BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I TENTANG IZIN MEMBUKA TANAH MATI A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Izin Kepemilikan Tanah Secara etimologi, kata ihya berarti menjadikan sesuatu menjadi hidup dan al-mawat berarti sesuatu yang tidak bernyawa atau tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap. Pembahasan tentang ihya al-mawat berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum dimiliki seseorang. Secara terminologi, ihya al-mawat adalah penggarapan lahan yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang belum digarap orang, baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.. Ihya al-mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang, tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun untuk bangunan. Sebidang lahan dikatakan sebagai produktif apabila menghasilkan dan memberi manfaat bagi umat manusia. Indikasi yang menunjukkan kepada ihya al-mawat itu adalah dengan menggarap lahan itu. Misalnya jika lahan itu ditujukan untuk pertanian, digarap dengan mencangkul lahannya, membuat saluran air (irigasi), memagar dan mendirikan bangunan di atasnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Imam Syafi’i untuk membuka tanah mati atau dengan kata lain untuk memiliki tanah 45
46
yang mati tidak perlu izin dengan Imam atau pemerintah. Dalam pandangan Syafi’i bahwa izin dalam ihyaul mawat adalah bukan syarat, sebab yang dinamakan izin dalam hal ini ialah pemerintah wajib menyerahkan setelah tanah kosong itu dihidupkan oleh orang yang pertama kali membangun, sedang untuk membangun, maka siapa saja
(orang Islam) bebas untuk
menguasai sesuai dengan kemampuannya: 1
ﻓﻬﺬﺍ ﻣﻌﻦ ﻗﻄﺒﻊ ﻣﺄ ﺩﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻻ ﻓﻤﻦ ﻣﻨﻬﻰ ﻋﻨﻪ
Artinya: Maka inilah makna penyerahan yang diijinkan, bukan penjagaan yang dilarang”. Maksud dari perkataan Imam Syafi’i di atas, bahwa terhadap tanah yang masih kosong, orang Islam tanpa terkecuali bebas untuk memilikinya, sedangkan bila dikemudian hari terjadi sengketa, maka penguasa wajib dengan se-izinnya memberikan kepada pihak yang pertama menjaga/membangun, sedangkan untuk membangun atau menguasai tanah kosong tersebut tidak memerlukan izin. Setelah tanah tersebut dikuasai, maka orang boleh mengajukan permohonan izin kepada pemerintah, dan pemerintah pun wajib memberikan izinnya. Apabila ada pihak lain (yang terkemudian) mengaku berhak pula, maka wajib dihalangi oleh pemerintah. Karena bila pihak lain setelah ada orang yang pertama membangun juga diberikan, maka yang demikian itu adalah dzalim:
1
Al-Imam Abi Abdilah Muhammad ibn Idris Syafi’i, al-Umm, Juz 3, Dar al-Kutub Ijtima'iayah, Beirut Libanon: tth, hlm. 43
47
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﲨﺎﻉ ﺍﻟﻌﺮﻕ ﺍﻟﻈﺎﱂ ﻛ ﹼﻞ ﻣﺎ ﺧﻔﺮ ﺍﻭ ﻏﺮﺱ ﻭﺑﺖ ﻇﻠﻤﺎ ﺷﺤﻖ Artinya: Imam Syafi’i berkata: mengumpulkan keringat orang zalim ialah setiap apa yang digali atau ditanam atau dibangun dengan zalim pada hak seseorang; dengan tidak keluarnya orang itu dari haknya" Penegasan Imam Syafi’i, bahwa dalam ihyaul mawat tidak perlu adanya syarat izin imam seperti tersebut di atas, ditegaskan kembali oleh Sayyid Abi Nashr Al-Husaini bahwa :
ﺭﺃ ﺍﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ﻭﳏﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺣﺴﻦ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﺍﲪﺪ ﺍﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻥ ﻣﻠﻚ ﺍﳌﻮﺍﺕ ﻳﻌﺘﱪ ﺑﺎﻻﺣﻴﺄ ﺩﻭﻥ ﺍﺫﻥ ﺍﻻ ﻣﺎﻡ Artinya : Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i serta Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa sesungguhnya pemilikan harta melalui ihyaul mawat itu cukup (hanya) dengan mengolahnya saja tanpa harus izin dari imam terlebih dahulu. Ditinjau dari alasannya, bahwa konsep Imam Syafi’i yang perlu digaris-bawahi di antaranya soal tidak perlunya izin dari pemerintah atau imam dalam membuka tanah mati. Dengan kata lain dalam perspektif Imam Syafi’i kedaulatan rakyat berada di atas segalanya, suara rakyat merupakan suara Tuhan. Dalam visi Imam Syafi’i, hidup matinya negara dan terbentuknya suatu pemerintahan adalah karena rakyat. Adapun hukum Islam mensyaratkan bahwa yang berhak membuka tanah/menghidupkan tanah mati adalah muslim (orang yang beragama Islam
48 saja).2 Sedangkan kafir zimmi,3 kafir mu'ahad4 dan kafir musta'man5 sama sekali tidak diperbolehkan menggarap tanah liar walaupun pemerintah mengizinkan mereka. 6 Pengkhususan ini memiliki tujuan, sebagai berikut : 1. Mencapai kemakmuran dan kekuatan Islam. Di masa awal perkembangan Islam, kaum muslimin sangat membutuhkan sokongan ekonomi dan dana yang cukup besar untuk dapat berperan aktif memajukan Islam. Oleh karenanya Islam menyerukan untuk menghidupkan tanah-tanah yang tandus agar mereka dapat berkembang di tengah-tengah kesuburan dan menyebar di berbagai pelosok wilayah kekuasaan Islam. Dengan cara ini dapat menambah kekayaan dan kemakmuran sehingga pada gilirannya menambah kekuatan Islam. 2. Menumbuhkan kecintaan terhadap Islam.
2
Ahmad bin al-Husain asy-Syahir dan Abi Syuja', "Fath al-Qarib al-Mujib", dalam Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, Sinqafurah, Jeddah : al-Haramain li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa. at-Tauzi', tt, hlm. 38. 3 Kafir zimmi atau ahlu az-zimmah ialah golongan non Islam yang telah tunduk kepada peraturan-peraturan negara Islam dan berjanji memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku atasnya kecuali tentang masalah aqidah. Terhadap golongan ini, Islam member! perlindungan atau jaminan keamanan yang tidak terbatas atas jiwa dan hartanya.... Adapun dalam hal kekeluargaan, seperti : perkawinan, perceraian dan lain-lain, penguasa Islam membolehkan mereka menjalankan peraturan menurut agamanya masing-masing....(Lihat M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Figh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm, 151. 4 Kafir mu'ahad yaitu orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam Bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan selama waktu perjanjian tersebut, baik di wilayah yang telah diduduki oleh umat Islam ataupun yang tidak diduduki umat Islam. 5 Kafir musta'man adalah orang kafir yang diberi keamanan atau seorang non muslim yang masuk ke negara Islam dengan tidak bermaksud berdiam selamanya, tetapi terbatas dalam waktu tertentu.... Ulama sepakat bahwa dalam masalah muamalat, kenegaraan, undangundang Islam berlaku bagi musta'roan, 6 Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 39.
49
Dengan adanya anjuran dari Rasulullah SAW untuk menyuburkan tanah tandus, maka bila anjuran ini diindahkan berakibat langsung pada meningkatnya taraf perekonomian rakyat yang akan berimbas pada semakin tingginya kecintaan mereka terhadap Islam. Adalah suatu hal yang wajar bila seseorang yang diberi beberapa kebaikan merasa dekat dan cinta dengan si pemberi kebaikan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas berkah yang diperoleh. Akan tetapi kalau menengok pada konstitusi negara Islam modern, maka pengkhususan ini dalam bidang muamalat seperti ini tidak akan kita temui. Dalam negara Islam modern, seluruh warga negara (baik muslim maupun kafir zimmi dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum kecuali tentunya dalam hal aqidah, perkawinan dan semacamnya. Di dalam banyak ayat al-Qur'an dijumpai penegasan yang menyatakan bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah SWT yang diperuntukkan bagi segenap makhluk-Nya. Dalam waktu yang sama al-Qur'an menegaskan bahwa Allah SWT telah melimpahkan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang berfungsi untuk memakmurkan kehidupan di bumi ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-An’am: 163 sebagai berikut:
ﺕ ٍ ﺎﺭﺟ ﺩ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻕ ﻮ ﻢ ﹶﻓ ﻀ ﹸﻜ ﻌ ﺑ ﻊ ﺭﹶﻓ ﻭ ﺽ ِ ﺭ ﻒ ﺍ َﻷ ﻼِﺋ ﺧ ﹶ ﻢ ﻌﹶﻠﻜﹸ ﺟ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻭﻫ (165 : ) ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ...ﻢ ﺎ ﹸﻛﺎ ﺁﺗﻢ ﻓِﻲ ﻣ ﻮﻛﹸ ﺒﻠﹸﻴﻟﱢ
50
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu….( al-An’am (6): 165) Untuk menjalankan fungsi itu, oleh Allah SWT manusia dibekali dengan berbagai macam kekuatan dan keahlian baik secara naluriah, jasmaniah maupun akal budi. Dari sekian banyak kemampuan yang dimiliki itu, naluri untuk mempertahankan eksistensi secara perorangan itulah yang menonjol. Hal ini dicerminkan lewat keinginan untuk menguasai dan memiliki apa saja yang menjadi kebutuhan hidupnya. Sekalipun
manusia
memiliki
kecenderungan
sebagai
makhluk
individual, ternyata lebih besar kecenderungannya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesama manusia. Pada tahap ini manusia membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan tempat mengadukan segala permasalahannya baik pribadi maupun kolektif. Dalam masyarakat modern para pemimpin ini lazim disebut pemerintah. Merekalah (pemerintah)
yang
diberi
kewenangan mengorganisir perbaikan dan
peruntukan kebutuhan dan pemilikan tiap- tiap individu dalam masyarakat. Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia sebagai yang memikul tanggung jawab untuk memakmurkan bumi berfungsi terhadap alamnya yaitu mengambil potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Diantara jalan untuk memperoleh manfaat terhadap potensi dan kekayaan alam adalah dengan cara menghidupkan tanah mati yang ada di wilayah kekuasaan pemerintahnya.
51
Untuk menghidupkan tanah mati diperlukan izin dari imam, demikian pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi. Hal ini sejalan dengan yang berlaku di negara kita atas dasar penegasan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.7 Negara Indonesia secara legal formal memang bukan negara yang berdasarkan agama, tetapi mengakui dan memberi kesempatan agama untuk hidup dan tumbuh subur di negara ini. Sila pertama dari Pancasila jelas menggambarkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka logika agama Islam yang didefinisikan di atas, sama diakui di negara ini bahwa bumi dan segala isinya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini negara memiliki kewenangan mengurusi kepentingan rakyat khususnya yang bertalian dengan izin pemilikan tanah. Kiranya hingga di sini, logika yang digunakan hukum agraria nasional dan Imam Syafi'i memiliki pandangan yang berbeda tentang perlunya campur tangan pemerintah terhadap pemilikan tanah demi menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi tiap-tiap warga negara. Dalam hukum Islam pemahaman tentang tanah yang diterlantarkan dapat kita lihat dari paradigma yang dituangkan oleh Umar bin Khattab menjadi
suatu
kebijakan
sebagaimana
yang
diilustrasikan
dalam
pengambilalihan tanah Bilal ibn al-Haris oleh Umar bin Khattab (pemerintah) menggambarkan 7
bahwa
hukum
Islam
mengedepankan
kesanggupan
Ahmad Azhar Basjir, Garis Besar Hukum Islam, edisi revisi, Yogyakarta: BPFE, 1987, hlm. 55.
52
menggarap lahan atau tanah yang dimiliki. Kelebihan tanah yang tidak mampu dikelola dan dimanfaatkan untuk kemudian diambil oleh negara menunjukkan bahwa tanah dalam fungsi sosialnya berperan penting dengan satu konsekwensi apabila. tanah itu tidak tergarap atau dibiarkan terlantar maka resiko terbesar yang ditanggung. Pemiliknya akan kehilangan kepemilikan atas tanah tersebut. Islam secara tegas memberikan batasan waktu bagi tanah yang ditinggalkan atau diterlantarkan oleh pemiliknya yakni 3 (tiga) tahun sebelum tanah itu dinyatakan boleh dimiliki orang lain yang menyuburkan tanah tersebut. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab mempraktekkannya dengan tidak harus atau tidak perlu memberikan batas waktu selama tiga tahun, sebab jika lahan itu sekedar dimiliki tanpa ada upaya memperbaikinya/menggarapnya maka tidak sepantasnya menuntut untuk memiliki lahan tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria nasional tidak mengatur secara tegas limit waktu tanah yang diterlantarkan untuk kemudian dikuasai kembali oleh negara atau oleh orang lain yang menggarap tanah tersebut, kecuali dengan jalan daluwarsa sebagaimana yang tercantum dalam KUH Perdata yakni selama 20 (dua puluh) tahun jika tanah itu ditempati oleh orang lain dengan suatu hak selain hak milik atau selama 30 (tiga puluh) tahun jika tanah itu ditempati tanpa suatu alas hak. Sebaliknya dalam hukum Islam telah diatur" secara tegas, di mana bagi yang menelantarkan tanahnya selama 3 (tiga) tahun maka tanah tersebut hapus hak kepemilikannya dari pemilik sebelumnya.
53
Dari keterangan di atas tampaklah bahwa konsep Imam Syafi’i berbeda dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 tahun 1960. Perbedaannya yaitu dalam UUPA untuk memiliki tanah harus mendapat izin dari pemerintah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 22 Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi: (1). Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. (2). Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, hak milik terjadi karena: a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; b. Ketentuan Undang-undang Memori penjelasan Undang-undang Nomor 5. tahun 1960 terhadap pasal 22 ditegaskan: “Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara”. Hukum agraria nasional mensyaratkan bahwa yang berhak membuka tanah hanya warga negara Indonesia saja. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), maka secara de jure (hukum) hak kepemilikan mengalami konversi dan hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Adapun bagi warga negara asing atau
54
seorang yang memiliki dua kewarganegaraan tidak dibolehkan mempunyai hak milik dan jika terjadi karenanya batal demi hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam UUPA sebagai berikut: "Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima Oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.8 Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya UUPA, hak eigendom warga negara asing dan seorang yang memiliki identitas kewarganegaraan ganda masih diakui oleh hukum agraria Indonesia akan tetapi semenjak diberlakukannya UUPA ini hak eigendom tersebut menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu pemanfaatan selama 20 tahun. Dalam hal ini UUPA meletakkan suatu asas yang disebut asas kebangsaan di mana hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Demikian halnya dengan hak membuka tanah yang hanya dapat dimiliki haknya oleh warga negara Indonesia saja, karena pada dasarnya hak membuka tanah adalah salah satu upaya untuk memperoleh hak milik. Logikanya, bila suatu hak dilarang untuk dimiliki maka upaya yang mengarah pada pemilikan suatu hak tetap tidak dibolehkan. Hukum agraria nasional mengatur bahwa yang membuka tanah tidak otomatis sebagai pemiliknya, kecuali telah menunjukkan kesungguhannya 8
Undang-undang nomor 5 tahun I960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), pasal 26 ayat 2.
55
untuk memiliki tanah tersebut. Di dalam penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 tahun 1972 pasal 6 ditegaskan bahwa tanah tersebut harus digarap selam kurang lebih 3 (tiga) tahun berturut-turut atau diusahakan secara layak selama waktu tersebut. Sebaliknya hukum Islam mengatur bahwa bagi yang membuka tanah secara otomatis menjadi pemilik tanah yang dibuka, tentunya dengan memperhatikan ada tidaknya hak orang lain atas tanah tersebut.. Pada permulaan agama Islam didakwahkan di tengah-tengah bangsa Arab yang mayoritas taraf kehidupan ekonominya masih terbilang rendah, dakwah Islam membutuhkan biaya yang besar karena ketika itu menghadapi rintangan dan intimidasi dari kaum kafir. Seringkali rintangan dan halangan itu dalam bentuk tekanan kekuatan bersenjata yang tentunya dalam menghadapinya membutuhkan energi dan dana yang amat besar dari masyarakat Islam. Saat-saat ini dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dari kaum muslim baik harta maupun jiwa. Sebaliknya. dalam tiap-tiap kemenangan yang dicapai Islam memberi kesempatan kepada tiap muslim yang berpartisipasi dalam peperangan memperoleh bagian dari rampasan perang. Harta tersebut bisa berupa barang berharga yang bergerak atau harta yang tidak bergerak yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Biasanya terhadap benda tak bergerak ini Rasulullah SAW memiliki kebijakan yakni membagibagikan kepada mereka yang berjasa besar dalam memajukan dakwah Islam. Rasulullah pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar sebagai tanda jasa yang telah diberikan untuk kepentingan agama dan
56
umat Islam. Para Khalifah sesudahnya pun mengikuti jejak beliau, tetapi dalam batas-batas yang amat sempit dan terbatas pada tanah-tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekali.9 Siapapun memandang bahwa memiliki sesuatu merupakan pembawaan naluriah manusia dan hal itu adalah hak alami, hak kodrati dan hak asassi manusia yang wajib dihormati dan dilindungi. Tapi dalam kaitannya dengan harta, agama Islam memberi batasan-batasan bagi setiap keinginan memiliki harta yang melampaui batas, terlebih lagi dalam hitungan di luar kesanggupannya. Pemilikan tanah juga demikian, walaupun Islam tidak memberikan batasan dalam hitungan meter tapi Islam sebagai sebuah aturan normatif, cukup dengan memberikan batasan secara moral dan kemanusiaan. Maka dalam konteks ini tepat apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab terhadap tanah lebih yang dimiliki oleh Bilal ibn al-Haris, seperti yang diilustrasikan oleh Muhammad Abdul Mannan, sebagai berikut : "Setelah mengambil kembali beberapa tanah yang diberikan Nabi kepada Bilal ibn al-Haris, Umar berkata kepada Bilal : " Rasulullah tidak memberikan kepadamu (semata-mata) supaya kamu (menahannya) dari penguasaan orang lain. Dia (Nabi SAW) memberikannya kepadamu agar kamu dapat menggunakannya, dengan demikian kamu hanya boleh mengambil apa yang kamu manfaatkan dan tinggalkan sisanya”.10 Lebih jauh dari kejadian di atas menggambarkan bahwa batas luas kepemilikan tanah di dalam Islam lebih mengedepankan kesanggupan dan kemampuan menggarap tanah tersebut secara mandiri. Islam tidak 9
Ibid, hlm. 59. Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Drs. M. Mastangin, edisi lisensi, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993, hlm. 99. 10
57
menginginkan terjadinya sistem tuan tanah di mana segelintir orang menguasai tanah secara berlebih-lebihan sehingga orang kebanyakan yang tidak memiliki sebidang tanah dan hanya menjadi buruh pada lahan tuan tanah. Dengan demikian jelas tergambar bahwa sekalipun Islam tidak mengatur secara transparan batas luas minimum dan maksimun pemilikan tanah, tapi lewat kekuatan moral, Islam menganjurkan hidup secara berkecukupan namun tidak berlebihan. Hal ini jelas tersurat dari beberapa peristiwa yang salah satunya diilustrasikan kembali oleh Muhammad Abdul Mannan sebagai berikut: "Walaupun Nabi Muhammad SAW telah membagi-bagikan tanah kepada kaum muslim umpamanya tanah Khaibar, namun luas tanah-tanah ini begitu kecil sehingga tidak terdapat bahaya sedikitpun akan terjadinya sistem tuan tanah. . . .”11 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana yang kita mafhumi bermaksud meniadakan hukum agraria yang masih berlaku pada saat itu dimana sebagian tersusun dan dipengaruhi oleh tujuan dan sendi-sendi pemerintahan jajahan sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, Sebaliknya UUPA saat ini masih banyak dipengaruhi oleh hukum adat tentang tanah dengan tidak mengabaikan anasir-anasir nilai agamis dan hukum agama. Satu-satunya cacat dalam UUPA adalah indikasi adanya ajaran komunis yang sengaja dimasukkan ke dalam beberapa pasal UUPA melalui jargon-jargon seperti : "...tidak bertentangan dengan kepentingan nasional"
11
Ibid.
58
"...kepentingan negara" "...sosialisme Indonesia" “…persatuan bangsa" ".,.tidak merugikan kepentingan umum" Ini terlihat antara lain dalam pasal 2 ayat 4, pasal 5, 7, pasal 11 ayat 2, pasal 14 dan 18,12 lebih lanjut Sri Bintang pamungkas menjelaskan bahwa sebagai negara demokrasi dimana kekuasaan di tangan rakyat segala sesuatu mestinya adalah "demi rakyat" atau "untuk kepentingan rakyat".13 Ke semua anasir-anasir yang mempengaruhi isi UUPA ini tergambar dalam kalimat demi kalimat yang tertuang di dalamnya. Salah satu contohnya adalah ungkapan yang tertuang dalam penjelasan Undang-undang nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut : "Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebihlebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia, yang menghendaki pembagian merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata pula dari tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang luas di tangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya praktekpraktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai, bagi hasil dan lain-lainnya) hal mana bertentangan dengan prinsip sosialisme Indonesia." 14 Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa hukum agraria nasional melalui UU No. 56 PRP tahun 1960 mengatur secara tegas dan jelas batas luas minimum dan maksimum tanah hak milik. Dengan harapan agar petani mendapatkan hasil yang cukup untuk hidup secara layak 12
Sri Bintang Pamungkas, "UUPA dan Masalah Pertanahan", dalam Masdar F. Mas'udi (ed.), Teologi Tanah, cet. I, Jakarta: P3M dan YAPIKA, 1994, hlm. 81 13 Ibid, hlm. 82 14 Penjelasan Umum Undang-undang nomer 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, nomor 2.
59
dan bersahaja serta tidak terjadi penumpukan tanah di tangan segelintir orangorang tertentu saja. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 56 PRP tahun 1960 mengatur tentang pidana dan atau denda. bagi pemilik yang melanggar ketentuan tentang pemecahan luas pemilikan tanah. Sebaliknya hukum Islam tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang batas luas minimum dan maksimum tanah hak milik kecuali beberapa asas yang ditetapkan dalam Islam bahwa tidak seorangpun diberi bantuan berupa tanah secara berlebihlebihan atau secara kuantitatif tidak sepadan dengan kebutuhan ekonomi orang atau keluarga yang diberikan tanah. Demikian urgennya masalah pemilikan tanah oleh individu-individu baik sendiri maupun dalam satu lingkup keluarga, maka adalah suatu kewajiban bila pemerintah dalam menerapkan hukum agraria nasional ini mengikut sertakan wujud sangsi bagi mereka yang menelantarkan tanahnya. Tanah yang dengan sengaja tidak dimanfaatkan dan difungsikan sesuai keadaan atau sifat-sifat dan tujuan daripada haknya jelas bertentangan dengan usaha untuk menambah produksi hasil pertanian. Oleh karenanya hukum agraria nasional menyatakan bahwa salah satu sebab hapusnya hak milik tanah adalah karena diterlantarkan. Sayangnya kebijakan ini tidak diikuti oleh penetapan jangka waktu tanah yang diterlantarkan tersebut dianggap hapus hak pemilikan atasnya. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi bila kita sedikit menengok kondisi yang ada di seputar masa penetapan UUPA ini. Pemerintah (Orde Lama) baru memasuki sebuah masa transisi di mana pemerintah baru mengusahakan
60
setahap demi setahap terciptanya kondisi yang ideal setelah selama ini rakyat Indonesia hidup dalam kondisi hukum yang diwariskan oleh penjajah. Maka wajar kiranya bila UUPA hanya member! semacam moral of punishment di mana dalam pasal 15 UUPA disebutkan : "Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya. adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah." 15 Adapun terhadap permasalahan apabila seseorang menempati tanah yang bukan miliknya, kita dapat mempergunakan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, buku keempat, khususnya tentang Daluarsa. Pada bagian kedua tentang daluarsa Dipandang Sebagai Suatu Alat Untuk Memperoleh Sesuatu, disebutkan sebagai berikut : "Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa dengan suatu penguasaan selama 20 (dua puluh) tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 (tiga puluh) tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya."16 Penetapan jangka waktu beralihnya hak milik dari seseorang ke orang lain dengan daluwarsa jelas hanya termaktub dalam undang-undang warisan penjajah (KUH Perdata) yang oleh pemerintah saat itu hingga saat ini menganggap ketentuan tersebut masih memiliki relevansi hukum dengan situasi bangsa Indonesia. Oleh karenanya terhadap tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya dan kemudian ditempati oleh orang lain selama 30 (tiga-
15
UU nomor 5 tahun 1960, pasal 15. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1963.
16
61
puluh) tahun maka tanah tersebut menjadi miliknya dengan jalan daluwarsa. B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya. Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasardasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi. Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya, Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah. Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.
62
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji, atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan lainnya. Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang dilarang. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam AlQur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),
63
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul", artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum. Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad. Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas. Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas
64
terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman: Al-Syafi’i: "Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?" Lawan: "Ya." Al-Syafi’i: "Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma' mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam AlQur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati oleh para ulama." Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam beberapa bentuk. Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk) dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-
65
Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban agama. Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati. Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan. Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan. Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan." Al-Syafi’i: Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,
66
memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada generasi-generasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...? Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadits pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah ada hadits verbal yang sesuai dengan sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..." Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma' dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses
67
asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'. Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu preseden. Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri). Dalam hubungannya dengan menghidupkan tanah mati, bahwa dalam perspektif Imam Syafi’i bahwa untuk menghidupkan tanah mati tidak perlu ada izin dari pemerintah. Dalam hal ini metode istinbath hukumnya Imam Syafi’i didasarkan pada makna zhahir di samping qias, yaitu qias antara tanah kosong dengan air, di mana semua orang sangat membutuhkan tanah dan air tersebut. Tanah dan air merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi
68
kehidupan manusia, karena itu Imam Syafi’i menganggap ini bukan kekuasaan pemerintah melainkan kekuasaan masyarakat yang bermukim di tempat itu.17 Di samping itu dalam metode istinbathnya, mendasarkan kepada hadits-hadits yang
telah
disebutkan
sebelumnya
yang
pada
intinya
nabi
tidak
memerintahkan izin dari pemerintah untuk membuka tanah mati. Namun demikian, oleh karena permasalahan tanah yang dijadikan sebagai obyek atas syari’at ihya al-mawat itu menyangkut hubungan langsung antara manusia satu dengan lainnya, atau menyangkut permasalahan keduniawian, maka agar tidak terjadi sengketa antara orang yang satu dengan lainnya membutuhkan peraturan perundang-undangan untuk mengaturnya kepastian hukum. Dari
sini
sebenarnya
istinbath
dengan
hanya
menggunakan
pengambilan makna zhahir saja kurang cukup. Meskipun izin imam/ pemerintah itu tidak menjadi syarat dalam membuka tanah mati tapi di sisi lain kiranya penting adanya peraturan perundang-undangan untuk menentukan mana pemilik yang sah dan mana yang tidak. Karena itu Undang-undang Pokok Agraria lebih tepat diterapkan saat ini ketimbang konsep Imam Syafi’i. Ini tidak berarti konsep Imam Syafi’i salah, kita menyadari dan mengakui bahwa konsep Imam Syafi’i sangat sesuai dengan zamannya di mana ketika itu jumlah penduduk tidak sebesar saat ini, persoalannya pun tidak serumit dewasa ini.
17
TM Hasbi ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan antar Mazhab,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2004, hlm. 434-437