RESOLUSI KONFLIK DALAM ETIKA ISLAM ( Telaah Pemikiran Tasawuf Hamka ) Azwandi Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram. Abstrak Munculnya radikalisme, terorisme dan konflik-konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal berlatar belakang sosial, keagamaan dan lainnya selama ini, sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor dari diri dalam manusianya itu sendiri. Manusia telah melanggar dan sudah tidak memiliki etika dalam pergaulan dan berkehidupan. Manusia telah kehilangan jati diri sebagai pengemban amanah atau kholifah di bumi, telah kehilangan rasa kasih sayang, keadilan, dan tidak mampu menahan dan mawas diri, sehingga hal inilah yang melahirkan keberingasan, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Untuk itu, sebagai upaya meredam persoalan ini, dibutuhkan sebuah etika global, yang bisa dijadikan sebagai pegangan dalam berkehidupan. Dan dalam kaitan ini, etika Islam dari sudut tasawuf perspektif Hamka bisa dijadikan sebagai acuan dalam membangun perdamaian dan sebagai resolusi konflik.
Kata Kunci: Etika, Islam, Tasawuf, Hamka, Perdamaian, Resolusi Konflik
15
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
A. Pendahuluan Hamka atau yang nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, merupakan salah satu tokoh ulama Indonesia yang dikenal oleh masyarakat luas, selain itu dengan emikirannya, hamka juga dikenal sebagai seorang yang mampu dalam beberapa bidang keilmuan, seperti tafsir, tasawuf, fiqh, sejarah, fisafat, dan sastra. Dan salah satu tulisannya yang pernah dituangkannya di dalam salah satu rubrik pada majalah Pedoman Masyarakat dengan judul “Bahagia”, yang kemudian dibukukan dengan judul Tasawuf Modern.1 Hamka memberikan keterangan dalam kata pengantar pada cetakan pertama dalam bukunya,
tentang mengapa rubrik yang dipakai di dalam
menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern. Di dalam catatan pendahuluan buku itu, Hamka menyebutkan bahwa meletakkan rubrik ‘‘Tasawuf Modern’’ itu pun menjadi bukti bahwasanya ia juga mencintai hidup di dalam tasawuf, yaitu tasawuf yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersikan) bathin. Hal yang menurutnya sebagai ‘keterangan yang modern’ meskipun asalnya terdapat dari buku-buku tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang dimaksud ialah keterangan ilmu tasawuf yang dipermodern.2 Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menelisik bagaimana konsep etika Islam dalam ajaran tasawuf perspektif Hamka jika di kaitkan langsung dengan konsep perdamaian dan resolusi konflik. Karena konflik-konflik yang terjadi selama ini, baik itu konflik intra atau antar agama, konflik sosial, konflik Buku ini telah dicetak berulangkali, sedangkan cetakan I pada tahun 1939, ini menunjukkan masyarakat membacanya merasa sangat cocok dengan apa yang ada dalam buku ini. Buku Hamka ini berisikan tentang bagaimana seharusnya membangun kehidupan yang bahagia sebagaimana yang diinginkan oleh Islam. Di dalamnya banyak dikutip pikiran dan pendapat-pendapat dari banyak sumber, baik tokoh-tokoh filsafat Timur maupun tokoh-tokoh tasawuf Barat yang kemudian isinya dibandingkan kembali dengan barometer al-Qur’an dan al-Sunnah. Di antara buku-buku rujukan yang digunakan Hamka untuk mengetengahkan pemikirannya adalah Ihya’ Ulumuddîn, Arba’in fî ushuluddin, Bidayah, alHidayah, Minhaj al-Abidin, Tahdzib al-Akhlaq, Tafsir Muhammad Abduh, Raddu ‘ala Dahriyîn, Adab alDunya wa al-Din, Riyadh al-Shalihin, kumpulan majalah ‘Azhar’, beberapa risalah Ibnu Sina dan lain-lain. Semua buku-buku itu dijadikan oleh Hamka sebagai penguat argumentasi yang dibangunnya, dengan terkadang menambahkan beberapa poin analisa pribadinya. Lihat Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), vi 2 Ibid. 1
16
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
suku-etnis, lebih banyak disebabkan oleh faktor dari dalam manusia itu sendiri, sehingga melahirkan keberingasan, seperti pengusiran, pembakaran, dan pembunuhan. B. Sekilas Riwayat Kehidupan Hamka Hamka memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 16 Februarui 1908 dan wafat pada tanggal 24 Juli 1981 M. Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat.3 Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furu’ maupun usul. Kakek Hamka sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin.4 Akan tetapi ayah Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah yang lahir pada 17 Shafar 1296 H/16 Februari 1879 yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul atau Tuanku Rasul5, memiliki pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah dilakukan dan di da’wahkan ayah dan kakeknya. Ia terkenalsebagai tokoh pembaharu (al-tajdid). Sedangkan Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji Rasul wataknnya agak keras, sementar Hamka lebih santun. Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan langsung ayahnya. Ia mulai Flori Berta Aning, 100 Tokoh yang Menggubah Indonesia (Yogyakarta: Penrebit Narasi,2007), 79. Hamka, Ayahku ( Jakarta: Uminnda, 2000), 27-42. 5 Waktu Kecil diberi nama oleh Syekh Amrullah: Muhammad Rasul. Sepulang belajar dari Mekkah dalam waktu yang relatif cukup lama berganti nama menjadi Abdul Karim. Dalam tradisi dahulu, siapa orang Islam yang telah berhasil menunaikan ibadah haji, maka biasanya mengganti nama kecilnya. Lihat dalam catatan kaki Muhammad Damami,Tasawuf Positif: dalam Pemikiran HAMKA (Yogyakarta :Fajar Pustaka Baru, 2000), 150. 3 4
17
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
mempelajari al Qur’an dari orang tuanya hingga usia enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang di tahun 1948. Setahun kemudian di usia Hamka yang ke tujuh tahun sang ayah memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa itu ia hanya menjalaninya selama tiga tahun. Akan tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan pendidikan di sekolah sekitarnya (sekolahsekolah agama di Padang Panjang dan Parabek dekat Bukit Tinggi) kira-kira tiga tahun lamanya pula.6 Para sejarawan mengenal Hamka dengan semangat otodidaknya yang gigih. Ia belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmu-ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik baik yang datang dari Islam maupun Barat ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya.7 Ketika Hamka berusia 16 tahun, pencarian ilmunya dilanjutkan dengan hijrah ke tanah Jawa pada tahun 1924. Di Jawa ia berinteraksi dengan beberapa
tokoh
Pergerakan
Islam
modern
seperti
H.
Oemar
Said,
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), R.M Soerejo, Pranoto (1871-1959), dan KH Fakhrudin (ayah dari KH Abdur Razzaq). Kota Yogjakarta terlihat memiliki arti penting dalam proses perkembangan pribadi dan pemikiran Hamka. Kota itu telah memberikan kesadaran baru dalam beragama yang selama ini difahami olehnya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di kota inilah ia menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.”8 Di Yogjakarta, Hamka lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial Belanda.9 Hal itu berbeda dengan pendidikan semasa masih di kampung halaman yang lebih berorientasikan pada pembersihan akidah dari syirik, bid’ah dan khurafat di mana
6 Disebutkan pula bahwa Hamka pernah memasuki Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek dari tahun 1916 hingga 1923. Salahudin Hamid, Seratus Tokoh Islam Indonesia, (Jakarta: Intermedia, 2003), 63. 7 Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 61. 8 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al Azhar (Jakarta: Permadani, 2003), 43. 9 H. Ramlan Marjoned, KH. Hasan Bashri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peran Masjid (Jakarta: Media Da’wah, 1990), 290-295.
18
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
penampilan perjuangan itu sudah terlihat semenjak munculnya Perang Paderi sampai kemasa tiga serangkai; Haji Abdullah Ahmad, Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek.10 Ditahun-tahun berikutnya, Hamka kemudian mulai banyak berkiprah dan mengabdikan diri kepada umat, baik melalui gerakan Muhammadiyah maupun pada lembaga lainnya. Khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia tahun1947. Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan tahun 1959 dan dengan dibubarkannya Masyumi pula tahun 1960 ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta.11 Kemampuan Hamka tidak hanya bisa memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah12, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern hingga yang terakhir Tafsir Al Azhar 30 Juz13.
Yusuf, Corak Pemikiran..., 45. Badruzzaman Busyairi, Setengah Abad Al Azhar (Jakarta: PT. ABADI, 2002), 29-30. 12 Karya-karya Hamka antara lain : Khotibul Ummah I,II,III, Si sabariah Adat Minagkabau dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Kepentingan Melakukan Tabligh, Hikmat Isra’ Mikraj, Arkanul islam, Laila Majnun, Mati mengandung Malu, Dibawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya kapal Van der Wijck, Pedoman Mubaligh Islam, Di dalam lembah kehidupan, Tuan Direktur, Dijemput mamaknya, Keadilan Ilahi, Tasawuf modern, falsafah Hidup, Agama dan Perempuan, Merantau ke Deli, Terusir,Margareta Gauthier, Lembaga hidup, Lembaga budi, Negara Islam, Islam dan demokrasi, Revolusi fikiran, Revolusi agama, Merdeka, Dibandingkan ombak masyarakat, Adat Minangkabau menghadapi revolusi, didalam lembah cita-cita, Muhammadiyah melalui tiga zaman, sesudah naskah Renville, Pidato pembelaan peristiwa tiga maret, Cemburu (ghibah),Menunggu budak berbunyi, ayahku, pribadi, 1001 soal hidup, falsafah ideologi Islam, keadilan sosial dalam Islam, perkembangan tasawuf dari abad ke abad, Urat tanggung Pancasila, Bohong di dunia, Empat bulan di amirika, Lembaga hikmat, Kenang-kenagan hidup I,II,III,IV, sejarah ummat Islam I,II,III,IV, Pelajaran agama Islam,Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia, mandi cahaya di tanah suci, Mengembara di lembah nyl, ditepi sungai Dajlah, Soal jawab, Pandangan hidup muslim, Dari pendaharaan lama, Ekspandi ideologi, Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Hak asasi manusia dipandang dari segi Islam, Cita-cita kenegaraan dalam ajaran islam, Kedudukan perempuan dalam islam, Islam dan kebathinan, Studi Islam, Mengembalikan tasawuf ke pangkalnya, Do’a-do’a Rasulullah, Himpunan khutbah-khtbah, Sejarah Islam di sumatra, Muhammadiyah di Minangkabau, Pembela Islam, Tafsir Al-Azhar 1 s/d 30 juz, dan lain-lain lihat, Damami, Tasawuf Positif...,257-260. 13 Karya tafsir ini ditulis pada saat ia berada di tahanan pada rezim Soekarno, atas fitnah atau tuduhan makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan, Hamka sendiri baru dibebaskan pada 23 Mei 1966. 10 11
19
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
C. Hamka dan Tasawuf Modern Di dalam literatur karya Hamka, ia tidak menggunakan istilah “Tazkiyatun Nafs” sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf, maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam. Dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah Shifa’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji.14 Dalam bukunya yang lain Tasawuf Modern, tasawuf adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang terlebih dari keperluan untuk keperluan diri.15 Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas dapatlah kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, di mana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam.16 Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika menafsirkan QS. Asy-Syams: 9-10 dalam Tafsir al Azhar: 910,“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Menurutnya, penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan dalam Dakwah Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), 202. Hamka, Tasawuf..., 7. 16 Menurut Anis Ahmad Karzun, bahwa definisi Tazkiyah al-Nafs adalah; “Pembersihan jiwa dari pengaruh kejelekan dan dosa-dosa, kemudian menyingkapkan fitrah yang mengarah kepada kebaikan dan yang akan membawa pelakunya menjadi hamba istiqamah, dan menjadikannya sampai kepada derajat ihsan. Lihat, Anis Ahmad Karzun, Manhaj al-Islami fi Tazkiyah al-Naf (Beirut: Dar al-Nur al-Maktabah, 1997), 12. 14 15
20
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justeru akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.17 Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama (Tasawwuf Masyru’)18. Oleh sebab itulah, di dalam penilaian
Hamka,
tasawuf
tidaklah
memiliki
sumber
lain
melainkan
bersumberkan murni dari Islam.19 Bagi Hamka sangat menekankan keharusan setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik20. Konsep tasawuf Hamka mendasarkan pada kerangka agama dibawah pondasi aqidah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benarbenar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri ini, pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di syari’atkan oleh Islam.21 Alasan Hamka karena kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di jaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain. Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata “modern” sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid XXX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), 176 . Dalam pemahaman Ibnu Taimiyah, bahwa ia tidak mempermasalahkan adanya istilah tasawuf sebagai disiplin ilmu. Menurutnya yang paling penting adalah esensi dan pengalaman di dalamnya yang harus sesuai dengan standar al Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itulah, terkadang Ibnu Taimiyah dalam karangannya menggunakan istilah tasawwûf masyru’ (Tasawuf yang sesuai dengan syari’at), atau zuhud masyru’ (zuhud yang sesuai dengan syari’at). Menurut Ibnu Taimiyah, tasawuf yang dimaksud itu adalah tasawuf yang selaras atau sesuai dengan kehidupan para sahabat Rasulullah saw. Lihat, Abdul Fattah Sayyid Ahmad, “al-Thasawwûf bayna Al-Ghazâli wa Ibn Taymiyah”, Terj. Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Khalifa, 2005), 275. 19 Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa tasawuf tidak bersumberkan dari ajaran Islam akan tetapi bersumber dari pandangan hidup Hindu, Persia, Nashrani, atau filsafat Yunani. Pendapat atau pandangan ini oleh Hamka ditolak karena ajaran tasawuf murni bersumber dari ajaran Islam Lihat, Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), 59. 20 Hamka, Tasawuf...., 7. 21 Ibid., 59. 17 18
21
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang
praktek-praktek
tasawuf
pada
umumnya.
Oleh
karenanya,
Muhammad Damami dalam bukunya Tasawuf Positif mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf modernnya, bahwa istilah “tasawuf modern” merupakan lawan terhadap istilah “tasawuf tradisional”22. Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya.23 Keberadaan tasawuf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau menurut bahasa Hamka, i’tidal. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan : “Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu” 24 Hamka menambahkan, bahwa jalan tasawuf adalah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riyadhah al-nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan 22 23
Damami, Tasawuf Positif..., 193. Sulaiman Al Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym (Semarang: Pustaka Nuun, 2004),
57. 24
22
Hamka, Akhlaqul Karimah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), 1.
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
timbullah cahaya yang gemilang. Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan serta hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. D. Etika Islam Perspektif Hamka Menurut Hamka, bahwa adab, etika atau kesopanan bathin dibagi menjadi dua25, yaitu pertama, adab atau etika sesama makhluk dan kedua, adab atau etika kepada Kholik (zat pencipta). Pertama, Etka antar sesama makhluk. Hamka membahas tentang adab terhadap sesama mahkluk ini dengan mengemukakan tiga sifat asli yang ada pada diri manusia dalam rangka untuk penyempurnaan tabiat hewaniyahnya, yaitu kecenderungan, kemauan, dan memeningkan diri sendiri. Selain itu, hamka mengemukakan bahwa Tuhan memberikan anugerah kepada manusia dengan memberikan akal kepadanya, dengan akal itulah manusia dapat mengatur sifat asli yang ada padanya. Jika akal dikalahkan rusaklah manusia itu, tetapi jika akal dapat mengaturnya dengan baik, maka baiklah manusia itu. Tetapi, hamka menandaskan bahwa tidak cukup hanya dengan akal saja, karena dengan mempergunakan akal saja belum akan ada nilainya, melainkan dengan tuntunan kitab suci dan sunnah Nabi. Dalam hal ini, hamka memberikan contoh adab sesama makhluk yang berdasarkan pada Islam, antara lain: pertama, masalah memelihara mata dan perhiasan, menurutnya, berdasarkan QS. an-Nur ayat : 30-31, orang harus memelihara pandangannya terhadap lain jenis, karena kalau tidak akan mendatangkan fitnah. Kedua, masalah hubungan silaturrahim, hamka mengutip QS. al-ujarat, ayat 11-12, menurutnya ayat ini erat sekali dengan kaitannya dengan kesopanan bermasyarakat. Segala yang dilarang dalam ayat itu adalah perkara-perkara yang selalu merusakkan masyarakat, yaitu dilarang saling mencela antar-golongan masyarakat, jangan memberi gelar yang jelek, jangan membuat prasangka yang buruk, dan dilarang membicarakan aib orang lain.
25
Hamka, Falsafah Hidup (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994), 140-144.
23
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
Kedua, Adab kepada Tuhan atau kepada dzat Maha Pencipta, menurut Hamka adalah sikap mencintai-Nya, beramal dengan ikhlas, raja’, khauf, takwa, syukur, tawakkal, tafakkur, dan lain-lain. Hamka menjelaskan satu persatu istilah itu. Raja’ misalnya, adalah pengharapan yang diikuti oleh pekerjaan, mengharap akan ridha Allah dan kasih-Nya. Khauf adalah takut akan azab, sikasa dan kemurkaan-Nya. Syukur ialah memuji Allah dan berterimakasih kepada Allah atas nikmat-Nya yang tiada teerhitung banyaknya, baik yang berupa bathin maupun lahir. Tawakkal ialah bekerja bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam usaha di dalam hidup, lalu menyerahkan keputusan buruk baiknya kepada Tuhan. Sedangkan tafakkur adalah memandang kebesaran Allah dan kelemahan diri sendiri. E. Etika Islam dalam Tasawuf perspektif Hamka Sebagai Alternatif dalam Membangun Etka Perdamaian Dan Resolusi Konflik Etika dalam kamus bahasa Indonesia didefinisikan adalah sebagai ilmu apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.26 Sedangkan menurut Ahmad Amin dalam kitab al-akhlak memberikan arti bahwa etika adalah suatu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.27 26
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1994),
271. 27 Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak (Kairo : Dar al-Kutub al-Mishriyah,tt), 3. Ketika menyebut etika, akhlak dan adab, sebagaian orang beranggapan bahwa pengertian dari ketiga kata ini sebagian orang menganggap sama, padahal ketiga kata ini jika ditelusuri memiliki perbedaan . pertama akhlak, akhlak adalah bentuk jamak dari kata khuluk atau khilq yang berarti perangai (as-sajiyah), kelakuan atau watak dasar (ath-thabi’ah), kebiasaan (al-‘adah),peradaban yang baik (al-muru’ah), dan agama (ad-din). lihat : Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-falafi (Mesir: Dar al-Kitab al-Misri, 1987), 539. Sedangkan letak perbedaan antara etika dengan akhlak adalah sebagaiamana dikatakan oleh Muhammad Quraish Shihab, ia mengatakan : “akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar-sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya, yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa) lihat : Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 261. kedua adab, dalam kamus al-Munawwir diartikan adab dengan kesopanan, pendidikan, pesta dan akhlak. Lihat : A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir..., 13-14. Sedangkan menurut Cyril Glasse memberikan
24
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menurut K. Barten etika dibagi menjadi dua, yaitu etika kewajiban dan etika keutamaan. Etika kewajiban adalah etika yang mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan seseorang etika kewajiban ini adalah mencari jawab dari pertanyaan pokok : what should I do? Yang artinya “saya harus melakukan apa” sedangkan etika keutamaan adalah etika yang tidak menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika keutamaan mengerahkan focus perhatiannya pada being manusia, yang berbeda dengan etika kewajiban yang menekankan doing manusia. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan : what kind of person should I be? Yang artinya“ saya harus menjadi orang yang bagaimana?”28 Berkenaan dengan hal tersebut di atas, menurut Hamka, ada beberapa konsep yang bisa diterapkan sebagai salah satu alternatif dalam membangun sebuah etika (global ethic) untuk menciptakan sebuah perdamaian dan sebagai resolusi konflik. Konsep-konsep yang ditawarkan Hamka ini bersumber dari konsep ajaran tasawuf yaitu : ‘iffah, syaja’ah, ‘adl, mahabbah dan hikamah. Untuk lebih jelasnya tentang apa yang dimaksud dengan ‘iffah, syaja’ah, ‘adl, mahabbah dan hikamah, Hamka memberikan penjelasan sebagai berikut : a. ‘Iffah Hamka mengatakan bahwa” ‘Iffah artinya pandai mengendalikan diri sendiri. ‘Iffah itu dipakai terhadap orang-orang yang hidupnya susah dan belanjanya tidak cukup. Tetapi karena pandainya berbelanja sekali-kali tidak diketahui orang. Bahwa dia miskin malah disangka orang kaya juga. Tetapi kalau katak hendak jadi lembu, belanjanya lebih besar dari pada penghasilannya, supaya dipandang orang bahwa dia mampu, lalu berhutang-hutang kiri-kanan, dinamai safah.”29
arti adab dengan kesopanan, sopan santun, tata karma, moral, dan sastra. Lihat : Cyril Glasse, Insiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 11. 28 Lihat K.Barten, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 212. 29 Hamka, Falsafah Hidup…., 57.
25
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
b. Syaja’ah Menurut Hamka, syaja’ah adalah kekuatan ghodhob (marah) itu ditentukan oleh akal, baik majunya dan mundurnya.30 Selain itu, Hamka juga mengangkat Istilah keberanian budi. Keberanian budi yang ia maksudkan adalah keberanian dalam menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri keberaniannya, sebagaimana yang ia katakana, “keberanian budi ialah berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri keberaniannya, walaupun akan dibenci orang.31 c. Mahabbah Mahabah secara literal bermakna cinta, kaitannya dengan mahabbah ini, Hamka mengatakan : “Ahli-ahli pikir dan para pemimpin, orang-orang budiman di dunia ini. Kalau tidak ada cinta niscaya nilai kemanusiaan akan hancur. Orang yang bercinta tidaklah pernah khianat kepada orang yang dicintainya, tidak pernah menyakiti dan tidak pernah mengecewakan.32 Cinta yang dimaksud disini adalah cinta sesama manusia sebagai kecintan yang perlu dibela.33 d. ‘Adl ‘Adil dalam pandangan Hamka disini adalah keadaan nafs, yaitu suatu kekuatan bathin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik. Dan dalam keadilan disini mengandung tiga perkara yaitu persamaan, kemerdekaan dan hak milik.34 e. Hikmah Menurut Hamka bahwa hikamah
itu berasal dari bahasa arab yang jika
diterjemah ke dalam bahasa Indonesia bias diartikan dengan rahasia. Hikmah lanjut Hamka maknanya
berdekatan denagan fitrah, sebagaimana ia
mengatakan “ Hikamah berdekatan dengan fitrah, asal kesucian akal manusia, sehingga lantaran demikian, seorang hakim (ahli hikmat) menuut pandangan sebagian filosuf, luput dari kesalahan. 30 31 32 33 34
26
Hamka, Akhlakul Karimah…, 6. Hamka, Falsafah Hidup…, 212. Ibid., 87. Ibid., 88. Hamka, Akhlakul Karimah…, 5.
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
Hikmah menurut Hamka adalah keadaan nafs (batin) yang dengan hikmah dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang saah segala perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar. Berkenaan dengan hikmah ini Hamka pernah mengatakan : “kita ingin mengetahui hakikat sesuatu, dan kita hendak mengerti kedudukannya. Kita bekerja keras menumpahkan segenap akal dan npikiran, menyelidiki sampai dalam. Karena kesungguhan hati, terbukalah rahasia barang yang kita cari, sehingga kita telah mempunyai kepercayaan dan keyakinan di dalam perkara itu. Maka hasrat mencari dan mengorek rahasia itu, itulah yang bernama hikmah. Dalam tafsir al-Azhar, ketika Hamka menafsirkan surat al-Baqarah, ayat 69, Hamka menafsirkannya dengan mengatakan : “Hikmah lebih luas daripada ilmu bahkan ujung daripada ilmu adalah permulaan dari pada hikmah. Hikmah boleh juga diartikan mengetahui yang tersirat dibelakang yang tersurat, menilik yang ghoib dari melihat yang nyata, mengetahui akan kepastian ujung karena telah melihat pangkal. Ahli hikmah melihat cewang di langit tanda panas, gabak di hulu tanda hujan. Perasaan ahli hikmah adalah halus. Karena melihat alam ahli hikmah mengenal Tuhan. Sebab itu, dalam bahasa kita, hikmah disebut bijaksana, dan ahli hikmah disebut bahasa arab. Al-hakim adalah satu di antara asma’ Allah, maka kekayaan yang paling tinggi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah kekayaan hikmah itu. Kemudian ketika menguraikan surat al-Baqarah ayat 26935, Hamka membatasi hikmah itu dengan beberapa hal yaitu sebagaimana disebutkan dalam tafsir al-Azharnya menyebutkan : “Ayat ini menunjukkan bahwasanya kekayaan yang sejati ialah hikmah yang diberikan Allah. Kecerdasan akal, keluasan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri dengan masyarakat; itulah kekayaan yang sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang hara bendanya berlimpahlimpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah dengan hikmah, samalah artinya dengan orang miskin. Sebab dia tidak sanggup dan tidak mempunyai pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkan”.36
35
36
Hamka,Tafsiral-Azhar. Jilid ke-3 (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), 55.
27
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
F. Penutup Menurut hemat penulis, jika melihat dari definisi etika di atas, maka pada dasarnya etika hanya dilihat pada sisi baik dan buruk, karena itu sesuatu yang baik selalu dianggap benar, dan begitu juga sebaliknya sesuatu yang burukselalu dianggap salah. Hal ini semakin memperjelas jika dikaitkan dengan etika religius terutama pada konsep-konsep ajaran tasawuf. Apa saja yang diperintah Allah dan Rasul-Nya dianggap baik dan benar dan apa saja yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya maka dianggap buruk dan salah. Konsep tasawuf yang menjadi tawaran Hamka lebih mengutamakan kebersihan hati, bersumber dari kejernihan hati ini sehingga mampu memberikan dampak kepada sikap dan prilaku seseorang, hal ini sebagaimana ia mengatakan : “kalau kesopanan bathin suci, hati bersih, niat bagus, tidak hendak menipu sesama manusia, akan baiklah segenap buahnya bagi segenap masyarakat. tidaklah akan canggung ke mana dia pergi walau ke bugis, ke Makasar,ke Ambon, ke Ternate, ke jawa, ke madura, ke Aceh, ke Minangkabau, bahkan ke sudut dunia yang mana sekalipun”37 Kaitannya dengan membangun perdamaian dan resolusi konflik, melalui pendekatan tasawuf dalam perspektif Hamka,
Hamka menawarkan sebuah
konsep etika (Islam) yakni dengan jalan, memiliki sikap dan sifat pertama,‘iffah artinya mampu mengendalikan diri dan mampu menjaga kehormatan diri dari hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada hal-hal yang dilarang agama dan normanorma masyarakat. Kedua syaja’ah artinya berani untuk menegakkan kebenaran walaupun kepada diri sendiri dan kepada orang yang kita cintai. Ketiga ‘adl artinya adil terhadap siapa saja tanpa membeda-bedakan strata sosial orang, tanpa melihat orang dekat atau orang jauh dari kita. Keempat mahabbah artinya cinta-kasih terhadap sesama tampa memandang seseorang dari manapun dari keturunan dan bangsa apa pun dan bahkan agama apapun. Dan kelima hikamah artinya bijaksana terhadap segala tindakan dan keputusan. Jika kelima konsep yang ditawarkan Hamka ini bisa di terapkan sebagai etika dalam bergaul dan bermasyarakat, maka kemunculan konflik dan kekerasan atas nama apapun akan dapat teratasi dengan sendirinya. Karena adanya konflik dan kekerasan yang terjadi dimana-mana lebih banyak disebabkan karena ketiadaan lima sifat ini 37
28
Hamka, Falsafah Hidup..., 103.
Resolusi Konflik dalam Etika Islam (Azwandi)
yakni (sifat ‘iffah, syaja’ah, ‘adl, mahabbah dan hikamah) sehingga sering kali menyulut kepada konflik dan kekerasan bersifat terbuka. Allahu ‘Alamu bis Shawab !
29
Jurnal al-Tazkiah, Vol.4 No.1, 2014: 15-30
Daftar Pustaka Anis Ahmad Karzun. 1997. Manhaj al-Islami fi Tazkiyah al-Nafs. Beirut: Dar alNur al-Maktabah. Badruzzaman Busyairi. 2002. Setengah Abad Al-Azhar. Jakarta: PT. Abadi. Cyril Glasse. 2001. Insiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Flori Berta Aning. 2007. 100 Tokoh yang Menggubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi. Hamka. 1991. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. 1984. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. 1990. Prinsip dan Kebijaksanaan dalam Dakwah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. 1992. Akhlaqul Karimah. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. 1993. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. 1994. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------. Ayahku. Jakarta: Uminnda. Herry Mohammad dkk. 2006. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press. K. Barten. 1993. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. M. Yunan Yusuf. 2003. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al Azhar. Jakarta: Permadani. Muhammad Damami. 2000. Tasawuf Positif ; dalam Pemikiran Hamka. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Muhammad Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Ramlan Marjoned. 1990. KH. Hasan Bashri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peran Masjid. Jakarta: Media Da’wah. Salahudin Hamid. 2003. Seratus Tokoh Islam Indonesia. Jakarta: Intermedia. Sayyid Abdul Fattah Ahmad. 2005. Al-Thasawwuf bayna Al-Ghazali wa Ibn Taymiyah”, Terj. Muhammad Muchson Anasy. Jakarta: Khalifa. Sulaiman Al Kumayi. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun.
30