayaan Indonseia harus bersambungan (kontuinitas) dengan kebudayaan lama. Kebudayaan
46
nasional Indonesia harus mengumpul menuju ke arah kebudayaan universal ((konvergensi) degan memiliki kepribadian nasional sendiri (konsentrisitas). Tujuan semua ini adalah untuk mengenal budaya dan jati diri tanpa harus meniru dan menjiplak budaya asing yang dapat merusak kebudayaan sendiri. d. Azas Kebangsaan Azas kebangsaan menurut Ki Hajar Dewatara harus pula menghargai kebangsaan orang lain. Azas kebangsaan yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara kebangsaan yang menghargai dan menghormati kebangsaan oranglain. Hal ini sesuai dengan dalam al-Qur’an Qs. alHujurat :13 : ¨b Î) 4(#þqèùu‘$yètGÏ9 Ÿ@ ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öN ä3 »oYù=yèy_ ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ ` ÏiB /ä3 »oYø)n=yz $¯RÎ) ⨠$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÊÌÈ ×ŽÎ7yz îLìÎ=tã ©! $#¨b Î)4öN ä3 9s) ø?r&«! $# y‰ YÏã ö/ä3 tBtò2 r& Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Ayat diatas dijadikan dasar pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, dengan maksud bahwa pendidikan budi pekerti dapat di berikan dengan cara memberikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat bagaimana sikap seorang mukmin dengan orang mukmin lainnya dan sikap dengan orang selain Islam. Sehingga harapan beliau dapat tercapai yaitu terciptanya
47
masyarakat yang mempunyai jiwa toleransi yang tinggi, dan memiliki keagungan akhlak. Azas kebangsaan ini, tidak berarti bahwa bangsa Indonesia harus mengasingkan diri dari pergaulan internasional (dengan bangsa-bangsa lain). Ki Hajar Dewantara menganjurkan jika hendak maju bangsa Indonesia tidak boleh mengucilkan diri, bahkan harus bergaul dan menjalin hubungan dengan bangsa lain dan tidak boleh membenci bangsabangsa yang lain (Sagimun MD, 1983 : 37). Azas kebangsaan ini tidak boleh bertentangan dengan azas kemanusiaan.Azas kebangsaan dan azas kemerdekaan yang dianut oleh Ki Hajar Dewantara memberi nyala api perjuangan rakyat Indonesia. Azas kebangsaan memberi kepercayan pada diri sendiri untuk secara sadar memiliki jiwa kebangsaanya. e. Azas kemanusiaan Azas kemanusiaan dapat dilihat pada adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap sesama makhluk Tuhan. Azas ini menimbulkan rasa cinta kasih dan menghindarkan orang untuk berbuat kejam terhadap sesamanya dan sesama makhluk Tuhan. Manusia adalah makhluk sempurna yang diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baiknya, sebagaiman firman-Nya dalam surat Al Tin ayat 4:
ÇÍÈ 5O ƒÈqø)s? Ç` |¡ ôm r&þ’Îûz` »|¡ SM} $#$uZø) n=y{ ô‰ s)s9 Artinya: Sesungguhnya kami Telah bentuk yang sebaik-baiknya.
menciptakan manusia dalam
48
Azas kemanusiaan yang dimaksudkan disini bahwa darma tiaptiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang harus terlihat pada kesucian hatinya dan adanya cinta kasih sesame manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya. D. Materi Pendidikan Budi Pekerti Materi pendidikan merupakan perencanaan yang dihubungkan dengan kegiatan pendidikan ( belajar mengajar ) untuk mencapai sejumlah tujuan (M. Ahmad Dkk, 1998: 10). Oleh karena itu materi pendidikan budi pekerti harus mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan sehingga materi pendidikan budi pekerti tidak boleh berdiri sendiri dan terlepas dari kontrol tujuannya. Di samping itu materi pendidikan budi pekerti harus terorganisir secara rapi dan sistematis, sehingga dapat memudahkan tujuan yang dicitacitakan. Dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang guru harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Sehingga Ki Hajar membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan budi pekerti, adapun materi pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Taman Indria dan taman anak (5-8tahun) Pada tingkatan ini materi atau isi pendidikan budi pekerti berupa pengajaran pembiasaan yang bersifat global dan spontan atau occasional 49
(Ki Hajar Dewantara, 1977: 487). Artinya materi yang disampaikan bukan teori yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan melaikan. Bagaiamana peserta didik dapat mengetahui kebaiakan dan keburukan melalui tingkahlaku dari peserta didik itu sendiri. materi pengajaran budi pekerti bagi anak yang masih di sekolah ini berupa, latihan mengarah pada kebaikan yang memenuhi syarat bebas yaitu sesuai kodrat hidup anak. Materi ini dapat dilaksanakan melaui peran pendidik dalam membimbing, membina dan mengoreksi tingkah-laku dari masing-masing peserta didiknya. Sebagai contoh dalam pengajaran budi pekerti tersebut, yaitu berupa anjuran atau perintah antara lain: ayo, duduk yang baik, jangan ramai-ramai, dengarkan suaraku, bersihkan tempatku, jangan mengganggu temanmu, dan sebagainya, yang terpenting dalam penyampaiannya harus diberikan secara tiba-tiba pada saat-saat yang diperlukan (Ki Hajar Dewantara, 1977: 487-488). Untuk menetapkan daripada pengajaran budi-pekerti bagi anak-anak kecil cukuplah apabila sip among memilih hal-hal yang memenuhi syarat-syarat: bebas (sesuai dengan kodratnya hidup kanak-kanak) namun tidak menyalahi adat tertib-damai, demi kepentingan diri sendiri atau anak-anak lain. Dengan begitu kita dapat menyokong perkembangan rasa dan fikiran “individuil” dan “sosial” dengan cara pembiasaan. Lain daripada itu janganlah dilupakan, bahwa sebenarnya segala bentuk latihan wirama dan latihan panca indria itu tak bukan dan tak lain ialah pembiasaan berbuat dan berlaku tertib, guna
50
menyempurnakan perkembangan jiwa dan raga kanak – kanak kea rah kecerdasan budi-pekerti kelaknya (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 488). b. Taman Muda (umur 9-12 tahun) Menurut Ki Hadjar Dewantara pada anak-anak usia 9-12 tahun sudah masuk pada periode hakikat, yakni anak-anak sudah dapat mengetahui tentang hal baik dan buruk. Sehingga pengajaran budi pekerti dapat di ajarkan melalui pemberian penertian tentang segala tingkah-laku kebaikan dalam hidupnya sehari-hari (Ki Hajar Dewantara, 1977 :488). Didalam penyampainnya masih menggunakan metode occasional yaitu melalui pembiasaan dan divariasikan dengan metode hakikat dalam artian setiap anjuran atau perintah perelu di jelaskan mengenai maksud dan tujuan pendidikan budi pekerti, yang pokok tujuannnya adalah mencapai rasa damai dalam hidup batinya, baik yang yang mengenai hidup dirinya sendiri maupun hidup masyarakatnya. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran ini menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa anak-anak dalam periode hakikat masih juga perlu melakukan pembiasaan seperti dalam periode syariat (Ki Hajar Dewantara, 1977: 485). c. Taman Dewasa (umur 14-16 tahun) Periode ini merupakan awal dimulainya materi yang lebih berat karena pada priode inilah anak-anak isamping meneruskan pencarian pengertian, mulai melatih diri terhadap segala laku yang sukar dan berat dengan niat yang disengaja (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 488). Pada priode ini juga, anak telah masuk pada periode “tarikat” (Ki Hajar Dewantara,
51
1977 : 486). Yang dapat di wujudkan melalui kegiatan sosial, seperti pemberantasan buta huruf, pengumpulan uang, pakaian, makanan, bacabacaan dan sebagainya untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin atau orang-orang korban bencana alam dan sebagainya. Dan ketika Periode syariat dapat diartikan periode anak kecil yaqng masih menggunakan metode pembiasaan dalam setiap pengajaran(Lihat Ki Hajar Dewantara, Bagian I Pendidikan,, hlm. 485). Tarekat disini merupakan tingkatan ketiga dalam system pemberian pengajaran yang mempunyai arti Laku yakni perbjuatan yang dengan sengaja kita lakukan dengan maksud supaya kita melatih diri pribadi (Ki Hajar Dewantara, 1977: 486). Pendidikan ini dilaksanakan di lingkungan perguruan muda (sekolah menengah atas) maka dapat dilaksanakan melalui pendidikan kesenian dan olah raga. Dan inti dari pengajaran pendidikan pada periode ini adalah semua laku (tidakan) yang disengaja yang memerlukan kekuatan kehendak (usaha) dan kekuatan tenaga (aplikasi) (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 489). d. Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20) Yaitu tempat pendidikan bagi anak-anak yang sudah benar-benar dewasa, pada periode inilah anank-anak telah memasuki periode ma’rifat yang artinya mereka telah dalam tingkatan pemahaman. Yaitu biasa melakukan kebaikan, menginsyafi (menyadari) apa yang menjadi maksud dan tujuan (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 489). Pengajaran budi pekerti yang harus diberikan pada periode ini adalah berupa ilmu atau pengetahuan yang agak mendalam dan halus. Yaitu materi yang bekaitan
52
dengan ethik dan hukum kesusilaan. Jadi bukan hanya berkenaan dengan kesusilaan saja
melainkan
juga
tentang dasar-dasar
kebangsaan,
kemanusiaan, keagamaan, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya. Melihat dari meteri pendidikan budi pekerti di atas dapat kita pahami bahwa Ki Hajar Dewantara menghendaki bahwa dalam penyampaian pendidikan budi pekerti haruslah disesuaikan dengan umur si peserta didik. Tahapan tersebut disesuaikan dengan tingkatan psikologis methodis yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut penulis dari materi pendidikan budi pekerti di atas merupakan materi pendidikan operasional. Dengan kata lain materi tersebut merupakan cara untuk meninternalisasikan nilai-nilai budi pekerti. materi yang sesungguhnya masih membutuhkan materi yang bersentuhan lansung dengan peserta didik.
E. Metode Pendidikan Budi Pekerti Dalam pendidikan telah dikenal beberapa aspek yang penting dan berpengaruh terhadap kesuksesan dalam mewujudkan tujuan pendidikan, salah satunya adalah aspek metode pengajaran. Hal ini dikarenakan metode pengajaran terkait dengan proses interaksi dan komunikasi antara pendidik dengan peserta didik. Menurut Ki Hajar Dewantara secara umum metode pendidikan dan pengajaran telah terangkum dalam satu sistem yang dikenal dengan “among methode” atau sistem among. sebagaimana dikutip oleh Ki Priyo Dwiarso dapat Among memilki arti menjaga, membina, dan mendidik,anak dengan kasih sayang (www.tamansiswa.org). Hal ini
53
ditemukan dalam 7 azas taman siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara dan menurut kondisi saat itu yang berisikan: ”Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluasluasnya. Pendidikan yang beralaskan paksaan hukumanketertiban (regeering-tuch en orde) kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnja hidup anak, lahir dan batin menurut kodratya sendiri. Itulah yang kita namakan ”among methode”. (Ki Hajar Dewantara, 1977: 48) Selanjutnya dalam butir ke dua dilanjutkan bahwa: ”Pengajaran berarti mendidik anak-anak akan mendjadi manusia jang merdeka batinnja, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya” (Ki Hajar Dewantara, 1977: 48).
”Among methode” adalah Pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri (Djumhur dan danusapatra, 1976: 174). Sistem among mengemukkan dua dasar yaitu: a. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin, hingga dapat hidup merdeka (dapat berdiri sendiri). b. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Dalam lingkup pendidikan budi pekerti Ki Hajar Dewantara memilki metode pengajaran dan pendidikan tersendiri yang terdiri atas tiga macam metode yang didasrkan pada urutan pengambilan keputusan berbuat, yang artinya ketika kita bertindak haruslah melihat dan mencermati urutan-urutan yang benar sehingga tidak terdapat penyesalan di kemudian hari. Metode 54
tersebut antara lain adalah: ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan)dan ngelakoni (melaksanakan) (Moch. Tauhid, 1963 : 57). Dari tiga macam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Metode Ngerti Metode Ngerti dalam pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, mempunyai maksud memberikan pengertian yang sebanyak-banyaknya kepada anak. Didalam pendidikan budi pekerti anak diberikan pengertian tentang baik dan buruk. Berkaitan dengan budi pekerti ini seorang pamong (guru) ataupun orang tua harus berusaha menanamkan pengetahuan tentang tingkah-laku yang baik, sopan-santun dan tata krama yang baik kepada peserta didiknya. Dengan harapan peserta didik akan mengetahui tentang nilai-nilai kebaikan dan dapat memahami apa yang dimaksud dengan tingkah- laku yang buruk yang dapat merugikan mereka dan membawa penyesalan pada akhirnya. Selain itu pamong juga memiliki tugas untuk mengajarkan tentang hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dsan bernegara serta beragama. Dengan tujuan akhir peserta didik dirahkan untuk mampu menjadi manusia yang merdeka dan memahami pengetahuan tentang perilaku baik dan buruk serta memliki budi pekerti (akhlak) yang luhur (mulia). 2. Metode Ngrasa Metode yang kedua adalah metode Ngrasa yang merupakan kelanjutan dari metode Ngerti, metode pendidikan budi pekerti merupakan
55
metode yang bertahap yang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.yang dimaksud dengan metode
Ngrasa adalah berusaha semaksimal mungkin memahami dan
merasakan tentang pengetahuan yang diperolehnya. Dalam hal ini peserta didik akan dididik untuk dapt memperhitungkan dan membedakan antara yang benar dan yang salah. 3. Metode Nglakoni Metode Nglakoni merupakan tahapan terakhir dalam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang dimaksud dengan metode Ngelakoni adalah mengerjakan setiap tindakan, tanggung jawab telah dipikirkan akibatnya berdasarkan pengetahuan yang telah didapatnya. Jika tindakan telah dirasakan mempunyai tanggungg jawab, tidak mengganggu hak orang lain, tidak menyakiti orang lain maka dia harus melakukan tindakan tersebut.Dari metode pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut di atas menurut penulis merupakan metode pengajaran yang menekankan kepada penyadaran diri dari masing-masing peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang melihatkan pentingnya sebuah tindakan.
56
BAB IV PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM KONTEKS KEKINIAN
A. Implementasi Pada masa berdirinya taman siswa keadaan pendidikan dan pengajaran pada waktu itu sangat kurang dan sangat mengecewakan. Seperti kita ketahui sesdudah pemerintahan kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian jumlah sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat jauh dari cukup. Lagipula sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ada kepentingan rakyat Indonesia. Taman siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar
perjuangannya.
Taman
siswa
tidak
hanya
menghendaki
pembentukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila. Dengan menggunakan dasar kekluargaan dengan sistem among dapatlah terwujud dengan baik pendidikan budi pekerti terhadap anak bangsa (Darsiti Soeratman, 1981/1982:89). Selain berdasarkan kekeluargaan, pendidikan di taman siswa menggunakan Tri Pusat. Pusat-pusat pendidikan ini masing-masing harus
57
tahu kewajibannya sendiri-sendiridan mengakui haknya pusat-pusat lainya, yaitu: 1. Pusat keluarga: buat mendidik budi pekerti dan laku sosial. 2. Pusat perguruan:sebagai balai wiyata, yaitu untuk usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek. 3. Pusat pergerakan pemuda: sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “Kerajaan Pemuda” untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk pembentukan watak (Darsiti Soeratman, 1981/1982: 95-96). Dalam hal ini perguruan berdiri sebagai titik pusat dari ketiga pusat tersebut an menjadi perantara keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat. Antara orang tua, murid dengan guru yang menjadi penasihatnya, Di sini guru harus melaksanakan metode Among. Di kalangan Taman siswa anak-anak yang besar mendirikan P.P.T.S (Persatuan Pemuda Taman Siawa), yang mempunyai bermacammacam kegiatan: olah raga, debat, sandiwara, pengajaran (mengajar untuk masyarakat yang buta huruf), melakukan kegiatan sosial seperti mengumpulkan baju bekas untuk diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu pada masa itu(Darsiti Soeratman, 1981/1982: 95-96). .Suatu rangkaian penilaian tentang perkembangan Taman Siswa sejak awal kelahiran sampai masa kini memusat kepada komentar dan kritik atas gagasan dasar Ki Hajar Dewantara dan peranannya melalui
58
ciptaanya dalam proses nasionalisasi pengajaran
di Indonesia,
sumbangannya dalam masa kebangunan nasional, sebagai pranata tandingan dalam masyarakat kolonial, masa awal perkembangan dalam konteks kebudayaan jawa, kedudukannya dalam mengisi kemerdekaan sesudah melampui revolusi Indonesia dan sumbangannya di bidang falsafat kebudayaan. Penilaian lain menempatkan Ki Hajar Dewantara ssebgai “tradisionalis”, yang mewakili citra banyak orang tentang “tukang kebun pelajar” yang mendambakan keserasian dalam hidup. Segala penilaian kritis dan ilmiah itu banyak membuka pola ideal dan sikap laku yang dialami Ki Hajar Dewantara dan taman siswanya yang tercipta dalam sejarah Indonesia moderen sehingga menjadi pola dan gaya hidup yang menjadi ciri khas kebudayaan tersendiri. B. Relevansi Pemikiran Definisi mengenai budi pekerti memang cukup beragam sesuai dengan versi dan sudut pandang keilmuan tertentu. Budi pekerti merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan, kedua kata tersebut adalah bagian integral yang saling terkait. Sebagaimana di sampaikan oleh Dodit wijanarko bahwa budi pekerti berasal dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi berarti paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Pekerti berarti perangai, ingkah laku, akhlak. (Tim Penyusun Pusat Bahasa Indonsia cet1, 2001: 170) Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata akhlak biasanya diterjemahkan dengan budi pekerti atau sopan santun atau kesusilaan. Dalam bahasa Inggris, kata “akhlak” disamakan dengan
59
“moral” atau “ethic”, yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti adat kebiasaan.(Tamyiz Burhanudin cet1, 2001 :39) Akhlak berasal dari Bahasa Arab yakni bentuk jamak dari kata
khulk
yang berarti budi pekerti,
perangai tingkah laku atau tabiat. (Abudin Nata cet 2, 1997:3) Budi pekerti berarti merupakan perpaduan dari dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Akhlak identik dengan moral karena memiliki makna yang sama dan hanya sumber bahasanya yang berbeda. Keduanya memiliki wacana yang sama, yakni tentang baik dan buruknya perbuatan manusia. Jadi istilah budi pekerti, akhlak, moral dan etika memiliki makna etimologis yang sama, yakni adat kebiasaan, perangai dan watak. Hanya saja keempat istilah tersebut berasal dari bahasa yang berbeda. Budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia. Akhlak berasal dari bahasa Arab. Sedangkan kata moral berasal dari bahasa Latin, dan etika berasal dari bahasa Yunani. Akhlak adalah istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti moral dan etika. Seperti halnya akhlak, secara etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral. Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk. Mengingat konsep pemikiran budi pekerti seorang Ki Hajar Dewantara adalah sebuah pemikiran yang disampaikan pada masa sebelum Indonesia merdeka, maka penulis mencoba merelevansikan konsep pemikiran beliau dengan konsep kekinian. Konsep pemikiran beliau pada
60
masa kini telah berkembang dengan bermacam-macam hasil pemikiran beberapa tokoh pendidikan diantaranya: 1. Pendidikan Budi pekerti di era globalisasi Pengertian pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertia antara lain, Adat istiadat, Sopan santun dan Perilaku. Sebagaimana di kutip oleh Nurul zuriah (2011: 17) pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku
manusia
yang akan
diukur
menurut
kebaikan
dan
keburukannya melalui norma agama, norma norma hukum, tata krama dan sopan santun. (Nurul zuriah, 2011 : 17) Pembahasan filosofis tentang sebagaimana pendapat kilpatrick yang dikutip oleh Nurul Zuhriah (2011: 1) terus berkembang dengan berbagai pendapat atau aspek budi pekerti itu sendiri. Ajaran budi pekerti di sekolah yang di tempuh melalui proses panjang itu dapat menghasilkan semangat pada diri siswa untuk memberontak atau melawan tatanan budi pekerti. Salah satu sebabnya adalah siswa mencampakkan norma moral atau budi pekerti yang diajarkan dalam bentuk himpunan perintah dan larangan. Keadaan ini menjadikan siswa melawan norma yang disebabkan oleh hal mendasar, yaitu siswa tidak percaya lagi kepada norma moral, yang ternyata tidak mengatasi
61
masalah kemasyarakatan yang terus berkembang, bahkan kenyataan di masyarakat malahan menjadi hal yang sebaliknya. Berbagai usulan tentang perlunya pendidikan budi pekerti dalam pembangunan karakter dan pembentukan moralitas bangsa, bukanlah suatu hal yang baru. Sebagaimana pendapat Azyumardi Azra (2000) yang disampaikan oleh Nurul Zuhriah bahkan sebelum pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada tahub 1947, yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti” yang bersumber dari nilai-nilai traditional, khususnya yang terdapat dalam cerita pewayangan. (Nurul Zuhriah, 2011 : 117) Setelah melalui perdebatan panjang antara pihak Diknas dan Kemenag, akhirnya sejak tahun 1975 pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan (Civics), yang kemudian menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP).
Dalam
kurikulum
1984,
Moral
pancasila
diintregasikan ke dalam empat mata pelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4 dan Sejarah Nasional. Dalam kurikulum 1994 pelajaran ini tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dan pada kurikulum terakhir tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Sejalan dengan menghilangnya mata pelajaran budi pekerti masalah bangsa yang kian kompleks juga memunculkan masalah
62
akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai level atau tingkatan. Sekali lagi , pikiran dan logika yang sedikit simplisit menganggap masalah ini disebabkan lenyapnya pendidikan budi pekerti dan kegagalan pendidikan agama. Dalam kajian budaya nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Lebih-lebih dalam era globalisasi ini yang berada di duniayang
terbuka,
ikatan
nilai-nilai
moral
mulai
melemah.
Masyarakat mengalami multikrisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krosos nilai-nilai moral. Analisis di atas menjadikan pendidikan di Indonesia mengkaji dan membangkitkan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia saja sebenarnya, akan tetapi juga oleh negara-negara maju. Bahkan di negara-negara Industri dimana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai di telantarkan. (Nurul Zuhriah, 2011: 10) Sebagai rekomendasi penting dari pernyataan di atas adalah: a. Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas. Jadi meskipun sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan masyarakatnya tidak
63
atau kurang baik maka pendidikan budi pekerti di sekolah tidak ada artinya. b. Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam pendidikan agama dan mata pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan budi pekerti tersebut tidak bisa teraktualisasi karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif. Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi dan politik indonesia yang juga memicu peninjauan ulang terhadap pendidikan nasional, maka perdebatan tentang pendidikan budi pekerti kembali menjadi wacana publik. Akan tetapi, hasil perumusan Depdiknas (2000) dan Depag (2000) menyimpulkan bahwa pendidikan
budi
pekerti
bukan
menjadi
pelajaran
tersendiri
(monolitik), tetapi merupakan program pendidikanterpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan, pembiasaan, bimbingan dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Dengan demikian pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan agama dan PPKn. (Nurul Zuhriah, 2011: 118) Seperti terlihat rincian nilai-nilai budi pekerti yang diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai keagamaan
64
dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa. 2. Perkembangan moral Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat dalam sekolompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. (A. Qadry A. Azizy, 2003: 34) Norma moral adalah memandang bagaimana manusia harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia.Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah segala hal yang berhubungan dengan sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket. Moralitas bisa berasal dari sumber tradisi ataupun adat, agama ataupun ideology, atau gabungan dari beberapa sumber.
Perkembangan moral sebenarnya
melibatkan tiga komponen dasar. Kohlberg menyebutkan ketiga komponen itu ialah
moral
behavior (yaitu bagaimana seseorang bertingkah laku), moral emotion (yaitu apa yang dirasakan oleh seseorang setelah melakukan sesuatu), moral judgement (alasan yang dipakai orang dalam mengambil keputusan). Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvesional, tingkat konvesional, dan tingkat pasca konvesional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi menjadi enam tahap yaitu sebagai berikut (Nurul Zuhriah, 2011: 35):
65
a. Orientasi pada hukuman dan ketaatan (Punishment-obedience orientation). Tahap ini penekananya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat. b. Tahap orientasi hedonis (Instrumental-relativist orientation). Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan
individu
memperhatikan
sendiri,
kebutuhan
tetapi orang
juga lain.
kadang
mulai
Hubungan
lebih
menekankan unsur timbal balik dan kewajaran. c. Orientas anak manis (Interpersonal concordance orientation). Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang dianggap bernilai pada dirinya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. d. Orientasi terhadap hukum dan ketertiban (Law and Order orientation/Social-order Maintaining). Menjalankan tugas dan rasa hormat terhadap otoritas adalah tindakan yang benar. Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajiban.
66
e. Orientasi kontrak sosial legalitas (Social contract orientation). Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung di tafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian, orang ini menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. f. Orientasi suara hati (Universal ethical principle orientation). Pada tahap ini orang tidak hanya memandang dirinya sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormat. Respect for person adalah nilai pada tahap ini. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Tahap-tahap
perkembangan
moral
menurut
Kohlberg
berkaitan dengan penalaran (moral thinking) bukan tindakan (moral action). Orang yang mempunyai penalaran moral tingkat tinggi belum tentu berperilaku demikian pula, sehingga korelasi yang sempurna dari penalaran moral dan tingkah laku moral tidak dapat diharapkan. Hasil penelitian Kohlberg menemukan bahwa
faktor
intelegensi, status sosial ekonomi, kelompok sosial dan faktor pribadi
dianggap
sebagai
hal-hal
yang
mempengaruhi
perkembangan moral. Di samping itu faktor situasi, motivasi, dan emosi juga dianggap mempengaruhi perilaku individu, sehingga
67
sering terjadi ketidaksesuaian antara moral judgement dan moral behavior. Melihat tahap-tahap dan orientasi tiap tahap tersebut tampak bahwa seseorang tetap mengarahkan dirinya pada prinsip moral universal, yaitu keadilan dan kesalingan, hanya saja konkretisasinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan kognitif orang yang bersangkutan pada masingmasing tahap. (Dr. C. Asri Budiningsih, 2008: 32) Wacana yang tertulis di atas terjadi pada masa kini, tentunya telah mengkaji kembali pemikiran beliau Ki Hajar Dewantara
sebagai
sumbangsih pertimbangan para pakar pemdidikan. Pada kenyataanya pemikiran Ki Hajar Dewantara terdahulu telah mencakup seluruh aspek yang saat ini sedang mengalami degradasi yang tengah diresahkan dalam dunia pendidikan Indonesia.
C. Implikasi 1. Pendidikan budi pekerti dan pembangunan moral bangsa Sebagaimana disampaikan oleh Nurul Zuhriah bahwa menurut Azyumardi Azra (2000), merebaknya tuntutan dan gagasan tentang pentingnya pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolahan, haruslah diakui ertar kaitanya dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi dalam membentuk peserta didik
yang memiliki akhlak, moral, dan budi
68
pekerti yang lebih baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik di sekolah, di rumah, dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindak kekerasan massal seperti tawuran dan sebagainya. (Nurul zuhriah, 2011:111-112) Pandangan simplitis menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral dan etika peserta didik di sebabkan gagalnya pendidikan agama di sekolah. Dr. C. Asri Budiningsih menyampaikan bahwa segala kekalutan yang dihadapi anak bangsa saat ini merupakan akibat kumulatif dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan politik oleh generasi-generasi yang telah lalu. Karena kesalahankesalahan tadi tidak segera terkoreksi, maka akhirnya menumpuk menjadi
rangkaian
persoalan
yang
tidak
terselesaikan
dan
menimbulkan krisis. (Buchori, 2002) Meski demikian, dalam pendidikan budi pekerti peserta didik, dan akhirnya, pembentukan karakter anak-anak bangsa, seolah-olah dapat dan harus melakukan sesuatu, sebagaimana disarankan oleh Nurul Zuhriah berikut ini: Pertama, menerapkan pendekatan modelling dan exemplary. Yaitu mencoba dan membiasakan peserta didik dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan memberikan model atau teladan. Dalam hal ini, setiap guru, tenaga administrasi, dan lain-lain di lingkungan
69
sekolah harus menjadi “teladan yang hidup” bagi para peserta didik. Dengan demikian terjadi proses internalisasi intelektual bagi peserta didik. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik atau buruk. Hal ini bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut. 1. Memberi ganjaran (prizing) dan menumbuh suburkan (cherising) nilai-nilai baik. 2. Secara terbuka dan kontinu menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk; memberikankesempatan kepada peserta didik untuk memeilih berbagai alternatif sikap dan tindakan. 3. Melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang berbagai konsekuensi dan setiap pilihan sikap dan tindakan. 4. Senantiasa membiasakan bersikap dan bertindak atas niat baik, dan tujuan-tujuan ideal. 5. Membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik, diulangi terus-menerus, dan konsisiten. Ketiga,
Menerapkan
pendidikan
berdasarkan
karakter
(character based education). Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukan character basic approach ke dalam setiap mata pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan atau berkaitan, seperti mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn..
70
Bahkan dalam rumusan Diknas (2000), bisa pula mencakup mata pelajaran bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Penjaskes, KTK dan mata pelajaran muatan lokal. Beberapa poin yang ditawarkan diatas tidaklah exhaustive, banyak yang bisa ditambahkan. Akan tetapi, poin-poin tersebut bukanlah instant solution atau solusi yang siap pakai dan siap saji, serta masih banyak cara lain yang bisa di tempuh untuk memperbaiki moralitas dan mentalitas bangsa ini. Berdasarkan beberapa asumsi diatas, dengan memperkaya dimensi nilai moral, dan norma pada aktifitas pendidikan di sekolah, akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam menghadapi perubahan sosial . Kematangan secara moral akan menjadikan seorang anak mampu memperjelas dan menentukan sikap terhadap substansi nilai dan norma baru yang muncul dalam proses perubahan atau transformasi sosial yang sangat cepat ini. Demikian juga, dengan bekal pendidikan budi pekerti secara memadai, akan memperkuat konstruksi moralitas peserta didik sehingga mereka tidak gampang goyah dalam menghadapi aneka macam godaan dan pengaruh negatif. 2. Penanaman nilai budi pekerti pada jenjang pendidikan formal Budi pekerti adalah nilai-nilai manusia yang sungguh-sungguh dilaksanakan bukan sekedar kebiasaan, tetapi berdasar pemahaman dan kesadaran diri untuk menjadi lebih baik. Nilai-nilai yang disadari dan dilaksanakan sebagai budi pekerti hanya dapat diperoleh melalui
71
proses sepanjang hidup manusia. Budi pekerti didapat melalui pross internalisasi dari apa yang diketahui, yang membutuhkan waktu sehingga terbentuklah pekerti yang baik dalam kehidupan umat manusia. (Nurul Zuhriah, 2011: 38) Pembelajaran budi pekerti didekati dari aspek kognitif sebagai unsur pemahaman moral atau penalaran moral, yaitu jenis kemampuan kognitif yang dimiliki setiap orang untuk mempertimbangkan, menilai, dan memutuskan suatu perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip moral seperti baik atau buruk, etis atau tidak etis,benar atau salah. (Dr. C Asri Budiningsih, 2008:72) Selain
itu
pembelajaran
budi
pekerti
juga
untuk
mengembangkan aspek afektif sebagai unsur perasaan moral, terwujud dalam salah satu kemampuan untuk mengadakan interaksi sosial dalam mengambil peran sosial serta menyelesaikan konflik peran yang berurusan dengan nilai-nilai moral seperti keadilan, resiprositas, dan bentuk-bentuk perilaku moral lainya. Mengingat bahwa penanaman sikap dan nilai hidup merupakan proses, maka hal ini dapat diberikan pada pendidikan formal yang direncanakan dan dirancang secara matang. Pada tahap awal proses penanaman nilai, anak diperkenalkan pada tatanan hidup bersama. Tatanan hidup dalam masyarakat tidak selalu sering dengan tatanan yang ada dalam keluarga. Anak diperkenalkan tahap demi tahap. Semakin tinggi tingkat pendidikan
72
anak, maka semakin mendalam unsur pemahaman,argumentasi, dan penalaranya. Berikut ini adalah gagasan Nurul zuhriah dalam menerapkan beberapa nilai yang kiranya dapat dipilih dan ditawarkan kepada anak melalui jenjang pendidikan formal. Nilai-nilai yang coba ditawarkan ini dipretimbangkan berdasarkan pemahaman akan kebutuhan dan permasalahan yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Jenjang pendidikan formal yang kita kenal dalam dunia pendidiakn nasional dari taman kanak-kanak sampai dengan Sekolah menengah. a. Penanaman Nilai di Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Pada jenjang Taman Kanak-Kanak, anak lebih diperkenalkan pada realitas hidup bersama yang mempunyai aturan dan nilai hidup. Proses ini di laksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan yag membuat anak senang dalam bentuk berbagai kegiatan yang membuat anak senang dan merasakan kebaikan dan tatanan serta nilai hidup tersebut 1. Reigiusitas Siswa dengan berbagai macam
latar belakang hidup
keluarga membawa dampak pada kebiasaan yang berbeda satu sama lain. Membiasakan diri untuk berterima kasih dan bersyukur akan membawa pengaruh pada suasana hidup yang menyenangkan, ceria, dan penuh warna yang sehat dan seimbang. Untuk melatih hal ini sehingga dapat menjadi suatu
73
kebiasaan yang dapat dilakukan sedini mungkin pada masa pendidikan yaitu dengan membiasakan berdoa. Doa sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas hidup, atas teman-teman dan atas apapun yang terjadi dalam hidup. Memperkenalkan berdoa sebelum dan sesudah selesai pelajaran, sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah bangun tidur. Selain berdoa, nilai religiusitas juga dapat ditanamkan melalui kegiatan menyanyi yang sederhana dan mempunyai nilai hidup. Kegiatan menyanyi akan juga memperkenalkan dan mengajarakan kepada anak untuk bersyukurdan berterima kasih. Lagu yang diperkenalkan akan lebih berarti apabila merupakan lagu-lagu sederhana yang mempunyai makna dan kaitan dengan kehidupan manusia, bukan hanya sekesar nyanyian yang sedang populer. Misalnya lagu AT. Mahmud yang berjudul Pelangi yang selengkapnya sebagai berikut. Pelangi-pelangi,Alangkah indahmu, Merah kuning hijau Dilangit yang biru, Pelukismu agung, Siapa gerangan Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan Anak dapat diajak untuk membahas arti syair nyanyian dan diperkenalkan kepada keagungan Tuhan melalui berbagai macam ciptaan dalam lingkungan hidup yang termuat dalam syair lagu tersebut. Lagu kanak-kanak yang berkaitan dengan keindahan alam dan hidup manusia akan menadi wahana paling
74
baik untuk memperkenalkan akan kebesaran dan keagungan Tuhan bagi hidup manusia. 2. Sosialitas Arman menangis di sekolah karena ia tidak dapat main dengan ainan yang diinginkan. Mainan itu sekarang dipakai Anissa. Anissa berusaha mempertahankan mainan yang telah ia pilih dan tidak mau berbagi denga Arman. Situasi seperti ini akan sering terjadi di lingkungan sekolah maupun di lingkunayan masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Anak-anak merasa kesal, marah, dan akhirnya hanya dapat menangis dan merengek karena keinginannya tidak dapat terwujud. Sikap tersebut, tidak mau berbagi atau antre bergantian, mau menang sendiri sering dijumpai dalam masyarakat. Kondisi yang demikian, juga banyak terjadi pada dunia anak yang baru masuk dalam pendidikan formal. Mereka biasanya mulai dalam lingkup keluarga yang pendampingan, pengawasan, dan fasilitasnya cukup berada, bahkan mungkin berlebih. Situasi dalam kehidupan masyarakat berbeda dengan situasi dalam keluarga. Sikap hidup mau berbagi, saling memerhatikan, saling menyadari, dan saling melengkapi satu sama lain perlu ditanamkan dari kecil. Pujian perlu diberikan pada anak-anak yang mau berbagi, mau memerhatikan dan saling memberi dan menerima dari teman-teman bermainnya,
75
bahwa apa yang dilakukan adalah baik dan perlu dilakukan secara terus-menerus dalam kehidupan ini. Sebaliknya, sikap egois dan mau menang sendiri harus ditinggalkan dan dijauhi agar kondisi masyarakat tertib, aman, dan terkendali. Untuk
mencapai
kondisi
di
atas,
sekolah
dapat
mewujudkannya dengan menyediakan mainan yang jumlahnya terbatas pada anak-anak dalam satu kelas. Selanjutnya, guru mengajak siswa untuk mulai memerhatikan sesamanya, mau berbagi dan menyadari bahwa dalam kehidupan bersama dalam masyarakat perlu ada aturan, ada suasana saling memerhatikan dan mendukung. Anak diajak untuk lebih bersikap terbuka, rendah hati, saling menerima dan memberi, tidak bersikap egois dan mau menang sendiri. Sebagai langkah awal yang bisa dilakukan berupa sikap dan perilaku mau berbagi mainan denga teman, mau bergantian denga teman, tidak asik dengna kepentingan dirinya sendiri. 3. Gender Rahma
merasa
jengkel dan marah karena
tidak
diperbolehkan ikut bermain sepak bola. Alasan yang dikemukakan teman-temannya ialah bahwa permainan sepak bola hanya boleh dilakukan aleh anak laki-laki. Anak perempuan cocoknya bermain boneka.
76
Berdasarkan alasan tersebut tersirat bahwa telah ada pembedaan sejak dini antara perempeun dan laki-laki, yaitu dibedakan dari bentuk permainan, perilaku, serta sikap feminin dan maskulin. Selain itu, pada lingkungan masyarakat (dewasa) keterlibatannya
dalam
kegiatan
dibedakan
secara
ketat.
Misalnya dalam hal kerja bakti, yang melakukan bapak-bapak, sedangkan ibu-ibu betugas memasak unutk konsumsinya. Sikap, kondisi, situasi, serta nuansa yang dibentuk dan dikondisikan sejak dini yang membedakan secara tajam antara laki-laki dan perempuan terus berlangsung dan diterima secara turun-temurun dalam sebagian besar masyarakat Indonesia yang kental denga ideologi patriarki. Pembedaan yang ada bukanlah menunjukkan pembedaan yang esensial, tetapi pembedaan berdasarkan kebiasaan belaka. Secara esensial perempuan sebenarnya bukanlah makhluk yang lemah dan perlu dikasihani, melainkan sebaliknya ia adalah makhluk yang juat dan memiliki potemsi yang bisa dioptimalkan eksistensinya. Main set dan pandangan yang demikian harus ditanamkan pada diri anakanak didik di sekolah. Begitu juga laki-laki, bukanlah identik denga kasar dan hanya mengandalkan otot. Hal ini pun harus disosialisasikan sejak kecil melalui permainan dan kegiatan bersama yang tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan.
77
4. Keadilan Nilai keadilan dapat ditanamkan dalam pandidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak, dengan cara memberi kesempatan kepada
semua
siswa,
laki-laki
dan
perembuan
untuk
mengerjakan tugas yang diberikan guru, baik melalui kegiatan menyanyi, permainan, maupun tugas-tugas lainnya. Apabila ada anak yang mendominasi, dapat diberi pemahaman dan pengertian sederhana untuk bergantian dengan yang lain. Dalam hal ini guru dituntut untuk bersungguh-sungguh memerhatikan murid, satu per satu. Guru perlu lebih dekat dengan anak dan selalu memerhatikan siapa yang sudah mendapatka kesempatan dan siapa yang belum; siapa yan menonjol dan siapa yang membutuhkan perhatian dan dorongan untuk maju dan lebih berani tampil. 5. Demokrasi Nilai demokrasi bisa ditanamkan sejak dini melalui kegiatan menghargai perbedaan yang tahap demi tahap harus diarahkan pada pertanggungjawaban yang benar sesuai dengan nalar. Untuk memulainya di lingkungan sekolah Taman KanakKanak dapat dilakukan melalui kegiatan menggambar. Biarkan imajinasi dan kreatifitas anak muncul dengan leluasa. Apa pun yang dihasilkan anak perlu diberikan pujian, sekaligus ditanya untuk mendapat penjelasan dan kesempatan untuk memahami
78
cara berpikirnya, seperti iklan bedak Ponds di mana ada anak TK menggambar wajah gurunya dengan wajah yang memerah, gurunya bertanya: “ini siapa?” Si murid lalu menjawab: “Ibu guru!” Melalui interaksi dan dialog kecil tersebut anak-anak dilatih unutk berani menceritakan imajinasinya kepada orang lain. Apa pun yang dihasilkan anak, perlu mendapat apresiasi dari guru. Apresiasi yang diberikan guru tersebut merupakan bagian dari penghargaan akan perbedaan. 6. Kejujuran Penanaman nilai kejujuran dapat dolakukan melalui kegiatan keseharian yang sederhana dan sebagai suatu kebiasaan, yaitu perilaku yang dapat membedakan milik pribadi dan milik orang lain. kemampuan dasar untuk membedakan merupakan dasar unruk bersikap jujur. Oleh karena itu, dapat dikombinasikan dengan kebiasaan dan sopan santun dalam hal pinjam-meminjam. Apabila mau menggunakan barang hak milik orang
lain,
selalu
memohon
izin dan
setelah
selesai
mengembalikannya dan selalu mengucapkian terima kasih atas budi baiknya. Begitu juga apabila menemukan barang milik orang lain selalu mengumumkannya atau menyerahkannya kepada guru untuk diumumkan kepada teman-teman lain pada kesempatan lain. Kemudian sebagai kompensasi dan bentuk perhatian guru
79
atas perilaku dan sikap baik dan benar darri siswa tadi, guru memberikan pujian secara terbuka di hadapan teman-temannya bahwa sikap dan tindakan yang dilakukan siswa tadi adalah benar dan baik, serta [pelu dilakukan juga oleh teman-temannya yan lain, jika nanti mengalami peristiwa atau kegiatan yang serupa. Melalui pujian dan pengumuman dari guru tersebut, maka anak merasa dikukuhkan bahwa tindakan yang dilakukan adalah baik dan benar, dan ini akan berdampak pada sikap dan perilakunya di masyarakat kelak. 7. Kemandirian Pada awal pertama kali masuk sekolah Taman KanakKanak, anak-anak biasanya tidak mau ditinggalkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Melalui kegiatan bermain bersama, anak diajak untuk terbiasa dan senang bermain dengan taman sebayanya. Dengan perasaan senag bermain dengan teman sebayanya, setahap demi setahap anak-anak mulai siap untuk sekolah tanpa harus ditunggui. Pada tahap berikutnya yang perlu dilakukan oleh guru adalah membaisakan anak megurus permainan
yang
digunakan,
diajar
dan
diajak
untuk
membereskan dan mengembalikan permainan ke tempat yang sudah ditentukan. Kemandirian yang sederhana ini juga membawa anak pada sikap memiliki atas barang-barang yang dipakainya, serta tidak membiarkan tergeletak dan acak-acakan
80
serta meninggalkan dalam kondisi yang berantakan. Anak dibiasakan hidup tertib dan teratur serta bertanggung jawab terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Namun demikian, ada satu permasalahan yang sering muncul berkaitan dengan nilai-nilai kemandirian ini, khususnya mereka yang hidup di kota besar, banyak anak mempunya pengasuh khusus yang menjaganya setiap waktu sejak datang ke sekolah hingga pulang. hal ini berdampak tidak baik bagi anak, karena jika anak-anak mengalami kesulitan, akan mudah lari dan mencari perlindungan pada yang menunggui tanpa ada usaha untuk mengatasinya sendiri. Untuk itu, diperlukan adanya kesadaran serta kerja sama dari orang tua dan para pengasuhnya agar anak dapat diajar mendiri sejak dini, tanpa mengurangu rasa kasih sayang da antara mereka. 8. Daya juang Penanaman nilai daya juang di lingkungan Taman KanakKanak terlihat pada kegiatan secara berkala, anak diajak jalanjalan dalam jarak yang wajar, tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat. Kemampuan menempuh jarak tertentu menjadi dasar untuk mengembangkan da juang anak. untuk itu, pujian dan dukungan dari guru amat membantu mengembangkan daya juang anak. melalui kegiatan jalan-jalan ini, anak juga diajar unutk mengnal lingkunagn sekitar dan cara hidup bersama di
81
jalan umum: disiplin, tertib, dan hati-haati untuk keselamatan diri dan sesama, keterpimpinan serta menghargai kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan di jalanan. Di samping itu,anak-anak juga diajak untuk mencintai dan mengakui kebesaran AllaH SWT dengan menciptakan keindahan alam semesta ini, den berusaha mensyukuroi nikmat yang diberikan dengan menjaga kelestariannya. 9. Tanggung jawab Nilai tanggung jawab di sekolah Taman Kanak-Kanak dapat dilakukan melalui permainan atau tugas-tugas yang menggunakan alat. Hal ini dapat menjadi sarana unutk memperkenalkan dan melatia tanggung jawab pada diri anak. Menjaga agar alat mainan tidak mudah rusak, berani melaporkan apabila alat permainan rusak merupakan awal pembentukan sikap dan perilaku bertanggung jawab. Melalui kegiatan dan kebiasaan yang seperti itu, anak-anak diajari untuk tau bagaimana menjaga dan memelihara permainan dan peralatan yang digunakannya. 10. Penghargaan terhadap lingkungan alam Pengahargaan terhadap lingkungan alam dapat dilakukan dengan cara mengajak dan mengajari anak memelihara tanaman di sekolah. Anak diajak berkebun, dan jika memungkinkan setiap anak diberi tanggung jawab terhadap satu tanaman,
82
sekaligus saling membantu dan mengingatkan satu sama lain apabila ada yang lupa mengerjakan tugas. Menjaga dan memelihara
tanaman
merupakan
awal
untuk
mencintai
lingkungan alam yang lebih luas lagi di jagat semesta ini. Melalui tugas ini, anak-anak sekaligus diajak untuk mencintai keindahan yang dihasilkan dari peliharaan kebun atau taman tersebut. bunga yang tumbuh dan berkembang, serta rumput yang menghijau membawa keindahan dan kesejukan, lingkungan hidup manusia menjadi lebih segar, asri, indah, dan tidak gersang. Dengan aneka ragam tanaman bunga yang ada di sekolah, anak juga diajak mengenal dan merawat berbagai tanaman hias, yang sering dijumpai di lingkungan rumah maupun masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, anak-anak diajarkan untuk lebih peka dan peduli terhadap kelestarian dan keindahan alam semesta. b. Penanaman Nilai di Sekolah Dasar 1. Religiusitas Dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, kebiasaan berdoa yang telah ditanamkan mulai TK harus tetap dijaga. Selain itu, anak-anak mulai diperkenalkan dengan hari-hari besar agama, dan diajak untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Melalui kegiatan mendongeng
83
dan bercerita dapat diperkenalkan nilai-nilai agama yang ada di negara Indonesia tercinta ini. Anak-anak diajak untuk mengenal bermacam-macam
agama
dan
ditumbuhkan
sikap
saling
menghormati satu sama lain antarpemeluk agama yang berbeda. Melalui kegiatan berdoa, sebelum melaksanakan suatu kegiatan, anak-anak dibiasakan dan diperkenalkan akan adanya kekuatan dan kekuasaan yang melebih manusia dan ini semua ada pada Tuhan Yang Mahakuasa yaitu Allah SWT. Di samping itu, juga perlu ditanamkan pada anak didik, keyakinan dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah maha baik dan maha segalanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup ada dalam alam semesta dan itu berasal dari Tuhan. Tersedianya segala kebutuhan dasar menusia dalam kehidupan, tanah yang subur dan indah, kekayaan alam yang melimpah ruah, dan berguna bagi kehidupan ini harus selalu dijaga dengan baik, dan senua berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahapangasih dan Tuhan Yang Maha pemurah. 2. Sosialitas Nilai sosialitas dapat ditanamkan pada anak-anak SD melalui kegiatan baris-berbaris untuk masuk kelas. Ada beberapa anak yang tidak tertib, tidak mau berbaris, dan tidak mau masuk sesuai urutan, tetapi nyelonong masuk begitu saja.
84
Untuk membantu membiasakan hidup bersama dengan baik dapat dipilih berbagai macam kegiatan yang dapat dilaksanakan bersama. masalnya dengan tugas kertakes bersama, olah raga bersama dan tugas-tugas kelompok yang menjunjung tinggi nilainilai kerja sama dan sosialitas yang tinggi. Dengan aktifitas den kegiatan semacam ini, anak dapat diperkenalkan kepada sikap saling menghargai, saling membantu, saling memerhatikan dan saling menghormati satu sama lain. Melalui semangat kerja sama, komitmen yang dibutuhkan dalam hidup bersama dapat semakin ditingkatkan. 3. Gender Pendidikan jasmani dan kesehatan yang dilakukan melalui kegiatan olah raga di Sekolah Dasar, pada umumnya masih berupa olah raga dasar. Hal ini merupakan peluang dan kesempatan terbuka untuk memberi kesempatan kepada anak perempuan untuk mengikuti setiap kegiatan olah raga yang dilaksanakan di sekolah. Selain untuk pertumbuhan fisik, olah raga dapat digunakan untuk membentuk gambaran bahwa perempuan pun dapat mengikuti berbagai macam kegiatan olah raga, termasuk kegiatan sepak bola sekalipun. Anak perempuan bermain sepak bola bukanlah sebuah pantangan atau kendala yang perlu ditabukan keberadaanya. Melalui olah raga anak perempuan dibentuk untuk tidak
85
mengkristalkan pandangan bahwa perempuan adalah makhluk lemah, lembek, dan hanya bisa melakukan kegiatan yang ringanringan belaka. Pandangan yang berkembang dalam masyarakat dapat diubah dengan menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender dengan baik dan benar sejak dini. Laki-laki dan perempuan memang beda dalam hal jenis kelamin (seks), tetapi dalam hal peran gender jangan dibeda-bedakan, yang membedakan satu sama lain adalah soal kemampuan saja. oleh karena itu, semangat kesetaraan gender harus dilakukan sejak dini dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan. 4. Keadilan Pada kelas bawah (kelas 1, 2, dan 3)jenjang pendidikan dasar, pengertian keadilan sebaiknya lebih ditekankan pada halhal yang sifatnya fisik lahiriahdan kasat mata (konkret), belum pada konsep yang luas dan mendalam. Dorongan dan pemberian kesempatan untuk maju berpartisipasi di depankelas, menjawab soal, menjalankan tugas merupakan bagian dari keadilan awal yang perlun ditanamkan pada diri siswa pada jenjang ini. Keadilan dalam kondisi dan konteks seperti ini perlu dipertegas dengan sikap guru yang menjauhkan diri dari sikap den penilaian senang (like) dan tidak senang (dislike) atau pilih kasih terhadap seseorang atau sekelompok siswa.
86
Pada kelas tinggi (kelas 4, 5, dan 6) jenjang pendidikan dasar, pengertian keadilan sudah mulai pada perbedaan hakiki antara
laki-laki dan perempuan.
Budaya
dan kebiasaan
berpakaian dan berperilaku yang “pantas dan baik” bagi laki-laki dan perempaun yang mempunyhai perbedaan fisik dan fungsi fisik yang berbeda mulai ditanamkan dalam konsep yang luas dan rinci.Perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perlakuarn lahiriah yang berbeda dipahamkan pada anak didik di jenjang kelas ini. Namun demikian, juga perlu diimbangipada sikap dasar dan prinsip hidup bahwa keadilan tetap berlaku pada semua orang tanpa membedakan jenis kelamin. Perlakuan dan pemberian kesempatan serta hak dan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan secara wajar merupakan bagian dari pendidikan keadilan pada anak. Pada jenjang pendidikan dasar ini anak belum dijak unutk mengkaji konsep keadilan secara mendalam, namun lebih rinci dibanding konsep pada kelas rendah. 5. Demokrasi Melalui pendidikan IPS dan PKn, nilai-nilai demokrasi dapat ditanamkan secara tepat dan akurat. Melalui wahana bidang studisosial tersebut penanaman jiwa dan nilai demokrasi dapat ditumbuhkan sejak dini pada anak didik. Sikap menghargai
87
adanya perbedaan pendapat secara wajar, jujur, dan terbuka merupakan dasar sikap demokraris yang perlu ditanamkan pada anak didik di jenjang pendidikan dasar. Disamping itu, anak didik juga perlu diajak dan didik untuk membuat kesepahaman den
kesepakatan
bersama
secara
terbuka
dan
saling
menghormati. Sikap demokratis berarti juga mengkui keberagaman dan perbedaan satu sama lain. Melalui sikap demokratis anak didik diajak untuk terbuka dan berani menerima dan mengakui bahwa pendapatnya belum tentu atau tidak dapat digunakan pada saat itu, atau dengan kata lain anak didik dalam forum demokrasi tidak dapat memaksakan kehendak satu sama lain. Masingmasing pihak harus menjalin komunikasi yang baik dan mencari win-win solution serta kesepakatan bersama demi tujuan bersama yang telah dicita-citakan. Kesepakatan dalam konteks ini bukan berarti jumlah yang besar (pihak mayoritas) yang menang atau yang kuat bersuara yang menang tetapi juga menghargai suara minoritaas dan lebih menjunjung tinggi prinsip kebenaran dan keadilan serta kebaikan bersama. Prinsip-prinsip diatas dapat diterapkan pada saat pemilihan pengurus
kelas,
memilih
regu
pramuka,
dan
kegiatan
ekstrakurikuler lainnya. Pemilihan yang digelar bukan berdasar senang atau tidak senang, namun berdasar pada prinsip mana
88
yang terbaik untuk perkembangan kelas dan kelompok-kelompok di masa depan. Dalam alam demokrasi berarti juga masyarakat mempunyai tujuan bersama, harapan bersama, dan keprihatinan bersama. Prinsip dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa perlu dijunjung tinggi dan ditegakkan dalam kelas-kelas yang demokratis. 6. Kejujuran Nilai dan prinsip kejujuran dapat ditanamkan pada diri siswa di jenjang pendidikan dasar melalui kegiatan mengoreksi hasil ulangan secara silang dalam kelas. Dalam konteks ini peranan guru sangat penting dalam mencermati proses koreksi tersebut. Cara koreksi ini bukan semata-mata untuk meringankan tugas guru atau memenfaatkan anak untuk membantu tugas guru, melainkan
bertujuan
secara
sungguh-sungguh
untuk
menanamkan kejujuran dan tanggung jawab pada diri siswa. Setelah kegiatan koreksi yang dilakukan pleh siswa selesai, guru perlu melakukan koreksi ulang pekerjaan siswa satu per satu. Berdasarkan coretan dan hasil tulisan yang tertera dalam lembar jawaban anak, akan terlihat kejujuran dari anak. setelah itu berdasarkan hasil pengamatan guru dapat menyampaikan nilai kejujuran dan tanggung jawab pada anak dan dampaknya bagi kehidupan kelak. 7. Kemandirian
89
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana dan wadah yang tepat untuk melatih kemandirian siswa. Melalui kegiatan ini siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Kegiatan ekstrakurikuler sangat membantu proses pengembangan ini. Untuk anak yang berbakat diberikesempatan unutk mengembangkannya, baik dari sisi akademis maupun nonakademis. Kegiatan nonakademis yang cukup menarik dan dikenali secara universal adalah kegiatan pramuka dan kegiatan kepanduan lainnya seperti Hizbul Wathon. Kegiatan pramuka atau HW yang terencana akan membuat anak sengan dan terlatih untuk dapat menyelesaikan persoalan, baik secara pribadi maupun bersama. Kemandirian bukan berarti tidak butuh orang lain, namun justru dalam kebersamaan dengan orang lain. 8. Daya Juang Melalui kegiatan olah raga, nilai daya juang anak dapat ditumbuhkan secara konkret. Pertumbuhan fisik merupakan perkembangan proses tahap demi tahap dan unutk mencapai perkembangan yang optimal dibutuhkan daya dan semangat juang. selain menumbuhkan semangat dan daya juang yang tinggi, kegiatan olah raga dapat merupakan wahana untuk mengembangkan sikap sportivitas (kujujuran) yang tinggi pada
90
anak. Berani bersaing secara wajar, namun juga berani untuk menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain dengan setulus hati. 9. Tanggung Jawab Pembagian tugas piket kelas secara bergiliran merupakan wahana penanaman nilai akan tanggung jawab di lingkungan kelas atau persekolahan. Kebersihan dan kenyamanan kelas bukan hanya tugas keryawan kebersihan sekolah, tetapi juga memnjadi tanggung jawab bersama. Untuk ke[erluan kelas maka keterlibatan anggota kelas sangat penting. Dalam proses pengembangan tanggung jawab ini perhatian dan pendampingan guru sangat penting agar apabila anak yang tidak mau bertugas segera mendapat perhatian. Demikian juga apabila ada anak yang sulau menjadi korban kemalasan temannya dapat dilindungi sehingga tanggung jawab dan kebersamaan dalam kelas dapat terjalin dengan baik. 10. Penghargaan terhadap Lingkungan Alam. Pelaksanaan tugas kerja bakti mengandung kegiatan proses pembelajaran yang sangat baik di lingkungan persekolahan. Melalui kegiatan kerja bakti terkandung proses penanaman nilai yang berkaitan dengan semangat kerja sama atau gotong royong dan penghargaan terhadap lingkungan alam. Dalam kerja bakti tidak hanya berbicara tentang menyapu dan membersihkan
91
halaman, tetapi juga menjaga tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan sekolah agar tetap asri dan terjaga dengan baik. Lingkungan alam yang hijau dan asri sangat membantu kesehatan dan kenyamanan hidup manusia, membuat seluruh siswa kerasan dan nyaman berada dan belajar di sekolah. Pelaksanaan kerja bakti membutuhkan perencanaan yang baik karena ada unsur penanaman nilai yang akan disampaikan terutama berkaitan dengan tanggung jawab, kerja sama, gotong royong, kecintaan, serta penghargaan terhadap lingkungan alam. Selain perencanaan yang baik, juga dibutuhkan pengamatan dalam proses pelaksanaanya yang akan menjadi titik pijak pendampingan selanjutnya, baik secara personal, maupun klasikal di lingkungan sekolah dasar. c. Penanaman Nilai di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1. Religiusitas Siswa diajak untuk mengenal bahwa dalam masyarakat ada berbagai macam agama. Setiap agama ada tokoh (Nabi dan Rasul) yang mendasarinya. Anak diperkenalkan pada tokoh (Nabi dan Rasul) pemberi dasar agama dengan nilai-nilai dasar yang diajarkan. Secara khusus anak juga diminta untuk mengumpulkan informasi tentang tokoh pemberi dasar agama yang
dianutnya.
Dengan
demikian
anak-anak
semakin
92
mendalami ajaran agama sekaligus dapat persikap toleran dan menghargai agama lain secara wajar. Pemberian tugas kepada masing-masing anak untuk mencari informasi tentang tokoh pemberi dasar agama akan memberi masukan tentang tokoh agama yang dianutnya tersebut. Kemudian secara kelompok dijak untuk saling memperkenalkan secara informatif, bukan mendiskusikannya. mengenal tokoh dan ajaran merupakan jalan untuk mendalami ajaran agama yang dianutnya. Diharapkan pola ini menjadi jalan untuk pendalaman agama setiap pribadi tanpa meninggalkan sikap toleran yang sejati. 2. Sosialitas Pada jenjang pendidkan SMP, anak sudah mulai mempunya wilayah pergaulan pergaulan yang lebih luas dibanding jenjang pendidikan sebelumnya.
Melihat dan
mengingat realitas perkembangan anak yang demikian, baik secara fisik maupun psikologis maka proses pertumbuhan perlu diperhatikan dan dikratisi bersama dengan anak. Anak pada usia ini membutuhkan kedekatan dengan teman-teman sebaya. Kedekatan dan persahabatan ini perlu diperhatikan dan diarahkan secara positif dan konstruktif. Kedekatan dan persahabatan dapat membawa dampak positif maupun negatif, hal
ini perlu
diperkenalkan
kepada
anak-anak dengan
93
konsekuensi yang mungkin muncul terhadap suatu pilihan dalam bentuk apapun. Tata krama, sopan santun yang telah diajarkan dan dikenal oleh anak mulai dikupas dasar dan tujuannya. Sopan santun bukanlah demi sopan santu atau tata cara itu sendiri, namun memiliki suatu nilai di dalamnya. Misalnya cerita Malin Kundang, bukan hanya cerita yang menjadi imajinasi dan khayalan mereka belaka, namun mempunyai tujuan bagaimana seorang anak harus bersikap hormat kepada seorang Ibu dan apabila tidak dilaksanakan akan membawa petaka dan ketidakbahagiaan dlam menjalani hidupnya. Sikap anak yang tidak hormat kepada Ibu yang telah mengandungnya dan melahirkannya akan dipertanyakan apakah dia juga dapat menghormati orang lain. Kebahagiaan akan muncul dalam relasi antar manusia dan yang paling besar adalah relasi dalam kehidupan keluarga. 3. Gender Pada usia sekolah lanjutan, mulai berkembang sikap chauvinisme laki-laki. Melalui acara-acara yang dikoordinasikan oleh wakil kepala sekolah bagian kesiswaan perlu dirancang kegiatan bersama yang mengarah pada sikap menghargai antarmanusia tanpa memandang jenis kelamin. Kegiatan ini juga perlu diperhatikan agar ridak menimbulkan sikap salling
94
mengalahkan
antara
laki-laki
dengan
perempuan.
Kepemimpinan oleh perempuan dalam kegiatan ataupun kepengurusan
klelas
harus
mulai
dikembangkan
dan
disosialisasikan karena perempuan pun memiliki kemungkinan unutk berkembang dan menjadi pemimpin. Kegiatan untuk anak perempuan perlu diperluas dan diperhatikan, terutama kegiatan ekstrakurikuler. Selain pengembangan kegiatan bagi anak perempuan, kesadaran akan kesetaraan juga harus dibangkitkan dalam diri anak-anak. “Laki-laki dan perempuan memang beda, tapi jangan dibeda-bedakan” harus ditanamkan pada diri anak. Kesadaran diri masing-masing pribadi ditambah dengan kesadaran dan dorongan dari lingkungan akan semakin menguatkan secara pandang dan keterlibatan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan secara selaras, serasi, dan seimbang sesuai dengan kodrat dan martabatnya. 4. Keadilan Kegiatan
yang
dilakukan
guru
dalam
proses
pembelajaran, dengan mengembalikan kertas ulangan siswa pada waktunya merupakan teladan nyata tentang keadilan. Masing-masing pihak melaksanakan kewajibannya dan setiap pihak juga mendapatkan haknya. Dengan demikian, sikap saling menghormati dan saling menghormati sungguh-sungguh terjalin
95
dan menghargai hak masing-masing pihak juga terlaksana. Secar sederhana pelaksanaan kewajiban dan penerimaan hak merupakan bagian dari keadilan yang nyata dalam kehidupan, paling tidak yang paling dasar. 5. Demokrasi Melalui pelajaran sejarah dan PKn, anak-anak diajak untuk melihat bentuk-bentuk negara yang ada dalam pelajaran sejarah negara dan umat manusia. Salah satu pelaksanaan kehidupan bernegara adalah demokrasi. Dari sini anak diajak untuk melihat secara garis besar apa dan bagaimana negara yang menganut paham demokrasi. Ada bermacam-macam paham tentang demokrasi. Dalam konteks ini demokrasi dimaknai sebagai sikap saling menghargai kendati sikap satu sama lain berbeda bahkan bertentangan. Sikap demokratis sejati adalah sikap mau menghargai pihak manapun dalam kehidupan bersama. Berani mengakui kekurangan dan kekalahan serta mengakui pihak lain lebih unggul jega merupakan sikap demokratis. Di sekolah anak dapat diajak untuk belajar bersikap demokratis, yaitu dalam pemilihan pengurus kelas atau dalam pemilihan pengurus OSIS di sekolah. Dalam kehidupan bersama, sikap demokratis ini tercermin dari pemahaman akan adanya struktur dalam organisasi dan kehidupan masyarakat.
96
Demokrasi berarti juga menghargai kepemimpinan dan siap untuk dipimpin. 6. Kejujuran Kegiatan olah raga dapat menjadi sarana dan wahana yang baik untuk menumbuhkan sikap sportivitas dan kejujuran. Sikap fair play dalam sebuah pertandingan olah raga perlu dijunjung tinggi. Perilaku jujur perlu mendapat apresiaasi dan penghargaan yang tinggi serta penghargaan yang tulus pada setiap anak yang melakukannya. Dalam pelaksanaanya anak perlu diberi pemahaman dan penjelasan tentang arti dan manfaat kejujuran dalam kehidupan bersama. Di samping itu, juga diajak berpikir dan bersikap atas pernyataan: bagaimana jika kondisi ketidakjujuran ada di tengah masyarakat. Melalui kegiatan-kagiatan yang kasat mata, sederhana, serta ada di sekitar sekolah dan keseharian siswa, anak diajak untuk mengambil sikap yang benar dalam masalah kejujuran. Nilai dan sikap kejujuran sangat terkait dengan nilai keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab pada diri manusia. 7. Kemandirian Kegiatan kelompok yang dilaksanakan di luar sekolah merupakan wahana untuk menumbuhkan kemandirian pada diri siswa. Unuk menumbuhkan kemandirian siswa melelui kegiatan di luar sekolah memerlukan kerja sama dan keterlibatan seluruh
97
civitas sekolah dan orang tua serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan harus direncanakan termasuk dinamika yang akan dilakukan. Diharapkan orang tua dan wali siswa dapat menahan untuk tidak mendatangi lokasi kegiatan anak-anak, agar anakanak merasa senang dan dapat melaksanakan tugas dalam kelompok atau secara pribadi sesuai dengan tugas yang diberikan. 8. Daya Juang Daya juang tidak hanya bisa dilihat dari kemempuan motorik dan fisik semata, melainkan juga dapat dilihat dari unsur semangat dan kemampuan psikis. Oleh karena itu, menjalankan tuguas
yang membutuhkan ketekunan dan
ketelitian dalam waktu yang cukup lama dan panjang merupakan wahana untuk mengukur daya juang seorang anak dari aspek nonfisik. Namun delikian, lazimnya daya juang psikis akan berpengaruh terhadap daya juan fisik 9. Tanggung Jawab Kegiatan class meeting merupakan satu kemungkinan untuk melatih sikap bertanggung jawab. Anak didik diajak untuk bersikap tekun dari mulai persiapan sampaidengan selesai proses evaluasi. Kegiatan mengajak dan membimbing anak untuk mempersiapkan suatu kegiatan dengan baik agar pelaksanaanya dapat berjalan dengan lancar. Pelaksanaan yang
98
diusahakan sebaik mungkin agar sumua pihak merasa senang dan terlayani, sedangkan evaluasi yang dilaksanakan dengan baik adalah bagian proses belajar bertanggung jawab. Tanggung jawab terhadap suatu kegiatan tidak hanya pada sebagian proses, tetapi pada keseluruhan proses yang terjadi. 10. Penghargaan Terhadap Lingkungan Alam Kegiatan kepramukaan dapat mengembangkan akan lingkungan amat terbuka. Kegiatan pramuka dengan tema mengusahakan penghijauan lingkungan dapat menjadi wahana untuk mencintai lingkungan alam. Penghijauan tidak hanya sekedar menanam sesuatu, tetapi dengan penalaran dan pertimbangan jenis pohon. Selain menjaga kelestarian alam, juga menambah pengetahuan tentang sifat-sifat tanaman. Ada tanaman yang mengisao banyak air, ada tanaman yang dapat menyimpan air untuk lingkungannya. Tidak semua pepohonan baik dan dapat digunakan untuk penghijauan. Demikian juga, penghijauan di daerah berkapur, daerah berbatu, dan daerah subur menuntut tanaman atau jenis pohon yang berbbeda satu sama lain. d. Penanaman Nilai di Sekolah Menengan Atas (SMA) 1.
Religiusitas Keterlibatan dan kepekaan sosial dapat menjadi sarana untuk mengembangkan sikap religiusitas. melihat keprihatinan
99
dan penderitaan hidup manusia, ajaran agama manapun akan mengajak dan mendesak penganutnya untuk bertindak baik. Kegiatan
sosial
kemanusiaan
menjadi
tempat
untuk
mewujudkan religiusitas anak secara bersama deri berbagai macam agama dan keperceyaan yang ada. Kepekaan dan keterlabatan untuk membantu orang yang menderita merupakan panggilan bersama umat beragama. 2.
Sosialitas Pembinaan kelas bersama dapat menjadi sarana untuk mengembangkan sosialitas anak secara sehat, terdampingi, dan terarah. Kegiatan semacam ini sebaiknya diselenggarakan di rumah salah seorang siswa anggota kelas yang kira-kira mampu menampung anggota kelas. Dari sisi etika dan sopan santun hidup bersama, dapat disampaikan bagaimana sopan santun minta izin kepada orang tua teman sebagai pemilik rumah, pemberitahuan kepada RTt atau lingjungan temoat kegiatan dilaksanakan. Dengan ini anak diajak untuk bersikap sopan dan menghargai apabila datang ke tempat orang lain atau ke lingkungan lain. secara organisatoris anak diajak untuk terlibat mulai dari fase perencanaan, pelaksanaan, dan persiapan tempat sampai kegiatan membereskan kembali tempat yang digunakan supaya tidak merepotkan keluarga yang ketempatan kegiatan, serta pengevaluasiannya.
100
3. Gender Dalam skope ilmu sosial kemasyarakatan, tuntutan akan kesadaran dan kesetaraan gender menjadi lebih mengemuka dan terbuka untuk diperbincangkan. Kasus ini muncul dan mengemuka di tengah-tengah masyarakat sangat banyak dan bervariasi
serta
dapat
digunakan
untuk
membicarakan
bagaimana penghargaan terhadap perempuan di masyarakat dalam kultur yang sangat patriarkis masih sangat rendah. Kesadaran untuk menghargai perempuan harus tumbuh pada diri setiap menusia, baik laki-laki maupun perempuan. 4.
Keadilan Konsep keadilan secara lebih luas dan konseptual perlu mulai diperkenalkan pada diri siswa. Prinsip adil bekan sekedar sama rata dan sama raasa. Keadilan pada kenyataan bersifat multi dimensional. Namun demikian, pada dasarnya keadilan tujuan dan dasar nilai-nilai hidupnya, yaitu untuk perkembangan dan kesejahteraan hidup manusia. Adil dalam pengertian hukum tidak selalu sejalan dengan “rasa” keadilan dalam masyarakat luas. Banyak kasus keadilan yang dapat menjadi contoh di dalam republik ini. Siswa diajak untuk memperluas wawasan tentang keadilan, tetapa dasar semua hal itu ada dalam hati nurani manusia. Mendiskusikan kasus yang hangat dan mengajak anak untuk mengasah hati nurani guna menyikapi
101
realitas yang ada adalah kesempatan yang kuat untuk menanamkan nilai keadilan secara mendasar dan manusiawi 5. Demokrasi Kasus keributan yang sering terjadi di lembaga DPR maupun DPRD berkaitan dengan pembukaan sidang meupun pembahasan terdapat suatu aturan atau perundang-undangan yang terjadi akhir-akhir ini, yang bisa dilihat secara kasat mata dan transparan melalui media massa baik TV, radio maupun koran emnjadi sebuah contoh yang menarik dan cocok untuk diperkenalkan kepada siswa akan makna sebuah demokrasi dan tidak
mudahnnya
mewujudkan
nilai
demokrasi
yang
sesungguhnya. Siswa dibuka pemikiran dan kesadarannya bahwa perbedaan yang mendasar antara demokrasi dalam teori ilmiah dengan demokrasi dalam realitas kehidupan sehari-hari. Dari berbagai kasus penyimpangan dan contoh yang tidak benar tersubut, dapat menjadi wahana yang tepat untuk membimbing anak mengenal demokrasi yang sebenarnya. Anak dapat diajak untuk besikap secara baik dan benar di masa yang akan datang apabila mereka berperan dalam hidup bermasyarakat kelak. 6. Kejujuran Salah satu mata pelajaran yang dapat dijadikan salahsatu wahana dan sarana mengajarkan nilai-nilai kejujuran mada mata pelajaran akuntansi. Mata pelajaran ini dapat dijadikan sarana
102
bagi anak didik dalam bidang keuangan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara benar dan transparan. Laporan keuangan ini dapat dijadikan alat untuk menilai apakah seseorang bertindak jujur atau tidak. Pembukuan dapat juga digunakan untuk mencari keuntungan yang berarti mengingkari kebenaran yang seharusnya diungkapkan dalam pembukuan tersebut. 7. Kemandirian Kegiatan ekskul (ekstrakurikuler) merupakan ajang dan sarana tang tepat untuk melatih kemandirian anak. Bukan karena faktor kegiatan itu tidak diawasi dan dinilai oleh guru secara cermat, tetapi lebih kepada faktor keberanian siswa mengambil pilihan jegiatan, kemampuan mengorganisasi waktu pribadi, mengenal kemampuan diri, dan kemauan untuk setia pada pilihan. Proses ini akan membawa siswa pada penggalian potensi kemandirian berdasarkan sikap pribadi secara optimal. 8. Daya Juang Mengenal bakat dan kemampuan diri untuk dipilih dan dikembangkan seoptimal mungkin tanpa meninggalkan dan membunuh potensi yang lain perlu dilakukan pada siswa usia ini. Sikap optimalisasi juga akan menumbuhkan daya juang untuk berkembang secara terus-menerus. Siswa tidak hanya merasa puas akan apa yang sudah dicapai, tetapi juga merasa
103
ingin terus berkembang khususnya pada kemampuan potensial yang ada dalam dirinya. 9. Tanggung Jawab Kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) dan non akademik yang beraneka ragam merupakan wahana dan sarana yang tepat untuk dapat membantu menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab siswa. Kegiatan yang dipilih pasti memiliki konsekuensi, paling tidak dalam masalah pembagian waktu berkaitan dengan multi peran yang disandang setiap orang. Apabila ia terlalu bersemangat untuk mengikuti banyak kegiatan maka ada konsekuensi
yang
dipikul,
yaitu
waktu
untuk
belajar,
mempersiapkan ulangan, menjalankan peran dan tugas di rumah, dan lain sebagainya. Tanggung jawab tentu berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban yang diemban seseorang. Guru dapat mengajak siswa untuk mengevaluasi dan mengkritisi kegiatan yang telah dipilihnya. 10. Penghargaan terhadap Lingkungan Alam Kelompok den kegiatan pecinta alam merupakan wadah yang cocok untuk mengembangkan sikap mencintai lingkungan alam. Namun demikian, perlu ada penjernihan dan pelurusan pengertian pecinta alam. Dalam banyak versi pecinta alam sering
dimaknai
dan
dikonotasikan
sebagai
kegiatan
petualangan belaka, kegiatan untuk menaklukkan tantangan
104
alam,
petualangan
unutk
menunjukkan
ciri
kejantanan,
kegagahan, dan keberanian. Penjernihan dan pelurusan pemahaman perlu dilakukan yaitu bahwa pen-cinta alam adalah suatu kegiatan sungguhsungguh mencintai alam dalam berbagai bentuk kemungkinan. Untuk mendukung kecintaan pada alam maka dibutuhkan sikap berani berpetualang hingga dapat mengenali kehidupan secara luas. Namun demikian, mencintai alam pada dasarnya adalah kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam, maka mencintai alam semesta berarti mencintai kehidupan manusia. Berbagai kegiatan yang bersifat dan berbau petualangan adalah langkah pendukung untuk bisa mengenal dan memahami lingkungan dan perkembangannya secara dekat dan menyatu dalam kehidupan. Organisasi Green Peace misalnya, adalah sebuah organisasi yang kegiatannya penuh dengan petualangan dan tantangan yang selalu diarahkan pada upaya pelestarian alam
dan
lingkungan
kehidupan.
Mencintai
alam
dan
lingkungan hidup haruslah diarahkan agar ada sikap untuk mencintai kehidupan secara berimbang. Tidak ada gunanya mencinta alam tanpa mencintai kehidupan sesama manusia Nurul ZUhriah, 2011: 40-60).
105
Apabila konsep menurut Nurul Zuhriah diatas di buat skema maka akan terbentuk seperti di bawah ini: Nilai TK SD ALTP/SMP SLTA/SMA 1. Religiusitas - Membiasakan - Mengenal hari- - Mengenal - Melihatr realita anak berdoa . hari besar lebih dalam sosial dan agama. tokoh/nabi menanggapinya - Membiasakan dan rasul sebagai realisasi anak - Nilai-nilai hidup pemberi ajaran agama. bersyukur. agama-agama. dasar agama. - Sadar akan - Saling - Saling kebutuhan menghormati menghargai sesama. antar agama. antarumat beragama. 2. Sosialitas
- Membiasakan - Tatanan hidup - Solidaritas - Melatih anak hidup bersama untuk yang benar. organisasi. bersama keteraturan dan - Persahabatan - Melatih sopan saling kebersamaan. yang sejati. santun dalam memerhatika membuat acara - Penghormatan n bersama. kepada orang tua. - Aktivitas yang baik dan berguna.
3. Gender
- Kesetaraan dalam permainan.
- Perempuan - Kepemimpina - Kesadaran akan bukan makhluk n perempuan. kasus-kasus lemah. pelecehan dalam - Kegiatan masyarakat. yang lebih luas bagi perempuan.
4. Keadilan
- Anak mendapat kesempatan yang sama.
- Kesempatan - Mengembalik - Kosep keadilan yang sama bagi an hasil berkaitan dengan semua. ulangan pada hati nurani. waktunya. - Perlakuan terhadap fisik yang berbeda.
5. Demokrasi
- Imajinasi - Mengahargai anak dihargai perbedaan dan pendapat. diarahkan - Berani menerima realita.
- Arti demokrasi. - Pemilihan OSIS.
- Pemahaman demokrasi: kasus konkret dalam masyarakat.
6. Kejujuran
- Menghargai milik orang lain
- Menyatakan kebenaran.
- Kejujuran dan akibatnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai
TK
- Mengoreksi dengan benar.
SD
ALTP/SMP
SLTA/SMA
106
7. Kemandirian
- Week end pembinaan kelas.
- Keberanian untuk menentukan pilihan. - Ketekunan akan pilihan. - Keseimbangan hak den kewajiban.
8. Daya juang - Kegiatan fisik - Daya tahan jalan-jalan. fisik. - Sikap berani dan sportif.
- Daya taha psikis.
- Optimalisasi diri. - Mengenali dan bangga pada potensi diri.
9. Tanggung - Memakai dan - Menjalankan jawab membersihka kewajiban n alat bersama secara permainan bertanggung sendiri. jawab. - Melaporkan bila merusakkan barang.
- Menjalankan - Keseimbangan kewajiban antara hak dan secara kewajiban. pribadi maupun bersama. - Menumbuhka n kepercayaan diri.
10.
- Mengenali - Mencintai alam karakter pada prinsipnya lingkungan mencintai dan tanaman. kehidupan.
Pengharg aan terhadap lingkunga n alam
- Sekolah tidak - Eksplorasi ditunggui kemampuan. - Dapat mengambil keputusan.
Kebersihan - Memelihara tanaman/bun - Menjaga ga. lingkungan hidup. - Membantu kesehatan lingkungan.
Penanaman nilai-nilai kehidupan untuk membentuk budi pekerti yang baik dalam kehidupan manusia dapat dilakukan melalui jenjang pendidikan formal. Wahana untuk menanamkan nilai dalam pendidikan formal dapat dilakukan melalui berbagai bidang studi, baik secara integrated maupun secara separated, tidak melulu menjadi beban dan dilakukan oleh Pendidikan Agama dan PPKn. Setiap bidang studi dapat berperan dalam proses penanaman nilai untuk membentuk budi pekerti yang
107
baik tersebut. Selain itu, kegiatan di luar bidang studi seperti kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) juga terbuka untuk proses penanaman nilai. Pembentukan dan penanaman nilai-nilai kehidupan dalam kegiatan pembelajaran, dituntut untuk keterlibatan dan kerja sama dari semua pihak. Khususnya bagi seorang guru atau pendidik untuk proses penanaman nilaiini dituntut adanya keteladanan. Keteladanan dalam konsistensi berpikir dan bersikap dalam kehiduoan sehari-hari. Tuntutan ini bukan berarti seorang guru atau pendidik harus menjadi malaikat atau manusia yang sempurna, melainkan manusia yang memiliki sikap yang konsisten dalam sikap hidupnya, artinya terbuka untuk perbaikan, terbuka untuk menerima kritik dan masukan keteladanan untuk mau berkembang. Berkaitan dengan materi dan isi dari nilai-nilai yang akan ditanamkan, seorang guru yang sekaligus berperan sebagai pendidik dituntut
untuk
kreatif.
Kreatif
menemukan
kemungkinan
untuk
menawarkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Kreatif dan berinisiatif untuk tekun mengolah perkembangan dan tuntutan yang ada tanpa meninggalkan inti ajaran hidup. Hal ini berarti juga bahwa seorang guru harus terus-menerus belajar tentang makna hidup itu sendiri.
108
BAB V PENUTUP
Pada bagian akhir dari pembahasan ini, penulis mengambil kesimpulan berdasarkan analisis yang disesuaikan dengan tujuan pembahasan skripsi ini. Penulis juga memberikan saran-saran yang dirasa relevan dan perlu, dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi pikiran yang berharga bagi dunia pendidikan umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. A. Kesimpulan Dari apa yang telah diuraikan
tersebut di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa: 1. Ki Hajar dewantara adalah seorang keturunan bangsawan sehingga mendapatkan gelar Raden Mas (RM). Raden Mas Soewardi Soeryaningrat adalah nama asli beliau ketika lahir. Karena keinginan beliau untuk lebih dekat dengan rakyat maka nama beliau diganti menjadi Ki Hajar Dewantara. Selain keturunan bangsawan beliau juga masih mempunyai alur keturunan dengan Sunan Kali Jaga. Sebagaimana seorang yang dilahirkan sebagai keturunan bangsawan dan ulama, beliau dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio kultural yang religius serta kondusif. 2. Ki Hajar Dewantara adalah seorang revolusioner dalam bidang pendidikan Indonesia. Perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan menjadi salah salah satu bukti kiprahnya dalam dunia pendidikan. Beliau juga sangat berperan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia dengan bergabung
109
dibeberapa warta cetak pada masa itu seperti Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Lewat tulisan-tulisanya
beliau
memperjuangkan
kaum
yang lemah dan
mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya. Beliau adalah orang yang sangat gigih berjuang terbukti dengan diikutinya secara aktif organisasi-organisasi nasional pada masa itu seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam Cabang Bandung, Pendiri Indische Partij. Selain menjadi menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan untuk pertama kalinya beliau juga mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Sebagai penghormatan bangsa Indonesia atas perjuangan beliau selama ini maka tanggal lahir beliau 2 mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional dan hingga saat ini beliau tetap abadi dikenang sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. 3. Sebagai seorang bangsawan beliau memiliki wawasan yang luas dan cerdas. Karena beberapa permasalahan di kerajaan membuat beliau hidup di luar istana sehingga dapat memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap rakyatnya yang jelata. 4. Pokok-pokok pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagaiman tertuang dalam karya-karyanya
meliputi
pendidikan,
kebudayaan
politik
dan
kemasyarakatan. 5. Karakteristik pemikiran beliau cenderung kalem namun gigih dan tegas. Sehinggan banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang lugas dan tepat sasaran. Arah pendidikan yang beliau ajarkan bernafaskan kebangsaan dan
110
berlanggam jawa. Tetap berpegang teguh pada tujuan pendidikan secara nasional dengan mengiramakan pendidikanya dengan kebudayaan sesuai dengan latar belakang budaya yang dimiliki. 6. Konsep Pendidikan Budi Pekerti menurut Ki Hajar Dewantara dalam menanamkan moral ada beberapa komponen yaitu: Pertama,
maksud dan tujuan pendidikan budi pekerti adalah
berusaha memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada keinsyafan dan kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa dewasanya agar terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapaikebahagiaan lahir dan batin.Dalam proses pendidikan tersebut harus ada pendidik dan anak didik. Kedua, Pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara berdasarkan pada asas pancadharma, yang terdiri dari kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Ketiga, Dalam penyampaian pendidikan budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara
menggunakan
metode
yang
disesuaikan
urutan-urutan
pengambilan keputusan berbuat, yaitu metode ngerti, ngrasa dan nglakoni. Keempat, materi pendidikan budi pekerti dapat diambil dari cerita rakyat, lakon, babad dan sejarah, buku karangan pada pujangga, kitab suci agama dan adat istiadat. Kelima, Lingkungan pendidikan budi pekerti yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat.
111
7. Pemikiran Ki Hajar Dewantara sampai saat ini tetap relevan terbukti dengan adanya beberapa tokoh pendidikan yang masih menggunakan konsep beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran dan kasus yang dihadapi. Seperti Halnya Ki Hajar dewantara yang membagi sistem pendidikan budi pekerti sesuai jenjang usia anak didik Nurul Zuhriah juga menyajikan pendidikan budi pekerti dalam pendidikan formal sesuai dengan jenjang pendidikan nasional.
B. Saran-saran Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan, baik bagi pendidik maupun instansi yang menangani pendidikan. Petama, Pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki maksud dan tujuan yang bagus, serta tetap relevan hingga saat ini, di tengah degradasi moral yang melanda bangsa ini. Di tengah orangorang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, di tengah orang-orang yang mementingkan material dari pada moral, konsep pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara perlu diterapkan dalam usaha penanaman moral negerasi muda saat ini. Kedua, Sebagai seorang guru hendaknya dapat menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya, sehingga seorang guru harus dapat “digugu dan ditiru” oleh anak didiknya.
112
Ketiga, perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat luas bahwa kekerasan, penindasan, serta penekanan-penekanan terhadap peserta didik dalam proses belajar akan berimplikasi terhadap kondisi perkembangan psikisnya dan hanya akan melahirkan pribadipribadi yang tidak percaya diri, keras dan kasar, yang menyebabkan semakin jauh dari nilai-nilai luhur agama (Islam) yang sangat mengagungkan rasa cinta dan kasih sayang sebagai cerminan akhlak yang mulia.
113
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Muzazzin, Prof. H., M.Ed. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bumi Aksara : Jakarta. Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr. 2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Rineka Cipta : Jakarta. Budiningsih, C. Asri, Dr. 2008. Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Rineka Cipta : Jakarta. Darajat, Zakiyah, Dr. 1977. Membina Nilai-Nilai Moral Indonesia. Bulan Bintang : Jakarta. Dewantara, Bambang S. 1989. 100 Tahun Ki Hajar Dewantara. Garuda Metropolitan pers : Jakarta. _______. 1989. Ki Hajar Dewantara Ayahku. Pustaka Harapan : Jakarta. Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa : Yogyakarta. Djumhur dan Drs. Danu Saputra. 1976. Sejarah Pendidikan. CV. ILMU : Bandung. Gunawan. 1992. Berjuang Tanpa Henti Dan Tak Kenal Lelah Dalam Buku Peringatan 70 Tahun Taman Siswa. MLPTS : Yogyakarta. H. A. R. Tilaar. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta : Jakarta. _______. 2007. Mengindonesia Etnitas dan Identitas Bangsa. Rineka Cipta : Jakarta. H.A.H. Harahap dan B.S. Dewantara. 1898. Ki Hajar Dewantara dkk. Gunung Agung : Jakarta. Hadi, Sutrisno, Prof. Drs., M.A.1987. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Jogjakarta : Yogyakarta. Idris, Zahra dan Lisma. 1992. Pengantar Pendidikan 1. PT. Gasindo : Jakarta. Irna NH dan Hadi Suwito. 1985. Soewardi Soeryaningrat Dalam Pengasingan. Balai Pustaka : Jakarta. Ki Hariadi dan Sugiono 1989. Ki Hajar Dewantara Dalam Pandangan Cantrik dan Mancantriknya. MLTS : Yogyakarta. M. Ahmad dkk. 1998. Pengembangan Kurikulum. Pustaka Setia : Bandung. M.Amirin, Tatang, Drs. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Raja Grafindo Persada : Jakarta. M.Arifin, Prof. H., M.Ed. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara : Jakarta. Nata, Abudin, Dr. H., MA. 2003. Pemikiran Para Tokog Pendidikan Islam. Rajawali press : Jakarta. Sagimun MD. 1983. Mengenal Pahlawan-Pahlawan Kita. Brathara Karya Aksara : Jakarta. Soeratman, Darsiti. 1984. Ki Hajar Dewantara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta. Sokawati Dewantara, Bambang. 1981. Mereka Yang Selalu Hidup Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara. Roda Pengetahuan : Jakarta. Surjo Miharjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Sinar Harapan : Jakarta.
114
Tauhid, Moch. 1963. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hajar Dewantara. MLPTS : Yogyakarta. Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia. Ar Ruzz Media : Yogyakarta. Zuriah, Nurul, Drs., M.Si. 2011. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Bumi Aksara : Jakarta.
115