48 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG DIWAJIBKANNYA SUJUD TILAWAH A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Diwajibkannya Sujud Tilawah Dalam bab III telah dijelaskan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat orang yang membaca ayat-ayat sajadah ataupun yang mendengarkan ayat sajadah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja, maka orang tersebut wajib melakukan sujud tilawah. Mengenai masalah tentang hukum melakukan sujud tilawah, para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya melakukan sujud tilawah. Menurut Imam Abu Hanifah, hukum melakukan sujud tilawah itu adalah wajib, baik itu bagi yang membaca ayat-ayat sajadah maupun yang mendengarkannya. Sedangkan Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali bahwa hukum melakukan sujud tilawah itu adalah sunnah. Adapun pendapat Imam Abu Hanifah dikutip dalam kitab al-Mabsut karangan Asy-Syamsudin As-Sarkhasi sebagai berikut:
)ﻗﺎل( وﻣﻦ ﻗﺮا اﻳﺔ اﻟﺴﺠﺪة او ﺳﻤﻌﻬﺎ وﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ان ﻳﺴﺠﺪهﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ 1
Maksudnya: “Imam Abu Hanifah berkata bahwasanya hukum melakukan sujud tilawah itu hukumnya wajib baik bagi yang membaca ayat-ayat sajadah maupun yang mendengarkannya.”
1
Asy-Samsudin As-Sarkhasi, Al-Mabsut, Juz I, Bairut Libanon: Dar: al-Ma’rifah, 1989, hlm. 4
49 Ibnu Al-Hamam Al-Hanafi menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah Dalam kitab Syarh Fathul Qadir sebagai berikut:
2
واﻟﺴﺠﺪة واﺟﺒﺔ ﻓﻰ هﺬﻩ اﻟﻤﻮاﺿﻊ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺎﻟﻰ واﻟﺴﺎﻣﻊ
Maksudnya: “Bahwasanya Sujud tilawah itu wajib terhadapa orang yang membaca ayat-ayat sajadah dan orang yang mendengarkannya”. Dan di dalam Kitabul Fiqih Ala Mazhabi Al-Arba’ah juga ditemukan pendapat mazhab Hanafi tentang hukum melakukan sujud tilawah, yaitu:
, ﺡﻜﻢ ﺳﺠﺪة اﻟﺘﻼوة اﻟﻮﺟﻮب ﻋﻠﻰ اﻟﻘﺎرئ واﻟﺴﺎﻣﻊ: اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮا 3 ﻓﺎن ﻟﻢ ﻳﺴﺠﺪ اﺡﺪهﺎ ﻋﻨﺪ ﻣﻮﺟﺒﻪ آﺎﻧﺎ اﺛﻤﺎ Maksudnya: “Mazhab Hanafi berkata: “Bahwa hukum sujud tilawah itu wajib bagi yang membaca ayat-ayat sajadah dan wajib pula bagi yang mendengarkannya, apabila tidak dilaksanakan maka mereka akan mendapat dosa”. Menurut analisis penulis bahwasanya pendapat Imam Abu Hanifah tersebut dari satu sisi ada baiknya karena hal ini dapat dijadikan suatu pelajaran dan peringatan bagi umat Islam agar tidak merasa sombong kepada Dzat yang menciptakannya, karena Allah Swt adalah Dzat yang merajai alam semesta ini. Akan tetapi dari sisi yang lain hal ini juga bisa menjadi beban yang sangat berat bagi mereka, dan menjadikan umat Islam yang sebelumnya gemar membaca al-Qur’an menjadi takut membaca ayat-ayat al-Qur’an karena takut lupa untuk melakukan sujud tilawah ketika membaca al-Qur’an dan menjumpai ayat-ayat sajadah. Dan pada dasarnya sandaran hukum harus
2
Ibnu Al-Hamam Al-Hanafi, Syarh Fathul Qadir, Juz II, Bairut: Libanon, Dar alFikr, t.th., hlm. 13 3 Abdul Rahman Al-Juzairi, Kitab Al Fiqh Al Mazahib al-Arba’ah, Juz I, Bairut Libanon : Dar: al-Kitab Alamiyah, t. th., hlm. 420
50 berprinsip memperhatikan aspek meringankan kepada pengikutnya dan sesungguhnya Islam memberi legalitas kritis dan penyempurnaan hingga terbentuklah tatanan yang harmonis dan juga menciptakan tatanan yang baru sehingga lebih tercerminkan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Anbiya’ ayat 107:
وﻣﺎ ارﺳﻠﻨﺎك اﻻ رﺡﻤﺔ ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﻴﻦ Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kaum melainkan untuk menjadikan Rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107) B. Analisis Terhadap Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Diwajibkannya Sujud Tilawah Dalam bab III telah dijelaskan tentang istimbath hukum Imam Abu Hanifah, yakni Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum itu pertama-tama menggunakan al-Qur'an, kemudian menggunakan as-Sunnah, kalau tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka beliau menggunakan fatwa-fatwa para sahabat yang telah disepakati dan memilih salah satu pendapat mereka yang dikehendakinya, jika tidak diketemukan dalam fatwa-fatwa para sahabat, beliau menggunakan ijma’ dan jika tidak ditemukan lagi maka Imam Abu Hanifah baru melakukan ijtihad (qiyas, istihsan, ‘urf).4
4
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 13
51 Imam Abu Hanifah berpendapat hukum melakukan sujud tilawah itu wajib baik bagi orang yang membaca ayat-ayat sajadah ataupun yang mendengarkan ayat-ayat sajadah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja.5 Imam Abu Hanifah mempunyai metode dalam menetapkan hukum syara’, berdasarkan urutan-urutan dalil hukum Islam tersebut di atas. Adapun dalam masalah ini beliau yang pertama menggunakan al-Qur’an yang juga digunakan oleh imam-imam yang lainnya, hanya saja terjadi perbedaan terhadap penafsiran ayat dan istimbath hukumnya. Imam Abu Hanifah sebagaimana telah diketahui bersama adalah seorang mujtahid rasionalis (ra’yu) didalam berijtihad, dalam arti beliau banyak menggunakan penalaran rasionalis dari nass dan cenderung banyak menggunakan pertimbangan rasio dalam berijtihad. Oleh karena itu pendapat beliau banyak menggunakan rasionalisasi nass, demikian juga dalam masalah hukum melakukan sujud tilawah. Adapun istimbath hukum yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam hal ini adalah menggunakan metode istmbath berupa ra’yu (rasional). Seperti dalam Surat Maryam ayat 58:
(٥٨ :اذا ﺕﺘﻠﻰﻋﻠﻴﻬﻢ اﻳﺎت اﻟﺮﺡﻤﻦ ﺧﺮوا ﺳﺠﺪا وﺏﻜﻴﺎ )ﻣﺮﻳﻢ Artinya: “ Jika dibacakan ayat-ayat Allah Swt kepada mereka, maka mereka meniarap sambil sujud dan menangis”6 Ayat tersebut menurut Imam Abu Hanifah mengandung kalimat perintah sujud (sujud tilawah) tersebut mengandung perintah, yang mana
5 6
Asy-Samsudin As-Sarkhasi, Al-Mabsut, loc. cit., hlm. 4 Departemen Agama RI, loc. cit., hlm. 469
52 perintah tersebut mengandung arti wajib, karena Imam Abu Hanifah dalam mengartikan perintah (amr) itu berarti wajib, seperti kaidah ushuliyah, yaitu: 7
اﻻﺻﻞ ﻓﻰ اﻻﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮب
Artinya: “ِArti yang pokok dalam perintah (amr), ialah menunjukkan wajib” (wajibnya perbuatan yang diperintahkan). Pendapat Imam Abu Hanifah terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid, beliau dalam memahami dari ayat 58 surat Maryam adalah wajib untuk bersujud kepada Allah jika dibacakan ayat-ayat Allah Swt, karena ayat tersebut diartikan menurut lahirnya, yaitu wajib, karena Imam Abu Hanifah dalam hal ini memegangi aturan pokok, yaitu mengartikan suruhan-suruhan (amr) kepada wajib atau menempatkan kalimat-kalimat berita ditempat kalimat-kalimat suruhan.8 Imam Abul Ma’ali (al-Djuwaini) mengatakan bahwasanya alasan Imam Abu Hanifah untuk memegangi suruhan-suruhan yang mengenai sujud itu tidak kuat, karena perintah (kewajiban) secara mutlak tidak akan menjadi wajib yang muqayyad (yang terikat dengan balasan tertentu), yaitu ketika membaca ayat al-Qur’an, membaca ayat-ayat tentang sujud. Oleh karena itu kalau keadaan yang sebenarnya seperti yang disangka oleh Imam Abu Hanifah, tentunya shalat menjadi wajib ketika orang membaca ayat-ayat alQur'an yang berisi tentang perintah untuk shalat. Kalau salat ini tidak wajib,
7
Al-Hanafie M.A, Usul Fiqh, loc. c it., hlm. 31 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa: A Hanafi, Jakarta, Bulan Bintang, Jilid III, 1969, hlm. 52 8
53 maka sujud pun tidak wajib ketika seseorang membaca ayat-ayat yang berisi tentang perintah sujud, hanya karena adanya perintah sujud.9 Bagi Imam Abu Hanifah tidak sukar untuk mengatakan bahwa kaum muslimin sudah sepakat terhadap pendapatnya bahwa bentuk-bentuk kalimat berita yang mengenai sujud ketika membaca al-Qur'an sama artinya dengan perintah sujud, yaitu pada kebanyakan tempat. Kalau demikian keadaannya, maka artinya perintah untuk sujud dibataskan (muqayyad) kepada bacaan Qur’an (tilawat), yakni ketika membacanya. Sedang perintah untuk sujud bersifat mutlak, dan oleh karena itu apa yang mutlak harus diartikan kepada muqayyad. Dan perintah sujud tidak sama dengan perintah shalat, karena kewajiban shalat terkait dengan ikatan-ikatan yang lain. Apalagi Nabi Muhammad Saw telah bersujud dalam shalat dan dengan demikian, maka ia telah menjelaskan bahwa sujud yang diberikan dalam bacaan al-Qur'an. Oleh karena itu isi suruhan harus diartikan kepada wajib. Adapun dasar Imam Abu Hanifah yang bersumber dari hadits adalah hadits riwayat dari Abu Hurairah, yaitu:
ﺡﺪﺛﻨﺎ اﺏﻮ ﻣﻌﺎوﻳﺔ ﻋﻦ: ﻗﺎﻻ,ﺡﺪﺛﻨﺎ اﺏﻮ ﺏﻜﺮ ﺏﻦ اﺏﻲ ﺷﻴﺒﺔ واﺏﻮ آﺮﻳﺐ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ: ﻗﺎل: ﻋﻦ اﺏﻲ هﺮﻳﺮة, ﻋﻦ اﺏﻲ ﺻﺎﻟﺢ,اﻻﻋﻤﺶ اﻋﺘﺰل,ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اذا ﻗﺮا اﺏﻦ ادم اﻟﺴﺠﺪة ﻓﺴﺠﺪ ﻳﺎوﻳﻠﻪ اﻣﺮ اﺏﻦ ادم ﺏﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﺴﺠﺪ ﻓﻠﻪ: ﻳﻘﻮل.اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻳﺒﻜﻰ 10 ( واﻣﺮت ﺏﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﺎﺏﻴﺖ ﻓﻠﻲ اﻟﻨﺎر )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.اﻟﺠﻨﺔ 9
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa: A Hanafi, op. cit., hlm. 52 Imam Yahya bin Saraf an-Nawawi, Shohih Muslim Bi Syarh an-Nawawi, Juz I, Bairut: Libanon, Dar: al-Kitab al-‘Ilmiyah, t. th., hlm. 60 10
54 Artinya: “Hadits dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, berkata: hadits dari Abu Mu’awiyah dari al-a’mas, dari Abi Sholih dari Abu Hurairah berkata bahwa Rosulullah Saw bersabda: “apabila anak Adam membaca ayat sajadah, kemudian ia sujud, menghindarlah syaitan dan ia menangis, seraya berkata, “Hai celaka! anak Adam disuruh sujud, lantas ia sujud, maka baginya surga dan saya diperintah sujud juga, tetapi saya tidak mau, maka bagi saya neraka”. (HR. Muslim) Hadits ini menurut Imam Abu Hanifah merupakan dalil tentang diperintahkannya manusia untuk bersujud tilawah dan perintah tersebut merupakan perintah wajib.11 Karena dalam hadits tersebut mengandung arti perintah yakni “bahwasanya anak Adam itu disuruh untuk bersujud jika membaca ayat sajadah” dan perintah suruhan tersebut adalah mutlak, oleh karena itu menunjukkan wajib.12 Hadits tersebut didukung oleh hadits riwayat dari Ibnu Umar, yaitu:
, اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق,ﺡﺪﺛﻨﺎ اﺡﻤﺪ ﺏﻦ اﻟﻔﺮات اﺏﻮ ﻣﺴﻌﻮد اﻟﺮازي آﺎن: ﻋﻦ اﺏﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل, ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ, اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺏﻦ ﻋﻤﺮ:ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﺮا ﻋﻠﻴﻨﺎ اﻟﻘﺮان ﻓﺎذا ﻣﺮ 13 (ﺏﺎﻟﺴﺠﺪﻩ آﺒﺮ وﺳﺠﺪ وﺳﺠﺪﻧﺎ ﻣﻌﻪ )رواﻩ اﺏﻮ داود Artinya: ”Hadits dari Ahmad bin al-Furat Abu Mas’ud ar-Razi, diceritakan dari Abdul Royaq, berkata: diceritakan dari Abdullah bin Umar, dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata: Biasanya Rasulullah Saw membaca al-Qur’an kepada kami, apabila melewati ayat sajadah, maka beliau takbir lalu sujud dan kami pun sujud bersama beliau” (HR. Abu Daud) Di dalam hadits ini, terkandung dalil yang menunjukkan adanya sujud tilawah bagi pendengar, berdasarkan keterangan di atas: “Kami sujud 11
Asy-Samsudin As-Sarkhasi, Al-Mabsut, Juz I, Baerut: Libanon, Dar: al-Ma’rifah, 1989, hlm. 4 12 Imam ‘Ala Uddin Abi Bakr, Badi’u al-Shani’, Juz I, Bairut: Libanon, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 180 13 Abi Daud, Sunan Abi Daud, Juz I, Bairut: Libanon, Dar: al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 420
55 bersamanya”. Berdasarkan zhohir hadits tersebut, sama saja orang yang sedang membaca ayat-ayat sajadah dan yang mendengarkannya. Menurut penulis bahwasanya dalam Kitab Shohih Muslim Bi Syarhi an-Nawawi diterangkan bahwasanya kalimat ( )اﻣﺮ اﺑﻦ ادم ﺑﺎﻟﺴﺠﺪyang terdapat dalam hadits riwayat dari Abu Hurairah tersebut bukan merupakan kalimat perintah melainkan merupakan kalimat anjuran saja. Jadi kalau hal itu hanya merupakan kalimat anjuran maka sujud tilawah itu tidak wajib melainkan sunnah, karena anjuran itu sendiri menunjukkan kesunahan. Jadi Imam Abu Hanifah dalam memahami Hadits riwayat dari Abu Hurairah itu hanya secara lahiriyah dan secara rasional (ra’yu) saja dan hadits riwayat Abu Hurairah tersebut kurang kuat jika dijadikan hujjah dalam hal mewajibkannya sujud tilawah, karena kalimat ( )اﻣﺮ اﺑﻦ ادم ﺑﺎﻟﺴﺠﺪitu menunjukkan kalimat anjuran saja. Dan anjuran itu sendiri menunjukkan sunnah. Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang hukum melakukan sujud tilawah itu adalah sunnah berdasarkan hadits Nabi riwayat dari ‘Umar, yaitu:
ﺡﺪﺛﻨﺎ اﺏﺮاهﻢ ﺏﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﻗﺎل اﺧﺒﺮﻧﺎ هﺸﺎم ﺏﻦ ﻳﻮﺳﻒ ان اﺏﻦ ﺡﺮﻳﺞ اﺡﺒﺮهﻢ ﻗﺎل اﺧﺒﺮﻧﻰ اﺏﻮ ﺏﻜﺮ ﺏﻦ اﺏﻰ ﻣﻠﻴﻜﺔ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﺏﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺡﻤﻦ اﻟﺘﻴﻤﻲ ﻋﻦ رﺏﻴﻌﺔ ﺏﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺏﻦ اﻟﻬﺪﻳﺮ اﻟﺘﻴﻤﻲ ﻗﺎل اﺏﻮ ﺏﻜﺮ وآﺎن رﺏﻴﻌﺔ ﻣﻦ ﺧﻴﺎر اﻟﻨﺎس ﻋﻤﺎ ﺡﻀﺮ رﺏﻴﻌﺔ ﻣﻦ ﻋﻤﺮ ﺏﻦ اﻟﺨﻄﺎب رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺮا ﻳﻮم اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻨﺒﺮ ﺏﺴﻮرة اﻟﻨﺤﻞ ﺡﺘﻰ اذا ﺟﺎ اﻟﺴﺠﺪة ﻧﺰل ﻓﺴﺠﺪ ﺳﺠﺪ اﻟﻨﺎس ﺡﺘﻰ اذا آﺎﻧﺖ اﻟﺠﻤﻌﺔ اﻟﻘﺎﺏﻠﺔ ﻗﺮا ﺏﻬﺎ ﺡﺘﻰ اذا ﺟﺎ اﻟﺴﺠﺪة ﻗﺎل ﻳﺎاﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس اﻧﺎ ﻧﻤﺮ وﻟﻢ. وﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺠﺪ ﻓﻼ اﺛﻢ ﻋﻠﻴﻪ,ﺏﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﻤﻦ ﺳﺠﺪ ﻓﻘﺪ اﺻﺎب
56
وزاد ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺏﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ.ﻳﺴﺠﺪ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ 14 ( ان اﷲ ﻟﻢ ﻳﻔﺮض اﻟﺴﺠﻮد اﻻ ان ﻧﺸﺎء )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري:ﻋﻨﻬﻤﺎ Artinya: “Hdits Ibrohim bin Musa berkata diceritakan Hisyam bin Yusuf sesungguhnya Ibnu Juraiji berkata diceritakan kepadaku Abu Bakr bin Abi Mulaikah dari Utsman bin ‘Abdi al-Rahman al-Taimiyyi dari Robi’ah bin ‘Abdillah bin al-Hudairi al-Taimyyi berkata Abu Bakr dan Robi’ah dari pilihan manusia sesungguhnya datang kepada Robi’ah dari Umar bin Kattab r.a: Bahwasanya Umar Bin Khattab r.a, membaca ayat an-Nahl (ayat sajadah) kemudian ia turun dan bersujud, kemudian orang-orang banyak bersujud bersama-sama dia. Setelah ia berada pada hari jum’at yang kedua, dan ia membaca ayat sajadah, maka orang-orang banyak telah bersiap-siap untuk sujud, maka berkata Umar r.a wahai manusia sesungguhnya akan melewati ayat sajadah: barangsiapa yang sujud maka dia sudah mendapat pahala sunnah dan barangsiapa yang tidak sujud maka dia tidak berdosa, dan Umar r.a tidak bersujud dan beliau menambahkan dari Ibnu Umaar r.a: Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sujud kepada kita, kecuali jika kita menghendaki”. (HR. Al-Bukhari) Dalam hadits tersebut itu terkandung petunjuk bahwa Umar berpendapat tidak wajib sujud tilawah. Dan beliau mengemukakan sebagai dalilnya, sabda Nabi Saw, yang artinya: “kecuali jika kita mau”. Adapun pendapat ini termasuk Istisna’ Munqathi’ yang maksudnya hal itu terserah kepada kehendak kita.15 Akan tetapi barangsiapa yang melakukan sujud tilawah, maka hendaklah dia menyempurnakan sujudnya. Kedua hadits tersebut diatas (hadits riwayat dari Abu Hurairah dan riwayat dari Umar) itu menjadi hujjah. Imam Abu Hanifah berhujjah dengan hadits riwayat dari Abu Hurairah yang rowinya adalah al-Muslim dan Imam Syafi’i berhujjah dari hadits riwayat dari Umar yang rowinya al-Bukhari.
14
Al-Bukhari Al-Ja’fi, Shohih Bikhari, Juz I, Bairut: Libanon, Dar: al-Kutub, al‘Ilmiyah, t. th., hlm. 329 15 Drs. Abu Bakar Muhammad, op. cit., hlm. 84
57 Menurut penulis kedua hadits tersebut adalah shohih di kalangan para ulama, akan tetapi kalau dilihat dari segi tingkat keshohihannya, maka hadits dengan rowi al-Bukhari (hadits-hadits yang ada dalam kitab Shohih Bukhari) itu menempati tingkatan pertama, karena al-Bukhari itu hidup pada zaman sahabat dan bertemu langsung dengan sahabat dalam menerima hadits. Sedangkan hadits dengan rowi al-Muslim (hadits-hadits yang ada dalam kitab Shohih Muslim) itu menempati tingkatan kedua, karena al-Muslim dalam menerima hadits itu tidak bertemu langsung dengan sahabat akan tetapi masih dalam kurun satu waktu. Jadi keshohihan hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Abu Hanifah tersebut kurang kuat, dibandingkan dengan keshohihan hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Syafi’i, karena keshohihan hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Abu Hanifah tersebut menempati urutan kedua. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwasanya Imam Abu Hanifah dalam mengartikan segala kalimat-kalimat suruhan itu menunjukkan wajib dan istimbath hukum yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam mewajibkannya sujud tilawah yaitu dengan menggunakan metode Isimbath secara rasional (ra’yu) yang dapat dijadikan dengan isti’dlal dalam pengertian hukum dari suatu nass.