perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820
(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
SKRIPSI
Oleh : SITI ZULAIHAH
K4407040
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
Oleh: SITI ZULAIHAH NIM: K4407040
SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Siti Zulaihah. K4407040. ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta pada tahun 1788-1820, (2) Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan yang ada di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, (3) Dampak idealisme Paku Buwana IV di dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820. Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman, terlihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Keraton menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), serta usaha untuk menghindari terjadinya gesekan antara dua tradisi (Hindu-Jawa) dengan terciptanya budaya kearifan lokal. (2) Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang Agung atau Sabda Pandeta Ratu), tidak boleh ditentang (absolut) , dibangkang apalagi diberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. (3) Akibat dari idealisme Paku Buwana IV yang meletakkan dasar agama Islam dan menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral birokrasinya, maka Belanda melakukan pengepungan terhadap keraton Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1790 disebut dengan peristiwa Pakepung. Keraton Surakarta dikepung oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Belanda karena pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besarto dalam commit user sistem pemerintahan keraton Surakarta yang diusung Paku Buwana IV pada tahun 1788-1820. v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Siti Zulaihah. K4407040. ISLAMIZATION IN THE PALACE OF
SURAKARTA AN ANALYSIS (Islamic Political Thought of Paku Buwana IV). Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University of Surakarta, July. 2011. The purpose of this study was to determine: (1) A religious life at the Surakarta Palace in the year 1788-1820, (2) Paku Buwana IV Idealism about religious life in Surakarta Palace in 1788-1820, (3) The impact of Paku Buwana IV idealism in the government of the palace of Surakarta in 1788-1820. This study uses historical methods. The steps of the methods include heuristics, criticism, interpretation and historiography. The data used primary sources and secondary sources. Data collection techniques using technique of literature study. The Analytical techniques was accuracy historical analysis which emphasizes on the sharpen in interpreting historical facts. Based on the research results, it can be recognized some conclusious as the following: (1) Kasunanan Surakarta is characterized as an Islamic empire, seen from the position penghulu and abdi dalem ngulama in the royal bureaucracy, the existence of peradilan serambi based on the Islamic law and doctrine, the use of Sayidin Panatagama title (The leader is the leader it self and the Manager of Religious Affairs at the same time) by Sunan, and the establishment of the Great Mosque in the palace environment. The palace became the center of the study about Islamic religion, therefore, the king reached the moral support of the clergy as a form of coexistence. Islam which was held was mystical Islam or syncretic. This is a consequence of the persistence of the previous traditional religion (Hindu-Buddhist), and the effort to avoid friction between the two traditions (Hindu-Javanese) by the creation of local wisdom. (2) King is considered as the center of the forces of nature (cosmos). The king is the representative of God (Kinarya Wakil Hyang Agung or Sabda Pandeta Ratu), should not be challenged (absolute), moreover rebellious rebel. This idealism about the demands of compliance was carried out by Paku Buwana IV to achieve a higher level of power and authority than that of the other kings surrounding (Sultanate and Mangkunegaran) and the VOC also the abdi dalem. The characters of the king were mastering, upholding religious Shari'a, and implementing the Shari'a. The king was as the leader of the people, that is why he was referred to Khalifatullah. (3) As the impact of Paku Buwana IV idealism who laid the foundations of Islam and put the clerics into the position of the central bureaucracy, the Dutch sieged the Surakarta palace. This incident occurred in 1790 was called pakepung event. Surakarta palace was surrounded by an unified army consisting the soldiers of Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, and the Dutch because of the great influence and power of the clerics in the Surakarta palace government system carried by Paku Buwana IV in 1788-1820. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. (Ahmad Mansur Suryanegara)
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad Perhatikan sejarahmu untuk hari esok (QS. Al-Hasyr : ayat 18)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…. (QS. Ali Imran: ayat 103)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan: 1. Ibunda tercinta yang selalu mendoakan disetiap sujud dan tahajudnya. 2. Buat kakakku: mbak Kurni dan mas Dwi, mbak Rahma dan mas Danang serta adikku tersayang, Febriana. 3. Teman-teman Motivasi: Anjar, Mufti, Desi, Djoko, Fitri, Margi, Duwi, Miko, mbak Tutut, mbak Septi dan semuanya yang selalu memberi semangat. 4. Buat Nadia, mbak Puji, Bety, Wulan, Iis, Dian, Nora, mas Iben’z, mas Andi dan semua teman2 Hiscom’07 yang tak bisa disebutkan satu persatu terimakasih. 5. Almamater FKIP dan UNS.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah... Puji syukur penulis panjatkan ke Illahi rabbi, atas rahmat dan hidayahNya, skripsi ini dapat diselesaikan. Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaikan penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi ini. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan ijin penyusunan skripsi. 4. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. selaku Pembimbing I atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. selaku Pembimbing II atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 6. Staf dan serta karyawan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan UIN Yogyakarta, perpustakaan UGM Yogyakarta, perpustakaan Pusat UNS, dan perpustakaan Program Studi Sejarah, yang membantu penulis dalam memperoleh sumber data. 7. Temen-teman di Program Studi Sejarah dan kawan-kawan LPM Motivasi. 8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih ada kekurangan sehingga segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan. commit to user Surakarta, Juli 2011 ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulis DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iv
ABSTRAK .. ......….. ...................................................................................
v
ABSTRACT . .......................................................................................... ....
vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
viii
KATA PENGANTAR ................................................................................
ix
DAFTAR ISI .............. .................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Perumusan Masalah ..................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
8
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka .......................................................................
9
1. Hinduisme .......................................................................... .
9
2. Islamisasi ..............................................................................
12
B. Kerangka Berfikir .......................................................................
19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................
21
B. Metode Penelitian....................................................................... .
22
C. Sumber Data ...............................................................................
23
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... commit to user E. Teknik Analisis Data ............................................................... ...
24
x
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Prosedur Penelitian ......................................................................
26
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 17881820............................................................................................. 31 1. Islamisasi di Keraton Surakarta .............................................
31
2. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Masa Paku Buwana IV (1788-1820).........................................................
35
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820........................................... 43 C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV dalam Pemerintahan Keraton Surakarta Tahun 1788-1720............................................
48
1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 ..................................................
52
2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV Pada Masa Pemerintahannya ……………………...…………….
56
3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta .............................................................
59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................
65
B. Implikasi .....................................................................................
66
C. Saran ............................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
69
LAMPIRAN
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jawa Tahun 1760 ...............................................................
73
Lampiran 2. Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo.....................................
74
Lampiran 3. Transkripsi Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo.................
78
Lampiran 4. Artikel Joko Lodang...................................................................
79
Lampiran 5. Struktur Birokrasi ......................................................................
81
Lampiran 6. Foto ...........................................................................................
82
Lampiran 7. Serat Wicara Keras Pupuh Sinom .............................................
88
Lampiran 8. Transkripsi Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ..........................
92
Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ...............................
95
Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan .................................................................................
commit to user
xii
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun (MC.Ricklefs, 1984: 14). Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i. Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat (berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu) kembali dengan Tuhan-nya (Simuh, 2000: 9). Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas. Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak (Rustopo, 2007: 28-29). Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota pesisir utara, di situlah titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri userpedalaman Jawa. Keraton-keraton berhadapan dengan kebudayaan commit Keratontodan
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Franz Magnis, 2001: 31). Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayahwilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota dagang (Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3). Taufik Abdullah (1987:119) mengatakan bahwa ”Islamisasi telah mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang, kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan politik dan agama.
Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah
yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan
nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam
terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh
bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat
yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang
laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih
tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja
pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta
simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki
kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau
direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam
kepada ideologi manapun.
Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme
kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini,
Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi
politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang commit to user diwujudkan dalam gerakan Sabilillah, Perang Jihad dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat
dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin
para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase
ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama (ulama). Perang
Diponegoro (1825-1830), perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (akhir
abad ke-19 dan awal abad 20 ) merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap
penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan
mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci (jihad), Islam semakin
memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia (Faisal Bakti, 1993:53-54). Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar (Darsiti Soeratman, 1989:139). Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawa (Koentjaraningrat, 1956: 310). Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan to user sufisme atau mistik Islam (H.J de commit Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985: 256-275).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Pandanaran (J.J. Raas, 1987: 56-60). Kedua tokoh penyebaran agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam. Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa merupakan karya para wali (Solochin Salam,1975). Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama Islam.
Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,
terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi non-
sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim sarjana non-birokrasi
dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan
bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I
(1645-1677) dan Amangkrat II (1677-1703) mulai dekonstruksi sistem politik
Mataram. Maksudnya, politik keagamaan (religio-polical power) yang dibangun
oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih
sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan magis-
religius dari pengaruh Islam.
Amangkurat I membunuh ulama dan santri (siswa di sekolah Islam
tradisional) di alun-alun kota Pleret (Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31). to user berikutnya tidak membutuhkan Sedangkan Amangkurat II dan commit para penguasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
legitimasi politik dari ulama dan pesantren (tradisional Muslim sekolah),
meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan
dengan Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39).
Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang
berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka.
Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada
akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang
memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti,
sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat
kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan
hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu
jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama
anggota dinasti Mataram sendiri.
Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling
menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak
dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan
mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan
bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari
bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan
“kewibawaan” keraton (Ari Dwipayana, 2004 : 245). Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun terbagibagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar keluargakeluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan menjadi lenyap dan khayal (C.R. Boxer, 1983:102). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi
mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah (M.C Ricklefs, 2002:
228). Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah
terpengaruh oleh VOC (sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir
semua orang).
Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai
Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku
Buwana IV (1788-1820). Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika masih berstatus sebagai putra mahkota. Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya.
Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok
baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini
menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah
mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya, diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang, 1935:56).
Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal
maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih (abdi user dalem kepercayaan) merupakan commit upaya to konsolidasi yang dilakukan oleh Paku
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi
kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan
negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki
kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat
dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral. Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul ”ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820? 2. Bagaimana idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820? 3. Bagaimana dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 17881820. 2. Untuk mengetahui idealisme
Paku Buwana IV dalam kehidupan
keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820. 3. Untuk mengetahui dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820. b. Dapat menambah referensi pengetahuan tentang peran Islam di Keraton Surakarta tahun 1788-1820. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti tentang Islamisasi yang terjadi di Keraton Surakarta pada umumnya dan pemikiran politik Islam Paku Buwana IV khususnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Hinduisme
a. Pengaruh Hindu Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaankerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan, pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil sebelumnya. Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk user Tidak hanya itu, Hinduisme dan menyuburkan kebudayaancommit Jawa toasli.
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaankerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6). Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno. Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan identitas Jawa sendiri.
2. Islamisasi
a. Pengaruh Islam Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan
pengikutnya.
Kepemimpinan
yang
agamis
selalu
mementingkan
kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986). Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan mendalam diberikan di pesantren. Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an, berati tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja (2004:26-27), yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunya arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengatakan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Pendidikan
digilib.uns.ac.id 12
Islam
yaitu bimbingan
jasmani
dan rohani
menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9) Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung. Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159). Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144). Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang commit to userkencana” dipakai untuk sebutkan dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55). Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
b. Hakekat Islam Hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". Seperti yang dikemukakan oleh commit to user Gibb bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5). Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam
lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan
menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah
sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga
varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan
sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana,
sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka
berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah
oposisi dari istana dan pemerintah Belanda. Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya, tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang. Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama: 1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang bersangkutan, 2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan dengan melakukan pergeseran kekuasaan. Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini user menggunakan pendekatan politikcommit untuk to mengungkapkan masalah-masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat. Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik yang ada. Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok, yaitu
negara
(state),
kekuasaan
(power),
pengambilan
keputusan
(decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)”. Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik; (b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d). Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3). Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah: … kita dapat dikatakan bertindak secara politis apabila kita mengahalangi orang lain sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka…. Dengan definisi ini , tindakan menghalangi dalam hubungan apa pun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang massal penyiksaan yang terorganisir, sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersifat politis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal, dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam Budiardjo, 1998:10). Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan. Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya. Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan. Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat, kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto, 1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya. Kekuasaan dan wewenang menjadi unsur pokok dalam menjalankan suatu roda pemerintahan. Untuk memperolehnya diperlukan suatu kekuatan dari pemegang kekuasaan. Menurut pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan terletak pada keberhasilan dan kegagalan para penguasa untuk memusatkan ”kuasa” batinnya melalui cara-cara tertentu (Benedict Anderson, 1983:3). Agar raja atau pemegang kekuasaan mempunyai kekuatan adi kodrati, supranatural bahkan commit to user cenderung mistik-mitologis.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan
alam
(kosmos).
Keistimewaan
raja mempengaruhi
pandangan
masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman, kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu) (Depdikbud, 1992:158). Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra, karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102). Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan lainnya termasuk dalam sastra. Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada orangorang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60). Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil merebut
dan
mengotrol
politik
untuk
berkuasa
dan
mempertahankan
kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan commitdan to user dilihat sebagai pelindung kepentingan kesejahteraan umum untuk melawan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama. Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik. Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik, tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas. Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran
Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik.
Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk
menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan
Kadipaten Mangkunegaran. Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas
kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram
memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam
menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem
kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan
oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam
birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan
abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup,
sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di
sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba
membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan commit to user kekuasaan sosial. Paku buwana IV politiknya pro-Islam dan anti Belanda dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui
idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya
dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.
B. Kerangka Berpikir
Islamisasi
Belanda
Paku Buwana IV
Konsolidasi
Keraton Surakarta
Ulama Kharismatik
Pesantren
Keterangan: Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari. Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern membuat Paku Buwana IV melakukan strategi politik dengan mengadakan hubungan dengan para kyai (ulama) di Pesantren di sekitar Surakarta. Keleluasaan kyai di dunia pesantren, baik dari segi politik maupun sosial-keagamaan, telah menjadikan mereka dengan mudah tampil sebagai kelompok elit dengan seperangkat ideologi dan aura kebesaran, yang kerap dirumuskan dalam termaterma keagamaan. Selain itu Paku Buwana IV yang sejak kecil sudah mendalami
ilmu agama dengan pergi ke masjid untuk memberikan khotbah dan dekat dengan para kyai, hal itu membuat mudah untuk melakukan politik konsolidasi. Politik Islam tersebut oleh Paku Buwana IV diharapkan mampu mengatasi masalah yang sedang terjadi di Kerajaan akibat dari palihan nagari. Mulai dari masalah intern kerajaan, yakni adanya peristiwa pakepung tahun 1790 serta campurtangannya
VOC dalam setiap kebijakan yang diluarkan raja. Konsolidasi tersebut yakni
dengan meminta seluruh sentana dan abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai
Islam sebagai pedoman hidup, dan menjalin hubungan politik dengan pesantren di
sekitar Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul ”Analisis Islamisasi Di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)” dilakukan dengan metode studi pustaka melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan. Adapun tempat untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS b. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta c. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta d. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran e. Museum Keraton Kasunanan Surakarta f. Yayasan Sastra Jawa Surakarta g. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta h. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 2. Waktu Penelitian
N o
1.
Bulan
Kegiatan
Jan
b. Pengajuan proposal
April
Mei
Juni
V
V
Juli
V V
Pelaksanaan a. Pengumpulan data
V
V V
b. Analisis data
3.
Maret
Persiapan a. Pengajuan Judul
2.
Feb
V
Evaluasi a. Penulisan laporan b. Ujian
commit to user Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
21
V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Sesuai dengan tabel di atas, waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah selama 7 bulan (bulan ke-1 sampai bulan ke-7) yaitu dimulai dengan kegiatan pembuatan proposal penelitian, pengumpulan sumber, kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menganalisis sumber yang diperoleh dengan menguraikan kemudian menyatukan, dan tahap terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
B. Metode Penelitian Dalam penyusunan rencana penelitian, peneliti akan dihadapkan pada pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat memahami
objek
yang
menjadi
sasaran
ilmu
yang
bersangkutan
(Koentjaraningrat, 1983: 7). Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, karena obyek kajiannya berupa peristiwa masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43). Metode historis berarti ”seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasilhasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode sejarah dapat juga berarti sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Louis Gottschalk, 1983 : 32). Gottschalk (1983:18), mensistematisasikan langkah-langkah metode penelitian sejarah sebagai berikut: 1) Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahanbahan tertulis dan lisan yang relevan; 2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak autentik; 3) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau commit to user penyajian yang berarti.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah kegiatan: heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Menurut Basri MS (2006:35), yang dimaksud metode historis adalah seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar yang sistematis yang digunakan dalam
proses
pengumpulan
data
atau
sumber-sumber,
mengerti
dan
menafsirkannya serta menyajikan secara sintesis dalam bentuk sebuah cerita sejarah (historiografi). Sedangkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi,
serta
mensintesiskan
bukti-bukti
untuk
menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata 1997: 16). Berdasarkan masalah di atas penulis akan merekonstruksikan peristiwa yang terjadi di keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV, yaitu “Analisis Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Pilitik Islam). Sedangkan untuk obyek penelitian dan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti adalah Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV berisi tentang ajaran beragama yang lebih menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada ajaran syariah agama Islam. Dari sikap Paku Buwana IV tersebut membuat Paku Buwana IV dekat dengan para ulama atau kyai kharismatik di sekitar Surakarta, sehingga dalam pemerintahannya pun dipengaruhi oleh para ulama. Hal itu membuat kompeni membenci Paku Buwana IV dan mempengaruhi Ksultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran untuk melakukan pengepungan terhadap Keraton Surakarta, peristiwa ini dijelaskan dalam babad Pakepung terjemahan Endang Saparinah.
C. Sumber Data Sumber sejarah disebut juga data sejarah, bahasa Inggris dalam bentuk tunggal,
data
bentuk
jamak;
bahasa
Latin
dalam berarti
pemberian”
(Kuntowijoyo, 1995:94). Sumber sejarah menurut Helius Sjamsudin (1994:73) ialah ” segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Menurut bahannya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact (artefak). Sedangkan menurut penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer apabila disampaikan oleh saksi mata. Sumber sekunder ialah yang disampaikan oleh orang bukan saksi mata, misalnya buku-buku (Kuntowijoyo, 1995:96). Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV. Sumber sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian ini. Melalui pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yakni mengumpulkan data tertulis dengan menggali data dari serat dan babad, buku-buku literatur dan bentuk pustaka lainnya yang mendukung. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka dan analisis. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara lain: ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca dan menganalisis kumpulan dokumen atau literatur. Kumpulan dokumen dan buku-buku tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan yang ada di Surakarta dan Yogyakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Dalam penelitian ini, kegiatan studi pustaka dilaksanakan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Mencari dan mengumpulkan sumber primer maupun sekunder dari perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan. 2. Membaca, mencatat, meminjam dan menfotokopi sumber-sumber yang penting dan relevan dengan tema penelitian, terutama untuk sumber-sumber yang diperoleh dari perpustakaan.
E. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan, sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas. Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik eksternal dan internal. Dalam penelitian ini analisis data dilaksanakan setelah kegiatan pengumpulan data. Dari data yang terkumpul kemudian dibandingkan antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain. Dari hasil perbandingan sumber data yang satu dengan sumber data yang lain akan menghasilkan fakta sejarah. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi, diklasifikasi, kemudian ditafsirkan sehingga fakta tersebut dapat dijadikan bahan dalam penulisan ini. Salah satunya melakukan analisis terhadap Babad Pakepung hasil terjemahan Endang Saparinah. Tulisannya membahas mengenai peristiwa pakepung, yakni pengepungan terhadap keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV oleh tentara kompeni, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran
karena
idealisme
Paku
Buwana
IV
dalam
mengatur
pemerintahannya. Selain itu masih ada sumber pustaka lain yang melengkapi data commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
dari penelitian sejarah tentang Islamisasi di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam.
F. Prosedur Penelitian Sebelum melakukan penelitian, perlu dibuat prosedur penelitian karena dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya proses penelitian. Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian dari awal sampai akhir. Langkah pertama dalam prosedur penelitian ini adalah membuat proposal untuk mengurus perijinan penelitian. Setelah judul penelitian ditentukan dan disetujui, dilanjutkan dengan penulisan proposal yang berisi rumusan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara lebih jelas metode penelitian sejarah tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut:
Intern Heuristik
Interpretasi
Kritik
Historiografi
Ekstern
Fakta Sejarah
Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian
Keterangan:
Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prosedur penelitian ini pun menggunakan 4 tahapan dalam metode sejarah (Sartono, 1993: 60-62) yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi dengan penjelasan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
1. Heuristik
Heuristik adalah suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Sumbersumber tertulis dalam penelitian ini diperoleh dari: perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan
Monumen
Pers
Surakarta,
perpustakaan
Reksa
Pustaka
Mangkunegaran, perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Pada tahapan ini ditemukan sumber-sumber yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dengan studi kepustakaan. Sumber primer berupa serat Wulang Reh yang diperoleh dari hasil penelusuran ke berbagai perpustakaan. Sedangkan sumber sekunder seperti ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” dan ”Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
2. Kritik
Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan menyeleksi sumber-sumber yang ada untuk memperoleh informasi yang valid. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah untuk menyeleksi data menjadi sebuah fakta. Kritik terhadap sumber ini terdiri dari dua jenis yaitu kritik intern dan kritik ekstern. a). Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara mengidentifikasikan watak dan sifatnya, membandingkan isi dari sumber yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan dengan tema penelitian. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan yang lain, terdapat perbedaan penjelasan yakni gambaran kepribadian Paku Buwana IV. Dalam babad Tutur banyak memuat sikap dan kepribadian dari Sunan Paku Buwana IV yang positif, meskipun Paku Buwana IV dalam menghadapai persoalan-persoalan mudah emosional, namun raja ini mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat menjalankan ibadah agama Islam, sedang dalam buku The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java karangan Peter carey, menurut Raffles menjelaskan tentang sikap dan kepribadian Sunan Paku Buwana IV sebagai laki-laki yang berjiwa lemah, tidak punya pendirian, berakal licik dan kejam. Sehingga untuk menghindari kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan kehati-hatian supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja melainkan perlu sumber yang lain sebagai pelengkap dan pembanding. Supaya hasil dari penelitian bersifat obyektif. b). Kritik Ekstern
Adalah kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadap kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan, dimana, siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung Abdurrahman, 1999: 38). Dalam penelitian ini kritik ekstern terhadap sumber primer yakni Serah wulang Reh karangan paku Buwana IV (1788-1820). Keaslian sumber dilihat dari tahun pembuatan yakni abad ke-18, dibuat di Keraton Surakarta, bahan terbuat dari kertas yang bertekstur kasar dengan huruf Jawa yang terdiri dari tembang-tembang Macapat. Melihat dari jenis tulisan yang dipakai, sehingga terlihat keaslihan sumber. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Keaslihan dan kesahihan sumber dilakukan guna menghasilnya penulisan sejarah yang valid, dengan melalui kritik terhadap sumber data yang didapat.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh setelah melakukan kritik baik itu kritik intren maupun kritik ekstern. Maka penulis berusaha menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari data-data dokumen dengan pemikiran dan analisis. Karena fakta itu terletak pada pikiran seseorang maka itu menjadi bagian dari waktu sekarang. Sehingga
interpretasi
masing-masing
sejarawan
berbeda-beda
(Dudung
Abdurrahman, 1999: 22). Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu analisis dan sintesis. Analisis adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kualitas, sedangkan sintesis adalah penyatuan keduanya. Teknis Analisis data merupakan proses pencarian dan perancangan sistematis semua data yang telah diperoleh (terkumpul), sehingga peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan disajikan kepada orang lain secara jelas dan utuh. Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis historis, yaitu penyusunan cerita sejarah berdasarkan fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dengan menulis sekumpulan data yang akurat dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis dan disusun yang akhirnya didiskripsikan kedalam bentuk cerita sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto analisis historis adalah analisis sejarah dengan menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengadakan penulisan sejarah (Louis Gottchalk, 1983: 36)
4. Historiografi
Historigrafi adalah penyusunan atau penulisan sejarah atau historiografi, yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pada tahap ini merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah yaitu berupa penulisan, pemaparan, atau penyusunan fakta sejarah menjadi suatu commit kisah sejarah yang menarik dan dapatto user dipercaya kebenarannya. Pada saat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
sejarawan memasuki tahap menulis, maka sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya sejarawan harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuannya secara utuh yang disebut historiografi (Helius Sjamsuddin, 1996). Dalam hal ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “Analisis Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”. Penulisan dimulai dari permulaan dengan batasan-batasan tempat dan waktu secara kronologis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 Kondisi struktur budaya masyarakat Kasunanan Surakarta merupakan proses sedimentasi dari masuknya budaya-budaya besar (Hindu-Budha) percampuran antara budaya asli (Jawa). Proses pengislaman dengan model asimilasi budaya oleh beberapa ahli menyebabkan munculnya tradisi sinkretisme. Secara universal pengertian sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu dengan tradisi Islam tanpa melihat apakah percampuran tersebut benar atau salah, murni tidaknya suatu agama. Paham ini hanya menekankan bahwa semua agama
dipandang sebagai baik dan benar (Simuh, 1988:12). Pola ini pula yang meletakkan seni budaya sebagai medium dari ajaran Islam, khususnya yang dilakukan oleh kerajaan. Kenyataan tersebut akhirnya menempatkan keraton sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas keagamaan, dan juga sebagai sentral pengembangan budaya. Pola kebudayaan Hindu Jawa, seperti pertunjukan wayang, tari-tarian, musik, gamelan masih dominan mewarnai setiap kegiatan. Percampuran warna Islam dengan Hindu tersebut secara nyata dapat dilihat pada peringatan hari-hari besar Islam, tetapi isi kegiatan yang dilakukan tetap saja berpola budaya HinduJawa. Perayaan sekaten, grebeg, maupun malam satu Sura yang masih berlaku sampai sekarang.
1. Islamisasi di Keraton Surakarta
Pada jaman kerajaan, Rustopo (1986) menerangkan bahwa keraton merupakan sumber, pembina dan penyebaran kebudayaan kerajaan. Sehingga segala sesuatu yang dipancarkan oleh keraton (istana), apalagi kalau sumber yang menciptakan adalah raja, akan dianut oleh para kawula bukan saja yang ada di bawah naungan kerajaan melainkan menyebar luas ke daerah-daerah yang dipancarkan commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Menurut Moedjanto (1987), dalam segala persoalan, raja memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tidak mampu menandingi diungkapkan dalam bahasa Jawa, endi ana surya kembar, berarti tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengannya (Mari, 1995). Menurut Wirodiningrat, ada tujuh pengertian makna keraton atau saptaweda: 1) Keraton berati kerajaan. 2) Keraton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan dan magischreligieus. 3) Keraton berarti penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh sebab itu menjadi pepunden dalam kajawen. 4) Keraton berarti istana, kedaton atau datulaya. 5) Bentuk bangunan keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. 6) Keraton sebagai cultuur historische instelling atau lembaga sejarah kebudayaan yang menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. 7) Keraton sebagai badan juridische instellingen, artinya keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan sebagai dinasti (Ageng Pangestu Rama, 2007: 344-345). Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:310). Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa yang merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Maksudnya orang Jawa dari golongan ini selain yakin akan adanya Allah, commit to orang user yang baik jalan hidupnya akan Nabi Muhammad sebagai nabi-Nya, sadar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
naik ke surga (minggah suargi) dan sebaliknya jika berbuat dosa akan dibuang ke neraka. Mereka tahu akan adanya Kitab Al-qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup, namun mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, pada makhluk-makhluk ghaib, serta kekuatan sakti dan mereka juga melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkutpautnya
dengan
doktrin-doktrin
agama
Islam
yang
resmi.
Seterusnya
Koentjaraningrat mengatakan bahwa ”Para pujangga dan cendekiawan keraton Mataram yang berusaha menjaga kelestarian peradaban Jawa Hindu-Budha kuno itu, dengan demikian dihadapkan suatu agama Islam sinkretik yang berasal dari daerah pedesaan ....” (Koentjaraningrat, 1994:312). Munculnya Islam sinkretik menurut Kuntowijoyo (1987), menyatakan bahwa dalam penyiaran Islam para wali banyak memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap tradisi yang sudah berlaku di masyarakat. Hal demikian merupakan usaha para penyebar agama Islam (para wali) agar Islam dapat diterima oleh masyarakat tanpa harus ada gesekan antara kedua tradisi (HinduJawa) yang dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Sebagai agama resmi kerajaan, Islam yang dikembangkan lebih banyak muncul melalui media seni budaya. Seni yang begitu dominan dalam proses keagamaan di kerajaan Hindu, akhirnya mendominasi pula proses ritualisme Islam. Tari-tarian yang selama masa Hindu sering dikaitkan prosesi ritual atau keagaman, dan dikembangkan pula pada jaman Islam. Contohnya, tari Bedhaya Ketawang atau musik gendhing seperti Gadung Melati juga gamelan pada acara sekaten yang dianggap sakral merupakan bukti bahwa dalam masa kerajaan Islam, seni budaya tidak lepas dari prosesi keagamaan. Setelah Mataram berhasil mematahkan perlawanan para penguasa lokal pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, akhirnya timbul masalah baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram. Yakni bagaimana menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dengan kejawen. commitperhitungan to user Usaha ini dimulai dengan mengubah tahun kabisat Saka, menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kelender Hijriah, sedang hari Mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk kepentingan
berlangsungnya
upacara-upacara
kerajaan,
tahun
Jawa
ini
melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak
menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen (Simuh, 2003: 7374). Kebijakan yang mendorong keberhasilan retrukturisasi politik adalah kerajaan Mataram sebagai agen Islamisasi di Jawa, dan agama Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. (M.C. Ricklefs, 1998:469-482). Dua kebijakan Sultan agung di atas bermakan: 1) keraton sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam (M.C Ricklefs , 1998: xvii-xix), dengan melalui kebijakan itu Sultan Agung meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan (Abdurrahman Masud, 2004:55-58), 2) Islam merupakan alat politik untuk mengatasi persoalan sosio-budaya dan sosio-ekonomi yang sedang dihadapi Mataram. Dengan landasan itu, Sultan Agung berharap meraih legitimasi politik dari basis massa yang lebih luas (Azyumardi Azra, 2004: 142-1430, 3) Islam yang dianut bercorak mistik atau sinkretik, sehingga Islamisasi di pedalaman Jawa bercorak sama. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu merupakan ‘arus bawah’ yang menjadi esensi kebudayaan mereka (Niels Mulder, 1992:4-19). Sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam, di samping keraton Surakarta dibangun Masjid Agung dengan dalih untuk memusatkan segala aktivitas keagamaan rakyat di dalam masjid Agung. Usaha yang dilakukan pihak keraton tersebut merupakan usaha untuk mendatangkan basis massa dari rakyat untuk melakukan legitimasi politik. Melalui bangunan keagamaan dan perekonomian (pasar dan alun-alun) di sekeliling keraton akan menjadi daya tarik bagi kawula commit to user untuk menempatkan keraton sebagai pusat untuk memenuhi segala kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
sehari-hari baik dari segi religius, sosial, budaya maupun ekonomi. Sedangkan usaha yang dilakukan Sultan Agung untuk memadukan antara budaya hinduisme dengan budaya lokal Jawa merupakan usaha untuk mencapai suatu integritas sosial yang berpedoman untuk menciptakan budaya yang bersifat kearifan lokal. Karena prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan
pengikutnya.
Kepemimpinan
yang
agamis
selalu
mementingkan
kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Koentjaraningrat mengutip dari hasil penelitian tentang literatur Jawa, yaitu Pigeaud. Ia mengatakan: Menurut Pigeaud keyakinan akan sifat keramat dari kesembilan orang guru agama tadi agaknya mulai berkembang dalam abad ke-17.... Para penyiar agama yang dalam legenda-legenda rakyat digambarkan sebagai suatu kelompok yang sezaman, terdiri dari orang-orang saleh, berjumlah delapan atau sembilan orang. Angka sembilan itu mungkin disebabkan karena adanya konsep Hindu-Budha Jawa mengenai delappan dewa Lokapala yang menjaga kedelapan sudut dari alam semesta, dengan seorang lagi yang berda di pusatnya .... Gagasan ini sampai kini masih berlaku dalam konsep Debata Nawa Sanga, yakni konsep mengenai sembilan dewa dalam agama Hindu Dharma di Bali (Koentjaraningrat, 1994: 325-326). Dari kutipan di atas nampak bagi priyayi Jawa peralihan agama bukanlah masalah yang mendasar, tetapi yang terpenting adalah melestarikan tradisi budaya kejawen yang tidak menimbulkan benturan diantara keduanya. Sebab, budaya intelektual kejawen yang bersifat hinduistik merupakan sendi kebesaran sebuah kerajaan di Jawa, khususnya di keraton Surakarta.
2. Kehidupan Keagamaan Keraton Surakarta Masa
Paku Buwana IV (1788-1820)
Kasunanan Surakarta yang berdiri akibat peristiwa palihan nagari tahun 1755 merupakan salah satu kerajaan penerus tahta Mataram. Posisi (Kasunanan) sebagai penerus tahta Mataram menjadikan Kasunanan Surakarta mewarisi sifatsifat Mataram, baik dilihat dari segi struktur birokrasi, struktur masyarakat, commit to user perekonomian, maupun tradisi. Struktur birokrasi Kasunanan yakni tetap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
menunjukkan kelanjutan birokrasi Mataram yang bersifat patrimonial dan konsentris. Sifat birokrasi seperti ini meletakkan Sunan atau raja di puncak hierarki dan dipandang sakral karena mempunyai kasekten. Keraton sebagai tempat tinggal Sunan dan keluarganya menjadi pusat segala-galanya dan penyelenggaraan negara tidak lain merupakan perluasan rumah tangga pribadi Sunan. Semuanya mempunyai sifat konsentris yang memusat pada Sunan. Raja dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual yang berasal dari kultur India, yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Menurut kepercayaan itu manusia selalu berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber penjuru mata angin, pada bintang-bintang, dan pada planet-planet. Tenaga itu dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi juga sebaliknya, dapat membawa kehancuran. Hasil dari tenaga yang diperoleh itu tergantung pada kemampuan atau tidaknya individu atau kelompok-kelompok masyarakat, terutama raja, dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan cara menyusun kerajaan itu sebagai jagat raya dalam bentuk kecil (Darsiti Soeratman, 1989: 4). Ibu kota atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis bagi kerajaan. Berhubung jagat raya, yang menurut kosmologi Brahma atau Budhis berpusat di Gunung Meru, maka kerajaan, yang merupakan jagat kecil harus pula memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magis bagi kerajaan. Raja sering diibaratkan sebagai Dewa atau bahkan Tuhan yang memiliki kekuasaan, kesaktian dan kebijaksanaan yang sangat sempurna mistik dan mitologi (Maharsi, 2001:107). Kesempurnaan ini diperoleh melalui berbagai cara, yang paling umum adalah memakai lelaku dan membangun kepercayaan rakyat. Selain itu, kewibawaan raja diperbesar dengan adanya benda-benda pusaka keraton yang dianggap keramat sehingga menempatkan raja tidak hanya sebagai manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas user kodrat (Nugroho Notosusanto dkk,commit 1977: to 17).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Kekuatan adikodrati tersebut disimbolkan untuk memperkuat pengaruh kekuasaan, sehingga dalam kebudayaan Jawa yang sarat simbol penuh tata krama dan sangat menghormati pemimpinnya (Musa Asyari, 1996: 212). Maksudnya dari kekuatan adikodrati, yakni menuntut penghormatan tulus terhadap pemimpin atau raja yang hampir setarap dengan penghormatan terhadap Tuhan. Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu beranggapan bahwa raja adalah titisan atau keturunan dewa. Konsep rajadewa atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah, sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya (Darsiti Soertatman, 1989:4). Suatu cerminan hubungan patron-client relation ship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling Kawula Gusti (M.C. Ricklefs, 1974). Keraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang dalam. Orang Jawa menganggap Keraton sebagai pusat kosmos. Permasalahan yang ada di keraton tidak dapat di pisahkan dari persoalan legitimasi kekuasaan raja. Kekuasaan tradisional Jawa dengan konsep negara gung sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan raja terhadap kerabat dan rakyatnya. Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu kukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu kukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa, artinya menguasai dan bertindak dengan kekerasan; kedudukannya sebagai sang bawisesa ini mengakibatkan raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebut di atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan commitlain to user kepada rakyatnya. Dengan perkataan kekuasaan seorang raja yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
terbatas itu harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada rakyatnya. Seperti dijelaskan dalam pupuh Megatruh: 13-14, sebagai berikut: Tan mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta datan denpikir, ganjaran pan wis karuhun, among naur sihing gusti, winales ing lair batos Setya tuhu saparentahe pan manut, ywa lenggana karseng gusti, wong ngawula pamanipun, lir sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon (Setia dalam segala perintah dan taat menyadari kehendak raja orang mengabdi misalnya seperti sampah dalam air menurut saja segala perintah Sedangkan untung malang atau luhur hina itu memang sudah digariskan dalam dirimu jangan suka marah-marah kepada raja yang memimpinmu). Dari kutipan Pupuh Megatruh 13-14 diatas, mencontohkan perumpamaan orang yang mengabdi kepada raja seperti sampah yang patuh terhadap apa saja yang dikehendaki raja dan apabila tidak sesuai dengan keinginan, maka hal itu adalah takdir dan tidak boleh mara-marah kepada raja. Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak pernah
meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at,
mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat sejak usia muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota (Supariadi, 2001:191). Sebagai tanda bahwa raja beragama Islam, dipergunakan sebutan Sampeyan Dalam Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Hingkang Kaping IV Ngabdulrakman Sayidin Panata Gama. Sebab ajaran-ajarannya pun tidak bisa terlepas dari ajaran agama Islam dalam serat Wulang Reh (Ageng Pangestu Rama, 2007:354). Ditinjau dari Serat wulang Reh bahwa: ”Paku Buwana IV adalah seorang raja di Surakarta, pemerintahan berbentuk kerajaan. Berlakunya ajaran-ajaran Islam sebagai agama raja. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam”. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang commit to user Putri, Wulang Tatakrama, Wulang Sunu, Wulang dalem, dan Wulang Brata Sunu.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Sebagian besar isi serat piwulang Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur-an dan Hadits. Semua ini menunjukkan bahwa Sunan Paku Buwana IV memang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat dalam tentang ajaran agama Islam, sehingga mendapat sebutan sebagai ratu ambeg wali mukmin (pemimpin agama) (Darusuprapto, 1992:25-27). Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV dilihat dari isinya menunjukkan warna keislaman yang dalam. Nasehat-nasehat yang dikemukakan, sebagian besar diambil dari ajaran agama Islam. Dari ajaran agama Islam disarikan dan digubah dalam bentuk tembang, sehingga masyarakat Jawa akan mudah memahami. Hal ini menunjukkan Sunan Paku Buwana IV memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama Islam. Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV lebih menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada syariat agama Islam. Penekanan pada ajaran syariat Islam dapat dilihat dari dasar nasehat yang dikembalikan pada Al-Qur’an dan Hadist. Salah satu bait pemikiran Paku Buwana IV yang mengemukakan betapa pentingnya ajaran Al-quran di dalam Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggula: 3, sebagai berikut : Jroning Quran ana rasa jati, nanging pilih manungsa weruha, kajaba lan daulate, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundhak kalunta-lunta, temah sasar-susur, yen sira hayun waskhita, sampurnane ing badanira punika, lah sira gurokna. (Dalam al-Qur’an terletak ajaran kebenaran hakiki, Tetapi tidak sembarangan orang dapat mengetahui, Kecuali yang mendapat petunjuk Tuhan, Untuk itu tidak boleh dipelajari asal-asalan, Sebab nantinya pasti tidak akan berhasil, Apabila terlanjur salah jalan, Akibatnya akan tersesat, Jika kamu benar-benar ingin mengetahui, Hakekat kesempurnaan hidup, Kamu harus belajar pada seorang guru). Kutipan bait-bait serat diatas menjelaskan bahwa Sunan Paku Buwana IV meletakkan dasar nasehatnya pada ajaran al-Qur’an. Dalam pandangannya, seorang yang ingin hidupnya tidak tersesak dan tercela, maka Al-Qur’an haruslah menjadikan pedoman. Al-qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi umat Islam. Dalam AlQur’an surat Toha ayat 2 menerangkan commit to bahwa user “Kami tidak menurunkan Al
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra Sunan Paku Buwana IV pada tahun 1735 Jawa (tata guna awareng nata), bertepatan pada tahun Masehi 1808. menurut cerita tutur yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat Wanareja (Bekonang), penyusunan Serat Wulang Reh dilakukan di masjid Wanareja. Serat Wulang Reh merupakan buku pedoman untuk putra-putra Sunan, agar mereka selalu ingat akan adanya gejala-gejala kemerosotan moral pada saat memegang tampuk pemerintahan. Wulang artinya ajar, Reh artinya perintah. Jadi Wulang Reh artinya, ajaran dalam memerintah. Buku Wulang Reh berbentuk Sekar Mocopat, yang terdiri dari sekar-sekar: Dangdanggula, Kinanti, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durmo, Pucung, Mijil, Asmorodona, Sinom, dan ditambah dua sekar yaitu Wiranggrong dan Girisa (Ageng Pangestu Rama, 2007:353-354). Jadi apabila semua tingkah laku dan cara berpikir dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan, maka perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya. Sunan Paku Buwana IV menginginkan Serat Piwulang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku dan beretika dalam hidup. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah. Sehingga nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap. Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada commit to user Tarub, Panembahan Senapati dan tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah laranganlarangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram. Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan kekerabatan. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacat dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan batin
http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090309203212387
diunduh minggu, 5 Juni 2011 pukul 08.07 WIB. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “reh” bersabar hati dan “ririh” tidak tergesa-gesa dan berhatihati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang : 1). Deduga, artinya dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah. 2). Prayoga, artinya dipertimbangkan baik buruknya. 3). Watara, artinya dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan. 4). Reringa, artinya sebelum yakin benar akan keputusan itu. Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara lakilaki yang tertua, Guru dan raja. Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi : a). Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua b). Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima. c). Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran. d). Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup. e). Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik. f). bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang commit to user rendah dan yang tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
Berkaitan dengan pencarian guru, dalam serat Wulang Reh memberikan gambaran tentang figur guru yang baik (guru utama), Pupuh Dandanggula: 4, sebagai berikut: Nanging yen sira nggugiru kaki, Amiliha manungsa kang nyata, Ingkang becik martabate, Sarta kang wruh ing kukum, Kang ngibadah lan kang wirangi, Sokur oleh kang tapa, Ingkang wus amungkul, Tan mikir pawewehing liyan, Iku pantes sira guronana kaki, Sartane kawruhana. (Tetapi jika kamu berguru, pilihlah orang yang sudah nyata ilmunya, yang baik martabatnya, serta tau tentang hukum agama, yang ahli beribadah dan meninggalkan segala dosa, syukur jika mendapatkan seorang bertapa, yang sudah tidak terpengaruh kehidupan dunia, dan tidak memikirkan pemberian orang lain, orang seperti inilah yang pantas dijadikan guru, karena memenuhi pesyaratan). Gambaran guru yang diberikan dalam Serat Wulang Reh di atas mengarah pada figur yang taat terhadap ajaran syariat Islam. Sunan Paku Buwana IV menyadari bahwa pada masa itu banyak orang yang mengangkat dirinya menjadi guru dan mengajar ilmu kesempurnaan (mistik atau kebatinan Jawa). Bagi Sunan Paku Buwana IV membecarakan tentang ilmu kesempurnaan haruslah didasarkan pada dalil (ajaran al-qur’an)dan Hadits (sabda Rosul), ijma (kesepakatan para ulama besar), dan kiyas (alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan tentang hukum Islam). Apabila ada orang yang mengajarkan ilmu kesempurnaan tanpa didasarkan keempat hukum agama ini, khususnya Al-qur’an dan Hadits, maka kebenarannya perlu disangsikan (Darusuprapto, 1992:49). Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) inilah Paku Buwana IV menuangkan idealismenya dalam kehidupan keagamaan yang ada di keraton Surakarta. Karena karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka… cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820 Unsur-unsur sosial mempengaruhi struktur politik. Suatu struktur politik dan perangkat kekuasaan berfungsi untuk pengelolaan kehidupan masyarakat. Masyarakat berperan dalam mendukung infra dan supra struktur kekuasaan yang dimiliki oleh raja, penguasa sebagai pusat kekuasaan dan konsentrasi sumbersumber kekuasaan. Pusat dan konsentrasi kekuasaan dapat dilihat dari tanda-tanda sosial. Tanda-tanda sosial dari konsentrasinya kekuasaan dalam konsep Jawa adalah kesuburan (fertility), kesejahteraan (prosperity), dan harmoni (stability) dan kejayaan (glory) (Christina S. Handayani dan Novianto, 2002: 53). Sedang yang mempunyai konsep kekuasaan tersebut adalah raja dan para priyayi, pegawai dan keturannya. Raja memiliki tanda-tanda tersebut karena raja memiliki: kedudukan, kekayaan, kepercayaan dan perangkat lainnya yang menunjang untuk memerintah dan berkuasa atas dasar legitimasi secara sosial. Struktur kehidupan sosial di Jawa terdapat sistem feodalistik. Realitas dan fenomena tersebut terlihat dalam tingkatan atau hirarki sosial. Dalam hierarki sosial raja terletak di puncak tertinggi dan orang-orang lainnya dihitung dari jarak mereka dengan titik pusat itu. Keluarga raja (sentana),diukur secara bertingkat sesuai dengan kedudukan geneologis dengan raja yang memerintah (Kuntowijoyo, 1994: 94). Status dan kekuasaan para priyayi dipengaruhi oleh raja yang memerintah. Dalam masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa seorang raja atau dinasti harus memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih (keturunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan muli) menunjukkan bahwa raja harus selalu datang dari keturunan leluhur yang suci dan agung (Maharsi, 2001: 105). Keunggulan ini semakin memperkuat posisi raja dalam memerintah kerajaan. Sehingga untuk memperoleh legitimasi maka raja-raja Jawa, terutama masa Mataram Islam, membuat garis geneologis atau garis keturunan, silsilah dari garis keturunan dari orang-orang berpengeruh dan berkuasa di tanah Jawa (garis panengen dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
pangiwa). Semua itu untuk kepentingan memperkuat pengaruh dan menanamkan kekuasaan raja pada rakyat. Raja merupakan pucuk pimpinan kekuasaan dalam suatu negara yang berbentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Rajalah yang menentukan dan mewarnai jalannya pemerintahan. Maju-mundur dan berkembang-merosotnya kehidupan dalam negara tergantung pada kebijakan dan sikap perilaku raja (Suyami, 2008: 140-141). Dalam kehidupan masyarakat raja dijadikan sebagai panutan, pusat perhatian, bahkan pusat model perikehidupan. Semua orang yang berada di lingkungan sekitarnya, seperti para pejabat, pegawai, prajurit, maupun rakyat selalu berkeinginan untuk meniru apa yang diperbuat oleh rajanya. Hal tersebut tampak dalam sistem kebudayaan yang bersifat istana sentris. Jadi apabila sang raja bersikap dan berbuat kurang baik, niscaya rakyat dan pengikutnya pun akan ikut berbuat yang tidak baik. Kuatnya kultus terhadap nenek moyang terutama para raja yang memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman, kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh karena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Depdikbud, 1992: 158). Dalam istilahnya sabda pandita Ratu. Hal yang lazim dalam kepustakaan kebudayaan Jawa adalah memberikan keyakinan kepada rakyat, untuk memperoleh legitimasi. Konsep ”Manunggaling Kawula-gusti” menjadi media untuk memperkuat dan membangun kepercayaan dan ketaatan dari orang-orang yang diperintah oleh raja, termasuk didalamnya para pejabat atau pegawai kerajaan, abdi dalem. Konsep ”Manunggaling Kawulogusti” Paku Buwana IV terdapat dalam Pupuh Sinom: 11-15, sebagai berikut: Pamoring Gusti kawula, pan iku kang sayekti, dadine sotya ludira, iku den waspada ugi, gampangane ta kaki, temabaga lan mas iku, linebur ing dahana, luluh amoh dadi siji, mari nama kencana miwah tembaga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Puknika mapan upama, tepane badan puniki, lamun arsa ngrawuhana, apamore Kawula-Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan nepsu, luwamah lan amarah, sarta suci lair batin, dadi mene sarira bisaa tunggal. (Bersatunya Pencipta dengan makhluk-Nya, itulah yang sesungguhnya, jadilah seperti darah, yang waspada juga, mudahnya, anakku, tembaga dan emas itu, dilebur dalam perapian, hancur lebur menjadi satu, hilang sifat tembag dan emasnya Itulah yang utama, seperti badan ini, bila inginkau ketahui, persatuan rakyat-raja, sungguh harus bersih, jangan tertempeli hawa nafsu, lawamah dan amarah, suci lahir batin, agar diri bisa menyatu) Pemikiran tersebut di atas merupakan bagian dari tingkatan proses pencapai tasawuf. Proses tersebut mengarah ke pemikiran politik. Pemikiran politik tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan penguasa untuk menjaga legitimasi kekuasaannya dari para abdi dan rakyat. Istilah Manunggalnya Tuhan dan hamba diracik sesuai kepentingan politik. Sejak masa kerajaan Surakarta, konsep Manunggaling Kawuala-Gusti menurut penelitian G.W.J. Drewes dalam bukunya ”Drie Javannsche Goeroe’s” merupakan salinan istilah dari ”abd” dan ”Rabb” dalam Islam (Simuh, 1996: 246), konsep tasawuf Islam yang kemudian dipakai oleh penguasa dalam konteks politik maka konsep ini mempunyai pengaruh kekuatan untuk menguasai dan memerintah yang berdasarkan nilai spiritual. Jumbuhing Kawula-Gusti (Manunggalnya rakyat dan raja) ini merupakan pinjaman dari mistik agama, yang menunjuk kepada persatuan antar Tuhan dan manusia (G. Moedjanto, 1998: 110). Konsep ini muncul karena menurunnya kekuatan dan tenggelamnya kekuasaan para priyayi oleh pengaruh kekuasaan kompeni Belanda. Situasi dan kondisi pada waktu itu memunculkan konsep Mangunggaling Kawula-Gusti untuk mengembalikan kekuasaan raja dan elit priyayi. Dan masyarakat pada masa itu menganggap adanya sakralitas terhadap titah raja sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. ”Manunggaling Kawula-Gusti” merupakan sistem kekuasaan raja yang memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau pulung commit to pulung user diambil dari tradisi kuno, penerima mendapat legitimasi untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Otoritasnya bersifat kharismatik, selama pulung ada di keraton para raja berhak menjalankan pemerintahan dan menduduki kerajaan (Sartono Kartodirdjo, 1999: 47). Otoritas kekuasaan ini menimbulkan monopoli kekuasaan raja dan para priyayi. Gerak dan tingkah laku priyayi tidak terlepas dari politik. Ada cara tertentu untuk membedakan pyiyayi dengan kawula, pembedaan ini semata-mata untuk menjaga kewibawaannya. Kewibawaan atau kharisma secara tidal langsung mengarah kepada kekuatan untuk memerintah atau bertujuan politis. Nilai politik menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya untuk mempertahankan kedudukan kelas yang berkuasa, yakni untuk mengeramatkan kedudukan raja dan para pejabat kenegaraan sebagai priyayi atau niti praja (Sartono Kartodirdjo, 1999: 143). Raja bukan lagi orang dewasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang unggul, orang yang derajatnya di atas orang kebanyakan atau pidak pidarakan (G. Moedjanto,1998: 111). Dengan istilah lain adalah ”darah biru”. Raja mempunyai keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Keistimewaan ini mendukung untuk memiliki kekuasaan. Dalam kultur Jawa, kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan kehidupan, kemampuan untuk mengolah ketegangan secara lembut dan untuk bertindak seperti magnet yang menggabungkan besi-besi yang tersebar (Christina S. Handayani, 2002: 52). Kekuatan ini ditunjang dengan kemampuan batin seseorang. Logika rasa merupakan mekanisme yang melandasi interpenetrasi etiket, seni dan praktek mistik. Ia adalah yang mendasari kerumitan gagasan Jawa yang berkaitan dengan watak, manifestasi dan kekuatan-kekuatan (kasekten) dibidang politik (Paul Stange, 1998: 26). Gagasan yang mempengaruhi praktek politik ini menuntut kepada abdi dalem atau pegawai kerajaan untuk patuh, tunduk secara lahir-batin segalanya diserahkan untuk raja. Harus ada kemantapan dalam pengabdian kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan. Pemikiran Paku Buwana IV diterangkan dalam karyanya yakni Serat commit user berikut: Wulang Reh dalam Pupuh Megatruh: 1-3 to sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Wong ngawula ing ratu luwih pekiwuh, nora kena minggrangminggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang tuhu marang gusti, dipunmiturut sapakon Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken hukum adil, pramila wajib denenut, kanga sapa kang manut ugi, mring parentahe sang katong Aprasat mbadal ing karsa hyang agung, mulane babo wong urip, saparsa ngawuleng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh (Mengabdi kepada raja itu sulit, tidak boleh ragu-ragu, harus mantap pengabdiannya, setia sungguh kepada Gusti , taatilah segala perintahnya Memang ratu sebagai wakil Tuhan, menerapkan hukum yang adil, maka wajib dianut, siapa yang tidak tunduk kepada titah raja Sama dengan melawan perintah Tuhan, maka ingat hai orang hidup, siapa yang mengabdi raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai mengandung keraguan). Dalam kultur Jawa, ada keyakinan bahwa orang yang berkuasa biasanya tidak perlu berbicara keras, marah atu memukul meja. Akan tetapi untuk diperhatikan cukup dengan memberi perintah secara tidak langsung dalam bentuk sindiran, usul atau anjuran sebagai perintah halus (Christina S. Handayani, 2002: 52). Kultur kehalusan dalam memerintah tidak terlepas dari akar budaya Jawa dalam memahami konsep kekuasaan. Kekuasaan menuntut adanya tunduk, setia dan merasa dikuasai, serta (merasa) diberi penghidupan oleh raja, secara lahir dan batin raja menguasai. Dalih untuk menguasai adalah bahwa yang memerintah, raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi memberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Kepatuhan dan ketundukan terhadap raja tidak memandang umur, siapapun yang berkuasa harus diikuti dan dipatuhi walaupun seorang raja tersebut masih muda usianya. Dalam pupuh Mijil:16-18, sebagai berikut: Lan maninge babo denpakeling, ing pitutur ingong, sira uga padha ngempek-empek, iya marang kang jumeneng aji, lair ing myang batin denngrasa kawengku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Kang jumeng iku kang mbawani, wus karsaning Manon, wajib padha wedi lan bektine, aja mampang parentahing aji, nadya anom ugi, lamun dadi ratu Nora kena iya denwaoni, parentahing katong, dhasar ratu bener parentahe, kaya kepriye nggonira sumingkir, yen tang anglakoni, pesthi tan rahayu. (Dan lagi ingatlah nasehatku, kau juga bersama-sama tunduk, setia kepada sang raja, lahir dan batin, merasalah dikuasai olehnya Yang menguasai itulah, menjadi kehendak Tuhan, wajib berbakti dan takut, jangan melawan perintah raja meski muda sekalipun, bila menjadi raja Tidak boleh dibantah, perintah sang raja, dasar raja perintahnya benar, bagaimanakah caramu menolak, bila tidak melaksanakan, pasti akan celaka). Tuntutan untuk taat dan tunduk kepada raja didasarkan pada sosok raja sebagai pemegang dan penjaga hukum yang adil. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Ia harus sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. Sebagai pemimpin umat, raja tidak boleh diremehkan perintahnya dan apabila raja mempunyai rahasia maka tidak boleh dibuka rahasia tersebut. Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) itulah Paku Buwana IV meletakkan dasar idealisme yang bernuansa agama (Islam) untuk menjalankan pemerintahan di keraton Surakarta, dicontohkan Paku Buwana IV sendiri, seperti memberi ceramah di masjid dan tidak meninggalkan shalat lima waktu. C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV Dalam Pemerintahan Keraton Surakarta Tahun 1788-1720 Sepanjang sejarah Mataram, dinamika kehidupan politik kerajaan mengalami pasang surut. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pasang surut kehidupan politik itu adalah: 1) tidak tersedianya struktur politik yang memberi ruang keterlibatan politik dan mobilitas vertikal bagi kelompok-kelompok social; 2) birokrasi diciptakan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan; 3) kebijakan politik dirancang tanpa persetujuan wakil rakyat, pejabat istana, dan penasehat raja (Karl D. Jackson, 1978:3-22). Kelemahan ini direstrukturisasi oleh Sultan Agung (1613-1645). Retrukturisasi yang to dilakukan cenderung menonjolkan nilaicommit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
nilai budaya Jawa, yang meliputi harmoni (rukun, hormat dan santu), ketidaksederajatan (hierarkhikal) dan manunggaling kawula-gusti (Soemarsaid Moertono, 1985:17). Pada awal abad 18 Kerajaan Mataram sedang mengalami disintegrasi. Wilayah Mataram yang diperintah Sultan Agung (1613-1645) yang meliputi hampir seluruh Jawa, ternyata mulai digerogoti Belanda. Sultan Agung menyadari keadaan tersebut sehingga ia mengambil sikap konfrontatif. Hal itu dibuktikan dengan menyerang Batavia sebanyak dua kali pada tahun 1628 dan 1629. Simbol-simbol Islam berhasil diletakkan dalam sistem politik Mataram. Sejak dulu, ulama berperan meredakan ketegangan antara pemerintah pusat dengan daerah (kadipaten) (Soemarsaid Moertono,1985:37). Dan fungsi itu tetap dijalankan sepanjang masa pemerintahan Sultan agung. Akan tetapi struktur politik Sultan Agung kemudian ditinggalakn oleh pewarisnya. Amangkurat II (1677-1703) tidak membutuhkan legitimasi politik dari pusat kekuasaan Mataram di Jawa, meskipun kawasan itu merupakan basis massa yang sangat kuat, bahkan antara Mataram dan pesantren terdapat ikatan perkawinan (Soemarsaid Moertono, 1985: 37-39). Akan tetapi sebaliknya, Amangkurat I yang menggantikannya pada tahun 1646, justru mengadakan perjanjian damai dengan Belanda (Zainuddin
Fananie, 1994: 4). Amangkurat I menggunakan gelar Susuhunan, dengan double
Su, artinya lebih tinggi kedudukannya dari Sunan dengan satu Su. Ia ingin
melepaskan diri dari pengaruh Islam atau Ulama dan Wali yang bergelar Suhunan
atau Sunan. Untuk membuktikannya, Amangkurat I bersikap anti ulama dan
melakukan pendekatan dan kerjasama dengan kolonial. Amangkurat I melakukan
pembunuhan terhadap 6000 ulama karena para ulama itu bersikap tidak
menyetujui kebijakan politiknya, yakni bekerjasama dengan VOC. Kebijakan
politik Amangkurat I pro kolonial ini dilanjutkan oleh penggantinya, Amangkurat
II (1677-1703 M) (Ahmad Mansur Suryanegara, 2009:182-183).
Sistem kuasa politik keagamaan (religio-politica power) yang dibangun
Sultan Agung ditinggalkan pewarisnya yang menggunakan sistem politik
sekularisme yang tidak membutuhkan dukungan politik ulama. Sehingga to user kemunduran pemerintah kerajaancommit Jawa terus beranjut. Aneksasi yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Belanda ternyata tidak hanya mengurangi daerah kekuasaan dan wewenang raja, tetapi juga dikuasainya daerah pesisir utara seperti Krawang, Cirebon, Priangan dan sebagian Semarang. Semuanya tidak lepas dari strategi intervensi Belanda untuk menguasai dan melemahkan kekuasaan raja. Puncak dari campur tangan tersebut dengan model devide et impera, Belanda memaksakan perjanjian Giyanti (palihan nagari) dengan cara memecah Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Marwati, ed., 1984). Kemudian pada tahun 1757 dan 1813, wilayah tersebut dipecah lagi dengan munculnya kekuasaan baru yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman. Palihan nagari menunjukkan ketidakberdayaan elit politik dalam membangun konsensus politik guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Hal yang mendorong ketidakberdayaan tersebut adalah: 1). Lemahnya hubungan antar elit politik pusat dan daerah, 2) lemahnya hubungan antar elit politik dan kekuatan sosial lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai jejaring menciptakan stabilitas politik. Apabila stabilitas politik kuat, raja akan sangat mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC. Kemudian babak akhir dari palihan nagari adalah menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masingmasing kerajaan tidak memiliki anggaran (M.C. Ricklefs, 2002:158-159). Menurut G. Moedjanto (1994:29), secara keseluruhan bisa dinilai bahwa sepanjang sejarah, dinasti Mataram selalu dalam keadaan terancam. Keadaan demikian dialami oleh setiap raja Mataram terlebih raja yang baru naik tahta dan dapat dikatakan pula bahwa dinasti Mataram selalu terlibat dalam konflik intern. Hal ini disebabkan hukum adat pewarisan tahta tidak menjamin kedudukan seorang raja baru yang telah dinobatkan, semua warga atau kerabat keraton merasa sama-sama mempunyai hak atas tahta itu. Adanya persaingan intern dan perebutan kekuasaan itulah yang menimbulkan percekcokan dan puncaknya terjadi kontak fisik (perang). Terbaginya kerajaan Mataram menjadi tiga pusat kekuasaan yaitu to userdan Mangkunegaran tidak berarti Kasunanan Surakarta, Kasultanancommit Yogyakarta
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
telah mengakhiri konflik atau pertentangan di antara pangeran Jawa. Perang memang telah mereda, namun ketegangan hubungan di antara ketiga pusat kekuasaan ini masih tetap muncul. Ketegangan tersebut yaitu antara dua pusat kekuasaan yang ada di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) berhadapan dengan Kasultanan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Kasunanan Mangkunegaran lebih baik atau lebih dekat dibandingkan hubungan antara Kasunanan dan Kasultanan atau hubungan antara Mangkunegaran dan Kasultanan. Faktor yang sering memicu ketegangan hubungan di antara tiga pusat kekuasaan ini , diantaranya adalah persoalan perebutan wilayah, adanya keinginan salah satu kerajaan untuk menjadi yang dipertuankan bagi kedua kerajaan lain, persoalan perkawinan, dan juga adanya keinginan untuk merebut tahta kerajaan saingannya (Supariadi, 2001: 111). Selain itu, campur tangan kompeni yang sudah sedemikian mendalam di segala aspek kehidupan, baik dalam istana maupun di luar istana menambah ketegangan yang terjadi di dalam kerajaan semakin sulit diselesaikan. Campur tangan dan provokasi kompeni yang terlihat jelas pada masa Paku Buwana IV adalah adanya peristiwa pakepung, yakni suatu peristiwa yang sangat membekas dan semakin mengurangi kekuasaan raja. Ketidakmampuan
penguasa
dalam
menyelesaikan
krisis
politik
memunculkan budaya politik yang bertujuan untuk mengembalikan kebesaran raja. Setelah palihan nagari, raja melakukan diplomasi dengan kelompok masyarakat dalam rangka konsolidasi politik untuk menghimpun kekuatan dalam mempertahankan kekuasaan. Konsolidasi yang dilakukan raja meliputi: a) membangun ikatan dengan berbagai elit agama, baik para ulama maupun haji yang memiliki basis massa kuat, b) memberi perintah kepada pujangga istana untuk menulis atau mengubah sastra local dan sastra Islam yang berfungsi sebagai landasan moral serta menjadi pedoman bagi para sentana, abdi dan bahkan kawula dalem, c) mengembangkan budaya lokal yang diasumsikan dapat membentuk identitas lokal atau daerah, misalnya seni keris, kain batik dan gaya pakain (Alex Sadewa, 1995:243).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton
Surakarta Tahun 1788-1820
Menurut Geertz, agama adalah sebagai: “Suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri amnesia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsikonsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata” (Clifford Geertz, 1989: xi). Sedangkan hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatanperbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system) (Dhiauddin Rais, 2001:4-5). Maksudnya Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat tentang masalah-masalah keduniawian (politik), selain itu Islam juga agama yang mencintai kesamaan, solidaritas dan kekeluargaan. Lawan politik masyarakat Islam Indonesia adalah penjajah Barat yang mencoba mengembangkan ajaran agama Katolik dan Protestan melalui pengembangan imperialisme. Dari berbagai kebijakan politik kolonial, yakni dengan mengkondisikan pribumi sebagai bangsa terjajah dan bodoh. Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberi fasilitas pendidikan untuk anak bangsawan dan anak raja seta anak Eropa. Pesantren dijadikan target serangannya ruthless operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kyai dan ulama digantung. Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar dan dirusak. Santri-santri ditangkap dan dibuang jauh dari tempat tinggalnya. Latar belakang ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat pembelajaran Islam. Menjadikan sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa dan merebut commit user imperialisme barat pada abad kekemerdekaan. Tantanngan penjajah Barattoyakni
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
16 M, dijawab oleh ulama dan santri denagan masyarakat pesantren , bersama para Sultan dengan kekuasaan politik Islam. (Ahmad mansur Suryanegara, 2009: 138-140). Di keraton Surakarta, Paku Buwana IV dalam menghadapi persoalan masih mudah emosional. Namun demikian dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh , tegas dan keras serta taat menjalankan ibadah agama Islam. Ketegasan dan keteguhan Paku Buwana IV ditunjukkan kepada raja Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwana I) dan VOC, Inggris maupun Belanda. Rasa ketidaksenangan ini, dikarenakan Paku Buwana IV selalu berusaha untuk membebaskan kerajaannya dari campur tangan pihak asing. Sunan Paku Buwana IV merupakan raja ketiga yang bertahta di keraton Surakarta. Sunan Paku Buwana IV diangkat menjadi raja Surakarta pada tanggal 29 September 1788. Sebelum dinobatkan menjadi penguasa tertinggi di Surakarta, raja ini memang telah berstatus sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Nagara Sudibya Rajputra Mataram (II) sehingga proses penobatannya tidak banyak menimbulkan gejolak politik, baik di lingkungan keraton Surakarta sendiri maupun di luar keraton. Akan tetapi, karena saat dinobatkan menjadi raja usianya masih muda (19 tahun) sehingga sering disebut sebagai Nata Taruna Narpati atau Prabu Taruna. Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Subadya, lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81). Sunan Paku Buwana IV ketika masih sebagai putra mahkota, sikap keagamaannya banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yamg mempunyai kecenderungan anti kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta (saudara seayah dan lain ibu Mangkunegara 1) yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, Afrika Selatan (M.C. Ricklefs, 1974:270). Cape Town pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang commit Sunan to userPaku Buwana IV dalam mencari dominasi kompeni. Melalui kegemaran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
ilmu agama, mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Ada kalanya kyai dan guru agama ini mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta. Sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya. Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaankerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh utama yang menggerakkkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam. Pada masa Sunan Paku Buwana IV menempatkan ulama kepercayaan pada posisi sentral dalam birokrasi kerajaan, yakni diartikan sebagai simbol identitas dan kepentingan politik. Tindakan ini ditafsirkan sebagai simbol identitas dan kepentingan politik (Endang Saparinah, 1989:24-37). Membangun politik dengan ulama dilandasi kenyataan bahwa: 1) Selama ini tidak ada hubungan harmonis antar ulama birokrasi dan non-birokrasi. Sunan sebagai pemimpin agama tidak berusaha menjembatani hubungan kedua ulama, sehingga mereka hidup dalam atmosfer struktur politik dan struktur social yang terpisah. 2) Ketika masyarakat pingiran menghadapi tekanan politik dan ekonomi, tidak ada usaha ulama birokrasi membelanya, tetapi justru ulama non-birokrasi berada di baris depan untuk melakukan gerakan protes. Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana commit to user IV.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Dalam pemikiran Politik Paku Buwana IV, kerajaan yang sedang rapuh, secara politis akan melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik yang dimiliki, misalnya melakukan ikatan politik dengan ulama yang memiliki basis massa kuat. Dengan landasan konsolidasi politik tersebut diharapkan dapat menciptakan keseimbangan kekuatan politik anta kerajaan hasil palihan nagari. Selain adanya konsolidasi politik Islam dalam Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV juga mengajarkan tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya di lingkungan Keraton Surakarta. Ajaran etika yang ditujukan kepada keluarga, abdi dan rakyat tersebut diharapkan mampu mempererat hubungan sehingga mendatangkan kekuatan untuk melawan penjajah Belanda. Selain sebagai usaha untuk mendatangkan kekuatan massa, pada masa Paku Buwana IV Islam juga mampu memunculkan tradisi di lingkungan keraton, yakni dalam rangka menjawakan masyarakat yang bernuansa Islam, antara lain sebagai berikut: 1) Busana prajurit yang sebelumnya seperti busana prajurit Belanda diganti dengan busana prajurut Jawa. 2) Setiap hari Jum’at, Sunan bersembahyang di Masjig agung. 3) Setiap hari sabtu diadakan latihan warangan. 4) Setiap abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berbusana santri. Apabila mereka yang tidak patuh dipecat. 5) Mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran, seperti Raden Mas Tala menjadi Pangeran Mangkubumi; Raden Mas Sayidi menjadi Pangeran arya Buminata tanpa izin sultan, Magkunegara, atau Kompeni (Mulyanto, dkk. 1990). Dari sikap dan tradisi yang dibuat Paku Buwana IV mendapat tentangan dari pihak kompeni yang merasa dirugikan karena sikap Islam yang cenderung membenci kompeni (orang kafir). Orang Islam menganggap kompeni identik commit to user dengan orang kafir yang harus dimusnahkan dari muka bumi (keraton Surakarta).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Gerakan Islam sangat ditakuti kompeni, karena gerakan tersebut dibalut dengan pemikiran agama yang meliputi etika, kemanusiaan, dan ideologi (Hasan Hanafi, 2007:2). Ajaran yang terkandung dalam serta Wulang Reh pun disesuaikan dengan ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Demikian itu merupakan idealisme Paku Buwana IV yang diwujudkan dalam karya sastra akibat pengaruh Islam yang telah menjiwai Paku Buwana IV. Selain berpengaruh terhadap sikap, Islam juga mejadi alat konsolidasi dengan para ulama, untuk menjalankan roda pemerintahan selama tiga puluh dua tahun tonggak kepemimpinanannya.
2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV
Pada Masa Pemerintahannya
Perilaku dan tindakan tokoh-tokoh leluhur yang agung harus menjadi pedoman bagi raja yang memerintah selanjutnya. Apabila raja yang memerintah mempunyai tindakan dan tingkah laku yang kurang memperhatikan kepentingan bawahan dan rakyatnya maka cara aman untuk mengingatkan atau mengkritik adalah melalui pengungkapan kembali kisah-kisah leluhurnya. Model kritik terhadap raja pernah dilakukan oleh pujangga Keraton Surakarta yaitu Yasadipura II terhadap Sunan Paku Buwana IV ketika terjadi peristiwa pakepung. Melalui karyanya berjudul Serat Wicara Keras melakukan koreksi terhadap tindakan dan tingkah laku Sunan Paku Buwana IV yang dipandang telah melalaikan tugas sebagai seorang raja ideal melalui cara memperbandingkan dengan tindakan dan tingkah laku para leluhurnya. Kritik tersebut terdapat dalam bait-bait Serat Wicara Keras, Sinom 11-12, sebagai berikut: Malah mulya ing delahan Pinuju dadia gsti Asih ing para ngulama Welas marang pekir miskin Aweta den subi Tulusa dadia paku Buwana ing rat Jawa Aja mikir teki-teki Amikira tulus arjaning Negara Mokal tan anggraita commit to user Nanging keh padha kasisip
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
Ngaku tendhak Brawijaya Retuning wong Majapahit Pagene nora sekti Teka sepi ing rahayu Mung gunane ta padha Kasukan lali ing dhiri Nora nganggo duga-duga lan watara (Bahkan di akhirat terpujilah menjadi raja Cinta kepada para ulama Sayang kepada fakir miskin Jadilah pelindung selamanya Tuluslah menjadi paku Buwana ing tanah Jawa Jangan berpikir macam-macam Berpikir tuluslah terhadap majunya Negara. Mustahol jika tidak tahu Namun banyak yang keliru Mengaku keturunan Brawijaya Raja orang-orang Majapahit Tetapi mengapa tidak sakti Meninggalkan kebajikan Hanya mengejar kesenangan Lupa pada dirinya Tanpa mengindahkan kebenaran dan masa depan). Adanya kritik yang dilontarkan Yasadipura II terhadap Sunan Paku Buwana IV menunjukkan bahwa raja dalam pandangan masyarakat Jawa meskipun dianggap memiliki sifat sakti namun sebagai manusia tetap dapat berbuat kesalahan hingga perlu diingatkan. Dalam konteks mengingatkan ini maka fungsi pujangga keraton sebagai orang yang dekat dengan raja mempunyai peran yang sangat penting. Dengan demikian pencarian silsilah leluhur di samping sebagai sarana legitimasi kekuasaan dan meningkatkan kewibawaan juga dimaksudkan sebagai alat control bagi tindakan dan tingkah laku raja. Selanjutnya sebagai akibat dari sikap Paku Buwana IV yang menempatkan guru-guru agama atau kyai untuk menjadi abdi kinasih dan diberi jabatan serta pangkat yang tinggi tanpa melalui kebiasaan yang ada. Pemberian pangkat dan jabatan kepada kyai dilatarbelakangi oleh ketertarikan dan kesenangan raja akan ilmu agama sehingga banyak kyaicommit yang kemudian to user dijadikan penasehat atau guru
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
spiritualnya. Diantaranya para kyai, ada yang pengaruhnya tidak terbatas pada bidang spiritual atau keagamaan saja, melainkan juga pada bidang politik kerajaan. Seperti diantaranya, R. Wiradigda dan Kandhuruhan yang diberi pangkat bupati atau tumenggung, kemudian Bahman, R. Santri, dan Nur Saleh yang diberi jabatan wedana (Supariadi, 2001: 128). Beberapa kyai yang diberi jabatan tinggi dan memiliki pengaruh kuat di bidang politik, khususnya di awal pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Pengaruh politik kyai inilah yang kemudian banyak mengundang kritik dari abdi dalem lain, sebagai mana terlihat dari salah satu karya Yasadipura II, Serat Wicara Keras, Pupuh Sinom 22-24: Kaya alam Wiradigda Lali kalamun wong cilik Kudu angowahi adat …. Nursaleh kalawan Bahman Sayektine jaman iki Aja na guru mami Nagara iki wus ancur …. Kandhuruhan wiradigda Awisma aning nagari Yen ora dadi wedana Pasthi delayating bumi Yen kersane Sang Aji Karone dadi tumenggung (seperti perilaku Wiradigda Lupa jika dirinya orang kecil Lalu berubah tingkah lakunya .... Nur Saleh dan Bahman Sebenarnya jaman sekarang Jika tidak ada guru kami Negara ini sudah hancur …. Kandhuruhan fan Wiradigda Bertempat tinggal di ibu kota Jika tidak menjadi wedana Pasti sudah menjadi gelandangan Jika tidak dikehendaki sang raja Kedua menjadi tumenggung). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Bait serat diatas memberikan gambaran bahwa Wiradigda, Kandhuruhan, dan murid-muridnya mempunyai asal-usul dari rakyat biasa. Mereka mendapatkan pangkat atau jabatan tinggi dengan dapat memasuki dunia pyiyayi karena dekat nya hubungan dengan raja. Adanya mobilitas vertikal yang dialami oleh para kyai menunjukkan bahwa raja memiliki wewenang mutlak untuk memberi pangkat dan jabatan kepad siapa saja yang dikendaki.
3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan
di Keraton Surakarta
Kyai dalam struktur sosial masyarakat tradisional Surakarta mempunyai status sosial yang tinggi. Mereka merupakan bagian dari golongan elite dalam masyarakat yang dalam berbagai kehidupannya dapat dibedakan dari wong cilik (masyarakat kebanyakan). Berbeda dengan priyayi yang mendapat status sosial berdasarkan jabatannya dalam birokrasi pemerintahan, maka kyai memperoleh status sosial yang tinggi karena pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran agama Islam. Kyai dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, kyai birokrasi (kyai yang menduduki jabatan birokrasi, seperti yang bergabung dalam reh pangulon atau abdi dalem ngulama) dan kyai bebas (kyai yang berada di luar birokrasi dan sebagian besar merupakan pemimpin dan guru di pesantren) (azyumardi azra (ed), 1991: 125). Kyai merupakan guru dan penganjur agama Islam sekaligus juga pemimpin yang memiliki kedudukan dan fungsi sosial dalam masyarakat. Berdasaran peran inilah yang menyebabkan kyai selalu identik dengan pemimpin pesantren. Kedudukan kyai sebagai pemimpin komunitas Islam pedesaan telah menjadikan mereka simbol solidaritas di kalangan rakyat dan sekaligus pembela bagi kepentingan-kepentingannya. Hukum agama Islam yang menjadi dasar pemikiran dan tindakan para kyai tidak saja mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan, melainkan hampir kekuasaan, yang luas pada kyai dalam masyarakat. Menurut Clifford Geertz (1975:204-220) ideologi Islam berperan to user untuk kepentingan pergerakan membentuk solidaritas sosial yangcommit dapat digunakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
kebangsaan, dan saluran melampiaskan gerakan melalui: 1) penampilan simbol perlawanan secara kekerasan; dan 2) membangun jejaring politik dan sosial yang berideologi sama, sehingga aksi perlawanan yang dilakukan akan tetap sasaran. Perlawanan berpijak pada ideologi Islam dibedakan menjadi dua katagori, yaitu: 1) kelompok politik yang meyakini perjuangan melawan kolonialisme dapat dilakkan di bawah panji atau doktrin Islam. Artinya, kemenangan yang diraih akan memacu penerapan ideologi Islam sebagai ideologi Negara, dan yang berjuang di luar doktrin itu adalah orang lemah iman atau kafir 2) kelompok politik yang dipengaruhi keragaman, sehingga artikulasi ideologi Islam adalah membentuk basis solidaritas yang ditujukan untuk menghadapi hegemoni Belanda, tetapi doktrin Islam tidak dijadikan ideologi Negara (Qodri Azizy, 165). Maksudnya kekuatan yang berdasarkan ideologi Islam digunakan untuk menumbangkan kekuatan Belanda, namun ideologi Islam tidak dijadikan ideology Negara. Dalam kondisi seperti ini, pesantren akhirnya menjadi tempat persemaian semangat anti kafir, dan kyai sebagai pemimpin pesantren ditempatkan pada posisi sosial yang semakin tinggi. Sentimen-sentimen yang dibangun atas dasar keagamaan ini pada gilirannya telah menghubungkan para kyai dengan para bangsawan dan priyayi kerajaan yang mempunyai sikap anti kekuasaan kolonial. Seperti perang Dipanegara pada tahun 1825-1830, merupakan manifestasi bertemunya dua kepentingan, yaitu antara kepentingan kyai dengan semangat anti kafirnya dan kepentingan politik yang lebih besar dari kaum aristokrat. Pada mulanya peristiwa pakepung diawali dari pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku Buana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya, diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang,
1935:56). Kyai ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sunan Paku Buwana IV, sehingga menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya). Kyai memendam kebencian terhadap meningkatnya kekuasaan kolonial commit to kafir, user seperti halnya Paku Buwana IV yang dipandang identik dengan kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
yang juga memendam kebencian terhadap kompeni karena ikut campurnya dalam urusan pemerintahan kerajaan. Istilah kekuasaan kafir ini kemudian mengalami perluasan arti, karena tidak saja dikenakan pada pihak Belanda melainkan juga penguasa tradisional Jawa yang mau bekerja sama dengan Belanda. Idealisme Paku Buwana IV dengan meletakkan dasar agama Islam dan menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral dalam birokrasinya, menimbulkan kekhawatiran pihak kompeni dan Kasultanan Yogyakarta. Pengangkatan adikadik Paku Buwana IV menjadi pangeran tanpa ijin Sultan, Mangkunegaran dan kompeni, ditengarai adanya intimidasi dari kyai Bahman, Wiradigda, Panengah, Nursaleh, Paden Santri dan Kandhuruwan (Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005:51). Oleh sebab itu, kompeni menuntut agar keenam kyai yang mendalangi sunan diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak dipenuhi, keraton Surakarta akan diserbu oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Belanda. Untuk memperoleh kejelasan tentang perubahan dan situasi yang ada di keraton Kasunanan Surakarta, Kompeni kemudian mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve (Martinus Nijhoff,1909:209-228). Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus menyerahkan keenam orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Akan tetapi karena negosiasi gagal, pasukan Kompeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran melakukan mengepung terhadap Keraton Surakarta dari segala penjuru. Di sebelah timur, pasukan pasisiran telah melakukan persiapan di desa Grompol, sedangkan pasukan Kompeni telah siap di sebelah barat yaitu di Boyolali. Di sebelah utara pasukan Mangkunegaran dan Kompeni juga mempersiapkan diri di benteng masing-masing. Adapun pasukan Kasultanan Yogyakarta telah ditempatkan di Gondang untuk mengepung arah selatan. Sunan Paku Buana IV melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya commit to user merasa gentar juga. Akhirnya atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan. Kelima orang yang diserahkan ini terdiri dari kyai Wiradigda, Kandhuruhan, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, maka pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan. Peristiwa ini berakhir setelah ulama tadi diserahkan kepada pemerintah kolonial. Pada tanggal 29 November 1790, mereka dibuang ke Pulau Onrest, dan di pulau ini kelimanya dihukum kerja paksa untuk menebangkayu hutan (Endang Saparinah, 1990:3). Akibat peristiwa pakepung ini banyak wilayah Kasunanan yang jatuh ke tangan penguasa kolonial. Akibat tekanan tersebut, akhirnya Sunan tunduk kepada Belanda. Demi pengaman daerah, pada tanggal 22 September 1788 Sunan Paku Buwana IV menandatangani perjanjian yang isinya sebagai berikut: a. Dalam setiap menghadapi segala soal, Sunan dan Belanda harus menghadapi bersama dalam ikatan persaudaraan. b. Pengangkatan Patih dan Pangeran Adipati Anom harus mendapat persetujuan dari Kompeni melalui gubernur di Semarang atau residen di Surakarta. c. Berdasarkan perjanjian pada tanggal 11 November 1743 dan 18 Mei 1746 antara kompeni dan paku Buwana II, Sunan Paku Buwana IV tidak boleh memohon kembali Pulau Madura dan daerah pesisir. Sunan juga tidak boleh memohon kembali tanah desa berdasarkan perjanjian tanggal 24 April 1744. Apabila Sunan melanggar perjanjian ini, segala harta miliknya dicabut dan diambil alih oleh kompeni (Serta Perjanjian Dalem Nata, 66-75). Sikap yang melatarbelakangi peristiwa pekepung menyebabkan pada masa Paku Buwana IV banyak terjadi pengurangan wilayah, baik masa kolonial Inggris maupun Belanda. Pada tagun 1808 , saat gubernur Jendral Daendels berkuasa, beberapa wilayah Kasunanan berkuasa, beberapa wilayah Kasunanan diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Diantaranya: Jipang, Semarang, Demak, Salatiga, Grobogan, Blora dan Kedu. Pada masa Gubernur Jendral Raffles daerah yang diserahkan antara lain Kedu, Wirasaba, Blora dan Pagerwaja. Dengan demikian, keamanan kerajaan Kasunanan dan diri Paku Buana IV di bawah kekusaan commit to user Inggris.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Ketika berkuasa di Jawa pada tahun 1816, kebijakan politik dan ekonomi yang diterapkan oleh Daendels dan raffles terus dilajutkan. Kondisi seperti ini memungkinkan meningkatnya keresahan-keresahan dalam masyarakat Jawa karena semakin kuatnya penetrasi kolonial. Rasa tidak puas dan keresahan ini telah merasuki seluruh lapisan masyarakat. Golongan bangsawan dan priyayi kerajaan merasa tidak senang karena pihak Belanda semakin kuat campur tangannya dalam urusan intern kerajaan. Di pihak lain eksploitasi yang semakin meningkat pada masyarakat pedesaan menjadi lahan subur bagi munculnya keresahan-keresahan agraris (Supariadi, 2001: 211) Kegagalan politik yang dibangun Paku Buwana IV dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda, karena adanya golongan priyayi dan pihak istana sering bersikap mendua. Hal ini lantaran watak priyayi selalu mengutamakan nilai kedudukan dan kekuasaan. Karena VOC dapat melindungi seorang penguasa dengan imbalan pembayaran dan konsensi-konsensi, VOC dapat menumpas kelompok-kelompok pemberontak yang besar dan mempertahankan tempattempat yang trategis, tetapi tidak mampu memelihara ketertiban di seluruh Jawa. Misalnya, ketika mereka menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Ketika mengahadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Samber Nyawa (Mangkenegara I). Islam lah eksponen yang paling gigih melawan kelaliman penjajah Belanda, dan mengobarkan semangat nasionalisme religius di Indonesia (kerajaan) (Simuh, 2003: 98-99). Nasionalis religius dalam arti menghadapi pemerintahan atas dasar kebangsaan yang bersikap positif terhadap agama, yakni jadi pelindung dan pendukung siar agama. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa mulai zaman pengaruh Hindu-Budha sampai zaman kemerdekaan. Seperti menurut Ann Kumar penempatan ulama di birokrasi kerajaan seperti yang dilakukan Paku Buwana IV, mempermudah penciptaan ikatan politik atau aliansi politik. Aliansi politik berubah menjadi asosiasi yang berperan untuk memperkuat semangat keislaman di kalangan elit politik Jawa (Ann Kumar, 1985:3). Tindakan itu merupakan sinyal penentangan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Pada dasarnya peristiwa pakepung dapat dipandang sebagai cerminan terpolarisasinya pandangan politik priyayi dan kyai. Polarisasi itu terbentuk karena
adanya
dikotomi
kehidupan
antara
priyayi
yang
cenderung
mengembangkan sikap budaya sinkretis dan kompromistis, serta para kyai (khususnya
kyai-kyai
bebas
atau
merdeka
di
pedesaan)
yang
lebih
mengembangkan sikap kesalehan dalam menjalankan ajaran Islam. Para kyai ini memperoleh kewibawaan dan kharisma dalam masyarakat bukan berdasarkan pengangkatan atau keputusan dari penguasa, melainkan dari kemampuan atau pengetahuan keislaman dan kesalehannya. Sikap bebas yang juga didukung oleh sumber ekonomi mandiri menjadi pendorong bagi tumbuhnya rasa ketidakpuasan kyai terhadap ketidakmandirian para penguasa tradisional akibat campur tangan bangsa asing. Bangsa asing (Belanda) di mata para kyai identik dengan kekafiran yang harus dilawan. Sikap para kyai tersebut sejalan dengan sikap Paku Buwana IV yang berusaha mengangkat wibawa kerajaannya dengan cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua kerajaan bekas kerajaan Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Politik adalah kekuasaan untuk mencapai sebuah tujuan, memerintah dan mengatur segala aspek kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Melalui politik Islam Paku Buwana IV membangun kekuatan untuk melakukan legitimasi kekuasaan. Dalam koridor membangun kekukuatan dan memperluas kekuasaan, Paku Buwana IV menulis Serat Wulang Reh. Berpijak dari hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hokum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi. Keraton menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu merupakan arus bawah yang menjadi esensi kebudayaan mereka. 2. Manunggaling Kawula-Gusti merupakan sistem kekuasaan raja yang memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau pulung diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Raja dianggap sebagai pusat to user dari kekuatan alam (kosmos). commit Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi memberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya disebut sebagai Khalifatullah. 3. Peristiwa pakepung yakni suatu peristiwa pengepungan keraton Kasunanan oleh kekuatan militer VOC, Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta. Peristiwa pekepung dilatarbelakangi oleh tuntutan pihak kompeni kepada Sunan PB IV untuk menyerahkan para kyai (guru agama Islam) yang menjadi penasehat politiknya. Tuntutan kompeni tersebut menunjukkan bahwa peristiwa pakepung tidak saja dilatarbelakangi persoalan politik melainkan juga keagamaan. Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Hubungan dekat Paku Buwana IV dan idealisme yang sejalan dengan para kyai (ulama), membuat Paku Buwana melakukan legitimasi kekuasaan dengan jalan konsolidasi dengan para ulama keraton.
B. Implikasi 1. Teoritis
Agama yang terbentuk di Jawa, dan di keraton Surakarta pada khususnya adalah perpaduan anatara budaya Jawa yang sejak zaman Hindu-Budha telah mengakar kuat kemudian membentuk suatu agama baru yang di sebut dengan agama Jawi. Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa commit to keyakinan user yang biasa disebut adalah suatu kompleks dan konsep-konsep Hindu-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Kegiatan pengislaman warisan ilmu kejawen dipelopori oleh Sultan Agung, yakni dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan dengan kelender Hijriah, sedang hari Mingguan Islam dptertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan, tahun Jawa ini melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen.
2. Praktis
Sunan Paku Buwana IV adalah raja yang berusia muda, sehingga dalam menghadapi persoalan-persoalan masih mudah emosional. Namun demikian dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat dalam menjalankan ibadah agama Islam. Ketegasan dan keteguhan sikapnya ditunjukkan pada pihak kolonial, baik VOC, Inggris maupun Belanda. Campur tangan pihak asing terhadap pemerintahan menyebabkan rasa ketidaksenangan Paku Buwana IV terhadap pemerintah Kolonial. Selain sikapnya yang keras dan tegas, akibat dari kegemaran Sunan Paku Buwana IV mencari ilmu agama Islam maka Sunan dekat dengan para ulama. Oleh sebab itu Paku Buwana IV melakukan konsolidasi politik dengan para ulama untuk melawan kolonial Belanda. Karena raja mempunyai anganangan untuk menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuankan bagi kedua bekas kerajaan Mataram lain, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran, sehingga kewibawaan Keraton Surakarta yang sudah menurun akibat pecahnya kerajaan (palihan nagari) dapat diangkat kembali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi peneliti yang lain
Penelitian tentang Islamisasi di Indonesia masih bersifat kompleks. Oleh karena itu, bagi peneliti yang lain untuk melakukan penelitian tentang Islamisasi yang bersifat khusus dalam suatu daerah atau suatu masa tertentu dengan menggunakan sumber primer berupa babad atau serat sesuai dengan masa yang ingin diteliti. 2. Bagi mahasiswa sejarah
Dalam memahami dan mengetahui isi serat atau babad memang sulit, sehingga membutuhkan pemahaman yang tajam dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Akan tetapi, sebagai mahasiswa jurusan sejarah sebaiknya lebih memilih karya sastra kuno (serat atau babad) untuk dijadikan bahan penelitian. Melalui serat-serat atau babad akan memperkaya penelitian tentang sejarah Indonesia karena penelitian yang bersumber pada naskah kuno masih kurang atau belum banyak yang terungkap. Selain itu, sebagai warga negara Indonesia haruslah mengetahui tentang sejarah masuknya Islam serta politik Islam yang digunakan para pemimpin (raja) untuk melawan kekuasaan penjajah (kolonialisme Belanda). Karena dengan begitu akan menumbuhkan sikap nasionalisme yang tinggi untuk terus membela negara dan bangsa dari incaran penjajah.
commit to user