FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI
Oleh : IDRIS NIM: 100033218835
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M
FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : IDRIS NIM: 100033218835
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”FUNDAMENTALISME ISLAM: ANALISIS PEMIKIRAN POLITIK BASSAM TIBI” ini telah diujikan dalam sidang munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 31 Mei 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 31 Mei 2007
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Masri Mansoer, MA. Nip. 150 244493
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA. Nip. 150 270808
Penguji I
Penguji II
Dr. Sirojuddin Aly, MA. Nip.150 318684
Idris Thaha, M.Si Nip. 150 317723
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. NIP. 150 240 483
Chaider S. Bamualim, MA NIP. 150 295 313
FUNDAMENTALISME ISLAM Analisis Pemikiran Politik Bassam Tibi
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : IDRIS NIM: 100033218835
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. NIP. 150 240 483
Chaider S. Bamualim, MA NIP. 150 295 313
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1428 H./2007 M
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta. Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis dengan judul “Fundamentalisme Islam: Analisis Pemikiran Politik
Bassam Tibi ”. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan dan kekhilafan didalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. dan Chaider S. Bamualim, MA. Selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki. 3. Ayahanda dan Ibunda Hepni dan Mayriyah, terimakasih atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari mereka berdua. sebagai wujud terimakasih, penulis persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Do’a mereka senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. 4. Terima kasih pada teman-teman Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pak Chaider sosok yang terus menjadi inspirasi bagi penulis, Pak Irfan yang selalu memberi motivasi tiada henti, Pak Sukron dan Mas Ridwan yang selalu menggelitik penulis dengan pertanyaan ”dah selesai belum skripsimu”, Ibu Lina dan Ibu Diana yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi, makasih Gus Sholah, Dirin, Sajad, Chayne Scott, Aang, Efri, Sylfi yang telah memberikan kehangatan tersendiri untuk selesainya skripsi ini. 5. Terima kasih kepada Nia Trisniawati, SS. atas dorongan, doa dan bantuannya, dan telah bersedia menemani “kegelisahan”(ku), selama penulisan skripsi ini...kau adalah segalanya, dan (aku) akan menjadi manusia tangguh seperti yang kau harapkan.
6. Terima kasih kepada kawan-kawan dari Madura terutama Bang Katib yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dan selalu mengajak diskusi tetang skripsi ini. Adam makasih ya atas dorongan dan motivasimu yang luar biasa, Sabran, Om Bedus, Suli, Bang Yon, Atif, Habib, Starji, terimakasih atas dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Buat Bang Mahmudi ditunggu skripsimu. Adi Priyitno, aku selalu menunggu senyum lebarmu untuk membuktikan siapa yang lebih awal selesai studi. Tidak lupa aku ucapkan terimakasih buat kawankawan FORMAD yang saya tidak bisa sebutkan satu-persatu. 7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman keluarga Bintang-Bintang, Ida, Fifi, Nana, Subur, Meta, Ijal, dan Opik. Tanpa motivasimu skripsi ini tidak akan selesai. Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang dapat penulis mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Amin.
Jakarta, 16 Mei 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
i
.................................................................................................. iv
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
5
C. Tujuan Penulisan .....................................................................
6
D. Metode Pembahasan ................................................................
6
E. Sistematika Penulisan .............................................................
8
BASSAM TIBI : RIWAYAT HIDUP , KARYA DAN PIKIRANPIKIRANNYA A. Riwayat Hidup ........................................................................ 10 B. Kaya-karya Bassam Tibi ......................................................... 13 C. Pokok-pokok Pikiran Bassam Tibi ......................................... 24
BAB III
LANDASAN TEORITIS FUNDAMENTALISME ISLAM A. Pengertian dan Asal Usul Istilah Fundamentalisme ............... 27 B. Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme .......................... 30
C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam ............... 34
BAB IV
PEMIKIRAN BASSAM TIBI TENTANG FUNDAMENTALISME ISLAM A. Fundamentalisme Islam: Gejala Ideologisasi Agama .............. 41 B. Fundamentalisme Islam & Miskonsepsi terhadap Doktrin Jihad ... 46 C. Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah
50
D. Fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban .................. 55
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 58 B. Saran ........................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 61
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dunia dikejutkan dengan menyeruaknya fenomena teror dan kekerasan atas
nama agama yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia,
terutama di dunia Islam, dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah hingga Indonesia. Di tengah fenomena kekerasan tersebut muncul kelompok-kelompok Islam seperti Jihad Islam di Mesir, Hamas di Palestina, Jemah Islamiyah, dan AlQaedah yang jaringannya kuat dan meluas dimana-mana. Pengeboman tragis atas gedung World Trade Center dan Pentagon 11 September 2001 di Amerika Serikat, adalah salah satu contoh bagaimana agama dan kekerasan terkait satu dengan lainnya. Kelompok-kelompok yang seringkali menjustifikasi kekerasan atas nama agama ini sering kali dikenal dengan kelompok fundamentalisme. Tidaklah heran mengapa gerakan fundamentalisme agama acap kali dilihat sebagai faktor ataupun aktor di balik munculnya aksi-aksi terorisme. Ini mudah dimengerti sebab di banyak kalangan fundamentalisme Islam, semisal Fron Jihad dan Jamaah Islamiyah di Mesir sejak lama telah secara ekstrem menjustifikasi kekerasan dengan doktrin jihad sebagai rukun Islam yang ke enam.1
1
Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Oktober 2004), Cet. I, h. 88.
(Jakarta: LSP,
Namun fundamentalisme bukan monopoli Islam semata. Pengamat agama terkemuka, Karen Amstrong, misalnya, melihat fundamentalisme agama menjadi fenomena global yang dapat terjadi kapanpun dan di manapun, serta mungkin saja didukung oleh siapapun.2 Bahkan ketika dilihat dari kacamata agama-agama, gerakan fundamentalisme tidak hanya terjadi dalam agama Islam, Yahudi, Kristen,
tetapi
juga
di
seluruh
agama-agama
lainnya.
Menurutnya,
fundamentalisme agama adalah ajaran yang secara kuat menekankan pentingnya kembali ke ajaran fundamental agama, serta berupaya menegakkan kembali kejayaan agama di masa lampau, agar dapat kembali diwujudkan di masa sekarang. Lebih jauh Armstrong berpendapat, bahwa fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar agama sebagaimana dimaksud, tetapi juga merupakan gerakan yang mencoba melawan modernisasi dan westernisasi.3 Itulah sebabnya, mengapa kelompok fundamentalisme cenderung dipahami sebagai kelompok yang anti-Barat dan modernitas. Karena aksi-aksinya yang ekstrem dan nekat, oleh banyak kalangan pemerintahan di Barat, kelompok ini seringkali dikaitkan dengan
terorisme. Peristiwa dahsyat 11 September 2001 membuat
stigma ini menjadi tak terbantahkan.4 Sebagai gejala sosial-keagamaan, fundamentalisme sebenarnya pertama kali muncul di kalangan penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat (AS), sekitar tahun 1910-an. Istilah fundamentalisme digunakan kalangan ini untuk
2
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Bandung: Mizan, 2000) Cet. I, h.IX. dan lihat juga Zuhairi Misrawi, Fundametalisme; Memenjarakan Perempuan, Jurnal Perempuan No.31, 2003, h. 65. 3 Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. X. 4 Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, International Institute of Islamic Thought Indonesia (September 2003), h.13.
membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan yang liberal yang oleh mereka dituduh telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali dasar-dasar (fundamental) tradisi Kristen, yakni suatu tradisi yang oleh mereka didefinisikan sebagai pemberlakuan panafsiran secara harfiah terhadap kitab suci. Banyak
pengamat
melihatnya
secara
berbeda-beda.
Yang
jelas,
fundamentalisme adalah kenyataan global yang muncul pada semua keyakinan keagamaan. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Ada yang melihatnya sebagai kritik dan protes terhadap berbagai masalah-masalah sosial dan moral yang dimunculkan modernitas. Bagi kelompok fundamentalis, arus
modernisasi dinilai telah keluar jauh dari nilai-nilai agama sehingga
menimbulkan kemerosotan moral-sosial dalam masyarakat maupun pemerintahan. Negara sekular juga dituduh gagal melindungi nilai-nilai luhur agama, bahkan agama dipinggirkan dari percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya; suatu domain publik yang telah dirampas dan dikuasai secara hegemonik agen-agen modernitas.5
Dalam
konteks
Islam,
fenomena
muculnya
gerakan
fundamentalisme Islam, secara umum, dapat dilihat sebagai respon terhadap krisis modernitas, dominasi Barat, kemorosotan moral umat Islam dan kegagalan negara-bangsa dalam mengintegrasikan program-program ekonomi, politik dan
5
Lihat Karen Armstrong, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002) h.193. Lihat juga Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003), Cet. I, h. 2.
budaya dengan sistem nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.6 Oliver Roy, pengamat politik Islam asal Perancis, melihat bahwa fundamentalisme Islam mempunyai dua agenda besar yang berpusat pada syari’at dan bersifat antikolonialisme, anti imperialisme, yang kini menjadi gerakan anti barat.7 Bagaimana Bassam Tibi memandang fenomena fundamentalisme Islam? Menurutnya, fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia. Gerakan ini merepresentasikan suatu ideologi politik, dan bukan agama sebagai budaya, dan bahkan terjebak dalam perangkap benturan antar peradaban dalam konteks sosial politik.8 Sejalan dengan Tibi, prof. di
bidang
politik
Islam
Din
Syamsuddin,
menilai
bahwa
gerakan
fundamentalisme cenderung hendak menemukan kembali jati diri Islam dan memasukkan asas-asas Islam ke dalam kehidupan nyata sosial-politik mutakhir.9 Dalam bahasa yang lebih tegas, Tibi mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala ideologis dari ide clash of civilizations (benturan peradaban).10 Karenanya, bagi Tibi adalah penting untuk membedakan antara Islam sebagai sebuah
agama
dan
peradaban
dan
Islam
sebagai
ideologi
politik
(fundamentalisme).11 Menurut Bassam Tibi, Islam merupakan sistem budaya, dan karenanya penting untuk menganalisis bagaimana sistem budaya ini dipolitisasi 6 7
Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad, h. 21. Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996) Cet. I,
h. 5. 8
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi dkk, (Yogyakarta: November 2000), Cet. I, h. 5. 9 Lihat Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. II, h. 190. 10 Dalam hal ini benturan peradaban yang dimaksud adalah benturan antara Islam dan Barat, Barat melihat Islam sebagai musuh utama yang mengancam eksistensiya dalam perpolitiikan dunia, pernyataan ini bisa dilihat juga dalam, Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 26. 11 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 5.
untuk melakukan perubahan sosial (social change). Demikian halnya, penting untuk mencermati bagaimana suatu ideologi politik dikembangkan dari sistem budaya (Islam) melalui pendekatan gerakan fundamentalis yang cenderung anarkis dengan mengatasnamakan Islam.12 Memperhatikan uniknya fenomena ‘manipulasi’ agama (sebagai sistem budaya) dengan ideologi politik kaum fundamentalis atas nama Islam, adalah penting bagi kita untuk mengkaji pemikiran Prof. Bassam Tibi. Penulis berharap, pembahasan ini dapat memberi kontribusi bagi studi-studi fundamentalisme Islam yang telah ada. Studi ini juga perlu mengingat pentingnya pengaruh dan reputasi Prof. Bassam Tibi baik di kalangan sarjana Barat maupun sarjana Islam. Apalagi hingga kini belum ada yang membahas secara mendalam pandangan-pandangan Bassam Tibi menyangkut fundamentalisme Islam sebagai gerakan ideologi politik di dunia Islam.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Bertitik tolak dari pandangan di atas, maka penulis berusaha membatasi penulisan skripsi ini pada pemikiran politik Bassam Tibi tentang fundamentalisme Islam. Untuk tidak terlalu menyimpang dari tujuan pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini, masalah yang hendak difokuskan hanyalah dalam ruang lingkup seputar karya dan pemikiran Bassam Tibi mengenai fundamentalisme Islam.
12
Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Penerjemah Misbah Zulfa Ellizabet dkk, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999) Cet. I, h. 193.
Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah apa dan bagaimana konsep pemikiran politik Bassam Tibi mengenai fundamentalisme Islam?
C. Tujuan Penulisan Dalam tujuan penulisan skripsi ini, penulis berusaha memotret dan mengkaji profil Bassam Tibi serta pemikirannya tentang fundamentalisme Islam, terutama eksperimentasi metodologi dalam pemahaman politik Islam baik secara teoritis maupun praktis dalam rangka kehidupan umat Islam dalam negara modern. Dari kajian ini penulis berharap dapat memperoleh pemahaman lebih baik dan mendalam mengenai gejala gerakan fundamentalisme Islam, kaitannya dengan dunia politik, suatu fenomena yang belakangan menggeliat dalam pentas kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia dewasa ini.. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penulisan ini diharapkan memberi sumbangsih bagi pengembangan studi politik Islam secara umum. Adapun secara praktis penulisan skripsi ini diharapkan menambah khazanah kepustakaan, khususnya mengenai pemikiran Bassam Tibi tentang fundamentalisme Islam.
D. Metode Pembahasan Bertolak dari model penelitian yang bersifat literal maka sumber data dalam penelitian skripsi ini sepenuhnya disandarkan pada riset kepustakaan
(library
research).
Artinya,
data-datanya
berasal
dari
sumber-sumber
kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, enseklopedi, majalah, surat kabar dan sebagainya. Dalam pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya-karya Bassam Tibi atau tulisan dan karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini. Dalam pembahasan tulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, komparatif dan analitis kritis. Metode deskriptif diarahkan untuk menggambarkan keadaan obyek atau peristiwa di sekitarnya tanpa berpretensi membuat kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Metode deskriptif ini adalah langkah awal yang mempunyai signifikansi untuk mengkaji dan menelaah lebih jauh. Metode komparatif digunakan untuk membandingkan pokok-pokok pemikiran Bassam Tibi guna mengetahui adanya persamaan dan perbedaannya dengan tokoh-tokoh lain, mengingat bahwa sosok Bassam Tibi dalam konstelasi pemikiran politik Islam tidak hadir begitu saja dalam ruang yang tanpa sejarah. Adapun metode analisis kritis digunakan untuk berupaya untuk mencermati kerangka pendekatan yang digunakannya serta corak pemikirannya terutama dalam mendiskusikan fenomena fundamentalisme Islam yang menghebohkan dunia dewasa ini.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku panduan penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005/2006. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang yang membahas antara lain latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode pembahasan dan sistematika penulisan. Bab kedua menguraikan tentang riwayat hidup Bassam Tibi, yang meliputi: riwayat hidup, karya-karya Bassam Tibi dan pokok-pokok pemikiran tentang politik Islam. Bab ketiga tentang landasan teoritis fundamentalisme Islam. Meliputi, apa dan bagaimana definisi fundamentalisme, sejarah munculnya fundamentalisme, ciri-ciri dan karakteristik fundamentalisme, dan bagaimana akar historis dan definisi fundamentalisme Islam Bab keempat adalah bab yang menguraikan tentang Pemikiran Bassam Tibi
Tentang
fundamentalisme
Islam.
Yang
meliputi,
bagaimana
fundamentalisme Islam sebagai gejala ideologisasi Agama untuk mencapai tujuan-tujuan politik, miskonsepsi terhadap doktrin
jihad bagi kelompok
fundamentalis, bagaimana fundamentalisme Islam dalam berupaya mendirikan
Negara Islam dan mengaplikasikan Implimentasi Shari’ah, dalam kehidupan berbangsa
dan
bernegara
dan
diakhiri
fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban.
dengan
pembahasan
seputar
BAB II BASSAM TIBI : RIWAYAT HIDUP , KARYA DAN PIKIRAN-PIKIRANNYA
A. Riwayat Hidup Bassam Tibi adalah professor bidang hubungan Internasional di Universitas Gottingen dan juga Guru besar di Universitas Cornel. Dia dilahirkan di Damaskus pada 4 April 1944 keturunan dari keluarga Banu al-Tibi yang terkemuka di Damaskus. Sebelum pindah ke Jerman pada 1962, dia menempuh pendidikan di sekolah model Islam dan Barat. Dan juga menyelesaikan pendidikan menengah dengan gelar sarjana muda bidang bahasa Perancis. Latar belakang akademisnya meliputi berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu sosial, filsafat, dan sejarah. Dia menerima gelar doktor pertamanya pada tahun 1971 dari Universitas Goehte di Frankfrut. Di antara guru-gurunya semasa studinya di Frankfrut adalah Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Jurgen Habermas dan Iring Fetscher. Tibi menerima Dr. habilnya (Doktor luar biasa Jerman) dari Universitas Hamburg pada 1981.13 Setelah mengajar di Univeristas Frankfrut dan Univeristas Heidelberg tahun 1973, Bassam Tibi diangkat menjadi professor di bidang Hubungan Internasional di Univeristas Goettinggen. Pada 1988 dia diangkat sebagai Prof. bidang perbandingan politik sebagai pengganti dari Stein Rokkan di Universitas Bergen/Norwegia.14
13 Lebih jelasnya lihat di website pribadi Prof. Bassam Tibi, diakses tanggal 26 Januari 2007 dari http://www.bassamtibi.de. 14 Website pribadi Prof. Bassam Tibi, http://www.bassamtibi.de.
Sejak 1982 Bassam Tibi mendirikan jaringan global untuk pengajaran dan penelitian yang dimulainya di Universitas Harvard. Dalam konteks ini dia memperoleh reputasi di bidang penelitian melalui buku-buku yang diterbitkannya dan tersebar luas di seluruh dunia. Dia beberapa kali mengadakan kunjungan guru besar di antaranya, ke USA (Harvard, Princeton, Berkeley, Ann Arbor), Turkey, Sudan, Cameroun, dan akhir-akhir ini di Swiss, Indonesia dan Singapura. Sejak Juli 2004 dia memegang jabatan guru besar di Universitas Cornell Amerika Serikat. Dari pengalaman akademisnya baik di Amerika serikat maupun di Jerman, pemikiran Bassam Tibi berkembang dan tumbuh secara matang. Hal ini karena Bassam Tibi tampaknya dapat memanfaatkan pergaulan ilmiah di berbagai universitas di dua negara tersebut. Ia secara aktif ikut merespon berbagai perdebatan dan isu ilmiah sebagai wahana pertukaran intelektual (intellectual exchange) menyangkut topik-topik keislaman, isu regionalitas, dan rekayasa peradaban.15 Di Universitas Harvard, Bassam Tibi bersahabat dengan Prof. Samuel P. Huntington dan Herbert C. Kelman (Harvard University); Prof. Ernest Mc.Carus, G. Windfuhrn, dan kemudian Richard Mitchell (Universitas Michigan, Ann Arbor); dan Prof. Barbara Stowasser dan Michael C. Hudson (Universitas Goergetown, Washington D.C). Merekalah yang punya andil dalam membantu Bassam Tibi dalam penulisan karya Bassam Tibi, ” Islam and the Cultural Accommodation of Social Change”, selama cuti panjang pada tahun 1982. 16
15
Jaenal Arifin, M.Ag, Pemikiran Pembaharuan: Analisa Terhadap Gagasan Sekular Bassam Tibi, (Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian IAIN sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 28. 16 Arifin, Pemikiran Pembaharuan, h. 29.
Pengalaman intelektual Bassam Tibi di Amerika Serikat dilaluinya dengan berbagai aktivitas akademisnya, seperti penelitian, penulisan, perkuliahan. Kesemuanya itu memungkinkan Tibi untuk memperluas pergaulan intelektualnya. Dari sini pula Bassam Tibi merasa telah terbantu memperluas keahliannya. Sejak tahun 1985-1989, Bassam Tibi bersahabat dekat dengan Prof. Roy Mottahedeh, yang menjadi sponsor ketika di Harvard. Ketika beliau melakukan penelitian di Princeton (1986/7) dan sebagai Rockefeller Fellow pada Universitas Michigan, Ann Arbor (1988), Bassam Tibi merasa terbantu atas budi baik dari Prof. Abraham Adovitch, Bernard Lewis, Charles Issawi, Carl Brown, Prof. Ernest Mc Carus dan Gernot Windfuhr dari Ann Arbor, serta secara khusus John Waterburry dan Clifford Geertz dari Princeton. Selain berkunjung ke Barat, Tibi juga melakukan perjalanan penelitian ke Timur Tengah dan Sub Sahara Afrika. Perjalanan ini didukung oleh The Goethe Institute (Lembaga Kebudayaan Jerman). Walaupun lembaga ini tidak terlibat dalam penelitian yang berkaitan dengan keahlian yang berhubungan dengan ilmu hubungan internasional - namun amat berjasa dalam dialog interkultural. Dalam dialog dan diskusi yang disponsori oleh The Goethe Institute, telah memungkinkan Bassam Tibi untuk menguji tesa-tesa yang diajukannya selama ini. Pada tahun 1989-93 dia menjadi anggota proyek fundamentalisme "The Fundamentalism Project" dari akademi seni dan ilmu pengetahuan Amerika Serikat dan juga co-author dari lima volume dari proyek tersebut (University of Chicago Press). Pada tahun 1994 Bassam Tibi menjadi visiting professor di Universitas California,
Berkeley dalam bidang perdamaian dan konflik pada tahun 1995 dan juga tahun 1998 di Universitas Bilkent di Ankara.17 Dengan banyaknya karya intelektual dan keterlibatan Bassam Tibi dalam berbagai forum dan penelitian ilmiah di Jerman dan di belahan dunia lainnya, Presiden Jerman, Roman Herzog memberinya penghargaan. Pada tahun 1995 Presiden Jerman, Roman Herzog, menganugerahinya medali tertinggi dari negara untuk prestasinya. Pada tahun 2003 dia menerima anugerah tahunan dari Swiss Foundation.18. Bassam Tibi juga pernah terpilih sebagai “Man of the Year” oleh American Biographical Institute pada tahun 1997.19 Selain aktivitas intelektualnya, Bassam Tibi juga terlibat sebagai dewan pengurus dari berbagai institusi penting.
B. Karya-karya Bassam Tibi Sebagai seorang intelektual, Bassam Tibi sangat produktif menelurkan karya tulis, baik yang berbentuk buku, ataupun yang berbentuk artikel. Karya-karya ilmiahnya pada umumnya ditulis dengan menggunakan bahasa Jerman, Inggris, dan Arab. Bassam Tibi telah mempublikasikan enam buku dalam bahasa Inggris dan 26 buku dalam bahasa Jerman (diterjemahkan kedalam 16 bahasa). Buku-bukunya berkenaan dengan peradaban Islam wilayah Timur Tengah. Sebagai tambahan Bassam Tibi juga menjadi penulis dari berbagai macam buku yang dihasilkan dari proyek penelitian. Antara tahun 1968 dan 2004 banyak artikel dan esainya telah
17
Lihat http://www.stgallen-symposium.org/cv_prof._dr._bassam_tibi.pdf, diakses 30 Januari 2007. 18 Website pribadi Prof. Bassam Tibi, http://www.bassamtibi.de. 19 Lihat daftar Pembicara Seminar Internasional “Islam and the West” yang diadakan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Hotel Kontinental, tanggal 1113 September 2002.
dipublikasikan dalam jurnal-jurnal terkemuka seperti International Journal of Middle Eastern Studies, Millenium, The Fletcher Forum, Religion-Staat-Gesellschaft, human Rights quarterly, Middle East Journal dan dalam insklopedi seperti The Oxford Encyclopedia of Modern Islam, Routledge Encyclopedia of Government and Politics dan Encyclopedia of Democracy.20 Sebagai seorang sarjana Bassam Tibi memulai menerbitkan karyakaryanya dalam jurnal-jurnal bahasa Arab (Dirasat Arabiyya, Mawaqif, al-Ulum, etc.) di Beirut dan Kairo (1968-1971) dan kemudian mempublikasikan sekitar 40 artikel. Kemudian dia merubah penulisan terutama dalam bahasa Jerman. Tibi juga mempublikasikan buku-buku utama dalam bahasa Inggris (penulisan secara langsung dalam bahasa Inggris maupun penulisan ulang dalam bahasa Inggris). Di sana ada enam karangan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris (di USA dan UK) dan juga memperbanyak publikasi dengan memperluas edisi-edisi baru, di antaranya: 1. The Challenge of Fundamentalism. Political Islam and the New World Disorder, two editions: 1998 and updated in 2002 (University of California Press). Buku ini mengkaji fundamentalisme-Islam dengan fokus perhatiannya pada aktualisasi cita-cita sosial politik Islam, bukan cita-cita sosial keagamaan. Dalam buku ini juga digambarkan dan diperdebatkan, apakah fundamentalisme sebagai terorisme yang menakutkan dengan atau apapun nama lain yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan
20
Website pribadi Prof. Bassam Tibi di (http://www.bassamtibi.de).
untuk mencapai tujuannya. Buku ini menarik karena mengkaji bagaimana lika-liku kajian tentang fenomena fundamentalisme Islam secara utuh. 2. The Crisis of Modern Islam. A Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age (Utah University Press, 1988). Buku ini sangat menarik karena hasil penelitian atas berbagai proses kultural kontemporer di Timur Tengah dan Afrika Utara disamping juga sebagai sebuah karya yang dibuat oleh Bassam Tibi, seorang sarjana yang mengaku dirinya sekular untuk orang-orang sezaman yang dibingungkan oleh peningkatan fundamentalisme Islam dalam pencarian ekspresi kuat pandanganpandangan sekular. Di samping itu, buku ini menjelaskan apa yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah bahwa teologi dan hukum ulama menjadi korban sekularisasi, dan dalam proses digantikan secara progresif oleh teologi-teologi civil atau personal yang saling bersaing untuk meraih keunggulan kultural. Koeksistensi teologi civil dan personal yang tidak mudah dicapai itu bukan hanya merupakan ciri khas Timur Tengah dan Afrika Utara tetapi juga meningkat di Amerika Utara. Jadi, refleksirefleksi Bassam Tibi amat penting bagi pemahaman nasib agama dan kultural di berbagai belahan dunia di akhir abad ke-20 ini. 3. Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, two printings 1990, 1991 (Westview Press). Buku ini membahas tentang Islam dan akomodasi kultural dari perubahan sosial, dan mengkaji problematika yang menimpa umat Islam saat ini. Di dalam buku ini Bassam Tibi melemparkan cahaya terang tentang pertemuan Islam dengan kekuatan-
kekuatan perubahan yang menggemparkan dari Maroko sampai Iran dengan pendekatan teori sosiologi dan antropologi. Originalitas dan kekuatan buku ini terletak pada konseptualisasinya, didasarkan pada sosiologi agama, yang mana Bassam Tibi mampu mengintegrasikan ke dalam framework persoalan-persoalan ilmu politik. Bassam Tibi dalam Buku ini merefleksikan hubungan-hubungan yang biasanya menstimulasi bagi penelitian di Timur Tengah modern dan juga bagi penelitian tentang negara-negara pada umumnya. Bassam Tibi dengan karya ini telah membuktikan dirinya sebagai pengarang dan intelektual yang bijaksana, reflektif dan inovatif. 4. Conflict and War in the Middle East. From Inter-State War to New Security, two editions 1993 and 1998, (revised and expanded, published in association with Harvard University by St. Martin’s Press). Buku ini melihat perpolitikkan yang terjadi di Timur Tengah dengan pendekatan teori-teori disamping data-data empirik di lapangan yang dikaitkan dan dibenturkan dengan konteks politik dunia yang lebih luas. Dalam buku ini Bassam Tibi menggunakan teori sistem untuk menguji hubungan antara dinamika regional dan kepentingan kekuasaan yang besar selama perang di Timur Tengah pada tahun 1967, 1973 dan 1990-1991. Dalam buku ini layak diacungi jempol karena mencoba untuk mempelajari dan mengkaji Timur Tengah dari perspektif teoritis. Buku ini menarik dan bernilai lebih karena Bassam Tibi meletakkan kajian Perang dan konflik Timur Tengah dalam konteks Historis. Bassam Tibi menulis buku ini dengan mengadopsi
pendekatan rasionalistik pada analisisnya paska perang dunia kedua pada konflik yang terjadi di Timur Tengah. 5. Islam between Culture and Politics, reprinted twice and published in nd
association with Harvard University (Palgrave Press, 2001), enlarged 2 edition 2005. Buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya umat Muslim menghadapi tantangan modernitas. Buku ini juga secara khusus menjelaskan 4 pembahasan penting. Pertama, Mendiskusikan pada dunia Islam dalam membangun ide bahwa Islam adalah sebagai sebuah peradaban. Kedua, bagaimana Islamisme muncul sebagai respon yang difensif terhadap globalisasi dan modernisasi. Ketiga, menjelaskan jalurjalur mengenai Islamisme, bagaimana hukum Islam dan syariah dicocokkan dengan prinsip-prinsip dalam Islam Politik, dan bagaimana Islamisasi pendidikan sebagai jalan menuju politisasi agama. Keempat, menjelaskan kemungkinan mediasi antara Islam dan Barat melalui munculnya Islam Eropa. 6. Arab Nationalism. Between Islam and the Nation-State, 3 editions 1980 expanded, 1990 and 1997 (London and New York: Macmillan Press and St. Martin’s Press), (revised and expanded). Karya-karya di atas memperlihatkan keahlian, ketekunan dan keragaman penguasaan Bassam Tibi atas berbagai disiplin ilmu yang ditekuninya. Ini sekaligus mencerminkan reputasi intelektualnya yang tinggi. Sedangkan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari 6 buku di atas diantaranya adalah:
1. “Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial” ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999) Cet. I 2. “Krisis Peradaban Islam Modern Sebuah Kultur Pra Industri dalam Era Ilmu Pengatahuan dan Teknologi” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1994) Cet. I 3. “Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 2000). Selain karya-karya yang ditulis sendiri oleh Bassam Tibi di atas, masih terdapat banyak sekali karya-karya ilmiah Bassam Tibi yang disumbangkannya dalam berbagai macam karya bunga rampai. Karya-karya itu diantaranya: 1. Edward Said, ed., The Arabs Today. Alternatives for Tomorrow (Columbia/Ohio: Forum Associates, 1973), Tibi pp. 31-42. 2. Samih Farsoon, ed., Arab Society (London: Groom Helm, 1985), Tibi pp. 48-64. 3. Yehuda Lukacs, ed., The Arab Israel Conflict (Boulder/Col: Westview, 1988), Tibi pp. 147-163. Georges Atiyeh/Ibrahim Owess, eds., Arab Civilization (Albany/NY: State University of New York Press, 1988), Tibi pp. 166-182. 4. Michael Hudson, ed., The Middle Eastern Dilemma: Arab Integration (New York: Columbia University Press, 1999), Tibi pp. 92-106 (Project at Georgetown University, Center for Contemporary Arab Studies). 5. Tami A. Jacoby/Brent Sasley, eds., Redefining Security in the Middle East (Manchester: Manchester University Press, 2002), Tibi pp. 62-82.
6. Philip Khoury/Joseph Kostiner, eds., Tribes and State Formation in the Middle East (Berkeley: University of California Press, 1990), Tibi pp. 127-152 (MIT-Harvard-Project). 7. Martin Marty, Scott Appleby, eds., Fundamentalism and Society (Chicago: Chicago University Press, 1993), Tibi pp. 73-102 (the big Fundamentalism Research Project of the American Academy of Arts and Sciences, published in 5 volumes). Tibi co-authored vol. 2. 8. Sohail Hashmi, ed., Islamic Political Ethics (Princeton: Princeton University Press, 2002), Tibi pp. 175-193. 9. Michèle Schmiegelow, ed., Democracy in Asia (New York: St. Martin’s Press, 1997), Tibi pp. 127-146 (Project at the Université Catholique de Louvain/Belgium, Center for Asian Studies, Summer 1994). 10. Alan M. Olson/David M. Steiner/Irina S. Tuuli, eds., Educating for Democracy: Paideia in an Age of Uncertainty, (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2004), Tibi chapter 19, pp. 203-219. 11. Chaider S. Bamualim a.o., eds., Islam and the West. Dialogue of Civilizations in Search of Peaceful Global Order, Jakarta 2003 (Tibi: two chapters, pp. 15-26 and pp. 249-254). 12. Karlina Helmanita et al., eds., Dialogue in the World Disorder. A Response to the Threat of Unilateralism and World Terrorism, Jakarta 2004 (Tibi on pluralism pp. 159-202). 13. Roman Herzog and others, Preventing the Clash of Civilizations (New York: St. Martin’s Press, 1999), Tibi p. 107-126 (Roman Herzog was
President of Germany; this publication is the alternative to Huntington’s Clash of Civilizations). 14. Furio
Cerruti/R.
Ragionieri,
ed.,
Identities
and
Conflict.
The
Mediterranean (London: Palgrave 2001), Tibi pp. 121-134 (Project at the University of Florence/Italy). 15. Terry Nardin, ed., The Ethics of War and Peace (Princeton/NJ: Princeton University Press, 1996), Tibi pp. 128-145 (Research Project of the Ethicon Institute/Cal., conducted in Jerusalem 1993). 16. Abdullahi A. An-Na’im and Francis Deng, eds., Human Rights in Africa. Cross-Cultural Perspectives (Washington/DC: The Brookings Institute, 1990), Tibi pp. 104-132 (Research Project at the Wilson Center, Washington/DC). 17. T.K. Oomen, ed., Citizenship and National Identities (London: Sage, 1997), Tibi pp. 199-226 (The papers of a project run at UC-Berkeley in 1992). 18. Nezar AlSayyad and Manuel Castells, eds., Muslim Europe or EuroIslam? (Berkeley and Lanham: Lexington Books, 2002), Tibi pp. 31-52, UC-Berkeley project 1998-2000 on Islam and the changing identity of Europe. Prof. Tibi was involved in an inter-civilizational dialogue in Jakarta/Indonesia 2003/04. The papers were jointly published in two volumes by the Center of Languages and Cultures/UIN and Adenauer Foundation in Jakarta. Both volumes include lengthy contributions by Tibi:
19. The Emirates Center for Strategic Studies, ed., The Gulf. Challenges of the Future, Abu Dhabi 2005 (Research Project), Tibi chapter 17, pp. 313-330. 20. Barbara Stowasser, ed., The Islamic Impulse (London: Groom Helm, 1987), Tibi pp. 59-74. Buku-buku No 1,2, 4, 5 dan 6 mengkaji tentang dunia Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Sementara buku No. 7-13 mengkaji tentang Fundamentalisme sebagai cita-cita politik Islam, etika politik, demokrasi dan benturan peradaban antara Islam dan Barat. No. 14-17 mengkaji tentang hak asasi manusia (HAM) dan konflik dan perdamaian. Sementara artikel-artikel dalam ensiklopedi-ensiklopedi Amerika: artikelartikel utama yang dipublikasikan oleh Prof. Tibi berdasarkan ensiklopediensiklopedi US adalah: 1. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, 1995, four volumes, article “Authority and Legitimation”, vol. One, pp. 155-160 2. Encyclopedia
of
Democracy,
1995,
four
volumes,
article
on
fundamentalism and democracy, vol. II, pp. 507-510. 3. Protest, Power and Change. An Encyclopedia of Non-Violent Action, 1997, one volume, article on jihad, pp. 277-281. 4. Second edition of Encyclopedia of Government and Politics, 2004, article on fundamentalism, vol. I, pp. 184-200. Antara tahun 1968 dan 2004 Prof. Tibi mempublikasikan lebih dari 300 artikel dan esai-esai, awalnya secara mendasar dalam bahasa Arab (contohnya: Dirasat Arabiyya/ Mawaqif/Beirut dll.)
Antara tahun 1969 dan 2005 Prof. Tibi mempublikasikan 26 buku, semuanya dicetak sekitar 500.000 copi. Salah satu hasil dari cetak ulangnya bisa dilihat di homepage dari Prof. Tibi http:/www.gwdg.de/~uspw/IIB/start_dt.htm dan di “Amazon”. Terutama buku-buku Jerman yang dipublikasikan dalam bentuk hardcover oleh Tibi sejak tahun 1993. Adapun publikasi dari kegiatan-kegiatan dalam proyek-proyek penelitian besar yang dipublikasikan yaitu: 1. 1989-93, Project: The Fundamentalism Project (publication 1993-95). The American Academy of Arts and Sciences/Cambridge,MA and Chicago. 2. 1988-90, Project: State Formation in the Middle East (publication 1990), Harvard/MIT. 3. 1992-93, Project: Nation, National Identity and Nationalism (published 1997), University of California, Berkeley. 4. 1995, Project on German foreign policy/chair Karl Kaiser, DGAP/German Council on Foreign Relations, published in three volumes (1994-96), coauthor vol. 2, Deutschlands Außenpolitik, Bonn 1995, pp. 61-80. 5. 1998-99, Islam and the Changing Identity of Europe/University of California Berkeley publication: Muslim Europe or Euro-Islam?, Lexington Books 2002, Tibi chapter 2. 6. 1999, Project on Political Islam and Security at the Program for Strategic and International Security Studies at the Graduate Institute of International Studies/Geneva. Published by Frédéric Grare, ed., Islamism and Security (chapter Tibi, pp. 63-102) as PSIS Special Studies Nr. 4, Geneva 1999.
7. 2003 ongoing, Culture Matters at Fletcher School, Tufts University, will be published in three volumes by Routledge. 8. 2004 on going, Transnational Religion and Europeanization at Cornell University and Colgate University, publication edited by Peter Katzenstein, ed., Religion in an 9. Expanding Europe, in 2006 by Cambridge University Press. Chapter: Europe Between Islamization and Europeanization. 10. 2005 Project: International Security Conference/2004, published under the title: Countering Modern Terrorism, edited by Martin van Crefeld and Katharian van Knop (Bertelsmann 2005). Tibi pp. 131-172. 11. Project 2004/05: Europe. A Beautiful Idea/The Nexus Institute, Netherlands Prof. Tibi bekerja sebagai penulis tetap dari artikel khusus and kontributor untuk surat kabar utama dan majalah-majalah berita di Jerman, termasuk Der Spiegel dan Focus: Antara tahun 1987 dan 2000 Tibi sebagai seorang kontributor utama dan penerbit ratusan artikel disemua bagian dari harian
Fankfurt
Allgemeine Zeitung, untuk meninjau ulang buku-bukunya. Dia meninggalkan suratkabar
tersebut
karena
merasa
ada
tuntutan
editor-editor
yang
membingungkan “guest author” dalam pandangan Jerman “guest workers” karena merasakan beberapa perbedaaan. Sejak awal tahun 2000 Prof. Tibi dipublikasikan sebagai penulis tetap di harian Financial Times Deutschland, pertama dibentuk pada tahun itu. Oleh karena itu beliau menerbitkannya dalam kolom Rhein-Zeitung, selanjutnya
Süddeutsche Zeitung dan Handelsblatt dan selanjutnya di Die Welt. Sejak 2005 beliau adalah tetap untuk International Herald Tribune. Sejak 2002 Tibi juga mempublikasikan sebuah esai tahunan dalam mingguan Die Zeit dan sejak 2001 menjadi bulanan di St. Galler Tagblatt, Switzerland. Tibi juga sebagai kontributor utama untuk The Spiegel (1992-98) kemudian bersaing dengan majalah Jerman Focus (1996-2005) 1996-2004. Antara 1990 dan 2000 beliau juga ilmuwan Islam dan Timur Tengah dari German ZDF television.
C. Pokok-Pokok Pikiran Bassam Tibi Bassam Tibi adalah seorang intelektual muslim brilian dan agresif yang populer di belahan dunia. Ia dikenal sebagai pemikir Islam di bidang politik dan hubungan Internasional. Di bawah ini akan diilustrasikan beberapa pokok-pokok pikiran Bassam Tibi mengenai Islam, demokrasi, dan sekularisme.
a. Islam dan Demokrasi Gagasan mengenai demokrasi berakar dari masyarakat Yunani kuno. Demokrasi tidak bisa dipungkiri sebagai realitas sosial yang hadir di depan mata kita. Ia merupakan fenomena yang muncul dan berkembang di era modern dan berhubungan secara integral dengan perkembangan modernisasi di Barat. Demokrasi Barat telah menjadi model dalam menandingi budaya-budaya dan peradaban-peradaban non-
Barat, termasuk di dalamnya peradaban Islam.21 Demokrasi merupakan sebuah prestasi Barat, sehingga sering dicurigai oleh sebagian kalangan non-Barat. Tibi memandangnya sebagai berikut:
“Democracy and Pluralism are a basket. It is basket universal? What is the view of Islam on this issue? In the large, as well as within each civilisation, there is a conflict between those who have one vision to be imposed on the entiere humanity and others, who subscribe along the lines of pluralism to diversity. Islamic civilation is no exeption. Regardless of these different views, the Qur’an teachs us diversity”.22
Demokrasi dan pluralisme adalah sebuah jaringan. Itu adalah jaringan universal?apakah ini masalah dalam Islam? seperti dalam setiap peradaban, disana ada suatu konflik diantara siapapun yang memiliki satu pandangan yang menentukan masuknya kemanusiaan dan yang lainya, yang menganut garis pluralisme yang berbeda. Peradaban Islam bukanlah harapan. Tiada pengakuan dari pandangan-pandangan yang berbeda, al-Qur’an yang mengajari kita perbedaan.
b. Sekularisme Bassam Tibi dalam hal ini berkeyakinan bahwa dengan menggunakan ideologi sekular (Pemisahan agama dan politik) sebagai ideologi negara akan dapat membuat Islam lebih maju, baik di bidang keamanan, politik, sosial budaya dan ekonomi dll. Menurutnya, sekularisasi merupakan alternatif bagi pengembangan Islam di masa yang
21
Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder, (University of California Press: 1998) Cet. I, h.30. 22 Bassam Tibi, Islamic Civilization the Quest for Democratic Pluralism: Good Governance and the Political Culture of Non–violence, dalam Karlina Helmanita, Irfan Abubakar, Dina Afrianty (Ed) Dialogue in the World Disorder, (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2004) Cet. I, h.159.
akan datang, sebab sekularisasi adalah merupakan fenomena pemikiran, bahkan fenomena filsafat, dan masyarakat Muslim kini sedang mengembangkannya.2324 Akan tetapi dengan berbagai alasan, kaum tradisionalis dan fundamentalis muslim tidak bisa mengapresiasi konsep “sekularisasi” karena dalam konsepsi mereka, istilah itu tidak sesuai dengan Islam. Menurut Tibi penolakan kaum tradisional dan fundamentalis terhadap sekularisme dan atau berbagai istilah Barat Eropa, sebagian di antarannya dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka terhadap pengertian dan signifikansi dari sekularisasi. Karenanya, Tibi menilai bahwa sudah saatnya Timur Tengah Islam untuk mengacu kepada pergumulan tradisi agama dan peradaban lain untuk dapat mengembangkan potensi diri mereka secara maksimal.
23
Aripin, Pemikiran Pembaharuan, h. 8.
BAB III LANDASAN TEORITIS FUNDAMENTALISME ISLAM
A. Pengertian dan Asal Usul Istilah Fundamentalisme Istilah “fundamentalisme” pada awalnya dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat sendiri. Fundamentalisme secara harfiah berarti dasar dan merujuk pada gerakan protestan Amerika awal abad ke 20 yang menyerukan agama untuk kembali kepada penafsiran Injil secara puritan. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.25 Sedangkan secara terminologi, fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual).26 Munculnya fundamentalisme juga terkait dengan reaksi terhadap adanya gerakan reformisme dan liberalisme.27 Sementara di dalam kamus Oxford, fundamentalisme didefinisikan sebagai "pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen Protestan".28 Ia merujuk pada
25
Martin H. Manser, The Oxford English Dictionary,(Oxpord University Press: 1988). Lihat Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik dan Wacana Politisasi Agama, Jurnal Afkar edisi No. 13 tahun 2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The Asia Foundantion, h. 20. 27 Ismail Al Bandjar, Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, Jurnal Ilmu Politik No.12, h. 4. 28 Lihat kamus Oxford dan A Fatih Syuhud, Bias Makna Fundamentalisme, Harian Pelita, 23 September 2005. 26
gerakan keagamaan berbagai sekte Kristen Protestan Amerika yang muncul di sekitar akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.29 Sebagai sebuah istilah, fundamentalisme diadopsi dari judul buku The Fundamentals: a Testimony to the Truth, sejumlah tulisan yang berasal dari para teolog konservatif.30 Cakupan istilah
fundamentalisme
begitu
luas,
maka
tidak
heran
bila
definisi
fundamentalisme sering ditentang dan menimbulkan perdebatan. Sementara, istilah ini tidak ditemukan padanannya secara persis dalam Bahasa Arab. Namun kata dalam Bahasa
Arab yang paling mendekati
fundamentalisme adalah ushul (Ushul bisa diartikan sebagai fundamental, akar, asas).31 Kaum fundamentalis sering juga disebut ushuliyyun. Selain cara penafsiran agama yang literal, kelompok-kelompok fundamentalisme seringkali memperjuangkan aspirasi keagamaan, sosial maupun politik secara radikal dengan menjustifikasi kekerasan yang mereka lakukan dengan retorika keagamaan semisal ajaran jihad. Penafsiran harfiah terhadap agama juga ditegaskan Abdurrahman Wahid. Menurutnya fundamentalisme muncul akibat ajaran Agama ditafsirkan secara harfiah di tengah keinginan kuat masyarakat untuk kembali kepada ajaran agama.32
29
. Fatih Syuhud, Bias Makna Fundamentalisme. James Barr, Fundamentalisme, terj. Stephan Suleman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), Cet. II, h. 2. 31 Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalsme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002) Cet. I, h. 41. 32 Lihat Fundamentalisme Muncul karena ditafsirkan Harfiah, Kompas, Minggu, 23 September 2001, hasil wawancara dengan Gus Dur, dan lihat juga Kliping koran, Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Jilid I, h. 2. 30
Dari berbagai ilustrasi di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa fundamentalisme adalah paham atau gerakan keagamaan yang menuntut perlunya kembali kepada asas-asas ajaran agama sebagaimana tersurat dalam kitab suci, menafsirkannya secara rigid (kaku) dan literalis, serta cenderung memperjuangkan perwujudan keyakinannya dan aspirasi-aspirasinya secara radikal. Untuk memahami pemikiran dan gerakan fundamenlaisme dengan baik, adalah penting untuk menggunakan pendekatan sejarah, sosial-keagamaan maupun politik. Dengan pendekatan ini diharapkan akan mudah mengidentifikasi pertumbuhan dan alur dinamika, motif dan tujuannya, serta faktor-faktor sosial yang mungkin mempengaruhi bangkitnya fundamentalisme sebagai fenomena gerakan keagamaan yang bersifat sangat ideologis itu. Secara historis, sebagaimana disinggung dalam Bab sebelumnya, bangkitnya fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai respon dan reaksi terhadap modernisme dan post-modernisme.33 Dalam masyarakat Barat, fundamentalisme muncul di dalam gereja pada abad XIX dan awal abad XX ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, sementara gereja mengalami kemunduran. Munculnya fundamentalisme dalam konteks seperti ini bertujuan untuk membangun benteng bagi keimanan Kristen, sebab cara ini diharapkan dapat memperdalam dan meningkatkan kepercayaan kaum Kristiani kepada doktrin-doktrin gereja serta dapat menanamkan militansi serta semangat dalam menghadapi musuh.34
33
Rihlah Nur Aulia, Fundamentalisme Islam Indonesia, Studi atas gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, Thesis S2 Pascasarjana UIN Jakarta, 2004, h. 43. 34 Soetarman Sp, Weinata Sairin, Loanes Rakhmat, Fundamentalsime Agama-agama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1992) Cet. II, h. 18.
Dalam sejarah agama-agama, fundamentalisme tidak hanya ditemukan dalam tradisi monoteisme, tetapi juga dalam tradisi agama-agama nonmonoteisme. Misalnya fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Khong Hu Cu, yang sama-sama menolak butir-butir budaya liberal, saling berperang atas nama agama (Tuhan), dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara.35
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme Menurut Fouad Ajami, ciri-ciri fundamentalisme di antaranya bahwa gerakan ini cenderung “menafikan pluralisme”. Bagi kaum fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua tatanan masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai Al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan Al-nidham aljahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.36 Bahkan memiliki militansi yang kuat untuk membela dan mempertahankan
35
Karen Armstrong , Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta-Bandung: kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001), Cet II, h.x. 36 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta, Paramadina, 1999) Cet. I, h. 19.
keyakinan keberagaman mereka.37 Arah dari kencendrungan ini dapat ditebak. sebagaimana ditegaskan Bruce Lawrence, fundamentalisme berupaya untuk membangun “tuntutan kolektif”, atau semacam komunalisme dimana keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan wajib dilaksanakan.38 Ciri lain dari fundamentalisme menurut R. Hrair Dekmejian adalah lebih mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” dari pada pengungkapan gagasan secara terperinci. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang utama bagi kaum fundamentalis. Mereka dapat dicirikan dari kecenderungannya terhadap simbol-simbol keagamaan, termasuk dalam memberantas maksiat, mengobarkan semangat “jihad fi sabilillah” dan romantisme mereka terhadap negara Islam. Di samping itu, bagi kaum fundamentalis “jihad” memerankan fungsi yang sangat penting untuk menggugah militansi dan radikalisasi umat. Jihad juga dipergunakan sebagai media untuk memperjuangkan dan membela agama dari mereka yang dianggap musuh (Barat dan pemeluk agama nonIslam).39 Selanjutnya, menurut R. Hrair Dekmejian, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya.40
37
Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. IV, 1993, h.3. 38 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan Sosial, diakses 29 April 2007dari http://Interseksi.Org/Page4/Papers/Papers/. 39 Rihlah Nur Aulia, Fundamentalisme Islam Indonesia, h. 66. 40 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan Sosial Lihat juga Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 20.
Selain ciri-ciri di atas, fundamentalisme Islam juga memiliki pandangan yang khas mengenai ijtihad. Menurut Leonard Binder, bagi kaum fundamentalis, ijtihad hanya dimungkinkan
manakala syari’ah tidak memberikan ketentuan
hukum yang rinci mengenai suatu masalah. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan tersebut. Selain itu, ijtihad juga hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad.41 Sementara itu, sosiolog Agama Martin E. Marty, menyebut setidaknya empat ciri gerakan fundamentalisme. Pertama adalah oppositionalism (paham perlawanan). Fundmentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik itu modernisme, sekulerisme, dan tata nilai Barat pada umumnya. Kedua penolakan terhadap hermeunetika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Ketiga adalah penolakan terhadap relativisme dan pluralisme, sebagaimana juga disebut Fouad Ajami di atas. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Keempat penolakan terhadap
perkembangan
historis
dan
sosiologis.
Kaum
fundamentalsis
berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.42 Sementara
itu,
James
Barr43
menemukan
beberapa
ciri-ciri
fundamentalisme sebagaimana berikut. Pertama, Penekanan yang sangat kuat 41
Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h.18. Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 19. 43 James Barr, Fundamentalisme, h.1. 42
akan ketidaksalahan ( innerrancy) Alkitab. Kedua, anti terhadap teori modern dan segala metode
studi kritik modern terhadap Alkitab. Ketiga, dalam konteks
Kristen, ada klaim bahwa mereka yang tidak menganut pandangan ini bukanlah ”Kristen sejati”. Demikian halnya, gereja sejati hanyalah gereja kaum fundamentalis. Jelas, kaum fundamentalis Islam juga cenderung beranggapan bahwa Islam merekalah yang paling sejati. Fundamentalisme tumbuh dan diidentikkan sebagai bagian dari fenomena global, tetapi kerap kelompok ini disebut-sebut sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-citanya. Ini terlihat dalam bangkitnya fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India,44 dan fundamentalisme Islam di banyak negara Islam. Berdasarkan berbagai ciri-ciri fundamentalisme sebagaimanan disebut di atas, penulis dapat memberikan beberapa ciri-ciri fundamentalisme sebagai berikut: Pertama cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual); kedua cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah), sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak sealiran; ketiga meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; keempat memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat; kelima mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler; dan terakhir cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang 44
Lihat Jo. Priastana, Fundamentalisme dalam Buddhis dan Penghancuran Sangha Perempan, Jurnal Perempuan No.31 2003, h. 8.
diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.45
C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam Karena
tidak
pernah
dikenal
dalam
Islam,
penerapan
istilah
fundamentalisme pada kaum Muslim seringkali menimbulkan kontroversi. Perdebatan banyak dimulai dari implikasi istilah ini yang memperburuk citra Islam, dan bahkan ketika digunakan untuk menggambarkan orang Kristen sekalipun. Dikatakan oleh sebagian orang bahwa istilah ini memiliki konotasi kebodohan dan keterbelakangan, dan dengan demikian menghina gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang absah.46 Pada tahun 1970-an kebanyakan analisis Muslim menolak istilah fundametalisme sebagai label bagi gerakan kebangkitan Islam. Akan tetapi, pada tahun 1990-an analis fundamentalisme Muslim mulai menggunakan istilah ini dalam perdebatan politik dan ilmiah.47 Terlepas adanya pro dan kontra terhadap fundamentalisme dalam Islam, ternyata, dari akar historisnya ada beberapa gerakan Islam yang dianggap berciri fundamentalistis. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: pertama, gerakan Khawarij yang muncul kurang lebih pada dua dasa warsa sesudah kematian Nabi Muhammad. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Kaum 45
Lihat Martin E. Marty dan R. Acott Appleby, Fundamentalism Comprehended, (The University of Chicago Press, 1995) dan Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana, dan Politisasi, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi, No. 13 Tahun 2003. 46 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000) Jilid 2, h. 84. 47 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84..
Khawarij mula-mula menjadi pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang menjadi Khalifah tahun 661 M. Kemudian mereka memisahkan diri dari Khalifah Ali Ibn Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikapnya yang menerima keputusan kompromi dalam menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Muawiyah Ibn Sufyan. Dengan anggota sekitar dua belas ribu orang, mereka membentuk kelompok sendiri di bawah pimpinan Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi.48 Gerakan Khawarij bergerak dalam bidang politik dan teologi. Bidang politik terlihat dalam keterlibatan mereka menentang atau mendukung penguasa yang berkuasa. Sedangkan dalam bidang teologi terlihat dalam pengawasan mereka secara ketat terhadap pelaksanaan syari’ah. Selain itu, gerakan ini juga cenderung radikal, nyaris tanpa kompromi, dan eksklusif. Dalam pandangan mereka, siapapun yang dipandang kafir (termasuk anak dan istri) layak dibunuh.49 Secara umum, ajaranajaran pokok golongan khawarij adalah: pertama Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir. Kedua, kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir. Ketiga, khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.50
48
Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, (Yogyakarta: Kalika, 2003), Cet. I, h. 60. 49 Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, h. 6. 50 Khawarij, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses 5 Juni 2007 dari http:// id.wikipedia.org.
Kedua, Ikhwanul Muslimin. Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928 di Mesir. Adapun tujuan dari didirikannya gerakan ini adalah untuk menciptakan dan bahkan mendirikan suatu negara Muslim
yang
teokratik
(Islamic
State).
Gerakan
ini
berupaya
untuk
mengaplikasikan doktrin-doktrin Islam. Selain itu dalam mencapai tujuannya mereka memperkenalkan cara-cara pembunuhan dan revolusi meliter.51 Fundamentalisme Islam mendapat tempat di kalangan Barat, dan mulai populer berbarengan dengan terjadinya revolusi Iran pada 1979, setelah Ayatullah Khomaeni secara sensasional menumbangkan kekuatan rezim Syah Iran, yang kemudian memunculkan kekuatan Muslim Syiah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the Great Satan, Amerika Serikat.52 Khomaeni bahkan berjanji mengekspor revolusinya itu ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Setelah terjadi Revolusi Islam Iran, istilah fundamentalisme Islam menyebar dan digunakan secara luas oleh banyak kalangan akademis, serta digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul dalam gelombang
yang
sering
disebut
sebagai
”kebangkitan
Islam”
(Islamic
Revivalism).53 Meski gerakannya bersifat radikal dan pemikiran keagamaan cenderung terkebelakang,
fudamentalisme
Islam
tidak
harus
diidentikkan
dengan
konservatifme. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tokoh-tokohnya juga memanfaatkan 51
sarana-sarana
modern,
bahkan
mengadopsi
teknik-teknik
Chaider S. Bamualim dan Ridwan al-Makassary, Nexus antara Fundamentalisme Islam dan Terorisme, Jurnal Millah, Vol. VI, No.1, Agustus 2006, h. 40. 52 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 18. 53 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme hingga PostModernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) Cet.I, h. 107.
kebangkitan modern dalam gerakannya. Mereka menyerukan pula kepada kaum muslimin untuk belajar sains dan teknologi. Bruce Lawrence dan Juergenmensyer melihat bahwa
munculnya
fundamentalisme Islam terkait erat dengan kegagalan proses-proses modernitas dan negara-bangsa (nation-state). Pada dasarnya, mereka berdua melihat bahwa kaum fundamentalis tidak menafikan modernitas dalam pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang ditolak kaum fundamentalis adalah ideologi (sistem ide-ide) di balik itu; yaitu sekularisme, westernisme dan materialisme. Karena itu, pernyataan Ira M. Lapidus bahwa kaum fundamentalis tidak sedang memperjuangkan tatanan sosial yang pernah ada dalam sejarah Islam, namun mengupayakan suatu rekonstruksi identitas dalam bidang sosial dan politik baru yang diperoleh dari ajaran-ajaran agama, mungkin lebih rasional dan logis.54 Fundamentalisme Islam di era modern menjadi perdebatan banyak kalangan, antara lain; apakah fundamentalisme Islam itu khas modern atau tidak? R. Hrair Dekmejian, dan John O. Voll berpendapat bahwa sepanjang sejarah Islam selalu muncul dan ada gerakan aktivis yang menyerukan ”kembali ke asas-asas agama”. Pendapat ini tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Marthin Marty, R. Scott Apleby (pimpinan proyek fundametalisme Akademi Sains dan Amerika), dan Bruce Lawrence bahwa fundametalisme merupakan produk zaman modern sekalipun tampaknya memiliki anteseden historis. Menurut padangan ini
54
Tarmidzi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.
kondisi modernitas itu unik, dan fundametalisme adalah tanggapan religius terhadap tantangan modernitas.55 Definisi fundametalisme Islam adalah sesuatu yang elusif (sulit dipahami), dan tidak ada persepsi yang tunggal mengenai apa itu fundamentalisme Islam. Karenanya penting penulis memberikan ilustrasi pandangan tokoh-tokoh tentang fundamentalisme Islam seperti berikut ini: Menurut Musa Keilani fundamentalisme Islam adalah sebagai suatu gerakan sosial dan keagamaan yang menyerukan umat Islam kembali kepada “Prinsip-prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif [dengan doktrin agama], kembali kepada keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan kepribadiannya sendiri”.56 Sedangkan menurut Jan Hjarpe, mengartikan fundamentalisme Islam adalah sebagai “Keyakinan kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma- politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk menciptakan masyarakat yang baru”.57 Fundamentalisme Islam, menurut Norman Daniel, adalah universalisme yang absolut, visi tatanan dunia yang didasarkan pada Islam. Karena alasan inilah –dan
bukan
karena
“kebencian
terhadap
Islam”--perdebatan
tentang
fundamentalisme dan politik dunia, harus dipusatkan di sekitar Islam dan Barat. Secara tradisional, dua pihak itu telah memiliki kesan yang bermusuhan satu sama
55
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84. Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 16. 57 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam, h. 16. 56
lain.58 Sedangkan Freed Halliday mendeskripsikan fundamentalisme Islam, dengan melihat kasus Iran dan Tunisia, sebagai “a revolt against the intrusive secular state.59 Sementara Bassam Tibi mendefinisikan fundamentalisme Islam adalah bukan sebagai kepercayaan spiritual keislaman, melainkan sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan di muka bumi.60 Definisi ini dapat memberikan inspirasi untuk memetakan bahwa salah satu tujuan dari gerakan fundamentalisme Islam adalah berkehendak untuk memformalisasikan syariat Islam dalam sebuah negara, cita-cita kaum fundamentalis meniscayakan hubungann antara agama dan negara berjalan harmonis.61 Terutama demi terbentuknya lembaga dan institusi yang berlabelkan Islam, seperti isu negara Islam dan formalisasi syari’at Islam. Pada tingkat tertentu mereka juga berupaya untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan Khilafah. Sistem Khalifah dianggap sebagai trademark politik Islam yang harus ditegakkan sebagai sebuah sistem berbangsa dan bernegara. Runtuhnya sistem kekhalifahan di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk pada 1924 dianggap sebagai titik hancurnya sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, untuk mengangkat kembali cita-cita
58
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. I, h. 8. 59 Valerie J. Hofman, Muslim Fundamentalists: Psyhosocial Profiles, dalam Fundamentalism Comprehended, (ed. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby), Chicago: the University of Chicago Press, 1995) h. 207. 60 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politi, h. 23. 61 Persepsi kaum fundamentalis tentang harmunisasi hubungan antara agama dan negara , tidak seluruhnya terrealisir.
politik Islam, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menegakkan kembali sistem Khalifah Islam. Terlepas dari utopia yang ada dalam gerakan tersebut, romantisme politik demikian hampir menjadi cita-cita semua gerakan fundamentalis. Meskipun terdapat variasi dalam menentukan strategi gerakan, namun secara umum gerakan fundamentalis menghendaki adanya penyatuan agama dan negara sebagai manifestasi dari keyakinan bahwa Islam din wa Daulah (Islam adalah agama dan negara). Berpijak pada kerangka berpikir tentang fundametalisme Islam di atas secara umum, dapat digambarkan tujuan politik fundamentalisme Islam adalah Islamisasi masyarakat dengan merebut kekuasaan baik melalui cara-cara kudeta ataupun dengan proses-proses demokrasi, untuk menempatkan dan menjalankan praktik fundamentalis sebagai penyelenggara tatanan Tuhan di muka bumi.
BAB IV PEMIKIRAN BASSAM TIBI TENTANG FUNDAMENTALISME ISLAM
A.
Fundamentalisme Islam: Gejala Ideologisasi Agama Di mata Bassam Tibi fundamentalisme bukanlah merupakan kepercayaan
spiritual, melainkan sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurutnya, ideologi kaum fundamentalis bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekuler yang menolak hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai dengan wataknya fundamentalisme bersifat absolut, dan ia tampak sedang menempatkan jejaknya di atas panggung politik dunia.62 ”Religious Fundamentalism not as a spiritual faith, but as a political ideology based on the politicizing of religion for sociopolitical and economic goals in the pursuit of establishing a divine order. By definition, then, this ideology is exclusive, in the sense that it attacks opposing options, primarily those secular outlooks that resist the linking of leligion to politic”.63 Kemunculan fundamentalisme Islam di pentas panggung politik dunia dapat ditelusuri sejak runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Runtuhnya simbol komunisme itu, agaknya membuat Barat, terutama Amerika Serikat kehilangan musuhnya, dan karenanya sejak itu pula Barat sedang mengintai musuh baru,
62
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. I, h. 35. 63 Bassam Tibi, The Challenge of Fundametalisme Political Islam and the New World Disorder, (University of California Press: 1998) Cet. 1, h. 20.
yaitu Fundamentalisme Islam.64 Fundamentalisme dipilih karena gerakan Islam ideologis ini dianggap berpotensi mengancam kepentingan Barat di seluruh dunia, dan bukan mustahil dapat mengancam eksistensi peradaban Barat.65 Asumsi bahwa gerakan fundamentalisme Islam oleh Barat dianggap dapat mengancam eksistensi peradaban Barat lahir dari kenyataan bahwa kelompok inilah ayng seringkali beraksi keras terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui para pemikir Muslim itu sendiri. Bagi kaum fundametalis, kelompok modernis sekular dan westernis, serta rezim pemerintahan sekuler merupakan perpanjangan tangan dari Barat. Ini berbeda dengan gerakan-gerakan Islam pada zama pra-modern dimana kemunculannya lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat Muslim sendiri. Karena itu gerakan tipe ini lebih genuide dan inward oriented – berorientasi ke dalam diri kaum Muslim sendiri.66 Penting untuk ditekankan bahwa mengapa kaum fundamentalisme Islam dianggap sebagai musuh baru oleh Barat paska runtuhnya komunis? Jawabannya sederhana; karena gerakan fundamentalisme merupakan gerakan ideologi politik. Padahal, agama Islam merupakan kepercayaan yang inklusif, bukan ideologi politik yang intoleran, bukan pula agama yang memaksakan orang-orang untuk memeluknya. Dengan sangat jelas al-Qur’an menyebutkan bahwa ”Tidak ada paksaan dalam agama”. Namun,
64
kaum fundamentalis menampilkan Islam
Bassam Tibi, The Challenge of Fundametalisme, h. 3. Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 35. 66 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme hingga PostModernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) Cet.I, h. 111. 65
sebagai agama yang menakutkan serta mengancam tatanan kehidupan politik, keamanan dan stabilitas dunia.67 Faktor inilah yang oleh Bassam Tibi dianggap sebagai sebab mengapa Barat melihat fundamentalisme Islam sebagai musuh bagi mereka. Dengan kata lain, Islam sebagai agama sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi Barat, namun Islam sebagai ideologi politik lah yang ditakutkan.68 Berpijak pada pemikiran Bassam Tibi di atas dapat dilihat bahwa ajaranajaran fundamentalisme Islam lebih merupakan jelmaan dari kumpulan teori-teori politik ketimbang teologi dan praktek sosial keagamaan. Karena itu, tidak heran mengapa banyak kalangan sepakat bahwa fundamentalisme Islam dapat menjelma menjadi
sebuah fenomena yang mangancam tatanan dunia. Dan bahkan kaum
fundamentalis disinyalir mempunyai agenda politisasi Islam, dalam pengertian bahwa mereka telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik.69 Karena itu, fundamentalisme menurut Bassam Tibi memiliki beberapa karakter di antaranya bahwa fundamentalisme agama memiliki agenda politisasi agama yang agresif dan dilakukan demi mencapai tujuan-tujuannya.70 Sebagai agama Islam ditarik masuk ke dalam wilayah politik dengan cara memformulasikan legalitas Islam (syari’at Islam), merealisasikannya, serta membangun sistem yang Islami kemudian mempertahankan dengan sedemikan rupa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fundamentalisme Islam, lanjutnya, tidak harus diidentikkan sebagai konservatif, terbelakang dan 67
Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik dan Wacana Politisasi Agama, Jurnal Afkar edisi No. 13 tahun 2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The Asia Foundantion, h. 19. 68 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 5. 69 Menggugat Fundamentalisme Islam, Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagaman dan Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 117. 70 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. X.
menentang peradaban modern. Sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, banyak pendukung gerakan ini yang beraliran progresif dan juga memanfaatkan sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik modern dalam menjalankan gerakannya. Bahkan mereka meyerukan kepada kaum Muslimin untuk belajar sains dan industri, juga sistem-sistem kebebasan dan demokrasi.71 Terlepas dari sikap mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan media-media dan teknologi modern, seruan mereka kepada kaum Muslimin untuk mempelajari sains dan teknologi, tidak disertai paradigma dan konsep yang jelas. Yang pasti, agitasi kaum fundamentalisme seringkali menyebabkan kekacauan, bukan hanya di dunia Islam melainkan juga di seluruh dunia. Menurut Bassam Tibi, Islam sebagai ideologi politik sebenarnya merupakan sesuatu yang baru dalam Islam. Baginya, tidak ada dasar hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang dengan tegas memerintahkan politisasi Islam yang dikembangkan oleh gerakan fundamentalis. Bassam Tibi menambahkan bahwa perkataan hukumah (pemerintahan) atau daulah (negara) tidak ada dalam al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, ini merupakan penafsiran baru terhadap Islam, atau gejala baru yang baru ditemukan di zaman modern.72 Para fundamentalis Muslim menurut Tibi menolak dengan tegas nasionalisme sekuler dan eksistensi negara bangsa (nation state), sebagai institusi politik dan negara di dunia. Fundamentalisme Islam jelas-jelas merespon gagalnya
71
Hasan Hanafi, Aku bagian dari Fundamentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. 1, h. 109. 72 Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, hasill wawancara dengan Bassam Tibi, Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 118.
negara bangsa yang mulai mengakar dan tumbuh di wilayah Islam, khususnya Arab kontemporer.73 Ditinjau dari proses munculnya fundamentalisme Islam, menurut Bassam Tibi, merupakan reaksi terhadap krisis yang berkelanjutan dari berbagai ideologi dunia, dan karenanya fundamentalisme tampil dan mencoba menawarkan solusi berupa Islam sebagai ideologi alternatif (Islam is the solution). Betapapun demikian, jika ditelaah lebih jauh, tegas Bassam Tibi, mereka sendiri tidak memiliki ide yang jelas tentang bagaimana sesungguhnya solusi yang ditawarkan itu. Pada sisi yang lain, cita-cita fundamentalisme Islam untuk membangun suatu sistem sosial politik berdasarkan syari’at tidak mungkin terwujud di zaman modern karena minimnya dukungan dari umat Islam itu sendiri.74 Dari ilustrasi Bassam Tibi di atas, ternyata fundamentalisme Islam itu tidak hanya merupakan problem bagi kalangan non-Islam tetapi juga bagi kalangan Muslim, seperti terlihat dari munculnya banyak pro dan kontra terhadap gejala ini. Sementara dilihat dari latar belakang lahirnya gerakan fundamentalisme dalam persepsi Bassam Tibi, paling tidak ada beberapa alasan di antaranya; Pertama, munculnya negara-negara bangsa di Eropa yang berawal dari meletusnya revolusi Perancis hingga kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajah bangsa Eropa. Sebelumnya ide negara bangsa ini tidak pernah ada Munculnya negara bangsa ini turut pula mendorong lahirnya fundamentalisme Islam, yang mana menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif bagi berdirinya pemerintahan nasional. 73 74
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 205. Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 117.
Kedua terkait dengan yang pertama adalah kegagalan percobaan ide dari ideologi-ideologi Barat yang dicoba diterapkan di negara-negara Islam yang baru merdeka. Kalau dilihat secara lebih mendalam, kegagalan ini bukan hanya disebabkan ideologi itu sendiri, melainkan juga karena realitas sosial yang ada di negara-negara itu yang tidak mendukung. Solusi alternatif Islam yang ditawarkan, bagaimanapun juga kurang mendapat respon luas mainstream umat Islam mengingat kelompok ini tidak memiliki ide yang jelas mengenai bagaimana sesungguhnya solusi yang ditawarkan itu dapat diterapkan untuk menggantikan ideologi politik masyarakat modern ataupun model negara bangsa yang diterima luas kebanyakan negar-negera berpenduduk mayoritas Muslim.75
B.
Fundamentalisme Islam dan Miskonsepsi terhadap Doktrin Jihad Jihad adalah salah satu doktrin Islam yang kontroversial dan paling sering
disalahartikan baik oleh non Muslim di Barat maupun oleh kaum Muslimin sendiri, terutama kaum fundamentalisme. ”Bagi sebagian sarjana Barat, perang agama (holy war) yang sering kali juga secara keliru dianggap padanan ”jihad”, merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Karenanya, Islam dicap sebagai agama brutal, yang menerapkan pola-pola militerisme serta menyatakan perang bukan saja absah tetapi juga suci. Islam, dikarenakan oleh doktrin itu -juga dianggap
mendorong
digunakannya
kekerasan
untuk
menarik
masuk
(proselytizing) non-Muslim ke dalam Islam. Dalam perkembangan terakhir, jihad kembali dipersoalkan karena sifatnya yang potensial dapat menjadi justifikasi
75
Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, Afkar, h.119
teologis bagi aksi teror.76 Padanan seperti ini seolah-olah menemukan pembenarannya dalam aksi-aksi teror bom yang seringkali dilakukan kaum fundamentalis seperti kelompok Al-Qaedah. Menurut Hasan al-Banna, jihad adalah sebagai perjuangan spritual, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu dan perang melawan musuh Islam. Sementara alMaududi melihat Jihad adalah perjuangan yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai sebuah gerakan revolusioner internasional. Jihad sebagai perjuangan politik dan bersenjata revolusioner dilakukan tidak hanya untuk kepentingan sosial tertentu, juga tidak hanya terhadap sasaran tertentu, tetapi terhadap semua penindas dan pengeksploitasi.77 Jihad menurut al-Maududi terbagi ke dalam dua kategori, defensif dan korektif atau pembaharuan. Jihad pertama adalah perang yang dilakukan untuk melindungi Islam dan para pemeluknya dari musuh-musuh luar atau kekuatankekuatan perusak asing di dalam dar al-Islam, sedangkan jihad yang kedua dapat dilakukan terhadap mereka yang berkuasa secara tiranik atas kaum Muslimin yang hidup di negara mereka sendiri. Bagi Maududi yang sering diidentikkan sebagai salah satu tokoh kaum fundamentalis, kedua bentuk jihad ini penting. Menurut Khalid Yahya Blankinship Jihad adalah perjuangan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi dengan cara-cara militer terhadap non Muslim sampai mereka memeluk Islam atau membayar upeti
76
Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, (Jakarta : Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003), Cet. I, h.4 77 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 138-139
(jizyah)
atas jaminan keamanan yang diberikan.78 Konsepsi jihad menurut
Maududi dan Khalid Yahya lah yang sering dipergunakan kaum fundamentalis dalam melaksanakan aksi-aksi mereka. Pertanyaannya, benarkah jihad identik dengan peperangan? Jika merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, jawabannya adalah tidak. Al-Qur’an menggunakan dua istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl. Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan. Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad) artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya sudah khusus yaitu peperangan. Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh AlQuran tadi berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun semenjak periode Islam Mekkah yang dikenal pada periode itu tidak pernah terjadi satupun peperangan. Jihad dalam periode Islam Mekkah adalah “jihad nonperang”, dan sangat mustahil bila jihad pada periode itu dimaknai dengan peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan di surat al-Furqan ayat 52, al-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan al-Ankabut ayat 69. Sementara ayatayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.79 Kedua, dibolehkannya peperangan lebih sering bersandar pada ayat-ayat qital secara jelas (sharih), bukan dengan ayat jihad. Dalam surat al-Hajj ayat 39
78
Saiful Mujani, Jajat Burhanudin dkk, Benturan Peradaban Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta & Freedom Institute, 2005) Cet. I, h.80 79 Bentara Kompas Sabtu 02 Desember 2006 dan dalam http://islamlib.com
disebutkan, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi (li alladzîna “yuqâtalûna”). Demikian juga, dalam surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah (qâtilû) orang-orang yang memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum), dan ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual “jihad” waktu itu; yaitu peperangan. Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital.80 Adapun pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, Pada konteks diri pribadi – yaitu berusaha membersihkan pikiran dari pengaruhpengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, komunitas – yaitu berusaha agar din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan. Ketiga, kedaulatan – yaitu berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar. Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan din Islam secara menyeluruh (Kaffah).81 Dengan demikian, jihad cenderung lebih bermakna defensif.82 Karenanya, setiap kali penggunaan konsepsi jihad untuk tujuan-tujuan peperangan atau untuk melegitimasi kekerasan atau terorisme, sesungguhnya bertentangan dengan makna 80
Bentara Kompas Sabtu 02 Desember 2006, dan dalam http://islamlib.com Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad 82 Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, h. 14. 81
jihad itu sendiri. Karena itu pula, praktik-praktik jihad kekerasan yang sering dipertontonkan kaum fundamentalis adalah tidak berdasar. Menurut Bassam Tibi Jihad dilakukan untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang benar. Dalam doktrin klasik, penggunaan kekuatan untuk penyebaran Islam bukanlah perang tetapi lebih merupakan Jihad. Menurut mereka (fundametalis) jihad Islam yang benar adalah jihad dengan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.83 Karena itu adalah sulit untuk memberikan penjelasan kepada pembaca Barat mengenai makna jihad Islam sebagai sebuah perdamaian yang diusung untuk kemanusiaan. Bahkan sebaliknya Barat melihat Jihad sebagai perang.84 Menurut Bassam Tibi kaum fundamentalis terjadi miskonsepsi terhadap doktrin jihad, keliru memaknai jihad dengan harus melakukan kekerasan dan terorisme. Harusnya tegas Bassam Tibi
Jihad dilakukan bukan untuk bunuh
membunuh tetapi bagaimana menuntut perjuangan Islam melawan kemiskinan, kebodohan dan penyakit juga melawan keterbelakangan. Karena itu Mereka harus menyebarkan Islam dengan cara damai bukan dengan cara kekerasan.85
C. Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah Negara merupakan persekutuan hidup tertinggi, paling mulia dan paling luhur, bila dibandingkan dengan tujuan persekutuan hidup lainnya.86 Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa salah satu tujuan didirikannya negara bukan untuk
83
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 104. Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 93. 85 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 103. 86 Dr. J.H. Rapar, Th.d, P.hd, Filsafat Politik Aristototeles, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), Cet. II, h. 39 84
negara itu sendiri melainkan untuk manusia yang menjadi warganya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tujuan utama pembentukan negara adalah untuk manusia.87 Untuk itu bagaimana mungkin gerakan fundamentalisme Islam berupaya membangun Islam sebagai ideologi politik yang bisa diterima oleh semua golongan dan tidak hanya
untuk golongan tertentu, yaitu Islam atau
bahkan untuk kelompok Islam mereka sendiri? Perbedaan mendasar antara fundamentalisme dengan sekularisme adalah: kaum fundamentalisme menghendaki pelaksanaan syari’ah secara total, yaitu penerapan syari’ah yang cenderung ditafsirkan secara rigid dan literalis. Sebaliknya kaum sekular adalah memandang kemajemukan sebagai suatu hal yang positif, dan optimal
bahwa kemajemukan akan membawa kepada
kebaikan.88 Di tengah kemajemukan itu, kaum sekuler meyakini kaum Muslimin adalah ummatan wasathan yang menjadi penengah di antara kecendrungan ekstrimitas golongan-golongan lain.89 Salah satu karakter pokok ideologi fundamentalis adalah cara pandang baru
yang
diwakili
dengan
istilah
al-islam
al-siyasi.90
Seruan
kaum
fundamentalis di antaranya adalah bagaimana membangun dan memperbaharui kehkhalifahan dan bagaimana menemukan konsep baru tentang Daula Islamiya (negara Islam) yang dapat menjalankan nizam Islami (sistem pemerintahan Islam). Sementara, cita-cita daulah Islammiyah sesungguhnya bukan sebuah Islamisasi
87
Rapar, Filsafat Politik Aristototeles, h.40 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islami Pembentukan dan Tujuan Partai Fundamentalis, Ulumul Qur’anNo. 3, Vol.IV, 1993, h. 43. 89 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islam, h. 43. 90 Politik Islam adalah istilah yang digunakan dan dipilih oleh kaum reformis Muslim untuk mengidentifikasi fundamentalisme agama. 88
demokrasi, bukan juga negara sempurna yang dibangun dalam filsafat politik kaum nasionalis Islam abad pertengahan, terutama Abu Nasr al-Farabi.91 Model negara yang diinginkan kaum fundamentalisme Islam pada dasarnya adalah bentuk kekuasaan totalitarian. Pandangan al-Awwa tentang negara Islam mewakili mainstream politik Islam. Muatan yang paling konkret dari kontribusinya terhadap persoalan ini adalah idenya bahwa legitimasi sistem ini berasal dari shari’a.92 Terlepas dari bagaimana implementasinya, pernyataan ini menfokuskan seruan implementasi shari’a Islam sebagai substansi pemerintahan Islam. Dalam kenyataannya, shari’a adalah konstruksi pasca-Qur’anik, yang pada dasarnya bertujuan untuk mengatur, semacam hukum sipil yang berkaitan dengan urusan warisan, perkawinan dan semacamnya. Dalam sejarah Islam, shari’a tidak pernah menjadi konstitusi kekhalifahan Islam tradisional, yang sebenarnya adalah “monarki yang absolut”. Dewasa ini, kaum fundamentalis mereka-reka hadits tentang shari’a sebagai konstitusi negara Islam. Inilah interpretasi din wa dawla yang berasal dari hadits buatan kaum fundamentalis.93 Menurut Husain al-Najjar tidak ada suatu teks otentik dalam sumber shari’a Islam klasik yang mendukung formula din wa daula: “Kami tidak yakin bahwa Muhammad mendirikan sebuah kerajaan maupun negara, dia hanyalah seorang Rasul dan Nabi bagi semua manusia. Islam tidak mengharuskan umat manusia untuk tunduk pada misi
91
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 274 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 93 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 92
ini, karena dalam Al-qur’an diungkapkan tidak ada agama” (QS. Al-Baqarah:256).94
paksaan dalam
Ajaran politik Islam hanyalah terbatas pada pemberian bobot etika bagi pemerintahan, dan bukan perintah teknis untuk mendirikan pemerintahan dalam sebuah negara Islam. Dalam pandangan al-Najar, hanya Nabi dan dua khalifah, Abu Bakar dan Umar (tidak termasuk Ustman dan Ali) yang memerintah dengan spirit etika Islam. Dalam sejarah, hanya bay’a Muslim terhadap dua khalifah yang dapat dibandingkan dengan para penguasa hasil pemilu modern.95 Menurut Bassam Tibi, jika ada klaim yang mengatakan bahwa shari’a merupakan konstitusi negara yang suci, maka klaim semacam itu adalah khas klaim kaum fundamentalis (seperti al-Awwa). Namun jika ada yang memandang syariah sebagai etika, maka ia adalah seorang reformis liberal (seperti al-Najjer). Para sarjana hukum Islam menyadari fakta bahwa tidak ada ketentuan hukum yang homogen, terdefinisi dan terbatas yang kita katakan sebagai shari’a.96 Ide tentang negara Islam adalah konsep yang kabur atas dasar politisasi, dan
cenderung
membangkitkan
kembali
kesewenang-wenangan
dengan
menyeleksi komponen-komponen doktrin Islam tanpa menyadari bias modern ke dalam sejarah dan pemikiran Islam klasik. Pendeknya, anggapan Islam sebagai din wa dawla dan shari’a adalah konstitusi negara Islam, merupakan tradisi yang
94
Husain Fawzi al-Najjer, al-Islami wa al-siyasa: Bahth fi usul al-nazariyya al-siyasiyya wa nizam al-hukm fi al Islam, h. 141 dan dapat dilihat juga Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 95 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 288 96 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 290
dibuat-buat dan tidak ada rujukannya dalam sejarah Islam klasik maupun sumbersumber kitab suci yang otoritatif.97 Bassam Tibi tidak setuju dengan pendirian negara Islam, karena menurutnya sekulerisasi untuk modernisasi merupakan satu-satunya alternatif bagi pembangunan dunia ke depan dan kemajuan Islam di masa yang akan datang. Sekularisasi menurutnya adalah manifestasi sampingan dari perubahan pada sistem budaya, namun bukan proses akomodasi kultural yang aktual untuk perubahan yang dibutuhkan pada masing-masing fase sejarah.98 Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bassam Tibi di atas, Abdullahi Ahmed An-Na’im seorang pakar HAM, Hukum Islam, dan Hukum Internasional di Emory University USA mengatakan bahwa syariat Islam tidak bisa dilaksanakan melalui hukum positif, tetapi harus tetap diberlakukan sebagai sumber normatif keagamaan. Secara konseptual, lanjut An-Na’im, negara Islam merupakan sesuatu yang tidak mungkin diterapkan. Sebagai institusi politik, suatu negara tidak bisa dicirikan sebagai Islam atau tidak Islami, dan usaha untuk melaksanakan syariat dalam hukum positif akan menanggalkan Islam dalam hukum normatifnya. Negara, tegas An-Naim merupakan otoritas politik dan kekuasaan, memberlakukan syariat melalui negara dalam situasi sekarang harus melalui badan legislatif ataupun pemerintahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya akan sangat bergantung pada kemauan politik dan interpretasi
97
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 291 Bassam Tibi, Arab Nasionalism: A Critical Inquiry, (Trans. Marion Faraouk Stuglett & Peter Sluglett), (New York: St. Martin Press, 1971), h. 4, ini juga dikutip oleh Jaenal Aripin, Pemikiran Pembaharuan: analisa Terhadap Gagasan Sekular Bassam Tibi, hasil penelitian Penelitian Lemlit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001, h. 6 98
orang-orang yang berada dalam kekuasaan baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.99 Dalam tradisi Islam tidak ada sistem hukum yang konsisten dan koheren, apakah shari’a atau yang lain. Lebih lanjut Bassam Tibi mengatakan bahwa shari’a lebih merupakan metodologi hukum dan sebagai etika, bukan sebagai hukum itu sendiri. Merujuk pada pandangan-pandangan di atas,
kecenderungan kaum
fundamentalis untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat sebagai konstitusi adalah sesuatu yang mengada-ada karena tidak punya dasar dan legitimasi kuat, baik dalam Quran dan Hadis, maupun dalam sejarah Islam klasik.
D. Fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban Sebagaimana ditekankan beberapa kali di atas, Bassam Tibi melihat fundamentalisme merupakan sebuah gejala ideologi, dan bukan didasari pada keyakinan keagamaan. Baginya, fundamentalisme muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban.100 Peristiwa serangan 11 September oleh fundamentalis Islam terhadap lambang dominasi dunia Amerika di New York dan Washington telah secara masif menghidupkan kembali debat mengenai fundamentalisme Islam dan tantangan benturan dua peradaban besar di dunia yaitu Islam dan Barat. Peristiwa ini tampaknya sejalan dengan apa yang diisyaratkan Samuel P. Huntington mengenai kemungkinan benturan peradaban Barat dan Islam. Dalam kaitan ini Huntington memandang 99
Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Syariat Islam Tidak Bisa Dipaksakan Melalui Negara, Kompas, Senin, 6 Januari 2003 100 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 8.
Barat sebagai sebuah kebudayaan dominan dan hegemonik, sedangkan umat Islam Islam sering merasa inferior dan terancam, bahkan mengalami penindasan.101 Karena itu, benturan antara keduanya sangat mungkin terjadi.102 Apa yang dimaksudkan Huntington adalah kaum fundamentalisme Islam. Kelompok
ini
berpotensi
menebar
ancaman
dan
bersifat
konfrontatif.
Fundamentalis sering menyajikan simbol-simbol agama demi mensukseskan target politik mereka. Sehingga, perlu dibedakan antara agama sebagai sebuah kepercayaan dan sistem budaya dengan agama sebagai alat untuk membangun legitimasi politik dari sederetan gerakan fundamentalisme.103 Meskipun fundamentalisme Islam dituduh Huntington sebagai penebar ancaman bagi Barat, namun fundamentalsime, dalam pandangan Bassam Tibi, merupakan fenomena global, fenomena yang dapat ditemui di semua agama besar dunia. Ketika perspektif politik dunia hanya dibatasi pada relasi Islam –Barat, maka perspektif itu bagi sebagian orang yang berbicara tentang fundamentalisme berarti melemparkan tuduhan.104 Jelas Bassam Tibi benturan peradaban yang terjadi tidak lepas dari kontribusi Fundamentalisme sebagai sebuah ideologi politik. Perang peradaban antara Islam dan Barat tidak berperang dalam ranah meliter, tetapi perang kompetisi antara padangan dunia yang terlihat sebagai kerangka referensi yang bermacam-macam mengenai urusan politik. Karena itu, Fundamentalisme adalah istilah yang lebih tepat untuk menyebutkan pandangan dunia yang dipolitisasi dari 101
Lihat M. Dawam Rahardjo, di Kolom Pakar di Media Indonesia, 3 April 2006. Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2002), Cet. III, h. 110. 103 Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah, h.20 104 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 22 102
peradaban-peradaban yang bersaing. Sementara Bassam Tibi menulak semua usaha mempolitisasi agama yang dipergunakan sebagai alat dalam benturan peradaban.105
105
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, 28-29
BAB V PENUTUP
a. Kesimpulan Dari berbagai uraian yang telah penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa cara Bassam Tibi melihat fundamentalisme Islam sebagai gejala ideologisasi agama adalah khas pendekatan Barat dalam melihat agama. Pendekatan ini biasanya melihat agama tidak saja sebagai fenomena ketuhanan yang normatif, tetapi juga gejala sosial-politik yang empirik. Pendekatan semacam ini juga biasa diterapkan dan diterima luas di kalangan Islam modernis dan liberalis di berbagai
kawasan dunia Islam. Seperti disebutkan sebelumnya,
fundamentalisme Islam adalah gerakan sosial-politik keagamaan yang dibangun atas dasar pemahaman al-Qur’an dan hadist yang rigid, kaku dan literalis tekstual untuk diaplikasikan dalam tatanan sosial dan politik kontemporer. Kalangan fundamentalis Islam memiliki utopia politik yang berorientasi ke belakang-masa lalu. Mereka menentang model Negara bangsa yang demokratis, dan cenderung memilih syari’ah sebagai konstitusi Negara. Negara Islam dalam pemikiran mereka adalah inti dari tatanan politik Islam guna mewujudkan solusi bagi sistem negara sekuler yang dianggap gagal. Pandangan ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik kedaulatan dan karena itu ia merupakan satu-satunya legislator. Bagi Bassam Tibi, pandangan semacam ini adalah bid’ah, karena pandangan ini dalam praktiknya akan menghadirkan kehendak penguasa sebagai kehendak Tuhan.
Menurut Bassam Tibi, pembangunan sistem sosial politik berdasarkan syari’at sesuatu yang tidak mungkin terwujud di zaman modern. Ini disebabkan minimnya dukungan dari umat Islam sendiri. Karena gerakan fundamentalisme Islam tidak diterima luas dan bahkan ditentang oleh mayoritas kaum Muslim. Penolakan fundamentalis Islam terhadap paham nasionalisme sekuler dan negara bangsa (nation state) sebagai institusi politik, sesungguhnya disebabkan penerapan sistem itu yang memuaskan mereka. Dengan demikian, bukan sistemnya yang salah, tetapi penerapannya yang belum sempurna sehingga tidak memuaskan kelompok ini. Meski lahir di Arab, keterlibatan Bassam Tibi dengan kelompok fundamentalisme Islam tidak terlalu dekat sehingga kajiannya berpotensi menimbulkan bias dan tidak objektif. Apalagi, ia telah lama dibesarkan dalam tradisi akademik dan budaya Barat yang sekuler. Demikian halnya, berbagai kritikan yang disampaikan Bassam Tibi terhadap gerakan fundamentalisme Islam, baik kritik terhadap visi ataupun aksi fundamentalisme itu sendiri, cenderung menghakimi
tanpa memberikan tawaran alternatif secara memadai, ataupun
solusi cerdas bagaimana seharusnya umat Islam menyalurkan aspirasi politiknya. Selain itu, dalam berbagai tulisannya Bassam Tibi cenderung mengulangulang wacana dan tema yang sama tentang gerakan fundementalisme Islam, kaitannya dengan visi, ideologi dan aksi yang dibenturkan dengan peradaban Barat yang berdiri di atas pilar demokrasi, nasionalisme sekular dan negara bangsa.
Di sini Tibi lebih banyak menghakimi fundamentalisme Islam dan
mengagungkan peradaban Barat. Menurut hemat penulis Tibi tidak memberikan
kritik yang setara dan seimbang terhadap dua ideologi dan peradaban yang berseberangan ini. Bassam Tibi sebagai pemikir yang demokratis harusnya memberikan ruang bagi berdiri dan berkembangnya gerakan fundamentalis dalam sebuah negara. Karena demokrasi menghargai perbedaan, karenanya keberadaan gerakan tersebut sesuatu yang tidak bisa dielakkan. b. Saran-saran Penelitian terhadap khazanah pemikiran kontemporer bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dituntaskan dengan frekuensi pengkajian terbatas. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan pengkajian tersebut membutuhkan berbagai disiplin ilmu dan membutuhkan ketelatenan serta kesabaran dalam menelaahnya, karena proses pencarian naskah-naskah yang berkaitan dengan tema tersebut belum banyak. Hendaknya kajian terhadap pemikiran politik tentang fundamentalisme perlu dikembangkan bagi para pemerhati politik Islam mengingat wacana Fundamentalisme Islam akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan perkembangan zaman, sehingga sintesa pemikiran akan terwujud dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Aripin, Jaenal. Pemikiran Pembaharuan : Analisa Terhadap Gagasan Sekuler Bassam Tibi, Laporan Penelitian Lembaga Penelitian IAIN sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001. Armstrong , Karen. Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta: Bandung: kerjasama Serambi dengan Mizan,2001), Cet II Armstrong, Karen. Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), Cet. I Aulia, Rihlah Nur. Fundamentalisme Islam: Studi Tentang Gerakan dan Pemikiran Hizbut Tahrir, Thesis S2 IAIN Jakarta 2005. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam, dari fundamentalisme hingga PostModernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet.I. Bamualim, Chaider S. Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, September 2003), Cet. I Barr, Jamesa. Fundamentalisme, terj. Stephan Suleman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), Cet. II. Daftar pembicara Seminar Internasional “Islam and the West” yang diadakan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakartadi Hotel Kontinental tanggal 11-13
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan tahun ….) Jilid II. Euben, Roxanne L. Musuh dalam Cermin Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalsme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002) Cet. I Hanafi, Hasan. Aku bagian dari Fundamentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. 1 Hofman, alerie J. Muslim Fundamentalists: Psyhosocial Profiles, dalam Fundamentalism Comprehended, (ed. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby), Chicago: the University of Chicago Press, 1995) Manser, Martin H. The Oxford English Dictionary,(Oxpord University Press: 1988). Marty, Martin E. dan Appleby, R. Acott. Fundamentalism Comprehended, (The University of Chicago Press, 1995). Maulani, ZA. Dkk. Islam dan Terorisme dari Minyak Hingga Higemoni Amerika, (Yogyakarta: UCW Press, Oktober 2003) Cet. I Misrawi, Zuhairi dan Zada, Khamami. Islam Melawan Terorisme, (Jakarta: LSP Oktober 2004), Cet. I. Mujani, Saiful dan
Burhanudin, Jajat. dkk, Benturan Peradaban Sikap dan
Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta & Freedom Institute, 2005) Cet. I. Najjer, Husain Fawzi al. al-Islami wa al-siyasa: Bahth fi usul al-nazariyya alsiyasiyya wa nizam al-hukm fi al Islam.
Rapar, J.H. Th.d, P.hd, Filsafat Politik Aristototeles, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), Cet. II. Roy, Oliver. Gagalnya Islam Politik (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996) Cet. I. Sp, Soetarman, Sairin, Weinata, Rakhmat, Loanes. Fundamentalsime Agamaagama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1992) Cet. II. Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. II. Taher, Tarmidzi. Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998). Tibi, Bassam. Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, (Yogyakarta: November 2000), Cet. I. Tibi, Bassam. Arab Nasionalism: A Critical Inquiry, (Trans. Marion Faraouk Stuglett & Peter Sluglett), (New York: St. Martin Press, 1971). Tibi, Bassam. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999) Cet. I. Tibi, Bassam. Islamic Civilisation the Quest for Democratic Pluralism: Good Goverrnance and the Political Culture of Non–violance, dalam Karlina Helmanita, Irfan Abubakar, Dina Afrianty (Ed) Dialogue in the World Disorder, (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2004) Cet. I. Tibi, Bassam. Post-Bipolar Order in Crisis: The Challenge of Politiced Islam, Millennium Jurnal of International Studies, Millennium Publishing Group London School of Economics. (2000 Vol. 29 No. 3).
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundametalisme Political Islam and the New World Disorder, (university of California Press: 1998) Cet. I. Jurnal Bamualim,
Chaider
S.
dan
Makassary,
Ridwan
al,
Nexus
antara
Fundamentalisme Islam dan Terorisme, dalam Jurnal Millah, Vol. VI, No.1, Agustus 2006. Bandjar, Ismail Al. Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, Jurnal Ilmu Politik, h. 12. Fahmi, Ismail. International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003. Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. IV, 1993. Kasdi, Abdurrahman. Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik dan Wacana Politisasi Agama, Jurnal afkar edisi No. 13 tahun 2002. yang diterbitkan oleh LAKPESDAM NU bekerjasama dengan The Asia Foundantion. Kaum Fundamentalis Jadikan Islam sebagai ideologi politik, wawancara dengan Bassam Tibi, Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002. Mahendra, Yusril Ihza. Maududi dan Jama’at -I-Islami Pembentukan dan Tujuan Partai Fundamentalis, Ulumul Qur’anNo. 3, Vol.IV, 1993. Menggugat Fundamentalisme Islam, Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagaman dan Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun 2002.
Misrawi,
Zuhairi.
Fundametalisme;
Memenjarakan
Perempuan,
Jurnal
Perempuan No.31 2003. Priastana, Jo. Fundamentalisme dalam Buddhis dan Penghancuran Sangha Perempan, Jurnal Perempuan No.31 2003.
Koran
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Syariat Islam Tidak Bisa Dipaksakan Melalui Negara, Kompas, Senin, 6 Jasnuari 2003. Kompas, Minggu, 23 September 2001 Pemikiran dan Gerakan Keagamaan, Kliping koran, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Jilid I
Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad 20 Maret 2007 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1179 dan Bentara Kompas Sabtu 02 Desember 2006 http://www.bassamtibi.de, 3 April 2007 http://www.stgallen-symposium.org/cv_prof._dr._bassam_tibi.pdf Makassary, Ridwan al. Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan Sosial” dalam http://Interseksi.Org/Page4/Papers/Papers/. Rahardjo, M. Dawam di Kolom Pakar di Media Indonesia, 3 April 2006 Romli,
M.
Guntur.
Dari
http://islamlib.com.
Fundamentalisme
Menuju
Sekularisme,