PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG ISLAM DAN POLITIK
SKRIPSI
Dijukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Guna Memperoleh Gelar Sarjana
OLEH ADITYA PRAMANA 010906028 Dosen Pembimbing : Warjio, S.S, M.A Dosen Pembaca
: Indra Kesuma Nst, S.IP, M.Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
1 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG ISLAM DAN POLITIK
1.1. Latar Belakang Penelitian Abdurrahman Wahid yang popular dan lebih akrab dengan sebutan Gus Dur, merupakan putra Wahid Hasjim, mantan Menteri Agama RI pertama semasa Bung Karno dan cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari. Ia dilahirkan pada tahun 1940.1 Menurut Abdurrahman Wahid, kalau kita ingin melestarikan Islam yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan sejenisnya. Bisakah hal-hal yang esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Pemahaman itulah yang membuat Gus Dur kemudian tampil membela Inul Daratista, saat anggota Fatayat NU itu dicerca habis-habisan oleh berbagai kalangan karena aksi ngebornya sehingga membuatnya ingin pensiun dari penyanyi. Begitu juga ketika membela Ulil Abshar-Abdala, intelektual muda NU dan juga pendiri Jaringan Islam Liberal yang dihujat habis-habisan oleh sejumlah ulama, yang menganggap pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam. Gus
1
Lihat Taufik Akhmad, et. Al, Metodelogi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2004, hal.76
2 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Dur berprinsip, perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan kecaman atau kekerasan.2 Selama masa kepemimpinannya di NU (tiga periode), banyak kronik, dinamika, dan kejutan gebrakan sosial keagamaan yang sebelumnya masih asing, bahkan dianggap “tabu” dikalangan NU. Seperti diketahui, NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai karakter tradisional, baik dalam pemahaman keagamaan maupun dalam praktiknya. Citra demikian sudah menjadi karakter khas jami’iyah ini, NU di tangan Gus Dur saat itu sudah mengalami transformasi “revolusioner” dalam semua dimensi pemahaman dan sebagian praktik keagamaan tradisional itu. Menurutnya lagi, Islam tidak mempunyai wujud doktrin yang pasti tentang bagaimana melaksanakan hal-hal politik-kenegaraan. Memang, Islam tidak akan pernah lepas dari politik, yakni dalam pengertian melakukan transformasi sosialkemasyarakatan. Hanya wujud dan formatnya yang tidak diberikan aturannya yang tegas. Ia mengatakan:
Islam tidak mengenal doktrin tentang negara an sich. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan serta kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemauan Islam.
Pandangan ini sering disampaikan berulang kali. Dalam suatu ceramah, ia menegaskan bahwa Islam tidak memiliki konsep pemerintahan yang definitif, sehingga pemaksaan diterapkannya Islam sebagai tatanan tunggal dalam
2
Lihat Hendri Anak Rahman, Belajar Islam Bersama Gus Dur, (On Line) Tgl. Download: 1 May 2007.
3 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
penyelenggaraan negara secara konsepsional tidak beralasan. Ia membuktikan bahwa dalam suatu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan, Islam tidak menunjukkan konstanta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw. Para sahabat telah menerapkan tiga model yang berbeda: bai’at, istikhlaf dan ahlul halli wal ‘aqdi bagi mekanisme suksesi kekhalifahan. Jadi, menurutnya: Kalau memang Islam ada konsep (yang definitif), tidak akan terjadi demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanya komunitas agama (kuntum khaira ummah), hanya itu bukan khaira daulah atau khaira jumhuriyah apalagi khaira mamlakah.3
Pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya ‘agenda Islam’ ke dalam ‘agenda nasional’ bangsa secara inklusifistik.4 Gagasan Gus Dur selalu bertentangan dengan ide Islam sebagai ideologi alternative seperti yang dilontarkan oleh sejumlah kalangan ‘fundamental Islam’. 3
www. google.com, “Pemikiran Politik Islam Indonesia; gagasan Abdurrahman Wahid”, Abdul Halim, Download: 22 April 2007. 4 www.goggle.com, “Abdurrahman Wahid Telah atas Ide Neo Modernisme”, Abdul Haris, Download: 24 April 2007.
4 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Di luar negeri, yang semacam ini dipelopori misalnya oleh Al-Maududi, Sayyid Qutub, Khomeini dan yang lainnya. Bagi Gus Dur, “idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak dapat mendarat dalam kehidupan, sebab gagal menemukan prinsip-prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat”. Jadi, dapat digaris-bawahi bahwa pandangan Gus Dur ini sangat substantifistik, yakni suatu pemikiran yang penekanannya pada manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam (Islamic Injections) dalam aktifitas politik, bukan pada formalitas dan simbolisme; artinya ia tidak mempersoalkan bentuk operasional pemerintahan, asalkan sesuai dengan kenyataan yang berkembang. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling tepat adalah bentuk yang paling mungkin digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idealisasi sebuah ‘konstruk Islami’.5 Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran Abdurrahman Wahid memang sangat sering memancing reaksi prokontra dan mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran maupun perilakunya tak jarang yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat Islam. Maka tidak heran jika persepsi orang pun terhadapnya berbeda-beda. Ada yang memuji dan simpati; atau mencoba netral dan tak mau perduli; atau terang-terangan menyatakan ketidaksenangan dan berposisi terhadapnya.
5
Abdul Halim, Ibid, www.google.com.
5 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun yang menjadi perumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai Islam dan Politik.
1.3. Pembatasan Masalah Masalah penelitian akan dibatasi agar tidak melebar dan keluar dari topik penelitian. 1. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan Politik 2. Kontroversial pemikiran Abdurrahman Wahid
1.4. Tujuan Penelitian a. Untuk mengenalkan pemikiran Gus Dur tentang Islam dan Politik b. Untuk menganalisa pemikiran Gus Dur secara detail, suatu pemikiran yang kontroversial tentang Islam dan Politik
Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraannya menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai sekarang ini, rasanya tidak keliru Kyai Abdurrahman Wahid memberi nama Abdurrahman Ad Dakhil, karena Gus Dur saat ini telah menjadi sosok “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang berkembang. Kedalaman ilmunya itulah yang mendorong K.H. Yusuf Hasyim, pamannya Gus Dur bersedia membantu pondok pesantren tebuireng, ini dijalani hingga tahun 1980. Selama periode itu secara
6 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
teratur ia semakin terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat wakil Khatib awal Syuriyah PBNU. Dari sini, Gus Dur mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program-program training, termasuk untuk pendeta protestan.6 Dalam situs politikindonesia.com dijelaskan, bahwa Gus Dur, berbekal kepiawaian pribadinya yang lur biasa dan juga sebagai nasab (keturunan) yang sangat kuat dari cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, cucu Rois Aam KH Bisri Sansuri, putra Ketua Tanfidziyah KH Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid mampu mendigdayakan lembaga tanfidziyah seolah malampaui otoritas syuriyah. Selama 15 tahun dipegang Abdurrahman Wahid, NU berubah secara signifikan. Pergerakan NU seolah lebih modernis daripada kelompok Islam modernis.7 Jabatan ketua umum PBNU ini sebelumnya digenggam erat oleh KH. DR. Idham Kholid. Bersama KH. Ahmad Siddiq selaku Rois Aam Syuriah PBNU, Gus Dur memimpin organisasi para ulama yang popular dengan sebutan paguyuban “kaum sarungan”. Kemenangannya sekaligus menumbangkan dominasi kubu Cipete. Dalam Muktamar berikutnya, dengan berbagai tantangan yang seru, baik di Krapyak (1989) maupun di Cipasung (1994), Gus Dur terpilih kembali sebagai ketua Umum PBNU. Praktis ia memimpin NU selama 15 tahun. Perjalanan penaklukan kepemimpinannya tidak berhenti disitu. Ketika negara ini mengalami kepelikan memilih Presiden sebagai pengganti Soeharto yang dilengserkan rakyatnya dan Habibi yang ditolak pertanggung jawabannya, Gusdur tampil dalam penaklukkan kepemimpinan Nasional itu, melalui taktik 6 7
Lihat Kasiyatno Kasimin, Melawan Gusdur, Pustaka Bangsa: Yogyakarta, 2004, hal. 10 www.politikindonesia.com, Politik Indonesia; Radikalisme NU, Download: 3 Mei 2007
7 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
politik yang sulit dipahami, Gusdur mengawali permainan politiknya dengan membangun dialog elite yang akhirnya mengundang perdebatan publik.8 Dalam pengantar buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Ditulis oleh M. Syafii Anwar, perjalanan intelektual seorang Abdurrahman Wahid lebih merupakan proses menjadi daripada proses apa adanya. Yang menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gusdur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya juga tertarik pada pemikiran ikhwanul muslimin yang kaumnya sangat konsen dengan ideologisasi Islam, tetapi setelah melalui pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkannya menjadi cendikiawan muslim liberal, yang secara sadar menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tema-tema yang berorientasi pada ideologisasi Islam, penjelasan ini cukup penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pendidikan, bacaan dan pengalaman seseorang bisa berubah pandangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli atau memaksakan penafsirannya kepada orang. Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gusdur adalah penolakkannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariati Islam. Sebaliknya, Gusdur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gusdur memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi. Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya yang berjudul “Islam: ideologis ataukah kultural” ketidak setujuan Gusdur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat AlQur’an yang berbunyi “udkhullu fi al silmi kaffah” yang sering kali ditafsirkan
8
Kasityanto kasimin, Op.Cit, hal.11
8 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
secara literal oleh para pendukung Islam formalis, jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata al silmi dengan kata Islami, Gusdur menafsirkan kata tersebut dengan perdamaian, menurut Gusdur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas, mereka terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan sistem Islami secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga non-muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gusdur, untuk menjadi muslim yang baik, seorang muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika mereka menghadapi cobaan dan ujian, konsekuensinya, mewujudkan sistem Islam atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat. Masih dalam konteks formalisasi, Gusdur juga menolak ideologisasi Islam, bagi Gusdur, ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “Negerinya kaum muslim moderat” Islam di Indonesia, menurut Gusdur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gusdur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah kepada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi yang nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk mengIslamkan dasar negara dan mensyariatkan pertauran-peraturan daerah bukan saja histories, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, mengutip pendapat mantan Hakim agung Mesir, al asmawi, upaya syariatisasi semacam itu
9 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
menutut ilmu fiqih termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu dilakukan). Penolakan Gusdur terhadap formalisasi, ideologisasi dan syariatisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam, seperti sudah sering dinyatakannya, Gusdur secara tegas menolak gagasan negara Islam, sikapnya ini didasari dengan pandagan bahwa negara Islam sebagai jalan hidup nyata (syariat) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara, Gusdur mengklaim sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam itu. Dasar yang dipakai oleh Gusdur ada dua, Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan itu terbukti ketika nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti rasulullah dilakukan melalui baiat oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat yang ada pada waktu itu, sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan bahwa kaum muslimin, hendaknya Umar bin Khatab yang diangkat menggantikan posisinya. Ini berarti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Usman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, Usman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja Sultan dalam sejarah Islam.
10 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk Pemerintahan Kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-negara ataukah hanya negara kota (city-state)9. Menurut Mukhlisin dalam tulisannya Pembaruan KH. Abdurrahman Wahid, bagi Gusdur, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam, tetapi, ada perintah dalam Al-Qur’an untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai utama yang menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, untuk menegakkan iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, maka Islam jangan direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Dengan demikian, maka pembaruan Gusdur telah mempertegas persfektif gerakan kultural dan gerakan kemasyarakatan yang sekarang lebih popular dengan sebutan membangun Civil Society yang bersifat komplementer dan mendukung sebuah negara Pancasila yang telah dimulai oleh para Bapak pendiri bangsa.10 Menurut Prof. Dr. Affan Gafar, pengamat Politik dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bahwa gaya komunikasi politik yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid memang tidak lazim, masyarakat seharusnya sudah mempersiapkan diri menerima gaya komunikasi itu sewaktu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) tersebut terpilih sebagai Presiden. Tetapi, kenyataannya masyarakat tidak siap juga, sehingga sering terkejut dengan pernyataan Presiden. 9
Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, dalam pengantar Syafii Anwar www.kompas.co.id, Mukhlisin, Pembaruan KH.Abdurrahman Wahid, Download: 16 April 2007
10
11 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
“Masyarakat harus mempersiapkan diri dengan komunikasi politik Gusdur, cara berkomunikasi politik Gusdur memang sangat tidak biasa. Tetapi, masyarakat dapat membantu dengan menggempurnya terus menerus” Ujar Affan Gafar dalam percakapannya dengan Kompas di Jakarta.11 Soedjono Dirdjosisworo, dalam bukunya Aspirasi dan Sikap Politik Gusdur di tengah Reformasi menuju Indonesia Baru, menyatakan bahwa Gusdur punya wawasan serta kepekaan politik yang bagus, diterima oleh banyak pihak, terutama TNI. Langkah-langkah Politik Gusdur pasca pak Harto adalah sesuatu yang luar biasa, dan hanya mungkin dilakukan oleh Gusdur. Tapi, Gusdur punya kelemahan, terutama pada kesehatannya, penglihatan dan penyakit stroke. Dua kali ia menjalani operasi mata di Amerika Serikat, tapi belum dapat pulih sepenuhnya, stroke yang pernah menyerangnya memerlukan penjagaan dengan hati-hati. Diperlukan klarifikasi dari tim medis, tentang bisa tidaknya ia memikul tanggung jawab sebagai presiden, tanpa ada klarifikasi tim medis, riskan untuk memilihnya. Kelebihan lain Gusdur adalah sikapnya yang tidak konsisten, ia bisa berubah secara drastis dalam waktu yang tidak lama, mungkin itu adalah konsekuensi pola berpikir yang tidak linear dan matematis, sesuatu yang perlu improvisasi. Hal itu memerlukan antisipasi khusus dari para pembantunya, seandainya ia menjadi Presiden.12 Kemudian sosialisasinya dalam nuansa pesantren pergaulan muslim yang NU dan proses pendidikan dan pengalamannya ditambah dengan kultur sub
11
www.google,co.id, Affan Gafar, ”Komunikasi Politik Presiden Memang tak Biasa”, Download: 15 April 2007 12 Lihat Soedjono Dirdjosiswono, Aspirasi dan Sikap Politik Gusdur di tengah reformasi menuju Indonesia baru, Bandung: CV Mandar Maju,1999, hal.23-24
12 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
kelompoknya yang orang jawa dengan kultur jawanya yang cukup kental tentulah mewarnai falsafah hidupnya yang nerimo namun progresif serta keterlibatannya dalam pembangunan nasional sebagai pucuk pimpinan besar NU dalam komunikasinya dengan eksekutif dan kelembagaan pemerintahan (supra struktur politik), membentuk jati diri Gusdur dengan menarik dan selalu menarik perhatian para pengamat politisi, ilmuan sosial bahkan awam.13 Dewasa ini, kiranya “sepak terjang” politik Gusdur dipercaturan elite nasional, bukan saja sebagai leading figure dari ormas terbesar Islam (NU) atau sebagai salah seorang tokoh yang mewakili mayoritas umat Islam pedesaan, melainkan ia juga ingin tampil sebagai seorang figure nasional yang tidak lagi memperhatikan unsur-unsur primordial dalam pemikirannya. Visi
yang
dibawa
oleh
Gusdur
yang
tampaknya
juga
sedang
dikembangkan di NU adalah salah satu visi politik Islam yang ditundukkan oleh kepentingan lebih luas, yaitu wawasan kemanusiaan dan kebangsaan. Itulah sebabnya, wawasan politik Gusdur senantiasa menghindarkan diri dari formalisasi Islam dalam negara. Jadi, Gusdur sangat tidak setuju dengan upaya-upaya memformalkan agama secara legal formal. Gusdur selama ini memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara, tak heran kalau kemudian ia pun dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial politik paling independen di Indonesia. Di samping itu, menyadari posisinya sebagai intelektual bebas, membuat Gusdur sering kali tidak hanya kritis terhadap kelompok di luar Islam, tetapi juga di dalam Islam sendiri. Hari ini dia akrab dengan Mbak Mega, besok ia bisa bersalaman dengan Mbak Tutut.
13
Ibid, hal, 61
13 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Sebelumnya ia mengkritik pedas Adi Sasono, salah seorang tokoh ICMI, tapi beberapa saat berselang ia, Sudomo, dan Adi Sasono, bisa saling tersenyum satu sama lain.14 Selanjutnya, Khamami Zada dalam bukunya Neraca Gusdur di Panggung Kekuasaan menjelaskan bahwa Gusdur juga memberikan perhatiannya pada bagaiman “seharusnya” bentuk relasi antara agama dan negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal sejarah Indonesia. Gusdur sebagaimana K.H Achmad Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut. Dalam kaitan ini Gusdur menyatakan bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Pandangan demikian berarti Gusdur telah melakukan pemisahan wewenang fungsional agama dan keduanya tidak bisa dicampur aduk, meskipun pemikiran Gusdur berbau sekularistik, namun disini dia tidak menggunakan istilah sekulerisasi. Hal ini dilakukan paling tidak untuk menjaga perasaan kaum muslimin terutama komunitas tradisionalnya, yaitu para kyai yang masih alergi dengan hal-hal yang beraroma sekuler. Disinilah cerdiknya Gusdur, karenanya ketika ditanya mengenai sikapnya terhadap sekulerisme, ia menjawab tidak mendukung sekulerisme tetapi ada beberapa nilai dari sekulerisme yang baik, hal ini menunjukkan bahwa Gusdur cukup terbuka dengan berbagai khasanah pemikiran dan tidak secara apriori menolak atau menerima. 14
Lihat Djamaluddin Malik Deddy dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. amien Rais, Nurcholis Majid, Jalalludin Rachmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.hal.92
14 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
`
Atas dasar itu, Gusdur menolak segala bentuk intervensi negara kepada
agama sebagai ajaran privat. Ajaran-ajaran agama berjalan di kalanagan masyarakat melalui proses persuasi, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Jika tidak demikian, maka agama (tertentu) akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan segala aparatnya. Gusdur selalu memperingatkan agar masyarakat tidak mencari legitimasi masalah-masalah keagamaan pada negara, demikian pula sebaliknya hal ini berarti negara harus pandai-pandai membawakan diri agar tidak memasuki kawasan yang bukan urusannya. Agama sebagai dimensi privat yang paling independen dari manusia tidak boleh di intervensi dan diformalkan dalam negara yang berada dalam wilayah publik. Formalisasi agama dalam negara justru akan menjadikan agama tidak independen karena ia akan di sub ordinasi oleh negara, sehingga yang terjadi adalah politisasi agama. Gusdur sangat prihati terhadap sikap beragamanya yang formalis ritualis, dan menjadikan otoritas cendekiawan untuk mempertahankan kepentingan pribadi atau kelompok dalam bahasa agama. Sikap demikian sama artinya dengan membelenggu
Islam,
karena
pada
ujungnya
dapat
menyempitkan
dan
mendangkalkan ajaran agama Islam. Orang menjadi tidak peka terhadap realitas sosial. Namun pada saat yang lain mereka begitu peka terhadap isu-isu yang bersifat formalistik simbolik, inilah yang ingin dirombak Gusdur dengan menawarkan Islam substantif berwajah kritis dan humanis yang peka terhadap persoalan-persoalan masyarakat, tidak hanya sekedar ritus-ritus simbolik Bagi Gusdur Islam adalah agama kasih sayang, toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Islam adalah keyakinan yang egaliter yang menolak
15 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
perlakuan tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender maupun agama. Bagian dari keyakinan Gusdur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisasi adalah nilai-nilai universal. Dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi tidak bisa dipermasalahkan hanya karena ia berasal dari barat, karenanya Gusdur tidak begitu mempermasalahkan hubungan Islam dan Barat. Tetapi dalam pandangan Achmas Fathoni Rodli, seorang Pimpinan Muda Gerakan Ansor, dalam bukunya Berguru Kepada Bapak Bangsa, menyatakan bahwa Gusdur memiliki pemikiran yang sangat kontroversial dan bahkan bertentangn dengan pemikiran-pemikiran tradisionalis pendahulunya. Pandangan
dan
sikap
tersebut
nampaknya
mempengaruhi
juga
kecenderungan Gusdur pada pendekatan kultural dalam melakukan sosialisasi dan institusionalisasi Islam secara struktural, karena sebagaimana telah disinggung diatas, menurutnya Islam justru harus dipraktekkan oleh umatnya dengan penuh kesadaran tanpa ada campur tangan negara. Dalam konteks politik, Islam hanya dijadikan sebagai kekuatan politik yang tidak bersifat ideologis, sehingga dalam konteks kehidupan negara, Islam hanya sebagai landasan etika moral. Nampaknya Gusdur tidak ingin kalau sosialisasi Islam itu dapat menjadikan umat lain merasa terpinggirkan atau menjadi warga negara kelas dua.15
1.7. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang memberikan gambaran tentang pemikrian Abdurrahman Wahid antara Islam dan Politik. Metodologi Deskriptif lebih memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta sebagaimana 15
Lihat Khamami Zada, Neraca Gusdur di panggung kekuasaan, Tebet: Lakpesdam, 2002, hal. 124-126
16 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
keadaan sebenarnya, dan data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dengan analisa, kemudian menjelaskan prosedur pengumpulan data, serta pengawasan dan penilaian pada fakta tersebut.
1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dibutuhkan dalam studi tokoh adalah kualitatif, akan tetapi metodologinya berbeda dengan penelitian-penelitian bidang sosial lainnya. Menurut Arief Furdian dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi Tokoh: Metode Penelitian mengenai tokoh” melalui metode kualitatif, penulis dapat mengenal sang tokoh secara pribadi dan melihat dia mengembangkan definisinya sendiri tentang dunia dengan berbagai pemikiran, karya dan perilaku yang dijalaninya. Penelitian ini bersinggungan dengan wacana keamanan kontemporer dan objek wacana penelitiannya adalah pemikiran seorang tokoh yang kontroversial. Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan oleh Arief Furdan dan Agus Maimun, dikategorikan kedalam jenis penelitian kualitatif.16 Yang menelusuri pemikiran melalui karya-karyanya, peristiwa yang melatar belakangi lahirnya karya-karya tersebut dan pengaruh dari karya yang dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati
data
sehingga
mampu
mengembangkan
komponen-komponen
keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari 2 data itu sendiri.17
16
Lihat Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2005, hal. 16 17 Lihat Bruce A.Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKP Semarang Press, 1991 hal. 234
17 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Penelitian tentang pemikiran seorang tokoh politik termasuk ke dalam kategori bidang kajian sejarah, ide dan filsafat.18
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Ada dua sumber data yang dibutuhkan yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer yang berkaitan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid adalah karya-karya yang ia tuliskan sendiri. Kesimpulan data primer adalah data asli dari seorang tokoh, dan untuk data sekunder berasal dari teoritisi sosial lainnya yang pernah mengintervensi pemikiran Gusdur dalam lingkup Islam dan politik. Teknik pengumpulan data ini memakai teknik Library Research, yaitu mengumpulkan data dari buku-buku, jurnal penelitian, ensiklopedia, biografi, bibliografi, situs, website, majalah, surat kabar dan lain-lain. Setelah terkumpulnya sumber-sumber data, kemudian data-data tersebut ditelusuri, dibatasi dan diolah dengan sangat teliti.
1.7.3. Teknik Analisis Data Analisa data yang dilakukan dalam penelitian pemikiran tokoh disini mempergunakan analisa sejarah. Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi atau denvasi. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan.
18
Lihat David A Apter, Introduction To Political Analysis, terj. Setiawan Abadi, Pengantar Analisa Politik, Jakarta:LP3ES, 1998, hal. 13
18 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Melalui analisa sejarah baru dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seorang tokoh. Melalui analisa sejarah pula, dapat diketahui bahwa seorang tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakannya secara mendalam dipengaruhi tidak Cuma oleh dorongan internal yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal (Abdullah dan karim, 1990:73).
1.8. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan, maka penelitian skripsi ini akan dijabarkan dalam dua bab penyajian data dan satu bab penutup yaitu : BAB I :
Pendahuluan
Bab ini menguraikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Sistematika Penulisan. BAB II :
Riwayat Hidup dan Biografi Gus Dur
Bab ini menguraikan gambaran umum riwayat hidup dan biografi yang hendak diteliti, yaitu memberikan data yang berhubungan dengan objek penelitian. Objek penelitian yang dimaksud adalah KH. Abdurrahman Wahid atau Gusdur. BAB III:
Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan Politik
Dalam bab ini akan diuraikan secara lebih mendalam tentang penelitian politik Abdurrahman Wahid mengenai Islam dan Politik.
19 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
BAB IV:
Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini. Kemudian akan dilanjutkan dengan pemberian saran pada akhir penelitian.
20 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
2.1. Latar Belakang Gus Dur adalah nama panggilan Abdurrahman Wahid sehari-hari, sebutan Gus merupakan kependekan dari “Bagus”, yang menurut budaya pesantren pemilik nama itu “berdarah biru” yaitu anak seorang kyai. Tidak akan diberi gelar Gus jika bukan anak dari seorang kyai. Panggilan Gus semula hanya popular di kalangan pesantren di Jawa yang sering dikesankan feodal, kini justru menjadi cair, begitu egaliter, demokratis dan terkesan anti-formalisme. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, 4 Agustus 1940, dari lingkungan pesantren dan sentral Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama di Indonesia, yang merupakan anak dari Khadratu al-syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama. Ibunya Hj. Siti Sholekhah juga merupakan keturunan tokoh besar NU KH. Bisri Samsuri. Dengan demikian, Gus Dur secara genetik, naik dari garis keturunan ayah maupun garis keturunan ibu merupakan keturunan darah biru yang dalam budaya jawa menempati strata sosial tinggi. Bahkan lebih dari itu, jika mau diruntut jauh ke belakang, Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV yaitu Lembu Peteng, dengan melalui dua jalur, yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Sete lah menamatkan sekolah rakyat di Jombang, Gus Dur melanjutkan ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan setahun kemudian pindah ke Yogyakarta sambil belajar di
21 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
pesantren Krapyak. Selam di Yogyakarta Gus Dur kost di rumah Haji Junaedi, seorang pimpinan local Muhammadiyah, yang sedikit banyak dari pergaulannya itu mewarnai kehidupan Gus Dur, terutama dalam memahami perbedaan agama. Setelah lulus SMEP pada tahun 1957, Gusdur memasuki dunia pendidikan agama secara intensif, Gusdur masuk Pesantren Tegal rejo, Magelang, Jawa Tengah, dibawah bimbingan Kyai Chudhori, Gusdur mulai , melakukan ziarah ke beberapa kuburan keramat para wali di Jawa. Hal ini dilakukan dengan ritual dan waktu tertentu, misalnya dengan menggunakan hitungan hari arab yang digabung dengan hitungan Jawa seperti Jumat Legi. Pada hari kamis malam, Gusdur mengunjungi kuburan di candimulyo untuk membaca AlQuran dan berdoa disana. Semua merupakan pengalaman yang memperdalam dimensi spiritual Gus Dur. Setelah dua tahun bersama Kyai Chudhori, Gus Dur kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras, di Tambak Beras Gus Dur telah menjadi seorang ustadz yang berarti santri senior yang juga mengajar. Pada usia 22 tahun, Gusdur berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan studinya di Timur Tengah. Gusdur memilih melanjutkan di Universitas Al-Azhar, salah satu Universitas terkenal di Mesir. Nama lengkap Abdurrahman Wahid sebenarnya adalah Abdurrahman adDakhil, namun kemudian popular dengan nama Abdurrahman Wahid. Kata yang terakhir diambil dari nama ayahnya KH. Wahid Hasyim. Ad-Dakhili sendiri mengandung pengertian “sang penakluk”. Penamaan Abdurrahman ad-Dakhil oleh orang tuanya tampaknya tafa’ulan dengan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah memegang kekuasaan selama 32 tahun (726-788) di Spanyol. Abdurrahaman
22 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Addakhil dalam sejarah Spanyol adalah seorang pelarian yang menyebrangi daratan-daratan tandus dan bukit-bukit batu, memasuki negeri sebagai orang asing yang tersisih. Akan tetapi, ia kemudian berhasil membangun kekuasaan, kemakmuran negeri, menyusun tentara, dan mengatur pemerintahan (Philip K Hitti, dalam buku Beyond The Symbols, sejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, 2000:26) Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraannya menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai dengan sekarang ini, rasanya tidak keliru Kyai Wahid memberi nama Abdurrahman ad-Dakhil. Karena Gus Dur saat ini tekah menjadi sosok “Penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang berkembang. Abdurrahman Wahid yang nyeleneh, vocal, dan kontroversi. Gayanya yang seperti pemain ketoprak ini oleh Abdurrahman Wahid sudah dirajut semenjak dia mulai berkecimpung dalalm discourse pemikiran pada awal 1970an. Hanya saja lantaran setiap lontaran pemikirannya dipandang tidak lazim untuk zamannya, penuh kontroversi. Abdurrahman Wahid sebagai cendekiawan Muslim penuhk kontroversi, nyeleneh. Dan predikat ini secara konsisten dipertahankannya hingga sekarang.19 Predikat ini tampaknya cukup tepat, bila mengamati sikap dan pemikiran politik AbdurrahmanWahid, sejak kemunculannya sebagai seorang scientic sampai kemudian menjadi aktor politik (Politic Player) yang cukup mumpuni,
19
Lihat Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo:Jakarta, 1997, hal 17-18
23 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
atau sebagai politisi paling ulung di era 1990-an, Abdurrahman Wahid nyaris selalu berseberangan dengan mainstream sebagai cendekiawan Islam. Secara faktual asunsi ini tak bisa dibantah, hanya saja menurut AlZastrow, bila dikaji lebih jauh apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid sebenarnya hal yang wajar dan biasa terjadi dalam proses kehidupan. Jika dikatakan nyeleneh dan kontroversi itu lantaran keberaniannya untuk berbeda dan keluar dari kelaziman. Ini diperkuat Emha Ainun Najib yang menyebutkan Abdurrahman Wahid sebagai
orang gila dalam sejarah. Orang gila
yang
dimaksud Emha Ainun Najib adalah orang yang menggagas apa yang tidak dipikirkan orang lain, memikirkan apa yang tidak terpikirkan orang lain dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain. Sebelumnya, Abdurrahman Wahid juga pernah melontarkan berbagai gagasan yang terbilang nyeleneh, katakanlah seperti mengganti assalamu’alaikum menjadi selamat pagi, sore atau malam.menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI), membuka Malam Puisi Jesus Kristus di Gereja, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, menjadi anggota MPR fraksi FKP, menebas usulan-usulan FPP yang berusaha memisahkan agama dengan kepercayaan, kedekatannya dengan kelompok-kelompok minoritas, terlebih nasrani, menolak bergabung dengan ICMI, di kala sebagian besar umat Islammendambakan kehadirannya, termasuk juga keterlibatannya sebagai ketua di Forum Komunikasi (Fordem), serta sebagai kunjungannya ke Negara Zionis, Israel. Bukan hanya itu, dalam konteks pergulatan politik di tingkat elite, Abdurrahman
juga
terbilang
kontroversi
dusvokal.
Karenanya,
tidak
mengherankan kalau kemudian Abdurrahman Wahid sering terhalang oleh
24 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
berbagai rintangan. Akhir 1990-an sampai dengan pertengahan 1990-an merupakan masa penuh tantangan bagi Abdurrahman Wahid dalam kontelasi politik nasional. Sejak terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB NU, sikap Abdurrahman Wahid semakin kritis. Ketika melihat bangsa semakin terkotak-kotak oleh perilaku sektarianisme yang ditampilkan oleh segelintir elite bangsa ini, Abdurrahman Wahid bersama sejumlah tokoh marginal, mendirikan Kelompok Kerja (Pokja) Forum Demokrasi (Fordem). Sikap Abdurrahman Wahid yang nyeleneh dan vocal, bagi sebagian besar warga nahdliyin termasuk hal baru. Meski sebelumnya NU pernah mempunyai tokoh sekaliber Subhan ZE yang juga nyeleneh dan vocal. Subhan termasuk tokoh NU yang ingin mengeluarkan NU dari sikap ekslusif-nya, mempunyai konsep tentang nation konsep Islam secara keseluruhan (Kaffah). Subhan juga selalu menekankan tema Demokrasi di NU dari tradisi kekeluargaan. Mahbub Djunaidi melukiskan Subhan sebagai tokoh muda yang sering bentrok denagn tokoh-tokoh tua yang menghendaki establishment. Ide-idenya terkadang terasa sangat aneh, bahkan sama sekali asing di telinga para kyai sepuh. Sangat disayangkan, Subhan harus mengakhiri karirnya di NU dengan suatu pemecatan.20 Abdurrahman Wahid menikah dengan Siti Nuriyyah, gadis asal Tambakberas dan juga santrinya sewaktu mengajar di pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Perkawinan Abdurrahman Wahid sendiri dilakukan melalui perkawinan wali atau perkawinan jarak jauh, tanggal 11 juli 1968. sebagaimana dituturkan dalam horizon, disaat harus melangsungkan pernikahan,
20
Ibid, hal.26
25 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Abdurrahman Wahid masih berada di Mesir, dan untuk kembali ke Indonesia sangat tidak memungkinkan. Kyai bisri-lah yang kemudian menjadi wali pengantin lelaki. Sementara resepsi perkawinannya baru dilangsungkan sekembalinya Abdurrahman Wahid dari Mesir, tanggal 11 September 1971. Saat kemunculannya di awal 1970-an, lewat gebrakannya pesantren sebagai subkultur, juga banyak orang dibikin heran. Selama ini pesantren dipandang lamban beradaptasi dengan dunia modern. Terhadap pandangan ini, Abdurrahman Wahid memberi pembelaan bahwa itu menandakan kesanggupan sebuah struktur unutk bertahan dan kuatnya ikatan dengan kaum du’afa. Dan ini menurut Abdurrahman Wahid masih dapat berubah, asal pendekatannya tepat, dan tentunya memperoleh legitimasi dari para kyai. Dengan kemampuannya, Abdurrahman Wahid juga mampu bergaul dengan kia-kyai yang terbilang khariquladah, karena mereka pada hakikatnya menatap dimensi lain dalam hidup, yang tak tampak dengan cara pandang biasa. Katakanlah seperti Gus Miek, Kyai Sonhaji, dan Mbah Liem. Abdurrahman Wahid juga mampu meneropong figur masing-masing kyai dengan segala macam tipologinya. Sorotan kamera Abdurrahman Wahid berhasil menelurkan sebuah buku sosiologi kyai, meminjam istilah Mohammad Shobary, dengan judul Kyai Nyentrik Membela Pemerintah. Demikianlah latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid yang perlu diketahui dalam rangka untuk coba menyimak dan melihat background pemikirannya. Nampaknya dia adalah produk dari kombinasi kualitas personal yang khas hidupnya diserap dari lingkungan keluarga dan pendidikan yang dilalui sejak masa kanak-kanaknya. Kesimpulan kita dengan memahami sosialisasi yang dilalui dalam hidupnya itu, kita dapat menagkap bahwa dia tidak hanya
26 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
dibesarkan dan berkenalan dengan suatu dunia keIslaman tradisional, msekipun dari segi nasab dan waktu belajar formal, tradisi ini yang paling dominan, tetapi sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup yang amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural yang kemudian secara dialektis mempengaruhi pemikirannya.21
21
Op.Cit, Abdul Ghofur, hal. 60
27 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
3.1. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid 3.1.1. Negara dan Pemerintahan Bagian pertama-tama yang ditelusuri di sini, bagaimana pandangan Gus Dur tentang format Islam dalam dimensi politik. Menurutnya, Islam tidak mempunyai wujud doktrin yang pasti tentang bagaimana melaksanakan hal-hal politik-kenegaraan. Memang, Islam tidak akan pernah lepas dari politik, yakni dalam pengertian melakukan transformasi sosial-kemasyarakatan. Hanya wujud dan formatnya yang tidak diberikan aturannya yang tegas. Ia mengatakan:
Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan serta kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemauan Islam.
Gagasan demikian jelas bertentangan dengan ide Islam sebagai ideologi alternatif seperti yang dilontarkan oleh sejumlah kalangan ‘fundamentalis Islam’. Di luar negeri, yang semacam ini dipelopori misalnya oleh Al-Maududi, Sayyid Qutub, Khomeini dan yang lainnya. Bagi Gus Dur, "idelisme mereka begitu tinggi sehingga tidak dapat mendarat dalam kehidupan, sebab gagal menemukan prinsipprinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat".
Pendek kata, masalah model, sistem maupun mekanisme pemerintahan adalah sepenuhnya masalah ijtihadi. Justru disinilah letak dinamisasi ajaran Islam,
28 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
karena memberikan ruang gerak yang leluasa bagi proses pribumisasi secara lebih terbuka, dalam arti tidak menghadapkan secara diametral antara idealita Islam dan kenyataan politik.
Yang terpenting bagi Gus Dur, suatu negara ditegakkan di atas banyak pilar yang mengindahkan keragaman masyarakat. Ini sangat ditandaskannya, sebab kemajemukan rakyat merupakan suatu keniscayaan yang harus dipandu oleh sistem yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan banyak pihak. Dalam hal ini, ia menyimpulkan ketentuan al-Qur’an yang secara eksplisit menyatakan
bahwa
permusyawaratan
merupakan
prasyarat
untuk
menyeimbangkan kepentingan pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.
Dapat digaris-bawahi bahwa pandangan Gus Dur ini sangat substantifistik, artinya ia tidak mempersoalkan bentuk operasional pemerintahan, asalkan sesuai dengan kenyataan yang berkembang. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling tepat adalah bentuk yang paling mungkin digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idealisasi sebuah ‘konstruk Islami’.
3.1.2. Wawasan Kebangsaan dan Ideologi Nasional
Dimensi kebangsaan dalam Islam menempati posisi penting dalam kaitan struktur politik masyarakat. Al-Qur’an sebenarnya sudah menyinggung entitas yang bernama ‘kebangsaan’ dalam firman-Nya: "Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian dari jenis pria dan wanita dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa". (QS. Al-Hujurat: 13).
29 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Menurut Gus Dur, Pengertian al-Qur’an terbatas hanya bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial yang sama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini sudah berarti lain, yaitu satuan politis yang didukung oleh sebuah ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep negara-bangsa, ada yang pluralistik dalam etnis dan kulturalnya namun juga ada yang sederhana.
Kesulitan mencari kaitan Islam dengan wawasan kebangsaan terletak pada sifat Islam yang seolah supra-nasional karena menjangkau dimensi kemanusiaan menyeluruh dengan tanpa mempedulikan asal etnisnya. Gus Dur memahami betapa sulit memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam konstruk ideologis nasional. Akan tetapi, "kalau dipaksakan juga, berarti wawasan kehidupan yang dibawakan Islam harus 'ditundukkan' kepada wawasan ideologi nasional". Pernyataan ini mengandaikan betapa merupakan ketidakmungkinan menjadikan masing-masing terpisah.
Jika dihubungkan dengan ideologi nasional Indonesia, maka konsisten dengan pandangannya di atas, Gus Dur memandang secara apreasiatif bahwa Pancasila betapa pun merupakan wadah kompromi untuk landasan hidup berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, ia katakan:
Pancasila juga bersumber dari Islam, dari nasionalisme dan juga dari komunisme. Memang PKI-nya dilarang, faham Marxismenya dilarang, tapi semangat egalitariannya ada dalam Pancasila. Juga semangat keadilan sosial itu milik Komunis, sebab tidak ada istilah 'keadilan sosial' sebelum lahirnya faham komunisme. Istilah 'social-justice' juga tidak muncul sebelum itu. Jadi Pancasila itu merupakan hasil rangkuman dari macam-macam ideologi dunia.
30 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Dalam hal Islam sebagai kekuatan ideologi, tokoh-tokoh Islam Indonesia sudah mencoba berkali-kali, sejak masa awal kemerdekaan sampai perdebatan di konstituante pada akhir orde lama. Antara tahun 1940-1965an tampak ada keyakinan yang membara bahwa Islam adalah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di nusantara. Mengenai hal ini, ia menandaskan:
Pertanyaan yang harus diajukan adalah bagaimana massa Islam memandang persoalan hubungan antara Islam dan negara sebagaimana diperdebatkan pemimpin mereka. Ternyata massa Islam tidak menghayati permasalahan tersebut karena terbukti semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan untuk mendukung gagasannya, Jika dukungan itu cukup besar tentunya tidak akan begitu saja rakyat menerima bentuk kompromistik yang dicapai para pemimpin nasional kita waktu itu. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu makin mantapnya Republik Indonesia sebagai negara yang pada hakikatnya hanya bersendikan kebangsaan belaka.
Menurut Gus Dur, kenyataan inilah yang rupanya masih belum tuntas dipahami oleh sementara kalangan pergerakan Islam di Indonesia. Yakni, bahwa kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama bagi cita-cita kehidupan kita merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai fakta obyektif yang tuntas. Masih dalam kaitan ini, soal hubungan agama dan Pancasila, Gus Dur menulis:
Dalam acuan paling dasar, Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut tujuan kemasyarakatan. Agama justru menyatukan kedua unsur
mutlak
kehidupan
itu
dalam
sebuah
31 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
kerangka
etis
yang
peripurna…….Jelaslah dengan demikian antara agama dan Pancasila terdapat hubungan yang simbolik, yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain.
Gus Dur konsisten dengan pemikiran-pemikirannya di atas akan membawa implikasi yang luas dan mendalam. Dalam diri Gus Dur sendiri, implikasi itu sungguh riil dalam gerakan politiknya. Untuk analisis yang demikian itu setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek: posisi, strategi dan taktik.22
3.1.2.1. Posisi Gus Dur mengambil posisi kultural dalam gerakannya sebagai reaksi dari gerakan struktural. Baginya, umat Islam memiliki kekuatan politik, posisi bergaining yang kuat serta sasaran yang cukup jelas: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tapi, ada kerancuan yang mencampuradukkan antara sasaran dan kelembagaan. Dalam konteks ini, seolah ia menyatakan: "Mengapa kita merasa harus menguasai lembaga-lembaga politik, sistem pemerintahan dan jalur-jalur pendapat umum?" Semuanya ini bagi Gus Dur tidak perlu. Gus Dur berpendapat: Islamisasi birokrasi itu bagi saya tidak penting. Birokrasi sendiri berhadaphadapan dengan hukum-hukum yang tidak bisa dielakkan termasuk hukum birokrasi sendiri Dengan segala penghormatan saya pada gerakan tersebut, saya melihat gerakan mereka itu dengan mengelus dada. Mereka memegang terlalu banyak ilusi dan harapan-harapan yang kalau gagal bisa ngenes. Saya ingin mengajak umat Islam justru sebaliknya, berbicara tentang politik dalam konteks nation-state kita, Saya ingin orang Islam ikut dalam main-stream politik bangsa kita, bukan main-stream sistem pemerintahan kita. 22
www.google.com Op.Cit, Abdul Halim
32 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Dalam real-politik, gejala itu tampak pada keengganannya masuk dalam organisasi ICMI. Baginya, oraganisasi semacam ICMI jelas berbau sektarian dan sangat dikhawatirkan melakukan counter terhadap kelompok lain dengan cara membangun institusi melalui pemanfaatan sisi kekuasaan. Hal itu, dalam pemikiran Gus Dur, justeru akan berefek negatif.
3.1.2.2. Strategi
Strategi politik Gus Dur adalah kepentingan jangka panjang. Segala sesuatu yang mendukung ke arah ini ia perjuangkan, dan yang menghambat ia tolak. Oleh karenanya, yang ditonjolkan adalah semacam 'politik alokasi nilai'. Salah satu hal di mana ia terlihat konsisten adalah melakukan pembaharuan politik melalui sisi kemanusiaan.
Modus keberadaan politik yang diperjuangkan tidak lain adalah mempertahankan komitmen pada tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki kesetaraan dalam segala aspek. Konsekwensinya, politik umat Islam Indonesia juga terikat oleh komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme dan primordialisme dan juga privilege-privilege politik harus dijauhi.
Oleh karenanya, strategi dan sasaran politik Islam harus bertumpu pada masalah-masalah universal kemanusiaan. Menurut Gus Dur, prinsip-prinsip itu bila ditelusuri dari perspektif kontemporer antara lain adalah:
33 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
1.
Sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hukum kepada semua warga dengan tanpa membedakan suku, ras, etnis dan agama.
2.
Sistem perwakilan yang berdasarkan ketentuan satu orang satu suara (one
man one vote), yang menjamin kedaulatan rakyat yang
sebenarnya tidak dapat ditandingi oleh sistem perwakilan terbatas manapun. 3.
Hukum nasional yang berlaku untuk semua warga yang diramu dari unsur-unsur hukum agama yang diterima oleh semua pihak, disamping dari sumber lain. Sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal berfungsi sebagai wawasan etis masyarakat.
4.
Jaminan penuh akan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menguasai hak milik.
5.
Pembagian bidang kegiatan dan tanggung jawab yang tuntas antara ketiga jenis lembaga kenegaraan: eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan catatan satu pihak tidak memiliki wewenang untuk melakukan campur tangan dalam urusan lembaga lain .
6.
Jaminan penuh akan kebebasan mengembangkan keyakinan agama, menyebarkan ajaran spiritual tanpa ada pembatasan apapun selama tidak menjurus pada kriminalitas.
7.
Jaminan penuh akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah dalam bentuk apapun dan perlindungan hukum atas karya-karya yang dihasilkan.
34 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
3.1.2.3. Taktik
Taktik Gus Dur untuk mengalokasikan nilai-nilai yang diperjuangkannya adalah melalui isu-isu kontemporer dan aktual. Jargon demokrasi misalnya, merupakan yang sering ditonjolkan. Dengan taktik inilah Gus Dur cepat mendapat respon positif, khususnya oleh kalangan minoritas. Ia mengatakan; "format perjuangan umat Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk masyarakat Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan di masa depan".
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa ia getol menggarap tema-tema seperti itu. Sebab, semuanya itu akan makin mengokohkan pandangan dasarnya. Sebagai
konsekwensinya,
soal
kristenisasi
dan
konversi
agama
tidak
menggelisahkannya. Sebaliknya, dalam Kasus Monitor misalnya, ia juga tenangtenang saja dan selalu mengambil posisi kontroversial. Demikian juga saat Situbondo meletus, justeru yang seperti inilah yang sangat menggelisahkannya.
3.2.1. Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam Pemilikan Negara dalam karya-karya para penulis muslim sejak awal, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, pemikiran Negara yang berkembang lalu begitu ditekankan pada aspek legal dari Negara dan unsure-unsur pendukungnya, seperti status perangkat kenegaraan (imam, dst.). sebagaiman diungkapkan oleh seorang pengamat dalam mengulas al-Ahkam alShulthaniyyah, dari Imam al-Mawardi, Negara lalu hanya didekati dari sudut teori kekuasaan belaka, justru bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat.
35 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Hal itu tampak jelas dari materi pembahasan dalam kerya-karya klasik yang ada, yang sedikit mempersoalkansebuah prinsip utamapemerintahan yang secara eksplisit disebutkan oleh Al-Qur’an, yaitu prinsip permusyawarata (alsyura). Padahal, keseluruhan bangunan sistem perwakilan rakyat dalam sebuah negara,
tergantung
sepenuhnya
pada
batasan-batasan
dan
mekanisme
permusyawaratan itu. Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang telah dirumuskan dengan teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu terkait secara organis dengan hak-hak dan kewajiban negara, baik secara individual maupun secara kolektif. Walaupun imam al-Mawardi sejak dini, sekitar abad ke-5 H/ke-11 M, telah merintis rumusan tentang penggantian seorang imam yangh melalaikan tugas dan kewajibannya, namun tidak dirumuskan cara-cara untuk melakukan itu. Dengan kata lain, pemikiran negara lalu menjadi terlepas dari pemikiran politik, karena pada hakikatnya pemikiran politik selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan memahami kenyataan tersebut, lalu menjadi nyata bahwa dibutuhkan
sejumlah
kerangka-kerangka
pemikiran
bagi
pengembangan
pemikiran negara dalam pandangan Islam, yang memasukkan dalam dirinya pemikiran politik dalam arinya yang paling dasar. Ini diperlukan berbagai sebab. Pertama, karena bagaimanapun juga Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Dengan demikian, diperlukan tonggak-tonggak pengukur (parameter) yang jelas bagi pemikiran politik dalam pandangan Islam, agar proses berpikir kaum muslimin justru tidak menjadi gangguan bagi perkembangan negara-negara
36 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
berkembang yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang mantap dan dapat berfungsi penuh untuk jangka panjang. Sebab kedua,
adanya kenyataan yang tidak dapat di pungkiri bahwa
pemikiran tentang berbagai bidang kehihdupan, termasuk politik dibutuhkan oleh masyarakat dalam era pembangunan, paling tidak untuk dijadikan kaca perbandingan bagi pengembangan teori-teori lain diluar pandangan Islam, termasuk teori-teori yang dibangun atas dasar ideologinasional pancasila dewasa ini. Kenyataan ini adalah perkembangan sejarah yang tidak boleh diabaikan, karena hanya akan berakibat munculnya proses perbandingan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi belaka dengan segala akibatnya bagi stabilitas keadaan. Justru pengakuan akan pentingnya tonggak-tonggak pengukur itu akan menciptakan suasana dialogis yang diperlukan bagi pematangan pemikiran kita semua tentang negara dan politik. Kepicikan pandangan kita untuk menganggap metode pertentangan dialektis sebagai satu-satunya proses pemahaman politik, terasa sudah waktunya untuk dilengkapi dengan pendekatan lain yang lebih integralistis sifatnya. Sebagaiman diungkapkan Prof. Glenn D. Paige dari Universitas Hawaii: Teori politik masa kini terlalu ditekankan pada penggunaan kekuatan fisik dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan, sehingga menjadi nyata kebutuhan akan sebuah “teori politik tanpa kekerasan” (theory of non-violent-politics). Islam jelas dapat memberika sumbangan besar terhadap teori politik semacam itu. Dan ketiga, dapat dilihat pada keharusan pemeliharaan keseimbangan anatara pemikiran tentang berabgai bidang kehidupan masyarakat. Sudah jelas,
37 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
baha untuk sebagian bidang kehidupan, kepada Islam telah diajukan tuntutan untuk merumuskan pandangan positif dan konstruktif. Paling tidak untuk kepentingan memotivasikan masyarakat agar menerima ajakan berkiprah dalam kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang kehidupan tersebut. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bidang keluarga berencana (KB), bidang kelangsungan hidup anak, bidang perkawinan dan pembinaan keluarga. Bahkan sejak sekarang pun sudah dapat diperkirakan, bahwa akan ada kebutuhan akan pandangan Islam mengenai keswadayaan masyarakat, sebagai bagian utama dari pemikiran teoritis
maupun operasional tentang efisiensi nasional.
Kesemuanya itu tidak akan ditangani dengan baik, jika pemikiran politik tidak berkembang dalam ajaran Islam. Kalau dilihat dari sudut teoritis, pemikiran negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi dalam dua jenis pemikiranm, yaitu Ipemikiran idealistic dan pemikiran realistic. Dalam kerangka pemikiran pemikiran idealistic secara sadar dirumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh, dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen Islami. Contoh terkemuka dari pandangan ini sudah terwakili sejak abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, yaitu pemikiran alfarabbi, yaitu dituangkannya dalam karya utama berjudul al-Madinah al-fadillah (negara utama). Dalam karya utama tersebut, al-Farabi berbicara tentang penguasa adil yang sepadan dengan filosof raja (philosopher-king) dari filosof Yunani kuno Plato, sebagaiman tergambar dalam karyanya, Republik. Ketokohan seperti ini
38 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
jelas tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik. Karena iman dalam pandangan Islam lebih berfungsi pelaksana (eksekutor) daripada sebagai pemrakarsa (inisiator), sperti yang diharapkan Plato. Dengan ungkapan lain kepala negara yang didambakan al-Farabi lebih ditarik dari filsafat Yunani kuno dari ajaran otentik Islam, sperti disinyalir oleh sebagian pengkaji pemikiran negara dalam pandangan Islam. Sementara jenis pemikiran realistic tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan histories dapat ditampung dalam Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk tetap yang ditinggalkan rasulullah Muhammad, baik melalui ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis, membuat perubahan histories atatu bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara tidak dilandaskan pada dalil naqli tetapi pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara dan proses pemindahan kekuasaan. Di antara hal yang sedikit itu adalah kesepakatan para penulis pemikiran negara tentang keharusan mengangkat imam dari kalangan suku Quraisy, karena adanya dalil naqli tentang hal itu. Walaupun demikian, tidak seluruh penulis mewajibkannya, karena ada juga yang menganggap bahwa dalil tersebut hanya berlaku sebagai anjuran dan bukannya kewajiban agama.
39 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Menurut pandangan kesatuan imam, adalah keharusan mengingat masyarakat Islam merupakan kesatuan yang diperlukan untuk mempertahankan kesatuan hukum agama serta penerapannya sekali. Sekali kesatuan itu dilanggar, maka selaluada kemungkinan terjadi pertentangan dengan universalitas hukum itu sendiri (contradictioninterminus, ta’arud al-mafahin). Pihak pembela pemikiran berbilang menyatakan bahwa dalam masyarkat yang satu bisa juga diterapkan stelsel hukum yang berbeda, mengikuti aliranaliran (madzhab al-fiqh) yang ada, tanpa membahayakan keutuhan komunitas Islam. Dalam kenyataannya, kedua pendapat tersebut secara lambat tetapi pasti telah mengalami tidak jumbuh, ketika diberikan pengesahan kepada para penguasa setempat untuk bertindak atas nama khalifah sebagai imam. Para wazir, sultan, malik dan amir pada hakikatnya pemegang kekuasaan de facto yang terpaksa diterima kehadirannya oleh khalifah yang tinggal berfungsi titular saja sejak abad ke-3 hijriah. Wangsa-wangsa Parnak, Buaihid, Dailam Saljuk, dan seterusnya, memerintah atas nama khalifah sebagai pemimpin sanderaan yang hanya berfungsi memberikan legitimasi belaka kepada mereka. Menjadi jelas bagi siapa pun di zaman modern ini bahwa tindakan Kemal Artaturk meghapuskan Khlifah di tahun 1942 hanyalah formalitas belaka bagi sesuatu yang sudah lama mati. Disamping masalah bilangan imam, yang selalu dibicarakan adalah cakupan kekuasaan imam yang secara umum disepakati meliputi kekuasaan keagamaan, militer, administrasi, dan keuangan.
40 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Kekuasaan yang dimilikinya pada umumnya dimasukkan kedalam kekuasaaan keagamaan, karena hukum yang berlaku adalah hukum agama. Dengan demikian, penerapan semua kekuasaan yang ada harus memperoleh pembenaran dan hukum agama, karena secara teoritis setiap tindakan imam dilakukan dalam kedudukannya selama penerus wewenang yang dilimpahkan Allah kepada Rasulullah (bahkan beliau adalah khalifatullah, sedangkan para imam setelah beliau menjadi khlifah khlifatullah, dan disingkat menjadi khlifah saja) Inventarisasi masalah-masalah pokok teoritis yang dilakukan di atas penunjukan perlunya pedalaman lebih jauh atas
pemikiran-pemikiran yang
pernah dihasilkan para pemikir muslim di masa lampau dan masa sekarang. Cara apakah yang seharusnya ditempuh imam untuk menyejahterakan kehidupan para warga yang dipimpinnya. Dalam Ihya ‘Ulum Al-Din (kitab jihad) misalnya Imam Al-Ghazali mengajukan model pemenuhan pokok yang bertujuan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Menurut nodel Imam al-Ghazali itu, yang dinamainya cara daf’u daruri ma’sumin (mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan) setiap warga masyarakat harus diberi pertolongan bahan makanan di kala memerlukan, dan demikian juga sandang dan pangan. Bahkan lebih jauh lagi, Imam al-Ghazali merumuskan kewajiban masyarakat untuk membiayai pengobatan dan perawatan warganya yang memerlukan (tsaman al-dawak wa ujrat al-tamrid). Penentuan siapa yang berhak mendapatkan perlindungan seperti itu juga progresif dirumuskan oleh Imam alGhazali, yaitu baik warga masyarakat yang beragama Islam maupun bukan.
41 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Cara penggalian hasil pemikiran melalui pengajuan pertanyaan seperti dilakukan di atas dapat digunakan bagi hal-hal lain. Bagaimanakah Islam melindungi warga masyarakat bagi kesewenang-wenangan pihak pemegang kekuasaan? Melalui rumusan hak-hak dasar warga masyrakat yang seharusnya ditegakkan imam? Menurut kesepakatan para pemikir muslim selama ini hak-hak dasar itu adalah (1) hak dasar akan keselamatan fisik, (2) hak dasar akan keselamatan keyakinan, (3) hak dasar akan keselamtan dan keturunan, (4) hak dasar akan keselamatan harta benda dan (5) hak dasar akan keselamtan pekerjaan atau profesi. Banyak masalah teoritis yang muncul dari penggalian seperti itu, seperti hak-hak kelompok minoritas (termasuk minoritas agama) untuk menjadi penguasa, hak untuk berpindah keyakinan agama dan seterusnya. 3.2.2. Ide Gusdur Tentang Neo-Modernisme Dinamika dan adu kekuatan antara konservatisme (paham yang selalu menengok Islam ke masa lalu) dan progresivisme (paham yang ingin merekonstruksi Islam untuk masa depan) merupakan agenda laten umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, ketika istilah ‘pembaharuan’ Islam dikemukakan, sikap umat Islam sering ragu-ragu dan ambivalen; antara setuju karena hal itu merupakan kebutuhan dan ragu-ragu karena takut akan menggerogoti doktrin agama. Dalam konteks tersebut, menarik untuk diamati
42 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
gagasan pembaharuan Abdurrahman Wahid, atau yang terkenal dengan Gus Dur, di Indonesia.23 Konservatisme dan progresivisme di Indonesia mengakibatkan munculnya pola pikir tradisionalisme dan modernisme yang masing-masing pola pikir tersebut bersikukuh mempertahankannya. Dua pola pikir tersebut itulah yang mendominasi pemikiran dan pemahaman terhadap Islam di Indonesia yang kemudian disusul pola pikir yang berusaha menggabungkan dua pola pemikiran tersebut yang tampaknya ditransfer dari pemikiran Fazlurahman. Pola pemikiran tersebut dikenal sebagai pola pemikiran ‘neomodernisme’. Pada pola pemikiran Islam yang terakhir inilah tampaknya gagasan-gagasan Gus Dur dapat diletakkan. Neomodernisme sebagai pola pemikiran Islam yang dibangun oleh Fazlurrahman itu mendapatkan sambutan di kalangan intelektual yang tumbuh dari kalangan modernis karena ia mengandung agenda-agenda pemikiran yang progresif yang merupakan tuntutan masyarakat modern. Akan tetapi, agenda-agenda ini dibangun di atas tradisi keIslaman sehingga pemikiran yang dikembangkan harus mengapresiasi tradisi. Ini membuat gerakan pemikiran neomodernime tersebut bersentuhan dengan kalangan intelektual yang hidup dan dibesarkan di dalam lingkungan tradisionlis. Oleh karena itu, meski Gus Dur berasal dari lingkungan tradisionalis, namun dapat mengakomodir pola pemikiran Islam neomodernisme ini. Selain Gus Dur, beberapa intelektual yang dapat dimasukkan kelompok neomodernisme adalah Nurcholis Majid, Djohan Efendi, dan A. Wahib. Meskipun 23
www.google.com Op.Cit, Abdul Haris,
43 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
menggunakan ungkapan yang berbeda dalam menyebut pembaruannya, mereka dalam konsepnya mengacu pada tujuan yang sama, yaitu tuntutan bagi perubahan umat sebagai respon atau tantangan modernitas dengan tetap berpijak pada tradisi Islam. Hubungannya dengan dunia Barat, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis terhadapnya dan mengkaji gagasan-gagasannya secara obyektif, demikian pula halnya dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Dengan pola pemikiran neomodernisme sebagaimana telah diuraikan di atas, maka gagasan-gagasan Gus Dur dalam masalah masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena, itu gagasangagasannya menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagasannya itu dianggap discourse atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendikiaan di Indonesia sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan dan pribadinya yang publik figur selalu menjadi sumber berita bagi pers.
3.2.3. Pemikiran Pembaruan Gus Dur Terdiversifikasi Dalam Berbagai Bidangd 3.2.3.1. Pluralisme
Menurut Gus Dur berdirinya negara Indonesia ini, lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Pandangan ini dikemukakan karena Gus Dur melihat bahwa kondisi obyektif ini belum dipahami secara tuntas oleh sebagian
44 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
kalangan pergerakan Islam di Indonesia. Karena itulah, dia berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita. Fungsi ini disebut dengan komplementer. Gus Dur dalam hal ini tampaknya mencari jalan keluar dari pergumulan antara doktrin-doktrin Islam dan umatnya. Dengan memakai pola pemikiran neomodernisme, dia mencari penyelesaian dengan kembali pada jalan pemikiran tradisionalis Islam yang lunak dan lentur sebagai basis usaha-usaha penyelesaian di masa kini dan masa depan. Dari pendapat ini, maka jelas Gus Dur menolak sifat mutlak-mutlakan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Gus Dur lebih mencari jalan tengah atau pola pemikiran wasat. Pemikiran inilah yang sampai sekarang secara konsisten diperjuangkan.
Pemikiran Gus Dur sebagaimana diuraikan di atas lebih tepat sebagai pemikiran yang bersifat substantivistik. Menurutnya, dengan pendekatan substantivistik dalam Islamisasi Indonesia membuka ruang bagi terjadinya pribumisasi Islam, usaha mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat muslim mempunyai kesadaran kebangsaan, termasuk bahwa negara Indonesia harus dibangun atas dasar kesadaran ini. Implikasi dari implementasi pemikiran Gus Dur ini adalah adanya pluralisme.
45 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
3.2.3.2. Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam Gus Dur, dalam salah satu ceramahnya di Yayasan Wakaf Paramadina menawarkan ide tentang universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Universalisme Islam itu ditunjukkan dalam ajaran kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan yang diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.24 Menurut
dia,
salah
satu
yang
dengan
sempurna
menampilkan
universialisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam, baik kepada perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar ialah : 1.
Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah
agama.
3. Keselamatan keluarga dan keturunan. 4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. 5. Keselamatan profesi. Kelima unsur hak-hak asasi manusia itu, menurut Abdurrahaman Wahid, tidak otomatis menjamin keselamatan umat manusia kalau tidak didukung kosmopolitanisme peradaban umat Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, misalnya hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik, bahkan kosmopolitanisme Islam menampakkan diri dalam watak yang menakjubkan, yaitu kehidupan
24
Ibid, www.google.com
46 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
beragama yang eklektis berabad-abad. Hal ini antara lain tercermin dalam perdebatan-perdebatan sengit selama empat abad pertama sejarah Islam di bidang teologi dan hukum agama yang di dalamnya perbedaan pendapat tetap memperoleh tempat yang semestinya.
Gus Dur mengatakan, kosmopolitanisme peradaban Islam mencapai titik optimalnya jika tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat, termasuk mereka yang non muslim. Gus Dur menyebut situasi seperti itu sebagai kosmopolitanisme yang kreatif, yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan.
Menururt Gus Dur, universalisme ajaran Islam meliputi beberapa soal toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian pada unsur-unsur utama kemanusiaan, dan keprihatinan secara arif terhadap keterbelakangan kaum muslimin sehingga akan muncul tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang mencekam kehidupan mayoritas kaum muslimin dewasa ini. Dari
proses
universalisme
Islam
diharapkan
akan
muncul
kosmopolitanisme baru yang bersama-sama dengan paham dan ideologi lain membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial ekonomi dan kebiadaban rezim-rezim politik yang lalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajaran Islam dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya Islam mampu memberikan perangkat sumber daya manusia. Mereka itu diperlukan oleh si
47 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil. Dengan gagasan universalisme Islam dan kosmopolitanisme Islam seperti yang diuraikan di atas, maka Gus Dur menolak pendekatan yang bersifat legalistik-formalistik,
skripturalistik
ataupun
alternatif
pandangan
dunia
(worldview) yang serba apologis. Menurut Gus Dur, pendekatan seperti itu tidak dapat diharap banyak untuk menyelesaikan masalah. Dalam memecahkan masalah kemiskinan misalnya, pendekatan semacam itu tentu hanya akan bermuara pada upaya dakwah semata-mata, dalam pengertian bagaimana memperkuat iman dan bukan sebaliknya bagaimana mempersepsi iman yang dapat menggugah agar masalah kemiskinan dapat dipecahkan secara adil. Gus Dur melihat bahwa masalah kemiskinan seperti di Indonesia hanya dapat dipecahkan melalui upaya transformasitif secara makro, yakni dengan menegakkan demokrasi yang murni, mengembangkan lembaga kemasyarakatan yang adil di semua bidang, dan menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya. Islam tidak bisa memisahkan diri dari perjuangan makro itu, dan sikap mengabaikan hal ini berarti menyimpang dari ajaran Islam sendiri dan mengkhianati aspirasi Islam dalam arti penuh.
48 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
Pemikiran politik Gus Dur di atas tidak dapat dipandang lahir begitu saja. Hal itu mesti memiliki latar belakang dan dasar-dasar pijakan yang menjadi kekuatan idenya. Dilihat dari sejarah hidupnya, Gus Dur mempunyai tradisi pemikiran Islam klasik yang kuat tetapi sekaligus diimbangi dengan wawasan modern. Bacaannya atas karya Lenin dan Marx serta pergulatannya dalam wacana politik nasional telah membentuknya sebagai sosok Islam modernis. Disamping itu, pengalaman politik dan aspirasi tokoh-tokoh Islam terdahulu dipahami betul sehingga ia tidak mau mengikuti alur yang dilihatnya telah gagal. Dengan latar belakang itu, tidak heran jika arah pemikirannya menjauhi model politik aliran.
Untuk lebih memudahkan memahami model pemikirannya, sebenarnya Gus Dur sendiri telah membuat semacam tipologi tentang pendekatan yang digunakan umat Islam dalam usaha menampilkan citra Islam dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya, ada tiga varian dalam hal ini:
Pertama, keikutsertaan
pendekatan
dalam
sistem
sosial–politik. kekuasaan
yang
Ini
menekankan
ada.
Tendensinya
perlunya adalah
menampilkan watak idiologis Islam serta menonjolkan sifat eksklusifistik Islam terhadap agama, paham ideologis lain. Kepentingan Islam adalah koridornya dan solidaritas Islam adalah tali pengikat. Sikap sekretarian sangat mudah berkembang dalam pendekatan seperti ini.
49 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Kedua, pendekatan kultural. Pendekatan yang semata-mata kultural ini berkehendak untuk mewujudkan Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari tanpa keterikatan dengan kelembagaan apapun kecuali dalam konteks penyebaran Islam secara budaya itu sendiri. Meskipun lebih menekankan wawasan universal Islam sebagai sebuah peradaban dunia, namun sering terjadi mutasi watak pendekatan ini ke dalam kehidupan ketika sejumlah proponennya berubah menjadi penuduh pihak lain mengganggu sistem kekuasaan. Coraknya yang semula inklusif bisa berubah menjadi pandangan historis yang menuding kelompok lain sebagai penyebab ketertinggalan umat Islam.
Ketiga,
pendekatan
sosio-kultural.
Ini
menekankan
pada
sikap
mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai. Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Di sini tidak dipentingkan sikap untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan atau tidak. Dalam pendekatan ini, dapat dengan mudah dimasukkan ‘agenda Islam’ ke dalam ‘agenda nasional’ bangsa secara insklusifistik.
Model ketiga inilah yang sebetulnya dipilih oleh Gus Dur yang mana menginginkan Islam menjadi kekuatan komplementer bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Ia secara konsisten menolak Islam dijadikan ideologi dan sistem politik alternatif, apalagi sebagai faktor tandingan yang bersifat disintegratif terhadap kehidupan bangsa. Sampai disini sudah dapat ditangkap
50 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
sentrum pemikiran politiknya, yaitu bahwa "Islam mengutamakan politik sebagai moralitas dan bukan politik sebagai institusi".
Dasar pemikiran itu jelas hendak mengembangkan etika sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara atau di luarnya. Fungsionalisasi etika sosial dapat saja berbentuk pengundangan melalui hukum formal maupun sekedar melalui penyadaran masyarakat akan pentingnya pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan nyata. B. SARAN Pemikiran Abdurrahman wahid adalah pemikiran kontemporer yang sangat akan makna. Banyak interpretasi mengenai pemikirannya. Sehingga menimbulkan ’riak-riak’pertentangan paham. Abdurrahman wahid yang biasa dipanggil Gusdur ini, kadang-kadang tidak ’konsekwen’dengan pemikirannya sendiri. Dalam hal ini, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk melengkapi skripsi-skripsi penulis. Sehingga
skripsi
ini
mencapai
kesempurnaan
’konsideren’bagi penulis-penulis lainnya.
51 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
dan
layak
dijadikan
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Anwar, Fuad, Melawan Gusdur, Pustaka Tokoh Bangsa: Yogyakarta, 2004 Apter, Davis A, Introduction To Political Analysis, terj. Setiawan Abadi, Pengantar Analisa Politik,Jakarta: LP3ES, 1988 Chodwick, Bruce A. Social Science Reseach Methods, terj. Sulistia (dkk) Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991 Dirdjosisworo, Soedjono, Aspirasi dan Sikap Politik Gusdur di Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, Bandung: Mandar Maju,1999 Djamaluddin, Malik Deddy, dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M.Amien Rais, Nurcholis Majid, Jalalluddin Rachmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999. Feillard, ANdree,et.al, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKIS,1997 Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Ghofur, Abdul, Demokratisasi dan Prospek Hukum di Indonesia :Studi Atas Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES 1984 Taufik, Akhmad, et, al, Metodologi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, Jawa Timur: Bayumedia, Publishing,2004 Wahid Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001 Wahid Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKIS, 1999 Wahid Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo, 1979
52 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008
Wahid Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006 Zada, Khamami (Ed), Neraca Gusdur di Panggung Kekuasaan, Tebet:Lakpesdam 2002
B. INTERNET Gaffar, Affan, “ Komunikasi Politik Presiden Memang Tak Biasa”, (On Line), www.google.co.id, tgl download: 15 April 2007 Kepustakaan Presiden, “Presiden Abdurrahman Wahid, (On-Line), www .google.co. id tgl download: 16 April 2007 Politik Indonesia, Radikalisme NU, (On Line), www.politikindonesia.com, Tgl download: 3 Mei 2007 Wahid Institut, Mencermati Manuver www.wahidinstitute.org Tgl. Download: 17 April 2007
Gus
Dur,
(On
Line),
Wikipedia, Abdurrahman Wahid, (On Line),www.wikipedia.co.id tgl download: 17 April 2007
53 Aditya Pramana : Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Politik, 2007 USU Repository © 2008