FUNDAMENTALISME ISLAM
Abdul Muis Naharong*
Islamic fundamentalism or Islamism has often been depicted as a radical movement whose members are bent on committing acts of terror. This article explains that Islamic fundamentalism is not monolithic. There are moderate and radical groups whose methods and tactics of achieving their respective objectives vary. In spite of these differences, both have common characteristics. They both emerged mainly because of religious considerations and motivation. The existence of actual or perceiced crisis plays a secondary role in this case. Islamic fundamentalism as a religious and political movement will persist for some time to come and will not fade away any time soon despite the statements of several scholars to the contrary.
Tragedi 11 September 2001 yang menelan korban ribuan jiwa membuat fundamentalisme Islam, yang juga biasa dikenal dengan nama Islamisme, Islam militan, Islam radikal, dan Islam politik, kembali ramai dibicarakan di media massa, baik dalam maupun luar negeri. Sebelum peristiwa ini, fundamentalisme Islam dianggap sudah gagal (Roy, 1994 dan Kepel, 2002), bahkan sudah mati. “Islamism: R. I. P. [Rest In Peace],” demikian judul tulisan Ray Takeyh (2001). Tetapi tragedi 11 September, yang menghancurkan gedung kembar World Trade Center di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington serta membunuh ribuan jiwa manusia, membuat fundamentalisme Islam atau Islamisme “back on the map”, meminjam judul artikel Wolfgang Gunter Lerch (2002). Fundamentalis Islam menjadi bahan perhatian dan perbincangan publik di seluruh dunia, khususnya di Barat. Minat publik untuk mengetahui gerakan tersebut kembali meningkat tajam. Hal ini direspon oleh para sarjana dan jurnalis dengan menerbitkan artikel dan buku mengenai fundamentalisme Islam. Sebagai akibatnya, tulisan-tulisan dan penjelasan-penjelasan mengenai kelompok
*
Dosen tetap pada Jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina. Lahir di Benteng, Selayar, 27 Februari 1955. Magister di bidang Politik Islam diperoleh dari University of Chicago dan kandidat doktor pada universitas yang sama.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.4 No. 1, Juli 2005: 30-73
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
fundamentalis Islam kembali banyak bermunculan, tidak saja di Barat tetapi juga di Timur, khususnya di Indonesia. Hanya saja tulisan-tulisan tersebut tidak jarang membingungkan dan bahkan menyesatkan. Fundamentalis Islam pada umumnya dilukiskan sebagai kelompok yang gemar melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan teror. Mereka digambarkan sebagai orang-orang jahat yang gemar melakukan kekerasan dan pembunuhan dalam memperjuangkan tuntutan mereka. Bahkan kelompok ini dianggap sebagai tempat persemaian (breeding ground) bagi terorisme internasional yang banyak bermunculan belakangan ini. Oleh karena itu, tidak heran kalau mayoritas masyarakat di Barat menganggap semua fundamentalis Islam itu radikal dan ekstrim. Dari sini tidaklah sukar bagi mereka untuk menyimpulkan bahwa semua orang Islam adalah radikal, yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara teroris untuk mencapai tujuannya. Islam akhirnya menjadi hantu yang menakutkan bagi orang Barat, dan “Ancaman Islam” dan “Bahaya Hijau” kembali memenuhi benak mereka, khususnya masyarakat Amerika. Akibatnya, semua orang yang beragama Islam, khususnya yang tinggal di Amerika, dicurigai bahkan menjadi tertuduh. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran yang seimbang mengenai fundamentalis Islam.* Untuk mencapai tujuan ini, penulis akan memaparkan pengertian fundamentalisme dan fundamentalis Islam atau Islamisme dan Islamis, termasuk tujuannya, karakteristiknya, jenis-jenisnya, dan masa depannya. Tulisan ini diakhiri dengan ‘komentar penutup’ (concluding remarks).
Fundamentalis Islam Istilah fundamentalis/me Islam atau Islamis/me, walaupun kelihatannya sangat sederhana, sejak ditemukan sekitar dua setengah dekade yang lalu *
Penggunaan istilah fundamentalisme dalam Islam sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para sarjana dan akademisi. Untuk memperoleh gambaran mengenai perdebatan tersebut, silahkan lihat artikel penulis yang berjudul “Kontroversi Di Sekitar Penggunaan Istilah Fundamentalisme Islam,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3, No. 3 (Maret 2005), hlm. 47-80.
31
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
sampai saat ini masih dipahami secara berbeda oleh para sarjana. Mereka berbeda pendapat tentang pengertian, sifat dan tujuan dari gerakan ini, dan terutama siapa saja yang dapat dikelompokkan ke dalam fundamentalis Islam. Meskipun demikian, para sarjana pada umumnya setuju bahwa gerakan-gerakan Islam yang disebut fundamentalisme atau Islamisme bersifat politik dan berusaha untuk mendapatkan kekuasaan (lihat, misalnya, Arjomand (1989), Choueiri (1990), Marty and Appleby (1991), Muzaffar (1992), Millward (1993), Gellner (1995), Ramadan (1995), Lawrence (1990/1995), Jansen (1997), Moussalli (1999), Tibi (2001), Collins (2003), Esposito (2003), Eliraz (2004), dan lain-lain). Mereka ini pada umumnya membagi Islamis ke dalam kelompok moderat dan radikal. Bahwa fundamentalisme Islam atau Islamisme itu bersifat politik dikemukakan juga oleh International Crisis Group (ICG). ICG (2004) mengatakan bahwa gerakan-gerakan Islamis adalah gerakan-gerakan atau orang-orang yang mempunyai referensi-referensi Islam ideologis yang terutama mengejar tujuan-tujuan politik, dan ‘Islamis’ pada prinsipnya sama dengan ‘Islam politik.’ Sedangkan ‘Islamisme’ adalah Islam dalam wujud politik, bukan wujud keagamaan. Tetapi sekitar satu tahun kemudian, tepatnya di dalam laporan yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2005, ICG tidak
lagi
memakai
definisi
yang
baru
saja
dikemukakan.
ICG
meninggalkannya dengan alasan bahwa definisi ini mempunyai dua masalah. Pertama, ia mengandung pengertian bahwa Islam an sich tidak bersifat politik, padahal Islam itu inherently tertarik pada masalah pemerintahan. Oleh karena itu Islam sesungguhnya bersifat politik. Kedua, definisi tersebut mengandung pengertian bahwa semua bentuk Islamisme bersifat politik, padahal sesungguhnya terdapat perbedaan yang signifikan di antara bentuk-bentuk Islamisme. Ada kelompok yang memilih aktivisme politik, ada yang memusatkan pada aktivitas dakwah dan menjauhi aktivitas politik, dan ada pula yang menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya (ICG, 2005: note no. 1). Sebagai gantinya, ICG (2005) mengemukakan definisi baru, yaitu bahwa Islamisme atau fundamentalisme
32
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Islam “sama dengan ‘aktivisme Islam’, yaitu penegasan dan promosi yang aktif terhadap kepercayaan-kepercayaan, peraturan-peraturan, hukumhukum, atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dipercayai bersifat Islami.” Berdasarkan definisi ini, ICG (2005) membagi Islamis atau fundamentalisme Islam ke dalam tiga kelompok utama. Pertama, Islamisme politik, yaitu kelompok-kelompok yang lebih memprioritaskan aksi-aksi politik dari pada aktivitas dakwah. Kedua, Islamisme yang bergerak atau aktif melakukan dakwah. Kelompok ini menghindari aktivisme politik yang eksplisit, tidak mencari kekuasaan politik, dan tidak pula membentuk partai. Ketiga, kelompok jihadis yang anggota-anggotanya menggunakan kekerasan di dalam usaha mencapai tujuan mereka. Kelompok terakhir ini terbagi dua: jihadi Salafiyya (al-Salafiyya al-jihadiyya) dan Qutbis (al-Qutbiyyin). Berbeda
dengan
para
sarjana
pada
umumnya
yang
tidak
membedakan antara fundamentalisme Islam dengan Islamisme, Olivier Roy (1994:24) membedakan Islamis dengan neofundamentalis. Islamis, menurut Roy,
adalah
orang-orang
atau
kelompok-kelompok
yang
hendak
mengIslamkan masyarakat melalui kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh negara. Dengan kata lain, para Islamis bertujuan mendirikan negara Islam, dan melalui kekuatan negara mereka berusaha mengIslamkan masyarakat (Islamisasi dari atas ke bawah). Di dalam bukunya yang terbit 10 tahun kemudian, yang merupakan lanjutan dari the Failure of Political Islam, Roy (2004:58) mengatakan bahwa Islamisme adalah jenis fundamentalisme Islam politik moderen yang mengaku sedang berusaha menciptakan kembali sebuah masyarakat Islam sejati, tidak hanya melalui penerapan shari’ah, tetapi dengan terlebih dahulu mendirikan negara Islam melalui usaha-usaha atau tindakan-tindakan politik. Sedangkan neofundamentalis, menurut Roy (1994:24), adalah orang-orang atau kelompok-kelompok Islam yang tindakan-tindakan sosial dan politik mereka bertujuan terutama untuk mengIslamkan masyarakat dari bawah, yang pada akhirnya melahirkan negara
Islam.
Jadi,
seperti
halnya
dengan
kelompok
Islamis,
neofundamentalis juga menghendaki berdirinya negara Islam meskipun
33
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
caranya untuk sampai ke sana berbeda dengan Islamis. Di tempat lain Roy (2004:232)
menjelaskan
bahwa
neofundamentalisme
adalah
acuan
intelektual umum yang dapat berwujud di dalam sikap-sikap politik yang bermacam-macam. Lebih lanjut Roy (2004:234) menjelaskan bahwa neofundamentalisme bukanlah organisasi yang terstruktur dan bukan pula aliran pemikiran yang pasti warnanya. Neofundamentalisme adalah suatu kecenderungan, cara berpikir, suatu hubungan dogmatis terhadap pokokpokok atau dasar-dasar agama. Ia berkembang di dalam konteks yang bermacam-macam dan bahkan di dalam konteks yang berlawanan, mulai dari mantan Ikhwan al-Muslimin sampai ke Jamaah Tablighi dan Wahabi. Aliran utama menyebut dirinya Salafi, termasuk Wahabi Saudi Arabia. Sebagaimana halnya dengan Islamis, neofundamentalis juga mempunyai sayap moderat dan radikal. Neofundamentalis, menurut Roy (2004:247), menolak menggunakan perjuangan politik sebagai cara untuk mendirikan negara Islam, meskipun kelompok ini, sebagaimana halnya dengan kelompok Islamis, juga berpendapat bahwa kaum Muslim seyogyanya hidup di bawah satu negara Islam. Meskipun demikian, mereka mengatakan bahwa berdirinya suatu negara itu seharusnya merupakan akibat dari reIslamisasi umat dan bukanlah alat untuk re-Islamisasi. Roy (2004:252) menambahkan bahwa pengelompokan yang dia gunakan di dalam buku ini bukanlah label yang permanen yang melekat pada orang. Artinya seseorang yang semula termasuk dalam kelompok Islamis, tetapi karena sesuatu sebab dan lain hal, ia kemudian berubah menjadi neofundamentalis dan begitu pula sebaliknya. Bahkan Yusuf al-Qardhawy yang disebut oleh John Esposito (lihat Kramer, 1999) sebagai pemikir Islamis yang paling luas pengaruhnya di kalangan Islamis di seluruh dunia, karena sikap dan terutama pendapatpendapatnya yang menentang kekerasan baik fisik maupun perkataan (lihat, antara lain, al-Qardhawy, 1991), akhirnya disebut sebagai konservatif liberal oleh Olivier Roy (2004:252) dan liberal oleh Charles Kurzman (1998:196). Berbeda dengan definisi dan pengertian fundamentalisme Islam atau Islamisme yang dikemukakan oleh ICG dan Olivier Roy, penulis berpendapat
34
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
bahwa semua kelompok fundamentalis Islam atau Islamis mempunyai tujuan dan/atau ide-ide serta aktivitas-aktivitas yang mempunyai akibat-akibat yang bersifat politik. Memang Jamaah Tabligh digambarkan oleh petinggipetingginya sebagai gerakan yang tidak mempunyai program atau tujuan politik karena kepercayaan agama yang sejati, menurut mereka, hanya dapat dipertahankan kalau bebas dari masalah-masalah politik. Politik bagi mereka adalah suatu wilayah yang penuh dengan tindakan korupsi.† Jamaah Tabligh juga percaya bahwa kekuasaan politik tidak menjamin pengorganisasian yang efektif terhadap tatanan sosial Islam. Kelompok ini menegaskan bahwa perubahan politik harus didahului oleh, dan secara terus menerus diperkuat dengan, transformasi moral individu-individu dan masyarakat (lihat Ahmad, 1991:519).
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan
para
pemimpin
dan
aktivitas-aktivitas anggota Jamaah Tabligh, beberapa orang sarjana (Fuller, 2002:49; ICG, 2005; Kepel, 2002:44-45; dan lain-lain) mengatakan bahwa Jamaah Tabligh adalah gerakan yang tidak terlibat dalam urusan politik dan bersifat damai.‡ Terlepas dari pernyataan dan penjelasan ini, penulis setuju dengan pendapat Mumtaz Ahmad (1991:522) yang mengatakan bahwa karena posisi Jamaah Tabligh yang tidak terlibat dalam masalah politik †
Salah seorang pekerja Tablighi senior di Pakistan menjelaskan secara ringkas sikap politik Jamaah Tabligh yang menganggap politik itu kotor. Ia mengatakan bahwa agar supaya berhasil dalam bidang politik, orang harus berdusta, menipu dan membohongi orang lain. Ia juga harus terus menerus terlibat di dalam ketidakjujuran. Orang-orang yang terlibat di dalam politik, baik yang menyebut dirinya orang Islam maupun sekuler, selalu bersedia mengkompromikan prinsipprinsip dan nilai-nilai mereka atas nama pragmatisme, strategi politik, taktik, dan lain-lain. Sejatinya, seseorang tidak dapat berkecimpung lama di dalam politik tanpa mengorbankan nilainilai moral yang begitu berharga bagi Islam (dikutip di dalam Ahmad, 1991:519). ‡
Sifat damai dari Jamaah Tabligh dibantah oleh Alex Alexiev, wakil presiden pada bagian penelitian di the Center for Security Policy di Washington, D.C., Amerika Serikat. Menurut Alexiev (2005), Jamaah Tabligh adalah seperti serigala yang berbulu domba. Di dalam waktu 20 tahun terakhir kelompok ini telah menjadi radikal sedemikian rupa sehingga ia sekarang merupakan kekuatan pendorong bagi ekstremisme Islam, dan merupakan suatu agen perekrutan yang besar untuk tujuan-tujuan teroris di seluruh dunia. Bagi sebagian besar anakanak muda Muslim yang ekstrim, bergabung dengan Jamaah Tabligh merupakan langkah pertama menuju ekstrimisme. Mungkin 80 persen Islamis ekstrim di Perancis berasal dari kelompok Jamaah Tabligh, suatu hal yang mendorong pejabat-pejabat intelijen Perancis menyebut Jamaah Tabligh sebagai “ruang untuk memasuki fundamentalisme.” Pejabat-pejabat counterterorisme Amerika Serikat, menurut Alexiev, juga mengambil sikap yang sama. Wakil pemimpin FBI dalam bidang terorisme international mengatakan pada tahun 2003 bahwa anggota Jamaah Tabligh di Amerika Serikat mencapai jumlah yang signifikan, dan kami telah menemukan bahwa mereka direkrut oleh al-Qaeda di masa lalu dan sekarang.
35
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
mempunyai akibat-akibat politik, maka pada dasarnya kelompok ini juga bersifat politik. Pendapat ini dikemukakan setelah Ahmad mengutip penjelasan Daniel Levine dan Peter Worsley. Levine mengatakan bahwa kita tidak bisa mengabaikan hubungan antara pilihan-pilihan individu dengan akibat-akibat sosial. Pilihan-pilihan individu dapat berkembang menjadi pilihan-pilihan sosial dan oleh karena itu mempunyai konsekuensikonsekuensi politik. Bagi agama dan politik, apakah pilihan asal adalah netralitas atau aktivisme, akibatnya sama-sama bersifat politik. Berdasarkan perspektif ini, menurut Worsley, tujuan-tujuan yang paling bersifat spiritual sekalipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik (dikutip di dalam Ahmad, 1991:522). Kesimpulan yang serupa dapat pula diberlakukan kepada kelompok Salafi. Bahwa Jamaah Tabligh dan Salafi secara tidak langsung bersifat politik dikemukakan pula oleh beberapa anggota kedua kelompok ini yang pernah penulis wawancarai.§ Berdasarkan penjelasan anggota kedua gerakan Islam ini, Jamaah Tabligh dan Salafi tidak mau terlibat di dalam politik dan kedua-duanya memusatkan usaha pada Islamisasi individuindividu. Tetapi mereka mengakui bahwa Islamisasi individu dapat secara tidak langsung melahirkan satu negara Islam. Sebab kalau mayoritas umat Islam sudah memahami dan mempraktekkan Islam dengan baik dan kâffah, atau sudah menjadi born-again Muslims, meminjam istilah yang dipakai di kalangan fundamentalis Protestan di Amerika, maka otomatis negara Islam akan terbentuk dengan sendirinya. Mereka menunjuk kepada pengalaman Nabi Muhammad saw di Medina sebagai bukti dari kesahihan metode mereka. Berdasarkan hal ini dan keterangan Olivier Roy di atas bahwa neofundamentalisme juga menghendaki berdirinya negara Islam meskipun dengan cara berbeda dari kelompok Islamis, maka penulis mendefinisikan fundamentalis Islam atau Islamis sebagai pengikut harakah Islâmîyyah yang
§
Wawancara ini penulis lakukan dalam rangka penelitian untuk disertasi yang membahas kelompok Islamis di Indonesia.
36
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
secara aktif berusaha menjadikan Shari’at Islam diimplementasikan di dalam satu negara, dan mendirikan negara Islam yang diatur berdasarkan hukumhukum Islam, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi atau secara langsung maupun tidak langsung. Inilah tujuan “jangka pendek” dari mayoritas kelompok fundamentalis Islam. Adanya suatu negara sangat penting bagi mereka karena hanya negara (pemerintah) yang bisa menjamin dan memaksakan terlaksananya hukum Islam secara menyeluruh di semua bidang kehidupan (kâffah), baik dalam kehidupan pribadi maupun publik, dan menghukum setiap pelanggaran. Dengan kata lain, fundamentalis Islam menginginkan kekuasaan (power) untuk memaksa manusia melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi laranganlarangNya. Oleh karena itu, mayoritas fundamentalis Islam berusaha keras mengambil alih negara, baik secara legal melalui cara-cara demokratis, maupun dengan kekerasan melalui revolusi atau kudeta. Metode yang pertama dianut oleh kelompok fundamentalis moderat, sedangkan yang kedua dipakai oleh kelompok yang radikal (mengenai kedua kelompok ini akan dijelaskan lebih mendetail nanti). Adapun tujuan jangka panjang mereka adalah mendirikan khilâfah Islâmîyyah, yang menyatukan seluruh kaum Muslim di dalam satu pemerintahan yang melampaui ikatan-ikatan dan batas-batas kesukuan, etnis, dan bangsa, di bawah pimpinan seorang khalîfah. Meskipun demikian, karena mayoritas kelompok fundamentalis ini bergerak dalam satu negara, maka mereka dipengaruhi dan dibentuk oleh keadaan negara di mana mereka lahir. Dengan kata lain, mereka adalah produk dari budaya politik dan masyarakat di mana mereka tumbuh dan berkembang. Gerak mereka dibatasi oleh dinamika politik dari masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah di mana mereka berada. Mereka juga tidak bisa menghindar dari wacana nasional yang sedang berkembang, dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan nasional, meskipun dibungkus dengan bahasa keagamaan. Meskipun demikian, kelompok fundamentalis tidak pernah melupakan tujuan jangka panjang mereka, walaupun tujuan
37
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
tersebut pada saat ini bukan merupakan prioritas utama. Hizb al-Tahrîr Indonesia (HTI), atau HT pada umumnya, merupakan pengecualian karena mendirikan khilâfah Islâmîyyah merupakan prioritas utama dari aktivitas kelompok ini. Satu hal yang perlu ditegaskan ialah bahwa sebagaimana Islam itu sendiri, fundamentalis Islam tidaklah monolitik, tetapi terdiri dari berbagai macam kelompok yang menganut berbagai jenis pemahaman dan taktik di dalam mencapai tujuan mereka. Ada kelompok yang mengkafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka, dan ada pula yang hanya mengkafirkan penguasa yang memerintah di suatu negara. Sedangkan umat Islam pada umumnya masih dianggap Muslim, meskipun menganut paham yang salah dan kelakuan yang menyimpang dari ajaran agama sesuai dengan pemahaman mereka. Ada pula kelompok yang percaya kepada konsep imam Mahdi, dan mengangkat salah seorang pimpinan mereka sebagai imam Mahdi. Ada kelompok yang setuju kepada paham dan sistim demokrasi a la Barat, dan berpartisipasi di dalam pemerintahan suatu negara. Tetapi ada pula kelompok yang menolaknya, dan oleh karena itu tidak ikut ambil bagian di dalam proses demokrasi, seperti pemilihan umum. Ada kelompok yang mengundurkan diri dari masyarakat walaupun hanya sementara, dan ada pula yang aktif terlibat di dalam urusan-urusan sosial dan politik dalam usaha mereka merubah dan mentransformasi masyarakat. Ada kelompok yang memusatkan perlawanannya terhadap musuh-musuh mereka yang dekat (pemerintah dan penduduk dari negara tempat tinggal mereka) dan ada pula yang mengarahkan perlawanan mereka terhadap musuh-musuh yang jauh (Israel dan orang-orang Barat, khususnya Amerika Serikat). Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan semacam ini, namun mereka semuanya mempercayai dan menawarkan Islam sebagai way of life yang menyeluruh yang dapat dipakai sebagai ideologi alternatif. Dengan kata lain, bagi kalangan fundamentalis, Islam tidak hanya dipandang sebagai sistim nilai-nilai moral dan spiritual, tetapi juga sebagai ideologi keagamaan yang harus diterapkan di dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan
38
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
bernegara, seperti politik, ekonomi, hukum, politik luar negeri, dan sebagainya. Oleh karena itu, Islamis berusaha mengganti ideologi-ideologi yang sedang dipakai di suatu negara, seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, pancasila, dan isme-isme lainnya, yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut mereka, dan pernyataan ini ada benarnya, semua ideologi tersebut terbukti telah gagal memberikan kesejahteraan lahir dan batin kepada rakyat. Oleh karena itu mereka mengajukan Islam sebagai satu-satunya solusi (Islam is the solution atau alIslâm hua al-hall) terhadap semua problem yang dihadapi oleh umat Islam. Inilah,
menurut
Sachedina
(1991:406),
yang
merupakan
inti
dari
fundamentalisme Islam. Yaitu idealisme keagamaan yang memberi janji kepada pemeluk-pemeluknya bahwa penerapan norma-norma Islam dalam semua aspek kehidupan akan menimbulkan perubahan yang dramatis dan melenyapkan banyak masalah sosial-politik dan moral yang sedang menimpa umat Islam. Optimisme seperti ini, kata Sachedina (1991:407), bersumber pada kepercayaan yang tersebar luas di kalangan orang Islam bahwa kemajuan duniawi dan spiritual yang dicapai selama berabad-abad pada waktu lampau adalah hasil dari pengalaman keagamaan masyarakat Muslim. Pemahaman terhadap sejarah keagamaan seperti ini mengarahkan dan membimbing tingkah laku sosial-politik kaum Muslim pada masa sekarang. Dan seperti dijelaskan
di
atas,
kegagalan
ideologi-ideologi
dan
model-model
pembangunan yang diimpor dari Barat juga ikut memberi andil terhadap usaha-usaha untuk kembali kepada ajaran agama sebagai obat bagi semua “penyakit” yang diderita umat Islam. Paham-paham seperti ini, pada tingkatan tertentu, sebenarnya juga dipercayai oleh orang-orang Islam di luar kelompok fundamentalis. Tetapi berbeda dengan kelompok yang disebut belakangan ini, orang-orang Islam yang lain pada umumnya tidak secara aktif berusaha menegakkan sistim Islam di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
39
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
Karakteristik Fundamentalis Islam Fundamentalis Islam, baik yang moderat maupun yang radikal, mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, fundamentalis Islam, sebagaimana halnya dengan kelompok sejenis dalam semua agama, adalah kelompok minoritas yang mengusung paham-paham tertentu melawan kelompok mayoritas. Kedua, dengan demikian, fundamentalis Islam adalah kelompok perlawanan atau oposisi. Di samping tidak setuju terhadap pemikiran-pemikiran musuh-musuh mereka, mereka juga menghadapinya secara langsung. Musuh-musuh ini bisa ditemukan di kalangan orang-orang non-Muslim dan bisa juga berasal dari orang-orang Islam sendiri. Hanya saja musuh-musuh mereka yang terpenting dan dianggap paling berbahaya adalah orang Islam sendiri yang beraliran modernis dan liberal. Kedua golongan
ini
dianggap
oleh
kelompok
fundamentalis
Islam
telah
mengacaukan pemahaman umat tentang Islam dengan pendapat-pendapat dan penafsiran-penafsiran mereka terhadap al-Qur’ân dan Hadîth. Kedua golongan ini juga dipandang sebagai pembawa dan penyebar konsepkonsep dan paham-paham sekuler di dalam komunitas Muslim. Oleh karena itu, tidak heran kalau para fundamentalis Islam selalu mengcounter pendapat-pendapat pemikir dari kedua golongan tersebut. Hampir semua masalah, yang dianggap merugikan atau bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, mendapat tanggapan atau penjelasan dari mereka. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat di dalam tulisan-tulisan yang dimuat di Website dan majalah yang diterbitkan oleh mereka.** Tidak jarang tanggapan mereka dimuat di media masa umum yang cenderung kepada paham-paham kelompok ini. **
Harus diakui bahwa kelompok Islamis sangat berhasil di dalam bidang penerbitan. Misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menerbitkan majalah Sabili, Ummi, Saksi, Tarbawi, dan lainlain. Kedua majalah yang disebut terdahulu mempunyai tiras yang mengagumkan. Hizb al-Tahrîr Indonesia (HTI) menerbitkan majalah al-Wa’ie dan bulletin al-Islam. Bulletin ini, di samping dapat dibaca di Website mereka, juga diterbitkan setiap hari Jum’at dan beredar di mesjid-mesjid yang “dikuasai” oleh HTI. Kelompok Salafi juga menerbitkan majalah, seperti Assunnah, Salafy, Assyariah, Alfurqon, dan lain-lain. Sedangkan majalah yang dikelola oleh kalangan liberal dan modernis, seperti Ulumul Qur’an, Umat dan Panji Masyarakat sudah lama tidak terbit. Harian Republika, yang pada awalnya bercorak liberal, belakangan beralih ke tangan orang-orang
40
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Kegiatan mengcounter pemikiran lawan-lawan mereka menunjukkan bahwa fundamentalis Islam sangat menekankan pentingnya perang dalam bidang pemikiran atau ide (ghazw al-fikrî). Hal ini didorong oleh tekad untuk mempertahankan penafsiran-penafsiran dan paham-paham keagamaan yang mereka anut, dan sekaligus untuk melindungi umat Islam pada umumnya dan orang-orang fundamentalis pada khususnya dari pahampaham atau ajaran-ajaran yang, menurut mereka, bertentangan dengan Islam. Dalam usaha mempertahankan kemurnian ajaran dan pemahaman ini, para fundamentalis menyaring buku-buku atau bacaan-bacaan yang hendak mereka baca. Buku-buku yang ditulis oleh sarjana dari aliran yang tidak mereka sukai dihindari dan dianjurkan untuk tidak membacanya. Perang pemikiran (ghazw al-fikrî), yang bisa juga disebut sebagai “war of Weltanschauungen (worldviews),” meminjam istilah Bassam Tibi (2001:136), antara kelompok fundamentalis Islam di satu pihak melawan Islam modernis dan liberal di pihak lain, sudah lama berlangsung di negara-negara yang dihuni oleh orang-orang Islam, seperti di Mesir, Aljazair dan Indonesia. Kalau di Mesir dan Alzajair, perang pemikiran ini sudah menimbulkan beberapa korban jiwa di pihak modernis dan liberal serta penguasa.†† Sedangkan di Tanah Air, akibat negatif dari perang pemikiran baru dalam bentuk caci maki terhadap beberapa tokoh modernis dan liberal, dan belum ada yang dibunuh, meskipun sudah ada yang pernah dihalalkan darahnya.
Islamis. Adapun media yang dikelola oleh kelompok liberal, selain majalah Syir’ah, adalah Website yang dimiliki oleh Jaringan Islam Liberal (JIL), sedangkan semua kelompok Islamis mempunyai Website. ††
Korban pembunuhan di Mesir oleh kelompok fundamentalis radikal, antara lain, adalah President Anwar Sadat pada tahun 1981, syekh Muhammad Husayn al-Dhahabi, mantan Menteri Waqf Mesir, pada tanggal 3 Juli 1977 dan Dr. Faraj Foda pada tanggal 8 Juni 1992. Dr. Foda adalah seorang pengusaha dan konsultan kaya yang sering menyerang pemikiran orangorang fundamentalis di media massa. Dia dibunuh oleh angota kelompok Organisasi Jihad Islam (the Islamic Jihad Organization) karena kritikan-kritikannya yang tajam dan pedas terhadap kelompok-kelompok fundamentalis dan pimpinan mereka (lihat Sagiv, 1995:73). Sedangkan Professor Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, seorang dosen di Universitas Cairo, yang dinyatakan telah murtad oleh pengadilan karena beberapa pendapatnya dianggap bertentangan dengan Islam, berhasil melarikan diri bersama isterinya ke negeri Belanda pada tahun 1995. Di Alzajair, kelompok fundamentalis Islam radikal membunuh beberapa orang tokoh politik yang dianggap beraliran sekuler.
41
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
Ketiga, Islamis bersifat absolut. Seperti yang dikatakan oleh Gellner (1992:2), ide dasar atau fundamental dari fundamentalisme agama adalah kepercayaan yang dianut harus dipertahankan di dalam bentuknya yang literal dan menyeluruh, bebas dari kompromi, reinterpretasi, tidak diperlemah atau dikurangi. Oleh karena itu tidak heran kalau mereka menolak segala bentuk relativisme, ambiguitas, dan pluralisme. Mereka percaya bahwa pemahaman keagamaan merekalah yang paling unggul, dan berusaha menarik orang lain untuk mengikuti pemahaman keagamaan dan cara beragama mereka. Marty dan Appleby (1992:24) mendefinisikan relativisme sebagai suatu paham yang mengatakan bahwa “tidak ada satu kepercayaan yang secara absolut benar karena semua kepercayaan ditentukan oleh batasan-batasan waktu dan tempat.” Sedangkan pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa “kehadiran dari bermacam-macam kepercayaan adalah suatu hal yang baik.” Absolutisme ini menimbulkan sifat tidak toleran terhadap segala jenis kepercayaan dan pemahaman keagamaan yang berbeda. Absolutisme juga melahirkan sikap dan tindakan agresif, khususnya dalam menghadapi persoalan moral. Dengan mengangkat diri mereka sebagai polisi moral, beberapa anggota kelompok fundamentalis Islam melakukan penyerangan terhadap individu-individu yang mereka anggap melakukan pelanggaran moral, dan melakukan pengrusakan bangunan-bangunan yang dinilai sebagai tempat-tempat maksiat. Kasus seperti ini pernah terjadi di Tunisia, Mesir, Indonesia, dan negara-negara lain yang mempunyai kelompokkelompok fundamentalis. Keempat,
akibat
dari
kepercayaan
terhadap
keunggulan
pemahaman dan cara beragama ini, fundamentalis Islam pada umumnya memiliki sikap benar sendiri (holier than thou), dan bahkan percaya bahwa “extra ecclessiam nulla salus,” yaitu tidak ada keselamatan di luar gereja [kelompok mereka], meminjam formula gereja Katolik. Berhubungan dengan hal ini, mereka mempunyai pandangan dualistik (binary) dan Manichaeisme, yang membagi dunia ke dalam dua golongan atau kekuatan yang saling
42
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
bertentangan, yaitu baik dan buruk, orang-orang beriman dan yang kafir, yang masuk surga dan yang masuk neraka. Mereka mengelompokkan manusia ke dalam dua golongan yang bertentangan, yaitu orang-orang Islam (golongan mereka) dan orang-orang yang bukan Islam (semua orang di luar kelompok mereka), tidak ada posisi di antara kedua kelompok manusia tersebut. Sifat dualistik ini lebih ditujukan kepada orang-orang Islam yang mereka
anggap
telah
menyimpang
dari
ajaran-ajaran
Islam
yang
sebenarnya. Pemahaman seperti ini, menurut Saiedi (1986:182), bersumber dari interpretasi yang represif‡‡ terhadap pemahaman mengenai Tuhan. Interpretasi represif ini menekankan sifat absolut dari firman Tuhan. Karena firman yang diwahyukan itu mutlak benar maka tidak ada tempat bagi kepercayaan-kepercayaan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Kelima, fundamentalis Islam bersifat nativistik. Menurut Riesebrodt (1993:182-183), nativisme ini mempunyai dua aspek, yang regresif dan ekspansif. Aspek regresif terletak pada usaha Islamis untuk kembali kepada ajaran-ajaran agama yang asli dan murni, dan menolak segala ajaran-ajaran dan pengaruh-pengaruh yang dianggap berasal dari luar atau asing. Ajaranajaran yang berasal dari dasar-dasar agama dipercayai berasal langsung dari Tuhan, dan oleh karena itu murni dan baik. Sedangkan yang berasal dari luar dianggap berasal dari Setan, dan oleh karena itu tidak murni dan tidak baik. Sikap yang anti terhadap segala macam pengaruh dari luar/asing ini membuat kalangan fundamentalis Islam percaya kepada teori konspirasi (conspiracy theory). Mereka yakin bahwa pengaruh-pengaruh asing (Barat) yang merusak, yang masuk ke dalam masyarakat, termasuk kerusuhan dan tragedi pemboman yang terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah disengaja untuk menghancurkan Islam dan
‡‡
Jenis interpretasi ini dipertentangkan dengan interpretasi yang demokratik. Menurut interpretasi ini, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama, maka semua manusia bersaudara dan semuanya mencerminkan Sifat-sifat dan Keesahan Tuhan. Sebagai akibatnya, semua pembedaan dan diskriminasi berdasarkan kelas, ras, jenis kelamin, agama, paham politik, pendidikan, dan sejenisnya harus dipandang sebagai buatan manusia dan bertentangan dengan kehendak Tuhan (Saiedi, 1986:182).
43
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
penganutnya. Ini dilakukan, menurut mereka, oleh agen-agen asing (CIA dan Mossad) sesuai dengan rencana-rencana yang bersifat rahasia, atau oleh agen-agen domestik. Oleh karena itu, fundamentalis Islam sangat anti-Barat, khususnya Amerika Serikat. Seperti dapat diduga, mereka menuduh kalangan Islam modernis dan liberal, yang mereka cap sebagai agen-agen Barat, Zionis, Orientalis, dan sebagainya sebagai agen-agen lokal yang ikut menyebarkan pengaruh-pengaruh asing, dan pemikiran-pemikiran Islam yang rancu untuk merusak akidah umat, baik disengaja ataupun karena ketidaktahuan. Bertolak dari ayat al-Qur’ân (al-Baqarah/2:120) yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai orang-orang Islam mengikuti agama mereka, orang-orang fundamentalis Islam percaya bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen sejak zaman Nabi Muhammad mempunyai kebencian perennial terhadap Islam dan, oleh karena itu, mereka pasti selalu berusaha melemahkan dan menghancurkan Islam.§§ Sebagai akibatnya, para fundamentalis Islam melihat tindakan-tindakan negara-negara Kristen Barat dan Zionis Yahudi terhadap negara-negara Islam sebagai perwujudan permusuhan perennial tersebut yang bertujuan untuk
menghancurkan
Islam.
Berdasarkan
hal
ini,
orang-orang
fundamentalis memandang kehidupan sebagai a perennial battle, suatu peperangan yang terus menerus alias abadi, baik yang bersifat non-fisik (pemikiran) maupun yang bersifat fisik. Di dalam keadaan seperti ini, kaum fundamentalis berperan sebagai jundullah (jund Allâh alias tentara Tuhan) dan defender of God (pembela Tuhan).
§§
Contoh yang terbaru dari keyakinan dan persepsi seperti ini dapat dilihat di dalam tulisantulisan yang dimuat di dalam dua majalah yang dikeluarkan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera), yaitu majalah Saksi, Mei 2005 dan Sabili, No. 24, Th. XII, 16 Juni 2005. Di dalam majalah Sabili (hlm. 5), yang “Telaah Utama”nya adalah “Melacak Zionis di Indonesia,” dikatakan bahwa “sampai akhir zaman, Yahudi memang tidak akan pernah berhenti memusuhi Islam.” Pernyataan ini didasarkan pada al-Qur’ân, sura al-Mâidah:82 dan al-Baqarah:120, seperti yang telah dikutip di atas. Adapun bunyi sura al-Mâidah:82 adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orangorang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik …”.
44
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Berdasarkan keterangan yang baru saja dikemukakan, maka jelaslah bahwa aspek regresif dari nativisme tidak membuat orang-orang fundamentalis menarik diri atau menolak dunia. Dengan menggunakan tradisi yang telah diperkuat atau dasar-dasar budaya keagamaan, mereka “melawan … untuk mendapatkan kembali tempat yang mereka anggap telah diambil dari mereka” (Marty and Appleby, 1992:17) dan membentuk suatu dunia berdasarkan paham-paham yang mereka anut. Di dalam proses ini, fundamentalis itu bersifat ekspansif, yaitu mereka berusaha menarik orangorang Islam kelompok lain untuk menganut paham-paham keagamaan mereka, atau pada usaha-usaha memasukkan hukum-hukum Islam ke dalam Undang-Undang Dasar (Riesebrodt, 1993:183). Sebagian kelompok fundamentalis sekali-sekali terlibat dalam aksi-aksi kekerasan dan teror, termasuk melakukan pembunuhan terhadap orang yang mereka anggap kafir dan orang yang telah murtad. Keenam, Islamis anti-hermeneutical. Mereka percaya, sebagaimana halnya dengan semua orang Islam, bahwa al-Qur’ân itu mengandung kalam Tuhan. Tetapi berbeda dengan kelompok Islam yang lain, mereka tidak mau menafsirkan
ayat-ayat
al-Qur’ân,
dan
sebaliknya
lebih
menyukai
memahaminya secara harfiyah (literal). Mereka percaya bahwa kata-kata dan ayat-ayat al-Qur’ân hanya mempunyai satu arti atau makna, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’ân. Dan para Islamis percaya bahwa pemahaman mereka sesuai dengan arti atau makna yang satu itu. Penolakan terhadap metode hermeneutic didasarkan pada alasan bahwa kemampuan akal manusia terbatas untuk menafsirkan dan mengetahui maksud ayat-ayat Tuhan. Disamping itu, mereka berpendapat bahwa
diskursus
intelektual
membahayakan
fondasi
kepercayaan-
kepercayaan yang absolut, sebab cara ini mempromosikan relativisme dengan jalan menimbulkan keragu-raguan terhadap kebenaran agama yang absolut. Sikap dan pendapat seperti ini adalah salah satu tipe dari apa yang disebut dengan anti-intelektualisme. Hofstadter (1963:7) mendefinisikan anti-
45
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
intelektualisme
sebagai
“suatu
kebencian
dan
kecurigaan
terhadap
kehidupan pemikiran dan orang-orang yang dianggap mewakilinya, dan suatu kecenderungan yang terus menerus mengecilkan nilai dari kehidupan tersebut.” Fazlur Rahman menemukan hal ini di dalam kelompok yang beliau sebut neofundamentalis*** dalam Islam. Anggota kelompok ini, menurut Rahman (1981:34), percaya bahwa mereka mempunyai missi ketuhanan untuk menutup kehidupan intelektual Islam. Pendapat mereka yang tegas bahwa Islam adalah suatu ajaran yang harus dilaksanakan di mana intelektualisme yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia perbuatan itu hanyalah suatu bentuk alkoholisme intelektual adalah benar. Tetapi asumsi mereka bahwa kaum Muslim dapat memperbaiki dunia nyata tanpa usaha intelektual yang serius, hanya dengan bantuan slogan-slogan yang mudah diingat,
adalah
suatu
kesalahan
yang
berbahaya.
Orang-orang
neofundamentalis tidak hanya telah gagal membawa wawasan-wawasan baru ke dalam Islam melalui perluasan cakrawala inteletual mereka, tetapi juga mereka bahkan telah melepaskan kekayaan pendidikan tradisional. Di
tempat
lain
Rahman
(1984:137)
mengatakan
bahwa
neofundamentalis atau neorevivalis adalah orang yang dangkal dan superficial, yang benar-benar tidak berakar pada al-Qur’ân dan budaya intelektual tradisional Islam. Keadaan intelektual seperti ini membuat mereka lebih gemar mengucapkan slogan bahwa Islam adalah agama yang sangat sederhana dan gampang dipahami, tanpa mengetahui arti kata-kata tersebut. “Penyebab utama dari kemiskinan intelektual ini,” menurut Rahman (1981:33), “adalah karena neofundamentalisme muncul sebagai suatu reaksi ***
Fazlur Rahman (1984:136) membedakan antara fundamentalisme dengan neofundamentalisme. Fundamentalisme, yang ia sebut juga dengan nama revivalisme, lahir sejak abad ke 18. Gerakan ini bermaksud merekonstruksi spiritualitas dan moralitas Islam atas dasar ajaran-ajaran Islam awal yang murni. Sedangkan neofundamentalisme atau neorevivalisme, menurut Rahman (1981:32-33), lahir pada tahun 1930an. Oleh karena itu kelompok ini banyak dipengaruhi oleh modernisme dan merupakan versi moderen fundamentalisme yang lebih signifikan. Ia lahir sebagai response terhadap pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan asing. Rahman mendefinisikan neofundamentalisme sebagai suatu usaha Islami untuk menemukan kembali makna asli dari pesan Islam tanpa penyimpanganpenyimpangan dan distorsi-distorsi historis serta tanpa dihalangi oleh tradisi yang muncul pada masa-masa itu. Usaha ini dimaksudkan tidak hanya untuk keuntungan buat masyarakat Islam tetapi juga sebagai tantangan terhadap dunia dan Barat pada khususnya.
46
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
terhadap modernisme dan apa yang dipersepsikan sebagai orientasi proBarat yang sangat berlebihan dari kebanyakan golongan modernis.” Penilaian bahwa fundamentalis Islam adalah anti-intelektual dikemukakan pula oleh Seyyed Hossein Nasr. Nasr (1984:281) mengatakan bahwa banyak anggota kelompok fundamentalis, dengan mengatasnamakan semangat keagamaan, menutup pintu yang menuju kepada usaha-usaha intelektual dan pertimbangan-pertimbangan logika berkenaan dengan masalah-masalah dan bahaya-bahaya yang mengancam dunia Islam. Ketujuh,
fundamentalisme
Islam,
sebagaimana
kelompok
fundamentalis dalam agama lain, muncul sebagai reaksi dan respon terhadap modernitas (modernity). Lawrence (1990:6) mengatakan bahwa ciri yang
paling
menonjol
dari
semua
kelompok
fundamentalis
adalah
perlawanannya terhadap semua individu atau institusi yang mengusung nilainilai
Enlightenment
dan
mengibarkan
bendera
sekularisme
atau
modernisme.††† Dengan kata lain, fundamentalis bereaksi terhadap keadaankeadaan yang tidak pernah mengancam agama sebelum munculnya era moderen. Ancaman terhadap agama bisa datang dari berbagai macam sumber, seperti dari proses modernisasi dan sekularisasi pada umumnya, dari negara sekuler yang berusaha membatasi lingkup yang sakral, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Oleh karena itu, fundamentalis bereaksi terhadap marjinalisasi agama. Almond, Sivan, dan Appleby (1995a:409) menegaskan bahwa reaktivitas (reactivity) adalah inti dari gerakan-gerakan fundamentalis. Reaktivitas mereka adalah reaktivitas keagamaan – suatu
†††
Salah satu asumsi yang dipegang oleh para pemikir Enlightenment dan penerusnya adalah bahwa agama akan berangsur-angsur menurun dan akhirnya berhenti sebagai sebuah kekuatan publik. Menurut para rationalis sekuler, pengetahuan adalah hasil dari kemampuan pikiran manusia yang menarik kesimpulan-kesimpulan atas dasar bukti-bukti empiris, dan bukan berasal dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan kepada orang-orang yang terpilih oleh Tuhan. Asumsi-asumsi rationalitas sekuler ini telah membentuk budaya-budaya liberal yang dianut oleh beberapa kelompok masyarakat di seluruh dunia, seperti kelompok sarjana, wartawan dan penyiar, ilmuwan sosial, dan bahkan agamawan. Oleh karena itu, sejak masa Enlightenment banyak kalangan terpelajar di seluruh dunia cenderung melihat masa depan di mana ruang gerak agama akan semakin kecil. Agama yang mereka bayangkan dalam keadaan seperti ini adalah agama yang moderen dan tercerahkan. Dengan kata lain, agama menjadi semi-sekuler, rasional, toleran dan individualistik (Marty dan Appleby, 1992:11-12).
47
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
gerakan yang dimobilisasi melawan kekuatan-kekuatan sekularisasi di dalam dunia moderen. Sejalan dengan pernyataan-pernyataan dari beberapa sarjana yang disebutkan di atas, Berger (1992:33) mengatakan bahwa para fundamentalis bereaksi terhadap kekecewaan dan keterpinggiran yang mereka rasakan akibat modernisasi. Menurut Berger (1974:63-82), modernisasi itu terutama merupakan pluralisasi yang menyeluruh terhadap nilai-nilai, norma-norma, makna-makna, dan simbol-simbol yang mengakibatkan segmentasi budaya dan pluralitas dunia-dunia kehidupan. Aspek fundamental dari pluralisasi ini adalah timbulnya dikotomi wilayah kehidupan, yaitu yang privat dan publik. Di dalam kedua wilayah ini juga terjadi pluralisasi. Pluralisasi ini, kata Berger, mempunyai akibat yang menimbulkan sekularisasi, yaitu ia melemahkan cengkeraman agama terhadap masyarakat dan individu. Menurut Berger (1992:67), pluralisasi adalah proses pluralisme internal dan subjektif yang terjadi di dalam pikiran manusia, dan oleh karena itu ia mempunyai pengaruh terhadap kesadaran manusia. Dengan demikian, pluralisme itu bukan hanya satu fakta dari lingkungan sosial eksternal, tetapi juga merupakan satu realitas internal, yaitu sekumpulan pilihan yang ada di dalam pikiran manusia. Di dalam lapangan agama, ciri yang terpenting dari semua situasi pluralistik ini, menurut Berger (1969:138) adalah: Agama-agama yang pernah memonopoli tidak dapat lagi dengan begitu saja mengharapkan kesetiaan pengikut-pengikutnya di masyarakat. Kesetiaan bersifat sukarela, dan oleh karena itu tidak pasti. Sebagai akibatnya, tradisi agama, yang sebelumnya dapat dipaksakan, sekarang harus dipasarkan. Agama harus “dijual” kepada pembeli yang tidak lagi merasa terpaksa untuk “membeli.” Situasi pluralistik terutama adalah sebuah situasi pasar. Di dalam situasi seperti ini, lembaga-lembaga keagamaan menjadi agen-agen pemasaran dan tradisi-tradisi keagamaan menjadi komoditas yang dibeli dan dipakai. Di dalam situasi pluralistik, agama bukanlah sesuatu yang pasti, tetapi ia telah menjadi suatu pilihan. Berger (1992:68) menegaskan bahwa
48
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
“pada tataran kesadaran manusia, modernisasi adalah suatu gerakan dari yang telah digariskan (nasib) ke pilihan, dari suatu dunia kebutuhan mutlak kepada satu dunia yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membingungkan. Ketegangan
dan
ketidakpuasan
lain
yang
diakibatkan
oleh
modernisasi adalah sekularitas (Berger, 1982:64 dan 1977:78). Dunia yang telah
tersekulerkan
menimbulkan
frustasi-frustasi
dan
kecemasan-
kecemasan yang khusus, suatu kondisi yang membuat sukar bagi manusia untuk hidup.
Menurut Berger (1969:107), sekularisasi adalah “proses
dengan proses mana sektor-sektor masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.” Dengan definisi ini Berger ingin menekankan dua aspek sekularisasi, yaitu yang objektif dan subjektif. Kalau sekularisasi objektif terjadi di dalam struktur sosial, maka sekularisasi subjektif, yang oleh Berger (1969:107-108) disebut juga dengan sekularisasi kesadaran, terjadi di dalam pikiran manusia. Sekularisasi kesadaran ini mengandung arti bahwa semakin banyak orang yang cenderung memandang dunia dan kehidupan mereka tanpa melibatkan interpretasi-interpretasi
dan
pertimbangan-pertimbangan
keagamaan.
Sekularisasi subjektif ini, kata Berger, dapat berubah menjadi sekularisasi yang ‘tidak kelihatan,’ suatu situasi di mana orang tidak sadar bahwa telah terjadi pengikisan agama. Berger
(1974:184-185)
mengatakan
bahwa
pluralisme
dan
sekularisasi subjektif mengakibatkan pandangan manusia menjadi relatif, dan dengan demikian kepastian hilang. Berger menyebut hal ini sebagai ‘krisis kepercayaan’ atau ‘homelessness.” Ekspresi yang paling merusak dari ‘krisis kepercayaan’ kehidupan sosial moderen ini, menurut Berger, dapat ditemukan di wilayah agama. Ketidakpastian umum, baik kognitif maupun normatif, telah membawa agama ke dalam krisis kredibilitas. Fungsi agama selama berabad-abad – yaitu memberikan kepastian tertinggi di tengah keadaan-keadaan yang sulit dari kondisi umat manusia – telah sangat dilemahkan. Modernitas, kata Berger (1999:7 dan 11), melemahkan semua
49
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
kepastian-kepastian
lama
yang
sudah
dipercayai
kebenarannya.
Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh modernitas ini merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan bagi banyak orang bahkan merupakan situasi yang sangat sukar ditanggung. Oleh karena itu, setiap gerakan, baik keagamaan maupun non-agama, yang menjanjikan akan memberikan atau memperbaharui kepastian pasti mempunyai daya tarik besar dan pasar yang sudah siap. Sama dengan Berger, Lechner (1993:24) mengatakan bahwa modernitas‡‡‡
adalah
“suatu
kekuatan
yang
melemahkan
dan
menghancurkan, sebagian karena ia membuat tradisi-tradisi keagamaan semakin kurang signifikan di dalam urusan-urusan sosial, dan sebagian lagi karena ia membuat ide untuk kembali kepada kepastian dan homogenitas menjadi tidak mungkin”. Lechner (1993:26) menganggap modernitas sebagai “suatu bentuk tatanan sosial yang khusus dan relatif baru. Tatanan sosial ini ditandai oleh pemisahan (differentiation) struktural, pluralisme budaya, inklusivisme sosial, dan penguasaan dunia.” Oleh karena itu dari sudut pandang sosiologis, fundamentalisme Islam, sebagaimana halnya dengan fundamentalisme di agama-agama lain, di satu pihak, melibatkan penolakan terhadap pemisahan radikal yang sakral dan sekuler atau profan yang telah berkembang
bersamaan
dengan
modernisasi.
Di
pihak
lain,
fundamentalisme Islam juga melibatkan satu rencana untuk menyatukan kembali (dedifferentiation) pemisahan institusional dan, dengan demikian, mengembalikan agama ke tempatnya semula sebagai faktor yang penting
‡‡‡
Lawrence (1995:27) membedakan antara modernitas (modernity) dengan modernisme (modernism). Modernitas, menurut Lawrence, adalah kemunculan suatu indeks baru dari kehidupan manusia yang dibentuk, terutama, oleh meningkatnya birokratisasi dan rationalisasi serta kemampuan tehnis dan pertukaran global yang tidak terpikirkan di masa pra-moderen. Sedangkan modernisme adalah pencarian otonomi individu yang didorong oleh satu set nilainilai yang dijadikan tanda secara sosial, yang menekankan perubahan dari pada kontinuitas; kuantitas dari pada kualitas; produksi yang efisien, kekuasaan, dan keuntungan dari pada perasaan simpati terhadap nilai-nilai atau pekerjaan-pekerjaan tradisional’ baik di ranah publik maupun privat. Pada tingkatan yang paling utopis, modernisme menempatkan satu strategi ekonomi, kapitalisme yang berorientasi pasar sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk mencapai kemajuan tehnologis yang akan menghilangkan keresahan sosial dan ketidaknyamanan tubuh.
50
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
dan menentukan di dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan (Shupe and Hadden, 1989:111). Perlu dicatat bahwa kelompok fundamentalis bereaksi tidak terhadap krisis dunia moderen tetapi terhadap krisis yang ditimbulkan oleh dunia moderen pada kepercayaan dan ajaran-ajaran dasar Islam. Ancaman terhadap tradisi keagaman bisa berasal dari proses modernisasi pada umumnya dan sekularisasi, dan bisa pula dari negara sekuler yang berusaha membatasi peranan agama, atau gabungan dari hal-hal tersebut. Dengan kata lain, kelompok fundamentalis bereaksi terhadap marjinalisasi agama. Kondisi ini menimbulkan kesadaran di dalam pikiran para kelompok fundamentalis bahwa ada sesuatu yang salah di dunia ini, dan bahwa masyarakat di mana mereka hidup telah tersesat. Berdasarkan penjelasan dan unsur-unsur yang baru saja disebut di atas, dan seperti yang dikatakan oleh Sachedina (1991:146) bahwa inti fundamentalisme Islam adalah idealisme keagamaan yang memberi janji kepada pemeluk-pemeluknya bahwa penerapan norma-norma Islam dalam semua aspek kehidupan akan menimbulkan perubahan yang dramatis dan melenyapkan banyak masalah sosial-politik dan moral yang sedang menimpa umat Islam, maka dapat dikatakan bahwa fundamentalisme Islam lahir terutama karena motivasi dan pertimbangan-pertimbangan agama (lihat juga Arjomand, 1989:115 dan Moussalli, 1992:11). Mereka menghendaki dan berusaha supaya agama menjadi pedoman pokok di dalam segala aktivitas manusia. Mereka yakin bahwa masyarakat akan lebih baik apabila diperintah atau, paling tidak, sangat dipengaruhi oleh orang-orang seperti mereka, yang mempunyai keyakinan dan semangat agama yang tinggi yang tercermin di dalam tindakan-tindakan mereka yang sesuai dengan tuntunan agama. Terlepas dari penjelasan yang baru saja diberikan, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa manusia mempunyai motivasi yang kompleks dan sering tumpang tindih. Oleh karena itu, di samping motivasi agama, munculnya fundamentalisme Islam juga sering dikatakan sebagai akibat dari faktor ketidakpuasan sosial dan ekonomi, penindasan politik oleh pemerintah
51
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
dan keinginan kelompok Islamis untuk berkuasa, dan faktor kejiwaan, atau gabungan dari semua faktor tersebut. Sejalan dengan ini, Marty dan Appleby (1991:822-24) mengatakan bahwa fundamentalisme agama muncul pada masa-masa krisis, baik yang sesungguhnya maupun krisis yang hanya ada di dalam persepsi orang. Perasaan adanya bahaya mungkin berasal dari keadaan-keadaan sosial, ekonomi, atau politik yang menindas dan mengancam, yang kesemuanya ini bermuara pada krisis identitas yang dirasakan oleh orang-orang yang takut bahwa mereka akan punah sebagai satu bangsa atau masyarakat. Keadaan-keadaan yang bergolak dan disorientasi ini menimbulkan adanya kebutuhan akan falsafah-falsafah, struktur-struktur,
dan
lembaga-lembaga
alternatif
yang
akan
mempertahankan nilai-nilai tradisional tertentu, meskipun dalam waktu yang sama mereka merefleksikan penyesuaian-penyesuaian terhadap laju dan bentuk perubahan yang sangat besar. Di dalam retorika krisis, kata Marty dan Appleby, sering terdapat pembenaran dan apologi untuk melakukan tindakan-tindakan yang ekstrim, yaitu para fundamentalis berusaha untuk mengganti struktur yang ada dengan sistim komprehensif yang berasal dari prinsip-prinsip agama yang meliputi hukum, negara, masyarakat, ekonomi dan budaya. Kedelapan, fundamentalis Islam adalah pendiri masyarakat. Dengan mengetahui bahwa masyarakat telah tersesat, hal ini membangkitkan semangat kelompok Islamis untuk berusaha keras membangun suatu masyarakat berdasarkan keyakinan mereka. Islamis percaya bahwa krisis yang melanda umat Islam diakibatkan oleh jauhnya umat Islam dari petunjuk dan bimbingan Tuhan dalam kehidupan mereka. Padahal, prinsip-prinsip ini telah pernah diwujudkan di dalam satu masyarakat ideal atau ‘the golden age’. Oleh karena itu, untuk mencapai kejayaan Islam kembali dan menghilangkan semua problem yang dihadapi umat, tidak ada cara lain kecuali kembali secara total (kâffah) kepada prinsip-prinsip tersebut. Islamis yakin bahwa umat Islam ketinggalan dari Barat dalam bidang materi, teknologi dan ilmu pengetahuan selama ini karena mereka jauh dari
52
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
agamanya. Akan tetapi karena fundamentalis yang hidup di dunia moderen sedang mencoba merespon tantangan sekularisme dan modernisme, maka mereka tidak dapat sama sekali bebas dari pengaruh modernitas. Marty dan Appleby (1992:184) mengatakan bahwa fundamentalis mengerjakan tugas membangun masyarakat dengan mengambil secara selektif bagian-bagian tradisi keagamaan dan modernitas. Kaum fundamentalis menggabungkan teks-teks suci dengan ideologi-ideologi politik. Mereka mengadopsi struktur organisasi birokratis dan tehnik-tehnik manajemen sumberdaya dari orangorang sekuler yang menindas mereka. Mereka juga menggunakan inovasi tehnologi mutakhir untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Dengan kata lain, dengan unsur-unsur tradisi keagamaan dan modernitas yang mereka pilih dan seleksi, kaum fundamentalis berusaha membentuk kembali dunia ini untuk membuat segala sesuatu tunduk kepada Tuhan dan sekaligus untuk mempertahankan eksistensi mereka dengan menetralisasi kelompok masyarakat luar yang dianggap mengancam eksistensi kelompok mereka. Marty dan Appleby (1992:182-183) menjelaskan bahwa meskipun fundamentalis mempunyai spirit membangun, namun program mereka mulai dengan serangan-serangan polemis terhadap sistem-sistem politik atau keagamaan yang berlaku dalam masyarakat. Protes ini juga ditujukan kepada kelompok-kelompok atau individu-individu yang dianggap oleh kelompok fundamentalis sebagai pelaku dari sistem sekuler tersebut. Karena mereka melihat bahwa dunia ini telah gagal memenuhi standar-standar mereka, mereka mengorganisasi dan menyusun sumber daya untuk menciptakan satu dunia alternatif untuk tempat tinggal kelompok mereka. Di dalam mencapai tujuan ini, kaum fundamentalis Islam, sebagai orang-orang modern,
terlibat
dalam
proses
kontemporer
pendirian
masyarakat,
perkampanyean, organisasi politik, dan pendidikan. Kesembilan,
fundamentalisme
Islam,
sebagaimana
gerakan
fundamentalisme di dalam agama-agama lain, adalah gerakan urban. Anggota-anggota dan pemimpinnya pada umumnya tinggal di kota,
53
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
meskipun banyak dari mereka melewatkan masa kanak-kanak di desa atau kota kecil. Biasanya mereka pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, orang-orang fundamentalis rata-rata orang yang berpendidikan. Mereka pada umumnya berasal dari Perguruan Tinggi Umum yang memakai kurikulum Barat, dan ada juga yang masih setingkat SMU. Mereka pada umumnya dari jurusan eksakta, dan sedikit yang berasal dari jurusan sosial dan Perguruan Tinggi Agama. Semua penelitian sosiologis terhadap kelompok-kelompok Islamis, kata Roy (1994:50), menunjukkan bahwa anggota Islamis adalah orang-orang yang berasal dari lingkungan urban. Mereka direkrut dari kalangan intelektual di lingkungan perkotaan, oleh karena itu mereka adalah suatu kelompok yang secara sosiologis moderen, dan berasal dari bagian masyarakat modernis. Di samping itu, karena mereka pada umumnya berasal dari Perguruan Tinggi umum, maka mayoritas anggota Islamis adalah orang-orang otodidak dalam bidang agama, di samping bimbingan yang mereka dapat dari para murabbin, musyrif, atau ustâd saat mengikuti halaqah. Hal ini juga berlaku bagi semua kelompok Islamis di Indonesia. Misalnya, hampir semua anggota kelompok Tarbiyah, yang setelah tumbangnya Orde Baru mendirikan Partai Keadilan (PK), yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah lulusan Perguruan Tinggi Umum. Demikian pula halnya dengan anggota Hizb al-Tahrîr Indonesian (HTI). Dengan anggota seperti ini dan penyebarannya yang berpusat di kampus-kampus “sekuler”, maka para pemimpin Islamis pada umumnya berada di tangan orang-orang yang berasal dari pendidikan modern non-agama.§§§ Meskipun demikian, di Indonesia, PKS mempunyai lebih banyak pemimpin yang mendapat pendidikan agama secara formal dibanding dengan kalangan yang sama dari Hizb al-Tahrîr.
§§§
Di dunia Islam, Iran adalah pengecualian. Pemimpin Islamis di negara ini pada umumnya adalah ‘ulamâ’.
54
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Tipe-tipe Kelompok Islamis Secara garis besar, ditinjau dari metode atau cara yang dipakai di dalam usaha mencapai tujuan mereka, kelompok Islamis terbagi dua, yaitu kelompok moderat dan kelompok radikal atau ekstrim. Kelompok Islamis moderat berusaha mencapai tujuan dengan jalan memfokuskan aktivitas pada usaha mengislamkan masyarakat secara berangsur-angsur (Islamisasi dari bawah ke atas), lewat jalan politik dan dakwah. Usaha ini tidak jarang diiringi dengan melakukan tekanan kepada pemerintah untuk melakukan Islamisasi dari atas, seperti memasukkan Shari’at Islam ke dalam UndangUndang. Dengan kata lain, kelompok Islamis moderat ini bermain di dalam sistim dan peraturan yang berlaku di dalam satu negara. Mereka bersifat pragmatis, dan pada umumnya menerima sistim pemerintahan yang dianut oleh negara di mana mereka berada. Mereka menolak menggunakan kekerasan dalam usaha mencapai tujuan mereka. Kelompok Islamis yang bisa dimasukkan ke dalam kategori ini, antara lain, adalah Ikhwân alMuslimîn Mesir, Jordania dan Kuwait, Jamaat-i-Islami Pakistan, Partai Agama Se-Malaysia (PAS), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Indonesia, yang merupakan wadah politik bagi kelompok Tarbiyah, dan lain-lain. Sedangkan dua kelompok yang menghindari aktivitas dan perjuangan politik sebagai cara untuk mendirikan negara Islam, yaitu Jamaah Tabligh dan Salafi nonjihadi, termasuk juga ke dalam kelompok moderat. Hizb al-Tahrîr Indonesia (HTI), karena menolak penggunaan kekerasan di dalam usaha mencapai tujuan, bisa juga dianggap sebagai kelompok Islamis moderat,**** walaupun kelompok ini menganggap demokrasi sebagai sistim kufr. Berdasarkan ****
Beberapa sarjana, misalnya, Roy (2004:309), ICG (2003), dan Eliraz (2004:28) menganggap Hizb al-Tahrîr (HT) sebagai kelompok Islamis radikal, meskipun anggota-anggota kelompok ini menentang penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan. HT dianggap sebagai Islamis radikal karena, sebagaimana yang dikatakan oleh ICG (2003), pandangan-pandangan kelompok ini sangat radikal, yaitu hendak menyingkirkan semua pemerintah di seluruh dunia Islam dan menggantinya dengan kekhalifahan. Tetapi ICG (2005: note no. 11) sedikit “kebingungan” ketika hendak mengelompokkan HT karena kelompok ini tidak cocok dengan tiga kategori Islamis yang dilukiskan di dalam laporannya, seperti yang telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Dengan alasan yang hampir sama, Roy (2004:237-38) bahkan menyebut HT sebagai satu bentuk UFO (Unidentified Fundamentalist Object/Sosok Fundamentalis yang Tidak dikenal).
55
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
prinsip ini mereka mengharamkan mengambil dan menerapkan sistim demokrasi. Adapun kelompok Islamis radikal atau ekstrim terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang bersifat nasional dan regional, yang bergerak dalam satu negara (nasional) dan beberapa negara (regional) tertentu. Kedua, kelompok yang bersifat transnasional atau supranasional, yang tidak terikat kepada negara tertentu. Kelompok ini dikenal pula dengan nama neofundamentalis, neoIslamis, dan jihadis. Kelompok Islamis radikal nasional dan regional adalah mereka yang berusaha mendirikan negara Islam dengan menggunakan kekerasan, termasuk menghilangkan nyawa manusiwa, kalau perlu. Bagi kelompok ini, syarat pertama untuk mencapai tujuan adalah menjatuhkan secara paksa penguasa suatu negara (nasional) atau beberapa negara (regional), mengambilalih kekuasaan dan kemudian mendirikan negara Islam. Kelompok
Islamis
radikal
juga
menggunakan
konsep
takfîr
(Ramadan, 1993:152), yaitu mengafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka, dan menghalalkan darah dan harta benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawârij al-judud (neo-Khawârij). Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa semua orang di luar kelompok mereka adalah orang murtad dan kafir. Pendapat ini dianut, misalnya, oleh kelompok Jamâ’at al-Takfîr wa ‘l-Hijrah di Mesir, yang dipimpin oleh Syukri Mustafa. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hanya penguasa saja yang murtad dan kafir, sedangkan rakyat atau masyarakat yang beragama Islam tidak. Oleh karena itu, menurut hukum Islam, orang atau penguasa yang sudah murtad harus dibunuh. Paham kedua ini dianut oleh kelompok Organisasi Jihad, yang dipimpin oleh ‘Abd alSalam Faraj. Ajaran Faraj dilaksanakan oleh salah seorang anggota kelompoknya dengan membunuh president Anwar Sadat pada tahun 1981. Pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan intelektual, yang dilakukan
56
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
oleh kelompok Islamis radikal, telah beberapa kali terjadi di Mesir dan Aljazair (lihat footnote no. 6). Adapun Islamis radikal transnasional atau supranational adalah kelompok Islamis yang lebih memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang selalu menekan dan hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Khususnya, kelompok ini memusatkan usahanya dalam berperang melawan Barat, terutama Amerika Serikat, yang dipandang hendak menghancurkan Islam atau negara yang berpenduduk Muslim, meskipun mereka juga bertujuan mendirikan dawlah Islâmîyyah. Seperti halnya dengan Islamis radikal nasional/regional, kelompok ini juga tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan, kalau perlu, membunuh orang dalam usaha mencapai tujuannya. Anggota kelompok Islamis radikal transnasional tersebar di seluruh dunia, dan pada umumnya menggunakan dua bahasa (Inggris dan Arab) dalam berkomunikasi. Mereka berasal dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Mereka direkrut dari berbagai kelompok Islamis, seperti Ikhwân al-Muslimîn, Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Islam, Jama’at-i Islami, dan lain-lain. Menurut Olivier Roy (1999:115-116), kelompok ini berasal dari para Islamis yang direkrut dari negara-negara Islam, khususnya Timur Tengah. Mereka dikirim ke Peshawar, dan beberapa tempat lainnya di Pakistan untuk dilatih berperang di training camps di sana, yang dikenal sebagai “Universitas Jihad”. Setelah menempuh latihan beberapa bulan, mereka dikirim ke Afghanistan untuk membantu Mujahidin Afghanistan melawan tentara Soviet. Usaha ini adalah bagian dari strategi yang lebih luas dari Amerika, Arab Saudi dan Pakistan untuk mengalihkan tindakan dan enerji perlawanan kelompok Islamis radikal, yang banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi di pihak Barat di Timur Tengah. Tetapi menurut Martin Kramer (2002:132-133), kalau melihat kebelakang yang pada saat itu belum jelas, pengiriman para Islamis ke Afghanistan sebenarnya adalah cara negara-negara
Arab
untuk
memecahkan
masalah
terorisme
yang
mengancam negara-negara mereka. Dengan “mengusir” mereka ke tempat-
57
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
tempat seperti Afghanistan, para Islamis menjadi masalah negara lain, terutama Amerika Serikat. Sedangkan menurut Olivier Roy (2004:291), pengiriman para relawan ke Afghanistan bertujuan agar potensi anti-Barat dari kelompok fundamentalis Islam dialihkan kepada pihak komunis (Soviet). Dengan bantuan Arab Saudi, Amerika dan Pakistan, menurut Ahmed Rashid (2001:48), sekitar 35,000 Islamis dari 43 negara Islam ikut berperang bersama-sama
Mujahidin
Afghanistan
melawan
pasukan
Soviet
di
Afghanistan. Dan sekitar 100 ribu Islamis radikal dari seluruh dunia mempunyai hubungan langsung dengan Pakistan dan Afghanistan. Osama bin Laden adalah salah seorang dari mereka, yang dengan kerelaannya menyumbangkan uangnya yang berlimpah, merupakan aktor yang penting dalam gerakan tersebut. Setelah tentara Soviet berhasil diusir dari Afghanistan pada Februari 1989, tidak semua “pejuang Asing” ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan the Afghans (“orang-orang Afghanistan”), kembali ke negara asalnya. Ada yang bergabung dengan pasukan Muslim Bosnia dalam perang Balkan dan pasukan Muslim yang melawan tentara Rusia di Chechnya. Ada pula yang ikut berperang di Kashmir dan Philipina Selatan, dan tidak sedikit memilih bergabung dengan Osama bin Laden, aktor penting dalam perekrutan sukarelawan dari negara-negara Islam, khususnya dari Arab Saudi. Bersamaan dengan Perang Teluk 1990-1991, kelompok-kelompok ini berubah menjadi anti-Barat, khususnya Amerika, dan anti-Arab Saudi. Kekalahan tentara Soviet di Afghanistan yang disusul dengan runtuhnya USSR membuat hilangnya motivasi anti-komunis di kalangan the Afghans, tetapi tidak panggilan untuk berjihad. Perang Teluk 1990-1991 menciptakan kesempatan baru untuk berjihad melawan musuh baru, yaitu Barat, khususnya Amerika, dan Arab Saudi yang mengizinkan tentara Amerika membuka pangkalan militer di sana. Hanya saja target utama Osama bin Laden dan kelompoknya adalah Amerika, bukannya Arab Saudi.
58
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Kelompok-kelompok ini direorganisasi pada tahun 1997 di bawah pimpinan Osama bin Laden, dengan dibantu oleh Ayman al-Zawahiri dan Hamza. Pada awal 1998 mereka mengumumkan berdirinya “Front Dunia Islam bagi Perjuangan Melawan Yahudi dan Kristen”. Mereka ini anti-Israel dan terutama anti-Amerika, yang mereka pandang sebagai pendukung utama terhadap tindakan biadab Israel yang sangat menyengsarakan rakyat Palestina, membunuh rakyat Iraq yang tidak berdosa, dan menduduki sebagian Arab Saudi, negara di mana tempat-tempat yang dianggap sakral oleh umat Islam berada. Adapun the Afghans yang pulang ke negaranya, dengan semangat jihad yang mereka miliki, mendirikan kelompok-kelompok Islamis. Di Aljazair, pendiri FIS dan GIA banyak berasal dari mereka, misalnya Said Mekhloufi, Kamar Eddine Kherbane dan Abdullah Anas di FIS, sedangkan Tayyeb el Afghani, Jaffar el Afghani, dan Sherif Gusmi di GIA. The Afghans ini juga menjadi anggota inti dari sayap militer kelompok-kelompok Islamis radikal di Jordania, Yaman, Mesir, Gaza, Arab Saudi, dan di tempat-tempat lain (Roy, 2004:298-300 dan Rubin, 1997:199). Di Indonesia, sebagian pendiri Laskar Jihad, bahkan ketuanya, adalah veteran perang Afghanistan. Hanya saja kelompok-kelompok ini merupakan, seperti yang dikatakan oleh Kirsten Schulze (2002:12), “a domestic rather than an international player”. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk ke dalam jaringan Islamis radikal supranasional. Beberapa orang veteran perang Afghanistan di negeri ini, dengan keahlian mereka dalam membuat bom, berusaha melakukan pemboman di beberapa tempat, sebagaimana pengakuan seorang anggota kelompok ini yang ditangkap di daerah Jawa Barat pada 2000 yang lalu. Alumni perang Afghanistan ini juga yang melakukan pemboman di Bali pada tanggal 12 Nopember 2002. Penggunaan
kekerasan
dan
pembunuhan-pembunuhan
yang
dilakukan oleh kelompok Fundamentalis Islam radikal inilah, dan bukannya karena mereka dicap Islamis atau fundamentalis Islam, yang menyebabkan semua orang Islam yang tidak beraliran fundamentalis tidak simpati kepada
59
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
kelompok ini. Metode kekerasan yang mereka pakai (termasuk sebagian Islamis moderat) juga bisa dilihat dalam kata-kata yang mereka gunakan ketika melabel orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka melabel lawan-lawan mereka sebagai agen Zionist, agen CIA atau Barat, kafir, atau sebutan-sebutan lain yang kadang-kadang tidak pantas diucapkan oleh seorang yang beragama, apalagi yang menganggap diri mereka lebih Islami. Label-label semacam inilah yang dinyatakan oleh Dr. Yusuf alQardhawy (1991:33) sebagai terorisme intelektual, yang tidak kalah mengerikan dari terorisme fisik. Buku ini, menurut keterangan Charles Kurzman (1998:196), ditulis oleh Dr. al-Qardhawy sebagai kritik terhadap paham-paham yang dianut oleh kelompok Jamâ’at al-Takfîr wa ‘l-Hijrah, yang membunuh Syekh Muhammad Husayn al-Dhahabi, mantan Menteri Waqf Mesir karena mengeritik paham yang dianut oleh kelompok ini.
Masa Depan Islamisme Sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini, fundamentalisme Islam atau Islamisme oleh sebagian pakar dinyatakan telah gagal. Salah seorang pakar yang mempunyai pendapat seperti ini adalah Olivier Roy, dari Centre national de la recherché scientifique (CNRS), di Paris. Roy (1990:7578) mengatakan bahwa Islamisme atau fundamentalisme Islam yang hendak mengambilalih kekuasaan dengan jalan revolusi telah gagal mencapai tujuan ini. Pada tahun 1980an Islamisme atau fundamentalisme Islam telah berubah
menjadi
neofundamentalisme.
Kalau
Islamisme
awal
ingin
mengislamkan kembali masyarakat dengan memulainya dari atas, yaitu dengan jalan merebut kekuasaan, maka Islamisme sekarang atau yang Roy sebut neofundamentalisme hendak mengislamkan kembali masyarakat dengan memulainya dari bawah.
Mereka mengajak umat Islam untuk
melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan mengaplikasikan Shari’ah dalam kehidupan masyarakat. Penegakan Shari’ah di masyarakat adalah tema
60
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
utama dari tuntutan neofundamentalis. Dengan demikian, sasaran mereka sebagai kelompok bukan lagi negara, tetapi masyarakat. Bahwa Islamisme atau fundamentalisme Islam telah mundur atau gagal juga dikemukakan oleh Gilles Kepel, seorang sarjana lain dari Perancis dan Guru besar Studi Timur Tengah di Institute for Political Studies di Paris. Kepel (2002: 4-5) mengatakan bahwa menjelang akhir abad ke 20, gerakan Islamis telah gagal mempertahankan kekuasaan politik di dunia Islam. Kemunduran gerakan ini bisa dilihat dengan munculnya bentuk-bentuk terorisme yang dilakukan oleh kelompok Islamis, yang terdasyhat dari semuanya adalah serangan 11 September yang menghancurkan menara kembar WTC di New York. Serangan ini, kata Kepel, adalah satu usaha untuk membalikkan proses kemunduran tersebut. Tetapi serangan ini sejatinya adalah suatu simbol keputusasaan dari isolasi, fragmentasi dan kemunduran gerakan Islamis (2002:375). Eksperimen-eksperimen politik Islam seperti yang diperlihatkan di Aljazair, Sudan, Iran dan Afghanistan telah kadaluwarsa. “[T]hese experiments are perimes… past their “sell-by” date (Kepel, 2002:373).” Ray Takeyh (2001:102) mempunyai penilaian yang sama dengan Kepel ketika ia mengatakan bahwa “The moment of political Islam has now passed.” Pernyataan ini lebih tegas dituangkan pada judul tulisannya, Islamism:
R.I.P.
[Rest
In
Peace],
yaitu
bahwa
Islamisme
atau
fundamentalisme Islam sudah mati. Sebagaimana halnya dengan Kepel, Takeyh juga mendasarkan pendapatnya pada keadaan kelompok-kelompok Islamis di beberapa negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, seperti Mesir, Aljazair dan pemerintahan Islam di Iran, tiga negara yang dianggap barometer sukses tidaknya gerakan-gerakan serupa yang ada di negara-negara lain. Dan menurut penilaiannya (2001:98-99), Islamisme telah gagal di semua negara ini disebabkan Islamisme tidak lebih dari suatu ideologi yang kosong. Pernyataan ketiga sarjana yang dikutip di atas, bahwa Islamisme atau fundamentalisme Islam telah gagal dan bahkan sudah mati, adalah
61
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
premature. Kelompok-kelompok Islamis di negara-negara yang mereka sebutkan memang menjadi lemah, tetapi di beberapa tempat atau negara kelompok Islamis masih aktif dan berkembang, misalnya, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon,†††† Hizb al-Tahrîr (HT) di Asia Tengah (Uzbekistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Tajikistan), PKS di Indonesia, dan lain-lain. Ketiga kelompok Islamis yang disebut pertama bisa berkembang karena mereka bukan kelompok oposisi. Mereka adalah alat dari rejim yang berkuasa dalam perjuangan bersama melawan Israel. Hizb al-Tahrîr di Asia Tengah mendapat simpati dan pengikut yang cukup berarti karena kelompok ini bisa memperlihatkan dirinya sebagai satu-satunya kelompok oposisi terhadap elite yang sedang berkuasa yang dapat berhasil. Faktor penting yang mendorong berkembangnya HT di Asia Tengah dengan cepat adalah tidak adanya kekuatan oposisi dari kalangan sekuler, disamping keahlian berorganisasi yang dimiliki oleh mereka dan sumbangan uang dari negara-negara Timur Tengah (Cornell and Spector, 2002:200201).‡‡‡‡ Di samping itu, fundamentalisme Islam atau Islamisme, baik yang moderat maupun yang radikal, sebagai suatu respon terhadap modernisme dan
sekularisme
yang
mengakibatkan
agama
termajinalkan
dalam
kehidupan, masih ada dan akan tetap ada untuk jangka waktu yang panjang. Kegagalan beberapa kelompok fundamentalis Islam mempertahankan atau merebut
kekuasaan
tidak
berarti
gagalnya
(atau
berakhirnya)
era
fundamentalisme. Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri ialah bahwa pikiran-pikiran
dan
budaya
fundamentalisme
Islam
telah
banyak
mempengaruhi ruang privat dan publik. Paling tidak selama dua dekade terakhir telah terjadi Islamisasi kehidupan sosial, budaya dan politik di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Salah satu contoh yang paling menonjol di Indonesia adalah jilbab dan busana ††††
Di dalam pemilihan umum putaran kedua di Lebanon Selatan yang diadakan baru-baru ini, Hizbullah bersama dengan Amal menang secara mutlak.
62
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
muslimah yang sudah lama menjadi trend di kalangan wanita dari semua lapisan masyarakat di negeri ini, baik di kota maupun di desa. Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, beberapa aspek Shari’at Islam telah diberlakukan oleh pemerintah. Terlepas dari motif pemerintah dari negara yang bersangkutan, Islamisasi yang dilakukan memperlihatkan pengaruh fundamentalis Islam yang cukup besar sehingga pemerintah harus mengakomadasi sebagian tuntutan mereka. Adapun perubahan tujuan dan aktivitas sebagian Islamis, yang semula berusaha merebut kekuasaan dengan jalan revolusi menjadi Islamisasi masyarakat secara damai, adalah merupakan taktik dan strategi belaka. Meskipun aktivitas kelompok Islamis adalah mengIslamkan individuindividu atau masyarakat, tetapi sasaran sebenarnya adalah negara. Sebab masyarakat yang sudah diIslamkan dan menjadi born-again Muslims, dan sudah mengikuti paham-paham yang dianut oleh kelompok Islamis, maka otomatis mereka akan memilih orang-orang yang mempunyai paham-paham keagamaan, sosial, politik, dan lain-lain yang sama dengan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan. Kalau ini tercapai, maka negara Islam dengan sendirinya terbentuk. Perubahan taktik dan strategis ini dapat pula dilihat di dalam perubahan retorika kelompok-kelompok Islamis belakangan ini. PAS, misalnya, di dalam usahanya menjadi partai yang berkuasa di Malaysia mendorong terbentuknya suatu Front Alternatif yang multi-etnis yang terdiri dari Partai Keadilan yang dipimpin oleh Dr. Wan Azizah, Partai Aksi Demokrasi (Democratic Action party) yang berbasis etnis China dan Partai Rakyat (People’s Party) yang cenderung kekiri. PAS juga menargetkan untuk menggait orang-orang non-Muslim dalam rangka mencapai cita-cita menjadi penguasa di Malaysia. Dalam hubungan inilah maka para pemimpin PAS, khususnya mendiang presiden partai ini, Fadzil Noor, tidak menekankan komitmen partai untuk mendirikan negara Islam dan pemberlakuan Shari’a
‡‡‡‡
Cf. International Crisis Group, Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizb ut-Tahrir (Osh/Brussels: ICG Asia Report No. 58, 30 Juni 2003).
63
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
sebagai hukum negara. Sebaliknya, untuk pertama kalinya, mereka membicarakan Islam melalui bahasa demokrasi, hak-hak asasi manusia, menghormati peraturan, kebebasan beragama, berbicara dan berekspresi, hak untuk hidup bebas dari ketakutan dan ancaman, melindungi hak-hak semua masyarakat, dan lain-lain. Perubahan image ini, menurut Anwar (2003:144), tidak lain adalah retorika belaka untuk kepentingan politik. Kasus yang serupa dijumpai pula di dalam perubahan wacana yang dilakukan oleh PKS pada Pemilihan Umum 2004. Kegagalan partai ini meraih suara yang signifikan di dalam Pemilu 1999 dan situasi umat Islam pasca 9/11 membuat para pemimpin PKS nampaknya menyadari bahwa memasarkan gagasan-gagasan mendirikan negara Islam dan menformalkan shari’ah di negeri ini merupakan hal yang sangat sukar. Oleh karena itu selama masa kampanye menjelang Pemilu 2004, mereka menghindari isuisu yang kontroversial ini dan sebaliknya mengusung isu-isu yang bersifat universal, seperti menegakkan pemerintahan yang bersih, menolong orangorang yang miskin, dan lain-lain. Perubahan taktik dan metode yang dilakukan oleh kelompok Islamis yang semula hendak mengIslamkan masyarakat dari atas ke bawah menjadi dari bawah ke atas, biasanya terjadi kalau situasi sosial politik di negara mereka melakukan aktivitas dianggap sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup kelompok mereka. Faktor lain yang ikut mempengaruhi perubahan taktik dan strategi perjuangan (termasuk perkembangan dan kemunduran) kelompok fundamentalis Islam adalah sifat dari rejim yang berkuasa, apakah otoritarian atau demokratik, dan heterogenitas atau homogenitas etnis dari masyarakat di mana mereka muncul. Sifat rejim menentukan peraturan beroperasi dalam persaingan politik, yaitu apakah perjuangan dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, apakah metode yang dipakai untuk mencapai tujuan bersifat damai atau dengan kekerasan, dan apakah pendekatannya bersifat gradualis atau integralis (Almond, Sivan, and Appleby, 1995d:483-84).
64
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Dengan kata lain, pasang surutnya fundamentalis Islam tergantung kepada kondisi negara-negara dan pemerintahan tempat mereka beroperasi. Kegagalan pemerintah dalam memperbaiki nasib rakyat, menegakkan hukum,
termasuk
memberantas
kejahatan
dan
kemaksiatan,
dan
mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam proses politik, membuat pesan-pesan dan metode pemecahan problem yang ditawarkan oleh kelompok Islamis menjadi alternatif pilihan yang menarik bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini lebih dipermudah lagi kalau masyarakat dari negara bersangkutan adalah orang-orang yang relijius, seperti halnya di Indonesia. Ini bisa dilihat, antara lain, dari jajak pendapat Tempo yang dilakukan di DKI pada 1-5 Desember 2001 (Lihat Tempo, Januari 2002). Dalam jajak pendapat tersebut, mayoritas responden (74.90%) mendukung gagasan negara Islam dari kelompok fundamentalis, walaupun dalam jumlah yang hampir sama (74.51%) menolak aksi-aksi memaksakan Shari’at Islam. 98.81% responden setuju terhadap perang melawan maksiat yang dilakukan oleh fundamentalis, 62.06% menyatakan fundamentalis dibutuhkan dalam masyarakat immoral, dan 67.52% mengatakan bahwa fundamentalis dapat mencegah kemaksiatan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Islamisme atau fundamentalisme Islam yang beraliran moderat, seperti PKS, dalam kedudukannya sebagai gerakan moral, yang merupakan aspek positif dari kelompok ini di samping semangat keagamaan mereka yang tinggi, banyak menarik minat dari kalangan umat Islam di Indonesia. Hal ini terbukti dengan meningkatnya secara sangat signifikan perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di dalam pemilu legislative pada tahun 2004. Jika pada pemilu 1999 PKS, yang pada waktu itu bernama PK, hanya memperoleh sekitar 1,4 juta suara, maka pada pemilu 2004 PKS mendapat 8,33 juta suara, suatu kenaikan yang pantastik. Dengan meninggalkan isu-isu kontroversial pada masa kampanye, seperti keinginan untuk menegakkan Shari’at Islam dan mendirikan negara Islam, dan sebaliknya mengusung isu-isu universal, seperti menciptakan pemerintahan
65
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
yang bersih dan peduli kepada masyarakat kecil, PKS berhasil memperoleh dukungan dari berbagai kalangan di luar anggota PKS sendiri, khususnya dari kalangan Muslim modernis yang pada pemilu 1999 mereka memilih PAN, PPP, atau PBB. Oleh karena itu, pernyataan Ketua Umum DPP PKS Tifatul Sembiring (Republika, Senin 13 Juni 2005, hlm. 12) di hadapan sekitar 400 kader inti PKS di kota Bogor, bahwa PKS telah menargetkan 20 persen suara atau setara dengan 22 juta pemilih pada Pemilu 2009 yang akan datang tidaklah berlebihan.§§§§ Komentar Penutup Fundamentalisme Islam yang lahir karena motivasi agama dan sebagai reaksi terhadap beberapa aspek modernisme atau modernitas, yang berakibat termarjinalkannya agama dalam kehidupan publik, menarik banyak minat kalangan sarjana dan pengambil keputusan di berbagai negara, khususnya di Barat, karena ia dianggap sebagai musuh baru setelah selesainya era Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya komunisme. Persepsi semacam ini tidak hanya dimiliki oleh orang-orang atau pemerintah di Barat, tetapi juga oleh orang-orang dan pemerintah yang penduduknya banyak atau mayoritas memeluk agama Islam, seperti Mesir, Arab Saudi, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Sikap seperti ini khususnya ditujukan kepada kelompok-kelompok fundamentalis Islam radikal yang tidak jarang menggunakan kekerasan dan bahkan membunuh di dalam usaha mencapai tujuan mereka. Dalam konteks inilah pesan atau seruan dari Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawy, harus dipahami ketika ia menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk mengendalikan ideologi ekstrimis (Kompas, 28 Januari 2005).
§§§§
Tifatul Sembiring mengemukakan empat alasan untuk mendukung pernyataannya. Pertama, perolehan suara PKS selalu meningkat pada setiap Pemilu. Pada Pemilu 1999, PKS mendapatkan 1,4 juta suara, sedangkan pada Pemilu 2004 meningkat empat kali lipat menjadi 8,3 juta suara. Oleh karena itu, kalau hanya 22 juta, katanya, itu adalah target tawadhu. Di samping itu, pada tahun 1999 jumlah kader PKS hanya 33 ribu orang, sedangkan tahun 2005 sudah mencapai 500 ribu orang. Kedua, PKS sudah telanjur dikenal sebagai partai yang bersih dan peduli. Ketiga, kader dan simpatisan PKS selalu bekerja keras dan tidak mengenal waktu. Walaupun tidak ada Pemilu mereka tetap bekerja. Keempat, PKS sudah memiliki kekuatan struktur yang merata (Republika, Senin 13 Juni 2005, hlm. 12).
66
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Dalam jangka pendek, memang kelompok ekstrimis atau radikal merupakan bahaya. Tetapi untuk jangka panjang, kelompok fundamentalis moderat sebenarnya yang lebih “berbahaya” bagi kelangsungan hidup suatu pemerintahan di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebab dengan mengikuti sistim demokrasi, kelompok fundamentalis mempunyai kesempatan untuk memenangkan pemilihan umum. Hal ini sudah pernah terbukti di Aljazair ketika FIS (Front Islamique du Salut) memenangkan secara meyakinkan pemilihan umum yang bebas yang pertama kali dilakukan sejak kemerdekaan negara tersebut, meskipun akhirnya dibatalkan oleh pihak militer. Di Indonesia, gerakan moral dari kelompok Islamis ternyata menarik banyak simpati dari masyarakat. Harus diakui bahwa andil pemerintah di dalam hal ini cukup banyak. Dengan keadaan sosial-politik dan ekonomi yang carut marut, ditambah dengan praktek korupsi yang sudah akut, maka pemerintah dan partai-partai politik “sekuler” bisa kehilangan daya tariknya. Keadaan seperti ini membuat masyarakat tertarik untuk mencari alternatif. Dan alternatif yang tersedia adalah ide-ide dan gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh kelompok Islamis. Faktor ini bersama dengan perilaku bersih, jujur dan sederhana yang mereka praktekkan dan perlihatkan di dalam kehidupan mereka, pastilah menarik banyak minat masyarakat. Hanya saja sampai saat ini, kelompok-kelompok Islamis, baik yang moderat apalagi yang radikal, masih merupakan kelompok minoritas. Kesuksesan mereka akan banyak ditentukan oleh cara dan metode mereka menjual ide-ide di dalam pasar agama/idea-idea keagamaan yang semakin ramai di negeri ini, di samping policy pemerintah terhadap mereka.
67
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
Daftar Pustaka
Ahmad, Mumtaz. 1991. Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jamaat-i-Islami and the Tablighi Jamaat of South Asia. In Fundamentalisms Observed, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 457-530. Chicago: The University of Chicago Press. Alexiev, Alex. 2005. Tablighi Jamaat: Jihad’s Stealthy Legions. The Middle East Quarterly, Vol. 12, No. 1 (January), http://www.Meforum.org/article/686 diakses pada tanggal 7 Juni 2005. Almond, Gabriel A., Emmanuel Sivan, and R. Scott Appleby. 1995a. Fundamentalism: Genus and Species. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 399-424. Chicago: The University of Chicago Press. _______. 1995b. Explaining Fundamentalisms. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 425-444. Chicago: The University of Chicago Press. _______. 1995c. Examining the Case. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 445-482. Chicago: The University of Chicago Press. ______. 1995d. Politics, Ethnicity, and Fundamentalism. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 483-504. Chicago: The University of Chicago Press. Anwar, Zainah. 2003. The Fundamentalist Challenge in Malaysia. Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol. 3, No. 1:143-150. Arjomand, Said Amir. 1989. The Emergence of Islamic Political Ideologies. In The Changing Face of Religion, edited by James A. Beckford and Thomas Luckmann, 109-123. London: SAGE.
68
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
_______. 1995. Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 179-98. 444. Chicago Armstrong, Karen. 2002. The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. New York: Alfred A. Knoff. Ayubi, Nazih. 1993. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London and New York: Routledge, Paperback edition. Berger, Peter L., Brigitte Berger, and Hansfried Kellner. 1974. The Homeless Mind: Modernization and Consciousness. New York: Vintage Books. Berger, Peter L. 1969. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Garden City, New York: Double Day & Company. _______. 1977. Facing Up to Modernity: Excursion in Society, Politics, and Religion. New York: Basic Books. _______. 1982. Secular Branches, Religious Roots. Society 20 (1): 64-66. _______. 1992. A Far Glory: The Quest for Faith in an Age of Credulity. New York: Doubleday. _______. 1997. The Desecularization of the World: A Global Overview. In The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics, edited by Peter L. Berger, 1-18. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans. Choueiri, Youssef M. 1990. Islamic Fundamentalism. Boston, Massachussetts: Twayne. Collins, Elizabeth Fuller. 2003. “Islam is the Solution”: Dakwah and Democracy in Indonesia. Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol. 3, No. 1:151-181. Cornell, Svante E. and Regine A. Spector. 2002. Central Asia: More than Islamic Extremists. The Washington Quarterly, Vol. 25, No. 1 (Winter): 193-206. Dekmejian, R. Hrair. 1980. The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis, Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives. The Middle East Journal, Vol. 34: 1-13. Eliraz, Giora. 2004. Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension. Brighton, Great Britain and Portland, OR, USA: Sussex Academic Press. Esposito, John L. 1992. The Islamic Threat: Myth or Reality. New York: Oxford University Press.
69
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
_______. 1999. ‘Clash of Civilizations’? Contemporary Images of Islam in the West. In Islam, Modernism and the West: Cultural and Political Relations at the End of Millennium, edited by Gema Martin Munoz, 94-108. London and New York: I. B. Tauris. _______. 2003. Introduction: Modernizing Islam and Re-Islamization in Global Perspective. In Modernizing Islam: Religion in Public Sphere in Europe and the Middle East, edited by John L. Esposito and Francois Burgat, 1-14. London: C. Hurst & Company. Fuller, Graham E. 2002. The Future of Political Islam. Foreign Affairs, Vol. 81, No. 2 (March-April): 48-60. Gellner, Ernest. 1992. Postmodernism, Reason and Religion. London and New York: Routledge. _______. 1995. Fundamentalism as a Comprehensive System: Soviet Marxism and Islamic Fundamentalism Compared. In Fundamentalisms Comprehended, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 277-87. Chicago: The University of Chicago Press. Hofstadter, Richard. 1963. Anti-Intellectualism in American Life. New York: Alfred A. Knoff. International Crisis Group. 2003. Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizb utTahrir. Osh/Brussels: ICG Asia Report No. 58, 30 June. _______. 2004. Islamism in North Africa I: The Legacies of History. Middle East and North Africa Briefing. Cairo/Brussles: ICG Middle East and North Africa Briefing, 20 April. _______. 2004. Saudi Arabia Backgrounder: Who Are the Islamists? Amman/Riyadh/Brussels: ICG Middle East Report No. 31, 21 September. _______. 2005. Understanding Islamism. Np: ICG Middle East/North Africa Report No. 37, 2 March. Jansen, Godfrey H. 1979. Militant Islam. New York: Harper & Row. Jansen, Johannes J. G. 1997. The Dual Nature of Islamic Fundamentalism. Ithaca, NY: Cornell University Press. Juergensmeyer, Mark. 1993. The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Kepel, Gilles. 1985. Muslim Extremism in Egypt: The Prophet and the Pharaoh. Translated by Jon Rothschild. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. _______. 1995. Islamists versus the State in Egypt and Algeria. Daedalus (Summer): 109-127.
70
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
_______. 2002. Jihad: The Trail of Political Islam. Translated by Anthony F. Roberts. Cambridge, Massachussetts: The Belknap Press of Harvard University Press. Kramer, Martin, et al. 1999. Is Islamism a Threat? A Debate. The Middle East Quarterly, Vol. 6, No. 4 (December), http://www.meforum.org/article/447 diakses pada tanggal 6 Agustus 2004. Kramer, Martin. 2002. Islamist Bubbles. The National Interest, No. 68 (Summer): 132138. Kurzman, Charles, ed. 1998. Liberal Islam: A Sourcebook. New York and Oxford: Oxford University Press. Lapidus, Ira M. 1996. Beyond the Unipolar Moment: A Sober Survey of the Islamic World. Orbis, Vol. 40, No. 3 (Summer): 391-403. Lawrence, Bruce B. 1987. Muslim Fundamentalist Movements: Reflections toward a New Approach. In The Islamic Impulse, edited by Barbara F. Stowasser, 1536. Washington, DC: Croom Helm. _______. 1990. Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against Modern Age. London: I.B. Tauris. _______. 1995. Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against Modern Age. Columbia, SC: University of South Carolina. _______. 1998. Shattering the Myth: Islam Beyond Violence. Princeton: Princeton University Press. Lechner, Frank J. 1993. Global Fundamentalism. In A Future for Religion?: New Paradigms for Social Analysis, edited by J. W. H. Swatos, 19-36. Newbury Park: Sage Publications. Lerch, Wolfgang G. 2002. Islamism: Back on the Map. World Press Review (January): 7-8. Lewis, Bernard. 2003. The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror. New York: The Modern Library. Marty, Martin E. and R. Scott Appleby. 1991. Conclusion: An Interim Report on a Hypothetical Family. In Fundamentalisms Observed, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 814-842. Chicago: The University of Chicago Press. _______. 1991. Foreword. In Islamic Fundamentalisms and the Gulf Crisis, edited by James Piscatory, ix-xvii. Chicago: The Fundamentalism Project. _______. 1992. The Glory and the Power: The Fundamentalist Challenge to the Modern World. Boston, Massachussetts: Beacon Press.
71
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
_______. 1993. Introduction. In Fundamentalims and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 1-9. Chicago: The University of Chicago Press. Millward, William. 1993. The Rising Tide of Islamic Fundamentalism, Part I & II. Commentary, No. 30, http//www.csis-scrs.gc.ca/comment/com30_e.html diakses pada tanggal 19 Desember 2001. Moussalli, Ahmad S. 1992. Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourses of Sayyid Qutb. Beirut, Lebanon: American University of Beirut. _______. 1999. Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy, and the Islamic State. Gainesville, FL: University Press of Florida. Muzaffar, Chandra. 1992. Fundamentalist Fallacy. Far Eastern Economic Review (23 April). Nash, Manning. 1991. Islamic Resurgence in Indonesia and Malaysia. In Fundamentalisms Observed, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 691-739. Chicago: The University of Chicago Press. Nasr, Seyyed Hossein. 1984. Present Tendencies, Future Trends. In Islam: The Religious and Political Life of a World Community, edited by Marjorie Kelly, 275-292. New York: Praeger. Van Nieuwenhuijze, C.A.O. 1995. Islamism—A Defiant Utopianism. Die Welt des Islams, Vol. 35, No. 1 (April): 1-36. Percy, Martyn. 1995. Fundamentalism: A Problem for Phenomenology? Journal of Contemporary Religion, Vol. 10, No. 1: 83-91. Al-Qardhawy, Yusuf. 1991. Islamic Awakening: Between Rejection and Extremism. Translated by A. S. al-Shaikh-Ali and Muhammad B. E. Wasfy. Herndon, VA: The International Institute of Islamic Thought, Second Revised Edition. _______. 1997. Masa Depan Fundamentalisme IsIam. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kauthar. Rahman, Fazlur. 1981. Roots of Islamic Neo-Fundamentalism. In Change and the Muslim World, edited by P. H. Stoddard, D. C. Cuthell and M. W. Sullivan, 23-35. Syracuse: Syracuse University Press. _______. 1984. Islam and Modernity. Chicago: The University of Chicago Press. Ramadan, Abdel A. 1993. Fundamentalist Influence in Egypt: The Strategies of the Muslim Brotherhood and the Takfir Groups. In Fundamentalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 152-183. Chicago: The University of Chicago Press.
72
Abdul Muis Naharong “Fundamentalisme Islam”
Rashid, Ahmed. 2001. The Fire of Faith in Central Asia. World Policy Journal, Vol. 18, No. 1 (Spring): 45-55. Riesebrodt, Martin. 1993. Pious Passion: The Emergence of Modern Fundamentalism in the United States and Iran. Translated by Don Reneau. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam. Translated by Carol Volk. London: I. B. Tauris. _______. 1999. Changing Patterns Among Radical Islamic Movements. The Brown Journal of World Affairs, Vol. 6, No. 1 (Winter/Spring): 109-120. _______. 2004. Globalised Islam: The Search for a New Ummah. London: C. Hurst & Co. Rubin, Barnett R. 1997. Arab Islamists in Afghanistan. In Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, edited by John L. Esposito, 179-206. Boulder, CO: Lynne Rienner. Sachedina, Abdulaziz A. 1991. Activist Shi’ism in Iran, Iraq, and Lebanon. In Fundamentalisms Observed, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 403-456. Chicago: The University of Chicago Press. Sagiv, David. 1995. Fundamentalism and Intellectuals in Egypt, 1973-1993. London: Frank Cass. Saiedi, Nader. 1986. What is Islamic Fundamentalism? In Prophetic Religions and Politics: Religion and the Political Order, edited by Jeffrey K. Hadden and Anson Shupe, 173-195. New York: Paragon House. Schulze, Kirsten E. 2002. Militants and Moderates. World Today, Vol. 58, No. 1 (January): 10-12. Shepard, William. 1987. ‘Fundamentalism’ Christian and Islamic. Religion, Vol. 17 (October): 355-378. Shupe, Anson and Jeffrey K. Hadden. 1989. Is There Such a Thing as Global Fundamentalism? In Secularization and Fundamentalism Reconsidered: Religion and the Political Order, Vol. III, edited by Jeffrey K. Hadden and Ansoh Shupe, 109-122. New York: Paragon House. Sivan, Emmanual. 1985. Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. New Haven and London: Yale University Press. Takeyh, Ray. 2001. Islamism: R. I. P. The National Interest, No. 63 (Spring): 97-102. Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. _______. 2001. Islam Between Culture and Politics. New York: Palgrave.
73
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 30-73
Williams, Rhys H. 1994. Movements Dynamics and Social Change: Transforming Fundamentalist Ideology and Organizations. In Accounting for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements, edited by Martin E. Marty and R. Scott Appleby, 785-833. Chicago: The University of Chicago Press. Wuthnow, Robert. 1992. Fundamentalism in the World. The Christian Century (April 29): 456-58. Zarzar, Rudolf T. 2001. The Rise of Neo-Fundamentalism in Egypt. In Religious Fundamentalism in Developing Countries, edited by Santosh C. Saha and Thomas K. Carr, 121-144. Westport, CT: Greenwood Press. Zeidan, David. 2001. The Islamic Fundamentalist View of Life as a Perennial Battle. MERIA Journal, Vol. 5, No. 4 (December), http://meria.idc.ac.il/journal/2001/ issue4/ju5n4a2.htm diakses pada tanggal 6 Juli 2004.
74