IMAM MALIK IBN ANAS (Telaah Pemikiran Hukum Islam) Oleh: Syamsul Hilal Abstrak Corak pemikiran hukum Islamn Ibn Malik dalam merespon permasalahan hukum, menjadikan Alqur’an sebagai sumber hukum pertama dengan kriteria أﺻﻮل اﻟﺨﻤﺴﺔ: Makna zahir Alqur’an, Dalil Alqur’an yang berupa اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﻮاﻓﻘﺔ, Dalil Alqur’an yang اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ, Tanbīh Alqur’an (memperhatikan ‘illat (ratio legis/alasan hukum), adalah ‘illat-’illat hukum yang berupa sebab yang menimbulkan adanya hukum). Adapun yang terkait dengan sunnah beberapa isyarat kutipan yang bersumber dari اﻟﻤﻮطﺄ, menegaskan bahwa Imam Malik mengambil tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum Islam setelah Alqur’an, sunnah dan hadis اﻟﻤﻨﻘﻄﻊserta اﻟﻤﺮﺳﻞselama (kedua jenis hadis tersebut) tidak bertentangan dengan konsesus amal penduduk Madinah. Adapun secara sederhana dapat diinfentarisir sebagai metode penggalian hukumnya adalah sebagai berikut: a). Alqur’an, b). Sunnah, c). Ijmā’, d). Ijmā’ Ahl alMadinah, e). Qiyas, f). Qaul shahabi, g). Maslahah Mursalah, h). Urf, i. Sad alDzarī’ah , j). Istihsān, K). Istishhāb. Atau: a. Alqur’an, b. Sunnah, c. Ijmā’, d. Ra’yun. Penyerdehanaan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa qaul shahabi dan tradisi yang berlaku pada masyarakat Madinah dalam prespektif Imam Malik merupakan bagian integral dari al-sunnah al-nabawiyah, sedangkan yang termasuk dalam kategori رأيatau argumentasi yang menggunakan rasio adalah meliputi: Maslahah mursalah, Sad al-Dzarī’ah , urf, Istihsān dan istishhab. Kata Kunci : pemikiran hukum Islam, Ibn Anas A. Pendahuluan Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana hukum itu tumbuh. Kedua hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai dimanapn dan kapanpun, terutama dalam keberagaman masyarakat yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historis dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan framework bagi pemikiran Islam. Malik ibn Anas merupakan salah satu cendikia muslim yang tergolong tabi’in yang telah memberikan kontribusi pemikiran hukum di dunia Islam. Basis pemikirannya didasarkan pada Alqur’an, sunnah, Ijmā’ alh al-Madinah dan lain-
Penulis adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
34
lain, mempunyai karakter tersendiri dalam wacana hukumnya. Makalah sederhana ini akan menjawab beberapa pertanyan berikut: 1. Siapakah Malik ibn Anas yang kemudian lebih dikenal dengan Imam Malik? 2. Bagaimana corak pemikiran hukum Islamnya? 3. Bagaimana pengaruh pemikirannya dalam peta pemikiran hukum Islam secara umum? Inilah beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini secara sederhana. Saran dan akses informasi dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. B. Biografi Dan Latar Belakang Pemikirannya. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn Haris al-Ashbahi.60 Ia adalah keturunan bangsa Arab yang berasal dari dusun Dzu Ashhab , suatu dusun di daerah Himyar, wilayah kekuasaan Yaman. Ibunya bernama Aliyan binti Syuraikh ibn Abd al-Rahman ibn Syuraikh al-Azdiayah. Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H/ 716 M di kota Madinah suatu daerah di negeri Hijaz dan wafat pada hari ahad, 10 Rabi alAwwal 179 H/ 789 M di Madinah pada pemerintahan Bani Abbasiah di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid.61 Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, ia hidup pada dua zaman. Kelahirannya bertepatan dengan eksisnya kekuasaan Bani Ummayah di bawah kepemimpinan al-Walid Abd al-Malik dan meninggal pada masa Bani Abbasiah tepatnya pada masa kekuasaan Harun al Rasyid. Ia hidup pada masa kekuasaan Bani Umaiyah selama 40 tahun dan di masa pemerintahan Bani Abbasiah selama 46 tahun.62 Masa pendidikan Imam Malik adalah di Kota Madinah, kota ini merupakan tempat berdomisilinya para sahabat besar, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Materi pelajaran yang mula-mula dipelajarinya adalah Alqur’an, hadis dan Fiqh. Kecerdasannya telah menghantarkan Imam Malik kecil menguasai materi pelajaran dengan baik dan menjadi murid yang luas wawasannya.63 Di antara para gurunya adalah Abd al-Rahman ibn Hurmuz (ia adalah guru pertamanya dan cukup lama Imam Malik belajar kepadanya sebelum belajar kepada guru-guru yang lainnya), Nafi ibn Abi Na’im (belajar materi qira-
Muhammad ibn Hasan al-Hajwi, اﻟﻔﻜﺮ اﻟﺴﺎﻣﻰ ﻓﻲ اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻲ, Madinah, t. tp.,1977, h. 376. Bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, ﻣﺎﻟﻚ ﺣﯿﺎﺗﮫ و ﻋﺼﺮه و أراءه و ﻓﻘﮭﮫMesir, Dar alFIkri Al-Arobi, tt., h. 24-25. Bandingkan dengan Muhammad ali Sayis, ﺗﺎرﯾﺢ اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻲ, Beirut, Dar al-Kutub al-Islami,, 1990, h.97. lihat Abd al-Aziz DAhlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Juz IV, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 1092. 61 Huzaimah Tahido Yanggo (selanjutnya disebut Huzaimah), Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta, Logos, 1997, h. 103 62 Muhammad Abu Zahrah, Loc.Cit. Bandingkan dengan Ahmad Amin., ﺿﺤﻲ اﻹﺳﻼم,Juz II, Kairo, Mfaktabaah al-Nahdhah al-Mishriah, 1947, h. 205. Bandingkan dengan Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Remaja Sosdakarya, 2000, h. 79 63 Huzaimah, op.cit. 105 60
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
35
ah), Rabi’ah ibn Abd al-Rahman (belajar fiqih), Nafi’ Maula ibn Umar dan Ibn Syihab al-Zuhri (dari keduanya ia belajar materi hadis).64 Di antara murid-murid Imam Malik yang terkenal dan besar jasanya dalam pengembangan mazhab Maliki adalah Muhammad ibn Al-Hasan, Abd Allah ibn Wahhab (125-197H). murid yang disebut terakhir ini banyak menulis buku yang berkaitan dengan fiqih. Karyanya yang paling popular adalah اﻟﻤﺪوّﻧﺔ. sedangkan muridnya yang lain dan nantinya menjadi tokoh imam mazhab adalah Imam Syafi’i.65 Adapun penyebaran Mazhab Maliki dapat dilihat pada beberapa negara yang bermula dari daerah Madinnah al-Munawaarah kemudian menyebar ke wilayah Hijaz, Bahrain, Kuwait, Maghribi dan Andalusia dan pada akhir-akhir ini tampak perkembangannya didaerah pinggiran Magribi dan Afrika barat dan timur66. Umat Islam yang telah terbiasa menganut mazhab tertentu, pada level grassroots menimbulkan fanatisme mazhab yang tidak sehat, bentuknya tidak mengakomodir pemikiran hukum yang terdapat pada mazhab lainnya. Mereka cenderung mengkalim bahwa apa yang dilakukan oleh imam mazhabnya itulah pendapat yang paling benar. Fanatik mazhab tidak hanya terbatas pada tatanan konsep pemikiran, pendapat, dan ijtihad seorang imam, akan tetapi lebih dari itu. Misalnya bermitologi dengan geneologis seseorang secara hiperbolis untuk menunjukkan keistimewaan telah terjadi pada tokoh idolanya sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia. Adapun polanya adalah : a. Membuat informasi hiperbolis tentang keberadaaan salah satu Imam dalam kandungan ibunya, mitologi masyarakat pada saat itu meyakini bahwa orang yang lama dalam kandungan ibunya setelah dilahirkan akan mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan manusia lainnya, seperti tokoh berikut ini: 1. Imam Malik, dimitologikan bahwa ia berada dalam kandungan ibunya selama tiga tahun. 2. Imam Syafi’i dimitologikan bahwa ia berada dalam kandungan ibunya selama empat tahun. b. Dengan membuat hadis palsu yang mengutamakan imam mazhabnya. Hal ini dilakukan oleh pada pengikut imam mazhab sebagai berikut: 1) Hanafiyah membuat hadis: dari Rasulullah SAW bersabda:” Nanti akan datang pada umatku orang laki-laki yang namanya Nu’man Ibnu Tsabit yang biasa dipanggil dengan panggilan Abu Hanifah, Allah menhidupkan dengan tanganya sunahku dalam Islam”.
Ahmad Amin , op.cit., h. 206. Bandingkan dengan Muhammad Hudhari , ﺗﺎرﯾﺦ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﻲ, Singapura-Jeddah, al-Haramain, tt, h. 293. Dan lihat pula Abd al-Aziz Dahlan, Loc.cit. 65 Hasan Abu Tahlib, ﺗﻄﯿﺴﻖ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ ﻓﻰ اﻟﺒﻼد اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ, Kairo, Dar al-nahdah alArabiah, 1990, h. 160. 66 Shofi Hasan Abi Thalib, ﺗﻄﯿﺴﻖ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ ﻓﻰ اﻟﺒﻼد اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ, Kairo, Dar al-Nahdah alArabiah, 1995, h. 177. Bandingkan dengan Hasan Abu Taib, Loc.cit. 64
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
36
2) Malikiyah, dengan hadis nya : Nabi SAW bersabda: “Manusia keluar ke timur ke barat tidak akan mendapatkan orang yang sealim orang alim Madinah”. ( Maksudnya adalah Imam Malik ). 3) Syafi’iyah, membuat hadis sebagai berikut, Rasulullah bersabda :” Jangan menghina orang-orang Qurasiy karena orang alimnya ilmunya memenuhi penjuru dunia”. (Maksudnya adalah Imam Syafi’i). Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil seorang pakar sejarah Islam Mesir Kontemporer memberikan analisa tentang kedua corak fanatisme mazhab tersebut di atas tidak didukung oleh data otentik secara tekstual maupun data lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.67 C. Metode Argumentasi Imam Malik Abu Zahra mensinyalir bahwa Imam Malik belum menuliskan metode argumentasi hukumnya secara sistematis, dan para muridnyalah yang kemudian mensistematiskan dalam karya-karya mereka. Hal ini terlihat dari warna pemikiran dan beberapa isyarat kutipan yang bersumber dari buah karyanya اﻟﻤﻮطﺄ,68 yang menegaskan bahwa Imam Malik mengambil tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum Islam setelah Alqur’an, sunnah dan hadis اﻟﻤﻨﻘﻄﻊ serta اﻟﻤﺮﺳﻞselama (kedua jenis hadis tersebut) tidak bertentangan dengan konsesus amal penduduk Madinah.69 Keterkaitan Imam Malik dengan tradisi masyarakat Madinah tentu tidak terlepas adanya beberapa faktor, sebagai berikut: 1. Kota Madinah adalah merupakan tempat berkumpulnya sejumlah sahabat Rasullulah yang merupakan pakar hukum Islam.70 2. Imam Malik belum pernah melakukan tour ilmiah dalam rangka megenali sumber-sumber hukum Islam di selain kota Madinah dan keberangkatanya ke Makkah adalah merupakan lawatan ibadah haji semata.71 Walaupun tidak ada korelasi pasti antara komunitas penduduk Madinah yang berstatus sahabat besar dan mengetahui lebih banyak seluk-beluk kehidupan Rasulullah dalam bidang tasyri’dengan adanya kenyataan bahwa Imam Malik tidak pernah tour ilmiah dalam menggali sumber-sumber materi ijtihad hukumnya. Penggunaan hadis اﻟﻤﻨﻘﻄﻊ و اﻟﻤﺮﺳﻞ- sepanjang tidak bertentangan dengan konsensus tradisi masyarakat Madinah- adalah indikasi nyata betapa
Muhammad Sayyid al-Wakil , أﺳﺒﺎب اﻟﻀﻌﻒ ﻓﻰ اﻷﻣﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ: ﻟﻤﺤﺔ ﻣﻦ ﺗﺎرﯾﺦ اﻟﺪﻋﻮة, (terj) Fadhli Bahri, Mesir, Dar al-Arqam Zaqaziq, 1989, h. 111 68 اﻟﻤﻮطﺄartinya: Jalan yang mudah dilalui. Kitab اﻟﻤﻮطﺄyang beredar di Asia ada dua versi, di Indonesia adalah karya murid Imam Malik yang bernama Yahya al-Lais (152 H/ 769 H – 234 H / 849 M), اﻟﻤﻮطﺄversi ini jumlah hadisnya lebih banyak dari kandungan fatwa sahabat dan tabi’in dibandingkan dengan karya Muhammad ibn Hasan al-syaibani yang beredar di India. Abd al-Aziz Dahlan, Loc.Cit. 69 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 26 Mu’im A.Sairi, Sejarah Fiqh Islam Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1995h. 92 70 Huzaimah, op.cit, h. 103 71 Ahmad Amin, op. cit. h. 206. Bandingkang dengan Faruq Abu Zaid, اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼم ﺑﯿﻦ اﻟﺴﻠﻒ واﻟﺨﻠﻒ, Mesir, Dar al-Kutub al-Arabi, tt., h. 20 67
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
37
Imam Malik sangat konsen terhadap tradisi masyarakat Madinah - yang diyakini merupakan perwujudan dan penjelmaan dari nilai-nilai syari’at Islam.72 Imam Malik dikenal sebagai seorang mujtahid yang kuat pendiriannya dan konsisten terhadap hasil ijtihadnya meskipun harus berseberangan paham dengan kebijakan rezim penguasa. Hal ini dapat terlihat dengan adanya kasus penyiksaan penguasa terhadap dirinya oleh Khalifah al-Manshur dari Bani Abbas di Baghdad.73 Dalam berargumentasi, dikenal adanya istilah أﺻﻮل اﻟﺨﻤﺴﺔsebagaimana dikemukakan oleh Thaha Jabir al-Ulwani yang dikutip oleh Jaih Mubarak dengan pemakaian dasar hukum normatif secara hirarkis sebagai berikut.74 1. Alqur’an, seperti Imam mazhab lainnya, ia meletakkan Alqur’an di atas semua dalil lainnya karena merupakan pokok syari’at dan hujjahnya.75 2. Makna zahir Alqur’an, yaitu nashh yang tegas dan tidak menerima takwil serta mengambil bentuk lahirnya. 3. Dalil Alqur’an yang berupa اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﻮاﻓﻘﺔ, yaitu hukum yang semakna dengan suatu nashh (Alqur’an atau hadis), hukumnya sama dengan yang disebutan oleh nashh itu sendiri secara tegas. 4. Dalil Alqur’an yang اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nashh pada sesuatu yang tidak disebutka dalam nash. 5. Tanbīh Alqur’an, yaitu memperhatikan ‘illat (ratio legis/alasan hukum), adalah ‘illat-’illat hukum yang berupa sebab yang menimbulkan adanya hukum. Al-Qarrafi mengidentifikasi dasar-dasar argumentasi mazhab Maliki terdiri dari 11 strata dasar normatif, sebagai berikut: a. Alqur’an, b. Sunnah, c. Ijmā’, d. Ijmā’ Ahl al-Madinah, e. Qiyas, f. Qaul shahabi, g. Maslahah Mursalah, h. Urf, i. Sad al-Dzarī’ah , j. Istihsān, K. Istishhāb.76 Adapun seorang pakar hukum Islam yang berafiliasi pada mazhab Imam Malik, yaitu al-Syatibi menyimpulkan bahwa metodologi argumentasi Imam.
72
Ada tanggapan negative terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam MAlik dalam perspektif penetapan hukum Islam, dimana ia hanya bersumber dari riwayat yang ada disekitar daerah hijaz tanpa melihat dan meneliti riwayat diluar Hijaz. Muhammad Ali Sayis, op.cit., h. 116 73 Faktor utama penguasa menjatuhkan hukuman fisik berupa cambukan terhadap Imam MAlik, para sejarawan berbeda pendapat sebagai berikut : a. fatwa Imam Malik yang menyatakan bahwa menjatuhkan thalak secara paksa adalah tidak sah. Ahmad Amin. Op.cit.,h. 207. Bandingkan dengan Huzaimah, op.cit. h. 105. b. Fatwa Imam Malik yang berkaitan dengan kasus pemberontakan terhadap penguasa pada saat itu. Ketika diajukan pertanyaan tentang hukuman para pemberontak kepadanya, ia mengeluarkan fatwa bahwa bila mereka memberontak terhadap pemerintahan yang legitimet, adil dan bijaksana, maka cukup beralasan untuk dijatuhi hukum bunuh, bila pemberontakan terhadap pemerintahan yang lalim, maka tidak layak untuk dikenakan hukuman bunuh. Muhammad Ali Sais, op.cit, h. 116 74 JAih Mubarak, op.cit. h. 81 75 Harun Nashution Dkk. Ensiklopedia Islam, Jakarta, Djambatan, 1992, h. 143 76 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, h. 218
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
38
Malik pada empat macam, sebagai berikut:a. Alqur’an, b. Sunnah, c. Ijmā’, d. Ra’yun.77 Penyerdehanaan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa qaul shahabi dan tradisi yang berlaku pada masyarakat Madinah dalam prespektif Imam Malik merupakan bagian integral dari al-sunnah al-nabawiyah, sedangkan yang termasuk dalam kategori رأيatau argumentasi yang menggunakan rasio adalah meliputi: Maslahah mursalah, Sad al-Dzarī’ah , urf, Istihsān dan istishhab. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a. Alqur’an (penjelasannya lihat halaman: 6) b. Sunnah Secara terminologi Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, tradisi hidup rasulullah yang merupakan penjelasan dari kandungan Alqur’an yang bersifat global,78 atau pengertian yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Qurani maupun sunnah al-nabawiyah.79 Dalam penggunaan sunnah sebagai dasar normatif suatu hukum, imam Malik menetapkan hukum-hukum sebagai berikut: 1) Bila nash memerlukan takwil, maka takwil tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan nash tersebut. 2) Bila terdapat pertentangan antara makna dzāhir Alqur’an dan makna yang terkandung dalam suatu hadis meskipun sharih (jelas), maka yang dipegang adalah makna dzāhir Alqur’an, tapi bila makna sebenarnya hadis tersebut dikuatkan dengan Ijmā’ Ahl al-Madinah, maka makna hadis tersebut dikategorikan sebagai sunnah mutawatirah atau masyhurah.80 c. Ijmā’ Ahl al-Madinah Ijmā’ yang dimaksudkan adalah semua konsensus masyarakat Madinah sebagai cermin nilai-nilai perilaku Rasulullah, seperti tentang ketentua ukuran ع ٌ ﺻَ ﺎ، ﻣُــ ﱞﺪdan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW. Tempat yang tinggi untuk untuk azan dan lain-lain. Ijmā’ ahl al-Madinah dalam strata dasar argumentasi hukum versi Imam Malik lebih tinggi kedudukanya dari qiyas maupun hadis ahad.81 Ijmā’ Ahl al-Madinah ada empat tingkatan, sebagai berikut: 1) Konsensus masyarakat Madinah yang bersumbar dari ﻧﻘــﻞ.
77
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Gharaniti al-Syatibi (selanjutnya disebut alSyatibi), اﻟﻤﻮاﻓﻘﺎت ﻣﻦ أﺻﻮل اﻷﺣﻜﺎم, Jilid III, Beirut, Dar al-Fikri, tt, h. 2 78 Ibid.. 79 Ibid.. 80 Huzaimah, op.cit, h. 106 81 Muhammad Ali Sais, op.cit. h. 114. Pengutamaan Ijmā’ ahl al-Madinah sebagai dasar hukum normatif lebih tinggi posisinya dari qiyas dikritik oleh al-Ghazali dalam اﻟﻤﺴﺘﺼﻔﻰ mengingat para sahabat tersebut bukanlah orang yang ma’shum dan terbuka kemungkinan berbuat salah sehingga realitas ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kepastian dasar hukum, Ibid, h. 115. Bandingkan dengan Shoufi Husein Abi Thalib, Loc. Cit.
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
39
2) Kesepakatan masyarakat Madinah sebelum terbunuhnya Khalifah usman ibn Affan, keduanya merupakan hujjah, mereka berasumsi belum pernah diketahui amalan masyarakat Madinah masa lalu yang bertentangan dengan sunnah Nabi SAW. 3) Konsensus masyarakat Madinah dijadikan pentarjih dua dalil yang bertentangan, maka dalil yang didukung oleh konsensus masyarakat Madinah adalah dalil yang rajih dan dijadikan dasar hukum. 4) Konsensus masyarakat Madinah sesudah masa sahabat Nabi SAW. Maka konsensu tersebut bukan merupakan hujjah.82 d. Fatwa sahabat Fatwa sahabat dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal mAnasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain dengan alasan bahwa sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakanya karena hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Rasulullah.83 e. Khabar Ahad Penggunaan khabar ahad sebagai dasar hukum normatif dalam perspektif Imam Malik berdasarkan pada sahihnya sanad hadis tersebut semata. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah secara umum, ia membutuhkan satu syarat lain selain syarat tersebut di atas yaitu kemashuran hadis tersebut dikalangan sahabat Nabi SAW. Ketentuan lain dalam berargumentasi dengan hadis ahad adalah bahwa hadis ahad akan tidak dijadikan dasar normatif hukum suatu permasalahan bila bertentangan dengan praktek ibadah yang telah menjadi konsensus penduduk Madinah.84 Sebagai contoh adalah Imam Malik berpendapat bahwa menzakatkan hasil ladang (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan) selain yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. adalah tindakan wajib. Jika sayursayuran atau buah-buahan itu dijual, maka hasil penjualanya wajib dizakatkan apabila berada ditangan pemiliknya selama setahun, karena demikianlah praktek masyarakat Madinah yang didapati Imam Malik. Ia menolak keumuman hadis Rasulullah SAW. Yang mengatakan: Pada tanaman yang diairi dengan air hujan atau dangan mata air atau dengan limpahan air (tanpa usaha manusia), zakatnya sepersepuluh dan pada tanaman yang disirami dengan tenaga unta, maka zakatnya adalah seperlima (HR. Abu Dawud dan Tarmizi). Imam Malik juga tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifa yang mengatakan bahwa hadis tersebut mencakup seluruh jenis tanaman. Menurut Imam Malik, hadis tersebut hanya berlaku pada jenis buahbuahan yang dijelaskan oleh Rasulullah, seperti kurma, anggur, gandum dan jelai atau buah-buahan lainya(sebagai makanan pokok) yang 82
Huzaimah, op.cit, h. 107 Huzaimah, op. cit. h. 107 84 DEPAG, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta, PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1993 h. 143 83
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
40
mengenyangkan. Selain itu, hadis tersebut tidak berlaku karena bertentangan dengan praktek muamalah penduduk Madinah.85 Ahmad Amin melihat paradoksal hadis ahad yang dijadikan dasar normatif permasalahan hukum dengan melonggarkan kareteria sebuah hadis dapat dijadikan dasar hukum normatif. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang yang sangat hati-hati dalam menyeleksi suatu hadis.86 f. Istihsān Imam Malik mempergunakan Istihsān sebagai dasar argumentasi penetapan hukum. Istihsān dalam pandangan Imam Malik adalah memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﺠﺰﺋﯿﺔ (sebagian) atas ketetapan hukum berdasarkan qiyas. Jika dalam qiyas ada keharusan menyamakan sesuatu hukum yang tidak tegas dengan hukum tertentu yang tegas, maka اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﺠﺰﺋﯿﺔmengharuskan hukum lain dan dan inilah yang diberlakukan.87 Atau berpindahnya dari seharusnya menggunakan suatu qiyas kepada ketentuan qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat.88 Hal ini berarti bahwa istishan adalah untuk mementingkan اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﺠﺰﺋﯿﺔ atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil umum. Dengan arti lain bahwa istishan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya, jika terdapat satu masalah yang menuntut qiyas ternyata akan menghilangkan suatu maslahat atau membawa mudharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.89 Secara umum Istihsān, versi maliki dibagi menjadi tiga : 1. Istihsān yang disandarkan kepada Urf. Contohnya bila seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, kalau ia makan daging ikan, maka tidaklah dianggap melanggar sumpah, walaupun di dalam Alqur’an telah dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging hewan lainnya. Dalam QS. Al-Fatir : 35:12: Artinya : “Dan dari masing-masing laut kamu dapat memakan daging yang segar”. Dalam ayat di atas tidak menyebutkan ikan, tetapi menyebutkan daging segar yang diambil dalam laut. Dengan kata lain Alqur’an tidak membedakan ikan dengan daging – karena
85
Ahmad Amin, op.cit. h. 210-1. BAndingkan dengan Abd al-Aziz Dahlan, op.cit, h. 1093. Lihat juga DEPAG, op.cit, h. 143 86 Abd al-KArim Zaidan, , Baghdad, Dar al-Arabiah Littiba’ah, 1971, h. 230 87 Ensiklopedia Islam, Loc.cit. 88 Abd al-Karim Zaidan, اﻟﻮﺟﯿﺮ ﻓﻰ أﺻﻮل اﻟﻔﻘﮫ, Baghdad, Dar al-Arabiah lattiba’ah, 1971, h.230 89 Huzaimah, Op.Cit. h. 109
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
41
untuk menyebut ikan daging- menggunakan suatu lafal “ ”ﻟﺤﻢtetapi menurut Urf, ikan tidak dikategorikan daging. 2. Istihsān yang disandarkan kepada maslahat Istihsān jenis ini adalah mengenyampingkan pemberlakuan ketentuan hukum qiyas karena mempertimbangkan kepentingan maslahat yang lebih penting. Contohnya adalah jika seseorang menyewa sesuatu barang, kemudian barang tersebut rusak bukan karena faktor kesalahan penyewa. Maka menurut ketentuan qiyas ini tidak berlaku, karena demi kemaslahatan penyewa dituntut untuk mengganti atas kerusakan.90 3. Istihsān yang disandarkan kepada keadaan untuk menghilangkan kesulitan. Istihsān jenis ini didasarkan pada misi meninggalkan kesulitan yang dihapadi. Istihsān jenis ini banyak berlaku pada masalah muamalah dan ibadah sebagai upaya menghilangkan kesulitan dalam melakukan dua kegiatan tersebut.91 g. Masalah Mursalah Secara umum Maslahah Mursalah adalah semua apa yang bermanfaat bagi manusia, baik yang bermanfaat untuk meraih kebaikan dan kesenangan maupun yang bersifat untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan.92 Dengan kata lain esensi maslahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan umat manusia serta terhindar dari halhal yang bias merusaknya. Di sisi lain, maslahat berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak dengan kebutuhan umat manusia. Adapun Abd al-Karim Zaidan mendefinisikan Maslahat Mursalah adalah maslahat yang tidak disebutkan oleh nash baik penolakannya maupun pengakuannya.93 Dengan demikian Maslahah Mursalah adalah merupakan maslahah yang sejalan dengan tujuan syara’ dan dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudharatan. Imam Malik menjadikan Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah dalam menetapkan hukum.94 Bahkan Abu Zahrah mensinyalir bahwa Imam Malik dan pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan dan mempromotori penggunaan Maslahah Mursalah
Abad al-Wahab Khallaf , ﻣﺼﺎدر اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﻰ ﻓﯿﻤﺎ ﻻ ﻧﺺ ﻓﯿﮫ, Kuwait, Dar al-Qalam, 1972, h. 74-75 91 Ibid 92 Jalal ad-Din Abd al-RAhman, اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ و ﻣﻜﺎﻧﺘﮭﺎ ﻓﻰ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ,Mesir, Mathba’ah alSa’adah, 1983, h. 12-13. 90
93 94
Adb al-Karim Zaidan, op.cit., h. 273 Abd al-Karim Zaidan, op.cit., h. 238
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
42
sebagai dalil dan hujjah hukum.95 Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa para sahabat telah menghimpung Alqur’an dalam satu mushaf, penghimpunan ini dilakukan karena khawatir Alqur’an bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Rasulullah SAW. dan tidak ada pula larangannya. Pengumpulan Alqur’an dalam satu mushaf ini, semata-mata demi kemaslahatan. Dalam praktiknya, para sahabat telah menggunakan Maslahah Mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalilpun yang melarang dan menyuruhnya.96 h. Sadal-Dzarī’ah Secara literal Sad Al-dzariah adalah media yang menyampaikan sesuatu pada sesuatu yang menjadi tujuannya. 97 Adapun secara terminology adalah suatu media yang menyampaikan suatu perbuatan pada sesuatu yang haram dan atau menimbulkan kerusakan.98 Konsep dasar Sad al-Dzarī’ah adalah berasal dari Imam Malik, kemudian diteruskan oleh para ulama mazhabnya. 99 Sebagai contoh adalah menggali lobang di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan jatuh ke dalam lobang tersebut. Sebenarnya menggali lobang itu boleh-boleh saja, namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi demikian akan mendatangkan kerusakan.100 i. Istishhāb Secara literal adalah meminta persahabatan atau membandingkan sesuatu yang mendekatinya.101 Adapun secara terminologi adalah menetapkan sesuatu berdasarkan pada keadaan yang berlaku sebelumnya sehingga ada dalil yang pasti merubahnya atau adanya dugaan kuat adanya perubahan itu.102 Dari definisi ini dapat dipahami bahwa Istishhāb mempunyai beberapa unsur sebagai berikut: 1. Adanya suatu ketetapan hukum telah berlaku di masa lalu. 2. Berlakunya ketetapan hukum atau penghapusannya tersebut hingga kini dan masa yang akan datang selama belum ada dasar normatif hukum yang merubahnya.
Mustafa Sa’id al-Khind, اﺛﺮ اﻻﺧﺘﻼف ﻓﻰ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻷﺻﻮﻟﯿﺔ ﻓﻰ اﺧﺘﻼف اﻟﻔﻘﮭﺎء, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1981, h. 554. Bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 280 96 Ibid 97 Wahbah Zauhaili, أﺻﻮل اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻰ, Juz II, Damsyik, Dar al-Fikri, 1998, h. 902 98 Al-Syatibi, op.cit., Juz IV, h. 198 99 Ibid. bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 284. Lihat juga Ahmad alRisuni, ﻧﻈﺮﯾﺔ اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻋﻨﺪ اﻹﻣﺎم اﻟﺸﺎطﺒﻰ, Riyad, al-Dar al-‘Alamiah al-Kitab al-Islami, 1992, h. 73 100 Amir Syarif al-Din, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 402403 101 Sa’di Abu Jaib, اﻟﻘﺎﻣﻮس اﻟﻔﻘﮭﻰ ﻟﻐﺔ واﺻﻄﻼﺣَ ﺎ, Damaskus, Dar al-Fikri, 1988, h. 207. Bandingkan dengan Luwis Ma’luf, اﻟﻤﻨـــﺠﺪ ﻓﻰ اﻟﻠﻐﺔ, Beirut, Dar al-Masyrik, 1986, h. 416 102 Abd al-Wahhab Khaalaf, op.cit., h. 91. Bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 295-296. 95
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
43
Contohnya adalah bila seseorang telah berwudlu untuk melaksanakan shalat Subuh, maka keadaan telah berwudlu itu masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha (ia tidak perlu berwudlu lagi) selama belum ada bukti dan tandatanda bahwa wudlunya yang dilakukan pada waktu shalat subuh itu telah batal. D. Kesimpulan Pada bagian ini akan menjawab beberapa pertanyaan pada bagian pendahuluan yang meliputi: 1. Imam Malik adalah Abu Abd Allah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn Haris al-Ashbahi. Ia dilahirkan pada tahun 93 H/ 716 M di kota Madinah suatu daerah di negeri Hijaz dan wafat pada hari ahad, 10 Rabi alAwwal 179 H/ 789 M dan ia adalah keturunan bangsa Arab yang berasal dari dusun Dzu Ashhab , suatu dusun di daerah Himyar, wilayah kekuasaan Yaman. Ibunya bernama Aliyan binti Syuraikh ibn Abd al-Rahman ibn Syuraikh al-Azdiayah. 2. Adapun corak pemikiran hukum Islamnya adalah dalam merespon permasalahan hukum, menjadikan Alqur’an sebagai sumber hukum pertama dengan kriteria أﺻﻮل اﻟﺨﻤﺴﺔ: Makna zahir Alqur’an, Dalil Alqur’an yang berupa اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﻮاﻓﻘﺔ, Dalil Alqur’an yang اﻟﻤﻔﮭﻮم اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺔ, Tanbīh Alqur’an (memperhatikan ‘illat (ratio legis/alasan hukum), adalah ‘illat-’illat hukum yang berupa sebab yang menimbulkan adanya hukum). Adapun yang terkait dengan sunnah beberapa isyarat kutipan yang bersumber dari اﻟﻤﻮطﺄ, menegaskan bahwa Imam Malik mengambil tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum Islam setelah Alqur’an, sunnah dan hadis اﻟﻤﻨﻘﻄﻊ serta اﻟﻤﺮﺳﻞselama (kedua jenis hadis tersebut) tidak bertentangan dengan konsesus amal penduduk Madinah. Adapun secara sederhana dapat diinfentarisir sebagai metode penggalian hukumnya adalah sebagai berikut: a). Alqur’an, b). Sunnah, c). Ijmā’, d). Ijmā’ Ahl al-Madinah, e). Qiyas, f). Qaul shahabi, g). Maslahah Mursalah, h). Urf, i. Sad al-Dzarī’ah , j). Istihsān, K). Istishhāb. Atau: a. Alqur’an, b. Sunnah, c. Ijmā’, d. Ra’yun. Penyerdehanaan ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa qaul shahabi dan tradisi yang berlaku pada masyarakat Madinah dalam prespektif Imam Malik merupakan bagian integral dari al-sunnah al-nabawiyah, sedangkan yang termasuk dalam kategori رأيatau argumentasi yang menggunakan rasio adalah meliputi: Maslahah mursalah, Sad al-Dzarī’ah , urf, Istihsān dan istishhab. 3. Pengaruh pemikiran Imam Malik dalam perkembangan hukum Islam di belahan dunia internasional dapat dilacak dari sebaran madzhabnya di beberapa wilayah berikut: Hijaz, Bahrain, Kuwait, Maghribi, Pakistan, India dan Andalusia dan pada akhir-akhir ini tampak perkembangannya di Afrika barat dan timur.
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
44
DAFTAR PUSTAKA Abad al-Wahab Khallaf , ﻣﺼﺎدر اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﻰ ﻓﯿﻤﺎ ﻻ ﻧﺺ ﻓﯿﮫ, (Kuwait: Dar alQalam), 1972 Abd al-Aziz DAhlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Juz IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), 1997 Abd al-Karim Zaidan, اﻟﻮﺟﯿﺮ ﻓﻰ أﺻﻮل اﻟﻔﻘﮫ, (Baghdad: Dar al-Arabiah lattiba’ah), 1971 Abu Ishak Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Gharaniti al-Syatibi, اﻟﻤﻮاﻓﻘﺎت ﻣﻦ أﺻﻮل اﻷﺣﻜﺎم, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikri), tt Ahmad al-Risuni, ﻧﻈﺮﯾﺔ اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻋﻨﺪ اﻹﻣﺎم اﻟﺸﺎطﺒﻰ, (Riyad: al-Dar al-‘Alamiah alKitab al-Islami), 1992 Ahmad Amin., ﺿﺤﻲ اﻹﺳﻼم,Juz II, (Kairo: Maktabaah al-Nahdhah al-Mishriah), 1947 Amir Syarif al-Din, Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1999 Faruq Abu Zaid, اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼم ﺑﯿﻦ اﻟﺴﻠﻒ واﻟﺨﻠﻒ, (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabi), tt Harun Nashution Dkk. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan), 1992 Hasan Abu Tahlib, ﺗﻄﯿﺴﻖ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ ﻓﻰ اﻟﺒﻼد اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ, (Kairo: Dar al-nahdah alArabiah), 1990 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Sosdakarya), 2000 Jalal ad-Din Abd al-RAhman, اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ و ﻣﻜﺎﻧﺘﮭﺎ ﻓﻰ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah), 1983 Luwis Ma’luf, اﻟﻤﻨـــﺠﺪ ﻓﻰ اﻟﻠﻐﺔ, (Beirut: Dar al-Masyrik), 1986 Mu’im A.Sairi, Sejarah Fiqh Islam Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti), 1995 Muhammad Abu Zahrah, ﻣﺎﻟﻚ ﺣﯿﺎﺗﮫ و ﻋﺼﺮه و أراءه و ﻓﻘﮭﮫ, (Mesir: Dar al-FIkri AlArobi), tt. Muhammad Ali Sayis, ﺗﺎرﯾﺢ اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻲ, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami), 1990 Muhammad Hudhari , ﺗﺎرﯾﺦ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﻲ, (Singapura-Jeddah: al-Haramain), tt Muhammad ibn Hasan al-Hajwi, اﻟﻔﻜﺮ اﻟﺴﺎﻣﻰ ﻓﻲ اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻲ, (Madinah: t. tp.),1977 Muhammad Sayyid al-Wakil , أﺳﺒﺎب اﻟﻀﻌﻒ ﻓﻰ اﻷﻣﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ: ﻟﻤﺤﺔ ﻣﻦ ﺗﺎرﯾﺦ اﻟﺪﻋﻮة, (terj) Fadhli Bahri, (Mesir: Dar al-Arqam Zaqaziq), 1989 Mustafa Sa’id al-Khind, اﺛﺮ اﻻﺧﺘﻼف ﻓﻰ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻷﺻﻮﻟﯿﺔ ﻓﻰ اﺧﺘﻼف اﻟﻔﻘﮭﺎء, (Beirut: Muassasah al-Risalah), 1981 Sa’di Abu Jaib, اﻟﻘﺎﻣﻮس اﻟﻔﻘﮭﻰ ﻟﻐﺔ واﺻﻄﻼﺣَ ﺎ, (Damaskus: Dar al-Fikri), 1988 Shofi Hasan Abi Thalib, ﺗﻄﯿﺴﻖ اﻟﺘﺸﺮﯾﻊ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ ﻓﻰ اﻟﺒﻼد اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ, (Kairo: Dar alNahdah al-Arabiah), 1995 Wahbah Zauhaili, أﺻﻮل اﻟﻔﻘﮫ اﻹﺳﻼﻣﻰ, Juz II,( Damsyik: Dar al-Fikri), 1998
ASAS, Vol.6, No.1, Januari 2014
45