Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
FUNDAMENTALISME PENDIDIKAN Oleh : Alfian Jurusan Pendidikan Biologi IAIN STS Jambi Email :
[email protected] Abstrak Fundamentalisme dalam pendidikan adalah sebuah idiologi pendidikan yang berakar dari idiologi politik yang eksis pada setiap bangsa. Idiologi ini dalam prakteknya cenderung pada pendidikan doctrinal yang menekankan militansi eksklusif. Salah satu bentuk fundamentalisme adalah sikap konservatisme yang cendrung bersikap reaksioner, satu sikap mempertahankan tradisi dan anti-intelektual (anti-kritik). Idiologi ini merambah sampai pada system persekolahan (guru, siswa, dan kurikulum). Kata Kunci : Fundamentalisme, idiologi pendidikan. A. Pendahuluan Istilah fundamentalisme sering diidentikkan dengan makna kekerasan, kekakuan, sikap rigid, atau segala sesuatu yang sifatnya sangat interal. Dalam kamus Bahasa Indonesia, fundamentalisme diartikan sebagai “faham yang cendrung untuk memperjuangkansesuatu secara radikal”. (Departemen Pendidikan Nasional, 2002:322). Pendidikan di sisi lain berarti pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari dua kata inilah muncul istilah “fundamentalisme pendidikan”, sebuah istilah (frase) yang tentu berbeda dari “pendidikan fundamentalisme”. Yang pertama lebih mengacu pada sifat atau pendidikan, sementara yang kedua merupakan satu tindakan, usaha untuk menciptakan sikap yang fundamentalis. Paparan berikut akan menjelaskan posisi dan cirri yang ditampilkan dalam fundamentalisme pendidikan secara umum. Tulisan inikarenanya oleh lebih tepat dianggap sebagai sebuah pengantar terhadap studi mengenai idiologi fundamentalisme dalam pendidikan. B. Prinsip-prinsip Dasar Fundamentalisme Pendidikan. Pengertian diatas bisa jadi memang masih sangat sederhana dan simpatitis. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa dundamentalisme berangkat pada posisi etis yang menganggap bahwa kehidupan yang baik terwujud dalam 15
Alfian, Fundamentalisme …
ketaatan terhadap tolak ukur keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif, dan atau yang dianugerahkan pada umumnya menerima jalur penalaran yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut : 1. Ada jawaban-jawaban otoritatif terhadap seluruh masalah problem kehidupan yang memiliki arti penting. 2. Jawaban-jawaban itu pada dasarnya berdasar pada kewarganegaraan dari luar (eksternal); apakah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima para nabi dan orang-orang suci, yang didukung oleh iman, atau dalam akal sehat. 3. Jawaban-jawaban itu buksan saja otoritatif, melaikan juga tidak sederhana dan langsung pada titik permasalahan. Mereka tidak mengandung maka ganda, tidak mendua, bisa langsung dimengerti oleh “orang biasa”, tidak membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur-tangan pakar. Jawabanjawaban itu apa adanya, dan merupakan kebenaran harfiah, literal. Spekulasi filosofis (dan sebagian besar dari intelektualitas humanistic dengan apa spekulasi filosofis biasa dihubungkan) dianggap bukan saja perlu, tetapi juga mengandung bahaya besar. Pendirian karakteristik intelektual, bahwa kebenaran bersifat problematic, merupakan sikap meragukan (skeptisisme) yang menghasilkan tersebarluasnya kebingungan, kekacauanm, dan kemerosotan moral. Para intelektual dianggap cendrung untuk menyalah tafsirkan kesederhanaan kehidupan, menumbangkan kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi (sudah terbukti dalam kebenaran itu sendiri, self-enedent truth), dengan cara penalaran yang tidak beralasan, yang semata-mata hanya mengacaukan kepastian-kepastian ituitif dan /atau yang diwahyukan, padahal kepastian-kepastian itulah satu-satunya landasan efektif bagi keberadaan social terorganisir. Di tingkat dasar, bagaimanapun, persoalan-persoalan yang benar-benar punya arti penting sehubungan dengan hakikat serta tatanan kehidupan adalah relatif tidak rumut. Dan gagasan bahwa hakikat kehidupan bersifa jelas hanyalah sebuah kedok moral untuk melingungi orang-orang yang ingin menghadiri tanggung jawab mereka atas peanggaran-pelanggaran moral yang mereka lakukan sendiri. 4. Jawaban atas yang disediakan oleh intuisi/iman sudah cukup bagi siapapun yang berhasrat untuk hidup secara baik. 5. Untuk kepastian yang baik, betapapun orang tidak hanya atau ke agama yang sederhana dan langsung ke pokok permasalahan. Adalah juga perlu untuk memurnikan masyarakat kontemporer, melenyapkan unsure-unsur yang tidak perlu dan mengalihkan perhatian yang membuat orang tidak bisa memutuskan seharusnya. Karena itu, perlu juga untuk perbaikan cara-cara lama yang lebih baik sebagai jalan untuk melambangkan kembali jenis dunia yang lebih baik sesuai dengan tuntutan-tuntutan 16
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
keyakinan serta perilaku tradisional (dalam beberapa kasus, ketaatan harfiah terhadap cara-cara tradisional dalam berfikir serta bertindak hanya mungkin bila masa silam atau semacam pancangan tentang seperti apakah masa silam itu dapat dipulihkan di masa sekarang. Petunjukpetunjuk dari masa silam umumnya sulit diperteukan dengan praktikpraktik kontemporer). Dengan begitu fundamentalisme mempercayai system keyakinan, yang bersifat mutlak (absolutis) dan tertutup. Bagi para fundamentalis, kebenaran dapat diketahui secara langsung dengan landasan non rasional (atau bahkan kadang kala anti rasional) dan kebenaran semacam itu tidak mensyaratkan apa yang bisa disebut “pengalaman persoalan”. Para fundamentalis berlain-lainan dalam hal komitmen nilai mereka. Sebagian memilih orientasi yang relatif “menutup diri” (mungkin seperti yang jelas terlihat pada kelompok “jama’ah tabligh” yang sebagian mengorganisir dari dalam Fornt Pembela Islam), namun sebagian lebih menyukai ungkapan etika altruistik (mendahulukan kepen kepentingan orang lain/kepentingan umum) yang lebih konvensional, meskipun batas-batas dari sosial yang lebih besar cendrung untuk berbedabeda tergantung kepada orientasi fundamentalis tertentu yang dipakai sebagai pertimbangan. Pengertian elaboratif ini sangatlah dekat dengan pengertian yang telah disebutkan sebelumnya tentang ciri-ciri berfikir fundamentalis, yakni sifatnya yang sangat simplitis, serba harfiah, dan linier. Ini tentu berseberangan dengan sikap pluraistik yang mengedepankan pemikiran kontekstual, luwes, sebab sikap fundamentalis (me) tadi sangat positivisik, serba-pasti dan diukur berdasarkan halal-haram semata. Dalam kebanyakan kasus di mana system nilai fundamentalis mencakup anggapan yang relatif konvensional mengenai altruism yang diuniversalkanseperti dalam fundamentalis Kristen-cendrung termuat konfik antara “kebenaran tertutup” gagasan – gagasan epistemologis (yang berkenan dengan “diketahui”) dengan gagasan-gagasan aksiologis “keterbukaan diri” (yang menyangkut hakikat serta syarat-syarat nilai). Artinya, bila nilai dianggap bersifat universal-umpamanya dimana seriap orang dipandang punya potensi kemampuan untuk memperoleh penyelematan rohaniyah melalui pertobatan religious serta tata perilaku yang pantas hanya sebuah minoritas yang biasanya dianggap sebagai pemilik pengetahuan sejati”. Dan mayoritas cenderung untuk dipandang sebagai orang-orang yang dijamin “sesaat” atau memerlukan tuntutan otoritatif oleh minoritas yang sudah “tercerahkan” itu. Secara sederhana dapat dipahami bahwa, dalam kalangan fundamentalis mereka beranggapan bahwa hanya sekelompok orang tertentu saja yang dianggap bahwa hanya sekelompok orang tertentu saja yang memiliki kekuatan supra natural, yang merupakan penghujaman langsung dari Tuhan (mu’jizat, karomah dalam Islam). Sementara orang awam yang 17
Alfian, Fundamentalisme …
mayoritas sering dianggap tidak (dapat) memiliki pengetahuan pengetahun supra natural seperti ini, lantaran mereka adalah sekelompok yang labil dan sesat sehingga senantiasa membutuhkan bimbingan dan tuntutan dan mereka yang sudah mendapat pencerahan dari Tuhan. Kelompok minoritas yang tercerahkan ini jelas yang dimaksud adalah para pendetanya, atau mungkin orang (kelompok) tertentu dalam sekte mereka. Dalam tradisi Islam, perilaku fundamentalis semacam ini tercermin dan tata-laku ekslusif dari sebagian umat Islam yang menganggap (kelompok tertentu) mereka sebagai yang paling benar, yang lain sesat dan perlu dikembalikan kepada titik normal agama (Islam) yang tentu saja sesuai dengan apa yang mereka fahami. Hal semacam ini memegang bukan hal yang baru dalam duni Islam. Sebab sepeninggalan nabi Muhammad SAW, dan setelah munculnya persoalan tahkim, adalah kelompok khawarij sudah menganggap dirinya sebagai “yang paling benar” dan mengklaim diri sebagai wakil Tuhan yang berhak menghakimi (Harun Nasution, 1986). Boleh jadi, dengan tolak ukur semacam inilah, mengapa gerakan FPI dan beberapa kelopmpok Islam dianggap sebagai fundamentalis. Dalam kasus seperti diatas yang barang kali menjadi cirri kebanyakan fundamentalis-kebenaran otoritas (umumnya meliputi pengetahuan otoritatif tentang apa yang baik bagi seseorang dan semua orang) biasanya mengisyaratkan sebentuk komitmen yang selaras terhadap cita-cita politik otoritarian (yang dipandang sebagai cara yang dibutuhkan demi memastikan adanya kebaikan objektif dari semua orang). Cita-cita politis semacam itu disebabkan pada mereka yang sudah lebih dulu menerima bujukan idiologis fundamentalis, atau diangkat sebagai sebuah program umum bagi perbaikan moral semua oran. Lantaran fundamentalisme dilandasi oleh pengenalan akan adanya kebenaran otoritatif-kebenaran yang pertama-tama tidak bergantung kepada penalaran maupun membuktikan. Ia pada umumnya membela pendekatan-pendekatan otoritarian terhadap pendidikan, otoritarisme pendidikan seperti itu cendrung-kecendrungan untuk menyertai dan mendukung kecendrungan-kecendrungan otoriter yang lebih mendasar, yang mencirikan pendidikan moral serta politik fundamentalistis. C. Konservatifme Pendidikan Reaksioner. Konservatifme raksioner adalah istilah yang unik, tetapi mungkin dialah satu-satunya istilah yang paling bisa mencakup seluruh corak konservatisme sosial yang pada dasarnya bersifat anti intelektual, dalam arti bahwa para pendukung idiologi tersebut ingin meminimalkan argument-argumen filosofis (atau argument intelektual), serta cendrung untuk mendasarkan keyakinan mereka pada penerimaan yang relatif pada kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan itu atau kesepakan sosial yang sudah mapan (yang sering dipandang sebagai “akal sehat”). 18
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
Dalam ungkapan politisnya, seperti telah disinggung sebelumnya, seseorang konservatif reaksioner pada umumnya membela suatu gerakan “kembali pada kebaikan-kebaikan masa silam”- entah itu sekedar dihayalkan atau memang benar-benar pernah ada dalam sejarah. Gerakan memori semacam itu jelas tercermin dalam gerakan Ikhwanul Muslim di Mesir yang masih tetap eksis hingga dewasa ini. Dianggap sebagai gerakan memori atau gerakan kembali pada kebaikan-kebaikan lalu kantaran ia senantiasa meletakkan priode klasik masa Nabi sebagai cita-cita ideal yang harus diaplikasikan sekarang. Dan ini sangat pengaruh pada beberapa gerakan Islam di Indonesia (seperti PKS) yang sangat mengidolakan piagam Madinah, serta bermaksud menerapkan secara mutlak (Aay Muhammad Furkon, 2004:240). Seperti juga dalam semua orientasi konservatif, ada dua tradisi dasar di dalam keseluruhan sudut pandang yang ditampilkan oleh reaksioner politis. Yang pertama berintikan sifat skuler, yang keda religious. D. Konservartisme Reaksiner Skular. Pada dasarnya, ada dua “Corak Murni” tradisi di dalam konservatif reaksioner. 1. Pertama dapat diberi istilah konservatifme reaksioner non filosofis, non intlektual (atau malahan anti intelektual). Kelompok yang barang kali bisa dihubungkan dengan konservatisme semacam ini adalah gerakan jama’ah tabligh yang kerap memandang kemajuan sains sebagai bukan sunah (Nabi) dan bahkan kerap dicap haram. 2. Yang kedua dapat diberi istilah nama konservatifme reaksioner filosofis, umumnya dihubungkan dengan gagasan-gagasan G.W.F. Hegel serta Emile Durkheim, meskipun keduanya tidaklah menjadi wakil-wakil konservatifme reaksioner dalam arti yang bisa digunakan orang. Rasanya memang agak rumit menyatakan bahwa pendekatan filosofis ternyata juga bisa mengarah pada sikap fundamentalisme. Tetapi gagasan dan pemikiran filosifis Hegel di atas terbukti dalam sejarah telah berpengaruh pada pemikiran Karl Marx yang melahhirkan Marxisme. Dalam arti sempit Marxisme merupakan kritik atas kalangan borjuis (kelas elit) yang dianggapnya sebagai kelompok penindas kaum prolotart (kela papa). Marx pernah mencita-citakan Negara “tanpa kelas”, yakin Negara di mana tidak ada perbedaan mutlak antara si kaya dan si miskin (Lorens Bagus, 2002 : 572-575). Layaknya seperti “masyarakt kubu” yang hidup saling berbagi tanpa ada jurang pemisah antara satu dengan lainnya. Dari Hegel lah ia mendapat ilham untuk mendari jawaban atas pertanyaan : bagaimana mebebaskan manusia dari penidasan sistem politik raksiober ? (Frans Magnis-Suseno 2001 : 8). Jenis reaksioner secular yang kurang atau lebih bersifat anti intelektual sulit dicontohkan, namun barang kali contoh terbaiknya adalah (Amerika saat 19
Alfian, Fundamentalisme …
ini) orientasi kekuasaan (etnosentris), menekan asal-usul budaya (nativisk), sebuah sikap yang dimiliki oleh para “patriot super” yang mengagungagungkan bangsanya di atas segenap umat manusia dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyayakinan Amerika yang bersifat anti mental dan disederhanakan. Seorang yang meyakini hal diatas, yan gmungkin bisa disebut sebagai seorang populis “akal sehat”, memiliki sudut pandang yang pada intinya non intlektual atau bahkan anti intelektual, yang berisi bayangan untuk kembali kepada “kebijaksanaan rakyat” ituitif yang ada dalam benak “manusia biasa”. Seca fundamental populis “akal sehat” menentang segala yang kompleks, yang “aksotik” yang asing, ia mencari kesepakatan atau consensus yang jelas dan sederhana yang diperkirakan terletak pada landasan yang kurang lebih ituitif serta “terbukti dengan sendirinya” di orientasi “agama warga negara” (civil religion), sudut padang tersebut menampilkan diri sebagai bentuk “Amerikanisme” dengan bias etnosentris yang kuat menentang seluruh gagasan asing. Agama warga Negara tidak lain adalah keyakinan bersama tadi yang menganggap diri lebih segala-galanya dari orang lain. Meski tidak secara keseluruhan, sikap Amerikanisme ini jelas tercermin pada presiden Bush dan tentaranya yang dengan sesuka hari menginvasi Irak atas alas an “logis” yang justru sulit diterima “akal”. Walaupun demikian, ada beberapa alas an mendasar mengapa sulit mencari contoh yang khas dari populisme “akal sehat ini”. Pertama, seorang populis “akal sehat” adalah reaksionla politis, dan gagasan-gagasannya denganbegitu cendrung untuk menjadi sebuah reaksi menentang perubahan sosial, lebih cenderung untuk berusaha merusmuskan alternative yang tertata, yang teoritis, sistematis untuk menandingi perubahan sosial tersebut. Akibatnya, fundamentalisme secara khas mengungkapkan diri sebagai sebuah tanggapan polemis (maksudnya, menanggapi perubahan sosial dengan membuka polemik) terhadap kondisi-kondisi yang selama ini sudah diterima. Lantaran ancaman-ancaman semacam itu tidak pelak lagi terjadi dalam konteks kesejarahan tertentu, maka pernyataan-pernyataan yang berorientasi dengan isu, yang dilancarkan dengan oleh para konversatif raksioner, cenderung untuk menampung dipermukaan selama jangka waktu tertentu, cepat hilang, dan sering hanya punya arti yang kurang penting sebagai posisi mendasar. Bahkan dalam kasus-kasus di mana para konservatif reaksioner memakai pendekatan-pendekatan intelektual (umpamanya seperti apa yang dilakukan oleh reaksioner Prancis Maurice Barres, dan reaksioner Jerman Alfred Rosenbreg, di akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20) , mereka cendrung untuk hanya menikmati posisi sementara saja dalam kancah perbincangan intelekrual. Artinya, pengaruh mereka, atau gagasan reaksioner mereka tidak tahan lama, hanya bersifat temporal, generasi-generasi berikutnya sudak tidak dikenal lagi nama-nama mereka. 20
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
Kedua, konservatisme reaksioner, sebagaimana dibicarakan di atas, cendrung untuk bersifat anti-intelektual. Sebagai konsekuensinya, seorang konserfatif reaksioner dicirikan oleh penolakannya atas pendekatanpendekatan intelekrual dan yang sifatnya sekolahan (scholarly). Ia memilih maklumat-maklumat yang sebagian besar bersifat polisme. Di Amerika Serikat saat ini khususnya sulit untuk menemukan juru bicara yang intelektual dalam tradisi populisme “akal sehat”, yang bisa dijadikan contoh di sini sebagai seorang reaksioner yang secara serius mencoba untuk merumuskan penalaran sistematis teoritis atas posisi yang diambilnya dalam kencah debat intelektual. Ketiga, gagasan-gagasan konservatif reaksioner inti-intelektual cendrung terkait dengan situasi-situasi sosial tertentu dimana gagasan-gagasan itu berada, di titik waktu tertentu dalam sejarah, dan jarang diungkapkan dalam ranah yang lebih abstrak dan teoritis, yang menjadi salah satu cirri dasar orientasi ideologis lain. Dalam kebanyakan kasus, seorang reaksioner inti intelektual adalah seorang “restorasionaris sosial” yang ingin kembali ke kebaikan-kebaikan masa silam yang benar-benar ada ataupun yang hanya dihayalkan saja, yang ada dalam budayanya sendiri. Lantaran sejarah kebudayaan jelas berbeda-beda, tergantung pada tempat dan waktu alam sejarah, maka siaktual restorasionisme sosial semacam itu sangatlah selaras dengan di mana, kapan, dan oleh siapa restorasionisme sosial tersebutr dikemudian hari. Keempat, atau yang berakhir, cenderung ada berkaitan yang cukup berarti antara fundamentalisme secular dengan fundalisme religious. Lantaran agama dan spek-aspek lain dalam kebudayaan sangat erat terjalin, maka sedikit sekali reaksioner religious yang tidak bisa sekaligus kedepankan sebagai contoh reaksioner politis, begitu pula sebaiknya. E. Fundamentalisme Dalam Persekolahan Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa bagi kaum fundamentalis, masyarakt kontemporer dihadapkan pada keruntuhan moral. Karena misi pendidikan mereka adalah mengembalkan situasi yang tradisional. Sehingga sekolah lagi mereka adalah bertujuan : (1) untuk membantu membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong langkah kembali ketujuan-tujuan aslinya dan agar tetap konsisten dengan tujuan itu; (2) untuk menuyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil dalam tatanan sosial yang ada sekarang. Umumnya, fundamentalisme pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Ia yakin bahwa pengetahuan terutama merupakan alat untuk membangun kembali masyarakat bermoral. Sehingga perndidikan pertama-tama dipandangsebagai proses regenerasi moral. 21
Alfian, Fundamentalisme …
2.
Anti intelektual, dalam arti kata lebih menekankan doktrin dan menolak segala kritik intelektual terhadap pola-pola yang keyakinan mereka pilih serta bersikap sangat tertutup. Sehingga hakikat kenyataan diukur berdasarkan prakiraan-prakiraan yang tersirat dan / atau tidak pernah teruji kebenarannya (tidak ilmiah). 3. Menekankan kembali pada tujuan-tujuan asli tradisi-tradisi masa silam sebagai koreksi terhadap pandangan modern. 4. Mengapa bahwa wewenang intelektual tertinggi berada di tangan komunitas orang-orang yang telah mencapai pencerahan moral. Karena itu wewenang ini tidak diukur berdasarkan pada ukuran intelektual melainkan pada profil moral yang lebih tinggi dalam diri guru tersebut. Berdasarkan tujuan dan karakteristik di atas, pada dasarnya hakikat kurikulum dalam fundamentalisme pendidikan adalah : 1. Sekolah harus menekankan karakteristik moral yang layak, melatih siswa untuk menjadi pribadi yang baik berdasarkan dengan tolak ukur prilaku tradisional. 2. Sekolah mesti memusatkan pada pembaharuan pola-pola budaya lama, ia harus membantu siswa untuk menemukan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi – tradisi budaya mendasar. 3. Penekanan harus diberikan pada generasi moral, dalam hal membangun kembali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan tradisional terhadap keyakinan dan prilaku. 4. Menganggap bahwa wewenang intelektual teritnggi berada di tangan komunitas orang-orang yang memiliki iman sejati, bahwa kebenaran ditentukan mulai sebuah kesepakatan di antara orang-orang yang telah mencapai pencerahan moral. Karena itu wewenang ini tidak diukur berdasarkan pada ukuran intelektual melainkan pada profil moral yang lebih tinggi dalam diri guru tersebut. Selanjutnya, agar tujuan di atas tercapai secara maksimal, maka diperlukan metode pengajaran dan penilaian hasil belajar, meliputi : 1. Penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara pengajaran di kelas tradisional yang kesemuanya terstruktur secara ketat. 2. Pembelajaran yang diarahkan oleh guru adalah cara yang terbaik, karena siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses perkembangan intelektual sendiri. 3. Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal kesempurnaan moral akademik. 4. Tes-tes dititik beratkan pada keterampilan dan informasi yang dimiliki siswa ketimbang kemampuan analisis siswa. 5. Penekanan harus diberikan pada kognitif dengan tekanan kedua pada yang katif dan interpersonal. 22
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
6. 7.
Penekanan harus diletakkan pada pemulihan kembali prinsip-perinsip dan praktek-praktek pendidikan tradisional. Bimbingan dan penyuluhan pribadi serta kewajiban adalah fungsi-fungsi keluarga dan/atau gereja, bukan sekolah
F. Penutup Untuk dapat membaca mengenai fundamentalisme pendidikan, maka yang terpenting adalah melihat ideologi fundamentalisme itu sendiri. Ideologi fundamentalisme cendrung bersifat anti intelektual dalam arti bahwa ia netral (bebas) dari kritik akademis sekalipun ia berlatar fisiologis, sangat tertutup, dan eksklusif (merasa diri paling benar, paling bermoral). Kecendrungan konservatif (mempertahankan budaya lama) menjadikan kaum fundamentalis sangat menekankan moralisme masa lalu sebagai jawaban atas hiruk-pikuk modernitas yang dinilai bobrok dan anti religius. Dalam menafsirkan Alkitab (Al-Qur’an dalam Islam), pendekatan mereka sangat harfiah, sehingga konteks bagi mereka harus menyesuaikan diri terhadap teks. Berdasarkan paradigma dan idiologi yang dikandungnya, model pendidikannya pun sangat tradisional, seksekutif dan bertujuan idiologis mengembalikan kesemrawutan masa sekarang ke idealitas masa silam yang dianggap paling mewakili dalam sisi moral. Tujuan-tujuan ini hanya bisa dicapai bila pendidikan diterapkan dengan pendekatan doktrial bukan akademis. Pada yang pertama ini, posisi guru adalah sentral dan wajib diikuti; guru dalam hal ini tidak perlu menyandang gelar akademis asal dianggap memiliki iman sejati yang mendapat pederahan moral. Guru mengendalikan kelas, bersifat ketat, non permissif, sedangkan para murid hanya bisa menyesuaikan diri dengan wewenang yang telah di tetapkan. Dengan begitu, fundamentalisme pendidikan berarti pendidikan doktrial yang menekankan militansi dan kesetiaan penuh pada suatu idiologi yang bernailai eksklusif maupun religius (agamis). DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Departemen Pandidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Furkon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta: Teraju, 2004 Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986. 23
Alfian, Fundamentalisme …
O’neil, William F., Ideologi - Ideologi Pendidikan, [teri] Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Richey, Russel E. Dan Donald G. Jones [eds], Civil Religion, New York: Harper & Row, 1974. Suseno, Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Resionalisme, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
24